Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 10

05 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintarja Bagian 10


Agung Sedayu dengan tergesa-gesa menyesuaikan dirinya dengan keadaan disekitarnya. Rasa-rasanya tubuhnya telah menjadi segar kembali setelah ia mengadakan pemusatan getaran didalam dirinya mendorong himpitan yang seakan-akan menghentikan arus nafas dan darahnya.
Meskipun Agung Sedayu masih merasa lelah, tetapi kekuatannya telah pulih seperti semula. Karena itu, maka iapun segera bersiap untuk mulai dengan pertempuran-pertempuran yang masih berlangsung.
Namun, ternyata lawan-lawannyapun melihat perubahan sikap anak muda itu. Seorang bekas prajurit Pajang yang mempunyai pengalaman yang matang, segera dapat mengetahui bahwa Agung Sedayu sudah selesai dengan pemulihan diri. Karena itulah maka ia pun segera mengambil keputusan, mumpung Agung Sedayu masih belum beranjak dari tempatnya.
Dari sela-sela pertempuran diseputar Agung Sedayu maka prajurit itu menggeram sambil menyiapkan segenap kekuatannya. Dengan serta merta iapun melontarkan tombaknya langsung mengarah kedada Agung Sedayu.
Seorang pengawal Tanah Perdikan Menoreh me"lihat sikap itu dengan tangkasya ia berusaha untuk menyentuh tombak yang terlontar mengarah kedada Agung Sedayu.
Namun ia terlambat. Senjatanya tidak berhasil menahan tombak yang meluncur dengan cepatnya itu. Sehingga kemarahannyapun telah melonjak sejalan dengan kegagalannya.
Itulah sebabnya maka dengan serta merta ia menyerang bekas prajurit Pajang yang telah melem"parkan tombaknya dengan garangnya. Bekas prajurit itu tidak mampu lagi mengelakkan dirinya. Ia masih berusaha untuk menghindar, namun serangan itu datang tidak terkendali lagi, sehingga yang terdengar kemudian adalah orang yang tertahan. Pedang pengawal itu telah menghunjam keperut lawan yang telah melemparkan tombaknya kepada Agung Sedayu.
Sementara itu tombak yang dilemparkannya telah meluncur mematuk dada Agung Sedayu. Untunglah bahwa Agung Sedayu telah membuka matanya dan me"lihat tombak itu meluncur kearahnya. Sehingga dengan demikian maka Agung Sedayu yang masih duduk ditengah itupun segera bergeser memiringkan tubuhnya.
Tombak itu meluncur dengan derasnya, hanya ber"jarak setebal daun dari bajunya. Tetapi yang terasa olehnya hanyalah desir angin yang menyapu dengan kencangnya.
Tombak itu ternyata tidak mengenai sasarannya. Bekas prajurit yang melemparkannya masih sempat melihat kegagalannya itu meskipun senjata seorang pengawal telah menyobek kulitnya. Karena itulah maka disamping orang kesakitan, terdengar orang itu mengumpat pada tarikan nafasnya yang terakhir dengan penuh kecewa.
Agung Sedayu tidak lagi membiarkan orang-orang disekitarnya saling berbenahan karena dirinya ia masih merasa berada ditengah-tengah peperangan. Karena itu maka iapun masih mempunyai kewajiban untuk dipertanggung jawabkan.
Sesaat kemudian maka Agung Sedayupun telah berdiri tegak, disambut oleh sorak yang mengguntur dari para pengawal yang melindunginya. Dengan serta merta teriakan itu terloncat dari mulut mereka, karena mereka seolah-olah telah terlepas dari ketegangan yang menghimpit disaat-saat mereka melindungi Agung Se"dayu.
"Terima kasih," suara Agung Sedayu lantang, "aku sudah siap untuk bertempur seandainya masih ada orang yang harus aku lawan."
Sekali lagi terdengar sorak bagaikan membelah arena partempuran yang kacau itu. Namun dengan de"mikian, teriakan itu seolah-olah telah bergema didalam setiap hati yang memberikan dorongan bagi mereka yang mulai gelisah.
Orang-orang yang semula akan membunuh Agung Sedayu itulah yang kemudian menjadi gelisah. Bahwa Agung Sedayu telah berdiri tegak, adalah me"rupakan bencana yang akan menimpa mereka karena Agung Sedayu adalah orang yang memiliki ilmu yang luar biasa, ternyata bahwa ia telah berhasil membunuh Ki Gede Telengan dalam benturan ilmu.
Sejenak Agung Sedaju menyaksikan pertempuran yang terjadi disekitarnya. Senjata beradu, pekik kesakitan dan sorak kemenangan.
Perlahan-lahan tangannya meraba lambungnya. Dan sejenak kemudian arena itu telah digetarkan oleh ledak cambuk murid Kiai Gringsing itu.
Sekali lagi arena itu menjadi bergelora. Cambuk Agung Sedayu adalah lambang kekuatan ilmu dari perguruannya.
Agung Sedayu tidak ingin mempergunakan rabaan yang bersifat wadag dari tatapan matanya. Ilmu itu kurang sesuai bagi pertempuran dalam keadaan kacau. Apalagi tidak ada orang yang harus dilawan dalam perang tanding.
Itulah sebabnya, maka ia akan bertempur dengan mempergunakan cambuknya.
Ketika Agung Sedayu kemudian melangkah maju masih terasa seo1ah-olah sendi-sendinya masih belum pulih sama sekali. Namun ia sudah merasa siap untuk menghadapi segala kemungkinan dimedan yang kisruh itu.
Ki Gede Menoreh yang melihat Agung Sedayu mulai menghentakkan cambuknya benar-benar bagaikan ter"siram air dalam keheningan. Ia benar-benar menjadi tenang karena ia yakin Agung Sedayu sudah mampu melindungi dirinya sendiri.
Karena itulah maka kemudian Ki Gede Menoreh sudah memusatkan segala perhatiannya kepada lawannya bekas seorang senapati perang yang ternyata lebih senang memilih jalan yang lain dari jalan yang telah ditentukan oleh pimpinan prajurit Pajang.
Pertempuran antara keduanyapun berlangsung dengan serunya. Keduanya adalah orang-orang yang memiliki kelebihan dalam olah kanuragan. Sehingga dengan de"mikian maka perang antara keduanya itu seolah-olah telah terpisah dari arena keseluruhan. karena para pengikut masing-masing tidak berani mencampuri benturan ilmu yang dahsyat itu.
Dalam pada itu, ketika Agung Sedayu mendekati kan"cah pertempuran diseputarnya maka para pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang semula melindunginya telah menyibak. Mereka seakan-akan memberi jalan kepada seorang pahlawan yang akan mampu menghancurkan lawan yang lebih kuat dalam pertempuran itu.
Agung Sedayu berdiri sejenak termangu-mangu Rasa-rasanya ia melihat sesuatu yang aneh telah terjadi. Seperti setiap kali ia melihat peperangan. Didalam hatinya selalu terbersit pertanyaan, "Kenapa sesamanya, justru mahluk yang paling sempurra dari segala mahluk yang ada selalu saja saling berbunuhan yang satu dengan yang lain.
Namna Agung Sedayu harus malu kepada dirinya sendiri, iapun agaknya telah siap pula untuk membunuh.
Sekilas melintas didalam angan-angannya seorang anak muda yang lain dari anak-anak muda yang dikenalnya Rudita anak muda yang memiliki tingkat kemanusiaan yang jauh lebih tinggi daripadanya. Meskipun masih ada ketidak jujuran dalam sikap Rudita, karena ia pun tidak seutuhnya pasrah diri kedalam tangan Yang Maha Esa karena ia masih memiliki kekebalan namun ia telah menghindari segala macam benturan wadag melawan siapapun juga ia lebih senang membiarkan dirinya mengalami perlakuan yang bagaimanapun juga daripada ia harus melakukan tindakan kekerasan meskipun sebenarnya ia memiliki bekal, jika ia mau.
Agung Sedaya terkejut, ketika ia mendengar seseorang mengaduh disisinya. Seorang pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah terjatuh dengan luka dilambungnya.
" O," Agung Sedayu tergagap. Kemudian diambilnya bumbung kecilnya yang berisi obat luka dari gurunya.
"Rawatlah kawanmu," berkata Agung Sedanyu kepada seorang pengawal yang bertempur didepannya, serahkan lawanmu kepadaku."
Pengawal itu meloncat surut. Setelah ia menerima bumbung kecil, iapun segera berjongkok disisi kawannya yang terluka itu. Sementara Agung Sedayu sudah meledakkan cambuknya ketika lawan pengawal itu berusaha mengejarnya.
Orang itu terkejut. Selangkah ia mundur. Wajahnya menjadi tegang karena yang berdiri dihadapannya kemudian adalah Agung Sedayu. Seorang yang telah berhasil membunuh Ki Gede Telengan.
Namun dimedan perang seseorang tidak dapat memilih atau menghindari lawan. Betapapun hatinya menjadi kecut, namun ia telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Agung Sedayu benar-benar merupakan seekor kucing didalam kerumunan sekelompok tikus liar. Namun Agung Sedayu tidak sebuah kucing lapar menghadapi tikus-tikus yang lemah. Karena itulah maka ia tidak dengan garangnya menyerang dan membinasakan lawannya.
Agaknya kawan-kawan orang yang berhadapan dengan Agung Sedayu itu melihat bahwa lawannya tersebut terjebak kedalam nasib yang buruk. Karena itulah, maka beberapa orang diantara mereka telah mendekatinya dan berusaha untuk membatunya. Betapapun kuatnya Agung Sedayu namun jika ia harus bertempur melawan beberapa orang, maka ia tentu akan mengalami kesulitan.
Karena itulah maka beberapa orang itupun segera menyerangnya bersama-sama. Senjata mereka menyambar susul-menyusul dari berbagai arah.
Namun Agung Sedayu sempat menghindarnya. Pada loncatan-loncatan pertama masih terasa kelelahan pada sendi-sendinya sehingga ia tidak dapat bergerak dengan tangkas dan cepat seperti dalam keadaannya yang wajar.
Itulah sebabnya Agung Sedayupun kemudian melindungi dirinya dengan hentakan cambuknya. Sekali-sekali terdengar cambuknya meledak dengan dahsyatnya.
Ketika serangan-serangan lawan itu mulai terasa berbahaya baginya maka Agung Sedayupun mulai bersungguh-sungguh. Ia tidak sekedar meledakkan cambuknya untuk mengusir lawan tetapi ia mulai memperhitungkan serangannya yang mengarah.
Ledakan-ledakan cambuk Agung Sedayu benar-benar telah menimbulkan kegelisahan pada lawan-lawannya. Terutama para pengikut Ki Gede Telengan yang tidak mendapat kesempatan karena pengawal-pengawal Tanah Perdikan Menoreh harus bertempur pula melawan pengikut Ki Tumenggung Wanakerti.
Namun ternyata kemudian bahwa keadaan tidak menjadi semakin baik bagi mereka. Saat-saat Agung Sedayu mulai bertempur dengan mantap, maka harapan untuk dapat meninggalkan lembah itu bagi para pengi"kut Ki Gede Telengan menjadi semakin sempit.
Sementara itu langitpun menjadi semakin suram. Cahaya kemerah merahan menjelang saat matahari terbenam telah menyiram dedaunan dilembah sehingga seakan-akan setiap bentuk telah diwarnai dengan darah para korban yang bergelimpangan.
Ki Tumenggung Wanakertipun menjiadi gelisah ia sudah meninggalkan induk pasukannya untuk mengejar Ki Gede Telengan. Namun ia tidak menemukan karena orang yang dicari pun sudah mati. Semantara pusaka-pusaka yang dicarinya itu sudah berada dihadapan hidungnya tetapi ia tidak segera dapat merebutnya dan membawanya kembali kepasukannya. Bahkan semakin lama semakin terasa bahwa pasukan Tanah Perdikan Menoreh akan berhasil menguasai keadaan, sementara ia kini tidak segera dapat mengalahkan Ki Gede Menoreh.
Sekali-sekali terdengar Ki Tumenggung Wanakerti menggeram tetapi bagaimanapun juga ia tidak dapat memaksakan kehendaknya. Ia sudah mempergunakan kemampuannya yang mungkin dapat dituangkan di dalam tata gerak dan sikap didalam peperangan itu. Namun Ki Gede Menoreh ternyata juga memiliki kemampuan yang luar biasa.
Sementara itu, Agung Sedayu mulai mengarahkan perhatiannya kepada pusaka-pusaka yang sedang diperbutkan. Pusaka-pusaka itulah pokok peroalannya, meskipun hanya sekedar sebagai lantaran hadirnya wahyu menurut kepercayaan orang-orang yang sedang bertempur mati-matian itu.
"Pusaka-pusaka itu harus segera dikuasai," berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri, "jika malam turun, dan keadaan menjadi gelap, maka kemungkinan yang pahit dapat saja terjadi didalam kelamnya malam.
Itulah sebabnya maka Agung Sedayu bertekad untuk menguasai pusaka-pusaka itu sebelum gelap menyelubungi lembah.
Dorongan itulah yang kemudian memaksa Agung Sedayu untuk bertempur lebih dahsyat lagi. Meskipun seakan-akan ia hanya sekedar mencari jalan untuk dapat mencapai pusaka-pusaka itu, namun orang-orang yang menghalanginya harus dihalaunya. Sehingga sengaja atau tidak sengaja, maka cambuknya telah menelan korban diantara lawan-lawannya.
Baik para pengikut Ki Gede Telengan yang telah kehilangan pimpinan itu, maupun pengikut Ki Tumenggung Wanakerti benar-benar telah tercengkam oleh kegelisahan. Bahkan Ki Tumenggung Wanakerti sendiri menjadi cemas melihat perkembangan terakhir dari keadaan Agung Sedayu sangat cepat melampui dugaannya.
" Anak itu tidak mati," tiba-tiba saja ia menggeram.
Ki Gede Menoreh tersenyum. Sambil bertempur ia masih sempat menjawab, "Sudah aku katakan ia adalah seorang anak muda yang luar biasa."
Ki Tumenggung Wanakerti tidak menyahut. Namun ia bertempur semakin sengit. Serangan-serangannya mulai mengarah kebagian tubuh Ki Gede Menoreh yang paling berbahaya.
Namun Ki Gedepun selalu berhasil melindungi dirinya. Seperti saat-saat yang pernah terjadi dalam benturan senjata setelah kakiya cacat ia tidak terlalu banyak bergerak. Ia hanya bergeser saja menghadap kemana lawannya melenting dan dari arah mana serangan itu datang. Meskipun demikian sekali-sekali jika perlu, Ki Gede Menoreh masih juga sempat meloncat dengan terpaksa.
"Kakimu timpang," teriak Ki Tumenggung, "tetapi kau masih mampu bertempur demikian sengitnya. Namun demikian aku mengerti karena diajari oleh pengalaman bahwa orang-orang timpang seperti kau pada suatu ketika tentu akan terganggu oleh carat kakimu."
Ki Gede Menoreh mengerutkan keningnya tetapi ia percaya bahwa pandangan Ki Tumenggung Wanakerti yang tajam tidak akan dapat terkelabui. Kakinya memang sudah cacat meskipun nampaknya hampir pulih kembali.
Dalam pertempuran yang paling sengit kemudian ternyata seperti yang pernah terjadi, sesuatu terasa mulai mengganggu kakinya. Cacat yang pada saat-saat yang gawat akan dapat mengurangi kemampuannya bergerak.
Sementara itu, Agung Sedayu maju perlahan-lahan mendekati kedua pusaka yang dipertahankan mati-matian oleh para pengikut Ki Gede Telengan. Bahkan ke"mudian para pengikut Ki Tumenggung Wanakertipun telah bersama-sama dengan mereka mencegah hadirnya Agung Sedayu. Dengan susah payah mereka mencoba menahan anak muda itu. Namun agakaya Agung Sedayu memang memiliki kelebihan. Setiap kali cam"buknya meledak, maka setiap kali berhasil maju selangkah.
"Gila," teriak seorang Senapati pengawal Ki Tumenggung Wanakerti yang membantu mencegah Agung Sedayu merebut pusaka itu, "anak iblis ini benar-benar luar biasa."
Diluar sadarnya seorang pengikut Ki Gede Telengan justru menyahut, "ia telah membunuh Ki Gede Talengan. Dan sekarang datang gilirannya anak itu membunuhmu."
Senapati Pajang yang berada diantara orang-orang dilembah itupun menyahut, "Aku akan membunuhnya sebelum aku meremukkan kepalamu."
Pengikut Ki Gede Telengan itu tertawa. Bukan karena kagembiraan atau kelucuan yang telah menggelitik hati tetapi justru karena kekecutan hatinya menghadapi keputus asaan, sehingga tertawanya yang meninggi itupun bagaikan teriakan sesambat seorang anak yang sedang diterkam oleh seekor harimau yang garang.
Namun saat tertawa itu sangat menyakitkan hati Senapati itu. Dengan garangnya ia berkata, "Bukalah matamu. Aku akam membunuhnya."
Tetapi Senapati itu cukup berpengalaman untuk membawa tiga orang prajurit Pajang untuk melawan Agung Sedayu.
Sejenak kemudian Agung Sedayu telah mengalami hambatan. Senapati itu dengan mengerahkan segenap kemampuannya telah melawan Agung Sedayu bersama tiga orang prajuritnya.
Namun Senopati bersama tiga orang prajurit Pajang yang berpihak kepada orang dilembah itu, setiap kali termangu-mangu. Ledakan cambuk Agung Sedayu benar-benar telah menggetarkan dada mereka. Ujung cambuk itu bagaikan bermata yang dapat melihat dimanakah lawan anak muda ada, bahkan dapat menge"tahui dibagian mana ujung cambuk itu harus menyusup menyentuh lawan.
Empat orang lawan Agung Sedayu itu tidak terlalu banyak dapat berbuat. Mereka hanya dapat menahan Agung Sedayu untuk tidak lebih mendekati pusaka-pusaka itu lagi.
Agung Sedayu yang masih lelah itu termangu-mangu. Jika orang-orang dari dua pihak lawan itu tetap berkeras mempertahankan pusaka-pusaka itu, maka memang tidak ada cara lain daripada dengan keke"rasan, sementara matahari menjadi semakin rendah dan hampir menyentuh ujung dedaunan di arah Barat.
Itulah sebabnya, maka akhirnya Agung Sedayu dengan berat hati terpaksa memaksa diri untuk dapat menembus hambatan-hambatan yang ada agar ia dapat mencapai pusaka-pusaka itu sebelum gelap menyelubungi lembah.
Keragu-raguan terasa menjalari jantung anak muda itu. Namun kemudian ketika terpandang olehnya selongsong putih pada pusaka-pusaka itu, hatiya ba"gaikan tergerak.
Ternyata bahwa sebenarnya Agung Sedayu tidak banyak mengalami hambatan dan lawan-lawannya. Senjatanya dengan dahsyatnya telah mengusir dan menyibakkan para Senapai dan prnjurit yang melawannya. Tetapi hambatan terbesar justru datang dari diriya sendiri. Meskipun ia sudah terlalu sering mengalami pertempuran, namun ia masih terkejut dan bahkan menjadi berdebar-debar jika ia mendengar seseorang memekik kesakitan justru kena ujung cambuknya.
Terhadap kematian Ki Gede Telengan Agung Se"dayu tidak banyak mengalami kejutan batin selain kelemahan yang sangat. Kematian orang itu, seakan-akan memang seharusnya terjadi bagi keselamatan sesama dimasa mendatang. Tetapi hambatan prajurit-prajurit kecil benar-benar telah menjadi persoalan didalam hati Agung Sedayu.
Karena itulah maka kadang-kadang kemajuannya justru menjadi lamban. Namun jika nalarnya sempat ikut menentukan sikapnya, maka iapun menjadi agak keras menghadapi lawan-lawannya.
Meskipun tersendat-sendat namun Agung Sedayu menjadi semakin dekat dengan pusaka-pusaka yang diduga berasal dari Mataram itu, karena bentuk yang nampak, keduanya adalah sesosok payung dan sebatang tombak.
Sementara itu Ki Tumenggung Wanakerti mulai melihat kelemahan Ki Gede Menoreh dalam pertempuran yang semakin sengit.Ia dapat mengetahui bahwa dalam pertempuran yang mengerahkan segenap ilmu kaki Ki Gede Menoreh mulai terasa mengganggu. Betapapun tinggi ilmu Ki Gede Menoreh dan betapa cermat ia memperhitungkan keadaan dirinya, namun kemudian ternyata bahwa keaadaan kakinya mulai menghambat segala-galanya.
Meskipun demikian, Ki Tumenggung masih belum berhasil mendesaknya. Namun dengan lantang ia berkata, "Tak ada yang dapat kau lakukan lagi Ki Gede. Kakimu yang timpang telah menentukan nasibmu. Aku tidak akan berbelas kasihan meskipun kau akan menangis menyesal, nasibmu yang buruk. Kematianmu akan menghancurkan seluruh Tanah Perdikanmu yang subur, meskipun dilereng pegunungan."
Ki Gede Menoreh mengerutkan keningnya. Ia memang sudah merasa bahwa sebentar lagi, kekuatannya tentu akan susut. Jika kakinya meniadi semakin kambuh, ia tentu akan mengalami banyak kesulitan.
Tetapi Ki Gede Menoreh adalah orang yang cukup berpengalaman. Ia masih berhasil menyesuaikan diri dengan perkembangan keadaan tubuhnya. Karena itu, gerak kakinyta menjadi menjadi semakin terbatas. Meskipun de"mikian ia masih mampu menghadapi Ki Tumenggung Wanakerti.
Ketika langit menjadi remang-remang Ki Tumenggung Wanakerti menjadi semakin mantap. Kaki Ki Gede Menoreh mulai nampak semakin parah meskipun ia masih bertahan dengan gigihnya.
Tetapi ternyata kegelisahan yang lain telah timbul pada Ki Tumenggung Wanakerti. Ia melihat Agung Sedrayu menjadi semakin dekat dengan kedua pusaka itu. Perlahan-lahan Agung Sedayu berusaha mengusir hambatan didalam dirinya sehingga ia dengan nalar telah dapat memaksa diri untuk merebut pusaka-pusaka itu dengan mengorbankan beberapa orang yang menghalanginya.
"Anak iblis itu memang harus dibunuh lebih dahulu," berkata Ki Tumenggung Wanakerti didalam hatinya. Namun iapun sadar bahwa yang disebutnya anak iblis itu telah berhasil membunuh orang yang bernama Ki Gede Telengan. Dan Ki Tumenggung Wanakerti tidak dapat mengingkari, bahwa Ki Gede Telengan adalah orang yang luar biasa.
Semenrara itu didaerah pertempuran pada pasukan induk dari kedua belah pihak yang bermusuhan perang masih berlangsung dengan dahsyatnya. Masing-masing ternyata memiliki kelebihan dan kekuranganaya sehingga pertempuran itu benar-benar merupakan pertempuran yang mengerikan. Setiap kali diantara sorak dan teriakan dendam, terdengar jerit dari orang kesakitan. Darah menjadi semakin banyak menitik diatas tanah yang berdebu.
Raden Sutawijaya telah bertempur bagaikan banteng terluka. Ia melawan siapa saja yang ada dihadapannya. Ia sadar, bahwa Tumenggung Wanakerti sedang meninggalkan arena pertempuran sementara sekelompok kecil Senapati bawhannya telah menggantikannya.
Disebelah menyebelah Swandaru meledakkan cambukya tidak henti-hentinya. Lawannya menjadi ngeri dan tergetar hatinya melihat putaran ujung cambuk yang dahsyat itu, sementara Pandan Wangi yang bersenjata sepasang pedang, bertempur bagaikan seekor harimau betina yang kehilangan anak-anaknya.
Sementara bayangan putih yang bergulung-gulung telah mencemaskan beberapa orang disekitarnya. Sekar Mirah benar-benar menguasai, bagaimana ia harus mempergunakan tongkatnya yang sudah banyak dikenal oleh para prajurit Pajang. Apalagi mereka yang pernah berhubungan dengan Jipang pada saat Jipang masih tegak sebagai sebuah Kadipaten yang di"pimpin oleh Arya Jipang.
Prastawa yang ada diinduk pasukan Tanah Perdikan Menoreh berhasil mengguncang arena itu. Orang-orang yang ada dilembah itu terpengaruh oleh kehadirannya diarena. Namun pengawal Tanah Per"dikan Menoreh yang dibawa oleh Prastawa jumlahnya tidak terlalu banyak.
Meskipun demikian, jumlah yang sedikit itu telah berhasil memecah perhatian orang-orang yang berkumpul di lembah itu. Gelar yang membaur diantara lawan. memang telah menyerap perhatian lawan yang menyongsongnya. Tetapi lawanpun memiliki kemam"puan yang cukup untuk menyesuaikan diri dengan gelar yang mengejut itu.
Prastawa yang memimpin pasukannya langsung menyerang induk pasukan lawan dari arah belakang. Ia segera bertempur bagaikan harimau lapar. Ia ingin menunjukkan, bahwa ia adalah kemanakan Kepala Tanah Perd"kan Menoreh, sehingga iapun memiliki kemampuan yang melampaui kemampuan orang kebanyakan.
Setiap kali Prastawa mendengar ledakan-ledakan cambuk di garis perang yang lain. Agaknya dibagian Timur, Swandarupun telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk membunuh lawan-lawannya.
Ki Waskita yang kemudian sudah berada dimedan itu pula, memperhatikan keadaan dengan saksama. Sebenarnya gelar yang membentur itu kurang disetujuinya. Ia mencemaskan anak-anak muda yang belum banyak berpengalaman. Namun semuanya sudah berlangsung. Perintah Prastawa telah dilaksanakan. Pasukan Tanah Perdikan Menoreh menyerang dalam gelar yang memerlukan kemampuan seorang demi seorang.
Ki Waskita sendiri tidak merasakan kesulitan apa"pun pada saat ia berada dimedan. Namun perhatiannya lebih banyak ditujukan kepada anak-anak muda yang baru saja memasuki arena peperangan yang sebenarnya untuk yang pertama kali.
Sekali-sekali Ki Waskita memang harus menolong mereka yang mengalami kesulitan. Dengan cermat ia mengikuti pertempursn itu diarena yang luas. Sekali-sekali Ki Waskita melomcat keujung pertempuran ketika ia melihat seorang pengawal Tanah Perdikan yang terdorong jatuh sementara lawannya sudah siap menusuk dengan tombaknya. Dengan tangkasnya Ki Waskita berhasil mendesak lawan itu untuk meloncat menghindari senjatanya. Sehingga pengawal yang jatuh itu sempat bangun kembali dan siap untuk bertempur.
Dikesempatan lain. Ki Waskita harus menyusup jauh kedalam garis perang. Jika ia melihat seorang pengawal yang terjebak kedalam himpitan pasukan lawan. Dengan garangnya ia berusaha untuk menyelamatkan pengawal itu dan menariknya kembali kegaris pertempuran.
"Pertempuran yang terjadi dalam gelar ini sebenarnya kurang menguntungkan," desisnya.
Namun ia dapat mengerti, kenapa Prastawa me"milih gelar itu, Ki Waskita mengerti bahwa diujung yang lain, sayap pasukan Tanah Perdikan Menoreh telah tertahan, sehingga Prastawa ingin membenturkan pasukan yang sedikit itu kesegenap garis perang.
Dalam pada itu. pasukan yang ada dilembsh itupun harus menghadapi dua arah yang berbeda. Diarah Timur, pasukan Materam dan Kademangan Sangkal Putung berada dalam gelar sedang dibagian Barat pasukan Tanah Perdikan Menoreh telah menebarkan pasukannya langsung kedalam lingkungan lawan dalam gelar Glatik Neba, sehingga yang timbul kemudian adalah perang brubuh yang tidak dibatasi oleh garis ben"turan.
Namun ternyata kemudian bahwa keadaan pasukan Tanah Perdikan Menoreh agak kurang menguntungkan. Seorang demi seorang, bekas prajurit Pajang, mempunyai kelebihan dari anak-anak muda yang baru pertama kali mengenal pertempuran yang sebenarnya. Meskipun Prastawa sendiri ternyata memiliki beberapa kelebihan, tetapi pengawal-pengawal yang dibawanya berada dalam keadaan yang lain.
Namun sementara itu, pasukan Mataram dan Sangkal Putung telah menemukan keseimbangannya dalam benturan kekuatan dengan pasukan lawan. Karena sebagian dari pasukan lawan harus menarik diri dan melawan pasukan Tanah Perdikan Menoreh, maka pasukan yang berada dilembah itu tidak lagi dapat mendesaknya surut.
Dalam pada itu, Senapati yang mengalami pertempuran melawan pasukan Tanah Perdikan Menoreh se"gera melihat kelemahan pasukan lawan itu. Mereka melihat bahwa anak-anak muda didalam pasukan Prastlawa masih harus bertempur berpasangan. Kadang-kadang pengawal yang lebih tua harus membe"rikan perlindungan jika anak-anak muda itu menjadi bingung.
Karena itulah, maka iapun telah menemukan cara yang sangat menentukan.
Senapati itu ternyata cerdik sakali. ia tidak saja mempergunakan senjatanya untuk mengalahkan lawannya. Tetapi iapun berusaha umuk membuat kejutan-kejutan yang dapat mempengaruhi langsung perasaan pengawal-pengawal muda.
Karena itu. maka tiba-tiba saja Senopati itupun berteriak memberikan aba-aba, "Kita hancurkan dahulu pasukan yang kehilangan ikatan ini. Mereka seperti pasir yang terbaur dimedan yang garang. Bunuh se"muanya baru kita menghiraukan pasukan Mataram yang sudah hampir binasa itu.
Suara itu telah terdengar oleh pasukan yang sedang bartempur disekitar Senopati itu. Apalagi ketika perintah itu disahut dan diteruskan oleh teriakan-teriakan para kelompok dari pasukan yang berada dilembah itu.
Seperti yang dimaksud, maka pengawal Tanah Per"dikan Menoreh yang masih belum berpengalaman telah menjadi kecut mendengar perintah yang sahut-menyahut. Dada mereka menjadi bergetar karena kegelisahan.
Prastawa menjadi sangat marah mendengar perintah itu. Karena itu iapun segera menyahut, "Jangan cemas. Pasukan yang kita hadapi sudah menjadi putus asa."
Tetapi tidak terdengar suara lain yang menyahut. Agaknya para pemimpin kelompok dari Tanah Perdikan Menoreh itupun sedang sibuk dengan anak buah masing-masing. Apalagi mereka telah berpencaran menebar di arena yang panjang.
Maniun ternyata bahwa perintah itu tidak saja ter"dengar oleh lawan yang datang dari sebelah Barat. Para pengawal Mataram dan Sangkal Putungpun ternyata telah mendengarnya pula.
Bahkan Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga itupun mendengar perintah yang sam"bung menyambung pada padukan lawan agar mereka menghancurkan pasukan Tanah Perdikan Menoreh lebih dahulu.
Karena itulah maka iapun menjadi berdebar-debar. Jika perintah itu dilaksanakan, maka Tanah Perdikan Menoreh akan memberikan terlalu banyak pengorbanan bagi kepentingan Mataram sementara Raden Sutawijaya masih belum mendapatkan gambar"an yang pasti tentang gelar pasukan Tanah Perdikan Menoreh.
Itutah sebabnya, maka iapun kemudian memerin"tahkah dua orang penghubung pilihan untuk mencari keterangan diseberang garis perang, untuk mendapatkan keterangan yang pasti tentang pasukan Tanah Perdikan Mahoreh.
Tetapi berhati-hatilah. Sementara aku akan memberikan tekanan kepada pasukan lawan, agar mereka tidak dengan semena-mena menghancurkan pasukan Tunah Perdikan Menoreh."
Pengubung itupun kemudian minta diri untuk mencari jalan menuju kebagian Barat dari arena pertempuran.
"Jika perlu, kami akan memanjat tebing agak tinggi untuk menghindari lawan," berkata penghubung itu.
"Terserahlah kepadamu. Tetapi jangan sampai terjadi salah paham justru dengan pasukan Menoreh mendiri."
Penghubung itupun kemudian meninggalkan pasukannya, menyusup dibelakang garis perang menepi memanjat tebing yang terlindung oleh pepohonan. Namun sementara itu. Raden Sutawijaya telah mem"berikan tekanan kepada pasukan lawan. Iapun kemudian memberikan perintah, "Jangan beri kesempatan kepada orang-orang yang telah berkhianat terhadap Pajang dan Mataram. Mereka sudah kehilangan pegangan."
Barbeda dengan suara Prastawa, maka dalam gelar yang mapan, setiap pemimpin kelompok pasukan Mataram menyambut perintah itu dan meneriakannya dengan cara masing-masing, bahkan para pemimpin kelompok pasukan pengawal Sangkal Putung pun telah menyambutnya pula.
Di sayap pasukan Mataram dan Kademangan Sangkal Putung perintah bekas Senapati yang memimpin pasukan dilembah itupun terdengar pula. Juga terde"ngar oleh Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar diujung-ujung yang berseberangan.
Namun dalam pada itu, Ki Waskita telah mende"ngar pula perintah itu, sehingga dadanya menjadi ber"debar oleh debar dijantungnya.
"Jika benar, maka pasukan Tanah Perdikan Menoreh akan mengalami kesulitan," katanya didalam hati. Namun sebenarnyalah bahwa ia mulai melihat kesulitan pada diri sendiri. Bahkan karena ia takut menghadapi akibat dari perintah Senapati dari pasukan yang berada di lembah itu, tetapi dengan demikian ia harus benar-benar bertempur dengan segenap kemam"puannya. Dan itu berarti bahwa ia akan membunuh lawan lebih banyak lagi.
Dalam kebimbangan itu, Ki Waskita mulai melihat kegelisahan digaris perang. Agaknya lawan yang mendengar perintah itu mencoba untuk melakukannya. Menghancurkan pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang lemah. Baru kemudian mereka akan menghadapi sepenuhnya pasukan Mataram.
Untuk beberapa saat Ki Waskita menunggu. Namum agaknya pasukan dilembah itu benar-benar telah memalingkan perhatian mereka terutama pada pasukan Tanah Perdikan yang lemah. Sebagian dari mereka sekedar menahan tekanan pasukan Mataram dan Sangkal Putung, sementara kekuatan mereka telah beralih pada pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang menyerang mereka dengan gelar yang kurang mengun"tungkan bagi para Pengawal yang masih muda dan belum berpengalaman.
"Tidak ada pilihan lain." desis Ki Waskita.
Karena itu maka ia mulai mempersiapkan diri untuk bertempur lebih dahsyat lagi. Mungkin ia akan terpaksa membunuh dan membunuh. Tetapi mungkin nasib buruk akan dapat menimpanya karena Ki Waskitapun sadar bahwa diantara orang-orang dilembah itu terdapat orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi.
Ternyata seperti yang diperhitungkan, Ki Waskita benar-benar harus meningkatkan tenaganya menghadapi arus yang rasa-rasanya menjadi semakin deras, mendorongnya.
Anak-anak muda dari Tanah Perdikan Menoreh yang belum berpengalaman menjadi semakin bingung. Pasukan di lembah itu rasa-rasanya mulai memutar haluan perangnya. Mereka sebagian besar telah berpaling dan menghadapi pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang lemah.
Dengan demikian, maka Ki Waskita tidak dapat bersikap lain kecuali melihat kenyataan, bahwa korban dari Tanah Perdikan Menoreh tentu akan berlipat ganda jika anak-anak muda itu dibiarkannya kebingungan.
Karena itulah, maka tiba-tiba saja Ki Waskita menjadi garang ia tidak lagi sekedar bertempur melindungi satu dua orang, tetapi ia telah memilih cara yang baik untuk menyelamatkan pasukan Tanah Perdikan Menoreh, terutama disayap yang hanya sebelah itu.
Sikap Ki Waskita telah mengejutkan orang-orang yang berada dilembah itu. Ketika ia mulai memutar senjatanya dan berloncatan, maka orang-orang dilembah itu menganggapnya sebagai orang yang sedang bingung. Namun karena kemudian ternyata senjatanya mulai menyentuh bagian-bagian terpenting dari lawan-lawannya. maka merekapun mulai memperhatikannya.
Kawannya mengerutkan keningnya. Dengan garang ia berkata, Aku akan membunuhnya," desis seseorang.
Tetapi ketika ia berusaha mendekati Ki Waskita, tiba-tiba saja ia terpekik. Hampir diluar penglihatan matanya, tiba-tiba saja ujung pedang lawan telah menghunjam dipundaknya, sehingga iapun terdorong surut, dan jatuh diatas tanah yang memang sudah merah oleh darah.
"O," desisnya. Tetapi orang yang melukainya telah meloncat pergi dan menghunjamkan senjataya pada orang lain lagi.
Namun betapapun juga garangnya Ki Waskita, tetapi lawan semakin lama rasa-rasanya menjadi semakin banyak. Pasukan lawan seakan-akan benar-benar telah menghadap pasukan pengawal Tanah Perdikan yang lemah, sehingga beberapa saat kemudian, hampir setiap orang berbaur disepanjang medan telah terdepak mundur.
Tatapi dengan demikian, Ki Waskita menjadi lebih banyak melukai dan bahkan membunuh. Lawan tidak henti-hentinya mengalir. Yang satu terlempar, dua orang datang menyusul. Yang dua tersingkirkan, tiga telah bersiap menyerangnya.
Ki Waskita menjedi berdebar-debar. Apakah ia harus membunuh dan melukai berpuluh-puluh orang yang ilmunya tidak seimbang.
Tetapi Ki Waskita belum menjumpai orang yang memiliki ilmu yang melampaui sesama.
Dalam pada itu. Empu Pinang Aring tidak dapat berbuat lain kecuali bertempur melawan Kiai Gringsing. Meskipun Ia mendengar juga perintah untuk menghancurkan dahulu pasukan Tanah perdikan Menoreh, namun orang bercambuk itu telah mengikatnya dalam pertempuran yang garang. Bahkan setiap kali ia telah merasa terdesak oleh kecepatan ilmu Kiai Gringsing, yang dilambari dengan kekuntan batin yang luar biasa.
Empu Pinang Aring sendiri orang yang pilih tanding. Jarang sekali terdapat orang yang memiliki ber"bagai macam ilmu seperti Empu Pinang Aring.
Namun berhadapan dengan Kiai Gringsing, ia harus mengakui, bahwa ujung cambuk lawannya masih lebih lincah dari ujung senjatanya yang mengerikan.
Namun sementara itu, Ki Jagaraga yang harus bertempur melawan sekelompok orang-orang Mataram telah mejadi jemu berloncatan dan saling mamburu. Karena itu, perintah yang didengarnya telah memberikan kemungkinan baru pada arena yang semakin kisruh menjelang matahari turun kebali Gunung.
Itulah sebabnya, maka iapun kamudian berpaling menghadap pasukan Tanah Perdikan Menoreh. Ia ingin menemukan arena pertempuran yang lain daripada melawan sekelompok orang-orang Mataram yang seakan-akan telah membatasinya dalam lingkungan yang ketat.
Tetapi Ki Jagaraga sama sekali tidak menduga, bahwa ketika ia melepaskan diri dari lawan-lawannya dan muncul di garis perang dalam keadaan yang lebih kisruh lagi, seseorang selalu mengawasinya.
"Ternyaia ada juga orang yang harus aku perhatikan," berkata Ki Waskita didalam hatinya.
Agaknya Ki Jagaraga ingin mendapatkan kesempatan membunuh sebanyak-banyaknya. Sejenak ia mengawasi perang brubuh yang semakin tidak seimbang, karena pasukan dilembah itu menguasai hampir disetiap titik pertempuran.
Namun ketika ia mulai menggeram bagaikan hantu yang kahausan melihat titik-titik darah ditubuh mangsanya, telah dikejutkan oleh hadirnya seseorang. Agaknya Ki Waskita tidak dapat membiarkan pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang parah menjadi semakin parah.
Ki Jagaraga tertegun sejenak ketika tiba-tiba saja Ki Waskita sudah berada dihadapannya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, "He. siapa kau" Apakah kau dengan sengaja menjumpai aku, atau secara kebetulan saja kau berdiri dihadapanku?"
"Mungkin secara kebetulan," jawab Ki Waskita, "kita berada dimedan pertempuran."
"Persetan. Jika secara kebetulan kau berada dihadapanku sekarang maka nasibmu adalah nasib yang paling buruk. Mungkin akhirnya kau akan mati juga tanpa aku, tetapi mungkin kau masih mempunyai waktu untuk melihat matahari tenggelam dan bintang-bintang gemerlapan dilangit. Tetapi dihadapanku umurmu tidak lebih dlari dua tiga kejapan mata."
Ki Waskita mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya, "Yang aku lakukun adalah tugas seorang pengawal. Apapun yang terjadi adalah kejadian yang wajar sekali bagi seorang dimedan perang."
Ki Jagaraga menggeram. Wajahnya menjadi merah membara. Orang yang berdiri dihadapannya nampaknya tetap tenang mengahadapinya. Ia sama sekali tidak menjadi ketakutan dan cemas.
Namun Ki Waskita memang manjadi kecut hatinnya. Bukan karena dirinya sendiri. Tetapi jika ia terikat dalam partempuran melawan seseorang, maka keadaan para pengawal Tanah Perdikan tentu akan lebih buruk.
Tetapi ia tidak sempat membuat banyak pertimbangan. Ki Jagaraga yang demikian marahnya telah menyerangnya dengan dahsyatnya. Orang itu ingin membunuh Ki Waskita pada serangannya yang pertama seperti dikatakannya bahwa lawannya itu hanya mendapat kesempatan hidup beberapa kejap saja.
Namun ternyata bahwa Ki Waskita sempat mengelak. Serangan Kiai Jagaraga sama sekali tidak menyentuhnya. Pakaiannyapun tidak.
Dengan geram maka Kiai Jagaraga telah mengulangi serangannya. Namun seperti yang telah dilakukannya Ki Waskita sempat mengelak, dan bahkan iapun kemudian telah menyerangnya kembali dengan kecepatan diluar dugaannya.
Sementara itu para penghubung yang ditugaskan oleh Raden Sutawijaya telah kembali. Ia telah berhasil memutari ujung sayap dengan memanjat tebing dan melihat pertempuran dibagian Barat.
"Nampaknya pasukan Tanah Perdikan Menoreh berada dalam kesulitan," berkata penghubung itu setelah ia menemui Raden Sutawijaya di induk pasukan tidak nampak ada pemimpin yang kuat dimedan.
Raden Sutawijaya mengangguk. Ia sadar, bahwa jika tidak ada tindakan yang dilakukannya, maka pasu"kan Tanah Perdikan Menoreh akan mengalami nasib yang buruk sekali.
Setelah sejenak ia menimbang, maka tiba-tiba saja Raden Sutawijaya menarik diri dan menjumpai Ki Juru Martani. Katanya, "Aku akan membaurkan sebagian dari orang-orangku untuk menyusup sampai keseberang."
Ki Juru merenungi kata-kata Raden Sutawijaya;. Tetapi Ki Juru Martani tidak melihat kemungkinah lain. Satu-satunya cara untuk menyelamatkan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh adalah dengan cara itu meskipun itu berarti bahwa gelar perangnya akan menjadi kabur.
Karena itu maka Ki Jurupun kemudian mengangguk sambil menjawab, " Lakukanlah. Jika benar pasukan itu hancur maka Mataram akan mempunyai hutang yang tidak terbayarkan. Dan menurut laporan mereka mempergunakan gelar Glatik Neba atau Pacar Wutah. Tetapi tidak nampak seorangpun yang dapat menjadi ancar-ancar pertempuran yang dahsyat itu."
"Apakah Ki Gede Menoreh tidak ada didalam gelar yang berbahaya itu?" bertanya Ki Juru Martani.
Penghubung yang telah menyaksikan kesulitan di garis perang sebelah Barat tidak dapat menjawab dengan pasti. Dengan ragu-ragu ia hanya dapat menjawab, "Aku belum melihatnya. Mungkin ia berada diantara pertempuran yang hiruk pikuk."
Ki Juru menganggu-angguk. "Sebentar lagi matahari akan turun. Jika orang-orang dilembah itu tidak ingin menghentikan pntempuran maka keadaan orang-orang dari Tanah Perdikan Menoreh tentu akan lebih parah lagi."
"Danang Sutawijaya," berkata Ki Juru kemudian, "lakukanlah. Semakin cepat, semakin baik."
Raden Sutawijaya mengangguk. Katanya, "Kehadiran pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh memberikan banyak sekali pertolongan bagi pasukan Mataram dan Sangkal Putung. Karena itu, maka kehadirannya harus dipertahankan. Tetapi kita harus memilih, siapakah yang akan kita kirimkan keseberang, menerobos atau melingkari lawan."
"Cepatlah. Lakukanlah siapapun yang akan kau kirimkan." desak Ki Juru Martani. "tetapi lebih baik melingkari ujung-ujung pertempuran."
Raden Sutawijaya mengangguk. Kemudian iapun memanggil beberapa orang penghubung. Diperintahkannya kepada para pemimpin sayap pasukan Mataram untuk memerintahkan sebagian dari pasukannya untuk meninggalkan gelar, dan memasuki arena dalam gelar yang khusus. Mereka harus berusaha menyusup diantara lawan sampai keseberang, lewat ujung dari medan dilereng Gunung.
Para penghubung itupun dengan segera menyampaikan perintah Raden Sutawijaya kepada para Senapati. Mereka harus memasuki arena yang lebih luas, melingkari ujung sayap.
Perintah itu cukup jelas bagi para Senapati. Karena lawan mereka sebagian telah ditarik keseberang, maka tekanan pasukan lawan memang menjadi jauh berkurang. Karena itulah, maka para Senopatipun segara memberikan penntah sambung-bersambung kepada beberapa kelompok yang berada dipaling ujung.
Dengan tergesa-gesa pemimpin kelompok itu menarik pasukannya. Kemudian membawa mereka melingkari ujung sayap untuk mamasuki garis perang diseberang.
"Kita akan mempergunakan gelar yang lain diseberang." berkata setiap Senopati yang telah mendapat penjelasan tentang keadaan medan diseberang, "kita akan memasuki arena dalam Glatik Neba."
Para pengawal pun segera menyesuaikan diri dengan keadaan yang akan mereka hadapi. Mereka mempersiapkan diri untuk memasuki perang brubuh yang sulit. Apalagi matahari telah menjadi semakin rendah.
"Kalian adalah pengawal yang pernah mendapai latihan menghadapi segala medan," para Senopati memantapkan setiap hati prajurit. "kalian akan mempertaruhkan kemampuan kalian secara pribadi didalam perang brubuh. Tetapi kita tidak boleh lepas dari ikatan. Apalagi jika malam turun dan kita harus memelihara ketahanan diri dalam perang karena agaknya orang-orang dilembah ini tidak akan berhenti digelapnya malam."
Tetapi sejalan dengan susutnya pasukan di lembah itu pula, karena sebagian dari merekapun telah berpaling karena yang baru, yang nampaknya lebih menyenangkan untuk melepaskan nafsu membunuh sebanyak-banyaknya.
Sutawijaya yang kemudian kembali keinduk pasukan merasa selalu digelisahkan oleh keadaan pasukan Tanah perdikan Menoreh, justru karena ia bertanggung jawab ata keseluruhan medan. Meskipun ia telah mengirimkan sebagian dari pasukannya dan para penghubungnya telah mamberitahukannya pula kepada pasukan Sangkal Putung, namun hatinya masih tetap gelisah. Jika pasukannya melingkari sayap, maka mereka memerlukan waktu untuk mencapai medan di seberang. Bahkan mungkin mereka akan segera terikat dalam pertemparan diujung-ujung sayap itu saja, sementara Induk pasukan Tanah Perdikan Menoreh akan tetap mengalami kesulitan.
Dalam kegelisahan itu, maka Raden Sutawijayapun segera mengambil keputusan. Diperintahkannya seo"rang penghubung menyampaikan pesannya kepada Swandaru agar pimpinan pasukan Sangkal Putung itu tetap berada diinduk pasukan bersama Sekar Mirah dan Pandan Wangi.
"Katakan aku akan menyusup menyeberangi pasukan lawan sampai kearena disebelah Barat," berkata Sutawijaya.
"Itu berbahaya sekali," seorang pengawalnya berusaha mencegahnya.
Tetapi Sutawijaya tidak menghiraukannya. Dipanggilnya pengawal-pengawalnya yang terpercaya untuk dibawa menerobos masuk kedalam pasukan lawan dan akan muncul diseberang diantara pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang terdesak.
Sejenak kemudian Raden Sutawijaya sudah siap. Ia tidak sempat minta pertimbangan Ki Juru Martani. Seperti kepada Swandaru iapun hanya mamberikan pesan, bahwa ia sendirilah yang akan menerobos masuk menembus pasukan lawan.
Ternyata Raden Sutawijaya benar-benar melaku"kan apa yang dikatakannya. Dengan sekelompok pengawal terkuat, Raden Sutawijaya tiba-tiba saja telah menenggelamkan diri kedalam garis pertahanan lawan. Beberapa orang pengawalnya yang lain melindunginya dengan memberikan tekanan sekuat-kuat dapat mereka lakukan disekitar lubang tusukan sekelompok kecil pengawal yang bersama Raden Sutawijaya berusaha untuk menembus pasukan lawan, sementara baberapa orang yang lain telah mengaburkannya dengan membenturkan diri kedalam pasukan lawan dan langsung manuk pula ke seberang.
Sejenak diinduk pasukan itu terjadi goncangan-goncangan. Swandaru yang semula belum mengerti keadaannya terpengaruh pula oleh keadaan yang tiba-tiba itu. Namun kemudian ketika seorang penghubung telah menyampaikannya kepadanya, maka Swandarupun segera menempatkan diri dipusat induk pasukannya untuk menjadi jejer dalam perang gelar itu.
Ternyata Raden Suiawijayapun benar-benar seorang senopati pinunjul. Dengan kemampuannya bersama beberapa orang pengawal ia dapat menyusup masuk menembus lawan yang terkejut sehingga merekapun diluar sadarnya telah menyibak.
Tusukan langsung di induk pasukan itu benar-benar telah menggemparkan para Senopati bekas Prajurit Pajang yang ada diantara mereka yang berada dilembah itu. Tindakan Raden Sutawijaya benar-benar tidak mereka duga.
Dalam pada itu. Senepati yang memiliki pasukan di lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu itu segera menyadari, apa yang sedang dihadapinya. Karena itulah, maka iapun kemudian berteriak, "Cegah orang itu. Atau bunuh saja Sutawijaya yang gila itu."
Perintah itu seakan-akan telah membangunkan pengikut-pengikutnya yang terpukau oleh Peristiwa yang tidak mereka sangka akan terjadi. Bahkan merekapun segera berhasil menguasai diri masing-masing ketika mereka melihat Senapatinya langsung menyerang Raden Sutawijaya.
Namun dalam pada itu, Swandaru telah berada di pusat pasukan induknya. Ia telah menjadi jejer dari gelar perang pasukan Mataram dan Sangkal Putung. Cambuknya terdengar semakin keras meledak, bagaikan guntur dilangit. Sementara isterinya, Pandan Wangi ternyata telah membingungkan lawannya. Disebelah Sekar Mirah telah bertempur dengan sengit"nya. Tongkatnya berputar menyambar-nyambar. se"hingga lawannya menjadi kecut karenanya.
Dengan demikian, maka perhatian pasukan dilembah itu benar-benar telah terbagi. Terutama diinduk pasukan hadirnya Swandaru, Sekar Mirah dan Pandan Wangi membuat mereka agak kesulitan.
Ki Jera yang mendapat laporan tentang Raden Sutawijaya ternyata telah terkejut. Agaknya anak muda itu benar-benar telah kehilangan pengekangan diri. Kemarahannya telah tidak terbendung lagi, sehingga ia telah melakukan tindakan yang amat berbahaya.
Tatapi ternyata bahwa Raden Sutawijaya masuk lebih dalam lagi pada tubuh lawan. Seakan-akan ia tidak menghiraukan sama sekali, hambatan lawan yang kadang-kadang memang gawat.
Namun sambil bertempur Raden Sutawijaya maju terus. Seolah-olah ia tidak menghiraukan, apapun yang terjadi pada pasukan kecilnya. Dengan tetap ia mendesak maju untuk mencapai garis perang diseberang.
Dalam pada itu, Prastawa di sebelah Barat, benar-benar telah mengalami kesulitan. Para Pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah benar-benar terdesak. Mereka tidak dapat menahan arus tekanan lawan yang memiliki pengalaman yang lebih banyak dari anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh. Apalagi mereka yang belum cukup lama menjadi anggauta pengawal.
Dengan demikian, maka bertambahnya pasukan lawan yang menghadapi para pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah membuat para pengawal itu menjadi kecut.
Namun dalam kesulitan itu tiba-tiba saja medan disebelah Baratpun mengalami goncangan. Tanpa diketahui sebabnya, maka pasukan lawan diinduk pasukan itu telah bergeser. Bahkan kemudian telah terjadi bagaikan angin pusaran diantara pasukan lawan.
Para pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang telah terdesak dan bahkan seakan-akan nasib mereka telah ditentukan ternyata mendapat kesempatan baru. Keadaan yang belum mereka ketahui dengan pasti telah terjadi diantara pasukan lawan, ternyata dengan geseran-geseran diantara mereka.
Baru kemudian Prastawa yang telah menjadi sangat cemas akan keadaan anak buahnya, menyadari, bahwa telah hadir digaris perang itu. Raden Sutawijaya dengan beberapa orang pengawalnya.
"Raden Sutawijaya," Prastawa berteriak.
Raden Sutawijaya yang telah berhasil menembus pasukan lawan itu mendengar namanya dipanggil, ia pun kemudian melihat anak muda yang memimpin pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang dibaurkan dalam gelar Glatik Neba, sehingga mereka telah membenturkan diri kedalam perang ruwet yang berbahaya.
Raden Sutawijaya yang telah berada dimedan sebalah Barat itupun segera menyesuaikan diri. Iapun langsung ikut serta dalam pertempuran yang kacau.
Ternyata kehadirannya telah memberikan pengaruh yang sangat besar. Beberapa pengawalpun telah ikut dalam perang brubuh itu bersama para pengawal Tanah Perdikan.
Sementara itu, pasukan Mataram yang melingkari ujung-ujung sayappun telah berhasil mencapai garis perang yang berseberang. Seperti perintah yang mereka terima, maka merekapun segera menempatkan diri mereka masing-masing.
Karena itu ketika setiap pemimpin kelompok telah menjatuhkan perintah, maka pasukan kecil yang melingkari ujung sayap itupun segera menyerang dalam gelar Glatik Neba pula. Satu gelar perang yang tidak mempunyai bentuk karena setiap orang akan segera membaurkan diri diantara lawan.
Perubahan-perubahan yang terjadi kemudian benar-benar merupakan pertanda buruk bagi pasukan gabungan yang ada dilembah itu. Betapapun mereka terdiri dari orang-orang yang berpengalaman namun ternyata yang datang kelembah itu adalah tiga kekuatan besar yang tergabung pula Mataram, Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh.
Orang-orang yang semula merasa dirinya kuat untuk menghancurkan Mataram itupun mulai kecut hatinya. Sementara langit menjadi semakin buram. Warna kelabu kemerah-merahan nampak mulai membayang dibibir mega yang mengelir perlahan-lahan oleh angin yang lemah.
Namun pertempuran masih berlangsung dengan sengitnya. Tidak ada tanda-tanda bahwa kedua belah pihak akan menghentikan pertempuran saat gelap mulai turun. Agaknya pasukan gabungan yang ada dilembah itu akan bertempur sampai selesai. Kapanpun juga.
Tetapi para pengawal dari Mataram telah membiasakan diri berlatih menghadapi saat pertempuran yang panjang. Bahkan bebrapa orang diantara mereka pernah mengalaminya langsung saat-saat mereka masih menjadi prajurit di Pajang, bersama sebagian dari mereka yang kini menjadi bagian dari pasukan dilembah itu.
Namun dalam pada itu, Ki Juru Martani telah memikirkan apa yang harus dilakukan jika malam turun. Betatapun besar kemauan dua gairah perjuangan namun kemampuan jasmaniah para pengawal tentu terbatas, sehingga mereka memerlukan sesuatu yang penting bagi alas kekuatan mereka.
Itulah sebabnya Ki Juru Martani tidak melupakan kemuungkinan untuk memberikan makanan kepada para pengawal dengan cara apapun.
Ketika langit kemudian menjadi semakin gelap, maka mulailah Ki Juru Martani mengatur beberapa orang untuk mundur dari arena pertempuran sementara yang lain harus menyediakan obor yang apabila lembah itu telah menjadi gelap, harus segera dinyalakan untuk menerangi medan.
Dibelakang garis perang, beberapa orang yang menjaga perkemahan orang-orang Mataram diantar oleh beberapa orang pengawal yang ditugaskan oleh Ki Juru Martani segera menyalakan api untuk membuat perapian. Para pengwal yang bertemur itu tentu membutuhkan makanan apapun bentuknya karena setelah sehari penuh mereka bertempur, maka tubuh mereka akan menjadi terlalu lemah jika mereka tidak mendapatkan alas kekuatan.
Dengan cepat, orang-orang yang bertugas itupun menyiapkan makanan. Tidak hanya untuk para pengawal dari Mataram, tetapi juga dari Sangkal Putung.
"Bagaimana dengan prajurit Tanah Perdikan Menoreh?" pertanyaan itu timbul pula dihati Ki Juru Martani. Apalagi ia mengetahui bahwa Raden Sutawijaya telah berada diseberang.
Bagi Raden Sutawijaya sendiri tidak akan banyak ma"salah yang timbul meskipun ia harus bertempur sehari semalam tanpa makan aapun juga ia sudah terlalu biasa melatih diri dalam keadaan yang paling sulit. Tetapi tentu lain dengan para pengawal yang tidak mengalami penem"paan diri seberat Raden Sutawijaya sendiri.
"Mudah-mudahan orang-orang dari Tanah Perdikan Menoreh sendiri sempat memikirkannya," gumam Ki Ju"ru Martani.
Meskipun demikian, ia masih ingin membuat hubu"ngan dengan mereka dengan mengirimkan dua orang penghubung yang akan melingkari arena pergi kegaris perang di seberang.
Langit yang buram menjadi semakin buram. Beberapa ekor kelelawar telah mulai nampak berterbangan diwajah langit yang kemerah-merahan. Pepohonan dilembah itu mulai menjadi kehitam-hitaman oleh bayangan rimbunnya dedaunan.
Namun dentang senjata dan teriakan yang menggema di lembah itu masih saja bersahutan.
Dibagian lain, diarena yang terpisah, Agung Sedayu bertempur dengan sengitnya, ia masih harus tetap bertempur melawan baberapa orang bekas prajurit Pajang, dan ia masih tetap harus berjuang mengatasi kesulitan didalam hatinya sendiri. Ke-ragu raguan dan kebimbangan masih saja merupakan hambatan yang harus diatasinya.
Namun ketika warna-warna buram dilangit seolah-olah mulai turun menyelubungi lembah, maka ia benar-benar berusaha untuk dapat merebut kedua pusaka yang akan sangat berarti bagi Mataram itu.
Sementara itu. Ki Tumenggung Wanakerti menjadi semakin yakin, bahwa Ki Gede Menoreh akan sangat terpengaruh oleh keadaan kakinya. Dalam pertempuran yang semakin dahsyat, Ki Gede Menoreh seakan-akan telah terikat ditempatnya hingga seakan-aian kakinya tidak lagi mampu melangkah dan berloncatan.
Dengan keadaan yang demikian, Ki Tumenggung Wanakerti telah mempergunakan kelemahan itu sebaik-baiknya. Ia mulai menyerang berputaran. Kemudian meloncat menjauh untuk mengambil ancang-ancang.
Buku 109 KI GEDE Menoreh benar-benar berada dalam kesulitan. Seakan-akan ia hanya berkesempatan menahan dan menangkis serangan lawannya. Tetapi ia sendiri tidak sempat menyerang, karena dengan licik Ki Tumenggung Wanakerti selalu menjahuinya.
Ki Gede Menoreh tidak mau memaksa diri untuk meloncat menyerang. Ia tidak mau menanggung akibat yang parah karena kakinya. Sehingga dengan demikian maka ia lebih baik mempergunakan nalarnya sebaik-baiknya untuk mengatasi kesulitannya.
Ternyata Ki Tumenggung Wanakerti benar-benar ingin menghabisi perlawanan Ki Gede Menoreh. Serangannya semakin lama menjadi semakin dahsyat. Sebelum malam turun, Ki Tumenggung Wanakerti ingin menyelesaikan pertempuran itu, kemudian berusaha untuk menguasai kedua pusaka yang masih berada ditangan pengikut nya Ki Gede Telengan.
Tetapi tidak mudah bagi Ki Tumenggung Wanakerti untuk melumpuhkan Ki Gede Menoreh yang cacad kaki itu. Meskipun Ki Gede Menoreh hanya sekedar mempertahankan diri, namun kadang-kadang senjatanya masih juga berbahaya bagi Ki Tumenggung.
Namun Ki Tumenggung masih mempunyai banyak akal. Ia dapat mempergunakan ilmunya yang tinggi. Kakinyapun kemudian bagaikan kaki kijang direrumputan. Meloncat-loncat seolah-olah tidak menyentuh tanah berputaran disekeliling Ki Gede Menoreh. Sekali-sekali ia meloncat menjauh, kemudian tiba-tiba ia melingkar sambil menyambar lambung.
Ki Gede Menoreh menjadi semakin sulit menghadapi cara yang cepat dan berjarak panjang itu. Setiap kali Ki Gede Menoreh selalu merasa terganggu karena kakinya. Meskipun tangannya masih cukup cepat, tetapi ia tidak akan dapat bertahan terlalu lama untuk melayani cara yang menyulitkan itu, karena ia harus berputaran menurut arah serangan lawannya.
"Umurmu tidak akan lama lagi Ki Gede Menoreh yang perkasa. Aku akan menghabisimu dalam aji Langen Pati. Kau akan menikmati tarian mautku disekitarmu sebelum kau akan menemui nasib yang sangat buruk."
Ki Gede Menoreh tidak menjawab. Tetapi pada saat-saat terakhir ia harus benar-benar memeras segala macam ilmu yang ada padanya.
Sebenarnya Ki Gede Menoreh tidak akan terpengaruh oleh kekuatan adji yang betapapun macamnya, karena ia mempunyai kemampuan untuk melawannya. Bahkan Ki Gede Menoreh akan sanggup menembus aji lembu Sekilan seandainya Ki Tumenggung Wanakerti benar-benar memilikinya, atau akan dapat bertahan terhadap aji Guntur Geni yang dapat membakar jantung lawan.
Namun ia tidak dapat ingkar akan keadaan jasmaniahnya. Segala macam ilmu dan kekuatan aji yang ada pada dirinya, ternyata tidak mampu mengatasi kesulitan yang timbul dari dirinya sendiri. Dan Ki Gede Menorehpun menyadari, akhirnya manusia harus pasrah akan kelemahan dan kekecilan diri, betapapun ia dapat menangkap ilmu yang sangat tinggi.
Tetapi Ki Gede Menoreh tidak berputus asa. Ia masih mampu bertempur melawan Ki Tumenggung Wanakerti itu.
Dalam keadaan yang semakin sulit, Ki Gede Menoreh masih dapat merasa bangga setiap ia mendengar ledakan cambuk Agung Sedayu. Rasa-rasanya suara itu telah menyejukkan hatinya. Anak muda yang selalu ragu-ragu dan kadang-kadang nampak kurang yakin akan sikapnya sendiri itu, agaknya telah bertempur dengan sepenuh kemampuannya untuk merebut pusaka-pusaka yang hilang dari Mataram, justru pusaka-pusaka yang terpenting.
Tetapi ternyata bukan saja Ki Gede Menoreh yang perhatiannya tersentuh oleh ledakan cambuk Agung Sedayu. Ternyata bahwa Ki Tumenggung Wanakertipun selalu digelisahkan oleh suara cambuk itu. Sebagai orang yang memiliki ilmu yang tinggi, Ki Tumenggung mengerti, bahwa ledakan itu adalah merupakan berita betapa dahsyatnya ilmu orang yang menggenggam tangkai cambuk itu.
"Ia akan segera berhasil menguasai kedua pusaka itu," berkata Ki Tumenggung Wanakerti didalam hatinya, "jika demikian, maka akan sangat sulit bagiku untuk merebutnya."
Karena itu, untuk beberapa saat lamanya, ia menjadi ragu-ragu. Ki Gede Menoreh yang telah diganggu oleh kakinya sendiri itu tidak segera dapat ditundukkan, sementara anak muda bercambuk itu sangat berbahaya bagi kedua pusaka yang sedang dikejarnya, karena telah dilarikan oleh Ki Gede Telengan.
Sejenak Ki Tumenggung Wanakerti membuat pertimbangan-pertimbangan. Sementara langit menjadi semakin suram.
Namun akhirnya Ki Tumenggung memutuskan untuk meninggalkan Ki Gede Menoreh dan menghadapi Agung Sedayu.
"Beberapa orang bekas prajurit Pajang akan mengepung Ki Gede Menoreh agar ia kehilangan kesempatan untuk berputar-putar oleh cacat kakinya," berkata Ki Tumenggung didalam hatinya, sementara ia ingin membinasakan Agung Sedayu dan merebut kedua pusaka itu dari tangan para pengikut Ki Gede Telengan.
Karena itulah, maka iapun kemudian berteriak memanggil tiga orang pengawal kepercayaannya. Kemudian diserahkannya Ki Gede Menoreh kepada mereka, karena Ki Tumenggung Wanakerti bertekad untuk melawan Agung Sedayu.
Ki Gede tidak sempat menahannya. Ki Tumenggung masih cukup cepat bergerak sementara kaki Ki Gede menjadi semakin mengganggunya.
Namun sepeninggalnya Ki Tumenggung, tugas Ki Gede menjadi lebih ringan. Meskipun ia harus menghadapi beberapa orang, namun para pengawalnya masih sempat membantunya. Kadang-kadang diantara lawan yang dihadapi, satu dua orang pengawalnya sempat membantunya, mengurangi tekanan ketiga orang lawannya, ketiganya bukanlah orang-orang yang memiliki kelebihan ilmu yang jauh dari kebanyakan para pengawal terpilih Tanah Perdikan Menoreh, namun mereka cukup kuat untuk mengurungnya dalam pertempuran.
Sementara itu, Ki Tumenggung Wanakerti dengan tergesa-gesa menyibak arena untuk mendekati Agung Sedayu. Ia tidak ingin memberikan kesempatan kepadanya untuk mencapai pusaka yang kurang beberapa langkah saja daripadanya. Dengan tangkasnya Agung Sedayu bertempur melawan para pengikut Ki Gede Telengan yang mempertahankan pusaka itu dan para pengikut Ki Tumenggung Wanakerti yang berusaha mendahului mendapatkannya.
Ternyata bahwa ujung cambuknya benar-benar telah menghantui medan yang menjadi semakin gelap. Agung Sedayu sendiri berusaha untuk dapat menguasai Pusaka-pusaka itu sebelum malam menjadi semakin kelam.
Namun tiba-tiba langkahnya tertegun ketika tiba-tiba saja seseorang telah hadir dihadapannya sambil berteriak, "Minggir. Biarlah aku yang menyelesaikan anak ini."
Agung Sedayu memandang orang itu dengan tegangnya. Ia sadar, bahwa orang itu adalah orang yang telah bertempur melawan Ki Gede Menoreh dan yang telah meninggalkannya untuk menahan gerak majunya mendekati pusaka itu.
"Anak muda," berkata Tumenggung Wanakerti, aku kagum akan kemampuanmu. Menurut ceriteranya, kau jugalah yang telah membunuh Ki Gede Telengan dengan ilmu yang serupa dengan ilmu kerling yang tidak ada artinya itu. Sekarang kau berhadapan dengan aku. Tumenggung Wanakerti. Aku bukannya orang yang suka pada semacam ilmu kerlingan mata. Tetapi cobalah kau bertahan dengan kemampuan ilmumu yang manapun juga."
Agung Sedayu tidak menjawab. Dipandanginya saja Ki Tumenggung Wanakerti dengan tajamnya.
"Kau harus mati, dan pusaka-pusaka itu harus kembali kepadaku," geram Ki Tumenggung Wanakerti.


05 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintarja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Orang ini tentu orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Ia telah berhasil bertahan melawan Ki Gede Menoreh, dan kini ia sengaja melawannya tanpa menghiraukan kematian Ki Gede Telengan.
Karena itu, maka Agung Sedayu tidak mau kehilangan kesempatan. Demikian ia bersiap menghadapi Ki Tumenggung Wanakerti, maka iapun berteriak, "Jagalah baik-baik agar orang-orang yang membawa pusaka itu tidak melarikan diri bersama pusakanya."
Perintah itu sudah pernah didengar oleh para pengawal. Namun ketika Agung Sedayu mengulanginya, maka merekapun menjadi semakin gigih. Para pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah berusaha untuk mengepung orang-orang yang masih mempertahankan pusaka-pusaka itu dengan mempertaruhkan nyawa mereka.
Sesaat kemudian, maka Ki Tumenggung Wanakerti yang hatinya telah terbakar oleh sikap Ki Gede Telengan, dan kemudian melihat kemungkinan yang semakin dekat bagi Agung Sedayu untuk memiliki pusaka itu, hatinya menjadi semakin menyala.
Dengan Segenap kemampuannya ia langsung menyerang Agung Sedayu. Sementara Agung Sedayupun telah siap menghadapinya.
Ketika serangan Ki Tumenggung Wanakerti lewat, maka meledaklah cambuk Agung Sedayu mengenai lawannya. Tepat pada lambungnya yang terbuka, karena tangan Ki Tumenggung mengayunkan senjatanya lurus kedepan mematuk lawan.
Namun terasa pada tangan Agung Sedayu, bahwa ujung cambuknya telah menyentuh sesuatu yang seakan-akan memagari tubuh Ki Tumenggung Wanakerti. Apalagi ketika Agung Sedayu melihat, Ki Tumenggung seolah-olah tidak terpengaruh oleh sentuhan cambuknya. Ia hanya menyeringai. Namun kemudian seolah-olah sudah tidak terasa lagi.
Dengan demikian, maka Agung Sedayu menjadi semakin berdebar-debar. Ternyata bahwa orang yang menyebut dirinya Ki Tumenggung Wanakerti itu benar-benar seorang yang luar biasa. Ia agaknya memiliki sejenis ilmu yang dapat menjadi perisai bagi dirinya. Apakah aji Lembu Sekilan, apakah aji Tameng Waja, atau jenis-jenis yang lain, namun ternyata bahwa sentuhan ujung cambuknya tidak memberikan akibat yang menentukan pada lawannya, meskipun Agung Sedayu yakin bahwa cambuknya dapat mengenainya tepat pada lambung.
Tetapi bahwa Ki Tumenggung Wanakerti masih nampak menyeringai menahan sakit meskipun hanya sesaat, Agung Sedayu dapat mengetahui, bahwa Ki Tumenggung Wanakerti tidak mutlak mempunyai sejenis Ilmu Kebal.
Karena itu, maka Agung Sedayupun segera mempersiapkan diri menghadapi pertempuran yang tentu tidak kalah sengitnya dengan melawan Ki Gede Telengan. Apalagi Agung Sedayu masih diganggu oleh perasaan lelah badani dan jiwani, setelah ia mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya.
Namun ternyata Ki Tumenggung Wanakertipun tidak sesegar saat ia mulai turun dimedan pertempuran melawan Raden Sutawijaya. Ia sudah memeras tenaganya dimedan pertempuran dalam induk pasukannya melawan Senapati Ing Ngalaga. Kemudian melawan Ki Gede Menoreh yang cacat kaki. Baru ia berhadapan dengan anak muda yang bersenjatakan cambuk itu.
Kesadaran akan lawannya, telah membuat Agung Sedayu menjadi semakin membenamkan, diri pada ilmunya. Keragu-raguan dan kebimbangan yang sering menghambat segala tingkah lakunya, perlahan-lahan menjadi kabur. Ada semacam dorongan didalam dirinya untuk mengatasi keragu-raguannya. Kedua pusaka itu harus direbutnya. Yang penting baginya, bukannya arti dari pusaka itu bagi Mataram saja. Tetapi ia juga menjadi ngeri membayangkan, jika kedua pusaka itu tetap berada ditangan orang-orang yang tamak dan dikuasai oleh nafsu. Meskipun pusaka-pusaka itu tidak sesuai dan tidak memberikan pengaruh apapun juga kepada orang orang tamak, namun kesadaran mereka memiliki pusaka-pusaka itu. akan mendorong mereka untuk bertindak lebih jauh dan berbahaya bagi Pajang dan Mataram.
Karena itulah maka sejenak kemudian. Agung Sedayu dan K i Tumenggung Wanakerti telah terlibat dalam pertempuran yang dahsyat. Ki Tumenggung yang menyadari bahwa anak muda itu telah berhasil membunuh Ki Gede Telengan, tidak mau mengalami kesulitan karena kelengahannya. Meskipun lawannya masih sangat muda, namun Ki Tumenggung Wanakerti harus mengerahkan segenap kemampuan yang ada pada dirinya. Sejak semula ia sudah mengetrapkan kekuatan cadangan yang ada pada dirinya untuk memagari tubuhnya menurut pengetrapan ilmunya, agar senjata lawannya tidak berhasil melukainya dan apalagi melumpuhkannya.
Wanakerti yang bagaikan gila itu, telah melihat Agung Sedayu bagaikan prahara. Serangannya datang beruntun dan berputaran tanpa menghiraukan dirinya sendiri. Ia terlalu yakin, bahwa senjata Agung Sedayu tidak akan banyak berarti bagi tubuhnya, sehingga dengan demikian Ki Tumenggung Wanakerti tidak pernah menghindarkan diri dari beturan-benturan ilmu yang terjadi.
Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Ia merasa bahwa tenaga Ki Tumenggung Wanakerti memang luar biasa. Bukan saja karena ilmu kebalnya meskipun tidak mutlak, tetapi kekuatannyapun benar-benar merupakan kekuatan raksasa, sementara ia mampu berloncatan secepat burung sikatan.
"Ilmunya lengkap," desis Agung Sedayu kepada diri sendiri.
Namun itu bukan berarti bahwa Agung Sedayu harus menyingkir dari medan dan melepaskan pusaka-pusaka itu.
Agung Sedayu yang telah berhasil meningkatkan ilmunya dalam keadaan yang seakan-akan tidak dapat diperhitungkan dengan nalar hanya dalam waktu yang terhitung sangat singkat, meskipun ia sudah menguasai dasar-dasarnya sebelumnya, benar-benar telah diuji kemampuannya. Setelah ia berhasil membenturkan ilmunya dan membinasakan Ki Gede Telengan, maka ia harus membenturkan pula ilmunya dengan kekuatan raksasa.
Dalam benturan-benturan berikutnya, Agung Sedayu merasa dirinya harus bergeser surut. Serangan-serangan yang datang dari Ki Tumenggung Wanakerti benar-benar bagaikan badai.
Dengan cambuknya Agung Sedayu kadang-kadang menahan. Tetapi setiap kali Ki Tumenggung yang menyeringai menahan sakit untuk sekejap itu telah meloncat kembali dan menyerang dengan garangnya.
Senjatanya kadang-kadang terjulur lurus mengarah dada, namun kemudian ditebaskannya mendatar setinggi lambung.
Agung Sedayu harus berloncatan menghindarkan diri. Dengan dahsyatnya ia meledakkan cambuknya untuk memperlambat serangan-serangan lawannya.
Dalam keadaan yang gawat, maka perlahan-lahan ilmu Agung Sedayu telah tersalur seluruhnya kedalam jalur kekuatan tangannya yang merambat pada cambuknya. Sehingga karena itulah, maka kemudian suara cambuknya semakin terdengar berbeda.
Meskipun suaranya tidak lebih keras dalam tangkapan telinga wadag, namun Ki Tumenggung Wanakerti telah dikejutkan oleh getaran yang menyentuh telinga batinnya. Getaran ilmu yang dilontarkan dari ujung cambuk Agung Sedayu dalam tataran yang lebih tinggi.
"Gila," geram Ki Tumenggung Wanakerti sambil meloncat surut.
Dengan mata yang bagaikan menyala ia memandang Agung Sedayu sejenak. Sekali lagi Ki Tumenggung Wanakerti terkejut. Dalam kesuraman ujung malam, ia melihat bayangan wajah Agung Sedayu bagaikan cermin yang menunjukkan kepadanya, terkaman maut yang mulai mendekat.
Gerak Agung Sedayu nampaknya menjadi semakin lamban. Ia tidak ingin mempergunakan tatapan matanya, karena ia tidak yakin akan dapat menembus perisai diseputar tubuh Ki Tumenggung Wanakerti. Namun ia lebih yakin akan kekuatan ilmunya yang tersalur lewat wadagnya.
Hati Ki Tumenggung Wanakerti tergetar ketika lewat wadagnya Agung Sedayu yang tiba-tiba meledakkan cambuknya disisi tubuhnya sendiri. Adalah diluar jangkauan nalarnya, bahwa akibatnya benar-benar mengerikan.
Yang sempat melihat, jantungnya bagaikan berhenti berdenyut. Demikian ledakkan cambuk menghentak, maka tiba-tiba saja disisi Agung Sedayu telah tergali sebuah lubang memanjang. Ujung cambuknya seakan-akan telah memecahkan bumi sehingga menganga.
Ki Tumenggung Wanakerti menahan nafasnya sejenak. Ia benar-benar bertemu dengan seorang anak muda yang ajaib. Ki Tumenggung tidak akan gentar seandainya ia harus bertempur melawan Ki Gede Telengan yang bagaikan hantu bagi orang-orang yang telah mengenal ilmunya. Namun ketika ia harus berhadapan dengan anak yang masih sangat muda itu, rasa-rasanya ia sudah mulai berjanji dengan maut.
Tetapi Ki Tumenggung Wanakerti segera menghentakkan giginya. Iatidak mau dipengaruhi oleh kelemahan hati seorang pengecut. Karena itu maka tiba-tiba terdengar suaranya lantang, "Anak muda. Kau jangan berusaha mempengaruhi hatiku dengan permainan cambukmu seperti kebanyakan anak gembala di padang penggembalaan. Kau kini berhadapan dengan seorang prajurit linuwih, yang tidak akan dapat terluka oleh segala macam jenis senjata."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Ia sadar, bahwa K i Tumenggung Wanakerti berusaha mengimbangi kekuatannya dengan ilmunya yang dahsyat lewat lontaran suaranya. Gemanya bagaikan menggelegar seratus kali lebih keras didalam rongga dadanya, sehingga rasa-rasanya tulang-tulang iganya menjadi rontok karenanya.
Tetapi Agung Sedayu memiliki daya tahan yang luar biasa. Ia sadar bahwa suara Ki Tumenggung Wanakerti telah menghentikan pertempuran disekitarnya. karena kedua belah pihak sedang berusaha menahan agar dadanya tidak retak karenanya.
Namun demikian mereka menguasai diri, maka pertempuranpun telah meledak lagi dengan dahsyatnya. Juga antara Ki Wanakerti dengan Agung Sedayu.
Selangkah demi selangkah Ki Tumenggung Wanakerti mendekati Agung Sedayu. Wajahnya yang tegang penuh dendam membuatnya meniati semakin garang.
Gelap malam mulai meraba lembah yang dibatasi Gunung Merbabu dan Gunung Merapi itu. Namun pertempuran yang terjadi masih berkobar dengan dahsyatnya disegala medan.
Juga Agung Sedayu yang bertempur melawan Ki Tumenggung Wanakerti. Meskipun keduanya telah dipengaruhi oleh kewajaran badani, sehingga kemampuan mereka susut, namun mereka masih tetap merupakan dua kekuatan raksasa yang bertempur dengan dahsyatnya.
Ki Tumenggung Wanakerti benar-benar seorang yang memiliki kecepatan bergerak yang luar biasa. Serangannya bagaikan petir yang menyambar dilangit.
Tetapi Agung Sedayu bukan sebatang pohon raksasa, atau seonggok batu karang yang beku. Secepat petir menyambar, maka secepat itu pula Agung Sedayu mampu menghindari serangan Ki Tumenggung Wanakerti, sehingga serangan itu tidak mengenai sasarannya.
Betapa besur kekuatan serangan itu terasa oleh Agung Sedayu pada desir angin yang menyapu tubuhnya. Meskipun senjata lawannya sama sekali tidak menyentuhnya, tetapi hati Agung Sedayu berdesir oleh kesadarannya, bahwa jika senjata itu mengenainya, maka tubuhnya akan sobek dan tidak akan perlu mengulangi, maut akan segera memeluknya.
Namun dalam pada itu, ujung cambuk Agung Sedayu masih mampu menyusul kecepatan gerak Ki Tumenggung Wanakerti. Meskipun hanya sebuah sentuhan, namun ternyata bahwa lontaran ilmu tertinggi yang sudah tersalur lewat wadag dan senjatanya. Agung Sedayu telah mampu menunjukkan bahwa ilmunya benar-benar merupakan hantu yang garang bagi Ki Tumenggung Wanakerti.
Ternyata demikian ia meluncur dengan serangannya yang berhasil di hindari oleh Agung Sedayu, ujung cambuk Agung Sedayu telah menyentuh betis kakinya.
Ki Tumenggung Wanakerti benar-benar telah terkejut. Sentuhan ujung cambuk Agung Sedayu benar-benar lelah meremas kulitnya dan bagaikan meretakkan tulang-tulangnya.
Ki Tumenggung Wanakerti mengeluh pendek. Sentuhan itu tidak hanya menumbuhkan rasa pedih sesaat yang segera lenyap karena kekebalannya. Tetapi ilmu anak muda itu dalam hentakkan segenap kekuatannya tidak hanya sekedar menembus perisai yang menyelubunginya dalam pewadagan kekuatan batiniah, yang terpancar oleh kekuatan ilmunya, namun ilmu Agung Sedayu yang muda itu benar-benar telah berhasil menyakitinya.
Karena itulah, maka Ki Tumenggung Wanakerti tidak lagi dapat bersembunyi dibalik perisai yang tidak kasat mata, tetapi terasa dalam sentuhan wadag. Ternyata bahwa ujung cambuk dalam landasan ilmu Agung Sedayu telah berhasil melampuinya.
Ki Tumenggung menjadi semakin berhati-hati. Namun dengan demikian ia tidak lagi dapat bergerak terlalu cepat, karena ia harus membuat pertimbangan-pertimbangan dan perhitungan atas tata geraknya.
Dengan demikian, maka pertempuran itupun segera mempunyai bentuknya yang lain Ki Tumenggung Wanakerti yang berhati-hati dan menghitung semua gerak dan sikap, telah dilihat oleh serangan Agung Sedayu yang bagaikan badai. Cambuknya meledak-ledak diseputar lawannya tanpa dapat ditahan, sehingga setiap kali sentuhan-sentuhan kecil menjadi semakin sering meraba tubuhnya.
"Gila. Anak ini benar-benar mempunya ilmu iblis," geramnya didalam dadanya yang hampir retak.
Tetapi ia benar-benar tidak dapat bersembunyi lagi dibalik ilmu kebalnya yang ternyata masih teratasi oleh kemampuan ilmu Agung Sedayu lewat ujung cambuknya meskipun ujung cambuk itu tidak berhasil merobek kulitnya seperti jika terjadi pada orang lain. Namun perasaan sakit dan pedih tidak lagi dapat diingkarinya.
Sementara itu Agung Sedayupun menjadi heran. Sentuhan-sentuhan senjatanya dapat membuat lawannya merasa sakit. Tetapi ujung senjatanya dalam lontaran ilmunya masih belum mampu melukai kulit Ki Tumenggung Wanakerti.
Dengan demikian, maka pertempuran itupun menjadi semakin dahsyat. Keduanya benar-benar memiliki kekuatan raksasa yang luar biasa.
Namun, akhirnya Ki Tumenggung Wanakerti harus mengakui, bahwa wajarlah jika Agung Sedayu dapat mengimbangi ilmu Ki Gede Telengan sehingga orang yang disegani itu telah terbunuh.
Pengakuan itu benar-benar telah menggoncangkan ketahanan batinnya. Ia merasa bahwa usahanya akan sia-sia. Ketika ujung cambuk lawannya menyengat kulitnya dan terasa sakitnya meskipun hanya sesaat, ia sudah curiga, bahwa perisai ilmu kebalnya akan dapat menyelamatkannya melawan anak ini. Apalagi kemudian, peningkatan ilmu Agung Sedayu menjadikannya semakin bimbang, apakah ia akan dapat bertahan.
Ternyata semakin lama, tubuhnya yang setiap kali tersentuh ujung senjata Agung Sedayu menjadi semakin lemah. Meskipun ia tidak terluka, namun rasa-rasanya tulang-tulangnya telah berpatahan dan tidak mampu menjadi lanjaran tubuhnya lagi.
Meskipun demikian, Ki Tumenggung Wanakerti adalah seorang prajurit linuwih. Ia tidak menyerah karena pengakuan didalam hati. Ia merasa wajib untuk bertempur sampai kemungkinan terakhir.
Itulah sebabnya, maka betapapun perasaan sakit mencengkamnya, tetapi ia justru bagaikan menjadi gila. Dengan hati yang bagaikan menyala ia menyerang seperti seekor harimau yang terluka.
Pada saat-saat terakhir, terasa oleh Agung Sedayu, lawannya telah kehilangan pegangan. Tetapi dengan demikian ia menjadi semakin ganas dan liar. Senjatanya berputaran dan menyambar nyambar seperti seekor lebah yang terbang mengitari lawannya.
Meskipun Ki Tumenggung Wanakerti sudah mulai kebingungan, tetapi nalurinya sebagai seorang yang berilmu tinggi, masih juga sempat membingungkan Agung Sedayu. Iapun harus menyesuaikan diri dengan serangan-serangan yang datang beruntun dan kadang-kadang benar-benar liar dan buas. Dengan kasar pula Agung Sedayu harus menghindarinya. Kadang-kadang juga berloncatan panjang, dan bahkan kadang-kadang harus merunduk dan berguling.
Pada saat-saat Ki Tumenggung Wanakerti sudah berputus asa, lontaran dendam dan kebenciannya masih sangat berbahaya bagi Agung Sedayu. Sambaran senjatanya melontarkan angin yang menyapu diseputarnya. Namun ketika Agung Sedayu terlambat meloncat oleh serangan yang kasar, maka senjata lawannya benar-benar telah menyentuh tubuhnya.
Agung Sedayulah yang kemudian menyeringai menahan sakit. Kulitnya benar-benar telah tergores oleh senjata lawannya, meskipun tidak begitu dalam.
Namun darah yang menitik seakan-akan telah mencuci segala keragu-raguan dan kebimbangan. Agung Sedayu yang menjadi sadar akan keadaannya, telah bangun kembali dari keragu-raguan yang mulai tumbuh lagi sejak ia melihat lawannya berputus asa.
Tetapi ternyata bahwa dalam keadaannya itu. Tumenggung Wanakerti justru menjadi lebih berbahaya. Bukan saja bagi dirinya, tetapi juga bagi keselamatannya. Cambuk Agung Sedayu menjadi semakin cepat bergerak dan semakin dahsyat mematuk tubuh lawannya.
Dengan demikian, maka terasa tubuh Ki Tumenggung Wanakerti menjadi semakin lemah. Tulang-tulangnya terasa bagaikan remuk sama sekali, sehingga dengan demikian, ia sudah tidak mempunyai harapan untuk dapat menguasai kedua pusaka itu lagi.
Ki Tumenggung benar-benar telah berputus asa. Hilangnya kedua pusaka itu dari lingkungannya karena pengkhianatan Ki Gede Telengan memang harus ditebus dengan segala yang paling berharga dari dirinya. Tubuh dan nyawanya.
Bekas perwira prajurit Pajang yang memiliki kelebihan dari prajurit kebanyakan itu, merasa bahwa ia telah gagal. Ia tidak lagi menghiraukan apakah induk pasukannya akan menang. Karena betapapun juga hilangnya dua pusaka itu dari lingkungannya, berarti maut baginya. Justru mungkin dengan cara yang lebih mengerikan, jika ia harus mempertanggung jawabkan kepada Kakang Panji dan sidang orang-orang terpenting diantara mereka.
Itulah sebabnya, maka Ki Tumenggung Wanakerti sama sekali tidak berniat untuk menyelamatkan dirinya lagi. Tenaganya yang tersisa diperasnya sama sekali dengan serangan-serangan yang tidak berperhitungan lagi.
Namun justru karena itu, terasa dada Agung Sedayu bergetar, Ki Tumenggung Wanakerti benar-benar seperti orang gila. Ia menyerang dengan dahsyatnya meskipun ia sadar, bahwa Agung Sedayu sudah siap meledakkan cambuknya saat ia meloncat.
Tetapi Ki Tumenggung Wanakerti tidak mengurungkan serangannya. Justru ia meloncat sambil mengulurkan senjatanya lurus-lurus langsung menyerang dada.
Agung Sedayu yang berdebar-debar merasa seolah-olah telah berhadapan dengan hantu yang bangkit dari kuburnya. Ada semacam kengerian yang merambat didalam hatinya melihat sikap lawannya yang tidak wajar itu.
Justru karena kengerian itulah, maka hampir diluar sadarnya. Agung Sedayu telah bergeser setapak. Kemudian mengangkat tangkai cambuknya sambil memusatkan segenap kemampuan ilmu yang ada padanya.
Tepat pada saat Ki Tumenggung Wanakerti menerkamnya dengan ujung senjata, Agung Sedayu telah menyongsongnya dengan hentakan cambuk yang dilambari dengan puncak ilmunya yang dihentakkannya sampai tuntas.
Ledakan yang terdengar tidak melampaui suara ledakan yang pernah didengar oleh telinga wadag. Namun terasa sesuatu telah bergetar diantara suara ledakan itu, sehingga ujung cambuknya telah menampar tubuh Ki Tumenggung Wanakerti, seperti petir yang menampar ujung sebatang nyiur.
Terdengar pekik tertahan. Ketika Agung Sedayu bergeser, maka tubuh Ki Tumenggung terbang dihadapannya seakan-akan justru menjadi semakin cepat oleh hentakan cambuk Agung Sedayu yang sendal pancing.
Namun ketika tubuh itu menjejak tanah, seakan-akan tidak ada kekuatan lagi yang tersisa. Tubuh itu langsung terlempar menelungkup. Sekali lagi ia menggeliat dan berusaha menengadah betapapun lemahnya.
Agung Sedayu berdiri beberapa langkah dari tubuh itu. Seakan-akan Agung Sedayu telah membeku ditempatnya. Dipandanginya Ki Tumenggung Wanakerti yang perlahan-lahan menengadah sambil menahan sakit.
Sejenak kemudian, Agung Sedayupun menyadari dirinya. Tubuhnyapun merasa sakit disegala sendi-sendinya. Kekuatannya sekali lagi telah terkuras habis. Dihentakkan yang terakhir, ia benar-benar telah mehempaskan segenap sisa kekuatannya, sehingga seperti yang telah terjadi pada saat ia membunuh Ki Gede Telengan, maka iapun tidak lagi mampu berbuat sesuatu.
Selangkah Agung Sedayu mendekati Ki Tumenggung Wanakerti yang terbaring. Hampir saja Agung Sedayupun tertelungkup. Namun ia masih sempat dengan perlahan-lahan berjongkok disamping tubuh Ki Tumenggung Wanakerti.
"Anak muda," Agung Sedayu mendengar Ki Tumenggung masih berdesis, "kau memang anak yang luar biasa."
"Aku akan merasa bangga jika aku mempunyai anak seperti kau. Mumpuni dan mengenal jalan yang harus kau lalui."
Agung Sedayu masih tetap berdiam diri.
"Siapakah kau sebenarnya anak muda?"
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi terdengar suara seseorang dibelakangnya, "Ia adalah Agung Sedayu. Adik Untara."
"O," Ki Tumenggung Wanakerti menarik nafas dalam, "jadi kau adik Untara, Senapati dibagian Selatan itu?"
Diluar sadarnya Agung Sedayu mengangguk.
"Jadi, apakah pasukan Untara ada diantara pasukan Mataram sekarang ini?"
Agung Sedayu menggeleng. Ki Tumenggung Wanakerti sudah sangat lemah, sehingga yang terloncat dari bibirnya tentu tidak akan diselimuti oleh berbagai macam niat yang lain. Nampaknya, keadaannya sudah sangat parah dibagian dalam tubuhnya, meskipun kulitnya tidak terluka.
"Aku minta maaf anak muda," berkata Ki Tumenggung Wanakerti kemudian, "mungkin aku sudah melukaimu. Tetapi luka itu tentu tidak seberapa."
Seolah-olah Agung Sedayu berbuat diluar sadar, ketika ia mengangguk kecil.
"Tidak ada gunanya lagi pengikut-pengikutku bertempur sepeninggalku. Mereka tentu akan binasa. Karena itu, kuasailah kedua pusaka itu, meskipun aku tidak tahu apakah yang akan kau lakukan seterusnya dengan pusaka-pusaka itu."
Dengan tanpa prasangka apapun Agung Sedayu menjawab, "Aku akan menyerahkannya kembali ke Mataram."Ki Tumenggung menarik nafas panjang sekali.
Namun kemudian nampak senyumnya membayang dibibirnya. Dalam keremangan malam wajah itu nampak semakin beku, sehingga akhirnya hempasan nafas terakhir telah meluncur dari lubang hidungnya.
Agung Sedayu menarik nafas panjang. Ketika ia berpaling, dilihatnya Ki Gede Menoreh berdiri dibelakangnya dengan senjatanya masih ditangan.
"Beristirahatlah Agung Sedayu," suaranya datar dan berat, "keadaan sudah dapat dikuasai. Pusaka-pusaka itu tidak akan dapat lepas jika tidak hadir orang-orang lain seperti Ki Tumenggung Wanakerti atau Ki Gede Telengan. Karena itu, biarlah para pengawal mengepungnya dengan rapat. Kau dapat memulihkan kekuatanmu kembali. Jika benar hadir orang-orang baru yang memiliki kemampuan tinggi, kau akan dapat mengimbanginya."
Agung Sedayu mengangguk kecil. Iapun kemudian duduk disamping tubuh Ki Tumenggung Wanakerti yang terkapar. Sementara itu Ki Gede Menoreh yang sudah beristirahat beberapa saat setelah melepaskan diri dari ketiga lawannya, melangkah mendekati arena pertempuran yang menjadi semakin sempit.
Dua orang pengawal tetap berada didekat Agung Sedayu untuk mengawasinya, jika akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkannya selama ia berusaha memulihkan kekuatannya.
Para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh telah berhasil menguasai medan seluruhnya. Kematian Ki Tumenggung Wanakerti sesudah Ki Gede Telengan, membuat para pengikutnya menjadi semakin kecut. Mereka tidak lagi dapat berbuat sesuatu meskipun mereka masih berusaha untuk bertahan. Satu-satunya harapan mereka adalah, jika sekelompok pasukan datang lagi menyusul dari pasukan induk.
Tetapi pasukan itu tidak kunjung datang, sehingga merekapun menjadi berputus asa.
Ki Gede yang kemudian hadir lagi diantara para pengawalnya, dengan lantang berkata, "Ki Tumenggung Wanakerti telah terbunuh. Siapa lagi diantara kalian yang akan nnampu menahan kemarahan anak muda itu. Pusaka itu adalah barang yang sangat berharga bagi pemimpin kalian. Tetapi bagi kalian tidak akan banyak mempunyai arti. karena kalian akan tetap menjadi pengawal yang diumpankan dibaris terdepan dalam peperangan, namun tidak mempunyai kemungkinan untuk mendapatkan pengaruhnya kemenangannya jika kalian menang. Karena itu. maka harga pusaka itu. tentu tidak akan lebih besar dari nilai jiwamu masing-masing. Sudah banyak korban yang jatuh karena pusaka-pusaka itu. Apapun alasannya. tetapi mengorbankan terlalu banyak jiwa untuk kedua pusaka itu. rasa-rasanya memang kurang seimbang."
Kata-kata Ki Gede Menoreh ternyata telah menyentuh hati pada pengikut orang-orang mumpuni yang telah terbunuh oleh Agung Sedayu. Tetapi mereka masih belum berani mengambil keputusan.
Dalam pada itu. Agung Sedayu yang sedang sibuk mengatur diri. perlahan-lahan telah melepaskan tarikan nafas panjangnya dalam pengaturan nafas dan peredaran darahnya. Tubuhnya perlahan-lahan telah menjadi segar kembali. Angin malam yang sejuk membantu mempercepat pulihnya kekuatannya, meskipun perasaan letih dan pedih dilukanya masih tetap mencengkamnya.
Perlahan lahan Agung Sedayu berdiri. Ketika ia mengedarkan pandangan matanya dalam keremangan malam, ia masih melihat pertempuran yang tidak bergelora lagi. Nampaknya para pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang ditunggui oleh Ki Gede telah menguasai keadaan sepenuhnya.
Sejenak Agung Sedayu masih termangu-mangu. Ia tidak digelisahkan lagi oleh pusaka-pusaka itu. karena hampir pasti pusaka-pusaka itu akan dapat dikuasai kembali oleh para pengawal Tanah Perdikan Menoreh, dan yang akan segera kembali ke Mataram.
Selangkah demi selangkah Agung Sedayu mendekati lingkaran pertempuran yang sudah menyempit. Orang-orang Ki Gede Telengan dan orang-orang Ki Tumenggung Wanakerti, seakan-akan telah menyatu dalam kepungan yang tidak tertembus.
"Menyerahlah," terdengar suara Ki Gede Menoreh.
Ketika terdengar suara lain menyusul suara Ki Gede Menoreh, maka para pengikui Ki Gede Telengan dan Ki Tumenggung Wanakerti menjadi semakin kecut hatinya. Suara Agung Sedayu.
"Kalian sudah tidak mempunyai kesempatan lagi," berkata Agung Sedayu, "bagi kami lebih baik menerima kalian menyerah daripada harus menjatuhkan korban semakin banyak. Jika kalian berkeras untuk bertempur terus, apapun alasannya, itu hanya berarti kematian-kematian yang sia-sia. Mungkin kalian adalah seorang laki-laki jantan, yang pantang menyerah karena kalian memilih mati sambil memeluk senjata. Tetapi kesia-siaan itu benar-benar tidak berarti, juga bukan lambang kejantanan karena sekedar didorong oleh kedunguan dan pengingkaran atas kenyataan yang dihadapi."
Kata-kata Agung Sedayu telah menyentuh hati orang-orang yang mempertahankan senjata itu. Tetapi rasa-rasanya pusaka-pusaka itu bagi mereka jauh lebih berharga dari jiwa mereka sendiri.
"Ki Sanak," berkata Agung Sedayu, "jika dengan pengorbanan kalian pusaka-pusaka itu dapat kalian selamatkan dari tangan kami. maka kalian adalah pahlawan. Tetapi jika kalian sudah mengetahui dengan pasti bahwa pusaka-pusaka itu akan jatuh ketangan kami, maka yang kalian lakukan adalah sekedar sikap keras kepala, sehingga kematian kalian adalah semakin jauh dari pengertian kepahlawanan itu."
Tetapi nampaknya pertempuran masih berlangsung terus. Namun demikian sudah nampak, keragu-raguan mulai membayang di hati para pengikut Ki Gede Telengan dan Ki Tumenggung Wanakerti.
Agung Sedayu melangkah semakin dekat. Kemudian ia masih mencoba lagi, "Kenapa kalian tidak meletakkan senjata kalian dan menghentikan pertempuran" Apakah kalian benar-benar ingin bertempur sampai mati" Jika kematian yang dapat menghentikan kalian, maka kami akan memenuhinya. Tetapi jika masih ada akal sehat dikepala kalian, maka berhentilah dan menyerahlah."
Para pengikut Ki Gede Telenganlah yang pertama-tama mulai merasa bahwa tidak ada gunanya lagi mereka bertempur. Seorang yang memegang pusaka yang terselubung kain putih itupun berdesis diantara kawan-kawannya, "Apakah kita akan bertahan terus?"
Tiba-tiba seorang yang berkumis lebat membentaknya, "Pengkhianat. Serahkan pusaka itu kepadaku. Aku akan menyelamatkannya."
Tetapi yang lain berdesis, "Sudah terlambat. Kita sudah terkepung rapat. Tidak ada gunanya."
Orang berkumis lebat itu menggeram. Namun kemudian kepalanya mengangguk-angguk lemah.
"Kita tidak akan dapat bertahan terus," berkata orang yang memegang pusaka itu. "Karena itu. kita akan menyerah. Kedua pemimpin kita tidak dapat bertahan terhadap anak muda itu. Apalagi kita."
Tidak ada jawaban. Tetapi nampaknya kawan-kawannya sependapat bahwa sebaiknya mereka menyerahkan diri kepada para pengawal Tanah Perdikan menoreh itu. sehingga mereka hanya memerlukan seorang dari mereka yang berani memulai.
Namun akhirnya mereka tidak tahan lagi. Orang yang memegang pusaka itulah yang kemudian berteriak, "Kami menyerah."
Ada semacam hentakan didalam setiap hati. Menyerah adalah suatu perbuatan yang hina. Tetapi mereka tidak dapat ingkar atas kenyataan yang mereka hadapi.
Ki Gede Menorehpun kemudian memerintahkan orang-orangnya untuk menghentikan pertempuran dan melangkah surut, sehingga kepungan itu menjadi semakin longgar.
"Letakkan senjata kalian," perintah Ki Gede ketika sudah ada jarak antara kedua pasukan yang bertempur itu.
Para pengikui Ki Gede Telengan dan para pengikut Ki Tumenggung Wanakerti tidak dapat berbual lain. Mereka segera meletakkan senjata mereka, dan benar-benar menghentikan perlawanan.
Ki Gede Menoreh menunggu sejenak. Ketika ia yakin bahwa tidak ada lagi kemungkinan yang licik dari para pengikut Ki Gede Telengan dan Ki Tumenggung Wanakerti. maka bersama Agung Sedayu keduanyapun memasuki lingkaran kepungan.
Beberapa langkah dari orang-orang yang menyerah itu keduanya berhenti. Dengan nada berat Ki Gede Menoreh berkata, "Kemarilah. Serahkan kedua pusaka itu."
Dua orang yang membawa pusaka itupun kemudian melangkah mendekati Ki Gede Menoreh dan Agung Sedayu. Betapapun keragu-raguan menghentak didalam dada mereka, namun merekapun kemudian menyerahkan kedua pusaka itu masing-masing kepada Ki Gede Menoreh dan Agung Sedayu.
"Terima kasih," berkata Agung Sedayu, "kalian sudah ikut membantu mempercepat penyelesaian dari pertempuran ini. Sementara kalian akan dibawa oleh pengawal menghindar dari peperangan ini."
Tidak seorangpun yang menjawab. Mereka sama sekali tidak menolak ketika kemudian di giring oleh para pengawal menuju ketempat yang lapang untuk mendapatkan mengawasan yang lebih baik.
Ki Gede Menoreh dan Agung Sedayu yang menerima kedua pusaka itu menjadi berdebar-debar. Rasa-rasanya mereka telah mendapatkan anugerah yang tidak ternilai harganya. Kedua pusaka yang dapat mendorong orang-orang yang tamak dan sombong itu untuk melangkah semakin jauh. telah tidak ada lagi ditangan mereka sehingga meraka tentu akan menghentikan usaha mereka yang dapat mengguncang ketenangan Pajang dan Mataram.
Namun dalam pada itu. Agung Sedayu dan Ki Gede Menorehpun segera teringat arena pertempuran yang lebih besar disebelah Timur. Pertempuran itu tentu jauh lebih dahsyat dan pertempuran sekelomook yang telah terjadi di sisi sebelah Barat ini.
Sejenak Agung Sedayu termangu-mangu. Ketika dalam keremangan malam dan kemudian cahaya obor yang dinyalakan oleh beberapa orang pengawal, ia melihat mayat yang bergelimpangan, maka hatinya serasa semakin pedih. Jauh lebih pedih dari lukanya yang tidak terlalu dalam.
Tetapi ia tidak dapat menghindari kemungkinan itu. Betapapun pertentangan didalam dirinya bagaikan benturan ombak dilautan, namun ia sudah melakukannya. Membunuh. Bahkan diantaranya adalah dua orang terpenting. Ki Gede Telengan dan Ki Tumenggung Wanakerti.
Sekilas terbayang wajah Rudita yang tersenyum pahit. Bahkan kemudian seakan-akan ia melihat anak muda itu menangis. Menangisi mayat yang berserakan di sela-sela ilalang dan pepohonan di hutan yang cukup padat itu.
Agung Sedayu terkejut ketika ia merasa seseorang menggamitnya. Agaknya Ki Gede Menoreh dapat mengenali perasaannya, karena sudah cukup lama ia bergaul dengan anak muda itu.
"Agung Sedayu," berkata Ki Gede Menoreh, "aku tahu bahwa kau menyesali peristiwa yang telah terjadi. Bahwa kau harus membunuh dengan tanganmu dan dengan ilmumu yang dahsyat itu. Tetapi ada peristiwa yang terjadi karena keadaan. Memang ada peristiwa-peristiwa pahit yang terjadi akibat perbuatan sendiri. Seperti orang yang memetik buah dari tanamannya. Tetapi ada yang demikian saja berada dimulutnya dan harus ditelannya."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.
"Kau telah terperosok kedalam keadaan yang tidak dapat kau ingkari meskipun kau masih mempunyai pilihan. Menghindari diri dari perbuatan yang sudah kau lakukan tetapi kau sendiri terbunuh, atau kau mempertahankan hidupmu tetapi orang lainlah yang terbunuh."
Agung Sedayu memandang Ki Gede Sejenak. Ia mengangguk kecil meskipun ada sesuatu yang terasa belum mapan.
"Agung Sedayu," berkata Ki Gede kemudian, "kita masih belum selesai. Meskipun pusaka-pusaka ini sudah ada ditangan kita, tetapi aku masih membayangkan bahwa pertempuran yang sengit masih terjadi. Agaknya para pengikut orang-orang yang merasa dirinya pewaris kerajaan Majapahit itu tidak menghentikan peperangan, sehingga pasukan pengawal Mataram dan Sangkal Putung harus menyesuaikan diri."
"Jadi, apakah yang sebaiknya kita lakukan Ki Gede?"
"Kita menyusul kemedan membawa pusaka-pusaka ini. Kita akan menunjukkan bahwa pusaka-pusaka ini sudah ada ditangan kita, sehingga pengaruhnya tentu akan besar sekali terhadap pengikut-pengikut orang yang merasa dirinya pewaris kerajaan Agung Majapahit itu."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Dengan ragu-ragu ia berkata, "Tetapi jika para pengawal itu gagal bertahan, maka pusaka ini akan berada dalam bahaya."
Ki Gede mengerutkan keningnya, namun kemudian katanya, "Aku tidak tahu pasti ngger. Tetapi firasatku memberikan harapan baik pada pertempuran ini. Apalagi setelah sayap yang tertinggal ini ikut serta memperkuat pasukan Tanah Perdikan Menoreh."
Agung Sedayu berpikir sejenak. Namun kemudian katanya, "Baiklah Ki Gede. Kita akan membawa pusaka ini kemedan. Kita akan mengangkatnya tinggi dan menerimakan bahwa Ki Gede Telengan dan Ki Tumenggung Wanakerti sudah terbunuh."
"Bagus," sahut Ki Gede.
Namun tiba-tiba saja Ki Gede melihat mata Agung Sedayu yang redup. Jika harus diteriakkan bahwa Ki Gede Telengan dan Ki Tumenggung Wanakerti terbunuh, maka seterusnya tidak dapat diingkari, bahwa yang membunuh adalah Agung Sedayu. Orang yang ingin menunjukkan kemampuan ilmunya. Orang yang tidak terlawan. Bahkan yang sudah dapat menyamai kemampuan orang-orang dari angkatan jauh sebelumnya.
"Tidak," terdengar gumam lirih. Kemudian Agung Sedayu berdesis didalam hatinya, "bukan maksudku."
Sekali lagi Ki Gede melihat perasaan Agung Sedayu yang membayang pada tatapan matanya. Sambil menarik nafas dalam-dalam, ia menepuk bahunya sambil berkata, "Marilah. Kita akan membagi pasukan kita. Sebagian akan mengawasi para tawanan, yang lain ikut serta menuju ke medan yang tentu lebih garang."
Agung Sedayu mengangguk lemah. Tetapi tidak membantah.
Sejenak kemudian pasukan itupun telah terbagi. Sebagian mengawasi para tawanan yang sudah tidak bersenjata lagi yang dibawa ketempat yang lebih lapang, sementara yang lain mengikuti Agung Sedayu dan Ki Gede Menoreh menuju kemedan sambil membawa kedua pusaka, yang telah berhasil direbut itu.
Para pengawal yang ikut bersama Agung Sedayu dan Ki Gede Menoreh sadar, bahwa mereka telah menggantikan kedudukan para pengikut Ki Gede Telengan. Mereka harus mempertahankan pusaka-pusaka itu mati-matian jika ada pihak yang ingin merampasnya. Apapun yang akan terjadi atas mereka sama sekali tidak akan mereka perhitungkan.
"Aku tidak akan menyerah seperti para pengikut Ki Gede Telengan jika keadaanmu terdorong sampai kepada keadaan yang mereka alami." berkata seorang pengawal muda.
"Mereka tidak mempunyai pilihan lain. Keadaan sudah memaksa harus berlaku demikian." sahut kawannya.
"Itu namanya pengecut."
"Keadaan kita berbeda dengan keadaan mereka," sahut kawannya yang lain, "mereka hampir tidak menyadari apa yang telah mereka lakukan kecuali harapan-harapan kosong yang pernah mereka dengar dari pemimpin-pemimpin mereka. Sedangkan kita adalah orang-orang yang berdiri dan berjejak diatas tanah. Jika kita bertemnur, kita berada dipihak Tanah Perdikan Menoreh, atau pihak-pihak lain yang sejalan. Kita tidak mengharapkan apa-apa, selain kita tetap seorang pengawal dari Tanah Perdikan Kita sendiri."
Kawannya mengerutkan keningnya. Tetapi iapun kemudian mengangguk sambil bergumam, "Kau benar. Ada perbedaan landasan. Yang kita tempuh berbeda dengan yang mereka lakukan. Dan perbedaan itu adalah perbedaan yang hakiki."
Dalam gelapnya malam, dibawah cahaya beberapa buah obor yang kecil, pasukan Tanah Perdikan Menoreh mencoba menembus hutan menuju ke arena pertempuran di bagian lain dari lembah itu.
Meskipun medan agak sulit, tetapi perlahan-lahan mereka dapat maju disela-sela pepohonan. Sekali-kali mereka terhenti oleh batang-batang yang melintang, dan kadang-kadang sulut yang bergayutan. Namun mereka meneruskan langkah mereka betapapun lambatnya.
Dalam kelamnya malam, sekali-kali terdengar binatang buas mengaum dikejauhan. Disusul oleh raung anjing hutan yang berkejaran.
Beberapa orang prajurit menjadi berdebar-debar. Anjing hutan adalah lawan yang paling berbahaya. Seekor harimau akan dengan mudah dibinasakan; apalagi mereka berada dalam kelompok yang cukup besar. Tetapi anjing hutan kadang-kadang datang dalam kawanan yang tidak terhitung.
"Kau ngeri mendengar suara anjing hutan itu ?" Tiba-tiba seseorang bertanya kepada kawan disampingnya.
Kawannya termangu-mangu. Namun kemudian ia mengangguk. Bahkan kemudian menjawab, "Tentu kau juga."
"Ya. Aku tidak dapat memanjat. Padahal memanjat adalah satu-satunya cara yang paling baik untuk menghindarkan diri dari sekelompok anjing hutan."
Kawannya tersenyum. Jawabnya, "Ternyata aku masih lebih aman jika sekiranya kita bertemu dengan sekelompok anjing hutan yang jumlahnya sekitar lima ratus ekor."
"Ah. Itu berlebih-lebihan. Meskipun mereka berkelompok, tetapi tidak akan lebih dari duapuluh lima."
"Jangan mencoba menghibur diri. Kau harus berani melihat kenyataan."
"Ah," kawannya itu menggeser mendekat, "jika benar-benar kita bertemu dengan sekelompok anjing hutan, tolong aku memanjat."
"Aku tentu mengurusi diriku sendiri."
"Tetapi kau dapat membantu aku."
"Dan itu membahayakan diriku."
Kawannya menjadi tegang, namun kemudian. "baiklah. Kita hidup dalam dunia kita masing-masing. Kita akan mencari keberuntungan nasib kita tanpa menghiraukan orang lain. Sukurlah, bahwa aku masih membawa sebatang tombak yang dapat membantu aku memanjat. Jika di dahan-dahan pepohonan terdapat ular hijau yang banyak terdapat disini. akupun masih mempunyai serbuk penawarnya."
"He?" "Ular gadung adalah ular yang sangat berbahaya. Jauh lebih berbahaya dari anjing liar. Seekor ular gadung sebesar lidi yang melekat ditengkukmu, akan dapat membunuhmu dalam sekejap jika kau tidak mempunyai obat penawarnya."
"Ah, bohong. Kau tahu. aku takut sekali kepada ular?"
"Bertanyalah kepada setiap orang, disini adalah sarang ular gadung dan ular kayu hitam berleher merah."
"Bohong. Bohong. Bohong."
Kawannya tidak menjawab. Bahkan berpalingpun tidak. Ia berjalan sambil sekali-sekali menengadahkan kepalanya.
"He," kawannyalah yang kemudian mendekatinya, "kau membawa serbuk penawar itu ?"
"Aku membawa. Tetapi tinggal sedikit sekali."
"Tetapi, tetapi...." kawannya mengerutkan keningnya. Namun kemudian sambil mendorongnya berkata, "Kau hanya ingin membalas kegelisahanmu oleh suara anjing itu."
Kawannya tetap tidak menjawab. Sehingga akhirnya keduanya saling berdiam diri.
Dalam pada itu. pasukan kecil itu kemudian menyusup semakin dalam. Dimalam yang gelap, dalam cahaya beberapa obor kecil, pasukan itu sama sekali tidak menebar karena dengan demikian mereka akan mengalami kesulitan perjalanan. Karena itu. maka merekapun kemudian berjalan berurutan dan menempatkan obor yang hanya beberapa buah itu pada tempat yang terpisah-pisah.
Mereka terhenti ketika mereka melihat cahaya api dikejauhan agak dibagian yang lebih rendah, sehingga orang yang berdiri dipaling depan segera memberi isyarat dan berusaha menyembunyikan cahaya obor mereka yang memang tidak begitu besar itu dibalik gerumbul-gerumbul atau dibalik puntuk-puntuk kecil atau batu-batu besar.
"Apa yang kalian lihat," bertanya Ki Gede Menoreh sambil maju kebagian depan dari iring-iringannya.
"Api Ki Gede. Perapian disebuah perkemahan."
Ki Gede Menoreh menarik nafas dalam dalam. Perkemahan itu adalah perkemahan yang dibangun oleh orang-orang yang tinggi dilembah untuk berbicara tentang warisan kerajaan Majapahit itu.
"Pertempuran itu tentu terjadi diluar perkemahan mereka," berkata Agung Sedayu.
"Apakah pertempuran itu terhenti dimalam kelam ini sehingga mereka kembali keperkemahan ?" bertanya seorang pengawal.
Tetapi Ki Gede menggeleng. Jawabnya, "Mungkin tidak. Pertempuran itu berlangsung terus. Tetapi sebagian dari mereka kembali keperkemahan untuk menyediakan dukungan makanan bagi mereka yang sedang bertempur. Tanpa makan, mereka akan menjadi sangat lemah dan tidak berdaya untuk melanjutkan pertempuran."
Agung Sedayu mengangguk angguk. Sementara seseorang yang lain berbisik ditelinga kawannya, "kitalah yang tidak akan mendapat makanan dari siapapun juga, karena tidak ada diantara kita yang menyediakannya."
"Sst. Para tawanan akan diperintahkan untuk menyediakan makanan kita."
"Dan mereka memasukkan racun kedalamnya." desis yang lain.
Agung Sedayu mengangguk-angguk, ia bahkan menyatakan keinginannya untuk melakukannya, tetapi Ki Gede sudah menunjuk dua orang pengawalnya untuk melihat, siapakah yang ada diperkemahan itu.
Beberapa saat. pasukan kecil itu menunggu. Mereka masih tetap berusaha menyembunyikan diri dan melindungi cahaya obor-obor kecil mereka.
Beberapa saat kemudian, kedua pengawal itu telah kembali. Sebelum mereka mengatakan sesuatu, menilik sikap dan ketegangan wajahnya. Ki Gede sudah dapat menduga, siapakah yang berada di barak-barak perkemahan itu.
"Kita tidak mengenal mereka," lapor salah seorang pengawal itu, "menilik ciri-ciri yang dapat kita lihat, mereka tentu bukan orang-orang Mataram atau Sangkal Pulung."
"Mereka tentu para pengikut Tumenggung Wanakerti," desis Ki Gede Menoreh, "karena itu. kita harus menyimpang. Kita tidak akan bertempur disini. Tetapi kita akan mencapai medan dan melihat perkembangan keadaan."
"Ki Gede," berkala Agung Sedayu kemudian, "sebaiknya, sebelum kita mendekati medan, kita harus mencari hubungan lebih dahulu. Agaknya dimalam hari. keadaan menjadi agak kacau. Menilik perkembangan keadaan, maka orang-orang di lembah ini agaknya telah dapat menerobos para pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang dalang dari arah Barat."
Ki Gede Menoreh mengangguk-angguk. Katanya, "Kau benar ngger. Kita tidak dapat membayangkan keadaan pertempuran itu sekarang, sebelum kita memperoleh hubungan. Tetapi mungkin kita masih dapat bergerak lagi beberapa puluh langkah sebelum kita akan sampai dimedan. Aku kira dalam kelamnya malam yang pekat didaerah berhutan ini. Akan terdapat banyak obor dimedan periempuran itu."
Agung Sedayu mengangguk. Tetapi ia menjadi ngeri membayangkan kemungkinan lain yang dapat terjadi diluar pertempuran itu sendiri.
"Ki Gede," berkata Agung Sedayu, "hutan ini sangat pepat. Jika api obor itu tidak terkendali karena pertempuran yang dahsyat, maka bahaya lain akan dapat timbul. Hutan ini dapat terbakar, sehingga api tidak akan terkuasai lagi."
"Memang hal itu mungkin sekali terjadi ngger. Tetapi marilah kita berdoa, agar hutan ini tidak terbakar Agaknya tidak terlalu mudah membakar hutan yang hijau seperti hutan dilembah ini."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kecemasan itu masih tetap ada didalam hatinya.
Sejenak kemudian, maka Ki Gedepun segera mengatur para pengawalnya untuk mencari jalan yang tidak terlalu dekat dengan perkemahan lawan yang sedang sibuk menyiapkan makan. Ada juga kadang-kadang tersembul niat untuk mengganggu mereka dan apabila perlu mematahkan hubungan antara perkemahan itu dengan medan. Tetapi karena masih belum terdapat gambaran yang jelas tentang medan, maka niat itupun diurungkannya.
Bunga Penyebar Maut 1 Goosebumps - 51 Teror Monster Salju Bentrok Para Pendekar 1

Cari Blog Ini