Ceritasilat Novel Online

Peti Mati Dari Jepara 1

Wiro Sableng 059 Peti Mati Dari Jepara Bagian 1


BASTIAN TITO PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
WIRO SABLENG PETI MATI DARI JEPARA
Sumber: Kitab 212 (Bastian Tito)
EBook: syauqy_arr@yahoo.co.id
Weblog, http://hanaoki.wordpress
WIRO SABLENG PETI MATI DARI JEPARA
DI LAUT OMBAK BERGULUNG DAHSYAT BERPACU
MEMECAH MENUJU PANTAI. LANGIT MALAM TAMPAK
HITAM DISAPUT AWAN GELAP DAN TEBAL. ANGIN
MENDERU KENCANG MENIMBULKAN SUARA ANEH
MENGGIDIKKAN. Di daratan Jepara udara malam dingin mencucuk.
Kesunyian dipecah oleh suara desau daun-daun
pepohonan tertiup angin yang datang dari arah laut. Hujan rintik-rintik mulai
turun. Di kejauhan terdengar suara lolong anjing bersahut-sahutan. Malam itu
adalah malam Jum'at Keliwon!
Di antara desau angin malam dan gemerisik suara daun-daun pepohonan yang
sesekali dirobek oleh lengking lolongan anjing, dari arah timur Jepara terdengar
gemeretak suara roda-roda kereta mengiringi derap kaki-kaki kuda yang
menariknya. Dalam kegelapan malam, sebuah kereta, laksana
kereta hantu meluncur keluar dari sebuah lembah yang rapat oleh pohon-pohon
besar dan semak belukar. Kereta terbuka ini bergerak perlahan tetapi pasti. Sais
yang mengendalikan dua ekor kuda penarik kereta agaknya sengaja bergerak lambat
perlahan. Orang ini mengenakan ikatan kepala tebal dari kain putih. Baju
putihnya yang tidak dikancing tersibak ditiup angin malam, membuat dadanya
tersingkap. Tiga deretan angka samar-samar tampak tertera di dada yang penuh
otot itu. 212. Pandangan matanya jarang berkesip. Wajahnya tampak keras menahan gejolak dendam
kesumat sakit hati.
Kedua orang tuanya dulu tewas akibat kejahatan
manusia-manusia durjana. Kini manusia-manusia seperti itu pula yang
menghancurkan kehidupan keluarga pamannya. Sumiati, saudara sepupunya diculik,
diperkosa ber-gantian secara keji dan tidak diketahui berada di mana.
Kakeknya menemui ajal di tangan seorang pengkhianat yang bersekutu dengan tiga
manusia dajal: Ganco Langit, Ganco Bumi dan Ganco Laut!
Kapan kejahatan akan berakhir di dunia ini" Apakah orang-orang dunia bersilatan
seperti dia yang selalu harus turun tangan sementara mereka yang berwenang dan
berkuasa seolah-olah buta mata dan buta hati tidak melihat dan merasakan semua
apa yang menyengsarakan rakyat" Malah secara diam-diam bersekutu dan menerima
hadiah dari persekutuan jahanam itu!
Memasuki mulut jalan yang menuju kota, Pendekar 212
Wiro Sableng semakin memperlambat lari dua ekor kuda penarik kereta. Malam ini
dia akan mulai melakukan satu pekerjaan besar dan berbahaya.
Di belakangnya di atas kereta yang terbuka, mendekam angker sebuah peti mati
sangat besar, berwarna hitam pekat.
Pada kayu penutup peti mati kelihatan deretan angka 212, ditera besar-besar
dengan cat putih. Angka-angka seperti itu juga terdapat pada tiap sisi peti
mati. Di atas peti mati hitam itu duduk Ken Cilik. Tidak seperti biasanya, saat itu
binatang ini sama sekali tidak mengeluarkan suara sedikitpun. Dia duduk tak
bergerak. Kedua matanya memandang ke depan. Seolah-olah
mahluk ini paham apa yang akan dilakukan Pendekar 212
Wiro Sableng, orang yang kini dianggapnya sebagai tuannya sejak Ranalegowo tewas
dibunuh orang-orang Ganco Item.
Kereta semakin jauh masuk ke dalam kota, Jepara diselimuti kesunyian. Kereta
bergerak menuju pusat kota dan akhirnya berhenti di pintu gerbang sebuah
bangunan besar yang tidak lain adalah gedung Kadipaten.
Saat itu Adipati Jepara sedang bertugas di selatan.
Karena itu penjagaan di gedung tidak seberapa ketat. Di pintu gerbang sama
sekali tidak ada pengawal. Satu-satunya pegawai tampak tidur mendengkur dekat
kaki tangga gedung.
Pendekar 212 memasang telinganya. Lalu memandang berkeliling. Sepi, tak ada
sesuatupun yang bergerak. Wiro tepuk pinggul dua ekor kuda penarik kereta.
Kedua binatang ini melangkah perlahan. Kereta bergerak melewati pintu gerbang
lalu berhenti di depan tangga, tak berapa jauh dari sebuah arca.
Dari lantai kereta Wiro mengambil sebuah potongan kayu. Benda ini dilemparkannya
ke arah pengawal bermuka bopeng yang tertidur mengorok. Potongan kayu itu tepat
jatuh dan masuk ke dalam mulut pengawal yang menganga.
Sesaat masih terdengar suara dengkur pengawal itu, lalu diam. Menyusul suara
seperti tercekik. Kemudian tampak pengawal itu menggapai-gapai kelagapan. Sadar
ada sesuatu di dalam mulutnya, cepat-cepat dia me-muntahkan. Potongan kayu
melesat dari dalam mulutnya, jatuh ke dekat kakinya. Dengan rasa tak percaya,
penuh heran pengawal ini mengambil potongan kayu itu.
"Edan!" rutuknya. "Bagaimana kayu ini bisa ada dalam mulutku..."
Justru pada saat memaki itulah pengawal ini baru menyadari kalau di depannya ada
sebuah kereta di tarik dua ekor kuda besar. Di atas kereta duduk tak bergerak
seorang pemuda berambut gondrong, berikat kepala kain putih. Lalu pengawal ini
jadi mengkeret ketika matanya membentur peti mati besar di atas kerta. Tak
pernah dia melihat peti mati sebesar dan seangker itu. Seekor monyet duduk di
atas peti mati itu, memandang dengan sepasang matanya yang berkilat-kilat
walaupun dalam kegelapan malam.
Si pengawal menggosok kedua matanya beberapa kali.
Dia mengira tengah bermimpi. Ketika kereta dan saisnya tetap terpampang di
depannya sadarlah pengawal ini kalau dia tidak bermimpi. Tiba-tiba saja dia
ingat bahwa malam itu adalah malam Jum'at Kliwon!
"Kereta hantu!" itu kini yang terpikir dalam benak si pengawal. Kuduknya
mendadak sontak menjadi dingin.
Segenap persendiannya jadi bergetar. Dia berusaha berdiri, tapi pandangan mata
sais kereta membuatnya laksana di pantek ketangga batu dimana dia duduk saat
itu! Dalam keadaan seperti itu pengawal ini coba memperhatikan kaki-kaki dua ekor
kuda penarik kereta. Semua kaki-kaki binatang itu ternyata menginjak tanah.
Pertanda bahwa yang datang bukanlah setan atau hantu. Hal ini membuat
keberaniannya pulih kembali.
"Orang jelek! Kau pengawal yang bertugas di gedung Kadipaten ini"!" Pendekar 212
Wiro Sableng bertanya dengan suara garang.
Dipanggil dengan sebutan orang jelek membuat pengawal itu marah.
"Orang di atas kereta! Mulutmu kurang ajar! Apa keperluanmu datang ke gedung
Kadipaten malam-malam.
Hanya setan yang masih gentayangan malam-malam
begini! Kau ini manusia atau setan"!"
"Dua-duanya!" jawab Pendekar 212 dari atas kereta.
Tangan kanannya memutar-mutar cambuk panjang yang dipegangnya hingga
mengeluarkan suara berdesing berulang-ulang.
Mendengar jawaban Wiro sesaat pengawal itu jadi melengak. "Jangan berani mainmain dengan pengawal Kadipaten!" kertaknya. Lalu dengan marah tangannya
digerakkan ke pinggang untuk mencabut goloknya.
Cambuk di tangan Wiro melesat. Ujung cambuk ini cepat sekali telah melibat
pergelangan tangan si pengawal, terangkat begitu rupa hingga dia tidak bisa
menggerakkan-nya untuk menghunus senjatanya. Pengawal ini jadi ter-nganga dan
berubah tampangnya.
"Kalau kau cabut golokmu, aku akan jadi setan yang akan menjirat batang
lehermu!" Wiro gerakkan tangannya. Ujung cambuk yang melibat lengan pengawal terlepas.
Ancaman Wiro tadi membuat si pengawal menjadi ragu.
Tetapi begitu jiratan pada lengannya lepas, dia malah membentak.
"Setan manusia! Jangan kau berani membuat keonaran di gedung Kadipaten!"
"Siapa yang membikin onar! Bukan kau duluan yang hendak mencabut goiok
menyerangku?"
"Setan manusia! Kau memasuki tempat ini tanpa izin-ku!" Wiro menyeringati.
"Setan manusia tidak perlu minta izin pada manusia jelek sepertimu!" sahut Wiro.
"Aku datang mencari seorang Bintara bernama Anggoro! Aku tahu dia ada di dalam
gedung. Lekas panggil ke mari!"
"Bintoro Anggoro atasanku! Keperluan apa kau mencari-nya"!"
"Tak perlu banyak tanya. Kau panggil saja Bintara itu.
Cepat!" "Bintoro Anggoro sedang tidur."
"Kalau begitu bangunkan!"
Pengawal bopeng itu terdengar menggrendeng. "Kurang ajar! Kau ini serta manusia
berotak miring rupanya! Lekas minggat dari hadapanku! Atau kau akan menyesal!"
Untuk kedua kalinya pengawal ini menggerakkan
tangannya ke pinggang. Sekali ini dia sempat mencabut senjatanya. Namun sebelum
dia bergerak lebih jauh cambuk di tangan kanan Pendekar 212 kembali berkelebat
dan tahu-tahu batang lehernya sudah terjirat kencang.
"Kau panggil Anggoro atau kuremuk batang lehermu!"
mengancam Wiro.
Lidah pengawal yang lehernya terjirat cambuk itu mulai menjulur. Matanya mulai
mendelik. Goloknya terlepas jatuh. Tersendat-sendat terdengar suaranya.
"Ja...jangan. Aku...aku akan panggil Bintoro Anggoro.
Aduh...Lepaskan..."
Wiro lepas dan jiratan cambuk. "Katakan pada atasan-mu itu bahwa Malaikat Maut
menunggunya di tempat ini!"
"Malaikat...malaikat Maut?"
"Ya, Malaikat Maut!" jawab Pendekar 212. "Lekas panggil Bintara itu!" hardiknya
kemudian. Sambil pegangi lehernya yang masih sakit akibat jeratan cambuk tadi, pengawal
ini lari masuk ke dalam.
Saat itu sesosok tubuh mendatangi dari ruang dalam, langsung memapasi.
"Pengawal! Ada apa kau bergegas memasuki gedung! Tugasmu berjaga-jaga di luar!
Tadi kudengar kau seperti bicara dengan seseorang! Ada siapa di luar sana"!"
Ucapan dan pertanyaan yang beruntun ini membuat si pengawal jadi tergagap
sesaat. "Hai! Ada siapa di luar?" bentak orang tadi.
"Malaikat Maut!" si pengawal akhirnya menjawab.
Orang yang tadi bertanya kertakan rahang. "Malam-malam begini aku tidak suka ada
orang bicara main-main denganku!"
"Maafkan aku Perwira. Tapi di luar sana memang ada seorang mengaku Malaikat
Maut. Dia mencari Bintoro Anggoro."
Orang yang dipanggil Perwira itu menatap ke arah pintu depan yang terbuka. Lewat
pintu dia melihat di luar sana ada dua ekor kuda, sebagian ujung kereta lalu
seorang pemuda duduk di atas kereta. Dari tempatnya berdiri perwira ini tidak
dapat melihat peti mati besar di bagian belakang kereta. Namun dia sempat
melihat seekor monyet duduk menangkring di atas bahu kiri pemuda yang bertindak
selaku sais kereta itu.
"Datang malam-malam begini, membawa seekor monyet. Tamu aneh..." kata si perwira
daiam hati. Lalu dia berpaling pada pengawal tadi. "Kau teruskan memberi tahu
Bintoro Anggoro. Aku akan menemui tamu tak diundang itu." Perwira tadi lalu
cepat-cepat menuju ke bagian depan gedung Kadipaten. Langkahnya serta merta
terhenti begitu dia melihat apa yang ada di atas kereta, di belakang pemuda yang
duduk memegang cambuk.
"Peti mati. Besar sekali..." kata perwira ini dalam hati.
Lalu dia berpaling menatap heran pada pemuda di atas kereta. Beberapa saat
kemudian dia menegur.
"Aku Ario Gelem, Perwira Muda Kadipaten Jepara."
Wiro angguk-anggukkan kepala. Matanya memperhatikan Ario Gelem tapi tidak
berkata apa-apa.
Sikap Pendekar 212 itu membuat sang perwira merasa tidak enak. Maka diapun
melanjutkan kata-katanya.
"Saudara, kau memasuki kawasan gedung Kadipaten malam-malam begini. Membawa
seekor moyet dan sebuah peti mati besar. Apa keperluanmu"!"
"Aku Malaikat Maut! Datang mencari Bintoro bernama Anggoro untuk minta
pertanggungan jawab!" jawab Wiro.
Perwira muda itu terkesiap sesaat. Dia mengusap dagunya beberapa kali. Setelah
bergumam dia berkata,
"Aku tidak tahu apakah saat ini aku berhadapan dengan orang gila atau apa. Tapi
kuharap jangan berani bicara main-main. Lekas pergi dari sini!"
"Malaikat Maut tidak ada yang gila! Ingat hal itu baik-baik Perwira!" kata Wiro
pula sambil menyeringai. "Aku datang untuk minta nyawa Bintoro Anggoro!"
Ario Gelem hendak tertawa mendengar kata-kata itu.
Namun ketika dilihatnya wajah Pendekar 212 memancarkan sikap dingin dan kedua
matanya memancarkan sinar maut, bahkan seringainya juga menebar hawa kematian,
perwira ini jadi tercekat juga.
"Ada urusan spa kau dengan bawahanku itu?" tanya Perwira Muda Ario Gelem.
"Kau akan dengar sendiri kalau dia sudah muncul di sini!" jawab Wiro.
Dua orang melangkah keluar dari ruangan dalam. Di sebelah belakang adalah
pengawal muka bopeng tadi sedang di depannya seorang lelaki muda yang hanya
mengenakan sehelai pakaian tidur. Di tangan kanannya dia membawa sebilah pedang.
"Anggoro, orang ini mencarimu. Kau kenal dia?" berkata Ario Gelem.
Bintara itu memandangi wajah Wiro sesaat lalu meng-gelengkan kepala.
Saat itu Ken Cilik yang ada di bahu Pendekar 212
keluarkan suara pekikan tiada henti. Kedua matanya melotot memandang Bintoro
Anggoro. Binatang ini tiba-tiba melompat menerkam kepala Bintara itu.
"Monyet sialani Kau minta kugebuk!" maki Anggoro.
Tinju kanannya dihantamkan ke kepala Ken Cilik.
Diatas kereta Pendekar 212 gerakkan tangan kanannya sedikit. Serangkum angin
deras menerpa ke arah dada Anggoro. Bintara ini terjajar setengah langkah. Hal
ini menyebabkan jotosannya ke arah kepala Ken Cilik tak berhasil menemui
sasaran. "Ken Cilik! Kembali!" Wiro memanggil.
Monyet coklat itu menjerit beberapa kali, menjatuhkan diri ke lantai lalu
melompat-lompat ke atas punggung salah seekor kuda penarik kereta. Dari sini Ken
Cilik melompat kembali ke atas bahu Wiro. Wiro usap-usap punggung binatang ini
seraya berkata, "Tenang sahabatku. Aku tahu kau sudah mengenali si pembunuh itu.
Tenang..."
Ketika tadi Wiro menggerakkan tangan melepas pukulan tangan kosong yang
mengandung tenaga dalam untuk menyelamatkan Ken Cilik dari pukulan Anggoro,
Perwira Muda bernama Ario Gelem itu sempat melihat gerakan ini.
Dalam hati dia segera memaklumi kalau pemuda gondrong di atas kereta adalah
seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Perwira ini berpaling pada Anggoro lalu
berkata. "Dia mengaku bernama Malalkat Maut. Punya urusan denganmu!" sambung Ario Gelem.
"Orang gila! Katakan apa kepentinganmu membangun-kanku malam-malam begini"!"
membentak Anggoro.
"Sekitar sepuluh hari lalu kau membunuh seorang tua bernama Kioro Mertan di
sebuah hutan dekat Kudus.
Benar"!"
Paras Bintoro Anggoro berubah. Sesaat dia melirik pada Perwira Muda di
sampingnya lalu menghardik ke arah Wiro.
"Pertanyaan gila apa yang kau ajukan ini"!"
Paras Wiro tidak bergeming. "Aku hanya ingin mendengar apa yang kukatakan tadi
benar atau tidak!"
Anggoro tidak menyahut. Tangan kanannya menggenggam pedangnya kuat-kuat.
"Memang benar!" tiba-tiba Anggoro menjawab. "Sepuluh hari lalu aku membunuh
seorang lelaki tua bernama Kioro Mertan! Tapi dia adalah kaki tangan gerombolan
Ganco Item!"
"Bintoro Anggoro! Kau bukan saja pandai membunuh dengan pedangmu tapi juga
pandai bersilat lidah memutar balik kenyataan!"
"Bangsat! Apa maksudmu!"
"Orang tua korban pembunuhan kejimu itu adalah kakekku. Dia adalah juga mertua
dari Rana Legowo pamanku yang menjadi kepala desa Jatingaleh. Gerombolan Ganco
Item menyerbu desa, membakari rumah penduduk, merampok dan membunuh. Ketika
Kioro Mertan melakukan pengejaran kau secara keji membunuhnya!"


Wiro Sableng 059 Peti Mati Dari Jepara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tidak segila itu membunuh orang! Kioro Mertan pantas mati karena dia memang
kaki tangan gerombolan Ganco Item!"
"Bukan kakekku itu yang jadi kaki tangan gerombolan Ganco Item. Tapi kau! Kau
menerima sejumlah uang untuk persekutuan bejatmu dengan manusia-manusia durjana
itu!" "Kurang ajar! Pembohong besar! Fitnah jahat!" teriak Bintoro Anggoro lalu
menghunus pedangnya dan langsung menyerbu Wiro yang masih duduk di atas kereta.
Wiro putar tangannya. Cambuk panjang berkelebat di udara mengeluarkan suara
keras, menghantam ke arah muka Anggoro. Bintara ini terpaksa pergunakan
pedangnya yang tadi dipakai membacok untuk menangkis. Cambuk dan pedang saling
beradu. Ujung cambuk dengan cepat melilit badan pedang. Tapi dengan cerdik
Bintara ini tarik pedangnya kuat-kuat hingga cambuk putus menjadi beberapa
potongan. "Kau pasti kaki tangan Ganco Item! Kau juga pantas kuhabisi saat ini!" teriak
Bintoro Anggoro. Kembali dia menyerbu Wiro yang saat itu masih tetap duduk tak
bergerak di bagian depan kereta sementara dua ekor kuda penarik kereta mulai
gelisah sedang Ken Cilik mulai memekik-mekik.
Pedang menderu. Wiro miringkan pinggangnya yang jadi sasaran Brett! Pakaian
putihnya masih sempat disambar ujung pedang. Ketika Anggoro berusaha membuat
gerakan membalik untuk membacok kedua kalinya, Pendekar 212
mendahului dengan menghunjamkan kaki kanannya ke dada Bintara ini.
Anggoro memekik keras. Tubuhnya terpental empat langkah. Pedangnya lepas, mental
ke udara. Ketika jatuh kembali, Wiro sudah ulurkan tangan dan menangkap pedang itu.
"Dengan pedang ini dulu kau membunuh kakekku!
Dengan pedang ini pula nyawamu akan kuhabisi!" kata Wiro masih dari atas kereta.
Sementara Anggoro tampak berdiri terbungkuk-bungkuk sambil pegangi dadanya yang
serasa pecah. "Bintoro Anggoro! Sebelum kau mati, jawab dulu satu pertanyaanku!
Gerombolan Ganco Item menculik anak gadis kepala desa Jatingaleh! Kau pasti tahu
ke mana mereka membawanya! Kau hanya punya waktu satu
kejapan mata!"
"Tunggu!" Tiba-tiba Perwira Muda bernama Ario Gelem berseru. Dia maju dan tegak
antara kereta dengan Anggoro, "Saudara! Apapun urusanmu dengan bawahanku!
Tidak berarti kau bisa bertindak seenaknya! Aku yakin Bintoro Anggoro punya
cukup bukti-bukti bahwa Kioro Mertan adatah kaki tangan gerombolan Ganco Item.
Dia membunuh orang tua itu dalam menjalankan tugas!"
"Tugas" Apakah kau yang memberikannya tugas itu Perwira Muda" Kau tak perlu
menyebut seribu bukti. Aku tahu siapa kakekku! Tanyakan pada bawahanmu itu
berapa uang yang didapatnya rnenjadi kaki tangan Ganco Item! Ada perajuritperajurit Kadipaten yang menjadi saksi hidup! Adalah tolol kalau kau tidak
mengetahui siapa sebenarnya anak buahmu yang satu ini!"
Merah padam wajah Ario Gelem.
"Siapa dia nanti bisa kuperiksa. Sekarang harap kau segera tinggalkan tempat
ini!" kata Perwira Muda itu pula.
Wiro menyeringai. "Aku tidak akan meninggalkan tempat ini tanpa jazad kotornya!"
jawab Pendekar 212. Lalu tangan kanannya menarik sebuah palang kecil di bagian
kanan kereta. Terdengar suara berkereketan. Penutup peti mati hitam secara aneh
bergerak membuka.
Tampang Bintoro Anggoro menjadi pucat mengkerut.
Wiro melompat turun dari atas kereta. Tapi gerakannya dihalangi oleh Ario Gelem.
"Kau membuat aku kehabisan kesabaran Perwira Muda!" ujar Wiro.
"Tinggalkan tempat ini! Itu perintahku!"
"Persetan dengan perintahmu! Aku bukan bawahanmu!"
"Kalau begitu kau minta digebuk!" mengancam Ario Gelem.
"Perwira tolol! Kau makan dulu ini!" teriak Wiro marah.
Lalu tangan kanannya menyambar ke dada Ario Gelem.
Perwira ini cepat menghindar sambil memukul lengan Pendekar 212 dari bawah. Lalu
terdengar Ario Gelem mengeluh. Perwira ini mundur sambil pegangi lengan kanannya
yang saat itu tampak bengkak kemerahan. Sambil menahan sakit, dengan beringas
Ario Gelem kerahkan tenaga dalam lalu lepaskan satu pukulan setelah terlebih
dahulu merapal satu aji kesaktian.
Biasanya dia jarang mengeluarkan ilmunya ini tetapi setelah bentrokan tadi dan
sebelumnya dia telah pula menyaksikan bagaimana Wiro melepaskan tenaga dalam
yang dapat membuat Anggoro terjajar, maka dia lalu menghantam sambil kerahkan
tenaga dalam. Dua kuda penarik kereta meringkik keras. Monyet di atas bahu Wiro ikut memekik
lalu melompat ke atas penutup peti mati yang telah terbuka.
Wiro merasakan ada hawa yang sangat dingin menghantam ke arahnya. Dia cepat
menghindar sambil siapkan tangan kiri untuk menangkis serangan lawan dengan
pukulan tangan kosong pula. Tapi begitu dia kerahkan tenaga dalam, hawa dingin
yang datang menyerbu mendadak berubah menjadi hawa sangat panas! Perubahan
secara mendadak dari dingin ke panas ini membuat Wiro merasakan sekujur tubuhnya
seperti disengat.
Jika diikutinya nafsu amarahnya saat itu ingin saja dia melepas pukulan sinar
matahari. Namun karena lebih mementingkan balas dendamnya terhadap Anggoro maka
Wiro cepat keluarkan ilmu silat Orang Gila yang dipelajari-nya dari Tua Gila di
Pulau Andalas. Tubuhnya sempoyongan hebat seperti hendak roboh. Tangan kanannya
yang memegang pedang milik Anggoro di angkat ke atas. Untuk sesaat senjata itu
tampak bergoyang keras akibat terjangan angin pukulan Ario Gelem. Perwira ini
sendiri tampak terkejut ketika melihat bagaimana pedang itu secara aneh bergerak
kian kemari lalu tiba-tiba sekali menyusup di antara angin pukulannya dan
menusuk ke arah perutnya!
Sambil berseru keras Ario Gelem terpaksa melompat mundur langsung cabut golok di
pinggangnya. Trang! Terdengar suara berdentrangan ketika golok di tangan Ario Gelem dan pedang di
tangan Wiro saling bentrokan.
Wiro merasakan tangannya bergetar keras. Ario Gelem merasa bahwa dia memiliki
tenaga luar dan tenaga dalam yang lebih ampuh dari lawannya. Langsung saja
Perwira Muda ini hendak kirimkan satu bacokan ke bahu lawannya.
Tapi alangkah kagetnya dia ketika disadarinya dia tidak lagi dapat menggerakkan
tangan kanannya yang mengacungkan golok itu.
Apa yang terjadi atas dirinya" Dicobanya mengangkat kaki kiri. Tak bisa. Kaki
kanan. Juga tak bisa. Tangan kiri.
Sama saja. Astaga! Ternyata dia telah berada dibawah pengaruh satu totokan yang
hebat! Sekujur tubuhnya tak bisa digerakkan lagi. Dia tegak seperti patung yang
tengah mengacungkan senjata!
"Perwira tolol! Seharusnya kau menghukum bawahan seperti ini! Bukan malah
melindunginya!"
"Kalau kau berani melakukan sesuatu terhadap Bintara itu, aku akan mencarimu
sampai dapat dan menghukum-mu!"
Wiro tertawa mendengar ucapan Ario Gelem itu. "Hukum hanya berlaku untuk orangorang tolol sepertimu!" kata Pendekar 212. Lalu dia melangkah mendekati Anggoro
yang saat itu berdiri dalam keadaan ketakutan setengah mati. Ken Cilik menjerit
keras. Monyet ini tiba-tiba melompat ke arah Bintara itu, mencengkeramkan kukukukunya di bahu lalu menghunjamkan taringnya di leher Anggoro. Bintara ini
menjerit kesakitan Darah mengucur dari luka-luka kecil di bahu dan lehernya.
"Ken Cilik! Lepaskan orang itu! Dia harus mati dengan cara lain!" kata Wiro
seraya angkat tangan kanannya yang memegang pedang.
Ken Cilik memekik keras lalu melompat ke atas bahu Wiro.
"Apa yang hendak kau lakukan padaku..."!" tanya Anggoro dengan suara gemetar.
"Ke mana gerombolan Ganco Item membawa anak gadis Ranalegowo"! Jawab!"
"Aku...aku tidak tahu. Tapi gerombolan itu kudengar menuju ke selatan.
Mereka...mereka..."
"Mereka apa"!" bentak Wiro. Tangan kirinya menjambak rambut Anggoro.
"Mereka...mereka hendak merampok benda-benda pusaka Keraton Demak yang disimpan
di Mesjid Besar..."
Wiro lepaskan jambakannya. Dia berpaling ke arah Ario Gelem. "Perwira, kau
dengar sendiri ucapan itu keluar dari mulutnya. Kalau bawahanmu ini bukan kaki
tangan gerombolan Ganco Item, bagaimana dia tahu apa yang akan dilakukan orangorang itu"! Lalu apakah dia pernah melaporkan padamu gerakan dan rencana
kejahatan yang hendak dilakukan gerombolan Ganco Item itu"!" Wiro menyeringai.
"Aku tak perlu jawabanmu Perwira. Tapi sekarang kau punya otak untuk memikirkan
siapa anak buahmu ini sebenarnya!"
Paras Ario Gelem tampak kelam membesi.
Selagi Wiro bicara kepada Perwira Muda itu, Anggoro berusaha mencari kesempatan
untuk melarikan diri. Tapi Wiro bukannya tidak tahu. Baru saja orang ini sempat
memutar tubuhnya, Pendekar 212 dengan cepat menusukkan pedang milik Anggoro yang
ada di tangan kanannya.
Bintara itu terdengar menjerit keras. Ario Gelem ter-beliak menyaksikan kejadian
itu. Darah tampak mengucur dari lambung yang tertembus pedang. Anggoro hanya
mampu tegak sesaat Tubuhnya kemudian rebah dekat kaki tangga. Suara jeritannya
makin perlahan lalu berubah jadi erangan. Ketika nyawanya putus, Wiro cabut
pedang yang menancap di perut orang itu. Lalu mayat Anggoro dilemparkannya ke
dalam peti mati.
Wiro melompat ke atas kereta. Ken Cilik melompat pula ke atas punggung salah
seekor kuda penarik kereta.
Binatang ini memandang menyeringai ke arah Ario Gelem.
Di atas kereta Wiro mengambil sebuah kantong tebal berisi bubuk berwarna abuabu. Bubuk ini ditebarkannya di atas mayat Anggoro.
Itulah bubuk penangkal bau busuk yang didapat Wiro dari Haji Tan si penjual peti
mati. "Perwira Muda...," kata Pendekar 212 kemudian pada Ario Gelem. "Ingat baik-baik.
Jika kau berusaha mengejar-ku, peti mati ini masih cukup besar untuk ketambahan
mayatmu!" Ario Gelem tidak mengeluarkan suara apa-apa. Hanya matanya saja yang memandang
berapi-api pada Wiro, Pendekar 212 mendorong palang kayu di bagian kanan kereta.
Terdengar suara berkereketan ketika papan penutup peti mati yang bertuliskan
angka 212 itu bergerak meninggalkan halaman gedung Kadipaten.
Wiro usap kepala monyet yang kini duduk di sebelahnya.
"Baru satu Ken Cilik. Baru satu! Masih ada tiga mayat lagi akan mengisi peti
mati itu, kecuali jika ada yang mau ikutan! Mari, Ken Cilik. Kita akan mengambil
mereka di selatan..."
Ken Cilik menyeringai lalu membuka mulutnya lebar-lebar.
"Kwik...kwik...Kwiikkkkkl" Kera ini memekik dan melompat duduk di samping Wiro.
ANGIN BERTIUP KENCANG. HUJAN YANG TADI HANYA
TURUN RINTIK-RINTIK KINf MULAI MEMBESAR LALU
MENCURAH LEBAT. KERETA ITU MELUNCUR TERUS
SEPERTI TIDAK PERDULI AKAN LEBATNYA HUJAN DAN
PEKATNYA KEGELAPAN MALAM. BENAR-BENAR SEPERTI
KERETA HANTU! *** WIRO SABLENG PETI MATI DARI JEPARA
1 ENDEKAR 212 Wiro Sableng berdiri di depan
rerumpunan pohon bambu di puncak bukit.
PMemandang ke depan, jauh di bawahnya terhampar pemandangan yang sangat indah
berupa suatu pedataran yang dipenuhi petak-petak tanah persawahan.
Sebuah sungai kecil berair bening yang berkilauan ter-timpa sinar matahari pagi
membelah pedataran persawahan dan daerah perumahan penduduk. Sungal kecil itu
se-lanjutnya mengalir ke barat, melewati tambak-tambak IKan dan akhirnya
bermuara di laut biru.
Wiro memalingkan kepalanya ketika di ujung jalan kecil di bawahnya terdengar
suara hiruk pikuk. Seorang lelaki tua dilihatnya berjalan terburrogkuk-bungkuk.
Di tangan kanannya ada sebatang kayu kecil yang selalu dikibas-kibaskan. Sedang
didepannya berjalan beriringan sambil mengeluarkan suara riuh tiada henti
serombongan itik yang jumlahnya lebih dari tiga puluh ekor.
Wiro segera menuruni bukit, menghampiri orang tua pengangon itik dan melangkah
di sampingnya. Sesaat orang tua itu menoleh dan memandangi si pemuda lalu
seperti tak acuh dia terus saja berjalan.
"Bapak tua, "Wiro menegur. "Apakah yang di bawah sana itu kampung Jatingaleh?"
Yang ditanya berpaling sambii kerenyitkan kening dan kibas-kibaskan tongkat kayu
di tangan kanannya.
"Kampung katamu" Dulu memang hanya sebuah
kampung. Tapi kini telah berubah menjadi sebuah desa besar. Subur makmur dan
tentram. Penduduknya bercocok tanam, punya tambak dan sawah ladang. Juga banyak
yang jadi nelayan."
"Ah, aku tidak keliru datang ke tujuan," kata Wiro dalam hati dan penuh gembira.
Desa Jatingaleh. Dulu hanya merupakan sebuah kampung. Di situ menurut gurunya
dia punyai seorang paman bernarna Ranalegowo, Wiro benar-benar merasa gembira.
Sebentar lagi dia akan bertemu adik mendiang ayahnya.
Mungkin juga dengan saudara-saudara sepupunya. Dia tidak tahu pamannya punya
anak berapa. Selama ini dia merasa hidup sebatang kara, tidak kadang tidak
saudara. Namun hari ini dia akan bertemu dengan seorang paman, lalu seorang bibi
tentunya. Wiro ingat ucapan gurunya beberapa tahun lalu.
"Menurut apa yang kuketahui...," berkata Eyang Sinto Gendeng saat sebelum
melepas muridnya itu pergi. "Di kampung Jatingaleh dekat Jepara kau punyai
seorang paman. Namanya...nggg... kalau tak salah namanya Ranalegowo. Bila kau
punyai waktu sambangi dia. Itu tandanya kita orang Jawa yang tidak lupa dan
selalu menghormat pada orang tua."
"Kau bukan orang sini..." kata orang tua pengangon itik.
Wiro tersenyum. Saat itu dia sampai di sebuah telaga berair dangkai. Orang tua
tadi kembali mengibas-kibaskan tongkatnya, malah kini berteriak, "Mandi, ayo
mandi! Cari cacing sekenyang kalian! Hari ini kita harus pulang lebih cepat."
Puluhan itik itu tampak berserabutan hangar-bingar masuk ke dalam telaga. Ada
yang berenang berputar-putar sambil mengeluarkan suara memekakan telinga. Ada
yang mencelupkan kepalanya berulang kali. Tapi yang paling banyak adalah menyudu
dengan paruhnya di sepanjang tepi telaga, mencari cacing-cacing besar yang
memang banyak terdapat disitu.
Sambil duduk di sebatang tumbangan pohon orang tua pengangon itik mulai
menggulung sebatang rokok. Wiro ikut duduk di sebelahnya.
"Saya memang bukan orang sini," kata Wiro. "Saya ke mari untuk menyambangi
seorang paman. Adik ayah saya."
Orang tua itu menoleh sebentar. Dia tidak berkata apa-apa, seperti menunggu Wiro
bercerita lebih lanjut.
"Saya belum pernah bertemu dengan paman saya itu.
Saya tak kenal dia, dia tentu juga tidak kenal saya."
"Kau mencari seorang paman...," Pengangon itik nyalakan rokok yang barusan
digulungnya. "Mengapa tidak mencari orang tuamu sendiri?"
"Kedua orang tua saya sudah sejak lama meninggal,"
jawab Wiro. "Mereka dimakamkan jauh di tanah barat sana."
"Siapa paman yang kau cari itu?"
"Namanya Ranalegowo."
Orang tua yang hendak menghisap rokoknya itu nampak berubah parasnya. Rokoknya
tak jadi dihisapnya.
"Ranalegowo katamu, anak muda?" Wiro mengangguk.
"Dia adalah kepala desa kami sejak lebih dua puluh tahun lalu."
"Kalau begitu saya beruntung punya paman seorang kepala desa. Rumahnya tentu
besar, kudanya banyak, ternaknya tidak terhitung..."
Orang tua itu tertawa.
"Rumah kepala desa Jatingaleh memang besar. Tapi dia hidup sederhana. Dia tidak
memiliki sawah atau ladang berpetak-petak. Dia tidak memelihara ternak
berkandang-kandang. dia bekerja keras memang. Tapi bukan untuk menumpuk
kekayaan. Melainkan untuk memberi hidup yang berarti bagi keluarganya serta
membantu penduduk membangun desa."
Orang tua itu hisap rokoknya dalam-dalam, lalu berdiri dan memandang lekat-lekat
pada Wiro. Si pemuda jadi ikut-ikutan berdiri.
"Siapa namamu anak?"
"Wiro, "jawab murid Sinto Gendeng tanpa mau menambahkan Sableng karena dia
kawatir orang tua ini bisa punya pikiran macam-macam terhadapnya.
"Anak muda, tahukah kau siapa aku...?" bertanya orang tua bungkuk itu.
"Mana saya bisa menduga," jawab Wiro.
"Namaku Kioro Mertan. Aku adalah ayah mertua pamanmu! Anak perempuanku kawin
dengan Ranalegowo.
Mereka punya seorang anak tunggal yang kini sudah menjadi gadis jelita sebayamu.
Bernama Sumiati."
Mendengar kata-kata orang tua itu Pendekar 212 Wiro Sableng segera membungkuk
dalam-dalam.

Wiro Sableng 059 Peti Mati Dari Jepara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Gusti Allah memang Maha Besar!" kata Kioro Mertan sambil menepuk-nepuk bahu
Wiro. "Kalau begitu kita harus pulang ke desa sekarang jugal Agar kau lekas
bertemu dengan paman dan bibimu serta cucuku Sumiati itu!"
Orang tua itu memutar tubuhnya. Dengan muka penuh gembira sesaat dia berpaling
ke arah kejauhan di mana terlihat desa Jatingaleh dengan hamparan sawah yang
padinya mulai menguning.
Mendadak air muka Kioro Mertan berubah. "Ya Tuhan!
Apa yang terjadi di desa!"
Wiro berpaling dan memandang ke jurusan desa. Dari tempat mereka berdiri di tepi
telaga itu keduanya melihat asap hitam mengepul dari atap beberapa rumah.
Penduduk tampak berlarian kian kemari. Di beberapa jurusan desa kelihatan
penunggang-penunggang kuda bergerak dalam suasana yang onar. Sayup-sayup
terdengar pekik jerit di selingi oleh suara ringkik kuda.
"Kebakaran! Desa diamuk api!" teriak Kioro Mertan.
Wiro menatap tajam lalu berkata, "Kalau ada empat lima rumah yang berjauhan
dimakan api dalam waktu bersamaan, lalu penduduk tampak berlarian sambil
berteriak-teriak, itu bukan kebakaran. Rumah-rumah itu sengaja dibakar! Lihat
orang-orang yang menunggang kuda itu!" Kioro Mertan tidak mendengar lagi apa
yang dikatakan Wiro. Dia juga melupakan itik-itiknya yang ada di telaga.
Orang tua ini dengan seluruh tenaga yang biasa
dikumpulkannya lari menuruni bukit menuju ke desa.
Ketika Wiro dan dan orang tua itu sampai di Jatingaleh mereka hanya menemukan
sisa-sisa kejahatan biadab menghampar di antara reruntuhan rumah penduduk yang
masih dikobari api. Jerit tangis terdengar dimana-mana.
Tubuh-tubuh bergelimpangan. Ada yang sudah jadi mayat.
Ada yang masih meregang nyawa dengan badan penuh luka bekas bacokan atau
tusukan. Kioro Mertan menemukan rumahnya termasuk salah
satu yang musnah dimakan api. Dia berteriak-teriak seperti orang gila memanggilmanggil istrinya. Dekat sebuah lumbung padi yang telah berubah menjadi puingpuing hitam tergeletak sosok tubuh seorang perempuan tua. Ada guratan luka yang
sangat dalam di pelipis dan pipi kirinya.
"Bune Wini...!" teriak Kioro Mertan begitu melihat istrinya. Dia menghambur dan
jatuhkan diri, merangkul perempuan itu. "Apa yang terjadi bune. Katakan apa yang
terjadi...!" Dengan bajunya Kioro Mertan menyeka darah yang membasahi wajah
istrinya. Perempuan itu mengerang panjang tak tahan rasa sakit yang dideritanya. Kedua
matanya terpejam.
"Bune...! Bune...! Kau jangan mati bune! Kau tidak boleh mati!" teriak Kioro
Mertan sesenggukan. Tubuh istrinya diguncang-guncangnya berulang kali. Saat itu
setelah memandang berkeliling beberapa kali, Wiro ikut jongkok di samping kedua
orang itu. "Pake ...syukur kau datang..." terdengar suara sangat perlahan keluar dari mulut
perempuan tua itu. Dia bicara dengan kedua mata masih tetap memicing.
"Katakan apa yang terjadi bune. Bicara bune! Ya Tuhan!"
"Orang-orang jahat itu pakne. Gerombolan Ganco Item!
Mereka menyerbu desa. Membakar... merampok... Lekas ke rumah anak kita pakne ...
Aku kawatir..:" Ucapan perempuan tua itu hanya sampai di situ.
Kioro Mertan meraung dan mengguncang tubuh itu.
Wiro menyaksikan kejadian itu dengan tangan terkepal.
"Masih saja ada manusia-manusia jahat biadab ber-keliaran menimbulkan
malapetaka..." katanya geram.
"Bapak tua...," kata Wiro. "Mari saya bantu mendukung istrimu ke gubuk sana. Ada
balai-balai di depan gubuk.
Baiknya kita baringkan dia di atas balai-balai itu."
"Aku...aku masih sanggup mendukungnya sendiri,"
jawab Kioro Mertan. Dan orang tua bungkuk ini memang ternyata mampu mendukung
lalu membaringkan jenazah istrinya di alas balai-balai.
"Bapak, tunjukkan pada saya di arah mana rumah kepala desa menantumu itu."
Kioro Mertan menyeka kedua matanya yang basah. Lalu dengan menggigit bibir
diusapnya kening dan rambut putih istrinya.
Orang tua ini berpaling pada Wiro. Dengan suara bergetar dia berkata, "Ikuti
aku!" Rumah besar di tengah desa itu tenggelam dalam
korban api. "Rana! Rawini! Sum...! Dimana kalian"!" teriak Kioro Mertan. Tak ada sahutan.
Orang tua itu berteriak sekali lagi sementara Wiro melangkah cepat mengelilingi
rumah yang sewaktu-waktu siap ambruk itu, dari atas sebuah pohon dekat rumah
besar yang terbakar terdengar suara pekikan-pekikan aneh. Wiro berpaling. Tampak
seekor monyet ber-bulu coklat melompat-lompat kian kemari sambil memekik tiada
henti. Wiro alihkan pandangannya ke arah rumah yang terbakar kembali. Tiba-tiba
dibalik kobaran api dia melihat ada dua sosok tubuh saling berangkulan,
tersandar ke dinding bangunan.
Wiro tidak dapat memastikan apakah kedua orang yang saling berangkulan itu satu
lelaki, satunya perempuan masih berada datam keadaan hidup. Sulit untuk
menerobos masuk ke dalam bangunan yang tengah dilalap api itu. Namun Pendekar
212 masih dapat melihat satu celah kemungkinan. Dia siap melompat ketika tibatiba dilihatnya Kioro Mertan dari jurusan yang lain hendak melakukan hal yang
sama. Namun orang tua ini tidak menyadari kalau bagian atap dari arah mana dia
hendak melompat, akan segera roboh.
"Bapak Kioro! Jangan!" teriak Wiro memperingatkan.
Namun orang tua itu sudah nekad. Wiro terpaksa
bergerak memutar lalu melompat. Dia masih sempat mencekal lengan Kioro Mertan
sebelum orang tua itu melompat. Begitu tangannya memegang lengan, Wiro segera
menarik kencang-kencang. Orang tua itu terseret keras. Tubuhnya dan tubuh Wiro
jatuh saling tindih di tanah. Hanya sekejap setelah keduanya terhampar di tanah,
atap bangunan yang dikobari api jatuh ke bawah.
Api dan asap hitam menggebubu ke udara. Wiro menarik tubuh Kioro Mertan menjauhi
bangunan. Lalu ditinggalkan orang tua itu, lari ke samping kanan bangunan dan dari sini
menyusup ke dalam rumah.
Dikeliiingi oleh kobaran api, tidak mudah bagi Wiro untuk mengangkat dua sosok
tubuh itu. Doengan susah payah sementara ujung bajunya ada yang hangus dimakan
api sedang lengan kirinya tergurat benda lancip mengucurkan darah, Wiro akhirnya
berhasil juga membawa dua sosok tubuh itu keluar dari bangunan yang terbakar.
Baru saja dia membaringkan tubuh-tubuh itu di tanah terdepgar suara menggemuruh.
Seluruh bangunan besar itu roboh.
Api menderu ke atas beberapa tombak. Asap hitam di-barengi suara letupanletupan
ikut mencuat ke udara.
"Rana! Rawini anakku!" terdengar teriakan Kioro Mertan. Orang tua ini menghambur
ke tempat itu, langsung jatuhkan diri di antara dua sosok tubuh yang barusan
dibaringkan Wiro di tanah.
Wiro sendiri saat itu tegak tak bergerak sambil menekap luka berdarah di lengan
kirinya. Kedua matanya memperhatikan dua orang yang barusan ditolongnya. Yang
perempuan pasti itu Rawini, anak perempuan Kioro Mertan jelas tidak tertolong
lagi. Perempuan malang ini telah jadi mayat. Ada luka-luka dalam berbentuk aneh
dan mengerikan di beberapa bagian tubuhnya. Luka yang sama juga kelihatan di sekujur
tubuh suaminya yaitu Ranalegowo. Daging pada luka itu bukan saja kelihatan
ditoreh, tetapi juga seperti dikoyak dan tercongkel ke atas. Ranalegowo ternyata
masih bernafas walaupun keadaanya tak mungkin diselamatkan lagi.
Dari mulutnya terdengar suara erangan. Menyebut nama seseorang yang tidak begitu
jelas terdengarnya.
"Legowo...Legowo! Mana Sumi...! Mana cucuku..."!"
Kioro Mertan bertanya dengan suara keras. Orang tua ini membuka bajunya dan
menutupkannya ke tubuh Rawini yang penuh luka-luka mengerikan.
"Bapak.." terdengar Ranalegowo berucap.
"Orang-orang Ganco Item menculik Sumiati. Mereka juga merampok uang lumbung
desa! Tolong... Selamatkan.
Jangan pikirkan saya..."
"Jahanam!" kutuk Kioro Mertan.
Wiro berlutut dekat-dekat tubuh Ranalegowo.
"Paman..." berucap Wiro Sableng dengan suara tersendat.
Paras Ranalegowo mengernyit. Entah karena menahan sakit atau terkejut oleh suara
Pendekar 212 tadi. Yang jelas kedua matanya yang sejak tadi terpejam kini tampak
terbuka. Wiro melihat tak ada lagi sinar kehidupan pada kedua bola matanya itu. Wiro
memegang lengan Ranalegowo.
Ranalegowo masih bisa melihat walaupun pemandangannya tidak jelas lagi. Samar-samar dia melihat seorang pemuda berambut
gondrong disampingnya.
"Siapa kau yang memanggilku... pa... paman."
"Sa... Saya Wiro Saksana." jawab Wiro menyebut nama aslinya. "Saya putera
Ranawelang, kakak paman..."
Kembali wajah Ranalegowo kelihatan mengernyit. Dia coba berpikir tetapi dikala
maut hendak datang merenggut jiwanya itu otaknya tak lagi bekerja.
"Rana.... welang..." desisnya.
Wiro usap-usap kepala pamannya "Betul, saya anak Ranawelang, kakak paman yang
tinggal di barat." Semula Wiro hendak menotok bagian-bagian tertentu dari tubuh
Ranalegowo. Namun dilihatnya keadaan pamannya itu sulit untuk ditolong.
Maka dia hanya bisa memandangi dengan hati pedih.
Ketika hidup dia tak pernah mengenal orang ini. Namun dari air mukanya Wiro
mengetahui bahwa pamannya pekerja keras berhati baja. Seorang yang memiliki
sikap jantan dan jujur. Bersedia melupakan kesulitan sendiri untuk menolong
orang lain. "Dia seorang paman yang baik. Sayang aku hanya bisa melihatnya
sesaat saja. Apakah ayahku juga memiliki ciri-ciri seperti paman?" bertanya Wiro
dalam hati. Di atas pohon kembali terdengar pekik monyet coklat tadi. Kemudian terdengar
suara sesunggukan Kioro Mertan. Wiro segera tahu apa yang terjadi. Ranalegowo
adik ayahnya telah menyusul istrinya.
Dari atas pohon monyet coklat tiba-tiba memekik keras lalu melompat ke tanah dan
mengelilingi jenazah Ranalegowo.
"Ken Cilik hentikan jeritanmu! Aku tahu perasaanmu!
Kita semua merasa sangat kehilangan..." Terdengar Kioro Mertan berkata sambil
menutupi mukanya dengan kedua tangan.
"Ken Cilik..." kata Wiro dalam hati. "Pasti monyet coklat ini yang dimaksudkan
si orang tua. Mungkin binatang ini peliharaan pamanku. Binatang terkadang
memiliki perasaan lebih tajam dan lebih halus dari manusia."
Monyet itu tiba-tiba melompat ke atas bahu kanan Kioro Mertan. Orang tua ini
mengusap-usap punggungnya beberapa kali. Wiro jadi terkejut ketika Ken Cilik
tiba-tiba secara tak terduga melompat ke atas bahu kirinya lalu menjerit keras
membuat sakit telinga sang pendekar. Wiro tak berani bergerak, kawatir monyet
itu mencakar atau menggigitnya.
"Putus telingku!" kata Pendekar 212 dalam hati. Namun setelah menjerit lagi
beberapa kali monyet itu hanya bertengger diam di pundak Wiro, malah menyurukkan
kepalanya ke balik rambut gondrong sang pendekar sambil mengeluskan suara
seperti merintih. Walau dia jadi merinding kegelian tapi Wiro kini bisa menarik
nafas lega. Dicobanya mengusap kuduk dan punggung Ken Cilik.
Monyet ini semakin menempelkan tubuhnya ke bahu wiro. Binatang itu tampak jinak
namun tetap saja Wiro merasa agak merinding.
Wiro dan Kioro Mertan melihat kini banyak orang ber-kerumun berkeliling di
tempat itu. Mereka adalah penduduk desa yang baru saja mengalami malapetaka
hebat itu. Wajah mereka masih pucat membayangkan ketakutan.
Anak-anak menangis dalam dukungan ibu mereka. Semua menatap pedih pada Kioro
Mertan dan sosok jenazah kepala desa mereka beserta istrinya yang ikut jadi
korban. "Orang-orang jahat itu sudah pergi. Untuk sementara tak ada yang perlu
ditakutkan," Wiro coba menenteramkan.
"Bantu aku mengurus jenazah warga desa yang menjadi korban," berkata Kioro
Mertan dengan hati pedih. Lalu dia ingat sesuatu. Orang tua ini memandang
berkeliling. "Gerombolan rampok Ganco Item telah menculik Sumiati cucuku. Ada yang tahu ke
arah mana para penjahat melarikannya?"
Dua orang menunjuk ke jurusan tenggara.
Kioro Mertan mengangguk. "Memang ada kabar-kabar bahwa mereka bermarkas di
tenggara. Di sekitar hutan belantara dekat Kudus. Aku akan mengejar mereka ke
sana. Bahkan sampai ke perut bumi sekalipun!"
Penduduk desa yang tewas akibat keganasan gerombolan rampok Ganco Item berjumlah
enam belas orang. Sembilan letaki, lima perempuan dan dua orang anak-anak. Di
luar desa Jatingaleh di mana terletak daerah pekuburan kini kelihatan empat
belas kubur baru. Dua anak yang jadi korban dikubur satu dengan ibu masingmasing. Suasana hening mencekam. Di langit sang surya bersinar terik menyengat kulit.
Tapi agaknya tak seorangpun mau beranjak sampal akhirnya Kioro Mertan, orang
paling tua yang ada di tempat itu berkata.
"Kalian semua kembali ke desa. Lakukan apa saja untuk memperbaiki keadaan..."
Satu demi satu orang desa beranjak dari tempatnya.
Namun ada enam orang pemuda dan tiga orang lelaki baya tetap berada di pekuburan
itu. Salah seorang dari mereka berkata.
"Bapak Kioro. Kami tadi mendengar maksudmu hendak mengejar para penjahat. Kami
semua disini slap ikut ber-samamu melakukan pengejaran."
"Kalian semua orang-orang jantan yang gagah perkasa;"
kata Kioro Mertan dengan hati terharu. "Tapi kalian lebih diperlukan di desa
untuk membantu membangun rumah-rumah yang musnah. Biar aku sendiri yang mencari
manusia-manusia puntung neraka itu!"
Sembilan lelaki itu nampak kecewa mendengar ucapan Kioro Mertan. Sementara itu
Wiro sendiri dalam hati bertanya-tanya. "Orang tua bungkuk ini, dia siapakah dan
bisa mengandalkan apakah hingga berkata ingin mengejar sendiri para penjahat
yang telah menculik cucunya itu?"
Satu demi satu ke sembilan orang itu meninggalkan pekuburan. Ketika mereka hanya
tinggal berdua, Kioro Mertan berpaling pada Wiro lalu berkata.
"Pertemuan kita hanya sampai disini. Aku harus pergi mencari manusia-manusia
jahat itu. Aku akan kembali ke desa untuk mengambil kuda."
Lalu tanpa menunggu jawaban Wiro orang tua itu
melangkah ke jurusan dua buah kuburan baru yaitu kuburan anaknya dan menantunya.
Wiro mengikuti dari belakang.
*** WIRO SABLENG PETI MATI DARI JEPARA
2 I hadapan kedua kuburan itu Kioro Mertan
merenung beberapa lamanya. Wiro mengikuti dari
Dbelakang. Di hadapan kedua kuburan itu Kioro Mertan merenung beberapa lamanya. Kemudian
terdengar suara orang tua ini berkata.
"Nasibmu tidak beruntung, Wiro. Kau tak sempat menemui paman dan bibimu."
"Mungkin memang begitu takdir saya. Takdir kita semua."
Kioro Mertan tersenyum pedih. "Ini cobaan berat buat-ku. Terkadang kita manusia
bisa salah berpikir dan menjadi sesat dalam penderitaan. Mengapa Tuhan mengambil
begitu cepat orang-orang baik seperti menantuku dan anakku, penduduk desa yang
tidak berdosa. Sementara manusia-manusia jahat dibiarkan gentayangan melakukan
kekejaman tiada taranya..."
"Jangan berpikir seperti itu bapak. Salah-salah kita bisa jadi kehilangan iman
terhadap Gusti Allah," kata Wiro.
Kioro Mertan menarik nafas dalam.
"Selamat tinggal anak muda. Aku harus pergi."
"Bapak, tunggu dulu. Saya ingin mengatakan sesuatu,"
kata Wiro pula.
"Apa yang hendak kau katakan, Wiro?"
"Ranalegowo adalah pamanku. Istrinya adalah bibiku dan Sumiati putri mereka
adalah saudara sepupuku. Saya merasa punya kewajiban untuk menuntut balas. Mohon
dimaafkan. Mengingat usiamu yang sudah lanjut, maukah kau mewakilkan kepada saya
untuk melakukan pengejaran?"
Orang tua itu menatap Wiro lama sekali. Lalu dia berkata, "Kepolosan hati dan
keberanianmu sama dengan menantuku. Pasti ayahmu memiliki sifat jantan seperti
itu juga. Tetapi tidak anak muda. Urusan balas dendam ini adalah urusanku.
Usiaku memang tua tapi untuk menuntut balas soal umur tidak meniadi masalah.
"Saya mengerti bapak tua. Namun yang kau hadapi adalah segerombolan manusia

Wiro Sableng 059 Peti Mati Dari Jepara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

manusia jahat. Yang tidak segan-segan membunuh orang sekalipun perempuan atau
anak-anak."
"Kau betul. Siapa yang tidak kenal dengan gerombolan Ganco Item. Kejahatan dan
kekejaman mereka iebih ganas dari iblis..."
"Siapa sebenarnya penjahat-penjahat itu, pak tua?"
tanya Wiro. "Mereka terdiri dari tiga orang yang memegang pucuk pimpinan. Dua di antaranya
bersaudara yaitu Ganco Langit sang kakak, lalu adiknya Ganco Bumi. Yang ketiga
dikenal dengan nama Ganco Laut. Ketiganya berkulit hitam legam.
Itu sebabnya mereka menyebut diri Ganco Item. Mereka tidak punya tempat tetap.
Tapi ada kabar bahwa mereka suka bermarkas di sebuah hutan di timur Kudus.
Mereka bisa keluar masuk kota-kota di pesisir utara ini tanpa ada yang berani
menganggu..."
"Termasuk pasukan atau perajurit Kadipaten?" tanya Wiro.
"Jangankan pasukan Kadipaten. Balatentara dari Kota rajapun tidak berani turun
tangan..."
"Pasti ada apa-apanya."
"Itu bukan rahasia lagi. Ada kabar yang kusirap bahwa sebagian dari hasil
kejahatan mereka dikirimkan sebagai upeti kepada beberapa orang Adipati di
pesisir utara ini, juga dikirim pada pejabat-pejabat tertentu di Kotaraja! Lain
dari itu kabarnya mereka juga bekerjasama dengan komplotan lanun Tengkorak Darah
yang sering malang melintang di Laut Jawa."
"Bekerjasama bagaimana maksudmu, pak tua?"
"Bajak laut Tengkorak Darah menjual sebagian hasil bajakan mereka dengan harga
murah pada komplotan Ganco Item. Ganco Item tidak membayar dengan uang, tapi
menyerahkan segala kebutuhan makanan atau minuman bagi para bajak. Termasuk
perempuan-perempuan!"
Sampai di situ Kioro Mertan terdiam. Dia ingat pada cucunya yang diculik.
"Sumiati..." desisnya. "Aku harus melakukan pengejaran sekarang juga!"
Lalu tanpa berkata apa-apa lagi pada Wiro orang tua ini lari ke arah desa.
Sesaat Wiro perhatikan cara lari Kioro Mertan. Ada rasa heran, dalam diri
Pendekar 212 kini.
Orang tua bungkuk itu bukan lari seperti orang biasa.
Sebentar saja dia sudah lenyap di tikungan jalan di ujung pekuburan.
"Ah, orang tua itu pasti punya ilmu kepandaian. Larinya saja sebat sekali. Aku
telah menduga salah padanya.
Untung dia tidak tersinggung. Namun tak bisa kupercayai dia bakal mampu
menghadapi komplotan Ganco Item seorang diri. Aku harus menyertainya. Bukankah
dia bisa kuanggap sebagai kakek sendiri?" Serta merta Wiro tinggalkan pula
pekuburan itu. Tapi baru bergerak dua langkah tiba-tiba terdengar suara pekik-pekik keras.
Sebuah benda melayang ke arah Wiro. Mengira ada yang hendak membokongnya
Pendekar 212 segera hendak mengantam. Tapi hup!
Benda yang melayang itu hingga di bahu kirinya. Wiro berpaling. Dia melihat satu
kepala kecil, sepasang mata coklat yang bersinar-sinar lalu sebuah mulut yang
menyeringai memperlihatkan barisan gigi-gigi kecil putih dan runcing.
"Ken Cilik...! Kau mengejutkanku saja!" kata Wiro.
Monyet di atas bahu kiri Wiro menyeringai lalu memekik beberapa kali.
"Anak nakal! Apa kau mau ikut kemana aku hendak mencari manusia-manusia jahat
itu"!"
Monyet coklat itu memekik tiga kali.
"Bagus, kau mengerti apa yang aku bilang. Kau bisa membantuku. Paling tidak
mengenali tiga orang gembong Ganco Item itu."
"Kuik... kuik... kuik..." Ken Cilik kembali memekik.
*** WIRO SABLENG PETI MATI DARI JEPARA
3 I DALAM hutan belantara di sebelah timur Kudus
Ganco Langit menyambut kedatangan adiknya dan
DGanco Laut yang baru saja kembali dari penjarahan di Jatingaleh.
Begitu Ganco Bumi melompat turun dari kudanya,
Ganco Langit memeluk adiknya ini dan menepuk-nepuk bahunya.
"Bagus! Kau ternyata mampu bergerak sendiri! Satu pertanda bahwa kita semakin
kuat!" kata Ganco Langit.
Ganco Bumi tertawa sambil mengusap-usap dagunya yang ditumbuhi janggut kasar.
Ganco Langit melangkah mendekati Ganco Laut. Dia juga menepuk bahu kawannya ini
seraya bertanya, "Kalian tidak menemui kesulitan?"
"Sama sekali tidak. Pasukan Kerajaan tidak kelihatan mata hidungnya. Apalagi
pasukan Kadipaten." jawab Ganco Laut.
Ganco Langit tertawa gelak-gelak. "Mana mereka berani terhadap kita. Baru
melihatmu saja mereka sudah ter-kencing-kencing ketakutan. Kalaupun mereka tahu
kita hendak menuju satu sasaran, mereka sengaja menghindar ke jurusan lain,
pura-pura tidak tahu!" Ganco Langit tertawa lagi.
"Eh... banyakkah hasil kita kali ini?" Dia memandang berkeliling.
"Rejeki kita besar sekali hari ini Langit," menjawab Ganco Bumi si adik. "Apa
yang kita sangka tidak meleset.
Jatingaleh memang desa kaya. Lihat ini!"
Ganco Bumi melangkah ke kuda tunggangannya ke
dekat kaki kanannya. Terdengar suara gemerincing sewaktu kantong itu jatuh di
tanah. Ganco Langit membungkuk, membetot lepas ikatan
kantong kain lalu memasukkan tangannya ke dalam kantong. Ketika tangannya itu
diangkat kelihatan dia menggenggam uang perak dan beberapa potong perhiasan dari
emas! Kedua mata Ganco Langit tampak berkilat-kilat.
"Kita akan rayakan peristiwa besar ini nanti malam!"
kata Ganco Langit.
"Cocok!" teriak Ganco Bumi. "Tapi kau belum melihat.
Ada lagi barang antik yang kudapat di Jatingaleh!" kata Ganco Bumi. Dia
mengangkat tangannya, memberi tanda pada Ganco Laut.
Orang ketiga dari komplotan Ganco Item ini bertepuk dua kali, seorang anggota
komplotan muncul menarik seekor kuda. Di punggung binatang ini membelintang
sesosok tubuh yang ditutupi dengan sehelai selimut besar.
Anggota komplotan itu membawa kuda yang ditariknya ke hadapan Ganco Langit.
Ganco Bumi kemudian mendekat dan menarik selimut yang menutupi. Begitu selimut
tersingkap kelihatanlah sesosok tubuh seorang gadis, tergeletak menelungkup di
atas punggung kuda.
"Walah! Bokongnya besar amat!" kata Ganco Langit.
Kedua matanya berkilat-kilat.
Ganco Laut dan Ganco Bumi sampai tertawa bergelak.
"Kau baru melihat bokongnya. Belum menyaksikan wajahnya!" kata Ganco Bumi. Lalu
di baliknya tubuh yang menelungkup dan masih dalam keadaan pingsan itu. Kini
kelihatan Wajah gadis yang pingsan itu. Pakaiannya di sebelah dada terbuka
membuat payudaranya tersibak menggelembung padat. Rambutnya yang panjang hitam
tergerai hampir menyetuh tanah.
"Wah! Betul-betul cantik!" kata Ganco Langit. "Belum pernah aku melihat perawan
secantik ini! Eh, dia masih perawan?" tanya Ganco Langit seraya berpaling pada
adiknya. "Aku jamin Langit," jawab Ganco Bumi.
"Perawan tulen!" kata Ganco Laut pula.
"Anak siapa dia?"
"Ranalegowo."
"Hemmm, tidak sangka kepala desa itu menyimpan barang antik begini rupa.
Berkali-kali kite meminta uang perlindungan padanya. Selalu ditolak. Kini malah
dia bukan saja memberikan uang dan perhiasan, tetapi juga anak gadisnya!" Tiga
pimpinan gerombolan Ganco Item tertawa mengekeh. "Jadi kita pesta malam ini?"
"Pesta semalam suntuk!" jawab Ganco Bumi. Anggota komplotan yang ada di sekitar
situ dan mendengar hal itu serta merta bertempik sorak gembira.
"Karena kalian yang berbuat jasa, kuserahkan gadis ini pada kalian berdua.
Kalian boleh menggarapnya ber-gantian sepuas hati. Sekali ini aku tak apa
mendapat sisa. Setelah kita puas, aku akan menyerahkannya pada seseorang. Aku ada rencana
bagus!" Ganco Bumi dan Ganco Laut sesaat saling pandang.
Tidak menyangka pimpinan mereka mau mengalah seperti itu. Saking gembiranya
Ganco Bumi dan Ganco Laut saling berpelukan lalu tertawa gelak-gelak.
Ganco Langit menyelinap masuk ke sebuah tenda. Di sini berbaring seorang
perempuan muda berbadan gemuk tapi berdaging padat. Tubuhnya harus ditutup
dengan sehelai kain, itupun hanya sebatas pusat hingga payudaranya yang besar
kelihatan putih menantang.
"Saya tadi mengintai," kata perempuan itu seraya bangkit dan duduk. Payudaranya
yang besar kelihatan memberat ke bawah.
"Mengintai" Lalu ape yang kau lihat?" tanya Ganco Langit.
"Kawan-kawan Ganco Langit datang membawa seorang gadis berambut panjang. Pasti
malam ini Ganco Langit akan melupakan saya dan berpuas-puas dengan gadis baru
itu." "Dia memang cantik. Tapi aku lebih suka menggeluti tubuhnya Jaminten. Gadis itu
biar menjadi bagian Ganco Bumi dan Ganco Laut."
"Betul itu?" tanya perempuan itu.
"Rebahkan tubuhmu di sampingku. Akan kubuktikan bahwa aku lebih menyukai
dirimu:' Perempuan gemuk bernama Jaminten tampak tersenyum lalu merebah dirinya di atas tikar. Kedua tangannya diangkat dan
dijadikan bantal pengganjal kepala. Kedua ketiaknya yang putih tampak penuh
ditumbuhi bulu-bulu hitam lebat.
Ganco Langit suka sekali pada bulu-bulu itu. Hidungnya diselusupkan ke ketiak
kiri Jaminten. Perempuan itu terpekik kecil. Kain yang menutupi auratnya sebelah
bawah ditendangnya. Kini dia menelentang terdengar memburu.
Ganco Langit membalik. Nafasnya terdengar memburu.
Orang-orang Ganco Item mempunyai kebiasaan tertentu setiap habis melakukan
perampokan Mereka melarikan diri ke tempat persembunyian dengan meninggalkan
paling tidak tiga orang anggota di satu tempat. Ketiga anggota komplotan
penjahat itu ditugaskan untuk memantau apakah ada yang melakukan pengejaran.
Jika ada dan jumlah mereka tidak terlalu banyak maka mereka diharuskan untuk
menyerang para pengejar itu.
Sebaliknya jika kekuatan pihak pengejar jauh lebih besar maka mereka akan
membuat gerakan-gerakan
tipuan sehingga para pengejar memburu ke arah yang salah.
Hari itu, setelah menyerbu dan menjarah desa Jatingaleh Ganco Bumi menempatkan
tiga orang anak buahnya di sebuah tikungan jalan jauh dari sungai kecil yang
membelah desa. Menurut perhitungan Ganco Bumi di Jatingaleh yang merupakan desa
petani dan peternak tidak ada orangorang yang perlu ditakuti. Kepala desa yang
membekal ilmu silat sudah terbunuh. Karenanya tiga orang saja sudah dirasakan
cukup untuk melakukan penghadangan. Ketiga anggota gerombolan ini menunggangi
kuda. Sampai matahari tinggi, tiga orang penjahat itu tidak melihat adanya tanda-tanda
bakal ada yang akan melakukan pengejaran.
"Bagaimana kalau kita segera menuju ke Kudus saja?"
Salah seorang anggota komplotan berkata.
"Pimpinan memerintahkan kita tetap berada di sekitar tempat ini sampai menjelang
sore. Jika kau mau melanggar perintah dan ingin mendapatkan hajaran dari Ganco
Bumi, kau boleh saja pergi ke mana kau suka."
"Tentu saja aku tak berani melanggar perintah. Cuma aku selalu sial. Mengapa aku
yang selalu ditugaskan melakukan penghadangan setiap kita selesai merampok.
Sementara yang lain-lain bersenang-senang menikmati hasil jarahan."
Dua kawanannya tidak menyahuti.
Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda.
"Ada orang datang. Tampaknya cuma sendirian. Kalian bersiaplah!" kata anggota
komplotan Ganco Item yang bertindak sebagai atasan dari kedua anggota lainnya itu. Mereka
masuk lebih dalam ke balik tikungan jalan. Masing-masing memegang hulu senjata
mereka yang berbentuk aneh yakni sebatang besi yang ujungnya melengkung seperti
arit tetapi runcing dan agak pipih. Senjata ini mereka sebut Ganco. Senjata
dengan bentuk yang aneh itu mempunyai kemampuan luar biasa.
Selain dapat digunakan untuk membacok atau menusuk, Ganco Besi itu bisa pula
mencungkil tubuh lawan hingga hatinya terbetol keluar. Dapat dibayangkan jika
senjata berujung runcing berkelik itu menancap di leher atau menembus perut
lawan. Isinya pasti terbongkarl Selain itu Ganco tersebut bisa diberi bertali
atau rantai kecil sehingga dapat dipakai untuk menyerang lawan yang berada dalam
jarak jauh. Derap kaki kuda terdengar semakin keras. Tak lama kemudian muncul seorang
penunggang kuda yang memacu tunggangannya dengan kencang.
"Cuma seorang tua renta berambut putih!" memberi tahu salah seorang komplotan.
"Bagaimana, akan kita kerjakan?"
Yang bertindak sebagal pimpinan di tempat itu tidak menjawab. Dia tahu apa yang
harus dilakukannya. Ganco besi dipinggangnya dicabut. Ternyata ganco ini telah
dihubungkan dengan seutas rantai kecil sepanjang hampir dua tombak.
Ketika kuda bersama penunggangnya melewati tikungan, ganco besi itu diputar
kencang-kencang lalu di lemparkan ke depan. Besi berkait ini melesat ke arah
kaki kuda yang berlari cepat.
Lalu terjadilah hal yang hebat. Ujung berkeluk ganco besi mengait kaki kanan
depan kuda tunggangan orang tua berambut putih. Binatang ini meringkik keras.
Bagian tajam besi menancap tepat di atas sambungan lututnya. Lalu ketika ganco
itu ditotok keras, binatang yang berlari ken-, cang ini jadi hilang
keseimbangannya. Kuda itu masih sempat meringkik sekali lagi sebelum jatuh
tersungkur dan melemparkan penunggangnyal.
Tiga orang anggota komplotan Ganco Item sama memastikan bahwa orang tua berambut
putih itu akan cidera berat akibat terpelanting jatuh dari kuda yang tengah
Raja Silat 24 Pendekar Pulau Neraka 14 Di Balik Caping Bambu Peristiwa Burung Kenari 4

Cari Blog Ini