Satria Gendeng 20 Bisikan Iblis Lembah Keramat Bagian 1
Hak cipta dan copy right pada
penerbit di bawah lindungan
undang-undang https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
SATU SEBUAH bayangan hitam melesat membelah angin pagi yang bertiup semilir. Arahnya terus menjauhi Gunung Wilis yang
berdiri kokoh menantang langit. Puncaknya masih terkepung kabut tebal berwarna kehitaman. Mungkin di sana
sebentar lagi akan turun hujan lebat. Buktinya
matahari tak kunjung muncul yang mestinya saat
ini sudah sepenggalah. Seolah bola api raksasa
itu telah terkunci mati oleh gerombolan awan hitam di timur sana.
Sekian jauh berlari, si bayangan hitam terus saja mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang lumayan tinggi. Cukup cepat, sampaisampai cukup sulit untuk melihat secara jelas
rupa orang bertubuh tinggi besar itu. Beberapa
dahan pohon besar yang menghalangi langkahnya dilompati. Bebatuan besar juga dilompati, tak peduli kalau batu itu hanya
sekepalan tangan.
Entah, apa yang dikhawatirkan si bayangan hitam. Melihat gelagatnya yang sebentarsebentar menengok ke belakang, agaknya si
bayangan hitam tengah mencoba memastikan
apakah ada orang yang mengejarnya
Sampai di sebuah lembah bebatuan cadas
menghampar, sosok bayangan tadi menghentikan
langkahnya. Dia berbalik, lalu kepalanya celingukan. Seolah hendak memastikan
kembali, apakah
ada orang yang mengejarnya. Begitu yakin, bibir
tebalnya mengukir senyum.
Sekarang, rupa si bayangan hitam menjadi
jauh lebih jelas, kendati awan mendung masih
menebar kegelapan. Wajahnya dipenuhi brewok
lebat. Jenggotnya nyaris menutupi leher. Alis matanya tebal, menukik hendak
menghujam kedua
matanya yang besar. Pakaiannya komprang berwarna hitam tanpa dikancingi, seolah hendak
memamerkan bulu-bulu lebatnya di dadanya
yang bidang kekar. Padahal, di tempat ini tak ada seorang pun. Jadi hendak
dipamerkan kepada
siapa bulu-bulunya itu"
Kalau sudah melihat ciri-cirinya, sudah
pasti dia seorang lelaki. Sebab mana mungkin ada perempuan brewokan seperti itu
kalau tidak karena kualat" Celananya juga komprang, berwarna
hitam. Siapa lelaki ini"
Dialah Warok Darmo Singo.
Seorang warok sesat adik dari Warok Singo
Lodra yang cukup disegani di Kadipaten Ponorogo. (Baca episode: "Pertunangan Berdarah").
Setelah berhasil melarikan diri dari ancaman gurunya, Warok Darmo Singo bersumpah
tak ingin kembali ke Gunung Wilis, sebelum
mempunyai kesaktian yang melebihi Iblis Rogo
Jembangan. Karena dia tahu, guru sesatnya itu
tak akan membiarkan dirinya mengangkangi harta karun dan sebuah kitab berisi ilmu-ilmu tingkat tinggi yang tersembunyi di puncak Gunung
Wilis Warok Darmo Singo juga tidak bodoh. Setidaknya, dia juga harus bersiap diri untuk menghadapi kakak kandungnya sendiri yang diadu
domba dengan Warok Jogoboyo. Entah siapa yang
bakal jadi pemenang, yang penting dia harus
mempersiapkan diri. Untuk itu, harus dicarinya
tokoh sakti lain yang bisa menurunkan ilmu-ilmu
tingkat tinggi kepadanya. Dan dia tahu kalau di Lembah Keramat tempat dia
berdiri sekarang ini
tinggal seorang tokoh sakti yang konon telah lama tenggelam dari percaturan
dunia persilatan. Siapa tokoh itu"
Manusia Sesat Kaki Empat!
"Hmmm.... Kalau tak salah, ini yang bernama Lembah Keramat. Tapi, di mana tepatnya
tempat tinggal tokoh bernama Manusia Sesat Kaki Empat itu?" gumam Warok Darmo Singo.
Sang Warok sesat mengusap-usap jenggot
lebatnya. Matanya terus saja jelalatan mencaricari. Liar, matanya menyapu hamparan lembah
yang berupa tanah bebatuan cadas yang sebagian
besar terselimuti lumut hijau. Di kanan-kiri lembah mengapit dua buah bukit tak
terlalu besar. "Namanya Lembah Keramat. Cukup menggidikkan. Tapi tempatnya tak sesuai namanya.
Biasa saja. Apa yang menakutkan dari lembah
ini?" tanyanya, masih menggumam.
Salah besar kalau Warok Darmo Singo
menduga demikian. Dia tak tahu kalau di lembah
ini justru tempat di mana para iblis dari segala jenis berkumpul, bercengkrama
membangun sebuah pesta pora dari sejak matahari terbenam
hingga fajar menyingsing.
Perlahan tapi pasti, kaki kekar Warok
Darmo Singo melangkah menuju kaki lembah sebelah kiri. Entah, bisikan apa yang membuat
langkahnya tertuju ke sana. Bahkan hatinya sendiri malah bertanya-tanya. Heran" Kenapa seolah
ada yang menuntunku ke bukit sebelah kiri itu"
Dan, kenapa aku tak mampu menolaknya"
Hati galau Warok Darmo Singo makin larut
dalam ketidakberdayaan. Terperangkap dalam sebuah kekuatan yang tak mampu ditepisnya. Kekuatan yang menyeret langkahnya menuju bukit
sebelah kiri. Bukit Para Dayang!
Edan! Kenapa hatiku tiba-tiba ciut begini"
Setan alas! Sumpah serapah dari bibir tebalnya
menyusul kemudian. Menyumpah-nyumpah begitu, tapi tetap saja langkahnya tak kuasa dihentikan. Ini yang membuat hatinya
terus bertanyatanya tak mengerti. Bahkan sedikit-demi sedikit
hatinya mulai digerogoti rasa takut yang kian
mendera. Tiba di kaki bukit yang hanya tersusun dari tumpukan batu cadas, jantung Warok Darmo
Singo makin berdetak amat kencang. Aliran darahnya seolah terbalik. Perasaannya jadi tak menentu. Tingkahnya bagaikan orang linglung. Tak
tahu apa yang harus diperbuatnya.
Di hati kecilnya yang paling dalam, Warok
Darmo Singo berusaha berontak dari ketidakmengertian. Malah, tenaga batinnya berusaha dikerahkan. Tapi tetap saja langkahnya terus bergerak mendekati dinding bukit cadas berselimut
lumut hijau. "He he he.... Selamat datang di Bukit Para
Danyang, Anak Manusia! Aku tahu maksud kedatanganmu dari sinar matamu yang tersaput kerakusan. Kau tahu nafsu besarmu, Anak Manusia.
Sungguh tepat kau dapat ke Istanaku...."
Suara berat menyentak akal waras Warok
Darmo Singo. Mendadak saja, rasa linglungnya
terdepak entah ke mana. Dan matanya jadi jelalatan tak mengerti, mengapa dia tak bisa mengelak
dari kekuatan halus yang membawanya ke tempat
ini" "Siapa kau"!" bentak Warok Darmo Singo begitu bisa menguasai diri. Suaranya
menggelegar, seolah hendak menohok langit. Bergaung ke
segala arah, terbawa angin yang mendesah-desah
lirih. "He he he.... Suaramu begitu keras, tapi hanya patut untuk menakut-nakuti
kucing kurus yang besok pagi mau mati. Kalau aku tahu maksud kedatanganmu yang ingin berguru kepadaku,
apakah kau masih perlu tahu namaku" Simpan
saja pertanyaanmu di puser bodongmu itu, Anak
Manusia.... He he he...," leceh suara tak berwu-jud, membuat Warok Darmo Singo
tercekat. "Ja..., jadi kau Manusia Sesat Kaki Empat...?" gagap lelaki tinggi besar ini. Tingkahnya jadi serba salah.
Keberaniannya yang semula
muncul kembali kontan terusir begitu saja. Wajahnya mendadak pucat pasi. Sementara, matanya tak seliar tadi.
"Sudah kubilang, simpan saja pertanyaanmu itu, Anak Manusia! Sekarang, ikuti perintahku!" Suara sarat kekuatan batin kontan mengoyak nyali Warok Darmo Singo. Penuh
tekanan dan mengandung sebuah kekuatan yang membuat Warok Darmo Singo kembali bagai orang linglung! "Nah! Kau sekarang sudah berada di bawah pengaruhku! Kau harus patuhi
segala perintahku!
Mengerti"!" lanjut suara berat tadi.
"Mengerti...," lirih, suara Warok Darmo Singo terlempar dari bibir tebalnya. Tak
segalak tadi. Tak seberat tadi. Semuanya serba ringan, se-ringan kakinya yang
seolah tak bertenaga lagi.
"Sekarang, dekati batu besar runcing di sebelah kananmu!" perintah wujud yang masih kasat mata.
Perlahan namun pasti, kaki Warok Darmo
Singo melangkah terseret ke arah batu yang dimaksud. Pandangannya kosong tanpa makna.
Seperti kerbau dicucuk hidungnya, kata-kata seolah bagaikan sabda yang memang harus diturutinya. Tiba di dekat batu besar runcing-runcing itu, langkah Warok Darmo Singo
terhenti begitu
saja. Sepertinya, ada sebuah kekuatan yang menuntunnya. "Kau lihat sebuah mulut goa di balik batu
itu" Nah, masuklah!" lanjut suara tadi.
Kembali langkah Warok Darmo Singo bergerak. Dilewatinya batu cadas runcing-runcing
yang bagaikan sebuah tugu ini. Dengan pandangan kosong, didekatinya sebuah mulut goa yang
tak begitu besar yang cukup dimasuki satu orang
saja. Karena tubuhnya agak besar, susah payah
Warok Darmo Singo memasuki mulut goa. Akibatnya, pakaian komprangnya tersangkut taringtaring batu cadas yang membentuk mulut goa.
Sobek di sana-sini. Tapi dia tak peduli. Padahal, sebagian tubuhnya mulai terasa
perih oleh gore-san taring-taring cadas.
Berhasil. Warok Darmo Singo berhasil memasuki mulut goa yang bagaikan memasuki mulut buaya itu. Dan baru beberapa langkah dari
mulut goa, sebuah kegelapan amat kental menghadangnya. Tapi, karena jalan pikirannya bagaikan dituntun oleh sebuah kekuatan yang merasuki jiwanya, langkahnya seperti tak peduli bergerak memasuki perut goa.
Makin masuk melangkah, perut goa makin
melebar. Dalam kegelapan, Warok Darmo Singo
berusaha membuka matanya selebar mungkin.
Berusaha menembus kepekatan kendati tatapannya nyaris tak bermakna. Kosong tanpa mengerti
kenapa kakinya enak saja melangkah tak tersandung sedikit pun.
"Dua langkah lagi, kau berbelok ke kanan.
Maka kau akan sampai ke hadapanku!" suara berat kembali terdengar. Bergema
terpantul dindingdinding goa. Benar. Dua langkah kemudian, terdapat
mulut lorong lain. Tapi suasananya tak segelap
tadi. Begitu Warok Darmo Singo berbelok ke kanan dan memasuki mulut lorong, cahaya remangremang dari sebuah obor tak begitu besar yang
terpancang di dinding lorong goa segera menyambutnya. Sepuluh langkah kemudian, Warok Darmo
Singo telah tiba di sebuah ruangan cukup lebar.
Terasa lembab, dan berhawa busuk menyesakkan. "He he he.... Kau telah sampai di hadapanku, Anak Manusia. Duduklah di
hadapanku," ujar suara berat bergema. Bahkan kali ini suara itu
kembali seperti mengandung kekuatan batin, sehingga menyadarkan jalan pikiran Warok Darmo
Singo. Lelaki tinggi besar itu melengak. Terkejut menyadari dirinya tahu-tahu
telah berada di tempat ini. Seolah, dia baru saja terbangun dari tidur. "Di...,
di mana aku?" tanyanya, tak mengerti.
Tatapan Warok Darmo Singo kuyu mengarah ke pojokan ruangan pengap berhawa busuk
ini. Di situ duduk bersila seorang lelaki tua kurus di atas sebuah batu cadas
berbentuk pipih. Tak
berbaju, kecuali bagian bawahnya yang ditutupi
kain kusam yang dibebatkan begitu saja. Rambutnya putih tak terurus dibiarkan tumbuh begitu saja. Kumis dan jenggotnya juga telah memanjang tak terurus, menjuntai bagai akar-akar pohon beringin. "He he he.... Sungguh tak salah kau ingin
berguru denganku, Anak Manusia. Selamat datang di kediaman Manusia Sesat Kaki Empat." ka-ta lelaki tua berjuluk Manusia
Sesat Kaki Empat.
Kendati tadi telah disuruh duduk, tetap saja Warok Darmo Singo masih terpaku berdiri. Matanya terus mengawasi lelaki tua di depannya Katanya, berkaki empat. Mana kakinya yang dua lagi" Tanya lelaki tinggi besar ini.
"Kau mau tahu dua kakiku yang lainnya,
ya?" tebak Manusia Sesat Kaki Empat, membuat Warok Darmo Singo terperanjat.
Tak menyahut, kepala lelaki tinggi besar
itu manggut-manggut.
Untuk memenuhi keingintahuan Warok
Satria Gendeng 20 Bisikan Iblis Lembah Keramat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Darmo Singo, masih dalam bersila Manusia Sesat
Kaki Empat memutar tubuhnya. Tanpa kesulitan.
Berputar begitu saja di atas pantat teposnya yang bagai memiliki sumbu. Sungguh
sebuah kepandaian yang menakjubkan! Pantatnya sama sekali
tak terangkat. Tak terlihat tanda-tanda kalau dia mengerahkan tenaga.
Begitu berbalik, terlihat di atas pantat Manusia Sesat Kaki Empat tumbuh dua kaki yang
juga dalam keadaan bersila. Begitu santai, layaknya dua kaki yang ada di
depannya. Maka makin lengkap kalau lelaki tua itu
pantas berjuluk Manusia Sesat Kaki Empat.
Siapakah dia..."
DUA KADIPATEN Trenggalek. Alam baru saja diguyur hujan lebat. Siang mulai merambat. Matahari masih terkunci rapat oleh gerombolan awan
hitam yang membangun sebuah kekuasaan di
langit hitam pekat. Menebar rintik-rintik air dari langit diselingi sambaran
kilat. Di ruang tengah rumah Warok Jogoboyo,
bocah sakti tanah Jawa baru saja menandaskan
ayam goreng masakan Nyai Gembili, istri Warok
Singo Lodra. Mulutnya masih berdecap-decap. Lalu dicungkilinya sisa-sisa daging ayam yang masih nyempil di sela-sela gigi putihnya. Sesekali terdengar sendawanya yang
membuat Warok Singo Lodra dan Warok Jogoboyo tersenyum seraya
menggeleng-gelengkan kepala.
Kedua warok itu kini semakin paham pada
tabiat si anak muda bernama Satria Gendeng.
Tabiat sinting warisan Dongdongka jelas tergambar pada tingkah laku Satria. Mudah-mudahan
saja wajah jelek Dongdongka tak ikut terwarisi
pada si anak muda ini. Begitu harapan dua warok
yang paling ditakuti di Kadipaten Trenggalek dan Kadipaten Ponorogo itu.
"Rasanya baru kali ini aku makan ayam
goreng begini nikmatnya. Enak sekali masakan istrimu, Paman Warok Singo." pecah Satria, memuji
"Mungkin karena perutmu kelewat lapar,
sehingga masakan sederhana itu kau bilang
enak," tepis Warok Singo Lodra, tak ingin menon-jolkan kepandaian istrinya dalam
hal memasak. "Satria benar, Kakang. Mendiang istriku
saja tak bisa menyamai kepandaian istrimu dalam hal memasak," Warok Jogoboyo memperkuat pujian Satria.
Nyai Gembili yang duduk di sebelah Warok
Singo Lodra hanya tersipu. Bisa jadi hatinya ber-bunga-bunga. Sebab sebagai
tokoh persilatan pula, ternyata kepandaian masaknya tak pernah kalah dari wanita kebanyakan.
Warok Jogoboyo sendiri merasa bersyukur
atas kedatangan Warok Singo Lodra dan istrinya.
Artinya, kedatangan kakak seperguruannya sedikit banyak cukup mengobati rasa dukanya saat
ini. Betapa tidak" Belum lama Ratna Kumala
anaknya tewas di tangan anak buah Warok Darmo Singo. Lalu dirinya diadu domba dengan Warok Singo Lodra kakak seperguruannya. Kemudian ketika baru tiba di rumah, dia dikabari bah-wa istrinya telah tewas dan
telah dikuburkan di
pemakaman umum di pinggiran kadipaten (Baca
episode : "Pertunangan Berdarah").
Sewaktu Warok Singo Lodra datang bersama istrinya, Warok Jogoboyo langsung meminta
Nyai Gembili untuk memasakkan untuknya. Saat
Nyai Gembili pergi ke pasar, Warok Jogoboyo segera menceritakan tentang peristiwa yang terjadi di rumahnya. Termasuk tentang
hilangnya potongan lempengan logam warisan guru mereka, Resi
Kalangwan. Nyatanya, kekhawatiran Warok Singo
Lodra terbukti. Sejak dari rumah, pikirannya telah dihantui kekhawatiran terhadap Nyai Kumitir
istri Warok Jogoboyo, serta hilangnya potongan
lempengan logam seperti yang dialaminya.
Untungnya, kedua warok itu tak begitu kalut menghadapi hilangnya potongan lempeng logam yang mereka miliki. Kini mereka seolah tak
begitu mempersoalkan warisan guru mereka yang
berisi peta petunjuk tentang sebuah harta karun
dan sebuah kitab suci berisi ilmu-ilmu tingkat
tinggi. Yang jadi persoalan buat mereka adalah,
Warok Darmo Singo. Manusia laknat yang telah
mengadu domba mereka. Mereka tahu, tak mudah untuk menemukan harta karun dan kitab
sakti yang disembunyikan Resi Kalangwan di
puncak Gunung Wilis. Sebab, tak mudah untuk
memecahkan makna yang tergurat di atas peta.
Disamping membutuhkan otak cerdas, juga
membutuhkan kebersihan jiwa yang amat tinggi.
Itu yang membuat mereka tak begitu kalut. Lagian, mana ada tokoh yang memiliki hati bersih"
Dan bila Warok Darmo Singo berhasil
mendapatkan kedua potongan lempeng logam itu,
bukan berarti bisa mengangkangi harta serta kitab sakti tadi. Cuma saja, sepak terjangnya itulah yang membuat kedua warok
geram bukan main.
Mengadu domba serta membuat anak- anak mereka harus menerima akibatnya. Ini yang membuat Warok Singo Lodra dan Warok Jogoboyo merasa harus membuat perhitungan dengan Warok
Darmo Singo. Begitu pulang dari pasar, Nyai Gembili baru diceritakan tentang keadaan Nyai Kumitir.
Sempat perempuan ini memarahi suaminya yang
tidak segera menceritakan, tapi segera dilerai Warok Jogoboyo dan Satria
Gendeng. "Kira-kira, kapan Paman Warok berdua
akan segera mencari biang kutil itu?" letus Satria, tiba-tiba.
Bujubuneng! Satria menyebut Warok Darmo Singo biang kutil di hadapan Warok Singo Lodra" Sesesat-sesatnya Warok Darmo Singo bukankah dia adik kandung Warok Singo Lodra"
Enteng betul mulut si bocah bau kencur itu. Kalau Warok Darmo Singo biang kutil, lalu Warok
Singo Lodra apa" Kakeknya kutil" Atau rajanya
kutil" Tapi mana mau peduli si bocah bertabiat
sinting dengan segala ucapannya. Baginya, segala ucapan yang terlempar dari
mulutnya tak lebih
dari kentut yang berlalu begitu saja. Nyaris tanpa makna. Kecuali dalam hal-hal
tertentu. "Sebentar lagi kami berangkat, Satria. Sasaran pertama kami adalah Gunung Wilis. Kami
yakin, dia menuju ke sana," jawab Warok Singo Lodra, tak tersinggung adik
kandungnya dibilang
biang kutil. Baginya, julukan apa saja yang buruk-buruk bagi adik kandungnya tak cukup untuk mengampuni perbuatan adiknya. Ganjaran
yang pantas bagi Warok Darmo Singo hanyalah
mati! Begitu tekadnya.
"Kau bersedia membantu kami, Satria?" se-la Warok Jogoboyo, menoleh pada si
bocah tengik. Dasar Satria. Tawaran Warok Jogoboyo baginya dianggap sebagai penghormatan besar. Perasaannya pun melambung. Dadanya sedikit terangkat. Cuma karena tidak tahu harus bagaimana melampiaskannya, walhasil mulutnya hanya
cengar-cengir serba salah.
"Tentu, tentu, Paman. Sekuat tenaga aku
akan membantu kalian. Asal...."
Satria memenggal kata-katanya. Sengaja.
Entah, apa maksudnya.
"Asal apa, Satria?" tanya Warok Singo Lodra, penasaran.
"Asal Paman Warok berdua bisa mengendalikan diri masing-masing. Artinya, tak gampang
menjadi korban adu domba lagi," kata-kata Satria meluncur begitu saja dan seolah
ditujukan kepada kedua warok. Tapi justru yang blingsatan malah Warok Singo Lodra. Sebab, dialah orang keras kepala dengan menuruti bisikan
setan selama ini.
"Maksudku begini," Satria berusaha menjelaskan lebih lanjut, tak enak bila dia
menyinggung perasaan Warok Singo Lodra. "Jika Kalian berhadapan dengan Warok
Darmo Singo, yang ada di hadapan
kalian adalah kejahatan. Bukan Warok Darmo
Singo. Masalahnya, yang kita perangi adalah kejahatan, bukan adik kandung Warok Singo Lodra.
Dan bukan mustahil, Warok Darmo Singo akan
mempersiapkan diri dengan siasat-siasat lain,
yang belum kita ketahui."
Mestinya, kedua warok amat marah dinasihati bocah kemarin sore di hadapan mereka ini.
Tapi, entah kenapa kedua warok ini memandang
Satria Gendeng bak layaknya seorang resi yang
membawa perbawa tinggi. Bahkan kepala mereka
manggut-manggut, seolah tengah berhadapan
dengan guru mereka sendiri. Edan! Malaikat mana yang tengah merasuki si bocah bertabiat sinting" "Kami mengerti, Satria. Mudah-mudahan kami bisa memandang lebih jeli dengan
siapa kami berhadapan, tanpa memandang siapa lawan. Kini, aku sendiri lebih mengerti, apa hidup sebenarnya. Bahwa hidup selalu
tak lepas dari persoalan. Dan setiap persoalan butuh penyelesaian, kendati itu terasa pahit. Biar bagaimanapun kita harus menghadapinya. Sejak aku tahu
bahwa adikkulah yang menjadi pokok permasalahannya, aku telah bersumpah untuk melenyapkannya. Aku tak peduli, siapa dia. Meski, dia adalah adik kandungku sendiri.
Karena aku juga
menyadari yang kuhadapi adalah kejahatan, bukan adik kandungku," papar Warok Singo Lodra tegas. "Syukur kalau Paman Warok
Singo Lodra berpandangan demikian. Lalu, bagaimana dengan
Paman Warok Jogoboyo?" lempar Satria. Kepalanya menoleh pada tuan rumah.
"Sebenarnya, hukum warok memang demikian, Satria. Kami tak memandang siapa yang
bersalah. Kami hanya memandang kesalahannya.
Dan menurut kami, kesalahan Warok Darmo Singo sudah di luar batas. Maka dengan amat terpaksa tanpa mengurangi rasa maafku pada Kakang Warok Singo Lodra, aku harus membunuhnya," Warok Jogoboyo menatap Warok Singo Lodra. "Jangan bicara begitu, Adi Warok
Jogoboyo. Rasanya justru aku merasa malu terhadapmu. Seandainya nanti kau harus membunuh
adik kandungku di hadapanku, rasanya aku pun
ingin meludahi mayatnya. Bahkan rasanya itu belum cukup. Kau tahu sendiri, anakku Nawangsih
telah dibuat gila olehnya," geram Warok Singo Lodra, bila mengingat perbuatan
Warok Darmo Singo. "Gila" Siapa yang gila, Paman Warok?" malah Satria yang tercekat.
"Anakku, Satria. Nawangsih. Karena perbuatan adik kandungku, Nawangsih kini kuungsikan di rumah kerabat istriku. Aku benar-benar
terpukul, Satria. Aku malu karena anakku gila...,"
desah Warok Singo Lodra, sarat kegalauan.
Satria manggut-manggut. Berat juga persoalan yang dihadapi kedua warok ini, katanya
dalam hati. Mereka sama-sama terkena musibah
akibat ulah biang kutil itu. Seperti apa sih orangnya" Rasanya tanganku sudah
gatal ingin membrondoli bulu-bulunya. Tentu saja tidak untuk
bulu yang itu, lanjutnya, mesam-mesem sendiri.
"Kalau begitu, aku akan pergi ke rumah
Paman Warok Singo Lodra. Mudah-mudahan saja,
aku bisa menyembuhkan putri Paman," cetus Satria. "Apa"!" ledak Warok Singo
Lodra, kontan berdiri dari duduknya. Matanya melotot, nyaris
membuat jantung Satria copot. "Kau bisa menyembuhkan anakku, Satria"!" lengaknya, nyaris tak percaya.
Menyesal Satria berkata begitu. Pelototan
Warok Singo Lodra tak sedikit banyak membuat
tangannya harus mengelus-elus dada. Kaget sih
kaget. Tapi jangan pakai melotot begitu, dong! Rutuk Satria dalam hati. Sudah
tampangnya seram,
pakai melotot lagi. Apa jadinya tak seperti gendruwo" "Ya, lihat saja nanti, Paman. Aku tak mau
membuat janji. Yang penting aku akan mengusahakannya," sahut Satria, kalem.
"Oh, terima kasih. Terima kasih, Satria,"
ucap Nyai Gembili, terharu, seraya meremasremas tangannya sendiri. Maksudnya sih mau
meremas-remas Satria dalam pelukannya, tapi
rasanya suaminya bakal naik pitam.
Saking harunya, justru Warok Singo Lodra
yang menghampiri Satria. Dipeluknya si bocah
sakti tanah Jawa yang masih duduk di kursi makan. Tinggal Satria yang meringis-ringis, tergelitik oleh bulu-bulu lebat di
wajah Warok Singo Lodra.
"Terima kasih, Satria. Kalaupun kau tak
berhasil menyembuhkan anakku, aku tetap akan
menghargai usahamu. Niat baikmu menunjukkan
bahwa kau adalah pendekar sejati yang selalu peduli pada kesulitan orang lain," ucap Warok Singo Lodra. "Dan aku juga akan
berterima kasih jika kau sudi menyingkirkan bulu-bulu dari wajahku,
Paman Warok. He he he.... Geli, tahu!" semprot Satria. "He he he.... Edan...,
edan. Heran. Aku kok tak bisa marah padamu, Can Bagus! Mungkin kalau orang lain
sudah kukemplang kepalanya bila
berani mengusik-usik bulu-buluku. Tapi terhadapmu?" Warok Singo Lodra melepaskan pelukan seraya menggeleng-geleng kepala.
"Tapi aku tak tahu ada di mana anakmu,
Paman?" tanya Satria.
"Kau bisa ke Ponorogo bersama istriku,"
Satria Gendeng 20 Bisikan Iblis Lembah Keramat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kata Warok Singo Lodra.
"Paman tak cemburu?" Satria melirik nakal pada Nyai Gembili yang masih terlihat
cantik, kendati usianya telah kepala empat.
"Aku sangat percaya padamu, Cah Bagus!"
"Kenapa Paman begitu percaya kepadaku?"
"Karena kau Satria Gendeng."
"Kalau aku bukan Satria Gendeng?"
"Pasti kau orang gendeng! Ha ha ha...."
* * * Kadipaten Ngawi pada waktu yang sama.
Sehabis makan siang. Adipati Suro Brajan
duduk bersama Panglima Adi Kencono di pendopo
keraton. Di sebelah sang Adipati duduk seorang
pemuda berpakaian kebesaran keraton. Sedangkan istri sang Adipati tak terlihat. Mungkin sedang berada di kaputren bersama putri perempuannya yang beranjak dewasa.
"Kau sekarang telah mengerti keadaan Nawangsih. Dan kau telah bertekad untuk tetap
menikahinya. Apa kau tak malu mempunyai istri
gila, Anakku?" tanya Adipati Ngawi, pada pemuda di sebelahnya.
Dialah Senoaji. Putra sang Adipati yang belum lama pulang ke keraton setelah berguru ilmu
olah kanuragan di Padepokan Blambangan.
"Apa pun keadaan Nawangsih, aku tetap
akan menikahinya, Ayah. Aku yakin Gusti Yang
Maha Agung akan menyembuhkan Nawangsih,"
tegas Senoaji. Yakin, seyakin-yakinnya. Tutur katanya pun terdengar halus, tapi
mengandung ke- tegasan. "Aku kagum padamu, Anakku. Ternyata di
Blambangan kau tak hanya ditempa ilmu-ilmu silat, tapi juga ditempa dengan sifat-sifat welas
asih. Kata-katamu benar-benar membanggakanku, Anakku. Lalu, kapan kau akan pergi ke Ponorogo?" Mata sang Adipati berbinar-binar, meman-carkan rasa kekaguman yang tak
dibuat-buat. Tulus dari hatinya yang paling dalam.
"Mungkin sore nanti aku akan berangkat,
Ayah. Apakah Ayah tak keberatan?" sahut Senoaji, halus.
"Oh, tidak. Kendati rasa rinduku belum
habis, tapi demi memulihkan nama baikku di hadapan Kakang Warok Singo Lodra, aku rela melepasmu. Jaga nama baik Ayah di hadapan Warok
Singo Lodra. Sampaikan salam hormatku padanya," Adipati Suro Brajan mengucek-ucek rambut panjang anaknya.
"Sekarang, aku mohon restu Ayah. Doakan
agar aku senantiasa dilindungi oleh-Nya," Senoaji mengatupkan kedua telapak
tangannya di depan
hidung. "Tentu, Anakku. Doaku selalu mengiringi
langkahmu. Dan kau bisa ditemani Panglima Adi
Kencono selama perjalananmu," Adipati Suro Brajan memandang lelaki gagah
berpakaian panglima
di hadapannya yang duduk bersila di lantai beralaskan permadani halus.
Senoaji memandang pula pada panglima
yang tengah menakupkan kedua telapak tangan
di depan hidung. Lalu bibir si pemuda tersenyum.
Sumringah sekali.
"Aku rasa tak perlu, Ayah," tolak Senoaji, membuat ayahnya terlengak.
"Apa maksudmu, Anakku" Perjalanan menuju Ponorogo cukup berbahaya. Perampok yang
dipimpin Tentara Langit masih berbahaya di Hutan Wonocolo. Sedangkan kau mau pergi seorang
diri?" terabas sang Adipati.
"Maksudku bukan apa-apa, Ayah. Justru
kalau aku ditemani Paman Panglima Adi Kencono
malah menarik perhatian mereka. Maka untuk
itu, aku akan menyamar sebagai rakyat jelata.
Apakah Ayah tak keberatan?"
Sejenak Adipati Suro Brajan tercenung. Bisa jadi pendapat anaknya benar. Sebab, kebanyakan para perampok di Hutan Wonocolo telah
mengenali wajah Panglima Adi Kencono. Begitu
seringnya sang Panglima menyatroni hutan itu,
membuat wajahnya gampang dikenali. Lain halnya Senoaji. "Bagaimana, Ayah?" usik Senoaji.
"Kalau itu sudah jadi tekadmu, aku menurut saja. Aku yakin kau tak sia-sia memperdalam
ilmu-ilmu silat dan kesaktian di Blambangan.
Doaku menyertaimu," desah sang Adipati.
"Oh, terima kasih, Ayah...." Senoaji bangkit, lalu memeluk erat-erat ayahnya.
TIGA TOKOH tua mana yang tak mengenal Manusia Sesat Kaki Empat"
Kalau bisa mundur seratus tahun lalu,
maka dunia persilatan tak akan lupa dengan sepak terjang Manusia Sesat Kaki Empat. Boleh dibilang, tokoh itu adalah datuknya kaum sesat di
kawasan Jawa bagian Timur. Konon, ia berasal
dari tanah Bali. Atau tepatnya di Gunung Agung.
Begitu menginjakkan kakinya di Banyuwangi, petaka pun dibuatnya. Sejarah kelam pun ditorehnya dalam dunia persilatan. Dengan alasan yang
hanya sepele, tangan kejamnya pun bisa memakan korban jiwa. Bahkan hanya persoalan kentut
sekalipun! Pernah suatu kali, Manusia Sesat Kaki
Empat bertandang ke sebuah desa di Banyuwangi. Di sebuah kedai, kebetulan dia berpapasan
dengan seorang lelaki tua yang kebelet buang air besar lantaran sakit perut. Si
tua itu tanpa sengaja kentut di hadapan Manusia Sesat Kaki Empat.
Tak ayal lagi, tangannya pun melayang tanpa belas kasihan. Sekali kepruk, nyawa si tua itu tercabut! Sepak terjang Manusia
Sesat Kaki Empat
berlanjut. Akibatnya membuat kepala Adipati Banyuwangi puyeng senat-senut. Bahkan kemudian
di kadipaten itu berjangkit sebuah penyakit mengerikan, akibat ulah racun yang ditebarkan Manusia Sesat Kaki Empat di sungai yang menjadi
sumber kehidupan rakyat Banyuwangi.
Untuk menghentikan sepak terjang Manusia Sesat Kaki Empat, Adipati Banyuwangi lantas
meminta bantuan Resi Kalangwan. Dan lewat sebuah pertarungan sengit, Manusia Sesat Kaki
Empat bisa dikalahkan. Maka sejak itu si tokoh
sesat lenyap entah ke mana. Tak berbekas, bagai
kentut yang meletus dari pantat. Terbawa angin,
lalu lenyap tak tahu juntrungannya.
Tak ada yang tahu kalau kemudian Manusia Sesat Kaki Empat bersembunyi di Lembah Keramat, kecuali orang-orang tertentu di kalangan
tokoh sesat. Kalaupun Warok Darmo Singo bisa tahu
tentang tempat tinggal Manusia Sesat Kaki Empat, maka itu tak lain dari cerita guru sesatnya yang bergelar Iblis Rogo
Jembangan. Secara kebetulan, ketika Warok Darmo
Singo tiba di Lembah Keramat, sebuah suara telah menuntunnya. Membawanya ke hadapan tokoh yang diharapkan bisa membantu dirinya.
Manusia Sesat Kaki Empat.
Waktu terus bergulir.
Seperti air mengalir.
Hari-hari lalu mulai tersingkir.
Lama berpikir, akhirnya Warok Darmo Singo memutuskan untuk menjadikan Manusia Sesat Kaki Empat sebagai guru terakhir. Tekadnya
sudah bulat. Hatinya membaja
"Aku telah membuat keputusan untuk
menjadi muridmu, Manusia Sesat Kaki Empat,"
putus Warok Darmo Singo waktu itu, ketika lelaki tua kurus berkaki empat di
hadapannya menjelaskan asal-usul dirinya.
"Bagus ... bagus.... Kau tak salah pilih. As-al tahu saja, aku telah memperdalam
sebuah ilmu hitam yang dapat kau gunakan untuk menghadapi musuh-musuhmu, Kau mau?" lanjut Manusia
Sesat Kaki Empat.
Warok Darmo Singo mengangguk cepat.
Karena, memang itu yang diharapkannya.
"Tapi ada syaratnya...," sambung lelaki tua keropos itu.
"Apa syaratnya?"
"Cari mayat perawan yang meninggal tak
lebih dari setengah purnama. Dan, bawa mayat
itu ke sini," jelas Manusia Sesat Kaki Empat, gamblang.
Warok Darmo Singo melengak. Susah
payah dia menelan ludahnya sendiri. Matanya
mendelik. Bibir tebalnya meringis jelek.
"A..., apa... ada syarat lain?" gagapnya.
Segarang-garangnya Warok Darmo Singo,
kalau berurusan dengan gali kubur hatinya kebat-kebit juga. Memang, dia sudah sering melihat mayat-mayat dari orang-orang
yang dibunuhnya.
Tapi kalau melihat mayat yang telah lama dipendam dalam tanah"
"Kalau kau minta syarat lain, enyah saja
dari hadapanku!" semprot Manusia Sesat Kaki Empat, enteng.
"Tap..., tapi...."
"Tidak ada tapi-tapian! Cari mayat tepat
pada tengah malam. Terserah, di kuburan mana
kau cari. Pastikan kalau mayat itu masih perawan. Kau sanggup"!" tekan Manusia Sesat Kaki Empat, lebih galak lagi nada
suaranya. Biji matanya nyaris melompat keluar.
Tak ingin berbelit-belit, kepala Warok Darmo Singo mengangguk-angguk. "Sang..., sanggup!" katanya. Hati ciutnya berusaha dikembang-kan. "Nah, pergilah sekarang
juga. Kuberi kau waktu selama lima hari. Lewat dari hari yang ku-tentukan,
jangan bermimpi bisa berguru denganku!" "Baiklah, Manusia Sesat Kaki Empat," baru saja Warok Darmo Singo hendak
bangkit.... "Hei, Slompret!" bentak lelaki tua kropos.
Tercekat, Warok Darmo Singo menahan gerakannya. Lalu, kembali duduk bersila seperti ta-di.
"Mana hormatmu terhadap gurumu"!" ledak si tua berkaki lebih.
"Oh, maaf. Sembah hormatku padamu,
Guru," ucap lelaki tinggi besar itu seraya menakupkan kedua tangan di depan
hidung. Lalu tubuhnya berbalik, meninggalkan ruangan goa ini.
Untuk menuntun jalan dalam kegelapan, dicabutnya obor yang menancap di dinding.
* * * Siang terik. Dua sosok manusia gagah menempatkan
telapak tangannya di jidat. Tatapan mereka terarah ke puncak Gunung Wilis yang tinggi menjulang seolah hendak menggapai langit. Keduanya
sama-sama mengenakan pakaian komprang warna hitam tanpa dikancingi. Seolah hendak memamerkan bulu-bulu lebat di dada kekar mereka.
Celana mereka berwarna sama, juga terlihat
komprang. Wajah mereka pun sama-sama ditumbuhi bulu-bulu lebat. Yang membedakan satu
sama lain, yang seorang bertubuh lebih tambun.
Siapa mereka"
Siapa lagi mereka kalau bukan Warok Singo Lodra dan Warok Jogoboyo" Dua warok satu
perguruan yang belum lama diadu domba oleh
Warok Darmo Singo, adik kandung Warok Singo
Lodra sendiri" (Baca episode : "Pertunangan Berdarah").
"Kau yakin Darmo Singo ada di sana, Kakang?" buka Warok Jogoboyo. Mata jelinya mengarah ke puncak Gunung Wilis.
"Kalau keparat itu sudah mendapatkan
dua potongan lempeng logam warisan Guru kita,
ke mana lagi tujuannya?" tukas Warok Singo Lodra, yakin sekali.
"Aku heran, bagaimana Darmo Singo bisa
tahu kalau kita memiliki peta itu, Kakang?"
"Tak usah heran, Adi. Kalau kita tahu
bahwa Iblis Rogo Jembangan masih hidup, keherananmu akan terjawab."
"Maksudmu" Kau curiga bahwa di balik peristiwa ini, Iblis Rogo Jembangan adalah dalangnya?" "Tepat. Karena, siapa lagi manusia sesat yang mengetahui tentang lempeng
logam warisan Guru kita kalau bukan dia?"
"Jadi dugaanmu, Warok Darmo Singo telah
berguru pada Iblis Rogo Jembangan?"
"Kau tepat lagi. Sebenarnya sudah lama
aku curiga padanya. Terutama ketika dia membawa-bawa senjata pusaka Keris Klabang Ijo yang
kita ketahui milik Iblis Rogo Jembangan. Semula
aku tak peduli, karena kupikir itu urusannya.
Dan lagi saat itu dia sedang patah hati, setelah cintanya ditolak oleh seorang
gadis," papar Warok Singo Lodra.
Sejenak suasana jadi mati. Alam seolah
membisu. Angin gunung mendesah-desah, menerpa wajah mereka. Warok Singo Lodra mengembuskan napas sesak. Dadanya menggelegak
bila mengingat perbuatan adik kandungnya.
"Ternyata ketidakpedulianku membawa petaka. Aku tahu, tabiat adik kandungku beberapa
tahun ini. Begitu brangasan. Tapi sungguh tak
kuduga kalau tindakannya telah terlalu jauh. Aku benar-benar menyesal, Adi,"
desah Warok Singo Lodra. "Sudahlah, Kakang. Aku sendiri telah ik-hlas dengan
kepergian istri dan anakku. Aku yakin, semua ini karena kehendak Yang Maha Kuasa. Jadi kau tak perlu menyesal lagi, Kakang.
Satria Gendeng 20 Bisikan Iblis Lembah Keramat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Yang penting sekarang, kita harus memerangi kejahatan yang dilakukan Darmo Singo, seperti kata bocah digdaya bernama Satria
itu," hibur Warok Jogoboyo.
"Kau benar, Adi. Rasanya kita tak perlu
menyesali apa yang telah terjadi. Hhmmmh! Aku
tak akan peduli, siapa yang akan kuhadapi. Meski harus berhadapan dengan adik
kandungku sekalipun!" geram Warok Singo Lodra.
"Sekarang, mari kita melanjutkan perjalanan, Kakang," ajak Warok Jogoboyo.
Tak menjawab, Warok Singo Lodra segera
menggebah kuda kekarnya. Gerakannya segera
diikuti Warok Jogoboyo.
Tapi baru saja beberapa tarikan napas mereka menggebah....
Wrrrr...! "Awas, Adi!"
"Hih!"
Satu sambaran angin menderu. Memburu.
Membawa satu ancaman maut dengan sebentuk kekuatan dahsyat. Tapi, kedua warok tak
kalah sigap. Tangkas, keduanya melenting dari
punggung kuda yang masih berlari kencang. Di
udara, mereka berputaran lalu meluruk turun ke
bumi. Di tanah, keduanya segera mengedarkan
pandangan. Mata besar mencorong mereka mendelik, mencari-cari siapa orang yang berani usil terhadap mereka.
Sebuah pohon yang terhantam angin menderu tadi kontan tumbang. Menciptakan suara
gemuruh. Batang pohon yang jadi sasaran tampak hangus. Jelas, angin menderu yang agaknya
dari sebuah pukulan jarak jauh itu dilepaskan
oleh seseorang yang memiliki kepandaian tinggi.
Kalau saja kedua warok itu tidak bertindak sigap, bisa dipastikan akan mengalami
nasib serupa seperti pohon tadi.
Selagi kedua warok masih mengedarkan
pandangan.... "Dilarang memasuki kawasan Gunung Wilis...." Sebuah suara serak dan kasar menahan gerak kepala kedua warok.
Tersentak, mereka
lantas saling berpandangan. Suara tadi seperti
dari belakang. Tapi ketika tadi mereka melihat ke belakang, tak sepotong manusia
pun ada di sana.
Lantas, siapa yang bersuara"
Penasaran, Warok Singo Lodra dan Warok
Jogoboyo saling mengadu punggung sambil terus
mengedarkan pandangan. Tapi, tak juga ditemukan orang yang bersuara tadi.
"Tikus brewok macam kalian sebaiknya cepat menyingkir dari sini, sebelum kesabaranku
habis!" Kembali suara serak dan kasar menyentak.
Membuat kegeraman kedua warok mulai menggelegak. Bagi mereka, manusia yang tak mau menampakkan diri setelah melepas serangan gelap
adalah pengecut. Dan kedua warok ini paling tidak sudi dipermainkan oleh pengecut busuk!
"Siapa pun kau, keluar pengecut busuk!
Kami tak punya waktu untuk mengurusi manusia
pengecut macam kau!" sembur Warok Singo Lodra, tak kuasa menahan kegeraman. Gelegar suaranya bagai hendak menohok langit. Menggema,
menyebar ke segala penjuru. Matanya sendiri telah memerah, menyiratkan kemarahannya. Uraturat lehernya mengembung dengan gigi bergemulutuk. "Kalian menantangku?" leceh suara serak.
"Jika kau mengusik kami, apa salahnya?"
sambut Warok Jogoboyo.
"Mendiang guru kalian si tua keropos Resi
Kalangwan saja belum bisa mengalahkanku. Kini
kalian hendak menantangku. Sebenarnya, aku
masih penasaran dengan si tua keparat Kalangwan. Sayang, dia keburu mampus. Mungkin sekarang tinggal tengkorak, ya?" Suara serak tadi kembali bernada melecehkan.
Kembali, kedua warok itu tersentak. Setidaknya, mereka mulai bisa menerka suara siapa
yang terdengar. Apakah mungkin musuh besar
guru mereka telah hadir pula di Gunung Wilis"
Lantas, kenapa yang muncul bukan Warok Darmo Singo" "Aku tahu, siapa kau, Keparat"! Apa urusanmu mencegah kami memasuki kawasan Gunung Wilis ini"!" ledak Warok Singo Lodra.
'"Asal kalian tahu saja, sejak hari ini Gunung Wilis telah menjadi wilayah kekuasaanku!"
"Apa hakmu mengangkangi wilayah ini"
Sejak dulu, Gunung Wilis adalah tempat di mana
Guru kami bersemayam. Tempat itu terlalu suci
untuk diinjak oleh manusia macam kau! Sudahlah, keluar saja dari tempat persembunyianmu,
Iblis Rogo Jembangan! Cepat atau lambat, kami
akan menemukanmu!" dengus Warok Singo Lodra. "Itu berarti kalian menginginkan kematian kalian sendiri!"
"Terserah, apa anggapan mu!"
Brosss! Kata-kata terakhir Warok Singo Lodra disambut oleh buncahan tanah ke udara tepat lima
tombak di hadapan kedua warok. Bersama tebaran tanah ke udara, melesat satu bayangan hitam. Beberapa kali si bayangan hitam berputaran, lalu mendarat empuk di bumi. Tatapan nyalangnya langsung menghujam pada kedua warok
di hadapannya. "Iblis Rogo Jembangan...." Meski telah menduga siapa orang yang bersuara tadi,
tak urung nama itu meluncur dari bibir kedua warok
secara berbarengan....
EMPAT SATRIA dan Nyai Gembili akhirnya tiba di
tempat tujuan. Dari Kadipaten Trenggalek ke Kadipaten Ponorogo jika memotong jalan lewat Bukit Munthang hanya memerlukan
perjalanan setengah harian. Itu kalau mereka menggunakan ilmu
lari cepat. Dan pada kenyataannya memang demikian. Semula Satria tak tahu, siapa Nyai Gembili.
Dikiranya, wanita berusia kepala empat itu hanya ibu rumah tangga biasa. Dan si
pemuda jadi amat
tercengang ketika Nyai Gembili mengajaknya berlari sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh. "Kau..., kau tak salah, Nyai?" perangah Satria, waktu itu.
"Memang kenapa" Kau pikir hanya kaum
lelaki saja yang bisa berlari cepat" Ayolah, Satria.
Jangan membuat kepercayaanku meluntur," desak Nyai Gembili. Maksudnya dia ingin menguji
Satria. Sebab selama ini dia hanya mendengar dari mulut ke mulut saja tentang kepandaian si
anak muda bau kencur. Bukan membuktikannya
secara langsung.
"Ah, Nyai. Kau ada-ada saja. Kepercayaan
apa yang Nyai maksudkan?" Satria berpura-pura.
"Jangan berlagak pilon, Cah. Suamiku pernah bilang kalau kau adalah pendekar hebat di
tanah Jawa. Tapi itu belum cukup untuk membuatku percaya. Apalagi kau berniat menyembuhkan anakku. Di rumah Adi Warok Jogoboyo
aku bisa percaya dengan omonganmu. Tapi di sini
nanti dulu. Aku perlu bukti dulu dengan mengajak mu berlari cepat. Kau setuju" Bila kau menolak, lebih baik urungkan niatmu untuk mengobati
anakku. Biar aku mencari tabib yang lebih sakti
ketimbang berhadapan dengan bocah kemarin
sore," cecar Nyai Gembili.
"Kepandaian seseorang bukan untuk dipamerkan, Nyai. Tapi diamalkan," kilah si bocah bau kencur, bijak.
"Tapi bagaimana aku bisa tahu kalau kau
memiliki kemampuan sedangkan untuk kuajak
berlari cepat saja kau menolak?" cecar Nyai Gembili, keras kepala.
Satria hanya menggeleng-gelengkan kepala.
Kepala batu juga perempuan ini, rutuknya. Mulutnya meringis. Bukan karena takut kalah, tapi
karena dugaannya terhadap Nyai Gembili meleset
amat jauh. Dan melihat perempuan tua itu mendesaknya terus-menerus, si anak muda merasa
yakin kalau wanita itu ternyata tak bisa dianggap sembarangan.
"Bagaimana, Cah Bagus?" cetus Nyai Gembili, menggusur lamunan Satria.
"Larilah lebih dulu, Nyai," sahut Satria enteng. Kali ini malah Nyai Gembili
yang tercekat. "Kau..., kau tak salah, Cah Bagus" Kau menyuruhku lari lebih dulu?" gagapnya.
"Lho..." Nyai ini bagaimana, sih" Tadi menantangku, sekarang malah seperti ayam kesambet?" celoteh Satria.
"Bukan begitu. Tapi apakah kau tak takut
kalah?" tukas Nyai Gembili.
"Kalah menang soal belakangan. Nah, larilah lebih dulu," tekan Satria.
"Baiklah kalau begitu."
Di ujung kalimatnya, perempuan itu langsung mengempos semangatnya. Sekali sentak,
tubuhnya telah melesat cepat bagai anak panah
dilepaskan dari busur. Membelah udara bebas,
memangkas angin yang menerpa ke arahnya.
Si anak muda bertabiat sinting hanya
menggeleng-geleng kepala melihat semangat Nyai
Gembili yang menggebu-gebu. Keras juga kemauan perempuan itu, katanya membatin. Entah
apakah buah kelapa di dadanya masih sekeras
kemampuannya" Eh, kenapa aku jadi ngomong
melantur begini" Habis, walaupun sudah berumur, wajahnya masih kelihatan cantik, sih! Kalau tak ingat Paman Warok Singo
Lodra sudah ku...,
he he he.... Bisa ngeres juga otakku. Janganjangan, aku ketularan Kakek Dongdongka" Tapi
memang bisa jadi. Biar sudah keropos begitu, Kakek Dongdongka bisa ijo juga bila melihat tunggir besar! Dalam hati, si anak
muda bertabiat sinting menghitung. Tepat sampai hitungan keseratus,
tubuhnya meletik ke atas pohon. Sehimpun kekuatan pun dikerahkan ke kedua kakinya disertai
ilmu meringankan tubuh. Lalu tubuhnya melesat
ke pohon lain, searah dengan kepergian Nyai
Gembili tadi. Dari pohon itu, tubuhnya kembali
melesat ke pohon lain. Begitu seterusnya.
Hanya beberapa tarikan napas, dari atas
pohon Satria Gendeng sudah bisa menangkap kelebatan tubuh Nyai Gembili. Di bawah sana, tampak si perempuan sebentar-sebentar menoleh ke
belakang. Ketika matanya tak menangkap tubuh
Satria, samar-samar senyumnya mengembang.
Hatinya sudah merasa yakin kalau Satria tak
mampu mengalahkannya.
Satria Gendeng mengerahkan ilmu meringankan tubuh setinggi mungkin. Sehingga ketika
melewati lesatan tubuh Nyai Gembili, gerakannya
tak tertangkap sedikit pun oleh si perempuan keras kepala. Bahkan ketika Bukit Munthang telah
terlewati, Nyai Gembili masih mengira kalau lawannya telah tertinggal jauh di belakang.
Memasuki Kadipaten Ponorogo, Satria
Gendeng menghentikan lesatan tubuhnya. Di dekat pintu gerbang kadipaten, dia turun dari atas pohon. Ditunggunya Nyai Gembili
di jalan utama kadipaten. Dia yakin istri Warok Singo Lodra itu akan melewati jalan ini.
Benar saja. Lamat-lamat, mata si anak muda menangkap bayangan ramping menuju ke arahnya. Cepat, Satria bersembunyi di balik gerbang yang berupa gapura dari batu.
Saat itu, Nyai Gembili sudah berjalan seperti biasa. Dia tak ingin menarik perhatian pen-duduk kadipaten dengan lari
cepatnya. Dan ketika satu tombak lagi sampai di dekat gerbang....
"Apa kabar, Nyai. Tak ada gangguan dalam
perjalanan?" Tiba-tiba Satria nongol dari balik gerbang. Bibirnya tersenyumsenyum nakal. Tinggal Nyai Gembili yang terlongong bengong. Matanya mendelik dengan mulut terbuka. Untung
saja tak ada lalat jahil yang berniat memasuki
mulutnya. "Kau..., kau.... Kenapa bisa begitu...?" gagapnya, setelah bisa menguasai
keadaan. "Ya bisa saja. Memangnya kenapa" Aneh"
Ah, sudahlah Nyai. Ayo tunjukkan, di mana Nawangsih diungsikan?" tepis Satria terhadap keheranan Nyai Gembili.
Masih dengan rasa penasaran, Nyai Gembili melangkah. Satria menjajari. Sesekali matanya melirik ke wajah perempuan di
sampingnya yang
masih terlihat merah dadu. Agaknya rasa malu
belum terusir dari hatinya.
Sementara, Nyai Gembili seolah masih belum mempercayai kekalahannya dari si pemuda
bau kencur. Kepalanya menggeleng-geleng lemah,
Edan! Rutuknya, membatin. Kini aku benar-benar
yakin, siapa Satria sesungguhnya. Ah, kalau saja Nawangsih tidak dipinang oleh
Senoaji, aku mau
memungut anak muda tampan ini menjadi mantuku.... * * * Tidak. Warok Singo Lodra dan Warok Jogoboyo tak gentar barang sedikit pun ketika seorang lelaki tua berkepala botak
telah berdiri di hadapan mereka. Matanya bulat besar, nyaris keluar
dari rongganya. Hidungnya lebar. Ketika meringis, gigi-giginya lancip seperti
mata gergaji. Tidak berpakaian, kecuali pada bagian terlarangnya yang
hanya ditutupi kulit kayu. Yang menjadi ciri
khasnya, kedua manik matanya berbentuk seperti
mata kucing. Dia memang Iblis Rogo Jembangan!
Satria Gendeng 20 Bisikan Iblis Lembah Keramat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"He he he.... Rasa penasaranku terhadap
guru kalian bisa ku tuntaskan pada kalian. Sekaligus, untuk mencegah kalian memasuki wilayah
yang sekarang sudah menjadi milikku," celoteh Iblis Rogo Jembangan.
"Mestinya kau tahu, Keparat! Gunung Wilis
adalah tempat asal kami. Di sana telah bersemayam jasad Guru kami. Dan tak seorang pun
boleh mengutak-atik kesuciannya!" damprat Warok Singo Lodra.
"Tak ada yang bisa menghalangi niatku,
Tikus-tikus Brewok! Kalau kalian tak terima, silakan hadapi aku," tantang Iblis
Rogo Jembangan, jumawa.
"Sebelum kami membuat perhitungan denganmu, aku ada pertanyaan buatmu," timpal Warok Jogoboyo, kalem.
"Apa"!"
"Apa hubunganmu dengan Warok Darmo
Singo?" "O, dia. Si tikus clurut itu kini telah menjadi murid murtadku. Dia telah
berkhianat kepadaku. Dan aku wajib membunuhnya. Sayang,
waktu itu dia mampu melarikan diri dari tanganku," sahut Iblis Rogo Jembangan, makin memperlihatkan kepongahannya. "Kalau tak
salah, murid murtadku itu adik salah satu dari kalian yang
bernama Warok Singo Lodra. Yang mana Warok
Singo Lodra" Tunjuk tangan!"
Memerah wajah Warok Singo Lodra. Katakata Iblis Rogo Jembangan membuat kupingnya
terasa panas. Cuping hidungnya jadi kembangkempis mendengus-dengus bagai banteng liar.
Memang benar, Warok Darmo Singo adik kandungnya. Tapi kalau disuruh tunjuk tangan begitu" Sama saja si tua keropos itu sengaja hendak
menginjak-injak harga dirinya!
"Kelihatannya tingkahmu semakin tengik
saja, Orang Tua Keparat! Dan kami tidak tinggal
diam melihat tingkah busukmu. Kini sudah jelas,
siapa yang jadi biang keladi kerusuhan di Kadipaten Ponorogo dan Trenggalek.
Sekarang kami akan menagih tanggung jawabmu!"
Di ujung kalimatnya, Warok Singo Lodra
melompat ke kiri. Lincah, dibuatnya kuda-kuda
kokoh setelah melepas cemeti Buntut Kelabang
miliknya yang sekaligus menjadi ikat pinggang.
Cletarrr...! Udara seolah robek oleh sambaran cemeti
yang dilecutkan Warok Singo Lodra. Menghadapi
lawan yang nyaris setara dengan mendiang gurunya, lelaki brewokan ini tak mau bertindak
tanggung-tanggung lagi. Senjata pusakanya langsung dikerahkan. Karena menurutnya, orang macam Iblis Rogo Jembangan pun akan bertindak
sama. Cletarrr...!
Sama halnya Warok Singo Lodra, Warok
Jogoboyo pun telah melepas cemeti Buntut Kelabang miliknya yang sekaligus sebagai ikat pinggang. Dia pun cukup tahu, siapa Iblis Rogo Jembangan. Untuk itu, dia tak ingin bertindak setengah-setengah. Suara cemetinya
pun memangkas udara, membawa hawa kematian.
Kedua warok itu sama sekali tak mempedulikan kalau beberapa hari yang lalu mereka telah bertarung habis-habisan. Luka dalam mereka
belum lagi pulih. Sekarang, mereka harus bertarung dengan salah satu datuk sesat yang kepandaiannya nyaris setara dengan mendiang guru
mereka. Memang, waktu itu Satria sempat memberi
obat pulung pada kedua warok untuk mengobati
luka dalam sehabis bertarung di Bukit Munthang.
Tapi kemudian disarankan agar kedua warok itu
segera bersemadi. Sayang, saran Satria tak begitu ditanggapi, karena mereka
merasa sudah baik-kan. Tapi untuk menghadapi tokoh sesat berkepandaian tinggi macam Iblis Rogo Jembangan jelas membutuhkan pengerahan tenaga dalam setinggi-tingginya. Dan kalau hal itu sampai terjadi, ibarat meniupkan udara pada
plembungan yang
sudah terisi penuh oleh udara.
Sesuatu yang dipaksa memang akan
menghasilkan risiko tinggi. Tapi kedua warok tak peduli. Mereka telah mematok
harga mati. Siapa
saja yang berani mengusik kesucian puncak Gunung Wilis, berarti mati. Apalagi, orang itu ternyata biang keladi.
"Heaaa...!"
Berkawal bentakan merobek angkasa, Warok Singo Lodra dan Warok Jogoboyo melompat
bersamaan. Menerjang dengan satu sambaran
cemeti yang menjilat-jilat angkasa.
Cletarrr...! "Hih!"
Saling bersahutan, salakan cemeti kembali
terdengar. Sambarannya mengincar kepala dan
dada Iblis Rogo Jembangan. Hendak dirancahnya
tubuh keropos si lelaki sesat.
Tapi, Iblis Rogo Jembangan bukan tokoh
kemarin sore. Seujung jari lagi kedua cambuk
menyengat, dibuangnya tubuh ke belakang. Ketika kakinya sampai di tanah setelah membuat putaran beberapa kali, tubuhnya langsung menghujam tanah, masuk ke perut bumi. Lalu hilang tak
berbekas! Tinggal kedua warok yang celingukan. Mereka cepat menghampiri tempat Iblis Rogo Jembangan menembus tanah tadi. Mestinya, tanah
bekas dihujam tubuh sebesar itu akan menciptakan lubang. Tapi pada kenyataannya, seolah tanah-tanah itu bisa seperti diuruk kembali.
Belum habis keheranan kedua warok, dari
belakang.... Bross...! Bed...! Di belakang mereka, Iblis Rogo Jembangan
tiba-tiba muncul dalam jarak lima tombak. Kedua
tangannya langsung menghentak ke depan, melepas pukulan jarak jauh.
Merasakan desir angin panas dari belakang, kedua warok tercekat. Kini mereka tahu,
dengan cara inilah Iblis Rogo Jembangan menyerang mereka tadi. Pantas tadi mereka mencaricari, tapi tak berhasil menemukan orang yang
menyerang, sebelum Iblis Rogo Jembangan menampakkan diri.
Tak gampang menaklukkan kedua warok
begitu saja. Sebelum angin panas menghantam,
Warok Singo Lodra dan Warok Jogoboyo menghentakkan kedua kaki. Saat itu juga tubuh mereka meletik ke atas, menghindari serangan.
Angin panas terus menderu ke depan.
Menciptakan suara menggetarkan. Memangkas
udara, lalu menghantam sebuah pohon cukup
besar. Blarrr...!
Tepat ketika kedua warok mendarat di tanah, menghadap ke arah serangan, pohon yang
terkena sasaran nyasar kontan tumbang. Seperti
tadi, batang pohonnya terlihat berlubang dan
hangus. Si pemilik pukulan jarak jauh sendiri telah
kembali amblas ke dalam bumi, menghilang bagai
tikus tanah. Dengan memasang pendengaran tajam
yang diarahkan ke permukaan bumi, kedua warok berusaha melacak keberadaan Iblis Rogo
Jembangan. Kening mereka berkerut dalam dengan kepala agak miring. Memang terdengar suara
bergemuruh di dalam bumi. Sepertinya, Iblis Rogo Jembangan tengah menggangsir
tanah dengan kecepatan tinggi. Mirip tikus yang tengah mencari jalan di dalam tanah.
Tiba-tiba.... Tap! "Heh"!"
Tahu-tahu kedua kaki Warok Joboyo telah
tercengkeram dua tangan yang menjulur dari
permukaan tanah. Begitu cepat, sehingga lelaki
tambun itu tak sempat mengelak.
Dengan mengerahkan tenaga dalamnya,
Warok Jogoboyo berusaha melepaskan diri. Namun, usahanya menemui jalan buntu. Agaknya,
tenaga dalam Iblis Rogo Jembangan dua tingkat
di atasnya. Di tempatnya, Warok Singo Lodra terperanjat begitu menyadari bahwa adik seperguruannya
menemui bahaya. Bahkan kini dengan amat cepat, kaki Warok Jogoboyo telah terbenam hingga
lutut. Sebisanya, Warok Singo Lodra menangkap
kedua tangan Warok Jogoboyo setelah menyelipkan gagang cemetinya ke pinggang.
"Tahan, Adi! Pegang tanganku kuat-kuat.
Kerahkan tenaga dalammu!" perintah Warok Sin-go Lodra.
Sungguh serangan seperti ini di luar perkiraan kedua warok. Sewaktu mereka mendapat serangan gelap dengan cara aneh tadi, sebenarnya
mereka cukup terkejut kalau yang berbuat adalah
Iblis Rogo Jembangan. Setahu mereka, lelaki tua
keropos itu belum memiliki ajian amblas bumi
seperti ini. Tapi nyatanya"
"Ah, Kakang! Tarikan dari bawah begitu
kuat! Aku sudah mengerahkan tenaga dalam
sampai setinggi mungkin. Tapi semakin banyak
kukerahkan, dadaku terasa nyeri sekali. Kita terlalu bodoh, Kakang. Kita tak
menggubris saran
pendekar muda itu," rintih Warok Jogoboyo. Mulutnya meringis-ringis dengan mata
menyipit. Su- sah payah dia berusaha bertahan, tapi per-lahan
tapi pasti tubuhnya makin terbenam dalam tanah. Padahal, Warok Singo Lodra telah berusaha
membantu menariknya ke atas. Juga, dengan
pengerahan tenaga dalam tinggi!
"Jangan patah semangat, Adi! Bertahanlah.
Aku tak akan membiarkanmu mati secara seperti
ini!" Warok Singo Lodra terus memberi semangat pada adik seperguruannya. Tapi,
usahanya sia-sia saja. Tetap saja tubuh Warok Jogoboyo kian terbenam. Bahkan
sekarang sudah mencapai kedua
pahanya. "Ha ha ha.... Dua tikus brewokan kalang
kabut dijemput maut. Sudah kubilang, kalian tak
lebih dari tikus-tikus korengan yang belum pantas menghadapiku...."
Samar-samar, terdengar suara melecehkan
Iblis Rogo Jembangan. Sungguh suatu kepandaian yang luar biasa. Bagaimana mungkin bila
tubuhnya berada di dalam tanah, tapi masih bisa
mengirimkan suara ke permukaan bumi. Bahkan
mungkin, untuk menggerakkan bibir saja susah
bukan kepalang. Tapi lelaki sesat itu"
"Iblis keparat! Bertarunglah secara jantan!
Jangan jadi pengecut begini!" teriak Warok Singo Lodra, kalut bukan main. Malah
tanpa dapat di-cegahnya, tubuh Warok Jogoboyo telah terbenam
sampai dada! Mengenaskan sekali nasib adik seperguruan Warok Singo Lodra itu kali ini. Wajahnya telah terlihat memerah. Mulutnya makin meringis-ringis dahsyat. Napasnya mendengusdengus. Giginya bergemelutukan. Dia berusaha
bertahan, tapi sia-sia.
Semakin lama, tubuh Warok Jogoboyo telah terbenam sampai ke leher. Warok Singo Lodra
sendiri nyaris putus asa. Perasaannya jadi tak karuan. Tak tega dia melihat
nasib adik seperguruannya. Tapi tiba-tiba....
Bross! Entah bagaimana, tahu-tahu tubuh Warok
Jogoboyo begitu ringan bisa ditarik keluar. Bahkan kemudian....
"Aaakh...!"
Ada apa gerangan"
LIMA SETELAH mengambil Nawangsih di rumah
salah satu kerabatnya, Nyai Gembili segera menyerahkannya pada Satria Gendeng untuk diobati. Ketika bertemu si pemuda, Nawangsih melihat
seolah-olah wajah Satria adalah wajah Senoaji.
Langsung diterkamnya si anak muda. Dihujaninya wajah Satria dengan ciuman-ciuman ganas.
Satria sejenak gelagapan. Namun cepat
tangannya bergerak menotok. Tiga kali totokan,
membuat si gadis kontan tak berdaya. Barulah
ketika Nawangsih ditidurkan di pembaringannya,
Satria Gendeng bisa memulai pengobatan.
Sebagai murid Tabib Sakti Pulau Dedemit,
Satria pun diturunkan ilmu totokan untuk membuka aliran urat-urat syaraf. Sehingga ketika
mengobati Nawangsih, diterapkannya semua ilmu
totokan untuk membuka urat-urat syaraf yang
mengganggu alam pikiran si gadis.
Hanya sekali pandang saja, si anak muda
perkasa tahu kalau penyebab gilanya Nawangsih
bukan karena mengetahui bahwa dia gagal menikah dengan Senoaji, tapi juga pengaruh totokan
di bagian kepala belakangnya. Satria menduga
demikian, karena sewaktu Nawangsih menubruknya, gerakan kepalanya, terlihat kaku. Bisa jadi, sebelum Nawangsih ditotok pada
Satria Gendeng 20 Bisikan Iblis Lembah Keramat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bagian kepalanya, dia terlebih dulu dijejali oleh cerita tentang kegagalan
pernikahannya. Walhasil, begitu dia
tertotok, yang menyangkut dalam ingatannya
hanya bayangan Senoaji.
Selesai diobati, Nawangsih tergolek pingsan. Dan Satria segera meninggalkannya. Begitu
tiba di ambang pintu kamar, Nyai Gembili cepat
menyambutnya. "Bagaimana, Satria" Apakah Nawangsih bisa kau sembuhkan?" sodor Nyai Gembili, tak sabar. "Tenang, Nyai. Aku belum bisa
memastikan. Tunggu saja sampai dia siuman. Terlalu pagi kalau aku bilang bahwa
Nawangsih sudah sembuh. Kalau dia sudah siuman, baru bisa dilihat,"
tukas si anak muda, kalem.
Nyai Gembili menghembuskan napas kecewa. Tarikan pada wajahnya menyiratkan demikian. Tanpa kata, diterobosnya masuk ke dalam
kamar Nawangsih. Satria sendiri segera melangkah menuju ruang tengah.
Baru saja Nyai Gembili duduk di sisi pembaringan.... "Ohh...."
Satu desahan halus terlontar dari bibir merah merekah Nawangsih. Kepalanya membuat gerakan lemah. Lalu perlahan-lahan matanya membuka. Pandangannya masih samar-samar. Lamatlamat, terlihat sebuah bayangan di depan wajahnya. Bayangan yang amat dikenalnya.
"Ibu...?" sebut Nawangsih begitu pandangannya mulai menjelas.
Nyai Gembili tersentak. Keharuan dan kegembiraan bergumul menjadi satu dalam hatinya.
Ditubruknya si anak dengan segala ungkapan kasih sayang. "Anakku.... Kau sudah sembuh, Nak?"
Meski sudah tahu kalau anaknya telah siuman
pertanda kesembuhannya, masih saja pertanyaan
itu meluncur dari bibir Nyai Gembili.
"Memangnya aku kenapa, Bu?" aju Nawangsih. Tinggal si ibu gelagapan. Mau bilang bahwa
anaknya gila, jelas tak mungkin. Bisa jadi Nawangsih bakal terpukul hatinya. Dan Nyai Gembili jadi cengar-cengir serba salah.
"Kau pingsan berkepanjangan, Anakku,"
katanya, berdusta.
"Kenapa aku sampai pingsan" Setahuku, di
kamar ini hanya ada Paman Warok Darmo Singo.
Dia menceritakan kepadaku bahwa Senoaji telah
berkhianat terhadapku. Dan katanya, aku batal
dinikahi oleh Kangmas Senoaji. Benarkah itu,
Bu?" tuntut Nawangsih, menggebu-gebu.
"Pamanmu berdusta, Anakku," sergah Nyai Gembili, tak ingin bercerita banyakbanyak karena khawatir anaknya akan terpukul.
"Kata Paman Warok Darmo Singo, Kangmas Senoaji akan menikah dengan Ratna Kumala, anak Paman Warok Jogoboyo" Dan ayah katanya mau membuat perhitungan pada Kangmas
Senoaji serta Paman Warok Jogoboyo" Benarkah
itu, Ibu?" cecar Nawangsih.
Kembali Nyai Gembili gelagapan. Bingung
dia menjawabnya.
"Sekarang apa yang kau rasakan, Anakku?" Nyai Gembili mengalihkan perhatian.
"Rasanya badanku berangsur-angsur mulai
segar, Bu. Ketika Paman Warok Darmo Singo bercerita, dia mengelus-elus kepalaku dengan kasih
sayang. Lalu aku merasakan kepalaku pusing
bukan main. Tak lama kemudian, aku tak ingat
apa-apa lagi, kecuali wajah Kangmas Senoaji. Itu saja," papar Nawangsih.
Nyai Gembili makin yakin bahwa yang menyebabkan Nawangsih gila tak lain adalah adik
kandung suaminya sendiri. Karena nafsu setan
telah menguasai hatinya, keluarga sendiri tegateganya dijadikan korban.
"Nah sekarang kau beristirahatlah dulu.
Ibu akan mengambil makan untukmu. Kau mau?"
ujar Nyai Gembili.
"Aku belum lapar, Bu. Oh, ya. Ayah mana"
Apakah Ayah jadi menyatroni Paman Warok Jogoboyo?" tanya Nawangsih.
"Ayahmu sedang berziarah ke makam gurunya di Gunung Wilis bersama Warok Jogoboyo,"
sahut Nyai Gembili, hati-hati.
"Mereka tidak bertarung?"
Nyai Gembili menggeleng lemah. "Tak ada
pertarungan di antara mereka. Ayahmu dan Paman Warok Jogoboyo telah seperti saudara kandung." Nawangsih mengerutkan keningnya. Heran.
Tapi sebelum dia mengajukan pertanyaan, ibunya
telah berlalu dari kamarnya. Seolah takut disodori pertanyaan-pertanyaan yang
membuat dadanya
sesak. Betapa tidak" Peristiwa demi peristiwa
yang terjadi akibat ulah Warok Darmo Singo benar-benar menyesakkan dadanya!
Tiba di luar kamar, Nyai Gembili menuju
ke ruang tengah. Tapi di sana dia tidak menemukan Satria lagi.
Ke mana bocah itu"
Penasaran, Nyai Gembili keluar rumahnya.
Kepalanya celingukan di luar. Tak juga terlihat
batang hidung si bocah bau kencur. Satria menghilang tanpa meninggalkan pesan. Seperti kentut.
Muncul begitu saja tanpa permisi, menghilang begitu saja meninggalkan bau.
Slompret juga itu anak. Datang ke rumah
orang, pulang tanpa mohon pamit. Untung saja
dia telah berjasa pada Nyai Gembili. Kalau tidak, Nyai Gembili bakal mencapnya
sebagai bocah yang tak punya sopan santun. Tapi, bocah macam Satria mana kenal sopan santun" Bahkan
tabiatnya cenderung sinting. Bisa jadi tabiat Dedengkot Sinting Kepala Gundul
menurun ke pa- danya. Nyai Gembili melihat ada seorang tetangganya tengah menumbuk padi di halaman seberang rumahnya. Seorang wanita berusia cukup
tua. Dihampirinya si wanita tua.
"Kau tak melihat seorang pemuda berpakaian rompi putih keluar dari rumahku, Nini?"
tanyanya, ketika berada di pinggir jalan depan
rumahnya. "Rambutnya panjang berwarna kemerahan?" Si perempuan tua berusaha meyakinkan.
"Ya! Ke mana dia?"
"Aku tadi melihat dia keluar dari rumahmu. Lalu, dia pergi ke arah utara," sahut si perempuan tua.
Nyai Gembili mengarahkan pandangannya
ke utara. Tak ada tanda-tanda bayangan tubuh si
pemuda. Begitu cepat perginya Satria. Nyai Gembili jadi teringat kekalahannya dalam mengadu
ilmu lari cepat dengan si pemuda perkasa. Wajar
saja kalau Satria begitu cepat menghilang....
* * * Kembali ke kaki Gunung Wilis.
Apa yang terjadi pada pertarungan antara
Warok Singa Lodra dan Warok Jogoboyo melawan
Iblis Rogo Jembangan"
Satu lengking kesakitan terdengar. Mengoyak ketegangan dua warok yang nyaris putus
asa. Asalnya bukan dari mulut Warok Jogoboyo.
Dan itu disadari betul oleh Warok Singo Lodra.
Karena saat menarik adik seperguruannya tadi,
tak terdengar suara apa pun dari mulut Warok
Jogoboyo. Lantas dari mulut siapa"
Tepatnya, memang dari mulut Iblis Rogo
Jembangan. Karena sebentar kemudian permukaan tanah tak jauh dari kedua warok membuncah ke angkasa. Bersamaan dengan itu, terlihat
tubuh Iblis Rogo Jembangan mencelat ke angkasa. Disusul kemudian, mencelat pula satu sosok
tubuh dari lubang yang sama! Siapakah dia"
"Hei, Tikus Tanah! Jangan lari kau! Aku
belum puas memencet benda keramatmu!" seru
sosok tubuh keropos yang muncul belakangan.
Iblis Rogo Jembangan sendiri masih meringis-ringis ketika sampai di bumi. Kedua telapak
tangannya membekap benda keramatnya yang
tadi dipencet lelaki tua keropos berkepala gundul yang kini telah berdiri di
depannya. "Setan kau, Dedengkot Sinting Kepala
Gundul! Mengapa kau mencampuri urusanku!"
geram Iblis Rogo Jembangan, memaki kalang kabut. Untung saja, benda keramatnya tak sempat
pecah saat dipencet oleh lelaki gundul yang tak
lain Dongdongka alias Dedengkot Sinting Kepala
Gundul. Setan apa yang membuat Dedengkot Sinting Kepala Gundul ada di kaki Gunung Wilis"
Bahkan tiba-tiba muncul di dalam tanah, langsung memamerkan kesintingannya. Tapi, siapa
yang peduli Dongdongka mau muncul di mana"
Wong manusia macam dia saja sudah diibaratkan
bagaikan manusia setengah siluman" Mau muncul lubang kubur kek, di kolong ranjang pengantin kek, mana mau Dongdongka peduli"
"Aku mencampuri urusanmu dengan apa"
Dengan tai kambing" Atau dengan tai sapi" Yah,
siapa tahu rasanya tambah sedap. Nah, kau makanlah sendiri!" balas Dongdongka, seenaknya.
Panas telinga Iblis Rogo Jembangan mendengar kata-kata sengak Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Namun menghadapi sesepuhnya para
sesepuh dunia persilatan, nyalinya terdepak entah ke mana. Dia cukup tahu diri, siapa Dongdongka. Manusia langka tahan mati yang paling
ditakuti oleh golongan sesat. Menghadapi Resi Kalangwan, Iblis Rogo Jembangan
boleh berimbang.
Dan terakhir malah dia kalah, kemudian kembali
muncul setelah memperdalam ilmu sesatnya.
Sayang, Resi Kalangwan telah mati. Tapi untuk
menghadapi Dongdongka, Iblis Rogo Jembangan
mesti menelan ludah beberapa kali. Itu pun dengan susah payah.
"'Sayang, aku tak punya waktu untuk
menghadapimu, Tua Busuk!" desis Iblis Rogo
Jembangan, menyembunyikan ketakutannya.
"Jadi, kapan kau punya waktu" Kapan...,
kapan" Ayo bilang padaku! Terus terang, aku belum puas meremas benda keramatmu!" seru
Dongdongka, bak bujangan menagih janji pada
kekasihnya. "Suatu waktu, Tua Keparat! Suatu waktu
aku harus membalas perlakuanmu!"
"Perlakuanku" Bukankah perlakuanku
mengenakkanmu" Malah tadi kulihat kau meremmelek. Asyik, kan?" ledek Dongdongka.
Karena untuk melawan sudah tak punya
nyali, Iblis Rogo Jembangan berbalik. Sekali kakinya menyentak, tubuhnya telah melesat meninggalkan tempat ini. Membawa dendam mendalam pada lelaki buluk bernama Dedengkot Sinting
Kepala Gundul. "Terima kasih, Panembahan. Kau telah
menyelamatkan nyawa kami berdua...."
Sebuah suara berat perlahan membuat si
tua buluk berbalik. Keningnya langsung berkerut, menatapi Warok Singo Lodra yang
bersuara tadi. Sedangkan Warok Jogoboyo tengah bersemadi,
setelah tadi habis-habisan mengerahkan tenaga
dalamnya. "Siapa kau, Manusia Bulu?" Seenaknya
Dongdongka memanggil Warok Singo Lodra dengan julukan seperti itu. Sambil berkata begitu,
bambu tipis di tangan kirinya diketuk-ketukkan
ke kepalanya yang licin tidak berbulu.
"Saya Warok Singo Lodra. Dan itu, adik seperguruan saya, Warok Jogoboyo," sahut Warok Singo Lodra. Tak tersinggung dia
dibilang Manusia Bulu oleh manusia lapuk di depannya.
"Hmmm, ya. Apakah kalian tahu, di mana
makam si Kalangwan manusia sok suci itu?"
tanya Dongdongka dingin.
Tercekat Warok Singo Lodra. Nada suara
lelaki lapuk itu terdengar dingin. Seolah, ada persoalan antara Dedengkot
Sinting Kepala Gundul
dengan Resi Kalangwan, gurunya. Setahuku, Dedengkot Sinting Kepala Gundul adalah tokoh putih, walaupun tabiatnya rada sinting" Tanya Warok Singo Lodra, membatin. Bahkan dia juga guru
dari anak muda yang memisahkan pertarunganku
dengan Warok Jogoboyo" Tapi, kok dia mengatakan kalau Resi Kalangwan sebagai manusia sok
suci" Apakah dia ada persoalan dengan guru"
Kalau dia ada persoalan, kenapa mesti
mencari makamnya" Dan berarti, dia tahu kalau
guru sudah mati. Lanjut batin Warok Singo Lodra. Mau apa dia ke makam guru" Mau mengobrak-abrik"
"Aku tak menyuruhmu melamun, Manusia
Bulu?" sentak Dongdongka, menggusur lamunan Warok Singo Lodra. "Aku menyuruhmu
menjawab pertanyaanku, heh"! Ayo, jawab!"
"Maaf, Panembahan, makam Guru kami
berada di puncak Gunung Wilis itu," Warok Singo Lodra menunjuk ke arah gunung.
Satria Gendeng 20 Bisikan Iblis Lembah Keramat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kira-kira, ada keperluan apa Panembahan mengunjungi makam
Guru Kami?"
"Bodoh..., bodoh!"
"Siapa yang bodoh, Panembahan?"
"Kau!" tunjuk Dongdongka, seenaknya.
Merah wajah Warok Singo Lodra. Mestinya,
dia berhak marah dan menghajar Dongdongka.
Tapi, lelaki brewok ini sangat tahu, siapa Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
Sabar..., sabar.... Hi-burnya dalam hati.
"Tolong tunjukkan kebodohan saya, Panembahan," pinta Warok Singo Lodra, tetap berusaha bersabar.
"Itu, benda keramatmu kelihatan, Goblok!"
tunjuk Dongdongka ke arah bagian bawah Warok
Singo Lodra. Lelaki tinggi besar itu melirik ke bawah.
Dan..., ya ampun! Celana komprangnya telah melorot tanpa disadari! Mendelik kedua biji mata
Warok Singo Lodra. Cepat ditariknya celana yang
melorot. Cengar-cengir, lelaki tinggi besar itu
memandang Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
"He he he.... Keasyikan, ya" Manusia Bulu..., Manusia Bulu. Ternyata bulu-bulumu menjalar tak karuan, ya" Kok, kenapa aku begitu gersang, ya?" oceh Dongdongka,
mulai ngeres otak-nya. "Maaf, Panembahan. Saya benar-benar tak menyadari," ucap
Warok Singo Lodra, gugup.
Bagaimana Warok Singo Lodra sampai tak
tahu kalau celananya melorot"
Awalnya, dari kedatangan Dongdongka ke
tempat ini. Lelaki buluk itu sebenarnya hendak
menziarahi makam Resi Kalangwan di Gunung
Wilis. Cuma, dia tak tahu di mana letak yang pas-ti. Ketika baru tiba di kaki
gunung, Dedengkot
Sinting Kepala Gundul melihat Warok Singo Lodra
tengah menarik Warok Jogoboyo. Menduga ada
sesuatu di dalam bumi, dengan kepandaiannya
yang amat tinggi, si tua buluk segera amblas ke
bumi. Perut bumi digangsirnya, hingga sampai ke
arah Iblis Rogo Jembangan yang tengah menarik
Warok Jogoboyo. Begitu sampai, langsung dipencetnya benda keramat milik Iblis Rogo Jembangan. Begitu pegangan Iblis Rogo Jembangan pada Warok Jogoboyo terlepas, Warok Singo Lodra
dapat menarik adik seperguruannya ke permukaan bumi. Tapi sayang, tangan kiri Warok Jogoboyo terlepas dari pegangan. Karena kaget bisa
terlepas tiba-tiba, tangan kiri Warok Jogoboyo
tanpa sengaja menarik celana komprang Warok
Singo Lodra. Dan itu tidak disadari Warok Singo
Lodra, sampai terlihat oleh Dongdongka.
"Eh, tadi kau bilang, kalian murid dari si
Kalangwan sok suci itu, ya?" Dongdongka mengalihkan pembicaraan.
"Benar, Panembahan," sahut Warok Singo Lodra. "Kalau begitu, kau bisa
mengantarku ke makamnya. Aku mau menziarahinya," pinta si tua buluk, seenaknya.
"Bagaimana dengan adik seperguruan
saya, Panembahan?" Warok Singo Lodra melirik Warok Jogoboyo yang masih
bersemadi. "Tinggalkan saja di sini. Kuntilanak juga
ketakutan melihat wajahnya," sahut Dongdongka.
Lagi-lagi seenaknya. Serba salah Warok Singo Lodra. Bila tak mau, yang meminta adalah kenalan
gurunya. Dengan menziarahi makam Resi Kalangwan, Warok Singo Lodra yakin kalau Dongdongka adalah kawan dekat gurunya. Dan bila dia
bersedia mengantarkan, hatinya tak tega pada
Warok Jogoboyo yang agaknya terluka dalam cukup parah. "Kau mengkhawatirkan adik seperguruanmu?" Dongdongka tahu gelagat.
"Benar, Panembahan," desah Warok Singo Lodra. "Percayalah.... Dalam sepuluh
hitungan dia pasti sudah selesai bersemadi...," paksa Dedengkot Sinting Kepala
Gundul. Belum juga Warok Singo Lodra menyahut.... "Tinggalkan aku. Kakang. Antarkan Panembahan Dongdongka ke makam Guru,"
belum sampai sepuluh hitungan, Warok Jogoboyo telah
bersuara. Lega hati Warok Singo Lodra.
"Apa kubilang...?" lonjak Dongdongka.
ENAM KADIPATEN Trenggalek. Malam menawarkan kebencian hampir pada setiap makhluk. Alam
seolah menggeliat. Angin mendengus-dengus,
menerpa pepohonan hingga meliuk-liuk. Kegelapan mengurung permukaan bumi. Bulan yang
hanya sepotong tak berdaya terkepung gerombolan awan hitam. Bak tangan-tangan iblis hendak
menjamah sang Dewi Malam. Bintang gemintang
sendiri nyaris bernasib sama. Kecuali pada cakrawala di bagian barat yang hanya tersaput
awan putih. Tak jauh dari pemakaman umum di pinggiran Kadipaten Trenggalek, sebuah bayangan hitam bergerak menembus kegelapan. Langkahnya
Pendekar Elang Salju 1 Pendekar Hina Kelana 22 Peri Bunga Iblis Kekaisaran Rajawali Emas 5
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama