Satria Gendeng 10 Nisan Batu Mayit Bagian 1
Episode I : PASUKAN KELELAWAR
Episode II : MEMBURU M. MAKAM KERAMAT
Episode III : BANGKITNYA DEWA PETAKA
Episode IV : NISAN BATU MAYIT
Hak cipta dan copy right pada
penerbit di bawah lindungan
undang-undang Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
SATU SEBENARNYA terlalu sulit untuk menentukan
di mana harus berdiri saat kebenaran menjadi teramat pahit dan pedih. Memutuskan
untuk berdiri di atas
kebenaran itu sendiri seakan-akan sengaja menjerumuskan diri ke dalam kawah yang tak hanya menyiksa, namun terkadang dapat membunuh. Berdiri membelakangi kebenaran mungkin lebih mudah. Bahkan
cenderung begitu menyenangkan, bagai menikmati roti hangat di tengah malam
dingin. Dan itulah kenyataan yang ditawarkan sang
dunia yang telah demikian renta. Disuguhkannya tiga pilihan yang selalu dapat
diambil salah satunya; berdiri di atas kebenaran, membelakangi, dan lari dari
kebenaran, atau menginjak-injak kebenaran.
Seperti kenyataan manis dan pahit, kebenaran
tak pernah lebih bisa dinikmati, kecuali pahitnya. Dan rasa manis itu tak akan
kunjung nyata, kecuali ketika rasa pahit sudah terhayati secara penuh. Bukankah
pahit ada karena manusia kenal rasa manis"
Seorang manusia bernama Arya Sonta telah
memilih satu di antara tiga pilihan hidup. Dia memutuskan untuk menginjak-injak
kebenaran berpuluhpuluh tahun lalu hanya untuk memuaskan kerakusan
nafsunya. Karena pilihannya itu pula, dia harus menerima
nasib dimusnahkan oleh seorang raja yang justru berdiri di atas kebenaran dan
menjadi seterunya. Matilah dia. Membawa segenap kemaksiatan ke dalam liang
lahat. Namun, selama dunia masih berdenyut, tak
ada yang bisa menjamin kebenaran akan tetap tegak
sebagai pemenang. Pada saatnya, kebatilan akan
bangkit kembali dan mengacungkan tantangan. Begitu
pula Arya Sonta. Dari kematian, dia bangkit kembali.
Diusungnya kembali sebutan yang telah lama terkubur; Manusia Makam Keramat! Berarti, sekali lagi ketajaman kebenaran diuji.
Sekali lagi, ketajamannya harus mampu menghadapi tantangan kebatilan.
Namun begitu, kebenaran selalu punya
'sesuatu' untuk dipergunakan membabat 'lawan abadi'nya. Untuk Arya Sonta, si Manusia Makam Keramat, 'sesuatu' yang dimaksud adalah....
Keris Kiai Kuning!
* * * Malam menua, pekat dengan hawa dingin. Kekelaman tak terusik sinar gemintang dan bulan. Detik-detik merayap menuju tepat
tengah malam. Di batas Desa Rangkas, sesosok bayangan memangkas udara dingin. Asalnya dari atas sebuah pohon besar. Melintas cepat seperti setan kesiangan ke bawah, lalu hinggap tanpa
suara di atas tanah.
Di bawah sendiri, telah menanti dua sosok tubuh. Satu orang berperawakan gagah. Dia seorang
pemuda berambut panjang. Mengenakan rompi bulu
dari samakan kulit hewan. Yang lain adalah lelaki kurus. Usianya jauh bertaut
dengan si pemuda. Terlalu tua. Rambutnya terlalu panjang. Ujungnya bahkan
sampai tergerai di tanah. Wajahnya terlalu seram untuk ukuran manusia. Apalagi
dengan jenggot yang tak kalah panjang dengan rambutnya. Tanpa pakaian. Dia
hanya mengenakan balutan kain kotor pengganti celana. Tak begitu jauh dari tempat kedua lelaki berbeda usia itu berdiri, seorang perempuan tergeletak tak sadarkan diri di dekat
semak belukar. Perempuan yang terbilang ayu dan bertubuh sintal. Dari
pakaiannya, dia lebih kentara sebagai gadis desa biasa ketimbang wanita warga
persilatan. Orang yang baru turun dari atas pohon berusia
tak kalah tua dengan lelaki berambut panjang. Kepalanya gundul sehabis-habisnya. Sepertinya, sudah tak ada harapan rambutnya bakal
tumbuh lagi, kecuali
untuk jamur atau kudis. Wajahnya tak terlalu jelek.
Yah, mirip-mirip siluman pasar yang paling ganteng
begitu! Badannya sudah kurus kering. Dia pun mengenakan penutup kain dekil sebagai pengganti celana.
Begitu tiba, manusia keropos yang tak lebih dari sekumpulan tulang hidup itu langsung mengomel
sepanjang gerbong kereta tebu. Ricuhnya melebihi teriakan burung Cucarawa satu
kadipaten! Kata-katanya sulit dimengerti. Omelannya terlalu cepat dan simpang
siur. Kalau sudah begitu, siapa yang bakal merasa
diomeli" Sewaktu nafasnya sudah hampir putus, baru
kalimatnya agak bisa dimengerti.
"Dasar manusia kualat! Tak pernah kapokkapoknya kau berbuat brengsek hos... hos... hos!"
Si pemuda menyambut kehadirannya dengan
senyum mengembang. Sumringah, kendati sedikit meringis. "Apa kabar, Kek?" sapanya.
Sahutannya sungguh tak nyaman didengar.
"Apa kabar" Tai kucing, diam kau! Ini urusan
orang tua. Kau bocah, cukup tutup mulut!!"
Lalu, dengan langkah dibanting-banting sampai
menyebabkan tanah bergetar dan pohon menggigil,
orang tua berkepala 'plontos' mendekati lelaki tua berambut panjang.
"Truna.... Apa kabarmu, Tua Bangka?" sambut Manusia Makam Keramat. Nama semasa
muda Dongdongka disebutnya. Di dunia persilatan, hanya segelin-tir orang yang
mengetahui nama muda Dongdongka.
Itu pun terbatas pada orang-orang yang sudah amat
mengenalnya. Walhasil, Arya Sonta si Manusia Makam
Keramat pasti salah seorang yang sudah amat mengenal sesepuh persilatan itu.
Kenyataannya memang demikian. Arya Sonta
adalah saudara Dongdongka sendiri. Saudara satu
ayah lain ibu. Mereka sempat tumbuh besar bersama
di Mataram ketika masih kecil. (Baca kembali episode sebelumnya: "Bangkitnya
Dewa Petaka"!).
Dongdongka mendengus sekali, lalu dua kali,
tiga kali, dan berkali-kali. Dia sudah mirip banteng jantan tua yang siap
mengamuk. Seraya bertolak pinggang tinggi-tinggi, (memperlihatkan ketiak yang
sudah kehabisan bulu) si tua berjuluk Dedengkot Sinting Kepala Gundul itu mulai
berkoar lagi. "Katakan padaku Arya Sial, apa maumu sebenarnya"!"
Mendapati pertanyaan Dedengkot Sinting Kepala Gundul, Manusia Makam Keramat malah memperdengarkan tawa.
"Kau memang tolol, Truna! Kau pikir untuk apa
aku bangkit dari alam yang amat gelap" Untuk sekadar melihat tampang memuakkan mu" Tidak, Truna!
Aku kembali dengan satu tujuan. Takhta Pajajaran
yang dulu luput ku genggam, harus dapat ku raih kali ini. Lebih dari itu, aku
ingin seluruh kalangan persilatan menciumi telapak kakiku setiap pagi dan
sore!!!" sesumbar Manusia Makam Keramat, di ujung ledakan
tawanya. "Kau memang bejat, Arya! Kau tahu itu"!" caci
Dongdongka. "Apa kau baru mengenalku, Truna" Hm" Memang begitulah aku.... Setelah puluhan tahun mengenal aku, apa kau berharap aku tiba-tiba berubah
menjadi malaikat suci?""
"Aku berharap kau berubah menjadi kotoran
kerbau!" sergah Dongdongka.
Manusia Makam Keramat tertawa lagi.
"Kau pun tetap tak berubah, Truna. Kau sadari
itu" Lalu untuk apa kau berharap aku berubah" Apa
kau mengira langit akan menjadi bumi" Bumi menjadi
matahari" Matahari menjadi angin" Mereka memainkan peran sendiri-sendiri!"
"Tapi kau bukan bumi, langit, matahari, angin, atau tai kucing, dan segala
macam! Kau manusia Arya.
Manusia punya kemampuan untuk mengubah peran
dirinya. Kecuali kau bukan manusia. Kecuali kau tak lebih dari penjelmaan iblis
durjana! Sepanjang usia semesta yang renta ini, iblis tetap memerankan kedurjanaan. Apa kau seperti itu?"
"Jangan menceramahi aku, Truna!"
"Siapa yang bilang aku menceramahi mu" Aku
mengingatkan mu, tahu! Sebagai seorang saudara, aku punya kewajiban untuk itu!"
"Tapi aku tak memerlukannya!"
Sisa gigi di mulut Dedengkot Sinting Kepala
Gundul bergemeletukan. 'Geregetan' sekali dia dengan saudaranya ini. Dari dulu
sampai sekarang, yang na-manya Arya Sonta tak pernah bisa membuat darahnya
jadi sedikit tenang.
"Tai kucing, tai kucing, tai kucing kau Arya!"
Akhirnya, Dongdongka cuma bisa menyumpahnyumpah sampai jakunnya hampir mau meloncat keluar. Manusia Makam Keramat sendiri seperti tak
mempedulikan kegusaran Dongdongka. Mata berbinar
menggidikkannya malah menerkam rembulan di langit.
Makin dekat ke tengah malam. Bulan kian tiba di pucuk peredarannya. Wajah Arya Sonta berubah. Garisgaris parasnya mengejang. Lalu, matanya beralih ke
arah Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
"Ku ingatkan kepadamu, Truna! Jangan coba
halangi jalanku! Perintahkan pula muridmu itu agar
menyingkir!!" tandasnya kemudian, pekat api pada setiap kata.
Diam-diam, Satria yang sejak tadi hanya berdiri
di belakang guru 'sinting'-nya, memperhatikan sikap Manusia Makam Keramat.
"Kenapa tampaknya kau begitu tergesa, Manusia Makam Keramat" Apakah mengambangnya bulan
tepat di atas kepala menjadi satu saat yang teramat genting untukmu?" sindir si
pendekar muda. Mendengar muridnya menyela, Dongdongka
mendelik. Murid sialan, pikirnya. Sudah disuruh diam, masih saja membacot!
Badannya berbalik. Di depan
Satria, dia bertolak pinggang. Wajahnya lebih seram dari jelangkung tengah
malam. "Kubilang jangan ikut campur!" hardiknya. Tapi setelah itu, keningnya berkerut
tinggi-tinggi. Matanya menyipit.
"Kau tadi bilang apa, Cah Gendeng?" tanyanya dengan nada melandai.
"Arya Sial itu begitu mengkhawatirkan bulan
tengah malam, ya?" cecarnya. Mendadak wajah keriput tua bangka itu menjadi
cerah. Bulan pun kalah cerah.
"Aha, aku tahu!" serunya sambil berjingkat dan membalikkan badan kembali ke arah
Manusia Makam Keramat. "Kau ada satu keperluan yang mendesak dan
amat genting, bukan" Begitu Arya" Kau hendak melaksanakan sesuatu yang berhubungan dengan niatmu
menaklukkan dunia persilatan tengah malam nanti"
He he he...."
Satria cuma bisa merutuk dalam hati. Makanya, dengarkan dulu kalau orang bicara!
Sementara itu, di kejauhan terdengar suarasuara orang yang berlari. Jumlahnya puluhan orang.
Menuju tempat di mana ketiga orang itu berdiri. Satria tahu, mereka tentu orang
Perguruan Belalang Putih
bersama Ki Damar Sakti dan Ki Manda Langit. Selain
Satria sendiri, mereka pun mengejar Manusia Makam
Keramat setelah kejadian di Perguruan Belalang Putih.
Pada kejadian itu, beberapa orang murid mati
terbantai di tangan Manusia Makam Keramat. Termasuk guru besarnya, Ki Arga Pasa. Sementara Ki Damar Sakti dan Ki Manda Langit
adalah sahabat mendiang
Ki Arga Pasa yang hendak menuntut kematiannya.
Di samping alasan itu, Arya Sonta telah melarikan pula putri tunggal Ki Arga Pasa. Gadis itulah yang kini tergolek di sudut
dekat semak. (Baca kembali serial Satria Gendeng dalam episode: "Bangkitnya Dewa Petaka"!).
Sadar dirinya akan makin dibuat kehilangan
waktu lebih banyak, Manusia Makam Keramat menjadi
gusar. Dari gelagatnya, mulai terlihat tanda-tanda kalau dia hendak menyambar
tubuh Rara Lanjar dan melarikannya. Untunglah mata jeli Satria Gendeng tak luput
menangkap hal itu. Dengan maksud untuk memancing
agar Manusia Makam Keramat tak melaksanakan
niatnya, Satria segera berseru pada gurunya, "Lihatlah Kakek! Betapa seorang
sakti yang mampu bangkit dari
kematiannya ternyata menjadi gelisah mendengar sebegitu banyak lawan datang!"
Dedengkot Sinting Kepala Gundul menoleh
dengan cuping hidung kembang-kempis serabutan.
"Kau benar-benar tak mengerti ucapanku atau
tuli, hah"! Kubilang diam! Jangan ikut campur!" ben-taknya, untuk kesekian kali.
Satria Gendeng jadi garuk-garuk jidat sendiri.
Rasanya, pikiranku dengan pikiran manusia renta satu ini tak akan sejalan sampai
bumi memuntahkan kembali mayat-mayat dari kubur sekalipun, kalau caranya begini,
gerutu Satria membatin.
Untunglah, pancingan pendekar muda sebelumnya tidak cuma menghasilkan bentakan menyebalkan Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Manusia Makam Keramat pun rupanya terpengaruh pula.
"Kau jangan sembarangan buka mulut, Bocah!"
hardiknya, mengguntur. Nyali siapa pun yang mendengarnya tak akan luput tergetar.
Satria ngeri untuk berbicara lagi selama belum
dapat 'restu' dari gurunya. Tapi, ah peduli setan! Pikir murid Dedengkot Sinting
Kepala Gundul itu. Urusan
Satria Gendeng 10 Nisan Batu Mayit di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sedang genting. Dia tak bisa berdiam diri kalau Rara Lanjar ayu yang pernah
mempermalukannya di tepi
sungai hendak dilarikan Manusia Makam Keramat!
"Lalu, kenapa kau tampak begitu kalut, Orang
Tua" Kenapa" Atau kau memang benar-benar hendak
mengejar batas waktu tengah malam untuk satu kepentingan maha besar bagi dirimu?" gempur Satria Gendeng, menyudutkan Manusia
Makam Keramat. Perkataan Satria bagi Manusia Makam Keramat
terasa seperti mengunci mati semua dalih. Dia tak bisa berkata apa-apa. Sampaisampai dia tak habis mengerti kenapa bocah bau kencur yang baru beranjak dewasa bisa mempermainkannya dengan perkataan menyudutkan demikian rupa.
Yang akhir-akhirnya meledak dalam diri Manusia Makam Keramat cuma kegusaran memuncak.
"Kau memang bocah bedebah!"
Begitu tahu muridnya menyudutkan Arya Sonta, Dongdongka tak lagi membentak Satria. Dia malah cengar-cengir sendirian.
Bahkan dia mulai latah pula menyudutkan Manusia Makam Keramat.
"Ya, kenapa" Ayo kenapa, Arya"! Jawab!"
Rahang Manusia Makam Keramat mengeras.
Matanya memancarkan api kemarahan berkobaran.
Wajahnya mengeras.
Dedengkot Sinting Kepala Gundul terkekeh.
"Kau tak menjawab" Itu artinya, dugaanku
memang benar. Kau memang sedang memburu batas
waktu tengah malam! He he he...," ejek Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
Seenaknya saja dia mengaku
telah menduga bahwa Manusia Makam Keramat sedang memburu batas waktu tengah malam! Satria
hendak di kemanakan"
"Kalian guru dan murid keparat!!!" Muntah kemarahan Manusia Makam Keramat. Itu
dibarengi pula dengan termuntahnya terjangan ke arah Dedengkot
Sinting Kepala Gundul.
DUA DEDENGKOT Sinting Kepala Gundul menyambut serangan Manusia Makam Keramat dengan cara
yang terlalu mengundang risiko tinggi. Dia hanya
membuat sedikit geseran badan menyamping. Padahal
sabetan kuku panjang yang melingkar-lingkar seperti akar pohon milik Manusia
Makam Keramat amat berbahaya. Terutama karena sang Dewa Petaka mengalirkan tenaga dalam tingkat tinggi ke sekujur otot tangannya. Wezzz!
Dedengkot Sinting Kepala Gundul nyengir sejelek-jeleknya ketika sabetan lawan luput hanya satu jari di sampingnya. Kalau
bukan tua bangka sesepuh persilatan itu, tentu akan tersentak lebih dari empat
tindak ke belakang hanya karena angin sabetan kuku
Manusia Makam Keramat!
"Enteng!" ledek Dongdongka, tanpa mengubah posisi badan yang masih sedikit
miring ke samping.
Gayanya sudah seperti seorang penari jaipong kehilangan suara gendang.
Manusia Makam Keramat makin mengamuk.
Dia melanjutkan terjangan jauh lebih menggebu. Cakar tangan yang lain menyayat udara.
Suaranya mengiris telinga.
Tajam. Kepala gundul Dongdongka hendak dijadikan
sasaran. "Pecah kepalamu, Truna!"
Wezzzz! "Hati-hati dengan kuku mu, Arya! Sudah berapa tahun kau tak pernah memotongnya" Barangkali,
kuku mu sudah dijadikan sarang kutu busuk satu
kampung!" oceh Dedengkot Sinting Kepala Gundul seraya serabutan menghindar.
Manusia Makam Keramat tak membiarkan lawan menarik napas lega. Terus dicecarnya Dedengkot
Sinting Kepala Gundul dengan sabetan-sabetan kuku
membabi-buta. Terlalu banyak menghindar, Dedengkot Sinting
Kepala Gundul akhirnya bosan sendiri.
"Tolong izinkan aku menangkis dan membalas,
Arya Slompret!" tukasnya, dibayangi papakan tangan keroposnya yang sesungguhnya
bisa lebih ampuh dari
satu peti mesiu.
Dan Dedengkot Sinting Kepala Gundul tampaknya tak hanya berniat menangkis. Lebih jauh, dia berharap dapat mempermainkan
lawan lebih jauh.
Kendati dia sendiri menyadari benar, mempermainkan
Arya Sonta seperti bermain-main dengan maut. Sebutlah Dongdongka adalah seorang yang diakui banyak
kalangan sebagai sesepuh dunia persilatan, namun dalam menghadapi lawan yang
seangkatan dengannya
ini, Dongdongka tak bisa terlalu berharap banyak untuk dapat mengunggulinya.
Tap! "Dapat!"
Dedengkot Sinting Kepala Gundul benar-benar
menangkap dua kuku jari Manusia Makam Keramat!
Tangannya mencekal kuat. Bagai kerang samudera
menjepit mangsa!!
Tindakan lawan sama sekali tak diduga Manusia Makam Keramat. Dia semula mengira Dedengkot
Sinting Kepala Gundul akan menghindar lagi. Setidaknya menangkis. Tak terpikir
kalau lawan sekali ini justru menangkap kuku jarinya.
Detik berikutnya, tangan kurus berbalut kulit
keriput sang sesepuh 'setengah sinting' dunia persilatan tanah Jawa membuat
peluntiran ke dalam. Tenaga
dalam berkekuatan hebat mengaliri tangannya. Hanya
dalam satu-dua kejap lagi, kuku panjang melingkar
Manusia Makam Keramat akan terpatah!
Manusia Makam Keramat merasa ditantang
mentah-mentah! "Kau hendak mengadu kekuatan, Truna Keparat! Baik...," desis Arya Sonta, menyambuti tantangan tak langsung lawan.
Sebelum kukunya mengalami nasib naas, Manusia Makam Keramat sudah secepatnya mengalirkan
kuat-kuat tenaga dalam ke sekujur tangannya. Biarpun sebenarnya dia dapat mematahkan usaha lawan
dengan melakukan satu gerakan tipuan yang memancing Dedengkot Sinting Kepala Gundul untuk melepaskan cengkeraman tangannya. Nyata-nyata Manusia
Makam Keramat memang hendak mengajak lawan untuk mengadu kesaktian!
Ada sentakan keras pada tangan dua manusia
tua sakti mandraguna itu manakala sebentuk aliran
tenaga teramat kuat bertumbukan.
Getaran itu sanggup menciptakan bunyi bergetar pada udara.
Bunyi yang tipis meruncing. Juga dibauri denging. Menyusul kemudian, asap kebiru-biruan mengembang dari sela-sela cengkeraman tangan Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
Menyaksikan hal terakhir, mata kelabu si tua
bangka Dongdongka menjadi membesar. Ada bersit keterpanjatan yang tak bisa disembunyikan.
"Bangsat satu ini mulai unjuk taring. Dia telah mengerahkan inti 'Semburan Naga
Bintang'-nya," keluh Dedengkot Sinting Kepala Gundul dalam hati.
'Semburan Naga Bintang' pada masa kejayaan
nama besar dua tua bangka itu, adalah ajian yang paling dihindari oleh setiap
lawan. Bukan saja mampu
menciptakan panas dahsyat yang dapat melebur biji
baja, namun juga mengandung racun yang dapat
membusukkan daging perlahan-lahan pada tubuh
korbannya. Pembusukan perlahan-lahan itu akan sangat menyiksa dalam waktu yang cukup lama. Hidup
korban yang menderita tak lebih dari bangkai bernya-wa yang merasakan kesakitan
tak terperi manakala
sedikit demi sedikit daging badannya membusuk! Hal
itulah yang menyebabkan banyak lawan Arya Sonta
menjadi gentar.
Wajar saja kalau Dongdongka menjadi tersentak karenanya. Pada saat itu, tangannya yang menyentuh langsung kuku lawan akan
memungkinkan dia terjangkit racun dari ajian 'Semburan Naga Bintang'!
Maut siap menyapanya! Dedengkot Sinting Kepala
Gundul cepat menyadari. Dengan perhitungan agar tidak telanjur terserang racun 'Semburan Naga Bintang', Dedengkot Sinting Kepala
Gundul langsung mengerahkan salah satu kesaktian pamungkas pada tangan
lain, ajian 'Gunung Api Menyembur Langit'!
Sebelah tangan Dedengkot Sinting Kepala Gundul yang bebas mendadak berpendar kemerahan laksana warna lahar!
Cepat menohok dari bawah. Karena mengira
Dedengkot Sinting Kepala Gundul akan melayani adu
kekuatan, Manusia Makam Keramat tak menyadari
tangan lawan yang lain menanduk ke arah perutnya.
Dash! Saat yang sama, Dongdongka melepas cengkeramannya pada kuku Manusia Makam Keramat. Akibatnya, manusia yang berhasil bangkit dari kematiannya itu langsung terpental
sengit ke belakang.
Kendati luncuran tubuhnya deras tak kepalang,
dengan cantik Arya Sonta sanggup memanfaatkan tekanan udara untuk mengendalikan kembali keseimbangan tubuh. Dia berputaran di udara. Hanya karena
hantaman tangan Dedengkot Sinting Kepala Gundul
bukanlah serangan sembarangan, Arya Sonta tak berhasil mempertahankan kekuatan kakinya untuk berpijak di bumi. Dia tersungkur ke belakang, terseret dua-tiga tombak, lalu terkapar
di tanah. Perlahan-lahan, dia bangkit kemudian. Sementara itu, Dongdongka sibuk
meniup-niup telapak tangannya yang tersengat
'Semburan Naga Bintang'. Sebentar kemudian, dia malah tertegun menyaksikan Arya Sonta telah tegak kembali di atas kuda-kudanya.
Slompret empat puluh kali untukmu, Arya! Makinya dalam hati. Bagaimana dia masih dapat bangkit setelah terkena ajian
'Gunung Api Menyembur Langit'
milikku" Perangah Dedengkot Sinting Kepala Gundul
membatin. Dalam perhitungan Dongdongka, bagian dalam
perut lawan akan hancur berlobang-lobang seperti terkena hujanan biji baja
membara. Keampuhan itu yang
akan diakibatkan ajiannya pada tubuh lawan. Kalau
isi perut sudah hancur, tak ada seorang pun yang bisa menjamin nyawa akan tetap
di badan. Tapi, Arya Sonta Slompret ini"
Kala itulah Dongdongka mulai menyadari satu
hal yang hampir saja terlupa karena sudah terkubur
waktu demikian lama. Arya Sonta tak pernah bisa dibunuh oleh senjata atau pukulan apa pun, kecuali
oleh.... Ah, Dongdongka lupa pada kelemahan saudara kandung kualatnya itu.
* * * Rombongan Ki Damar Sakti dan Ki Manda langit akhirnya tiba. Tanpa memperhatikan keberadaan
seorang sesepuh persilatan tanah Jawa yang seharusnya dihormati, dua ketua perguruan itu langsung
menghambur ke arah Manusia Makam Keramat. Mereka terlalu dirasuk kemurkaan atas perbuatan sang
dewa petaka sebelumnya.
Pertarungan sengit antara dua sahabat setia Ki
Arga Pasa dengan Manusia Makam Keramat tak bisa
dicegah lagi. Kekalapan Ki Manda Langit dan Ki Damar Sakti meletus. Serangan
pertama gagal, disusul dengan serangan berikutnya. Tak peduli lagi sepasang
lelaki tua pemimpin dua perguruan silat itu pada siapa mereka berhadapan.
Lawannya jelas bukan orang
sembarangan. Kalau sahabat mereka, Ki Arga Pasa
yang memiliki kedigdayaan di atas mereka saja bisa
disingkirkan tanpa banyak kesulitan, bagaimana lagi mereka"
Namun bagi Ki Damar Sakti dan Ki Manda Langit sendiri, persoalannya sekarang bukanlah kedigdayaan siapa lebih unggul. Melainkan, bagaimana mereka bisa menuntut pelunasan hutang nyawa terhadap
kematian seorang sahabat. Nyawa harus ditebus nyawa, pikir keduanya. Dan kalaupun tak berhasil melunaskan dendam dengan mencabut nyawa lawan, setidaknya mereka tetap merasa puas.
Tanpa disadari Ki Damar Sakti dan Ki Manda
Langit, justru itu menjadi satu kesalahan fatal. Dalam satu pertarungan, api
dendam tak menjamin seorang
keluar menjadi pemenang. Bahkan sering kali letupan nafsu justru membawa akibat
merugikan diri sendiri.
Terbukti ketika satu tendangan maut kesekian
dicoba didaratkan Ki Damar Sakti ke dada lawan,
Manusia Makam Keramat mendadak membuat
gerakan tak terduga. Lelaki setengah siluman itu mu-la-mula berkelit ke sisi.
Dilanjutkan dengan gerakan
pinggul setengah putaran. Dan dari sisi tubuhnya, ti-ba-tiba berseliwer benda
lurus ke arah Ki Damar Sakti.
Ki Damar Sakti tercekat. Kesiagaannya selama
ini hanya dipusatkan pada serangan kuku lawan. Dia
tak menyangka kalau lawan akan mempergunakan bagian tubuh lain. Pada detik itu, Ki Damar Sakti sudah terlambat menyadari.
Desh! Ulu hatinya langsung terhajar benda yang ternyata kaki kiri Manusia Makam Keramat. Bagian tubuh lawan tersebut menghantam layaknya sebatang
balok besar. Padahal, dalam hal jurus-jurus yang men-gandalkan keampuhan kaki,
Ki Manda Langit adalah
seorang ahlinya.
Tubuh lelaki berjuluk Tendangan Maut itu terjengkang ke belakang. Di atas tanah berumput, dia
terseret sekitar enam-tujuh langkah.
"He he he!" Manusia Makam Keramat terkekeh.
Dia begitu puas, apalagi menyaksikan Ki Damar Sakti meregang-regang mendekap ulu
hatinya. "Begitulah akibatnya kalau kalian berani menentang Manusia Makam Keramat!!!"
Ki Manda Langit teramat gusar menyaksikan
keadaan nasib sahabat seperjuangannya. Ditatapnya
Manusia Makam Keramat dengan pandangan menghanguskan.
Satria Gendeng 10 Nisan Batu Mayit di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kenapa kalian tak maju serentak saja"!" ledek Manusia Makam Keramat meremehkan
sekali. Ki Manda Langit hendak beranjak maju. Tapi
tangan Dedengkot Sinting Kepala Gundul membentang
di depan, menghadangnya.
"Belum waktunya," bisik Dongdongka, tegas.
Di belakang mereka, Ki Damar Sakti beringsut
bangkit kembali. Dengan mata merah pekat, dia melangkah tertatih.
"Aku belum menyerah, Durjana!" erangnya ber-getaran. Memang tak ada tanda-tanda
kalau lelaki berkumis tebal itu terluka dalam. Tak ada darah kehitaman mengalir keluar dari
mulut atau hidungnya.
Dan sampai saat itu, keadaannya tampak masih memungkinkan untuk melanjutkan pertarungan.
Sewaktu Ki Damar Sakti hendak memulai kembali terjangannya, Dedengkot Sinting Kepala Gundul
kembali berusaha mencegah.
Meski tak puas dengan tindakan sang sesepuh
dunia persilatan, Ki Damar Sakti dan Ki Manda Langit menurut.
"Kenapa kau tak puas-puasnya menyengsarakan banyak orang, Arya?" ucap Dedengkot Sinting Kepala Gundul, setelah
sebelumnya dia melangkah maju
beberapa tindak.
"Kau telah bunuh sekian puluh manusia. Kau
pun membunuh guru-gurumu. Kini setelah puluhan
tahun berlalu, dan kau berhasil bangkit dari kuburmu, masih juga kau belum
puas?" Tak kentara lagi sifat 'angot-angotan' tua bangka itu. Yang lebih menonjol sekarang, justru sikap seorang yang begitu
memprihatinkan keadaan saudara
kandungnya. Kalau dipikir-pikir lagi, memang agak
aneh juga. Ada apa gerangan sampai tua bangka biang
'kesintingan' ini mendadak bisa bersikap waras" Apa dia mulai main akal-akalan"
Satria Gendeng tak senang mendengar perkataan gurunya barusan. Meski dia murid Dongdongka,
bukan berarti dia harus selalu setuju dengannya. Baginya, perkataan Dedengkot
Sinting Kepala Gundul
bukanlah yang tepat untuk dikatakan pada sejenis
manusia terkutuk seperti Arya Sonta.
"Kenapa Kakek ini"!" protes Satria Gendeng gusar. Dia maju ke depan Dedengkot
Sinting Kepala Gundul, lalu ditentangnya Manusia Makam Keramat
dengan cara bertolak pinggang.
Dedengkot Sinting Kepala Gundul menghela
napas. Dia mengerti bagaimana sifat anak muda seper-ti Satria sebenarnya. Darah
mudanya terkadang lebih mempengaruhi sikapnya ketimbang pikiran jernih.
Dedengkot Sinting Kepala Gundul menepuk
bahu muridnya. Ketika pemuda lugu namun beradat
keras itu menoleh, ditatapnya mata Satria Gendeng lekat-lekat.
"Aku bukan takut berurusan dengan Arya
Slompret ini, tahu! Cuma saja aku punya alasan! Kita harus menghindari dulu
manusia laknat ini. Percuma
kau bertarung jungkir-balik dengannya. Sampai kau
mampus, dia tak akan bisa kau bunuh!" ucap Dongdongka dengan mengirim suara
batin. "Kenapa begitu?" Satria memprotes lagi. Sekali ini dengan suara batin pula.
Sepasang guru murid itu memang telah menguasai satu ajian yang disebut
'Melepas Sukma'. Salah satu kelebihannya adalah dapat mengirim suara batin antara satu pemilik ajian
dengan pemilik yang lain.
"Dasar bocah ingusan! Apa kau pikir aku yang
setua ini tidak tahu siapa Arya Sonta itu"! Dia hanya dapat dibunuh dengan satu
senjata pusaka, tahu! Kalau tak salah, senjata itu adalah... ah, aku belum
sempat tahu! Pokoknya senjata itu milik Prabu Pajajaran yang berhasil
membunuhnya untuk pertama kali!"
"Jadi bagaimana Truna!" sentak Arya Sonta, si Manusia Makam Keramat.
"Kau boleh pergi dengan tenang dari tempat ini.
Aku tak akan menghalangi...."
Ki Damar Sakti dan Ki Manda Langit terperangah. Mana mungkin Dedengkot Sinting Kepala Gundul
bisa berkata seperti itu" Apa mungkin seorang sesepuh dunia persilatan akan
mengambil keputusan demikian
bodoh" Manusia Makam Keramat telah membunuh Ki
Arga Pasa. Jelas-jelas itu kesalahan yang tak bisa dibiarkan seperti membiarkan
berlalunya angin!
Untunglah Satria Gendeng cepat memberi isyarat dengan kelopak mata ketika kedua pendekar tua
itu hendak bertindak lebih jauh.
"Ha ha haa!" Manusia Makam Keramat tertawa meriah. "Apakah dengan begitu berarti
kau membiarkan aku pula untuk membawa perempuan itu"!" tukasnya sambil menunjuk
Rara Lanjar yang tergolek di dekat semak.
Bibir kusut Dongdongka bergerak-gerak. Sekarang posisinya jadi sulit. Terlalu gila kalau membiarkan saudara kandung
laknatnya itu membawa Rara
Lanjar. Slompret besar kau, Arya, kutuknya membatin.
Aku harus mengubah siasat! Pikir Dedengkot Sinting
Kepala Gundul. Semampunya dia harus menghindari
pertarungan langsung antar mereka dengan Manusia
Makam Keramat. Kepala licinnya sebentar kemudian mengangguk-angguk. Dengan tatapan yakin, Dedengkot Sinting Kepala Gundul menyahut, "Ya,
kau bisa membawa perempuan itu!"
"Apa"!"
Hampir serempak, Satria, Ki Manda Langit, Ki
Damar Sakti berseru tertahan.
Guruku sudah resmi edan barangkali" Rutuk
Satria, tak habis mengerti.
*** TIGA KENDATI diombang-ambing keterkejutan, Satria, Ki Damar Sakti, Ki Manda Langit, dan seluruh
murid Perguruan Belalang Putih hanya dapat menyaksikan kepergian Manusia Makam Keramat membawa
Rara Lanjar. Mereka toh tak dapat berkata apa-apa. Pada
kenyataannya, Dedengkot Sinting Kepala Gundul jauh
lebih banyak makan asam-garam ketimbang mereka.
Dengan pertimbangan itu, sudah sepantasnya mereka
mempercayai seluruh perhitungan Dongdongka.
Sebelum pergi, Manusia Makam Keramat menoleh pada si tua bangka guru Satria Gendeng. Pandangannya mencemooh.
"Kau telah membuat keputusan yang tak hanya
tepat, namun juga amat berguna bagi mereka semua,
Truna! Kau tahu pasti, jika kau tak membiarkan aku
pergi, maka akan banyak nyawa melayang!"
Peduli setan bau! Rutuk Dedengkot Sinting Kepala Gundul membatin.
"Selamat tinggal! Kuharap, jangan sampai ada
seorang pun yang mencoba membuntuti ku. Tak juga
kau, Truna. Jika perkataan ku dilanggar, jangan harap perempuan ini akan tetap
hidup." Manusia Makam Keramat mengakhiri ucapan dengan ancaman seraya
berkelebat cepat meninggalkan tempat.
Satria masih menatapi gurunya dengan pandangan tak puas.
"Apa lihat-lihat"!" hardik Dedengkot Sinting Kepala Gundul, sewot merasa
ditentang oleh murid gendengnya. "Apa Kakek akan diam saja?" tanya Satria tetap
tak mengerti jalan pikiran manusia buluk tapi sakti minta ampun itu.
Dongdongka mencibir. "Tentu saja tidak?"
"Lalu, apa yang akan Kakek lakukan?" desak Satria Gendeng, meminta penjelasan.
"Kau pikir apa?" Dongdongka seperti main kucing-kucingan. Itu membuat semua
orang jadi agak gemas. Kalau saja dia bukan seorang tua yang disegani dan dihormati, mungkin sudah
habis dikeroyok.
"Apa"!" ulang Satria, makin tak sabar. Cuma dia seorang yang masih berani ngotot
dengan sang sesepuh persilatan.
"Aku akan mengikutinya, Tolol!" ledak Dongdongka dibarengi sontokan keras ke
jidat muridnya.
Satria meringis-ringis. Tapi mulutnya masih belum puas mengajukan pertanyaan.
"Kakek tahu sendiri, Manusia Makam Keramat
bukan orang yang bisa dimain-mainkan. Bagaimana
kalau dia tahu Kakek menguntitnya" Aku cuma khawatir keadaan Rara Lanjar. Apa Kakek tidak?"
"Eit, tunggu dulu sampai situ! Siapa yang kau
maksud Rara Lanjar?"
"Gadis itu, Kek!"
"Gadis itu yang mana, Gendeng! Bicara jangan
bertele-tele! Aku tak ingin kehilangan jejak Arya
Slompret itu!"
"Perempuan yang dibawa Manusia Makam Keramat!" "O, kau sudah mengenalnya, ya" Dasar bocah gatal! Kau tak bisa melihat
perempuan berjidat licin, ya" Ceritakan padaku, bagaimana kau bertemu
dengannya?"
Sinting juga, pikir Satria. Belum lama dia yang
dibentak supaya jangan bertele-tele. Sekarang justru
gurunya sendiri yang mulai bicara ngelantur!
"Tak ada waktu lagi untuk bercerita, Kek!"
"Aku juga tahu itu! Jangan mengingatkan aku,
Bocah Sok Tahu!"
Memang serba salah!
"Sudah, sebaiknya aku segera 'minggat' dari si-ni!" putus Dedengkot Sinting
Kepala Gundul, akhirnya.
Dia berkelebat laksana bayangan. Tak kalah gesit dengan gerakan Manusia Makam
Keramat. "Tapi bagaimana kalau manusia durjana itu tahu Kakek menguntitnya?""!!!" teriak Satria. Pertanyaan itu memang belum sempat
dijawab oleh Dongdongka. Dongdongka kembali lagi (masih sempatsempatnya!). Tepat di depan hidung muridnya, lelaki uzur itu bertolak pinggang.
"Kau pikir, untuk apa perempuan itu dibawa
susah-susah?" tanyanya dengan mata mendelik. "Itu karena dia pasti membutuhkan
perempuan itu. Dia tak akan berani membunuhnya kalau perempuan itu sendiri amat
penting baginya. Kau mengerti?"
"Penting untuk apa?"
"Mana aku tahu" Kenapa kau tak tanyakan saja pada Arya Sial itu"!"
Lalu, Dedengkot Sinting Kepala Gundul berkelebat lagi. Dan cepat lenyap di pekatnya malam yang mulai menapaki menit-menit
tengah malam. Tinggal Satria Gendeng mengumpat-umpat
sendiri. * * * Manusia Makam Keramat terus berlari bagai
dikejar segerombolan hantu pemburu manusia. Waktunya makin sempit. Tengah malam, saat di mana bulan menggantung tepat di puncaknya hanya tinggal
beberapa saat lagi. Satu kesempatan besar, akan ditentukan oleh kehebatan ilmu lari cepatnya.
Di kejauhan, secara diam-diam Dedengkot Sinting Kepala Gundul terus mengikutinya. Dalam hal lari cepat, tua bangka itu
setara dengan orang yang dikun-titnya. Karena itu, kendati jaraknya cukup jauh,
dia tak begitu kerepotan.
Sampai pengejarannya tiba di suatu tempat
yang tanahnya agak membentuk bukit-bukit kecil. Karena keadaan tanah turun-naik, suatu ketika tubuh
Manusia Makam Keramat tak tampak dari pengawasan
mata Dongdongka. Manusia Makam Keramat telah melewati bukit kecil, sementara Dedengkot Sinting Kepala Gundul masih berada di
seberangnya. Bukit itu yang
menghalangi pandangan Dongdongka.
Kekhawatiran Dedengkot Sinting Kepala Gundul saat itu cuma satu. Dia khawatir akan kehilangan jejak setelah sosok Manusia
Makam Keramat luput beberapa saat dari pandangannya.
Kekhawatirannya terbukti kemudian. Saat Dedengkot Sinting Kepala Gundul tiba pula di seberang lain bukit kecil tadi,
Manusia Makam Keramat sudah
tak terlihat lagi.
"Biang kutu jelek!" maki Dedengkot Sinting Kepala Gundul mendesis-desis.
Kepalanya dijotos-jotos sendiri bertubi-tubi. Gelagat seperti itu pertanda dia
mulai jengkel. Walaupun Dongdongka sudah berusaha mengerahkan seluruh kemampuan lari cepatnya untuk
meneliti wilayah sekitar, Manusia Makam Keramat tetap tak ditemukan. Meski hanya penampakan bokongnya. Sampai Dongdongka akhirnya menyerah. Dia
melempar pantat geram-geram ke tanah. Kesal serasa
mau mampus setengah sekarat pada diri sendiri.
Bayangan di kepalanya Satria akan mengomelinya habis-habisan. Tahu sendiri adat Satria. Biarpun gurunya, Dongdongka tak bisa menjamin dirinya akan
selamat dari 'kegendengan' si murid yang bikin susah kalau sudah kambuh!
Meringis-ringislah wajah keriput Dedengkot
Sinting Kepala Gundul membayangkan 'semprotan' Satria. Lalu, ringisannya menghilang cepat ketika mendengar suara teriakan
mengguruh di kejauhan.
"Nah, apa pula itu?" bisiknya seraya bergegas bangkit.
Secepatnya dia mengerahkan kembali ilmu lari
cepat, mengejar arah suara teriakan tadi.
Di tempat yang dituju, Dedengkot Sinting Kepala Gundul menemukan Manusia Makam Keramat!
Syukur... syukur, bisik Dongdongka dalam hati. Cuma, ada satu yang kurang.
Perempuan yang digondolnya
sudah tak ada lagi di bahu manusia terkutuk itu. Sementara, Manusia Makam
Keramat sendiri sedang sibuk memaki-maki kasar. Entah siapa yang dimakinya.
Entah pula ke mana Rara Lanjar....
* * * Sepekan terlewati sejak kejadian berdarah di
Perguruan Belalang Putih. Palguna, salah seorang murid kepercayaan Ki Arga Pasa
terlihat di dalam pendapa perguruan. Lelaki muda berperawakan kurus itu berjalan
hilir-mudik. Ada sesuatu yang begitu mengganggu pikirannya. Wajahnya menampakkan
kebimbangan kental. Selaku seorang murid kepercayaan, kematian
gurunya, Ki Arga Pasa tentu saja membuat perasaannya demikian tak menentu. Tapi yang merisaukannya
Satria Gendeng 10 Nisan Batu Mayit di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kali ini bukan hal itu. Ada sesuatu yang lain.
Lama Palguna hanya melakukan hal itu. Sebentar-sebentar dia berhenti melangkah. Dipandanginya
satu bagian lantai gubuk dengan mata nanar. Tangannya mengepal kuat, seakan ingin membulatkan tekad.
Sebentar kemudian, kepalanya menggeleng-geleng ragu. Dia berjalan lagi. Tak lama, diulanginya pula memperhatikan satu bagian
lantai tanah gubuknya.
Sampai akhirnya, lelaki itu memutuskan untuk
melaksanakan niat yang terus mendidih dalam dirinya.
"Aku harus melakukannya! Harus!" tekadnya seraya bergegas mengambil cangkul
kecil dari gantun-gan dinding. Membawa benda tadi, didekati bagian lantai tanah
yang sejak tadi diperhatikan. Di bagian tersebut, Palguna mulai menghujamkan
mata cangkul dengan wajah mengeras. Gambaran rasa tegang dan
waswas yang bertumbukan kasar dalam dirinya.
Selang seperempat jam berikutnya, sudah tercipta lobang selebar roda pedati. Dalamnya satu kaki.
Di dasar lobang, didapat satu peti kayu berkerangka baja. Kayunya sudah tampak
begitu tua. Di permukaan kayu, terdapat pahatan berukir. Kendati tua,
namun tetap terlihat kokoh. Sedangkan kerangka bajanya sudah berkarat.
Peti tersebut diangkat Palguna dari dasar lobang. Dibawanya ke atas meja kayu, dan diletakkan di tepinya. Untuk beberapa
saat, si lelaki kurus berkumis tipis itu hanya memandangi peti. Keraguan mulai
me-ruyak lagi dalam dirinya. Lebih terlihat jelas dalam bersit sinar matanya.
Ketika ingat kematian menge-naskan Ki Arga Pasa dan beberapa saudara seperguruannya, wajah lelaki muda itu mengeras. Garisgarisnya menguat, menebarkan hawa kegeraman, lalu
menyingkirkan keraguan dalam dirinya.
Perlahan-lahan bayang kejadian yang pernah
dialami beberapa minggu lalu kembali terngiang dalam benaknya. Mendiang Ki Arga
Pasa pernah menitipkan
satu amanat padanya.
"Kutitipkan satu kitab padamu, Palguna. Kau
adalah salah seorang murid yang sangat aku percaya.
Jika, aku tak ada umur, kuharap kau dapat mewakili
ku untuk mengeluarkan kitab itu dari tempat persembunyiannya jika waktunya tiba," ucap Ki Arga Pasa, sekitar tiga tahun lalu.
"Kapan waktu yang kau maksud, Eyang Guru?"
tanya Palguna. "Ketika timbul kegegeran besar di bumi Pajajaran ini." "Kegegeran?"
"Ya. Geger karena banyak perempuan hilang
tak tentu rimbanya. Setelah itu, menyusul kegegeran lain. Datangnya seorang
durjana yang membunuh tanpa perasaan."
"Bagaimana ciri-ciri orang itu, Eyang?"
"Menurut kitab tulisan Prabu Pajajaran yang
berkuasa waktu itu, si manusia durjana akan datang
dengan rambut, jenggot, dan kuku yang demikian panjang. Di dadanya, ada bekas luka kecil bekas tusukan senjata...."
Palguna ketika itu terdiam sejenak, memakukan seluruh wasiat gurunya dalam-dalam di dalam benak. "Lalu, bila semua itu telah terjadi, aku harus mengeluarkan kitab itu?"
ucapnya, menyusulkan pertanyaan.
"Tepat. Itu pun kalau aku tak ada umur."
"Kalau Guru sendiri...," Palguna memutus sebentar ucapannya. "Maafkan aku Guru,
kalau Guru sendiri telah tiada, untuk apa lagi kitab itu dikeluarkan?" Dengan
paras yang tetap memancarkan kewi-bawaan, Ki Arga Pasa menjawab pertanyaan
sungkan muridnya. "Karena dalam kitab itu, tertulis secara lengkap kisah tentang seorang manusia
laknat yang akan
bangkit kembali suatu hari nanti. Kitab itu pula yang akan menjelaskan tentang
kelemahan manusia durjana itu. Yaitu tentang senjata pusaka milik sang Prabu
Pajajaran yang telah menewaskannya untuk pertama
kali." Wajah Palguna menampakkan sedikit ketidak-mengertian.
"Apa hubungannya orang itu dengan si pembuat kegegeran yang sebelumnya Eyang katakan?"
Dengan senyum samar, Ki Arga Pasa menyahut, "Si pembuat kegegeran dan manusia laknat yang bangkit dari kematian adalah
orang yang sama."
"Maksud Guru?"
"Kegegeran akan dibuatnya manakala dia berhasil bangkit."
Palguna tersadar dari lamunan singkatnya. Seluruh wasiat gurunya telah terbukti sepekan lalu. Beberapa waktu sebelumnya,
kegemparan tentang hilangnya para perempuan pun telah berlangsung.
Seolah, Ki Arga Pasa telah mempunyai firasat
buruk sehingga dia meninggalkan wasiat beberapa
minggu sebelum kematiannya.
Jika seluruh kejadian seperti diwasiatkan gurunya telah terjadi, berarti Palguna harus melaksanakan wasiat itu. Dia harus
mengeluarkan kitab yang
dimaksud dari tempatnya. Hanya yang jadi masalah,
apa yang harus dilakukan dengan kitab itu setelah dia berhasil mengeluarkannya"
Jika harus diberikan pada seseorang, pada siapa harus diserahkan" Masalah itu
luput diungkapkan Ki Arga Pasa karena waktu itu ber-tandang seorang ketua
perguruan sahabatnya.
Selain dia, ada seorang lagi yang pernah diwasiati tentang kitab tersebut oleh Ki Arga Pasa. Orang itu adalah Rara Lanjar.
Kini, Rara Lanjar tak ada. Menurut laporan Dedengkot Sinting Kepala Gundul, anak
gadis Ki Arga Pasa itu telah lolos dari tangan Manusia Makam Keramat.
Namun, kenapa dia masih belum kembali juga"
Bukankah Rara Lanjar lebih berhak untuk melaksanakan wasiat Ki Arga Pasa ketimbang dirinya"
Sejenak Palguna kembali dihadang keraguan.
Apa dia punya pilihan lain" Tak mungkin dia terus
menunggu Rara Lanjar tanpa kepastian. Karena dia
merasa punya tanggung jawab untuk melaksanakan
pesan yang sempat disampaikan gurunya, murid kepercayaan itu pun membulatkan tekad.
Dengan rahang mengejang, tangan Palguna
lambat-lambat mendekati peti di depannya. Tangan
kurus itu agak bergetar, pertanda dia hendak melakukan sesuatu yang pasti amat
berat untuk dikerjakan.
Tutup peti lalu dibukanya berkawal ketegangan, seakan ingin membunuh keraguan yang masih mencecarnya bertubi. Kini, terlihatlah satu kitab kuno setebal satu jari. Sampulnya terbuat dari kayu tipis berukir. Sedangkan lembar-lembar
didalamnya terbuat daun lontar
kering. Palguna terpaku sejenak menatapi gurat permukaan kitab tadi, lekuk demi lekuk. Tangannya makin bergeletar. Dibaliknya sampul kitab. Di halaman pertama, ditemukan dua baris
tulisan lain. Kutulis kitab ini sebagai peringatan bagi anakcucuku, yang kelak akan berhadapan langsung
dengan Arya Sonta... si Manusia Makam Keramat! Sampai di situ, Palguna tak berani lagi membuka halaman selanjutnya. Sudah jelas dia bukanlah salah seorang keturunan Prabu
Pajajaran yang telah me-nulis kitab tersebut. Tak ada hak baginya untuk membaca!
Kalau begitu, siapa yang akan membacanya"
EMPAT SEPULUH hari berlalu. Di kaki Gunung Burangrang, saat itu terlihat seorang wanita muda sedang berdiri mematung sendiri.
Tangannya disilangkan di
dada dengan sikap tegak.
Wajah wanita ini sangat menawan. Di samping
karena memiliki hidung yang mancung membentuk
bayangan tinggi memanjang di sisinya, berbibir mungil merah matang, juga karena
matanya berbulu lebat,
dan lentik. Namun begitu, kecantikan wajahnya tidak menyembunyikan sedikit pun
kesan kekerasan yang
tergurat di wajahnya saat itu. Tampaknya dia sedang menanti sesuatu yang membuat
dirinya menegang.
Meski tubuhnya tergolong mungil untuk ukuran wanita seumurnya, tetap tampak sekali kekokohannya selagi berdiri. Rambut panjang hitamnya dikepang berayun-ayun dipermainkan angin.
Matanya terus menatap lurus ke arah barat, di
mana matahari terus saja merambat turun. Sinar benda langit raksasa itu mulai pula meredup matang kemerahan. Sejak tengah hari bolong dia menunggu seperti
itu. Pekerjaan yang sebenarnya amat menyebalkan.
Hanya karena ada satu hal penting yang mesti diurusnya, mau tak mau dia
melakukannya juga.
Tepat ketika ubun-ubun matahari benar-benar
dibenamkan di sudut bumi sebelah barat, di kejauhan terlihat seseorang tergesa
berjalan menuju dirinya. Se-sekali orang itu berlari-lari kecil.
Setibanya di dekat perempuan tadi, lelaki yang
ternyata seorang pemuda tampan berambut panjang
kemerahan sebatas bahu, mengenakan rompi bulu dari kulit hewan itu langsung meruntunkan pertanyaan.
"Astaga, ternyata kau benar selamat, Rara Lanjar! Aku hampir-hampir tak bisa mempercayai laporan guruku waktu itu" Bagaimana
kau bisa lolos dari tangan manusia durjana itu" Siapa yang membantu menyelamatkanmu" Kau melihat wajah si penyelamatnya?" Perempuan itu memang Rara Lanjar. Masih menjadi teka-teki bagaimana dia
bisa selamat. Tak heran, pemuda yang baru tiba begitu menggebu-gebu
bertanya. Pemuda itu tentu saja Satria Gendeng. Seha-ri sebelumnya, dia menerima
pesan dari seseorang
penduduk desa bahwa seseorang menantinya di kaki
Gunung Burangrang. Tak dinyana kalau orang itu ternyata Rara Lanjar.
Bukannya menjawab pertanyaan Satria sebelumnya, Rara Lanjar malah menggeleng-gelengkan kepala. "Kenapa geleng-geleng kepala?" tegur Satria.
Menanggapi teguran barusan, Rara Lanjar mencibir.
Bahkan nyaris cemberut. Wajahnya keruh. Tampak
sekali dia sedang jengkel.
"Kau tahu sudah berapa lama aku menunggumu di sini" Setengah harian! Selama itu, aku digarang matahari. Apa kau tak bisa
lebih cepat datang"! Aku menunggumu di sini bukan memintamu untuk men-gencani
ku. Ini urusan genting!"
Sambutan yang tak nyaman bagi si pemuda!
Wajahnya jadi berubah kebodohan, tak tahu harus bilang apa. Wanita di depannya tentu jadi jengkel.
"Huh!" dengusnya.
"Kenapa"!"
"Aku kesal setengah mati!"
"Kesal...?" ulang Satria Gendeng dengan nada bertanya, tanpa perasaan bersalah
pula. Wajahnya makin terlihat bodoh, sekaligus mendongkolkan.
Dari kesal yang kelewatan, akhirnya Rara Lanjar malah berbalik tersenyum terpaksa menyaksikan
mimik wajah pemuda di depannya.
"Satria.... Satria...," katanya terseret tawa tertahan. Bibir mungil ranumnya
didekap. Satria menjadi lega. Sebelumnya dia mengira
bakalan kena dampratan habis-habisan karena sudah
terlambat datang. Semua gara-gara ulah guru brengseknya, Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Tua bangka itu meminta dia untuk
mencarikan seekor rusa jantan untuk dipanggang. Penyakit lamanya kambuh, kepingin sedikit dimanja oleh muridnya. Seperti dulu ketika Satria masih berguru di
Tanjung Karangbolong.
Brengsek sekali!
(Baca serial Satria Gendeng dalam episode "Kail
Naga Samudera"!).
"He he he!" Satria ikut tertawa.
"Diam!" bentak si perempuan. "Aku tertawa bukan berarti kejengkelan ku padamu
hilang." Lalu.... Duk! Satu tinju dari tangan mungil si wanita mencumbu hidung Satria Gendeng. Anak muda itu meringis-ringis menahan sakit sambil memegangi batang hidungnya yang berdenyutdenyut. "Sekarang kau ikut aku!" ucapnya ketus.
Satria Gendeng cuma bisa mengekori dari belakang kalau tidak ingin hidungnya didarati tinju lagi.
Anak muda itu diajak si wanita berpakaian putih ke
balik bukit pasir sekitar seratus depa dari tempat semula.
* * * Saat itu keduanya sudah berangkat menuju
Perguruan Belalang Putih dengan menggunakan pedati
yang sebelumnya telah dipersiapkan Rara Lanjar. Rencananya di sana mereka akan
mengambil kitab.
Di tengah perjalanan, Satria Gendeng mulai lagi
mengungkit-ungkit pertanyaannya yang belum terjawab. "Kau belum menceritakan padaku, bagaimana kau bisa selamat dari tangan
Manusia Makam Keramat, Lanjar?" tanyanya sambil menghentak kecil tali kendali
pedati. Di sebelahnya, Rara Lanjar menatap ke depan.
Pandangannya seperti menerawang sebentar.
"Aku memang diselamatkan seseorang...," katanya di sela hempasan napas.
Satria menoleh. Wajahnya menampakkan penasaran yang makin membukit.
"Siapa orang itu?" susulnya.
Rara Lanjar menggeleng.
"Aku tak tahu," katanya. "Cuma dia mengenakan topeng kayu Arjuna. Mengenakan
blangkon Para- hiyangan dan berpakaian seperti seorang ningrat Pajajaran...."
"Orang aneh.... Siapa dia, ya?" gumam Satria Gendeng, merasa dilemparkan ke
dalam teka-teki.
Lalu keduanya terdiam, sibuk dengan pikiran
masing-masing. Sampai suatu ketika sekelebatan
bayangan teramat cepat mendadak melintas cepat di
sisi kiri sepasang kuda penarik pedati. Kedua hewan itu meringkik-ringkik karena
demikian terkejut. Dua kaki depan mereka terangkat tinggi-tinggi seakan hendak
melemparkan tubuh penumpangnya dari atas pedati. Kedua muda-mudi itu terlonjak-lonjak di bang-ku pedati. Untuk beberapa
hentakan punggung kuda,
mereka nyaris terlempar. Rara Lanjar merangkul eraterat pinggang Satria. Untung
Satria Gendeng 10 Nisan Batu Mayit di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
saja kesigapan tangan
Satria mencengkeram tali kendali tak kalah kuat dari hentakan punggung kuda.
Tak beberapa lama, Satria sudah berhasil mengendalikan kedua hewan itu. Meski begitu, kaki dua
binatang itu masih saja bergerak-gerak gelisah. Kalau tak segera ditenangkan
Satria Gendeng, tentu keduanya akan panik kembali.
"Kenapa dengan kuda-kuda ini?" aju Satria, tak mengerti pada apa yang
sesungguhnya terjadi.
"Mungkin ada hewan kecil yang telah mengejutkan mereka," sahut Rara Lanjar. Nafasnya masih turun-naik tak teratur.
Dibenarkannya letak duduk,
sedikit malu hati karena baru saja merangkul pinggang pemuda di sisinya terlalu
erat. "Hewan kecil" Hewan kecil apa" Aku tak mengerti. Aku sama sekali tak melihat ada hewan melintas.
Kalau pun ada, aku tak yakin dapat membuat kuda kita menjadi liar seperti itu," tukas Satria Gendeng.
Satria curiga ada seseorang yang hendak usil
pada mereka. Untuk membuktikan kecurigaan itu, dilepas pandangan ke sekeliling. Tidak ada apa-apa. Sepanjang jangkauan
penglihatannya, hanya ada jajaran pepohonan dan gerombolan semak belukar.
Yakin semuanya beres, anak muda itu menganggap perkataan Rara Lanjar tidak keliru. Mungkin ada hewan kecil yang
mengejutkan kuda penarik pedati mereka. Sementara Satria sendiri mungkin tak
begi-tu menyadari.
Mereka lalu melanjutkan perjalanan.
"Apa tujuanmu kembali ke Perguruan Belalang
Putih?" tanya Satria pada Rara Lanjar, setelah beberapa jauh berlalu.
"Ada laporan bahwa ayahku mewasiatkan satu
kitab pada Palguna...."
"Siapa Palguna?" sela Satria, tak sabar menunggu sampai Rara Lanjar
menyelesaikan ucapan.
"Murid kepercayaan Ayah...."
"Kitab apa yang diwasiatkan padanya?" serobot Satria lagi. Dan lagi-lagi dia
memangkas ucapan Rara Lanjar. Dua kali diperlakukan begitu, Rara Lanjar jadi
mangkel sendiri. Dipasangnya wajah 'perang'. Setelah itu dia diam tanpa peduli
pada pertanyaan Satria.
"Kau tak menjawab pertanyaanku, Lanjar," usik Satria. Anak muda itu sibuk
menyentak-nyentak tali
kekang. Tak disadarinya kalau perempuan di sebelahnya sedang merajuk.
"Kalau kau tak banyak tanya, semua keingintahuan mu bakal terjawab!"
Satria sampai terlonjak. Rara Lanjar terlalu teriak membentak di depan telinganya.
"Kau ini apa-apaan?" sungut Satria, sambil meringis mengusap-usap telinganya.
"Kau mau mendengarkan aku atau tidak?" ancam Rara Lanjar.
Dengan tak kalah merajuk, Satria menggerutu.
"Terserah kau...."
Rara Lanjar tersipu sembunyi-sembunyi menyaksikan wajah pendekar muda yang mulai punya
nama besar di dunia persilatan itu. Tampangnya tampak jadi seperti orang keracunan jengkol kalau sedang merajuk.
Tapi, Rara Lanjar jadi ngeri juga kalau Satria
terus memasang wajah seperti itu sepanjang perjalanan. Bisa seperti berpedati dengan Hanoman murka!
"Kau mau aku melanjutkan penjelasanku, Satria?" rayu Rara Lanjar.
"Tak perlu!"
"Ya, sudah!"
Keduanya terdiam dengan wajah terlipat. Akhirnya, jadi juga mereka seperti sepasang Hanoman
murka! Entah siapa yang lebih mirip....
LIMA KI Manda Langit didatangi dua orang asing di
perguruannya. Seorang perempuan setengah baya, dan
seorang lelaki cebol. Yang perempuan, kendati sudah memasuki usia setengah baya
masih memiliki pancar
kecantikan pada wajahnya. Pesonanya mengundang
hasrat lelaki. Dari wajahnya seolah terpancar kuat go-daan birahi. Matanya
berbulu lebat, merangsang serta berkesan nakal. Bibirnya merah ranum. Kulit
putih halus tanpa cacat, terbungkus gaun sutera putih panjang yang memiliki belahan
panjang pada bagian paha.
Sedang lelaki di sisinya bertampang seperti perempuan. Sebaliknya, matanya memancarkan ketelengasan. Seolah dia tak pernah memandang siapa pun
jika saatnya harus membunuh. Tubuhnya cebol. Rambutnya keriting, dan kulitnya hitam. Di tali pinggangnya terselip sepasang
senjata berupa cakar logam ber-mata tiga.
Wajah keduanya tak sebetik pun memperlihatkan sikap bersahabat ketika menegur Ki Manda
Langit. Pemimpin Perguruan Kuda Terbang itu tak menyangka akan kedatangan tamu saat perguruannya
sedang menghentikan kegiatan sepekan penuh untuk
memperingati hari berkabung meninggalkan Ki Arga
Pasa. Saat itu dia sendiri sedang berada di kamar
pribadinya untuk menyepi ketika salah seorang murid melaporkan bahwa mereka
kedatangan tamu tak di-undang. Kalau saja kedua tamu meminta izin terlebih
dahulu pada murid yang berjaga di gerbang, mereka
tak akan pernah diizinkan untuk masuk mengingat Ki
Manda Langit tak ingin diusik. Namun karena mereka
melompat pagar, membuat kekacauan dan memaksa
untuk bertemu dengan Ki Manda Langit, mau tak mau
seorang murid akhirnya melaporkan pada Ki Manda
Langit. "Kau yang bernama Manda Langit, pemimpin perguruan ini"!" sapa perempuan
cantik bergaun putih ketika Ki Manda Langit sudah tiba di halaman depan
perguruan. Ki Manda Langit mengangguk sekali. Biarpun
sebenarnya dia tak suka pada cara si tamu wanita menegur. "Ada keperluan apa
sampai kalian datang ke perguruan kami?" tanyanya kemudian.
"Kami ingin meminta sedikit keterangan padamu, Manda Langit!" susul wanita cantik bergaun putih.
"Tidakkah kalian berpikir bahwa aku belum
tentu sudi menyahuti pertanyaan orang yang masuk
ke pekarangan orang lain tanpa tata krama?" sindir Ki Manda Langit.
Si perempuan tersenyum tanggung.
"Kurasa, kau tak membutuhkan permintaan
maaf kami, bukan" Kami pun tak begitu sudi untuk
memohon maaf kepadamu. Selain itu, aku tak akan
terlalu rewel dan banyak tingkah jika seandainya kau mau memberi tahu kami
tentang seorang sahabatmu
yang kudengar tewas di tangan Manusia Makam Keramat." Ki Manda Langit terdiam demi nama Manusia Makam Keramat disebut-sebut.
Wajahnya membeku.
"Apa tujuan kalian menanyakan hal itu?" Ki Manda Langit balik bertanya.
"Itu urusan kami, Manda langit. Kau tak perlu
mengetahuinya," sahut perempuan bergaun putih lagi.
"Kalau begitu caranya, aku pun tak akan bersedia menjawab pertanyaanmu. Kuharap kalian segera
meninggalkan perguruan ini. Aku tak ingin ada kekerasan selama masa berkabung...," tandas Ki Manda Langit, seraya membalikkan
badan untuk masuk kembali ke kamar pribadinya.
Si cebol menggeram. Tampak sekali dia benarbenar gusar pada sikap Ki Manda Langit. Dia hendak
maju, memberi pelajaran pada Ki Manda Langit. Tapi, tangan perempuan cantik di
sebelahnya cepat menahan. "Tunggu, Manda Langit!" cegah si perempuan bergaun,
menahan langkah Ketua Perguruan Kuda
Langit itu. Ki Manda Langit membalikkan badan.
Seraya menebar senyum menggoda, perempuan
bergaun melangkah dua tindak ke depan. Beberapa
murid Perguruan Kuda Langit bergerak ke depan pula
dengan sikap siaga. Mereka tentu tak ingin terjadi serangan mendadak terhadap
guru mereka. "Bukankah tak seharusnya kita bersikap tegang
seperti ini" Kami cuma ingin menanyakan apakah sahabatmu yang tewas di tangan Manusia Makam Keramat menyebut-nyebut satu kitab?" ujar perempuan cantik tadi pada Ki Manda
Langit. Wajah Ki Manda Langit langsung berubah.
"Bagaimana kalian bisa tahu?" tanyanya. Wajahnya memperlihatkan gurat
keingintahuan mendalam. Perempuan bergaun putih mulai melangkah hilir-mudik. Pinggul padatnya melenggang-lenggok genit.
Tanpa menghentikan langkah yang demikian gemulai
di mata setiap lelaki, dia berkata, "Kami mendengar kabar bahwa Manusia Makam
Keramat mendatangi
Perguruan Belalang Putih dan membunuh ketuanya,
Arga Pasa. Tak mungkin dia datang tanpa tujuan, bukan" Karena kau adalah salah seorang sahabat Arga
Pasa, tentu kau tahu banyak tentang dirinya."
Si perempuan cantik berhenti sebentar, sambil
mengulum ujung jarinya.
"Mmm, oya! Kenapa kami bisa tahu" Itu pertanyaanmu, bukan" Perlu kau ketahui, Manda Langit.
Lelaki cebol yang bersamaku ini adalah Penjaga Gerbang Neraka...."
Untuk kedua kalinya, wajah Ki Arga Pasa berubah kembali. Sekali ini menyiratkan keterkejutan yang tak bisa disembunyikannya.
Terlalu kalau Ki Manda Langit tak pernah mendengar julukan Penjaga Gerbang Neraka. Salah satu
tokoh kesohor yang hampir-hampir sulit dimengerti.
Teramat jarang terlihat, namun nama besarnya tak
pernah lekang oleh masa. Karena itu pula wajahnya jarang dikenal. Termasuk oleh
Ki Manda Langit sendiri.
"Kau terkejut, bukan" Terkejut karena tokoh
seangkatan Dedengkot Sinting Kepala Gundul ini akan turun kembali ke dunia
persilatan?"" ujar si perempuan cantik.
"Nah," lanjutnya kemudian. "Perlu kau ketahui pula, bahwa lelaki cebol berjuluk
Penjaga Gerbang Neraka ini adalah salah seorang musuh lama Manusia
Makam Keramat. Selama ini dia memburunya. Suatu
kali, perburuan itu menjadi sia-sia karena Manusia
Makam Keramat mati terbunuh oleh seorang Prabu Pajajaran. Kini, musuhnya itu telah bangkit. Kau tahu artinya" Artinya, dia punya
kesempatan kedua untuk
memburu Manusia Makam Keramat dan melunasi
dendamnya...."
Ki Manda Langit menimbang-nimbang sejenak.
Kepalanya mengangguk-angguk perlahan.
"Bagaimana aku percaya kalau lelaki itu adalah Penjaga Gerbang Neraka?" ajunya
pada perempuan yang tak lain Dewi Melati, pendamping genit Penjaga Gerbang
Neraka. Beberapa waktu lalu, perburuan mereka mengikuti jejak Manusia Makam
Keramat mene- mui jalan buntu. Tak lama, tersebar kabar bahwa Manusia Makam Keramat telah membantai rombongan
murid Kuda Langit yang bertugas mengantar kereta
kencana. Keduanya pun lalu mengusut hal itu sampai
mereka tiba di Perguruan Kuda Langit.
(Untuk mengetahui tentang mereka berdua, bacalah dua episode sebelumnya : "Memburu Manusia Makam Keramat" dan "Bangkitnya
Dewa Petaka"!).
"Kau perlu bukti" Baik," kata Dewi Melati. Didekatinya Penjaga Gerbang Neraka.
Dengan bahasa isyarat tangan yang hanya dimengerti oleh mereka, keduanya berbicara beberapa
saat. Lelaki cebol itu terlihat mengangguk kecil.
Lalu.... "Grrrhhh!"
Dibuka erangan serak meledak, Penjaga Gerbang Neraka mendadak meloloskan sepasang senjatanya. Teramat cepat, hampir tak dapat diikuti pandangan tangannya bergerak. Senjatanya terlepas, berpusing liar di udara,
membubungkan suara menderu.
Wukh wukh wukh!
Di tengah jalan, dua logam maut milik Penjaga
Gerbang Neraka berhenti meluncur, namun tetap berputar liar bagai sepasang cakra milik dewa.
Terlalu sulit untuk mengendalikan senjata yang
sedang meluncur di udara. Apalagi menghentikan lajunya secara mendadak. Bagi sebagian besar kalangan, hal itu tergolong mustahil.
Tidak untuk Penjaga Gerbang Neraka!
Kendati kejadian itu sudah luar biasa, masih
ada pula keluarbiasaan yang lebih mencengangkan.
Sepasang senjata yang terus berpusing berdampingan
itu mendadak menebar cahaya kuning samar. Cahaya
mengembang membentuk pusaran. Pada saatnya,
pendaran cahaya membersit ke satu arah.
Cdar! Sepuluh pohon besar dalam satu barisan lurus
langsung bertumbangan, bagai rumput terpangkas sabit! Sebentuk tenaga dahsyat yang dieram di dalam
sepasang senjata dari logam....
Kecuali Dewi Melati, semua yang menyaksikan
kejadian itu menjadi terperangah. Ki Manda Langit pun tak luput.
"Ajian Cakra Kuning," bisiknya perlahan, me-nyebutkan satu ajian yang hanya
dimiliki oleh Penjaga Gerbang Neraka. Dan itu sudah diketahui oleh sebagian
besar kalangan persilatan.
Sekarang, sahabat baik mendiang Ki Arga Pasa
percaya pada ucapan Dewi Melati.
"Karena tampaknya kau sudah percaya, sudikah kau menjawab pertanyaanku?" tukas Dewi Melati.
"Ya, mendiang sahabatku memang menyebutnyebut tentang satu kitab." Akhirnya, Ki Manda Langit masih bersedia memberikan
jawaban. "Bagus! Yang ingin ku tahu, apakah Arga Pasa
pernah mengatakan di mana dia menyimpan kitab
itu?" "Apa yang kalian harapkan dari kitab itu sebenarnya?"
"Kau terlalu rewel, Manda Langit. Tapi, aku
masih berbaik hati untuk menjelaskan. Menurut lelaki cebol ini, kitab itu berisi
tentang riwayat Manusia Makam Keramat. Ditulis oleh Prabu Pajajaran yang telah
membunuhnya untuk pertama kali. Dalam kitab itulah
bisa ditemukan kunci kelemahan Manusia Makam Keramat. Selain dari itu, dia tak akan dapat dibunuh! Kalau kau menginginkan
pembunuh sahabatmu itu dapat secepatnya dikembalikan ke neraka oleh si cebol
ini, sebaiknya kau mengatakan di mana Arga Pasa meletakkan kitab itu...."
Satria Gendeng 10 Nisan Batu Mayit di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ki Manda Langit menggeleng perlahan.
"Sebenarnya, aku pun menginginkan Manusia
Makam Keramat terkubur kembali di perut bumi. Tapi, sebelum kematiannya, Arga
Pasa tak sempat menyebut-nyebut tempat penyimpanan kitab itu," katanya setengah
mengeluh. "Sial!" maki Dewi Melati.
Buntu. Pencarian mereka menemui jalan buntu
kembali. "Aku percaya kalian akan mengenyahkan Manusia Makam Keramat. Karena itu, kusarankan kalian
sebaiknya menanyakan tentang hal itu pada muridmurid kepercayaan Arga Pasa. Mungkin saja salah seorang di antara mereka pernah
dititipkan pesan. Asal kuminta, kalian tidak mempergunakan cara kekerasan
sewaktu meminta keterangan.
Bibir Dewi Melati mengembang lebar. Matanya
mengerling nakal.
"Kalau kau masih muda, akan kuhadiahkan ciuman hangat, Manda Langit," pujinya seraya menarik lengan Penjaga Gerbang Neraka
keluar halaman perguruan.
ENAM SATRIA dengan Rara Lanjar akhirnya tiba di
tempat tujuan. Dari Gunung Burangrang ke Perguruan
Belalang Putih memakan waktu dua hari dua malam.
Tiba di gerbang perguruan, mereka langsung
disambut oleh tiga orang murid yang mendapat giliran tugas jaga. Mereka bergegas
mendekat dengan wajah
kalut. Besar kemungkinan, ada sesuatu telah terjadi.
Belum lagi pedati memasuki pintu gerbang,
seorang murid langsung berseru,
"Kitab itu telah hilang, Nona Lanjar!"
Mata Rara Lanjar membeliak.
"Apa"!"
Dia cepat melompat turun dari pedati.
"Bagaimana bisa terjadi?" tanyanya meledak-ledak. Wajah terbakar. Sepantasnya
dia lebih kalut
dan gusar dari murid Perguruan Belalang Putih.
"Kakang Palguna yang mengetahui secara jelas
kejadiannya!" susul murid yang lain.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Rara Lanjar melangkah memasuki pintu gerbang. Langkahnya terbanting-banting keras.
Satria mengangkat bahu. Rasanya dia sudah
diacuhkan.... Pendekar muda itu pun melompat turun
dari pedati. Seorang murid perguruan yang masih berdiri di sana dimintanya untuk
memasukkan pedati.
Dia sendiri menyusul Rara Lanjar.
"Di mana sekarang Kakang Palguna?" tanya Ra-ra Lanjar, selagi melangkah diiringi
dua orang murid Perguruan Belalang Putih.
"Dia sedang dirawat oleh tabib perguruan, terluka dalam karena bertarung dengan orang yang melarikan kitab itu!" lapor murid di sebelah kiri.
Di belakang mereka, Satria mengekori seperti
kacung. Keempatnya tiba di ruang perawatan Palguna.
Melihat putri Ki Arga Pasa tiba, dia memaksakan diri untuk bangkit. Rara Lanjar
menahannya agar tetap
berbaring. Setelah meminta tabib perguruan untuk keluar, Palguna mulai menerima
pertanyaan demi pertanyaan gadis itu.
"Ceritakan apa yang sesungguhnya telah terjadi, Kang?" tanya Rara Lanjar. Kendati telah berusaha menguasai kegusaran, tak
urung nafasnya masih terdengar rusuh.
"Empat hari lalu, ketika kitab yang diwasiatkan Eyang baru saja ku keluarkan
dari tempat persembu-nyiannya. Datang seorang bertopeng kayu Arjuna. Entah bagaimana caranya dia bisa lolos dari penjagaan para murid yang sedang
bertugas. Tahu-tahu saja dia sudah berada di belakangku. Tanpa banyak cakap dia
hendak merebut kitab itu dari tanganku."
Palguna terbatuk-batuk kecil, menyebabkan ceritanya terpenggal sementara.
Rara Lanjar dan Satria saling bertatapan. Hati
mereka sama-sama bertanya. Seorang bertopeng Arjuna" Bukankah dia pula orang yang telah menyelamatkan Rara Lanjar dari Manusia Makam Keramat"
Benar-benar sulit dimengerti....
"Lalu?" desak Rara Lanjar.
Jaka Lola 13 Misteri Kapal Layar Pancawarna Karya Gu Long Geger Dunia Persilatan 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama