Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 23

05 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintarja Bagian 23


Glagah Putihpun menjadi heran. Kesembuhan yang cepat sekali itu menumbuhkan beberapa pertanyaan dihatinya Glagah Pulih. Namun ia mencoba mencari jawab pada jenis obat yang dipergunakan oleh Agung Sedayu.
"Ternyata Ki Waskita juga pandai meramu obat seperti Kiai Gringsing," katanya didalam hati.
Dihari kedelapan, Agung Sedayu sudah berjalan-jalan dihalaman. Badannya justru nampak segar dan sehat. Tidak lagi ada tanda-tanda bahwa ia baru saja mengalami sakit keras menurut penilaian Glagah Putih dan kebanyakan penghuni rumah Ki Waskita dan beberapa orang tetangganya.
Sebenarnyalah Agung Sedayu merasakan tubuhnya bertambah baik. Meskipun ia baru membaca isi kitab yang diberikan Ki Waskita dan belum memahami maknanya, namun pengaruhnya sudah mulai terasa. Satu dua kalimat dalam bab tertentu yang dibacanya, telah memberikan sentuhan pada ilmu yang memang sudah ada pada dirinya. Dalam hubungan yang mapan, maka ilmu yang sudah ada itu, seolah-olah telah mendapat unsur-unsur yang memberikan warna semakin tegas dan tajam, diluar usaha pencernakan maknanya yang baru akan dilakukan kemudian.
Bahkan ada firasat didalam dirinya, bahwa kekuatan yang terlontar lewat kekuatan dan tenaga cadangan yang ada didalam dirinyapun rasa-rasanya menjadi bertambah masak.
Diluar sadarnya, bahwa diantara orang-orang yang lewat di jalan didepan rumah Ki Waskita, adalah orang yang dikirim oleh Sabungsari untuk mengawasinya. Ketika nampak oleh orang itu Agung Sedayu berdiri dihalaman, maka orang itupun menarik nafas panjang. Dengan demikian mereka benar-benar tidak kehilangan Agung Sedayu. Yang terjadi hanyalah waktu yang agak lebih panjang. Dan ia akan dapat melaporkan kelak, bahwa Agung Sedayu menderita sakit di rumah Ki Waskita.
Dihari berikutnya Agung Sedayu telah ikut pula pergi kesawah bersama Rudita dan Glagah Putih. Badan Agung Sedayu telah benar-benar pulih kembali, bahkan ada sesuatu yang ternyata telah berkembang didalam dirinya.
Jika Glagah Putih menjadi kagum bahwa keadaan Agung Sedayu demikian cepat pulih kembali, maka Rudita sama sekali tidak heran. Ia tahu pasti, apakah yang menyebabkan Agung Sedayu nampak seperti orang sakit, sehingga iapun tahu pasti, bahwa anak muda itu akan cepat sembuh, pulih dan bahkan berkembang.
Tetapi Rudita tidak pernah mengatakan kepada Glagah Putih. Yang diketahuinya itu disimpannya saja didalam hatinya yang bertambah pahit, bahwa didunia ini, kekerasan telah berkembang, semakin pesat. Setidak-tidaknya pada satu orang yang dikenalnya dengan baik. Agung Sedayu.
Ketika mereka berada disawah, maka maka mereka tidak terlepas dari pengawasan orang-orang yang diperintahkan oleh Sabungsari mengikutinya. Dua orang diantara mereka, yang berjalan lewat pematang disebelah gubug kecil disudut kotak sawah Ki Waskita, memandang saja kearah gubug itu tanpa berkedip.
"Apakah kita dapat bertindak sekarang," berkata salah. Seorang dari mereka.
"Menangkap Agung Sedayu?" bertanya yang lain.
"Ya. Ia berada digubug bersama Glagah Putih dan anak Ki Waskita. Aku kira kedua anak muda itu sama sekali tidak akan terpengaruh."
"Tetapi disini banyak orang yang sedang bekerja disawah," berkata yang lain.
"Apa yang dapat mereka lakukan" Dengan sekali sentuh mereka akan pingsan."
"Tetapi salah seorang dari mereka akan memukul isyarat, atau berlari memanggil Ki Waskita."
Kawannya mengangguk-angguk. Jika demikian, maka mereka tentu akan gagal, dan barangkali mereka akan mengalami kesulitan meskipun mereka berlima akan bertindak bersama-sama.
"Jadi kapan kita dapat berbuat sesuatu. Kita akan banyak kehilangan waktu. Pada suatu saat, Sabungsari tidak akan sabar lagi, sehingga ia akan menyusul kita dan menganggap kita tidak mampu melakukan tugas yang diberikannya kepada kita."
"Kita mempunyai mulut untuk menjelaskan. Aku kira Sabungsari agak lebih mudah diajak berbicara dari Ki Gede Telengan yang garang itu. Anak muda itu dapal melihat persoalan dengan lebih baik dan mapan."
Kawannya tidak menyahut. Tetapi ia mengangguk-angguk kecil. Sementara kakinya melangkah semakin cepat.
Dalam pada itu, Agung Sedayu yang duduk diatas gubug sambil memegangi beberapa ujung tali yang dapat menggerakkan orang-orangan disawah telah melihat kedua orang itu. Tiba-tiba saja dadanya bergetar, seolah-olah kedua orang itu langsung menyentuh firasatnya, bahwa keduanya akan berbuat kurang baik terhadapnya.
Agung Sedayu justru menjadi berdebar-debar. Perasaan itu merupakan gejala baru dalam ungkapan pengenalnya atas keadaan disekitarnya. Suatu hubungan baru dari getar alam yang besar dengan getar alam kecil didalam dirinya.
Dengan demikian Agung Sedayu menjadi termangu-mangu. Ia merasakan pengaruh yang langsung pada dirinya, meskipun ia belum dengan sengaja menangkap maknanya. Seolah-olah perasaannya menjadi semakin tajam dan firasatnya menjadi semakin cerah menerangi perasaannya itu.
Tetapi Agung Sedayu masih diliputi oleh kekaburan arti dari firasatnya itu, karena yang terjadi adalah sesuatu yang baru baginya. Ia masih memerlukan waktu untuk mencernakannya."
Dengan demikian, Agung Sedayu sama sekali tidak berbuat sesuatu. Ia masih harus meyakinkan diri, bahwa yang terasa itu bukannya sekedar prasangka.
Namun perasaan itu seakan-akan telah memperingatkannya, agar ia menjadi lebih berhati-hati. Agaknya orang-orang yang mendendamnya itu terdapat dimana-mana. Setiap saat mereka dapat menyerangnya dan bahkan membunuhnya.
Ada diantara mereka yang dengan jantan menantangnya perang tanding. Tetapi tentu ada diantara mereka yang merunduknya dengan diam-diam dan menyerangnya dari belakang.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia berpaling, dilihatnya Rudita berjalan menyusuri pematang dengan goprak ditangan. Nampaknya anak itu tidak pernah dibebani perasaan seperti yang sedang membebani dirinya. Tidak ada rasa permusuhan dengan siapapun juga. Tidak ada dendam dan tidak ada kebencian.
Sejenak Agung Sedayu termangu-mangu. Disampingnya Glagah Putih juga sedang sibuk dengan tali-tali penarik orang-orangan disawah. Kadang-kadang anak muda itu berteriak nyaring mengusir burung-burung yang menukik dalam kelompok yang besar.
Sambil menarik tali-tali itu tiba-tiba saja Glagah Putih berkata, "He, kakang. Apakah aku pernah mengatakan kepadamu, bahwa dua orang telah mencarimu ?"
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Pertanyaan itu sangat menarik perhatiannya. Sambil menggeleng ia menjawab, "Seingatku, kau belum mengatakannya Glagah Putih."
"Ah. Kau tentu lupa kakang. Aku tentu sudah mengatakan bahwa ketika kau sakit, dua orang datang kegubug ini dan bertanya tentang kau. Mereka mengaku dua orang sahabatmu."
"Apakah Rudita mengenal mereka?" bertanya Agung Sedayu.
"Rudita tidak mengenal mereka. Aku kira keduanya adalah orang-orang dari Tanah Perdikan Menoreh yang kebetulan sedang lewat."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Diluar sadarnya dilayangkan pandangan matanya kekejauhan, melayang diatas batang-batang padi yang sedang menguning.
Dikejauhan ia masih melihat bintik-bintik kecil yang bergerak-gerak. Dua orang yang dilihatnya lewat dan menimbulkan firasat yang kurang baik dihatinya. Tetapi ia tidak dapat bertanya kepada Glagah Putih, apakah dua orang yang dimaksud adalah kedua orang yang lewat itu, karena agaknya Glagah Putih tidak sedang memperhatikannya.
Diluar sadarnya. Agung Sedayu mengerutkan keningnya, seolah-olah ia sedang memaksa diri dengan memusatkan perhatiannya kepada kedua bintik yang sedang bergerak itu.
Sekali lagi Agung Sedayu menjadi heran terhadap dirinya sendiri. Meskipun kedua bintik itu tetap merupakan dua bintik kecil, namun seakan-akan ia melihat segenap bagian dari bentuk yang kecil itu dengan jelas. Seolah-olah ia melihat setiap garis tubuh dan pakaiannya meskipun dari belakang.
"Aku melihatnya dengan jelas sekali," Agung Sedayu bergumam didalam hatinya.
Glagah Putih yang sibuk memperhatikan kelompok-kelompok burung gelatik tidak mengetahui, betapa Agung Sedayu justru menjadi gelisah. Ketika ia seakan-akan melepaskan pemusatan indranya atas kedua bintik itu, maka yang nampak padanya tidak lebih dari dua bintik hitam yang semakin kabur.
Sejenak Agung Sedayu merenungi dirinya sendiri. Dengan dasar pengetahuan yang ada padanya, ia mencoba menelusuri dirinya. Meskipun baru permukaannya saja. tetapi ia sudah mengalami akibat dari isi kitab yang dibacanya.
Agung Sedayu kemudian menundukkan kepalanya. Kini ia dengan sengaja memusatkan perhatiannya pada indera pendengarannya.
Ternyata seperti pada penglihatannya, maka pendengarannyapun rasa-rasanya menjadi semakin tajam. Ia mendengar dengung diudara, seolah-olah ia berada didalam lingkungan ribuan burung gelatik yang sedang berterbangan. Bahkan angin yang lembutpun terdengar berdesir ditelinganya, bagaikan arus yang dapat dikenalnya dengan pasti, laju sentuhannya pada daun-daun padi yang sedang menguning itu.
Agung Sedayu kemudian menjadi yakin. Dasar-dasar pengenalannya atas ilmu yang tertulis dalam kitab Ki Waskita itu telah memberikan pengaruh atas ilmunya sendiri. Nampaknya ada sentuhan timbal balik, sehingga yang sudah ada itu menjadi semakin jelas nampak warnanya. Namun Agung Sedayupun sadar, bahwa ia masih belum menemukan yang baru sebelum ia dengan tekun menangkap makna dari isi kitab itu, bab demi bab. Dan iapun sadar, bahwa tidak semua bab dapat dipahami maknanya dengan sebaik-baiknya, karena pada dasarnya, wadah yang ada hanya dapat diisi dengan yang paling sesuai.
"Yang aku perlukan kemudian adalah waktu yang panjang," desis Agung Sedayu didalam hatinya. Namun yang sudah dirasakannya itupun merupakan kurnia yang akan sangat berguna baginya menghadapi kesulitan-kesulitan yang nampaknya masih akan berkepanjangan.
Perasaan terima kasihnya itulah yang justru memperteguh niat Agung Sedayu untuk memilih jalan yang paling baik yang dapat dilakukannya, meskipun yang paling baik itu masih belum mencapai nilai setingkat dengan yang dapat dicapai oleh Rudita. Namun Agung Sedayupun mengerti, bahwa jika ia bersungguh-sungguh, maka yang ada padanya itupun akan berguna bagi sesama.
Yang terjadi itu, ternyata telah mendorong Agung Sedayu untuk mengenal dirinya lebih banyak lagi. Tetapi ia sadar, bahwa ia tidak dapat melakukannya pada saat itu. Apalagi ketika kemudian Rudita yang menghalau burung dengan goprak dipematang, telah naik pula kegubug kecil itu, sehingga Agung Sedayu harus menyesuaikan dirinya dengan kehadiran Rudita.
Ketika anak muda itupun kemudian berbicara tentang jenis-jenis burung yang sering merusak tanaman. Selain burung gelatik, juga burung emprit dari bermacam-macam jenis.
Pembicaraan itu baru terhenti ketika seseorang datang sambil membawa gendi dan bakul makanan bagi mereka.
Sejenak kemudian ketiganya telah disibukkan dengan kiriman yang diantar untuk mereka. Alangkah sejuknya minum air kendi dan alangkah nikmatnya makan dengan kuluban diantara batang-batang padi yang sudah mulai menguning
Setelah makan, mereka masih berada disawah untuk beberapa lamanya. Ketika langit menjadi merah dan burung-burung telah terbang kembali kesarangnya, maka ketiga anak muda itupun turun dari gubugnya dan berjalan menyusuri pematang.
Ternyata bahwa dari gubug-gubug yang lain, kawan-kawan Rudita juga sudah meninggalkan sawahnya. Bahkan ada diantara mereka kanak-kanak yang berlari-lari kecil menyusuri pematang langsung pulang kerumah masing-masing.
Tetapi Rudita, Agung Sedayu dan Glagah Putih tidak langsung pulang kerumah. Bersama beberapa orang kawan yang sebaya mereka singgah disungai untuk membersihkan badan yang berkeringat.
Alangkah gembiranya anak-anak muda yang sedang mandi disungai. Sebagian dari mereka naik kebendungan dan berenang berkejar-kejaran. Yang lain sempat mencuci kain panjangnya yang kotor di gerojogan dibawah bendungan.
Rudita sendiri tidak ikut kejar-kejaran bersama kawan-kawannya. Tetapi iapun nampak gembira. Bahkan sekali-sekali ia ikut berteriak memanggil kawannya yang sedang berenang kian kemari.
Namun bagaimanapun juga, Rudita nampak jauh lebih dewasa dari kawan-kawan yang umurnya sebaya. Meskipun ia terlibat juga dalam gurau yang segar itu, namun ia nampak menguasai seluruh kesadarannya dalam kegembiraannya.
Dalam pada itu, Agung Sedayu yang merasa sangat canggung. Glagah Putih dengan segera dapat menyesuaikan diri. Ia masih sempat ikut berenang diantara anak-anak muda yang lain dibendungan. Sekali-sekali ia melambai-lambaikan tangannya memanggil Agung Sedayu dan Rudita yang berdiri di tanggul.
Dalam keadaan yang demikian itulah. Agung Sedayu merasa, bahwa ia telah kehilangan sebagian dari masa-masa hidupnya yang paling menggembirakan. Jika anak-anak muda itu sempat bergurau tanpa kecemasan apapun juga, maka ia setiap kali harus berhadapan dengan keadaan yang sama sekali tidak diinginkannya. Perkelahian dan pertempuran.
Masa mudanya ternyata telah dirampas oleh dendam dan kebencian, sehingga seakan-akan masa-masa muda baginya adalah masa yang penuh dengan bahaya dan kesulitan. Dimana-mana dijumpainya kekerasan dan benturan kekuatan. Dimana-mana ditemuinya darah dan kematian.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat Glagah Putih bergurau diantara kawan-kawannya yang belum lama dikenalnya.
"Anak itu harus mengalami masa-masa yang berbeda dengan masa-masa yang pernah aku jalani. Biarlah ia menempuh dua jalur bersama-sama. Meningkatkan ilmunya, tetapi juga masa-masa yang gembira itu tidak akan terlampaui. Ia harus terhindar dari permusuhan yang menentukan seperti yang pernah aku alami," berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri.
Sekilas dikenangnya Swandaru yang memutuskan masa mudanya dengan jalan yang dipilihnya sendiri. Sejak sebelum kawin Swandaru telah menyerahkan sebagian besar dari waktunya untuk membangun Sangkal Putung, sehingga Kedemangan itu menjadi sebuah Kademangan yang bukan saja subur, tetapi juga mengalami banyak perubahan-perubahan yang memberikan arti yang besar.
Meskipun Swandaru tidak mempergunakan masa-masa mudanya untuk bergembira dan bergurau bersama alam sekitarnya, namun ia telah menemukan kepuasan tersendiri didalam hidupnya.
Agung Sedayu bagaikan tersadar dari angan-angannya ketika ia merasa sepercik air mengenai kakinya. Agaknya mereka yang sedang berkejaran tanpa sengaja telah memercikkan air ketanggul dan mengenai Agung Sedayu.
"Marilah," anak itu justru tertawa, "terjunlah."
Agung Sedayu memaksa dirinya untuk tersenyum. Tetapi ia menggeleng lemah.
Yang dilakukan oleh Agung Sedayu kemudian hanyalah mencuci kaki, wajah dan tangannya dibawah bendungan diantara kawan-kawannya yang sedang mencuci pakaiannya yang kotor oleh lumpur.
"Kau juga akan mencuci?" bertanya seorang kawannya.
"Tidak," sahut Agung Sedayu. "Dimalam hari, pakaian itu tidak dapat dijemur."
"Tapi besok pagi tentu sudah hampir kering. Dengan panas matahari pagi, sebentar saja pakaian itu sudah akan dapat dipakai kesawah lagi."
Agung Sedayu tidak menjawab Ia hanya mengangguk saja sambil menggosok tangan dan kakinya.
Namun dalam pada itu, ternyata Agung Sedayu benar-benar telah pulih kembali. Tidak ada lagi yang terasa mengganggunya. Bahkan badannya terasa menjadi semakin ringan. Apalagi Agung Sedayupun telah menyadari, bahwa pengaruh kitab yang baru dibacanya tanpa menelaah maknanya itu, membuat segala ilmunya menjadi semakin meningkat.
Bahkan Agung Sedayupun merasa bukan saja ketajaman inderanya, kedalaman firasatnya dan pengamatannya. Tetapi juga ilmu yang bersangkut paut dengan kanuragan.
"Pengaruh itulah yang harus aku mengerti," berkata Agung Sedayu didalam hatinya, "pemanfaatannya akan lebih cepat daripada aku harus mendalami maknanya dan menemukan unsur-unsur bagi kesempurnaan ilmuku."
Dimalam hari, rasa-rasanya Agung Sedayu selalu dibayangi oleh perkembangan didalam dirinya, sehingga ketika Glagah Putih telah tertidur nyenyak, ia justru bangkit dan duduk dibibir pembaringan.
Sejenak Agung Sedayu merenung. Dicobanya untuk mengerti, bahwa benar-benar telah terjadi peningkatan didalam dirinya.
Ketika Agung Sedayu memandang berkeliling, dan terpandang olehnya gledeg bambu, maka tiba-tiba saja ia ingin melakukan sesuatu.
Namun Agung Sedayu menjadi ragu-ragu. Disampingnya Glgah Putih tidur nyenyak. Jika ia terbangun, maka usahanya untuk mengetahui tentang ilmunya yng terpancar pada sorot matanya tentu akan terganggu.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya pintu yang meskipun tertutup, tetapi belum diselarak.
"Aku akan keluar saja," katanya didalam hati.
Dengan hati-hati Agung Sedayupun keluar dari biliknya. Kemudian turun keserambi dan menyeberangi longkangan samping. Sejenak ia berdiri termangu-mangu. Namun kemudian ia yakin, bahwa tidak seorangpun yang terbangun. Bahkan seandainya ada seseorang yang melihatnya keluar, maka ia dapat saja mengatakan pergi kepakiwan.
Untuk beberapa saat Agung Sedayu berdiri tegak dibayangan perdu disebelah longkangan. Dipandanginya keadaan disekelilingnya yang gelap. Dari kejauhan nampak cahaya lampu yang memancar dari pendapa menerangi halaman samping.
"Aku harus segera mulai," katanya didalam hati, "sebelum Glagah Putih terbangun dan mencari aku."
Menelusuri bayangan yang gelap. Agung Sedayu pergi kehalaman belakang rumah. Sejenak ia meyakinkan diri, bahwa tidak ada seorangpun yang ada disekitarnya.
Baru kemudian Agung Sedayu mencari sasaran. Diletakkannya sebuah batu padas dibawah sebatang pohon. Kemudian ia mengambil jarak beberapa langkah, sambil menyilangkan tangannya ia duduk dengan tenang memandang batu padas sebesar kepala kerbau itu.
Didalam goa yang dindingnya dilukisi gambar-gambar yang menunjukkan urutan jenjang ilmu yang diwarisi oleh ayahnya, ia telah berhasil menguasai kekuatan yang terpancar dari sorot matanya dengan sentuhan wadag. Dengan tidak sengaja ia telah merusakkan sebagian dari lukisan yang ada didinding goa, terpahat pada batu padas. Tatapan matanya seakan-akan telah berhasil memecahkan lapisan-lapisan batu padas dinding goa itu.
Tetapi kini Agung Sedayu menghadapi sebongkah batu padas. Ia tentu dapat memecahkan lapisan-lapisan luar dari batu padas itu. Meskipun perlahan-lahan dan lama, ia akan dapat sampai pada suatu ketika, batu padas itu hancur.
Namun kini Agung Sedayu ingin melihat, perkembangan dari kemampuan rabaan wadag dari sorot matanya. Dengan alas yang kurang dipahami, yang tumbuh oleh pengaruh isi kitab yang belum ditekuni maknanya, namun yang sudah meresapi dasar-dasar ilmu yang sudah ada padanya, ia merasakan perubahan-perubahan pada dirinya.
Sejenak Agung Sedayu memusatkan segenap kekuatan jiwanya dalam pemusatan pikiran. Dipandanginya batu padas dalam kegelapan, namun yang dapat dilihatnya dengan jelas.
Pada tahap pertama, tiba-tiba saja Agung Sedayu merasakan jenis kemampuan yang dapat dipisahkannya. Ia dapat menekan dengan sorot matanya. Namun dengan kekuatan niat dan kehendaknya, ia dapat mengangkat batu itu dan memindahkannya.
Yang pertama-tama dilakukan oleh Agung Sedayu adalah mengangkat batu itu sehingga batu itu seolah-olah mengapung diudara. Kemudian dengan kekuatan hentakkan pada sorot matanya yang mempunyai sentuhan wadag itu, maka ia telah meremas batu padas itu.
Sejenak Agung Sedayu duduk diam seperti patung. Dalam pengerahan kekuatannya, maka keringat mulai mengaliri tubuhnya. Giginya terkatup rapat sementara darahnya seolah-olah mengalir lebih cepat.
Untuk beberapa saat lamanya, batu padas itu tetap mengapung diudara. Namun kemudian telah terjadi sesuatu karena kekuatan remas sorot mata Agung Sedayu.
Seperti batu padas didinding goa itu, maka telah terjadi pecahan-pecahan kecil pada kulitnya. Beberapa bagian menjadi retak. Bahkan kemudian bukan saja pada kulitnya, tetapi retak pada batu padas itu menyusup menghunjam sampai kepusatnya.
Agung Sedayu yang mengerahkan kekuatan matanya pada daya angkat dan daya tekan itu tiba-tiba mengendorkan tenaganya. Perlahan-lahan. Kemudian melepaskannya sama sekali.
Batu padas itupun turun perlahan-lahan. Namun ketika Agung Sedayu melepaskannya, maka batu padas itu tiba-tiba bagaikan terurai menjadi debu, berhamburan, diatas tanah.
Dada Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Sejenak ia masih duduk diam. Diaturnya jalan pernafasannya yang memburu.
Perlahan-lahan Agung Sedayu berdiri. Ia merasa kelelahan mencengkamnya, sehingga rasa-rasanya untuk melangkah beberapa langkah, tubuhnya tidak lagi terangkat.
Sejenak ia berdiri termangu-mangu. Ia sadar, bahwa ia benar-benar telah menemukan peningkatan pada ilmunya, seperti pada penglihatan dan pendengarannya.
Beberapa kali ia telah membenturkan kekuatan tatapan matanya dengan ilmu yang tinggi pula. Ia berhasil mengalahkan beberapa orang yang dianggap tidak terkalahkan. Yang terakhir dengan kekuatan tatapan matanya ia berhasil menekan dan menghimpit lawannya yang telah melepaskan ilmu yang kurang dimengerti, seolah-olah ia dapat mengguncang bumi dan merontokkan isi dada. Bahkan rasa-rasanya Agung Sedayu dapat melontarkan udara yang panas dengan sorot matanya itu.
Agung Sedayu masih berdiri ditempatnya. Sekilas ia mencoba membaca pahatan ingatannya pada bagian-bagian kitab yang dibacanya. Didalam bab yang tidak terlalu panjang, ia memang menemukan lambaran ilmu seperti yang telah berhasil dikuasai dasar-dasarnya itu, meskipun isyarat, laku dan penguasaannya agak berbeda dengan yang dilakukannya.
Tetapi karena Agung Sedayu belum mempelajarinya, maka ia tidak berani merenunginya terlalu lama, agar tidak mengganggu dasar kekuatan yang sudah ada didalam dirinya. Ia memerlukan waktu untuk mencari hubungan, kesamaan dan mungkin saling menyelip-melengkapi yang satu dengan yang lain, sehingga akhirnya dapat luluh menjadi satu, bukan sekedar saling bersambung tanpa ikatan.
"Biarlah yang terjadi sekedar penegasan warna," berkata Agung Sedayu didalam hatinya, "justru seharusnya memang demikian sebelum terjadi perubahan apapun pada warna itu."
Sesaat kemudian, maka Agung Sedayupun meninggalkan batu padas yang telah menjadi debu itu. Ia sudah yakin, bahwa meskipun hanya selapis tipis, tetapi ilmunya memang sudah terpengaruh dan meningkat."
Seperti saat ia keluar dari rumah, maka iapun masuk kembali dengan sangat hati-hati. Perlahan-lahan ia membuka pintu dan melangkah masuk. Kakinya seolah-olah menjadi semakin ringan, sehingga sama sekali tidak menimbulkan suara apapun juga. Selarak pintu yang dipasangnyapun bagaikan tidak saling bersentuhan dengan uger-uger, karena sama sekali tidak terdengar desir yang paling halus sekalipun.
Demikian pula ketika Agung Sedayu membuka pintu biliknya. Ketika pintu itu terbuka, dilihatnya Glagah Putih masih tidur dengan nyenyaknya.
Dengan hati-hati Agung Sedayu duduk dibibir pembaringannya. Terbersit kebanggaan didasar hatinya yang paling dalam. Dengan peningkatan ilmunya, maka ia akan menjadi seorang anak muda yang pilih tanding. Jarang sekali terdapat diseluruh Pajang, seorang anak muda yang seusia dengan dirinya, telah berhasil menguasai ilmu seperti yang dikuasainya.
Tetapi ketika Agung Sedayu memandang pintu biliknya, dan menyadari bahwa ia berada dirumah seorang anak muda bernama Rudita, maka tiba-tiba saja kepalanya menunduk dalam-dalam. Ia merasa malu kepada dirinya sendiri, bahwa ia sempat berbangga atas ilmu yang telah dimilikinya.
"Kebanggaan yang tidak terkendali, akan dapat menyesatkan jalan," berkata Agung Sedayu didalam hatinya, "seharusnya aku tidak berbangga, tetapi bersukur dan selalu melihat kedalam diri, apakah aku masih tetap berada dijalan yang lurus."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dalam keadaan yang demikian, terasa dirinya menjadi semakin dekat dengan penciptanya. Ia merasa bersukur berlipat ganda, bukan saja karena ia telah menerima kesempatan untuk mempelajari ilmu dan memahaminya, tetapi yang lebih penting, bahwa seolah-olah ia selalu disertai oleh sentuhan tangan-Nya, untuk selalu meluruskan jalannya.
Dan hubungan dengan Yang Maha Tinggi itu menjadi semakin akrab jika Agung Sedayu merasa, bahwa meskipun ia tidak dapat lagi berada dibawah naungan sayap orang tuanya, namun ia seakan-akan selalu berada dibawah kasih yang tidak terhingga besarnya, yang melihat dan memenuhi segala keinginannya yang sesuai dengan kepentingannya.
Sejenak kemudian Agung Sedayupun membaringkan dirinya disisi Glagah Putih. Sesaat ia masih sempat mengenang tentang banyak hal. Namun kemudian, matanyapun segera terpejam oleh letih dan kantuk.
Ketika matahari terbit, terasa betapa cerahnya langit. Seperti biasa Agung Sedayu mempersiapkan dirinya untuk pergi bersama dengan Rudita kesawah. Meskipun ada orang-orang lain yang dapat melakukan pekerjaan itu disawah, tetapi agaknya anak-anak muda itu lebih senang mengisi waktunya dengan duduk didalam gubug kecil sambil menarik tali yang dapat menggerakkan orang-orangan disawah untuk menakut-nakuti burung. Jika mereka jemu menarik tali-tali itu, maka mereka berjalan menyusuri pematang, sambil menghentak-hentakkan goprak ditangan mereka. Bunyinya yang memekakkan telinga mengusir burung-burung yang akan hinggap dibatang padi yang sedang menguning.
Namun nampaknya, ada sesuatu yang sedang dipikirkan oleh Agung Sedayu, sehingga sikapnya agak berbeda dengan hari-hari sebelumnya.
"Apakah kau sakit lagi kakang ?" bertanya Glagah Putih.
Agung Sedayu terkejut mendengar pertanyaan itu. Dengan serta merta iapun menjawab, "Tidak. Kenapa ?"
"Kakang nampak banyak merenung."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Ketika ternyata tidak ada orang lain, maka iapun berkata, "Kita sudah terlalu lama pergi."
"He " " Glagah Putih mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, "Ya. Kita sudah lebih dari sepekan berada disini. Tetapi, apakah kita akan segera kembali ?"
"Rasa-rasanya aku sudah rindu pada padepokan kecil itu."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi seolah-olah diluar kehendaknya, maka iapun berkata, "Tetapi, apakah yang telah kita lakukan selama kita disini?"
Pertanyaan itu memang tidak terduga-duga. Sejenak Agung Sedayu justru terdiam. Bagi dirinya sendiri, waktu yang diperlukan telah dipergunakan sebaik-baiknya, ia telah berhasil menyelesaikan seluruh isi kitab rontal yang dipinjamnya dari Ki Waskita. Ia tinggal memilih, manakah yang sesuai dengan pribadinya, dengan ilmu yang sudah ada padanya lebih dahulu dari isi kitab rontal itu, dan yang memungkinkan akan dapat luluh didalam dirinya. Sehingga dengan demikian, waktu yang berikutnya, dengan sekedar berada disawah menghalau burung, adalah waktu yang tersia-sia. Meskipun dengan demikian, ia menjadi semakin akrab dengan alam dan semakin mengenal hubungan kasih Penciptanya dengan mengagumi ciptaan-Nya, namun rasa-rasanya ia ingin cepat berada kembali di padepokannya.
Namun, apakah yang sebenarnya telah diperoleh Glagah Putih " Anak itu tentu mengharap untuk mendapatkan suatu pengalaman dari perjalanannya. Tetapi yang didapatkannya, hanyalah sekedar menunggui burung disawah.
"Apa boleh buat," berkata Agung Sedayu, "setidak-tidaknya ia sudah melihat padukuhan-padukuhan yang dilaluinya pada jarak Jati Anom, Tanah Perdikan Menoreh dan padukuhan ini. Selanjutnya, demikian ia sampai dipadepokan, maka ia akan mendapat latihan-latihan berikutnya yang barangkali cukup berat baginya."
Glagah Putih masih termangu-mangu karena Agung Sedayu tidak segera menjawab. Bahkan kemudian ia mendesaknya, "Kenapa kau termenung saja kakang."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, "Glagah Putih. Mungkin pengalaman yang kau dapatkan dengan perjalanan ini memang terlampau sedikit. Tetapi sudah barang tentu, kau akan melakukan perjalanan yang lebih panjang di saat-saat yang lain. Karena itu, maka yang kau peroleh dari perjalanan ini hanyalah sekedar permulaan dari pengalaman-pengalaman yang masih akan panjang. Selebihnya, kau sudah terlalu lama tidak melakukan latihan-latihan khusus untuk meningkatkan ilmumu."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, "Terserahlah kepada kakang. Bagiku, agaknya merupakan pilihan yang sama beratnya. Telapi apakah latihan-latihan itu harus dilakukan didalam sanggar padepokan ?"
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.
Agaknya Glagah Putih ingin untuk mendapat pengalaman lebih banyak lagi dari sebuah perjalanan. Mungkin ia ingin melihat padukuhan-padukuhan kecil yang terpencil. Mungkin ia masih ingin mendaki tereng Gunung, melihat sesamanya berjuang melawan alam didaerah rawan atau pengenalan-pengenalan yang lain.
Karena itu, hampir diluar sadarnya Agung Sedayu berkata, "Kita masih akan menempuh perjalanan kembali. Mungkin diperjalanan pulang, kita akan melihat lebih banyak dari saat kila berangkat. Kita tidak akan lagi bersama Ki Waskita, sehingga kita dapat memilih jalan kita sendiri."
Glagah Pulih agaknya tertarik pada kata-kata Agung Sedayu itu. Dengan kening yang berkerut ia berkata, "Apakah kita akan melingkari Gunung Merapi dan Merbabu ?"
"Ah, tentu tidak Glagah Pulih. Kita akan kembali ke Jati Anom melalui jalan yang tidak terlalu jauh meskipun bukan yang paling dekat. Mungkin kita akan menerobos hutan yang lebat, melalui padukuhan-padukuhan terpencil dilereng Gunung Merapi sebelah Selatan."
"Kenapa kita tidak memilih jalan lain " Kita menyelusuri kali Praga. Kemudian kita meyeberang hampir di ujungnya. Melintasi daerah disebelah Barat Gunung Merbabu. Kakang, kita dapat melalui Banyu Biru. Kita akan sampai di Jati Anom dari arah Utara."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak, ia menyadari, bahwa perjalanan itu tentu akan merupakan perjalanan yang berat bagi Glagah Putih, dan baginya akan merampas waktu terlalu banyak. Keinginannya untuk mulai melihat makna dari kalimat-kalimat jtang terpahat diingatannya rasa-rasanya sangat mendesaknya.
Karena itu, maka jawabnya, "Glagah Putih, dikesempatan lain, aku akan membawamu ke Banyu Biru. Ke Rawa Pening dan daerah-daerah disekitarnya yang akupun belum pernah melihatnya. Tetapi kali ini kita akan menempuh perjalanan yang lebih dekat. Kita akan menelusup daerah-daerah yang belum pernah kita lihat. Tapi sudah barang tentu, daerah-daerah yang tidak begitu jauh. Mungkin kita akan muncul didaerah yang disebut memiliki sebatang pohon Mancawarna. Sebatang pohon yang besar dan mempunyai beberapa jenis bunga. Kita dapat memilih jalan memintas, atau kita dapat mengulur perjalanan kita beberapa ribu tonggak."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi jawabnya, "Kita akan berada diperjalanan tidak lebih dari dua hari satu malam."
"Apakah kita akan menyusuri jalan yang lebih panjang " Kita akan meninggalkan kuda-kuda kita disini, sehingga kita akan menempuh perjalanan lebih lama."
"Ah, kakang aneh. Nanti ayah dan Kyai Gringsing akan bertanya, kenapa kita tidak membawa kuda-kuda kita kembali. Mungkin kuda-kuda itu diperlukan setiap saat."
Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Jika demikian, kita akan berkuda. Tetapi mungkin kita akan menuntun kuda kita disepanjang jalan. Kita akan melalui jalan-jalan sempit. Mengenal daerah-daerah terpencil."
"Apa yang dapat kita lihat dilereng Gunung Merapi " Disaat kita berangkat, kita sudah banyak melihatnya."
"Lalu, apakah kau mempunyai keinginan lain kecuali melingkari Gunung Merbabu dan Merapi ?"
"Jika kakang tidak setuju, aku tidak akan memaksa untuk melalui Banyu Biru dan Rawa Pening. Tetapi bagaimana jika kita kembali ke Jati Anom dengan menyusuri Pantai Selatan " Kita akan mengikuti Kali Praga sampai kebatas muaranya. Kemudian kita akan menuju ke Timur menyusuri Pantai."
"Kau kira kita akan dapat lewat daerah Pandan Segegek, daerah berbatu-batu padas diseberang Kali Opak."
"Kita tidak akan menyeberangi Kali Opak. Kita akan berbelok ke Utara disebelah Barat Kali Opak, kemudian menyeberang ditempat yang memungkinkan, disebelah Utara Pegunungan sewu."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Hatinya menjadi tidak tenang karena permintaan Glagah Putih itu. Tetapi iapun tidak sampai hati untuk selalu menolaknya saja.
Menyelusuri Pantai Selatan, telah mengingatkannya kepada orang-orang dari Pesisir Endut yang meskipun letaknya tidak terlalu dekat. Apalagi mereka sedang dibebani oleh perasaan dendam tiada taranya. Bukan karena Agung Sedayu ketakutan menghadapi perang tanding, tetapi ia masih selalu dibayangi oleh keseganan untuk menumbuhkan akibat yang justru dapat memperdalam dendam itu.
Tetapi ketika ia melihat wajah Glagah Putih yang kecewa, maka ia benar-benar tidak sampai hati untuk menolaknya. Karena itu, maka katanya, "Baiklah Glagah Putih. Kita akan menelusuri Kali Praga. Tetapi aku tidak ingin singgah di Mataram. Kita akan lewat disebelah Barat Mataram dan mungkin kita akan melalui Mangir dan daerah-daerah yang juga belum banyak aku kenal. Tetapi kita tidak akan mempersulit diri dengan mendaki batu-batu padas diseberang Kali Opak. seperti yang kau katakan, kita akan berbelok ke Utara dan menyeberang Kali Opak ditempat yang memungkinkan. Mungkin disekitar Gunung Baka atau disebelah Selatan beberapa ratus tonggak."
"Jadi kita akan melalui pesisir Selatan " " tiba-tiba saja wajah Glagah Putih menjadi cerah.
"Ya. Kita akan melalui Pesisir selatan. Tetapi sekali lagi kau harus berjanji, bahwa kau akan menurut jalan manakah yang akan aku pilih, sehingga kita tidak akan terlalu mempersulit diri kali ini.," jawab Agung Sedayu.
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Menurut jalan pikirannya, pengalaman akan banyak didapat justru dalam kesulitan-kesulitan itu. Tetapi agaknya Agung Sedayu selalu dibayangi oleh waktu yang baginya sangat diperlukan disaat-saat yang dekat.
"Kita akan menyampaikannya kepada Ki Waskita," berkata Glagah Putih.
"Biarlah aku yang mohon diri. Kita tidak perlu mengatakan, jalan manakah yang akan kita lalui. Pagi ini kita masih akan pergi kesawah bersama Rudita. Digubug itu aku akan mengatakan niat kita untuk mohon diri, sebelum kita menyampaikannya kepada Ki Waskita sendiri."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian pergi kebiliknya, membenahi diri untuk pergi bersama Rudita ke sawah.
Seperti yang direncanakannya, maka ketika kemudian mereka berada disawah. Agung Sedayupun menyampaikan maksudnya untuk minta diri kepada Rudita yang nampak kecewa.
"Jika kalian meninggalkan tempat ini, aku akan menjadi kesepian," berkata Rudita, "aku tidak mempunyai kawan lagi menunggui burung disawah."
"Bukankah ada beberapa orang pembantu dirumahmu?"
Rudita mengangguk. Tetapi jawabnya, "Mereka terlalu sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Jika ada satu dua orang yang ikut menghalau burung, maka mereka sama sekali tidak sempat untuk diajak berceritera atau mendengarkan dongeng tentang burung putih yang terbang dilangit yang biru. Mereka lebih banyak terikat dengan gopraknya atau dengan tali-tali itu."
"Sayang sekali," desis Agung Sedayu.
Rudita tersenyum. Katanya, "Aku mengerti. Kau memerlukan waktu yang cukup. Pergilah."
Glagah Putih menjadi heran mendengar sikap Rudita yang tiba-tiba saja berubah. Namun Agung Sedayu sendiri bahkan menundukkan kepalanya tanpa menjawab lagi.
Suasana digubug itu terasa mulai berubah. Baik Rudita maupun Agung Sedayu tidak lagi banyak berbicara. Nampaknya masing-masing lebih banyak berbincang dengan diri mereka sendiri.
Karena itu, maka Glagah Putihpun berusaha untuk menyesuaikan diri, meskipun ia tidak mengerti, apa yang sebenarnya sedang dipikirkan oleh Agung Sedayu dan Rudita.
Ketika mereka telah berada dirumah lewat sore hari, maka Agung Sedayu mencari kesempatan untuk dapat bertemu dengan Ki Waskita hanya berdua saja. Ia harus menyerahkan kembali kitab yang disembunyikannya. Kemudian minta diri untuk kembali kepadepokannya setelah ia menerima kemurahan hati Ki Waskita yang tiada taranya.
"Aku titip agar ilmu itu tidak menjadi punah," berkata Ki Waskita. Namun kemudian, "tetapi pesanku Agung Sedayu, kau jangan mencoba membuat seikat rontal yang berisi seperti isi rontalku yang sudah terpahat dihatimu. Bukan aku tidak percaya kepadamu, tetapi rontal yang demikian akan dapat jatuh ketangan orang yang tidak berhak dan apalagi mereka yang akan menyalahgunakan."
Agung Sedayu mengangguk sambil menjawab, "Aku mengerti Ki Waskita."
"Terima kasih. Selanjutnya terserah kepadamu, apa yang akan kau lakukan dengan kata demi kata yang kau kenal dari kitabku yang tidak akan banyak berarti itu."
"Aku akan mencari kemungkinan untuk meluluhkan ilmu dari perguruan Kiai Gringsing dengan ilmu yang terdapat dalam kitab itu Ki Waskita."
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku tidak berkeberatan ngger. Tetapi bagaimanapun juga, aku mohon agar kau tetap mengenal dasar-dasar ilmu dari perguruanku yang dapat kau baca pada kitab itu."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun dengan serta merta iapun menjawab, "Tentu Ki Waskita, tentu. Bagaimanapun juga, aku akan tetap memelihara ilmu yang temurun lewat kitab itu seperti yang ada didalamnya. Jika aku mencari unsur-unsur yang akan dapat luluh adalah semata-mata agar aku tidak mengalami kesulitan dalam saat-saat yang gawat, dimana aku tidak mendapat kesempatan untuk memperhitungkan unsur-unsur gerak yang pada dasarnya berbeda tetapi bersama-sama ada didalam diriku."
"Aku mengerti ngger. Dan aku tidak berkeberatan sama sekali," Ki Waskita termenung sejenak, lalu. "yang terjadi benar-benar telah membebani perasaanku. Ada sesuatu yang tersimpan didalam hati sebagai suatu rahasia. Tetapi apakah sebenarnya aku memang sudah pikun, sehingga rasa-rasanya dada ini akan retak karena rahasia itu."
Agung Sedayu menjadi bingung.
"Angger Agung Sedayu. Aku mengenal sesuatu tentang gurumu tetapi yang aku kira, kau dan Swandaru belum banyak mengenalnya. Agaknya Kiai Gringsingpun akan mengalami banyak kesulitan untuk mempertimbangkannya. Jika ia memberitahukan hal ini kepadamu, maka menjadi kewajibannya untuk memberitahukannya pula kepada Swandaru. Namun agaknya Kiai Gringsing masih meragukannya, meskipun Ki Demang serba sedikit telah mengetahuinya pula."
Agung Sedayu menjadi tegang. Dan Ki Waskita berkata selanjutnya, "Gurumu adalah orang yang aneh Agung Sedayu. Banyak hal yang tidak dapat diketahui dengan pasti. Yang berwarna kuning hari ini pada gurumu, besok akan nampak menjadi biru atau hitam sekali. Tetapi aku tahu, bahwa yang berubah itu hanyalah warna kulitnya. Sedangkan isinya tetap tidak akan berubah sama sekali."
Agung Sedayu menjadi semakin bingung, sementara Ki Waskita berkata, "Aku pernah mendengar dongeng gurumu tentang dirinya. Namun pada saat yang gawat, saat menurut aku, waktunya untuk bertindak lebih jauh, gurumu seolah-olah tidak tahu sama sekali tentang dirinya. Akupun sadar, bahwa gurumu tidak ingin ada orang lain lagi yang mengetahuinya, sehingga yang dirahasiakan itu akan tersebar semakin luas, sehingga akupun tidak memaksanya dan tidak menyebut lagi dongeng yang pernah dikatakannya. Menurut gurumu yang baru dikatakan kemudian, ia tidak ingin hal itu didengar lewat siapapun juga, oleh telinga Untara. Sebab Untara adalah seorang prajurit yang akan dapat bertindak tegas, lepas dari maksud dan perhitungan Kiai Gringsing, yang menurut aku memang sangat lamban."
Agung Sedayu dengan ragu-ragu bertanya, "Apakah yang Ki Waskita maksudkan ?"
"Tidak ada yang dapat aku katakan. Tetapi cobalah bertanya kepada gurumu, apakah gurumu juga mempunyai sebuah rontal berisi kidung yang dapat berguna bagimu dan bagi perguruanmu."
Agung Sedayu menjadi semakin bingung. Sementara Ki waskita berkata selanjutnya, "Tetapi sekali lagi, gurumu tentu akan menuntut agar Untara tidak mengetahuinya. Dan aku tidak tahu, apakah hal itu akan dapat dikatakan oleh gurumu." ia berhenti sejenak, lalu. "aku akan menulis buat gurumu."
Agung Sedayu masih termangu-mangu. Kelika terpandang olehnya wajah Ki Waskita, maka iapun menarik nafas panjang.
"Semuanya akan kau ketahui kelak jika kau telah bertemu dengan gurumu," berkata Ki Waskita, "aku akan menulis pada sehelai rontal agar kau berikan kepada gurumu pada saat yang kau anggap tepat."
Agung Sedayu tidak bertanya lagi. Ia sadar, bahwa ada sesuatu yang tersimpan dihati Ki Waskita. Tetapi Ki Waskita masih dibatasi oleh keseganannya kepada Kiai Gringsing untuk mengatakannya, karena yang ingin dikatakannya itu agaknya menyangkut masalah gurunya itu.
Karena itu, maka yang dilakukan oleh Agung Sedayu kemudian adalah dengan resmi menyerahkan kembali kitab yang dipinjamkan oleh Ki Waskita kepadanya dengan ucapan terima kasih yang tiada taranya. Kemudian mohon diri untuk kembali ke padepokan kecilnya disebelah Jati Anom.
"Hati-hatilah diperjalanan. Kapan kau akan berangkat ?" bertanya Ki Waskita.
"Besok Ki Waskita. Jika matahari terbit, maka kami akan berangkat agar udara masih segar dipermulaan dari perjalanan kami itu."
"Baiklah Agung Sedayu. Aku akan menulis nanti malam. Minta dirilah kepada Rudita agar besok anak itu tidak terkejut."
"Aku sudah mengatakannya Ki Waskita."
Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "Baiklah. Pergunakan waktu yang tersisa untuk beristirahat sebaik-baiknya."
Ki Waskitapun kemudian meninggalkan Agung Sedayu yang juga segera masuk kedalam biliknya.
"Kakang berbincang dengan Ki Waskita lama sekali," berkata Glagah Putih.
"Aku mohon diri. Mula-mula Ki Waskita menahanku. Tetapi aku menjelaskan bahwa aku sudah terlalu lama pergi."
Glagah Putih sama sekali tidak menduga, yang telah terjadi dengan Agung Sedayu selama ia berada di rumah Ki Waskita. Menurut pengertiannya. Agung Sedayu tiba-tiba saja telah sakit untuk beberapa hari sehingga mencemaskannya. Untunglah ia segera sembuh dan dapat kembali ke Jati Anom.
"Tentu merupakan perjalanan yang menyenangkan," berkata Glagah Putih kepada diri sendiri.
Ketika fajar menyingsing di hari berikutnya, maka Agung Sedayu dan Glagah Putihpun segera berkemas. Mereka akan berangkat disaat matahari terbit, agar udara pagi memberikan kesegaran baru diujung perjalanan mereka.
Oleh Ki Waskita sekeluarga, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih dijamu makan pagi untuk yang terakhir kalinya, karena sebentar lagi, mereka akan meninggalkan keluarga itu kembali kepadepokan yang telah cukup lama mereka tinggalkan.
"Aku titip rontal ini buat gurumu," berkata Ki Waskita sambil memberikan kantong kecil yang dari kain yang tertutup rapat.
Agung Sedayu menerima kantong yang tertutup itu dengan hati yang berdebar-debar. Ki Waskita tentu mengatakan sesuatu yang tidak boleh diketahuinya.
Demikianlah, ketika kemudian matahari terbit, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih menuntun kudanya keluar dari regol halaman rumah Ki Waskita. Beberapa orang telah mengantarkannya sampai keregol. Beberapa pesan masih diberikan oleh Ki Waskita, sementara Rudita hanya mengucapkan selamat jalan. Namun dari tatapan matanya Agung Sedayu dapat membaca, bahwa Rudita menjadi kecewa. Kecewa bahwa ia telah ditinggalkan oleh kedua anak-anak muda yang untuk beberapa hari telah mengawaninya disawah dan dirumah. Tetapi juga kecewa karena sikap dan pandangan hidup Agung Sedayu yang berbeda dengan sikap dan pandangan hidupnya. Justru kini terasa semakin jauh, karena Rudita tahu pasti apa yang dilakukan oleh Agung Sedayu dirumahnya.
Tetapi Rudita menekan segala kekecewaannya didalam hatinya.
Perlahan-lahan Agung Sedayu dan Glagah Putih meninggalkan regol dan beberapa orang yang melepaskannya. Rasa-rasanya memang berat untuk meninggalkan mereka. Namun mereka tidak dapat tinggal terlalu lama dirumah yang terasa bergejolak oleh isi kitab rontal itu, namun terasa tenang dan damai karena sikap Rudita.
Sekali-kali Agung Sedayu dan Glagah Putih masih berpaling. Namun ketika mereka sudah melalui sebuah tikungan, maka kuda mereka berlari lebih cepat, meskipun tidak berpacu seperti angin.
Disepanjang lorong padukuhan, beberapa orang anak muda yang sudah dikenal selama mereka tinggal dirumah Ki Waskita, memberikan salam pula dan mengucapkan selamat jalan.
Sejenak kemudian, maka Agung Sedayupun segera muncul di bulak panjang. Terasa udara pagi yang cerah menyentuh tubuh mereka. Alangkah segarnya. Matahari yang baru saja naik, terasa hangat dan segar.
Namun dalam pada itu, dua orang yang duduk terkantuk-kantuk di pematang dekat pada sebuah lorong kecil telah terkejut melihat Agung Sedayu dan Glagah Putih keluar dari pedukuhan dengan kudanya.
Agung Sedayu tidak sempat memperhatikan kedua orang itu. Perhatiannya masih terikat kepada batang-batang padi yang menguning dipagi yang cerah. Setitik-setitik embun masih nampak gemerlapan didaun-daunnya yang panjang.
"He, nampaknya Agung Sedayu dan Glagah Putih sudah akan kembali ke Jati Anom," berkata salah seorang dari mereka.
"Kelengkapan kudanya menunjukkan, bahwa ia akan menempuh perjalanan kembali kepadepokannya."
"Kita harus mengikutinya," desis yang lain.
"Mereka berkuda. Marilah kita mengambil kuda kita."
"Kau sajalah mengikuti atau kau pilih memberitahukan kepada kawan-kawan kita."
"Aku akan mengikutinya. Cepat, susul aku bersama kawan-kawan sebelum Agung Sedayu menyadari bahwa aku mengikutinya. Jika ia mengerti bahwa aku mengikutinya sebelum kau datang bersama kawan-kawan, mungkin kau akan menjumpai aku menjadi makanan burung gagak ditengah jalan."
Keduanyapun segera berdiri. Mereka menyusup kebalik sebuah gerumbul untuk mengambil kuda mereka yang tersembunyi. Yang seorang dengan tergesa-gesa memberitahukan kepada kawan-kawan mereka, sementara yang seorang dari kejauhan mengikuti arah perjalanan Agung Sedayu.
Ia tidak perlu mengikuti dari jarak yang terlalu dekat. Meskipun orang itu tidak lagi melihat Agung Sedayu, namun ia dapat mengikuti jejak kudanya. Jalan yang dilalui Agung Sedayu adalah jalan yang jarang sekali dilalui orang-orang berkuda, sehingga dengan demikian, maka dengan mudah orang-orang itu mengikuti jejaknya.
Yang seorang dengan tergesa-gesa berpacu ketempat kawan-kawannya bersembunyi. Karena mereka masih bermalas-malas bahkan seorang diantara mereka masih tidur nyenyak, maka iapun membentak hampir berteriak, "Cepat. Jika kalian terlalu lamban, maka kita akan kehilangan jejak."
"Jalan yang dapat dilalui Agung Sedayu tidak banyak. Hanya ada dua jalur yang satu langsung menuju ke Kali Praga. ditempat penyeberangan sebelah Utara, sedang yang satu menuju ke Tanah Perdikan Menoreh. Jika Agung Sedayu tidak akan singgah di Tanah Perdikan, maka ia akan berbelok menuju kepenyeberangan disebelah Selatan."
"Siapa tahu mereka mencari jalan lain. Jalan-jalan kecil atau lorong-lorong yang tidak pernah dilalui orang disepanjang pinggir hutan atau bahkan memasuki hutan-hutan yang lebat."
"Agaknya Agung Sedayu belum gila untuk memilih jalan itu."
"Persetan. Tetapi cepat agar kita dapat menemukan kawan kita masih tetap bernafas."
Kawan-kawannyapun kemudian bersiap dengan tergesa-gesa. Mereka menyadari, jika kawannya yang seorang diketahui oleh Agung Sedayu, maka umurnya tidak akan panjang lagi.
Sejenak kemudian, maka mereka berempat telah berpacu menyusul kawannya. Ketika mereka sampai kejalan yang dilalui oleh Agung Sedayu, maka merekapun segera menemukan jejaknya. Dengan mudah mereka mengikutinya meskipun mereka belum menyusul kawannya.
"Tetapi jejaknya masih ada," berkata satah seorang dari mereka, "jejak ini tentu jejak tiga ekor kuda. Yang dua adalah Agung Sedayu dan anak itu, sedang yang satu adalah jejak kuda kawan kita."
Tidak ada yang menyahut. Namun mereka masih berpacu disepanjang jalan. Dua orang didepan dan dua dibelakangnya.
Belum lagi mereka mencapai tepian Kali Praga, maka mereka sudah berhasil menyusul kawannya yang seorang. Tetapi mereka sengaja tidak berpacu bersama-sama. Dua orang diantara mereka berkuda dekat dibelakang yang seorang, sedang dua yang lain agak jauh dibelakang.
Sementara itu, diluar pengetahuan mereka, seorang anak muda telah mengikuti mereka pula. Seperti kelima orang sebelumnya, anak muda itu tidak perlu terlalu dekat. Ia merasa lebih mudah lagi mengikuti jejak tujuh ekor kuda di jalan padukuhan yang jarang dilalui penunggang-penunggang kuda.
Buku 120 SABUNGSARI yang hampir tidak sabar mengawasi kelima orang-orangnya, ternyata sempat melihat mereka meninggalkan tempat persembunyiannya, sehingga iapun segera menyusul mereka. Sementara itu kegelisahan dan hampir ketidak sabaran. membuatnya semakin mendendam. Setiap kali ia menggerelakkan giginya. Rasa-rasanya ia tidak sabar lagi menunggu untuk meremas dada Agung Sedayu.
"Aku harus membunuhnya, sebagaimana ia membunuh ayahku. Mayatnya akan aku lempar kepadepokan kecil itu agar gurunya melihat apa yang telah terjadi atas muridnya yang sombong itu."
Namun Sabungsari menjadi ragu-ragu. Ia sudah mengenal Agung Sedayu. Dan ia tidak dapat menyebutnya sebagai seorang anak muda yang sombong. Bahkan Agung Sedayu menurut pengenalannya adalah anak muda yang ramah, rendah hati dan bahkan agak tertutup, sehingga sulit untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya.
"Persetan," geram Sabungsari, "Aku akan membunuhnya. Aku akan meremas isi dadanya dengan tatapan mataku yang tidak akan terlawan oleh anak muda itu. Bahkan oleh gurunya sekalipun."
Sabungsari menggeretakkan giginya. Ia memacu kudanya semakin cepat. Namun kemudian ia terpaksa memperlambatnya karena ia tidak mau diketahui oleh orang-orangnya, bahwa iapun mengikuti mereka pula.
"Pada saatnya mereka akan bertempur," berkata Sabungsari kemudian. Namun ia menjadi ragu-ragu, "Jika Agung Sedayu langsung kembali ke Jati Anom, maka orang-orang dungu itu tentu hanya akan mengikutinya saja, kemudian melaporkan kepadaku, bahwa Agung Sedayu telah kembali ke padepokannya."
Tetapi Sabungsari masih mengharap, bahwa sepanjang jalan sampai ke Jati Anom akan terjadi sesuatu, sehingga pertempuran itu akan terjadi.
Dalam pada itu, seperti yang dikehendaki oleh Agung Sedayu, maka ia tidak akan singgah dimanapun juga. Tidak singgah di Tanah Perdikan Menoreh dan tidak singgah di Mataram. Ia sudah berpesan, agar Ki Waskita memberitahukan kepada Ki Gede Menoreh, bahwa Agung Sedayu tidak singgah ketika ia kembali ke Jati Anom, karena berbagai macam pertimbangan, apabila ada seseorang pergi ke Tanah Perdikan Menoreh.
Seperti yang direncanakannya, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih akan menyusuri Kali Praga ke Selatan. Glagah Putih lebih senang lewat jalan yang jauh dan belum pernah dilihatnya. Disepanjang pantai atau daerah dekat pantai, akan dilihatnya suasana yang berbeda.
Sementara itu, beberapa orang masih tetap mengikutinya. Namun orang-orang itupun menjadi sangal berhati-hati, agar Agung Sedayu tidak mengetahuinya. Karena itu, maka salah seorang dari mereka ada dipaling depan. Jika ia melihat sesuatu yang mencurigakan, maka ia harus memberikan isyarat.
Ketika mereka sampai dipinggir Kali Praga, mereka masih sempat melihat Agung Sedayu turun dari getek penyeberangan di seberang. Tetapi agaknya Agung Sedayu tidak menghiraukan orang-orang yang akan menyeberang kemudian. Ada dua orang berkuda pula yang menyeberang berlawanan arah, selain beberapa orang, pejalan kaki.
Namun hal itu tidak menyulitkan orang-orang yang mengikutinya untuk mengikuti jejaknya, karena kuda yang berpapasan arah jejaknyapun berlawanan.
Kawan-kawannya mengerutkan keningnya. Mereka memang melihat jejak kuda Agung Sedayu telah berbelok menempuh jalan yang lebih kecil menyusur Kali Praga.
"Apakah ia akan singgah di Mataram" " pertanyaan itu telah tumbuh diantara orang-orang yang mengikutinya.
Namun akhirnya mereka memutuskan untuk mengikuti saja kemana ia pergi, meskipun dengan ragu-ragu. Jika Agung Sedayu akan singgah di Mataram, lebih baik ia menempuh jalan biasa dilalui lewat sebelah Barat Kali Praga dan menyeberang dipenyeberangan sebelah Selatan. Tetapi agaknya Agung Sedayu telah menentukan jalannya sendiri.
Orang-orang yang mengikuti Agung Sedayu itu akhirnya benar-benar merasa cemas. Mereka sudah mengikuti untuk jarak yang panjang dan dalam waktu yang lama. Bahkan mereka seolah-olah sudah kehilangan kesabaran untuk menggiring Agung Sedayu kembali ke Jati Anom lewat jalan sempit dipinggir hutan. Dengan demikian ada kesempatan bagi mereka untuk memaksa Agung Sedayu berhenti. Melumpuhkannya dan mengikatnya sebelum mereka memanggil Sabungsari untuk membunuh Agung Sedayu dengan tangannya."
"Apa salahnya jika kamilah yang membunuh " " pertanyaan itu kadang melonjak dihati para pengikut Sabungsari. Tetapi mereka mengerti, bahwa Sabungsari ingin melepaskan dendamnya dan membunuh Agung Sedayu dengan caranya.
Untuk beberapa saat lamanya, orang-orang itu masih mengikuti Agung Sedayu. Mereka mengikuti jalan sempit yang semakin lama menjadi semakin buruk. Bahkan kadang-kadang mereka melalui daerah yang basah dan berawa.
"Gila," orang-orang itu mengeluh oleh ketidak sabaran.
"Sampai kemana kita akan mengikuti mereka?" bertanya salah seorang dari mereka.
"Kita akan segera memaksanya kembali ke Jati Anom. Jika perlu dengan kekerasan."
"Kalau kita terpaksa menyakiti atau bahkan membunuhnya ?"
"Apaboleh buat. Tetapi kita berusaha unluk menawannya hidup-hidup agar kita tidak dianggap bersalah oleh Sabungsari."
Wajah orang-orang itu menegang. Salah seorang berkata, "Apakah Sabungsari berani mengarnbil tindakan terhadap kita berlima ?"
Kawan-kawannya memandanginya dengan ragu-ragu. Namun seorang yang lain berkata, "Aku kira, iapun tidak akan berani melakukan sesuatu jika terpaksa kita melanggar perintahnya. Kita menghormatinya karena kita menghormati ayahnya. Tetapi jika anak muda itu ingin berbuat sewenang-wenang, apakah kita akan membiarkannya " Kita mempunyai kekuatan yang barangkali dapat mematahkan kesewenang-wenangannya."
"Kalau begitu ?" bertanya yang lain.


05 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintarja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kitapun mendendam Agung Sedayu karena ia telah membunuh Ki Gede Telengan, sehingga perguruan kita kehilangan ikatan."
"Tetapi sebaiknya kita tidak membuat persoalan-persoalan baru diantara kita sendiri. Kita akan mentaati perintahnya, mencoba menangkap Agung Sedayu hidup-hidup. Tetapi jika kita mendapat kesulitan tentu kita tidak akan membiarkan diri kita justru menjadi korban keganasan anak muda itu."
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Nampaknya merekapun telah dibakar oleh dendam kepada anak muda yang bernama Agung Sedayu itu.
Beberapa lamanya mereka masih mengikuti jejak kuda Agung Sedayu dan Glagah Putih. Kadang-kadang jejak kaki itu hilang di tanah yang berair. Namun mereka tidak terlalu sulit untuk menemukan jejak itu di seberang yang lain, karena jalan kecil itu nampaknya memang jarang dilalui orang.
Dengan demikian maka orang-orang yang mengikuti Agung Sedayu itu menjadi semakin jemu. Mereka telah mempergunakan waktu yang lama, sementara Agung Sedayu nampaknya sengaja memilih jalan yang tidak biasa dilalui orang.
Karena itulah, maka orang-orang yang mengikutinya itu telah membagi diri. Satu orang yang berada dipaling depan, mengamat-amati Agung Sedayu dengan sungguh-sungguh, sementara kawan-kawannya dapat beristirahat dari ketegangan meskipun mereka masih juga harus berkuda dan mengikuti jejak.
Bahkan, pada suatu saat, mereka harus berhenti dan beristirahat, karena beberapa puluh tonggak dihadapan mereka, Agung Sedayu dan Glagah Putih juga beristirahat.
"Nampaknya mereka akan melalui daerah yang belum pernah mereka lihat," berkata salah seorang dari mereka.
"Tentu anak itu ingin melihat daerah di sebelah Selatan. Kita sudah berada diarah sebelah Barat Mataram. Tetapi nampaknya Agung Sedayu akan berjalan terus ke Selatan."
"Gila. Pekerjaan gila," desis yang lain.
Rasa-rasanya mereka malas untuk berangkat lagi, ketika mereka mendapat isyarat bahwa Agung Sedayu telah meneruskan perjalanannya.
Tetapi mereka tidak dapat ingkar akan tugas yang dibebankan kepada mereka oleh Sabungsari. Bagaimana-pun juga, masih ada keseganan dari kelima orang itu. Jika Sabungsari marah kepada mereka, dan benar-benar akan bertindak, mungkin mereka dapat menghindar jika mereka hanya berhadapan dengan Sabungsari seorang diri. Tetapi mungkin Sabungsari akan mempergunakan orang lain yang dapat membantunya.
Karena itu, maka mereka berlima akhirnya telah berangkat pula mengikuti Agung Sedayu.
Ternyata seperti dugaan mereka, bahwa Agung Sedayu memang memilih jalan yang sepi, yang tidak banyak dilalui orang, menuju kepesisir.
"Kebetulan sekali," berkata salah seorang dari kelima orang yang mengikutinya, "nanti malam kita dapat bertindak. Kita memaksanya untuk menyerah, jika ia masih sayang akan jiwanya. Anak yang dungu itu dapat kita perlakukan sekehendak kita. Dibunuhpun Sabungsari tidak berkeberatan."
"Jangan dibunuh dahulu," berkata yang lain, "kita pergunakan anak itu semacam tanggungan agar Agung Sedayu tidak berusaha melarikan diri disepanjang jalan. Tentu ia merasa bertanggung jawab atas anak itu, sehingga ia akan menurut segala perintah kita."
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Dengan demikian Agung Sedayu tentu akan menjadi agak jinak dan mudah dikendalikan.
Betapapun jemu dan jengkel, namun kelima orang itu masih tetap mengikuti Agung Sedayu dan Glagah Putih yang ternyata memang menyusur pantai. Namun sebentar lagi, langit menjadi buram dan bintang-bintang mulai nampak dilangit.
Ketika Agung Sedayu dan Glagah Putih mendekati pantai, maka hati Glagah Putih menjadi semakin gembira. Agung Sedayu lelah melintas justru disebelah Timur Kali Praga, tetapi disebelah Barat Mangir. Mereka memilih jalan yang sepi agar mereka tidak terganggu oleh pertanyaan-pertanyaan orang yang mungkin mencurigai mereka.
Ketika suara ombak laut Selatan mulai terdengar, dada Glagah Putih menjadi berdebar-debar.
"Kita sudah sampai," desisnya.
"Ya. Tetapi didaerah ini kita tidak akan dapat mendekat."
"Kenapa?" bertanya Glagah Putih.
"Bukankah kau lihat, dihadapan kita terbentang rawa-rawa yang ditumbuhi pohon pandan yang rapat-rapat, seperti padang duri yang runcing dan tajam."
Glagah Putih termangu-mangu. Dipandanginya tanah rawa-rawa yang ditumbuhi gerumbul-gerumbul pandan yang berduri tajam. Sebagian tumbuh bagaikan jamur raksasa yang bergerumbul mencuat dipermukaan air yang kehitam-hitaman, sedangkan sebagian yang lain tumbuh pada batangnya yang mencuat seperti berpuluh-puluh galah yang ujungnya bagaikan berkembang daun-daun bunga yang berwarna hijau dan berduri.
Terasa bulu-bulu Glagah Putih meremang. Apalagi ketika langit menjadi suram dan bintang mulai berkeredipan.
"Aku mendengar suara aneh," desis Glagah Putih.
"Suara apa?" "Seperti seekor harimau yang mengaum."
"Itu suara angin. Kau dengar suara gelegar ombak itu?"
Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi langit bagaikan dipulas dengan warna hitam dan dilekati oleh keredipan bintang yang tersebar sampai kebatas pendangan mata.
Seleret nampak kilau buih ombak bagaikan hendak menerkam. Namun kemudian pecah berderai diatas pasir dan hilang ditelan oleh rawa-rawa yang berpagar pohon-pandan.
Namun terasa oleh Glagah Putih, bahwa air bagaikan mengejarnya, menjadi semakin tinggi dan seperti tangan yang menggapai-gapai.
"Air di rawa-rawa itu naik," desis Glagah Putih.
"Ya. Masih akan naik semakin tinggi," jawab Agung Sedayu, "pohon-pohon pandan itu akan tenggelam, tetapi yang seolah-olah kembang diujung galah itu justru akan nampak bagaikan kembang dipermukaan air."
"Kalau begitu, kita harus menyingkir dari tempat ini."
"Ya. Kila akan berjalan terus menyusuri pantai, tetapi menjauhi balas deburan ombak dan buih."
Glagah Putih tidak menjawab. Diikutinya saja Agung Sedayu yang berkuda semakin jauh dari tanah rawa-rawa.
"Aku juga belum pernah menginjak daerah ini." tiba-tiba saja Agung Sedayu berdesis.
Glagah Pulih tidak menjawab. Ia memang belum pernah mendengar Agung Sedayu berceritera tentang daerah ini. Tetapi Glagah Putih yakin, bahwa Agung Sedayu pernah mendengar dari Kiai Gringsing atau dari orang lain sesuatu tentang rawa yang berpandan ini.
Meskipun malam menjadi semakin gelap, tetapi Agung Sedayu masih tetap berada dipunggung kudanya, sehingga akhirnya Glagah Putih berkata, "Kakang, apakah kita tidak akan berhenti dan mencari tempat yang paling baik untuk bermalam?"
"Tentu," jawab Agung Sedayu, "kita akan bermalam. Tetapi kila akan bergeser sedikit ke Timur. Agaknya kita akan sampai kepantai yang berpasir dan tidak lagi digenangi oleh rawa-rawa yang penuh dengan batang pandan berduri. Menurut kata orang, daerah disebelah Timur, merupakan daerah berpasir yang luas, sehingga kita akan dapat memilih tempat yang paling baik untuk bermalam. Meskipun seandainya kita berada disini dimusim hujan, kita akan kehilangan kesempatan untuk berteduh jika hujan turun."
Glagah Putih tidak menjawab. Ia mengikuti saja dibelakang Agung Sedayu. Namun akhirnya Agung Sedayu berkata, "Kemarilah. Jangan dibelakang."
"Kenapa?" bertanya Glagah Putih.
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi seolah-olah ia mendengarkan suara ombak yang menggelegar bergulung-gulung tanpa henti-hentinya.
"Suara ombak itu," berkata Agung Sedayu, "seperti rangkaian suara yang iramanya telah disusun. Ajeg, tetapi terasa hidup."
"Ya." desis Glagah Putih yang telah berada disebelah Agung Sedayu.
"Kemarilah Glagah Pulih. Jangan terlalu jauh."
Glagah Putih menjadi heran. Tentu Agung Sedayu tidak menjadi ketakutan meskipun suasananya memang agak mengerikan.
Diluar sadarnya Glagah Putih berpaling. Yang nampak hanyalah pekatnya malam. Namun dihadapannya nampak dalam keremangan, pasir yang keputih-putihan terbentang luas. Mereka mulai meninggalkan daerah yang berawa-rawa.
"Cepatlah sedikit," ajak Agung Sedayu.
"Kenapa" " Glagah Putih menjadi curiga, "kudaku nampaknya terlalu lelah berjalan diatas pasir."
"Disebelah akan kita dapati rerumputan meskipun tidak begitu banyak, didaerah yang basah oleh air tawar."
"Kakang tahu pasti."
"Mudah-mudahan."
Glagah Putih tidak menjawab lagi. Diikutinya Agung Sedayu yang mempercepat langkah kudanya, semakin lama semakin jauh dari batas derai ombak diatas pasir pantai.
Namun sejenak kemudian Agung Sedayu menarik kekang kudanya. Katanya, "Kita tidak dapat terus menerus membiarkannya mengikuti kita Glagah Putih. Aku harus bertanya apakah keperluan mereka. Tetapi berhati-hatilah. Mungkin kita harus berusaha menyelamatkan diri dari gangguan orang-orang yang tidak kita kenal."
"Apa yang kakang maksudkan, aku tidak melihat sesuatu."
"Aku mendengar diantara gelegar ombak yang berirama itu, suara yang lain."
"Apa?" "Ringkik kuda."
Glagah Putih terkejut mendengar jawaban Agung Sedayu. Ia sama sekali tidak mendengar sesuatu selain debur ombak yang bagaikan berkejaran memukul pantai.
Dalam pada itu, kelima orang yang mengikuti Agung Sedayu menjadi tidak sabar lagi. Semakin gelap, mereka semakin cemas, bahwa pada suatu saat mereka akan kehilangan Agung Sedayu. Untuk beberapa saat mereka masih dapat mengikuti jejaknya meskipun dengan susah payah. Namun kemudian mereka menjadi tidak telaten lagi.
"Kita susul dan kita hentikan anak itu," berkata salah seorang dari kelima orang yang mengikutinya.
"Tentu sudah dekat. Tetapi malam yang gelap telah membatasi jarak yang tidak terlalu panjang ini."
"Kita cepal sedikit. Arahnya tentu tidak berubah."
"Ya. Kita berpencar. Tetapi kita akan mengikuti arah yang sarna. Lihat bintang gubug penceng itu. Kita jangan kehilangan kiblat. Kila akan menuju kearah Timur pada jarak kira-kira lima sampai sepuluh langkah menyamping."
Kelima orang itupun kemudian mengambil jarak. Tetapi orang yang terdekat akan tetap mendengar jika yang lain berteriak memanggil.
Ternyata usaha mereka tidak sia-sia. Apalagi ketika Agung Sedayu mendengar ringkik kuda mereka dan bahkan kemudian berhenti.
Jarak mereka semakin lama menjadi semakin pendek. Ternyata bahwa Agung Sedayu sudah bergeser agak jauh, sehingga orang yang berada dipaling ujunglah yang kemudian melihat dua bayangan yang hitam, didalam gelapnya malam.
Dengan serta merta maka orang yang berada diujung itupun berteriak memberikan isyarat. Suara itu terdengar oleh orang kedua yang menyambung teriakan itu. Demikian pula orang ketiga dan sampai pulalah ketelinga orang kelima.
Beberapa saat kemudian kelima orang itu sudah berkumpul hanya beberapa langkah saja dari Agung Sedayu dan Glagah Putih.
"Siapakah mereka kakang ?" bertanya Glagah Putih.
Agung Sedayu menggeleng lemah. Dengan suara parau ia menjawab lamat-lamat hampir tidak didengar karena deburan ombak yang tidak ada henti-hentinya, "Aku tidak tahu Glagah Putih. Itulah yang mendebarkan hati. Selama ini aku merasa selalu diburu oleh kegelisahan karena dendam yang membara dihati banyak orang."
"Kenapa mereka mendendam?" bertanya Glagah Putih.
"Yang terjadi adalah diluar kehendakku. Didalam peperangan tangan ini tidak dapat dikendalikan lagi, sehingga kadang-kadang diluar keinginan telah terjadi kematian."
"Sanak saudaranya menjadi dendam kepada kakang" "
"Ya," jawab Agung Sedayu.
"Itu bukan salah kakang. Mereka yang mendendam itu tentu orang-orang yang berjiwa kerdil. Kematian dipeperangan adalah kematian yang wajar sekali."
"Ah," Agung Sedayu berdesah. Dipandanginya lima bayangan hitam diatas punggung kuda yang semakin mendekat. Namun ia masih sempat berkata, "Tentu mereka mempunyai alasan. Mereka menuntut balas sebagai tanda kesetiaan mereka terhadap saudara seperguruan, atau terhadap kawan dan sahabat atau terhadap keluarga."
Glagah Putih tidak sempat menjawab lagi. Diantara debur ombak ia mendengar salah seorang dari kelima orang itu berteriak, "He. bukankah kau Agung Sedayu."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun menjawab, "Ya. Aku adalah Agung Sedayu."
Kelima orang itu menjadi semakin dekat. Dan salah seorang diantara mereka berkata lebih lanjut, "Bagus. Ternyata kau memang seorang laki-laki yang berani. Dengan dada tengadah kau mengaku, bahwa kau adalah Agung Sedayu."
"Kenapa aku harus ingkar " Bukankah wajar, bahwa aku mengaku tentang diriku."
"Bagus anak muda. Aku mempunyai keperluan yang penting dengan kau."
"Aku sudah menduga. Jika tidak, tentu kalian tidak akan mengikuti aku sampai ketempat ini."
"Baiklah," orang itu melanjutkan, "kehadiranku disini sebenarnya bermaksud baik. Kami hanya akan mempersilahkan kau kembali ke Jati Anom. Hanya itu."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Jawabnya, "Aku memang akan kembali ke Jati Anom."
"Telapi ternyata kau menuju kearah yang tidak kami ketahui. Apakah jalan ini memang jalan yang biasa dilalui orang dari padukuhan Ki Waskita menuju ke Jati Anom ?"
"Memang tidak Ki Sanak," jawab Agung Sedayu, "tetapi aku sekedar ingin memperpanjang langkah, melihat-lihat daerah yang belum pernah kami lihat sebelumnya."
"Mungkin benar. Tetapi mungkin kau sengaja menghindari kami."
"Kalian memang aneh. Aku baru saja tahu, bahwa kalian mengikuti aku. He. tetapi siapakah kalian berlima?" bertanya Agung Sedayu.
"Kau tidak perlu mengetahui siapakah kami. Itu adalah karena kebodohan kalian. Kami berhasil mengetahui siapa kau, tetapi kau tidak mengetahui siapa kami," jawab salah seorang dari kelima orang itu.
"Baiklah, jika kalian tidak ingin menyebut nama kalian. Tetapi apabila kalian hanya ingin minta agar aku kembali ke Jati Anom, aku akan menyanggupinya. Aku akan kembali ke Jati Anom menyusuri pantai Selatan. Tetapi tidak akan terlalu jauh lagi. Jika jalan menjadi semakin sulit dan apalagi sampai kepegunungan padas, kami akan segera berbelok ke Utara dan mencari jalan yang lebih baik."
"Agung Sedayu," berkata salah seorang dari kelima orang itu, "kami sudah bertekad untuk membawamu. Kami tahu bahwa kau berkata sebenarnya. Tetapi agar kami yakin bahwa kau tidak berbohong, maka biarkanlah kami mengikat tangan dan kakimu. Kami tidak akan menyakitimu, karena kami akan membawamu kepada seseorang yang memang memerlukan kau dalam keadaan hidup dan sehat walafiat."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun sebelum ia menjawab Glagah Putih telah mendahului, "Bicaramu aneh Ki Sanak."
Kelima orang yang ingin menangkap Agung Sedayu itu memandang bayangan Glagah Putih sejenak, tetapi mereka tidak dapat memandang kerut keningnya dengan jelas.
Salah seorang dari kelima orang itu berkata, "Anak muda. Sebaiknya kaupun menurut segala perintah kami agar kau tidak mengalangi kesulitan apapun juga."
"Permintaan kalian memang menggelikan," berkata Glagah Putih, "apakah wajar bahwa kaki dan tangan kami akan diikat hanya karena ada seseorang yang ingin bertemu dengan kami. He, siapakah kalian sebenarnya Ki Sanak."
"Apakah ada perlunya kau mengetahui nama kami" Aku kira itu hanya akan memperpanjang waktu saja. Sekarang, marilah kalian berdua turun dari kuda, mendekati kami dengan tangan dipunggung. Kami akan mengikatnya kuat-kuat. Jika kalian berbuat demikian dengan suka rela, maka kalian akan selamat sampai ke daerah Jati Anom."
"Ki Sanak," berkata Agung Sedayu kemudian, "kenapa kita tidak berterus terang" Apakah maumu sebenarnya."
"Aku sudah berterus terang," jawab salah seorang dari kelima orang itu, "kami akan mengikat kalian dan membawa kalian kembali ke Jati Anom."
"Mungkin benar seperti yang kau katakan, tetapi yang aku maksud, berkatalah terus terang, siapakah yang menyuruh kalian melakukan hal itu."
"Kami sendiri. Kami sendirilah yang ingin memperlakukan kalian berdua demikian."
"Ki Sanak," berkata Agung Sedayu, "jika kalian mau menyebut seseorang yang menyuruh kalian berbuat demikian, mungkin kami akan menurut perintah itu."
Sejenak kelima orang itu menjadi ragu-ragu. Namun kemudian salah seorang dari mereka menjawab, "Kami sendirilah yang memerlukan Agung Sedayu. Kami sendirilah yang memerintah diri kami untuk mengikat tangan dan kaki Agung Sedayu."
Agung Sedayu menggeleng sambil menjawab, "Mustahil. Tetapi baiklah jika kalian tidak bersedia menyebut siapakah kalian, dan siapakah yang berdiri dibelakang kalian."
"Jadi, apakah kau bersedia memberikan tanganmu untuk kami ikat?" bertanya salah seorang dari kelima orang itu.
"Pertanyaan aneh. Kalian tentu sudah mengetahui jawabku dan barang kali jawab setiap orang yang menerima permintaan yang serupa."
"Apa jawabmu" Kau belum mengatakannya."
"Ki Sanak," berkata Agung Sedayu diantara debur ombak lautan, "betapapun keinginanku untuk menghindari pertentangan dan apalagi benturan kekuatan, namun sudah barang tentu aku tidak akan dapat berbuat seperti yang kau inginkan. Aku tidak yakin, bahwa kalian tidak akan ingkar, apabila tangan dan kakiku sudah terikat. Jika kemudian kalian mengikat kakiku dibelakang kaki kuda kalian, maka kulitku tentu akan terkelupas habis, meskipun hal itu kau lakukan diatas pasir di pantai ini."
"Kami berkata sebenarnya Agung Sedayu. Jika kau bersedia kami ikat, maka kami tidak akan berbuat sesuatu yang dapat menyakitimu."
"Bagaimana aku dapat percaya. Kau tidak mau menyebut namamu. Kau tidak mau mengatakan siapakah yang menyuruhmu. Dan kau tidak mau mengatakan, apakah sebenarnya kepentinganmu dengan aku. Apakah dengan demikian aku harus mempercayai kalian?"
"Baiklah Agung Sedayu," berkata salah seorang dari kelima orang itu, "aku sudah menduga, bahwa kau akan berkeras untuk menolak permintaan kami yang sebenarnya akan merupakan jalan yang paling baik bagi kami untuk seterusnya dan bagi keselamatanmu berdua. Karena itu, maka kami akan memilih jalan lain. Kami akan berbuat sesuatu dengan kekerasan agar kami dapat mengikatmu. Kami sudah mendapat wewenang untuk melakukan cara apapun juga, asal kami tidak membunuhmu."
Tetapi salah seorang dari kelima orang itu menyambung, "Kami memang tidak ingin membunuhmu. Tetapi jika diluar kehendak kami. kau mati terbenam kedalam pasir, itu adalah karena nasibmu yang memang sangat buruk Agung Sedayu. Malam nanti, jika air pasang, maka mayatmu akan dijilat oleh ombak dan hanyut menjadi makanan hiu."
"Kata-katamu memang mengerikan Ki Sanak. Tetapi sudah barang tentu bahwa aku akan mencoba mempertahankan hidup kami. Mungkin dengan cara seperti yang kalian kehendaki, tetapi mungkin, kami akan melarikan diri dan hilang didalam gelap."
"Apakah Agung Sedayu akan berbuat demikian?" bertanya seseorang diantara kelima orang itu.
"Apa salahnya" Itu akan lebih baik bagiku."
" Persetan," geram seorang diantara kelima orang yang ingin menangkap Agung Sedayu itu, "aku tidak sabar lagi."
Ternyata orang itu tidak menunggu lebih lama lagi. Iapun segera meloncat turun dari kudanya.
"Kudaku tidak akan lari kemana-mana meskipun aku tidak mengikatnya," katanya, "aku lebih senang bertempur tidak diatas punggung kuda."
Kawan-kawannyapun segera berloncatan pula. Mereka melepas kudanya begitu saja. Satu-satu mereka berpencar memutari Agung Sedayu.
"Berhati-hatilah Glagah Putih," desis Agung Sedayu, "nampaknya mereka benar-benar ingin mengikat kita. Karena itu, kita harus menghindar."
"Lari?" bertanya Glagah Putih, "tidak mungkin. Mereka sudah mengepung kita."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Putihnya pasir pantai seolah-olah telah memantulkan cahaya bintang dilangit, bulan sepotong yang mulai membayang sehingga ia dapat melihat lebih jelas bayangan kelima orang lawannya.
"Kitapun akan turun," berkata Agung Sedayu, "kau harus menyesuaikan dirimu. Aku akan mencoba menghadapi mereka dan kalau mungkin menghalau mereka pergi."
"Hanya untuk dihalau?" bertanya Glagah Putih.
"Itu lebih baik daripada membunuh mereka. Kita tidak menambah jumlah orang yang mendendam."
Glagah Putih tidak sempat menjawab. Kelima orang yang mengepungnya berdua dengan Agung Sedayu telah merapat. Karena itu, maka baik Agung Sedayu maupun Glagah Putih segera meloncat turun pula.
Dalam pada itu, bulan sepotong yang naik diatas permukaan air laut yang bergejolak dihempas angin, nampak semakin tinggi. Meskipun cahayanya tidak terlalu terang, namun pantai yang gelap itu perlahan-lahan telah berubah.
Tetapi Agung Sedayu dan Glagah Pulih tidak sempat melihat buih ombak yang menjadi kemerah-merahan. Yang mereka hadapi adalah kelima orang yang benar-benar telah mengepung dengan rapat.
Dalam pada itu Agung Sedayu dan Glagah Putih telah berdiri diatas pasir pula. Merekapun membiarkan kuda mereka tanpa terikat.
Beberapa langkah Agung Sedayu bergeser diikuti oleh Glagah Pulih sehingga kelima orang lawannyapun bergeser pula. Dengan demikian maka kedua ekor kuda Agung Sedayu dan Glagah Putih telah berada diluar kepungan.
"Apakah yang sebenarnya kalian kehendaki," bertanya Agung Sedayu.
"Kau," jawab salah seorang lawannya dengan singkat.
Agung Sedayu merasa bahwa tidak ada gunanya lagi untuk berbicara. Karena itu, maka iapun segera mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan.
Sementara itu, seorang anak muda yang berdiri agak jauh dari arena itu telah mengikat kudanya pada sebatang pokok pandan yang mencuat agak tinggi. Kemudian dengan hati-hati ia berjalan mendekat diantara pohon pandan yang satu dua masih terdapat meskipun sudah berjarak beberapa langkah dari tanah yang berawa-rawa. Dari antara daun-daun pandan anak muda itu melihat dari jarak yang agak jauh, apakah yang akan terjadi.
Cahaya bulan yang buram telah menolongnya untuk dapat melihat meskipun tidak terlalu jelas. Tetapi bulan yang sepotong itupun cahayanya bagaikan pelita yang kehabisan minyak.
"Akhirnya aku akan melihat, apa saja yang dapat dilakukan oleh Agung Sedayu. Jika ia berhasil lepas dari tangan kelima orang itu, maka ia benar benar seorang anak muda yang pilih tanding. Yang masih harus dipertimbanggkan lagi, apakah aku akan segera menantangnya berperang tanding. Tetapi jika kelima orang itu berhasil mengikat kaki dan tangannya, atau justru melumpuhkannya, maka akan dalang saatnya aku membunuhnya, meskipun aku harus menyembuhkannya lebih dahulu dari luka-lukanya."
Sabungsari pun kemudian beringsut setapak lagi. Ia ingin melihat apa yang akan terjadi. Bagaimanapun juga ia masih harus mengakui, bahwa kelima orang kepercayaannya itu memiliki kelebihannya masing-masing, sehingga apabila mereka berlima bertempur dalam satu kesatuan, mereka merupakan kekuatan yang luar biasa.
Dalam pada itu, kelima orang yang mengepung Agung Sedayupun telah siap untuk bergerak. Sementara itu, Glagah Putih dengan hati hati berada dibelakang Agung Sedayu, menghadap kearah yang berbeda.
"Kita akan segera mulai, Glagah Putih," desis Agung Sedayu.
Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia benar-benar sudah siap menghadapi segala kemungkinan.
"Jangan mencoba menyerang," Agung Sedayu masih memperingatkan, "kau pusatkan segala kemampuanmu pada mempertahankan diri. Sebaiknya kau berusaha mengelak dan menghindari benturan."
Glagah Putih masih tetap berdiam diri. Tetapi ia telah menyiapkan diri untuk melakukan pesan kakak sepupunya itu.
Sejenak kemudian, kelima orang yang mengepungnya itupun mulai bergerak. Mereka berputar mengitari kedua orang yang dikepungnya perlahan-lahan. Selangkah-selangkah. Seolah-olah mereka ingin melihat kedua lawannya dari segala arah.
Agung Sedayupun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan, ia merasa bertanggung jawab atas keselamatan Glagah Putih, sehingga dengan demikian, maka ia harus berusaha melindunginya, melampaui dirinya sendiri.
"Aku masih memberimu kesempatan Agung Sedayu," terdengar salah seorang lawannya menggeram disela-sela suara ombak yang masih selalu menggelegar.
"Jangan memaksa aku berbuat terlalu banyak," jawab Agung Sedayu, "aku sama sekali tidak ingin mengembangkan pertentangan dengan siapapun."
"Persetan," yang lain dari kelima orang itu memotong. Nampaknya ia sudah tidak sabar lagi. Bahkan iapun melangkah maju dengan serangan pendek.
Agung Sedayu hanya beringsut sedikit. Ia sadar, bahwa serangan itu bukannya serangan yang sebenarnya.
Namun iapun sadar, bahwa akan segera menyusul serangan berikutnya sehingga pertempuran itupun akan segera mulai pula.
Seperti yang diperhitungkan, maka sejenak kemudian dua orang diantara mereka telah menyerang dengan garangnya. Agung Sedayu dengan tangkasnya mengelakkan serangan itu, sementara Glagah Putihpun telah meloncat selangkah kesamping.
Tetapi ternyata bahwa seorang yang lain lelah memanfaatkan loncatan Glagah Putih itu. Dengan serta merta, ia-pun meloncat menyerang pula. Glagah Putih yang masih sangat muda didalam gejolak hitamnya olah kanuragan menjadi bingung. Pada saat-saat pertama dari pertempuran itu ia sudah kehilangan keseimbangan sikap. Namun untunglah bahwa Agung Sedayu sempat meloncat menyambar serangan lawan itu dengan membenturkan kekuatannya.
Agung Sedayu memang tidak dapat berbuat lain. Namun benturan itu telah memperingatkan lawannya, bahwa Agung Sedayu mempunyai kekuatan yang harus mereka perhitungkan baik-baik.
Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu harus bertempur dengan cermat. Bukan saja karena ia harus menghadapi lima orang lawan. Tetapi ia masih harus melindungi Glagah Putih.
Pada permulaan dari pertempuran itu sudah mulai nampak. Glagah Putih mengalami kesulitan.
Tetapi Glagah Putih bukannya seorang anak muda yang sama sekali tidak mampu berbuat apa-apa. Seperti pesan kakak sepupunya, maka Glagah Putih memusatkan segenap kemampuannya pada usahanya menghindari lawan.
Namun karena itulah, maka Agung Sedayu harus berjuang sekuat tenaganya. Bukan untuk menyelamatkan dirinya sendiri saja, tetapi juga untuk melindungi Glagah Putih.
Pertempuran itu semakin lama menjadi semakin seru. Glagah Putih berloncatan disekitar Agung Sedayu. Dengan bekal kemampuan yang ada ia berhasil menyesuaikan dirinya, meskipun hanya sekedar menghindar dan berlindung dibelakang garis pertahanan Agung Sedayu.
Sementara itu Agung Sedayu bertempur seperti seekor burung sikatan. Kakinya seolah-olah tidak lagi menyentuh tanah. Tubuhnya menjadi ringan seperti kapas, tetapi tenaganya menjadi sekuat tenaga ganda beberapa ekor banteng terluka.
Seandainya Agung Sedayu tidak harus melindungi Glagah Putih, mungkin ia dapat bersikap lain. Mungkin ia masih mempunyai banyak pertimbangan untuk mengerahkan kemampuannya. Tetapi pada saat ia mempertanggung jawabkan keselamatan adik sepupunya, maka ia tidak mempunyai banyak pertimbangan lagi. sehingga seakan-akan diluar sadarnya, maka kemampuannya terperas tanpa kendali.
Sesaat-sesaat Agung Sedayu masih sempat menilai tata geraknya sendiri. Ia merasakan beberapa dorongan yang tidak pernah dikenalnya sebelumnya. Namun iapun menyadari, pengaruh yang meresap didalam dirinya dan ungkapan ilmunya telah membuatnya menjadi semakin cekatan.
Kelima lawannya yang semula menganggap bahwa betapapun tinggi ilmu Agung Sedayu, namun ia tidak akan dapat bertahan sampai menjelang fajar, ternyata mulai mereka meragukan. Bahkan kemudian ternyata bahwa Agung Sedayu mampu bergerak secepat tatit yang meloncat diudara.
"Gila," geram salah seorang dari kelima lawannya, "setan manakah yang merasuk kedalam dirinya."
Namun yang dihadapinya adalah suatu kenyataan. Agung Sedayu bertempur sambil berputaran disekeliling adik sepupunya, seperti daun baling-baling yang berputar sepesat putaran angin pusaran.
Glagah Putihpun akhirnya menjadi bingung. Bahkan kadang-kadang ia menjadi cemas, bahwa ialah yang akan terlanggar oleh Agung Sedayu.
Namun gerakan Agung Sedayu ternyata cukup cermat, sehingga kelima lawannyapun menjadi kebingungan.
Dalam pada itu, Sabungsari yang mengamati perkelahian itu dari kejauhanpun menjadi bingung. Ia tidak dapat melihat dengan jelas apa yang sudah terjadi. Loncatan-loncatan panjang yang susul menyusul, dan bahkan kadang-kadang bagaikan saling melontarkan, membuat perkelahian itu bagaikan benang yang kusut.
"Gila," geram Sabungsari, "Agung Sedayu benar-benar seorang anak muda yang luar biasa. Namun, aku masih mempunyai kelebihan yang akan dapat melumpuhkannya, meskipun pada jarak beberapa langkah tanpa menyentuhnya dengan wadagku."
Sementara itu. kelima pengikut Sabungsari itupun berjuang dengan sekuat tenaga, dan dengan segenap kemampuan yang ada pada mereka. Bahkan ketika mereka tidak dapat menguasai keadaan, maka mulailah mereka dengan mengerahkan kemampuan mereka yang tersimpan dalam tenaga cadangan mereka.
Dengan demikian, maka Agung Sedayu mulai merasa, tekanan kelima orang lawannya menjadi semakin berat. Gerak merekapun seolah-olah menjadi semakin cepat, dan setiap benturan rasa-rasanya tenaga merekapun telah berlipat.
Dalam keadaan yang demikian, kelima orang lawan Agung Sedayu merasa, bahwa mereka berhasil sedikit demi sedikit menguasai anak muda yang luar biasa itu. Saat-saat mereka berhasil menyentuh tubuh Agung Sedayu maka terasa tubuh itu terdorong surut.
"Sebentar lagi, pekerjaan gila ini akan selesai. Anak muda itu akan menjadi lumpuh dan kami akan dapat mengikatnya. Tetapi rasa-rasanya belum puas kami belum dapat mematahkan tangan dan kakinya," geram salah seorang lawannya didalam hati.
Sementara yang lainpun dengan kemarahan yang membakar jantung lelah berusaha untuk menguasainya pula.
Dalam pada itu, saat-saat Agung Sedayu mulai terdesak, Glagah Putih menjadi semakin sulit. Ia harus memeras tenaganya untuk menghindari serangan lawan-lawannya dan berlindung dibalik pertahanan Agung Sedayu yang mengendor.
Berurutan kelima orang itu menyerang tiada putus-putusnya dari segala arah. Sekali-sekali tertuju kepada Glagah Putih, namun sebagian terbesar mereka arahkan kepada Agung Sedayu. Jika anak muda itu sudah mereka lumpuhkan, maka Glagah Putih bukan soal lagi bagi mereka.
Agung Sedayupun kemudian merasakan tekanan yang menjadi semakin berat. Benturan-benturan yang terjadi, terasa seolah-olah tenaga lawannya menjadi bertambah-tambah. Kecepatan bergerak lawannyapun telah bertambah pula. Seorang diantara mereka mempunyai kekuatan yang luar biasa, sementara yang lain mampu bergerak mengimbangi kecepatan geraknya meskipun kekuatannya tidak terlampau besar.
Pada saat yang demikian tidak ada pilihan lain bagi Agung Sedayu unluk mengimbangi kekuatan lawannya dengan kekuatan cadangannya. Kekuatan yang terlontar dari pemusatan tenaga yang tersimpan didalam dirinya.
Pada hentakkan berikutnya, terasa kekuatan itu telah tersalur melalui ungkapan-ungkapan geraknya. Bahkan ternyata pada lontaran ilmunya, pengaruh yang ada didalam dirinya, karena kitab yang dibacanya itu menjadi semakin terasa. Kekuatan yang menjalari urat-urat nadinya bagaikan menyalurkan kesegaran baru didalam dirinya.
Namun Agung Sedayu sendiri masih belum mampu menilai kekuatan yang seakan-akan baru baginya yang menyusup kedalam ungkapan ilmunya. Karena itu, ia terkejut ketika kemudian terjadi sebuah benturan yang dahsyat. Demikian cepatnya, salah seorang lawannya melontarkan serangan mengikuti serangan kawannya, sehingga Agung Sedayu tidak mungkin lagi mengelakkannya. Karena itulah, maka terjadi sebuah benturan yang tidak diperhitungkannya lebih dahulu.
Akibat dari benturan itu telah mengejutkan semua orang yang ada didalam arena pertempuran itu. Seorang dari lawan Agung Sedayu yang telah membentur kekuatan anak muda itu, ternyata telah terlempar lebih dari lima langkah. Kemudian jatuh berguling diatas pasir sehingga tubuhnya yang berkeringat, menjadi penuh oleh pasir yang melekat, seperti seekor ikan basah direndam didalam tepung.
Bukan saja tubuhnya penuh berpasir. Namun oleh benturan yang dahsyat itu, dadanya menjadi bagaikan retak dan jantungnya seolah-olah runtuh dari tangkainya.
Oleh kejutan itu, maka pertempuran itu seolah-olah telah terhenti sesaat. Semua orang berdiri tegak memandang orang yang masih tergolek diatas pasir karena dorongan kekuatan Agung Sedayu.
Sementara itu, Sabungsari yang melihat perkelahian itu dari kejauhan, terkejut pula melihat akibat dari benturan itu. Mula-mula ia tidak begitu mengerti, apa yang telah terjadi. Namun kemudian ia melihat salah seorang dari para pengikutnya telah terlempar dan kemudian berguling-guling diatas pasir. Untuk beberapa saat orang itu tidak dapat lagi bangkit dan berdiri, sehingga dua orang kawannya dengan tergesa-gesa telah mendekatinya dan menolongnya.
Agung Sedayu sendiri, untuk beberapa saat lamanya berdiri mematung. Ia tidak memperhitungkan bahwa akibat dari benturan kekuatan itu sedemikian dahsyatnya, sehingga lawannya terlempar dan terbanting diatas pasir.
"Aku haras lebih mengenal diriku sendiri," berkata Agung Sedayu didalam hatinya. "Mungkin tanpa mengenal nilai diri sendiri, aku akan semakin banyak melakukan kesalahan."
Sementara itu, maka tertatih-tatih orang yang terlempar itu berdiri dibantu oleh kedua orang lawannya. Namun nampaknya keadaannya sudah terlalu parah, sehingga tidak ada kemungkinan lagi baginya untuk turut serta didalam pertempuran selanjutnya.
"Agung Sedayu," salah seorang lawannya tiba-tiba menggeram, "ternyata kau memang mempunyai kekuatan iblis. Kawanku telah terlempar dan terbanting sekaligus tanpa dapat bangkit lagi. Namun itu bukan berarti bahwa kau sudah menang. Yang kau lakukan hanyalah suatu peristiwa yang secara kebetulan telah terjadi, tetapi yang akibatnya akan mencekik lehermu sendiri. Jika kami tidak ingin membunuhmu, namun kemudian kami tidak mempunyai cara lain yang dapat kami lakukan untuk melumpuhkanmu daripada dengan senjata. Jika dengan demikian maka ujung senjata kami akan menyobek dadamu, maka itu bukan salah kami."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Wajahnya menjadi semakin tegang. Apalagi ketika terpandang olehnya Glagah Putih yang berdiri termangu-mangu.
"Jika pertempuran ini menjadi pertempuran bersenjata, maka Glagah Putih akan menjadi semakin sulit," berkata Agung Sedayu didalam hatinya.
Sekilas terlihat olehnya salah seorang lawannya yang seakan-akan sudah tidak berdaya lagi. Ketika ia dilepaskan oleh kedua orang kawannya, hampir saja ia telah terjatuh lagi diatas pasir. Namun meskipun tertatih-tatih untuk sesaat, akhirnya ia dapat berdiri lagi meskipun keseimbangannya belum mantap.
"Jangan menyesali nasibmu Agung Sedayu," berkata salah seorang lawannya yang sedang dibakar oleh kemarahan itu.
Agung Sedayu beringsut setapak. Dibelakang Glagah Putih ia berdesis, "Kau harus lebih berhati-hati Glagah Putih. Pergunakan senjatamu untuk melindungi dirimu. Sesuaikan gerakmu dengan kedudukanku. Mungkin aku akan kehilangan perhitungan, sehingga kaulah yang harus berusaha menyesuaikan diri dalam keadaan yang sulit."
Glagah Putih mengangguk. Namun yang membesarkan hati Agung Sedayu, nampaknya Glagah Putih tidak menjadi ketakutan, gemetar dan kehilangan akal. Agaknya anak itu memang anak yang berani dan tidak mudah dikaburkan oleh keadaan.
Bahkan sejenak kemudian, Glagah Putihpun telah menggenggam senjatanya. Tidak seperti senjata Agung Sedayu yang lentur. Tetapi Glagah Putih mempergunakan sebilah pedang yang tidak terlampau panjang meskipun anak itu tergolong bertubuh tinggi.
"Jangan kehilangan perhitungan," desis Agung Sedayu kemudian.
Glagah Putih tidak menyahut. Ketika ia mengedarkan pandangan matanya, ia melihat dalam keremangan cahaya bulan yang sepotong, lawan-lawannya juga sudah menggenggam senjata masing-masing. Bahkan orang yang sudah tidak mampu berdiri tegak itupun menggenggam senjatanya pula.
Dalam pada itu, tiba-tiba saja seorang; dari lawannya berkata, "Kau jangan sombong anak muda, kami dapat mengatur perlawanan kami sebaik-baiknya. Seandainya kau mampu menghindari senjata kami, namun anak yang bertubuh tinggi itu tentu tidak akan dapat melepaskan diri. Kami akan membunuhnya dan mencincangnya tanpa ampun."
Agung Sedayu menggeram. Namun Glagah Putihlah yang menjawab, "Kematian tidak ditentukan oleh ujung senjata kalian. Tetapi masih ada kekuasaan yang dapat menentukan segala-galanya. Juga menentukan saat-saat kematianku. Jika aku akan mati, seandainya aku tidak bertemu dengan kalian disinipun aku akan mati. Apakah aku akan disambar petir atau disambar hiu atau oleh sebab-sebab yang lain."
"Gila," geram orang itu, "baiklah. Tetapi petir dan hiu akan membunuhmu dalam sekejap. Tetapi kami akan berbuat lain. Kami dapat membunuhmu perlahan-lahan."
"Persetan." Glagah Putih menggeram.
Sementara Agung Sedayu berkata, "Sudahlah. Jangan banyak menakut-nakuti lagi. Namun demikian, aku masih ingin bertanya, apakah kita memang akan mengakhiri perkelahian ini dengan ujung senjata " Apakah tidak ada cara lain yang lebih baik dan tuntas. Dengan senjata kita hanya akan menemukan penyelesaian sementara. Jika kau berhasil membunuh aku, maka adik seperguruanku tentu akan mendendammu. Guruku tentu akan menuntut balas. Demikian pula sahabat-sahabatku, termasuk Ki Waskita dan Ki Gede Menoreh. Bahkan mungkin Senopati Ing Ngalaga. Sebaliknya, jika aku yang berhasil membunuhmu, dendam itu akan tetap tersebar dimana-mana."
Orang-orang yang telah menggenggam senjata masing-masing itu justru menggerelakkan giginya. Salah seorang dari mereka berkata, "Jangan merajuk Agung Sedayu. Kita sudah berdiri diarena. Bahkan kita sudah saling berbenturan. Kenapa kau masih berbicara seperti itu" Bersiaplah untuk mati bersama anak dungu itu."
Agung Sedayu tidak menyahut lagi. Tidak akan ada gunanya untuk berbicara panjang lebar. Yang dihadapinya adalah senjata. Dan ia harus berusaha untuk berbuat sesuatu agar ia tidak mati terbunuh oleh senjata itu.
Sejenak kemudian, maka ujung-ujung senjata itupun mulai bergerak dari segala arah. Lawannya dengan senjata mengepungnya untuk membagi perhatiannya.
Agung Sedayu tidak mau menyesal karena kelengahannya. Karena itu maka sejenak kemudian, iapun telah mengurai cambuknya yang melilit dipinggangnya.
Bagaimanapun juga, hati lawan-lawannya tergetar juga melihat senjata Agung Sedayu itu. Setiap orang dari mereka yang mengepungnya telah pernah mendengar, bagaimana ujung cambuk salah seorang dari orang-orang bercambuk itu menyayat kulit lawan-lawan mereka. Bahkan sentuhan juntai cambuk bercincin besi baja itu, dapat membelah kulit daging seperti tajamnya sebilah pedang.
Namun yang harus dihadapi oleh Agung Sedayu saat itu adalah lima ujung senjata dari lima arah. Setiap saat ujung-ujung senjata itu dapat mematuknya. Kadang-kadang menyambar mendatar, terayun menyilang dan berputar seperti baling-baling.
Sejenak Agung Sedayu berdiri tegak. Dipusatkannya perhatiannya kepada lawan-lawannya. Meskipun ia memandang kesatu arah, tetapi telinganya mendengarkan setiap desir disekitarnya, betapapun lembutnya.
Karena itu, ketika salah seorang lawannya bergerak, meskipun ia berada dibelakang Agung Sedayu, anak muda itu dapat mengetahuinya, dan dengan sigapnya ia beringsut selangkah. Dan bahkan ujung cambuknyapun mulai bergetar pula.
Kelima orang lawannya masih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian salah seorang diantara merekapun mulai memancing dengan gerakan pendek. Ujung senjatanya bagaikan menggapai meskipun tidak mencapainya.
Agung Sedayu hanya beringsut pula. Sementara Glagah Putih selalu berusaha menyesuaikan dirinya. Pedangnya bersilang dimuka dadanya. Dengan hati-hati iapun bergegas dan bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Gerak ujung-ujung senjata itupun semakin lama mejadi semakin cepat. Masing-masing berusaha untuk menarik perhatian Agung Sedayu. Namun kemudian serangan yang sebenarnya akan datang dari arah yang tidak terduga-duga.
Tetapi Agung Sedayu cukup waspada. Ia mengerti apa yang akan dilakukan oleh kelima orang lawannya. Karena itu, maka justru ialah yang mendahului membetengi dirinya dengan senjatanya.
Sesaat kemudian, maka kelima orang lawannya menjadi tercenung sejenak. Ketika Agung Sedayu memutar ujung cambuknya mendatar diatas kepalanya, maka mereka bagikan mendengar deru angin pusaran yang melampaui debur ombak pantai laut Selatan.
"Gila," geram salah seorang dari mereka, "anak itu benar-benar mempunyai kekuatan iblis didalam dirinya."
Dalam pada itu Glagah Putihpun mengerutkan lehernya. Putaran ujung cambuk Agung Sedayu diatas kepalanya itu, benar-benar bagaikan deru angin yang membadai, mengguncang batang-batang pepohonan diseluruh daerah dan lembah-lembah.
Karena itu, maka kelima orang lawannya benar-benar berhati-hati. Mereka mencoba untuk mendekat bersama-sama. Memancing perhatian dan kemudian menyerang dengan cepat susul menyusul secepat mereka harus berloncatan surut. Karena mereka sadar, jika cambuk Agung Sedayu itu menyentuh kulit, itu berarti bahwa kulit kulit mereka akan koyak karenanya.
Namun kelima orang itu bukannya orang-orang lemah yang tidak berilmu. Meskipun jantung mereka menjadi berdebaran oleh putaran cambuk Agung Sedayu, namun bersama-sama mereka merupakan kekuatan yang tetap berbahaya bagi anak muda itu.
Sejenak kemudian, maka kelima orang lawan Agung Sedayu itu mulai berloncatan. Serangan mereka dalang susul menyusul dari segala arah. Namun tidak seorangpun dari mereka yang berhasil menembus putaran juntai cambuk Agung Sedayu.
"Ujung cambuk itu harus di tebas dengan tajam pedang," berkata salah seorang lawannya didalam hatinya.
Seorang diantara mereka yang berpedang tajam seperti pisau pencukur memberanikan diri untuk mencoba menebas ujung cambuk Agung Sedayu. Sejenak ia memperhatikan arah, dan memperhitungkan gelombang putarannya. Dengan cermat ia mengerahkan ilmu dan tenaganya.
Ketika saat itu datang, maka tiba-tiba saja ia telah mengayunkan pedangnya menyilang putaran ujung cambuk Agung Sedayu.
Terasa kekuatan yang besar membentur dan mengguncang tangan Agung Sedayu. Namun dengan gerak naluriah, maka iapun segera menarik cambuknya sendal pancing.
Dalam pada itu, ketajaman pedang lawannya tidak berhasil memotong ujung cambuk Agung Sedayu yang terbuat dari janget yang khusus dan terikat oleh gelang-gelang besi baja pilihan. Karena itu, maka yang terjadi kemudian adalah bahwa ujung cambuk itu telah membelit pedang lawannya. Satu tarikan sendal pancing justru telah menghentakkan pedang itu dengan kekuatan yang luar biasa, seolah-olah pedang itu telah dihisap oleh kekuatan raksasa.
Lawannya tidak berhasil mempertahankan pedangnya. Tangannya menjadi pedih dan bagaikan terkelupas kulit ditelapak tangannya, sehingga pedang itu tidak dipertahankannya lagi.
Adalah mendebarkan jantung ketika orang-orang yang sedang bertempur itu melihat pedang itu melayang diudara. Kilatan cahaya bulan yang memantul nampak meluncur seperti cahaya lintang alihan.
Agung Sedayu sendiri menjadi berdebar-debar. Pedang itu adalah pedang yang berat. Tetapi ternyata bahwa daya putar hentakan cambuknya dapat melemparkan pedang itu sampai jarak yang sangat jauh.
Agung Sedayu dan orang diarena pertempuran itu tidak dapat melihat dengan jelas, dimanakah tepatnya pedang itu terjatuh. Bahkan Agung Sedayu yang mempunyai penglihatan yang tajam itupun hanya dapat melihat kilatan pedang itu meluncur dibalik gerumbul-gerumbul pandan. Namun ia tidak dapat melihat dengan jelas, saat pedang itu terjebur kedalam rawa-rawa.
Namun dalam pada itu, seseorang yang bersembunyi dibalik gerumbul pandan, hatinya bagaikan tercengkam kuat-kuat oleh pesona yang mengejutkan. Sabungsari yang sedang bersembunyi itupun melihat kilatan pedang yang terlempar keudara. Kemudian meluncur seolah-olah mengarah kepadanya. Namun ternyata pedang itu bagaikan terbang diatasnya meluncur ke wara-rawa.
"Gila," geramnya, "kekuatan apakah yang telah melontarkan pedang sejauh itu?"
Jantung Sabungsari bagaikan berdentang lebih cepat. Ia telah melihat satu segi kelebihan dari Agung Sedayu, meskipun Agung Sedayu sendiri termangu-mangu karenanya. Kekuatan itu adalah kekuatan raksasa yang sebelumnya tidak diduga sama sekali oleh Sabungsari.
"Kekuatan itu tentu dapat dipergunakannya untuk melemparkan aku kedalam rawa-rawa itu," desis Sabungsari.
Meskipun demikian, namun Sabungsari masih mempunyai kebanggaan tentang dirinya. Dengan sorot matanya ia akan dapat melumpuhkan kekuatan lawan yang betapapun besarnya.
"Aku dapat meretakkan dada Agung Sedayu dari jarak beberapa langkah," berkata Sabungsari kepada diri sendiri, betapapun kuat tenaganya asal tidak sempat meraba tubuhku, maka ia akan dapat aku lumpuhkan. Aku buat ia menyesali segala tingkah lakunya sambil berguling-guling ditanah oleh perasaan sakit yang tidak ada taranya, sementara aku akan meremas jantungnya dengan tatapan mataku."
Sabungsari menggerelakkan giginya. Dendamnya justru menyata semakin dahsyat didalam dadanya.
Sementara itu. Agung Sedayu masih termangu-mangu sejenak. Namun lawannya yang lainpun tiba-tiba saja telah berloncatan menyerang dari segala arah. Orang yang kehilangan pedangnya itu meloncat mendekat kawannya yang sudah tidak banyak dapat membantunya sambil menggeram, "Serahkan pedangmu. Dan pergilah jauh-jauh. Kau perlu menyelamatkan dirimu dari perkelahian yang menggila ini. Agung Sedayu ternyata bukan manusia sewajarnya. Ia mempunyai kekuatan iblis."
Kawannya yang sudah terlalu lemah itu tidak membantah. Diberikannya pedangnya dengan ragu-ragu. Namun kawannya menggeram sekali lagi, "Pergilah. Jangan membiarkan dirimu terperosok ketangannya jika akhir dari perkelahian ini bukannya seperti yang kita perhitungkan."
Orang yang sudah terlalu lemah itu bergeser menjauh, mendekati kudanya. Ia sudah bersiap untuk melarikan diri jika keadaan memaksa demikian.
Yang telah terjadi itu ternyata telah menumbuhkan gagasan bagi Agung Sedayu untuk mengakhiri pertempuran. Jika ia dapat merampas senjata-senjata lawannya dengan cara yang serupa, maka ia akan dapat menguasai lawannya yang akan menghentikan perlawanannya.
Karena itu, maka Agung Sedayupun segera memperhitungkan keadaan sebaik-baiknya. Ia haras dapat menjerat senjata lawan atau menyakiti pergelangan tangan lawannya, sehingga senjatanya terlepas.
Karena itulah, maka Agung Sedayupun kemudian memusatkan perhatiannya kepada senjata dan tangan lawannya yang meggenggam senjata.
Sejenak pertempuran itu masih berlangsung dengan sengitnya. Serangan lawannya yang sudah berkurang jumlahnya itu sekali-kali mengarah kepada Glagah Putih. Tetapi karena ujung cambuk Agung Sedayu yang berputar, maka mereka tidak sempat menjangkau jarak dengan ujung pedangnya. Apalagi Glagah Putih mampu bergeser dan menangkis serangan yang kurang cermat itu.
Bahkan sesaat kemudian, Agung Sedayulah yang nampaknya menekan lawan-lawannya dengan rencananya. Sekali-sekali senjatanya yang berputar itu melenting dan meledak dengan dahsyatnya. Suaranya bergema disela-sela bukit pasir yang berserakan dipesisir, mengatasi deru ombak dan angin.
Dari jarak yang tidak terlalu jauh, Sabungsari melihat perkelahian itu. Dadanya semakin berdentangan melihat perlawanan Agung Sedayu atas empat lawannya yang sudah mengerahkan segenap kemampuannya. Bukan saja tenaga wajarnya, tetapi mereka sudah mengerahkan tenaga cadangan menurut kemampuan mereka masing-masing.
Tetapi Agung Sedayu benar-benar seorang yang luar biasa.
Pada saat yang demikian itu, Sabungsari telah dicengkam oleh keragu-raguan. Rasa-rasanya jantungnya menjadi gatal, untuk segera meloncat meremas dada Agung Sedayu dengan kekuatan matanya. Ia hanya memerlukan beberapa puluh langkah mendekati arena. Kemudian dengan sepenuh hati memusatkan segenap kekuatan dan kemampuannya pada pandangan matanya.
"Betapapun besar daya tahannya, ia akan jatuh terkulai dipasisir tanpa mampu melawan. Ombak yang dilemparkan angin itu akan menyeretnya hanyut ketengah lautan, menjadi makanan ikan hiu yang garang," geram Sabungsari.
Namun hatinya tersentak oleh kenyataan, bahwa ujung cambuk Agung Sedayu telah mampu merenggut sehelai pedang lagi dan melemparkannya jauh-jauh.


05 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintarja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Gila," geram Sabungsari.
Sejenak ia terpukau oleh keadaan. Hampir terpekik ia melihat pedang berikutnya telah terlempar pula.
Keempat lawannya menjadi termangu-mangu. Dua diantara mereka tidak bersenjata lagi.
Tetapi agaknya mereka tidak berputus asa. Setelah saling berbisik sejenak, maka keduanya telah memencar dari arah yang berlawanan.
"Jangan mengira bahwa kami telah kehilangan kemampuan untuk melawan," berkata salah seorang dari mereka, "kawan-kawan kami yang sudah tidak berpedang akan membunuhmu dengan lonlaran pisau-pisau belatinya."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Hal itu memang tidak mustahil. Orang-orang itu memang mungkin membawa pisau-pisau belati.
Karena itu, Agung Sedayu tetap berhati-hati. Ia masih memutar cambuknya. Bahkan semakin lama seakan-akan menjadi semakin cepat, sehingga suaranya-pun meraung semakin keras.
Sesaat kemudian, maka lawan-lawannyapun mulai menyerang lagi. Kedua orang yang masih berpedang itu menyerang dari arah yang berlawanan, sementara yang lain benar-benar telah menggenggam pisau belati yang tidak terlalu panjang, siap untuk dilemparkan.
Dengan hati-hati Agung Sedayu menilai keadaan. Dua orang lawannya yang berpedang ternyata tidak mendekatinya lagi. Mereka hanya mengacu-acukan pedangnya dari jarak yang agak jauh, sementara yang lain nampaknya siap untuk menyerang dengan pisau-pisaunya.
Untuk sesaat, Glagah Putih berdiri saja termangu-mangu. tetapi ia tidak lengah sama sekali. Ia sadar, bahwa pisau belati lawannya dapat meluncur kearahnya.
Seperti yang diperhitungkan oleh agung Sedayu, maka sejenak kemudian, lawan-lawannya telah mengambil suatu kesempatan untuk menyerang bersama-sama. Dua orang telah melontarkan pisaunya kearah Agung Sedayu, sehingga ia berusaha untuk menangkisnya dengan putaran cambuknya. Namun pada saat yang bersamaan, seorang lawannya yang berpedang meloncat dengan garangnya, menyusup dibawah putaran cambuk Agung sedayu yang sedang menangkis serangan pisau itu. Ujung pedangnya terjulur lurus mengarah keleher Agung Sedayu. Namun ternyata bahwa agung Sedayu sempat meloncat kesamping menghindarkan diri dari serangan pedang itu. Bahkan kemudian ia mengibaskan ujung cambuknya yang telah berhasil menyentuh pisau-pisau yang terbang kearahnya untuk menghentikan serangan pedang dan bahkan mendesak lawannya untuk meloncat surut.
Sepasang Pedang Pusaka Matahari Dan Rembulan 1 Pendekar Gila 5 Kelelawar Iblis Merah Durjana Dan Ksatria 2

Cari Blog Ini