03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 10
Pergi atau kami usir kalian dari tempat ini dengan kekerasan."
"Kau memaksa kami bergabung dengan orang-orang di
sebelah. Kau harus memperhitungkan kemampuan kami.
Tidak ada laki-laki di padukuhan ini yang dapat melawan
kami." Orang y ang bertubuh tinggi itu termangu-mangu. Ia
memang sudah mendengar laporan tentang kedua orang yang
sudah dua kali datang ke lingkungan m ereka selain apa yang
pernah mereka lakukan di luar padukuhan ketika dua orang di
antara mereka sedang dipukuli oleh orang-orang sebelah.
Namun orang bertubuh tinggi itu ternyata tidak gentar.
Apalagi karena ia memang merasa memiliki kemungkinan
untuk memegang jabatan tertinggi bukan saja di padukuhan
itu tetapi di seluruh Kabuyutan.
Karena itu maka katanya, "Ki Sanak. Jangan menakutnakuti
kami dengan cara itu. Aku adalah pemimpin di sini.
Aku harus dapat mengatasi segala kesulitan y ang timbul di
lingkunganku. Karena itu, maka pergilah. Jangan membuat
aku m arah. Jika kau membanggakan diri kalian seolah-olah
tidak ada orang y ang mampu mengalahkan kalian, maka
kalian akan meny esal."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat merasa heran melihat
sikap y ang begitu tenang dari orang bertubuh tinggi itu. Orang
itu terlalu y akin akan dirinya, serta t erlalu y akin akan
kemampuan ny a untuk memimpin padukuhannya bahkan
Kabuyutannya. Tetapi dengan demikian maka persoalan di padukuhan
itu menjadi semakin mengasikkan untuk ditelusuri.
Nampaknya ada permasalahan tentang pimpinan di
padukuhan itu. Karena itu, maka Mahisa Pukat pun berkata, "Ki Sanak.
Nampaknya kau memang terlalu yakin akan dirimu sendiri."
"Aku memang harus y akin, bahwa aku adalah pemimpin
di sini," jawab orang itu.
Tetapi Mahisa Pukat kemudian bertanya, "Ki Sanak.
Apakah di sebelah juga terdapat orang seperti Ki Sanak" Yang
merasa dirinya akan menjadi pemimpin di sini?"
" Itu bukan urusanku. Tetapi akulah pemimpin di sini,"
bentak orang itu. Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba
sa ja ia berkata, "Seorang pemimpin harus memiliki kelebihan
dari orang lain. Karena itu ada baiknya kau berusaha mengusir
aku. Kemudian aku akan membiarkan diriku diusir oleh orang
yang mengaku pemimpin di sebelah."
Wajah orang itu menjadi marah. Dengan nada keras ia
berkata, "Sebenarnya apa keuntunganmu mencampuri urusan
orang lain?" "Keanehan di padukuhan ini sangat menarik
perhatianku. Justru pada saat Singasari berusaha
mempersatukan bagian-bagiannya sampai bagian terkecil,
maka di padukuhan ini terjadi yang sebaliknya. Bagaimana
seorang pemimpin dapat menjadi besar, jika justru saling
memisahkan diri dan bermusuhan seperti ini."
"Apa pedulimu?" bentak orang bertubuh tinggi itu,
"sekali lagi aku minta kau pergi dari lingkunganku."
Tetapi Mahisa Pukat menggeleng. Jawabnya, "Tidak.
Aku justru ingin mencampuri persoalan di padukuhan ini
lebih mendalam. Aku ingin di padukuhan ini tidak ada pagar
sehingga padukuhan ini akan menjadi satu kembali seperti
sebelumnya. Meskipun aku tidak melihat, namun aku y akin,
bahwa semula padukuhan ini satu. Persatuan di lingkungan
paling kecil dari satu lingkungan yang besar, merupakan alas
yang paling kokoh dari per satuan itu. Tanpa persatuan pada
bagian-bagian terkecil dari lingkungan Singasari, m aka tidak
akan ada persatuan yang mendasar di Singasari."
"Kau tidak usah mengigau tentang Singasari," berkata
orang bertubuh tinggi itu, "y ang aku hadapi adalah keny ataan
ini. Aku tidak peduli apa yang terjadi diluar padukuhanku."
"Perpecahan seperti ini akan dapat menjadi setitik api di
dalam seonggok jerami. Jika kita biarkan, maka jerami itu
akan terbakar habis," berkata Mahisa Pukat.
" Jika kau m emang ingin mencampuri persoalan kami,
singkirkan orang lain y ang mengaku pemimpin di padukuhan
ini," sahut orang bertubuh tinggi itu.
"Bukan begitu caranya," jawab Mahisa Pukat,
"sebaiknya kalian bertemu dan berbicara."
" Bibir kami tidak cukup tebal untuk berbicara. Sampai
habis pun tidak akan ada peny elesaian y ang baik. Karena itu
maka tidak ada jalan lain kecuali m enyingkirkannya," berkata
orang bertubuh tinggi itu.
"Aku tidak sependapat," jawab Mahisa Pukat.
"Aku tidak peduli. Karena itu, pergilah," bentak orang
bertubuh tinggi itu. Mahisa Pukat menggeleng sambil berkata, "Aku akan
berbuat apa saja yang aku sukai."
Ternyata orang bertubuh tinggi itu menjadi marah
sekali. Dengan serta merta tangannya terayun ke wajah
Mahisa Pukat. Tetapi Mahisa Pukat telah siap menghadapi
kemungkinan itu. Dengan memiringkan wajahnya, maka
pukulan itu sama sekali tidak meny entuhnya.
Namun ternyata bahwa orang bertubuh tinggi itu tidak
menghentikan serangannya, la pun segera meloncat sambil
mengayunkan tangannya, langsung meny erang ke arah dada.
Sekali lagi Mahisa Pukat harus mengelak. Dengan
cepatnya ia bergeser ke samping, sehingga pukulan itu tidak
mengenainya. Namun tubuh orang itulah y ang kemudian
berputar. Kakinya terayun deras ke arah lam bung.
Mahisa Pukat memang harus meloncat surut untuk
menghindarinya. Tetapi ia tidak membiarkan dirinya diserang
terus. Karena itu, demikian ia berjejak diatas tanah, ia pun
melenting dengan cepatnya meny erang dengan ayunan kaki ke
arah dada. Tetapi ternyata bahwa orang bertubuh tinggi itu telah
mengejutkan Mahisa Pukat. Orang itu pun telah bergerak
dengan cepat pula menghindar, sehingga serangan Mahisa
Pukat tidak mengenainya. Mahisa Pukat memang belum mengerahkan
kemampuannya. Namun bagaimanapun juga ia mampu
menilai orang bertubuh tinggi itu. Ternyata orang bertubuh
tinggi itu juga memiliki kemampuan dalam olah kanuragan.
Bahkan tidak mustahil bahwa sebenarnya ia memiliki ilmu
yang tinggi. Tetapi ia belum merasa perlu untuk
mengungkapkannya. Karena itu, maka Mahisa Pukat harus menjadi lebih
berhati-hati. Ia tidak dapat menganggap lawannya itu
sebagaimana orang-orang lain di padukuhan itu.
Orang bertubuh tinggi yang meny ebut dirinya pemimpin
dari padukuhan itu, bahkan pemimpin dari seluruh Kabuyutan
itulah yang. kemudian melangkah mendekat. Dengan cepat ia
meloncat meny erang dengan garangnya.
Sejenak kemudian, maka telah terjadi pertempuran y ang
sengit. Mahisa Murti yang memperhatikan pertempuran itu,
segera dapat melihat, bahwa orang bertubuh tinggi itu
memang memiliki kemampuan y ang tinggi pula. Perlahanlahan
orang itu mulai meningkatkan kemampuannya sehingga
sampai pada satu tataran y ang melampaui kemampuan orang
kebanyakan. Mahisa Pukat pun berusaha untuk mengimbangi
kemampuan itu. Namun Mahisa Pukat pun kemudian y akin,
bahwa orang bertubuh tinggi itu masih akan mampu
meningkatkan ilmunya. Bahkan tidak m ustahil bahwa orang itu memiliki ilmu
puncak yang menggetarkan.
Sementara itu, beberapa orang laki-laki dari padukuhan
itu telah berkumpul pula mengerumuni arena itu. Bahkan
orang-orang y ang menyaksikan keadaan dua orang yang telah
dipukuli oleh orang-orang sebelah. Mereka telah melihat
bagaimana dua orang anak muda itu telah menolong dua
orang di antara mereka y ang mengalami kesulitan.
Tetapi ternyata bahwa suasana y ang tidak menentu telah
membuat orang-orang yang tinggal di belahan padukuhan itu
sal ing meny ombongkan diri dan merasa tidak memerlukan
pertolongan orang lain. Apalagi karena mereka merasa
memiliki pemimpin y ang memiliki kemampuan yang tinggi.
Karena itu, ketika pertempuran itu m eningkat semakin
cepat, maka orang-orang yang berkerumun itu pun merasa
bahwa kesombongan kedua orang anak muda itu akan
berakhir. Apalagi ketika orang bertubuh tinggi itu pun kemudian
berkata dengan lantang, "Kenapa kalian tidak maju berdua
bersama-sama?" Mahisa Murti sama sekali tidak menanggapinya. Ia
masih saja berdiam diri sambil mengamati Mahisa Pukat yang
bertempur semakin cepat. Seperti yang diduganya, ketika Mahisa Pukat
mengimbangi kemampuannya, maka orang bertubuh tinggi itu
justru telah meningkatkan kemampuannya pula. Sehingga
dengan demikian, maka baik Mahisa Murti maupun Mahisa
Pukat menjadi semakin berhati-hati menghadapi orang
bertubuh tinggi itu. Ketika pertempuran itu berlangsung semakin cepat,
maka orang-orang yang mengerumuni arena itu menjadi
semakin tergetar pula hatinya. Rasa-rasanya mereka ingin
meloncat dan mendorong pemimpinnya untuk segera
mengakhiri pertempuran dan mengalahkan lawannya. Bahkan
di luar sadar, satu dua orang mulai berteriak-teriak. Namun
yang akhirnya, sepuluh, dua puluh, bahkan semua orang telah
ikut berteriak-teriak pula. Mereka tidak lagi mengekang diri,
sebagaimana mereka melihat sabung ayam. Mereka
meneriakkan kata -kata yang melontarkan kegeraman dan
kemarahan hati terhadap anak muda y ang bertempur
melawan pemimpinnya itu. Namun orang-orang y ang bersorak-sorak itu kemudian
seakan-akan telah mengarahkan pandangan mata mereka
kepada Mahisa Murti. Selagi Mahisa Pukat bertempur
melawan pemimpinnya yang bertubuh tinggi itu, maka Mahisa
Murti berdiri saja termangu-mangu justru di antara orangorang
padukuhan itu yang mengerumuni pemimpin mereka
yang sedang bertempur. Orang-orang itu seakan-akan baru sadar, bahwa Mahisa
Murti itu juga merupakan lawan bagi para penghuni
padukuhan itu, karena pemimpinnya telah bertempur dengan
seorang anak muda yang lain.
Karena itu, tiba-tiba saja seorang di antara orang-orang
yang berkerumun itu tiba -tiba berteriak, "He, kita apakan
kawannya y ang seorang itu?"
"Kita tangkap saja anak itu," teriak yang lain. Lalu y ang
lain lagi menyahut, "Kita ikat saja di halaman banjar."
Beberapa orang telah berteriak-teriak pula. Demikian
gelora yang membakar jantung mereka, sehingga beberapa
orang yang pernah berkelahi sebelumnya seakan-akan telah
melupakan kemampuan anak muda itu.
Namun ketika orang-orang itu mulai bergerak,
pemimpinnya pun berteriak, "jangan. Jangan berlaku bodoh.
Bukankah kalian tidak mampu berbuat apa -apa atas anak
muda itu" Biarkan aku sendiri meny elesaikan mereka. Apakah
mereka akan bersama-sama bertempur melawan aku, atau
mereka akan maju seorang demi seorang."
Orang-orang itu telah mengurungkan niatnya. Mereka
yang sudah bergerak mendekat, telah menarik diri lagi.
Seakan-akan m ereka telah diingatkan, apa yang telah terjadi
sebelumnya, ketika mereka menghadapi anak-anak muda itu.
Beberapa orang justru menjadi hampir pingsan karenanya.
Dengan demikian m aka perhatian m ereka telah tertuju
lagi kepada pemimpinnya yang sedang bertempur itu. Ra sarasanya
gerak m ereka berdua semakin lama m enjadi semakin
cepat, sehingga beberapa saat kemudian, gerak m ereka tidak
lagi dapat diikuti oleh orang -orang yang berkerumun itu.
Dengan demikian maka orang-orang itu tidak
memperhatikan lagi Mahisa Murti yang berdiri di antara
mereka, karena perhatian mereka sepenuhnya tertuju k epada
kedua orang y ang sedang bertempur itu.
0ooodwooo0 HIJAUNYA LEMBAH HIJAUNYA LERENG PEGUNUNGAN 62 Cetakan Pertama PENERBIT: "MURIA" YOGYAKARTA Kolaborasi 2 Website : dengan Pelangi Di Singosari / Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoyo Converter : Editor : Raharga, Arema, Dino,
Pdf ebook : --ooo0dw0ooo- Naskah ini untuk keperluan kalangan sendiri,
penggemar karya S.H. Mintardja dimana saja berada y ang
berkumpul di Web Pelangi Singosari dan Tiraikasih
Jilid 062 SEBENARNYALAH bahwa Mahisa Murti merasa
kagum juga atas pemimpin padukuhan itu, yang bertempur
dengan kemampuan yang tinggi. Sudah beberapa lama ia
bertempur melawan Mahisa Pukat. Namun ia masih tetap
bertahan, meskipun Mahisa Murti pun mengetahui bahwa
Mahisa Pukat memang belum mengerahkan kemampuannya.
Namun mereka telah bertempur dalam tataran yang tinggi.
Tetapi agaknya Mahisa Pukat memang ingin mengetahui,
sampai seberapa jauh tingkat kemampuan orang yang
menyebut dirinya sebagai pemimpin dari padukuhan, dan
bahkan Kabuyutan itu. Karena itu, maka ia telah memancing
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lawannya agar meningkatkan kemampuannya sampai tataran
yang paling tinggi yang dikuasainya.
Ternyata usaha Mahisa Pukat itu pun berhasil. Beberapa
saat kemudian, maka orang yang bertubuh tinggi itu pun
merasa bahwa ia sudah terlalu lama bertempur. Karena itu,
maka ia berniat untuk mengakhiri pertempuran itu.
Dengan demikian maka orang bertubuh tinggi itu pun
telah menghentakkan ilmunya sampai ke tingkat yang paling
tinggi yang dikuasainya. Tetapi ternyata bahwa ia telah salah hitung. Ketika ia
sudah sampai ke puncak ilmunya, ternyata bahwa ia tidak
segera dapat mengalahkan anak muda itu.
"Anak iblis" geram orang bertubuh tinggi itu sambil
menyambar kening Mahisa Pukat.
Mahisa Pukat mengelak dengan memiringkan kepalanya
sambil bergeser surut. Namun dengan cepat ia menyusul
ayunan tangan lawannya dengan sisi telapak tangannya.
Orang bertubuh tinggi itu b erdesah tertahan. Pergelangan
tangannya terasa bagaikan akan patah ketika sisi telapak tangan
Mahisa Pukat mengenainya.
Kemarahan itu benar-benar telah sampai ke puncak.
Karena itu maka dikerahkannya segenap kemampuan yang ada
padanya. Dengan tangkasnya ia telah meloncat sambil
menjulurkan kakinya menyamping mengarah ke dada Mahisa
Pukat. Ketika Mahisa Pukat mengelak, maka orang itu dengan
cepat pula merubah serangannya. Tangannyalah yang
kemudian terayun mendatar sejalan dengan tubuhnya yang
berputar. Tetapi Mahisa Pukat yang sudah memiliki
perbendaharaan pengalaman itu tidak terkejut dan tidak
menjadi bingung. Dengan cepat pula ia merendahkan diri,
sehingga ayunan tangan itu tidak menyentuhnya. Bahkan
ketika lawannya itu kemudian berusaha untuk menyerangnya
dengan kakinya lagi, maka Mahisa Pukat berhasil
mendahuluinya. Ia memotong serangan kaki itu dengan
membenturkan kakinya pula.
Namun Mahisa Pukat memiliki kesempatan ancangancang
lebih mapan. Karena itu, maka Mahisa Pukat berhasil
membentur kaki lawannya dengan kakinya dalam keadaan
lebih mapan, sehingga lawannya justru terhuyung-huyung
kehilangan keseimbangan. Tetapi orang bertubuh tinggi itu tidak terjatuh. Ia masih
mampu mempertahankan keseimbangan, meskipun ia harus
menyeringai kesakitan. Mahisa Pukat memang tidak memburunya. Ia ingin
mengetahui sikap lawannya itu untuk seterusnya. Karena itu, ia
pun seakan-akan justru memberikan kesempatan kepada
lawannya yang bertubuh tinggi itu.
Namun ternyata bahwa lawannya tidak mengingkari
kenyataan. Dengan dada tengadah maka ia pun berkata, "Kau
menang anak muda. Jika perkelahian ini diteruskan, aku kira
tidak akan ada gunanya. Nah, sekarang kau mau apa?"
"Bukankah sudah aku katakan," jawab Mahisa Pukat,
"kami ingin mengetahui kenapa padukuhan ini telah terbagi.
Justru pada saat Singasari bekerja keras untuk mewujudkan
satu kesatuan yang besar dan utuh. Bukankah perpecahanperpecahan
kecil seperti ini akan dapat menjalar" Seperti sudah
aku katakan, seperti api yang tersembunyi di dalam jerami.
Menjalar dan menimbulkan keresahan."
"Juga sudah aku katakan, jangan mencampuri persoalan
kami" jawab orang bertubuh tinggi itu.
"Jangan terlalu sombong," tiba-tiba saja Mahisa Pukat
membentak, "aku dapat berbuat apa saja di sini tanpa ada orang
yang akan mampu mencegahnya."
Orang itu termangu-mangu sejenak. Sebenarnyalah
bahwa ia tidak akan mampu berbuat apa-apa jika kedua orang
anak muda itu akan berbuat sesuatu, sesuai atau tidak sesuai
dengan kemauannya. Mahisa Pukat yang melihat orang bertubuh tinggi itu
ragu-ragu maka ia pun berkata, "Ki Sanak. Apakah sebenarnya
keuntungan yang kalian dapatkan dengan membagi padukuhan
ini" Di belahan ini seorang telah mengaku pemimpin atas
padukuhan ini. Sementara di belahan lain, seseorang juga telah
mengaku demikian. Apakah artinya itu" Apakah dengan
kepemimpinan kalian yang tidak menentu itu, akan
memberikan kesejahteraan bagi rakyat kalian" Apakah
keuntungan orang-orang padukuhan ini dengan kegairahan
kalian berebut menjadi pemimpin?"
"Aku akan dapat menentukan kebijaksanaan yang paling
tepat bagi padukuhan ini," jawab orang bertubuh tinggi itu.
Lalu "selebihnya aku memang satu-satunya orang yang berhak
menjadi seorang pemimpin."
"Apakah sebenarnya tujuanmu berebut menjadi
pemimpin" Semata-mata bagi kepentinganmu sendiri atau bagi
kesejahteraan rakyatmu?" desak Mahisa Pukat.
Orang yang bertubuh tinggi itu memandang Mahisa
Pukat dengan wajah yang tegang. Tetapi sebelum ia berkata
sesuatu, Mahisa Pukat sudah mendahuluinya, "Kau jadikan
rakyatmu sebagai batu landasan. Kau sebut-sebut bahwa kau
telah berjuang bagi mereka. Tetapi kau sadari atau tidak kau
sadari, bahwa justru merekalah yang kini mengalami kesulitan
paling besar. Orang-orang yang mendukungmu di sini dan
orang-orang yang mendukung orang lain di belahan
padukuhanmu ini. Kau tidak berjuang untuk mereka, tetapi
mereka harus berjuang dan berkorban untukmu."
"Cukup," geram orang itu, "sekarang apa maumu.
Membunuh aku" Lakukanlah. Kau memang dapat berbuat apa
saja dini tanpa ada yang mampu menghalangi."
"Aku tidak ingin apa pun juga. Tetapi aku berharap
bahwa kau dan orang-orang di sisi sebelah akan berbicara.
Kalian akan berusaha untuk memecahkan persoalan kalian
dengan baik. Kekerasan bukan satu-satunya jalan untuk
menyelesaikan persoalan. Jika kalian sempat berbicara, maka
kalian akan dapat benar-benar membicarakan nasib rakyat
kalian. Tetapi jika kalian hanya saling berebut kedudukan,
maka kapan kalian akan dapat mencari jalan untuk
meningkatkan kesejahteraan kehidupan di padukuhan ini?"
berkata Mahisa Pukat. Orang bertubuh tinggi itu termangu-mangu. Tetapi
akhirnya ia berkata, "Apa yang dapat aku lakukan" Bicara
sama sekali tidak akan memberikan arti bagi penyelesaian yang
adil di tempat ini. Betapa pun aku ingin berbicara, tetapi jika di
dada ini ditekankan ujung pedang, maka agaknya suaraku tidak
akan dapat didengar oleh siapapun."
Mahisa Pukat termenung sejenak. Namun tiba-tiba saja ia
berpaling kepada Mahisa Murti dan berkata, "Kita ke belahan
padukuhan ini." Mahisa Murti tidak membantah. Ia hanya mengikut saja
rencana saudaranya. Karena itu, maka ketika Mahisa Pukat
melangkah meninggalkan tempat itu, Mahisa Murti telah
mengikutinya pula. Dengan tangkasnya Mahisa Pukat dan Mahisa Murti
telah melangkahi pagar yang menutup jalan simpang di
padukuhan itu. Mereka pun langsung meloncati pagar yang
menutup jalan yang memasuki lingkungan sebelah.
Seperti yang telah terjadi sebelumnya, demikian kedua
anak muda itu berada di lingkungan sebelah, maka beberapa
orang laki-laki telah mengerumuninya meskipun dari jarak
yang agak jauh, karena mereka menyadari, bahwa mereka tidak
akan dapat menghentikan kedua anak muda itu.
Kepada orang-orang yang termangu-mangu dikejauhan
itu Mahisa Pukat pun telah berteriak, "He, siapakah
pemimpinmu. Laporkan kepadanya, bahwa aku akan
berbicara." "Apakah kau telah diupah oleh orang-orang sebelah?"
bertanya seseorang yang juga berteriak dari kejauhan.
Tetapi Mahisa Pukat sama sekali tidak menjawab. Sekali
lagi ia berteriak, "Mana pemimpinmu."
Namun ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terkejut
ketika dari sebuah pintu regol halaman rumah di pinggir jalan
itu terdengar jawaban, "Aku di sini."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berpaling. Dilihatny a
seorang laki-laki bertubuh sedang, tetapi berkumis lebat
melangkah mendekati keduanya sambil menjinjing pedang.
Sementara itu lima orang pengawal bersenjata telah
mengikutinya. Mereka adalah laki-laki yang bertubuh tinggi,
kekar dan berwajah garang.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Mereka memang mendapat kesan yang berbeda
dengan orang bertubuh tinggi di belahan padukuhan itu yang
sebelah. Nampaknya orang bertubuh sedang dan berkumis telah
itu mempunyai watak yang berbeda pula dengan orang yang
bertubuh tinggi di sebelah.
"Anak-anak muda," suara orang berkumis lebat itu
bernada berat, "Aku sudah mendengar laporan tentang kalian.
Dan kalian merasa bahwa kalian adalah laki-laki yang paling
kuat di dunia ini. Begitu?"
"Tidak," jawab Mahisa Pukat dengan serta merta,
"sebaiknya kita tidak berbicara tentang kekerasan."
"Apa maksudmu" Kalian adalah anak-anak muda yang
terlalu sombong dan keras kepala. Kami di sini selalu
mengikuti apa yang terjadi di sebelah. Nampaknya kalian juga
menunjukkan bahwa kalian berilmu tinggi. Mungkin kalian
dapat mengalahkan orang-orang di padukuhan sebelah. Tetapi
kalian tidak akan dapat melakukannya di sini."
"Aku tidak berniat melakukannya," berkata Mahisa
Pukat, "di sebelah pun juga tidak. Tetapi ternyata bahwa aku
telah dipaksa untuk berbuat demikian."
"Tetapi apakah yang sebenarnya kau kehendaki?"
bertanya orang berkumis lebat itu.
"Aku merasa aneh tentang padukuhan yang terbelah ini.
Sementara kalian di belahan ini dan di belahan yang lain
menjadi saling bermusuhan. Berusaha untuk menunjukkan
kelebihan masing-masing dan bahkan saling bertindak kasar"
berkata Mahisa Pukat. "Jangan mencampuri persoalan kami" bentak orang itu.
"Kalimat yang sudah berpuluh kali aku dengar," jawab
Mahisa Murti. Lalu katanya, "Tetapi Ki Sanak. Seperti kepada
orang-orang di sebelah aku berkata, kenapa kalian tidak
menyelesaikan masalah kalian dengan berbicara. Berbincang
dengan hati terbuka. Saling memberi dan menerima. Benarbenar
berbicara tentang kesejahteraan para penghuni
padukuhan ini. Bukan sekedar saling berebut kedudukan yang
justru telah mengorbankan para penghuni padukuhan ini."
Orang itu mengerutkan keningnya. Namun ia pun telah
tertawa berkepanjangan. Katanya, "Kau memang pandai
berbicara. Apakah kau tahu apa yang kau katakan?"
Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak mendengar
pertanyaan itu. Namun kemudian dengan nada rendah ia
berkata, "Pertanyaanmu aneh Ki Sanak. Tetapi aku kira kau
mempunyai maksud tertentu dengan pertanyaanmu itu."
"Sudahlah. Pergilah. Tinggalkan padukuhan ini. Kami
akan menyelesaikan persoalan kami sendiri. Bagi kami tidak
cara yang lebih baik daripada menghancurkan kekuatan lawan
sampai tuntas. Hal itu hanya dapat kami lakukan dengan
kekerasan" berkata orang berkumis lebat itu.
"Itulah yang ingin aku cegah. Kekerasan bukan pilihan
yang baik," berkata Mahisa Pukat, "dalam tindak kekerasan
maka korban akan berjatuhan. Menang atau kalah, kalian telah
kehilangan. Sementara kalian dapat mencari jalan yang lebih
baik." "Ki Sanak," berkata orang berkumis lebat itu, "sudah
aku katakan. Pergilah. Kau dapat menakut-nakuti orangorangku.
Tetapi kau tidak akan dapat menakuti aku. Mungkin
kau memang belum mengenal aku. Tetapi jika kau menolak
permintaanku ini, maka kau akan menyesal."
"Aku tidak akan menyesal Ki Sanak. Aku tetap pada
sikapku. Cobalah berbicara dengan orang yang mengaku
pemimpin padukuhan ini di belahan yang lain" berkata Mahisa
Pukat. "Tidak," orang itu mulai bersikap keras, "jika kau tidak
mau pergi, maka aku akan memaksamu."
Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Agaknya orang
itu memang tidak akan dapat diajak berbicara. Karena itu,
maka Mahisa Pukat pun harus berusaha untuk memaksanya.
Katanya kemudian, "Ki Sanak. Dengan menyesal aku
tidak akan pergi sebelum ada kepastian bahwa kau akan
berbicara dengan pemimpin di belahan yang lain dari
padukuhan ini." Orang berkumis lebat itu menggeram. Katanya dengan
kasar, "Pergi, atau kami akan melemparkan kalian keluar.
Mungkin di belahan yang lain dari padukuhan ini, yang untuk
sementara masih dikuasai oleh orang-orang gila itu, kau
memang tidak terkalahkan. Tetapi kau tidak akan dapat berbuat
demikian di sini." Mahisa Pukat pun menggeram pula. Katanya, "Tidak ada
orang yang dapat menghalangi aku."
Orang berkumis lebat itu sudah tidak sabar lagi. Ia pun
segera memberikan isyarat kepada kelima orang pengawalnya
yang garang sambil berkata, "Aku muak terhadap mereka."
Kelima orang itu tahu apa yang harus mereka lakukan.
Karena itu, maka mereka pun segera mendekati Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat. Dengan nada datar orang berkumis lebat itu
berkata, "Jangan kau samakan mereka dengan orang-orang lain
di padukuhan ini. Kau dapat mengalahkan beberapa puluh
orang sekaligus. Tetapi kau tidak akan dapat menandingi
mereka seorang lawan seorang. Apalagi mereka berlima.
Mereka memang bukan orang padukuhan ini. Tetapi mereka
bersedia bekerja bersama kami. Mereka mempunyai
kemampuan yang tinggi dan kami mempunyai uang. Apa
salahnya jika mereka memberikan kemampuan mereka dan
kami memberikan uang kami sehingga kami tidak menjadi
saling dirugikan." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Mereka mengerti, bahwa kelima orang itu adalah
orang-orang upahan. Namun dengan demikian, maka agaknya
mereka memang orang-orang yang berilmu.
Karena itu, maka Mahisa Murti tidak dapat sekedar
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menonton dan mendengarkan sesorah saudaranya. Ketika
kelima orang itu benar-benar mulai bergerak, maka ia pun telah
bergerak pula. Tetapi justru bergeser menjauhi Mahisa Pukat.
"Jangan menyesal," berkata orang berkumis itu, "kalian
tentu tidak mengira bahwa di sini kalian akan bertemu dengan
lawan yang berilmu tinggi."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menyahut.
Sementara itu kelima orang itu telah membagi diri. Tiga orang
di antara mereka ternyata telah memilih Mahisa Pukat. Anak
muda itulah yang terlalu banyak berbicara, sehingga mereka
berniat untuk menyelesaikannya lebih cepat dari yang lain.
Sedangkan dua orang yang lain selangkah demi selangkah
mendekati Mahisa Murti. Mahisa Murti pun telah mempersiapkan diri. Ia tidak mau
menganggap kedua orang itu terlalu lemah. Jika ia menjadi
lengah, maka akibatnya akan sangat merugikannya.
Sejenak kemudian, maka kedua orang itu telah berdiri
berseberangan. Mereka bersiap menyerang Mahisa Murti dari
dua arah. Sejenak kemudian, maka hampir bersamaan kedua orang
itu telah meloncat menyerang.
Tetapi Mahisa Murti pun telah benar-benar bersiap.
Karena itu maka dengan tangkasnya ia bergeser menghindari
serangan seorang di antara mereka, namun dengan cepat p ula ia
menggeliat karena serangan yang lain telah datang pula
mengarah ke dadanya. Tetapi agaknya kedua orang itu pun mampu bergerak
cepat. Seorang di antara mereka tiba-tiba saja telah menyapu
kakinya, sementara yang lain menyerang lambung.
Mahisa Murti harus menghindari kedua serangan itu.
Karena itu, maka ia pun telah melenting tinggi. Kemudian
berputar di udara dan dengan lunak kedua kakinya turun
menyentuh tanah. Kedua orang lawannya tercenung sejenak. Namun
mereka pun kemudian telah mengumpat kasar. Dengan serta
merta keduanya telah meloncat menyerang kembali dengan
sengitny a. Tetapi Mahisa Murti yang benar-benar telah bersiap,
dengan sigapnya selalu berhasil menghindari seranganserangan
itu. Bahkan kemudian Mahisa Murti pun telah
menyerang pula. Meskipun Mahisa Murti masih harus
menjajagi kemampuan lawan-lawannya, tetapi kedua lawannya
telah dibuatnya menjadi berdebar-debar.
Sementara itu Mahisa Pukat harus bertempur melawan
tiga orang yang garang. Agaknya terhadap Mahisa Pukat,
orang-orang itu bertindak lebih keras.
Menurut anggapan mereka, Mahisa Pukat ternyata lebih
berperan dari Mahisa Murti. Ia lebih banyak menentukan,
sehingga karena itu, maka ialah yang harus mendapat hukuman
yang lebih berat. Tetapi Mahisa Pukat yang muda itu pun sudah siap
menghadapi kemungkinan apapun. Ia juga dapat bersikap keras
terhadap lawan-lawannya, jika lawan-lawannya itu bersikap
keras kepadanya. Karena itu, maka sejenak kemudian, maka Mahisa Pukatpun
telah bertempur dengan sengitny a. Ketiga orang lawannya
telah menyerang dengan garangnya. Beruntun dari arah yang
berbeda. Tetapi Mahisa Pukat sama sekali tidak tergetar
jantungnya. Ia tidak menjadi gentar melihat sikap ketiga orang
yang garang itu. Semakin keras ketiganya menekannya, maka
sikap Mahisa Pukat pun menjadi semakin keras pula.
Bahkan Mahisa Pukat tidak lagi sekedar menghindari
serangan-serangan. Tetapi serangan yang keras dan kasar,
bahkan telah dibentur p ula dengan kekuatannya.
Ketika seorang di antara ketiga orang itu melihat
kekosongan pada lambung Mahisa Pukat yang baru saja
menghindari serangan lawannya yang lain, maka orang itu
berusaha untuk memanfaatkannya. Dengan cepat dan keras ia
telah menjulurkan kakinya mengarah ke lambung anak muda
itu. Tetapi Mahisa Pukat tidak berusaha menghindar.
Meskipun ia akan mampu melakukannya, meskipun dengan
tergesa-gesa, namun ia memilih cara lain untuk melawannya.
Mahisa Pukat justru berusaha menangkis serangan itu. Sambil
merendahkan dirinya, maka ia telah membentur kaki yang
terjulur itu dengan sikunya.
Tetapi Mahisa Murti tidak mengabaikan kemungkinan
yang dapat terjadi pada benturan itu. Ia sama sekali tidak
merendahkan lawannya, meskipun dalam beberapa saat
sebelumnya ia sudah berusaha menjajaginya. Karena itu, maka
Mahisa Pukat telah mempersiapkan kekuatan yang cukup
untuk melawan serangan lawannya, agar ia tidak mengalami
kesulitan. Benturan itu ternyata mempunyai akibat yang
mengejutkan. Mahisa Pukat sendiri ternyata telah tergetar
karenanya. Kekuatan lawannya telah mampu menggoyahkan
keseimbangannya. Namun dengan cepat Mahisa Pukat
berusaha untuk memperbaikinya. Dengan selangkah ke
samping, maka Mahisa Pukat pun telah berdiri dengan
kokohnya menghadapi segala kemungkinan.
Namun dalam pada itu, lawannya yang sama sekali tidak
memperhitungkan benturan itu, telah terlempar beberapa
langkah surut. Kakinya yang terjulur dan membentur siku
Mahisa Pukat itu rasa-rasanya bagaikan akan patah.
Karena itu, maka sambil berdesah menahan sakit, orang
itu telah menjatuhkan dirinya dan berguling dua kali. Ketika ia
kemudian berusaha untuk berdiri, maka untuk beberapa saat ia
telah tertatih-tatih sambil memegangi kakinya yang terasa
bagaikan patah itu. Namun kedua kawannya yang lain justru telah
berloncatan menyerang Mahisa Pukat, untuk melindungi
kawannya yang kesakitan itu, agar dengan demikian Mahisa
Pukat tidak dapat memburunya.
Namun agaknya orang yang kakinya mengalami
kesakitan itu telah berusaha untuk menerjunkan diri lagi ke
dalam pertempuran meskipun ia masih nampak sedikit
timpang. Namun dengan kemampuannya maka ia telah
berusaha mengatasi perasaan sakitnya.
Sejenak kemudian, maka Mahisa Pukat telah menghadapi
ketiga orang lawannya lagi. Seorang demi seorang mereka
menyerang. Namun sekali-sekali, tiga serangan telah datang
hampir berbareng. Tetapi Mahisa Pukat yang bukan sekedar bermain-main
dengan rencananya itu, ternyata telah mengerahkan
kemampuannya pula. Ia harus segera menunjukkan bahwa ia
dapat mengatasi ketiga orang upahan itu.
Namun dalam pada itu, M ahisa Murti dan Mahisa Pukatpun
dapat menilai apa yang telah dilakukan oleh kedua belahan
dari padukuhan itu. Bagaimanapun juga orang yang bertubuh
tinggi itu masih berusaha menyelesaikan persoalan mereka
tanpa menyeret orang lain dalam persoalan itu. Tetapi orang
berkumis tebal itu agak berbeda. Meskipun ia juga berkata,
agar orang lain tidak' mencampuri persoalannya, tetapi ternyata
ia telah mengupah orang lain yang bukan keluarga padukuhan
itu untuk mencampuri langsung persoalan yang terjadi di
padukuhan itu. Bahkan ia telah mengundang orang-orang yang
memiliki kemampuan dalam olah kanuragan tentu dengan
maksud-maksud tertentu yang bersifat kekerasan.
Karena itu, maka bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat,
orang berkumis itu agaknya memang tidak mempunyai
keinginan untuk membuat penyelesaian yang lebih baik dari
mempergunakan kekerasan itu.
Dengan demikian maka pertempuran pun segera telah
meningkat semakin keras. Mahisa Pukat pun telah menjadi
semakin keras pula menanggapi serangan-serangan ketiga
lawannya. Bahkan Mahisa Pukat itu pun telah berloncatan
menyerang lawannya berganti-ganti.
Orang berkumis yang telah mengupah kelima orang itu
memang menjadi berdebar-debar. Ternyata yang terjadi tidak
seperti yang dibayangkannya. Ia menyangka, bahwa dalam
waktu singkat orang-orang upahannya dianggapnya memiliki
ilmu yang tinggi itu, akan dapat dengan cepat melemparkan
kedua orang anak muda itu keluar pagar. Tetapi ternyata yang
terjadi adalah lain. Kedua orang anak muda itu mampu
bertahan untuk waktu yang lama. Bahkan yang bertempur
melawan tiga orang itu pun masih juga tidak bergetar sama
sekali. Untuk beberapa saat orang berkumis itu masih
menyabarkan diri. Ia masih menunggu beberapa saat, dan
berharap melihat kedua anak muda itu menjadi babak belur dan
dilemparkan keluar pagar.
Tetapi ia sudah menunggu terlalu lama. Bahkan yang
mulai menjadi bengkak bukan wajah-wajah anak-anak muda
itu. Tetapi justru tangan-tangan Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat lah yang telah lebih dahulu mengenai orang-orang itu.
Bahkan di wajah mereka. Seorang di antara mereka, matanya
menjadi bengkak karena pukulan Mahisa Murti yang mapan.
Sementara lawan Mahisa Pukat pun mulai menjadi
gelisah. Ketika seorang di antara mereka tersentuh keningnya,
maka kulitnya telah terkelupas. Darah mulai menitik meskipun
tidak deras. Orang berkumis itu mengumpat kasar. Ia menjadi tidak
sabar lagi menunggu saat-saat yang tidak kunjung datang.
Orang-orang yang telah diupah mahal itu ternyata tidak mampu
dengan cepat menyelesaikan kedua orang anak muda itu.
Karena itu, maka ia pun telah turun sendiri. Ia akan
menjadi orang ketiga yang berhadapan dengan Mahisa Murti.
Mahisa Murti meloncat surut untuk mengambil jarak
ketika orang itu mendekatinya. Dengan tajam dipandanginya
orang berkumis itu, sementara orang itu tertawa sambil berkata,
"Jangan takut anak manis. Aku tidak akan benar-benar
membunuhmu. Aku hanya akan melemparkanmu keluar dari
lingkungan ini. Tetapi jika kau berkeras kepala dan melawan,
apalagi membuatku kehilangan kesabaran, maka kematian akan
dapat datang menjemputmu."
Mahisa Murti menggeram. Katanya, "Jika kau sudah
berpikir untuk membunuh, maka aku pun mulai
mempertimbangkannya."
"Anak setan," orang itu berteriak, "ternyata kau terlalu
sombong." Dengan garang orang itu memang mulai menyerang.
Tetapi ia nampak cukup berhati-hati. Sementara itu kedua
orang upahannya nampak gelisah. Agaknya mereka merasa
bahwa orang yang mengupahnya menjadi kecewa, sehingga ia
sendiri harus turun ke arena.
Karena itu, maka mereka berusaha untuk menutup
kesalahan mereka itu. Dengan mengerahkan kemampuan
mereka, maka keduanya berusaha untuk menguasai anak muda
itu. Tetapi apa pun yang mereka lakukan, ternyata mereka
tidak berhasil. Setiap kali mereka berusaha, maka justru
merekalah yang telah dikenai oleh serangan Mahisa Murti.
Namun ternyata orang berkumis itu memiliki bekal yang
melampaui orang-orang upahannya. Ia berhasil
mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya ketika kedua
orang upahannya itu tengah menyerang Mahisa Murti
berbareng. Selagi Mahisa Murti menangkis keduanya, maka orang
berkumis itu telah menyerangnya pula dari arah yang berbeda.
Mahisa Murti memang sempat melihat serangan itu. Ia
pun telah berusaha menggeliat menghindar. Tetapi ternyata
tangan orang berkumis itu masih sempat menyentuh bahunya.
Mahisa Murti meloncat surut. Bahunya terasa betapa
sakitny a. Dengan mengerahkan kemampuannya ia berusaha
untuk mengatasi perasaan sakit itu.
Namun satu hal yang kurang diperhitungkan oleh lawanlawannya.
Justru Mahisa Murti telah disakiti, maka ia telah
menjadi semakin garang karenanya.
Sebenarnyalah, maka Mahisa Murti pun telah
meningkatkan kemampuannya. Ia tidak mau kesakitan lagi.
Bahkan perkelahian itu pun kemudian telah menjemukannya.
Ketiga orang lawannya pun terkejut melihat perubahan
tata gerak Mahisa Murti yang menjadi semakin cepat. Bahkan
tangannya bagaikan menyambar-nyambar di segala arah.
Dengan kemampuan yang sangat tinggi Mahisa Murti telah
menyerang ketiga orang lawannya berganti-ganti. Demikian
cepatnya, sehingga sulit bagi mereka untuk menghindari.
Karena itulah, maka tangan dan kaki Mahisa Murti
menjadi semakin sering mengenai lawannya. Bahkan orang
yang wajahnya menjadi bengkak telah menjadi semakin
bengkak. Sebelah matanya sama sekali tidak lagi dapat melihat.
Sementara keningnya, dahinya dan tengkuknya rasa-rasanya
menjadi memar. Kawannya yang lain, tangannya bagaikan terasa patah.
Sedangkan perutnya yang telah dikenai kaki Mahisa Murti
menjadi mual. Seakan-akan semua isinya akan tumpah
kembali. Namun ia masih memiliki kemampuan untuk
mempertahankan keseimbangannya, sehingga karena itu, maka
ia berhasil tegak berdiri dengan kesiagaan penuh.
Orang berkumis itu pun ternyata tidak mampu
menghindari kemungkinan buruk itu. Ketika Mahisa Murti
sempat meloncat ke sisi orang itu, maka ia telah memutar
tubuhnya sambil mengayunkan sebelah kakinya. Demikian
kerasnya sehingga kaki yang mengenai punggung orang
berkumis itu telah mendorongnya beberapa langkah sehingga
hampir saja ia jatuh tertelungkup.
Bahkan ketika ternyata Mahisa Murti masih harus
menghindari serangan salah seorang lawannya, maka orang
berkumis itu telah berusaha untuk mempergunakan kesempatan
itu. Dengan cepat ia meloncat ke arah Mahisa Murti. Kemudian
dengan sekuat tenaga ia telah menyerangnya dengan kakinya
ke arah lambung. Tetapi Mahisa Murti sempat mengelak. Dengan serta
merta, maka ia telah menyapu kaki lawannya yang satu lagi
tempat orang itu bertumpu.
Ternyata orang itu tidak sempat menghindar. Karena itu,
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
maka demikian kakinya itu terhempas, maka ia pun telah
terhempas pula jatuh di tanah.
Sambil mengumpat kasar, maka orang itu pun telah
meloncat berdiri. Tetapi Mahisa Murti mampu berbuat lebih
cepat. Apalagi perasaan sakit di bahunya yang membuatny a
menjadi sangat marah. Karena itu, maka demikian orang itu
berdiri, maka kedua telapak tangan Mahisa Murti telah
mengenai dada orang itu, sehingga orang itu terdorong
beberapa langkah surut dan jatuh terbanting di tanah.
Tetapi Mahisa Murti tidak sempat memburunya. Kedua
lawannya yang lain, meskipun sambil menahan sakit, masih
sempat menyerang anak muda itu, sehingga perhatian Mahisa
Murti lebih tertuju kepada mereka.
Dengan demikian, maka orang berkumis itu pun telah
mendapat kesempatan untuk bangkit dan bersiap-siap
menghadapi segala kemungkinan meskipun dadanya serasa
menjadi sesak. Nafasnya menjadi sulit untuk mengalir dengan wajar.
Karena itu, ia memerlukan kesempatan untuk memperbaiki
keadaannya. Dalam pada itu, Mahisa Pukat pun telah bertempur
dengan keras sebagaimana ketiga orang lawannya. Bahkan
ketiga orang lawannya telah benar-benar sampai ke puncak
kemampuan mereka. Dengan demikian maka pertempuran yang terjadi di
antara Mahisa Pukat dan ketiga lawannya pun menjadi semakin
cepat. Mahisa Pukat sendiri telah berloncatan dengan langkahlangkah
panjang. Serangan-serangannya datang dengan cepat
menyambar-nyambar. Seperti seekor burung menyambar
bilalang. Namun kadang-kadang geraknya menjadi lamban tetapi
berat. Dengan kemampuan dan kekuatannya, maka Mahisa
Pukat mampu menghalau setiap serangan tanpa bergeser dari
tempatnya, seperti batu karang yang tegak tidak tergoyahkan
oleh gelombang. Ketiga orang lawannya memang menjadi bingung.
Bahkan mereka seakan-akan telah kehabisan akal, bagaimana
caranya untuk dapat mengalahkan anak muda itu. Jika tubuh
mereka menjadi semakin banyak disakiti, maka mereka tidak
akan dapat membiarkannya terjadi untuk selanjutnya. Apalagi
dengan kemungkinan yang buruk bagi mereka. Jika mereka
dikalahkan, maka orang berkumis itu tentu akan berpikir lagi,
apakah ia masih akan tetap mengupahnya.
Karena itu, maka tidak ada cara lain bagi ketiga orang itu
untuk menyelesaikan persoalannya dengan anak muda yang
berilmu tinggi itu kecuali menggunakan senjata.
Ketika ketiga orang itu sempat membuat jarak dari
Mahisa Pukat, maka salah seorang di antara mereka telah
memberi isyarat. Dengan demikian, maka sejenak kemudian
ketiga orang itu telah menggenggam senjata di tangan mereka.
"Satu kesalahan yang sangat besar" geram Mahisa
Pukat. "Kesalahan apa?" bertanya salah seorang di antara
mereka. "Bahwa kalian telah bersenjata" jawab Mahisa Pukat.
"Kau menjadi ketakutan dan mencari cara untuk
mengelak dari pertempuran bersenyata?" bertanya salah
seorang dari ketiga orang itu.
"Aku memang menjadi ketakutan" sahut Mahisa Pukat.
"Jika demikian menyerahlah" berkata salah seorang di
antara ketiga orang itu. "Aku tidak menjadi ketakutan karena diriku sendiri,
tetapi aku merasa ngeri bahwa aku harus membunuh kalian.
Jika aku juga menarik pedangku, maka kematian bagi kalian
sudah berada di depan hidung kalian."
"Persetan," geram orang yang paling tinggi di antara
mereka bertiga, "ternyata kau memang pantas untuk dibunuh."
Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi diperhatikannya
lawan-lawannya yang memang sudah tidak mempunyai
kesempatan untuk berbuat sesuatu tanpa mencoba
mempergunakan senjata. Tubuh mereka yang sudah menjadi
sakit-sakit dan bahkan memar di beberapa tempat memang
sudah menjadi goyah. Karena itu, mereka mencoba untuk
mendapat sandaran baru, senjata.
Ketiga orang lawannya telah mengacukan senjata mereka
masing-masing, maka Mahisa Pukat pun bergeser surut.
Diperhatikannya ketiga macam senjata yang dibawa oleh
ketiga orang itu. Seorang di antara mereka membawa pedang
yang tidak terlalu panjang. Seorang lagi membawa sebuah
trisula bertangkai pendek. Seorang yang lain membawa sebuah
golok yang besar. Mahisa Pukat yang memiliki pengalaman yang luas itu
telah mengenali tabiat dan watak dari jenis-jenis senjata itu. Ia
sendiri sudah terbiasa mempergunakan pedang, sehingga ia
mengenal pedang dengan baik. Sedangkan trisula mempunyai
watak yang khusus justru karena ujungnya yang tiga. la tidak
boleh lengah dan membiarkan daun pedangnya menyusup di
antara mata trisula itu. Jika lawannya cukup trampil
mempergunakan senjatanya itu, maka dengan satu putaran,
senjatanya akan terlepas atau patah. Sedangkan golok di tangan
orang ketiga, penggunaannya tidak jauh berbeda dari pedang,
meskipun biasanya golok yang lebih besar dan tebal itu
mempunyai kekuatan ayunan yang lebih besar pula dari
pedang. Hanya tangan-tangan yang kokoh kuat sajalah yang
dapat mempergunakan golok dengan ketrampilan sebilah
pedang. Demikianlah, maka sejenak kemudian, maka Mahisa
Pukat pun telah menggenggam pedangnya pula.
"Tanganku menjadi gemetar dan jantungku menjadi
berdebar-debar. Ketika aku memasuki lingkungan ini, sama
sekali tidak ada niatku untuk membunuh. Tetapi kalian telah
memancing kemungkinan itu," berkata Mahisa Pukat. Lalu
katanya selanjutnya, "Aku minta kalian menyadari akan hal ini
sebelum terlambat." "Kalian orang-orang upahan yang tidak tahu diri," geram
Mahisa Pukat, "jika kalian keras kepala, maka kematian kalian
tidak akan disesali oleh siapa pun juga di padukuhan ini.
Kematian kalian sudah dibayar dengan upah yang pernah
kalian terima. Tidak akan ada tangis yang mengantar kalian ke
kerajaan maut." Tetapi ketiga orang itu memang mengira bahwa Mahisa
Pukat menjadi ketakutan. Karena itu, maka seorang di antara
mereka menggeram, "Sebut ibu bapamu untuk yang terakhir
sebelum tubuhmu dicincang di sini. Mungkin kau menyesal.
Tetapi sudah terlambat. Belahan ini memang tidak sama
dengan belahan yang lain yang dihuni oleh orang-orang
cengeng yang tidak berarti."
Kemarahan ketiga orang itu sudah sampai ke puncak
ubun-ubun. Mereka memang mulai meragukan bahwa Mahisa
Pukat sekedar berusaha mengelak. Namun ketiga orang itu
memang memiliki keyakinan akan kemampuan mereka
mempergunakan senjata. Bahkan mereka tidak lagi
memikirkan kemungkinan akan datangnya kematian. Lebih
baik membunuh anak muda itu daripada mereka kehilangan
kepercayaan dari orang yang menganggap dirinya pemimpin di
padukuhan itu. Sejenak kemudian, maka ketiga orang itu p un telah mulai
menggerakkan senjata mereka. Pedang yang berkilat-kilat
memantulkan cahaya ketika diputar bagaikan baling-baling,
sedangkan golok yang besar dan berat itu pun mulai terayunayun,
sementara orang yang memegang trisula itu pun mulai
mempermainkan trisulanya dengan tangkas dan cepat.
Mahisa Pukat pun telah bersiap pula dengan pedangnya.
Ketika ketiga lawannya mulai bergerak, Mahisa Pukat pun
mulai bergeser, sementara ujung pedangnya pun telah bergetar.
Menilik sikap Mahisa Pukat, maka ketiga lawannya pun
dapat memperhitungkan bahwa anak muda itu memang
memiliki kemampuan yang sangat tinggi.
Demikianlah sejenak kemudian, justru Mahisa Pukat lah
yang mulai menyerang. Dengan loncatan panjang, Mahisa
Pukat bagaikan terbang sambil mengembangkan tangannya
yang menggenggam pedang, menyambar lawannya yang
mengayun-ayunkan goloknya.
Orang itu terkejut. Dengan serta merta maka ia pun telah
menangkis serangan itu. Tetapi orang itu memang tidak menduga, betapa
besarnya tenaga Mahisa Pukat yang sedang marah. Karena itu,
maka betapa terkejutny a orang itu. Ketika benturan itu terjadi,
maka tangannya bagaikan tersayat. Golok yang berada di
dalam genggamannya pun telah terlepas dan jatuh di tanah.
Kedua orang kawannya pun terkejut p ula. Pada sentuhan
pertama golok kawannya yang mereka anggap memiliki
kekuatan yang besar itu telah terlepas.
Namun mereka menganggap, bahwa hal itu terjadi karena
orang itu sama sekali tidak menduga bahwa anak muda itu
dengan tiba-tiba saja telah menyerang.
Mahisa Pukat yang berhasil menjatuhkan senjata salah
seorang lawannya tidak sempat memanfaatkan kesempatan itu
lebih jauh. Ketika Mahisa Pukat berdiri tegak dengan pedang
menyilang di dada, maka kedua orang lawannya yang lain telah
menyerangnya. Pedang lawannya telah mematuk ke arah
dadanya. Namun, demikian ia bergeser ke samping, maka ujung
trisula lawannya yang seorang lagi telah menyambarnya keras
sekali, sehingga udara pun telah bergaung seperti sendaren.
Tetapi kedua ujung senjata itu sama sekali tidak
menyentuh kulit anak muda itu. M eskipun demikian seranganserangan
itu telah memberi kesempatan kepada kawannya yang
kehilangan goloknya untuk mengambilnya.
Dengan demikian maka sejenak kemudian, Mahisa
Pukat- pun sudah harus melawan tiga orang yang sudah
bersenjata itu. Tetapi Mahisa Pukat pun telah menggenggam
senjatanya pula. Sejenak kemudian pertempuran pun menjadi semakin
sengit. Ketiga orang itu telah mempertunjukkan kemampuan
mereka yang tinggi. Namun ternyata bahwa kemampuan
mereka dalam ilmu senjata sama sekali tidak menggetarkan
seujung rambut pun bagi Mahisa Pukat. Bahkan dengan
tangkasnya Mahisa Pukat telah menunjukkan kemampuannya
yang sulit untuk diimbangi.
Dengan cepat Mahisa Pukat meloncat-loncat bagaikan
berterbangan mengitari ketiga lawannya. Namun tiba-tiba saja
ia telah menembus di antara mereka bertiga. Senjatanya sulit
untuk ditebak arah geraknya.
Sementara itu, Mahisa Murti pun masih bertempur
dengan sengitny a pula. Ketika ketiga lawannya melihat kawankawannya
yang lain telah bersenjata, maka orang berkumis itu
pun menggeram, "Kita pun akan membinasakan orang ini."
Justru orang berkumis yang menganggap dirinya
pemimpin di padukuhan itu, serta yang telah mengupah kelima
orang yang garang itulah yang lebih dahulu menarik
pedangnya. Namun dengan demikian maka kedua orang
upahannya pun telah bersenjata pula.
Ternyata tanggapan Mahisa Murti tidak berbeda dengan
tanggapan Mahisa Pukat. Ia pun telah mencoba
memperingatkan, bahwa justru dengan senjata, maka bahaya
yang sebenarnya akan mengancam mereka bertiga.
Tetapi orang berkumis itu pun berkata, "Nasibmulah
yang sangat buruk anak muda. Mungkin di belahan padukuhan
ini kalian diperlakukan dengan lemah lembut. Tetapi watak
kami memang perlu bertindak tegas. Jika perlu justru kami
tidak akan segan-segan membunuh sebagaimana akan kami
lakukan sekarang ini."
"Kalian telah mengundang bencana bagi diri kalian
sendiri" berkata Mahisa Murti.
Orang berkumis itu ternyata tidak menunggu lagi. Ialah
yang telah meloncat sambil mengayunkan pedangnya deras
sekali. Mahisa Murti belum menangkis pedang itu. Ia justru
meloncat surut selangkah menghindari serangan lawannya.
Namun kedua orang yang lain telah menyerangnya pula. Dua
orang yang juga bersenjata pedang meskipun bentuknya
berbeda. Seorang di antara mereka telah mempergunakan pedang
yang melengkung, sementara yang lain mempergunakan
pedang yang lurus dan meruncing ke ujungnya. Sedangkan
tajamnya terdapat di kedua sisi batang pedangnya. Sedangkan
orang berkumis itu telah mempergunakan pedang yang justru
agak besar pada ujungnya. Namun yang kemudian menjadi
runcing pula. Namun tajamnya hanya terdapat satu sisi saja.
Mahisa Murti masih berdiri tegak sambil menjulurkan
pedangnya yang bergetar. Dipandanginya ketiga orang
lawannya berganti-ganti. Namun kemudian, ia telah bergerak
pula selangkah ke samping.
Dua orang dari lawannya telah meloncat menyerangnya.
Dengan tangkas Mahisa Murti berloncatan menghindari kedua
serangan itu sekaligus. Sementara itu, orang yang ketiga telah
meloncat pula sambil mengayunkan pedang dengan derasnya.
Mahisa Murti memang tidak sempat mengelak lagi.
Namun ia masih sempat menangkis serangan itu.
Ternyata bahwa kekuatan Mahisa Murti benar-benar di
luar dugaan lawan-lawannya. Ketika benturan terjadi, orang
yang menyerangnya itu telah berloncatan surut. Tangannya
menjadi panas bagaikan menggenggam api. Untunglah bahwa
ia masih dapat mempertahankan pedangnya sehingga tidak
terloncat jatuh. Namun Mahisa Murti itu masih juga menggeram, "Aku
minta kalian mempertimbangkan lagi sikap kalian. Aku masih
dapat mengerti sikap orang padukuhan ini. Tetapi aku benarbenar
tidak dapat menerima sikap orang-orang di belahan ini.
Karena itu, maka aku harap kalian menghentikan pertempuran
ini dan berbicara dengan baik. Jika kalian sependapat, aku akan
berbicara pula dengan Ki Buyut."
"Persetan dengan Ki Buyut. Persetan dengan orang
sebelah dan persetan dengan kalian," geram orang berkumis
itu, "aku akan membunuh mereka yang akan menghalangi
niatku." "Kau ternyata terlalu tamak Ki Sanak," sahut Mahisa
Murti, "bahwa kau telah mengupah orang-orang yang kau
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
anggap memiliki ilmu yang tinggi, yang akan dapat
membantumu mendapatkan apa yang kau ingini adalah keliru.
Orang-orang itu tidak sepantasnya kau libatkan dalam
permainan ini. Adalah tidak sejalan dengan igauanmu setiap
kali, agar orang lain tidak ikut campur dalam persoalan yang
timbul di padukuhan ini. Karena itu aku peringatkan, agar
orang-orang itu kalian singkirkan dari padukuhan ini. Jika kau
tidak melakukannya, maka akulah dan saudarakulah yang akan
melakukannya. Bukan saja disingkirkan dari padukuhan ini,
tetapi jika mereka keras kepala, maka mereka akan tersingkir
dari dunia ini." "Omong kosong," geram salah seorang dari orang-orang
upahan itu, "kau tidak akan mampu melakukannya. Cara yang
licik itu tidak pantas lagi kau lakukan di sini, karena kau tidak
akan dapat mengelabuhi kami dengan cara itu lagi."
"Aku telah mencoba memperingatkan kalian," berkata
Mahisa Murti, "tetapi jika kalian tidak mau mendengarkan, apa
boleh buat." Orang berkumis itu tidak menjawab lagi. Tetapi ia telah
meloncat menyerang dengan garangnya.
Mahisa Murti bergeser surut. Pedangnya memang terjulur
ke arah orang berkumis itu. Tetapi Mahisa Murti masih
mengekang diri untuk tidak melukainya. Namun ketika orangorang
upahan itu mulai menyerangnya, maka Mahisa Murti
justru berusaha untuk membuktikan kepada mereka, bahwa ia
tidak hanya sekedar membual.
Karena itu, ketika dua orang lawannya yang terdiri dari
orang-orang upahan itu mulai menyerangnya lagi, maka
Mahisa Murti benar-benar telah berusaha untuk menghentikan
perlawanan mereka itu. Apalagi seorang di antaranya,
wajahnya telah menjadi pengab-pengab dan satu matanya tidak
lagi dapat melihat dengan jelas, sementara yang lain pun telah
menjadi kesakitan hampir di seluruh tubuhnya. Karena itu,
maka kerja Mahisa Murti tidak akan terlalu berat lagi.
Sementara itu, orang berkumis itu pun akan dapat diatasinya
dengan cepat. Dalam keadaan yang demikian, maka gerak Mahisa
Murti yang semakin cepat memang tidak dapat diikuti oleh
kedua orang lawannya. Kemarahan Mahisa Murti telah
terungkapkan dalam getar pedangnya. Karena itu, maka
sejenak kemudian, maka ujung pedangnya telah menyambar
kedua lawannya itu. Seorang di antara mereka telah tergores di
pundaknya sedangkan yang lain lengannya telah
dikoyakkannya. Betapa pun dadanya bergejolak, namun Mahisa Murti
masih dapat menahan diri untuk tidak membunuh kedua orang
itu. Apalagi karena keduanya tiba-tiba saja telah kehilangan
keberaniannya untuk bertempur terus, setelah tubuhnya dilukai
meskipun tidak terlalu parah.
Sementara itu orang berkumis itu termangu-mangu
menghadapi kenyataan itu. Beberapa saat ia berdiri termangumangu.
Namun pedangnya masih tetap bergetar.
Di putaran pertempuran yang lain, Mahisa Pukat pun
telah menjadi jemu menghadapi ketiga orang lawannya. Karena
itu, maka tiba-tiba saja Mahisa Pukat pun telah mempercepat
tata geraknya. Bagaikan bayangan, maka Mahisa Pukat telah
melayang di antara mereka bertiga.
Namun sejenak kemudian, ketika Mahisa Pukat telah
berdiri tegak dengan pedang yang tegak pula di depan dadanya,
maka ketiga orang lawannya itu pun telah terhuyung-huyung
sambil menahan sakit. Dengan geram Mahisa Pukat berkata, "Kalian memang
sangat memuakkan. Tetapi kali ini aku belum membunuh
kalian. Aku memberi kesempatan kepada kalian untuk
mengobati luka-luka kalian jika kalian membawa obat itu."
Ketiga orang itu termangu-mangu. Namun darah
memang telah mengalir dari luka-luka di tubuh mereka. Karena
itu, maka mereka pun tidak lagi bersikap terlalu garang. Anak
muda itu benar-benar akan dapat membunuh mereka jika
dikehendakinya Lima orang upahan itu telah dilukai oleh Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat. Sementara orang berkumis itu pun berdiri
termangu-mangu. Ia tidak dapat mengingkari kenyataan yang
terjadi dihadapan hidungnya.
Lima orang yang dibanggakan itu seluruhnya telah
terluka. Meskipun luka itu belum terlalu parah. Namun
sebelum tubuh mereka tergores luka, maka kulit mereka telah
menjadi memar di beberapa bagian. Bahkan seorang di antara
mereka, sebelah matanya telah menjadi bengkak dan tidak
dapat melihat lagi, sementara yang lain tulang-tulangnya
bagaikan menjadi retak, sementara noda-noda merah biru
terdapat di beberapa bagian dari tubuh mereka.
Terakhir, kulit daging mereka tidak sekedar memar,
tetapi benar-benar telah terkoyak oleh senjata.
Dalam ketegangan itu, maka Mahisa Murti pun berkata
dengan nada berat, "Nah, kami telah melukai orang-orang
upahan di tempat ini. Agar upah yang kalian terima tidak
hilang sia-sia, maka biarlah kalian sedikit merasakan akibat
yang dapat terjadi dengan pekerjaan yang kalian bebankan di
pundak kalian. Orang-orang upahan seperti kalian sekali-sekali
memang harus mengalami luka-luka dalam perkelahian.
Bahkan sebaiknya agak berat atau hampir mati. Lebih baik jika
mereka menjadi jera dan tidak lagi memilih bekerja sebagai
orang upahan dalam dunia kekerasan seperti kalian. Lebih baik
menerima upah untuk bekerja di sawah atau pekerjaan lain
daripada menakut-nakuti orang."
Tidak seorang pun yang menjawab. Kelima orang upahan
itu melihat bahwa kedua orang anak muda itu sikapnya
memang sudah berubah. Mereka menjadi semakin garang
sehingga ancamannya itu tentu benar-benar akan dilakukan.
Sementara itu mereka pun harus mengakui bahwa mereka
berlima memang tidak akan mampu melawan kedua orang
anak muda itu. Sementara itu, M ahisa Pukat pun menyahut, "Nah, masih
ada kesempatan untuk berkelahi. Siapa yang masih belum puas
dengan keadaan ini, marilah. Kita akan menyelesaikan sampai
tuntas, karena orang-orang upahan seperti kalian memang
harus dihadapkan pada kekerasan pula."
Kelima orang itu masih saja berdiam diri. Sementara
orang berkumis yang mengupah mereka pun menjadi berdebardebar.
Pedangnya sudah tidak lagi bergetar, tetapi perlahanlahan
ujungnya pun telah menunduk.
"Apa sebenarnya yang kau kehendaki?" bertanya orang
berkumis itu, "apakah kau bukan orang upahan dari orangorang
sebelah itu?" "Jika kami orang upahan, maka kami tidak hanya akan
melukai orang-orangmu. Kami tentu akan membunuh mereka"
jawab Mahisa Murti. "Jadi apa?" desak orang berkumis itu.
"Sudah aku katakan, aku tidak mempunyai hubungan
apa-apa dengan padukuhan ini. Tetapi aku tidak senang melihat
bahwa padukuhan ini terbagi" jawab Mahisa Pukat.
"Apa pedulimu" Kami memang tidak ada kewajiban
untuk membuat orang-orang yang melihat keadaan padukuhan
ini menjadi senang" jawab orang berkumis itu.
"Kau ingat, dengan siapa kau berbicara" Apakah kau
ingin aku menunjukkan kepada orang-orangmu, bahwa kau
tidak berarti apa-apa bagiku. Apalagi setelah orang-orang
upahanmu terluka?" tiba-tiba saja Mahisa Pukat membentak.
Orang itu mengerutkan keningnya. Ia memang tidak
dapat berbuat lebih banyak lagi menghadapi kedua orang anak
muda itu. Bahkan seandainya ia mengerahkan semua orang
laki-laki di belahan padukuhan itu, maka ia tidak akan dapat
mengusir kedua anak muda itu.
Karena itu, maka tidak ada pilihan lain dari orang
berkumis itu daripada mendengarkan salah seorang dari kedua
orang anak muda itu berkata, "Nah, ingat. Kami berdua ingin
kalian berbicara yang satu dengan yang lain. Berbicara tentang
padukuhan ini. Tentang para penghuninya, tentang masa
depannya dan tentang persoalan-persoalan lain yang
berhubungan dengan kesejahteraan seisi padukuhan ini."
Orang berkumis itu tidak menjawab. Sementara itu
Mahisa Pukat berbicara pula, "Nah. Apa katamu" Apakah kau
masih saja terpancang pada keinginanmu yang melonjak-lonjak
untuk mendapatkan satu jabatan yang kalian inginkan dengan
tanpa menghiraukan korban apa pun yang kau berikan."
Orang berkumis itu menjadi semakin bingung. Apa yang
sebaiknya dikatakannya. Namun dalam pada itu Mahisa Pukat pun berkata, "Aku
akan menemui Ki Buyut dari padukuhan ini. Aku akan minta
Ki Buyut untuk mengatur pertemuan antara kalian berdua."
Tetapi orang berkumis itu berkata, "Jika hal itu
diserahkan kepada Ki Buyut, tentu tidak ada gunanya."
"Kenapa?" bertanya Mahisa Pukat.
"Ki Buyut hanya dapat membatasi persoalan yang
timbul di antara kami. Ki Buyut hanya berhasil memberikan
bingkai pada padukuhan ini agar pertentangan di antara kami
tidak meluas. Tetapi Ki Buyut tidak dapat berbuat lebih
banyak. Ki Buyut telah membiarkan saja kami menarik batas.
Dan bahkan Ki Buyut pun harus memperhitungkan bahwa aku
atau yang berkuasa di sebelah akan dapat menggeser
kedudukannya sebagai Buyut di Kabuyutan ini" berkata orang
berkumis itu. "Apa yang sebenarnya telah terjadi di sini?" bertanya
Mahisa Pukat. "Bertanyalah kepada Ki Buyut" jawab orang berkumis
itu. "Baiklah. Aku akan menemui Ki Buyut. Tetapi
kebijaksanaannya harus diterima" geram Mahisa Pukat.
Orang berkumis itu menjadi tegang. Dipandanginya
Mahisa Pukat dengan tatapan mata yang tajam. Bahkan
kemudian katanya, "Kenapa kami harus menerima
kebijaksanaan Ki Buyut?"
"Ki Buyut adalah orang yang memimpin seluruh
Kabuyutan ini," jawab Mahisa Pukat, "karena itu kalian di
seluruh padukuhan ini harus mendukung kebijaksanaannya.
Jika kalian di sini selalu menentang kebijaksanaannya, maka
keadaan tidak akan pernah tenang."
Orang berkumis itu termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian katanya, "Bertanyalah kepada orang-orang sebelah.
Apakah mereka akan bersedia menerima kebijaksanaan Ki
Buyut?" Mahisa Pukat termangu-mangu. Namun kemudian
katanya, "Aku akan menemui Ki Buyut."
"Silahkan. Tetapi aku tidak berjanji untuk mentaati
kebijaksanaannya. Kecuali jika kebijaksanaannya benar-benar
akan memecahkan persoalan" berkata orang berkumis itu.
Mahisa Pukat pun kemudian berkata kepada Mahisa
Murti, "Kita pergi kepada Ki Buyut."
Mahisa Murti tidak menjawab. Keduanya pun kemudian
telah meninggalkan tempat itu. Dengan tangkasnya keduanya
meloncati pagar yang membelah padukuhan itu.
Sepeninggal Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka
kelima orang upahan itu telah mendapat perawatan atas lukalukanya.
Namun dengan demikian, maka mereka berlima tidak
lagi selalu menengadahkan wajah mereka, karena mereka
merasa orang-orang terkuat di antara semua penghuni di
belahan padukuhan itu. Ternyata dua orang anak muda telah
menghancurkan kesombongan mereka berlima.
Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang
singgah di belahan yang lain. Mahisa Pukat telah mengatakan
kepada orang yang bertubuh agak tinggi, yang juga mengaku
pemimpin padukuhan itu. Seperti kepada orang berkumis itu, maka ia pun telah
mengatakan bahwa mereka akan pergi kepada Ki Buyut untuk
mengusahakan penyelesaian persoalan padukuhan itu.
Tetapi tanggapan orang bertubuh tinggi itu pun
mengejutkan, "Apa artinya kebijaksanaan Ki Buyut"
Sepantasny a bahwa Ki Buyut itu dilempar saja keluar dari
Kabuyutan ini." "Kenapa?" bertanya Mahisa Murti, "bukankah Ki Buyut
telah memimpin seluruh Kabuyutan ini?"
"Apa saja yang dilakukan adalah tanggung jawabnya,"
berkata orang bertubuh tinggi itu, "pada satu saat ia harus
mempertanggung jawabkan segala perbuatannya itu kepada
seluruh isi Kabuyutan ini."
"Ada apa sebenarnya dengan Ki Buyut?" desak Mahisa
Murti. Tetapi orang bertubuh tinggi itu berkata, "Pergilah
kepada Ki Buyut, kemudian katakan kepada kami,
kebijaksanaan apakah yang akan diambil Ki Buyut atas
padukuhan ini." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Namun akhirnya keduanya telah meninggalkan
padukuhan itu, menuju ke padukuhan induk.
Dari orang bertubuh tinggi itu keduanya telah
mendapatkan ancar-ancar ke mana mereka harus p ergi.
Padukuhan demi padukuhan telah mereka lewati.
Ternyata bahwa kesan yang mereka dapat pada padukuhanpadukuhan
itu, bukannya kesan yang cerah. Kabuyutan itu
memang bukan Kabuyutan yang kaya. Karena itu, maka di
padukuhan-padukuhan itu lebih banyak tersebar rumah-rumah
yang kecil dan nampak miskin, meskipun ada juga satu dua
rumah yang agak besar di antara rumah-rumah yang miskin itu.
Setelah beberapa padukuhan kecil mereka lewati, maka
mereka pun telah memasuki sebuah bulak yang panjang. Di
seberang bulak itu terdapat sebuah padukuhan banjar panjang
membujur dari Utara ke Selatan. Padukuhan yang terhitung
besar dibanding dengan padukuhan-padukuhan yang lain.
"Kita hampir sampai" berkata Mahisa Pukat.
Namun tiba-tiba saja Mahisa Pukat menjadi berdebardebar.
Demikian pula Mahisa Murti. Meskipun Mahisa Pukat
lah yang mempunyai niat untuk memecahkan persoalan yang
timbul di padukuhan itu, namun akhirnya Mahisa Murti pun
ikut bertanggung jawab pula.
Ketika mereka mendekati padukuhan induk, maka
mereka mulai melihat sesuatu yang agak berbeda dengan
padukuhan-padukuhan lain. Beberapa puluh tonggak dari
padukuhan induk, di pinggir jalan di bawah sebatang pohon
munggur yang besar, terdapat sebuah gardu. Dari jauh Mahisa
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Murti dan Mahisa Pukat menyangka, bahwa di bawah pohon
munggur itu terdapat sebuah gubug yang dibuat untuk
beristirahat orang-orang yang bekerja di sawah. Ternyata
bangunan itu terlalu besar bagi sebuah gubug.
Di dalam gardu itu terdapat beberapa orang pengawal
yang bertugas meskipun di siang hari.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terpaksa berhenti di
depan gardu itu karena beberapa orang yang bertugas di gardu
itu telah menghentikannya.
"Kalian akan pergi ke mana dan dari mana?" bertanya
pemimpin pengawal. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Namun kemudian Mahisa Pukat lah yang menjawab,
"Kami ingin berbicara dengan Ki Buyut."
"Siapakah kalian?" bertanya orang itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang agak bingung
menjawab pertanyaan itu. Namun kemudian mereka terpaksa
menjawab juga, "Kami mempunyai persoalan yang harus kami
sampaikan kepada Ki Buyut."
Para peronda itu saling berpandangan sejenak. Namun
pemimpin pengawal itu kemudian berkata, "Tidak mudah
untuk bertemu dengan Ki Buyut. Kalian harus dapat
menunjukkan kenyataan tentang diri kalian. Itu pun kalian
tidak akan dapat langsung bertemu dengan Ki Buyut. Kalian
harus bertemu dahulu dengan Ki Bekel. Baru kemudian kalian
dapat bertemu dan berbicara dengan Ki Buyut jika Ki Bekel
menganggap perlu serta Ki Buyut sendiri tidak berkeberatan."
"Ki Sanak," berkata Mahisa Murti, "kami memang
mempunyai persoalan dengan Ki Buyut. Sebenarnya kami
tidak mempunyai kepentingan secara pribadi. Tetapi dalam
pengembaraan kami, kami telah melewati satu padukuhan yang
terbagi. Padukuhan yang terletak dalam wilayah Kabuyutan ini.
Adalah tidak sepantasnya bahwa dalam keadaan seperti
sekarang ini, di mana Singasari sedang bekerja keras untuk
menciptakan persatuan yang utuh, maka di padukuhan itu telah
terjadi perpecahan yang menyolok. Padukuhan itu telah dibelah
menjadi dua bagian yang masing-masing saling bermusuhan.
Padahal padukuhan merupakan bagian terkecil dari alas
persatuan yang utuh di Singasari. Jika di padukuhanpadukuhan
itu terjadi perpecahan, maka Singasari rasa-rasanya
telah menyimpan api di dalam timbunan jerami kering yang
setiap saat akan dapat menimbulkan keresahan."
"Aku tidak tahu apa yang kalian katakan. Persoalan
padukuhan yang dibelah itu telah diketahui oleh Ki Buyut. Dan
persoalan itu adalah persoalan Kabuyutan kami. Kenapa kau
ikut campur?" bertanya pemimpin pengawal itu.
Pertanyaan seperti itu telah didengarnya berpuluh kali.
Nampaknya orang-orang Kabuyutan itu memang tidak senang
persoalan mereka dicampuri oleh orang lain. Namun justru
karena itu, maka Mahisa Murti pun telah tertarik pula untuk
mengetahui persoalannya lebih mendalam lagi sebagaimana
Mahisa Pukat. "Ki Sanak," berkata Mahisa Pukat kemudian, "berilah
kesempatan kepada kami untuk bertemu dengan Ki Buyut."
"Kau tahu bahwa justru di Kabuyutan ini sedang terjadi
perpecahan seperti yang kau katakan sendiri" Karena itu, tidak
mudah untuk berbicara dengan Ki Buyut. Siapa tahu, bahwa
kau adalah orang-orang yang ingin memanfaatkan keadaan ini
untuk maksud-maksud tertentu yang sudah barang tentu bukan
maksud yang baik" berkata pemimpin pengawal itu.
"Ki Sanak," berkata Mahisa Pukat, "aku tidak
berkeberatan jika kau atau beberapa orang pengawal
mengantarkan kami dan mendengarkan pembicaraan kami."
Tetapi pemimpin pengawal itu justru menjadi semakin
curiga. Karena itu maka katanya, "Ki Sanak. Sebenarnya kami
tidak berniat menangkap kalian. Tetapi karena sikap kalian,
maka kami merasa perlu untuk menangkap kalian dan
memeriksa kalian." Mahisa Pukat bergeser setapak. Hampir saja ia berteriak
marah. Tetapi tiba-tiba saja Mahisa Murti telah menggamitnya
sambil berkata, "Baiklah. Kami tidak akan mengelak.
Bukankah dengan demikian kami akan dapat bertemu dengan
pemimpin Kabuyutan ini."
"Itu tergantung sekali pada keadaan" jawab pemimpin
pengawal itu. Mahisa Pukat menarik nafas d alam-dalam. Namun ia pun
telah mengangguk sambil berkata, "Baiklah. Sebaiknya kita
memang tidak mengelak."
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telah diiringi oleh empat orang pengawal menuju ke padukuhan
induk. Di gardu yang terletak di regol padukuhan induk itu
terdapat juga beberapa orang pengawal. Dengan serta merta,
beberapa orang telah berloncatan ke tengah jalan.
"Siapakah mereka?" bertanya pemimpin pengawal di
regol padukuhan induk itu.
Salah seorang pengawal yang membawa kedua anak
muda itu pun telah menceriterakan dengan singkat, siapakah
kedua orang anak muda itu.
Pemimpin pengawal di regol padukuhan induk itu
mengangguk-angguk. Namun kemudian ia pun berkata, "Kita
tidak tahu, apakah Ki Bekel dapat menerima mereka. Karena
itu serahkan saja kedua orang itu kepadaku. Akulah yang akan
memeriksa mereka." Pengawal yang membawa kedua anak muda itu
termangu-mangu. Namun dalam pada itu Mahisa Pukat pun
berkata, "Kami ingin berbicara dengan Ki Buyut, Ki Sanak.
Kami ingin membicarakan masalah padukuhan yang terbagi
itu." "Itu persoalan kami. Kalian tidak usah turut campur"
jawab pemimpin pengawal itu.
Rasa-rasanya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi
muak mendengar jawaban itu. Namun pemimpin pengawal itu
berkata selanjutny a, "Atau kau yang sengaja mencari
persoalan?" Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Sementara itu, pemimpin pengawal di regol
padukuhan induk itu berkata kepada pengawal yang membawa
mereka berdua, "Tinggalkan kedua anak muda ini. Biarlah aku
yang menangani mereka."
Pengawal itu tidak membantah. Mereka pun kemudian
telah minta diri untuk kembali ke gardu mereka.
Sepeninggal pengawal-pengawal itu, maka pemimpin
pengawal di regol itu pun berkata, "Kau dapat mengelabui
mereka. Tetapi kau tidak akan dapat mengelabui aku. Kalian
memang harus diperiksa dengan saksama. Apakah maksud
kalian sebenarnya." Jantung kedua anak muda itu menjadi berdebaran.
Dengan menahan perasaannya Mahisa Murti berkata, "Ki
Sanak. Sekali lagi aku minta dipertemukan dengan Ki Buyut."
Orang itu tertawa. Ia pun justru bertanya, "Kau kira kau
ini siapa he" Begitu mudahnya bertemu dengan Ki Buyut?"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu
sejenak. Jawaban pemimpin pengawal itu memang terasa aneh.
Dengan ragu Mahisa Pukat pun kemudian berkata, "Ki Sanak.
Apa salahnya seseorang menemui Ki Buyut untuk satu
keperluan penting. Di beberapa Kabuyutan, kami juga dapat
bertemu dengan Ki Buyut tanpa kesulitan. Bahkan kadangkadang
kami mendapat sambutan yang sangat baik."
"Pergilah kepada seorang Buyut yang mau
menyambutmu dengan baik. Tetapi kau tidak dapat
melakukannya di sini," jawab pemimpin pengawal itu. Bahkan
katanya, "Apalagi perhatianmu justru tertuju kepada
padukuhan yang sedang bergejolak itu. Dengan susah payah Ki
Buyut berusaha untuk membatasi agar persoalannya tidak
berkembang. Sekarang nampaknya kau akan membuat
persoalan dalam hubungannya dengan padukuhan yang
terbelah itu." "Aku tidak tahu yang kau katakan," berkata Mahisa
Murti, "tetapi jika kami sempat bertemu dengan Ki Buyut,
maka kami akan dapat menjelaskan persoalannya."
"Jangan mengigau lagi," berkata pemimpin pengawal
itu, "aku yang akan memeriksamu berdua."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih akan menjawab.
Tetapi pemimpin pengawal itu berkata, "Sediakan bilik
pemeriksaan itu." Beberapa orang pengawal menjadi termangu-mangu
sejenak. Namun pemimpin pengawal itu kemudian membentak,
"Cepat. Sediakan bilik itu."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu
sejenak. Mereka tidak segera mengerti apa yang akan
dilakukan oleh pemimpin pengawal itu. Namun kedua anak
muda itu melihat beberapa orang pengawal telah pergi ke
sebuah bangunan yang tidak begitu besar, tetapi nampak kokoh
sekali. Bukan bagian dari rumah yang terdekat dengan pintu
gerbang padukuhan induk itu, karena letaknya diluar dinding
halaman. Dengan senyum yang aneh, pemimpin pengawal itu
berkata kepada kedua anak muda itu, "Marilah. Kami
mempersilahkan kalian singgah di gubug itu. Ada sesuatu y ang
perlu kita bicarakan."
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Dengan nada
tinggi ia berkata, "Aku tidak mempunyai banyak waktu.
Orang-orang di padukuhan itu telah menunggu."
Tetapi pemimpin pengawal itu menggeleng. Senyumnya
yang aneh masih nampak dibibirnya. Katanya, "Kalian tidak
mempunyai pilihan lain."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang tidak
mempunyai pilihan lain. Beberapa orang pengawal tiba-tiba
saja telah mengacukan senjata mereka kepada kedua anak
muda itu. Sekali lagi terdengar pemimpin pengawal itu berkata
dengan nada tinggi pula, "Marilah Ki Sanak. Waktu pun tidak
banyak. Kita akan berbicara dengan cepat agar aku segera
dapat menangani tugas-tugas lain."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang harus
melangkah menuju ke bangunan kecil itu. Ketika mereka
melangkahi pintu, maka mereka memasuki ruang yang tidak
begitu terang, karena lubang-lubang udara yang tidak cukup
besar. Namun demikian mereka memperhatikan keadaan di
sekitar mereka, maka keduanya pun telah terkejut karenanya.
Bilik itu sebenarnyalah memang bilik pemeriksaan.
Beberapa orang pengawal yang bersenjata telanjang
berada di dalam bilik itu. Empat orang berdiri di empat sudut.
Dua orang yang lain berdiri di sebelah menyebelah pintu,
sedangkan dua orang lainnya berdiri di tengah-tengah ruangan.
Di dalam ruang itu terdapat beberapa macam alat yang
dapat dipergunakan untuk memeras keterangan. Sebuah amben
rendah dengan beberapa potong tali ijuk untuk mengikat orang
yang terbaring diatasny a. Beberapa jenis cambuk tersangkut di
dinding. Agak ke tepi terdapat beberapa batang patok kayu
yang besar dan kokoh dengan palang yang berat tersandar di
dinding. Palang akan dapat diletakkan diatas bahu seseorang
yang terikat pada patok-patok kayu itu yang kemudian diikat
dengan ijuk yang kasar. Sedangkan di sudut yang lain terdapat
sebuah perapian yang masih belum menyala. Beberapa potong
besi tersangkut pada sebuah gantungan. Besi yang dapat
dipanasi sampai merah di perapian itu. Yang kemudian dapat
dipergunakan untuk memaksa seseorang berbicara.
"Duduklah Ki Sanak," pemimpin pengawal itu
mempersilahkan, "aku kira kami tidak perlu menyalakan
perapian itu. Tidak pula perlu mengurai tali-tali ijuk yang kasar
dan dapat menjerat leher."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalamdalam.
Tetapi didalam hati mereka telah terucapkan tekad
untuk melindungi diri mereka sendiri.
"Ki Sanak," berkata pemimpin pengawal itu sambil
tersenyum, "katakan, siapakah Ki Sanak sebenarnya, dan
kenapa Ki Sanak begitu tertarik kepada persoalan di padukuhan
yang terbelah itu." "Sudah aku katakan," jawab Mahisa Murti, "kami adalah
pengembara. Kami tertarik pada padukuhan itu, justru pada
saat Singasari sedang berusaha mempersatukan seisi
wilayahnya yang luas."
Pemimpin pengawal itu tertawa. Tetapi ia bertanya pula,
"sebut nama kalian."
Mahisa Murti tidak merasa perlu untuk merahasiakan
namanya sendiri. Karena itu maka katanya, "Namaku Mahisa
Murti." "Oo," orang itu mengangguk-angguk, "nama yang bagus
sekali. Yang seorang?"
"Mahisa Pukat" jawab Mahisa Pukat singkat.
"Nama yang memang bagus sekali. Sesuai dengan ujud
kalian berdua" desis pemimpin pengawal itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menyahut. Namun
mereka memang mencurigai sikap pemimpin pengawal yang
tersenyum-senyum itu. Orang yang demikian itu pada satu saat
akan dapat bersikap keras sekali.
Karena itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak
menjawab, maka pemimpin pengawal itu bertanya pula, "Nah,
sekarang katakan. Untuk siapa kalian bekerja. Untuk belahan
yang mana atau justru kalian telah diupah oleh orang di luar
Kabuyutan ini untuk membuat keadaan menjadi semakin
keruh. Dengan demikian orang yang mengupahmu itu akan
mendapat keuntungan dari kekeruhan itu."
"Ki Sanak," jawab Mahisa Pukat, "sudah aku katakan.
Tidak ada yang mengupahku. Aku justru merasa sayang bahwa
di Kabuyutan ini telah terjadi perpecahan. Aku telah bertemu
dan berbicara dengan kedua orang yang mengaku pemimpin
pada kedua belahan padukuhan itu. Dengan sedikit kesulitan
kami telah berhasil menggiring mereka untuk bersedia
berbicara jika hal itu dikehendaki oleh Ki Buyut. Karena itu,
maka aku ingin bertemu dengan Ki Buyut."
Pemimpin pengawal itu tertawa semakin keras. Katanya,
"Apakah ada orang yang dapat mempercayaimu Ki Sanak."
Mahisa Pukat mengerutkan dahinya. Dengan sungguhsungguh
ia berkata, "Jika kalian tidak percaya, bertanyalah
kepada kedua orang yang berselisih di kedua belahan
padukuhan itu. Bertanyalah kepada mereka, apakah yang telah
kami lakukan." "Kami tidak terlalu bodoh sebagaimana kau sangka Ki
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sanak," berkata pemimpin pengawal itu, "kau tentu telah
sepakat dengan mereka. Kau dan mereka tentu sudah
mempersiapkan jawaban yang paling baik jika kami benarbenar
datang kepada mereka dan bertanya tentang kalian."
Mahisa Pukat menjadi marah. Namun ia masih berusaha
menahan diri. Sementara itu Mahisa Murti pun bertanya, "jadi
apakah yang sebaiknya kami lakukan sekarang Ki Sanak, agar
kami dapat bertemu dan berbicara dengan Ki Buyut?"
"Kalian harus mengaku, siapakah kalian dan siapakah
yang telah mengupah kalian menyusup ke dalam padukuhan
induk ini." pemimpin pengawal itu pun mulai menggeram.
"Jika kami ingin dengan sengaja menyusup, apakah
kami akan berjalan melalui jalan induk yang dijaga dengan
ketat itu?" Mahisa Murti lah yang kemudian bertanya.
"Itu terjadi karena kau salah hitung. Kau kira tidak ada
penjagaan di sepanjang jalan induk dan di pintu gerbang
padukuhan induk ini" jawab pemimpin pengawal itu.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu
Mahisa Pukat pun telah menggeram, "Kalian jangan
mempersulit persoalan yang sebenarnya hanya sederhana ini Ki
Sanak." "Apa?" wajah pemimpin pengawal itu menjadi merah.
Ternyata ia tidak dapat mempertahankan sikapnya yang purapura
itu. Senyumnya tiba-tiba saja telah lenyap dari bibirnya.
"Orang-orang muda," geram pemimpin pengawal itu,
"kesabaranku telah sampai ke ubun-ubun. Sekarang jawab
pertanyaanku. Siapa yang telah mengupahmu he?"
"Tidak ada," tiba-tiba saja Mahisa Pukat berteriak.
Sehingga semua orang yang ada di dalam ruangan itu terkejut.
Pemimpin pengawal yang marah itu pun terkejut. Bahkan
Mahisa Murti pun telah terkejut pula.
Namun sejenak kemudian pemimpin pengawal itu
berkata lantang, "Nyalakan perapian."
Dua orang di antara para pengawal yang ada di dalam
ruangan itu telah berlari mendekati perapian dan kemudian
dengan tergesa-gesa menyalakannya. Sementara itu pemimpin
pengawal itu pun berkata, "Ikat keduanya pada patok-patok
kayu itu. Aku akan memaksa mereka berbicara. Masukkan
beberapa potong besi ke dalam api. Jika mereka tidak mau
berbicara, mereka tidak akan dapat berbicara untuk selamalamanya."
"Gila" Mahisa Pukat berteriak pula dengan kerasnya.
"Tutup mulutmu," bentak pemimpin pengawal itu, "kau
tidak dapat menyesali nasibmu yang buruk."
Mahisa Pukat justru menjadi bergetar oleh kemarahan
yang tertahan. Namun Mahisa Murti masih dapat berbicara
lebih terkendali, "Ki Sanak. Jangan melakukan tindakan yang
dapat mencelakaimu sendiri."
"Persetan" geram pemimpin pengawal itu.
Dalam pada itu, dua orang telah mendekati M ahisa Murti
sementara dua orang yang lain berlari-lari mendekati Mahisa
Pukat. Mereka telah menangkap tangan kedua orang anak
muda itu dan menyeret mereka ke patok-p atok kayu.
Mahisa Pukat hampir saja telah meronta. Namun ketika
ia melihat Mahisa Murti membiarkan dirinya diseret ke patok
kayu, Mahisa Pukat pun tidak dengan serta merta melawannya.
Ia ingin tahu apa yang akan dilakukan oleh Mahisa Murti.
Ternyata Mahisa Murti membiarkan dirinya diikat
dengan tali ijuk yang kasar pada sebatang patok kayu. Dengan
demikian maka Mahisa Pukat pun telah membiarkan pula
dirinya diikat sebagaimana Mahisa Murti.
Sementara perapian mulai menyala, maka pemimpin
pengawal itu telah mengambil sebuah cambuk yang pendek
yang tersangkut pada dinding ruangan itu. Perlahan-lahan ia
mendekati kedua anak muda yang terikat itu sambil berkata,
"Sebelum aku mempergunakan api, jawablah pertanyaanku."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab.
Sementara itu pemimpin pengawal itu bertanya pula dengan
kasar, "jawab pertanyaanku. Untuk siapa kalian bekerja?"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sama sekali tidak
menjawab. Betapa pun kasarnya orang itu membentak, namun
keduanya masih tetap berdiam diri.
Ternyata bahwa orang itu benar-benar menjadi marah.
Yang ditunggu oleh Mahisa Murti ternyata telah terjadi. Orang
yang membentak-bentak itu benar-benar telah mencambuk
tubuh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Kedua anak muda itu memang menyeringai menahan
sakit. Mereka bukan seseorang yang memiliki ilmu kebal.
Namun demikian, mereka memiliki daya tahan tubuh yang
tinggi, sehingga mereka pun kemudian telah berusaha untuk
mengatasi rasa sakit. Namun jalur yang merah telah membekas di kulit
mereka. "Cepat jawab, sebelum kalian kehilangan kesadaran
kalian," teriak pemimpin pengawal itu. Tiba-tiba pula ia telah
berteriak pula kepada pengawal yang berdiri di dekat perapian.
"Panggang dua potong besi yang akan dapat membuat
keduanya bisu selama hidup mereka."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih tetap berdiam diri.
Namun cambuk itu telah meledak pula. Sebuah goresan
panjang telah menyilang pula di tubuh kedua anak muda itu.
Ternyata beberapa kali pemimpin pengawal itu telah pula
mencambuk Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Meskipun
keduanya merasakan kepedihan yang sangat, keduanya masih
berusaha bertahan. Mahisa Pukat lah yang tidak sabar lagi menahan diri. Ia
tidak begitu mengerti maksud Mahisa Murti. Ia hanya dapat
menduga, bahwa Mahisa Murti ingin mendapatkan bahan yang
dapat dipakainya alasan untuk bertindak lebih tegas kepada
pemimpin pengawal itu. Karena kedua anak muda itu masih saja tetap membisu,
maka pemimpin pengawal itu benar-benar kehilangan
kesabaran. Katanya, "Aku dapat membuat kalian cacat. Aku
dapat memotong telinga kalian, atau hidung kalian atau
mematahkan tangan atau kaki kalian. Tetapi karena mulut
kalian yang membisu, maka aku akan menghukum mulut
kalian lebih dahulu."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu.
Ternyata orang itu berkata lantang, "Bawa kedua besi itu
kemari jika sudah menjadi merah."
Sebenarnyalah para pengawal telah membawa dua
potong besi panjang. Ujung-ujungnya memang sudah menjadi
merah. Betapa panasnya ujung-ujung besi itu jika menyentuh
kulit. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang menjadi
tegang. Namun tiba-tiba saja Mahisa Pukat bertanya, "Apakah
benar-benar akan menyentuh tubuhku dengan api?"
"Ya," geram pemimpin pengawal itu, "bahkan lidahmu.
Dengan demikian maka kalian benar-benar akan menjadi bisu.
Kecuali jika kalian mau menjawab, untuk siapa kalian
bekerja." "Kami sudah menjawab" suara Mahisa Murti menjadi
semakin keras pula. "Cukup," pemimpin pengawal itu membentak.
Selangkah demi selangkah ia maju. Kedua potong besi yang
ujungnya telah menjadi merah itu, "kalian harus membuka
mulut kalian. Jika tidak, maka besi yang membara ini akan
mematuk kedua biji mata kalian. Meskipun kalian tidak
menjadi bisu, tetapi kalian akan menjadi buta."
"Gila," Mahisa Pukat lah yang tidak sabar, "kau kira kau
mampu melakukannya."
Orang itu terkejut mendengar jawaban Mahisa Pukat.
Bagaimana mungkin orang yang terikat dengan tali ijuk itu
masih berani membentaknya.
Sementara itu M ahisa Murti pun berkata dengan lantang,
"Permainan ini sudah selesai Ki Sanak. Kami sudah meyakini
bahwa kau ternyata bukan orang baik-baik. Karena itu, maka
sepantasnya bahwa kaulah yang harus mendapat hukuman."
"Agaknya kalian telah menjadi gila karena ketakutan"
orang itu tiba-tiba saja tertawa.
Tetapi suara tertawanya yang berkepanjangan, tiba-tiba
telah patah. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang telah
meyakini niat jahat pemimpin pengawal itu, telah mengerahkan
segenap kemampuan mereka. Sebagai anak Mahendra, mereka
mewarisi Aji Bajra Geni yang luar biasa. Mereka tidak
menyalurkan kekuatan itu pada telapak tangannya yang akan
dapat menghancurkan benda yang disentuhny a, tetapi mereka
menyalurkan kekuatan itu pada bagian-bagian tubuhnya yang
terikat oleh tali ijuk yang kasar itu.
Karena itu, maka sejenak kemudian, maka tubuh kedua
anak muda itu bagaikan meledak. Tali temali yang mengikat
keduanya menjadi rantas terputus-putus dan terlempar
berserakan. Sementara itu kedua anak muda itu telah meloncat
berdiri tegak dihadapan pemimpin pengawal yang memegangi
dua potong besi yang membara itu.
Untuk sesaat pemimpin pengawal itu bagaikan membeku.
Satu kejadian yang tidak pernah diduganya telah terjadi.
Ternyata bahwa kedua orang anak muda itu telah melakukan
satu langkah yang tidak masuk di akalnya.
Tetapi sejenak kemudian, maka ia pun telah menyadari
keadaan. Karena itu, maka dengan serta merta, ia pun telah
menyerang Mahisa Murti dengan besi yang telah membara itu.
Namun serangan itu tidak berarti apa-apa. Mahisa Murtipun
telah meloncat ke samping menghindari sentuhan besi
yang membara itu. Bahkan sebelum pemimpin pengawal itu
menyadari keadaan sepenuhnya, Mahisa Pukat telah meloncat
memukul tangan pemimpin pengawal itu. Keduanya bergantiganti,
sehingga kedua potong besi di tangannya itu telah
terloncat jatuh. Pemimpin pengawal itu sekali lagi terkejut. Kedua anak
muda itu telah melakukan satu tindakan yang tidak pernah
dibayangkannya sebelumnya akan dapat mereka lakukan.
Pemimpin pengawal itu pun segera meloncat mundur.
Dengan lantang ia pun segera berteriak, "Bunuh mereka."
Para pengawal pun segera bergerak. Delapan orang
pengawal segera mengepung kedua anak muda itu.
"Ki Sanak," geram Mahisa Pukat, "sebaiknya kalian
tidak ikut campur. Kami akan menghukum orang yang telah
memperlakukan kami dengan tidak adil."
Namun pemimpin pengawal itu segera berteriak, "Cepat.
Bunuh saja kedua orang itu. Jangan biarkan mereka mengigau
lebih panjang lagi."
Para pengawal yang memang telah bersenjata itu pun
segera menyerang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang
masing-masing telah memungut potongan besi yang ujungnya
semula membara. Tetapi bara itu mulai pudar, meskipun
panasnya masih akan dapat mengelupas kulit.
Dengan bersenjatakan tongkat yang semakin lama
menjadi semakin dingin itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telah melawan delapan orang pengawal yang bertempur
melingkari mereka. Namun dalam waktu yang pendek, kedelapan orang itu
telah terdesak. Beberapa orang telah tersentuh oleh potongan
besi di tangan kedua anak muda itu. Meskipun panasnya tidak
lagi menyakiti mereka, tetapi ayunannyalah yang serasa telah
memecahkan tulang. Pemimpin pengawal itu melihat kemungkinan yang
buruk pada para pengawal. Karena itu, maka ia pun telah
berlari ke pintu dan berteriak memanggil beberapa orang
pengawal yang masih berada di luar.
Lima orang pengawal telah masuk ke dalam bilik
pemeriksaan itu. Mereka langsung terjun ke arena bersama
pemimpinnya yang sangat marah itu.
Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tiba-tiba saja
telah berloncatan mengambil jarak. Keduanya telah berpencar
dan bertempur dalam dua lingkaran. Sementara itu besi di
tangan mereka telah berputaran dengan cepat sekali.
Beberapa senjata telah terlempar dari tangan para
pengawal. Namun dengan tergesa-gesa mereka yang
kehilangan senjata itu telah memungutnya sementara kawannya
yang lain melindunginya. Tetapi demikian mereka menggapai
senjatanya kembali, maka yang lainlah yang telah kehilangan
senjatanya pula. Beberapa kali hal yang sama terjadi. Bahkan semakin
lama para pengawal yang kesakitan pun menjadi semakin
banyak. Mereka yang dapat mempertahankan senjata di tangan,
tulang lengannya bagaikan telah patah. Sementara yang lain
pundaknyalah yang menjadi retak.
Dengan demikian, maka para pengawal itu pun semakin
lama memang menjadi semakin terdesak. Beberapa orang
benar-benar telah kehilangan keberanian untuk bertempur,
sehingga mereka berusaha untuk berdiri di paling belakang dari
kepungan atas kedua orang anak muda itu.
Beberapa saat pertempuran masih berlangsung. Namun
para pengawal seakan-akan telah menjadi putus asa. Beberapa
orang bahkan telah terbanting jatuh dan tidak mampu untuk
bangkit kembali. Meskipun ada juga di antara mereka yang
berpura-pura menjadi parah dan tetap terbaring di tempatny a
tanpa ada niat untuk bangun lagi meskipun hal itu dapat
dilakukannya. Pemimpin pengawal yang berniat menghukum kedua
anak muda itu masih saja berteriak-teriak memberikan aba-aba.
Tetapi para pengawal pun semakin lama justru semakin sedikit
yang masih mencoba untuk bertempur.
Dengan kenyataan itu, maka tidak ada jalan yang lebih
baik bagi pemimpin pengawal itu daripada menyelamatkan
diri. Karena itu, selagi masih ada beberapa orang yang
bertempur, ia pun berusaha untuk berlari ke pintu yang tidak
diselarak. Tetapi, ketika tangannya menggapai daun pintu, kekuatan
yang sangat besar telah merengutnya sehingga pemimpin
pengawal itu telah terdorong beberapa langkah surut, dan
bahkan jatuh terduduk. Ketika ia menengadahkan wajahnya, maka dilihatny a
Mahisa Murti berdiri di sampingnya. Tongkat besi yang hampir
saja dipergunakan untuk membuatnya cacat, terayun-ayun di
muka hidungnya. "Tongkat ini sudah dingin," berkata Mahisa Murti,
"tetapi meskipun demikian, akan masih mampu membuatmu
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bisu atau tuli atau buta, atau ketiga-tiganya."
"Ampun" tiba-tiba saja pemimpin pengawal itu
bersimpuh dihadapannya. Mahisa Murti menggeram. Sementara itu, para pengawal
yang lain pun telah menghentikan perlawanan mereka yang siasia,
sementara beberapa orang di antara mereka telah terluka.
Mahisa Murti tiba-tiba saja berkata, "Ikat orang ini pada
tonggak itu." "Jangan" teriak pemimpin pengawal itu.
Namun Mahisa Murti berteriak sekali lagi kepada para
pengawal, "Ikat orang ini, atau kami akan membunuh kalian
semua?" Para pengawal menjadi ragu-ragu. Namun tiba-tiba saja
ujung tongkat besi Mahisa Pukat telah menyentuh beberapa
orang pengawal sambil menggeram, "Aku akan menghitung
sampai tiga. Jika tidak, besi ini akan aku panasi. Kalianlah
yang akan menjadi bisu, tuli dan buta."
Para pengawal itu tidak mempunyai pilihan lain. Merekapun
kemudian telah bangkit. Meskipun dengan ragu-ragu,
namun mereka pun telah mendekati pemimpin mereka yang
berteriak-teriak, "jangan. Jangan."
Para pengawal itu tertegun. Apalagi ketika pemimpin
pengawal itu kemudian berkata, "Siapa menyentuh tubuhku,
akan aku bunuh kelak."
Mahisa Pukat ternyata tidak sabar lagi. Ia pun kemudian
menggeram, "Kau akan mati. Kau tidak akan dapat membunuh
siapapun." Tetapi karena para pengawal masih saja ragu-ragu, maka
Mahisa Pukat lah yang telah menyeret orang itu. Kemudian
memaksanya berdiri bersandar pada tonggak yang kokoh dan
mengikatnya pula dengan tali ijuk yang kasar.
Pemimpin pengawal itu berteriak kesakitan ketika
Mahisa Pukat menarik tali itu terlalu keras.
"Salahmu. Jika orang-orangmu yang mengikatmu, tentu
kau tidak akan mengalami kesakitan seperti itu" geram Mahisa
Pukat. Namun pemimpin pengawal itu masih saja mengaduh,
sehingga Mahisa Pukat yang marah justru telah menampar
pipinya sambil berkata, "Jika kau masih ribut, aku koyak
mulutmu." Ternyata sentuhan tangan Mahisa Pukat telah
menyakitinya. Rasa-rasanya pipinya telah tersentuh api. Karena
itu, maka ia pun telah terdiam.
"Nah," berkata Mahisa Pukat, "sekarang kaulah yang
harus menjawab pertanyaanku."
"Aku tidak tahu apa-apa" teriak pemimpin pengawal itu.
Mahisa Murti yang berdiri saja termangu-mangu, tibatiba
telah memungut dua potong besi yang semula
dipergunakannya sebagai senjata. Dengan nada rendah ia pun
berkata, "Aku akan memanasi dua potong besi ini."
"Jangan, jangan" teriak pemimpin pengawal itu p ula.
Mahisa Murti tertegun. Namun ia memang menghentikan
langkahnya. Ia tidak jadi pergi ke perapian dan kedua potong
besi itu telah dilemparkannya.
Pemimpin pengawal itu menarik nafas dalam-dalam.
Untuk sementara ia merasa terbebas dari kemungkinan yang
paling buruk. Jika kedua potong besi itu dibakar dalam
perapian dan menjadi merah, maka sentuhannya akan dapat
membakar kulit daging. Mahisa Murti yang telah melemparkan kedua potong besi
itu telah mendekatinya. Kemudian dengan nada tinggi pula ia
bertanya, "Katakan, apa perananmu di Kabuyutan ini he?"
"Aku adalah pemimpin pengawal yang bertugas hari ini"
jawab pemimpin pengawal itu.
"Omong kosong," berkata Mahisa Murti, "aku tidak
percaya." "Bertanyalah kepada para pengawal?" minta pemimpin
pengawal yang terikat kaki dan tangannya pada tonggak yang
kuat itu. "Oo," desis Mahisa Pukat, "kami tidak terlalu bodoh
sebagaimana yang kau sangka Ki Sanak. Kau tentu telah
sepakat dengan mereka. Orang-orangmu tentu sudah kau ajari
bagaimana menjawab pertanyaan orang lain tentang kau."
Telinga pemimpin pengawal itu bagaikan disengat api.
Tetapi ia sudah tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Kedua anak
muda itu terlalu perkasa bagi para pengawal. Karena itu, maka
pemimpin pengawal itu hanya dapat menundukkan kepalanya.
"Ki Sanak," berkata Mahisa Murti kemudian dengan
nada keras, "kau belum menjawab."
Keringat dingin telah membasahi seluruh tubuh
pemimpin pengawal itu. Sementara itu Mahisa Pukat telah
membentaknya. "Cepat. Jawab pertanyaan kami. Apa perananmu di
Kabuyutan ini" Kaukah yang telah menumbuhkan sengketa di
antara para pemimpinnya" Jika demikian, apakah
keuntunganmu" Barangkali kau ingin semua pemimpin di
padukuhan ini saling membunuh sehingga kau akan mendapat
kesempatan untuk menggantikannya, mengambil jabatan Buyut
di Kabuyutan ini. Atau keuntungan-keuntungan lain yang lebih
besar dari kedudukan seorang Buyut."
Tiba-tiba saja orang itu berteriak, "Tidak. Tidak."
Tetapi Mahisa Murti justru tertawa. Katanya, "jangan
merajuk begitu Ki Sanak. Lihat, tubuhku sudah menjadi babak
belur. Ujung cambuk itu telah tergores di kulit kami, malang
melintang. Kau kira kami tidak kesakitan. Barangkali kau ingin
mencobanya?" "Jangan, jangan" orang itu menjadi gemetar.
Mahisa Murti justru mulai memungut sebuah cambuk
dengan juntainya yang pendek. Ketika ujung juntai cambuk itu
menyentuh kulit pemimpin pengawal itu, maka ia pun telah
berteriak, "jangan sakiti aku."
Mahisa Murti tertawa semakin keras. Bahkan Mahisa
Pukat pun tertawa pula. Katanya, "Ujung cambuk itu baru
menyentuh dan mengusap kulitmu yang kasar, melampaui
kasarnya ijuk pengikatmu itu."
Tubuh pemimpin pengawal itu memang menjadi semakin
gemetar. Ujung cambuk itu memang belum dilecutkannya.
Tetapi sentuhan yang lunak dikulitnya itu telah
mengejutkannya, sehingga seakan-akan cambuk itu sudah
meledak dan mengoyak kulit dagingnya.
Namun dalam pada itu Mahisa Pukat pun bertanya lagi,
"Apa perananmu sebenarnya he" Kau harus menjawab. Jika
tidak, maka aku akan membuatmu menjadi bisu untuk selamalamanya
meskipun aku tidak memanasi potongan besi itu di
perapian." Wajah pemimpin pengawal itu memang menjadi sangat
pucat. Sementara para pengawal yang ada di dalam ruangan
itu- pun telah menjadi gemetar pula. Tidak mustahil bahwa
pada gilirannya, merekalah yang diperlakukan seperti itu.
Karena pemimpin pengawal itu tidak menjawab, maka
Mahisa Pukat telah mendekatinya. Ia tidak membawa sepotong
besi yang membara. Namun tiba-tiba saja Mahisa Pukat telah
menunjukkan jari-jarinya sambil berkata, "Kau jawab
pertanyaanku atau tidak."
Pemimpin pengawal itu menjadi bingung, sementara para
pengawal memandanginya dengan termangu-mangu.
Pemimpin pengawal yang terikat itu pun menjadi raguragu.
Apakah maksud kedua anak muda itu sebenarnya"
Apakah mereka memang sekedar ingin menyakitinya dengan
cara yang belum diketahuinya atau sekedar menakut-nakuti
atau tujuan-tujuan lain yang belum dapat diduganya"
Sementara itu Mahisa Pukat masih juga bertanya, "He,
apakah perananmu sebenarnya" Kau belum menyebutnya. Jika
aku kehilangan kesabaran, maka lidahmu akan terbakar dan
kau akan kehilangan kesempatan untuk berbicara selamalamanya."
Pemimpin pengawal itu memang tidak tahu, bagaimana
anak muda itu akan melaksanakan ancamannya itu tanpa
memanasi potongan-potongan besi yang biasanya memang
dipergunakan untuk membakar kulit dan daging.
"Cepat jawab" Mahisa Pukat membentaknya tiba-tiba.
Pemimpin pengawal itu terkejut. Namun ia memang
tidak dapat menjawab pertanyaan itu, sehingga karena itu,
maka ia hanya berdiam diri saja, meskipun jantungnya serasa
berdetak semakin cepat. Karena orang itu tidak menjawab, maka Mahisa Pukat
pun tiba-tiba telah berdiam diri sejenak. Kepalanya tertunduk
sementara kedua telapak tangannya terkatup rapat.
Mahisa Murti melihat sikap itu. Ia pun menarik nafas
dalam-dalam. Jika bukan Mahisa Pukat, maka ia sendirilah
yang akan melakukannya. Tetapi karena Mahisa Pukat telah
mempersiapkan diri, maka Mahisa Murti pun tinggal
menunggu saja, apa yang bakal terjadi.
Sejenak kemudian, Mahisa Pukat telah mengangkat
wajahnya. Dipandanginya pemimpin pengawal itu dengan
tajamnya. Dengan nada berat ia berkata, "Jadi kau benar-benar
tidak mau mengatakan sesuatu?"
Pemimpin pengawal itu tidak tahu lagi, apa yang
sebaiknya dilakukannya. Namun justru dalam kebingungan itu
tiba-tiba saja M ahisa Pukat telah menyentuh lengannya dengan
ujung jarinya. Pemimpin pengawal itu berteriak kesakitan, ujung jari
Mahisa Pukat yang menyentuh lengannya itu panasnya
bagaikan ujung besi yang membara. Bahkan di lengannya itu
pun telah membekas luka bakar seujung jari Mahisa Pukat.
Ternyata Mahisa Pukat telah mengetrapkan ilmunya. Ia
dapat melontarkan panasnya api dari telapak tangannya menuju
ke sasaran. Namun saat itu M ahisa Pukat telah berbuat lain.
Ia tidak melontarkan panasnya api itu dari telapak
tangannya, tetapi lewat ujung jarinya. Bahkan seluruh telapak
tangannya itu bagaikan bara. Dalam pertempuran yang garang,
maka sentuhan tangannya itu akan membakar kulit lawannya.
Namun Mahisa Pukat tidak berbuat demikian. Ia hanya
menyentuh kulit lawannya dengan ujung jarinya.
Tetapi ternyata pemimpin pengawal itu telah merasa
seakan-akan seluruh tangannya telah terbakar.
"Nah," berkata Mahisa Pukat, "kau kira aku tidak dapat
berbuat sebagaimana akan kau lakukan" Bahkan aku tidak
memerlukan sepotong besi yang dipanaskan di perapian."
Pemimpin pengawal itu memang menggigil ketakutan. Ia
sadar sepenuhnya bahwa kedua orang anak muda itu memiliki
ilmu yang sangat tinggi, sehingga ia dapat melakukan sesuatu
yang tidak masuk di akalnya.
Sementara itu, p ara pengawal yang berada di bilik itu p un
telah menjadi ketakutan. Justru karena itu, maka mereka
seakan-akan telah mematung di tempatnya. Kaki mereka
bagaikan menjadi kayu dan tidak mampu lagi digerakkan.
Dalam ketegangan itu terdengar Mahisa Pukat berkata,
"Baiklah. Jika kau tidak mau berbicara, bawa aku kepada Ki
Buyut." "Baik. Baik anak-anak muda," berkata pemimpin
pengawal itu dengan suara gemetar, "kami akan mengantar Ki
Sanak menghadap Ki Buyut."
Mahisa Pukat pun kemudian surut beberapa langkah.
Katanya kepada para pengawal, "Lepaskan ikatan
pemimpinmu." Beberapa orang pengawal termangu-mangu. Namun
Mahisa Pukat pun membentak, "Cepat. Lepaskan, atau kalian
juga akan kami ikat di tonggak-tonggak itu."
Beberapa orang pun kemudian telah berlari-lari
mendapatkan pemimpinnya yang terikat pada sebuah tonggak
di tengah-tengah bilik pemeriksaan itu. Dengan tergesa-gesa
mereka berusaha untuk melepaskan tali ijuk yang mengikat
pemimpin pengawal itu pada tonggak yang kuat.
Karena tali itu tidak mudah dilepas, maka Mahisa Pukat
yang tidak telaten itu p un berkata, "Potong saja tali itu dengan
salah satu senjata kalian."
Salah seorang pengawal memang telah memotong tali
ijuk itu dengan pedangnya.
"Marilah," berkata Mahisa Pukat, "jangan bertindak
bodoh. Jika kau mencoba berbuat sesuatu di luar
pengetahuanku, maka aku tidak segan-segan membunuhmu."
Pemimpin pengawal itu tidak menyahut. Namun
kemudian Mahisa Pukat menggeram, "Cepat, berjalan."
Dengan ragu-ragu pemimpin pengawal itu melangkah.
Mereka pun kemudian keluar dari bilik yang pengab itu
menuju ke jalan induk di padukuhan itu.
"Kita susuri jalan ini" berkata pemimpin pengawal itu.
"Aku sudah menduga, bahwa rumah Ki Buyut tentu ada
di pinggir jalan induk ini," desis Mahisa Murti. Lalu katanya
kepada pemimpin pengawal itu, "jika kau tidak
menggangguku, aku akan dapat mencari rumahnya itu tanpa
kalian." Pemimpin pengawal itu sama sekali tidak menyahut.
Beberapa saat mereka berjalan, sementara beberapa
orang pengawal mengamati mereka dengan jantung yang
berdebaran. Mereka belum pernah melihat seseorang yang
memiliki kemampuan sebagaimana kedua orang anak muda itu.
Apalagi hanya dengan jarinya, anak muda itu mampu
membakar kulit sebagaimana sebatang besi yang membara.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang
diantar oleh pemimpin pengawal telah memasuki regol
halaman rumah Ki Buyut. Di regol maupun di gandok rumah
itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat melihat beberapa orang
pengawal yang berjaga-jaga. Bagi Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat petugas itu agaknya memang terlalu banyak, seakanakan
Kabuyutan itu sedang terancam oleh bahaya pertempuran.
Ternyata bahwa pemimpin pengawal itu masih harus
berbicara dahulu dengan beberapa orang yang bertugas.
Pemimpin pengawal itu mencoba memberikan penjelasan
bahwa kedua anak muda itu ingin berbicara dengan Ki Buyut.
"Bukankah kau tahu peraturan yang berlaku di sini?"
bertanya seorang yang bertubuh tinggi kekar.
"Ya. Aku mengerti" jawab pemimpin pengawal yang
bertugas di regol padukuhan induk itu.
"Jadi kenapa kau bawa kedua orang itu kemari?"
bertanya orang yang bertubuh kekar itu.
"Mereka memaksa" jawab pemimpin pengawal di regol
padukuhan. Orang yang bertubuh kekar itu mengerutkan keningnya.
Namun tiba-tiba saja ia tertawa berkepanjangan.
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dipandanginya kedua anak muda itu sejenak. Lalu katanya,
"jadi kalian telah memaksa untuk menghadap Ki Buyut, he?"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu
sejenak. Ia menunggu pemimpin pengawal di regol padukuhan
induk itu menjawab. Sebenarnyalah orang itu menjawab, "Kami tidak mampu
mencegah mereka." Orang yang bertubuh kekar itu tertawa semakin keras.
Tiba-tiba saja ia berkata kepada seseorang yang usianya sudah
separuh baya, tetapi tubuhnya masih nampak kokoh kuat,
bahkan meyakinkan. Katanya, "Ki Bekel. Kau ingin melihat
dua orang anak muda yang memaksa untuk menghadap Ki
Buyut?" Ki Bekel termangu-mangu sejenak. Sambil melangkah
mendekat ia bertanya, "Siapa mereka?"
"Bertanyalah kepada pemimpin pengawal di ujung
lorong itu" jawab orang yang bertubuh kekar.
"Siapa mereka?" bertanya Ki Bekel pula.
"Ki Bekel dapat bertanya sendiri kepada mereka" jawab
pemimpin pengawal di mulut lorong induk itu.
Tetapi tiba-tiba Ki Bekel membentak, "Aku bertanya
kepadamu he?" Pemimpin pengawal itu menjadi gagap. Namun ia pun
menjawab terbata-bata, "Namanya Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat." "Aku tidak bertanya namanya," bentak Ki Bekel, "Aku
bertanya tentang keduanya."
"Menurut pengakuan mereka, mereka adalah
pengembara" jawab pemimpin pengawal yang bertugas di
regol padukuhan induk itu.
"Pengembara?" bertanya Ki Bekel.
Pemimpin pengawal itu mengangguk. Sementara Ki
Bekel membentak, "Barangkali mereka hanya ingin mengemis
nasi atau selembar pakaian" Kenapa kau bawa mereka untuk
menghadap Ki Buyut" Kau tahu siapa Ki Buyut" Dan kau tahu
arti seorang pengembara yang tidak lebih dari pengemis?"
Pemimpin pengawal itu tidak menjawab. Sementara itu
jantung Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bagaikan terbakar.
Hampir saja keduanya tidak mampu lagi mengendalikan diri.
Namun demikian masih juga terloncat kata-kata dari
mulut Mahisa Pukat, "Ki Bekel. Beri kesempatan aku bertemu
dengan Ki Buyut." "Tutup mulutmu," bentak Ki Bekel, "apa hakmu untuk
berbicara dengan Ki Buyut" Bahkan aku pun segan
menerimamu dan berbicara denganmu."
"Baiklah," berkata Mahisa Pukat, "jika tidak seorang di
antara kalian yang bersedia membawaku menghadapi Ki
Buyut, biarlah kami berdua pergi sendiri."
Ketika Mahisa Pukat menggamit Mahisa Murti, maka
keduanya telah melangkah menuju ke pendapa.
Istana Sekar Jagat 3 2060 When The World Is Yours Section 2 Karya Yuli Pritania Semester Pertama Di Malory 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama