Wiro Sableng 007 Tiga Setan Darah Dan Cambuk Api Angin Bagian 2
manusia-manusia diambang pintu itu.
Setan Darah Kedua menyengir.
"Kalian tak usah takut pada kami. Kami jauh lebih baik
daripada si kate kepala gundul itu!"
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin
Setan Darat Ketiga yang sudah tak sabaran berbisik, "Masingmasing kita kebagian dua orang. Kau pilih yang mana...?"
Setan Darah Kedua meneliti sebentar lalu menjawab, "Yang
baju ungu dan baju biru itu...."
"Sompret kau pilih yang cantik semua!"? desis Setan Darah
Ketiga. "Begini saja, kau boieh ambil si baju ungu dan salah seorang
lainnya, aku si baju biru dan satu orang lainnya pula. Atau
sebaliknya!"
"Baik," Setan Darah Kedua mengangguk. Dia, melompat ke
muka. Empat perempuan itu menjerit. Setan Darah Kedua segera
merangkul perempusn baju ungu dan salah seorang kawannya
sedang Setan Darah Ketiga menarik si baju biru bersrama kawannya
yang keempat. "Di sini saja, sobat"!" tanya Setan Darah Kedua
"Sinting kau! Kau pindah ke kamar sebelah sana!"
Dengan tertawa-tawa Setan Darah Kedua memboyong dua
orang perempuan cantik itu dan membawanya ke kamar sebelah!
-- == 0O0 == -Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin
SEPULUH PENDEKAR 212 wiro sableng membawa Pranajaya ke luar
Kotaraja sebelah tenggara. Dia berhenti di tepi sebuah telaga dan
membaringkan tubuh pemuda itu di atas rerumputan. Dia sudah
sejak lama siuman tapi keadaannya masih menyedihkan. Wiro
memberikan sebutir pil lagi kepada pemuda itu kemudian
menyandarkannya ke sebatang pohon. Dengan sehelai sapu tangan
yang sudah dibasahkan dengan air telaga dibersihkannya seluruh
luka-luka di tubuh Pranajaya.
Setengah jam kemudian disuruhnya pemuda itu mengatur
jalan nafas serta darah. Ketika disuruhnya mengatur tenaga dalam
Pranajaya masih tak mampu. Wiro Sableng berlutut di belakang
pemuda itu. Kedua telapak tangannya ditempelkannya di punggung
pemuda itu. Lalu perlahan-lahan Wiro mulai alirkan tenaga
dalamnya. Lima menit kemudian.
"Coba kerahkan lagi," kata Wiro.
Pranajaya kerahkan tenaga dalamnya, memusatkannya
kepertengahan perut! Dia berhasil berseru gembira!
"Wiro Tenaga dalamku telah pulih!"
Murid Empu Blorok ini melompat ke udara berjundgir balik
beberapa kali lalu turun kembali dengan kedua kaki lebih dahulu
mencapai tanah!
"Gerakan dan ilmu mengentengi tubuhmu hebat sekali Prana,"
puji Wiro. Pranajaya tersenyum jumawa. "Ini semua adalah berkat
pertolonganmu. Kalau kau tidak ada pasti aku sudah mampus! Aku
berhutang budi dan berhutang nyawa padamu!"
Wiro Sableng bersiul.
"Hutang budi dan hutang nyawa itu sebetulnya tak pernah ada
di dunia ini, saudara Prana," sahut Wiro Sableng. "Kau tahu, budi
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin
baik itu Tuhan yang memasukannya ke dalam hati nurani kita. Dan
nyawa itu Tuhan yang punya! Jadi kepada Tuhanlah kita semua
berhutang!"
Pranajaya tertawa.
"Walau bagaimanapun aku tetap merasa berhutang besar
sekali padamu. Kuharap Tuhan memanjangkan umurku dan bisa
membalas semua pertolonganmu..."
Wiro Sableng geleng-gelengkan kepalanya. Ditepuknya bahu
Prana dan berkata, "Di samping nasib baik dan pertolongan Tuhan,
tentunya kau seorang tokoh silat yang sakti, Prana."
"Ah, aku cuma manusia biasa saja. Pemuda gunung yang tak
tahu apa-apa...!" jawab Pranajaya rendahkan diri.
Wiro tertawa. "Seorang pemuda gunung yang dogol pasti sudah
mampus diseret dengan kuda! Kau tidak dan masih hidup!"
Prana angkat bahu.
"Sekarang terangkan kenapa sampai kau mengalami nasib
demikian," kata Wiro Sableng pula.
"Aku dilepas oleh guruku untuk mencari Tiga Setan Darah.
Mereka telah membunuh bapakku dan salah seorang dari mereka
membacok buntung lengan kiriku ini! Di samping itu. Empu Blorok
juga menugaskanku mencari senjata mustika miliknya yang dicuri
oleh seorang sahabatnya bernama Bagaspati."
"Senjata apa yang dicuri itu?" kepingin tahu Wiro.
"Sebuah cambuk bernama Cambuk Api Angin."
"Namanya hebat, pasti itu senjata dahsyat sekali," ujar Wiro.
"Kau sudah tahu di mana itu si Bagaspati bercokol?" tanya
Wiro kemudian. Pranajaya mengangguk.
"Di Pulau Seribu Maut," jawab pemuda tangan buntung itu.
"Pulau Seribu Maut" Di mana itu" Aku tak pernah dengar!"
"Menurut guruku terletak di ujung timur Pulau Jawa..."
"Cukup jauh dari sini," kata Wiro.
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin
Prana mengangguk lagi. "Aku bernasib sial," katanya. "Tiga
Setan Darah ternyata sangat tinggi ilmunya dan belum apa-apa aku
sudah kena disikat mereka. Tapi demi arwah ayah, sampai serahkan
jiwapun aku tetap musti bisa membereskan ketiga bangsa itu!"
Prana berdiri dari duduknya.
"Kau mau ke mana"!" tanya Wiro.
"Kembali ke Kotaraja untuk-mencari Tiga Setan Darah!"
Wiro berdiri pula. "Dengan pakaian macam ini kau mau masuk
ke Kotaraja?"
Prana memandang ke dirinya. Seluruh pakaian birunya sudah
hancur robek-robek, kotor oleh darah dan debu. Pemuda ini
menggigit bibir.
Wiro tertawa. "Aku ada satu stel persediaan pakaian," katanya. Dari balik
punggungnya Pendekar 212 mengeluarkan sebuntal pakaian. "Ini,
pakailah," Wiro melemparkan pakaian itu.
Prana menyambutnya. "Terima kasih," kata pemuda ini lalu
cepat-cepat berganti pakaian di balik semak belukar.
"Aku juga akan ke Kotaraja," kata Wiro "Seorang sahabatku
lenyap tak tentu entah ke mana. Aku musti cari dia!"
"Kalau begitu kita pergi sama-sama," ujar Pranajaya. "Tiga Setan
Darah musti mampus ditanganku!," murid Empu Blorok ini kepalkan
tinju tangan kanannya. "Salah seorang dari mereka telah merampas
pedang warisan guruku! Mereka musti benar-benar mampus!"
Wiro menepuk bahu Pranajaya. "Sudah sobat, mari kita
berangkat!"
Kedua pendekar itu meninggalkan telaga. Dengan ilmu lari cepat
masing-masing keduanya menuju kembali ke Kotaraja. Di saat itu
matahari telah menggelincir ke ufuk barat. Diam-diam Pranajaya
memperhatikan gerak dan cara lari Wiro Sableng. Pemuda ini bermata
tajam dan berpikiran cerdas. Dia segera mengetahui kalau saat itu
Wiro hanya mengeluarkan setengah bagian saja dari kecepatan ilmu
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin
larinya sedang dia sendiri sudah mempergunakan keseluruhan
kecepatan ilmu lari warisan Empu Blorok! Jika Wiro mau pastilah dia
akan ketinggalan jatuh di belakang. Diam-diam Pranajaya membathin
siapa dan murid guru sakti dari manakah sesungguhnya Wiro" Empu
Blorok pernah menerangkan tentang tokoh-tokoh silat ternama di
rimba persilatan. Tapi tak pernah menyebut-nyebut seorang pendekar
muda bernama Wiro. Dalam berpikir dan berlari itu akhirnya mereka
telah sampai di pintu gerbang Kotaraja.
Wiro Sableng memperlambat larinya.
"Kulihat ada kelainan di pintu gerbang saat ini," kata Wiro.
Pranajaya memperhatikan ke arah pintu gerbang. Apa yang
diucapkan Wiro memang betul. Pada pintu gerbang Kotaraja kelihatan
sepuluh orang pengawal, padahal sebelumnya cuma ada dua orang
yang berdiri di situ.
"Aku mendapat firasat mereka hendak membuat urusan dengan
kita..," kata Pranajaya.
"Kita lihat saja. Jika betul tak usah ragu-ragu untuk memberi
sedikit hajaran pada mareka, Prana!" Begitu sampai di pintu gerbang
Kerajaan ke sepuluh pengawal pintu gerbang berjejer rapi, masing-masing memalangkan tombak. Salah seorang dari mereka maju
membentak. "Berhenti!"
Wiro Sableng dan Pranajaya hentikan lari masing-masing.
Mereka memperhatikan, rata-rata tampang pengawal-pengawal itu
bengis semua. Yang tadi membentak berpaling pada salah seorang kawannya
dan bertanya, "Apakah ini kunyuk-kunyuk yang tadi kau lihat
melarikan diri dari Kotaraja"!"
Pengawal yang ditanya mengangguk. Meski sudah berganti
pakaian namun pengawal itu masih dapat mengenali Pranajaya dan
juga Wiro Sableng.
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin
Pengawal yang tadi bertanya palingkan kepala kembali pada
Wiro dan Prana. Dia segera hendak buka mulut berikan perintah
namun Wiro Sableng dengan cengar cengir mendahului.
"Pengawal, omongmu seenaknya saja! Kau kira kami ini apa
pakai memaki kunyuk segala"! Coba kacakan mukamu di telapak
kakiku ini dulu, baru nanti kau tahu apa kami yartg kunyuk atau kau
yang monyet!"
Habis berkata begitu Wiro Sableng angkat tinggi-tinggi kaki
kanannya dan diajukan tepat-tepat ke muka si pengawal yang tadi
memaki. Tentu saja marah pengawal ini bukan alang kepalang!
"Bangsat rendah! Kau lebih pantas mampus dari pada ditangkap
hidup-hidup!" Pengawal ini secepat kilat tusukkan tombaknya kepada
Wiro Sableng. Pendekar 212 ganda tertawa. "Sompret betul!," makinya
kemudian. "Orang suruh berkaca malah menyerang! Ini makan
kakiku!" Hampir tak kelihatan bagaimana cepatnya gerakan kaki murid
Eyang Sinto Gendeng itu, tahu-tahu tendangannya sudah mendarat
didagu si pengawal!.Pengawal itu terpelanting jauh, tombaknya
mental, mulutnya berdarah dan tubuhnya melingkar di muka pintu
gerbang tanpa kabarkan diri!
Melihat ini sembilan pengawal lainnya segera menyebar
mengurung! "Bedebah laknat!," kata salah seorang dari mereka, "lebih baik
kalian serahkan diri. Kalau tidak nyawa kalian pasti tidak ketolongan!"
"Siapa yang minta tolong soal nyawa padamu tikus pintu
gerbang!" damprat Wiro.
"Ulurkan kedua tangan kalian!" perintah pengawal yang seorang
itu sambil mengeluarkan segulung tali besar. "Kalian harus kami seret
kehadapari Tiga Setan Darah!"
"Oh, jadi manusia-manusia muka kepiting rebus itu yang
menyuruh kalian menghadang kami di sini"!" bentak Pranajaya.
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin
"Tak usah banyak bacot! Ulurkan kedua tangan kalian!"
Wiro Sableng, palingkan kepala pada Prana dan kedapkan
matanya. Lalu pada pengawal itu dia berkata, "Kalau betul Tiga Setan
Darah yang memerintahkan kalian untuk menangkap kami, kami tak
bisa berbuat apa-apa selain serahkan diri..." Dan Pendekar 212
ulurkan kedua tangannya pada pengawal itu seraya berkata, "Tapi
saudara, kawanku cuma punya satu tangan, apakah kau akan ikat
juga dia...."!"
"Aku bilang tak usah banyak mulut!" sentak si pengawal. Tali
yang ditangannya dengan cepat digulung dan mengikat kedua
pergelangan tangan Wiro Sableng erat-erat.
Mendadak sepasang lengan yang sudah terikat itu bergerak.
Terdengar satu pekikan. Tubuh si pengawal mental ke udara,
terbanting ke atas atap pintu gerbang Kotaraja, mengeluh sebentar
lalu merosot jatuh ke tanah dengan mengeluarkan suara bergedebuk!
Delapan pengawal bergerak cepat ke arah Wiro Sableng.
Delapan tombak berkiblat, berkilau kuning dibawah sorotan sinar
matahari sore! Pendekar 212 Wiro Sableng tertawa aneh. Kedua tangannya
bergerak cepat tiada henti. Disekitarnya terdengar suara, "plak...
plak... plak" dan hanya dalam tempo lebih dari sekejapan mata saja
kedelapan pengawal itu sudah bertumpukan di tanah, pingsan
dihantam tamparan Wiro Sableng!
Pranajaya, si murid Empu Blorok hampir, tak percaya melihat
apa yang disaksikannya itu. Delapan orang sekaligus dibikin roboh
pingsan dalam tempo demikian singkatnya! Benar-benar dia kagum
sekali! Dia berdiri terlongong-longong!
"Sobat!," Wiro menepuk bahunya. "Jangan jadi patung. Mari!
Kau tokh mau buru-buru ketemu dengan Tiga Setan Darah"!"
Prana baru sadar. Tanpa banyak bicara segera dia berlari
menyusul Wiro Sableng. Tiba-tiba Wiro hentikan larinya. "Kita bodoh,"
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin
katanya, "di Kotaraja ini kita tak boleh berlari. Semua orang tentu
akan menujukan perhatiannya pada kita."
Keduanya meneruskan perjalanan dengan melangkah cepat.
Mereka sampai dihadapan gedung tua kediaman Tiga Setan Darah.
Dan di saat itu pula Wiro Sableng ingat sesuatu. Dia berpaling pada
Pranajaya. "Sobat, aku baru ingat. Kawanku itu pasti tidak berada di sini!
Waktu aku mendukungmu ke luar dari ruang batu, dia telah lenyap.
Musti si Setan Pukulan yang telah melarikannya! Keparat betul!"
"Kau tahu ke mana kira-kira kawanmu itu dilarikan?" tanya
Prana. Wiro gelengkan kepala dan menggerendeng, "Aku akan cari
keterangan," katanya. "Sementara itu coba kau selidiki dulu gedung
tua ini. Dalam waktu kurang sepeminum teh aku pasti kembali ke
Wiro Sableng 007 Tiga Setan Darah Dan Cambuk Api Angin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sini!" Prana menyetujui usul Wiro.
"Hati-hati," memperingatkan Wiro. "Gedung tua ini banyak
jebakan dan senjata rahasianya!"
Pranajaya mengangguk lalu cepat-cepat memasuki halaman
gedung kediaman Tiga Setan Darah. Di pintu samping yang
sebelumnya telah didobrak Wiro, Pranajaya berhenti dan merenung
sejenak. Kalau gedung tua itu banyak jebakan dan alat-alat
rahasianya, maka menurut dia jalan yang seaman-amannya untuk
masuk ke dalam gedung itu ialah lewat genteng! Maka tanpa pikir
lebih jauh lagi, murid Empu Blorok ini dengan ilmu mengentengi
tubuhnya yang cukup sempurna segera melompat ke atas atap gedung
tua! Kedua kakinya menginjak genteng gedung tanpa menimbulkan
suara sedikitpun!
"Setan Darah durjana! Rupanya kau bukan cuma tukang jagal
manusia tapi juga laknat terkutUk tukang rusak kehormatan
perempuan!"
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin
Habis berteriak begitu Pranajaya menyerbu turun ke dalam.
Genteng pecah bertaburan, beberapa papan panglari patah!
-- == 0O0 == -Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin
SEBELAS SEPERTI telah dituturkan Setan Darah Pertama dengan
memboyong murid Empu Tumapel meninggalkan tempat kediaman
Setan Pikulan. Manusia bermuka merah ini langsung membawa Sekar
ke gedungnya, membaringkan gadis itu di lantai salah sebuah kamar.
Gedung tua itu hampir tidak berperabotan bahkan satu tempat
tidurpun tak terdapat di sana!
Saat itu Sekar masih berada dalam keadaan tertotok. Tak
satupun yang dapat dibuat Sekar sewaktu dengan nafas kembang
kempis dan nafsu menggelegak Setan Darah Pertama sambil
menyeringai buruk membuka pakaian gadis itu satu demi satu! Gadis
itu tertelentang di lantai kamar tanpa sehelai pakaianpun menutupi
tubuhnya yang mulus itu kini. Senjata pemberian Empu Tumapel
"Rantai Petaka Bumi" yang ditemui Setan Darah Pertama melilit di
pinggang Sekar, diletakkan Setan Darah Pertama di sudut kamar.
Setan Darah Pertama membasahi bibirnya dengan ujung lidah.
Sepasang matanya laksana dikobari api, memandang tak berkedip
pada tubuh Sekar yang menggeletak di lantai.
"Tubuh bagus... tubuh bagus! He... he... he... he....!" Setan
Darah Pertama menyeringai. Kemudian tanpa menunggu lebih lama
manusia bermuka merah ini membuka jubahnya. Jubah itu
dilemparkannya ke sudut kamar! Sepasang tombak bermata dua dan
pedang milik Pranajaya diletakkannya dekat kepala Sekar. Manusia ini
baru saja berbaring dan menggelungi tubuh Sekar dengan kaki dan
tangannya sewaktu laksana halilintar di siang hari bolong dia
mendengar suara bentakan menggeledek dan bobolnya genteng di atas
kamar itu! "Setan Darah durjana! Rupanya kau bukan cuma tukang jagal
manusia tapi juga laknat terkutuk tukang rusak kehormatan
perempuan!"
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin
Seperti seekor singa Setan Darah Pertama melompat dan
menyambar pedang Ekasakti di atas lantai. Berdiri bulu kuduk
Pranajaya menyaksikan manusia yang berdiri tanpa pakaian
dihadapannya itu! Berdiri bulu kuduk bukan karena ngeri tapi karena
merasa sangat geramnya !
Di lain pihak Setan Darah Pertama tidak pula kurang geramnya.
Ternyata manusia yang menerobos masuk lewat genteng kamar bukan
lain Pranajaya, pemuda tangan buntung yang memang tengah dicaricarinya! "Budak bedebah! Dicari-cari tidak ketemu, sekarang datang
sendiri antarkan nyawa!"
"Iblis bejat!" balas membentak Pranajaya. "Bertiga dan mengeroyok
kau memang unggul, tapi sekarang kita satu lawan satu!"
Setan Darah Pertama tertawa buruk! Diacungkannya pedang
Ekasakti yang ditangan kanannya. "Kau lihat pedang ini huh"! Senjata
milikmu ini sendiri yang akan menebas kau punya batang leher!"
Habis berkata begitu Setan Darah Pertama menerjang ke muka.
Tangannya bergerak, pedang menderu ke arah Pranajaya. Cepat-cepat si
pemuda bertangan buntung melompat ke samping dan lepaskan
pukulan angin sewu! Setan Darah Pertama yang tahu kehebatan ilmu
pukulan tangan kosong ini buru-buru menyingkir dan menyambar jubah
merahnya di sudut kamar! Kesempatan ini dipergunakan oleh Pranajaya
untuk mengirimkan pukulan jotos sewu, satu ilmu pukulan yang
diwarisinya dari Empu Blorok yang tak kalah hebatnya dengan ilmu
pukulan angin sewu tadi! Angin keras pukulan Pranajaya membuat
jubah Setan Darah Pertama mental sehingga pemiliknya tak berhasil
mengambilnya! Dengan memaki terpaksa Setan Darah Pertama
melompat lagi ke samping!
Sewaktu Pranajaya mengintip di atas genteng dan menginjakkan
kaki di lantai kamar itu sekaligus dia mengetahui bahwa gadis yang
menggeletak di lantai kamar berada dalam keadaan tertotok. Karenanya
ketika Setan Darah Pertama melompat ke samping, pemuda ini cepatWiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin
cepat pergunakan tangan kirinya untuk melepaskan totokan di tubuh
Sekar! Begitu tubuhnya lepas dari totokan begitu Sekar berteriak,
"Saudara awas!"
Pranajaya mendengar suara sambaran angin dibelakangnya.
Secepat kilat pemuda ini jatuhkan diri ke muka. Pedang Ekasakti
membabat setengah jengkal di atas bahu kanannya! Prana terus
menggulingkan diri dan dalam gerakan yang sudah diperhitungkan
pemuda ini dalam berguling berhasil menyambar sepasang tombak
bermata dua milik Setan Darah Pertama!
Di lain pihak Sekar dengan sangat cepat segera mengenakan
pakaiannya yang tadi sudah dipereteli Setan Darah Pertama. Dia merasa
heran melihat pemuda bertangan buntung itu masih hidup malah dalam
keadaan segar bugar. Apakah Wiro telah berhasil menolong pemuda ini"
Tapi Wiro sendiri di mana sekarang"! Sekar tidak bisa berpikir lamalama. Begitu mengenakan pakaian, gadis ini segera mengambil Rantai
Petaka Bumi miliknya yang diletakkan Setan Darah Pertama di sudut
kamar! Sementara itu si pemuda tangan buntung terdengar membentak,
"Iblis muka merah!" Prana acungkan sepasang tombak bermata dua
yang keduanya sekaligus digenggamnya di tangan kanan. "Kita samasama bersenjata sekarang! Mungkin senjata yang ditanganku ini yang
akan lebih dulu mengambil nyawa pemiliknya sendiri!"
Setan Darah Pertama kertakkan geraham. Tubuhnya berkelebat.
Pedang di tangan manusia ini menabur sinar putih. Jurus yang
dikeluarkan Tiga Setan Darah hebatnya luar biasa sekali karena
dalam saat itu juga Pranajaya segera terbungkus serangan-serangan
pedang Ekasakti miliknya sendiri!
Pranajaya membentak keras. Gerakan murid Empu Blorok ini
tak kalah sebat. Tubuhnya lenyap laksana bayang-bayang saja kini
dan dua tombak bermata dua di tangannya menderu-deru. Dalam
jurus pertama yang luar biasa hebatnya itu, senjata-senjata mereka
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin
beradu sampai empat kali berturut-turut dan memercikkan bunga api
yang menyilaukan mata!
"Saudara! Kuharap kau suka mundur!" tiba-tiba Pranajaya
mendengar seruan gadis yang tadi dilepaskannya totokannya.
"Manusia iblis laknat terkutuk ini harus mampus ditanganku!"
Pranajaya mengerling dan melihat Sekar berdiri sambil
memutar-mutar sebuah senjata berbentuk rantai yang ujungnya
diganduli bola besi berduri!
Tanpa perdulikan seruan si gadis Prana terus kirimkan
serangan-serangan gencar terhadap Setan Darah Pertama. Dalam
pertemuannya pertama kali di luar Kotaraja, Pranajaya memang tiada
sanggup menghadapi Setan Darah Pertama, karena dia dikeroyok tiga.
Namun,kali ini pertempuran jauh berbeda, satu lawan satu! Dan
keluar biasaannya lagi ialah karena mereka bertempur dengan
memegang senjata milik lawan masing-masing!
"Saudara! Mundurlah!" seru Sekar tidak sabar sewaktu
pertempuran gencar itu memasuki jurus ke tiga. Gadis ini sudah tak
dapat menahan kesabaran den dendam kesumatnya terhadap Setan
Darah Pertama, manusia yang telah menelanjangi dan hampir saja
merusak kehormatannya!
"Tidak bisa saudari!" seru Pranajaya membalas. "Bangsat yang
satu ini musti mampus ditanganku!"
"Nyawanya miliku!" teriak Sekar dan dia melompat ke muka
sambil menyabetkan Rantai Petaka Bumi. Senjata itu menderu
laksana angin topan, membuat kedua orang yang bertempur terpaksa
sama melompat mundur !
Pranajaya penasaran sekali. Dia berpaling. "Saudari kuharap,
kau jangan mencampuri urusan ini. Kau telah selamat, sebaiknya
lekas-lekas berlalu tinggalkan tempat ini!"
"Berlalu"!" sahut Sekar ketus! "Sebelum kupecahkan kepala
bangsat bermuka iblis ini aku tak akan tinggalkan tempat ini!"
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin
"Aku tahu kebejatan yang telah dilakukannya yang membuat
kau begitu inginkan jiwanya," kata Pranajaya. "Tapi itu tak
seberapa...."
"Tak seberapa katamu"!" sentak Sekar dengan mata melotot!
"Manusia macam apa kau ini"! Perbuatan mesum terkutuk kau
katakan hal yang tak seberapa!"
Sementara kedua orang itu berdebat, Setan Darah Pertama
memutar otak. Dia cuma seorang diri di situ, menghadapi dua lawan
yang sama-sama inginkan jiwanya. Meski kedua lawan itu kini saling
bertengkar namun bukan tidak mustahil keduanya akan sama-sama
menggempurnya bersirebut cepat mencabut jiwanya! Dalam
pertempuran beberapa jurus tadi Setan Darah Pertama telah pula
dapat mengukur kehebatan Pranajaya. Satu lawan satu memang
sukar juga baginya untuk menghadapi pemuda tangan buntung itu !
Satu-satunya jalan yang paling baik bagi Setan Darah
Pertama saat itu ialah kabur dari situ dan kembali lagi bersama
dua orang konco-konconya!
Tanpa pikir panjang manusia bermuka merah ini segera
menyambar jubahnya dan melompat ke atas genteng! Tapi kejut
Setan Darah Pertama bukan olah-olah sewaktu dari atas genteng
dari mana Pranajaya menerobos tadi bersiur angin laksana badai,
melanda ke arahnya membuat tubuhnya terhempas hampir jatuh
duduk di lantai kamar jika dia tidak cepat melompat ke samping
dan jungkir balik dua kali berturut-turut. Sebelum dia
mendongak ke atas sepasang telinga Setan Darah Pertama
mendengar suara tertawa gelak-gelak! Sesosok tubuh muncul di
atas atap dan duduk di palang kayu!
"Dua muda mudi bertengkar rebutkan jiwa manusia busuk!
Si busuk cari kesempatan untuk larikan diri! Ha.... ha.... ha....
ha!" Prana dan Sekar menengadah ke atas genteng dan kedua
orang ini sama-sama berseru, "Wiro!"
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin
Sekar terkejut sewaktu melihat Pranajaya kenal pada Wiro
Sableng. Setan Darah Pertama memandang penuh amarah meluap ke
atas genteng itu. Orang yang tertawa dan bicara serta duduk di
atas itu bukan lain dari pemuda rambut gondrong yang
sebelumnya telah membebaskan dan melarikan Pranajaya dari
ruang batu karang yang kemudian bertempur sebentar dengan dia
lalu larikan diri!
Sambil kenakan jubahnya dengan cepat Setan Darah
Pertama yang sebenarnya sudah semakin menciut nyalinya
melihat kemunculan lawan baru ini, membentak keras, "Bagus
sekali! Semua musuhmusuhku sudah lengkap di sini! Silahkan
turun pemuda sedeng!"
"Mulutmu terlalu besar! Apakah kambrat-kambratmu yang
dua orang lainnya juga ada di sini heh"!"
"Tak usah banyak mulut! Jika punya nyali silahkan turun.
Kalau tidak lekas minggat dari sini!"
Mendengar ini Wiro Sableng tertawa gelak-gelak. Penasaran
sekali Setan Darah Pertama berteriak memancing. "Kalau kau tak
berani baku hantam di sini, aku masih bersedia melayanimu di
halaman luar!"
"Bertempur di halaman luar lalu cari kesempatan untuk
larikan diri lagi..."!" Wiro Sableng tertawa lagi gelak-gelak!
Setan Darah Pertama mendamprat dalam hati karena
pancingannya diketahui lawan. Agaknya dia tak punya
kesempatan lain daripada harus menghadapi ketiga musuhmusuhnya itu atau sekurang-kurangnya salah seorang dari
mereka! Diam-diam Setan Darah Pertama salurkan seluruh tenaga
dalamnya pada kedua ujung tangannya. Tiba-tiba dia membentak
garang! Satu tangan meninju ke atas, tangan yang lain menjentik
ke arah Pranajaya dan Sekar! Selarik besar sinar merah yang
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin
sangat panas menderu ke arah Pendekar 212 yang duduk
ongkang-ongkang di atas atap kamar sedang lima larikan kecil
sinar merah yang merupakan totokan-totokan
beracun menyambar laksana kilat ke arah Sekar dan Pranajaya. Sekar
putar Rantai Petaka Bumi, Prana menghindar ke samping sambil
kiblatkan sepasang tombak bermata dua milik Setan Darah
Pertama! Di atas genteng Wiro kelihatan gerakkan tangan kirinya.
Satu angin dingin menderu memapasi angin merah panas Setan
Darah Pertama dan membuat buyar serangan manusia muka
merah itu. Penuh beringas Setan Darah Pertama melompat ke
atas dan menyerang dengan pedang Ekasakti milik Pranajaya! Kini Wiro
Wiro Sableng 007 Tiga Setan Darah Dan Cambuk Api Angin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sableng gerakkan tangan kanannya. Gumpalan angin keras menyambar
ke arah Setan Darah Pertama. Inilah pukulan kunyuk melempar buah
yang tak asing lagi dari Pendekar 212. Meski cuma mempergunakan
setengah bagian saja dari tenaga dalamnya dalam melancarkan pukulan
ini, namun tak urung Setan Darah Pertama terkejut hebat dan cepatcepat menyingkir ke samping dan kembali turun ke lantai.
Keringat dingin memercik di muka manusia yang berwarna merah
itu. Nyalinya benar-benar menciut! Ilmu pukulan apakah yang dimiliki
dan telah dilepaskan tadi oleh si pemuda di atas genteng itu yang
demikian hebatnya sehingga dia tiada sanggup menerimanya"!
"Setan muka merah, apakah kau betul-betul tidak tahu di mana
dua kambratmu yang lain berada"!" tanya Wiro Sableng dari atas.
"Di mana mereka berada itu bukan urusanmu!" jawab Setan
Darah Pertama keras sekedar untuk melenyapkan rasa bergidiknya.
Wiro tertawa. "Rupanya kau sendiri kurang begitu tahu. Biar aku tunjukkan di
mana mereka berada!," kata Pendekar 212 pula. Kedua tangannya
kelihatan ke luar dari lowongan genteng. Sesaat kemudian bila tangan
itu bergerak turun maka dua sosok tubuh manusia berjubah merah
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin
laksana dua batang pisang melesat ke bawah, jatuh dengan keras di atas
lantai kamar dihadapan Setan Darah Pertama !
Muka Setan Darah Pertama berubah pucat. Bulu kuduknya
berdiri. Kedua kambratnya itu menggeletak di lantai dengan kepala
pecah, darah dan otak bermuncratan !
Sewaktu meninggalkan Pranajaya tadi, Wiro berhasil mencari
keterangan di mana letak tempat kediaman Setan Pikulan. Karena lebih
mengawatirkan keselamatan Sekar maka Pendekar 212 memutuskan
lebih baik saat itu saja dia langsung ke tempat si Setan Pikulan. Tapi apa
yang ditemuinya di situ mengejutkannya. Setan Pikulan menggeletak di
sebuah kamar! Kedua tangannya buntung putus. Manusia ini tiada
bergerak-gerak tapi masih hidup megap-megap. Dalam berpikir-pikir apa
yang telah terjadi dengan Setan Pikulan dan terus mencari di mana Sekar berada akhirnya dia mendobrak sebuah kamar dan menemui Setan
Darah Kedua tengah merusak kehormatan dua orang perempuan muda!
"Setan alas benar!" teriak Wiro. Hanya dalam dua jurus saja Setan
Darah Pertama dibikin tak berdaya di makan totokan Wiro. Mula-mula
manusia ini tak mau menerangkan di mana kawannya yang lain berada
tapi setelah dipaksa akhirnya Wiro mengetahui juga dan mendapatkan
Setan Darah Ketiga di kamar sebelah, juga tengah merusak kehormatan
dua orang perempuan muda! Nasib Setan Darah Ketiga tidak beda
dengan kawannya yang terdahulu. Satu jurus bertempur manusia ini
segera kena ditotok oleh Wiro dan sekligus keduanya dibawa oleh Wiro
ke gedung tua tempat kediaman Tiga Setan Darah. Kedatangannya di
sana disambut oleh suasana yang tak terduga pula! Sekar dan Prana
dilihatnya saling bertengkar sedang Setan Darah Pertama dalam
keadaan telanjang bulat siap-siap hendak melarikan diri!
Untuk beberapa lamanya muka Setan Darah Pertama masih
memucat dan kedua lututnya goyah menyaksikan kematian dua orang
koleganya itu di muka hidungnya sendiri.
Putus asa karena mengetahui tak ada jalan untuk lari serta kalap
melihat kematian kawan-kawannya, maka Tiga Setan Darah Pertama
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin
kiblatkan pedang Ekasakti dan mengamuk menerabas Sekar serta
Pranajaya! Maka pertempuran seru segera terjadi.
"Sekar sebaiknya kau mundur saja!" Wiro berseru dari atas
genteng. "Tidak bisa Wiro. Bangsat ini hampir saja merusak
kehormatanku!," jawab Sekar seraya putar senjatanya dengan sebat.
"Aku mengerti. Tapi kau telah diselamatkan oleh Prana sedang
Prana mempunyai dendam kesumat belasan tahun terhadap bangsat itu!
Ayahnya dibunuh oleh Setan Darah Pertama itu!"
Akhirnya Sekar mengalah juga dan ke luar dari kalangan
pertempuran. Keputusasaan, kekalapan dan nyali yang telah melumer itulah
yang bersarang di diri Setan Darah Pertama. Laksana banteng terluka
manusia berjubah merah ini mengamuk hebat dan ganas sekali.
Serangan-serangannya berbahaya dan penuh tipu-tipu licik. Namun itu
semua tiada arti bagi Pranajaya yang menghadapi musuhnya itu dengan
hati panas pula tapi kepala dingin penuh ketenangan !
Sembilan belas jurus berlalu cepat.
Wiro bersiul-siul seenaknya. "Pertempuran hebat!" seru pemuda
dari gunung Gede itu. "Ayo Prana! Lawanmu sudah mulai kewalahan!
Satu dua jurus di muka pasti senjata milik iblis yang ditanganmu itu
akan merenggut nyawanya!"
Apa yang dikatakan Pendekar 212 menjadi kenyataan. Dalam
jurus keduapuluh satu laksana seorang penari Pranajaya meliuk
mengelakkan sambaran pedang Ekasakti yang dibabatkan Setan Darah
Pertama kepinggangnya. Pedang itu membalik lagi dengan ganasnya.
Prana geser kedua kaki dan tusukkan sekaligus kedua tombak yang
dalam genggamannya ke muka Setan Darah Pertama. Iblis bermuka
merah ini rundukkan kepala! Tapi tusukan tadi cuma tipu belaka,
karena begitu pedang lawan lewat dan tusukan tombaknya tersorong ke
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin
muka dengan serta merta Pranajaya gebukkan sepasang tombak itu ke
kepala Setan Darah Pertama!
Setan Darah Pertama melompat ke samping! Tapi betapapun
cepatnya dia tetap terlambat. Meski bisa selamatkan kepala namun dia
tak sanggup menghindarkan bahunya dari hantaman senjata miliknya
sendiri itu ! "Kraak!"
Tulang bahu Setan Darah Pertama yang sebelah kanan hancur
remuk! Setan Darah Pertama melolong macam anjing! Tubuhnya miring
dan terjerongkang ke lantai. Dalam keadaan seperti itu dia masih hendak
menyapukan pedang di tangan kanannya ke kaki Prana, tapi senjata itu
terlepas dari tangannya yang sudah tak ada daya kekuatan lagi!
Empat mata tombak ditekankan oleh Pranajaya ke batang leher
Setan Darah Pertama. Tenggorokan manusia muka merah ini kelihatan
turun naik. Muka nya mengerenyit dan keringat membasahi sekujur
tubuhnya. "Setan Darah!," desis Pranajaya. "Apa kau masih ingat saat-saat
sewaktu kau membunuh ayahku dulu"! Apa kau masih ingat sewaktu
tangan kiriku ini kau buntungkan dulu"!"
"Orang muda..," ujar Setan Darah Pertama, "kasihani diriku yang
buruk ini! Kalau kau ampunkan jiwaku, kelak aku akan berikan hadiah
besar serta jabatan tinggi di Istana !"
Prana tertawa. Wiro Sableng mengekeh. "Jangan dengar mulut
kentut iblis itu, Prana!" memperingatkan Wiro.
Pranajaya mengangguk.
"Manusia macam dia siapa yang mau percaya!," menyahuti
pemuda bertangan buntung itu. Prana lemparkan ke samping dua
tombak milik Setan Darah Pertama dan membungkuk cepat
mengambil pedangnya!
Setan Darah Pertama gerakkan tubuhnya sedikit tapi ujung
pedang kini menggantikan empat mata tombak yang menekan batang
lehernya ! Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin
"Apa yang dulu kau lakukan terhadap bapakku, kini akan kau
rasakan sendiri, Setan Darah!"
"Craas!"
Setan Darah Pertama meraung setinggi langit. Pedang Ekasakti
membabat buntung mengerikan! Setan Darah Pertama melejanglejang! Dia berteriak, "Bunuh aku! Bunuh saja segera !"
"Rupanya kunyuk muka merah itu tidak takut mampus, Prana!"
ejek Wiro dari atas genteng.
"Ya, karena dia akan ketemu dengan setan-setan yang jadi
kambrat-kambratnya di neraka!" sahut Pranajaya. Kemudian dengan
tak ampun lagi pemuda itu tusukkan ujung pedangnya ke batang
leher Setan Darah Pertama. Manusia ini mengeluarkan suara seperti
ayam disembelih. Tubuhnya masih melejang-lejang beberapa lama
kemudian diam tak bergerak-gerak lagi tanda nyawanya sudah lepas
meninggalkan tubuh!
"Sobat-sobat, urusan kita di sini sudah selesai. Mari segera
tinggalkan tempat sialan ini!" seru Wiro Sableng.
Sekar dan Prana saling berpandangan sebentar, kemudian si
gadis melompat ke atas genteng disusul oleh Pranajaya. Namun baru
saja ketiga orang itu sampai di halaman luar, terkejutlah mereka.
Kira-kira lima puluh orang prajurit Kerajaan telah mengurung tempat
itu dan delapan manusia aneh berdiri memencar, memandang dengan
pandangan yang menggidikkan ke arah mereka.
Salah seorang dari yang delapan ini berteriak. Suaranya
melengking macam perempuan. "Tikus-tikus bermuka manusia!
Jangan harap kalian bisa berlalu hidup-hidup dari sini!"
-- == 0O0 == -Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin
DUA BELAS MANUSIA yang berteriak itu adalah seorang laki-laki
berkepala sangat besar dan botak tapi berbadan kecil dan pendek.
Namanya Gonggoseta. Pandangannya bengis dan membayangkan
maut! Pranajaya, Sekar dan Wiro Sableng memandang berkeliling
memperhatikan manusia-manusia itu satu demi satu.
"Celaka sobat," bisik Pranajaya. "Mereka pastilah tokohtokoh silat kelas satu, orang-orangnya Istana!"
"Kita memang lagi sialan," gerendeng Pendekar 212.
Sepasang matanya dengan tenang menyapu delapan sosok tubuh
manusia-manusia aneh yang terpencar mengurung mereka. Orang
kedua sesudah Gonggoseta ialah seorang kakek-kakek yang hanya
mengenakan cawat dan keseluruhan tubuhnya mulai, dari kaki
sampai ke muka dicoreng moreng dengan sejenis cat berbagai
warna. Tampangnya mengerikan untuk dipandang. Namanya
Bagulpraksa tapi dia lebih dikenal dengan julukan Harimau
Siluman. Manusia ketiga bernama Sangaji, bertubuh tinggi langsing
kurus dan berjanggut biru. Di dunia persilatan dia dikenal dengan
gelar Si Janggut Biru. Yang ke empat, yang berdiri di ujung kanan
sendirian agak terpisah dari lain-lainnya ialah seorang neneknenek tua keriput bertelinga lebar. Telinganya yang lebar ini
membuyut ke bawah dan kelihatan jadi tambah lebar karena
diganduli oleh anting-anting aneh yang besar luar biasa dan
berbentuk arit. Dia bukan lain tokoh silat Istana yang dikenal
dengan nama julukan Si Telinga Arit Sakti.
Wiro sapukan pandangannya pada tokoh silat lain yang
berada di sebelah kiri ini berdiri memencar empat orang lainnya.
Yang pertama seorang laki-laki berjubah hitam tapi yang mukanya
dicat putih sehingga tampangnya cukup menggidikkan untuk
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin
dipandang! Jika tidak salah menduga, menurut keterangan yang
pernah didengar Pendekar 212 maka manusia ini adalah Hantu
Hitam Muka Putih tokoh silat golongan hitam yang berhati sejahat
iblis! Orang yang selanjutnya berdiri dengan tubuh terbungkukbungkuk. Sepuluh kuku-kuku jarinya panjang sekali dan berwarna
hitam legam. Dialah Si Cakar Iblis tokoh silat yang merajai daerah
selatan Jawa Timur!
Manusia ke tujuh adalah satu-satunya marusia yang dikenal
oleh Pranajaya yaitu Cindur Rampe manusia yang muncul sewaktu
dia hendak diseret oleh Tiga Setan Darah ke Kotaraja beberapa
waktu yang lalu! Cindur Rampe seorang resi kejam yang juga
memelihara janggut kambing berwarna putih.
Manusia terakhir ialah seorang laki-laki bermata picak dan
berambut panjang macam perempuan, digulung di atas kepala!
Namanya tidak satu orangpun yang tahu. Dia dikenal dengan
julukan Si Picak Dari Utara.
Jelaslah bahwa ke delapan orang itu bukan manusiamanusia sembarangan. Ini segera diketahui oleh Wiro dan kawankawan. Bagi mereka yang delapan ini lebih berbahaya dari lima
puluh prajurit-prajurit Kerajaan yang mengurung halaman gedung
itu! Si kepala besar badan kecil. pendek Gonggoseta maju
selangkah kehadapan kehadapan ketiga orang itu dan membuka
mulut lagi, "Kalian semua musti mampus di sini! Kalian dengar
tikus-tikus bermuka manusia"!"
Pendekar 212 Wiro Sableng memandang sebentar pada Sekar
dan Pranajaya lalu kemba ia palingkan muka menghadapi Gonggoseta.
Dan disaat itu Gonggoseta kembali membentak, "Kalian hanya
diberi kesempatan untuk menerangkan nama masing-masing agar
tidak mampus secara penasaran!"
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin
Wiro Sableng mengulum senyum dan buka mulut dengan suara
lunak, "Ah, rasa-rasanya kami yang disebutkan tikus-tikus bermuka
manusia ini tidak mempunyai permusuhan dengan sobat-sobat
semua." "Sompret!" semprot Gonggoseta. "Jangan sebut kami sobatsobatmu!" Wiro garuk-garuk kepala lalu manggut-manggut. "Lantaran
apakah yang membuat kalian semua ingin jiwa kami"! Kenalpun baru
hari ini!" Gonggoseta tertawa melengking dan memandang pada
kawan-kawannya. "Sobat-sobatku!" serunya, "kalian dengar omongan
tikus gondrong itu"! Mereka tak ada permusuhan dengan kita! Tidak
mengerti mengapa kita semua inginkan jiwa mereka! Cuah!"
Gonggoseta meludah ke tanah! "Apa kalian masih belum tahu tengah
berhadapan dengan siapa saat ini"!"
"Ah," Wiro angkat bahu, "justru itu memang yang kami kepingin
tahu!" Gonggoseta kembali keluarkan tertawa melengking. "Aku
Gonggoseta..," dia terangkan nama lalu satu demi satu menyebutkan
nama atau gelar tujuh orang kawannya. "Kami semua adalah tokoh-tokoh Istana, hulubalang-hulubalang Kerajaan!"
Wiro Sableng manggut-manggut.
"Tidak disangka-sangka...," ujar pendekar ini.
"Setan alas, apa yang tidak kau sangka!" sentak Gonggoseta
sementara kambrat-kambratnya yang lain tetap menunggu dengan
tenang. "Tidak disangka-sangka kalau hari ini kami akan bertemu
Wiro Sableng 007 Tiga Setan Darah Dan Cambuk Api Angin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan tokoh-tokoh silat Istana! Dengan tokoh-tokoh yang berjulukan
hebat semua! Sungguh satu kehormatan bagi kami!"
Gonggoseta tertawa melengking. Kawan-kawannya terdengar
menggerendeng. "Cuma kami belum tahu, urusan apakah yang membuat kalian
semua inginkan jiwa kami"!" tanya Wiro.
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin
"Tikus busuk! Jangan pura-pura tidak tahu! Kalian telah
membunuh Setan Pikulan dan Tiga Setan Darah. Mereka adalah
kawan-kawan kami!"
"Kalian salah sangka!" jawab Wiro cepat. "Kami tidak
membunuh Setan Pikulan..."
"Jangan jual kentut!" hardik Gonggoseta.
Wiro Sableng tertawa, "Siapa yang jual kentut!" jawabnya.
"Kentut puteri yang paling cantikpun dijagat ini tak ada yang orang
akan mau beli!"
Paras Gonggoseta dan tujuh kawannya menegang membesi. Ini
adalah satu penghinaan! Mereka dipermain-mainkan! Di lain pihak
Pranajaya menggigit bibir! Bagaimana Wiro masih bisa bergurau
menghadapi bahaya macam begini"! Pemuda bertangan buntung ini
sudah sejak tadi-tadi mengeluh dalam hati. Dia ingat pesan gurunya.
Kotaraja penuh dengan tokoh-tokoh silat berilmu tinggi. Berurusan
dengan mereka berarti mati! Prana melirik pada Sekar. Gadis baju
kuning ini dilihatnya juga berada dalam ketegangan.
Gonggoseta maju lagi selangkah!
"Sret!"
Dari balik punggungnya manusia kepala besar ini cabut sebilah
golok empat persegi panjang yang lebarnya satu setengah jengkal!
Senjata ini berkilauan ditimpa sinar matahari sore!
"Sebut nama kalian masing-masing cepat! Atau kalian
mampus penasaran!"
"Dengar Gonggoseta," menyahuti Wiro Sableng. "Kami tidak
dusta, kami sama sekali tidak membunuh Setan Pikulan."
"Jika bukan kalian lantas siapa"! Juga siapa yang
membunuh Tiga Setan Darah di dalam sana"!" Wiro angkat bahu.
"Mana kami tahu," jawabnya Dia memandang ke langit di sebelah
barat. "Gonggoseta, hari sudah sore. Matahari sebentar lagi mau
tenggelam. Beri kami jalan. Sebaiknya kalian lekas mencari dan
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin
menyelidik siapa sebenarnya pembunuh kawan-kawanmu itu
sebelum hari menjadi malam dan sebelum dia lari jauh..."
Tubuh Si Cakar Iblis kelihatan semakin membungkuk ke
muka. Dari mulutnya terdengar suara menggerendeng. Lalu
katanya, "Gonggoseta, kuku-kuku jariku sudah tak sabar untuk
cepat-cepat mengkermus manusia-manusia keparat ini! Kita semua
sudah tahu bahwa mereka yang menamatkan riwayat Tiga Setan
Darah. Tunggu apa lagi"!"
Habis berkata begitu Si Cakar Iblis menggerendeng keras.
Kedua tangannya yang berkuku panjang menyambar ke muka Wiro
Sableng! Cepat-cepat Pendekar 212 melompat ke samping! Wiro
maklum, walau bagaimanapun kini pertempuran tak dapat dihindarkan. Tujuh orang tokoh-tokoh silat lainnya dilihatnya telah
bergerak pula, masing-masing keluarkan senjata! Karenanya
Pendekar 212 ini tidak sungkan-sungkan lagi! Tangan kiri
menghantam ke muka ke arah Cakar Iblis sedang tangan kanan
menyelinap mencabut Kapak Naga Geni 212 Sekar dan Prana tidak
pula tinggal diam melainkan cabut Rantai Petaka Bumi dan Pedang
Ekasakti! Begitu serangannya luput, penuh penasaran Si Cakar Iblis
balikkan badan dan kembali menyerang dengan jurus yang lebih
hebat dari pertama tadi. Namun betapa kagetnya manusia ini
sewaktu tubuhnya menjadi limbung disambar serangkum angin
yang ke luar dari pukulan tangan kiri Wiro Sableng!
Dua diantara tokoh-tokoh silat Istana itu yakni Si Telinga
Arit Sakti dan Hantu Hitam Muka Putih berseru kaget sewaktu
melihat senjata yang digenggam Wiro Sableng.
"Kapak Naga Geni 212!" seru mereka hampir bersamaan.
Yang lain-lainnya tersentak kaget! Mereka belum pernah melihat
senjata yang pernah menggegerkan dunia persilatan itu, cuma
mendengar-dengar saja! Sungguh tak dapat dipercaya kalau hari
ini mereka menyaksikan senjata mustika sakti itu berada dalam
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin
tangan seorang pemuda berambut gondrong bertampang dogol
anak-anak! Rasa heran tak percaya itu tidak berjalan lama dan berubah
menjadi keterkejutan dan kemarahan yang amat sangat sewaktu
Kapak Maut Naga Geni 212 berkiblat dan meminta korban pertama
yaitu Si Picak Dari Utara! Si Picak Dari Utara menjerit keras dan
tubuh dengan dada mandi darah dihantam kapak sakti itu laksana
ratusan tawon mengaung, anginnya menderu-deru sedang dari
mulut Pendekar 212 mulai terdengar suara siulan yang diseling
dengan suara tertawa aneh dan bentakan-bentakan! Bila siulan itu
terdengar, bila suara tertawa aneh menyeling inilah satu
pertempuran besar yang dahsyat! Tubuhnya sudah lenyap ditelan
kecepatan geraknya dan ditelan bayang-bayang gerakan tujuh
pengeroyoknya. Sekar dan Pranajaya putar senjata masing-masing dan
menghadapi tiga orang pengeroyok sementara Wiro yang
berpunggung-punggungan dengan mereka menghadapi empat
pengeroyok lainnya! Lima puluh prajurit Kerajaan mengurung dalam
bentuk lingkaran. Mereka memang sudah diberitahu untuk mengambil
posisi demikian dan tidak turut menyerang!
"Rapatkan serangan!" teriak Gonggoseta karena sampai lima
jurus di muka tak satupun yang sanggup mereka lakukan untuk
membobolkan pertahanan ketiga orang pendekar itu!
Dalam jurus ketujuh Harimau Siluman mengurung persis
macam harimau dan dari mulutnya mengepul asap tujuh warna yang
mengerikan! "Tutup jalan nafas!" teriak Wira memberi ingat. Sekar dan
Pranajaya segera melakukan hal itu. Tapi Sekar terlambat. Hidungnya
keburu menghendus hawa beracun asap tujuh warna itu. Tak ampun
pemandangannya menjadi gelap dan tubuhnya melosoh gontai. Di saat
itu Si Janggut Biru secepat kilat tusukkan tongkat besinya ke perut
gadis itu Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin
"Trang! "
Bunga api memercik!
Tusukan tongkat besi Si Janggut Biru terpapas ke samping
karena dilanda badan pedang Ekasakti di tangan Pranajaya! Jurusjurus berikutnya semakin seru! Limapuluh prajurit hampir tak sanggup
melihat dengan jelas gerakan-gerakan mereka yang bertempur itu
saking cepatnya!
Harimau Siluman masih juga mengeluarkan asap beracunnya
dari mulut. Penasaran sekali Wiro Sableng berteriak, "Harimau
Siluman, silahkan makan asapmu sendiri!" Habis berkata begitu Wiro
pukulkan tangan kirinya. Pukulan angin puyuh yang dikerahkan
dengan setengah bagian tenaga dalam itu hebatnya bukan main. Asap
tujuh warna yang dihembuskan Harimau Siluman menjadi buyar
berantakan untuk kemudian menyerang pemiliknya sendiri! Harimau
Siluman menggerung. Tubuhnya jatuh duduk di tanah, hidung dan
mulut serta matanya mengeluarkan darah akibat diterpa racun asap
tujuh warna. Manusia ini keluarkan. sebutir pil penawar racun, tapi
sebelum pil itu sempat ditelannya, racun asap tujuh warna sudah
merambas ke jantung dan paru-parunya. Tak ampun lagi Harimau
Siluman menggeletak mati di tanah!
Di saat yang sama Wiro Sableng mendengar suara jeritan
Pranajaya! Ketika dia menoleh dilihatnya pemuda itu terhuyunghuyung dengan tangan terluka parah dihantam senjata berbentuk arit
di tangan Si Telinga Arit Sakti !
"Mampuslah!" teriak Telinga Arit Sakti. Aritnya menyambar ke
leher Prana yang saat itu sudah tak bersenjata lagi karena tadi telah
terlepas sewaktu lengannya dihantam ujung arit!
Prana jatuhkan diri. Dia selamat. Tapi sewaktu arit itu berkiblat
membalik kembali, murid Empu Blorok ini tiada sanggup lagi
menghindar. Si Telinga Arit Sakti tertawa mengekeh.
"Wuss! "
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin
Telinga Arit Sakti berseru kaget dan lompat tujuh tombak ke
atas. Satu sinar putih telah melabrak ke arah tubuhnya. Panasnya
bukan main dan menyilaukan mata. Belum lagi dia turun ke tanah disebelah sana sebelas orang prajurit Kerajaan terdengar menjerit dan
rubuh ke tanah dengan tubuh hangus tiada nyawa!
"Pukulan Sinar Matahari!" teriak Si Telinga Arit Sakti. Mukanya
masih pucat. Yang lain-lainnya juga mendadak sontak menjadi ngeri!
"Pemuda keparat, apakah kau murldnya Si Sinto Gendeng"!"
bentak Hantu Hitam Muka Putih !
"Tanya pada penjaga neraka!" jawab Pendekar 212. Sekali
Kapak Naga Geni di tangannya berkelebat maka terdengarlah
pekik Hantu Hitam Muka Putih! Kepalanya hampir terbelah dua.
Mukanya yang dicat putih kini menjadi merah ditelan noda darah!
Tubuhnya angsrok saat itu juga ke tanah !
Gonggoseta menerjang kalap. Golok empat seginya yang
amat besar itu membabat empat kali berturut-turut! Sambil
mengelak gesit Wiro berteriak, "Prana, bawa Sekar dari sini!
Tunggu aku di tepi telaga di luar Kotaraja. Cepat!"
"Tidak mungkin, Wiro...," jawab Prana. "Aku tak sanggup
melakukannya. Racun arit perempuan keparat itu telah
menyesakkan nafas dan melemahkan sekujur badanku! Sekar
sendiri entah masih hidup entah tidak....."
Pendekar 212 kertakkan rahang. Dia melirik pada tubuh
Sekar yang melingkar di tantah dan putar Kapak Naga Geninya
untuk menerabas serangan tongkat Si Janggut Biru dan cakar
maut Si Cakar Iblis! Meski cuma melirik sekilas namun mata Wiro
Sableng yang tajam masih bisa memastikan bahwa Sekar saat itu
masih bernafas, cuma keadaannya memang kritis akibat telah
mencium asap beracun yang dihembuskan oleh Harimau Siluman.
Dengan tangan kirinya Wiro cepat mengambil dua butir pil
dari balik pakaian putihnya. "Prana!." serunya. "Lekas telah pil ini
dan berikan satu kepada Sekar."
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin
Melihat ini Gonggoseta segera berusaha untuk menghalang!
Dua butir pil yang melesat ke arah Prana hendak ditendangnya
dengan kaki kanan namun tangan kiri Wiro Sableng bergerak
lebih cepat ke arah manusia pendek berkepala besar ini. Selarik
sinar menyilaukan menyambar Gonggoseta!
"Pukulan sinar matahari!" seri Si Telinga Arit Sakti.
"Gonggoseta,
lekas lompat menghindar!"
memperingatkan perempuan sakti ini.
Mendengar peringatan itu dan maklum akan kehebatan
pukulan sinar matahari yang tadi sudah disaksikannya sendiri.
Gonggoseta cepat menghindar ke samping, namun terlambat! Kaki
kanannya kurang lekas ditarik pulang! Terdengar lolongan
Gonggoseta, Kaki kanannya itu melepuh hangus dan mengeluarkan asap sewaktu dilanda pukulan sinar matahari. Tubuhnya
terpelanting tiga tombak. Dikerahkannya tenaga dalamnya,
dikeluarkannya sejenis obat untuk menolak luka besar dan
rangsangan racun yang menjalar dari kaki kanannya! Namun
semua itu sia-sia. Tak satu kekuatan apapun agaknya yang
sanggup mengobati kakinya yang hangus, tak ada satu obat
penawarpun yang sanggup memusnahkan racun pukulan sinar
matahari! Gonggoseta meraung-raung dan bergulingan di tanah,
kemudian tubuhnya tak bergerak-gerak lagi tanda nyawanya lepas
sudah! Kehebatan pukulan sinar matahari yang dilepaskan Wiro
tidak saja hanya meminta korban jiwanya Gonggoseta tapi juga
seperti tadi, diseberang sana terdengar lagi pekik kematian enam
orang prajurit yang tersambar pukulan sinar matahari! Keenamnya laksana daun-daun kering disambar angin keras, berpelantingan dan mati seketika itu juga!
Meski dalam keadaan tangan terluka parah, bahkan kalau
tidak hati-hati tangannya sendiri bisa tersambar pukulan sinar
matahari namun dengan susah payah akhirnya Pranajaya berhasil
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin
juga menyambut dua butir pil yang dilemparkan Wiro. Obat itu
segera ditelannya dan yang satu lagi dimasukkannya dengan cepat ke
dalam mulut Sekar.
Melihat kematian kawan mereka yang ke empat itu semakin
meluaplah kemarahan dan dendam maut tokoh-tokoh silat lainnya
yaitu Si Telinga Arit
Sakti, Cindur Rampe, Cakar Iblis serta Si Janggut Biru.
Keempatnya mengurung Wiro dengan rapat. Tongkat besi Si Janggut
Biru laksana taburan hujan menderu-deru menyambar ke seluruh
tubuh Pendekar 212. Kuku-kuku jari Si Cakar Iblis yang mengandung
racun yang sangat dahsyat tiada hentinya mencari sasaran dibagianbagian tubuh Wiro yang berbahaya.
Arit ditangan Si Telinga Arit Sakti berkelebat cepat memapas
kian kemari sedang Cindur Rampe tiada hentinya lepaskan pukulan
ireng weliung yang mendatangkan angin dahsyat berwarna hitam dan
beracun! Dan bagaimana keempat tokoh-tokoh silat utama ini tidak
menjadi dibikin tambah mengkal karena semua serangan maut
mereka itu sampai sepuluh jurus di muka masih belum sanggup
merubuhkan Pendekar 212. Jangankan merubuhkan, untuk melukai
sedikit saja salah satu bagian tubuh murid Eyang Sinto Gendeng
itupun mereka tiada sanggup! Dan lebih membuat mereka penasaran
Wiro Sableng 007 Tiga Setan Darah Dan Cambuk Api Angin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
betul ialah karena dari mulut Pendekar 212 tiada hentinya ke luar
suara siulan yang sekali-sekali diselingi oleh suara tertawa bernada
mengejek! Pil yang diberikan oleh Wiro Sableng kepada Prana memang
mengandung khasiat yang luar biasa. Obat itu Eyang Sinto Gendeng
sendiri yang meramunya. Pada waktu pertempuran dijurus ke sepuluh
berkecamuk hebat-hebatnya maka Prana mulai merasakan keadaan
tubuhnya puluh kembali. Lukanya tiada terasa sakit lagi dan darah
yang mengucur berhenti. Ketika dia berpaling pada Sekar, dilihatnya
gadis itu membuka kedua matanya dan menggerakkan kepala.
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin
"Prana, lekas tinggalkan tempat ini! Bawa Sekar!" berseru lagi
Wiro. Pranajaya mengambil pedang Ekasakti yang tercampak di tanah
lalu berdiri. Apa yang dilakukannya bukanlah mengikuti ucapan Wiro
melainkan terus menyerbu ke dalam kalangan pertempuran ! "Pemuda
tolol!" damprat Wiro. "Disuruh selamatkan diri malah bertempur!"
Prana tidak berkata apa-apa melainkan terus babatkan
pedangnya ke arah Cakar Iblis di sebelah kiri Wiro. Kalau sendiri tadi
empat tokoh silat Istana itu tiada sanggup menghadapi Wiro maka
ditambah dengan munculnya Pranajaya kini keempat tokoh silat itu
menjadi terdesak total!
Tubuh keempatnya terbungkus sinar pedang dan sinar kapak
dan agaknya pertahanan mereka itu tak akan berjalan lebih lama.
Dalam waktu singkat pasti sekurang-kurangnya salah seorang dari
mereka akan menjadi korban lagi!
"Tahan! Hentikan pertempuran ini!" teriak Cindur Rampe seraya
melompat ke luar dari kalangan. Sejak mulanya dia memang tak mau
ikut-ikutan membela kematian Tiga Setan Darah karena antara dia
dengan Tiga Setan Darah sendiri mempunyai perselisihan yang belum
terselesaikan. Namun karena tak ingin dicap pengecut terpaksa juga
Cindur Rampe pergi bersama yang lain-lainnya itu untuk membuat
perhitungan dengan Wiro dan kawan-kawannya.
"Apa maumu Cindur Rampe"!" tanya Wiro dengan melintangkan
kapak di muka dada sementara Sekar saat itu sudah berdiri di
sampingnya dengan Rantai Petaka Bumi di tangan kanan.
"Antara kami dan kalian tak ada permusuhan. Karenanya tak
perlu pertempuran gila ini diteruskan...!"
Wiro tertawa tawar. "Tadipun aku sudah bilang! Tapi kalian
semua tidak mau dengar! Sayang empat orang kawan kalian sudah
melayang jiwanya!" Cindur Rampe berpaling pada kawan-kawannya
dan memberi isyarat untuk berlalu. Si Janggut Biru sudah hendak
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin
mengikuti Cindur Rampe tapi tak jadi kaena saat itu terdengar
bentakan Si Telinga Arit Sakti.
"Cindur Rampe resi keparat! Apakah nyalimu sepengecut begini"!
Apa kau relakan begitu saja empat kawan kita menemui kematian "!"
Paras Cindur Rampe menjadi merah. "Perempuan edan!"
balasnya membentak, "jangan bicara seenak perutmu! Kalau kau dan
yang lain-lainnya mau meneruskan pertempuran ini, silahkan! Kalian
mencari mampus!"
Cindur Rampe langkahkan kedua kakinya. "Kalau begitu biar
kau yang mampus lebih dulu pengecut!" teriak Telinga Arit Sakti dan
perempuan ini segera melabrak Cindur Rampe.
Kedua orang itupun terlibatlah dalam satu pertempuran seru.
Wiro tertawa rnengekeh. Dia berpaling pada Prana dan Sekar,
"Kawan-kawan mari kita tinggalkan tempat ini," katanya. "Biar saja
mereka baku hantam satu sama lain!"
"Kalian tak akan berlalu dari sini tikus-tikus keparat!"
Wiro putar kepala. Yang membentak adalah Si Cakar Iblis.
Tubuhnya merunduk, kedua tangannya yang berkuku-kuku panjang
diulurkan ke muka. Di sampingnya Si Janggut Biru berdiri dengan hati
bimbang, apakah akan berlalu dari situ atau meneruskan lagi
pertempuran. Cakar Iblis menggerung dahsyat! Sepuluh kuku jari tangannya
rnengeluarkan sinar hitam dan sedetik kemudian sepuluh sinar hitam
itu mencurah ke arah Wiro. Pendekar 212 sabetkan Kapak Naga Geni
ke muka. Sepuluh larikan sinar hitam buyar tapi di lain kejapan
sepuluh kuku-kuku jari Si Cakar Iblis tahu-tahu sudah berada di
depan muka Pendekar 212!
Wiro Sableng terkejut sekali dan menyurut kebelakang! Sepuluh
kuku hitam itu memburu laksana kilat! Dan terdengar kekeh Si Cakar
Iblis, "Kau tak akan bisa selamatkan jiwamu dari jurus sepuluh ular
berbisa berebut buah ini!" katanya.
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin
Wiro memaki Dia melompat ke belakang tapi secepat
lompatannya itu begitu pula cepatnya sepuluh kuku itu memburunya
lagi ! "Mampuslah!"
Teriak Si Cakar Iblis dan kedua tangannya laksana kilat
menggapai ke muka Pendekar 212.
Terdengar satu jeritan !
Pendekar 212 usap parasnya dan memperhatikan bagaimana Si
Cakar Iblis berdiri terhuyung-huyung! Kedua lengannya terpapas
buntung dilanda mata kapak di tangan Wiro dalam satu jurus serangan
balasan yang amat luar biasa hebatnya !
"Manusia keparat... maki Si Cakar Iblis. Darah memancur dari
kedua pergelangan tangannya. "Sekalipun kau menang, jiwamu tidak
akan aman! Aku akan mampus dan akan jadi setan! Akan mencekik
batang lehermu...."
"Sialan! Sudah mau mati masih omong besar!" damprat Wiro
Sableng. Sekali kaki kanannya bergerak maka mentallah Si Cakar Iblis !
Wiro berpaling pada Si Janggut Biru.
"Bagaimana" Mau coba-coba rasanya mampus sobat"!" tanya
Wiro pula. Si Janggut Biru meludah ke tanah. Tanpa berkata apa-apa
segera ditinggalkannya tempat itu.
Wiro memandang pada Si Telinga Arit Sakti yang tengah
bertempur hebat dengan Cindur Rampe. "Bertempurlah terus sampai
salah seorang dari kalian mampus!" seru Wiro. Lalu dengan cepat bersama Sekar dan Prana dia berlalu dari situ. Tak satu prajurit
kerajaanpun yang berani dan bernyali menghalangi mereka !
Sementara itu Si Telinga Arit Sakti berteriak keras, "Cindur
Rampe! Hentikan pertempuran ini! Kita harus kejar ketiga bangsat
itu!" Cindur Rampe melompat mundur.
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin
"Aku masih mau hidup Arit Sakti!" kata Cindur Rampe pula.
"Kalau kau mau mengejar mereka silahkan!" Cindur Rampe berkelebat
meninggalkan tempat itu.
Si Telinga Arit Sakti memaki habis-habisan. Bila dia tinggal
seorang diri dan menyaksikan lima mayat kawan-kawannya yang
menggeletak mati di halaman gedung itu, diam-diam diapun merasa
kecut dan menyadari bahwa seorang diri tak akan ada gunanya dia
mengejar ketiga manusia itu. Akhirnya perempuan sakti ini berkelebat
dan lenyap kejurusan timur!
-- == 0O0 == -Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin
TIGA BELAS WAKTU mereka menghentikan lari masing-masing, ketiganya
telah berada jauh di luar Kotaraja. Mereka saling pandang dan Wiro
membuka pembicaraan dengan senyum di bibir. "Sobat-sobat, ke
mana kita sekarang?"
Sekar tidak memberikan jawaban.
Pranajaya memperhatikah paras gadis ini sebentar lalu berkata,
"Aku akan terus ke timur. Ke Pulau Seribu Maut, mencari Cambuk Api
Angin milik guruku yang telah dilarikan oleh Bagaspati!"
Wiro manggut-manggut. Dia merenung sejenak lalu berkata,
"Pulau Seribu Maut, Cambuk Api Angin. Bagaspati.. nama-nama yang
hebat. Perjalananmu ke ujung Jawa Timur pasti merupakan suatu hal
yang menarik. Saudara Prana, kau keberatan bila aku ikut
bersamamu....?"
Pranajaya berseru gembira. "Memang itu yang aku harapharapkan Wiro. Jalan jauh banyak dilihat, kawan seiring sukar
didapat!" Wiro Sableng tertawa.
"Bagaimana dengan kau Sekar?" tanya murid Eyang Sinto
Gendeng itu. Prana memandang lekat-lekat pada gadis itu. Di balik
pandangannya itu tersembunyi suatu perasaan kecemasan. Dan
perasaan itu semakin jelas kelihatan sewaktu Wiro berkata, "Kau
musti kembali ke tempat gurumu...."
Tapi si gadis justru gelengkan kepala.
"Aku ikut bersamamu... bersama kalian..." kata Sekar.
Wiro Sableng kerenyitkan kening. "Pengalamanmu di Kotaraja
kurasa cukup memberikan gambaran bagaimana penuhnya dunia ini
dengan seribu satu macam bahaya dan kejahatan! Perjalanan ke Pulau
Seribu Maut pasti lebih berbahaya dari pengalamanmu di Kotaraja."
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin
"Apakah kau terlalu menganggap aku ini orang perempuan
bangsa kurcaci yang takut segala macam bahaya"!" tukas Sekar.
Wiro berpaling pada Pranajaya yang sampai saat itu masih
memandang pada Sekar. "Dia memang pintar omong!," kata Wiro pula.
"Adatnya keras. Mautnya dia musti maunya juga! Urusan laki-laki mau
disamakan dengan urusan perempuan...."
"Sudah!" potong Sekar seraya membalikkan badan memunggungi
kedua pemuda itu.
Wiro Sableng tertawa dan garuk-garuk kepalanya.
"Yang aku khawatirkan," kata Pendekar 212 pula, "kalau-kalau
gurumu kelak akan salah sangka dan menduga kami yang
menjebloskan kau ke dalam persoalan rumit penuh bahaya ini!"
"Soal guruku itu soalku dengan beliau. Yang penting sekarang
kita sama-sama pergi ke Pulau Seribu Maut. Apa aku sebagai orang
persilatan tidak boleh mencari pengalaman?"
"Tentu saja boleh" sahut Wiro sementara Pranajaya sampai saat
itu tak sepatahpun membuka mulut selain memandang seperti tadi-tadi
pada Sekar. "Tapi sekarang belum saatnya," menyambungi Wiro.
"Kau tak berhak melarangku Wiro. Siapapun tak berhak
melarang ke mana aku mau pergi...!"
"Berabe! Berabe!" ujar Wiro Sableng. "Bagaimana Prana, kita ajak
dia...?" Pranajaya angkat bahu. "Terserah padamu, Wiro."
Wiro Sableng tarik dan hembuskan nafas panjang. "Baik Sekar,
kau boleh ikut bersama kami! Tapi ingat, kalau terjadi apa-apa dengan
kau dan kami tak sanggup- menolongmu, jangan kelak menyesalkan
kami berdua...!"
Maka tak lama kemudian ketiga orang itupun kelihatan
berkelebat dan dengan mengeluarkan ilmu lari masing-masing mereka
tinggalkan tempat itu dengan sangat cepat.
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin
MALAM itu malam yang ketiga bagi rombongan yang terdiri dari
tiga orang itu dalam perjalanan mereka menuju Pulau Seribu Maut di
ujung timur pulau Jawa. Mereka berhenti di tepi sebuah anak sungai
berair jernih. Langit bersih kebiruan. Bintang-bintang bertaburan dan
bulan sabit memperindah suasana malam yang sejuk itu.
Pranajaya memasukkan empat potong kayu kering ke dalam api
unggun lalu melangkah perlahan ke tepi sungai. Di lihatnya gadis itu
duduk di sebuah batu besar, tengah melamun seorang diri. Prana
datang mendekat.
Untuk beberapa lamanya tidak satupun dari mereka yang bicara.
Si pemuda memandang ke langit lepas. Dia mendapat bahan untuk
membuka pembicaraan, "Bagus sbetul malam yang sekali ini."
Sekar memandang ke atas, memperhatikan bulan sabit dan
bintang-bintang yang bertaburan lalu menganggukkan kepalanya.
"Wiro belum kembali?" tanya gadis itu. "Belum," sahut Prana.
Hatinya menciut. Sekar lebih banyak memperhatikan seorang lain yang
tak ada di situ daripada kehadiran dirinya di sampingnya di atas batu
itu. Dan Prana sendiri tidak tahu ke mana pula Wiro pergi. Dua malam
yang lalupun pemuda itu selalu pergi tanpa memberi tahu ke mana.
Seakan-akan kepergiannya itu merupakan hal yang disengaja.
Pranajaya berdehem beberapa kali untuk menghilangkan sekatan
yang menyesakkan lehernya. Dipandanginya paras jelita Sekar dari
samping. Betapa indahnya paras itu dipandang dibawah naungan
malam yang disinari bulan sabit dan bintang gumintang.
"Kau masih belum memberikan jawaban apa-apa atas ucapanku
malam pertama yang lalu, Sekar...," berkata Pranajaya. Suaranya sekali
ini tiada bernada ditelan sendiri oleh gema gemetar suaranya itu.
Sekar memandang ke hulu sungai lalu menundukkan kepalanya.
"Apakah tak akan pernah ada balasan?" tanya Pranajaya.
Si gadis memandang lagi ke hulu sungai lalu membuka mulut,
"Dalam perjalanan ini bukan persoalan cinta yang musti dipikirkan
Prana..." Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin
Suara Sekar pelahan, hampir seperti berbisik namun begitu
mengiang telinga Pranajaya kedengarannya Paras pemuda ini membeku
merah. Ditundukkannya kepalanya.
"Kurasa bukan disitu sesungguhnya dasar jawabanmu, Sekar,"
ujar pemuda itu pula
"Lalu....?"
"Kau mencintai dia...?" tanya Prana seberani mungkin.
"Dia siapa?"
"Tak usah berpura-pura...."
Sekar memandang pemuda itu sebentar. "Maksudmu Wiro?"
tanyanya. Si pemuda anggukkan kepala.
Sekar tertawa. "Suara tertawamu aneh, Sekar," bisik Pranajaya. "Seolah-olah
membenarkan pertanyaanku tadi."
Sekar diam. "Aku memang bukan apa-apa jika dibandingkan dengan Wiro...."
"Kau tak usah cemburu Prana"
"Terus terang saja dalam persoalan ini aku cemburu padanya.
Aku iri," kata Pranajaya dengan hati laki-laki. "Tapi kecemburuan dan
iri hatiku itu tidak menyebabkan aku menjadi buta atau lupa diri atau
Wiro Sableng 007 Tiga Setan Darah Dan Cambuk Api Angin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mempunyai maksud yang buruk-buruk terhadap kalian berdua. Aku
cemburu dan iri pada Wiro, tapi aku menghormati dan menghargainya
sebagai seorang sahabat. Sebagai seorang manusia kepada siapa aku
berhutang budi serta nyawa. Bahkan lebih dari itu aku mengganggap
Wiro bukan orang lain, tapi sudah sebagai saudara kandung sendiri...."
Sekar masih diam dan Pranajaya meneruskan ucapanucapannya. "Aku menyadari kenyataan Sekar. Kenyataan bahwa aku bukan
apa-apa jika dibandingkan dengan dia. Ilmunya tinggi, parasnya gagah
dan jasmaninya tidak mempunyai cacat apa-apa. Yang lebih utama dia
adalah seorang laki-laki berhati jantan, luhur dan kudus..... Jika kau
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin
mau berterus terang Sekar, aku tak akan membuka-buka lagi
persoalan ini. Aku akan lebih bahagia dan bangga jika kalian bisa hidup
berdua dan berbahagia...."
"Antara aku dan Wiro tak ada hubungan apa-apa, Prana,"
memotong Sekar. "Tak sepantasnya kau bicara sampai sejauh itu."
Pranajaya memandang ke langit di atasnya. Diperhatikannya
bulan sabit dan dia berkata . "Mungkin, tapi kau tak bisa menipu
dirimu sendiri! Sekar. Kau tak bisa mendustai kata hatimu. Kau
mencintai dia....."
Sekar tundukkan kepalanya memperhatikan jari-jari kakinya yang
mungil bagus. "Aku tak ingin membicarakan persoalan ini lebih lanjut Prana."
"Jadi tak ada jawaban darimu" Tak ada jawaban berarti suatu
penolakan Sekar..."
Sepi menyeling. Pranajaya menunggu sampai beberapa lamanya.
Dipandanginya paras Sekar seketika. Dan bila tak ada juga jawaban dari
gadis itu maka Prana memutar tubuh dan perlahan-lahan meninggalkan
tempat itu. Sekar memalingkan kepalanya. Di pandanginya tubuh yang
berjalan itu, dipandanginya kaki yang melangkah itu, dipandanginya
kepala yang tertunduk itu dan dipandanginya tangan kiri yang buntung
itu. Hati gadis ini memukul-mukul. Suaranya serak parau sewaktu
mulutnya mernanggil, "Prana..."
Panggilan itu laksana satu kekuatan gaib yang membuat kedua
kaki Pranajaya berhenti melangkah dan tubuhnya berhenti berjalan. Si
pemuda palingkan kepala. Diantara keputus-asaan yang menyelimuti
wajahnya di malam sejuk itu kelihatan sekelumit pengharapan. Dan
matanya memandang sayu pada si gadis, menunggu ucapan
selanjutnya. "Prana....."
"Ya, Sekar..."
"Bersediakan kau menunda pembicaraanmu ini sampai
berakhirnya tugasmu di Pulau Seribu Maut nanti...?"
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin
Si pemuda.merenung sejenak. Lalu jawabnya, "Aku bersedia Sekar
meski aku tahu mungkin tak ada harapan sama~sekali bagiku...."
"Mungkin yang orang duga tak selalu mungkin pada kenyataan,
Prana," kata Sekar."
Pranajaya murid Empu Blorok coba merenungkan ucapan gadis
itu. Kemudian sekelumit senyum tersungging dibibirnya.
"Kuharapkan saja demikian, Sekar," kata Prana. Lalu
ditinggalkannya tempat itu.
-- == 0O0 == -Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin
EMPAT BELAS DI PAGI HARI yang kesembilan ketiga orang itu kelihatan
berdiri di tepi pantai di ujung, timur pulau Jawa. Di laut kelihatan
gugusan pulau-pulau. Ada yang berkelompok-kelompok, ada yang
terpisah menyendiri. Perahu-perahu nelayan kelihatan di manamana. Angin dari laut bertiup, melambai-lambaikan rambut serta
pakaian mereka.
Pranajaya menunjuk ke sebuah teluk sempit dan berkata, "Di
situ ada perkampungan nelayan. Kita bisa mencari keterangan di
mana letak Pulau Seribu Maut dan sekalipun menyewa perahu serta
membeli perbekalan."
Wiro mengangguk. Ketiganya segera menuju ke perkampungan
itu. Seorang nelayan tua mereka temui tengah memperbaiki jala di
teluk itu. Prana menyalaminya lalu bertanya, "Bapak, yang manakah di
antara pulau-pulau di tengah laut sana yang bernama Pulau Seribu
Maut?" Pertahan-lahan nelayan tua, itu mengangkat kepalanya dan
membuka topi pandannya. Dipandanginya Pranajaya, lalu Wiro dan
Sekar. "Kau bertanyakan Pulau Seribu Maut nak?" ujar nelayan tua
ini. Prana mengangguk.
"Kalau tak tahu jelasnya kira-kira saja," berkata Wiro.
Si nelayan hela nafas dalam.
"Umurku enam puluh tahun nak. Dan hari inilah baru
kudengar ada seorang yang bertanya di mana letak Pulau Seribu
Maut," Nelayan itu hela nafas dalam sekali lagi. "Apakah kalian
hendak menuju ke sana?"
"Betul" sahut Prana.
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin
Mata yang sudah agak mengabur di mana umur dari nelayan
tua itu memperhatikan ketiga manusia itu dengan lebih teliti.
"Kalian tentunya orang-orang dunia persilatan. Tidak heran kalau
kalian bernyali menanyakan letak pulau itu. Urusan apakah
gerangan yang membawa kalian begitu berniat meriuju ke snna?"
"Ah tak ada apa-apa, pak. Cuma kepingin tahu saja," jawab
Prana. Si nelayan tertawa. "Kepingin tahu dan menemui kematian di
sana..." Nak, dengar... hanya manusia-manusaa yang mau lekaslekas mati saja yang berhajat pergi ke Pulau Seribu Maut...."
"Namanya memang menyeramkan," kata Wiro sambil usapusap dagu. "Tapi sebetulnya ada kehebatan apakah di sana sampai
pulau itu demikian ditakuti orang-orang?""
"Ah, kalian bukan orang-orang sini. Kalian tidak tahu, Nak....
di situ bersarang gerombolan bajak laut yang dipimpin oleh seorang
bernama Bagaspati. Setiap perahu atau kapal yang lewat diselat
Madura ini pasti dirampok, manusia-manusianya dibunuhi.
Kampungku inipun tak urung menjadi korban kejahatan Bagaspati
dan anak buahnya. Perempuanperempuan kami diambil dan dibawa
ke Pulau Seribu Maut. Satu kali seminggu kami musti menyiapkan
dan memberikan bahan-bahan makanan kepada mereka. Kami tak
bisa berbuat apa-apa nak. Kalau melawan berarti mati....."
"Kenapa tidak pindah ke kampung lain?" tanya Sekar.
"Lebih berabe lagi!" jawab si nelayan. "Kalau kami berani pergi
dari sini, semua penghuni kampung dari yang kecil sampai tua
macamku ini akan dibunuh! Begitu Bagaspati mengancam..."
"Pernah berhadapan muka dengan manusia Bagaspati itu?"
tanya Prana. "Pernah dan pernah ditampar. Tiga hari aku tak bisa
meninggalkan tempat tidur karena masih pening di landa
tamparannya."
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin
Wiro Sableng mengulum senyum. Diperhatikannya beberapa
buah perahu yang berada di tepi pantai itu.
"Perahu-perahu bapak?" tanya Wiro.
Si nelayan mengangguk.
"Bisa kami sewa sebuah?"
"Untuk pergi ke Pulau Seribu Maut"!."
"Ya."
Nelayan tua geleng-gelengkan kepalanya.
"Aku memang sudah tua dan hampir masuk liang kubur. Tapi
walau bagaimanapun aku tak mau cari urusan yang bisa mempercepat
kematianku! Tak ada satu orangpun yang akan mau menyewakan
perahunya ke Pulau Seribu Maut. Tak ada satu pemilik perahupun yang
akan mengantarkan kalian ke sana. Pulau Seribu Maut adalah pulau
kematian!"
"Kalau begitu bapak terangkan saja letaknya."
"Tidak bisa nak... tidak bisa..." Si nelayan lalu cepat-cepat
meninggalkan ketiga orang itu. Yang ditinggalkan saling berpandangan
lalu pergi ke pusat kampung. Dan sebagaimana yang dikatakan nelayan
tua tadi, tak ada seorang pemilik perahupun yang mau menyewakan
perahunya, apalagi mengantar mereka ke Pulau Seribu Maut. Juga
ketiganya tak berhasil mencari keterangan di mana kira-kira letak pulau
angker tersebut.
"Penduduk di sini sialan semua!" gerutu Wiro Sableng. "Pada mati
ketakutan! Kurasa mencari dan pergi ke tempat seorang puteri cantik
tidak sesukar ini! Cuma mencari Kepala bajak saja begini susah!
Geblek!" "Kita tak bisa salahkan penduduk Wiro," ujar Prana.
"Kalau begini kita terpaksa bikin perahu sendiri atau rakit!" kata
Wiro mengalih pembicaraan.
Prana mengangguk. "Rakit kurasa lebih baik daripada perahu.
Ombak di selat ini cukup besar..."
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin
Menjelang tengah hari maka di tengah laut lepas di selat Madura
itu kelihatanlah sebuah rakit yang laksana "terbang" memecah
gelombang air laut, melaju dalam kecepatan yang luar biasa, semakin
lama semakin jauh dari pantai !
Beberapa nelayan yang perahu mereka kebetulan dilewati oleh
rakit itu tersentak kaget. Mereka hampir-hampir tak dapat mempercayai
pandangan mata mereka. Apakah mereka telah mengimpi di siang
bolong yang panas terik itu atau telah melihat jin-jin laut gentayangan di
depan mereka"!
Betapakan tidak! Tiga orang mereka lihat berada di atas rakit itu.
Satu diantaranya gadis cantik jelita. Meski ombak tidak besar tapi untuk
mengarungi lautan dalam kecepatan yang demikian rupa dan dengan
sebuah rakit pula benar-benar mustahil, benar-benar tak bisa mereka
percaya! Dan yang lebih tidak dapat mereka percayai ialah karena dua
orang pemuda yang ada di atas rakit itu mempergunakan tangan-tangan
mereka sebagai pendayung yang membuat rakit tersebut laksana
terbang! "Jangan-jangan jin-jin laut yang kita lihat ini, Warana," kata
seorang nelayan pada kawannya yang berada dalam sebuah perahu jauh
dimuka rakit itu. Dia dan kawannya sama-sama mengusap mata berkalikali. "Hai, lihat! Mereka menuju ke sini!" seru Warana.
"Celaka kita! Kayuh yang cepat Warana sebelum jin-jin laut itu
datang mencekik kita!"
Warana dan kawannya segera menyambar pendayung. Tapi
belum lagi kedua kayu pandayung mereka mencelup ke dalam air laut,
rakit yang berisi tiga manusia itu sudah berhenti dihadapan mereka!
Paras kedua nelayan itu pucat pasi. Meski yang mereka lihat adalah
benar-benar manusia, namun rasa tak percaya tetap membuat mereka
menyangka bawa tiga manusia di atas rakit itu adalah jin-jin laut yang
datang menganggu mereka!
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin
"Saudara, yang manakah Pulau Seribu Maut?" bertanya laki-laki
muda yang bertangan buntung. Baik Warana maupun nelayan yang
satu lagi hanya terduduk bermuka pucat dalam perahu mereka tanpa
bisa membuka mutut.
Wiro memandang keheranan, juga Sekar.
"Hai, apa kalian tak dengar orang bertanya"!" seru Wiro Sableng.
Warana membuka mulut tapi tak ada suara yang ke luar.
"Kalian seperti orang yang ketakutan!" ujar Wiro.
Prana juga melihat bayangan ketakutan itu pada wajah kedua
nelayan tersebut. Dia tak tahu apa sebabnya dan dia tak mau perduli.
Dia bertanya lagi . "Di mana letak Pulau Seribu Maut "!"
"Saudara-saudara... apa kalian... kalian..." Warana tak berani
meneruskan ucapannya. Ketika dilihatnya kawannya mencelupkan
pendayung segera dilakukannya hal yang sama. Perahu mereka segera
bergerak tapi kemudian terhenti dengan tiba-tiba. Kedua nelayan itu
pergunakan seluruh tenaga untuk mendayung namun tetap saja
perahunya hanya mengapung dan sedikitpun tak bisa bergerak.
Ternyata Wiro Sableng telah memegang ujung belakang perahu
mereka dan semakin menjadi-jadilah takut kedua orang itu. Mereka
berteriak-teriak dan lari sana lari sini dalam perahu mereka. Ikan-ikan
yang berhasil mereka tangkap berhamburan kembali ke dalam laut!
"Nelayan-nelayan geblek! Apa kalian sudah gila semua teriakteriak tak karuan"!" bentak Wiro.
"Tolong! Tolong .... !" teriak Warana. Kawannya meniru berteriak
macam itu pula.
"Saudara-saudara kami bukan rampok atau bajak!" seru
Pranajaya. . Wiro garuk-garuk kepalanya dan melangkah kehadapan
Warana. "Keblinger betul! Orang tanya Pulau Seribu Maut kenapa jadi
teriak-teriak minta tolong "!"
"Tolong jin laut! Tolong... !"
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin
Wiro, Prana dan Sekar saling berpandangan. Sekar kemudian
berbisik pada Prana, "Keduanya menyangka kita jin laut...!"
Wiro Sableng menjambak rambut Warana dan menepuk-nepuk
pipi nelayan ini. "Kau kira kami ini bukannya manusia apa"! Sompret!
Kami manusia-manusia macam kau saudara! Ayo jawab kenapa kalian
teriak-teriak dan di mana letak Pulau Seribu Maut"!"
Dijambak demikian rupa Warana semakin memperkeras
teriakannya. "Manusia tak berguna pergilah!" sentak Wiro Sableng seraya
melepaskan jambakannya. Begitu dilepas begitu Warana sambar
pendayung dan bersama kawannya mengayuh cepat meninggalkan
rakit itu. Meledaklah tertawa ketiga orang itu sewaktu Sekar berkata,
"Tentu saja, mana mereka mau percaya bahwa kita adalah manusiamanusia seperti mereka. Tak ada orang yang berakit di laut dan
dengan kecepat laksana angin!"
Wiro seka kedua matanya yang basah oleh air mata karena
tertawa itu. Dia memandang berkeliling dan tarik nafas dalam.
"Agaknya tak ada satu manusiapun yang bisa kasih keterangan di
mana letak Pulau itu..." kata Wiro.
Wiro Sableng 007 Tiga Setan Darah Dan Cambuk Api Angin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kita musti cari sampai dapat!" Prana kertakkan rahang.
Wiro memandang pada Sekar. Gadis itu dilihatnya memandang
ke arah utara tanpa berkesip.
"Apa yang kau perhatikan?" tanya Wiro.
Sekar tak menjawab dan dia masih memandang kejurusan
utara itu. Wira putar kepala mengikuti pandangan Sekar. Jauh di
tengah laut lepas di lihatnya dua buah pulau yang besarnya
dipemandangan mata mereka cuma sebesar ujung jari kelingking saja.
"Bagaimana kalau kita arahkan rakit kita ke sana?"
mengusulkan Sekar.
Wiro dan Prana saling pandang dan sama menyetujui. Dan rakit
itupun menggebulah di atas air laut yang muncrat di belah bagian
muka rakit. Detik demi detik kedua pulau itu semakin dekat juga.
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin
"Salah satu dari pulau-pulau itu banyak elang elang lautnya
Wiro," kata Prana.
Wiro Sableng memandang pada pulau yang sebelah kanan. Di
atas pulau itu memang keiihatan banyak beterbangan burung-burung.
"Itu bukan burung elang, Prana. Tapi gagak hitam pemakan mayat!"
seru Wiro tiba-tiba ketika, matanya yang tajam dapat mengenal
burung-burung itu.
Prana pelototkan mata.
"Sekar, putar kemudi ke arah pulau itu!" kata Prana.
Dan sesaat kemudian rakit itupun meluncur berputar ke arah
pulau yang sebelah kanan. Semakin dekat semakin jelas keadaan
pulau itu. Beberapa buah perahu besar dan kapal kelihatan berada di
sekitar teluk yang sempit.
"Hai benda apa itu"!" mendadak sontak Sekar berseru.
Wiro dan Prana berpaling ke arah yang ditunjuk Sekar. Sebuah
benda hitam yang sangat besar.meluncur pesat ke arah mereka.
"Ikan raksasa!" seru Sekar pula.
Wiro Sableng memandang tak berkesip. Benda hitam besar itu
memang seperti kepala seekor ikan. Tapi bukan ikan betul-betul. Wiro
masih coba meneliti dengan seksama ketika tiba-tiba sekali benda itu
lenyap dari permukaan air.
"Aku merasa tidak enak," desis Prana.
"Kita musti waspada," kata Wiro.
Baru saja dia habis berkata begini tahu-tahu benda hitam yang
luar biasa besarnya itu sudah muncul dihadapan rakit mereka. Bagian
tengahnya laksana seekor buaya raksasa membuka dan "plup"
sekaligus menelan rakit serta ketiga penumpangnya!
"Celaka!" seru Prana. Tapi suaranya lenyap ditelan katupan
yang menutup. Wiro mernukul lengan tinjunya kian ke mari. Terdengar suara
bergetar tapi aapa yang dipukulnya itu sama sekali tidak hancur !
"Gila, apa-apa ini!" teriak Pendekar 212.
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin
Dia tak bisa melihat Sekar ataupun Prana. Ruang di mana
mereka terkurung sangat gelap bahkan tangan di depan matapun
tidak kelihatan.
Pendekar 212 keluarkan Kapak Naga Geni dan batu hitam untuk
membuat penerangan. Namun sebelum tangannya menyentuh senjata
sakti itu tiba-tiba terdengar suara mendesis. Sekejap kelihatan sinar
biru. Prana dan Sekar berseru lalu terdengar suara jatuhnya tubuh
kedua orang itu !
Sinar biru Ienyap. Wiro yakin itu adalah hawa beracun yang telah
disemprotkan ke dalam ruangan gelap itu. Kepalanya terasa pusing dan
pemandangannya tak karuan. Dia seperti melihat ribuan bintang
begemerlap, seperti melihat tali-tali yang melingkar-lingkar berkilauan
dan menusuk-nusuk ke arah matanya. Pendekar 212 segera kerahkan
tenaga dalam dan tutup semua inderanya. Satu menit kemudian dia
berhasil menolak hawa beracun itu lalu dengan cepat keluarkan dua
butir pil dan dengan merangkak dia berhasil mencari tubuh Sekar dan
Prana lalu memasukkan pil anti racun ke dalam mulut keduanya.
Mendadak terdengar suara berkereketan dan ruangan itu di mana
Wiro berada seperti dihamparkan. Kemudian sebuah pintu terbuka.
Pendekar 212 segera jatuhkan diri diantara tubuh Prana dan Sekar. Saat
itu keduanya sudah mulai sadar. Wiro segera membisiki, "Berbuatlah
pura-pura pingsan terus! Jangan lakukan apa-apa sebelum kuberi
tanda!" Terdengar lagi suara berkereketan kemudian tubuh mereka terasa
menggelindung dan jatuh di atas pasir yang panas dihangati oleh sinar
matahari. Perlahan-lahan Wiro Sableng buka ke dua matanya.
Saat itu terdengar suara seseorang tertawa bergelak. "Surengwilis!
Jadi inikah manusia-manusianya yang katamu kasak kusuk cari
keterangan tentang pulau kita"!"
"Betul pemimpin!" terdengar jawaban seseorang.
Wiro Sableng membuka matanya lebih lebaran.
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin
Dan dihadapannya, beberapa tombak jauhnya dilihatnya antara
belasan manusia-manusia berbadan tegap, berdiri seorang laki-laki yang
luar biasa tinggi dan besar badannya. Menurut taksiran Wiro manusia
ini mungkin lebih dua meter tingginya! Tampangnya beringas buas dan
amat menyeramkan, ditutupi oleh berewok yang lebat dan berangasan!
Sepasang matanya besar dan merah. Hidung juga besar tapi picak. Dia
mengenakan jubah hitam bergaris-garis putih. Di pingggangnya
tergantung sebilah pedang panjang. Yang menarik perhatian Wiro ialah
tengkorak kepala manusia yang menjadi kalung dan tergantung di leher
laki-laki ini. "Hem...," si tinggi besar berkalung tengkorak manusia itu
menggumam. Dia memandeng berkeliling, "Apa ada diantara kalian yang
kenal pada mereka"!"
Tak ada suara jawaban.
"Kalau begitu mereka adalah manusia-manusia tidak berguna!"
ujar si tinggi besar. "Penggal kepala kedua laki-laki itu! Yang perempuan
biarkan hidup! Dia cukup bagus untuk disuruh menari telanjang malam
ini dan tidur bersamaku!"
Beberapa kaki kelihatan melangkah kehadapan ketiga orang itu.
Wiro berbisik pada kedua-kawannya, "Sekarang, sobat-sobat!"
Maka ketiga manusia yang berpura-pura pingsan itu segera
melompat dari tanah di mana mereka menggeletak !
-- == 0O0 == -Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin
LIMA BELAS KEJUT semua orang yang ada di situ bukan kepalang!
Tapi anehnya si tinggi kekar malah keluarkan suara tertawa
mengkeh. "Ha . . . ha! Kalian kira mataku bisa ditipu huh"!"
Sadarlah Wiro dan kawan-kawannya bahwa ucapan si tinggi
kekar memerintahkan anak-anak buahnya untuk memenggal kepala
mereka adalah pancingan belaka. Pendekar 212 menggerendeng dalam
hati. "Sebelum kalian mati kuharap kalian mau kasih keterangan,"
berkata si tinggi besar yang berjubah hitam bergaris-garis putih.
Tangan kanannya ditekankan ke ujung gagang pedang. "Ada
keperluan apa kau mencari tempat ini"!"
"Apakah ini Pulau Seribu Maut"!," balas menanya Pranajaya.
Si tinggi kekar tertawa lagi. "Kalian memang sudah berada di
Pulau yang kalian cari! Pulau di mana kalian akan melepas nyawa
masing-masing?"
Tersiraplah darah Prana dan Sekar. Pendekar 212 tetap tenangtenang saja. Prana memandang lekat-lekat pada si tinggi kekar. "Aku
mencari manusia bernama Bagaspati. Apakah kau orangnya!"
"Setan alas! Kowe berani sebut nama pemimpin kami seenak
perutmu! Terima mampus!"
Satu hardikan datang dari samping dan satu sambaran angin
menderu ke arah leher Prana. Pemuda ini cepat-pepat menyingkir ke
samping. Ujung sebilah kelewang menderu di muka hidungnya !
"Tahan!" seru laki-laki bertubuh tinggi kekar. Orang yang tadi
menyerang dengan kelewang bersurut mundur. Si tinggi kekar
pelototkan mata pada Pranajaya. "Manusia tangan buntung!," katanya,
"aku memang Bagaspati! Menyebut namaku berarti mati! Tapi kau
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin
masih punya waktu untuk memberi keterangan ada keperluan apa
kau dan kawan-kawanmu mencari pulau kami!"
"Kedatanganku atas tugas guruku!"
"Hem.... aku sudah duga bahwa kau dan kawan-kawanmu
manusia-manusia dari dunia persilatan! Terangkan apa tugasmu dan
siapa gurumu!" ujar si tinggi besar Bagaspati.
"Aku diperintahkan untuk mengambi! Cambuk Api Angin yang
telah kau curi dari guruku!" Bagaimanapun Bagaspati menekan rasa
terkejutnya namun pada air mukanya jelas kelihatan perubahan.
"Apakah kau muridnya Empu Blorok"!" tanyanya membentak.
Prana anggukkan kepala. "Mana cambuk itu"! Lekas serahkan
padaku!" Meledaklah tertawa bekakan Bagaspati. Tanah yang dipijak
bergetar saking hebatnya suara tertawa yang disertai tenaga dalam itu.
"Nyalimu sungguh besar tangan buntung!," kata Bagaspati
seraya melangkah kehadapan Prana.
"Sreet !"
Tiba-tiba Bagaspati cabut pedang panjangnya. Senjata ini
berwarna hitam legam bersinar yang menggidikkan. Dia hentikan
langkahnya dua tombak dihadapan Prana lalu membentak, "Lekas
sebut kau punya nama! Aku tak biasa membunuh manusia dunia
persilatan tanpa tahu namanya!"
Sebagai jawaban Pranajaya cabut pula pedang Ekasaktinya.
Sinar putih berkilau ke luar dari senjata mustika itu.
"Aku datang hanya untuk mengambil Cambuk Api Angin. Kalau
kau menghadapinya dengap kekerasan tak ada jalan lain daripada
menabas batang lehermu!"
"Bedebah sontoloyo!" teriak Bagaspati marah. Pedang hitamnya
berkelebat ganas, menderu ke arah tubuh Pranajaya, sekaligus
merupakan tiga buah serangan berantai yang dahsyat !
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin
Murid Empu Blorok tidak tinggal diam. Prana segera kiblatkan
senjatanya. Pedang putih dan pedang hitam beradu mengeluarkan suara
keras dan memercikkan bunga api !
Terdengar seruan Prana.
Pedang Ekasakti terlepas dan mental dari tangannya.
Sekejap kemudian senjata itu sudah berada di tangan kiri
Bagaspati! "Ha... ha.... ha.... Gurumu keliwat sembrono manusia tangan
buntung! Murid masih berilmu cetek disuruh mencari Bagaspati!"
Bagaspati angkat tangan kanannya tinggi-tinggi. "Sebut namamu cepat!"
perintahnya. Pedang hitam ditangan kanan sementara itu perlahanlahan mulai turun, siap diletakkan ke kepala Pranajaya.
"Bagaspati," terdengar satu suara dari samping, "Sebelum kau
bunuh kawanku ini, harap beri kesempatan padaku untuk bicara.....!"
Bagaspati palingkan kepala dengan penuh kegusaran. "Rambut
gondrong, kau bakal terima mampus sesudah kematian kawanmu ini!"
Pendekar 212 Wiro Sableng tersenyum.
"Kami datang secara damai untuk meminta kembali pedang yang
telah kau pinjam dari Empu Blorok. Apakah pantas seorang bernama
besar sepertimu menyambut kedatangan kami dengan perlakuan seperti
ini?" "Pemuda geblek! Pulau ini adalah Pulau Seribu Maut! Kematian
bisa terjadi setiap detik! Siapa yang menyebut nama Bagaspati dengan
kurang ajar berarti mati!" kata Bagaspati dengan membentak marah dan
muka merah. "Ah .... kau masih saja sebut-sebut perkara mati dan mampus,"
menukasi Pendekar 212 sambil cengar cengir seenaknya. "Kawanku
sudah bilang bahwa kami datang ke sini untuk minta kembali Cambuk
Api Angin. Soal mati atau mampus bisa diurus kemudian kalau kau
sudah serahkan cambuk itu padanya! Malah-malah kini kau rampas
pedang kawanku!"
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin
"Pemimpin! Yang satu ini biar aku yang bereskan!" satu manusia
bertubuh tegap maju dengan kapak besar ditangan kanan. Namanya
Surengwilis. Dialah yang telah mengetahui kedatangan Prana dan
kawan-kawan yang kemudian melaporkan pada Bagaspati.
Bagaspati anggukan kepala. "Lekas bereskart dia, Sureng!"
"Sobat kalau kau punya senjata silahkan keluarkan. Aku tak
begitu senang membunuh manusia bertangan kosong!" bentak
Surengwilis yang saat itu sudah berdiri dihadapan Wiro Sableng.
Wiro Sableng garuk kepala. "Aku tak ada senjata. Bisa pinjam
pedang hitammu, Bagaspati"!"
Tentu saja kemarahan Bagaspati si kepala bajak laut menjadi naik
ke kepala. "Sureng! Lekas bunuh manusia keparat itu!" teriaknya.
Kapak di tangan Surengwilis menderu laksana topan.
Detik senjata itu berkiblat, detik itu pulalah terdengar jeritan
Surengwilis. Tubuhnya mencelat mental beberapa tombak dan kapak
yang tadi dipegangnya tahu-tahu sudah berada di tangan Wiro Sableng!
Semua mata melotot besar seperti tak percaya melihat kejadian
itu. Di ujung sana Surengwilis mencoba bangun dari tanah. Dia berdiri
gontai seketika sambil memegangi dadanya. Mulutnya membuka seperti
hendak mengatakan sesuatu tapi yang ke luar dari mulut itu bukan
suara melainkan darah kental dan segar. Sesaat kemudian tubuh
Surengwilis melosoh pingsan ke tanah!
"Anak-anak tangkap hidup-hidup keparat ini!" perintah Bagaspati
penuh kemarahan. Habis berkata begitu dia segera menyerang Prana
dengan pedang di tangan. Satu tusukkan cepat dikirimkannya kepada
Prana. Ketika si pemuda bersurut ke samping kanan Bagaspati
membabat dengan pedang Ekasakti yang ditangan kirinya. Namun saat
itu satu senjata aneh berkelebat ke arah kepalanya, membuat Bagaspati
cepat-cepat urungkan serangan. Ketika dia berpaling senjata aneh itu
membalik lagi dan menderu ke perutnya !
Yang menyerang pemimpin bajak ini bukan lain Sekar dengan
senjata Rantai Petaka Bumi. Kegusaran dan kemarahan Bagaspati tiada
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin
terkirakan. Dia membentak keras dan sekaligus tebar serangan pada
Prana dan Sekar!
Sewaktu Bagaspati
Wiro Sableng 007 Tiga Setan Darah Dan Cambuk Api Angin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memerintahkan anak-anak buahnya menangkap Pendekar 212 maka lima manusia bertubuh katai maju ke
muka. Masing-masing mereka memegang sebuah jala hitam. Satu
diantara kelimanya berteriak memberi komando maka lima pasang
tangan bergerak dan lima buah jala hitam menebar mulai dari kaki
sampai ke kepala Wiro Sableng.
Pendekar 212 gerakkan kedua tangannya sekaligus! Angin deras
memapasi lima buah jala itu tapi anehnya jala-jala itu tiada sanggup
dibikin mental oleh pukulan dahsyat sang pendekar! Dengan kecepatan
luar biasa salah satu dari jala mernjerat tangan Wiro Sableng. Murid
Eyang Sinto Gendeng ini betot tangannya untuk menarik jala dan si
katai yang memegangnya namun tahu-tahu jala itu bergerak cepat dan
kini menjirat sampai ke bahu! Dikejap yang sama jala kedua menjirat
kaki kiri Wiro Sableng. Jala ketiga melibat pinggang, jala ke empat
membungkus kepala sampai ke dada, jala ke lima melingkar di betis kaki
kanan. Terdengar lagi teriakan salah satu dari lima manusia katai itu dan
semua mereka menggerakkan tangan masing-masing. Maka sekali tarik
saja tubuh Pendekar 212 tergelimpang dan bergulingan di tanah.
Seluruh tubuh mulai dari kaki sampai ke kepala terjerat jala! Pendekar
212 kerahkan tenaga dalam ke ujung dua tangannya. Tapi kejut Wiro
Sableng tidak terkirakan sewaktu. menghadapi kenyataan bahwa dia tak
sanggup merobek atau membobolkan jala itu dengan sepeuluh jari-jari
tangannya Wiro lipat gandakan tenaga dalamnya. Tetap sia-sia belaka!
Malah libatan jala semakin ketat.
Tubuh Wiro terhempas ke sebuah pohon. Lima manusia katai
anak buah Bagaspati segera mengurungnya. Masing-masing mereka siap
membungkuk untuk menotok tubuh Pendekar 212.
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin
Wiro pejamkan mata. Mulutnya komat kamit. Pada saat sepuluh
ujung jari hendak melanda menotok badannya maka terdengarlah
bentakan yang luar biasa kerasnya.
"Ciaat !"
Dua larik sinar putih yang panas dan sangat menyilaukan
menderu! Lima manusia katai mencelat dan meraung. Ketika tubuh
mereka terhempas ke tanah kelihatanlah bagaimana pakaian dan kulit
mereka melepuh hangus dan hitam. Kelimanya tiada berkutik lagi
tanda tak satupun saat itu dari manusia-manusia katai ini yang masih
bernafas! Wiro telah lepaskan dua pukulan sinar matahari sekaligus !
Melihat Lima Jala Sakti, demikian nama kelima manusia katai
itu menemui kematian maka seluruh anak buah Bagaspati segera
menggempur Pendekar 212. Di lain pihak Bagaspati sendiri saat itu
tengah mendesak hebat Pranajaya yang bertangan kosong dan Sekar
yang bersenjatakan Rantai Petaka Bumi. Paling lama kedua muda
mudi ini hanya akan sanggup bertahan sebanyak lima jurus!
Pendekar 212 memandang berkeliling. Kira-kira enam puluh
orang anak buah Bagaspati yang memegang berbagai macam senjata
mengurungnya sangat rapat. Wiro tak dapat menduga sampai di mana
kehebatan ilmu silat bajak-bajak laut ini. Jika mereka cuma
mengandalkan ilmu silat luaran, jumlah mereka terlalu banyak untuk
mengeroyok satu orang musuh. Salah-salah mereka bisa baku hantam
membunuh kawan sendiri. Dengan pandangan tenang, Pendekar 212
menyapu muka-muka bajak laut yang semakin maju dan
memperketat pengurungan.
"Kalian mau main keroyok"!" kertas Wiro. "Boleh!" kedua telapak
tangan dipentang ke muka. "Tapi sebelum kalian mulai, aku masih
satu peringatan pada kalian! Jika kalian semua berjanji mau hidup
menjadi orang baik-baik, menghentikan kerja sebagai bajak laut,
niscaya aku ampuni jiwa kalian!"
Seorang bajak berbadan tegap yang cuma memakai celana dan
berbadan penuh bulu meludah ke tanah!
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin
"Jangan mengigau pemuda keparat!" semprotnya. "Tubuhmu
akan tercincang lumat!"
Wiro Sableng tertawa dan keluarkan siulan dari sela bibirnya.
"Pulau ini Pulau Seribu Maut! Berat kalian yang keras-keras
kepala akan mati dalam seribu cara! Majulah!"
Si dada berbulu memandang berkeliling. "Kawan-kawan! Mari
berebut pahala menghabiskan nyawa busuk manusia edan ini!" Habis
berkata begitu dia keluarkan suara melengking hebat dan enam puluh
manusia laksana lingkaran air bah datang menyerang !
Wiro membentak dahsyat. Pulau itu serasa bergoncang, liangliang telinga laksana ditusuk! Meskipun hati tergetar namun keenam
puluh bajak itu terus juga menyerang! Puluhan senjata berserabutan!
"Manusia-manusia tolol! Pergilah!" teriak Wiro Sableng. Kedua
tangannya diputar di atas kepala, demikian cepatnya laksana titiran.
Dari kedua telapak tangan Pendekar 212 menderu-deru angin
dahsyat. Pasir beterbangan, daun-daun pepohonan luruh gugur!
Sembilan belas bajak laut yang paling muka merasakan tubuh mereka
seperti ditahan oleh dinding keras yang tak dapat dilihat mata. Kejut
mereka bukan main. Dan belum lagi habis kejut itu Wiro tiba-tiba
membentak sekali lagi! Kesembilan belas orang bajak laut itu
berpelantingan laksana daun kering disapu angin!
Pukulan yang dikeluarkan Pendekar 212 tadi adalah pukulan
angin puyuh! Bajak-bajak yang lain dengan kalap melompat ke muka
dan babatkan senjata masing-masing. Wiro Sableng membentak lagi.
Dan belasan bajak kembali terpelanting! Suasana menjadi kacau
balau kini. Mereka berteriak-teriak tapi tak berani maju ke muka
sekalipun saat itu Wiro sudah hentikan pukulan angin puyuhnya!
"Kenapa pada teriak-teriak macam monyet terbakar ekor"!" tanya
Wiro mengejek. "Ayo majulahl Bukankah kalian mau mencincang
aku"!"
Mendadak Pendekar 212 mendengar suara beradunya senjata
dan suara seruan Sekar. Sewaktu dipalingkannya kepalanya, Wiro
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin
masih sempat melihat bagaimana pedang hitam ditangan Bagaspati
berhasil memapas putus Rantai Petaka Besi yang menjadi senjata
Sekar. Pedang hitam itu kemudian laksana kilat membabat ke perut si
gadis. Sekar tak punya kesempatan mengelak karena saat itu perhatiannya telah terpukau oleh putusnya senjatanya serta rasa sakit yang
menjalari lengan kanannya akibat beradu senjata tadi!
Pranajaya yang melihat bahaya itu dengan kalap dan dengan
tangan kosong lepaskan pukulan angin sewu ke arah Bagaspati. Tapi
tiada guna. Babatan pedang Bagaspati datang terlalu cepat dan
Bagaspati sendiri masih sempat putar pedang Ekasakti di tangan
kirinya untuk melindungi dirinya dari pukulan angin sewu itu!
Satu jari lagi pedang hitam di tangan kanan Bagaspati akan
merobek perut dan membusaikan usus Sekar maka dari samping
menderu selarik sinar putuh yang dahsyat! Demikian dahsyatnya
sehingga Bagaspati terpaksa tarik pulang tangan kanannya dan
melompat ke belakang beberapa tombak !
"Wuss !"
Pukulan sinar matahari menggebu di depan hidung pemimpin
bajak laut itu! Mata Bagaspati kelihatan tambah besar dan tambah
merah tapi air mukanya pucat pasi! Dia sadar terlambat sedikit saja dia
metompat tadi pastilah dia akan konyol dilanda sinar putih pukulan
lawan! Kemarahan Bagaspati tiada terkirakan. Lebih-lebih melihat
belasan anak buahnya bergeletakan pingsan di mana-mana dan yang
masih hidup berdiri dengan muka pucat di tempat masing-masing,
sama sekali tidak menyerang atau mengeroyok Wiro Sableng !
"Keparat! Kenapa kalian meloogo semua"! Lekas bereskan setan
alas yang satu ini!" Anggota-anggota bajak laut itu bimbang seketika.
Namun karena ngeri pada kemarahan serta hukuman yang kelak bakal
mereka terima dari pimpinan merta, dua puluh orang diantaranya
segera maju dan serentak menyerang.
"Manusia tolol! Kalian minta mampus saja!" teriak Wiro. Dengan
serta merta dia pukulkan tangan kirinya. Sinar putih untuk kesekian
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin
kalinya menderu. Dan pukulan sinar matahari yang sekali ini meminta
korban enam belas jiwa bajak-bajak laut itu. Pekik maut terdengar di
mana-mana ! "Siapa yang mau mampus dan ikut perintah Bagaspati silahkan
maju!" teriak Wiro. Tak satu anggota bajakpun yang bergerak di
tempatnya. Jangankan bergerak, berdiripun lutut mereka sudah goyah!
Sementara Bagaspati berpikir-pikir pukulan apakah yang telah
dilepaskan Wiro Sableng, maka si pendekar dari Gunung Gede ini
palingkan kepalanya pada pemimpin bajak laut itu.
"Bagaspati, jika kau berjanji akan mengembalikan Cambuk Api
Angin, dan berjanji membubarkan gerombolan bajak yang- kau pimpin
selama ini lalu kembali jadi manusia baik-baik, masih belum terlambat
bagimu untuk kuberi ampun!"
Bagaspati tertawa mengejek. "Kepongahanmu setinggi gunung!"
jawabnya. "Meski ilmumu setinggi langit seluas lautan, Bagaspati tak
akan sudi menyerah padamu kecuali kalau kau yang terlebih dulu
serahkan jiwa padaku!"
Wiro Sableng bersiul dan tertawa gelak-gelak. "Kau bisa juga
bersyair Bagaspati. Kalau betul-betul hatimu sekeras batu tidak
mempunyai kesadaran, kelak kau terpaksa bersyair di neraka!
Silahkan mulai!"
"Cabut senjatamu setan alas!" bentak Bagaspati. "Ini senjataku
Bagaspati!" Wiro acungkan kedua tangannya.
"Kalau begitu aku akan mampus penasaran!" Bagaspati
lemparkan pedang Ekasakti yang di tangan kirinya. Pedang mustika
milik Prana itu menderu laksana kilat ke arahnya. Wiro miringkan
kepalanya sedikit. Pedang putih lewat di sampingnya dan menancap di
batang pohon kelapa! Prana cepat mengambilnya.
"Wiro, biar aku yang bikin perhitungan dengan manusia ini!"
"Ah, kau tak usah mengotori tangan dengan darah manusia
maling ini, Prana," kata Wiro pula dengan suara keras lantang.
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin
Prana sadar bahwa Wiro telah menolongnya dari satu
kedudukan yang merugikan. Dia tahu bahwa dia tak bakal sanggup
menghadapi Bagaspati. Dengan berkata demikian Wiro bukan saja
telah menolongnya tapi sekaligus membuat dia tidak kehilangan muka
sama sekali ! "Ayo seranglah!" teriak Wiro ketika Bagaspati masih dilihatnya
berdiri tak bergerak.
"Kau terlalu cepat-cepat ingin mati rupanya setan alas!" desis
Bagaspati. Tubuhnya membungkuk ke muka. Kedua kakinya melesak
ke dalam tanah sampai dua dim. Ini satu tanda bahwa dia tengah
kerahkan tenaga dalam dan siap untuk melancarkan serangan yang
dahsyat! Didahului dengan teriakan macam serigala melolong di malam
buta maka Bagaspati melesat ke muka. Dua tendangan dahsyat
menderu ke arah perut dan kepala Pendekar 212 sedang pedang hitam
membuat satu jurus yang mengandung lima serangan berantai !
"Ciaat! "
Wiro lepaskan pukulan kunyuk melempar buah. Meski pukulan
ini berhasil membuat tendangan lawan batal namun pukulan itu
sendiri kemudian dibikin buyar oleh sambaran angin pedang
Bagaspati! Penasaran sekali Wiro dalam jurus kedua membuka
serangan dengan jurus membuka jendela memanah rembulan. Lengan
kanan dipukulkan melintang dari atas ke bawah sedang tangan kiri
meluncur ke atas dalam gerakan vang cepat laksana kilat sukar dilihat
mata dan terdengarlah seruan tertahan Bagaspati! Betapakan tidak.
Detik itu juga dirasakannya pedang hitamnya telah terlepas dari
tangan, ditarik oleh satu betotan yang dahsyat! Dan bila dia
memandang ke depan dilihatnya senjata itu sudah berada di tangan
Wiro Sableng ! "Ha.... ha, bagaimana Bagaspati"! Akan kita lanjutkan
pertempuran ini"!"
Muka Bagaspati mengelam merah.
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin
"Setan alas. Kau datang ke sini untuk mencari Cambuk Api
Angin bukan"! Baik! Aku akan keluarkan senjata itu. Tapi bukan
untuk diberikan padamu huh! Tapi untuk bikin kau mati konyol!"
Bagaspati selinapkan tangan ke dalam jubahnya. Sesaat kemudian
maka ditangannya tergenggam sebuah cambuk berhulu gading,
berwarna merah.
Bagaspati mengekeh. "Ini ambillah!" Cambuk Api Angin di
tangan Bagaspati berkelebat mengeluarkan angin laksana topan dan
semburan lidah api yang luar biasa panasnya!
"Prana! Sekar Lekas menyingkir!" teriak Wiro seraya buang diri
ke samping beberapa tombak!
Cambuk Api angin menderu dahsyat menghantam pohon kelapa
di belakang Wiro. Pohon kelapa ini terbabat putus dan baik putusan
yang mental di udara maupun yang masih tinggal tertanam di tanah,
semuanya hangus ditelan api!
Diam-diam Pendekar 212 leletkan lidah. Di saat itu pula
Cambuk Api Angin menderu kembali. Wiro kiblatkan pedang hitam
milik Bagaspati. Sementara itu dia melihat bagaimana anak-anak
buah Bagaspati yang ada menyingkir sejauh mungkin!
Pedang hitam dan cambuk Api Angin saling bentrokan! Api
menyembur! Wiro berseru kaget dan cepat-cepat lepaskan pedang
hitam di tangannya! Pedang itu berubah menjadi merah, terbakar api
Cambuk sakti ! "Keparat!," maki Wiro dalam hati. "Hebat sekali Cambuk Api
Angin itu!"
Cambuk Api Angin datang bergulung-gulung. Suaranya seperti
petir susul menyusul! Pendekar 212 menjadi sibuk! Melompat kian
kemari dengan cepat, jungkir balik di udara dan berguling di tanah!
Semua itu untuk hindarkan diri dari serangan Cambuk Api Angin
yang ganas! Pranajaya sendiri tiada menduga Cambuk Api Angin demikian
hebatnya. Diam-diam pemuda ini merasa khawatir apakah Wiro akan
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin
sanggup bertahan sampai lima jurus di muka Pakaian Wiro dilihatnya
sudah kotor dan robek-robek. Rambutnya yang gondrong acakacakan, mukanya berselemotan tanah! Dan cambuk sakti itu masih
juga menderu-deru, mengejar ke mana Wiro berkelebat! Dua jurus di
muka Pendekar 212 benar-benar dibikin sibuk sekali malah terdesak
hebat dan dipaksa bertahan mati-matian!
Di dalam ketegangan pertempuran yang menyesakkan dada itu
tiba-tiba terdengarlah gelak tertawa yang aneh dan suara siulan
Wiro Sableng 007 Tiga Setan Darah Dan Cambuk Api Angin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menggidikkan tak menentu iramanya! Dalam kejap itu pula sinar
putih, kelihatan menabur angin yang memerihkan kulit menderu
sedang suara seperti ratusan tawon terdengar datang dari segala
jurusan dan tubuh Wiro Sableng sendiri lenyap dari pemandangan!
Bagaspati putar Cambuk Api Angin lebih cepat. Dentuman
macam suara petir terdengar tiada henti. Angin laksana topan
menggebu dan lidah api hampir setiap saat menyembur ganas! Namun
kini gerakan-gerakan yang dibuat Cambuk sakti itu tidak leluasa
seperti tadi lagi. Cambuk Api Angin tertahan dalam telikungan putih
sinar Kapak Naga Geni 212 ditangan Wiro Sableng !
Bagaimanapun Bagaspati rubah jurus-jurus silat dan percepat
permainan cambuknya tetap saja dia merasa semakin kepepet.
"Terima jurus naga sabatkan ekor ini Bagaspati!" seru Wiro.
Bagaspati hanya mendengar suara Wiro saja. Serangan Wiro
yang bernama jurus naga sabatkan ekor itu sama sekali tidak sanggup
dilihatnya karena cepatnya !
Dan tahu-tahu...
"Craas!"
Lalu terdengar lolongan Bagaspati.
Cambuk Api Angin terlepas dari tangan kanannya. Tangan
kanan itu sendiri tercampak ke tanah, buntung dibabat Kapak Maut
Naga Geni 212 sampai sebatas bahu !
Darah menyembur kental dan merah. Bagaspati macam
orang gila menjerit-jerit dan lari sana lari sini, seradak seruduk
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin
macam orang celeng! Racun Kapak Naga Geni mulai menjalari
pembuluh-pembuluh
darahnya. Ketika pemandangannya berkunang dan lututnya goyah tak ampun lagi pemimpin bajak ini
melosoh ke tanah, berguling-guling dan menjerit-jerit tiada henti!
Semua anak buahnya memandang dengan penuh ngeri !
"Bunuh saja aku! Bunuh!" teriak Bagaspati karena tidak
sanggup merasakan sakit yang menggerogoti dirinya akibat
serangan racun yang sudah menyusup ke seluruh tubuhnya!
Bagaspati masih terus berteriak dan berguling-guling sampai
beberapa saat di muka namun kemudian ketika nyawanya lepas,
maka tubuh itupun menggeletak tak berkutik lagi! Bagaspati mati
dengan tubuh menelentang mulut berbusah dan mata melotot ke
langit! Sungguh menggidikkan memandang tampangnya!
Pendekar 212 tarik nafas dalam. Sekali tiup saja maka
lenyaplah noda darah pada mata Kapak Naga Geni 212. Dia
melangkah dan mengambil Cambuk Api Angin.
"Senjata hebat," katanya sambil geleng kepala. Lalu Cambuk
Api Angin itu diberikannya pada Pranajaya.
"Terima kasih Wiro" kata Prana dengan penuh gembira tapi
juga haru. Di saat itu Wiro Sableng sudah melangkah kehadapan
anggota-anggota bajak yang masih hidup. Jumlah mereka tak
lebih dari tiga puluh lima orang kini.
"Kalian semua sudah lihat sendiri betapa mengerikan
kematian itu!" seru Wiro dengan suara lantang. "Kuharap ini
menjadi pelajaran yang baik! Berjanjilah bahwa kalian mau
meninggalkan pulau ini, berhenti jadi bajak laut dan hidup
sebagai manusia baik-baik. Banyak pekerjaan baik seperti jadi
nelayan, petani atau berdagang! Dan atas janji kalian itu kami
bertiga akan ampunkan nyawa kalian!"
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin
Hening sejenak. Salah seorang anggota bajak tiba-tiba
jatuhkan diri berlutut. Kawan-kawannya juga kemudian menyusul
berlutut. Wiro garuk-garuk kepala. "Buset! Orang suruh berjanji
kenapa pada berlutut" Memangnya aku ini Tuhan disembahsembah! Bangun semua!" teriak Wiro.
Semua anggota banjak itu cepat bangkit berdiri. Pada paras
mereka kelihatan rasa tunduk dan kesadaran serta niat untuk
kembali hidup sebagai orang baik-baik.
"Tampang-tampang kalian aku kenal semua! Ingat! Kalau
kelak ada diantara kalian yang masih kutemui hidup dalam jalan
jahat, kalian tahu hukuman apa yang bakal kalian terima!"
Wiro berpaling pada kedua kawannya. "Sudah saatnya kita
tinggalkan tempat ini kawan-kawan."
Prana dan Sekar mengangguk.
Ketika ketiganya hendak berlalu salah seorang bekas
anggota bajak berseru, "Tunggu !"
"Ada apa"!" tanya Wiro.
"Di pulau ini ada satu gudang besar berisi timbunan barang
dan uang. Apa yang akan kami lakukan dengan benda-benda
itu"!"
"Busyet kenapa jadi tolol"! Kalian bagi-bagi saja sama rata
dan jadikan modal buat hidup baik-baik!" sahut Wiro.
Seorang bekas anak buah Bagaspati lainnya berkata, "Kami
tidak keberatan memberikan separoh dari harta dan uang itu
pada kalian bertiga!"
Pendekar 212 berpaling pada. kedua kawannya lalu tersenyum.
"Terima kasih sobat! Kami datang ke sini bukan buat cari harta atau
uang, tapi Cambuk Api Angin. Senjata itu telah kami temui dan kami
musti pergi!"
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin
Ketika rakit mereka diseret ke tepi pantai, bekas-bekas anak
buah Bagaspati itu menawarkan akan mengantarkan mereka ke
pantai Jawa tapi mereka menolak.
"Rakit ini cukup baik dan lebih cepat jalannya," jawab Wiro.
Dan betapa anehnya bagi bekas anak-anak buah Bagaspati itu
sewaktu menyaksikan rakit tersebut meluncur dalam kecepatan luar
biasa, padahal tenaga penggeraknya hanya tangan-tangan Wiro dan
Prana yang dibuat sebagai pengganti dayung!
PANTAI Jawa telah berada dihadapan mereka dan tak lama
kemudian, diwaktu sang surya mulai kemerahan warnanya di ufuk
barat maka sampailah mereka di ujung timur Pulau Jawa.
"Kita telah sampai sobat-sobatku!" seru Wiro. Dia yang pertama
sekali melompat ke daratan. "Dan ini adalah saat perpisahan kita."
Prana dan Sekar sama-sama terkejut. Wiro sebaliknya tertawa.
"Tugasmu telah selesai bukan, Prana" Cambuk Api Angin sudah
berhasil ditemui...."
"Tapi Wiro....."
Ucapan Prana ini dipotong oleh Wiro. "Di lain hari kelak kita
pasti akan jumpa lagi sahabat-sahabat. Ada satu hal yang ingin
kukatakan pada kalian."
Wiro memandang Sekar dan Prana berganti-ganti dengan
senyum-senyum. "Kalian ingat malam bulan sabit waktu kita berhenti di tepi anak
sungai dulu itu?"
Prana dan Wiro saling panda mengingat-ingat dan begitu ingat
masing-masing mereka sama memandang pada Wiro.
"Maaf saja, aku mencuri dengar apa yang percakapkan saat
itu...." Paras Sekar dan Prana menjadi merah dengan serta merta.
Keduanya sama tundukkan kepala. Mereka ingat malam di tepi sungai
waktu mereka membicarakan soal cinta itu.
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin
"Sobat-sobatku, kalian boleh saja buat seribu janji. Tapi kalian
pertama-tama musti kembali ke tempat guru kalian! Urusan jodoh
guru kalian musti diberi tahu...."
Paras kedua orang itu semakin memerah.
Wiro tertawa bergelak.
"Nah sobat-sobatku, setamat tinggal. Kudoakan agar kalian
bahagia." "Wiro tunggu dulu!" seru Prana dan Sekar hampir bersamaan.
Namun tubuh Pendekar 212 s u d a h berkelebat. Prana
merasakan tepukan pada bahunya sedang Sekar merasa cuilan pada
dagunya! Sewaktu memandang berkeliling. Wiro Sableng sudah tiada
lagi! "Aku tak akan melupakan dia." desis Prana.
"Kelak bila aku punya anak laki-laki, aku akan namakan dia
Wiro." Prana putar kepalanya. Pandangannya bertemu dengan
pandangan Sekar. Meski cuma pandang memandang, tapi semua itu
menimbulkan satu kekuatan gaib yang membuat mereka saling
melangkah m e n dekat untuk kemudian saling berpeluk. Laut, langit
dan matahari sore menjadi saksi betapa mesranya pelukan itu.
TAMAT Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin
Salam 212 SEMUA HAK KARYA CIPTA CERITA INI ADALAH MILIK
ALMARHUM BASTIAN TITO
Diketik ulang oleh Kailani Sekali
Hanya untuk para pendekar semua pecinta Wiro Sableng
Saran dan kritik kirim ke: kucinglistrik@gmail.com
Atau tulis aja langsung di thread Wiro Sableng Pendekar Kapak
Maut Naga Geni 212 di forum kaskus.us\education\book review\
J Kaki Tiga Menjangan 43 Pendekar Rajawali Sakti 166 Bajingan Gunung Merapi Senopati Pamungkas 11
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama