Ceritasilat Novel Online

Bahala Jubah Kencono Geni 1

Wiro Sableng 058 Bahala Jubah Kencono Geni Bagian 1


Sumber buku: Pendekar212
Sumber Cover: kelapalima
Scanning: kiageng80
Ebook: kalibening
Sumber buku: Pendekar212
Sumber Cover: kelapalima
Scanning: kiageng80
Ebook: kalibening
SATU SUARA GAMELAN MENGALUN dari arah bangsal yang terletak di sebelah timur
sementara di bangsal besar yang disebut Bangsal Agung siap dilangsungkan suatu upacara besar
yakni peresmian Raden
Mas Ario Joko Pitolo dinyatakan sebagai putera mahkota. Meskipun penobatannya
sendiri baru akan
dilangsungkan beberapa tahun di muka, namun upacara peresmian dirinya sebagai
putera mahkota merupakan
upacara adat yang selalu dilaksanakan secara besar-besaran.
Ratusan undangan memenuhi Bangsal Agung. Mereka terdiri dari para tetamu khusus
dari luar serta
puluhan pejabat dan petinggi kerajaan, termasuk para tokoh agama dan tokoh
masyarakat. Kiyai Singgih Kanyoman berdiri dari kursi besar yang didudukinya, memandang ke
arah rombongan pemain gamelan lalu mengangkat tangan kanan memberi isyarat. Serta merta suara
gamelan mengalun
perlahan dan akhirnya berhenti.
Orang tua berusia sembilan puluh tahun ini memutar tubuhnya ke arah kanan dimana
Sri Baginda di atas singgasana emas. Di sebelah kiri duduk permaisuri. Di sebelah belakang di
atas lantai pualam beralas
permadani tebal berderet-deret duduk keluarga istana beserta sanak kerabat
terdekat. Patih Jolosengoro duduk
di barisan kanan bersama-sama dengan para menteri dan pejabat tinggi kerajaan
lainnya. Calon putera mahkota sendiri duduk di sebuah singgasana kecil pada ujung yang
berhadapan dengan
singgasana Sri Baginda Raja, dikawal oleh dua orang perajurit keraton
bersenjatakan tombak serta memegang
tameng. Di kiri kanan duduk mengapit saudara-saudaranya baik yang kandung maupun
yang sebapak dari dua
istri Sri Baginda, lalu di sebelah belakang duduk pula saudara-saudara yang
berasal dari para selir Sri Baginda.
Di luar keraton, terutama di alun-alun besar yang ditumbuhi pohon-pohon beringin
raksasa meskipun
tidak dapat melihat langsung upacara yang akan diadakan namun rakyat banyak ikut
berkumpul menyemut.
Kiyai Singgih Kanyoman, abdi dalem tertua dengan jabatan Kanjeng Pangeran
beringsut ke hadapan
Sri Baginda lalu menghaturkan sembah sujud. Setelah diberi isyarat maka diapun
kembali berdiri dan
melangkah mundur ke tempatnya semula.
"Para hadirin sekalian...," kata Kiyai Singgih Kanyoman yang dipercayai memimpin
upacara kebesaran hari itu. "Kita sampai pada acara yang ditunggu-tunggu yaitu upacara
peresmian Yang Mulia Raden
Mas Ario Joko Pitolo dengan resmi dinyatakan sebagai putera mahkota. Sesuai adat
tradisi kerajaan, sebelum
seorang putera mahkota baru resmi diangkat sebagai bakal pengganti ayahandanya
yaitu Sri Baginda Raja
yang sekarang, maka kepadanya akan diserahkan dua buah pusaka kerajaan yang
menjadi pelambang sahnya
dirinya kelak dinobatkan sebagai Raja. Adapun pusaka pertama ialah sebilah keris
bernama Ki Pandan Anom
yang pada kesempatan ini akan diserahkan dan disisipkan di pinggang kanan
belakang Raden Mas Ario Joko
Pitolo oleh Sri Baginda sendiri.
Pusaka kedua ialah sehelai jubah sakti bernama Kencono Geni, yang dalam
kesempatan ini akan
dikenakan pada calon putera mahkota juga oleh Sri Baginda sendiri. Selesai keris
disisipkan dan jubah
dikenakan maka akan dilanjutkan dengan pengujian keampuhan jubah sakti yang
terkenal atos tak mempan api
tak mempan senjata tajam."
Sumber buku: Pendekar212
Sumber Cover: kelapalima
Scanning: kiageng80
Ebook: kalibening
Kiyai Singgih Kanyoman tutup ucapannya dengan mengangkat tangan kanan. Gamelan
kembali terdengar mengalun. Raden Mas Ario Joko Pitolo duduk tak bergerak dan terlihat
tenang. Pemuda berusia
enam belas tahun ini mengenakan pakaian putera mahkota lengkap dengan topi
tinggi dan tampak gagah
sekali. Dari sebuah bangunan yang terletak di samping Bangsal Agung saat itu terlihat
dua orang gadis remaja
melangkah perlahan-lahan mengikuti alunan suara-suara gamelan. Keduanya berjalan
saling berdampingan.
Yang di sebelah kanan membawa nampan emas di atas mana terletak keris Ki Pandan
Anom pada sehelai sapu tangan beludru berwarna hijau. Gadis kedua membawa sebuah kotak
kayu berukir yang dari
keadaannya menunjukkan bahwa kotak itu berusia puluhan tahun. Di dalam kotak
kayu yang ditataki sapu
tangan beludru merah inilah disimpan pusaka kerajaan berupa sehelai jubah yang
diberi nama jubah Kencono
Geni. Adapun kedua gadis yang membawa benda-benda pusaka itu adalah puteri-puteri Sri
Baginda sendiri,
satu kakak dan satunya lagi adik Raden Mas Ario Joko Pitolo.
Diiringi oleh gadis-gadis cilik sebanyak enam orang, kedua gadis pembawa pusaka
kerajaan melangkah memasuki Bangsal Agung lalu beringsut ke hadapan putera mahkota.
Bersamaan dengan itu alunan
gamelan terdengar melembut perlahan.
Kiyai Singgih Kanyoman maju beringsut mendekat pada gadis yang membawa nampan
emas dimana terletak keris Ki Pandan Anom. Dengan sikap khidmat abdi dalem ini merapatkan
kedua telapak tangannya
melakukan sembah lalu dengan sangat hati-hati dia mengulurkan kedua tangan untuk
menyentuh dan mengangkat senjata pusaka itu. Keris Ki Pandan Anom di dekatkan ke hidungnya
seolah hendak menciumnya.
Pada saat itulah suara gamelan terdengar mengeras dan Sri Baginda beserta
permaisuri bangkit berdiri dari
singgasana lalu melangkah ke arah tempat dimana Kiyai Singgih Kanyoman duduk
bersimpuh. Begitu Sri Baginda berada di hadapannya, Kiyai Singgih melakukan sikap berlutut
sambil mengangkat
Ki Pandan Anom tinggi-tinggi. Sri Baginda mengambil senjata pusaka itu. Raden
Mas Ario Joko Pitolo
berdiri. Lalu Sri Baginda mendekati puteranya ini dan menyelipkan keris Ki
Pandan Anom di pinggang
belakang sebelah kanan sang putera.
Suara gamelan sesaat terdengar meninggi lalu kembali perlahan. Kiyai Singgih
Kanyoman kini beringsut ke arah gadis yang memegang kotak kayu. Dengan sangat khidmat dia
membuka kotak itu. Dari
dalam mana dia kemudian mengeluarkan sebuah jubah terbuat dari kain sutera merah
berlapis kain beludru
juga berwarna merah, dihias umbai-umbai benang berwarna kuning emas pada
sepanjang tepinya.
Kiyai Singgih Kanyoman masih dengan beringsut membawa jubah itu kepada Sri
Baginda yang kemudian mengambilnya dan membuka lipatannya. Dibantu oleh permaisuri Sri
Baginda mengenakan jubah
itu ke tubuh puteranya. Jubah sutera berlapis beludru merah ini panjangnya
ternyata sampai sebatas lutut.
Setelah penyisipan keris dan pemakaian jubah Sri Baginda dan permaisuri kembali
duduk di singgasana. Baginda dan permaisuri kembali duduk di Singgasana.
"Hadirin yang kami hormati, tiba saatnya kita akan melakukan uji coba untuk
membuktikan keampuhan jubah sakti yang kini dikenakan oleh calon Raja kita," Kiyai Singgih
Kanyoman menutup
ucapannya dengan berpaling pada Sri Baginda.
Sumber buku: Pendekar212
Sumber Cover: kelapalima
Scanning: kiageng80
Ebook: kalibening
"Sri Baginda, apakah upacara uji coba dapat dimulai?" bertanya abdi dalem itu.
Di atas singgasana Sri Baginda menganggukkan kepala. Melihat isyarat ini Kiyai
Singgih bangkit
berdiri seraya mengangkat tangannya. Gamelan kembali menggema. Dari bangsal
dimana tadi keluar dua
puteri Sri Baginda membawa benda-benda pusaka kini tampak keluar dengan sikap
gagah tiga orang pemuda
masing-masing membawa sebilah pedang. Begitu masuk ke Bangsal Agung ketiganya
menjura dalam di depan
singgasana lalu menjura pula di hadapan Raden Mas Ario Joko Pitolo.
"Tiga pemuda perajurit keraton!" berkata Kiyai Singgih Kanyoman. "Kalian
diizinkan mem- pergunakan pedang untuk menusuk atau membacok Raden Mas Ario. Terserah bagian
mana yang kalian pilih.
Kepala, tubuh sebelah atas atau tubuh bagian perut ke bawah..... Raden mas,
apakah Raden Mas sudah siap?"
"Saya sudah siap Kiyai Singgih," jawab putera mahkota pula.
Tiga pemuda melintangkan pedang di depan dada, kembali menjura seraya berkata
berbarengan. "Izinkan kami Raden Mas Ario...."
"Kalian telah mendapat izin," jawab putera mahkota dengan sikap tenang dan gagah
tanpa bergerak dari tempatnya berada.
Tiga pemuda kembali menjura. Mereka lalu menyebar. Dua di sebelah depan, satu
dari belakang. Walau tadi Singgih Kanyoman mengatakan bahwa mereka boleh mengarahkan serangan
ke setiap bagian tubuh Raden Mas Ario, namun dari ketiga pemuda berpedang itu tak
seorangpun berani mengarahkan
senjatanya ke kepala putera mahkota.
Bangsal Agung sunyi senyap. Semua mata ditujukan pada tiga pemuda yang saat itu
tampak tengah mengangkat tangan yang memegang pedang. Ketegangan menggantung di udara. Lalu
terdengar suara tiga
bilah pedang berkesiuran. Satu membacok bahu kiri dekat pangkal leher Raden Mas
Ario. Satunya menusuk ke
bagian perut sedang yang di belakang membabat ke punggung.
Pedang yang mengarah pangkal leher sampai lebih dahulu. Disusul oleh tusukan ke
arah perut. Pada
detik itu juga terdengar jeritan keras keluar dari mulut Raden Mas Ario. Darah
muncrat dari dua luka besar
yaitu pada pangkal leher dan bagian perut. Melihat kejadian ini, penyerang ke
tiga yang berada di belakang
batalkan sambaran pedangnya dan melompat dengan muka pucat. Dua pemuda di
sebelah depan jauh lebih
pucat wajah masing-masing.
Bangsal Agung kini dilanda kegemparan. Sri Baginda berseru keras. Permaisuri
menjerit seraya
menutup wajahnya. Hampir semua orang yang hadir di tempat itu sama keluarkan
teriakan. Para pemain
gamelan di bangsal lain lari berhamburan ke Bangsal Agung. Dua puteri Sribaginda
dan enam anak yang tadi
bertindak sebagai pengiring menjerit-jerit tiada henti. Sementara itu di tengah
Bangsal Agung Raden Mas Ario
Joko Pitolo tampak terhuyung-huyung sambil pegangi perutnya. Tubuhnya yang
bersimbah darah kemudian
jatuh terkapar di atas permadani. Sri Baginda saat itu sudah melompat, mendorong
dua pemuda yang tadi
melakukan uji coba menyerang ke arah leher dan perut hingga dua pemuda itu jatuh
terjengkang. Kiyai
Singgih Kanyoman yang telah lebih dahulu memeluk tubuh Raden Mas Ario
diterjaknya hingga terpental. Sri
Baginda lalu jatuhkan diri merangkul puteranya yang saat itu mulai megap-megap.
"Joko...Joko Pitolo puteraku...kau tidak boleh mati! Gusti Allah....Apa yang
sebenarnya terjadi ini"!"
Suara Sri Baginda terdengar sesak dan parau. Dia maklum kalau nyawa puteranya
itu tidak tertolong lagi.
Sumber buku: Pendekar212
Sumber Cover: kelapalima
Scanning: kiageng80
Ebook: kalibening
Ketika kepala Raden Mas Ario terkulai ke samping, meraunglah Sri Baginda.
Beberapa orang menteri
berlompatan, tetapi tak satupun yang bisa mereka lakukan.
Di samping Sri Baginda Kiyai Singgih Kanyoman tampak membesi dan mengelam
wajahnya. Orang
tua ini beringsut mendekati sosok tubuh Raden Mas Ario yang telah jadi mayat.
Dengan tangan gemetar
ditariknya salah satu ujung jubah sutera berlapis beludru merah yang masih
dikenakan sang putera mahkota
lalu diciumnya dalam-dalam. Berubahlah paras abdi dalem berusia sembilan puluh
tahun ini. "Tak ada bau kayu cendana.....,"desisnya. Lalu sang Kiyai berteriak. "Jubah ini
palsu!" Kembali Bangsal Agung dilanda kegemparan besar. Seseorang kemudian terdengar
berteriak. "Periksa bangsal tempat penyimpanan pusaka keraton!"
Tiga orang perwira, dua orang menteri dan lebih dari selusin perajurit ditambah
beberapa abdi dalem
segera menghambur ke bangsal tempat penyimpanan senjata serta pusaka-pusaka
kerajaan. "Heran! Tak ada perajurit yang mengawal di tempat ini!" kata seseorang.
Yang lain menyahuti. "Juga tak ada seorang abdi dalempun di sini!"
"Sebaiknya kita masuk memeriksa!" seseorang memberi saran.
Rombongan orang-orang itu segera menghambur masuk. Mendadak yang sebelah muka
hentikan langkah seraya berseru dan menunjuk ke depan. Dekat pintu masuk menuju ruangan
penyimpanan pusaka


Wiro Sableng 058 Bahala Jubah Kencono Geni di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kerajaan bergelimpangan enam sosok tubuh. Empat perajurit pengawal bangsal, dua
lagi abdi dalem. Semua
telah jadi mayat dengan leher seperti disembelih!
"Ya Tuhan! Siapa yang melakukan kekejaman begini ganas"! Kutuk apa yang jatuh
atas kerajaan....?"
Orang-orang segera membuka jalan begitu mendengar ucapan itu. Yang datang adalah
Kiyai Singgih Kanyoman yang melangkah dengan nafas megap-megap dan wajah pucat pasi.
"Ini bukan kutuk! Ini pasti perbuatan Raden Jayengseno!" satu suara menyahuti
lalu satu sosok tubuh
tinggi tegap berdiri di samping Kiyai Singgih Kanyoman. Orang ini adalah
Kudopati, kepala pengawal
keraton. Tampangnya yang galak tampak geram. Pelipisnya tiada berhenti bergerakgerak dan rahangnya
menggembung. Kiyai Singgih seperti hendak menggeleng. Namun orang tua ini batalkan gelengan
kepalanya, ganti
dengan mengeluarkan ucapan. "Sulit dipercaya bahwa Raden Jayengseno yang punya
pekerjaan. Bukankah
dia tengah menyepi dan bersamadi di pantai selatan?"
Kudopati menyeringai. "Manusia satu itu sangat licik dan punya seribu akal.
Katanya saja dia pergi ke
pantai selatan. Tapi bukan mustahil dia sebenarnya berkeliaran menyebar maut di
keraton ini. Kiyai Singgih,
aku yakin dia ada sangkut paut dengan jubah palsu itu."
"Maksudmu dia mencuri jubah yang asli lalu mengganti dengan jubah palsu?" tanya
Kiyai Singgih. "Persis!" jawab kepala pengawal keraton. Kembali rahangnya menggembung dan
pelipisnya bergerak-gerak.
"Peristiwa ini memang perlu diselidiki...."
"Aku akan minta izin Sri Baginda untuk menangkap Jayengseno. Aku akan berangkat
saat ini juga agar besok pagi bisa sampai di tempat manusia itu bersamadi!" Setelah berkata
begitu Kudopati lantas
balikkan tubuh dan tinggalkan bangsal tempat penyimpanan barang-barang pusaka
kerajaan itu. Sumber buku: Pendekar212
Sumber Cover: kelapalima
Scanning: kiageng80
Ebook: kalibening
DUA PATIH JOLOSENGORO, kepala pengawal keraton Kudopati dan Kiyai Singgih Kanyoman
duduk bersimpuh di hadapan Sri Baginda. Tak satupun di antara mereka yang berani
bicara. Suasana hening telah
berlangsung lama sekali di ruangan tertutup di bagian belakang keraton. Wajah
Sri Baginda jelas menunjukkan
bahwa dirinya masih sangat terguncang dengan musibah yang barusan terjadi.
"Mengapa kalian diam saja...?" tiba-tiba terdengar Sri Baginda bertanya.
Suaranya serak tanpa nada.
Lalu tangan kanannya bergerak memukul sebuah arca kecil di sampingnya. Arca batu
yang berusia ratusan
tahun itu hancur berantakan. "Kalian semua tidak bisu! Bicaralah! Katakan
sesuatu! Jangan diam saja!" teriak
Sri Baginda. Tiga orang yang duduk di depan raja tersentak kaget dan juga kecut. Patih
Jolosengoro memberi isyarat pada Kiyai Singgih Kanyoman. Orang tua ini lalu membungkuk
dalam-dalam. Setelah itu
diapun berkata. "Daulat Sri Baginda, izinkan saya menyampaikan laporan. Bangsal
tempat penyimpanan
senjata telah kami periksa. Tak ada satu benda pusakapun yang hilang. Kami
menemui empat orang pengawal
dan dua orang abdi dalem telah jadi mayat dalam bangsal itu. Mereka menjadi
korban pembunuhan
secara keji dan kejam........ "
"Ki Singgih, apakah kau juga telah memeriksa keris Pandan Anom yang tersisip di
pinggang puteraku?" bertanya Sri Baginda dengan kepala terkulai ditunjang tangan
kanannya. "Sudah Sri Baginda. Keris itu asli, tidak palsu...," menerangkan Kiyai Singgih
Kanyoman. Lalu Patih Jolosengoro berkata. "Ada petunjuk menyatakan bahwa setelah berhasil
menukar Jubah Kencono Geni dengan jubah sama tapi palsu, penjahat berusaha pula hendak mencuri
atau menukar keris
Pandan Anom. Namun keburu ketahuan. Untuk menghilangkan jejak penjahat lalu
menghabisi empat
pengawal dan dua abdi dalem yang ada di bangsal penyimpanan barang-barang
pusaka...."
"Manusia biadab! Terkutuk!" Rahang Sri Baginda menggembung dan kedua tangannya
dikepalkan. "Aku ingin mematahkan leher penjahat itu dengan tanganku sendiri!" Kemudian Sri
Baginda berpaling pada
Kiyai Singgih Kanyoman dan bertanya.
"Apakah sudah diatur acara pemakaman Raden Mas Ario....?"
"Sudah kami siapkan dan kami atur Sri Baginda...," jawab Kiyai Singgih Kanyoman.
Sampai di situ Kudopati memberi isyarat pada sang Kiyai. Mengerti akan isyarat itu maka Kiyai
Singgih Kanyoman kembali
membuka mulut. "Selanjutnya saya mewakili kepala pengawal keraton dimas Kudopati. Yang
bersangkutan minta izin
untuk menangkap Raden Jayengseno yang saat ini tengah bersamadi di salah satu
goa di pantai selatan."
Sri Baginda menatap wajah kepala pengawal keraton itu sesaat lalu berkata "Aku
memang banyak mendengar kabar tidak baik mengenai puteraku itu. Pasal apa yang membuatmu
hendak menangkapnya,
Kudopati?"
Sumber buku: Pendekar212
Sumber Cover: kelapalima
Scanning: kiageng80
Ebook: kalibening
Kepala pengawal keraton membungkuk dalam-dalam lalu menjawab. "Maafkan saya Sri
Baginda. Bukankah sejak lama kita mengetahui bahwa Raden Jayengseno membekal hati culas
dan iri...."
Sri Baginda mengangkat tangannya. "Cukup, Kudopati.
Aku memberimu izin menangkap dan mengusut puteraku itu. Tapi ingat! Soal
nyawanya hanya aku
yang menentukan!"
Sri Baginda mengusap wajahnya beberapa kali. Ketika dia hendak berdiri, dia
melirik sesaat pada
Patih Jolosengoro. "Mapatih, jika tak ada yang ingin kau katakan, aku akan
segera meninggalkan tempat ini"
"Maafkan saya Sri Baginda. Jika saya boleh mengeluarkan pendapat, saya merasa
sangat mustahil
Raden Jayengseno melakukan pencurian jubah Kencono Geni lalu menggantikannya
dengan jubah palsu yang
sangat mirip. Apalagi kalau sampai kita menuduh tanpa bukti bahwa dia yang
membunuh empat pengawal dan
dua abdi dalem. Sejak dua bulan lalu seperti kita ketahui Raden Jayengseno
bertapa di pantai selatan. Mana
mungkin dia turun tangan melakukan pencurian dan sekaligus membunuh enam orang
tidak berdosa itu" Terus
terang dirinya memang diselimuti berbagai keanehan. Mungkin saja hal itu
terdorong oleh suatu keinginan
yang tidak kesampaian. Namun untuk mencuri benda pusaka lalu membunuh para
pengawal dan abdi dalem,
rasanya belum sampai sejauh itu keburukan perangai Raden Jayengseno."
"Maafkan saya kalau memotong kata-kata paman patih " ujar Kudopati pula yang
merasa tidak enak
mendengar ucapan patih kerajaan tadi. "Saya mana berani menuduh Raden Jayengseno
mencuri dan membunuh kalau tidak ada dasarnya. Putera mahkota calon raja kita tewas
terbunuh. Kita wajib menyelidiki
hal ini. Raden Jayengseno tentunya memang bukan satu-satunya orang yang patut
kita curigai. Mungkin
sangkaan itu keliru. Karena itulah saya minta izin pada Sri Baginda untuk
menemui Raden Jayengseno di
pantai selatan. Memeriksanya dan jika terdapat tanda-tanda bahwa memang dia
terlibat dalam peristiwa
berdarah hari ini maka saya langsung akan menangkapnya dan membawanya ke hadapan
Sri Baginda."
"Aku setuju dengan jalan pikiranmu Kudopati. Kau boleh membawa serombongan
pasukan untuk menangkap Raden Jayengseno. Bawa dia hidup-hidup ke hadapanku. Jika dia terbukti
bersalah akan kupancung batang lehernya! Sekarang kau boleh pergi. Sebelum kau berlalu lipat
gandakan pengawalan
istana. Pasang perwira-perwira muda di tempat-tempat tertentu. Lakukan
perintahku Kudopati!"
"Daulat Sri Baginda. Perintah Baginda akan saya jalankan," sahut Kudopati pula
seraya membungkuk.
Sri Baginda tampak seperti termenung. Sesaat kemudian terdengar suaranya datar.
"Mapatih, umumkan kepada rakyat bahwa kerajaan akan melangsungkan masa berkabung
selama empat puluh hari...."
Patih Jolosengoro membungkuk seraya berkata. "Perintah akan saya jalankan Sri
Baginda." *** Sumber buku: Pendekar212
Sumber Cover: kelapalima
Scanning: kiageng80
Ebook: kalibening
TIGA KUDA COKLAT ITU dipacu kencang sejak pagi. Ketika memasuki rimba belantara di
daerah selatan binatang yang kehabisan tenaga ini tidak mau terseok-seok. Namun penunggangnya
seperti tidak mau tahu
terus saja menghentak-hentakkan tali kekang kuda, memukul pinggul binatang itu
agar terus lari
sekencang-kencangnya.
Meskipun sudah kehabisan tenaga, seperti tahu tugas penting yang menjadi
tanggung jawabnya, sang
kuda berusaha lari sekencang yang bisa dilakukannya.
Si penunggang sengaja menempuh hutan belantara itu karena inilah satu-satunya
jalan memotong yang paling singkat. Jika dia menempuh jalan lain, dia khawatir Kudopati bersama
rombongannya akan
sampai lebih dahulu di tempat tujuannya.
Pada masa itu hutan di wilayah selatan jarang dimasuki orang. Karenanya
keadaannya selain lebat liar,
pohon dan tanah hutan diselimuti berbagai jenis lumut licin.
Bagaimanapun setianya si kuda coklat terhadap penunggangnya, namun tenaga dan
kekuatan binatang
ini ada batasnya. Di antara kerapatan pepohonan jati kuda ini terserandung akar
benalu. Didahului oleh satu
ringkikan keras binatang itu tersungkur. Penunggangnya berteriak keras dan jatuh
terguling-guling di tanah
hutan yang penuh lumut. Pakaian kuningnya menjadi kotor. Ikat kepalanya lepas
entah kemana dan kini
rambutnya yang panjang tergerai lepas sampai ke pinggang. Ternyata dia adalah
seorang gadis berusia sekitar
dua puluh tahun.
Sambil meringis menahan sakit sang dara merangkak mendekati kuda coklatnya yang
tergolek di kaki
pohon. Diusapnya hidung binatang ini seraya berkata: "Kliwon....kau tak apaapa...." Kita harus melanjutkan
perjalanan Kliwon. Bisakah kau bangkit" Ayo Kliwon berdirilah...."
Tapi kuda coklat itu untuk beberapa saat hanya diam dan kedip-kedipkan kedua
matanya. Agaknya
binatang ini mengerti ucapan tuannya, hanya saja tenaganya belum pulih untuk
berdiri, apalagi lari
melanjutkan perjalanan.
"Oh Kliwon....Kasihan kau tak bisa berdiri. Kau pasti letih dan sakit. Demi
Tuhan aku berharap jangan
ada bagian tubuhmu yang cidera, apalagi sampai patah kaki. Kau harus berdiri
Kliwon. Ayo! Mari kubantu!"
Gadis baju kuning berhasil berdiri. Dengan susah payah dicobanya mengangkat
leher kuda hitam itu.
Namun sang kuda masih belum sanggup berdiri.
"Kudamu keletihan. Kaki kanannya sebelah depan terkilir. Jangan paksakan dia
berdiri...." Tiba-tiba
satu suara menegur. Suara itu terdengar aneh, seperti bergumam tanda orang yang
bicara tengah makan atau
mengunyah sesuatu dalam mulutnya.
Sang dara seperti mendengar suara setan saking kagetnya. Dia cepat berpaling dan
terkesima ketika
dapatkan dirinya berhadap-hadapan dengan seorang pemuda berpakaian putih
berambut gondrong. Mulutnya
komat-kamit dan bercelemongan warna merah. Tangan kirinya memegang beberapa
untai buah jamblang
hutan yang besar dan merah kehitaman. Buah itulah yang tengah dilahapnya ketika
bicara tadi. Sumber buku: Pendekar212
Sumber Cover: kelapalima
Scanning: kiageng80
Ebook: kalibening
Melihat sang dara kaget, si pemuda segera sunggingkan tawa lebar dan buru-buru
berkata. "Jangan takut Aku bukan setan atau dedemit hutan. Lihat aku makan buah jamblang
yang manis ini.
Kalau setan atau dedemit mana doyan jamblang" Ha...ha...ha....!"
Sang dara undur selangkah. Dia memang bisa yakin kalau pemuda di depannya itu
bukan setan atau
dedemit Tapi bertemu di tengah hutan dengan seseorang yang tidak dikenal,
menegur cara seperti itu serta
pakai tertawa bergelak segala sementara mulutnya masih penuh buah jamblang, maka
hanya ada satu kesimpulan yang dapat ditarik si gadis. Pemuda yang di hadapannya itu adalah
seorang kurang waras yang
kesasar di tengah rimba belantara. Seperti menyesali nasibnya sendiri, gadis itu
berkata. "Ah....dalam keadaan
sulit begini, ketemu orang gendeng lagi!"
"Eh!" pemuda yang mendengar dirinya disebut gendeng itu jadi melengak lalu
semburkan buah jamblang yang tengah dimakannya ke tanah. Kedua matanya memandang pada sang dara


Wiro Sableng 058 Bahala Jubah Kencono Geni di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan tangan kanannya
menggaruk kepala. Lalu dia menggeleng-geleng beberapa kali.
"Ketemu baru sekali sudah bisa menuduh orang lain gendeng...." Si pemuda
keluarkan suara
mendecak beberapa kali. "Saudari, kau berkuda sendirian di rimba belantara yang
jarang dilalui manusia ini,
siapa kau dan apa keperluan-mu lewat disini....?"
"Jarang dilalui manusia buktinya aku menemui manusia di sini....," menyahuti
sang dara. "Ah, syukur kau masih menganggap aku manusia. Melihat parasmu yang pucat karena
terkejut tadi aku merasa kau pasti menduga diriku setan hutan. Ha...ha...ha...."
"Sudahlah! Orang sedang kesusahan kau enak-enak tertawa. Aku tak mau kau ganggu
lebih lama...."
"Siapa berani mengganggu gadis secantikmu"!"
"Aku tak mau bicara denganmu kecuali kau bisa membantuku!" berkata si gadis.
"Membantumu" Tentu saja aku mau. Katakan pertolongan apa yang kau inginkan?"
tanya si pemuda
pula. "Bisa kau mendapatkan seekor kuda agar aku dapat melanjutkan perjalanan?"
"Ah, itu namanya kau meminta tanduk pada kucing! Kau lihat aku tidak membawa
kuda! Di rimba belantara begini rupa dimana bisa mencari kuda"!"
"Lalu bagaimana kau masuk ke dalam hutan ini"!"
"Jalan kaki."
"Jalan kaki" Aku tidak percaya!" jawab si gadis lalu memandang berkeliling
seolah-olah mencari-cari
sesuatu. Tapi memang dia tidak melihat seekor kudapun di sekitar situ. Maka
diapun lantas berkata. "Kalau
kau memang seekor kucing yang tidak bisa menolongku, pergi saja sana...."
"Tunggu dulu adik baju kuning. Mengadakan kuda aku memang tidak bisa. Tapi aku
bisa menolong kudamu itu. Aku bisa mengurut kakinya yang terkilir."
"Oh jadi sampean ini tukang urut rupanya...." kata sang dara. Dia menyangka si
pemuda akan jadi
marah karena jengkel, paling tidak akan merah wajahnya. Tapi justru si pemuda
kembali tertawa dan
menjawab. Sumber buku: Pendekar212
Sumber Cover: kelapalima
Scanning: kiageng80
Ebook: kalibening
"Aku memang ahli urut. Bapakku jagoan mengurut. Bapak dari bapakku ahli
mengurut. Bapak dari
bapak dari bapakku tukang urut terkenal. Lalu bapak dari bapak dari bapak...."
"Sudah! Jika situ memang pandai mengurut ayo tolong kudaku," kata si gadis pula.
Dalam hati dia menahan rasa geli melihat sikap dan mendengar ucapan pemuda berambut gondrong
itu. Si pemuda kembali tertawa lebar lalu jongkok di depan kuda coklat. Mula-mula
diusapnya leher
binatang ini. "Kliwon, aku temanmu. Aku mau menolongmu! Jangan kau tendang aku kalau kuurut
kaki kananmu ya....?" Lalu pemuda itu mulai mengelus-elus kaki kanan sebelah depan kuda coklat yang
terkilir. Sesaat
binatang itu tampak seperti hendak menendang dan beringas. Namun setelah kembali
dielus-elus dia mulai
jinak dan membiarkan saja kaki kanannya diurut.
"Nah, mudah-mudahan kakimu sembuh sekarang!" kata si pemuda sesaat kemudian. Dia
berpaling pada gadis di sebelahnya dan berkata. "Bantu aku membangunkan binatang ini....
Angkat lehernya, aku akan
mengangkat kaki depannya."
Dengan susah payah kuda coklat itu akhirnya bisa juga ditegakkan kembali.
"Terima kasih. Kau telah menolong aku. Aku tak akan melupakan jasamu....," kata
gadis baju kuning
lalu hendak cepat-cepat saja melompat ke atas punggung binatang itu.
"Hai! Tunggu dulu!" berkata si pemuda. "Kudamu ini masih belum bisa ditunggangi.
Kalau dipaksa dia akan ambruk kembali!"
"Lalu apa yang harus aku lakukan?" tanya sang dara pula.
"Tuntun dulu sampai kira-kira dua ratus langkah. Setelah itu baru kau boleh
menungganginya...."
"Dua ratus langkah tidak dekat. Aku tidak ingin terlambat!"
"Kalau kau paksakan malah akan terlambat seumur-umur. Sebenarnya apa yang kau
kejar saudari?"
"Aku tidak mengejar siapa-siapa..."
"Kalau begitu dirimu yang tengah dikejar orang!"
"Juga tidak!"
"Hem...," si pemuda garuk-garuk kepala.
"Sudahlah, aku tidak bermaksud menyelidik atau mengetahui urusanmu. Aku tengah
menuju ke selatan. Kalau kau juga hendak menuju ke sana, kita bisa sama-sama...."
"Kau jalanlah duluan. Dan hitungkan bagiku sampai dua ratus langkah seperti yang
kau katakan tadi...."
Si pemuda tertawa. Ucapan si gadis satu pertanda bahwa dia tidak menolak
melanjutkan perjalanan
bersama-sama. Maka pemuda ini pegang tali kekang kuda coklat dan menuntun
binatang itu sementara si gadis
melangkah mengikuti dari belakang.
"Namaku Wiro Sableng.... Siapa namamu?" berkata pemuda gondrong sambil melangkah
menuntun kuda. "Aku tidak dapat mengatakannya" jawab si gadis.
"Ah, kau mungkin malu. Tapi mungkin juga belum percaya padaku," ujar si gondrong
yang ternyata Sumber buku: Pendekar212
Sumber Cover: kelapalima
Scanning: kiageng80
Ebook: kalibening
adalah Pendekar 212 Wiro Sableng, murid nenek sakti Sinto Gendeng dari Gunung
Gede. "Kau tak mau
memberi tahu siapa namamu tak jadi apa. Tapi dari kalung yang melingkar di
lehermu aku tahu kau adalah
orang dalam keraton! Jangan-jangan kau seorang puteri!"
Terkejutlah dara berbaju kuning itu. Dia memandang ke dadanya. Ternyata mata
kalung berbentuk
lambang keraton yang dilingkari kuntum melati tersembul keluar dari balik
pakaiannya. Kalung seperti ini
hanya dimiliki dan dipakai oleh para dara puteri keraton.
"Matamu tajam dan pengetahuanmu luas juga!" kata si gadis.
"Itu berarti kau tak lagi dapat menyembunyikan rahasia dirimu, bukan"
Aneh....aneh.... Ada seorang
puteri keraton berjalan sendirian, tanpa pengiring tanpa pengawal. Memasuki
rimba belantara pula. Menuju ke
selatan daerah sepi banyak rintangan dan bahaya, apa gerangan yang tengah
dicarinya....?"
"Ucapanmu seperti seorang penyair saja!" berkata sang dara. "Aku memang tidak
bisa merahasiakan
diriku lagi. Aku Ayu Purini...."
"Tidak pakai Raden di depannya?" tanya Wiro sambil terus melangkah menuntun kuda
coklat. "Di hutan begini tidak laku segala macam gelar," jawab Purini.
Murid Sinto Gendeng tertawa mendengar jawaban itu.
"Sekarang apakah kau mau menceritakan mengapa kau melakukan perjalanan seorang
diri begini"
Dari pakaian ringkas yang kau kenakan berarti kau memang sengaja mempersiapkan
diri." "Hal itu tidak bisa kuberitahukan padamu...."
"Kenapa begitu?"
"Soalnya aku tidak tahu siapa kau sebenarnya...."
"Yang jelas aku bukan orang dari keraton. Emperannya sajapun tidak!"
Kini Ayu Purini yang tersenyum mendengar ucapan itu.
Saat itu baik Wiro maupun Purini sudah sama-sama menghitung sampai langkah ke
dua ratus. Hutan
gelap yang mereka tempuh kini tampak terang oleh cahaya yang datang dari depan.
Tiupan angin lembab
mengandung garam berhembus ke arah mereka. Juga dari depan terdengar suara
deburan ombak. Tak selang berapa lama keduanya sampai di ujung hutan dan ternyata di hadapan
mereka kini terbentang pasir pantai dan laut luas dengan ombak menggemuruh tiada hentihentinya. "Kita sudah sampai di pantai!" ujar Purini lalu mendahului Wiro melangkah ke
depan. Tapi saat itu
pula gadis ini kembali masuk ke dalam hutan. Malah dia mendorong Wiro dan
menarik kuda coklat berlindung
di balik kerapatan pohon dan semak belukar.
Dari arah barat terdengar derap kaki kuda banyak sekali. Tak lama kemudian
serombongan orang
terdiri dari lebih selusin prajurit keraton serta seorang perwira lewat di depan
mereka dengan cepat.
"Pasukan kerajaan....," kata Wiro seraya berpaling pada Purini. "Eh, wajahmu
kulihat berubah.
Jangan-jangan mereka tengah mencarimu."
"Dengar, aku harus menuju ke muara Kali Opak. Masih jauhkah tempat itu dari
sini" Aku harus
mendahului rombongan tadi. Kalau tidak bisa celaka....!"
"Celaka" Siapa yang celaka"!" tanya Wiro.
"Aku butuh pertolonganmu. Kau tahu liku-liku daerah sekitar sini?"
Sumber buku: Pendekar212
Sumber Cover: kelapalima
Scanning: kiageng80
Ebook: kalibening
"Tahu betul sih tidak. Tapi yah lumayan. Kau bilang mau ke muara Kali Opak dan
harus lebih dulu
tiba disana dari rombongan tadi. Betul begitu?"
"Ya, ya! Kau bisa menolongku"!" tanya Purini. Tampaknya ada kecemasan besar
dalam dirinya. "Kenapa kau tidak bilang dari tadi kalau memang mau ke muara Kali Opak...."
"Sudahlah. Jangan hal itu dipersoalkan. Keselamatan Jayengseno terancam. Aku
harus menolongnya."
"Siapa Jayengseno itu?"
"Saudaraku...."
"Saudara atau pacar?"
"Jangan bergurau juga! Kalau sampai terlambat tak ada gunanya aku mengadakan
perjalanan sejauh
ini!" "Kalau begitu ikuti aku. Ada jalan berputar, memotong ke arah muara Kali Opak
dari arah barat.
Mudah-mudahan kita bisa mendahului rombongan itu. Kau boleh menunggangi si
Kliwon ini sekarang.
Kurasa kakinya sudah cukup kuat."
"Kau sendiri bagaimana?" tanya Purini.
"Asal kau tidak memacunya kencang-kencang dan membiarkan aku berlari di sebelah
depan maka kau tak usah khawatir aku akan ketinggalan di belakang."
"Baik...larilah. Aku akan mengikuti dari belakang!" kata Ayu Purini pula. Lalu
dari balik pakaian
kuningnya dia mengeluarkan sebuah benda. Ketika benda itu dikenakannya ke
mukanya ternyata adalah
sebuah topeng tipis yang membuat wajah aslinya tidak lagi dapat dikenali.
Pendekar 212 geleng-geleng kepala. "Ternyata kau seorang pemain tari topeng!"
Wiro tertawa lalu
masuk kembali ke dalam hutan, lari di sebelah depan.
*** Sumber buku: Pendekar212
Sumber Cover: kelapalima
Scanning: kiageng80
Ebook: kalibening
EMPAT KETIKA UNTUK KEDUA kalinya mereka keluar dari dalam hutan, ternyata mereka
sampai di lamping sebuah bukit kecil. Di balik bukit itu terletak muara Kali Opak yang
menjadi tujuan Ayu Purini.
Sampai di puncak bukit gadis itu memandang berkeliling. Tidak tampak rombongan
pasukan keraton tadi.
Jalan memintas yang ditunjukkan si pemuda ternyata mampu membuat rombongan itu
tertinggal jauh di
belakang. "Kita sudah sampai di muara Kali Opak. Nah mau menuju kemana sekarang?" tanya
Wiro pula. Memandang jauh ke arah ujung muara dia melihat beberapa perahu pencari ikan.
Ayu Purini menunjuk ke arah timur kaki bukit dimana aliran Kali Opak sedikit
menikung. "Kau lihat
bekas reruntuhan candi itu...?" Wiro mengikuti arah yang ditunjuk lalu anggukkan
kepala. "Aku harus segera
kesana." Selesai berucap begitu Ayu Purini sentakkan tali kekang kuda coklat. Si
Kliwon melompat dan lari
menuruni bukit.
Pendekar 212 terpaksa mengejar. Dia sampai di reruntuhan candi pada saat Ayu
Purini telah turun dari
kudanya dan melangkah cepat menuju sebuah arca berbentuk kepala singa pada
sebuah pilar segi empat.
Sesaat gadis itu tampak seperti berpikir mengingat-ingat.
"Dua kali ke kanan, satu kali ke kiri....," katanya seorang diri.
"Apa yang dua kali ke kanan satu kali ke kiri?" tanya Wiro tak mengerti.
Tanpa menyahuti pertanyaan orang, Ayu Purini pegang kepala singa lalu membuat
gerakan memutar
ke kanan. Arca itu tidak bergerak sedikitpun.
Kembali si gadis kelihatan seperti mengingat-ingat. "Tak mungkin aku
keliru....," katanya. Lalu
dengan mengerahkan seluruh tenaga dia kembali berusaha memutar arca kepala singa
itu ke kanan. Terdengar
suara berderik. Murid Sinto Gendeng mengerenyit tak percaya ketika dia melihat
bagaimana bagian leher dari
kepala singa itu tiba-tiba kelihatan berputar perlahan-lahan. Melihat kepala
arca akhirnya bergerak, si gadis
seolah mendapat kekuatan baru. Dia kembali memutar kepala singa itu ke kanan.
Setelah itu dia memutarnya
balik ke kiri. Terdengar suara berkelik disusul oleh suara menderu halus. Murid Sinto Gendeng
sempat ternganga
sambil garuk-garuk kepala ketika dia melihat bagaimana secara aneh arca batu
berbentuk kepala singa itu
bergeser ke samping kiri. Di tempat bekas tegaknya semula ini kelihatan sebuah


Wiro Sableng 058 Bahala Jubah Kencono Geni di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lobang selebar bahu manusia.
Ketika dia coba melongok lobang itu ternyata berupa sebuah tangga batu dengan
anak tangga berjumlah dua
belas. Di kaki tangga agak terlindung oleh kegelapan kelihatan sebuah cekungan.
Dari dalam cekungan itu
muncul sepasang lutut dalam keadaan bersila.
Wiro membuka mulut hendak bertanya. Namun belum sempat bersuara Ayu Purini sudah
mendahului. "Aku akan masuk ke dalam. Jika rombongan orang-orang keraton tadi datang kemari
cepat tutupi lobang ini. Jangan sampai mereka mengetahui ada lobang di sini. Aku tak akan
lama!" "Ayu...."
Sumber buku: Pendekar212
Sumber Cover: kelapalima
Scanning: kiageng80
Ebook: kalibening
Tapi sang dara sudah masuk ke dalam lobang dan melangkah menuruni tangga batu.
Wiro hanya bisa
tegak sambil garuk-garuk kepala.
Baru saja kepala Ayu Purini lenyap di mulut lobang, di arah barat Wiro tiba-tiba
melihat rombongan
orang berkuda datang dari ujung kaki bukit. Wiro cepat menarik si Kliwon dan
menarik leher kuda itu hingga
akhirnya binatang itu tergolek di atas pasir, terlindung oleh reruntuhan candi.
Dia sendiri kemudian segera
berjongkok dan berlindung di balik arca kepala singa.
Kudopati, kepala pasukan pengawal keraton yang menjadi pimpinan rombongan orangorang itu hentikan kudanya dan memandang berkeliling.
"Muara kali ini gundul plontos. Tak ada hutan, tak ada bukit cukup tinggi. Jika
Jayengseno melakukan
samadi pasti dia melakukannya dalam sebuah goa. Tapi kalian lihat sendiri. Sama
sekali tidak ada tempat yang
bisa membentuk goa di sekitar muara ini!" Dua belas orang prajurit keraton ikut
memandang berkeliling
mendengar ucapan pimpinan mereka itu.
"Mungkin goa itu berada dibawah laut?" berucap salah seorang perajurit. Lalu dia
menambahkan. "Berarti kita harus menunggu sampai terjadi pasang surut...."
"Perajurit tolol! Jayengseno bukan ikan yang bisa hidup di air. Bukan juga penyu
yang bisa hidup di
air dan di darat!" menggerendeng Kudopati. Dia memandang jauh ke tirnur. "Aku
melihat reruntuhan candi di
ujung sana. Mari kita selidiki tempat itu!" Lalu dia menggebrak kudanya.
Setengah jalan sebelum sampai ke
reruntuhan candi kepala pengawal keraton yang cerdik ini hentikan kudanya dan
memandang ke arah bukit
kecil di sebelah kanan.
"Kalian lihat pasir di bukit itu. Ada jejak kaki kuda dan kaki manusia. Kedua
jejak itu menuju ke arah
reruntuhan candi...."
"Berarti goa itu mungkin ada di sekitar reruntuhan itu," menyahuti seorang
bawahan. "Mungkin sekali. Namun agaknya ada orang yang telah mendahului kita!" Kudopati
tarik tali kekang
kudanya, menghambur cepat menuju reruntuhan candi.
Ketika dia sampai di tempat itu segera saja dia dan anak-anak buahnya melihat
seekor kuda coklat
terbaring di pasir di belakang reruntuhan.
"Dugaan kita tidak salah! Tapi ada kuda tak ada manusia! Tak bisa kupercaya!"
Diikuti oleh selusin
anak buahnya Kudopati melompat turun dari kuda masing-masing. Tepat pada saat
dia menginjakkan kakinya
di pasir, saat itu pula dia baru melihat ada sesosok tubuh berpakaian putih
tergolek di atas reruntuhan candi,
dekat sebuah arca berbentuk kepala singa.
"Orang gila dari mana yang tidur-tiduran di tempat ini di bawah terik panas
matahari"!" membatin
kepala pengawal keraton itu dia memberi isyarat pada anak buahnya. Dua belas
perajurit segera menyebar dan
mengurung tempat itu. Kudopati lalu melompat ke dekat arca dan menegur dengan
suara keras. "Manusia berpakaian putih lekas bangun! Katakan siapa dirimu dan mengapa berada
di tempat ini!"
Orang yang terbaring di atas reruntuhan candi yang tentunya adalah Pendekar 212
Wiro Sableng usap-usap kedua matanya seperti orang baru bangun tidur. Tapi dia tetap saja
berbaring di tempatnya. Karena
kalau dia bangun berarti Kudopati akan dapat melihat lobang batu yang sengaja
ditutupinya dengan tubuhnya.
"Tak mau menjawab akan kutebas batang lehermu!" teriak Kudopati lalu tangannya
bergerak ke arah
Sumber buku: Pendekar212
Sumber Cover: kelapalima
Scanning: kiageng80
Ebook: kalibening
hulu golok yang terselip di pinggangnya.
"Ah Siapa tuan besar ini yang mengganggu ketenteraman nelayan yang baru saja
kehilangan perahu...."
"Perduli setan dengan perahumu! Kami tengah mencari suatu tempat. Aku yakin
tempat itu ada di
sekitar sini!"
"Tempat apa....?" tanya Wiro sambil kembali usap-usap kedua matanya.
"Sebuah goa! Tempat seseorang bersamadi!"
"Goa...." Goa apa"! Aku sudah tinggal lebih dari dua puluh tahun di daerah ini.
Jangankan gua! Lobang kampretpun tak ada di sekitar sini!" jawab Wiro lalu menyengir.
"Aku melihat kuda dan dirimu di sini. Tapi tidak melihat orang kedua!"
"Orang kedua siapa maksudmu?"
"Ada kuda, ada penunggangnya. Lalu ada seorang lagi yang berjalan kaki! Lekas
katakan dimana kawanmu satu lagi itu!"
"Otakmu sebelah depan cerdik, tapi yang sebelah belakang tolol!" tukas Wiro
pula. "Aku sampai ke
tempat ini bukan menunggangi kuda itu, tapi menuntunnya! Kaki kuda itu barusan
cidera. Lihat saja
keadaannya yang tergolek begitu rupa...."
"Mulutmu bicara kurang ajar! Sikapmu bicara dengan tidur seperti itu juga kurang
ajar! Tahukah kau
tengah berhadapan dengan siapa"!" membentak Kudopati.
"Eh, mana aku tahu sedang berhadapan dengan siapa" Apalagi aku tak begitu jelas
melihat mukamu.
Silau oleh sinar matahari...."
"Pemuda kurang ajar! Tulang-tulang igamu layak kuhancurkan!" kata Kudopati
hampir berteriak.
Lalu kaki kanannya menendang kuat-kuat ke arah rusuk kanan Pendekar 212 Wiro
Sableng. Murid Sinto Gendeng cepat sorongkan siku tangan kirinya ke arah datangnya
serangan. Bukkk!
Wiro mengerenyit menahan sakit pada sikunya yang dihantam telapak kaki Kudopati.
Sebaliknya kepala pengawal itu mengeluh tinggi dan terpental dua langkah. Telapak kakinya
sakit bukan kepalang,
laksana barusan menendang batu keras.
Kini otak Kudopati cepat membaca keadaan. Pemuda aneh berambut gondrong
berpakaian putih itu
bukan pemuda sembarangan. Dia belum pernah melihat pemuda ini sebelumnya.
Jangan-jangan si gondrong
aneh ini adalah kawan Jayengseno, sekaligus penjaganya.
"Lekas katakan dimana Jayengseno bersamadi! Kalau tidak kupenggal kepalamu!"
Kudopati lantas
cabut golok besarnya.
"Heran! Tadi kau berkata mencari goa! Sekarang menyebut nama seseorang. Siapa
sih Jayengseno itu"!"
"Kau berani berpura-pura! Padahal kau pasti kaki tangan pangeran culas itu! Coba
kau rasakan dulu
ketajaman golokku! Daun kupingmu terlalu lebar. Pantas di kikis sedikit!"
Wutt! Golok di tangan Kudopati menderu ke arah telinga kiri Wiro Sableng. Tapi
serangannya meleset.
Pada saat itu pula Wiro merasakan punggungnya yang sengaja dibaringkan untuk
menutupi lobang
Sumber buku: Pendekar212
Sumber Cover: kelapalima
Scanning: kiageng80
Ebook: kalibening
tiba-tiba ada yang mendorong dari bawah keras sekali sehingga dia terangkat dan
terguling ke kiri. Bersamaan
dengan itu dua sosok tubuh muncul dari dalam lobang. Yang disebelah depan
langsung menegur membuka
mulut. "Perlu apa kau mencariku, Kudopati" Sampai-sampai berani mengganggu samadiku"!"
*** Sumber buku: Pendekar212
Sumber Cover: kelapalima
Scanning: kiageng80
Ebook: kalibening
LIMA YANG MENEGUR ITU adalah seorang pemuda bertubuh tinggi semampai. Karena hanya
mengenakan sehelai celana pendek berwarna putih maka kelihatanlah tubuhnya yang
tegap penuh otot.
Dadanya ditumbuhi bulu. Wajahnya yang tampan tertutup oleh cambang bawuk serta
kumis liar. Kudopati tidak segera menjawab. Kedua matanya memandang meneliti seolah-olah
ingin meyakinkan
dulu bahwa manusia di hadapannya itu adalah orang yang dicarinya. Kemudian dia
mengerling pada orang
berpakaian kuning yang mengenakan topeng tipis menutupi wajahnya.
"Hemm.....Jadi di sini tempatmu bersembunyi!" kata Kudopati kemudian. "Ternyata
kau punya dua penjaga. Satu pemuda gondrong ini, satu lagi manusia pemalu yang sengaja
melindungi wajahnya di balik
topeng!" "Bersembunyi" Aku bersembunyi katamu" Apa maksudmu Kudopati....?" Pemuda
bercelana putih
bertanya. Suaranya keras tapi sikapnya tenang saja. Dia telah melihat ada dua
belas prajurit bersenjata
mengurung tempat itu. Sebenarnya pemuda ini yang bukan lain adalah Raden
Jayengseno, putera tertua Sri
Baginda dari seorang selir, sudah mengetahui apa yang terjadi dari Ayu Purini
waktu di dalam lobang
tadi. Kudopati segera hendak menjawab. Tapi Jayengseno mengangkat tangannya. "Tunggu
dulu! Sebelum kau bicara aku ingin memberi ingat! Sikapmu terhadapku sungguh sangat tidak
sopan. Walaupun aku putera
dari seorang selir, garis kedudukanku jelas lebih terhormat dari pada dirimu
yang hanya seorang perajurit
kepala!" Merah padam paras Kudopati. Namun kemudian tampak dia menyeringai. "Aku tahu,
semua orang tahu kalau yang namanya Raden Jayengseno itu adalah putera tertua Sri Baginda.
Tapi putera tertua dari
seorang selir. Karena itulah kau beranggapan bahwa kau mempunyai hak untuk
dinobatkan sebagai pangeran
putera mahkota! Jayengseno, kau dicurigai sebagai pencuri jubah Kencono Geni.
Menukarnya dengan yang
palsu hingga menyebabkan kematian Raden Ario Joko Pitolo, satu-satunya putera
Sri Baginda yang berhak
atas tahta kerajaan!"
"Kau pandai mengarang fitnah!"
"Siapa mengarang"! Aku datang atas perintah Sri Baginda!" sahut Kudopati keras.
"Kalau begitu kau juga telah berhasil mengelabuhi ayahku! Angkat kakimu dari
sini Kudopati! Aku
tak ingin kau ganggu lebih lama!'
"Jawab dulu pertanyaanku ! Dimana kau sembunyikan jubah Kencono Geni itu"!"
"Kau tanyakan pada jin laut sana!" jawab Jayengseno.
"Jika kau tidak mau menerangkan, terpaksa aku menangkapmu dan membawamu ke
hadapan Sri Baginda di Kotaraja!"
Raden Jayengseno tersenyum. "Pergilah sebelum kutampar mulut lancangmu!"
Rahang Kudopati menggembung. Berbekal perintah Sri Baginda ditambah dengan
kedudukannya Sumber buku: Pendekar212
Sumber Cover: kelapalima
Scanning: kiageng80
Ebook: kalibening
sebagai kepala pengawal keraton dia merasa dirinya pada kedudukan yang lebih
tinggi dari putera raja dari
seorang selir itu. Maka dia berteriak memberi perintah untuk menangkap
Jayengseno. Dua belas perajurit
kerajaan segera bergerak.
"Tunggu dulu!" tiba-tiba Wiro berseru.
"Pemuda gondrong! Kau hanya seekor monyet. Jadi tidak perlu ikut campur urusan
orang! Atau kaupun mau aku tangkap"!" bentak Kudopati.
"Perwira, mulutmu memang seperti comberan. Lagakmu seperti jamban busuk! Apa kau
punya bukti kalau Raden Jayengseno yang mencuri dan menukar jubah pusaka itu?"
"Itu bukan urusanmu monyet!"
Wiro ganda tertawa dipanggil monyet untuk kedua kalinya itu. Dia berkata:
"Seingatku, sudah dua
bulan aku berada di tempat ini menjaga Raden Jayengseno. Bagaimana dia bisa kau
tuduh sebagai pencuri
jubah pusaka itu?"
Dusta Pendekar 212 itu sesaat membuat Kudopati terkesima.
Wiro tertawa. Dia berpaling pada Jayengseno. "Nah, dia tak bisa menjawab. Raden,
kau kembalilah masuk ke dalam lobang. Teruskan samadimu. Serahkan kunyuk-kunyuk kesasar ini
padaku!" "Bangsat! Kau berani menghina!" teriak Kudopati. Dia kembali memberi isyarat
pada dua belas perajurit. Lalu mendahului menyergap ke arah Pendekar 212. Sebelum menangkap
Jayengseno dia ingin lebih
dahulu menghajar si gondrong ini.
Tinju kanan Kudopati melayang ke arah muka Wiro Sableng. Serangan itu


Wiro Sableng 058 Bahala Jubah Kencono Geni di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengeluarkan suara angin
deras tanda Kudopati memiliki tenaga luar yang besar dan berbahaya. Murid Eyang
Sinto Gendeng cepat
menghindar ke samping. Lutut kirinya menekuk. Bersamaan dengan itu kaki kanannya
menendang ke arah
perut Kudopati.
Kudopati tidak heran melihat lawan mampu mengelak bahkan balas menyerang.
Tadipun waktu tendangannya ditangkis dengan lutut dia sudah menyadari kalau pemuda yang
disebutnya monyet ini memiliki
kepandaian tinggi. Karenanya Kudopati kini ingin sekali membunuh Wiro secepatcepatnya. Entah kapan
tangan kanannya bergerak, tahu-tahu sebilah golok besar sudah tergenggam. Kini
dia menyerbu dengan
senjata itu! Sementara itu dua belas perajurit telah melompat ke atas reruntuhan candi. Enam
orang bersenjata
tombak, enam lagi menghunus golok. Yang memegang golok menyerbu di sebelah
depan. Jayengseno melompat ke atas sebuah batu candi sementara Ayu Purint yang memang
tidak punya ilmu
kepandaian apa-apa segera menjauh. Rasa takut menyelimuti diri gadis ini. Walau
wajahnya terlindung di
balik topeng tipis namun gadis ini masih merasa khawatir kalau-kalau Kudopati
dan para perajurit itu
mengenalinya. "Perajurit-perajurit kerajaan! Dengar kata-kataku!" berseru Jayengseno.
"Jangan dengarkan ucapannya!" berteriak Kudopati.
Jayengseno tidak perduli dan meneruskan bicaranya. Tinggalkan tempat ini! Aku
tidak ingin mencelakai kalian! Cepat!"
"Kami hanya menjalankan perintah atasan, Raden! Mana kami berani berlaku tidak
taat!" jawab salah
Sumber buku: Pendekar212
Sumber Cover: kelapalima
Scanning: kiageng80
Ebook: kalibening
seorang perajurit.
Plaak! Baru saja perajurit ini berucap begitu tamparan Raden Jayengseno telah mendarat
di pipinya. Tubuhnya melintir hampir jatuh, bibirnya pecah berdarah. Sebelas perajurit
lainnya sesaat tampak menjadi
bimbang. Namun teriakan Kudopati membuat mereka kembali menyerbu. Terpaksa
Jayengseno menyambar
golok perajurit yang tadi ditamparnya lalu menghadapi sebelas pengeroyok yang
datang menyebarnya.
Sebagai seorang putera raja Raden Jayengseno memang membekal ilmu silat yang
tidak rendah. Saat
itupun dia sengaja mengucilkan diri untuk menggembleng tenaga dalamnya. Gerakan
silatnya mantap dan
kelebatan tubuhnya ringan. Namun ada satu hal, Jayasengseno belum punya
pengalaman sama sekali melakukan dan menghadapi kekerasan. Sehari-hari putera Sri Baginda dari seorang
selir ini adalah seorang pemuda
yang sopan dan lembut
Dalam beberapa kali gebrakan saja Raden Jayangseno berhasil menendang seorang
perajurit dan menjotos perajurit lainnya. Bahkan dia sempat melukai lawan yang ketiga. Namun
serbuan yang lain-lainnya
bertambah gencar. Perlu diketahui dua belas penyerang itu memang adalah anggotaanggota pasukan tingkat
rendahan saja. Namun mereka datang dari kelompok khusus yang sengaja disiapkan
dan terlatih dalam
melakukan penyerangan atau menangkap lawan hidup-hidup.
Setelah menggempur sepuluh jurus, delapan perajurit itu kini berhasil merangsak
maju dan mendesak
Raden Jayengseno ke sudut timur reruntuhan candi. Dalam satu gebrakan hebat,
Jayengseno berhasil menusuk
perut salah seorang penyerangnya, namun saat itu pula dua golok memukul dengan
keras badan golok yang
dipegangnya. Senjata itu terlepas mental dari pegangannya. Di lain kejap dua
ujung tombak sudah menempel
di leher Jayengseno sedang sebilah golok ditekankan ke arah perutnya. Putera
selir ini tak bisa berbuat apa-apa.
Ayu Purini menyaksikan kejadian itu dengan tubuh bergetar dan keluarkan keringat
dingin. Kudopati adalah murid seorang jago silat di daerah Sleman. Sembilan tahun
digembleng kemudian dia
berguru pada seorang tokoh silat istana. Pada tokoh inilah dia mendapat
gemblengan tenaga dalam tingkat
tinggi. Kemampuannya yang dianggap luar biasa kemudian memungkinkannya
dipercayai jabatan sebagai
kepala pengawal keraton. Apalagi kabarnya diapun telah pula berguru pada seorang
tua misterius di puncak
gunung Merapi dimana dia mendapat pelajaran dan akhirnya menguasai beberapa
pukulan sakti. Tetapi hari itu Kudopati berhadapan dengan lawan yang kadar kedigjayaannya telah
dikenal dunia persilatan di delapan penjuru angin. Setelah menggebrak hebat dengan serangan
goloknya selama lima jurus,
Kudopati tiba-tiba keluarkan seruan kaget ketika tangannya yang hendak
membacokkan senjata ke arah kepala
Wiro, mendadak terasa seperti kesemutan. Dari arah depan ada satu gelombang
angin yang menekan hingga
tangannya mengapung di udara. Kini sadarlah kepala pengawal itu kalau lawannya
memiliki kekuatan tenaga
dalam yang hebat.
Maka diapun merapal aji kesaktian. Lalu tangan kirinya dihantamkan ke depan
seraya berteriak.
"Mampus!"
Wuss! Serangkum angin menerpa dahsyat. Tubuh Pendekar 212 tampak bergetar goyang.
Menyaksikan itu
Ayu Purini sudah seperti terbang nyawanya.
Sumber buku: Pendekar212
Sumber Cover: kelapalima
Scanning: kiageng80
Ebook: kalibening
"Kalau pemuda inipun kalah, celakalah diriku. Mereka pasti menangkap aku.
Oh....Bagaimana ini"!"
keluh Ayu Purini.
Di depan sana untuk menguatkan daya serangannya, Kudopati hentakkan kaki kiri ke
atas lantai candi.
Lantai itu terasa bergetar keras dan tubuh Pendekar 212 tampak jatuh terbanting.
Mengira lawan sudah tidak
berdaya dan paling tidak telah mengalami luka dalam yang parah, Kudopati cepat
memburu dengan tabasan
golok ke arah leher.
Praang! Mata golok menghantam lantai batu sampai mengeluarkan pijaran bunga api. Tubuh
Pendekar 212 sesaat sebelum golok menyambar lehernya sudah berguling ke kiri. Ketika Kudopati
berusaha memburu terus
tiba-tiba sebuah bongkahan batu candi melayang ke arah kepalanya. Batu ini
adalah batu yang dipungut Wiro
sewaktu berguling tadi. Mau tak mau Kudopatrterpaksa menyelamatkan kepalanya.
Hal ini membuat gerakannya tertahan sesaat. Ketika lemparan batu lewat di atas
kepalanya dan kembali dia hendak melanjutkan serangan, tendangan kaki kanan Pendekar 212
mendarat lebih dahulu di
tulang kering kaki kirinya.
Kraaakk! Terdengar suara patahnya tulang kaki Kudopati. Bersamaan dengan itu terdengar
jerit kesakitan
kepala pengawal ini. Tubuhnya langsung roboh ke lantai candi dan kelojotan tiada
henti karena menahan sakit.
Wiro cepat berdiri lalu menghampiri para pengurung Raden Jayengseno.
"Pimpinan kalian sudah tidak berdaya! Gotong dia dan tinggalkan tempat ini!"
"Apapun yang terjadi kami tetap akan menangkap Raden Jayengseno!" menjawab salah
seorang perajurit. "Kalau begitu kau akan kuhajar paling dulu!" mengancam Wiro.
"Kalau itu kau lakukan kawanku akan menusuk tembus batang leher Raden
Jayengseno!" mengancam
perajurit tadi.
Wiro menyeringai. "Kau ditugaskan menangkap Raden Jayengseno hidup-hidup. Jika
kau berani membunuhnya, Sri Baginda akan memancungmu!"
Selagi perajurit itu berada dalam keadaan bimbang Wiro melangkah ke tempat
Kudopati duduk menginjak kaki kiri kepala pengawal yang patah itu sehingga Kudopati menjerit
setinggi langit.
"Perintahkan anak buahmu melepaskan Raden Jayengseno. Atau kuinjak hancur kakimu
yang patah ini hingga kau jadi cacat seumur-umur!"
"Bangsat!" rutuk Kudopati marah sekaii. Tapi dalam keadaan tidak berdaya seperti
itu dia tidak bisa
berbuat apa, terpaksa mengikuti kehendak Wiro. Maka kepala pengawal inipun
berseru pada semua anak
buahnya. "Lepaskan Jayengseno. Hari ini dia bebas tapi cepat atau lambat kita akan
menangkapnya kembali!
Bantu aku naik ke atas kuda. Kita kembali ke Kotaraja!"
Mendengar perintah pimpinan mereka itu, delapan perajurit yang mengurung
Jayengseno segera
mundur. Sebagian dari mereka menolong Kudopati naik ke atas kuda. Yang lainnya
membantu teman-teman
mereka yang luka termasuk seorang tewas.
Sumber buku: Pendekar212
Sumber Cover: kelapalima
Scanning: kiageng80
Ebook: kalibening
Sebelum meninggalkan tempat itu Kudopati menoleh pada Jayengseno. "Mimpimu sudah
tamat Jayengseno. Jangan kira kau bakal bisa menjadi pangeran putera mahkota!"
"Aku tidak pernah mimpi seperti itu Kudopati. Justru aku muak dengan tata
kehidupan keraton yang
hanya mengukur tinggi rendah manusia dari darah dan keturunannya!" menyahuti
Jayengseno. Kudopati menyeringai. "Kelak kalau tali gantungan dibuhulkan ke lehermu, aku
akan meminta agar
kedua tanganku yang akan melakukannya!"
Jayengseno tertawa hambar. "Mimpimu mungkin tidak akan pernah jadi kenyataan
Kudopati. Mungkin aku kelak yang akan menjiratkan tali gantungan ke lehermu!"
Kudopati hendak bergerak pergi namun dia ingat pada Pendekar 212 Wiro Sableng
dan berpaling pada
pemuda itu. "Monyet gondrong, umurmu juga tak bakal lama! Aku akan memburumu sekalipun ke
neraka!" "Ah, aku tidak mendengar apa yang barusan kau katakan Kudopati. Mungkin kau
bicara kurang keras
atau telingaku mulai tuli. Bicaralah lebih keras!" kata Wiro pula lalu dia
melangkah mendekati Kudopati yang
duduk di atas kuda. Tangan kanannya menyambar kaki kepala pengawal yang patah
itu dan menariknya
kuat-kuat. Kudopati berteriak kesakitan. "Ah, kurang keras Kudopati! Bicaralah
lebih keras!" kata Wiro pula
lalu kembali membetot kaki orang itu kuat-kuat hingga Kudopati untuk kesekian
kalinya menjerit kesakitan.
Sambil tertawa gelak-gelak Wiro pukul pinggul kuda tunggangan Kudopati.
*** Sumber buku: Pendekar212
Sumber Cover: kelapalima
Scanning: kiageng80
Ebook: kalibening
ENAM ABDI DALEM BERUSIA empat puluh tahun itu memandang pada atasannya yang berusia
hampir dua kali usianya. "Bapak Kamilun, sampean memanggilku ada apakah....?"
"Tolong sampaikan pada Lurah, malam ini aku tidak bisa menjalankan tugas," kata
Abdi dalem bernama Kamilun.
"Akan saya sampaikan. Tapi kalau saya boleh tahu, halangan apakah yang sedang
sampean hadapi...?"
bertanya abdi dalem yang muda.
"Sumini, cucu perempuanku yang berusia sepuluh tahun itu sedang sakit. Badannya
panas dan dia seringkali mengigau...."
"Kalau begitu biar saya mintakan obat."
"Tidak perlu susah-susah. Aku sudah mendapat obat. Tapi sakit anakku agak aneh.
Dia mengigau seperti orang ketakutan. Berulangkali dia menyebut-nyebut jubah Kencono Geni dan
keris Ki Pandan Anom.
Seolah-olah sakitnya ini ada hubungannya dengan musibah yang barusan menimpa
keraton kita ini...."
Berubahlah paras abdi dalem muda.
"Bolehkah saya melihat cucumu itu?"
Kamilun mengangguk lalu membawa bawahannya itu ke dalam sebuah kamar. Di dalam
kamar itu tampak tidur di atas pangkuan ibunya seorang anak perempuan berusia sepuluh
tahun. Sekujur tubuhnya basah
oleh keringat dan wajahnya pucat. Pada keningnya ditempelkan sehelai daun sirih.
Si ibu menyeka keringat di tubuh Sumini berulang kali. Abdi dalem muda gelengkan
kepala. Sebelumnya dia sudah sering melihat Sumini. Anak ini bertubuh sehat gemuk. Tapi
kini keadaannya tampak
sangat kurus. Padahal baru beberapa hari mengalami sakit.
Si anak tampak menggeliat. Perlahan-lahan kedua matanya yang terpejam membuka
nyalang dan memandang secara aneh ke sudut kamar sebelah atas. Tiba-tiba anak perempuan ini
menggeliat lalu menjerit
dan menutupi mukanya dengan kedua tangan seraya berteriak.
"Jangan....jangan ambil keris itu. Jangan ! Kembalikan jubah itu! Kembalikan
jubah Kencono Geni....Aduh....jangan pukul aku! Ampun....! Jangan pukul! Lepaskan jambakanmu!
Aduh....Ampun....!"
Untuk menjerit seperti itu Sumini harus keluarkan tenaga sangat banyak dan
kembali sekujur


Wiro Sableng 058 Bahala Jubah Kencono Geni di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

badannya basah oleh keringat. Sehabis menjerit anak ini tampak lemas lalu
menangis tersendu-sendu. Sang ibu
mendukung sambil mengusap muka dan keningnya.
"Nah, kau saksikan sendiri....," kata Kamilun pada bawahannya.
"Igauannya memang aneh. Apakah sampean atau orang pandai sudah coba mengajaknya
bicara" Kalau kita tahu apa yang ditakutinya mungkin kita bisa mengobatinya."
Kamilun tidak berkata apa-apa. Abdi dalem muda yang bernama Kamio itu
memberanikan diri. "Jika
sampean mengizinkan, saya akan coba mengajaknya bicara."
"Silahkan, aku juga ingin menyaksikan. Siapa tahu kita bisa mengungkapkan sakit
aneh cucuku Sumber buku: Pendekar212
Sumber Cover: kelapalima
Scanning: kiageng80
Ebook: kalibening
ini....," kata Kamilun pula.
"Tapi sebelumnya saya minta sepotong kencur lebih dahulu...." kata Kamio.
Setelah kencur diberikan, Kamio lalu menggigit dan mengunyahnya. Kunyahan kencur
itu kemudian diletakkannya di atas kening disamping daun sirih. Lalu dia meniup kening Sumini
beberapa kali. "Sum....Sumini....Kau tidak tidur kan.... Coba buka kedua matamu...," berkata
Kamio dengan suara
lembut. Dia mengulangi ucapan itu.sampai tiga kali baru kelihatan Sumini membuka
kedua matanya. "Anak bagus, anak.pandai. Kau sedang sakit, nak. Apakah kau mau sembuh...."
Tentu kau ingin
sembuh dan bermain lagi dengan teman-temanmu...."
Sumini mengangguk sangat perlahan. "Tapi....," tiba-tiba saja keluar ucapan dari
mulut anak itu.
"Tapi apa cucuku....?" sang kakek ikut bicara.
"Tidak.... Sumini tidak mau lagi pergi ke tempat itu. Tidak...."
"Tempat yang mana anakku?" tanya Kamio.
"Bangsal....bangsal itu. Sumini tidak mau lagi kesana. Tidak mau lagi bekerja
disana. Tidak mau lagi
membersihkan meja dan kursi. Tidak mau lagi membersihkan peti-peti pusaka...."
"Tentu....tentu kau tidak usah ke sana lagi anakku," kata Kamio. Lalu dia
berpaling pada abdi dalem
Kamilun seraya bertanya: "Apakah cucumu sebelumnya memang ikut membantu di
bangsal penyimpanan
benda-benda pusaka keraton?"
Kamilun mengangguk. "Pada hari kejadian itu malah dia tertidur disana...."
"Jangan-jangan dia menyaksikan sesuatu," bisik Kamio.
"Cobalah kau tanyakan terus...."
Kamio lantas bertanya. "Sumini, mengapa kau tidak suka lagi pergi ke bangsal
itu" Bukankah di situ
udaranya sejuk, suasananya tenteram dan banyak hikmahnya, anakku?"
"Sumini takut....Sumini takut....."
Ketika anak perempuan itu mulai kelihatan hendak menangis, Kamio dan ibunya
cepat membujuk.
"Kami bertiga ada disini. Lihat ada kakekmu, ada ibumu. Tidak perlu takut. Apa
yang kau takutkan
Sumini?" "Orang itu....Saya melihat orang itu...."
"Orang siapa" Siapa yang kau lihat Sumini?" tanya sang ibu yang mendukung
Sumini. "Orang itu. Tinggi besar.....Bermata besar berambut putih..... Pencuri....!"
"Ah, kau melihat pencuri rupanya. Terhadap pencuri kita tidak perlu takut.
Pengawal keraton akan
menangkapnya! Apa yang dicuri orang itu Sumini" Kau melihat apa yang dicurinya"
Kau mengenali pencuri
itu?" "Orang itu mencuri jubah Kencono Geni lalu memasukkan sebuah bungkusan ke dalam
peti. Lalu dia juga hendak mencuri keris Ki Pandan Anom tapi tidak jadi karena ada penjaga yang
datang. Lalu orang itu
membunuh semua penjaga. Lalu...." Sampai disitu Sumini kelihatan seperti
ketakutan dan menutupi wajahnya
dengan kedua tangan. Kamio cepat meniup kening dan mengusap ubun-ubun anak itu.
Lalu dia saling
berpandangan dengan Kamilun dan berbisik. "Cucu sampean mengetahui satu rahasia
besar.... Saya akan
menanyainya lagi...."
Sumber buku: Pendekar212
Sumber Cover: kelapalima
Scanning: kiageng80
Ebook: kalibening
Kamilun mengangguk.
"Sumini, nak. Kau jangan takut ada kakek dan ibumu disini," berkata Kamio. "Kau
anak pandai. Kau
sudah mengatakan pada kami bahwa kau melihat orang tinggi besar berambut putih,
bermata besar mencuri
jubah pusaka. Juga hendak mencuri keris pusaka. Apakah kau kenal orang itu
Sumini?" Yang ditanya diam saja.
"Mungkin kau lupa. Cobalah mengingat...." kata Kamilun.
"Saya tidak lupa kek....Saya ingat. Tapi saya takut.." jawab si anak.
"Jangan takut. Kalau orang itu hendak mengganggumu kakekmu akan mementung
kepalanya, aku akan memukul dadanya. Nah ayo katakan siapa pencuri itu...." mendesak Kamio.
Mulut Sumini terbuka. "Pencuri itu....," anak ini sesaat memandang ke sudut atas
kamar. "Pencuri itu
seperti...."
Jendela kamar di samping kiri tiba-tiba terpentang lebar. Di luar tampak satu
bayangan. Sesuatu
berdesing dalam kamar. Terdengar jeritan Sumini. Bayangan di luar jendela
lenyap. Lalu menyusul terdengar
raungan ibu Sumini sedang Kamilun dan Kamio sama berseru keras ketika
menyaksikan bagaimana sebuah
pisau menancap dalam di leher Sumini!
*** Sumber buku: Pendekar212
Sumber Cover: kelapalima
Scanning: kiageng80
Ebook: kalibening
TUJUH MALAPETAKA YANG MENIMPA keluarga abdi dalem Kamilun ternyata tidak hanya sampai
pada pembunuhan keji atas diri cucunya saja. Menjelang pagi penduduk di sebelah timur
keraton menemukan abdi
dalem berusia delapan puluh tahun itu telah menjadi mayat bersama anaknya yaitu
ibu Sumini di dalam rumah
mereka, sementara jenasah Sumini belum sempat di urus.
Seluruh kawasan keraton menjadi gempar. Terlebih ketika diketahui lenyapnya abdi
dalem bernama Kamio. Apakah orang ini ikut menjadi korban pula atau lenyap melarikan diri"
Berbagai prasangka
bermunculan. Salah satu diantaranya ialah bahwa Kamio melarikan diri karena
dialah yang telah menghabisi
abdi dalem Kamilun sekeluarga. Dituduhkan bahwa Kamio ada sangkut pautnya dengan
lenyapnya jubah
Kencono Geni. Anggota keluarga Kamilun mengetahui hal itu. Itulah sebabnya orang
tua yang sudah mengabdi pada keraton sepanjang usianya itu dibunuh bersama anak perempuan dan
cucunya! Kepada rakyat
luas segera diumumkan bahwa Kamio menjadi buronan dan harus ditangkap hidup atau
mati! Di keraton sendiri, di bawah pimpinan langsung Patih Jolosengoro disertai
petunjuk Sri Bagindra
dibentuk dua kelompok pasukan. Yang pertama berjumlah lima puluh perajurit dan
tiga perwira, dikepalai oleh
Kudopati yang masih berada dalam keadaan cidera. Kaki kirinya yang patah telah
diobati dan diganjal dengan
sepotong kayu. Kemana-mana dia memakai tongkat yang dikepit di ketiak kirinya.
Meskipun dalam keadaan
sakit tapi dendamnya terhadap Jayengseno, terutama pemuda gondrong yang telah
membuat dia cidera
demikian rupa, telah menimbulkan semangat balas dendam yang menyala dalam
dirinya: Oleh Sri Baginda dia
tetap diberi kepercayaan untuk menjadi pemimpin kelompok ini dan bertugas
mencari dan mengejar kembali
Jayengseno. Bagi Kudopati, Jayengseno tidak menjadi masalah. Yang menjadi persoalan besar
justru si gondrong
yang ada bersamanya. Agar dia tidak tersandung kedua kalinya maka Kudopati
memasukkan ke dalam
kelompoknya seorang tokoh silat istana bernama Narowongso yang terkenal dengan
senjatanya berupa pecut
yang bisa mengeluarkan api. Di samping itu Kudopati juga meminta bantuan gurunya
seorang kakek sakti dari
gunung Merapi. Dari kakek yang bernama Kunto Ismoro inilah dia mendapat
pengajaran ilmu tenaga serta
pukulan-pukulan sakti. Kudopati merasa penasaran karena belum sempat
mengeluarkan pukulan-pukulan
saktinya yang jitu dia sudah keburu dipecundangi oleh pemuda berambut gondrong
yang sampai saat itu tidak
diketahui siapa nama atau gelarnya.
Kelompok kedua berjumlah hanya sepuluh perajurit, seorang perwira, di pimpin
oleh seorang Tumenggung berkepandaian tinggi bernama Gelung Kamiyoso. Kelompok kedua ini
ditugaskan untuk
mencari dan menangkap abdi dalem Kamio.
Disamping itu Patih Jolosengoro juga menyebar puluhan mata-mata untuk ikut
membantu mencari
Jayengseno, si gondrong dan Kamio.
Sebelum dua rombongan itu berangkat, Patih Jolosengoro sempat menyampaikan pesan
pada pimpinan kedua kelompok itu .
Sumber buku: Pendekar212
Sumber Cover: kelapalima
Scanning: kiageng80
Ebook: kalibening
"Sri Baginda sudah hilang kesabarannya. Kalian harus menemukan jubah Kencono
Geni, paling tidak
mengetahui dimana beradanya. Sri Baginda juga berpesan, kalau keadaan memang
tidak memungkinkan lagi
maka Jayengseno dan Kamio boleh langsung kalian habisi di tempat...."
Maka dengan membekal tugas dan pesan itu kedua kelompok tersebut segera
meninggalkan kotaraja.
Sampai saat itu lenyapnya Ayu Purini dari kawasan keraton masih belum diketahui
siapapun, kecuali ibunya
yang juga merupakan selir Raja. Sang ibu meskipun tidak tahu apa yang terjadi
dengan puterinya itu namun
berusaha merahasiakan lenyapnya Purini karena dia kawatir nasib anak
perempuannya itu bisa-bisa sama
dengan yang dialami Kamio. Apalagi dia mengetahui bahwa dari sekian banyak
saudara sebapak, yang paling
erat hubungannya adalah Ayu Purini dengan Raden Jayengseno.
Meskipun sadar kalau Jayengseno tak bakal ada lagi di reruntuhan candi di muara
Kali Opak, namun
Kudopati memutuskan untuk pertama kali menuju ke tempat itu guna menghancurkan
sisa-sisa reruntuhan
yang pernah dijadikan tempat bersamadi oleh Jayengseno. Paling tidak satu tempat
persembunyian putera
sulung Sri Baginda itu telah dimusnahkan.
HARI ITU ADALAH hari kedua ketiga orang itu meninggalkan Kali Opak, bergerak
menuju ke barat
laut melintasi rimba belantara kecil lalu menyusun kaki sebuah bukit. Tujuan
mereka adalah sebuah dusun
kecil di dekat candi Mendut.
Sepanjang jalan Jayengseno bersikeras untuk segera kembali ke kotaraja. Dia
merasa perlu menjernihkan suasana. Fitnah yang dicorengkan kepada dirinya harus dibersihkan.
Tetapi Wiro dan Ayu
Purini menasihati agar maksud itu ditunda dahulu.
"Suasana di kotaraja, terlebih di keraton pasti masih diselimuti kegegeran dan
kemarahan. Sulit mengetahui mana kawan dan mana lawan. Apalagi Sri Baginda sudah jatuh
dalam pengaruh dan hasutan.....," berkata Wiro.
"Pendapat sahabat kita ini benar adanya mas Jayeng," menimpali Ayu Purini. Saat
itu dia tidak lagi
mengenakan topeng tipisnya. "Terlalu berbahaya. Kita teruskan saja perjalanan ke
Mendut sambil menyirap
kabar. Sampai di Mendut kita suruh orang-orang kepercayaan kita untuk
menyelidiki perkembangan di
keraton...."
Jayengseno menarik nafas dalam. "Pikiran dua kepala mungkin memang lebih baik
dari pada satu kepala," katanya.
"Baiklah, aku mengikuti saran kalian."
Ketika akan memasuki hutan belantara kecil di utara muara Kali Opak tiba-tiba
tampak ada seorang
berkuda memacu tunggangannya dengan cepat ke arah mereka. Ketiga orang itu
menyelinap ke balik pohon. Si
penunggang kuda rupanya memang telah melihat mereka karena dia justru
mengarahkan kudanya ke jurusan
pohon. Sewaktu penunggang kuda ini hanya tinggal beberapa puluh meter saja lagi,
ternyata orang itu
berseragam abdi daiem keraton.
Jayengseno segera keluar dari balik pohon. Begitu si penunggang kuda sampai di
hadapannya dia Nurseta Satria Karang Tirta 8 Jaka Galing Karya Kho Ping Hoo Suling Naga 11

Cari Blog Ini