Wiro Sableng 015 Mawar Merah Menuntut Balas Bagian 2
"Jangan mendekat!" sentak Ratih.
"Tidak boleh?"
"Pergilah!"
"Aku akan pergi, tapi kau musti ikut bersamaku."
"Siapa yang sudi ikut bersama kau. Orang gila ...!"
"Orang gila tidak selamanya jahat. Ayo kau ikut aku. Kau harus bertemu ayah.
Beliau pasti gembira melihat calon menantunya yang begini cantik, montok dan ...
" "Pergi!" bentak Ratih. "Jangan bikin aku marah! Kalau kau tidak pergi jangan
menyesal kalau..."
"Kalau ... kalau ... kalau apa"!" tanya si pemuda.
"Nanti kutampar mulutmu!"
Si pemuda tertawa lalu setengah berlari dia datang ke hadapan Ratih dan
mengulurkan kepalanya. "Kau mau tampar aku" Nah tamparlah!" kata pemuda berotak
miring itu. "Plak!"
Karena kesal hatinya Ratih betul-betul menampar muka pemuda itu dengan keras.
Demikian kerasnya hingga salah satu sudut bibirnya menjadi pecah dan berdarah!
Melihat ini Ratih merasa menyesal dan kasihan. Tetapi sebaliknya si pemuda malah
tertawa dan jingkrak-jingkrakan macam anak kecil.
"Sedap sekali tamparanmu, gadis manis! Betul-betul sedap! Kelak jika kita
dikawinkan aku akan minta agar ditampari sampai seribu kali olehmu sebagai mas
kawinnya! Amboi mas kawiiiiinnnn ...!"
Lagi-lagi Ratih terpaksa geli melihat tingkah laku dan ucapan pemuda itu.
"Nah, sekarang kau tertawa lagi. Berarti kau tidak betul-betul marah terhadapku!
Berarti kau KARYA
26 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Mawar Merah Menuntut Balas
sebetulnya kepingin juga ikut bersamaku ...! Bukan begitu?"
"Cis! Jangan bicara ngelantur!" tukas Ratih dengan mencibirkan bibir.
Cibiran bibir itu membuat si pemuda tertawa membahak. "Kau lucu ... kau lucu!
Tapi sebelum hari bertambah siang, sebaiknya kau ikut saat ini juga denganku!"
Habis berkata begitu si pemuda lantas meraih pinggang Ratih dan memanggul gadis
itu dibahu kirinya. Ratih hendak menjerit memanggil Wiro, namun satu tekanan
halus pada punggungnya membuat dia mendadak sontak tak bisa mengeluarkan suara
barang sedikitpun! Si pemuda temyata telah menotok jalan suaranya dengan cara
yang teramat lihay!
Karena tak dapat berteriak, sebagai gantinya Ratih mempergunakan kedua tangannya
untuk mendambun punggung pemuda itu bertubi-tubi sepanjang jalan.
"Pukullah terus! Pukullah! Enak sekali rasanya, seperti dipijit-pijit!" kata si
pemuda seraya lari dan tertawa-tawa.
Lambat laun Ratih menjadi letih sendiri dan sakit kedua tangannya. Si pemuda
membawanya berlari laksana angin, dan sambil tiada hentinya tertawa!
"Kau mau bawa aku ke mana?" tanya Ratih.
"Aku sudah bilang tadi! Kau harus ketemu dengan ayahku ... "
Ratih menggigit bibir. Kalau anaknya gila begini macam, tentu bapaknya tujuh
kali lebih gila dari dia, begitu si gadis memikir. Dan nasib apa pula yang bakal
menimpa dirinya kelak" Diam-diam dia teringat pada Wiro Sableng. Akhirnya gadis
ini meramkan mata dan pasrahkan diri pada ketentuan yang sudah ditakdirkan
Tuhan. KARYA 27 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Mawar Merah Menuntut Balas
6 KETIKA Ratih membuka kedua matanya teryata dia sudah berada dalam hutan. Dan si
pemuda masih terus berlari dengan cepat di selasela pohon-pohon yang tumbuh
rapat bahkan kadang-kadang dia melompati semak belukar yang tinggi dan beberapa
kali pemuda itu melompat dari satu cabang pohon ke cabang lainnya membuat Ratih
merasa gamang dan memejamkan matanya kembali.
"Nah kita sampai!" terdengar si pemuda berkata.
Ratih membuka kedua matanya. Di hadapannya tampak sebuah gubuk kajang beratap
rumbia. "Ayah! Lihat apa yang kubawa ini!" si pemuda berseru lalu pintu gubuk yang
tertu:up langsung dilabrak hingga menimbulkan suara berisik.
Seorang laki-laki berumur setengah abad yang berada di dalam pondok dan tengah
menimang-nimang seuntai tasbih jadi terkejut.
"Ranata! Apa-apaan kau ini?" bertanya laki-laki itu dengan suara lantang.
Matanya membesar sedang kulit keningnya mengerenyit.
"Lihat apa yang kubawa ini, ayah!" kata si pemuda yang ternyata bernama Ranata.
Lalu Ratih diturunkannya dari bahunya dan didudukkannya di atas tikar di hadapan
ayahnya. Sang ayah bertambah heran begitu pakaian yang menutupi tubuh Ratih yang bukan
lain hanya sehelai kain sepereil Dia berpaling pada anaknya dan bertanya.
"Siapa gadis ini?"
"Calon istriku! Calon menantumu!" jawab Ranata. Lalu dia tertawa gelak-gelak dan
menari memutari Ratih.
Sang ayah geleng-gelengkan kepala.
Sementara itu Ratih memandang berkeliling. Dari luar, gubuk itu buruk dan kecil
serta kotor. Tapi bila sudah berada di dalam ternyata besar dan bagus serta amat bersih.
"Kau ada-ada saja, Rana! Kau hanya membuat susah orang tua. Gadis siapa pula
yang kau culik ini"!"
"Amboi! Aku sama sekali tidak menculiknya. Pada dasarnya dia sendiri yang mau
ikut aku! Silahkan tanya kalau ayah tidak percaya!"
"Betul?" tanya si ayah seraya memandang pada Ratih.
KARYA 28 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Mawar Merah Menuntut Balas
Ratih tak menjawab.
"Astaga, aku lupa membuka totokannya!" kata Ranata. Lalu dijentikkannya satu
jarinya. Setiup angin halus menyambar ke punggung Ratih dan lenyaplah totokan
yang membuatnya tak bisa ber-suara.
"Betul kau sendiri yang bersedia ikut ke sini bersama anakku?"
"Dia dusta!" jawab Ratih. "Saya dipaksanya!"
Sang ayah menarik nafas dalam dan mendelikkan matanya pada anaknya.
"Dia yang dusta ayah! Dusta pada dirinya sendiri!" Ranata berkata. "Buktinya
kalau dia tak sudi di bawa kemari, detik dia masuk di gubuk kita pasti dia
angkat kaki melarikan diri! Dan itu tidak dilakukannya!"
Merahlah paras Ratih. Ranata tertawa gelak-gelak sedang ayahnya kembali gelenggelengkan kepala.
"Siapa namamu, anak" Bagaimana kau bisa sampai di bawa kemari dan kenapa kau
berpakaian aneh begini macam?" tanya laki-laki itu.
Semula Ratih menduga kalau si anak gila tentu ayahnya tujuh kali lebih gila.
Tetapi nyatanya lakilaki itu amat baik dan bertanya dengan lemah lembut. Ini
membuat Ratih bersedia membuka mulut memberikan jawaban.
"Nama saya Ratih, pak. Saya berada di tepi sungai tengah menunggu kawan yang
mandi sewaktu anak bapak datang." Lalu Ratih menceritakan sampai dia pada
akhirnya diboyong oleh Ranata ke gubuk itu.
"Kau bikin aku susah Ranata! Kawan gadis ini pasti akan datang ke mari dan marah
padamu!" kata sang ayah pula.
"Itu memang sudah sewajarnya dia berlaku begitu," menyahut Ranata dengan nada
keren. "Tapi ayah jangan lupa akan sumpahku tempo hari. Yaitu bahwa aku hanya akan
kawin dengan gadis yang berpakaian aneh! Dia kutemui di tepi sungai, tubuhnya
terbungkus alas tempat tidur!
Masakan aku akan melupakan sumpahku begitu saja"!"
Si ayah lagi-lagi menarik nafas panjang.
"Soalnya sekarang ayah harus setuju menerimanya jadi menantu! Harus setuju
mengawini aku dengan dia!"
Sang ayah tertawa rawan.
"Anak orang kau larikan, lalu meminta aku mengawinimu dengan dia! Otakmu memang
KARYA 29 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Mawar Merah Menuntut Balas
miring! Tapi jangan suruh aku ikut-ikutan miring! Soal kawin bukan soal mainan!
Aku harus berkenalan dulu dengan orang tua gadis ini dan melamarnya secara baikbaik. Ranata, kau harus tahu diri, nak. Harus ingat manusia macam apa kau
adanya! Jangan bikin malu orang tuamu yang sudah hampir masuk ke liang kubur ini
... " Butiran-butiran air mata meleleh jatuh ke pipi laki-laki itu, membuat Ratih
merasa terharu dan ditundukkannya kepalanya. Ketika dia coba mengangkat kepala
dilihatnya Ranata duduk diambang pintu, memandang keluar dengan mata berkacakaca. "Jika kita melamar secara baik-baik, kukira tak seorangpun yang bakal mau
menerima diriku jadi suami! Tak seorangpun mau mengambil aku jadi menantu ... "
Air mata berderaian di pipi Ranata. Keharuan semakin mendalam di hati Ratih.
Siapakah ayah dan anak ini sebenarnya" Ratih memperhatikan lagi paras Ranata.
Pemuda ini berwajah cakap. Cuma sayang pikirannya kurang sehat. Tak terasa
tetesan-tetesan air matapun jatuh berderai di pipi si gadis.
"Eh amboi! Kenapa kau menangis"!" Ranata bertanya tiba-tiba seraya berdiri.
Ratih menangis bukan karena haru terhadap dua beranak itu tetapi karena ingat
akan kematian ayahnya dan ibunya yang bunuh diri serta adiknya yang sampai saat
ini tak tahu entah berada di mana.
"Ratih, kau boleh meninggalkan tempat ini. Berjalanlah ke arah matahari terbit
dan kau akan keluar dari hutan ini tanpa kesukaran. Harap maafkan segala
perbuatan anakku ..."
"Tapi ayah!" Ranata maju ke muka.
"Ranata!" desis si ayah dengan memandang tajam pada anaknya. Pandangan mata itu
penuh wibawa. "Kataku jangan bikin aku susah. Gadis ini bukan jodohmu. Kelak kau
bakal dapat yang lebih cocok dengan dirimu."
"Kalau begitu ... " Ranata sesenggukan, "lebih baik kau bunuhlah aku ayah!"
Ranata lalu lari ke dalam kamar. Ketika keluar dia membawa sebilah pedang. Sinar
terang berwarna kuning memancar sewaktu pedang itu dicabutnya dari sarungnya.
Dia bersujud di depan ayahnya dan berkata, "Bunuh, bunuhlah aku ayah! Lebih baik
mati dari pada kehilangan gadis itu! Amboi ...
amboi!" Dengan air mata berlinangan sang ayah mengambil pedang dan memasukkannya kembali
ke dalam sarungnya.
"Senjata mustika jangan dibuat main, anakku. Dan jangan bicara segala hal
kematian!"
Ranata menggerung lalu menubruk ayahnya. Kedua beranak itu menangis saling
berangkulan. KARYA 30 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Mawar Merah Menuntut Balas
Air mata runtuh ke pipi Ratih. Sepeminuman teh lewat. Suasana sunyi. Ratih
memandang pada kedua beranak yang kini duduk berhadapan dengan menundukkan
kepala. Ayah Ranata mengangkat kepalanya sedikit. "Ratih, kau tunggu apa lagi.
Pergilah ... " Untuk beberapa lamanya gadis itu masih duduk berdiam diri di
tempatnya. "Bapak!" Ratih berkata tiba-tiba, "aku sendiri sebenarnya yatim piatu. Kampung
halamanku musnah dibakar orang-orang jahat. Memang ada seorang adikku, tapi
entah di mana sekarang.
Hidupku tak ubah sebatang kara, luntang lantung di bawa nasib. Aku hiba melihat
keadaanmu di sini. Jika boleh biarlah aku tinggal untuk sementara di sini guna
merawatmu sebisanya ... "
Berubahlah paras ayah Ranata. Si pemuda sendiri tiba-tiba melompat, berteriak
keras, berjingkrak-jingkrak dan tertawa gembira.
"Anak, apakah kau tidak akan menyesal mengambil keputusan begitu rupa?" tanya
ayah Ranata. Ratih menggeleng dan Ranata tertawa lagi lebih gembira. Pada saat itu diambang
pintu muncullah sesosuk tubuh.
"Maaf kalau kedatanganku ini mengganggu kegembiraan orang-orang di sini!" Orang
yang baru datang berkata.
Semua orang berpaling.
KARYA 31 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Mawar Merah Menuntut Balas
7 "WIRO!" seru Ratih begitu dia melihat dan mengenali orang yang masuk.
"Siapa dia"!" tanya Ranata dan pada parasnya jelas kelihatan rasa cemburu. Ayah
pemuda berotak miring ini diam-diam meneliti Pendekar 212 Wiro Sableng dari
ujung rambut sampai ke ujung kaki.
"Kawanku yang sebelumnya telah kuceriterakan," sahut Ratih.
Wiro memandang pada orang tua yang duduk di hadapannya. Untuk seketika pandangan
mereka saling bentrokan. Masing-masing merasakan getaran-getaran tertentu dan
sama-sama menyadari bahwa orang yang di hadapan mereka bukan orang sembarangan.
"Orang muda, silahkan duduk!" berkata ayah Ranata.
"Terima kasih!" sahut Wiro. Dia menjura memberi hormat tetapi tidak duduk.
"Ratih, bagaimana kau bisa berada di tempat ini ... ?"
"Aku yang membawanya, aku!" Ranata yang menjawab. Wiro mengawasi pemuda ini
sesaat. Agaknya ada yang tidak beres dengan manusia yang satu ini, Wiro berpikir.
"Aku telah memutuskan untuk tinggal di sini, Wiro." berkata Ratih.
Pendekar 212 Wiro Sableng terkejut.
"Kau memutuskan untuk tinggal di sini?" tanya Wiro. "Ini adalah aneh!"
"Amboi, ini tidak aneh! Dia senang padaku, suka kasihan ayahku dan bersedia
tinggal di sini.
Bukan anehl Bukan aneh!"
Wiro tidak perdulikan ucapan Ranata meskipun hatinya geli melihat tingkah pemuda
sinting itu. "Bagiku adalah tetap satu keanehan," kata
Wiro sambil memandang pada orang tua di hadapannya. "Aku sedang mandi di sungai.
Tahu-tahu gadis ini lenyap dan kutemui berada di sini. Dan tahu-tahu dia
memutuskan untuk tinggal di sini padahal antara kalian sebelumnya tak saling
kenal. Bukankah itu aneh kalau tidak ada apa-apanya?"
Si orang tua tertawa kecil sedang Ranata terusterusan membantah bahwa itu tidak
aneh. "Murigkin aneh, mungkin juga tidak, orang muda ... "
Ranata memotong ucapan ayahnya, "Tuhan sudah menakdirkan bahwa dia akan tinggal
di sini. KARYA 32 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Mawar Merah Menuntut Balas
Tuhan!" "Aku sudah katakan, Wiro. Aku tinggal di sini atas kehendakku sendiri ... "
"Dan jangan paksa dia untuk membatalkan niatnya itul Dia calon istriku!
Amboiiii! Calon istriku! Kau dengar sobat berambut gondrong ... ?" ujar Ranata
pula menyambung ucapan Ratih dan sambil bicara itu wajahnya didekatkannya ke
muka Wiro. Paras Ratih kelihatan merah jengah. Sedang Wiro Sableng kerenyitkan kening.
Sambil garuk-garuk kepala dia memandang ganti berganti pada ketiga orang di
hadapannya, dan akhirnya pendekar ini tertawa terbahak-bahak!
"Orang tua, betulkah kiranya ucapan anakmu ini"!"
"Jangan perdulikan ucapannya. Kau tentu maklum keadaan dirinya ... "
Wiro tersenyum dan anggukkan kepala.
"Nah, nah! Sekarang kuharap kau tinggalkan gubuk ini. Calon istriku perlu
istirahat!" kata Ranata. Tangannya ditundingkan ke pintu.
Tapi Wiro tak bergerak dari tempatnya.
"Orang tua, apapun yang terjadi di sini itu bukan urusanku. Tetapi aku telah
Wiro Sableng 015 Mawar Merah Menuntut Balas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mendapat satu tugas untuk membawa gadis ini ke satu tempat."
"Begitu ..." Siapakah yang memberi tugas dan ke mana kau akan bawa gadis ini?"
"Itu tak bisa kuterangkan," jawab Wiro.
"Aku yakin manusia gondrong ini bicara dusta!" Ranata berkata sambil bertolak
pinggang. Wiro ganda tertawa mendengar ucapan itu. "Sobat, kuharap kau bisa mengunci
mulutmu sebentar. Aku bicara dengan ayahmu, bukan dengan kau..."
"Bah ... "!" Ranata tertawa gelak-gelak. "Kau suruh aku mengunci mulut"
Memangnya mulutku ini pintu" Pintu yang bisa dikunci" Bisa diselot" Bah... !
Tampangmu cukup keren sobat. Tapi siapa nyana otakmu tidak lebih lumayan
dariku!" Dan kembali Ranata tertawa gelak-gelak.
Wiro penasaran dan menggerendeng dalam hati.
"Ratih, berdirilah. Kau musti ikut dengan aku!"
"Jangan paksa calon istriku!" Ranata membentak marah, dia melangkah ke hadapan
Wiro dan berkacak pinggang.
Sementara itu ayah Ranata berkata pula, "Kau tak bisa memaksanya, pemuda. Kau
tak punya hak untuk memaksanya!"
"Aku memang tidak, tetapi tugasku mempunyai seribu macam hak untuk melakukan apa
saja KARYA 33 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Mawar Merah Menuntut Balas
untuk kebaikan gadis ini."
"Tinggal di sini sudah merupakan satu kebaikan baginya."
"Begitu" Jadi kau juga telah menganggapnya sebagai calon menantumu" Kurasa orang
tua semacammu mempunyai pikiran yang jernih dan memegang tata cara serta
peradatanl Gadis ini bukan seekor burung yang ditangkap di tengah rimba, lalu
dikawinkan dengan burung yang sudah ada dalam kurungan!"
Merahlah paras si orang tua mendengar ucapan itu namun di bibirnya tetap
tersungging seulas senyuman. Sebaliknya Ranata marah bukan main. Tinju kanannya
diayunkan ke muka Wiro.
"Ranata! Tahan!" seru sang ayah.
"Biar kuberi hajaran manusia bermulut lancang ini, ayah! Agar dia tahu rasa!"
Ranata mundur. Dari mulutnya keluar ucapanucapan gusar.
"Sekarang begini saja orang muda," berkata si orang tua. "Kita buat perjanjian.
Kau hadapi anakku dalam tiga jurus. Jika kau berhasil mengalahkannya, gadis itu
boleh kau bawa. Sebaliknya jika kau yang kalah, Ratih tetap di sini dan kau
musti berlalu dari gubukkul Bagaimana?"
"Itu perjanjian yang cukup baik. Tapi aku datang kemari bukan untuk membuat
segala macam perjanjian!"
Ranata tertawa bergelak.
"Nyata sekali kepengecutanmu, manusia rambut gondrong!" kata Ranata pula.
Wiro pencongkan hidungnya.
"Jika kau hendak main-main, nantilah aku carikan seorang kawan yang kira-kira
cocok menjadi lawanmu," kata Pendekar 212 pula.
"Jangan sembunyikan kepengecutanmu dengan ejekan!" kata Ranata tandas disertai
dengan dengusan.
Pendekar 212 Wiro Sableng jadi terbakar dadanya. Dua kali dikatakan pengecut
sudah sangat keterlaluan. Dia menunding ke pintu.
"Aku tunggu kau di luar!"
Ranata tertawa.
"Kenapa musti di luar" Ruangan ini cukup besar. Dan amboi ..., biarlah calon
istriku menyaksikan sendiri bagaimana hebatnyarilmu silatku! Di samping itu
ayahku akan menjadi saksi bahwa dalam pertempuran nanti kau tak akan melakukan
kecurangan! Nah, kau sudah siap rambut gondrong"!"
KARYA 34 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Mawar Merah Menuntut Balas
"Silahkan mulai!" kata Wiro.
"Amboi, tamulah yang lebih dulu!" sahutRanata pula.
Wiro meneliti sikap pemuda itu. Dia sama sekali tidak memasang kuda-kuda dan sikapnya acuh tak acuh.
"Kau sudah siap?"
"Aku sudah siap dari kemarin, sobat!" kata Ranata dengan senyum sinis.
"Kalau begitu perhatikan kepalamu!" seru Wiro. Di dahului dengan suitan nyaring
tubuhnya berkelebat. Tangan kanannya terpentang lurus ke depan lalu cepat kilat
membabat ke arah kepala Ranata. Inilah gerakan yang dinamakan "pecut sakti
menabas tugu".
"Ha ... ha Kalau cuma serangan macam ini tutup matapun aku sanggup
mengelakkannya!"
teriak Ranata dan sekali dia bergerak tubuhnya berkelebat lenyap dan tahu-tahu
sesaput angin menderu kepada Wiro Sableng. Pendekar 212 terkejut sekali melihat
cara mengelak lawan. Tadinya dia hendak susul dengan satu serangan lain namun
lagi-lagi dia dikejutkan oleh serangan balasan yang dilancarkan secara aneh
bahkan hampir saja satu jotosan melabrak dadanya!
"Sekarang jurus kedua!" terdengar ayah Ranata berkata.
Jurus yang kedua ini Wiro membuka serangan dengan gerakan "membuka jendela
memanah rembulan". Lengan kiri laksana tongkat baja memukul melintang dari atas
ke bawah sedang tangan kanan mengirimkan satu jotosan kilat ketenggorokan lawan!
Diserang hebat begitu rupa kembali Ranata keluarkan suara tertawa mengejek.
Tubuhnya lenyap lagi dari pemandangan. Di lain detik Wiro melihat satu tendangan
sudah meluncur deras ke arah kepalanya sedang dua serangannya tadi secara aneh
entah bagaimana bisa dielakkan dengan mudah oleh si pemuda sinting itu! Sebelum
kakinya menjejak tanah yang berarti berakhirnya jurus ke dua, Wiro membentak
garang. Sekaligus kedua tangannya dihantamkan ke depan mengirimkan serangan
"kipas sakti terbuka".
Di hadapannya Ranata mengembangkan kedua tangannya laksana mau terbang. Lalu
dengan sangat tiba-tiba sekali kedua lengan itu menyusup ke bawah. Wiro sadar
meskipun serangannya bisa menghantam muka lawan namun serangan selusupan dari
Ranata tak mungkin pula dihindarkannya. Pendekar 212 melompat dalam gerakan
"gunung meletus batu melesat ke luar".
"Sekarang jurus terakhir!" ayah Ranata memberi tahu.
"Dan ini adalah jurus kekalahanmu, manusia gondrong!" seru Ranata. Tubuhnya
merunduk. Kepalanya diluruskan demikian rupa seperti hendak dipakai melabrak perut Wiro.
Tentu saja ini KARYA
35 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Mawar Merah Menuntut Balas
sasaran yang empuk bagi Pendekar 212. Lutut kanannya diangkat sedang dari atas
tangan kirinya menderu. Tidak dapat tidak salah satu dari dua serangannya itu
pasti akan m ngenai sasaran!
Namun untuk kesekian kalinya Wiro dibikin terkejut dan kecewa. Lawannya setenga
jalan bergerak ke samping. Dalam satu gerakan tahu-tahu jari-jari tangan kiri
sudah mencengkeram ujung pakaian Wiro.
"Celaka!" keluh Wiro.
Segera Pendekar 212 keluarkan gerakan "orang gila melenggang ke awan" untuk
melepaskan diri. Tapi terlambat.
"Bret!"
Pakaiannya robek.
"Buk!"
Satu tempelak menghantam bahurlya sebelah kanan. Wiro menggigit bibir menahan
sakit. Dengan penasaran dia hendak menggempur lawan dengan jurus "menepuk gunung
memukul bukit". Tetapi justru pada saat itu si orang tua berseru memberi tahu
bahwa waktu tiga jurus telah berlalu dan berarti berakhirnya perkelahian. Mau
tak mau meskipun gelora amarah menyesakkan dadanya, Pendekar 212 terpaksa
menghentikan gerakannya.
"Amboi ... ! Kau kalah rambut gondrong!" kata Ranata dengan tertawa dan menarinari. "Yeah ... aku mengaku kalah!" sahut Wiro. Betapa perihnya mengeluarkan ucapan
itu. Betapa sakitnya menelan kekalahan. Namun itu adalah satu kenyataan.
Kenyataan pahit yang harus diteguknya!
"Dan dengan demikian ... " kata Ranata pula, "Ratih tetap tinggal di sini, kau
silahkan angkat kaki ... "
Mulut Pendekar 212 Wiro Sableng komat-kamit. Tanpa tunggu lebih lama dia segera
memutar tubuh. "Tunggu dulu, orang muda," terdengar ayah Ranata berkata. "Mungkin ada sesuatu
yang bakal kau ucapkan?"
"Ya, memang ada!" sahut Wiro tanpa berpaling.
"Katakanlah."
"Mudah-mudahan kau lekas dapat cucu!" Paras si orang tua kontan menjadi merah.
Dia hendak mengatakan sesuatu tetapi Wiro Sableng sudah lenyap dari pintu sedang
Ranata tertawa gelak-gelak. "Cucu! Amboi dapat cucuuuuuuuu ... !"
KARYA 36 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Mawar Merah Menuntut Balas
Siapakah sesungguhnya orang tua ini" Mengapa memiliki seorang putera yang
berotak sinting seperti Ranata itu" Kita kembali pada masa sekitar delapan tahun
yang silam sewaktu kerajaan Pajajaran berada dalam masa kejayaannya, sewaktu
kesultanan Banten masih belum berdiri. Di antara sekian banyak para menteri
istana yang menjadi pembantu Prabu Pajajaran, seorang diantaranya ialah
Citrakarsa, ayah Ranata. Citrakarsa terkenal sebagai menteri yang baik, penuh
tanggung jawab serta jujur. Di samping itu dia juga memiliki kepandaian silat
yang tinggi. Ketika Mapatih Pajajaran meninggal dunia, Sang Prabu memutuskan
untuk mengangkat Citrakarsa sebagai penggantinya. Namun sebelum pengangkatan
dilaksanakan, terjadilah satu peristiwa hebat menimpa calon Mapatih itu dan
keluarganya. Kedudukan Mapatih Pajajaran sesungguhnya sudah sejak lama menjadi incaran
seorang menteri yang berhati jahat culas. Sewaktu didengarnya bahwa Citrakarsa
hendak diangkat menjadi Mapatih Pajajaran maka disiapkannya satu rencana busuk.
Suatu hari diundangnya Citrakarsa berikut istri dan anaknya yaitu Ranata ke satu
perjamuan. Makanan dan minuman yang diberikan kepada ketiga orang itu diam-diam
dimasukkannya racun yang bisa membuat seseorang jatuh menderita penyakit gila
yang hebat. Begitulah, sesudah pulang dari perjamuan, Citrakarsa merasakan
kepalanya amat pusing. Dunia ini tampak gelap dan tak karuan. Hal yang sama juga
dialami oleh istri dan anaknya. Satu hari kemudian ketiga beranak itu telah
berubah ingatannya. Kotaraja Pajajaran menjadi heboh sewaktu Citrakarsa dan anak
istrinya berlari-lari sepanjang jalan dalam keadaan setengah telanjang.
Apa yang terjadi atas diri menterinya itu disampaikan kepada Sang Prabu. Tabibtabib pandai di datangkan guna mengobati penyakit Citrakarsa, tapi tiada
gunanya. Malah seminggu kemudian istri Citrakarsa menemui kematian. Mati bunuh
diri dengan sebilah keris yang ditusukkannya sendiri ke tenggorokannya.
Citrakarsa dan Ranata kemudian melarikan diri ke dalam hutan. Satu tahun
kemudian, penyakit yang diderita Citrakarsa mulai sembuh. Ini disebabkan karena
dia mempunyai ilmu yang tinggi dan kekuatan bathin yang besar. Setelah
menjalankan semedi hampir selama tujuhpuluh hari, tanpa makan dan cuma minum
sedikit akhirnya Citrakarsa sehat seperti semula. Hanya badannya saja kini yang
kurus kering tinggal kulit pembalut tulang.
Beberapa bulan kemudian meskipun keadaan kesehatannya sudah pulih seperti
sediakala tetapi Citrakarsa tidak mau kembali ke Kotaraja. Dia merasa malu untuk
kembali dan berusaha menekan dendam kesumatnya terhadap Sutawija, yaitu menteri
yang telah mencelakakannya. Di samping itu KARYA
37 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Mawar Merah Menuntut Balas
putera tunggalnya Ranata sampai saat itu masih belum berhasil disembuhkan.
Berbagai usaha telah dilakukan oleh Citrakarsa namun tetap saja Ranata menderita
penyakit jiwa. Dalam keputus-asaan untuk menyembuhkan penyakit puteranya
akhirnya Citrakarsa menciptakan sebuah ilmu silat aneh yang khusus diajarkannya
kepada Ranata. Meski otaknya tidak sehat namun pada dasarnya Ranata adalah
seorang yang cerdas. Ilmu silat yang diajarkan ayahnya berhasil dikuasainya
secara sempurna dalam tempo hanya tiga tahun. Masa beberapa tahun kemudian
dipergunakannya untuk memperdalam ilmu bathin, terutama ilmu tenaga dalam di
samping ilmu meringankan tubuh.
Adapun ilmu silat yang diciptakan Citrakarsa berbeda dan terbalik seratus
delapan puluh derajat dari ilmu silat yang ada di rimba persilatan pada masa
itu. Gerakan-gerakan dan jurus-jurus yang dimainkan serba aneh dan terbalik.
Itulah yang membuat hebatnya ilmu silat yang dimiliki Ranata sehingga Pendekar
212 Wiro Sableng sanggup dipercundanginya hanya dalam tempo tiga jurus!
Matahari bersinar panas membakar kulit sewaktu Wiro keluar dari hutan itu.
Dengan mempergunakan ilmu larinya yang hebat pemuda ini laksana terbang menuju
ke utara. Pada raut wajahnya jelas kelihatan bayangan ketegangan dan rasa
penasaran yang mendalam. Dalam berlari sampai saat itu ingatannya masih tertuju
pada pertempuran yang telah dilakukannya dengan pemuda gila bernama Ranata.
Bertahun-tahun turun gunung, bertahun-tahun malang melintang di dunia
persilatan, belasan macam musuh dan permainan silat yang telah dihadapinya.
Namun baru hari ini dia dikalahkan cuma dalam tiga jurus!
"Tiga jurus! Betul-betul edan!" kata Wiro dalam hati. "Ilmu silat apakah yang
dimiliki pemuda itu hingga aku demikian tololnya menerima kekalahankekalahan"!
Gila!" Sambil lari Wiro mengingat terus. Jurus pertama perkelahian dia telah membuka
dengan gerakan "pecut sakti menabas tugu". Ranata dilihatnya bergerak cepat
sekali dan tahu-tahu dalam satu gerakan silat yang aneh dia telah menyusupkan
satu jotosan yang hampir saja menghantam dada Wiro. Dengan penasaran Wiro
menghentikan larinya. Dia berdiri dan membuat gerakan
"pecut sakti menabas tugu ". Gerakan ini dilakukannya dengan perlahan. Dicobanya
mengingat gerakan Ranata waktu diserang itu. Seharusnya si pemuda membuat
gerakan mengelak dari kiri ke samping kanan. Tapi dia ingat betul Ranata justru
membuat gerakan dari samping kanan ke kiri dan lalu entah bagaimana tahu-tahu
dia telah menyusupkan satu jotosan ke dada. Di sinilah keanehan gerakan Ranata.
Dengan gerakan yang juga sengaja diperlahankan, Wiro membuat gerakan "menentukan
KARYA 38 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Mawar Merah Menuntut Balas
serangan yang dilancarkannya dalam jurus kedua sewaktu menghadapi Ranata. Pemuda
itu membuat gerakan setengah terhuyung dan lenyap tetapi tahu-tahu tendangannya
meluncur ke kepala dari satu jurusan yang sebenarnya tidak bisa dilakukan dalam
ilmu silat yang wajar.
Wiro merenung sejenak. Lalu membuat gerakan "kipas sakti terbuka". Pada waktu
itu Ranata mengembangkan kedua tangannya laksana seekor burung besar hendak
terbang. Dalam ilmu silat wajar gerakan seperti ini benar-benar satu keadaan
yang amat empuk untuk diserang karena bagian dada sampai ke kaki tiada terjaga.
Seharusnya Ranata membuat kuda-kuda pertahanan dengan menutupkan kedua lengannya
di muka dada. Tapi justru dengan cara aneh begitu rupa Ranata berhasil merobek
ujung pakaiannya dengan tangan kiri dan memukul bahunya dengan tangan kanan!
"Betul-betul edan! Ilmu silat apa yang dimiliki orang sinting itu!" kata Wiro.
Digaruknya kepalanya berkali-kali. Otaknya berpikir terus. Kembali setahap demi
setahap diingat dan dibayangkanrya gerakan Ranata. Hampir sepeminuman teh
memeras otaknya akhirnya baru Pendekar 212 berhasil memecahkan keanehan dan
kehebatan ilmu silat yang dimiliki Ranata.
Dan pendekar ini jadi tertawa gelak-gelak!
Sebenarnya dasar permainan silat yang dimiliki Ranata tidak ada bedanya sama
sekali dengan ilmu silat manapun. Cuma dalam gerakan-gerakan yang dipakainya,
semuanya dilakukan secara terbalik hingga dengan sendirinya aneh dan sukar di
duga. Dan satu-satunya cara untuk dapat menghadapi ilmu silat seperti itu ialah
dengan jalan membuat gerakan-gerakan silat secara terbalik pula!
*** Bukit Gong. Seperti telah dituturkan sebelumnya bukit ini berbentuk bulat. Pada
pertengahannya terdapat bagian tanah yang tinggi memuncung ke atas yang juga
berbentuk bulat.
Bentuknya yang seperti itulah yang membuat bukit itu dinamakan bukit Gong.
Sebuah bangunan kayu jati berukir-ukir amat bagus berdiri di puncak bukit Gong.
Inilah tempat kediamannya Munding Wirya, orang tua sakti yang telah membawa
gadis cilik adik kandung Ratih. Dan ke sini pulalah Pendekar 212 Wiro Sableng
menuju. Wiro sampai di bukit Gong sewaktu matahari telah jauh condong ke barat. Dia
Wiro Sableng 015 Mawar Merah Menuntut Balas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
langsung masuk ke dalam dan menjura di hadapan Munding Wirya.
KARYA 39 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Mawar Merah Menuntut Balas
Di samping si orang tua saat itu duduk gadis kecil yang kelak akan menjadi
muridnya. "Mohon maafmu, orang tua. Pesan dan tugas yang kau berikan gagal kulaksanakan.
Sesuatu telah terjadi," kata Wiro.
Munding Wirya meneliti paras Wiro Sableng, memperhatikan ujung pakaiannya yang
robek lalu bertanya.
"Apakah yang telah terjadi?"
Wiro lalu menuturkan peristiwa yang dialaminya.
Munding Wirya mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Coba terangkan ciri-ciri orang tua itu," katanya. Wiro menerangkan.
"Tak salah lagi, pasti dia adalah Citrakarsa," kata Munding Wirya. Diwajahnya
menyeruak sebuah senyum kecil.
"Siapakah orang tua yang bernama Citrakarsa itu sebenarnya, juga anaknya yang
berotak miring tapi berilmu lihay itu?" tanya Wiro ingin tahu.
Munding Wirya menarik nafas panjang lalu menjawab,
"Dulu dia adalah seorang menteri kerajaan Pajajaran. Berilmu tinggi, berotak
cerdas, berbudi luhur, bijaksana serta jujur ... " Lalu Munding Wirya
menceritakan asal usul sampai Citrakarsa bersama anaknya melarikan diri dan
tinggal di dalam hutan.
Mau tak mau Pendekar 212 merasa terharu juga mendengar kisah yang menyedihkan
itu. "Mungkin sekali, karena hiba terhadap orang tua itulah Ratih mengambil keputusan
untuk tinggal di situ ... " kata Wiro.
"Kurasa demikian ..." menyahut Munding Wirya.
Setelah saling berdiam diri beberapa lamanya dengan berbisik-bisik Wiro kemudian
menerangkan tentang kematian Ibu Ratih di hutan Bludak.
Munding Wirya mengatupkan bibirnya rapatrapat dan membelai kepala gadis kecil di
sampingnya. "Kelak hari pembalasan akan tiba bagi manusiamanusia terkutuk di
hutan Bludak itu... " desis Munding Wirya.
"Mungkin ada pesan atau tugas lain yang harus kulaksanakan sehubungan dengan
pertemuanmu dengan guruku ...?" bertanya Wiro.
Munding Wirya menggeleng.
"Jika begitu perkenankan aku minta diri sekarang.
Munding Wirya mengangguk dan mengucapkan terima kasih.
KARYA 40 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Mawar Merah Menuntut Balas
8 DENGAN terpincang-pincang Camperenik berlari menuju ke selatan. Tepat pada waktu
mat ari tenggelam, sampailah dia disebuah sungai dan menyusuri sungai ini ke
arah muara. Waktu itu terang bulan hingga dengan mudah dia bisa melihat jalan
yang ditempuhnya dan dengan mudah pula bisa lari secepatnya. Akhirnya perempuan
tua renta ini sampai juga ke muara. Pada tempat pertemuan air sungai dengan air
laut terdapat sebuah delta subur berbentuk pulau kecil. Di sini berdirilah
sebuah bangunan bambu yang pada puncak atapnya ditancapi dengan sehelai bendera
hitam bergambar kepala burung hantu berwarna kuning. Dengan berenang dan dalam
keadaan basah kuyup Camperenik akhirnya berhasil sampai kebangunan tersebut.
Jauh-jauh dia sudah berteriak .
"Soka! Soka ... ! Adakah kau di dalam"!"
"Buset! Tamu dari manakah yang berkaok-kaok magrib-magrib begini"!" terdengar
suara menyahut. Lalu pintu bangunan terbuka dan sesosok tubuh keluar terbungkukbungkuk. "Buset! Kau rupanya Camperenik! Heh, kenapa larimu pincang"!"
"Camperenik sampai di hadapan laki-laki tua itu dan langsung menangis tersedusedu. Air mata berderai matanya yang cuma satu dan membasahi pipinya yang cekung
keriputan. "Buset, begitu muncul tak ada hujan tak ada angin kau lantas menangis di
hadapanku! Apa-apaan kau ini Camperenik"!"
Teguran itu membuat tangis Camperenik semakin keras dan rawan.
"Kalau tak ada apa-apa, masakan aku menangis!" katanya.
Damar Soka, demikian hama laki-laki tua renta berbadan bongkok itu golenggolengkan kepala, memegang bahu Camperenik lalu membimbingnya masuk. Setelah
Camperenik duduk disebuah kursi bambu maka berkatalah Damar Soka.
"Nah, sekarang kau terangkanlah apa yang membuatmu sampai menangis. Juga
terangkan kenapa kakimu pincang."
Untuk beberapa lamanya Camperenik tak menjawab dan masih terus menangis. Damar
Soka menarik ujung pakaiannya lalu dengan sikap yang lucu seperti dua orang muda
mudi tengah berkasih sayang, disekanya air mata yang membasahi pipi Camperenik
dan dia berbisik.
"Hentikan tangismu, Camperenik. Hatiku tak tahan melihat kau menangis. Katakan
siapa yang KARYA
41 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Mawar Merah Menuntut Balas
berbuat hingga kau sampai menangis begini rupa ..."
Camperenik hentikan tangisnya.
"Sebelas tahun aku mencari-cari seorang calon murid. Ketika aku akan
mendapatkannya, ketika calon murid itu sudah befada di tanganku, tahu-tahu
datanglah Munding Wirya hendak merebutnya..."
"Dan dia berhasil merebut calon muridmu itu?" tanya Damar Soka seraya mengusap
mukanya. Baik muka maupun kedua tangannya berwarna kuning. Sepasang matanya besar hitam,
alisnya tebal menjulai dan hidungnya tinggi bengkok. Bibirnya lebar dan tipip.
Keseluruhan parasnya persis seperti burung hantu. Sudah hampir tujuh tahun Damar
Soka mendekam di muara sungai.
Siapa saja yang keluar masuk muara itu terutama kaum nelayan, diwajibkannya
membayar pajak yang dibuatnya sendiri. Dan merekamereka yang tak mau mematuhi
hal itu pasti akan mendapat celaka. Banyak orang yang mengeluh namun tak
seorangpun yang berani turun tangan. Damar Soka berhati sejahat iblis. Karena
itulah dia cukup pantas mendapat gelaran "Hantu Kuning".
"Tidak, bangsat tua bangka itu tak berhasil merampas calon muridku. Tetapi
ketika aku dan dia tengah bertempur, sesosok bayangan yang aku tidak kenal telah
menyambar calon muridku dan melarikannya. Aku hendak mengejar, namun Munding
Wirya keparat itu melepaskan pukulan buana biru yang berhasil menyerempet
pinggulku hingga lariku jadi pincang!" dan Camperenik menangis lagi macam anak
kolokan. "Sudahlah, nanti aku akan beri hajaran pada Munding Wirya ..." berjanji Damar
Soka seraya membelai rambut Camperenik.
"Tapi calon muridku itu ... "
"Kita akan cari sampai dapat ... "
"Dan pinggulku yang sakit ini?" mengajuk Camperenik.
"Ah, aku akan mengobatinya" jawab Damar Soka. "Coba kau bukalah kainmu ... "
kata lakilaki ini dengan tersenyum.
Camperenik dengan sikap malu-malu dan kegenit-genitan memperlonggar buhul kain
yang melekat di tui;ahnya hingga kain itu merosot sampai ke pangkal pahanya.
"Buset ... tubuhmu masih semulus dulu juga," kata Damar Soka pula sambil tertawa
mengekeh meskipun sesungguhnya keadaan tubuh Camperenik telah dibalut dengan
kulit-kulit loyo dan keriput!
Camperenik mencubit lengan Damar Soka. Damar Soka menangkap lengan nenek-nenek
itu KARYA 42 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Mawar Merah Menuntut Balas
lalu menciuminya.
"Genit kau, Soka! Genit! Obati dulu pinggulku!" kata Camperenik pula seraya
menarik tangannya dan menjiwir telinga Damar Soka.
Laki-laki tua itu tertawa mengekeh dan dengan tangan kanannya dibelainya pinggul
Camperenik yang agak kebiru-biruan. Camperenik menggeliat kegelian. Darah tuanya
hangat. Kulitnya yang lembek berkeriput menjadi bergetar oleh sentuhan tangan Damar
Soka. "Bagaimana rasanya sekarang?" bertanya Damar Soka setelah mengusap-usap beberapa
lamanya. "Agak mendingan ... Usaplah terus, Soka. Usaplah terus ... " bisik si nenek
bermata satu penuh lirih.
Jika saat itu ada orang ketiga di situ pastilah dia akan merasa amat jijik
melihat tingkah laku kedua manusia tua bangka ini.
Dan Damar Soka terus juga mengusap pinggul Camperenik. Bahkan tangannya kemudian
bergerak mengelus perut Camperenik hingga nenek-nenek ini menggeliat kegelian
dan menundukkan kepalanya menggigit tengkuk Darnar Soka.
Damar Soka memekik kecil. Tangannya lebih berani lagi menyelusur ke bawah pusat
si nenek. Carrrperenik terpekik dan meloncat dari kursinya. Kainnya merosot lepas dan
jatuh ke lantai.
Tanpa memperdulikan kain itu dalam keadaan setengah telanjang begitu dia lari ke
dalam kamar. Hidung Damar Soka kembang kempis. Mulutnya komat kamit dan matanya yang hitam
bersinar-sinar. Dengan tubuh bergetar dia menyusul masuk ke dalam.
Camperehik berbaring menghadap ke dinding membelakanginya. Nafas Damar Soka
memburu. Dia duduk di tepi tempat tidur. Diletakkannya tangannya di atas paha
tua itu Camperenik diam saja. Damar Soka mengelus paha itu. Tiba-tiba Camperenik
membalik dan menggigit ibu jari Damar Soka hingga si tua ini terpekik kesakitan.
"Soka ... soka ... ", bisik Camperenik berulang- ulang sambil menggayuti leher
laki-laki tua itu , dengan kedua tangannya. "Enam bulan aku tidak bertemu
kau ... Sudah terlalu lama Soka ...
Terlalu lama ... "
"Ya, terlatu lama ... " berbisik Damar Soka dan tangannya menjalar lebih berani
membuat Carnperenik kelangsatan dan menggelinjang di atas tempat tidur.
Dari balik pakaiannya Camperenik kemudian mengeluarkan sebuah topeng kain.
Sewaktu topeng itu dilekatkannya ke mukanya, wajahnya kini berubah menjadi wajah
seorang gadis yang KARYA
43 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Mawar Merah Menuntut Balas
amat cantik. Damar Soka tertawa bergumam. Dari balik pakaiannya dikeluarkannya pula sehelai
topeng kain. Begitu dipakai maka wajahnya yang kuning buruk itu kini berubah
menjadi wajah seorang pemuda tampan. Kedua manusia itu saling pandang sejenak.
"Kau cantik, Camperenik!"
"Kau gagah! Gagah sekali!" balas Camperenik. Kedua kakinya bergerak dan sesaat
kemudian tubuh Damar Soka sudah dikempitnya, digelung dan dipeluknya penuh
nafsu. Kedua kakek nenek itu berguling-guling di tempat tidur. Mereka lupa bahwa
mereka sudah tua bangka begitu rupa.
Mereka merasa tak beda dengan sepasang muda-mudi.
Camperenik tertawa kecil sewaktu Damar Suka membuka pakaian yang melekat di
tubuhnya. Dengan nafsu berkobar-kobar dia sendiri kemudian menolong membukakan seluruh
pakaian kakek-kakek itu.
"Enam bulan Soka ... enam bulan ... " bisik Camperenik.
"Enam bulen! Buset ... !" balas Damar Soka. Dijambaknya rambut si nenek lalu
ditindihnya tubuh perempuan tua itu!
Dalam dunia persilatan di Jawa Barat, nama Camperenik dan Damar Soka bukan namanama yang asing lagi. Kedua orang ini sejak masih muda dikenal sebagai manusia
kotor yang setiap bertemu selalu berbuat cabul. Mereka hidup tiada beda seperti
suami istri tanpa kawin syah. Dan sampai tua bangka begitu rupa segala perbuatan
cabul itu masih terus juga mereka lakukan setiap mereka bertemu. Dapat
dibayangkan bagaimana kegilaan mereka melakukan kecabulan itu. Dalam umur tua
begitu mereka sengaja mempergunakan topeng-topeng kain untuk merubah paras
mereka menjadi muda kembali hingga menggelegakkan kobaran nafsu birahi kotor di
dalam diri masing-masing!
Sewaktu matahari tetah tinggi ke esokan paginya baru Damar Soka terbangun.
Disibakkannya lengan Camperenik yang memeluk pinggangnya. Lalu dengan terhuyunghuyung dia duduk di tepi tempat tidur. Perlahan-lahan laki-laki ini berdiri
tetapi dirasakannya satu pegangan mencekal lengannya.
Dia berpaling. Dilihatnya Camperenik telah bangun dan tersenyum kepadanya.
"Kau mau ke mana, Soka?"
"Bangunlah! Bukankah kita musti berangkat untuk mencari Munding Wirya dan calon
rnuridmu yang dilarikan itu?"
KARYA 44 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Mawar Merah Menuntut Balas
"Betul. Tapi sekarang masih pagi," sahut Camperenik pula.
"Buset! Masih pagi katamul Coba kau lihat matahari telah hampir ke-ubun-ubun."
Camperenik tertawa. Sampai saat itu keduanya masih mengenakan topeng-topeng kain
di muka masing-masing.
"Bagiku masih pagi, Soka. Bagi kita masih pagi saat ini. Persetan dengan
matahari. Munding Wirya bisa menunggu saat kematiannya. Calon muridku yang
hilang tokh pasti akan kita temukan... " Camperenik menarik lengan Damar Soka
dan memeluk tubuh laki-laki itu kembali.
Nafsu kotor masih belum lenyap dari tubuh nenek-nenek ini dan membuat Damar Soka
kembali ketularan rangsangan birahi pula.
"Enam bulan Soka ... enam bulan ... "
"Tapi bused! Kau mau bikin aku lumpuh"!" desis Damar Soka. Dan meskipun demikian
untuk kesekian kalinya kembali ditindihnya tubuh Camperenik!
KARYA 45 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Mawar Merah Menuntut Balas
9 PENDEKAR 212 Wiro Sableng berhenti di tepi lembah itu. Dia duduk di sebuah batu
dan memandang berkeliling. Bagus sekali pemandangan yang terhampar di bawah
lembah. Jauh di-sebelah timur kelihatan menjulang puncak sebuah gunung. Di barat
menghampar sawah yang tengah menguning tak ubahnya seperti hamparan permadani
raksasa. Ketika dia memandang ke bawah lembah tampaklah sebuah telaga yang dikelilingi
oleh pohonpohon besar berdaun rimbun hingga suasana di situ kelihatan sejuk
sekali. Wiro berdiri dan memutuskan untuk pergi ke telaga itu guna mandi agar
tubuhnya lebih segar.
Kira-kira dua ratus langkah dari telaga itu, Wiro tiba-tiba mendengar suara dua
orang tertawa gelak-gelak, lalu suara orang terjun ke dalam telaga dan
bersimbur-simburan air.
"Pasti ada sepasang muda mudi yang tengah mandi di sana," pikir Wiro. Dia
bermaksud untuk membatalkan niatnya pergi mandi karena tak ingin mengganggu
pasangan yang tengah bergembira itu. Lalu didengarnya lagi suara tertawa gelakgelak. Wiro tak jadi memutar langkahnya. Suara tertawa itu agak aneh. Bukan
suara tertawa sepasang muda mudi.
Akhirnya dengan hati bertanya-tanya dan ingin tahu Wiro meneruskan langkahnya
menuju tepi telaga.
Kira-kira dua puluh langkah dari tepi telaga, Wiro menyeruakkan semak belukar
dan memandang ke depan. Terkejutlah murid Eyang Sinto Gendeng ini sewaktu
menyaksikan apa yang ada di hadapannya. Matanya terbuka lebar-lebar, mulutnya
menganga. Di situ, di tepi telaga seorang nenek-nenek tua goyangkan pinggulnya.
"Gila ... betul-betul gila!" kata Wiro dan cepatcepat dipalingkannya kepalanya.
Hampir sepeminuman teh lewat. Perlahan-lahan Wiro rnemalingkan kepalanya.
"Setan alas!" Pendekar 212 cepat-cepat memutar tubuh kembali. Semula disangkanya
adegan kotor itu, telah berakhir. Tetapi sewaktu barusan dia menoleh ternyata
adegan yang dilihatnya lebih kotor dan lebih gila lagi. Kalau tadi si kakek yang
dilihatnya berada di sebelah atas kini malah tampak si nenek yang tengah
"memperkuda" laki-laki tua itu sambil tertawa-tawa, sambil menyeringainyeringai! "Geblek, biar kulempar mereka dengan umbi keladi hutan ini!", kata Wiro dalam
hati. Lalu dibetotnya sebatang pohon keladi. Ketika hendak dilemparkannya ke
Wiro Sableng 015 Mawar Merah Menuntut Balas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
arah kedua insan yang KARYA
46 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Mawar Merah Menuntut Balas
tengah lupa daratan itu, terpikir oleh si pemuda bukan mustahil kedua kakek
nenek itu adalah suami istri. Dan adalah berdosa serta tidak sopan sekali kalau
dia mengganggu kesenangan mereka. Akhirnya dengan memandang ke jurusan lain Wiro
menunggu. Tak berapa lama kemudian ketika Wiro memalingkan kepalanya kembali, dilihatnya
kedua orang itu terbaring berdampingan di tanah dan bercakap-cakap dengan suara
perlahan. Diam-diam Wiro melangkah mendekati mereka.
"Kita mandi lagi Soka ... " terdengar suara si nenek.
"Buset! Sebentar lagilah. Tubuhku masih keringatan ... " sahut si kakek dan si
nenek tertawa cekikikan.
"Enam bulan Soka ... "
"Sudah, sudah! Jangan sebut lagi masa itu! Kau mau bikin aku benar-benar lumpuh
apa"!"
Si nenek tertawa lagi macam tadi. Lewat beberapa saat si nenek membuka suara
kembali. "Kita cari anak itu dulu atau pergi ke tempat si Munding Wirya lebih dulu?"
Pendekar 212 Wiro Sableng di tempat persembunyiannya merasa terkejut sewaktu
mendengar nama Munding Wirya disebut-sebut. Dipertajamnya telinganya lalu
didengarnya laki-laki tua yang dipanggilnya Soka itu menjawab,
"Tempatnya si Munding sudah jelas. Bagusnya kita datangi dulu dia ... "
"Betul, lebih cepat dia mampus lebih baik. Kalau tidak gara-gara bangsat tua
bangka itu pasti calon muridku tak akan dilarikan orang!"
Wiro mengerenyitkan kening. Tiba-tiba kedua orang tua renta itu berdiri dan
sambil bergandengan tangan lari ke telaga, terjun ke dalam air dan bergelut lagi
seperti tadi! Sewaktu matahari telah jauh condong ke barat barulah kedua kakek nenek yang
bukan lain Damar Soka dan Camperenik adanya mengambil pakaian masing-masing,
mengenakannya lalu laksana terbang lari kejurusan timur. Tanpa menunggu lebih
lama Wiro Sableng segera berkelebat mengikuti keduanya. Dari pembicaraan kedua
tua renta itu tadi, Wiro tahu bahwa mereka mempunyai maksud jahat terhadap
Munding Wirya. Tetapi baru saja Pendekar 212 menggerakkan kakinya, dia dikejutkan oleh satu
suara yang megap-megap .
"Sau ... sauda ... ra ... tol ... tolonglah ... "
Wiro berpaling. Semak belukar di sampingnya tiba-tiba tersibak dan seorang lakilaki melangkah tertatih-tatih sambil memegangi dadanya yang berlumuran darah.
Pada bahunya ada KARYA
47 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Mawar Merah Menuntut Balas
sebuah kantung kulit.
"Sau ... saudara ... " Laki-laki itu hampir terjatuh menyungkur tanah kalau Wiro
tidak memegang bahunya dengan cepat!
Wiro segera hendak memeriksa luka di dada laki-laki itu sewaktu tiba-tiba sekali
lima orang berpakaian serba hitam bertampang buas menyeruak dari balik semak
belukar. Salah satu di antaranya mereka memegang sebatang golok yang basah oleh
darah. Karena tak sempat memberi pertolongan lebih lanjut, Wiro segera menotok
urat besar di leher laki-laki yang di hadapannya, membaringkannya di tanah lalu
berdiri dengan cepat.
"Siapa kalian"!"
Manusia buas yang memegang golok menyeringai.
"Manusia rambut gondrong! Berlalulah dari sini kalau tak ingin mampus!"
"Hebat sekali bicaramu!" ejek "Wiro. "Kau menyebut-nyebut soal mampus! Agaknya
kau sendiri yang ingin berpisah nyawa dengan badan!"
"Setan alas! Tak ada seorang bangsatpun yang boleh bicara kasar terhadap anak
buah Bayunata!" Laki laki itu memutar goloknya dengan sebat.
KARYA 48 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Mawar Merah Menuntut Balas
10 WIRO Sableng keluarkan siulan nyaring. "Jadi kalian adalah monyet-monyetnya si
Bayunata hah"
Bagus! Majulah bersama-sama agar lebih cepat aku bisa merenggut nyawa kalian!"
Sambil berkata begitu Wiro berkelit mengelakkan serangan golok yang ganas
berbahaya. Anak buah Bayunata menjadi penasaran melihat serangannya mengenai
teropat kosong. Secepat kilat dilancarkannya lagi satu serangan susulan yang
lebih berbahaya. Namun saat itu Wiro telah lenyap dari hadapannya. Sebelum dia
sempat mengetahui di mana pemuda itu berada, satu jambakan telah mencengkeram
rambutnya dan di lain kejap tubuhnya terbanting keras ke tanah!
Perampok itu mengeluh tinggi. Untuk bebarapa lamanya dia terkapar di tanah tanpa
bisa bergerak. Tulang-tulangnya serasa remuk, pemandangannya gelap. Goloknya
telah terlepas entah ke mana.
"Sret!"
Suara golok dicabut terdengar susul menyusul. Empat rampok yang lainnya begitu
melihat kawan mereka dihajar demikian rupa, serentak mencabut senjata masingmasing dan tanpa banyak cerita langsung menyerang Wiro Sableng. Empat golok
besar bersiuran, mencari sasaran di empat bagian tubuh Wiro. Jika serangan itu
berhasil dapat dibayangkan bagaimana Pendekar 212 akan mati dengan tubuh
terkutung-kutung. Namun serangan-serangan tersebut tak akan berhasil, tak akan
pernah berhasil.
Di dahului dengan bentakan nyaring, Wiro melompat satu setengah tombak ke udara.
Dua orang penyerang saling bentrokan senjata satu sama lain. Sementara itu dari
atas Wiro berkelebat turun. Kaki kanan dan tangan kirinya menablir serangan.
Dua pekik kematian terdengar. Rampok yang disam ping kanan terbanting ke tanah
dengan kepala rengkah sedang rampok yang di sebelah kiri melosok dengan dada
hancur melesak!
Rampok-rampok yang masih hidup terkesiap kaget lalu tanpa tunggu lebih lama
segera memutar tubuh untuk larikan diri. Namun masing-masing mereka hanya bisa
bergerak sejauh dua langkah, karena sangat cepat Wiro telah menjambak rambut
mereka. Mula-mula hendak dibenturkannya kepaia kedua rampok itu satu sama lain.
Tetapi setelah berpikir sejenak, dengan menyeringai Wiro melemparkan keduanya ke
dalam telaga. Celakanya masing-masing mereka tidak bisa berenang.
KARYA 49 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Mawar Merah Menuntut Balas
"Tolong!" jerit mereka sambil menggelepargelepar dalam air. Keduanya laksana
gila, berteriak don menggelepar. Tubuh mereka sedikit demi sedikit mulai
tenggelam. Semakin keras dan cepat gerakan yang mereka buat, semakin lekas tubuh
mereka amblas ke dalam air. Beberapa menit kemudian keduanya lenyap dari
permukaan air telaga.
Wiro memutar tubuh dan melangkah mendapati laki-laki yang menggeletak luka
parah. Dibukanya totokan pada urat di leher orang ini. Darah yang tadi berhenti kini
kelihatan kembali mengucur. Dari mulut orang itu terdengar suara erangan sedang
kedua matanya terpejam. Wiro mengeluarkan bubuk obat dari dalam saku pakaiannya.
Darah yang mengucur tak lama kemudian segera berhenti sesudah bubuk obat itu
ditaburkannya di atas luka. Dengan cabikan pakaian Wiro membalut luka itu
kemudian menelankan sebutir obat ke mulut laki-laki tersebut dan menyandarkannya
di sebuah pohon. Kira-kira sepeminuman teh berlalu orang itu membuka kedua
matanya. "Bagaimana rasanya, masih sakit?" tanya Wiro.
"Mendingan ... te ... terima kasih, Sau ... dara."
"Bernafaslah dengan teratur, pasti rasa sakitmu akan lebih berkurang,"
menasihatkan Wiro.
Dan bila orang itu dilihatnya agak segar dia berkata, "Sekarang terangkanlah
siapa kau dan apa yang terjadi dengan dirimu."
"Aku adalah seorang kurir Adipati Ekalaya dari Parangsari. Aku ditugaskan ke
Kotaraja untuk menyampaikan uang emas yang ada di dalam kantong kulit
dipunggungku ini. Entah bagaimana perjalananku bocor ke tangan penjahat-penjahat
di hutan Bludak itu. Aku dihadang di tengah jaian. Ketika aku menolak untuk
memberikan uang emas yang kubawa, kelima penjahat itu mengeroyokku. Aku berusaha
melawan. Namun jumlah mereka terlalu banyak dan rata-rata memiliki ilmu yang
tinggi. Sewaktu salah seorang dari mereka mencabut golok, aku tak berdaya lagi.
Dadaku luka parah. Dalam keadaan begitu rupa aku berusaha melarikan diri. Aku
sampai di tempat ini dan berternu dengan kau ..."
Laki-laki itu meraba dadanya sebentar ialu menarik nafas panjang dan berkata
lagi. "Aku berhutang besar padamu, Saudara. Berhutang nyawa. Sebagai balasan aku tak
bisa memberikan apa-apa. Kuharap kau mau mengambil sepertiga dari uang emas yang
ada di dalam kantong kulit ini. Bagaimana nanti dengan Adipati Ekalaya adalah
urusanku." Dan laki-laki itu hendak membuka ikatan kantong kulit dipunggungnya.
Wiro Sableng tertawa dan digelengkannya kepalanya.
KARYA 50 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Mawar Merah Menuntut Balas
"Menolong sesama manusia adalah satu hal yang menyenangkan bagiku. Lebih dari
itu, menolong merupakan satu kewajiban. Menolong berarti tanpa parnrih, tanpa
mengharapkan balas jasa.
Karenanya jangan sebut-sebut segala hutang nyawa dan segala pembalasan ... "
"Uang ini kuberikan dengan penuh rasa rela. Dan aku yakin Adipati Ekalaya tidak
keberatan."
"Sudahlah sobat. Sebaiknya kita tinggalkan tempat ini. Sebentar lagi matahari
akan tenggelam dan malam akan tiba."
Keduanya berdiri.
"Aku akan antarkan kau ke tepi sungai. Kau bisa melanjutkan perjalanan ke
Kotaraja dengan menumpang perahu." kata Wiro pula.
Laki-laki itu mengangguk.
Ketika malam tiba mereka sampai di satu tikungan sungai di mana terdapat sebuah
pangkalan perahu tumpangan.
"Kita berpisah di sini, sobat. Selamat jalan!" kata Wiro sambil menepuk bahu
laki-laki di sampingnya.
"Ya. Terima kasih atas segala bantuanmu. Sebelum berpisah harap kau sudi
menerangkan nama dan tempat tinggalmu ... " Laki-laki itu berpaling dan astaga!
Terkejutlah dia. Wiro Sableng sudah lenyap dari sampingnya.
Sekarang marilah kita ikuti perjalanan dua tua bangka cabul yakni Damar Soka
alias Hantu Kuning dan nenek-nenek bermuka hitam bermata satu si Camperenik.
Dengan mengandalkan ilmu lari masingmasing, menjelang tengah malam mereka
berhasil mencapai Bukit Gong tempat kediaman Munding Wirya.
Pada saat itu Munding Wirya tengah hendak bersemedi. Beberapa kali telah
dicobanya untuk menutup panca inderanya namun sia-sia belaka. Dia sama sekali
tak dapat memusatkan pikiran sedang entah karena apa hatinya selalu tidak enak.
Dihelanya nafas panjang, dibukanya kedua matanya kembali. Di sampingnya tertidur
pulas gadis cilik yang akan menjadi muridnya. Setelah lewat kira-kira
sepeminuman teh, Munding Wirya coba untuk bersemedi kembali. Namun lagi-lagi dia
tak bisa memusatkan pikirannya. Selagi dia termenung diombang-ambing jalan
pikiran yang tak menentu, mendadak telinganya yang tajam mendengar suara di
luar. "Siapa"!" Munding Wirya bertanya.
Baru saja pertanyaannya itu selesai diucapkan, pintu pondok tiba-tiba terbuka
dan sesosok tubuh masuk ke dalam.
KARYA 51 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Mawar Merah Menuntut Balas
"Selamat berjumpa kembali, Munding Wirya!" orang yang baru masuk berkata dengan
seringai bermain di mulut. Matanya yang cuma satu membuka besar-besar sewaktu
melihat gadis cilik yang tengah tidur pulas di samping Munding Wirya.
"Ada apa kau ke sini" Apa hajaran yang kuberikan padamu beberapa waktu yang
lewat masih kurang?"
"Aha! Jangan bicara besar malam ini, Munding Wirya!" sahut Camperenik. "Aku
datang untuk menenagih hutang berikut bunganya. Tiada dinyana calon muridku juga
ada di sini! Sekali merangkuh, dua tiga pulau terlalui. Bukankah keadaan cocok
sekali dengan pepatah itu heh"!"
Munding Wirya mengusap janggutnya yang panjang putih.
"Aku tidak percaya kau punya nyali untuk datang seorang diri kemari! Siapa orang
di luar yang agaknya menjadi andalanmu"!"
Pada saat itu di luar pondok terdengar suara batuk-batuk. Menyusul masuknya
seorang lakilaki bermuka kuning dan berbadan bungkuk.
"Hem ... Kau rupanya Damar Soka. Sudah sejak lama dunia persilatan mengetahui
Pendekar Jembel 2 Pedang Siluman Darah 5 Hidung Belang Penghisap Darah Pohon Kramat 8
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama