Wiro Sableng 061 Makam Tanpa Nisan Bagian 3
memukul dan menyeretnya ke arah pantai"
Maka gadis itu lalu mengambil sikap menelentang.
Tangan dan kakinya digerakkan perlahan secara beraturan.
Tubuhnya tampak mengambang. Dalam keadaan seperti itu ombak besar kembali
datang. Kecerdikan si gadis ternyata membawa hasil. Begitu ombak mendera
dirinya, tubuhnya yang mengambang itu mencelat di atas air, terlempar ke arah
daratan. Begitu terjadi sampai empat kali. Kali yang kelima akhirnya kakinya
terasa menyentuh dasar laut di bagian yang dangkal. Sang dara balikkan did lalu
menjejakkan kakinya dan melangkah di dasar lautan menuju tepi pasir.
"Badai celaka! Untung Tuhan masih menolongku selamat sampai ke pantai! Kalau
tidak untuk melihat kubur seorang sahabat tak akan aku menyiksa diri menantang
maut seperti ini," kata si gadis lalu gerakkan kepalanya untuk mengibas air laut
yang membasahi rambutnya. Dia memandangi pakaiannya yang basah kuyup. Di bawah
hujan lebat dan angin keras dia lalu berlari memasuki pulau. Sebelumnya dia
tidak pernah datang ke pulau itu.
Tapi mencari sebuah makam di pulau sekecil itu rasanya tak bakal sulit. Sang
dara terus menyusup diantara semak belukar dan akhirnya sampai di bagian pulau
yang penuh dengan batubatu cadas hitam serta batu-batu karang.
Di salah satu bagian kawasan pulau berbatu-batu ini dia melihat sebuah lobang
pada salah satu lamping batu karang. Si gadis cepat menuju ke arah lobang ini
dengan maksud beristirahat sebentar sambil menunggu redanya badai.
Ketika dia sampai di mulut goa sang dara dikejutkan oleh apa yang dilihatnya
didalam goa batu itu. Seorang anak lelaki berusia sekitar enam tahun duduk
tersandar ke dinding goa. Mulutnya ditutup dengan sehelai kain hingga dia tidak
bisa mengeluarkan suara. Pergelangan tangan dan kakinya diikat dengan tali yang
dibuat dari sambungan akar-akar pohon.
Si anak lelaki tak kalah terkejutnya ketika melihat munculnya seorang gadis
cantik berpakaian ungu yang tidak dikenalnya dalam keadaan basah kuyup. Di
pinggangnya ada sebuah saluang. Semula si anak mengira yang datang adalah
manusia tinggi besar dan berewokan yang telah menculiknya. Anak ini goyanggoyangkan kepalanya memberi tanda.
Dara berbaju ungu segera buka ikatan kain yang
menutup mulut anak itu. Belum sempat dia bertanya, si anak sudah membuka mulut.
"Kakak yang baik. Terima kasih kau telah menolong.
Says Malin Sati, murld kakek bernama Tuan Gila..."
"Ah... Kau murid Tua Gila! Justru aku datang untuk menyambangi makam gurumu
itu!" Si anak tampak terkejut. "Guru... Kakek Tua Gila... Kata kakak kau hendak
menyambangi makam guru" Apa yang terjadi dengan beliau...?"
"Anak, katamu kau murid Tua Gila. Gurumu meninggal kau tidak tahu! Aneh!"
"Apa..."!" anak itu seperti hendak menjerit. "Tidak mungkin. Bukankah guru
tengah melakukan perjalanan?"
"Eh, bagaimana ini" Berita yang tersiar di luaran ialah bahwa Tua Gila telah
meninggal dunia dan dimakamkan di pulau tempat kediamannya ini."
"Kakak tolong kau lepaskan dulu ikatan pada tangan dan kaki saya. Orang jahat
itu telah mengikatku sejak empat hari lalu. Saya hanya diberinya makan sedikit!"
"Siapa orang jahat yang mau kau katakan itu Malin?"
tanya gadis itu sambil melepaskan ikatan pada kaki dan tangan Malin Sati.
"Seorang tinggi besar bermuka buas, berkumis dan berjenggot lebat. Saya
ditangkapnya sewaktu sedang bermain di pantai. Lalu diikat dan dibawa ke dalam
goa ini..."
"Kau tahu mengapa orang itu menangkap dan mengikatmu lalu membawamu ke sini?"
tanya dara berpakaian ungu sambil menggoyang-goyangkan rambutnya yang
basah. "Saya tidak tahu kakak," jawab murid Tua Gila. "Lalu di mana orang yang
mengikatmu itu sekarang?"
"Dia pasti masih berada. di pulau ini. Karena pada waktu-waktu tertentu dia
setalu kemari untuk melihat dan mengawasi saysa.."
Gadis baju ungu tampak berpikir-pikir.
"Kakak, kau ini siapa" Ada hubunganmu dengan guru"'
bertanya malin Sati.
"Namaku Pandansuri. Aku datang dari Wars, Aku berhutang budi bahkan nyawa pada
gurumu. Beberapa tahun lalu gurumu bersama seorang pendekar muda
pernah menyelamatkan diriku. ltutah sebabnya aku merasa sangat penting untuk
menziarahi makamnya."
"Tidak, tidak mungkin! Guru jelas sedang pergi, tak ada di pulau. Bagaimana
mungkin kakak mengatakan hendak menziarahi makamnya" Di pulau ini sama sekali
tidak ada kuburan!"
"Ini adalah aneh! Sebagai murid kau tentu tidak berdusta mengatakan bahwa gurumu
masih hidup," Kata Pandansari pula. "Kalau begitu mari kita cari orang yang
telah menangkap dan menyekapmu di goa ini!"
"Hati-hati, manusia itu jahat sekali. Ilmu kepandaiannya pasti tidak rendah. Dan
saya yakin ilmunya dipergunakan untuk berbuat jahat!"
Pandansuri pegang kepala anak itu lalu berkata, "Kita pergi sebentar lagi kalau
badai mulai reda."
Malin Sati bangkit berdiri. "Maafkan saya kakak. Saya tidak bisa menunggu. Saya
harus menyelidiki apakah guru telah kembali, lalu apakah benar ada makam di
pulau ini."
"Kau murid baik, Malin. Mari kita sama-sama menyelidik."
Dibawah hujan lebat dan angin kencang kedua orang flu tinggalkan goa di dinding
batu karang. "Kau tentu tahu setiap sudut pulau ini. Kau jalan di depan," kata Pandansari.
Malin Sati berjalan di sebelah depan. Sang dara mengikuti dari belakang. Tak
selang berapa lama keduanya sampai di gubuk kediaman Tua Gila. Si anak terkejut
ketika melihat isi gubuk berantakan sedang gurunya tak ada di situ.
"Pasti ini perbuatan manusia jahat itu!" kata Malin Sati dengan kepalan
tinjunya. Dia melangkah keluar gubuk.
Saat itu hujan mulai reda tapi tiupan angin masih keras dan mengeluarkan suara
menggidikkan. "Saya harus menyelidiki seluruh pulau! Orang jahat itu jangan- jangan telah
mencuri sesuatu dari gubuk guru!"
Tanpa berpaling pada Pandansuri Malin Sati langsung melangkah pergi.
Sang dara cepat memegang bahu anak itu lalu berkata.
"Seperti katamu, orang jahat yang menyekapmu itu pasti masih ada di pulau ini.
Kita harus berhati-bati. Biar aku yang di depan sekarang. Bisakah kau berjalan
tanpa mengeluarkan suara?"
Malin Sati mengangguk. Lalu seolah-olah seperti
hendak membuktikan dia melangkah cepat diantara
semak belukar sedang di tanah jejak kakinya kelihatan tidak melesak dalam.
"Ah, Tua Gila tentu telah mengajarkan ilmu meringan-kan tubuh pada anak ini..."
kata Pandansuri dalam hati.
Kedua orang itu bergerak menuju bagian tengah pulau.
Pandansuri di sebelah depan, Malin Sati di belakangnya.
Kadang-kadang anak ini karena ingin lebih cepat, melangkah mendahului. Terpaksa
si gadis menariknya cepat-cepat. Di suatu tempat Pandansuri hentikan langkahnya.
"Aku mendengar suara orang tertawa di kejauhan.
Apakah kau mendengarnya?"
Malin Sati gelengkan kepala mendengar pertanyaan
Pandansuri itu.
"Ikuti aku. Tapi harus lebih hati-hati..." kata Pandansuri lalu bergerak ke
jurusan di mana dia tadi mendengar datingnya suara orang tertawa.
Pandansuri sampai di depan sebuah lapangan kecil
yang becek. Gadis ini cepat menekap mulut Malin Sati dan menariknya ke balik
sebatang pohon besar ketika didengarnya si anak sempat mengeluarkan suara
tercekat sewaktu melihat pemandangan di depannya.
Kalau Malin Sati terkejut dan bergidik melihat empat sosok mayat rusak yang
terikat di tiang serta adanya dua buah makam dimana salah satunya terbuka secara
aneh, maka Pandansuri lebih terkesiap pada perkelahian yang terjadi antara
seorang manusia bertubuh tinggi besar dengan seorang pemuda yang segera
dikenalinya sebagai pemuda bernama Wiro Sableng bergelar Pendekar 212.
Pemuda inilah yang dulu menyelamatkannya bersama
Tua Gila dari tangan ayah angkatnya yang sesat yaitu Raja Rencong Dari Utara.
Seat itu Pandansuri menyaksikan bagaimana tubuh
Wiro terpental masuk ke dalam liang kubur batu akibat hantaman mantel sakti
orang tinggi besar. Ketika orang itu tampak menekan sesuatu di kepala makam.
Ketika batu penutup makam terhempas jatuh Pandansuri secara tidak sadar
keluarkan seruan memanggil nama pendekar itu.
"Wiro!"
Suara teriakan Pandansuri inilah yang membuat Datuk Tinggl Raja Di Langit jadi
tersentak dan dia segera menyadari bahwa ada orang lain di tempat itu.
Pandansuri sendiri begitu sadar telah berbuat kesalahan segera menarik lengan Malin Sati lalu berkelebat meninggalkan pohon
tepat pada saat Datuk Tinggi kiblat-kan Kapak Naga Geni 212 yang memporakporandakan pepohonan dan bebatuan di tempat itu.
*** WIRO SABLENG MAKAM TANPA NISAN
11 i dalam liang makam batu yang gelap itu bahkan
tangan di depan matapun tidak kelihatan- Pendekar D212 Wiro Sableng masih berada
dalam keadaan setengah sadar. Hantaman mantel sakti Datuk Tinggi Raja Di Langit bukan main
dahsyatnya. Di samping itu kepalanya juga telah membentur dinding batu dengan
keras. Selang beberapa lama setelah kesadarannya kembali pulih, murid Eyang Sinto
Gendeng ini berusaha berdiri.
Kedua tangannya coba mendorong g, batu tebal penutup makam Tapi batu yang berat
itu tidak bergeming sedikit pun. Akhirnya dia hanya bisa tegak tersandar
memikirkan bagaimana mencari jalan keluar dari sekapan. Aneh, tubuhnya terasa
sangat letih. Dicobanya mengerahkan tenaga dalam tapi tidak berhasil. Ada
sesuatu yang menye-babkan hal itu dan dia tidak tahu apa.
Perlahan-lahan Wiro kembali duduk di lantai makam.
Dalam gelap dia pergunakan lengan bajunya untuk menyeka darah yang mulai
mengering di bawah hidung dan di sudut bibirnya. Saat itu hidungnya mencium bau
aneh dalam ruangan batu itu, Dia lalu ingat pada pipa kecil yang ada di batu
tebal di atasnya. Dalam gelap dia meraba dan berhasil menyentuh pipa itu. Wiro
berpikir-pikir apa keguna-an pipa itu, Mungkin untuk keluar masuknya udara"
Dengan pipa sekecil itu beberapa lama dia bisa bertahan di tempat itu" Datuk
Tinggi memberinya waktu empat hari.
Berarti itulah batas kehidupannya! Empat hari tanpa makan tanpa minum. Dan
disekap di ruang batu seperti itu terasa udara menjadi makin panas saat demi
saat. "Bangsat itu minta kitab Seribu Macam Ilmu Pengobatan! Gila! Kalaupun aku
membawa kitab itu tak bakal aku serahkan padanya! Agaknya aku sudah ditakdirkan
menemui kematian dengan cara begini rupa..."
Pikiran Pendekar 212 menjadi kacau. Sekujur tubuhnya terasa sakit dan lemas.
Kepalanya juga masih mendenyut-denyut. Pakaiannya basah oleh keringat. Tiba-tiba
dia ingat makam di sebelahnya. Sebelumnya dia telah mendengar suara ketukan
sayup-sayup datang dari dalam makam itu.
Ketika dia mengetuk, dari dalam terdengar suara ketukan balasan. lalu dia ingat
pula pada asap seperti asap rokok yang ada di sekitar makam.
"Kalau diriku dijebloskan hidup-hidup begini, jangan-jangan Tua Gila juga
mengalami nasib sama..." Wiro lalu keluarkan batu hitam pasangan Kapak Maut Naga
Geni 212 yang masih tersisip di pinggangnya. Dengan batu hitam itu diketuknya
dinding batu sebelah kanan, dua kali berturut-turut. Lalu dia menunggu. Tak ada
jawaban. "Mungkin orang tua itu sudah ..." Wiro tidak teruskan ucapannya, kembali dia
mengetuk. Tiba-tiba dari balik dinding batu ada suara ketukan balasan. Perlahan
sekali. "Kakek Tua Gila! Kau ada di situ"!" Wiro berteriak keras-keras.
Jawaban yang terdengar hanya ketukan halus.
"Kakek Tua Gila! Kau yang mengetuk...!?"
"Siapa yang menyebut namaku"!"
Ada suara menyahuti. Halus dan jauh tetapi cukup jelas terdengar oleh murid
Sinto Gendeng: "Aku Wiro Sab!eng!" Wiro berteriak keras-keras. Hatinya gembira mendapatkan
jawaban. Lalu keningnya jagi mengkerut ketika didengarnya suara di kejauhan itu
berkata. "Nasib kita sama jeleknya! Tidak, aku lebih jelek. Kau tentu baru saja
dijebloskan dalam makam batu! Aku sudah sejak tiga hari lalu...!" Terdengar
suara tawa mengekeh.
"Ah, benar rupanya oratig tua itu dijebloskan di makam sebelah! Gila! Dalam
keadaan seperti itu dia masih bisa tertawa," kata Wiro dalam hati. Lalu pendekar
ini bertanya. "Bagaimana kau bisa bertahan hidup kek?"
"Hanya karena belas kasihan Yang Kuasa!"
"Selagi di luar aku melihat dan mencium seperti asap rokok, Apakah kau yang
merokok"!"
"Tidak sa!ah! Hanya itu yang bisa menjadi penyumpal mulut dan perutku! Tapi aku
tidak akan biasa bertahan lama. Paling lama empat hari lagi malaikat maut pasti
menemuiku! Mengapa kau tahu-tahu muncul di pulau ini.
Kemunculan yang membawa celaka dirimu! Tua bangka sepertiku mati di tempat ini
tidak menjadi apa. Tapi kau masih muda...!"
Wiro terdiam sesaat mendengar kata-kata terakhir Tua Gila itu. Lalu dia membuka
mulut. "Di luaran tersebar berita bahwa kau telah meninggal dunia. Itu sebabnya
kuperlukan datang kemari. Ternyata ini jebakan belaka! Apa betul keparat yang
menjebloskan diriku itu adalah kakak Datuk Sipatoka yang kita habisi beberapa
tahun lalu di Bukit Tambun Tulang"! Siapa nama bangsat itu"!"
"Namanya aku tidak tahu. Dia menyebut dirinya dengan gelar Datuk Tinggi Raja Di
Langit! Dia memang kakak Datuk Sipatoka...! Dia muncul membawa dendam kesumat!"
"Bagaimana kau bisa dikalahkan lalu dijebloskan ke dalam makam batu itu kek"!"
"Mantel hitamnya itu! mantel itu merupakan senjata hebat luar biasa! Tua bangka
ini tak sanggup
menghadapinya! Siapapun tak bakal sanggup mengalahkannya! Kecuali ada yang
berhasil menarik lepas mantel hitam saktinya itu!"
Wiro teringat pada jubah Kencono Geni milik keraton di Jawa. Siapa saja yang
mengenakan jubah itu tak satu kekuatanpun sanggup mengalahkannya.
"Di samping itu," terdengar lagi suara Tua Gila. "Datuk Tinggi memiliki senjata
rahasia yang luar biasa. Orangorang dalam dunia persilatan di Andalas menyebut
senjata itu Mutiara Setan. Senjatanya memang mutiara sungguhan tapi berwarna
hitam. Tidak beracun namun ganas sekali.
Siapa saja yang sampai ditancapi Mutiara Setan tubuhnya pasti akan menemui
kematian dalam waktu sekejapan.
Datuk Tinggi selalu mencari sasaran di kening lawan!"
"Mutiara Setan!" desis Wiro. "Senjata aneh dan mahal harganya!"
"Anak muda, apakah datuk keparat itu minta buku Seribu Macam Ilmu Pengobatan
padamu"!" bertanya Tua Gila dari makam sebelah.
"BetuI!" jawab Wiro. "Tentu saja aku tidak membawa buku itu ke mana-mana.
Sekalipun kubawa tak akan kuberikan padanya!"
"Padaku dia juga minta buku itu! Kukatakan kalau buku itu tidak ada padaku. Lalu
dia minta senjataku Benang Kayangan. Tapi dia tidak bisa mendapatkannya karena
benang sakti itu keburu kumasukkan ke dalam mulut dan kutelan! Kini senjata
langka itu aman dalam perutku!" Tua Gila tertawa mengekeh. Lalu dia meneruskan
ucapannya. "Iblis tinggi itu memberikan waktu tujuh hari padaku! Jika aku tidak memberi
tanda dengan ketukan maka tamatlah riwayatku!"
Wiro menghela nafas panjang. "Kalau begitu aku lebih celaka darimu, kek! Datuk
Tinggi berhasil merampas senjata warisan Eyang Sinto Gendeng!"
"Maksudmu Kapak Naga Geni 212"!"
"Betul kek!"
"Ahl Padahal jika, senjata itu ada padamu saat ini, mungkin bisa dipergunakan
untuk membobol dinding atau atap makam keparat ini!" kata Tua Gila pula. Tapi
dia segera menyambung. "Mungkin juga tidak! Senjata itu tidak akan ada gunanya
di dalam tempat ini. Karena kita tidak bisa mengerahkan tenaga dalam!"
"Betul kek. Aku tadi coba mengerahkan tenaga dalam tapi tidak berhasil! Apa yang
ada di tempat celaka ini"!"
"Datuk Tinggi menaburi semacam obat. Tidakkah kau membaui hawa aneh dalam
Wiro Sableng 061 Makam Tanpa Nisan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
makammu"!"
"Memang ada hawa aneh di sini!"
"Hawa itulah yang membuat peredaran darah kita tak bisa dipacu sehingga tenaga
dalam tak bisa dialirkan.
Haws itu pula yang membuat sekujur tubuh kita menjadi lemah!"
"Apa daya kita sekarang kek" Apakah kita tidak mungkin bisa keluar dari tempat
celaka ini"!"
"Tipis sekali kemungkinannyal Mungkin satu berbanding seribu! Kita akan samasama berkubur di tempat ini! Kita berdua pasti banyak dosa! Berdoa sajalah dan
mints ampun pada Yang Kuasa atas segala dosa-dosa kita! Ha...
Ha... ha ...!"
Wiro terdiam. "Anak muda! Kau takut menghadapi kematian"!" terdengar Tua Gila bertanya.
"Semua orang akan mati kek. Tapi kalau kematian datangnya seperti ini, perlahanlahan dan tersiksa, lebih baik aku memilih dipancung saja! Kita harus mencari
akal kek!"
"Aku sudah tiga harl mencari akal. Sampai persediaan rokokku habis! Tapi sia-sia
saja!" jawab Tua Gila.
"Waktu aku sampal di tempat ini, aku melihat ada empat sosok mayat diikat ke
tiang kayu!"
"Pasti korban-korban jebakan Datuk Tinggi! Kau kenal siapa-siapa mereka"!"
"Belum sempat memeriksa Datuk keparat itu sudah muncul! Tapi ada satu hal.
Sewaktu aku dijebloskan ke dalam makam ini, aku masih sempat mendengar seseorang
berterlak menyebut namaku! Mudah-mudahan saja ada yang bakal menolong kita!"
"Jangan terlalu berharap anak muda! Yang memanggil-mu itu bukan mustahil adalah
malaikat maut yang sudah mengenalimu!" kata Tua Gila pula lalu kembali tertawa
gelak-gelak. Dalam hatinya Pendekar 212 jadi menyumpah. Dia duduk bersandar ke
dinding batu dan ulurkan kedua kakinya lurus-lurus. Hawa di tempat itu semakin
panas. Jangan-jangan dia tidak mampu bertahan sampai empat hari."
"Kek! Demi menyelamatkan nyawamu aku bersedia memberikan kitab Seribu Macam Ilmu
Pengobatan itu!"
"Jangan tolol!" membentak Tua Gila dari makam sebelah. "Sekalipun kau berikan
seribu buku dan seribu senjata mustika pada Datuk Tinggi, manusia keparat itu
tetap saja akan membunuh kita! Keinginan utamanya adalah membalaskan dendam
kesumat kematian adiknya.
Yaitu membunuh kita berdua dan semua sahabat kita yang tertipu muncul di pulau
ini! Kalau memang ingin selamat sudah sejak kemarin-kemarin kuberikan Benang
Kayangan padanya!"
"Jadi beginilah perjalailan hidupku!" kata Wiro. Untuk pertama kalinya dia
menggaruk kepalanya berulang kali.
"Mati terjebak dalam makam batu!"
"Kau terlalu mengawatirkan kematian dirimu! Apalah kau sudah punya anak"!" Tua
Gila bertanya dari sebelah.
"Kawin saja belum! Bagaimana punya anak"!" sahut Wiro setengah mengomel.
Tua Gila terdengar tertawa gelak-gelak.
Wiro memaki panjang pendek dalam hati. Lalu dia melengak ketika lapat-lapat dia
mendengar suara orang me-ngorok!
"Pasti itu si Tua Gila! Edan! Bagaimana dalam keadaan seperti ini dia masih bisa
enak-enakan tidur! Malah sampai ngorok segala!" kata Wiro dalam hati merutuk
tidak henti-hentinya.
Pendekar 212 berusaha mengatur jalan nafas dan peredaran darah. Lalu berusaha
menghimpun tenaga dalam.
Tapi setiap dikerahkan selalu tidak berhasil. Sementara tubuhnya terasa semakin
lemas. Pendekar ini tidak tahu berapa lama dia telah berada dalam pendaman makam batu
itu ketika tiba-tiba dia mendengar suara berdesir. Sesaat kemudian ada angin
bertiup masuk ke dalam liang batu itu. Lalu Wiro melihat sedikit cahaya dan
menyusul terbukanya atap batu makam!
"Kakek Tua Gila! Batu penutup makamku terbuka!"
teriak Wiro memberi tahu. Lalu cepat berdiri.
Tapi untuk melompat keluar dari makam yang dalamnya lebih tinggi dari tubuhnya
itu dia tidak sanggup oleh keadaan tubuhnya yang lemas. Wiro berjingkat dan
berusaha menghirup udara segar sebanyak-banyaknya.
Hujan dan badai tak ada lagi. Tapi udara di atasnya diselimuti kegelapan walau
tidak segelap dalam liang batu tadi. Ini memberi pertanda bahwa saat itu hari
telah malam. Wiro berusaha lagi untuk bisa keluar dari dalam lobang itu. Namun sia-sia.
Tubuhnya masih sangat lemas. Dia mendongak ke atas don melihat sepasang kaki di
tepi makam batu. Lalu ada tangan yang diulurkan untuk mem-bantunya keluar dari
makam. Dalam gelap Wiro dapat melihat orang yang hendak menolongnya itu. Dia
tidak kenal lelaki ini. Tapi jelas bukan Datuk Tinggi. Maka Pendekar 212 ulurkan
pula tangannya siap untuk ditarik ke atas.
Sesaat kemudian Wiro telah keluar dari dalam liang maut.
itu. "Pandeka mudo, Nyanyuk Amber berpesan agar kau lekas mengatur jalan darah
dan pernafasan. Menghirup udara segar sebanyak-banyaknya agar dapat menghimpun
tenaga dalam!"
"Nyanyuk Amber" Orang tua itu ada di sini"!" tanya Wiro.
"Pandeka akan bertemu dengan beliau. Lekas lakukan apa yang beliau pesankan."
"Sahabat, kau sendiri siapa" Terima kasih kau telah menolongku!"
"Ambo Saringgih, pembantu Nyanyuk Amber. Ambo harus menolong Tua Gila di makam
sebelah!" lalu Saringgih tinggalkan Wiro. Pendekar 212 segera duduk bersila,
mengatur jalan nafas, darah dan mulai coba mengalirkan tenaga dalamnya. Hal itu
tidak dapat dilakukannya dengan cepat karena lebih dari setengah harian diri
sudah sempat dipendam dalam makam batu.
Sementara itu Saringgih telah bergerak ke makam yang satunya. Sesuai petunjuk
Pandansuri pembantu Nyanyuk Amber ini segera menekan batu kecil yang menonjol di
belakang kepala makam. Terdengar suara berdesir, lalu perlahan-lahan bagian atas
makam berikut batu nisannya bergerak ke atas. Terdengar suara orang tersentak
kaget di dasar makam. Lalu dalam gelap tampak dua tangan kurus tinggal kulit
pembalut tulang menggapai-gapai di tepi lobang batu. Saringgih cepat menangkap
salah satu lengan Itu lalu menariknya kuat-kuat ke atas.
Pembantu Nyanyuk Amber ini merasakan jantungnya
seperti copot ketika melihat sosok dan wajah orang yang barusan ditolongnya. Dia
telah terbiasa dengan keangker-an wajah Nyanyuk Amber. Namun manusia yang kini
ter-duduk di hadapannya ini memiliki tubuh dan kepala yang tidak bedanya seperti
jerangkong hidup! Orang yang barusan ditolongnya ini menatap padanya dengan
sepasang matanya yang sangat cekung. Pandangannya
dingin mengerikan. Dan dia sama sekali tidak mengucapkan satu patah katapun,
apalagi mengatakan terima kasih! Seperti Wiro orang ini kemudian duduk bersila
mengatur jalan nafas dan darah serta menghimpun tenaga dalam.
*** WIRO SABLENG MAKAM TANPA NISAN
12 ARI kita ikuti apa yang terjadi sebelum batu
penutup makam Pendekar 212 Wiro Sableng tibaMtiba terbuka. Seperti dituturkan ketika mengenali bahwa pemuda yang terpental
masuk ke dalam liang
makam adalah Wiro Sableng yang dikenalnya, Pandansuri anak angkat Raja Rencong
Dari Utara tanpa sadar telah berteriak memanggil nama Wiro. Teriakannya ini
mengejut-kan Datuk Tinggi Raja Di Langit. Apalagi suara yang berteriak jelas
suara perempuan. Dia menantang agar orang yang berteriak unjukkan diri. Tapi
Pandansuri tidak mau muncul. Karena sama-sama dari utara Pandansuri sudah tahu
betul siapa adanya Datuk Tinggi. Satu lawan yang berat untuk dihadapi, apalagi
saat itu dia bersama Malin Sati, murid Si Tua Gila yang baru berusia enam tahun.
Ketika Datuk Tinggi menghantamkan Kapak Maut Naga Geni 212 yang membuat
pepohonan dan batu-batu di
tempat itu menjadi berantakan, Pandansuri cepat menarik lengan Malin Sati, Kedua
orang ini melarikan diri dibawah cuaca yang masih buruk. Udara yang masih gelap
ikut membantu hingga walau masih mengejar di belakang tapi Datuk Tinggi telah
tertinggal jauh.
Pandansuri sengaja menempuh bagian pulau yangt
rapat dengan pepohonan, lalu membelok ke arah dimana Nyanyuk Amber dan Saringgih
berada dalam sebuah
legukan batu berbentuk goa.
Saat itu karena badai dirasakan mulai reda maka
Nyanyuk Amber yang sudah tidak sabaran untuk mengejar pemuda berpakaian putih
berambut gondrong seperti yang dilihat dan diberitahukan oleh Saringgih
kepadanya. Ber-dasarkan ciri-ciri yang dikatakan pembantunya itu Nyanyuk Amber
sudah dapat menduga bahwa si pemuda bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng,
dengan siapa dia beberapa tahun lalu menghancurkan sarang Datuk Sipatoka dan
membunuh manusia jahat itu di Bukit Tambun Tulang.
"Saringgih! Lekas dukung aku! Kita harus mengejar pemuda yang kau lihat itu.
Badai kurasa sudah mulai reda!'
Saringgih segera lakukan apa yang diperintahkan
Nyanyuk Amber. Baru satu langkah dia keluar dari legukan batu, pembantu ini
cepat bersurut kembali.
"Eh, ada apa Saringgih"!" tanya si orang tua. Telinganya di pasang.
"Ada orang mendatangi dari jurusan pantai sebelah kanan!" melapor sang pembantu.
"Cepat katakan ciri-cirinyal"
"Ada dua orang Nyanyuk. Yang pertama seorang perempuan berambut panjang,
berpakaian serba ungu..."
"Seorang perempuan berpakaian serba ungu! Apakah wajahnya ditutupi dengan cadar
ungu?" "Tidak Nyanyuk. Wajahnya tidak ditutup apa-apa. Dari sini jelas terlihat
parasnya cantik. Di pinggangnya ada sebuah saluang."
"Tak ada dugaan lain. Orang ini adalah Pandansuri, anak angkat Raja Rencong.
Tetapi kenapa tidak bercadar"
Ah mungkin dia sudah mengikuti perkembangan zaman!
Saringgih, lekas katakan ciri-ciri orang kedua!"
"Seorang anak lelaki kecil. Umurnya belum sampai tujuh tahun."
"Anak lelaki" Di pulau ini ada anak lelaki"! Pasti itu murid si Tua Gila!"
"Kedua orang itu sudah mendekat kemari Nyanyuk.
Kelihatannya mereka seperti dikejar sesuatu!"
Telinga Nyanyuk Amber menangkap suara kaki-kaki
yang berlari itu mendekati legukan batu, maka dia cepat berseru.
"Pandansuri, lekas masuk ke dalam legukan batu!"
Pandansuri tentu saja jadi terkejut ketika dia mendengar ada suara menyebut
namanya. Dia memegang
lengan Malin Sati erat-erat seraya memandang ke arah legukan batu yang tertutup
rapat oleh pohon-pohon kecil serta semak belukar.
Semak belukar terkuak. Saringgih muncul. Tentu saja Pandansuri tidak mengenali
orang ini. Tapi dia seperti pernah mendengar suara orang yang tadi menyebut
namanya. "Malin, kau kenal orang itu?" tanya Pandansuri. Malin Sati menggeleng.
"Saudara... Siapa kau"!" tanya Pandansuri.
Dari dalam legukan batu kembali terdengar suara halus tadi. "Pandansuri, lekas
masuk. Untuk sementara kalian akan aman berada di sini!"
Saringgih menguak semak belukar lebih lebar. mata Pandansuri kemudian melihat
sosok tubuh yang duduk di lantai legukan batu.
Gadis ini terkejut dan juga girang. Dia berseru.
"Nyanyuk Amber!" Lalu bersama Malin Sati Pandansuri masuk dengan cepat kedalam
legukan batu. Saringgih segera menutup tempat itu kembali dengan semak belukar
dan pohon-pohon kecil.
Sampai di dalam Pandansuri langsung jatuhkan did, bersimpuh di hadapan Nyanyuk
Amber. Sementara
Saringgih dan Malin Sati terheran-heran. Sepasang mata Saringgih tidak berkedip
memandang Pandansuri. Belum pernah dia melihat gadis secantik yang satu ini.
"Kakek guru, apakah kau baik-baik saja?" bertanya sang dara.
"Alhamdulillah. Aku seperti apa yang kau lihat. Kuharap kau begitu juga. Apakah
kau kini sudah tidak mengenakan cadar ungu lag! Pandan?"
Sang dara memegang wajahnya. _"Cadar itu lepas ketika saya menuju pantai..."
"Kedatanganmu kemari pasti dengan maksud yang sama. Menyambangi makam Tua
Gila..." "Betul Nyanyuk. Tapi saya melihat banyak keanehan dan hal-hal menggidikkan di
pulau ini..."
"Aku sudah tahu apa yang kau maksudkan itu. Empat orang tokoh silat dibunuh dan
mayatnya dilkat di tiang kayu. Ada dua makam. Satu bernisan Tua Gila. Satunya
tanpa nisan..:'
"Rupanya kakek guru sudah tahu semua apa yang terjadi. Tapi apakah kakek juga
tahu bahwa Pendekar 212
Wiro Sableng barusan saja dijebloskan Datuk Tinggi Raja Di Langit ke dalam makam
kedua"!"
Terkejutlah Nyanyuk Amber mendengar kata-kata
Pandansuri itu.
"Celaka!" ujar si orang tNa. "Aku baru saja hendak mengejarnya. Padahal aku
tadinya berharap dialah yang bakal dapat menghajar Datuk Tinggi Raja Di Langit
keparat itu!" "Kakak Datuk Sipatoka itu memang bukan manusia sembarangan..."
kata Pandansuri pula.
"Pandan, kau dan si datuk itu sama-sama dari utara.
Apa saja yang kau ketahui tentang dirinya. Sepak terjang-nya sangat meresahkan
orang-orang rimba persilatan!"
"Manusia itu memang biang racun segala malapetaka.
Dia bercita-cita menguasai dunia persilatan di Pulau Andalas. Untuk itu dia
telah membekali diri dengan berbagai ilmu. Antaranya senjata rahasia Mutiara
Setan yang sangat berbahaya. lalu sebuah jubah berupa mantel hitam yang dapat
mengeluarkan angin sedahsyat badai..."
"Mantel itu memang luar biasa. Aku sudah sempat kena hantamannya:.:" kata
Nyanyuk Amber lalu menceritakan pada Pandansuri bagaimana dirinya hampir celaka
di tangan Datuk Tinggi Raja Di Langit.
"Kita menghadapi masalah besar. Tua Gila dikabarkan meninggal. Makamnya diliputi
keanehan. Beberapa tokoh silat menemui ajal Pendekar 212 dipendam dalam makam
batu! Kita harus menghentikan Datuk Tinggi. Ini bukan pekerjaan mudah. kita
harus mempergunakan akal..."
"Kau betul kakek guru. Datuk Tinggi punya segudang ilmu. Dia ahli segala
peralatan rahasia. Termasuk merancang dua makam batu yang bisa dibuka dan
ditutup bagian atasnya!" Pandansuri pula. "Disamping itu senjata andalan Wiro
yakni Kapak Maut Naga Geni 212 telah jatuh ke tangan Datuk Tinggi..."
"Ah, celaka! Banar-benar celaka!"
"Kakek guru! Saya tahu letak alat rahasia untuk membuka dan menutup makam
Pendekar 212. Saya sempat
melihat Datuk Tinggi menjalankan alat . itu. Kalau kita biasa membebaskan Wiro,
pasti lebih mudah bagi kita menghadapi Datuk Tinggi. Hanya ada satu cara untuk
dapat mengalahkannya. Menanggalkan mantel hitam yang melekat di tubuhnya!"
"Hal itu sama saja dengan kita hendak menguliti harimau hidup!" kata Nyanyuk
Amber. "Tak ada jalan lain kakek guru. Dia tak mempan ditotok.
Selama mantel itu masih melekat ditubuhnya tak ada senjata atau pukulan saktipun
yang mempan atas dirinya!"
Nyanyuk Amber menghela nafas panjang. Orang tua bermata buta ini lama termenung
tapi otaknya bekerja keras.
Sesaat kemudian orang tua ini angkat kepalanya.
"Hanya ada satu orang untuk dapat mengalahkan manusia keparat itu, Pandansuri.
Dan ini semua sangat tergantung pada kesediaan dirimu untuk melakukannya... "
"Katakan apa yang harus saya lakukan kakek guru," ujar Pandansuri.
Nyanyuk Amber tampak seperti bimbang.
"Tak usah ragu-ragu, kek!"
Orang tua itu memberi isyarat dengan anggukan kepala agar si gadis mendekat.
Lalu Nyanyuk Amber membisikkan sesuatu ke telinga Pandansuri. Serta merta
kelihatan paras sang dara menjadi sangat merah.
*** WIRO SABLENG MAKAM TANPA NISAN
13 ETELAH berusaha mencari orang yang tadi berteriak namun tak berhasil menemuinya
Datuk Tinggi Raja Dl S Langit segera menuju ke goa kecil di mana dia
meninggalkan Malin Sati. Saat itu hujan mulai reda dan angin tidak sekencang
sebelumnya pertanda badal akan segera berhenti.
Begitu masuk ke dalam goa, terkejutlah sang datuk.
Murid Tua Gila yang ditinggalkannya dalam keadaan terikat tak ada lagi di tempat
Wiro Sableng 061 Makam Tanpa Nisan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu! Di lantai goa bertebaran akar-akar pohon yang dijadikan tali untuk pengikat
kedua kaki dan tangan anak itu.
Paras seram Datuk Tinggi berubah tambah angker. Dia ingat kembali pada suara
seruan perempuan sewaktu Pendekar 212 dijebloskan ke dalam makam batu.
"Seseorang telah melepaskan anak itu! Dia pasti!
Bagaimana aku tidak bisa mengetahui kemunculannya"
Badai celaka tadi yang jadi ulah! Sekali kutemukan anak itu sebaiknya kuhabisi
saja!" Datuk Tinggi segera membalikkan tubuh. Dia kembali menuju ke lapangan di mana
dua makam terletak.
Menurutnya siapapun yang ada di pulau itu pastilah akan berada di tempat itu.
Mungkin untuk menziarahi makam Tua Gila, tetapi mungkin sekali untuk berusaha
melepaskan orang tua yang disekapnya dalam makam batu.
Sampai di lapangan Datuk Tinggi segera menyelidik setiap sudut. Setelah berpikir
sesaat din lalu naik ke atas sebatang pohon besar berdaun lebat. Dia akan
mendekam dan bersembunyi di atas pohon itu. Cepat atau lambat pasti akan muncul
orang yang ditunggunya.
Sampai siang bahkan menjelang rembang petang tak
ada yang muncul. Keadaan sekitar lapangan sunyi sepi.
Dikejauhan terdengar deburan ombak memecah di pantai.
Datuk Tinggi mulai merasa tak sabar. Sebentar lagi matahari akan segera
tenggelam dan slang akan berganti malam. Dia mulai berpikir-pikir apakah akan
segera turun saja dari atas pohon.
"Tidak mustahil orang itu justru menunggu sampai malam turun. Baru muncul di
tempat ini!" Berpikir begitu Datuk Tinggi memutuskan untuk tetap saja berada di
atas pohon sementara per!ahanlahan udara mulai tenggelam dalam kegelapan. Malam
mulai merayap. Tiba-tiba Datuk Tinggi Raja Dl Langit. dongakkan kepala.
Kedw telinganya dipasang baik-baik. Dia mendengar suara sesuatu.
"Aneh! Tak mungkin ada suara saluang di pulau ini! Tapi telingaku tidak salah
tangkap! Itu memang suara saluang!
Siapa pula yang meniupnya"!"
Datuk Tinggi menunggu sesaat. Suara yang didengarnya semakin jelas. Orang ini
segera turun dari atas pohon, melangkah ke arah barat yaitu clad arah mana
asalnya suara tiupan saluang itu.
Beberapa saat saja Datuk Tinggi meninggalkan tempat itu, sesosok tubuh
menyelinap keluar clad rerumpunan semak belukar. Orang ini ternyata adalah
Saringgih, pembantu Tua Gila. Mengendap-endap dia mendekati dua buah makam di
ujung lapangan. Sesuai dengan petunjuk Pandansuri dia segera mencari batu hitam
yang tersembul keluar di belakang kepala makam bernisan Wiro Sableng.
Karena sudah diberi petunjuk tidak sulit bagi Saringgih untuk menemukan batu
hitam itu. Begitu dilihatnya langsung ditekannya kuat-kuat. Terdengar suara
berdesir dan perlahan-iahan bagian atas makam berderak membuka!
Datuk Tinggi melangkah dengan hati-hati tanpa
mengeluarkan suara. Semakin dekat dia ke pantal pulau sebelah barat semakin
jelas terdengar suara tiupan salung itu. Bahkan kini dia mendengar suara orang
menyanyi. Suara perempuan!
Datuk Tinggi menyelinap dibalik batu-batu karang. Di bagian batu karang paling
ujung yang dekat ke pantai dia hentikan langkah. Dari sini dia melihat seorang
perempuan duduk di atas sebuah batu hitam membelakanginya.
Rambutnya yang panjang terurai di punggung pakaiannya yang berwarna ungu. Kedua
tangannya memegang sebuah saluang yang ditiupnya dengan suara merdu, diselingi
dengan suara nyanyian yang berhiba-hiba.
Indak disangko larinyo ruso
larinya kancang ka dalam guo
Indak disangko ka cando Iko
Nasib sangsaro sabatang karo
Tinggi-tinggi si matohari
Ayam bakokok di tanah Cino
Baiko bana buruakno diri
Ayah tiado bundopun tiado
Urang Piaman pal ka koto
Urang Talu manjunjung balango
Sangsaro datang siliah batimpo
Kakasiah dicinto lah hilang pulo
(Tidak disangka larinya rusa)
(Larinya kencang ke dalam goa)
(Tidak disangka akan seperti ini)
(Nasib sengsara sebatang kara)
(Tlnggi-tinggi si matahari)
(Ayam berkokok di tanah Cino)
(Begini benar nasibnya diri)
(Ayah tidak ibupun tiada)
(Orang Piaman pergi ke kota)
(Orang Talu menjunjung belanga)
(Sengsara dating silih bergant)i
(Kekasih tercinta telah pergi pula)
Sehabis menyanyi perempuan yang duduk di batu
kembali meniup saluangnya. Kali ini tiupan gadis itu terdengar tersendat sendat.
Sambil menangis sesengguk-an dia meletakkan saluangnya di atas batu. Lalu
perlahan-lahan dia melangkah ke arah laut. Di tepi pasir perempuan itu tegak
tidak bergerak. Angin laut melambai-lambaikan rambutnya yang panjang. Lalu dia
memalingkan kepalanya ke kiri. Sesaat Datuk Tinggi dapat melihat wajah
perempuan itu. Temyata dia seorang gadis berparas cantik jelita.
"Siapa adanya gadis ini..?" bertanya sang datuk dalam hati. "Agaknya dia muncul
di sini bukan untuk melihat makam Tua Gila. Berarti dia bukan karib atau sahabat
orang tua itu. Dari syair yang dinyanyikannya jelas dia meratapi nasib dirinya
yang sebatang kara. Tanpa ayah tanpa ibu. Kekasih yang dicintai pergi pula.
Hemmm..." Datuk Tinggi usap dagunya yang ditumbuhi berewok
lebat. Dia sudah siap melangkah untuk mendekati gadis itu namun niatnya terhenti
ketika tiba-tiba dia menyaksikan sesuatu yang membuat darahnya menjadi panas dan
mengalir cepat. Rangsangan nafsu segera menjalari setiap sudut tubuhnya yang
tinggi besar. Sudah cukup lama dia tidak pemah melihat tubuh perempuan, apalagi
me-nyentuhnya. Di alas pasir sana, selagi buih ombak membasahi kakinya, gadis berambut panjang
itu tampak membuka baju ungunya. Baju yang ditanggalkan dicampakkan di atas
pasir. Kelihatan punggungnya yang putih mulus.
Nafas Datuk Tinggi Raja Di Langit mulai memburu. Dari mulutnya keluar suara
menggeram. Matanya dipentang lebar-lebar. Lalu tampak gadis itu mulai membuka
ikatan celana ungunya. Celana itu merosot sampal ke pinggul.
Lalu tampak si gadis melangkah memasuki air laut.
Setiap langkah yang dibuatnya membuat pakaiannya
semakin merosot jatuh ke bawah. Di dalam air gadis itu kemudian kelihatan
melemparkan pakaiannya yang
terakhir ke dekat baju yang tadi dicampakkannya di atas pasir. Berarti di dalam
air laut itu tak sepotong pakaianpun lagi melekat di badannya!
Dengan tubuh bergetar dilanda nafsu Datuk Tinggi Raja Di Langit. melompat keluar
dari balik batu karang dan lari menuju laut.
Gadis di dalam air serta merta balikkan tubuhnya ketika mendengar ads orang
mendatangi. Dia terpekik sambil cepat-cepat menutupi bagian dadanya yang berada
di atas batasan air laut. Sepasang mata Datuk Tinggi membeliak melihat kepadatan
tubuh sang dara.
"Orang gagah bertubuh tinggi besar! Si... siapa kau..."!"
si gadis bertanya dengan gagap.
"Aku Datuk Tinggi Raja Di Langit! Jangan takut! Aku tidak menyakitimu...!"
"Tapi Datuk mengintip saya mandi di laut! Sekarang malah datang mendekati Datuk
nakal sekali!"
Datuk Tinggi tertawa lebar. Dari nada ucapan si gadis jelas dia tidak marah.
maka Datuk Tinggipun bertanya.
"Gadis cantik, siapa namamu. Bagaimana tahu-tahu muncul di sini. Apa kau diam di
pulau ini?"
"Saya gadis malang Datuk. Says tengah mencari kekasih yang pergi. Entah masih
hidup entah sudah tiada.
Dan... dan... saya terkejut..."
"Terkejut melihatku"!'
"Betul... Terkejut karena... karena wajah kekasih yang hilang itu mirip sekali
dengan Datuk..."
"Ah...! Kalau begitu biarlah diriku menjadi pengganti-nya!" kata Datuk Tinggi
pula lalu masuk ke daiam laut.
"Datuk Apakah Datuk hendak menemani saya
mandi...?"
"Ya... Aku akan menemanimu mandi di laut yang sejuk itul" jawab Datuk Tinggi
sambil terus melangkah. Air laut mencapai betisnya.
"Tidak adakah orang yang akan melihat kita berdua-dua di sini"!" tanya si gadis.
"Jangan kawatir. Pulau ini tidak berpenghuni!"
"Ah... Tapi, apakah Datuk akan mandi dengan masih berpakaian seperti itu"
Lucu...!" Datuk Tinggi tertawa bergelak. "Pucuk dicinta ulam tibal Gadis itu jelas minta
agar aku menanggalkan pakaian!"
kata sang datuk dalam hati. Lalu tanpa pikir panjang dengan cepat sekali dia
menanggalkan mantel hitamnya.
Melemparkan mantel ini ke atas pasir. Mencapakkan topi tingginya.
Kemudian membuka baju kuningnya. Kapak Naga Geni
212 yang diselipkannya di pinggang juga dilemparkan dekat mentelnya hitamnya.
Tak ketinggalan kantong kain berisi senjata rahasianya yaitu Mutiara Setan.
Terakhir sekali kasut kulit yang masih merekat di kakinya terbang di udara.
Sambil tertawa lebar dan mengangkat kedua tangannya Datuk Tinggi mendekati si
gadis. "Datuk! Kejar saya!" kata si gadis lalu dia menyelam ke dalam air.
"Kau akan kukejar kekasihku!" jawab Datuk Tinggi pula seraya masuk ke dalam laut
lebih tengah. Pada saat itulah tiba-tiba dari balik batu-batu karang yang gelap berkelebat
tiga sosok tubuh. Orang pertama maju menyambar Kapak Naga Geni 212 dan pakaian
ungu sedang orang kedua melompat menyambar mantel hitam milik Datuk Tinggi.
Orang yang ketiga membuat gerakan aneh yaitu berguling seperti bola dan cepat
sekali dia menyambar kantong kain berisi Mutiara Setan dengan mulutnya! Ketiga
orang ini kemudian berjejer di tepi pasir.
Dua tegak berkacak pinggang sedang yang yang tadi menyambar kantong senjata
rahasia dengan mulutnya duduk di pasir! Kantong kain itu dijatuhkan
dipangkuannya tapi sebelumnya dia telah memasukkan lima butir Mutiara Setan ke
dalam mulutnyal
*** WIRO SABLENG MAKAM TANPA NISAN
14 atuk Tinggi Raja Di Langit melompat dalam air untuk dapat menangkap tubuh gadis
tadi. Tapi dia hanya
Dmenangkap air karena dengan cepat sekali gadis itu berenang ke tepi pasir.
Begitu tubuhnya keluar laut orang yang tegak di tepi pasir sambil memegang Kapak
Naga Geni 212 melemparkan pakaian ungunya.
Dalam gelap malam gadis itu lari ke balik batu karang dan cepat-cepat mengenakan
pakaiannya kembali. Sesaat kemudian dia sudah bergabung dengan tiga orang tadi.
Datuk Tinggi tentu saja terkejut besar melihat apa yang terjadi. Dia berenang ke
tepi pasir tapi kedua kakinya kemudian berhenti ketika menyadari bahwa dirinya saat itu sama sekali tidak berpakaian.
Sepuluh langkah dihadapannya berdiri orang tua bertubuh dan bermuka jerangkong
yang bukan lain adalah Tua Gila. Di sebelahnya tegak Pendekar 212 Wiro Sableng.
Lalu duduk bersila adalah Nyanyuk Amber, kakek sakti tanpa mata, tanpa tangan
dan tanpa kaki. Dari balik batu karang kemudian muncul Pandansuri yang saat itu
telah mengenakan pakalan ungunya kembali. Gadis ini mengambil saluangnya dari atas
batu lalu berdiri di samping Tua Gila. Agak disebelah belakang Datuk Tinggi
melihat murid Tua Gila berdirl di sebelah pembantu Nyanyuk Amber.
"Celaka besar! Bagaimana bisa begini kejadiannya"!
Bagaimana kedua orong yang disekap dalam makam batu Itu bisa lolos"!
Mantelku...! Mutiaraku...!"
Datuk Mata Tinggi memandang melotot pada Tua Gila yang memegang mantelnya, lalu
memperhatikan dengan dada membara pada kantong senjata rahasianya yang ada di
pangkuan Nyanyuk Amber.
"Celaka! Bagaimana aku bisa lolos"!" Datuk Tinggi melirik ke arah pakaiannya
yang tercampak di pasir.
"Datuk Tinggil" terdengar Tua Gila berkata. "Kami memberi kesempatan padamu agar
kau bisa mati berpakaian lengkap!" Orang tua ini menganggukkan kepalanya pada Pandansuri.
Si gadis maju lalu dengan ujung saluangnya satu persatu pakaian Datuk Tinggi
termasuk topi dan kasutnya di lemparkannya ke arah si pemilik. Pakaian, topi dan
kasut itu terapung-apung di air laut. Datuk Tinggi belum bergerak untuk
mengambilnya. "Ayo lekas kenakan pakaian, topi dan kasutmu!"
beteriak Wiro. "Terlalu lama telanjang kau bisa masuk angin! Atau mungkin minta
sahabatku gadis cantik ini membantumu mengenakan pakaianmu satu persatu"!"
Tua Gila dan Nyanyuk Amber tertawa gelak-gelak.
Paras Datuk Tinggi mengelam sedang wajah Pandansuri bersemu merah.
"Kembalikan mantel hitam dan kantong kain itu!" membuka mulut Datuk Tinggi untuk
pertama kalinya.
"Keluar dari dalam laut! Kau bisa mengambilnya sendiri!" jawab Tua Gila.
Datuk Tinggi tidak bergerak. Mulutnya keluarkan suara menggeram. Tiba-tiba orang
ini berlaku nekad. Dia keluar dari dalam air laut tanpa mengenakan pakaian sama
sekali. Pandansuri cepat palingkan muka.
"Kalian mau membunuhku lakukanlah cepat!" teriak Datuk Tinggi. Dia melangkah
mendekat. Tiba-tiba dia me-nubruk ke arah Nyanyuk Amber yaitu orang yang paling
dekat. tangan kananya menyambar ke arah pangkuan si orang tua dimana dilihatnya
terletak kantong kain berisi Mutiara Setan.
Mulut kempot Nyanyuk Amber mengembung. Lalu
kelihatan orang tua ini meniup. Sebuah benda hitam melesat di udara. Datuk
Tinggi berseru kaget ketika mengenali benda itu bukan lain adalah senjata
rahasianya sendiri! Terpaksa di membuang diri ke samping. Mutiara hitam melesat
membabat rambut diatas telinganya. Datuk tinggi keluarkan keringat dingin!
Datuk Tinggi ternyata masih dapat mempergunakan
akalnya dalam keadaan kepepet Itu. Sambit mengelakan serangan senjata rahasia
yang melesat dari mulut Nyanyuk Amber, dia sengaja membuat diri ke arah Tua Gila
yang memegang mantel hitamnya. Dengan gerakan kilat dia berusaha merampas
senjata Itu. Tap! Tua Gila tidak bodoh.
Mantel ditangannya dikebutkan satu kali!
Terdengar teriakan Datuk Tinggi. Tubuhnya terpental dihantam angin laksana badai
yang keluar dari mantel sakti itu. Darah tampak mengucur dari hldungnya. Datuk
Tinggi menggerang. Dengan kalap dia bangkit dan kembali
hendak menyergap Tua Gila. Sekali ini gerakkannya tertahan oleh tendangan kaki
kiri Pendekar 212. Tubuhnya terlipat lalu tersungkur di pasir, megap-megap sulit
bernafas. "Kalian bunuh saja diriku! Bunuh saja!" teriak Datuk Tinggi. "Manusia-manusia
pengecut! Beraninya main keroyok!"
Tua Gila mendengus. Mantel ditangannya diserahkan pada Pendekar 212.
"Kalau kau ingin perkelahian satu lawan satu, tua bangka ini siap melayanimu!
Coba perlihatkan kembali ilmu silat Orang Gila ciptaanmu itu!"
Seperti diketahui, selama empat tahun Datuk Tinggi memang telah menyiapkan did
merancang sendirl Ilmu pemunah ilmu silat Tua Gila. Merasa mendapat
kesempatan maka Datuk Tinggi segera berdiri lalu
menyerbu Tua Gila. Tapi dia lupa, kekuatan tenaga dalamnya sebenarnya ada pada
mentel hitam sakti yang kini tidak dimilikinya lagi. Setelah menempur dengan
jurus-jurus hebat selama beberapa kali gebrakan akhirnya Tua Gila berhasil
menghantamkan tangan kanannya, ke dada Datuk Tinggi.
Darah muncrat dari Datuk Tinggi. Tubuhnya terjengkang di pasir. Pada seat itu
sambil tertawa mengekeh Tua Gila tunjukkan kesaktiannya. Benang Kayangan yang
ditelannya dan mendekap dalam perutnya sejak beberapa hari di-muntahkannya
kembali. Lalu dengan benang sakti itu di-ringkusnya kedua kaki Datuk Tinggi.
Sekali dia melangkah maka terseretlah tubuh Datuk Tinggi. Wiro segera mengikuti.
Saringgih cepat mendukung Nyanyuk Amber dan Malin Sati mengikuti dari belakang.
Selama tubuhnya diseret Datuk Tinggi menjerit-jerit tiada henti. Sekujur tubuh
Wiro Sableng 061 Makam Tanpa Nisan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
den mukanya luka berkelukuran.
Rombongan orang-orang itu akhimya sampai di lapangan kecil di tengah pulau di
mana dua makam terletak dalam keadaan terbuka.
Datuk Tinggi segera maklum apa yang akan terjadi atas dirinya. Maka diapun
meraung setinggi langit!
Tua Gila menyeringai. Tangannya yang memegang
benang sakti digerakkan. Benang menggeletar. Tubuh Datuk Sakti terbetot lalu
melayang masuk ke dalam makam di mana Tua Gila disekap sebelumnya!
"Jangan! Keluarkan aku! Ampun! Aku masih ingin hidup!" teriak Datuk Tinggi
berulang kali sampai suaranya parau.
Tua Gila berpaling pada muridnya. "Sati! Kau tahu apa tugasmu!"
Anak enam tahun ini segera melompat ke bagian
belakang kepala makam. Dengan kakinya dia menekan kuat-kuat batu hitam yang
merupakan alat rahasia penutup bagian atas makam. Terdengar suara berdesir. Lalu
batu penutup makam itupun jatuh dengan suara keras! Jeritan Datuk Tinggi sertat
merta lenyap. Pendekar 212 menggaruk kepalanya. Mantel hitam
yang sejak tadi pegangnya dilemparkannya ke dalam makam batu di mana sebelumnya
dia disekap. Nyanyuk Amber mengatakan sesuatu pada pembantunya. Saringgih
kemudian mengambil kantong kain berisi Mutiara Setan dari balik pinggang pakaian
orang tua itu lalu
melemparkannya ke dalam makam.
"Semuanya berakhir sudah...!" kata Tua Gila dan kembali dia memberi isyarat pada
muridnya. Malin Sati sekali lagi pergunakan kaki untuk menekan batu hitam.
Sekali ini yang terletak di belakang makam dimana Wiro sebelumnya mendekam.
Bagian atas makam menderu
turun setelah lebih dahulu terdengar suara berdesir.
Sesaat keadaan di tempat itu tenggelam dalam
kesunyian. Tiba-tiba terdengar suara Nyanyuk Amber bergumam seperti menelan
sesuatu. "Senjata setan itu masih tertinggal dimulutku!" kata Nyanyuk Amber, lalu dia
meniup keras-keras. Dua buah mutiara hitam menyambar dalam gelapnya malam.
Terdengar suara benda keras pecah berantakan. Yang hancur adalah batu hitam alat
rahasia yang dapat menutup dan mernbuka makam batu di sebelah kiri. Sekali lagi
orang tua itu menlup. Dan buah mutiara setan yang masih bersisa dalam mulutnya
meleset menghancurkan batu hitam kedua di belakang makam sebelah kanan.
"Sekarang urusan benar-benar beres!" kata Nyanyuk Amber. "Manusia iblis itu tak
mungkin keluar selamatkan diri! Mantel dan senjata setannya tak mungkin jatuh ke
tangan orang lain!"
"Masih ada yang perlu dirapihkan!" Pendekar 212 Wiro Sableng keluarkan ucapan
sambil mencabut Kapak Maut Naga Geni 212 dari pinggangnya. "Tua Gila dan Wiro
Sableng belum pernah mati!"
Lalu senjata itu berkiblat dua kali. Suara gemuruh seperti tawon mengamuk
disertal sinar panas menyilaukan berkelebat.
Traaakkk! Traaakkk! Duo batu nisan hitam masih tampak berdiri di kepala kedua makam batu. Tapi
bagian atas yang bergurat nama Tua Gila dan Wiro Sableng telah dipapas putus!
Sambil menyeringal dan garuk kepala Pendekar 212
berpaling ke arah Pandansuri yang tegak di sampingnya.
"Aku ini manusla tidak sopan. Sejak tadi belum sempat menegurmu. Apa kabar
sahabatku cantik jelilta" Apakah kau hendak mengajakku mandi bersama di laut
malam ini"!"
Paras Pandansuri menjadi cemberut. Gadis ini mengangkat tangannya hendak
menampar wajah Pendekar 212.
Tapi Wiro melihat gerakan itu perlahan saja tanda sang dara tidak sungguhan
hendak menamparnya. Wiro cepat menangkap tangan itu lalu mendekatkannya ke
hidungnya dan menciumnya dengan mesra.
TAMAT Jakarta, 5 Agustus 1990
Tapak Tapak Jejak Gajahmada 2 Joko Sableng 19 Kembang Darah Setan Hilangnya Seorang Pendekar 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama