Wiro Sableng 073 Guci Setan Bagian 1
WIRO SABLENG Guci Setan http://cerita-silat.mywapblog.com tempat baca cersil mandarin & indo via HP
Guci Setan PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Episode : Guci Setan
SATU Lereng gunung Merbabu di satu malam buta tanpa bulan tanpa bintang.
Udara dingin bukan kepalang. Kegelapan menghitam di mana-mana. Di beberapa
tempat bahkan sulit ditembus pandangan mata. Di kejauhan lapat-lapat terdengar
suara lolongan anjing. Ketika angin malam bertiup segala sesuatunya laksana
membeku dalam dingin yang luar biasa.
Sekali terdengar lolongan anjing di kejauhan. Tiba-tiba di selatan lereng gunung
kelihatan ada yala api bergerak cepat sekali menuju ke timur.
Bersamaan dengan itu terdengar suara menderu tak berkeputusan seperti ada
sesuatu yang menggerus menjalar perut gunung.
Dalam kegelapan yang kini mendapat cahaya terang dari nyala api ternyata
ada empat sosok tinggi besar bergerak menuju ke timur. Sosok pertama adalah
seorang laki-laki berpakaian serba hitam. Baujnya tidak berkancing. Dadanya
kelihatan penuh ditumbuhi bulu lebat. Bulu ini juga tampak di sepanjang kedua
lengan dan kakinya. Tampangnya yang sangar dan buas hampir tertutup oleh rambut
gondrong awut-awutan, kumis lebat riap-riapan menjuntai bibir serta brewok
cambang bawuk yang meranggas liar. Sepasang matanya kelihatan merah dan
berkilat-kilat oleh nyala api. Sebenarnya orang ini belum mencapai usia empat
puluhan namun keadaan dirinya yang seperti itu membuat dia seperti sudah berumur
hampir setengah abad.
Ada beberapa keanehan yang membuat orang bergidik pada manusia satu ini,
yang berlari di sebelah depan. Di bahu kirinya dia memanggul sesosok tubuh
perempuan yang sudah tidak bernafas lagi alias sudah jadi mayat sejak dua minggu
lalu. Mayat ini tidak sampai rusak atau membusuk karena sebelumnya telah disiram
dengan sejsnis obat pengawet. Mayat yang didukung dan dibawanya berlari itu
adalah mayat seorang perempuan muda berwajah cantik. Namun sepasang matanya yang
membeliak menghapus kecantikannya dan kini kelihatan sangat menyeramkan denga
rambut panjang riap-riapan. Apalagi pada lehernya terlihat sebuah luka dalam
melintang. Lelaki tinggi besar ini ternyata buntung kaki kirinya. Kaki yang buntung itu
disambung dengan sebatang besi. Pada batangan besi sebelah bawah terdapat sebuah
roda bergerigi. Dengan roda gerigi inilah dia meluncur di sepanjang lereng
gunung dalam kecepatan sungguh luar biasa hingga tiga orang di belakangnya
sering-sering tertinggal jauh.
Dalam pelukan tangan kanannya orang berpakaian serba hitam ini membawa
sebuah guci yang bagian luarnya berukir wajah-wajah setan seram, berselang
seling dengan gambar tengkorak manusia. Dari dalam guci keluar kepulan asap
putih serta lidah api. Nyala api inilah yang terlihat di kejauhan, menerangi
tempat-tempat yang dilalui dan terutama sekali menerangi tampang seram orang
itu. Di sebelah belakang lelaki yang memanggul mayat perempuan dan membawa
guci berapi berlari cepat tiga orang berpakaian serba merah. Tampang masingmasing tak kalah seram dan buas. Yang satu memiliki wajah berwarna hitam.
Satunya lagi bertampang hijau sedang yang ketiga bermuka biru gelap. Masingmasing mereka memanggul sebuah pikulan di bahu kanan. Pada ujung pikulan di atas
bahu tergantung sebuah keranjang yang terbuat dari rotan.
"Ramada!" seru salah satu dari ketiga lelaki yang berlari di belakang dan
berwajah hitam pada orang yang membawa mayat dan guci. "Kita sudah berlari
serasa seabad. Kuharap saja kita tidak pergi kea rah yang salah!"
"Betul sekali Ramada!" ikut membuka mulut lelkai bermuka hijau. "Kalau sampai
tersesat di gunung ini celakalah kita!"
"Tenggorokanku sudah kering! Nafasku seperti mau keluar dari ubun-ubun.
Apakah kita tidak bisa berhenti barang sebentar"!" berkata lelaki berpakain
merah ketiga yaitu yang mukanya berwana biru gelap.
Sepertinya orang yang di sebelah depan tidak akan menjawab. Namun sesaat
kemudian terdengar suaranya keras dan membuat tiga orang di belakangnya menjadi
terdiam kecut. "Kalian bertiga kurcaci-kurcaci tolol! Dengar baik-baik apa yang akan kukatakan!
Aku Ramada tidak akan tersessat di gunung ini. Aku tahu setiap sudut gunung
merbabu ini seperti aku mengenali kedua telapak tanganku! Siapa di antara kalian
yang merasa haus atau lapar, minum saja air kencingmu sambil berlari. Makan
kotoranmu sambil berlari!"
Tiga lelaki berpakai merah jadi terbungkam kecut.
"Aku ingin mendengar jawaban kalian!" Orang bernama Ramada berteriak.
"Maafkan kami Ramada!" kata ketiga orang itu berbarengan.
Ramada meludah ke tanah. Dia terus meluncur di atas roda besinya. Tiga orang
anak buahnya itu mengikuti tanpa ada yang berani lagi membuka mulut.
Berlari sekitar sepenanakan nasi di sebelah depan kelihatan kedip-kedip nyala
api kecil. Ramada segera melihat nyala api itu. Begitu juga tiga orang di
belakangnya. Mereka berlari lebih kencang menuju nyala api itu. Ketika didekati ternyata
adalah nyala sebuah obor kecil yang berkalp kelip pertanda minyaknya hampir
habis. Obor ini tergantung pada sebuah tiang besi sebuah bangunan beratap seng
yang sekelilingnya dibatasi dengan pagar besi setinggi tubuh manusia dan
pintunya digembok sampai tiga buah. Di bawah atap seng itu berjnutai banyak
sekali sarang labah-labah. Ada enam ekor labah-labah besar kelihtan mendekam
dalam dinginya udara malam.
Sebuah makam terbuat dari batu tampak menghitam angker dalam bangunan
beratap seng itu. Di atas makam ada taburan bunga yang sudah layu. Di samping
kiri makam di atas sebuah batu rendah panjang tampak duduk bersila seorang
lelaki berjanggut dan berkumis putih. Wajahnya yang tertunduk tidak begitu jelas
terlihat. Blangkon dan pakaian hitam yang dikenakannya sudah tua dan lusuh. Orang ini
duduk bersila memejamkan mata. Kedua tangan ditumpangkan di atas bahu. Kalau dia
tengah bersemedi maka ini adalah cara bersemedi yang aneh.
Ramada menggerakkan kepalanya hingga keringat yang membasahi
tambutnya berlesatan ke udara. Dia berpaling pada tiga orang di belakangnya.
"Kita tidak salah datang ke tempat tujuan. Ini pastilah makam Pangeran Banowo
dan orang yang bersemedi itu pasti kuncen penjaga makam. Namanya Ki
Ageng Lentut."
Tiga orang lelaki berpakaian merah hanya menganggukkan kepala. Sejak dibentak
tadi meraka belum berani membuka mulut lagi. Takur salah berucap.
Ramada maju mendekati pintu besi yang digembok tiga. Dia mendehem keraskeras lalu berkata dengan suara keras.
"Ki Ageng Lentut, salam bagimu. Salam juga bagi penghuni makam. Sesuai
petunjuk aku datang untuk meminta penjelasan atas beberapa hal yang tidak aku
ketahui!" Orang yang duduk di samping makam tidak bergerak. Kepalanya masih
tertunduk dan tangannya masih terletak di atas bahu.
Ramada menunggu sebentar. Ketika tak kunjung ada gerakan atau jawaban dari orang
di samping makam maka diapun berteriak lebih keras, mengulang ucapannya tadi.
Tapi orang di samping makam tetap saja tidak bergerak dan tidak memberikan
jawaban. Ramada mulai jengkel. "Sialan! Tidur lelap atau mungkin tuli dia agaknya!"
Dia berpaling pada salah seorang anak buahnya dan berkata "Jalak Item. Amil batu
itu dan lemparkan pada si kuncen. Arah kepalanya biar dia tahu rasa!"
Orang yang bernama Jalak Item yang mukanya memang berwarna hitam
sesaat tampak bimbang. "Ramada...." Katanya setengah berbisik, "aku kawatir kita
berlaku kurang ajar dan menyalahi aturan. Kuncen itu...."
"Setan! Kataku ambil batu di dekat kakimu itu dan lempar kuncen penjaga
kuburan itu!" bentak Ramada.
Jalak Item terpaksa membungkuk. Begitu menggenggam batu dia tidak segera
melempar. Hatinya berdebar. Dia memandang pada kedua temannya Jalak Ijo dan
Jalak Biru. Kedua orang ini hanya bisa dia tak berani memberi isyarat ataupun
mengeluarkan ucapan.
"Jalak Item! Kau tunggu apa lagi!" bentak Ramada.
Jalak Item akhirnya garakkan tangannya yang memegang batu. Batu sebesar
kepalan itu dilemparkannya kea rah kepala kuncen yang tengah bersemedi di
samping makam. Jalak Ijo dan Jalak Biru menahan nafas sementara Ramada tampak
menyeringai. Sejengkal lagi batu besar itu akan menghantam kepala kuncen tiba-tiba secara
aneh batu itu berbalik mencelat kencang kea rah Jalak Item.
"Jalak Item! Awas kepalamu!" teriak Jalak ijo.
Jalak Item cepat melompat mundur sambil menundukkan kepalanya. Tapi terlambat.
Batu itu datangnya secepat setan berkelebat. Lalu menghantam mata kiri Jalak
Item dengan telak.
Crrooootttt! Batu besar menghancurkan mata kiri Jalak Item. Darah dan hancuran mata muncrat
keluar. Jeritan Jalak Item setinggi langit. Dia jatuh terduduk di tanah dan
berguling-guling beberapa kali. Ramada cepta mendatangi. Dia menotok salah satu
bagian leher anak buahnya itu. Rasa sakit serta merta lenyap tapi darah masih
terus mengucur dari matanya yang hancur, menutupi sebagian muka Jalak Item
hingga tampak mengerikan.
Dari arah makam tiba-tiba terdengar suara tertawa mengekeh.. Disusul suara
orang menegur. "Tamu-tamuku yang terhormat, apakah kalian mendapatkan kesulitan"
Mungkin aku isa membantu"!"
Jalak Ijo dan Jalak Biru melengak. Jalak Item cepat duduk sambil mendekap
mata kirinya sementara tangan kanannya menjangkau pikulannya.
Ramada memalingkan kep[ala kea rah makam. Kuncen berkumis dan
berjanggut putih itu dilihatnya masih seperti tadi. Duduk tak bergerak dengan
kepala tertunduk.
"Hemmm.... Kalau bukan dia tadi yang bicara siapa lagi?" kata Ramada dalam hati.
"Jika saja aku tidak sangat membutuhkan dirinya akan kulumat sekujur tubuhnya
anjing keparat ini saat ini juga!" Setelah memaki begitu Ramada keluarkan tawa
panjang lalu berkata.
"Ki Ageng Lentut, ternyata nama besarmu bukan hisapan jempol belaka!"
"Tamu-tamu yang datang dari jauh, mengapa tidak masuk ke sini!" Kuncen
dekat makam berkata. Kepalanya terangkat sedikit. "Cepatlah masuk. Aku tidak
akan menerima tamu pada saat obor di tiang timur habis minyaknya dan padam!"
"Terima kasih. Kami berempat akan segera masuk. Tapi bagaimana ini. Pintu
pagar makam terkunci. Ada tiga gembok besar menghalangi. Apakah harus kuremukkan
dulu dengan tangan kosong"!" ujar Ramada.
DUA Dari arah makam terdengar suara mengekeh sang kuncen yang bernama Ki
Ageng Lentut itu. Kembali kepalanya tengakat sedikit.
"Aku tahu kehebatan tangan dan kesaktianmu. Siapa yang tidak kenal Ramada Suro
Jelantik, raja di raja tokoh persilatan darai timur. Aku yakin kau bisa
menghancurkan tiga buah gembok besar itu dengan tangan kosong. Tapi apakah ada
gunanya" Merusak itu tidak ada manfaatnya! Lagi pula tiga buah gembok itu adalah
benda-benda pusaka yang usianya hampir dua kali usiamu!"
Dalam hatinya Ramada jadi tercekat. "Kenalpun sebelumnya tidak. Dari tadi
dia hanya menundukkan kepala, tidak mungkin melihat tampangku dengan jelas. Tapi
bagaimana dia tahu nama dan diriku" Benar-benar manusia berkepandaian tinggi!"
"Kuncen makam Pangeran Banowo bernama Ki Ageng Lentut. Bagaimana
kau bisa tahu bahwa yang datang ini aku Ramada Suro Jelantik?" Ramada tak dapat
menahan rasa ingin tahunya.
Sang kuncen di samping makam tertawa perlahan.
"Di dunia ini siapa manusianya yang berjalan laksana angin di atas roda besi
yang hebat kalau bukannya Ramda Suro Jelantik" Dari jauh kudenar suara alat yang
mampu membuatmu berlari dengan kecepatan setan! Lalu kucocokkan dengan bau
badanmu! Tidak salah lagi. Kau memang Ramada Suro Jelantik!"
Ramada memaki lagi dalam hati lalu menarik nafas dalam dan akhirnya menyeringai.
"Ki Ageng Lentut, kuncen makam Pangeran Banowo. Kami ingin masuk,
harap kau suka membuka tiga buah gembok!" Akhirnya Ramada berkata.
"Baiklah, aku akan bukakan pintu pagar!" Kuncen di samping makam angkat tangan
kanannya lalu digerakkan tiga kali.
Trekk....terkk.....treekkkk!
Terdengar suara berkereketan tiga kali berturut-turut. Tiga buah gembok besar di
pintu pagar makam tampak tersentak-sentak lalu terbuka secara aneh. Bersamaan
dengan itu pintu besi yang berat bergeser membuka dengan mengeluarkan suara
berkereketan. "Para tamu dari jauh silakan masuk...." Terdengar kuncen makam berkata.
Tanpa ragu-ragu Ramada melangkah melewati pintu. Jalak Ijo dan Jalak Biru
mengikuti dari belakang. Jalak Item yang masih terduduk di tanah berkata "Aku
tidak ikut masuk. Kuncen keparat itu telah menghancurkan dan membutakan mata
kiriku!" Dari arah makam sang kuncen menyahuti. "Setiap amal perbuatan ada
ganjarannya. Kalau baik akan mendapatkan ganjaran yang baik. Kalau jahat akan
mendapatkan balasan yang jahat. Tinggal manusia mau memilih yang mana. Kalau
sampeyan tidak mau diajak masuk, siapa mau memaksa...?"
"Sudah! Kau tinggal saja di luar sana Jalak Item!" kata Ramada pada anak
buahnya itu lalu meneruskan langkah masuk ke dalam makam.
Ki Ageng Lentut mengangkat kepalanya tinggi-tinggi. Kini kelihatan
wajahnya lebih jelas. Satu wajah tua kelimis dengan janggut dan kumis putih yang
terpelihara rapi. Keningnya tinggi dan rahangnya tampak kokoh.
"Ramada, aku tak mengira banyak sekali bawaanmu," kata Ki Ageng Lentut.
Pandangannya menyambar ke arah guci batu yang ada dalam dekapan tangan kanan
Ramada. "Dan bukan Ramada namanya kalau tidak membawa benda-benda aneh.
Kau boleh meletakkan jenazah yang diawetkan itu di atas makam dan letakkan guci
itu dekat batu tempat dudukku!"
"Maafkan aku Ki Ageng Lentut. Jenazah ini bias kuletakkan di atas makam.
Tapi guci ini biar tetap kupegang di tangan kanan....!" Kata Ramada Suro Jelantik.
Sang kuncen tersenyum.
"Ah, rupanya guci itu jauh lebih berharga dari jenazah perempuan muda dan
cantik yang kau bawa."
"Kira-kira begitu Ki Ageng Lentut," jawab Ramada.
Sang kuncen usap janggut putihnya sambil menatap ke arah guci yang ada
dalam dekapan tangan kanan Ramada. Pandangannya beralih ke arah mayat yang
terbujur di atas makam. Lalu dia bertanya "Ramada, mayat siapakah yang kau bawa
ini?" "Mayat istriku Ki Ageng...."
Ki Ageng Lentut keluarkan seruan tertahan disertai pandangan mata seperti
tidak percaya. Lalu digeleng-gelengkannya kepalanya.
"Ah, rupanya tokoh besar dunia persilatan dating membawa nasib malang.
Aku turut berduka Ramada. Namun apakah sebenarnya yang telah terjadi" Aku
melihat istrimu mati dengan sepasang mata mendelik. Lalu ada luka besar di dekat
lehernya. Setahuku istrimu menguasai ilmu silat dan kesaktian yang tidak rendah.
Bagaimana mungkin dia bisa menemui ajal seperti ini" Bebanmu berat amat Ramada.
Membawa mayat istrimu kemana-mana....."
"Aku akan membawanya sampai ke neraka sekalipun. Aku tidak akan
menguburnya sebelum menemukan pembunuhnya!"
"Jadi istrimu mati dibunuh orang!"
"Betul sekali Ki Ageng. Aku berusaha mencari tahu siapa orangnya. Tapi sampai
saat ini masih gelap. Itu sebabnya aku datang dari jauh untuk menemuimu guna
mendapat petunjuk! Itu pula sebebnya aku membawa guc keramat yang bernama Guci
Setan ini. Menurut banyak orang hanya kau yang bisa melihat kealam ghaib lewat
guci ini."
Kuncen makam Pangeran Banowo itu memandangi guci di tangan Ramada
dengan sepasang mata berkilat-kilat.
"Guci Setan....." desisnya. "Sudah lama aku mendengar nama benda ini. Guci
misterius yang bisa mendatangkan sejuta kebajikan tapi juga bisa menimbulkan
sejuta angkara murka! Guci yang selama ratusan tahun gentayangan dari satu
tangan orang pandai ke tangan orang pandai lainnya. Menjadi rebutan dalam dunia
persilatan. Bagaimana benda keramat ini sampai berada di tanganu Ramada?"
"Panjang ceritanya Ki Ageng. Harap dimaafkan, aku datang kemari bukan untuk
menuturkan riwayat Guci Setan ini, tapi untuk minta bantuanmu, tolong melihat
lewat guci, siapa kiranya manusia keparat yang telah membunuh istriku."
"Jika itu maksud tujuanmu, aku akan membantu. Mudah saja melakukannya.
Memang hanya aku yang mampu untuk melihat dan menembus kea lam gaib lewat
guci sakti itu. Letakkan guci itu di hadapanku Ramada."
"Tidak Ki Ageng. Apapun yang akan kau lakukan guci ini tetap harus berada
Wiro Sableng 073 Guci Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dalam dekapanku," jawa Ramada Suro Jelantik.
Kuncen tua itu tersenyum. "Kau tidak percaya padaku rupanya Ramada?"
"Kepercayaan di atas dunia ini kini hanya setipis embun pagi Ki Ageng.
Terserah, kau mau menolongku dengan cara begini ataau aku akan pergi saja."
"Baiklah, jika kau memang lebih suka begitu aku tidak akan membantah.
Sekarang katakana berapa banyak harta dan uang yang akan kau berikan padaku
sebagai upah melakukan permintaanmu?"
Ramada Suro Jelantik menyeringai. Dirabanya janggut dan cambang
bawuknya yang meranggas kasar.
"Kau lupa Ki Ageng. Aku sudah membayarnya tadi!"
"Eh, apa maksudmu Ramada?" tanya kuncen makam terheran-heran.
"Aku sudah membayar dengan mata kiri anak buahku yang kau bikin hancur
hingga kini dia menjadi cacat buta seumur hidup! Apa itu belum cukup"!"
Berubahlah paras Ki Ageng Lentut. Mulutnya terbuka hendak mengatakan sesuatu
tapi cepat dipotong oleh Ramada. "Aku tahu, kau akan berkata kejadian itu akibat
salah anak buahku sendiri! Tapi ketahuilah bukan begitu cara mengingatkan
sahabat dalam dunia persilatan! Batu yang dilemparkannya bisa saja kau buat
mental ke jurusan lain! Bukan utnuk menghantam matanya hingga cidera seperti
itu!" Ki Ageng Lentut terdiam. Lalu dia berkata "Kurasa aku...."
Ramada Suro Jelantik menjentikkan jari-jari tangannya pada Jalak Ijo. "Jalak
Ijo, kurasa binatang peliharaanmu sudah cukup lapar. Ada enam labah-labah gemuk
di atas atap makam. Mengapa kau tidak menyuruhnya menyantap tiga dari enam
labah-labah itu?"
Jalak Ijo menyeringai. Pikulan di atas bahunya diturunkan. Keranjang yang
ada di ujung pikulan diletakkannya di atas pangkuannya. Perlahan-lahan penutup
keranjang rotan itu dibukanya. Begitu penutup keranjang terbuka tiba-tiba
melesat sebuah benda panjang berkepala lebar pipih, berwarna hijau disertai
suara mendesis.
"Ular Kobra!" seru Ki Ageng Lentut dengan muka pucat dan bersurut jauh di
atas batu yang didudukinya. "Ramada, jangan main-main. Binatang itu sangat
beracun. Sekali patuk saja jangankan manusia. Gajah saja pasti mati! Jauhkan binatang
celaka itu dariku! Aku sangat bendi pada segala macam ular!"
Ramada tersenyum lebar. Dia melirik pada Jalak Ijo.
"Ayo tunggu apa lagi. Beri makan ular kobramu. Walau cuma tiga ekor labahlabah. Lebih baik dari pada harus mematuk kepala kuncen makam ini!"
Jalak Ijo yang memegang keranjang rotan berisi ular kobra betina mengetuk
keranjang itu tiga kali seraya berkata "Ratu hijau. Lihat tiga ekor labah-labah
gemuk di atas atap sana. Itu rejekimu saat ini. Santaplah!"
Kobra hijau di dalam keranjang menaikkan kepalanya lurus-lurus. Tiba-tiba
binatang ini melesat ke atas. Ketika kemudian dia kembali masuk ke dalam
keranjang, di bawah atap seng tiga ekor labah-labah gemuk lenyap dari tempatnya
semula! Jalak Ijo Menyeringai. Perlahan-lahan penutup keranjang rotan ditutupkannya
kembali. Kuncen makam Pangeran Banowo tak berani bergerak. Berkesippun hampir
tidak dilakukannya. "Ular beracun itu kecepatannya seperti setan. Aku harus
berhati-hati. Mungkin belum saatnya aku menjalankan rencana...."
Selagi kuncen berpikir begitu terdengar Ramada Suro Jelantik berkata pada
anak buahnya yang seorang lagi. "Jalak Biru, kukira binatang peliharaanmu juga
sudah lapar. Sayang hanya tingal tiga ekor labah-labah di atas sana. Bagaiman
pendapatmu?"
"Biar mereka berebut rejeki sendiri-dendiri. Siapa yang lebih cepat akan
mendapat santapan enak," jawab Jalak Biru. Lalu dengan hati-hati diturunkannya
pikulannya dari bahu. Keranjang rotan yang tesangkut di ujung pikulan itu
diletakkannya di lantai makam. Perlahan-lahan dibukanya penutup keranjang.
Begitu penutup terbuka menjalar keluar tujuh ekor kelabang berwarna biru.
Kepala, kaki-kaki dan ekornya bergerak kian kemari.
Kembali Ki Ageng Lentut bergidik dan bersurut mundur di atas batu yang
didudukinya. Ramada tersenyum dan berkata "Ki Ageng, kebuasan dan jahatnya racun
tujuh Kelabang Biru itu tidak kalah dengan Ratu Hijau tadi. Jangan sampai kau
membuat erakan yang keliru. Salah-salah kau bisa mereka serang!"
"Kalian membawa binatang-binatang celaka!" kaata Ki Ageng Lentut tak berani
keras-keras. "Jalak Biru. Beri makan binatang peliharaanmu!" kata Ramada pula.
Jalak Biru mengetuk penutup keranjang rotan tiga kali lalu berkata "Sarapan
malam cuma ada tiga. Terserah bagaimana kalian mau merebutkannya!" Lalu Jalak
BIru meniup kea rah keranjang. Tujuh ekor kelabang biru itu mengeluarkan suara
aneh lalu ketujuhnya melesat ke atas. Tiga yang melesat lebih cepat berhasil
menyambar tiga ekor labah-labah. Yang keempet jatuhkan diri kembali ke dalam
keranjang rotan. Selesai menelan mangsanya, tiga kelabang biru tadi baru turun
pula ke dalam keranjang. Jalak Biru cepat menutup keranjang rotan itu kembali.
Ki Ageg Lentut menarik nafas lega. Nyawanya yan gtadi terasa terbang kini
seperti kembali lagi.
"Ki Ageng Lentut, apakah kau masih ingin meminta bayaran?" bertanya Ramada pada
sang kuncen. Orang tua berjanggut dan berkumis putih itu gelengkan kepalanya
berulang kali dengan wajah pucat.
"Nah sekarang pergunakan kepandaianmu untuk melihat kea lam gaib. Siapa
yang telah membunuh istriku." Kata Ramada pula.
"Baik, baik. Akan kulakukan," kata si kuncen ketakutan. Dia trun dari batu
tempatnya duduk lalu berdiri di hadapan Ramada yang mendekap guci berapi itu
dalam gelungan tangan kanannya.
Mula-mula Ki Ageng Lentut meletakkan kedua telapak tangannya di atas mulut guci
yang mengepulkan asap putih dan ada jilatan apinya. Lalu kedua matanya
dipejamkan. Multunya berkomat kamit. Beberaa saat kemudian kelihatan sekujur
tubuh kuncen itu bergetar keras. Kedua telapak tangannya yang ada di atas mulut
guci ikut bergetar. Lalu dari mulutnya meluncur ucapan-ucapan "Guci Setan guci
keramat. Petunjuk bumi petunjuk langit. Lenyap asap padamlah api. Muncullah air keramat.
Ada orang ingin minta pertolongan. Sudi kiranya penguasa guci memberi jawaban
memberi petunjuk."
Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba Ramada, Jalak Ijo dan Jalak Biru melihat
begaimana sekujur tubuh Ki Ageng Lentut berubah menjadi sangat hitam. Kulitnya
tampak mengeriput dan wajahnya jadi sangat mengerikan. Hidung dn kedua matanya
membesar. Telinganya mencuat panjang ke atas dan gigi-giginya menyembul panjang
besar. Lalu dari multunya keluar suara aneh. Bukan suaranya. Tapi suara lain,
halus menggeletar.
"Aku penghuni dan penguasa Guci Setan. Anak manusia apa yang ingin ka
tanyakan" Tapi katakan dulu siapa namamu."
Sesaat Ramada memandang tercekat pada perubahan yang terdiri atas wajah
dan keadaan tubuh kuncen penjaga makam itu. Demikian juga dengan dua anak
buahnya yaitu Jalak Ijo dan Jalak Biru.
"Penghuni dan penguasa Guci Seetan. Namaku Ramada Suro Jelantik...."
"Apa keperluanmu Ramada?" tanya sang kuncen yang kini punya bentuk dan suara
lain. "Aku ingin mengetahui siapa pembunuh istriku," jawab Ramada.
Terdengar suara mengekeh.
"Setahuku kau punya empat istri Ramada. Istrimu yang mana yang dibunuh orang?"
Sesaat paras Ramada nampak berubah. Dia berdehem beberapa kali lalu menjawab.
"Istri tua dan istri keduaku minggat entah kemana. Istri ketiga sudah kucerai
karena main gila dengan orang lain..."
"Ah, jadi istri mudamu rupanya yang dibunuh orang!" kata si penghuni Guci Setan.
"Siapa nama istrimu yang malang itu?"
"Namanya Dardini...."
"Hemm....jadi kau ingin tahu siapa nembunuhnya?"
"Betul. Siapa orangnya dan dimana aku bisa mencarinya!" jawab Ramada.
Kuncen itu melangkah lebih dekat pada Ramada. Kedua telapak tangannya diletakkan
di atas mulut guci dimana kepulan asap dan jilatan lidah api. Kalau Ramada telah
membuktikan kehebatannya sanggup memegang dan mendekap guci yang panas tanpa
cidera, maka kuncen makam memperlihatkan kesaktiannya dimana kedua tangannya
sama sekali tidak apa-apa walaupun dijilati api.
"Api di dalam guci, penghuni dan penguasa guci meminta kau untuk pergi.
Air di alam gaib. Masuk dan isilah Guci Setan. Penghuni dan penguasa guci hendak
melihat ke dalam alam gaib...... Ada anak manusia membutuhkan pertolongan."
Baru saja kuncen itu berkata begitu perlahan-lahan api di dalam guci mengecil.
Bersamaan dengan itu kepulan asap putih menghilang.
Lalu dari dalam guci terdengar suara seperti ada air dicurahkan. Ramada merasa
guci yang dipegangnya itu menjadi lebih berat. Dia membuka matanya lebar-lebar
dn memandang ke dalam guci. Astaga! Di dalam guci itu kini kelihatan ada air
yang tingginya sampai setengah badan guci. Air ini secara anh berputar-putar
dena bersamaan dengan itu terdengar suara aneh seperti tiupan angin halus di
dalam guci. TIGA Ki Ageng Lentut mendorong kepala Ramada yang menghalangi pemandangannya.
Lalu memandang ke dalam guci.
"Air keramat dan angin sakti telah muncul. Penguasa guci telah melihat dan
mendengar. Sekarang perlihatkan mukjizatmu. Ada seorang anak manusia bernama Ramada Suro
Jelantik kematian iatri bernama Dardini. Perempuan muda itu mati dibunuh orang.
Perlihatakan kesaktianmu padaku. Tunjukkan padaku siapa sang pembunuh!"
Putaran air aneh di dalam guci semakin keras begitu juga tiupan angin halus.
Guci bergoncnag keras. Ramada terpaksa memegang Guci Setan itu erat-erat agar
tidak terlepas dari dekapannya.
Perlahan-lahan putaran air dalam guci mulai surut. Bersamaan dengan itu suara
tiuapan angin halus mulai lenyap. Kuncen Ki Ageng Lentut pejamkan kedua matanya.
Ketika mata itu dibuka kembali dan menatap ke dalam guci, kelihatan air dalam
guci tak bergereak lagi. Bibir sang kuncen kelihtan bergerak-gerak. Dia tengah
melafazkan sesuatu agaknya. Lalu terdengar dia berucap.
"Aku penghuni dan penguasa Guci Setan. Aku mulai melihat bayangan seseorang di
permukaan air dalam guci. Jauh samar-samar. Mendekat mulai jelas. Makin
jelas....tambah jelas. Ah.....ternyata seorang pemuda....."
"Kuncen, kau mengenali siapa pemuda itu"!" tanya Ramada Suro Jelantik yang
rupanya sudah tidak sabar utnuk mengetahui siapa adanya orang yang membunuh
istrinya. Sang kuncen yang wajahnya dan kulitnya telah berubah hitam mengerikan menggeram
pendek. "Manusia anjing!" meluncur makina dari mulutnya. "Sekali lagi kau berani
menyelak bicara, kupevahkan kepalamu!"
"Bangsat sialan!" maki Ramada Suro Jelantik, tapi hanya dalam hati. Ingin dia
merobek mulut kuncen tua itu.
"Maafkan aku...." Ujar Ramada dengan suara bergetar menahan marah lalu
mengusap mukanya yang keringatan.
Ki Ageng Lentut menurunkan kepalanya, memandang kembali ke dalam guci.
"Betul.....memang seorang pemuda. Berambut gondrong sebahu..... Keningnya diikat
setangan warna putih. Dia juga mengenakan pakaian putih.... Hemmmm.....lagaknya
sombong sekali. Cengar-cengir seperti orang kurang waras...."
Ki Ageng Lentut mengangkat kepalanya. "Ramada, itu yang aku lihat di permukaan
air dalam guci. Pembunuh istrimu adalah seorang pemuda berambut gondrong,
mengenakan pakaian putih...."
"Jauh-jauh aku datang menempuh hujan dan teriknya matahari. Kau hanya bisa
memberi tahu seperti itu! Sama sekali tidak ada gunanya bagiku! Persetan! Ada
ratusan orang berpakaian putih! Ada ratusan orang berambut gondrong! Kuncen
makam Pangeran Banowo, kau benar-benar mengeewakan aku. Ilmu kesaktianmu yang
pandai mengetahui seribu satu macam kejadian yang sudah lalu maupun yang akan
datang ternyata omong kosong belaka!"
Kuncen tua itu tertawa. "Manusia Anjing! Ucapanku belum selesai. Kau sudah
memotong! Katakan aku yang salah atau kau yang tolol tidak tahu peradatan"!"
"Lalu apa lagi yang hendak kau katakan" Apakah kau tidak bisa mengenali siapa
adanya pemuda itu"!"
Ki Ageng Lentut usap-usap janggutnya lalu rapikan blangkon hitamnya. Sesaat
setelah dia menatap lekat-lekat pada Ramada, kuncen ini kembali melihat ke dalam
guci. "Hemmm....angin meniup baju pemuda yang tak terkancing. Dada penuh otot,
tanda kekuatan yang hebat. Eh, apa itu..... Aku melihat sesutau di pertengahan
dadanya. Ada rajah tiga buah angka di dada itu. Angka 2....1....2....! 212!" Paras Ki
Ageng Lentut berubah keras membesi. Dia mengangkat kepala, menatap manusia
bernama Ramada Suro Jelantik. "Anak manusia bernama Ramada. Aku sudah tahu
siapa pembunuh istrimu.... Tak pelak lagi. Rajah tiga angka itu! Dia adalah Wiro
Sableng. Tokoh silat muda yang dikenal dengan gelaran Pendekar Kapak Maut Naga
Geni 212! Benar-benar tidak disangka! Pendekar yang begitu diagung-agungkan
ternyata adalah seorang pemerkosa dan pembunuh keji biadab!"
Tampang angker Ramada Suro Jelantik tampak seganas harimau lapar yang
terluka. Sekujur tubuhnya bergeletar.
"Pendekar 212 keparat!Akan kutebas batang lehermu! Kuminum darahmu!
Kulumat sekujur tubuh dan tulang-tulangmu!" teriak Ramada. Dalam amarah yang
mendidih tidak terkendali lagi tangan kirinya bererak memukul ke samping.
Tiang besi penyanggah atap seng bangunan makam putus dihantam pukulan Ramada.
Atap di atasnya langsung jatuh miring. Kuncen makam hendak memaki marah tapi
Ramada lebih dahulu membentak garang hingga mulut sang kuncen seperti
terkancing. "Jadi dia pembunuhnya! Kuncen! Lihat lagi k edalam guci! Pergunakan kepandaianmu
untuk melihat dimana pemuda keparat itu saat ini berada!"
Perlahan-lahan Ki Ageng Lentut kembali melihat ke dalam guci. "Aku lihat
pemandangan seperti ada laut. Pantai.... Pemuda pembunuh itu berada di pantai.
Tapi tak dapa kupastikan apakah dia berada di pantai Utara atau di pantai
Selatan....."
"Kuncen!"
"Tunggu dulu! Dalam guci aku melihat gambaran apa yang telah terjadi dengan
istrimu. Aku melihat satu bangunan kayu di sebuah lembah yang ada danau kecil di
depannya...."
"Itu tempat kediamanku!!" kata Ramada pula.
"Gelap..... PErtanda saat itu malam hari. Ada bayangan putih berkelebat.
Orang ini menerobos masuk ke dalam sebuah kamar lewat jendela. Ada seorang
perempuan berbaring tidur di atas ranjang..."
"Itu pasti istriku Dardini!" kata Ramada tegang. Kedua tangannya dikepalkan.
Ki Ageng Lentut memandang kembali ke dalam guci. "Istrimu terbangun.....
Terjadi perkelahian tapi singkat sekali. Orang yang masuk berhasil menotok
perempuan itu. Dalam keadaan tak berdaya dia dibaringkan di atas ranjang.
Seluruh pakaiannya dibuka dengan paksa. Lalu..... Ya ampun..... Orang itu memperkosa
istrimu Ramada....."
"Jahanam!" teriak Ramada sambil tegak berdiri. Dia seperti hendak mengamuk.
Tapi Ki Ageng Lentut cepat berkata.
"Duduk kembali Ramada. Apa yang kulihat di dalam guci ini belum selesai...."
Untuk beberapa saat lamanya Ramada masih tetap berdiri dengan sekujur tubuh
bergetar dan keringatan. Kemudian akhirnya dia duduk kembali di hadapan kuncen
itu. Sang kuncen melihat lagi ke dalam guci. "Betul Ramada dia memperkosa
istrimu. Tapi lihat! Istrimu tiba-tiba bisa melepaskan totokannya.
Hebat sekali! Kembali terjadi perkelahian. Istrimu berhasil mendesak pemuda itu. Eh, apa itu"
Aku melihat ada cahaya menyilaukan berkiblat. Hemmm, si pemuda ternyata
mengeluarkan sebuah senjata. Sebuah kapak bermata dua! Jelas ini adalah Kapak
Maut Naga Geni 212! Istrimu tidak berdaya menghadapi senjata sakti itu Ramada.
Satu bacokan mendarat dekat pangkal lehernya..... Istrimu roboh.
Pemuda itu melarikan diri...."
Geraham Ramada terdengar bergemeletukan. "Bangsat itu tak akan bisa lari
terus. Aku akan segera menemukannya. Coba kau lihat ke dalam guci Ki Ageng!
Bantu aku menemukan pendekar jahanam itu!"
"Sudah kubilang tadi Ramada. Dia saat ini berada di daerah pantai. Mungkin
di Selatan, mungkin juga di Utara. Ad satu cara untuk memancing kemunculannya.
Pergi ke puncak gunung Gede kediaman gurunya. Seorang nenek sakti bernama Sinto
Gendeng. Bunuh tua bangka itu. Masakan Pendekar 212 tidak akan keluar dari
sarangnya mengunjukkan diri untuk mencarimu"! Aku sudah letih Ramada. Aku
penghuni dan penguasa Guci Setan segera akan kembali ke alam gaib. Kapan saja
kau ingin petunjukku lebih lanjut kau boleh menghubungiku..."
"Tunggu dulu!" kata Ramada setengah berteriak.
Ki Ageng Lentut yang kemasukan roh aneh itu tidak perdulikan teriakan orang.
Kedua tangannya diletakkan di atas mulut guci. Mulutnya komat kamit. Kulitnya
yang tadi hitam pekat dan berkeriput kini berubah kembali ke warna asalnya.
Wajahnya yang mengerikan juga kembali ke rupa aslinya. Hidung dan kedua matanya
yang tadi membesar kini mengecil lagi. Begitu juga telingnya yang mencuat dan
Wiro Sableng 073 Guci Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gigi-giginya yang menyembul besar, kembali ke bentuk semula.
Dari dalam guci kelihatan asap putih mengepul. Bersamaan dengan itu tampak
lidah api menjilat keluar. Perlahan-lahan kuncen itu melangkah mundur, lalu
duduk di atas batu. Sekujur tubuhnya basah oleh keringat. Suaranya yang tadi
halus menggeletar kini terdengar seperti semula.
"Ramada.... Kau sudah mendapatkan apa yang kau inginkan. Tubuhku letih, aku ingin
bersemedi dan tidur dalam semediku. Kuharap kau dan anak buahmu segera angkat
kaki dari tempat ini."
"Ki Ageng Lentut, aku....."
Ramada Suro Jelantik hentikan ucapannya. Dilihatnya sang kuncen saat itu
pejamkan kedua mata, kaki disilangkan di atas batu dan kedua tangannya
diletakkan di atas bahu.
"Sialan!" maki Ramada. Dia meludah ke lantai makam lalu berdiri. Dengan bantuan
Jalak Ijo dan Jalak Biru mayat kaku istri mudanya dinaikkan ke atas bahu
kirinya. Di tangan kanannya Ramada memegang guci erat-erat. "Sialan!" makinya
lagi. "Kita harus segera pergi dari sini. Kalian harus mencari kuda tunggangan.
Gunung Gede jauh di sebelah Barat."
"Kita pasti akan mendapatkan kuda begitu sampai di kaki Gunung Merbabu,"
kata Jalak Ijo.
Di depan makam Jalak Item masih terduduk di tanah. Meski darah tidak lagi
mengucur dari mata kirinya yag hancur namun rasa sakit membuat dia mengerang
terus-terusan. "Kau mau ikut atau tinggal di sini"!" betnak Jalak Biru pada temannya itu.
Perlahan-lahan Jalak Item berdiri. Dia tidak segera mengikuti Ramada dan kawankawannya melainkan melangkah dulu kea rah bangunan makam.
"Kuncen keparat! Matamu boelh kau pejamkan. Aku tahu telingamu tidak tuli.
Kau dengar baik-baik. Satu hari aku pasti datang mencarimu untuk membalas apa
yang kau lakukan padaku. Aku akan menagih hutang berikut bunganya. Aku akan
mengorek kedua matamu sekaligus!"
Di atas batu kuncen Ki Ageng Lentut teidak bergerak. "Kuncen bangsat!"
rutuk Jalak Item. Dia meludah makam batu di depannya lalu berpaling dan
tingalkan tempat itu sambil tangan kirinya menekap matanya yang pecah dan buta.
EMPAT Meski di langit matahari bersinar terik namun di puncak Gunung
Merbabu itu udara tetap saja terasa dingin. Satu bayangan putih berkelebat
cepat. Mula-mula gerakannya terlihat di lerang sebelah Timur. Lalu lenyap dan tahu-tahu
muncul lagi di ketinggian yang hampir mencapai puncak. Orang yang berlari dengan
gerakan sebat ini ternyata adalah Pendekar 212 Wiro Sableng, murid Eyang Sinto
Gendeng dari Gunung Gede. Di puncak gunung, dia membutuhkan waktu cukup lama
sebelum akhirnya menemui makam Pangeran Banowo.
Makam Itu kosong, diselimuti kesunyian dan udara dingin.
"Aku datang terlambat! Sebelumnya dia pasti berada di sini," kata Pendekar
212 dalam hati lalu memandang berkeliling. Di atas makam tampak tebaran bungabunga yang sudah layu. Di salah satu tiang makam tergantung sebuah obor yang
telah lama padam. Satu tiang lainnya tampak bengkok dan patah hingga atap makam
yang terbuat dari seng kelihatan miring. Murid Sinto Gendeng ini kernyitkan
kening ketika di lantai dilihatnya banyak jejak-jejak kaki. "Agaknya dia tidak
sendirian di sini. Siapa bersama dia" Kemana mereka sekarang?"
Wiro memperrhatikan halaman liar sekitar makam. Lalu matanya membentur
bercak-bercak hitam di tanah. Lalu mengorek bagian tanah yang ada bercak-bercak
kehitaman itu. "Bekas-bekas darah yang sudah mengering...." Katanya dalam hati.
"Sesuatu telah terjadi di tempat ini." Perlahan-lahan Wiro berdiri lalu
melangkah kembali ke arah makam. Baru saja sampai di depan pintu pagar makam
yang bergembok tiga tiba-tiba dia mendengar suara derap kaki kuda. Murid Eyang
Sinto Gendeng berpaling ke jurusan datangnya suara itu. Tapi derap kaki kuda
tadi serta merta lenyap. Wiro garuk-garuk kepala. "Mungkin aku salah dengar,"
katanya sambil garuk-garuk kepala. Di puncak gunung seperti ini siapa orangnya
yang mampu menunggang kuda begitu cepat!" Karena tak mau merusak pintu pagar
makam, Wiro memanjat pintu itu lalu masuk ke dalam. Selagi dia memperhatikan
keadaan makam, beberapa tombak dari sana, terlindung di balik semak belukar liar
yang lebat, seorang dara berpakaian ringkas warna biru dan berikat kepala kain
merah berkata pada orang di sebelahnya sambil mengepalkan tangan.
"Paman,lihat! Pemuda tak dikenal itu memanjat pintu pagar makam. Kurang
ajar.....!" Tangannya bergerak menurunkan sebuah busur dari bahunya.
"Jangan-jangan dia pula yang telah merusak salah satu tiang atap makam....!"
Menyahuti lelaki berambut putih di sebelah sang dara.
"Kurang ajar! Lihat! Dia kini bahkan berani membaringkan diri, tidur menelentang
di atas makam ayahanda! Saya tidak bisa berdiam diri lebih lama. Saya akan
tambus tubhnya dengan lima anak panah sekaligus!" Lali si gadis berpakaian biru
itu menarik lima anak panah dari tabung bambu di punggungnya. Begitu disusupkan
ke tali busur dia segera membidik ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng yang karena
keletihan enak saja merebahkan diri di atas makam batu Pangeran Banowo.
"Tunggu dulu Dewi.... Aku punya firasat pemuda itu bukan orang
sembarangan....."
"Paman! Bagaiman kau ini! Oarng telah mengotori bahkan merusak makam
ayahanda kau masih bilang tunggu! Siapapun adanya pemuda itu dia harus kita
hajar! Lagi pula ini saatnya kau menyaksikan sendiri kehebatan ilmu panah warisanmu!"
"Dengar Dewi. Aku akan kelur dair semak-semak ini. Aku akan bicara dengan
orang itu. Kau tetap berada di sini. Bukan mustahil dia datang tidak
sendirian...."
Dewi Santiastri si gadis tak menjawab. Namun begitu pamannya melangkah
ke arah makam dia segera melompat dari semak belukar. Lima anak panah yang
terpentang di busurnya dibidikkan ke arah Pendekar 212 yag masih asyik-asyikan
berbaring-baring di atas batu makam bahkan sambil bersiul-siul perlahan!
Murid Sinto Gendeng ini baru melompa tbangun ketika sepasang telinganya
menangkap suara langkah-langkah kaki.
"Astaga! Ada orang mendatangi. Sudah dekat baru aku dengar langkahnya.
Pasti dia memiliki ilmu kepandaian tinggi!" kata Wiro dalam hati dan
memperhatikan ke depan. Dia melihaat seorang lelaki berpakaian putih bagus,
berusia sekitar enam puluh tahun tetapi berwajah segar dan klimis melangkah dan
berhenti di pagar makam.
Yang membuatnya tercekat adalah ketika melihat di belakang lelaki berambut putih
itu ada seorang dara berpakaian serba biru. Parasnya cantik tampak beringas
pertanda bahwa setiap saat dia benar-benar akan melepaskan lima anak panah yang
dibidikkan ke arahnya. Wiro mencoba tersenyum dan garuk-garuk kepala! Sang dara
membentak dengan keras.
"Pemuda kurang ajar! Jangan senyum-senyum cengengesan! Berani kau
bergerak kutambus sekujur tubuhmu dengan panah-panah ini!"
"Astaga....! Eh, apa-apaan ini! Enak saja kau mengatakan aku pemuda kurang
ajar" Di mana" Kapan" Kenalpun tidak. Melihatmupun baru sekali ini!" Wiro
berpaling pada lelaki berambut putih yang tegak di pagar makam. Dengan mimik
keheranan dia bertanya "Bapak, dapatkah kau menjelaskan apa masalahnya" Dan
siapa kalian bedua" Gadis cantik itu puterimu?"
"Anak muda, seperti yang dikatakan keponakanku. Kau telah berlaku kurang ajar!"
"Aku telah berlaku kurang ajar"!"
"Kau telah memasuki makam salah seorang leluhur Kerajaan secara kurang ajar!
Dengan cara memanjat"
"Ah....!" Wiro memandang berkeliling sambil garuk-garuk kepala. Lalu
kembali menatap lelaki di hadapannya. "Mungkin benar aku telah berlaku kurang
ajar. Tapi kau lihat sendiri. Pintu pagar digembok. Jadi terpaksa aku memanjat...."
"Memanjat seperti monyet!" mendamprat gadis berbaju biru. "Kau bukan saja
melompati pagar. Malah berani tidur di atas makam ayahku!"
"Ah, bagaimana ini! Harap maafkan! Aku tidak tahu. Benar-benar tidak tahu
kalau ini adalah makam ayahmu. Apalagi tadi pamanmu bilang ini adalah makam
salah seorang leluhur Kerajaan. Aku mana bisa menduga begitu" Setahuku orangorang penting Kerajaan dimakamkan di satu tempat khusus di pinggiran kota...."
"Bcaramu banyak amaat! Paman, menyingkir kekiri edikit. Biar kuhantam manusia
kurang ajar ini!"
Sang paman mengangkat tangannya memberi tanda agar keponakannya jangan
melepas anak-anak panahnya.
"Anak muda, sekalipun kau tidak tahu itu makam atau kubur siapa, tapi yang
namanya manusia beradab dan berbudi serta beradat tidak akan pernah memasuki
makam seseorang tanpa izi keluarganya, apalagi dengan cara melompati pagar lalu
tidur-tiduran!"
"Aku memang salah besar!" Wiro berkata sejujurnya. "Aku ke sini mencari
seseorang. Tapi yang kucari sudah lenyap. Karena keletiha lalu membaringkan diri
di atas batu makam yang dingin sejuk itu.... Aku memang salah besar. Mohon aku
diberi maaf..."
"Karena tertangkap basah kau lalu berdalih tengah mencari seseorang dan
keletihan! Enak saja becaramu! Paman, menyingkirlah...."
"Tunggu Dewi. Biar aku bicara dulu dengan pemuda ini," kata sang paman.
"Orang muda, tahukah kau saat ini berada di makam siapa?"
"Aku tidak tahu," jawab Wiro Sableng.
Makam yang barusan kau panjat pagarnya dan kau tiduri adalah makam Pangeran
Banowo. Aku adalah adiknya dan gadis ini adalah puteri Pangeran Banowo.
Aku sendiri adalah Pangean Banuarto."
Sepasang mata Pendekar 212 jadi terbelalak. Lalu dia cepat-cepat menjura.
"Mohon maafmu. Aku tidak tahu tengah berhadapan dengan seorang Pangeran. Aku
juga tidak tahu kalau ini adalah makam pangeran Banowo yan dalam hidupnya pernah
menolong diriku."
"Paman! Jangan dengarkan ucapannya. Siapa percaya dirinya. Setelah sadar
berbuat salah kini malah bilang ayahanda pernah menolongnya! Kadal ini pandai
bicara paman. Hati-hatilah! Jangan sampai kita dikelabi."
"Anak muda, katakan siapa namamu dan siapa orang yang kau cari di tempat
ini. Aneh rasanya kalau ada seseorang di puncak Gunung Merbabu."
"Namaku Wiro.... Aku memang benar mencari seseorang di tempat ini. Hanya saja
mohon dimaafkan aku tidak dapat memberi tahu siapa orangnya ataupun namanya."
"Paman! Kau lihat bagaimana dia melakukan kebohongan!" kata Dewi Santiastri.
Pangeran Banuarto tidak begitu memperdulikan kata-kata keponakannya. Dia
mencoba mengingat-ingat apakah pernah mendengar nama Wiro itu sebelumnya.
Akhirnya dia berkata.
"Anak muda, melihat ada obor yang sudah padam di salah satu tiang makam,
berarti kau sejak malam tadi telah berada di tempat ini."
Wiro menggeleng. "Aku barusan saja datang. Waktu datang obor itu sudah
ada di sini dalam keadaan padam."
"Lalu mengapa kau merusak salah satu tiang atap makam"!" tanya Pangeran
Banuarto pula. "Bukan aku yang merusaknya. Tiang itu sudah berada dalam keadaan seperti itu
ketika aku datang."
"Bohong! Pendusta besar!" teriak Dewi Santiastri. Gadis ini tidak dapat lagi
menahan kesabaran dan kemarahannya. Dia melompat ke kanan sambil merentangkan
busur lebih dalam. Ketika tangan kanannya bergerak melepas, lima anak panah
melesat dengan mengeluarkan suara berdesing. Lima senjata itu laksana kilat
terbang ke arah lima baigan tubuh Pendekar 212. Pangeran Banowo berseru kaget
tapi tak bisa berbuat apa.
Murid nenek sakti dari Gunung Gede itupun sempat terkesiap. Sekalipun dia
bisa melompat secepat kilat tak mungkin dia sanggup menghindari sekaligus kelima
anak panah yang menyerang lima bagian tubuhnya yang berbeda.
"Celaka!" keluh Wiro. "Seumur hidup belum pernah aku melihat kepandaian
memanah seperti ini! Setan sekalipun takakan bisa lolos dari bidikkannya!"
Sadar kalau dia tidak akan dapat menyelamatkan diri dengan cara melompat
maka Pendekar 212 segera lepaskan pukulan sakti "benteng topan melanda samudra"
Serangkum angin deras menderu. Pangeran Banuarto berseru kaget dan cepat
menyingkir. Tapi badannya sebelah kanan masih sempat disambar angin pukulan
sakti itu hingga melintir dan terhempas keras. Kalau saja dia tidak memiliki
ilmu meringankan tubuh pasti dia akan jatuh terhenyak ke tanah. Sementara itu
Dewi Santiastri juga berteriak kaget. Karena dia tegak dengan kaki terkembang
tepat di tengah jalur hantaman pukulan sakti Pendekar 212 maka tak ampun lagi
tubuhnyapun terpental jauh, mencelat ke udara.
Di udara gadis puteri mendiang Pangeran Banowo ini membuat gerakan aneh.
Tubuhnya yang kena hantaman angin serangan berjungkir balik duakali berturutturut lalu tubuh itu tampak melayang dan seperti seekor burung kedua kakinya
hinggap di cabang sebuah pohon besar. Meskipun gadis ini memiliki kepandaian
tinggi dan mampu meredam pukulan sakti yang dilepaskan Wiro, tapi jelas wajahnya
kelihatan pucat tanda ada bagian dalam tubuhnya yang cidera. Ketika dia melompat
turun, si gadis merasakan dadanya berdenyut sakit. Kedua kakinya tertekuk.
Sebelum dia jatuh berlutut pamannya ceat mendatangi dan merangkul tubuhnya.
"Dewi... Kau tak apa-apa...?"
"Saya tidak apa-apa paman. Hanya ada sedikit rasa ngilu di bagian dada....."
Pangeran Banuaro memapah keponakannya itu ke dekat sebuah pohon lalu
mendudukkannya di akar pohon itu. Sementara itu dari arah makam terdengar suara
orang mengeluh. Ketika Pangeran Banuarto dan Dewi Santiastri memandang ke arah
makam mereka melihat pemuda berambut gondrong itu tersandar ke paga makam
sebelah dalam sambil memegangi paha kanannya. Sebatang panah tampak
menancap di paha itu. Celana putihnya berlumuran darah. Rupanya waktu lima anak
panah menyerbunya dihantam dengan pukulan "benteng topan melanda samudra" hanya
empat panah yang sanggup dibuat mental. Satu anak panah masih sempat menyusup
menghantam pahanya.
Rahang Pendekar 212 tampak menggembung menahan sakit. Wajah dan
tubuhnya basah oleh keringat. Dia berteriak keras ketika secara nekad mencabut
anak panah yang mennancap di pahanya. Dengan geram anak panah itu dipatahkannya
lalu dibatingkannya ke lantai makam. Lalu dengan satu geakan dia melompati pagar
makam dan berdiri di hadapan Pangeran Banuarto serta keponakannya.
Sepasang mata Pendekar 212 memandang berkilat-kilat pada Dewi Santiastri.
"Dengan melukaiku seperti ini, apakah kini kau dan pamanmu sudah puas"!"
Si gadis hanya bisa diam dan terbelalak. Mukanya masih sangat pucat.
Sementara Pangeran Banuarto terdengar menarik nafas dalam tapi juga tidak
berkata apa-apa.
Dari balik pakaiannya Wiro mengeluarkan sebuah bungkusan kecil lalu
melemparkannya dekat kaki Dewi Santiastri.
"Apa ini?" tanya Pangeran Banuarto.
"Gadis keponakanmu itu mengalami luka dalam. Akan sangat berbahaya kalau
tidak segera minum obat itu," Habis berkata begitu Pendekar 212 memutar tubuhnya
dan melangkah pergi.
Pangeran Banuarto memandang pada Dewi Santiastri. "Kalau dia manusia jahat, dia
tidak akan memberikan obat ini untukmu...." Si gadis hanya bisa mengangguk.
Melihat orang begitu baik dan polos terhadapnya ada bayangan rasa menyesal di
wajahnya yang pucat. Pangeran Banuarto cepat berdiri dan berseru.
"Anak muda! Tunggu! Jangan pergi dulu!"
Wiro hentikan langkahnya dan berpaling. Pangeran Banuarto berlari
mendatanginya. "Aku menyesalkan ada kesalah pahaman antara kita bertiga.
Tujuanku dan Dewi ke puncak gunung ini adalah untuk menziarahi makam Pangeran
Banowo...."
"Ada yang aku tidak mengerti. Sebagai seorang Pangeran seharusnya dia dimakamkan
di pekuburan keluarga stana. Nyatanya dia dimakamkan di tempat ini.
Jauh dari Kotaraja. Jauh dari keluarga Istana."
"Apa yang kau katakan betul. Namun sebelum meninggal Pangeran Banowo
pernah berpesan pada istrinya. Aku mendengar sendiri. Jika ajalnya sampai dia
ingin dimakamkan di puncak Gunung Merbabu ini. kami keluarga yang ditinggalkan
tidak berani menyalahi pesan itu. Sultan sendiri juga tidak mau melarang.
Pangeran Banowo akhirnya dimakamkan di puncak Gunung Merbabu ini tiga tahun yang
lalu. Pemakamannya dengan upacara kebesaran Kerajaan...."
Saat itu Dewi Santiastri telah datang pula ke tampat itu. Pamannya cepat
memegang bahunya. Wajah si gadis tampak kemerahan dan dia berkata "Paman tak
usah kawatirkan saya. Obat yang tadi diberikannya sudah saya telan walaupun
tanpa air. Saya merasa lebih sehat sekarang." Lalu gadis ini berpaling pada
Pandekar 212. Dia hendak mengatakan sesuatu namun Wiro mendahului.
"Aku kagum dengan kepandaianmu memainkan panah. Dari manakah den ayu belajar?"
"Namaku Dewi Santiastri. Panggil aku dengan nama itu. Tidak usah dengan
sebutan den ayu segala...." Lalu pandangan matanya tertuju pada paha Wiro yang
berlumuran darah. "Aku tidak tahu harus meminta maaf bagaimana.... Aku benar-benar
menyesal...."
Wiro tertawa. Dia berkata pada Pangeran Banuarto. "Pangeran," katanya,
"Keponakanmu memberikan sau pelajaran baik padaku. Aku harus lebih banyak
belajar dan berlatih silat agar gerakanku lebih cepa hingga kelak akan sanggup
Wiro Sableng 073 Guci Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berkelit dari serangan panahnya. Aku harap saja panah itu tidak beracun...."
"Tidak, panah itu tidak beracun," kata Dewi Santiastri. "Aku ingin menanyakan
sesuatu." "Menyangkut hal apa?" tanya Wiro.
"Ketika masih hidup ayah memang pernah bercerita tentang seorang pendekar
besar muda usia. Bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Apakah kau
orangnya?"
Wiro tertawa. "Nama kami bisa saja sama. Tapi gelar sehebat itu mana orang
setoloku ini bisa menyandangnya?"
Si gadis jadi terdiam beberapa saat lamanya. Sebelum dia sempat mengatakan
sesuatu pamannya sudah bicara duluan.
"Anak muda, terus terang selain berziarah ke makam Pangeran Banowo, perjalanan
kami ke sini sebenarnya juga tengah menyirap kabar."
"Menyirap kabar" Kabar apakah?" tanya Wiro.
"Sebuah benda keramat milik Kerajaan yang selama ini disimpan secara rahaia,
lenyap dari tempat penyimpanannya sekita empat tahun lalu. Padahal benda itu
jika disalah gunakan bisa mendatangkan malapetaka." Menerangkan Pangeran
Banuarto. "Kebetulan aku yang bertanggung jawab atas benda itu. Sebenarnya
beberapa tahun lalu aku sudah mengusulkan pada Sultan agar benda itu dimusnahkan
saja karena lebih banyak bahayanya dari pada manfaatnya."
"Kalau aku boleh tahu, benda apakah itu gerangan, Pangeran?" bertanya Pendekar
212. "Sebuah guci keramat. Bernama Guci Setan. Orang bisa meminta sesuatu yang baik
tetapi juga sesuatu yang jahat pada Guci Setan itu. Sekarang karena aku tahu
bahwa kau seorang dari dunia persilatan maka aku minta bantuanmu untuk mencari
tahu dan menyirap kabar di mana adanya Guci Setan itu dan siapa pencurinya.
Kami mendengar selentingan yaitu setelah empat tahun tidak diketahui jejaknya
tiba-tiba satu bulan yang lalu Guci Setan itu pernah terlihat di daerah selatan
dan tengah dibawa e daerah sekitar sini. Tapi keterangan yang aku dapat sengat
sedikit sehingga tidak bisa dipakai untuk bahan pengusutan."
"Pangeran Banuarto, aku tidak bisa menjanjikan apa-apa. Tapi aku akan berusaha
membantumu. Kita berpisah di sini...."
"Saudara," Dewi Santiastri berkata "Dalam keadaan terluka seperti itu tentu
sulit bagimu berjalan kaki, apalagi berlari. Kau bisa memakai kudaku...."
Pendekar 212 tersenyum lebar. "Terima kasih. Kebaikan hatimu telah
membuat lukaku sembuh! Lihat!" lalu Wiro angkat paha kanannya yang tadi
tertancap panah. Dengan tangan kanannya dia memukul-mukul paha yang luka itu.
"Sama sekali tidak sakit. Sudah sembuh!" Padahal sebenarnya waktu memukul tad
Pendekar 212 manahan sakit yang amat sangat. Hal ini diketahui oleh Dewi
Santiastri dan pamannya.
"Kau harus memakai kudanya," kata Pangeran Banuarto.
"Saya masih sanggup berjalan. Bahkan berlari!" kata Wiro. Lalu dia berkelebat
tinggalkan tempat itu. Tapi larinya terpincang-pincang. Padahal ini disengaja.
Pangeran Banuarto dan Dewi Santiastri sama-sama tersenyum.
"Entah mengapa aku justru punya firasat, pemuda itu tadi memang adalah Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212."
"Saya justru sudah tahu kalau dia memang Pendekar 212 dari Gunung Gede.
Waktu tadi dia mengeluarkan bungkusan obat dari balik pakaiannya, bagian depan
bajunya yang tidak dikancing tersingkap lebar. Saya melihat ada rajah angka 212
di dadanya yang bidang dan berotot...."
"Keponakanku!" kata Pangeran Banuarto sambil memegang kedua
bahu Dewi Satniastri. "Mengapa tidak dari tadi-tadi kau katakan?"
Si gadis tidak menjawab. Hanya di dalam hatinya tiba-tiba saja dia sangat ingin
bertemu lagi dengan pemuda berambut gondrong itu. Paman dan keponakan itu
kemudian melangkah ke arah bangunan makam. Tiba-tiba si gadis berseru seraya
menunjuk ke arah makam.
"Paman! Lihat! Tiang atap yang patah sudah tersambung kembali!"
Pangeran Banuarto berlari mendekati makam. Apa yang dikatakan keponakannya
memang betul. Tiang yang patah kini kelihatan dalam ke adaa lurus. Bagian
patahan sebelah atas bertumpu pada bagian bawah. Atap makam kini tidak miring
lagi. "Siapa yang telah memperbaikinya" Sungguh aneh!" kata Pangeran Banuarto.
"Hanya kita bertiga tadi di tempat ini. Dia, saya paman. Saya jelas tidak
melakukannya. Paman juga. Berarti...."
"Berarti dia yang melakukannya!" kata Pangeran Banuarto pula. Orang tua ini
mengusap rambutnya yang putih berulang kali. "Bagaimana dia melakukannya"
Dlamkeadaan terluka pula!"
Diam-diam Dewi Santiastri semakin merasakan penyesalan yang mendalam di
lubuk hatinya. "Kalau saja aku dapat segera menemuinya akan kuminta maaf beribu
maaf padanya. Bisakah aku menemuinya lagi?"
LIMA Di cabang paling atas pohon setinggi empat puluh kaki itu tampak seorang kakek
duduk berjuntai sambil uncang-uncang kakinya. Dari mulutnya terdengar suara
aneh, entah dia sedang meracau entah menggerutu atau sedang menyanyi. Janggut
putihnya yang sepanjang dada melambai-lambai tertiup angin. Suara dari mulutnya
baru berhenti bilamana dia meneguk dengan lahap tuak murni yang ada dalam tabung
bambu dan diletakkannya di pangkuan. Sebuah tabung bambu lagi tergantung di
belakang punggungnya. Kedua mata orang tua ini tampak kemerahan akibat pengaruh
minuman keras itu.
Untuk kesekian kalinya dia meneguk tuak dari dalam atabung bambu. Lalu dia
memandang ke arah pepohonan di sekelilingnya.
"Panas terik menggila! Tak ada burung tak ad angin!" si kakek seperti menggerutu
pada dirinya sendiri. "Aneh, mengapa aku berada di puncak pohon ini"
Astaga, jangan-jangan aku sudah mabuk. Betul mabuk" Tidak! Aku masih bisa
menghitung jari-jari tanganku sebelah kiri ini. Satu, dua, tiga, empat, lima,
enam....Eh! Apa ada jari tangan manusia enam buah" Jangan-jangan benar aku sudah
mabuk!" Walau jalan pikirannya seperti itu tapi enak saja dia kembali mendekatkan bibir
tabung bambu ke mulutnya. Lalu gluk.... Gluk....gluk tuak dalam bambu ditenggaknya
dengan lahap. Puas meneguk tuak murni yang menebar bau harum itu si kakek seka
mulutnya dengan kain biru yang terselempang di dadanya. Setelah itu sambil
kembali uncang-uncang kaki seperti anak kecil yang kesenangan dia menyanyi lagi.
Tapi tiba-tiba orang tua ini hentikan nyanyiannya. Kepalanya ditinggikan.
Telinganya dipasang baik-baik. Dia mendengar suara menderu aneh di kejauhan
disertai suara-suara kaki berlari.
Orang tua itu mendongak ke langit. "Aku tak melihat apa-apa!" katanya. Lalu dia
memaki sendiri. "gila! Kalau orang berlari tentu saja bukan di langit sana tapi
di bawah situ!" Lalu si kakke memandang ke bawah pohon. "nah, apa kataku! Ada
empat bayangan berkelebat. Aduh, cepat sekali. Terutama yang di depan itu.
Heh.....aneh. Dia seperti memiliki sebuah roda di ujung kaki kirinya. Dia lari di
atas roda yang berputar menggelinding! Apa yang dibawanya di tangan kanan" Eh,
di bahu kirinya dia memanggul sosok tubuh perempuan. Siapa orang ini"
Hemmm....ada tiga orang berlari di belakangnya. Muka mereka berwarna aneh-aneh.
Apa isi keranjang rotan yang mereka pikul itu heh" Jelas mereka bukan pedagang
sayuran. Hik...hik...hik! Mereka berlari cepat di siang bolong di lereng Gunung
Gede! Sepertinya mereka punya satu keperluan penting! Ah, perduli setan dengan
mereka. Selama mereka tidak mengganggu diriku, aku tak perlu mengurusi mereka.
Eh, kenapa yang di depan itu tiba-tiba berhenti" Tiga tannya juga berhenti
berlari. Hemmmm tampang-tampang mereka kumal dekil dan angker. Bau tubuh mereka tercium
sampai kemari!"
Di bawah pohon keempat orang itu bukan lain adalah Ramada Suro Jelantik
dan tiga orang anak buahnya yaitu Jalak Item yang kini mata picak sebelah. Lalu
Jalak Ijo dan Jalak Biru.
"Ada apa kau berhenti Ramada?" tanya Jalak Ijo.
"Aku mencium bau sesuatu. Sesuatu yang harum! Aneh di tengah hutan belantara di
lereng gunung begini ada bau seperti ini!"
Tiga orang anak buah Ramada sama meninggikan kepala lalu mengendus dalam-dalam.
"Kau betul Ramada," kata Jalak Ijo. "Aku juga dapat mencium bau aneh itu. Pasti
ada seseorang di sekitar sini. Jangan-jangan tua bangka bernama Sinto Gendeng
itu tempat kediamannya di sekitar sini."
"Bagus! Kalau begitu coba kalian periksa pada tiga jurusan sampai sejarak
seratus tombak! Aku menunggu di sini!"
Jalak Ijo dan kawan-kawannya segera melakukan apa yang diperintah oleh Ramada.
Tak lama kemudian ketiganya muncul satu persatu.
"Aku tidak menemukan apa-apa, Ramada," kata Jalak Item.
"Aku juga. Tak ada bangunan atau tempat kediaman di sekitar sini,"
menerangkan Jalak Ijo
"Sama, tak ada orang tak ada rumah," kata Jalak Biru pula.
Di atas pohon kakek berjanggut putih menyeringai lebar. "Empat ekor monyet
itu mancari kian kemari. Tidak tahunya yang mereka cari ada di atas pohon ini.
Bau yang mereka cium sudah pasti bau arak kayanganku ini!"
"Ramada," di bawah pohon Jalak Ijo berkata "apakah kita akan meneruskan
perjalanan atau kau tetap menginginkan mencari sumber bau harum itu sampai
dapat?" "Sudah, kita teruskan saja perjalanan! Puncak gunung tak seberapa jauh lagi."
Jawab Ramada Suro Jelantik. "Tua bangka guru Pendekar 212 itu harus kita temui
dan bereskan secepatnya!" Ramada lalu memutar tubuhnya. Kaki kirinya yang
disambung dengan sebuah roda besi bergerigi menderu lalu meluncur deras menebar
pasir dan tanah di sebelah belakang. Tiga orang anak buahnya segera menyusul.
Ketika sang surya mulai condong ke Barat, keempat orang itu akhirnya sampai di
Pedang Pembunuh Naga 11 Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long Misteri Rumah Berdarah 7
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama