Wiro Sableng 120 Kembali Ke Tanah Jawa Bagian 1
BAB I Malam gelap gulita. Tak nampak rembulan tak kelihatan kelipan bintang. Udara
dingin menusuk tulang sampai ke sumsum. Hembusan angin laksana menyayat kulit.
Suasana sunyi di kawasan bukit-bukit karang sesekali dipecah oleh suara deburan
ombak yang datang dari arah Teluk Penanjung - Pangandaran, menghantam kaki bukit
karang. Di arah timur, dua bukit karang menjulang tinggi menghitam. Di antara dua batu
karang ini terbentang satu jurang dalam gelap gulita. Sesekali terdengar suara
aneh seperti ngiang tiupan seruling. Itulah suara angin yang terpesat berputar
masuk ke dalam jurang, tenggelam lalu menebar di dasarnya tak mampu bergerak
naik kembali. Di salah sau sisi barat jurang pada kedalaman hanya sekitar dua puluh kaki
terdapat bagian dinding jurang mencekung ke dalam membentuk goa seluas hampir 20
kaki persegi. Dari atas jurang goa besar ini tidak kelihatan karena tertutup
tubir batu dan semak belukar rimbun. Di pertengahan goa, tenggelam dalam
kegelapan ada sebentuk batu berlumut setinggi menusia yang duduk bersila.
Beberapa benda hidup bergerak menjalar di permukaan batu. Yang pertama adalah
sepasang ular besar berwarna coklat kehitaman. Walau tempat itu gelap gulita
tapi dua sosok binatang ini memancarkan kilap yang menggidikkan. Benda hidup
lainnya yang menjalar di atas batu adalah empat ekor kalajengking berkaki biru.
Lalu masih ada tiga ekor lipan berwarna merah yang disebut lipan bara. Dari
bentuk dan warna binatang-binatang itu jelas sekali mereka semua adalah
binatang-binatang berbisa sangat berbahaya. Jangankan manusia, seekor kerbaupun
jika sampai dipatuk atau disengat akan menemui ajal dalam waktu singkat!
Tak berapa jauh di sebelah kiri belakang batu besar di tengah pedataran, satu
sosok kelihatan mendekam duduk. Dari mulutnya yang berkomat-kamit tiada henti
keluar suara halus berkepanjangan seperti orang tengah membaca. Dua lututnya
dilipat di atas dada, dua tangan memegang sebuah benda yang ternyata adalah
lembaran-lembaran daun kering dibentuk demikian rupa hingga menyerupai sebuah
kitab. Salah satu jari kelingkingnya yakni yang sebelah kiri buntung. Sikapnya
saat itu benar-benar lagak seorang yang tengah membaca. Dia memegang kitab
sambil sepasang mata dan kepala bergerak dari kiri ke kanan, kembali ke kiri
lalu balik lagi ke kanan.
Pada bagian depan kitab yang merupakan sampul depan tertera tulisan "Kitab
Wasiat Iblis". Tapi di sebelah belakang ada lagi tulisan lain berbunyi "Kitab
Wasiat Malaikat". Dan yang anehnya, halaman-halaman dalam kitab dua judul itu
sama sekali tidak ada tulisannya, kosong melompong. Lalu apa yang dibaca orang
ini demikian asyiknya sampai-sampai mata dan kepalanya bergerak ke kiri dan ke
kanan sementara mulutnya mengeluarkan suara menyerupai orang sedang membaca"!
Sesekali sambil membaca orang ini melirik ke arah batu besar yang dijalari ular,
lipan dan kalajengking. Mulutnya sesaat berhenti berkomat-kamit. Dia menyeringai
lalu teruskan bacaannya. Begitu terus-menerus.
Orang ini sebenarnya masih muda. Tapi cacat di wajahnya serta badan dan rambut
yang tidak terpelihara membuat dia kelihatan tua. Hidungnya yang mancung agak
miring ke kiri pertanda tulang hidungnya pernah patah. Lalu pipi dan rahang
sebelah kiri melesak ke dalam hingga wajahnya kelihatan pencong. Mungkin tulang
pipi serta rahang itu juga pernah cidera.
Kemudian mata kiri tidak wajar keadaannya, agak terbenam ke dalam rongga,
memberi kesan bahwa orang ini dulunya pernah menderita hantaman yang hebat.
Masih ada satu cacat lagi di bagian kepala orang ini. Yaitu satu luka besar yang
telah mongering dan meninggalkan bekas di keningnya sebelah kiri.
Di atas batu, ular coklat hitam menjalar ke bagian atas diikuti oleh pasangannya
dan binatang-binatang berbisa lainnya. Di pertengahan batu dua ular membuat
gerakan melilit lalu mematuk bagian atas batu. Tiga ekor lipan dan empat
kalajengking mencengkeramkan kaki masing-masing lalu menyengat.
Saat itu juga terjadi satu keanehan. Bagian atas batu di tengah pedataran
mendadak mengembang seolah binatang atau tetumbuhan laut yang tiba-tiba bergerak
mekar membentengi diri dari bahaya. Ketika sekali lagi dua ular besar mematuk,
dan lipan serta kalajengking menyengat, dari dalam batu berlumut keluar suara
mengaum. Lalu batu itu bergerak. Dari sisi kiri dan kanan mencuat duia benda
menyerupai tangan. Astaga! Benda di tengah pedataran yang disangka batu hitam
berlumut ternyata adalah makhluk hidup yang sulit diduga apa adanya sebenarnya.
Sekali ada suara mengaum. Lalu menyusul bentakan keras. "Binatang keparat!
Kalian mematuk dan menyengat! Apa kalian kira enak daging tua renta ini"! Kalian
merusak ketenteramanku! Lagi-lagi kalian mengacaukan samadiku! Selama ini aku
biarkan kalian hidup bersama di jurang ini! Tapi dasar makhluk tidak berbudi!
Saat ini putus sudah kesabaranku! Hari ini aku akan menghabisi kalian!" yang
membentak ternyata adalah makhluk yang disangka batu tadi.
BASTIAN TITO KEMBALI KE TANAH JAWA
Begitu bentakan lenyap, sosok si makhluk melompat ke atas. Dalam keadaan tegak
berdiri ujudnya terlihat lebih nyata. Sosoknya ternyata tinggi besar. Kepalanya
tertutup rambut lebat berwarna coklat kemerahan mengembang berjingkrak. Lapisan
lumut yang menutupi mukanya laksana leleh dan kini tampak kepala dengan raut
muka yang mengerikan. Muka makhluk ini ternyata menyerupai seekor singa berwarna
merah! Dua ekor ular masih menggelung. Lipan dan kalajengking masih menyengat. Tibatiba sosok berkepala singa ini memancarkan cahaya merah. Semua binatang yang ada
di tubuhnya menggeliat dan kepulkan asap menebar bau daging terbakar!
Makhluk kepala singa mengaum lalu hentakkan tumit kaki kirinya ke pedataran
batu! "Wuttt... wuutttt... wuuuuttt!"
Semua binatang berbisa yang masih menempel di tubuhnya tapi sudah mati
terpanggang hangus melesat mental ke satu arah. Yakni ke arah orang berpakaian
hitam yang duduk membaca di belakang sana. Orang ini langsung berhenti membaca
kitab kosong. Matanya memperhatikan dua ekor ular, tiga lipan dan empat
kalajengking yang bergeletakan di depannya. Dia melirik sebentar pada sosok
tinggi besar berkepala singa yang tegak di sebelah sana, lalu menyeraingai.
Tenggorokannya naik turun, lidahnya dijulurkan menjilat air liur.
"Singo Abang!" orang berpakaian hitam berucap. "Enam ratus hari lebih aku berada
di tempat ini bersamamu! Baru hari ini kau berbaik hati menyuguhkan makanan
lezat untukku!"
Orang ini masukkan kitab daun ke balik pakaiannya. Lalu beringsut ke depan.
Di sebelah sana sosok tinggi besar keluarkan suara mengaum. Lalu lontarkan
ucapan keras. "Pangeran Miring! Tidak usah banyak mulut! Makan saja
pembagianmu!"
"Ha... ha... ha! Akan aku santap dan habiskan semua!" Si baju hitam mengambil tubuh
ular yang matang terbakar dan masih mengepulkan asap. Seperti orang kelaparan
baru bertemu makanan, ular besar dilahapnya. Dalam waktu sebentar saja ular
panggang itu amblas itu masuk ke dalam perutnya.
"Ha... ha! Tidak sangka enak juga makanan pembagian Singo Abang ini!" Si baju
hitam tepuk-tepuk perutnya. "Ah, masih kosong! Aku masih lapar!" Lalu orang ini
sambar sosok ular ke dua. Seperti tadi dalam waktu sebentar saja ular besar itu
habis dimakannya. Tertawa-tawa dia melirik pada tiga lipan dan empat
kalajengking. Lalu sambil usap-usap perutnya dia bertanya pada diri sendiri.
"Apakah aku masih lapar?"
"Pangeran Miring! Kalau kau mau makan, makan saja. Jangan banyak bicara! Selesai
makan kembali ke tempatmu duduk semula! Ingat, kau hanya boleh berada sejauh
sepuluh langkah dari dinding batu itu ! Jangan berani melanggar!"
Mendengar kata-kata makhluk berkepala singa yang dipanggilnya dengan nama Singo
Abang itu, orang berpakaian hitam unjukkan muka merengut. Dia mencibir lalu
meludah. "Aku tidak lupa pada larangan kentut busuk itu! Lebih dari enam ratus
hari aku tidak boleh berjalan melewati sepuluh langkah! Aku mulai bosan! Aku
ingin jalan jauh. Aku ingin lari! Aku ingin menghirup udara di luar jurang ini!
Di atas sana pasti indah pemandangannya. Bukit-bukit batu...
jurang... laut di teluk. Aku tahu. Dulu aku pernah melihat..."
Singo Abang mengaum.
"Kalau kau berani melakukan apa yang barusan kau ucapkan, siap-siap saja
menerima gebukan dariku! Mukamu akan kubuat tambah pencong! Matamu akan kubuat
melesak kedua-duanya. Dan otakmu tambah kubuat miring! Biar kau benar-benar jadi
Pangeran Miring seumur-umur!"
"Miring! Miring! Kau selalu menyebut aku Pangeran Miring! Padahal otakmu sendiri
tidak waras!"
"Wuttt!"
Sekali lompat saja manusia kepala singa itu sudah berada di hadapan orang yang
selalu dipanggilnya dengan Pangeran Miring. Tangannya bergerak menjambak rambut
orang lalu ditarik ke atas hingga muka mereka saling bertatapan dan terpisah
hanya setengah jengkal.
"Aku bicara apa adanya! Otakmu memang miring sejak kepalamu terbentur batu waktu
jatuh di jurang ini! Kalau aku tidak menolong, hidupmu pasti lebih celaka dan
lebih sengsara dari sekarang ini! Kau bukan cuma miring tapi benar-benar gila!
Sinting!" "Singo Abang! Kau selalu membangkit-bangkit semua budi pertolonganmu! Aku merasa
lebih baik dulu mati saja dari pada menerima pertolonganmu! Apa aku pernah
meminta"!"
"Jangan bicara yang bisa membuat aku marah! Pangeran Miring! Apa kau lupa aku
ini bukan cuma penolongmu, tapi juga gurumu"!"
Pangeran Miring mendongak lalu tertawa gelak-gelak. "Kau yang bilang begitu!
Tapi aku tidak pernah mengakuimu sebagai guru! Guruku hanya satu. Dia Si Muka
Bangkai alias Si Muka Mayat. Orangnya sudah mati! Selama ini apa yang kau
ajarkan padaku! Malah aku merasa kau diam-diam menyelidiki diriku, mempelajari
semua ilmu yang aku miliki! Bukan begitu! Ha...
ha... ha...!"
"Murid geblek!" Singo Abang mengaum. Tangannya yang menjambak bergerak. Tubuh
Pangeran Miring dilemparkannya ke dinding batu. Saking kerasnya sampai batu itu
ada yang BASTIAN TITO KEMBALI KE TANAH JAWA
retak dan gompal. Tapi sebaliknya Pangeran Miring tidak merasa sakit malah
menyeringai. Hanya dua matanya memandang berkilat-kilat tanda ada kemarahan dalam dirinya.
"Kau tidak berani mambunuhku! Tidak berani! Mengapa" Aku tahu! Aku tahu! Kau
menginginkan sesuatu dariku! Kau mencari sesuatu dariku! Kau mencari sesuatu
lewat diriku! Jika aku mati kau tidak akan menemukan apa yang kau cari! Bukan begitu" Ha... ha...
ha...!" "Dasar manusia miring! Kalau aku bunuh benaran baru tahu rasa!"
"Singo Abang! Aku tidak takut kau bunuh di tempat celaka ini!" Pangeran Miring
keluarkan kitab daun kering dari balik pakaian hitamnya.
Singo Abang keluarkan tawa mengekeh yang aneh serta menggidikkan. "Kasihan kau
Pangeran Miring! Kitab itu kau sendiri yang membuat. Dari daun-daun kering! Kau
tulisi di sebelah depan Kitab Wasiat Iblis! Di sebelah belakang kau tulis Wasiat
Malaikat! Di dalamnya kosong melompong! Lalu kau membaca seolah ada isi ilmu
kesaktian dan ilmu silat! Otak miringmu mengada-ada! Itu yang aku ketahui!
Pangeran Miring! Berhentilah bermimpi! Ha...
ha... ha...!"
"Singo Abang! Makhluk penghuni jurang celaka! Namaku bukan Pangeran Miring!
Walau aku banyak lupa tentang masa laluku akibat benturan keras pada kepalaku
waktu jatuh di jurang jahanam ini, tapi satu hal aku masih ingat siapa namaku.
Aku adalah Pangeran Matahari.
Pendekar Segala Cerdik, Segala Akal, Segala Ilmu, Segala Licik, Segala Congkak!"
Singo Abang mengaum lalu tertawa gelak-gelak. Suara tawanya membahana
menggetarkan jurang batu karang.
"Masa lalumu telah lewat, sirna dan amblas! Pangeran Matahari tak ada lagi! Yang
ada kini hanyalah sisa-sisa berupa rongsokan yang aku panggil dengan nama
Pangeran Miring!"
"Mungkin aku kalah mengadu mulut denganmu1 tapi layani aku mengadu kekuatan!"
teriak Pangeran Miring marah sekali lalu melompat sambil kirimkan satu jotosan
keras dan cepat ke arah rusuk kanan Singo Abang.
Makhluk berkepala singa mengaum. Ketika mulutnya terbuka kelihatan deretan gigi
besar dan taring mencuat runcing. Rambut-rambut panjang tebal coklat kemerahan
yang menutupi kepala, leher dan tengkuknya mengembang berjingkrak pertanda
diapun marah besar. Dia tidak melakukan gerakan mengelak malah langsung angkat
tangan kanannya, menggebrak dengan satu tangkisan yang juga merupakan serangan
dahsyat. "Bukkk!"
Dua lengan beradu keras.
BASTIAN TITO KEMBALI KE TANAH JAWA
BAB 2 Pangeran Miring mengeluh tinggi dan terpental menghantam dinding batu lalu
melosoh jatuh terduduk di pedataran dengan kepala termiring-miring dan wajah
pucat. Tubuhnya bergeletar. Lengan kanannya merah membengkak. Sesaat kemudian
dia berdiri kembali. Walau agak terbungkuk-bungkuk karena masih menahan sakit
tapi dia masih sanggup menyeringai dan berucap.
"Kau tidak bisa mengalahkanku Singo Abang! Kau tidak bisa membunuhku!"
Makhluk berkepala singa sendiri saat itu tegak tertegun sambil pegangi lengannya
yang sakit bukan main. Dia meraba-raba karena kawatir tulang lengan itu telah
patah. Akibat pukulan tadi dadanya mendenyut sakit dan jalan darah jadi tidak
karuan. Muka singanya yang coklat kemerahan tampak kelam membesi. Dia membatin.
"Selama dua tahun aku coba mengikis kekuatannya ternyata tidak ada yang hilang
dalam dirinya. Malah tenaga dalamnya seperti bertambah hebat. Kalau aku tadi
tidak mengerahkan dua pertiga tenaga dalamku pasti aku sudah dibuatnya celaka!
Dia bisa meraba hatiku! Jahanam betul! Kalau aku tidak mengharapkan benda itu
sudah sejak dulu dia kubunuh! Otaknya tak karuan. Berapa lama aku musti menunggu
sampai pikirannya kembali jernih dan dia bisa mengatakan dimana benda itu
berada..."
"Singo Abang! Kau makhluk jahat! Aku tidak akan menyantap sisa-sisa lipan dan
kalajengking itu! Silahkan kau habiskan sendiri!" Pangeran Miring Ialu melangkah
surut hingga punggungnya membentur dinding batu. Lalu perlahan-lahan dia
dudukkan diri di tepi pedataran batu. Kitab daun dikembangkan. Mulunya komatkamit, mata bergerak ke kiri dan ke kanan bersamaan dengan gerakan kepala. Mulut
mengeluarkan suara seperti orang membaca padahal sebenarnya dia entah meracau
apa. Tiba-tiba di udara melesat satu benda memancarkan cahaya keputih-putihan. Singo
Abang mendongak, keluarkan auman halus. Bola matanya yang berwarna kelabu tampak
membesar. Pada saat benda yang melesat di udara tadi lenyap di selatan jurang batu, sosok
makhluk kepala singa itu serta merta berkelebat ke atas. Dalam gelap dia membuat
beberapa kali lompatan. Luar biasa! Pinggiran jurang itu merupakan dinding yang
hampir tegak lurus dan hanya ada beberapa gundukan kecil menonjol keluar. Namun
dengan cepat dia mampu bergerak ke atas.
Di satu gugusan batu Singo Abang hentikan gerakannya dan memandang ke bawah.
Muka singanya menunjukkan rasa kaget. Di bawah sana dia tidak melihat lagi sosok
Pangeran Miring.
"Jahanam itu, kemana lenyapnya?" Singo Abang bertanya dalam hati. "Mungkin kabur
melarikan diri" Tapi bagaimana aku bisa tidak mengetahui. Tak mungkin dia
bergerak mendahului gerakanku!" Agak lama juga Singo Abang berpikir-pikir.
Akhirnya dia kembali melompat, meneruskan rnenuju bagian atas jurang.
Di bagian selatan jurang batu, dalam kegelapan dan dinginnya udara malam yang
mulai merayap memasuki pagi, sesosok tubuh tergeletak menelungkup di tanah.
Kulit muka, tangan dan kakinya kelihatan memar kemerahan. Di sekitar hidung,
liang telinga dan sudut bibir ada bekas darah mengering. Pakaian putih yang
melekat di tubuhnya cabik-cabik dan ada yang hangus di beberapa tempat, Orang
ini berambut panjang sebahu. Rambut ini menjulai menutupi sebagian wajahnya.
Ketika makhluk bertubuh manusia berkepala singa Singo Abang sampai di tempat
itu, dia terkejut besar karena dapatkan Pangeran Miring telah lebih dulu berada
di tempat itu dan tengah memeriksa sosok tubuh yang tergeletak di tanah.
"O ladalah! Apa ini benda yang tadi aku lihat melayang bercahaya" Walah!
Ternyata manusia juga adanya! Tapi heh"!" Pangeran Miring pergunakan ujung kaki
untuk menggulingkan tubuh yang tengkurap itu. Tidak bisa.
"Gila! Apa tubuh manusia satu ini lebih berat dari gajah" Sang pangeran lalu
membungkuk. Dia sibakkan rambut panjang yang menutupi sebagian wajah orang. "Eh!
Aku... aku seperti mengenali manusia ini!" Kepala Pangeran Miring termiring-miring,
bibirnya digigitnya berulang kali dan matanya sebentar membesar mengerenyit
mengecil. Lalu dengan tangan kanan ditepuk-tepuknya punggung orang.
"Hai! Kau ini pingsan, atau tidur! Atau memang sudah mampus"!"
Tak ada jawaban. Sosok yang tergeletak tengkurap sama sekali tidak bergerak.
Wiro Sableng 120 Kembali Ke Tanah Jawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pangeran Miring kembali sibakkan rambut gondrong itu dan memandang dengan mata
tak berkesip. "Mungkin dia... rasa-rasariya memang dial Kalau benar... ha... ha...ha! Akan
kubunuh! Akan kubikin mati, saat ini juga! Tapi mengapa" Mengapa aku harus membunuhnya"
Ah Otakku tak bisa bekerja ... ! Harus kubalikkan tubuhnya. Kalau sudah
tertelentang aku akan bisa melihat seluruh wajahnya!"
Pangeran Miring Ialu ulurkan dua tangannya untuk membalikkan tubuh yang
tertelungkup. Dalam gelap walau tubuhnya tidak bergerak dan mulut tidak
mengeluarkan suara namun orang yang kini tertelentang di tanah perlahan-lahan
membuka sedikit sepasang matanya.
Samar-samar dia melihat satu wajah. Dadanya bergetar, matanya terpejam kembali.
BASTIAN TITO KEMBALI KE TANAH JAWA
Pangeran Miring membungkuk. Mendekatkan kepalanya ke wajah orang yang tergeletak
di tanah. "Memang dia.... Benar, memang dia! aku boleh gila! Otakku boleh miring! Tapi
yang satu ini tak bisa lepas dari alam pikiranku! Tapi.... aku perlu satu
kepastian lagi! Rajah itu... Rajah tiga angka!"
Pangeran Miring alihkan pandangannya ke dada pakaian orang di bawahnya. Tangan
kirinya bergerak hendak menyibakkan bagian dada pakaian putih orang itu.
Saat itulah Singo Abang muncul berkelebat dan mendorong bahu Pangeran Miring
hingga dia terguling ke samping!
"Makhluk jahat! Apa yang kau lakukan"!" Teriak Pangeran Miring marah sekali
karena maksudnya hendak menyelidik dada orang tidak kesampaian.
"Kau sudah melanggar pantangan Pangeran! Ingat! Kau tidak boleh bergerak lebih
sepuluh langkah darl dinding jurang! Kini kau berada di sini! Sudah berapa ratus
langkah yang kau langgar"!"
"Persetan dengan.aturanmu! Aku mau membunuh orang ini kalau memang dia adanya!"
"Tidak! Kau tidak boleh membunuh orang itu siapapun dia adanya! Kau harus
kembali ke jurang. Sekarang!"
"Tidak!"
"Kau minta kugebuk!"
"Akan kupecahkan kepalamu!" jawab Pangeran Miring.
Singo Abang mengaum. Rambut di kepala dan lehernya mengembang. Di mata Pangeran
Miring scsok makhluk ini kelihatan menjadi dua kali lebih besar. Dua tangannya
yang sebelumnya berbentuk tangan manusia tiba-tiba berubah menjadi tangan singa
yang mencuatkan kuku-kuku hitam panjang! Belum pernah Pangeran Miring melihat
Singo Abang seperti ini.
Selagi dia memandang tercekat seperti itu Singo Abang telah berkelebat. Satu
jotosan keras melabrak dada Pangeran Miring membuat orang ini terpental dan
menjerit keras. Belum sempat kaki atau bagian tubuhnya menyentuh tanah satu
jotosan lagi melanda ulu hatinya. Tak ampun lagi sosok Pangeran Miring laksana
dilemparkan ke udara lalu jatuh di tanah. Walau dia mampu jatuh dengan berlutut
dan satu tangan menopang diri agar tidak rubuh namun dada dan perutnya seperti
pecah. Dari mulutnya mengucur darah.
"Aku sudah lama menahan diri melakukan ini!Tapi kau sengaia meminta! Kau memberi
jalan aku menjajal jurus pukulan Dua Singa Berebut Ma taharil Ha... ha ... !
Ternyata kau tidak sanggup mengelak ataupun menangkis! Jangan bilang aku tidak
bisa membunuhmu! Saat ini mudah sekali bagiku membeset tubuhmu mulai dari kepala
sampai ke kaki!"
Pangeran Miring hanya mendengar suara Singo Abang. Dia tidak melihat sosoknya
apa lagi gerakannya dan tahu-tahu satu hantaman lagi mendarat di kepalanya. Tak
ampun Pangeran Miring tersungkur terguling-guling dan sosoknya tergeletak
pingsan hanya satu langkah dari pinggiran jurang.
Singo Abang mengaum. Tubuhnya yang tadi berubah besar perlahan-lahan mengecil ke
bentuk semula. Dia menatap sosok Pangeran Miring sesaat lalu berpaling dan
melangkah mendekati tubuh yang tengkurap di sebelah sana. Ketika dia memeriksa
orang ini, termasuk memeriksa bagian dada yang terlindung di balik pakaian
putih, makhluk kepala singa ini sampai berjingkat dan mundur dua langkah. Mulut
singanya mengerenyit dan dua bola matanya yang kelabu membesar.
"Pendekar 212!" Singo Abang berucap dengan suara bergetar. "Sekian lama dia
tidak pernah muncul, tak pernah diketahui berada di mana.Kini mengapa bisa
berada di tempat ini" Rajah tiga angka itul Tak pelak lagi! Memang dia.
Tapi ......Singo Abang memeriksa pinggang pakaian orang yang tergeletak di
tanah. Jari-jarinya menyentuh sesuatu yang membuat tangannya serasa dingin dan
cepat-cepat ditarik. Ketika pakaian di bagian pinggang disingkapkannya,
kelihatanlah menyembul kepala senjata berbentuk kapak bermata dua."Kapak Maut
Naga Geni 212! Manusia ini memang Pendekar 212 Wiro Sableng! Sulit dipercaya Apa
yang membuatnya sampai terlempar ke sini" Siapa yang melempar" Manusia atau
setan"! Tubuh penuh lecet. Pakaian hangus.... Tapi jangan-jangan dia sudah
mati!" Singo Abang tekapkan telapak tangannya ke lengan kiri orang. "Ada denyutan....
Dia masih hidup!"
Lama Singo Abang tercekat diam sambil pegangi dagu. "Aku tak ada permusuhan
dengan manusia ini Apakah aku harus membunuhnya"!" Singo Abang memandang
sebentar ke arah Pangeran Miring yang tergeletak di dekat jurang sana. "Mereka
yang saling bermusuhan.
Tidak.... Mungkin lebih baik aku tidak membunuhnya. Jika dia kubiarkan hidup,
siapa tahu bisa membuka jalan untuk mendapatkan benda yang aku cari. Sekarang,
apa yang harus aku lakukan.... Kapak mustika itu. Senjata itu harus aku ambil!
Rasanya, itu lebih berguna dari pada membunuhmya!"
Makhluk setengah manusia setengah singa ini ulurkan tangan hendak mencabut Kapak
Maut Naga Geni 212 dari balik pinggang pakaian tapi gerakannya tertahan ketika
tiba-tiba dia BASTIAN TITO KEMBALI KE TANAH JAWA
mendengar suara aneh mendatangi. Sepasang telinga singanya yang.menyembul di
balik rambut-rambut coklat merah bergerak.
"Suara aneh. Seperti derap kaki kuda tapi aku yakin bukan kuda yang berlari.
Tadi kedengaran masih jauh. Kini sudah berada di belakangku!" Rambut di kepala
dan tengkuk Singo Abang mengembang mekar pertanda dia mencium datangnya bahaya!
Singo Abang palingkan kepala. Dia benar-benar tercekat ketika melihat siapa yang
berlari mendatangi ke arahnya.
"Momok Dempet Berkaki Kuda!" desis makhluk berkepala singa ini. "Agaknya aku
tidak berkesempatan mengambil kapak sakti itu. Kalau aku paksakan pasti makhluk
dempet jahanam ini akan menyerangku! Mencari urusan di saat Pangeran Miring
masih tergeletak pingsan di sebelah sana sangat tidak menguntungkan1 Lagi pula
selama ini aku tidak dapat menjajagi sampai dimana kehebatan sepasang momok
ini!" Sebelum menjauhkan diri dari sosok yan tergeletak di tanah, Singo Abang tepukkan
tangan kirinya ke dada orang itu, mengalirkan setengah tenaga dalam yang
dimilikinya. Sosok yang ditepuk tersentak ke atas lalu menggeliat. Singo Abang
sendiri cepat-cepat berdiri. Tepat pada saat dua sosok aneh mendatangi dan
berhenti lima langkah di hadapannya.
BASTIAN TITO KEMBALI KE TANAH JAWA
BAB 3 Yang tegak di depan Singo Abang saat itu adalah dua orang lelaki bertubuh kurus
kering, memiliki tinggi hampir satu setengah kali tingginya sendiri. Mereka
tegak seperti sengaja bersisian tapi jika diperhatikan ternyata tangan merekayang satu sebelah kanan dan satunya lagi sebelah kiri-saling berdempetan satu
sama lain! Berarti kemanapun mereka pergi dan dimanapun mereka berada akan
selalu bersisian seperti itu. Jika yang satu menggerakkan tangan kiri, berarti
yang satunya lagi harus ikut menggerakkan tangan kanan!
Masih ada keanehan lain pada sepasang manusia dempet ini. Yakni ke empat kaki
mereka. Kaki-kaki itu tidak berbentuk kaki manusia tapi berupa kaki kuda lengkap
dengan ladam besinya! Jika mereka berjalan atau berlari kaki-kaki itu akan
mengeluarkan suara seperti kuda berlari tapi akan terdengar aneh karena mereka
berlari bersisian, bukan seperti kuda sungguhan yaitu dua kaki di depan dan dua
kaki di belakang.
Sejak dua tahun belakangan ini sepasang makhluk dempet ini muncul di rimba
persilatan tanah Jawa dengan menebar nama memperkenalkan diri sebagai Momok
Dempet Berkaki Kuda.
Orang yang di sebelah kanan bernama Tunggul Gono sedang yang di sebelah kiri
bernama Tunggul Gini. Mereka diketahui jelas bukan dari golongan putih. Tetapi
di kalangan para tokoh golongan hitam mereka kurang mendapat tempat. Karena
sering ikut campur urusan orang bahkan tidak segan-segan menjatuhkan tangan
jahat. Kabar terakhir dua tokoh silat di Jawa Timur telah menjadi korban mereka.
Yang pertama adalah tokoh golongan hitam sedang satunya masih kerabat keraton
Surakarta. Tidak heran kalau kini keduanya menjadi buronan yang selalu dikejar
oleh para pimpinan pasukan dan pendekar Keraton.
"Malam tidak berbulan tidak berbintang. Udara dingin pula. Kerabat bernama Jolo
Pengging keluar dari sarang di dalam jurang! Tentu ada kepentingan luar biasa!"
Si tinggi kurus di sebelah kanan yang berambut awut-awutan dan bermata besar
membuka mulut. "Saudaraku Tunggol Gono, kau betul. Hal ini membuat aku ingin bertanya. Gerangan
apa yang tengah ia lakukan di tempat ini!" Menyahuti si tinggi di sebelah kiri
yang juga berambut awut-awutan tapi bermata sipit. "Di sebelah sana aku lihat
ada sosok berpakaian hitam menggeletak tak bergerak. Lalu di dekatmu juga ada
satu sosok lagi. Berpakaian putih, juga menggeletak tak bergerak! Siapa mereka"
Kami bertanya apakah kami akan mendapat jawaban"!"
Singo Abang menyeringai lalu mengaum.
"Kawasan Teluk Penanjung dan bukit-bukit karangnya adalah kawasan kekuasaanku!
Kemana aku pergi, dimana aku berada dan kapan aku mau adalah suka-suka diriku!
Mengenai pertanyaan kalian tadi tak ada sulitnya menjawab. Di sana tergeletak
seorang muda berpakaian putih. Siapa dirinya aku tidak tahu. Kalian silahkan
memeriksa dan menyelidiki sendiri. Sosok yang tergeletak di dekat jurang sana
adalah muridku!"
Momok Dempet Berkaki Kuda saling berpandangan lalu tertawa bergelak. Tunggul
Gono di sebelah kanan berkata. "Kerabat kita Singo Abang rupanya berhati jujur.
Mau menjawab pertanyaan kita apa adanya Tapi nada bicaranya agak sombong. Lagi
pula aku rasa ada sesuatu yang disembunyikannya pada kita..."
"Kurasa demikian. Bertahun-tahun malang melintang di rimba persilatan, baru hari
ini aku tahu kalau Singo Abang punya murid! Ha... ha...ha!"
Singo Abang tidak perdulikan ucapan orang. Dia melangkah ke arah sosok Pangeran
Miring tergeletak. Tapi kemudian dia ingat akan sosok yang satu lagi. "Kalau aku
tinggalkan Pendekar 212 bersama orang-orang ini, kapak sakti itu pasti akan
mereka rampas. Dari pada mereka yang mendapatakan lebih baik aku ambil saja!"
Singo Abang dengan cepat memutar langkahnya lalu berkelebat ke arah sosok
berpakaian putih. Tangannya diulurkan untuk mengambil kapak sakti. Namun sebelum
sempat menyentuh senjata itu tiba-tiba Momok Dempet Berkaki Kuda gerakkan tangan
mereka yang dempet. Selarik sinar hitam menderu dari sela tangan yang
bertempelan. Membuat Singo Abang mengaum keras dan terpaksa melompat mundur.
"Wusssss! Braaaakkkk!"
Dinding batu terbongkar dihantam larikan sinar hitam. Sebuah lobang besar
menguak mengerikan.
"Kapak itu agaknya tidak berjodoh denganku! Perlu apa aku mempertaruhkan nyawa
untuk mendapatkannya!" kata Singo Abang lalu dengan cepat dia berkelebat ke arah
sosok Pangeran Miring. Sebelum tinggalkan tempat itu sambil memanggul muridnya
dia berpaling pada dua makhluk dempet.
"Momok Dempet! Harap kalian terima balasan penghormatan dariku!" Lalu Singo
Abang hantamkan tangan kanannya. Satu gelombang sinar merah yan menghampar hawa
panas berkiblat.
Tunggul Gono dan Tunggul Gini berseru kaget. Tidak menyangka orang berani
membalas serangannya. Keduanya melompat setinggi satu tombak. Sinar merah lewat
di bawah kaki mereka
BASTIAN TITO KEMBALI KE TANAH JAWA
terus menghantam gundukan batu karang di ujung pedataran hingga hancur
berkeping-keping dan mengepulkan asap panas!
"Singo Abang! Kau minta mati!" Teriak Tunggul Gini marah. Bersamaan dengan itu
tangan kanannya yang berdempet dengan tangan kiri Tungul Gono dipukulkan ke arah
Singo Abang. Untuk kedua kalinya larikan sinar hitam melabrak ke arah makhluk
kepala singa. Kali ini lebih dahsyat karena dua makhluk dempet ini mengerahkan
hampir seluruh hawa sakti yang mereka miliki. Tapi saat itu Singo Abang sudah
melompat terjun ke dalam jurang. Serangan maut Momok Dempet hanya menghantam
dinding batu karang di salah satu sudut jurang. Untuk kesekian kalinya jurang
itu digelegari oleh suara hancurnya bebatuan.
"Jahanam Singo Abang! Berani dia menantang kita! Aku ingin mengejarnya walau
sampai ke dasar jurang!" Tunggul Gini berkata.
"Jangan perturutkan amarah!" menjawab Tunggul Gono. "Hari masih gelap. Kita
tidak tahu seluk beluk jurang! Salah-salah bisa celaka kena dijebak musuh!
Bangsat kepala singa itu tidak seumur-umur mendekam di dalam jurang. Kita minta
bantuan beberapa kawan mengawasi keadaan sekitar jurang ini. Satu saat pasti dia
akan keluar. Kita cari kesempatan lain untuk menghajarnya!"
"Menurutmu apakah dia memang menyembunyikan dua kitab yang kita cari?"
"Tak dapat kupastikan. Tapi jika keterangannya benar bahwa orang berpakaian
hitam tadi adalah muridnya, bukan mustahil salah satu kitab itu ada padanya."
Jawab Tunggul Gono.
"Paling tidak dia mengetahui dimana beradanya."
Tunggul Gini menatap ke arah jurang kelam. "Pangeran Matahari diketahui menemui
ajal di jurang itu dua tahun silam. Bukan mustahil Singo Abang menemukan Kitab
Wasiat Iblis pada mayat Pangeran Matahari. Tentang Kitab Wasiat Malaikat masih
kabur bagi kita dimana beradanya..." (Momok Dempet Berkaki Kuda rupanya tidak
mengetahui apa yang terjadi dengan Kitab Wasiat Iblis yang memang pernah
dimiliki oleh Pangeran Matahari. Sepereti diceritakan dalam serial Wiro Sableng
sebelumnya yakni Episode terakhir dari 8 Episode berjudul "Kiamat Di
Pangandaran", kitab Wasiat Iblis telah ditelan oleh Datuk Rao Bamato Hijao
harimau sakti pelindung Wiro sewaktu terjadi pertempuran hidup mati antara
Pendekar 212 dengan Pangeran Matahari).
"Sekarang apa yang kita lakukan?" Bertanya Tunggul Gini.
Tunggul Gono menunjuk ke arah sosok berpakaian putih di seberang sana. "Kita
periksa siapa adanya orang itu. Tadi kulihat Singo Abang seperti hendak
mengambil sesuatu dari orang itu..."
"Bukan itu saja," sahut Tunggul Gini. "Aku sempat melihat dia memukul dada
orang, mengalirkan hawa sakti.'
"Dia coba menyelamatkan orang. Berarti yang tergeletak itu seorang yang amat
penting. Mari kita selidiki siapa dia!" kata Tunggul Gono pula. Kedua orang itu segera
melangkah mendekati sosok berpakaian putih yang kini tergeletak menelentang.
Sementara kegelapan malam mulai bias oleh kedatangan pagi.
"Seorang pemuda berambut gondrong. Wajah dan tubuh penuh lecet. Pakaian putih
hangus..." kata Tunggul Gini begitu sampai di hadapan sosok yang tergeletak di
tanah. Tunggul Gono angkat tangannya, memberi isyarat agar Tunggul Gini hentikan
ucapan. Lalu dia membungkuk. Karena tangan mereka dempet, gerakan ini membuat Tunggul
Gini ikut membungkuk. "Lihat! Dada orang ini! Ada rajah tiga angka!"
Tunggul Gini delikkan mata lalu ternganga. "Gila! Pemuda ini Pendekar 212 Wiro
Sableng!" katanya kemudian setengah berseru.
"Sejak dua tahun lalu dia dikabarkan lenyap! Bahkan ada yang menduga sudah mati!
Mengapa sekarang bisa muncul di sini"! Jangan-jangan ini hantunya!" kata Tunggul
Gono pula. Tunggul Gini tidak perdulikan ucapan orang. Dia sibakkan pakaian putih orang
yang tergeletak di tanah di bagian pinggang. "Lihat! Kapak Naga Geni 212!"
"Tidak diduga tidak dinyana! Benar Pendekar 212 rupanya! Rejeki kita besar
sekali di malam buta ini! Mungkin kitab sakti itu juga ada padanya!" seru
Tunggul Gono. Tunggul Gini menyeringai lebar. Tangan kanannya bergerak dengan cepat hendak
mencabut Kapak Naga Geni 212 dari pinggang orang. Tapi tidak terduga tiba-tiba
kaki kanan orang yang tergeletak di tanah melesat ke depan.
"Bukkk!"
Tunggul Gini menjerit. Satu tendangan keras mendarat di dadadnya. Tubuhnya
bersama-sama Tunggul Gono terpental lalu jatuh terjengkang di tanah.
"Jahanam berani mati!" teriak Tunggul Gono lalu menolong Tunggul Gini bangun.
Begitu keduanya berdiri pemuda berambut gondrong dan berpakaian putih hangus
telah tegak di depan mereka, memandang tajam tapi sambil salah satu tangannya
memijit-mijit kening sendiri.
BASTIAN TITO
Wiro Sableng 120 Kembali Ke Tanah Jawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
KEMBALI KE TANAH JAWA
BAB 4 "Aku tidak percaya pemuda itu Pendekar 212 Wiro Sableng!" kata Momok Dempet
Tunggul Gono. "Tegaknya menghuyung seperti mau roboh! Terus-terusan memijit
kening seperti orang sinting sakit kepala! Sikapanya macam orang bego! Lagi pula
apa kau lupa kabar yang mengatakan bahwa murid Sinto Gendeng itu menghilang
entah kemana sejak dua tahun lalu?"
"Aku barusan merasakan tendangannya! Jika dia bukan pemuda berkepandaian tinggi
tak mungkin bisa menendang diriku!" jawab Tunggul Gini bersungut sambil uruturut dadanya yang masih terasa sakit.
Di depan sana pemuda berpakaian putih hangus dan berambut gondrong yang memang
Pendekar 212, murid Eyang Sinto Gendeng adanya masih berdiri dan terus memijit
kening. Sambil matanya menatap ke depan, melirik ke samping dia bertanya-tanya dalam
hati. "Heran, apa yang terjadi dengan diriku. Sekujur badan terasa ngilu. Pemandangan
berkunang. Kepala mendenyut sakit tak karuan. Dimana aku saat ini! Gelap semua.
Apa saat ini malam hari" Mana bocah brengsek Naga Kuning" Aku tidak mencium bau
pesing. Berarti kakek Si Setan Ngompol itu juga tidak ada di sini. Lalu dua
mahkluk bertangan dempet itu, siapa mereka" Manusia atau setan jangkungan"!"
Dalam keadaan seperti itu Wiro tidak dapat menjawab semua pertanyaannya sendiri.
Dia melihat satu gundukan batu di samping kiri. Pemuda ini melangkah mendekati
batu lalu duduk di atasnya. Tangan kiri masih memijit kening. Tangan kanan
menggaruk kepala.
Seperti dikisahkan dalam Episode sebelumnya (Istana Kebahagiaan) sewaktu Batu
Pembalik Waktu patah dua bersama dengan meledaknya Istana Kebahagiaan, Wiro dan
kawan-kawan bahkan semua orang yang ada dalam Ruang Seribu Kehormatan tersedot
oleh satu lingkaran cahaya tujuh pelangi yang berputar laksana sebuah tong
raksasa. Ketika lingkaran cahaya itu melesat menembus angkasa, semua orang yang
ada dalam Istana Kebahagiaan termasuk Pendekar 212 Wiro Sableng ikut terseret
dan lenyap seolah ditelan langit.
"Latanahsilam... Latanahsilam, apakah aku masih berada di Negeri Latanahsilam"
Hantu Muka Dua... Luhrembulan, Luhcinta... Orang-orang itu, dimana semua mereka?"
Pikiran dan hati Pendekar 212 kembali dipenuhi setumpuk pertanyaan.
"Tunggul Gini, kau lihat pemuda itu. Dia bicara sendirian. Jangan-jangan kita
cuma berhadapan dengan seorang gila!"
"Kau tolol amat!" maki Tunggul Gini. "Orang gila mana bisa berkelahi. Dia
menendangku dengan pengerahan tenaga dalam! Kau buta tidak melihat senjata
berbentuk kapak yang terselip di pinggangnya"!"
Tunggul Gono masih sangsi. Dia lantas berteriak. "Kampret! Apa kau orangnya
bernama Wiro Sableng, berjuluk Pendekar 212"!"
"Kepalaku lagi sakit! Bangsat berujud setinggi galah itu mamaki seenaknya..." Wiro
berkaa dalam hati. "Eh, apa memang aku sudah benaran berubah ujud" Jangan-jangan
aku benaran sudah jadi kampret!" Wiro usap tubuhnya sendiri. Pegang kepalanya.
Gosok-gosok telinga kiri kanan. Mengusap mulut. Lalu perhatikan dua kaki dan
sepasang tangannya. "Sialan betul. Ternyata aku masih berbentuk manusia,
dibilang kampret! Tapi..." Wiro meraba-raba ke balik pakaian. Dua tangannya
menyelinap ke bawah ketiak lalu ditarik dan jari-jarinya ditempelkan ke hidung.
"Ih... bau asem! Jangan-jangan aku betulan sudah jadi kampret!"
Pendekar 212 lalu tertawa gelak-gelak.
Melihat tingkah laku Wiro itu Tunggul Gini jadi jengkel. "Benar-benar kurang
ajar! Dia tidak memperdulikan kita. Sepertinya kita tidak ada di tempat ini! Dia
juga tidak menjawab pertanyaan kita! Aku ingin membunuhnya!"
"Jangan dibunuh. Kita perlu menguras banyak keterangan dari mulutnya! Kalau
sudah dapat baru dihabisi!" kata Tunggul Gono. Lalu dia mendahului menerjang.
Tunggul Gini seta merta ikut melompat.
Murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede tersentak kaget ketika dalam gelap
dia melihat empat kaki aneh berbentuk kuda lengkap dengan ladam besi berkilat,
menghantam ke arah dirinya. Dua menderu ke arah kepala, dua lagi mencari sasaran
di perut dan dada! Inilah jurus serangan Momok Dempet yang disebut Empat Ladam
Kematian. Masih dalam keadaan terhuyung dan kepala mendenyut sakit, Wiro menyadari
datangnya bahaya maut ini. Tubuhnya dijatuhkan ke belakang. Sambil menggulingkan
punggung ke pedataran batu tangannya dibabatkan ke atas untuk menangkis serangan
yang mengarah kepala.
Bersamaan dengan tiu dua kakinya ikut menendang untuk membabat dua serangan ke
arah perut. "Ganti jurus!" salah satu dari Momok Dempet berteriak.
Dua sosok jangkung setinggi galah berputar bergulung, mengambang di udara lalu
di lain kejap menggebrak ke arah Pendekar 212 yang saat itu baru saja berguling
di pedataran batu dan siap bangkit berdiri.
Momok Dempet Berkaki Kuda memang memiliki ilmu silat aneh. Setengah jalan, jika
merasa serangan mereka tidak akan menemui sasaran atau bakal menghadapi
tangkisan hebat,
BASTIAN TITO KEMBALI KE TANAH JAWA
maka kejapan itu juga mereka mampu merubah jurus dan serangan yang dilancarkan.
Pertama menggebrak mereka menghantam dengan jurus yang disebut Empat Ladam
Kematian. Begitu Wiro bergerak menangkis dan balas menendang keduanya langsung
batalkan serangan dan ganti dengan serangan baru dalam jurus bernama Empat Ladam
Menghembus Roh.
"Wuss!"
Empat angin menderu dahsyat. Empat kaki berbentuk kuda terbungkus ladam keras
menderu mengeluarkan angin dingin menggidikkan.
"Edan!" maki Pendekar 212. Salah satu tendangan lawan lewat dekat sekali di
bawah dagunya. Yang dua bisa dielakkan, yang ketiga menyerempet dada pakaiannya
hingga baju putih yang telah hangus itu robek besar!
Wiro jatuhkan diri sama rata dengan pedataran batu. Saat itu dia merasakan
pedataran bergetar seperti digoyang gempa. Di belakangnya ada suara benda keras
menancap di batu. Lalu ada debu dan batu kerikil beterbangan. Ketika Wiro
berpaling memperhatikan kaget murid Sinto Gendeng ini bukan kepalang. Empa kaki
kuda Momok Dempe tenggelam amblas ke dalam dinding batu karang!
Tengkuk Wiro menjadi dingin. Dapat dibayangkan bagaimana kalau empat kaki itu
tadi sempat menancap di kepala atau tubuhnya! Tidak menunggu lebih lama dia
segera melompat berdiri. Saat itu Momok Dempet telah mencabut empat kaki mereka
yang menancap di batu karang. Keduanya melesat di udara, berputar seperti
baling-baling. Begitu berada di atas Wiro tangan masing-masing menghantam ke
bawah. Dari mulut mereka keluar teriakan menyebut jurus pukulan yang
dilancarkan. "Sepasang Palu Kematian!"
Belum lagi serangan dua pukulan itu sampai, anginnya saja sudah membuat Wiro
goyang! "Gila!" maki Pendekar 212. Dengan cepat dia kerahkan tenaga dalam lalu sambil
rundukkan tubuh dia balas menghantam dengan salah satu jurus ilmu silat yang
didapatnya dari Kitab Putih Wasiat Dewa pemberian Datuk Rao Basaluang Ameh.
"Tangan Dewa Menghantam Matahari!" teriak sepasang Momok Dempet hampir
berbarengan lalu cepat-cepat menyingkir.
Dua pukulan laksana palu godam yang dihantamkan Momok Dempet lewat di kiri kanan
Pendekar 212. Kalau mereka tidak cepat menyingkir dan menarik tangan masingmasing, niscaya salah satu dari mereka akan berantakan dimakan pukulan Tangan
Dewa Menghantam Matahari.
"Astaga! Bagaimana dua makhluk galah sialan ini tahu jurus serangan yang
lancarkan! Kenalpun baru hari ini. Di malam gelap pula!" Wiro tersentak kaget dan berkata
dalam hati. Momok Dempet saling berbisik. "Tunggul Gono, betul rupanya kabar yang kita
sirap. Pemuda itu memang menguasai ilmu langka inti Delapan Sabda Dewa! Kita harus
berhati-hati. Waktu pukulannya lewat di sisiku, tulang-tulang serasa mau remuk!"
"Kalau tidak mau celaka kita harus serang dia dengan pukulan sakti Ladam Setan.
Lalu susul dengan Palu Dan Ladam Membongkar Bumi!" kata Tunggul Gono dengan
rahang menggembung.
"Hantam!" teriak Momok Dempet. Keduanya membuat gerakan melompat. Setengah
jalan, sesaat tubuh mengapung di udara, keduanya pukulkan tangan kiri dan kanan
yang saling berdempetan. Dari celah dua telapak tangan menghambur sinar hitam.
Saat itu kegelapan masih menyungkup namun gelapnya sinar pukulan sakti kedua
orang ini lebih pekat hingga kelihatan nyata menggidikkan. Inilah pukulan
berbahaya Ladam Setan yang sejak dua tahun belakangan ini telah banyak merenggut
nyawa para tokoh silat golongan putih maupun golongan hitam.
Wiro terkejut bukan main. Apalagi tidak menyaknga lawan bisa selamatkan diri
dari pukulan Tangan Dewa Menghantam Matahari. Sambil membentak Wiro melesat satu
tombak ke udara untuk selamatkan diri dari sambaran maut sinar hitam. Di samping
bukit sebelah kiri menggelegar suara menggemuruh. Dinding karang terbongkar,
mengepulkan asap, merah membara lalu menghitam berubah jadi arang keras
meninggalkan satu lobang besar mengerikan.
"Palu Dan Ladam Membongkar Bumi!"
Wiro mendengar Momok Dempet berteriak berbarengan. Lalu tubuh keduanya lenyap.
Di lain kejap kelihatan satu benda tinggi hitam, berputar dahsyat. Di sebelah
atas merentang palang seperti baling-baling siap membabat apa saja yang ada di
depannya. Secara tak terduga putaran itu berubah menjadi kemplangan laksana palu
godam. Lalu terdengar pula suara hentakan-hentakan yang menggetarkan bukit batu.
"Kraakk! Byaaarrr!"
Satu tonjolan batu karang runcing putus dibabat palang berputar. Di sebelah
bawah tanah dan batu terbongkar membentuk lobang-lobang. Melihat hal ini Wiro
yang semula hendak menangkis dan balas menghantam jadi berpikir dua kali. Dia
siapkan pukulan Bentang Topan Melanda Samudera di tangan kiri sementara tanagn
kanan membuat gerakan jurus Di Balik Gunung Memukul Halilintar yang kemudian
akan segera disusul dengan pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung.
BASTIAN TITO KEMBALI KE TANAH JAWA
Namun baru dia hendak bergerak menderu angin yang sangat keras membuat Pendekar
21 terdorong dan tersurut terhuyung-huyung. Bagaimanapun dia kerahkan tenaga tetap
saja tak bisa bertahan dan terpaksa kembali mundur hingga akhirnya pungunggnya
membentur dinding batu.
"Celaka!" keluh Wiro. Dia segera menyingkir ke kiri sambil melepas pukulan
Benteng Topan Melanda Samudera. Sosok lawan yang satu setengah kali lebih tinggi
menimbulkan kesulitan baginya. Dia terpaksa memukul ke arah dada. Lalu dengan
cepat membungkuk sambil susupkan pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung.
Momok Dempet Berkaki Kuda tertawa mengejek. "Nama besar Pendekar 212 ternyata
kosong belaka!"
"Braakkk!"
Wiro mengeluh tinggi. Tubuhnya terpental. Tulang tangannya sebelah kiri seperti
hancur. Untuk sesaat dia tidak bisa menggerakkan tangan itu. Dalam keadaan seperti itu
dari atas tangan dempet sepasang Momok datang mengemplang ke arah batok
kepalanya. Inilah pukulan maut Palu Dan Ladam Membongkar Bumi! Wiro terlambat
bergerak, tidak sempat menangkis!
"Mati aku!"
Murid Sinto Gendeng masih berusaha kirimkan pukulan Tangan Dewa Menghantam Batu
Karang dengan tangan kanan.
"Bukkk! Desss!"
Wiro menyangka dia berhasil memukul salah satu bagian tubuh lawan. Ternyata
jotosannya diredam oleh telapak tangan kiri Tunggul Gini. Lalu dipelintir dan
didorong hingga Wiro terjajar ke belakang.
"Tanggal tulangku!" keluh Wiro. Dalam keadaan terjajar begitu rupa tak mungkin
lagi baginya untuk selamatkan kepalanya yang dikejar pukulan Palu Membongkar
Bumi. Sesaat lagi batok kepala murid Sinto Gendeng itu akan dibuat hancur berantakan
tiba-tiba melesat satu bayangan biru. Momok Dempet Berkaki Kuda berteriak kaget
dan marah. Tubuh mereka terdorong ke samping. Pukulan Palu Membongkar Bumi walau
masih terus mendera ke bawah namun menyerempet dinding batu hingga menimbulkan
guratan panjang dan dalam serta menebar debu karang!
"Jahanam! Setan dari mana berani campur tangan urusan Momok Dempet!" Tunggul
Gini berteriak marah. Tangan kirinya langsung menghantam dengan pukulan sakti
Ladam Setan. Walau hanya dia sendiri yang melepas pukulan ini tapi kehebatannya tetap saja
mengandung kematian!
BASTIAN TITO KEMBALI KE TANAH JAWA
BAB 5 Angin pukulan maut Palu Membongkar Bumi yang lewat satu jengkal di sampingnya
membuat Pendekar 212 Wiro Sableng terhuyung dan jatuh terduduk. Ketika dia
mencoba bangkit dan memandang ke depan dilihatnya seorang lelaki berpakaian
ringkas warna biru tegak menghadapi Momok Dempet Berkaki Kuda. Rambutnya
tersisir rapi dan berkilat pertanda dia memakai sejenis minyak pengkilap rambut.
Karena membelakangi Wiro tidak bisa melihat wajah si penolong ini. Sambil terus
memperhatikan Wiro berdiri lalu bersandar ke dinding batu di belakangnya.
Momok Dempet memandang garang. Keduanya maju satu langkah lalu hentakkan kaki ke
tanah hingga tanah berhamburan dan batu berpecahan.
"Bangsat baju biru! Siapa kau"! Apa hubunganmu dengan Pendekar 212 hingga maumauan menyelamatkan batok kepalanya dari kehancuran"!" Tunggul Gono membentak.
Sepasang alis orang berpakaian biru mencuat naik ke atas. Keningnya sesaat
mengerenyit. Tanda terkejut mendengar bentakan Tunggul Gono tadi. Dia tidak menduga sama
sekali kalau yang barusan ditolongnya adalah Pendekar 212.
"Selama ini dia dikabarkan lenyap tak diketahui rimbanya. Mengapa tahu-tahu ada
di sini. Apa yang terjadi dengan dirinya?" Orang ini tak bisa berpikir lebih panjang
karena Tunggul Gono kembali menghardik.
"Kalau kau ak mau menjawab kupecahkan batok kepalamu saat ini juga! Katakan
hubunganmu dengan Pendekar 212! Katakan juga siapa kau punya nama!"
"Manusia lahir diberi nama. Setelah besar terkadang mendapat julukan. Nama dan
julukan hanya legenda kebiasaan. Kependekaran sejati tidak menyanjung nama
mengeramatkan gelar atau julukan!"
Sementara Wiro terheran-heran mendengar jawaban orang berpakaian biru, sepasang
Momok Dempet malah tertawa gelak-gelak.
"Satu lagi kita menemui orang gila malam ini!" kata Tunggul Gono.
"Betul! Orang gila yang barusan datang ini rupanya pendekar sejati. Itu sebabnya
dia tidak mau perkenalkan nama apalagi mengatakan julukan! Ha... ha... ha!"
"Dia tidak mau merepotkan kita!" menyahuti Tunggul Gini. "Karena dia tidak mau
memberi tahu nama, berarti kalu dia mati kita tidak perlu susah-susah membuat
papan nisan namanya segala! Ha... ha...ha...!"
Orang berpakaian biru yang tegak membelakangi Wiro rangkapkan dua tangan di
depan dada lalu berkata. "Momok Dempet. Perkara bunuh membunuh bagi kalian
adalah perkara mudah. Semudah membalikkan telapak tangan. Bertahun-tahun malang
melintang hanya membuat keonaran, menumpah darah mencabut nyawa. Tubuh kalian
sudah bau tanah! Apakah akan menebar kejahatan sampai ke liang kubur"!"
Diam-diam Wiro mendengarkan dengan seksama semua percakapan orang. Dia semakin
menyadari kalau saat itu dia memang tidak lagi berada di Negeri Latanahsilam.
"Di Latanahsilam seingatku tidak ada makhluk bernama Momok Dempet. Melihatnya
pun baru sekali ini... Tapi kalau kulihat sepasang kaki mereka menyerupai kaki
kuda... Keanehan seperti itu hanya ada di Negeri Latanahsilam!" Wiro garuk
kepalanya. "Dimana aku berada saat ini sebenarnya?"
"Ha... ha! Manusia satu ini ternyata bukan cuma pendekar sejati ! Tapi dia juga
pandai membaca syair di luar kepala!" kata Tunggul Gini menanggapi ucapan si
baju biru tadi. Lalu bersama Tunggul Gono dia tertawa terpingkal-pingkal.
"Malam begitu dingin. Tapi mengapa hawa terasa panas?" Orang berpakaian biru
berucap aneh. Tangannya meraba ke balik dada lalu srettt! Sebuah kipas lipat
tujuh warna terkembang di tangan kirinya. Dia mulai berkipas-kipas sambil
dongakkan kepala ke langit kelam.
"Pendekar Kipas Pelangi!" seru sepasang Momok Dempet berbarengan dan sama-sama
tersurut satu langkah. Dari tempatnya berdiri Wiro bisa melihat perubahan pada
air muka sepasang momok. Mata keduanya memandang mendelik ke arah kipas di
tangan si baju biru.
"Pendekar Kipas Pelangi," Wiro mengulang dalam hati. "Belum pernah kudngar nama
itu sebelumnya".
"Bertangan kidal. Memegang kipas di tangan kiri, pakaian biru, wajah cakap
berkumis!
Wiro Sableng 120 Kembali Ke Tanah Jawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Itu ciri-ciri yang pernah aku dengar. Dia memang Pendekar Kipas Pelangi..." Bisik
Tunggul Gini dengan suara bergetar. Tunggul Gono diam saja hanya dua matanya
masih terus menatap ke depan tak berkesip.
"Manusia lahir diberi nama. Setelah besar terkadang mendapat julukan. Nama dan
julukan hanya legenda kebiasaan. Kependekaran sejati tidak menyanjung nama
mengeramatkan gelar atau julukan!" Orang berpakaian serba biru berambut rapi
berminyak mengulang ucapan yang tadi dikeluarkannya.
"Pendekar Kipas Pelangi, kami berdua menghormat nama besarmu. Selama ini tidak
ada pertikaian antara kita. Tapi mengapa hari ini kau muncul dan mencampuri
urusan kami"!"
Bertanya Tunggul Gono. Nada suaranya tidak segalak dan seberangas sebelumnya.
BASTIAN TITO KEMBALI KE TANAH JAWA
"Tadi aku berucap, mungkin kalian tidak menyimak. Biar kuulang sekali lagi.
Perkara bunuh membunuh bagi kalian adalah perkara mudah. Padahal nyawa manusia
bukan di tangan manusia lainnya. Mengapa kalian begitu berani menentang kodrat
dan kuasa Tuhan Seru Sekalian Alam"!"
Sesaat Momok Dempet Berkaki Kuda jadi terdiam mendengar kata-kata orang berkipas
yang disebut dengan julukan Pendekar Kipas Pelangi.
"Kami tidak bicara tentang Tuhan. Kami bertanya mengapa kau mencampuri urusan
kami!" bentak Tunggul Gono. Keberanian rupanya muncul secara tiba-tiba dalam
diri orang ini.
"Rupanya kau masih kurang menyimak. Biar aku memberi penjelasan. Nyawa manusia
bukan milik manusia lainnya. Jika ada nyawa seseorang terancam adalah keawajiban
seorang lain untuk menolong..."
"Kalau sebelumnya Momok Dempet memang merasa agak leleh nyalinya menghadapi si
baju biru, namun lama-lama keduanya menjadi jengkel juga.
"Dengar Pendekar Kipas Pelangi. Kalau kami katakan kami menghormatimu, bukan
berarti kami takut atau bisa dilecehkan begitu saja. Jangan berkata pongah di
balik nama Tuhan serta dalih budi baik menolong sesama manusia! Takdir manusia
hidup mempunyai berbagai macam urusan. Tapi banyak di antara manusia menjadi
sombong, hendak menunjukkan kehebatan dengan dalih menolong sesama. Salah satu
di antaranya adalah kau!"
Orang berjuluk Pendekar Kipas Pelangi tersenyum dan angguk-anggukkan kepala
mendengar ucapan Tunggul Gono. Semenatara pasangannya yang bernama Tunggul Gini
batuk-batuk beberapa kali lalu berucap.
"Maafkan saudaraku ini. Dia memang penaik darah dan mulutnya terkadang tidak
terbendung. Pendekar Kipas Pelanbgi, sebenarnya kami tidak bermaksud membunuh
pemuda itu. Tapi dia menyerang lebih dulu. Selain itu kami tengah mencari satu benda pusaka
sakti. Jika kau mau bersikap lunak, siapa tahu kau kelak akan kebagian rejeki
besar pula seandainya kami berhasil menemukan benda keramat itu."
"Mencari rejeki besar dengan membunuh sesama bukan namanya mencari rejeki. Tapi
mencari dosa dan permusuhan. Tinggalkan tempat ini. Pergilah mencari rejeki di
tempat lain!"
Ucapan Pendekar Kipas Pelangi ini membuat sepasang Momok Dempat menjadi geram.
"Kami mencari rejeki dimana kami suka!" menyahuti Tunggul Gono. "Kalau disini
tidak ada rejeki, atau ada orang lain yang coba mengais di lahan yang sama, apa
boleh buat! Tapi sebelum pergi kami ingin mendapat beberapa pelajaran darimu.
Kami ingin mengukir satu kenangan sampai dimana sebenarnya kehebatan Pendekar
Kipas Pelangi."
"Sahabat! Serahkan dua makhluk galah itu padaku!" Wiro yang sejak tadi diam jadi
tak tahan hati dan mulai membuka mulut berseru. "Nyawaku yang diinginkannya!
Jangan kau menyusahkan diri sendiri!"
Orang berpakaian biru tidak menoleh. Dia hanya angkat tangan kanannya memberi
isyarat bahawa urusan itu akan dihadapinya sendiri. "Menantang adalah sikap
pongah menyombong kekuatan. Tidak melayani tantangan adalah sikap bersih dan
jujur. Tapi dilecehkan dengan tantangan adalah pantangan para pendekar. Momok
Dempet Berkaki Kuda, aku tidak akan memberi petunjuk apa-apa pada kalian karena
aku memang tidak memiliki ilmu kepandaian yang patut diajarkan. Justru aku yang
akan meminta budi pelajaran dari kalian berdua. Mudah-mudahan ada manfaatanya
bagi diriku..."
Mendengar ucapan orang berpakaian biru, sepasang Momok Dempet jadi melengak,
saling pandang lalu saling berbisik. Tiba-tiba keduanya keluarkan suara aneh.
Meringkik seperti kuda sambil kaki masing-masing dihentak-hentakkan ke tanah
berbatu. "Langit terlalu tinggi, samudera terlalu dalam. Satu-satunya tempat lari adalah
liang kematian!"
Yang keluarkan seruan itu adalah Momok Dempet di sebelah kiri yakni Tunggul
Gini. Lalu bersama Tunggul Gono secara berbarengan dia hantamkan tangan kiri dan
kanan. Di saat yang sama tangan mereka yang dempet juga memukul ke depan. Empat
larik sinar hitam Pukulan Ladam Setan menghantam mengurung Pendekar Kipas
Pelangi. Dua menderu di kiri kanan, dua lagi melabrak di sebelah atas dan bawah.
Orang berbaju biru itu terjepit empat serangan maut.
Seperti ucapan sepasang momok, tempat larinya hanyalah liang kematian! Tapi
sungguh mengagumkan, sikapnya tenang saja mengahdapi bahaya!
"Sahabata awas!" teriak Wiro lalu melompat ke depan sambil lepaskan Pukulan
Sinar Matahari. Sinar putih panas berkiblat. Tempat itu serta merta menjadi
terang benderang.
"Terima kasih kau mau membantu!" kata Pendekar Kipas Pelangi. Masih dengan sikap
tenang. "Biar aku tambahkan bumbu penyedap pada pukulan saktimu!"
Habis berkata begitu srett! Pendekar Kipas Pelangi tutupkan kipas lipatnya.
Srettt! Ketika kipas itu dengan cepat kembali dikembangkan maka terlihatlah satu
pemandangan luar biasa!
Tujuh sinar pelangi menderu membentuk sinar puitih setengah lingkaran tegak
lurus, mendukung sinar puith pukulan Sinar Matahari yang berada di sebelah atas.
Pendekar Kipas Pelangi putar lengan kirinya yang memegang kipas. Tujuh sinar
pelangi ikut berputar rebah
BASTIAN TITO KEMBALI KE TANAH JAWA
membentuk benteng bersusun lalu bersama Pukulan Sinar Matahari melabrak dahsyat
empat cahaya hitam Pukulan Ladam Setan!
"Blaarrr! Blaaarrr! Blaarrr! Blaarr!"
BASTIAN TITO KEMBALI KE TANAH JAWA
BAB 6 Bukit karang bergoncang hebat ketika empat suara letusan seperti kilat menyambar
berdentam empat kali berturut-turut. Di Teluk Penanjung suara deburan ombak
seolah tenggelam lenyap. Gelombang seperti tertahan tak bergerak.
Pendekar 212 Wiro Sableng tegak terhuyung. Mukanya kelihatan pucat. Debu
menutupi rambut dan sekujur pakaiannya. Di sebelah depan Pendekar Kipas Pelangi
mengalami goncangan hebat. Sepasang lututnya goyah. Bagaimanapun dia bertahan,
perlahan-lahan tubuhnya jatuh berlutut. Dada berdenyut keras, aliran darah tak
menentu. Seperti Wiro, wajahnya kelihatan pucat seolah tak berdarah. Dia putar
tangan kirinya yang memegang kipas.
"Sreetttt!"
Kipas lipat tertutup kembali. Dengan cepat dia atur jalan darah, pernafasan
serta alirkan hawa sakti ke beberapa bagian tubuh. Ketika dia memandang ke arah
tempat dari mana tadi sepasang Momok Dempet melancarkan serangan, makhluk aneh
itu atak ada lagi di tempatnya.
Di tanah kelihatan cabikan-cabikan pakaian hitam serta muntahan darah segar!
Bentrokan pukulan sakti mengandung tenaga dalam tadi rupanya telah membuat
sepasang Momok Dempet mengalami luka dalam hebat lalu melarikan diri.
Perlahan-lahan Pendekar Kipas Pelangi memutar tubuhnya, membuatnya kini untuk
pertama kali berhadap-hadapan saling tatap dengan Pendekar 212 Wiro Sableng.
Ternyata pendekar ini berwajah lumayan cakap. Sepasang kumis kecil rapi
mebelintang di bawah hidungnya.
Wiro membungkuk memberi penghormatan seraya berkata. "Sahabat, aku mengucapkan
terima kasih atas budi pertolonganmu. Entah kapan aku bisa membalas hutang besar
ini!" Pendekar Kipas Pelangi tertawa lebar. Dia masukkan kipasnya ke balik pakaian.
"Sahabat, kalau tadi kau tidak ikut menghantam dengan pukulan yang memancarkan
cahaya menyilaukan itu, belum tentu aku bisa menghadapi pukulan dua momok itu.
Mungkin aku sendiri saat ini sudah terluka parah!"
"Kau pandai merendah," kata Wiro
"Saling menolong antara sesama sahabat dalam rimba persilatan, bukankah itu satu
kebajikan yang selalu diajarkan oleh para guru?" berkata Pendekar Kipas Pelangi.
"Betul sekali, betul sekali..."
"Sahabat, selama ini aku hanya mendengar cerita. Pukulan sakti bercahaya
menyilaukan serta menebar hawa panas tadi, apakah itu Pukulan Sinar Matahari
yang tersohor di delapan penjuru angin?"
Wiro hanya tertawa sambil garuk-garuk kepala.
"Apakah saat ini aku benar berhadapan dengan tokoh rimba persilatan bernama Wiro
Sableng berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212?"
Masih tersenyum murid Eyang Sinto Gendeng menyahuti. "Turut ucapanmu tadi,
manusia lahir diberi nama. Setelah besar terkadang mendapat julukan. Nama dan
julukan hanya legenda kebiasaan. Kependekaran sejati tidak menyanjung nama
mengeramatkan gelar atau julukan...."
Pendekar Kipas Pelangi tertawa lepas mendengar ucapan Wiro itu. "Tepat sekali!
Kau mengingat setiap baris kata-kataku tanpa salah! Sungguh luar biasa! Sungguh
aku beruntung bisa bersahabat denganmu!"
"Sepasang makhluk aneh Momok Dempet tadi, siapa mereka?" bertanya murid Sinto
Gendeng. "Mereka belum lama muncul di rimba persilatan. Konon bersal dari sebuah pulau di
laut selatan. Sepak terjang mereka tidak disenangi berbagai pihak. Malah para
tokoh silat keraton dan pasukan kerajaan mencari mereka karena beberapa
pembunuhan yang mereka lakukan terhadap orang-orang istana."
Wiro ingat kejadian beberapa saat sebelumnya. Salah seorang dari Momok Dempet
itu hendak mengambil kapak sakti yang terselip di pinggangnya. Apakah kemunculan
mereka di tempat ini memang sengaja hendak merampas kapak itu atau ada maksud
lain" Maka diapun bertanya pada Pendekar Kipas Pelangi.
"Sahabat, apakah kau bisa menduga apa tujuan sepasang momok itu datang ke tempat
ini?" "Namanya saja momok. Mereka bisa muncul secara tak terduga dimana saja. Turut
apa yang aku dengar mereka tengah kasak kusuk mencari sesuatu. Tadipun sudah
mereka ucapkan.
Malah menawarkan mau membagi rejeki besar itu bersamaku. Yang tengah mereka cari
adalah sebuah kitab..."
"Sebuah kitab?" mengulang Wiro. "Kitab apa?"
Pendekar Kipas Pelangi mengangkat bahu. "Sebuah kitab sakti. Aku lupa namanya.
Konon kitab ini sudah jadi pembicaraan di rimba persilatan dan dicari banyak
tokoh rimba hijau..."
BASTIAN TITO KEMBALI KE TANAH JAWA
"Aku tidak membawa kitab. Tadi salah seorang dari mereka hendak mengambil
senjataku..." Wiro berpikir sejenak. Lalu berkata. "Keadaan mereka aneh. Dua
tangan saling dempet, empat kaki seperti kaki kuda, lengkap dengan ladam besi..."
"Menurut ceritanya, mereka dilahirkan kembar dan dalam keadaan cacat demikian
rupa. Tangan dempet, kaki tidak punya tapak tidak berjari. Keanhean ini telah menarik
perhatian seorang tokoh jahat yang pernah hidup di selat Madura. Tokoh ini
memang suka mengumpulkan orang-orang aneh, lalu melakukan percobaan-percobaan
sambil menciptakan ilmu silat dengan jurus-jurus aneh pula. Masih kanak-kanak
kedua orang itu dibawanya ke tempat kediamannya, diberi pelajaran silat aneh.
Agar bisa berjalan empat kaki mereka dibungkus dengan besi menyerupai ladam
kuda. Ternyata bukan cuma untuk memungkinkan bisa berjalan saja, tapi juga
merupakan senjata luar biasa. Jangankan tubuh manusia, batupun bisa mereka
bobol!" Wiro memandang berkeliling lalu bertanya. "Tempat ini. Terus terang aku masih
bingung saat ini berada di mana. Daerah ini apa namanya" Aku mendengar suara
tiupan angin seperti bunyi seruling. Di kejauhan lapat-lapat ada suara seperti
deburan ombak..."
Mendengar pertanyaan Wiro itu, Pendekar Kipas Pelangi jadi terheran-heran. Dalam
hati dia membatin.
"Dia berada di sini. Tapi tidak tahu tempat apa dan daerah apa. Lalu bagaimana
bisa datang ke sini" Aneh... Apa yang terjadi dengan dirinya sebenarnya" Sebentarsebentar dia menggaruk kepala. Apa dia tengah berpikir atau memang kebiasaannya
begitu. Orang-orang mengatakan dia bertingkah laku aneh. Tapi mengapa kulihat
saat ini dia seperti ada yang tidak beres" Apa perlu aku memberitahu dimana dia
berada?" "Sahabat Wiro, saat ini kau berada di satu bukit karang. Dekat sebuah teluk di
kawasan Pangandaran. Teluknya bernama Teluk Penanjung. Bertahun-tahuan kau
malang melintang di tanah Jawa ini. Mustahil kau tidak tahu saat ini berada di
mana. Aku tidak yakin kau tersesat atau kesasar berada di kawasan ini..."
"Teluk Penanjung... Pangandaran... jadi saat ini aku berada di tanah Jawa"
Benarkah"!"
Wiro memandang dengan mata dibesarkan pada Pendekar Kipas Pelangi sambil garukgaruk kepala. Yang dipandang bertambah heran.
"Kau ini aneh, masakan kau tidak tahu kalau saat ini berada di tanah Jawa"
Memangnya ada Teluk Penanjung dan Pangandaran di tempat lain?"
"Tanah Jawa! Tuhan Maha Besar! Benar aku saat ini sudah kembali ke tanah Jawa"
Berada di tanah Jawa"! Lalu dimana teman-temanku yang lain" Setan Ngompol, Naga
Kuning... Ah! Bagaimana semua ini bisa terjadi?" Sedikit demi sedikit ingatan Wiro kembali
pulih. "Negeri Latanahsilam... Terakhir sekali aku berada di Istana Kebahagiaan!
Lalu ada ledakan. Aku sempat menghantam kening Hantu Muka Dua. Lalu... Aku
terseret oleh satu gelombang tujuh warna, membumbung ke angkasa menembus
langit...." Wiro menatap lekat-lekat ke arah Pendekar Kipas Pelangi.
"Wiro, apa yang ada dalam benakmu" Apa yang kau pikirkan" Barusan kau bicara
seorang diri..."
"Tunggu...." Wiro berkata. "Aku coba mengingat. Aku.... Mungkin sekali aku pernah
berada di tempat ini sebelumnya. Aku..." Sepasang mata Pendekar 212 membesar.
Tengkuknya seperti dijalari binatang merayap. Dia ingat. "Dulu di kawasan ini
pernah terjadi bentrokan hebat antara para tokoh silat golongan hitam melawan
golongan putih. Eyang Sinto Gendeng guruku...
Bujang Gila Tapak Sakti sahabatku... Dewa Ketawa... Dewa Tuak... Ratu Duyung, Bidadari
Angin Timur... Semua mereka itu..."
"Dua nama terakhir yang kau sebutkan itu." Kata Pendekar Kipas Pelangi pula.
"Mereka sekian banyak dari gadis-gadis cantik yang mencarimu..."
"Aku dicari gadis-gadis cantik?" Wiro tersenyum dan garuk-garuk kepala. Tibatiba senyumnya lenyap. "Pangeran Matahari!" desisnya. Tubuhnya mendadak
bergeletar. Dia memandang berkeliling. Bola matanya membesar.
"Manusia itu sudah lama mati." Kata Pendekar Kipas Pelangi pula.
Wiro gelengkan kepala. "Aku melihat satu wajah.... Wajah Pangeran Matahari. Wajah
orang yang tadi membalikkan tubuhku sewaktu tergeletak menelungkup..."
Kini Pendekar Kipas Pelangi yang gelengkan kepala. Dipegangnya bahu Wiro lalu
berkata. "Sahabat, agaknya ada satu guncangan besar membuat kau banyak lupa
tentang masa lalumu. Kau tadi menyebut satu tempat bernama Negeri Latanahsilam.
Kau juga menyebut nama-nama aneh. Apakah... pasti sebelumnya kau telah mengalami
satu kejadian..."
"Mungkin tadi aku hanya menerawang. Atau setengah bermimpi..." kata Pendekar 212.
"Wiro, selama ini kau dikabarkan lenyap tak diketahui rimbanya. Dua tahun lebih
kau menghilang. banyak orang berusha mencari tapi mereka menemui jalan buntu.
Sahabatku, apakah kau sengaja memencilkan diri menuntut ilmu baru di satu
tempat" Atau bersamadi menambah kehebatan tenaga dalam?"
"Aku... Jadi, benar selama dua tahun aku berada di Negeri Latanahsilam." Wiro
garuk kepalanya. Dalam hati dia berkata. "Tidak mungkin aku ceritakan padanya.
Selain baru kenal
BASTIAN TITO KEMBALI KE TANAH JAWA
mungkin dia juga tidak akan bisa mempercayai. Salah-salah aku bisa dianggapnya
gila. Benar-benar sableng!" (Mengenai riwayat Pendekar 212 di Negeri
Latanahsilam harap baca serial Wiro Sableng terdiri dari 18 Episode, dimulai
dari "Bola-Bola Iblis") Wiro berpikir lagi. "Kalau kini aku benar berada di
tanah Jawa, apakah beberapa ilmu yang aku dapat di Negeri Latanahsilam masih
kumiliki" Tadi sewaktu menghadapi dua momok sialan itu mengapa tidak aku jajal
dengan ilmu Membelah Bumi Menyedot Arwah yang diberikan Luhrembulan" Ah... gadis
itu. Aku..."
"Pendekar 212! Kau melamun atau tengah memikirkan sesuatu"!"
Wiro Sableng 120 Kembali Ke Tanah Jawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Teguran Pendekar Kipas Pelangi membuat Wiro tersadar. Dia menatap ke depan dan
melihat pemuda berkumis di hadapannya itu memandang terheran-heran padanya. Wiro
segera mengalihkan pembicaraan dengan bertanya. "Pendekar Kipas Pelangi, aku
tidak tahu banyak mengenai dirimu. Mengapa kau juga bisa berada di tempat ini?"
Yang ditanya tak segera menjawab. Setelah perhatikan wajah Pendekar 212 sejurus
lamanya baru dia membuka mulut.
"Aku tengah mencari seseorang..."
"Pasti seorang gadis cantik!" kata Wiro pula.
Pemuda berkumis rapi itu gelengkan kepala. "Aku mencari kakak kandungku. Kami
berpisah ketika aku berusia empat tahun dan dia enam tahun. Lebih dari lima
belas tahun kami tidak pernah bertemu. Begitu turun gunung sekitar tiga tahun
lalu, aku berusaha mencarinya., tapi tak kunjung kutemui. Kakakku itu bernama
Adisaka. Apakah kau pernah mendengar nama itu"
Syukur-syukur kau kenal orangnya..."
"Adisaka... Tak pernah aku mendengar nama itu. Bagaimana kisahnya kalian bias
berpisah. Apakah orang tua kalian..."
"Desa kami musnah dilanda bencana alam. Gunung meletus. Kami tercerai berai.
Semua penduduk menemui ajal. Termasuk orang tua kami..."
"Apa kau yakin kakakmu itu masih hidup?" tanya Wiro.
"Aku yakin sekali. Aku sering kedatangan firasat bahwa dia masih hidup. Itu yang
menimbulkan semangat untuk mencarinya..."
"Mengapa tidak memulai penyelidikan dari desa kelahirannya?" tanya Wiro.
"Bukannya tidak pernah. Ketika aku kembali ke sana, desa itu sudah berubah
menjadi hutan jati. Tak ada seorangpun tinggal di sana."
"Kau tentunya mempunyai riwayat hidup luar biasa. Aku senang kalau kau mau
menceritakannya."
Pendekar Kipas Pelangi terdiam sesaat. Kemudian dia berkata.
"Tidak ada salahnya aku menuturkan riwayat diriku. Siapa tahu kau memberi jalan,
bisa membantu urusan yang kuhadapi. Mari kita mencari tempat duduk yang baik..."
Wiro mengangguk. Dua orang ini pergi duduk di atas gundukan batu. Pendekar Kipas
Pelangi lalu mulai menceritakan kisahnya.
BASTIAN TITO KEMBALI KE TANAH JAWA
BAB 7 Sebelum mengetahui kisah hidup yang akan diriwayatkan Pendekar Kipas Pelangi
kepada Pendekar 212 Wiro Sableng, kita kembali dulu pada satu kejadian beberapa
waktu sebelumnya, yakni sebelum Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol terpesat ke
Negeri Latanahsilam.
KESUNYIAN di tepi rimba belantara kawasan selatan dipecahkan oleh suara derap
kaki kuda tak berkeputusan. Baik kuda maupun penunggangnya masih belum nampak.
Tak lama berselang, dari tikungan jalan berdebu baru kelihatan muncul dua kuda
hitam, berlari kencang menuju ke barat. Di atas punggung kuda sebelah kiri duduk
seorang kakek berpakaian serba hitam. Walau usianya sudah mencapai delapan puluh
tahun tapi kumisnya yang melintang di bawah hidung masih hitam berkilat, juga
rambutnya yang menjulai keluar dari balik destar hitam yang bertengger di atas
kepala. Sepasang mata si kakek memandang tajam ke depan. Di balik ketenangan
wajah tua ini, di lubuk hatinya si kakek dibebani oleh satu ganjalan. Itu
sebabnya dia menoleh ke samping dan berkata.
"Kita sudah mencarinya di Nusakambangan. Manusia keparat itu tidak ada di sana.
Padahal petunjuk terakhir membuktikan dia memang ada di situ, membantai satu
keluarga besar yang hendak menuntut balas atas kematian seorang gadis yang
diculik dan diperkosanya."
Orang yang diajak bicara yakni penunggang kuda hitam sebelah kanan adalah
seorang nenek berwajah aneh. Di sebelah kiri wajahnya yang keriputan berwarna
hitam legam sedang sebelah kanan putih seperti bulai. Begitu juga alis dan bulu
matanya. Alis dan bulu mata kiri hitam mencorong, sebaliknya bagian kanan putih
memirang. Di atas kepalanya nenek ini memiliki rambut disisir rapi, dibelah tengah lalu
dijalin menjulai panjang ke punggung. Seperti wajahnya rambut si nenek sebelah
kiri berwarna hitam sedang sebelah kanan putih pirang. Lalu anggota badannya
yakni tangan dan kaki juga hitam di sebelah kiri dan putih di sebelah kanan.
Yang luar biasanya sampai-samapai dua bola matanya juga berwarna berlainan. Bola
mata sebelah kiri hitam angker sedang sebelah kanan putih mengidikkan!
Pada ujung jalin, biasanya terikat sehelai pita atau benda lain sebagai
penghias. Tapi yang ada di ujung jalin nenek muka hitam putih ini bukannya pita,
melainkan seekor kalajengking hidup. Aslinya binatang ini berwarna hitam legam.
Si nenek sengaja mengecat sebagian tubuh kalajengking ini dengan cat warna putih
hingga sosoknya menyerupai dirinya.
Nenek ini mengenakan pakaian yang disesuaikan dengan warna wajah serta
rambutnya. Di sebeleh kiri pakaian ini hitam sementara sebelah kanan berwarna putih.
"Riku Pulungan," kata si nenek yang sebenarnya bernama Nini Wetan. Namun orangorang rimba persilatan lebih suka menyebutnya dengan nama Nini Setan. Dia adalah
kakak si kakek berkumis hitam. "Kalau otakmu masih terang, sekitar empat tahun
lalu aku memberi ingat.
Jangan kau memberikan Kipas Pemusnah Raga pada mujridmu si Warangas itu!"
"Siapa bilang aku memberikan!" memotong si kakek bernama Riku Pulungan. "Waktu
aku menyerahkan kipas padanya, jelas-jelas kukatakan kipas itu aku pinjamkan.
Bukan aku berikan. Tiga tahun setelah dia kulepas dari pertapaan dia harus
mengembalikan senjata itu.
Karena dalam waktu tiga tahun itu aku sudah bisa mengira dia pasti telah
mendapat nama besar dalam rimba persilatan. Jadi sudah cukup sekian lama saja
dia memegang senjata tiu."
Nini Setan menyeringai. "Nyatanya ucapanku asin, tidak meleset! Warangas
mempergunakan kipas sakti itu untuk berbuat seribu satu macam kejahatan! Kau
tahu dan sudah dengar dosa apa yang telah dilakukan muridmu itu! Merusak
kehormatan anak gadis dan istri orang! Salah satu korbannya adalah istri Kebo
Panaran, Adipati Gombong. Kebo Panaran sendiri kemudian dihabisinya secara
biadab. Lalu dia juga membunuh salah seorang dari guru-gurunya yakni kakek sakti
di puncak gunung Slamet bernama Wulur Pamenang. Itu terjadi setelah dia ketahuan
menghamili adik seperguruannya bernama Wulandari. Salah seorang gurunya yang
lain, bernama Jagat Kawung kabarnya juga tengah mengejar muridmu itu. Hemmm...
Kalau saja kau mendengar nasihatku dulu, semua malapetaka angkara murka ini
tidak akan terjadi... Berkat perbuatan tololmu Warangas memang telah mendapat nama
besar. Tapi nama besar penuh kekejian! Kurasa tidak ada makhluk lain yang
dosanya seabrek-abrek seperti muridmu itu!
Jangan kau menyesal Pulungan! Hik... hik... hik!"
Riku Pulungan menghela nafas panjang. "Kata orang penyesalan selalu terjadi
belakangan. Aku mungkin keliru memberi pinjam kipas sakti itu. Tapi aku tidak
merasa menyesal. Karena aku tetap akan meminta pertanggung jawaban murid celaka
itu! Aku akan mencarinya sampai ke liang neraka sekalipun!"
"Sekarang kau mau mengajak aku mencarinya kemana?" Tanya Nini Setan. "Liang neraka tidak ada di dunia ini.
Adanya di akhirat! Hik... hik!" Nini Setan mengejek lalu tertawa cekikikan.
Wajah putih si kakek sesaat jadi merah mendengar ejekan saudaranya itu. "Jangan
kau membuat hatiku tambah panas. Turut yang aku dengar dari beberapa orang yang
pernah tahu BASTIAN TITO KEMBALI KE TANAH JAWA
Warangas, pemuda itu memencilkan diri di satu tempat di kawasan Teluk Segara
Anakan. Dari sini Segara Anakan tidak berapa jauh. Kita menuju ke sana sekarang
juga." "Turut yang aku ketahui, muridmu itu bukan memencilkan diri, tapi melarikan
diri. Karena banyak orang berkepandaian tinggi mengejarnya!" kata Nini Setan pula.
"Itu lebih baik. Berarti aku tidak akan terlalu repot untuk menangani manusia
bejat itu! Nyawanya aku tidak akan peduli. Kalau dia mati di tanganku ya syukur-syukur.
Kalaupun dia dicincang dihabisi sekian banyak musuhnya rasanya itu sudah jadi
bagiannya. Yang pentin aku harus dapatkan Kipas Pemusnah Raga itu kembali. Aku
harus mempertanggung jawabkannya pada Eyang Guruku!"
>>>>>>>>>>
PENUNGGANG kuda coklat yang sejak tadi memacu kudanya sekencang yang bisa
dilakukan, mendadak sontak menarik lalu menahan tali kekang tunggangannya hingga
kepala binatang ini terdongak ke atas. Busah menyembur dari hidung dan mulutnya.
Dua kaki depan naik ke atas sementara sepasang kaki belakang menyerosot
meninggalkan guratan panjang dan dalam di tanah.
Siapakah adanya penunggang kuda ini" Namanya Suramanik. Dulu dia adalah Kepala
Pengawal Kadipaten Gombong. Suramanik terpkasa melepaskan jabatannya karena
dipecundangi oleh seorang pemuda bernama Handaka. Handaka ini bukan lain adalah
Warangas murid Riku Pulungan si pemilik Kipas Pemusnah Raga. Dia juga pernah
berguru pada seorang kakek sakti di puncak gunung slamet yakni Eyang Wulur
Pamenang yang kemudian dibunuhnya. Lalu dia muncul di banyak tempat dengan namanama samaran seperti Prana, Dipasingara dan sebagainya.
Sejak dia dikalahkan dalam satu pertandingan adu jotos dan kehilangan jabatannya
sebaai Kepala Pengawal Kadipaten Gombong, sejak itu pula Suramanik memendam
dendam terhadap Handaka yang saat itu memakai nama Dipasingara. Dendam kesumat
itu semakin menggunung ketika dia menyirap kabar bahwa atasannya, Adipati
Gombong Kebo Panaran tewas dibunuh Dipasingara. Setelah suaminya menemui ajal
dan Dipasingara meninggalkannya begitu saja, Galuh Resmi lalu nekad bunuh diri
di hadapan mayat suaminya.
Selesai menimba ilmu baru untuk bekal menghadapi Dipasingara maka Suramanik lalu
menemui pencarian terhadap si pemuda. Dia mendapat kabar konon sejak dirinya
dikejar sekian banyak orang yang sakit hati padanya, Dipasingara memencilkan
diri di suatu tempat di kawasan Teluk Segara Anakan si pantai selatan. Saat itu
Suramanik dalam perjalanan menuju kawasan tersebut.
Apa yang terjadi" Mengapa Suramanik tiba-tiba menghentikan kudanya" Tadi, sayupsayup di antara deru angin dan derap suara kaki kuda, dia mendengar suara orang
menangis. "Suara tangis perempuan. Memilukan sekali," kata Suramanik dalam hati lalu
melompat turun dari kudanya. Tegak di tanah dia memasang telinga kembali, untuk
mengetahui dari mana arah datangnya suara tangisan tadi. Begitu dia bisa
memastikan arah sumber suara dengan cepat dia melangkah .
Sastrawan Cantik Dari Lembah Merak 1 Pendekar Naga Putih 22 Tragedi Gunung Langkeng Hantu Seribu Tangan 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama