Ceritasilat Novel Online

Adipati Bukit Sekarat 2

Suro Bodong 11 Adipati Bukit Sekarat Bagian 2


berteriak dari atas bukit:
"Itu dia...! Itu dia orang yang membunuh tiga hari
kemarin...! Dayang Kunti. Tangkap dia. Tangkap Dayang Kunti.
Tangkap dan serahkan kepadaku, tapi hati-hati... jangan sampai dia menangis.
Kasihan, kan..."!"
Tak satu pun ada yang menghiraukan seruan Suro Bodong.
Mereka sibuk mengepung Dayang Kunti. Perempuan itu
kelihatannya cukup tenang menghadapi Gembong Wilwo yang
berbadan besar dan kekar. Ia tidak gentar sekalipun beberapa orang mengepungnya,
membuat satu lingkaran pertarungan.
"Di mana Anom Winingrat yang keparat itu"! Aku ingin
berhadapan dengannya!" gertak Dayang Kunti sambil mengibaskan rambutnya yang
meriap ke depan. Ia berdiri dengan kaki sedikit direndahkan dan bambu hitam
sebagai senjatanya siap ada di tangan kanan. Bambu hitam dan kecil itu
kelihatannya sangat sederhana, namun Suro Bodong tahu bahwa bambu itulah dulu
yang dipakai melukai kedua prajurit di depan asrama prajurit.
"Sebaiknya kau menyerah,Dayang Kunti!" Gembong
mencoba menggertak. Dayang Kunti semakin melebarkan senyum.
"Suruh Adipatimu maju. Hanya dia yang kuinginkan!"
"Dia ada di atas bukit."
Dayang Kunti hanya tersenyum sinis sekali lagi. Lalu ia
berkata sebelum menyerang, "Kuhancurkan kepalamu sebagai bukti tuntutanku...!
Hiaaat...!"
Gembong Wilwo segera melompat tinggi ketika Dayang
Kunti menyodokkan bambu sumpitannya ke arah perut Gembong
Wilwo. Sambil melompat, kaki Gembong Wilwo menendang wajah Dayang Kunti. Namun,
tangan kiri Dayang Kunti mengibas,
membuat tendangan Gembong tertangkis. Segera Gembong bersalto sambil mencabut
cambuknya. Begitu kaki mendarat di tanah, maka ia pun mengibaskan cambuk dengan
cepat. "Tarr...! Tarr...!"
Ganti Dayang Kunti yang berjumpalitan di udara
menghindari lecutan cambuk Gembong yang selalu mengeluarkan api pada ujungnya
jika dicambukkan. Dengan lincah dan gesit tubuh ramping berdada menantang itu
meliukkan badan sewaktu
melayang, kakinya menyepak ke belakang dan wajah Gembong
Wilwo menjadi sasaran kaki itu.
"Aahh...!" Gembong Wilwo terjengkang dan jatuh terduduk dengan pandangan mata
berkunang-kunang. Tendangan itu cukup berat dan memusingkan kepala.
Sebelum Gembong Wilwo melanjutkan serangannya, Kebo
Botak segera menyerang setelah berkata:
"Kurobek isi perutmu. Iblis. Heaaat...!!"
Lompatan Kebo Botak diiringi dengan meluncurnya pedang
yang diarahkan ke Dayang Kunti. Tetapi, Dayang Kunti tidak mengelak, melainkan
justru ikut melompat dalam keadaan tubuh melayang menyambut kehadiran Kebo
Botak. Gaun biru mudanya berkelebat bagai selendang bidadari. Dayang Kunti
segera bersalto saat tubuh mereka hampir bertabrakan. Gerakan salto membuat
Dayang Kunti melejit ke atas, menjadi melayang di atas Kebo Botak.
Pada saat itu, pedang Kebo Botak tidak mengenai sasaran. Tertusuk ke tempat
kosong di depannya. Namun, Dayang Kunti sempal
memasukkan bambu kecilnya ke mulut dan "Pubbh...!"
Dari mulut itu keluar jarum hitam yang melesat melalui lobang bambu kecil. Jarum
tersebut tepat mengenai ubun-ubun Kebo Botak yang polos tanpa rambut.
"Jluub...!" Seakan jarum sebesar paku itu masuk ke batok kepala dengan empuknya.
Kebo Botak memekik tertahan:
"Aaakhh...!"
Tubuh Dayang Kunti kembali mendarat ke tanah. Sebuah
sinar hijau melesat dari tangan Ki Ageng Bentaran. Sinar hijau itu berbentuk
seperti cakram atau piring bergerigi. Arahnya jelas ke tubuh Dayang Kunti.
Tetapi, perempuan itu agaknya sangat
waspada, sehingga dengan bergulingan ke tanah ia berhasil
menghindari sinar hijau yang melesat dari telapak tangan Ki Ageng itu. Sinar
tersebut lolos, dan menghantam prajurit lain yang sedang bersiaga dalam barisan
mengepung. Kontan prajurit itu jebol dadanya. Bolong dengan keadaan yang sangat
mengerikan. Ia rubuh tanpa sungkan-sungkan lagi, dan mati secara mengerikan.
Padahal, ketika itu orang sibuk memperhatikan tubuh Kebo
Botak yang malas bergerak, dan mengeluarkan asap dari tubuhnya, ia terlentang
tanpa memikirkan tempat kotor, ia bisu tanpa suara apa pun kecuali pekikan
tertahan sewaktu ubun-ubunnya terkena senjata tajam yang keluar dari lobang
sumpit. Lalu, tubuh Kebo Botak pun latah, mengikuti teman-temannya; menjadi
hitam. Hangus tanpa api. Dan ia pun sudah tentu enggan bernafas lagi.
Mati. Baju dan celananya masih utuh, hanya tubuhnya yang mati hangus.Merinding
mereka memperhatikan hal itu dengan jelas.
Sementara, Dayang Kunti melompat ke kiri, menghindari cambukan Gembong Wilwo
yang berseru: "Kuhancurkan tubuhmu yang mulus. Iblis Betina..."!!
Heaaat!?"Tar...! Tar...! Tarrr...! Tuaar...!" " Cambuk melecut kian ke mari
bagai membabi buta. Nyala api selalu mengiringi setiap lecutan cambuk. Dayang
Kunti bagai kepompong lincah yang melejit kian ke mari dengan gerakan salto dan
lompatan yang ringan. Bahkan dalam keadaan melompat dan bersalto, ia sempat
melancarkan serangannya dengan meniup bambu kecil itu cukup kuat. Dua jarum
melesat dari ujung lobang bambu, keduanya terarah pada Ki Ageng Bentaran.
Tetapi, lelaki tua itu gesit. Ia memiringkan kepala dan badan ke samping, dan
kedua jarum itu molos, melewati atas
pundaknya dengan cepat, lalu menancap pada batu hitam sebesar tubuh Suro yang
ada di belakang Ki Ageng. Jarum itu dapat
menancap pada batu yang keras dengan tancapan enak, empuk.
Lalu, batu itulah yang jadi berasap dan mengeluarkan bau tak sedap.
Semacam bau belerang.
Segera Dayang Kunti mengibaskan bambu kecilnya ke atas
kepala ketika cambuk Gembong melesat persis ke arah wajahnya.
Dayang Kunti merunduk dan mengibaskan bambunya ke atas dan cambuk Gembong pun
membelit kuat bambu tersebut. Gembong
bermaksud menarik bambu itu dalam satu hentakan supaya terlepas dari tangan
Dayang Kunti. Sayang, tangan Dayang Kunti terlalu kokoh, kuat memegang bambunya.
Mereka akhirnya saling tarik dengan otot menegang. Ki Ageng memanfaatkan keadaan
itu untuk menyerang Dayang dengan pukulan Gledek Jagatnya yang
memancarkan api berbentuk piringan bergerigi. Dayang segera melengkungkan badan,
sehingga aji Gledek Jagad itu melesat dari tubuhnya, lalu menuju Gembong Wilwo.
Mata Gembong Wilwo terbelalak kaget. Ia buru-buru
menghentakkan kaki, melompat ke atas menghindari sinar hijau muda itu. Pada saat
tubuhnya melayang. Dayang Kunti segera menghentakkan bambunya yang masih dililit
ujung cambuk. "Ciaaat...! Hahh...!!"
Pekikan Dayang Kunti itu sungguh mengagetkan Gembong
Wilwo, sebab pada saat itu Gembong menjadi terkejut dengan mata bertambah
membelalak. Cambuk di tangan Gembong tersentak dan terlepas dari genggamannya
sambil Gembong tersentak ke depan.
Kini, dengan gerakan tangkas Dayang Kunti menangkap gagang cambuk itu sambil
bergulingan di udara beberapa kali. Karena pada saat itulah, Ki Ageng Bentaran
menyerangnya dengan sebaris pukulan tenaga dalam atau ilmu Gledek Jagad secara
beberapa kali. "Kali ini kau modar, Setan Perempuan...!!" seru Ki Ageng Bentaran. Namun, ia
sendiri akhirnya kebingungan, sebab semua serangannya meleset karena kelincahan
gerak Dayang Kunti. Di lain pihak, Gembong Wilwo semakin tegang dan kebingungan,
karena setiap ia hendak bergerak ia selalu saja menerima sasaran akhir dari aji
Gledek Jagadnya Ki Ageng. Ia pun ikut sibuk menghindar, sebab Dayang Kunti
sengaja menempelkan posisi tubuhnya di depan
Gembong Wilwo, supaya kalau aji Gledek Jagad meleset akan
menghantam tubuh Gembong Wilwo tanpa Dayang Kunti harus
melakukan pembunuhan kepada Gembong.
Rupanya Gembong tahu siasat Dayang Kunti sehingga ia
berlari menjauh dan menjauh sehingga posisinya ada di samping Ki Ageng Bentaran.
Dayang Kunti tak mu diam. Ia berseru, "Mana Adipatimu"!
Kala ia tak mau menghadapi aku, biarlah aku akan membantai semua warga Kadipaten
Damarita ini! Hiaaat..." Seraya menyerang, Dayang Kunti melirik Suro Bodong yang
masih menjadi penonton di atas bukit. Ia tahu, itu bukan Adipati yang menurut
kabar yang didengarnya, kini Suro Bodong diangkat menjadi Adipati. Namun Dayang
tidak peduli apakah Suro mau jadi Adipati apa jadi orang-orangan sawah, yang
penting ia harus berhadapan dengan Adipati yang asli.
"Sekarang giliranmu menerima kembalian cambuk ini!" kata Dayang Kunti.
"Hiaaah...!!"
Tak seorang pun mengira Dayang Kunti trampil memainkan
jurus-jurus cambuk, bahkan rupanya ia lebih mahir ketimbang Gembong Wilwo.
Dayang Kunti melecutkan cambuknya tiga kali ke sasaran Gembong Wilwo. Gerakannya
begitu cepat sehingga tidak sempat terlihat mata.
Gembong Wilwo tersenyum, karena mengira Dayang Kunti
tak becus melecutkan cambuk. Tak ada suara dan kibasan angin yang terasa.
Tetapi, beberapa detik kemudian, setelah ujung cambuk jatuh di tanah, barulah
terdengar suara letupan cambuk: "Tar... tar.
tarr...!" Gembong Wilwo terkejut, karena pada saat itu pun ia merasakan ada
kibasan angin yang menghantam tubuhnya. Setiap satu letupan yang berbunyi, satu
kibasan terasa hendak menyentuh perutnya. Gembong Wilwo menjadi kelabakan.
Tetapi letupan yang kedua dan ketiga, terpaksa membuat Gembong Wilwo berteriak
nyaring karena kakinya bagai disabet ujung cambuk yang menyala.
Paha dan betis terlihat menganga.
"Aaaooww...! Bangsaaat...!!" Gembong Wilwo mengaduh sambil mencaci. Ia merasakan
sakit yang amat menyerikan dan hampir-hampir tak tahan untuk bernafas.
Semua orang terbengong melihat jurus cambuk yang
dimainkan Dayang Kunti. Kecepatan gerakannya melebihi
kecepatan angin dan suara. Hal ini membuat Ki Ageng Bentaran jadi tertegun
beberapa saat. Ia mulai menduga;
"Jangan-jangan dulu waktu aku bertarung melawannya, dia hanya mengeluarkan
sebagian ilmunya dan berpura-pura mati"
Wah, bisa runyam kalau begini keadaannya. Ah, tapi dia belum tahu kalau aku
memiliki ilmu Barong Bangkai yang bisa membuatnya tak berkutik. Haruskah
kukeluarkan sekarang?"
Selagi Ki Ageng Bentaran memikir-mikir, tahu-tahu cambuk
itu melecut lagi, kali ini arahnya ke kepala Ki Ageng Bentaran. Suara letupan
dan kibasan angin datang beberapa detik kemudian. Tetapi Ki Ageng sudah waspada,
ia segera melompat ke tempat lain sebelum suara letupan berbunyi. Akhirnya,
cambukan itu pun bagai tidak mengenai sasaran.
Pada saat itu, segera Ki Ageng mengirimkan pukulan
andalannya, aji Gledek Jagad. Kedua telapak tangannya dihentakkan ke depan dan
melesatlah dua sinar hijau muda yang menyerupai piring bergerigi berputar-putar.
Dayang Kunti tidak menghindar, melainkan menyambutnya dengan dua lecutan cambuk,
sehingga kedua sinar hijau itu membentur api lecutan cambuk sampai
menimbulkan ledakan dua kali.
Bertepatan dengan bunyi ledakan yang kedua, seorang
prajurit menyerang Dayang Kunti dari belakang.
"Aauuh...!!" tubuh Dayang Kunti tersentak ke depan dan jatuh tersungkur.
Tapi, ia segera berguling dan mengibaskan cambuk kearah
prajurit yang hendak menyerangnya lagi itu.
"Tarr...!"
Satu kali cambukan cukup membuat prajurit itu menjerit
dengan sekeras-kerasnya lalu jatuh pingsan dalam keadaan kakinya terpotong satu.
Lecutan cambuk telah membuat kaki orang itu terpotong dengan irisan tak teratur
dan cukup mendirikan bulu roma yang melihatnya.
Suro Bodong di atas bukit hanya bergidik, seperti anak
kemarin sore yang baru melihat hal mengerikan seperti itu. Tetapi mulutnya
menjadi latah ketika Dayang Kunti hendak di bokong lagi oleh Gembong Wilwo. Saat
itu, Gembong Wilwo menghunus
pedangnya yang sejak tadi bertengger di pundak. Pedang itu hendak mengibas ke
arah kepala Dayang Kunti dari belakang. Secara tak sadar mulut Suro Bodong
berseru: "Awaaas...!!"
Dayang Kunti segera berbalik, tepat ketika pedang
berkelebat menebaskan dari atas ke bawah. Tanpa pikir panjang lagi Dayang Kunti
menggerakkan tangan kanannya yang telah
memegangi bambu kecil sebesar kelingking. Kemudian dengan
bantuan tangan kirinya yang memegangi cambuk, bambu itu melin-tang di atas
kepalanya dan menahan pedang Gembong dengan
cukup kuat. Kaki Dayang Kunti segera menjejak dada Gembong, hingga Gembong pun
terpental ke belakang. Jauh. Kesempatan itu digunakan Dayang Kunti untuk
melesat, keluar dari kepungan, dan terus mendaki bukit sampai kepuncaknya dalam
tempo singkat. Suro Bodong terbelalak, karena ia telah berhadapan dengan Dayang Kunti. Ia
gemetar tak dapat lari. Dayang Kunti segera menotok iga Suro, dan Suro pun jadi
lemas. Lalu, dengan kuat ia mengangkat Suro membawanya pergi dari bukit.
4 Suro Bodong dibebaskan dari pengaruh totokan darah yang
melemaskan tubuh. Mata Suro berkejap-kejap memandang bingung alam sekitarnya.
Ternyata ia sudah berada di dalam sebuah goa.
Dinding goa sangat kasar, banyak tonjolan-tonjolan batu yang berkelompok. Ada
dua batang obor besar yang menerangi goa
tersebut dengan posisi menempel pada dinding kanan kiri.
Sementara itu, di bagian tengah terdapat pula tempat perapian yang menyemburkan
api ke atas dengan tenang. Tempat perapian itu berbentuk seperti mangkuk besar,
atau penggorengan besar dalam keadaan terbuka ke atas, dan di sanalah api itu
bagai ditampung dalam bentuk gumpalan-gumpalan batu. Agaknya batu bara yang
menjadi bahan bakar api tersebut.
Mata Suro Bodong yang ketolol-tololan itu memandang
sekeliling, lantai goa yang rata dan beberapa perabot batu yang berserakan di
sana sini. Juga ada tempat lega yang berlantai dari tumpukan jerami kering.
Diatur dengan rata, dan saling merekat satu dengan yang lain. Tumpukan jerami
itu seperti tikar diben-tangkan dan berwarna kusam, menandakan sudah lama
dipakai entah untuk tidur, untuk duduk atau untuk diinjak-injak.
"Di mana aku..." Aku di mana...?" Suro Bodong merasa sendirian dan ketakutan. Ia
clingak clinguk bagai orang yang tersesat di tengah hutan. Tapi beberapa saat
kemudian, muncul seorang perempuan dari balik penyekat yang terbuat dari kayukayu pohon yang berjajar rapi, membentuk sebuah kamar khusus. Ada dua penyekat
di sana, dan salah satunya berbentuk kamar dengan pintu kayu tersendiri.
Perempuan bergelang kaki mendekati Suro Bodong.
Menyadari siapa yang mendekat. Suro Bodong semakin ketakutan, dan bahkan ia
segera berlutut merendahkan diri. Ia tahu,
perempuan itulah yang bernama Dayang Kunti. Ia teringat secara samar-samar
kehebatan Dayang Kunti sewaktu bertarung melawan orang-orang Kadipaten
Damardita. Suro menjadi ngeri dan
ketakutan. Ia pun memohon-mohon:
"Jangan bunuh saya... oh, ampunilah Eyang... jangan bunuh saya..."
"Namamu Suro Bodong, bukan?" suara Dayang Kunti begitu bening dan berwibawa.
"Ya. Mungkin nama saya memang Suro Bodong, sebab
beberapa orang memanggil saya Suro Bodong. Nama yang jelek.
Tapi... tapi ampunilah saya. Saya tidak sengaja membikin nama itu.
Jangan bunuh saya...."
"Kau tak perlu takut, Suro Bodong. Kau ada bersamaku."
"Bagaimana tidak takut, saya... saya... pernah melihat Eyang membunuh orang-orang Kadipaten dengan mudah. Padahal mereka berilmu
semua. Sedangkan saya... saya ini tidak punya ilmu apa-apa kecuali persediaan
ilmu tentang cara makan dengan benar. Ohh, maafkan saya... Eyang."
"Jangan panggil aku Eyang! Panggil aku Dayang. Namaku Dayang Kunti."
"Kata mereka memang begitu. Dayang Kunti nama Eyang,
tapi... tapi saya tidak berani menyebut Kanjeng Eyang tanpa sebutan Eyang...."
Dayang Kunti tersenyum geli. "Kau harus berani, Suro. Kau punya keberanian yang
sempat kutaklukkan dengan ilmu Jarum Kilatku."
"Apa saya punya keberanian seperti... Eyang Kunti?"
"Ya. Bahkan kau lebih perkasa sebenarnya. Aku tidak tahu kalau kaulah yang
bernama Suro Bodong. Aku mengira, kau adalah jagoan yang dicari-cari oleh


Suro Bodong 11 Adipati Bukit Sekarat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Adipati Anom untuk menangkapku.
Ternyata aku salah duga. Kau seorang Senopati Kesultanan Praja yang cukup
terkenal...."
Suro bingung sendiri dan memandang tubuhnya dengan
terbengong-bengong. "Apanya yang terkenal" Hem... kumis saya?"
Nafas Dayang Kunti terhempas. Ia duduk di sebuah tempat
tidur kayu yang beralaskan ilalang kering dengan dilapisi kain hitam. Suro
Bodong masih berlutut di depannya.
"Kau sebenarnya seorang Senopati yang sangat digdaya.
Kesaktianmu kondang di mana-mana. Semua tokoh persilatan
mengenal siapa kamu, Suro Bodong. Hanya saja, beberapa waktu yang lalu kau
lengah dan mampu terkena jarum kilat yang
kusemburkan atau kutiupkan dari mulutku melalui bambu sumpit.
Akibatnya, kau menjadi bodoh. Lupa dirimu, lupa pada
kesaktianmu."
Suro Bodong kini duduk bersila, seperti mendengarkan
ceramah seorang guru. Ia memandang kagum terhadap kecantikan Dayang Kunti yang
mempunyai nilai keindahan tersendiri. Kulitnya hitam manis. Tidak terlalu hitam.
Malah bisa dibilang: berkulit sawo matang. Namun justru kelentikan bulu matanya
itulah yang memberi kesan cantik tersendiri. Apalagi bentuk wajahnya lonjong sedikit dengan
tahi lalat di pinggir bibir, wow...! Mendebarkan juga wajah itu.
Kebengongan Suro Bodong disingkirkan, karena Dayang
Kunti berkata lagi:
"Lain kali, berhati-hatilah dalam bertindak. Jarum Kilat merah itu sebenarnya
sebuah lambang, bahwa orang yang lupa diri itu sangat berbahaya, dan bisa
mencelakakan hidup kita."
"Untung saya tidak lupa diri. Buktinya ke mana-mana saya masih ingat membawa
diri saya, tidak ketinggalan di suatu tempat,"
kata Suro Bodong dengan bangga, seakan ia bicara dengan benar.
Hal itu membuat Dayang Kunti tersenyum lagi.
"Sekarang, mendekatlah..." kata Dayang Kunti. Suro menjadi ragu. "Mendekatlah ke
mari. Jangan takut, aku akan mengembalikan ingatanmu, supaya kau kembali perkasa
dan tidak menjadi bulan-bulanan orang Kadipaten Damardita."
"Saya tidak akan dibunuh, kan?" tanya Suro dalam ketololan. Dayang Kunti
tersenyum manis sambil menggeleng.
Kemudian, Suro Bodong bergeser duduknya pelan-pelan
mendekati Dayang Kunti yang masih berada di tepian balai.
"Miringkan lehermu ke kiri," perintah Dayang Kunti.
Suro Bodong sangsi dan cemas.
"Mau diapakan leher saya, Eyang..." Nanti jangan-jangan Eyang Kunti mencabut
pisau lalu leher saya diukir... saya tidak mau mati dengan leher diukir, Eyang."
Mengikik geli Dayang Kunti melihat ketololan Suro Bodong
yang berwajah polos, seperti orang yang tidak punya pengetahuan sama sekali.
"Percayalah, aku tidak akan berbuat jahat apa pun
kepadamu. Justru aku merasa bersalah karena menyerangmu tanpa dosa. Aku salah
duga. Dan... sudah kujelaskan di depan tadi, kan"
Maka, sekarang aku akan mengembalikan dirimu, supaya kau tidak menjadi tolol
serta dungu seperti saat ini. Sebab, barang siapa tubuhnya ditembus Jarum Kilat
merah, maka ia akan menjadi orang dungu seumur hidup. Tapi, jika terkena Jarum
Kilat hitam, ia akan mati hangus. Nah, sekarang mari kubebaskan pengaruh jarum
yang membuatmu dungu...."
"Ah, tidak perlu," kata Suro seraya mundur lagi. "Saya dari dulu memang tidak
dungu kok. Hanya tidak tahu apa-apa saja kok."
Setelah melalui beberapa bujukan lembut dan akrab, Suro
Bodong pun segera memberikan lehernya. Sambil bergidik
merinding, Suro Bodong meringis-ringis ketika Dayang Kunti memeriksa leher Suro
Bodong. Ia bagai sedang membuka-buka pori-pori Suro Bodong, mencari tempat
masuknya Jarum Kilat merah yang menembus leher Suro Bodong ketika ditiupkan
lewat bambu sumpit. Cukup lama juga hal itu dilakukan sehingga leher Suro
beberapa kali mengkerut karena tak tahan keri.
"Nah, ini dia... sudah kutemukan tempat masuknya jarum itu," kata Dayang Kunti.
Suro Bodong menghempas lega dan hendak pergi seraya berkata:
"Terima kasih... saya telah disembuh kan...."
"Hei, hei, mau ke mana" Aku belum melakukan
penyembuhan, hanya menemukan tempat masuknya jarum merah
saja." "O, belum..." Saya kira sudah sembuh," kata Suro seraya kembali duduk dengan
tenang, namun sesekali menahan geli hingga kulit tubuhnya menjadi merinding
karena sentuhan jemari Dayang Kunti. "Tahan rasa geli sedikit, ya...?" kata
Dayang Kunti. Kemudian, ia segera menempelkan kedua bibirnya ke leher Suro Bodong dan menyedot
tempat masuknya jarum dengan hisapan
lidah cukup kuat. Suro Bodong meringis-ringis dengan gerak-gerak tubuh yang kaku
menahan rasa geli. Ia bergidik beberapa kali dengan mulut ternganga menyerukan
tawa yang terkekeh tak
beraturan. Dayang Kunti masih menyedot leher Suro Bodong untuk mengambil jarum
merah yang terbuat dari gumpalan tenaga
dalamnya. Sedotan itu sempat membuat Suro Bodong terengah-engah.
Ia merasakan ada bagian tubuhnya yang bergerak akibat sedotan bibir Dayang
Kunti. Mata Suro terpejam-pejam dan mulutnya pun mendesis-desis. Pikirannya
melayang-layang dan ia mulai terlena dalam amukan gairah di dalam dada. Ia
mengeluh bercampur desis, tapi Dayang Kunti tidak peduli. Cukup lama juga Dayang
Kunti menyedot leher Suro Bodong untuk mengambil jarumnya. Bahkan cara
penyembuhan itu sempat membuat keringat Suro Bodong
bercucuran di beberapa tempat. Ada bagian tertentu yang menjadi basah karena
rasa syur tersebut. Terutama di bagian kening dan dada. Basah oleh keringat yang
tak tahu diri. Ketika Dayang Kunti melepaskan sedotannya, ia menjauhkan wajah dari leher Suro. Senyumnya mekar menertawakan Suro Bodong yang terengah-engah lemas. Rasa
pusing masih menggerayangi kepala Suro Bodong perlahan-lahan.
Rasa syur hilang sedikit demi sedikit.
"Jarum itu telah berhasil kusedot dan kembali pada dirimu, Suro...." Tiba-tiba
mata Suro Bodong terbuka, ia terkejut menyadari keadaannya. Ia clingak clinguk
lagi dengan tegang, dan buru-buru berdiri.
"Kenapa aku berada di sini"! Dan... dan kau siapa"' tanyanya kebingungan. Dayang
Kunti tenang, sebab ia sudah tahu kalau Suro Bodong akan mengalami kekagetan
seperti itu. Lalu, dengan sabar dan penuh keramahan. Dayang Kunti menceritakan
apa yang dialami Suro Bodong selama ini.
Dengan memejamkan mata, Suro Bodong mengingat-ingat
kembali apa yang telah diceritakan Dayang Kunti. Sedikit demi sedikit ia
terbayang saat disuruh menggali kuburan, saat ditendang dan dicambuk, saat
dipenjara, saat disuruh menjadi Adipati...
semuanya teringat dalam kesamar-samaran. Tetapi, kemudian Suro Bodong
mengangguk-angguk sendiri, seakan telah paham dengan apa yang pernah di alaminya
selama ini. Ia terbaring di balai kayu sambil merenungkan nama-nama
dan wajah-wajah orang Kadipaten Damardita. Ia mencoba
mengingat-ingat suara-suara dan percakapan mereka. Itu lebih susah, dari pada
mengingat kejadian. Beberapa saat lamanya ia termenung sambil terbaring,
akhirnya ia temukan juga beberapa perkataan dan pembicaraan mereka yang pada
dasarnya ingin membunuh Dayang Kunti. Suro Bodong tak sempat berpikir lebih lanjut lagi, karena
kelelahan tubuhnya telah menyeretnya ke dunia mimpi yang indah. Ia tertidur
dengan nyenyak, sementara Dayang Kunti sudah sejak tadi masuk ke kamar berpintu.
Ketika pagi menongolkan bias fajar, Suro Bodong sudah
terbangun. Tapi ia masih enggan turun dari pembaringan. Ia masih teringat
siksaan dan cercaan yang dilakukan orang-orang Kadipaten Damardita. Ia menggeram
teringat Gembong Wilwo mencambuk
tubuhnya saat ia dipaksa menggali sebuah makam. Semakin geram Suro Bodong ketika
ia terngiang kata-kata Ki Ageng Bentaran yang menuduhnya sebagai orang gila,
yang punya maksud licik. Ia juga terbayang kenyerian tendangan Kebo Botak,
tamparan Cocak Soga yang bagai seorang pembunuh berdarah dingin. Ia juga
terbayang keangkuhan Adipati Anom Winingrat yang dengan seenaknya ingin
mengumpankan Suro sebagai pancingan atas kemunculan Dayang Kunti. Tetapi ia juga
ingat pertemuannya dengan Dandang Kober di dalam kamar penjara.
Suro Bodong terkejut ketika mendengar suara letupan
beberapa kali dari arah luar gua. Dahinya berkerut dan telinganya
menyimak tajam-tajam. Suara letupan cambuk. Dalam hati Suro menduga; janganjangan orang Kadipaten telah menemukan tempat persembunyian Dayang Kunti ini"
Maka, segera Suro Bodong,
bergegas keluar goa.
O, ternyata di luar goa ada seorang perempuan berkulit
sawo matang sedang berlatih jurus-jurus cambuk. Dayang Kunti berdiri dengan kaki
renggang, badan sedikit miring ke kanan, dan tangannya mengayunkan cambuk ke
sebuah pohon berukuran
sebesar paha. Cambuk diayunkan dan pohon itu pun tumbang
terkena lecutan cambuk. Suro tahu, pasti tenaga dalam Dayang Kunti yang
disalurkan melalui kibasan cambuk itulah yang
membuat robohnya pohon. Diam-diam Suro Bodong menyimak
latihan Dayang Kunti sambil dalam benaknya berpikir: mengapa Dayang Kunti ingin
bertarung satu lawan satu dengan Adipati Anom Winingrat. Dendam apa yang membuat
perempuan itu nekad membunuh beberapa prajurit, bahkan seingat Suro, orang yang
bernama Waduk Kumis dan Kebo Botak telah mati hangus di tangan Dayang Kunti.
Tetapi, agaknya yang menjadi sasaran utama adalah Adipati Anom Winingrat.
Mengapa harus dia" Mungkinkah karena Anom Winingrat seorang Adipati sehingga
Dayang Kunti ingin menguasai Kadipaten dengan cara membunuh Adipatinya" Ah, tapi
ketika ada kabar yang sengaja digembar gemborkan bahwa Suro Bodong diangkat
menjadi Adipati Damardita, tak ada niat untuk menbunuh Suro. Dayang Kunti
malahan membawa Suro ke goa
tempat persembunyiannya itu.
Sejenak Suro melupakan tentang itu, karena kali ini ia
melihat Dayang Kunti memainkan jurus cambuk yang manis.
Kakinya bersilang pada mata kaki dengan posisi berdiri dengan ujung kaki.
Berjingkat ia meliukkan badan ke samping, kedua tangannya merentang, dan tangan
yang memegangi ujung cambuk ikut menari, sementara tangan yang memegangi gagang
cambuk tetap diam. Lalu, dengan hentakan ujung cambuk itu dilecutkan.
Suaranya tak ada, lalu ujung cambuk dipegang lagi. Sesaat
kemudian terdengar suara cambuk: "Taar...!" Dan sebatang pohon ukuran sedang,
roboh hampir saja menimpa Dayang Kunti sendiri.
Segera Dayang Kunti melesat dengan bersalto ke belakang. Sikapnya bagai
ketakutan kejatuhan pohon. Dan hal itu membuat Suro
Bodong terkekeh-kekeh geli. Dayang Kunti jadi tersenyum malu setelah menyadari
Suro Bodong memperhatikannya dari tadi.
"Kau membuatku malu saja," kata Dayang Kunti ketika Suro Bodong mendekat.
"Cukup mengagumkan juga permainan cambukmu," Suro sengaja memujinya. Dayang
Kunti semakin tersipu, karena ia tahu siapa Suro Bodong sebenarnya: tokoh
persilatan yang cukup kesohor dengan Pedang Urat Petirnya.
Tapi..." kata Dayang, "... mungkin belum seberapa dibandingkan dengan jurusjurus Pedang Urat Petirmu."
"Hai, kau mengenal pusakaku juga rupanya?"
"Siapa orang yang tidak mengenal pusaka yang amat
menakjubkan itu" Hanya orang bodoh dan masyarakat awam saja yang tidak bisa
memahami apa itu Pedang Urat Petir."
Suro Bodong garuk-garuk kumis. Pandangan matanya
terlempar jauh, pada pepohonan yang bagai menutup adanya goa di situ. Lalu,
mulutnya berkata dengan tanpa memandang Dayang Kunti: "Tempat yang sangat cocok
untuk memperdalam ilmu.
Sudah berapa lama kau berada di sini?"
"Lebih dari dua puluh tahun. Usiaku sendiri sudah..."
"Dua puluh tujuh ?" tebak Suro Bodong.
Dayang Kunti tersenyum, "Terlalu muda untuk usia
perempuan seperti aku."
"O, jadi... usiamu sudah mencapai 40 tahun?"
"Terlalu tua untuk perempuan seperti aku."
"Memang terlalu tua. Tapi biasanya yang tua itu banyak santannya," kata Suro
Bodong tanpa tersenyum, melainkan hanya garuk-garuk kumisnya yang tebal.
Sementara itu, Dayang Kunti masih menyunggingkan senyum yang sempat membuat Suro
Bodong berdesir-desir.
"Sejak usia sepuluh tahun aku berada di sini bersama
guruku: Dewa Bongkok."
Suro Bodong terperanjat sedikit, dan menatap Dayang
Kunti. Ia merasa heran mendengar nama Dewa Bongkok.
"Aku kenal dengan Dewa Bongkok. Aku pernah bertemu
dengannya, tapi di mana dan kapan, aku tidak ingat. Jadi... kau murid Dewa
Bongkok, orang sakti yang suka jadi pengemis itu?"
"Benar," jawab Dayang Kunti dengan rasa bangga terhadap kemasyhuran gurunya yang
sudah almarhum itu.
Suro Bodong manggut-manggut. Dayang Kunti memainkan
jurus cambuknya sekali lagi, karena ia masih berkeinginan memper-mainkan jurus
itu. Ia bersalto sambil berteriak, dan cambuknya mengibas cepat di depan kaki
Suro, tepat melewati atas rumput tebal. Ketika Dayang Kunti mendaratkan kakinya
dengan sempurna, rumput itu menjadi gundul seketika, dan berasap karena
terbakar. "Hebat...! Sungguh jurus yang manis dan hebat!" kata Suro sambil bertepuk
tangan. "Kau ada bakat jadi kusir delman, he,he,he...!"
"Iih...!" Dayang Kunti cemberut di sela senyum gelinya.
Kemudian Suro Bodong melompat dengan gerakan cepat. Ia
menerjang Dayang Kunti, sementara Dayang Kunti bersalto dalam satu lompatan yang
tinggi. Ia mengungguli lompatan Suro Bodong yang tidak bersalto. Tetapi ketika
ia mendaratkan kakinya, perempuan itu jadi terbengong karena cambuk sudah tidak
ada ditangannya.
"Cepat sekali kau mengambil cambukku"!" Dayang Kunti tertawa bangga.
Suro Bodong tersenyum tipis dan garuk-garuk kumisnya
seraya memperlihatkan cambuk yang sudah beralih ke tangannya.
"Aku ingin mencoba permainan cambuk seperti yang kau
mainkan tadi," kata Suro Bodong.
"Silahkan...! Hati-hati pada tekanan di ujung cambuk dan perhatikan pula
hentakannya. Jangan terlalu berlebihan. Cukup sedikit hentakan tapi dibarengi
hawa panas yang tersalur lewat ujung jari." Dayang Kunti menjelaskan, Suro
Bodong hanya manggut-manggut.
Kemudian ia memainkan jurus cambuk di tangan memutarmutarkan cambuk itu di atas kepalanya.
Tepat pada putaran
ketujuh, cambuk itu di lecutkan ke arah sebuah pohon besar.
"Taar...!"
Letupan itu terdengar bersamaan melecutnya cambuk. Jadi,
tidak seperti Dayang Kunti yang mampu melecutkan cambuk
dengan suara menyusul. Melihat hal itu, Dayang Kunti tertawa geli.
Suro Bodong memandang pohon besar yang tadi dicambuknya.
Pohon itu tetap berdiri kokoh, tak ada yang lecet bagian kulitnya.
Dayang Kunti mendekati Suro Bodong

Suro Bodong 11 Adipati Bukit Sekarat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sambil menertawakan dengan suara yang enak di dengar.
"Hentakanmu terlalu kuat, Suro. Menggunakan jurus
Cambuk Gegana tidak boleh menggunakan gerakan kuat. Pelan saja.
Coba, sini kuberi contoh...."
Dayang Kunti memegang gagang cambuk, Suro Bodong
memperhatikan dengan tenang, seakan sangat tekun mengikuti petunjuk Dayang
Kunti. "Gerakan lengan dan siku tidak perlu sampai di belakang telinga. Cukup
pergelangan tangan saja yang menghentak, diiringi penyaluran hawa panas dari
jari jemari kita yang menggenggam cambuk. Perhatikan ini, nah... begini."
Pergelangan tangan Dayang Kunti
menekuk ke belakang, sementara jari-jemarinya menggenggam cambuk. Namun, mendadak Dayang Kunti tak jadi
bicara lagi ketika ia berkata:
"Kalau posisi..."
Sampai di situ ia bungkam, namun segera terperangah
memandang daun-daun pohon besar yang rindang itu kini
berguguran. Pohon yang tadi dicambuk Suro Bodong menampakkan perubahan. Selain
daunnya yang kecil-kecil itu semakin berguguran, ranting-rantingnya pun mulai
mengering dan juga berjatuhan.
Untung mereka tidak berdiri tepat di bawah pohon tersebut.
"Gila...!" gumam Dayang Kunti ketika mengetahui bahwa pohon itu sudah tidak
mempunyai daun lagi selembar pun. Semua daun gugur dan menjadi kering. Kini
tinggal dahan dan ranting-rantingnya yang menyusul kering lalu berjatuhan. Pohon
yang dicambuk Suro Bodong menjadi gundul. Plontos. Tanpa daun, tanpa ranting.
Tinggal beberapa dahan kecil seukuran betis dan dahan besar lainnya. Tetapi,
mulut Dayang Kunti semakin terperangah lagi, karena dahan kecil itu kini juga
kering dan berjatuhan dengan ringan. Akhirnya batang pohon yang besar itu
menjadi kering, lalu keropos. Badan pohon dihempas angin tipis berguguran
seperti menjadi bubuk halus. Lama-lama batang pohon besar itu pun roboh tanpa
suara, karena sebelum menyentuh tanah batang pohon itu sudah hancur menjadi
serbuk halus. Dayang Kunti benar-benar tercengang, kemudian memandang Suro Bodong yang tenang-tenang saja. Sesekali Suro menggaruk kumisnya
seraya memperhatikan tempat lain. Dayang Kunti merasa malu. Terkecoh oleh
kesaktian Suro Bodong yang ternyata lebih unggul dari pada jurus Cambuk
Gegananya. Maka, dengan menggumam Dayang Kunti pun berkata:
"Tak ada lagi kesaktianmu yang mampu mengecohku?"
Suro Bodong seperti orang tak berdosa, tenang. Bahkan
berkata: "Jadi bagaimana mengenai pergelangan tangan tadi...?"
"Uuuh...!" Dayang Kunti cemberut. Pura-puranya sewot.
Cambuk dibuang ke tanah, dan ia pergi menuju goa.
"Dayang Kunti...! Aku suka jurus Cambuk Geganamu!" seru Suro Bodong. Tapi Dayang
Kunti tidak menyahut. Lalu, Suro
Bodong memungut cambuk itu dan mengejar Dayang Kunti masuk ke dalam goa.
Cepat sekali waktu merayap menjadi sore. Suro Bodong dan
Dayang Kunti membakar jagung yang diperolehnya dari sebuah ladang, jauh dari goa
tersebut. Sambil membakar jagung kesukaan Suro, Dayang Kunti berkata:
"Nanti malam aku akan kembali ke Kadipaten Damardita."
"Mengapa cari penyakit di sana?" pancing Suro Bodong sambil mengunyah jagung
bakai yang sudah matang.
"Aku harus berhadapan dengan Adipati Anom Winingrat!"
Suro Bodong menangkap gelagat dendam di hati Dayang
Kunti. Sambil santai, sebentar-sebentar garuk-garuk kumis, Suro bertanya dengan
polos. "Kau menyimpan dendam apa dengan Adipati itu"
Kelihatannya cukup sengit."
"Kau belum tahu, siapa dia!" Dayang Kunti cemberut.
"Kalau kau mau menceritakan siapa dia, aku pasti akan tahu siapa dia. Betul,
kan?" Suro menanggapinya dengan santai, supaya Dayang Kunti tidak terbakar
hatinya oleh dendamnya sendiri.
"Kau harus tahu siapa aku lebih dulu, baru kau tahu siapa Adipati Anom itu."
"Aku mengharapkan kau menceritakan siapa kamu." Suro duduk bergeser lebih
mendekati Dayang Kunti. Lalu ia setengah berbisik berkata:
"Ceritakanlah, siapa kamu. Barangkali aku bisa membantu kesulitanmu."
Setelah beberapa saat Dayang Kunti terbungkam, ia berkata
sambil mengangkat jagung-jagung yang sudah hampir hangus.
"Namaku sebenarnya bukan Dayang Kunti...."
"Lalu, siapa" Juminem, Ngatinah atau... Sarmijem?"
Dayang Kunti tidak tertarik untuk menertawakan kelakar
Suro Bodong. Ia semakin dongkol, namun segera berkata:
"Aku putri seorang sultan...."
Suro Bodong menampakkan rasa kagetnya sungguhsungguh. Ia memandang Dayang Kunti dengan dahi berkerut.
"Kau boleh percaya boleh tidak, aku memang putri seorang raja. Ayahku bernama
Sultan Yodyagama, raja dari Pakuwon."
Dayang Kunti diam sejenak. Suro Bodong serius, baru Dayang Kunti melanjutkan
ceritanya: "Namaku sebenarnya adalah: Anggraeni. Aku anak bungsu.
Pada saat sebelum aku lahir, ayahku mengambil anak angkat yang bernama Temon.
Beberapa tahun kemudian, kakakku lahir dan
diberi nama Raden Mas Pambayun. Lalu, lahir lagi kakak kedua yang di beri nama
R.M Arya Ginan. Dan, yang terakhir adalah aku sendiri: Anggraeni. Setelah kami
dewasa, rupanya timbul
keserakahan dari Temon, si Anak Angkat. Kami bertiga diberi warisan tanah yang
amat luas dan bernama Tanah Damar Ombo.
Saat itu, ayah tidak menceritakan soal warisan untuk Temon. Maka, secara diamdiam dan dengan dibantu oleh Ki Penegak, penasehat perang ayahku, Temon
menjalankan keserakahannya. Dengan cara halus yang rapi kedua kakakku mati satu
persatu. Kemudian, Temon juga menyingkirkan aku, sebab dengan matinya semua
anak-anak ayahku, maka tanah Damar Ombo akan diwariskan
kepadanya. Waktu itu, seorang prajurit yang sudah bersekongkol dengannya
mengawalku belajar memanah di hutan. Pada saat
sebelumnya aku mendengar Temon memberi perintah kepada
prajurit itu untuk membunuhku di hutan, lalu menceburkan
tubuhku ke jurang. Tetapi, ketika kami berdua di hutan, aku segera memisahkan
diri dari prajurit itu. Aku, yang masih berusia 10 tahun, segera melarikan diri
ke mana saja, sampai akhirnya aku bertemu dengan si Dewa Bongkok dan diangkat
menjadi muridnya. Aku
menetap di goa ini yang sukar di temukan siapa saja."
Suro Bodong manggut-manggut dalam gumam. Ia
mengajukan pertanyaan sambil mengunyah jagung:
"Lalu, Temon sendiri bagaimana?"
"Aku mendengar kabar, Temon juga meracuni kedua orang tuaku setelah orang tuaku
menyerahkan tanah Damar Ombo
kepadanya. Waktu itu, banyak musuh yang mengincar negeri
Pakuwon karena kesuburannya dan di sana ada tambang emas.
Nah, untuk menghindari serangan lawan, Temon memindahkan
kerajaan Pakuwon ke Tanah Damar Ombo. Lalu, jadilah Temon
sebagai seorang Adipati dengan gelar, Adipati Anom Winingrat. Tanah Damar Ombo
itu dijadikan Kadipaten Damardita dengan
penasehat Ki Penegak, yang kemudian menamakan dirinya Ki
Ageng Bentaran..."
Dayang Kunti tertegun memandangi api pembakar jagung.
Ia menampakkan kedukaannya dalam sebaris kenangan pahit yang menyakitkan hati.
Sedangkan Suro Bodong, mengunyah jagung, sesekali memetik-metik jagung lalu
melemparkan ke mulutnya.
Matanya memandang Dayang Kunti dengan hati iba. Sampaisampai Suro sempat berkata pelan:
"Kalau begitu. Damar Ombo atau Damardita harus kau
rebut kembali."
"Yah..."
jawab Dayang Kunti bersemangat sambil menghempaskan nafas. "Harus kurebut kembali. Tetapi aku harus membuat
perhitungan juga dengan Temon, atau Adipati Anom
Winingrat itu."
Sekali lagi, Suro Bodong manggut-manggut. Nyamuknyamuk mulutnya menguyah jagung. Dan mendadak Dayang Kunti menatap Suro dalamdalam, lalu berkata pelan:
"Suro, aku ingin minta bantuanmu dalam hal ini. Aku yakin, bersama kamu, aku
dapat merebut kembali tahan warisan leluhurku itu. Kau mau menolongku, Suro?"
"Aku sudah sering menolong perempuan cantik," kata Suro, kali ini bagai
terlontar seenaknya. "Dan itu salah satu kegemaranku."
"Sayang aku bukan perempuan cantik..." bisik Dayang Kunti, dan Suro dengan
santai berkata:
"Sayang aku menganggapmu perempuan cantik..."
Dayang Kunti menatap Suro, mereka pun saling tatap. Lalu,
senyum perempuan itu mekar dan bergetar di hati Suro.
5 Dayang Kunti melangkah bersama Suro Bodong menuju
regol Kadipaten. Suro tidak tanggung-tanggung dalam melangkah.
Karena menurutnya. Dayang Kunti itulah yang perlu ditolong dari kekejian Temon
yang rakus harta dan pangkat. Suro tahu,
perempuan secantik Dayang Kunti hanya hidup seorang diri.
Apalah daya bagi perempuan seperti Kunti kalau tidak bergabung dengan satu
keluarga, atau kawin, atau memiliki kekayaan yang selama ini dirampas oleh Si
anak angkat; Temon itu. Ini harus dibebaskan! Harus direbut kembali demi masa
depan dan kelangsungan hidup Anggraeni yang merubah diri menjadi Dayang Kunti.
Dua pengawal berdiri di depan pintu gerbang Kadipaten
dengan senjata tombak di tangan. Suro Bodong dan Dayang Kunti mendekat, masingmasing berdiri di depan kedua penjaga pintu.
Suro Bodong yang berkata kepada salah satu dari mereka dengan suara tenang:
"Aku ingin ketemu Anom!"
Pengawal itu naik pitam mendengar ada tamu yang berani
menyebut nama rajanya dengan seenaknya. Kedua pengawal itu adalah prajurit baru
yang mengalami masa uji coba sebagai penjaga pintu gerbang Dalem Kadipaten.
"Tamu tidak tahu sopan!" gertak penjaga yang ada di depan Suro Bodong. "Panggil
Si nuwun, Kanjeng, atau Baginda, atau Paduka Anom... begitu! Enak saja panggilpanggil nama Anom, tanpa sebutan menghormat!"
"Kau sendiri telah menyebutkan nama Anom tanpa hormat!"
kata Suro Bodong sambil garuk-garuk kumis.
Pengawal itu menggeragap sebentar tapi sebelum ia bicara,
Suro Bodong telah berkata:
"Buka pintunya, atau panggilkan saja si Anom, suruh keluar sebentar ke sini!
Sana..." seenak saja Suro Bodong memerintah dan bicara. Pengawal baru itu merasa
dihina. Baru jadi pengawal masa'
tidak dihormati. Karenanya, pengawal yang berdiri di depan Suro itu segera
melayangkan pukulannya ke wajah Suro Bodong. Dengan tangkas dan cepat tangan
Suro Bodong menangkap genggaman
tangan prajurit tersebut. Lalu, genggaman tangan itu diremas kuat-kuat,
dipelintir sedikit-sedikit hingga pengawal itu menyeringai kesakitan dengan
mulut terganga-nganga.
"Kau apakan temanku, hah"!" teriak yang ada di depan Dayang Kunti. Ketika
prajurit itu akan bergerak membantu
temannya, dua jari tangan Dayang Kunti menotok bawah ketiak orang itu. Langsung
orang itu diam seperti patung hendak
melangkah. "Jangan buru-buru marah, Mas," kata Dayang Kunti. Prajurit itu bisa melihat,
bisa mendengar, tapi tidak bisa bergerak apa-apa.
Sementara itu, Suro Bodong segera memelintir tangan
pengawal baru dengan keras.
"Aaaoow...!!"
Pengawal itu berteriak kesakitan sambil tubuhnya ikut
meliuk ke samping. Lalu, dengan keras Suro Bodong menendang orang tersebut
sampai terpental ke pintu. Benturan itu rupanya memang sangat keras, sampaisampai pintu gerbang yang besar itu rengat bagian pinggirnya. Orang itu pingsan.
Dayang Kunti menendang pintu besar dengan kekuatan yang sungguh besar.
"Braak...!"
Pintu sebesar gajah jebol berantakan. Tendangan Dayang
Kunti seperti tendangan seorang raksasa yang membuat Suro
Bodong tersenyum bangga.
Jebolnya pintu gerbang menjadi bahan perhatian semua
orang yang ada di Dalem Kadipaten. Suro Bodong melangkah
masuk dengan Dayang Kunti dengan pembawaan serba tenang.
Sempat pula Dayang Kunti mengibaskan tangannya ke samping kiri ketika ada
seorang prajurit jaga yang ingin mencegahnya. Tapi, nasib prajurit itu tak lama.
Ia terpelanting dan kepalanya membentur dinding, lalu.. klenger!
Waktu itu di paseban sedang ada pertemuan harian, antara
Sang Adipati dengan para punggawa negerinya. Maka, langsung saja Dayang Kunti
dan Suro Bodong menuju paseban. Dua orang prajurit menghadang mereka sebelum
mencapai tangga lantai
paseban. Suro Bodong menggerakkan kakinya secara cepat dan tepat. Maka, kedua
prajurit itu tersungkur jatuh bertindih-tindihan di lantai paseban.
Suro Bodong menginjak lantai paseban dengan berseru:
"Anom...! Mana si Anom" Aku mau ketemu dia!"
Gembong Wilwo kaget bekali sampai berteriak, "Dayang
Kunti dengan Suro Bodong!"
Semua orang memang memandang tegang dan masingmasing langsung mencabut senjata mereka. Tapi, Dayang Kunti dengan Suro Bodong
masih menampakkan sikap tenangnya.
Cocak Soga maju dan berseru: "Kalian mau apa sebenarnya ke mari, hah"!"
"Siapa kemarin yang menamparku"!" kata Suro.
"Aku...!" jawab Cocak Soga dengan berani.
"Plak, plak, braak...!"
Dengan kecepatan yang tak dapat dilihat mata manusia Suro
Bodong memukul Cocak Soga sampai orang kecil itu terpental dan jatuh menabrak
pagar ruangan pendopo itu.
Suro Bodong berseru lagi:
"Ayo, siapa lagi yang kemarin menamparku seenaknya"!"
Tak ada jawaban mereka. Sebaliknya, justru ketegangan
meliputi mereka semua. Karena gerakan Suro Bodong yang dapat menjatuhkan Cocak
Soga dengan secepat itu telah membuat mulut-mulut terbengong. Padahal kemarin
mereka menemukan Suro
Bodong yang bego dan blo'on, tetapi mengapa sekarang Suro
Bodong seganas harimau lapar 7 hari"
Cocak Soga segera mencabut pedangnya dengan kening
berdarah karena terkena kayu pecahan pagar. Ia menyerang Suro Bodong dengan
lompatan bersalto. Suro Bodong berguling dilantai licin itu. Tubuhnya tepat
berhenti di kaki Gembong Wilwo, langsung saja perutnya diinjak Gembong Wilwo.
"Huuugh...!"
"Modar kau...!" teriak Gembong.
"Hiaaat...!" kaki Suro Bodong menekuk ke belakang, tepat mengenai alat vital
Gembong Wilwo. Orang itu menjerit sambil jingkrak-jingkrak kesakitan.
Sementara itu, Dayang Kunti menggunakan bambu


Suro Bodong 11 Adipati Bukit Sekarat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sumpitnya untuk melawan Cocak Soga. Ia melompat ketika pedang Cocak Soga
ditebaskan ke perut, kemudian bambunya berkelebat ke bawah dengan cepat. Pada
saat itu, Cocak Soga menjerit, karena keningnya berdarah bagai terpotong atau
tergores benda tajam.
Dayang Kunti berhenti menyerang, sebab dilihatnya Cocak
Soga mengaduh-aduh sambil memegangi lukanya yang berdarah.
Saat itu, Ki Ageng Bentaran melancarkan pukulan jarak jauh berupa hempasan hawa
padat. Pukulan itu mengenai Dayang Kunti hingga terlempar jauh. Untung Dayang
Kunti segera menguasai
keseimbangan tubuhnya, sehingga ia tak sempat jatuh babak belur.
Ia mendarat dengan kakinya yang direnggangkan. Ki Ageng
mengejar Dayang Kunti dengan bernafsu. Dayang Kunti memancing keluar, dan
terjadilah pertarungan di luar Dalem Kadipaten.
Suro Bodong masih gesit melawan Tamtama Agung
Gembong Wilwo. Jurus-jurus Gembong Wilwo sempat membingungkan Suro Bodong sehingga Suro melompat kian ke
mari menghindari tebasan pedang lawannya.
Namun, pada satu kesempatan, Suro Bodong sempat
memukul tengkuk kepala Gembong dengan sikunya. Orang itu
terhuyung-huyung dan hampir menabrak Adipati Anom yang dari tadi berdiri
memperhatikan perlawanan dari anak buahnya yang menurutnya gigih-gigih itu.
Suro Bodong melompat dan mengejar Gembong Wilwo.
Tetapi rupanya Gembong Wilwo telah siap menghunuskan
pedangnya ke arah Suro Bodong. Mau tidak mau Suro Bodong
segera menjejakkan kaki pada salah satu tiang, dan bersalto ke belakang sebanyak
tujuh kali. Itu tidak disengaja. Sungguh!
Dengan gerakan bersalto tujuh kali, maka secara dengan
sendirinya ia telah menggunakan jurus Luing Ayan-7. Yang berarti perubahan ujud
Suro pun terjadi seketika itu. Maka, semua mata memandang dengan takjub dan
terheran-heran ketika Suro Bodong mendarat ke lantai dalam ujud seorang pendekar
tampan yang mengenakan pakaian rompi serta celana ketat warna emas. Ia telah
berubah menjadi Panji Bagus, yang memang tampan. Rambutnya panjang diikat tali
emas, wajahnya mengagumkan setiap wanita, badannya kekar dan tegap dengan pedang
tanpa sarung di
punggung. Pedang itu bagai masuk ke dalam kulit tubuhnya. Itulah Pedang Urat
Petir yang menghebohkan dunia persiltan.
Dalam keadaan yang lain tertegun memandanginya, Suro
Bodong yang telah berubah ujud menjadi pendekar tampan bernama Panji Bagus itu
melesat ke udara. Gerakannya begitu cepat dan indah. Kakinya lurus ke depan
sedang kaki kirinya ditekuk sedikit.
Ketika kaki itu hendak mengenai wajah Gembong Wilwo, kaki itu segera ditekuk.
Pedang Gembong Wilwo menebas tempat kosong di depannya. Karena, pada saat itulah
kaki kiri Suro Bodong maju menghentakan dan tepat mengenai kening Gembong Wilwo.
"Aaaoow...!!"
teriak Gembong Wilwo "Bangsat kau,
setan!" cacinya tak karuan.
Tentu saja hal itu juga mengagetkan Adipati Anom yang
terbengong seperti patung kekurangan sajen. Ia semakin kaget ketika Suro Bodong
tahu-tahu menghentakkan kakinya ke belakang, tepat pada waktu itu Cocak Soga
yang berlumur darah hendak menyerangnya dari belakang. Kepala Cocak Soga menjadi
sasaran tendangan belakang Suro Bodong.
"Heaaat...!"
"Aaahh...!"
Tubuh Cocak Soga melayang lagi seperti bola tak tentu arah.
Sekali lagi kepala Cocak Soga membentur salah satu tiang pendopo di pinggiran.
"Wadoow...!!" ia semakin berteriak kesakitan. Darah mengucur dari kepala atas
telinga kiri. "Setan... terimalah aji pemunahku ini!" teriak Gembong yang segera melemparkan
pedangnya ke arah Suro Bodong dengan cepat.
Pedang itu tiba-tiba menyemburkan semacam asap biru kehitam-hitaman. Semburannya
terarah ke mata Suro Bodong. Tetapi dengan gesit, tubuh Suro Bodong yang telah
menjadi pendekar tampan yang kekar itu segera berguling-guling di lantai.
Ternyata pedang Gembong itu masih mengejarnya sambil menyemburkan asap yang
sudah tentu sangat berbahaya. Suro Bodong segera melompat ke ha-laman depan
pendopo. Waktu itu, pedang Gembong masih
mengejarnya. Dan, Suro segera menghunus Pedang Urat Petir
dengan gerakan yang cepat. Pedang dicabut dari punggungnya lalu ia melompat ke
atas, dan pedang Gembong lolos melalui kaki Panji Bagus. "Heaaat...!!"
"Trang...!"
Pedang Urat Petir membabat pedang Gembong dengan
gerakan kuat, hingga pedang Gembong putus menjadi dua bagian dan jatuh
tergeletak di tanah. Ketika kaki Suro mendarat ke tanah, ia disambut oleh
lompatan Cocak Soga yang masih penasaran ingin menghabisi nyawa lawannya. Maka
dengan mudah, Suro Bodong
atau Panji Bagus mengibaskan Pedang Urat Petir ke arah Cocak Soga.
"Uaaaahh...!!"
Jeritan Cocak Soga diiringi menyemburnya darah dari
perutnya. Semua mata yang menyaksikan hal itu menjadi terpejam dengan amat
ngeri. Usus, rempela dan babat keluar semua dari perut Cocak Soga. Gembong
segera maju dengan kemarahan yang memuncak, ia bersalto beberapa kali yang mampu
membuat lawan terkesima menjadi patung. Tetapi, Suro Bodong telah lebih dulu
berguling ke lantai dan tahu-tahu berdiri di belakang Gembong Wilwo.
"Hiaaat...!"
Gembong tidak menjerit. Tidak mau berteriak. Sebab ketika
Pedang Urat Pelir menebas cepat, kepalanya langsung menggelinding di lantai dan tak sempat berteriak-teriak kesakitan.
Namun demikian, raga Gembong yang sudah tanpa kepala
itu masih sempat berputar balik ke arah Panji Bagus. Maka dengan serta merta
Panji Bagus menendang Gembong tanpa kepala itu dengan keras, hingga terpental
menimpa seorang prajurit yang berani-berani ngeri untuk mendekati Panji Bagus.
"Kau benar-benar bangsaaat...!!" teriak Adipati Anom yang segera mencabut
kerisnya dengan menyerang Panji Bagus. Panji Bagus lari menghindar mendekati
pintu gerbang. Di sana ada beberapa prajurit yang juga bubar mendadak karena
takut terkena tendangan atau kibasan pedang Panji Bagus.
"Jangan lari kau iblis...!!" teriak Anom Winingrat.
Panji Bagus tahu dikejar, maka ia pun keluar dari Dalem
Kadipaten. Pancingannya ternyata tepat, bahwa Anom Winingrat pun segera
menyerang dengan melompati tembok, lalu menghadang Panji Bagus dari luar.
Di luar Dalem Kadipaten, ternyata Dayang Kunti sedang
melakukan perlawanan sengit dengan Ki Ageng Bentaran. Dayang Kunti sudah terluka
pinggang dan punggungnya. Luka hangus yang tidak dirasakan. Ia tetap menyerang
dengan sumpit sebesar
kelingking itu. Tetapi Ki Ageng Bentaran sendiri telah terluka di dada. Tergores
bambu itu dengan darah meleleh membasahi jubah putihnya.
Berulangkali Ki Ageng melancarkan pukulan tenaga
dalamnya yang memancarkan sinar hijau muda. Tetapi dengan
cambuk Dayang Kunti menangkisnya. Bahkan kini cambuk dan
bambu sumpit semakin ganas menyerang Ki Ageng bertubi-tubi.
Lelaki tua dengan rambut putih itu melompat dengan gesit dan bersalto
menghindarinya. Sulit sekali mengenai tubuh Ki Ageng. Hal itu diakui Dayang
Kunti dalam hati.
Sementara itu, Panji Bagus masih berusaha menjatuhkan
Anom Winingrat. Adipati itu cukup ulet. Sehingga ia pernah berhasil menendang
dada Panji Bagus dan nyaris membenamkan kerisnya yang menyala-nyala kuning ke
perut Panji Bagus.
Sedangkan Pedang Urat Petir yang menyala pijar ungu itu masih berusaha
berkelebat mencari kelemahan Anom Winingrat. Panji Bagus berguling di tanah
tanpa peduli tempat kotor. Ia menebaskan pedangnya berulangkali, tetapi Anom
Winingrat pandai mengelak dengan lompatan-lompatan salto. Hanya saja, pada saat
ia menjejakkan kakinya ke tanah dari lompatannya, tiba-tiba kaki Panji Bagus
mendapat kesempatan empuk untuk menendang punggung
Adipati. "Aaahhkk...!"
Anom Winingrat terpental, dan tubuhnya melayang
menabrak Ki Ageng Bentaran. Saat itu, Ki Ageng baru saja hendak melancarkan
pukulan tenaga dalamnya ke arah Dayang Kunti yang jatuh tersungkur.
Nafas mereka terengah-engah semua. Dayang Kunti
ditolong tangan Panji Bagus. Ia jadi tertegun memandang wajah ganteng sang
pendekar berpedang Urat Petir. Dayang Kunti mau bertanya, siapa pendekar itu.
Tetapi ia segara paham setelah melihat pedang bersinar ungu di tangan Sang
Pendekar; pasti jelmaan Suro Booong. Pikirnya. Maka, langsung saja dia berkata,
"Suro, biar kuhabisi Anom dan kau habisi Ki Ageng itu...!"
"Temon...!" Dayang Kunti segera berseru setelah Panji Bagus menganggukkan
kepala. "Dari mana kau tahu namaku, hah"!" geram Adipati.
"Kau ingat Anggraeni"!" teriak Dayang Kunti. "Akulah Anggraeni yang ingin
menuntut balas kematian keluargaku karena keserakahan kalian berdua, dan aku
akan merebut tanah hak
milikku ini, tanah Damar Ombo! Terimalah kematianmu sekarang juga, Temon...!"
Kedua orang lawan Dayang Kunti itu masih terbengong
ketika mereka mengetahui bahwa Dayang Kunti adalah Anggraeni yang pernah
diperintahkan untuk dibunuh. Dalam keadaan
terbengong begitu. Dayang Kunti melambung tinggi dan bersalto beberapa kali.
Kemudian sumpit Jarum Kilatnya bekerja dengan cepat, melesat bertubi-tubi ke
arah Adipati. Sehingga, salah satu jarum-jarum hitam itu ada yang menembus tepat
di mata Adipati.
"Aaauhh...! Aaaahh...!" Adipati Anom menjerit sekuat tenaga, karena dalam
keadaan limbung begitu. Dayang Kunti masih melancarkan serangan Jarum Kilat
hitam ke tubuh Adipati Anom.
"Jub... jub... jub...!" Hingga lebih dari seratus jarum yang menghunyam tubuh
Sang Adipati. Lalu, tubuh itu tak sempat
hangus lagi. "Blaar...!"
Sebuah ledakan mengakibatkan tubuh Sang Adipati menjadi
terpotong-potong beberapa bagian. Sedangkan Dayang Kunti berdiri puas dan bara
dendam di matanya mulai meredup. Lain hal dengan Ki Ageng, ia semakin panik dan
kemarahannya begitu tinggi, ia hendak meninggalkan pertarungannya dengan Panji
Bagus, dan beralih menyerang Dayang Kunti dengan menggunakan aji Barong Bangkai,
yaitu sebuah teriakan yang mampu memecahkan kepala orang yang mendengarnya.
Tetapi, baru saja ia membuka mulut dan hendak berteriak, Panji Bagus melemparkan
pedangnya ke atas hingga pedang itu berputar tujuh kali, kemudian menendang
pedang itu hingga pecah menjadi tujuh bagian. Ketujuh bagian itu melesat
sendiri-sendiri menghunjam tubuh Ki Ageng Bentaran. Bahan ada salah satu bagian
pedang yang masuk ke mulut pada saat mulut Ki Ageng hendak berteriak. Maka,
jurus Pedang Jitu Suro Bodong itu menjadi akhir dari pertarungan tersebut.
Pedang yang terpecah menjadi tujuh bagian itu bisa
berkumpul sendiri dan melesat kembali ke arah pemiliknya, yaitu Panji Bagus,
atau Suro Bodong yang menjelma menjadi ujud
Pendekar tampan.
Dayang Kunti tersenyum sambil melelehkan air mata
melihat akhir dari perjuangannya selama ini. Ia mendekati Panji Bagus dan tanpa
malu-malu memeluk pendekar berhidung bangir dan bermata kebiru-biruan. Bening.
Segar. "Terima kasih... terima kasih. Suro..." itu ucapan yang terdengar di sela isak
tangis kebahagiaan Anggraeni. Karena pada saat itu, semua prajurit Kadipaten
keluar dan bersujud kepada Dayang Kunti sebagai tanda menyerah.
"Kadipaten dan tanah ini memang milikmu, Anggraeni.
Ambillah! Malingnya sudah kukirim ke neraka...!"
"Aku juga mengirimnya!"
"O, ya... kita memang yang mengirimnya. Ambillah dan
memerintahlah dengan adil dan bijaksana...!"
"Mungkin akan bisa langgeng apabila kau mau duduk
disampingku, Suro...."
"Mungkin juga. Tapi... sementara ini aku belum bisa
memilih apa-apa, kecuali ingin memakan jagung bakar di kamar tidurmu,
Anggraeni...."
Tawa itu lirih. Tawa itu milik Anggraeni yang semakin erat memeluk Panji Bagus,
atau Suro Bodong yang bergelar Pendekar Tujuh Keliling.
SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor Fuji Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusianfo/ http://ebook-dewikz.com/
Dagelan Setan 2 Pendekar Mabuk 034 Perawan Maha Sakti Kampung Setan 12

Cari Blog Ini