Ceritasilat Novel Online

Pelangi Di Majapahit 3

Wiro Sableng 068 Pelangi Di Majapahit Bagian 3


kotak kayu yang dipastikannya ada dalam keranjang saat itu sama sekali tidak
ditemukan. Hal ini jelas karena sebelumnya dengan cerdik Wiro telah menukar keranjang
rumput berisi dua kotak kayu itu dengan keranjang rumput yang bentuk dan isinya
sama, tetapi tidak ada isinya selain rumput belaka.
Untuk beberapa lamanya Dewi Maha Geni tegak ternganga. Dia memandang pada
keranjang rumput di hadapannya dengan rasa tidak percaya lalu berpaling pada
Adikatwang. "Nenek sakti, permainan apa yang hendak kau sajikan di depan Rajamu"!"
menegur Adikatwang.
Paras Dewi Maha Geni menjadi merah. "Dalam keranjang ini seharusnya ada dua
kotak kayu itu..."
"Kotak kayu apa?" tanya Adikatwang.
"Kotak kayu berisi Mahkota Narasinga dan Keris Saktipalapa!" sahut Dewi Maha
Geni lalu menggigit bibirnya sendiri.
Adikatwang tampak terkejut. Tapi hanya seketika. "Saya lihat keranjang itu hanya
berisi rumput melulu! Atau mata Rajamu ini telah buta?"
"Maafkan saya Sri Baginda. Sesuatu telah terjadi. Pemuda itu telah menipu saya."
Dewi Maha Geni nampak jengkel sekali.
"Pemuda siapa maksudmu?" Adikatwang mulai kehilangan kesabarannya.
"Pemuda bernama Wiro itu!"
"Lagi-lagi dia!" sungut Adikatwang. "Semua orang-orangku seperti menjadi tolol
di hadapan pemuda itu! Jika kau ditipu dan pemuda itu berhasil membawa lari
Mahkota Narasinga dan Keris Saktipalapa, lalu apa lagi yang kau tunggu" Cari
pemuda itu! Bawa kepalanya ke hadapanku dan yang lebih penting dapatkan kedua
benda pusaka Kerajaan Singosari itu!"
mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
Dewi Maha Geni merasa sangat tersinggung dianggap orang tolol. Tanpa banyak
bicara lagi dia berpaling dan tinggalkan tempat itu. Adikatwang tidak perdulikan
lagi si nenek. Dia melangkah ke halaman belakang diikuti oleh semua yang ada di
ruangan itu. Halaman belakang Keraton Tumapel yang sebagian merupakan sebuah taman luas
dijaga oleh hampir dua ratus pengawal bersenjata lengkap. Di bagian tengah
halaman terdapat dua buah tiang kayu besar dan di atas kedua tiang ini melintang
sebuah balok. Di sebelah atas balok ada seutas tambang besar yang salah satu
ujungnya dipegang oleh tiga orang prajurit bertubuh tegap kekar. Ujung lain dari
tambang ini dihubungkan dengan sebuah ikat pinggang besi. Dan ikat pinggang besi
ini dikatupkan ke dada terus ke ketiak Raden Juwana yang saat itu sudah dilepas
totokannya tetapi berada dalam keadaan terikat kedua tangan dan kakinya. Saat
itu dia hanya mengenakan sehelai celana dalam saja. Di punggung, dada, dan
wajahnya kelihatan bekas-bekas penganiayaan.
Di bawah tubuh Raden Juwana yang tergantung itu sejarak dua tombak dari ujung
kedua kakinya ada sebuah kuali raksasa berisi minyak mendidih sementara di bawah
kuali api besar terus dipasang menyala. Sudah dapat dibayangkan malapetaka apa
yang bakal menimpa pemuda ini. Semua ini dilakukan atas perintah Adikatwang.
Semua orang menduga-duga apa tujuan Adikatwang melakukan hal itu.
Melihat segala persiapan telah dilakukan orang, Adikatwang nampak puas. Dia
melangkah dan berhenti sekitar sepuluh langkah dari hadapan kuali besar di atas
mana Raden Juwana tergantung.
"Juwana!" tiba-tiba Adikatwang berkata dengan suara lantang. "Kau tahu bahaya
apa yang bakal kau hadapi saat ini?"
Mulut Raden Juwana nampak bergetar. Terdengar suaranya menjawab. "Manusia iblis!
Siapa bilang aku takut mati!"
Adikatwang tertawa bergelak. "Memang tidak ada yang bilang kalau kau takut mati.
Tapi coba kau perhatikan minyak yang mendidih di bawahmu. Sekali tubuhmu masuk
ke dalam kuali kau akan menjadi matang garing! Ha...ha...ha!"
"Kau boleh melakukannya sekarang juga pengkhianat busuk!" teriak Raden Juwana
tanpa rasa takut. Kedua matanya seperti dikobari api.
"Kau memang manusia hebat!" kata Adikatwang. Dia menjentikkan jari-jari
tangannya. Tiga orang lelaki di belakang tiang penggantungan mengulur tambang
yang mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
mereka pegang. Tubuh Raden Juwana turun ke bawah sampai dua jengkal. Hawa panas
minyak mendidih yang ada di bawah kakinya mulai terasa.
"Juwana, aku akan mengajukan dua pertanyaan! Kalau kau mau menjawab dan beri
keterangan, nyawamu kuampuni!" kata Adikatwang. Raden Juwana diam saja.
Kedua matanya dipejamkan.
"Pertanyaan pertama! Siapa yang membawa Mahkota Narasinga dan Keris Sakti
Palapa. Dimana kedua barang pusaka Kerajaan itu disembunyikan! Kau mau
memberikan keterangan"!"
Sepasang mata Raden Juwana terbuka. Mulutnya juga terbuka. Lalu dari mulut itu
melesat ludah campur darah. "Kau tanyalah pada setan-setan di neraka!"
Walaupun tampang Adikatwang menjadi mengelam merah namun sambil menyeringai dia
berkata. "Pertanyaan kedua, dimana beradanya empat puteri Sang Prabu.
Kau pasti tahu! Nah, saatnya kau menjawab atau tubuhmu akan garing dalam kuali
itu!" "Manusia terkutuk! Kau tak bakal mendapat jawaban apa-apa dariku!" teriak Raden
Juwana. Adikatwang menjentikkan jari-jari tangan kanannya. Tiga prajurit di belakang
tiang gantungan kembali mengulur tali yang mereka pegang. Hawa panas semakin
keras terasa pada kedua kaki dan tubuh bagian bawah Raden Juwana. Tapi pemuda
ini tetap tabah bahkan nekad.
"Kau mau menjawab atau memilih mampus?" bentak Adikatwang.
"Aku memilih mampus!" jawab Raden Juwana tanpa tedeng aling-aling.
"Bangsat tolol!" maki Adikatwang. Dia mengangkat tangan kirinya. Dua orang
pengawal muncul membawa seekor kambing. Binatang ini dilemparkan ke dalam kuali
berminyak mendidih. Terdengar suara mendesis panjang mengerikan. Kambing itu
terdengar mengembik pendek lalu tubuhnya telah berubah menjadi garing,
mengambang di atas permukaan minyak. Semua orang yang ada di tempat itu bergidik
menyaksikan kejadian itu. Di tali penggantungan Raden Juwana tetap tenang walau
sekujur tubuhnya kini kelihatan keringatan oleh hawa panas minyak mendidih.
"Bagaimana" Kau masih tetap menutup mulut dan memilih mati?" tanya Adikatwang
sementara dua pengawal tadi mengeluarkan kambing yang sudah matang garing itu
dari dalam kuali.
mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
Raden Juwana tak menjawab. Diam-diam dia kerahkan tenaga dan mengukur jarak
antara dia dengan Adikatwang. Tiba-tiba tubuh itu berayun keras. Kaki kanan
Raden Juwana menyambar ke arah kepala Adikatwang. Kalu tendangan itu sempat
menyambar tidak dapat tidak akan pecahlah kepala Adikatwang. Namun dengan
menunduk sambil mundur satu langkah Adikatwang berhassil mengelakkan serangan
maut mendadak itu. Kedua matanya mendelik saking marah. Dia berteriak keras.
"Cemplungkan keparat itu ke dalam kuali!"
Mendengar perintah itu, ketiga orang di belakang tiang penggantungan langsung
lepaskan pegangan mereka pada tambang besar. Tubuh Raden Juwana melayang jatuh
ke bawah. Beberapa orang yang tidak tahan menyaksikan apa yang bakal terjadi,
termasuk para Pendeta Kerajaan, pejamkan mata masing-masing. Sebentar lagi pasti
terdengar suara mendesir keras begitu tubuh Raden Juwana menyentuh minyak
mendidih di dalam kuali besar!
Namun suara mendesir itu tidak terdengar. Justru saat itu meledak satu bentakan
dahsyat yang menggetarkan halaman luas, disusul oleh suara berdesing.
"Orang-orang Kediri! Pemberontak busuk! Kekejian dan dosa kalian sedalam laut
setinggi langit! Kalian rasakan pembalasanku!"
Di udara kelihatan dua buah benda putih melesat ke arah Adikatwang. Lalu laksana
petir menyambar, di tempat itu satu sinar putih seperti perak berkilat. Panas
yang seperti membakar tubuh menghampar! Suara pekikan terdengar dimana-mana.
Asap putih kemudian bergulung-gulung di seluruh halaman. Ketika asap itu pupus,
kelihatanlah satu pemandangan yang mengerikan.
Sekitar dua puluh orang prajurit Kediri berkaparan tewas di halaman belakang
Keraton Tumapel itu. Tubuh mereka kelihatan hitam seperti gosong. Kuali besar
berisi minyak mendidih hancur berantakan dan minyaknya menyiprat kian kemari
menimbulkan luka parah pada hampir selusin prajurit dan seorang Perwira.
Rerumputan dan tanaman yang ada di taman tampak hangus kehitaman. Bau daging
manusia yang seolah-olah dipanggang memenuhi udara di tempat itu, menegakkan
bulu kuduk semua orang!
mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
Adikatwang sendiri tampak tegak terhuyung-huyung sambil memgangi sebuah benda
yang menancap di bahunya. Jari-jari tangannya berlumuran darah. Benda itu adalah
sebuah tusuk kundai terbuat dari perak. Apa yang telah terjadi"
Ketika tadi terdengar suara orang membentak di udara tampak berdesing dua buah
benda putih. Dua buah benda yang merupakan senjata terbang ini melesat ke arah
batang leher Adikatwang. Dalam kejutnya Adikatwang memberikan reaksi cepat.
Sambil miringkan tubuh dia menghantam ke depan. Salah satu dari benda putih itu
berhasil dipukulnya sampai mental tapi tangannya sendiri luka dan berlumuran
darah. Benda kedua walau sudah dielakkan ternyata masih sempat menancap di bahu
kirinya! Dan benda ini ternyata adalah sebuah tusuk kundai perak ini! Dalam
dunia persilatan yang memiliki tusuk kundai perak dan menjadikannya satu senjata
maut hanyalah seorang nenek sakti dari Gunung Gede, guru dari Pendekar Kapak
Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng yaitu Sinto Weni alias Sinto Gendeng, manusia
aneh yang dianggap Datuk dari segala Datuk tokoh-tokoh persilatan.
Adikatwang telah menyaksikan ketika tiga buah tusuk kundai yang sama menancap di
tubuh Panglima Argajaya yang membuatnya mati seketika. Tanpa tunggu lebih lama
Adikatwang cepat cabut tusuk kundai perak yang menacap di bahunya, lalu menotok
jalan darahnya di bagian kiri tubuh. Saat itu dia merasakan bagaimana rasa panas
yang mengerikan merayapi hampir setiap bagian tubuhnya. Dari dalam saku
pakaiannya cepat dia mengeluarkan sebutir obat pemusnah racun lalu ditelannya
cepat-cepat. Sambil menelan obat dia memandang ke depan. Adikatwang masih sempat
melihat sosok tubuh Sinto Gendeng menyambar tubuh Raden Juwana yang melayang
jatuh ke bawah. Tali pengikat pinggangnya putus. Di lain kejap si nenek telah
lenyap dari pemandangan bersama Raden Juwana di atas dipanggulnya.
"Dia lagi..." desis Adikatwang. Lalu Raja pemberontak ini terkulai tak sadarkan
diri. Dua orang prajurit dan seorang Pendeta cepat menolongnya.
*** Raden Juwana merasakan nafasnya seperti terbang dibawa lari oleh nenek tak
dikenalnya itu. Saat itu mereka telah berada jauh di luar Kotaraja.
mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
"Nek, kau mau bawa aku ke mana" Kau menolong jiwaku dari minyak mendidih itu.
Katakan apa kau seorang sahabat atau seorang penculik"!"
"Tutup mulutmu anak sambel!" membentak Sinto Gendeng. "Kalau aku tidak berpihak
padamu perlu apa aku menghabiskan waktu dan tenaga mengurusi manusia macammu!"
Di satu tempat si nenek turunkan tubuh Raden Juwana yang hanya mengenakan
sehelai kolor. Begitu menginjak tanah Raden Juwana langsung bersujud menghatur
sembah. "Nek, aku berhutang nyawa padamu. Mohon kau sudi memberi tahu nama..."
Mendengar kata-kata Raden Juwana itu, Eyang Sinto Gendeng cemberut. "Kau
pergilah mencari pakaian yang pantas. Kalau sudah lekas menuju ke arah Timur
Laut dan bergabung dengan pasukanmu kembali. Aku menaruh firasat empat puteri
Sang Prabu berada dalam bahaya besar."
"Terima kasih Nek, aku sangat berterima kasih. Sekali lagi mohon kau sudi
memberi tahu nama..."
"Sudah, berdirilah anak muda. Aku tidak pantas mendapat kehormatan seperti cara
yang kau lakukan."
Sekali lagi Raden Juwana menghatur sembah memberi penghormatan seraya membungkuk
dalam-dalam. Ketika dia bangkit kembali si nenek tak ada lagi di tempat itu!
Lalu dia sadar keadaan dirinya yang hanya mengenakan sehelai celana kolor begitu
rupa! Cepat-cepat Raden Juwana menyelinap di antara semak belukar. Dia harus
segera menyusul rombongan puteri-puteri Kerajaan yang sebelumnya telah
ditinggalkannya.
Hatinya mendadak saja merasa tidak enak. Jangan-jangan sesuatu telah terjadi
dengan rombongan itu. Raden Juwana memutuskan untuk mengambil jalan memintas
agar dapa menyusul sebelum rombongan mencapai desa Tembang Sari dekat Kudadu.
Namun dia harus mencari rumah penduduk lebih dahulu agar dapat meminta sehelai
pakaian. *** Adikatwang dinaikkan ke atas sebuah tandu. Namun sebelum keburu diangkut dia
sudah keburu siuman. Dia minta diturunkan dari atas tandu dan melangkah sendiri
mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
dengan sempoyongan menuju tangga belakang Keraton. Seperti merasakan sesuatu dia
hentikan langkah lalu memutar diri. Lama Adikatwang tegak tertegun. Sewaktu dia
mendongak ke atas, saat itulah dia baru menyadari bahwa langit di sore itu telah
dibungkus oleh awan mendung yang sangat tebal. Belum sempat Adikatwang kembali
meneruskan langkahnya memasuki Keraton tiba-tiba turunlah hujan sangat besar.
Tapi hanya sebentar. Begitu hujan berhenti langit tampak kembali cerah.
Adikatwang terheran-heran menyaksikan perubahan cuaca yang serba cepat ini.
Ketika dia berpaling ke arah Utara kedua matanya membesar dan hatinya tercekat.
Di langit di kejauhan sana dia melihat pelangi terpampang membelintang dari
Barat ke Timur.
"Apa artinya ini...?" desis Adikatwang. Karena luka di bahunya mendenyut, dia
kembali memutar tubuh. Dua orang pembantu menolong memapahnya menaiki tangga
Keraton. *** BAB XI Di kawasan di mana pasukan pemberontak pimpinan Gandita berada sore itu sama
sekali tidak turun hujan. Cuaca terang benderang. Namun semua orang melihat
keanehan yang tampak di langit sebelah Utara. Sebuah pelangi membentang di
langit. "Aneh," kata seorang Prajurit Kepala. "Tak ava hujan mengapa ada pelangi"
Mungkin ini suatu pertanda buruk?" dia berpaling pada kawannya. "Haruskah hal
ini kita beri tahu pada pimpinan pasukan?"
Kawannya menjawab dengan gelengan kepala. "Kurasa tidak usah saja. Pemuda itu
sedang dilanda nafsu. Dia sibuk memerintah agar kemahnya selesai sebelum malam
tiba. Aku tidak menyangka perang akan sekejam ini. Dia sama sekali tidak menaruh
rasa hormat kepada puteri Sri Baginda. Malah hendak...."
Prajurit Kepala memberi tanda agar kawannya tidak meneruskan ucapannya.
Keduanya meningglkan tempat itu, bergabung dengan kawan-kawannya yang lain yang
juga sudah melihat adanya pelangi di langit Utara.
mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
Ketika langit di Barat mulai tampak merah tanda sang surya akan segera
tenggelam, Pendekar 212 Wiro Sableng yang memanggul keranjang rumput berisi dua
buah benda pusaka Keraton Singosari yang sangat berharga sampai di puncak bukit.
Menurut penjelasan yang pernah diterimanya rombongan puteri-puteri Kerajaan akan
melewati jalan kecil di bawah sana. Wiro memandang ke bawah. Dia melihat
serombongan pasukan di kaki bukit. Ada empat buah kereta dekat tikungan jalan.
Lalu tersiraplah darah murid Sinto Gendeng ini. Dia melihat puluhan manusia
berkaparan di bawah sana. Diperhatikannya lagi dengan seksama. Pasukan yang
berada di tempat itu berseragam balatentara Kediri dan Madura, bukan seragam
Singosari. Wiro menggaruk kepalanya. "Jangan-jangan..." Dia tidak berani meneruskan kata
hatinya. Wiro memandang berkeliling. Tak jauh di sebelah kanannya dilihatnya
serumpunan semak belukar lebat. Wiro keluarkan dua buah kotak kayu dari dalam


Wiro Sableng 068 Pelangi Di Majapahit di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keranjang rumput. Dia menggali sebuah lobang dangkal di kaki semak belukar lalu
memasukkan kedua kotak berisi benda pusaka Keraton Singosari itu ke dalam lobang
dan menimbunnya kembali. Tepat pada saat matahari tenggelam dan keadaan mulai
gelap Pendekar 212 sampai di kaki bukit. Kini dia bisa melihat lebih jelas,
siapa adanya kelompok besar pasukan yang berkemah di tempat itu dan pihak mana
pula yang telah menjadi korban tewas berkaparan di mana-mana.
Dari balik semak-semak Wiro perhatikan empat buah kereta di depannya. Jelas itu
adalah kereta milik Keraton Singosari. Keempat kereta itu dalam keadaan kosong.
Dimana keempat puteri Sri Baginda" Wiro menyelinap mendekati. Tubuhnya bergetar
ketika tiba-tiba matanya melihat sosok orang tua katai terkulai tak bernyawa
pada salah satu roda kereta. Sekujur tubuh dan mukanya penuh luka mengerikan.
Wiro melompat ke hadapan mayat yang dikenalinya itu. "Damar..." dia menyebut
orang tua katai itu dengan suara tegang.
"Hai! Siapa kau"!" satu suara tiba-tiba membentak di belakang Pendekar 212
Wiro Sableng. Bersamaan dengan itu terdengar suara gesekan senjata dicabut. Lalu
sebilah golok menempel di lehernya!
Perlahan-lahan Wiro palingkan kepala. Di hadapannya berdiri seorang prajurit
Madura bertubuh tinggi besar dan berkumis melintang.
mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
"Kau pasti orang Singosari!" prajurit Madura itu kembali membentak. Tangannya
bergerak siap untuk menusukkan golok.
Murid Sinto Gendeng menyeringai. "Tahan, sabar dulu! Masakan kau lupa siapa
aku"!"
"Sialan! Lekas katakan siapa dirimu sebelum golok ini menembus lehermu!"
"Ah, kau benar-benar sudah lupa siapa diriku. Bukankah aku malaikat maut yang
datang hendak mengambil nyawamu"!"
"Setan alas..."
Makian prajurit Madura itu hanya sampai di situ. Wiro membuat gerakan cepat.
Kaki kanannya menedang tulang kering orang lalu bersamaan dengan itu dia menarik
tangan kanan lawan. Dalam keadaan kesakitan prajurit itu terbetot ke depan.
Bersamaan dengan itu tangan kanan Wiro kembali berkelebat.Bukk! prajurit itu
langsung terjengkang dengan muka remuk akibat jotosan mengandung tenaga dalam
yang dihantamkan Wiro ke hidungnya. Dengan cepat Wiro menyelinap meninggalkan
tempat itu. Dia harus segera mengetahui dimana adanya keempat puteri Sang Prabu.
Yang paling dicemaskannya adalah kesalamatan puteri bungsu yaitu Gayatri. Di samping itu dia juga menduga-duga dimana Raden Juwana yang seharusnya berada
bersama rombongan puteri-puteri Kerajaan.
Menyadari kalau dia tidak bisa bergerak leluasa dalam pakaian seperti itu, Wiro
mendekati seorang prajurit yang tengah berjaga-jaga sambil menghisap sebatang
rokok kawung. Wiro sengaja berdiri di balik sebatang pohon, hanya memperlihatkan
sebagian tubuhnya lalu "Ssstt...!" Dia mengeluarkan suara mendesis dari
mulutnya. Prajurit yang sedang merokok berpaling. Dia melihat ada seorang pemuda gondrong
tak dikenal tersenyum padanya serta melambaikan tangan memanggilnya dari balik
pohon. Orang ini buang rokok kawungnya ke tanah, meraba golok di pinggangnya
lalu melangkah cepat ke arah pohon.
"Siapa kau"!" si prajurit membentak. Dari balik pohon sepasang tangan yang kokoh
tiba-tiba berkelebat mencekik lehernya. Dia berusaha mencabut senjatanya. Tapi
tubuhnya keburu terangkat ke atas dan lehernya berderak patah. Wiro seret
prajurit ini ke balik pohon, menanggalkan pakaiannya lalu memakainya tanpa
membuka pakaiannya mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
sendiri. Dengan mengenakan pakaian seragam prajurit Madura itu Pendekar 212 Wiro
Sableng bisa menyelinap ke setiap pelosok perkemahan tanpa dicurigai.
Dalam kegelapan, jauh di sebelah kiri Wiro melihat sebuah kemah. Dia segera
bergerak ke arah kemah ini. Sejarak tiga tombak dari kemah tiba-tiba ada dua
orang pengawal mendatangi.
"Kawan, kau hendak kemana?"
"Ah, kalian,,," kata Wiro seraya senyum. "Ada sesuatu hal penting hendak
kusampaikan pada orang di dalam kemah."
"Kau tahu Gandita pemimpin kita tengah beristirahat. Apa kau berani mati hendak
mengganggunya?"
"Ini menyangkut puteri-puteri sang Prabu," kata Wiro pula mengada-ada. Justru
ucapannya itu memancing jawaban yang mengejutkan.
"Semua puteri itu sudah ada yang mengurus. Salah satu diantaranya malah sudah
ada di dalam kemah sana bersama Gandita." pengawal yang bicara keluarkan suara
tertawa pendek.
Wiro ikut-ikutan tertawa. Tapi dalam hati dia menyumpah. "Wah, pasti Gandita
memilih puteri yang paling cantik. Siapa kira-kira yang beruntung dipaksa
melayaninya?"
"Yang paling muda dan yang paling cantik tentunya!" jawab pengawal satu lagi.
Gayatri! Wiro berteriak dalam hati. Saat itu ingin dia segera melompat ke arah
kemah. Tapi dia masih bisa menguasai diri. Pura-pura bersungut dia berkata,
"Enak juga jadi pemimpin. Bisa bersenang-senang. Sedang kita berjaga-jaga di
luar. Kedinginan dan disantap nyamuk hutan!" Lalu Wiro memutar tubuhnya seperti
hendak pergi. Tapi tiba-tiba sekali kedua tangannya bergerak. Empat ujung jari
bekerja. Kedua pengawal itu langsung roboh dalam keadaan kaku tertotok! Pendekar
212 Wiro Sableng cepat bergerak menuju kemah. Dia berhenti sesaat ketika dari
dalam kemah didengarnya suara perempuan membentak.
"Manusia iblis! Kau akan mendapat hukuman setimpal atas perbuatan kejimu ini!"
mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
Wiro kenal betul. Itu adalah suara Gayatri. Pendekar ini menggeram dan cabut
Kapak Maut Naga Geni 212 dari pinggangnya. Senjata mustika sakti itu tampak
berkilau meskipun dalam kegelapan malam.
"Gayatri..." terdengar suara lelaki.
Bangsat! Itu suara Gandita si keparat!
Wiro memaki dalam hati.
Apa yang hen dak dilakukannya "! Kalau dia sampai berani berbuat kurang ajar aku
bersumpah memenggal kepalanya!
"Gayatri, kau tahu aku sejak lama menyukaimu. Kau seharusnya merasa beruntung
dan berterima kasih karena aku masih mau menyelamatkanmu. Menurut perintah kau
dan semua saudaramu harus dibunuh habis."
"Aku lebih suka kau bunuh daripada kau jadikan mangsa nafsu bejatmu!"
Gandita terdengar ketawa, "Dengar, jika kau mau berjanji kujadikan istri,
keselamatanmu akan kujamin. Tapi jika kau menolak kau tahu sendiri akibatnya."
"Cis! Siapa sudi menjadi istrimu! Pemberontak busuk! Kau berkacalah lebih
dahulu!" Panas hati Gandita mendengar kata-kata itu bukan kepalang. Mukanya
merah membesi. Dia bergerak mendekati tubuh Gayatri yang terbaring di atas
sehelai tikar. Tangannya bergerak. Terdengar suara pakaian robek disusul oleh suara jeritan
Gayatri. Wiro merasakan tubuhnya bergetar. Gagang Kapak Maut Naga Geni 212
dipegangnya erat-erat. Ketika dia siap menerobos kemah tiba-tiba dia mendengar
suara aneh. Ada suara perempuan menangis keras. Dan itu bukanlah suara tangisan
Raden Ayu Gayatri!
*** BAB XII Di dalam kemah Gandita terkesiap kaget. Dia memandang ke arah kemah sebelah
kanan dari arah mana, di luar sana terdengar suara orang menangis.
Cepat-cepat Gandita mengenakan pakaiannya kembali. Lalu dia membentak.
"Siapa di luar sana?"
mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
Suara tangis di luar kemah semakin keras. Tampang Gandita berubah. Dia coba
berpikir dengan cepat. Mungkinkah dia" Tapi apa perlunya dia berada disini" Aku
harus menemui dan mengusirnya. Bangsat tua itu mengganggu saja!
Gandita membuka tali pengikat belahan kemah lalu melangkah keluar. Apa yang
diduganya memang benar. Di dekat kemah, duduk menjelepok tanah tampak duduk
seorang kakek berkulit hitam sekali. Dia duduk sambil menangis keras. Belasan
pengawal berdatangan tapi segera disuruh pergi oleh Gandita.
"Dewa Sediha! Apa yang kau lakukan disini"!" bertanya Gandita dengan suara
keras. Orang tua sakti yang merupakan kakak dari Dewa Ketawa sesaat memandang pada
Gandita lalu mengusap kedua matanya. Perlahan-lahan dia berdiri dan memandang
sayu ke arah Gandita.
"Aku bersedia membantu kalian orang-orang Kediri dan orang-orang Madura merebut
tahta Kerajaan. Membunuh soal biasa bagiku. Tapi merusak kehormatan seorang
gadis, melakukan perkosaan sangat bertentangan dengan jiwaku! Aku bersumpah
untuk tidak membantu lagi manusia-manusia macammu! Kau akan
mempertanggungjawabkan perbuatan kotormu di hadapan para Dewa!" habis berkata
begitu Dewa Sedih kembali menggerung dan melangkah pergi.
"Dewa Sedih! Tunggu dulu! Jangan salah sangka....!" berseru Gandita. Tapi si
kakek sudah tidak kelihatan lagi di tempat itu. Sesaat Gandita tegak tertegun.
Tapi bila dia kemudian ingat pada tubuh Gayatri yang setengah telanjang di dalam
kemah maka dia tidak perdulikan lagi kakek sakti itu. Gandita menyibakkan kain
penutup kemah dan masuk ke dalam. Dua langkah masuk ke dalam kemah pemuda ini
terbelalak besar dan tegak laksana dipaku ke tanah!
Di hadapannya berdiri Pendekar 212 bertelanjang dada. Di tangan kanannya ada
sebuah senjata yang terasa aneh di mata Gandita yakni sebuah kapak bermata dua
yang memancarkan sinar angker menyilaukan. Pandangan mata pemuda itu
membersitkan maut. Di belakangnya berdiri Raden Ayu Gayatri, mengenakan sehelai
baju putih. Pasti itu adalah pakaian Wiro yang dikenakannya untuk menutupi
bajunya yang robek-robek.
Di lantai kemah ada sehelai baju seragam prajurit Kediri. Wiro sendiri
dilihatnya mengenakan celana pasukan Kediri.
mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
"Gandita! Dulu kau masih layak dihargai sebagai seorang musuh yang pantas untuk
dilawan. Tapi saat ini kau tak lebih dari seekor anjing buduk pembawa penyakit
kotor yang harus dibikin mampus!"
Pelipis dan rahang Gandita menggembung. Dia menyeringai. "Keberanianmu masuk ke
sarang harimau patut dipuji. Apakah kau sanggup menembus kepungan tiga ratus
prajurit" Kau datang menghantar nyawa pemuda tolol!"
Wiro menyeringai. "Umurmu tidak lama lagi! Keluarkan semua makian dalam
perutmu!" Sebelumnya Gandita sudah dua kali berhadapan dengan Pendekar 212 Wiro Sableng.
Kali terakhir di Lembah Bulan Sabit, dia dibuat muntah darah, menahan sakit dan
malu serta dendam bukan kepalang. Saat itu rasa dendam seperti membakar dirinya.
Tapi dia menyadari bahwa Wiro bukan lawannya. Maka dia cepat mengeluarkan suitan
keras dua kali berturut-turut. Saat itu juga di luar sana terdengar langkah
bervatangan banyak sekali. Gandita menarik sehelai tali sebagian kemah tersibak
lebar sehingga kini Wiro dapat melihat bagaimana sekitar seratus prajurit telah
mengurung tempat itu.
Paras Gayatri tampak ketakutan. Sebaliknya murid Eyang Sinto Gendeng tenag-tenag
saja. Kalaupun dia mati di tempat itu dia akan merasa bahagia bisa mati bersamasama Gayatri. "Kurang banyak Gandita! Panggil lagi yang lainnya! Aku tahu ada tiga ratus
prajurit di tempat ini. Yang muncul baru seratusan!"
"Manusia sombong takabur!" rutuk Gandita. Dia memberi isyarat pada pasukannya.
Belasan prajurit melompat ke arah Wiro dan Gayatri.
"Wiro..." terdengar suara Gayatri ketakutan.
"Kalian mau mampus" Majulah lebih dekat!" kata Wiro pula. Tangan kirinya
diangkat ke atas. Semua orang melihat tangan itu mulai dari siku sampai ke ujung
jari berubah menjadi putih seperti perak. Sementara itu dua mata kapak yang di
tangan kanan mengeluarkan cahaya lebih menyilaukan.
"Kalian mengapa diam saja"! Bunuh kedua orang itu!" teriak Gandita.
Puluhan prajurit kembali bergerak. Kali ini Wiro tidak ragu-ragu lagi. Tangan
kirinya dihantamkan. Terdengar suara menggelegar. Satu cahaya laksana kilat
menyambar berkiblat di tempat itu. Hanya luar biasa panas laksana matahari
berada di mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
atas kepala! Belasan prajurit Kediri dan Madura berpekikan lalu berkaparan di
tanah. Semuanya tewas mengerikan dengan tubuh menghitam hangus. Belasan lainnya
bergelimpangan terkena sambaran hawa panas, menderita luka bakar tapi masih
untung tidak sampai meregang nyawa. Yang lain-lainnya serta merta melompat
mundur dengan muka pucat. Gandita jelas tampak kecut. Nyalinya sudah leleh.
Wiro sendiri saat itu merasakan dadanya berdenyut sakit. Seingatnya baru sekali
itu dia melepaskan pukulan sinar matahari dengan tenaga dalam penuh.
"Serang! Bunuh mereka!" teriak Gandita.
Tapi ratusan prajurit yang ada di tempat itu sudah putus nyali masing-masing.
Bukannya menyerang mereka malah mundur menjauh. Gandita menjadi salah kaprah.
Hendak melawan pasti dia tidak mampu. Untuk kabur melarikan diri dia masih punya
rasa malu. Ketika Wiro melangkah mendekatinya pemuda ini menjadi nekad. Dia
menyambar sebilah pedang yang dipegang oleh seorang prajurit. Dengan senjata ini
di tangan dia menyongsong gerakan Wiro. Pedang dibacokkan. Kapak Maut Naga Geni
212 berkelebat. Seperti memotong sebatang ranting, pedang di tangan Gandita dibabat
putus. Gandita sendiri merasakan tangannya bergetar keras dan panas. Patahan pedang
yang masih ada dalam genggamannya dilemparkannya ke arah Wiro lalu disusul
pukulan tangan kosong yang ganas.
Wiro cepat menghindar ketika ada dua gelombang angin menderu ke arahnya.
Kesempatan ini dipergunakan Gandita untuk mengambil sebilah keris yang
tergantung di tiang kemah. Tapi dia tak pernah sempat menyentuh senjata mustika
pemberian gurunya itu. Dari samping Kapak Maut Naga Geni 212 berkelebat ganas
mengeluarkan deru angker disertai sambaran sinar panas menyilaukan.
Puluhan mulut berseru tercekam. Puluhan pasang mata terbeliak ketika menyaksikan
bagaimana kepala Gandita menggelinding di lantai kemah. Tempat itu kini
diselimuti kesunyian seperti di pekuburan. Ketegangan menggantung. Tak ada yang
bergerak, tak ada yang bicara. Gayatri sendiri sampai beberapa lamanya menutup
matanya dengan kedua telapak tangan.
"Kalian lihat sendiri apa yang bisa aku lakukan! Kalian bisa bernasib seperti
manusia keji itu jika kalian memang menginginkan! Majulah siapa yang mau!"
mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
semua mata memandang ke arah Wiro. Tak ada yang bergerak, apa lagi maju
menyambut tantangan yang diucapkan Pendekar 212. Merasa dia telah dapat
mempengaruhi orang-orang itu Wiro lantas berkata, "Aku tahu kalian adalah
prajurit-prajurit gagah berhati polos. Aku tahu tiga orang puteri Raja Singosari
yang terbunuh ada di tempat ini. Aku meminta bantuan kalian. Lepaskan ketiga
puteri itu dan masukkan ke dalam kereta di sebelah sana!"
Para prajurit itu tampak saling berpandangan sesaat. Lalu sekelompok demi
sekelompok mereka bergerak ke satu tempat. Tak lama kemudian kelihatan mereka
mengiringi tiga kakak perempuan Gayatri dalam keadaan selamat tidak kurang suatu
apa. Gayatri lari menyongsong. Keempat puteri itu mendiang Sang Prabu itu saling
berangkulan dan bertangisan.
Khawatir pasukan musuh itu akan berubah pikiran Wiro berbisik pada Gayatri agar
membawa kakak-kakaknya naik ke sebuah kereta lalu dia sendiri melompat ke bagian
depan kereta, bertindak sebagai sais. Wiro memandang pada prajurit-prajurit itu.
"Kalian bebas pergi ke Tumapel. Kalian telah menang karena berhasil meruntuhkan
tahta Singosari. Tapi ingat, pengkhianatan dan pemberontakan yang kalian lakukan
itu kelak akan mendapat balasan yang sama pahitnya malah mungkin lebih pahit di


Wiro Sableng 068 Pelangi Di Majapahit di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemudian hari..."
Tidak seorangpun dari puluhan prajurit Kediri dan Madura itu yang bergerak dari
tempatnya. Banyak yang menundukkan kepala.
"Mengapa kalian tidak pergi?" tanya Wiro. Dia mulai was-was dan tangan kanannya
didekatkan ke pinggang dimana terselip Kapak Maut Naga Geni 212.
Seorang prajurit yang sudah agak lanjut usia tiba-tiba melangkah maju. Dia
menjura lalu berkata. "Raden..."
Wiro hampir tertawa bergelak mendengar dirinya dipanggil dengan sebutan Raden!
"Ada apa...?"
"Kami semua di sini memutuskan untuk ikut bersama Raden saja. Mengabdikan diri
pada empat puteri mendiang Sang Prabu."
"Apa"! Apa aku tidak salah dengar?" tanya Wiro.
"Tidak, Raden tidak salah dengar..."
"Kalian coba hendak menipu lalu nanti di tengah jalan membokong"!"
mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
"Saya tidak menipu. Saya mewakili kawan-kawan berkata jujur..."
Murid Eyang Sinto Gendeng garuk-garuk kepalanya. Dia berpaling ke belakang dan
membuka jendela kereta. "Semua Raden Ayu yang ada di dalam tentu sudah mendengar
kata-kata prajurit itu. Harap para Raden Ayu memberikan jawaban."
Sesaat kemudian muncul kepala Raden Ayu Gayatri di jendela kereta. "Saya percaya
mereka semua prajurit-prajurit gagah yang jujur dan tahu artinya kebenaran.
Saya dan kakak-kakak saya menyetujui mereka ikut bersama kita."
Mendengar ucapan Raden Ayu Gayatri itu, ratusan prajurit Kediri dan Madura
mengangkat tangan dan bertempik sorak.
Seorang penunggang kuda muncul dalam kegelapan. Dia langsung menuju kereta di
atas mana Wiro dan empat puteri Singosari berada. "Apa yang terjadi di sini"!"
tanya penunggang kuda itu.
Semua orang berpaling. "Astaga!" seru Wiro. "Raden Juwana, kau rupanya. Kami
semua sudah kebingungan memikirkan apa yang terjadi dengan dirimu! Hai, kau
memakai pakaian kecil kesempitan. Dari mana kau mencurinya" Kau yang harus
mengatakan apa yang terjadi dengan dirimu!"
Si penunggang kuda yang memang adalah Raden Juwana adanya memandang berkeliling.
Dia jelas melihat bahwa pasukan yang ada di tempat itu adalah prajurit-prajurit
Kediri dan Madura. Parasnya berubah.
Wiro cepat berkata. "Raden tidak usah khawatir. Mereka adalah prajurit-prajurit
kita!" "Dan Raden mulai saat ini adalah pimpinan kami!" prajurit tua yang tadi bicara
keluarkan seruan. Yang lain-lainnya mengangkat tangan. Kembali di malam hari itu
terdengar pekik sorak gegap gempita.
"Dewa Maha Besar..." kata Raden Juwana. Kedua matanya berkaca-kaca karena
gembira. Terlebih ketika dilihatnya empat puteri mendiang Sang Prabu semua
berada vi atas kereta dalam keadaan selamat.
Wiro ingat pada dua buah kotak kayu yang disembunyikannya vi puncak bukit.
Dia melompat turun dari atas kereta. "Raden, kau lebih ahli menjadi kusir para
puteri ini. Aku pinjam kudamu sebentar..."
"Eh, kau hendak kemana sahabat?"
mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
Wiro membisikkan sesuatu ke telinga Raden Juwana. Wajah pemuda itu nampak
berseri-seri. "Kau luar biasa. Benar-benar luar biasa. Pergilah, tetap hatihati. Susul kami secepatnya..."
Wiro mengacungkan ibu jari tangan kanannya lalu melompat ke atas kuda yang
diberikan Raden Juwana padanya.
*** BAB XIII Runtuhnya Kerajaan Singosari memang tidak dapat dihindari lagi. Sang Prabu tewas
di Ruangan Pemanjatan Doa. Keraton Singosari musnah. Putera-putera terbaik
Kerajaan seperti Patih Raganatha, Pendeta Mayana, Damar, dan si pengkhianat
Argajaya ikut menjadi korban. Belum terhitung para Perwira dan ratusan prajurit.
Semua menemui ajal karena ketamakan akan kekuasaan yang berpangkal pada dendam
kesumat. Adikatwang kembali ke Gelang-Gelang membawa kemenangang. Puluhan harta pusaka
dan kekayaan Singosari dibawanya ke Kediri. Dalam perjalanan dari daerah
pertempuran menuju Kediri dia sempat menderita demam panas akibat tusuk kundai
perak beracun milik Sinto Gendeng. Untung nyawanya masih bisa diselamatkan
karena dia cepat menelan obat penangkal racun. Di samping itu seorang tabib dari
Banten telah pula memberikan obat mujarab padanya hingga nyawanya tertolong.
Kini Singosari yang porak poranda itu berada di bawah kekuasaan Adikatwang yang
mengangkat dirinya menjadi Raja di Raja Kediri-Singosari. Walau tanpa tanda syah
yaitu adanya Mahkota Narasinga dan Keris Saktipalapa. Gelang-gelang dijadikan
pusat Kerajaan, Kotaraja baru. Dalam kemelut berdarah itu Raden Juwana bersama
empat puteri Sang Prabu dan Pendekar 212 Wiro Sableng berhasil menyelinap
meninggalkan Singosari menuju ke Utara. Mereka bergerak mengikuti peta yang
diberikan oleh mendiang Pendeta Mayana. Dalam perjalanan menuju desa Tembang
Sari di Kudadu beberapa kali rombongan itu dicegat dan diserang oleh kelompokkelompok pasukan gabungan Kediri-Madura. Namun Raden Juwana berhasil mematahkan
semua serangan dibantu oleh Pendekar 212 Wiro Sableng. Kesetiaan prajuritprajurit Kediri-Madura yang mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
ikut bersama Raden Juwana patut dipuji. Mereka berjuang mati-matian
menyelamatkan rombongan penting itu, terutama menjaga keselamatan empat puteri
mendiang Sang Prabu. Menjelang mencapai Kudadu, Dewa Ketawa muncul dan bergabung
dengan rombongan ini.
Beberapa tokoh penting yang diketahui berpihak pada Adikatwang lenyap secara
misterius. Mereka antara lain adalah nenek bermata api Dewi Maha Geni. Lalu
Adipati Wira Seta dan yang ketiga kakek sakti bergelar Dewa Sedih.
Seperti dituturkan Dewi Maha Geni meninggalkan Keraton Singosari karena sakit
hati dimaki tolol oleh Adikatwang di hadapan orang banyak. Nenek sakti ini
kemudian bergabung dengan rombongan Adipati Wira Seta yang dalam perjalanan ke
Madura, kembali ke Sumenep. Wira Seta termasuk salah seorang yang meninggalkan
Adikatwang karena dikecewakan mentah-mentah. Sebelumnya sudah ada perjanjian
bila Singosari jatuh maka dalam Kerajaan baru yang akan segera didirikan Wira
Seta akan diangkat sebagai Patih. Namun setelah mencapai kemenangan Adikatwang
berubah pikiran. Dia mengangkat adik kandungnya sendiri Rana Trijaya sebagai
Patih. Orang ketiga yang tadinya membantu Adikatwang kemudian melenyapkan diri begitu
saja adalah Dewa Sedih. Orang tua berkulit hitam yang aneh ini berbalik membenci
orang-orang Adikatwang ketika dia memergoki Gandita yang hendak merusak
kehormatan puteri bungsu sang Prabu. Bagaimanapun mungkin jahat hatinya, namun
Dewa Sedih sangat benci pada kekejian seperti itu. Dia mendengar kalau Dewi Maha
Geni bergabung dengan Wira Seta menuju Madura. Dewa Sedih memilih jalannya
sendiri, melenyapkan diri dalam rimba belantara dunia persilatan..
Ketika sampai di pedataran dimana Kali Brantas bercabang dua, rombongan sempat
berhenti dan tercengang melihat pemandangan aneh di langit di atas mereka. Ada
pelangi membentang jelas dengan segala keindahannya.
Dewa Ketawa mendongak sambil tertawa mengekeh. Wiro garuk-garuk kepala sedang
Raden Juwana memandang tak berkesip.
"Aneh," kata Raden Juwana. "Tak ada hujan, bagaimana mungkin ada pelangi
membentang di langit?"
mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
Wiro lantas saja ingat pava ramalan Kakek Segala Tahu. Dia menoleh pada Dewa
Ketawa yang juga ikut mendengarkan ramalan itu. Keduanya saling pandang sesaat.
Dewa Ketawa kemudian mengekeh panjang.
Di desa Tembang Sari rombonganmembuka sebuah lahan di pinggiran desa, dekat
sebuah hutan kecil dimana mengalir sebuah anak sungai. Di sini mereka mendirikan
pondok-pondok kayu untuk tempat bermukim sementara.
Pada hari ketiga ratus Raden Juwana dan orang-orangnya bermukim disana, Pendekar
212 Wiro Sableng yang selama ini menghilang sampai tiga bulan tiba-tiba muncul
membawa kabar besar.
"Belasan perahu besar berisi pasukan Cina mendarat di Tuban!" katanya pada Raden
Juwana. "Sulit saya percaya hal ini. Apa maksud kedatangan mereka?"
"Saya coba menyirap kabar," jawab Wiro. "Pasukan Cina itu adalah pasukan Raja
Kubilai Khan. Ada tiga orang Perwira Tinggi bertindak sebagai pemimpin. Kalau
saya tidak salah sebut...." Wiro garuk-garuk kepala sebentar. "Mereka masingmasing bernama Shih Pie, Ike Mishe, dan Kau Sing. Kabarnya mereka datang untuk
menghukum sang Prabu. Tapi mereka tidak tahu kalau sang Prabu sudah tiada..."
Sepasang mata Raden Juwana tampak membesar. Demikian juga keempat puteri
mendiang sang Prabu. Gayatri tiba-tiba membuka mulut.
"Saya tahu mengapa mereka datang dengan maksud seperti itu. Ingat peristiwa
beberapa tahun lalu ketika utusan Kubilai Khan bernama Meng Chi datang ke
Singosari membawa perintah agar Singosari tunduk pada Kerajaan Cina" Ingat apa
yang terjadi saat itu?"
"Saya ingat," sahut Raden Juwana. "Sang Prabu menyuruh potong hidung utusan
bernama Meng Chi itu. Ini satu penghinaan luar biasa. Tidak salah kalau Kubilai
Khan menjadi marah."
"Kini ribuan pasukan Cina mendarat di Tuban, tanpa tahu kalau Sang Prabu sudah
tidak ada lagi," ikut bicara Wiro. Tiba-tiba murid Sinto Gendeng ini memandang
melotot pada Raden Juwana.
"Sahabat, ada apa kau memandangku seperti melihat setan?"
mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
"Saya...saya punya satu rencana. Bagaimana kalau..." lalu Wiro tertawa gelakgelak. Saat itu pula terdengar suara tertawa mengekeh. Sesosok tubuh gendut luar biasa
muncul dari balik pohon besar menunggang seekor kuda kecil.
"Dewa Ketawa!" seru semua orang lalu mereka lari menyambut dan mengelilingi
kakek gemuk itu.
Dewa Ketawa berpaling pada Wiro. "Sekilas tadi aku sudah sempat mendengar
pembicaraan kalian. Dan aku.... Ha..ha..ha..! Aku tahu apa yang ada dalam
benakmu Kampret Gondrong!"
Sialan! Dia masih ingat saja makian itu! Wiro mengomel dalam hati.
"Bukankah kau ingin menjalankan siasat
meminjam nyawa untuk membunuh
nyawa"! Ha..ha..ha..! Tampangmu tolol, wajahmu seperti kampret! Tapi siapa
menyangka otakmu boleh juga!"
"Dewa Ketawa, apakah yang tengah kau bicarakan ini?" tanya Gayatri.
"Tanyakan saja pada dia. Dia yang punya otak. Aku hanya menerka dan kebetulan
sangkaanku ini tidak meleset! Ha..ha..ha..!"
Gayatri memandang pada Wiro. Pandangannya ini di samping ingin tahu apa yang ada
dalam kepala sang pendekar juga menunjukkan rasa rindu karena sekian lama tidak
bertemu dengan pemuda yang diam-diam disukainya itu dan kepada siapa dia banyak
berhutang budi bahkan nyawa.
Cara memandang Gayatri ini membuat Raden Juwana merasa tidak enak. Maka diapun
cepat berkata. "Agar semua jelas dan semua orang tahu sebaiknya sahabat Wiro menerangkan saja
kalau memang punya rencana atau sesuatu."
Wiro menggaruk kepalanya dulu baru berkata. "Saya tidak berani mengatakan kalau
ini adalah rencana saya. Terus terang sebenarnya apa yang akan saya sampaikan
adalah bersumber dari jalan pikiran Raden Juwana. Suatu malam kami mengobrol,
Raden Juwana sekali mengatakan. Kalau saja ada satu kekuatan besar yang bisa
kita pergunakan untuk menyerbu Gelang-Gelang, menghancurkan kekuasaan Adikatwang
yang tidak syah."
mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
Raden Juwana terdiam mendengar ucapan Wiro itu. Mungkin memang dia pernah
menyampaikan pendapat seperti itu namun tidak ingat lagi kapan dan dimana.
"Kalau hal itu memang bisa dilaksanakan mengapa tidak dicoba?" Gayatri membuka
mulut. "Saya akan menemui pemimpin pasukan Cina yang baru datang itu!" kata Raden
Juwana pula. "Tidak," kata Wiro. "Raden tetap disini mengatur segala sesuatunya. Saya yang
akan berangkat ke Tuban menemui tiga orang Perwira Kubilai Khan itu."
"Saya ikut bersamamu," kata Gayatri pula.
Raden Juwana tampak tidak senang mendengar ucapan Gayatri itu sebaliknya Wiro
tersenyum dan dengan lembut berkata. "Saya hargai keberanian Raden Ayu Gayatri.
Tapi ini adalah urusan laki-laki. Biar saya sendiri yang akan pergi."
"Ya, biar dia saja yang pergi," kata Dewa Ketawa lalu tertawa gelak-gelak.
"Tuban cukup jauh. Aku akan pinjamkan keledaiku padamu! Ha..ha..ha..!"
*** Pagi itu di langit kembali kelihatan pelangi yang membuat semua orang di
pemukiman di pinggiran desa Tembang Sari itu semakin merasa aneh. Selagi mereka
dicengkeram perasaan itu tiba-tiba terdengar suara kaleng berkerontangan. Lalu
muncul seorang kakek bercaping, berpakaian penuh tambalan seperti pengemis. Di
tangan kirinya ada sebatang tongkat sedang tangan kanannya memegang sebuah
kaleng rombeng berisi batu. Setiap saat kaleng ini digoyang-goyangkannya hingga
mengeluarkan suara berisik memekakkan telinga.
"Pengemis dari mana pagi-pagi kesasar ke sini?" ujar Raden Juwana. "Beri dia
makanan lalu suruh pergi. Suara kalengnya menusuk gendang-gendang telinga!"
Raden Ayu Gayatri muncul dari balik pondok. Begitu dia melihat kakek bercaping
itu serta merta dia berseru. "Kakek! Bukankah kau Kakek Segala Tahu"!
Sahabat pemuda bernama Wiro itu?"
Orang bercaping memutar tubuhnya ke arah Gayatri yang mendatangi sementara Raden
Juwana jadi terheran-heran.
mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
"AH, syukur kau masih mengenali tua bangka buruk dan buta ini! Aku ingat siapa
kau adanya. Puteri bungsu mendiang sang Prabu yang biasa dipanggil Raden Ayu
Gayatri. Benar"!"
"Benar," sahut Gayatri. "Saya senang Kakek masih ingat saya."
"Mana sahabatku si Wiro Gendeng itu?"
"Dia tengah membawa pasukan besar dari Cina menuju kemari," jawab Gayatri.
Kakek Segala Tahu mendongak ke langit. "Pagi yang segar..." ucapnya perlahan.
"Katakan, apakah ada pelangi terpampang di langit?"
"Betul Kek, memang ada pelangi di langit," menjelaskan Gayatri.
"Pelangi itu membentang di atas kawasan hutan maja yang luas di sebelah Timur?"
"Saya tahu memang ada hutan pohon maja di sebelah Timur. Kau betul, Kek,"
kata Gayatri pula.
Wajah Kakek Segala Tahu tampak berseri.
"Pelangi...Pasukan besar dari Cina. Ah, rupanya ramalanku dahulu tidak terlalu
tolol! Satu raja baru akan muncul. Satu kerajaan baru akan berdiri. Maha Besar
kekuasaan Sang Pencipta. Maha Besar Kasih dan KeadilanNya."
Kakek Segala Tahu menggoyangkan kaleng rombengnya berulang kali. Lalu dia
memutar tubuh tinggalkan tempat itu. Raden Juwana coba mengejar untuk menanyakan
apa maksud ucapan si kakek tadi. Tapi orang tua itu tidak berhenti ataupun
berpaling. Kaleng rombengnya terus saja digoyang-goyang sepanjang jalan hingga akhirnya
lenyap di kejauhan.
*** BAB XIV Adikatwang tengah duduk di atas singgasana emas berbentuk segi empat, rambut
disanggul rapi ke atas,berpakaian sutera dan bersepatu kulit. Beberapa orang
pembantu dekat duduk mengelilinginya. Tiba-tiba muncul seorang pengawal dengan


Wiro Sableng 068 Pelangi Di Majapahit di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nafas terengah.
Pengawal ini jatuhkan diri. Begitu bangkit dia segera berkata:
mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
"Mohon ampun daulat Sri Baginda Raja di Raja Kediri. Seorang prajurit di
perbatasan Timur dan seorang lagi di perbatasan Timur Laut memberi tahu bahwa
ada dua rombongan besar pasukan Cina berjumlah ribuan orang bergerak menuju
Gelang-Gelang..."
Adikatwang sampai tertegak dari duduknya mendengar ucapan si pengawal.
"Pasukan Cina katamu"!"
"Betul sekali daulat tuanku Sri Baginda Raja di Raja Kediri. Pasukan Cina
bergerak menuju Kotaraja. Ikut bersama dua gelombang pasukan itu sejumlah
prajurit berseragam tidak dikenal. Namun ada yang menyaksikan bahwa dalam
pasukan itu kelihatan Raden Juwana, seorang pemuda yang dikenal bernama Wiro
Sableng, juga seorang kakek gendut menunggang keledai sambil tertawa-tawa. Juga
ada beberapa kelompok prajurit Kediri dan Madura dalam pasukan besar itu."
Paras Adikatwang berubah total. "Raden Juwana...Wiro Sableng...Pasti dia pemuda
keparat murid nenek sundal yang bersenjatakan tusuk kundai itu! Lalu seorang
kakek gemuk menunggang keledai yang selalu tertawa-tawa. Siapa lagi kalau bukan
Dewa Ketawa! Tapi adalah aneh kalau diantara mereka ada prajurit-prajurit Kediri
dan Madura. Mungkin sisa-sisa pasukan Gandita yang dulu membelot" Atau mungkin
Wira Seta ikut ambil bagian pula!"
Adikatwang memandang berkeliling pada para pembantunya. Lalu kembali pada
pengawal yang masih duduk bersila di lantai. "Ada keterangan lain yang akan kau
sampaikan?"
"Ada Sri Baginda Raja di Raja Kediri. Pasukan Cina terlihat membawa senjata
lengkap. Tongkat yang bisa meletus dan batang kelapa yang juga bisa meletus!"
"Tongkat dan batang kelapa! Prajurit tolol! Itu namanya bedil dan meriam! Sudah
pergi sana!"
Begitu si pengawal berlalu Adikatwang segera perintahkan para pembantunya untuk
memukul genta tanda bahaya yang ada di empat sudut Kotaraja. "Siapkan pasukan!
Siapa saja yang berani memasuki Kotaraja akan kita bantai!"
Saat itu di Kediri terdapat sekitar dua ribu prajurit berpengalaman yang siap
tempur. Namun balatentara Cina jumlahnya jauh lebih besar. Sementara itu di
Keraton Kediri tidak lagi memiliki tokoh-tokoh silat yang bisa diandalkan sedang
di pihak musuh mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
kelihatan Pendekar 22 Wiro Sableng dan si kakek sakti Dewa Ketawa. Tiba-tiba
saja Adikatwang ingat mimpinya malam tadi. Dia melihat rembulan indah empat
belas hari di langit malam yang jernih. Tiba-tiba rembulan itu turun ke bumi,
melayang ke arah pangkuannya, tapi begitu sampai di pangkuannya rembulan itu
tiba-tiba berubah menjadi sebuah bola api yang meledak dan membakar sekujur
tubuhnya. "Raden Juwana keparat! Wira Seta tolol sialan! Kalau dulu-dulu aku membabat
lehernya..."
Adikatwang masuk ke dalam kamarnya. Ketika keluar dia sudah mengenakan pakaian
perang yang bagian depan dan punggungnya dilapisi besi tipis. Di tangan kanannya
dia mencekal sebilah pedang.
Pada seorang pembantu dia minta agar Patih Kerajaan segera datang menghadap.
Seperti diketahui Patih Kediri adalah Rana Trijaya adik kandung Adikatwang
sendiri. Tak lama kemudian pembantu tadi kembali membawa kabar yang membuat Adikatwang
marah besar. "Patih Raden Rana Trijaya meninggalkan Kotaraja beberapa saat lalu bersama
keluarga dan para selir. Dia membawa serta seratus prajurit sebagai pengawal."
begitu laporan si pembantu.
"Manusia keparat! Pengecut haram jadah!" kutuk serapah keluar dari mulut
Adikatwang. "Beritahu Panglima Ganda Cula! Dia harus menyongsong serbuan musuh
di luar Kotaraja! Lipat gandakan pasukan berpanah!"
"Mohon maafmu Sri Baginda Raja di Raja Kediri," berkata pembantu itu sambil
menjura beberapa kali. "Panglima Ganda Cula juga sudah meninggalkan Kotaraja
bersama keluarganya tak lama setelah Patih Trijaya pergi..."
Meledaklah kemarahan Adikatwang. Dia berteriak-teriak memanggil beberapa orang
Perwira Tinggi Kerajaan. Namun tak ada yang datang. Malah di kejauhan terdengar
suara letusan-letusan bedil yang sekali-sekali diseling oleh dentuman meriam.
Sebuah peluru meriam menghantam dinding Keraton hingga ambruk dan berlubang
besar. Paras Adikatwang menjadi pucat. Dia lari keluar Keraton. Dua ratus
prajurit siap mendampinginya menuju medan pertempuran yang telah pecah di bagian
Barat tembok Kotaraja. Raja Kediri ini hanya sempat memacu kudanya sejarak
seratus langkah.
Laksana air bah tiba-tiba saja pasukan musuh sudah berada didepan pintu gerbang
mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
Keraton. Di sebelah depan tiga orang berkelebat ke arahnya. Dua larik sinar
putih menyilaukan menyambar ganas. Sembilan prajurit mencelat mental dan menemui
ajal dengan tubuh hangus hitam. Tiga ekor kuda terguling roboh. Itulah hantaman
pukulan sinar matahari yang dilepaskan Pendekar 212 Wiro Sableng. Orang kedua
bukan lain si kakek gendut Dewa Ketawa. Sambil tertawa mengakak dia mengarahkan
keledainya ke barisan prajurit Keraton pendamping Adikatwang. Ketika kakek sakti
ini menggerakkan kedua tangannya terdengar suara seperti angin puting beliung
disusul menyambarnya sinar kebiruan. Pekik jerit seperti merobek langit. Delapan
prajuri Kediri terkapar mati, selusin lainnya berpelantingan. Dewa Ketawa
tertawa gelak-gelak. Dia terus merangsak maju.
Adikatwang untuk beberapa saat lamanya seperti tertegun di atas punggung
kudanya. Kemudian dilihatnya Raden Juwana di sebelah kiri.
"Budak keparat! Aku lawanmu!" teriak Adikatwang. Dia menggebrak kudanya ke arah
Raden Juwana. Namun sebutir peluru yang ditembakkan pasukan Cina menghantam
dadanya hingga dia terpelintir dan jatuh dari tunggangannya. Sebelum dia sempat
bangkit Raden Juwana sudah berada di depannya dan langsung menusukkan pedangnya
tepat di samping luka tertembus peluru. Adikatwang berteriak antara kesakitan
dan kemarahan. Kedua tangannya diulurkan dengan nekad mencabut pedang yang menancap di dadanya.
Begitu pedang tercabut dia meneruskan hendak merebutnya dari tangan Raden
Juwana. Namun saat itu, salah seorang Perwira Tinggi Balatentara Cina yaitu Kau Sing
yang berada di dekat sana merasa yakin bahwa Adikatwang adalah Sang Prabu,
melepaskan tembakan dengan bedil panjangnya.
Peluru bersarang tepat di kening Adikatwang. Tubuhnya terbanting. Raja di Raja
Kediri ini menghembuskan nafas dengan kepala hampir rengkah!
Secara keseluruhan Kediri bertekuk lutut hanya dalam tempo kurang dari setengah
hari. Selagi pasukan Cina bersuka ria merayakan kemenangannya, Raden Juwana,
Dewa Ketawa dan Pendekar 212 Wiro Sableng bersama tiga kelompok prajurit KediriMadura serta sisa-sisa pasukan di masa Singosari dulu meninggalkan GelangGelang, kembali menuju pemukiman di pinggiran Desa Tembang Sari. Mereka sampai
di pemukiman pagi hari sama seperti ketika mereka meninggalkannya beberapa hari
lalu. mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
Dan lagi-lagi mereka dicengangkan oleh bentangan pelangi di langit sebelah
Utara, tepat di atas hutan maja yang luas.
"Mungkin sekali ini petunjuk para Dewa. Kita harus pindah dan membuka lahan baru
di hutan maja itu." kata Raden Juwana. Ucapan Raden Juwana ini ternyata nantinya
akan menjadi kenyataan. Kelak kemudian hari hutan maja itu akan berubah menjadi
Kotaraja dari Kerajaan Majapahit.
"Bagaimana pendapatmu Dewa Ketawa?" tanya Raden Juwana pada si kakek gendut yang
menunggang keledai.
"Selama di tempat yang baru itu orang tidak dilarang ketawa, aku pasti setuju
dan ikut kesana!" jawab Dewa Ketawa lalu tertawa gelak-gelak.
"Dan kau sahabat Wiro?" tanya Raden Juwana.
"Dia pasti akan ikut bersama kita!" menjawab satu suara. Ketiga orang itu
berpaling. Yang menjawab ternyata adalah Raden Ayu Gayatri. Wiro sekilas cepat
melirik ke arah Raden Juwana. Seperti yang sudah-sudah dia melihat paras pemuda
itu berubah. Wiro mengeluh dalam hati. Aku tidak bisa menipu diriku. Aku menyukai gadis itu.
Diapun menyukai diriku. Tapi seperti ucapan Kakek Segala Tahu adalah gila kalau
aku berharapkan bisa berjodoh dengan puteri Raja. Tempatku bukan di sini,
ataupun di lahan yang baru itu. Aku harus pergi.
Wiro menggaruk kepalanya dan coba tersenyum. "Kalian semua sahabat-sahabat,
mungkin malah bisa kukatakan saudara-saudaraku yang baik. Namun..."
"Kau tidak boleh membantah!" potong Gayatri.
"Maafkan saya... Saya harus pergi. Di lain waktu saya pasti akan menemui kalian
lagi. Semoga kalian mendapatkan perlindungan dan berkah Yang Kuasa. Selamat
tinggal..." Wiro memutar kudanya dan tinggalkan tempat itu.
Gayatri tak tinggal diam. Dia melompat ke atas punggung seekor kuda dan mengejar
hingga Wiro terpaksa berhenti di satu tempat.
"Raden Ayu..."
"Nama saya Gayatri.." sepasang mata gadis itu berkaca-kaca.
"Gayatri, kembalilah. Saya tidak mungkin menetap di sini."
mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
"Kau..Kau tidak mengetahui bagaimana perasaanku padamu Wiro. Dan kau tak perlu
mengatakan bagaimana perasaanmu padaku. Aku dapat merasakannya. Lalu mengapa kau
harus pergi?"
Wiro merasa tenggorokannya seperti kering. Untuk beberapa lamanya dia tidak bisa
berkata apa-apa.
"Gayatri, saya... Bagaimanapun juga dalam hidup ini kita harus melihat
kenyataan. Antara kita ada jurang yang maha luas. Kau adalah seorang puteri
Raja. Saya seorang gelandangan. Mana mungkin..."
Gayatri sesenggukan. Tubuhnya seperti limbung. Wiro cepat memegang bahu gadis
itu. "Kuatkan hatimu Gayatri. Saya berjanji untuk datang lagi menemuimu suatu
ketika kelak."
"Kau masih menyimpan peniti emas yang kuberikan dulu?"
Wiro mengangguk lalu keluarkan peniti emas yang pernah diberikan Gayatri.
Benda itu diperlihatkannya sambil tersenyum. Dari balik pakaiannya Gayatri
mengeluarkan selipatan kain. Benda itu adalah ikat kepala yang dulu diberikan
Wiro kepadanya sebagai balasan pemberian peniti. Dengan kain itu disekanya air
mata yang menggelinding di pipinya.
"Berjanjilah kau akan datang lagi Wiro..." bisik Gayatri.
"Saya berjanji Gayatri. Izinkanlah saya pergi sekarang."
Gayatri mengangguk. Dia mendekatkan wajahnya ke muka Pendekar 212. kedua matanya
dipejamkan. Wiro merasa ragu-ragu sesaat. Namun dia tidak tega menolak
permintaan tanpa terucap itu. Diciumnya kedua pipi dan kening Gayatri. Lalu
dengan lembut dan mesra dikecupnya bibir gadis itu. Gayatri masih terduduk
memejamkan kedua mata dan tak bergerak di atas punggung kuda walau saat itu
Pendekar 212 telah meninggalkannya. Gadis ini seolah-olah terlena dan terbuai
oleh kelembutan hangat kecupan sang pendekar tadi.
"Pergilah sayang. Selamat jalan orang yang kucintai. Jaga dirimu baik-baik.
Datanglah kelak, aku akan selalu menantimu.." kata-kata itu terucap dan terukir
di lubuk hati Gayatri. Air mata kembali membasahi pipinya. Dia mendengar
langkah-langkah kaki di sampingnya. Dia tak mau membukakan matanya. Yang
berjalan di sampingnya saat itu adalah si gendut Dewa Ketawa bersama keledainya.
Orang tua ini pandangi wajah cantik mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
yang tenggelam dalam kesedihan itu. Perlahan-lahan Dewa Ketawa teruskan
langkahnya sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Cinta..." desisnya. "Kau datang
begitu aneh. Tidak memilih siapa yang dicintai, tidak mengenal batas derajat dan keturunan.
Cinta begitu indah, tetapi terkadang bisa kejam. Itulah sebabnya aku memilih
terus saja jadi bujangan!" untuk pertama kalinya Dewa Ketawa tidak mengeluarkan
suara tawa bergelaknya.
TAMAT Sumber kitab: Pendekar212
di-scan oleh: kiageng80
diketik & diupload oleh: mercy13019
kritik& saran kirim ke: mercy13019@yahoo.com
Salam 212 SEMUA HAK KARYA CIPTA CERITA INI ADALAH MILIK
ALMARHUM BASTIAN TITO
mercy13019@yahoo.com
Jodoh Rajawali 24 Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono Malaikat Bukit Pasir 2

Cari Blog Ini