Roro Centil 07 Siluman Kera Putih Bagian 3
masing-masing jatuh ke atas pasir. Ternyata tenaga
dalam mereka berimbang. Tampak Rahwanda bangkit
lagi dengan gagah. Akan tetapi terlihat ada darah menetes dari sudut bibirnya. Sedang si Pendekar Selat
Karimata juga sudah bangkit berdiri. Wajahnya tampak pucat, nafasnya memburu. Dari mulutnya juga
mengalirkan darah... Tampaknya mereka sudah akan
saling gebrak lagi. Tapi pada saat itu juga berkelebat
sesosok tubuh ke tengah-tengah mereka. Terkesiaplah
seketika kedua pemuda itu. Karena orang di hadapannya itu tak lain dari Roro Centil, Sang Pendekar Wanita Pantai Selatan.
Ternyata Roro sudah sejak tadi berada di tempat itu. Tapi sengaja tak munculkan diri. Karena memang ingin sekali melihat kepandaian masing-masing
dari kedua pemuda itu. Namun tetap berjaga-jaga dengan segala kemungkinan yang akan terjadi... Roro sudah berkata sambil tepuk-tepukkan kedua belah tangannya. "Hebat...! Hebat..! Ternyata Sobat Pendekar Selat Karimata dan Sobat
Pendekat Ruyung Naga samasama hebatnya. Mengapa kalian berlatih malammalam begini tidak mengajak aku.. " Aiiih.. Sebaiknya
kita berlatih bersama-sama. Bukankah lebih baik..!"
Berkata Roro Centil sambil menjura pada kedua pemuda itu. Keruan saja Si Bujang Nan Elok dan Rahwanda jadi melengak. Tapi cepat-cepat si Pendekar Karimata berkata;
"Ah, Nona Roro Centil. Kami merasa tingkat kepandaian kami merasa jauh sekali jika dibandingkan
dengan kehebatan dan ketinggian ilmu kedigdayaan
anda. Makanya kami berlatih secara sembunyisembunyi..! Bukankah begitu adik Rahwanda?" Keruan saja Rahwanda yang dijuluki
Pendekar Ruyung Naga
itu jadi merubah wajahnya menjadi senyum. Dan sudah menjawab; "Benar sekali kata kakak Sambu Ruci. Makanya kami sengaja mencari tempat rahasia untuk
berlatih..!" Seraya berkata ia sudah melompat ke sisi untuk menyambar bajunya di
atas batang pohon roboh. Lalu cepat mengenakannya kembali. Adapun si
Bujang Nan Elok pun sudah masukkan lagi pedangnya
dalam serangka di punggung. Lalu melangkah mendekati Roro. Sementara masih sempat ia menyeka darah
yang mengalir dari bibirnya itu dengan lengannya.
Sedang tak lama Rahwanda sudah kembali merapat diantara keduanya.
"Eh...!" Apakah nona Roro datang bersama adik
Sedayu?" Tanya Rahwanda, seraya tatap wajah Roro.
Roro Centil gelengkan kepalanya.
"Adik manis itu sudah tidur, mana berani aku
mengganggunya. Oh, ya... apakah kalian telah selesai
berlatih?" Tanya Roro lagi selesai menjawab pertanyaan si pemuda bercambang bauk itu, seraya menatap pada kedua pemuda itu. Tampak keduanya saling
pandang. Lalu berkata berbareng.
"Sudahlah! Kami kira cukup. Kami hanya sekedar menguji sampai dimana tingkat kemajuan ilmu kepandaian kami..!" Sambung si Pendekar Selat Karima-ta.
"Bagus..!" Berkata Roro. Dan lanjutkan lagi ka-ta-katanya. "Kita kaum golongan
pendekar yang men-junjung tinggi kebenaran, memang harus selalu waspada. Kelemahan kita membuat kaum golongan jahat
akan semakin tenang berbuat keonaran. Akhir-akhir
ini aku mendengar adanya tokoh keji yang menamakan
dirinya Siluman Kera Putih. Siluman Kera Putih ini selalu mengincar gadis-gadis cantik untuk dijadikan korbannya. Disamping itu pula kebuasan tokoh Hitam
yang berjulukan si Burung Hantu telah mulai tersiar.
Dengan mengadakan aksi perampokan di setiap tempat Juga banyak penjahat-penjahat lainnya. Seperti tiga orang penculik wanita yang telah menculik adik Sedayu. Guru ketiga penculik itu takkan tinggal diam.
Tentu ia akan melakukan balas dendam mencari kelengahan kita. Bukan tidak mungkin mereka kaum hitam akan bergabung untuk menguasai kaum putih,
dan menumpasnya habis. Tugas kita amat berat. Karena setiap saat nyawa kita bisa melayang..! Nah! Oleh sebab itulah aku kemari.
Karena sudah saatnya aku
berpamitan. Masih banyak urusan yang belum ku selesaikan. Aku berterima kasih sekali pada saudara
Sambu Ruci, alias Pendekar Selat Karimata. pada sobat Rahwanda. Karena selama ini amat baik terhadapku. Semoga kelak kita bisa jumpa lagi. Dan persahabatan kita dapat tetap terjalin demi tegaknya panjipanji kebenaran dimuka bumi ini..!
Kedua pemuda itu jadi melengak, dan terkejut
mendengar kedatangan Roro ternyata adalah untuk
berpamitan. Akan tetapi Roro sudah kembali berkata;
"Nah! Untuk perpisahan kita. Mari kita ikrarkan
tali persahabatan kita..!" Seraya berkata, Roro telah ajak berjabat tangan pada
si Bujang Nan Elok. Yang
bagaikan berat mengangkat tangannya, Pendekar Selat
Karimata ini segera menyambutinya. Roro menoleh pada Rahwanda. Tampaknya pemuda ini pun mengerti.
Segera turut berjabat tangan. tiga tangan mereka bersatu. Lama sekali lengan-lengan mereka saling cekal.
Namun diam-diam Roro Centil telah salurkan hawa
hangat dari tenaga dalamnya, untuk membantu menyembuhkan luka dalam akibat benturan tenaga dalam tadi. Tiba-tiba Roro sudah menyambar berkata lagi, lengan-lengan mereka berlepasan.
"Aku yakin kalian akan menjadi saudara yang
baik. Oh ya...! Sobat Rahwanda! Jangan kau sia-siakan
cinta suci adik Sedayu..! Sebaiknya kalian cepat menikah. Dan sampaikan salamku padanya..!" Rahwanda
tersenyum dan tertawa lebar.
"Tentu saja, nona Roro..! Aku memang telah
merencanakan pernikahan itu satu bulan mendatang.
Oh ya... selamat jalan. Semoga anda selalu dalam keselamatan..!" Si Pendekar Selat Karimata pun mengucapkan salam perpisahan pada
Roro. Sementara diamdiam hati pemuda ini jadi malu. Ternyata Rahwanda
tidaklah seburuk sangkaannya. Setelah mengucapkan
selamat tinggal. Berkelebatlah Roro Centil dari tempat
itu. Dan sebentar saja telah lenyap tak kelihatan lagi.
Keduanya cuma bisa terpaku. Tapi selang sesaat, si
Pendekar Selat Karimata telah memeluk pundak Rahwanda. Tampak terdengar ia menghela napas. Dan
berkata lirih...
"Adik Rahwanda..! Marilah kita pulang..!" Pemuda bercambang bauk itu mengangguk. Dan sesaat
antaranya kedua tubuh itu telah tinggalkan pantai
Tanjung Lumut Yang kembali sunyi. Hanya tinggal deburan ombak saja yang terdengar. Sementara rembulan semakin menukik ke arah cakrawala.
*** "Gumaraaaang..!" Terdengar suara teriakan dari
sebuah lembah. Suara itu mirip suara wanita. Suara
teriakan itu kembali menggema, memantul dari dinding-dinding terjal itu. Seorang wanita tampak berlarilari dengan tubuh terhuyung. Sementara kepalanya selalu bergerak ke kiri dan kanan. Seperti mencari-cari
orang yang dipanggilnya. Wajahnya tampak kusut. Peluh telah bercucuran dari sekujur tubuhnya.
"Gumaraaaang..!" Kembali ia berteriak. yang
terdengar adalah suara pantulan dari teriakannya sendiri. Tampaknya wanita ini semakin cemas. Dan dengan tertatih-tatih ia berusaha mendaki tebing itu. Akan tetapi kembali merosot
turun. Siapakah wanita itu.."
Ternyata tak lain dari Retno Wulan adalah Gadis yang enam bulan yang lalu telah melarikan diri dari rumahnya bersama
kekasihnya. Keadaannya kini telah
berubah. Karena Retno Wulan tampak seperti tengah
mengandung. Entah apa yang terjadi dengan wanita
yang dalam keadaan hamil muda ini, hingga berada di
dasar lembah ngarai yang curam itu.."
Usahanya untuk mendaki tebing itu sia-sia belaka. Dan tampak ia jatuhkan diri menggelepoh di tanah. Sambil mengelus-elus perutnya yang terasa sakit.
Kelopak matanya tampak mulai basah. Dan
sudah terdengar ia terisak-isak menangis. Sepasang
bibirnya tampak tergetar. Dan desiskan kata-kata...
"Gumarang..! Dimanakah kau.." Mengapa tibatiba aku berada di tempat ini.." Apakah yang telah terjadi sebenarnya..?" Demikian desisnya, tak lebih dari pertanyaan-pertanyaan yang
tiada berjawab. Memang
sudah nasib kedua sejoli ini yang selalu menemui rintangan dalam pelariannya. Sejak menemukan tempat
bermalam di desa tak berpenghuni itu, mereka berdua
lanjutkan perjalanan tanpa arah tujuan. Semata-mata
hanya menghindari dari kejaran Tirta Menggala, dan
anak-anak buahnya. Hingga tibalah mereka pada tepi
sebuah danau. Disana mereka beristirahat untuk kesekian kalinya. Agaknya Gumarang berpendapat untuk
tinggal saja di tempat itu.
Beruntung darah itu adalah dekat air. Gumarang dapat bercocok tanam disekitar danau itu. Pikir
Retno Wulan. Dan keputusan itupun disepakati. Gumarang memang berhati keras bagai karang. Baginya
kehidupan yang bagaimanapun akan ia lakukan demi
kebahagiaan mereka berdua. Mulailah Gumarang menebang kayu, untuk membuat tempat berteduh. Retno
Wulan menganyam bambu untuk dinding pondok mereka. Sedang daun-daun kelapa dapat dipergunakan
untuk atapnya. Dalam waktu sebulan lebih, selesailah
pondok sederhana itu Dan mereka segera mendiami
tempat yang baru itu dengan gembira.
Bila pagi menjelang, Gumarang mengail ikan di
danau. Dan membakarnya untuk bersantap. Gumarang juga telah mulai menanam umbi-umbian atau sejenis ketela lainnya. Bahkan juga menanam padi huma, yang entah bibitnya ia dapatkan dari mana. Tampaknya mereka bahagia sekali. Sayang mereka belum
menikah. Namun kandungan Retno Wulan tampak
semakin membesar. Hal tersebut membuat Gumarang
agak malu. Dan terkadang sering melamun sambil
mengail ikan. Suatu hari datanglah seorang kakek singgah di
pondoknya. Entah dengan cara bagaimana, sang kakek
ternyata amat kasihan pada kedua sejoli itu. Akhirnya
disaksikan sang kakek, mereka meresmikan pernikahannya. Barulah hati Gumarang merasa lega. Ternyata
sang kakek itu bukanlah orang biasa. Karena diketahuinya adalah seorang yang berilmu tinggi. Terbukti,
hanya dengan menggerakkan telapak tangannya saja,
ikan-ikan di danau itu telah berlompatan ke darat Seperti ada tenaga aneh yang menyedotnya keluar dari
permukaan air. Hal mana membuat Gumarang merasa terkejut
dan girang sekali. Hingga tanpa ragu-ragu ia mohon dijadikan muridnya. Tampaknya sang kakek ini setuju
dengan Gumarang. Dan segera menerima keinginan
laki-laki muda itu. Jadilah Gumarang murid si kakek
itu. Yang ternyata sang kakek bernama Ki Candra Lugita. Yang di rimba persilatan terkenal dengan julukan
si Mayat Hidup. Memang wajah sang kakek itu amat
menyeramkan, mirip manusia yang tinggal tulang. Tubuhnya kurus jangkung. Berkepala gundul plontos.
Cuma kumis dan jenggotnya saja yang panjang terjuntai. Dalam waktu empat bulan saja Gumarang sudah bukan Gumarang yang dulu lagi Karena ia telah
memiliki ilmu kepandaian yang boleh diandalkan. Apa
lagi ia telah diwarisi tenaga dalam yang hebat, oleh Ki Candra Lugita. Alias si
Mayat Hidup. Sayang sang kakek itu cuma tinggal selama empat bulan di tempat
itu. Karena sebagai orang rimba persilatan, jarang dapat
berdiam di satu tempat.
Namun Gumarang sudah cukup puas. Ia tinggal memperbanyak latihan saja. Dan memecah jurusjurus ilmu silat yang telah dikuasainya. Sedikit banyak
dengan ilmu di punyainya, akan berguna untuk menolong diri dari bahaya. Demikianlah. Selama hampir satu bulan, Gumarang selalu rajin melatih diri memperdalam ilmu kepandaiannya.
Suatu ketika Gumarang tengah berperahu ke
tengah danau mencari ikan. Retno Wulan tinggal di
pondok sendirian. Seperti biasanya, setelah selesai
dengan pekerjaannya, Retno Wulan selalu dudukduduk di balai-balai ruangan depan. Memang pondoknya menghadap ke danau. Dan pada tempat ketinggian. Hingga dengan mudah ia dapat layangkan pandangan ke tengah danau. Bahkan Gumarang, suaminya dapat terlihat berada di atas perahu di tengah
danau. Ketika itu entah dari mana datangnya. Tahutahu seorang wanita telah berada di depan pintu pondok. Wanita ini memang tampak cantik. Akan tetapi jelas terlihat kecantikannya adalah karena tebalnya pulasan pada wajahnya. Bibirnya merah. Dengan alis mata buatan melengkung ke atas. Terjungkit lancip hampir menyentuh rambut di sisi dahi. Retno Wulan jadi
terkesiap. Ia sudah menganggap wanita itu bukan sebangsa manusia. Melainkan seorang peri. Karena datangnya saja tanpa bersuara. Akan tetapi barulah ia
yakin kalau wanita itu manusia biasa. Karena sepasang kakinya menginjak tanah. Tentu seorang wanita
persilatan yang berilmu tinggi..! Pikir Retno Wulan. Ia sudah menyapa wanita
itu. Akan tetapi aneh... Sedikitpun wanita itu tak menyahutinya Bahkan menatap
wajahnya tajam-tajam Lalu layangkan pandangan pada suaminya di tengah danau. Tiba-tiba terdengar
mengikik tertawa. Dan palingkan wajahnya lagi menatap padanya. Lalu tiba-tiba telah berkelebat lenyap.
Roro Centil 07 Siluman Kera Putih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Retno Wulan jadi terpaku di tempatnya. benarbenar tak mengerti, siapakah wanita itu..". Demikianlah Ketika Gumarang pulang. la segera menceritakan
tentang wanita itu. Gumarang terkejut. Karena ia merasa tidak mengenalnya. Namun Retno tidak percaya.
Akhirnya mereka bertengkar. Namun dengan berkata
sungguh-sungguh dan menyakinkan pada istrinya,
akhirnya Retno Wulan pun yakin bahwa Gumarang
memang tak mengenal akan wanita itu. Apa lagi wanita
itu bila dibandingkan dengan dirinya adalah jauh lebih
tua. Mungkin sudah dua kali lebih tua dari umurnya.
Tak mungkin Gumarang berniat main gila. Pikirnya.
Malam itu sepasang suami istri itu menikmati kebahagiaannya. Sementara keadaan di luar gelap pekat. Angin bersyiur agak keras. Namun kedua insan itu telah
tidur lelap, tanpa mengetahui apa-apa lagi Pada malam
itulah terjadi keanehan...
Karena di saat Retno Wulan terbangun dari tidurnya, ia jadi terkejut Karena dapatkan dirinya tergeletak di rerumputan. Gumarang sudah tak berada lagi
di sisinya. Dengan serta merta ia bangun berdiri. Dan
pandang sekitarnya. Ternyata ia berada di sebuah ngarai yang dalam. Di sekelilingnya adalah tebing-tebing batu yang menjulang
tinggi. Sedang di bagian sisi lain tampak hutan rimba
yang lebat. Hingga akhirnya Retno Wulan pagi itu telah
berteriak-teriak memanggil suaminya. Keadaannya
sangatlah menyedihkan. Karena sudah sekian kali berusaha memanjat tebing, untuk keluar dari ngarai
yang dalam itu. Namun tetap tak berhasil. Karena selalu merosot turun kembali. Hingga banyak luka-luka
kecil di kulit tubuhnya.
Retno Wulan duduk menggelepoh sambil terisak-isak. Dan terbayanglah semua apa yang telah di
alaminya sejak lari bersama orang yang dicintainya.
"Mengapa nasibku malang benar.." Oh Ayah..,
Ibu..! Maafkanlah anakmu ini..! Gumarang..! Gumaraaang..! Di manakah kau gerangan.. ?" Demikianlah, Retno Wulan meratapi
nasibnya. Akan tetapi tiba-tiba
ia jadi terkejut bukan main ketika tiba-tiba sesosok
makhluk berada di hadapannya, disertai suara terkekeh-kekeh bagai suara kera. Ketika ia mendongak. Ia
jadi menjerit kaget Begitu takutnya Retno Wulan, dan
terkejut yang amat sangat melihat sosok tubuh mengerikan di hadapannya. Hingga ia seketika jatuh pingsan.
Ketika sadarkan diri lagi ia tengah digumuli
oleh seekor kera besar. Tentu saja Retno Wulan jadi
menjerit-jerit ketakutan. Dengan sekuat tenaga ia berusaha melepaskan diri. Namun alangkah terkejutnya
ia, ketika mengetahui kera besar itu tak lain dari Tirta Menggala. Wanita ini
melompat mundur begitu berhasil lepaskan diri dari dekapan "kera" besar itu.
Tapi dengan sekali melompat ia telah berada didepannya la-gi seraya menyeringai.
Tampaknya Tirta Menggala masih mengenali
Retno Wulan, yang pernah akan dipinangnya beberapa
bulan yang lalu. Tiba-tiba ia menggeram bagai kera.
"Grrr... kau ... nguk! nguk! grrr... kau Retno Wulan.."
He he he.... bagus! Bagus..! Kau harus layani aku baikbaik..! He he he... Grrr..!" Tiba-tiba....
Bret! Bret! Brreeettt...!
"Auuuuww...! Tolooong! Tidak! Tidak! Tidaaak!"
Retno Wulan berteriak-teriak. Namun apa daya. Makhluk itu telah menerkamnya. Dan mencabik-cabik pakaiannya. Dan sebuah tamparan keras membuat wanita itu kembali tak sadarkan diri lagi. Hingga dengan le-luasa Tirta Menggala
menggagahinya. Sementara puluhan ekor kera tampak berjingkrak-jingkrak mengelilinginya. Dengan keluarkan teriakan gaduh. Kelakuan
Tirta Menggala memang sudah bagaikan binatang liar
saja. Karena bibirnya tampak sering mencibir. Dan hidupnya mengendus-endus di sekujur tubuh korbannya. Semua perbuatan itu selalu diperhatikan oleh di
Dewa Siluman Kera Seperti menyenangi tontonan semacam itu. Tiba-tiba terdengar bentakan keras menggeledak. Dan... WHUUUUT...!
Tirta Menggala telah perdengarkan teriakannya
Dan terlempar delapan tombak, terguling-guling. Dan
kera-kera yang mengelilinginya seketika buyar dan jatuh bergelimpangan. Sesosok tubuh mirip mayat, telah
berada di tempat itu.
"Mayat hidup..!" Teriak si Dewa Siluman Kera.
Dan ia sudah berkelebat ke tempat itu. "Keparat..! Mau apa kau turut campur
urusan muridku, Tua bangka..!
Grrrr..! Kukira kau sudah mampus..! Kau berani menyatroni kemari apakah mau mengantarkan nyawa..?"
Bentak si Dewa Siluman Kera. Kiranya si kakek Candra Lugita, guru Gumarang itu yang telah muncul di
situ. Tampaknya si Mayat Hidup tak merasa ciut nyalinya. Bahkan ia sudah berkata dengan nada dingin
bagaikan es. "Heh! Nyawaku masih ada harganya, ketimbang
nyawa manusia-manusia binatang macam kau dan
muridmu itu..! Hari ini aku tak mau melayani kau bertarung. Tunggulah satu bulan lagi. Aku pasti datang
untuk bertarung denganmu sampai seribu jurus..!"
Berkata si Mayat Hidup. Seraya menyambar tubuh
Retno Wulan... Dan secepat kilat telah membawanya
pergi. Dewa Siluman Kera tampaknya tidak berniat
mengejar. Akan tetapi hanya keluarkan dengusan di
hidung. Lalu kelebatkan tubuh ke arah muridnya Tirta
Menggala, alias Siluman kerah putih. Sementara Tirta
Menggala tampak meringis-ringis menahan sakit. Ia
sudah bangkit duduk. Tapi tampaknya terluka parah
akibat pukulan tenaga dalam si Mayat Hidup. Darah
segar mengalir dari mulutnya. Segera si kakek menekan telapak tangannya pada punggung muridnya.
Tampak uap tipis mengepul keluar dari telapak tangannya. Hanya sekejapan saja sang murid telah kembali melompat bangun. Dan berjingkrakan seraya berteriak-teriak menggeram-geram. Tampaknya ia amat
kesal sekali pada orang yang telah
mengganggunya. Akan tetapi Dewa Siluman Kera telah menjewer
telinganya. Dan menyeret masuk muridnya ke dalam
goa. *** Roro Centil telah memasuki lagi sarang perguruan Burung Hantu. Langkahnya tidak terlalu cepat.
Bahkan jalannya tampak melenggang seenaknya. Sementara dua orang penjaga di belakangnya, tampak
masih tetap berdiri seperti biasa. Seolah tak terjadi
apa-apa. Akan tetapi sebenarnya kedua tubuhnya telah tertotok kaku. Cuma kedua pasang matanya saja
yang berkedip-kedip. Dan mulut-mulut mereka yang
tak bisa mengeluarkan suara.
Tiga orang penjaga yang sedang berdiri bercakap-cakap, tiba-tiba menoleh. Dan salah seorang sudah berteriak. "Celaka..! " Wanita yang kusangka tetamu dulu
itu datang lagi kemari...!" Dan ia sudah lari kuping tinggalkan kedua
kawannya...Sedangkan kedua kawannya itu malah cengar-cengir melihat seorang
gadis cantik mendatangi. Dengan langkah gemulai.
"Ahii... Si tolol itu mengapa jadi bodoh" Ada" tetamu tak diundang datang, eh...
malah lari..! "Berkata salah seorang yang bertubuh agak pendek.
"Mana cantik dan seksi lagi..! Ck ck ck... "Bodi"
nya mek..! Selangit..!" Mendesis suara kawannya. Sementara sepasang matanya
sudah merayapi sekujur
tubuh Roro Centil, yang semakin mendekat ke arahnya. Salah seorang yang bertubuh kekar, segera
mendekati. Tampak ia sedikit bergaya, dengan merapikan rambut dan ikat kepalanya terlebih dulu.
"Selamat datang nona..! He he he"... Apakah
nona mencari aku?" Bertanya ia. Yang ditanya ternyata cuma tersenyum... Dan
melangkah terus. Tentu saja
senyuman itu telah membuat ia semakin berani. Seperti mendapat angin. Bahkan tanpa ragu-ragu merendenginya berjalan.
"Mau bertemu aku atau ketua, nona.." Kalau
Ketua rasanya sedang sakit encok. Percuma menemuinya..! Lebih baik dengan aku saja. He he he... pokoknya siiip..!" Berkata lagi si orang bertubuh kekar ini. Seraya mengurutngurut kumisnya, yang besar
melintang. Adapun makanya ia berani menyapa demikian, karena dalam sepekan selalu ada langganan yang
datang ke rumah perguruan itu untuk menemui sang
ketua. Tentu saja si laki-laki berkumis tebal itu menyangka Roro salah seorang langganan Ketuanya. Sementara Roro sudah perlambat langkahnya.
Ternyata semakin berani si kumis tebal ini. Dan
sebelah lengannya telah merangkul pinggang Roro dari
belakang. Tampaknya Roro tak reaksi untuk menepiskan lengannya. Merasa bujukan dan rayuannya
berhasil, si Kumis Tebal telah mengajaknya membelok
ke sisi jalan. Dimana di bagian sisi jalan itu adalah
semak lebat yang amat rimbun dan gelap. Roro hanya
menuruti saja apa maunya sang penjaga itu. Tiba-tiba
si kumis tebal telah palingkan kepalanya pada sang
kawan yang masih ternganga di tempatnya.
"Ssssssttt.!" Ia sudah berikan kode pada si pendek untuk tidak melapor pada sang
Ketua. Tampak sang kawan manggut-manggut. Seraya iapun diamdiam langkahkan kakinya untuk menguntit. Tentu saja
untuk mengintip perbuatan kawannya.
Sementara diam-diam hatinya memaki.. Sialan..! Si kunyuk telah untung besar! Aku tak menyangka kalau ia se jinak itu..!
Lama juga si pendek ini mencari tempat mengintip yang aman. Karena rimbunnya semak-semak.
Namun akhirnya ia sudah dapat lihat dari celah-celah
daun. Segera ia pentang mata untuk melihat lebih lebar. Dan yang tampak adalah kedua kepalanya saja.
Tubuhnya belum terlihat. Segera ia kuak lebih lebar
semak yang menghalangi...
"Hah..!?" Ia sudah keluarkan desisan perlahan dari mulutnya Yang seketika jadi
ternganga. Dan sepasang matanya terbeliak makin lebar. Ternyata si kumis
tebal tengah di bukai pakaiannya satu persatu. Lengan-lengan yang halus itu seperti dua ekor ular yang
bergerak lincah kesana-kemari. Dan sebentar saja bersihlah "bulu-bulu" yang melekat di tubuh si kumis tebal. Sayang... belum lagi ia
mengetahui kelanjutan-nya, telah terasa ada yang menarik-narik celananya,
dari belakang. Ketika ia menoleh. Terkesiaplah ia bagaikan melihat malaikat maut saja Karena pada semak
belukar di belakangnya tersembul kepala seekor harimau yang amat besar. Dan tengah menggigit-gigit kain
celakanya, dengan gigi-gigi taringnya yang runcing dan
tajam, Seketika saja pucat piaslah wajahnya. Ia sudah
berteriak keras sekali. Namun suaranya bagaikan lenyap di tenggorokan. Sekejapan saja keringat dingin
sudah mengucur deras. Dan entah mengapa, sekonyong-konyong nya bulu kuduknya sudah merasa meremang. Pandangan matanya jadi gelap. Tubuhnya
gemetaran bagaikan kena stroom. Dan selanjutnya ia
sudah jatuh pingsan menggelosoh. Kepala harimau
itupun lenyap. Sementara itu penjaga yang tadi berlari ketakutan itu telah kembali lagi Ternyata telah turut bersamanya sang Ketua. Yaitu si Burung Hantu. Tampak
sang Ketua putarkan kepala dan tubuh ke beberapa
arah untuk mencari sang tetamunya yang tak di undang. Sedang laki-laki, anak buahnya itupun sudah
layangkan pandangan kesana-kemari mencari-cari.
Tapi baik sang tetamu yang tak di undang, maupun
kedua kawannya; kesemuanya tak ada sepotongpun
yang terlihat. "Tad... tad... tadi disini, Pak Ketua! Kemanakah
mereka..?" Berkata si penjaga dengan suara gemetar.
Tiba-tiba terdengar suara berkrosakan dari arah sisi
jalan. Dan tersembullah sosok tubuh di kumis tebal.
Keadaannya amat memalukan. Karena ia dalam keadaan membugil. Ia sudah menghampiri kedua orang di
hadapannya. Aneh..! Tampaknya si kumis tebal seperti
tiada takut akan perbuatannya pada sang Ketua. Bahkan sambil tertawa cengar-cengir ia sudah bicara ngawur. "Kurang ajar..! He, Bendot..! Apa kau sudah tak menghargai aku lagi" Kemana
tamu wanita itu" Apa
yang telah kau lakukan.. ?" Akan tetapi yang di bentak dan dicekal keras
lengannya itu cuma meringis-ringis.
Ketika dilepaskan. Kembali tertawa geli, dan bahkan
segera berlalu sambil bernyanyi-nyanyi
tak keruan. Tentu saja hal itu membuat si Burung Hantu jadi melengak. Tiba-tiba ia sudah keluarkan bentakan keras...
"Keparat..! Memalukan..!" Dan ia sudah hantamkan telapak tangannya ke batok kepala anak
buahnya. Yang seketika jadi hancur berantakan. Dan
tanpa dapat berteriak lagi tubuh si kumis tebal yang
sudah hilang ingatan itu ambruk ke bumi. Detik selanjutnya ia telah kelebatkan tubuhnya ke balik semak.
Dan kembali hantamkan telapak tangannya pada sosok tubuh yang terlihat kakinya dibalik semak.
Tubuh itu terlempar berikut semak belukar
yang tersemburat bagai diterjang badai. Akan tetapi
terkejutlah si Burung Hantu. Karena tubuh yang terkena dihantamnya adalah tubuh anak buahnya sendiri. Pucat piaslah wajah sang Ketua ini. Seketika bulu
tengkuk Burung Hantu jadi meremang.
"Hi hi hi... hi hi hi... Burung Hantu. Mengapa
kau bunuh anak buahmu sendiri..?" Aneh..! Suara tertawa terdengar, tapi orangnya
belum menampakkan
diri. Membuat si Burung Hantu jadi gusar, walaupun
Roro Centil 07 Siluman Kera Putih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
agak ciut juga nyalinya. Apakah yang dilakukan Roro,
di saat di dalam semak belukar itu" Kiranya si Pendekar Wanita Pantai Selatan itu telah menotok tubuh si
kumis tebal yang kurang ajar itu. Dan setelah melucuti
pakaiannya. Segera keluarkan senjata Rantai Genitnya. Dengan menyalurkan tenaga dalamnya yang sudah mencapai kesempurnaan itu, Roro dapat membuat
benda aneh, yaitu bandulan senjatanya yang berbentuk payudara itu menjadi lunak
bagaikan karet. Namun jadi kepulkan asap tipis. Tiba-tiba Roro telah menghantamkan bandulan si
Rantai Genitnya pada kepala si penjaga yang kurang
ajar itu. Roro memang hanya bermaksud untuk membuatnya kelengar saja. Akan tetapi di luar dugaan. Kepala si kumis tebal itu amat kuat Bukannya jatuh
menggelosoh. Bahkan tetap berdiri tegak. Ketika Roro
melepaskan totokannya, laki-laki itu segera saja jadi
hilang ingatan. Dan ngeloyor keluar semak dengan
mulut mengaco tak keruan. Kiranya pukulan pada kepala itu telah membuat ia jadi gegar otak.
Mengapakah Roro Centil menyatroni sarang dari komplotan si Burung Hantu ini " Kiranya beritaberita perampokan dan pembunuhan serta pemerasan
yang dilakukan oleh si Burung Hantu dan anak-anak
buahnya serta konco-konconya semakin santar terdengar. Keresahan para penduduk semakin banyak didengar, dan dilihat oleh Roro. Tentu saja hal itu membuat si Pendekar Wanita Pantai Selatan ini merasa
berdosa kalau berdiam diri saja melihat kebatilan di
depan matanya. Itulah sebabnya maka Roro berniat
menumpas habis kejahatan dengan menyatroni markas si Burung Hantu.
Kemanakah Roro gerangan Hingga tak menampakkan diri" Kiranya ia berada di atas wuwungan rumah perguruan. Sementara belasan orang telah mengurungnya di bawah. Kabar bahwa adanya seorang
pendekar wanita yang berilmu tinggi dari daerah Pulau
Jawa, ternyata telah menyebar ke setiap pelosok. Dan
nama Roro Centil sudah bukan rahasia lagi. Melihat
anak-anak buahnya berkerumun mengurung di sekitar
salah sebuah rumah perguruannya, si Burung Hantu
segera mengetahui orang yang dicarinya berada disana. Segera dengan berkelebat cepat ia telah tiba di
bawah atap wuwungan
"Turunlah sobat, Pendekar Wanita..! Lebih baik
kita bicara baik-baik! Apa maksudmu mendatangi ke
markas tempat tinggalku.." Persoalan dapat dibicarakan baik-baik..!"
"Hi hi hi... persoalan telah terlihat jelas! Menga-pa harus dibicarakan lagi.. "
Kejahatanmu harus dihentikan. Kalau tidak maka akan kacaulah dunia ini..!
Dan akan ku taruh dimana mukaku, kalau aku tetap
biarkan saja kekejianmu yang kian merajalela itu, Burung Hantu.. ?" Berkata Roro Centil dengan suara lantang. Sementara itu diamdiam dua belas anak buah
si Burung Hantu telah bergerak dari salah sebuah rumah perguruan di belakang Roro. Dua belas busur panah telah terentang. Dan dua belas anak panah dengan sasaran yang telah diincar baik-baik segera saja
meluruk bagaikan hujan ke arah Roro. Namun pada
saat itu membersit angin deras. Dan kedua belas anak
panah itu sudah buyar berantakan. Ternyata Roro
Centil telah putarkan senjata Rantai Genitnya untuk
melindungi tubuh.
Akan tetapi di luar dugaan kedua belas anak
panah itu telah kembali lagi meluncur ke arah para
penyerangnya. Tak ampun lagi segera terdengar pekikkan dan teriakan-teriakan ngeri. Dan sembilan orang
dari para pembokong itu telah terjungkal tewas. Dengan dada dan leher terpanggang anak panahnya sendiri... Ternyata Roro telah barengi dengan kebutan rambutnya untuk mengembalikan anak-anak panah itu.
Serangkum angin segera bersyiur. Dan anak-anak panah itu bagaikan dikendalikan, telah meluncur kembali ke bawah. Si Burung Hantu jadi terkesiap kaget, juga gusar bukan kepalang.
Segera saja ia telah cabut senjatanya yaitu senjata yang bernama Cakar Hantu.
Roro sudah melompat ke bawah. Beberapa anak buahnya
yang coba-coba cari penyakit, membokong Roro dengan serangan golok dan tombak. Akan tetapi telah roboh terjungkal. Hanya dengan Roro kibaskan lengannya. Namun angin bertenaga dalam yang panas itu telah membuat mereka berkelojotan. Dan tewas seketika. Semakin piaslah wajah si Burung Hantu. Dan ia
sudah membentak keras...
"Minggir..! Biar aku yang menghadapi gadis seberang pulau yang tengik ini..!" Merasa Roro Centil tak dapat diajak kompromi,
si Burung Hantu jadi nekat,
dan segera sudah dikirimkan serangan pukulannya.
Dibarengi dengan serangan senjata Cakar Hantunya
Tring! Tring! Tring..!
Tiga rantai berujung cakar besi telah terpental
balik ke arah penyerangnya. Sementara pukulan tangan si Burung Hantu menemui tempat kosong. Roro telah lengkungkan tubuhnya sedemikian rupa. Dan gunakan si Rantai Genit menghantam balik serangan itu.
Keruan saja si Burung Hantu terkesiap. Namun dengan menjatuhkan tubuh, serangan balik senjatanya
dapat ia hindari.
Burung Hantu telah cepat melompat bangkit.
Dan kali ini ia sudah melompat ke belakang tiga tombak. Tiba-tiba tertawa keras sekali hingga suaranya
terdengar berpantulan. Roro kerenyitkan keningnya.
Entah apa yang akan dilakukan si Burung Hantu ini.
Pikirnya. Tiba-tiba ia sudah hentikan lagi tertawanya,
seraya berkata;
"Nona Pendekar..! Sebaiknya kita berdamai..|
Aku sudah mengetahui dimana adanya orang kau cari.." He he he... si Peri Gunung Dempo itu aku tahu sarang tempat tinggalnya! Percayalah! Aku akan tunjukkan padamu asalkan kau mau kuajak berdamai..! Aku
memang sudah berniat merobah jalan hidupku, nona
Pendekar. Apakah kau tak ingin memberi kesempatan
padaku untuk kembali insyaf.. ?" Mendengar kata-kata
si Burung Hantu Roro Centil telah berkelebat lenyap.
Tentu saja membuat laki-laki pendek berwajah empat
persegi, yang berhidung bagai paruh burung itu jadi
melengak. Dan belum lagi ia sempat putar tubuh, telah
terdengar bentakan di belakangnya.
"Bagus, Burung Hantu..! Hayo. cepat kau tunjukkan dimana sarang wanita keparat itu! Tapi jangan
coba-coba kau berani mendustai ku..!" Serasa hampir terbang nyawanya. Karena
senjata Rantai Genit Roro
Centil telah menggubat lehernya dalam sekejap.
"Bbbb... ba... baik...! Baik..! Akan ku beritahu!
Sudahlah, simpan senjatamu. Mari kita pergi bersama
ke sarangnya..!" Menjawab si Burung Hantu.
Sementara keringat dingin sudah merembes di
sekujur tubuh. Tak berayal, Roro sudah lepaskan gubatan senjatanya di leher si Kokok Beluk itu. Tampak
si Burung Hantu paksakan diri untuk tersenyum. Kemudian cepat-cepat simpan senjatanya ke balik punggung. Yang sebentar saja sudah lenyap tertutup mantel bulu burungnya. Kemudian si Burung Hantu menjura pada Roro Centil, seperti sudah tak menganggapnya musuh lagi. Lalu berkata;
"Nona Pendekar Roro Centil..! Marilah kita berangkat kesana!"
"Hm... Baik..!" Jawab Roro. Dan si burung Han-tu segera beranjak lebih dulu
berkelebat Lalu Roro
menyusul dari belakang. Sebentar saja dua tubuh
tampak berkelebatan melintas hutan. Menembus rimba. Bahkan meniti jalan-jalan setapak. Juga melewati
beberapa anak sungai... Sementara itu tanpa setahu
Roro dua sosok tubuh terus mengikuti di belakang,
pada jarak dua puluh tombak. Kira-kira perjalanan telah ditempuh hampir sepertiga hari. Akhirnya si Burung Hantu hentikan larinya. Di hadapan mereka tampak sebuah tebing batu yang tinggi menjulang. Tampaknya si Burung Hantu ingin beristirahat dulu barang sejenak. Roro sudah bertanya seraya gerakkan
tangan ke atas dahan pohon.
"Masih jauhkan sarang si Peri Gunung Dempo
itu" Aku sudah tak sabar untuk melihat tampang wajahnya..!" Berbareng dengan pertanyaan sudah terdengar suara...
Whuutt..! Dan tampak dahan pohon di atas Roro Bergoyang. Maka meluruklah jatuh berdebukkan
buah pohon itu Lengan Roro sudah bergerak menangkapnya. Dan tak lama telah asyik mencicipi mangga
mengkal itu. Si Burung Hantu naikkan alisnya, lalu
tersenyum melihat pada Roro.
"Tidak berapa lama lagi kita akan segera sampai..!" Menyahut si Burung Hantu. Seraya memungut mangga dekat kakinya. Dan
iapun segera mengga-nyangnya. Tak berapa lama Roro sudah bangkit berdiri, dari duduknya.
"Ayolah, cepat kita teruskan perjalanan..!" Berkata Roro seraya melemparkan biji
mangga yang dagingnya telah habis digerogoti. Ternyata lemparan seperti seenaknya itu, berakibat mengejutkan bagi kedua
sosok tubuh yang menguntitnya. Nyaris saja leher si
penguntit dibalik semak kena terhantam, ketika biji
mangga itu menerobos belukar. Untung dapat terhindar. Kiranya kedua sosok tubuh di tempat persembunyiannya itu tak lain dari si Gajah Dungkul, dan si
wanita bertongkat ular alias si Ular Kobra Mata Merah.
Tak banyak cerita segera si Burung Hantu mendekati
tebing batu... Sebuah batu besar telah ia geser menggelinding. Dan terbukalah sebuah lubang...
"Silakan Nona Pendekar memasukinya. Inilah
pintu masuk ke sarang si Peri Gunung Dempo!" Berkata si Burung Hantu. Roro kerutkan alisnya. Tampaknya ia tengah menimbang-nimbang akan kebenaran
kata-kata si Kokok Beluk itu.
"Mengapa tak kau antarkan aku sampai kesana..?" Bertanya Roro. Tapi si Burung Hantu telah berkata dengan senyum jumawa.
"Bagi seorang Pendekar yang termasyhur seperti anda, kukira memang pantas untuk mencurigaiku..!
Akan tetapi apakah tidak melunturkan nama besar
anda".... Kalau sampai didengar kaum persilatan bahwa si Pendekar Wanita Pantai Selatan Roro Centil ternyata takut memasuki lubang tikus..! He he he... Apakah tidak malu?" Tentu saja kata-kata itu membuat
Roro Centil merah wajahnya. Dan ia sudah menyahuti.
"Baik..! Kau kira aku takut untuk kau jebak di
dalam lubang" Hi hi hi... Justru aku kepingin lihat ada jebakan apakah di
dalam..?" Berkata Roro Centil, seraya sudah melompat masuk. Akan tetapi pada
saat itu juga kaki si Burung Hantu telah menendang sebuah batu empat persegi di dekatnya. Seraya mendesis; "Heh..! Mampuslah kau di bawah sana..!" Pada
saat itupun terdengar teriakan kaget Roro Centil. Karena tahu-tahu batu dasar lubang yang diinjaknya telah menjeblos ke bawah. Maka tak ampun lagi seketika
tubuhnya sudah meluncur deras ke bawah. Roro tak
dapat melihat apa-apa lagi, karena keadaan sekelilingnya gelap. Sementara itu di luar goa, sudah berkelebat
menghampiri si Gajah Dungkul dan si Ular Kobra Mata
Merah. "Bagus..! Dengan jatuhnya si Pendekar Wanita itu ke tangan si Dewa
Siluman Kera. Maka akan aman-lah kita beroperasi kemana saja. Karena si Dewa
Silu- man Kera pasti akan membantu setiap usaha kita,
dengan berjasanya kita mengantarnya wanita Pendekar
itu padanya. He he he..." Berkata si Gajah Dungkul sambil tertawa menyeringai.
Si Wanita bertongkat ular
itupun tersenyum. Akan tetapi telah desiskan suaranya bernada mengolok-olok.
"Apakah kalian tak merasa kecewa, membiarkan gadis secantik itu jatuh ke tangan si Dewa Siluman Kera dan muridnya yang dijuluki si Siluman Kera
Putih itu..?" Si Burung Hantu dan Gajah Dungkul jadi tertawa gelak-gelak. Dan si
Burung Hantu sudah men-gerlingkan mata pada kawannya yang bertubuh tinggi
besar itu. "He he he... Agaknya Ular Kobra yang cantik
kawan kita ini jadi cemburu...?" "Apakah sobat Gajah Dungkul alias si Iblis
Sembilan Nyawa tak berbaik hati
untuk memberikan sedikit nafkah batin padamu, nona
Ular Kobra Mata Merah..?" Ujar si Burung Hantu lagi, seraya palingkan wajah pada
si wanita bertongkat.
Tentu saja kata-kata si Burung Hantu membuat wajah
si wanita semakin merah. Sementara Gajah Dungkul
tiba-tiba sudah berkata dengan wajah serius.
"Sebaiknya aku menyusul ke bawah... Siapa
tahu si Dewa Siluman Kera memerlukan bantuan..!".
Dan tanpa menunggu jawaban, ia sudah kelebatkan
diri pergi dari situ. Ternyata Gajah Dungkul mengambil jalan memutari tebing. Dan disana ada jalan yang
menurun ke arah lembah ngarai itu. Si Burung Hantu
cuma tertawa menyeringai. Tiba-tiba lengannya sudah
menggamit pinggang si Ular Kobra Mata Merah. Yang
tampaknya tidak menolak ketika si Burung Hantu menarik tubuhnya ke balik batu cadas. Selanjutnya...
cuma dengus-dengus nafas si Burung Hantu saja yang
terdengar. *** PRAKK..! Disertai dengan keluhan panjang.
Benda bulat panjang itu menggelinding, tinggalkan
bercak-bercak darah.
Tubuh si Burung Hantu dan si Ular Kobra Mata
Merah tampak menggelinjang beberapa saat, lalu di
Roro Centil 07 Siluman Kera Putih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
am... Dan sesosok tubuh telah meloncat dari atas tebing itu. Ternyata dia Roro Centil. Tampak si Pendekar
Wanita Pantai Selatan ini menatap ke dua tubuh yang
saling tindih dengan keadaan mengerikan. Karena kedua kepalanya telah hancur. Dan otaknya berhamburan muncrat bercampur darah, yang tampak berlepotan di dinding batu tebing itu.
"Manusia licik dan berakhlak bejat macam kalian memang sudah selayaknya mampus siang-siang,
sebelum bertambah lagi dosa kalian..!" Berkata Roro, dengan suara mendesis. Lalu
kelebatkan tubuh memutari tebing batu itu..
Apakah yang terjadi dengan Roro Centil" Kiranya ketika ia rasakan tempat pijakan kaki menjeblak
ke bawah. Tubuh Roro memang telah terbawa menjeblos. Akan tetapi kira-kira sedalam dua kali tubuh manusia, Roro gunakan kaki dan lengannya untuk menekan sisi-sisi dinding lubang rahasia itu. Yaitu dengan
merentangkan keempat anggota tubuhnya. Sementara
batu tempatnya berpijak tadi, terus meluncur deras ke
bawah Yang dalamnya entah berapa kaki. Demikianlah
ia menunggu sesaat. Dan sementara itu telinganya telah mendengar pembicaraan ketiga manusia di luar lubang goa. Ketika si Burung Hantu menggamit pinggang
si wanita tongkat ular itu, kemudian tak terdengar lagi suaranya. Barulah Roro
naik ke atas. Ternyata ia tak
keluar lagi dari tempat semula. Tapi meneruskannya
menyusuri lorong gelap di dalam goa itu. Yang ternyata
menembus sampai ke tebing. Dari atas tebing itulah ia
dapat melihat si Burung Hantu tengah saling berasyik
masyuk dengan si wanita bertongkat, hingga dengan
rasa kesal bercampur sebal, ia telah hantam keduanya
dengan batu bulat panjang yang cukup besar dari atas
tebing. Maka tak ampun lagi keduanya tewas.
Roro telah tiba di lembah ngarai yang curam
itu, setelah menuruni lereng terjal dari tebing batu
yang menjulang tinggi itu. Kini di hadapannya adalah
rimba luas yang terbentang... Ketika memandang ke
belakang, hanyalah tebing batu yang untuk melihat
ujungnya harus dongakkan kepala lebih dulu.
"Betapa curamnya lembah ini..! Apakah benar
di lembah ini tempatnya si Dewa Siluman Kera yang
mempunyai murid bergelar si Siluman Kera Putih itu..
?" Berkata lirih Roro seorang diri. Sementara diam-diam ia jadi mendongkol pada
si Burung Hantu yang
telah menipunya.
Sementara diam-diam Roro telah mencari arah
tembusan tempat lubang rahasia di bawah tebing itu.
Akhirnya ia menemukan juga lubang goa di celah batu
tebing. Akan tetapi ia jadi terkejut, karena belasan
ekor kera telah mengelilinginya. Berlompatan ke arahnya. Roro mulai bertindak waspada. Tiba-tiba entah
dari mana telah terdengar suara suitan panjang berkumandang bagai membela bukit. Suara suitan itu
berpantulan berkali-kali. Ketika tiba-tiba ratusan ekor kera tampak berbondongbondong keluar dari dalam
rimba di hadapannya. Seekor kera yang lebih mirip
manusia, berkulit putih, tanpa bulu dan ekor, telah
melompat ke hadapannya, seraya tertawa menyeringai.
Keadaannya membuat Roro melengak. Karena kera itu
memang bukan kera sebenarnya, melainkan manusia
yang mirip kera.
Apakah ini si Siluman Kera Putih itu.." Sentak
Roro dalam hati. Si Kera Putih ini sudah menggeramgeram melihat Roro. Tiba-tiba ia telah mencengkeram
untuk menerkamnya. Gerakannya gesit, Roro cepat
berkelit Akan tetapi di luar dugaan sang "kera" telah berjumpalitan cepat
sekali. Dan kembali menyambar
tubuhnya Tersentak juga Roro melihat kegesitan makhluk itu. "Grrrr... nguk! Nguk...!" Sang kera putih sudah kembali perdengarkan suara
anehnya, seraya mengangkat-angkat tangannya tinggi-tinggi. Dan melompat-lompat. Entah itu suatu isyarat. Entah memang
kelakuannya demikian... Akan tetapi tiba-tiba ratusan
kera lainnya telah menyerbu dengan suara riuh rendah. Terpaksa Roro hantamkan lengannya ke kiri dan
kanan. Terdengar jeritan-jeritan binatang itu. Dan belasan ekor kera terlempar tewas. Namun bagai tak ada
habisnya, kera-kera itu kembali mengerubuti Roro,
Terpaksa Roro tarik keluar senjata Rantai Genitnya.
Dan tubuhnya berkelebat kian kemari. Maka yang
tampak adalah kera-kera itu jatuh bertumbangan bagai diterjang oleh amukan bayangan yang tak kelihatan. Segera saja bertumpuk-tumpuk puluhan bangkai
kera berserakan.
Melihat demikian si kera putih tampak gusar
sekali. Iapun maju merangsak. Dan turut menerkam
Roro dari segala jurusan. Tiba-tiba berkelebat pula kesana sesosok tubuh yang tak lain dari si Gajah Dungkul. Tokoh hitam yang bertubuh tinggi besar itu tampak terkejut sekali melihat Roro berhasil lolos dari dalam jebakan. Tentu saja
ia sudah turut membantu
mengerubuti si Pendekar Wanita itu. Tiba-tiba terdengar suara... Brengngngng..! Brengngngng..! Brengngng..!
Ternyata ia telah bunyikan senjata anehnya. Yaitu dua
buah piling baja tipis. Yang mengeluarkan suara memekakkan telinga, akibat diadukannya kedua piring
baja tipis itu. Kera-kera lainnya segera berlompatan
menjauh. Tubuh Roro tampak bergoyang-goyang mau
jatuh. Suara keras itu seperti telah membuatnya jadi
terpengaruh. Saat itu dua terjangan senjata piring baja itu sudah menghunjam ke
arah dada dan leher. Membersit suaranya bagai ular mendesis... Namun si Gajah
Dungkul jadi terkesima, karena ia tadinya sudah merasa girang yang serangannya tak bakal lolos. Tapi
dengan gerakan seperti orang mabuk, Roro berhasil
menghindar. Sementara cengkeraman si Siluman Kera
Putih kembali mencengkeram angin. Karena Roro telah
gerakkan jurus Tarian Bidadari Mabuk Kepayang. Salah satu jurus aneh warisan dari gurunya.
Gajah Dungkul kembali menerjang dengan kecepatan kilat Sepasang senjatanya bergerak menyilang
ke arah leher. Sedang satu lagi mendesing untuk
membeset selangkangan. Serangan pertama lolos, tapi
sudah disusul oleh serangan berikutnya. Hingga Roro
tampaknya kewalahan. Dan bergerak sempoyongan
kesana-kemari. Tapi bagi orang yang mengerti, akan
memuji kagum. Karena itulah jurus yang langka di
Dunia Persilatan. Dalam mempergunakan jurus itu tidak sembarangan orang dapat melakukan. Karena haruslah orang nekat yang mempergunakannya. Karena
cuma mengandalkan perasaan saja. Sedang sepasang
mata tidak dipergunakan untuk melihat Namun semua
terjangan maut dapat ia hindarkan dengan baik. Tibatiba terdengar suara melengking tinggi dari mulut Roro
Centil. Tahu-tahu tubuhnya lenyap... Dan pada detik
berikutnya, terdengar jeritan si Gajah Dungkul. Tubuhnya terlempar dengan sepasang lengannya hancur
remuk. Sedang senjatanya terlempar entah kemana...
Kiranya Roro telah hantamkan senjata Rantai Genitnya
menabas lengan lawan.
Tampak si Gajah Dungkul terperangah menyeringai. Wajahnya pucat bagai mayat Keringat dingin
sebesar-besar jagung mengalir di dahinya. Rasa sakit
yang amat sangat itu membuatnya jadi kalap. Tiba-tiba
ia telah kembali bangkit dan menerjang hebat, disertai
teriakan paraunya. Ternyata Gajah Dungkul keras seperti besi. Hal itu tidak membuatnya bergeming. Gajah
Dungkul telah pergunakan kekuatan Gajah Sakti
Menggempur Bukit Sekejap ia telah putar tubuh, dan
bagaikan bayangan telah menerjang Roro seperti sudah kesetanan. Roro coba menahan dengan telapak
tangannya. Akan tetapi lengannya terpental terkena
serudukan si Gajah Dungkul.
"Gila..!" Tenaganya tampak semakin kuat."
Berdesis suara Roro Centil. Berkali-kali Roro menghantam kepala si Gajah Dungkul dengan si Rantai Genit.
Namun hasilnya tetap membuat ia semakin keheranan. Karena sedikit pun tidak luka, atau benjol... Apa
lagi hancur..! Bahkan tampaknya kepala si Gajah
Dungkul semakin atos alias keras. Sementara si Siluman Kera Putih terus mencoba mencari kesempatan
untuk mencengkeram Roro. Ketika itu dua terjangan
telah meluruk ke arah si Pendekar Wanita Pantai Selatan. Sepuluh jari lengan si manusia kera itu tampak
kepulkan uap putih. Dan lancarkan sergapan kilat Sedang si Gajah Dungkul menerjang dahsyat Roro jatuhkan tubuhnya miring ke samping. Tiba-tiba sebelah
kakinya menendang pantat si Gajah Dungkul. Tak ampun lagi tenaga serudukannya semakin bertambah.
Hingga batu tebing itulah yang terseruduk hancur.
Akan tetapi di bawah tubuhnya terjepit si Siluman Kera Putin, yang sudah benamkan kesepuluh jari tangannya mencengkeram jantung tubuh yang menindihnya. Terdengarlah teriakannya laksana membelah langit Tubuh manusia tinggi besar itu roboh ambruk. Dan
berkelojotan meregang nyawa. Namun sesaat kemudian telah terkulai... untuk lepaskan "sembilan" nyawanya... Manusia berjulukan
Iblis Sembilan Nyawa itu
ternyata tak dapat mempertahankan nyawanya, yang
ternyata hanya cuma satu-satunya...!
"Grrrrhh..!" Nguk..! Nguk...! Grrrrhhh..!" Tirta Menggala alias si Siluman Kera
Putih itu menyeringai.
Sepasang matanya berbinar-binar menatap Roro. Sementara sepasang lengannya terentang bersimbah darah. Tampaknya ia terkejut sekali, karena kematian si
Gajah Dungkul adalah di tangannya sendiri. Pada saat
itulah terdengar suara di kejauhan...
"Hebat..! Hebat..!" Dan tahu-tahu sudah melesat ke hadapan Roro sesosok tubuh berambut putih
beriapan. Jenggot dan kumisnya terjuntai bagai sapu.
"Siapakah anda..?" Roro sudah lantas membentak. Tampaknya si kakek pendatang itu bukannya marah. Bahkan tertawa menyeringai. Hingga yang terlihat
adalah dua buah giginya saja yang tinggal bersemayam
dalam mulutnya.
"Heh heh heh... he he... Akulah si Dewa Siluman Kera..! Ternyata Pendekar Wanita Pantai Selatan
Roro Centil seorang wanita yang cantik bagai bidadari..!" Ujarnya. "Sayang kalau buru-buru nyawanya ku pulangkan ke akhirat..! Ilmu
kepandaian mu ternyata
boleh juga, bocah manis..! He he he... sebaiknya kau
tinggal dulu bersama kami di "istana" kediamanku..!
Heh heh heh heh he he.." Sambungnya lagi. Dan mengekeh tertawa menyeramkan. Akan tetapi tiba-tiba saja
wajah menyeringainya seketika lenyap. Dan sebaliknya
kini, wajahnya jadi berubah kaku. Sepasang matanya
menatap Roro seperti mengeluarkan cahaya biru yang
membersit tajam. Sepasang matanya menatap Roro seperti mengeluarkan cahaya biru yang membersit tajam. Roro agak terpengaruh. Namun segera sadar kalau dirinya ada dalam bahaya. Ia sudah mau satukan
segenap kekuatan batinnya untuk menolak kekuatan
hebat dari sepasang mata si Dewa Siluman Kera.. Akan
tetapi terlambat sudah. Si Dewa Siluman Kera telah
membentak... "ROBOH..!" Dan aneh... Tiba-tiba Roro mengeluh pendek. Dan jatuh lemas menggeledak. Untuk selanjutnya telah tak sadarkan diri. Tampak wajah si
Dewa Siluman Kera kembali menyeringai. Dan tertawa
kembali terkekeh-kekeh. Kemudian terdengarlah suara
memerintah pada muridnya.
"Hehe... he he...he he... Ayo muridku..! Kau bawalah ia ke dalam..! Masih banyak waktu luang untuk
membunuhnya nanti..!" Dan si Dewa Siluman Kera sudah kelebatkan tubuhnya terlebih masuk ke dalam
goa. Lalu disusul oleh sang murid, dengan memondong
tubuh Roro yang telah tak berdaya itu. Akan tetapi pada saat itu Roro telah buka kembali matanya. Tiba-tiba
gerakkan kepalanya. Sekonyong-konyong rambutnya
telah meluncur, menggubat leher si Siluman Kera Putih. Selanjutnya lengan Roro telah bergerak cepat menotok di beberapa tempat. Sekejap saja tubuh Tirta
Menggala telah berubah kaku. Sementara rambut Roro
telah membuat leher si manusia kera itu tercekik. Akhirnya meneteskan darah. Terdengarlah bunyi...
Krraaakkk..! Dan ketika rambut si Pendekar
wanita Pantai Selatan bergerak menyentak. Kepala si
Siluman Kera Putih telah terlempar menggelinding ke
tanah. Roro sudah melompat dari pondongan si manusia kera itu. Tubuhnya telah kembali berkelebat menyambar sepasang senjatanya yang tergeletak di tanah. Lalu balikkan tubuh menghadap ke lubang Goa...
Segera saja sudah terlihat senyumnya diantara kedua
belah bibirnya yang mungil. Tampak ia tersenyum
puas melihat Siluman Kera Putih yang tewas dalam
keadaan berdiri. Tanpa kepala... Tiba-tiba terdengarlah suara tertawanya yang
mengikik geli terpingkal-pingkal. Dan sekejap tubuhnya telah berkelebat lenyap
dari dasar tebing itu. Namun suara tertawa itu masih
tersisa. Menggema berpantulan di dasar lembah ngarai
yang penuh peristiwa itu. Sementara burung-burung
bangkai telah bertebaran mengitari lembah penuh misteri itu, dengan suaranya berkiak-kiak... Roro Centil
sudah tak menengok ke belakang lagi. Masih banyak
waktu untuk menumpas si Dewa Siluman Kera. Apa
lagi si Pendekar Wanita Pantai Selatan ini rasakan kelelahan sekali pada sekujur tubuhnya. Ia memang belum berhasrat pulang kembali ke Tanah Jawa. Karena
masih belum ditemuinya juga manusia pembunuh Gurunya. Yaitu Peri Gunung Dempo, dan si kupu-kupu
Emas. Yang tak diketahuinya berada di daerah mana.
Roro Centil 07 Siluman Kera Putih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sambil berkelebatan itu, Roro masih sempat memanggil sahabatnya yang penuh misterius.
"TUTUL..! Adakah kau mengikutiku..?" Dan sebagai jawabannya terdengar suara menggeram di sebelahnya. Roro Centil berseru lagi...
"Bagus..! Hi hi hi... kau memang sahabatku
yang setia..!" Tiba-tiba Roro hentikan tindakan kakinya, seraya berucap;
"Tutul...! Tampakkanlah wujud mu. Aku penat
sekali..! Bawalah aku kemana kau suka.." Selesai Roro berkata. Segera saja
seekor harimau tutul yang tubuhnya hampir sebesar kerbau, tampakkan diri.
Dan., bila mentari senja mulai menggelincir ke
balik bukit, terlihatlah si Pendekar Wanita Pantai Selatan sudah berada di atas
punggung seekor harimau
Tutul yang amat besar... Yang bergerak melompat bagaikan angin. Entah kemana si Pendekar Wanita itu
dibawanya... Tapi yang jelas ia akan muncul lagi dalam
kisah petualangannya yang lain.
Sementara para pendekar lainnya di atas bumi
ini, tetap berjuang, tegakkan panji-panji kebenaran.
Tegakkan keadilan bagi kaum lemah yang tertindas..
Namun entah kapan kejahatan itu dapat lenyap dari
muka bumi ini" Walaupun demikian semangat perjuangan dari kaum Pendekar, tetap menyala sepanjang
zaman. TAMAT E-Book by Abu Keisel Balada Di Karang Sewu 3 Dewa Linglung 24 Jeratan Ilmu Iblis Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun 7
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama