Ceritasilat Novel Online

Hijaunya Lembah Hijaunya 31

03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 31


menyadari apa yang sedang dihadapinya. Karena itu, maka ia
pun telah memutuskan untuk berpura-pura tidak pernah
melihat orang-orang itu berjalan dibelakangnya.
Namun dalam pada itu perhatian Mahisa Pukat pun
segera beralih kepada Mahisa Murti yang berdesis,
"Bagaimana mungkin hal itu terjadi atas orang tua itu. Ia
agaknya disegani oleh beberapa pihak. Namanya dikenal oleh
banyak orang. Agaknya tidak mungkin bahwa begitu
mudahnya orang itu menjadi tawanan."
"Ya," jawab Mahisa Pukat, "memang menarik. Tetapi
sikap orang -orang yang berjalan di belakang kita sangat
memuakkan. Aku ingin memberikan sedikit peringatan kepada
mereka jika mereka masih saja bersikap sombong."
" Biarkan saja mereka," berkata Mahisa Murti, "mungkin
mereka merasa bahwa tanpa Kiai Liman Serapat maka mereka akan dapat berbuat apapun menurut keinginan mereka."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun kemudian ia
pun berdesis, "Agaknya ada sesuatu yang tidak wajar."
"Ya. Karena itulah m aka aku ingin m elihatnya," jawab
Mahisa Murti. "Aku mencemaskan Mahisa Semu dan paman
Wantilan,"bisik Mahisa Pukat, "apalagi Mahisa Amping.
Agaknya Kiai Liman Serapat berhadapan dengan orang-orang
yang sangat licik." Mahisa Murti m engangguk-angguk. Katanya, "Kita akan
membagi diri. Aku akan mencari keterangan tentang Kiai
Liman Serapat. Cobalah kau awasi saudara-saudara kita itu."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak
menjawab. Sementara itu mereka telah menjadi semakin dekat
dengan tempat pemberhentian pedati itu. Karena itu, m aka
Mahisa Murti pun telah berjalan semakin cepat, sementara
Mahisa Pukat masih saja berjalan dengan langkah seperti
semula. Bahkan kemudian ia berada di antara saudarasaudaranya.
Orang-orang y ang membawa mereka kembali itu tiba tiba saja telah berjalan semakin dekat di belakang mereka.
Karena Mahisa Murti berjalan lebih cepat, maka seorang di
antara mereka membentak. "Cepat. Kenapa kalian tidak
bersama-sama dengan kawanmu yang berjalan di depan itu?"
Mahisa Pukat hampir saja kehilangan kesabaran. Namun
ia masih menahan diri. Katanya, "Jika kalian sekali lagi
membentak-bentak seperti itu, maka aku akan mengoyak
bibirmu." "Setan," geram orang itu.
Mahisa Pukat tiba -tiba saja telah berhenti. Namun
Mahisa Murti sempat berhenti pula dan berpaling,"Mahisa
Pukat. Bukankah kita sedang ditunggu."
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Namun ia
telah memaksa diri untuk berjalan terus.
Ketika mereka sampai ke reg ol halaman tempat
pemberhentian pedati y ang luas itu, mereka tidak melihat
kesan apapun. Namun dua orang y ang berdiri di dalam regol
itu menyambut mereka sambil berkata, "Kiai Liman Serapat
ada di serambi gandok di dalam seketheng."
Mahisa Murti tidak menjawab. Ia pun melangkah
langsung menuju seketheng dan melangkah masuk.
Tiba-tiba saja langkah terhenti. Ia melihat seorang yang
berbaring di pembaringan. Sementara itu, tiga orang yang
bertubuh sedang, namun menunjukkan pancaran m ata yang
tajam, berdiri sambil meny ilangkan tangannya di dadanya.
Demikian Mahisa Murti datang, maka perempuan y ang
sudah dikenalnya lebih dahulu itu keluar dari pintu butulan
sambil berkata, "Anak itulah y ang aku katakan kepada kalian,
sehingga orang yang bernama Kiai Liman Serapat itu
mencampuri persoalanku. Untunglah kalian kebetulan ada di
sini, sehingga kalian dapat mengambil langkah melumpuhkan
Kiai Liman Serapat."
"Apakah kau keluarganya anak muda?" salah seorang
dari ketiga orang itu bertanya.
Mahisa Murti menggeleng sambil menjawab. "Tidak.
Aku baru mengenalnya di kedai itu."
"Tetapi ia sudah m embelamu," berkata orang itu pula
dengan nada berat. " Ia orang y ang baik menurut penilaianku," jawab
Mahisa Murti. "Sekarang ia terbaring tanpa dapat berbuat sesuatu. Ia
adalah tawanan kami. Jika kami memanggil kalian, maka
mungkin ada pesan yang akan disampaikannya kepada kalian
sebelum saat-saat terakhirnya," berkata orang itu.
"Akan kau apakan orang itu?" bertanya Mahisa Murti.
" Ia adalah musuh lamaku. Aku tidak m engira bahwa ia
akan mencari penghidupan dengan berdagang gerabah.
Sebagai seorang y ang berilmu tinggi, banyak yang dapat
dilakukannya. Tetapi ia m emilih laku y ang rendah itu,"jawab
orang itu. "Kau bawa dendam lamamu, atau kau anggap apa yang
dilakukan itu sudah cukup alasan untuk menghukumnya?"
bertanya Mahisa Murti. Orang itu tertawa. Kedua orang yang lain pun tertawa
pula. Mahisa Murti y ang berdiri beberapa langkah dari
serambi itu berdiri termangu-mangu. Sementara beberapa
langkah di belakangnya, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan
Wantilan mengamati keadaan dengan penuh kewaspadaan.
Hanya Mahisa Amping sajalah yang sempat memandang
keadaan di sekelilingnya.
"Anak muda," berkata orang y ang berdiri di sebelah
pembaringan, "apakah kalian berkeberatan jika kami
membunuh Liman Serapat?"
"Apakah alasan pembunuhan itu?" bertanya Mahisa
Murti. "Apapun alasannya," jawab orang itu. Namun katanya
kemudian, "tetapi orang itu telah m enolong kalian, sehingga
kalian tidak mengalami kesulitan di kedai itu. Tanpa Kiai
Liman Serapat, kalian sudah menjadi tont onan di halaman
itu." Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian katanya, "Tak ada gunanya kau membunuhnya.
Sebaiknya kalian meny elesaikan persoalan antara kalian
dengan kami tanpa menyangkut Kiai Liman Serapat."
Wajah orang itu m enjadi tegang. Mereka tidak m engira
bahwa anak muda itu akan berkata demikian. Namun orang
itu masih juga berkata, "Kau mulai putus a sa. Tetapi kau
masih mempunyai jalan untuk meny elamatkan Kiai Liman
Serapat." "Apa maksudmu?" bertanya Mahisa Murti.
"Bukankah kalian mempunyai sepasang pusaka y ang
menarik itu?" desis orang itu, "jika kalian meny erahkan
pusaka itu, maka Kiai Liman Serapat akan kami beba skan."
Wajah Mahisa Murti menjadi tegang. Demikian pula
Mahisa Pukat yang juga mendengar permintaan itu. Untuk
beberapa saat kemudian justru berdiri mematung.
Namun tiba -tiba orang itu berkata, "Aku beri kalian
kesempatan untuk berbicara dengan Kiai Liman Serapat.
Mungkin kalian akan dapat membuat pertimbangan yang lebih
mapan sehingga langkah y ang akan kalian ambil tidak akan
kalian sesali kemudian."
Mahisa Murti berpikir sejenak.
Namun orang itu telah membungkuk dan berbicara
keras-keras ditelinga Kiai Liman Serapat, "Cobalah minta
tolong kepada anak -anak itu. Aku bersedia menukar ny awamu
dengan sepasang keris y ang dibawanya itu."
Tidak terdengar jawaban. Sementara orang itu b erkata kepada Mahisa Murti, "Ia
masih dapat berbicara. Tetapi suaranya sangat lemah. Ia
masih mempunyai waktu beberapa saat, sebelum nyawanya
akan meninggalkan tubuhnya. Tetapi jika kalian setuju dengan
usul kami, maka kami mempunyai obat penangkal racun yang
akan dapat meny embuhkannya."
"Aku sudah mengira bahwa kalian dapat menguasai Kiai
Liman Serapat dengan cara y ang licik," geram Mahisa Murti.
Tetapi orang itu tertawa. Katanya, "Sudahlah. Jangan
kehabisan waktu. Aku beri kalian kesempatan."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih ragu-ragu.
Namun sementara itu orang-orang yang ada di sekitar Kiai
Liman Serapat itu telah m eny ingkir menjauh untuk memberi
kesempatan kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
mendekat. Sejenak k emudian, m aka dengan hati-hati kedua orang
anak m uda itu telah berlutut di samping pembaringan Kiai
Liman Serapat. Dengan lembut Mahisa Murti pun kemudian
berkata, "Apa y ang terjadi Kiai?"
Dari tempat yang agak jauh salah seorang dari ketiga
orang yang telah m enawan Kiai Liman Serapat itu berteriak,
"Kau harus berteriak keras-keras. Racun itu telah membuatnya
agak tuli." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang menjadi
tegang. Tetapi adalah diluar dugaan mereka sesuatu telah
terjadi, sehingga keduanya menjadi sangat terkejut. Namun
dengan cepat keduanya berusaha untuk menghapus kesan itu
dari wajah mereka. Diluar dugaan, terdengar Kiai Liman Serapat berbisik
perlahan sekali, tetapi cukup jela s bagi Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat, "Jangan cemas. Aku tidak apa-apa. Lakukan
sebagaimana diminta."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Namun kemudian Mahisa Murti pun berteriak " Kiai,
apa y ang sudah terjadi?"
Terdengar ketiga orang itu tertawa. Juga perempuan
yang menjadi sumber persoalan itu.
Namun jawaban Kiai Liman Serapat, "Mereka telah
meracun aku. Tetapi aku mempunyai penangkal racun itu,
sehingga sebenarnya aku tidak terpengaruh karenanya.
Namun dengan su sah pay ah aku harus mengacaukan
pernafasanku dan peredaran darahku untuk mengelabui
mereka. Ternyata mereka bukan orang-orang yang
berpenglihatan tajam meskipun mungkin mereka berilmu
tinggi. Mereka tidak melihat bahwa aku berpura-pura."
Jawaban itu demikian perlahan dan tersendat -sendat
sehingga tidak ada orang lain y ang mendengar kecuali Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat. "Apa jawabnya?" bertanya salah seorang dari ketiga
orang itu. Mahisa Murti memandang ketiga orang itu. Lalu
katanya, "Jika kau ingin mendengar pembicaraan kami,
mendekatlah. Kenapa kalian justru menjauh?"
"Kami ingin memberi kesempatan agar Kiai Liman
Serapat berbicara terbuka kepada kalian tanpa takut bahwa
kami akan mendengarnya. Mungkin tentang sepasang keris
itu. Atau barangkali orang itu memang sudah berputus a sa dan
ingin mati." jawab salah seorang dari ketiga orang itu.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam, sementara
Mahisa Pukat berbisik, "Kita selesaikan mereka."
"Tunggu," desis Kiai Liman Serapat.
Mahisa Pukat termangu-mangu. Rasa-rasanya ia tidak
sabar lagi untuk menunggu. Sikap ketiga orang itu sangat
menyakitkan hatinya. Apalagi perempuan y ang menjadi sebab
dari persoalan yang timbul itu, yang disebut Ny i Rantam.
Tetapi Kiai Liman Serapat itu pun kemudian berkata,
"Jangan tergesa -gesa anak muda. Biar mereka puas
mentertawakan aku. Baru kemudian giliran kita
mentertawakan mereka." orang tua itu berhenti sejenak, lalu
katanya, "Tetapi berhati-hatilah. Agaknya ketiganya adalah
orang-orang yang berilmu. Mereka m engetahui bahwa kalian
berdua telah m embawa sepa sang keris y ang m enjadi buruan
hampir setiap orang berilmu itu."
"Ya Kiai," jawab Mahisa Pukat.
"Sebaiknya kita berbicara saja sendiri. Biarlah m ereka
menunggu sampai saatnya m ereka tidak sabar," berkata Kiai
Liman Serapat, "sementara itu, beri aku kesempatan
memperbaiki pernafasanku serta peredaran darahku y ang aku
kacaukan sendiri. Dengan demikian, maka aku akan segera
berada di tataran puncak dari kekuatan, kemampuan dan
ilmuku." "Silahkan Kiai," berkata Mahisa Murti, "kami akan
menjaga Kiai. "Aku tidak memerlukan waktu lama. Bahkan seandainya
dalam keadaan seperti ini aku harus langsung bertempur,
tidak akan banyak mempengaruhinya juga," sahut orang itu.
Tetapi Kiai Liman Serapat pun segera bersemadi sambil
berbaring. Dipusatkannya nalar budinya pada pernafasannya
dan peredaran darahnya, sehingga perlahan-lahan peredaran
nafas dan darahnya telah menjadi pulih kembali.
Sementara itu, ketiga orang itu mulai merasa curiga.
Bahkan seorang di antara mereka berteriak, "He, apakah
kalian sudah selesai?"
"Belum," jawab Mahisa Murti, "sebentar lagi."
"Apa ia m enawarkan ny awanya untuk kalian tolong?"
bertanya salah seorang dari mereka.
"Ya," jawab Mahisa Murti, "ia ingin ny awanya
diselamatkan. Kiai Liman Serapat, masih ingin hidup."
"Nah, rasakan kau orang sombong," geram Ny i Rantam.
Sementara itu seorang di antara ketiga orang itu
bertanya, "Jika demikian, apa jawabmu."
"Aku tidak dapat melepaskan pusaka-pusaka kami,"
jawab Mahisa Murti. " Jika demikian, maka kami akan membiarkan orang itu
mati. Sementara itu, kalian pun akan mati k emudian," geram
orang itu. "Tidak," jawab Mahisa Murti, "Kiai Liman Serapat tidak
akan mati. Kami pun tidak akan membiarkan diri kami
dibunuh." "Cepat. Ambil keputusan sebelum orang itu benar-benar
mati," teriak yang lain.
Tetap Mahisa Pukat y ang sudah tidak sabar lagi ia
menjawab, "Tidak. Kiai Liman Serapat tidak akan mati, karena
Kiai Liman Serapat tidak apa-apa."
Jawaban Mahisa Pukat itu mengejutkan, sementara Kiai
Liman Serapat sendiri ter senyum sambil berdesis, "Kau tidak
sabar lagi anak muda."


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketiga orang itu m emang terkejut. Ketiganya bergerak
maju. Satu di antara mereka berkata. "Anak-anak muda.
Minggirlah. Kami ingin melihat keadaan orang itu."
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat serentak bangkit
berdiri sambil berkata, " Jangan mendekat lagi. Kami telah
menjadi orang-orang bebas y ang akan mampu melawan kalian
jika kalian memaksakan pertempuran."
"Setan kau," geram seorang di antara mereka, "racun itu
telah bekerja di tubuh Kiai Liman Serapat. Kau kira, ada obat
yang dapat menyembuhkannya selain penangkalnya y ang ada
pada kami." "Omong kosong," geram Mahisa Pukat, "jangan
mencoba menipu dan menakuti-nakuti kami. Kiai Liman
Serapat tidak apa -apa. Nafasny a dan peredaran darahnya
sedikit dikacaukannya sendiri untuk mengelabui kalian.
Sementara itu penglihatan kalian pun agaknya sudah menjadi
kabur." Ketiganya tertegun sejenak. Tetapi salah seorang di
antara ketiga orang itu berteriak,"jangan berpura-pura. Itu
hanya suatu sikap putus a sa. Kiai Liman Serapat tentu akan
mati." Tetapi ketiga orang itu benar-benar terkejut ketika
mereka melihat Kiai Liman Serapat bangkit dari
pembaringannya. Kemudian berdiri sambil menggeliat seperti
seorang y ang baru saja bangun dari tidurnya.
"Satu kesempatan untuk beristirahat," berkata Kiai
Liman Serapat. Ketiga orang itu melangkah surut. Seorang di antara
merekaberkata, " Iblis kau Serapat. Tetapi tidak ada penangkal
racun itu kecuali y ang ada pada kami."
"Racun yang kau pergunakan itu adalah racun y ang
hanya akan membunuh nyamuk. Tetapi tidak akan membunuh
orang seperti aku ini," berkata Kiai Liman Serapat.
"Tetapi racun itu sangat keras," salah seorang dari
ketiga orang itu mulai gagap.
"Racun kalian itu bukan apa-apa. Kedua anak muda ini
pun tidak akan mengalami kesulitan apa-apa seandainya
mereka kau gores dengan ujung tongkat itu," jawab Liman
Serapat. "Persetan, kalian," geram salah seorang dari ketiga
orang itu, "siapakah sebenarnya kalian."
"Kau lihat, kami adalah pengembara," jawab Mahisa
Murti. Ketiga orang itu memang menjadi tegang. Sementara
Nyi Rantam menjadi ketakutan. Ternyata bahwa untuk
melumpuhkan Kiai Liman Serapat tidak semudah yang
mereka duga. Tiga orang yang dianggap orang berilmu tinggi
itu pun masih dapat dikelabui oleh Kiai Liman Serapat.
Mereka m engira bahwa Kiai Liman Serapat adalah tawanan
mereka. Namun ternyata Kiai Liman Serapat itu tidak apa -apa.
Orang itu sama sekali tidak menjadi lumpuh. Na fasnya tidak
terputus-putus dan darahnya tidak mengalir tersendat-sendat.
Bahkan kemudian Kiai Liman Serapat itu telah bangkit
seperti orang y ang baru saja bangun dari tidurnya tanpa
menunjukkan kesulitan apa-apa pada tubuhnya y ang telah
dikenai racun itu. Sebenarnyalah Kiai Liman Serapat telah memulihkan
keadaan tubuhnya dengan bersamadi. Bahkan bersamadi
sambil berbaring. Ia sama sekali tidak mengalami kesulitan
untuk menata kembali pernafasan dan peredaran darahnya
yang telah dikacaunya sendiri.
"Ki Sanak," berkata Kiai Liman Serapat, "aku memang
ingin mendapat pertolongan dari anak-anak muda ini. Aku
tidak cemas untuk bertempur sendiri melawan kalian bertiga.
Tetapi karena kalian adalah orang-orang berilmu tinggi, maka
terus terang, aku agak ragu-ragu. Apakah aku dapat bertempur
melawan kalian sendiri. Namun tiba -tiba anak-anak muda ini
telah hadir. Mereka akan dapat bersamaku menyelesaikan
persoalan kita. Ada satu keuntungan yang memaksa anak-anak
muda itu berpihak kepadaku, karena kalian telah
menginginkan sepasang keris yang dibawanya, meskipun
seandainya kalian berhasil, maka kalian tentu akan saling
bertempur untuk memperebutkannya, karena jumlah pusaka
itu hanya dua, sedangkan kalian datang bertiga."
"Kata-katamu ternyata lebih tajam dari racun y ang
menyuruk ke dalam tubuhmu," geram salah seorang dari
ketiga orang itu. Kiai Liman Serapat tertawa. Katanya, "Tentu. Racunmu
sama sekali tidak berarti apa-apa. Nah, sekarang kita
berjumlah sama. Aku akan minta kepada anak-anak muda ini,
agar saudara-saudaranya y ang lain tidak mencampuri
persoalan kita." "Setan kau," geram salah seorang dari k etiga orang itu,
"jangan menyesal jika kepalamu terpenggal di sini. Sebenarnya
racun itu bagimu merupakan jalan kematian yang paling baik.
Tenang, tenteram dan penuh kedamaian. Tetapi dengan
bertempur, maka kau akan menempuh jalan kematian yang
rumit." Kiai Liman Serapat tertawa. Katanya, "Sekedar untuk
mengisi waktu. Aku sudah menjadi jemu menunggu uang
gerabahku tapa berbuat sesuatu. Mari, kita pergi ke halaman
depan agar kita m endapat ruang gerak yang lebih luas dari
halaman kecil di belakang seketheng ini."
Ketiga orang itu m enjadi sangat m arah. Bagaimanapun
juga mereka adalah orang-orang yang merasa dirinya berilmu
tinggi. Karena itu, maka m ereka tidak m au direndahkan oleh
orang y ang meskipun bernama Kiai Liman Serapat.
Karena k etiga orang itu tidak beranjak dari tempatnya,
maka Kiai Liman Serapat mengulanginya, "Marilah Tiga
Serangkai dari Bukit Wadas. Atau barangkali ada orang yang
menyebut kalian Sangga Langit Kinatelon atau barangkali
kalian masih m emiliki nama-nama lain yang lebih garang. Di
halaman kita akan mendapat beberapa orang penonton.
Barangkali permainan kita akan menjadi lebih bergairah
daripada kita bermain di sini."
"Persetan," geram salah seorang dari m ereka, "agaknya
kau ingin mati di hadapan saksi-saksi. Marilah. Kita pergi ke
halaman depan." Ketiga orang itu pun kemudian telah melangkah ke
halaman depan rumah yang cukup besar itu. Halamannyapun
cukup luas meskipun ada beberapa buah pedati y ang berada di
halaman itu. Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Kiai Liman Serapatpun
kemudian telah melangkah pula ke halaman. Mahisa Semu,
Wantilan dan Mahisa Amping berdiri agak jauh dari m ereka.
Bagaimanapun juga, di halaman itu masih ada beberapa orang
yang mungkin akan dapat ikut campur. Beberapa orang yang
telah menyusul perjalanan Mahisa Murti dan saudarasaudaranya
itu. Sejenak kemudian, maka ketiga orang y ang disebut Tiga
Serangkai dari Bukit Wadas itu telah berdiri di halaman.
Sementara Kiai Liman Serapat, Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat telah bersiap pula menghadapi segala kemungkinan.
Seperti yang dikatakan oleh Kiai Liman Serapat, maka
beberapa orang ternyata telah berada di sekitar halaman itu.
Mereka melihat ketegangan yang terjadi. Dengan segera
mereka pun mengerti, bahwa akan terjadi sesuatu di halaman
itu. Beberapa orang y ang mengenal Kiai Liman Serapat tidak
lebih dari penjual gerabah memang menjadi heran. Apa yang
akan dilakukannya menghadapi orang-orang y ang nampaknya
memang orang-orang berilmu.
Tetapi dua orang berwajah garang, y ang bekerja bagi
rumah penginapan itu telah berkata kepada orang-orang yang
berdiri dekat mereka, "Orang itu Kiai Liman Serapat."
"Apakah kau tidak mengigau?" bertanya seseorang.
"Lihat saja, apa yang dilakukan," jawab orang berwajah
garang itu. Namun ada di antara orang-orang y ang menyaksikan
pertempuran itu y ang mengenal Kiai Liman Serapat. Tetapi
ada juga y ang tidak. Karena itu, maka sikap orang-orang yang
menyaksikan itu pun berdasarkan atas pengenalan mereka
atas penjual gerabah itu.
Beberapa saat kemudian, maka Kiai Liman Serapat telah
berkata, "Marilah Ki Sanak Sangga Langit Kinatelon. Apalagi
yang kalian tunggu. Waktu kalian tentunya tidak banyak.
Berbeda dengan aku. Aku memang harus berada di tempat ini
sampai besok karena aku masih harus menunggu."
"Kiai Liman Serapat. Apakah kau sudah kelaparan
sehingga kau harus berjualan gerabah" Menurut
pendengaranku Kiai Liman Serapat adalah orang berilmu
tinggi. Kenapa kau tidak m emilih pekerjaan y ang lain yang
lebih terhormat dari sekedar menjadi penjual gerabah saja?"
bertanya salah seorang dari ketiga orang itu.
Tetapi Kiai Liman Serapat tertawa. Katanya, "Pekerjaan
apapun baik asal tidak merugikan orang lain. Tidak melanggar
paugeran dan tidak akan merusakkan lingkungan."
"Persetan," geram salah seorang di antara ketiga orang
itu pula,"bersiaplah. Kalian bertiga akan segera mati."
Ketiga orang itu mulai bergerak. Tetapi dua di antaranya
telah bergerak mendekati Mahisa Murti.
"Serahkan anak ini kepadaku," desis y ang seorang.
"Bunuh orang tua penjual gerabah itu, biarlah aku y ang
melawan anak ini dan sekaligus membunuhnya," sahut yang
lain. "Kau lawan saja Liman Serapat," bentak yang pertama,
"Aku adalah saudara yang lebih tua darimu."
Yang lain termangu-mangu. Tetapi ia pun kemudian
mendekati orang y ang berhadapan dengan Mahisa Pukat
sambil berkata, "Bunuh Liman Serapat."
"Kenapa tidak kau lakukan sendiri?" bertanya y ang
sudah berdiri berhadapan dengan Mahisa Pukat.
" Jangan membantah," geram yang baru datang, " orang
ini sangat berbahaya."
"Selesaikan saja Kiai Liman Serapat," jawab yang sudah
berhadapan dengan Mahisa Murti.
Semula Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Kiai Liman
Serapat agak menjadi bingung. Mereka semula mengira bahwa
orang-orang itu merasa segan bertempur melawan Kiai Liman
Serapat. Tetapi ternyata alasannya adalah lain. Mereka
berebut bertempur melawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat,
karena keduanya membawa masing-masing pusaka yang
sedang diperebutkan oleh orang-orang berilmu tinggi itu.
Kiai Liman Serapat y ang menyadari hal itu tiba -tiba saja
telah tertawa sambil berkata, "Ternyata aku salah duga. Aku
merasa diriku t erlalu besar. Aku kira kalian takut melawan
aku, sehingga kalian berebut menghindar. Tetapi ternyata
kalian mempunyai pamrih lain atas anak-anak muda itu. Nah,
jika demikian lebih baik kalian saling membunuh lebih dahulu,
sehingga dua yang ter sisa hidup akan bertempur melawan
kedua anak muda itu. Biarlah y ang sudah mati melawan aku."
"Cukup," bentak yang tertua di antara k etiga orang itu,
"baiklah. Ternyata sikap kami telah membuat hatimu
berkembang. Tetapi tidak. Aku memang menganggap lebih
baik membunuhmu daripada m engambil keris-keris itu dari
tangan anak-anak muda itu. Biarlah kedua orang saudaraku
membunuh mereka dan mendapatkan keris itu."
"Lalu, jika kau berhasil membunuhku, apa yang akan
kau dapatkan?" bertanya Kiai Liman Serapat.
"Tentu ada," jawab orang itu, "kau mempunyai
penangkal racun. Apapun y ang kau pergunakan, tetapi
penangkal racun itu sangat penting artinya bagiku."
"Penangkal racun itu tentu akan kau pergunakan untuk
meracun saudara-saudaramu," berkata Kiai Liman Serapat.
"Bagaimana mungkin hal seperti itu terjadi. Penangkal
racun itu dipergunakan hanya untuk m enangkal racun. Tidak
untuk meracun orang lain seperti yang kau katakan itu,"
berkata orang tertua itu.
"Tentu mungkin saja. Kalian bertiga makan bersama
atau m inum bersama atau apapun y ang kalian lakukan, maka
kau y ang memiliki penangkal racun dapat minta kepada orang
lain atau kau lakukan sendiri dengan meracun semua
makanan, termasuk yang akan kau makan," berkata Kiai
Liman Serapat. "Tutup mulutmu," bentak orang itu, "mulutmu memang
lebih tajam dari racun yang manapun juga. Karena itu, maka
kau harus segera dibinasakan."
Kiai Liman Serapat bergeser selangkah. Ia melihat orang
yang tertua itu sudah mengambil ancang-ancang. Agaknya ia
akan menyerang dengan langsung.
Sebenarnyalah y ang diduga, maka orang itu pun
kemudian telah meloncat menyerang. Bukan saja menjajagi
kemampuan lawannya. Tetapi serangan itu benar-benar
serangan y ang mengarah ke dada.
Jika saja serangan itu mengenai, maka Kiai Liman
Serapat tentu akan benar -benar sulit bernafas dan bahkan
mungkin tulang-tulang iganya berpatahan. Tetapi karena Kiai
Liman Serapat sudah benar-benar bersiap, maka ia pun
dengan tangkas pula menghindari serangan itu. Bahkan ia pun
telah menyusul dengan cepat, meny erang ke arah tengkuk.
Tetapi Kiai Liman Serapat juga tidak segera berhasil.
Lawannya itu pun dengan tangkas menghindar. Namun dalam
waktu sekejap orang itu telah meny erang Kiai Liman Serapat
kembali. Serangannya kemudian datang membadai,
menyambar-ny ambar Kiai Liman Serapat.
Tetapi pertahanan Kiai Liman Serapat sama sekali tidak
segera goy ah oleh serangan orang y ang menjadi sangat marah
itu. Dengan demikian, maka pertempuran antara Kiai Liman
Serapat dengan orang t ertua di antara tiga orang seperguruan
itu telah menjadi semakin sengit. Orang y ang m erasa dirinya
juga berilmu tinggi itu telah melibat dengan segenap
kemampuannya. Agaknya ia memang ingin segera
menyelesaikan pertempuran itu. Namun Kiai Liman Serapat
yang lebih dikenal sebagai pedagang gerabah itu mampu
mengimbanginya. Bahkan sama sekali tidak banyak
mengalami kesulitan. Sementara itu dua orang y ang telah menghadapi Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat pun telah bersiap pula. Mereka pun


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ingin segera meny elesaikan lawan-lawan mereka. Karena itu,
maka mereka pun telah menarik senjata masing-masing.
Sejenis pedang y ang tajam di kedua sisi. Ujungnya runcing
seperti ujung duri. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah bergeser
sal ing menjajuhi. Namun keduanya pun tidak ingin
mengalami kesulitan karena lawannya bersenjata. Karena itu,
maka keduanya pun telah menarik senjata mereka. Keri s yang
ukurannya terlalu besar, sehingga baik Mahisa Murti maupun
Mahisa Pukat lebih senang menyebutnya pedang.
Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih belum
mengerahkan kemampuannya, sehingga yang nampak adalah
sebilah keris y ang terbuat dari besi baja pilihan, bercahaya
kehijau-hijauan. Namun keris itu masih belum nampak
menyala dan memancarkan lidah api y ang menggetarkan
jantung. Meskipun demikian cahaya yang memang memancar
dari besi baja pilihan serta pamornya yang jarang ada duanya
itu, telah membuat lawan-lawan mereka berdebar-debar.
Tetapi keris-keris itu memang m enarik untuk dimiliki.
Dengan pusaka itu, maka mereka akan menjadi semakin
disegani. Tetapi mereka pun sadar, bahwa lawan-lawan
mereka yang memiliki pu saka-pusaka itu pun tentu memiliki
kelebihan justru karena mereka menggenggam dan
mempergunakannya. "Namun bagaimanapun juga, kelebihan manusianya
akan ikut menentukan," berkata orang -orang y ang ingin
merebutnya itu di dalam hati.
Sehingga dengan demikian maka mereka sama sekali
tidak ingin melangkah surut. Persoalan y ang mereka hadapi
bukan lagi untuk meny ingkirkan Kiai Liman Serapat yang
telah mencampuri persoalan Nyi Rantam y ang marah, tetapi
satu perjuangan untuk merebut pusaka-pusaka itu dari tangan
anak-anak muda yang mengaku sebagai pengembara itu.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat pun telah terlibat dalam pertempuran yang
cepat dan keras. Dalam pada itu, lawan Mahisa Pukat itu masih sempat
berdesis, "Sebaiknya kau serahkan saja keris itu agar kau
masih akan dapat keluar dari halaman rumah ini. Meskipun
pusaka itu memiliki kelebihan dari jeni s senjata apapun, tetapi
segala sesuatunya masih juga tergantung orang yang
memegangnya. Betapapun tingginya nilai sebuah pusaka,
tetapi jika orang y ang memiliki tidak memiliki kelebihan yang
mendukung nilai dari pusaka itu, maka pu saka itu tidak akan
banyak berarti." "Aku sependapat," jawab Mahisa Pukat, "karena itu,
jangan m encoba merampas pusaka-pusaka ini, karena kalian
tidak akan mampu melakukannya. Tanpa pusaka ini pun kau
tidak akan dapat mengalahkan aku. Apalagi di tanganku
sekarang tergenggam pusaka yang dahsyat ini."
"Kau jangan terlalu sombong," geram orang itu.
"Tidak. Sebenarnya aku masih ingin mencegah
pertempuran ini, karena dalam pertempuran ini, kau tidak
akan mendapat kesempatan apapun juga. Bahkan kesempatan
untuk mempertahankan diri," sahut Mahisa Pukat.
"Agaknya kau memang belum pernah mendengar nama
Sangga Langit Kinatelon. Kami adalah orang-orang yang
memiliki ilmu y ang sangat tinggi y ang diakui oleh banyak
orang yang berilmu tinggi sekalipun," berkata orang itu
dengan garang. Mahisa Pukat tersenyum. Katanya, "Baiklah. Kita akan
membuktikan, apakah benar bahwa kau adalah seorang yang
berilmu sangat tinggi."
Orang itu tidak m enjawab. Tetapi ia pun telah m eloncat
sambil menjulurkan pedangnya. Namun Mahisa Pukat telah
siap m enghadapinya. Karena itu, maka ia pun telah bergeser
selangkah surut. Ujung pedang itu masih sejengkal dari dada
Mahisa Pukat. Tetapi orang itu tidak menarik pedangnya. Bahkan ia
telah bergeser dengan cepat menggapai sasarannya.
Mahisa Pukat pun harus bergerak cepat. Ia tidak
meloncat surut lagi. T etapi ia justru m enangkis serangan itu.
Dengan kuat pedang y ang terjulur itu telah dipukulnya
menyamping. Lawan Mahisa Pukat itu terkejut. Pukulan pedang
Mahisa Pukat ternyata demikian kuatnya, sehingga hampir
sa ja pedang orang itu terlepas dari tangannya. Tetapi ternyata
ia masih mampu mempertahankannya meskipun telapak
tangannya kemudian terasa sangat pedih.
"Setan kau," geram orang itu. Lalu katanya, "Jika ujung
pendangku mampu menggapaimu dengan goresan setebal
rambut, maka racun yang melekat ditubuhmu akan mengikuti
arus darahmu dan menghentikan kerja jantungmu."
"Racunmu tidak dapat membunuh Kiai Liman Serapat,"
sahut Mahisa Pukat. "Orang itu mempunyai penangkal racun yang tidak ada
duanya," jawab lawan Mahisa Pukat.
" Ia akan dapat mengobati aku jika tubuhku tergores
racunmu," desis Mahisa Pukat.
Tetapi orang itu tertawa. Katanya, "Kau tidak akan
sempat melakukannya. Jadi apa artinya keterangan Kiai
Liman Serapat bahwa kalian pun tidak akan dapat dibunuh
dengan racun?" Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Jika aku terkena racunmu lebih dahulu dari pengobatan itu,
maka aku akan kehilangan waktu. Tetapi aku sudah
mendapatkan penangkal racun itu lebih dahulu," jawab
Mahisa Pukat. Wajah lawannya menjadi tegang. Namun tiba-tiba tanpa
berbicara lagi, maka ia pun telah meloncat sambil
mengayunkan pedangnya mendatar.
Namun Mahisa Pukat sudah bersiap untuk melayaninya.
Karena itu, maka serangan itu dengan cepat pula dapat
dihindarinya. Tetapi orang itu kemudian justru berteriak, "Kau
berbohong. Kau akan mati karena racun. Aku melihat kau
datang, mendekati Kiai Liman Serapat y ang berbaring dan
kemudian turun ke halaman. Tidak ada kesempatan untuk
memberikan obat itu kepadamu. Karena itu, maka kau harus
mati. Racunku akan membunuhmu."
Tetapi sambil berloncatan Mahisa Pukat justru tertawa.
Katanya, "Jika demikian, maka penangkal racun itu adalah
milikku sendiri, sehingga racun kalian tidak akan berarti apaapa
bagiku sebagaimana bagi Kiai Liman Serapat. Demikian
pulasaudaraku itu tidak akan dapat kau bunuh dengan racun
apapun juga." "Setan kau," geram lawannya y ang menyerangnya
semakin cepat. Mahisa Pukat tidak menjwab lagi, serangan lawannya
semakin lama menjadi semakin cepat. Pedangnya berputaran
menyambar-ny ambar. Tetapi Mahisa Pukat pun m ampu m engimbanginya. Ia
bergerak tidak kalah cepatnya dari lawannya. Setiap serangan
dapat dihindarinya. Bahkan jika Mahisa Pukat sempat
menangkis serangan pedang lawannya, maka lawannya selalu
merasakan betapa besarnya kekuatan anak muda itu.
Tetapi pertempuran itu semakin lama masih juga
meningkat semakin cepat. Keduanya bagaikan berterbangan
berputaran sambil mengayun-ayunkan senjata mereka
masing-masing. Di sisi yang lain, Mahisa Murti pun telah bertempur pula
melawan salah seorang di antara ketiganya y ang disebut
Sangga Langit Kinatelon itu. Tetapi seperti Mahisa Pukat,
maka Mahisa Murti masih selalu mampu mengimbangi
kecepatan gerak lawannya. Bahkan semakin lama Mahisa
Murti justru nampak menjadi semakin cepat bergerak.
Sementara benturan-benturan y ang terjadi menunjukkan
bahwa kekuatan Mahisa Murti justru m enjadi semakin lama
semakin besar, sehingga melampaui kekuatan lawannya itu.
Dengan demikian maka lawan Mahisa Murti itu justru
menjadi semakin gelisah. Tetapi satu hal y ang belum diketahui oleh Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat adalah, bahwa ujung-ujung pedang lawanlawannya
itu dapat terjulur seperti lidah seekor ular. Ujungnya
yang runcing seperti duri itu m ampu m enjadi lebih panjang.
Jari-jari tangan y ang menggenggam hulu pedang itu dapat
mengatur dengan cepat, agar ujung pedang yang runcing itu
memanjang. Meskipun tidak terlalu panjang, tetapi cara itu dapat
mengelabui lawannya yang m erasa bahwa ia telah bergeser
mengambil jarak yang cukup. Namun ternyata ujung pedang
yang terjulur itu masih mampu menggapainya.
Dalam pada itu, ketika kedua orang lawan Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat itu semakin terdesak, m aka mereka telah
mempergunakan cara y ang ter sembunyi itu untuk
mengacaukan pertahanan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Bahkan ketika Mahisa Pukat harus bergeser
menghindari sambaran pedang lawannya ke samping, maka ia
terkejut. Menurut perhitungannya, Mahisa Pukat telah
terlepas dari jangkauan pedang lawannya itu. Namun ternyata
lengannya telah tergores ujung pedang yang seruncing duri
itu. Demikian lawannya berhasil menggoreskan ujung
pedangnya, maka lawan Mahisa Pukat itu segera meloncat
surut sambil berkata, "Nah, hari-harimu sudah berakhir."
Tetapi Mahisa Pukat justru tersenyum. Katanya,
"Lukaku tidak seberapa. Goresan ujung pedangmu tidak dapat
mengoy akkan dagingku. Hanya selapis tipis kulit luarku."
"Sudah aku katakan, racun ujung pedangku terlalu
tajam," berkata orang itu.
Tetapi Mahisa Pukat menjawab, "Racunmu tidak berarti
apa-apa bagiku. Bukankah sudah aku katakan."
Orang itu mengerutkan keningnya. Wajahnya menjadi
tegang. Sementara itu, ia sama sekali tidak melihat pengaruh
racunnya itu. Karena itu, maka ia pun segera meloncat meny erang
sambil berkata, "Jika kau m encoba melawanku, maka setiap
gerakmu telah mempercepat menjalarnya racun di ujung
pedangku." Mahisa Pukat bukan saja tersenyum. Tetapi ia justru
tertawa sambil berkata, "Kau masih saja bermimpi. Racunmu
tidak berarti apa -apa. Kau dengar?"
Tetapi orang itu tidak m enghiraukannya. Ia pun segera
menyerang dengan garangnya. Pedangnya menyambarnyambar.
Bahkan pedang itu menjadi sangat berbahaya
karena ujungnya dapat terjulur memanjang seperti lidah
seekor ular ular y ang mampu mematuk lawannya.
Mahisa Pukat tidak t erlalu banyak m enghiraukan racun
itu. Tetapi ujung pedang yang mampu terjulur itu kadangkadang
memang sangat mengejutkannya. Bahkan tubuhnya
telah tergores sekali lagi. Pundaknyalah y ang kemudian
terluka segores memanjang meskipun tidak dalam.
Goresan itu memang tidak berbahaya bagi Mahisa Pukat.
Tetapi ketika keringatnya meny entuh luka itu, ia merasa
disengat oleh perasaan pedih. Sehingga dengan demikian
maka Mahisa Pukat pun mulai digelitik oleh perasaan marah.
Karena itulah, maka Mahisa Pukat pun telah
mempercepat tata geraknya. Pedangnya berputaran semakin
cepat. Namun ia harus menjadi semakin berhati-hati, karena
pedang lawannya memang menjadi sangat berbahaya baginya.
Namun Mahisa Pukat tidak ingin dilukai lebih banyak
lagi. Karena itu maka ia tidak saja mempergunakan tenaga
wanitanya. Mahisa Pukat mulai merambah kepada ilmunya,
sehingga dengan demikian, maka lawannya merasakan
perubahan pada keseimbangan pertempuran itu. Pedangnya
yang setiap kali terjulur memanjang tidak lagi mampu
menggapai tubuh Mahisa Pukat y ang bergerak semakin cepat.
Sementara itu Mahisa Murti pun bertempur dengan
sengitnya pula. Lawannya juga memiliki senjata sebagaimana
lawan Mahisa Pukat. Bahkan kulit Mahisa Murti pun telah
tergores oleh ujung pedang yang dapat terjulur m emanjang
itu. Namun seperti Mahisa Pukat, maka luka itu sama sekali
tidak berpengaruh meskipun terasa pedih.
Ketika lawannya melihat luka di tubuh Mahisa Murti itu,
maka ia pun telah berkata, "Ujung pedangku beracun."
Tetapi Mahisa Murti menjawab, "Racun tidak akan
mampu membunuhku sebagaimana tidak mampu membunuh
Kiai Liman Serapat."
Lawannya memang ragu-ragu. Tetapi setelah beberapa
saat mereka bertempur, ternyata luka itu memang tidak
berpengaruh sama sekali. Karena itu, maka lawannya pun menyadari, bahwa
Mahisa Murti memang memiliki kemampuan untuk
menangkal racun sebagaimana Kiai Liman Serapat.
Dengan demikian maka lawan Mahisa Murti tidak
bertumpu kepada kekuatan racunnya, ia berusaha melibat
lawannya dengan pertempuran yang cepat, agar dalam
kekalutan gerak itu , ujung pedangnya y ang dapat terjulur itu
mampu menggapainya. Namun Mahisa Murti cukup berhati-hati, sehingga
serangan-serangan lawannya sama sekali tidak lagi mampu
menyentuh tubuhnya. Bahkan pedang Mahisa Murti yang
berkilauan itu semakin lama terasa semakin dekat dengan
kulit lawannya. Bahkan sambaran anginnya yang keras sudah
mulai terasa menggapai kulitnya.
Dengan demikian maka lawan Mahisa Murti itu menjadi
semakin garang. Serangannya menjadi semakin cepat dan
keras. Tetapi justru pada benturan-benturan yang terjadi,
lawan Mahisa Murti itu merasakan bahwa kekuatan anak
muda itu seakan-akan semakin lama menjadi semakin kuat.
Sementara itu, y ang tertua di antara ketiga orang itu
masih juga bertempur dengan keras melawan Kiai Liman
Serapat. Ternyata mereka masih berusaha menyelesaikan
pertempuran itu tanpa senjata. Kiai Liman Serapat yang lebih
dikenal sebagai pedagang gerabah itu memang mempunyai
kemampuan yang tinggi. Ia mampu bergerak cepat
sebagaimana lawannya. Ia pun memiliki kekuatan dan tenaga
yang dapat mengimbangi lawannya.


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan demikian pertempuran itu semakin lama
menjadi semakin cepat. Keduanya telah m engerahkan tenaga
cadangan mereka sehingga dengan demikian maka kekuatan
mereka bukan sekedar kekuatan wantah. Tetapi kekuatan
mereka telah menjadi berlipat.
Namun dengan demikian, masih belum ada tanda-tanda
siapakah y ang akan memenangkan pertempuran itu.
Sementara itu lawan Kiai Liman Serapat tidak ingin
mempergunakan racun-racunnya, karena ternyata sama sekali
tidak berarti bagi Kiai Liman Serapat.
(Bersambung ke Jilid 81 )
Conv ert/Pr oofing: Ki Raharga
Rechecking/Editing: Ki Arema
Pdf ebook : HIJAUNYA LEMBAH HIJAUNYA LERENG PEGUNUNGAN Jilid 81 Cetakan Pertama PENERBIT: "MURIA" YOGYAKARTA Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoyo, Arema
Converter : Editor : Raharga, Arema, Dino,
Pdf ebook : --ooo0dw0ooo- Naskah ini untuk keperluan kalangan sendiri,
penggemar karya S.H. Mintardja dimana saja berada y ang
berkumpul di Web Pelangi Singosari dan Tiraikasih
Jilid 081 DALAM pada itu, maka lawan Kiai Liman Serapat itupun
tidak sabar lagi menunggu kesalahan yang dibuat oleh
lawannya sehingga ia dapat mengalahkan-nya. Lawannya
adalah orang yang tangguh. Bahkan kemungkinan yang
sebaliknya akan dapat terjadi atas dirinya.
Kiai Liman Serapat sendiri menyadari, bahwa dengan
cara itu, maka mereka berdua tidak akan segera sampai
kepada akhir dari pertempuran itu. Meskipun demikian Kiai
Liman Serapat tidak tergesa -gesa. Ia ingin menjajagi
kemampuan lawannya lebih jauh, bahkan sampai ke puncak.
Tetapi lawannyalah yang tidak sabar lagi. Ketika
pertempuran itu berlangsung semakin sengit, maka lawannya
itupun telah berusaha untuk mendesak Kiai Liman Serapat
dengan hentakan-hentakan yang kuat. Namun Kiai Liman
Serapatpun telah bertahan. Bahkan setiap serangan telah
dibentur dengan serangan pula.
Karena itulah, maka lawan Kiai Liman Serapat itu justru
telah m eloncat surut. Ia berusaha untuk mendapatkan waktu
untuk mempersiapkan diri melepaskan ilmunya yang
dibanggakannya. Kiai Liman Serapat yang sudah siap m emburunya, tiba tiba telah tertahan. la melihat lawannya itu mengatupkan
kedua telapak tangannya. Kemudian kedua telapak tangan itu
sal ing digosokkannya. Kiai Liman Serapat melihat pada telapak tangan y ang
terkatub itu asap y ang tipis mengepul. Asap y ang berwarna
kemerah-merahan. Karena itulah, maka Kiai Liman Serapatlah y ang
kemudian meloncat surut mengambil jarak. Sementara itu,
maka lawannya telah mengangkat tangannya sambil meloncat
menyerang dengan kecepatan yang sangat tinggi.
Kiai Liman Serapat tidak boleh lengah sekejappun.
Tangan lawannya itu tidak lagi sekedar mengayunkan
kekuatan wajarnya. Tetapi telapak tangannya y ang menjadi
merah itu tentu meny impan kekuatan y ang sangat tinggi.
Ketika tangan itu diayunkannya, maka Kiai Liman
Serapatpun telah meloncat menghindar. Tangan lawannya
memang tidak meny entuhnya, tetapi ayunan anginnya telah
menerpa kulitnya. Terasa perasan pedih menyengat-ny engat. Tidak hanya
di satu tempat, tetapi angin yang meny entuh kulitnya serasa
menaburkan asap yang menggigit kulitnya itu.
Kiai Liman Serapat menggeretakkan giginy a. Seakanakan
kepada diri sendiri ia menggeram "Jadi kita akan
bersungguh-sungguh."
Lawannya menghentakkan serangannya sambil
menggeram, "Kau atau aku y ang akan mati disini."
Persoalannya kemudian adalah per soalan harga diri.
Kiai Liman Serapat mengangguk kecil sambil berdesis
"Bagus. Kita sudah menentukan satu sikap. Kau atau aku yang
akan mati. Semula aku tidak merasa perlu untuk bersungguhsungguh
seperti itu. Tetapi sudah tentu bahwa aku tidak akan
memilih mati." Kiai Liman Serapatpun kemudian telah bersiap
menghadap segala kemungkinan. Kedua tangannya terentang
menyamping. Kemudian perlahan-lahan telapak tangan
keduanya bergerak dan menelakup didepan dadanya. Karena
lawannya sudah bersiap untuk meny erang, maka dengan cepat
kedua tangan yang menelakup itu telah terangkat tinggi.
Serangan berikutnya datang dengan dahsy atnya. Dengan
cepat sekali tangan yang terayun itu berputar. Kemudian
mematuk mengarah dada Kiai Liman Serapat. Telapak tangan
yang menjadi merah itu terjulur dengan cepat dilambari
dengan kekuatan y ang sangat besar.
Namun Kiai Liman Serapat sempat meloncat
menyamping. Bahkan sekali berguling ditanah, kemudian
melenting bangkit berdiri.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat y ang masih juga
bertempur melawan kedua orang saudara seperguruan itu,
sempat melihat semacam asap yang berwarna kemerahmerahan
y ang menyambar Kiai Liman Serapat. Untunglah
bahwa orang itu telah menjatuhkan dirinya, sehingga a sap itu
tidak meny entuhnya. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sadar, bahwa asap itu
tentu merupakan bagian dari ilmu y ang sangat berbahaya.
Sentuhan asap itu bagi Kiai Liman Serapat tentu lebih
berbahaya dari racun yang pernah ditusukkan ke dalam
tubuhnya. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak banyak
mendapat kesempatan. Kedua lawannyapun telah
meningkatkan serangan-serangannya. Kedua lawannyapun
telah meningkatkan serangan-serangannya. Pedang mereka
berputaran menyambar-nyambar. Sementara itu ujungnya
sekali-sekali masih juga terjulur m enggapai tubuh anak-anak
muda itu. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang sudah
dapat memahami kelebihan senjata lawannya, tidak lagi dapat
dikelabui. Karena itu, maka serangan-serangan lawan-lawan
mereka pun selalu dapat dielakkannya atau ditangkisnya
dengan senjata mereka y ang sedang diperebutkannya itu.
Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun menyadari,
bahwa lawan-lawannya tentu juga memiliki kelebihan
sebagaimana orang y ang sedang bertempur melawan Kiai
Liman Serapat itu. Sebenarnyalah, ketika kedua orang itu merasa bahwa
mereka tidak akan mampu menundukkan anak-anak muda
yang m engaku pengembara serta telah menguasai sepa sang
keris y ang menjadi rebutan orang-orang berilmu tinggi itu
dengan pedangnya y ang ujungnya dapat terjulur, kedua orang
itu telah m emutuskan untuk mempergunakan ilmunya yang
jarang ada duanya. Jika dengan ilmu puncak itu mereka masih
juga tidak mampu mengalahkan lawan-lawan mereka, maka
untuk selanjutnya m ereka akan m engalami kesulitan. Hanya
jika terjadi keajaiban sajalah mereka akan dapat
memenangkan pertempuran. Dalam pada itu, hampir berbareng kedua orang itu telah
meloncat mengambil jarak. Keduanyapun kemudian telah
berdiri tegak. Pedangnya tegak didepan dadanya, sementara
telapak tangan kirinya telah melekat pada pedangnya itu.
Ketika telapak tangan itu menggosok-gosok daun pedang,
maka nampak asap yang berwarna kemerah-merahan
bagaikan mengepul dari daun pedang y ang kemudian juga
berwarna kemerah-merahan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang melihat asap
itupun segera mempersiapkan diri menghadapi segala
kemungkinan. Mereka tidak saja harus menghindari serangan
pedang lawannya. Tetapi merekapun harus berhati-hati
terhadap asap yang berwarna kemerahan itu.
"Untunglah bahwa asap itu berwarna," berkata Mahisa
Pukat didalam hatinya. Dengan demikian maka ia akan
menjadi lebih mudah menghindarinya daripada asap itu tidak
berwarna sama sekali. Beberapa saat kedua belah pihak masih belum mulai
menyerang. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m asih
belum berniat untuk meny erang lawan-lawannya dari jarak
jauh dengan ilmunya yang menggetarkan meskipun iapun
menyadari, bahwa orang-orang berilmu tinggi akan dapat
sekali dua kali menghindari serangan seperti itu. Bahkan
beberapa kali. Untuk beberapa saat Mahisa Murti menunggu. la mulai
bergeser setapak ketika lawannya mulai menggerakkan
pedangnya y ang menjadi kemerah-merahan.
Sebenarnyalah sejenak kemudian, lawan Mahisa Murti
itu telah meloncat meny erang dengan garangnya. Ujung
pedang itu bukan saja dapat terjulur. Tetapi ujung pedang itu
seakan-akan telah menyemburkan asap y ang juga berwarna
kemerah-kemerahan menyambar Mahisa Murti.
Namun Mahisa Murti dengan sigapnya telah meloncat
menghindar. Tetapi ketika tubuhnya tersentuh asap itu, terasa
kulitnya seakan-akan telah tersentuh bara api. Bahkan rasarasanya
kulitnya telah terkelupas karena panas yang
menyengat. Mahisa Murti telah meloncat mengambil jarak. la sadar,
bahwa orang itu memang orang yang berilmu tinggi. Ilmunya
benar-benar sangat berbahaya. Asap dari ujung pedangnya itu
tersembur dengan derasnya mengarah ke tubuhnya.
Tetapi Mahisa Murti tidak banyak mempunyai
kesempatan. Tiba-tiba orang itu telah menyerang lagi. Asap
itupun telah berhamburan dari ujung pedang lawannya itu.
Tetapi Mahisa Murti telah mampu m emperhitungkan jarak,
seberapa jauh ia harus meloncat menghindar.
Dengan demikian, maka untuk melawan ilmu y ang
jarang ada bandingnya itu, Mahisa Murti mulai merambah ke
ilmunya pula. Pengaruh kekuatan ilmu Mahisa Murti terhadap
senjatanya yang memang memiliki kelebihan itu mulai
menjadi semakin ny ata. Baja pilihan dan pamor y ang tidak ada
duanya itu m enjadi semakin nyata, tetapi pedang itu seakanakan
telah menyala. Lidah api yang berwarna kehijauan itu
mulai menjilat-jilat. Ketika lawan Mahisa Murti m elihat keris yang menyala
itu, hatinya memang terguncang. Namun ia masih y akin akan
kemampuannya serta ilmunya y ang nggegirisi itu.
Demikianlah, maka orang itupun telah meny erang
semakin garang. Pedangnya telah terayun sekali lagi. Asap
yang kemerah-merahan telah terhambur. Namun asap itu
tidak dapat mengenai Mahisa Murti y ang meloncat
menyamping. Tetapi Mahisa Murti tidak sekedar menghindari
serangan itu. Demikian kakinya meny entuh tanah, maka
tubuhnya telah terloncat justru m eny erang lawannya dengan
pedangnya y ang menyala itu.
Serangan itu datang demikian cepatnya. Lawanya tidak
sempat mengambil ancang-ancang untuk menghindari
serangan itu. Karena itu, maka lawannya telah berusaha untuk
menangkis keris Mahisa Murti y ang terjulur.
Benturan kedua senjata itu ternyata telah m enimbulkan
percikan bunga api yang menggetarkan jantung. Bunga api
yang berwarna kemerah-merahan dan kehijau -hijauan.
Namun Mahisa Murti telah memutar pedangnya,
mengibaskan pedang lawannya dengan sepenuh tenaga,
sehingga pedang lawannya itu hampir saja terlepas dari
tangannya. Dengan cepat Mahisa Murti meloncat maju sambil
menjulurkan pedangnya itu sehingga hampir saja m eny entuh
tubuh lawannya. Dengan tergesa-gesa lawannya sekali lagi telah
menangkis serangan Mahisa Murti itu. Demikian kedua
pedang itu beradu, m aka Mahisa Murti masih saja berusaha
memutar pedangnya. Namun lawannyalah y ang kemudian meloncat surut
beberapa langkah. Mahisa Murti tidak sempat memburunya. Pedang
lawannya telah diayunkannya. Meskipun jaraknya masih
terlalu jauh bagi serangan pedang, namun semburan asap
yang kemerahan itulah yang sangat berbahaya.
Sekali lagi kulit Mahisa Murti terasa terkelupas ketika
asap itu sempat menggamit sikunya.
Dalam pada itu, Mahisa Pukatpun telah terdesak oleh
serangan-serangan lawannya. Asap y ang kemerah-merahan itu
telah membuat Mahisa Pukat beberapa kali menggeram. Panas
dan pedih telah meny engat jika asap yang kemerahan itu
sempat menyentuh tubuhnya.
Namun seperti Mahisa Murti, beberapa kali ia
mempergunakan setiap kesempatan sebaik-baiknya untuk
menyerang lawannya. Beberapa kali Mahisa Pukat
membenturkan pedangnya. Tetapi kesempatan itu terlalu sedikit. Memang beberapa
kali Mahisa Pukat berhasil. Tetapi beberapa kali pula asap
lawannya itu telah meny engat kulitnya sehingga rasa-rasanya
bagaikan terkelupas. Bahkan ketika Mahisa Pukat dan Mahisa
Murti sempat memperhatikan kulitnya y ang pedih itu, nampak
bekas sentuhan itu seperti sentuhan bara api.
Dalam pada itu, Kiai Liman Serapatpun telah bertempur
dengan sengitnya. Kiai Liman Serapat memang harus berjuang
dengan mengerahkan segenap ilmunya untuk menghindari
libatan asap y ang kemerah-merahan itu. Namun telah
beberapa kali a sap itu sempat meny entuh tubuh Kiai


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

LimanSerapat, sehinga kulitnyapun telah m enjadi panas dan
bagaikan terkelupas. Lawan Kiai Liman Serapat itu semakin lama menjadi
semakin garang. Serangan-serangannya menjadi semakin
cepat. Ia ingin segera m enyelesaikan Kiai Liman Serapat itu.
Dengan demikian ia akan tidak kehilangan harga dirinya.
Lebih dari itu, m aka ia masih akan mempunyai kesempatan
untuk menguasai salah satu dari sepasang keris yang sedang
diperebutkan itu. Bahkan kemudian ternyata ia menginginkan
kedua -duanya. Karena itu, y ang akan dibinasakannya bukan
sa ja Kiai Liman Serapat dan kedua orang anak muda
pengembara itu. Tetapi juga saudara-saudara seperguruannya.
Namun orang itu berharap bahwa pertempuran antara
anak-anak muda yang mengaku pengembara itu dengan
saudara-saudara seperguruannya dapat membuat mereka
menjadi lemah dan dengan demikian kedua belah pihak, yang
menang apalagi y ang kalah sudah tidak berdaya lagi untuk
melawannya. Sementara itu ia masih memiliki kekuatan yang
utuh selain ia berhasil membunuh Kiai Liman Serapat.
Tetapi Kiai Liman Serapat ternyata tidak mudah untuk
dibinasakan. Ia masih mampu dengan tangkasnya
menghindari serangan-serangan yang datang beruntun,
bahkan kemudian seperti badai yang melibatnya.
Kiai Liman Serapat memang telah semakin terdesak.
Tetapi sikapnya sama sekali tidak m enunjukkan kecemasan
hatinya. Karena itu maka lawannyapun menjadi semakin
garang dengan mengerahkan segenap kemampuannya.
Namun Kiai Liman Serapat pun kemudian tidak ingin
membiarkan diriny a terdesak terus. Sekali-sekali ia masih
sempat memperhatikan pertempuran antara Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat melawan musuh masing-masing.
Kiai Liman Serapat pun justru menjadi agak cemas
melihat kedua orang lawan dari anak-anak muda itu telah
mempergunakan ilmunya, y ang mampu menaburkan asap
yang ternyata m empunyai kekuatan yang mengantar getaran
yang mengandung panasnya api y ang dipancarkan oleh
ilmunya lawan-lawannya itu, lewat ujung-ujung pedangnya.
Sebagaimana dilakukan pula oleh lawannya sendiri, namun
langsung dari telapak tangannya.
Kiai Liman Serapat memang melihat Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat sekali-sekali mampu menghindari serangan itu.
Bahkan pada saatnya keduanya telah meny erang pula dengan
tusukan-tusukan yang berbahaya. Tetapi nampaknya ilmu dan
kemampuan lawannya mempunyai kemungkinan yang lebih
baik untuk memenangkan pertempuran itu.
Dengan demikian maka Kiai Liman Serapatpun merasa
perlu untuk mempercepat peny elesaian bagi lawannya itu.
Karena itulah, maka kedua belah pihak yang merasa
perlu untuk dengan cepat mengakhiri pertempuran, telah
meningkatkan kemampuan ilmu mereka.
Asap y ang terhambur pada serangan-serangan lawan
Kiai Liman Serapat itu rasa-rasanya menjadi semakin panas
dan bahkan m enjadi semakin banyak. Setiap helai asap yang
berwarna kemerah-merahan itu seakan-akan merupakan
sehelai bara api yang akan dapat mengelupas kulitnya dan
menusuk dagingnya dengan perasaan panas dan pedih.
Namun dalam keadaan y ang rumit itu, Kiai Liman
Serapat pun telah menghentakkan ilmu puncaknya. Kedua
tangannya y ang berada di depan dadanya telah membuat
gerakan-gerakan yang khusus. Namun kemudian telapak
tangannya y ang terbuka dari tangannya sebelah kiri telah
menengadah di depan dadanya, sedangkan telapak tangan
kanannya menelungkup, sedangkan arah jari-jarinya
berlawanan, sementara kaki kanannya terangkat tinggi.
Demikianlah, ketika Kiai Liman Serapat kemudian
meloncat meny erangnya, maka Kiai Liman Serapat hampir
sa ja t erlambat. Tetapi ia sempat meloncat dan sambil
berguling beberapa kali. Tetapi a sap yang kemerah-merahan
itu rasa-rasanya telah terhambur memburunya.
Kiai Liman Serapat dengan cepat melenting berdiri. Ia
tahu bahwa lawannya pun telah sampai kepada puncak
kemampuan ilmunya, sehingga serangannya menjadi lebih
berbahaya. Namun Kiai Liman Serapat yang telah bersiap itu telah
mengangkat kedua tangannya. Kedua telapak tangannya telah
dikembangkan menghadap kearah a sap y ang hampir saja
menggulungnya itu. Akibatnya memang m enggetarkan jantung. Dari kedua
telapak tangan tangan Kiai Liman Serapat tiba -tiba saja telah
berhembus angin yang deras sekali. Demikian derasnya,
sehingga asap y ang hampir saja menggulungnya dengan
getaran panasny a api itu telah terhembus pecah berserakkan.
Lawannya telah m eloncat m enjauh sambil menggeram.
Ternyata Kiai Liman Serapat yang lebih dikenal sebagai
pedagang gerabah itu memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Namun dalam pada itu, lawan Kiai Liman Serapat yang
marah itu, masih berusaha untuk meny erangnya. Dengan
garangnya ia telah m eloncat mendekati Kiai Liman Serapat.
Tangannya telah ditelungkupkan, kemudian dengan satu
hentakkan maka asap yang kemerah-merahan telah terhambur
mengarah ke lawannya. Namun Kiai Liman Serapat telah
menunggunya. Demikian asap itu mulai menyambar, Kiai
Liman Serapat telah menghembuskan kekuatan anginnya
sehingga asap yang kemerah-merahan itu telah melibat orang
yang melepaskannya itu sendiri.
Tetapi orang itu sama sekali tidak terpengaruh. Bahkan
dengan sadar orang itu berkata: "Kau salah hitung. Kekuatan
ilmuku tidak akan aku pergunakan untuk membunuh diriku
sendiri. Asap itu tidak berarti apa -apa bagiku."
Kiai Liman Serapat menggeram. Tetapi ia tidak
membiarkan kesempatan itu berlalu. S elagi lawannya sedang
berbicara lantang sambil m embusungkan dadanya, maka Kiai
Liman Serapat telah meny erangnya dengan kekuatan
hembusan udara yang keras sekali langsung mengarah ke
tubuh lawannya. Ternyata serangan itu telah m engguncangnya. Bahkan
kelebihan yang ada pada ilmunya y ang tidak dapat membunuh
dirinya sendiri itu membuatnya sangat berbesar hati, sehingga
ia menjadi sedikit lengah.
Guncangan itu memang mengejutkannya. Seperti orang
yang sadar dari sebuah lamunan, maka lawan Kiai Liman
Serapat itu berusaha untuk meloncat keluar dari arus angin
yang deras itu. Sebenarnyalah orang itu memang memiliki kemampuan
yang tinggi. Sebuah loncatan yang panjang telah
melepaskannya dari arus angin y ang deras sekali sambil
menjatuhkan dirinya berguling beberapa kali. Kemudian
dengan cepat pula ia telah melenting berdiri.
Kiai Liman Serapat bergeser beberapa langkah
mendekat. Namun orang itu telah tegak berdiri dan siap
menghadapi segala kemungkinan.
Kedua orang itu telah berhadapan kembali. Namun
keduanya sadar, bahwa mereka masih akan m enempuh satu
perjuangan yang panjang. Lawan Kiai Liman Serapat
menyadari, bahwa serangan asapnya tidak akan berarti lagi.
Setiap hamburan asap tentu akan dihembusnya dengan angin
yang m embadai yang dilontarkan dengan alas ilmu pedagang
gerabah itu, sehingga tidak akan dapat meny entuh tubuhnya.
Karena itu, maka keduanya harus bertempur dengan
mempergunakan kemampuan unsur -unsur gerak serta
kekuatan tenaga cadangan di dalam diri mereka masingmasing.
Demikianlah maka pertempuran itupun berlangsung
semakin lama semakin sengit. Mereka bergerak semakin cepat
sambil mengerahkan segenap kekuatan dan kemampuan
mereka. Sekali-sekali Kiai Liman Serapat memang telah
melepaskan ilmunya, satu hentakkan angin y ang memadai.
Namun lawannya selalu berhasil melenting keluar dari arus
angin itu. Tetapi sebalikny a lawan Kiai Liman Serapat itu
sekali-sekali masih juga dengan tiba -tiba menghamburkan
asapny a yang kemerah-merahan itu. Orang itu masih mencoba
untuk mengatasi kecepatan gerak Kiai Liman Serapat. Namun
Kiai Liman Serapat selalu sempat menolaknya dengan angin
yang dihembuskannya atas alas ilmunya.
Karena itulah, maka pertempuran diantara kedua orang
itupun semakin lama menjadi semakin sengit. Keduanya yang
sudah sampai ke puncak kemampuan masing-masing itu
masih belum dapat memperhitungkan siapakah diantara
mereka y ang akan memenangkan pertempuran.
Sementara itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukatpun masih juga bertempur dengan serunya. Kedua anak
muda itu masih berusaha untuk tidak menghancurkan
lawannya dengan ilmu m ereka y ang mampu dilontarkannya
dari jarak jauh, m eskipun mungkin lawan-lawan mereka itu
mampu menghindarinya, sekali atau dua kali. Tetapi menurut
penilaian anak-anak muda itu, jika mereka meny erang lawanlawan
mereka dengan serangan jarak jauh itu berturutan
beberapa kali, maka lawan-lawan mereka itu agaknya akan
dapat mereka kalahkan. Meskipun demikian, baik Mahisa Murti maupun Mahisa
Pukat tidak pernah merendahkan lawan-lawan mereka.
Kemungkinan yang lain memang akan dapat terjadi. Karena
itu, maka mereka tetap berhati-hati menghadapi segala
kemungkinan. Yang telah dipergunakan oleh Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat adalah ilmunya y ang mampu menghisap kekuatan dan
tenaga lawannya. Karena itu, baik Mahisa Murti maupun
Mahisa Pukat selalu berusaha untuk dapat membenturkan
senjatanya yang bagaikan menyala kehijauan itu dengan
senjata lawan-lawan mereka yang dapat menyemburkan asap
yang berwarna kemerah-merahan.
Sekali dua kali tubuh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
masih juga tersentuh oleh asap yang ganas itu. Kulit m ereka
menjadi bagaikan terkelupas oleh panas y ang menggigit.
Namun setiap kali benar-benar telah t erjadi benturan antara
senjata anak-anak muda itu dengan senjata lawannya.
Namun ternyata bahwa lawan Mahisa Pukat lebih garang
dari lawan Mahisa Murti. Serangan-serangannya datang lebih
keras dan kasar. Senjatanya menyambar-ny ambar, sementara
asap y ang berwarna kemerahan itu berhamburan tidak hentihentinya.
Dengan demikian maka Mahisa Pukat harus berloncatan
dengan langkah-langkah panjang. Namun setiap kali
pedangnya selalu terjulur dari segala arah menggapai tubuh
lawannya. Lidah api yang menyala pada daun pedangnya itu
telah membuat pedangnya menjadi semakin berbahaya,
karena ternyata sentuhan lidah api itu telah mampu
mengoy akkan kulit lawannya.
Karena itu, maka lawan Mahisa Pukat terkejut ketika
lengannya telah terkoyak pula. Yang telah meny entuhnya
bukan daun pedang y ang garang itu. Tetapi lidah api yang
seakan-akan menyala pada daun pedangnya.
Sentuhan senjata itu ternyata terasa sangat pedih.
Apalagi darah telah m engalir dari lukanya itu. Lebih dari itu,
sentuhan pedang itu telah m engisap tenaga dan k emampuan
lawan Mahisa Pukat itu pula.
Dalam pada itu, ujung senjata Mahisa Murtipun telah
menggamit kulit lawannya pula. Lukapun telah tergores di
paha lawan Mahisa Murti itu. Tidak terlalu dalam. Tetapi di
luka itu rasa-rasanya sepotong bara telah melekat.
Namun lawan Mahisa Murti itu, semakin lama menjadi
semakin heran atas dirinya sendiri. Pedang ditangannya itu
rasa-rasanya menjadi semakin berat. Bahkan tangan dan
kakinya sendiripun menjadi semakin berat pula.
Dengan demikian maka geraknya pun m enjadi semakin
lama semakin lamban. Ia tidak mampu lagi mengimbangi
kecepatan gerak Mahisa Murti.
Dengan demikian maka rasa -rasanya ujung keris Mahisa
Murti y ang menyala kehijauan itu semakin lama semakin
dekat dengan kulitnya. Bahkan rasa-rasanya ujung senjata itu
bagaikan memburunya semakin cepat.
Lawannya memang menjadi semakin berdebar-debar.
Tangan dan kakinya seakan-akan m enjadi semakin berat. ia
tidak lagi mampu berloncatan dengan tangkas dalam
kecepatan y ang sangat tinggi.
" Apa yang telah terjadi?" bertanya orang itu kepada diri
sendiri. Namun sebelum ia menemukan jawabnya, ujung keris
Mahisa Murti justru telah meny entuh dadanya.
Orang itu terdorong beberapa langkah surut. Tetapi
ujung keris Mahisa Murti masih saja selalu memburunya.
Meskipun ia telah m enghamburkan a sap berwarna kemerahmerahan
itu, namun ia tidak lagi pernah berhasil m engenai
Mahisa Murti. Akhirnya, pertempuran itu memang harus berhenti pada
suatu saat apapun y ang telah terjadi. Ketika senjata kedua
orang y ang sedang bertempur itu berbenturan sekali lagi,
maka lawan Mahisa Murti memang tidak mampu lagi
mempertahankan senjatanya. Dengan keras senjatanya
bagaikan terangkat terbang ke langit. Telapak tangannya yang
berusaha mempertahankannya bagaikan terkelupas kulitnya.
Tetapi senjata itu jatuh hanya selangkah daripadanya.
Karena itu, dengan gerak naluriah, maka orang itu telah
meloncat dan kemudian memungut senjatanya.
Tetapi ternyata ia tidak mampu mengangkat pedangnya.
Baru kemudian ia sadari, bahwa daun pedangnya telah
diinjak oleh Mahisa Murti.
Adalah satu bencana bahwa orang itu tidak segera
melepaskannya. Dipandanginya wajah Mahisa Murti untuk
beberapa saat lamanya tanpa m elepaskan pegangannya pada
hulu pedangnya itu. Orang itu baru sadar, ketika tubuhnya benar -benar telah
menjadi lemah. Tangannya baru terlepas dari hulu pedangnya
yang terinjak kaki Mahisa Murti ketika ia tidak lagi m ampu
berdiri tegak. Tubuhnya justru telah terhuyung-huyung
kehilangan keseimbangan, sehingga akhirnya lawan Mahisa
Murti itu telah terjatuh di tanah tanpa dapat bangkit kembali.
Tulang-tulangnya seakan-akan bagaikan telah dilepas dari
persendiannya. "Marilah" tantang Mahisa Murti "bukankah kita masih
mempunyai banyak waktu?"


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Orang itu mengumpat. Namun akhirnya iapun telah
jatuh terjerembab di tanah. Ia memang masih mampu
menggeliat dan memiringkan tubuhnya y ang sangat lemah.
Tetapi ia benar-benar sudah tidak mampu untuk bangkit.
Lawan Mahisa Pukat pun telah mengalami nasib y ang
sama. Ia tidak lagi mampu mendesak Mahisa Pukat. Ia
bukannya semakin menguasai medan, tetapi ju stru
kekuatannya dengan cepat larut seperti garam di dalam air.
Sehingga akhirnya habis sama sekali.
Ketika orang itu berusaha mengayunkan pedangnya
sambil menghamburkan asap yang kemerah-merahan itu,
Mahisa Pukat telah meloncat menyamping. Asap itu tidak
menyentuhnya. Sementara itu sekali lagi Mahisa Pukat
meloncat sambil mengayunkan kerisnya.
Lawannya memang masih berusaha untuk menghindar,
sekaligus menangkis serangan itu. Namun Mahisa Pukat tidak
menekan senjata lawannya sehingga ujung kerisny a mampu
menusuk ke tubuh lawannya. Ia justru membiarkan kedua
buah pedang itu saling menekan untuk beberapa saat.
Tetapi terasa oleh Mahisa Pukat, bahwa kekuatan
terakhir orang itu telah dihisapnya sampai habis. Dengan
demikian ketika kemudian Mahisa Pukat meny entuhnya
dengan telapak tangannya, maka orang itupun telah jatuh
terbanting di tanah. Demikianlah, maka kedua orang anak muda itu ternyata
tidak mampu m engalahkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
untuk memiliki keris yang telah direlakan kepada kedua orang
anak buahnya itu. Pu sat perhatian mereka y ang ada di halaman itu
kemudian adalah Kiai Liman Serapat melawan saudara tertua
dari ketiga orang y ang menyebut kesatuan mereka itu sebagai
Sangga Langit Kinatelon. Untuk beberapa saat lamanya kekuatan, kecepatan gerak
dan kemampuan mereka masih saja berimbang. Mereka masih
sa ja bertempur tanpa senjata.
Dalam pada itu, serangan-serangan mereka yang datang
silih berganti telah saling m eny entuh dan mengguncangkan
tubuh lawan mereka. Namun kedua belah pihak masih belum
mampu menentukan siapakah y ang akan kalah dan siapakah
yang akan memenangkan pertempuran itu.
Pa da saat yang demikian, maka Kiai Liman Serapat dan
lawannya telah melihat, bahwa dua orang lawan anak-anak
muda yang mengaku pengembara itu telah terbaring di tanah.
Keduanya tidak tahu pasti apa yang sebenarnya telah terjadi
dengan kedua orang itu. Namun hal itu telah membuat lawan Kiai Liman Serapat
menjadi semakin marah. Ia ingin saudara seperguruannya itu
memenangkan pertempuran, tetapi ia sendiri menjadi sangat
lemah. Dengan demikian maka ia akan dengan mudah
menyelesaikan saudara -saudara seperguruannya itu seorang
demi seorang. Ternyata nafsunya untuk memiliki sepa sang
pusaka itu telah m enguburkan kesetiaannya kepada saudarasaudara
seperguruannya. Tetapi ternyata saudara-saudara seperguruannyalah
yang telah dikalahkan lebih dahulu. Meskipun anak-anak
muda y ang memiliki senjata y ang diinginkannya itu juga
sudah terluka, namun mereka masih nampak tegar
menghadapi keadaan. Meskipun demikian, maka niatnya untuk memiliki
senjata yang luar biasa itu tidak padam. Apapun y ang terjadi,
maka niatnya mantap. Dengan demikian maka masalahnya tidak sekedar
mengalahkan Kiai Liman Serapat. Tetapi justru sepasang keris
serta mengorbankan saudara -saudara seperguruannya.
Karena itu, maka pertempuranpun semakin lama
menjadi semakin sengit. Kedua orang berilmu tinggi itu telah
mengerahkan segenap kemampuannya, Asap yang kemerahmerahan
dan angin y ang bertiup seperti prahara saling
menyerang. Kedua orang berilmu tigngi itupun saling
berlompatan menghindar dan kemudian b ertempur langsung
dengan wadag mereka, beradu kecepatan gerak dan kekuatan
tenaga. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang telah mengalahkan
lawan-lawannya termangu-mangu sejenak. Mereka sempat
melupakan perasaan pedih pada kulit mereka y ang telah
tersentuh bukan saja ujung-ujung pedang yang terjulur, tetapi
juga asap yang berwarna kemerahan namun memiliki panas
seperti bara. Sementara itu, Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa
Amping bagaikan membeku ditempatnya menyaksikan
pertempuran yang menjadi semakin sengit itu, setelah Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat jusru telah mengakhiri pertempuran.
Namun dalam pada itu, ternyata bahwa Kiai Liman
Serapat memiliki day a tahan yang lebih baik dari lawannya.
Sementara itu, kekuatan day a hembus angin praharanya telah
memaksa lawannya bekerja lebih keras untuk mengatasi
dor ongan angin itu, agar ia tidak terlempar jatuh. Kemudian
lawannya itu juga harus berloncatan menghindari inti
kekuatan daya dor ong hembusan ilmu Kiai Liman Serapat.
Sementara itu, Kiai Liman Serapat tidak harus bekerja sekeras
lawannya. Ia tidak perlu berloncatan, berguling dan
berputaran menghadapi a sap lawannya. Tetapi Kiai Liman
Serapat dapat menghembusnya dengan kekuatan anginnya
dan menghancurkannya naik ke adara.
Dengan demikian, maka y ang ditakukan oleh Kiai Liman
Serapat selanjutnya adalah lebih sering m enyerang lawannya
dengan ilmunya sekaligus dengan wadagnya.
Sebenarnyalah bahwa lawannya semakin mengalami
kesulitan menghadapi ilmu dan kemampuan Kiai Liman
Serapat. Namun ketika Kiai Liman Serapat memberinya
peringatan agar menyerah, orang itu menggeram, "Kau kira
siapa aku he" Liman Serapat, kau jangan terlalu sombong
dengan ilmu yang tidak lebih dari hembusan seorang yang
menghidupkan api di perapian. Kau tentu tahu apa y ang dapat
dilakukan oleh Sangga Langit Kinatelon. Aku y ang tertua
diantara kami bertiga. Karena itu, kau jangan terjebak oleh
kesombonganmu sendiri, sehingga kau akan terkapar mati di
arena ini." "Ki Sanak," berkata Kiai Liman Serapat "dua orang
saudaramu telah tidak berdaya. Kenapa kita tidak lebih baik
berbicara diantara kita."
"Liman Serapat. Kau harus mati. Kedua orang anak
muda y ang ternyata membawa sepa sang pusaka y ang sedang
diperebutkan itu juga harus mati," geram orang itu.
Kiai Liman Serapat tidak lagi m empunyai kesempatan.
Lawannya telah meny erangnya semakin garang.
Tetapi dengan demikian, maka lawannya itupun telah
memancing Kiai Liman Serapat untuk bertempur semakin
keras pula. Karena itu, maka sejenak kemudian, lawannya itu
seakan-akan tidak lagi mendapat kesempatan untuk
menyerang. Hembusan angin prahara y ang dilontarkan oleh
ilmu Kiai Liman Serapat menjadi semakin deras.
Dengan demikian maka tekanan Kiai Liman Serapat atas
lawan-lawannya itupun terasa semakin lama menjadi semakin
berat. Namun memang tidak terlintas di hati lawannya itu
untuk meny erah. Karena itu, ketika serangan Kiai Liman Serapat menjadi
semakin berat, maka lawannya itupun telah memutuskan
untuk mempergunakan senjatanya y ang lain kecuali ilmunya.
Ketika ia mendapat kesempatan, maka m ula-mula orang itu
telah menghamburkan asapny a y ang kemerahan. Sementara
Kiai Liman Serapat menghembus a sap itu, maka lawannya
telah meloncat berguling keluar dari garis hembusan Kiai
Liman Serapat. Tetapi ia t idak begitu saja menghindar. Tibatiba
saja ia telah melontarkan paser-paser kecil ke arah Kiai
Liman Serapat di luar garis hembusan anginnya mengarah
lambung. Kiai Liman Serapat tidak mengira sama sekali bahwa ia
akan m endapat serangan y ang demikian. Ia mengira bahwa
lawannya meloncat untuk m enghindari serangan angin yang
mengurai asapnya. Namun ternyata diluar garis hembusan
ilmunya, paser-paser kecil telah meluncur dengan cepatnya.
Kiai Liman Serapat yang terkejut telah berusaha untuk
menghindar. Dua bush paser sempat dihindari. Tetapi paser
yang ketiga telah benar-benar mengenai lambungnya.
Kemarahan Kiai Liman Serapat telah memuncak. Karena
itu, maka iapun telah mengkesampingkan kemungkinan
peny elesaian yang lebih baik dengan lawannya yang
dianggapnya licik itu. Dengan demikian, maka Kiai Liman Serapat tidak
memikirkan apapun lagi selain membinasakan lawannya.
Pa ser y ang mengenai lambungnya itu tentu beracun. Orang itu
tanpa ragu-ragu berusaha membunuhnya. Sehingga karena
itu, maka iapun tidak boleh menjadi ragu-ragu.
Dengan kemarahan y ang membakar jantungnya, serta
menahan sakit di lambungnya, maka Kiai Liman Serapat telah
menghentakkan ilmunya. Hembusan prahara yang kuat telah
melanda lawannya y ang telah berhasil menghunjamkan paser
di lam bung Kiai Liman Serapat.
Kemenangan kecil itu telah membuat lawan Kiai Liman
Serapat itu menjadi semakin garang. Ketika prahara itu datang
melandanya, maka dengan tangkas ia telah meloncat. Sekali
lagi ia berhasil keluar dari garis serangan lawannya. Sekali lagi
ia berusaha untuk meluncurkan serangan dengan paserpasernya.
Tetapi orang itu terkejut. Ketika ia siap melemparkan
paser-paser kecilnya, maka sebuah pisau belati panjang telah
meluncur ke arahnya. Demikian cepat dan tiba-tiba diluar
dugaannya. Karena itu, maka orang itu tidak sempat mengelak. Ia
hanya sempat melontarkan sebuah paser k etika ia terdorong
selangkah surut Terdengar keluhan tertahan. Kemudian orang
itu telah terhuyung-huyung jatuh di tanah. Pisau belati itu
benar-benar tertancap di dadanya. Di saat-saat terakhir, orang
itu m asih juga tidak percaya bahwa pisau yang hanya sebuah
itu mampu mengenainya. Sedangkan serangan angin yang
berhembus secepat prahara pun sempat dihindarinya.
Tetapi orang itu tidak dapat menghindari satu
keny ataan, bahwa pisau itu memang sudah tertancap di
dadanya. Bahkan m eny entuh jantungnya, sehingga orang itu
sama tidak mempunyai kesempatan lagi untuk hidup.
Sementara itu sebuah paser yang terlepas dari
tangannya, ternyata tidak mengenai Sasarannya, meskipun
hampir saja menyambar kening.
Sejenak Kiai Liman Serapat termangu-mangu. Namun ia
masih m endekat dan meyakinkan bahwa lawannya memang
sudah mati. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah
mendekatinya. Merekapun saling berpandangan sejenak
ketika mereka mendekati tubuh yang terbujur itu. Mati.
"Aku tidak mempunyai pilihan lain " desis Kiai Liman
Serapat sambil meraba paser y ang masih t ertanam di
lambungnya. " Tolong," katanya kepada anak-anak muda itu "cabut
paser ini. Paser ini beracun. Untunglah bahwa sejak semula
aku telah mengenakan penangkal racun itu."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang menjadi agak
ragu. Tetapi Mahisa Murti terpaksa melakukannya meskipun
sebenarnya ia agak segan, karena ia sadar, bahwa Kiai Liman
Serapat, tentu akan merasa kesakitan demikian paser itu
dicabut. Tetapi Mahisa Murtipun sadar, bahwa hal itu harus
dilakukannya, Sebenarnyalah, demikian paser itu dicabut, maka Kiai
Liman Serapat telah menahan kesakitan yang sangat. Tidak
sa ja di bagian tubuhnya y ang terluka. Tetapi badannya seakanakan
telah menjadi panas. Darahnya di seluruh tubuhnya rasarasanya
menjadi mendidih karenanya.
Sebenarnyalah, demikian paser beracun itu dicabut,
maka perlawanan di seluruh tubuhnya atas racun itu telah
mendesak darah y ang beracun untuk memancar keluar.
Sehingga dengan demikian, m aka tiba -tiba saja dari lukanya
itu darah telah mengalir. Mula-mula nampak kehitamhitaman.
Namun kemudian darah itu menjadi merah segar.
Sejalan dengan itu, maka rasa sakit di tubuh Kiai Liman
Serapatpun telah berkurang. Semakin banyak darahnya
mengalir, rasa-rasanya tubuhnya menjadi semakin dingin.
Namun Kiai Liman Serapat juga tidak mau k ehabisan darah.
Karena itu, setelah darahnya menjadi wajar, iapun telah minta
menaburkan obat diatas luka itu. Obat y ang selalu dibawa oleh
Kiai Liman Serapat. Demikian obat itu ditaburkan diatas luka y ang tidak
terlalu besar itu, maka luka itupun telah menjadi pampat. Baru
kemudian, Kiai Liman Serapat memperhatikan seluruh
medan. Diperhatikan orang-orang y ang berada di luar arena,
menyaksikan pertempuran itu. Orang-orang y ang bagaikan
membeku karena sebagian dari mereka tidak m engira bahwa
Kiai Liman Serapat, pedagang gerabah itu adalah orang yang
berilmu tinggi. Namun dua orang y ang m enemuinya di kedai itu telah
mengenalinya sebagai seorang yang berilmu tinggi. Meskipun
demikian, m ereka masih heran juga melihat bagaimana Kiai
Liman Serapat menghabisi lawannya.
Tidak kurang menariknya bagi orang-orang y ang
menyaksikan pertempuran itu, cara Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat mengalahkan lawannya. Meskipun lawan-lawannya
terluka, tetapi y ang telah membuat mereka tidak berdaya
bukan luka-lukanya itu. Tetapi seakan-akan mereka telah
kehabisan tenaga dan bahkan tidak berdaya lagi untuk berdiri.
Kiai Liman Serapat yang telah kehilangan lawannya
itupun kemudian sempat melihat kedua lawan Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat. Kiai Liman Serapat masih melihat
kemungkinan untuk hidup bagi mereka.
"Tugas kita sudah selesai untuk hari ini," berkata Kiai,
Liman Serapat, " sayang, bahwa perjalanan kalian telah
terhambat disini. Tetapi kalian harus memperhatikan lukaluka
di tubuh kalian meskipun kalian juga memiliki penangkal
racun yang kuat." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Namun dengan nada ragu Mahisa Murti bertanya "Lalu
bagaimana dengan tubuh y ang terkapar itu. Baik yang


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terbunuh maupun yang masih tetap hidup?"
Kiai Liman Serapat menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian katanya "Marilah. Kita berbicara dengan
perempuan itu." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu.
Namun kemudian merekapun telah mengikuti Kiai Liman
Serapat mencari perempuan yang dianggap telah membuat
persoalan di kedai itu. Ternyata perempuan itu menjadi ketakutan dan
bersembunyi di ruang dalam. Meskipun ia mempunyai
beberapa orang upahan untuk menjaga dan melindungi rumah
serta tempat pemberhentian pedati dan sekaligus penginapan
itu, namun tidak seorangpun diantara mereka yang
mengganggu ketiga orang itu.
Nyi Rantam menjadi gemetar. Ia tidak pernah m erasa
ketakutan seperti saat itu. Biasanyaia dengan berani
menghardik orang-orang y ang tidak patuh kepadanya atau
orang y ang berniat buruk di rumah itu. Bahkan kadangkadang
Ny i Rantam justru mempunyai tingkah yang anehaneh.
Namun saat itu ternyata ia telah berhadapan dengan
seorang yang berilmu sangat tinggi. Bahkan seandainya semua
orang upahannya dikerahkan, mereka tidak akan dapat
berbuat apa-apa atas orang-orang yang berilmu tinggi itu.
Karena itu, ketika Kiai Liman Serapat mencarinya, ia
telah benar-benar merasa ketakutan. Tubuhnya menjadi
dingin hampir membeku meskipun keringatnya membasahi
tubuhnya. Wajahnya menjadi pucat dan darahnya bagaikan
berhenti mengalir. Ketika Kiai Liman Serapat kemudian berdiri
dihadapannya, maka perempuan itu telah bersimpuh sambil
berkata patah-patah " Ampun Kiai, ampun."
Kiai Liman Serapat termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian katanya "Kau sudah puas" Di halaman rumahmu ini
terkapar sesosok mayat. Dua orang masih mungkin dapat
hidup. Mereka hanya terlalu lemah. Seleret luka yang tidak
terlalu dalam. Kau bertanggung jawab atas semuanya itu. Jika
yang masih hidup itu kemudian mati, maka kaulah yang
bersalah." "Kenapa aku, Kiai?" bertanya perempuan itu.
"Kau y ang membuat onar disini. Kau mengandalkan
orang-orang upahanmu. Kau anggap semua orang harus
tunduk kepadamu. Kau telah memancing ketiga orang yang
tergabung dalam Sangga Langit Kinatelon. Tiga orang saudara
seperguruan itu telah kau bantai disini," berkata Kiai Liman
Serapat. "Aku tidak sengaja melakukannya Kiai " berkata Nyi
Rantam. "Persetan dengan alasanmu," berkata Kiai Liman
Serapat "sekarang aku akan pergi. Aku tidak akan menungggu
uang itu. Aku akan minta uang kepadamu sebanyak uang yang
harus aku terima itu. Kau besok dapat minta gantinya kepada
orang y ang berhutang kepadaku."
"Tetapi ..... " Ny i Rantam menjadi semakin berdebardebar.
"Jangan membantah. Aku dapat menjadi liar karena aku
sudah terlanjur membunuh hari ini. Jika aku tetap, berada
disini, mungkin aku akan membunuh lagi. Membunuh dan
membunuh. Jika hal itu terjadi, m aka tempat ini tidak akan
dikunjungi orang lagi," berkata Kiai Liman Serapat.
Nyi Rantam tidak dapat berbuat lain. Iapun kemudian
telah mengambil uang simpanannya dan diberikannya kepada
Kiai Liman Serapat, seharga barang-barangnya y ang terjual.
"Terima kasih," berkata Kiai Liman Serapat "kau tidak
akan kehilangan. Aku akan berbicara dengan orang yang
menyanggupi membayar harga daganganku besok. Jika ia
ingkar, maka akulah y ang akan membuat perhitungan."
Nyi Rantam tidak m enjawab. Sementara itu Kiai Liman
Serapat berkata lebih lanjut "Di hari-hari mendatang aku akan
tetap datang kemari dengan barang-barang daganganku.
Gerabah. Mungkin jeni s y ang baru dan lebih baik. Tetapi
ingat; bahwa jika perlu aku tidak segan-segan membunuh.
Karena itu, jangan ganggu aku. Aku juga tidak akan
mengganggu orang lain. Aku akan berdagang dengan wajar,
dan aku tidak akan merampok uang siapapun disini meskipun
hal seperti itu dapat saja aku lakukan."
Nyi Rantam tidak berani menjawab. Kepalanya
menunduk Seluruh tubuhnya masih saja terasa dingin.
Sementara itu keringatnya telah membasahi seluruh lapisan
pakaiannya. Sementara itu Kiai Liman Serapatpun berkata "Baiklah
Nyi. Aku minta diri."
Demikianlah, maka Kiai Liman Serapatpun telah m inta
diri bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Setelah
menghubungi orang y ang masih berhutang kepadanya.
Kemudian juga Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping.
Kiai Liman Serapat telah mempersilahkan Mahisa Murti dan
saudara-saudaranya untuk naik ke pedatinya, karena mereka
kebetulan menuju ke arah y ang sama meskipun hanya untuk
beberapa ratus pat ok. Pada saat-- saat, mereka memang harus
berpisah. Dalam pedati Kiai Liman Serapat sempat bertanya
kepada Mahisa Murti "Apakah kalian memerlukan uang untuk
bekal diperjalanan?"
Mahisa Murti tersenyum sambil menjawab "Kebetulan
tidak Kiai. Bekal kami masih cukup, karena kami
mempergunakannya dengan hemat. Bahkan hampir tidak
pernah, karena kebaikan orang-orang di sepanjang jalan. Jika
kami menginap di banjar-banjar, m aka kami telah m endapat
minuman dan makan secukupnya."
Kiai Liman Serapat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi
ia masih berkata "Aku telah mendapat keuntungan yang cukup
dari penjualan gerabah itu. Aku membeli langsung kepada
pembuatnya. Disini aku mendapat pembeli y ang cukup baik."
"Terima kasih, Kiai" berkata Mahisa Murti "kami masih
mempunyai persediaan."
Kiai Liman Serapat mengangguk-angguk. Katanya
"Baiklah. Jika demikian apa b oleh buat. Namun sebelum kita
berpisah, maka didalam pedati ini kalian dapat mengurus
luka-luka kalian. Jangan kau remehkan luka-luka akibat asap
yang kemerah-merahan itu. Racunnya cukup tajam. Meskipun
kalian m empunyai penangkal y ang kuat, tetapi panasny a api
telah membakar kulit kalian. Karena selain racun dan bisa,
asap itu membawa getaran panasnya api.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas panjang.
Ternyata ketiga orang itu adalah orang yang sangat berbahaya.
Seorang telah terbunuh. Tetapi yang dua orang itu pada suatu
saat akan sembuh. Jika mereka mendendam atas
kekalahannya, maka mereka akan dapat menumpahkan
dendamnya kepada siapa saja.
Kiai Liman Serapat y ang m elihat kerut dikening anakanak
muda itu dapat m enduga, bahwa kedua anak muda itu
sedang memikirkan kedua orang y ang mereka tinggalkan.
Karena itu maka Kiai Liman Serapatpun berkata "Jangan
hiraukan lagi kedua orang itu. Tanpa orang tertua diantara
mereka, maka keberanian mereka akan lenyap. Meskipun
seandainya saudara mereka yang tertua masih hidup,
sedangkan mereka berhasil merebut senjata-senjata kalian,
maka ketiga orang itu tentu akan saling bermusuhan. Bahkan
mereka tentu akan saling m embunuh untuk m emperebutkan
sepasang pusaka itu. Bahkan jika mereka pada suatu saat
masih juga akan membalas dendam di tempat itu, maka aku
masih sering datang ke tempat itu. Aku dapat ikut mengawasi
mereka. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Sementara Mahisa Semu dan Wantilan ikut mendengarkan
pembicaraan itu dengan saksama. Sedangkan Mahisa Amping
sibuk dengan kendali pedati yang ditarik oleh dua ekor lembu
itu. Nam paknya Mahisa Amping tertarik untuk bermain-main
dengan dua ekor lembu y ang menarik pedati itu.
Demikianlah, m aka pedati itu berjalan perlahan-lahan.
Suaranya berderak diatas bebatuan di jalan-jalan padukuhan.
Ternyata Mahisa Murti dan saudara-saudaranya dapat ikut
dalam pedati itu untuk waktu yang cukup lama. Namun
akhirnya, mereka memang harus berpisah.
Kiai Liman Serapat mempersilahkan anak-anak muda
itu singgah di rumahnya. Tetapi anak-anak muda y ang ingin
segera sampai ke padepokannya itu terpaksa menolaknya.
"Maaf Kiai. Kami sudah terlalu lama pergi. Kami ingin
segera kembali. Kami m engucapkan terima kasih atas segala
bantuan Kiai terhadap kami," berkata Mahisa Murti.
"Siapa y ang membantu kalian?" justru Kiai Liman
Serapat bertanya "bukankah justru kalian y ang telah menolong
kami" Mahisa Murti dan saudara-saudaranya tertawa. Kiai
Liman Serapatpun telah tertawa pula.
Demikianlah, maka merekapun akhirnya berpisah. Kiai
Liman Serapat meneruskan perjalanannya kembali ke tempat
tinggalnya. Sementara Mahisa Murti, Mahisa Pukat bersamasama
dengan Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping
meneruskan perjalanan mereka.
Malam itu Mahisa Murti dan saudara-saudaranya telah
bermalam di sebuah banjar pedesaan. Seperti biasanya,
mereka mendapat tempat y ang cukup baik. Bahkan juga
makan dan minum. Pagi-pagi mereka telah berbenah diri. Setelah
mengucapkan terima kasih, maka merekapun telah
meneruskan perjalanan. Mereka mulai menelusuri jalan-jalan
panjang. Bahkan kadangkadang pematang. Ternyata
perjalanan mereka sudah meny impang arah y ang harus
mereka tuju, sehingga mereka harus melingkari sebuah daerah
pebukitan sebagaimana y ang sering mereka lakukan, sehingga
dengan demikian, maka rasa -rasanya perjalanan mereka lama
sekali mendekati sasaran.
Tetapi kadang-kadang mereka memang tidak sampai
hati untuk membiarkan satu peri stiwa terjadi sepanjang
mereka mempunyai kesempatan untuk ikut serta membantu
memecahkan persoalan yang terjadi. Kesewenang-wenangan
dan kebenaran yang mereka lakukan atas sesama adalah
pencerminan kasih dari y ang Maha Agung.
Demikianlah maka kelima orang itu meneruskan
perjalanan mereka. Mahisa Amping mempergunakan setiap
kesempatan untuk menempa. Sementara itu Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat sudah mulai b ersungguh-sungguh memberikan
tuntunan kepada anak itu. Tetapi mereka juga tidak
melupakan Mahisa Semu dan Wantilan y ang memperdalam
ilmu pedang mereka. Diperjalanan m ereka tidak saja menolong orang-orang
yang m engalami kesulitan seorang tua yang mengusung hasil
sawahnya pulang. Perempuan tua yang memetik kacang
panjang dan lembayung muda ternyata telah membawa
hasilny a dalam sebuah bakul y ang terlalu berat baginya.
"Kita berjalan searah, nek," berkata Mahisa Amping.
"Biarlah aku membawanya sampai ke sudut desa. Apakah
nenek tinggal di desa itu?"
Perempuan tua itu memperhatikan Mahisa Amping
dengan wajah y ang berkerut. Oleh ketuaannya, tetapi juga oleh
keheranannya. Mahisa Amping tersenyum sambil mengambil alih bakul
yang dibawa oleh perempuan tua itu. Katanya "Berikan bakul
itu nek." "Kau siapa anak manis?" bertanya nenek tua itu.
"Kami semua ini adalah pengembara nek," jawab Mahisa
Amping kami mengembara dari satu padukuhan ke
padukuhan lain, dari satu kabuyutan ke kabuyutan yang lain."
"0o" nenek tua itu mengangguk-angguk, "apakah kalian
tidak mempunyai tempat tinggal?"
Pertanyaan itu membingungkan Mahisa Amping.
Namun ia menjawab, "Pengembara tidak memerlukan rumah
nek. Kami bermalam di mana saja. Di banjar-banjar
padukuhan. Di padang perdu atau di gubug-gubug di tengah
sawah." "Ah," nenek tua itu termangu-mangu sehingga
langkahnya terhenti, "apakah kalian hidup seperti seekor
burung y ang hinggap di dahan-dahan kayu di malam hari"
Sedangkan seekor burung pun membuat sarangnya di saat
tertentu." Mahisa Amping menjadi semakin bingung, sehingga
iapun kemudian berpaling kepada Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat berganti-ganti. Mahisa Murtilah yang kemudian m enjawab "Kami juga
mempunyai tempat tinggal nek. Sebuah padepokan kecil.
Tetapi kami memang sedang menjalani laku. Tapa ngrame.
Namun kini kami telah berada di perjalanan kembali ke
padepokan kami. Laku yang kami jalani sudah cukup lama,
sehingga kami telah menemukan banyak pengalaman dalam
hidup kami yang masih belum terlalu panjang ini."
Nenek tua itu m engangguk-angguk. Katanya kemudian
"Jika kalian m au, marilah, singgah di rumah nenek. Malam
nanti kalian dapat tidur di rumah nenek. Besok kalian dapat
meneruskan perjalanan."
"Nenek tinggal bersama kakek?" tiba -tiba saja Mahisa
Amping bertanya. Nenek itu tertawa. Ia berjalan sedikit bongkok meskipun
kakinya masih nampak melangkah dengan ringan. Jawabnya
"Tidak ngger. Kakek sudah lama meninggal. Nenek tinggal
sendiri di rumah peninggalan kakek."
"Nenek tidak mempunyai anak?" bertanya Mahisa
Amping. Nenek tua itu mengusap kepala Mahisa Amping sambil
menjawab, "Nenek m empunyai lima orang anak. Tiga orang
meninggal ketika dilahirkan. Dua orang menjadi besar. Tetapi
seorang meninggal ketika remaja. Seorang sempat menjadi
dewasa. Tetapi Yang Maha Agung telah memanggilnya pula."
Mahisa Amping termangu -mangu sejenak. Ia melihat
wajah nenek itu menjadi buram.
Mahisa Murtilah yang kemudian dengan cepat berkata,
"Kami mohon maaf atas pertanyaan itu nek?"
"Oo," nenek itu mencoba ter senyum. Tetapi ia tidak
dapat menyembuny ikan titik air matanya y ang jatuh di pipinya
yang mulai keriput. Namun nenek itu berkata selanjutnya
Tetapi aku menerima keadaan ini dengan hati terbuka. Anakanak


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu adalah kurnia Yang Maha Agung. Adalah hak Yang
Maha Agung pula untuk mengambilnya kembali.
Mahisa Murti tidak menyahut lagi. Tetapi ia berkata
didalam hati, "tetapi kelima-limanya."
Ra sa -rasanya memang mustahil bahwa hal seperti itu
harus terjadi. Tetapi jika itu merupakan satu keny ataan, maka
seseorang tidak dapat berbuat sesuatu.
Sementara itu nenek itu berkata lagi, "Kakeklah y ang
nampaknya sulit menerima keadaan. Hatinya sudah semakin
rapuh ketika anak kami yang telah m enjadi remaja dipanggil
oleh Yang Maha Agung. Ketika anak kami yang menjadi
dewasa dipanggil pula m enghadap-Ny a, maka hatinya benarbenar
menjadi hancur. Ia kehilangan keseimbangan jiwanya
sehingga ia k ehilangan kesadarannya. Tetapi tidak lama. Saat
itu telah datang. Kakek telah dipanggil pula."
"Kami semua ikut menyatakan duka cita nek. Meskipun
hal itu agaknya sudah agak lama terjadi," berkata Mahisa
Murti. "Kalian nampaknya anak-anak muda y ang
berpandangan luas. Barangkali itu adalah hasil dari laku yang
kalian jalani." berkata nenek tua itu.
Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi kepalanya ikut
menunduk ketika perempuan tua itu menundukkan kepalanya.
Untuk beberapa saat mereka berjalan sambil berdiam
diri. Mahisa Amping membawa bakul berisi kacang panjang
dan daun lembayung didalam bakul diatas kepalanya. Tetapi
justru ialah yang berjalan di paling depan.
Ketika mereka mendekati sebuah padukuhan, maka
perempuan tua itu b erkata sambil m engangkat wajah, " Itulah
padukuhan tempat tinggalku."
Mahisa Murti dan yang lainpun mengangguk-angguk.
Namun wajah orang tua itu tidak terlalu muram lagi. Bahkan
ia mencoba tersenyum lagi sambil berkata kepada Mahisa
Amping, "Singgah di rumah nenek barang sebentar ngger.
Nenek akan menyuguhkan minuman hangat bagimu dan
saudara-saudaramu." Mahisa Amping tidak menjawab. Tetapi la berpaling
kepada Mahisa Murti. Tetapi Mahisa Murtipun tersenyum sambil berkata:
"Terima kasih nek. Lain kali jika kami lewat lagi di padukuhan
ini, kami akan singgah."
Orang tua itu termangu-mangu sejenak. Namun nampak
kekecewaan membayang diwajahnya. Bahkan dengan suara
lembut ia berkata kepada Mahisa Amping: "Mampirlah ngger.
Sebentar saja. Aku akan senang sekali jika kau bersedia
singgah." Mahisa Amping termangu-mangu sejenak. Ia tidak tahu
apa y ang harus dikatakannya kepada orang tua itu.
Namun orang tua itupun kemudian berkata sekali lagi
kepada Mahisa Murti: "Ngger. Aku mohon angger bersedia
meskipun hanya sebentar."
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian iapun mengangguk kecil sambil menjawab: "Baiklah
nek. Tetapi kami hanya dapat singgah sebentar karena kami
harus melanjutkan perjalanan kami."
Orang tua itu tersenyum. Katanya dengan wajah y ang
cerah: "Sebentarpun telah cukup."
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi
mereka memang tidak sampai hati menyakiti hati orang tua itu
sehingga Mahisa Pukat itupun tidak membantah.
Demikianlah maka iring-iringan itupun telah mendekati
padukuhan dihadapan mereka. Mahisa Amping yang
membawa bakul berisi kacang panjang daun daun lembayung
muda masih berada di depan.
"Rumahku ada di pinggir jalan ini," berkata nenek tua
itu. Sebenarnyalah, ketika jalan yang mereka lalui itu
memasuki padukuhan dihadapan mereka, maka tidak t erlalu
jauh dari mulut lorong itu terdapat rumah nenek tua yang
mempersilahkan mereka singgah itu.
Anak-anak muda itu memang terkejut. Mereka tidak
mengira bahwa rumah nenek tua itu cukup besar dan
berhalaman luas. Bahkan terhitung rumah yang baik dan
memberikan kesan rumah seorang y ang berada.
"Marilah. lni adalah rumahku peninggalan kakekmu"
berkata perempuan tua itu.
"Nenek hanya sendiri?" Mahisa Amping bertanya lagi.
"Ya. Tetapi kenapa?" perempuan tua itu justru bertanya.
"Nenek tidak takut di malam hart?" Mahisa Amping
masth juga bertanya. Nenek tua itu ter senyum. Pertanyaan itu adalah
pertanyaan anak-anak. Jawabnya, "Tentu tidak anak m anis.
Nenek tidak pernah merasa takut tinggal di rumah ini seorang
diri karena rumah ini sudah aku huni sejak rumah ini baru
didirikan. Apalagi rumah ini telah dibuat oleh kakekmu
sendiri. Orang-orang padukuhan ini hanya membantunya saja.
Kakekmulah y ang merancang dan melaksanakan sendiri."
Mahisa Murti dan saudara -saudaranya menganggukangguk.
Namun keheranan memang tidak dapat mereka
sembunyikan lagi. Ukiran y ang rumit terdapat pada tiangtiang
y ang berjajar di pendapa bagian tengah. Bagian bawah
dan atas tiang-tiang itu terdapat ukiran. Demikian pula pada
uleng diatas. Bahkan sampai pada tiang-tiang yang paling
tepipun terdapat ukiran di bagian atas dan bawahnya.
Demikianlah, maka nenek tua itu telah mempersilahkan
anak-anak muda itu untuk duduk di pendapa. Dengan nada
rendah ia berkata "Silahkan anak-anak muda. Aku akan pergi
ke dapur sebentar. Hanya merebus air. Aku ingin menjamu
kalian dengan minuman panas. Aku memang tidak
mempunyai apapun lagi kecuali air dan gula kelapa."
"Sebenarnya nenek tidak usah repot sekali. Silahkan
nenek duduk saja disini. Nenek dapat berceritera tentang
rumah ini. Itu sudah merupakan suguhan yang menarik,"
berkata Mahisa Murti. "Ah," nenek tua itu m enyahut, "tentu tidak. Apalagi aku
memang ingin menjamu kalian dengan minuman hangat."
Perempuan itupun kemudian telah m elangkah m asuk lewat
pintu pringgitan sambil membawa bakul y ang berisi kacang
dan daun lembayung muda itu.
Sementara perempuan tua itu berada di dapur, Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat sempat melihat ukiran-ukiran pada
geby ok yang memisahkan pringgitan dengan ruang tengah.
Gebyok yang juga penuh dengan ukiran yang rumit.
Sementara Mahisa Semu dan Wantilan tengah melihat-lihat
ukiran pada tiang tengah dari pendapa itu.
"Prada," desis Wantilan.
Mahisa Semu mengangguk-angguk. Ukiran pada tiang di
pendapa itu telah diwarnai dengan prada emas dibagian
bawah dan atas. Sehingga m emberikan kesan, bahwa rumah
itu adalah rumah seorang yang memang kaya raya. Meskipun
warna pradanya sudah mulai memudar. Namun masih
memberikan warna yang cerah dan berwibawa.
"Siapakah sebenarnya nenek tua itu," delis Mahisa
Semu. Wantilan termangu-mangu. Namun iapun berdesis.
"Satu kehidupan yang aneh dari seorang perempuan tua yang
pernah mengalami satu masa y ang jaya. Rumah ini adalah
sak siny a." Mahisa Semulah y ang kemudian mengangguk-angguk.
Dengan nada rendah ia berkata: "Mungkin pernah terjadi
sesuatu yang mengerikan atas kedua anaknya y ang sempat
tumbuh menjadi besar namun yang akhirnya harus dipanggil
lebih dahulu oleh Yang Maha Agung."
Wantilan tidak menjawab. Namun iapun telah melihatlihat
pula ukiran peny ekat di pringgitan diikuti oleh Mahisa
Semu dan Mahisa Am ping. Melihat ukiran y ang rumit itu, baik y ang terdapat pada
hagian alas dan bagian bawah tiang di pendapa serta ukiran
pada sekat di pringgitan itu, maka anak-anak muda itu dapat
menduga bahwa nenek tua itu pernah m enjadi seorang yang
kaya dalam hidupnya. Mungkin di saat suaminya masih hidup.
Kemudian sepeninggal suaminya, maka kekay aannya telah
menjadi susut, sehingga akhirnya, hampir habis sama sekali.
Menilik keadaannya saat itu, maka nenek tua itu adalah orang
yang harus menjalani hidup sederhana.
Beherapa saat Mahisa Murti dan saudara-saudaranya
sempat mengamati geby ok itu. Merekapun kemudian telah
duduk kembali di pendapa ketika perempuan tua itu keluar
lagi sambil membawa minuman hangat bagi kelima orang
tamunya. Mahisa Murti dan saudara-saudaranya mengerutkan
dahinya ketika mereka melihat mangkuk y ang dipergunakan
oleh nenek itu untuk menyuguhkan m inuman itu. Mangkuk
yang mahal dan yang sangat halus buatannya. Namun agaknya
mangkuk itu tidak terpelihara dengan baik, sehingga nampak
berkerak dan di bibirnya terdapat cacat-cacat kecil karena
benturan-benturan disaat mangkuk itu dicuci.
Tetapi Mahisa Murti dan saudara-saudaranya sama
sekali tidak bertanya tentang mangkuk-mangkuk itu.
Merekapun tidak bertanya pula tentang ukiran pada bagian
atas dan bawah dari tiang di pendapa serta pada geby ok
peny ekat pringgitan itu. Mereka takut, bahwa pertanyaan
mereka akan dapat m engungkit lagi luka di hati perempuan
tua itu. Namun ternyata perempuan tua itu sendirilah y ang
berceritera t entang rumah itu dengan segala isinya. Memang
satu ceritera y ang sangat menarik.
"Kami, maksudku aku dan suamiku semula adalah orang
yang sangat miskin. Kami berdua t elah menjalani laku untuk
dapat menjadi keluarga yang kaya. Kami telah mencari
kekay aan dengan cara yang tidak wajar. Kami menemui
seorang berilmu hitam yang sanggup membantu kami."
berkata perempuan tua itu. Lalu katanya pula "Kami telah
dibawa ke sebuah goa y ang gelap. Kami tidak melihat apapun
kecuali hitam semata-mata. Yang kami dengar hanyalah suara
seseorang yang bertanya tentang kepentingan kami datang
kepadanya. Kami berterus terang bahwa kami ingin menjadi
kaya. Dan suara itu k emudian bertanya kepada kami, apakah
kami ber sedia m emberikan anak-anak kami yang bakal lahir
kepadanya, karena suara itu menurut pengakuannya sangat
merindukan anak. Kami y ang terbius oleh keinginan untuk
menjadi seorang y ang kaya menyatakan tidak berkeberatan"
perempuan itu berhenti sejenak, lalu katanya kemudian
dengan nada rendah " Itu adalah awal dari bencana yang
menimpa keluarga kami. Kami memang m enjadi kaya raya.
Tidak ada orang di padukuhan ini yang dapat menyamai
kekay aan kami. Ki Bekelpun tidak. Juragan ternak yang
sebelumnya sudah kaya itu, telah tidak mampu lagi
mengimbangi kekayaan kami. Kami dapat membuat rumah
yang besar dan bagus ini, yang menurut penilaianku adalah
rumah y ang paling bagus di seluruh padukuhan Namun hidup
kami sama sekali tidak berbahagia. Anak-anak kami seorang
demi seorang meninggal dunia. Ada y ang meninggal disaat
dilahirkan. Ada yang meninggal setelah remaja. Bahkan ada
yang meninggal ketika sudah dewasa. Peristiwa itu telah
mengguncangkan jiwa kami. Suamiku y ang merasa sangat
bersalah menjadi kehilangan akal warasnya. Bahkan kemudian
meninggal dunia. aku masih bertahan untuk tetap hidup
memelihara rumah seisinya. Tetapi semakin lama aku menjadi
semakin melarat. Akhirnya aku merasa bahwa hidupku adalah
hidup yang paling miskin di dunia. Aku sudah tidak
mempunyai apa-apa sama sekali. Anak tidak, kekayaanpun
tidak. Yang ada tinggal bekas-bekasny a. Sementara orangorang
lain telah terlanjur menjauhi aku. Tetangga-tetangga
menjadi benci kepadaku, karena aku pernah menjadi orang
yang sangat sombong di padukuhan ini justru karena aku kaya
raya." Mahisa Murti dan saudara-saudaranya mendengarkan
ceritera itu dengan sungguh-sungguh. Sementara itu, titik-titik
air mata telah mengembun di mata nenek tua itu.
Namun tiba -tiba ia mencoba tersenyum "Aku terima
hukuman ini dengan tabah. Aku berharap bahwa dengan
menjalani hukuman ini dosaku akan berkurang. Setidaktidaknya
aku masih mempunyai kesempatan untuk
memperbaiki cara hidupku meskipun sudah sangat terlambat.
Namun aku telah berusaha untuk berbuat sesuatu y ang baik
dengan sisa-sisa yang masih ada padaku. Namun agaknya
orang-orang di sekelilingku sudah terlanjur tidak percaya lagi
kepadaku. Mereka menganggap bahwa disaat aku masih
menjadi miskin, maka aku berusaha untuk mendekati
tetangga-tetanggaku."
Mahisa Murti dan saudara -saudaranya menganggukangguk.
Mereka melihat kesungguhan di mata nenek tua itu,
sehingga mereka percaya tentang apa y ang telah dikatakannya
itu. Selagi Mahisa dan saudara-saudaranya termangu-mangu
mendengar ceriteranya itu, maka nenek tua itupun
mempersilahkan "Minumlah. Tentu sudah menjadi dingin."
Mahisa Murti dan saudara-saudaranyapun telah
menghirup minuman hangat itu. Wedang sere dengan gula
kelapa. Memang terasa segar sekali.
Namun selagi mereka minum minuman hangat itu,
nenek tua itu bertanya: "Siapakah anak manis ini" Apakah
saudara kalian atau kebetulan saja bersama-lama dengan
kalian?" Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu
sejenak. Sementara Mahisa Ampingpun menjadi bingung.
Namun k emudian Mahisa Murtilah y ang menyahut "Anak ini
adalah adik kami bertiga. Sementara yang seorang itu adalah
paman kami. Paman Wantilan."
Perempuan tua itu menarik nafas dalam-dalam.
Sementara Mahisa Murti meneruskan: "Namaku adalah
Mahisa Murti. Saudara-saudaraku adalah Mahisa Pukat dan
Mahisa Semu. Yang paling kecil adalah Mahisa Amping."
Sejenak nenek tua itu merenung. Namun kemudian
iapun berkata "Sebenarnya aku ingin anak m anis ini tinggal
bersamaku disini. Aku tidak akan mengambilnya sebagai anak.
Karena setiap anakku akan diambilnya meskipun aku sudah
menjadi miskin lagi."
Mahisa Amping bergeser mendekati Mahisa Murti diluar


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sa darnya. Seakan-akan ia ingin mengatakan, bahwa ia tiak
ingin ditinggalkan di rumah itu, meskipun nampaknya
perempuan tua itu adalah perempuan yang baik.
Sebelum menjawab, perempuan itu ternyata telah
tanggap. Karena itu maka dengan wajah yang muram ia
berkata: "Baiklah. Aku menyadari, bahwa sulit bagiku untuk
mendapatkan kawan hidup di rumah ini meskipun seorang
anak-anak sekalipun."
"Nenek," sahut Mahisa Murti "apakah nenek tidak dapat
mengambil salah seorang anak tetangga di padukuhan ini
untuk tinggal bersama nenek disini" Tentu saja juga tidak
nenek ambil sebagai anak jika nenek memang mempunyai
kepercayaan bahwa anak itu akan diambilnya juga."
Nenek itu m enggeleng. Katanya: "Tidak seorangpun di
padukuhan ini y ang mau mengenalku lagi. Orang-orang yang
melihat aku lewat jalan itu jika aku pergi ke sawah, mereka
sama sekali tidak mau menyapa."
"Jadi siapakah yang mengerjakan sawah dan ladang
nenek" " bertanya Mahisa Pukat.
"Aku harus mengupah orang -orang dari padukuhan lain.
itupun dengan upah yang lebih mahal dari biasanya, sehingga
hasil sawahku tinggal ter sisa sekedarnya saja," jawab nenek
tua itu. "Beruntunglah nenek masih mempunyai beberapa kotak
sawah," berkata Mahisa Pukat.
"Seperti rumah ini, maka sawahku telah aku
pertahankan," jawab nenek tua itu, "tetapi juga tidak t erlalu
luas. Namun cukup untuk makan sehari-hari."
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Ia m emang
merasa kasihan kepada perempuan itu. Ia benar-benar hidup
sendiri. Jika saat akhir itu tiba, apakah yang dapat
dilakukannya" Jika perempuan itu menjadi semakin lemah
tidak dapat mengurusi diriny a sendiri. Tidak dapat bangkit
dari tempat pembaringannya, dan tidak dapat merebus air dan
tidak lagi dapat menanak nasi.
Ternyata y ang lain juga sedang memikirkannya. Tetapi
mereka tidak segera dapat memecahkan per soalan.
Karena tidak ada diantara mereka y ang menyahut, maka
perempuan itupun kemudian berkata: "Silahkan, m inumlah.
Hanya itu y ang dapat aku hidangkan. Aku sedang merebus
ketela pohon. Mudah-mudahan kalian sempat menunggu
sampai masak." Mahisa Murti dan saudara -saudaranya menganggukangguk.
Untuk tidak mengecewakan perempuan tua itu, maka
merekapun telah menghirup minuman mereka mengambil
beberapa potong gula kelapa y ang dihidangkan sendiri tanpa
dimasukkan ke dalam mangkuk minuman.
"Silahkan. Aku akan melihat ketela pohon itu," berkata
perempuan tua itu sambil bangkit.
Harimau Kemala Putih 3 Love Latte Karya Phoebe Manusia Titisan Dewa 1

Cari Blog Ini