Wiro Sableng 016 Hancurnya Istana Darah Bagian 2
pemandangannya mulai berbinar-binar.
Lututnya goyah dan tubuhnya perlahan-lahan jatuh duduk di tanah!
Sebaliknya Si Botak Mata Buta masih juga berdiri tak bergerak di tempatnya.
Keningnya mengerenyit.
Ada kelainan dirasakannya pada denyutan nadinya serta aliran darahnya. Namun di
mulutnya tersungging satu senyuman. Setelah menutup jalan pendengarannya diapun
membuka mulut, "Tapak Biru, sejak kapan kau memiliki suling itu" Pasti itu senjata curian heh"
Bagusnya kau mengamen masuk kampung keluar kampung, pasti kau bakal mengantongi
banyak uang!"
Tapak Biru tidak perdulikan ejekan lawannya. Tiupan serulingnya semakin keras
dan tambah merdu.
"Ah, nyanyianmu dari itu ke itu juga Tapak Biru. Bosan telingaku mendengarnya!"
kata Si Botak Mata Buta. Lalu diputarnya tangannya di udara tujuh kali berturutturut. Pada akhir putaran tangan yang ketujuh maka terdengarlah suara menderu
seperti suara angin punting beliung. Mula-mula perlahan, makin lama-makin keras
hingga menelan suara tiupan seruling Tapak Biru.
Betapapun Tapak Biru memperkeras tiupan serulingnya tetap saja tak terdengar
dalam bisingnya suara angin yang diciptakan Si Botak Mata Buta. Malah kini
kelihatan si muka biru tubuhnya bergetar dan pakaian serta rambutnya melambailambai sedang Panji Kenanga yang tadi terduduk di tanah, begitu suara seruling
lenyap baru dia kembali sadar diri dan cepat bangkit. Namun begitu berdiri angin
punting beliung itu membuatnya terhuyung-huyung.
Pemuda ini mengerahkan tenaga dalamnya. Tetap saja tubuhnya bergetar dan
lututnya sampat goyah.
Cepat-cepat dia mendekati sebuah pohon dan bersandar di situ.
Putus asa dan jengkel Tapak Biru hentikan tiupan seruling peraknya.
"Bangsat botak ini terlalu lihay bagiku. Di lain hari saja kelak aku bakal
menyelesaikan urusan dengan dia," gerutu Tapak Biru dalam hati.
"Hai gendut pendek! Kenapa kau berhenti main suling?" tanya Si Botak Mata Buta.
"Sayang aku tak punya waktu banyak untuk melayanimu," sahut Tapak Biru berdalih.
"Hari ini masih kuberi kesempatan padamu untuk bernafas beberapa lama lagi.
Kelak walau bagaimana nyawa anjingmu akan kutagih untuk melunasi hutang jiwa
kematian adikku!"
Si botak tertawa gelak-gelak. Patut diketahui sampai saat itu sepuluh keping
uang emas masih menempel di atas batok kepalanya yang plontos.
"Kau memang pandai bersilat lidah. Tak apalah. Kau boleh pergi. Tapi berikan
dulu, suling curianmu itu padaku!"
"Jangan temahak jadi manusia!" damprat Tapak Biru. "Suling ini akan kuberikan
padamu jika kau sudah kubunuh. Sebagai temanmu dalam liang kubur!"
Si botak usap-usap dagunya dan berkata, "Kalau begitu kau boleh pilih Tapak
Biru. Tinggalkan suling itu atau tinggalkan nyawamu!"
"Botak, jangan melantur! Hari sudah mau malam. Tak banyak waktu untuk
mendengarkan celotehanmu!"
"Selesai berkata begitu Tapak Biru cepat-cepat memutar tubuh hendak berlalu. Di
belakangnya terdengar si botak berseru.
"Suling atau nyawamu, gendut!"
Di kejap itu juga si botak sudah berada di hadapan Tapak Biru, menghadang
larinya. Tapak Biru berkelebat ke jurusan lain. Namun lebih cepat dari itu si
botak sudah menghadang pula di depannya. Sekali lagi dia melesat ke samping,
sekali lagi pula si botak muncul menghadang di hadapannya.
Dihalangi begitu rupa Tapak Biru jadi marah sekali tapi juga bingung melihat
kehebatan lawan. Dia menerjang dengan menghujamkan suling perak ke arah kening
lawan. Yang diserang begitu merasakan datangnya angin serangan ke arah kepalanya, cepat
menunduk lalu menggerakkan kedua tangannya serentak. Yang kiri memukul dada
Tapak Biru sedang yang kanan menyantakkan seruling perak.
Tapak Biru terpekik kesakitan. Disamping itu dia juas terkejut karena suling
perak di tangan kanannya tiada lagi sedang di depannya Si Botak Mata Buta
tertawa gelak-gelak.
"Masih inginkan suling ini! Ambillah!" kata si botak seraya bolang-balingkan
suling perak yang kini berada dalam genggamannya.
Tapak Biru mendengus dan membantingkan kaki ke tanah lalu meninggalkan tempat
itu diantar suara tertawa mengekeh si botak. Selagi Panji Kenanga menyaksikan
hal itu dengan menahan tawa tiba-tiba si botak berkelebat dan tahu-tahu Panji
Kenanga merasakan satu pukulan keras menghantam belakang kepalanya. Tak ampun
lagi murid Brahmana Lokapala dari gunung Raung ini roboh dan pingsan!
*** 8 KETIKA Panji Kenanga sadarkan diri didapatinya hari telah malam. Keadaan
sekitarnya gelap gulita. Tiupan angin dingin sekali menusuk tulang-tulangnya. Di
kejauhan sesekali terdenger suara burung hantu mambuat auasana serasa
mengerikan. Perlahan-lahan pemuda ini berdiri. Dirabanya bagian belakang
kepalanya yang terasa mendenyut sakit. Dia terkejut sewaktu satu bayangan putih
besar bergerak di sampingnya. Ketika dia berpaling tarnyata adalah kuda
kesayangannya Angin Salju. Panji tersenyum dan menarik nafas lega.
Dijentikkannya tangannya memberi tanda. Binatang itu datang mendekat.
Panji Kenanga langsung naik ke punggung Angin Salju. Sambil mengusap leher kuda
ini dia berkata,
"Bawa aku keluar dari tempat celaka ini, sobat."
Seakan mengerti akan maksud tuannya Angin Salju melompat dan lari meninggalkan
tempat itu. Tak lama kemudian binatang ini sudah menempuh sebuah jalan kecil
yang menuju ke sebuah bukit. Dalam kencangnya lari Angin Salju, Panji Kananga
merasakan sesuatu menggandul di leher serta memukul-mukul dadanya. Sebenamya hal
itu terasa sejak tadi namun karena pemuda ini hanya memikirkan peristiwa yang
barusan dialami maka hal itu tak terperhatikan olehnya.
Panji Kenanga menunduk memperhatikan dadanya. Terkejutlah pemuda ini. Tangan
kanannya menyentak tali kekang kuda hingga Angin Salju dengan serta merta
hentikan larinya.
Pada sehelai benang yang terkalung dilehernya menggandul sebuah benda putih
panjang yang bukan lain adalah seruling perak yang telah dirampas Si Botak Mata
Buta dari tangan Tapak Biru.
"Bagaimana benda ini bisa tergantung pada leherku?" tanya Panji Kenanga pada
diri sendiri. Digerakkannya tangannya. Sekali renggut putuslah benang penggantung seruling.
Panji menimang-nimang benda itu beberapa lama dan berpikir-pikir. Tak dapat
disangsikan lagi tentu Si Botak Mate Buta yang punya kerja. Mula-mula orang aneh
itu memukul kepalanya hingga pingsan. Dalam keadaan pingaan lalu dia menggantungkan seruling perak di lehernya.
"Tapi mengapa hal itu dilakukannya?" muncul lagi pertanyaan baru dalam hati si
pemuda. Dan pertanyaan ini tak kunjung dapat dijawabnya.
Panji memandang ke langit. Bintang-bintang bertaburan berkelap-kelip. Bulan
sabit muncul di balik sekelompok awan. Si pemuda meneliti suling perak di tangan
kanannya itu. Pada waktu itulah dilihatnya segulung kertas pada ujung sebelah
bawah. Segera gulungan kertas ini dicabutnya. Ketika dibuka di dalamnya ternyata
ada beberapa baris tulisan yang berbunyi.:
Pembalasan harus dilakukan
Tapi akal pikiran harus diutamakan
Kutitipkan Suling Perak padamu
Bertemu pemiliknya harap serahkan.
Walaupun di bawah tulisan itu tidak tertera tanda atau nama pembuat surat namun
Panji Kenanga sudah bisa menduga bahwa surat itu dibuat oleh orang botak yang
lihay itu. Dua kali orang itu memberi nasihat agar mempergunakan akal pikiran bila dia
hendak melakukan pembalasan. Pertama dalam nyanyian pada pertemuan waktu hujan
lebat dan kedua dalam surat tersebut
"Kalau begitu besar kemungkinan dugaanku meleset," kata Panji dalam hati.
"Agaknya dia bukan kaki tangan atau bergundal Istana Darah." Kembali Panji
menimang-nimang suiing perak itu. Siapakah gerangan pemilik sebenarnya benda
itu" Mengapa justru Si Botak Mata Buta menitinpkannya padanya" Akhirnya Panji
menyelipkan suling tersebut di balik pinggang pakaiannya lalu melanjutkan
perjalanan tanpa memperdulikan lagi kemana Angin Salju membawanya.
Tak selang berapa lama di kejauhant kelihatan kelap-kelip nyala api.
"Sobatku, larilah ke arah nyala api itu. Di sana pasti ada sebuah desa atau
kampung. Kita bisa istirahat di sana malam ini," bisik Panji Kenranga.
Angin Salju mengeluarkan suara reperti melenguh tanda dia mengerti betul apa
yang dimaksudkan tuannya. Dan binatang ini lebih mempercepat larinya.
*** Kampung Warnasari sebenarnya tak tepat lagi disebut sebagai kampung karena
jumlah rumah yang ada di situ banyak sekali. Di samping itu terdapat pula tiga
buah jalan besar serta jalan-jalan kecil. Lebih tepat kiranya bilamana Warnasari
dikatakan sebagai sebuah kota kecil.
Malam itu Warnasari diliputi kesunyian. Namun kesunyian sekali ini jauh berbeda
denqan kesunyian seperti biasanya. Kesunyian kali ini adalah kesunyian yang
dipaksakan oleh keadaan. Dan keadaan itu dibuat oleh sekelompok orang-orang yang
saat itu berada di kedai paling besar di Warnasari.
Dalam kedai itu suasana biasanya ramai. Suara orang-orang yang asyik mengobrol
sesekali dipecahkan oleh gelak tawa berderai. Tiga orang laki-laki berpakaian
serba hitam dan bertampang bengis duduk di tengah kedai. Mereka inilah yang
membuat suasana tidak seperti biasanya lagi. Tak ada yang berani bicara keras
apalagi tertawa.
Di atas meja di hadapan mereka terhidang segala macam makanan yang enak-enak
serta minuman yang lezat-lezat. Demikian banyaknya makanan dan minuman itu
hingga dua buah meja terpaksa digabung menjadi satu.
Pemilik kedai seorang laki-laki tua bemama Ki Sepuh Bawean, berdiri di sudut
kedai dengan muka seputih kertas, lutut gemetar. Tiga orang pelayan berdiri
disampingnya. Seperti pemilik kedai para pelayan inipun berada dalam ketakutan
yang amat sangat. Sebelumnya kedai itu dipenuhi oleh selusin tamu. Namun begitu
tiga manusia ini masuk, para tamu yang ada di situ cepat-cepat membayar makanan
dan minuman masing-masing lalu keluar dari kedai. Bahkan ada di antara mereka
yang belum sempat mencicipi makanan ataupun minuman namun karena kawatir cepatcepat saja berlalu.
Tiga tamu berpakaian serba hitam melahap makanan di atas meja laksana singasinga buas yang telah berhari-hari tidak makan. Di pintu belakang kedai tiga
orang berseragam hitam lagi tampak berdiri sedang di pintu depan lima orang
dengan pakaian yang sama tampak berjaga-jaga sambil bertolak pinggang dan
menghisap rokok.
"Hai Bawean!" sentak salah seorang dari tiga laki-laki yang tengah makan dalam
kedai. "Bawa ke sini satu kendi tuak baru untukku!"
Dengan tergopoh-gopoh pemilik kedai meninggalkan tempatnya kemudian muncul
kembali membawa sebuah kendi berisi tuak. Minuman ini di letakkannya dengan
sangat hati-hati di atas meja lalu kembali ke tempatnya semula di sudut kedai
menunggu perintah selanjutnya.
"Lama juga anak-anak pergi memanggil kepala kampung itu," kata salah seorang yang duduk melahap
makanan. Namanya Ronggokarapan. Dia adalah kepala dari semua orang yang
berpakaian serba hitam itu.
Pimpinan gerombolan rampok yang paling ditakuti di daarah sekitar hulu Kali
Bedadung. Dua orang yang ikut makan bersamanya adalah orang-orang kepercayaannya
alias tangan kanannya yang masing-masing bernama Randuwongso dan Taliwongso.
Keduanya kakak beradik.
Dulunya Randuwongso dan Taliwongso merupakan pimpinan rampok yang malang
melintang sepanjang Kali Bedadung. Dalam masa yang sama di daratan Ronggokarapan
bersama beberapa anak buahnya melakukan kejahatan yang serupa. Pada suatu kali
terjadilah pertemuan yang tidak disangka-sangka antara duao kelompok penjahat
itu. Pertempuran tak dapat dihindarkan. Namun Ronggokarapan memiliki ilmu silat
yang lebih tinggi dibandingkan dengan dua bersaudara itu. Taliwongso dan
Randuwongso berhasil dikalahkannya dan sejak itu Ronggokarapan menjadi pimpinan
dari gabungan dua kelompok penjahat itu.
Meskipun dua bersaudara Wongso itu pada dasarnya menanam dendam kesumat terhadap
Ronggokarapan namun mereka menyadari adalah mencari mati jika mereka berani
melakukan sesuatu selagi ilmu kepandaian mereka jauh di bawah Ronggokarapan.
Di kejauhan terdengar derap kaki kuda.
"Itu pasti anak-anak," kata Randuwongso.
Ronggokarapan menyeringai.
"Kali ini kepala kampung itu harus dihajar habis-habisan. Biar dia tahu rasa!"
kata pamimpin rampok itu lalu memandang ke pintu.
Saat itu di luar kedai suara rentak kaki kuda terdengar semakin dekat. Lima anak
buah rampok yang tegak di ambang pintu memandang ke ujung jalan.
Tak selang berapa lama dari tikungan di ujung jalan muncullah seekor kuda putih
berikut penunggangnya. Mendekati kedai itu si penunggang memperlambat lari
kudanya. Di depan kedai dilihatnya hampir seluruh kuda tertambat sedang di
ambang pintu lima orang berpakaian serba hitam dan rata-rata bertampang buas
tegak berjejer membuat hatinya kurang enak dan curiga.
Si penunggang kuda yang bukan lain adalah Panji Kenanga berpikir sejenak. Lalu
menghentikan Angin Salju di depan kedai dan melompat turun. Perutnya sangat
lapar dan memang dia musti berhenti di situ karena malam buta begini di mana
pula akan mencari kedai lain yang masih buka. Dia tengah melangkah ke pintu
kedai ketika salah seorang dari lima manusia yang tegak menghadang di pintu
masuk menegurnya.
"Orang muda, putar langkahmu. Tak satu orangpun boleh masuk ke dalam!"
Panji Kenanga berpaling don memandang muka orang itu.
"Memangnya ads apa?" tanya si pemuda.
"Tak usah banyak bacot!" sentak kawan rampok yang satu lagi. "Masih untung kau
disuruh pergi baik-baik. Kalau cuma roh busukmu yang disuruh minggat sedang
tubuh anjingmu tinggal di sini, baru kau tahu rasa!"
"Oh, kalau begitu itu lain ceritanya sobat," Mata Panji Kenanga seraya
tersenyum. Dia sudah maklum kini dengan manusia-manusia macam apa sebenarnya dia
sedang berhadapan. Acuh tak acuh dia meneruskan langkahnya menuju pintu kedai.
"Kurang ajar! Dikiranya kita ini siapa!"
Rampok yang membentak melompat ke hadapan Panji Kenanga seraya bacokkan goloknya
ke kepala pemuda ini. Si pemuda cepat manyingkir. Golok yang menderu menembus
udara kosong terus menghantam dinding kedai!
*** . 9 "HAI! Ada apa ribut-ribut di luar sana"!" terdengar bentakan Ronggokarapan dari
dalam kedai. Kedua pembantunya segera berdiri dan melangkah ke pintu.
"Ada apa disini"!" tanya Randuwongso.
"Pemuda kurang ajar ini hendak memaksa masuk ke dalam kedai!'' jawab salah
seorang perampok.
"Bah, kukira ada apa. Hanya seekor monyet kesasar kalian ribut-ribut macam orang
keblinger!" kata Taliwongso lalu kembali masuk ke dalam. Sementara itu sambil
bertolak pinggang Randuwongso menatap si pemuda asing dan bertanya dengan kasar.
"Pemuda hina dina, kau siapa"!"
"Namaku Panji Kenanga. Aku tidak mengerti mengapa aku tidak boleh masuk ke dalam
kedai. Toh kedai ini bukan punya nenek moyangnya!"
"Hem..." Randuwdngso tersenyum buruk lalu berkata, "Kau tidak mengerti. Jadi mau
kubikin mengerti?"
Dia berpaling pada lima orang anak buahnya yang ada di halaman kedai. "Hajar
monyet alas ini sampai dia mengerti!"
Serempak dengan itu kelima orang perampok tersebut menerjang menyerang Panji
Kenanga. Namun gerakan mereka terhenti karena saat itu dari dalam kedai
terdengar seruan Ronggokarapan.
"Randu! Biarkan monyet alas kesasar itu masuk! Aku mau lihat tampangnya!"
Melihat orang-orang disitu tak jadi turunkan tangan jahat mengeroyoknya karena
ada yang berteriak dari dalam. Panji Kenanga segera dapat menduga. Siapapun
adanya orang yang barusan berseru dia pastilah pemimpin dari keseluruhan
manusia-manusia jahat yang ada di tempat itu.
Panji Kenanga tersenyum pada orang-orang yang ada di sekelilingnya dan berkata,
"Nah, apa kataku.
Kedai ini bukan milik nenek moyang kalian, kan" Buktinya pemimpin kalian sendiri
yang mengundangku masuk!" Habis berkata begitu dengan lenggang kangkung Panji
Kenanga melangkah masuk ke dalam kedai.
Satu hal yang tak terduga terjadi sewaktu pemuda ini baru saja masuk dua langkah
ke dalam kedai.
Sebuah benda melayang pesat ke arah kepalanya!
Saking cepatnya benda itu melesat Panji Kenanga tak sempat mengenali benda apa
adanya namun dengan cekatan dia menundukkan kepala dan berhasil mengelakkan
hantaman benda tersebut. Seseat kemudian di belakangnya terdengar suara benda
Wiro Sableng 016 Hancurnya Istana Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tadi pecah berantakan. Pemuda ini melirik. Ternyata sebuah gelas besar yang
telah dilemparkan ke kepalanya. Yang melempar adalah lelaki yang duduk
mengangkat kaki di belakang meja makan di tengah kedai, bermata merah buas,
bercambang bawuk dan berbibir tebal. Dialah Ronggokarapan.
"Bagus, sanggup juga kau mengelak ya?" kata si kepala rampok sambil menyeringai.
"Sekarang coba elakkan yang ini!" Kedua tangannya yang bertelapak tebal dan
berjari-jari besar digebrakkan ke atas meja.
Hebatnya, lima buah piring berisi makanan dan tiga buah gelas di atas meja itu
laksana anak panah lepas dari busurnya, melesat ke arah delapan bagian tubuh
Panji Kenanga! Kaget murid Brahmana Lokapala itu bukan main. Tidak disangkanya pemimpin rampok
tergebut memiliki kepandaian begitu hebat. Dengan gesit Panji Kenanga cabut
suling perak dari balik pinggangnya.
Lalu terdengar suara trang-trang-trang sampai delapan kali berturut-turut. Lima
buah piring dan tiga gelas berhamburan pecah ke lantai.
Kini Ronggokarapan yang ganti terkejut.
"Sobat mata merah! Ini kukembalikan seranganmu!" seru Panji Kenanga tiba-tiba.
Si pemuda hantamkan kaki kanannya ke lantai kedai. Puluhan pecahan piring dan
gelas yang ada di lantai, laksana daun kering dihembus angin, menderu menyambar
ke arah pemimpin rampok Kali Bedadung itu!
Saking kagetnya melihat kejadian yang sebelumnya tak pernah disaksikannya itu
Ronggokarapan sampai keluarkan seruan tertahan. Namun dia tahu kalau bahaya
mengancam. Kedua tangannya turun dengan cepat ke bawah dan di lain kejap dia
telah mengangkat meja makan besar itu ke atas untuk melindungi tubuhnya.
Puluhan beling pecahan gelas dan piring menancap pada papan meja. Belasan
lainnya bertebaran lewat di sampingnya. Dapat dibayangkan bagaimana kalau
puluhan pecahan kaca itu menancap di kepala dan tubuh Ronggokarapan!
"Orang muda, terima kasih atas serangan balasanmu!" kata si kepala rampok keren.
"Kau menang. Dan terimalah hadiah kemenanganmu ini!" terdengar suara
Ronggokarapan tertawa dari balik meja. Di lain ketika tiba-tiba meja yang besar
yang terbuat dari kayu jati dan beratnya tidak kurang dari tujuh puluh kati itu
dilemparkannya ke arah Panji Kenanga. Meja itu menderu dahsyat laksana dihantam
topan. Panji Kenanga tampak tak bergerak di tempatnya. Tiga jengkal lagi meja besar itu
akan melabraknya, pemuda ini angkat kedua tangannya menangkap dua dari empat
kaki meja. Lalu dengan gerakan seperti seorang main akrobat meja yang berat itu
diletakkannya baik-baik ke lantai tanpa menimbulkan suara sedikitpun!
Semua mata memandang hampir tak berkedip pada pemuda itu. Keadaan dalam kedai
jadi sunyi senyap.
Di ujung kiri pemilik kedai berdiri dengan tubuh menggigil. Apa yang
disaksikannya tadi sungguh membuatnya kagum luar biasa tetapi sekaligus juga
membuatnya ketakutan. Kalau dua orang berilmu tinggi baku hantam dalam kedainya,
pastilah segala perabotan yang ada di situ akan porak poranda. Bahkan bukan
mustahil kedainya akan amblas roboh!
Di luar, terdengar derap kaki kuda. Tak lama kemudian tiga orang berpakaian
hitam masuk ke dalam kedai menggiring seorang lelaki tua berambut putih, berpipi
cekung dan melangkah terbungkuk-bungkuk.
Ronggokarapan tidak acuhkan orang-orang yang masuk ini. Dia memandang tak
berkedip pada Panji Kenanga. Otaknya jalan.
"Ilmunya tinggi," membatin Ronggokarapan. "Kalau tenaganya dapat kupergunakan,
seumur hidup aku bakal enak ongkang-ongkang kaki ..."
Kepala rampok itu tersenyum. "Sobat muda!" katanya seraya lembaikan tangan kiri.
"Antara kita tak ada saling sengketa apa-apa. Lupakan cara berkenalanku yang
agak kasar tadi!" Dia lalu berpaling pada pemilik kedai dan memerintah, "Bawean,
siapkan makanan dan minuman yang paling lezat dan hidangkan pada pemuda ini.
Cepat!" Tanpa banyak bicara, dengan ketakutan Ki Sepuh Bawean segera lakukan apa yang
diperintahkan Rondokarpan.
"Sobatku, kau duduklah tenang-tenang di kursi sana, nanti kita bicara lagi,"
kata si kepala rampok.
Sementara itu Randuwongso datang melapor. "Pemimpin, anak-anak sudah membawa
kepala kampung kemari."
Ronggokarapan berpaling. Dia memandang pada lelaki tua berambut putih yang
berdiri dengan muka pucat pasi don gemetaran di hadapannya.
"Lawang Kuning!" kata Ronggokarapan menyebut nama Kepala kampung Warnasari itu.
"Ingat apa yang kuperintahkan tempo hari"!"
Kepala kampung itu mengangguk berulang-ulang. "Jawab! Dengan mulut!" hardik
Taliwongso dan tangannya bergerak menjambak rambut orang tua itu hingga dia
merintih kesakitan.
"Ak . . . aku ingat Ronggo," Lawang Kuning akhirnya membuka mulut sambil
mengerenyit kesakitan karena rambutnya masih dijambak keras oleh Taliwongso.
"Bagus. Kalau ingat mengapa tidak kau laksanakan!"
"Sulit Ronggo. Sulit! Orang kampung mana ada yang punya uang dan perhiasan. Kami
di sini miskin semua..."
"Sulit atau tidak aku tidak perduli! Miskin atau kaya aku tidak mau tahu!"
damprat Ronggokarapan.
Randuwongso ikut menghardik. "Dulu kowe bilang bersedia melaksanakan.
Mengumpulkan semua harta benda perhiasan orang-orang di sini. Sekarang banyak
dalihmu tua bangka!"
Penduduk di sini rata-rata punya sawah ladang. Ternak!" yang bicara kini adalah
Taliwongso. "Rumah mereka bagus-bagus. Mustahil tidak punya uang dan perhiasan."
Ronggokarapan geleng-geleng kepala dan tepuk-tepuk pipi kempot Lawang Kuning.
"Kalau tidak ingat persahabatan kita dulu, aku sudah pisahkan kepala dan
badanmu, Lawang..."
"Justru kalau masih menganggap aku sahabat nengapa kau lakukan tindakan jahat
terhadapku" Dan terhadap penduduk Warnasari yang tidak berdosa, tak punya apaapa!" Lawang Kuning memberanikan diri menyahuti.
Kepala rampok itu tertawa gelak-gelak. Tiba-tiba suara tawanya berhenti. Dan
plak! Satu tamparan mendarat di muka kepala kampung tua itu. Lawang Kuning jatuh
terjelapak di lantai. Pemandangannya berkunang-kunang. Pipinya sakit bukan main.
Dia merasakan darah mengalir di sela bibirnya yang pecah.
"Hajar dia sampai konyol!" perintah Ronggokarapan pada anak-anak buahnya. Lalu
dia duduk ke sebuah kursi.
Yang pertama sekali turun tangan adalah Randuwongso. Kaki kanannya menendang
punggung kepala kampung yang masih terduduk nanar di lantai.
Bukk! Tendangan mendarat di punggung Lawang Kuning. Orang tua ini menjerit
mengenaskan. Tubuhnya mencelat menghantam dinding kedai sebelah kamar lalu
tergelimpang ke lantai. Dari mulutnya terdengar suara erangan. Lalu diam. Entah
pingsan entah mati.
Sesosok tubuh melompat ke hadapan Randuwongso.
"Bangsat! Kau mau apa"!" sentak Randuwongso ketika melihat ternyata Panji
Kenanga yang rnenghadangnya.
"Mau mematahkan kakimu yang tadi dipakai menendang!" jawab Panji Kenanqa geram.
"Sobat, jangan jadi orang tolol," berseru Ronggokarapan. "Aku sudah punya
rencana bagus untukmu.
Biarkan saja tua bangka itu konyol. Tidak sekarang lusapun dia akan mampus
juga!" Panji Kenanga menyeringai. "Kalaupun orang tua ini mati, maka harus ada yang
mengantarkannya ke akheratl" Lalu secepat kilat Panji Kenanga kirim kan satu
jotosan ke dada Randuwongso. Yang diserang terkejut tak menyangka. Masih untung
dia tidak ayal dan sempat mengelak. Perkelahian tak dapat dihindarkan lagi di
dalam kedal itu.
Semula Ronggokarapan hendak membentak menyuruh hentikan perkelahian itu. Namun
selintas pikiran muncul dalam benaknya. Dengan adanya perkelahian itu dia akan
dapat melihat sampai di mana kehebatan pemuda asing yang menurut rencananya
hendak dijadikan tangan kanannya itu.
Baru berkelahi lima jurus Randuwongso sudah terdesak. Ini membuat perampok
tersebut penasaran sekali. Selama ini belum ada orang lain yang dengan tangan
kosong sanggup mendesaknya begitu rupa kecuali pemimpinnya.
Didahului satu bentakan garang Randuwongso berkelebat gesit mengirimkan
serangan-serangan berantai selama tiga jurus berturut-turut. Tampaknya
Randuwongso menjadi nekat. Panji Kenanga berlaku hati-hati.
Dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkat tinggi
pemuda ini berkelebat kian kemari sehingga tak satupun serangan lawan mengenai
tubuhnya. Di lain pihak setiap ada kesempatan Panji Kenanga tidak lupa untuk
melancarkan serangan ba!asan yang cukup membuat Randu menjadi repot.
Setelah berlalu beberapa jurus Panji mulai melihat kelemahan-kelemahan ilmu
silat lawan. Pada satu kesempatan yang paling baik murid Brahmana Lokapala itu
keluarkan jurus yang disebut "sekuntum bunga menebar harum." Kedua tangannya
membuat gerakan berputar, terpentang ke samping laksana kitiran.
Randuwongso merundukkan kepala melihat serangan aneh itu lalu susupkan satu
jotosan ke bagian bawah tubuh lawan yang lowong.
Namun rampok ini kalah cepat. Tepi telapak tangan kiri Panji Kenanga mendarat
lebih dulu di kuduknya, membuat Randuwongso tersaruk ke muka hampir jatuh
terjerembab di lantai kedai!
Randuwongso menggeram sakit. Tengkuknya kelihatan gembung merah. Ketika dia
berdiri kembali tampak miring. Sepasang bola matanya seperti bernyala-nyala.
Kedua tinjunya terkepal.
"Bangsat! Kalau aku tidak dapat memuntir betang lehermu, biar aku berhenti jadi
orang!" Randuwongso sudah siap untuk menerjang Panji Kenanga. Namun saat itu dari arah
pintu terdengar suara tawa bergelak. Suara tawa ini membuat semua orang seperti
disirap, tertegun di tempat masing-masing.
"Yang sudah mampus kalau bisa ingin hidup kembali! Kenapa yang masih hidup
kepingin berhenti jadi orang"! Kalau tidak sinting pasti sedeng!"
*** 10 KETIKA semua orang memandang ke pintu, mereka melihat seorang pemuda berambut
gondrong memasuki kedai dengan langkah seenaknya dan sambil cengar-cengir.
Hebatnya lagi, di bahu kirinya dia memanggul sesosok tubuh perempuan muda
berpakaian merah yang robek-robek di beberapa tempat hingga menyembulkan
kulitnya yang putih mulus.
Si pemuda melangkah ke sebuah meja di sudut ruangan. Diturunkannya tubuh
perempuan yang dipanggulnya lalu didudukkannya di atas kursi. Semua orang jadi
terkesiap ketika menyaksikan wajah perempuan muda itu. Cantik sekali! Tapi
sepasang matanya terpejam, bibirnya berwarna biru. Sedang tidur, pingsan atau
tertotokkah dia, demikian setiap orang menduga-duga.
Pemuda itu memandang berkeliling. Meskipun ketika akan masuk tadi dia mengumbar
tawa dan ucapan lantang namun setelah sampai di dalam dia seperti acuh tak acuh
saja dengan segala apa yang terjadi di situ.
Dia memandang berkeliling sekali lagi lalu menghentikan pandangannya pada orang
tua bermuka pucat di seberang sana.
"Bapak, kau pemilik kedai ini?" tanya si pemuda.
Ki Sepuh Bawean mengangguk. Agak takut-takut.
"Aku perlu kain untuk menutup tubuh gadis ini. Di samping itu perutku juga
keroncongan ..."
Ki Sepuh Bawean memandang pemuda itu seketika. Dalam hatinya dia berpikir apakah
manusia yang satu ini orang benar atau bangsa sedang brengsek pula yang bakal
menambah huru-hara di kedainya. Kemudian dia memandang pula pada gadis berbaju
merah yang duduk terpejam. Pakaiannya kotor dan robek-robek. Salah satu
robekannya demikian besar hingga pangkal payu daranya yang sebelah kiri
kelihatan tarsembul dengan jelas.
"Pak tua, lekaslah. Aku tak punya waktu banyak makan angin di kedaimu ini.
Pertolonganmu pasti tak akan kulupakan."
Ki Sepuh Bawean hendak beranjak dari tempatnya. Namun Ronggokarsrpan memberi
isyarat dengan larnbaian tangan agar pemilik kedai itu tetap di tempat semula.
Sambil rnenimang-nimang sebuah paha ayam goreng Ronggokarapan bertanya, "Orang
asing, kau siapa?"
"Maaf aku datang ke mari bukan untuk berbincang-bincang," jawab si pamuda lalu
duduk di samping gadis baju merah yang pingsan. Tentu taja semua orang jadi
terkesiap mendengar jawaban pemuda tak dikenal itu. Ronggokarapan sendiri
kelihatan marah tampangnya dan duduk ternganga.
"Tambah lagi satu orang edan di kedai ini!" Taliwongso membuka mulut.
Si pemuda tak ambil perduli ucapan itu. Dia berpaling pada pemilik kedai, dan
berkata lagi, "Pak, tolong berikan apa yang kuminta."
Ki Sepuh Bawean jadi serba salah dan tak tahu apa yang akan dilakukan. Jika dia
memenuhi permintaan pemuda itu maka dia bakal mendapat hajaran dari
Ronggokarapan dan anak anak huahnya. Sebaliknya jika dia tidak menolong, hati
kecilnya merasa kasihan terhadap tamu muda tersebut yang kelihatannya memang
letih, apalagi menyaksikan keadaan garlis yang duduk di kursi. Akhirnya pemilik
kedai itu cuma bisa angkat bahu.
Pemuda rambut gondrong itu berdiri.
"Aku tak salahkan engkau kalau takut pada manusia itu," katanya sambil menunding
dengan ibu jari tangan kiri ke arah Ronggokarapan. "Jangankan engkau, gorilapun
pasti akan kabur melihatnya!"
Selama hidupnya baru kali itu Ronggokarapan dihina orang demikian rupa, apalagi
di depan orang banyak dan di muka hidung anak buahnya rendiri!
Tangan kanannya menggebrak meja hingga kayu meja pecah-pecah. Dia berdiri dengan
tangan kiri diletakkan di pinggang.
"Monyet gondrong! Berani menghina Ronggokarapan berarti berani menghadapi
kematian!"
Si pemuda menyeringai. "Sudahlah, tak sedap bicara denganmu. Dari jauh saja bau
mulutmu membuat hidungku seperti mau tanggal!"
"Bangsat rendah!" teriak kepala rampok itu. "Mampuslah!" Ronggokaraprrn
menggembor. Tangan kanannya bergetar tanda ada tenaga dalam yang dialirkan ke
situ. Tiba-tiba dia menghantam ke depan kirimkan satu pukulan tangan kosong.
Selarik angin keras menyambar ke arah dada si pemuda. Meja dan kursi
berpelantingan saking hebatnya. Bahkan beberarapa orang anak buah Rongglokarapan
cepat menyingkir takut terserempet angin pukulan itu.
Yang diserang rupanya juga bukan manusia sembarangan walau masih muda dan
tampangnya kelihatan tolol. Dengan satu gerakan kilat dia melompat seraya
menyambar tubuh gadis yang didudukkannya di kursi.
Baru saja dia berkelebat dari tempat itu, kursi kosong itu hancur berantakan
kena hantaman pukulan tangan kosong Ronggokarapan. Dinding papan di belakangnya
ikut pecah-pecah. Dapat dibayangkan bagaimana kalau pukulan ganas tadi mengenai
tubuh si gadis yang berada dalam keadaan tidak sadar diri itu!
Baik Ronggokarapan maupun si pemuda tampaknya sama-sama terkejut. Si pemuda
tidak menyangka kalau kepala rampok itu memiliki kepandaian yang begitu tinggi
dan benar-benar inginkan nyawanya.
Sebaliknya gembong rampok Kali Bedadung itupun tidak mengira kalau si pemuda
bakal sanggup mengelakkan serangannya itu bahkan sekaligus mampu menyelamatkan
gadis di atas kursi!
Diam-diam Ronggokarapan menyeluh. Mengapa hari ini dia sampai menemui dua orang
pemuda yang berkepandaian demikian tinggi. Urusan dengan pemuda pertama tadi
belum selesai. Kini muncul satu lagi.
Apakah kedua orang ini punya hubungan satu sama lain"
Tanpa mengacuhkan kepala rampok itu, sambil memanggul tubuh gadis yang tak
sadarkan diri, pemuda berambut gondrong bergerak cepat menuju bagian belakang
kedai. "Hai! Kau mau kabur ke mana"!" bentak Ronggokarapan mengejar.
Di bagian belakang kedai si pemuda menemukan sehelai kain panjang tergantung.
Benda ini segera disambarnya dan dipergunakan untuk menutupi tubuh gadis yang
dipanggulnya. Kemudian dengan cepat dia mengumpulkan nasi serta lauk yang dapat
ditemuinya di tempat itu, membungkusnya dengan daun dan keluar.
Namun di hadapannya Ronggokarapan dan tiga anak buahnya telah menghadang. Dalam
keadaan seperti itu si pemuda masih saja bersikap luar biasa.
Tanpa rnengacuhkan orang-orang yang ada di depannya dia berkata pada Ki Sepuh
Bawean. "Terserah kau mau bilang aku pencuri. Perutku betul-betul lapar dan aku
tak punya uang untuk membeli nasi serta lauk yang barusan kubungkus ini. Kain
panjang inipun kupinjam dulu. Atas kebaikanmu aku ucapkan terima kasih. Budi
baikmu pasti akan kuingat."
"Bangsat! Lagak bicaramu seperti pemain sandiwara keliling!" Yang membentak
adalah Rongaokarapan.
Lalu tanpa banyak menunggu lagi dia tusukkan dua jari tangannya ke mata si
pemuda. "Sebelum kubunuh biar kubikin cacat dulu kau!"
"Terima kasih untuk seranganmu. Ini kuberi dulu hadiah menarik!" menyahuti si
pemuda. Tahu-tahu kaki kanannya sudah menderu ke perut lawan.
Bagaimanapun juga serangan kaki jauh lebih panjang dari serangan tangan.
Akibatnya tendangan kaki itu akan lebih dulu mencapai sasaran dari pada serangan
Wiro Sableng 016 Hancurnya Istana Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tangan. Hal ini diketahui benar oleh Ronggokarapan.
Dengan gemas dia mendengus dan cepat mengelak ke samping kiri. Dari sini dia
langsung susul serangannya yang tadi batal dengan satu jotosan ke arah pelipis
kanan pemuda berambut gondrong.
Kali ini si pemuda tidak punya kesempatan untuk mengelak karena kalau itu
dilakukannya dia kawatir pukulan lawan akan mengenai salah satu bagian tubuh
gadis yang berada di panggulannya. Maka terjadilah satu tontonan yang menarik.
Pemuda rambut gondrong lemparkan bungkusan nasi yang dipegangnya ke udara lalu
dengan lengan kanan dia menangkis pukulan Ronggokarapan. Si kepala rampok lipat
gandakan tenaga dalamnya. Dia yakin sekali tangannya beradu dengan lengan si
pemuda maka pemuda itu akan terjengkang dengan tangan patah!
Sedetik kemudian dua lengan mereka saling beradu dengan mengeluarkan suara
keras. Disusul oleh keluhan kesakitan keluar dari mulut Ranggokarapan. Ketika
dia meneliti ternyata lengan kanannya berwarna merah dan bengkak sedang tubuhnya
sendiri akibat bentrokan itu terpental sampai empat langkah!
Selagi lawan berdiri terkesima dan kesakitan pemuda rambut gondrong telah
menangkap kembali bungkusan nasi yang tadi dilemparkannya ke udara!
"Keroyok dia! Cincang sampai lumat!" teriak Ronggokarapan tiba-tiba.
Mendengar perintah itu delapan anak buah Ronggo termasuk dua bersaudara Wongso
menyerbu. Ada yang mengandalkan tangan kosong tapi kebanyakan merasa lebih aman
dengan senjata di tangan.
"Sialan betul, lama-lama di sini aku bisa berabe! " si pemuda yang menjadi
buian-bulanan serangan mengomel dalam hati. Dia berteriak keras dan kelihatan
tubuhnya mencelat ke atas hampir menyundul langit-langit kedai. Di lain kejap
selagi lawan terkejut bahkan ada yang bingung si pemuda lancarkan tendangantendangan pada kepala atau dada lawan-lawannya yang berada di bawah.
Randuwongso muntah darah akibat kena tendangan tepat di dada kirinya, langsung
roboh dan tergelimpang tak sadarkan diri di lantai. Seorang lagi anak buah
Ronggokarapan mencelat sambil menjerit.
Hidungnya melesak menghambur darah, bibirnya pecah dan giginya amblas akibat
terkena hantaman tumit si pemuda!
"Bunuh! Pateni!" teriak Taliwongao yang jadi beringas karane melihat saudaranya
roboh tak berkutik dan disangkanya sudah mati. Golok besarnya menderu membabat
pinggul lawen sementara dua orang anggota rampok lain kirimkan tusukan dari kiri
kanan. Si pemuda berkelebat ke arah pintu. Dua tusukan dapat dielakkannya,
sambaran golok Talliwongso menggores bajunya. Ini membuat dia jadi penasaran dan
sebelum lawan memburu dia pindahkan bungkusan nasi ke tangan kiri.
"Setan alas! Kowe mau lari ke mana"!" teriak Taliwongso dan mengejar ke pintu
karana menyarngka lawan hendak lari.
"Rampok bau! Siapa bilang aku mau kabur. Silakan hadiahku ini!" teriak si pemuda
lalu putar tangan kanannya dan menderulah rangkuman angin
*** 11 KEDAI Kayu yang tak seberapa besar itu laksana dilanda angin punting beliung.
Benda-benda berpelantingan. Enam anggota rampok terhuyung-huyung lalu jatuh satu
demi satu. Taliwongso masih sanggup bertahan dari hempasan angin dan dengan
golok besar di tangan kembali menyerang lawan. Si pemuda pukulkan tangan
kanannya ke arah Taliwongso. Kali ini Taliwongo terjajar ke belakang lalu jatuh
terjengkang di antara anggota-anggota rampok lainnya.
Ronggokarapan kelihatan berkerut keningnya. Dia kerahkan seluruh tenaga yang ada
agar jangan sampai ikut terseret oleh gelombang angin yang menggebu-gebu itu.
Tubuhnya bergetar. Pakaiannya berkibar-kibar.
Kumis dan cambang bawuknya berjingkrak!
Di sudut lain Panji Kenanga tegak dengan rangkapkan kedua tangan di depan dada.
Diam-diam murid Brahmana Lokapala ini juga kerahkan tenaga dalamnya agar jangan
sampai kena tersapu sambaran angin yang keluar dari tangan si gondrong. "Siapa
adanya pemuda gagah ini!" tanya Panji Kenanga dalam hati. Jika saja dia tidak
memiliki ilmu yang tinggi pasti sudah sejak tadi terseret oleh gelombang angin.
Ronggokarapan yang juga memiliki ilmu silat dan tenaga dalam tinggi kerahkan
kekuatannya namun tak urung lututnya masih terasa goyah. Dia mengambil keputusan
untuk menyerbu saja dari pada menderita malu karena jatuh dilanda angin serangan
lawan. Maka didahului satu bentakan keras kepala rampok Kali Bedadung ini
menerjang ke depan. Tangan kanannya dihantamkan ke arah lawan.
Selarik sinar hitam berkiblat ganas ke jurusan pemuda yang memanggul gadis.
Setengah depa lagi sinar ha am ini akan menghantam mati si pemuda, tiba-tiba dia
balas menghantam dengan tangan kanan, menyongsong datangnya sinar pukulan lawan.
Serangkum angin yang padat dan berbuntal-buntal bulat menderu. Dan punahlah
sinar hitam Ronggokarapan dengan mengeluarkan suara mendesis.
Melihat pukulan "wesi hitam" yang amat diandalkannya dibikin musnah oleh lawan
begitu mudah, Ronggokarapan menjadi kecut dan lumer nyalinya. Apelagi saat itu
ketika memandang berkeliling dilihatnya anak-anak buahnya masih pada
berjelapakan di lantai tiada daya sedang di ujung sana musuhnya yang lain yakni
Panji Kenanga tegak memandang mengejek ke arahnya.
Tengah kepala rampok ini berpikir-pikir untuk ambil langkah, seribu mendadak
dirasakannya dadanya amat sakit lalu satu bayangan berkelebat. Ronggo merunduk.
Tapi terlambat. Satu tamparan mendarat di keningnya, laki laki ini melintir lalu
jatuh duduk di lantai dengan pandangan berkunang-kunang.
"Selamat tinggal Ronggokarapan. Lain kali kita bertemu lagi!" Terdengar seruan
pemuda rambut gondrong dan di lain kejap dia sudah lenyap lewat pintu kedai
bersama gadis di atas panggulnya.
"Hebat sekali pemuda itu," kata Panji Kenanga dalam hati. "Bahkan agaknya dia
belum mengeluarkan seluruh kepandaiannya karena sikapnya berkelahi tadi seperti
main-main saja." Lalu murid Lokapala ini berpaling pada Ranggokarapan yang masih
menjelapak di lantal kedai. Dan kagetlah Panji Kenanga ketika menyaksikan
bagaimana di kulit kening kepala rampok itu kelihatan tertera tiga buah angka
yaitu : 212. "Dua satu dua ...," desis Panji Kenanga sambil leletkan lidah. "Kalau begitu ...
Jadi rupanya dialah yang dijuluki Pendekar 212. Pantas ... Guru pernah
menerangkan tentang dia. Sekarang melihat bagaimana hebatnya dia benar-benar aku
merasa masih jauh ketinggalan!"
Sementara itu Ronggokarapan dengan terhuyung-huyung mencoba berdiri diikuti oleh
anakanak buahnya kecuali Randuwongso yang masih menggeletak pingsan dan seorang
lagi yang tadi sempat ditendang remuk mukanya. Kepala rampok itu meneguk sisasisa tuak yang masih ada dalam salah satu kendi sekedar untuk melegakan perasaan
kecut serta sakit pada kepalanya. Kendi tuak kemudian dibantingnya hingga pecah
di lantai lalu kembali sifat ganasnya keluar.
"Lawang Kuning!" bentak Ronggokarapan. "Kemari cepat!"
Kepala kampung Warnasari yang masih ketakutan di sudut kedai tersentak kaget dan
terbungkuk bungkuk melangkah menghampiri kepala rampok itu Begitu kepala kampung
itu sampai di hadapannya tangan Rongpokarapan segera hendak melayang
menamparnya, namun gerakannya dihentikan oleh seruan tiba-tiba dari salah
seorang anak buahnya!
"Pemimpin! Keningmu!"
Kepala rampok itu berpaling tak mengerti.
"Keningmu!" kini Taliwongso yang bicara sambil tepuk keningnya sendiri.
Ronggokarapan usap keningnya lalu memperhatikan tangannya. Hanya keringat yang
dilihatnya menempel di situ. Tak ada kotoran apa-apa seperti yang disangkanya.
Taliwongso melangkah mendekati dan dengan suara bergetar dia berkata,
"Ada tiga angka aneh tertera di keningmu."
"Hah, apa ..."!" dan Ronggokarapan kembali memegang keningnya. Mengusapnya
berulang kali. Namun deretan angka 212 itu tetap saja tak mau hapus.
"Kau jangan main-main Wongso! Angka keparat apa yang ada di keningku hah"!"
Ronggokarapan marah karena mengira dipermainkan.
"Demi setan aku tidak main-main. Di keningmu benat-benar ada angka dua-satu dan
dua. Kalau tak percaya tanyakan pada anak-anak!"
Kepala rampok itu berpaling pada anak-anak buahnya. Dan kesemua mereka sama
melongo ketika menyaksikan bahwa di kening pimpinan mereka saat itu memang
terlihat guratan angka 212.
Ronggokarapan mengambil piring dan mengisinya dengan air putih. Lalu dia berkaca
pada air di atas piring itu. Dinginlah tengkuk pernimpin rampok ini ketika
melihat bayangan wajahnya sendiri dengan tiga buah angka hitam pada keningnya.
Dia seperti mau kencing. Selama malang melintang menjadi orang jahat ada
beberapa tokoh golongan putih yang paling ditakutinya dan diusahakannya agar
jangan sampai bertemu.
Salah satu diantara mereka adalah yang berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni
212. Dan hari ini tiada di sangka dia telah berhadapan bahkan berkelahi dengan
pendekar tersebut. Serta meninggalkan angka pengenalnya yang angker!
Kepala rampok Kali Bedadung itu kerahkan tenaga dalamnya dan coba menghapus
tulisan di keningnya.
Namun sia-sia saja.
"Sekalipun kulit kepalamu dikelupas, angka-angka itu tak bakal hilang!" Yang
bicara ini adalah Panji Kenanga.
Ronggokarapan berpaling. Kini amarahnya ditumpahkannya pada pemuda yang satu
ini. "Pemuda keparat! Sudah saatnya kau musti mampus!"
Begitu membentak begitu dia menyerang dengan lepaskan pukulan "wesi hitam" yang
mengeluarkan sinar hitam dan deru ganas. Meskipun pukulan saktinya itu tadi
tidak mampu menghadapi Pendekar 212 Wiro Sableng namun Ranggokarapan beranggapan
Panji Kenanga tidak sedigdaya Wiro Sableng dan pasti konyol dilanda pukulannya
itu. Namun tidak semudah itu merobohkan Panji Kenanga. Meski dia masih muda dan belum
banyak pengalaman tetapi Brahmana Lokapala dari gunung Raung telah
menggemblengnya cukup hebat.
Ketika melihat kepala rampok itu lepaskan pukulan maut Panji Kenanga cepat
menghindarkan diri ke samping dan dari tempat kedudukannya yang baru pemuda ini
membalas dengan satu tendangan kilat ke arah tulang-tulang iga lawan.
"Kurang ajar!" maki Ronggokarapan penasaran bukan main karena bukan saja
serangannya mengenai tempat kosong tapi juga tidak menyangka kalau lawan bakal
kirimkan seranqan balasan secepat itu. Dengan sedikit repot dia meliukkan badan
ke kiri dan di lain kejap selarik sinar putih memapas ke arah kaki Panji
Kenanga. Murid Lokapala itu kaget dan cepat-cepat menarik pulang tendangannya. Ternyata
Ronggokarapan telah cabut golok besarnya dan membabatkan senjata itu ke kaki
kanan si pemuda.
Ilmu golok kepala rampok ini memang hebat hingga Panji Kenanga harus bertindak
hati-hati. Meski dia tahu dengan kegesitan dalam ilmu meringankan tubuh senjata
lawan tak bakal mencelakainya, namun Panji tak mau main-main lebih lama dengan
penjahat ini. Segera dia keluarkan seruling perak dari balik pakaiannya dan
pergunakan benda ini untuk menghadapi senjata lawan. Gerakan-gerakannya yang
gesit, sambaran dan tusukan-tusukan suling perak yang gencar membuat serangan
Ronggokarapan jadi terbendung. Setiap saat dia harus berlaku awas waspada.
Beberapa kali pakaiannya hampir terkait ujung suling perak.
Beberapa jurus berlalu cepat. Permainan golok Ronggokarapan mulai mengendor
bahkan kacau. Setiap jurus dirinya diburu bahaya. Akhirnya ketika dia merasa tak
mampu melayani pemuda itu lebih lama maka dia berteriak beri perintah agar samua
anak buahnya ikut bantu mengeroyok. Kecuali anggota rampok yang mukanya melesak
kena tendang Wiro Sableng, tujuh orang lainnya ditambah Randuwongso yang telah
siuman dari pingsannya kini mengurung Panji Kenanga lalu dengan senjata di
tangan menyerang pemuda itu.
Panji maklum dikeroyok demikian rupa kalau hanya mengandalkan seruling pendek
akan terlalu besar bahayanya baginya. Dia tak mau berlaku takabur. Laksana
seekor kucing hutan pemuda ini berkelebat ke kiri.
Satu jeritan terdengar. Tubuhnya mencelat, goloknya mental ke udara dan secepat
kilat disambar oleh Panji Kenanga. Dengan golok di tangan kanan dan seruling
perak dipindah ke tangan kiri, murid Brahmana Lokapala ini mainkan jurus-jurus
ilmu pedang tingkat tinggi yang sudah dikuasainya.
Dalam satu gebrakari saja pemuda itu berhasil merobohkan seorang pengeroyok dan
membabat putus tangan kiri seorang lainnya. Namun demikian dia terpaksa
melepaskan golok di tangan kanannya sewaktu empat golok lawan secara serentak
bentrokan dengan senjatanya. Tiga dari empat golok itu adalah yang masing-masing
dipegang oleh Ronggokarapan, Taliwongso, dan Randuwongso.
"Jangan tunggu lebih lama. Cincang keparat itu sampai lumat!" teriak
Ronggokarapan. Serempak dengan itu lima golok berkelebat menyerbu Panji Kenanga. Tiba-tiba
selarik sinar biru menderu dan trang ... trang ... trang! Tiga pengeroyok
terpekik seraya melompat keluar dari kalangan pertempuran dalam keadaan terluka
parah. Satu diantararrya adalah Taliwongso. Pembantu kepercayaan Ronggokarapan
ini berdiri membungkuk sambil pegangi perutnya yang bobol dihantam pedang "Gajah
Biru" yang kini berada di tangan Panji Kenanga.
Taliwongso tak berumur lama. Dia roboh ke lantai. Menggetiat beberapa kali lalu
tak bergerak lagi untuk selama-lamanya. Dua rampok lainnya mengalami nasib sama.
Mati di situ juga dimakan pedang mustika pemberian Brahmana Lokapala.
Randuwongso seperti orang kemasukan setan ketika menyaksikan kematian
saudaranya. Didahului satu pukulan tangan kosong dia kirimkan bacokan ke arah
kepala Panji Kenanga. Namun dengan pedang Gajah Biru di tangan pemuda itu kini
sulit untuk dihadapi. Sekali Panji mengiblatkan senjata mustikanya mentallah
golok besar di tangan Randuwongso bersama-sama sebagian telapak tanganya!
Dengan menjerit kesakitan dan memegangi tangannya yang kini buntung mengucurkan
darah, Randuwongso melompat keluar dari kalangan perkelahian. Sisa-sisa rampok
yang mengeroyok dan sejak tadi sesungguhnya sudah meleleh nyalinya sama-sama
melompat keluar dari kalangan menjauhi Panji Kenanga.
Dengan demikian kini hanya Ronggokarapan seorang diri yang bertempur melawan
Panji Kenanga. Dan inipun tidak lama. Sesudah golok besarnya dibabat putus oleh
pedang Gajah Biru kepala rampok ini lari ke pintu dan memberi abaaba pada anak
buahnya untuk melarikan diri. Yang masih sanggup kabur tentu saja tidak siasiakan kesempatan ini. Mereka tak perduli lagi akan kawan-kawan mereka yang
tertinggal di dalam kedai dan melolong minta tolong.
Sebelum Ronggokarapan dan anak-anak buahnya yang kabur lenyap Panji Kenanga
masih sempat berteriak.
"Kalau kalian berani lagi datang ke desa ini jangan harap bakal dapat ampunan
dariku!" *** 12 DENGAN mengandalkan ilmu lari tingkat tinggi yang sudah mencapai
kesempurnaannya, Pendekar 212
Wiro Sableng lari laksana angin. Hampir-hampir sulit untuk melihat kapan kedua
kakinya menjejak tanah.
Dia cuma punya waktu 3 jam untuk harus mencapai tujuannya. Dalam gelap dan
dinginnya malam dia lari terus seperti tidak memperdulikan apapun. Di bahu
kirinya sampai saat itu dia masih memanggul sosok tubuh gadis baju merah yang
berada dalam keadaan pingsan.
Siapakah gerangan adanya gadis cantik ini" Kenapa berada dalam keadaan begitu
rupa dan lebih lanjut kemanakah sebenarnya Wiro Sableng saat itu membawanya"
Untuk menjawab pertanyaan di atas kita kembali pada suatu tempat kira-kira
setengah hari perjalanan jauhnya di tenggara desa Warnasari. Saat itu sekitar
dua jam setelah matahari tenggelam.
Sejak setengah bulan yang lalu Pendekar 212 Wiro Sableng telah mendengar
terjadinya penculikan-penculikan serta pembunuhan yang dilakukan secara kejam
oleh manusia-manusia iblis yang menyebut dirinya Hulubalang-hulubalang Darah.
Sesuai dengan tujuan hidup serta maksud petualangannya di dunia persilatan yaitu
membela kaum tertindas, mempertahankan kebenaran serta menegakkan keadilan dan
di lain pihak membasmi setiap manusia jahat penimbul malapetaka, maka Pendekar
212 segera melakukan penyelidikan. Pertama sekali dia harus mengetahui di mana
letaknya Istana Darah itu. Tekadnya sudah bulat.
Istana Darah serta siapapun begundal-begundal yang ada di dalamnya musti
dimusnahkan. Jika tidak dunia persilatan akan mengalami malapetaka besar!
Dalam perjalanan inilah, setelah menyeberangi sebuah sungai dan menyusuri hutan
kecil di tepi sawah yang terletak 25 kilometer di tenggara Warnasari, Wiro
mendengar derap kaki kuda di belakangnya. Segera dia menghindar ke tepi jalan.
Satu perasaan mendorongnya untuk menyelinap bersembunyi di balik sebatang pohon
sebelum derap kaki-kaki kuda itu datang lebih dekat.
Tak lama kemudian lewatlah seekor kuda coklat berbelang putih, ditunggangi oleh
seorang dara berpakaian merah. Untuk beberapa ketika pendekar kita dibikin
terpesona oleh kecantikan paras gadis yang tak dikenal itu. Namun mata Wiro yang
tajam melihat bahwa di belakang kecantikan wajah si gadis terdapat bayangan rasa
cemas yang amat sangat.
Siapakah gerangan dara berbaju merah yang menunggangi kuda secepat itu"
Kecemasan apa pula yang mencekam dirinya"
Saat Wiro berpaling cepat-cepat ke jurusan kiri karena di ujung jalan terdengar
Wiro Sableng 016 Hancurnya Istana Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
derap kaki kuda.
Sepasang bola mata Pendekar 212 menyorotkan sinar aneh ketika melihat kuda dan
penunggang yang muncul dari ujung jalan itu. Kuda itu berwarna merah,
penunggangnya juga mengenakan pakaian serba merah. Di bawah topinya yang
berbentuk tarbus merah kelihatan wajahnya yang seperti dicat merah menyeramkan.
Bau amat busuk menebar waktu penunggang kuda ini melewati pohon di belakang mana
Wiro Sableng mengendap.
"Pasti ini adalah salah seorang Hulubalang Istana Darah," kata Wiro dalam hati,
"tampaknya dia mengejar gadis tadi." Tidak menunggu lebih lama Wiro keluar dari
balik pohon dan dengan mempergunakan ilmu larinya segera mengejar dari belakang.
Di satu pendakian jarak antara gadis berkuda coklat dan pengejarnya hanya
tinggal beberapa tombak saja. Si muka merah berteriak memerintah agar orang yang
dikejar berhenti. Sebagai jawaban si gadis melambaikan tangan kanannya ke
belakang. Terdengar suara desingan halus. Kira-kira dua lusin senjata rahasia
melesat ke arah si muka merah.
"Kurang ajar!" desis si muka merah seraya lambaikan ujung lengan pakaiannya.
Serangkum angin menderu dan berpelantinglah senjata-senjata rahasia yang
menyerangnya. Di lain kejap manusia itu memukulkan tangan kanannya. Di lain
kejap Wiro Sableng melihat bagaimana kuda coklat putih yang ditunggangi sang
dara roboh di puncak pendakian dan terguling-guling ke bawah. Gadis berbaju
merah berhasil selamatkan diri dengan jalan melompat.
"Manusia puntung neraka!" bentak sang dara begitu pengejarnya sampai di
hadapannya. "Kau kira aku takut padamu?" Lalu dari balik bajunya dia keluarkan
segulung cambuk.
Si muka merah tertawa mengekeh.
"Kalau kau tidak keras kepala kau bakal mendapat tempat yang bagus di Istana
Darah bersamaku!
Kecuali kalau memang sengaja mencari celaka!"
"Manusia terkutuk! Kaulah yang bakal celaka!" hardik sang dara. Lalu terdengar
suara laksana petir menyambar ketika dia hantamkan cambuknya ke arah batang
leher si muka merah.
"Gadis tolol! Adatmu tidak beda dengan kau punya guru! Kalau hari ini aku belum
dapat membuat perhitungan dengan si keparat tua itu, biar kau yang jadi muridnya
harus menerima celaka lebih dulu!"
Sekali si muka merah itu gerakkan tangannya maka dia berhasil menyentak lepas
cambuk yang saat itu menyambar batang lehernya! Gadis baju merah terkejut bukan
main. Gerakan pukulan cambuk yang tadi dilepaskannya adalah satu serangan kilat
yang selama ini selalu mengenai sasarannya. Tapi sekali ini bukan saja gagal
malah senjatanya kena dirampas lawan! Hati sang dara menjadi cemas bukan main.
Sementara itu si muka merah sudah melompat turun dari kudanya. Si gadis dengan
nekad kirimkan serangan kedua berupa pukulan tangan kosong. Namun sebelum dia
sempat bergerak dilihatnya segulung asap biru keluar dari mulut si muka merah
dan menghembus ke arahnya.
"Akh ... "
Hanya itu suara yang bisa dikeluarkan si gadis lalu tubuhnya melosoh dan
terhantar ke tanah.
Dikeluarkannya seluruh kekuatannya yang ada, berusaha agar jangan jatuh pingsan.
Sementara itu pemandangannya menjadi gelap, wajahnya mulai pucat dan bibirnya
bergetar, mulai berubah warna rnenjadi kebiru-biruan. Pakaiannya robek-robek
ketika tersentuh asap biru aneh tadi. Si muka merah tertawa gelak-gelak.
"Gadis! Umurmu hanya tinggal lima jam! Menjelang kematianmu kau bakal merasakan
siksaan luar biasa. Urat-urat dan saluran darah dalam tubuhmu laksana digigit
oleh ratusan semut rangrang.
Ha...ha...ha...!"
Suara gelak tawa si muka merah serta merta terhenti ketika di belakangnya
terdengar satu bentakan.
"Manusia terkutuk! Kejahatanmu lebih terkutuk dari iblis!"
"Heh! Setan dari mana magrib-magrib begini berani mendampratku?" ujar si muka
merah seraya memalingkan kepala. Diam-diam dia merasa terkejut karena adalah
aneh baginya kalau ada seorang berada di tempat itu tanpa dia sempat mengetahui
lebih dulu. "Kau apakan gadis itu"!"
Si muka merah mengerenyit dan memandang tajam-tajam pada seorang pemuda berambut
gondrong berpakaian putih yang tegak delapan langkah di hadapannya. Karena hari
sudah agak gelap dia tidak dapat melihat jelas wajah si pemuda namun dia yakin
belum pernah mengenal pemuda ini sebelumnya. Siapakah sebenarnya manusia
berpakaian serba merah dan yang mukanya dicat merah ini.
Dari ciri-cirinya sudah dapat dipastikan bahwa dia adalah salah seorang
Hulubalang Istana Darah dan yang satu ini merupakan Hulubalang Darah Kesatu.
Hulubalang Darah Ketujuh saja sudah kita saksikan kehebatan ilmunya, apalagi
Hulubalang Darah Kesatu ini. Nyatanya meskipun gadis berbaju merah tadi adalah
murid seorang sakti mandraguna namun dengan mudah Hulubalang Darah Kesatu
merobohkannya. Di lain pihak siapa pula adanya pemuda berambut gondrong yang
tegak di depan Hulubalang Darah Kesatu saat itu" Dia bukan lain adalah Pendekar
212 Wiro Sableng!
"Bedebah! Majulah ke tempat lebih terang agar aku dapat memastikan apakah kau
manusia atau benar-benar setan kesasar!'' Hulubalang Kesatu membentak.
"Kau apakan gadis itu?" Wiro mengulangi pertanyaannya.
Hulubalang Darah Kesatu kertakkan rahang. "Dirimu punya sangkut paut dengan
dia?" Pendekar 212 menyeringai.
"Yang aku tahu...," kata si gondrong dari Gunung Gede ini, "ialah bahwa aku punya
sangkut paut dengan kejahatan laknatmu!"
Habis berkata begitu Wiro Sableng menerjang ke muka serta melepaskan pukulan
"kunyuk melempar buah."
Hulubalang Darah Kesatu tak menyana kalau lawan semuda itu bakal memiliki
pukulan meyakinkan begitu rupa. Kontan dia keluarkan pekik garang dan tubuhnya
lenyap dari pandangan.
"Keparat! Mau lari ke mana bangsat merah ini!" maki Wiro dalam hati dan tibatiba saja dia dikejutkan oleh berkelebatnya lima jari tangan berkuku-kuku
panjang. Hampir saja Pendekar 212 mendapat celaka dalam gebrakan pertama itu
kalau dia tidak lekas-lekas membuang diri ke samping. Karena hari sudah mulai
gelap Wiro tak sempat melihat bahwa lawannya memiliki sepuluh jari tangan
berwarna merah yang ditumbuhi kuku-kuku panjang macam cakar garuda!
Bukan main marahnya Hulubalang Darah Kesatu ketika melihat bagaimana serangannya
yang bernama "lima cakar sakti meremas bumi" dapat dielakkan oleh lawannya yang disangkanya
hanya seorang manusia tolol mau mencari mati.
"Manusia edan! Kau benar-benar terlalu berani mgncari mati! Terlalu gegabah
mencari urusan denganku!
Atau kau belum tahu siapa aku"!"
Pendekar 212 Wiro Sableng tertawa mengejek.
"Manusia muka merah! Aku cukup kenal siapa kau! Dan perlu kau ketahui sejak lama
aku punya niat membasmi Hulubalang-hulubalang keparat macammu dan memusnahkan
Istana Darah. Kau adalah korbanku yang pertama!"
Mendengar ucapan itu Hulubalang Darah Kesatu tertawa bekakakan. Sambil menepuk
dada dia berkata,
"Dalam Istana Darah, 24 tokoh-tokoh sakti dan terkenal sudah menemui
kematiannya. Hari ini seorang bocah bau air tetek mimpi hendak menghancurkan
Istana Darah. Sungguh aneh dunia ini. Ha... ha ha ... !"
"Mimpi atau bukan kau terimalah pukulanku ini!" teriak Wiro lantang. Begitu
tangan kanannya digerakkan menderulah angin dahsyat laksana topan prahara
mengamuk. Pohon-pohon di sekitar situ berderak patah dan tumbang dengan
mengeluarkan suara riuh.
Gadis baju merah yang terhampar di tanah terguling ke dekat pematang sawah.
Itulah pukulan "benteng topan melanda samudera" yang telah dilepaskan Wiro
Sableng dengan mengandalkan setengah bagian tenaga dalamnya.
Sebagai tokoh berkepandaian tertinggi di antara Hulubalang-hulubalang Istana
Darah, Hulubalang Darah Kesatu kaget bukan main menyaksikan pukulan pemuda tadi.
Sepasang lututnya terasa bergetar dan sebelum tubuhnya ikut tersapu oleh pukulan
lawan cepat-cepat dia mengerahkan tenaga dalamnya ke kaki hingga walau
bagaimanapun hebatnya serangan Wiro namun kedua kaki-nya laksana gunung karang
menancap dalam tanah, tak sanggup digetarkan sedikitpun!
"Ha ... ha .., apa sudah seluruh tenaga dalammu kau keluarkan?" ejek Hulubalang
Darah Kesatu. Dia sama sekali tidak menduga kalau Wiro baru kerahkan setengah
bagian saja dari kekuatan tenaga dalam yang dimilikinya. Murid Sinto Gendeng ini
jadi penasaran. Didahului satu suitan melengking memecah langit di malam gelap
itu, Wiro lipat gandakan tenaga dalamnya.
Hulubalang Darah Kesatu menjadi kaget ketika dirasakannya bagaimana kedua
kakinya mendadak menjadi gontai dan tubuhnya perlahan-lahan bergetar terhuyunghuyung. Hulubalang Darah keluarkan bentakan menggeledek. Kedua tangannya dipukulkan ke
depan. Dua larik sinar merah yang bukan lain merupakan semburan api panas luar
biasa, menderu melabrak ke arah Wiro Sableng. Pendekar 212 tidak berlaku ayal.
Kedua tangannya segera pula dipukulkan ke depan. Maka terdengarlah suara
berdentum. Bumi laksana digulung lindu. Pohon-pohon bertumbangan. Hulubalang
Darah Kesatu terguling-guling di tanah. Dia mencoba bangun dengan cepat tapi
sempoyongan dan jatuh lagi.
Dadanya sebelah dalam mendenyut sakit. Cepat-cepat dia duduk bersila dan
pejamkan mata "mengatur jalan darah serta nafas dan mengalirkan tenaga dalam
dari pusar ke dada.
*** 13 SEWAKTU bentrokan dua pukulan sakti itu terjadi, Pendekar 212 Wiro Sableng
merasakan tanah yang dipijaknya laksana digoncang gempa. Kedua kakinya melesak
sampai lima senti. Lututnya goyah dan dalam keadaan tubuh terhuyung-huyung
akhirnya dia jatuh duduk di tanah. Meskipun semburan dua gelombang api lawan
sanggup dimusnahkannya namun sekujur kulit tubuhnya terasa perih oleh hawa panas
luar biasa pukulan lawan.
Seperti Hulubalang Darah Kesatu, pendekar kita inipun cepat-cepat duduk bersila
untuk mengatur jalan nafas dan darah serta mengalirkan tenaga dalam ke bagianbagian tubuh terpenting.
Begitu keadaannya pulih kembali Hulubalang Darah Kesatu cepat melompat dan
berdiri bertolak pinggang. Sepasang matanya berapi-api memandang tak berkedip
pada Pendekar 212. Wiro sendiri saat itu sudah berdiri pula dan menunggu dengan
penuh waspada. "Rambut gondrong!" tegur Hulubalang Darah Kesatu sambil bertolak pinggang.
"Kulihat kau barusan melepaskan pukulan benteng topan melanda samudra! Apa
hubunganmu dengan Sinto Gendeng dari Gunung Gede"!"
Wiro Sableng diam-diam terkejut melihat lawan mengenali ilmu pukulan serta nama
gurunya. Tapi dia tenang-tenang saja dan tidak memperlihatkan rasa terkejutnya
itu. Tak dapat tidak si muka merah ini pasti orang tokoh silat terkenal dan
berusia lanjut. Memang sebenarnya Hulubalang Darah Kesatu sudah berusia harnpir
80 tahun. Namun karena mukanya dicat dengan darah yang telah membeku maka
keriput-keriput ketuaannya tidak kelihatan. Demikian pula rambutnya yang
seharusnya berwarna putih macam saiju selain tertutup tarbus juga telah dicelup
dengan darah. Puluhan tahun silam Hulubalang Darah Kesatu dikenal dengan nama Waranawikualit
dan merupakan tokoh silat kelas satu yang disegani di kawasan Jawa Barat. Namun
karena sikapnya yang culas dan suka berkhianat terhadap kawan sendiri, tokohtokoh silat golongan putih boleh dikatakan rata-rata membencinya.
Akibat tidak diterimanya dirinya oleh kaum putih, maka makin lama Waranawikualit
semakih jauh tersesat ke dalam dunia hitam dan akhirnya melalui liku-liku pasang
surut dunia persilatan dia sampai di Jawa Timur dan memegang jabatan Hulubalang
Darah Kesatu di Istana Darah yang menjadi sumber malapetaka sejak akhir-akhir
ini. Wiro Sableng tertawa bergumam.
"Kau kenal ilmu pukulanku tadi, muka merah" Bagus ... bagus sekali! Dan lebih
bagus lagi kalau kau kenal nama guruku. Tapi apa kau sudah kenal jalan ke neraka
...?" Paras Hulubalang Darah menjadi tambah marsh mendengar kata-kata itu. Sebaliknya
Wiro Sableng tertawa gelak-gelak. "Bilang saja terus terang bahwa kau belum tahu
jalan ke neraka. Tuan besarmu ini pasti akan menunjukkan padamu!"
"Bedebah!" bentak Hulubalang Darah Kesatu merah bukan main diejek begitu rupa.
Sepuluh jari tangannya yang berkuku panjang dipentang. Didahului oleh gelegar
lengekingan yang keluar dari tenggorokannya, manusia ini menjentikkan ke sepuluh
jari tangannya dan sepuluh jalur asap yang saling bersilangan menderu. Silangansilangan itu semakin banyak karena jalur asap merah itu cepat sekali memecah
menjadi puluhan hingga dalam tempo sekejap saja jalur-jalur asap merah itu tak
bedanya seperti sebuah jaring yang menyerbu ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng!
Tangan Darah 1 Pendekar Mabuk 077 Asmara Janda Liar Mestika Burung Hong Kemala 6
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama