Ceritasilat Novel Online

Hari Hari Terkutuk 3

Wiro Sableng 065 Hari Hari Terkutuk Bagian 3


"Asal kau mau, kau pasti dapat melakukannya. Untuk itu pertama sekali kau
harus mempunyai kepandaian silat serta dasar-dasar ilmu tenaga dalam...."
"Aku sama sekali tidak memiliki kepandaian apapun!" jawab Antini.
"Anak, kau tak usah khawatir. Aku akan mengajarkan padamu dalam waktu
singkat. Tiga kali purnama kurasa sudh cukup bagimu untuk menguasainya. Aku
maklum kalau tiga bulan tidak mungkin bagimu untuk berbuat banyak dalam
menghadapi manusia-manusia terkutuk itu. Untuk itu kau akan kuajarkan ilmu kedua
yaitu ilmu penyamaran dan mempergunakan akal serta pikiran. Kecerdikan selalu
dapat mengalahkan kekuatan atau musuh yang bagaimanapun hebatnya....Nah yang
jadi pertanyaan kau mau mendekam selama tiga bulan di tempat ini bersamaku?"
Antini tak segera menjawab. Dia seperti berpikir-pikir. Kemudaian perlahanlahan kepalanya dianggukkan.
Si nenek terawa lebar. Antini memperhatikan ada satu keanehan pada wajah
orang tua ini tapi dia belum dapat menerka keanehan apa yang tersembunyi di
balik wajah tersebut. Hanya ada satu pertanyaan yang tidak terjawab yaitu siapa
sebenarnya perempuan tua ini dan mengapa dia mau memberikan pertolongan....
Antini memandang pada Pendekar 212 Wiro Sableng. Pemuda ini telah
menyelamatkannya. Lalu apakah dia dapat dipercaya" Dari nama dan gerak geriknya
BASTIAN TITO 40 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Antini merasa bimbang. Sejak malapetaka besar yang menimpa suaminya dan dirinya
sendiri kepercayaan terhadap lelaki boleh dikatakan sudah tidak ada lagi. Setiap
dia melihat lelaki langsung timbul rasa curiga dan jijik. Dan ada kobaran rasa ingin
membunuh semua lelaki yang ada di dunia ini!
Wiro sendiri setelah mendengar penuturan Antini menjadi sangat kasihan pada
perempuan malang ini. Dalam hatinya timbul rasa ingin menolong.
"Jadi selama tiga bulan kau digembleng oleh Nenek Tidar itu?"
Antini mengangguk.
"Tiga bulan waktu yang sangat singkat. Apapun ilmu yang kau miliki
sekarang ini rasanya belum cukup untuk dapat membalaskan dendam kesumat
sementara dirimu sendiri akan jadi bulan-bulanan maa bahaya."
"Aku tahu. Nenek Tidar juga berkata begitu. Itu sebebnya dia berpesan agar
aku mempergunakan akal dan kecerdikan dalam melawan kekuatan dan kedurjanaan.
Dengan kepandaian menyamar yang diajarkan terbukti aku berhasil membunuh salah
seorang dari mereka. Aku berpura-pura jadi pelacur. Dengan cara itu aku dapat
membunuh Tunggul Anaprang. Sekarang tinggal empat orang lagi. Aku yakin akan
dapat menghabisi mereka semua. Yang paling aku incar adalah Kebo Panaran...."
"Masalahnya yang kau hadapi bukan saja sulit dan berat. Tapi juga berbahaya.
Kalau kau percaya padaku, aku bersedia membantumu."
Antini memandang lagi pada Pendekar 212. "Kau telah menolongku. Aku
berterima kasih. Tapi apakah aku percaya padamu, itu hal lain. Biar aku
melakukan pembalasan sendiri. Kalaupun aku mati, aku pasrah. Mungkin itu lebih baik
bagiku!" Murid Eyang Sinto Gendeng hanya bisa garuk-garuk kepala.
BASTIAN TITO 41 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
SEBELAS Rumah makan Simpang Tiga yang memang terletak di simpang tiga Jati Gombol
milik Among Kuntoro sangat terkenal akan kelezatan masakannya. Selain itu
harganya tidak mahal, cukup terjangkau oleh mereka dari golongan bawah
sekalipun. Siang itu Wiro duduk di satu sudut rumah makan sambil menunggu nasi yang
dipesannya. Dia tak lama menunggu, seorang pelayan lelaki muda bertampang lugu
menggunakan pakaian serta kopiah merah kebesaran dan wajah berswlomotan arang
dapur dating membawakan pesanannya. Sikapnya agak kikuk. Wiro tersenyum.
Begitu pelayan hendak pergi Wiro cepat pegang lengannya seraya berkata "Dulu kau
menyamar sebagai pelacur. Sekarang sebagai pelayan rumah makan. Apayang akan
terjadi hari ini, Antini?"
Wajah pelayan yang celemongan tampak menjadi pucat. Dalam hati dia
berkata "Matanya tajam sekali." Lalu pelayan ini bertanya "Bagaimana dia bisa
mengenali diriku?"
"Kau mengajarkan agar berlaku cerdik. Nah aku hanya mengikuti ajaranmu.
Kau bisa merubah pakaian dan wajahmu serta sikapmu seratus kali dalam satu hari.
Tapi kau tidak bisa merobah kedua matamu. Aku mengenali mata dan caramu
memandang."
"Kalau kau sudah tahu jangan macam-macam. Aku tak mau segala rencana
yang sudah kususun akan menjadi berantakan gara-gara keusilanmu!" Si pelayan
yang memang Antini adanya merengutkan tangannya. Baru saja dia melangkah masuk
ke bagian dalam rumah makan, di halaman depan dua pengunggang kuda yang baru
dating menambatkan kuda masing-masing lalu masuk ke dalam rumah makan dengan
sikap seolah-olah tempat itu milik mereka. Orang pertama berkepala botak gemuk
dengan wajah berminyak. Dia menggunakan pakaian dan ikat kepala berwarna merah.
Sebuah celurit besar tergantung di pinggang kanannya. Orang ini bukan lain
adalah Bargas Pati. Teman Bargas Pati yang mengenakan pakaian dan ikat kepala hijau serta
membekal dua buah golok tentu saja adalah Legok Ambengan. Kedua orang ini
duduk terpisah satu meja dari tempat Wiro asyik menyantap makanannya sambil
angkat kaki. Seorang pelayan bukan Antini mendatangi. Bargas Pati menggebrak meja.
"Kami sudah lapar. Kau melayani seperti siput! Siapkan ikan bakar dan ayam
goreng. Jangan lupa sayuran. Cepat! Jangan lupa letakkan satu kendi tuak dan satu kendi
air putih di meja ini!" Kembali Bargas Pati menggebrak meja hingga pelayan di
depannya terlonjak kaget.
Si pelayan membungkuk lalu cepat-cepat berlalu dari situ. Di balik pintu
ruangan dalam Antini memperhatikan. "Mereka hanya dating berdua. Kebo Panaran
dan perempuan bernama Ambar Parangkuning tidak kelihatan. Biar yang dua ini saja
dulu aku kerjakan...." Lalu Antini masuk ke dalam menemui pelayan yang satu tadi.
"Agar kau tidak kena semprot dua monyet itu, biar aku yang menyiapkan dan
menghidangkan makanan mereka."
Di tempat duduknya Wiro memperhatikan dengan sudut mata. "Dari cerita
Antini, jangan-jangan dua orang ini adalah manusia-manusia terkutuk itu. Agaknya
sesuatu akan terjadi di tempat ini...."
Tak selang berapa lama, pelayan muda itu muncul membawa makanan yang
dipesan Bargas Pati dan Legok Ambengan, lengkap dengan minuman.
BASTIAN TITO 42 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Pelayan muka banci! Untung kau yang datang. Kalau pelayan tadi pasti
sudah kutampar karena lama sekali!"
Si pelayan membungkuk dan meletakkan semua makanan dan minuman di
atas meja dengan sigap. "Mungkin ada pesanan lain?" Tanya si pelayan dengan
hormat sekali. Bargas Pati mengusap kepalanya yang botak lalu tertawa. "Suaramu
halus seperti tikus cerurut! Sudah pergi sana!" Setelah membungkuk si pelayan
memutar tubuh dan kedua orang itu segera saja menyantap makanan mereka. Sambil
makan mereka bicara dengan suara perlahan.
"Kalau nanti Kebo Panaran datang, sebaiknya kita bicarakan soal harta dan
uang yang kita sembunyikan itu," akta Bargas Pati.
"Maksudmu?" Tanya Legok Ambengan sambil menggeragot paha ayam
goreng. "Aku kawatir. Tempat kita menyembunyikan uang dan harta itu sewaktuwaktu bisa bocor...."
"Kalau Ambar Parangkuning yang kau takutkan, bukankah kita sudah
memindahkan barang dan uang itu ke tempat lain?" ujar Legok Ambengan.
"Sebaiknya harta kekayaan itu segera kita bagi tiga saja. Lupakan si Ambar
yang minggat itu." kata Bargas Pati pula.
"Kalau sudah dibagi lantas apa?"
Belum sempat Bargas Pati menjawab pertanyaan Legok Ambengan itu tibatiba dia merasakan perutnya seperti dibalik-balik. "Sialan! Perutku mulas!"
"Gila! Aku juga!" kata Legok Ambengan. Lalu cepat-cepat dia meneguk tuak
dalam kendi maksudnya agar mulasnya hilang. Justru rasa mulas itu makin
menggila. "Tunggu aku di sini. Aku akan mencari kakus dulu!"
"Aku juga! Kita sama-sama ke belakang! Sialan!" maki Bargas Pati seraya
bangkit dari kursinya. Sambil bergegas ke bagian belakang rumah makan Bargas
Pati kembali mengomel. "Keparat! Ada yang tidak beres dengan makanan dan minuman
di sini! Selesai buang hajat kita harus selidiki, Legok!"
"Aku setuju. Akan kupatahkan batang lehernya kalau nanti ternyata
makanannya ada yang basi atau mengandung racun!"
Sampai di belakang ternyata hanya ada satu kakus. Dan saat itu sedang diisi
seorang tamu. "Kurang ajar. Siapa di dalam. Lekas keluar!" teriak Bargas Pati
lalu digedornya pintu kakus. Terdengar suara orang di dalam. Lalu pintu terbuka
sedikit. Satu kepala bermuka bopeng muncul "Ada apa..." Orang ini bertanya. Bargas Pati
cekal kerah pakaian orang itu lalu menariknya dengan kasar keluar kakus. Si
bopeng yang hanya mengenakan baju tanpa celana itu tentu saja berteriak-teriak.
"Hai! Apa-apaan ini! Aku belum selessai! Apa kau sudah gila"!"
Bargas Pati bantingkan orang itu ke lantai lalu masuk ke dalam kakus sambil
membantingkan pintu. Sementara itu Legok Ambengan yang sudah tidak tahan,
dalam keadaan kalang kabut enak saja menongkrong dekat cucian piring. Seorang
perempuan tua yang nyinyir yang sedangmembasuh sayuran dekat tempat itu
mengomel. "Tua bangka edan! Jangan di situ!"
"Perempuan celaka! Apa katamu!" teriak Legok Ambengan. Lalu "Plaakk!"
Tangan kanannya menampar hingga perempuan itu terbanting ke dekat sumur.
Dari dalam rumah makan bergegas keluar seorang lelaki separuh baya. Dia
adalah Among Kuntoro pemilik rumah makan itu. Dia suah tahu apa yang terjadi
maka dia cepat berkata.
"Saudara tamu, seratus langkah di belakang sana ada sebuah parit. Airnya
cukup bersih. Pergilah kesana..."
BASTIAN TITO 43 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Setan! Kenapa kau tidak bilang dari tadi!"
Legok Ambengan lalu lari ke arah yang ditunjuk pemilik rumah makan.
Seperti yang dikatakn memang tidak jauh dari situ ada sebuah parit berair
jernih. Disitu ditemuinya juga sebuah dinding gedek yang rupanya memang dibuat untuk
orang yang hendak buang hajat. Maka Legok Ambengan segera nongkrong di balik
dinding gedek itu.
Kembali ke dalam kakus rumah makan. Sekujur tubuh dan wajah Bargas Pati
mandi keringat. Tapi sekarang dia benar-benar merasa lega setelah buang hajat.
"Gila! Baru sekali ini aku mengalami begini! Pasti ada yang tidak beres dengan makanan
di sini. Ada orang yang bermaksud jahat! Masakan hanya aku dan Legok saja yang jadi
begini"! Keparat betul!"
Selagi si botak gemuk ini mengomel dalam hati seperti itu tanpa diketahuinya
sebuah benda meluncur dari atas atap bangunan kakus. Benda ini ternyata adalah
seutas ambang hitam yang ujungnya melingkar berbentuk buhul besar. Tanpa suara
tali itu meluncur terus melewati kepala botak Bargas Pati. Ketika Bargas Pati
merasakan ada sesuatu yang menyentuh bagian belakang kepalanya lalu melihat ada
benda yang lewat di depan mata dan hidungnya, dia pergunakan tangan untuk
menangkapnya. "Seran! Apa pula ini...."!" Bentaknya. Itulah ucapan terakhir dalam hidupnya.
Baru Bargas Pati sadar apa yang terjadi. Namun sudah terlambat. Dicobanya
menarik ali itu. Namun jiratan semakin kencang. Semakin dicobanya melepaskan diri
semakin kencang gelungan tambang di batang lehernya. Dia coba berdiri. Tambang di atas
kepalanya seperti ditarik dengan cepat dan lehernya kembali terjirat kencang.
Kedua mata si botak ini mulai memdelik. Mulutnya terbuka dan lidahnya mulai terjulur.
Ketika di sebelah atas kembali tambang ditarik dan kedua kaki Bargas Pati tidak
lagi berpijak ke lantai kakus, terdengar suara berderak patah dan tanggalnya atulang
leher lelaki ini. Kedua kakinya melejang-lejang bebeapa kali. Setelah itu tubuhnya tak
berkutik lagi. Bersamaan dengan itu sesosok tubuh yang mendekam di atas atap
bangunan kakus cepat menyelinap turun tanpa satu orangpun melihatnya!
Tak lama kemudian Legok Ambengan muncul di belakang rumah makan.
Celana hijaunya basah kuyup. Selesai membuang hajat dia berusaha mencuci celana
itu. Bagaimanapun dicucinya bau busuk yang melekat di situ masih tercium santar.
Begitu sampai di pintu belakang rumah makan, dia berteriak. "Mana pemilik rumah
makan ini!"
Among Kuntoro bergegas mendatangi dengan wajah ketakutan. "Ada yang
tidak beres dengan masakanmu! Aku dan kawanku kau beri makanan basi pasti!"
"Tidak bisa jadi, semua makanan baru dimasak pagi tadi," jawab Among
Kuntoro. "Kalau makanan di sini tercemar mengapa hanya saudarar tamu berdua saja
yang diserang mules?"
"Kalau begitu pasti ada yang menaruh sesuatu di makanan kami! Kau harus
bertanggung jawab!"
"Maafkan saya saudara tamu. Semua kebersihan dan pelayanan kami selalu
terjamin..."
"Diam!" sentak Legok ambengan. 'Aku dan kawanku minta ganti kerugian.
Kau harus bayar sepuluh ringgit perak pada kami berdua!"
"Saudara tamu. Bagaimana bisa begitu. Saya..."
"Kalau tidak kau berikan, akan kaim bakar rumah makan ini dan kupatahkan
batang lehermu!"
Pucatlah wajah Among Kuntoro. Saat itu Legok Ambengan ingat pada Bargas
Pati. "Mana kawanku"!" tanyanya berteriak.
BASTIAN TITO 44 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Di....dia masih di dalam kakus...." jawab Among Kuntoro.
"Dalam kakus.... Mengapa lama sekali"!" Legok Ambengan tiba-tiba saja
merasa tidak enak. Untuk pergi ke parit, buang hajat lalu mencuci celana dan
kembali ke rumah makan itu jelas dia membutuhkan waktu cukup lama. Dalam waktu yang
sebegitu mustahil Bargas Pati juga mendekam dalam kakus. Maka dia melangkah
menuju kakus dan menggedor pintunya.
"Bargas! Jangan kau ngeram dalam kakus ini. Cepat! Ada sepuluh ringgit
perak menunggu kita!"
Tak ada jawaban dari dalam kakus. Legok Ambengan hendak berlalu tapi dia
berbalik lagi dan kembali menggedor.
"Bargas! Kau tuli apa bisu"! Ayo cepat keluar!"
Tetapi tak ada jawaban dari dalam kakus. Legok Ambengan dari tidak enak
jadi curiga. "Kalau kau masih tak menjawab akan kudobrak pintu kakus ini!"
mengancam Legok Ambengan. Sementara itu beberapa orang tamu yang mendengar
suara ribut-ribut dan ingin tahu apa yang terjadi berdatangan ke belakang rumah
makan. Seorang diantaranya adalah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Setetlah beberapa kali menggedor dan berteriak memanggil-manggil
kawannya itu dan tetap tak ada jawaban, Legok Ambengan pergunakan kaki


Wiro Sableng 065 Hari Hari Terkutuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kanannya untuk menendang pintu kakus. Pintu yang terbuat dari kayu tipis dan
rapuh itu pecah berantakan. Legok Ambengan menanggalkan sisa-sisa daun pintu yang
masih menempel. Namun kemudian, ketika dia memandang ke dalam kakus, satu
teriakan keras keluar dari mulutnya. MUkanya pucat dan kedua kakinya yang
gemetar bersurut ke belakang!
Rumah makan yang ramai itu menjadi geger ketika mayat si botak Bargas Pati
akhirnya ditemukan dalam kakus dalam keadaan tergantung. Mata mencelet, lidah
terjulur. Ada darah keluar dari hidung dan telinganya. Yang menusuk mata Bargas
Pati tergantung hanya mengenakan baju saja. Celana merahnya terongok di lantai
kakus. "Seseorang telah membunuh temanku!" teriak Legok Ambengan marah.
Dalam marahnya dia melompat ke hadapan Among Kuntoro dan mencekik leher
orang ini. "Kau bertanggung jawab atas kematian temanku! Katakan siapa yang
menggantungnya!"
Tentu saja pemilik rumah makan itu tidak bisa menjawab. Legok Ambengan
jadi kalap. Tinjunya menderu menghantam muka si pemilik rumah makan hingga
hidungnya patah dan darah mengucur. Tubuh Among Kuntoro kemudian
dibantingnya ke lantai. Ketika hendak diinjaknya satu suara terdenagr berkata.
"Kawanmu itu mungkin saja bunuh diri! Coba kau periksa dulu....!"
"Bangsat! Siapa yang barusan berani bicara"!" bentak Legok Ambengan. Dia
memandang berkeliling. Dengan geram dipalingkannya kepalanya ke arah kakus yang
pintunya terpentang lebar. Saat itulah baru Legok Ambengan melihat kalau di
kerah baju merah yang dikenakan Bargas Pati teselip secarik kertas. Legok Ambengan
masuk ke dalam kakus dan berjingkat untuk dapat mengambil kertas itu. Begitu
gulungan kertas dibuka berubahlah paras Legok Ambengan. Dia segera mengenali
bentuk tulisan itu. Sama dengan tulisan yang ditinggalkan pembunuh Tunggul
Anaprang yang dibunuh di rumah pelacuran tempo hari. Bedanya kalau dulu ditulis
dengan darah, yang ini ditulis dengan kayu arang.
Di situ tertulis dengan jelas :
Orang kedua dari kalian tamat riwayatnya. Kalian bertiga tinggal menunggu
giliran untuk menghadap roh suamiku di pintu akhirat!
BASTIAN TITO 45 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Jadi..... jadi dia...." Desis Legok Ambengan dengan bibir bergetar. "Janganjangan dia masih ada di tempat ini...." Legok Ambengan memandang berkeliling.
Pandangannya membentur wajah Pendekar 212 Wiro Sableng. "Aku rasa-rasa pernah
melihat tampang ini sebelumnya. Tapi di mana..." Selagi Legok Ambengan
mengingat-ingat kedua matanya jatuh pada sosok tubuh pelayan yang tadi
membawakan makanan dan minuman pesanannya. "Eh....Tampangnya memang lain.
Tapi sosok tubuhnya sama besar dengan pemuda di kali tempo hari. Dan..." Legok
Ambengan kembali berpaling pada Wiro. Dia ingat! "Pemuda gondrong ini adalah
orang yang menolong pemuda di kali itu...."
Sekali lompat saja Legok Ambengan sudah mencekal leher pakaian Wiro.
"Mana temanmu itu.... Lekas katakan di mana dia!"
"Temanku banyak. Satu diantaranya yang mampus gantung diri itu! jawab
Wiro seenaknya. "Teman yang mana maksudmu"!"
Amarah Legok Ambengan jadi mendidih. Surat yang dipegangnya
ditempelkannya ke kening Wiro. "Temanmu di kali dulu. Dia yang menulis surat
ini. Pasti!" "Ah, temanku semua buta huruf. Tak pandai menulis tak tahu baca..."
"Setan kau berani mempermainkanku!" teriak Legok Ambengan marah. Lalu
tinjunya melayang ke muka Pendekar 212.
Namun jotosan murid Eyang Sinto Gendeng mendarat di ulu hati Legok
Ambengan lebih dulu. Orang ini terpekik dan terpental dampai tiga langkah.
"Manusia haram jadah!" rutuk Legok Ambengan. Kedua tangannya bergerak ke
pinggang. Sepasang golok andalannya kini tergenggam di tangan kiri kanan. "Setan
gondrong! Kucincang tubuhmu!" teriak Legok ambegan. Dua bilah golok berkiblat.
Wiro cepat menyingkir. Orang serumah makan itu kembali gempar. Legok Ambengan
memburu Wiro dengan kedua goloknya. Namun setengah jalan langkahnya tertahan.
Dia mendengar suara berdesing di belakangnya. Goloknya diputar di belakang
punggung. "Trang!"
Sebuah pisau belati terbang terpental kena sambaran golok. Namun itu hanya
satu dari empat serangan pisau terbang yang sanggup dimentahkannya. Satu
berhasil dielakkan. Yang ketiga dan keempat menancap di punggung kiri dan pinggang
kanannya! Legok Ambengan menjerit keras. Dalam keadaan terhuyung-huyung dia coba
memutar tubuh untuk melihat siapa yang membokongnya. Dia melihat pemuda
pelayan berkopiah merah tegak bertolak pinggang memandang tak berkesip dengan
padangan angker ke arahnya.
"Kau... Kau Antini...." Desis Legok Ambengan.
Sambil menyeringai si pelayan buka kopiah merahnya. Semua orang yang ada
di situ kecuali Wiro melengak ketika melihat di atas kepala si pemuda tergelung
rambut hitam panjang. Pemuda itu goyangkan kepalanya. Rambut yang tergelung
tanggal dan jatuh ke bahu.
"Astaga! Pelayan ini perempuan rupanya!" seseorang berseru.
"Tidak disangka wajahnya cantik sekali." Seorang lain ikut berkata sementara
si pemilik rumah makan yaitu Among Kuntoro tercengang-cengang. Diapun tidak
pernah menyangka kalau pelayan yang baru bekerja beberapa hari itu ternyata
adalah seorang perempuan muda berparas sungguh jelita.
Dalam keadaan seperti itu si pelayan yang tentu saja Antini adanya melangkah
mendekati Legok Ambengan. Setengah jalan dia membungkuk dan dengan cepat
mengambil golok milik Legok Ambengan yang tadi jatuh. Legok Ambengan yang
BASTIAN TITO 46 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
lemas karena banyak mengeluarkan darah dari dua luka di tubuhnya coba menangkis
dengan goloknya sewaktu Antini membacokkan senjatanya ke arah kepalanya.
"Trang!" Golok di tangan Legok Ambengan mental.
"Jangan! Jang...." Teriakan Legok Ambengan putus berubah menjadi jeritan
dahsyat ketika Antini menyorongkan goloknya ke bagian bawah perut lelaki itu.
Darah muncrat mengerikan. Saat itu Antini sendiri merasakan tubuhnya menjadi
limbung. Selagi dia terhuyung dan tersandar ke dinding bangunan rumah makan,
Pendekar 212 cepat mendatanginya. "Aku sudah menyiapkan dua ekor kuda di
halaman samping. Lekas tinggalkan tempat ini!" Tanpa banyak bicara Antini
mengikuti saja ketika dengan cepat Wiro menarik dirinya meninggalkan tempat itu.
Sementara rumah makan dalam keadaan kacau balau keduanya berlalu dari situ.
BASTIAN TITO 47 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
DUA BELAS Wiro dan Antini memacu kuda masing-masing menuju Selatan sementara sinar
sang surya yang tadinya putih silau dan terik kini berangsur menjadi lembut
kekuningan tanda hari mulai memasuki rembang petang.
"Ke mana tujuanmu sekarang?" Tanya Wiro.
"Masih ada dua orang manusia terkutuk yang harus kucari. Kebo Panaran dan
perempuan bernama ambar Parangkuning itu"
"Terus terang aku memuji ketabahan dan keberanianmu. Kau telah berhasil
membunuh tiga dari lima manusia terkutuk itu. Itu bukan pekerjaan mudah.
Setahuku di dekat sini ada sebuah telaga kecil. Kuda-kuda tunggangan ini perlu istirahat
dan diberi minum. Dekat telaga ada pedataran rumput kecil. Keduanya bisa melepaskan
lelah sambil merumput..."
Antini tidak menyahut. Tapi ketika Wiro membelokkan kudanya mengambil
jalan menuju telaga yang dikataknannya itu, Antini iktu membelok.
Telaga itu terletak di sebuah lembah kecil yang subur. Dikelilingi oleh pohonpohon rimbun serta bebatuan. Airnya jernih dan hawa di situ sejuk sekali. Wiro
dan Antini turun dari kudanya masing-masing dan melepas kedua kuda itu di pedataran
rumput segar. Wiro membasuh mukanya dengan air telaga sementara Antini duduk di
atas sebuah batu merendam kedua kakinya yang bagus ke dalam telaga.
"Perutku lapar. Sayang kita tak membekal makanan..." kata Wiro sambil
merebahkan diri di atas rerumputan dan memandang ke langit lepas. Dari balik
pakaiannya Antini mengeluarkan sebuah bungkusan kecil. Ketika dibuka isinya
ternyata beberapa potong kue. Makanan itu diberikannya kepada Wiro. "Kalau lapar
makanlah..."
Wiro mengambil sepotong kue. Sambil mengunyah dia berkata. "Kue itu pasti
kau curi di rumah makan itu."
Antini tersenyum.
"Ah! Ini kali pertama aku melihatmu tersenyum!" kata Wiro.
"Aku memang mencuri keu-kue ini di rumah makan. Tapi kau tidak lebih baik
dariku. Kau makan dan minum di rumah makan itu, lalu enak saja ngeloyor tidak
membayar!"
"Astaga! Kau betul!" kata Wiro sambil garuk-garuk kepala hingga rambutnya
berselomotan minyak kue yang dimakannya. "Tapi tak usah khawatir. Sudah ada yang
membayar."
"Siapa?" tanya Antini heran.
"Kau!" jawab Wiro.
"Aku?" Antini jadi heran.
"Betul. Kau sudah bekerja di rumah makan itu beberapa hari. Berapapun
kecilnya pasti kau harus menerima upah. Nah upah yang belum kau ambil itulah
pembayar makanan dan minuman yang kusantap siang tadi!"
Mau tak mau Antini tidak dapat menahan tawanya. Suara tawanya lepas dan
merdu. Namun suara tawa ini terhenti sewaktu salah seekor kuda yang masih
merumput tiba-tiba mengeluarkan suara meringkik. Wiro cepat bangkit sedang
Antini sudah melompat dari atas batu.
"Aku melihat bayangan seseorang di balik pepohonan sana!" kata Wiro lalu
berkelebat mengejar. Tapi begitu sampai di dekat deretan pohon-pohon, bayangan
yang dimaksudnya sudah lenyap tanpa bekas. Dia kembali ke tempat Antini.
BASTIAN TITO 48 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Dilihatnya perempuan muda itu tengah mengambil sesuatu yang tersisip di
kelebatan bulu-bulu leher kudanya. Benda itu adalah segulung kertas.
"Kertas ini sebelumnya tak ada di sini...." kata Antini.
"Ada orang yang melemparkannya. Pasti dia berkepandaian tinggi kerana
bukan perkerjaan mudah menyusupkan gulungan kertas di antara bulu-bulu di leher
kuda. Coba kau buka. Kurasa sepucuk surat..."
Antini membuka gulungan kertas itu. Di sebelah dalam gulungan kertas ini
ternyata diberati dengan sepotong kayu pangjang kecil. Dengan adanya kayu itu,
seseorang akan lebih mudah untuk melemparkan gulungan kertas. Dengan dada
berdegub Antini membuka gulungan kertas. Seperti yang dikatakan Wiro, kertas itu
ternyata memang sepucuk surat.
Kebo Panaran berada di Goa Srindil di kaki timur bukit Batu Merah. Dia
akan ada di tempat itu pada purnama hari ketiga belas.
"Purnama hari ketiga belas...." desis Pendekar 212. "Berarti besok malam..."
"Aku akan segea menuju ke sana. Bukit Batu Merah satu hari satu malam
perjalanan dari sini!" kata Antini.
"Tunggu dulu!" kata Wiro sambil cepat memegang tangn perempuan itu.
Sebelumnya jangankan dipegang, diajak bicarapu Antini selalu ketus. Tapi kali
ini dia diam saja. Malah ajukan pertanyaan tanpa menarik tangannya yang dipegang hingga
Wiro sendiri yang lepaskan pegangannya.
"Kau tahu siapa kira-kira yang membuat dan mengirimkan surat ini?" tanya
Wiro. "Bukan mustahil ada seseorang yang hendak menjebakmu"
"Siapa?" tanya Antini. "Kebo Panaran?"
"Memang sulit diduga. Tapi menusia terkutuk itu tidak akan melakukannya.
Dia pasti akan membunuhmu begitu melihatmu berada di sini..."
"Kita patut curiga. Tapi bukan tidak mungkin ada seorang teman yang tak mau
diketahui memberikan kisikan ini..."
"Misalnya si gemuk yang menculik dan tergila-gila padamu itu," kata Wiro
pula yang membuat paras Antini jadi bersemu merah.
"Seperti dulu-dulu, aku tak ingin kau mengikuti perjalananku..."
Pendekar 212 tampak kecewa.
Antini tersenyum. "Tapi sekali ini kau akan kuajak. Mungki aku perlu
bantuanmu..."
Wiro tertawa lebar. "Aku ada usul," katanya. Kita harus menyamar.
Pergunakan kepandaianmu untuk merubah dirimu dan juga diriku..."
"Tidak terlalu sulit untuk merubah dirimu jadi seekor kambing misalnya," kata
Antini. Keduanya lalu sama tertawa mengekeh.
Penyamaran yang dibuat Antini cukup meyakinkan. Wiro telah berubah
menjadi seorang kakek berjanggut putih sedang Antini sendiri menjadi seorang
nenek berambut awut-awutan. Mereka memacu kuda masing-masing dan sama-sama tertawa
jika melihat keadaan diri satu sama lain.
Kedua orang itu sampai di kaki bukit sebelah Timur menjelang sore keesokan
harinya. Sesuai dengan namanya bukit ini merupakan satu bukit yang selain
ditumbuhi pepohonan merah yang berusia ratusan tahun. Berbagai binatang hutan
terdengar memecahkan kesunyian.
"Menurut bunyi surat, Kebo Panaran akan berada di tempat ini malam nanti.
Bagaimna kalau kita mencari goa itu lebih dulu lalu menyelidikinya. Jika kita
memang dijebak, siang-siang begini akan lebih mudah mengetahuinya daripada
menunggu sampai malam tiba"
BASTIAN TITO 49 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Wiro berpikir sejenak. "Aku setuju pendapatmu, mari..." Lalu keduanya
bergerak menyusuri kaki timur bukit itu sampai akhirnya menemukan yang disebut
Goa Srindil itu. Goa itu terlihat jelas karena terletak dilamping bukit yang
terbuka. Sebuah tangga batu kelihatan menuju ke mulut goa.
"Itu pasti goanya." kata Wiro. Antini mengangguk dan hendak melompat.
Tapi Wiro memberi isyarat. "Kita harus berhati-hati. Aku akan melakukan sesuatu
untuk membuktikan tidak ada yang menjebak kita di tempat ini." Pendekar 212 lalu
kerahkan tenaga dalamnya ke tangan kanan. Tangan itu ampak berubah menjadi putih
menyilaukan disertai keluarnya hawa panas. Perlahan-lahan Wiro angkat tangan
kanan itu dan diarahkan ke bukit batu merah di lamping kanan mulut goa.
Ketika tangan kanan itu dipukulkan maka berkiblatlah selatik sinar putih
menyilaukan membuat Antini bergidik. Pukulan Sinar Matahari! Begitu pukulan
sakti itu menghantam dinding bukit terdengar suara menggelegar. Bukit batu merah itu
seperti meledak. Hancuran batu berbongkah-bongkah beterbangan di udara.Antini
yang tidak menyangka kalau si pemuda itu memiliki kesaktian luar biasa seperti
itu jadi tercengang-cengang kagum. "Kalau ada orang di dalam goa atau di sekitar
sini, pasti dia akan muncul untuk menyelidiki. Kita tunggu dan lihat saja!" kata Wiro.
Setelah menunggu sekian lama tak ada gerakan dan tidak ada yang muncul murid
Sinto Gendeng turun dari kudanya. Dia memberi isyarat pada Anitini. "Kau tunggu
di sini, biar aku yang menyelidiki ke dalam goa."
"Aku ikut bersamamu!" kata Antini.
"Aku khawatir masih ada bahaya yang tersembunyi," jawab Pendekar 212.
Tapi sekali ini Antini memaksa hingga Wiro akhirnya mengalah. Kedduanya
menyelinap di balik pepohonan, menaiki angga batu yang licin berlumut dengan


Wiro Sableng 065 Hari Hari Terkutuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hati- hati dan akhirnya sampai di mulut goa. Wiro mengintai ke dalam. Mula-mula hanya
kegelapan yang terlihat. Setelah matanya jadi biasa, dia dan juga Antini mulai
dapat melihat jelas isi goa. Goa Srindil ternyata hanya merupakan legukan dalam pada
bukit Batu Merah itu. Tak terdapat apa-apa di dalamnya kecuali tumpukan dedaunan yang
telah mongering. Wiro masuk. Antini mengikuti.
"Tak ada apa-apanya dalam goa ini, " kata Wiro. Lalu dia melangkah
mendekati tumpukan daun-daun kering. Tumpukan dedaunan itu ditendangtendangnya dengan kakinya. Tiba-tiba dia melihat sesuatu tersembunyi dibalik
tumpukan daun-daun kering. Kini Wiro pergunakan kedua tangannya untuk
menyelidiki dan mengangkat daun-daun kering itu.
"Antini lihat!" seru Wiro. Antini segera mendatangi.
Di balik daun-daun kering yang disingkapkan Wiro kelihatan sebuah peti kayu
berlapiskan emas. "Apa isi peti itu?" tanya Antini berbisik. "Bisa harta pusaka
atau uang. Bisa juga kosong. Tapi bisa juga berisi mayat!"
Antini tersurut selangkah mendengar ucapan Wiro itu. Peti kayu berlapis seng
itu ternyata hanya diikat dengan sehelai tali sehingga Wiro tidak kesulitan
untuk membukanya. Di dalam peti itu kelihatan tumpukan berbagai macam perhiasan-perhiasan,
uang perak dan uang emas. Lalu ada cangkir dan piring terbuat dari porselen
serta perunggu berrlapis emas.
"Bagaimana barang dan uang ini bisa berada di tempat ini?" tanya Antini
heran. "Aneh memang.Orang yang mengirim surat itu pasti tahu peti ini berada di
sini. Anehnya mengapa dia tidak mengambil harta benda dan uang yang ada dalam
peti ini"!" ujar Wiro pula sambil garuk-garuk kepala. Dimasukkanya kedua
tangannya ke dalam tumpukan uang dan barang-barang berharga di dalam peti. Di dasar peti
BASTIAN TITO 50 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
tangan kanannya memegang sebuah benda berbentuk bulat tapi kosong di sebelah
tengahnya. Perlahan-lahan dengan hati-hati Wiro memegang benda itu dan
mengangkatnya ke atas.
"Astaga! Ini mahkota Kerajaan!" seru Wiro ketika melihat benda apa yang
barusan ditariknya dari dasar peti.. Sebuah mahkota emas bertabur berlian dan
batu- batu permata warna warni.
"Aku ingat......" kata Antini. "Ketika lima manusia terkutuk itu datang ke
rumahku, salah seorang dari merreka pernah menyebut harta pusaka yang mereka
miliki. Yang bisa dijual atau ditukar untuk dibelikan senjata guna melawan
Kerajaan. Pasti ini harta yang dimaksudkan itu!"
"Kerajaan memang pernah mengumumkan tentang lenyapnya mahkota ini.
Kepada siapa yang menemukan dan mengembalikannya akan diberikan hadiah besar.
Hemm.... Pasti ini barang-barang hasil rampokan kelima orang durjana itu. Karena
kini hanya dua orang yang masih hidup berarti meraka akan membagi dua. Berarti
benar juga isi surat itu bahwa Kebo Panaran akan muncul di sini malam ini.
Mungkin dia muncul untuk mengambil peti ini."
"Apa yang harus kita lakukan sekarang Wiro?" tanya Antini.
Pendekar 212 memasukkan mahkota emas itu ke dalam peti kembali. Lalu peti
ditutupnya. "Sebentar lagi malam segera tiba. Mudah-mudahan isi surat itu betul.
Kebo panaran akan muncul di sini. Kita bersembunyi di sekitar sini, menunggu
kemunculannya!"
"Aku sudah sangat ingin mencincang tubuhnya saat ini juga!" kata Antini.
Lalu melangkah meninggalkan goa mengikuti Pendekar 212.
BASTIAN TITO 51 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
TIGA BELAS Datangnya malam terasa lama seperti merayap. Ketika akhirnya sang surya
tenggela dan rimba belantara di kaki bikit Batu Merah itu menjadi gelap gulita,
diam- diam Antini jadi merinding juga. Di kejauhan terdengar suara auman binatang
hutan. Suara jengkerik dan kodok terdengar di mana-mana.
"Kau takut...?" bisik Wiro ketika dirasakannya Antini merapatkan diri ke
dekatnya. Ketika Atini hendak menjawab cepat Wiro memberi isyarat agar
perempuan itu jangan bicara. Laludia berbisik. "Aku mendengar suara derak rodaroda gerobak di kejauhan..." Dia memandang ke arah selatan yaitu ujung kaki bukit
dari arah mana sebelumnya mereka datang. "Lihat, ada nyala api di kejauhan
sana..." Saat itu selain terdengar suara gemeletak roda-roda gerobak, dari arah selatan
memang juga kelihatancahay aterang. Makin dekat makin kentara bahwa nyala terang
itu adalah nyala sebuah obor yang diikatkn pada bagian depan sebuah gerobak
kecil yang ditarik seekor kuda besar.
Di atas gerobak hanya ada satu orang yakni yang bertindak sebagai sais. Nyala
obor yang terang membuat jelas keadaan sosok manusia satu ini. Tampangnya yang
garang dan sangar hampir tertutup oleh cambang bawuk serta kumis tebal. Dia
mengenakan ikat kepala dan pakaian hitam. Sebilah golok besar tergantung di
pinggangnya. "Memang dia binatangnya!" bisik Antini.
"Maksudmu Kebo Panaran?"
Antini mengangguk. "Dia cuma datang sendirian. Iblis perempuan bernama
Ambar Parangkuning itu tidak ikut bersamanya. Aneh, ke mana menghilangnya iblis
perempuan itu?"
Gerobak mencapai bagian bukit di mana terdapat tangga batu yang menuju ke
mulut Goa Srindil.
"Aku akan membunuhnya saat ini juga!" kata Antini lalu bergerak dari
tempatnya. Wiro cepat menangkap pinggang perempuan ini.
"Jangan kesusu," bisik Wiro. "Kita tunggu dulu apa yang dilakukannya. Dia
pasti akan mengambil peti itu. Tapi bukan mustahil dia tidak datang sendirian.
Mungkin dia membawa kawan yang sengaja mengawal dari kejauhan..."
"Perduli ama apa dia membawa pengawal manusia atau setan sekalipun. Aku
akan mencincang tubhnya sampai lumat!"
"Antini, sabar kataku. Kebo Panaran pasti berkepandaian jauh lebih tinggi dari
yang lain-lainnya yang telah kau bunuh. Jadi harus berhati-hati..... Tunggu samapi
kita mendapat kesempatan paling baik."
"Menungu sampai kapan?"
"Aku akan beri tahu kapan saatnya kita harus bergerak," jawab Wiro pula.
Lalu dari balik pinggangnya dia mencabut Kapak Maut Naga Geni 212. Senjata itu
berkilauan dalam gelapnya malam. "Pegang ini. Kau bisa pergunakan senjata ini
untuk menghadapi Kebo Panaran. Aku khawatir jika kau hanya menghadapinya
dengan tangan kosong...."
"Aku masih membekal setengah lusin pisau belati pemberian guruk..."
"Jika terjadi perkelahian di dalam goa, pisau terbang itu tak akan banyak
gunanya," kata Wiro pula.
Antini memperhatikan Kapak Maut Naga Geni 212 yang diulurkan Wiro.
"Senjata apa ini" Kapak" Bermata dua dan beratnya pasti luar biasa...."
BASTIAN TITO 52 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Coba kau pegang dulu."
Antini mengambil senjata itu. "Astaga. Enteng sekali!" kata Antini agak kers
hingga Wiro terpaksa cepat-cepat menutup mulutnya.
Saat itu Kebo Panaran tampak sudah turun dari atas gerobak. Dia mengambil
obor yang terikat di bagian depan gerobak lalu mulai menaiki tangga batu menuju
mulut Goa Srindil di lamping bukit Batu Merah. Di mulut goa lelaki itu tampak
berhenti sesaat. Dia memandang ke dlaalm goa dengan pandangan tajam. Dan dia
melihat ada sesuatu perobahan pada bentuk tumpukan daun-daun kering yang ada di
tempat itu. Dia menghirup udara dalam goa dalam-dalam. "Hemmm... ada orang
masuk ke sini sebelumnya," katanya. Obor di masukkannya ke dalam sebuah lobang
pendek di dinding goa. Lalu dengan cepat disibakkannya tumpukan daun-daun
kering. Hatinya lega sedikit melihat peti berlapis seng itu masih ada di situ. Dengan
cepat dibukanya tali pengikat peti lalu tutup peti. Dia benar-benar lega ketika
melihat isi peti itu tidak berkurang sepotongpun. Segera peti diikatnya dengan tali kembali.
Kebo Panaran siap mengeluarkan peti itu dari dalam goa. Ketika tangan kirinya hendak
menjangkau obor tiba-tiba satu bayangan berkelebat. Seorang nenek-nenek
berpakaian serba putih denga rambut awut-awutan tegak di depannya. Di tangan
kanannya dia memegang senjata aneh yaitu sebatang kapak bermata dua yang masingmasing matanya mengeluarkan cahaya terang. Kejut Kebo Panaran bukan alang
kepalang. "Tua bangka! Siapa kau! Setan atau manusia"!"
Si nenek yang bukan lain adalah Antini keluarkan suara tawa mengekeh.
"Orang yang mau mampus memang layak bertanya. Aku tua bangka malaikat maut
yang akan mencabut nyawamu Kebo Panaran!"
"Eh! Kau kenal namaku"!" kejut Kebo Panaran.
Si nenek kembali mengekeh. "Malaikat maut selalu tahu pasti nama dan siapa
orang yang bakal diajaknya minggat ke akhirat. Hik... hik... hik... Aku sudah
menyediakan tempat yang baik untukmu di liang neraka!"
"Keparat gila!" hardik Kebo Panaran. Sudut matanya melihat seseorang tegak
di pintu goa. Dia cepat berpaling. Di mulut goa dilihatnya tegak seorang kakek
berjanggut putih. Si kakek tertawa mengekeh dan berkata "Aku malaikat emannya
malaikat yang hendk emncabut nyawamu itu! Ha... ha... ha... Aku sengaja berdiri di
sini agar kau tidak bisa kabur!"
"Keparat! Siapa mau kabur! Kalian berdua kalau tidak lekas angkat kaki dari
sini akan kupecahkan kepala kalian!"
"Mau memecahkan kepalaku" Silahkan!" kata si kakek berjanggut yang
tentunya adalah Pendekar 212. Lalu dia ulurkan kepalanya ke arah Kebo Panaran.
Saking marahnya Kebo Panaranlantas saja menghantam kepala itu dengan tinju
kanan. Gerakannya cepat serta mengeluarkan suara menderu.
"Bukk!"
Kebo Panaran mengeluh tinggi. Yang dihantamnya bukan kepala Pendekar
212, melainkan sebuah batu besar yang dengan cepat disorongkan Wiro melindungi
kepalanya. Batu itu hancur lebur tapi tangan Kebo Panaran sendiri tampak lecet!
Sadarlah Kebo Panaran kalau saat itu dia tidak berhadapan dengan orang-orang
sinting. Si kakek berjanggut jelas memiliki kepandaian tinggi. Kalau tidk mana
dia mampu berbuat seperi itu. Dia berpaling pada si nenek yang saat itu tegak
menyeringai. "Kebo Panaran! Kau sudah siap untuk dicincang?" Kapak di tangan si nenek
berputar-putar hingga cahayanya yang menggidikkan berpijar-pijar menyilaukan
mata Kebo Panran. BASTIAN TITO 53 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Tua bangka buruk sepertimu hendak mencincang Kebo Panaran" Huh!"
Kebo Panaran mendengus dan segera mencabut golok besar di pinggangnya. Sekali
dia mengayunkan tangn golok besar itu berkelebat ke arah leher si nenek. Antini
cepat angkat Kapak Maut Naga Geni 212 di tangannya untuk melindungi diri dan
menangkis. Di antara gaungan Kapak Naga Geni 212 terdengar suara berdentrangan.
"Trang!"
Mata golok dan mata kapak saling bentrokan. Kebo Panaran berseru kaget
seraya melompat mundur. Golok di tangannya gompal besar dan senjata itu hampir
terlepas. Tangannya sendiri terasa panas kesemutan.
"Tua bangka edan. Siapa kau sebenarnya"!" tanya Kebo Panaan membentak
sambil melirik ke arah kakek yang menghadang di pintu. Diam-diam hatinya mulai
tidak enak. Si nenek memiliki senjata aneh yang luar biasa. Sedang si kakek
samapi saat itu hanya bertangan kosong. Maka Kebo Panaran melompat ke arah mulut goa.
Ujung goloknya secepat kilat ditudingkan ke leher Pendekar 212. Sebelum dia
sempat menusukkan senjata itu Pendekar 212 yang dalam samaran kakek berjanggut putih
menghantam dengan tangan kanan. Segulung angin dahsyat menerpa Kebo Panaran
sehingga lelaki ini terdorong ke dalam goa kembali. Sebelum dia sempat berbuat
sesuatu si nenek yang memegang kapak telah menyergapnya. Kebo Panaran cepat
babatkan goloknya ke pinggang. Si nenek tak kalah cepat. Segera pula menghantam
dengan Kapak Maut Naga Geni 212. Terdengar suara bergaung laksana tawon
ngamuk yang disertai berkiblatnya cahaya menyilaukan dan hawa panas menghampar.
Untuk kedua kalinya kapak dan golok saling bentrokan. Kali ini Kebo Panaran tak
sanggup bertahan. Goloknya bukan saja patah dua tetapi juga terlepas mental.
Sebelum dia bisa bergerak salah satu mata kapak yang dipegang si nenek telah
menempel di tenggorokannya.
"Nenek...aku tidak kenal siapa kau. Aku tidak ada permusuhan apapun
denganmu. Jika kau dan kawanmu inginkan harta itu, kita bisa berunding. Aku
tidak keberata membagi tiga isi peti itu!"
Si nenek terawa tinggi. Lalu gerakkan tangan kirinya ke atas kepala.
Rambutnya yang awut-awutan tanggal dan kini kelihatan rambutnya yang asli,
panjang hitam terjela ke pinggang. Sepasang mata Kebo Panaran terbeliak tapi dia
masih belum dapat memastikan siapa adanya si rambut hitam bermuka nenek keriput
itu. "Kau belum mengenali diriku Kebo Panaran?" Si nenek menyeringai. Lalu dia
usap wajahnya yang buruk. Selapis topeng tipis tersingkap lepas dan kini
kelihatanlah wajahnya yang asli.
"Kau... kau istri Lor Kameswara....! Kau.... Kau Antini....!" Kata Kebo
Panaran penuh kejut dan wajah berubah pucat.
"Bagus! Akhirnya kau mengenali diriku manusia terkutuk. Saat kematianmu
sudah datang!" Antini angkat tangannya yang memegang Kapak Maut Naga Geni
212. Tiba-tiba Kebo Panaran jatuhkan diri ke lantai goa dan berlutut. "Antini
dosaku memang besar. Tai aku yakin kau mau mengampuni diriku. Aku mengaku
bersalah besar dan bertobat...."
"Penyesalan selalu datang terlambat manusia iblis!"
Dengar Antini. Dalam peti itu ada harta kekayaan yang tidak terniali harganya.
Jika ka mengampuni diriku separuh harta itu akan jadi milikmua. Kau akan hidup
kaya raya. Kau bisa mencari suami lain pengganti Lor Kameswara. Kau masih
muda...." BASTIAN TITO 54 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Manusia keparat! Makan dulu kakiku ini! teriak Antini. Kaki kanannya
melesat ke dada Kebo Panaran hingga terdengar suara bergedebuk dan lelaki itu
terkapar di lantai. Tapi dia cepat bangkit dan berlutut kembali.
"Ampuni selembar nyawaku Antini. Semua harta dalam peti itu boleh kau
ambil. Asal kau memprbolehkan aku pergi dari sini. Aku akan kembali ke jalan
benar. Aku tidak akan melakukan kejahatan lagi. Juga tidak akan meneruskan
pemberontakan...."
"Hemm.... Bagaimana dengan kawanmu yang satu lagi. Perempuan bernama


Wiro Sableng 065 Hari Hari Terkutuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ambar Parangkuning itu"!"
"Aku tidak tahu dia berada di mana. Dia menghilang sejak peristiwa itu..."
jawab Kebo Panaran. "Tapi aku tahu satu tempat di mana dia berada. Aku punya
petanya..." Lalu Kebo Panaran memasukkan tangannya ke balik pakaian hitamnya.
Ketika tangan itu keluar yang dipegangnya bukan sehelai kertas atau peta
melainkan sebuah benda bulat hitam. Dengan cepat benda itu dipencetnya. "Tesss!" terdengar
satu letusan kecil. Bersamaan dengan itu asap hitam mengebubu memenuhi goa.
Antini dan Wiro merasakan mata mereka menjadi perih, nafas sesak. Lutut mereka
tertekuk lalu keduanya terjatuh ke lantai goa. Antini merasakan ada tangan yang
menarik Kapak Naga geni yang dipegangnya. Dia berusaha mempertahankan tapi
daya dan kekuatannya seperti lenyap.
Begitu berhasil merampas Kapak Maut Naga Geni 212 Kebo Panaran
berkelebat ke pintu goa. Namun baru saja dia sampai di luar satu tangan
berkelebat ke dadanya dan satu totokan bersarang di tubuhnya membuat Kebo Panaran tidak
mampu bergerak lagi, apalagi melarikan dri.
"Perempuan laknat! Siapa kau"!" teriak Kebo Panaran ketika melihat orang
yang menotoknya adalah seorang nenek berambut kelabu kasar dan berjubah hitam.
Nenek itu tertawa mengekeh.
"Anak manusia, kejahatanmu sudah lewat takaran. Lebih dalam dari lautan
dan lebih tinggi dari langit. Jangan harap kau bisa melarikan diri. Malam ini
kau sudah ditakdirkan untuk menemui kematian di tangan perempuan yang telah kau
rusak kehormatannya dan keu bunhu suaminya!"
Saat itu asap hitam yang ada di dalam goa berangsur-aangsur mulai pupus.
Udara segar bertiup masuk sehingga Wiro dan Antini merasa dadanya yang sesak
pulih kembali. Kedua matanya tidak lagi perih dan rasa lemas di tubuh masingmasing berangsur lenyap. Perlahan-lahan kedua orang ini berdiri. Melangkah ke
mulut goa mereka apatkan Kebo Panaran berada dalam keadaan tertotok dan memakimaki seorang perempuan tua berjubah hitam.
Begitu melihat si nenek berambut kelabu kasar ini, Antini langsun berteriak
"Guru!"
"Ah, jadi inilah manusia yang dipanggil dengan sebutan Nenek Tidar itu...."
kata Wiro dalam hati.
"Nek, syukur kau muncul. Kalau tidak manusia terkutuk ini pasti sempat
melarikan diri!" Antini melompat ke hadapan Kebo Panaran dan cepat merampas
kembali Kapak Maut Naga Geni 212 yang dipegang Kebo Panaran di tangan
kanannya. Nenek Tidar melirik sesaat pada muridnya lalu memperhatikan Pendekar 212.
Dengan tangan kanannya dia menarik lengan Kebo Panaran ke dalam goa lalu
melpaskan totokan di tubuh lelaki itu. "Muridku Antini, saatmu melakukan
pembalasan!" Lalu dengan cepat dilepaskannya totokan di dada Kebo Panaran.
Mendengar ucapan gurunya Antini yang memang sudah tidak sabaran segera
melompat ke hadapan Kebo Panaran. Kapak Naga Geni 212 berkelebat ke arah dada
BASTIAN TITO 55 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Kebo Panaran. Lelaki ini cepat mengelak. Tapi begitu lolos dari serangan Antini
kembali memburu dengan senjata mustika di tangannya. Kebo Panaran yang
sebenarnya sudah putus asa berkelabat kian kemari menghindari sambaran kapak
maut.itu. Namun di satu sudut goa dia tidak mampu lagi mengelak. Salah satu mata
kapak membabat bahu kanannya. Lelakiinimenjerit setingi langit. Darah muncrat
dari bahunya yang hampir putus! Tubuhnya terhuyung-huyung hilang keseimbangan. Dari
mulutnya terdengar suara aneh. Suara seperti gerungan dan teriakan kesakitan
serta suara seperti orang merta.
"Antini ampuni di....."
Ucapan Kebo Panaran terputus. Kapak Maut Naga Geni 212 kembali berkiblat.
Kali ini mencari sasaran di pangkal leher sebelah kiri. Kebo Panaran meraung
keras menggidikkan. Sekujur tubuhnya bersimbah darah. Kapak di tangan Antini
berkelebat kembali. Kali ini menghantam ke bagian bawah perut Kebo Panaran. Ketika senjata
itu membelah selangkangannya, tak ada lagi jeritan yang keluar dari mulut Kebo
Panaran. Mungkin nyawanya sudah lepas sewaktu pangkal lehernya kena dibacok
tadi. Tubuh Kebo Panaran terjatuh ke lantai goa. Seperti orang kemasukan setan Antini
membacokkan kapak itu berulang kali ke kepala dan sekujur tubuh Kebo Panaran.
Mengerikan sekali. Kapala dan tubuh Kebo Panaran tak berbentuk lagi. Terpotongpotong dalam kepingan-kepingan menggidikkan.
Ketika Nenek Tidar memegang bahunya dan berkata "Antini muridku, cukup.
Jangan ikuti kemauan setan. Musuh besarmu sudah kau tamatkan riwayatnya..."
Pendekar 212 cepat mengambil Kapak Maut Naa Geni dari tangan Antini.
Antini sendiri menutupi mukanya dengan kedua tangan lalu menangis keras. Di
antara tangisnya terdengar suaranya berkata "Masih ada, masih ada satu lagi yang harus
kucari dan kubumuh. Perempuan bernama Ambar Parangkuning itu...!"
"kau akan menemukannya, antini. Kau pasti akan menemuinya." Bekata
Nenek Tidar. "Guru....Kau...kau tahu di mna orang satu itu berada?"
"Dia ada di dekat sini Antini. Dia tidak jauh darimu. Dia ada di depanmu!"
jawab Nenek Tidar.
"Guru, apa maksudmu...." Tanya Antini seraya menurunkan kedua tangannya
dan memandang tepat-tepat pada perempuan tua di depannya.Wiro sendiri juga
tampak heran dan berusaha menduga-duga. "Jangan-jangan..."kata murid Sinto
Gendeng dalam hati. Belum sempat dia menyelesaikan ucapannya Nenek Tidar
menggerakkan tangan kanannya ke muka. Dia seperti menarik sesuatu dari wajahnya.
Kagetlah Antini ketika melihat wajah asli si nenek. Tapi dia masih belum yakin.
Si nenek yang kini berwajah jauh lebih muda membuka jubah hitamnya. Di balik jubah
itu ternyata dia mengenakan sehelai pakaian serba kuning. Ingatan Antini kembali
penuh. "Kau........Orang kelima itu! Kau Ambar Parangkuning!" teriak Antini.
Perempuan di hadapan Antini mengangguk dan tersenyum kecut. "idak salah.
Aku memang Ambar Parangkuning. Salah satu dari lima manusia durjana yang
melakukan perbuatan terkutuk itu....Aku yang mnegirimkan surat bahwa Kebo
Panaran akan berada di sini. Lalu aku ikut muncul ke tempat ini agar kau dapat
menyelesaikan segala dendam kesumatmu secara tuntas. Aku sudah siap untuk
menerima kematian. Hukuman atas diriku tidak berbeda dengan empat kawanku
lainnya...."
Antini menjerit keras. Dia melompat berusaha mengambil Kapak Maut Naga
Geni 212 dari tangan Wiro. Tapi sang pendekar berkelebat dan memegan lengan
BASTIAN TITO 56 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Antini seraya berkata. "Jangan kau turutkan ajakan setan Antini. Saat ini kau
harus berpikir panjang sebelum mengambil keputusan..."
"Aku haru membunuh dia! Dia salah seorang dari manusia-manusia terkutuk
itu! Mereka membunuh suamiku! Mereka merusak kehormatanku secara keji...."
"Antini..." kata Ambar Parangkuning dengan suara tersendat. "Aku menyesal
telah bergabung dengan orang-orang itu. Aku tidak pernah menyangka mereka akan
sebiadab itu. Apa yang kami setujui bersama ialah meneruskan perjuangan
meruntuhkan kekuasaan Sri Baginda yang baru. Namun mereka kemudian
menyimpang dari cita-cita perjuangan. Mereka mulai merampok, membunuh dan
merusak kehormatan anak istri orang. Puncak kebengisan mereka terjadi ketika
mereka membunuh suamimu Lor Kameswara lalu memperkosamu bergantian. Aku
berusaha melarang mereka tapi tak berhasil. Itulah sebabnya sejak kejadian itu
aku menghilang. Aku ikut merasa berdosa. Aku harus mencari jalan untuk dapat lepas
dari beban dosa yang begitu besar dan berat. Itu sebabnya aku membawamu dan
mengambil dirimu menjadi murid. Dengan kepandaian yang tidak seberapa itu aku
ingin agar kau mampu melkaukan pembalasan membunuh semua musuh suamimu
dan musuhmu sendiri. Termasuk diriku! Antini, aku yang berdosa ini siap menerima
kematian..."
Kedua mata Antini tidak berkedip. Dia melihat Wiro tegak di hadapannya.
Sang pendekar menggelengkan kepalanya berkali-kali.
"Ingat Antini, dia tidak sama dengan empat lelaki terkutuk itu. Walaupun dia
termasuk dalam kelompok mereka tapi jelas dia tidak ikut membunuh suamimu, juga
tidak ikut merusak dirimu. Inga juga jasanya yang telah mengusahakan agar kau
dapat membalaskan sakit hati dendam kesumatmu...."
"Anak muda," kata Ambar Parangkuning. "Segala jasa dan apa yang aku
perbuat tidak ada artinya. Aku tak ingin berlindung di balik semua itu untuk
dikasihani. Antini, lakukanlah Nak...."
Antini menangis sesenggukan. "Tidak....Aku tidak akan membunuhmu.
Kau...kau boleh pergi. Kalau kau pergi bawa serta peti berisi harta itu..."
Ambar Parangkuning tampak tercengang. "Tidak salahkah pendengaanku?"
ujarnya perlahan.
"Pergilah. Aku tahu kau orang baik. Bahkan aku harus berterima kasih pada
hari itu kau menyelamatkanku dan mengambilku jadi murid. Pergilah, biar kita
berpisah dengan hati sama tenteram dan tanpa rasa dendam..."
Sepasang mata Ambar Parangkuning berkaca-kaca. Dia tegak dan melangkah
mendekati peti kayu berlapis seng. Dibukanya ikaan tali pada peti. Dia berpaling
sesaat pada Antini dan Pendekar 212.
"Aku hanya akan mengambil benda dalam peti ini." Lalu Ambar
Parangkuning mengeluarkan mahkota emas bertahta berlian dari dalam peti.
"Mahkota ini adalah milik Kerajaan, siapapun yang memerintah saat ini. Aku
merasa brkewajiban untuk mengembalikannya ke Keraton." Ambar Parangkuning menutup
peti kembali lalu dia melangkah mendekati Antini. "Aku berterima kasih atas
pengampunan yang kau berikan. Aku berdo'a untuk keselamatan dan kebahagiaanmu
di masa depan." Ketika Ambar Parangkuning memeluknya, Antini merangkul tubuh
perempuan itu erat-erat.
"Selamat tinggal Antini...." kata Ambar Parangkuning.
"Selamat jalan guru...." Balas Antini yang membuat hati Ambar
Parangkuning jadi sangat terenyuh. Lalu dia cepat-cepat melangkah ke mulut goa.
Di lain saat perempuan lenyap dalam kegelapan malam.
BASTIAN TITO 57 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Lama Antini tertegun did lama goa. Khirnya dia berpaling pada Wiro. "Kau
juga ingin pergi...?" tanya Antini.
Pendekar 212 menggeleng. "Kau kulihat sangat letih. Sebaiknya kau
beristirahat saja di sini sambil menunggu pagi. Biar goa ini kubersihkan dulu...."
Dengan kakinya Wiro tending mayat Kebo Panaran hingga menelat mental ke luar
goa. Lalu dengan daun-daun kering dibersihkannya lantai goa itu.
Antini duduk di salah satu goa. Dia masih menatap Wiro. Lalu terdengar dia
berucap "Peti itu Wiro.... Barang-barang di dalamnya bukan milik kita. Semua hasil
rampokan....Harus kita kembalikan..."
"Kembalikan pada siapa?" tanya Wiro. Ketika Antini tidak menyahut Wiro
berkata. "Kurasa tidak ada salahnya kau menyimpan isi peti itu untuk bekal masa
depanmu.... Kau telah kehilangan segal-galanya...."
Antini menggeleng. "Aku akan menjual rumah dan lading mendiang suamiku.
Itu akan kujadikan modal hidup di kemudian hari. Aku akan pulang ke rumah orang
tuaku. Peti itu kuserahkan padamu...."
Wiro jadi garuk-garuk kepala. "Terus terang aku memang tertarik dangan isi
peti itu. Tapi lebih terus terang aku tak mau memilikinya...."
"Lalu akan kita apakan harta kekayaan itu...." tanya Antini.
"Sebaiknya malam ini hal itu tak usah kita pikirkan dulu. Kau perlu istirahat.
Tidurlah sepuasmu. Aku akan menjagamu di mulut go asana..."
"Di mulut goa" Kenapa mesti di mulut goa" Kenapa tidak sama-sama di
dalam sini?"
Wiro tertawa. "Kau tidak lagi membenci atau takut pada laki-laki?"
Antini tertawa lebar. "Perlu apa takut pada seorang kakek tua renta yang tidak
punya daya apa-apap sepertimu ini!"
Astaga! Wiro baru sadar. Saat itu dia masih mengenakan topeng tipis dengan
wajah seorang kakek lengkap dengan janggut putihnya. Cepat-cepat Wiro
menanggalkan topeng samaran itu.
"Nah, kalau keadaanmu seperti ini sekarang, aku harus berhati-hati..." kata
Antini pula. Wiro tertawa bergelak. "Harus kau buktikan dulu, apa memang kau harus
berhati-hati terhadapku," kata Wiro seraya menggeser duduknya. Lalu tangannya
dilambaikan ke arah obor. Obor padam. Goa serta merta diselimuti kegelapan.
Antini terpekik. Dalam takutnya tanpa disadarinya dia menggeser duduknya mendekati
Wiro. Dalam gelap Wiro tertawa bergelak. Kemudian dirasakan jari-jari tangan perempuan
itu memegang jari-jari tangannya.
TAMAT BASTIAN TITO 58 Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 20 Joko Sableng 22 Liang Maut Di Bukit Kalingga Tusuk Kondai Pusaka 11

Cari Blog Ini