Ceritasilat Novel Online

Cinta Orang Orang Gagah 2

Wiro Sableng 025 Cinta Orang-orang Gagah Bagian 2


Masih untung gadis ini cepat mengelak hingga terhindar dari bahaya.
Ronggo Bogoseto yang sejak tadi menyaksikan perkelahian kedua orang itu
dengan berdebar kini mulai was-was apakah Randu Wongso akan mampu menangkap
sang dara. Sikapnya yang tertawa-tawa cengengesan membuat pemuda ini jadi
jengkel. ' Randu! Lakukan pekerjaanmu dengan cepat! Kau berhasil merampas senjatanya.
Masakan menangkapnya saja kau membutuhkan waktu begitu lama! "
"Aku tahu apa yang aku kerjakan Ronggo!" Randu Wongso kini ber balik nampak
kesal. Lalu dia menghadapi Lestari kembali. "Gadisku cantik," katanya. "Jika kau
mau serahkan diri secara baik-baik, aku berjanji tidak akan mencideraimu.
Bagaimana . . . "
Kau tahu pemuda sobatku ini putera orang terpandang, memiliki kekayaan. Jika kau
ikut dengan dia pasti kau bahagia. . . "
"Baiklah, aku akan menyerah saja . . . " kata Lestari. "Tapi makan dulu ini! "
Hampir tak terlihat kapan Lestari menggerakkan tangannya tahu-tahu lusinan
senjata rahasia berbentuk jarum merah menderu ke arah Randu Wongso!
"Wah hebat juga senjatamu ini!" memuji Randu
Wongso. "Terpaksa aku memakai suling perakmu untuk menghadapinya!' '
Randu Wongso sehatkan suling perak milik Lestari yang barusan dirampasnya.
"Tring . . . tring . . . tring. . .
Semua senjata rahasia berbentuk jarum ini mental dan luruh ke tanah. Berdebarlah
Lestari ketika melihat kejadian itu.
"Manusia keparat ini tinggi sekali ilmunya! "Ada rasa takut di hati sang dara
kini. Dia menghantam dengan kedua tangannya lalu susul dengan tendangan. Tapi orang yang
diserang lenyap dari hadapannya.
"Gadis cantik! Aku di sini! Mengapa menyerang tempat kosong"!" ejek Randu.
Suaranya datang dari sebelah kanan. Cepat Lestari memukul ke arah ini.
"Hai! Lagi-lagi kau menyerang tempat kosong. Aku ada di sebelah kirimu! "
Kembali suara Randu Wongso terdengar dan sekali ini memang datang dari kiri.
"Setan!" rutuk Lestari. Penasaran gadis ini menghantam ke kiri. Justru di saat
itu satu totokan tiba-tiba bersarang di punggungnya. Lestari mengeluh pendek. Tubuhnya
tak bisa digerakkan lagi. Kaku tegang ditempatnya berdiri. Jalan suaranyapun
tertutup! Randu Wongso melangkah ke hadapan Lestari sambil tertawa gelak-gelak. Ronggo
Bogoseto pun tak kurang gembiranya. Dia berputar-putar mengelilingi Lestari.
Ketika berhenti di depan si gadis enak saja dia mencuil dagu Lestari dengan tangan
kirinya. "Gadis cantik! Akhirnya kau kami ringkus saja! Kalau tadi-tadi kau mau menurut
secara baik-baik tentu tak begini jadinya. Nah sekarang kau harus ikut aku ke
Jember! Aku akan sediakan rumah bagus dan tempat tidur mewah untukmu!" Ronggo berpaling
pada Randu. 'Tolong naikkan dia ke bahu kiriku. "
"Ronggo, tangan kananmu yang patah itu membuatmu sulit memanggul nya meski di
bahu kiri. Biar aku yang mendukungnya!"
"Tidak bisa!" sentak Ronggo Bogoseto. Tentu saja pemuda ini tak percaya pada
lelaki itu. "Kau tak usah cemburu padaku sobat Aku tahu kau ingin bersenang-senang dengan
gadis ini. Tapi kalau kau jadi tambah celaka sebelum sempat melakukannya
apa enak" Candi kediamanku lebih dekat dari sini. Bagaimana kalau kita bawa ke
sana saja" Nanti baru kau pindah ke Jember. "
"Buset! Gadis secantik ini hendak dibawa ketempatmu yang kotor buruk itu Jangan
ngaco Randu!" Gadis ini bukan perempuan sembarangan! Jika dia mau menuruti
kemauanku aku akan ambil dia jadi istri!' '
' WaIah! Jadi aku tidak akan kebagian"! "
' Aku tidak suka mendengar ucapanmu itu. Dia milikku sendiri! Kau boleh kembali
ke Candi dan meneruskan memuaskan nafsumu dengan gadis berkulit hitam manis
itu!" ' Tapi aturan macam begitu tak ada kita janjikan sebelumnya sobatku! " ujar
Randu Wongso pula. "Sudahlah! Kau jangan bicara melantur terus. Nanti akan kutambahkan uang
untukmu! "kata Ronggo. Lalu tanpa bantuan Randu Wongso pemuda ini panggul tubuh
Lestari di bahu kirinya.
Baru saja tubuh Lestari melintang di bahunya tiba-tiba terdengar satu bentakan.
"Pemuda keparat! Turunkan gadis itu! "
S E P U L U H RONGGO terkejut. Rantu tak kalah kagetnya. Seorang pemuda berpakaian putih-putih
dari balik semak-semak. Di belakangnya mengikuti seeko kuda putih polos tinggi
dan kekar. "Hemm . . . Ronggo siapa manusia ini?" bertanya Randu Wongso tanpa melepaskan
pandangannya dari pemuda berkuda putih itu.
"Dia kunyuk yang mengaku sahabat gadisku ini. Hebat benar lagaknya. Seperti
gadis ini miliknya. Ayo Randu. Menolongku jangan kepalang tanggung. Hajar dia sampai
mampus!" Randu Wongso seorang yang banyak pengalaman. Walau jelas pemuda dihadapannya
itu tampak sederhana namun dari gerak-geriknya jelas dia membekal ilmu yang
tidak rendah. Apalagi suara bentakannya tadi begitu keras menggetarkan liang telinga.
Sebelumnya diapun telah mendengar cerita Ronggo bahwa pemuda ini memiliki ilmu
pedang yang jauh lebih tinggi dari yang dikuasai ayahnya. Padahal sang ayah
bergelar Raja Pedang Kotaraja!
"Orang muda!" tegur Randu Wongso. "Kulihat tampangmu cukup keren. Apa tak
sayang kalau wajahmu yang cakap itu menjadi cacat seumur hidup" Lebih baik lekas
angkat kaki dari hadapan kami!"
Pemuda berkuda putih alias Panji Kenanga menyeringati.
"Bagusnya kalian berdua berlutut minta ampun. Jika itu kalian lakukan aku
bersedia membatalkan niatku untuk menghajar kalian berdua!"
Randu Wongso tertawa gelak-gelak.
Tiba-tiba dia hentikan tawanya dan berkata.
"Baiklah! Baiklah orang muda. Jika itu maupun aku menurut saja. Aku akan
berlutut di depanmu. Lihat! "
Kedua lutut Randu Wongso menekuk. Tubuhnya perlahan-lahan turun ke bawah
seperti orang yang memang siap berlutut. Namun sesaat sebelum kedua tempurung
lututnya menyentuh tanah, di dahului oleh bentakan yang menggetarkan Seantero
belantara, tubuhnya mencelat ke depan. Kaki kanannya kirimkan tendangan keras ke
dada Panji Kenanga!
Murid mendiang brahmana Lokapala itu untungnya telah bersiap sedia. Dengan
sigap dia berkelit ke samping. Tendangan lawan lewat. Randu susul dengan
pukulan, juga tidak berhasil. Sebagai balasan Panji lepaskan dua jotosan. Satu menghantam
ke salah satu tempurung lutut, lainnya ke sambungan siku tangan kanan Randu Wongso.
Serangan balasan itu membuat Randu kaget tapi tak dapat membuatnya jadi kecut.
Kaki kirinya yang masih menginjak tanah digerakkan sedikit. Gerakan kaki kirinya
yang masih menginjak tanah digerakkan sedikit Gerakan kaki ini membuat tubuhnya
miring ke belakang dan meluncur ke bawah. Sekaligus dia berhasil mengelakkan kedua
serangan balasan Panji Kenanga.
Si pemuda tahu betul bahwa mengelak dengan cara seperti yang dilakukan Randu
Wongso adalah sangat berbahaya dan hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang
benar-benar berilmu tinggi. Kenyataan ini memberi bukti kepada Panji Kenanga
bahwa Randu Wongso siapapuri adanya, adalah seorang yang berkepandaian tinggi serta
berbahaya! Karenanya begitu Randu Wongso kembali menerjang ke arahnya pemuda ini segera
menyambut dengan pukulan mega putih.
Sinar putih keabu-abuan melesat deras, bersiur menghantam ke pertengahan tubuh
Randu Wongso. Yang diserang kaget bukan main. Dia sama sekali tidak menyangka kalau lawan yang
masih muda itu memiliki pukulan sakti begitu rupa. Betapapun gesit dan cepatnya
dia mengelak membuang diri ke samping kanan namun tak urung bahu kirinya kena juga
disambar oleh sinar pukulan lawan. Masih untung kenanya tidak begitu tepat.
Inipun sudah cukup membuat Randu Wongso kesakitan setengah mati. Bahu kirinya terasa
seperti remuk sampai ke dalam.
Tampang Randu Wongso kelam membesi menahan sakit dan juga oleh amarah yang
menggelegak. Sebagai jago kelas satu tak pernah dia mengalami hal seperti ini
sebelumnya. Dihantam lawan hanya dalam beberapa jurus!
'Pemuda bangsat! Apa yang kau lakukan terhadapku harus kau bayar dengan
nyawa anjingmu! " menyumpah Randu Wongso. Tangan kanannya dipentang di depan
dada. Bibirnya bergetar. Mulutnya berkomat-kamit dan sepasang matanya memandang
kedepan tak berkedip. Panji Kenanga kemudian melihat bagaimana tangan kanan
lelaki itu mulai dari ujung jari sampai ke siku berubah menjadi hitam, makin
hitam dan gelap legam.
"Pukulan mengandung racun jahat! "kata Panji dalam hati dan bersiap waspada.
Tiga perempat tenaga dalamnya segera dialirkan ke tangan kanan. Dia menunggu tak
berkedip. Randu Wongso berteriak garang. Tangan kanannya dipukulkan ke arah Panji.
Murid Brahmana Lokapala itu sertamerta angkat pula tangan kanannya dan
menghantam sambuti pukulan lawan!
Dari tangan kanan Randu Wongso menyembur menggulung sinar hitam yang
menyebarkan bau amat busuk. Dari tangan Panji Kenanga membersit sinar putih
kelabu yang segera menghantam dan menyapu sinar hitam pukulan lawan. Randu
Wongso yang sadar kalau lawan memiliki tenaga dalam ampuh yang dapat
menghancurkan sinar hitamnya.segera gerakkan tangan kanan membentuk setengah
lingkaran. Sinar hitamnya yang hampir musnah dihantam sinar mega putih .Panji
Kenanga menyusup ke bawah dan lolos dari hantaman pukulan lawan. Begitu lolos
Randu Wongso secepatnya kembali menghantam dengan tangan kanan. Tangan
kirinya juga ikut dipukulkan, mendorong pukulan tangan kanan hingga kekuatannya
jadi berlipat ganda. Serangan ini sama sekali tidak terduga oleh Panji Kenanga!
Sinar hitam lawan menghantam dada dan menerjang mukanya. Aneh, tak terasa
apa-apa seolah-olah sinar pukulan itu hanya merupakan sapuan angin belaka. Namun
begitu rongga hidung Panji Kenanga mencium bau busuk, yang terkandung dalam
sinar, mendadak sontak sekujur tubuhnya seperti kaku, tak dapat lagi digerakkan. Bukan
itu saja, nafasnyapun menyesak. Akhirnya tubuhnya roboh terguling di tanah!
'Celaka! Tamatlah riwayatku!" keluh Panji Kenanga. Di dalam pemandangannya
yang menjadi kabur dilihatnya Ronggo Bogoseto sambil memanggul tubuh Lestari
melangkah kehadapannya.
Pemuda ini tertawa mengejek.
"Bangsat! Hanya sampai disitu kehebatanmu! Masih untung aku tak mau
membunuhmu saat ini! Tapi belum puas hatiku sebelum melakukan sesuatu
terhadapmu!"
Ronggo gerakkan kaki kanannya. Tendangannya menghantam muka Panji. Murid
brahmana Lokapala ini merasakan kepalanya seperti meledak. Tubuhnya mencelat
mental dan dia tak ingat apa-apa lagi.
"Rasakan olehmu!" kata Ronggo Bogoseto seraya meludahi muka Panji Kenanga.
Ketika dia hendak melangkah pergi Randu Wongso coba membujuknya kembali.
' Bawa saja gadis itu ke candiku."
"Tadi aku sudah bilang, gadis ini milikku. Kau tak bisa mengaturku Randu!"
Ronggo melangkah pergi. Saat itulah dilihatnya kuda putih milik Panji Kenanga.
Dari pada capai-capai jalan kaki atau berlari ke Jember sambil memanggul tubuh
Lestari, bukanlah lebih baik memanfaatkan binatang itu. Segera Ronggo mendekati kuda ini
dan siap naik ke punggungnya. Namun baru saja dia mendekat, kuda putih itu tiba-tiba
menghentakkan kaki belakangnya dan tepat mengenai pinggul Ronggo hingga pemuda
ini terpekik kesakitan. Tubuhnya melintir dan jatuh bersama Lestari yang
dipanggulnya. Kuda putih itu sendiri meringkik keras lalu lari.
"Binatang keparat!" maki Ronggo sementara Randu Wongso tertawa membabak
dan melangkah ke arah Lestari untuk menolong gadis itu.
"Randu! Awas! Jangan sentuh gadis itu. Bukan dia tapi aku yang harus kau tolong
dulu!" teriak Ronggo Bogoseto ketika dilihatnya Randu Wongso hendak memegang
lengan Lestari.
Mendengar ucapan Ronggo itu terpaksa Randu membatalkan niatnya menolong
Lestari. Kini dia membantu Ronggo berdiri.
"Nasibmu amat sial hari ini, Ronggo. Kudapun berani menyerangmu!"
"Tutup mulutmu!" tukas Ronggo kesal. Tangan kanannya yang patah terasa sakit.
Untung saja balutan kain dan kayu penopang lengan itu cukup kuat, kalau tidak
patahan tulang yang berusaha disambungkan itu akan terbuka kembali. Dengan susah payah
dia mengangkat tubuh Lestari, lalu berlutut dan menaikkan kembali gadis itu ke bahu
kirinya. "Aku akan ikut kau ke Jember!" Randu Wongo mengambil keputusan.
"Aku tak butuh kau lagi Randu. Kau boleh kembali ke candimu dan meneruskan
pekerjaanmu menggeluti tubuh perempuan hitam manis itu!" kata Ronggo yang tak
senang akan maksud Randu mengikutinya.
"Sobatku! Apa kau lupa janji yang kau ucapkan" Kau akan memberi tambahan uang
karena aku telah bantu meringkus gadis itu . . . ' '
Mendengar kata-kata Randu itu Ronggo jadi jengkel. 'Tahumu hanya uang dan
perempuan . . . "
"Eh, apakah ada hal lain yang diperlukan manusia di dunia ini selain uang dan
perempuan . . . ?" ujar Randu pula.
Ronggo tak menjawab. Dia juga tak melarang ketika dilihatnya Randu berlari
mengikutinya. S E B E L A S D I LERENG bukit itu terdengar suara siulan membawa lagu tak menentu. Suara
siulan ini akan aneh terasa jika ada orang lain mendengarkan. Bukan saja karena
lagu serta irama yang disiulkannya tidak menentu, tetapi suara siulan itu sendiri
demikian kencangnya hingga mengalahkan deru angin yang bertiup dari barat ke timur.
Yang bersiul adalah seorang pemuda berpakaian putih dan agak lusuh. Dia
mengenakan ikat kepala putih dan saat itu sambil bersiul dia berlari cepat
menuju puncak bukit. Sampai di puncak bukit dia hentikan lari, berdiri sambil memandang berkeliling.
Rambutnya yang gondrong menjela bahu melambai-lambai ditiup angin.
"Sialan.' Tak satu bangunanpun kulihat!' 'pemuda ini memaki pada dirinya
sendiri. "Di mana sebenarnya letak candi laknat itu . . . ?"
Pemuda ini menyelidik ke ujung puncak bukit sebelah timur. Dengan penasaran
sambil garuk-garuk kepala dia kemudian lari ke bagian barat. Tetap saja tak satu
bangunanpun yang tampak dari tempat itu. Dia lantas berpikir-pikir. Apakah
sebaiknya dia menuruni bukit itu dan langsung menuju Jember. Mungkin di situ dia bisa
mendapatkan keterangan tentang letak candi tua tempat kediaman Randu Wongso,
seorang tokoh silat jahat dan mesum yang sudah lama dicarinya.


Wiro Sableng 025 Cinta Orang-orang Gagah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tapi kalau sampai di Jember, jauh-jauh aku tak bisa mendapatkan secuil
keterangan pun, berarti aku harus kembali ke sini!" Pemuda ini kembali garukgaruk kepalanya. "Padahal keterangan yang kudapat candi itu terletak di bukit sialan
ini! Bagusnya aku menyelidik dulu
Keputusan yang diambilnya ternyata tidak sia-sia. Setelah menyelidik hampir
sepenanakan nasi, candi yang dicarinya itu akhirnya ditemuinya di lereng bukit
sebelah timur, terletak di balik lindungan pohon-pohon besar.
Pemuda ini tidak segera memasuki candi. Dia memutari bangunan tua itu beberapa
kali sambil memasang mata dan telinga. Tak ada terdengar suara apa-apa, juga
takkelihatan tanda-tanda ada orang di dalam sana.
"Jangan-jangan bangsat itu tak ada di sini," menduga si pemuda dalam hati.
Setelah mengelilingi candi itu sekali lagi, dia melangkah ke bagian depan candi dan
langsung masuk ke dalam bangunan tua ini.
Sepi. Tapi di sudut candi sebelah sana dilihatnya sebuah lampu minyak menyala,
hampir padam karena minyaknya tinggal sedikit.
Lampu itu . . . " desis si pemuda. Baginya ini berarti si penghuni candi tua
tersebut tak ada di situ. Pergi tanpa mematikan lampu. Dan perginya pasti sudah lama. Paling
tidak sejak malam tadi.
"Sialan! Aku tunggu saja di luar. Kalau sampai sore dia tak muncul baru aku ke
Jember. . . "
Ketika hendak melangkah meninggalkan bangunan itu tiba-tiba telinganya
menangkap suara seperti tarikan nafas. Suara ini datang dari balik tumpukan
balok-balok kayu. Sekali lompat saja dia sudah berada di atas tumpukan balok
itu. Memandang ke bawah berubahlah paras pemuda ini.
Di sana, di atas lantai candi yang beralaskan tikar jerami butut terbaring sosok
tubuh perempuan muda tanpa pakaian. Kedua matanya terpejam, tubuhnya tak bergerak,
dadanya turun naik sedang wajahnya membayangkan seperti menahan rasa sakit yang
amat sangat. Sebagai seorang lelaki pemandangan itu mau tak mau membuat darahnya
jadi panas juga. Apalagi perempuan itu memiliki tubuh yang sekal dengan sepasang
payu dara yang besar kencang. Pada kedua payudara itu tampak tanda-tanda merah
seperti bekas gigitan. Walaupun terangsang namun rasa kasihan lebih mempengaruhi
hati si pemuda. Dia turun dari atas balon kayu, melangkah ke sudut ruangan. Di
sini dilihatnya gulungan pakaian perempuan. Diambilnya pakaian itu lalu ditutupkannya
ke tubuh yang terbaring itu.
Merasakan ada sesuatu diletakkan di atas auratnya, perempuan itu buka kedua
matanya. Mata itu kuyu sekali. Tiba-tiba membesar sesaat, seperti ketakutan,
lalu kuyu kembali. i "Jangan takut. Aku tak akan menyakitimu. Aku ingin menolong . . . " berkata si
pemuda. "Ha .. . haus . . . Aku . . . minum . . . " lapat lapat terdengar suara keluar
dari sela bibir perempuan muda itu.
' Air, di mana akan kudapat air di tempat ini. . . ?" Pemuda itu memandang
berkeliling. Dilihatnya sebuah kendi. Diambilnya dan diguncangnya. Terdengar suara air di
dalam kendi itu. Segera pemuda ini berlutut dan menempelkan bibir kendi ke bibir
perempuan itu. Setelah minum beberapa teguk dengan susah payah wajahnya tampak agak
segaran. Pemuda itu menunggu beberapa ketika lalu berkata.
"Kalau kau bisa bicara, katakan apa yang terjadi..."
"Kau . . . kau . . . siapa ?"
'Namaku Wiro Sableng. Kau tak usah takut. . . "
' Kalau bukannya orang jahat" Atau kawan lelaki yang memperkosaku tadi malam" "
"Siapa yang memperkosamu . . . ?"
"Ada dua orang. . . "
"Ya, dua orang. Siapa mereka?"
"Aku tidak kenal. Aku tidak ingat. . . "
"Kau harus ingat. Kalau tidak bagaimana aku bisa menolongmu. . . "
"Kepalaku sakit. Sekujur badanku sakit . . . "
Perempuan itu meraba wajahnya, lalu meraba dada dan badannya. Kemudian dia mulai
terisak menangis.
Si pemuda yakni murid Eyang Sinto Gendong menggigit bibir den garuk-garuk
kepala. "Kau mau minum lagi?" tanyanya kemudian.
Yang ditanya mengangguk. Wiro memberinya beberapa teguk lagi air kendi yang
sejuk itu. . "Siapa namamu . . . "
"Warsih. . . "
Dari balik pakaiannya Wiro keluarkan sebutir obat. Obat ini diminumkannya pada
perempuan itu. Lalu katanya: "Warsih, kau harus bisa mengingat siapa mereka itu.
Paling tidak keduanya satu sama lain tentu saling memanggil nama . . . "
"Sulit sekali mengingatnya. Mereka.... Tunggu . . . Kudengar yang datang
belakangan itu menyebut satu nama. Randu . . . ya Randu . . . "
"Bagus, kau ingat kini Warsih. Lalu siapa nama yang satu lagi"
Perempuan itu pejamkan mata mengingat-ingat.
"Ronggo . . . " katanya kemudian sambil membuka mata."
"Di mana kedua orang itu sekarang . . . T '
"Pergi..."
"Kau tahu pergi ke mana . . ?" tanya Wiro lagi. "Dan kapan mereka pergi. . . "
"Tadi malam. Ke mana mereka pergi aku tidak tahu..."
"Orang yang bernama Randu itu yang membawamu ke tempat ini?"
"Ya . . . Aku diculiknya dari desa . . . "
"Di mana desamu?"
"Paritwangi."
"Aku akan tolong kau kembali ke desa itu."
"Tidak, aku tak mau kembali. Memalukan kembali ke rumah. Semua orang desa akan
tahu apa yang terjadi. Aku ingin mati saja. Lebih baik mati!"
"Jangan berpikiran pendek begitu. Yang mati kalau bisa ingin hidup . . . "
"Tapi hidup dengan menanggung malu besar begini siapa sudi. Apalagi kalau
sempat aku hamil . . . " Perempuan itu kembali menangis.
"Dengar Warsih. Kau harus hidup. Paling tidak untuk melihat atau mengetahui
bahwa manusia bernama Randu serta kawannya yang bernama Ronggo itu telah menerima
pembalasan atas dosa-dosanya . . . " kata Wiro pula.
"Pembalasan . . . Siapa yang akan membalaskan kejahatan terkutuk mereka" Sejak
dulu pejabat-pejabat kadipaten tak ada yang turun tangan. Manusia bernama Randu
itu pasti telah sering melakukan perbuatan keji ini!" '
"Aku sudah bilang, aku akan menolongmu. Aku memang sudah lama mencari
manusia bernama Randu itu..."
"Kalau begitu kau temannya . . . " .
"Bukan. Justru aku mau menghajarnya. Kini menyaksikan penderitaanmu aku
bersumpah untuk menghajar manusia itu sampai mati . . . Sekarang, kalau kau
sudah cukup kuat berdirilah. Kenakan pakaian mu kembali. Kita sama-sama ke
Paritwangi."
Wiro lalu tinggalkan tempat itu untuk memberi kesempatan pada Warsih berpakaian.
Tetapi baru saja dia berada di balik tumpukanbalok, mendadak didengarnya satu
suara benturan,disusul oleh suara jatuhnya sesosok tubuh ke lantai.
Pendekar 212 melompat ke balik tumpukan balok. Namun terlambat. Di lantai
dilihatnya tubuh
Warsih - masih belum berpakaian - terkapar dengan kepala rengkah bedarah.
Perempuan malang ini memutuskan lebih baik mati dari pada hidup menanggung aib. Dia telah
membenturkan kepalanya sendiri ke dinding candi! v
Wiro tertegun beberapa saat. Mayat Warsih ditutupnya dengan tikar jerami. Tak
ada kesempatan baginya untuk mengurusi jenazah itu. Cepat-cepat pendekar ini
tinggalkan candi.
D U A B E L A S
PENDEKAR 212 Wiro Sableng tak dapat memastikan berapa jauh dia telah
meninggalkan candi kediaman Randu Wongso ketika tiba-tiba dia mendengar suara
ringkikan kuda. Wiro segera lari ke jurusan datangnya suara binatang ini.
Di tepi sebuah telaga berair jernih tampak seekor kuda putih polos tegak tak
bisa diam dan meringkik terus menerus. Di bagian lain dari telaga kelihatan bekas
perapian. Murid eyang Sinto Gendeng ini berpikir-pikir. Sebetulnya dia merasa pasti pernah
melihat kuda putih itu. Tapi di mana dan kuda milik siapa" Tiba-tiba pendekar
ini tepuk keningnya. Dia ingat. Binatang itu adalah milik Panji Kenanga, murid brahmana
Lokapala dari gunung Raung. Bersama pemuda itu dulu dia menghancurkan Istana
Darah. Kalau dia tidak salah ingat, kuda ini bernama Angin Salju.
Jika Angin Salju ada di situ pasti Panji Kenanga juga ada di tempat itu. Sambil
memandang berkeliling Wiro melangkah mendekati Angin Salju. Binatang ini
masih terus meringkik. Ketika didekati dia merundukkan kepala dan men g gesergeserkan lehernya yang berbulu tebal ke bahu Pendekar 212.
"Tenang sobat. Kau tampak gelisah. Mana tuanmu?" kata Wiro sambil mengeluselus leher Angin Salju.
Binatang itu memutar-mutarkan ekornya. Kedua kakinya diangkat tinggi-tinggi dan
kembali dia meringkik. Wiro menyelidik lagi berkeliling. Tak ada tanda-tanda
adanya Panji Kenangan di situ. Ini satu hal yang mengherankan.
Tingkah laku Angin Salju membawa firasat yang tidak enak bagi pendekar itu. Dia
memandang ke tengah telaga. Apakah Panji tenggelam"
. "Sesuatu telah terjadi dengan majikan binatang ini," pikir Wiro.
Tiba-tiba Angin Salju meringkik keras. Lalu berputar dan lari meninggalkan
telaga. Wiro Sableng segera mengikuti binatang ini. Kuda putih itu lari masuk ke dalam
hutan. Makin dalam dan makin jauh. Di satu tempat dia jatuhkan diri, melosoh ke tanah.
Tepat dekat sesosok tubuh yang menggeletak tak bergerak.
Sekali lompat saja Wiro sudah berada dekat sosok tubuh itu. Ketika ditelitinya
terkejutlah pemuda ini.
"Panji Kenanga!" desisnya. Didukungnya pemuda itu dan dipindahkannya ke tempat
yang lebih baik.
Muka Panji Kenanga penuh oleh darah yang hampir mengering. Darah itu tampaknya
mengucur keluar dari hidung. Salah satu pipinya bengkak membiru. Mungkin bekas
pukulan keras. Dari sela bibir membuih cairan hitam, Wiro mendekatkan hidungnya
ke cairan itu. Ada bau aneh. Dirabanya tubuh Panji Kenanga. Terasa tegang. Tapi
bukan tegang karena totokan.
"Dia keracunan . . . " ujar Wiro memastikan. Apa yang terjadi" Wiro meneliti
keadaan sekitar tempat itu. Jelas terlihat tanda-tanda perkelahian. Setahunya
Panji Kenanga memiliki ilmu silat dan kesaktian tinggi. Jika dia dapat dikalahkan dan
berada dalam keadaan seperti ini pasti lawannya jauh lebih hebat. Bukan mustahil dia
dikeroyok. Wiro pegang per gel angan tangan kiri Panji Kenanga. Masih ada denyutan walaupun
sangat perlahan. Dengan pengetahuan ilmu pengobatan yang dimilikinya murid Sinto
Gendeng itu segera menotok tubuh Panji Kenanga di beberapa bagian. Adapun racun
yang menyerap dalam tubuh pemuda itu harus cepat-cepat dikeluarkan. Jika sampai
terlambat nyawanya tak akan tertolong lagi.
Dengan sehelai daun keladi hutan Wiro menampung air telaga. Air ini dicampurnya
dengan sejenis bubuk obat yang selalu dibawanya di balik pakaian. Setelah
diaduk, cairan obat itu sedikit demi sedikit dituangkannya ke mulut Panji Kenanga.
Sesudah menunggu beberapa saat Wiro lantas keluarkan Kapak Naga Gen i 212. Mata kapak
ditempelkannya pada kedua ujung telapak kaki Panji Kenanga.
Sambil mengalirkan tenaga dalamnya Wiro mengusapi tubuh Panji dengan mata
kapak. Mulai dari kaki, betis, paha, keperut, ke dada, lalu tenggorokan. Ketika
mata kapak menyentuh mulut, dari mulut Panji Kenanga mengalir cairan hitam banyak sekali.
Wiro menekan perut dan dada pemuda ini. Cairan hitam makin banyak keluar. Wiro baru
berhenti menekan setelah tak ada lagi cairan hitam yang keluar.
Tak lama kemudian kelihatan kepala Panji Kenanga bergerak. Kedua matanya
terbuka, tampak kuyu. Lama dia memandang ke langit, ke arah cabang-cabang pohon
dan dedaunan yang rapat. Kemudian matanya beralih memandang Wiro.
"Di . . . dimana aku . . . Sakitnya kepala ini . . .Kau ... . kau siapa?" katakata itu meluncur dari mulut Panji Kenanga.
"Aku sobat lamamu. Panji. Aku Wiro Sableng," menyahuti murid Sinto Gendeng.
Panji Kenanga menatap Pendekar 212 lama sekali.
Sesaat setelah pandangannya mulai jelas dan jalan pikirannya menjadi jernih,
perlahan- lahan pemuda itu anggukkan kepala dan kedipkan matanya.
"Ya . . . aku ingat kau. Apa yang terjadi dengan diriku . . . ?" Panji meraba
mukanya lalu memperhatikan tangannya. "Darah . . . " desisnya kemudian. Dia mencoba
bangkit. Tetapi terbaring kembali. Tubuhnya terasa lemas seolah-olah tidak bertulang.
"Tenang dan berbaring sajalah . . . " kata Wiro Sableng. "Kau telah melewati
saat- saat gawat . . . "
"Bagaimana kau bisa muncul dr sini. Apakah . . apakah aku akan menemui ajal
seandainya kau tidak datang" Kau pasti menolongku . . . "
"Soal nyawa adalah urusan Tuhan. Hanya manusia tidak boleh terima nasib begitu
saja. Harus berusaha. Aku tengah mencari sarang mesum manusia dajal bernama
Randu Wongso. Candinya kudapati dalam keadaan kosong. . . "
"Ah! Kita berurusan dengan manusia yang sama. . . " ujar Panji Kenanga. Kini
dikumpulkannya seluruh tenaganya. Dengan susah payah dia mencoba bangun. Wiro
membantu dan menyandarkannya kebatang pohon kelapa pendek. "Wiro . . kau
tahu. Manusia dajal bernama Randu Wongso itu ikut membantu Ronggo Bogoseto menculik
Lestari. . . "
Terkejutlah Pendekar 212 Wiro Sableng. Dadanya bergetar. Lestari! Dara yang suka
berbaju merah itu, yang dulu pernah diselamatkannya dan kini ternyata diculik
orang! Hampir dua tahun dia tidak pernah bertemu dengan dara jelita itu.
Dalam kehidupannya Wiro telah menemui banyak sekali gadis-gadis cantik. Namun
entah mengapa dara yang satu ini begitu menarik perhatiannya, tak pernah bisa
pupus dari ingatannya. Berkali-kali timbul hasrat dalam hatinya untuk menyambangi
Lestari di tempat kediaman gurunya, tetapi hal itu tak pernah dilakukannya karena merasa
malu. Gila! Biasanya dia selalu bersikap berani terhadap setiap gadis atau perempuan
yang ditemuinya. Hanya pada yang satu ini dia seperti merasa takut. Bukan, bukan
takut tetapi

Wiro Sableng 025 Cinta Orang-orang Gagah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mati kutu! Rasanya dia melakukan apa saja yang dikatakan gadis itu! Tak dapat
dipungkirinya bahwa dia telah terpikat pada Lestari. Diam-diam ada rasa kawatir
dalam dirinya akan kehilangan gadis itu.
Dan kini didengarnya dari Panji Kenanga gadis itu diculik oleh seseorang,
dibantu oleh Randu Wongso, tokoh silat yang terkenal sebagai tokoh cabul bejat. Lestari
berada dalam keadaan bahaya. Jika dia sampai diapa-apakan hancurlah masa depannya..
"Siapa Ronggo Bogoseto itu?" tanya Wiro.
"Seorang pemuda brengsek, putera bekas perwira tinggi kerajaan yang tinggal di
Jember . . . "Dia memiliki jlmu pedang yang tinggi tetapi tidak punya dasar ilmu
silat yang dapat diandalkan . . . "
"Kau tahu ke mana kira-kira Lestari dilarikan?"
"Tak dapat kupastikan. Mungkin ke Jember atau candi tua di sebuah lereng
bukit. . . "
"Aku sudah menyelidik ke candi itu. Kosong . . . " Wiro tidak menceritakan
pertemuannya dengan Warsih yang malang.
"Kalau begitu pasti Lestari dibawa ke Jember. Tidak sulit mencari rumah bekas
perwira tinggi itu. Semua orang di Jember pasti tahu letak rumahnya."
"Kalau begitu aku harus ke sana saat ini juga. Hanya, bagaimana dengan kau . . .
?" "Tak usah pikirkan diriku!" ujar Panji Kenanga.
"Yang penting selamatkan gadis itu dari bencana. Demi Tuhan aku harus berterus
terang padamu Wiro. Aku mencintai Lestari. Aku tak ingin terjadi apa-apa dengan
dirinya. Tolong selamatkan dia. Jasamu tak akan ku lupakan dunia akhirat!"
"Aku mencintai Lestari!"
"Tiga rangkai kata itu mengiang lama di kedua telinga Wiro Sableng. Dadanya
terasa menyesak. Jika Panji Kenanga mencintai Lestari, apakah Lestari juga mencintai
pemuda ini" "Katamu kau mencintai Lestari, Panji?" Wiro bertanya ingin menegaskan.
" Y a . . . " 1
"Apakah Lestari juga mencintaimu?" tanya Wiro lagi.
"Aku tidak tahu. Tak pernah hal itu dikatakannya. Tapi aku yakin dia juga
menyayangiku. Aku bisa melihat dari gerak-geriknya . . . "
Wiro merasa dadanya makin sesak. Dia terduduk disamping Panji. Untuk sesaat tak
bisa berkata apa-apa. "Pemuda ini tidak tahu kalau akupun mencintai gadis itu."
"Wiro, tolong. Selamatkan Lestari," terdengar suara Panji Kenanga. "Jika terjadi
apa- apa dengan diri-nya, rasanya tak ada gunanya lagi aku hidup di dunia ini..."
"Sahabatku Panji Kenanga . . . " sahut Wiro. Suaranya kali ini agak bergetar
karena menahan gejolak dalam dadanya. "Kau benar-benar mencintai gadis itu.
Maksudku dengan cinta murni, dengan setulus jiwa ragamu . . . ?"
"Demi dia aku rela menyerahkan jiwa ragaku, Wiro. Aku bersumpah jika memang itu
baru dapat membuatmu percaya. . . "
Perlahan-lahan Wiro berdiri. Lututnya terasa goyah. Tak terpikir lagi olehnya
saat itu bagaimana Panji Kenanga dan Lestari bertemu di tempat itu. Tak tertanyakan lagi
bagaimana Panji dan Lestari sampai bentrokan dengan Randu Wongso dan pemuda
bernama Ronggo Bogoseto itu.
"Pergilah Wiro. Kau harus bertindak cepat!" kata Panji Kenanga yang tak dapat
membaca apa sebenarnya terjadi dalam diri pemuda yang tegak seperti linglung di
hadapannya itu.
"Baik! Tentu Panji! Aku segera pergi. Semoga aku tidak terlambat. Kau terpaksa
kutinggalkan di sini. Hati-hatilah . . . "
Semua kata-kata itu diucapkan Wiro dengan peraaan bergalau.
Dia ingin menyelamatkan Lestari. Bukan karena permintaan yang disampaikan Panji
Kenanga. Tetapi karena diapun ingin melihat gadis itu selamat. Karena diapun
mencintai Lestari. Tetapi Panji Kenangapun mencintai gadis itu. Bagaimana kalau
kemudian diapun mengetahui bahwa Lestari mencintai Panji" Akan sanggupkah dia
menghadapi kenyataan itu"!
Jika dia mengikuti bisikan setan yang mulai merasuk hatinya, maulah dia saat itu
mencelakakan Panji Kenanga. Mungkin juga membunuhnya. Namun sebagai seorang
pendekar berjiwa besar pantaskah hal itu dilakukannya" Kalaupun dia berhasil
mendapatkan Lestari lalu kemudian mengetahui bahwa gadis itu tidak mencintainya,
apakah jadinya kelak kehidupan mereka"
"Wiro! Kau melamun!" seru Panji Kenanga yang sudah tidak sabaran.
"Ti... tidak! Aku segera pergi Panji!" sahut Wiro. Lalu segera ditinggalkannya
tempat itu, lari secepat yang bisa dilakukannya menuju Jember.
T I G A B E L A S
SEPERTI yang dikatakan Panji Kenanga memang tidak sukar bagi Wiro Sableng untuk
mencari gedung kedi akan Ronggo Bogoseto. Sekali bertanya saja dengan mudah dia
menemukan gedung itu, terletak tak berapa jauh dari pusat keramaian kota. Bagian
depan rumah besar yang berhalaman luas ini dibatasi dengan pagar besi berwarna
hitam. Seluruh halaman ditumbuhi rumput dan aneka ragam bunga. Di sebelah tengah
terlihat sebuah kolam dengan hiasan patung perempuan setengah telanjang memegang
dua ekor burung merpati.
Di samping bangunan besar megah itu terdapat sebuah gedung kecil beratap merah.
Tepat di depan gedung besar behenti dua buah kereta. Suasana di tempat itu
tampak sunyi-sunyi saja. Lewat pintu halaman yang tidak dikunci Wiro Sableng masuk ke
dalam. Ketika dia sampai di dekat dua buah kereta, muncullah seorang lelaki tua.
"Bapak, siapakah raden Ronggo ada di rumah?" tanya Wiro.
"Anak muda, kau siapakah . . .'?" tanya orangtua itu. Nada suaranya tidak
menunjukkan kecurigaan.
"Saya sahabat raden Ronggo," sahut Wiro berdusta.
"Ah, kalau begitu kau pergilah ke gedung kecil sebelah sana. Itu tempat kediaman
raden Ronggo."
Wiro tersenyum lalu malangkah tanpa terburu-buru agar tidak menimbulkan
kecurigaan. Seperti di rumah besar, gedung kecil inipun tampak sunyi. Dia tegak
meneliti sesaat. Terkadang kesunyian bisa menipu seseorang. Matanya yang tajam
melihat pintu depan gedung kecil itu tidak dikunci, hanya ditutupkan dan itupun
tidak rapat. Lewat celah pintu, ketika Wiro mendekat dia melihat seorang lelaki
bertubuh tinggi
kurus melangkah mundar mandir di ruangan depan. Sikapnya jelas menunjukkan
ketidak sabaran. Dan ternyata orang ini memiliki pendengaran tajam.
Begitu Wiro sampai di langkan gedung, dia memburu ke pintu dan keluar seraya
membentak. "Siapa kau"!"
Melihat pada pakaian yang terbuat dari jenis murahan, air muka yang kusam serta
sikap yang kasar Wiro segera menduga orang ini bukan penghuni gedung itu, jadi
bukan Ronggo Bogoseto. Tampaknya diapun bukan penjaga atau pengawal gedung. Tetapi
mengapa sikapnya begini galak. Atau apakah ini ayah Ronggo yang berjuluk Raja
Pedang Kotaraja itu" Tak bisa jadi. Wiro segera mengatur siasat.
Murid Sinto Gendeng itu cepat menjura lalu ber- kata: "Aku ingin bertemu dengan
Ronggo Bogoseto
"Hmm, Katakan dulu siapa kau!' '
"Aku sahabat lamanya. . . "
"Dia tak ada di rumah. Sedang keluar!' '
Wiro garuk kepalanya. "Lelaki tua di luar sana bilang Ronggo ada di sini. Aku
datang dari jauh. Ada urusan penting. Tolong beritakan padanya.' '
'Tidak mungkin . . . " kata lelaki tinggi kurus yang bukan lain adalah Randu
Wongso. "Kalau kedatanganku tidak diberitahu, aku kawatir dia nanti akan marah, ini
menyangkut urusan yang benar-benar penting," ujar Wiro.
' Justru Ronggo saat ini sedang ada urusan. Tak bisa diganggu oleh siapapun!"
"Kalau begitu biarlah aku menunggu sampai urusannya selesai," kata Wiro pula.
Lalu seperti tak acuh enak saja dia hendak menyelinap masuk ke dalam gedung.
"Eit! Orang muda! Jangan bertindak lancang seenakmu!" bentak Randu Wongso.
"Lancang'bagaimana?" tanya Wiro lagi-lagi sambil garuk kepala.
"Meski kau mengaku kawan Ronggo Bogoseto, tapi kalau mau menunggu bukan di
sini tempatnya. Di sana, di luar pagar halaman! "
"Ah, di luar sana panas sekali. Bagaimana kalau aku menunggu di langkan sini
saja"!"
"Kurang ajar! Kau berani membantah perintahku .Mau kupuntir kepalamu . "!"ancam
Randu "Jangan! Jangan sobat. Jangan galak begitu . . . " Wiro pura-pura ketakutan.
Randu Wongso menyeringai.
"Kalau tak ingin kupuntir kepalamu lekas pergi!"
"Baik, tapi dengan siapakah sebenarnya aku yang bodoh ini berhadapan?"
Yang ditanya tertawa lebar dan menjawab sambil berkacak pinggang.
"Apa kau tak pernah mendengar nama Randu Wongso" Tokoh silat kelas satu yang
ditakuti di delapan penjuru Jawa Timur"!"
"Ah! Inilah dia keparat yang kucari-cari!" kata Wiro dalam hati. Tubuhnya
bergetar. Jika diturutkannya hawa amarah yang merangsak dirinya saat itu maulah dia
menghajar Randu Wongso detik itu juga. Namun tujuan utamanya datang ke situ adalah untuk
menyelamatkan Lestari. Dan kini dia yakin gadis itu pasti berada di gedung kecil
itu, berada dalam sekapan Ronggo Bogoseto di bawah pengawalan si keparat ini!
"Aduh! Tak kusangka hari ini aku dapat berhadapan dengan tokoh yang sangat
terkenal ini. Harap maafkan kalau aku tadi berlaku kurang hormat," kata Wiro
lalu menjura sampai beberapa kali. Padahal dalam hati dia menyumpah setengah mati!
"Nah, kalau sudah tahu siapa aku, lekas minggat. Tunggu di luar pagar sana!"
"Baik . . . baik . . . ," kata Wiro. Sekali lagi dia menjura. Tetapi gerakannya
kali ini bukan gerakan menghormat sembarangan. Sambil merunduk tangan kanannya
menyusup ke depan dengan dua jari terpentang lurus.
Randu Wongso tak sempat keluarkan seruan. Urat besar dipangkal lehernya
sebelah kanan telah ditotok pemuda yang mengaku sahabat Ronggo Bogoseto itu.
Kontan detik itu juga Randu Wongso tak dapat bergerak lagi, juga tak bisa
bersuara. Kedua matanya membeliak. Seumur hidupnya baru hari itu dia bisa dibokong orang
secara berhadap-hadapan. Seribu caci maki kutuk serapah menggeru-geru dalam dada
lelaki ini. Sambil tersenyum dan tepuk-tepuk pipi Randu Wongso, Pendekar 212 Wiro Sableng
berkata. "Monyet jangkung, sebetulnya ingin sekali aku mematahkan lehermu saat ini.
Kejahatanmu sudah lewat takaran. Kebejatanmu sudah selangit tembus. Tapi biar
kuberikan kesempatan beberapa saat lagi bagimu untuk bernafas. . . "
Dengan ujung jari tangan kanannya yang dialiri tenaga dalam tinggi serta hawa
amat panas, Wiro menggurat tiga buah angka di kening Randu Wongso: 212. Lelaki ini
merasa seperti ditoreh dengan besi panas. Kalau saja dia tidak ditotok saat itu
pastilah dia akan mengeluarkan jerit kesakitan luar biasa. Dalam hatinya dia bersumpah:
'Pemuda haram jadah! Kelak kau bakal kucincang. Lalu kubakar!"
"Randu! Sekarang kaulah yang harus menunggu di luar pagar sana!"
Habis berkata begitu enak saja Wiro jambak rambut Randu Wongso dan seret lelaki
itu ke luar pagar.
'Tubuhmu bau! Pakaianmu kumal! Kau lebih layak berada di sini! "ujar Wiro lalu
hempaskan Randu Wongso ke tepi jalan yang panas dan berdebu. Kemudian dia segera
masuk ke dalam gedung kecil kembali. Setelah melewati ruangan depan dan ruangan
tengah yang penuh dengan berbagai macam perabotan dan lemari pajangan, Wiro
sampai di sebuah ruangan di mana berderet beberapa kamar dengan pintu dalam
keadaan tertutup. Di dalam kamar yang mana Lestari disekap" Dia melangkah
perlahan-iahan, memasang telinga serta mata. Di hadapan pintu ke empat deretan
sebelah kiri pendekar ini hentikan langkah. Dari balik pintu jelas terdengar
suara berisik. Wiro tempelkan telinganya ke daun pintu. Setelah merasa pasti maka sekali
tendang pintu yang terbuat dari kayu jati itu hancur berantakan. Secepat kilat Wiro
melompat masuk ke dalam kamar.
Apa yang diperkirakannya tidak meleset.
Di atas sebuah tempat tidur besar bekelambu biru muda berseperai putih serta
penuh keharuman tampak seorang pemuda bermuka pucat yang tangan kanannya
dibalut, dan hanya mengenakan celana dalam tengah menggeluti sesosok tubuh
perempuan yang saat itu berada dalam keadaan tak berdaya dan tidak mengenakan
pakaian atau penutup apapun.
"Manusia keparat haram jadah!" teriak Wiro Sableng menggelegar. Dia menerjang ke
atas tempat tidur.
"Wiro!" jerit Lestari. Namun jeritan itu tependam di tenggorokannya karena
sampai saat itu tubuhnya masih tertotok, membuat dia tak bisa bergerak ataupun
bersuara. Sejak hancurnya pintu kamar kaget Ronggo bukan kepalang. Apalagi ketika melihat
seseorang melompat ke atas tempat tidur . Tapi karena merasa berada di rumah
sendiri ditambah di luar sana ada Randu Wongso maka dengan marah pemuda ini membentak.
' Bangsat! Maling atau pencuri kau"!"
"Aku memang maling yang hendak mencuri nyawamu!" teriak Wiro.
Kaki kanannya menyambar ke depan, tepat pada saat Ronggo mencoba berdiri.
Pahanya tepat dihantam tendangan. Terdengar suara krak! Dibarengi jerit
kesakitan dan mentalnya tubuh pemuda bermuka pucat itu!
Seperti diketahui Ronggo Bogoseto meski memiliki ilmu pedang yang tangguh
namun tidak mempunyai dasar ilmu silat yang bisa diandalkan. Apalagi saat itu
dia diselimuti rasa terkejut hingga sama sekali tak mampu membuat gerakan mengelak.
Dia terbanting ke lantai. Ketakutan setengah mati dia menggulingkan diri ke pintu
kamar sambil berteriak.
"Randu! Randu! Tolong . . . !" Tak ada jawaban,
Ronggo Bogoseto berdiri dengan susah payah. Baru saja dia setengah
membungkuk, satu cengkeraman mencengkam lehernya dari belakang. Cekikan itu
makin keras, makin keras. Ronggo Bogoseto tak dapat bernafas. Matanya mendelik,
lidahnya menjulur dan ludah membuih keluar dari mulutnya.
Tiba-tiba dengan sekuat tenaga Wiro hantamkan muka pemuda itu ke dinding kamar.
Prak! Darah muncrat. Muka Ronggo Bogoseto remuk. Batok kepalanya rengkah. Nyawanya lepas sebelum
tubuhnya mencium lantai.
Wiro tutup tubuh Lestari dengan seperai lalu lepaskan totokan di tubuh gadis
itu. Dia kemudian menghindar ke pintu seraya membelakangi dan berkata: "Lekas cari dan
kenakanan pakaianmu. Kita harus segera pergi dari sini!"
Lestari menemukan pakaian merahnya di ujung kaki tempat tidur dan segera
mengenakannya. "Bagaimana kau tahu aku ada di sini Wiro?" tanya Lestari.
Ingin sekali dia menjatuhkan tubuhnya ke dada pemuda itu, memeluk bahkan
menciumnya sebagai pernyataan terima kasih karena telah menyelamatkan diri dan
kehormatannya. Namun sekejap bayangan wajah Panji Kenanga muncul. Maksud si
gadis tertahan.
"Nanti saja kuterangkan. Kita harus pergi. Mari!" sahut Wiro lalu mendahului
menuju keluar.

Wiro Sableng 025 Cinta Orang-orang Gagah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di luar pagar di tepi jalan tampak beberapa orang mengerumuni Randu Wongso yang
terkapar di tanah.
'Orang ini gagu dan lumpuh!" seseorang berkata.
Lelaki disampingnya menyahuti: "Kurasa dia bukan lumpuh. Tapi ditotok. Kalau tak
salah dia kawannya Ronggo . . . "
"Kalau begitu beri tahu pada pemuda itu apa yang terjadi!" kata yang lain.
Baru saja mereka ramai-ramai bicara begitu sesosok bayangan putih dan merah
berkelebat. Empat orang terpelanting. Ada yang berseru kaget. Ketika memandang
ke depan mereka lihat sosok tubuh Randu Wongso telah dibawa lari oleh seorang
lelaki berpakaian putih. Di belakangnya mengikuti seorang perempuan berpakaian merah.
E M P A T B E L A S
WIRO SABLENG membawa Randu Wongso ke candi tua tempat kediamannya di
mana sosok tubuh Warsih masih terkapar tak bernyawa akibat bunuh diri karena tak
sanggup hidup menanggung malu setelah diperkosa oleh manusia bejat itu.
"Wiro, aku ingin membunuh keparat ini sekarang juga! Ketika melarikanku ke
Jember, sepanjang perjalanan dia berlaku kurang ajar! "berkata Lestari begitu
Wiro melemparkan tubuh Randu Wongso ke lantai candi.
"Sabar Lestari. Jangan berikan kematian terlalu enak padanya. Kita harus
mengatur kematian paling bagus hingga dia benar-benar merasakan pembalasan atas segala
dosa-dosanya. Kau tunggu dulu di sini."
"Kau mau ke mana?"
Wiro menerangkan pertemuannya dengan Panji Kenanga.
"Aku akan bawa pemuda itu kemari. Kau bisa merawat luka-lukanya . . . "
Sesaat Wiro melihat wajah Lestari tiba-tiba menjadi merah. Namun dia pura-pura
tidak tahu malah berkata: "Dia mencintaimu Lestari. Kurasa kau juga sudah tahu. Kau
harus merawatnya baik-baik hingga cepat sembuh. . . "
"Wiro, ada sesuatu yang perlu kujelaskan. Yaitu mengapa aku mengadakah
perjalanan ini. . . "
"Itu bisa kau terangkan jika Panji sudah ada di sini nanti. Dia sudah terlalu
lama kutinggalkan. Aku kawatir keadaannya akan lebih parah kalau tidak lekas
ditolong."
Lestari hendak bertanya lagi. Tapi Wiro sudah berkelebat pergi.-"Heran,
bagaimana dia tahu kalau Panji mencintaiku . . . ?" membatin Lestari. "Apakah dia sudah
tahu kalau antara aku dan dia ada ikatan jodoh . . . " Ah bagaimana jadinya ini . . . "
Gadis itu geleng-gelengkan kepalanya. Kemudian pandangannya membentur sosok tubuh Randu
Wongso. Rahang Lestari menggembung. Dia melangkah besar-besar dan duk!
Tendangannya menghantam muka Randu Wongso hingga terpental ke dinding.
Hidungnya remuk mengucurkan darah. Tiga buah giginya tanggal dan bibirnya
pecah. Jika diikutinya dendam kesumat sakit hatinya mau Lestari menggorok leher Randu
Wongso saat itu. Namun sebelum dia sempat menjadi kesetanan Wiro Sableng telah
muncul kembali mendukung tubuh Panji Kenanga. Meski menanggung sakit dan masih
berceiomotan darah di bagian mukanya namun melihat Lestari tak kurang suatu apa
pemuda itu tampak lega. Sambil duduk bersandar ke dinding dia coba tersenyum dan
berkata: "Syukur kau selamat Lestari. Kau . . . maksudku kita, harus berterima
kasih pada Wiro . . . "
Lestari tak menjawab. Jika saja saat itu tak ada Wiro di situ mungkin dia telah
melompat untuk merangkul tubuh Panji Kenanga dan merawat lukanya.
"Kau ingin menyelesaikan urusan dengan Randu Rongso?" Wiro bertanya.
"Dia harus mampus di tanganku!" jawab Lestari. Wiro melangkah. Dia menggeledah
pakaian Randu Wongso. Di situ dia menemui beberapa buah kantong kain berisi uang
dan juga sebatang suling perak. Wiro menimang-nimang benda itu lalu
menyerahkannya pada Lestari. Ini adalah kali kedua pemuda itu mengembalikan
senjata itu kepada si gadis. Pertama sewaktu peristiwa penghancuran Istana Darah.
Setelah menyerahkan suling perak itu Wiro kemudian lepaskan totokan di tubuh
Randu Wongso. Begitu totokannya lepas, tubuh Randu Wongso tiba-tiba laksana seekor harimau
mencelat dan mengirimkan serangan berupa tendangan maut ke selangkangan Wiro
Sableng! Pendekar kita memang sudah menduga hal itu. Karenanya dia bersikap penuh
waspada dan ketika Randu Wongso membuat gerakan yang mengawali serangan Wiro
sudah lebih dulu menyingkir. Tendangan lelaki itu mengenai tempat kosong.
Marah dan penasaran serangan mautnya gagal, Randu Wongso kini berpaling pada
Lestari. 'Satu di antara kalian layak mampus lebih dahulu" geram Randu Wongso. Mulutnya
komat-kamit. Tangan kanannya mendadak berubah menjadi hitam. Melihat hal ini
Wiro cepat melompat ke hadapan Randu Wongso, sekaligus membelakangi Lestari.
"Wiro, awas!" memperingatkan gadis itu. "Dia hendak melepaskan pukulan
berbahaya! "
"Tak usah kawatir," jawab Wiro. "Manusia dajal! ini akan menemui kematian di
sarang mesumnya ini!"
"Kau yang mampus lebih dulu! "teriak Randu Wongso lalu pukulkan tangan
kanannya ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Sinar hitam menyambar dahsyat.
Wiro cepat tutup jalan pernafasannya. Serentak dengan itu tangan kannya
menghantam ke depan. Ruangan candi menjadi terang benderang oleh sinar putih
menyilaukan yang keluar dari telapak tangan murid eyang Sinto Gelung itu.
"Pukulan sinar matahari!" seru Randu Wongso kaget sekali. Cepat-cepat dia
susupkan pukulan sinar hitamnya ke bawah hingga sinar itu kini berbuntal-buntal
seperti gurita yang hendak merobek-robek tubuh Wiro.
Sebelumnya Wiro sudah mendengar kehebatan ilmu Randu Wongso ini. Karenanya
dia harus menghadapi tidak kepalang tanggung. Dengan tangan kiri Wiro lepaskan
pukulan pemagar diri sekaligus merupakan serangan ganas yakni pukulan dewa
topan menggusur gunung!
Kembali Randu Wongso keluarkan seruan tegang. Cepat dia kerahkan tenaga
dalam. Namun tak urung tubuhnya mental ke luar candi terseret hawa pukulan yang
dilepaskan Wiro.
Dengan dada berdenyut keras Randu Wongso sesaat tegak untuk mengatur jalan
darahnya. "Jadi kau adalah muridnya nenek busuk Sinto Gendeng itu hah!" ujar Randu
Wongso. Sret! Dia cabut sebilah golok yang terbuat dari kuningan dan mengandung
racun jahat sekali.
Mendengar nama gurunya disebut secara kurang ajar marahlah Wiro. Entah kapan
dia bergerak tahu-tahu Randu Wongso telah menerima dua pukulan. Satu mendarat di
dadanya, satu lagi di ulu hatinya. Lelaki mesum ini keluarkan suara seperti mau
muntah. Yang menyembur dari mulutnya adalah darah kental. Tidak perduIikan
keadaan dirinya yang terluka parah di sebelah dalam Randu Wongso membabat ganas
ke arah Wiro. Golok besarnya bersiuran. Namun dia hanya mampu membuat dua kali
gerakan pulang balik. Di kali yang ketiga terdengar suara krak! Tulang lengan
kanannya patah disambar tepi telapak tangan kiri Wiro. Golok kuningannya mental, langsung
disambar Wiro. Senjata ini dilemparkannya ke arah Lestari seraya berkata:
"Lestari, selesaikan urusanmu dengan manusia terkutuk itu! "
Lestari yang tahu apa maksud ucapan Wiro segera menangkap hulu golok, lalu
secepat kilat melompat ke arah Randu Wongso. Golok di tangan kanannya
menyambar ke arah leher lelaki itu.
Cras! Lestari terpekik sendiri ketika menyaksikan hasil tabasannya. Kepala Randu
Wongso menggelinding dilantai candi. Darah muncrat dari lehernya yang kutung. Tubuhnya
terjungkal jatuh. Bergerak-gerak beberapa ama lalu diam tak berkutik lagi.
MALAM itu udara dingin sekali. Untuk menolak hawa yang membuat tubuh menggigil
ini Wiro menyalakan api unggun. Saat itu mereka berada di sebuah mata air kecil,
di kaki sebuah bukit yang penuh ditumbuhi pohon jati.
Sebenarnya ingin sekali Lestari menuturkan persoalan yang tengah dihadapinya
kepada Wiro. Namun dia terpaksa menunggu sampai Panji Kenanga tertidur.
Lewat tengah malam setelah pemuda itu kelihatan memejamkan mata. Lestari lalu
duduk mendekati Wiro dan menceritakan tentang hilangnya tusuk kundai perak.
"Tusuk kundai itu, bukan hiasan rambut biasa. Tapi sebuah senjata mustika.
Diberikan oleh gurumu pada guruku beberapa tahun yang silam . . . "
Wiro kaget mendengar keterangan ini . Setelah merenung sejenak diapun
menanggapi: "Kalau tak salah, gurumu dulu pernah bilang bahwa dia adalah saudara
angkat guruku. Eyang tidak akan memberikan tusuk kundai itu pada sembarang
orang. Pasti ada tujuan tertentu . . . "
Lestari terdiam sejenak. "Harus kukatakan sekarang," dia membatin mengambil
keputusan. "Mungkin kau masih belum tahu Wiro."
"Belum tahu apa?" bertanya Wiro.
"Tusuk kundai itu diberikan gurumu pada guruku sebagai tanda ikatan jodoh kita
. . . " Wiro Sableng sampai terbangkit dari duduknya mendengar ucapan Lestari yang tidak
disangka-sangka ini.
"Kau tidak bergurau Lestari?"
Sang dara menggeleng. "Karena itulah guru sangat marah terhadapku. Dan aku
sudah bertekad tak akan kembali ke tempat guru sebelum menemukan kembali tusuk
kundai itu . . . "
Perlahan-lahan Wiro duduk kembali di depan api unggun. Lama dia termenung.
"Ikatan jodoh itu memang tak pernah kuketahui. Mereka menghubungkan kita secara
diam-diam. . . "
Wiro memandangi wajah Lestari. Yang dipandang menunduk lalu berpaling ke jurusan
lain. Justru pandangannya membentur Panji Kenanga yang tengah tertidur. Pada
dasarnya Lestari lebih tertarik pada Panji Kenanga yang wajahnya memang lebih
tampan dari pada Wiro. Namun mengingat dia telah dijodohkan dengan Wiro, apalagi
mengingat Wiro baru saja menyelamatkannya dari perbuatan terkutuk Ronggo
Bogoseto maka terpaksa dengan berat hati dipupuskannya segenap rasa terhadap
Panji Kenanga. Kini dicobanya untuk menggantikan tempat Panji dengan Wiro.
Sebaliknya setelah mengetahui Panji Kenanga mencintai Lesdari dan dari gerakgerik si gadis, Wiro meyakini bahwa Lestari lebih menyukai Panji Kenanga dari
dirinya, maka betapapun dia menyayangi gadis ini dia harus melupakan perasaan itu. Dan
ini merupakan satu hal yang berat. Seolah-olah dia tengah menghancurkan dirinya
sendiri! "Kalau Lestari bisa lebih berbahagia dengan Panji, kenapa aku harus berkeras
kepala . . . ," pikir Wiro coba menghibur diri. "Itu mungkin lebih baik bagi mereka. Tapi
urusan jodoh yang diikatkan oleh para guru" Ah, inilah akibat kalau pihak-pihak
berkepentingan tidak diberi tahu lebih dulu!"
Setelah berpikir dalam-dalam dan setenang mungkin akhirnya Wiro berkata.
"Lestari, soal ikatan jodoh kita sebaiknya kita tunda dulu untuk dibicarakan. Yang penting
sekarang adalah mencari tusuk kundai itu. Kita bertiga harus mencari seorang
kenalan lamaku. Aku tak tahu namanya, dia berjuluk si Segala Tahu. Siapa tahu dia bisa
memberi keterangan siapa pencuri benda pusaka itu dan di mana bisa ditemukan . .
. " "Orang saktikah dia atau tukang ramal atau dukun . . . ?" tanya Lestari.
"Tak dapat kupastikan. Tapi dia punya semacam kepandaian aneh yang dapat
melihat kejadian di masa silam serta apa yang bakal terjadi di masa mendatang.
Nah, malam sudah larut. Kau tidurlah . . . "
Baik Wiro maupun Lestari tak satupun dari mereka yang mengetahui kalau
sementara mereka bicara tadi sesungguhnya Panji Kenanga hanya pura-pura tidur.
Segala apa yang dibicarakan kedua orang itu didengar jelas oleh Panji Kenanga.
Betapa remuk hati pemuda ini sewaktu mengetahui bahwa gadis yang dikasihinya itu
ternyata telah dijodohkan dengan Wiro Sableng. Dia mengeluh, meratap dalam hati. Ingin
sekali dia mati saat itu juga!
"SEBAIKNYA kalian segera saja berangkat tanpa menunggu kesembuhanku . . . "
kata Panji Kenanga keesokan harinya.
' Kau akan segera sembuh Panji. Kita berangkat sama-sama," jawab Wiro.
"Aku hanya kawatir kalau-kalau tusuk kundai itu semakin jauh dilarikan pencuri,"
ujar Panji Kenanga. Empat hari kemudian kesehatan Panji Kenanga telah pulih kembali.
Apalagi Wiro membantunya dengan beberapa jenis obat dan aliran tenaga dalam.
Sebenarnya sejak dia tahu hubungan jodoh antara Lestari dan Wiro, pemuda ini tak
ada lagi semangat untuk meneruskan perjalanan bersama-sama. Namun untuk pergi
begitu saja dirasakannya kurang enak. Pada hari ke lima mereka memulai
perjalanan. Panji menolak keras ketika disuruh menunggangi Angin Salju. Dia lebih suka
Lestarilah yang menaiki kuda itu. Karena Lestari juga menolak akhirnya terpaksa
Panji naik ke punggung kudanya.
Sesuai rencana mereka bergerak ke sekitar kaki gunung Lamongan. Menurut
perkiraan di situ kemungkinan bisa menemui Si Segala Tahu. Karena sering-sering
berhenti, hampir seminggu kemudian baru mereka sampai di tujuan.
OOoOO L I M A B E L A S
DI SEBELAH timur gunung Lamongan terdapat sebuah bukit kapur yang dari jauh
kelihatan memutih. Wiro, Lestari dan Panji Kenanga segera menuju ke bukit kapur
ini. Hawa sekitar bukit terasa panas. Tiba-tiba Wiro memberi isyarat agar berhenti.
Dia menunjuk ke puncak bukit kapur. Di atas sana seseorang berjalan terbungkukbungkuk. Di tangan kirinya ada sebuah tongkat. Dia mengenakan topi lebar dan melenggang
seenaknya menuju ujung bukit sebelah timur. Sesekali terdengar suara
berkerontangan.
"Itu dia! Pasti dia!" seru Wiro girang. Ketiga orang ini serta merta menuju
puncak bukit sebelah timur. Meskipun orang di atas bukit melangkah bungkuk seenaknya,
namun cukup memakan waktu lama baru mereka berhasil mengejarnya.
"Bapak segaia Tahu! Tunggu! Berhenti dulu!" teriak Wiro. Dia sengaja
mengerahkan tenaga dalam agar suaranya dapat didengar. Namun orang yang berjalan
terus saja melangkah sambil kerontangan kaleng buruk berisi batu kerikil di
tangan kirinya. Terpaksa Wiro dan Lestari mempercepat lari sementara Panji Kenanga
membedal Angin Salju.
Sebelumnya Wiro telah pernah bertemu dengan Si Segala Tahu dan tak heran
melihat perangai orang tua ini. Orang berjuluk Si Segala Tahu ini berpakaian
compang camping dan memakai topi lebar. Di kempitnya sebelah kanan ada sebuah buntalan.
Tampak dia memindahkan tongkat dari tangan kanan ke tangan kiri. Kaleng butut
kini berada di tangan kanannya dan terus menerus d ikerontang-kerontangkannya. Kedua
matanya buta. Tapi di manapun dia berada, tongkatnya menjadi sepasang mata
hingga dia tak pernah nyasar ataupun terperosok.
"Bapak Segala Tahu! Tunggu! "seru Wiro kembali.
"Panas-panas begini siapa yang memanggil aku" Beraninya mengganggu aku yang


Wiro Sableng 025 Cinta Orang-orang Gagah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tengah menikmati pemandangan indah di puncak bukit!" Hebat juga orang tua ini
menggerutu. Menikmati pemandangan katanya padahal kedua matanya buta!
Wiro sampai di hadapan si orang tua. Lestari dan Panji Kenanga berada di
sampingnya. "Bapak Segala Tahu, harap manfaatkan kalau aku dan kawan-kawan mengganggu
tamasyamu. Kami betul-betul membutuhkan pertolongan. Ada satu persoalan penting
yang harus kami tanyakan. Kuharap kau bisa menolong."
"Aih, panas-panas begini kau membicarakan soal penting. Soal apakah . . . " Hai
tunggu dulu! Kalau tak salah ingat, delapan belas bulan lalu kita pernah
bertemu. Kupingku hafal suaramu!" berkata Si Segala Tahu.
"Betul sekali! Kau belum lupa!" jawab Wiro.
"Waktu itu aku ramalkan kau bakal dapat banyak susah. Terutama karena sifatmu
yang mata keranjang, tidak boleh melihat jidat licin, tak boleh melihat
perempuan cantik
. . . Betul"!"
Wiro Sableng tertawa. Tapi mukanya merah.
Si Segala Tahu kerontangkan kalengnya.
"Nah, saat ini apakah kau mau mendengar ramalan baru tentang dirimu?"
"Tentu saja!" sahut Wiro Sableng.
"Ulurkan tangan kirimu!"
Wiro lantas ulurkan telapak tangan kirinya. Si Segala Tahu kerontangkan
kalengnya lalu meraba-raba telapak tangan pemuda itu.
"Ah, nyatanya nasibmu kali ini pun masih malang, orang muda!"
"Malang bagaimana?" Wiro kepingin tahu.
"Kau tengah menghadapi persoalan pribadi yang pelik! "Si Segala Tahu kembali
kerontangkan kalengnya.
'Tersoalan pribadi apa maksudmu pak?" tanya Wiro berdebar.
"Aih, kau jangan berpura-pura anak muda. Kukatakan saja blak-blakan! Persoalan
pribadi menyangkut ihwal asmara!" Berubahlah paras Pendekar 212. Dia tak berani memandang ke arah Lestari ataupun
Panji Kenanga. Si Segala Tahu melanjutkan.
"Kau mencintai seorang gadis. Tapi gadis rtu menyukai orang lain. Lalu kau
bertekad memperlihatkan pribadi dan jiwa besarmu yang luhur. Mengundurkan diri demi
kebahagiaan orang yang kau kasihi itu. Betul..."!"
Wiro garuk-garuk kepala. Apa yang dikatakan orang tua itu betul. Tapi mana
berani dia membenarkan.
"Entahlah pak tua. Aku tak begitu mengarti persoalan yang kau katakan itu!"
Si Segala Tahu tertawa.
"Kau pandai menyembunyikan rahasia hatimu orang muda. Aku menghormati
manusia-manusia berjiwa besar sepertimu! Rela berkorban untuk kebahagiaan orang
lain. Nah, sekerang katakan kau hendak tanyakan apa padaku!"
Wiro lalu menuturkan peristiwa lenyapnya tusuk kundai perak sebagaimana yang
didengarnya dari Lestari sementara Panji Kenanga sudah turun dari punggung Angin
Salju. "Karena gadis murid si Pemusnah Iblis itu ada di sini sebaiknya biar dia saja
yang menceritakan sekali lagi, biar jelas," kata Si Segala Tahu sambil kerontangkerontangkan kaleng bututnya. "Tapi sebelumnya apakah kau mau kuramalkan nasib perjalanan
hidupmu" Kau boleh percaya boleh tidak pada apa yang nanti akan kukatakan."
"Terima kasih bapak segala tahu," jawab Lestari menolak secara halus. Dia
kawatir ramalan orang tua itu akan membuka rahasia pribadinya di hadapan dua pemuda itu.
"Lebih penting kalau aku dapat menerangkan peristiwa lenyapnya tusuk kundai."
"Baik, baik . . . Sekarang terangkan kisah lenyapnya benda itu termasuk
perjalananmu sampai kemari. Jangan satu hal pun kau lupakan."
Lestari lalu memberi keterangan. Baru setengah bagian mengenai perjalanannya
dituturkan Si Segala Tahu memotong dengan kerontangkan kalengnya.
"Cukup. Sekarang coba keluarkan carikan kain hijau yang kau temukan dekat mayat
busuk pada petang hari pertama kau meninggalkan danau Jembangan."
Lestari keluarkan secaraik kain hijau dari balik pakaiannya dan menyerahkannya
pada Si Segala Tahu.
Sambil meremas-remas robekan kain hijau itu dengan tangan kirinya orang tua ini
mendongak ke langit dan goyangkan kalengnya tiada henti. Lama sekali, setelah
mukanya keringatan baru dia hentikan kerontangan kalengnya dan berpaling pada
Lestari. "Kalian bertiga dengarlah baik-baik. Tusuk kundai itu pada mulanya memang dicuri
oleh seorang yang punya kelihayan mencuri. Katakanlah raja paling tingkat
tinggi, Mayat yang ditemukan oleh gadis ini itulah mayat si raja maling. Jika aku tidak salah
hanya ada satu raja maling di rimba persilatan masa ini yakni manusia bernama Singgar
Manik. Mengapa dia jadi mayat" Bukan mati karena sakit. Dia dibunuh orang. Singgar
Manik bukan seorang berkepandaian rendah. Aku merasa pasti dia dihadang oleh lebih
dari satu orang yang juga menginginkan tusuk kundai itu. Terjadi perkelahian. Singgar
Manik jadi korban. Tusuk kundai dirampas oleh pencuri-pencuri baru . . . "
'Apakah kau tahu siapa orang-orang itu . . . ?" tanya Lestari penuh harapan.
"Siapa mereka itu" Hemm . . . Karena kejadian ini di wilayah timur, ditambah
bukti cabikan kain hijau, berat dugaanku tusuk kundai itu kini berada
di tangan dua bersaudara Nyoka Gandring dan Nyoka Putubayan!"
"Siapa mereka ini?" tanya Wiro.
'Dua saudara kembar. Keduanya brahmana sesat. Mereka berseragam pakaian hijau,
Bermuka seperti ular. Karena itu mereka diberi julukan Sepasang Kobra Dewata!
Selain berilmu tinggi juga diketahui gemar mengumpulkan senjata atau benda-benda
mustika!" "Terima kasih. K eter angan mu sangat, berguna. Tanpa petunjukmu tak mungkin
kami bisa menemukan kembali kedua senjata itu," ujar Wiro. Lestari pun
mengucapkan terima kasih berulang kali.
"Bapak Segala Tahu, berapa kami harus membayarmu"1 tiba-tiba Lestari bertanya.
Si orang tua tertawa mengekeh. "Pertanyaanmu lucu sekali anak gadis. Selucu
tindakanmu menghadapi kenyataan yang menyangkut dirimu akhir-akhir ini. Kau tak
perlu menanyakan soal bayaran. Jika Sepasang Kobra Dewata dapat kaliat tamatkan
riwayatnya maka itu adalah lebih dari bayaran. Manusia-manusia seperti mereka
harus dilenyapkan agar dunia yang indah permai ini menjadi tenang tenteram . . . "
"Budi baik dan pertolonganmu tak akan kulupakan," kata Lestari lalu menjura
dalam- dalam. Si Segala Tahu angkat bahu, kerontangkan kalengnya lalu tinggalkan tempat itu.
Kelihatannya dia cuma melangkah biasa. Namun sesaat kemudian dia sudah berada
jauh di ujung bukit.
Astaga! Kita tidak menanyakan di mana harus mencari Sepasang Kobra Dewata!"
seru Panji Kenanga.
"Tak usah kawatir. Aku tahu di mana sarang mereka. Kita harus segera berangkat
ke Banyuwangi! jawab Wiro Sableng.
E N A M B E L A S
DUA BELAS hari mengadakan perjalanan baru ketiga orang muda itu sampai ke
Banyuwangi, kota paling ujung di timur pulau Jawa. Saat itu Banyuwangi tengah
menyambut dengan upacara besar-besaran kedatangan Adipati Surabaya yang
berkunjung untuk meresmikan pengangkatan Adipati pembantu di Banyuwangi.
Adipati Surabaya datang dengan sebuah kapal layar. Karenanya suasana di
pelabuhan Banyuwangi ramai bukan main.
Di antara keramaian itu menyelinaplah Wiro, Lestari dan Panji Kenanga. Menurut
keterangan yang mereka peroleh dari beberapa orang di tengah jalan, Sepasang
Kobra Dewata berada di sebuah rumah makan di tengah pantai. Rupanya kedua orang ini
bermaksud menyambut kedatangan Adipati Surabaya. Mungkin bukan sekedar
menyambut, tapi sambil mencari mangsa kalau-kalau ada benda berharga yang bisa
disikat. Meskipun rumah makan itu ramai sekali namun tiga muda mudi yang masuk segera
dapat mengenali dua orang yang mereka cari. Dua lelaki berkepala botak, bermuka
angker dan mengenakan pakaian hijau duduk di sebuah meja yang agak terpisah di
tengah ruangan besar. Agaknya para pengunjung yang lain merasa segan atau
mungkin takut duduk dekat-dekat meja mereka.
* Nyoka Gandring dan Nyoka Putubayan serta merta melayangkan pandangannya
pada dara berbaju merah yang barusan masuk bersama dua pemuda.
Nyoka Putubayan menyentuh lutut kakaknya seraya berkata perlahan. "Heh, lihat,
gadis cantik berbaju merah itu seperti sengaja menuju ke arah kita. Kau kenal
dia?" 'Eh, betul. Siapa bidadari ini adanya" Aku bisa setengah mati tergila-gila
padanya!" sahut Nyonya Gandring.
Begitu sampai di hadapan kedua orang itu Wiro segera menegur. "Apakah kami
berhadapan dengan Sepasang Kobra Dewata?"
Baik Nyonya Gandring maupun Putubayan saat itu hanya memandang ke pada
Lestari. Tanpa mengalihkan pandangannya Putubayan bertanya: "Kalian siapa?"
Seenaknya Nyoka Gandring menimpali. "Apa kalian datang untuk mengantar gadis
jelita ini?"
Wiro tertawa lebar. "Betul, dara jelita ini memang untuk kalian. Tapi ada
syaratnya . . . " "Ah, katakan cepat syaratnya!" ujar Nyoka Gandring pula.
"Mudah saja!" yang menyahut Panji Kenanga. "Serahkan dulu tusuk kundai perak
yang kau curi dari tempat Si Pemusnah Iblis di danau Jembangan . . . !"
"Ah!" Sepasang Kobra Dewata sama-sama terkejut. Nyonya Gandring berkata: "Aku
tidak begitu suka membicarakan persoalan itu. Aku lebih suka kalian pergi dari
sini tapi tinggalkan si cantik ini!"
"Kawan-kawan ... . " kata Wiro sambil memandang pada Lestari dan Panji Kenanga
dan kedipkan matanya. "Agaknya terpaksa kita harus meninggalkan gadis ini pada
dua manusia botak ini. Tapi bagaimana kalau kita minta tebusan nyawa mereka"!"
"Setuju!" jawab Lestari dan Panji Kenanga. Sang dara segera keluarkan suling
perak yang menjadi senjatanya. Melihat benda ini Nyoka Putubayan menyeringai. "Hari
ini rejeki kita besar sekali. Dapat gadis cantik dan tambahan senjata baru . . . !"
"Manusia ular jelek . . . Kalian hanya ada satu pilihan!" membentak Wiro. "Tusuk
kundai itu atau nyawa kalian!"
"Bangsat kurang ajar!" teriak Nyoka Putubayan jadi marah. Tanpa berdiri dari
kursinya dia pukulkan tangan kanannya ke depan. Seguluhg angin menerpa dahsyat.
Tiga muda-mudi itu cepat menyingkir. Namun seorang tamu yang duduk jauh di
belakang mereka menjadi korban. Tubuhnya mencelat dengan kepala kelihatan
membiru! "Kalian memang minta racun!" teriak murid Sinto Gendeng lalu sekali bergerak dia
balikkan meja besar di hadapan kedua brahmana sesat itu. Serta merta kacaulah
rumah makan besar itu. Perkelahian tiga lawan dua terjadi. Lestari tak mau
mundur walau Wiro dan Panji memperingati. Wiro menghadapi Nyoka Gandring sedang Panji
dan Lestari melayani Nyoka Putubayan.
Orang ramai yang ada di pelabuhan begitu mengetahui perkelahian di rumah makan
itu serta merta datang berlarian untuk menyaksikan dan melupakan penyambutan
terhadap Adipati Surabaya. Mereka hanya berani menonton dari jauh karena takut
akan terkena pukulan-pukulan maut yang saling dilepaskan.
Semula Sepasang Kobra Dewata menganggap remeh tiga muda mudi itu. Dua
jurus paling banyak mereka pasti akan merobohkan Wiro serta Panji dan
melumpuhkan Lestari. Namun dua saudara kembar ini jadi terkejut ketika setelah tujuh jurus
tak satu serangan merekapun yang berhasil. Malah tekanan lawan mulai dirasakan dan ini
membuat keduanya jadi penasaran.
Nyoka Putubayan keluarkan jurus-jurus simpanannya lebih dulu. Didahului bentakan
keras dia menyerbu dengan jurus kobra sakti mengamuk. Sejak jurus ke delapan itu
hamburan serangannya membuat gerakan Lestari dan Panji Kenanga seperti
terbendung. Di lain pihak Nyoka Gandring yang berkelahi menghadapi Wiro Sableng yang mulai
terdesak hebat juga sejak tadi-tadi sudah keluarkan jurus-jurus silat
andalannya. Beberapa kali dia melepaskan pukulan saktinya yang menebar sinar beracun. Namun
Wiro yang sudah mendapat peringatan dari Panji Kenanga berlaku waspada hingga
tak satu serangan lawanpun mampu mencelakainya. Melirik ke kiri Nyoka Gandring
melihat adiknya mengucurkan darah dari pelipis kiri. Tusukan suling Lestari telah
berhasil menyerempet kepalanya. Hatinya jadi was-was. Sadar dia kini kalau tiga lawan
yang mereka hadapi bukan pemuda-pemuda biasa. Mereka pasti murid-murid tokoh silat
tingkat tinggi.
Berada dalam was-was begitu membuat Nyonya Gandring menjadi lengah. Akibatnya
satu jotosan Wiro tak sempat dikelitnya.
Bu k! Nyoka Gandring terpental dan terguling di atas meja di belakangnya. Sambil
menahan sakit dia kirimkan tendangan untuk mencegah lawan mendekat.
Tenggorokannya terasa panas tanda-tanda darah yang hendak mengalir keluar.
Baik Nyoka Gandring maupun Nyoka Putubayan adalah dua tokoh silat yang hanya
mengandalkan kehebatan ilmu silat tangan kosong termasuk tenaga dalam dan
pukulan- pukulan sakti. Namun setelah habis-habisan menghantam tak satu pun serangan
mereka mengenai sasaran malah kini mereka mulai terdesak hebat bahkan kena
digebuk, maka keduanya benar-benar jadi marah. Selama ini memang tak satu lawanpun dapat
bertahan lama menghadapi salah satu dari mereka, apalagi jika turun berdua
sekaligus. Hari ini mereka ternyata bertemu tembok baja!
"Monyet gondrong!" maki Nyoka Gandring.
"Jika kau inginkan benda ini ambillah! " terdengar seruan Nyoka Gandring.
Satu sinar perak menyilaukan disertai semburan angin panas berkelebat ke
arah Wiro Sableng. Tusuk kundai perak mencari maut!
Wiro sudah tahu kehebatan benda rnilik gurunya itu cepat menyingkir. Dia
tak mau menunggu lebih lama. Senjata itu hanya bisa dihadapi oleh senjata
gurunya yang lain yakni Kapak Naga Geni 212. Maka Wiro segera keluarkan
senjata ini. Ketika Kapak Maut Naga Geni 212 dikiblatkan ke depan terdengar suara
seperti seribu tawon mengamuk. Orang banyak yang menonton tambah
ketakutan dan tutup kuping mereka. Sinar putih menggelombang menyongsong
hantaman sinar perak. Rumah makan besar itu seperti diguncang gempa.
Dentuman dahsyat meruntuhkan sebagian atap. Jeritan maut yang keluar dari
mulut Nyoka Gandring lenyap begitu tubuhnya tertimbun runtuhan atap. Tangan
kanannya yang terbabat putus oleh Kapak Maut Naga Geni 212 mental dan jatuh
di atas sebuah meja. Tusuk kundai masih tergenggam dalam kutungan tangan
itu. Wiro segera ambil senjata mustika itu. Setelah memperhatikan sejenak
dengan perasaan getir benda lambang perjodohannya itu Wiro lalu masukkan ke
balik pinggang pakaiannya.


Wiro Sableng 025 Cinta Orang-orang Gagah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Nyoka Putubayan seperti gila ketika menyaksikan kematian kakaknya. Dia
tinggalkan Lestari dan Panji Kenanga, langsung menyerbu Wiro Sableng. Namun
mengalihkan serangan kepada Pendekar 212 justru hanya mempercepat kematiannya.
Setelah membuat gerakan mengelak dua kali berturut-turut, Wiro yang masih
memegang Kapak Naga Geni 212 segera hantamkan senjata itu ke kepala Nyoka
Putubayan. Tak ada rasa belas kasihan lagi di hati pemuda ini. Baginya Nyoka
Putubayan dan Nyoka Gandring disamping Singgar Manik adalah manusia-manusia penimbul
bencana hingga tali perjodohannya dengan Lestari berantakan begitu saja. Kalau
tusuk kundai itu tidak mereka curi, tak akan Lestari meninggalkan tempat kediaman
gurunya, yang akhirnya membawa pertemuan kembali sang dara dengan Panji Kenanga!
Nyoka Putubayan ajal dengan kepala hampir ter-belah!
Rumah makan itu menjadi gempar. Bahkan seluruh pelabuhan jadi geger. Diantara
keramaian itu Panji berbisik. 'Lestari, aku tak melihat Wiro lagi. Kemana
lenyapnya?"
Gadis itu terkejut dan memandang berkeliling. "Mungkin dia sudah keluar lebih
dulu. Kita cari ke tempat penambatan kuda . . . I"
Lestari dan Panji Kenanga segera meninggalkan rumah makan. Orang banyak
menyingkir memberi jalan. Di tempat Panji menambatkan Angin Salju juga tak
kelihatan orang yang mereka cari. Ada firasat tak enak dalam hati Panji dan dikatakannya
terus terang pada Lestari.
"Jangan-jangan Wiro sudah pergi. Sengaja meninggalkan kita. . . "
"Panji, ada kertas di leher kudamu . . . " Lestari berkata sambil menunjuk pada
secarik kertas yang digantungkan dengan sehelai benang ke leher Angin Salju.
Panji Kenanga segera mengambil kertas itu, membuka lipatannya. Ternyata sepucuk surat
yang kelihatannya sudah disiapkan Wiro selama sebelumnya.
Sahabatku Panji dan Lestari,
Bagaimanapun ikatan jodoh tidak ada arti dan tuahnya dibanding dengan kasih
sayang murni yang kalian tanamkan dalam hati masing-masing. Kudoakan kalian
berbahagia dalam menghadapi masa depan.
Cinta murni lebih agung dan suci dari ikatan jodoh yang d/atur: Karenanya tusuk
kundai perak terpaksa kubawa untuk kuserahkan kembali pada guruku.
Selamat tinggal. Tuhan akan memberkahi kalian.
Sahabat kalian,
Wiro Sableng Panji menoleh dan menyerahkan surat itu pada Lestari. Sang dara tak berani
menerima surat itu. Kedua matanya berkaca-kaca. Untuk beberapa lamanya tak satu pun
diantara mereka bisa bicara. Di pelabuhan kapal layar Adipati Surabaya telah merapat.
Tapi orang banyak masih saja berkerumun di dalam dan di luar rumah makan. :
Akhirnya Panji memegang lengan Lestari dan berkata. "Kukira Wiro satu-satunya
manusia berjiwa paling besar di dunia. ini. Mari kita tinggalkan tempat ini.
Kita harus ke danau Jembangan menemui gurumu. Kita harus menceritakan apa yang telah terjadi .
. . " . Lestari hanya mengangguk perlahan lalu naik kepunggung Angin Salju, Panji
duduk di belakangnya. Sesaat kemudian keduanya lenyap di tikungan jalan, meninggalkan
kepulan debu yang diterjang kaki kuda.
T A M A T Terbang Harum Pedang Hujan 3 Pendekar Mabuk 044 Pusaka Bernyawa Manusia Meteor 3

Cari Blog Ini