Ceritasilat Novel Online

Empat Iblis Kali Progo 1

Roro Centil 01 Empat Iblis Kali Progo Bagian 1


EMPAT IBLIS KALI PROGO * Copyright naskah ini ditangan penerbit LOKAJAYA,
hak cipta pengarang dilindungi
undang-undang. * Dilarang mengutip, tanpa seijin penerbit.
* Menterjemahkan karya ini dalam bahasa Asing,
harus seijin penerbitnya lebih dahulu.
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
1 ROMBONGAN pasukan berkuda lasykar Kerajaan itu lewat dengan suara yang
bergemuruh, melintas dijalan desa yang sunyi itu. Debu tebal mengepul
disepanjang jalan. Batu dan pasir berterbangan... Dan sekejap saja lebih dari
dua puluh ekor kuda itu melintas dengan cepat, disertai teriakan-teriakan gegap
gempita bagai tengah
mengejar orang. Sebentar kemudian suasana ditempat itu kembali hening. Akan
tetapi segera terlihat satu pemandangan yang mengharukan. Karena beberapa ekor
kambing telah berkaparan dijalanan dengan keadaan yang
menyedihkan. Seekor kambing berbulu coklat
tampak mencoba berdiri dengan susah payah, akan tetapi kembali roboh terguiing.
Ternyata kaki depannya telah hancur remuk dilindas kaki-kaki kuda. Suara
mengembiknya terdengar menyayat hati. Tiga ekor kambing berbulu hitam terkapar
tak bernyawa dengan kepala berlumuran darah. Seekor lagi yang berbulu putih
tengah sekarat dengan keadaan yang menyedihkan.
Sementara dua ekor anak kambing yang masih kecil telah mati dengan tubuh hancur
luluh. Dari sebuah parit disisi jalan, muncul kepala seorang bocah gembala.
Wajahnya pucat pias penuh debu dan lumpur. Rambutnya kusut masai penuh jerami
kering. Rupanya tadi sewaktu pasukan berkuda itu melintas jalan.
Dia tengah menghalau kambing-kaming gembalaannya melintasi jalan sunyi itu. Tak
diduga rombongan pasukan berkuda itu begitu cepat datangnya, tahu-tahu telah
didepan mata. Terbeliak sepasang matanya, dan dengan berteriak kaget dia cepat gulingkan
tubuhnya menyelamatkan diri dan maut hingga terjerumus keparit.
Si bocah gembala ini ternyata
seorang bocah perempuan yang berusia sekitar tujuh tahun. Gadis kecil ini
mengucak-ucak matanya melihat sebuah pemandangan tragis terpampang didepan
matanya. Penglihatannya tertumbuk pada dua ekor anak kambing yang terkapar mati
dengan tubuh hancur bersimbah darah.
"Oh...?" Satu suara tersendat keluar dari bibir bocah gembala ini.
Sepasang kakinya gemetaran seperti tak kuat menahan tubuhnya lagi.
Ketika melihat seekor kambing
berbulu putih yang tengah megap-megap sekarat dengan mulut mencucurkan darah,
bocah ini berteriak menjerit.
"Putih...!" oh, Pu.... Putiiiih!"
Dan segera menghambur lari menubruk kambing itu.
Selanjutnya sudah menangis terisak-isak dengan suara menyedihkan. Si Putih baru sebulan ini melahirkan anaknya
yang dua itu. Anak kambing yang lucu-lucu. Seekor berbulu putih, dan seekor lagi
berbulu hitam. Kini kedua ekor anak kambing yang lucu-lucu itu sudah jadi bangkai tak bernyawa.
Dan sang induknya tengah megap-megap sekarat dengan keadaan mengenaskan hati.
Tersedu-sedu sibocah gembala memeluki sang kambing kesa-yangannya. Kambing yang
satu ini adalah miliknya sendiri yang telah dibelikan oleh ayahnya setahun yang
lalu. Sedangkan yang lainnya adalah kambing-kambing milik sang paman, yang
digembalakannya menjadi satu.
Sementara si Putih itu rupanya sudah tak kuat mempertahankan lagi nyawanya.
Setelah sekarat meregang nyawa, tak lama kemudian kambing itupun mati.
Sang bocah gembala itu semakin
kuat memeluki tubuh binatang kesa-yangannya. Tangisnya hampir tak terdengar
karena suaranya telah serak.
Kenyataan yang tragis itu ternyata telah menggoncangkan jiwanya. Hingga karena
tak kuat menahan kesedihan yang amat sangat, si gadis kecil itupun terkulai tak
sadarkan diri. Angin gunung bertiup berdesahan menyibak rambutnya. Entah berapa lama dia
tertelungkup tak sadarkan diri dengan lengan masih memeluk binatang
itu. Ketika tiba-tiba dikejauhan kembali terdengar bunyi derap kaki-kaki kuda
mendatangi. Ternyata
rombongan pasukan berkuda lasykar Kerajaan itu telah kembali lagi. Tak dapat
dibayangkan apa yang bakal terjadi, karena gemuruh puluhan ekor kuda itu
menderu-deru cepat laksana air bah. Peristiwa mengerikan itupun kembali
berlangsung... Kuda pertama menerabas tanpa kenal ampun, disusul kuda-kuda
selanjutnya. Kaki-kaki binatang kekar ini cuma menurutkan perintah tuannya,
langsung menggilas apa saja yang menghalangi jalan. Lima ekor kuda telah lewat
menerabas. Dan tubuh kecil tak berdaya yang membaur diantara bangkai-bangkai
kambing itu pun terinjak-injak, terlempar kesana kemari. Lalu digilas oleh kakikaki kuda selanjutnya.
Pada saat itulah satu bayangan
telah berkelebat menggelinding, dan menyambar tubuh bocah gembala itu.
Dengan berguling-guling diantara kaki-kaki kuda yang berkepulan debu, dia
berhasil keluar dari kaki-kaki maut yang melintas dengan cepat itu. Dan sebentar
saja rombongan pasukan berkuda itu telah lenyap dikejauhan.
Kini terlihatlah satu pemandangan yang mengenaskan. Diantara kepulan debu yang
menipis itu, tampak seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh
tahun lebih menggelepoh disisi jalan.
Bajunya penuh dengan tapak-tapak kaki kuda. Bahkan bekas tapak kaki kuda
terlihat dipelipisnya. Sementara si bocah gembala itu belum diketahui nasibnya,
karena telah dipeluknya erat-erat menempel didada. Perlahan-lahan dia bangkit
berdiri. Matanya bersinar menatap ke ujung jalan dimana rombongan pasukan
berkuda lasykar Kerajaan itu lenyap. Tampak dada laki-laki ini berombak-ombak
menahan geram, dengan gigi terdengar berkerot.
"Bangsat-bangsat terkutuk...!"
Terdengar suara desis keluar dari bibirnya. Namun sesaat dia sudah tersentak
ketika melihat keadaan bocah yang di tolongnya. Cepat-cepat ia menempelkan
telinganya ke dada bocah itu. Dan wajahnya berubah pucat.
"Celaka...! Aku harus cepat
menolongnya sebelum terlambat..!"
Desisnya penuh kekhawatiran. Dan...
berkelebatlah laki-laki berbaju putih itu tinggalkan tempat itu. Tubuhnya
melesat cepat sekali, lalu sebentar kemudian lenyap dibalik perbukitan.
Tiba-tiba dari ujung jalan tadi, muncul lagi serombongan pasukan lasykar
Kerajaan. Suara derap kaki-kaki kuda kembali menyibak keheningan.
Ternyata rombongan yang tadi, akan tetapi kini cuma lima ekor kuda yang
mendatangi. Tiba-tiba si penunggang kuda
paling depan mengangkat tangannya, memberi isyarat berhenti. Penunggang kuda ini
masih muda. Berusia sekitar dua puluh tahun lebih. Berwajah tampan dan
menunggang kuda berbulu hitam berkilat. Kiranya dialah si pemimpin rombongan
berkuda itu. Segera sepasang matanya menyapu sekitar tempat itu.
Menatap pada beberapa ekor kambing yang porak poranda dengan keadaan tak
bernyawa. Berkilat-kilat sepasang matanya menatap bangkai-bangkai binatang itu.
Kemudian memutar kudanya.
Pandangannya menyapu bukit dan keadaan sekitarnya.
"Hm, cepat periksa keadaan disekitar perbukitan ini! Apakah ada manusia?"
Perintahnya pada keempat anak buahnya. Keempat penunggang kuda itu segera
mengangguk hormat, dan segera memecah keempat penjuru. Lalu memulai
penyelidikan. Sementara si pemuda tampan kepala pasukan berkuda ini berputarputar disekitar tempat itu, dengan sepasang matanya memperhatikan bangkaibangkai kambing yang berserakan dijalanan. Kiranya tadi sewaktu rombongan
pasukan berkuda lasykar Kerajaan itu melewati jalan ini, sekilas dia telah
melihat seorang bocah kecil tertelungkup diantara bangkai-bangkai kambing yang
memang telah berserakan dijalanan. Akan
tetapi karena dia berada dibarisan ketiga, dan terhalang oleh tiga ekor kuda
dihadapannya. Dia tak begitu memperhatikan. Apa lagi untuk
menghentikan kudanya adalah tak mungkin. Karena kuda-kuda mereka berlari cepat
sekali. Sedangkan dia yakin, seandainya penunggang kuda paling depan mengetahui ada
orang dijalanan, tentu dari jauh-jauh sudah memberi aba untuk berhenti. Itulah
sebabnya tadi dia terus melewati dengan agak ragu, apakah penglihatannya cuma
fatamorgana saja, ataukah sesungguhnya" Namun ketika tiba di pos sebelah depan,
pemuda ini sengaja kembali lagi bersama keempat perwira bawahannya.
Sedangkan rombongan yang terdiri dari dua puluh ekor kuda dibawah pimpinan
Tumenggung Wirapati meneruskan
berangkat ke perbatasan Kota Raja.
Sebenarnya dia dan keempat anak buahnya berada dilain rombongan, yang memintas
jalan memutar melalui
belakang bukit, dan tidak melalui jalan desa ini. Ketika itu mereka tiba
terlebih dulu. Setelah memberi laporan bahwa buronan yang dicarinya tak
dijumpai, segera bergabung dengan rombongan yang dibawah pimpinan Tumenggung
Wirapati. Demikianlah, hingga kedua rombongan itu segera melewati jalan desa
yang sunyi itu.
Tentu saja membuat pemuda tampan pemimpin keempat perwira Kerajaan itu menjadi
penasaran, dan kembali lagi.
Penasaran untuk membuktikan penglihatannya. Apakah dijalanan yang dilewati
rombongan mereka, ada seorang bocah tertelungkup diantara kambing-kambing yang
berserakan"
Tiba-tiba tatapan matanya tertumbuk pada sebuah benda bersinar diantara kambing-kambing yang berkaparan
dijalan itu. Cepat dia
bergerak melompat turun dari kudanya.
Diambilnya benda itu, yang ternyata seuntai kalung berwarna putih
berkilatan. Rantainya terbuat dari baja putih, sedangkan bandulannya terbuat
dari gading berbentuk hati.
Pada bagian tengahnya terdapat ukiran sebuah huruf " R ". Tersentak hatinya
melihat kalung ini. Kini dia yakin benar bahwa yang tertelungkup disini tadi
benar-benar seorang bocah
manusia. Cepat disimpannya benda itu ke balik pakaiannya, dan kembali melompat
ke atas kuda. Sementara benaknya mulai berfikir.... Hm, kalau Tumenggung Wirapati dan anak buahnya mengetahui didepannya ada seorang
bocah tetelungkup ditengah jalan, mengapa tak memberi isyarat berhenti" Mustahil
kalau mereka tak melihatnya! Dan berkaparannya kambingkambing yang mati ini pasti karena diterjang terus oleh rombongan berkuda
dibawah pimpinannya! Benar! Aku yakin bocah si pemilik kalung ini adalah seorang
bocah penggembala
kambing! Mungkin rombongan mereka terus menerjangnya disaat melewati jalan ini! Dan
ketika kembali lagi setelah bergabung dengan rombongan pasukanku telah menerjang
lagi bocah yang tertelungkup dijalanan! Entah bocah itu tertidur ataukah
pingsan, aku tak mengetahui..!
Terdengar suara pemuda itu
berdesis kesal.
"Kalau begitu Tumenggung Wirapati benar-benar soorang yang berhati kejam!
Sungguh-sungguh keterlaluan..!"
Memaki si pemuda. Kini yang jadi pertanyaan adalah sipemilik kalung itu.
Kemanakah gerangan bocah gembala itu" Kalau mayatnya ada tentu tak menjadikan
dia penasaran. Kalau memang penglihatannya salah, tak mungkin ditemukannya
kalung itu. "Apakah sibocah penggembala kambing itu seorang bocah perempuan?"
Desisnya lagi pelahan. Setelah berfikir bolak-balik tak menentu, akhirnya dia
menyerah, tak dapat memecahkan persoalan itu. Sekarang tinggal menunggu
penyelidikan keempat Perwira bawahannya.
Kira-kira selang beberapa saat, tampak satu-persatu keempat Perwira
bawahannya. Dia telah menerima
laporan. Ternyata laporan yang didapat
adalah tidak adanya siapa-siapa disekitar tempat itu. Pedesaan masih amat jauh
sekitar ratusan kaki
dilereng bukit. Tak ada seorang manusiapun yang lewat ditempat itu.
Akhirnya setelah temenung beberapa saat, pemuda pemimpin rombongan itupun segera
perintahkan untuk kembali.
Derap suara langkah kaki-kaki kuda kembali terdengar disekitar tempat sunyi itu.
Namun suara itupun semakin menjauh. Lalu melenyap, tinggalkan debu yang mengepul
disepanjang jalan.
Tempat itu kembali lengang seperti sediakala. Dan bangkai-bangkai kambing itu
cuma menambahkan sebuah pemandangan yang memilukan....
2 WAKTU berlalu begitu cepat seperti anak panah lepas dari busurnya.
Tujuh tahun kemudian sejak kejadian dijalan desa sunyi itu....
"ROROOOO..!" ROROOOOOOOOO..!"
Satu suara terdengar sayup-sayup dikejauhan, diantara tebing dan bukit dekat air
terjun. Pemandangan disitu memang indah. Bukit-bukit dan tebing menjulang
disana-sini. Dilereng Gunung
Rogojembangan itu mengalir sebuah sungai berair jernih. Disebelah barat, persis
diarah hulu sungai itu,
terlihat menonjol sebuah lamping bukit curam yang berbentuk aneh dan indah
sekali. Karena bila diperhatikan amat mirip dengan kepala burung Rajawali
Raksasa. Menghadap kearah sisi bukit itu adalah hutan belantara. Dan air terjun
itu persis berada dibawah lamping bukit yang berbentuk kepala burung Rajawali
"Roroooooo..!" Kembali terdengar suara memanggil itu. Kali ini suaranya lebih
keras. Seorang bocah laki-laki tanggung kira-kira berusia empat belas tahun,
tampak melompat diantara batu-batu tebing dan bukit terjal.
Gerakannya amat lincah sekali. Dengan sebat bocah laki-laki tanggung itu
menuruni akar pohon yang melintang di lereng tebing lalu melompat lagi menuju
kebawah bukit. Dari gerakannya dapatlah diketahui bahwa bocah laki-laki tanggung
itu bukanlah bocah sembarangan, tapi seorang bocah yang terlatih.
Setelah berpaling ke kanan dan ke kiri, orang yang dicarinya tidak ada, matanya
tertuju pada air terjun.
Dengan gerakan sebat, kembali dia berlompatan d atas batu-batu disisi sungai.
Dan sebentar saja telah berada disisi bukit, di bawah lamping batu
menonjol itu dimana disisinya adalah air terjun. Sepasang matanya kembali
jelalatan memandang sekitarnya mencari-cari adakah orang disekitar tempat itu.
Namun tak ada tanda-tanda orang yang dicarinya berada disitu.
"Aiiih, kemana gerangan anak itu..?" Gumamnya pelahan. Akhirnya diapun
langkahkan kaki menjauh lagi air terjun itu, dan jatuhkan pantatnya keatas
sebuah batu besar. Tangannya merayap menjumpu batu-batu kerikil, dan
dilemparkannya ke tengah sungai.
Suaranya bergemerutukan diair yang jernih itu. Terlampias juga rasa kesalnya.
Memandang air jernih dan udara siang hari yang cukup panas, membuat bangkitnya
selera untuk mandi.
Setelah tengok kiri-kanan tak ada orang, segera dia membuka bajunya. Dan
lepaskan celananya....
BYURRRRR...! Bocah laki-laki
tanggung ini sudah terjun ke sungai.
Air disini tak seberapa dalam. Tak berapa lama kepalanya sudah tersembul
dipermukaan air. Saat dia mandi dan merendam tubuhnya didalam air sebatas dada
itu tiba-tiba sepasang matanya jadi membeliak, karena terasa kakinya ada yang
mencekal dibawah air. Tentu saja bocah laki-laki tanggung ini jadi terkesiap.
Sekilas saja sudah
terlintas sesuatu yang menakutkan dibenaknya. Dongeng adanya "Hantu Air"
yang suka mengganggu orang mandi di sungai. Dan....
"Wuaaaaaa..! tolong!
toloooong..!?" Berteriak-teriaklah dia ketakutan, sambil berusaha menarik
kakinya yang terasa dibetot ke dalam air.
Justru dia mencoba menarik,
bahkan tubuhnya semakin terbetot ke dalam air. Tak ampun lagi segera kapalanya


Roro Centil 01 Empat Iblis Kali Progo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membenam. Meronta-ronta bocah laki-laki tanggung itu dengan gelagapan. Kepalanya
sebentar timbul sebentar hilang. Dan dua-tiga teguk air sudah tertelan masuk
tenggorokannya. Tiba-tiba terasa cekalan itu terlepas... Cepat dia berenang
menepi. Wajahnya tampak pucat pias karena takutnya. Sesaat dia sudah berhasil mencapai
tepian sungai. Lengannya meraih batu, dan sudah siap gerakkan tubuh yang lemas
itu untuk melompat ke darat. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara tertawa
cekikikan dibelakangnya.
Semakin takutlah bocah ini. Namun dengan justru sisa-sisa tenaganya dia sudah
berhasil naik. Setelah merasa aman barulah dia balikkan tubuh untuk menoleh ke
belakang. Betapa terkejut dan mendongkolnya bocah laki-laki ini, karena yang tertawa
cekikikan di belakangnya tak lain dari Roro. Yaitu si bocah
perempuan yang tengah dicari-carinya
tadi. "Roro..!" kau... kau sungguh keterlaluan menakut-nakuti orang! Jadi Hantu Air
yang kau dongengkan tadi adalah kau sendiri..?" Berkata bocah laki-laki tanggung
itu dengan sepasang mata mendelik kesal, tapi bibirnya sunggingkan senyuman.
Karena rasa kekhawatirannya seketika sirna.
Bocah perempuan tanggung bernama Roro itu beranjak menepi. Ternyata seorang
bocah perempuan yang berwajah ayu. Bentuk wajahnya membulat bagai daun sirih.
Sepasang matanya jernih.
Rambutnya yang panjang sebatas
punggung itu basah kuyup. Segera saja dia sudah naik melompat ke darat.
Sementara si bocah laki-laki tanggung itu cuma me natap dengan mata tak
berkedip. Akan tetapi baru saja dia naik ke darat, sudah terdengar lagi suara
tertawanya mengikik geli.
"Hihihi... hihihi... hihi....
Lucu! Hihihi... lucu sekali..!"
Melihat gadis tanggung dihadapannya mengikik tertawa sambil menunjuk-nunjuk
kearah bagian bagian bawah tubuhnya, keruan saja dia jadi
kebingungan. Ketika sadar akan keadaan dirinya, seketika wajahnya berubah
memerah. Sebelah lengannya dengan cepat bergerak menutupi bagian yang terbuka
itu, dan begitu menemukannya, bergegas mengenakannya, dan....
Hm, beres..! Teriaknya dalam
hati, setelah selesai mengenakan celananya. Sedangkan bajunya tak terburu-buru
dipakainya, tapi
diletakan diatas pundak. Sementara sepasang matanya menatap pada kawan
perempuannya yang masih berdiri ditempat tadi.
Sementara si bocah perempuan
tanggung bernama Roro itu telah hentikan tertawanya. Dilihatnya sang kawan itu
terus menatapnya dengan mata tak berkedip dengan bibir ternganga.
Apakah yang diperhatikan" Pikirnya.
Roro yang sama sekali tak menyadari keadaan dirinya, segera melompat mendekati
bocah laki-laki kawannya itu.
Semakin dekat dia menghampiri,
semakin membinar sepasang mata sang kawannya itu menatapnya. Tentu saja si bocah
perempuan tanggung itupun tak menyadari kalau tubuhnya dalam keadaan telanjang
bulat, dan tatapan sepasang mata kawannya yang membinar-binar adalah karena
memperhatikan sekujur tubuhnya.
"Heh"! Ginanjar! Kau kenapakah.."
apakah kesurupan setan Hantu Air...?"
Tanya Roro seraya beranjak
menghampiri, dan menepuk nepuk pundak-nya. Bahkan mengguncang-guncangkan
tubuhnya. Tentu saja membuat bocah laki-laki tanggung bernama Ginanjar
itu jadi tersipu-sipu sambil melengos.
Namun seonggok senyum lucu, tapi lugu tersungging dibibirnya.
"Roroooooo...! Ginanjaaaar..!"
Satu suara serak parau terdengar sayup dikejauhan. Suara yang sudah amat dikenal
betul oleh kedua bocah tanggung itu.
"Hah!" Celaka...! Kita bakal kena damprat! Dan bakal dapat hukuman berat..! Oh,
aku telah melalaikan tugas guru..! Yah, gara-gara mencarimu tak bertemu..!"
Bisik Ginanjar dengan wajah pucat.
"Hihihi... biarlah kau dapat hukuman! siapa suruh kau mencariku"
Sudah tak bertemu, kenapa terus mandi"
Itukan salahmu sendiri!" Tukas Roro dengan wajah tak menampakkan
keterkejutan. Berbeda dengan Ginanjar yang seketika wajahnya pucat pias dan
bergegas mengenakan bajunya.
Ternyata Roro pun segera melompat ke tempat menyimpan pakaiannya yang ternyata
disembunyikan dibalik batu.
Dan bergegas pula mengenakannya. Tak berapa lama dua sosok tubuh telah
berlompatan keluar dari bawah lamping bukit itu. Ginanjar melompat terlebih
dahulu, lalu disusul oleh Roro. Kedua bocah tanggung ini bergerak cepat sekali
melompati batu-batu terjal, meniti akar pohon, dan mendaki lereng perbukitan.
Tak berapa lama keduanya
telah tiba diatas. Tampaknya Ginanjar mengatur napas sebentar, lalu berlari-lari
lagi menyusul Roro, yang sudah mendahului tanpa berhenti untuk beristirahat.
Siapakah gerangan gadis tanggung bernama Roro itu" Dialah kiranya si bocah angon
yang telah ditolong oleh seorang laki-laki dari terjangan kaki-kaki kuda pada
tujuh tahun yang lalu.
Marilah kita ikuti kemana gerangan kedua bocah tanggung itu menujunya.
Diujung jalan setapak, pada
sebuah tempat yang bersih dan luas, tampak duduk seorang kakek diatas sebuah
batu besar. Sang kakek ini berambut gondrong yang sudah putih semua. Bahkan
kumis dan jenggotnya yang tebal itupun telah memutih bagaikan kapas. Hati
Ginanjar sudah kebat-kebit dari kejauhan ketika melihat orang tua ini. Sementara
Roro terus berlari cepat didepan Ginanjar.
Ketika kira-kira beberapa tombak lagi, tiba-tiba tubuh Roro meletik indah, dan
berjumpalitan diudara. Begitu menginjak tanah, ternyata sudah tiba dihadapan
sang kakek tua itu.
"Ada apakah, kek" kau
memanggilku..?" Bertanya Roro, yang segera duduk bersimpuh dihadapannya.
Sang kakek ini tak menjawab, tapi bibirnya diam-diam sunggingkan
senyuman. Hatinya memuji kagum melihat
gerakan lincah bocah perempuan tanggung ini, yang gunakan jurus Rajawali
Menukik. Sementara tatapan matanya ditujukan pada Ginanjar, yang sudah tiba dan
segera duduk bersimpuh disamping Roro.
"Hm, kalian pasti habis mandi..!"
Berkata sang kakek seraya menatap keduanya yang rambutnya masih basah.
Hampir berbareng keduanya mengangguk.
Roro tampak tenang-tenang saja, tapi Ginanjar terlihat benar gelisahnya.
Sedari tadi hatinya memang sudah kebat-kebit.
"Bukankah sudah kukatakan, kalian tidak boleh mandi berdua-dua" Apakah kalian
memang sengaja melanggar larangan, dan mau menjadi murid-murid yang keras
kepala..?" Tanya sang kakek.
"Hayo jawab..!!" Bentak si kakek tiba-tiba, membuat Ginanjar jadi terlonjak
kaget. Sedangkan Roro tiba-tiba menutup mulutnya karena merasa hal itu amat
lucu. Tubuh Ginanjar tampak gemetaran tanpa bisa menjawab.
Melihat demikian Roro cepat-cepat menjawab seenaknya.
"Kami tidak mandi berdua, kek..!
Apakah kakek telah melihat sendiri dengan mata kepala?" Bertanya Roro.
Sang kakek jadi berpaling menatap Roro. Alisnya yang putih itu bergerak menyatu,
dan sepasang matanya melotot
tajam. Akan tetapi memang dia jadi gelagapan ditanya demikian, karena sebenarnya
dia tidak melihat kedua bocah itu mandi berdua ataukah seorang diri.
3 SEMENTARA sang kakek gelagapan
ditanya Roro demikian, gadis tanggung ini tundukkan wajah sambil tersenyum.
Padahal dia cuma "menggertak" saja.
Karena seandainya sang kakek menge-tahuinya dan melihat mereka mandi berdua,
entahlah hukuman apa yang bakal mereka terima.
"Baiklah! Aku memang tak melihat kalian mandi berdua! Walau demikian kalian
tetap bersalah, karena tak kulihat seorangpun berada ditempat latihan" Ujar sang
kakek sambil mengelus jenggot putihnya yang lebat.
"Maka sebagai hukuman, guru..!"
Tiba-tiba Ginanjar telah berkata dengan suara terdengar agak gemetar.
Lain halnya dengan Roro, yang tampak monyongkan mulutnya, tapi tak berani bicara
apa-apa "Nah kini bangunlah kalian!"
Membentak sang kakek dengan suara keras. Tak usah dua kali perintah, bagai
disengat kelabang keduanya sudah melompat bangun berdiri. Mata sang
kakek tampak jelalatan mencari-cari sesuatu diantara dahan-dahan pohon disekitar
tempat itu. Lalu berhenti menatap pada sebuah dahan pohon yang melintang rata.
Dahan pohon itu tak seberapa tinggi. Kira-kira tingginya empat kali tubuh
manusia dewasa.
"Ginanjar! Kau naiklah ke dahan pohon itu. Dan kau harus berjuntai disana dengan
kaki diatas kepala dibawah! Mengertikah kau?" Berkata sang kakek. Ginanjar
menengadah keatas pohon, lalu mengangguk.
"Nah, kerjakanlah cepat!" Bentaknya dengan melotot.
Bocah laki-laki tanggung ini tak berani membantah. Dengan tiga-kali melompat,
dia sudah berada dibawah pohon yang ditunjuk itu. Selanjutnya sudah memanjat ke
atas dengan cepat.
Sebentar kemudian sudah berada didahan yang ditunjuk tadi. Matanya menatap
kebawah. Agak ngeri juga bocah laki-laki tanggung ini, tapi dengan kuatkan hati
segera dia mulai melirik kearah Roro, yang juga tengah memperhatikan.
Akan tetapi sebuah bentakan sudah menyambarnya lagi.
"Hayo, cepat!" Tentu saja tak ayal lagi segera kuatkan kepitan kakinya pada
dahan pohon, dan segera jatuhkan tubuhnya untuk menjuntai kebawah. Dan dengan
kepala dibawah sedemikian rupa, Ginanjar segera
bersidakep dengan memejamkan matanya.
"Ingat! Kau tak boleh turun atau merobah posisimu, sampai aku datang dan
menyuruhmu turun !" Berkata sang kakek dengan suara keras berwibawa.
Kemudian berpaling menatap Roro.
"Ayo, kau ikut aku..!" Berkata sang kakek, dan mendahului berkelebat dari situ.
Tentu saja Roro tak berani membantah, dan tak ayal lagi segera bergerak
menyusul. Tak sempat lagi dia menoleh pada Ginanjar yang menjuntai diatas dahan
pohon. Bocah inipun ternyata tak membuka matanya karena amat takut pada gurunya.
Siapakah gerangan kakek tua
berambut putih itu. Dialah seorang tokoh Rimba Hijau yang telah puluhan tahun
menyembunyikan diri di lereng Rogojembangan. Bernama BAYU SHETA, dan digelari
kaum persilatan dengan julukan si PENDEKAR BAYANGAN
Tujuh tahun sudah Roro tinggal
dilereng gunung itu sejak dibawa oleh seorang laki-laki yang telah
menyelamatkan jiwanya, yaitu bernama Jarot Suradilaga, yang bergelar si Maling
Sakti. Roro telah menjadi seorang gadis tanggung yang lincah jenaka, dengan usia
kira-kira empat belas tahun. Ibarat bunga adalah mulai mekar, dan belum
menampakkan kein-dahannya. Sayang Roro tidak sebagaimana lazimnya anak-anak
gadis sebayanya. Karena pengaruh akibat terjangan kaki-kaki kuda pada tujuh tahun yang
silam, telah membuat wataknya agak aneh, dan angin-anginan.
Terkadang akan membuat orang geleng kepala melihat sikapnya. Bahkan sang kakek
itupun sudah maklum akan
pembawaan watak Roro yang demikian.
Aneh juga lucu, karena sampai
saat ini Roro belumlah mengetahui kalau dirinya seorang perempuan. Dan hingga
saat ini dia tak mengetahui manakah sesuatu pada tubuhnya yang harus ditutupi
dan disembunyikan...
Setelah sekian lama berlari-lari mengikuti sang kakek alias Ki Bayu Sheta itu,
tampak laki-laki tua bertubuh kekar itu hentikan larinya.
Roro pun segera berhenti berlari.
Napasnya terdengar sengal-sengal.
Kecepatan lari sang kakek itu amat luar biasa. Roro sudah keluarkan tenaga
sepenuhnya untuk menyusul, akan tetapi tetap saja berada dibelakang tubuh si
kakek Bayu Sheta itu sekitar lima-enam tombak tanpa mampu menyusul.
Dia sudah jatuhkan tubuhnya mendeprok ditanah, lalu mengatur napasnya yang
terengah-engah. Tak berapa lama segera rasa lelahnya sudah pulih lagi.
Sementara sang kakek Bayu Sheta telah duduk diatas sebuah batu. Sebelah
lengannya mengelus-elus jenggotnya.
Dan sebelah lagi mengipas-ngipas
dadanya dengan ujung jubah. Tampak wajahnya seperti biasa saja. Tak terlihat
rasa lelah sedikitpun setelah berlari sekian lama. Menandakan kakek tua
berjulukan si Pendekar Bayangan ini bukanlah orang yang berkepandaian rendah.
Karena telah memiliki kesempurnaan dalam mengatur napas ketika berlari.
"Heheheh... bagus, Roro! Ilmu larimu semakin maju pesat! Enam bulan sudah sejak
kau dititipkan oleh gurumu si Maling Sakti ternyata tak
mengecewakan! Cuma dalam hal mengatur napas kau harus lebih perhatikan lagi..!"
Berkata Ki Bayu Sheta, dengan tersenyum menatap Roro. Roro tersenyum seraya
manggut-manggut mendengarkan penuturan sang kakek, tapi dalam hati amat
keheranan karena apalagi untuk menyusul, merendengi sang kakek saja teramat
sulit. Anehnya mengapa
dikatakan maju pesat" Dia jadi benar-benar tak mengerti. Tentu saja Roro tak
mengetahui kalau dalam setiap kali Roro sudah hampir berhasil meren-denginya
selalu Ki Bayu Sheta menambah kecepatan larinya. Hingga tetap saja jarak antara
mereka tak berubah.
Diam-diam Ki Bayu Sheta juga
terkejut, karena
Roro telah jauh
melebihi Ginanjar, bocah laki-lak tanggung muridnya itu. Kalau Ginanjar, ketika
dia pergunakan tenaga
separuhnya saja tak mampu berada lima enam tombak dibelakangnya. Tetapi Roro
ketika dia pergunakan tenaga lari tiga perempat bagian, ternyata mampu berada
dibelakangnya sejarak lima enam tombak dibelakangnya.
"Apakah hukuman yang akan kau jatuhkan padaku adalah dengan
mengajakku berlatih adu lari seperti ini, kek..?" Tiba-tiba Roro bertanya,
seraya bangkit berdiri. Orang tua itu terdiam sesaat, tiba-tiba sepasang mata
sang kakek telah melotot tajam padanya.
"Hm, aku akan menjatuhkan hukuman padamu seberat-beratnya, karena kau telah
berani berdusta!" Tiba-tiba Ki Bayu Sheta berkata dengan suara dingin. Tentu
saja kata-kata itu membuat Roro jadi terkejut.
Celaka!" Pikir Roro, dengan wajah seketika berubah pucat. Hatinya menduga kalau
sang kakek telah mengetahui kalau dia mandi berdua dengan
Ginanjar. Padahal tujuannya berdusta adalah membela bocah laki-laki itu, karena
tampaknya amat ketakutan sekali. Tiba-tiba....
"Kakek..! Ampunkanlah aku! Aku telah berani berdusta terhadapmu..!"
Roro telah bersimpuh dihadapan sang kakek itu dengan kepala menunduk.
"Berikanlah hukuman apa saja padaku, walau berat sekalipun pasti
akan hamba jalankan!" Tiba-tiba Roro bangkit berdiri dan tengadahkan lagi
wajahnya menatap ke langit. Melihat itu Ki Bayu Sheta jadi tertawa gelak-gelak,
dan terpingkal-pingkal seperti amat lucu. Ternyata tadi dia cuma menggertak
saja. Padahal sesungguhnya dia memang tak mengetahui sama sekali kalau Roro
berdusta. Tapi diam-diam Ki Bayu Sheta memuji sifat ksatria yang terdapat pada
Roro, yang mau mengakui kesalahannya dan berani menanggung resikonya.
"Duduklah Roro, cucuku..!"
Berkata Ki Bayu Sheta setelah berhenti dari tertawanya, dan menghela napas.
Dipandangnya lengkung-lengkung bukit diufuk sana, dimana awan-awan putih
berderet diatas perbukitan. Sementara hatinya membathin. Di diatas langit
ternyata masih ada langit lagi! Bocah perempuan ini telah berhasil menggertakku, menandakan bahwa diriku masih lemah! Seandainya yang meng-gertakku
adalah seorang musuh, dan aku mempercayai, tentu akan berakibat fatal! Akan
tetapi jiwa kesatria memang sukar didapat! Bocah ini berdusta cuma untuk membela
Ginanjar! Berarti dia mempunyai rasa setia kawan yang amat besar pada sesama murid atau
kawan! Berarti bocah ini memang tak dapat disalahkan..! Demikianlah hatinya
membathin. "Aku telah memaafkanmu, Roro..!"
Terdengar suara Ki Bayu Sheta lirih dengan nada parau. Tentu gadis


Roro Centil 01 Empat Iblis Kali Progo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanggung ini jadi terheran.
"Lho! " Mengapakah, kek" Kalau aku bersalah, hukumlah! Kalau kesalahanku
dimaafkan, apa alasannya ?"
Bertanya Roro dengan sepasang mata yang bening menatap pada Ki Bayu Sheta. Tentu
saja pertanyaan itu membuat sang kakek jadi melengak, tapi dia memang tak dapat
menyahut karena tampak sebutir air bening telah tersembul disudut matanya yang
sudah mulai agak mengabur itu. Wajahnya yang tegar dan seram itu ternyata tak
seseram hatinya. Tiba-tiba sebelah lengannya sudah bergerak mengelus rambut
Roro. Belaian itu begitu penuh kasih sayang. Roro tundukkan wajahnya dengan
perasaan aneh, mengapa tiba-tiba sang kakek bersikap demikian "
"Kau memang anak baik, Roro! Tak percuma gurumu Jarot Suradilaga alias si Maling
Sakti mendidikmu! Walau gelarnya tidak bagus, tetapi gurumu itu seorang Pendekar
sejati. Berhati mulia dan selalu menjunjung tinggi kebenaran! Tidak kecewa kau
menjadi muridnya, karena disamping ilmu-ilmu kedigjayaan yang telah
diturunkannya padamu, ternyata jiwa ksatrianya pun telah diwariskan padamu!
Berkata Ki Bayu Sheta dengan suara datar.
Sementara sepasang matanya masih menatap kearah bukit nun jauh disana.
Bukit yang sering dipandangi. Itulah bukit Kera, dimana segala penentuan
nasibnya adalah diatas bukit itu.
Namun Roro memang tak mengetahui, dan Ki Bayu Sheta memang tak ingin kedua orang
bocah muridnya mengetahui....
4 MATAHARI sudah condong ke arah
barat. Ginanjar masih tetap meng-gantung diatas dahan dengan kepala terjuntai
kebawah. Dalam keadaan jungkir balik demikian tentu saja bernapaspun tidak
leluasa rasanya.
Mata bocah laki-laki tanggung ini mulai berkunang-kunang. Kepala terasa berat,
tapi anehnya setelah dia salurkan hawa murni ke seluruh tubuh seperti yang
diajarkan Ki Bayu Sheta gurunya, segera terasa enak sekali berjuntai seperti
kampret begitu.
Apalagi dalam keadaan menjuntai itu si bocah laki-laki tanggung itu telah
membayangkan kejadian disungai tadi.
Serasa enggan dia membuka sepasang matanya yang mengatup, karena khawatir
bayangan indah yang dilihatnya
mendadak hilang. Selang beberapa saat, dan entah sudah berapa lama Ginanjar
menjuntai demikian tak dirasakannya
lagi. Ketika tiba-tiba didengarnya satu suara yang sudah tak asing lagi bagi
pendengarannya.
"Ginanjar! Kau sudah boleh turun!" Tentu saja bocah laki-laki ini jadi terkejut
tapi juga girang. Segera dia buka sepasang matanya. Tak
dilihatnya ada Ki Bayu Sheta ditempat itu, namun suara tadi memang jelas suara
gurunya. Tak ayal segera dia enjot tubuh untuk kembali tegak duduk diatas dahan.
Kembali dia pentang mata untuk melihat sekitarnya. Dan memang tak menampak
gurunya berada disekitar tempat itu. Hm, suara itu tak mungkin aku salah dengar!
Gumam Ginanjar dalam hati. Dan... melompatlah dia dari atas dahan tinggi itu.
Tubuhnya meluncur turun dengan
deras, tapi sebelum jejakkan kakinya ke tanah telah melayang sebuah ranting kayu
menyambar kakinya. Terkejut bocah laki-laki ini, segera dia jatuhkan diri
bergulingan. Sambaran ranting itu memang berhasil lolos. Akan tetapi ketika dia
melompat bangkit berdiri, segera perdengarkan suara teriakan mengaduh. Dan
kembali jatuh terduduk, karena terasa kakinya kesemutan.
Segera saja lengannya bergerak mengurut-urut kedua kakinya.
"Bocah tolol!" Terdengar suara bentakan, dan sebuah bayangan
berkelebat yang tak lain Ki Bayu Sheta
adanya. "Keadaan kakimu belum pulih!
Darah masih berkumpul dikedua kakimu!
Mana kuat kau jejakkan kaki ke tanah dengan ketinggian seperti itu"
Seharusnya kau salurkan kembali hawa murni dikedua kakimu untuk membuat darah
membuyar!" Berkata Ki Bayu Sheta dengan sepasang mata melotot menatap pada
Ginanjar. "Ampunkan kebodohan hamba, guru..!" Ujar Ginanjar, yang segera salurkan hawa
murni kearah kedua kaki dan tak lama rasa kesemutan itupun lenyap. Dan sesaat
dia sudah mampu melompat untuk berdiri.
Pada saat itu Roro pun muncul
dengan wajah berseri gembira. Kiranya sewaktu dalam perjalanan kembali pulang
telah pergunakan cara yang diajarkan Ki Bayu Sheta, hingga walaupun berlari-lari
sekian lama tidaklah Roro merasa kelelahan. Dalam waktu singkat si gadis
tanggung itu telah berhasil menguasai cara mengatur napas.
"Hihihi... kakek! Seharusnya dia tak usah kau suruh turun! Biarkan saja
menjuntai diatas dahan menjadi
kampret!" Berkata Roro sambil mencibir menatap Ginanjar. Bocah laki-laki
tanggung itu cuma tersenyum, dan seketika wajahnya menjadi merah.
"Hm, sudahlah! Ayo, kita kembali
ke pondok!" Berkata Ki Bayu Sheta. Dan mendahului berkelebat.
"Eh, Ginanjar! Kau mau pulang atau tidak?" Roro palingkan wajahnya menatap bocah
laki-laki itu. "Pulanglah duluan Roro..! Nanti aku menyusul!" Sahut Ginanjar dengan menatap
pada Roro dan jatuhkan
pantatnya duduk diatas akar pohon.
Lengannya bergerak menguruti kakinya.
"Kakimu sakit?" Tanya Roro, seraya menghampiri.
"Tidak lagi! cuma kesemutan sedikit..! Ujar Ginanjar. Gadis tanggung ini
gerakkan alisnya, dengan sepasang matanya berkedipan.
"Aku akan bantu mengurut, biar lekas sembuh!" Berkata Roro seraya berjongkok dan
ulurkan sepasang lengannya. Berdebar seketika hati Ginanjar akan tetapi cepatcepat dia berkata.
"Sudahlah, cuma sedikit! Ayolah kita pulang..!" Ujar Ginanjar, dan segera
bangkit berdiri. Roro seperti tertegun, tapi segera perlihatkan senyumnya.
"Ayoo..!" ujarnya. Dan segeralah keduanya berlari cepat meninggalkan tempat
latihan itu. Dikejauhan masih terdengar suara Roro yang tertawa cekikikan entah
apa yang membuatnya geli. Namun sekejap mereka sudah tak kelihatan lagi.
* * * * Waktu berlalu terus....
Dan saat yang dijanjikan itupun tiba juga. Ki Bayu Sheta tampak berdiri diatas
bukit itu. Sepasang matanya menatap pada sebuah bukit nun jauh di sana, diarah
sebelah barat. Bukit itu memang tampak jelas dari tempat dia berdiri. Itulah Bukit Kera!
Buki yang selalu diperhatikannya disaat-saat bulan Purnama. Senja itu matahari
bersinar kemerahan. Cum cahayanya saja yang menampak, karena sang matahari sudah
tak terlihat terhalang bukit. Terdengar suara menghela napasnya, diseling suara
menggumam lirih yang hampir tak terdengar.
"Hm, Dewa Tengkorak! malam nanti aku akan menepati janjiku..!" Dan setelah
menghela napas, kakek itupun putarkan tubuh untuk segera berlalu tinggalkan
tempat itu. Senja semakin melenyap untuk
segera berganti dengan malam. Malam itu adalah malam bulan purnama yang ketujuh,
sejak saat perjanjian yang telah ditentukan. Ki Bayu Sheta memanggil kedua
muridnya, yang segera duduk bersimpuh dihadapannya. Pelita minyak sudah dipasang
diatas meja kecil dihadapan mereka. Ruangan pondok itu tampak lengang, karena
kedua murid itu tak keluarkan suara sepatah pun.
Sejak siang tadi mereka memang telah melihat perubahan sikap si kakek, tentu
saja dipanggilnya mereka untuk menghadap bakal ada satu pembicaraan penting.
"Roro...! Ginanjar! Kuharap kalian tidak meninggalkan lereng Gunung Rogojembangan
ini sepeninggalku!"
Berkata Ki Bayu Sheta dengan suara berat. Mendengar itu kedua bocah ini hampir
berbareng mengangkat wajahnya.
Roro sudah lantas bertanya.
"Mau kemanakah kakek..?" Ki Bayu Sheta cuma terdiam menatap kedepan.
Lalu ujarnya. "Hm, kukira kalian tak perlu mengetahui! Karena ini adalah
urusanku!" Menyahut sang kakek dengan suara tandas.
"Yang penting kalian tak boleh meninggalkan tempat ini sampai
kedatangan menantuku Jarot Suradilaga!
Alias si Maling Sakti!" Ujarnya. Dan kedua bocah itupun manggut-manggut dengan
berbareng. Adapun Roro sudah lantas bertanya lagi. "Apakah menantu itu, kek?"
Tentu saja membuat Ki Bayu Sheta jadi tercenung. Lagi-lagi Roro selalu
mengacaukan pembicaraan. Akan tetapi orang tua ini segera menghela napas, dan
menjelaskan. "Menantu itu artinya, gurumu si Maling Sakti itu telah menikah dengan anak
perempuanku! Nah, si Jarot itulah
menantuku..!" Ujar sang kakek dengan tersenyum. "Kakek mempunyai seorang anak
perempuan ?" Tiba-tiba Roro kembali bertanya dengan menatap tajam pada Ki Bayu
Sheta. Laki-laki tua itu manggut-manggut sambil mengelus jenggotnya. Dari
sepasang matanya tiba-tiba sudah menggenang air mata.
Tentu saja membuat Roro jadi melengak.
M ngapa tahu-tahu si kakek jatuhkan air mata" Pikir Roro.
"Yah, aku memang mempunyai seorang anak perempuan yang telah menikah dengan
gurumu Jarot Suradilaga alias si Maling Sakti! Akan tetapi anakku sudah pergi
meninggalkannya.
Pergi dengan membawa seorang bayi perempuan! Hal itu sudah berlalu empat belas
tahun yang lalu...!" Berkata Ki Bayu Sheta dengan menyeka air matanya dengan
ujung lengan jubahnya.
"Pergi... " maksudmu berpisah, kek?" Tanya Roro. Sang kakek kembali mengangguk,
dan menatap pada Roro.
"Ya..! kalau bayi itu masih hidup, tentu seusia denganmu Roro..!"
Roro sudah mau bertanya lagi, akan tetapi Ginanjar telah mencubit
pahanya, memberi isyarat agar jangan terlalu banyak bertanya. Gadis tanggung ini
monyongkan mulutnya, akan tetapi tak berani berkata.
Ki Bayu Sheta kembali teruskan
wejangannya yang didengarkan oleh
kedua muridnya dengan tundukkan wajah.
Kali ini Ki Bayu Sheta benar-benar berpesan seperti orang yang tak akan berjumpa
lagi membuat Roro dan
Ginanjar jadi was-was hatinya. Namun mereka tak mengucapkan kata sepatahpun
kecuali mengangguk.
"Nah, jagalah diri baik-baik!"
Selesai berkata sang kakek bangkit berdiri, lalu beranjak keluar menuju halaman.
Kedua muridnya ini segera mengikut mengantar kepergiannya. Tak berapa lama
setelah menengadahkan kepala menatap rembulan, Ki Bayu Sheta segera berkelebatan
cepat tinggalkan pondok di lereng Gunung itu. Roro dan Ginanjar cuma menatap
bayangannya saja yang sekejap telah lenyap di
keremangan malam....
* * * * Siapakah sebenarnya Ki Bayu Sheta alias Pendekar Bayangan itu" Dialah seorang
pendekar yang pernah meng-gemparkan pada dua puluh tahun yang silam. Pendekar
ini pernah turut berjuang mempertahankan
Kerajaan MEDANG dari serbuan musuh, dan turut serta dalam sebuah pemberontakan, karena
ketidak senangannya melihat Para Pembesar Kerajaan bertindak sewenang-wenang
terhadap rakyat, disaat Kerajaan sudah kembali aman.
Gerakan pemberontakan itu dipimpin secara sembunyi-sembunyi, dengan mengikut
sertakan kaum pengemis yang berjiwa Patriot. Disitulah Ki Bayu Sheta berjumpa
dengan Jarot Suradilaga alias si Maling Sakti yang ternyata adalah pemimpin dari
kelompok Partai Pengemis.
Kerajaan Medang waktu itu dalam keadaan gawat. Namun berkat bantuan rakyat dan
kaum Partai Pengemis yang turut berjuang, semua kerusuhan itu dapat dipulihkan.
Dan semua itu harus meminta korban jiwa yang tidak
sedikit. Walaupun demikian, setelah Kerajaan menjadi aman, ternyata masih ada
juga beberapa gelintir manusia yang duduk bercokol dikursi kebesaran dengan
kekuasaan yang membuat beban berat terhadap rakyat tanpa setahu Raja.
BUKIT KERA adalah tempat yang
dituju Ki Bayu Sheta. Yaitu sebuah bukit yang memang banyak dihuni oleh kerakera. Tampaknya si Pendekar Bayangan tak begitu tergesa-gesa untuk cepat tiba
dibukit itu. Bulan Purnama tampak membulat indah pancarkan sinarnya yang terang
benderang. Tanpa setahu Ki Bayu Sheta, sesosok tubuh ramping telah mengikutinya
dengan gerakan hati-hati. Siapakah gerangan sosok tubuh yang menguntitnya itu"
Tak lain dari seorang bocah
perempuan, yang ternyata adalah Roro.
Walaupun bayangan tubuh Ki Bayu Sheta sudah tak kelihatan lagi, namun Roro masih
bisa mengetahui letak Bukit Kera. Karena Roro memang sudah menduga kepergiannya
adalah ke bukit itu, sebab dia sering melihat sang kakek menatap kearah barat.
Dan gumamnya terkadang terdengar oleh Roro.....
5 SEMENTARA itu... Diatas puncak
BUKIT KERA telah menanti sesosok tubuh, berdiri tegak dengan jubah berwarna
hitam. Rambutnya putih beriapan. Bila dilihat keseluruhannya amatlah mirip
dengan Tengkorak Hidup.
Laki-laki ini bekulit hitam legam dengan tulang pelipis yang menonjol.
Pada bagian belakang jubahnya terdapat sebuah simbol kepala tengkorak.
Dilengannya tercekal sebatang tombak yang juga berwarna hitam. Usia orang ini
sekitar tujuh puluhan tahun.
Dialah si DEWA TENGKORAK. Seorang tokoh Rimba Persilatan golongan hitam.
Tidak terlalu lama sesosok
bayangan putih berkelebat... Dan segera telah berdiri diatas sebuah batu besar
tepat dihadapan si Manusia Jerangkong itu.
Siapa lagi kalau bukan si
Pendekar Bayangan Ki Bayu Sheta. Jarak mereka berhadapan kurang lebih tujuh
delapan tombak.
"Hehehehe... hehe... Selamat datang sobat Pendekar Bayangan! Anda benar-benar
seorang pendekar tulen yang menepati janji..!" Terdengar si manusia jerangkong
berkata. Suaranya dingin mencekam menyibak kelengangan di sekitar bukit itu.
"Terima kasih atas pujianmu itu Dewa Tengkorak..! Maaf, mungkin kedatanganku
agak terlambat!" Ujar Ki Bayu Sheta dengan suara datar.
"Hehehe... sama sekali tidak, sobat Bayu Sheta! anda terlalu
berbasa-basi, membuat aku terkadang malu terhadap diriku sendiri!" Sahut si
Manusia Jerangkong, dan terdengar suara helaan napasnya. Tiba-tiba dengan sekali
bergerak tubuh di Dewa Tengkorak telah mencelat keatas setinggi sepuluh tombak.
Dan dengan ringan bagaikan sehelai bulu, sepasang kakinya telah mendarat tepat
dihadapan Ki Bayu Sheta berjarak kurang lebih dua tombak, tepat diatas batu
besar. Ujung tombak dilengannya tiba-tiba diarahkan kedada Ki Bayu Sheta, dan terdengar
suaranya yang berubah jadi angker.
"Hm, Bayu Sheta! Tebusan nyawamu atas 300 nyawa kaum Partai Pengemis dan
keluarganya pada dua puluh tahun
yang silam, akan aku laksanakan pada malam purnama ini! Kukira sejak perjumpaan
kita tujuh purnama yang lalu, dan pengunduran pelaksanaan pencabutan nyawamu
berakhirlah sudah..!"
"Ya! aku telah siap untuk
menyerahkan jiwaku, Dewa Tengkorak!
Lakukanlah!" Berkata Ki Bayu Sheta dengan suara gagah. Dadanya
dibusungkannya untuk segera menerima kematian. Akan tetapi si Dewa
Tengkorak telah turunkan lagi
tombaknya. Dan menancapkannya ditanah hingga amblas sampai separuhnya.
Suara serak si Manusia Jerangkong itu kembali memecah keheningan yang mencekam
itu. "Bayu Sheta! Tujuh Purnama yang lalu aku telah memberi kesempatan padamu untuk
berlatih memperdalam ilmu kedigjayaanmu guna menghadapi malam ini, apakah sudah
kau lakukan?"
Bertanya si Dewa Tengkorak.
"Ya! Bagus! kau memang manusia jempolan yang tahu diri!
Heheheh... tahukah kau mengapa
aku sengaja mengulur waktu untuk menjemput nyawamu" Karena aku memang
menghendaki pertemuan kita disaat kita sudah sama-sama tua bangka seperti ini!
Dan telah dekat ke liang kubur, karena cepat atau lambat toh pada akhirnya kita
akan berangkat ke
Akhirat..!" Berkata si Dewa Tengkorak dengan suara parau, dan kembali mengumbar
tawa berkakakan. Kata-kata si manusia jerangkong ini terdengar tandas, anehnya
seperti tidak mengandung dendam kebencian terhadap Ki Bayu Sheta.


Roro Centil 01 Empat Iblis Kali Progo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Selama dua puluh tahun kukira cukuplah untuk kau mendidik seorang murid pewaris
ilmu-ilmu yang kau miliki! Dan kau masih punya banyak waktu untuk bersenangsenang, karena waktu yang kuberikan cukup lama!"
Ujarnya lagi. Kini sepasang mata Ki Bayu Sheta telah beralih menatap pada si
Dewa Tengkorak. Tampak sinar matanya membersit tajam seperti mau menembus
jantung si manusia
jerangkong. Kata-kata itu telah membuat napasnya memburu dan dadanya naik turun
bergelombang. Betapa amat terhinanya si Pendekar Bayangan.
Prioritas yang diberikan si Dewa Tengkorak selama itu justru telah membuat dia
menderita. Tiba-tiba laki-laki tua ini sudah perdengarkan suara keras, gemetaran
penuh amarah "Dewa Tengkorak!!! Kukira sudah lebih dari cukup kau menyiksaku
lahir bathin. Dua puluh tahun lebih aku menderita, tersiksa..! Aku tak ubahnya
seperti seorang hukuman yang sudah ditentukan kapan waktu kematiannya! Apakah
aku bisa hidup dengan tenteram, dan
bersenang-senang..?" Bergetaran tubuh Ki Bayu Sheta menahan amarah yang
bergemuruh didadanya.
Memang, selama itu aku masih
dapat mengenyam nikmatnya hidup! Secara lahiriah aku kelihatan dapat merasakan
hidup tenteram, dengan mempunyai seorang murid dan mendidiknya dilereng
Rogojembangan. Akan tetapi secara bathiniah, aku telah tersiksa!
Karena hidupku selama ini adalah atas belas kasih orang yang memberiku waktu
untuk hidup. Saat-saat kematianku seperti sudah diambang mata dan waktu yang
selama itu kau berikan padaku seperti tinggal beberapa hari saja..!
Tidak, Dewa Tengkorak! Ketenteraman hidup akan bisa dirasakan tanpa orang itu
mengetahui kapan kematiannya yang akan dia hadapi!"
Kata-kata Ki Bayu Sheta yang
tegas dan tanda itu seperti air bah yang mengalir dari atas gunung. Si manusia
jerangkong itu terpaku membisu bagai sebuah arca. Cuma terlihat ujung jubahnya
yang melambai-lambai diterpa angin. Ternyata si Pendekar Bayangan telah
lanjutkan kata-katanya lagi.
"Sepuluh tahun yang lalu akan hampir membunuh diri, karena tak kuat menanggung
penderitaan bathin! Maut serasa sudah didepan mataku, dan aku sudah tak sabar
menunggumu turun tangan mengambil nyawaku! Dan tujuh
purnama yang lalu aku sudah bergirang hati, karena aku segera akan menemui
kematian dibukit ini! Akan tetapi tak dinyana kau telah mengulur lagi waktu
kematianku sampai hari ini...! Kini waktu itu telah tiba Dewa Tengkorak!
Dan aku sudah tak sabar lagi menunggu!
Segeralah kau memulai..!" Teriak Ki Bayu Sheta dengan suara tandas.
"Baiklah Bayu Sheta! Hari ini aku memang tak berniat mengulur-ulur waktu lagi,
segeralah kau persiapkan dirimu!
Akan tetapi aku tak dapat membunuh orang yang tanpa melakukan perlawanan!
Segeralah cabut senjatamu..!" Berkata si Dewa Tengkorak dengan suara dingin.
Lengannya sudah bergerak mencabut tombak hitamnya yang tertancap
ditanah. "Aku tak membawa senjata apa-apa, sobat Dewa Tengkorak! Pedang Pusakaku telah
kutinggalkan dipondokku untuk pewaris pada muridku! Yah, kukira tak guna
kulakukan perlawanan! Toh
akhirnya aku akan mati, sesuai dengan janjiku untuk memberikan nyawaku sebagai
penebus 300 jiwa orang-orang Partai Kaum Pengemis..!" Ujar Ki Bayu Sheta dengan
suara tegas. Akan tetapi justru membuat si manusia jerangkong ini kecewa
setengah mati. "Huh! Benar-benar sial dangkalan..! Justru aku ingin melihat kehebatan jurus dari Ilmu Pedang Bayangan yang kau miliki itu, yang pernah membuat namamu harum dipuji orang!
Mengapa kau membuatku kecewa, Bayu Sheta..?" Berkata si Dewa Tengkorak dengan
suara mengandung kemendongkolan. Sepasang matanya melotot menatap laki-laki tua
dihadapannya. Dan... sekali lengannya bergerak tombak ditangannya telah dihunjamkan ketanah
hingga amblas tak kelihatan lagi.
Terkejut Ki Bayu Sheta. Dia tak menyangka kalau si Dewa Tengkorak akan melakukan
hal seperti itu Tombak Hitam itu adalah Tombak Pusaka Kerajaan Kalingga milik
Ratu SHIMA, seorang raja perempuan yang pernah berkuasa di Jawa Tengah pada abad
ke tujuh. Ki Bayu Sheta mengetahui dari kakek gurunya, bahwa Tombak Pusaka
ditangan si Dewa Tengkorak itu adalah benda bersejarah. Entah bagaimana asalnya
hingga Tombak Pusaka itu bisa jatuh ketangan si Dewa Tengkorak.
Saat itu telah terdengar suara si manusia jerangkong yang parau.
Kepalanya ditengadahkan menatap kearah perbukitan yang berjajar kehitaman nun
jauh diarah sana.
"Bayu Sheta! Julukanmu si
Pendekar Bayangan itu telah membuat aku mengiri pada lebih dari dua puluh tahun
yang silam! Ternyata disamping tingginya ilmu yang kau miliki, kau
juga memiliki keluhuran budi! Kau berjuang semata-mata karena membela kebenaran,
melindungi si lemah yang tertindas dari si penguasa yang jahat!
Perjuanganmu dalam membela Kerajaan Medang dari keruntuhan bersama-sama Partai
Kaum Pengemis dan rakyat, telah ditulis dalam sejarah, dan dikenang orang
sepanjang zaman.
"Aku benar-benar kagum atas keluhuran budimu Bayu Sheta! Kau telah rela menebus
nyawa ratusan manusia dengan nyawamu sendiri! Aku merasa telah kau kalahkan,
Pendekar Bayangan..! Aku cuma bertindak
berdasarkan ambisiku belaka, tak tahu apakah orang yang aku bela itu
golongan pengkhianat Kerajaan atau pihak yang benar. Bagiku sama saja!
Karena yang penting adalah aku dapat berbuat semauku tanpa ada yang
melarang. Dan aku dapat hidup
berkecukupan dengan hadiah-hadiah yang tanpa ku minta akan datang sendiri, walau
datangnya dari para Pembesar Kerajaan yang menggerogoti hasilnya dari memeras
rakyat. Aku tak mau tahu..!" Ujar si Dewa Tengkorak dengan suara terdengar parau
dan seperti berkumandang disekitar bukit. Dan lanjutnya lagi setelah terdiam
beberapa saat. "Aku merasa bangga kalau ilmu Tombak Iblis yang kumiliki tak ada
yang menandingi. Bahkan kini telah kupersiapkan sepuluh jurus ilmu pukulan sakti
hasil ciptaanku, yang telah memakan waktu hampir sepuluh tahun aku menekuninya.
Ilmu pukulan sakti itu kuberi nama Sepuluh Jurus Pukulan Kematian..!" Sampai
disini si Dewa Tengkorak berhenti berkata, dan palingkan wajahnya menatap si
Pendekar Bayangan Ki Bayu Sheta.
"Baiklah, Bayu Sheta! Rupanya tak ada waktu lagi, walau aku harus kecewa karena
ternyata kau tak memenuhi harapanku..!" Si manusia jerangkong itu rentangkan
sepasang tangannya seperti mau menyangga bulan.
"Bersiaplah Bayu Sheta! Aku akan melancarkan pukulan dari Sepuluh Jurus Pukulan
Kematian! Biia kau dapat menahan ilmu pukulanku sampai sepuluh jurus, kau bebas
menikmati kehidupanmu sampai Hari Kiamat..!" Berkata si manusia jerangkong ini
dengan suara dingin bagaikan es.
"Baik! Segeralah kau mulai! aku sudah siap. !" Berkata Bayu Sheta dengan suara
datar, yang telah
memasang kuda-kuda. Walaupun sudah tak mengharapkan hidup lagi, namun dia tak
mau mati konyol begitu saja. Dan dia memang tak mau mengecewakan si Dewa
Tengkorak, untuk menghadapi kehebatan kesepuluh jurus Pukulan Kematiannya dengan
kekuatan yang dimiliki. Dengan
perdengarkan suara mendesis, si Manusia Jerangkong sudah lancarkan serangan.
WHUUUUK..! Segelombang angin pukulan berhawa panas telah menerjang kearah Ki Bayu Sheta.
DHESSSS...! Si Pendekar Bayangan
sudah memapaki serangan dahsyat itu.
Benturan kedua tenaga dalam yang hebat itu menimbulkan asap tipis seperti kabut.
Laki-laki Lereng Rogojembangan itu terhuyung ke belakang. Dia cuma keluarkan
sebagian tenaga dalamnya, tak dinyana pukulan pertama si Dewa Tengkorak membuat
dia terhenyak kaget, karena terasa hawa panas menembus masuk ke dalam tubuhnya
beruntung sang kakek telah lindungi tubuh dengan hawa murni. Sedangkan si
manusia Jerangkong itu tampak tenang-tenang saja berdiri menatapnya tanpa
menggeser tubuh.
"Bagus! kini tahanlah pukulan kedua..!" Teriak si Dewa Tengkorak.
Dan dibarengi teriakan menggeledek, si manusia Jerangkong segera hantamkan
pukulannya. 6 HANTAMAN demi hantaman pun
berlangsung... Dan si Pendekar Bayangan selalu berhasil menahannya, hingga sampai
jurus kelima. Hawa disekitar
tempat itu mulai terasa panas.
Berpuluh-puluh ekor kera sudah
berlompatan menyingkirkan diri. Angin malam yang membersit dari atas Bukit Kera
ternyata telah menimbulkan hawa panas yang menyebar disekitarnya.
Bahkan hawa panas itu kini sudah berganti-ganti panas dan dingin, karena Si
Pendekar Bayangan telah keluarkan tenaga dalam Inti Es untuk menahan serangan Si
Dewa Tengkorak.
Pada Jurus kelima ini telah membuat Ki Bayu Sheta terdorong mundur dua langkah.
Sedangkan tubuh si Dewa Tengkorak tampak bergoyang-goyang, tapi cukup membuat
tokoh hitam Rimba Persilatan ini terkejut karena hawa dingin seperti telah
memusnahkan tenaga dalam Inti Apinya.
Jurus keenam telah dilancarkan lagi... Kali ini si Pendekar Bayangan harus hatihati, karena jurus ini amat berbahaya dan lebih ganas lagi.
Pukulan si Dewa Tengkorak mengarah batok kepala orang dengan cengkeraman ganas.
Sedang sebelah lengannya lagi menghantam kearah jantung. Serangan ke arah batok
kepala dapat dihindarkan, akan tetapi yang mengarah ke jantung sukar dihindarkan
karena datangnya terlalu cepat dan dibarengi hawa panas yang menyesakkan
pernapasan. Tenaga Inti Es nya ternyata seperti meleleh oleh hawa Inti Api si
Dewa Tengkorak,
yang ternyata lebih kuat. Untung dia keburu doyongkan tubuh, akan tetapi tetap
saja pukulan itu bersarang dibahunya sebelah atas. Dan.
BUK...! Ki Bayu Sheta terdorong tiga langkah. Jubahnya pada bagian bahu sebelah
atas itu robek hangus, dan tampak kulit bahunya mengelupas.
Namun dengan mengertak gigi, Ki Bayu Sheta tak perlihatkan rasa sakitnya.
Bahkan dengan gagah kembali berdiri tegak dengan mengumbar senyum.
"Hebat! Jurus keenam ini cukup luar biasa, soba Dewa Tengkorak! Nah, aku sudah
siap menanti serangan jurus ketujuh!" Berkata Ki Bayu Sheta denga suara santar.
Akan tetapi sampai jurus keenam ini si Dewa Tengkorak berhenti
sejenak, seperti memberi waktu pada lawannya untuk mengatur napas. Namun agaknya
si Pendekar Bayangan sudah tak sabar lagi. Di merasa bagai seorang bocah kecil
yang harus di kasihani.
Memang diakuinya bentengan hawa murni pada tubuhnya yang mengandung hawa Inti Es
dapat dijebol si Dewa
Tengkorak. Dan membuat darahnya seperti bergolak panas membuat dadanya menjadi
sesak. Setetes darah sudah tersembul disudut bibirnya. Akan tetapi mana mau
laki-laki perkasa itu menunjukkan kelemahannya" Bahkan seperti tak mengalami
apa-apa dia menantang jurus-jurus selanjutnya.
Mengetahui si Dewa Tengkorak sengaja menyediakan waktu padanya untuk
beristirahat, tentu saja membuat jago tua ini merasa terhina.
"Mengapa berhenti, Dewa
Tengkorak" Heh, kau kira aku takut menghadapi ilmu Pukulan Penggebuk Anjingmu
itu" Ataukah kau malu
mempertunjukkannya padaku" Hahaha..
hehehe...." Sengaja Ki Bayu Sheta mengejek si Dewa Tengkorak agar menjadi marah,
dan segalanya akan cepat menjadi beres. Mendengus si Dewa Tengkorak. Wajahnya
seketika menjadi merah padam. Dan dia sudah mengangkat tangannya, seraya
berteriak. "Baik Bayu Sheta! Terimalah jurus ketujuh dan kedelapan!" Tampak sepasang lengan
si manusia Jerangkong itu telah berubah merah bagaikan bara api yang mengepulkan
asap tipis. Si Pendekar Bayangan menahan napas, dan sudah siap menghadapi dua
jurus ketujuh dan kedelapan dari Sepuluh Jurus Pukulan Kematian. Satu bentakan
keras seperti membelah bukit. Hawa panas melingkupi sekitar bukit Kera, ketika
sepasang lengan si Dewa
Tengkorak bergerak memutar yang menimbulkan angin panas. Ketika putarannya
berhenti mendadak tubuh si Manusia Jerangkong itu mencelat keatas setinggi
sepuluh tombak. Dan ketika menukik
lagi, segera hantamkan lengannya kearah Ki Bayu Sheta.
DHESSSS...! Satu pukulan berhasil ditangkis si Jago tua ini. Tubuh Ki Bayu Sheta terhuyung
kebelakang. Dan jurus berikutnya adalah tiga serangan sekaligus, yang mengarah
ketiga bagian tubuh si Pendekar Bayanga ditempat-tempat berbahaya. Yaitu
tenggorokkan, perut dan... selangkangan.
"Jurus keji..!" Terdengar sebuah bentakan, di susul dengan ber-kelebatnya sebuah
bayangan putih.
Dan... KRAK! KRAKK! BUK...!
Jurus kedelapan itu dapat
mengenai sasaran. Dan terdengarlah suara jeritan parau menyayat hati, dengan
diiringi terlemparnya sesosok tubuh yang ambruk ke tanah. Setelah berkelojotan
beberapa saat sosok tubuh itupun diam tak berkutik lagi karena telah tewas
dengan seketika. Apakah yang terjadi" Kiranya Ki Bayu Sheta telah terhindar dari
pukulan maut si Dewa Tengkorak. Dan justru si
pendatang barulah yang telah menahan pukulan keji si Manusia Jerangkong itu dan
menjadi korban. Sedangkan Pendekar Bayangan Ki Bayu Sheta masih berdiri dengan
tubuh limbung. Darah segar berwarna hitam kental tersembur beberapa kali dari
tubuhnya. Ternyata
hantaman pada jurus awal dari jurus ketujuh tadi, Ki Bayu Sheta telah terluka
parah. Seandainya tak datang sesosok tubuh yang menahan terjangan jurus
selanjutnya dan mengorbankan nyawa, mustahil kalau si Pendekar Bayangan dapat
lolos dari maut.
Sementara terjangan-terjangan
yang terjadi di atas bukit Kera itu ternyata tak luput dari sepasang mata
bening, yang telah turut menyaksikan pertarungan sejak awal tadi. Dialah Roro,
si gadis bengal yang telah diam-diam menguntit sang kakek Ki Bayu Sheta.
Sepasang mata gadis tanggung ini terbeliak lebar menyaksikan kejadian barusan.
Dan dari bibirnya telah terdengar teriakan tertahan. Dan si gadis tanggung ini
telah menghambur keluar dari tempat persembunyiannya.
Ternyata dia telah mengetahui siapa adanya laki-laki yang mengorbankan nyawa
menyelamatkan Ki Bayu Sheta.
"GURUUUU...!" Teriaknya dengan suara parau bercampur isak. Dan dengan beberapa
kali melompat dia sudah tiba didekat tubuh si pendatang, yang sudah terkapar tak
bernyawa. Keadaannya amat mengerikan, karena tulang dadanya remuk, dan tulang
leher patah, serta pada bagian selangkangannya telah hancur bersimbah darah.
Sesaat Roro sudah jatuhkan tubuhnya untuk memeluki tubuh laki-laki itu, yang tak
lain dari Jarot Suradilaga alias si Maling Sakti. Diguncang-guncangkannya tubuh lakilaki itu dengan isak tangis memilukan.
Sementara itu tanpa ada yang
mengetahui disudut mata si Dewa Tengkorak tersembul setitik air bening. Untuk
pertama kalinya dia mencucurkan air mata. Mengapa
demikian" Karena didada si Dewa Tengkorak telah mengaduk berbagai perasaan
menjadi satu. Hatinya begitu trenyuh menyaksikan pengorbanan si Maling Sakti
pada si Pendekar Bayangan.
Alangkah bahagianya kalau dia dapat mati sebagai seorang Pendekar, seperti si
Maling Sakti itu. Dan Si Pendekar Bayangan pun rela mati demi menebus nyawa 300
orang Partai Kaum Pengemis, yang sedianya sudah akan dibantai si Dewa Tengkorak,
dan lasykar Kerajaan ketika mereka tengah berkemah bersama keluarga ditempat
pengungsiannya ditepi sungai atau Kali Wringin.
Seorang Adipati bernama Haryo
Gawuk telah melaporkan pada Raja Kerajaan Medang bahwa Parta Kaum Pengemis telah
siap melakukan penyeranga ke Istana. Mereka berkemah ditepi Kali Wringin. Tentu saja Baginda
Raja Kerajaan Medang menjadi murka. Karena merasa Partai Kaum Pengemis telah
bertindak keterlaluan.
Raja telah memberikan janji untuk
mengangkat mereka yang telah turut berjuang membela Kerajaan dari
kekuasaan musuh, dan telah pula membantu memperjuangkan rakyat dari tindakan
para Pembesar yang sewenang-wenang, mengapa diberi penghargaan telah menolak"
Dan kini diam-diam telah mengatur pemberontakan. Segera saja perintahkan
Senapati Trenggono untuk menumpas Partai Pemberontak itu.
Akan tetapi hatinya menjadi ragu atas pengkhianatan Partai Kaum
Pengemis. Segera Sang Raja perintahkan Patih Ganda Setho untuk menyusul Senapati


Roro Centil 01 Empat Iblis Kali Progo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Trenggono dengan membawa surat pembatalan untuk menumpas Partai Kaum Pengemis.
Dan memerintahkan untuk menyelidiki terlebih dulu. Sang Patih berhasil menyusul
Senapati Trenggono dan pasukannya. Lalu berikan surat penggagalan penyerangan
dari Baginda Raja. Ternyata sekembalinya sang Patih Ganda Setho, Senapati
Trenggono yang memang telah mengatur rencana jahat dengan Adipati Haryo Gawuk,
segera berunding. Ternyata diam-diam sang Adipati telah berhubungan dengan si
Dewa Tengkorak. Dan telah menyogok si Dewa Tengkorak denga harta dan wanita.
Tentu saja si Dewa Tengkorak yang terkenal berkepandaian tinggi dan ditakuti itu
tak menolak. Sebagian lasykar Kerajaan kembali pulang bersama Senapati. Akan
tetapi sebagian
lagi telah turut menyerbu ke kemah kaum Partai Pengemis, yang pada waktu itu
berada di tepi Kali Wringin bersama keluarganya.
Mereka telah dikepung ketat, dan dalam keadaan tak siap siaga. Karena merasa
keadaan Kerajaan sudah aman.
Mereka sengaja berkumpul karena akan mengadakan penyambutan buat si
Pendekar Bayangan dan Ketua Mereka si Maling Sakti, berkenaan dengan
menikahnya puteri si Pendekar Bayangan Ki Bayu Sheta dengan Jarot Suradilaga
alias si Maling Sakti, sang Ketua mereka. Tentu saja keadaan dikemah mereka cuma
ada beberapa puluh orang kaum laki-laki, karena sisanya tengah menghadiri pesta
pernikahan anak perempuan si Pendekar Bayangan disisi Kota Raja, yang diadakan
dengan sembunyi-sembunyi.
Rupanya hal tersebut sudah bocor, dan diketahui oleh anak buah Adipati Haryo
Gawuk. Sang Adipati mengkhawatirkan akan kedudukannya, karena dia memang salah
seorang Adipati yang bertindak tidak jujur, dan melakukan pemerasan terhadap
rakyat. Dengan adanya Komplotan Partai Pengemis, bisa-bisa dirinya akan tergeser
dan dipecat seandainya komplotan para pejuang itu mencium tindakannya.
Demikian juga dengan Senapati
Trenggono, karena adalah bekas seorang
Tumenggung yang justru disaat keadaan Kerajaan sedang kacau, dia berpihak pada
musuh. Bisanya menduduki jabatan sebagai Senapati, tentu saja dengan jalan
memutar lidah dihadapan Raja.
Dan mengkambing hitamkan rakyat atau para Pembesar Kerajaan lainnya, hingga sang
Raja menjatuhkan hukuman mati pada orang yang sebenarnya tidak bersalah.
Karena mengkhawatirkan kedudukannya juga khawatir tersingkap keja-hatannya, Senapati Trenggono telah
bersengkongkol dengan Adipati Haryo Gawuk untuk menyingkirkan kaum Partai
Pengemis para pejuang pembela rakyat itu. Tentu saja pengaturan itu telah
dipersiapkan sejak lama. Dan berhasil dihubungi seorang tokoh hitam yang
bergelar si Dewa Tengkorak.
Untunglah dalam saat yang genting itu, si Pendekar Bayangan telah menerima
laporan dari anak buahnya tentang penyergapan itu. Dan tanpa memberitahukan pada
semua kawan-kawan dan anak buahnya
yang tengah mengadakan pesta meriah, si Pendekar Bayangan berkelebat cepat sekali kearah
Kali Wringin. Dan berjumpa dengan si Dewa Tengkorak. Ki Bayu Sheta tak dapat
berkutik, karena sekali si Dewa Tengkorak memberi isyarat, maka akan segera
terjadi pembantaian yang telah dipersiapkan
itu. Lebih dari tiga ratus nyawa akan melayang yang terdiri dari anak-anak kecil
bayi dan wanita tak berdosa.
Akhirnya dengan memohon belas
kasihan, dan dengan rela menukar nyawa 300 jiwa keluarga tak berdosa itu dengan
nyawanya, Ki Bayu Sheta memohon agar si Dewa Tengkorak membebaskan mereka. Dewa
Tengkorak memang telah mengetahui akan kehebatan si Pendekar Bayangan ini, dan
sudah ada niatnya untuk mengadu kesaktian. Tentu saja tawaran itu tak
ditolaknya. Dan gagallah pembantaian atas 300 jiwa keluarga kaum Partai
Pengemis. Akan tetapi dengan satu perjanjian, yaitu dibubarkannya Partai Kaum
Pengemis dan tidak diperkenankan lagi mencampuri urusan disekitar wilayah Kota
Raja Memang belakangan Partai Kaum
Pengemis itu dibubarkan. Akan tetapi beberapa bulan kemudian gerakan Partai
tersebut yang secara sembunyi-sembunyi dibawah pimpinan Jarot Suradilaga alias
si Maling Sakti berhasil
membongkar kejahatan Adipati Haryo Gawuk. Dan ketahuan pula siapa
sebenarnya Senapati Trenggono.
Ternyata Patih Ganda Setho telah membeberkan kejahatan Senapati itu dan
membuktikannya dihadapan Raja. Selang sebulan Senapati dan Adipati itu
ditangkap, dan dihukum gantung....
7 DEWA TENGKORAK tiba-tiba merasa dirinya amat rendah sekali. Dan tak lebih dari
seorang tokoh penyebar kejahatan. Dia hanya mementingkan dirinya sendiri dengan
mengumbar kepuasan duniawi. Selama hidupnya tak pernah berbuat kebajikan, selain
bergelimang dengan kekotoran yang digelutinya. Gelarnya memang telah membuat
orang takut dan gemetaran, akan tetapi apakah dia memiliki kewibawaan" Tidak!
Orang tak akan menghargainya, bahkan mayatnyapun tak mau orang menyentuhnya.
Demikian memikir dibenak si Dewa Tengkorak. Dan hal itu memang membuat dia
merasa mengiri pada nasib Pendekar Bayangan Ki Bayu Sheta. .....
Roro si gadis tanggung itu tiba-tiba lepaskan pelukannya pada jenazah si Maling
Sakti, dan melompat kearah Ki Bayu Sheta.
"Kakek..!" Oh, kakek..! Kau...
kau terluka..!" Dan lengannya sudah bergerak menyangga tubuh si Pendekar
Bayangan yang terhuyung limbung. Laki-laki tua ini tersenyum pedih. Sepasang
matanya sedari tadi menatap pada tubuh si Maling Sakti, menantunya itu.
"Jarot..! kau... kau telah berkorban nyawa untukku..! Aiih, mengapa kau lakukan
itu?" Terdengar
seperti menggumam suaranya yang lirih.
Dan ketika Roro memeluknya untuk menyangga tubuhnya, sang kakek ini perlihatkan
senyumnya. Lengannya bergerak mengelus rambut bocah
perempuan itu. "Roro..! kau... kau memang murid yang bandel! mengapa kau menyusul kemari"
Hahahaha... hapuslah air matamu itu, bocah centil! sungguh memalukan! Seorang
pendekar tak boleh cengeng! Kau sudah dengar tadi
pembicaraan kami! Aku memang telah memberikan nyawaku pada si Dewa Tengkorak
itu, jadi kau tak boleh mendendam padanya! Gurumu si Maling Sakti ternyata telah
menyelamatkan nyawaku..! Ah, sungguh diluar duga-anku! Tapi dia telah tewas
sebagai Pendekar Sejati cucuku! Tak usah kau sesali kematiannya! Kini
menyingkirlah..! Aku harus menghadapi dua jurus lagi dari Sepuluh Jurus Pukulan
Kematian yang sudah menjadi perjanjian kami..!" Berkata Ki Bayu Sheta dengan
tersenyum dipaksakan. Sementara darah masih mengalir disudut bibirnya.
Sebelah lengannya sudah bergerak menepiskan tubuh Roro dari tempat itu.
Dan dengan gagah Ki Bayu Sheta tegak berdiri, menatap si Dewa Tengkorak.
"Hayo, Dewa Tengkorak! Mana jurus kesembilan dan kesepuluh! Hahahaha...
Sayang menantuku si Maling Sakti itu
telah menahan seranganmu, kalau tidak apakah kau kira aku tak sanggup
menahannya. Hm, jangan mimpi!" Teriak Ki Bayu Sheta dengar menahan napasnya.
Akan tetapi kesudahannya napasnya tersengal-sengal. Lagi-lagi tubuhnya limbung
mau jatuh. Namun dengan berlagak kuat, sang kakek ini bertahan untuk tetap
berdiri tegak menantang.
Saat itu si Dewa Tengkorak telah perdengarkan tertawa terbahak-bahak.
Dan satu suara dingin berkumandang, seperti menembus, merasuk mencekam jantung.
"Hehehehe... hehehe... Bayu Sheta! Bayu Sheta. Kau memang seorang yang
beruntung! Tidak seperti aku yang sial dangkalan! Kini bersiaplah kau untuk
menerima dua pukulan terakhir-ku!" Begitu habis kata-katanya, tampak sepasang
lengan si Dewa Tengkorak bergerak memutar keatas, dengan menimbulkan suara
berklotakan. Tampak kedua lengannya seperti tergetar dan merah membara serta
mengeluarkan asap kabut berhawa panas. Disusul mengge-lombangnya angin panas
yang santar menerjang kearah Ki Bayu Sheta. Saat itu si Dewa Tengkorak baru
mempersiapkan jurus ke sembilan dan
kesepuluh, tapi hawa panasnya telah terasa ke sekitar bukit itu.
Pada saat itulah terdengar suara bentakan nyaring.
"Iblis tua bangka..! Aku akan adu jiwa denganmu..!" Dan disusul dengan
berkelebatannya tubuh Roro melompat kehadapan si Dewa Tengkorak. Saat itu justru
si Dewa Tengkorak sudah
lancarkan serangan kearah si Pendekar Bayangan. Melihat bocah perempuan tanggung
murid si kakek itu melompat kearahnya, sepasang mata Dewa
Tengkorak jadi melotot. Akan tetapi jadi tertawa menyeringai. Sementara Roro
sudah lancarkan serangannya menghantam tubuh si manusia Jerangkong itu... Akan
tetapi si Dewa Tengkorak justru tak menghindarkan diri.
Hantaman lengan bocah perempuan itu tiba-tiba seperti tertahan di tengah jalan.
Dan pada detik itu dengan suara tertawa berkakakan, sebelah lengan si Dewa
Tengkorak yang sedianya akan dihantamkan pada Ki Bayu Sheta, kini dialihkan
mencengkeram batok kepala bocah perempuan itu.
DHESSSSS...! Terdengar suara teriakan menyayat hati dari si bocah perempuan.
Kepalanya seperti lenyap tak terlihat lagi, karena tertutup oleh tebalnya asap
kabut. Sementara itu sebelah lengannya telah menghantam kearah Ki Bayu Sheta.
BHUMMMMM....! Terdengar suara
ledakan keras. Akan tetapi hantaman si Dewa Tengkorak tidak tertuju pada si
Pendekar Bayangan, melainkan pada tanah berbatu dihadapannya. Seketika tanah dan
batu berhamburan
menyemburat. Sebuah lubang bergaris tengah tiga depa segera menganga lebar.
Sementara itu si bocah
perempuan bernama Roro itu sudah perdengarkan keluhannya, lalu tubuhnya roboh
terguling dari atas batu besar itu.
Terperangah si Pendekar
Bayangan.... Sepasang matanya
terbelalak lebar melihat tubuh Roro terjungkal roboh akibat hantaman telapak
tangan si Dewa Tengkorak.
Sementara dia sudah pegangi lagi dadanya, yang seperti mau meledak.
Pada jurus kesembilan dan kesepuluh itu tak dirasakan sedikitpun pukulan si Dewa
Tengkorak mengenai tubuhnya.
Akar tetapi Ki Bayu Sheta memang telah tak berdaya. Pukulan pada jurus ke tujuh
tadi telah meremukkan bagian dalam tubuhnya. Tampak angin pukulan Dewa Tengkorak
yang menyerempet sedikit pada tubuhnya, telah membuat tubuh tua itu menjadi
limbung dan segera roboh ke bumi. Sepasang matanya masih menatap pada Roro dan
si Dewa Tengkorak Akan tetapi melihat keadaan si Dewa Tengkorak yang tetap
berdiri tak bergeming diatas batu itu, kakek ini perlihatkan senyumannya sambil
meringis memegangi dadanya.
* * * * Rembulan semakin meninggi.... dan malam semakin melarut. Suasana di atas Bukit
Kera seperti penuh kemis-teriusan. Karena kera-kera telah lari menjauh. Keadaan
disekitar atas bukit itu seperti lengang, seolah tiada lagi kehidupan disana.
Akan tetapi menjelang siang disaat Matahari sudah menggelincir naik, tampak sesosok tubuh
bergerak-gerak seperti hidup.
Ternyata adalah si bocah perempuan tanggung bernama Roro itu. Satu keanehan
ternyat telah terjadi diatas bukit itu. Kalau kedua tokoh Rimba Persilatan itu
mati secara aneh. Bila kematian Dewa Tengkorak adalah dengan posisi berdiri
seperti tengah melancarkan pukulan, adalah kematian Bayu Sheta si Pendekar
Bayangan dalam keadaan terduduk dengan mimik wajah seperti orang tertawa.
Roro belalakkan sepasang matanya yang membulat mengitari keadaan sekitarnya.
Otaknya bekerja cepat memikirkan kejadian yang telah menimpa dirinya.
"He" masih hidupkah aku..?"
Gumamnya lirih. Lengannya bergerak mencubit kulit tubuhnya, dan dirasakannya
sakit. Kenyataan itu telah membuat dia mengambil kesimpulan bahwa dirinya masih
hidup. Segera terbayang
ketika si Dewa Tengkorak mencengkeram batok kepalanya. Ingatannya mendadak
lenyap, karena kepalanya dirasakan berkunang-kunang dan dia sudah jatuh tak
sadarkan diri. Kini sepasang matanya jelalatan menatap pada tiga sosok tubuh yang kesemuanya
telah tak bergeming.
Melihat si Dewa Tengkorak yang masih berdiri tegak dengan posisi orang memukul
dengan rentangkan sebelah tangannya, Roro jadi terpaku. "Masih hidupkah si iblis
Pedang Kunang Kunang 3 Pendekar Gila 37 Petaka Seorang Pendekar Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San 6

Cari Blog Ini