Siluman Ular Putih 24 Wasiat Kematian Bagian 2
hijau. Dia tak lain adalah Putri Hijau!
Sepuluh hari yang lalu, waktu bertemu Siluman Ular Putih dan Ratu Adil, Putri Hijau tampak masih seperti seorang gadis
muda. Tapi kini parasnya telah berubah menjadi seorang perempuan cantik yang
kira-kira berusia tiga puluh
atau tiga puluh lima tahun. Sesuai perhitungan
tanggal bulan, sosok Putri Hijau memang akan
bertambah tua bila bulatan-bulan di angkasa bertambah besar.
Kakek Pikun yang merasa tersindir oleh
nyanyian Putri Hijau tak sabar lagi untuk tidak mendekat. Dengan sekali loncat,
sosoknya yang bertubuh tinggi kurus telah melenting tinggi ke udara, dan mendarat mantap tak
jauh di hadapan
Putri Hijau. "Perempuan cantik berpayung hijau! Kaukah yang tadi menyindirku dengan nyanyianmu,
hah"!" hardik Kakek Pikun galak sambil berkacak pinggang.
Putri Hijau tersenyum samar. Wajahnya
yang kini berupa perempuan matang tampak masih menampakkan kecantikannya. Sepasang buah
dadanya pun membusung besar.
"Wahai sobatku, kakek berjubah biru! Kalau tak silaf mataku, bukankah aku tengah berhadapan dengan Kakek Pikun dari Gunung Slamet?" Putri Hijau malah bertanya kalem.
"Kuhargai matamu yang jeli, Perempuan
Berpayung. Aku memang Kakek Pikun dari Gunung Slamet. Tapi, bukan berarti aku harus
membiarkan sindiranmu tadi!"
"Hik hik hik...! Dari dulu kau selalu pemarah, Kakek Pikun. Kalau tidak marahmarah pasti penyakit pikunmu kambuh," goda Putri Hijau.
"Puahhh! Peduli apa dengan omonganmu,
Perempuan Berpayung"! Tapi menilik caramu bicara, sepertinya kau mengenaliku" Siapa kau sebenarnya, he"!" balas Kakek Pikun heran melihat orang mengenali dirinya.
Padahal, sudah belasan tahun ia tak pernah turun gunung.
"Hik hik hik...! Masa' sih kau lupa padaku?" goda Putri Hijau menggemaskan.
Kakek Pikun jadi penasaran sampai lupa
apa tujuannya ke tempat itu. Sejenak keningnya
diurut-urut mencoba mengingat-ingat siapa perempuan berpayung hijau di hadapannya. Namun
sampai sejauh itu ia tak mampu mengingatnya.
"Ah...! Peduli setan! Siapa pun kau, aku tak peduli! Sekarang kau... kau...! Ah,
apa sih yang akan kukatakan" Kenapa aku jadi bingung begini" Hey, Perempuan
Berpayung! Tahukah kau, di
mana Hantu Tangan Api berada?" cerocos Kakek Pikun mulai kambuh penyakitnya.
Semula Kakek Pikun ingin menyatroni orang yang menyindirnya,
tapi sekarang malah menanyakan Hantu Tangan
Api. Sudah pasti Putri Hijau jadi makin gelisah dibuatnya.
"Dasar orang tua pikun! Kau ini bagaimana, sih"! Ngomong plintat-plintut tak karuan. Bagaimana kau dapat menemukan
Hantu Tangan Api kalau ngomong saja tak becus. Hik hik hik...!"
"Tunggu!" Kakek Pikun mengangkat tangannya ke atas. "Apa benar Hantu Tangan Api telah tewas di tangan, er... er...!
Ah! Siapa sih, na-ma bocah gondrong itu" Ah...! Pokoknya tewas di tangan bocah
gondrong itu?"
"Wah...! Bagaimana aku menjawabnya" Di
kolong langit ini, banyak sekali pemuda gondrong.
Lalu, mana yang kau maksudkan, Kakek Pikun?"
"Dia.... Dia, ah! Dia telah membunuh muridku...."
"Siapa" Bocah gondrong itu lagi?"
"Bukan! Hantu Tangan Api, tahu?"
"Hm...," Putri Hijau mengangguk-angguk.
"Jadi Hantu Tangan Api yang telah membunuh muridmu" Ya ya ya...! Pantas saja kau
tampak uring-uringan begini. Tapi menurut desas-desus
yang kudengar, Hantu Tangan Api telah tewas di
tangan Siluman Ular Putih. Apakah Siluman Ular
Putih yang kau maksudkan bocah gondrong itu,
Kakek Pikun?"
"Ah...! Kau benar, Perempuan Berpayung.
Teman bocah gondrong itu memang pernah menyebutnya Siluman Ular Putih," teriak Kakek Pikun gembira. Tapi kalau kabar itu
memang benar, lalu aku harus meminta pertanggungjawaban pada siapa atas tewasnya muridku?"
Mendadak Kakek Pikun menampakkan
raut wajah sedih.
"Wahai, sobatku Kakek Pikun! Seharusnya
kau bersyukur menerima satu keberuntungan
yang tersembunyi. Tidak seharusnya menyesal
seperti ini. Untung saja hanya muridmu saja yang tewas. Kalau sampai kau mati,
apa pikirmu masih dapat menikmati indahnya alam mayapada ini"
Untuk itu, bersyukurlah! Sesungguhnya Hyang
Widi memang tengah menginginkan sesuatu yang
baik terhadapmu," urai Putri Hijau. Seperti biasa, kata-katanya selalu
mengandung hikmah.
"Puahhh! Pintar juga kau membolakbalikkan kenyataan! Muridku mati dibunuh
orang, kau bilang aku harus bersyukur?"
"Begitulah caranya bila Hyang Widi menghendaki kebaikan kepada hamba-hambanya yang
sejati." "Puahhh! Bocah kemarin sore macam kau bisanya menasihati aku yang sudah
tua bangka begini! Kau ini tahu apa dengan segala macam te-tek bengek kehidupan dibanding
aku, Bocah Bau Kencur"!" dengus Kakek Pikun, panas juga mendengar omongan Putri Hijau.
"Wahai, sobatku Kakek Pikun! Enak benar
kau memanggilku bocah bau kencur! Dari kau belum lahir di muka bumi ini, aku sudah terlebih dulu gentayangan! Ketahuilah
sesungguhnya usiaku jauh lebih tua dibanding usiamu sekarang." "Ha ha ha...! Sayang sekali, cantik-cantik
tapi berotak miring," kata Kakek Pikun tertawa amat melecehkan.
"Terserah kau mau ngomong apa! Yang jelas, biar berotak miring, aku masih dapat berpikir waras. Tidak seperti kau,
Kakek Pikun! Sudah tua bukannya sadar, malah tambah gila. Pikun lagi!"
sungut Putri Hijau yang sebenarnya berusia seratus tahun lebih itu. Kesal juga
hatinya melihat sikap Kakek Pikun yang amat meremehkannya.
"Kau...! Mustahil! Tak mungkin usiamu lebih tua dibanding aku!"
"Dasar tua bangka pikun, tetap saja pikun!" bentak Putri Hijau terpancing juga amarahnya. Namun, Putri Hijau cepat
tersadar. Menghadapi Kakek Pikun yang berwatak pemarah, tak
seharusnya dihadapi dengan sikap keras.
"Wahai, sobatku Kakek Pikun! Sesungguhnya aku berkata benar. Buat apa aku berkata
dusta kalau memang kenyataannya demikian.
Bertawakallah, Kakek Pikun! Niscaya kau akan
memahami apa yang kukatakan tadi!" kata Putri Hijau, kembali lunak suaranya.
"Puahhh! Sungguh pintar mulutmu bicara,
Perempuan Berpayung. Aku jadi ingin menjajal,
apa kau juga punya kepandaian?" teriak Kakek Pikun gusar bukan main.
Di akhir teriakannya, Kakek Pikun segera
memasang kuda-kuda. Kedua telapak tangannya
pun telah berubah menjadi biru.
"Jangan main-main dengan kekerasan,
wahai sobatku Kakek Pikun! Aku tidak ingin di
antara kita ada silang sengketa," cegah Putri Hijau, lembut.
"Jangan banyak omong! Cepat cabut senjatamu!" tantang Kakek Pikun sengit.
Putri Hijau masih tenang-tenang saja di
tempatnya. Beranjak dari tempat duduknya pun
tidak. Hal ini tentu saja membuat amarah Kakek
Pikun makin menggelegak.
"Kupret! Belum puas aku kalau belum
menggebukmu, Perempuan Berpayung! Terimalah
seranganku! Hea!"
Dikawal teriakan nyaring, Kakek Pikun segera menyerang Putri Hijau. Kedua telapak tangannya yang telah berubah jadi biru langsung didorong ke depan. Saat itu pula
dua larik sinar bi-ru melesat cepat ke depan siap melabrak tubuh
Putri Hijau! Wesss! Wesss! Putri Hijau tersenyum samar seraya bangkit berdiri. Melihat datangnya serangan, kedua telapak tangannya disentakkan ke
depan, membuat dua gulungan asap berwarna hijau kontan menerabas ke depan memapak pukulan Kakek Pikun.
Besss! Tak ada ledakan yang berarti akibat bentrokan barusan. Namun anehnya, tempat pertarungan bergetar hebat. Tubuh Kakek Pikun tersurut ke belakang. Sementara tubuh Putri Hijau tertahan oleh pohon di belakangnya.
Tampaknya ke- dua orang itu tak ada yang mau mengalah.
"Hea!"
Tiba-tiba Putri Hijau menyentakkan kedua
telapak tangannya ke bawah, membuat dua larik
sinar biru dari kedua telapak tangan Kakek Pikun yang tadi tertahan di udara
kontan menukik tajam. Blammm!
Bumi bergetar. Tanah berpasir di tempat
pertarungan itu membuncah ke udara. Debudebu beterbangan menghalangi pandangan.
Sementara tubuh Kakek Pikun terdorong
beberapa langkah ke belakang dengan paras pias.
Napasnya pun tersengal. Namun kini baru disadari kalau pukulan yang dilontarkan perempuan
berpayung itu tak lain adalah pukulan 'Bias Cahaya Dewa' yang sangat dikenalinya. Dan itu berarti ia tahu siapa pemiliknya.
"Bodoh! Perempuan berpayung hijau itu
adalah Putri Hijau! Huh...! Kenapa aku membuat
silang sengketa dengannya?" ujar Kakek Pikun sembari menepuk-nepuk jidat.
Begitu menyadari siapa perempuan berpayung hijau itu, Kakek Pikun jadi tak sabar me-nunggu gulungan debu-debu yang
masih meme- nuhi tempat pertarungan.
Karena terdorong rasa tak sabarnya, ujung
jubahnya segera dikebutkan.
Wuss! Seketika angin keras dari kebutan jubah
menyambar keras ke depan. Namun sialnya, begitu gulungan debu yang memenuhi tempat pertarungan sirna dari pandangan mata, sosok Putri
Hijau ikut lenyap dari tempat itu.
Kakek Pikun celingak-celinguk ke sana
kemari, namun tetap saja tak menemukan sosok
Putri Hijau. Hatinya penasaran sekali. Segera dicari Putri Hijau ke segenap
penjuru dengan berkelebat ke sana kemari. Di saat Kakek Pikun tengah kebingungan
mencari Putri Hijau mendadak....
"Edan! Bau busuk apa ini" Kenapa demikian menyengat hidung?"
"Heh..."!"
Kakek Pikun terperangah seraya berhenti
berkelebat. 8 Kening Kakek Pikun berkerut dalam. Kepalanya segera dipalingkan ke arah datangnya suara. Ternyata tak jauh di sampingnya telah berdiri seorang lelaki renta yang
tengah memandangi dirinya. Tubuhnya yang kurus kering dibalut pakaian warna biru. Rambutnya awut-awutan tak
terawat. Wajahnya kasar, dipenuhi daging hidup, memancarkan hawa membunuh.
"Peramal Maut! Apa kau bilang tadi, hah"!
Kau bilang tubuhku bau"!" hardik Kakek Pikun kasar. "Tubuhmu menebarkan bau
busuk. Berarti, alamat tak baik cepat atau lambat pasti akan menimpamu. Bukankah
kau tua bangka dari Gunung Slamet yang bergelar Kakek Pikun" Tapi
sayang, tampaknya kau akan mendapat musibah.
Entah di tanganku, entah di tangan orang lain,"
kata kakek berpakaian biru yang memang Peramal Maut, dingin.
"Apa maksudmu, Peramal Maut" Apa ucapanmu tadi berarti kau ingin menantangku bertarung?" tanya Kakek Pikun, mengkelap.
"Tantangan telah terdengar. Pantang bagi
Peramal Maut untuk mundur dari pertarungan!"
tandas Peramal Maut.
"Bagus! Sudah lama aku ingin menekuk
sepak terjangmu. Rupanya inilah saat yang tepat untuk mengakhiri sepak
terjangmu!" sambut Kakek Pikun sengit.
"Jangan banyak bacot, Tua Bangka Pikun!
Ayo kita lihat, siapa yang terlebih dulu berkalang tanah! Kau atau aku!"
Peramal Maut menggeram penuh kemarahan. Sekali kakinya menghentak ke tanah, tubuhnya pun melenting tinggi di udara. Di udara, tongkat di tangan kanannya pun
menyambar-nyambar ganas. Bahkan sebelum seranganserangan itu sempat mengenai sasaran, terlebih
dulu telah berkesiur angin keras disertai bunyi menggemuruh!
"Hea! Hea!"
Kakek Pikun tak kalah gertak. Dikawal
bentakan-bentakan nyaring, tubuhnya pun segera
melenting tinggi ke udara. Begitu seranganserangan tongkat Peramal Maut dihindari meloncat lebih tinggi, tubuhnya menukik turun. Bogem mentahnya pun segera melontarkan
satu jotosan. Melihat serangan balik Kakek Pikun, Peramal Maut tak kehilangan akal. Sambil berbalik, dengan mengerahkan tenaga dalam
sepenuhnya, segera dipapaknya serangan dengan tongkat di
tangan kanan. Prakkk! Tongkat di tangan Peramal Maut memang
hancur berkeping-keping. Tapi Kakek Pikun sendiri merasakan buku-buku jari tangannya kesemutan. Tubuhnya pun tanpa ampun terjajar ke
belakang. Namun begitu kakinya menjejak tanah,
Siluman Ular Putih 24 Wasiat Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
guru dari Pembunuh Iblis ini segera berkelebat
cepat menerjang Peramal Maut. Kedua telapak
tangannya yang telah berubah jadi biru segera dihentakkan ke depan, membuat dua
larik sinar biru melesat cepat ke depan, siap melabrak tubuh
Peramal Maut yang tadi sempat terpental dua
tombak saat terjadi benturan. Untung saja ia
sempat menguasai tubuhnya hingga tak sampai
terjengkang. Wesss! Wesss! Tapi kini baru saja menjejak tanah, Peramal Maut sudah harus bersiap kembali menghadapi
ancaman serangan lawan. Namun bukan Peramal
Maut namanya kalau sampai kalah gertak. Maka
segera dikerahkannya pukulan andalan, membuat kedua telapak tangannya berubah hitam legam hingga pangkal. Itulah pukulan 'Gelap
Ngampar' yang ganas luar biasa!
Dan ketika dua larik sinar biru dari kedua
telapak tangan Kakek Pikun hanya tinggal satu
tombak, Peramal Maut segera menyentakkan kedua telapak tangannya. Sehingga....
Blarrr! Terjadi ledakan hebat saat bentrokan dua
tenaga dalam tingkat tinggi terjadi. Bahkan bunga api langsung menyebar ke
segala arah, menim-bulkan cahaya terang. Sebagian bunga api yang
ambyar kontan melabrak ranting-ranting pohon.
Brakkk! Brakkk!
Batang-batang pohon di sekitar tempat pertarungan bergetar hebat, lalu disusul suara
menggemuruh sebelum akhirnya tumbang dengan
daun-daunnya hangus terbakar!
Sementara tubuh Kakek Pikun dan Peramal Maut pun sama-sama terlempar jauh ke belakang. Dari sini bisa dipastikan kalau tenaga dalam mereka tak jauh berbeda.
"Bangsat! Rupanya kau mengalami banyak
kemajuan, Kakek Pikun! Tapi, ingat! Nyawamu tetap berada dalam genggaman tanganku!" dengus Peramal Maut dengan napas memburu.
Parasnya pun tampak pias akibat bentrokan tadi. Namun ia merasa sudah kepalang basah.
"Hup!"
Setelah mengeraskan niatnya, Peramal
Maut segera melompat bangun. Kedua telapak
tangannya makin menghitam legam sampai ke
pangkal siku. Di hadapannya, Kakek Pikun tengah merangkak bangun. Paras tokoh sakti dari puncak
Gunung Slamet ini pun terlihat pucat. Sebagian
telapak tangannya berwarna hitam, pertanda racun akibat pukulan Peramal Maut mulai mengeram dalam tubuhnya. Menyadari hal itu, buruburu dirogohnya saku jubah mengambil dua butiran kecil berwarna biru. Dan secepat itu pula segera ditelannya dua butir obat berbentuk bulat
dari sakunya. Pada saat yang sama, Peramal Maut, sudah
kembali melancarkan serangan. Didahului bentakan-bentakan nyaring, tiba-tiba tubuhnya menerjang ke depan dengan kedua telapak tangan
menghantam ke depan.
Wesss! Kembali melesat dua larik sinar hitam legam dari kedua telapak tangan Peramal Maut, lebih menggiriskan dari serangan pertama. Itu dapat dirasakan dari angin dingin berkesiur yang terasa menusuk kulit Kakek Pikun.
"Jangan terlalu bernafsu, Peramal Maut!
Kau pikir mudah merobohkanku, hah"!" Kakek Pikun menggeretakkan gerahamnya penuh
kemarahan. Kedua telapak tangannya pun telah berubah jadi biru hingga pangkal tangan. Dan diiringi tenaga dalam kekuatan penuh,
segera dipapak kedua sinar hitam milik Peramal Maut.
Blammm! Blammm!
Kembali terdengar satu ledakan hebat,
membuat tempat pertarungan bergetar dahsyat
seperti terjadi gempa. Angin akibat bentrokan itu memecah ke segala arah,
memporak-porandakan
apa saja yang ada di sekitar tempat pertarungan.
Batang-batang pohon tumbang dengan rantingranting hangus terbakar!
Peramal Maut dan Kakek Pikun yang tadi
sama-sama mengerahkan kekuatan tenaga dalam
dengan kekuatan penuh tak dapat lagi menahan
keseimbangan tubuh. Tanpa ampun tubuh mereka terpental ke belakang, berputar-putar sebentar dan terbanting keras!
Bukkk! Bukkk! Peramal Maut menggembor penuh kemarahan. Darah yang mengalir di bibir dan hidungnya segera dibesut dengan punggung
tangan. Lalu, dengan kemarahan meluap, lelaki sesat itu segera melompat bangun. Kali ini
hatinya benar-benar
tak sabar untuk segera merobohkan lawan. Maka
segera hendak dikerahkannya pukulan andalan
'Gada Akhirat'. Begitu tenaga dalamnya dikerahkan, kedua telapak tangannya pun berubah menjadi kuning berkilauan hingga pangkal lengan!
"Pukulan 'Gada Akhirat'...!" desis Kakek Pikun takjub. Namun hal itu bukan
berarti Kakek Pikun harus gentar menghadapi tokoh sesat dari
Gunung Kembang. Begitu bangkit, ia bersiap
mengerahkan aji 'Bayu Bajra'.
"Syukur kalau kau masih ingat dengan pukulanku ini. Berarti kau tidak akan penasaran bi-la nyawamu melayang," desis
Peramal Maut. Di akhir kalimatnya, Peramal Maut segera
menerjang dengan kedua telapak tangan terkembang ke depan. Pada jarak tertentu kedua telapak tangannya disentakkan ke depan.
Bed! Werr! Werrr! Seketika meluruk dua larik sinar kuning
berkilauan dari kedua telapak tangan Peramal
Maut yang diiringi suara menggemuruh cepat
menerabas ke depan!
"Heaaa...!"
Saat itu juga Kakek Pikun tak mau ketinggalan. Dikawal bentakan nyaring, kedua telapak
tangannya segera dihantamkan ke depan.
Bed! Wuss! Wusss! Dua rangkum angin keras yang disertai
hawa dingin bukan kepalang kontan meluncur
dari kedua telapak tangan Kakek Pikun dari Gunung Slamet. Langsung dipapaknya dua sinar
kuning milik Peramal Maut.
Bummm! Bummm! Lagi-lagi terjadi ledakan hebat di udara.
Laksana layangan putus tali, tubuh Peramal Maut dan Kakek Pikun sama-sama
terlempar jauh ke
belakang. Bukk! Tubuh Peramal Maut terbanting keras dan
jatuh berguling-gulingan. Parasnya seketika pucat pasi! Napasnya tersengal
dengan darah mengalir
dari hidung! Tak jauh di hadapannya, tubuh Kakek Pikun tegak kaku di tempatnya. Meski menderita
luka dalam hebat, namun tokoh sakti dari puncak Gunung Slamet itu masih sanggup
berdiri tegak. Melihat ini, hati Peramal Maut kontan kecut. Nyalinya bertarung pun seketika lenyap.
"Jangan dikira aku menerima kekalahanku
begitu saja, Kakek Pikun! Tunggulah pembalasanku!" desis Peramal Maut, menahan amarah.
Dan tiba-tiba tubuhnya berbalik, lalu segera berkelebat cepat meninggalkan
tempat itu. Kakek Pikun tetap diam di tempatnya. Kedua lututnya tampak bergetar hebat. Dan begitu
sosok bayangan Peramal Maut menghilang di balik kerimbunan depan sana, tubuhnya pun melorot ke bawah. Napasnya memburu hebat. Luka
dalam tubuhnya pun semakin membuatnya mengeluh berulang-ulang.
"Tak kusangka aku akan mendapat luka
dalam demikian hebatnya. Kukira, aku harus secepatnya menyembuhkan luka dalamku...," gumam Kakek Pikun dalam hati, lalu
segera duduk semadi. 9 Luka dalam Peramal Maut akibat pertarungan dengan Kakek Pikun memaksanya untuk menyembunyikan diri. Hampir dua hari dua malam
lelaki tua pandai meramal itu terus bersemadi di sebuah gua kecil tak jauh dari
Hutan Kenjeran.
Dan pagi ini Peramal Maut telah keluar dari tempat persembunyiannya. Sejenak lelaki itu
berdiri mematung memandangi sinar matahari
yang hangat menyiram bumi. Kicauan beberapa
burung liar terdengar ramai di ranting-ranting
dahan. Sementara angin seolah malas berhembus. Peramal Maut menghela napas dalamdalam. Hawa segar pagi menerobos masuk dalam
rongga paru-parunya. Kini parasnya tak lagi pucat seperti hari-hari kemarin. Ini menandakan kalau luka dalamnya telah pulih
seperti sediakala.
"Jahanam! Tak kusangka tua bangka pikun dari Gunung Slamet itu banyak mengalami
kemajuan. Hampir saja aku celaka di tangannya.
Untung saja aku dapat meloloskan diri...!" rutuk Peramal Maut dengan rahang
mengeras. "Hm...!
Tak mungkin aku membiarkan kekalahanku begitu saja. Aku harus menuntut balas. Tapi, aku
pun harus terlebih dulu mempertajam jurus-jurus andalanku. Kalau kepandaianku
masih begini-begini saja, bukan mustahil akan celaka di tangan musuh-musuhku. Termasuk juga, tua bangka pikun dari Gunung Slamet itu...."
Mantap dengan tekadnya, Peramal Maut
segera melangkah lebar menuju tanah rerumputan di depan mulut gua tempat persembunyiannya. Padahal kalau tahu bahwa Kakek Pikun juga
terluka parah tentu hatinya tak panas seperti sekarang ini. Maka tak heran bila
tekadnya untuk memperdalam jurus-jurus silatnya makin menggebu. Peramal Maut kini telah berdiri tegak di tengah-tengah tanah berumput.
Kaki kirinya mulai ditarik selangkah ke belakang, membentuk
kuda-kuda kokoh. Dan diiringi bentakan nyaring, sosok tubuhnya yang terbungkus
pakaian biru pun telah berkelebat cepat. Begitu cepatnya hing-ga membentuk bayangan biru yang
bergerak ma- kin cepat luar biasa. Sambil terus berkelebat,
tendangan dan tamparan-tamparannya menjulur
keluar. "Hea! Hea!"
Angin keras pun berkesiur kencang. Ranting-ranting pohon di sekitar tempat itu bergoyang-goyang terkena sambaran-sambaran angin. Sementara sosok Peramal Maut terus berkelebat, memainkan jurus-jurus andalan.
Kira-kira lima belas jurus kemudian, Peramal Maut menghentikan gerakannya. Kini lelaki itu berdiri tegak di tengahtengah tanah rerumputan kembali. Parasnya yang kasar tampak menegang dengan keringat membasahi kening.
"Rasa-rasanya jurus-jurus andalanku tak
mengalami penurunan. Malah sebaliknya. Tapi,
kenapa aku tidak mampu merobohkan Kakek Pikun?" tanya Peramal Maut membatin. "Coba aku mengerahkan pukulan 'Gelap
Ngampar'-ku...."
Saat itu juga Peramal Maut segera menarik
kaki kirinya selangkah ke belakang. Kedua telapak tangannya pun telah berubah menjadi hitam
legam, pertanda telah mengerahkan tenaga dalam
dengan kekuatan penuh. Lalu dikawal teriakan
nyaring, kedua telapak tangannya segera dihentakkan ke depan. Seketika melesat dua larik sinar hitam legam disertai hawa
dingin bukan kepalang yang melesat ke depan dengan suara menggemuruh! Wesss!
Wesss! Brakkk! Batang pohon yang menjadi sasaran pukulan 'Gelap Ngampar' milik Peramal Maut kontan
bergoyang-goyang sebentar, sebelum akhirnya jatuh berdebam! Tanah kering dan debu-debu kontan berhamburan memenuhi sekitarnya. Sedang
bagian batang pohon yang terkena hantaman
tampak mengepulkan uap kehitaman!
"Pukulan 'Gelap Ngampar' milikku pun tak
mengalami kemunduran. Tapi herannya, kenapa
aku tidak mampu merobohkan Kakek Pikun" Setan! Apa aku harus menciptakan satu pukulan
maut lagi. Hm...! Itu membutuhkan waktu lama...." Geraham Peramal Maut bergemeletuk mencoba menahan amarah yang
menggelegak. "Tak mungkin aku menciptakan pukulan
baru. Baiknya kucoba mengerahkan aji 'Gada Akhirat'-ku...."
Peramal Maut tak melanjutkan kegusarannya. Terdorong rasa penasarannya yang memuncak, segera dikerahkannya aji 'Gada Akhirat'. Begitu tenaga dalam dikerahkan,
kedua telapak tangannya pun berubah kuning berkilauan. Tepat
pada hitungan kesepuluh, Peramal Maut segera
menghantamkan kedua telapak tangannya ke depan. Seketika melesat dua larik sinar kuning berkilauan dari kedua telapak
tangannya, langsung
melabrak batang pohon di hadapannya.
Siluman Ular Putih 24 Wasiat Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Brakkk! Seketika batang pohon itu tumbang. Suaranya menggemuruh sebelum akhirnya jatuh berdebam. Kembali debu-debu beterbangan memenuhi tempat latihan.
Plok! Plok! Plok!
"Hebat! Benar-benar satu pukulan hebat!
Aku patut mengagumimu, Kakek Berbaju Biru."
Tiba-tiba terdengar suara tepukan tangan
yang dilanjutkan suara seorang perempuan bernada memuji. Namun anehnya Peramal Maut
yang sedang dibaluri kemarahan justru malah
menggeram menggidikkan.
Dengan kemarahan memuncak tokoh sesat
dari Gunung Kembang ini segera berpaling ke
samping. Ternyata, tak jauh di hadapannya kini
telah berdiri seorang gadis cantik. Tubuhnya
ramping dengan dua bukit kembarnya yang montok, terbungkus pakaian ketat warna kuning. Sekilas, sosok gadis cantik yang rambutnya digelung ke atas ini memang amat
menarik. Tak heran kalau Peramal Maut jadi menelan ludahnya berkalikali. Namun karena terdorong rasa penasaran
terhadap Kakek Pikun. Juga karena heran melihat kemunculan gadis itu yang tidak tertangkap
pendengarannya yang tajam, hatinya jadi gusar
bukan main. "Siapa kau"!" bentaknya.
Pertanyaan Peramal Maut tak disahuti.
Yang terdengar hanyalah suara tawa gadis itu.
"Bangsat! Apa kau tidak tahu tengah berhadapan dengan siapa, he"!" hardik Peramal Maut. "Aku tidak mau tahu tengah
berhadapan dengan siapa. Apa salahnya sih kalau aku memuji pukulanmu tadi?"
sahut si gadis cantik, genit.
Matanya pun sempat mengerling ke arah Peramal
Maut. "Ketahuilah! Hari ini kau tengah berhadapan dengan Peramal Maut! Hm...!
Dari bau tu- buhmu, tampaknya kau membawa satu maksud
tak baik. Kau pun rupanya tengah mencari seseorang. Entah siapa, aku tak tahu. Yang jelas,
mungkin hatimu akan terpaut pada orang yang
sedang kau cari," desis Peramal Maut. Namun herannya, masih sempat juga ia
meramal gadis cantik di hadapannya.
"Oh...! Jadi kau yang bergelar Peramal
Maut" Pantas! Begitu aku datang kau sudah meramalku. Tapi benarkah ramalanmu barusan?"
tanya gadis itu ragu-ragu. Lalu dalam hatinya
pun membatin, "Menurut keterangan guruku Ra-tu Bangkai di Lembah Selaksa
Kematian, aku harus hati-hati dengan tua bangka satu ini. Namun, aku juga tidak boleh meremehkan
ramalannya begitu saja...."
"Dua kali kau membuat kesalahan besar
padaku, Cah Ayu! Apa pun alasanmu, kau harus
mampus di tanganku," dengus Peramal Maut gusar. Sebelah kakinya sudah ditarik ke
belakang, membentuk kuda-kuda yang kokoh. Siap melontarkan serangan maut.
"Tunggu, Peramal Maut! Kau bilang, dua
kali aku membuat kesalahan padamu. Bisakah
kau menjelaskannya?" cegah gadis itu seraya mengangkat tangannya.
"Huh...!" Peramal Maut mendengus gusar.
"Pertama! Kau datang kemari tanpa seizinku. Malah pakai menghina pukulanku
segala. Kedua, kau meragu-ragukan ramalanku. Apakah itu bukan satu alasan kuat untuk melenyapkanmu?"
"Kau salah, Peramal Maut. Aku sama sekali
tak menghina pukulan mautmu tadi. Juga, aku
tak meragu-ragukan ramalanmu tadi."
"Kau boleh saja berdalih padaku, Cah Ayu.
Namun tetap saja aku tak membiarkanmu hidup."
"Sayang sekali. Sebenarnya aku kemari
bukan bermaksud bermusuhan denganmu. Aku
hanya ingin numpang tanya, apakah kau mengenal seseorang yang bergelar Siluman Ular Putih?" Peramal Maut terperangah kaget. Kedua telapak tangannya yang hendak
melancarkan serangan, perlahan-lahan diturunkan kembali. Lalu dipandanginya gadis cantik di
hadapannya tajam-tajam. "Apa maksudmu mencari Siluman Ular Putih, Cah Ayu"
Apakah kau sahabatnya?"
"Hik hik hik...! Kali ini pun kau salah lagi, Peramal Maut. Aku sama sekali
bukan sahabat Siluman Ular Putih. Aku hanya ingin menyelidiki sepak terjangnya. Benarkah
Siluman Ular Putih
yang akhir-akhir ini membuat gempar dunia persilatan?" sahut si gadis mengikik.
"Kalau memang benar, kau mau apa?"
"Dengar! Buka telingamu lebar-lebar, Peramal Maut! Gelarku, Dewi Bunga Bangkai. Aku
mendapat perintah guruku Ratu Bangkai dari
Lembah Selaksa Kematian untuk menghentikan
sepak terjang Siluman Ular Putih!" sahut gadis cantik yang ternyata bergelar
Dewi Bunga Bangkai tegas. Sepasang matanya pun tak lagi ramah
seperti tadi, melainkan sarat akan kekejian di balik kecantikan wajahnya.
Mendengar penuturan gadis cantik di hadapannya yang mengaku murid Ratu Bangkai dari Lembah Selaksa Kematian, tak urung Peramal
Maut jadi terkesiap.
"Bagus! Siluman Ular Putih memang patut
dilenyapkan dari muka bumi. Sudah berkali-kali
ia selalu menghalang-halangi sepak terjangku.
Meski demikian, bukan berarti kau luput dari
tangan mautku, Dewi Bunga Bangkai!" sahut Peramal Maut dingin.
"Jadi" Kau tetap ingin bersilang sengketa
denganku" Bagus! Majulah kalau itu yang kau inginkan!" tantang Dewi Bunga Bangkai.
"Bangsat! Lagakmu pongah sekali, Dewi
Bunga Bangkai! Berhubung kita sama-sama satu
golongan, aku tak ingin membunuhmu. Tapi, aku
pun patut memberi pelajaran padamu!"
"Jangan banyak omong, Peramal Maut!
Aku sudah kebal dengan segala ancaman!"
"Setan! Makanlah bogem mentahku! Hea!"
Dikawal bentakan nyaring, Peramal Maut
segera menerjang ganas Dewi Bunga Bangkai.
Kedua telapak tangannya yang telah berubah
menjadi hitam legam pun segera dihentakkan ke
depan, membuat dua larik sinar hitam legam melesat dari kedua telapak tangannya disertai angin keras berkesiur.
Werrr! Werrr! Di depannya, Dewi Bunga Bangkai hanya
tersenyum sinis. Namun manakala serangan Peramal Maut hanya tinggal satu tombak, tangannya segera dikibaskan.
Bed! Bed! Werr...! Entah bagaimana Dewi Bunga Bangkai merogoh sakunya, yang jelas tahu-tahu meluruk
bunga-bunga bangkai menyambut serangan.
Lima bunga bangkai berwarna kuning yang
terlepas dari tangan Dewi Bunga Bangkai terus
melesat cepat. Sebelum terjadi bentrokan, terlebih dahulu berkesiur angin keras
yang disertai bau
busuk bukan main.
Teppp! Teppp! Begitu terjadi bentrokan dengan sinar-sinar
hitam milik Peramal Maut, lima bunga bangkai
dari tangan Dewi Bunga Bangkai tampak tertahan
sebentar di udara. Akibatnya, sinar-sinar hitam legam itu ambyar. Sebagian
sinarnya menukik ke
bawah, menghantam tanah. Sebagian lainnya
menghantam batang-batang pohon di sekitar
tempat pertarungan.
Sementara lima bunga bangkai dari murid
Ratu Bangkai pun luruh ke tanah. Hebatnya, tanah rerumputan di tempat pertarungan kontan
berubah kuning disertai kepulan uap tipis kekuning-kuningan!
Peramal Maut lagi-lagi terkesiap kaget.
Sungguh tak disangka sama sekali kalau bungabunga bangkai Dewi Bunga Bangkai itu mengandung racun keji.
"Bagus! Rupanya kau memang murid nenek geblek dari Lembah Selaksa Kematian itu,
Cah Ayu!" Dewi Bunga Bangkai tak menyahut. Menyadari bunga-bunga bangkainya luruh ke tanah,
hatinya jadi geram bukan main. Padahal, jarang
sekali bunga bangkainya menemui kegagalan.
Namun kali ini, ternyata Peramal Maut mampu
mematahkannya. "Tak usah banyak omong, Peramal Maut!
Kau dulu yang membuka silang sengketa ini. Pantang bagiku untuk mundur dari pertarungan sebelum ada yang modar!"
"Memang itulah yang kuinginkan, Dewi
Bunga Bangkai! Kalau saja tidak mengingat kawan segolongan, pasti kau sudah mampus di tanganku. Sekarang, terimalah pukulan 'Gelap
Ngampar'-ku! Hea!"
Lagi-lagi Peramal Maut berteriak nyaring.
Sebelum gema teriakannya hilang, kedua telapak
tangannya sudah mendorong ke depan. Seketika,
dua larik sinar hitam legam melesat kembali.
Wesss! Wesss! Dewi Bunga Bangkai tak ingin kalah unjuk
gigi. Tak tanggung-tanggung, segera diraupnya
sepuluh buah bunga bangkai dari kantung kecil
yang menggantung di pinggang. Lalu disertai tenaga dalam penuh, tangannya segera dikibaskan,
membuat bunga-bunga bangkai kembali meluruk.
Werrr! Werrr! Teppp! Teppp! Seperti kejadian sebelumnya, sepuluh bunga bangkai dari tangan Dewi Bunga Bangkai tertahan di udara. Namun sejurus kemudian, kesepuluh bunga bangkai itu kontan berhamburan ke
samping. Bersamaan dengan itu, dua larik sinar
hitam legam milik Peramal Maut pun ambyar
memporak-porandakan apa saja yang ada di tempat pertarungan!
Sementara tubuh Peramal Maut sendiri
tampak terjengkang ke belakang dengan paras
pucat pasi. Napasnya terdengar memburu. Cepat
lelaki tua ini melompat bangun. Darah segar yang membasahi hidung segera dibesut
dengan punggung tangan.
Jauh di depan sana, tubuh Dewi Bunga
tampak masih berjumpalitan di udara. Namun
tanpa diduga-duga sama sekali, tiba-tiba tangannya kembali mengibas, melontarkan
kembali bunga-bunga bangkai senjata andalannya ke arah
Peramal Maut. Peramal Maut terkesiap bukan main.
Sungguh tak disangka kalau akan mendapat serangan demikian mendadaknya. Tanpa pikir panjang, tubuhnya segera dibuang ke samping.
Namun, serangan bunga-bunga bangkai
dari tangan Dewi Bunga Bangkai tak cukup sampai di situ. Laksana air hujan, puluhan bunga
bangkai itu terus mengejar sosok Peramal Maut
yang tengah sibuk menyelamatkan diri.
Werrr! Werrr! "Bajingan! Kau kira gampang merobohkanku, hah"! Tunggulah pembalasanku nanti, Gadis
Bengal!" Peramal Maut masih saja sibuk berjumpalitan di udara untuk
menyelamatkan sepotong
nyawanya. Kali ini tubuhnya sengaja dilempar
jauh ke samping, hingga serangan-serangan Dewi
Bunga Bangkai terus menerabas ke belakang,
menghantam batang-batang pohon di belakangnya. Classs! Classs!
Batang-batang pohon di belakang Peramal
Maut kontan berlobang, mengepulkan asap kekuningan yang menebarkan bau busuk bukan kepalang! "Jahanam! Kali ini aku tak segan-segan lagi untuk membunuhmu, Dewi Bunga
Bangkai! Jangan dikira aku takut mendengar nama besar gurumu! Makanlah aji 'Gada Akhirat'-ku! Hea!"
Diiringi teriakannya yang mengguntur, Peramal Maut segera mendorongkan kedua telapak
tangannya ke depan. Seketika dari kedua telapak tangannya telah berubah menjadi
kuning berkilauan menyemburat cahaya kuning berkilauan
yang disertai hawa dingin bukan main!
Wesss! Wesss! Dewi Bunga Bangkai menggeram penuh
kemarahan. Hatinya benar-benar penasaran melihat hasil serangannya yang hanya menghamburhamburkan bunga bangkai senjata andalan. Bahkan sedikit pun tak mampu melukai tubuh lawan.
"Jangan banyak membuat lagak, Peramal
Maut! Kau kira aku takut ancamanmu, he"!" Dewi Bunga Bangkai menjengekkan
hidungnya. Di akhir kalimatnya, murid Ratu Bangkai
dari Lembah Selaksa Kematian ini segera bersiap untuk mengerahkan pukulan
andalan. Begitu tenaga dalamnya dikerahkan, kedua telapak tangannya pun berubah kuning hingga pangkal lengan. Lalu diiringi teriakan merobek angkasa, kedua telapak tangannya segera
didorong ke depan
memapak pukulan Peramal Maut.
Wesss! Wessss! Blammm! Blammm!
Hebat bukan main bentrokan dua tenaga
dalam yang terjadi. Seketika tempat pertarungan dironai cahaya kuning yang
berkeredepan, sebelum akhirnya ambyar. Sementara di sana-sini
menyebar bunga api yang meletup-letup sebelum
Siluman Ular Putih 24 Wasiat Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
akhirnya menghanguskan rumput-rumput di sekitar pertarungan!
Peramal Maut berteriak menyayat saat tubuhnya tanpa ampun terbanting keras. Ia menggeliat-geliat sebentar, lalu segera melompat bangun dengan kemarahan
menggelegak. Kini tampak betapa piasnya wajah kasar lelaki tua itu.
Napasnya pun memburu dengan darah segar
membasahi hidung dan sudut-sudut bibir!
Tak jauh di hadapannya, Dewi Bunga
Bangkai tengah mengurut dadanya yang terasa
mau jebol akibat bentrokan tadi. Parasnya pun
pucat pasi, pertanda juga mengalami luka dalam
yang cukup lumayan. Untuk sesaat, gadis itu masih ngejoprak di tanah. Lalu, tangannya cepat
mengambil butiran-butiran kecil berwarna kuning di saku dan menelannya.
"Tak kusangka kau punya sedikit kepandaian, Dewi Bunga Bangkai. Tapi, tetap saja percuma. Jangankan menghadapi gadis
kemarin sore macam kau. Menghadapi gurumu si tua bangka
dari Lembah Selaksa Kematian itu, aku pun tak
gentar!" "Sungguh nyaring bicaramu, Peramal
Maut! Apa matamu buta" Menghadapiku saja,
kau masih kewalahan. Apalagi menghadapi guruku" Huh! Bahkan mendengar nama besarnya saja, mungkin kau sudah lari terbirit-birit!" ejek Dewi Bunga Bangkai sengit.
"Keparat! Jangan salahkan kalau aku terpaksa mencabut nyawamu, Gadis! Bersiapsiaplah menerima kematianmu hari ini!" dengus Peramal Maut berang.
Dewi Bunga Bangkai tersenyum angkuh.
Lalu sekali menggerakkan tubuhnya, murid Ratu
Bangkai itu telah melompat bangun.
Di hadapannya, Peramal Maut yang merasa
penasaran belum mampu merobohkan Dewi Bunga Bangkai merasa gusar bukan main. Berkalikali mulutnya menggereng penuh kemarahan.
Pandang matanya pun tampak demikian beringas,
seolah-olah ingin melumat gadis cantik di hadapannya lewat pandangan matanya.
"Majulah, Tua Bangka Keparat! Jangan banyak mengumbar omong!" tantang Dewi Bunga
Bangkai Sengit.
Geraham Peramal Maut bergemeletuk penuh kemarahan. Kedua telapak tangannya tampak kian kuning berkilauan hingga pangkal lengan, pertanda telah mengerahkan tenaga dalam
penuh. Sementara Dewi Bunga Bangkai pun tak
mau kalah gertak. Segera dipersiapkannya pukulan andalan. Namun belum sempat ada yang menyerang.... "Tahan serangan!"
10 Peramal Maut mendengus penuh kemarahan. Sepasang matanya yang mencorong beringas
segera dialihkan ke arah seorang laki-laki bertubuh tinggi besar berjubah besar
warna kuning yang telah berdiri di sampingnya.
"Gembong Kenjeran...!" desis Peramal Maut kesal bukan main. Si tua ini masih
mengira kalau laki-laki tinggi besar yang kini telah berdiri di hadapannya
adalah Gembong Kenjeran yang dulu.
Bukan Gembong Kenjeran yang telah berguru pada Eyang Pamekasan.
Dewi Bunga Bangkai pun menjengekkan
hidungnya. Seperti Peramal Maut, sinar matanya
pun amat memandang remeh Gembong Kenjeran.
"Mau apa kau mencampuri urusan kami,
hah"!" bentak Dewi Bunga Bangkai galak.
"Aku tidak akan banyak omong. Aku hanya
minta kalian untuk menjadi pembantuku. Sekarang juga, cepat cari Siluman Ular Putih dan Penyair Sinting!" kata Gembong
Kenjeran tak kalah gertak. Peramal Maut dan Dewi Bunga Bangkai
tertawa bergelak mendengar perintah Gembong
Kenjeran. Bagi mereka Gembong Kenjeran tak
ubahnya anak rusa menggertak harimau.
"Enak saja kau main perintah! Memangnya
kau ini siapa, hah"!" hardik Dewi Bunga Bangkai.
"Kau akan menyesal dengan ucapanmu,
Cah Ayu. Namun berhubung aku membutuhkan
mu, aku tak mungkin membunuhmu. Tapi setiap
saat, kau harus sudi melayaniku!"
"Puahhh! Enak benar caramu ngomong,
Setan! Bicaramu boleh sebakul. Tapi kepandaianmu perlu diuji dulu!" ejek Dewi Bunga Bangkai.
"Aku tak perlu tahu itu semua. Yang jelas, mulai sekarang juga kalian semua
harus menjadi pembantu-pembantuku yang setia!" tandas Gembong Kenjeran.
"Tundukkan dulu kami berdua, baru kami
mengakuimu sebagai pimpinan," tantang Dewi Bunga Bangkai.
"Kau mundur, Dewi Bunga Bangkai! Aku
sendiri sanggup meremukkan batok kepala manusia pongah ini!" sela Peramal Maut, seraya ma-ju beberapa langkah ke depan.
"Kau akan menyesal dengan ucapanmu,
Peramal Maut. Kenapa tidak kalian berdua maju
barengan saja?"
"Keparat! Justru kaulah yang akan menyesal telah bertemu Peramal Maut!" putus Peramal Maut.
Di ujung akhir kalimatnya Peramal Maut
yang memang sebenarnya sedang dibalur kemarahan memuncak segera menerjang Gembong
Kenjeran. Tidak tanggung-tanggung segera dikerahkannya pukulan andalannya 'Gelap Ngampar'.
Maka begitu kedua telapak tangannya berubah
menjadi hitam legam, segera dihentakkan ke depan. "Hea!"
Wesss! Wesss! Gembong Kenjeran menjengekkan hidung.
Angkuh. Sedikit pun hatinya tidak gentar menghadapi serangan lawan. Malah lelaki ini sempat
mengumbar suara tawanya yang bergelak. Dan
ketika jarak serangan Peramal Maut hanya tinggal beberapa jengkal dari tubuhnya,
segera dikerahkannya pukulan andalan 'Pelebur Bumi' yang baru saja dipelajarinya dari Eyang Pamekasan.
"Makanlah pukulan 'Pelebur Bumi'-ku!
Hea!" Gembong Kenjeran alias Gendon Prakoso segera menghentakkan kedua telapak
tangannya ke depan, membuat dua larik sinar hitam melesat dari kedua telapak tangannya.
Bummm! Bummm! Terdengar ledakan hebat saat dua larik sinar hitam milik Gembong Kenjeran berbenturan
dengan sinar hitam milik Peramal Maut. Seketika bumi berguncang hebat laksana
diguncang prahara! Sebagian tanah di tempat pertarungan terbongkar, membuat debu-debu beterbangan ke
udara! Dan akibat bentrokan tadi tubuh Peramal
Maut kontan terlempar jauh ke belakang. Lelaki
tua itu berputar-putar sebentar, lalu terbanting keras! Bukkk!
Peramal Maut mengerang tertahan. Tubuhnya menggeliat-geliat di tanah. Namun untuk
melompat bangun sudah tak berdaya lagi. Yang
bisa dilakukannya menggapai-gapaikan tangan ke
udara, lalu kembali ngejoprak ke tanah dengan
napas tersengal!
"Ha ha ha...! Kepandaian hanya sebatas
dengkul, berani jual lagak di hadapan Gembong
Kenjeran! Memalukan!" ejek Gembong Kenjeran tertawa puas melihat hasil
serangannya. Di tempatnya, Dewi Bunga Bangkai jadi
kecut nyalinya. Sungguh tidak disangka kalau Peramal Maut akan roboh di tangan
Gembong Ken- jeran hanya sekali gebrak saja.
"Bedebah! Rupanya lelaki bernama Gembong Kenjeran memiliki tenaga dalam tinggi seka-li. Hm...! Benar-benar tak
kusangka. Sekarang,
apakah aku harus lari meninggalkan tempat pertarungan" Tidak! Pantang bagiku lari dari tempat pertarungan sebelum menjajal
kehebatan lawan...," tegas Dewi Bunga Bangkai dalam hati.
"Sekarang giliranmu, Cah Ayu! Apa kau
punya nyali untuk menghadapiku?" tuding Gembong Kenjeran.
Kaki Dewi Bunga Bangkai tersurut setindak ke belakang. Hatinya pun sempat ciut mendengar bentakan Gembong Kenjeran.
"Apa gunanya aku belajar silat kalau takut menghadapi lawan" Tak ada pilihan
lain, aku ingin menjajal kehebatannya dengan menggunakan
bunga-bunga bangkaiku...," kata batin si gadis.
"Ha ha ha...! Rupanya kau sudah kehilangan nyali untuk menghadapiku, Cah Ayu" Rupanya kau sudah tidak sabar untuk menemaniku
tidur, he?" kata Gembong Kenjeran dengan tawa amat melecehkan Dewi Bunga
Bangkai. "Meski kepandaianmu setinggi langit, jangan dikira aku takut menghadapimu, Gembong
Kenjeran! Majulah kalau kau ingin merasakan
kehebatan bunga-bunga bangkaiku!" bentak Dewi Bunga Bangkai penuh kemarahan.
Sekali menggerakkan tangan di tangan
Dewi Bunga Bangkai telah tergenggam sepuluh
bunga bangkai yang baru saja diambil dari kantung kecil yang menggantung di pinggang.
"Boleh! Aku memang ingin menjajal seberapa tinggi kepandaianmu, Cah Ayu. Tapi lebih
dari itu, sebenarnya aku ingin sekali melihat apa kau juga hebat di atas
ranjang?" "Jaga bacotmu, Gembong Kenjeran! Kau
pikir mudah merobohkanku, he"!" hardik Dewi Bunga Bangkai, geram bukan main.
Saat itu juga, murid Ratu Bangkai dari
Lembah Selaksa Kematian ini segera menerjang
ganas. Jari-jari tangannya yang memegang sepuluh bunga bangkai segera dikibaskan ke depan,
mengarah ke bagian-bagian yang mematikan di
tubuh Gembong Kenjeran alias Gendon Prakoso.
Werrr! Werrr! Sepuluh bayangan kuning yang melesat
dari tangan Dewi Bunga Bangkai disertai bau busuk bukan kepalang mengancam keselamatan
Gendon Prakoso.
Tanpa ingin membuang-buang waktu,
Gembong Kenjeran segera mengerahkan aji
'Panglarut Banyu Putih' andalan Eyang Pamekasan. Memang Gembong Kenjeran harus cepat merobohkan gadis itu tanpa harus melukainya. Maka ia pun hanya mengerahkan sebagian tenaga
dalamnya. "Ha ha ha.... Heaaahh...!"
Diiringi tawanya yang bergelak, Gembong
Kenjeran segera menyambuti serangan Dewi Bunga Bangkai dengan mendorongkan kedua telapak
tangan ke depan. Saat itu pula melesat dua kabut tebal berwarna putih berkilauan
memapak serangan-serangan Dewi Bunga Bangkai.
Besss! Tak ada bunyi ledakan yang berarti. Namun hebatnya, sepuluh bunga bangkai Dewi
Bunga Bangkai kelihatan tertahan di udara dan
segera luruh ke tanah. Sedang dua gulungan kabut putih dari kedua telapak tangan Gembong
Kenjeran terus mendesak ke depan, langsung
membungkus tubuh Dewi Bunga Bangkai!
"Hap hap hap...!"
Dewi Bunga Bangkai megap-megap tak karuan. Sekujur tubuhnya menggigil hebat. Berkali-kali dicobanya untuk keluar dari
gulungan kabut putih yang membungkus tubuhnya. Namun
sayang, ia tak kuasa. Malah gulungan kabut putih itu makin kuat membungkus tubuhnya!
"Ha ha ha...! Percuma saja melawanku,
Cah Ayu. Sekarang kalian berdua harus takluk di bawah perintahku. Kau, Peramal
Maut! Dan kau Dewi Bunga Bangkai! Sekarang kalian berdua
adalah bawahanku! Paham"!" hardik Gembong
Kenjeran. Peramal Maut diam tak menyahut.
Dewi Bunga Bangkai yang baru saja terbebas dari gulungan kabut hanya megap-megap untuk beberapa saat. Tampak parasnya telah berubah pucat pasi. Namun jauh masih beruntung dibanding nasib Peramal Maut.
Meski demikian, gadis itu tetap tak mau
menggerakkan tubuhnya. Entah kenapa tubuhnya seperti kaku tak dapat digerakkan!
Melihat keadaan Dewi Bunga Bangkai yang
sekujur tubuhnya masih terbungkus kabut putih,
Gembong Kenjeran segera menarik telapak tangannya ke belakang. Mengagumkan! Kabut putih
yang menyelimuti tubuh Dewi Bunga Bangkai
kontan sirna. Sedangkan murid Ratu Bunga
Bangkai dari Lembah Selaksa Kematian itu tetap
kaku di tempatnya!
Kini Gembong Kenjeran melangkah mendekati Peramal Maut yang masih mengerang akibat
luka dalamnya. Tanpa banyak membuang-buang
waktu, segera ditotoknya beberapa jalan darah di tubuh lelaki tua itu
Tuk! Tukkk! Peramal Maut mengerang tertahan. Sekarang, peredaran darahnya terasa mengalir seperti semula. Hanya tinggal dadanya
saja yang masih
terasa sesak. "Cepat telan obat ini!" ujar Gembong Kenjeran, segera menyodorkan dua butiran
kecil ber- warna kuning ke hadapan Peramal Maut.
Peramal Maut sejenak memperhatikan lelaki yang sebenarnya bernama Gendon Prakoso
itu. Melihat pandang mata Gembong Kenjeran
yang beringas, buru-buru diraihnya dua butiran
Siluman Ular Putih 24 Wasiat Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kuning dan ditelannya.
"Nah! Kau telah menelan obat itu. Sekarang, kau harus secepatnya mencari Siluman Ular Putih dan Penyair Sinting. Kalau
tak kau kerja-kan, dalam jangka empat puluh hari kau akan
mati dengan cara amat mengerikan. Kau tahu!
Obat yang kau telan tadi adalah racun ganas yang perlahan-lahan akan
menggerogoti ususmu! Kalau kau tak dapat mencari keterangan tentang Siluman Ular
Putih dan Penyair Sinting dalam waktu yang kuberikan, jangan harap aku akan memberikan obat pemunahnya!" urai Gendon Prakoso, menyentak perasaan.
Paras Peramal Maut kontan pias. Ia langsung mengutuk dirinya yang terlalu bodoh, hingga dapat dikadali Gembong Kenjeran yang memberikan racun amat mematikan. Namun untuk
menolak perintah jelas terlambat. Tak ada pilihan lain. Peramal Maut pun
akhirnya menuruti.
"Lalu, di mana aku harus melaporkan kalau aku sudah mendapat keterangan mengenai
Siluman Ular Putih dan Penyair Sinting?" tanya Peramal Maut dengan napas
tersengal. "Kau bisa menemuiku di Hutan Kenjeran!"
"Baik."
"Nah! Kalau sudah tahu, sekarang berangkatlah! Kutunggu kedatanganmu di Hutan Kenjeran," ujar Gembong Kenjeran seraya mengibaskan tangan.
Peramal Maut cepat melompat bangun. Padahal, hatinya mencaci maki habis-habisan. Namun karena tak ada pilihan lain, tubuhnya segera
berkelebat cepat meninggalkan tempat itu tanpa
menoleh lagi ke belakang.
"Sekarang kau pun harus menjalankan perintahku, Dewi Bunga Bangkai," lanjut Gembong Kenjeran, lalu cepat melangkah
mendekati tubuh
Dewi Bunga Bangkai yang masih tegak kaku.
"Tugas apa yang akan kau berikan padaku,
Gembong Kenjeran?" tanya Dewi Bunga Bangkai, memendam gelegak amarah.
"Tugas yang pertama, kau harus melayaniku! Sedang tugas yang kedua, nanti bisa menyusul belakangan!"
'Tapi aku sedang terluka...."
"Aku tidak mau tahu! Pokoknya, kau harus
melayaniku!" sergah Gembong Kenjeran cepat.
Di ujung kalimatnya, Gembong Kenjeran
merengkuh bahu Dewi Bunga Bangkai. Tapi diam-diam, lelaki ini mengerahkan tenaga dalam
untuk memulihkan tubuh Dewi Bunga Bangkai
yang membeku. Setelah tubuh Dewi Bunga Bangkai sudah
dapat bergerak leluasa, Gembong Kenjeran segera merebahkan ke rerumputan.
Tangan-tangannya
yang kekar pun mulai sibuk menjamah sekujur
tubuh gadis yang memang berwatak jalang. Lalu.... 11 Hampir dua hari dua malam, Kakek Pikun
pun bersemadi untuk menyembuhkan luka dalamnya. Masih di bekas tempat pertarungannya
dengan Peramal Maut, sepagi ini Kakek Pikun
masih terus duduk bersemadi. Dari terangnya sinar matahari, tampak wajahnya tak lagi pucat seperti dua hari lalu. Jalan
pernapasannya pun mulai teratur. Ini jelas menandakan kalau luka dalamnya telah
sembuh. "Syukur. Akhirnya luka dalamku sembuh
juga...," desah Kakek Pikun dalam hati.
Perlahan-lahan lelaki tua pikun ini membuka kelopak mata. Agak silau matanya manakala sinar matahari tepat menyinari wajahnya. Buru-buru Kakek Pikun meletakkan sisi telapak
tangannya di atas kening.
"Menyesal sekali aku tak dapat menghentikan sepak terjang Peramal Maut. Tapi, apa boleh buat" Peramal Maut bukanlah
tokoh sembarangan. Aku mesti memperdalam ilmu silatku kalau
ingin menghentikan sepak terjangnya...," lanjut Kakek Pikun, membatin.
Kakek Pikun berniat menggeser duduknya.
Namun ketika hendak beringsut, tiba-tiba perutnya terasa melilit sekali. Memang, sudah dua hari dua malam perutnya belum
diisi. Kakek Pikun sejenak clingak-clinguk ke
sana kemari, lalu segera melompat bangun. Tujuannya yang pertama ingin sekali mencari bahan makanan untuk mengganjal
perutnya. "Pagi-pagi begini enaknya makan daging
kelinci panggang. Tapi, di mana aku dapat menemukan kelinci...?"
Lelaki tua pikun ini masih clingak-clinguk
di tempatnya. Matanya yang kelabu pun ikut jelalatan ke sana kemari,
memperhatikan semaksemak belukar. Tapi sayang, apa yang diinginkan tak terlihat. Jangankan seekor
kelinci. Seekor
semut pun tak kelihatan di tempat itu.
"Tobil! Ke mana aku harus menemukan kelinci-kelinci itu. Wah...! Kalau begini caranya, aku bisa menunda seleraku untuk
menyantap daging
kelinci panggang. Tapi, tunggu dulu. Tak baik kalau belum berusaha. Yah...!
Baiknya, aku memang harus mencarinya dulu. Kalau tak dapat,
baru makan seadanya," putus Kakek Pikun akhirnya. Saat itu juga Kakek Pikun
segera berkelebat menyusuri hutan itu untuk mendapatkan kelinci. Berkali-kali lelaki ini keluar masuk semak-semak belukar, namun tetap
saja tak menemukan
binatang buruannya.
"Yah...! Kalau begini caranya, tak ada pilihan lain. Terpaksa aku harus makan
seadanya. Buah-buahan juga bolehlah...."
Sejenak Kakek Pikun mendongakkan kepala ke atas. Matanya pun mulai sibuk memperhatikan buah-buahan di atas. Dan saat tengah memilih-milih, tiba-tiba hidungnya mencium bau
wangi seperti bau daging kelinci panggang. Seketika hidungnya kembang kempis.
Kepalanya pun dipalingkan ke camping mencari-cari asal bau barusan. "Ah...! Di sana! Baiknya
aku ke sana saja.
Siapa tahu orang yang sedang memanggang daging kelinci sudi membagi barang sepotong. Itu
kan lebih menyenangkan dibanding makan buahbuahan. Tapi, kalau tidak mau memberi bagaimana?" Kakek Pikun mendadak ragu-ragu. "Ah...!
Masa bodoh! Pokoknya aku harus mendapat daging kelinci itu. Kalau keberatan, aku akan merayunya. He he he...."
Lelaki tua ini tak ingin lagi berlama-lama
berkata sendiri. Terdorong keinginannya untuk
menyantap daging kelinci bakar, tubuhnya segera berkelebat ke arah datangnya bau
daging kelinci tadi. Tak selang berapa lama, akhirnya Kakek
Pikun pun menemukan tempat yang dimaksud.
Dari balik semak belukar lelaki ini mengintip.
Ternyata, orang yang tengah memanggang daging
kelinci tak lain adalah Siluman Ular Putih dan
Ratu Adil. Tampak dua anak muda itu tengah
asyik menyantap daging kelinci sambil menunggui bagian yang belum matang.
Melihat siapa yang tengah memanggang
daging kelinci, langsung saja Kakek Pikun bersorak gembira. Tanpa banyak pikir,
lelaki tua ini segera melompat keluar dari semak belukar, bagai bocah menemukan
mainan baru. "Apa benar, sobat-sobat mudaku! Tak kusangka kita akan bertemu di sini, ya?" sapa Kakek Pikun.
Sambil tersenyum-senyum mata tua si kakek tak henti-hentinya memperhatikan Siluman
Ular Putih dan Ratu Adil yang tengah menyantap
daging kelinci panggang. Tanpa sadar air liurnya hampir menetes.
"Oh...! Rupanya kau, Kakek Pikun! Ayo sini, Kek! Kenapa malu-malu" Apa tidak ingin ikut menikmati daging kelinci?"
sambut Ratu Adil ramah. Senyumnya pun ikut terkembang di bibir.
"Mau! Mauuu...!" kata batin Kakek Pikun, semangat.
"Ayo, Kek! Jangan malu-malu! Nanti keburu disikat habis temanku yang rakus ini!" tuding Ratu Adil ke arah Siluman Ular
Putih. "Oh...! Jangan dihabiskan!" teriak Kakek Pikun tak dapat menyembunyikan
perasaan. Malah dengan langkah buru-buru segera didekatinya Ratu Adil dan
Siluman Ular Putih. Ia duduk men-jejeri Siluman Ular Putih dan tangannya
langsung memotes paha daging kelinci panggang.
Ratu Adil dan Siluman Ular Putih yang melihat ulah Kakek Pikun hanya tersenyum-senyum
saja. Tanpa malu-malu lagi, Kakek Pikun segera menyantap paha kelinci di
tangannya lahap. Malah, lebih lahap dibanding Siluman Ular Putih dan Ratu Adil.
Maklum sudah dua hari dua malam
perutnya belum diisi. Maka tak heran kalau jatahnya lebih dulu dihabiskan. Namun untuk menambah, lelaki tua ini malu-malu. Hanya dipandanginya Siluman Ular Putih dan Ratu Adil yang
masih mengunyah daging kelinci penuh minat.
"Mau nambah?" tanya Siluman Ular Putih.
Kakek Pikun mengangguk malu-malu.
Soma dan Ratu Adil tersenyum.
"Ambil saja kalau masih lapar! Jangan malu-malu. Kek!" ujar Soma masih diiringi senyum.
"Iya, Kek. Kenapa malu-malu sih" Ambil
saja sesuka hatimu," timpal Ratu Adil.
Tanpa malu-malu lagi Kakek Pikun segera
memotes bagian daging kelinci panggang lainnya, lalu mengunyahnya lahap-lahap.
Tak cukup hanya memakan dua potong, kembali dipotesnya
bagian daging kelinci panggang itu hingga habis tinggal tulang-belulang.
Siluman Ular Putih sejenak saling berpandangan dengan Ratu Adil. Entah, apa makna
pandang mata mereka.
"Maaf, aku menghabiskan makan kalian,"
ucap Kakek Pikun malu-malu.
"Sudahlah! Kenapa diributkan soal makanan?" tukas Siluman Ular Putih kemudian.
"Oh, ya, Kek" Sebenarnya kau mau ke mana?" tanya Ratu Adil.
"Aku.... Aku.... Oh, ya" Aku ingin mencari Hantu Tangan Api. Tapi, katanya dia
sudah mati,"
sahut si kakek.
"Kata siapa?" goda Siluman Ular Putih.
"Kau kan yang bilang dua hari lalu. Tapi,
perempuan berpayung itu juga ngomong begitu.
Aku jadi bingung. Pada siapa aku harus meminta
pertanggungjawaban atas tewasnya muridku?"
keluh Kakek Pikun.
"Kau tadi menyebut-nyebut perempuan
berpayung. Apa kau telah bertemu Putri Hijau?"
tanya Soma dengan kening berkerut.
"Ah, ya! Perempuan berpayung itu memang
Putri Hijau," sahut Kakek Pikun senang. "Tapi sayang, kami malah sempat
bentrok." "Kenapa?"
"Aku yang salah. Aku yang memulai duluan. Untung saja, Putri Hijau tak mau meladeni.
Ia pergi begitu saja meninggalkanku."
"Hm...! Itu memang lebih baik daripada saling bersilang sengketa," ujar Ratu
Adil. Kakek Pikun mengangguk perlahan.
"Sekarang kau sendiri mau ke mana, Kek?"
tanya Ratu Adil lagi.
Kakek Pikun menggeleng perlahan. "Aku
tidak tahu. Mungkin aku akan kembali saja ke
Gunung Slamet. Aku sudah bosan berpetualang."
"Kalau begitu, selamat berpisah, Kek! Kami pun akan melanjutkan perjalanan,"
kata Soma. "Kalian mau ke mana?" tanya si kakek, memandangi bergantian dari wajah Soma
berpindah pada Ratu Adil.
"Kami akan mencari seseorang yang bernama Gendon Prakoso. Tolong kalau kau bertemu
orang yang kami maksud, cepat beri tahu kami!"
jelas Ratu Adil.
"Ya ya ya...." Kakek Pikun mengangguk-angguk kepala mirip burung beo.
Siluman Ular Putih dan Ratu Adil pun segera berkelebat meninggalkan tempat itu. Dalam
beberapa kelebatan saja sosok mereka telah
menghilang di kerimbunan depan sana.
"Eh...! Kenapa aku tidak menanyakan tentang Hantu Tangan Api" Apakah ia benar-benar
sudah mati apa belum" Huhhh! Kenapa aku jadi
lupa?" desah Kakek Pikun seraya menepuk-nepuk jidatnya sendiri. "Tapi Putri
Hijau dan bocah gondrong itu pernah ngomong kalau Hantu Tangan
Api sudah mati. Benarkah" Kalau benar, apa yang harus kulakukan?"
Kakek Pikun jadi kebingungan sendiri. Lalu
telapak tangan kanannya menopang dagu, sedangkan telapak tangan kiri menopang siku tangan kanan. "Kukira omongan Putri Hijau dan bocah
gondrong itu benar. Tak mungkin mereka membohongiku. Jadi, tak ada gunanya aku melanjutkan perjalanan ini. Baiknya, aku pulang saja ke tempat pertapaanku di Gunung
Slamet...."
Di ujung kalimatnya, Kakek Pikun segera
melompat bangun. Sejenak pandangannya beredar ke sekeliling. Sepertinya, masih ada keragu-raguan yang menyelimuti hatinya.
"Ah...! Aku harus secepatnya kembali ke
puncak Gunung Slamet," desah Kakek Pikun, lalu segera berkelebat cepat
meninggalkan tempat itu.
Namun baru saja beberapa tombak....
"Tahan langkahmu, Kambing Tua!"
12 Kakek Pikun terkesiap kaget dan langsung
menghentikan langkahnya. Kepalanya cepat ber
Siluman Ular Putih 24 Wasiat Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
paling ke arah datangnya suara. Ternyata tak
jauh dari tempat itu telah berdiri dua sosok tubuh. Yang berdiri di sebelah
kanan adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi besar. Jubahnya
besar berwarna kuning. Rambutnya yang gondrong dibiarkan awut-awutan tak terawat. Dari
parasnya yang kasar, jelas sekali menyiratkan kekejian menggiriskan. Apalagi
ditambah sepasang
mata yang mencorong liar.
Di sebelah kiri adalah seorang gadis cantik.
Usianya kira-kira dua puluh tahun. Pakaiannya
yang ketat berwarna kuning menampakkan lekuk-lekuk tubuhnya yang menantang. Sedang
rambutnya yang hitam panjang digelung ke atas.
"Siapa kalian" Tak ada hujan, tak ada angin memakiku, Kambing Tua?" tanya Kakek Pikun menatap tajam dua sosok di
hadapannya yang tak
lain Gembong Kenjeran dan Dewi Bunga Bangkai.
"Ketahuilah, Kambing Tua! Aku adalah
Gembong Kenjeran. Sedang temanku yang cantik
ini bergelar Dewi Bunga Bangkai. Paham?" sahut Gembong Kenjeran, angkuh.
"Lalu, kalian mau apa" Kenapa menghadang langkahku?" tuntut Kakek Pikun curiga.
"Ada dua permintaan yang harus kau penuhi. Pertama, kau harus takluk di bawah perintahku. Kedua, kau harus segera mencari keterangan tentang Siluman Ular Putih!"
"Cih! Enak saja main perintah! Kau pikir
aku ini apamu, hah"!" hardik Kakek Pikun mulai tak dapat mengendalikan amarah.
"Kalau begitu, kau harus menebusnya dengan nyawa!" putus Gembong Kenjeran.
Tokoh sesat dari Hutan Kenjeran yang sebenarnya tengah melanjutkan perjalanan menuju
tempat persembunyiannya di Hutan Kenjeran itu
mulai bersiap-siap melancarkan serangan. Kedua
telapak tangannya kini telah berubah menjadi
kuning hingga pangkal lengan.
"Tunggu! Sebenarnya kalian mau apa mencari-cari Siluman Ular Putih?" cegah Kakek Pikun heran. "Wasiat Kematian Eyang
Pamekasan telah dititahkan padaku. Aku harus secepatnya menghentikan sepak
terjang Siluman Ular Putih dan
Penyair Sinting."
"Pamekasan" Kau menyebut-nyebut pertapa sesat berhati iblis itu" Apa hubunganmu dengan tua bangka keparat itu, he"!"
"Tutup mulutmu, Kambing Tua! Kau tak
pantas memaki guruku!" dengus Gembong Kenjeran, meledak-ledak.
"Oh...! Jadi tua bangka berhati iblis itu gurumu" Pantas! Kalau gurunya berhati
iblis, tentu muridnya berhati setan" Aku tak sudi takluk di
bawah kekuasaanmu. Apalagi, membantumu untuk mencari Siluman Ular Putih. Cari saja sendiri kalau kalian bisa!"
"Kalau begitu tak ada gunanya kita bicara panjang lebar. Kau memang patut modar
di tanganku, Manusia Tak Berguna!" putus Gembong Kenjeran penuh kemarahan.
Gendon Prakoso alias Gembong Kenjeran
bersiap menerjang Kakek Pikun dengan kedua telapak tangan yang telah berubah menjadi kuning.
"Tahan. Kakang!"
Dewi Bunga Bangkai yang telah merubah
panggilannya terhadap Gembong Kenjeran segera
mencekal pergelangan tangan lelaki itu.
"Biarkan aku yang menghajar tua bangka
tak berguna itu, Kakang?"
Gembong Kenjeran memandang gadis itu
sekilas. Tampak sekali kalau hatinya ragu-ragu
membiarkan Dewi Bunga Bangkai bertarung melawan Kakek Pikun.
"Jangan khawatir, Kakang! Aku pasti dapat
mengatasi tua bangka tak berguna itu."
Gembong Kenjeran akhirnya mengangguk.
"Hati-hati, Dewi! Tampaknya ilmu tua bangka itu tak boleh dipandang ringan."
"Aku tahu, Kakang," sahut Dewi Bunga
Bangkai, seraya memperlebar senyum. Lalu kakinya segera melangkah beberapa tindak berhadap-hadapan dengan Kakek Pikun.
"Sungguh sayang, kenapa bukan manusia
pongah itu yang maju, hah"!" dengus Kakek Pikun. "Jangan banyak bacot, Tua
Bangka Keparat! Langkahi dulu mayatku kalau ingin menghadapi Kakang Gembong Kenjeran!" bentak Dewi Bunga Bangkai, garang.
Di akhir bentakannya, murid Ratu Bangkai
dari Lembah Selaksa Kematian itu segera menerjang ganas Kakek Pikun. Tangannya cepat merogoh saku, mengambil bunga-bunga bangkainya
yang beracun. Lalu dengan tenaga dalam penuh
segera dilontarkannya senjata andalan itu ke arah Kakek Pikun.
"Hm...! Pasti kau ada sangkut pautnya
dengan Ratu Bangkai dari Lembah Selaksa Kematian itu. Bagus! Kalau begitu tak percuma kalau aku harus melenyapkanmu, Cah
Ayu.... Hup...!"
Kakek Pikun segera melenting tinggi ke
udara, membuat lima bunga bangkai itu terus
menerabas ke belakang, menghantam batang pohon di belakang Kakek Pikun. Seketika batangbatang pohon yang terkena sambaran bungabunga bangkai milik Dewi Bunga Bangkai langsung berlobang, mengepulkan uap tipis kekuningan! Sementara itu, Kakek Pikun yang tubuhnya masih melayang di udara segera melancarkan
serangan balasan. Kedua telapak tangannya segera dihantamkan ke bawah, menciptakan dua
rangkum angin keras yang disertai hawa dingin
bukan kepalang siap melabrak tubuh Dewi Bunga
Bangkai. Werrr! Werrr! Dewi Bunga Bangkai sempat melengak kaget. Namun bukan berarti harus kehilangan akal.
Begitu melihat datangnya serangan, tubuhnya segera dibuang ke samping. Bahkan ia masih sempat melontarkan bunga-bunga bangkai ke arah
serangan angin milik Kakek Pikun.
Plek! Plekkk! Lima buah bunga bangkai milik Dewi Bunga Bangkai kontan luruh ke tanah begitu bertemu dua rangkum angin keras dari
kedua telapak tangan Kakek Pikun. Namun akibatnya, tanah rerumputan langsung mengepulkan uap tipis kekuning-kuningan, begitu terkena bunga-bunga
bangkai. Sampai di sini Kakek Pikun dari Gunung
Slamet sadar kalau bunga-bunga bangkai milik
murid Ratu Bangkai itu mengandung racun keji.
Dan itu membuatnya harus lebih berhati-hati
dengan tidak menangkis langsung bunga-bunga
bangkai itu. Dewi Bunga Bangkai penasaran bukan
main. Dua kali melontarkan serangan maut, namun belum juga menemui hasil. Bagaimanapun
juga senjata andalannya harus dihemat agar tak
sampai habis. Maka mau tak mau ia harus mengerahkan pukulan andalan gurunya 'Memetik
Bunga Mengirim Racun'. Dan begitu tenaga dalamnya dikerahkan, kedua telapak tangannya
langsung berubah kuning hingga pangkal lengan.
"Makanlah pukulan mautku, Tua Bangka
Keparat! Hea!"
Dikawal bentakan nyaring, Dewi Bunga
Bangkai segera menyentakkan kedua telapak tangan ke depan. Tak dapat ditahan lagi, dua larik sinar kuning segera meluncur
dari kedua telapak tangannya siap melabrak tubuh Kakek Pikun.
Wesss! Wesss! Kakek Pikun tak kehilangan akal. Segera
dikerahkannya pukulan andalan 'Bayu Bajra'.
Maka begitu kekuatan tenaga dalamnya telah terhimpun, kedua telapak tangannya segera dihentakkan ke depan. Akibatnya, dua rangkum angin
dingin yang disertai suara menggemuruh langsung melesat, melabrak dua larik sinar kuning
milik Dewi Bunga Bangkai.
Pesss! Blarrr! Terdengar ledakan hebat di udara ketika
terjadi benturan dua kekuatan dahsyat. Seketika tempat pertarungan jadi terang
benderang. Bumi
terguncang hebat laksana diguncang prahara.
Ranting-ranting pohon berderak, begitu terkena
angin sambaran. Daun-daunnya pun hangus terbakar, sebagian lainnya membeku!
Bak layangan putus tali, tubuh Dewi Bunga terpental jauh ke belakang. Gadis itu berputar-putar sebentar, sebelum
akhirnya terbanting keras di tanah. Brakkk! Dewi Bunga Bangkai mengerang tertahan.
Wajahnya pucat pasi. Napasnya pun tersengal
hebat. Sementara, guncangan dalam dadanya terasa tak tertahankan dan....
"Hoeeekh!"
Darah merah kekuning-kuningan kontan
menyembur keluar dari mulut Dewi Bunga Bangkai. Buru-buru tangannya menekan dada kuatkuat. Seolah-olah dengan cara itu, ia ingin menindih guncangan dalam dadanya. Namun, tetap
saja gadis itu tak sanggup.
"Mundur, Dewi! Biar aku yang menghadapi
tua bangka keparat ini!"
Tiba-tiba Gembong Kenjeran menggeram
penuh kemarahan. Sekali menghentakkan kakinya ke tanah, tubuhnya telah berdiri di depan Kakek Pikun.
"He he he...! Kenapa tidak dari tadi kau
melawanku, Gembong Kenjeran" Sekarang setelah kekasihmu roboh, baru kau turun tangan.
Untung saja aku tidak membunuhnya!" ejek Kakek Pikun.
Gembong Kenjeran mendengus murka. Napasnya memburu saking tak tahan menindih gelegak amarahnya.
"Setan alas! Kau harus membayar mahal
atas penghinaan ini, Tua Bangka Keparat!"
Bukan main geramnya hati Gembong Kenjeran saat itu. Tanpa basa-basi lagi hendak diterjangnya Kakek Pikun dengan
serangan dahsyat.
Tidak tanggung-tanggung pukulan andalannya
'Pelebur Bumi' pun dikerahkan, membuat kedua
telapak tangannya jadi hitam legam hingga pangkal lengan. "Hea!"
Bersamaan bentakannya, Gembong Kenjeran menghentakkan kedua tangannya. Dua larik
sinar hitam legam pun melesat dari kedua telapak tangannya. Tapi dengan gerakan
cepat luar biasa, Kakek Pikun telah melompat ke samping meng-hindari serangan.
Brakkk! Batang pohon yang jadi sasaran serangan
Gembong Kenjeran kontan tumbang. Daundaunnya berguguran dalam keadaan hangus terbakar! Debu-debu pun membubung tinggi memenuhi tempat itu, hingga menghalangi pandangan.
Gembong Kenjeran menggereng bak kerbau
mau disembelih. Matanya jelalatan ke sana kemari, mencari-cari sosok Kakek Pikun di balik debu-debu yang membubung tinggi.
"Hey, Babi Kuning! Aku di sini!" panggil Kakek Pikun bernada mengejek, makin
membuat amarah Gembong Kenjeran berkobar.
Gembong Kenjeran segera berpaling ke
arah datangnya suara. Dilihatnya orang tua pikun dari Gunung Slamet itu tengah
kipas-kipas tangan sambil menyilangkan satu kaki ke kaki lainnya di atas sebuah batu.
"Bajingaaaaannnn...!!! Demi iblis tak
mungkin kubiarkan hidup lebih lama lagi, Tua
Bangka Keparat!"
Layaknya orang kesurupan, Gembong Kenjeran yang tak dapat lagi mengendalikan amarah
segera menerjang beringas Kakek Pikun. Tidak
tanggung-tanggung, segera dikerahkannya ajian
'Setan Kober'. Begitu tenaga dalam dikerahkan,
dari kedua telapak tangannya menyembul bayibayi hitam dengan kedua bola mata berwarna merah saga! Sedang tangan-tangan bayi hitam itu
menjulur-julur, ke arah tubuh Kakek Pikun!
Sejenak Kakek Pikun dari Gunung Slamet
terpana saat turun dari batu besar yang diduduki. Lelaki ini seperti tidak tahu apa yang harus diperbuat. Namun ketika
menyadari bahaya maut
mengancam, segera kedua telapak tangannya dihentakkan ke depan. Seketika dua rangkum angin dingin melesat dari kedua telapak tangannya melabrak sosok-sosok mengerikan
bayi-bayi hitam itu!
Besss! Bukan main kagetnya hati Kakek Pikun.
Ternyata, serangannya tidak membawa hasil.
Bahkan tangan-tangan hitam bayi aneh dari kedua lengan Gembong Kenjeran terus menjulur ke
depan, mencengkeram tubuh si tua dari Gunung
Slamet itu kuat-kuat!
"Auukhhh...!!!"
Kakek Pikun melenguh tertahan. Tanpa
ampun tubuhnya kontan mengejang-ngejang hebat, namun dicobanya untuk bertahan. Dengan
kekuatan tenaga dalam penuh, dicoba melepaskan cengkeraman tangan-tangan bayi hitam
itu. Namun sayang, hasilnya hampa. Apalagi, tangan-tangan bayi malah kian kuat
mencengkeram tubuhnya. Rrekkk! Krekkk!
Siluman Ular Putih 24 Wasiat Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aaaakhhh...!"
Terdengar tulang-tulang dalam tubuh Kakek Pikun remuk tercengkeram tangan-tangan
bayi hitam. Lelaki tua itu kontan menjerit hebat.
Rasa nyeri yang tak terhingga semakin hebat menyerang dirinya.
"Sekaranglah saatnya kau modar di tanganku, Tua Bangka Keparat!" dengus Gembong Kenjeran.
Tanpa buang-buang waktu lagi, Gembong
Kenjeran segera melemparkan tubuh Kakek Pikun
ke batang pohon di hadapannya.
Wesss! Tanpa ampun, tubuh Kakek Pikun langsung terbanting deras ke samping. Ketika tinggal beberapa jengkal sebelum
menghantam batang
pohon, mendadak berkelebat cepat sesosok
bayangan hijau dari semak belukar.
Tap! Cepat disambarnya tubuh Kakek Pikun.
Lalu hanya dalam sekejapan mata, sosok bayangan hijau itu pun telah menghilang dari hadapan Gembong Kenjeran.
"Bajingaaaan...! Siapa yang berani bermain gila dengan Gembong Kenjeran, hah"!"
bentak Gembong Kenjeran mengkelap. "Ayo, Dewi! Kita kejar mereka!"
Gembong Kenjeran segera menyambar tubuh Dewi Bunga Bangkai. Dan mereka segera
berkelebat, menyusul sosok bayangan hijau tadi
yang membawa tubuh Kakek Pikun dari Gunung
Slamet. SELESAI Segera terbit: RAHASIA KALUNG PERMATA HIJAU
https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
Scan/PDF: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Document Outline
RAHASIA KALUNG PERMATA HIJAU
Dendam Dan Asmara 3 Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Telapak Emas Beracun 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama