Rajawali Emas 10 Mata Malaikat Bagian 2
orang berpupur putih yang berdiri berjarak empat
tombak dari hadapan keduanya diam-diam mengertakkan rahang, tanda kemarahannya mulai naik mendengar kata-kata orang yang mempermainkannya.
"Aku tak tahu kehebatan kedua manusia ini,
karena aku belum pernah bertarung dengan salah seorang dari mereka! Tetapi, rupanya kedua manusia ini
sudah tahu keberadaanku. Hanya sengaja mempermainkan ku dengan ucapan-ucapan bercabang yang
tadi mereka lakukan! Keparat! Percuma untuk bersembunyi dan membuntuti! Tak ada cara lain lagi sekarang selain mengorek keterangan!" batin Sandang Kutung dengan tatapan mata
menajam. Sementara itu, Bidadari Hati Kejam dan Manusia Pemarah sudah melangkah ke arah Sandang Kutung. Si nenek berkonde berkata, "Nah! Apa yang ku katakan tadi benar, bukan"
Orang ini sejenis setan
kuburan yang gentayangan!! Kau lihat, bukan?"
Manusia Pemarah mendengus.
"Aku tetap yakin kalau dia adalah kuntilanak!
Lihat mukanya penuh pupur putih! Jangan-jangan, itu
kapas yang sudah mengeras!!"
Mendidih darah orang berambut digelung ke
atas mendengar ejekan keduanya. Sambil menindih
kemarahan dia berkata dingin, "Bidadari Hati Kejam dan Manusia Pemarah! Aku
Sandang Kutung. Ingin
mencari keterangan tentang Hantu Seribu Tangan! Cepat jawab setiap pertanyaan sebelum urusan jadi kapiran!!" Si nenek berkonde
yang di balik pakaian batik kusamnya terdapat sebuah pengebut bertangkai baja
melotot gusar, hingga kulit keriput yang menghiasi wajahnya seperti tertarik
keluar. "Kurang asem! Enak betul bicaranya! Tetapi,
nama Sandang Kutung rasanya pernah kudengar akhir
akhir ini. Jadi dia orangnya yang memakai nama aneh itu," makinya dalam hati. Lalu membentak seraya maju selangkah, "Kalau
ingin tahu tentang Hantu Seribu Tangan dan setiap pertanyaan ingin
mendapat jawaban, silakan cium bokong ku dulu!!"
Wajah Sandang Kutung membesi dengan kedua
tangan semakin keras mengepal. Sementara Manusia
Pemarah lagi-lagi mendengus dan mendumal dalam
hati, "Bokong peot saja minta dicium! Dasar nenek-nenek kegenitan!!"
Di seberang, Sandang Kutung sudah menggerakkan kedua tangannya diiringi bentakan keras, "Tak ada jalan lain!"
Wuussss! Wuuuuss!!
Kabut putih tampak melesat mengeluarkan suara bergemuruh dan hawa yang sangat panas ke arah
si nenek berkonde. Bidadari Hati Kejam menggeram
jengkel. Bersamaan dengan itu, kedua tangannya di
kembangkan dan disentakkan pula ke depan.
Blaaammm!! Tempat itu laksana didera gempa yang sangat
hebat. Di udara terlihat cahaya putih yang kemudian
padam diiringi suara letupan. Bersamaan dengan itu,
semak belukar dan tanah muncrat hingga suasana
agak pekat. Tatkala seluruhnya sirap, terlihat Sandang Kutung berdiri dengan lutut agak goyah. Dari mulutnya
mengalir darah agak kental. Tubuhnya bergetar keras.
Kendati sukar melihat bagaimana rupa orang berpupur
putih ini, namun dari sorot matanya yang melotot tajam, jelas kalau dia dalam kemarahan yang puncak.
Namun segera dipejamkan bertanda dia juga menahan
rasa sakit. Delapan tombak di hadapan orang yang mengenakan pakaian coklat panjang ini, Bidadari Hati Kejam terhuyung-huyung ke
belakang. Kendati dia masih
bisa mengendalikan keseimbangan tubuhnya, namun
dari mulutnya pun darah agak kental mengalir.
Sementara Manusia Pemarah cuma mendengus
saja. Hanya kedua matanya terlihat menyiratkan kecemasan mendapati keadaan Bidadari Hati Kejam.
"Sontoloyo! Siapa orang bernama Sandang Kutung ini" Dari bentrokan yang terjadi barusan, aku yakin tenaga dalamnya tak
jauh berbeda dengan Kunti
Pelangi. Dia juga bermaksud mencari Hantu Seribu
Tangan. Ada urusan apa sebenarnya" Sontoloyo! Urusan dia dengan Hantu Seribu Tangan urusan belakangan. Aku ingin tahu kelanjutannya."
Sementara itu, Sandang Kutung perlahan-lahan
berdiri dan menghapus darah dengan punggung tangannya yang kurus. Kedua matanya lebih lebar memandang ke arah Bidadari Hati Kejam yang juga sedang melotot. "Julukan Bidadari Hati Kejam memang julukan
yang mengerikan. Tetapi, aku tak akan mundur sebelum mendapatkan jawaban di mana Goa Seratus Laknat berada," katanya dalam hati. Lalu tanpa buang tempo lagi, tubuhnya sudah
berkelebat ke arah Bidadari Hati Kejam dengan kedua tangan membuka dan
didorong. Saking cepatnya, yang nampak hanya
bayangan coklat belaka.
Bidadari Hati Kejam sendiri tak mau bertindak
ayal. Dengan pencalan satu kaki, si nenek segera melesat pula. Dua bayangan berkelebat dan benturan hebat pun terjadi.
Blaaamm! Blaammm!
Tempat itu lagi-lagi seperti dilanda gempa. Kali
ini beberapa pohon bertumbangan dengan dedaunan
yang meranggas. Semak belukar langsung tercabut
dan terpental entah ke mana. Tanah yang muncrat lebih tinggi dua tombak dari yang pertama. Apa yang terjadi benar-benar tak bisa
ditembus oleh mata.
Tatkala semuanya sirap, terlihat Bidadari Hati
Kejam sedang berdiri dengan tubuh goyah. Dari wajahnya yang berkerut keras itu, nampak dia berusaha
untuk tidak jatuh. Bibirnya dirapatkan menahan rasa
sakit di dadanya. Dengan menahan sakit dan kegusaran, diangkat kepalanya. Dipentangkan kedua matanya yang mendadak melebar. Seketika terdengar geramannya karena tak melihat sosok Sandang Kutung
di hadapannya. "Keparat! Ke mana lelaki berpupur celaka itu?"
sentaknya keras dengan tubuh yang masih sempoyongan. Keheranan pun dialami oleh Manusia Pemarah.
Segera saja si kakek ini berkelebat mencari Sandang
Kutung. Setelah beberapa saat, dia kembali dan mendapati Bidadari Hati Kejam yang sedang duduk bersemadi mengalirkan tenaga dalam dan hawa murninya.
Dibiarkan si nenek berbuat seperti itu sementara sepasang matanya terus memperhatikan sekeliling.
"Sontoloyo! Aneh! Kalau orang bernama Sandang Kutung itu mampus atau pingsan akibat bentrokan, sudah tentu akan ku tentukan jasadnya. Bila dia berhasil meloloskan diri,
adalah suatu hal yang tidak mungkin. Bisa kulihat akibat dari bentrokan tadi Si
nenek bau tanah itu saja sudah dalam keadaan seperti orang mabuk! Tak mungkin
Sandang Kutung berhasil
meloloskan diri kecuali ada yang menyelamatkannya!
Kalau memang benar dugaanku, siapa orang itu" Sontoloyo! Urusan siapa yang menyelamatkannya atau tidak urusan belakangan! Aku...."
"Orang tua jelek bau tanah! Ke mana manusia
itu pergi"!" satu bentakan memutus kata-kata Manusia Pemarah yang segera
menolehkan kepala. Dilihatnya
Bidadari Hati Kejam sudah berdiri tegak. Namun, mata kelabu Manusia Pemarah tak
bisa dikelabui kalau sebenarnya si nenek terluka dalam.
"Hmmm.... Aku tak bisa dikelabui kalau dia sebenarnya terluka dalam. Dasar Kunti! Nenek peot yang sok tahu! Dia bersikap
tegak seperti itu aku yakin, disebabkan tak sudi meminta pertolonganku!! Hhh!
Aku pun tak sudi menolongnya kalau tak dimintanya!!"
Kendati dia berpikir seperti itu, namun hati kecilnya ingin sekali menolong
Bidadari Hati Kejam.
Sementara si nenek berkonde, mendapati orang
di hadapannya tidak menjawab pertanyaan, mengulanginya lagi. Tetap dengan nada membentak.
"Jangan tanya aku! Aku bukan Tuhan!!" sahut Manusia Pemarah keras sambil
memandang dalam ke
arah si nenek berkonde.
"Siapa sudi menduga dirimu seperti itu, hah"
Kebanyakan orang yakin kalau kau tak lebih dari jerangkong yang sudah aus tulang-tulangnya!!" sahut Bidadari Hati Kejam sambil
berkelebat. Dia pun berke-liling mencari seperti yang dilakukan oleh Manusia
pemarah tadi. Dan kembali sambil bersungut-sungut.
"Aneh! Ke mana manusia jelek itu"! Benarbenar urusan jadi kapiran! Orang tua jelek! Apa yang harus kita lakukan
sekarang"!"
Manusia Pemarah melotot. "Sontoloyo! Mulutmu benar-benar tak tahu adat, Kunti! Jangan berlagak sehat padahal kau terluka
dalam!!" Bidadari Hati Kejam mendengus. Dan tanpa
disadarinya, darah mengalir dari hidungnya. Tatkala
darah itu jatuh ke bibir baru diketahui kalau ada darah yang keluar. Gerakan si nenek lemah saat menghapus darah itu. Dia masih berusaha untuk menahan
rasa sakit dalam tubuhnya. Namun kejap lain si nenek sudah terhuyung.
"Kuntiiii!!"
Orang tua pemarah yang sejak tadi diam-diam
cemas melihat keadaan orang yang dicintainya segera
berkelebat cepat menahan agar tubuh si nenek tak
ambruk. *** Ke mana Sandang Kutung pergi"
Saat terjadi benturan pukulan sakti tingkat
tinggi antara Sandang Kutung dan Bidadari Hati Kejam yang menyebabkan semak
belukar berhamburan dari
tanah muncrat menghalangi pandangan, tak seorang
pun yang tahu, tatkala satu bayangan hitam berkelebat sangat cepat dan menangkap tubuh Sandang Kutung yang terlempar ke belakang.
Orang berpakaian dan berjubah hitam itu mendengus berkali-kali sambil melarikan tubuh Sandang
Kutung yang seketika. jatuh pingsan. Rambutnya yang
panjang seolah berlompatan saat orang ini berlari.
Sambil berlari dia memaki dalam hati,
"Sialan betul! Ada urusan apa manusia berpupur ini bertarung dengan Bidadari Hati Kejam" Dan
mataku tak mungkin salah melihat lelaki tua berkuncir ekor kuda yang berdiri tak jauh dari sana. Manusia Pemarah. Hhhh! Tak tahu
diuntung manusia ini! Di
pikirnya dia sudah terlalu hebat untuk bertarung dengan Bidadari Hati Kejam"
Masih untung Manusia Pemarah tak ikut campur" Tetapi, perbuatan keduanya
sungguh membuatku geram! Bila saja manusia berpupur ini tak celaka, aku akan bertempur pula dengan
kedua manusia itu!!"
Dalam waktu lima belas kali tarikan napas saja,
orang berpakaian dan berjubah hitam yang di pinggangnya terikat sebuah pundi cukup besar menghentikan langkah. Diperhatikan sekelilingnya yang sepi.
Saat ini malam mulai datang melangkah.
"Aku harus mengobati manusia berpupur ini
dulu. Timbal balik atas kebaikannya yang mengobati
luka-lukaku akibat bertarung dengan Mata Malaikat."
desis orang berpundi yang tak lain si Penabur Pasir
adanya dan perlahan-lahan melompat ke balik semak
belukar. Direbahkannya tubuh Sandang Kutung di
atas rumput. Setelah niatnya untuk melakukan tindakan keji
pada Dewi Berlian digagalkan oleh Rajawali Emas, Penabur Pasir segera meninggalkan tempat untuk menyusul Sandang Kutung yang pergi mendahuluinya
dan menolak tatkala Penabur Pasir mengajaknya untuk mempermalukan Dewi Berlian. Saat meninggalkan
Rajawali Emas dan Dewi Berlian, Penabur Pasir merasa yakin kalau Rajawali Emas akan tewas dalam waktu
lima kali penanakan nasi akibat 'Pasir-pasir Neraka', di samping dia juga merasa
tak mampu untuk menghadapi Rajawali Emas. (Untuk lebih jelasnya silakan ba-ca:
"Keranda Maut Perenggut Nyawa").
Dan tak sengaja akhirnya Penabur Pasir menemukan di mana Sandang Kutung berada. Rupanya,
lelaki berpupur putih dengan rambut digelung ke atas itu sedang bertarung dengan
Bidadari Hati Kejam, seorang tokoh dari golongan lurus yang kesaktiannya
sangat tinggi. Sebenarnya Penabur Pasir keheranan
melihat apa yang terjadi di hadapannya. Dia ingin
membantu, namun saat itulah matanya melihat Manusia Pemarah yang tengah memperhatikan pertarungan.
Penabur Pasir akan membantu bila Manusia Pemarah
turun tangan. Namun pada kenyataannya dia sudah
mencelat untuk menangkap tubuh Sandang Kutung
yang terlempar demikian deras setelah terjadi benturan hebat dengan Bidadari
Hati Kejam. Sekarang, orang berpakaian hitam gombrang
yang dipergunakan untuk menutupi tubuhnya yang
kurus memandang pada Sandang Kutung yang pingsan. Kedua mata lelaki berpupur itu terpejam rapat
Dari hidung dan telinganya mengalir darah segar.
"Melihat lukanya, tentunya sangat parah. Sebaiknya, kuobati saja dengan segera!"
Memikir demikian dan merasa harus mengalirkan tenaga dalamnya guna memulihkan luka dalam
yang diderita Sandang Kutung, Penabur Pasir segera
membuka pakaian di bagian dada. Anehnya, dia tak
segera melakukan maksudnya. Justru tangannya dengan cepat menutup kembali pakaian di bagian dada
Sandang Kutung. Kepalanya menegak dengan kedua
mata melebar. Setelah beberapa saat terdiam seperti orang
terkejut, perlahan-lahan bibir Penabur Pasir terbuka,
"Astaga! Sandang Kutung adalah...."
Tak percaya dengan apa yang dilihatnya, orang
Rajawali Emas 10 Mata Malaikat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang di pinggangnya terdapat sebuah pundi membuka
lagi pakaian di dada Sandang Kutung. Diperhatikan
dengan seksama dua busungan payudara yang putih
menantang. Pancaran kedua matanya yang tadi terkejut perlahan-lahan bersinar penuh gairah. Tetapi kejap lain dia mendesis, Tubuh
orang ini benar-benar meng-giurkan. Hhh! Bila saja aku belum memutuskan untuk
bergabung dengan orang ini... pasti.... Keparat betul!
Jadi selama ini aku.... Sudahlah! Peduli setan siapa dia sebenarnya. Pantas, dia
menutupi wajahnya dengan
pupur. Hanya saja, bila melihat dadanya yang begitu
sekal dan montok, paling tidak dia berusia antara dua
puluh sampai dua puluh lima tahun. Tetapi kesaktiannya, sudah mencapai tingkat tinggi. Entah siapa
orang ini sebenarnya."
Dan perlahan-lahan Penabur Pasir mulai melakukan pengobatan pada Sandang Kutung yang pingsan. *** Bab 5 Sosok berpakaian hijau penuh tambalan dengan sebuah tongkat putih di tangannya menghentikan
langkah di lereng bukit Watu Wasah. Angin berhembus
sangat sejuk. Dari lereng bukit, terlihat hamparan
lembah dan hutan yang berjarak ratusan tombak dari
sana. Orang tua ini mengedarkan kepala. Anehnya,
dengan kedua mata yang terpejam. Rambutnya yang
putih panjang tergerai dipermainkan angin.
"Rasanya.... Aku akan tiba di Hutan Seratus
Kematian," desis orang tua yang tak lain Mata Malaikat adanya. "Semalaman aku
berusaha untuk menembus
di mana Hantu Seribu Tangan berada dengan penglihatan mata batin ku. Kendati samar, tetapi aku bisa menangkap beberapa bayangan
tentang hutan, padang
tandus dan sebuah goa yang terdapat di gugusan batu
kapur. Sebagai adik seperguruannya, aku tahu kalau
Hantu Seribu Tangan memiliki ilmu 'Penutup Segala
Bayang' yang bisa mengelabui ilmu menembus sukma
yang sangat sakti sekalipun. Tetapi kelihatannya dia tidak menutupnya, bahkan
sengaja membuka dan
memberi tahu di mana dia berada. Bisa kuduga kenapa dia sengaja melakukannya" Karena ingin memancing orang-orang yang memburunya untuk datang.
Hhhhh! Bisa kubayangkan betapa rimba persilatan
akan semakin kacau dan bersimbah darah dari segala
penjuru." Orang tua ini menghentikan desisannya sambil
meraba jenggotnya yang juga memutih seperti rambut
dan kumisnya. Kedua matanya tetap terpejam.
"Keinginanku untuk mencari kekasihku Dewi
Segala Impian untuk menuntaskan urusan di antara
kami, rasanya akan semakin jauh dari apa yang ku inginkan. Memang, sekarang ini bukan saatnya untuk
mencarinya. Sekarang adalah waktu untuk mencari
Hantu Seribu Tangan."
Beberapa saat angin lereng bukit itu terus
menghembus. Dan Mata Malaikat masih terdiam di
sana. Sampai kemudian kepalanya menoleh ke satu
tempat. "Aku menangkap satu gerakan yang sangat cepat sekali dari sebelah timur.
Merasakan gerakan
orang yang baru datang ini, aku yakin dia bukan orang sembarangan. Hmmm....
Siapa dia sebenarnya" Baiknya, kutunggu saja dia di balik batu besar itu."
Memikir sampai di sana, orang tua berpakaian
hijau penuh tambalan ini segera berkelebat ke balik
batu. Lima belas tarikan nafas berlalu. Dan satu sosok tubuh yang gerakannya
tadi tertangkap telinga tajam Mata Malaikat yang tetap memejamkan matanya
dan tak akan membukanya sebelum bertemu dengan
ke kasihnya, tiba di tempat itu.
Ternyata sosok yang baru datang itu seorang
pemuda berbaju keemasan dengan rajahan burung rajawali keemasan di lengan kanan kirinya. Pemuda
yang tak lain Tirta alias si Rajawali Emas adanya
memperhatikan sekeliling tempat itu.
"Gila! Sejak kemarin siang dan hari telah berganti pagi kembali aku belum pula menemukan jejak
Mata Malaikat sekaligus jejak Goa Seratus Laknat berada. Beberapa orang yang ku jumpa dan kutanyai tak
satu pun yang memberikan petunjuk yang tepat," gumam Tirta sambil mendesah
pendek. Pandangan si pemuda mencoba menembus kejauhan. "Kulihat ada sebuah hutan di sana. Apakah aku harus meneruskan langkah
sekarang" Hmm....Bagaimana dengan Pendekar Judi dan Dewi
Berlian saat ini" Apa yang tengah mereka lakukan?"
Karena memutuskan untuk bergerak seorang
diri, Rajawali Emas akhirnya meninggalkan Pendekar
Judi dan Dewi Berlian secara diam-diam saat Pendekar Judi sedang mandi di
sungai. Sementara dengan sengaja Tirta meledek Dewi Berlian habis-habisan
sehing-ga gadis itu menjadi jengkel dan dengan bibir cemberut meninggalkannya. Kesempatan itu pun segera dipergunakan Tirta
untuk melakukan maksudnya. Baginya,
kehadiran gadis berpakaian biru ketat yang mengaku
berjuluk Dewi Kembang Maut yang menanyakan jejak
Mata Malaikat adalah satu, urusan lain yang harus
diselesaikan. Kembali pemuda dari Gunung Rajawali ini
mengedarkan pandangan. Sesuatu terpikir di benak
nya. "Hmmm.... Tempat ini cukup luas. Lebih baik ku panggil saja Bwana sekarang.
Apa yang didapatkannya setelah kuperintahkan untuk mencari Goa
Seratus Laknat?"
Tetapi, sebelum Rajawali Emas memberikan
isyarat untuk memanggil Bwana, burung rajawali raksasa kesayangannya, tiba-tiba saja angin berubah
menjadi dahsyat. Rerumputan yang ada di sekitar pemuda ini, rebah. Menyusul suara teriakan yang keras
sekali, membedah seantero tempat. "Kraaaaggghhh!!"
Seketika Tirta menengadahkan kepala. Sejurus
kemudian bibirnya menyunggingkan sebuah senyum
melihat satu bayangan raksasa di angkasa.
"Bwana! Rupanya dia juga telah sampai di tempat ini." Segera saja Tirta berseru keras dengan mempergunakan tenaga dalamnya,
"Bwanaaaa! Aku berada disini!!" Burung rajawali raksasa itu kembali mengeluarkan
suara keras. Kejap lain dia sudah menukik.
Di tempatnya, Mata Malaikat tersentak tatkala
pertama kali mendengar kepakan sayap dan suara
yang sangat keras.
"Menangkap angin yang berubah ini, tentunya
burung itu bukan burung seperti kebanyakan. Aku yakin, burung itu burung raksasa. Dan hanya seorang
yang memiliki burung rajawali raksasa. Dia adalah
Eyang Sepuh Mahisa Agni alias si Malaikat Dewa. Apakah yang datang barusan itu adalah Eyang Sepuh Mahisa Agni" Sulit kubayangkan bila dia kembali ke dunia ramai ini. Tetapi, mendengar teriakan barusan ta-di, aku yakin suara itu
diucapkan oleh seorang pemuda. Apakah burung rajawali berwarna keemasan yang
bernama Bwana, sudah tidak lagi dimiliki oleh Eyang
Sepuh Mahisa Agni?"
Orang yang disebutkan oleh Mata Malaikat tadi,
adalah Eyang Guru dari Rajawali Emas yang memiliki
dua orang murid berjuluk Bidadari Hati Kejam dan Raja Lihai Langit Bumi. Kedua orang inilah yang menjadi guru dari Rajawali Emas.
(Untuk mengetahui lebih jelas, silakan baca: "Geger batu Bintang" dan "Wasiat
Malaikat Dewa").
Sementara itu, Tirta tengah berkelebat ke arah
Bwana yang sudah rebah di tanah. Sosok burung yang
besarnya empat kali gajah dewasa itu seperti sebuah
perahu besar di tengah lautan.
"Bagaimana dengan tugas yang kuberikan,
Bwana?" tanya Tirta sambil mengelus bulu besar yang halus milik Bwana.
Seperti mengerti ucapan orang, Bwana mengeluarkan suara mengkirik pelan. Sementara bagi Tirta
sendiri, yang selama lima tahun hidup bersama Bwana
di Gunung Rajawali, sangat mengerti apa yang di katakan burung raksasa itu.
Bahkan, dari gerakan demi
gerakan yang dilakukan Bwana dia tahu apa yang
hendak dikatakan Bwana.
"Apa" Kau melihat sebuah goa sangat jauh dari
sini" Di mana letaknya, Bwana?" Bwana mengkirik la-gi.
"Hutan" Padang tandus dan gugusan batu kapur" Di gugusan batu kapur itu goa yang kau lihat berada?" tanya Tirta sambil
mengerutkan dahinya.
Bwana menggerakkan kepalanya seperti mengangguk. Tirta terdiam sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Lalu katanya, "Bwana.... Sekarang juga kita ke sana.
Kita tak boleh membuang waktu. Terima kasih atas petunjukmu, Bwana."
Tetapi Bwana justru mengkirik kembali. Kali ini
Tirta terdiam sejenak. Lalu katanya, kali ini berbisik,
"Kau melihat seseorang bersembunyi di sini" Hmm....
Kalau begitu, lebih baik kau pergi dulu dari sini, Bwana. Aku ingin tahu siapa
orang itu."
Tanpa mengucapkan suara apa-apa, Bwana
sudah melesat ke angkasa. Rerumputan di bawah
langsung tercabut dari akarnya. Sementara Tirta menengadah sambil memikirkan apa yang dikatakan
Bwana tadi sambil mengalirkan tenaga dalamnya agar
tidak terhempas ataupun terhuyung akibat kepakan
sayap Bwana yang seperti badai menghantam pesisir.
"Hebat kalau orang di balik batu itu tak bisa ku ketahui keberadaannya. Bahkan
tarikan nafasnya pun
aku tak mendengarnya. Hmm.... Ingin kulihat siapa
dia." Tetapi sebelum Rajawali Emas melakukan
maksudnya, satu suara terdengar, "Aku yakin yang datang dan pergi tadi adalah
Bwana, burung rajawali
raksasa milik Eyang Sepuh Mahisa Agni. Tetapi, aku
yakin kau bukanlah Eyang Sepuh Mahisa Agni
adanya." Seketika pemuda berbaju keemasan menolehkan kepala. Dilihatnya satu sosok tubuh berbaju hijau penuh tambalan berdiri
tegak berjarak dua puluh tombak dari hadapannya.
*** Beberapa kejap Tirta terdiam sambil memperhatikan orang yang tak lain Mata Malaikat. Lalu katanya seraya melangkah, "Kau bertanya tentang diriku, Orang Tua Aku bisa
menjawabnya. Namaku Tirta dan
orang-orang menjulukiku Rajawali Emas."
"Rajawali Emas" Hmmm.... Julukan itu pernah
kudengar dan cukup banyak dibicarakan orang akhirakhir ini. Bodoh betul otak tuaku ini sampai tak mengingat soal itu. Kalau Bwana
sekarang dimiliki oleh
pemuda berjuluk Rajawali Emas. Kudengar dia dari
orang golongan lurus. Tetapi, biar kutanya kembali,"
batin Mata Malaikat tetap memejamkan kedua matanya. Lalu katanya, "Rajawali Emas.... Julukan yang cukup santer akhir-akhir
ini. Kudengar tadi, kau mencari Goa Seratus Laknat. Apa maksud mu melakukan
semua itu?"
Pemuda dari Gunung Rajawali ini tak segera
menjawab. Menghentikan langkahnya dan memandang
tak berkedip pada orang tua yang memejamkan kedua
matanya pada jarak tujuh tombak.
"Orang tua ini begitu tenang sekali. Dan dia...
Oh! Bodohnya aku ini! Dasar kebluk! Pantas kalau
Guru memanggilku 'Bocah Kebluk'. Bukankah Guru
dan Manusia Pemarah pernah mengatakan tentang ciri
orang yang berjuluk Mata Malaikat" Aku yakin, orang
inilah adanya." Berpikir sampai di sana, Tirta menjura.
"Maafkan aku yang tak tahu siapa kau adanya, Orang Tua." Karena merasa telah
menemukan orang yang di carinya, Rajawali Emas pun menceritakan apa maksudnya
mencari Goa Seratus Laknat. Juga dikatakan
nya kalau dia mencari Mata Malaikat sehubungan
pencariannya pada Goa Seratus Laknat. Mata Malaikat
hanya mengusap-usap jenggotnya.
"Turunkan kedua tanganmu dari juraan, Rajawali Emas. Kau akan kuceritakan suatu hal."
Diam-diam Tirta tercekat pula mendapati Mata
Malaikat mengetahui kalau dia masih dalam posisi
menjura. Dengan pandangan masih memancarkan sinar kagum di kedua matanya, pemuda ini menurunkan kedua tangannya.
Masih dalam posisi berdiri tegak berjarak tujuh
tombak, Mata Malaikat menceritakan siapa dirinya
Dan dengan penuh penyesalan Mata Malaikat mengatakan kalau dia tak tahu di mana letak Goa Seratus
Laknat, tempat Hantu Seribu Tangan berada.
"Seperti kata-kata yang pernah dikemukakan
oleh Pendekar Judi tentang kemungkinan itu," desis Tirta dalam hati.
Lalu didengarnya kata-kata Mata Malaikat,
"Kendati demikian, aku masih bisa meraba di mana
Goa Seratus Laknat itu berada, Rajawali Emas. Tadi
kau katakan, kalau Bwana telah melihat sebuah goa di gugusan batu kapur. Yah,
aku pun melihat kemungkinan itulah Goa Seratus Laknat adanya."
"Telinganya sangat tajam. Dia bisa mendengar
percakapan dengan Bwana," batin Tirta kagum. Lalu sambungnya, "Orang tua, kau
tadi mengatakan kau tak punya urusan dengan Hantu Seribu Tangan, bukan" Lalu
mengapa kau bermaksud mencarinya pula?"
Orang tua yang selalu memejamkan kedua matanya mendesah pendek. Perubahan wajahnya telah
menunjukkan rasa penyesalan.
"Selama ini, aku terlalu dibutakan oleh keinginan untuk mencari kekasihku yang berjuluk Dewi Segala Impian. Sampai hari ini aku belum tahu mengapa
dia memutuskan hubungan denganku. Rajawali Emas,
kalaupun sekarang aku hendak mencari Hantu Seribu
Tangan dan mencoba untuk menghentikan segala sepak terjangnya yang menumpahkan darah, disebabkan
karena nurani ku telah terpanggil kembali dan mata
hatiku telah melek lagi. Juga, karena aku ingin mengetahui ada urusan apa orangorang seperti Pemenggal
Kepala, Penabur Pasir, Sandang Kutung dan masih
banyak lainnya yang hendak mencari Hantu Seribu
Rajawali Emas 10 Mata Malaikat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tangan. Tetapi. jalan di antara kita jelas berbeda, Anak Muda. Silahkan kau
meneruskan langkahmu lagi. Bukankah kau tadi memberi isyarat pada Bwana untuk
bersembunyi sejenak di balik kabut?"
Tirta tersenyum kecut mendengar kata-kata
orang. Lalu dia menjura, "Baiklah bila yang kau inginkan seperti itu, Orang
Tua." "Ingat pesanku, Rajawali Emas. Kau akan
menghadapi sebuah perjalanan yang sangat panjang
kendati kau mengetahui di mana Hantu Seribu Tangan
berada. Hutan Seratus Kematian, Padang Seratus Dosa
dan Goa Seratus Laknat adalah tempat yang sangat
mengerikan."
"Terima kasih atas pesanmu, Orang Tua."
Belum lagi selesai suara Tirta terdengar, sosok
Mata Malaikat sudah berkelebat cepat meninggalkannya. "Luar biasa gerakan orang tua berjuluk Mata Malaikat itu. Apa yang
dikatakannya tadi jelas merupakan sebuah petunjuk. Hmmm.... Sebaiknya, ku
panggil Bwana sekarang. Dengan cara menungganginya kemungkinan aku bisa dengan segera melewati
Hutan Seratus Kematian dan Padang Seratus Dosa untuk tiba di Goa Seratus Laknat."
Namun belum lagi Rajawali Emas melakukan
maksudnya, tiba-tiba saja satu gelombang angin panas menderu dengan kecepatan
luar biasa. "Heeiiii!!" seru Tirta sambil membuang tubuh ke samping.
Blaarrr!! Deru angin kencang yang gagal mencapai maksud, menghantam semak belukar yang berada di belakang Tirta tadi yang langsung meranggas dan berpentalan entah ke mana. Sementara Rajawali Emas telah
berdiri tegak dengan kedua kaki dipentangkan dan
mata terbuka lebih lebar.
Di hadapannya, telah berdiri seorang perempuan setengah baya mengenakan pakaian warna merah yang terbuka di bahu dan terbelah hingga pangkal paha.
*** Bab 6 Hanya sekejap rasa terkejut yang singgah di hati Rajawali Emas. Karena detik berikutnya, dengan
santainya si pemuda mencabut sebatang rumput dan
mulai menghisap-hisapnya.
"Wah! Wah! Kalau mau pamer ilmu bukan di
sini tempatnya" Tetapi kalau ingin melihat wajah tampan ya di sinilah
tempatnya," selorohnya sambil nyengir. Dan diam-diam Tirta mencoba meraba siapa
orang yang berdiri di hadapannya.
Perempuan yang bibirnya diberi pemoles warna
merah menggeram. Wajahnya yang masih kelihatan
cantik membesi, tetapi jelas kalau dia tengah menindih amarah di dada.
"Orang muda! Katakan, ke mana Mata Malaikat
pergi?" Tirta melengak dan terdiam beberapa saat. Lalu berkata dalam hati,
"Perempuan ini mencari Mata Malaikat, berarti dia tahu kalau aku berbicara
dengan orang tua yang memejamkan kedua matanya itu. Apakah.... Hmmm, aku tahu sekarang. Mata Malaikat tak
menunggu lagi kata-kataku sampai habis, rupanya dia
tahu kedatangan perempuan ini. Hebat!"
Merasa pertanyaannya tak digubris orang, perempuan berambut panjang dengan ikat kepala di kening warna merah yang tak lain Ratu Api adanya membentak kembali, "Orang muda! Jawab pertanyaan bila masih sayang nyawa!!"
Tirta nyengir mendapati bentakan orang.
"Heran, kenapa bertanya harus membentak seperti itu" Kalau kau bertanya sambil membentak, aku
bisa menjawab sambil kentut!!"
"Jahanam betul! Pemuda ini nampaknya menganggap enteng siapa aku" Hhh! Akan kuperlihatkan
kalau dia salah besar!!" maki Ratu Api dengan kemarahan tinggi.
Namun sebelum dia melakukan apa-apa, mendadak saja sesuatu berguling dengan cepatnya dan
menimbulkan suara bergemuruh yang lumayan keras.
Sesuatu yang berguling itu berhenti di sebelah kanan Ratu Api. Terlihatlah
sekarang, kalau yang berguling tadi adalah seorang lelaki bertubuh cebol.
"Ratu Api! Mengapa harus membuang waktu"
Pendengaranku tak salah kalau yang kudengar tadi
adalah percakapan antara Mata Malaikat dengan pemuda keparat ini. Sayangnya, kita terlambat tiba di si-ni hingga Mata Malaikat
telah berlalu. Apakah kita
akan membuang waktu lagi" Bunuh pemuda itu sebagai gantinya!!"
Ratu Api menolehkan kepala pada orang cebol
yang tak mengenakan pakaian. Kepalanya botak,
hanya beberapa helai rambut saja yang tumbuh. Apa
yang ada di wajahnya serba besar. Mengenakan celana
pangsi warna hitam. Dengan gaya yang sebenarnya
memancing tawa, orang cebol ini melipat kedua tangannya di dada.
Tirta sendiri sudah tertawa terbahak-bahak.
Sambil tertawa dia membatin, "Aku tahu sekarang. Kalau si Cebol-lah yang
mengetahui kebersamaan ku
dengan Mata Malaikat."
"Bocah Maut. Apa yang kau katakan memang
benar. Pemuda keparat ini haruslah sebagai ganti!!"
kata Ratu Api sambil mengangguk-anggukkan kepalanya pada si cebol yang dipanggil dengan sebutan Bocah Maut.
Habis kata-katanya, tangan kanannya didorong
ke muka. Wussss! Api yang bergulung melesat keluar diiringi hawa panas yang menyengal. Tirta terperangah dan segera menghentikan tawanya. Dia langsung melompat ke
samping kiri. Api yang melesat itu membakar tumbuhan yang berada di belakangnya
"Aku tak tahu ada urusan apa antara Mata Malaikat dengan orang-orang ini. Tetapi, untuk menghindari urusan ini rasanya pun
sulit. Karena perempuan
itu sudah membuka serangan." Habis berkata dalam hati, Tirta melompat kembali
tatkala Ratu Api sudah
mendorong kedua tangannya lagi.
Kali ini api yang lebih besar berkobar bergulung
mengerikan dan terus membakar pepohonan yang ada
di belakang Tirta. Sambil menghindar Tirta menggerakkan kedua tangannya ke arah api-api yang membakar apa saja itu.
Wussss! Seketika api-api itu padam. Apa yang dilakukannya membuat Ratu Api tersentak. Karena, hanya
sekali kibas saja api-apinya musnah.
"Jelas kalau pemuda ini bukan orang sembarangan," geramnya dalam hati. Lalu serunya dengan wajah mengkelap, "Pantas kau
berani bersikap petan-tang-petenteng seperti itu. Rupanya kau punya kebisaan pula!!"
Sementara itu, si cebol yang disebut dengan
Bocah Maut hanya memperhatikan dengan tetap bersedekap. Setelah mengalami kekalahan dari Mata Malaikat dan melihat kematian Resi Wajah Dewa, Ratu Api
segera berkelebat menuju ke Jurang Setan, di mana
kambratnya yang berjuluk Bocah Maut itu tinggal. Ratu Api merasa tak mampu bila menghadapi Mata Malaikat seorang diri. Dengan cara merelakan dirinya di-tiduri oleh Bocah Maut,
akhirnya Ratu Api berhasil
mengajak si cebol untuk bergabung guna membalas
kematian Resi Wajah Dewa.
Dia sangat tahu kesaktian yang dimiliki oleh
Bocah Maut. Terbukti, dari kejauhan saja lelaki tua
yang bertubuh cebol itu bisa mendengar percakapan
antara Mata Malaikat dengan seseorang yang sekarang
diketahui pemuda berbaju keemasan itu. Karena Mata
Malaikat tak lagi ditemukan di tempatnya, dengan kemarahan tinggi Ratu Api menggempur ke arah Rajawali
Emas. Angin bergemuruh dahsyat dan menyambar cepat tatkala Ratu Api menggerakkan kedua tangannya.
Hawa panas segera menindih hawa dingin di sekitar
tempat itu. Rajawali Emas segera melompat ke arah samping. Dan dari tempatnya kini, pemuda dari Gunung
Rajawali ini segera pula mendorong kedua tangannya.
Blaaarr! Letupan keras terdengar memecah kesunyian
tempat itu tatkala dua pukulan bertenaga dalam bentrok di udara. Tanah di tempat itu terasa bergetar dan semak belukar terpapas
ujungnya hingga rata.
Ratu Api mundur tiga tindak. Keningnya berkerut, sementara sepasang matanya semakin membesar.
Perempuan setengah baya berbaju merah menyala terbuka di bahu itu bertambah yakin kalau pemuda berbaju keemasan di hadapannya bukanlah orang sembarangan. Karena, bentrokan barusan membuat tangannya kesemutan. Segera dialirkan tenaga dalamnya guna menghilangkan rasa kesemutan.
Kejap lain, didahului bentakan keras, Ratu Api
kembali melancarkan serangan. Kali ini dengan cara
berkelebat dari samping dan sebelum kedua kakinya
menginjak tanah, kedua tangannya sudah menyentak
ke arah Rajawali Emas.
Tirta yang sejak tadi sudah waspada, kembali
melesat dengan mempergunakan jurus menghindar
'Rajawali Putar bumi'. Namun belum lagi dia menginjakkan kedua kakinya di tanah, dari sisi samping tiba-tiba bergulung gumpalan
api yang mengerikan.
Wuuuut!! Tanpa berpaling lagi, Tirta segera menyentakkan tangan kanannya.
Wrrrr! Angin kencang segera melesat dan memadamkan api yang mengarah kepadanya. Anehnya, gumpalan api itu kali ini tidak padam. Malah terus melesat dan siap melahap tubuhnya.
"Kurang asem! Sambel garem!" rutuk Rajawali Emas seraya menggerakkan tangannya
lagi dengan ca-ra menyentak.
Wuuuttt! Blaaarr! Api yang menggulung itu padam seketika. Namun, serangan lainnya sudah menyusul.
"Gila! Perempuan celaka ini benar-benar mau
mencabut nyawaku! Aku tidak bisa tinggal diam sekarang!" Memutuskan sampai di sana, perlahan-lahan Tirta mengerahkan tenaga surya
yang berpusat pada
pusarnya. Tenaga yang tak sengaja dimilikinya akibat menghisap sari rumput sakti
Selaksa Surya. Bila saja Raja Lihai Langit Bumi - salah seorang gurunya - tak
mengajarkan padanya cara mengendalikan tenaga itu,
niscaya Tirta akan mati dengan sekujur tubuh hancur
karena betotan tenaga surya yang tak terkendali. (Silakan baca: "Raja Lihai
Langit Bumi").
Tatkala Ratu Api menyerang kembali dengan
melepaskan pukulan 'Api Jahanam'nya, Tirta pun melesat dengan cara berguling dan menyentakkan kedua
tangannya ke atas.
Wuuuttt! Satu tenaga yang luar biasa hebatnya dan
mengandung hawa panas yang tinggi, menggebrak dari
bawah. Ratu Api memekik tertahan dan segera membuang tubuh ke depan bila tak mau "rumput" yang ada di balik pakaiannya
mengering. Plaaarr! Dedaunan yang ada di sebuah pohon, langsung
meranggas tatkala angin panas yang keluar dari pukulan Tirta memapas.
Ratu Api yang sudah hinggap kembali di tanah,
menoleh dengan kedua mata terbeliak dan wajah tegang. Bocah Maut yang memperhatikan pertarungan
itu pun tersentak.
"Luar biasa! Siapa pemuda itu sebenarnya" Ratu Api yang telah malang melintang cukup lama di
rimba persilatan ini ternyata bisa dipecundanginya
hanya dalam beberapa gebrak! Hhh! Aku ingin tahu
kehebatannya!!"
Habis membatin seperti itu, si cebol yang berjuluk Bocah Maut menderu dengan cara berguling.
Tirta terperanjat mendapati satu serangan yang
baru datang itu. Dia cepat menghindar sambil meledek, "Wah!! Kalau saja jumlah yang ada di antara kita dua puluh dua orang, kita
bisa main Bola!"
Bocah Maut yang sudah kembali berdiri tegak
menggeram dengan sepasang mata melotot lebar.
"Aku tak suka banyak cakap! Katakan, ke mana
Mata Malaikat pergi?"
"Urusan memang tak mungkin bisa ku hindari.
Kedua orang ini jelas-jelas ngotot untuk mengetahui ke mana perginya Mata
Malaikat. Aku sendiri tidak tahu ke mana perginya orang tua yang memejamkan
matanya itu. Kalau aku harus meladeni keduanya, bisabisa waktuku semakin terentang jauh untuk menemukan Hantu Seribu Tangan," batin Tirta sambil menimbang-nimbang. Sepasang matanya
yang cerah menatap
bergantian pada Bocah Maut yang tak sabar menunggu jawabannya dan Ratu Api yang melotot gusar seolah tak percaya kalau setiap
serangannya dapat dihalau
dengan mudah. Mengkelap wajah Bocah Maut mendapati pertanyaannya tak mendapat jawaban. Kejap berikutnya,
dia sudah berguling kembali ke arah Tirta. Saat berguling kedua tangannya
disentakkan ke depan.
Wuuuttt! Serangkum angin laksana gelombang prahara
melesat cepat ke arah Rajawali Emas. Bukan hanya
membawa suara bergemuruh mengerikan, namun juga
menebarkan hawa yang cukup panas.
Tirta menarik tangannya ke belakang. Tenaga
surya dialirkan lagi. Dan serta merta kedua tangannya didorong ke depan.
Wrrrr!
Rajawali Emas 10 Mata Malaikat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Blaaammm! Terdengar dentuman dahsyat tatkala gelombang angin yang keluar dari tangan Tirta melabrak serangan Bocah Maut. Meski
serangan bentrok di udara,
namun gulingan tubuh Bocah Maut terus menderu.
Mau tak mau membuat Tirta harus melompat
menghindar. Namun Bocah Maut yang nampaknya
hendak menyudahi pertarungan ini dengan cepat,
memutar tubuhnya dan kembali bergulingan deras
disusul dengan sentakan kedua tangannya ke muka.
Wuuut! Wuuuttt!
Pemuda dari Gunung Rajawali mengangkat kedua tangannya dan segera menghantam. Desss! Dess!
Dua pasang tangan beradu di udara dan mengeluarkan suara keras. Bersamaan dengan itu, Tirta
melompat dan melepaskan tendangan ke bawah.
Buuukk! Tendangannya telak menghantam tubuh Bocah
Maut yang masih bergulingan. Akibatnya, gulingan tubuh manusia cebol itu menjadi tak tertahankan lagi.
Meluncur deras. Bila saja Bocah Maut tak mengendalikan tubuhnya, tak urung tubuhnya akan menghantam
pohon besar di belakangnya.
Bocah Maut berdiri dan membalikkan tubuh.
Wajahnya membesi dengan kedua tangan mengepal
keras. Dadanya seperti dihantam oleh godam yang
sangat kuat. Mendadak dirasakan hawa panas yang
menyiksanya. Dengan perasaan tak menentu, segera
dialirkan tenaga dalam dan hawa murninya guna mengusir hawa panas itu.
"Keparat! Siapa kau sebenarnya"!" bentaknya keras dengan suara bergetar. Tirta
hanya tersenyum
saja "Mengapa harus pakai bertanya" Aku tak menyukai urusan ini. Jalan masingmasing orang telah ditentukan. Lebih baik, kita sudahi segala urusan!!"
Mendapati sahutan yang tak diharapkannya,
Bocah Maut menggertakkan giginya. Dikawal gerengan
yang keras, tubuhnya berguling lagi. Kali ini lebih cepat.
Tirta yang memang sudah bersiaga melompat
dan mencoba mengulangi serangannya tadi, menjadi
batal tatkala merasakan hawa panas menderu. Ketika
diangkat wajahnya, dilihatnya gulungan api yang di lepaskan oleh perempuan
berbaju merah terbuka di bahu menggebah ke arahnya.
Dua serangan penuh tenaga sakti menderu cepat ke arahnya. Mencecarnya dan mengarah pada bagian-bagian yang mematikan. Tirta berusaha untuk
menahan sekaligus membalas. Namun setiap kali dia
bergerak, setiap kali pula api-api yang dilepaskan perempuan berbaju merah menghentikan gerakannya.
Selagi dicoba untuk menghindar sekaligus memadamkan api-api itu, Bocah Maut sudah menderu ke muka.
"Kurang asem! Keduanya benar-benar tak
memberi kesempatan kepadaku! Apakah aku harus
menurunkan tangan telengas" Kalau tidak, bisa-bisa
nyawaku yang putus! Aku tak tahu ada urusan apa
mereka dengan Mata Malaikat. Tetapi sekarang, jelas
tak mungkin aku menghindari mereka!!"
Dengan mempergunakan kecepatannya, Tirta
melompat ke belakang tatkala tubuh Bocah Maut
menderu seraya menyentakkan kedua tangannya. Menyusul gulungan api yang menebarkan hawa panas
mengerikan yang dilepaskan oleh Ratu Api.
Ketika kedua kakinya hinggap di tanah, Rajawali Emas menggerakkan tangan kanannya ke belakang. Dan.... Sraaakk! Terdengar suara pedang ditarik dari warangkanya. Merasa sulit untuk mengatasi gempuran serangan kedua lawan yang bertubi-tubi dan mengerikan, si Rajawali Emas telah
mencabut pedang yang ada dari
warangkanya, Pedang Batu Bintang.
Begitu Pedang Batu Bintang dicabut, menghampar di ujung tangannya sinar keemasan yang begitu cemerlang. Pedang yang di hulu bagian bawah terdapat bentuk relief sebuah bintang dan di kanan kiri bagian hulu terdapat dua
kepala burung rajawali ber-lawanan arah, seperti semakin menerangi tempat itu
bersamaan dengan dicabutnya Pedang Batu Bintang
dari warangkanya oleh Tirta.
Segera saja pedang itu digerakkan. Wrrrr!
Sinar keemasan melesat keluar dan memadamkan api yang dilepaskan oleh perempuan berbaju merah. Bersamaan dengan itu, Rajawali Emas mencelat
ke depan sambil menggerakkan tangan kirinya.
Wuuulll! Satu dorongan angin panas menderu dan menahan gerakan Bocah Maut yang langsung bergulingan
ke belakang dan berdiri dengan kedua mata terpentang nyalang.
"Gila! Apakah penglihatanku tak salah" Aku telah mendengar tentang ciri-ciri pedang yang seperti di-pegang oleh pemuda itu.
pedang Batu Bintang yang
dulu pernah diributkan oleh orang-orang rimba persilatan. Dan hanya seorang yang berhasil memilikinya.
Berarti.... Hhhh! Keparat busuk! Pemuda itu pastilah si Rajawali Emas!!"
Sementara itu, Ratu Api sedang menggeram
dengan wajah mengkelap.
"Jahanam betul! Sinar keemasan yang keluar
dari pedang itu sungguh mengerikan! Peduli setan sia-pa dia adanya! Pemuda ini
telah mempermalukan ku
dan menolak memberi tahu di mana Mata Malaikat berada!" Tirta sendiri saat ini sedang mengatur napas.
Hanya sesaat dilakukan, karena Ratu Api sudah menerjang kembali. Menyusul Bocah Maut yang bergulingan ke arahnya.
Begitu cepatnya dua orang itu bergerak, hingga
Tirta hanya melihat dua bayangan belaka yang menderu ke arahnya. Menyusul suara 'wrrrr' menggebu-gebu
ke arahnya dikawal angin seperti badai menerjang pesisir. Panas menyengat dan gulungan api menderu.
Namun si pemuda yang sudah siap mempergunakan Pedang Batu Bintang, segera menggerakkan
tangan yang memegang erat-erat hulu senjatanya.
Sraaat! Sinar keemasan terang berasal dari Pedang Batu Bintang berpendaran dan melanda masuk ke arah
api-api yang dilepaskan si perempuan berbaju merah
menyala. Menakjubkan sekaligus mengherankan. Gulungan api yang melingkar dahsyat dan mengarah pada si Rajawali Emas serta memuncratkan tanah di hadapannya, langsung pupus begitu sinar keemasan
yang melesat tadi masuk.
Ratu Api terpekik. Wajahnya berubah pias. Keringat mengucur bertambah banyak.
Melihat keadaan Ratu Api yang mengkhawatirkan, Bocah Maut sudah masuk menyerang, menghalangi gempuran Rajawali Emas pada perempuan berbaju merah terbuka yang tak mungkin lagi bisa menghindari serangan.
"Keparat! Aku tak bisa tinggal diam sekarang.
Terpaksa.... Ya, terpaksa juga aku harus melakukannya! Akan ku padukan kesaktian Pedang Batu
Bintang dan tenaga surya dalam tubuhku."
Memikir demikian, Tirta segera menarik napas.
Mengerahkan tenaga surya yang berpusat dari pusarnya. Bersamaan dengan Bocah Maut menyerang, di gerakkannya Pedang Batu Bintang diiringi dengan sentakan tangan kirinya.
Wuuuttt! Menghampar sinar keemasan yang bukan
hanya mengejutkan Bocah Maut, tetapi juga membuat
manusia cebol itu harus berjumpalitan dan berguling
menghindar. Dan satu pukulan bersarang tepat di dadanya.
Des!! Seketika tubuh si cebol terguling ke belakang
dengan jeritan setinggi langit. Tubuhnya mendadak
seperti digeluti hawa yang sangat panas. Menyengat,
hingga keringat. Ratu Api yang tengah mengatur napas menoleh terkejut. Lalu
kepalanya dipalingkan pada Tirta.
Namun, dia tak lagi mempunyai nyali untuk
meneruskan pertarungan. hanya berdiri tegak dengan
dada naik turun.
Sementara Tirta sendiri sudah memasukkan
kembali Pedang Batu Bintang ke warangkanya. Pemuda yang mempunyai hati luhur ini bisa saja menurunkan tangan telengas pada kedua lawannya yang telah
tak berdaya. Namun, Tirta mempunyai hati yang lembut yang diturunkan dari ibunya.
Dia justru berkelebat tanpa berkata apa-apa.
Di satu tempat, barulah dilakukan isyarat untuk memanggil Bwana. Kejap lain, pemuda yang di
tangan kanan dan kirinya terdapat rajahan burung rajawali berwarna keemasan, sudah dibawa oleh Bwana
terbang mengarungi angkasa.
Di tempat semula, Ratu Api sedang berusaha
menghentikan hawa panas yang menggeluti tubuh Bocah Maut. Berulang kali si perempuan berusaha, namun berulang kali pula dia merasa tak mampu menahan hawa panas itu.
Selagi Ratu Api berada dalam titik keputusasaannya, mendadak terdengar satu suara,
"Kau tak akan bisa mengobatinya, Ratu Api.
Karena, kawanmu itu telah terkena pukulan yang
mengandung tenaga surya."
Ratu Api seketika menoleh. Dilihatnya satu sosok tubuh berdiri tegak di sampingnya. Wajah orang
yang baru datang itu tertutup oleh topeng warna perak! *** Bab 7 Ratu Api membuka kedua matanya lebar-lebar.
Hatinya bertanya-tanya melihat orang bertopeng perak yang berdiri di depannya.
Di lain kejap dia sudah
membentak dengan kedua tangan yang telah terangkum pukulan 'Api Jahanam'.
"Perempuan bertopeng perak! Apa yang kau lihat ini bukanlah urusanmu! Lebih baik teruskan langkah bila tak ingin mendapatkan musibah!!"
Wajah orang di balik topeng perak membesi
dengan kedua mata menatap dingin. Bibirnya yang
nampak tersaput warna merah, karena topeng yang
dikenakananya menutup hidung, sebagian pipi, kedua
mata yang bolong dan keningnya, merapat. Tetapi segera ditindihnya rasa jengkel yang dialaminya barusan.
"Kau tak akan mampu mengobati si cebol itu,
Ratu Api. Ini memang bukan urusan ku kendati Bocah
Maut adalah sahabatku. Bila kau memang ingin kehilangan dirinya, lebih baik kuteruskan langkah!!"
Ratu Api terdiam mendengar kata-kata orang.
Dahinya dikernyitkan.
"Siapa sebenarnya perempuan bertopeng perak
ini" Apakah benar yang dikatakannya tadi, kalau dia
bersahabat dengan Bocah Maut" Keparat! Selama ini
aku tak pernah tahu kalau Bocah Maut mempunyai
sahabat perempuan yang mengenakan topeng perak.
Apakah dia hanya mengada-ngada" Kalau memang iya,
keuntungan apa yang bisa didapatkannya?"
Setelah menimbang-nimbang beberapa saat,
Ratu Api berkata, tetap dengan kedua tangan yang telah terangkum pukulan 'Api Jahanam'.
"Bila kau tahu apa akibat yang dialami Bocah
Maut, mengapa masih berdiam diri?"
Kata-kata Ratu Api membuat wajah perempuan
yang mengenakan pakaian panjang warna kuning cemerlang dan topeng warna perak yang menutupi sebagian wajahnya dan tak lain adalah Dewi Topeng Perak, memerah.
"Sial! Mengapa harus berjumpa dengan manusia cebol yang sudah mau mampus itu" Tak seharusnya aku tiba di tempat sialan seperti ini! Mulut perempuan berbaju merah menyala
ini sangat kurang ajar!
Sekali waktu aku akan mengepruknya biar dia tidak
terlalu nyinyir!"
Lalu dengan langkah perlahan dan tanpa
menghiraukan pandangan tajam Ratu Api, Dewi Topeng Perak segera membungkuk. Kedua matanya menyusuri tubuh Bocah Maut yang semakin lama bertambah merah laksana udang direbus.
"Tak salah dugaanku. Dia terkena pukulan
yang mengandung tenaga surya. Tenaga yang berasal
dari Rumput Selaksa Surya. Dulu aku pun menginginkan rumput itu. Aku juga menduga peristiwa menggegerkan tentang Batu Bintang dan bangkitnya Iblis Kubur. Tetapi, perjalananku saat itu hingga hari ini adalah untuk mencari Mata
Malaikat hingga keinginanku
untuk mencari Rumput Selaksa Surya kandas dengan
sendirinya. Siapa yang telah beruntung menghisap sari Rumput Selaksa Surya?"
Sementara itu Ratu Api yang pertama kali menaruh sikap tak percaya, mendengus karena sejak tadi perempuan bertopeng perak
tak melakukan apa-apa
kecuali hanya memperhatikan tubuh Bocah Maut. Tak
tahan memendam kejengkelannya dia berkata dengan
nada menyengat, "Perempuan bertopeng perak! Apakah seumur hidup kau akan
berlutut seperti itu dan bersikap laksana seorang tabib andal, hah"! Kedua
telinga Dewi Topeng Perak memerah mendengar bentakan itu.
Kepalanya diangkat sedikit. Memandang tak berkedip
dengan kedua mata yang menyiratkan ancaman. Entah mengapa, Ratu Api menjadi keder juga melihatnya.
Dia berlagak memandang ke samping dengan hati yang
tetap menggeram.
Dewi Topeng Perak kembali menatap sosok Bocah Maut yang masih terkapar. Lalu perlahan-lahan
Rajawali Emas 10 Mata Malaikat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
diambilnya sebuah tabung kecil yang terselip di balik pakaian kuningnya.
Dituangnya isi tabung yang ternyata berisi pil warna kuning. Tiga buah pil
berada di tangan kanannya. Setelah memasukkan kembali tabung kecil itu ke balik
pakaiannya, tiga buah pil tadi segera dimasukkan ke mulut Bocah Maut.
Bersamaan dengan itu, tangannya dengan lincah menotok beberapa jalan darah di tubuh Bocah
Maut yang terjingkat beberapa kali. Di lain kejap, kedua telapak tangannya
ditempelkan perlahan-lahan di
dada Bocah Maut.
"Rupanya pil-pil kuning ku berhasil mengurangi panas yang mendera tubuh si cebol ini. Akan ku
alirkan tenaga dalamku selagi jalan darahnya kutotok dan panas itu berkurang."
Dengan penuh kehati-hatian perempuan bertopeng perak melakukan pengobatannya pada si cebol.
Cukup lama juga dia melakukannya sementara keringat berkucur membasahi wajah dan tubuhnya.
Ratu Api hanya memperhatikan saja sambil
menghentikan aliran pukulan 'Api Jahanam' pada kedua tangannya. Sedikit banyaknya, melihat keseriusan perempuan bertopeng perak
mengobati sahabatnya
dan perubahan pada tubuh Bocah Maut, kecurigaannya mulai menghilang. Dari sekujur tubuh manusia
cebol yang memerah tadi, perlahan-lahan mulai menormal. Mendadak Ratu Api melengak tatkala melihat
Dewi Topeng Perak tersedak. Mulutnya menggembung
dan kejap lain tersembur darah segar. Seketika perempuan yang tadi selalu
menatap curiga, membungkuk di
belakang perempuan berpakaian kuning itu. Kedua
tangannya ditempelkan ke punggung Dewi Topeng Perak dan segera dialirkan tenaga dalamnya.
"Tahan nafasmu sejenak. Bila kukatakan tarik
napas, kau lakukan," kata Ratu Api dan mengalirkan tenaga dalamnya. "Sekarang!"
Dewi Topeng Perak menarik napas panjang seraya memejamkan kedua mata dan menegakkan tubuhnya. Perlahan-lahan dirasakan hawa sejuk mengaliri sekujur tubuhnya. Selang beberapa saat, nafasnya pun normal kembali. Ratu
Api sendiri menghentikan
aliran tenaga dalamnya tatkala dirasakan tubuh Dewi
Topeng Perak tidak lagi menegang.
"Terima kasih," sahut perempuan bertopeng perak tanpa menoleh. Lalu perlahan
lahan berdiri. Di
pandanginya Bocah Maut yang masih terbaring. "Dalam waktu kurang dua kali
peminuman teh, dia akan
siuman. Katakan padanya, kalau aku, Dewi Topeng Perak yang mengobatinya."
Ratu Api yang sekarang merasa yakin kalau perempuan bertopeng perak itu adalah teman dari Bocah
Maut bertanya, "Kau sendiri hendak ke mana?"
Lagi-lagi, tanpa menoleh Dewi Topeng Perak
berkata, "Tak perlu bertanya soal urusanku. Kita urus masing-masing urusan yang
membentang di depan
mata. Tetapi bila kau bisa menjawab pertanyaanku,
alangkah senangnya."
Kendati merasa jengkel karena dua kali perempuan di hadapannya berbicara tanpa menoleh, Ratu
Api berkata juga, "Katakan. Barangkali bisa kulakukan sebagai balas budi
kebaikan mu barusan."
Kali ini Dewi Topeng Perak menolehkan kepalanya. Kedua matanya menatap tajam pada perempuan
setengah baya yang mengenakan pakaian merah terbuka di bahu dan terbelah dari bawah hingga ke pangkal paha. "Tahukah kau di mana saat ini orang yang berjuluk Mata Malaikat berada?"
Mendengar pertanyaan orang, Ratu Api tak segera menjawab. Justru kedua matanya dibuka lebih
lebar. "Dia mencari Mata Malaikat pula. Ada urusan apa?" desisnya dalam hati.
Lalu berkata, "Aku tidak tahu di mana dia berada. Tetapi, tadi kami akan
berhasil menjumpainya bila tidak terlambat datang ke si-ni."
Lantas Ratu Api menceritakan tentang kematian Resi Wajah Dewa. Menyusul pertarungannya dengan seorang pemuda yang berjuluk Rajawali Emas,
yang diduga keras mengetahui ke mana Mata Malaikat
pergi. "Keparat!!" geram Dewi Topeng Perak. Lalu mendesis dingin, "Rasarasanya.... Perjalananku sudah tidak terlalu jauh lagi. Jejak manusia busuk itu
telah ku cium. Ratu Api.... Kita berpisah di sini."
"Tunggu!" tahan Ratu Api yang tiba-tiba punya pikiran baru. "Aku dan Bocah Maut
mempunyai urusan yang sama denganmu untuk mencari dan membunuh Mata Malaikat. Mengapa kita tidak bergabung?"
Dewi Topeng Perak tak segera menjawab. Setelah beberapa saat ditelan kesunyian, dia berkata,
"Kendati kita punya urusan yang sama untuk mencari Mata Malaikat, tetapi
alasannya tentu jauh berbeda.
Lebih baik perjalanan tetap dilakukan masing-masing.
Karena, langkah kita telah digariskan."
Ratu Api yang merasa bila ditambah kehadiran
Dewi Topeng Perak untuk membunuh Mata Malaikat
maka kekuatan mereka bertambah, kembali menahan.
"Kau belum berjumpa dan tukar omongan dengan Bocah Maut. Bukankah lebih baik menunggu
sampai dia siuman?"
Dewi Topeng Perak menggelengkan kepalanya.
"Tidak Kita tetap melangkah di jalan masingmasing. Sampaikan salamku."
Habis kata-katanya, Dewi Topeng Perak segera
berkelebat meninggalkan tempat itu. Sepeninggal Dewi Topeng Perak, Ratu Api
menggeram. "Keparat! Dia merasa terlalu besar kepala hingga menolak bergabung. Suatu saat, akan kutunjukkan
siapa diriku ini." Ditarik nafasnya dengan cepat.
"Hhhh! Aku bisa menduga mengapa dia tak mau melakukan hal itu" Tentunya, karena
dia tak ingin alasannya mencari Mata Malaikat kuketahui."
Lalu perlahan-lahan dialihkan pandangannya
pada Bocah Maut. "Bagus, kau masih bisa diselamatkan! Berarti, kekuatan ku masih
tetap kuat. Tetapi bila ditambah dengan perempuan bertopeng perak itu
mau bergabung, sudah tentu keadaan akan lebih menguntungkan. Aku yakin, perempuan itu bukan orang
sembarangan. Terbukti dia mampu mengobati Bocah
Maut dari luka dalam dan hawa panas akibat serangan
pemuda yang berjuluk Rajawali Emas."
Lalu, perempuan ini berlutut di sisi Bocah
Maut. *** Sewaktu Dewi Topeng Perak mengobati Bocah
Maut dari pengaruh tenaga surya yang dilepaskan Rajawali Emas, di sebuah jalan setapak, dua sosok tubuh menghentikan kelebatannya.
Masing-masing orang
memperhatikan sekelilingnya yang dipenuhi semak belukar tinggi dengan mata tajam.
"Kang Cakra! Ke mana lagi kita harus mencari
Rajawali Emas?" seruan itu berasal dari seorang gadis yang mengenakan pakaian
warna merah muda. Wajah
jelita si gadis yang di keningnya terdapat sebuah berlian, nampak gelisah
sekali. Pemuda berbaju putih bersih yang berdiri di
sampingnya segera menolehkan kepala. Bisa dilihatnya betapa gadis ini sangat
penasaran untuk bertemu
kembali dengan Rajawali Emas. Lalu sahutnya seraya
menarik napas, "Aku tidak tahu di mana dia berada, Dewi. Tetapi aku bisa
mengerti mengapa dia meninggalkan kita"
"Mengerti" Apanya yang kau mengerti, Kang?"
sahut si gadis yang tak lain Dewi Berlian dengan sepasang mata melotot lebar.
Pemuda berbaju putih bersih yang tak lain
Pendekar Judi adanya tersenyum.
"Barangkali, dia merasa harus lebih cepat menemukan Mata Malaikat atau Goa Seratus Laknat,
Dewi. Namun dugaanku, di samping itu, dia juga hendak mencari gadis yang berjuluk Dewi Kembang Maut."
Dewi Berlian menekuk wajahnya tanda tak suka mendengar kata-kata terakhir Pendekar Judi.
"Hhh! Untuk apa dia mencari gadis yang justru
menyerangnya?" katanya bersungut-sungut.
"Mungkin, Tirta mempunyai pikiran lain. Sudahlah, Dewi. Sebaiknya, kita meneruskan perjalanan
saja." "Kita semua berkeinginan mencari Mata Malaikat Dan ini sudah menjadi
alasan kuat bila kita harus sama-sama. Kang Cakra.... Ke mana kita harus pergi?"
seru Dewi Berlian kesal. Di sudut hatinya yang paling dalam, dia ingin sekali
berjumpa dengan Rajawali
Emas yang kendati selalu menggodanya namun telah
memercikkan bunga asmara dalam dadanya.
Pendekar Judi maklum akan kecemasan Dewi
Berlian. Kalau tidak dalam suasana seperti ini, mulutnya yang terkadang usil
Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 2 Pendekar Gagak Rimang Lambang Penyebar Kematian Peristiwa Merah Salju 7
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama