Ceritasilat Novel Online

Harimau Singgalang 1

Wiro Sableng 075 Harimau Singgalang Bagian 1


WIRO SABLENG Harimau Singgalang
http://cerita-silat.mywapblog.com tempat baca cersil mandarin & indo via HP
Harimau Singgalang
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 1 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Episode : Harimau Singgalang
SATU Hari itu hari ketiga di bulan kedelapan merupakan hari besar bagi penduduk
Pagaralam dan sekitarnya. Suara talempong, rabab dan saluang terdengar tiada
putus- putusnya. Sejak pagi halaman rumah gadang tempat kediaman Datuk Gampo Alam
telah dipenuhi oleh para tetamu yang berdatangan dari berbagai penjuru.
Di barisan kursi sebelah depan, dinaungi oleh payung-payung besar berwarna
warni duduklah sang Datuk didampingi keempat istrinya di sebelah kiri sedang di
sebelah kanan duduk seorang pemuda tampan kemenakan Datuk Gampo Alam,
bernama Andana.
Begitu banyaknya tamu yang datang hingga di antara mereka ada yang tidak
kebagian tempat duduk. Namun semuanya dengan senang hati tegak di sekeliling
halaman menunggu dimulainya acara perhelatan besar itu.
Perhelatan besar ini diadakan sebgaai ungkapan rasa syukur atas kembalinya
sang kemenakan setelah beberapa tahu menghilang di negeri orang. Pada kesempatan
yang sama perhelatan ini juga sebagai ungkapan rasa duka cita dalam mengenang
berpulangnya Datuk Bandaro Sati, ayah dari Andana dan kakak dari Daruk Gampo
Alam. Sesuai dengan berita yang telah didengar orang dari mulut ke mulut, Datuk
Bandaro Sati mati dibunuh orang di sekitar Ngarai Sianok beberapa waktu lalu.
Siapa pembunuhnya masih belum diketahui. Sementara itu jenazah Datuk Bandaro Sati
telah dimakamkan di puncak gunung Singgalang di mana berdiam kakak perempuan
almarhum bernama Uning Ramalah. Kabarnya perempuan yang sudah tua ini
merupakan seorang nenek sakti mandraguna yang mempunyai pantangan membunuh.
Itu sebabnya dia tidak turun gunung guna menuntut balas atas kematian adiknya.
Andana selain tampan dan bertubuh kekar diketahui orang sebagai seorang
pandeka (pendekar) berilmu silat tinggi, memiliki tenaga dalam tinggi dan
kesaktian yang sulit dicari tandingannya.
Belakangan tersiar kabar bahwa konon pemuda itu telah dijuluki orang
sebagai Harimau Singgalang.
Di belakang deretan kursi yang diduduki Datuk Gampo Alam dan keluarganya,
duduk orang-orang terpandang yang datang dari Pagaruyung dan Batusangkar serta
Bukittinggi. Bahkan ada yang datang dari pesisir Pariaman.
Tumenggung Rajo Langit, tokoh besar di Pagaruyung sebenarnya juga
diundang tetapi tidak kelihatan hadir. Mungkin ada sangkut pautnya dengan dua
kejadian di Pagaralam beberapa waktu lalu antara Tumenggung Rajo Langit dan
orang-orangnya di satu pihak dengan Andana dan Pendekar 212 Wiro Sableng di lain
pihak. Di antara orang banyak yang tegak mengelilingi halan rumah gadang kelihatan
seorang pemuda mengenakan saluak (kopiah khas Minang), berpakaian bagus
berwarna biru. Dia tegak sambil rangkapkan kedua tangan di depan dada.
Memandang berkeliling. Jika pandangannya bertemu dengan Andana maka diapun
tersenyu lebar dan mengacungkan jari jempolnya. Orang-orang di sekitar tempat
dia berdiri terheran-heran melihat pemuda ini. Mereka tidak mengenali siapa dia. Dan
anehnya pemuda ini memiliki potongan badan serta wajah yang mirip dengan Andana
kemenakan Datuk Gampo Alam itu.
BASTIAN TITO 2 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Tak mungkin saudaranya Andana," kata seorang tamu setengah berbisik.
"Setahu waden si Andana itu tak punya kakak tak punya adik...." (waden = aku)
Sementara itu di salah satu bagian rumah gadang, Bunga sedang didandani
oleh seorang juru solek. Di ruangan sebelah yang dipisahkan dengan batas sehelai
hordeng terletak brebagai perlengakapan untuk menari termasuk seperangkat carano
berisi sirih yang akan dipersembahkan pada Andana selaku tamu kehormatan dalam
perhelatan itu.
Sewaktu juru rias tengah membentuk dan mempertebal alis mata Bunga, tak
sengaja gadis ini mengerling ke arah ruangan sebelah. Dia melihat seorang
perempuan tinggi besar mengenakan baju kurung kuning dan berselendang
melangkah mendekati cerana berisi susunan daun sirih yang sudah diisi gambir dan
kapur. Karena tidak pernah melihat perempuan sebesar dan setinggi itu
sebelumnya, diam-diam Bunga memperhatikan terus orang ini. Dalam hati dia merasa aneh
mengapa justru orang-orang di sekitarnya seolah tidak memperhatikan perempuan
tinggi besar ini"
Dari dalam sehelai sapu tangan orang itu mengeluarkan sebuah botol kecil. Isi
botol kecil ini berbentuk cairan, ditebarkan di atas sirih. Tampak asap tipis
mengepul. Lalu orang ini cepat-cepat meninggalkan tempat itu tanpa bunga sempat melihat
wajahnya. Selesai didandani dengan penuh rasa ingin tahu Bunga pergi ke ruangan
sebelah. Diperhatikannya tiga susunan sirih yang ada di atas cerana. Warnanya
yang seharusnya hijau segar telah berubah agak kehitaman. Bunga mendekatkan hidungnya
ke susunan sirih itu. Gadis ini merasa hidungnya seperti hendak tanggal. Dia
batuk- batuk berulang kali. Wajahnya tampak agak pucat. Racun kala hutan..... kata
Bunga dalam hati. Mengapa perempuan tinggi besar tak dikenal tadi meracuni daun-daun
sirih itu" Siapa yang hendak diracuninya" Andana" Pasti Andana karena sesuai
kebiasaan sirih itu nanti akan dipersembahkan pada pemuda tersebut.
Andana akan mengunyahnya! Apa yang harus dilakukannya" Membuang
semua sirih itu lalu menggantikannya dengan yang baru" Tak ada jalan lain.
Memang hanya itu yang segera dan harus dilakukannya. Karena kalau Andana sampai
mengunyah dan memakan daun sirih persembahan yang telah disiram dengan racun
kala hutan itu maka nyawanya tidak akan tertolong lagi. Racun kala hutan adalah
racun paling jahat yang tidak ada obat pemusnahnya.
Seorang perempuan separuh baya muncul dari balik hordeng. "Bunga, saatmu
keluar. Lekas bawa cerana dan turun ke bawah. Para penari lainnya sudah
menunggu."
Dengan agak gugup gadis itu berdiri lalu mengambil cerana di atas meja.
Bersamaan dengan itu dia cepat mengambil selembar daun sirih yang masih segar
dari atas meja, lalu diberinya gambir dan kapur sirih dan dilipatnya. Sebelum
diletakkan di atas cerana Bunga mengambil lagi sehelai daun sirih. Daun kedua ini dipergunakan
sabagai alas untuk meletakkan daun sirih yang tadi dilipatnya.
Meskipun sirih yang satu itu terlindung dari racun yang sudah melekat pada
sirih-sirih lainnya namun hati Bunga tetap saja merasa kawatir kalau-kalau racun
kala hutan bisa merambas menembus daun sirih yang dijadikan alas.
"Hai cepatlah Bunga! Apa yang kau lakukan itu"!" tegur perempuan tadi.
"Saya segera turun, Etek. ..." kata Bunga pula. (Etek = panggilan terhadap
perempuan lebih tua dan biasanya telah bersuami).
Perhelatan besar dan meriah itu dibuka dengan sambutan pendek yang tak lupa
dibumbui dengan pepatah pepitih di samping memuji-muji Datuk Gampo Alam dan
kemenakannya. BASTIAN TITO 3 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Selesai sambutan perhelatan dilanjutkan dengan pergelaran Tari Piring. Tarian
ini dibawakan oleh dua pasang muda mudi diiringi bunyi-bunyian. Masing-masing
penari membawa sebuah piring kaca di tangan kiri kanan. Mereka menari meliukliuk terkadang bergerak cepat menghnetak-hentak. Kemudian keempat menari bergerak
mengelilingi tumpukan pecahan kaca yang ditebarkan di atas tanah. Pada puncaknya
keempar penari itu menari dengan menjejakkan kaki mereka di atas pecahan kaca
tersebut. Kemudain mereka menari sambil bergulingan beberapa kali di atas kaca!
Setelah Tari Piring selesai masuklah rombongan debus memperlihatkan
kebolehan mereka dalam ilmu kebal. Ada yang menusuk perut dan dadanya dengan
berbagai senjata tajam. Mulai dari pisau sampai keris dan golok bahkan tombak.
Ada pula yang mencelupkan kedua tangannya dalam minyak mendidih kemudian
membasuh wajahnya dengan minyak panas itu. Seorang perempuan memperlihatkan
kemampuannya memakan kaca dan minum air mendidih. Pertunjukan diakhiri dengan
pergaan seorang lelaki muda melompat-lompat dia atas paku sambil memotongmotong lidahnya dengan sebilah pisau. Pertunjukan debus ini disaksikan orang
banyak dengan perasaan berdebar. Orang-orang perempuan acap kali terpaksa
memalingkan muka mereka karena ngeri.
Pertunjukan puncak adalah penampilan rombongan muda mudi membawakan
Tari Gelombang. Di sebelah depan bergerak sembilan orang pemuda berpakaian
galembong dan destar hitam. Di sebelah belakang bergerak lima orang penari
perempuan yang kesemuanya adalah gadis-gadis cantik berbaju kurung berkain
songket. Rambut mereka dihias dengan sunting berwarna kuning emas. Yang paling
cantik di antara semua gadis penari itu adalah yang di depan sebelah tengah. Dia
memakai tengkuluk tanduk kerbau di atas kepalanya serta membawa cerana berisi
sirih. Gadis ini tentu saja adalah Bunga.
Sejak rombongan penari muncul sepasang mata Datuk Gampo Alam boleh
dikatakan tidak berkesip dari memperhatikan wajah dan tubuh Bunga. Duduknya
tampak tidak tenang. Lehernya berulang kali disentakkan. Tenggorokannya tampak
turun naik beberapa kali kelihatan dia membasahi bibirnya dengan ujung lidah.
Sesekali dia memandang berkeliling seperti mencari-cari seseorang. Zainab
istri tua sang Datuk sampai berkata "Dari tadi saya perhatikan Datuk seperti
gelisah, Siapa yang Datuk cari.... ?"
Datuk Gampo Alam tidak menjawab. Dia memandang berkeliling. Tiba-tiba
matanya membentur sosok Pendekar 212 Wiro Sableng yang tegak di tepi halaman di
antara orang banyak.
Datuk Gampo alam berpaling pada Andana. "Itu pemuda sahabatmu bernama
Wiro....?"
"Betul Paman..."
"Perlu apa dia berada di sini?"
"Dia orang asing di sini. Perhelatan ini tentu saja sangat menarik perhatiannya.
Sebagai seorang sahabat apa salahnya dia berada di sini menonton pesta. Saya
yang mengundangnya datang."
"Dari mana dia dapat saluak dan pakaian bagus itu?" tanya Datuk Gampo
Alam lagi. "Saya yang meminjamkannya," jawab Andana.
Tampang Datuk Gampo Alam tampak berkerut dan masam. Dia memandang
berkeliling. Orang yang dicarinya akhirnya dilihatnya juga. Palindih. Sang Datuk
memberi isyarat agar Palindih mendekatinya. Begitu Palindih sampai di hadapannya
Datuk Gampo Alam segera berbisik. "Gadis yang membawa cerana itu, siapa dia?"
Astaga sudah bangkit pula gatal urang gaek ini! Kata Palindih dalam hati.
BASTIAN TITO 4 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Namanya Bunga," memberi tahu Palindih juga dengan berbisik. Lelaki ini
melihat harapan mencari untung. Untuk urusan beginian dia pasti akan mendapat
upah atau hadiah besar.
"Agaknya Datuk berhasrat ?" tanya Palindih kembali berbisik.
"Hemmm...." Datuk Gampo Alam usap-usap dagunya. Kedua matanya tak
lepas dari memandang wajah dan gerakan tubuh Bunga yang tengah menari. Lehernya
disentak-sentakkan berulang kali. "Nama bagus, orangnya cantik secantik
bidadari...."
kata Datuk Gampo Alam agak keras diluar sadar. Tiba-tiba saja satu cubitan
menyambar pahanya hinga sang Datuk terlonjak di tempat duduknya.
Yang mencubit adalah Rukiah, istri Datuk Gampo Alam yang paling muda
dan duduk tepat di samping sang Datuk.
"Di saat-saat seperti ini sepantasnya Datuk menjaga mata dan mulut!" hardik
Rukiah tapi dengan suara sangat perlahan.
"Ah kau orang perempuan mau tahu saja urusan lelaki!" kata Datuk Gampo
Alam dengan muka cemberut.
Rukiah tak kalah cemberutnya malah dengan membelalakkan mata pada
Palindih dia berkata "Pergi kau dari sini! Berani kau menjadi comblang, kusuruh
potong burung tekukurmu!"
Palindih memandang pada Datuk Gampo Alam. Dia ragu sesaat. Akhirnya
Datuk berkata, "Sudah, pergi sajalah. Aku hanya sekedar bertanya, tak ada maksud
apa-apa. Lekas pergi Palindih. Kalau tidak habis aku bengkak-bengkak. Ada
kalajengking betina di sini! Aduah....!" Paha Datuk Gampo Alam kembali disambar
cubitan. Sakit dan pedas bukan main.
"Ada apa Mamak....." tanya Andana terheran-heran.
"Tak ada apa-apa. Si Rukiah sudah tak sabar mau segera bersantap siang
makan besar! Dasar perempuan urusan perut saja yang diingatnya!" jawab Datuk
Gamp Alam berdusta.
Para pemuda yang menarikan Tari Gelombang yang berada di sebelah depan
bersibak ke kiri dan ke kanan memberi jalan pada gadis pembawa cerana. Dengan
lemah gemulai Bunga maju ke arah Andana selangkah demi selangkah. Kalau Andana
mengagumi kepandaian gadis itu menari, maka sebaliknya saat itu Bunga berada
dalam keadaan bingung serta takut. Kalau dia bergerak lebih dekat dan memberi
tahu bahaya yang mengancam pada si pemuda, jelas Datuk Gampo Alam dan orang-orang
di sekitarnya akan mendengar.
Maka sebisa-bisa yang dilakukan Bunga adalah membuat gerakan-gerakan
berupa isyarat tangan dan goyangan kepala agar Andana bangkit berdiri lalu
melangkah menghampirinya. Hal ini sebenarnya tidak pernah kejadian karena
seharusnya sang penarilah yang menghaturkan dan mempersembahkan sirih
persembahan kepada orang yang dihormati. Namun agaknya Bunga tak punya jalan
atau cara lain.
Sambil terus menari Bunga menggoyangkan kepalanya ke belakang. Kedua
matanya menatap lurus pada pemuda itu. Lalu tangan kanannya digerak-gerakkan
agar lebih jelas bagi Andana akan isyarat yang diberikannya. Mula-mula Andana
tidak memperhatikan. Namun setelah berulang kali Bunga membuat gerakan yang
sama dan menatap padanya, pemuda ini mulai menduga-duga agaknya ada sesuatu
yang hendak disampaikan gadis ini lewat isyarat goyangan kepala, tatapan mata
dan gerakan tanagn itu.
BASTIAN TITO 5 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
DUA Datuk Gampo Alam yang duduk di sebelah Andana dan banyak orang lainnya
juga sama merasa heran mengapa gadis pembawa sirih persembahan itu belum juga
bergerak maju mendekati tamu kehormatan guna memberikan persembahan sekapur
sirih. Bunga jadi tambah bingung. Keringat mengucur di kening dan kuduknya.
Andana sendiri perlahan-lahan mulai menangkap isyarat yang dibuat Bunga. Namun
hatinya masih meragu. Dia melirik pada Datuk Gampo Alam. Tampaknya sang
Paman mulai mencium adanya sesuatu yang tidak beres. Andana kemudian
memandang ke jurusan di mana sahabatnya Wiro Sableng berdiri. Sebenarnya
Wiropun berharap Andana melihat kepadanya karena sejak tadi dia sudah maklum
ada sesuatu. Dia ingin pula memberikan isyarat pada Andana agar mengikuti apa
yang

Wiro Sableng 075 Harimau Singgalang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diinginkan Bunga di balik isyarat yang diberikannya. Bagitu Andana memandang ke
padanya, Wiro serta merta menengadahkan telapak tangan kanannya lalu menggerakgerakkan tangan itu ke atas. Sehabis membuat gerakan itu Wiro susul dengan
gerakan tudingan ibu jari berulang kali.
Akhirnya Andana menangkap juga apa maksud Bunga dengan isyarat
goyangan kepala serta gerakan tangan. Perlahan-lahan pemuda ini berdiri. Datuk
Gampo Alam hendak menegur tapi sang kemenakan sudah melangkah mendekati
penari yang membawa cerana berisi sirih persembahan. Bunga cepat menyongsong.
Cerana dipegangnya dengan kedua tangannya. Kedua kakinya ditekuk sedikit dan
kepalanya ditengadahkan. Dia memandang tersenyum pada si pemuda. Gemas sekali
Datuk Gampo Alam melihat apa yang dilakukan Bunga itu. Rasa cemburu membakar
dadanya. "Ambil sirih paling atas. Yang lainnya mengandung racun!" bisik Bunga
seraya mengangsurkan cerana lebih tinggi.
Andana tentu saja terkesiap kaget mendengat bisikan gadis itu. Namun dia
cepat menguasai keadaan. Wajahnya yang tadi tampak berubah dihiasnya dengan
senyum yang dibalas pula dengan senyum oleh Bunga. Pemuda ini ulurkan tangannya
ke arah cerana. Sesuai dengan apa yang tadi dibisikkan Bunga dia mengambil
lipatan sirih segar hijau yang paling atas yang terletak begitu rupa di atas selembar
daun sirih. Sepintas dia dapat melihat bagaimana sirih-sirih lainnya berwarna aneh, hijau
kehitaman. Dengan sirih di tangan kanannya Andana melangkah mundur, kembali ke
tempat duduknya.
"Makanlah sirih persembahan itu, Andana. Sengaja diberikan bukan saja
sebagai penghormatan tapi juga sebagai ungakapan syukur bahwa kau akhirnya
kembali ke Pagaralam dengan selamat." Yang berkata adalah Datuk Gampo Alam
dengan senyum aneh bermain di mulutnya.
Andana memperhatikan sejenak sirih di tangannya.
"Apa lagi yang kau tunggu Andana" Makanlah...."
Andana menganggukkan kepalanya. Tanpa ragu-ragu sirih itu dimasukkannya
ke dalam mulutnya. Perlahan-lahan mulai dikunyahnya. Dia berpaling pada Datuk
Gampo Alam. Sang Paman dilihatnya angguk-anggukkan kepala dan masih
tersenyum. Orang banyak bertepuk tangan dan ada yang bersorak sorai. Sementara itu
muda mudi yang menarikan Tari Gelombang tampak terus melenggang meliuk-liuk
mengikuti alunan tetabuhan. Datuk Gampo Alam yang tidak habis-habisnya
BASTIAN TITO 6 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
memperhatikan Bunga berkata pada istri mudanya "Rukiah, aku lihat tadi mulut
penari pembawa cerana itu bergerak seperti mengatakn sesuatu. Kau dengar apa
yang diucapkannya"'
"Mana mungkin telinga saya mendengar. Suara talempong keras sekali. Suara
gendang tak kalah kerasnya. Gadis itu mungkin suka pada kemenakan Datuk.
Barangkali mereka sudah saling kenal sebelumnya. Lagi pula perduli apa saya akan
segala yang diucapkannya?"
Datuk Gampo Alam terdiam. Ingatannya melayang pada beberapa kejadian di
masa lalu. Hemmmm.... dulu kedua anak ini memang pernah digunjingkan orang.
Pernah terlihat bercinta-cintaan di tengah jalan. Kalau begini aku harus
bertindak cepat! Datuk Gampo Alam berpaling ke samping. Dilihatnya kemenakannya itu
mengunyah sirih dengan tenang. Sementara itu di atas rumah gadang sepi karena
semua orang turun ke bawah untuk melihat dari dekat keramaian itu. Seorang
perempuan tinggi besar berbaju kurung kuning dengan selendang yang hampir
menutupi seluruh wajah hingga mata kanannya seja yang kelihatan, mengintai dari
balik jendela. Anehnya mata orang ini besar dan merah tidak pantas untuk mata
seorang wanita. Satu kali angin bertiup agak kencang. Selendang yang menutupi
wajah itu tersingkap lebar hingga kelihatanlah begian besar wajah perempuan ini.
Astaga! Wajah ini ternyata wajah seorang lelaki yang menyeramkan. Mata kirinya
buta picak. Kumis dan cambang baeuknya meranggas kasar! Tangan kanannya yang
memegang pinggiran selendang tampak merah kehitaman seperti pernah terbakar.
Orang yang menyamar sebagai perempuan inilah tadi yang telah mengguyurkan racun
kala hutan di atas daun-daun sirih dalam cerana. Wajahnya yang angker tampak
tegang sewaktu menyaksikan bagaimana Andana masih tetap duduk dengan tenang di
kursinya, malah beberapa kali melayangkan senyum pada penari pembawa cerana.
Apa yang terjadi. Orang di balik jendela bertanya pada diri sendiri. Jelas dia
sudah memakan sirih beracun itu. Mengapa masih belum mati terjengkang"! Apa
benar dia memiliki kesaktian luar biasa hingga tak mempan racun" Celaka!
Orang ini pergunakan kedua tangannya untuk memegang selendang. Dengan
bergegas dia segera meninggalkan tempat itu.
Di bawah rumah gerak gerik orang yang tadi mengintai di balik jendela
ternyata sempat terlihat oleh Andana. Dia berbisik pada Datuk Gampo Alam.
"Mamak, ada seseorang di atas rumah gadang. Gerak geriknya mencurigakan.
Saya akan coba menyelidik dan mengejar!" (Mamak di sini artinya Paman)
Datuk Gampo Alam menoleh ke arah rumah gadang. Dia masih sempat
melihat punggung orang yang dikatakan Andana itu. Sesaat parasnya berubah. Lalu
cepat dia berkata. "Tetap saja di sini Andana. Tak ada yang perlu dikawatirkan.
Orang berbaju kurung kuning tadi kurasa pastilah salah satu dari juru masak. Lupakan
hal itu Andana. Tak sedap pula makan kita nanti."
Hati Andana tetap tidak tentram. Dia tidak pernah melihat perempuan dengan
ukuran badan sebesar dan setinggi orang tadi. Maka diapun berpaling ke arah Wiro
berdiri. Namun sahabatnya itu dilihatnya tak ada lagi di situ.
Kemana pula sahabatku orang Jawa itu" Pikir Andana.
Dari tempatnya berdiri Wiro Sableng dapat melihat orang yang ada di jendela
rumah gadang. Walau wajahnya tidak jelas karena terus-terusan ditutup dengan
selendang namun bentuk tubuhnya yang tinggi besar menarik perhatian murid Eyang
Sinto Gendeng ini.
BASTIAN TITO 7 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Bukan main! Kata Wiro dalam hati. Baru kali ini aku melihat perempuan
begini besar dan tinggi. Gerak geriknya terasa aneh. Sebaiknya aku menyelidik ke
atas rumah sana. Siapa tahu nasibku mujur. Bertemu perawan cantik..... Selagi
dia berpikir seperti itu, perempuan berbaju kurung kuning di jendela rumah sudah
lenyap. Tanpa pikir panjang lagi Pendekar 212 segera tinggalkan tempat itu,
menyeruak di antara orang banyak. Dia terpaksa mengambil jalan berputar untuk
dapat sampai ke tangga di sisi kiri rumah gadang. Ketika Wiro sampai di dekat
bangunan lumbung padi, perempuan berbaju kurung kuning itu dilihatnya menuruni
anak tangga terakhir lalu berkelebat ke arah barisan pohon-pohon pisang.
Cepat sekali langkah perempuan itu. Eh, malah dia sekarang berlari.
Nah.....nah, dia berpaling ke arahku. Tak jelas wajahnya. Tapi astaga! Mengapa
dia melepas kain panjangnya.
Dua mata Wiro membesar ketika melihat di balik kain panjang yang dibuka
olrh perempuan tinggi besar itu sambil berlari ternyata dia mengenakan celana
galembong hitam. Kedua kakinya kini terlihat jelas.Besar berbulu dan dililiti
gelang akar bahar! Laki-laki! Ternyata dia laki-laki! Eh, banci atau bagaimana"! Janganjangan.... Kalau dia bukan orang jahat apa perlunya menyelinap ke atas rumah
gadang, menyamar seperti perempuan!
Wiro berteriak. Tahu kalau dirinya sudah terlihat dan dikejar orang
"perempuan" berbaju kurung kuning itu mempercepat larinya. Wiro segera mengejar.
Yang dikejar lenyap di jalan kecil menurun. Lalu terdengar suara kuda digebrak
orang ke arah Timur. Sialan! Gerutu Wiro. Dia memandang berkeliling, mencari-cari kalau-kalau
ada kuda di sekitar situ. Pendekar ini hanya bisa banting-banting kaki karena
tak seekor kudapun yang kelihatan. Tiba-tiba telinganya menangkap derap kaki kuda.
Yang satu ini justru mendatangi ke arahnya. Wiro cepat menyongsong. Seorang
lelaki tua muncul di atas punggung seekor kuda. Orang ini berpakaian dan berdestar
putih. Di tangan kirinya dia memegang sebuah saluang. Kedua mata Wiro jadi terbelalak
ketika dia mengenali orang ini (Saluang = suling khas Minang terbuat dari bambu)
Astaga! Si kakek ini adalah orang tua aneh berilmu tinggi yang dulu
menghadang jalanku sewaktu bersama Andana. Dia mencelakai diriku hingga
selangkangan celanaku robek besar. Lalu kutelanjangi dirinya, kurampas
celananya! Sesaat Wiro agak bimbang. Tapi dia perlu kuda tunggangan orang tua itu.
Dlam keadaan seperti itu si orang tua hentikan kudanya. Kedua matanya menatap
tajam ke arah Pendekar 212. Suling di tangan kanan dimelintangkan di depan dada.
Ah, pasti dia marah sekali padaku!
"Pencuri calana! Hari ini kita bertemu lagi! Mana celanaku yang kau rampas
tempo hari"!" orang tua itu membentak.
"Sabar, tenang....."
"Sabar! Tenang! Enak betul cakapmu! Kau telanjangi diriku! Kau permalukan
aku! Apa sekarang kau hendak menelanjangi aku lagi huh"! Apa kau kira kini aku
bisa sabar dan tenang melihat tampangmu"!"
"Saya minta maaf atas kejadian tempo hari! Saya terpaksa melakukannya.
Itupun gara-gara kau membuat robek celanaku...."
"Apapun alasanmu kau tetap maling perampas calana! Dan kau tidak bisa
mengembalikan celana itu!"
"Akan aku kembalikan nanti. Aku berjanji!"
Orang tua di atas kuda tertawa sinis. Dia keluarkan suara mendengus lalu
berkata. "Kulihat kau berpakai dan mengenakan saluak bagus! Hemmm.... Pasti
hasil BASTIAN TITO 8 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
rampasan pula! Siapa pula yang telah kau telanjangi" Kali ini pasti tidak
tanggung- tanggung. Kau rampas seluruh pakaiannya! Kau telanjangi orang sampai bugil!"
"Orang tua dengar...."
"Kau yang harus mendengar padaku! Bukan aku!" hardik si orang tua. "Dan
kali ini aku tidak Cuma bicara dengan mulut ! Tapi juga dengan ini !"
Wiro hendak menggaruk kepalanya karena tak tahu mau bicara apa lagi.
Selain itu dia merasa sangat risau karena orang yang dikejarnya tentu sudah
semakin jauh. Di hadapannya saat itu sehabis berkata begitu si orang tua lantas ayunkan
suling bambunya ke arah kepala Pendekar 212.
Wuuuttt!! "Pecah kepalamu!" teriak si orang tua.
Wiro berseru keras. Tengkuknya menjadi dingin sewaktu suling bambu di
tangan orang tua itu memapas topi kain songket di kepalanya. Padahal dia sudah
merunduk dengan gerakan cepat. Topi itu mental dan robek menjadi beberapa
potongan! Ketika orang tua itu membelikkan kudanya dan kembali hendak
menghantamkan suling bambunya Pendekar 212 membuat gerakan aneh. Dia
menyusup ke bawah perut kuda tunggangan lawan. Tadi dia telah memperhatikan
kalau kuda itu adalah seekor kuda jantan. Begitu berada di bawah perut kuda
murid Sinto Gendeng ini dengan cepat menyodok biji kemaluan binatang itu. Tidak
terlalu keras tapi cukup membuat kuda ini meringkik tinggi, emngangkat kedua kaki
depannya ke atas setelah itu menghentak-hentakkan kedua kaki belakangnya!
"Kurang ajar! Kau apakan kudaku!" teriak si orang tua kaget dan cepat
berusaha mengimbangi diri. Namun terlambat. Kuda yang kesakitan itu kembali
melejangkan kaki belakangnya. Tak ampun lagi penunggangnya terperosok ke
samping lalu jatuh ke tanah. Di saat yang sama dengan kecepata kilat Wiro
melompat ke atas punggung kuda lalu menggebrak binatang ini hingga dalam sakitnya
menghambur lebih kencang dari selama ini bisa dilakukannya.
Pendekar 212 hanya senyum-senyum mendengar di belakangnya orang tua itu
memaki panjang pendek. Lalu dia mendengar ada suara pepohonan tumbang dan
semak belukar rambas di belakangnya. Pasti orang tua itu telah melepaskan satu
pukulan sakti. Wiro menelungkup serata mungkin di atas punggung kuda.
Sekeluarnya dari jalan kecil yang berkelok-kelok Wiro sampai ke sebuah
lembah kecil menurun. Sesaat dia dapat melihat keadaan di depannya. Di kejauhan
dia melihat seorang penunggang kuda berbaju kuning.
Jarakku begitu jauh. Tak mungkin mengejarnya jika terus menempuh jalan
kecil ini pikir Wiro. Di sebelah kanannya ada sebuah hutan kecil. Jika dia
memasuki hutan itu mungkin dia masih mampu memotong jalan orang yang dikejarnya. Tanpa
berpikir panjang lagi Wiro segera memasuki hutan itu. Tak lama kemudian dia
berhasil mencapai lereng lembah. Di satu tempat dia berhenti. Orang yang
dikejarnya tidak kelihatan tapi telinganya lapat-lapat dapat menangkap suara derap kaki
kuda di arah Selatan lembah. Secepat kilat Wiro mengerahkan kudanya ke jurusan itu.
Namun anehnya suara derap kuda yang dikejarnya lenyap dengan tiba-tiba.
Tak mungkin orang itu lenyap begitu saja. Wiro memandang berkeliling. Eh!
Di sebelah sana dia melihat sehelai pakaian berwarna kuning menyangsang di
antara semak belukar. Wiro segera mendatangi. Dipegangnya ujung pakaian itu. Ini baju
kurung si manusia banci itu! Pasti dia beraa di sekitar sini! Wiro memandang
berkeliling. Sunyi, tak ada suara tak ada gerakan.
Tiba-tiba suara tawa bergelak menggeledek di belakang Pendekar 212 sampai
sang pendekar tergagau karena terkejut.
BASTIAN TITO 9 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Orang asing! Berani kau mengejarku"! Ini ada hadiah untukmu! Keparat!"
Wiro berpaling dengan cepat.
Saat itu pula dua buah pisau terbang melesat ke arahnya. Satu mengarah ke
dada, satunya mengarah perut!
"Banci edan!" teriak Wiro marah. Dia tidak sempat melihat jelas orang yang
menyerangnya dengan dua bilah pisau terbang itu. Sambil melompat turun dari kuda
Wiro lepaskan pukulan "Tameng Sakti Menerpa Hujan".
Pisau yang mengarah dada mencelat mental, patah dua. Salah satu patahannya
menancap di sebatang pohon. Pisau kedua siap dibikin mental oleh pukulan sakti
itu namun tiba-tiba terjadi hal luar biasa. Pisau satu ini membuat gerakan aneh.
Meliuk ke kiri dan tiba-tiba berubah menjadi seekor ular!
"Ha....ha....ha....!" Orang di depan sana tertawa bergelak lalu berkelebat
lenyap. "Kurang ajar!" damprat Wiro. Dia cepat menyingkir sambil lepaskan lagi satu
pukulan sakti ke arah pisau yang kini berubah menjadi ular dan mematuk secepat
setan berkelebat! Bagaimanapun cepatnya Wiro menghindar, serangan tak terduga
itu tak dapat dielakkannya. Ular mematuk dan menancap di bahu kirinya! Sehabis
mematuk binatang jejadian ini menggelepar lalu jatuh ke tanah, berubah menjadi
bubuk hitam yang mengepulkan asap.


Wiro Sableng 075 Harimau Singgalang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pendekar 212 cepat menotok beberapa bagian tubuhnya begitu dia merasa ada
hawa panas menjalar. Selain panas bahunya seperti ditusuk puluhan jarum.
Dirobeknya bajung pada bagian bahu kiri. Dengan tangan kanannya dia memencet
bagian bahu sekitar patukan ular. Darah mengucur keluar. Bukan berwarna merah
tetapi hitam! Paras sang pendekar menjadi pucat! Cepat-cepat dia keluarkan Kapak
Maut Naga Geni 212 dari balik pakaian merahnya. Setelah merapal satu mantera
pendek dalam keadaan tubuh panas dingin salah satu mata kapak ditempelkannya
pada luka bekas patukan ular di bahu kirinya.
Wiro menjerit keras sewaktu asap kelabu mengepul keluar dari bahu yang
ditempel senjata mustika sakti itu. Sekujur tubuhnya laksana dirajam. Sesaat
mata kapak yang tadinya berwarna putih perak menyilaukan berubah manjadi sangat hitam
lalu perlahan-lahan puith kembali ke warna asalnya. Ketika senjata itu diangkat
dari bahunya darah hitam masih mengucur terus malah tambah banyak.
Celaka! Racun jahat sekali. Lukaku tak mau berhenti ! Murid Sinto Gendeng
jadi bingung dan takut. Namun sesaat kemudian hawa panas yang menyungkup
tubuhnya mulai reda. Darah yang tersedot keluar oleh kekuatan Kapak Maut Naga
Geni 212 perlahan-lahan tampak berubah dari hitam menjadi merah segar.
Murid Eyang Snito Gendeng menarik nafas lega. Dia terduduk di tanah. Dia
baru saja selamat dari satu racun maha jahat. Ketika dia teringat pada orang
tadi serta merta Wiro melompat bangkit. Dia memandang berkeliling.
Bagaimanapun saktinya manusia tadi tak mungkin dia lenyap amblas ke
dalam bumi! Pikir Wiro. Lalu bagaimana dia bisa raib begitu rupa"! Pendekar ini
segera memeriksa semak belukan di tempat itu. Hemmmm..... ini rahasianya! Kata
Wiro. Di balik serumpunan semak belukar lebat, di belakang dua pokok keladi
hutan berdaun lebar tampak sebuah lobang besar. Dengan membungkuk Wiro memasuki
lobang itu. Hati-hati dia bergerak maju. Kapak Naga Geni 212 tetap berada dalam
genggamannya. Baru berjalan sekitar sepuluh langkah, lobang itu bercabang dua.
Setelah meragu sejenak Wiro memasuki lobang sebelah kanan. Sepuluh lobang lagi
bergerak ke dapan kembali lobang itu bercabang. Kini bukan Cuma dua tapi tiga.
Wiro memandang berkeliling. Keadaan di tempat itu semakin gelap. Bau busuk
menusuk hidung. Sadar akan bahaya tak terduga yang mungkin bisa membokongnya
BASTIAN TITO 10 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
sewaktu-waktu secara tidak terduga murid Eyang Sinto Gendeng akhirnya memutar
tubuh, keluar dari lobang itu.
Di belakangnya mendadak terdengar suara tawa bergelak. Lalu satu suara
mengejek. "Orang asing! Ternyata nyalimu rendah! Kalau jiwamu pengecut mengapa
berani merantau sejauh ini" Ha...ha...ha...!"
"Bangsat!" maki Wiro. Bagitu keluar dari lobang dengan penuh kemarahan
murid Sinto Gendeng ini menghantamkan pukulan "dewa topan menggusur gunung"
kearah lobang itu tiga kali berturut-turut. Lembah itu laksana mau amblas ke
perut bumi. Bukit kecil di mana lobang tadi berada longsor dengan suara bergemuruh.
Lobang jalan masuk tertimbun tanah tak kelihatan lagi.
Wiro memasukkan Kapak Mau Naga Geni 212 ke balik pakaiannya. Manusia
banci! Aku mau lihat apa kau bisa keluar hidup-hidup dari dalam lobang celaka
itu! Habis berkata begitu Pendekar 212 segera tinggalkan tempat itu dengan berjalan
kaki karena kuda si orang tua yang tadi dirampasnya tak ada lagi di tempat itu.
Meskipun dirinya telah selamat dari racun ular yang sangat jahat tadi namun saat itu dia
merasa tubuhnya lemas sekali.
Hanya beberapa saat Wiro teinggalkan tempat itu satu bayangan putih
berkelebat. Orang ini memandang berkeliling. Sambil gelengkan kepala dia
berkata. Pukulan "dewa topan menggusur gunung." Hemm.... anak itu rupanya masih terus
mengamalkan ilmu kesktian itu. Kekuatan tenaga dalamnya sudah jauh lebih tinggi.
Gunung Merapipun bisa dibobolnya! Orang ini yang ternyata seorang tua usap
mukanya beberapa kali. Tiba-tiba dia membuat gerakan menarik pada bagian
belakang kepalanya. Selembar topeng tipis dan rambut palsu tanggal dari
kepalanya. Astaga! Di balik topeng itu kelihatan wajahnya yang asli. Cekung hanya tinggal
kulit pembalut tulang. Rambut putih di kepalanya tampak jarang. Tapi kumis dan
janggutnya kelihatan tebal seputih kapas.
Ketika Wiro sampai ke tempat perhelatan kembali tidak mudah baginya
menemui Andana karena saat itu Andana sedang bercakap-cakap dengan Datuk
Gampo Alam dana keduanya berada dalam rumah gadang tengah makan. Kali ini
Andana berlaku cerdik. Setiap gulai atau ikan dan daging yang dimakan sang Datuk
itu pula yang diambilnya. Paling tidak dia berusaha menghindari akan diracuni
orang untuk kedua kalinya.
Ketika Atun, datang membawakan minuman tambahan untuk Andana,
pembantu itu membisikkan sesuatu padanya.
"Eh, kenapa kau jadi makan terburu-buru Andana?" tanya Datuk Gampo Alam
ketika dilihatnya kemenakannya itu menyuap dan mengunyah makanannya lebih
cepat dari sebelumnya.
"Perut saya tiba-tiba saja tidak enak. Mungkin saya masuk angin karena
kurang tidur malam tadi.... Paman, izinkan saya ke belakang dulu...." Andana
membasuh tangan kanannya lalu cepat-cepat dia meninggalkan tempat itu menuju ke
pancuran di belakang rumah gadang. Namun di satu tempat dia membelok ke jurusan
lain, melangkah cepat hingga akhirnya sampai di balik barisan pohon-pohon pisang
tak jauh dari lumbung padi.
Di situ menunggu Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Ada apa Wiro" Mengapa kau meminta aku datang kemari. Eh, pakainmu
robek di bahu. Kulihat mukamu agak pucat....."
Dengan cepat Wiro menceritakan apa yang telah dialaminya.
"Saya memang sudah curiga melihat orang itu waktu dia muncul di jendela
rumah gadang. Tapi saya tak mungkin melakukan sesuatu. Ternyata kau bertindak
BASTIAN TITO 11 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
cepat. Kau sempat melihat wajahnya" Yang penting kau benar-benar sudah aman dari
racun jahat itu?"
"Saya aman, tak usah kawatir. Mengapa tampang orang itu saya hanya sempat
melihatnya sekilas sebelum dia menyelinap masuk ke dalam lobang. Orangnya
berkumis dan berewokan. Salah satu matanya kalau aku tak salah ingat yang
sebelah kiri buta....."
Andana berpikir-pikir. Lalu pemuda ini gelengkan kepala. "Kau tahu, sekitar
tiga tahu aku meninggalkan Pagaralam. Orang jahat datang dan pergi bergantiganti. Aku tak tahu siapa yang satu ini. Ilmunya tak bisa dibuat main. Nanti akan
kutanyakan pada Datuk. Aku merasa yakin ini masih pekerjaannya Tumenggung Rajo
Langit...."
Wiro usap-usap dagunya lalu berkata. "Untuk sementara sebaiknya kejadian
ini dirahasiakan antara kita berdua....."
"Hem.... Kelihatannya kau kurang percaya pada Pamanku Datuk Gampo
Alam?" "Saya tidak mengatakan begitu, sahabat." Jawab Wiro. "Tapi coba kau
pikirkan sendiri dalam-dalam."
"Aku harus meninggalkan tempat ini sekarang...."
"Kau harus makan dulu. Gulai kambing, rendang pedas menunggumu...."
Wiro tertawa. "Seleraku jadi hilang dengan kejadian ini," katanya.
Ketika Pendekar 212 meninggalkan tempat itu, di sebuah jendela dekat
anjungan rumah gadang Datuk Gampo Alam yang sempat menyaksikan pertemuan
antara kemenakannya dengan Wiro bergerak menjauhi jendela. Lehernya disentaksentakkan dua kali lalu dia kembali ke tempat duduknya semula. Menggulung
sebatang rokok dan menghisapnya dalam-dalam.
BASTIAN TITO 12 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
TIGA Palindih masuk ke dalam rumah itu sambil tersenyum-senyum. Sesaat dia
memandang pada Mamak Rabiah dan Bunga. Lalu bungkusan yang dibawanya
diletakkannya di atas meja.
"Apa itu Palindih?" tanya Mak Rabiah.
"Hadiah dari Datuk Gampo Alam buat anak Etek,,Bunga. Cita halus dari
negeri Cina, kain songket berbenang emas dari Palembang, sehelai selendang
sutera lalu sejumlah uang! Besar nian rejeki abak Etek."
Mamak Rabiah sesaat saling pandang dengan Bunga.
"Kami tidak meminta. Mengapa Datuk memberikan?" tanya Mamak Rabiah
pula. "Itu tandanya beliau puas. Datuk memuji kepandaian Bunga menari. Bukan itu
saja, kecantikan anak Etek itupun disebut-sebutnya terus menerus."
"Kalau Datuk Gampo Alam memberikan dengan ikhlas, kami menerima
dengan ikhlas pula. Sampaikan ucapan terima kasih kami pada Datuk...." Mamak
Rabiah mengira Palindih akan segera pergi namun lelaki itu masih tegak di
hadapannya. Mamak Rabiah lalu membuka bungkus yang dibawa Palindih. Di situ
memang ada cita, kain songket serta sehelai selendang dan uang dalam kantong
kain. "Banyak sekali uang yang diberikan Datuk Gampo Alam. Kau ambillah
sebagian Palindih." Mamak Rabiah mengangsurkan sejumlah uang pada pembantu
Datuk Gampo Alam itu.
"Ah tak usahlah Etek. Saya menolong juga dengan ikhlas....." katanya tapi
kedua matanya melirik ke tangan kanan Mamak Rubiah.
"Ambillah...."
"Etek ini ada-ada saja," kata Palindih. Lalu diambilnya juga uang dan
dimasukkan ke dalam sakunya. "Etek Rabiah, ketahuilah selain disuruh
menyampaikan hadiah ini, saya juga membawa pesan dari Datuk Gampo Alam."
"Pesan apa geranagn?" tanya Mamak Rabiah pula.
"Datuk mengundang Etek datang ke rumahnya sore ini juga setelah ba'dal
Asar. Kalau Etek suka kita bisa pergi bersama-sama.
"Datukmu mengundang saya datang ke rumah gadang" Agak aneh
kedengarannya Palindih. Baru sekali ini kejadain begini. Apa gerangan
maksudanya?"
tanya Mamak Rabiah pula seraya memandang pada Bunga.
"Saya tidak tahu Etek. Tentu maksud baik semata. Karena itu jangan ditolak
undangannya."
Mamak Rabiah berpikir sejenak lalu berkata. "Kau pergilah lebih dahulu. Biar
aku menyusul sendiri kemudian." Kata perempuan itu seraya membetulkan letak
selendangnya. Begitu Palindih pergi Mamak Rabiah cepat menutupkan pintu lalu dia tegak
bersandar pada daun pintu seraya memejamkan matanya.
Bunga segera mendekati perempuan ini. "Ada apa Mak" Mamak kurang
sehat?" Tanpa membuka matanya perempuan itu menjawab. "Mamak rasa telah
membuat kesalahan besar anakku. Menyetujuimu menjadi gadis penari pembawa sirih
persembahan itu...."
"Kalau begitu Mamak tak usah saja datang...." kata Bunga tanpa mau bertanya
apa yang membuat Mamak Rabiah berkata begitu.
BASTIAN TITO 13 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Kalau tidak datang salah pula nanti....." jawab Mamak Rabiah lalu menarik
nafas panjang. Datuk Gampo Alam menyambut kedatangan Mamak Rabiah dengan tawa
lebar penuh gembira. Perempuan itu dibawanya ke anjungan rumah gadang lalu
mereka duduk berhadap-hadapan.
"Istri-istri Datuk kemana....?" tanya Mamak Rabiah ketika melihat hanya sang
Datuk saja sebagai tuan rumah yang menemaninya hingga mau tak mau dia merasa
kikuk. "Mereka sibuk semua Mak Rabiah. Terima kasih kau mau datang....."
"Datuk, saya dan Bunga mengucapkan terima kasih atas pemberian Datuk tadi
siang...."
"Ah, itu hanya hadiah kecil saja. Tak usah disebut-sebut," kata Datuk Gampo
Alam. Setelah menyentakkan lehernya beberapa kali sang Datuk berkata. "Aku tak
pernah tahu kalau kau menyimpan burung bagus luar biasa di sangkar emas...."
"Saya tidak paham maksud Datuk..."
Lelaki itu tertawa lebar. "Maksudku anakmu yang cantik dan pandai menari
itu. Bunga..... Betul itu namanya?"
"Bunga gadis buruk, keturunan orang tak punya. Maklum saja gadis kampung.
Apa yang Datuk kagumi?"
Datuk Gampo Alam kembali tertawa dan menyentak-nyentakkan lehernya.
"Kau pandai merendah Rabiah. Kalau Bunga tak jadi penari siang tadi tak pernah
aku tahu bahwa ada seorang bidadari di Pagaralam ini!"
Mamak Rabiah terdiam.
Datuk Gampo Alam menggeser duduknya. Dengar Rabiah, gadis secantik
Bunga tidak pantas tinggal di rumahmu yang sekarang....."
"Mengapa Datuk berkata begitu" Lalu kemana kami hendak pergi" Kami
orang miskin....."
"Aku punya beberapa rumah di Pagaralam ini, juga di Pagaruyung. Kau boleh
memilih mana yang kau suka. Atau di sini di rumah gadang ini. Masih ada satu
kamar tersisa....."
Berdebarlah dada Mamak Rabiah mendengar kata-kata Datuk Gampo Alam
itu. Sudah terbayang olehnya kini apa tujuan laki-laki ini menyuruhnya datang.
"Rabiah.... Kau faham maksudku bukan?"
"Maafkan, saya tidak mengerti Daruk." Jawab Rubiah dan dadanya tambah
menggemuruh. Mukanya tampak memucat.
"Begini, maksudku anakmu itu. Aku ingin mengambilnya jadi istri...."
Ya Tuhan, benar rupanya dugaanku! Kata Mamak Rabiah dalam hati.
"Datuk, saya...."
"Kau setuju" Bagus!"
"Maksud saya bukan begitu Datuk. Bunga masih kecil. Belum pantas
bersuami. Lagi pula, maakan saya Datuk. Bukankah Datuk sudah punya empat orang
istri" Agama dan adat tidak mengijinkan lebih dari itu...."
Datuk Gampo Alam tertawa lebar. "Kalau itu yang kau takutkan, setiap saat
aku bisa menceraikan salah seorang dari istriku. Kau sebut saja yang mana. Empat
kurang satu ditambah satu kan empat juga jadinya. Ha....ha.....ha.....!"
Mamak Rubiah tundukkan kepala. Dadanya seperti siap untuk meledak.
"Datuk, saya kurang sehat. Izinkan saya pulang....."
"Tentu, tentu. Palindih akan saya suruh mengantar dengan kereta....."
BASTIAN TITO 14 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Terima kasih. Saya masih mampu berjalan."
"Baik kalau begitu.Tapi dengar. Besok Jum'at. Pagi-pagi sekali kau harus
datang memberikan jawaban. Dan kau tahu jawaban apa yang aku ingin bukan?"
Rabiah tidak menyahut. Dituruninya tangga rumah besar bergonjong itu
dengan langkah gontai sempoyongan. Dunia seperti berputar di matanya. Dalam
hatinya dia berseru pada Yang Kuasa. Tuhan, beri saya kekuatan. Sampaikan
langkah saya ke rumah. Yang lebih penting janganlah semua ini terjadi menurut keinginan
manusia yang satu itu......
Begitu Bunga membukakan pintu, Mamak Rabiah langsung memeluk dan


Wiro Sableng 075 Harimau Singgalang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menciumi anak itu. Kedua matanya basah.
Mamak, ada apakah" Tanya Bunga heran seraya membimbing perempuan itu
duduk ke sebuah tempat tidur kayu.
Nasib kita memang belum lepas dari sengsara Nak. Datuk Gampo alam....."
Mamak Rabiah tak dapat meneruskan kata-katanya.
"Datuk Gampo Alam" Mengapa dia Amak?"
"Tak sampai hati Mamak mengatakannya padamu Bunga."
"Saya sudah bisa menduga walau Mamak tak mau mengatakannya. Tua
bangka tak tahu diuntung itu pasti meminta saya jadi istrinya. Bukan begitu
Mak?" Mamak Rabiah mengangguk dan tangisnya mengeras.
"Apa yang Mamak katakan padanya?"
"Tidak ada. Mamak tidak mengatakan apa-apa. Tapi dia meminta Mamak
datang lagi memberi kabar. Besok hari Jum'at pagi."
Bunga berdiri, melangkah ke meja dimana masih terletak bungkusan hadiah
dari Datuk Gampo Alam.
"Jadi itu sebabnya dia memberi hadiah sebanyak ini! Tua bangka gila! Tak
sudi aku menerima pemberiannya ini!" Bunga lalu melemparkan bungkusan itu ke
dinding. Bunga sendiri seprti tak kuasa lagi berdiri, jatuh berlutut dan
menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Lalu terdengar isak tangisnya.
BASTIAN TITO 15 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
EMPAT Di rumah gadang sesaat setelah Mamak Rabiah pergi, Rukiah istri termuda Daruk
Gampo Alam keluar dari balik pintu. Dia melangkah menemui suaminya dengan
muka cemberut. "Eh, termakan nasi basi atau kacang busuk sampai mukamu asam seperti itu
Rukiah! Atau ada hantu gunung Sitoli merasuk ke dalam tubuhmu!"
Rukiah tersenyum pencong. "Saya sudah dengar semua pembiacaraan Datuk
dengan Mamak Rabiah tadi...."
Tampang Datuk Gampo Alam berubah. Merah membesi. "Perempuan kurang
ajar! Jadi berani kau mencuri dengar pembicaraanku! Setan kau!" Datuk Gampo
Alam sentakkan lehernya sempai empat kali sedang kedua matanya memandang
membeliak pada istri mudanya itu. Kalau saja yang ada di hadapannya itu bukan
Rukiah yang memang sangat disayanginya tetapi salah satu dari tiga istrinya yang
lain, pasti sang Datuk sudah menjambak rambutnya.
"Bukan saya yang setan!" menjawab Rukiah dengan beraninya. "Tapi Datuk!"
Ucapan itu membuat Datuk Gampo Alam bergeletar selurh tubuhnya. "Ku
tampar mulutmu nanti Rukiah!" mengancam sang Datuk.
Sang istri muda tenang-tenang saja. Malah menyahuti. "Saya sudah bicara
dengan kakak-kakak di sini. Kalau Datuk memang mau mengawini Bunga, silahkan.
Datuk boleh menceraikan salah satu dari kami berempat. Tapi saya minta Datuk
menceraikan saya!"
"Aha! Kau cemburu Rukiah!" kata Datuk sambil tertawa. Diantara keempat
istrinya Rukiah sebagai istri muda tentu saja merupakan istri yang paling
disayanginya. "Aku tidak akan menceraikan mu apapun yang terjadi!"
"Kalau Datuk tidak mau menceraikan saya, biar saya yang minta cerai dan
pergi dari sini! Kami semua tidak suka Datuk mengambil gadis itu sebagai istri.
Gadis yang pantas jadi anak Datuk itu akan bernasib buruk dan menderita batin seperti
kami-kami di sini!"
"Perempuan setan! Cakapmu benar-benar membuatku marah! Menyingkir dari
hadapanku!" kata Datuk Gampo Alam setengah berteriak lalu menyentakkan lehernya.
"Jadi Datuk tetap mau mengawini Bunga?" tanya Rukiah dengan beraninya.
"Setan manapun tak bisa menghalangiku!" jawab Datuk Gampo Alam.
"Kalau begitu saya minta cerai sekarang juga!"
Plaak! Tamparan Datuk Gampo Alam membuat Rukiah terpekik. Perempuan muda
ini hampir terjatuh nanar. Sambil pegangi pipinya menahan sakit dia berkata.
"Laki- laki gila! Umur hanya tinggal sejengkal dari liang kubur masih saja ingin kawin!
Kambing tua tidak tahu diri. Kerjanya melahap daun muda saja!"
Datuk Gampo Alam menyentakkan lehernya beberapa kali. Pipinya yang
cekung tampak menggembung sampai ke rahang.
"Perempuan tak tahu diuntung! Kau minta cerai! Baik! Kujatuhkan talak satu
padamu! Sekarang angkat kaki dari rumah gadang ini!"
"Talak satu"! Huh! Kenapa Cuma talak satu" Kenapa tidak sekalian talak
tiga"!" sentak Rukiah.
"Kalau itu maumu Baik! Kujatuhkan talag tiga! Nah, puas kau sekarang" Ayo
cepat lindang dari rumahku ini!" Suata Datuk Gampo Alam demikian kerasnya
hingga terdengar oleh orang-orang yang ada di halaman, termasuk Andana. (lindang
= BASTIAN TITO 16 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
angkat kaki). Kau datang ke sini hanya membawa sehelai pakaian buruk lekat di
badan! Kalau kau pergi jangan harap akan kuperbolehkan membawa lebih dari pada
baju yang melekat di tubuhmu itu!"
"Saya tidak tamak harta! Saya tidak akan membawa apa-apa kecuali pakaian
ini!" jawab Rukiah. Lalu ditanggalkannya cincin, gelang dan kalung emasnya.
Perhiasan ini kemudian dilemparkannya ke muka Datuk Gampo Alam hingga sang
Datuk tersurut kaget tapi juga marah sekali. Sebelum dia sempat menyemprotkan
caci maki atau melayangkan tangannya, Rukiah sudah melangkah ke pintu lalu menuruni
tangga rumah gadang dengan cepat. Di halaman rumah gadang Andana detang
menyongsongnya.
"Saya mendengar suara ribut-ribut tadi. Kini saya lihat Etek seperti terburuburu. Etek mau kemana?" Sambil bertanya Andana memperhatikan wajah istri
Pamannya yang usidanya jauh lebih muda dari dirinya. "Astaga, ada apa pipi Etek
kelihatan merah?"
Rukiah coba tersenyum. "Andana, jika kau punya kesempatan aku harap kau
mau menemuiku di simpang tiga jalan ke sawah. Ada sesuatu yang sangat penting
ingin kukatakan." Setelah berkata begitu Rukiah cepat-cepat berlalu.
Sementara itu dari atas rumah Datuk Gampo Alam menuruni tangga dengan
cepat. "Apa yang dikatakan perempuan setan itu padamu"!" tanya Datuk Gampo
Alam pada Andana.
"Tidak begitu jelas. Dia bicara terburu-buru. Katanya dia mau pergi....."
"Pergi kemana"!" tanya sang Datuk lagi.
"Saya tidak tahu Paman. Dia hanya bicara sebentar lalu cepat-cepat pergi."
Andana diam sejenak sambil mengusap-usap dagunya. "Mamak, saya sudah
menginap malam tadi di rumah gadang. Saya sudah pula menerima kehormatan besar
yaitu sebgai penerima sirih persembahan. Samua itu tidak mungkin terjadi kalau
bukan Paman yang mempersiapkan dan mengaturnya. Saya mengucapkan ribuan
terima kasih Paman. Tiba saatnya hari ini saya minta diri. Mulai hari ini saya
akan tinggal di surau."
"Kau tidak berbasa-basi, Andana?"
Pemuda itu menggeleng.
"Bagaimana kalau Tumenggung Rajo Langit mengirimkan orang-orangnya
untuk menangkapmu. Kau tidak takut" Jika kau tidak ada di dekatku, aku tak bisa
melindungimu."
"Saya tidak takut pada siapapun Paman. Kecuali pada Yang Satu di atas
sana," jawab Andana sambil menunjuk ke langit. "Lagi pula sebelumnya
Tumenggung itu memang sudah mengirim orang-orangnya untuk menangkap saya.
Tuhan masih melindungi saya. Pemuda sahabat saya yang menghajar habis semua
monyet-monyet Tumenggung Rajo Langit. Tumenggung itu sendiri kalau tidak cepatcepat lari pasti babak belur untuk kedua kalinya....."
"Untuk kedua kalinya katamu" Jadi sebelumnya dia pernah menghajar Rajo
Langit"' "Betul. Waktu tua bangka itu mencoba mengganggu anak gadis orang..."
Eh, jangan-jangan anak ini menyindirku, pikir Datuk Gampo Alam.
"Andana, pemuda kawanmu yang bernama Wiro itu, apa dia memang seorang
pendekar berkepandaian tinggi?" bertanya Datuk Gampo Alam.
Yang ditanya mengangguk. "Bagi saya kalau seorang bisa menghadapi lebih
dari tiga orang lawan hanya dengan tangan kosong, apalagi lawan bersenjata pula,
dia sudah saya anggap sebagai seorang pendeka besar...."
BASTIAN TITO 17 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Datuk Gampo Alam terdiam. Dalam hati dia berkata. Orang Jawa ini jelas
akan membuatku susah dan rencanaku berantakan. Kalau tidak diambil tindakan dari
sekarang urusan bisa tidak karuan. Lalu anak yang di hadapanku ini sendiri
sampai dimana pula kehebatannya. Dia sempat berguru dengan Datuk Alis Merah.
"Andana aku yakin kau bisa menghadapi semua kesukaran ini. Sekalipun
tanpa pertolongan sahabatmu bernama Wiro itu. Kabarnya kau sudah diberi orang
gelar Harimau Singgalang."
Andana coba tersenyum dan berkata. "Itu hanya cakap gurau orang saja
Paman. Mana berani saya memakai gelar sehebat itu...."
"Jadi, kau sungguhan hendak pergi?"
Andana mengangguk.
Datuk Gampo Alam menyentakkan lehernya dua kali. "Baiklah, aku tak bisa
melarang. Namun sebelum pergi naiklah dulu ke atas. Ada beberapa hal yang perlu
kubicarakan denganmu."
"Perihal apakah Paman?" tanya Andana.
"Perihal rumah gadang dan segala isinya. Aku bermaksud menjualnya."
Terkejut Andana mendengar kata-kata Pamannya itu. Dengan perasaan tidak
enak dia menaiki tangga mengikuti Datuk Gampo Alam naik ke atas rumah gadang.
Begitu sampai di atas rumah gadang Datuk Gampo Alam masuk ke dalam
kamarnya. Ketika keluar dia membawa segulung kertas. Setelah duduk di hadapan
kemenakannya dibukanya gulungan kertas itu seraya berkata. "Andana ini adalah
Surat Wasiat peninggalan Ayahmu. Isinya bisa kau lihat sendiri nanti. Sekarang
biar kubacakan dulu."
Surat Wasit. Hari Kamis hari ke dua belas bulan Muharram. Saya Datuk
Bandaro Sati, dengan ini berwasiat. Jika terjadi sesuatu apa dengan diri saya
yang menyebabkan kematian saya, maka semua harta kekayaan yang tertinggal termasuk
rumah gadang yang di Pagaralam dan segala harta pusaka yang ada di dalamnya,
ternak dan sawah ladang akan saya wariskan pada dan menjadi hak syah Datuk
Gampo Alam, satu-satunya adik kandung saya. Segala urusan selanjutnya dialah
yang bertanggung jawab penuh untuk menentukan. Tertanda Datuk Bandaro Sati.
Mengetahui Penguasa di Pagaruyung Tumenggung Rajo Langit.
Sehabis membacakan Surat Wasiat itu Datuk Gampo Alam menatap wajah
kemenakannya. Anak ini kelihatan tenang saja membatin sang Datuk. Tak ada
perubahan pada air mukanya. Datuk Gampo Alam akhirnya menyerahkan Surat
Wasiat itu pada Andana. "Kau baca sendirilah," katanya.
Andana membaca Surat Wasiat itu. Sesaat kemudian diserahkannya kembali
pada pamannya. "Kau tidak akan mengatakan atau menanyakan sesuatu Andana?"
"Memang ada Paman," jawab si pemuda. "Pertama kapan Surat Wasiat itu
Paman terima dari almarhum Ayahanda?"
"Beberapa waktu lalu. Kalau aku tak salah ingat hanya sekitar tida empat
minggu sebelum dia meninggal. Itulah, seperti yang aku katakan tempo hari. Dia
seolah-olah sudah mendapat firasat. Membuat Surat Wasiat ini lalu memberikannya
padaku. Bisa kufahami. Kau tak ada di Pagaralam, entah berada dimana. Lalu kakak
kami Uning Ramalah seperti kau ketahui tidak mau mengurusi hal-hal seperti ini
lagi." "Paman, pengetahuan saya sangat dangkal tentang hal-hal yang menyangkut
warisan. Tetapi ada sesuatu yang saya ketahui dengan jelas sekali."
"Hemmm, apakah itu Andana?" tanya Datuk Gampo Alam sambil
menyentakkan lehernya dua kali.
BASTIAN TITO 18 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Warisan yang ditinggalkan Ayah saya bukanlah termasuk Pusaka Tinggi.
Yaitu pusaka turun temurun dari nenek moyang kita yang tidak boleh dijual atau
dibagi-bagikan. Tetapi tetap akan menjadi pusaka untuk bisa dimanfaatkan oleh
keturunan sedarah sedaging. Contoh Pusaka Tinggi itu ialah rumah gadang yang di
Batusangkar. Tetapi rumah gadang yang ini adalah Pusaka Rendah. Rumah dan segala
isinya adalah milik Ayahanda langsung. Hasil pencaharian dan pembeliannya
sendiri. Dari keringatnya sendiri. Bukan harta turun temurun. Dengan kata lain sebagai
anak kandung satu-satunya maka sayalah yang secara syah menerimanya sebagai warisan,
wajib menjaga dan memeliharanya. Secara hukum dan secara adat Surat Wasiat itu
adalah keliru..... Mungkin yang dimaksudkan Ayahanda adalah rumah gadang pusaka
keluarga di Batusangkar."
"Mana mungkin keliru Andana. Di sini jelas disebutkan rumah gadang di
Pagaralam. Rumah gadang dimana aku dan kau saat ini duduk berhadap-hadapan.
Jelas di sini dikatakan aku yang ditunjuknya sebagai pewaris dengan segala isi
di dalamnya."
"Paman , saya yakin ada sesuatu yang keliru....." kata Andana lagi.
Datuk Gampo Alam tersenyum. "Andana, kau lihat sendiri tanda tangan
Tumenggung Rajo Langit yang mengesahkan SuratWasiat ini. Apakah kau ingin
mengatakan aku memalsukan dan membuat-buat Surat Warisan ini?"
"Saya tidak mengatakan begitu Paman. Jangan Paman salah sangka. Apa yang
saya maksudkan cukup jelas. Semua harta pusaka milik Ayah adalah hasil pembelian
ayah dari keringatnya sendiri. Bukan berasal dai kakek atau nenek moyangnya.
Bukan berasal dari pusaka turun-temurun.Hanya itu saja yang ingin saya katakan. Apa
artinya terserah Paman untuk mengkajinya."
"Ah, aku mengerti sekarang! Jelas kau tidak suka rumah dan harta Ayahmu
diberikan kepadaku! Walau jelas-jelas di dalam Surat Wasiat ini Ayahmu
mengatakan begitu. Jelas dan ikhlas. Ada saksinya pula. Saksi bukan orang sembarangan. Tapi
seorang berpangkat. Seorang Tumenggung penguasa negeri!" Datuk Gampo Alam
menyentakkan lehernya dulu baru meneruskan. "Andana, jika aku pikir-pikir
mengapa Ayahmu membuat Surat Waisat begini rupa pasti ada sebab musababnya.
Mungkin ada sesuatu yang tidak berkenan di hatinya atas dirimu hingga Surat
Wasiat ini ditujukannya padaku bukan padamu. Mungkin kau dianggapnya melakukan satu
kesalahan besar karena telah meninggalkan Pagaralam sampai bertahun-tahun tanpa
kabar berita. Ini rupanya sangat menyakitkan hatinya...."
"Paman biar saya katakan terus terang sekarang. Saya kembali ke Pagaralam
ini mengikuti pesan Ayahanda yang saya terima secara gaib. Pesan beliau
selamatkan rumah gadang dan harta pusaka di dalamnya....."
"Aneh sekali kedengarannya," kata Datuk Gampo Alam sambil memandang
ke halaman lewat pintu rumah gadang.
"Betul Paman, memang aneh kedengarannya kalau tidak melihat sendiri. Tapi
kejadian itu saya alami sendiri, disaksikan oleh guru saya Datuk Alis Merah.
Waktu itu kami berada di dekat air terjun kecil di kawasan tempat kediaman Datuk Alis
Merah. Ayah tiba-tiba saja muncul dikawal oleh seekor harimau besar. Ayah tegak
di atas batu. Berpakaian hijau yang penuh lubang-lubang bekas tusukan. Sekujur
tubuhnya berlumuran darah. Saat itulah Ayah memberi tahu agar saya segera pulang
ke Pagaralam. Rumah gadang dalam bahaya....."
Untuk beberapa lamanya Datuk Gampo Alam berdiam diri. Terbayang
kembali olehnya kejadian di Ngarai Sianok. Ketika dia bersama Hantu Mata Picak


Wiro Sableng 075 Harimau Singgalang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengeroyok Datuk Bandaro Sati lalu membunuh kakanknya itu dengan cara
menikamnya bertubi-tubi dengan keris miliknya sendiri yaitu Keris Tuanku Ameh
BASTIAN TITO 19 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Nan Sabatang. Anak ini mengatakan keris sakti bertuah itu tak ada padanya. Dia
berdusta. Keris itu kutemukan di bawah bantal dalam kamarnya. Kalau dia banyak
ulah dengan senjata itu pula akan kuhabiskan riwayatnya!
"Paman, saya minta diri. Kalau memang Paman yakin Ayah benar-benar
mewariskan rumah gadang beserta isinya, termasuk sawah ladang dan ternak
peliharaan, berbahagialah Datuk. Saya tidak akan mengungkit atau menuntut. Saya
malah berterima kasih Paman mau merawat rumah serta semua peninggalan Ayah...."
Mulutnya berkata begitu tapi siapa tahu isi hatinya, pikir Datuk Gampo Alam.
"Begini sajalah Andana. Urusanku akan terlalu banyak nanti. Bagaimana
kalau semua sawah ladang dan ternak kuberikan saja padamu."
"Terima kasih Paman. Ketahuilah, saya datang ke Pagaralam ini bukan untuk
mendapatkan segala macam harta warisan. Tujuan saya Cuma satu....."
Andana bangkit dari duduknya. Sebelum menuruni tangga diteruskanna dulu
ucapannya yang tergantung tadi. "Tujuan saya ke Pagaralam ini adalah mencari
pembunuh Ayah saya. Dan saya yakin saya akan menemukan orangnya!"
Tampang Datuk Gampo Alam berubah. Andana tidak lagi memperdulikan
Pamannya itu. Dibalikkannya tubuhnya lalu dia menuruni tangga rumah gadang
dengan cepat. Dari jendela Datuk Gampo Alam dapat melihat kemenakannya itu
menunggangi kuda ke arah Timur yaitu arah yang ditempuh Rukiah waktu pergi tadi.
Sang Datuk menyentakkan lehernya lalu berteriak memanggil tiga orang
pengawalnya. "Ikuti dan selidiki kemana perginya anak itu. Laporkan padaku apa
yang kau ketahui!"
BASTIAN TITO 20 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
LIMA Simpang tiga itu terletak di kaki bukit kecil yang menurun. Tak jauh dari sana
terbentang daerah pesawahan. Sore itu suasana di sekitar tempat itu tampak sepi.
Sesekali terdengar kicau burung. Ketika Andana sampai di simpang tiga itu dia
tidak melihat Rukiah atau siapapun di situ.
Jangan-jangan perempuan itu mendustaiku. Pikir Andana. Baru saja dia
berpikir begitu telinganya menangkap detak suara roda. Dari balik pepohonan dan
semak belukar muncul sebuah pedati ditarik dua ekor sapi. Di depannya di sebelah
seorang sais tua duduk Rukiah. Perempuan ini menyuruh sais menghentikan pedati
lalu dia turun. Dia melambaikan tangan pada Andana agar pemuda itu masuk ke
kawasan pepohonan, terlindung dari pemandangan orang yang mungkin lewat di
tempat itu. "Etek, hal penting apakah yang hendak Etek sampaikan pada saya?" tanya
Andanan begitu turun dari kudanya.
"Jangan panggil saya dengan sebutan Etek itu. Sudah saya katakan saya muak
mendengarnya. Panggil saja nama saya. Rukiah. Bukankah usia kita tak jauh beda"
Kau pasti lebih tua dari saya."
"Baiklah. Nah sekarang saya ingin dengar apa yang hendak kau sampaikan,"
kata Andana pula.
"Saya tahu Datuk Gampo Alam talah membuat Surat Wasiat palsu. Dia ingin
menguasai rumah gadang serta semua harta pusaka peninggalan mendiang
Ayahmu...."
"Saya tidak terkejut....." kata Andana. "Tadi Datuk memperlihatkan pada saya
Surat Wasiat itu. Surat itu ditanda tangani oleh Tumenggung Rajo Langit. Tanda
tangan itu tidak palsu...."
"Memang tidak palsu. Karena Datuk Gampo Alam berkomplot dengan
Tumenggung Rajo Langit. Saya dengar rumah gadang itu berikut isinya akan
dijualnya pada si Tumenggung. Lalu tumenggung Rajo Langit kabarnya akan menjual
lagi pada seorang utusan yang datang dari tanah Jawa..."
"Ini hal baru bagi saya Rukiah," kata Andana. "Tidak seberapa aneh kalau
Datuk Gampo Alam mau menjual rumah gadang guna mendapatkan uang.
Belakangan ini dagangnya merugi terus. Hutangnya di mana-mana. Biaya rumah
tangganya dengan empat istri...."
"Sekarang tinggal tiga. Karena saya sudah minta cerai. Tapi segera akan
menjadi empat lagi."
"Maksudmu?"
"Gaek busuk itu hendak mengambil Bunga menjadi istrinya!"
"Apa?" kejut Andana dengan wajah berubah tegang.
"Mamak Rabiah datang dipanggil Datuk. Saya dengar dia meminta Bunga
pada perempuan itu....."
"Apa jawab Mamak Rabiah?"
"Saya intip dan saya lihat air muka perempuan itu. Dia jelas tergoncang. Dia
tak bisa memberikan jawaban apa-apa. Datuk minta dia datang hari Jum'at besok
untuk memberikan jawaban...."
"Kambing tua bangka yang sudah bau tanah itu masih saja ingin menyantap
daun muda!" kertak Andana sambil mengepalkan tinju kanannya. Dia menatap wajah
BASTIAN TITO 21 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Rukiah sesaat lalu bertanya. "Dari mana kau tahu ihwal rencana penjualan rumah
itu?" "Dari seorang tangan kanan Tumenggung Rajo Langit. Orang ini tergila-gila
pada saya sebelum saya diambil istri oleh Datuk Gampo Alam. Dia menceritakannya
waktu merayu saya agar mau jadi istrinya. Ketika saya kawin dengan Datuk Gampo
alam, orang ini sangat marah. Dia pergi dari Pagaruyung, tak tahu entah berada
di mana sekarang. Namanya Rusli....."
Andana tegak termangu beberapa saat lamanya.
"Kau harus menolong Bunga, Andana. Selamatkan dia dari cengkeraman
Datuk Gampo Alam. Saya tahu dia mencintaimu. Saya dapat melihat dari sinar
matanya sewaktu dia membawakan Tari Gelombang. Saya juga tahu dia telah
menyelamatkan dirimu dari sirih yang diracun orang."
"Saya tahu hal itu Rukiah. Saya akan segera menemuinya untuk mengucapkan
terima kasih. Jelas saya berhutang nyawa padanya. Lebih dari itu saya tentu akan
menyelamatkannya dari tangan Paman saya yang gila istri itu. Tapi Rukiah, apakah
kau tahu siapa yang menaruh racun di sirih dalam cerana itu?"
"Hanya satu orang dugaan saya Andana. Manusia jahat bergelar Hantu Mata
Picak. Dia adalah orang kepercayaan Datuk Gampo Alam. Saya yakin dia juga atau
anak buahnya yang berusaha membunuhmu dengan ular berbisa tempo hari!"
"Kurang ajar benar!" kata Andana sambil meninju-ninju tapak tangan kirinya
dengan tangan kanan. "Berarti Datuk Gampo Alam ada di belakang semua ini!"
"Saya kira begitu! Tapi kau harus menyelidiki dan membuktikannya dulu...."
"Mengenai orang yang berjuluk Hantu Mata Picak ini, di mana sarangnya.
Kau tahu di mana saya bisa mencarinya?"
"Mencarinya sama dengan mencari hantu. Dicari susah. Tidak dicari kadangkadang dia muncul begitu saja. Saya hanya bisa memberitahu ciri-cirinya.
Orangnya tinggi besar. Berkumis dan berjanggut tebal. Mata kirinya buta. Kulitnya hitam,
dia berkalung dan bergelang akar bahar...."
"Terima kasih. Saya sangat berterima kasih padamu Rukiah. Sekarang kau
hendak ke mana?"
"Saya akan kembali ke gubuk orang tua saya di Bonjol."
"Mau saya antarkan?"
Rukiah tertawa. Dipegangnya jari-jari tangan pemuda itu. "Saya tidak bisa
berdusta bahwa saya menyukai dirimu. Tapi saya sendiri saat ini tak lebih dari
seorang janda. Jangan kecewakan Bunga. Jangan buat dia cemburu....."
Paras Andana sesaat menjadi merah.
Rukiah tertawa lebar. "Ingat peristiwa malam lalu, ketika saya mengajakmu
tidur di kamar?"
Wajah Andana semakin memerah.
"Saya masih berharap kau mau memenuhinya. Kalau begitu carilah nanti saya
di Bonjol...." Rukiah berjingkat lalu diciumnya pipi kiri pemuda itu.
Andana merangkul punggung janda itu dan bertanya. "Ada sesuatu yang ingin
saya tanyakan. Ayah saya mati dibunuh orang. Kau mungkin pernah menyirap kabar
apa sesungguhnya yang terjadi. Siapa pelaku pemubunhnya."
"Sayang sekali yang satu ini saya tidak tahu apa-apa Andana." Jawab Rukiah.
"Tapi mungkin kau bisa bertanya pada Sati."
"Siapa Sati?"
"Dia pedagang cita keliling. Banyak punya hubungan dengan siapa saja.
Terakhir sekali saya dengar dia digebuk setengah mati oleh tukang-tukang pukul
BASTIAN TITO 22 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Datuk Gampo Alam. Dia pasti mendendam dan mencari seribu cara untuk
membalaskan sakit hatinya."
"Di mana saya bisa menemukan orang itu?"
"Pergi saja ke Pasar Gombak. Orang sepasar pasti tahu di mana bisa
mencarinya."
"Saya akan cari orang itu. Sekali lagi saya sangat berterima kasih padamu
Rukiah." Janda Datuk Gampo Alam mengangguk. Sekali lagi diciumnya pemuda itu
lalu bergegas dia kembali ke pedati yang menunggunya.
Ketika pedati mulai bergerak mendadak di belakangnya Andana mendengar
suara bergemerisik. Dia cepat membalik dan sempat melihat tiga orang berpakaian
seragam hitam berlari menuju tiga ekor kuda yang ditambatkan di kejauhan.
"Anak buah Datuk Gampo Alam...." desis Andana. "Mereka tidak melakukan
apa-apap terhadapku tapi mungkin akan mencelakai Rukiah....." Pasti mereka telah
mendengar apa yang dikatakan Rukiah tadi. Ada dua jiwa terancam. Rukiah dan
Sati!" Andana cepat melompat ke atas kudanya dan mengejar pedati yang ditumpangi
Rukiah. "Ada apa?" tanya Rukiah ketika dilihatnya Andana memacu kudanya
mendatangi. "Tiga orang anak buah Datuk Gampo Alam ternyata menyelinap mendengar
pembicaraan kita. Keselamatanmu terancam Rukiah.... Apa ada jalan lain menuju
Bonjol" Atau sebaiknya kau jangan ke Bonjol. Mereka pasti mengejarmu. Tidak
ditemuinya di jalan akan dicarinya ke rumahmu di Bonjol!"
Rukiah tampak berpikir. Dia berpaling pada sais tua di sebelahnya. "Putar arah.
Kita ke Koto Tangah saja. Batal ke Bonjol!" Lalu Rukiah berpaling pada Andana.
"Terima kasih. Kau telah menyelamatkan orang buruk ini. Walau sekarang hanya
seorang janda tapi saya tetap ingin hidup lebih lama.... Punya suami lagi. Tapi
tidak dengan lelaki seperti Datuk itu. Tobat rasanya!"
Andana geleng-gelengkan kepalanya. Dia mengangkat tangannya membalas
lambaian Rukiah.
Tiga orang anak buah Datuk Gampo Alam yang sempat terlihat Andana
memang meninggalkan tempat itu dengan cepat. Namun di satu tempat lelaki sebelah
depan membelok ke kiri lalu menghentikan kudanya di antara kelebatan pepohonan.
"Kenapa kau berhenti di sini Luhak?" tanya salah satu temannya.
Orang yang bernama Luhak yang bergigi tonggos dan mulutnya tak pernah
terkatup itu memberi isyarat agar kawan-kawannya jangan bicara. Dia juga memberi
isyarat agar mereka segera turun dari atas kuda masing-masing lalu bersembunyi
di balik semak-semak. Tak lama kemudian terdengar derap kaki kuda. Andana lewat di
depan mereka. "Apa yang ada di benakmu Luhak" Bukankah kita harus segera melapor pada
Datuk" Dia pasti senang mendengar laporan hebat dari kita. Kita bakal diberinya
hadiah besar!"
"Dari dulu otakmu tetap saja bodoh Ayub!" jawab Luhak. "Soal lapor melapor
bisa menyusul kemudian. Soal hadiah tak akan kemana larinya. Ada rezeki besar di
depan mata apa akan dibiarkan lewat begitu saja?"
"Eh kawan, apa pula maksudmu?" tanya orang ketiga yang bernama Kairudin.
Luhak si tonggos tertawa lebar hingga seluruh giginya atas bawah seperti
hendak keluar dari mulutnya. "Yang kumaksud dengan rejeki itu adalah si Rukiah
itu. Kini dia bukan lagi istri Datuk. Sudah minta cerai dan sudah lari. Dia hanya
berteman BASTIAN TITO 23 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
sais tua itu. Daerah sekitar sini sunyi senyap. Nah, apakah perlu lagi aku
jelaskan pada kalian yang bodoh-bodoh ini?"
Sepasang mata kedua orang itu sama-sama membesar. "Kau benar-benar
cerdik Luhak!" memuji Kairudin sementara Ayub tampak berulang kali membasahi
bibirnya dengan ujung lidah tanda dia juga sudah menangkap apa yang dimaksudkan
oleh Luhak tadi. Tanpa banyak cerita lagi ketiga orang ini segera melompat ke
atas punggung kuda masing-masing. Mereka bergerak ke arah simpang tiga di mana
mereka sebelumnya mengintai pertemuan Andana dengan janda Datuk Gampo alam
itu. Dari sini ketiganya mengambil jalan yang menuju ke Bonjol. Tapi belum jauh
meninggalkan simpang tiga Luhak yang berada di depan melihat jejak-jejak roda
pedati di tanah. Dia segera menghentikan kudanya.
"Jelas pedati yang ditumpangi janda Datuk itu berbalik arah di sini...." kata
Luhak. "Tidak sulit mengetahui kemana mereka pergi. Jejak roda pedati yang begini
jelas akan menjadi petunjuk bagi kita. Ayo...." Luhak sentakkan tali kekang
kudanya. Pedati yang ditarik dua ekor sapi itu bergerak kencang karena menempuh jalan
yang menurun. Namun tiga orang penunggang kuda di belakang mereka bergerak
jauh lebih cepat hingga ketika pedati sampai di ujung penurunan, ketiganya
sampai pula di sana, langsung mengurung pedati.
Sais tua di samping Rukiah berbisik, "Agaknya mereka muncul bukan dengan
maksud baik. Kalau terjadi apa-apa lekas turun dari pedati dan lari selamatkan
diri...." Rukiah memandang pada ketiga orang itu lalu menegur. "Luhak, ada apa kau
menyusul kemari."
"Begini, saya dan kawan-kawan...." Luhak tidak meneruskan kata-katanya
melainkan tertawa lebar hingga Rukiah jijik melihat berisan gigi-giginya yang
besar- besar kuning dan menjorok ke depan itu. "Tadinya kami kira Etek pergi ke Bonjol,
ternyata kini berubah arah...."
"Kemana aku mau pergi apa urusan kalian" Apa Datukmu yang menyuruh
memata-mataiku" Katakan padanya aku tidak akan mau kembali ke rumahnya!"
Rukiah berpaling pada sais tua di sebelahnya. "Jalankan pedati...."
"Bapak tua, tak perlu cepat-cepat pergi. Perjalananmu cukup sampai di sini.
Kami yang akan mengantarkan janda Datuk Gampo Alam ini ke tujuannya....." Luhak
mendekati sais tua itu. Sekali dia merengutkan leher pakaiannya, orang tua ini
jatuh dari pedati dan terhantar di tanah. Anak buah Datuk Gampo Alam yang bernama
Ayub langsung melompat ke atas pedati dan memegang tali kekang dua ekor sapi.
"Saya tidak percaya padamu. Kalian pasti akan berbuat jahat terhadap
perempuan muda ini!" kata sais tua seraya mencoba bangkit. "Lari.....! Larilah
rangkayo! " (Rangkayo = panggilan kehormatan )
Bukkk! Satu tendangan yang keras mendarat di dada sais tua itu. Tak ampun lagi
tubuhnya rebah ke tanah. Tak berkutik. Dari sela bibirnya kelihatan ada darah
mengucur. "Manusia jahat! Di mana peri kemanusiaanmu!" teriak Rukiah marah sekali.
Dia melompat dari atas pedati. Bukan untuk melarikan diri tapi memukuli pinggang
Luhak dengan tangan kanannya sementara tangan kirinya menarik pakaian laki-laki
itu. Karena kehilangan keseimbangan Luhak jatuh ke bawah. Tapi sambil jatuh
lelaki

Wiro Sableng 075 Harimau Singgalang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ini merangkul bahu Rukiah hingga keduanya jatuh bersamaan ke tanah dan saling
tindih! BASTIAN TITO 24 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Luhak. Langsung saja dia merangkul
dan menciumi janda muda itu dengan penuh nafsu hingga Rukiah menjerit-jerit dan
berusaha melepaskan dirinya.
"Luhak! Jangan kau makan sendiri!" berseru Kairudin. Lalu diapun melompat
turun daru kudanya. Ikut bergulingan di tanah sambil tangannya meraba kian
kemari. Ayub tak mau ketinggalan. Tiga lelaki itu berebutan menggagahi Rukiah. Yang satu
meraba dan menciumi. Yang lain meraba sambil berusaha menanggalkan kain yang
dikenakan Rukiah. Lalu yang ketiga seperti kemasukan setan merobeki kebaya janda
muda itu. Dalam waktu singkat keadaan Rukiah boleh dikatakan hampir bugil. Dia
menjerit tiada henti sambil berusaha memukul dan menendang. Namun mana sanggup
dia menghadapi tiga lelaki sekaligus. Semakin keras jerit, pukulan dan
tendangannya semakin bernafsu Luhak dan kawan-kawannya. Jelas Rukiah tak akan dapat
mempertahankan kehormatannya.
"Manusia-manusia bajingan! Hebat juga kelakuan kalian!" tiba-tiba satu
bentakan menggeledek di tempat itu.
BASTIAN TITO 25 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
ENAM Luhak dan dua kawannya tentu saja terkejut. Ketiga orang ini cepat berpaling.
"Andana.....!" desis Luhak tapi kini keterkejutannya bercampur dengan rasa
heran. Sebelumnya dia telah melihat pemuda itu meninggalkan kawasan simpang
tiga. Kini mengapa tiba-tiba muncul dan berganti pakaian.
"Bukan dia Luhak....." bisik Ayub. "Kalau tak salah aku dia adalah pemuda
Jawa kawan kemenakan Datuk...."
"Hendak kalian apakan perempuan itu"!" pemuda yang datang bertanya
sambil bertolak pinggang.
"Hendak kami apakan bukan urusanmu"!" kata Luhak seraya melompat tapi
dia lupa kalau tadi dia telah sempat membuka celana hitamnya hingga pakaian itu
hampir jatuh ke bawah menelanjangi dirinya sendiri.
"Jangan-jangan dia hendak minta bagian pula Luhak," berkata Kairudin seraya
berdiri lalu tegak di samping kawannya.
Ayub yang masih menindih Rukiah agaknya masih belum mau melepaskan
perempuan tiu. Dia merasa lebih banyak mendapat kesempatan tanpa menyadari
bahwa sesungguhnya bahaya besar mengancam dirinya saat itu.
"Ah, kalau kalian memang berbaik hati mau membagi-bagi rejeki denganku,
itu bagus sekali. Coba kusingkirkan dulu orang hutan yang satu ini!"
Habis berkata begitu pemuda berpakaian serba putih yang tahu-tahu saja
muncul di tempat itu melompat ke arah Ayub. Sesaat kemudian terdengar suara
bergedebuk menyusul raungan Ayub. Tubuh lelaki ini terpental jauh. Dalam keadaan
nungging tadi tendangan pemuda berpakaian putih mendarat telak di
selangkangannya.
Kantong kemaluannya remuk. Untuk beberapa lamanya Ayub berguling-guling di
tanah, melejang-lejangkan kedua kakinya dan memegang bawah perutnya sambil
tiada hentinya berteriak. Dia berusaha berdiri tapi jatuh dan jatuh lagi. Tibatiba teriakannya lenyap. Tubuhnya terlentang di tanah. Kedua matanya mendelik.
Kairudin mendekati kawannya ini.
"Dia mati! Luhak, Ayub mati!" teriak Kariaudin pada Luhak.
"Bedebah jahanam! Berani kau membunuh kawanku!" teriak Luhak marah
besar. Dihunusnya golok yang terletak di tanah. Kairudin juga tidak tinggal
diam. Dia melakukan hal yang sama. Keduanya lalu mendekati si pemuda dari samping kiri dan
kanan. Sementara Rukiah dengan cepat berusaha bangkit. Sambil membenahi
pakaiannya yang robek di sana sini janda ini lari ke balik sebatang pohon besar.
"Bagus! Kalian punya nyali! Majulah!"
"Nyali! Apa itu nyali!" sentak Kairudin yang tak mengerti kata yang barusan
diucapkan pemuda berambut gondrong di hadapannya.
Pendekar 212 Wiro Sableng tertawa geli. "Kalau kau mau tahu artinya nyali
majulah! Ayunkan golokmu!"
"Manusia sombong! Laidang ku ini akan memisahkan kepalamu dari badan!"
teriak Kairudin. Lalu anak buah Datuk Gampo Alam ini melompat sambil
membabatkan goloknya ke leher Wiro. (ladiang = golok)
Serangan orang ini boleh juga. Deru sambaran senjatanya deras dan
gerakannya cepat sekali. Namun yang dilawannya bukan sembarang pendekar.
Akan halnya Luhak melihat kawannya berulang kali hanya membacok tempat
kosong, tidak menunggu lebih lama segera pula melompat membantu. Dua golok
berkelebat kian kemari dalam gerakan-gerakan silat yang selama ini tidak pernah
BASTIAN TITO 26 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
dilihat Wiro. Sepasang senjata lawan bergulung-gulung menyerang tubuhnya dari
kepala sampai ke pinggang.
Hemmmm.....Ilmu silat mereka cuma main atas. Pinggang ke bawah terbuka.
Murid Sinto Gendeng tiba-tiba keluarkan bentakan keras. Tubuhnya
dijatuhkan ke tanah. Sambil bergulingan dia menendang ke arah kedua kaki
Kairudin. Yang ditendang cepat melompat tinggi-tinggi. Ini yang dimaui Wiro. Dari bawah
dia lepaskan pukulan tanagn kosong "kunyuk melempar buah" dengan mengandalkan
sedikit saja dari tenaga dalamnya. Apa yang terjadi kemudain membuat Luhak
terkejut. Kairudin menjerit keras. Selagi tubuhnya melayang di udara, satu
gelombang angin laksana sebuah batu besar melesat ke arah selangkangannya.
"Astaga! Apa ini"!" kata Kairudin. Di lain kejap terdengar jeritannya.
Tubuhnya terlempar sampai dua tombak. Ketika jatuh ke tanah, tubuh itu tidak
berkutik lagi. Selangkangannya kelihatan robek dan ada genangan darah mengalir
sampai ke tanah.
Putuslah nyali Luhak. Dia mengambil keputusan untuk kabur melarikan diri.
Sebelum kabur dia lebih dulu mendesak Wiro dengan dua serangan berantai.
"Tonggos! Aku pinjam dulu golokmu!" seru Wiro. Lalu dengan gerakan cepat
dia menyelinap di bawah bacokan senjata lawan. Tangan kanannya menyambar ke
atas. Kraaak!! Sambungan siku tangan kanan Luhak tanggal dan remuk. Jerit orang ini
setinggi langit. Wiro cepat menangkap goloknya yang terlepas dan mental ke
udara. "Ampun! Jangan dibunuh waden! Jangan dibunuh waden!" teriak Luhak
berulang kali seraya mundur. Mukanya pucat. Tangan kirinya diangkat sambil
digoyang-goyangkan.
"Siapa mau membunuhmu. Nyawamu cukup diwakili kedua orang kawanmu
itu...." kata Wiro. Golok di tangan kanannya bergerak. Gagangnya menghantam
keras ke mulut Luhak.
Luhak menjerit keras sekali. Darah muncrat dari mulutnya. Lima giginya yang
tonggos di bagian atas dan empat di sebelah bawah rontok. Sebagian terlempar
masuk ke dalam mulutnya. Sebagian lagi mental keluar. Luhak terus meraung kesakitan
sambil pegangi mulutnya yang berdarah dengan tangan kiri. Lututnya goyah. Dia
berlutut terbungkuk-bungkuk. Darah masih terus mengucur dari mulutnya yang pecah
serta gusinya yang hancur.
Wiro melangkah ke balik pohon di mana Rukiah bersembunyi ketakutan.
Sesaat Wiro terkesiap juga melihat tubuh yang hampir bugil itu.
"Maafkan saya," kata Wiro. "Adik tak apa-apa....."
"Saya.....saya tidak apa-apa. Terima kasih kakak sudah menolong saya...."
Wiro mengangguk lalu dia membalik.
"Tunggu, jangan tinggalkan saya...." kata Rukiah menyangka Wiro hendak
pergi. "Tetap saja di situ. Saya akan menyelesaikan urusan dengan anak buah Datuk
Gampo Alam ini...." kata Wiro pula. Lalu mayat Ayub dan Kairudin dinaikkannnya
ke atas kuda masing-masing. Kini dia mendekati Luhak. Sekali menarik leher
pakaian lelaki ini Luhak tertegak dan ketakutan setengah mati.
"Kau boleh kembali ke Pagaralam. Bawa kedua mayat kawanmu itu. Katakan
semua yang terjadi di sini pada Datukmu. Sebelum kau naik ke atas kudamu,
tanggalkan dulu celanamu!"
"A.....apa maksudmu....?" tanya Luhak tergagap dalam ketakutannya.
BASTIAN TITO 27 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Maksudku begini setan!" kata Wiro. Lalu direnggutnya celana hitam laki-laki
itu. Tubuh Luhak kemudian ditunggingkannya kepala di bawah kaki di atas. Celana
Luhak ditariknya sampai tanggal. Ketika lelaki ini ditegakkannya kembali dengan
sendirinya Luhak hanya mengenakan baju saja alias telanjang di sebelah bawah!
Barang antiknya gundal-gandil kian kemari!"
"Naik ke kudamu!" perintah Wiro.
"Onde mak! Jangan! Jangan diperlakukan saya seperti ini! Berikan celana
saya.....!"
"Boleh! Kau memilih celana atau nyawa?" ujar Wiro pula seraya pura-pura
hendak mencekik leher Luhak. Orang ini kembali ketakutan setengah mati.
"Sa.....saya memilih hidup saya....." katanya. Lalu naik ke atas kudanya. Wiro
memukul pinggul dua ekor kuda lainnya yang membawa mayat Ayub dan Kairudin.
Sesaat setelah orang-orang itu lenyap di kejauhan Wiro kembali ke balik
pohon. "Mereka sudah pergi. Kau aman sekarang...."
"Terima kasih. Pertolonganmu tidak akan saya lupakan. Bukankah kau
sahabat Andana?" kata Rukiah dari balik pohon.
"Betul.... Nama saya Wiro."
"Wajah kalian hampir mirip satu sama lain," kata Rukiah pula. "Tapi kau
lebih...." Janda ini tidak meneruskan ucapannya.
"Lebih apa" Lebih kurang ajar"!"
"Maksud saya buka begitu....." jawab Rukiah. Dalam hati dia berkata. Kau
lebih jantan dari Andana.
"Apalagi yang bisa saya tolong sekarang?" bertanya Wiro.
"Di atas pedati ada sebuah peti kayu. Dalam peti itu ada beberapa potong
pakaian. Tolong ambilkan petinya kemari. Saya nyaris telanjang. Saya harus
berganti pakaian...."
"Saya lebih suka melihat adik seperti sekarang ini....."
"A....apa kata kakak"!" tanya Rukiah hampir tak percaya dengan
pendengarannya. Wiro hanya tertawa sambil garuk-garuk kepala. "tak pernah saya
mendengar orang baik-baik seperti kakak tega-teganya berkata seperti itu."
"Saya bukan orang baik-baik," jawab Wiro pula.
"Ah! Tolonglah ambilkan peti itu. Kalau tidak ambilkan sehelai kain dan
sehelai kebaya yang ada di dalamnya."
Wiro tersenyum. Dia melangkah juga ke pedati. Di dalam sebuah peti kayu di
temukannya beberapa potong pakaian. Wiro mengambil sehelai kebaya dan sehelai
kain lalu membawanya ke balik pohon.
"Ulurkan saja dari belakang pohon. Jangan melangkah ke sini!" kata Rukiah.
Wiro tertawa. Dilemparkannya kain panjang yang diambilnya dari dalam peti.
Tidak ke belakang pohon tetapi beberapa langkah di sebelah depan.
"Mana pakaiannya?" tanya Rukiah.
"Sudah saya lemparkan di depan pohon...."
Rukiah menjulurkan kepalanya dari balik pohon. Lalu terdengar dia
mengomel. "Ini bukan saatnya bergurau!"
Wiro membungkuk mengambil kain. Bersama-sama dengan kebaya kain itu
dilemparkannya ke belakang pohon. Rukiah segera sibuk berpakaian. Tak lama
kemudian janda muda ini keluar dari pohon itu. Yang dilakukannya pertama sekali
adalah melihat keadaan sais tua yang menggeletak di tanah.
"Jangan kawatir, orang tua itu belum mati. Cuma pingsan. Tapi dia tidak akan
mungkin membawa pedati meneruskan perjalanan...."
BASTIAN TITO 28 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Saya bisa pergi sendiri. Tolong naikkan dia ke atas pedati."
Wiro menaikkan sais yang masih pingsan dan cidera cukup berat itu ke atas
pedati. "Senja hampir datang. Sebentar lagi malam akan turun. Apakah adik berani
melakukan perjalanan sorang diri?" bertanya Wiro.
Rukiah tidak menjawab. Dalam hatinya dia bertanya-tanya apakah pemuda itu
hanya sekedar bertanya atau bermaksud mengantarkannya.
"Koto Tangah tidak seberapa jauh dari sini...."
"Saya tidak tahu jauh dekatnya," kata Wiro pula lalu mengikatkan kudanya di
belakang pedati.
"Eh, mengapa pula kakak mengikatkan kuda itu ke pedati?" tanya Rukiah.
Wiro tidak menjawab melainkan naik ke atas pedati dan duduk di samping
Rukiah. "Saya senang kakak mau mengantarkan. Tapi apakah saya bisa mempercayai
kakak?" Wiro tertawa lebar. "Sudah saya bilang tadi. Saya bukan orang baik-baik. Tapi
dibandingkan dengan Datuk Gampo Alam saya sedikit lebih baik. Dan jauh lebih
muda...." Pemuda satu ini konyol. Sepertinya juga keras kepala. Tapi apa yang
dikatakannya betul. Kalau aku tidak bisa mendapatkan Andana, tak ada ruginya
mendapatkan yang satu ini. Lagi pula wajah mereka begitu mirip. Dan dia lebih
berani, lebih jantan.
Rukiah meletakkan tangan kanannya di atas ribaan Pendekar 212.
"Saya percaya pada kakak," katanya.
Wiro mengambil tali kekang dua ekor sapi penarik pedati. Sesaat kemudian
pedati itupun bergerak meninggalkan tempat itu. Di Barat sang surya mulai
tenggelam. Di atas pedati Rukiah masih meletakkan tangan kanannya di atas paha Wiro.
Tak dapat dibayangkan begaimana kehebohan yang terjadi di Pagaralam
ketika Luhak yang setengah telanjang itu muncul membawa mayat dua orang
kawannya. Datuk Gampo Alam seperti orang kemasukan setan saking marahnya.
Bukannya dicarikan kain atau apa saja untuk menutupi aurat anak buahnya itu
malah sambil menyentak-nyentakkan lehernya dia berteriak.
"Setan bodoh kau Luhak! Biar kutelanjangi sekalian dirimu!" Lalu
breet....brettt! Tangan kirinya merobek baju hitam Luhak dengan tangan kanannya
menampari muka anak buahnya itu dengan kalap.
BASTIAN TITO 29 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
TUJUH Pasar sudah agak lenggang ketika Andana sampai di situ. Tapi di tempat orang
main Kim suasana masih ramai. (Kim = semacam permainan judi memakai nomornomor. Siapa yang nomornya paling banyak keluar jadi pemenang) Setelah bertanya
beberapa kali akhirnya seseorang menunjuk pada lelaki berkopiah hitam dan
berpakaian putih yang sedang asyik main Kim sambil menggoyang-goyangkan
kepalanya mengikuti lagu yang dinyanyikan oleh pemberi tahu nomor. Di sela
bibirnya terselip sebatang rokok yang apinya sering mati dan sebentar-sebentar
dinyalakannya. Angku mudo pai ka pasa
Mambao itiak duo-duo
Barangkek kapa di muaro


Wiro Sableng 075 Harimau Singgalang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Maratok suliang limo kali
(Engku muda pergi ke pasar
Membawa itik dua-dua
Berangkat kapal di muara
Meratap suling lima kali)
Mendengar pantun yang dinyanyikan dengan iringan tetabuhan itu lelaki
berkopiah hitam mencoret angka 22 dan angka 5 yang ada di kertas Kimnya dengan
arang. Kemudaian dia menyedot rokoknya dalam-dalam. Ternyata api rokok itu sudah
mati pula. Ketika dia sibuk mencari korek api di saku pakaiannya, tahu-tahu
seseorang yang tegak di sebelahnya membantu menyalakan rokok itu. Orang
berkopiah menghisap rokoknya dalam-dalam lalu sekilas melirik pada orang yang
tegak di sampingnya.
"Sati....?" tanya orang tadi yang bukan lain adalah Andana seraya duduk di
sebelah si kopiah hitam.
Yang ditegur memang Sati. Pedagang cita keliling ini melirik kembali. Kedua
matanya membesar. Dia menatap lekat-lekat. "Kau siapa" Astaga bukankah kau
kemenakan Datuk Gampo Alam yang baru kembali ke Pagaralam" Yang kabarnya
sudah digelari orang dengan julukan Harimau Singgalang" Yang dinobatkan sebagai
tamu terhormat dan dipersembahkan sekapur sirih oleh gadis tercantik di
Pagaralam?"
Andana tersenyum. "Perlahan kalau bicara. Karena mungkin tidak semua yang
kau katakan itu benar sobat." Lalu Andana mengambil potongan arang dan mencoret
angka di kertas Kim milik Sati yang kebetulan keluar. "Ada yang ingin saya tanya
Sati. Saya sangat memerlukan bantuanmu."
"Saya sudah maklum. Sebenarnya saya pernah mencari Angku Mudo. Tapi
sekarang Angku Mudo sendiri yang datang. Saya sedang asyik main Kim. Bisa
Angku Mudo datang malam nanti ke rumah saya?" (Angku Mudo = Angku Muda,
panggilan kehormatan)
Sebenarnya Andana ingin mendapat keterangan saat itu juga. Tapi dia tidak
mau memaksa. Apalagi dilihatnya hari segera memasuki senja. Jadi dia tak akan
lama menunggu. "Beri tahu saya letak rumahmu...."
BASTIAN TITO 30 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Sati memberi tahu letak rumahnya. Lalu berkata "Saya orang dagang. Berarti
mata duitan. Segala urusan dengan saya harus ada uangnya....." Sati lalu tertawa
mengekeh tapi hampir tanpa suara.
"Jangan takut Sati. Setiap kata yang kau sebutkan, jika memang merupakan
keterangan berharga pasti akan saya bayar," jawab Andana pula.
"Jangan kawatir Angku Mudo. Sekali ini saya keluar dari aturan itu. Angku
Mudo tak perlu membayar sepeserpun. Sampai nanti malam. Saya tunggu di rumah.
"Dengar sobat," bisik Andana seraya memegang bahu pedagang cita keliling
itu. "Saya punya firasat nyawamu terancam."
Paras Sati berubah. "Apa maksud Angku Mudo?"
"Jangan terus pulang ke rumah. Tunggu saya sampai datang di tempat gelap di
ujung Utara jembatan batang kelapa."
Andann berdiri. Sebelum pergi dia masih sempat mencoret angka ke lima
yang ada di kertas Kim di depan Sati.
"Sudah lima angka Sati. Kau menang."
"Hah, apa"!" Sati memperhatikan kertasnya lalu berteriak gembira. Dia
setengah berlari membawa kertas itu ke tempat juru bayar Kim duduk.
Lelaki tinggi besar berwajah seram itu berdiri gelisah di bawah bayangbayang pohon. Suasananya sekitarnya gelap dan sunyi. Sesekali terdengar suara
binatang hutan di kejauhan. Orang ini memelihara kumis dan cambang bawuk lebat
menutupi lebih dari sebagian wajahnya. Mata kirinya picak buta sedang telinga
kanannya sumplung. Tampangnya yang seram itu dalam kegelapan kelihatan lebih
angker. Pakaiannya serba hitam. Keningnya dililit dengan kain hitam dan
rambutnya yang kasar acak-acakan menjulur gondrong sampai ke bahu. Leher dan setiap
pergelangan kaki serta tangannya dilingkari kalung dan gelang terbuat dari akar
bahar. Agaknya orang ini yang bukan lain adalah Hantu Mata Picak tengah
menunggu kedatangan seseorang. Dalam gelap beberapa kali dia terdengar
menggerutu sambil menepuki nyamuk yang banyak berkeliaran dan menyengat
kulitnya. Tak selang berapa lama terdengar suara langkah-langkah kaki kuda
mendatangi. Hantu Mata Picak mengusap mukanya beberapa kali. Seorang
penunggang kuda muncul dari kegelapan.
"Sudah lama saya menunggu Datuk di sini..." kata orang tinggi besar di bawah
pohon dengan nada seperti mengomel.
"Setan! Tutup mulutmu!" hardik penunggang kuda. "Bukan kau yang harus
bicara lebih dulu tapi aku!"
"Kalau begitu saya menunggu apa yang hendak Datuk katakan...."
"Kau sadar telah beberapa kali membuat kesalahan"!"
"Saya tahu. Tapi semua itu terjadi secara tidak terduga Datuk..."
"Setan kau Daud! Jangan banyak mulut! Jangan mencari-cari alasan! Kurobek
mulutmu nanti baru tahu dirasa!"
Orang tinggi besar bertampang angker terpaksa berdiam diri.
"Pertama! Kau memang berhasil membunuh Udin Burik. Tapi tololnya kau
meninggalkan bukti! Mengapa kau bunuh orang itu dengan pisau terbang yang
hulunya ada ukiran tengkorak"! Apa kau tidak sadar itu berarti meninggalkan
jejak"!"
"Saya terpaksa Datuk. Saya bersumpah! Waktu itu Udin Burik siap membuka
mulut hendak memberi tahu siapa yang menyogoknya untuk memberi kesaksian palsu
di depan Tumenggung Rajo Langit. Jarak saya dengan dia terpaut jauh! Tak ada
jalan lain. Dia saya habisi dengan pisau terbang...."
BASTIAN TITO 31 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Orang di atas kuda meludah ke tanah. "Untung aku bisa mencuri pisau
bergagang tengkorak itu dari Andana. Walaupun begitu dia sudah terlanjur
melihat, menyimpan dan mengetahui!"
Daud alias Hantu Mata Picak masih berdiam diri. Orang yang dipanggil Datuk
kembali mengeluarkan kemarahannya.
"Ketololanmu yang kedua setan! Kau tidak berhasil membunuh anak itu
dengan racun kala hutan. Lekas kau terangkan kenapa sampai bisa begitu. Atau
kupuntir kepalamu sampai tanggal sekarang juga!"
"Terus terang saya juga heran Datuk. Saya yakin betul dia telah mengunyah
sirih beracun dalam cerana. Hanya ada satu kemungkinan" Pemuda yang bergelar
Harimau Singgalang itu kebal racun?"
"Kanciang kau Daud!" maki orang di atas kuda. "Sudah gagal pandai pula kau
mencari dalih hendak cuci tangan! Dari jaman nenek moyangku sampai sekarang
belum pernah kudengar ada anak manusia yang kebal racun kala hutan! Jangankan
manusia, setan sekalipun akan mampus oleh racun jaha itu!" (kanciang = makian
kotor seperti sundal, pantat) "Kalau kau merasa tidak mampu menjadi pembantuku,
katakn saja! Biar saat ini juga kau kupecat! Tapi mukamu akan kutendang lebih
dulu. Hidungmu akan kubikin melesak dan matamu yang satu lagi kubikin picak!"
Sepasang mata Datuk Gampo Alam membeliak seperti hendak keluar dari
rongganya saking marahnya. "Ingat baik-baik Daud! Jangan sekali lagi kau berani
menyebut anak itu dengan gelar keparat sialan itu! Dia tidak punya gelar! Dia
tidak berhak menyandang julukan Harimau Singgalang!"
"Tapi di luaran orang banyak kini menyebutnya dengan gelar itu Datuk...."
"Persetan! Kau rupanya memang minta kupecat Daud!"
"Datuk, saya rasa saya sudah berusaha menjalankan tugas yang Datuk berikan
sebaik-baiknya. Hanya saja kita tidak mengira bahwa keadaan lain dari yang
diduga. Dimulai waktu kita menghadang Datuk Bandaro Sati di tepi Ngarai Sianok. Tiga
tulang iga saya sempat patah dan kini agaknya masih belum bertaut utuh. Kalau
saya bernafas panjang-panjang ngilu rasanya dada ini. Lalu lihat tangan kanan saya.
Masih gembung merah. Akibat pukulan sakti telunjuk penembus raga yang dilepaskan Datuk
itu...." Orang di atas kuda yang bukan lain adalah Datuk Gampo Alam adanya
menyeringai. "Menjadi pembantuku berarti siap mengorbankan raga bahkan jiwa!
Jika kau tidak suka menyingkirlah dari hadapanku!"
"Saya tidak berkata tidak suka, Datuk. Kalau saja Datuk jauh-jauh hari dulu
sudah mengajarkan ilmu belut putih itu pada saya mungkin sudah saya bereskan
anak itu. Paling tidak saya tidak akan mengalami nasib sengsara seperti ini...."
Datuk Gampo Alam meludah ke tanah. Lalu menyentakkan lehernya tiga kali.
"Kau manusia tidak tahu diri! Jasa baru seujung kuku sudah meminta imbalan
sebesar gunung Merapi!"
Daud alias Hantu Mata Picak terdiam sebentar lalu dia berkata. "Ada satu lagi
yang ingin saya katakan Datuk. Waktu saya turun dari rumah gadang pada hari
perhelatan itu, pemuda Jawa bernama Wiro Sableng itu mengikuti saya. Di satu
tempat saya menghadangnya. Menghantamnya dengan dua pisau terbang sekaligus.
Serangan saya gagal. Saya susul dengan ilmu hitam ular Bira Satu dai dua pisau
itu berubah menjadi ular dan berhasil mematuknya. Tapi pemuda itu juga berhasil
membuat musnah ular jejadian itu. Untung saya masih sempat melarikan diri masuk
ke dalam terowongan Si Nago-Nago. Celakanya, entah dengan ilmu pukulan apa dia
menghantam selah satu bagian lorong hingga amblas dan menutup jalan masuk.
BASTIAN TITO 32 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Untung saya bisa menyelamatkan diri lewat lorong rahasia di sebelah Timur.
Pemuda itu berbahaya Datuk. Mungkin lebih bahaya dari kemenakan Datuk sendiri......"
"Berbahaya atau tidak, itu termasuk salah satu tugasmu untuk
menyingkirkannya."
"Baik kalau begitu kata Datuk. Apa saya boleh minta diri sekarang.?"
"Setan! Aku belum menyuruhmu pergi. Ada satu tugas untukmu...."'
"Saya tahu. Datuk akan memerintahkan saya untuk mencari dan membunuh
Andana kembali...."
"Orang tolol macammu tak akan bisa menjalankan tugas itu. Kau sudah
membuktikan ketidak mampuanmu. Biar orang lain yang melaksanakan hal itu. Kau
cukup kusuruh menjalankan tugas mudah saja....."
Meski dai merasa kini disepelekan dan dianggap randah namun Hantu Mata
Picak masih bertanya. "Tugas apa itu Datuk?"
"Cari Sati. Datangi rumahnya dan bunuh dia pada kejap pertama kau
melihatnya. Mengerti?"
"Maksud Datuk Sati pedagang cita keliling itu?"
"Setan! Apa ada dua orang bernama Sati di Pagaralam ini"! Dasar tolol!
Dungu! Pandir!" Datuk Gampo Alam sentakkan lehernya lalu membedal tali kekang
kuda tunggangannya.
BASTIAN TITO 33 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
DELAPAN Seorang tamu berpakaian bagus, didampingi oleh seorang pengawal menunggu
Datuk Gampo Alam di rumah gadang. Dia ternyata adalah Tumenggung Rajo Langit
penguasa di wilayah Batusangkar yang membawahi Pagaruyung, Pagaralam dan
sekitarnya. "Harap maafkan saya Tumenggung. Kebetulan ada urusan penting di waktu
hampir bersamaan. Sudah lama Tumenggung datang?"
Tumenggung Rajo Langit menekuk mukanya yang sejak tadi tampak asam.
Dia senyum terpaksa lalu menjawab berbasa basi. "Belum berapa lama...."
"Rencana Tumenggung jadi dijalankan?"
"Orang-orang sudah saya kirim, mereka tahu di mana mencari anak itu.
Sekarang kalau Datuk tidak keberatan saya akan membicarakan hal lain...."
"Tentu saja. Kita bisa bicara panjang lebar sambil menunggu kabar. Namun
sebaiknya saya menyuruh orang di dalam menghidangkan kopi panas. Juga penganan
kesukaan Tumenggung."
Tumenggung Rajo Langit mengangguk lalu dia memberi isyarat pada
pengawal yang duduk di sebelahnya dan berkata "kau boleh pergi. Tunggu aku di
bawah tangga...."
Tak lama kemudian dua cangkir besar kopi dihidangkan bersama sepiring
pisang goreng yang masih panas. Setelah meneguk kopi dan mencicipi goreng pisang
Tumenggung Rajo Langit membuka pembicaraan.
"Apakah masih ada persoalan yang menghambat rencana jual beli rumah
gadang ini Datuk......?"
"Dari pihak saya tidak. Tapi bagaimana dengan rencana Tumenggung tempo
hari?" "Malam ini saya sudah mengirim selusin orang untuk menangkapnya. Mereka
bukan orang sembarangan. Empat diantaranya adalah pasukan dari Bukittinggi. Dua
dari mereka membawa senjata panjang bernama bedil yang didatangkan dari Jawa....
Selain itu ada seorang gagah berkepandaian tinggi dari Selatan yang dikenal
dengan julukan Anduang Mata Api."
"Saya yakin sekali ini kita bisa menangkapnya. Begitu tertangkap malam ini
juga dia akan dibawa ke Batusangkar."
"Penjara yang kuat sudah disiapkan untuknya. Dia tidak akan bisa lolos lagi!"
"Saya merasa lega Tumenggung mau bersusah payah...." kata Datuk Gampo
Alam pula. "Namun ada satu hal yang mungkin sudah Tumenggung ketahui...." kata
Datuk Gampo Alam pula. "Kemenakan saya itu darang kemari membawa seorang
teman dari Jawa. Ilmu silatnya tinggi. Salah seorang pembantu kepercayaan saya
hampir menemui ajal di tangannya."
Mulut Tumenggung Rajo Langit tampak komat-kamit. "Pemuda keparat
itu...." katanya. "Dua kali dia berani mencari perkara dengan saya. Saya
bersumpah untuk menangkapnya juga! Membunuhnyapun tidak ada urusan!"
"Ah, jadi benar rupanya kabar yang saya dengar. Dia berani menyerang
Tumenggung...."
"Sampai dua kali. Pertama tak jauh dari telaga. Yang kedua di pekuburan.
Sewaktu saya menangkap tangan kemenakan Datuk bercinta-cinta dengan anak gadis
Mamak Rabiah.... Habis anak buah saya dihajarinya. Kalau tidak lekas saya
menyingkir......"
BASTIAN TITO 34 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Maksud Tumenggung Bunga?" tanya Datuk Gampo Alam memotong katakata sang Tumenggung dengan wajah berubah.
"Betul... Eh, saya lihat wajah Datuk berubah mendengar ucapan saya...."
"Sebetulnya saya sudah bertemu dengan Mamak Rabiah. Saya meminta agar
anaknya itu saya jadikan istri.... Dulu memang ada pergunjingan mengenai
hubungan gelap antara Bunga dan Andana. Tapi waktu itu mereka masih bisa dianggap anakanak. Kini Bunga sudah dewasa. Saya tidak ingin ada laki-laki berani mengganggu
calon istri saya itu...."
Kini paras Tumenggung Rajo Langitlah yang berubah. Dalam hati
Tumenggung ini berkata Gila! Siapa menyangka tua bangka yang sudah punya empat
istri ini menginginkan gadis itu. Kalau aku tidak lekas bertindak, salah-salah
aku bisa kedahuluan!
Setelah mendehem beberapa kali sang Tumenggung berkata. "Rupanya kita
terpaut pada kembang yang sama Datuk."
"Apa maksud Tumenggung?"


Wiro Sableng 075 Harimau Singgalang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Saya tidak tahu kalau Datuk jatuh hati pada gadis itu. Saya sendiri
sebenarnya sudah lama tertarik padanya. Tapi kini setelah tahu Datuk suka
padanya , saya tidak berani bersaing. Saya hanya ingin mengajukan penawaran...."
Lama Datuk Gampo Alam menatap wajah Tumenggung Rajo Langit dengan
mulut setengah ternganga. Seperti orang yang di hadapannya tadi, sang Datuk juga
membatin. Mentang-mentang orang berpangkat enak saja dia berkata terangterangan tertarik pada gadis itu. Apa dia menyangka kekuasaannya bisa
mendapatkan apa saja yang diinginkannya" Berbunuhanpun aku tak segan dengan
kambing buruk ini.
"Datuk, saya katakan saya ingin mengajukan penawaran," mengulang
Tumenggung Rajo Langit.
"Penawaran apa?" tanya Datuk Gampo Alam.
"Biarkan saya mengawini Bunga. Sebagai ganti rugi akan saya tambah harga
jual beli rumah gadang berikut isinya ini....."
Datuk Gampo Alam tersenyum pencong. Tumenggung setan! Kau mencari
perkara! Datuk Gampo Alam menyentakkan lehernya beberapa kali lalu berkata. "Kita
sudah lama bersahabat. Apalagi mengingat Tumenggung penguasa tertinggi di
wilayah ini. Saya tidak berani menolak keinginan Tumenggung memperistri Bunga.
Itu adalah urusan pribadi Tumenggung. Saya berterima kasih Tumenggung mau
membeli lebih dari yang sudah kita setujui....." Manusia tak tahu diuntung.
Habis kau bayar harga rumah gadang ini akan kau rasakan apa yang bakal terjadi atas
dirimu. Tumenggung Rajo Langit angguk-anggukkan kepalanya. Lalu diteguknya
kopi sampai habis. Dia tidak menolak sewaktu Datuk Gampo Alam menawarkan
secangkir kopi lagi.
"Saya akan mempersiapkan uang pembayarang itu. Paling lambat dalam
waktu dua tiga hari di muka Datuk sudah mendengar kabar dari saya."
Datuk Gampo Alam mengangguk.
Andana tengah melakukan sujud akhir sembahyang Maghrib ketika di luar
tiba-tiba menggemuruh suara kaki-kaki kuda. Ada tiga belas orang membanjiri
halaman di samping kiri surau. Dua belas orang turun dengan cepat. Sebagian dari
mereka langusng menuju pintu surau. Dua diantaranya membawa senjata panjang
yakini bedil kocok yang sudah diisi sebutir peluru. Beberapa lainnya mengurung
bangunan itu. Hanya satu orang saja yang turun dari kudanya dengan gerakan tidak
BASTIAN TITO 35 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
terburu-buru. Sikapnya tenang tapi kedua matanya mengawasi setiap sudut dengan
penuh waspada. Orang ketiga belas ini ternyata adalah seorang nenek berpakaian
galembong hitam yang biasanya dikenakan laki-laki. Mukanya lancip, kedua matanya
menonjol merah keluar. Sepintas tampang si nenek tiada beda dengan seekor
binyawak! Dialah orang yang dijuluki Anduang Mata Api itu! Sementara yang lainlain bergerak sibuk, si nenek hanya tegak di bawah sebatang pohon seraya
merangkapkan kedua tangan di depan dadanya.
Lima orang memasuki surau dengan cepat. Di saat itu Andana tengah
melakukan duduk tahajud akhir. Kekhusukannya bersembahyang membuat dia tidak
perduli dengan langkah-langkah berat yang menginjak lantai papan surau. Seolah
tidak apa-apa dia terus saja sembahyang. Lalu dia merasakan ada dua buah benda
keras dan dingin ditempelkan pada pelipisnya kiri kanan.
"Asyhadu Allah illa ha illallah...." Andana terus dengan sembahyangnya.
Telunjuk kanannya yang terletak di paha kanan diluruskannya. Ketika dia
mengucapkan salam dia tidak bisa memutar kepalanya ke arah kanan ataupun kiri
karena kepala itu tertahan oleh dua pucuk moncong bedil! Andana hanya bisa
mengucapkan salam tanpa dapat menoleh ke kanan dan ke kiri. Dengan tangan
kirinya diusapnya wajahnya. Kedua matanya dengan cepat membaca situasi. Lalu dia
menegur dengan sikap tenang.
"Manusia-manusia dari mana yang telah berubah menjadi iblis durhaka!
Mengganggu orang dalam sembahyang"!"
"Jangan banyak mulut! Kami mendapat perintah menangkapmu hidup atau
mati!" Orang yang memegang bedil di sebelah kanan membentak. Kawannya yang
sebelah kiri mengeluarkan sebuah rantai besi yang ada gemboknya. Benda itu
dilepmparkannya ke lantai di depan Andana lalu memerintahkan pada selah seorang
di dekatnya. "Ikat kedua tangannya! Kalau dia berani bergerak kutabur otak dalam
kepalanya!"
Orang yang diperintah masukkan goloknya ke sarung lalu cepat mengambil
rantai besi itu. Andana belum pernah melihat orang ditembak bedil. Namun dia
pernah mendengar bahwa senjata panjang itu bisa mengoyak dada, merobek perut dan
merengkahkan kepala! Dalam keadaan seperti itu yaitu dua moncong bedil sekaligus
menempel di kepalanya kiri kanan Andana tak berani berlaku ceroboh.
"Kalian orang-orang Tumenggung Rajo Langit?" bertanya Andana.
"Kambui wa-ang! Kalau sudah tahu siapa kami mengapa masih bertanya!"
bentak orang yang memegang bedil di sebelah kanan.
"Jangan banyak cakap. Ulurkan saja kedua tanganmu. Atau otakmu akan
bertaburan di lantai surau ini!"
Andana tampak seperti tersenyum. "Rupanya Tumenggung kalian itu masih
belum puas. Semua orang di Pagaralam ini tahu bahwa tuduhan pembunuhan atas
diriku dulu hanya fitnah busuk belaka...."
Dengan tenang Andana mengulurkan kedua tangannya. Sewaktu rantai besi
hendak diikatkan pada kedua lengannya, dalam hati Andana berkata. Kalian hanya
menjalankan perintah. Tapi kalau aku tidak memberi pelajaran pada kalian, kalian
bisa jadi keras kepala dan sewenang-wenang!
Rantai besi mulai dilingkarkan di kedua tangan Andana. Pada saat itulah tibatiba terdengar suara siulan.
Menyusul bentakan keras.
"Manusia-manusia gila! Kalian seperti tidak ber-Tuhan! Menangkap orang di
rumah suci!"
BASTIAN TITO 36 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Atap surau yang terbuat dari ijuk berderik halus. Lalu tiba-tiba sekali lampu
minyak yang tergantung dekat pintu surau padam. Dalam keadaan yang gelap gulita
itu Andana serta merta jatuhkan tubuhnya ke lantai papan. Dua letusan
menggelegar. Andana merasakan sesuatu yang panas robek bahu kirinya. Dia menghantam sambil
menahan sakit. Terdengar suara orang menjerit di susul suara bergedebuk jathunya
satu dodok tubuh. Di sebelah atas suara seseorang menerobos masuk lewat celah
antara atap dan dinding lalu melayang ke bawah.
Setelah itu terlihat satu bayangan putih berkelebat kian kemari. Setiap kaki
atau tangannya bergerak satu korban roboh ke lantai.
Meski tidak dapat melihat jelas siapa adanya orang yang masuk ke dalam
surau itu nemun dari gerakannya yang sebat dan mengeluarkan suara menderu serta
bentuk potongan tubuhnya Andana sudah dapat menduga siapa adanya orang ini. Dia
segera menyambar sebuah bedil yang tercampak di lantai. Senjata ini dipegangnya
di bagian selongosng besinya. Dengan popor senapan itu lalu dia menghantam para
penyerang dalam kegelapan.
Tak lama kemudian suara hiruk pikuk perkelahian di dalam surau itu berhenti.
Kesunyian mencengkam. Di luar surau nenek berjuluk Anduang Mata Api
pencongkan mulutnya beberapa kali. Kedua tangannya masih dilipat di depan dada.
Tiba-tiba dari pintu surau melayang keluar satu sosok tubuh. Lalu satu lagi,
satu lagi sampai akhirnya kelihatan lima orang bergeletakan di halaman surau tanpa
berkutik lagi. Tiga orang pingsan berat. Satu mengerang dengan kening berlumuran darah.
Yang kelima agaknya tengah meregang nyawa. Di dalam surau tadi ketika dia
membabatkan goloknya menyerang orang berpakaian putih, tiba-tiba orang itu
mendahului dengan satu tendangan yang tepat mengenai lengannya. Golok yang
digenggamnya berbalik menghantam perutnya sendiri. Ususnya berbusaian!
Tujuh orang ang berada di halaman surau cepat mendatangi kelima kawan
mereka yang dalam keadaan babak belur itu. Mereka bergidik melihat kawan yang
tengah meregang nyawa dengan usus menjela-jela.
Sementara itu perempuan berjuluk Anduang Mata Api masih tetap tak
bergerak di tempatnya di bawah pohon. Hanya kedua alis matanya saja yang tampak
bergerak-gerak naik ke atas. Lalu dia berkata dengan suara keras.
"Apakah kalian ingin menjadi kucing buta dan bisu" Empat kawan kalian
dihajar orang sampai tak sadarkan diri. Yang satu malah dibunuhi! Kalian hanya
berdiri menonton! Jika kalian tidak berbuat sesuatu rasanya lebih baik aku
mengepruk kepala kalian satu persatu!"
Mendengar kata-kata si nenek, tujuh orang yang berada di halaman surau serta
merta bergerak. Mereka berserabutan menuju pintu surau. Siap menyerang Andana
yang ada di dalam sana. Namun tiba-tiba sekali dari dalam surau terdengar suara
Perang Ilmu Gaib 1 Pengemis Binal 23 Hantu Merah Parit Kematian 2

Cari Blog Ini