Ceritasilat Novel Online

Lima Laknat Malam Kliwon 1

Tiga Dalam Satu 05 Lima Laknat Malam Kliwon Bagian 1


BASTIAN TITO TIGA DALAM SATU LIMA LAKNAT MALAM
KLIWON Sumber: Bastian Tito
EBook: Fujidenkikagawa
WIRO SABLENG 1 LIMA LAKNAT MALAM KLIWON
MENUNGGU EMPAT PULUH SEMBILAN TAHUN
UKU ini merupakan sisi lain dari serial Wiro Sableng yang terbit sebelumnya,
berjudul "Munculnya Sinto B Gendeng". Dalam seri tersebut dikisahkan
bagaimana Pendekar 212 Wiro Sableng dan Eyang Sinto Gendeng bersama seorang
kakek sakti bernama Ki Rana Wulung menyelamatkan Sri Baginda dan menghancurkan
kaum pemberontak yang didalangi oleh keponakan Raja sendiri yaltu Pangeran
Jingga. Tugas ke tiga orang itu dalam membantu menyelamatkan Kerajaan tidak mudah. Kaum pemberontak dibantu oleh beberapa tokoh
silat kelas tinggi, antara lain Bergola Ijo (mati), Suto Abang (melarikan diri),
Si Tangan Besi (mati), Malaikat Serba Biru (mati), dan Nenek Kelabang Merah
(mati). Keadaan bertambah ricuh karena ternyata beberapa
pejabat tinggi Kerajaan berkhianat dan ikut membantu kaum pemberontak. Mereka di
antaranya adalah Raden Aryo Braja yang Kepala Balatentara Kerajaan (mati) dan
Turonggo Wesi (Perwira Tinggi Balatentara Kerajaan, mati).
Sebagai balas budi jasa besar ke tiga orang itu, walau mereka menolak namun Raja
memaksa menyerahkan
sebuah peta yang menunjukkan letak sebuah telaga
rahasia yang penuh dengan kandungan emas. Kisah telaga rahasia ini kemudian
dituturkan dalam serial Wiro Sableng ke-37 berjudul "Telaga Emas Berdarah".
Ketika Eyang Sinto Gendeng berkelahi hidup mati
melawan Nenek Kelabang Merah, guru Pendekar 212 itu mengeluarkan satu ilmu sakti
yang mampu memancarikan dua larik sinar biru dari sepasang matanya. Pendekar 212
terkejut melihat kejadian itu. Dua larik sinar biru itu ternyata luar biasa
hebatnya. Wiro menyadari, selama digembleng di puncak Gunung Gede sang guru
tidak pernah mewariskan ilmu kesaktian itu padanya. Diam-diam sang pendekar merasa
kecewa. Apa betul ucapan orang bahwa seorang guru tidak pernah mengajarkan atau
mewariskan semua ilmu kepandaiannya pada seorang
murid" Karena tidak suka memendam hati yang membuatnya
merasa tidak enak, di sebuah sungai kecil Wiro berkata pada sang guru.
" Eyang, rupanya benar ucapan orang. Bahwa tidak ada guru yang mengajarkan
seluruh kepandaian pada
muridnya!"
Saat itu Sinto Gendeng hentikan larinya, berpaling pada sang murid dengan wajah
merah dan membentak.
" Apa maksudmu anak sableng?"
"Tadi kulihat Eyang mengeluarkan ilmu aneh. Dua larik sinar biru melesat keluar
dari mata dan merontokkan tubuh kelabang sakti...!"
"Hemm... begitu" "si nenek bergumam. " Ucapan orang itu mungkin benar. Tapi aku
mau tanya. Berapa usiamu sekarang, anak sableng...?"
"Dua... dua puluh satu Eyang!"
"Betul! Itu berarti kau harus menunggu empat puluh sembilan tahun lagi untuk
dapat menguasai ilmu itu!"
Wiro garuk-garuk kepalanya.
"Mengapa begitu, Eyang?"
" Selama sepasang matamu masih terpikat pada keindahan dunia, selama kedua
matamu masih suka melihat wajah perempuan cantik dan tubuh yang bagus mulus,
selama kau suka melihat aurat perempuan yang terlarang yang bukan istrimu,
selama itu pula kau tak bakal dapat menguasal ilmu itu!"
Mendengar ucapan sang guru Pendekar 212 Wiro
Sableng jadi tertegun diam. Sambil garuk-garuk kepala dia membuka mulut untuk
mengatakan sesuatu. Tapi sang
guru ternyata sudah berkelebat lenyap dari hadapannya.
"Ah... nenek-nenek itu mungkin benar. Aku masih suka melihat wajah cantik,
melihat dada kencang dan paha putih. Ha... ha... ha.... Biarlah aku tidak
menguasai ilmu itu!
Ha... ha... ha!"
WIRO SABLENG 2 LIMA LAKNAT MALAM KLIWON
DIKURUNG JARING LIMA PENJURU JAGAD
IRO memandang ke langit. Sang surya dilihatnya
telah menggelincir jauh ke barat.
W Sebentar lagi sang mentari ini akan segera
tenggelam. Siang akan berganti dengan malam. Setelah merenung sesaat Pendekar
212 segera tinggalkan tempat itu. Untuk menghibur hati dia berjalan sambil
bersiul-siul membawakan lagu tak menentu. Di satu tempat Wiro
hentikan siulannya. Telinganya menangkap suara
gemericik kucuran air. Mendadak saja pemuda ini merasa haus. Maka diapun
melangkah ke jurusan datangnya
suara. Tidak sampai berjalan sejauh sepuluh tombak, Wiro hentikan langkah. Di
depan sana ada sebuah pancuran bambu yang airnya mengucur jatuh ke atas bebatuan
lalu tersebar kemana-mana dalam bentuk aliran-aliran kecil. Di sebuah batu tak
seberapa besar di dekat pancuran, Wiro melihat si nenek duduk sambil bertopang
dagu, menatap ke arah air yang mengucur dari mulut pancuran bambu.
"Sedang apa nenek ini berada di sini," berpikir Wiro. Lalu senyumnya menyeruak.
Kembali dia membatin. "Jangan-jangan dia sengaja menunggu aku di sini. Janganjangan dia berubah pikiran hendak mengajarkan ilmu dua larik sinar biru yang
bisa melesat keluar dari mata itu!" Berpikir begitu Wiro segera dekati Eyang
Sinto Gendeng dan
menegur. "Eyang, aku kira kau sudah pergi jauh. Ternyata nongkrong di sini. Apakah kau
hendak mandi mem-bersihkan diri dengan air pancuran?"
"Anak sableng! Jangan kau berani menghina aku! Siapa yang mau mandi" Apa kau
kira aku tidak pernah mandi-mandi"!" Si nenek bicara dengan suara keras mata
melotot. Tapi pandangannya tidak beralih dari arah pancuran.
Sang murid kembali tersenyum. Dalam hati dia berkata.
"Nek, kalau kau sering mandi, tubuhmu tidak dekil begitu dan pakaianmu tidak bau
pesing!" "Anak setan! Apa yang barusan kau ucapkan dalam hati"!"
Hardikan si nenek membuat Wiro Sableng tergagau.
"Celaka, mungkin dia tahu apa yang tadi kubilang dalam hati!"
Wiro cepat berkata. "Maafkan aku Nek, aku tidak berucap apa-apa. Cuma aku heran
melihat kau ada di sini.
Kau seperti tengah memikirkan sesuatu. Seolah ada
ganjalan dalam hatimu. Eyang, mungkin juga kau
mendadak berubah pikiran?"
"Anak setan! Apa maksudmu"! Pikiran aku yang mana yang berubah" Atau kau mau
bilang aku berubah jadi setengah waras atau mendadak jadi sinting"!" Sinto
Gendeng kembali membentak. Dua matanya tetap saja
menatap ke arah pancuran bambu.
"Maksudku, mungkin aku tidak usah menunggu empat puluh sembilan tahun. Kau mau
mengajarkan ilmu dua jalur sinar biru itu sekarang juga...."
"Benar-benar anak setan! Bertahun-tahun kau ikut aku di puncak Gunung Gede! Apa
selama itu kau pernah
melihat aku berubah pikiran"!"
"Memang tidak pernah Eyang," jawab Wiro masih senyum dan kali ini sambil garuk
kepala. "Tapi per-timbangan tertentu bisa membuat seseorang berubah.
Misal, kau menyadari tantangan dan bahaya di dalam rimba persilatan semakin
besar. Hingga...."
"Hingga aku merasa perlu membekalimu dengan ilmu dua larik sinar biru itu!
Begitu"!"
"Kira-kira begitu Nek," jawab Wiro lalu tertawa lebar.
Lima tusuk kundai perak yang menancap di kulit kepala si nenek berjingkrak.
Mulutnya yang kempot
digembungkan. "Anak setan! Lekas angkat kaki dari sini! Jangan sampai aku menggebukmu karena
muak!" "Eyang, maafkan aku. Bukan maksudku membuatmu marah. Aku tidak memikirkan lagi
soal ilmu itu. Juga tidak untuk masa empat puluh sembilan tahun mendatang. Apa
perlunya kepandaian di usia sudah bau tanah. Justru ilmu itu harus dimanfaatkan
selagi muda untuk menolong
sesama.... "
Sinto Gendeng cemberut sebentar lalu tertawa
mengekeh. "Anak sableng! Kau pandai memilih kata-kata agar hatiku bisa terenyuh! Hik...
hik... hik! Sekalipun angin sejuk atau angin api mendera hatiku, jangan harap
Sinto Gendeng bisa berubah pikiran! Sudah! Pergi sana! Jangan mengganggu diriku lebih
lama!" Wiro membungkuk hormat. "Jika begitu kehendak Eyang, aku minta diri sekarang.
Tapi kalau boleh aku memberi nasihat sebaiknya Eyang jangan lama-lama
berada di tempat ini...."
"Eh, memangnya kenapa" Siapa yang berani
melarang"!" Sinto Gendeng pelototkan mata ke arah air pancuran.
"Tidak ada yang melarang Eyang. Setahuku di sekitar sini ada binatang buas aneh
berkepala macan tapi cuma punya dua kaki. Makhluk ini jahat sekali, paling suka
menggeragot benda jelek dan bau-bau!"
"Anak setan jahanam! Mentang-mentang aku jelek dan bau! Kau sengaja menghina
mempermainkan diriku!
Makhluk apapun yang ada di sekitar sini siapa takut! Kau memang minta digebuk!"
Saking marahnya Sinto Gendeng gerakkan tangan kiri hendak memukul sang murid.
Tapi sambil tertawa gelak-gelak Wiro sudah melompat.
Pemuda ini lambaikan tangannya. "Selamat tinggal Eyang.... " Wiro menyelinap ke
balik serumpunan pohon bambu hutan. Baru berjalan belasan langkah tiba-tiba di
belakangnya terdengar si nenek berseru.
"Anak setan! Tunggu! Lekas kau kembali ke sini!"
Wiro tersenyum sendiri. "Ah, pasti dia benar-benar berbalik hati. Pasti dia
memanggilku untuk mengajarkan ilmu kesaktian dahsyat itu. Mulutnya yang perot
itu memang suka bicara kasar. Tapi aku tahu hatinya seperti emas...." Sambil
tertawa-tawa Wiro kembali ke tempat gurunya. Si nenek masih duduk di tempat tadi
dan tetap menatap ke arah pancuran bambu.
"Nek, aku sudah di sini. Ada sesuatu yang hendak kau sampaikan padaku?"
"Malam ini malam apa"!" Sinto Gendeng tiba-tiba ajukan pertanyaan.
Wiro jadi garuk-garuk kepala. Sebelumnya dia menduga si nenek akan bicara soal
ilmu kesaktian itu. Ternyata malah mengajukan pertanyaan aneh.
"Aku bertanya, kau tidak menjawab! Apa mulutmu mendadak gagu"! Atau kupingmu
tiba-tiba budek"!" Sinto Gendeng membentak.
Sang murid garuk kepala, cepat-cepat menjawab. "Hari ini hari Kamis, Nek. Malam
nanti jelas malam Jum'at...."
"Bocah tolol! Aku juga tahu kalau hari ini hari Kamis dan nanti malam Jum'at!
Yang aku ingin tanya malam nanti malam apa" Apa malam Legi, Pahing, Pon, Wage
atau Kliwon"! Dasar anak setan! Sudah dua puluh satu tahun masih saja konyol dan
geblek!" Pendekar 212 mau tak mau jadi garuk-garuk kepala. Dia berpikir-pikir. "Kalau aku
tidak salah, mungkin sekali malam nanti adalah malam Jum'at Kliwon, Nek...."
Untuk pertama kalinya si nenek alihkan pandangannya dari air pancuran yang sejak
tadi diperhatikannya. "Jangan bicara kalau atau mungkin! Aku ingin yang pasti!"
Si nenek menghardik.
Wiro perhatikan wajah sang guru. Seperti ada
perubahan di muka si nenek yang hanya tinggal kulit pembalut tulang itu. "Aku...
aku yakin malam nanti adalah malam Jum'at Kliwon," kata Wiro setelah berpikir
lagi. "Kau yakin"!"
"Yakin sekali Nek," jawab Wiro. Dalam hati dia merasa heran, mengapa sang guru
bertanya begitu. Ketika dia memperhatikan lagi-lagi Wiro melihat wajah si nenek
berubah. "Kalau kau yakin sebentar malam adalah malam Jum'at Kliwon ya sudah! Pergi
sana...." "Jadi kau memanggilku hanya untuk bertanya itu Nek"
Jadi sekarang aku pergi saja?"
"Apa kau tuli"!" sentak Sinto Gendeng.
"Aku segera pergi Nek. Apa ada hal lain yang bisa kulakukan untuk Eyang sebelum
pergi?" tanya Wiro.
"Tidak ada! Aku hanya ingin kau tinggalkan tempat ini!"
jawab Sinto Gendeng lalu kembali dia memandang ke arah pancuran bambu.
Melihat sikap sang guru begitu rupa sambil tersenyum Pendekar 212 segera
tinggalkan tempat itu. Lupa kalau sebelumnya dia merasa haus. Sesaat kemudian
sang surya sudah lenyap di kaki katulistiwa sebelah barat. Siang berganti malam.
Kegelapan mulai merayap pekat.
Sinto Gendeng tarik nafas panjang. Dia ulurkan dua tangannya untuk rnenampung
air pancuran yang sejuk.
Maksudnya hendak minum beberapa teguk. Namun
gerakannya tertahan ketika telinganya yang tajam
mendengar suara-suara berkelebat. Nenek sakti ini melirik.
Lima bayangan hitarn berpencar. disekelilingnya
"Mereka sudah datang..." kata si nenek dalam hati.
"Mereka sengaja mengurungku dengan Jaring Lima Penjuru Jagat. Selama ini mereka
mengagulkan tak ada yang mampu menembus kurungan itu. Weehhhhh! Aku
mau lihat apa benar begitu! Hik... hik... hik."
*** WIRO SABLENG 3 LIMA LAKNAT MALAM KLIWON
DENDAM DELAPAN TAHUN
INTO GENDENG!" satu suara membentak
dalam kegelapan. Orangnya tegak mende
S kam di sebelah kanan si nenek. "Delapan
tahun mencarimu! Akhirnya kau kami temui juga! Kelahiran kehendak Yang Kuasa!
Kematian kehendak takdir!
Sebelum kami bantai kami masih memberi kesempatan
padamu untuk bertobat minta ampun!"
Di tempatnya si nenek tampak tidak bergerak. Lalu
terdengar suara tawanya cekikikan. Mula-mula perlahan saja tapi lama-lama tambah
keras dan dahsyat. Lima orang dalam gelap kerenyitkan kening karena telinga
mereka menjadi sakit laksana dicucuk. Kelimanya saling pandang lalu berusaha
tutup jalan pendengaran masing-masing. Ada yang mengerahkan tenaga dalam, ada
pula yang menem-pelkan telapak tangan ke telinga kiri kanan.
"Delapan tahun rupanya singkat sekali! Langkah dan pertemuan memang bukan
manusia yang mengatur! Tetapi ada banyak manusia yang merasa seolah pandai dan
berkuasa! Padahal kebodohan mereka terkadang berakhir di pinggir comberan liang
kubur! Hik... hik... hik!"
Kata-kata Sinto Gendeng itu membuat lima orang yang mengurung dalam gelap
menjadi marah. Namun mereka
masih bisa mengendalikan diri.
"Sinto Gendeng, apakah saat ini kau masih membawa Kapak Maut Naga Geni 212 dan
batu hitam sakti pasangannya?" orang di sebelah kiri bertanya.
"Weehhhh! Kalian masih saja menanyakan senjata mustika itu. Apa selama ini tidak
sanggup membuat
senjata sendiri"!"
"Kami bukan sengaja serakah untuk dapatkan senjata orang lain!" orang di sebelah
belakang menjawab. "Tapi jika kau mau menyerahkan senjata itu mungkin kami masih
mau memilihkan cara mati yang paling enak bagimu! Ha...
ha... ha!

Tiga Dalam Satu 05 Lima Laknat Malam Kliwon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ucapanmu polos juga! Tapi aku tidak percaya kalau hatimu juga polos! Delapan
tahun kau menguntit aku! Apa hanya karena inginkan kapak sakti itu" Pasti ada
maksud lain yang tidak terpuji! Bicara saja terang-terangan agar kalau kubunuh
kalian satu persatu aku tidak penasaran lagi! Hik... hik... hik!" Sinto Gendeng balas
tertawa. Orang di samping kanan Sinto Gendeng mendengus
marah. Dia bergerak melangkah. Tapi segera dibentak oleh si nenek sambil
jentikkan tangan kanannya.
"Bicara tetap di tempat! Jangan berani mendekat!"
"Wuuussss!"
Jentikan si nenek menimbulkan satu gelombang angin yang membuat sebuah batu
serta tanah di depan orang yang barusan bergerak terbongkar besar! Orang ini
cepat bersurut dan tegak diam di tempatnya.
"Nah, begitu lebih baik. Sekarang silahkan bicara! Dan awas! Aku tidak begitu
suka melihat orang bicara ngawur!"
"Kami datang membekal dendam!" orang di sebelah kanan berucap datar.
"Weehhh! Dendam yang mana" Delapan tahun kemana-mana membawa dendam pasti kau
repot keberatan! Hik...
hik!" "Malam ini dendam itu akan kutumpas habis dengan nyawa dan darahmu!"
"Aku bersyukur kalau kau bisa melakukan itu! Sekarang majulah mendekat. Biar
kulihat tampangmu!"
Orang di sebelah kanan melangkah maju. Empat
temannya melakukan hal yang sama walau tidak terlalu mendekati si nenek karena
mereka tahu bagaimana
berbahayanya Sinto Gendeng.
"Wallaahhh! Kau ternyata pakai topeng seperti muka barong! Mana aku bisa
mengenali dirimu!" Sinto Gendeng geleng-gelengkan kepala. Sambil berbuat begitu
dia melirik empat orang lainnya. Mereka semua berjubah hitam dan juga mengenakan
topeng menutupi wajah masing-masing.
"Walau kami menutupi muka dengan topeng! Tapi orang rimba persilatan mana yang
tidak tahu siapa kami! Sinto Gendeng! Jangan berpura-pura tidak tahu dendam apa
yang kami bawa!"
"Kau betul, siapa tidak tahu diri kalian! Lima manusia berjubah hitam yang
separoh dari usianya sengaja
menjalani hidup dengan menutup muka! Hik... hik... hik .
Lima Laknat Malam Kliwon! Begitu rimba persilatan menggelari kalian karena
selalu muncul menebar maut hanya pada malam-malam Kliwon! Banyak orang
menganggap kalian angker dan hebat! Tapi jangan menjual nama dan tampang di
depan Sinto Gendeng!"
. "Bagus! Ternyata kau sudah tahu siapa kami jadi tidak perlu susah payah berikan
keterangan!" Orang di sebelah kanan ini lalu memberi tanda dengan goyangan
kepala pada empat kawannya. Dalam gelap, lima sosok berjubah hitam itu segera
melesat menyerbu si nenek yang sampai saat itu masih tetap duduk di atas batu di
depan pancuran bambu.
"Hilang!" dua diantara lima orang itu berseru kaget ketika mereka dapatkan Sinto
Gendeng tidak ada lagi di atas batu dan mereka hanya melompati tempat kosong.
Di belakang mereka tiba-tiba terdengar suara tawa
cekikikan. "Jaring Lima Penjuru Jagat! Kalian agulkan sebagai tidak bisa
ditembus lawan! Nyata nya aku bisa molos! Hik... hik... hik! Sungguh memalukan!"
' Lima orang yang dalam rimba persilatan dijuluki sebagai Lima Laknat Malam Kliwon
kertakkan rahang sama
menggeram. Kelimanya serentak berbalik. Lima tangan serta merta menghantam.
"Kraakkkk!" Sebatang pohon patah dan tumbang.
"Braakkk!" Serumpunan semak belukar setinggi dada mental berantakan.
"Byaaarr!" Sebuah batu besar ikut amblas hancur di hantam lima pukulan tangan
kosong yang mengandung
tenaga dalam tinggi.
"Hik... hik... hik! Kalian menyerang siapa" Aku ada di sini!"
Kaget lima orang bertopeng itu bukan alang kepalang.
Mereka berpaling! Gila betul! Si nenek yang tadi ada di belakang dan sama-sama
mereka hantam dengan pukulan yang bisa mencerai beraikan sekujur tubuhnya kini
tahu-tahu terlihat duduk enak-enakan di atas batu di depan air pancuran. Malah
saat itu enak saja dia kelihatan keluarkan susur lalu dimasukkan ke dalam mulut
dan mengunyah terkempot-kempot!
"Perempuan tua bangka jahanam! Serbu dia dengan jurus Lima Bintang Jatuh!" salah
seorang dari lima orang bertopeng berteriak marah.
Lima sosok berjubah hitam melesat dua tombak ke
udara. Lalu benar-benar seperti bintang jatuh ke limanya kemudian menukik ke
arah Sinto Gendeng. Lima tangan laksana palu godam diayunkan ke lima bagian
tubuh Sinto Gendeng!
WIRO SABLENG LIMA LAKNAT MALAM
4 KLIWON LAKNAT BERNASIB MALANG
ARI cepatnya alur serangan serta sambaran angin
yang menerpa tubuhnya Sinto Gendeng sadar kalau
D lawan telah mengeluarkan jurus yang tak bisa
dibuat main. Karenanya nenek sakti ini juga tak mau berlaku ayal. Di atas batu
tubuhnya berputar setengah lingkaran. Dua tangan dihantamkan ke atas. Kaki kiri
ditendangkan ke depan.
"Bukkk!"
"Bukkk!"
"Dukkkk!"
Dua lengan Sinto Gendeng bergetar hebat begitu
bentrokan dengan dua lengan lawan. Tubuhnya terhenyak jatuh ke bawah. Dua lawan
terpental beberapa langkah.
Satu jotosan melanda bahunya sebelah kiri membuat si nenek menggeram kesakitan.
Di sebelah depan, satu dari lima lawannya yang berhasil ditendangnya mencelat
sambil mengeluarkan jeritan. Orang ini terhampar di tanah, menggeliat-geliat
sambil pegangi perut. Kelihatannya dia cukup kuat karena sesaat kemudian dia
bangkit berdiri kembali dan bergabung dengan empat temannya.
Perkelahian lima lawan satu itu berkecamuk semakin hebat. Lima Laknat Malam
Kliwon lancarkan serangan sambil mengurung rapat. Walau sampai enam jurus di
muka mereka masih belum mampu mendaratkan serangan di tubuh lawan namun keadaan
Sinto Gendeng saat itu benar-benar berbahaya. Seolah hanya tinggal menunggu
waktu saja. Gilanya si nenek menghadapi serbuan lima pengeroyok dengan tenang.
Mulutnya yang dipenuhi susur terkempot-kempot dan termonyong-monyong.
Memasuki jurus ke sembilan serangan Lima Laknat
Malam Kliwon bertambah gencar laksana air bah. Sinto Gendeng mainkan jurus-jurus
pertahanan Tameng Sakti Menerpa Hujan, Benteng Topan Melanda Samudera, Dinding
Angin Berhembus Tindih Menindih.
Jurus-jurus pertahanan itu diselingnya dengan jurus-jurus menyerang Segulung
Ombak Menerpa Karang, Membuka Jendela Memanah Rembulan, Di Balik Gunung Memukul
Halilintar serta Kepala Naga Menyusup Awan.
Lalu tidak lupa pula dia hantamkan pukulan-pukulan sakti Orang Gila Mengebut
Lalat, Kunyuk Melempar Buah, dan Angin Puyuh.
Lima pengeroyok lambat laun menjadi leleh juga nyali mereka. Dikeroyok lima
ternyata si nenek bukan saja mampu bertahan tapi malah balas menyerang dengan
ganas. Yang bisa mereka lakukan hanyalah menjaga diri masing-masing dan
mengurung rapat agar lawan tidak lolos. Disamping itu mereka terus memutar otak
bagaimana bisa merobohkan Sinto Gendeng.
Di jurus ke dua puluh sembilan satu celah tipis, untuk mendaratkan serangan
terlihat oleh tiga dari lima
pengeroyok. Mereka bersirebut cepat untuk susupkan jotosan ke dada, kepala dan
ulu hati lawan. Hampir serangan itu akan mengenai sasaran tiba-tiba Sinto
Gendeng keluarkan pekik keras. Tubuhnya bergelung
seperti ular menggeliat lalu melesat ke udara. Bersamaan dengan itu kaki
kanannya menendang. Inilah jurus yang disebut Ular Naga Menggelung Bukit.
Sebenarnya jurus ini mempergunakan gerakan tangan untuk melibas tubuh
lawan. Tapi si nenek gantikan tangan dengan kaki dan bukan untuk merangkul
melainkan untuk menendang!
"Braaakkk!"
Tendangan kaki kanan Sinto Gendeng bersarang di dada lawan paling depan. Orang
ini adalah yang sebelumnya juga telah terluka di dalam akibat tendangan Sinto
Gendeng. Melihat kawan mereka terkapar mengerang di tanah dan ada darah meleleh
keluar dari bawah
topengnya, empat anggota Lima Laknat Malam Kliwon
menjadi leleh nyalinya. Salah seorang dari mereka berbisik pada kawan di
sebelahnya. "Delapan tahun memburu tidak sangka kita hanya menemui kesia-siaan! Jahanam
betul! Ternyata nenek ini sangat tinggi ilmu kepandaiannya! Beri tanda pada
kawan-kawan, agar segera tinggalkan tempat ini!"
"Bagaimana dengan teman yang satu itu?" sang kawan bertanya.
"Tidak ada waktu untuk mengurusnya. Melihat
keadaannya nyawanya tak bisa ditolong! Kalau kita
menghabiskan waktu menolongnya salah-salah kita bakal kena digebuk nenek keparat
itu! Apa kau tidak sadar.
Sampai saat ini dia masih belum mengeluarkan Pukulan Sinar Matahari! Apa lagi
kalau dia sampai menyerang dengan Sepasang Sinar Inti Roh, kita semua bisa
celaka!" "Kalau cuma pukulan Sinar Matahari mengapa perlu ditakutkan" Lagi pula kita
belum pasti apa benar dia memiliki ilmu kesaktian bernama Sepasang Sinar Inti
Roh itu!" "Sudah! Jangan banyak cerita! Kalau kau mau mampus lebih dulu silahkan tinggal
di sini!" Setelah saling memberi tanda empat dari lima manusia berjubah dan bertopeng
hitam itu akhirnya segera
berkelebat melarikan diri.
Sinto Gendeng cabut susurnya lalu meludah ke tanah.
Dia tiada niat hendak mengejar empat orang yang kabur itu. Dia memasukkan
kembali susur ke dalam mulutnya lalu segera dekati orang yang ditinggalkan
kawan-kawannya. Setelah pandangi sebentar wajah bertopeng itu Sinto Gendeng
tertawa cekikikan.
"Laknat bernasib malang! Kawan-kawanmu sudah pada kabur! Kalian biasa membunuh
orang di malam Kliwon!
Kini justru kau sendiri yang bakal menerima mampus di malam Kliwon ini! Hik...
hik... hik!"
Dari balik topeng orang berjubah hitam yang tergeletak di tanah terdengar suara
bergumam. Dia seperti hendak mengatakan sesuatu namun yang keluar justru lelehan
darah, mengucur semakin banyak dari bawah topengnya.
Dengan mempergunakan ujung kaki kirinya yang kurus hanya tinggal tulang serta
kotor, enak saja Sinto Gendeng tanggalkan topeng di muka orang. Begitu wajahnya
tersingkap kagetlah si nenek, sampal dia keluarkan suara seruan tertahan dan
tersurut dua langkah.
"Kau!"
*** WIRO SABLENG 5 LIMA LAKNAT MALAM KLIWON
BAHALA DARI TELUK AKHIRAT
RANG yang tergeletak di tanah keluarkan suara
mengerang. Darah semakin banyak keluar dari
O mulutnya. Matanya menatap sayu pada Sinto
Gendeng. Orang ini ternyata adalah seorang kakek
berambut dan berkumis kelabu. Walau sudah tua serta dalam derita menahan sakit
luar biasa, wajahnya masih kelihatan gagah.
"Suro Ageng!" berseru Sinto Gendeng. "Apa mataku tidak salah melihat" Benar
kau..."!" Sepasang mata si nenek melotot tak berkesip.
Si kakek kedipkan matanya satu kali.
"Kau tidak salah melihat Sinto. Ini memang aku... Suro Ageng...."
Sinto Gendeng jatuhkan dirinya dan duduk di samping kakek bernama Suro Ageng
itu. "Belasan tahun kita tidak bertemu, mengapa tahu-tahu jadi begini..." Ah!
Kalau aku tahu siapa dirimu tentu aku tidak akan menurunkan
tangan jahat...."
"Kau tidak salah Sinto! Berani berbuat berani menerima akibat! Itu nasib
diriku!" "Suro...." Sinto Gendeng perbaiki letak kepala si kakek hingga lebih tinggi.
"Mengapa kau melakukan ini" Mengapa kau sampai jadi anggota Lima Laknat Malam
Kliwon?" "Aku terjebak Sinto. Pimpinan mereka meracuniku dengan tuba sejak sepuluh tahun
silam. Jika aku dan kawan-kawan berhasil membunuhmu baru dia akan
memberikan obat penawar!"
"Jahanam! Siapa orang yang jadi biang racun pimpinan Lima Laknat Malam Kliwon
itu?" "Aku sendiri tidak tahu. Lagi pula percuma untuk menyelidik. Apakah selama
belasan tahun berpisah kau selalu balk-baik Sinto?"
Si nenek tidak menjawab. Matanya menatap pada wajah yang tengah sekarat menahan
sakit itu. Dua mata si nenek tampak berkaca-kaca.
"Sinto, apakah masih ada rasa cinta dalam dirimu terhadapku seperti di masa muda
dulu.... "
"Gila! Kau bicara apa ini!" sentak Sinto Gendeng. Tapi kemudian dia merasa
menyesal berkata kasar begitu dan gigit bibirnya. Tengkuknya terasa dingin.
"Ah, kau masih galak seperti dulu saja..." kata Suro Ageng menyeringai lalu
mengerang kesakitan.
Sinto Gendeng tersenyum dan usap kepala si
kakek. "Aku akan mengobatimu! Kau pasti bisa sembuh dan hidup lagi di jalan yang
benar!" Si nenek meraba ke balik pakalan bututnya. Namun Suro Ageng gelengkan
kepala dan berkata.
"Aku berterima kasih mendengar ucapanmu. Satu pertanda kau masih mengasihiku.
Tapi tak ada gunanya Sinto. Lukaku sangat parah. Salah satu sisi jantungku
agaknya sudah remuk...."
"Aku yang menyebabkan! Aku yang menendangmu tadi!"
kata Sinto Gendeng sesenggukan. Lalu pukul-pukul
kepalanya sendiri.
Suro Ageng tersenyum. "Kau tahu Sinto, betapa aku merasa bahagia. Karena tidak
pernah menyangka bakal menemui ajal di sampingmu...." Darah mengucur lagi dari
mulut si kakek.
"Jangan berkata begitu Suro. Kau akan sembuh! Kau pasti sembuh!" Kembali si
nenek meraba ke balik pakaiannya di mana dia menyimpan sejenis obat sangat
ampuh. Kali ini Suro Ageng diam saja, memperhatikan apa yang dilakukan Sinto
Gendeng. Namun belum sempat nenek sakti itu mengeluarkan
bungkusan obat dari balik pakaiannya sekonyong-konyong dari kegelapan melesat
satu bayangan aneh menebar bau busuknya binatang hutan.
"Sinto awas! Aku merasa ada bahaya mengancam
dirimu..." kata Suro Ageng.
"Siapa berani mencari mati! Apa lagi dalam keadaan aku hendak menolongmu!"
"Makhluk yang katanya mencari mati itu bernama Kelelawar Pemancung Roh!" satu
suara menjawab lalu orang yang bicara ini melangkah mendekati Sinto Gendeng dan
Suro Ageng. Orang ini bertubuh besar tinggi dengan sepasang kuping mencuat ke atas. Dia
memiliki dua buah tangan panjang menjela sampal ke bawah lutut, hitam berbulu.
Dua matanya sangat kecil dan sipit, seolah terpejam.
Baik Sinto Gendeng maupun Suro Ageng sama-sama
terkejut melihat munculnya orang ini. Si kakek cepat berbisik. "Sinto, ingat.
Empat puluh tahun silam kau pernah mengobrak-abrik sarang kaum pemberontak di
selatan. Delapan diantara orang yang kau basmi itu punya pertalian darah sangat erat
dengan Kelelawar Pemancung Roh dari Teluk Akhirat ini. Hati-hati Sinto...."
"Aku ingat. Siapa takut...!"
"Baiknya segera kau tinggalkan tempat ini. Bukan menganggap enteng dirimu. Tapi
manusia ini punya ilmu jahat berupa hawa beracun yang bisa membunuh siapa saja
dalam waktu singkat! Hawa itu tidak berwarna dan tidak berbau!"
"Kau tenang saja Suro. Biar aku yang menghadapi monyet tangan panjang ini!"


Tiga Dalam Satu 05 Lima Laknat Malam Kliwon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sinto Gendeng bergerak bangkit. Gerakannya tertahan ketika dia melihat satu
keanehan terjadi dengan sosok orang bernama Kelelawar Pemancung Roh itu.
Bersamaan dengan gerakan mengangkat ke dua tangannya ke atas tiba-tiba tubuhnya
yang tinggi besar menciut pendek sampai hanya tinggal setinggi lutut. Sebaliknya
dua tangannya yang hitam berbulu semakin besar dan panjang.
"Plaakkk!"
"Plaakkk!"
Ada suara seperti kepakan sayap. Dua buah benda lebar memayungi tempat itu
hingga suasana menjadi sangat gelap. Dalam kegelapan itu Sinto Gendeng mendongak
ke atas. Si nenek tercekat!
Di ujung-ujung tangan orang yang tubuhnya mengecil itu kini kelihatan dua ekor
kelelawar raksasa mengepakkan sayap tiada henti. Dua matanya yang memancarkan
sinar merah memandang membersitkan maut pada Sinto
Gendeng. Mulutnya terbuka lebar memperlihatkan gigi-gigi runcing pertanda
beringas. Sepasang kaki dua kelelawar raksasa ini ternyata menjadi satu dengan
tangan orang yang memegangnya.
"Sinto!" seru Suro Ageng. "Lekas tinggalkan tempat !nil"
Tapi si nenek mana mau perduli. Malah dia sudah
alirkan tenaga dalam ke tangan kanan.
Sosok kerdil gerakkan dua lengannya. Tiba-tiba dua kelelawar jejadian menguik
dahsyat. Sebelum Sinto
Gendeng sempat pentang tangannya untuk menghantam
mendadak dari mulut dua kelelawar itu menderu tiupan angin kencang.
" Seribu Hawa Kematian! " teriak Suro Ageng. "Sinto!
Lekas menyingkir!"
Walau sudah diperingati begitu Sinto Gendeng tetap saja pasang kuda-kuda siap
untuk menghantam dengan pukulan sakti. Melihat hal ini Suro Ageng kumpulkan
semua tenaga yang ada lalu melompat. Ketika hawa
beracun dari dua mulut kelelawar menerpa, sosok si kakek berada di depan Sinto
Gendeng, menghalangi
membentenginya. Namun perbuatannya sia-sia belaka
karena hawa beracun yang tidak terlihat dan tidak berbau itu telah menyungkup di
sekitar mereka! Saat itu juga ke dua orang itu megap-megap roboh ke tanah.
"Plaakk!"
"Plaakk!"
Dua kelelawar raksasa kepakkan sayapnya. Sosok orang yang memegangnya membesar
kembali. Begitu sampai
pada ukuran sebelumnya dua kelelawar serta merta
lenyap. Orang ini turunkan tangannya lalu setelah tertawa bergelak dia
tinggalkan tempat itu.
*** WIRO SABLENG 6 LIMA LAKNAT MALAM KLIWON
PENGORBANAN DI AKHIR HAYAT
I SATU jalan mendaki Pendekar 212 hentikan larinya.
Memandang berkeliling dia hanya melihat kegelapan.
D Hatinya gelisah. Bukan kegelapan itu yang
membuatnya gelisah. Dia merasa tidak enak karena ingat akan gurunya yang
ditinggalkan sendirian. Memang si nenek tidak kurang suatu apa. Tapi sikapnya
tidak seperti biasa. Lalu apa pula maksudnya menanyakan malam itu malam apa.
Selagi dia berpikir-pikir begitu rupa tiba-tiba dia melihat empat bayangan hitam
berkelebat di antara rerumpunan semak belukar. Wiro cepat menyelinap, mendekam
di satu tempat gelap dan mengintai. "Jangan-jangan para tokoh silat kaki tangan
pemberontak," pikir Wiro.
"Kita kembali saja ke Kotaraja! Sialan, tidak sangka setan satu itu tinggi
sekali ilmunya!" Salah seorang dari rombongan di dalam gelap berkata.
Wiro memperhatikan. "Mereka mengenakan jubah
hitam. Muka memakai topeng hitam seperti barong. Siapa gerangan orang-orang
ini..." pikir Wiro. Lalu didengarnya salah seorang dari mereka berkata menyahuti
ucapan kawannya tadi.
"Kotaraja sedang tidak aman. Apa kau tidak dengar riwayat seorang pemuda sakti
mandraguna yang
menghabisi pentolan pemberontak" Kita jangan sampai terlibat! Urusan kita ada
yang lebih penting."
"Kalau begitu kita segera saja menuju ke puncak Merapi menemui Pimpinan!" Tiga
kawan yang lain menyetujui.
Maka saat itu juga ke empat orang itu berkelebat ke arah timur dan lenyap dalam
kegelapan. Wiro keluar dari balik tempat pengintaiannya sambil usap-usap dagu, coba
menduga-duga siapa adanya ke
empat orang itu. "Dari pembicaraan mereka agaknya mereka bukan pentolan
pemberontak. Lalu siapa yang disebut setan satu yang tinggi sekali ilmunya itu?"
Setelah berpikir beberapa saat lagi akhirnya Wiro
memutuskan untuk kembali ke tempat dia meninggalkan Eyang Sinto Gendeng. Mungkin
dia tidak perlu menemui sang guru. Asal melihat si nenek berada dalam keadaan
tak kurang suatu apa hatinya baru lega dan dia lantas akan lanjutkan perjalanan.
Karena mempergunakan ilmu lari cepat dan me
nempuh jalan yang sebelumnya sudah dilewati maka
dalam waktu singkat Wiro sampai kembali ke tempat dia meninggalkan Eyang Sinto
Gendeng. Namun betapa
kejutnya setengah mati ketika melihat sang guru tergeletak di tanah dengan mata
nyalang tak berkesip dan mulut mengeluarkan busah. Di sebelahnya terkapar
seorang kakek yang juga mengeluarkan busah serta darah dari mulutnya. Meskipun
megap-megap sekarat tapi matanya kelihatan nyalang.
"Guru! Eyang!" teriak Wiro lalu jatuhkan diri dan letakkan kepala si nenek di
atas pangkuannya.
Sosok kakek di sebelah Sinto Gendeng bergerak sedikit.
"Anak muda, siapapun kau adanya lekas ambil sebuah sapu tangan hitam dalam saku
pakaianku...."
"Katakan apa yang terjadi"! Kau siapa"!" Wiro memotong ucapan orang.
"Jangan bertanya menghabiskan waktu! Sinto Gendeng dalam bahaya besar. Dia bisa
mati dalam beberapa
kejapan kalau tidak segera ditolong. Didalam lipatan sapu tangan hitam ada empat
butir obat. Dua berwarna putih, dua berwarna hitam. Masukkan obat itu ke dalam
mulut Sinto Gendeng! Lekas, lakukan segera! Jangan sampai terlambat!"
Sesaat Wiro masih bingung. Tapi kemudian dia segera lakukan apa yang dikatakan
orang. Di dalam saku kanan pakaian hitam si kakek memang dia menemukan sehelai
sapu tangan hitam. Dalam gulungan sapu tangan itu ada empat butir benda bulat
sebesar ujung jari kelingking. Dua berwarna putih, dua berwarna hitam. Seperti
yang dikatakan kakek tak dikenal itu Wiro masukkan obat itu ke dalam mulut gurunya.
Lalu dia mengurut tenggorokan Sinto Gendeng hingga empat butir obat tertelan dan
melewati tenggorokan lalu masuk ke dalam perut. Begitu masuk ke dalam usus
besar, Sinto Gendeng menggeliat dan
keluarkan suara erangan keras. Dari mulutnya mengepul asap aneh. Matanya yang
tadi mendelik perlahan-lahan menutup. Lalu sosok si nenek tidak bergerak lagi.
"Jahanam! Kau menipu! Guruku menemui ajal akibat obat yang ditelannya!" teriak
Wiro marah. Tangan kanannya siap hendak menggebuk batok kepala si kakek.
"Anak muda! Jangan cepat salah sangka! Jangan keburu menduga buruk. Gurumu hanya
pingsan tanda obat tengah bekerja. Walau tidak sembuh menyeluruh tapi yang
penting Sinto Gendeng sudah lolos dari lobang jarum kematian.
Coba kau periksa lengannya. Kau akan merasakan
denyutan nadi tanda dia masih hidup...."
Wiro cepat meraba pergelangan tangan kanan Sinto
Gendeng. Hatinya lega. Ternyata memang masih ada
denyutan pada urat besar si nenek.
"Orang tua, harap kau menerangkan apa yang terjadi.
Dan kau sendiri siapa?"
"Dua pertanyaanmu tidak penting. Sebelum aku
meregang nyawa ada beberapa hal yang perlu aku beri tahu.... Pertama, Sinto
Gendeng walaupun selamat dari kematian tapi seumur hidup tubuhnya sebelah
pinggang ke bawah akan mengalami kelumpuhan. Hal kedua, satu-satunya cara untuk
mengobati kelumpuhan itu adalah mencari sekuntum Bunga Matahari yang tumbuh
menghadap matahari terbit dan hanya mengembang pada saat terjadi gerhana
matahari. Jika kau berhasil
mendapatkan bunga itu pada saat mengembang dan
dimakan oleh Sinto Gendeng maka dia akan sembuh dari kelumpuhan...."
"Aku sudah mendengar ucapanmu Kek! Sekarang
katakan apa yang terjadi! Siapa yang melakukan
malapetaka ini atas diri guruku" Lalu kau sendiri siapa?"
"Orangnya dikenal dengan julukan Kelelawar Pemancung Roh. Sarangnya di Teluk
Akhirat. Dia menghantam Sinto Gendeng dengan racun Seribu Hawa Kematian. Tidak
ada satu orangpun yang mampu lolos dari kematian jika diserang. Racun itu berupa
hawa yang tidak kelihatan dan juga tidak berbau. Karena keadaannya lebih berat
dari udara maka hawa beracun ini selalu
mengambang dari atas ke bawah. Akibatnya tidak ada yang bisa lolos dari
kematian...."
"Aku pernah mendengar nama Kelelawar Pemancung Roh itu. Akan kucari dan
kucincang sampai lumat manusia keparat itu!" Pendekar 212 geram bukan kepalang.
"Hai! Kau belum menerangkan siapa dirimu!"
"Aku Suro Ageng. Sahabat Sinto Gendeng di masa muda.... Aku...."
"Kalau kau benar sahabat guruku kau harus kutolong....
Kau masih memiliki obat seperti yang kau berikan pada Eyang Sinto Gendeng?"
"Sebenarnya obat itu bisa dibagi dua, untukku dan untuk gurumu. Tapi jika dibagi
dua daya kekuatannya jadi berkurang. Gurumu mungkin tidak banyak tertolong. Aku
memutuskan menolongnya agar bisa hidup. Sedang diriku sendiri sudah pasrah
menghadapi maut...."
"Pasti ada cara menolongmu Kek!" kata Wiro seraya memandang berkeliling. Tibatiba matanya membentur topeng yang sebelumnya dipakai Suro Ageng. Wiro lantas
ingat pada empat orang dalam gelap yang ditemuinya sebelumnya. Ketika dia
memperhatikan pula pakaian si kakek, berdesirlah darahnya. Kakek ini mengenakan
jubah hitam seperti yang dipakai orang-orang itu! Murid Eyang Sinto Gendeng jadi
curiga. "Kek, sebelumnya aku melihat empat orang mengenakan topeng dan jubah hitam seperti yang kau
kenakan. Apakah kau punya sangkut paut dengan
mereka...?"
"Anak muda, kau pernah mendengar nama Lima Laknat Malam Kliwon?"
"Pernah..." jawab Wiro. Lalu dia ingat. "Sebelumnya guruku pernah bertanya malam
ini malam apa! Bukankah malam ini malam Jum'at Kliwon" Berarti...!" Sepasang
mata sang pendekar mendelik. Tubuhnya bergeletar. "Kau salah satu dari mereka!"
Suro Ageng mengangguk perlahan.
Rahang Pendekar 212 menggembung. "Bukankah jika Lima Laknat Malam Kliwon muncul
di malam Kliwon berarti ada orang yang bakal menjadi korbannya"! Jangan-jangan
kalian sebelumnya punya maksud keji terhadap guruku!"
"Kau benar anak muda! Tapi maksud kami tidak
kesampaian. Aku sendiri sangat menyesal...."
"Kesampaian atau tidak, menyesal atau tidak aku tidak perduli! Biar kupecahkan
dulu batok kepalamu!"
Wiro lalu angkat tangan kanannya untuk menggebuk
batok kepala Suro Ageng. Si kakek diam saja. Tidak bergerak, berkedippun tidak
seolah pasrah. Tiba-tiba dari samping terdengar ucapan Sinto Gendeng.
"Anak setan! Kakek itu telah selamatkan nyawaku dengan nyawanya! Mengapa kau
hendak membunuhnya"!"
"Eyang!" seru Wiro. Saat itu si nenek sudah bergerak bangkit dan duduk di tanah.
Ketika dia mencoba berdiri ternyata dia tidak mampu menggerakkan kedua kakinya.
Dia pergunakan tangan meraba dua kaki itu. Kaki itu tidak merasa apa-apa. Maka
menjeritlah si nenek! Lalu terkulai pingsan. Di saat yang sama kepala Suro Ageng
terkulai pula ke kiri. Orang ini tak bergerak lagi bertanda nyawanya melayang
sudah. *** WIRO SABLENG 7 LIMA LAKNAT MALAM KLIWON
SINTO GENDENG LUMPUH
OSOK Sinto Gendeng bergerak. Dari mulutnya keluar
erangan halus. "Nek, kau sudah siuman Nek?" tanya S Wiro yang duduk memangku
kepala gurunya.
"Kepalaku berat.... Mataku sulit dibuka. Tapi aku mendengar suaramu. Anak
setan.... Apa yang terjadi dengan diriku. Aku... aku tidak mampu menggerakkan
dua kakiku. Aku tak mampu bergerak duduk...."
"Eyang, kau tiduran saja dulu. Jangan terlalu banyak bicara...."
"Anak setan! Berani kau melarang aku bicara"!" bentak Sinto Gendeng. Mukanya
yang hanya tinggal kulit pembalut tulang kelihatan pucat.
"Nek, biar aku ceritakan apa yang terjadi denganmu. Aku ingin ingatanmu pulih
dan tabah menerima kenyataan...."
"Tabah menerima kenyataan" Eh, apa maksudmu anak sableng"! Memangnya apa yang
terjadi"!" tanya Sinto Gendeng pula.
"Dua kakimu lumpuh Nek. Akibat racun Seribu Hawa Kematian...."
Perlahan-lahan dua mata si nenek terbuka sedikit,
makin lebar, tambah lebar dan akhirnya memandang
mendelik pada sang murid. Dia usap dua kakinya dengan tangan kanan. Tidak terasa
apa-apa. Dia coba gerakkan dua kaki itu. Dia tidak mampu melakukan. Sinto
Gendeng hendak menjerit tapi akhirnya sadar dan hanya bisa pasrah.
"Kelelawar Pemancung Roh dari Teluk Akhirat.... Dia yang mencelakaiku. Dia
melampiaskan dendam empat
puluh tahun lalu!" Rahang si nenek menggembung.
Mukanya yang seperti tengkorak tampak tambah angker.
"Dendam akan berkelanjutan. Kelelawar Pemancung Roh benar-benar telah menanam
racun! Dia kelak akan
memetik dan menelan buah racunnya! Selama bumi
terhampar, selama langit berkembang aku akan mencari dan membunuhnya...."
"Eyang, untuk sementara harap kau tidak memikirkan segala dendam kesumat. Kita
harus mencari jalan
bagaimana bisa menyembuhkan dirimu. Menurut kakek
bernama Suro Ageng itu...."
"Suro Ageng!" Sinto Gendeng menyebut nama itu setengah menjerit. "Mana dia"!"
Sepasang mata si nenek berputar.
"Dia ada di sebelahmu Nek. Tapi sudah mendahuluimu.
Mati akibat Seribu Hawa Kematian."
Dua mata Sinto Gendeng mendelik. Dia gerakkan
kepalanya ke kiri. Sosok Suro Ageng tergeletak di
sebelahnya. Tangan kirinya diulurkan memegang tangan si kakek. Dia hendak
menjerit namun yang keluar hanya sesenggukan. "Suro.... Kalau saja dulu aku
menerima lamaranmu dan kawin denganmu. Kau tidak akan
mengalami nasib seperti ini. Ah...."
Wiro jadi terkesiap mendengar ucapan sang guru.
Sambil garuk-garuk kepala dia berkata. "Eyang, jadi kakek ini dulunya adalah
kekasihmu di masa muda...?"
Si nenek tidak menjawab. Dalam hati Wiro bertanyatanya, di masa mudanya dulu sebenarnya berapa banyak si nenek ini punya kekasih.
Mungkin karena begitu
banyaknya hingga dia bingung memilih, akhirnya tak pernah kawin-kawin. Kalau
bukan dalam keadaan seperti itu pemuda konyol ini tentu sudah menggoda sang
guru. Sinto Gendeng usap-usap mukanya yang pucat
beberapa kali. Dari mulutnya kemudian meluncur ucapan.
"Aku pantas bangga padanya. Dia sengaja mengorbankan nyawanya untuk menyelamatkan jiwaku!
Suro.... Sungguh tinggi budimu...."
"Eyang, sebelum menghembuskan nafas kakek itu menerangkan bahwa satu-satunya
obat yang bisa menyembuhkan kelumpuhanmu adalah Bunga Matahari
yang tumbuh menghadap matahari terbit dan mekar pada saat gerhana matahari...."
Kulit muka Sinto Gendeng mengerenyit.
"Orang bisa berkata begitu. Tapi Gust! Allah menjadikan obat bukan cuma satu
macam! Pasti ada obat lain yang lebih mudah dari bunga matahari celaka itu!


Tiga Dalam Satu 05 Lima Laknat Malam Kliwon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kalau mengalami kesulitan kita harus cari kawanku Si Raja Obat!
Anak setan! Apakah kau sudah siap"!"
"Siap apa maksud Eyang?" tanya Wiro heran.
"Saat ini juga kita harus berangkat ke Teluk Akhirat!
Mencari manusia berjuluk Kelelawar Pemancung Roh itu!"
"Eyang.... Keadaanmu belum pulih. Lagi pula kau.... Kau tak bisa berjalan
sendiri...."
"Aku tidak menyuruhmu mencari keledai atau kuda, apa lagi onta tunggangan!"
jawab si nenek.
"Aku tahu Nek, maksudku kau harus istirahat dulu yang cukup. Jika kesehatanmu
pulih baru kita pikirkan apa yang harus kita lakukan...."
"Weehhhhh! Kau tahu apa mengenai diri dan
kesehatanku! Jangan kau mengatur diriku, anak sableng!"
Wiro garuk-garuk kepala. Tak ada jalan lain. Ketika dia hendak membantu si nenek
berdiri pandangannya
membentur sebuah benda tergeletak di tanah dekat kaki Suro Ageng. Wiro segera
mengambilnya. "Benda apa itu...?" Sinto Gendeng bertanya.
Sambil memperhatikan benda yang dipegangnya Wiro
menjawab. "Sebuah kalung kepala srigala. Terbuat dari perak. Rantainya sudah
putus...."
"Kepunyaan siapa menurutmu?" tanya si nenek.
"Sulit kuduga Nek. Mungkin salah seorang dari komplotan Lima Laknat Malam
Kliwon. Mungkin juga punya makhluk kelelawar dari Teluk Akhirat itu.... "
"Simpan baik-baik. Benda itu bisa kita jadikan bahan pelacak dimana sarangnya
Lima Laknat Malam Kliwon
serta Kelelawar Pemancung Roh!"
Wiro mengiyakan sambil mengangguk lalu masukkan
kalung kepala srigala itu ke balik pakaiannya.
"Sekarang kita harus segera tinggalkan tempat ini!" kata Sinto Gendeng.
"Apa tidak menunggu dulu sampai pagi hari Nek" Lagi pula bukankah kita harus
mengurus mayat kakek bernama Suro Ageng In!?"
"Mayat Suro Ageng memang menjadi ganjalan. Tapi kalau kita melewati sebuah desa,
kita bisa upahkan orang untuk mengurusnya. Sekarang jangan banyak membantah.
Kita harus tinggalkan tempat ini. Teluk Akhirat cukup jauh dari sini!"
"Tapi Nek, kau tak bisa berjalan sendiri. Apa lagi berlari!"
ujar Wiro pula.
"Siapa bilang aku akan jalan kaki sendiri"!" ujar si nenek seraya menyeringai.
"Memangnya kau bisa terbang, Nek?"
"Weehhhh! Kau yang menerbangkan aku, anak setan!"
Wiro keheranan tak mengerti.
"Dukung aku di pundakmu! Kau boleh berjalan biasa, berlari atau terbang! Sukasukamulah! Hik... hik... hik...."
"Nek! Kau...."
"Jangan berani membantah perintah seorang guru!"
"Aku tidak membantah Eyang. Tapi bayangkan saja kalau aku harus membawamu
kemana-mana. Di dukung di atas bahu!"
"Lalu apa kau mau mendukung aku seperti membedung bayi di depan dada" Hik...
hik... hik!"
"Kita harus mencari binatang untuk tungganganmu..."
kata Wiro pula.
"Aku gamang kalau menunggangi binatang. Aku cuma mau didukung belakang.
Nangkring di atas pundakmu! Ayo tunggu apa lagi! Naikkan aku ke atas pundakmu
Wiro!" Pendekar 212 garuk-garuk kepala. "Celaka benar!
Bagaimana aku bisa mendukung nenek yang sekujur
badannya bau pesirfg begini rupa!"
"Jangan kau mengumpat atau memaki dalam hatimu anak setan! Jika kau tidak rela
mendukungku, cepat kau tinggalkan aku sekarang juga! Lalu mulai saat ini putus
hubungan kita sebagai murid dan guru!"
Wiro memaki panjang pendek dalam hati. Namun dia
memang tidak bisa menolak. Tubuh sang guru diangkatnya lalu dinaikkannya di atas
pundaknya. Leher dan pundaknya kiri kanan langsung terasa dingin oleh rembesan
air kencing yang menempeli kain panjang butut yang
dikenakan Sinto Gendeng. Rahang Pendekar 212
menggembung. Kuping hidungnya bergerak-gerak.
Celakanya si nenek duduk sambil goyang-goyangkan
badannya seperti anak kacil keenakan.
"Uh.... Kau berat sekali Nek!" kata Wiro masih belum melangkah.
"Jangan macam-macam Wiro. Tubuhku cuma tinggal tulang belulang! Apanya yang
berat"!" Si nenek lalu jambak rambut gondrong muridnya.
"Tubuhmu memang tidak berat Eyang. Tapi yang berat mungkin dosamu karena terlalu
banyak kekasih di masa muda!" jawab Pendekar 212 pula.
Tangan kiri Sinto Gendeng menyambar telinga kiri Wiro lalu dipuntir lumat-lumat
hingga Wiro menjerit kesakitan.
"Anak setan! Aku tahu kau tidak suka mendukungku seperti ini! Tapi seandainya
aku seorang gadis cantik jelita, weehhhhh! Pasti kau akan bawa kemana saja dan
tanganmu akan menggerayang kesana-sini!" Sinto Gendeng tertawa mengekeh. Dia
puntir lagi telinga kiri Wiro. "Ayo jalan!"
"Aduh Eyang! Ampun! Jangan dipuntir telingaku! Aku segera jalan!" teriak Wiro
kesakitan. "Nah bagus kalau begitu! Hik... hik... hik...."
Belum jauh berjalan tiba-tiba Sinto Gendeng pegang tagi telinga kiri Wiro.
"Nek...!"
"Anak setan! Kau mau bawa aku kemana"! Aku tidak bodoh! Teluk Akhirat letaknya
di sebelah selatan sana.
Mengapa kau menuju ke arah timur?"
"Anu Nek.... Ada baiknya kita lebih dulu menemui Kakek Segala Tahu di bukit
kapur tempat kediamannya. Siapa tahu dia ada di sana. Kita bisa minta petunjuk
bagaimana caranya kau bisa disembuhkan dengan cepat...."
"Kau murid baik dan pintar!" Si nenek elus-elus rambut gondrong muridnya.
"Berjalan biasa-biasa saja. Tak usah kesusu. Tubuhku letih sekali. Aku mau tidur
barang beberapa lama...." Sinto Gendeng rangkapkan dua tangannya di depan dada.
Matanya dipejamkan. Sesaat kemudian terdengar suara ngoroknya sepanjang jalan.
"Nenek bau pesing sialan!" memaki Pendekar 212. "Dia enak-enakan ngorok di atas
pundakku sementara aku
sengsara. Kalau saja kau bukan guruku dari tadi-tadi kau sudah kubanting ke
tanah!" Saat itu bernafaspun sang pendekar takut rasanya. Karena setiap dia
menarik nafas, yang masuk ke dalam rongga hidungnya adalah bau pesing tubuh dan
kain panjang butut si nenek!
TAMAT Segera terbit: SERIBU HAWA KEMATIAN
ARIO BLEDEK 1 PETIR DI MAHAMERU
KI SURO GUSTI BENDORO
ARI Jum'at Pahing, tepat tengah hari ketika sang
surya berada di titik tertinggi. Tidak seperti
H biasanya, di puncak Gunung Mahameru sama sekali
tidak kelihatan awan putih menggantung. Sinar matahari yang tidak terhalang
menebar terik mulai dari puncak sampai ke lereng bahkan kaki gunung. Angin tidak
sedikitpun berhembus. Udara terasa panas luar biasa dan kesunyian mencekam
hampir di setiap penjuru.
Ketika serombongan burung pipit melayang di langit sebelah utara, sayup-sayup
dari arah lereng gunung sebelah tenggara terdengar sesuatu berkelebat disertai
suara mendesis panjang tiada henti-hentinya. Tanah bergetar seolah ada sesuatu
menjalar melewatinya
sepanjang lereng.
Rombongan burung pipit lenyap di kejauhan. Suara
berkelebat dan suara mendesis terdengar semakin keras.
Tak selang berapa lama di satu jalan setapak di antara kerapatan pepohonan
kelihatan seorang kakek berjubah putih berlari laksana angin menuju puncak
Gunung Mahameru. Rambut dan janggutnya yang putih panjang melambai-lambai. Wajahnya
yang lanjut dimakan usia walau penuh keriput namun tampak jernih,
membayangkan satu pribadi yang bersih. Di tangan
kanannya ada sebatang tongkat bambu berwarna kuning.
Ujung jubah sebelah bawah dan lengan jubah putih lebar yang bergesek dengan
udara itulah sumber suara yang terdengar sejak tadi. Lalu suara mendesis tak
berkeputusan, inilah yang hampir sulit dipercaya kalau tidak menyaksikan
sendirl. Ternyata di belakang kakek berjubah putih itu, meluncur ratusan ular berbagai
bentuk dan warna. Binatang ini meluncur di tanah jalan setapak mengikuti larinya
si orang tua yang tengah menuju ke puncak gunung sambil tiada hentinya
mengeluarkan suara mendesis. Sosok tubuh
mereka yang ratusan banyaknya itu menimbulkan suara menggemuruh di tanah.
Sesekali kakek ini berpaling ke belakang. Mulutnya tersenyum melihat binatangbinatang itu. Namun dalam hati dia merasa sedih. Suara hatinya berkata. " Tuhan
memberi akal pikiran dan perasaan hati pada manusia. Yang membuatnya lebih agung
dan membedakannya dengan binatang. Tetapi terkadang binatang memiliki alam pikiran
dan hati sanubari yang lebih jernih dan polos dari manusia. Ular-ular itu,
mereka menunjukkan kesetiaan yang tidak semua manusia memilikinya...."
Semakin tinggi ke puncak gunung semakin berkurang
pepohonan dan semak belukar. Sengatan sinar matahari tambah membakar. Di manamana kini tampak
berhamparan batu-batu hitam berbagai ukuran.
Sekonyong-konyong dari lereng sebelah atas terdengar suara langkah-langkah kaki
kuda, bergerak ke arah orang tua berjubah putih yang sementara mendaki ke
jurusan berlawanan. Orang tua ini segera hentikan langkahnya dan menatap ke
depan. " Tidak sembarang kuda mampu menaiki puncak gunung. Apa lagi gunung tinggi
seperti Mahameru ini.
Binatang itu pasti kuda yang sangat terlatih. Bukan kuda sembarangan. Mungkin
sekali kuda yang biasa
dipergunakan dalam peperangan.... Keadaan di Demak masih sangat kacau. Bukan
mustahil... . "
Belum selesai orang tua itu berucap dalam hati dua ekor kuda besar, satu
berwarna coklat, satunya hitam berkilat muncul di atasnya. Dari ladam-ladam kaki
kuda yang tebal dan bergerigi jelas bahwa dua ekor binatang ini memang sengaja
diperuntukkan untuk ditunggangi di puncak
gunung atau kawasan berbatu-batu.
Di atas kuda berwarna coklat duduk seorang bertubuh besar, berkulit sangat
hitam. Dari pakaian dan bentuk gagang pedang yang terselip di pinggangnya jelas
dia adalah seorang Perwira Kerajaan. Yang anehnya orang ini memegang sebuah obor
besar di tangan kirinya sementara tangan kanan menahan tali kekang kuda
tunggangannya. Di samping si Perwira, di atas kuda besar hitam yang kelihatan garang duduk
gagah seorang kakek berjubah kuning. Jubah ini terbuat dari bahan tebal dan
mahal. Di tangan kirinya dia memegang sebatang tombak besi. Pada ujung tombak
terikat sebuah bendera berbentuk segi tiga berwarna kuning.
Di belakang kakek berjubah putih, ratusan ular
mendadak tegakkan kepala dan mendesis keras. Kakek itu angkat tangan kanannya.
Binatang-binatang yang tadi kelihatan galak kini tundukkan kepala, tak ada yang
bersuara tapi tetap menatap ke depan dengan pandangan tidak berkesip. Binatangbinatang yang dalam perasaan dan tinggi tingkat kewaspadaannya ini rupanya sudah
mencium sesuatu akan terjadi.
Setelah pandangi dua orang itu sejenak, orang
tua berjubah putih segera memaklumi ada sesuatu dibalik kernunculan mereka.
Walau hatinya merasa tidak enak sambil tersenyum orang tua ini menegur.
"Perwira Brajanala, sahabatku Ki Dalem Sleman, ini sungguh satu pertemuan yang
tidak disangka-sangka.
Aku tak bisa menutupi kegembiraanku. Tapi juga merasa aneh dan ingin bertanya.
Gerangan apakah sebabnya
hingga Perwira Brajanala bersuluh obor besar di bawah terang benderangnya sinar
matahari?" Orang tua berjubah putih ini ajukan pertanyaan walau sebenarnya dia
sudah tahu apa kegunaan obor besar itu. Yakni untuk melindungi diri dari ratusan
ular jika binatang-binatang itu menyerang.
Orang tua berjubah kuning bernama Ki Dalem Sleman
melirik pada Perwira di atas kuda coklat lalu berkata.
"Brajanala, kau tak perlu menjawab pertanyaannya. Karena kitalah yang akan
mengajukan banyak pertanyaan
padanya!" Kakek jubah putih kerenyitkan kening. Sepasang alisnya naik sesaat. Lalu kembali
dia tersenyum. "Kalau sampeyan mempunyai kepentingan mengapa tidak mengajukannya
sewaktu kita masih sama-sama di Demak. Mengapa
sampai-sampai menghabiskan waktu dan mencapaikan diri menemuiku di lereng
Mahameru ini?"
"Sebabnya lain tidak karena kau melarikan diri ketika Kerajaan dilanda
kekacauan. Padahal kau adalah salah seorang penasihat Sultan yang dibutuhkan
kehadirannya. Tapi kau menghilang begitu saja. Untung kami masih bisa menemuimu di sini!" Yang
berkata adalah Perwira Kerajaan bernama Brajanala yang berkulit hitam liat itu.
"Aku tidak melarikan diri. Tidak pula menghilang. Aku memang penasihat Kerajaan.
Tapi hanya sampai saat aku dibutuhkan. Saat Sultan dan Kerajaan tidak memerlukan
diriku lagi, aku merasa tidak ada gunanya lagi berada lebih lama di Demak.
Keluarga dan turunan Sultan saling
membantai memperebutkan tahta. Sampeyan tahu sendiri apa yang terjadi sejak
Sultan Trenggono mangkat.
Pangeran Sekar Seda Lepen adik Sultan yang seyogianya menjadi Raja menggantikan
kakaknya mati dibunuh orang.
Pangeran Prawoto, putera Sultan Trenggono yang siap-siap hendak dinobatkan
sebagai Sultan Demak dibantai habis bersama seluruh keluarganya secara keji oleh
Arya Penangsang, putera Pangeran Sekar Seda Lepen. Aku sendiri tidak lagi ingin
terlibat dengan segala urusan dunia dan kekuasaan. Apa lagi segala daya upayaku
untuk mendamaikan mereka tidak diperdulikan. Saat ini
Adiwijoyo, menantu mendiang Sultan Trenggono tengah menyusun kekuatan untuk
melakukan pembersihan.
Mudah-mudahan Tuhan membimbing dan melindunginya.
Aku mendoakan semoga dia berhasil, agar Kerajaan
kembali aman dan rakyat yang selama bertahun-tahun ini hidup menderita bisa
kembali menikmati hidup
tenteram...."
Ki Dalem Sleman, kakek berjubah hitam yang
memegang tombak sunggingkan senyum sinis. "Ucapanmu seolah satu filsafat yang
lebih tinggi dari langit, lebih dalam dari dasar samudera. Namun kami berdua
tahu kau berada di Mahameru ini bukan karena tidak ingin lagi terlibat dengan
segala urusan dunia, melainkan karena ada satu hal lain...."
"Sampeyan benar Ki Dalem Sleman," kata Ki Suro Gusti Bendoro pula. "Aku sengaja
naik ke puncak Mahameru ini karena menurut petunjuk yang aku terima dari Gusti
Allah melalui tiga kali mimpi, setelah lima puluh tahun
menunggu, puncak Mahameru ini merupakan ujung atau akhir perjalanan hidupku...."
"Rupanya kau manusia luar biasa sekali, Ki Suro Gusti Bendoro. Sampai-sampai
tahu dimana dan kapan akan
menemui ajal! Kau manusia murtad! Karena soal mati hidupnya manusia hanya Tuhan
yang mengetahui...."
"Aku tidak akan berdebat mengenai hidup matiku dengan sampeyan Ki Dalem
Sleman...."
"Baik! Karena kami berdua mencarimu memang bukan untuk bicara berpanjang lebar.
Kami mengetahui kau meninggalkan Demak dengan membawa Bendera Pusaka milik
Kerajaan yang bernama Kanjeng Kiai Pujoanom. Itu sebabnya kami mengejarmu sampai
ke sini. Kau harus menyerahkan Bendera Pusaka itu segera. Saat ini juga!"
Ki Suro Gusti Bendoro sangat terkejut mendengar kata-kata Ki Dalem Sleman itu.
"Ki Dalem Sleman, aku yakin sampeyan bukan orang yang suka berburuk sangka.
Namun apa yang barusan sampeyan katakan sungguh
mengejutkan. Bagaimana sampeyan bisa menuduh aku
membawa Bendera Pusaka Kanjeng Kiai Pujoanom?"


Tiga Dalam Satu 05 Lima Laknat Malam Kliwon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau bukannya membawa tapi mencuri Bendera Pusaka itu!" kata Perwira Brajanala
dengan suara keras dan tampang garang.
"Astagfirullah." Ki Suro mengucap. "Seumur hidupku aku tidak pernah mencuri. Apa
lagi sampai mencuri Pusaka Kerajaan yang sangat kujunjung tinggi. Sampeyan
berdua pasti menyirap kabar salah. Atau mungkin ada pihak yang memfitnah...."
"Tidak ada kabar yang salah! Tidak ada orang yang memfitnah...."
"Kalau begitu sampeyan berdua kupersilahkan
menggeledah diriku..." kata Ki Suro Gusti Bendoro dengan suara tetap tenang.
"Buat apa menggeledah. Kau pasti sudah
menyembunyikan Bendera Pusaka itu di satu tempat
rahasia!" tukas Brajanala. "Kami ingin kau mengantar kami ke tempat kau
menyembunyikan Bendera itu!"
Kakek berjubah putih gelengkan kepala lalu berkata.
"Apa yang aku katakan adalah suara kebenaran. Aku tidak mencuri Bendera Pusaka
itu...." "Kalau begitu terpaksa kau menggantikan Bendera Pusaka itu dengan kau punya
nyawa!" ujar Brajanala pula.
Lalu "sreettt!" Perwira Kerajaan ini hunus pedangnya.
Pedang telanjang itu berkilauan ditimpa sinar matahari.
Sang Perwira lalu sentakkan tali kekang kudanya. Binatang ini melangkah maju
mendekati Ki Suro Gusti Bendoro yang tetap berdiri dengan tenang bahkan wajah
tidak berubah sama sekali.
*** ARIO BLEDEK 2 PETIR DI MAHAMERU
SEBELUM AJAL BERPANTANG MATI
EGITU pedang keluar dari sarungnya, ratusan ular
yang ada di belakang Ki Suro Gusti Bendoro serta
B merta mendesis keras dan serentak melesat ke
depan. Kuda hitam dan kuda coklat meringkik tinggi sambil angkat dua kaki depan
masing-masing. Brajanala cepat kuasai kudanya lalu babatkan obor
besar di tangan kiri. Puluhan ular bersurut mundur tapi puluhan lainnya tetap
melesat ke depan. Ki Dalem Sleman gerakkan tangannya yang memegang tombak. Siap
menggebuk. Tombak ini bukan senjata biasa melainkan satu senjata mustika yang
bisa menebas batang pohon dan menghancurkan batu besar.
Ketika ular-ular itu hampir melewati orang tua berjubah putih, Ki Suro segera
angkat tangannya dan berkata.
"Sahabat-sahabatku, tenanglah. Kembali ke tempatmu di belakangku...."
Luar biasa sekali! Seperti mengerti apa yang diucapkan si orang tua, ratusan
ular itu bersurut ke belakang.
Brajanala melintangkan pedangnya di depan dada. "Ki Suro! Apa kau lebih suka
mati dengan kepala terbelah dari pada memberi tahu dimana kau sembunyikan
Bendera Pusaka itu"!"
"Soal Bendera Pusaka sudah aku katakan, aku tidak memilikinya. Soal kematian aku
hanya berserah diri pada Yang Maha Kuasa Maha Pencipta. Aku merasa bahagia
setelah menunggu lima puluh tahun untuk menghadap
Sang Pencipta akhirnya ada orang memberi jalan menuju pintu akhirat. Sampeyan
hendak membunuhku, aku sangat berterima kasih. Semoga Tuhan mengampuni dosa
sampeyan. Tapi izinkan aku lebih dulu menghadap ke Kiblat...."
Habis berkata begitu Ki Suro Gusti Bendoro putar
tubuhnya menghadap ke arah matahari tenggelam.
Di atas kuda coklat Perwira bernama Brajanala
kertakkan rahang. Tangan kanannya menggenggam
gagang pedang erat-erat. Lalu wuuut! Senjata itu
berkelebat menyilaukan di udara. Membacok dari atas ke bawah. Sasarannya adalah
batok kepala kakek berjubah putih yang tegak dengan kepala agak tertunduk,
pasrah menunggu ajal.
Ratusan ular di belakang si kakek tegakkan kepala, mendesis keras tapi tak ada
yang berani bergerak.
"Traanggg!"
Pedang besar di tangan Perwira Brajanala laksana
menghantam benda terbuat dari baja atos. Senjata itu patah dua begitu membentur
batok kepala Ki Suro Gusti Bendoro. Kepala si kakek sedikitpun tidak bergeming
bahkan rambutnya yang putih tidak ada yang putus barang sehelaipun! Di atas kuda
coklat Brajanala terhuyung-huyung. Tak terasa obor besar di tangan kirinya jatuh
ke tanah. Minyak yang tumpah segera disambar nyala api.
Kebakaran besar di tempat yang kering gersang dan panas itu akan segera terjadi
kalau kakek berjubah putih tidak lekas melakukan sesuatu. Sekali dia meniup,
padamlah kobaran api.
Untuk sesaat Brajanala masih memegang gagang
pedang namun kemudian senjata yang telah patah itu terpaksa dilepaskannya karena
tangannya terasa panas dan pedas. Ketika diperhatikannya, terkejutlah Perwira
Demak ini karena telapak tangannya ternyata telah
terkelupas melepuh!
Perlahan-lahan Ki Suro Gusti Bendoro angkat kepalanya.
Sesaat dia menatap sang Perwira yang memandang
padanya dengan mata membeliak dan rahang
menggembung. Ki Suro tersenyum dan berkata dengan suara lembut.
"Tuhan tidak mengizinkan sampeyan membunuhku. Ajalku tidak berada di tangan
sampeyan. Ini satu bukti bahwa ajal manusia tidak berada di tangan manusia
lainnya kecuali dengan kehendakNya. Perwira Brajanala, semoga Gusti Allah
mengampuni kesalahan sampeyan...."
Muka hitam Perwira Kerajaan itu kelam membesi. Dua tangannya terkepal, matanya
mendelik tak berkesip dan gerahamnya bergemeletakan.
"Ilmu kebalmu sungguh mengagumkan Ki Suro Gusti Bendoro!" Tiba-tiba Ki Dalem
Sleman membuka mulut. "Aku mau lihat, apakah kesaktianmu bisa menahan Tombak
Kiai Sepuh Plered milikku ini!"
Begitu selesai berucap Ki Dalem, Sleman langsung
tusukkan tombak besi yang ujungnya ada bendera kecil kuning berbentuk segitiga
ke leher Ki Suro Gusti Bendoro.
"Desss!"
Tombak besi tembus sampai ke tengkuk si kakek. Darah menyembur lalu membasahi
leher, dada dan jubah putih yang dikenakannya. Ratusan ular mendesis keras dan
tegakkan kepala. Namun seperti tadi tak ada bergerak.
Ki Dalem Sleman tertawa bergelak.
"Ki Suro! Ternyata ilmu kebalmu tidak sanggup menghadapi tombak saktiku! Ha...
ha... ha! Kau harus berterima kasih padaku karena telah menolongmu
menemui kematian lebih cepat!"
Sepasang mata Ki Suro Gusti Bendoro menatap tak
berkesip ke arah kakek berjubah kuning. Tidak ada
bayangan rasa sakit di wajah orang tua ini. Hal ini mungkin tidak terperhatikan
oleh Ki Dalem Sleman. Puas tertawa dia lalu cabut tombak Kiai Sepuh Plered dari
leher Ki Suro. Baik Ki Dalem Sleman maupun Perwira Brajanala mengira begitu tombak dicabut, Ki
Suro akan segera roboh ke tanah walau tangan kanannya masih bersitopang pada
tongkat bambu kuning. Tapi bukan saja sosok kakek itu tetap tegak tak bergerak
di tempatnya. Malah terjadilah satu hal luar biasa. Darah yang mengucur dari
luka tembusan tombak sakti di leher Ki Suro, yang meleleh membasahi leher, dada
serta jubahnya bergerak surut, naik ke atas, masuk kembali ke dalam lobang luka.
Lalu luka itu menutup dengan sendirinya. Tak ada cacat atau bekas yang
tertinggal. Sedang noda darah di jubah si kakek lenyap sama sekali. Jubah itu
kembali putih bersih seperti sebelumnya! Selain itu noda darah yang membasahi
tombak dan bendera kuning juga ikut sirna tanpa bekas!
Dinginlah tengkuk Ki Dalem Sleman dan Brajanala.
"Sahabatku Ki Dalem Sleman...." Ki Suro Gusti Bendoro berkata sambil mengulas
senyum. "Ternyata Tuhan juga tidak mengizinkan sampeyan membunuhku...."
Dua orang di atas kuda putus sudah nyali mereka.
Keduanya sentakkan tali kekang kuda masing-masing lalu menghambur lenyap ke arah
lereng timur Gunung
Mahameru. Ki Suro Gusti Bendoro hela nafas dalam lalu berucap.
"Ya Tuhan, ampuni dosa dan kesalahan ke dua orang itu.
Sesungguhnya mereka tidak tahu apa yang mereka telah perbuat."
Ki Suro Gusti Bendoro berpaling ke belakang. Ratusan ular tegakkan kepala. Orang
tua ini tersenyum yang dibalas oleh desisan halus oleh ratusan ular. Begitu Ki
Suro memutar tubuh dan melanjutkan perjalanan menuju
puncak gunung, binatang-binatang itu segera pula
mengikuti. Sosok-sosok mereka yang menjalar di tanah menimbulkan suara
bergemuruh. Semakin tinggi ke atas semakin terik sinar sang surya seolah membakar puncak
Mahameru. Ki Suro terus
melangkah. Ular-ular terus pula mengikutinya. Di satu tempat di mana terdapat
dua batu besar membentuk celah kakek ini hentikan langkahnya. Ratusan ular ikut
berherti. Kembali binatang ini tegakkan kepala. Telinga si kakek menangkap satu suara.
Telapak kakinya terasa bergetar.
Ada langkah-langkah berat di balik dua batu besar di depannya.
Tiba-tiba menggelegar satu auman dahsyat. Tanah dan batu-batu besar di tempat
itu bergetar. Sesaat kemudian muncullah kepala seekor harimau besar. Matanya
yang hijau menyorot tajam membersitkan hawa pembunuhan.
Mulutnya menguak lebar memperlihatkan barisan gigi-gigi besar dan taring-taring
runcing serta lidah merah haus darah. Sepasang kaki depan bergeser merendah.
Kepala perlahan-lahan dirundukkan. Pertanda raja rimba belantara penguasa puncak
Mahameru ini siap menerkam.
Di sebelah belakang ratusan ular mendesis keras.
Sebaliknya kakek yang hendak dijadikan mangsa harimau gunung itu tetap berdiri
tenang. Malah diwajahnya
menyeruak senyum. Tongkat bambunya dimelintangkan di dada. Lalu orang tua ini
membungkuk sedikit. Dari
mulutnya keluar ucapan.
"Kita sesama makhluk hidup ciptaan Tuhan. Tidak sepantasnya memiliki hati dan
rasa ingin menguasai. Apa lagi berniat jahat hendak menumpahkan darah melakukan
pembunuhan. Aku berjalan di jalanku, tidak mengusik tidak mengganggu. Engkau
berjalan di jalanmu tidak mengusik tidak mengganggu. Persahabatan adalah sesuatu
yang agung. Tetapi terkadang makhluk melupakannya karena dorongan yang datang
dari dalam diri sendiri serta tekanan yang datang dari luar. Aku ingin
bersahabat tetapi jika nasib menakdirkan bahwa kematianku ada di tanganmu, aku
akan merelakan selembar nyawaku. Lima puluh tahun aku menunggu kematian yang tak
kunjung datang.
Agaknya saat ini kau muncul tepat pada waktunya. Dengan kehendak Yang Maha Kuasa
apa yang akan terjadi,
terjadilah...."
Kakek itu lalu duduk bersila di tanah. Tongkatnya
diletakkan di atas pangkuan. Dua tangannya ditumpahkan di ujung lutut. "Harimau
raja rimba belantara. Jika kau datang membawa takdir bagi akhir nasibku aku
ikhlas menerima karena aku memang sudah menunggu.
Lakukanlah apa yang hendak kau lakukan...."
Dengan senyum masih membayang di wajah orang tua
itu menatap pada harimau gunung di depannya. Di sebelah belakang, ratusan ular
yang telah rnengangkat kepala siap melesat menyerang harirnau besar. Tapi orang
tua berjubah putih angkat tangan kanannya dan berkata
lembut. "Sahabatku, kalau takdir datang tidak ada satu kekuatanpun bisa menghalang.
Tetaplah berada di tempat kalian. Kematian bagian setiap makhluk hidup. Tubuh
tua dan lapuk ini sudah sejak lama mendambakannya...."
Ratusan ular keluarkan suara mendesis namun sikap
mereka tidak segalak tadi lagi. Satu persatu tundukkan kepala, menatap tak
berkesip ke depan.
Harimau besar tiba-tiba mengaum lalu melompat ke
atas batu besar. Dari atas batu besar inilah binatang itu menyergap si kakek,
langsung mengarah kepala. Namun masih dua jengkal sebelum mencapai sasarannya,
dari tubuh orang itu keluar satu hawa mengandung kekuatan dahsyat. Harimau besar
terpental ke udara. Meraung keras. Jatuh terbanting dan terguling-guling.
Si orang tua kelihatan terkejut melihat apa yang terjadi.
Wajahnya kemudian berubah seperti menyesali diri.
"Harimau besar pembawa takdir. Aku tidak bermaksud mencelakai dirimu. Aku lupa
kalau dalam diriku masih tersimpan sisa-sisa kekuatan tak berguna di masa muda.
Lakukanlah kembali. Serang diriku. Terkam. Aku
menginginkan kematian sebagaimana kau menginginkan tubuhku...."
Harimau gunung bangkit berdiri. Sepasang matanya
berkilat-kilat. Didahului gerengan keras binatang ini kembali menyerang
mangsanya. Kali ini mulutnya langsung menerkam kepala si kakek.
"Kraaakk... kraakkk.... kraakkk!"
Harimau besar itu seperti menggigit batu besar.
Hunjaman giginya yang besar-besar serta taringnya yang runcing-runcing jangankan
melukai, menggores kepala orang tua itupun tidak sanggup. Dua kaki depannya
menyambar ke depan.
"Breettt... breettt!"
Jubah putih Ki Suro Gusti Bendoro robek besar di dua tempat di bagian dada.
Namun kulit tubuhnya tidak
tergores barang sedikitpun. Harimau gunung bermata hijau itu mengaum keras.
Kibaskan ekornya lalu melompat lagi ke batu besar sebelah kiri. Dari sini
binatang ini melompat lagi ke batu lain di sebelah sana lalu menghambur pergi
melenyapkan diri.
Untuk beberapa lamanya Ki Suro Gusti Bendoro masih duduk bersila di tanah.
Perlahan-lahan dia bangkit berdiri, berpaling ke belakang menatap ratusan ular
yang masih ada di tempat itu. Sambil melintangkan tongkat bambu kuningnya di
depan dada orang tua ini berkata.
"Para sahabatku, kiranya cukup sampai di sini kalian mengantarku. Bagaimanapun
setiap perjalanan ada
akhirnya. Kehidupan di dunia ini ada batasnya. Seratus lima puluh tahun aku
menjalani kehidupan. Lima puluh tahun aku menunggu. Akhirnya saat penantian tiba
juga. Aku telah mendapat firasat melalui mimpi tiga kali berturut-turut. Aku akan
segera meninggalkan dunia fana ini. Walau aku manusia dan kalian binatang tapi
karena kita sama-sama makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa Maha
Pengasih aku yakin satu saat di alam baka kita akan berjumpa lagi dalam ujud
yang tidak kita ketahui. Selamat tinggal sahabat-sahabatku...."
Ratusan ular memenuhi jalan setapak itu keluarkan
suara mendesis halus seolah sedih dan serentak
rundukkan kepala, melata sama rata dengan tanah seolah memberi penghormatan
terakhir. Mata mereka yang
biasanya tajam tak berkesip kini tampak redup lalu teteskan air mata!
Kakek berjubah putih tundukkan kepala dan bungkukkan badannya dua kali berturut-turut lalu dengan menindih rasa berat di dalam
hatinya dia memutar tubuh. Sekali berkelebat dia telah berada beberapa tombak di
atas sana. Ratusan ular baru bergerak pergi setelah si orang tua tak kelihatan lagi.
*** ARIO BLEDEK 3 PETIR DI MAHAMERU
TUJUH PETIR DARI LANGIT
ANPA menghiraukan teriknya sengatan sinar,
Liang Maut Di Bukit Kalingga 2 Pendekar Rajawali Sakti 24 Kemelut Pusaka Leluhur Pendekar Elang Salju 11

Cari Blog Ini