Ceritasilat Novel Online

Banjir Darah Di Tambun 1

Wiro Sableng 010 Banjir Darah Di Tambun Tulang Bagian 1


Cerita silat - Banjir Darah di Tambun Tulang - cersil - Banjir Darah di Tambun
Tulang - baca komik - Banjir Darah di Tambun Tulang
Ebook by : Dewi Tirai Kasih
Scan Kitab : Kelapalima
Banjir Darah di Tambun Tulang -Dewi kz
1 Kiai Bangkalan menggeletak di lantai batu dalam Goa Belerang. Sedikit pun tubuh
itu tidak bergerak lagi karena nafasnya sudah sejak lama meninggalkan
tubuh! Orang tua itu menggeletak menelentang. Dua buah keris kecil yang panjangnya
hanya tiga perempat jengkal berhulu gading menancap di tubuh Kiai Bangkalan.
Darah bercucuran menutupi seluruh wajahnya.
Dalam jari-jari tangan kiri Kiat Bangkalan tergenggam secarik kertas tebal empat
persegi. Sedang tepat di ujung jari telunjuk tangan kanannya, yaitu pada lantai
batu tergurat tulisan:
TAMBUN TULANG Pendekar 212 Wiro Sableng yang berdiri di dekat tubuh tak bernyawa Kiai
Bangkalan tidak mengetahui apa arti dua buah kata itu. Apakah nama seseorang
yaitu manusia yang telah membunuh orang tua itu, ataukah nama sebuah tempat.
Yang diketahuinya ialah bahwa si orang tua telah menuliskan dua buah kata itu
pada saat-saat menjelang detik kematiannya karena ujung jari tangan yang dipakai
menulis masih terletak kaku di atas huruf terakhir kata yang kedua.
Diam-diam Wiro Sableng memaki dirinya sendiri.
Seharusnya dia datang lebih cepat ke Goa Belerang itu sehingga nasib malang
begitu tidak terjadi atas diri si orang tua. Kiai Bangkalan tempo hari telah
menyuruhnya datang dan menjanjikan akan memberi pelajaran tentang ilmu
pengobatan. Kini dia datang terlambat Kiai Bangkalan hanya tinggal tubuh
kasarnya saja lagi!
Perlahan-lahan pendekar muda ini berlutut di samping tubuh Kiai Bangkalan.
Diperhatikannya kertas tebal empat persegi yang tergenggam di tangan kiri Kiai
Bangkalan. Ternyata kertas tebal ini adalah robekan kulit sebuah buku. Dan pada kertas itu
tertulis: SERIBU MACAM ILMU PENGOBATAN
Banjir Darah di Tambun Tulang -Dewi kz
2 Wiro Sableng tarik nafas panjang yang mengandung penyesalan. Satu kesimpulan
lagi dapat ditarik oleh pendekar ini. Yaitu bahwa Kiai Bangkalan menemui
kematiannya dalam mempertahankan sebuah buku ciptaannya. Buku tentang pengobatan
itu tentulah sebuah buku yang sangat berguna bagi dunia persilatan hingga
seseorang telah mengambilnya dengan jalan kekerasan.
Dan Wiro lalu ingat kembali janji Kiai Bangkalan yang hendak mengajarkan ilmu
pengobatan kepadanya.
Rupanya orang tua itu telah membukukan seluruh macam cara pengobatan yang
diketahuinya. Sepasang mata Wiro Sableng kemudian berputar memperhatikan dua buah keris kecil
yang menancap di tubuh Kiai Bangkalan. Menurutnya kedua keris itu pasti
mengandung racun jahat karena seseorang yang ditusuk bahkan yang dicungkil kedua
matanya belum tentu, menemui kematian. Tak pernah dia sebelumnya melihat keris
semacam itu. Kiai Bangkalan bukan seorang berilmu rendah dan melihat pada
keanehan bentuk senjata yang menancap itu Wiro sudah dapat menduga, siapapun
pembunuh Kiai Bangkalan adanya, manusianya pastilah bukan orang sembarangan! Dan
siapakah kira-kira yang telah melakukan perbuatan terkutuk ini"
Untuk beberapa lamanya Pendekar 212 masih berlutut di situ. Akhirnya dia sadar
bahwa dia harus menguburkan jenazah Kiai Bangkalan: Didukungnya tubuh tiada
bernyawa itu dan melangkah menuju ke pintu. Untuk terakhir kalinya, sebelum
meninggalkan ruangan itu, Wiro memandang berkeliling. Dan saat itulah sepasang
matanya membentur sebuah benda. Benda itu tadi tidak kelihatan karena tertindih
oleh tubuh Kiai Bangkalan yang menggeletak di lantai. Wiro melangkah
mendekatinya. Benda yang mulanya disangkanya cabikan pakaian ternyata adalah
kulit harimau. Bulunya bagus berkilat, kuning berbelang-belang hitam. Apakah
Kiai Bangkalan telah bertempur melawan harimau" Mana mungkin seekor harimau bisa
menancapkan dua buah keris aneh di mata orang tua itu"
Atau mungkin harimau siluman" Kulit Itu kering dan bersih.
Ini membawa pertanda,bahwa itu bukan kulit harimau hidup! Pendekar 212 Wiro
Sableng masukkan robekan kulit harimau, itu ke dalam saku pakaian lalu
meninggalkan ruangan batu tersebut dengan cepat.
Langit di ufuk timur mulai terang disorot sinar merah kekuningan sang matahari
yang hendak ke luar dari Banjir Darah di Tambun Tulang -Dewi kz
3 peraduannya Katulistiwa detik demi detik kelihatan dengan jelas. Di bawah
sorotan sinar matahari air laut laksana hamparan permadani yang indah sekali.
Kemudian mataharipun ke luarlah tersembul di ufuk timur itu merupakan sebuah
bola raksasa seolah-olah muncul dari dalam lautan luasi
Sepasang mata Pendekar 212 tiada berkedip memandang ke arah timur itu. Telah
lima kali dia melihat kemunculan sang surya di lengah lautan. Betapa indahnya.
Sukar dilukiskan dengan kata-kata. Dan setiap dia memperhatikan keindahan alam
ciptaan Yang Maha Kuasa itu, teringatlah dia pada Si Pelukis Aneh. Dengan
keahli-annya melukis, tentu orang tua itu akan sanggup me-nuang segala keindahan
yang ada di depan mata itu ke atas kain lukisannya.
Perahu besar itu meluncur laju di lautan yang tenang, dihembus angin barat. Ke
manapun mata memandang hanya air laut yang kelihatan. Itulah batas kemampuan
penglihatan manusia yang menandakan bahwa
sesungguhnya dia hanyalah makhluk lemah belaka dibandingkan dengan kehebatan
alarn! Angin dari barat bertiup lagi dengan keras. Layar perahu besar menggembung dan
perahu meluncur lebih pesat. Di.kejauhan kelihatan serombongan burung terbang di
udara. Ini satu pertanda bahwa terdapat daratan di sekitar situ. Namun demikian
daratan itu agaknya masih terlalu jauh hingga pandangan mata tak kuasa
menangkapnya. Puas memandangi keindahan laut di waktu pagi itu maka Wiro Sableng
memutar tubuh. Dia melangkah ke buritan. Seorang laki-laki berbaju hitam berdiri
di buritan itu dan memandang tajam-tajam ke arah langit di sebelah tenggara,
Wiro tak tahu apa yang tengah diperhatikan laki-laki pemilik perahu ini.
''Ada apakah, bapak?" tanya Wiro.
Tanpa alihkan pandangan matanya pemilik perahu menjawab. "Orang muda, perhatikan
baik-baik. Adakah terlihat olehmu sekumpulan awan kelabu dr kejauhan sana...?"
"Awan semacam itu biasanya membawa pertanda tidak baik."
"Tidak baik bagaimana?" tanya Wiro yang tak tahu apa-apa segala soal pelayaran
ataupun keadaan di laut.
"Akan timbul angin ribut," kata pemilik perahu pula.
Latu dia pergi kehaluan dan menyuruh anak buahnya Banjir Darah di Tambun Tulang
-Dewi kz 4 merubah arah menjauhi awan kelabu itu.
Wiro Sableng angkat bahu. Awan kelabu itu sangat jauh sekali. Udara sekitar
mereka bagus dan indah. Perlu apa dikhawatirkan awan kelabu itu" Kalaupun
terjadi angin ribut, tentu terjadinya di sebelah tenggara itu! . Maka karena,
segala sesuatunya dianggap tak perlu dikhawatirkan oleh Wiro, diapun duduk di
buritan itu sambil bersiul-siul. Tapi menjelang tengah hari kecemasan mulai
membayangi hati pemuda ini.
Di sebetah tenggara, awan yang tadinya kelabu kini kelihatan menjadi hitam dan
bergerak cepat sekali ke arah perahu. Dan awan itu bukan hanya satu kelompok
saja lagi melainkan berkelompok-kelompok dan menyebar di mana-mana. Pemandangan
yang serba indah kini menjadi diselimuti kemendungan. Angin pun bertiup keras
dan tak tentu arahnya. Kelompok awan hitam semakin banyak dan semakin lebaL
Cuaca semakin buruk. Air laut bergelombang dan berputar-putar tak menentu.
Jalannya perahu tersendat-sendat. Kemudian hujan rintik-rintik mulai turun.
"Arahkan perahu ke pulau itu!" teriak pemilik perahu pada pemegang kemudi.
Jauh di sebelah barat kelihatan sebuah titik hitam.
Kemudi diputar. Perahu menjurus ke barat, ke arah titik hitam itu. Didahului
oleh sabungan kilat, yang disusul oleh gelegar guntur maka hujan yang tadinya
rintik-rintik kini berubah menjadi hujan lebat yang mendera seluruh perahu!
Angin seperti suara ribuan seruling yang ditiup bersama karena derasnya, laut
marah menyabung gelombang, menghempaskan perahu kian ke mari sementara udara
telah berubah laksana malam hari, gelap pekat! Sekali-sekali kilat menyambar
menerangi perahu.
Tapi ini hanya menambah rasa ketakutan orang-orang yang ada di dalam perahu itu.
"Gulung layar besar!" teriak pemimpin perahu.
Namun baru saja perintahnya itu diucapkan satu angin dahsyat menerpa,perahu.,
"Kraak!" ,
Tiang layar utama perahu patah. Perahu condong tajam mengikuti arah tumbangnya
bagian atas tiang layar.
Dalam pada itu dari samping datang pula satu gelombang yang luar biasa besarnya.
Perahu yang tidak berdaya itupun ditelan bulat-bulat. Di antara deru angin dan
deru hujan, di antara sambaran kilat dan di antara menggeledeknya suara guntur,
di antara semua itu maka terdengarlah suara jerit pekik manusia yang mengerikan.
Tapi suara jerit pekik itu Banjir Darah di Tambun Tulang -Dewi kz
5 hanya sebentar saja karena sedetik kemudian perahu itu telah amblas digulung
gelombang! Sewaktu perahu itu muncul kembali maka keadaannya hanya merupakan hancuran dan
kepingan-kepingan papan dan balok-balok belaka yang tersebar kiah ke mari untuk
kemudian dipermainkan gelombang lagi secara ganas.
Setiap manusia yang ada dalam perahu itu, dengan segala, daya yang ada berusaha
menyelamatkan diri.
Tapi apakah daya manusia dalam melawan keganasan alam yang maha dahsyat itu"!
Pendekar 212 Wiro Sableng bergulat sekuat tenaga untuk ke iuar dari bencana maut
yang mengerikan itu.
Dia berusaha berenang mencapai kayu pecahan-pecahan perahu namun mana mungkin
berenang dalam gelombang yang menggila seperti itu. Baru saja kepalanya muncul
telah disapu kembali oleh air laut!
Wiro mulai megap-megap kehabisan nafas sewaktu dia melihat sebuah papan besar
kira-kira dua belas tombak dihadapannya. Dengan sisa-sisa tenaga yang terakhir
pemuda ini berusaha berenang mencapai benda itu. Baru saja satu tombak, sebuah
gelombang mendera tubuhnya.
Pendekar itu amblas lagi masuk ke dalam laut.
Sewaktu kepalanya muncul lagi papan besar tadi telah lenyap!
"Celaka! Tamatlah riwayatku!" kata Pendekar 212
dalam hati. Baru saja dia mengeluh begitu sebuah gelombang datang dengan ganas
dari muka. Dia menyelam dengan cepat untuk menghindarkan pukulan gelombang.
Namun tetap saja tubuhnya diterpa sampai puluhan tombak membuat pemandangannya
menjadi gelap! Ketika dia memunculkan kepalanya kembali di permukaan air laut dalam keadaan
setengah hidup setengah mati, sesuatu melanda keningnya dengan'keras.
Kulit keningnya robek dan mengucurkan darah! Wiro tak tahu benda apa yang telah
menghajar keningnya itu karena dia tak bisa membuka kedua matanya. Namun
demikian otaknya masih terang untuk berpikir. Apapun benda itu adanya mungkin
bisa dipakai untuk menyelamatkan jiwanya! Maka dalam mata terpejam dan muka
berlumuran darah dengan membabi buta Wiro Sableng gerakkan tangannya untuk
menangkap benda itu. Pertama kali dia cuma menangkap angin. Yang kedua kali dia
cuma menampar air laut di sampingnya. Ketiga kalinya juga tak berhasil apa-apa
namun kali yang keempat baru dia berhasil menangkap benda itu dan dipegangnya
erat-erat. Banjir Darah di Tambun Tulang -Dewi kz
6 Beberapa saat kemudian ketika kedua matanya sudah bisa dibuka ternyata benda itu
adalah sebuah balok pendek yang terpaku pada sepotong papan yang lumayan
besarnya. Wiro Sableng bersyukur. Dengan benda itu dia bisa mempertahankan diri agar tidak
tenggelam untuk kemudian berusaha berenang mencari daratan. Belum lama pemuda
ini berpegang pada papan itu, terombang ambing dipermainkan ombak, satu benda
meluncur dihadapannya, sebentar timbul sebentar tenggelam. Ketika diperhatikan
ternyata tubuh seorang anak kecil. Wiro tahu betul anak kecil itu adalah anak
laki-laki yang dibawa oleh seorang penumpang perahu, Ditangkapnya tangannya.
Sewaktu diperiksa ternyata anak itu dalam keadaan pingsan, perutnya gembung.
Wiro Sableng menyadari bahwa papan yang di dapatnya tidak cukup besar untuk
menolong mereka berdua sekaligus! Berarti kalau dia mau selamat terus, dia musti
meninggalkan anak kecil itu! Pertentangan terjadi di lubuk hati Pendekar 212.
Akhirnya pemuda itu membuka bajunya. Dengan baju itu diikatnya anak yang pingsan
pada papan lalu didorongnya ke tempat yang agak tenang.
"Mudah-mudahan kau selamat anak," kata Wiro dalam hati.
Dia memandang berkeliling. Tak sepotong papan atau balokpun yang kelihatan. Laut
yang tadi menggila kini mulai tenang sedikit. Wiro mengeluh dalam hati. Rupanya
sudah ditakdirkan bahwa dia harus mati hari itu, di tengah lautan!
Berdiri bulu kuduknya! Inilah untuk pertama kalinya dia merasa ngeri! Ngeri
menghadapi kematiannya sendiri! Ingin dia memekik, berteriak setinggi langit.
Namun siapa yang akan mendengar" Siapa yang akan menolongnya" Lagi pula mulutnya
serasa terkancing. Dicobanya berenang. Namun kekuatannya sudah sampai ke batas
terakhir. Kaki dan tangannya kaku tak sanggup digerakkan lagi. Sedikit demi
sedikit, perlahan-lahan tetapi pasti, tubuhnya mulai tenggelam. Sebelum
kepalanya lenyap ditelan air laut pemuda ini merasa seperti melihat sesuatu jauh
dihadapannya, meluncur di atas air laut menuju ke arahnya.
Dia tak tahu benda apa itu. Kelihatannya seorang, manusia berjubah putih, tapi
mungkin juga malaekat maut yang hendak mencabut nyawanya! Pada detik dia
menyebut nama Tuhan dan memanggil nama gurunya pada detik itupula tubuh pendekar
212 lenyap keseluruhannya dari permukaan air laut.
Banjir Darah di Tambun Tulang -Dewi kz
7 Ketika dia siuman tubuhnya terasa panas. Kepalanya berdenyut sakit. Matanya
berat sekali untuk dapat dibuka.
Di manakah aku sekarang, apakah sudah berada di alam akhirat, berada di neraka"!
Wiro Sableng membuka kedua matanya dengan
perlahan, Yang pertama sekali dilihatnya ialah atap rumbia.
Dia berusaha memutar bola matanya dan memandang berkeliling. Sesungguhnya sudah
mati atau masih hidup aku ini, pikir Wiro. Ingatannya merayap pada saat dia
berada di atas perahu tengah menyeberangi Selat Sunda, meninggalkan Pulau Jawa
menuju ke Pulau Andalas!
Kemudian datang angin topan dan hujan lebat. Perahunya amblas ditelan gelombang.
Lalu setelah mengikatkan seorang anak laki-laki pada sebuah papan, tubuhnya
tenggelam di dalam laut dan tak tahu apa-apa lagi!
Tapi kini dilihatnya atap rumbia itu. Dilihatnya dinding kayu, dilihatnya isi
pondok kecil itu, bermimpikah dia"!
Digigitnya bibirnya. Terasa sakit. Tidak, dia tidak bermimpi!
Tapi sukar untuk bisa menerima kenyataan yang ada dihadapannya saat itu. Untuk
memastikan dicobanya bangun dan duduk di tepi balai-balai kayu dimana dia
terbaring. Tapi tubuhnya yang lemah tiada berdaya itu terhempas kembali ke atas
balai-balai. Wiro mengeluh kesakitan: Dan dia pingsan lagi.
Kedua kali dia sadarkan diri, hawa panas dari demam yang menyerangnya telah
berkurang tapi tubuhnya masih lemas, tenggorokannya kering dan sendat. Lapatlapat didengarnya suara anak kecil. Tapi mungkin itu cuma desau angin yang
meniup telinganya. Rasa haus menyerarig tenggorokannya. Tapi kepada siapa dia
minta air, sedang untuk mengeluarkan suarapun dia tiada sanggup"
Didengarnya suara berkeretekan di belakang kepalanya. Dia lak bisa berpaling.
Dia tak tahu suara apa itu. Namun kemudian seorang laki-laki tua berpakaian
putih tahu-tahu sudah berdiri di samping balai-balai. Rambutnya jarang sekali
hingga kulit kepalanya kelihatan jelas.
Orang tua ini memelihara kumis dan janggut. Baik rambut maupun kumis serta
janggutnya, seluruhnya berwarna Banjir Darah di Tambun Tulang -Dewi kz
8 putih. Yang membuat Wiro jadi menahan nafas ialah sewaktu menyaksikan keangkeran
muka orang tua tak dikenal ini!
Manusia ini berpipi dan bermata yang sangat lebar dan cekung. Mukanya tiada beda
dengan tengkorak karena tiada berdaging. Hanya selembar kulit pucat saja yang
menutupi parasnya. Hidungnya kecil, panjang dan bengkok seperti paruh burung
kakak tua. Dia tersenyum, tapi senyumnya ini justru lebih menambah keangkeran
pada parasnya. Diam-diam Wiro Sableng merasa bulu kuduknya berdiri. Manusia atau
setankah yang berdiri dihadapannya itu" Kalau manusia, tak pernah dia
menyaksikan yang seseram ini tampangnya. Si orang tua mengedipkan matanya yang
lebar luar biasa dan menyeringai.


Wiro Sableng 010 Banjir Darah Di Tambun Tulang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sudah sadar hah"!" bentaknya menggeledek. Wiro terkejut. Dirasakannya balaibalai di mana dia terbaring bergetar hebat dan pondok itu mengeluarkan suara
berkereketan. "Empat hari empat malam mendengkur terus-terusan.
Enak betul!" orang tua bermuka angker itu berkata lagi.
Wiro membuka mulut hendak berkata. Tapi tak sedikit suarapun yang sanggup
dikeluarkannya. Dalam kengerian melihat orang tua itu dia masih terus berpikir
siapa adanya manusia ini. Dilihatnya timbul kepastian bahwa orang tua itu adalah
orang yang telah menyelamatkan jiwanya. Tapi setelah menolong mengapa sikapnya
demikian keras serta menunjukkan hati jahat"!
"Apa yang kau pikirkan!" tiba-tiba orang tua itu membentak lagi. Balai-balai
serta pondok kembali bergetar. ,
Hebat sekali tenaga dalam orang tua ini.
Wiro buka lagi mulutnya. Kali ini dia bisa bersuara meskipun perlahan; "Air..."
"Apa"!"
"Air.:." desis Wiro.
"Air"! Kau minta air"! Kau kira aku ini pelayanmukah"!
Sialan betul!" Kedua mata si orang kelihatan tambah lebar.
Wiro terkesiap mendengar jawaban,orang tua
bertampang angker itu. Diam-diam dia menggerutu dalam hati. Dicobanya meminta
air kembali. Dan kembali si orang tua mendampratnya.
Tiba-tiba seorang anak kecil masuk ke dalam pondok itu.
"Ah... anakku!" kata si orang tua seraya mendukung anak yang baru masuk. Wiro
terkejut. Anak yang dalam dukungan orang tua itu bukan lain daripada anak kecil
yang Banjir Darah di Tambun Tulang -Dewi kz
9 tempo hari ditolongnya di tengah laut sewaktu badai mengamuk. Semakin jelas
bahwa orang tua itulah yang telah menolongnya dan juga menolong anak laki-laki
itu. Tapi mengapa sikapnya demikian aneh dan galak"
"Anakku, apakah kau dengar si tukang tidur ini minta air..." Gila betul dia!
Disangkanya bapakmu ini budaknya!"
Habis berkata begitu si orang tua tertawa gelak-gelak. Tiba-tiba dia hentikan
tawanya dan membentak si anak: "Hai!
Kau dengar apa tidak"!"
Dibentak keras begitu, si anak berumur dua tahun menangis dan meluncur turun
dari dukungan si orang tua, lalu meninggalkan tempat itu. Si orang tua kembali
tertawa gelak-gelak. "Orang gila," katanya kemudian pada Wiro.
"Kalau kau mau minum, itu di atas meja ada kendi berisi air. Ambil sendiri. Aku
bukan pelayanmu! Bukan budak, bukan kacung!" Lalu dia ke luar dari pondok. !
"Edan!" desis Wiro.
"Eh, apa"! Kau memakiku edan"! Kau yang edan!"
Tiba-tiba si orang tua bertampang angker masuk kembali.
Meskipun cuma mendesis tapi ucapan Wiro tadi telah didengarnya.
"Braak!"
Orang tua aneh itu tendang kaki balai-balai yang ditiduri Wiro Sableng. Tak
ampun lagi balai-balai itu roboh dan Wiro terguling ke lantai, lalu pingsan
lagi! Si orang tua tertawa gelak-gelak, lalu mendengus dan tinggalkan pondok
itu. Pagi itu Wiro merasakan badannya berangsur baik dan segar. Sesudah duduk bersila
mengatur jalan nafas serta darah dan mengalirkan tenaga dalamnya ke bagianbagian tubuh yang perlu maka dia turun dari balai-balai. Di atas meja reyot di
sudut pondok ada sebuah kendi berisi air putih. Diteguknya air ini beberapa
kali. Terasa dingin dan segar. Dengan air itu juga dicucinya mukanya. Kemudian
sewaktu.rnelihat sepiring ubi rebus di atas meja, tanpa pikir lagi Wiro segera
menyambarnya. Mendadak di luar didengarnya suara si orang tua.
"Ah... salah! Salah! Kaki kananmu majukan lagi..: nah.
Eee... itu tangan kananmu musti begini. Bagus.... Sekarang coba memukul ke
muka... ah salah! Salah! Dasar bocah geblek!"
Sedang mengapa orang tua itu, pikir Wiro Sableng.
Dia bergerak ke pintu pondok. Langkahnya berat dan pemandangannya berkunang
waktu dibawa berjalan itu. Di pintu pondok dia berdiri dengan bersandar dan
memandang ke halaman. Orang tua berwajah angker itu dilihatnya Banjir Darah di
Tambun Tulang -Dewi kz
10 tengah berjongkok di hadapan anak laki-laki yang berumur dua tahun. Dari gerak
gerik dan apa-apa yang dikatakannya nyatalah bahwa dia tengah mengajarkan ilmu
pukulan tangan kosong pada anak itu. Wiro Sableng tertawa geli. Mana mungkin
anak sekecil itu diajar ilmu silat langsung disuruh memukul! Dan si anak sendiri
kelihatannya tidak senang dipaksa-paksa seperti itu.
Kelihatan dia menggeleng-gelengkan kepala.
"Apa"!" bentak si orang tua, "Kau tak mau diajar silat"!
Bocah geblek! Kalau besar kau mau jadi apa"! Mau jadi laki-laki banci
pengecut"!"
Si anak menangis. Dan Wiro bukan cuma sekali itu mendengar anak itu menangis.
Sebaliknya melihat anak tersebut menangis si orang tua menjadi marah dan memakimaki. Tapi kemudian dia sendiri ikut-ikutan nangis!
Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya. "Aneh sekali orang tua ini," katanya dalam
hati. "Mungkin otaknya kurang waras. Tapi agaknya kepandaiannya tinggi sekali.
Dan Wiro lantas ingat pada gurunya yaitu Eyang Sinto Gendeng. Sifatnya hampir
sama dengan orang tua ini.
"Bocah tolol! Kalau kau tak mau belajar silat pergilah sana main-main! Nanti
kalau ada yang mengatakan kau laki-laki pengecut jangan salahkan aku!" Habis
berkata demikian si orang tua pukul-pukul keningnya sendiri sambil membalikkan
badan dan melangkah ke pondok.
Mendadak dia hentikan langkahnya dan memandang mendelik ke pintu pondok.
"Orang edan! Siapa yang suruh kau bangun dan berdiri di situ"!" bentak si orang
tua begitu melihat Wiro Sableng. Dia marah sekali dan banting-banting kedua
kakinya di tanah.
Dan bukan main terkejutnya Wiro Sableng sewaktu melihat bagaimana tanah yang
kena bantingan kaki orang tua itu amblas sampai setengah jengkal!
Tiba-tiba Wiro ingat bahwa siapapun adanya orang tua bertampang angker itu dia
adalah orang yang telah menyelamatkan jiwanya. Maka dengan segera Pendekar 212
menjura dalam-dalam.
"Betut-betut kau sudah gila!" sentak si orang tua.
"Apa-apaan menjura segala"!"
"Orang tua aku berhutang nyawa padamu, juga berhutang budi. Aku...."
"Hutang nyawa"! Hutang budi..."! Kau gila!"
"Bukankah kau yang telah menolongku sewaktu perahu yang kutumpangi tenggelam di
tautan" Kemudian merawatku di sini"!" '
Banjir Darah di Tambun Tulang -Dewi kz
11 Orang tua itu urut-urut keningnya. Mimiknya seperti seorang yang tengah
berpikir-pikir atau mengingat-ingat.
"Tidak!" katanya kemudian dengan keras. "Aku tak pernah menolong orang gila
macam kau!"
Meski Wiro menjadi gusar karena dimaki orang gila namun dia bertanya juga:
"Lantas bagaimana aku bisa berada di tempatmu ini?"
"Maha aku tahu! Tanya dirimu sendiri!" menyahuti orang tua bertampang angKer.
"Meski kau tak mau mengakui terus terang tapi aku yakin bahwa engkaulah yang
telah menyelamatkan diriku, juga anak kecil tadi. Aku mengucapkan terima kasih.
Di lain waktu kuharap akan bisa membalas hutang jiwa dan budi kebaikan itu.
Sudilah kau memberitahukan namamu, orang tua...."
"Buat apa"!"
"Agar dapat kuingat selama hidupku," jawab Wiro pula.
"Hanya sekedar diingat?" tukas orang tua itu.
Wiro tak tahu harus berkata apa. Orang tua itu kemudian dilihatnya duduk di
bawah sebuah pohon kelapa dan bernyanyi. Wiro tak tahu apa yang dinyanyikannya,
bahasanya sama sekali tidak dimengerti. Bahkan suara menyanyinya itu tak ubahnya
seperti suara orang mengigau!
Tiba-tiba orang tua itu hentikan nyanyiannya dan pukulkan tangan kanan ke atas
pohon kelapa. Terdengar suara berkeresek lalu suara benda meluncur. Ternyata
pukulan tadi telah menjatuhkan sebuah kelapa muda.
Dua tombak lagi kelapa itu akan jatuh menimpa tubuh si orang tua, tiba-tiba
orang tua ini ambil sebutir kerikil dan melemparkannya ke arah kelapa yang
melayang turun!
Buah kelapa itu berlubang dan dari lubang itu memancurlah airnya. Si orang tua
buka mulutnya. Air kelapa memancur masuk ke mulut orang tua sampai akhirnya
habis! Wiro sampai ternganga dan, melotot melihat hal ini.
Luar biasa hebatnya apa yang disaksikannya itu. Gurunya sendiri belum tentu
sanggup berbuat seperti itu. Dan sementara itu buah kelapa yang airnya sudah
habis itu terkatung-katung di udara seperti ada tangan yang tak terlihat
memegangnya! Orang tua itu gerakkan tangan kanannya.
"Wuuut!"
Kelapa itu tiba-tiba sekali melesat ke arah pintu pondok dalam kecepatan yang
luar biasa! Wiro melompat ke samping. Tubuhnya hampir tersungkur karena masih
lemah. Banjir Darah di Tambun Tulang -Dewi kz
12 Dan di dalam pondok didengarnya suara pecah berantakan.
Buah kelapa telah menghantam kendi air terus membobolkan dinding pondok!
Wiro memaki dalam hati habis-habisan.
Sebaliknya orang tua itu malah tertawa gelak-gelak sampai ke luar air mata!
"Orang gila! Kemari kau!" Orang tua itu memanggil Wiro. Dia melototkan mata
sewaktu Wiro dilihatnya tak bergerak di tempatnya. Sebaliknya Wiro juga
memandang tak berkedip pada orang tu.a itu. Maka menggeramlah si tampang angker
ini. "Bah, kau berani menantangku nah"!"
Dari balik pakaiannya orang tua ini mengambil sesuatu.
Saking cepatnya Wiro tak mengetahui benda apa itu dan tiba-tiba benda itu sudah
dilemparkan ke, arahnya. Untuk kedua kalinya Pendekar 212 dipaksa melompat dalam
keadaan tubuh, lemah demikian rupa. Kali ini dia tak sanggup lagi mengimbangi
dirinya. Meski benda yang dilemparkan itu lewat di atas kepalanya namun tubuhnya
tersungkur di tanah dan keningnya yang baru saja sembuh lukanya kini berdarah
kembali! Pendekar 212 kaget sekali karena sewaktu dia berpaling ternyata benda yang
dilemparkan orang tua tadi adalah senjata miliknya sendiri yaitu Kapak Maut Naga
Geni 212! Pantas saja anginnya membuat tubuhnya laksana dilanda badai! Senjata
itu menancap di tiang pondok sebelah kiri.
Sambil menyeka darah yang mengalir turun ke dekat alisnya Wiro berdiri. Dia
melangkah untuk mengambil Kapak Naga Geni, tapi baru saja tangan kanannya
diulurkan dari samping datang serangkum angin halus. Ketika dia berpaling
dilihatnya sebuah benang aneh berwarna putih dan berkilauan melayang ke arah
tangannya. Wiro cepat-cepat tarik tangan kanannya tapi terlambat. Benang putih
itu telah melibat! lengannya!
Si orang tua tertawa gelak-gelak. Sekali dia menyentakkan benang tersebut maka
Wiro tertarik keras ke arahnya. Wiro merasakan tangannya seperti mau copot!
Dia memaki lagi. Kalau saja tidak mengingat bahwa orang tua itu telah
menyelamatkan jiwanya maulah dia mengirimkan sebuah serangan biar si orang tua
tahu rasa! "Ha... ha! Orang, gila macam begini yang hendak membangkang kepadaku"!" ejek
orang tua itu begitu Wiro sampai dihadapannya. Wiro coba lepaskan lipatan benang
tapi sukar sekali.
"Orang gila siapa namamu"!"
Banjir Darah di Tambun Tulang -Dewi kz
13 "Orang tua, kuharap kau jangan panggil aku orang gila terus-terusan!" kata Wiro
dengan kesal. ,
"Ah... kau memang gila!" tukas si muka angker.
"Ayo katakan siapa namamu!"
"Wiro," sahut Pendekar 212 meskipun dengan hati agak gusar.
"Wiro apa"!" bertanya lagi si muka angker.
Pendekar 212 katupkan rahang rapat-rapat menahan kesal.
"Hai! Apa kau tuli"! Wiro apa"!"
"Wiro Sableng," menyahuti juga pemuda itu akhirnya.
"Wiro Sableng"! Nah... itu buktinya kau memang orang gila. Kalau bukan orang
gila mana ada manusia yang memakai nama Sableng! Sableng sama saja artinya
dengan edan alias gila!"
"Tapi itu bukan mauku memakai nama demikian...."
"Aku tahu, orang tuamu yang memberikan nama itu padamu...."
"Bukan, tapi guruku!" potong Wiro Sableng.
"Ah... kalau begitu berarti gurumu juga Sableng alias keblinger!"
Marahlah Pendekar 212. Dia melangkah kehadapan si muka angker dan menghardik:
"Orang tua, jangan hina guruku!" Wiro kerahkan tenaga dalamnya dan menyentak
dengan keras. Selain tubuhnya masih lemah, benang aneh yang melibat lengannya
kuat sekali hingga tak sanggup diputuskan oleh sentakan itu!
Si muka angker sebaliknya tertawa mefihat perbuatan Wiro dan berkata: "Jangankan
kau! Gurumu dan nenek gurumu sekalipun belum tentu sanggup memutuskan benang
kayangan ini! Eh orang gila! Aku sudah tahu namamu, sekarang lekas beri tahu kau
punya gelar!"
"Aku tak punya gelar apa-apa," jawab Wiro. Tangannya yang tadi disentakkan untuk
melepaskan libatan benang kayangan terasa sakit dan pedas.
"Jangan berani dusta terhadapku orang gila! Sekali kusentakkan benang ini dalam
Jurus Kilat Menyambar Puncak Gunung pasti lenganmu akan putus!"
"Kalau hatimu memang jahat begitu rupa mengapa tidak segera dilaksanakan"!"
tukas Wiro Sableng menantang.
Orang tua itu mendelikkan matanya sehingga kelo-paknya yang merah membuka lebar
dan tampangnya jadi tambah mengerikan! Tiba-tiba dia tertawa gelak-Banjir Darah
di Tambun Tulang -Dewi kz
14 gelak. "Orang gila! Kau memang pandai bicara! Pertanyaanku tadi anggap saja-tidak ada.
Tapi sebagai gantinya lekas kau beri tahu nama gurumu!"
"Aku bukan seorang yang suka agul-agulkan nama guru.,"
"Jadi kau tidak mau beri tahu"!"
"Tidak," jawab Wiro Sableng tegas.
Si muka angker mendelik, "Hidup delapan puluh tahun, kau adalah orang yang kedua
yang pernah membangkang terhadap perintah si Tua Gila ini!"
Habis berkata begitu si muka angker yang menyebut dirinya Tua Gila itu goyangkan
benang kayangan yang dipegangnya. Pendekar 212 menjerit kesakitan dan tubuhnya
mencelat ke atas sampai beberapa tombak!
Banjir Darah di Tambun Tulang -Dewi kz
15 Tua Gila tertawa gelak-gelak dah diam-diam perhatikan gerakan jungkir balik yang
dibuat Wiro Sableng sewaktu melayang turun dan menjejakkan kedua kakinya di
tanah. "Ah gerakan kincir padi memutar yang belum sempurna hendak dipamerkan di depan
hidungku!" ejek Tua Gila lalu tertawa lagi gelak-gelak.
Wiro Sableng terkesiap kaget. Baru hari itulah seseorang mengenali gerakan yang
dibuatnya. Memang sewaktu dia jungkir balik tadi dia telah mengeluarkan gerakan
yang dinamakan kincir padi memutar yaitu yang dipelajarinya dari Eyang Sinto
Gendeng sewaktu dia digembleng di puncak Gunung Gede. Sebenarnya gerakan
tersebut sudah dikuasai Wiro dengan sempurna namun karena gugup, terkejut dan
ditambah dalam keadaan tubuh lemah maka gerakannya itu menjadi tidak sempurna.
Jika sekiranya Tua Gila menyusul dengan satu serangan lagi pastilah Pendekar 212
Wiro Sableng akan mendapat celaka. Untung saja si muka angker itu hanya terus
duduk dan tertawa gelak-gelak.
Wiro berdjri dengan nafas sesak dan muka pucat.
Matanya tiada berkesip memandang si Orang tua. Jika dia diperlakukan begitu
terus-terusan, dicaci maki, diserang dan ditertawakan, sampai berapa lama dia
akan sanggup menahan kesabarannya" Sampai berapa lama dia akan menghormati orang
tua itu sebagai tuan penolongnya"
Kepada siapa dia telah berhutang budi dan nyawa"!
"Kau masih mau membangkang"!"
Wiro tak menjawab.
Tua Gila berkata: "Mengingat bahwa kau telah menyelamatkan seorang anak lakilaki yang bakal kuambil jadi muridku maka kuampuni jiwamu, orang gila."
"Orang tua, aku tak bisa menerima perlakuanmu yang keterlaluan...."


Wiro Sableng 010 Banjir Darah Di Tambun Tulang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Perlakuanku apa yang keterlaluan"!" bentak Tua Gila marah sekali. "Manusia
tidak tahu diri! Sudah diampuni jiwanya malah mengomel! Ayo lekas katakan siapa
nama gurumu!"
"Kau buhuhpun aku tak akan memberi tahu!"
Banjir Darah di Tambun Tulang -Dewi kz
16 "Apa kau tidak takut mati"!"
"Kenapa musti takut"!" jawab Wiro pula.
Tua Gila tertawa pendek dan berkata: "Apa di dunia ini betul-betul ada manusia
yang tidak takut mati"!"
"Semua manusia akan mati, orang tua. Juga kau!"
Tua Gila tersentak oleh ucapan Wiro Sableng itu. Selama puluhan tahun hidup tak
pernah dia ingat tentang kematian sekalipun sudah berpuluh kali melihat manusiamanusia lain menemui ke matian. Ucapan Wiro tadi menyentakkan hati dan
mengingatkan pikirannya pada hal kematian itu.
Betapa mengerikannya kematian itu dan tiada terasa dua butir air mata menuruni
kelopak matanya yang lebar, turun menetes pipinya yang cekung!
Wiro Sableng merasa heran melihaPhal ini! Si orang, tua yang begitu keras adat,
galak, tertawa tak karuan dan aneh itu nyatanya juga bisa menangis keluarkan air
mata. Suasana menjadi sunyi untuk beberapa lamanya.
Tiba-tiba Tua Gila acungkan telunjuk tangan kirinya ke dada kanan Pendekar 212
Wiro Sableng. "Apa arti angka 212 di dadamu itu"!" '
Wiro baru sadar bahwa waktu itu dia cuma mengenakan celana panjang saja sedang
tubuhnya bagian atas tiada berbaju karena sewaktu peristiwa perahu terbalik dia
telah mempergunakan bajunya untuk mengikat anak laki-laki yang ditolongnya.
"Guruku yang menuliskannya," kata Wiro.
"Dasar tolol! Aku tanya apa,arti angka itu! Bukan siapa yang menulisnya.
Sekalipun,setan atau jin yang menulisnya aku tak perduli!"
"Tak bisa kuterangkan orang tua," jawab Wiro.
Paras Tua Gila tampak kembali menjadi marah.
"Pembangkanganmu sudah keterlaluan! Kau betul-betul tidak memandang sebelah mata
terhadapku! Kau akan kubunuh saat ini juga." Lalu Tua Gila tarik benang yang
dipegangnya, ffiro tersentak ke muka. "Bersiaplah untuk mati, orang gila!"
Dan Tua Gila lalu angkat tangan kirinya. Begitu tangan hendak dipukulkan, tibatiba djtariknya kembali. Dia menyeringai. "Ah... sebetulnya aku sudah muak
melihat kematian! Orang gila, jika kau bisa menjawab sebuah pertanyaanku aku
akan ampunkan jiwamu. Tapi kalau kau tak bisa menjawabnya, terpaksa kau kubunuh
juga!" Wiro Sableng kertakkan rahang.
Dan Tua Gila-lanfas ajukan pertanyaan"
"Menurutmu oang tua manakah yang paling celaka Banjir Darah di Tambun Tulang Dewi kz 17 hidupnya di dunia ini"!"
Wiro terkesiap dan merenung. Pertanyaan aneh yang sukar dijawab kata hati
pendekar ini. Ditatapnya wajah angker orang tua itu. ,
"Kalau kau tak bisa menjawab kau akan kubunuh!"
Tua Gila menyeringai. Dia lalu menunjuk ke atas pohon kelapa dan berkata: "Aku
akan jatuhkan sebuah kelapa.
Sebelum buah itu mencapai tanah kau musti sudah bisa menjawab pertanyaanku
tadi!" Tua Gila memukul ke atas.
Wiro kerutkan kening.
Terdengar suara berkeresekan dan sebuah kelapa lepas dari tangkainya lalu
melayang turun dengan cepat!
"Bumm!"
Buah kelapa jatuh dan pecah di atas tanah!
Tua Gila menghela nafas panjang dan tertawa rawan.
"Jiwamu kuampuni, orang gila," katanya. "Jawabanmu memang betul." Kemudian dari
balik pakaian putihnya Tua Gila mengeluarkah sebuah benda dan diacungkannya
dihadapan Wiro. ''Benda ini kutemui di dalam saku pakaianmu yang dibuat pengikat
anak laki-laki yang kau tolong itu. Dari mana kau dapatkan benda ini"!"
Ketika diperhatikan ternyata benda itu adalah potongan kulit harimau yang tempo
hari ditemui Wiro di Goa Belerang di mana Kiai Bangkalan menemui ajalnya
dibunuh. Saat itu ternyatalah di hati Wiro untuk meminta beberapa keterangan
kepada Tua Gila. Maka diapun menuturkan riwayat Kiai Bangkalan sampai peristiwa
terbunuhnya orang lua itu.
"Jadi perjalananmu itu adalah untuk mencari buku Seribu Macam Pengobatan Ha?"
Wiro mengangguk.
"Kalau kau berhasil menemuinya apakah buku itu akan kau ambil sebagai milikmu"!
Berarti kau maling besar karena Kiai Bangkalan tak pernah mengatakan bahwa buku
itu akan diwariskannya kepadamu!"
"Aku tidak mengatakan hendak mengambil atau memiliki buku itu. Tapi aku merasa
punya kewajiban untuk mencarinya dan merampasnya kembali dari manusia yang telah
mencuri buku itu"
"Kau tak punya hak melakukan itu, orang gila. Kau bukan muridnya Kiai
Bangkalan!"
"Sekalipun demikian buku itu tidak layak berada di tangan orang yang bukan
pemiliknya."
"Lalu kalau sudah kau temui kau mau bikin apa dengan Banjir Darah di Tambun
Tulang -Dewi kz
18 buku itu?"
"Aku akan pelajart isinya,...",
"Berarti kau mencuri ilmu kepandaian orang lain!"
potong Tua Gila.
"Mana mungkin! Kiai Bangkalan pernah mengatakan bahwa dia akan mengajarkan ilmu
pengobatan padaku. Kini dia sudah tiada dan kalau aku mempelajari ilmu
pengobatan itu dari bukunya bukan berarti aku mencuri kepandaian orang lain!"
Tua Gila tertawa.
"Apapun alasannya, mempelajari ilmu orang lain dari buku tulisannya, tanpa izin
orang itu sama saja dengan mencuriKiai Bangkalan berkata akan memberikan
pelajaran ilmu pengobatan padamu. Langsung dari dia sendiri, bukan dari bukunya.
Jangan mengada-ada, orang gila!"
Wiro Sableng menjadi penasaran sekali.
Dalam pada itu Tua Gila berkata lagi: "Karenanya kau lak usah teruskan
perjalananmu mencari buku itu. Pulang saja.
Kau akan sia-sia mengerjakan apa-apa yang bukan jadi hakmu!"
"Apakah menjadi hakmu melarang aku"!" tukas Wiro.
Tua Gila usut-usut janggutnya yang putih dan panjang.
"Perjalananku semata-mata bukan cuma untuk mencari buku itu. Tapi juga sekaligus
mencari manusia yang telah membunuh Kiai Bangkalan!"
"Kau bukan muridnya. Kau tak berhak menuntut balas!
Kau dengar orang gila"!"
"Tapi aku berhutang budi yang besar padanya. Hutang budi itu tak akan lunas
sebelum aku berhasil membekuk si pencuri dan si pembunuh!"
"Kau mau membunuh orang yang telah membunuh Kiai Bangkalan...?" ejek Tua Gila. '
"Kalau keadaan memaksa," sahut Wiro. Tapi di hatinya dia yakin bahwa dia kelak
betul-betul akan membunuh manusia itu.
"Dasar gila! Apa kau kira nyawa orang lain itu milikmu hingga kau bisa main
bunuh seenaknya"!"
Wiro sunggingkan senyum sinis dan. menjawab:
"Tadi kaupun berniat membunuhku. Apa nyawaku milikmu"!"
Tua Gila tertegun. Lalu tertawa membahak. "Kau meskipun gila nyatanya pintar
bicara! Sekarang kau kembalilah masuk ke dalam pondok. Lama-lama aku jadi muak
melihat tampangmu!"
Banjir Darah di Tambun Tulang -Dewi kz
19 Wiro mehggerendeng.
Tua Gila gerakkan tangan kanannya. Dan hebat sekali, satu aliran angin aneh
menjalar di benang yang mengikat lengan Wiro terus memukul tubuhnya dengan
hebat! Laksana sebuah bola yang diikat dan dilemparkan, tubuh Pendekar 212 mencelat
masuk ke dalam pondok!
Banjir Darah di Tambun Tulang -Dewi kz
20 Dari Tua Gila, Wiro berusaha mendapat keterangan di mana letaknya bukit Tambun
Tulang. Dulu sewaktu berangkat meninggalkan Pulau Jawa, dari seorang pelaut dia
mendapat tahu bahwa Tambun Tulang adalah nama sebuah bukit yang terletak di
Pulau Andalas. Namun Tua Gila mengejeknya, malah mendamprat dan memaki-makinya.
"Orang gila! Bagusnya kau tak usah pergi ke situ.
Kalaupun kau berhasil sampai ke sana, kau cuma datang mengantar nyawa...."
"Setiap bahaya maut adalah tantangan hidup yang harus kita hadapi," kata Wiro
pula. Tua Gila tertawa sinis. "Jangan bicara sombong. Orang gila, apa kau tahu artinya
Tambun Tulang" Kalau aku kasih tahu baru bulu kudukmu merinding. Kalau tidak
pingsan pasti kau terkencing-kencing karena ketakutan.
"Kalau aku begitu pengecutnya masakan aku berani ambil keputusan untuk
mengadakan perjalanan," sahut Wiro karena merasa dihina sekali.
Tua Gila membelai janggutnya sebentar lalu berkata:
"Nyalimu memangbesar, orang gila. Tapi percuma Saja keberanian yang luar biasa
kalau kau tidak punya ilmu yang diandalkanl"
Wiro Sableng tertawa. Untuk kesekian kalinya, meskipun Tua Gila marah-marah dan
mendampratnya, namun Wiro mengucapkan terima kasih kepada orang tua aneh
berwajah angker itu dan minta diri.
"Apa"! Kau mau pergi"! Tidak bisa! Kau tetap berada dipulau ini sampai kau ada
kemampuan untuk membuat urusan di Tambun Tulang."
Dua hal membuat Wiro Sableng terkejut.
Yang pertama ucapan Tua Gila yang mengatakan bahwa dia tak boleh meninggalkan
pulau itu. Selama ber-hari-hari bersama si orang tua aneh, baru hari itu dia
tahu kalau dia berada di sebuah pulau. Pantas saja seringkali didengarnya suara
menderu seperti ombak sedang angin keras sekali. Hal kedua yang mengejutkan
Pendekar 212 ialah bahwa dia musti tinggal di pulau itu sampai dia ada Banjir Darah di Tambun
Tulang -Dewi kz
21 kemampuan untuk ini, berarti bahwa Tua Gila si orang aneh bertampang angker itu
hendak memberinya pelajaran ilmu silat" Melihat sikap dan ucapan-ucapannya
agaknya Tua Gila mengetahui banyak hal tentang Tambun Tulang!
Tengah Pendekar 212 Wiro Sableng berpikir-pikir begitu rupa tiba-tiba Tua Gila
membentaknya: "Coba perlihatkan beberapa jurus ilmu silatmu yang kau anggap
paling hebat!"
"Apa maksudmu sebenarnya, orang tua?" tanya Wiro Sableng dengan hati meragu.
"Tak usah banyak tanya! Lekas perlihatkan!" bentak Tua Gila.
Wiro Sableng yang saat itu sudah sembuh dan berada dalam keadaan normal seperti
sedia kala segera maklum bahwa orang tua aneh itu mempunyai maksud tertentu
terhadapnya. Maka dia segera mainkan beberapa jurus ilmu silat tangan kosong
yang dipelajarinya dari Eyang Sinto Gendeng!
Mula-mula dikeluarkannya jurus yang dinamakan
"Segulung Ombak Menerpa Karang", menyusul "Ular Naga Menggelung Bukit", lalu
Wiro balikkan badan dan lancarkan jurus "Dibalik Gunung Memukul Halilintar"
dan yang keempat kalinya jurus yang dinamai "Membuka Jendela Memanah Rembulan".
Semua gerakan itu dilakukannya dengan cepat hingga dalam sesaat saja dia sudah
menyelesaikannya.
Tua Gila tertawa gelak-gelak. Sambil batuk-batuk kemudian dia berkata: "Coba kau
ulangi lagi keempat jurus itu." Lalu dia mematahkan sebatang ranting dan berdiri
empat langkah dihadapan Wiro Sableng.
Tahu kalau dirinya hendak diuji maka sewaktu bergerak kembali Wiro Sableng
sengaja lipat gandakan tenaga dalam dan berkelebat dengan ilmu mengentengi tubuh
yang sudah mencapai tingkat kesempurnaannya! Tubuh Pendekar 212 Wiro Sableng
lenyap ditelan oleh gerakannya sendiri yang berkelebat merupakan bayang-bayang!
Pada waktu Wiro Sableng mengeluarkan jurus "Segulung Ombak Menerpa Karang" maka
kedua tangannya kiri kanan memukul sebat sampai mengeluarkan suara angin yang
deras,, betul-betul laksana ombak dahsyat memukul karang. Debu dan pasir serta
batu-batu kerikil beterbangan.
Semak belukar bergoyang-goyang!
Anehnya Si Tua Gila menyerangnya, Wiro Sableng lipat gandakan daya gerakannya.
Jurus yang dinamai
"Segulung Ombak Menerpa Karang" itu mengeluarkan angin pukulan yang laksana
ganas mencari sasaran di Banjir Darah di Tambun Tulang -Dewi kz
22 kepala dan dada Tua Gila.
Tua Gila mendengus. Ranting di tangan kanannya lenyap dan gerakan memutar sedang
tubuhnya sendiri jingkrak-jingkrakkan tak menentu macam monyet terbakar ekor!
Anehnya meski gerakan si orang tua bertampang angker jingkrak-jingkrakkan tak
karuan dan dilakukan sambil cengar-cengir mengejek namun jurus "Segulung Ombak
Menerpa Karang" secara aneh dapat dielakkannya dengan mudah!
Wiro Sableng penasaran sekali. Tak pernah selama ini jurus yang dikeluarkannya
itu sanggup dielakkan lawan demikian mudahnya! Karena dengan satu bentakan keras
Wiro susul dengan jurus "Ular Naga Menggelung Bukit".
Jurus ini didahului oleh satu tendangan dahsyat ke arah bawah perut. Namun ini
hanyalah gerak tipu belaka. Bila lawan menangkis atau mengelak akan menyusul
sambaran sepasang lengan ke al-ah leher atau pinggang.
Sekali leher atau pinggang kena digelung oleh lengan yang berisi kekuatan tenaga
dalam luar biasa itu, tak ampun lagi pasti akan putus dan orangnya akan konyol!
Dengan gerakan gerabak-gerubuk Tua Gila hindarkan tendangan,ke arah bawah
perutnya. Juga dengan gerakan aneh macam begitu dia berhasil pula mengelakkan
gelungan tangan lawan yang mengincar leher lalu turun ke arah pinggang!
"Edan!" maki Pendekar 212. Dalam lain kejap dia sudah melompat ke muka dan
lancarkan jurus "Membuka Jendela Memanah Rembulan".
Tapi dia cuma menyerang tempat kosong karena si orang tua sudah lenyap
dihadapannya dan terdengar suara dengus mengejeknya di belakang!
Wiro bersuit nyaring. Balikkan badan dengan cepat sambil lancarkan serangan
dalam jurus "Dibalik Gunung Memukul Halilintar!"
Tapi lagi-lagi dengan gerakan aneh gerabak-gerubuk macam monyet mabuk si orang
tua berhasil mengelakkan jurus serangan terakhir yang dilancarkan Wiro Sableng
itu! Wiro melompat mundur.
"Orang tua, aku mengaku kalah!" kata Wiro sejujurnya.
Dia kagum sekali melihat kelihayan orang tua ini.
Tua Gila tertawa mengekeh dan sambit membuang ranting kering yang ditangannya
dia berkata: "Aku tidak memikirkan soal menang atau kalah! Hanya tukang-tukang
judilah yang memikirkan kalah menang!"
Kemudian dia duduk di bawah pohon kelapa dengan Banjir Darah di Tambun Tulang Dewi kz 23 masih tertawa mengekeh. "Dengan ilmu silat picisan itu kau mau pergi ke Tambun
Tulang..." He... he... he... he....
Belum sampai mungkin kau sudah kojor!"
Wiro Sableng panas sekali hatinya. Ilmu silat warisan Eyang Sinto Gendeng yang
selama ini dianggapnya hebat dan lihay kini dikatakan sebagai ilmu silat
picisan! Betul-betul Pendekar 212 jadi mengenas hatinya. Namun demikian adalah
satu kenyataan bahwa dia tak sanggup menghadapi si orang tua dalam keempat jurus
tadi! Ini membuktikan bahwa sepandai-pandainya manusia, masih ada manusia lain
yang lebih pandai dari dia. Bahwa di luar langit ada langit lagi! Diam-diam Wiro
menggerendeng sambil tundukkan kepala. Tapi ketika kepalanya ditundukkan,
astaga, membeliaklah matanya karena terkejut!
Betapakah tidak! Baju putih yang dikenakannya ternyata robek besar diempat
bagian! Wiro angkat kepala dan memandang tak berkesip pada si orang tua! Kalau
saja benda di tangan Tua Gila tadi adalah sebatang pedang dan benar-benar
dipakai untuk mencelakai dirinya, pastilah sudah sejak tadi nyawanya melayang ke
akhirat! Betul-betul bahwa di luar langit ada langit lagi!
Tua Gila sementara itu tertawa terkekeh-kekeh sambil usap-usap janggutnya yang
putih panjang. "Sia-sia orang gila! Sia-sia kalau dengan ilmu yang kau miliki sekarang iri i
kau hendak pergi ke Tambun Tulang!
Kau akan mampus percuma!"


Wiro Sableng 010 Banjir Darah Di Tambun Tulang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau begitu aku mohon petunjukmu, orang tua,"
kata Wiro Sableng pula.
"Apa" Siapa sudi kasih petunjuk pada orang gila macam kau!" damprat Tua Gila
membuat Wiro untuk kesekian kalinya memaki dalam hati!
"Aku sudah lihat jurus-jurus silatmu yang tak berguna itu!" bicara lagi Tua
Gila. "Sekarang coba keluarkan ilmu-ilmu pukulan saktimu! Aku mau lihat apakah
juga tak ada artinya"!"
Penasaran sekali Wira menyurut mundur delapan langkah. Kedua kakinya
direnggangkan. Tenaga dalam segera dialirkan ke lengan kanan.
"Orang tua! Berdirilah)" seru Wiro Sableng ketika dilihatnya Tua Gila masih
duduk di bawah pohon kelapa sambil cengar cengir seenaknya.
"Ah, untuk menerima.pukulanmu yang tak berguna kenapa musti berdiri segala"!
Silahkan memukul, orang gila!"
Banjir Darah di Tambun Tulang -Dewi kz
24 Wiro kertakkan rahang dan lipat gandakan tenaga dalamnya. "Kalau kau mendapat
celaka, jangan salahkan aku!" gerendeng Wiro. Tangan kanannya diangkat tinggitinggi ke atas. Begitu tinju dihantamkan ke muka maka kelima jari membuka dan
satu gumpalan angin keras menderu ke arah Tua Gila yang masih saja duduk
tertawa-tawa. "Ah! Cuma pukulan kunyuk melempar buah! Tak ada gunanya bagiku!" ejek tua Gila.
Tangan kirinya dilambaikan ke arah gumpalan angin yang hendak melabraknya.
Terdengar suara berdentum, Wiro tersurut. tiga langkah ke belakang! Ketika dia
memandang ke muka, si orang tua dilihatnya tertawa mengekeh dan masih tetap
duduk di bawah pohon kelapa itu! .
Wiro merutuk setengah mati.
Kedua tangan diangkat ke atas.
"Tua Gila! Terima pukulanku yang kedua ini!" Kemudian tanpa tunggu lebih lama
Wiro putar-putarkan kedua tangannya di udara. Gelombang angin yang tiada tara
dahsyatnya menderu. Debu dan pasir beterbangan. Batu-batu kerikil mental. Semak
belukar luruh, daun-daun pohon berguguran bahkan banyak cabang-cabang dan
rantingnya yang patah! Pakaian, rambut dan janggut Tua Gila kelihatan berkibarkibar! Tapi anehnya dia tetap saja duduk di tempatnya, malah berkata' "Ah,
sejuknya pukulan angin puyuh ini. Mataku sampai-sampai mengantuk!" Dia menguap
lalu letakkan kepalanya di atas lutut seperti sikap orang yang hendak tidur
mencangkung! "Edan!" maki Wiro Sableng. Pukulan angin puyuh segera diganti dengan pukulan
angin es. Udara di atas pulau itu mendadak sontak menjadi dingin tiada
terperikan. Binatang-binatang kecil seperti burung, jatuh menggelepar kaku. Sebaliknya si
orang tua mendongak ke langit dan berkata seakan-akan pada dirinya sendiri; "Ah,
panas sekali hari ini!.Tubuhku sampai keringatan!" Lalu Tua Gila kibas-kibaskan
pakaian putihnya. Dengan serta merta lenyaplah pengaruh pukulan angin es yang
telah dilepaskan oleh Wiro Sableng!
"Orang gila! Apakah kau masih punya ilmu simpanan yang lain"!" seru Tua Gila
dengan nada mengejek!
Wiro jambak-jambak rambutnya saking gemas.
"Ayo! Pukulan sinar matahari belum kau keluarkan!
Sudah lama aku tidak melihat pukulan itu!"
Sebenarnya susah sejak tadi Wiro Sableng terkejut karena Tua Gila mengetahui
setiap jurus pukulan yang Banjir Darah di Tambun Tulang -Dewi kz
25 hendak dilepaskannya. Bahkan kini kejutnya itu bertambah lagi sewaktu Tua Gila
menyuruhnya mengeluarkan pukulan sinar matahari!1 Siapa sesungguhnya orang tua
aneh ini, pikir Wiro tiada henti!
"Ayo! Kenapa jadi macam orang pikun"! Keluarkan pukulan sinar matahari!" berseru
lagi Tua Gila. Penasaran sekati Wiro alirkan seluruh tenga dalamnya ke tangan kanan. Mulutnya
komat-kamit. Sekejap kemudian tangannya itu mulai dari siku sampai ke ujungujung jari berubah menjadi putih sekali! Lima kuku-kuku jarinya memijar
menyilaukan laksana perak ditimpa sinar matahari!
Tua Gila untuk pertama kalinya berdiri dengan cepat.
Matanya yang lebar memandang ke muka tak berkedip.
Tubuhnya sedikit dibungkukkan dan pada saat dilihatnya Wiro memukulkan tangan
kanan ke muka, orang tua ini dorongkah telapak tangan kanannya ke depan!
Dari tangan Wiro Sableng menderu satu larik besar sinar putih yang tiada
terkirakan panasnya! Sebaliknya dari tangan Tua Gila berkiblat tujuh sinar
pelangi yang menderu ganas-dan memapasi sinar putih berkilau!
Terdengar suara berdentum yang teramat dahsyat!
Langit laksana robek!
Pulau itu laksana tenggelam ke dasar laut!
Dunia seperti mau kiamat!
Wiro Sableng mencelat sampai tiga tombak. Ketika dia berdiri mengimbangi badan,
dadanya terasa sakit.
Tenggorokannya gatal. Dia terbatuk lapi darah yang menyembur! Cepat-cepat Wiro
telan sebutir pil! Lalu atur jalan darah dan nafasnya! Di seberangnya dilihat
sepasang kaki Tua Gila amblas ke dalam tanah sedalam betis! Sambil batuk-batuk
dan tertawa-tawa, orang tua itu cabut kedua kakinya.
"Ah... baru pukulanmu yang satu itu yang agak berguna dimataku!" kata Tua Gila.
Perlahan-lahan dia duduk kembali di bawah pohon kelapa. Tiba-tiba dia berpaling
ke kiri dan mendamprat keras: "Bocah sialan! Kau berani mengintai urusan orang!
Pergi!" Ternyata yang dibentak dan diusirnya itu adalah anak kecil yang tempo hari
ditolong oleh Wiro di tengah lautan. Si anak dengari takut segera lari
meninggalkan tempat itu.
Tua Gila mendongak ke langit. Saat itu sang surya telah menggelincir ke arah
barat. "Hem... sudah rembang pelang. Tentu pasang sudah naik"
Banjir Darah di Tambun Tulang -Dewi kz
26 Dia berpaling pada Wiro dan berdiri. Lalu katanya:
"Mari ikut aku ke pantai!"
Mula-mula Wiro merasa bimbang dan tetap berdiri di tempatnya. Tapi ketika Tua
Gila membentaknya dengan mata melotot marah, maka dengan rasa ingin tahu apa
yang hendak diperbuat orarig tua aneh itu akhirnya Wiro mengikut juga!
Banjir Darah di Tambun Tulang -Dewi kz
27 Seperti yang dikatakan Tua Gila tadi ternyata memang kini mereka sampai di tepi
pantai. Orang tua itu melangkah sepanjang tepi pasir menuju ke sebuah teluk
sempit yang penuh dengan batu-batu karang serta batu-batu cadas hitam. Wiro
memperhatikan bagaimana Tua Gila melangkah seenaknya di atas pasir yang basah
tanpa meninggalkan sedikit jejak pun! Se-baliknya ketika dia memandang ke
belakang, meski tak begitu kentara namun tetap saja matanya bisa melihat bekasbekas telapak kedua kakinya! Bagaimana dia bisa menganggap ilmunya sudah tinggi
dan sempurna" Wiro garuk-garuk kepalanya. Dalam bati dia- merasa malu sendiri!
Di teluk sempit itu terdapat dua buah batu karang yang menonjol tinggi. Lebih
tinggi dari batu-batu di sekelilingnya.
Jika pasang naik meskipun kedua batu karang itu tidak terendam air laut namun
hampir setiap saat ombak yang sebesar-besar rumah menderanya dengan dahsyat!
Setiap pasang naik, setiap hari, entah sudah berapa ratus tahun, entah sudah
berapa juta kali ombak mendera kedua batu karang itu! Namun sampai saat itu
keduanya masih tetap berdiri dengan kukuh dan megah laksana dua raksasa yang
tiada terkalahkan sepanjang masa!
Dengan gesit dan sambil menyanyi-menyanyi membawa-kan lagu tak menentu Tua Gila
melompat-lompat di atas batu-batu cadas, sampai akhirnya dia berada di puncak
salah satu batu karang yang tinggi itu. Dia memandang ke bawah dan berteriak
pada Wiro: "Kau melompatlah ke batu karang yang di sebelah sana!"
"Kau gila!" teriak Wiro. "Kalau ombak dalang kau pasti dihantam dan terpelanting
ke batu-batu karang yang runcing menonjol itu. Kira-kira dua puluh tombak!"
Dan baru saja Wiro habis berteriak begitu sebuah ombak sebesar rumah bergulung
dan menerpa ke arah puncak batu karang!
Wiro berseru memberi Ingat agar Tua Gila lekas melompat turun! Tapi gilanya,
malah Tua Gila memutar tubuh menghadapi datangnya ombak. Kedua tangannya Banjir
Darah di Tambun Tulang -Dewi kz
28 diangkat tinggi-tinggi dan dia berjingkrak-jingkrak di atas puncak karang itu
seperti seorang anak yang gembira sekail di kala ke luar rumah mandi hujan!
Begitu ombak mendera begitu si orang tua dorongkan kedua tangannya menyongsong
ke muka! "Byuur!"
Ombak menerpa, Batu karang bergoyang keras.
Tapi Tua Gila masin berdiri di atas puncak karang itu, Bajunya basah kuyup. Dan
dia berteriak-teriak gembira;
"Ayo ombak! Ayo ombak datanglah lagi! Datanglah lagi lebih besari"
"Manusia aneh gili" desis Wiro. tapi diam-diam dia kagum sekali! Sedangkan batu
karang itu waktu dilanda ombak kelihatan jelas bergoyang hebat! Sebaliknya
seorang manusia yang berada di puncaknya tiada sanggup disapu oleh ombak! Benarbenar tak bisa dipercaya kalau dia tak menyaksikannya sendiri.
"Hai! Melompatlah. Kau tunggu apa lagi"!" teriak Tua Gila sewaktu dilihatnya
Wiro Sableng masih berdiri bengong melompong di bawah sanal
"Tobat! Aku masih mau hidup orang tua!" sahut Wiro.
Tua Gila memaki lalu gerakkan tangan kanannya.
Wiro tak tahu apa yang dikerjakan orang tua itu tahu-tahu sebuah benda halus
putih yang berkilauan telah melibat pinggangnya. Benang kayangan! Belum sempat
Wiro berbuat suatu apa tahu-tahu tubuhnya sudah tersentak dan melesat ke atas
puncak karang yang kedua.
Dengan kerahkan ilmu meringankan tubuh Wiro menjejakkan kedua kakinya di atas
puncak karang yang sempit runcing, serta licnin berlumut itu!
Bila dia memandang ke muka, Wiro terkejut. Segulung ombak sebesar rumah menderu
ke arah kedua puncak batu karang di mana dia berada bersama Tua Gila.
"Bagi dua tenaga dalammu ke kaki dan tangani" teriak Tua Gila. "Begitu ombak
datang songsong dengan pukulan kedua telapak tangan!"
Karena khawatir tubuhnya akan disapu dan dihempas-kan ombak ke batu-batu cadas
di teluk yang sempit itu, dengan sedapat-dapatnya Wiro mengikuti ucapan Tua
Gila! Tapi percuma saja! Begitu ombak menyapu begitu tubuhnya mencelat mental!
"Tobat! Tamatlah riwayatku!" keluh Wiro Sableng. Satu tombak lagi tubuhnya akan
menghantam sebuah batu cadas Ijba-tiba dirasakannya badannya tersentak membal
dan mencelat lagi ke udara! Kiranya Tua Gila telah Banjir Darah di Tambun Tulang
-Dewi kz 29 menyentakkan benang kayangan yang menjerat pinggangnya. Untuk kedua kalinya Wiro
berdiri lagi di puncak batu karang itu!
"Ayo orang gila! Jangan takut!" seru Tua Gila sambil tertawa gelak-gelak. "Nah
ini ombak besar datang lagi! Ayo, sambutlah!"
''Byuuur!"
Ombak menggulung menerpa bagian atas puncak-puncak karang. Untuk kedua kalinya
tubuh Wiro Sableng mencelat mental. Seperti tadi, sebelum jatuh ke atas batubatu cadas, kembali Tua Gila menariknya dan melemparkannya ke puncak karang!
Berkali-kali hal itu terjadi hingga Wiro merasakan sekujur tubuhnya laksana
tiada bertulang lagi, laksana hancur lebur dan orang tua gila itu masih juga
melemparkannya ke atas batu karang setiap ombak menerjangnya jatuh!
Tiada terasa senjapun datang. Senja segera pula berganti dengan malam. Entah
sudah berapa puluh kali Wiro disapu ombak dan "dipermainkan" oleh Tua Gila. '
Lambat laut timbullah rasa penasaran di hati Wiro Sableng, Dengan menguatkan
diri dap menabahkan hati, ketika untuk kesekian kalinya ombak dalang lagi
menderu maka pemuda ini coba berbuat seperti yang dilakukan Tua Gila.
Sebagian tenaga dalamnya dikerahkan ke kaki, sebagian lain ke tangan. Begitu
ombak datang tubuhnya dibungkukkan sedikit dan kedua telapak tangan didorongkan
ke muka! "Byuur!"
Wiro mencelat mental. Tapi kali ini tidak sejauh seperti sebelumnya. Dan bila
hal itu dicobanya lagi berulang-ulang, maka menjelang tengah malam akhirnya Wiro
sanggup juga beberapa kali tetap berdiri di puncak batu karang itu meskipun
tubuhnya tergoyang gontai dengan hebat! Namun karena kekuatannya telah habis,
akhirnya pemuda ini roboh pingsan! Dari mata, telinga, hidung dan mulut ke luar
darah. Ini adalah akibat tubuh lemah yang dipaksakan mengerahkan tenaga untuk melakukan
pekerjaan yang tak pernah dilakukan sebelumnya! Sebaliknya. Tua Gila tertawa
gelak-gelak penuh gembira. Ditariknya benang sakti di tangannya. Sekali
menyentakkan kemudian tubuh Wiro Sableng sudah berada di atas bahu kirinya.
Tua Gila mendongak ke langit, memandang ke arah bulan sabit. Sambil melompat
turun dan tertawa-tawa dia berkata:
"Tidak percuma... tidak percuma Si Sinto Gendeng itu punya murid macam ini!
Tidak percuma!"
Banjir Darah di Tambun Tulang -Dewi kz
30 Kalau saja Wiro Sableng tidak pingsan, kalau saja Wiro Sableng mendengar ucapan
Tuan Gila itu, pastilah dia akan heran dan terkejut sekali. Karena Eyang Sinto
Gendeng adalah guru Wiro Sableng yang telah menggembleng pemuda ini selama tujuh
belas tahun di puncak Gunung Gede!
Ternyata Tua Gila dengan mengajak Wiro Sableng ke puncak batu karang di teluk
sempit itu, telah mengajarkan sebuah ilmu pukulan yang amat hebat kepada si
pemuda. Wiro sendiri begitu menyadari bahwa Tua Gila memberikan pelajaran ilmu pukulan
sakti kepadanya segera hendak berlutut mengucapkan terima kasih. Tapi dengan
tertawa-tawa Tua Gila berkata:
"Meski kau kuberi pelajaran satu ilmu pukulan yang hebat, tapi jangan sangka
bahwa aku telah jadi guru dan kau telah jadi murid antara kita tak ada hubungan
apa-apa...!"
"Terima kasih orang tua! Terima kasih!" kata Wiro,
"Tapi mengapakah kau sampai demikian bermurah hati mengajarkan ilmu pukulan
itu?" Tua Gila tertawa gelak-gelak.
"Pertama sebagai ucapan terima kasihku karena di tengah laut kau telah
menyelamatkan seorang anak yang bakal menjadi muridku! Kedua karena mengingat...
ah.... Agaknya tak perlu kuteruskan...."
Wiro Sableng merasa tak enak.
"Karena mengingat apa, orang tua...?"
"Sudah! Tak usah banyak tanya!" kata Tua Gila tak senang. "Ilmu pukulan yang
telah kau pelajar! itu bernama
"Dewa Topan Menggusur Gunung". Merupakan satu diantara tujuh pukulan hebat yang
ada di dunia persilatan! Sekarang, untuk menambah bekalmu ke Tambun Tulang, aku
akan ajarkan padamu beberapa jurus silat ciptaanku yang bernama Ilmu Silat Orang
Gila" "Nah sekarang kau seranglah aku selama tiga jurus,"
kata Tua Gila. Wiro segera menyerang orang tua itu dengan gencar!
Bagaimanapun hebat dan cepat gerakannya tetap saja dia tak bisa menyentuh tubuh
Tua Gila. Sebaliknya dia kena didesak dan akhirnya dipaksa "makan" sebuah
jotosan pada dadanya! Padahal ilmu silat yang dimainkan oleh Tua Gila
kelihatannya gerabak-gerubuk tidak teratur! Tapi justru disitulah letak
kehebatan ilmu silat orang gila yang diciptakan oleh Tua Gila! Dalam waktu yang
singkat Wiro Sableng telah dapat meyakinkan jurus-jurus silat itu.
Banjir Darah di Tambun Tulang -Dewi kz
31 Meskipun belum sempurna, tapi bila dia terus melatih diri, pastilah
kepandaiannya akan mencapai tingkat kesempurnaan.
Di pagi hari keesokannya setelah bersemedi hampir setengah malam Tua Gila
memanggil Wiro Sableng.
"Hari ini adalah hari yang paling memuakkan bagiku untuk melihat tampangmu!"
kata si orang tua. Wiro terkejut. Belum sempat dia bertanya Tua Gila sudah
menyambung: "Karenanya hari ini pula kau harus angkat kaki! Nah berlalulah
sebelum aku betul-betul muntah melihatmu!"
Wiro berpikir sejenak lalu dengan tertawa lebar dia duduk dihadapan Tua Gila.
Dia tahu orang tua ini bersifat aneh.
Karenanya meski disuruh pergi dia tak mau angkat kaki dari situ.
"Sebelum pergi, pertama sekali aku akan mengucapkan terima kasih sekali lagi,
Terima-kasih karena kau juga telah mewariskan ilmu pukulan sakti dan menurunkan


Wiro Sableng 010 Banjir Darah Di Tambun Tulang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ilmu silat yang hebat padaku...."
"Lalu apa lagi"]" tanya Tua Gila. "Ah, sudahlah! Perutku sudah mual melihatmu!
Ayo berlalu cepat!" Tua Gila lambaikan tangannya. Angin yang hebat mendorong
Wiro hingga terjajar beberapa langkah ke pintu pondok.
"Aku butuh beberapa petunjuk darimu, Tua Gila,"
kata Wiro. "Eh, petunjuk apa"!"
"Kau sudah tahu bahwa aku akan pergi ke Tambun Tulang."
"Dan aku sudah berikan beberapa ilmu sebagai bekalmu. Apa itu masih belum
cukup"!"
"Maksudku bukan minta ilmu lagi, tapi beberapa keterangan."
"Keterangan apa"!" tanya Tua Gila cepat seperti orang yang tidak sabar.
"Aku tak tahu banyak tentang letak dan apa artinya Tambun Tulang itu...."
"Dan juga tidak tahu bahwa ajal mungkin menantimu di situ"!" Tua Gila tertawa
mengekeh. "Ajal menunggu manusia di mana-mana, orang tua,"
sahut Wiro. "Betul! Sedang tidurpun bisa mampus! Tapi mati yang paling mengenaskan dan
mengecewakan ialah mati percuma dalam tak berhasil melakukan sesuatu yang kita
rasakan sebagai kewajiban!" Orang tua itu tertawa lagi seperti sebelumnya.
Setelah memijit-mijit kedua pipinya Banjir Darah di Tambun Tulang -Dewi kz
32 yang cekung. Tua Gila membuka mulut lagi:
"Tempat tujuanmu itu terletak di sebelah utara, kira-kira diperlengahan Pulau
Andalas. Cukup jauh dari sini! Tapi kau pasti bisa sampai di situ karena
bukankah kuburmu memang terletak di sana?" Tua Gila tertawa kembali. Lalu
meneruskan lagi: 'Tambun Tulang artinya Timbunan Tulang.
Bukan timbunan tulang binatang tapi timbunan tulang ratusan, mungkin ribuan
manusia! Demikian banyak hingga merupakan sebuah bukit yang kelihatan putih dari
jauh! Bila didekati, pemandangan di sana mengerikan sekali! Bukit Tambun Tulang
daerah kekuasaannya Datuk Sipatoka, seorang jago silat dan sakti mandraguna. Dia
memiliki anak buah dan pembantu-pembantu yang lihay. Di samping itu memelihara
puluhan harimau! Sekali kau masuk ke daerahnya itu, tipis harapan kau bakal
keluar hidup-hidup, orang gila! Nah, apa bukan lebih bagus kau membatalkan saja
niatmu pergi ke situ"!"
Wiro gelengkan kepalanya.
"Kau masih muda, orang gila. Mati muda mati yang sia-sia!" kata Tua Gila pula.
Wiro tak menghiraukan ucapan orang tua itu, Malah dia bertanya: "Menurutmu,
apakah mungkin manusia bernama Sipatoka itu yang telah membunuh Kiat Bangkalan
dan mencuri kitab Seribu Macam Ilmu Pengobatan?"
"Dasar orang gila! Masakan hal itu kau tanyakan padaku!
Aku tidak tahu dan kalaupun tahu belum tentu kuberi tahu padamu!"
"Wiro mendumel dalam hati".
"Orang bernama Sipatoka itu, apakah dia termasuk tokoh silat golongan hitam?"
"Itu urusanmu untuk menyelidikinya!" jawab Tua Gila
"Mengenai bukit tulang manusia itu... apakah itu manusia-manusia korban
keganasan Datuk Sipatoka dan orang-orangnya?" tanya Wiro lagi.
Tua Gi|a tertawa dingin. "Kau akan melihat dan me-ngetahuinya sendiri nanti,
orang gila! Kalau nasibmu baik, kau akan mati berkubur! Tapi kalau tidak,
tulang-tulangmu akan turut menambah tingginya bukit Tambun Tulang Ku!
Nah sekarang kau tunggu apa lagi! Cepat angkat kaki!"
Sekali lagi Wiro Sableng ucapkan terima kasih lalu setelah menjura berulang kali
pendekar ini melangkah dengan cepat ke pintu.
"Orang gila! Tunggu dulu!" seru Tua Gila memanggil.
Wiro Sableng membalikkan badan.
"Sampai hari ini, sudah sejak beberapa lamakah kau Banjir Darah di Tambun Tulang
-Dewi kz 33 turun meninggalkan puncak Gunung Gede"!"
Kagetlah Wiro Sableng mendengar pertanyaan orang tua itu. Bagaimana si Tua Gila
tahu kalau dia berasal dari Gunung Gede"!
"Jawab sejujurnya orang gila! Aku tahu banyak tentang kau tapi tidak tentang
orang lain itu!"
"Orang lain siapa, Tua Gila?" tanya Wiro.
"Gurumu si Sinto Gendeng! Lebih empat puluh tahun aku tak mendengar kabar
beritanya!"
Keterkejutan Wiro Sableng makin bertambah-tambah.
"Kau... kau kenal dengan guruku"!"
"Jawab dulu sudah berapa lama kau turun gunung"!"
Wiro berpikir-pikir. "Kurasa ada satu tahun," sahutnya.
"Ada apakah orang tua?"
"Sejak satu tahun itu tak pernah ketemu-ketemu dengan si Sinto Gendeng"!"
Melihat Tua Gila menyebut nama gurunya dengan "Si Sinto Gendeng" nyatalah bahwa
Tua Gila mempunyai hubungan akrab. Atau mungkin sebaliknya"!
"Tidak," Wiro menjawab pertanyaan Tua Gjla tadi.
"Sebetulnya ada hubungan apakah kau dengan guruku, Tua Gila?"
Orang tua itu tertawa rawan. Dia memandang jauh-jauh ke muka seakan-akan sesuatu
di masa lampau kini terbayang di ruang matanya.
Tiba-tiba Wiro Sableng melihat butiran-butiran air mata menetes dan turun ke
pipi cekung si orang tua.
Aneh, pikir Wiro.
Lalu tiba-tiba lagi sambil seka air mata itu tua Gila tertawa gelak-gelak.
"Kadang-kadang orang yang sudah tua berlaku seperti anak kecil. Menangis macam
anak kecil!" Tua Gila kemudian hela nafas panjang. "Sebenarnya aku dan gurumu
itu adalah saudara satu guru...."
Tentu saja ini tak diduga sama sekali oleh Wiro Sableng!
Kagetnya bukan olah-olah! Tapi begitu sadar cepat-cepat dia menjura dalam-dalam
dihadapan Tua Gila.
"Betul-betul aku tidak menduga kalau kau adalah saudara seperguruan dari Eyang
Sinto Gendeng. Ah...
pantas saja kau sakti dan lihay sekali!"
Kembali Tua Gila tertawa rawan.
"Aku lima tahun lebih tua dari dia, orang gila....". Dan dia memandang lagi
jauh-jauh ke muka. "Gurumu itu sekarang tentu sudah tua renta, bungkuk dan buruk
keriputan! Tapi dulu dia seorang dara yang cantik sekali!
Dan aku yang kini begini buruk macam mayat hidup Banjir Darah di Tambun Tulang Dewi kz 34 dulupun punya tampang keren, tegap gagah! Tapi itu dulu...!
Semua yang dulu-dulu itu tak bakal kembali lagi!"
Untuk kedua kalirjya Jua Gila menghela nafas dalam.
Lalu meneruskan, penuturannya. "Orang gila, aku naksir pada gurumu di masa kami
muda-muda dulu. Dia juga senang padaku. Kami saling mencintai! Bahkan sewaktu
turun gunung, guru kami merestui kalau benar-benar kami hendak bergabung dalam
satu perkawinan! Tapi celakanya sesudah turun gunung aku tertipu oleh kecantikan
dunia luar! Aku terjebak dan mati kutu di tangan seorang janda muda anak seorang
Adipati di Plered! Aku kawin dengan janda Itu dan meninggalkan gurumu! Gila!
Betul-betul gila perbuatanku!" Dan Tua Gila memukul-mukul keningnya sendiri!
"Ketika janda itu sakit dan mati, baru aku sadar!
Aku cari gurumu dan bertemu. Tapi dia tak sudi lagi padaku! Sekalipun aku
menangis air mata darah, dia tak bersedia menerimaku dan hidup bersama! Gurumu
patah hati, orang gila! Memang aku yang salah! Gila! Aku jadi putus asa lalu
bertualang dan membuat keonaran di mana-mana! Seluruh tokoh-tokoh, silat di
Pulau Jawa tunduk dan takut padaku! Dua puluh tahun lebih aku merajai dunia
persilatan! Orang-orang menjulukiku berbagai rupa. Ada yang memberi gelar
"Pendekar Gila Patah Hati". Ada pula yang menjuluki "Iblis Gila Pencabut Jiwa"!
Banyak lagi gelar-gelar yang lain, tapi persetan dengan semua gelaran itu! Di
akhir hayatku ini aku memakai gelar yang kuciptakan sendiri yaitu Tua Gila!
Orang tua yang gila! Kurasa itu cocok bagiku! Dan selama bertualang membuat
keonaran itu tahukah kau sudah berapa manusia yang menjadi korban di tanganku?"
Wiro angkat bahu.
Tua Gila hela nafas lagi. "Tiga ratus lebih," katanya mendesis. 'Tiga ratus
lebih nyawa manusia yang harus kuper-tanggung jawabkan di akhirat nanti! Betulbetul gila! Tapi semua mati dalam pertempuran yang jujur! Meski demikian kurasa
jtu tetap gila! Dan di hari tua ini datanglah penyesalan. Tapi,apa gunanya lagi"
Sudah nasib!"
''Apakah selama bertualang itu kau tak pernah bertemu dengan guruku?" tanya Wiro
ingin tahu.. "Pernah... memang pernah, orang gila! Waktu itu keadaan diriku menyedihkan
sekali. Pakaian compang-camping penuh tambalan. Rambut gondrong, lebih gondrong
darimu dan acak-acakan. Badanku kurus kering, muka tak terpelihara dan kalau aku
tak salah, waktu itu aku tak pernah mandi-mandi! Dan waktu itu kami berumur
Banjir Darah di Tambun Tulang -Dewi kz
35 kira-kira empat puluh tahunan! Rupanya gurumu kasihan juga melihat aku! Lalu dia
berkata kalau aku menghentikan membuat keonaran, kembali ke jalan yang benar,
maka kelak di tiga puluh tahun mendatang dia bersedia untuk kawin denganku! Gila
tidak"! Di tiga puluh tahun mendatang aku dan dia sudah jadi kakek nenek tua
renta keriputan! Dan kawin di umur setua macam begini, betul-betul gila dan tak
pantas sekali! Atau menurutmu pantas-kah orang setuaku dan setua gurumu itu,
melangsungkan perkawinan"!".
Wiro Sableng garuk-garuk'kepala. Hatinya geli sekali.
"Aku tak tahu, Tua Gila. Kalau suka sama suka kurasa tak ada halangannya..."
Tua Gila tertawa gelak-gelak sampai ke luar air mata.
"Memang tak ada halangan dan tak ada yang melarangl Tapi semua orang tentu akan
mentertawai dan menganggap kami berdua pada gila dan memang aku dan gurumu itu
memang sudah gila! Sesudah bertemu dengan gurumu lantas aku mengundurkan diri
dari dunia persilatan dan tinggal di sini selama tiga puluh tahun lebih, mendalami ilmu silat ciplaanku dan memperyakin beberapa ilmu pukulan sakti sambil
berharap-harap sebelum mampus bisa mendapatkan seorang murid! Dan nyatanya
harapanku terkabul! Kau orang gila telah menyelamatkan seorang anak yang telah
kuambil jadi murid!"
Lama kedua orang itu sama berdiam diri.
"Kalau kelak kau mengunjungi gurumu, jangan lupa sampaikan salamku padanya,"
kata Tua Gila. Wiro mengangguk."Tapi kurasa lebih baik lagi bila kau sendiri yang datang
menyambanginya...."
"Ah... hatiku memang rindu! Tapi aku malu sekali! Kau tahu orang gila, rasa malu
lebih kukuh dari dinding baja!"
"Liku hidup ini banyak ragam dan keanehannya,"
kata Wiro. Dan Tua Gila menyambungi: "Segala liku keanehan itu akan berakhir pada satu hal
yakni kematian.... Nah, Wiro sekarang kau pergilah! Jangan tunggu sampai aku
muntah!" Wiro Sableng tertawa dan berkata: "Aku tetap berharap kau sudi menyambangi
guruku di puncak Gunung Gede!"
Paras tua itu kelihatan memerah. Tua Gila membentak:
"Sialan! Aku tak butuh nasihatmu! Ayo pergi!"
Wiro Sableng keluarkan suara bersiul. Setelah menjura cepat-cepat dia tinggalkan
tempat itu. Di tepi pantai pulau ditemuinya dua buah perahu lengkap dengan kayu
pen-dayungnya. Tanpa pikir panjang Wiro masuk ke dalam Banjir Darah di Tambun
Tulang -Dewi kz
36 salah satu perahu itu dan mulai mendayung menuju ke utara!
Banjir Darah di Tambun Tulang -Dewi kz
37 Di tengah pasar yang ramai itu kelihatanlah banyak orang berkerumun dalam bentuk
lingkaran. Dalam lingkaran berdiri dua orang, yang pertama seorang laki-laki
separuh baya berpakaian dan berdestar hitam. Tampangnya gagah dan senyum
senantiasa terbayang di bibirnya. Orang kedua seorang dara yang juga berbaju dan
berikat kepala hitam.
Kulitnya putih rambutnya menjulai panjang di punggung dan parasnya jelita.
Seperti laki-laki tadi, dibibirnya yang segar juga selalu mengulum senyum yang
diberikan pada orang ramai di sekelilingnya.
Laki-laki berpakaian hitam, melangkah ke tengah lingkaran, memandang berkeliling
lalu menjura ke segala penjuru. Suaranya keras dan enak didengar ketika dia
bicara. "Saudara-saudara sekalian! Banyak terima kasih yang saudara-saudara sudah, sudi
berkumpul di sini. Kita bukanlah orang-orang yang baru berjumpa kali ini.
Sudah seringkali aku dan anakku berkunjung ke pasar ini sekedar memberi hiburan
tak berguna untuk mencari uang. Hari ini kita berjumpa lagi. Kuharap saja
saudara-saudara tidak bosan melihat pertunjukan kami! Juga tidak keberatan
bermurah hati memberi beberapa ketip sebagai sumbangan. Kami ayah dan anak mengucapkan
terima kasih...."
Sampai di situ ucapan laki-laki ini terhenti sejenak. Yang menghentikannya ialah
karena dua buah matanya melihat kedatangan seorang penunggang kuda bertubuh
tegap, berkumis melintang, berpakaian dan berikat kepala serba hitam. Dibagian
dada pakaiannya kelihatan lukisan kepala harimau berwarna kuning! Penunggang
kuda itu berhenti dan ikut bergerombol di belakang orang banyak. Laki-laki
separuh baya yang ada di lengah lingkaran merasa tak enak. Demikian juga anaknya
kelihatan berubah air mukanya sewaktu melihat kemunculan si penunggang kuda
berkumis melintang. Sedang orang banyak yang berjubalan, begitu mengetahui
kedatangan penunggang kuda ini segera bersibak menjauh dengan muka yang
membayangkan ketakutan. Banyak diantara mereka yang tak punya minat Banjir Darah
di Tambun Tulang -Dewi kz
38 lagi untuk meneruskan melihat pertunjukan kedua beranak itu dan berlalu dengan
cepat! Laki-laki separuh baya meskipun dengan hati tidak enak kembali meneruskan
ucapannya. "Saudara-saudara sekalian. Maksud kami melakukan pertunjukan ini bukan untuk
memamerkan ilmu kepandaian kami yang tak seberapa tapi semata-mata hanyalah
untuk mencari Uang guna membeli sesuap nasi.
Kami tahu pula, diantara saudara-saudara yang hadir disini tentu ada yang
memiliki kepandaian dan kesaktian yang jauh lebih tinggi, karenanya kami minta
maaf terlebih dahulu dan sudilah untuk tidak berlaku keras terhadap kami dan
menahan pertunjukan kami nanti. Sekali lagi maaf. Sekarang kami akan mulai...."
Laki-laki itu mencabut sebilah keris dari pinggang-nya.
Senjata itu dibawanya berkeliling, diperlihatkannya dekat-dekat pada penonton.
Lalu diambilnya sepotong kayu jati dan kayu itu ditusuknya dengan keris! Kayu
itupun berlubanglah! Ini untuk menunjukkan bahwa keris itu betul-betul senjata
tajam bukan keris palsu yang terbuat dari kayu atau kertas tebali
Kemudian laki-laki ini menganggukkan kepalanya pada si dara jelita. Anak gadis
itu mengambjl sebuah gendang dan mulai memukulnya. Ayahnya membuka baju.
Kelihatanlah dadanya yang bidang dan berbulu. Kemudian mengikuti irama pukulan
gendang, laki-laki ini menari sambil menghunjam-hunjamkan keris di tangan
kanannya ke dada! Jelas sekali kelihatan ujung senjata itu menusuk kulit daging
tubuhnya, namun kulit itu jangankan luka, tergorespun tidak! Semakin cepat irama
pukulan gendang semakin cepat tar ia n yang dimainkannya dan semakin gencar pula
tusukan-tusukan ujung keris ke dadanya!
Lewat sepeminum teh maka irama gendang kembali perlahan dan akhirnya berhenti.
Laki-laki itu hentikan pula "permainannya lalu menjura kepada orang banyak yang
disambut dengan tepuk sorak yang riuh!
"Saudara-saudara sekalian, pertunjukan, berikutnya dilakukan oleh seorang yang
bukan lain adalah anak saya sendiri." Sementara itu ayahnya mengeluarkan
sebatang golok tajam, putih berkilat ditimpa sinar matahari. Untuk membuktikan
bahwa benda itu sebenarnya golok maka diambilnya kayu jati tadi lalu dibacoknya.
Kayu jati terbelah dua!
Gendang mulai dipalu. Dengan langkah ringan si dara baju hitam menuju tengah
lingkaran. Dia tersenyum Banjir Darah di Tambun Tulang -Dewi kz
39 berkeliling lalu mulai menari mengikuti irama gendang.
Tariannya bagus sekali dan lemah gemulai membuat, semua orang terpesona. Ketika
ayah sang dara melangkah mendekati anaknya dengan golok terhunus semua orang
merasa ngeri meskipun pertunjukkan demikian sudah sering mereka saksikan. Lakilaki itu mulai pula menari mengelilingi anaknya. Kemudian "wuut," goloknya
dibacokkan ke punggung si gadis. Terdengar suara
"buuk!" Gadis itu tersenyum! Aneh! Hantaman mata golok yang tajam bukan saja
tidak melukai punggung sang dara tapi bahkan juga tidak merobek pakaiannya! Dan
dengan senyum simpul si gadis terus menari seakan-akan tak ada terjadi apa-apa


Wiro Sableng 010 Banjir Darah Di Tambun Tulang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sementara golok menderu bertubi-tubi membacok bagian atas tubuhnya dan suara
"Buuk... buuk... buuk." Terdengar tak kunjung henti! Kengerian orang banyak
berubah menjadi tempik sorak kagum!
Lewat sepeminum teh pula maka pertunjukan yang kedua itupun berakhirlah! Orang
banyak bertepuk riuh dan bersorak gembira. Beberapa diantara mereka ada yang
melemparkan uang logam ke tengah lingkaran yang segera dikumpulkan oleh anak
laki-laki lalu dimasukkan ke dalam kotak.
"Sekarang pertunjukan yang ketiga, saudara-saudara,"
kata laki-laki berpakaian hitam. Dia melirik sekilas pada penumpang kuda
berkumis melintang yang sampai saat itu masih berada di situ dan menyaksikan
peri tinjukan. "Saudara-saudara sekalian," kata laki-laki itu selanjutnya. "Saudara lihat kuati
besardibela kang itu" Kuali itu berisi air yang dijerang hingga mendidih!
Saudara-saudara akan melihat bagaimana saya akan masuk ke dalamnya dan mandi!"
Lalu laki-laki itu melangkah mendekati sebuah kuali yang* besar sekali. Bagian
bawah kuali yang ditopang oleh tiga buah batu besar itu berkobar api besar. Air
yang ada di dalam kuali berbunyi mendidih dan mengepulkan asap panas.
"Tapi!" berkata laki-laki tadi seraya palingkan muka ke segala penjuru. "Mungkin
saudara-saudara mengira air yang mendidih dan api yang berkobar ini hanyalah
tipuan belaka! Aku akan buktikan bahwa aku Pagar Alam bukanlah seorang penipu!"
Dari dalam sebuah kolak laki-laki yang mengaku bernama Pagar Alam itu
mengeluarkan seekor tikus.
Tikus Hu kemudian dimasukkannya ke dalam api! Bina-Banjir Darah di Tambun Tulang
-Dewi kz 40 tang itu mencicil dan meregang nyawa di situ juga. Bau dagingnya yang terbakar
meranggas hidung! ", Pagar Alam mengeluarkan seekor tikus lagi lalu dicemplungkannya ke dalam air yang mendidih. Tikus itu mencicil sebentar dan
menggelepar-gelepar lalu mati matang! Setelah mengeluarkan tikus Hu dari dalam
kuali Pagar Alam berkata:."Sekarang saudara-saudara saksikan sendiri bahwa aku
tidak menipu kalian! Nah, aku akan masuk ke dalam kuali ini!"
Semua penonton menahan nafas penuh tegang sebaliknya disudut bibir-penunggang
kuda berkumis melintang tersungging senyum penuh arti!
Pagar Alam mencelupkan kaki kanannya ke dalam air mendidih di kuali. Lalu kaki
kirinya. Dan kini dia berdiri di atas kuali berair mendidih yang dibawahnya
berkobar api besar! Hebat dan aneh, kakinya tidak melepuh, seakan-akan air di
dalam kuali itu adalah air dingin biasa!
Bahkan laki-laki ini memutar tubuhnya berkeliling sambil tersenyum! Orang banyak
bertepuk riuh rendah!
"Saudara saudara sekarang aku akan duduk dalam kuali Ini dan akan mandi! Sudah
lama badan buruk ini tak pernah mandi-mandi. Daki telah tebal di sekujur
tubuhku!" Semua orang tertawa gelak-gelak. Mata masing-masing dibentangkan lebih lebar.
Kemudian Pagar Alam membungkuk, siap untuk duduk di dasar kuali. Tapi baru saja
dia bergerak sedikit tiba-tiba laki-laki ini menjerit keras dan melompat ke luar
dari kuali. Tubuhnya terguling di tanah. Kedua kakinya sebatas lutut kelihatan putih matang
laksana daging direbus! Semua orang menjerit dan terbeliak kaget! Anak gadis
Pagar Alam memburu dengan cepat. Dari balik baju hitamnya dikeluarkannya sejenis
bubuk lalu ditebarkannya dikedua kaki ayahnya yang merintih kesakitan di tanah!
Rupanya seseorang berilmu lebih tinggi diam-diam telah "menahan"
dan "memunah" ilmu yang dimiliki Pagar Alam dan akibatnya kedua kaki itu terebus
matang! Setelah mengobati kaki ayahnya, sang dara berdiri dan memandang beringas ke
segala penjuru.
"Saudara-saudara siapakah diantara kalian yang begitu tega mencelakai ayahku"
Ayah tiada punya permusuhan dengan siapapun di sini. Pertunjukan ini bukan untuk
jual lagak atau memamerkan kepandaian, tapi hanyalah untuk mencari makan!
Sungguh keterlaluan kalau ada yang demikian jahatnya mencelakai ayahku!"
Sekali lagi gadis itu memandang beringas berkeliling.
Banjir Darah di Tambun Tulang -Dewi kz
41 Sepasang matanya-beradu pandang dengan penunggang kuda berkumis melintang!
Hatinya berdetak! Kemudian dengan suara lantang sambil memandang berkeliling
gadis, ini berteriak keras: "Siapa yang telah mencelakai ayah silahkan maju
kehadapanku! Siapapun dia adanya aku tidak takut! Aku Mayang akan mengadu jiwa
padanya!" Orang banyak memandang pula berkeliling. Dan rata-rata pandangan mereka tertuju
pada satu sasaran yaitu laki-laki berpakaian hitam yang duduk di atas punggung
kuda! "Bangsat yang telah mencelakai ayahku tapi tak berani unjuk muka adalah pengecut
terkutuk!" teriak Mayang lantang!
Sementara itu dengan merintih kesakitan Pagar Alam coba duduk dan bersandar ke
sebuah peti. Sepasang matanya menyorot penuh amarah, memandang berkeliling. Bila
matanya itu menyapu paras laki-laki yang duduk di atas kuda maka Pagar Alam pun
membuka mulut dengan suara bergetar:
"Gempar Bumi, kaukah yang melakukan kejahatan ini"!"
Si penunggang kuda tertawa bergumam. Sekali dia gerakkan badan maka .tubuhnya
ringan sekalj melesat dan tahu-tahu sudah berdiri di hadapan Pagar Alam yang
duduk di tanah bersandar ke peti!
Dengan bertolak pinggang laki-laki bernama Gempar Bumi ini berkata: "Sudah
berulang kali kuperingatkan bahwa kau tidak boleh mengadakan pertunjukan dan
minta sumbangan rakyat dengan seenaknya! Tapi itu tidak kau pedulikan! Dan pajak
yang musti kau berikan pada atasanku penguasa negeri ini tak pernah kau
serahkan!"
"Penghasilan kami tak ada artinya!" teriak Mayang.
"Dan pajak yang kau minta melewati batas besarnya!
Lagi pula hak apakah atasanmu memungut pajak dari kami" Semua rakyat bebas
mencari penghasilan'. Rakyat tidak merasa atasanmu itu sebagai pemimpin dan
penguasa negeri ini!"
"Aha.... Mayang. Cakapmu terlalu berani. Kalau Datuk mendengarnya pasti kau akan
celaka!" Mayang meludah ke tanah. "Aku tidak takut pada Datukmu itu!"
Gempar Bumi menyeringaijdan puntir-puntir kumisnya.
"Aku tahu Gempar Bumi!" tiba-tiba Pagar Alam berkata.
"Kau mencelakai diriku bukan karena soal pajak ataupun soal yang lain! Tapi
karena aku dan anakku telah menolak lamaranmu dua minggu yang lalu!"
Banjir Darah di Tambun Tulang -Dewi kz
42 Gempar; Bumi tertawa dingin.
"Di negeri ini rupanya mulai ada keledai-keledai tolol yang hendak coba-coba
menentang kekuasaan Datuk dan pembantu-pembantunya! Dan ketika dia diberi
babaran baru menyesal!"
"Aku tidak menyesal telah menolak lamaran manusia macammu!" sentak Pagar Alam.
Kalau saja dia bisa berdiri mungkin sudah diserangnya laki-laki itu!
Gempar Bumi memandang berkeliling dan berkata dengan suara nyaring. "Siapa-siapa
yang coba menantang kekuasaan Datuk dan menghina pembantu-pembantunya sama saja
dengan mencari mati!"
"Bangsal terkutuk!" damprat Mayang. "Aku lebih baik mampus daripada jadi
isirimu. Aku lebih baik mati berkalang tanah daripada tunduk kepada Datuk
keparatmu!" Habis berteriak begitu anak gadis Pagar Alam ini menyambar sebilah
golok dan menyerang Gempar Bumi!
Banjir Darah di Tambun Tulang -Dewi kz
43 Suasana di pasar itu pun hebohlah! Golok di tangan Mayang berkiblat kian kemari
dengan suara menderu.
Dalam tempo yang singkat kelihatanlah bagaimana Gempar Bumi terbungkus sambaran
golok yang menyerangnya ke seluruh bagian tubuhl Gempar Bumi sendiri tiada menyangka kalau
si gadis memiliki kehebatan begitu rupa. Tapi dia tidak jerih. Dengan senyum
mengejek Gempar Bumi menghadapi si gadis dengan tangan kosong dan buka jurus
pertahanan. Senjata lawan lewat di depan pinggangnya. Jurus pertahanan diganti
kini dengan jurus serangan. Tangan kanan dengan cepat menyelusup ke dada mayang,
siap untuk menjamah buah dadanya yang padat montok!
"Wuuut!"
Tersirap darah Gempar Bumi sewaktu golok di tangan sang dara membatik laksana
kilat! Kalau saja dia tidak cepat-cepat menarik pulang tangannya, pastilah akan
terbabat putus!
Mayang sendiri dengan gigih terus menyerbu. Sambaran-sambaran goloknya laksana
hujan mencurah! Gempar Alam tidak mau main-main lagi. Hatinya heran dari mana si
gadis memiliki ilmu kepandaian begini rupa! Jika ditinjau jelas sekali ilmu
silatnya lebih tinggi satu dua tingkat dari ayahnya sendiri! Tentu dia telah
berguru pada seorang jago silat, pikir Gempar Bumi.
Dalam waktu singkat sepuluh jurus telah berlalu dan Gempar Bumi masih berada di
bawah angin. Laki-laki ini mengomel dalam hati. Dia membentak keras dan sekejap
saja berubahlah jurus-jurus ilmu silatnya. Tubuhnya berkelebat kian ke mari
membuat bayang-bayang hitam.
Satu jurus kemudian terdengar pekik Mayang.
Lengan kanannya kena dipukul oleh lawan. Golok terlepas mental dan di saat itu
pula, dara ini merasakan tubuhnya kaku tegang tak kuasa digerakkan. Ternyata
sewaktu memukul lengan kanan lawan, sekaligus Gempar Bumi menotok dada Mayang
dengan jari-jari tangan kirinya!
Banjir Darah di Tambun Tulang -Dewi kz
44 "Manusia haram jadah! Beranimu hanya sama perempuan!" bentak Pagar Alam yang
tergeletak duduk di tanah bersandar ke peti.
Gempar Bumi tertawa mengekeh!
"Anakmu hebat juga, Pagar Alam! Walau kau menolak lamaranku tempo hari, tapi
saat ini terpaksa kau harus menyerahkan Mayang bulat-bulat ke tanganku!"
Laki-laki berpakaian hitam ini tertawa lagi
"Keparat! Kau mau bikin apa"!" hardik Pagar Alam seraya hendak berdiri. Tapi
tubuhnya terduduk kembali.
Sepasang kakinya yang terebus matang tak kuasa untuk ditegakkan! Darah laki-laki
ini bergejolak marah. Pelipisnya mengembung!
"Bikin apa lagi kalau bukan mau membawanya ketempatku!" jawab. Gempar Bumi
seraya melangkah ke arah Mayang.
"Anjing baju hitami Kalau kau berani menjamah tubuhnya kupecahkan kepalamu!"
Gempar Bumi menyeringai!
"Berdiripun kau tak mampu! Bagaimana mau membunuh aku"!" Dan dia melangkah lagi
mendekati Mayang.
Tapi begitu tangannya diulurkan untuk meraih pinggang sang dara tiba-tiba
"buuk!" Punggungnya dihantam orang dari belakang yang kerasnya cukup membuat
Gempar Bumi mengerenyitkan kulit kening kesakitan! Dia berpaling dengan cepat
dan berkeretekanlah geraham-gerahamnya!
Ternyata yang meninju punggungnya tadi bukan lain anak laki-laki kecil adik
Mayang! "Buyung! Berlalulah dari hadapanku kalau tak ingin kena tempelak!" bentak Gempar
Bumi. "Orang jahat! Kalau kau berani membawa lari kakakku, aku akan...."
"Akan apa"!" tanya Gempar Bumi seraya bertolak pinggang.
Si anak menjawab dengan menyerang marah. Tinjunya yang kecil tapi cukup keras
dihantamkan ke perut Gempar Bumi. Tapi tentu saja Gempar Bumi bukan tandingan si
buyung kecil ini. Ditangkapnya lengan anak itu lalu dipuntirnya ke belakang
hingga si anak menjerit-jerit kesakitan dan coba menendang paha Gempar Bumi
dengan tumitnya! Gempar Bumi mendorongnya ke muka hingga hampir saja dia jatuh
menyungkur tanah!
Tiba-tiba si anak melihat golok yang dipakai kakaknya untuk menyerang Gempar
Bumi. Dengan cepat dia Banjir Darah di Tambun Tulang -Dewi kz
45 membungkuk dan mengambil senjata itu lalu membalik menyerang Gempar Bumi
kembali! "Tikus cilik tak tahu diunlung!" maki Gempar Bumi dan sebelum senjata itu sampai
ke dekat tubuhnya, tangan kanannya sudah bergerak.
"Plaak!1 Si anak terpekik.
Bibirnya pecah dan berdarah. Dua buah giginya mencelat mental Tubuhnya
terpelanting satu tombak dan menggelusur di tanah tanpa sadarkan diri!
"Bangsat rendah! Terima ini!" teriak Pagar Alam dengan amarah mendidih.
Dijangkaunya keris yang terletak di atas peti lalu dilemparkannya ke arah Gempar
Bumi. Senjata itu melesat mencari sasaran di batang leher Gempar Bumi!
Yang diserang ganda tertawa. Setengah jengkal lagi ujung keris akan menembus
tenggorokannya, laki-laki ini gerakkan tangan kanannya! Dan sesaat kemudian
kelihatanlah bagaimana dengan mudahnya senjata itu dijepit di antara jari tengah
dan jari telunjuk! Itulah ilmu menjepit senjata yang lihay! Semua orang yang
menyaksikan hal ini sama leletkan lidah kagum, tapi bila mereka ingat siapa
Gempar Bumi adanya, maka kekaguman itu mendadak sontak berubah menjadi
kebencian! Gempar Bumi timang-timang beberapa kali keris itu.
Tiba-tiba tangannya itu digerakkan dan "cup!" Senjata itu menancap di peti di
mana Pagar Alam duduk bersandar, hanya setengah senti dari telinga kirinya!
Gempar Bumi tertawa gelak-gelak!
"Jika tidak mengingat kau bapaknya Mayang pasti sudah kutembus keningmu dengan
senjata itu!" katanya.
Lalu dia menambahkan: "Tapi dilain hari jika kau masih tidak tahu tingginya
Gunung Merapi dan dalamnya Ngarai Sianok, aku tak akan ampuni jiwamu!"
Habis berkala demikian Gempar Bumi melompat kehadapan Mayang. Dan kini tak satu
orangpun yang bisa atau berani menolong gadis yang hendak dilarikan itu!
Tangan kanan bergerak meraih pinggang Mayang dengan ketat! Tapi mendadak raihan
itu terlepas kembali.
Dari balik gerombol orang banyak di tepi jalan melesat sebuah benda kecil
menghantam sambungan siku Gempar Bumi. Kulit di lengan siku itu lecet. Sekujur
lengan kanan Gempar Bumi tergetar dan rasa sakit membuat dia melepaskan
raihannya! Tak seorangpun agaknya yang mengetahui kejadian itu selain Gempar
Bumi sendiri! Laki-Banjir Darah di Tambun Tulang -Dewi kz
46 laki ini memandang berkeliling dengan geram, mencari-cari siapakah manusia yang
telah melemparkan benda itu! Tapi siapa yang hendak diduga diantara orang
sebanyak itu"!
Dan ketika ditelitinya ternyata benda kecil yang dipakai untuk menghantam
tangannya itu adalah hanya sebutir kerikil yang besarnya tak sampai seujung jari
kelingking! Nyatalah ada seorang pandai yang telah turun tangan.
Sementara itu semua orang, termasuk Pagar Alam dan Mayang sendiri merasa heran
kenapa Gempar Bumi tak jadi meneruskan niatnya melarikan dara itu! Gempar bumi
berdiri bimbang seketika. Tiba-tiba laksana kilat tubuh Mayang sudah disambarnya
dan dengan cepat membawa gadis itu ke atas kuda! Dengan tangan kiri Gempar Bumi
menepuk pinggul binatang itu. Rasanya sekali tepuk saja kuda itu akan segera
melompat dan lari!
Tapi kali ini kuda itu jangankan melompat dan lari, bergerakpun tidak!
Gempar Bumi menepuk sekali lagi lebih keras.
"Ayo! Larilah!"
Tapi binatang itu tetap berdiri di tempatnya. Keempat kakinya tak bergeser
sedikitpun! Hanya kepala dan lehernya saja yang digerak-gerakkan. Kemudian
binatang ini meringkik beberapa kali!
"Ayo lari!" bentak Gempar Bumi.
Tetap saja kuda itu tegak di tempatnya! Di samping rasa heran dan penasaran
kekejutan juga timbul di hati Gempar Bumi Ketika diperiksanya dengan cepat
ternyata keempat kaki kudanya telah ditotok! Dan empat butir kerikil kelihatan
tak jauh dari kaki-kaki binatang Ini! Tanpa tunggu lebih lama Gempar Bumi
melompat dari punggung kuda terus lari. Namun sekali inipun dia tak mampu lari
jauh karena sebutir kerikil lagi menyelusup menembus kaki pakaiannya terus
menghantam belakang lutut kaki kanannya! Dengan serta meria kaki kanan itu
kesemutan dan lemas sukar digerakkan!
Gempar Bumi yang tahu gelagat bahwa dia benar-benar berhadapan dengan seorang
lihay yang tersem-bunyi di antara manusia banyak di tengah pasar itu perlahanlahan turunkan tubuh Mayang. Orang ramai masih tak tahu apa yang telah terjadi.
Sementara itu sepasang mata Mayang memandang ke tanah. Dilihatnya sebutir
kerikil dekat kaki kanan Gempar Bumi. Gadis bermata tajam dan memiliki ilmu yang
cukup tinggi ini untuk pertama kalinya mengetahui apa yang sebenarnya telah
terjadi. Dan bila dia memandang paras laki-laki itu sangat Banjir Darah di


Wiro Sableng 010 Banjir Darah Di Tambun Tulang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tambun Tulang -Dewi kz
47 berubah! Gempar Bumi menyadari kalau diteruskannya niat untuk melarikan Mayang, pasti
orang pandai yang ter-sembunyi diantara manusia banyak dipasar itu akan turun
tangan dan lebih mencelakainya lagi! Lemparan-lemparan batu kerikil tadi bukan
lain merupakan per-ingatan keras terhadapnya!
Perlahan-lahan Gempar Bumi berpaling pada Pagar Alam dan berkata dengan suara
lantang: "Pagar Alam, biarlah hari ini aku berlaku baik hati padamu! Anakmu
kubebaskan! Tapi ingat, aku akan datang kembali untuk mengambilnya!"
Gempar Bumi lepaskan totokan pada keempat kaki kudanya lalu naik ke punggung
binatang itu. Sebelum berlalu dilepaskannya totokan di dada Mayang kemudian
cepat-cepat menghilang dari tempat itu.
Di jalan yang buruk penuh dengan lobang-lobang demikian rupa bendi itu tak dapat
berjalan cepat. Apalagi barang-barang. Ketiga penumpang itu bukan lain daripada
Pagar Alam, Mayang dan adik gadis ini. Mereka dalam perjalanan pulang. Karena
nasib buruk yang menimpa Pagar Alam, orang-orang di pasar telah bermurah hati
memberi, sumbangan uang lebih banyak kepadanya hingga pendapatannya hari itu
tiga kali lipat lebih besar dari biasanya! Namun uang yang sedemikian banyak
tidak menggembirakan hati Pagar Alam. Pikirannya risau bila dia ingat si Gempar
Bumi keparat itu. Cepat atau lambat pasti dia akan datang kembali untuk
mengambil Mayang dengan paksa lalu melarikannya! Dimakluminya bahwa Gempar Bumi
bukan tandingannya, juga bukan lawan anaknya.
Sekalipun mereka mengeroyok laki-kaki itu tetap saja mereka tak akan mampu
mengalahkannya! Ini hal pertama yang merisaukan hati Pagar Alam. Hal kedua ialah
keadaan kakinya itu. Meski sudah diobati oleh anak gadisnya tapi dalam seminggu
dua minggu pasti tak akan sembuh!
Sementara itu bendi yang mereka tumpangi berjalan juga menempuh jalan buruk dan
sunyi Kedua tepi jalan ditumbuhi semak belukar lebat dan di belakang semak
belukar itu berderetan pohon-pohon besar tinggi.
Bendi bergerak terus dan mereka bicara-bicara juga. Kusir bendi sudah sejak lama
tak mencampuri lagi pembicaraan kedua beranak itu. Tali kekang kuda dipegangnya
dengan terkantuk-kantuk. Hembusan angin yang sejuk ditengah hari itu memang
menimbulkan rasa kantuk. Tiba-tiba Pagar Alam dan Mayang hentikan pem-Banjir
Darah di Tambun Tulang -Dewi kz
48 bicaraan mereka.
Di kejauhan terdengar derap kaki kuda, makin lama makin keras. Dari balik
tikungan dihadapan mereka muncul seorang penunggang kuda berpakaian serba hitam.
Pada bagian dada bajunya terpampang lukisan kepala harimau berwarna kuning.
Ketika penunggang kuda itu tambah dekat, berubahlah paras seisi bendi itu! Pagar
Alam meraba hulu keris yang tersisip di pinggangnya.
Mayang mengeluarkan golok dari dalam peti sedang kusir bendi bersiap-siap dengan
sebatang besi yang tergeletak di lantai bendi dekat kakinya! Si penunggang kuda
bukan lain dari Gempar Bumi adanya!
Gempar Bumi hentikan kudanya. Kusir bendi pun telah pula menghentikan
kendaraannya. "Sekarang kuharap kau tak usah banyak rewel Pagar Alam!" kata Gempar Bumi dengan
nada keren. "Anakmu akan kuambil!"
"Kau manusia yang paling tidak bermalu di dunia ini.
Gempar Bumi! Pinanganmu ditolak! Aku kau celakai dan kini kembali kau memaksa
untuk melarikan anakku!"
Gempar Bumi tertawa sinis. "Mulutmu masih tetap besar! Aku hargai nyalimu! Tapi
agar tidak lebih celaka kuharap kau serahkan anakmu secara baik-baik! Kalau
tidak terpaksa aku memberi hajaran yang lebih keras padamu!"
"Kau boleh bawa anakku, Gempar Bumi," desis Pagar Alam. "Tapi... langkahi dulu
mayatku!" Dan Pagar Alam menghunus kerisnya!
Gempar Bumi tertawa bergelak dan menyentakkan tali kekang kudanya. Sesaat
kemudian kuda dan bendipun telah bersisi-sisian.
"Turun dari bendi itu Mayang!" perintah Gempar Bumi.
Pagar Alam beringsut ke samping kereta sebelah kanan. Dalam jarak yang cukup
dekat itu tanpa banyak bicara lagi keris di tangan kanannya dihunjamkan cepatcepat ke muka Gempar Bumi!
"Manusia tolol!" maki Gempar Bumi. Sekali dia gerakkan tangan kanan memukul
lengan Pagar Alam, mentallah keris laki-laki itu sedang lengan yang kena dipukul
kelihatan bengkak matang biru! Pagar Alam merintih kesakitan.
Dalam pada itu dari samping menderu satu sambaran golok ke arah batok kepala
Gempar Bumi. Ternyata Mayang telah melancarkan serangan yang pertama sambil
melompat dari bendi. Adiknya juga tak tinggal diam.
Dengan sebatang kayu anak laki-laki ini mengemplang ke Banjir Darah di Tambun
Tulang -Dewi kz
49 arah bahu kanan Gempar Bumi sementara Pagar Alam mengambil sebuah lembing dari
dalam peti. Si Malin kusir bendi meski tak ada sangkut paut dalam urusan itu, tapi memang
sudah sejak lama membenci terhadap Gempar Bumi tak ayal lagi segera mengambil
batang besi dari lantai bendi dan menyerang Gempar Bumi dari belakang!
Diserang begitu rupa Gempar Bumi marah bukan main!
Dia berteriak: "Jangan menyesal kalau kalian kuhajar babak belur!" Lalu dia
melompat dengan cepat dan gerakkan kedua tangannya.
Dua orang terpekik! Yang pertama anak laki-laki Pagar Alam. Kayu di tangan anak
itu mental. Tangannya yang kecil laksana tanggal dan persendiannya. Tubuhnya
mencelat dan terguling di tanah, kepalanya terbentur roda kereta terus pingsan!
Orang kedua yang terpekik ialah Malin si kusir bendi.
Gempar Bumi yang merasakan sambaran angin di belakangnya sudah maklum kalau dia
mendapat serangan dari arah itu. Karenanya begitu melompat dari punggung kuda
Gempar Bumi laksana kilat hantamkan sikut kanannya ke belakang!
"Kraak!"
Suara "Kraak" itu hampir tak kedengaran karena pekik setinggi langit yang ke
luar dari tenggorokan Malin!
Tulang iganya sebetah kanan patah dua buah. Tubuhnya mental sampai satu tombak.
Begitu jatuh dia sudah tak sadarkan diri lagi! Pertempuran kini berjalan jauh
dari kereta. Meskipun Pagar Alam memegang sebuah lembing namun dia tak bisa
berbuat suatu apa karena dia tak bisa berdiri apalagi berjalan dan turun dari
kereta. Otomatis pertempuran itu kini hanya berjalan satu lawan satu yaitu Gempar Bumi
menghadapi Mayang. Tingkat kepandaian Mayang jauh lebih rendah dari lawannya.
Maka dalam setengah jurus saja gadis berparas jelita yang telah membuat Gempar
Bumi tergila-gila itu terdesak hebat.
"Gadis cantik!" kata Gempar Bumi dengan senyum mengejek. "Kalau saja kau
serahkan dirimu secara baik-baik, pastilah...."
"Wuuut!"
Gempar Bumi tak bisa melanjutkan ucapannya. Sebuah benda panjang berdesing ke
arahnya. Ternyata lembing yang dilemparkan dengan sebat oleh Pagar Alam dari
atas bendi! Gempar Bumi rundukkan kepala.
Banjir Darah di Tambun Tulang -Dewi kz
50 Lembing itu lewat di alas kepalanya. Pada saat yang sama kaki kanan Mayang
menderu ke arah dadanya.
"Mayang! Terpaksa kuakhiri segala kehebatannya ini!'' kata Gempar Bumi.
Ditangkapnya kaki kanan dara itu. Dengan kalap Mayting membacok ke bawah. Gempar
Bumi angkat kaki sang dara. Akibatnya Mayang terpaksa tarik pulang bacokan
goloknya karena kalau diteruskan pasti akan membabat kaki kanannya sendiri!
Begitu serangan ditarik, begitu Gempar Bumi gerakkan tangan kiri. Maka
terampaslah golok di tangan Mayang. Gempar Bumi lepaskan kaki kanan lawan.
Dengan tangan itu dia segera hendak menotok tubuh Mayang. Tapi secepat kilat si
gadis jatuhkan diri di tanah lalu berguling. Ketika bangun lagi di tangannya
sudah tergenggam lembing yang tadi dilemparkan ayahnya!
"Batang lehermu dulu kutambus baru aku larikan diri!"
jawab Mayang lalu kirimkan satu tusukan kilat ke leher lawannya!
Gempar Bumi bergerak untuk merampas senjata itu tapi tusukan lembing kini
berubah menjadi satu kem-plangan yang ganas ke arah batok kepalanya! Penasaran
Gempar Bumi sambut hantaman lembing dengan pukulan lengan kiri. Lembing patah
dua! Bagian yang runcing mental ke udara sedang yang lainnya masih tergenggam di
tangan Mayang dan dengan patahan lembing itu si gadis bertahan mati-matian. Tapi
sampai beberapa lamakah dia dapat mempertahankan diri"!
Banjir Darah di Tambun Tulang -Dewi kz
51 iro Sableng SI Pendekar 212 murid Eyang Sinto Gendeng dari puncak Gunung Gede
tengah menempuh rimba belantara, mengambil jalan memotong agar lebih lekas
sampai di tempat tujuan yaitu antara Gunung Merapi dan Gunung Singgalang. Lapatlapat didengarinya suara orang membentak beberapa kali yang diselingi suara
seseorang yang tertawa gelak-gelak. Wiro yang sudah banyak pengalaman segera
mengetahui bahwa biasanya bentakan-bentakan itu ke luar dari mulut seseorang
yang marah dan geram. Sebaliknya tertawa mengekeh ke luar dari mulut orang yang
mengejek kemarahan dan kegeraman orang pertama tadi. Dan suasana seperti itu
hanya ditemui dalam satu perselisihan yang kemudiannya akan berkelanjutan dengan
perkelahian atau pertempuran!
Karena pohon-pohon sangat rapat, semak belukar sangat lebat, agak sukar bagi
Wiro untuk bergerak.
Dalam pada itu didengarnya dua jeritan sekaligus! Wiro mempercepat langkahnya
dan tak perduli lagi pakaiannya yang cabik robek dikait ranting semak belukar!
Dia yakin bahwa di tempat yang hendak didatanginya itu telah terjadi
perkelahian. Yang mengherankannya ialah karena satu dari dua jeritan itu
kedengarannya seperti jeritan anak kecil!
Ketika dia sampai di satu tepi jalan kecil yang sangat buruk terkejutlah
pendekar ini menyaksikan pemandangan yang terbentang di depan matanya. Adalah
tidak dinyananya kalau yang bertempur adalah seorang laki-laki tegap melawan
seorang dara jelita. Keduanya sama berpakaian hitam cuma pada bagian dada baju
laki-laki terpampang gambar kepala harimau warna kuning! Yang lebih mengejutkan
Wiro Sableng ialah karena laki-laki ftu bukan lain manusia berkumis melintang
yang tadi di pasar hendak melarikan gadis itu. Dan si gadis sendiri adalah orang
yang telah ditolongnya secara diam-diam ketika mau dilarikan! Rupanya si kumis
melintang yang bernama Gempar Bumi flu sudah nefcad untuk membawa
lari si jelita hingga dalam perjalanan pulang, si gadis Banjir Darah di Tambun
Tulang -Dewi kz
52 telah dihadang!
Di tengah jalan kecil berhenti sebuah bendi. Seorang anak kecil menggeletak
dekat roda bendi Kemudian seorang lainnya tak berapa jauh dari situ, agaknya dia
adalah kusir bendi. Dan di atas bendi tampak duduk laki-laki bernama Pagar Alam.
Mukanya pucat dan cemas sekali! Betapa kan tidak, anak gadisnya tengah bertempur
mati-matian mempertahankan diri dari tangan laki-laki yang hendak melarikannya,
sedang dia sendiri Pagar Alam -tak dapat berbuat suatu apa! Diatas bendi tak ada
lagi benda-benda yang bisa dijadikan senjata untuk dilemparkan kepada Gempar
Bumi. Dalam kecemasan yang memuncak melihat anaknya terdesak hebat itu dan tak
ada harapan lagi untuk menyelamatkan diri maka tiba-tiba dia melihat sesosok
tubuh menyeruak dari semak-semak. Ternyata yang muncul adalah se- orang pemuda
bertubuh tegap, bertampang seperti anak-anak dan berambut gondrong!
"Hentikan pertempuran!" teriak Wiro Sableng.
Suara teriakannya yang menggeledek mengiang anak telinga mengejutkan orang-orang
yang ada di situ, terutama mereka yang sedang bertempur! Pagar Alam merasakan
dadanya bergetar karena kerasnya teriakan itu. Kalau tidak memiliki ilmu
kepandaian tinggi pasti hal itu tak mungkin terjadi, pikir Pagar Alam seraya
mene-nangkan dirinya kembali. Kemunculan pemuda ini memberikan sekelumit harapan
padanya. Tapi apakah pemuda ini bukan seorang bangsa jahat terkutuk pula";
Melihat kepada potongan pakaian dan ciri-cirinya nyata sekali dia bukan penduduk
setempat! Akan Gempar Bumi begitu mendengar bentakan yang menggeledek tadi dengan cepat
melompat mundur padahal saat itu dia sudah hampir dapat meringkus Mayang. Ketika
dia berpaling di depan semak belukar dilihatnya seorang pemuda tak dikenal
berdiri dengan bertolak pinggang!
"Orang sinting! Siapa kau"!" hardik Gempar Bumi.
"Siapa aku tak kau usah perduli! Lekas angkat kaki dari sini atau kutekuk batang
lehermu!" Paras Gempar. Bumi membesi. Pelipisnya mengembung.
"Sepuluh tahun malang melintang di Pulau Andalas baru hari ini ada bangsa kucing
dapur yang bicara hendak menekuk batang leherku!"
Mengetahui bahwa si pemuda menunjukkan sikap demikian maka legalah sedikit hati
Pagar Alam dan Mayang. Jika berani membentak demikian berarti dia me-Banjir
Darah di Tambun Tulang -Dewi kz
53 miliki ilmu yang diandalkan. Namun Gempar Bumi seorang yang berilmu sangat
tinggi, akan sanggupkah pemuda belia yang bertampang tolol itu menghadapinya"!
Diam-diam kedua ayah dan anak itu jadi gelisah harap-harap cemas!
"Manusia kumis melintang! Aku tidak main-main.
Lekas angkat kaki dari sini! Syukur aku bersedia mengampuni kekejianmu! Lekas
pergi sebelum aku berubah pikiran!"
Gempar Bumi bertolak pinggang. Matanya melotot meneliti Wiro Sableng dari kepala
sampai ke kaki. Lalu dia tertawa gelak-gelak.
"Kucing dapur, apakah kau lihat gambar kepala harimau yang ada di dada bajuku
ini"!"
"Itu bukan gambar kepala harimau!" sahut Wiro.
Gempar Bumi beliakkan mata. Dan Wiro menyambung :
"Kalau kau mau tahu, itulah gambar kepala kucing dapur!" Lalu Pendekar 212
tertawa gelak-gelak.
Marahlah Gempar Bumi. Seumur hidup baru hari itu dia mendapat hinaan dan ejekan
demikian rupa! "Anak setan! Tidak tahukah kau dengan siapa berhadapan?"
"Buset kau bisa memaki aku anak setani" jawab Wiro dengan sunggingkan senyum,,
"Kalau aku anak setan, apakah kau lantas merasa jadi bapak moyangnya setan"!"
Mayang dan Pagar Alam meski geli mendengar ucapan itu namun terheran-heran
melihat sikap dan tindak tanduk si pemuda yang agak anehi Bicaranya seperti
orang main-mainan saja!
Sebaliknya dengan nada mendesis karena mendidih hawa amarah yang menggejolakkan
darahnya Gempar
.Bumi berkata: "Melihat kepada tampangmu agaknya kau bukah orang sini! Pantas
kau tak dapat membedakan mana tikus dan mana singa jantan...."
"Oh... jadi kau adalah seekor singa jantan" Pantas!
Pantas! Kau memang punya tampang seperti singa jantan!"
kata Wiro pula memotong ucapan Gempar Bumi lalu tertawa gelak-gelak!
Kemarahan Gempar Bumi tak dapat dikendalikan lagi. Dia melompat kehadapan Wiro
dan hantamkan tinju kanannya ke kepala pemuda itu! Sekali menghantam dia
berharap akan menghancurkan kepala si pemudal Karena itu sengaja dikeluarkannya
jurus ilmu silatnya yang hebat yang bernama "Palu Sakti Memukul Genta"!
Tapi tidak semudah itu untuk menghancurkan kepala Pendekar 212 Pada saat
serangan lawan baru bergerak Banjir Darah di Tambun Tulang -Dewi kz
54 setengah jalan dia sudah menyingkir ke samping dan dari samping kirimkan satu
tempelak untuk menanggalkan sambungan sikut lawan!
Terkejutlah Gempar Bumi. Serangannya yang hebat itu bukan saja dapat dielakkan
lawan tapi malah keba-likannya, kini dia sendiri yang kena diserang! Kedua
kakinya dijejakkan ke tanah. Tubuhnya melesat ke atas membuat tempelakan Wiro
Sableng lewat. Dengan cepat kemudian Gempar Bumi kirimkan satu tendangan ke
perut lawan sedang tangan kanan untuk kedua kalinya turun menghantam batok
kepala Wiro Sableng!
Pendekar 212 bersiul! Meskipun gerakan ilmu silat Gempar Bumi agak aneh lapi
dasarnya tiada beda dengan ilmu silat yang dimainkan tokoh-tokoh silat di Pulau
Jawa! Begitu bersiul Wiro kelebatkan badannya! Untuk kedua kalinya Gempar Bumi dibikin
kaget. Dia tak mengerti bagaimana pemuda bertampang tolol, sanggup
mengelakkan sekaligus kedua serangannya. Sedangkan dalam pada saat itu tahu-tahu
tangan kirinya sudah menyelinap menampar ke arah dada dalam satu gerakan kilat
yang mendatangkan angin keras!
Penuh penasaran Gempar Bumi pergunakan lengan kanannya untuk memapasi serangan
lawan. Kalau ilmu silat lawan boleh diandalkan, dalam tenaga dalam tentu si
pemuda tak akan menang, begitulah pikiran Gempar Bumi!
Wiro sendiri yang melihat datangnya serangan memapas ini, meski tamparannya pada
dada tadi pasti akan mengenai sasarannya, tapi karena ingin menjajaki tenaga


Wiro Sableng 010 Banjir Darah Di Tambun Tulang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam lawan sengaja melintangkan tangan kirinya!
"Buuk!" Maka beradulah kedua lengan itu!
Gempar Bumi keluarkan seruan tertahan! Tubuhnya terjajar sampai tujuh langkah ke
belakang sedang lengannya yang beradu dengan lengan lawan bukan saja tergetar
hebat tapi juga sakit bukan main! Ketika ditelitinya lengan itu tampak kemerahmerahan! Menciut-lah hati laki-laki berkumis melintang ini. Nyatanya tenaga
dalam si pemuda tidak berada di bawahnya! Menurut taksiran Gempar Bumi tenaga
dalam lawan berada dua atau tiga tingkat di atasnya! Sebenarnya dugaan Gempar
Bumi ini meleset Kalau waktu bentrokan lengan tadi dia mengerahkan seluruh
tenaga dalamnya maka Wiro Sableng cuma mengandalkan tiga perlima bagian saja
dari tenaga dalamnya! Lengannya pedas kesemutan sedang tubuhnya tergontai nanar
beberapa detik lamanya I Banjir Darah di Tambun Tulang -Dewi kz
55 Menyadari bahwa lawan lebih unggul dalam tenaga dalam maka Gempar Bumi segera
mengeluarkan ilmu silat simpanannya yang paling diandalkan, yang telah
diyakininya selama, delapan tahun yaitu "Ilmu Silat Harimau", Kedua kakinya
menjejak bumi laksana batu karang. Tubuhnya setengah merunduk sedang, kedua
tangan terpentang ke muka dengan jari-jari membuka.
Pendekar 212 Wiro Sableng memperhatikan bahwa ke sepuluh kuku jari laki-laki itu
panjang-panjang. Tubuh Gempar Bumi semakin merunduk sedang dari mulutnya ke luar
suara menggerang macam harimau hendak menerkam mangsanya dan kedua matanya
menyorot ganas!
Keseluruhan paras manusia ini membayangkan maut!
Tiba-tiba gerangan dimulutnya berubah keras menyeramkan! Dan dikejap itu pula
tubuhnya melesat ke muka persis seperti seekor harimau lapar menerkam mangsanya!
Dua tangan yang tadi terpentang berkelebat tak kelihatan saking cepatnya. Hanya
suara siurannya yang terdengar menyambar!
Wiro dengan mengandalkan setengah bagian tenaga dalamnya bergerak ke muka
menyambut dengan Jurus
"Segulung Ombak Menerpa Karang". Jurus ini mengeluarkan sambaran angin laksana
topan prahara. Kedua lengan Wiro menghantam ke depan sekaligus!
Melihat lawan memapaki serangannya dengan cara begitu rupa dan Sudah tahu kalau
Wiro memiliki tenaga dalam yang lebih tinggi, maka Gempar Bumi tak berani
bentrokan untuk kedua kalinya! Dengan cepat dia mem-buyarkan Jurus serangannya
tadi dan laksana kilat pula menyerbu kembali dalam jurus yang dinamakan "Harimau
Sakti Melompati Gunung Menukik Ngarai"! Tubuhnya mencelat ke udara. Kedua kaki
mencari sasaran di perut dan dada lawan. Namun ini hanya serangan sambilan saja
karena begitu Wiro mengelak dan begitu Gempar Bumi berada dua tombak di udara
tiba-tiba dia menukik ke bawah dengan kedua tangan diacungkan siap untuk
mencengkeram kepala Wiro Sableng!
Wiro bersiul nyaring. Setengah merunduk dia lepaskan pukulan Kunyuk Melehipar
Buah ke arah lawan diatasnya!
Laksana berpegang pada sebuah tiang yang tak kelihaian Gempar Bumi berkelit ke
samping. Angin pukulan Kunyuk Melempar Buah lewat di sebelahnya dan sedetik
kemudian tubuhnya meliuk lalu berputar dengan kedua kaki meluncur deras ke dada
serta kepala Wiro Sableng!
Banjir Darah di Tambun Tulang -Dewi kz
56 "Gerakanmu hebat juga, Gempar Bumi!" seru Wiro.
Sesaat kedua kaki lawan akan mendarat di dada dan kepalanya, Pendekar 212
membentak keras. Tangan kanannya didorongkan ke atas!
Angin sedahsyat badai mengamuk menggebu! Inilah pukulan "Benteng Topan Melanda
Samudera" yang dilancarkan dengan mengandalkan setengah bagian tenaga dalami
Mula-mula Gempar Bumi merasakan serangannya laksana ditahan oleh tembok baja
yang tak kelihatan. Dia terkejut sekali dan belum habis kejutnya ini mendadak
tubuhnya terdorong keras ke udara, mencelat sampai beberapa tombak! Sambil
jungkir batik tiga kali berturut-turut Gempar Bumi keruk saku pakaiannya.
Sebelum kedua kakinya menginjak tanah maka dari tangan kanannya melesat puluhan
benda hitam yang berdesing mendenging seperti suara nyamuk! Benda ini bukan lain
senjata rahasia jarum hitam yang direndam dalam racun jahat! Sekali seseorang
kena dihantam sebuah saja dari jarum ini, pasti dalam tempo dua puluh empat jam
nyawanya akan lepas ke akhirat!
Oari bunyi yang mendesing dan warna jarum-jarum Wiro sudah maklum kalau itu
adalah senjata rahasia yang ampuh sekali! Tanpa menunggu lebih lama dia pukulkan
tangan kanannya ke depan yang disusul dengan pukulan tangan kiri. Dua angin
deras menderu susul menyusul. Inilah yang dinamakan ilmu pukulan "Dinding Angin
Berhembus Tindih Menindih"! Bukan saja puluhan jarum-jarum itu mental dan luruh
ke tanah tapi beberapa diantaranya kembali melesat menyerang tuannya sendiri!
Dengan kertakkan rahang Gempar Bumi kebutkan lengan baju hitamnya! Jarum-jarum
yang menyerangnya luruh ke tanah! Dan kedua lawan itu saling pandang memandang.
Yang satu dengan mata membeliak beringas sedang yang lain dengan cengar cengir
seenaknya! "Orang muda!" kata Gempar Bumi. "Antara aku dan kau tidak saling mengenal!
Urusanku tidak ada sangkut pautnya dengan dirimu! Mengapa kau mau
mencampurinya"''
Wiro tertawa dingin.
"Bagiku terhadap manusia jahat semacam kau tentu ada urusan yang musti
diperhitungkan! Kecuali kalau kau mau angkat kaki dari sini sekarang juga!"
Gempar Bumi mendengus.
"Apakah bukan lebih baik kau saja yang cepat-cepat berlalu dari hadapanku
sebelum aku betul-betul meng-hajarmu" Ilmumu boleh juga! Percuma kalau kau
mampus Banjir Darah di Tambun Tulang -Dewi kz
57 dalam usia muda begini rupa!"
Wiro keluarkan satu siulan.
"Terima kasih atas nasihatmu, Gempar Bumi! Nah, kau pergilah!"
Sikap tenang Gempar Bumi tadi kini menjadi marah yang mendidihkan darahnya. "Kau
orang rantau, sungguh mengenaskan mampus di negeri orang! Belum tentu pula angin
akan membawa pulang namamu ke kampung halaman!"
"Ah, jangan bersajak sobat!" tukas Wiro Sableng.
"Aku tidak bersajak!" sahut Gempar Bumi."Aku hanya akan mengukir nyawamu di
pintu akhirat!" Lalu laki-laki ini cabut sebilah keris dari pinggangnya! Senjata
itu berhulu gading, bereluk dua belas dan berwarna sangat hitami Sinar yang
memancar dari keris ini menggidikkan sekalil'
"Manusia yang akan mampus! Keris ini bernama Keris Si Penyingkir Jiwa! Delapan
puluh dua jiwa telah musnah ditelannya! Apakah kau berniat untuk menjadi korban
yang ke delapan puluh tiga..."!"
Wiro tertawa gelak-gelak.
"Apapun nama keris di tanganmu itu aku tidak perduli!
Juga berapa korban yang dimakannya aku tidak tanya!
Sebaliknya bagaimana kalau keris Hu kurebut, lantas kupergunakan untuk membuat
konyol kau sendiri..."!"
"Boleh, boleh kau coba untuk merebutnya!" jawab Gempar Bumi dengan hati geram.
"Nah ini, kau rebutlah!"
Secepat kilat Gempar Bumi tusukkan senjata itu ke dada Wiro Sableng. Sinar hitam
terasa dingin menyambar dada sang pendekar.
"Awas orang muda!" seru Pagar Alam dari atas kereta.
"Keris itu mengandung racun jahat!" Diam-diam laki laki ini merasa cemas. Jika
Gempar Bumi sudah mengeluarkan senjata itu, biasanya lawan tak akan sanggup
bertahan lama Sekali saja tergores kulit, dalam tempo dua puluh empat jam pasti
menemui kematian.
"Terima kasih atas nasihatmu, bapak!" kata Wiro sambit cepat-cepat berkelit.
Ketika kelihatannya serangan Gempar Bumi hanya mengenai tempat kosong tiba-tiba
Keris Si Penyingkir Jiwa membelok ke iga kanan, hampir-hampir akan melanda iga
meliuk pula ke perut dan tiba-tiba haik laksana kilat, menusuk ke arah lekuk
dagu dekat ujung leher! Di samping itu angin yang keluar dari Keris Si
Penyingkir Jiwa dinginnya menyembilui tulang-tulang sumsum, membuat darah
Pendekar 212 laksana beku dan berhenti mengaliri Untuk mencegah agar dirinya
tidak Banjir Darah di Tambun Tulang -Dewi kz
58 terpengaruh oleh hawa jahat senjata lawan cepat-cepat Wiro Sableng alirkan hawa
panas dari pusarnya ke seluruh bagian tubuh! Sesudah itu diapun menghadapi
serangan lawan tanpa main-main lagi.
Pedang Kayu Harum 25 Kemelut Blambangan Seri Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Badai Selat Malaka 1

Cari Blog Ini