Ceritasilat Novel Online

Dewi Ular 3

Wiro Sableng 082 Dewi Ular Bagian 3


Selama aku masih hidup jangan harap kau dapat bakal menguasai dua senjata
bertuah itu! "
" Kau boleh mimpi Dewi Ular! Kalau tiba saatnya kau akan berhadapan denganku!
Bersiap-siaplah untuk mencari nyawa cadangan! "
" Tua bangka takabur! Kau menyusul akan kupendam di dasar jurang agar rohmu bias
menyusul roh Kunti Rao! Hik...hik...hik...! "
Awal bulan ke tujuh menjelang perayaan besar Sekaten, di kawasan bebukitan batu
pualam terlihat kesibukan-kesibukan tidak seperti biasanya. Hari pertama satu
rombongan besar berkuda dari Kotaraja kelihatan bergerak ke arah selatan dimana
terletak jurang batu pualam. Rombongan ini terdiri dari duapuluh prajurit, dua
orang perwira muda, seorang perwira tinggi yang mengawal sebuah kereta di dalam
mana kelihatan duduk Pangeran Ipong Nalakudra. Lalu disitu jua ada seorang tua
berambut dan berjanggut kelabu yang bukan lain adalah Ki Sepuh Dulantara. Di
sebelah orang tua ini menunggang kuda seorang nenek berpipi dan bermata sangat
cekung. Dia mengenakan jubah hitam yang permukaannya berbulu kasar. Jubah ini
berbentuk aneh karena pada bagian ketiak bergelembung. Pada dua ujung lengan
mengembang dan pada bagian bawah mekar. Di bagian punggung jubah hitam berbulu
ini kelihatan lembaran kain tebal juga berwarna hitam dan berbulu, tidak beda
seperti sehelai mantel.
Sepanjang perjalanan dia tidak pernah bicara. Kedua matanya seolah nyalang terus
jarang kelihatan berkedip. Perempuan tua ini adalah sahabat dekat Ki Sepuh
Dulantara, dikenal dengan julukan Kelelawar Berjubah Hitam. Pangeran Ipong
sebenarnya tidak suka dengan nenek satu ini. Namun karena dia memiliki
kepandaian khusus maka mau tak mau sang pangeran harus menerima kehadiran si
nenek untuk membantu.
Rombongan besar dari Kotaraja ini berhenti lalu membuat kemah tak berapa jauh
dari tepi selatan jurang batu pualam.
Hanya beberapa saat saja setelah Pangeran Ipong sampai di tempat itu, dibagian
lain dari jurang, terhalang oleh batu-batu besar berkelebat cepat satu bayangan
hijau. Demikian cepatnya dia berkelebat, bukan saja tidak mengeluarkan suara
tapi kedua kakinya pun seolah tidak menjejak bebatuan di bukit-bukit yang
mengelilingi jurang batu pualam itu. Di satu tempat dia berhenti dan memandang
berkeliling. Karena tempat ini agak ketinggian maka dia mampu melihat keadaan
sekitarnya dengan jelas, termasuk pinggiran jurang batu pualam yang hanya
tinggal belasan tombak saja di bawahnya.
" Tempat ini cukup baik untuk mengawasi keadaan..." kata orang itu dalam hati.
Ternyata dia adalah si Ratu Ular yang kini mengenakan sehelai jubah hijau
berkilat diatas pakaiannya berbentuk kemben.
Sesaat dia memandang ke langit pagi yang cerah. " Bintang Kalimukus..." desisnya.
" Aku ingin melihatmu lebih dulu dari yang lain-lainnya. Hmmmm... baru rombongan
pangeran lumpuh itu yang terlihat di sekitar sini. Pangeran kurasa nasibmu
bakalan jelek. Kau akan lumpuh seumur-umur. Jangan mengharap sepasang keris
mustika itu akan kau dapatkan! " Ratu Ular memandang ke arah selatan dimana
Pangeran Ipong dan rombongannya berkemah. " Apa benar banyak yang sudah tahu
kalau bintang Kalimukus akan muncul pada malam Sekaten" Aneh, sampai saat ini
aku masih belum menemui jejak Dewi Ular. Dimana anak itu sekarang..." "
Hari ke tiga awal bulan ke tujuh.
Pagi terasa sejuk dan cerah. Di atas sebatang pohon berdaun lebat, tak berapa
jauh dari mulut jurang sebelah tenggara, dua orang kelihatan duduk di atas
cabang pohon sambil bercakap-cakap dengan suara Page 38
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
rendah. " Mungkin kita terlalu cepat datang ke tempat ini Wiro, " dara berpakaian serba
ungu berkata. Dia bukan lain adalah Anggini, murid Dewa Tuak.
Pemuda yang duduk di sebelahnya yaitu Pendekar 212 Wiro Sableng menjawab. "
Mungkin benar, mungkin tidak.... "
" Maksudmu" "
" Hari Sekaten hanya tinggal satu hari dari sekarang. Kita melihat bagaimana
rombongan Pangeran Ipong sudah lebih dulu datang. Lalu tadi kau bilang seperti
melihat ada bayangan hijau berkelebat di sebelah sana. Aku yakin itu sosok Ratu
Ular. Setelah merampas Kitab Seribu Petunjuk Kuna rupanya pengetahuannya tentang
sepasang keris pusaka itu jadi bertambah.
Kalau tidak ingin menguasainya apa juntrungannya dia muncul di sini..." "
" Kau sendiri mengapa begitu yakin kalau bintang Kalimukus yang jadi petunjuk
itu akan muncul pada malam Sekaten" " tanya Anggini.
" Seorang abdi dalem di Keraton yang pernah kuselamatkan jiwanya memberitahu.
Katanya satu malam dia mendengar pembicaraan Pangeran Ipong dan Ki Sepuh
Dulantara. Mereka yang lebih dulu tahu petunjuk itu dari seorang pertapa di
lereng Merapi. Tapi setelah memberi tahu si pertapa itu juga mengatakan bahwa
dia akan turun dari pertapaan untuk mengadu nasib mendapatkan sepasang keris
jantan betina Nagasona. Pangeran Ipong yang khawatir keduluan lalu memerintahkan
Ki Sepuh Dulantara untuk membuat si pertapa tidak berdaya..."
" Pangeran itu menyuruh bunuh si pertapa" " tanya Anggini.
" Membunuh secara pelan-pelan..." jawab Wiro sambil garuk-garuk kepala.
" Membunuh pelan-pelan bagaimana" " Anggini tidak mengerti.
" Pertapa malang itu dirantai tangan dan kakinya lalu besi diikatkan pada
sebatang pohon besar. Sepuluh duapuluh hari dia bisa bertahan. Tapi kalau sampai
berbulan-bulan apa dia tidak akan mati kelaparan..." "
Sepuluh tombak dari pinggiran jurang batu pualam dua ekor kuda hentikan lari
mereka lalu meringkik keras. Orang gemuk yang tidur mengorok di atas susunan
batang-batang pinang menggeliat. Kepalanya diangkat sedikit. Memandang ke kiri
dan ke kanan. Lalu setelah menatap ke langit dia bangkit dan duduk.
" Ah, sudah sampai kita rupanya..." kata si gendut ini yang bukan lain adalah Si
Raja Penidur, dedengkot dunia persilatan yang telah berusia lebih dari seratus
delapan puluh tahun. Dia cabut pipanya dengan tangan kiri sementara tangan kanan
mengucak-ucak sepasang matanya. " Sialan! Kenapa cepat-cepat sampai! Padahal aku
masih ingin tidur! Mimpi-mimpi bagusku tadi jadi terputus!
Huahhhhh! " Si gemuk menguak lebar-lebar lalu hisap pipanya dalam-dalam. " Dua
ekor kuda. Kalian tentu keletihan. Kalian boleh pergi kemana saja. Tapi ingat
pada saat aku mau pulang kalian harus ada di sini! " Si Raja Penidur melompat
turun dari atas susunan batang pinang. Tali-tali yang mengikatkan batang-batang
pinang ke punggung dua ekor kuda dibukanya. Lalu susunan batang pinang itu
diturunkan, diletakan di kaki sebuah batu besar. Sekali lagi si gendut ini hisap
pipanya dalam-dalam lalu rebahkan tubuh di atas batang-batang pinang. Sesaat
ketika dia hendak mengorok tiba-tiba Page 39
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
terdengar suara orang menegur.
" Kek! Tidak sangka akan bertemu dirimu di tempat ini! "
Si Raja penidur menguap dulu baru buka sepasang matanya. Belum melihat siapa
orang yang bicara dia sudah memaki.
" Mengganggu orang yang sedang tidur bagiku sama dengan memutus daun telingaku!
Siapa kadalnya yang berani mencari mati" Sialan! Siapa memanggilku kakek" Aku
merasa tidak pernah jadi kakek di dunia ini! "
Si raja Penidur bantingkan kaki kanannya ke batu.
" Braaaaakkk. "
Batu yang terkena bantingan kaki remuk amblas. Kawasan bukit batu sesaat terasa
bergetar. " Kek, maafkan kalau aku mengganggu tidurmu! Aku Wiro Sableng, murid Eyang Sinto
Gendeng dari Gunung Gede.... "
Si Raja Penidur menggeliat, menguap lebar-lebar lalu cantelkan pipa panjangnya
di sela bibir. Setelah itu perlahan-lahan dia bangkit dan duduk diatas susunan
batang pinang. Dua matanya yang kuyu dan selalu tampak mengantuk itu menatap ke
depan. " Ah! Kau rupanya! Pantas! Memang hanya orang sableng yang berani menggangguku!
Murid sableng, gurunya gendeng! Cocok! Sudah pergi sana! Aku mau tidur lagi!
Sebentar malam ada pekerjaan dan urusan besar di tempat ini! Aku tak mau
diganggu...! " Raja Penidur rebahkan kembali tubuhnya yang gemuk luar biasa.
" Harap maafkan Kek. Aku senang melihat kau berada di sini. Kalau aku bisa
membantu apa saja aku akan melakukan. Apakah kedatanganmu kemari ada sangkut
pautnya dengan sepasang keris sakti yang terpendam di dasar jurang..." "
Raja penidur menguap lebar. " Itu urusan gila! Aku memang datang kemari untuk
melihat orang-orang gila berebutan keris jantan betina itu! Aku tidak mau ikut
campur. Hanya ingin menonton.... "
" Jauh-jauh kau kemari hanya untuk menonton"! Aku tidak percaya Kek! Pasti ada
penyebab lain... Kalau saja kau mau menceritakannya padaku..." "
" Dasar sableng! Kau keliwat mendesak. Baik! Aku bilang padamu. Aku kemari
karena mencium Dewi Ular ada di sekitar tempat ini. Di atas sini dia tidak
kelihatan, baunya tidak tercium. Aku punya dugaan keras dia ada di dalam jurang!
Beberapa waktu lalu dia membunuh teman-temanku. Kabarnya dia juga mencariku
untuk menamatkan riwayatku. Kutunggu-tunggu tak pernah muncul. Aku jadi gatal
kaki. Lebih baik aku saja yang keluar sarang mencarinya.
Perempuan iblis itu perlu diberi pelajaran apa artinya nyawa bagi seseorang. Aku
juga mau memperlihatkan bagaimana cara mati yang layak baginya! "
" Hemm... Kalau dia yang berkata begitu itu agaknya memang Dewi Ular berada di
sekitar sini. Jangan-jangan masih hidup di dalam jurang sana..." Wiro hendak menceritakan
kejadian jatuhnya Dewi Ular ke dalam jurang. " Kek.... "
Page 40 Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
" Sudahlah! Dari tadi kau ribut saja. Kak kek kak kek! Aku bosan mendengar
suaramu. Lagipula aku sangat ngantuk. Kau boleh pergi. Aku mau tidur dulu.... "
" Sebentar Kek. Aku..."
Tapi Si Raja Tidur telah picingkan dua matanya. Sesaat kemudian terdengar suara
dengkurnya panjang pendek tidak berkeputusan. Pendekar 212 Wiro Sableng hanya
bisa garuk-garuk kepala. Akhirnya dia tinggalkan tempat itu. Kembali menemui
Anggini di cabang pohon.
Langit di sebelah barat tampak kemerahan oleh cahaya sang surya yang perlahanlahan menggelincir ke ufuk tenggelamnya. Suasana di dalam jurang sunyi senyap.
Begitu juga di luar jurang seolah-olah tak ada tanda-tanda kehidupan di tempat
itu. Padahal di beberapa penjuru ada beberapa orang sama menunggu datangnya
malam dengan rasa tegang.
Ketika cahaya kuning merah sang surya perlahan-lahan lenyap, orang-orang yang
ada di tempat itu merasa datangnya malam seperti merayap. Ketegangan jadi
berlipat ganda.
Bola penerang jagad itu akhirnya lenyap di sebelah barat. Bersamaan dengan itu
suasana berubah mulai menjadi gelap.
Di sebelah selatan mulut jurang semua anggota rombongan Pangeran Ipong tampak
sejak tadi sudah dongakkan kepala memandang ke langit sebelah tenggara.
" Pangeran! Lihat! " tiba-tiba Ki Sepuh Dulantara berteriak membuat semua orang
kaget dan berpaling padanya. Orang tua rambut kelabu ini menunjuk lurus-lurus ke
langit. " Bintang yang kita tunggu-tunggu sudah muncul! Itu! Lihat! "
Semua mata kemudian diarahkan pada jurusan yang ditunjuk si orang tua. Mula-mula
mereka belum bisa melihat apa-apa. Namun setelah memperhatikan dengan pandangan
tak berkesiap satu persatu semuanya melihat kemunculan sebuah bintang di langit
sebelah tenggara. Bintang ini saat demi saat tampak semakin terang. Kilauannya
lain dari yang lain yaitu merah di sebelah tengah dan biru pada kelilingnya.
" Kelelawar Berjubah Hitam ..." Pangeran Ipong berkata pada nenek yang mengenakan
jubah hitam berbulu di sampingnya. " Bintang Kalimukus sudah muncul. Apakah kau
sudah siap..." "
Nenek bermuka dan bermata sangat cekung itu mengangguk. " Saat yang kita tunggu
akhirnya datang juga. Pangeran akan mendapatkan apa yang pangeran inginkan.
Kelak jika pangeran sembuh dari kelumpuhan dan dinobatkan menjadi Raja pengganti
Sultan yang saat ini sudah uzur, harap jangan lupakan diriku..."
Pangeran Ipong mengangguk. " Janji sudah kita buat! Aku Pangeran Ipong Nalakudra
tidak akan mengingkari janji. Satu jabatan tinggi akan menjadi hakmu ditambah
satu rumah kediaman bagus..."
" Bagaimana dengan pemuda-pemuda gagah kesukaanku" " Tanya si nenek yang rupanya
masih doyan daun-daun muda.
" Tak usah khawatir. Kau bakal mendapatkannya! " Jawab Pangeran Ipong Nalakudra
dengan menekan rasa jengkelnya. Sebenarnya dia tidak suka pada nenek satu ini.
Kalau tidak terpaksa dan butuh bantuannya dia tak akan pernah mau berhubungan
dengan orang ini.
Ki Sepuh Dulantara sendiri yang adalah kenalan dekat si nenek kini diam-diam
jadi merasa iri. Dia telah mengabdi belasan tahun pada Pangeran Ipong, apa yang
didapatnya biasa-biasa saja. Tapi si nenek Page 41
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
bergelar kelelawar berjubah hitam itu belum apa-apa sudah dijanjikan jabatan
tinggi, rumah serta pemuda-pemuda gagah.
" Tua bangka cabul! " rutuk Ki Sepuh Dulantara dalam hati.
Nenek muka cekung periksa jubahnya dengan teliti. Mantel hitam di belakang
punggungnya dikembangkan beberapa kali hingga mengeluarkan suara menderu keras.
Lalu dengan langkah tetap dia berjalan menuju jurang batu pualam. Saat itu
keadaan belum gelap betul. Matanya yang cekung masih sanggup melihat dasar
jurang. Pada bagian kawah yang ada air mendidihnya terlihat gejolak aneh. Air di
dekat jurang itu bercipratan ke atas sampai setinggi tiga tombak. Lalu berhenti
dan perlahan-lahan tampak air kawah menyurut seolah ada yang menyedot. Batu-batu
runcing bermunculan dimana-mana.
" Keadaan seperti yang diterangkan dalam kitab itu..." kata nenek kelelawar
berjubah hitam. " Tapi petunjuk akhir belum muncul. Aku harus menunggu... Harus
menunggu.... "
Tiba-tiba mata si nenek kelihatan berkilauan. Di dasar jurang kelihatan dua
larik sinar aneh. Mula-mula sinar-sinar ini redup saja. Namun perlahan-lahan
tambah terang. Sinar di sebelah kiri berwarna merah kehitaman. Di sebelahnya ada
sinar kuning kehitaman.
Nenek Kelelawar Berjubah Hitam menyeringai. Dia kembangkan kedua tangannya.
Jubah yang melekat di tubuhnya menggembung lebar. Pada samping kiri dan kanan
hingga dia seolah-olah memiliki dua sayap sangat lebar. Jubah ikut mekar, begitu
juga ujung jubah di bagian kakinya. Di saat bersamaan mantel di punggungnya ikut
menggembung ke atas seolah-olah ada rongga di sebelah dalamnya berisi angin.
Di atas pohon di dalam gelap Pendekar 212 Wiro Sableng tampak gelisah.
" Kau memikirkan sesuatu" " Tanya Anggini.
" Aku harus mengambil keputusan, " jawab murid Sinto Gendeng itu.
" Keputusan apa" " Tanya Anggini heran.
Wiro tak menjawab melainkan tiba-tiba saja dia melompat turun dari cabang pohon
" Hai! Kau mau kemana"! " teriak Anggini bertanya.
" Cari tumpangan turun ke dasar jurang! " sahut Wiro. Lalu dia lari secepatnya
menuju tepi jurang dimana nenek berjuluk Kelelawar Berjubah Hitam siap untuk
melompat turun.
Saat itu si nenek telah menghambur ke dalam jurang. Jubah dan mantel yang
dikenakannya membuat tubuhnya laksana seekor burung besar melayang turun menuju
dasar jurang. Di saat ini pulalah Wiro sampai di tepi jurang. Tanpa tunggu lebih
lama tanpa ragu-ragu dia segera melompat.
" Ada orang lari ke arah jurang! " Pangeran Ipong berteriak. " Apa yang hendak
dilakukannya! Lekas cegah! "
Lima orang prajurit dan seorang perwira muda segera menghambur. Tak ketinggalan
Ki Sepuh Dulantara. Tapi terlambat saat itu Wiro sudah terjun. Tubuhnya tampak
melayang sebelum akhirnya jatuh tepat dipunggung nenek kelelawar Berjubah Hitam
Dua orang prajurit di tepi jurang angkat tangan mereka yang memegang tombak.
Tapi si perwira muda Page 42
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
cepat mencegah. Dia khawatir serangan tombak akan mencelakai si nenek. Ki Sepuh
Dulantara sendiri dengan alasan yang sama tidak bisa berbuat apa-apa pula.
" Pemuda kurang ajar itu! Dia! Jahanam betul! " si kakek hanya bisa memaki.
" Ki Sepuh! Apa yang terjadi"! " berteriak Pangeran Ipong.
" Celaka Pangeran! Pemuda bergelar pendekar 212 itu! Dia melompati tubuh si
nenek, merangkulnya dan ikut terjun ke bawah jurang.... "
" Lekas kau berteriak pada perempuan tua itu agar segera membunuhnya! "
" Saya rasa memang itu yang akan dilakukan Kelelawar Berjubah Hitam. Jurang
gelap gulita. Saya hanya melihat sebentar sebelum mereka lenyap ke bawah..."
" Kalau sepasang keris Nagasona itu sampai jatuh ke tangan Pendekar 212, aku
bersumpah untuk membawanya ke tiang gantungan dengan tuduhan perampok besar! "
Habis berkata begitu sang pangeran seperti terhenyak di atas bangku kereta yang
didudukinya. Nenek Kelelawar Berjubah Hitam tentu saja kaget bukan kepalang ketika tahu-tahu
ada dua tangan merangkul dadanya yang peot datar.
" Kurang ajar! Siapa kau"! " teriaknya marah.
" Aku tidak bermaksud jahat! Aku hanya ingin menumpang terjun sampai ke dasar


Wiro Sableng 082 Dewi Ular di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jurang! " jawab Pendekar 212 Wiro Sableng.
" Keparat kurang ajar! " Si nenek menendang. Tendangannya hanya mengenai tempat
kosong. Kini dia pergunakan tangan kanan untuk hantam kepala orang. Tapi ketika
Wiro menangkis dan dua lengan saling beradu si nenek meringis kesakitan.
" Nek, kalau kita terus berkelahi kita bisa celaka sendiri! " teriak Wiro.
" Kau yang celaka! Bukan aku! " teriak si nenek. " Sekarang mampuslah! " Nenek
Kelelawar kerahkan seluruh tenaga dalamnya. Untuk kedua kalinya dia menghantam
kepala Wiro. " Rupanya kau tak bisa diajak bersahabat! " kata Wiro pula. Lalu jari-jari
tangannya dipergunakan untuk menggelitik dada dan tulang rusuk si nenek. Karuan
saja perempuan tua yang tubuhnya tidak berdaging lagi itu jadi kegelian setengah
mati. Dia berteriak-teriak panjang pendek.
" Jahanam! Hentikan perbuatanmu! " teriak si nenek.
Page 43 Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
Wiro tidak perduli. Dia terus menggelitik. Kemudian dirasakannya ada cairan
panas mengucur membasahi kakinya.
" Gila! Nek, kau kencing ya"! " teriak Wiro.
" Jahanam! Tutup mulutmu! " balas si nenek sambil tubuhnya bergoyang-goyang
menahan geli. Kitikan Wiro rupanya membuat si nenek sampai hilang daya tahan dan
tak sanggup menahan kencing.
Sementara itu di goa pada dinding jurang sebelah timur Dewi Ular yang berjagajaga sejak sore hari telah pula melihat munculnya bintang Kalimukus di langit
sebelah tenggara lebih dulu dari si nenek Kelelawar. Waktu dia memperhatikan ke
arah dasar jurang yang mulai gelap jelas kelihatan dua larik sinar kuning dan
merah kehitaman mencuat ke atas.
" Sepasang keris sakti! Di sana rupanya letaknya! " Kata Dewi Ular. Segera dia
mengambil payung raksasa yang dibuat Kunti Rao. Di luar goa payung serta merta
dikembangkan lebar-lebar. Sesaat dia memandang ke bawah lalu tanpa tunggu lebih
lama perempuan ini jatuhkan diri ke dalam jurang. Payung besar yang mengembang
kukuh membuat tubuhnya melayang turun dengan mantap. Sambil melayang dia
berpaling ke arah dinding jurang sebelah barat. Melihat kalau-kalau Datuk
Sipatoka sudah muncul dan melakukan sesuatu untuk terjun ke dasar jurang. Namun
saat itu keadaan sudah tambah gelap. Dewi Ular tak bisa melihat dengan jelas.
Selagi dia melayang turun dengan perasaan lega karena merasa yakin dia bakal
dapatkan sepasang keris mustika itu tiba-tiba di sebelah atasnya dia mendengar
suara orang marah dan memaki panjang pendek.
Lalu dalam gelap di sampingnya terlihat satu benda melayang jatuh cepat sekali.
Ketika benda itu lewat di sebelahnya dia cepat memperhatikan.
" Ada dua orang terjun ke bawah! Yang satu bergelantungan kepada yang lain..."
Dewi Ular jadi tak senang hati. Kalau orang lain mampu terjun lebih cepat
berarti dia bisa keduluan dalam mendapatkan dua senjata sakti itu. Perempuan ini
jentikkan tangan kanannya dua kali berturut-tirut ke atas.
" Breett! Breettt! "
Payung yang terbuat dari kertas tebal itu robek dan berlubang besar di dua
bagian. Robekan ini membuat daya tahannya terhadap angin berkurang. Akibatnya
daya luncur payung yang digelantungi Dewi Ular itu menjadi lebih cepat. Dia
berhasil menyusul jatuhnya dua orang tadi. Begitu saling bersisian Dewi Ular
hantamkan tangan kanannya. Lancarkan serangan tangan kosong mengandung tenaga
dalam tinggi. " Nek! Jangan memaki saja! Kita diserang orang! " teriak Wiro.
Suara makian berhenti.
Dua orang yang jatuh deras sadar kalau diri mereka diserang. Yang sebelah depan
yaitu si Nenek Kelelawar kebutkan lengan jubah kirinya yang lebar laksana sayap
burung raksasa. Satu gelombang angin menderu ke arah Dewi Ular. Orang yang
bergelantungan di sebelah belakang yang bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro
Sableng tak tinggal diam. Tangan kirinya memukul lepaskan pukulan
"segulung ombak menerpa karang." Terdengar suara bergemuruh ketika selarik angin
laksana topan menghantam ke arah Dewi Ular. Diserang dua pukulan dahsyat sepeti
itu tubuh Dewi Ular bergoncang.
Dia membuat gerakan jungkir balik dan putar payung besarnya demikian rupa hingga
dirinya terlindung dari dua serangan lawan.
Page 44 Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
" Breettt! Breettt! "
Payung kertas robek besar. Kayu-kayu penahan kertas patah berantakan. Dewi Ular
berteriak. Entah kesakitan entah marah. Yang jelas dia cepat pegang paku hitam
yang terikat di lengan tangannya. Begitu tenaga dalamnya disalurkan dia segera
gerakkan paku hitam itu. Ujung lancip paku yang kini berwarna kuning emas itu
kiblatkan sinar kuning angker.
" Wussss! "
Pendekar 212 Wiro Sableng tercekat melihat cahaya aneh menyambar ke arahnya.
Secepat kilat dia memutar badan seraya menarik tubuh si nenek Kelelawar. Sadar
apa yang hendak diperbuat orang terhadap dirinya si nenek membentak marah. Sikut
kanannya dihantamkan ke kepala Wiro sedang tangan kirinya lepaskan tangkisan
berupa satu pukulan mengandung tenaga dalam penuh!
Pendekar 212 merasa kepalanya seperti meledak pecah. Siku kanan si nenek
mendarat tepat di pelipis kirinya yang langsung menggembung bengkak. Pinggiran
matanya robek. Darah serta merta mengucur.
Si nenek Kelelawar Berjubah Hitam menerima nasib lebih jelek. Tangkisannya tak
sanggup menahan sambaran sinar dingin kuning yang keluar dari ujung lancip paku
hitam di tangan Dewi Ular.
Perempuan tua itu memekik panjang. Sinar kuning paku sakti membelah tubuhnya
mulai dari kening sampai ke dada. Sayatan luka mengerikan itu mula-mula
kelihatan putih. Lalu perlahan-lahan berubah merah ketika darah membersit dan
mengucur keluar. Tubuh si nenek tak ampun melayang jatuh ke bawah tanpa daya
penahan lagi. Pendekar 212 ikut amblas. Untungnya saat itu dasar jurang hanya
tinggal dua tombak. Sebelum tubuh si nenek terhempas dan menancap disebuah
lancipan batu murid Sinto Gendeng cepat melompat. Ketika dia berhasil
menjejakkan tanah di dasar jurang yang tanahnya berpasir, orang berpayung hancur
yang barusan membunuh nenek Kelelawar sampai pula di dasar jurang. Dua orang ini
saling berhadap-hadapan dalam jarak hanya terpisah lima langkah. Dua lari cahaya
yang mencuat dari dalam tanah jurang membuat tempat itu cukup terang hingga satu
sama lain saling melihat dan mengenali
" Dewi Ular! Kau...! " seru Pendekar 212 kaget. " Jadi kau belum mati rupanya! "
Dalam keadaan seperti itu Dewi Ular masih bisa keluarkan suara tawa melngking. "
Kalau kau anggap aku sudah mati, maka yang berdiri di hadapanmu saat ini adalah
setan Dewi Ular! Mengapa kau terjun ke jurang ini"! "
" Kau sendiri ada urusan apa berpayung-payung turun ke sini" " balik bertanya
Wiro. " Bicara denganmu memang menjengkelkan. Aku sudah bersumpah untuk membunuhmu!
Tidak sangka saatnya ternyata datang begini cepat! "
Dewi Ular putar paku hitam yang terikat di pergelangan tangannya. " Pendekar
212! " katanya sambil acungkan paku yang ujungnya kuning. " Dulu dengan paku ini
kau celakai diriku! Kini paku ini pula yang akan merenggut nyawamu! Kau sudah
saksikan kematian tua bangka itu! Nasibmu tak bakal beda! "
" Tunggu dulu! " teriak Wiro seraya cepat siapkan pukulan sinar matahari di
tangan kanan. " Orang gagah tapi culas! Sayang sekali maut datangnya tak bisa ditunda! " Dewi
Ular tertawa panjang. Tangan kanannya yang memegang paku bergerak. Larikan sinar
kuning berkiblat. Wiro angkat Page 45
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
tangannya. Namun gerakannya tertahan ketika tiba-tiba dia merasa seperti ada
yang mendorong dirinya ke samping lalu satu sinar yang juga berwarna kuning
menyambar ke arah sinar paku yang tengah menyerangnya.
Satu letusan dahsyat menggelegar di dasar jurang. Air dan pasir bermuncratan.
Tanah dan batu-batu di jurang bergetar keras. Pendekar 212 Wiro Sableng dan Dewi
Ular jatuh terbanting ke tanah jurang. Di samping mereka kemudian bergedebukan
dua sosok tubuh. Yang satu seorang kakek berkepala botak biru. Satunya lagi
seorang pemuda berpakaian hitam yang kepala dan mukanya ditancapi paku. Wiro
segera kenali pemuda ini dan tahu betul si pemudalah yang barusan menolongnya.
Si kakek dan pemuda rupanya meluncur turun dari atas jurang dengan mempergunakan
tali aneh yang panjang dan kuat.
" Sandaka! " seru Wiro.
Pemuda itu tidak menjawab. Sandaka melompat kehadapan Dewi Ular. Kakek kepala
botak yang tentunya adalah Datuk Sipatoka memperhatikan Dewi Ular sebentar lalu
balikkan badan, melompat ke dasar jurang di mana terlihat mencuat cahaya kuning
dan merah kehitaman. Secepat kilat orang tua ini pergunakan kedua tangannya
untuk menggali tanah jurang yang gembur itu. Baru setengah jengkal menggali dua
larik cahaya terlihat semakin terang. Sang Datuk menggali terus. Pada kedalaman
satu jengkal tangannya kiri kanan menyentuh sesuatu. Dadanya berdebar keras. Dia
pegang erat-erat dua benda itu lalu menariknya ke atas. Mata si kakek menjadi
silau ketika dua benda yang dikeluarkannya dari dalam tanah jurang itu ternyata
adalah sepasang keris tanpa sarung terbuat dari emas. Satu memancarkan warna
merah kehitaman. Satunya lagi berwarna kuning kehitaman. Itulah sepasang keris
mustika sakti Nagasona, satu jantan satu betina!
" Keris Nagasona...! Aku berhasil mendapatkannya! " teriak Datuk Sipatoka. "
Sandaka! Lihat! "
Sandaka tidak perhatikan teriakan kakek botak itu. Sepasang matanya tidak
berkedip memandang pada Dewi Ular yang saat itu mencoba bangkit sambil pegangi
dadanya yang berdenyut sakit. Sandaka sendiri merasakan aliran darah dan
pernafasannya seperti tidak keruan akibat bentrokkan dua kekuatan sakti yang
keluar dari paku.
" Kunti Arimbi..." kata Sandaka menyebut nama asli Dewi Ular. " Jadi kau belum
mati! " " Kau sendiri juga belum mampus! " sahut Dewi Ular sambil menyeringai. Hasratnya
untuk membunuh Sandaka tidak bisa ditahan. Tapi saat itu perhatiannya terbagi
pada Datuk Sipatoka yang telah berhasil mendapatkan sepasang keris Nagasona.
Akalnya bekerja. Di bibirnya yang merah merekah senyum.
Lalu terdengar suaranya lembut.
" Sandaka, dalam keadaan seperti ini apa ada perlunya kita melampiaskan dendam
masa lampau" Kau dan aku, masih terbuka jalan bagi kita untuk menguasai dunia
persilatan. Jangan khawatirkan keadaanmu. Dua keris ini sanggup memulihkan
tubuhmu semula. Jadi saat ini yang harus kau lakukan ialah mengambil sepasang
senjata itu dari tangan kakek botak itu! Lekas lakukan Sandaka! Ambil dua bilah
keris itu...! "
Sandaka Arto Gampito menyeringai. " Masamu menguasai dan memerintah diriku sudah
lama berlalu Dewi Ular. Perlakuanmu terhadapku selama ini sangat keji! Kau
membuat aku buta hingga menumpuk dosa yang tak sanggup aku pikul! Jalan terbaik
untukmu adalah menebus semua itu dengan nyawamu! "
Sandaka rentangkan kedua kakinya. Bagian bawah perutnya kelihatan seperti
menyala oleh satu cahaya berwarna kuning. Dewi Ular terkejut. Dia cepat pegang
paku hitam yang terikat di pergelangan tangan Page 46
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
kanannya. Sambil memegang paku dia melangkah mundur. Tiba-tiba perempuan ini
membentak keras.
Tubuhnya melesat ke samping.
" Datuk awas! " teriak Sandaka.
Tapi terlambat. Serangan Dewi Ular datang sangat cepat. Satu tendangan
menghantam punggung orang tua berkepala botak itu demikian dahsyatnya hingga
tulang punggungnya remuk. Tubuhnya mencelat.
Keris Nagasona di tangan kanannya yakni yang jantan terlepas mental. Dengan
cepat Dewi Ular berusaha menyambarnya. Tapi dari samping Pendekar 212 bertindak
lebih cepat. Didahului dengan menghentakkan pukulan "sinar matahari" ke arah
Dewi Ular dia melompat menyambar keris Nagasona jantan.
Melihat cahaya putih panas menyambar ke arahnya dengan suara menggemuruh dahsyat
Dewi Ular terpaksa tarik tangannya yang hendak mengambil keris Nagasona jantan.
Penuh marah dia membuat gerakan menusuk dengan paku hitamnya.
Sinar maut berwarna kuning menyambar ke arah Pendekar 212 pada saat belum lagi
murid Sinto Gendeng ini sempat memegang keris Nagasona jantan yang masih
melayang di udara.
Pada saat itulah tiba-tiba menggelegar suara perempuan dari bagian atas jurang.
" Manusia-manusia tolol! Apa yang kalian buat di tempat ini"! " Suara keras dari
atas itu sangat berpengaruh. Membuat semua orang mendongak dan sama-sama
terkesiap. Dalam gelapnya malam, hanya diterangi oleh cahaya keris Nagasona
jantan yang masih melayang di udara dan keris Nagasona betina yang masih ada di
tangan kiri Datuk Sipatoka kelihatan satu sosok tubuh perempuan mengenakan
kemben dilapisi jubah hijau berkilat turun ke bawah. Yang membuat semua orang
hampir tak bisa percaya ialah perempuan ini melayang turun dengan berpijak pada
tubuh bergelung seekor ular besar warna hitam kuning. Binatang ini keluarkan
suara berdesis tiada henti. Begitu sampai di tanah jurang tiba-tiba dia membuka
gelungnya. Kepalanya melesat dua kali. Semua orang keluarkan seruan tertahan.
Sesaat kemudian keris Nagasona jantan yang tadi melayang di udara dan keris
Nagasona betina yang sebelumnya masih berada dalam genggaman tangan kiri Datuk
sipatoka kini tahu-tahu telah berada dalam gigitan ular besar itu!
Ular besar naikkan kepalanya ke atas. Perempuan berpakaian hijau berkilat cepat
ambil sepasang keris Nagasona, membuat semua orang yang ada di situ jadi melongo
sekaligus geram. Hanya Dewi Ular yang tampak tenang sekali bahkan ada senyum
tersembul dari bibirnya. Sementara itu ular hitam kuning menjalar di atas tubuh
perempuan itu. " Ratu..." panggil Dewi Ular.
Perempuan berbaju hijau yang di kepalanya ada mahkota yang terbuat dari ular
yang telah dikeringkan menyapu wajah semua orang yang ada di jurang itu dengan
pandangan mata dingin. Lalu tanpa menoleh pada Dewi Ular dia berkata. " Dewi
Ular, lekas melangkah ke sampingku! "
Dewi Ular cepat melakukan apa yang dikatakan orang. Begitu berada di sampingnya
dia berkata. "
Terima kasih Ratu Ular, kau bersedia datang untuk menolongku..."
" Aku datang bukan untuk menolongmu! Selama ini kau banyak berbuat lalai. Kalau
bukan Page 47 Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
karena perbuatanmu aku tidak bakal kesasar ke tempat ini! "
" Maafkan saya Ratu Ular. Saya mohon ampunmu! "
Dari balik jubahnya Ratu Ular keluarkan sebuah benda berwarna kuning yang
ternyata adalah sebuah mahkota kecil dan berbentuk kepala ular. Dewi Ular
terkejut melihat benda itu.
" Ini milikmu..." " tanya Ratu Ular.
" Betul Ratu. Mahkota itu jatuh waktu saya..."
" Sudah! Tutup mulutmu! Aku sudah tahu semua yang terjadi. Mendekat padaku! "
perintah Ratu Ular.
" Ratu kau hendak menghukumku..." " tanya Dewi Ular ketakutan. Tapi dia bergerak
juga mendekati sang ratu.
Begitu Dewi Ular berada di sampingnya, Ratu Ular usapkan sepasang keris Nagasona
ke bahu dan dada perempuan itu.
" Wusss! "
" Wusss! "
Dua kali asap dingin kelabu mengepul dari tubuh Dewi Ular. Ketika asap lenyap
Dewi Ular terpekik.
Bukan pekik sakit atau ketakutan. Tapi pekik gembira. Sapuan sepasang senjata
sakti itu telah menyembuhkan cacat luka hantaman Kapak Maut Naga Geni 212 di
bahu dan dadanya. Tubuhnya kembali utuh dan mulus seperti semula. Bahkan
wajahnya tampak segar berdarah kembali dan tambah cantik.
" Terima kasih Ratu... Terima kasih..." kata Dewi Ular manggut-manggut lalu jatuhkan
diri di hadapan Ratu Ular.
" Lekas berdiri! Saatnya kita tinggalkan tempat ini! " kata Ratu Ular pula.
Dewi Ular bangkit berdiri. Dia memandang pada Datuk Sipatoka, Pendekar 212 Wiro
Sableng dan Sandaka. " Bagaimana dengan orang-orang ini" " tanyanya pada sang
ratu. Ratu Ular berpikir sejenak lalu berkata. " Jika dia mau menjadi hamba sahaya
kita, dua pemuda itu boleh kau ajak serta. Yang berkepala botak biru itu hanya
merusak pemandangan saja! Aku jijik Page 48
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
melihat tua bangka ini. Harap kau lekas membunuhnya! "
" Perintah akan saya lakukan Ratu, " kata Dewi Ular. Dia angkat tangan kanannya
yang memegang paku hitam. Paku lalu ditusukkan pada Datuk Sipatoka. Selarik
sinar dingin kuning menyambar.
Mendapat serangan maut ini sang datuk tentu saja tidak berlaku ayal. Sambil
melompat ke samping dia dorongkan kedua tangannya. Dua larik cahaya yang juga
berwarna kuning menggemuruh menangkis serangan selarik sinar kuning yang keluar


Wiro Sableng 082 Dewi Ular di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari paku. " Bummm! "
Tubuh Datuk Sipatoka bergoncang keras. Dari mulutnya keluar darah segar. Dewi
Ular belum puas dia cepat melompat sambil tusukkan paku hitam berujung kuning ke
kening orang tua itu. Kini sang datuk tidak bisa lagi selamat dari kematian!
Pada saat itu dari samping terdengar bentakkan Sandaka. Tubuhnya melesat dan
dari selangkangannya di mana tertancap paku hitam yang bagian kepalanya sudah
diasah itu menyambar larikan sinar kuning yang lebih besar dari yang sanggup
dikeluarkan oleh paku milik Dewi Ular. Karena tidak menyangka akan mendapat
serangan Dewi Ular hanya sempat berkelit sedikit. Larikan sinar kuning memapas
bagian belakang kepalanya.
Dari tempatnya berdiri Ratu Ular yang melihat kejadian itu segera angkat dua
keris Nagasona ke atas.
Dia kerahkan tenaga dalam lalu lepaskan pukulan jarak jauh melewati dua senjata
sakti ini. Apa yang terjadi sungguh luar biasa. Dari tubuh sepasang keris tanpa
sarung itu melesat keluar cahaya kuning sangat terang. Dua cahaya ini langsung
menghantam musnah larikan sinar kuning yang keluar dari bawah perut Sandaka.
Si pemuda merasakan tubuhnya tergontai-gontai. Kalau tak lekas di tolong
tubuhnya akan segera digulung serangan lawan!
" Ratu Ular! Aku ingin menjajal kehebatan sepasang keris itu! " Satu suara
menggeledek disusul dengan berkoblatnya sinar putih menyilaukan serta
menghamparnya hawa panas lalu menggemuruhnya suara aneh laksana seribu tawon
mengamuk! Itulah sambaran Kapak Maut Naga Geni 212 yang dihantamkan Wiro ke arah
Ratu Ular. Kalau semua orang merunduk kaget melihat serangan kapak itu Ratu Ular tetap
tegak bahkan ganda tertawa. Dia angkat tangan kanannya yang memegang dua bilah
keris sakti. Kembali dua larik sinar kuning menggebu.
Pendekar 212 Wiro Sableng menjerit keras. Kapak Naga Geni 212 mencelat mental
dari pegangannya.
Dia sendiri kalau tidak lekas jatuhkan diri berlindung di balik satu batu besar
yang runcing niscaya akan celaka berat! Batu tempatnya berlindung hancur
berantakkan tapi Wiro selamat dari serangan maut walau sekujur tubuhnya kotor
oleh hancuran batu dan tanah becek di dasar jurang.
" Dewi Ular kau lihat sendiri! Aku sudah memberi kesempatan pada dua pemuda itu
untuk ikut kita! Tapi mereka adalah manusia-manusia culas yang tidak bisa
dipercaya! Biar keduanya meregang nyawa di tanganku! "
Habis berkata begitu Ratu Ular angkat tangan kanannya kembali. Justru pada saat
itu ada sesiur angin menyambar dari atas. Bersamaan dengan itu ada suara sesuatu
meluncur di tali yang masih tergantung di dinding jurang. Lalu " buk! " Satu
sosok tubuh luar biasa besarnya jatuh berdebam di atas tanah jurang.
Kaki ke atas kepala ke bawah sedang pinggangnya melintang di atas sebuah batu
jurang. Luar biasanya Page 49
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
walau orang ini jatuh kepala duluan tapi lehernya tidak patah dan kepalanya
tidak remuk. Begitu juga punggungnya yang menghantam batu runcing sama sekali
tidak cedera. Malah terdengar suaranya seperti menguap. Lalu ada asap berbau
tembakau memenuhi jurang itu. Tak lama kemudian terdengar suara orang mengorok
keras! " Raja Penidur! " seru Wiro ketika dia mengenali siapa yang tergelimpang kaki ke
atas kepala ke bawah itu. " Celaka! Jangan-jangan kepalanya sudah pecah! " Wiro
melompat dan cepat memeriksa. " Gila!
Bagaimana dia masih bisa tidur dalam keadaan seperti ini! Hai! Kek! Bangun! "
Wiro guncang tubuh itu. Tapi tubuh gemuk ratusan kati itu tidak bergerak
sedikitpun. Tidak kehilangan akal Wiro cabut pipa dari mulut Raja Penidur. Ujung
pipa ditusukkannya ke salah satu lobang hidung si gendut ini lalu dikocok-kocok
hingga akhirnya Raja Penidur terbangun sambil berbangkis. Wiro cepat selipkan
kembali pipa panjang itu ke mulut si Raja Penidur.
" Aku enak-enak tidur mengapa dibangunkan" Sialan betul! Siapa kalian ini orangorang jelek semua! Hah"! "
Raja Penidur menggeliat. Lalu dengan gerakkan malas-malasan dia berdiri sambil
bersandar ke sebuah batu lancip berbentuk tiang.
Pada saat si Raja Penidur menggeliat tadi, Ratu Ular yang tampak ada perubahan
besar pada raut wajahnya memberi isyarat pada Dewi Ular seraya berbisik. " Lekas
ikuti aku! "
Dewi Ular hendak bertanya tapi memutuskan untuk diam dan mengikuti saja apa
perintah sang ratu.
Namun baru saja keduanya bergerak tiba-tiba sekali sosok si Raja Penidur sudah
berada di depan mereka.
" Untari... Kau masih saja berkelakuan macam-macam. Apa kekecewaan masa muda masih
menghantui dirimu. "
Semua orang yang ada di tempat itu terheran-heran mendengar kata-kata si gemuk.
Siapa yang bernama Untari itu" Lalu mereka melihat bagaimana berubahnya wajah
Ratu Ular. Sikapnya menunjukkan rasa gelisah kalau tidak mau dikatakan takut.
Takut pada siapa"
" Raja Penidur, urusan masa lalu tak perlu diungkit-ungkit..." terdengar Ratu Ular
bersuara. Jadi dialah yang bernama Untari.
" Kalau begitu baiklah. Kau boleh pergi. Tapi ada dua hal harus kau
tinggalkan..."kata Si Raja Penidur pula.
" Hemmm...Apakah itu" " tanya Ratu Ular.
Si Raja Penidur menyedot pipanya dalam-dalam lalu menghembuskan asapnya ke udara
hingga tempat itu disamaki oleh tembakau. Setelah menguap dan mengucak kedua
matanya baru dia menjawab. "
Pertama, serahkan padaku sepasang keris Nagasona itu. Dua senjata mustika itu
bukan milikmu. " " Lalu apakah keduanya milikmu" " tukas Ratu Ular.
" Jelas bukan milikmu. Aku hanya menjadi perantara untuk mengembalikannya pada
pemiliknya. Sebentar lagi utusan si pemilik akan datang untuk mengambil..."
Page 50 Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
Ratu Ular tertawa panjang. " Ceritamu enak sekali didengarnya..."
" Aku tidak bicara dusta. Tidak pernah..."
" Kecuali terhadapku..." "
" Ah, kau sendiri tadi mengatakan urusan masa lalu tak perlu diungkit-ungkit! "
Si Raja Penidur berubah parasnya. Tapi hanya sebentar. " Menurutku ini adalah
penyelesaian yang paling baik..."
" Kau belum mengatakan hal kedua..." Ratu Ular alihkan pembicaraan.
" Hal kedua yang harus kau tinggalkan di sini adalah perempuan muda berjuluk
Dewi Ular itu...
" jawab Si Raja Penidur.
" Apa keperluanmu dengan dirinya"! " bentak Ratu Ular. " Apa kau hendak
memperlakukannya seperti yang kau perbuat padaku puluhan tahun silam"! "
" Eh, bagaimana ini..." pikir Pendekar 212 Wiro Sableng sambil garuk-garuk kepala.
" Perempuan itu menyebut-nyebut masa puluhan tahun lalu. Memangnya usianya
berapa" "
Si Raja Penidur batuk-batuk beberapa kali. Setelah menguap lebar-lebar diapun
berkata. " Itu dua permintaanku. Terserah padamu mau memenuhinya atau tidak..."
" Aku ingin tahu apa yang hendak kau lakukan terhadap muridku Dewi Ular" Jawab
dulu itu! "
" Kau tahu apa yang sudah diperbuatnya" Dosanya membunuhi tokoh-tokoh silat
tidak bersalah sedalam lautan setinggi langit! Kau kira dia bisa lolos begitu
saja dari hukuman" Mengingat hubunganmu denganku aku bersedia melindunginya dari
balas dendam yang mengerikan. Biar aku yang mengatur hukuman terbaik bagi
dirinya.... "
" Hemmm begitu" Hukuman terbaik baginya adalah ikut bersamaku. Saat ini kemana
aku pergi dia harus ikut! " kata Ratu Ular pula.
" Terserah padamu. Aku sudah menawarkan yang terbaik! Mataku sudah mengantuk.
Aku ingin menyelesaikan urusan ini sebelum aku tidur lagi.... "
" Aku tidak akan memenuhi apa-apa Raja Penidur. Seperti kau tidak memenuhi apaapa terhadap diriku! "
" Sayang sekali kalau begitu..." kata Raja Penidur seperti tak acuh. Dia kembali
menguap lebar-lebar.
Ratu Ular memberi isyarat pada Dewi Ular. Kedua orang itu cepat melangkah pergi.
Namun baru berjalan dua tindak tiba-tiba dari atas ada satu sinar terang
melayang turun. Ketika sinar itu mencapai pertengahan jurang semua orang yang
ada di tempat itu terkesiap. Yang melayang turun adalah seorang gadis sangat
cantik. Sosok tubuhnya menebar bau harum kembang melati. Dan tubuh ini hanya
terbalut segulung kain putih yang sangat halus tembus pandang.
Tenggorokan Pendekar 212 Wiro Sableng tampak turun naik. Matanya memandang tak
berkedip. Hal yang sama terjadi juga dengan Sandaka sementara Datuk Sipatoka
yang berada dalam keadaan luka jadi Page 51
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
lupa diri dan ikut-ikutan menyaksikan pemandangan indah itu tanpa berkesip.
Si Raja Penidur menguap dan tarik pipa dari sela bibirnya. " Utusan yang
ditunggu sudah datang.
Aku tidak bisa membantumu lagi Untari..."
Untari alias Ratu Ular dan sang murid Dewi Ular sama-sama terkesiap. Gadis
cantik jelita yang melayang turun tegak di hadapan Ratu Ular. Wiro melihat jelas
kalau dua kakinya yang bagus dan putih mulus sama sekali tidak menginjak dasar
jurang. Kalau tadi dia begitu terpesona melihat kecantikan dan sosok tubuh si
jelita yang hampir polos itu maka kini tengkuknya terasa dingin. Gadis berbalut
kain putih halus itu memberi isyarat pada Ratu Ular lalu mengulurkan tangannya
meminta agar sepasang keris Nagasona diserahkan padanya.
Ratu Ular melangkah mundur. Tangan kirinya mengusap kepala ular besar yang
bergelung di lehernya.
Dia melirik pada murid di sebelahnya lalu memberi isyarat. Dewi Ular yang tahu
isyarat itu segera siapkan paku hitamnya. Lalu berlangsunglah tiga serangan yang
mematikan. Serangan pertama, ular besar di leher Ratu Ular mematuk ke arah muka gadis
jelita. Serangan kedua sambaran sinar kuning yang keluar dari ujung lancip paku
yang dilancarkan Dewi Ular. Serangan ketiga ini yang terhebat adalah cahaya
kuning besar yang menghampar keluar dari sepasang keris sakti. Manusia biasa,
betapapun tinggi ilmunya diserang begitu rupa pasti tak bisa loloskan diri dari
kematian. Namun gadis jelita yang tidak berpijak ke bumi itu tenang saja.
Gerakannya lemah gemulai seperti penari ketika tangan kanannya diangkat dengan
telapak terkembang. Tiga serangan yang datang ke arahnya laksana tersedot masuk
ke dalam telapak tangan itu. Binatang itu menggeliat-geliat sesaat lalu jatuh
terkapar di tanah jurang dengan kepala hancur.
Ketika tangan kiri gadis jelita itu ikut bergerak, tahu-tahu sepasang keris
sakti Nagasona telah berpindah dari tangan Ratu Ular ke dalam genggamannya!
Seperti orang gila Ratu Ular berteriak keras. Kedua tangannya dipukulkan ke arah
lawan yang hanya berjarak dua langkah dari hadapannya. Dari dua tangan itu
secara tidak terduga melesat dua senjata berbentuk tombak dengan kepala tombak
menyerupai kepala ular sendok. Yang diserang kembali angkat tangan kirinya. Kali
ini gerakannya cepat sekali. Lalu,
" Trak... trak... trak...! "
Bukan cuma dua tombak kepala ular itu saja yang hancur berpatahan, tapi dua
tangan Ratu Ular ikut hancur mulai dari ujung jari sampai ke pergelangan tangan.
Ratu Ular meraung keras. Dewi Ular, meski bergidik melihat apa yang terjadi
mendadak menjadi nekat dan kembali pergunakan dua paku saktinya untuk menyerang.
Sebelum larikan dua sinar kuning keluar dari paku itu, si jelita berbalut kain
putih ulurkan tangannya.
" Kraaakkk! "
Paku hitam dan tangan kiri Dewi Ular hancur luluh. Seperti sang ratu, dari mulut
Dewi Ular terdengar pula raungan menggidikkan. Murid dan guru terhuyung-huyung
nanar menahan sakit.
Begitu keduanya saling berbenturan, Ratu Ular berkata, " Dewi, aku rasa tidak
ada gunanya lagi hidup dengan derita cacat seperti ini. Ikuti apa yang aku
lakukan... "
" Saya mengerti Ratu, Saya siap... " sahut Dewi Ular.
Page 52 Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
Tidak terduga dan tidak bisa dicegah, Ratu Ular dan Dewi Ular didahului teriakan
keras sama-sama berlari lalu hujamkan kepala masing-masing ke dinding batu
jurang. Suara kepala mereka yang pecah remuk terdengar mengerikan!
Si Raja Penidur geleng-geleng kepala. Matanya semakin kuyu dan dia menguap
berulang kali. Di sebelah sana, gadis jelita berbalut kain putih tembus pandang
palingkan tubuhnya ke arah Si Raja Penidur.
" Terima kasih kau sudah datang menjemput sendiri dua senjata sakti. Kau boleh
pergi dan membawanya kepada pemiliknya di Pantai Selatan. Hanya saja kalau aku
boleh meminta, saat ini ada dua orang yang menderita sakit di jurang ini. Lalu
ada satu lagi di atas jurang sana. Aku mohon kau mau pergunakan sepasang senjata
sakti itu untuk mengobati mereka... "
Si cantik yang diajak bicara hanya mengangguk-anggukkan kepala. Lalu melangkah
seperti melayang.
Pertama sekali dia mendekati Datuk Sipatoka yang menderita luka parah di sebelah
dalam akibat bentrokan pukulan sakti dengan Dewi Ular tadi. Sekali saja sepasang
keris Nagasona diusapkan ke wajah dan dadanya, maka asap kelabu dingin mengepul.
Begitu asap lenyap, kelihatan sang datuk tersenyum. Luka dalam yang dideritanya
serta merta sembuh. Dia sanggup berdiri dan cepat menjura pada si jelita sebagai
ucapan terima kasih.
Selesai menyembuhkan Datuk Sipatoka, gadis berbalut kain putih mendekati
Sandaka. Kembali dia pergunakan sepasang keris Nagasona untuk mengusap kepala,
muka dan tubuh pemuda yang penuh ditancapi paku itu.
" Wusss... wusss... wusss! "
Asap kelabu mengepul berbuntal-buntal. Terdengar suara benda-benda keras
bermentalan, lalu jatuh ke dasar jurang. Ketika asap kelabu lenyap, kelihatan
kepala, muka dan tubuh Sandaka mulus. Puluhan paku yang menancap di kepala, muka
dan tubuhnya lenyap dan kini kelihatan bergeletakan di tanah jurang. Semua orang
yang menyaksikan kejadian ini leletkan lidah saking kagumnya.
Sandaka berbungkuk hampir bersujud untuk menyampaikan rasa terima kasihnya. "
Terima kasih kau telah mengobati dua orang itu, " Si Raja Penidur berucap. "
Seperti permintaanku tadi, di atas sana ada seorang pangeran menderita lumpuh
selama belasan tahun. Mohon kau mau mengobatinya...
" Gadis yang diajak bicara anggukkan kepala. Dia memandang berkeliling seolah
minta diri. Sebelum tubuhnya melayang ke atas, Pendekar 212 Wiro Sableng
berseru. " Tunggu, aku juga sakit, tolong sembuhkan! "
Si Raja Penidur cabut pipanya dari sela bibir lalu membentak. " Anak sableng!
Jangan kau berani macam-macam! " Wiro jadi tersurut garuk-garuk kepala. Si gadis
di sebelah sana tersenyum lalu kedipkan matanya pada sang pendekar. Sesaat
setelah gadis itu melayang ke atas dan cahaya benderangnya lenyap dalam
kegelapan malam, Wiro membungkuk mengambil Kapak Maut Naga Geni 212 yang tadi
tercampak di tanah. Lalu dia berpaling pada Si Raja Penidur.
" Kek, kenapa dia tak boleh menolongku" Bentrokan dalam perkelahian tadi
menyebabkan sakit di sekujur badanku! "
Si Raja Penidur tertawa mengekeh. " Aku sudah tua. Usiaku lebih dari seratus
delapan puluh tahun. Masakan bocah sepertimu bisa membohongiku. Kau pura-pura
minta diobati padahal Page 53
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
sebenarnya hanya ingin diusap jari-jari bagus gadis itu! Ayo! Jangan kau berani
berkilah! "
Wiro tertawa lebar dan kembali garuk-garuk kepala.
Datuk Sipatoka melangkah ke hadapan Si Raja Penidur. " Sahabat, kalau tidak ada
kau kami semua di sini tentu sudah menjadi mayat. Aku mewakili mereka
mengucapkan terima kasih. "
Si Raja Penidur hanya mengangguk perlahan lalu menguap.
" Ada satu hal yang ingin aku tanyakan. Menyangkut Ratu Ular. Berapa usia
perempuan itu sebenarnya" " tanya Datuk Sipatoka pula.
Si Raja Penidur geleng-gelengkan kepala. " Aku sudah seratus delapan puluh tahun
lebih Perempuan itu hanya terpaut duapuluh tahun di bawahku... "
" Astaga! " ujar Wiro. " Kalau usianya memang seratus enampuluh tahun, mengapa
kelihatan dia masih begitu muda" Seperti hanya berumur empat puluhan..." "
Si Raja Penidur tertawa bergelak. " Perempuan itu punya kepandaian untuk
mengubah wajah dan keadaan tubuhnya. Masih untung dia jadi perempuan empat puluh
tahunan. Kalau dua puluhan kau pasti sudah naksir! Ha... ha... ha...! "
" Kek, bagaimana kita keluar dari dasar jurang ini" " tanya Wiro.
" Nah, nah! Kau mulai cemas ingin buru-buru keluar dari sini. Tak usah khawatir.
Aku tahu ada lorong rahasia yang membawa kita ke bebukitan di atas sana. Rupanya


Wiro Sableng 082 Dewi Ular di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kau barusan ingat pada gadis berbaju ungu yang menunggumu di atas sana ya" "
Wiro tertawa lebar. " Kau rupanya sudah tahu segalanya Kek! "
Empat orang itu berjalan beriringan. Si Raja Penidur di sebelah depan, Menyusul
Datuk Sipatoka, lalu Sandaka danh di belakang sekali Pendekar 212 Wiro Sableng.
Sambil berjalan, di suatu tempat murid Sinto Gendeng yang suka usil ini ingat
sesuatu. " Sandaka, " bisiknya memanggil. " Semua paku-paku baja murni yang sebelumnya
menancap di kepala dan tubuhmu tercabut mental secara aneh berkat sepasang keris
Nagasona itu. "
" Ya, aku sangat berterima kasih pada gadis ajaib itu. Mungkinkah dia seorang
bidadari..." "
" Anggap saja begitu. Tapi ada hal lain yang ingin aku tanyakan padamu... "
" Apa" "
" Setahuku ada sebuah paku lagi yang menancap di anu-mu! Ingat apa yang aku
lakukan padamu dulu" "
" Lalu..." " tanya Sandaka masih tidak mengerti.
" Apakah tadi paku yang satu itu juga sanggup dicabut mental oleh sepasang keris
sakti itu" "
Sandaka terdiam. Sesaat kemudian dia menjawab. " Tentu saja, kurasa begitu... "
Page 54 Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
" Kau rasa katamu. Agaknya kau sendiri merasa ragu. "
" Tidak, aku tidak ragu. Aku merasa pasti! "
" Kau bicara begitu tapi nada suaramu terdengar ada kebimbangan... Coba kau
periksa. Pegang anu-mu itu untuk membuktikan bahwa paku itu benar-benar tidak
menancap lagi di 'burung'-mu.
" " Sialan kau! " mengomel Sandaka. " Perlu apa aku memegangnya segala"! "
" Tidak apa-apa, hanya sekadar untuk meyakinkan... "
Diam-diam Sandaka menjadi bimbang juga. Dia memandang ke belakang ke arah Wiro.
Murid Sinto Gendeng dilihatnya menyeringai. Akhirnya Sandaka susupkan tangan
kirinya ke balik celana panjangnya.
Dia meraba ke bawah perut, lalu terdengar dia menarik nafas lega.
" Bagaimana" " tanya Wiro.
" Tidak ada! Paku satu itu tak ada lagi di anu-ku! " jawab Sandaka.
" Syukurlah. Kau sekarang benar-benar telah jadi manusia sempurna kembali. Kalau
paku itu masih menancap di sana, apa kau pernah membayangkan gadis mana yang mau
kawin denganmu... "
" Sialan! Jalan pikiranmu kotor amat! " ujar Sandaka.
Dalam gelapnya lorong yang mereka lalui Pendekar 212 tak dapat lagi menahan
tawanya. " Anak sableng! " Si Raja Penidur terdengar mengomel di sebelah depan.
" Kalau kau tak bisa diam, aku lebih baik tidur saja di lorong ini. Kalian boleh
menunggu aku bangun sampai berbulan-bulan... "
" Kek, maafkan diriku... " ujar Wiro.
" Apa yang lucu hingga kau tertawa begitu rupa"! " tanya Si Raja Penidur pula.
" Anu Kek... Maksudku si Anu anu-nya sudah tidak ada anunya lagi. Jadi benarbenar sudah anu... " jawab Wiro.
" Dasar anak gila! " maki Si Raja Penidur.
Di sebelah belakang, Wiro dan juga Sandaka setengah mati menahan tawa.
(Tamat) Page 55 Mentari Senja 3 Pendekar Slebor Geger Di Lembah Tengkorak Golok Kilat 1

Cari Blog Ini