Satria Gendeng 17 Badai Di Keraton Demak Bagian 2
tergelung, tapi tipis berwarna putih. Matanya celong ke dalam, memancarkan sinar
kemerahan. Bahkan entah dari mana, tahu-tahu mulutnya telah mengunyah sirih.
Prot! Seenaknya, nenek jelek ini menyemburkan
ludah sirihnya yang berwarna darah. Cairan merah meluncur, memangkas udara. Gesekannya
dengan udara menimbulkan deru angin tajam.
Crashhh! Dahsyat! Sebongkah batu reruntuhan candi yang tertembus cairan merah itu kontan berlubang amat dalam. Bagaimana dengan
tubuh ma- nusia" Bocah Tua Sakti tak ingin menjawabnya,
karena tak begitu peduli dengan tingkah konyol si nenek jelek.
"Kudengar suamimu telah mempunyai murid, Nini?" tanya lelaki tua pendek itu.
"Ya. Dia orang kerajaan. Tapi persetan dengan orang kerajaan. Maunya dihormati,
tapi kalau ada kesusahan datang ke sini," cibir si nenek jelek. "Tapikan justru
dia hendak memberontak?"
tukas Bocah Tua Sakti.
"Mana kutahu" Sejak dia berguru dengan
suamiku tak pernah kudengar rencana itu. Kau
sendiri tahu dari mana?" balik Nini Berek.
"Siang tadi aku bertemu dengan murid suamimu. Dia bercerita banyak tentang rencananya.
Bahkan aku tahu tempat tinggal kakangku justru
dari dia. Sejak kapan kalian pindah ke sini?"
"Sejak aku memergoki kakangmu bermain
serong dengan wanita lain. Enam tahun yang lalu.
Untuk menghindari agar dia tidak main serong la-gi, dia kuajak pindah ke Bukit
Menjangan ini. Ta-pi sialnya, ketika aku berkunjung ke Laut Selatan, tetap saja kesempatan itu digunakan suamiku untuk bermain cinta dengan gadis-gadis desa.
Muridnya yang orang kerajaan itulah yang selalu mencarikannya. Dia menculiknya
dari desa-desa.
Dan ketika ku pergoki lagi, barulah aku memberikan ancaman dengan tidak akan memberikan
kekuatan lagi padanya. Bahkan kalau aku mau,
ilmunya bisa kucabut sekarang juga," papar Nini Berek, semangat.
Bocah Tua Sakti jadi cengar-cengir sendiri.
Kepalanya menggeleng-geleng. Dia maklum, sejak
muda kakangnya memang selalu doyan gadisgadis desa. Itu sebabnya begitu mendengar penuturan kakak iparnya, dia tak terkejut lagi.
"Bilang pada suamimu, Nini. Jangan ikut
campur urusan kerajaan. Bisa gawat jadinya. Dan lagi, kenapa suamimu begitu
percaya dengan muridnya yang hanya beberapa tahun berguru?" ingat Bocah Tua
Sakti. Kendati lelaki tua pendek ini sebenarnya
adalah tokoh silat golongan putih, tapi amat mencintai kakangnya yang justru
dari golongan hitam. Bocah Tua Sakti sejak dulu dikenal sebagai tokoh yang selalu memerangi
keangkaramurkaan.
Hanya karena ulah kakangnya sajalah yang
membuatnya harus menyingkir ke tanah Swarnadwipa. Tanpa diketahui Bocah Tua Sakti, Ki Ageng
Wirakrama yang semula dikenalnya sebagai pendekar yang berada di jalan lurus, tahu-tahu terlibat persekongkolan dengan
beberapa datuk sesat.
Memang, Bocah Tua Sakti yang sebenarnya bernama Ageng Wiradharma tahu kalau kakaknya
doyan perempuan. Tapi itu bukan berarti harus
terjun ke dunia hitam. Ini yang amat disesalinya.
Bahkan setelah kawin dengan Nini Berek,
Ki Ageng Wirakrama dan beberapa datuk sesat
lain, terlibat dalam pembunuhan beberapa tokoh
putih. Bocah Tua Sakti makin serba salah. Bila
ikut memerangi, berarti harus berhadapan dengan kakaknya. Bila tidak, berarti harus ingkar da-ri sumpahnya sebagai pendekar
pembela keadilan
dan penumpas keangkaramurkaan.
Pikir punya pikir, akhirnya Ki Ageng Wirakrama menyingkir ke seberang. Tepatnya, ke tanah Swarnadwipa. Di sana dia mengabdi di Kerajaan Tulang Bawang.
Sebenarnya, apa yang membuat Ki Ageng
Wirakrama terjerumus dalam dunia hitam" Harta
dan wanita. Nafsu macam itu yang sampai saat ini tak
pupus dari hati Ki Ageng Wirakrama. Kalau sekarang lelaki tua suami Nini Berek itu terlihat seperti orang papa, itu tidak lain
hartanya telah kandas di meja judi. Lalu sejak kawin dengan Nini
Berek, nafsunya terhadap harta lenyap begitu sa-ja. Tinggal nafsunya terhadap
wanita saja yang
masih menggelora dalam dada.
Merasa rindu pada kakangnya, membuat
Bocah Tua Sakti kembali ke tanah Jawadwipa.
Tujuh tahun baginya cukup sudah untuk melupakan peristiwa memalukan yang dibuat Ki Ageng
Wirakrama. ENAM HIDUP atau mati.
Itu pilihan yang harus dibuat Satria Gendeng. Napasnya kian sesak. Matanya mendelik
liar. Cekikan sinar hijau pada leher dan dadanya makin ketat. Nasib Satria
Gendeng benar-benar
bagai telur di ujung tanduk.
"Hia ha ha.... Tamat riwayatmu, Bocah
Sinting! Sebentar lagi Kail Naga Samudera akan
berpindah ke tanganku!" seru Ki Ageng Wirakrama, pongah.
Di saat yang begini, si anak muda jadi teringat waktu bertarung dengan Nini Jonggrang.
Dengan ilmu gaibnya, wanita itu berhasil mencekiknya hingga nyaris mau mampus. Untungnya,
ada bisikan halus di telinga Satria untuk mening-katkan semadinya. Dan akhirnya,
Satria bisa memenangkan pertarungan. (Baca serial Satria
Gendeng dalam episode : "Kiamat di Goa Sewu").
Tapi jenis serangan yang membelit leher
Satria berlainan dengan yang dilakukan Nini
Jonggrang. Bila Nini Jonggrang berupa ilmu sihir, maka apa yang dilakukan Ki
Ageng Wirakrama
hanya sejenis ajian. Bila ilmu sihir harus dilawan dengan kekuatan batin lewat
semadi, maka ajian
harus dilawan dengan kekuatan tenaga dalam.
"Lihat, Orang-orang Demak! Nyawa pemuda ini sebentar lagi akan terdepak dari raganya
oleh ajian 'Jerat Setan'-ku. Kukira sekarang aku-lah yang akan menguasai dunia
persilatan! Hua
ha ha...."
Tawa pongah Ki Ageng Wirakrama membelah udara. Menggetarkan semua orang yang menyaksikan si pemuda perkasa bergelut dengan
maut. Menggeliat-geliat dengan mata melotot. Apa yang akan dilakukan Satria"
Menyerah" Pasrah"
Tidak! Itu tak ada dalam kamus hidup si
pendekar muda. Justru dalam keadaan begini,
kemarahannya makin memuncak. Menggelegak,
hampir membuncah. Hal inilah yang membuat gejolak tenaga sakti dalam tubuhnya makin luar biasa. Di dorong kemarahan luar
biasa, tenaga sakti Satria makin berlipat ganda entah berapa
kali. Dan hal inilah yang tak disadari Ki Ageng Wirakrama. Kesombongan telah
menutup akal-nya. Kepongahan membuatnya ingin cepat-cepat
menghabisi lawan mudanya. Akan digempurnya
dada si pemuda dengan pukulan maut terakhirnya. Merasa yakin dengan keputusannya, lelaki
tua bangka ini meluruk menerjang. Tangan kanan
yang masih mengendalikan sinar hijau telah terkepal. "Kheaaa...!"
Dikawal teriakan menggila, tangan terkepal
Ki Ageng Wirakrama menderu ke arah dada Satria. Saat itu juga....
"Khuaaa...!"
Teriakan tak kalah menggila terlontar dari
kerongkongan si anak muda. Sentakan tenaga
sakti berlipat ganda yang mendekam dalam tubuhnya membuatnya mampu melepaskan diri dari cengkeraman sinar-sinar hijau yang membelitnya. Sinar-sinar hijau lenyap entah ke mana.
Sementara Ki Ageng Wirakrama telah telanjur melepaskan pukulan mautnya.
Sejari lagi pukulan datang, Satria Gendeng
mengangkat tangan kirinya untuk memapak pukulan. Sedang tangan kanannya bergerak menghantam dada keropos si tua bangka yang tak menyangka kalau lawan mudanya dapat membebaskan diri dari belitan sinar-sinar hijaunya.
Dash! Tubuh keropos Ki Ageng Wirakrama seketika melayang deras ke belakang. Hantaman lawan
mudanya yang saat itu tengah dialiri tenaga saktinya membuat dadanya jebol
seketika. Darah hitam pun berceceran sepanjang luncuran tubuhnya. Dua puluh tombak dari tempat semula, tubuh Ki Ageng Wirakrama jatuh mencium tanah.
Menggeliat-geliat sebentar, lalu diam sama sekali.
Mati dengan dada ambrol.
Perlahan namun pasti rahang kaku Satria
mengendur. Sorot matanya tak segarang tadi. Desah napas lega tersembur dari mulut dan hidungnya. Desah napas lain pun ikut terhembus dari
mulut dan hidung orang-orang yang ada di tempat ini. "Adi Satria...." Sebuah suara panggilan menyentak keterpanaan Satria
Gendeng pada hasil
serangannya. Si pemuda menoleh. Bibirnya segera membuat senyum yang ditujukan pada orang yang
memanggilnya. Mahapatih Bagaspati.
"Kang Bagaspati.... Wah, sudah naik pangkat rupanya. Kulihat pakaian yang kau kenakan
beda dengan beberapa waktu yang lalu," celoteh si pemuda, seolah telah melupakan
pertarungannya yang mendebarkan barusan. Malah masih sempat-sempatnya meledek.
"Kembali..., kembali kau berjasa pada Kerajaan Demak. Kau patut mendapat penghargaan
lagi, Adi. Aku sungguh kagum padamu.... Apa kabarmu, Adi. Mari-mari, kuajak kau bertemu dengan Kanjeng Gusti Prabu Sutawijaya," cerocos Mahapatih Bagaspati, tak dapat lagi
menahan ke-gembiraannya mendapat pertolongan si anak muda yang sudah dianggap sebagai adik kandungnya. "Sabar..., sabar, Kang. Aku punya berita buruk buatmu," ujar Satria, tak
ingin terburu-buru. "Kabar buruk apa?" cekat Mahapatih Bagaspati.
"Pemberontakan."
"Pemberontakan apa"! Ah, kau jangan bercanda, Adi Satria. Siapa yang hendak memberontak?" "Di Kerajaan Demak ada yang bernama
Ganang Laksono?"
"Ada. Memang kenapa?"
"Dialah orang yang hendak memberontak."
"Apa"!"
* * * Kadipaten Kutowinangun di pagi hari.
Roda kehidupan mulai berputar.
Matahari bersinar menepis awan samar.
Arya Wadam tiba di gerbang kadipaten. Sikapnya yang ragu-ragu justru mengundang kecurigaan dua prajurit yang berdiri menjaga gerbang.
Prajurit yang berkumis lebat maju beberapa tindak. Tampangnya dibuat segalak mungkin. Biji
matanya dilebarkan.
"Apa yang hendak kau perbuat di sini, Cah
Ayu?" tegur si penjaga berkumis, sok galak.
"Aku hendak bertemu Adipati Kutowinangun," sahut Arya Wadam pendek.
"Wah, tidak sembarang orang bisa bertemu
Kanjeng Adipati. Ada keperluan apa kau ingin
bertemu dengannya?" cecar si prajurit. Sikapnya dibuat sewibawa mungkin.
"Urusan penting."
"Bah! Orang macam kau punya urusan
penting dengan Kanjeng Adipati" Sayang, beliau
tak punya waktu untuk mengurusi orang macam
kau. Kalau orang macam kau paling hanya urusan perut. Sudah sana pergi. Untung kau perempuan. Kalau lelaki sudah kudepak dari tadi!" usir si prajurit makin keterlaluan.
Gigi-gigi Arya Wadam bergemelutuk. Cukup sudah penghinaan ini. Prajurit satu ini tampaknya hanya mau menunjukkan
kalau dirinya perlu ditakuti. Perlu dihormati sebagai tameng
kadipaten. Terutama perlu dihormati oleh wong
cilik macam Arya Wadam. Cuma saja caranya salah. Ini yang harus dibenahi.
"Kuharap kau bisa menjaga mulut kotormu, Prajurit. Kadipaten tak butuh manusia galak, tapi butuh manusia digdaya dan
berwibawa demi menjaga keharuman kadipaten," jawab Arya Wadam lugas. Sekaligus menohok perasaan
si praju- rit. Membeliaklah mata prajurit berkumis lebat
ini. Setan! Begitu makinya. Bocah perempuan ini telah menghinaku! Kemarahan si
prajurit pun membludak. "Laknat! Kau berhadapan dengan prajurit
Kadipaten Kutowinangun, tahu," teriak si prajurit berkumis, kalap. Saking keras
kata-katanya, percikan ludahnya pun ikut meluncur dari mulut.
Satria Gendeng 17 Badai Di Keraton Demak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku memang bukan berhadapan dengan
anjing buduk. Tapi berhadapan dengan anjing
kadipaten yang cuma mengandalkan kegalakan
untuk menakut-nakuti wong cilik. Bukan begitu,
Prajurit?" gumam Arya Wadam, enteng.
Makin murka saja si prajurit.
"Sarpan! Bantu aku meringkus perempuan
tengik ini!" teriaknya, pada prajurit lain yang masih berdiri memperhatikan dekat pintu gerbang.
Jelas sudah kalau nyali si prajurit berkumis ternyata hanya seujung kuku. Buktinya, untuk meringkus seorang wanita saja masih butuh
bantuan temannya. Bukankah itu pengecut namanya" Hanya karena si prajurit terlalu bernafsu, sehingga kata-kata itu
meluncur begitu saja dari mulutnya.
"Masa' meringkus seorang perempuan saja
kau butuh teman, Rungkut" Kau bilang, kau pernah mengalahkan gembong perampok Hutan Kemanjen?" ledek si prajurit yang dipanggil Sarpan.
Baru prajurit bernama Rungkut menyadari
kebodohannya. Artinya, secara tak langsung dia
buka rahasia kalau ceritanya pada Sarpan hanya
isapan jempol belaka. Dan itu sekaligus menunjukkan kepengecutannya terhadap Arya Wadam.
Bukankah mustahil kalau meringkus gembong
perampok berani, tapi menghadapi wanita muda
seperti Arya Wadam gentar"
Sepertinya, hal itu wajar saja. Sebab, diamdiam waktu bicara tadi Arya Wadam mengerahkan tenaga dalam pada kedua matanya. Sehingga
waktu prajurit Rungkut memandangnya, nyalinya
sedikit terdepak. Bahkan dalam tubuhnya seperti ada getaran-getaran aneh yang
membuatnya bergidik. "Setan kau, Sarpan! Baik! Akan kubuktikan kalau aku mampu
meringkus kucing betina
ini!" maki prajurit Rungkut.
Di ujung kalimatnya, prajurit Rungkut menyodokkan tombaknya ke perut Arya Wadam.
Menurut perhitungannya, mata tombaknya jelas
akan menembus sasaran. Keyakinannya timbul,
karena calon korbannya seperti tak bergemik sedikit pun dari tempatnya.
Wutt! "Hiih!"
Sejari lagi tombak menghujam, perut si gadis surut ke belakang. Mata tombak memang
menghujam ke perut, tapi tertahan dilipatan perut. Seolah, mata tombak terjepit di antara dua buah batu yang amat keras.
Pengerahan tenaga
dalam Arya Wadam-lah yang membuat mata tombak seperti terjepit tak dapat tercabut lagi.
Mata si prajurit berkumis mendelik. Tak
percaya melihat tombaknya seperti tak berpengaruh apa-apa bagi lawan. Dan sebelum si prajurit menuntaskan keheranannya, tangan
Arya Wadam telah bergerak menghantam batang tombak.
Tak! Tombak patah jadi dua bagian. Bagian
yang terjepit di perut Arya Wadam mendadak tersentak. Meluncur ganas setelah Arya Wadam menegangkan otot-otot perutnya. Sungguh suatu
permainan tenaga dalam yang sangat luar biasa
di mata si prajurit.
Sebisanya, prajurit Rungkut membuang
tubuh kalau tak mau terhajar luncuran potongan
tombak yang disentakkan lewat perut lawan. Dan
selagi tubuhnya bergulingan, lawan telah mengejar. Tepat ketika berdiri, sodokan dengkul Arya
Wadam telah mendahului.
Beghk! Mantap, dengkul Arya Wadam mendarat di
perut si prajurit pongah. Mata si prajurit kembali mendelik. Mulutnya meringis
serba salah. Rasa
mual luar biasa mengaduk-aduk perutnya. Apes
nasibnya kali ini. Lebih apes lagi, jatuh terduduknya tepat di atas batu agak
runcing. Akibatnya, makin melotot saja matanya. Batu runcing
itu kurang ajar sekali menelusup ke..., ah, makin seru saja ringisannya.
"Hei, kau apakan temanku!" teriak prajurit Sarpan, terbengong-bengong.
"Dia terlalu pongah untuk dijadikan prajurit. Dan aku hanya sedikit memberi pelajaran
agar sedikit bisa menghargai wong cilik," sahut Arya Wadam, tenang.
Si prajurit Sarpan kembali menoleh ke arah
temannya. Antara rasa iba dengan rasa senang
bercampur jadi satu. Iba karena hal itu terjadi pada temannya. Senang, karena
dengan begitu prajurit Rungkut tak lagi omong besar. Sebab selama ini, prajurit Rungkut memang
dikenal seba- gai prajurit yang cuma pintar ngomong, galak, sekaligus pongah.
Di dada prajurit Sarpan sendiri sebenarnya
telah timbul kegentaran yang amat sangat melihat kedigdayaan wanita yang
ternyata tak bisa dianggap remeh ini. Namun dia berusaha menenangkan perasaannya.
"Sebenarnya, Nona mau ketemu siapa?"
tanya prajurit Sarpan, berusaha ramah.
"Aku ingin bertemu Adipati Kutowinangun,"
sahut Arya Wadam, tegas.
"Beliau ada. Tapi...."
"Biarkan dia masuk, Prajurit!"
Sebuah suara tegas memenggal kata-kata
prajurit Sarpan, Saat itu juga si prajurit menoleh, lalu langsung menjura.
Inikah Adipati Kutowinangun" Seketika
timbul pertanyaan di hati Arya Wadam. Dan jantungnya pun berdebar-debar....
* * * "Kenapa kakangku belum pulang juga" Ke
mana dia sebenarnya?" tanya Bocah Tua Sakti berkata-kata sendiri.
Semalaman lelaki tua pendek ini menunggu Ki Ageng Wirakrama. Sambil menunggu, dia
berbincang-bincang dengan kakak iparnya, Nini
Berek. Tapi yang ditunggu-tunggu ternyata tak
muncul juga. Bahkan sampai Nini Berek tertidur, Bocah Tua Sakti masih setia
menunggu. Kerinduan selama tujuh tahun dipendam
membuat Ki Ageng Wiradharma begitu ingin bertemu kakaknya. Dan dia rela tak memejamkan
mata hanya untuk menanti sang kakak.
Semalam, Bocah Tua Sakti pun memohon
pada Nini Berek agar menasihati suaminya untuk
tidak terlibat dengan urusan kerajaan. Tapi perempuan tua jelek itu seperti tak peduli. Bahkan
dia bertekad untuk ikut membantu suaminya kalau memang dianggap perlu. Karena selama ini
perempuan itu percaya kalau hanya untuk menghadapi orang-orang kerajaan, Ki Ageng Wirakrama bisa mengatasinya.
Mendapat jawaban tak peduli dari mulut
Nini Berek, Bocah Tua Sakti kecewa berat. Padahal, dia ingin kakangnya bisa berubah untuk
meninggalkan dunia sesat. Tapi justru jawaban
Istri kakaknya ini seolah malah kian menjerat Ki Ageng Wirakrama terjerat dalam
kegelapan. Sampai pada akhirnya lamunan Ki Ageng
Wiradharma terpenggal oleh....
"Gawat! Gawat...! Bocah Tua Sakti! Kemari
cepat!" Teriakan meledak-ledak terdengar dari mulut Nini Berek. Dari nada
suaranya Bocah Tua
Sakti bisa menafsir kalau perempuan tua jelek itu tengah kalap bukan main. Maka
cepat tubuhnya beringsut bangkit. Mantap, kakinya melangkah
menghampiri Nini Berek yang tidur di sebuah batu bekas reruntuhan candi.
"Ada apa, Nini" Kenapa kau tampak kalap
begitu?" tanya Bocah Tua Sakti, heran.
Prot! Bukannya menjawab, Nini Berek malah
menyemprotkan ludah sirihnya yang tak pernah
lepas dari mulut kendornya. Dari duduknya di
atas batu, dia melompat turun.
"Aku mendapat firasat tak enak, Wiradharma! Aku melihat Kakang Ageng Wirakrama dibawa seekor naga raksasa," lapornya meledak-ledak. "Hah"! Jadi Kakang Ageng
Wirakrama telah datang, Nini" Kapan datangnya" Kok aku tak melihat. Dan kenapa
kau biarkan naga itu membawanya pergi"!" ledak Bocah Tua Sakti, bertubi-tubi. Nyaris tak memberi
kesempatan Nini Berek
menarik napas. "Dalam mimpi, Goblok!"
Tak tahan lagi, tongkat di tangan Nini Berek bergerak ke kepala Bocah Tua Sakti.
Tak! "Adaaaooo! Kenapa kau pukul aku, Nini"
Kau sendiri yang bilang kalau Kakang Ageng Wirakrama dibawa seekor naga raksasa!" sergah Bocah Tua Sakti. Mulutnya meringisringis, merasakan sakit berdenyut-denyut di kepalanya.
"Iya, tapi ini hanya dalam mimpi!"
"Lho" Memang bangsa siluman bisa bermimpi?" "Memang hanya manusia saja yang boleh
bermimpi"! Hanya bedanya, bangsa siluman bisa
memilih mimpi. Sedangkan bangsa manusia tidak. Bila aku bisa memilih mimpi enak-enak, kau tak bisa mengelak dari mimpi
buruk!" jelas Nini Berek. "Lha, buktinya kau mimpi buruk?" tukas Bocah Tua Sakti
tak mau kalah. "Yang ini lain. Mimpiku sekarang ini berupa firasat. Bukan mimpi biasa. Ketika aku minta mimpi bertemu Kakang Ageng
Wirakrama, justru
yang muncul sangat mengerikan. Kakang Ageng
Wirakrama telah dibawa seekor naga amat besar.
Jelas, ini pertanda buruk!"
Bocah Tua Sakti tercekat. Pertanda apa
ini" Tanyanya dalam hati. Seolah ingin mendapatkan penjelasan dari perempuan tua jelek itu, matanya terus menghujam ke biji
mata celong Ni-ni Berek.
"Mau apa kau lihat-lihat"! Naksir, ya"!"
bentak Nini Berek.
Naksir katanya" Ya, ampun! Orang gila saja mungkin akan berpikir dua kali untuk melihat wajah Nini Berek. Dan lagi,
bisa-bisanya dia berkata begitu sementara katanya tadi mendapat firasat jelek. Ah, dasar perempuan siluman! Seru
Bocah Tua Sakti, tatap dalam hati.
"Iya, tapi pertanda buruk apa" Tolong jelaskan, Nini!" desak Bocah Tua Sakti, tak sabar.
Tatapannya penuh tuntutan.
"Itu berarti umur suamiku tak panjang. Bisa jadi malah sudah tewas," sahut perempuan jelek itu, terus terang.
"Kau jangan bercanda, Nini!"
"Apa kau lihat aku sedang bercanda?" cibir si nenek jelek.
"Kira-kira, di mana suamimu tewas"!" kejar Bocah Tua Sakti.
"Hm..., ya. Tunggu..., tunggu. Kuingatingat dulu tempat yang tergambar dalam mimpiku
itu...." Si nenek jelek memejamkan matanya. Kepalanya mengangguk-angguk. Bukan. Maksudnya
bukan setuju kalau suaminya tewas. Dia mengangguk karena memang mau mengangguk. Sekaligus, mengingat-ingat di mana tempat yang
tergambar di mimpinya.
"Di mana, Nini?" usik Bocah Tua Sakti.
"Apanya?" Si perempuan jelek malah balik bertanya.
"Lho" Bukannya kau sedang mengingatingat tempat suamimu dibawa oleh seekor naga
raksasa" Di mana tempatnya"!" semprot Bocah Tua Sakti, sewot.
"Wah, aku salah mengingat-ingat. Yang
timbul dalam pikiranku malah tempat di mana
aku pertama kali merasakan nikmatnya malam
pertama. Tunggu..., tunggu...."
Jawaban Nini Berek makin membuat dongkol Bocah Tua Sakti. Kepalan tangan centeng pun kalah besar dengan rasa dongkol
di lehernya. "Hm, ya! Aku ingat. Di Bukit Srondol. Tepatnya, di kaki bukit itu!" sentak Nini Berek.
"Kalau begitu, aku sekarang juga mohon
pamit. Aku harus cepat ke Bukit Srondol. Siapa
tahu Kakang Ageng Wirakrama masih sehat
wal'afiat!"
Di ujung kalimatnya, Bocah Tua Sakti itu
menyentak kakinya. Seketika tubuhnya telah meluncur cepat. Arahnya, Bukit Srondol.
"Taruhan, aku bakal sampai lebih dahulu,
Wiradharma!" teriak Nini Berek bertabiat aneh itu.
TUJUH SETELAH diterima oleh Kanjeng Gusti Prabu Sutawijaya di pendopo Keraton Demak, Satria
dipersilakan untuk berbincang-bincang dengan
Mahapatih Bagaspati di Taman Sari. Sekalian,
melepas rindu pada orang penting di kerajaan ini yang sudah dianggap sebagai
kakak kandungnya
sendiri. "O, jadi Kanjeng Susuhan telah wafat beberapa waktu yang lalu, ya Kang?" buka Satria.
"Ya, begitulah. Namanya juga umur. Dan
lagi, Kanjeng Susuhan memang sudah sangat
tua," desah Mahapatih Bagaspati.
"Maaf, Kang, Aku sungguh baru mendengar
kabar itu dari mulut Gusti Prabu tadi," ucap Satria, polos.
"Sudahlah. Aku dan Kanjeng Gusti Prabu
memaklumi kalau kau senang berpetualang. Dan
yang penting sekarang, memikirkan siasat yang
akan kita jalankan untuk menghadapi Ganang
Laksono.... Hmm, tak kusangka. Di balik diamnya manusia itu tersimpan maksudmaksud busuk,"
Satria Gendeng 17 Badai Di Keraton Demak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gumam Mahapatih Bagaspati.
Tadi, di pendopo Satria Gendeng sudah diberi penjelasan siapa itu Ganang Laksono. Menurut penjelasan Mahapatih Bagaspati, Panglima
Ganang Laksono sudah lama mengundurkan diri
dari jabatan panglima. Tepatnya, dua bulan setelah adik kandungnya dihukum mati oleh pihak
kerajaan karena tertangkap basah berzina dengan istri orang.
Semula pihak kerajaan tak berprasangka
buruk atas pengunduran diri Panglima Ganang
Laksono. Namun kecurigaan sedikit demi sedikit
mulai muncul setelah sekian tahun Panglima Ganang Laksono lenyap seperti ditelan bumi.
Dan begitu Satria menceritakan tentang
apa yang diceritakan Arya Wadam mengenai akan
adanya pemberontakan, kecurigaan pihak Kerajaan Demak makin beralasan. Dan itu artinya, kerajaan dalam keadaan genting.
"Tapi, Kang. Aku belum jelas benar mengenai kunjungan Gusti Prabu Sutawijaya ke Kadipaten Kutowinangun," Satria mengalihkan pembicaraan. Sikap Mahapatih Bagaspati
benar-benar seperti seorang kakak pada adik kandungnya. Direngkuhnya bahu kekar si anak muda perkasa
yang duduk di sampingnya.
"Memangnya tadi kau tak memperhatikan
penjelasan Gusti Prabu?" tanyanya.
Satria menggeleng perlahan. "Perhatianku
saat itu justru pada wajah Dewi Sekardadu, putri Kanjeng Gusti Prabu. Kalau
kuperhatikan, wajahnya mirip..., mirip..., Arya Wadam. Ya! Aku kok ingat
sekarang"! Betul! Wajahnya mirip Arya Wadam temanku!" cerocosnya, meledak-ledak.
Mahapatih Bagaspati jadi heran. Kenapa
anak muda di sampingnya ini mendadak jadi sawan begitu" Setan apa yang merasukinya" Lebih
sinting lagi, dicengkeramnya bahu Mahapatih Bagaspati dan diguncang-guncangkan dengan keras.
"Hei, hei! Apa-apaan kau ini, Adi Satria! Lihat! Kau jadi pusat perhatian para
prajurit di sekitar Taman Sari ini! Apa kau tak malu bertingkah begitu?" tegur Mahapatih Bagaspati antara kesal campur geli. Malah kalau
bisa campur racun. "Maaf, Kang. Aku terlalu gembira. Tapi, apa bergembira di
sini dilarang?" Satria melepaskan cengkeramannya di bahu Mahapatih Bagaspati.
"Ya, boleh saja. Tapi jangan sampai kalap
begitu," Mahapatih Bagaspati menggeleng-geleng.
"Lantas, apa yang membuatmu gembira?" susul-nya. "Anu, Kang. Anu...," Satria
malah tersengal.
"Tadi aku sudah cerita tentang temanku yang bernama Arya Wadam, kan?"
Satria menepuk jidatnya sendiri. "Maaf,
aku lupa. Maksudku, aku tadi menyinggung sedikit tentang temanku yang bernama Arya Wadam.
Nah, temanku itu mengaku telah dibuang oleh
kedua orangtuanya di sebuah hutan. Dia lalu diketemukan oleh seorang tokoh silat wanita yang
konon kabarnya awet muda. Singkat cerita, begitu telah besar dan muncul di dunia
persilatan, Arya Wadam bertemu denganku. Tapi karena suatu
persoalan, dia meninggalkan ku. Lantas sekarang, ketika tadi aku melihat wajah
Dewi Sekardadu,
ternyata wajahnya mirip sekali dengan Arya Wadam. Jangan-jangan!"
"Bisa jadi, Adi Satria!" potong Mahapatih Bagaspati langsung menangkap jalan
pikiran Satria Gendeng. "Nah, sebaiknya kembali ku jelaskan dulu cerita Kanjeng
Gusti Prabu tadi."
* * * Sewaktu masih menjadi Putra Mahkota,
Sutawijaya telah mempunyai dua orang anak
kembar. Anak yang lahir pertama diberi nama
Dewi Sekarputri. Sedangkan adik kembarnya bernama Dewi Sekardadu. Menurut adat tanah Jawa, jika salah satu bayi ingin selamat, maka harus dipisahkan hingga menjelang
dewasa. Maka diputuskanlah Dewi Sekarputri si
anak pertama untuk dititipkan pada Adipati Kutowinangun. Setiap setahun sekali, utusan kerajaan datang untuk menanyakan perkembangan
Dewi Sekarputri. Dan dari pihak kadipaten selalu menjawab bahwa keselamatan Dewi
Sekarputri selalu terjaga. Dan menurut penjelasan pihak kadipaten Dewi Sekarputri tengah
dititipkan pada
seorang resi untuk dididik budi pekertinya, serta ilmu olah kanuragan.
Selama delapan belas tahun Sutawijaya
percaya dengan penjelasan pihak kadipaten. Karena selama itu Sutawijaya tak boleh menengoknya kecuali usia Dewi Sekarputri telah genap delapan belas tahun, maka baru
beberapa hari yang lalu Sutawijaya bisa menengok putri sulungnya.
Tapi apa yang didapat"
Nihil. Ketika Sutawijaya yang kini telah memegang tampuk kekuasaan di Kerajaan Demak berkunjung ke Kadipaten Kutowinangun yang saat
itu sudah dijabat putranya, sang adipati baru
menjelaskan keadaan sebenarnya. Bahwa, sejak
masih bayi Dewi Sekarputri telah diculik oleh seorang tokoh sesat bernama Setan
Penyair. Dengan tersedu-sedu, Adipati Kutowinangun lama memohon ampun. Dia berusaha menjelaskan kalau pihak kadipaten telah menyediakan
uang tebusan untuk si penculik. Tapi entah kenapa, tokoh berjuluk Setan Penyair itu justru tak kembali-kembali lagi.
Kiprahnya seolah lenyap
bersama sang jabang bayi.
Untuk melegakan hati Sutawijaya, Adipati
Kutowinangun terpaksa berdusta dengan mengatakan bahwa Dewi Sekarputri tengah dititipkan
pada seorang resi. Sampai jabatannya diserahkan pada anaknya, Adipati
Kutowinangun lama berpe-san kepada Adipati Kutowinangun yang baru agar
merahasiakan hal tentang Dewi Sekarputri sampai Gusti Prabu Sutawijaya datang.
Untung saja, Gusti Prabu Sutawijaya berjiwa besar. Dia menganggap, Adipati Kutowinangun
lama tidak bersalah. Karena kejadian penculikan itu toh di luar perkiraannya.
Dan lagi, Adipati Kutowinangun waktu itu telah berusaha menyediakan uang tebusan, sekaligus mencari tokoh bernama Subali alias Setan Penyair.
Sepulang dari Kadipaten Kutowinangun,
rombongan Gusti Prabu Sutawijaya yang didampingi Mahapatih Bagaspati serta Panglima Darma
Kusuma dicegat tokoh sesat yang mengaku bernama Ki Ageng Wirakrama.
* * * "Dan manusia sesat itu akhirnya dapat kau
kalahkan, Adi Satria," Mahapatih Bagaspati menatap kagum pada anak muda di
sampingnya. Yang ditatap malah seperti tak peduli. Matanya menerawang pada bayang semu. Bayangbayang yang menggelitiknya ke arah kisah pertemuannya dengan Arya Wadam yang semula disangka seorang lelaki. Dan begitu tudung Arya
Wadam dibuka, terperanjatlah si anak muda.
Satria Gendeng tersenyum-senyum sendiri
membayangkan betapa cantiknya Arya Wadam.
Sayang si pemuda saat ini telah mempunyai kekasih yang juga tengah berpetualang dalam dunia persilatan. Tresnawati namanya.
Dan mereka telah berjanji bulan purnama nanti akan bertemu
di Tanjung Karangbolong.
"Hei, kau melamun, Adi Satria?" Mahapatih Bagaspati mengibas-ngibas telapak
tangannya di depan wajah Satria.
Tebakan lelaki ini memang tepat. Tapi akibatnya bayangan wajah Tresnawati malah terusir
seketika itu juga.
"Sekarang aku yakin, Arya Wadam jelas
kembarannya Dewi Sekardadu," kata Satria, seperti berkata untuk dirinya sendiri.
"Aku pun juga berpikiran demikian, Adi.
Tapi di mana sekarang Arya Wadam?"
"Iya, ya. Di mana dia sekarang, ya" Waktu
meninggalkan ku di kedai dekat Desa Sedayu, dia dalam keadaan marah. Aku
berusaha menca-rinya, tapi hasilnya nihil," desah Satria.
Sejenak suasana terkepung keheningan.
Bungkam. Tak ada yang bersuara.
Mendadak. "Chi-huiii...!" lonjak Satria tiba-tiba.
"Ada apa, Adi?" Malah Mahapatih Bagaspati yang terheran-heran.
Tingkah bocah bertabiat sinting itu memang kebangetan....
* * * Di pendopo kadipaten, Arya Wadam duduk
berhadapan dengan seorang lelaki berusia sekitar empat puluh delapan tahun.
Gagah, menampakkan kewibawaan. Wajahnya cukup tampan dengan kumis tipis menghias di bawah hidungnya.
Pakaiannya indah, sebagaimana layaknya adipati.
"Apa maksudmu mencariku, Arya"!" tanya lelaki tampan yang memang Adipati
Kutowinangun, setelah sebelumnya menanyakan nama si
gadis. "Aku hendak mencari keterangan tentang kedua orangtua ku. Menurut guruku,
kedua orangtua ku berasal dari kadipaten ini. Atau malah bisa jadi adipati di
kadipaten ini," jelas Arya Wadam, terus terang.
"Aku adipati di sini. Tapi semua anakku la-ki-laki. Jadi bagaimana maksudmu?"
"Menurut guruku, waktu aku masih bayi,
aku diculik oleh tokoh sesat berjuluk Setan Penyair. Lalu oleh Setan Penyair,
aku dibuang di sebuah hutan, hingga kemudian ditemukan oleh
guruku," Jelas Arya Wadam.
Adipati Kutowinangun tersentak. Ingatannya langsung tertuju pada peristiwa sekitar delapan belas tahun yang lalu. Saat
itu, kedua orangtuanya dititipi seorang bayi perempuan oleh Gusti Prabu
Sutawijaya. Baru beberapa hari, si jabang bayi telah diculik oleh Setan Penyair.
Kejap berikutnya, tatapan Adipati Kutowinangun yang bernama Brata Wisnu ini menatap
Arya Wadam. Pandangannya seolah menyelidik.
Tapi sejurus kemudian senyumnya terkembang.
Sulit mengartikan senyum lelaki itu.
"Aku tidak bermaksud membenarkan, tapi
juga tidak bermaksud menyalahkan. Memang kuakui, kedua orangtua ku memang pernah dititipi bayi perempuan yang kemudian
diculik oleh Setan Penyair. Bayi itu adalah anak dari Gusti Pra-bu Sutawijaya.
Tapi mohon kau mengerti. Dunia
ini penuh tipu muslihat. Bisa saja ada seseorang yang mengaku-aku sebagai anak
raja, yang pada
akhirnya ternyata bukan. Sedihnya lagi, orang itu menyimpan maksud-maksud
tertentu, mengeruk
keuntungan dari peristiwa yang terjadi. Misalnya peristiwa yang dialami...."
"Cukup!" potong Arya Wadam. "Kedatanganku ke sini bukan bermaksud mengemisngemis agar diakui anak! Aku sudah cukup bahagia hidup menyatu dengan alam. Kedatanganku
ke sini hanya sekadar membuktikan, apakah kedua orangtua ku masih ada atau tidak. Kanjeng Adipati jangan menuduh yang bukanbukan!" sentaknya, geram bukan main.
"O, o, o.... Jangan salah paham, Arya. Aku tidak bermaksud menuduhmu begitu,"
Adipati Brata Wisnu menggerak-gerakkan telunjuknya di
depan wajah. "Justru aku merasa berterima kasih kau mau datang ke tempat ini.
Melihat kepan-daianmu tadi dalam menjatuhkan prajuritku dengan mudah, aku yakin kalau kau adalah seorang
tokoh persilatan. Maka aku benar-benar mendapat penghargaan didatangi pendekar macam kau.
Dan soal kedua orangtuamu, jangan khawatir.
Nanti bisa kita buktikan setelah kau kupertemukan dengan kedua orangtua ku. Karena, beliaulah yang waktu itu dititipi oleh
Gusti Prabu. Kau setuju?" Senyum ramah Adipati Kutowinagun terkembang. Tak ada
yang tahu kalau dalam senyumnya tersimpan jerat-jerat berbisa.
Dengan pasti Arya Wadam mengangguk.
Dia merasa tertantang untuk membuktikan kebenaran ucapannya. Siapa tahu, kedua orang Adipati Kutowinangun ini bisa mengenali dengan
tanda-tanda khusus yang ada di tubuhnya.
"Nah, untuk sementara, kau beristirahatlah. Sambil menunggu kedua orangtua ku yang
sedang berkunjung ke rumah seorang kerabat,
kau bisa beristirahat di kamar. Biar nanti seorang emban yang akan mengantarmu,"
kata Adipati Brata Wisnu, ramah sekali.
* * * Di sebuah ruangan khusus, Adipati Kutowinangun duduk berhadapan dengan seorang lelaki gagah berpakaian panglima. Siapa lagi kalau bukan Panglima Ganang Laksono"
"He he he.... Umpan telah masuk perangkap, Adi Ganang!" kekeh Adipati Brata Wisnu.
"Maksudmu, gadis yang datang ke tempat
ini tadi?" tanya Panglima Ganang Laksono.
"Ya! Ketika aku melihat wajahnya, ternyata mirip sekali dengan Dewi Sekardadu.
Dan mendengar ceritanya, aku semakin yakin kalau gadis itu kakak dari Dewi
Sekardadu. Untung aku tadi
menyuruhmu menyingkir, Adi Ganang. Aku takut,
kau mengenalinya. Atau sebaliknya, dia mengenalimu," kata Adipati Kutowinangun ini.
"Benar, Kakang Brata. Biar bagaimanapun
kedatanganku ke sini harus dirahasiakan. Citacita belum tercapai. Dan kita butuh kewaspadaan tinggi!" tegas Panglima Ganang
Laksono. "Bila gadis itu sudah menjadi tawanan kita, maka tinggal menggertak Gusti Prabu
saja. Kita bunuh gadis itu, atau dia harus menyerahkan
takhta kepadamu. He he he...!"
"Sungguh pucuk dicinta ulam tiba. Kau
memang cerdik Kakang Brata. Tak percuma kau
menjadi kakak iparku."
"Ya, tapi jangan lupa janjimu. Bila kau jadi Raja Demak, wilayah kadipaten ini
harus lepas dari Kerajaan Demak. Karena, aku ingin mendirikan kerajaan sendiri."
"O, jangan khawatir, Kakang. Ludah yang
telah kukeluarkan tak mungkin kujilat lagi.
Hmmm, kira-kira gadis itu sudah semaput be
Satria Gendeng 17 Badai Di Keraton Demak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lum?" "Menurut waktunya, gadis itu harus sudah pingsan. Tapi apa salahnya kalau
aku memerik-sanya." Di akhir kalimatnya, Adipati Brata Wisnu bangkit dari
duduknya. Dengan langkah mantap,
kakinya bergerak keluar ruangan khusus ini. Segera ditelusurinya lorong keraton.
Tadi, Adipati Brata Wisnu memerintahkan
pelayan untuk membubuhi racun di dalam makanan dan minuman yang disediakan untuk Arya
Wadam. Sejenis racun ganas yang bekerja lambat.
Diperkirakan bila gadis itu menelannya, bisa
langsung pingsan. Layaknya tertidur, dalam beberapa hari nyawanya tak tertolong
lagi. Di depan pintu kamar yang disediakan
Arya Wadam, Adipati Brata Wisnu menghentikan
langkahnya. Sejenak telinganya dipasang tajamtajam. Tak ada suara sedikit pun yang terdengar.
Tok! Tok! Lelaki setengah baya ini mengetuk pintu.
Tak ada sahutan. Kembali diulangi ketukannya.
Tetap sama. Dan ini membuat bibirnya tersenyum. Segera dibukanya pintu kamar.
"He he he.... Tidurlah untuk selamanya,
Gadis Bodoh!" kekehnya, memuakkan.
* * * "Aku jadi penasaran, rencana apa yang
akan kau buat, Adi Satria?" tanya Mahapatih Bagaspati. Dia yakin pemuda ini
pasti berotak encer macam bubur.
"Siapa bilang aku punya rencana?" balik Satria, menjengkelkan.
"Lantas, kenapa kau melonjak kegirangan
begitu?" "Apa di sini ada larangan melonjak kegirangan" Wah, ada ya" Kalau begitu maafkan sikapku, Kang. Aku tak tahu kalau di sini ada larangan melonjak kegirangan," ucap Satria, polos.
Amat polos. Malah kini Mahapatih Bagaspati yang
bungkam. Bocah bertabiat sinting macam Satria
kadang memang menjengkelkan. Tapi di lain saat
bisa seperti malaikat penyelamat. Untuk saat ini, Mahapatih Bagaspati tak tahu
harus memilih yang mana. "Kang, kalau boleh tahu, Panglima Ganang
Laksono punya kerabat yang jadi pembesar di wilayah Kerajaan Demak ini atau tidak"!" tanya Satria tiba-tiba.
Sejenak Mahapatih Bagaspati berpikir keras. Lalu tiba-tiba secercah senyum tergambar di wajahnya.
"Aku tahu jalan pikiranmu, Adi!" tebaknya langsung. "Kau pasti mencurigai
kerabat Panglima Ganang Laksono itu, bukan" Boleh, boleh.
Walau aku belum percaya penuh, tapi setidaknya
bisa dibuktikan dulu. Ya, Panglima Ganang Laksono memang mempunyai kerabat yang jadi pembesar. Dan bodohnya, aku baru berpikir sekarang kalau Adipati Kutowinangun
adalah kakak ipar
Panglima Ganang Laksono. Sedangkan Adipati
Purworejo adalah sepupu panglima pengkhianat
itu. Tapi apa mungkin mereka berkhianat pula
dengan mengadakan persekongkolan?"
"Bukankah kau bilang perlu dibuktikan
dulu. Lantas, apa salahnya?" tukas Satria, mele-tus begitu saja.
"Caranya?"
Satria mendekatkan mulutnya ke telinga
Mahapatih Bagaspati. Lalu yang terdengar hanya
suara mirip mendesis. Kejap kemudian, kepala
patih itu mengangguk-angguk.
"Boleh..., boleh. Begitu juga boleh. Aku se-tujui rencanamu. Kapan akan
dilaksanakan?"
tanya Mahapatih Bagaspati.
"'Kalau bisa secepatnya. Lebih cepat lebih baik. Tapi Kakang mau tidak bersusah
payah?" sahut Satria. "O, tentu. Tentu. Demi kejayaan Kerajaan
Demak, aku rela berkorban jiwa dan raga!" tandas lelaki gagah ini.
"Nah, kalau begitu pikiranku jadi tenang,"
desah Satria, sok tua.
"Sungguh aku kagum dengan otak cerdasmu, Adi Satria. Entah, bagaimana nasib Kerajaan Demak bila tidak ada dirimu,
Adi," puji sang Mahapatih, tulus.
Tapi yang dipuji seenaknya ngeloyor pergi
begitu saja. Terutama ketika Satria melihat Dewi Sekardadu muncul di Taman Sari
ini. Tinggal Mahapatih Bagaspati yang terbengong-bengong.
Lantas kepalanya menggeleng pelan.
DELAPAN JAHANAMMMM! Siapa yang membunuh
Suamikuuuu"!! Hu hu hu... aku harus menuntut
balasss.... Hu hu hu...."
Keheningan Bukit Srondol terbelah oleh teriakan yang disusul tangis meledak-ledak dari
mulut Nini Berek. Di depannya terdapat sebuah
makam bertanah merah dengan nisan dari tongkat butut berwarna hitam. Tongkat yang dikenalinya sebagai milik Ki Ageng Wirakrama. Makam
itulah yang ditangisinya.
Memang, sebelum meninggalkan tempat
ini, prajurit-prajurit Demak menguburkan mayat
Ki Ageng Wirakrama di kaki Bukit Srondol ini. Lelaki tua sesat itu tewas setelah bertarung habis-habisan dengan pendekar perkasa
yang saat ini menggoncangkan dunia persilatan. Satria Gendeng. Di sebelah Nini Berek yang berjongkok di depan makam, berdiri terpekur
Bocah Tua Sakti.
Sungguh hati lelaki tua ini menyesal tak dapat
bertemu dengan kakaknya. Menyesal, kenapa sejak dulu tidak menasihati kakangnya. Menyesal
kenapa baru sekarang ini pulang ke tanah Jawa.
"Firasatku terbukti, Wiradharma! Lihat!
Suamiku telah menyatu dengan tanah! Sekarang,
apa kau masih tak percaya dengan mimpiku. Hu
hu hu.... Oh, Kakang Ageng Wirakrama.... Kini
aku sebatang kara. Kenapa begitu cepat kau meninggalkan aku. Siapa yang membunuhmu, Kakang" Siapa" Ayo jawab, Kakang!" oceh Nini Berek tak karuan. Tangisnya makin
menjadi-jadi. Sinting juga wanita ini. Suaminya sudah
mati, tapi masih juga diajak omong. Tapi memang bisa dimaklumi. Pikirannya saat
ini sedang kalap.
Bukankah orang kalap suka bicara seenaknya"
"Sudahlah, Nini. Mungkin memang sudah
takdir umur kakangku hanya sampai di sini. Biarkan dia beristirahat dengan tenang," ujar Bocah Tua Sakti, lembut.
"Tidak! Arwah suamiku tak bakalan tenang
sebelum aku menemukan pembunuhnya!" sentak Nini Berek, keras kepala.
Bocah Tua Sakti hanya mampu menggeleng-geleng kepala. Sebagai tokoh putih, dia cukup menyadari kematian kakangnya. Memang
ada rasa menyesal pada dirinya, karena belum
sempat bertemu setelah sekian lama mengembara
ke Swarnadwipa. Tapi penyesalan memang tak
harus dipendam dalam hati. Dia percaya, segala
sesuatunya telah diatur oleh Yang Maha Kuasa.
"Kalau begitu, aku harus kembali ke Swarnadwipa, Nini. Aku harus menghilangkan kekecewaan ini dengan pergi merantau," kata Bocah Tua Sakti.
"Kau terlalu, Wiradharma. Kakangmu dibunuh orang, kau malah pergi. Mestinya kau harus membalaskan dendam kakangmu!" sentak
Nini Berek. "Tidak, Nini. Apalah artinya dendam. Kalau dituruti, dendam tak pernah akan
habis. Mungkin saja Yang Maha Kuasa telah menentukan bahwa
kematiannya memang harus di tangan orang. Dan
dengan demikian, dia sekaligus membayar dosadosa yang telah diperbuatnya dahulu," tegas lelaki tua pendek itu bijak.
"Baik! Kalau kau mau pergi, pergi sekarang juga! Ingat jangan pernah lagi
menganggap kalau aku ini kakak iparmu!" usir Nini Berek makin kalap. "Maaf,
Nini. Biar bagaimana, kau tetap kakak iparku. Tapi tolong jangan paksa aku untuk
mengikuti hawa nafsumu"
"Cepat pergi kataku! Pergiiii!!!"
Tanpa kata, Bocah Tua Sakti melangkah
perlahan. Sejenak kepalanya masih menoleh ke
arah makam kakangnya. Lalu mantap sekali kakinya menjejak tanah dan berkelebat cepat.
Nini Berek tak peduli lagi. Sejenak dipandanginya kuburan Ki Ageng Wirakrama. Tepat ketika Bocah Tua Sakti tak terlihat lagi, perempuan tua jelek ini bangkit,
bertumpu dengan tongkat
putihnya. Dan tiba-tiba, tongkat putihnya bergerak, mendongkel setiap bongkahan
tanah merah makam suaminya.
Makin lama makin banyak tanah terkumpul di pinggir makam. Sedang makam itu sendiri
makin berlubang dalam. Tak sabar, Nini Berek
mengerahkan tenaga dalamnya. Maka dalam sekejapan, makam telah terbongkar seluruhnya.
Begitu mendapati jasad suaminya. Nini Berek cepat meraih dengan tangan kiri. Lalu diletakkannya jasad kaku itu di pundak. Sekali menyentakkan kaki, tubuh Nini Berek telah berada
di atas Setelah meraih tongkat butut Ki Ageng Wirakrama, si nenek jelek
berkelebat meninggalkan kesunyian kaki Bukit Srondol.
* * * Rencana Adipati Kutowinangun berjalan
mulus, semulus kulit bayi. Di kamar yang disediakan, Arya Wadam tergolek pingsan. Itu setelah si gadis tanpa banyak curiga menyantap hidangan yang disediakan. Perutnya mulas saat itu juga, Kepalanya pening
berdenyut-denyut. Pandangannya makin mengabur. Bahkan tenggorokannya terasa panas seperti baru saja menelan
bara. Si gadis mau berteriak. Tapi sedikit pun tak ada suara yang berhasil
terlontar dari mulutnya. Jangankan berteriak, untuk menelan ludah
saja tak mampu. Sementara, keringat dingin menyeruak dari setiap lubang pori-porinya. Wajahnya pun kian pucat saja. Itu
pertanda, racun ganas yang dibubuhi dalam makanan telah bekerja.
Artinya, perlahan-lahan racun akan menjalar dalam setiap jaringan saraf-saraf.
Jika hal itu didiamkan dalam jangka dua
minggu, jangan harap nyawa Arya Wadam akan
selamat. Dalam keadaan begini. Adipati Kutowinangun dan Panglima Ganang Laksono akan memanfaatkannya sebagai alat untuk menekan Gusti Prabu Sutawijaya agar menyerahkan takhta kerajaan kepada Panglima Ganang Laksono.
Bukankah dengan demikian Panglima Ganang Laksono tak perlu susah payah membujuk
beberapa pembesar kerajaan untuk menyokong
rencananya" Bukankah dengan demikian dia tak
perlu mengutak-atik tiga peti uang kepeng yang
didapat dari Setan Madat"
"Bagaimana jalannya perundingan dengan
Gusti Prabu Sutawijaya nanti, Kakang Brata?"
tanya Panglima Ganang Laksono, semangat.
Di ruangan pendopo, lelaki tinggi besar itu
duduk berhadapan dengan Adipati Kutowinangun. Sebuah meja bulat menjadi pembatas. Di
atasnya, terhidang buah-buahan ranum kemerahan mengundang selera. Sebuah guci tuak dan
dua buah cangkir bambu juga ada di sana.
"Gampang. Aku akan mengutus beberapa
prajurit untuk menyerahkan surat ancaman. Kita
jelaskan kalau Dewi Sekarputri ternyata masih
hidup, dan kini berada di tangan kira. Tentu saja untuk mengambilnya tak semudah
itu. Terlebih dahulu, Gusti Prabu harus membuat surat pernyataan yang isinya, segera menyerahkan takhta
Kerajaan Demak tanpa syarat, dan tanpa paksaan
dari pihak mana pun kepadamu. Surat harus diserahkan Gusti Prabu sendiri. Bila surat sudah di tangan kita, langsung ringkus
saja dia. Lalu, kau cepat pergi ke kerajaan. Umumkan bahwa kau telah ditunjuk
Gusti Prabu untuk memerintah Kerajaan Demak. Kau jelas?" papar Adipati Brata Wisnu. "Sangat jelas. Sangat
jelas. Lantas, kalau pembesar kerajaan banyak yang tak percaya?"
"Tunjukkan surat pernyataan itu."
"Kalau mereka tetap tak percaya?"
"Nyawa Dewi Sekarputri dan nyawa Gusti
Prabu ada di tangan kita!"
Secercah senyum langsung tergambar di
wajah Panglima Ganang Laksono. Dalam hati, dia
benar-benar mengagumi kecerdikan kakak iparnya. Tak percuma dia mengajak kakak iparnya
untuk bergabung menumbangkan takhta Kerajaan Demak. "Nah, sekarang bagaimana rencanamu selanjutnya, Adi Ganang?" tanya Adipati Brata Wisnu lebih lanjut.
"Rasanya aku sudah tak sabar lagi untuk
mengajak bergabung saudara sepupuku di Kadipaten Purworejo," sahut Panglima Ganang Laksono.
"Maksudmu, Adipati Lirboyo?"
"Benar. Tapi sebelum itu aku harus menemui guruku lebih dulu di Bukit Menjangan. Mudah-mudahan guruku sudah menghubungi teman-temannya untuk membantuku dalam mengadakan pemberontakan nanti."
"Dan aku akan segera mengirimkan- utusan ke Kerajaan Demak besok pagi. Aku yakin,
Gusti Prabu akan terkejut membaca surat kita.
Ha ha ha...."
Suara tawa Adipati Kutowinangun bergema
di sekitar ruangan pendopo. Juga tawa keras
Panglima Ganang Laksono. Dalam benaknya pun
telah terbayang kalau dirinya tengah duduk di
Satria Gendeng 17 Badai Di Keraton Demak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
singgasana Kerajaan Demak.
* * * Tanpa diketahui, sebuah bayangan kasat
mata tengah mendengarkan pembicaraan antara
Adipati Kutowinangun dengan Panglima Ganang
Laksono. Sebuah bayangan yang kalau diperhatikan berbentuk seorang anak muda tampan. Bajunya rompi putih dari kulit binatang. Bergaris rahang jantan. Bermata sembilu.
Celananya pangsi sebatas lutut.
Dialah Satria. Apa yang dilakukan pemuda bertabiat sinting tapi berotak cerdas itu"
Inilah bagian dari rencana si anak muda
perkasa. Akal cerdiknya menyuruhnya untuk segera menggunakan ajian 'Melepas Sukma' yang
diwariskan guru gendengnya, Dongdongka.
Waktu masih berada di Kerajaan Demak,
Satria Gendeng menjelaskan rencananya setelah
tahu bahwa ada dua adipati yang dicurigai menjadi pengkhianat dengan mendukung rencana
Panglima Ganang Laksono. Kecurigaan itu cukup
beralasan, karena sudah sekian lama Panglima
Ganang Laksono tak terlihat di sekitar keraton
kerajaan. Bahkan ada beberapa telik sandi yang pernah melihat kalau panglima
pengkhianat itu
sering berkunjung ke Kadipaten Kutowinangun
dan Purworejo. Semula pihak kerajaan tak begitu menanggapi. Tapi ketika mendengar kalau, Panglima Ganang Laksono akan mengadakan pemberontakan,
mau tak mau kecurigaan pun dilimpahkan pada
kedua kadipaten tadi.
Berangkat dari alasan itu, Satria lantas
memutuskan untuk mencari tahu ke Kadipaten
Kutowinangun. Sedangkan Mahapatih Bagaspati
berwarna beberapa telik sandi mencari tahu ke
Kadipaten Purworejo. Tentu saja, Satria tak mau menjelaskan bagaimana caranya
nanti menyusup ke Kadipaten Kutowinangun.
Senja telah terpuruk ketika Satria tiba di
bagian belakang keraton kerajaan. Mata tajamnya yang telah terbiasa melihat
dalam gelap sewaktu berada di goa tempat kediaman Ki Kusumo berusaha menelusuri
tiap-tiap celah yang mungkin bi-sa ditembusnya
Di tembok keraton sebelah utara, si pemuda perkasa melihat kalau di situ terdapat titik celah yang bisa ditembusnya. Di
dekat tembok dia
melihat ada beberapa pohon pinang setinggi atap keraton.
Dari tempatnya berdiri, Satria langsung
mencelat. Mula-mula ke arah pohon pinang yang
tak jauh darinya. Kakinya langsung menghentak
sekali ke batang pinang. Lalu mencelat lagi ke
arah tembok. Sekali menghentak lagi, tubuhnya
mendekati pohon pinang dekat tembok sebelah
utara. Sekali lagi menghentak, tubuhnya mencelat ke arah atap ketaton. Satu rangkaian gerak
yang sering dilatihnya di Tanjung Karangbolong.
Dengan ilmu peringan tubuh yang selalu
dilatihnya, Satria mengendap-endap di atas atap keraton. Nyatanya, hasil godokan
Dongdongka dan Ki Kusumo terhadap kemampuan peringan
tubuhnya selama ini telah membuahkan hasil
sangat sempurna. Keberadaannya sama sekali tak
diketahui oleh prajurit-prajurit kadipaten yang berjaga-jaga di tembok bagian
utara. Sasaran yang dituju Satria adalah pendopo. Biasanya, sebagaimana adat orang-orang keraton, sehabis makan malam mereka berbincangbincang di ruang utama pendopo. Itulah yang dipelajari si anak muda berotak cerdas selama berada di keraton Kerajaan Demak.
Tiba di atas pendopo, Satria langsung menelusup dengan membuka beberapa atap genting.
Di situ dia mencuri dengar pembicaraan beberapa orang tentang Dewi Sekarputri
yang diketahuinya adalah nama asli Arya Wadam. Saat itu juga, si pemuda perkasa
mencari-cari letak kamar penye-kapan. Susan payah mencari, akhirnya Satria dapat menemukan kamar tempat Arya Wadam disekap. Maka di atas langit-langit itu pula si bocah bertabiat sinting ini
bersemadi. Langsung dike-rahkannya aji 'Melepas Sukma' warisan guru gendeng yang amat dihormatinya. Dongdongka. Itulah, kenapa Satria kini enak-enak mencuri dengar pembicaraan antara Adipati
Kutowinangun dengan Panglima Ganang Laksono dalam wujud kasat mata. * * * Malam makin tertatih-tatih menuju dini
hari. Keraton Kadipaten makin terkepung kesunyian. Semua penghuninya telah terseret ke dalam arus mimpi melenakan. Kecuali para prajurit penjaga, dan Satria Gendeng yang
tengah menja-lankan rencananya.
Dari atas langit-langit kamar tempat Arya
Wadam disekap, si bocah bertabiat sinting yang
telah bersatu lagi dengan jasadnya itu segera melompat ringan. Langsung
diperiksanya keadaan si gadis. "He he he.... Tak kusangka kalau kau berada di
sini, Arya. Akhirnya kau kutemukan juga.
Tapi, kenapa wajahmu pucat begini" Dan.... Ya,
ampun.... Detak jantungmu lemah sekali" Naganaganya kau.... Slompret! Kau pingsan, Arya Wadam! Kukira kau enak-enakan tidur di sini," cerocos si pemuda dalam desahan
nyaris tak terdengar. Si pemuda berusaha mencari tahu, kenapa
Arya Wadam sampai pingsan begitu. Segera wajahnya didekatkan ke mulut Arya Wadam yang
berbibir indah tapi berwarna kebiruan itu. Hidung si pemuda mengendus-endus.
"Slompret lagi! Kau keracunan, Arya! Wah,
dia harus cepat-cepat disembuhkan. Dari baunya
aku tahu, racun yang bersarang di tubuhnya tergolong ganas dan bergerak lambat. Hmmm.... aku
harus menotoknya untuk menghambat menjalarnya racun ke seluruh jaringan sarafnya. Tapi aku tak mungkin menyembuhkannya di
sini. Karena akan memakan waktu. Kalau gadis ini sampai siuman di tempat ini, bisa gagal rencanaku. Jadi, aku harus membawanya pergi
sekarang juga," Satria segera meraih tubuh Arya Wadam yang terbaring di pembaringan.
Sekali menghentak lantai, tubuhnya telah
mencelat ke atas langit-langit lewat lubang yang
dibuatnya. Sambil memondong Arya Wadam, Satria keluar menuju atap lewat genting-genting. La-lu tubuhnya mencelat kembali
keluar keraton lewat jalan yang tadi ditempuhnya saat menuju ke
sini. Sekejapan, dia telah menghilang dalam kegelapan. Meninggalkan para
prajurit yang terkantuk-kantuk, dan siap dimaki-maki Adipati Kutowinangun akibat kelalaian mereka.
SEMBILAN PAGI beranjak Sudah sejak tadi Panglima Ganang Laksono meninggalkan Kadipaten Kutowinangun. Hatinya sudah tak sabar lagi untuk menemui gurunya di Bukit Menjangan. Setidaknya, dia bisa
minta bantuan gurunya nanti untuk mendampinginya saat membacakan surat pernyataan Gusti
Prabu Sutawijaya. Makin nyata saja bayangan dalam benaknya kalau dirinya nanti bakal duduk di singgasana Kerajaan Demak.
Tak lama setelah keberangkatan Panglima
Ganang Laksono, orang-orang yang diutus Adipati Kutowinangun untuk membawa surat
ancaman pun berangkat. Dengan kuda-kuda pilihan, mereka segera berpacu meninggalkan kadipaten.
Baru saja Adipati Kutowinangun hendak
menikmati sarapannya...
"Kanjeng Gusti Adipati! Gadis yang disekap di kamarnya telah menghilang!"
Seorang prajurit
tergopoh-gopoh datang melapor.
"Apa?"!!" lonjak sang Adipati, menghentikan suapannya di depan mulut. "Tidak
mungkin! Sekarang panggilkan emban yang tiap pagi membersihkan kamarnya!"
"Baik, Kanjeng," sahut si prajurit, langsung menjura. Lalu dia berlalu dari
hadapan Adipati
Brata Wisnu. Berdebar, Adipati Brata Wisnu menunggu
kedatangan emban yang biasa membersihkan
kamar yang ditempati Dewi Sekarputri. Dia jadi
tak bernafsu lagi. Sejak istrinya meninggal dunia dia selalu sarapan sendiri
saja. Sementara sepagi ini, kedua anak laki-lakinya masih terlelap dalam mimpi.
Sedangkan kedua orangtuanya yang sudah cukup sepuh tinggal di rumah lain, tapi
ma- sih di lingkungan keraton.
Sang emban, seorang perempuan setengah
baya bertubuh gempal muncul terbungkukbungkuk. "Kanjeng Gusti memanggil hamba?" tanyanya, sangat sopan.
"Benar gadis yang ada di kamar itu telah
hilang"!" tembak Adipati Brata Wisnu, langsung.
"Benar, Kanjeng Gusti. Tadi waktu hamba
hendak membersihkan kamarnya, gadis itu sudah
tidak ada."
"Mana mungkin"!" terabas lelaki ini, keras.
Matanya mendelik. "Gadis itu dalam keadaan pingsan. Jadi tak mungkin dia pergi
begitu saja, kalau tidak ada yang membawanya!"
"Bisa jadi begitu, Kanjeng Gusti. Karena,
langit-langit kamar gadis itu kini berlubang cukup besar," tambah sang emban.
"Apa"! Celaka! Kalau bukan karena ada seseorang yang menelusup ke keraton ini, pasti ada pengkhianat di kadipaten!
Emban! Suruh salah
seorang prajurit untuk mengumpulkan para pembesar kadipaten. Bilang, aku akan mengadakan
rapat mendadak sekarang juga!" sabdanya, penuh ketegasan.
"Baik, Kanjeng Gusti," sahut sang emban, lalu berlalu dari tempat ini.
* * * "Apa"! Guru telah tewas"!" sentak Panglima Ganang Laksono ketika siang ini tiba
di Bukit Menjangan, tempat tinggal Ki Ageng Wirakrama
almarhum. "Ya! Dan kau sebagai muridnya harus bisa
membalaskan sakit hatinya!" desis perempuan tua bungkuk. Wajahnya dipenuhi borok
berlendir yang menyebarkan bau busuk menyengat. Rambutnya tipis. Mulutnya tak lepas dengan sirihnya.
Prot! Lendir merah meluncur dari bibir kendor si
nenek jelek yang tak lain Nini Berek. Begitu
menghujam ke sebuah batu reruntuhan candi,
langsung tercipta lobang cukup dalam.
Panglima Ganang Laksono memandang
takjub. Padahal, dia sudah sering melihat si nenek jelek bertingkah demikian. Namun kekagumannya segera terpangkas oleh keingintahuannya
tentang siapa yang membunuh Ki Ageng Wirakrama. "Siapa yang membunuhnya, Nini Guru?"
tanyanya. "Aku belum tahu pasti. Tapi kalau melihat
bekas pukulan di tubuhnya, ada dugaan di benakku kalau itu hasil pukulan Dongdongka alias
Dedengkot Sinting Kepala Gundul," sahut si nenek jelek.
"Siapa dia, Nini Guru?"
"Seorang sesepuhnya para sesepuh dunia
persilatan golongan putih. Kau bisa menyelidikinya nanti."
"Baik, Nini Guru. Tapi bolehkah aku melihat mayat Guru untuk yang terakhir kali?" pinta Panglima Ganang Laksono, hatihati. "Tidak! Peti tempat bersemayamnya suamiku kini tak boleh dibuka-buka. Dia telah kubalsem. Suatu saat nanti, suamiku akan bangkit untuk menuntut balas!" sahut Nini Berek, tegas.
"Maksud Nini Guru...."
"Ya! Suamiku akan hidup lagi, tapi dengan
jiwa yang lain. Kau tak bakal dikenalinya lagi.
Dan tugasmu sekarang, cari keterangan tentang
Dongdongka sialan itu. Mengerti"!"
"Mengerti, Guru," sahut Panglima Ganang Laksono, agak tercekat. "Dan kalau
begitu, aku mohon pamit."
"Ya, pergilah...."
Panglima Ganang Laksono menjura, lalu
berbalik. Dihampirinya kuda tunggangannya. Sekali menyentak kaki, tubuhnya telah melayang,
lalu hinggap di punggung kuda.
"Heaaa...!"
Sekali menyentak tali kekang kuda, Panglima Ganang Laksono pergi meninggalkan Bukit
Menjangan. Ada rasa kecewa di hati lelaki tinggi besar
ini menyadari gurunya telah tewas. Setidaknya,
rencananya sedikit melenceng. Tapi dia yakin
akan bisa mengatasinya. Kalau hanya untuk
mendampingi dirinya saat membacakan surat
pernyataan Gusti Prabu nanti, dia bisa minta pertolongan tokoh sesat lainnya. Di
sisi lain, Panglima Ganang Laksono juga gembira atas kematian
gurunya. Sebab dengan demikian dia terbebas dari tugas mencari senjata pusaka Kail Naga Samudera milik Satria Gendeng.
* * * Rapat mendadak yang diadakan Adipati
Kutowinangun berlangsung mendebarkan. Para
pejabat saling curiga satu sama lain tentang siapa yang menjadi pengkhianat.
Dari punggawa hingga
Satria Gendeng 17 Badai Di Keraton Demak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
patih melirik, mencari siapa di antara mereka
yang telah berkhianat.
Sebelumnya, Adipati Kutowinangun telah
habis-habisan memaki para prajuritnya yang
mendapat tugas jaga semalam. Bahkan mereka
langsung mendapat hukuman penjara bawah tanah, dan nantinya akan dihukum gantung.
"Kalau kalian tak ada yang mau mengaku,
baiklah! Untuk saat ini aku masih percaya dengan kesetiaan kalian. Tapi yang jelas, kadipaten, telah kecolongan oleh seorang
penyusup. Maka untuk sementara, aku beranggapan si penyusup
adalah orang luar. Tapi bila nanti di antara kalian terbukti sebagai
pengkhianat, hukuman pancung
imbalannya!" tegas Adipati Brata Wisnu.
Bergidik semua pejabat kadipaten yang ada
di tempat ini. Kembali mereka saling berpandangan dengan sinar mata curiga. Suasana sejenak
dikepung keheningan.
"Untuk membuktikan kesetiaan kalian,"
sambung sang Adipati. "Aku memerintahkan kalian untuk bersiap-siap angkat
senjata. Kita akan menggempur Kerajaan Demak!"
Suara bergumam bak sekawanan lebah
mendengung terdengar. Para pejabat kadipaten
benar-benar terkejut dengan keputusan Adipati
Kutowinangun. Sungguh hal itu di luar akal. Sebab menggempur kerajaan sama saja seperti sekawanan laron menghampiri api. Bukan saja pasukan Kerajaan Demak sangat besar, tapi juga
dipimpin oleh panglima-panglima perang berkepandaian tinggi.
Selagi mereka berada di ambang keraguan.... "Ampun, Kanjeng Gusti. Hamba mengganggu sebentar," tiba-tiba seorang prajurit masuk ke
ruangan ini dan langsung melapor. "Di luar sana, pasukan Kerajaan Demak telah
mengepung keraton. Dan oleh Panglima Darma Kusuma dari Kerajaan Demak, Kanjeng Gusti dimohon keluar."
"Setan! Kita kalah cepat! Nah, para pembantuku yang setia. Ini saatnya untuk membuktikan kesetiaan Kalian. Cepat cabut senjata! Kita songsong pasukan Kerajaan
Demak!" ujar sang Adipati, lantang.
Para pejabat kadipaten terlihat ragu-ragu.
Sebagian sudah ada yang memegang gagang keris, tapi sebagian lagi masih ada yang tetap diam di tempatnya.
"Hei, kenapa kalian ragu-ragu"!" bertanya Adipati Kutowinangun.
Seorang patih kadipaten yang berusia cukup tua berdiri dari. duduknya. Wajahnya penuh
kewibawaan. Namanya, Patih Rumeksa. Tindaktanduknya amat mengagumkan, sehingga amat
dihormati di kadipaten ini.
"Tidak, Kanjeng Adipati. Kami bukan bermaksud menolak perintah. Tapi, menyerang Kerajaan Demak sama saja melanggar sumpah ayah
Kanjeng Adipati sendiri. Bukankah beliau telah bersumpah di hadapan Raden Patah
untuk selalu setia terhadap Kerajaan Demak" Sebaiknya, akhiri saja sandiwara ini. Sejak semula, aku sudah
tak setuju terhadap rencana Kanjeng yang ingin
menekan Gusti Prabu Sutawijaya dengan menyekap Dewi Sekarputri yang baru saja ditemukan.
Bukankah orangtua Kanjeng dulu pernah dititipi
Dewi Sekarputri yang kemudian hilang lantaran
diculik" Perbuatan Kanjeng sama saja menyakiti
orang tua Kanjeng Sendiri," buka Patih Rumeksa.
"Setan kau, Patih! Aku yakin, kaulah
pengkhianat itu. Kau telah menolak perintah. Berat hukumannya Patih!" ledak sang
Adipati sampai mendengus-dengus.
"Aku tak keberatan dihukum berat sekalipun. Tapi aku yakin berada di pihak yang benar.
Dan kupikir-pikir, justru Kanjeng sendiri yang ja-di pengkhianat. Menyerang
Kerajaan Demak sama
saja pengkhianat. Mengingkari sumpah, juga
pengkhianat. Bertindak tanduk tercela, juga
pengkhianat. Maka semestinya, Kanjeng sendiri
yang harus ditangkap.
"Benar!" timpal seorang lelaki berpangkat panglima. "Aku tidak sudi berkhianat
terhadap Kerajaan Demak. Justru kerajaan itu sudah sangat berjasa dalam menumpas
musuh-musuh kita.
Lantas kenapa kita memusuhinya?"
"Ya, benar!" tambah panglima yang lain.
"Aku tidak sudi berkhianat!"
"Aku juga!"
"Aku juga!"
Adipati Kutowinangun makin blingsatan
sendiri. Ternyata hampir seluruh pejabat kadipaten menentang rencananya. Dan
kegeramannya pun memuncak. Dia sungguh tak menyangka kalau akibatnya akan seperti ini
"Bangsat! Kalian adalah bawahanku, tahu"!" bentaknya, lantang.
"Mereka benar, Anakku...."
Sebuah suara penuh wibawa mendadak
menyeruak di sekitar ruangan ini. Tak lama, seorang lelaki tua berpakaian
seperti jubah putih
memasuki ruangan.
"Ayahanda...?" sebut Adipati Kutowinangun. Semua yang hadir di ruangan ini
memberi hormat dengan menakupkan telapak tangan di
depan dada. Tubuh mereka membungkuk sedikit.
Hening. Belum ada yang bersuara.
"Mereka benar, kau adalah pengkhianat,"
buka si orang tua, penuh perbawa dalam suaranya. "Untuk itu, kau harus mendapat hukuman dari Kerajaan Demak! Sungguh, aku
menyesali sikapmu selama ini. Kenapa kau terlalu silau
dengan kekuasaan" Nah, sebagai anak seorang
ksatria sejati, kau pun juga harus bersikap ksatria. Temuilah Panglima Derma
Kusuma. Serah- kan dirimu untuk dibawa ke Kerajaan Demak."
"Tapi, Ayahanda...."
"Jangan membantah! Aku sudah tahu semua rencana busukmu. Kau terlalu terbuai oleh
janji-janji manis adik iparmu!" potong si tua yang tak lain Ayahanda Adipati
Kutowinangun itu sendiri. Dia dikenal Sukma Dewa Brata. Setelah meletakkan jabatan Adipati Kutowinangun, dia lebih banyak mendekatkan diri pada
Yang Maha Tunggal. "Tidak, Ayah! Aku tak sudi dihukum!" tolak Adipati Brata
Wisnu. "Hmmm, kau keras kepala," gumam Ki
Sukma Dewa Barata. Lalu kepalanya menoleh pada Patih Rumeksa. "Rumeksa! Sebagai orang yang ku tugasi mengawasi tabiat
anakku, maka sekarang kau ku tugasi menangkapnya!"
"Baik, Kanjeng Sepuh," sahut Patih Rumeksa, mantap.
"Tidak! Tidak ada yang bisa menangkapku!"
tiba-tiba Adipati Kutowinangun mencabut kerisnya. Lalu.... Crep! "Akhh!!"
Tanpa ada yang dapat mencegah, Adipati
Kutowinangun menghujamkan kerisnya ke perutnya sendiri. Saat itu juga lelaki setengah baya ini ambruk dengan tubuh
bersimbah darah.
Semua yang ada di tempat ini hanya melongo. Mata mereka mendelik dengan mulut ternganga-nganga. Sungguh mereka tak percaya dengan tindakan nekat sang Adipati....
SEPULUH BEGITU tiba di halaman keraton Kadipaten
Purworejo, betapa terperanjatnya Panglima Ganang Laksono. Yang menyambutnya kali ini bukan lagi saudara sepupunya yang menjadi adipati di sini, tapi Mahapatih
Bagaspati. "Cukup sudah permainanmu, Ganang Laksono," sambut Mahapatih Bagaspati. Tenang dan
datar suaranya.
"Apa-apaan ini, Mahapatih Bagaspati"! Aku
ke sini untuk menengok adik sepupuku. Dan
permainan apa yang kau maksudkan?" kilah Panglima Ganang Laksono.
"Adik sepupumu telah kami amankan di
kerajaan. Dan dia telah mengakui bahwa kau
mengajaknya untuk mendukung pemberontakan
yang akan kau lakukan!" tegas Mahapatih Bagaspati. Berubah wajah Panglima Ganang
Laksono. Dari merah, kelabu, hijau, lalu kembali ke merah.
Tapi dia masih berusaha mengendalikan perasaannya dengan bersikap wajar.
"Kusarankan baik-baik, menyerahlah. Para
prajurit di sini telah siap meringkusmu," lanjut Mahapatih Bagaspati.
"Mustahil! Bisa saja adik sepupuku mengada-ada. Kau belum cukup bukti, Mahapatih!"
elak Panglima Ganang Laksono.
"Jadi, kau ingin bukti lagi" Baik."
Mahapatih Bagaspati lantas bertepuk beberapa kali. Plok! Plok! Plok!
Di kejap kemudian, dari pintu keraton
muncul seorang pemuda tampan. Pakaiannya
rompi putih dari kulit binatang. Siapa lagi kalau bukan Satria.
Tapi bukan itu yang membuat Panglima
Ganang Laksono tercekat, nyaris tak percaya. Justru mata melototnya melekat kuat
pada seorang lelaki tua pendek yang terhalang langkah si pemuda. "Bocah Tua Sakti...?" cekatnya.
Satria Gendeng dan Bocah Tua Sakti berhenti di samping Mahapatih Bagaspati. Tanpa kata, mereka menatap Panglima Ganang Laksono
yang jadi salah tingkah.
Bagaimana Bocah Tua Sakti sampai ada di
sini" Ketika Mahapatih Bagaspati hendak berangkat menuju Kadipaten Purworejo sebagaimana Satria, Bocah Tua Sakti datang ke Kerajaan
Demak. Setelah kematian kakangnya, lelaki tua
pendek itu merasa bersalah jika tak melaporkan
pemberontakan yang hendak dilakukan murid
kakangnya. Artinya, justru dia malah akan menambah dosa kakangnya. Dan lagi sebagai pendekar, dia juga tak sudi keangkaramurkaan menebar di mana-mana. Untuk itu, diputuskannya
untuk pergi ke Kerajaan Demak setelah diusir
oleh Nini Berek.
Di Kerajaan Demak, Bocah Tua Sakti disambut baik oleh Mahapatih Bagaspati. Lalu diajaklah orang tua pendek itu ke Kadipaten Purworejo, sekaligus untuk membuat
mati kutu Panglima Ganang Laksono.
Sedangkan Satria Gendeng juga segera
menuju Kadipaten Purworejo, setelah mengobati
Arya Wadam alias Dewi Sekarputri dengan ramuan obat-obatan penawar racun. Tak percuma
si pemuda perkasa menjadi murid Tabib Sakti Pulau Dedemit. Begitu Satria pergi menuju Kadipaten Purworejo, si gadis berangsur-angsur sembuh.
Lewat penjelasan Satria, Mahapatih Bagaspati yakin kalau Panglima Ganang Laksono akan
menuju Kadipaten Purworejo.
Panglima Ganang Laksono makin mati kutu. Sungguh dia menyesal menceritakan rencananya pada lelaki tua pendek berjuluk Bocah Tua Sakti. Dikiranya, Bocah Tua
Sakti segolongan
dengan gurunya, Ki Ageng Wirakrama. Tak tahunya" Tapi kenapa waktu bertemu denganku Bocah Tua Sakti seolah-olah ingin merampok" Begitu pertanyaan yang timbul di benak Panglima
Ganang Laksono.
* * * "Maaf, Ganang Laksono. Aku tidak segolongan dengan kakangku. Kalaupun waktu itu
aku hendak merampokmu, sebenarnya yang kubutuhkan hanya beberapa kepeng saja. Untuk
ongkos pulang ke Swarnadwipa. Maklum, aku kehabisan ongkos. He he he.... Tapi, kan aku tak ja-di merampok" Aku minta maaf
lagi, terpaksa aku
harus melaporkan rencanamu pada pihak Kerajaan Demak. Aku ingin menebus dosa-dosa kakangku dengan perbuatan baik. Yah, mudahmudahan saja kakangku akan berterima kasih
padaku di akhirat sana," kata Bocah Tua Sakti, seperti mengerti jalan pikiran
Panglima Ganang
Laksono. Panglima Ganang Laksono tak menyahut.
Hanya matanya kian menyorot tajam pada si tua
pendek. Giginya bergemelutuk. Dadanya berdegup keras. Kemarahan benar-benar mengadukaduk dadanya. Tapi yang dihadapinya adalah Mahapatih
Bagaspati. Panglima Ganang Laksono tahu, kedigdayaan Mahapatih Bagaspati nyaris tak ada
tandingannya di Kerajaan Demak. Di sebelah Mahapatih Bagaspati ada Bocah Tua Sakti, tokoh tua yang pernah menjatuhkannya
waktu pertama kali
bertemu di mulut sebuah hutan.
Perhatian Panglima Ganang Laksono lantas
beralih pada Satria Gendeng. Ya, aku ingat! Pemuda ini yang bernama Satria Gendeng, yang
pernah dibawa ke keraton oleh si keparat Bagaspati. Bodoh! Kenapa aku baru ingat sekarang"!
Rutuknya, dalam hati. Keyakinan lelaki ini makin kuat setelah matanya tertumbuk
pada sebatang tongkat kecil berujung kepala ular naga berwarna emas dan ujung satunya lagi
Satria Gendeng 17 Badai Di Keraton Demak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berwarna sama di
pinggang si pemuda.
Menurut Guru, itulah senjata Kail Naga
Samudera. Bisik hati Panglima Ganang Laksono
lagi. Edan! Kalau waktu itu saja dia bisa mengalahkan Dirgasura dan pasukannya,
bagaimana dengan aku" Rutuknya lagi, terbalut kegentaran
amat dalam. (Tentang Dirgasura, baca episode:
"Tabib Sakti Pulau Dedemit" sampai "Kail Naga Samudera").
Maka makin lengkaplah kegentaran di hati
panglima pengkhianat ini. Semangatnya yang
berkobar pupus sudah. Melawan tak berani, menyerah gengsi. Lantas apa yang akan diperbuatnya" "Kalian tak akan bisa menangkapku!
Heaaah...!"
Dikawal bentakan memangkas udara, Panglima Ganang Laksono mencabut pedangnya. Tiga
orang di depannya cepat melompat mundur,
membuat jarak. Langsung bersiaga, menjaga segala kemungkinan.
Tidak. Tidak ada serangan yang dibuat
Panglima Ganang Laksono. Karena begitu senjata
pedangnya dicabut, langsung diarahkan ke perutnya sendiri. Cepat. Teramat cepat untuk dicegah. Dan....
Crep! "Aaaahhhh...!"
Kembali. Perbuatan pengecut kembali diperlihatkan manusia tengik macam Panglima Ganang Laksono. Jadi sangat beralasan kalau pihak Kerajaan Demak tak begitu
memperhatikan ki-prahnya. Tak mempedulikan kenaikan pangkatnya. Kerajaan Demak sebenarnya tak butuh
manusia gampang putus asa macam Panglima
Ganang Laksono. Kalaupun pangkatnya sampai
jenjang panglima, itu tak lain karena mendiang
ayahnya pernah berjasa pada Kerajaan Demak.
Itu saja. Tubuh bersimbah darah Panglima Ganang
Laksono luruh ke tanah. Erangan kesakitan menyertai keberangkatannya ke alam baka. Membawa cita-citanya yang tak sampai. Membawa kedengkian berujung dendam. Membawa kepengecutannya.... * * * Haru dan bahagia.
Kedua perasaan itu yang mengaduk-aduk
hati Gusti Prabu Sutawijaya, Permaisuri Prabaningrat, Dewi Sekardadu, dan Arya Wadam alias
Dewi Sekarputri. Melihat ketiga wanita di hadapannya saling berangkulan disertai ledakan tangis, Gusti Prabu Sutawijaya tak mampu lagi
membendung luncuran air matanya. Setegartegarnya lelaki ini, sehebat-hebatnya cobaan yang menimpa kerajaannya, ternyata
Gusti Prabu Sutawijaya tak mampu menahan keharuannya setelah bertemu putri sulungnya yang hilang selama
belasan tahun. Meski belum sembuh benar setelah racun
dalam tubuhnya telah dipunahkan Satria Gendeng, tapi Arya Wadam sudah mampu duduk di
pembaringan. Semula dia merasa heran, karena
orang-orang di sekelilingnya terasa asing. Bahkan ketika matanya merayapi
sekeliling ruangan, dia merasa kalau sebelumnya bukan berada di ruangan ini.
Tentu saja, karena gadis ini sekarang telah berada di Kerajaan Demak.
Begitu mata si gadis bertumbukan dengan
wajah Dewi Sekardadu, keheranannya makin
menjadi-jadi. Betapa tidak" Arya Wadam bagaikan bercermin saja saat menatap wajah Dewi Sekardadu. Begitu mirip.
Perlahan namun jelas, akhirnya Gusti Prabu Sutawijaya menjelaskan apa yang terjadi.
Sampai akhirnya, di ruangan kamar bertata apik
ini hanya dipenuhi suara tangis penuh keharuan.
"Akhirnya kita berkumpul lagi, Anakku...,"
desah Permaisuri Prabaningrat, terus saja menci-umi Arya Wadam.
"Sejak dulu aku yakin, kalau kau masih
hidup, Kak.... Sebab kalau kau mati, pasti hatiku akan hampa. Kau adalah kakak
kembarku, Kak. Jasad kita dua, tapi jiwa kita satu. Sakitmu adalah sakitku. Dukamu adalah
dukaku. Selama kau
hilang, ada-ada saja rasa sakit yang kuderita.
Dan bila kau merasa senang, hatiku pun ikut senang," tutur Dewi Sekardadu, sambil merangkul kakak kembarnya.
"Yang Maha Kuasa telah menunjukkan kekuasaannya. Dia telah menyatukan kita. Semoga
tak ada lagi yang dapat memisahkan kita, kecuali kematian...," kata Gusti Prabu
Sutawijaya, mena-tapi putri sulungnya penuh keharuan.
Arya Wadam tak sanggup berkata-kata.
Dan perasaannya memang sulit untuk dilukiskan
dengan kata-kata. Hanya bibir ranumnya saja
yang bergetar. Hilang sudah sifat kelaki-lakiannya
selama ini. Yang ada kini hanya keinginan untuk mereguk kasih sayang dari kedua
orangtuanya. Seperti yang didambakan selama ini.
* * * Tapi, bagaimana dengan Nini Berek" Bisakah perempuan tua itu mewujudkan dendamnya"
Bagaimana jadinya bila Dongdongka dituduh sebagai pembunuh Ki Ageng Wirakrama"
SELESAI Segera menyusul:
SILUMAN BUKIT MENJANGAN
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel Badai Awan Angin 21 Pendekar Gunung Lawu Karya Kho Ping Hoo Harpa Iblis Jari Sakti 16
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama