Ceritasilat Novel Online

Wasiat Malaikat 2

Wiro Sableng 099 Wasiat Malaikat Bagian 2


menunjukkan sikap menyesal dan minta maaf. Tapi apakah harga diriku ini hanya
sebatas penyesalan dan permintaan maaf" Aku sudah keburu berkubang dalam rasa
malu setinggi langit sedalam lautan! Lalu suatu hari dia datang cengar-cengir
bicara segala macam penyesalan dan minta maaf. Tidak anakku! Sika Sure Jelantik
bukan perempuan berhati loyang. Tapi juga tidak memiliki hati emas! Dan sebagai
perempuan hatimu dengan hatiku mungkin berbeda.
Buktinya kau hanya diam saja ketika menyaksikan mereka bercinta di tepi telaga
di depan mata kepalamu!"
"Nek, apa betul kadangkala cinta itu adalah pengorbanan...?"
Sika Sure Jelantik tertawa gelak-gelak. "Pengorbanan adalah istilah orang yang
berada dalam keadaan dikalahkan dan lemah tak bisa berbuat apa. Apakah kau
merasa orang yang dikalahkan dalam merebut hati pemuda pujaanmu itu anakku?"
Paras Bidadari Angin Timur kelihatan bersemu merah.
"Apakah kau tak bisa lagi mengalihkan cintamu pada pemuda lain?"
"Dia adalah pemuda pertama dan yang terakhir yang aku cintai Nek. Hati dan cinta
kasihku hanya untuk dia seorang walau mungkin aku tidak akan mendapatkannya...."
"Lalu kau mau menjadi perawan tua yang patah hati! Sungguh tolol perbuatanmu
anakku! Hidup hanya satu kali, jangan disia-siakan...."
"Tapi bagaimana dengan dirimu sendiri Nek" Setelah kekasihmu mengkhianati
dirimu, apa kau sanggup berpaling pada lelaki lain?"
"Itu pertanyaan gila! Aku tak mau menjawab!" kata Sika Sure Jelantik seraya
bantingkan kaki kanannya hingga tepian telaga itu terasa bergetar. "Sekarang aku
mau tanya. Apa yang membuatmu berada di Telaga Gajahmungkur ini. Kau boleh punya
seribu alasan cinta! Tapi pasti ada satu hai iain...."
"Tidak ada alasan lain Nek. Setelah aku menyirap kabar pemuda itu bersama
serombongan para tokoh silat tengah bergerak ke telaga maka aku segera ke sini.
Aku memang menemuinya. Tapi sedang...."
"Sekarang di maha beradanya pemuda itu?" tanya si nenek.
Wasiat Malaikat
22 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
"Aku tidak tahu Nek. Mungkin sekali mereka masuk ke dalam telaga...."
Menerangkan Bidadari Angin Timur.
Terkejutlah si nenek mendengar hal itu. "Dengar, aku pernah bertemu dan menolong
seorang gadis tak dikenal. Tololnya aku tidak tahu namanya. Tapi ciri-cirinya
berkulit putih, rambut panjang hitam dan pakaian merah. Menurut ceritanya dia
tengah mencari sebuah batu hitam di Telaga Gajahmungkur ini. Batu itu berkhasiat
untuk menyembuhkan ibunya yang sedang sakit. Pertanyaanku, apakah kau melihat
gadis dengan ciri-ciri yang aku katakan itu?"
Bidadari Angin Timur menggeleng.
"Apa warna pakaian gadis yang bercinta dengan Pendekar 212?" tanya si nenek
menyelidik lebih jauh.
"Hitam...."
Sika Sure jelantik mendongak ke langit lalu menatap tajam ke arah telaga.
"Setahuku Pendekar 212 tidak memiliki ilmu menyelam dalam air. Jika dia berani
masuk ke dalam telaga berarti ada seseorang yang membekalinya ilmu. Hanya ada
satu orang memiliki kepandaian seperti itu. Ratu Duyung. Tapi sang Ratu tak
pernah mengenakan pakaian hitam...."
"Gadis berpakaian hitam bersama Pendekar 212 itu memang Ratu Duyung Nek,"
menjelaskan Bidadari Angin Timur.
"Hah"!" Si nenek tersentak kaget. "Kenapa tidak kau beri tahu dari tadi! Ratu
Duyung dan Pendekar 212 ada dalam telaga! Beberapa tokoh silat katamu sebelumnya
telah menuju ke sini tapi tak kelihatan mata hidungnya! Jangan-jangan mereka
sudah berkumpul di dasar telaga sana! Pasti ada sesuatu! Anakku, ayo kau lekas
ikut bersamaku ke dalam telaga!"
"Aku tak bisa Nek...."
"Aku akan berikan ilmu menyelam seratus hari padamu!"
"Bukan itu masalahnya Nek. Aku hanya tak ingin masuk ke dalam telaga. Kuharap
kau bisa memahami..."
"Hemmm.... Baik. Aku bisa memahami. Jika bertemu dengan Pendekar 212 biar aku
memberi pelajaran padanya sampai nyawanya lepas dari badan!"
"Kuharap kau tidak melakukan hal itu Nek," memohon Bidadari Angin Timur.
Si nenek tersenyum. "Kau benar-benar mencintai pemuda itu. Tapi aku tak bisa
menjamin apa aku akan membunuhnya atau tidak...." Tanpa menunggu jawaban
Bidadari Angin Timur si nenek segera saja melompat masuk ke dalam Telaga
Gajahmungkur. * * * Wasiat Malaikat
23 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
________________________________________________________________________________
__ ENAM Seperti diceritakan dalam Episode sebelumnya (Rahasia Cinta Tua Gila) Puti
Andini telah ditelan oleh ular naga betina. Sebelumnya gadis ini menyaksikan
bagaimana naga betina itu menyedot dan menelan batu putih sebesar dua kepalan
tangan yang ditemukannya di dasar telaga.
Ketika tubuhnya disedot dan siap ditelan oleh naga betina itu Puti Andini
berusaha selamatkan diri dengan coba menghantamkan satu: pukulan tangan kosong
mengandung tenaga dalam tinggi. Pukulan diarahkan tepat ke arah tanduk hijau
yang mencuat di atas kepala naga betina. Namun belum sempat dia menghantam ular
naga tiba-tiba ulurkan lidahnya yang bercabang, langsung melibat tubuh si gadis.
Dalam keadaan tak berdaya, sekali lidah menyentak maka tubuh Puti Andini pun
lenyap ke dalam mulut binatang itu.
Si gadis menjerit keras. Namun jeritannya tidak terdengar karena tubuhnya sudah
berada dalam mulut ular naga. Dilanda rasa takut yang amat sangat gadis ini
akhirnya pingsan. Tubuhnya melayang masuk ke dalam tenggorokan, terus amblas ke
perut ular naga.
Puti Andini, cucu Sabai Nan Rancak dan Tua Gila ini tidak tahu berapa lama dia
berada dalam keadaan pingsan. Ketika dia siuman pertama sekali yang didengarnya
adalah suara hentakan keras duk... duk... duk... tak berkeputusan. Tubuhnya
bergetar dan tersentak-sentak setiap suara itu terdengar. Lalu ada hawa sangat
dingin menyelimuti sekujur tubuhnya. Demikian dinginnya hingga dia merasa kulit
dan daging tubuhnya seolah disayat-sayat. Dalam keadaan seperti itu dia merasa
dadanya sesak dan jalan napasnya seperti tertutup.
Perlahan-lahan Puti Andini buka kedua matanya. Dia dapatkan dirinya terbaring di
dalam satu lorong redup berlantai tertutup cairan sangat licin berwarna
kemerahan. Ada bau tidak enak menyengat hidungnya. Gadis ini coba berdiri. Tapi
untuk sesaat dia hanya mampu duduk. Saat itulah dia merasa ada cairan hangat di
bawah hidungnya, sekitar pipi sementara sepasang matanya terpaksa setengah
dipejamkan karena hawa dingin aneh serta bau menusuk di tempat itu membuat
matanya menjadi perih.
Dirabanya bagian bawah hidungnya. Jari-jari tangannya menyentuh cairan hangat.
Ketika diperhatikannya ternyata darah.
"Ada darah keluar dari hidungku...."
Put! Andini mengusap pipinya kiri kanan. "Darah lagi.... Yang ini keluar dari
dua liang telinga.... Aku.... Suara duk... duk... duk yang seperti hantaman palu
itu...." Dia membutuhkan waktu beberapa saat sebelum menyadari bahwa saat itu dia
berada dalam tubuh ular naga betina. Dihunjam oleh rasa takut gadis ini cepat
tegak berdiri. Kakinya terpeleset oleh licinnya lantai yang dipijaknya yang
bukan lain adalah perut besar ular naga betina! Dia mencoba bangkit lagi sambil
tangannya menggapai sesuatu di atas kepalanya untuk tempat bergayut. Saat itu
terdengar suara menggemuruh. Si gadis terpelanting dan terpekik ketika tiba-tiba
lorong perut ujar di mana dia berada saat itu berputar kencang dan membantingkan
tubuhnya hingga jungkir balik lalu meluncur sejauh beberapa tombak.
Sesaat kemudian Puti Andini dapatkan dirinya berada dalam cairan busuk setinggi
betis. "Aku meluncur. Ke arah mana..." Mungkin ke bagian ekor atau ke arah kepala"
Napasku sesak.,.. Mataku perih.... Kepalaku seperti mau pecah! Agak-nya aku akan
Wasiat Malaikat
24 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
menemui ajal dalam perut binatang ini! Aku tidak mau mati di sini. Aku harus
melakukan sesuatu...."
Anehnya pada saat-saat seperti itu tiba-tiba muncul bayangan wajah seorang gagah
yang telinga kanannya memakai anting-anting. "Panji..." desis Puti Andini.
"Pemuda itu....
Di mana dia sekarang" Dia tak bisa menolongku. Tak satu orang pun bisa
menolongku.... Kalau saja dulu aku tidak meninggalkannya mungkin tidak begini nasibku. Kakek
Tua Gila! Ini semua gara-gara petunjuk gilamu! Panji.... Ah, mengapa di saat seperti ini
aku ingin sekali melihat pemuda itu...."
Megap-megap Puti Andini bersandar ke dinding di belakangnya yang adalah bagian
dari perut besar * ular naga. Dalam keadaan seperti itu dia melihat isi perut
ular yang baginya tampak aneh dan sangat menyeramkan. Tiba-tiba untuk kedua
kalinya muncul suara menggemuruh. Perut ular bergerak dan membanting tubuh si gadis. Cairan
busuk mengguyur muka dan tubuhnya membuat gadis ini berteriak keras lalu
semburkan muntah campur darah. Sadarlah Puti Andini kalau ada bagian tubuhnya di
sebelah dalam yang telah terluka.
"Aku tidak mau mati! Aku harus melakukan sesuatu! Aku harus keluar dari tempat
celaka ini!" Dia memandang berkeliling. 'Aku harus merangkak ke arah mulut ular.
Itu satu-satunya tempat untuk lolos. Tapi yang mana bagian kepala, mana bagian
ekor" Atau kuhantam saja isi perut binatang ini. Tubuhnya di sebelah dalam pasti
tidak seatos sebelah luar! Makhluk aneh. Punya isi perut tapi tidak bertulang!"
Puti Andini seka darah yang terus mengucur dari hidungnya. Tangan kanannya
diangkat. Tenaga dalam dialirkan penuh. Dia menghantam ke arah benda-benda aneh
yang merupakan bagian dari isi perut ular naga.
"Wusss!"
Pukulan sakti si gadis menderu dan keluarkan suara menggema dahsyat. Benda-benda
aneh di depan sana kelihatan hancur berantakan. Lalu ada cairan merah mengguyur
laksana curahan hujan. Saat yang sama terdengar suara ringkikan dahsyat. Tubuh
ular naga betina tersentak ke atas, lalu berputar bergulung-gulung. Puti Andini
terpental kian kemari.
Ketika dia jatuh ke bawah dia dapatkan dirinya terapung dalam cairan merah
setinggi pinggang. Sementara itu suara duk... duk... duk menghantam telinga dan
kepalanya semakin keras.
"Darah... di mana-mana darah...." Suara Puti Andini menggigil bukan saja karena
hawa dingin yang mencucuk tapi juga oleh rasa takut amat sangat. Walau tenaganya
seolah terkuras dia berusaha bergerak, merancah dalam cairan merah setinggi
pinggang. Dia tidak tahu apakah saat itu dia bergerak ke arah kepala atau ke
bagian ekor ular. Sementara dari bagian-bagian tubuh dalam ular naga yang hancur
masih terus mengucur cairan darah yang makin lama membuat sekujur tubuh putih
Andini basah kuyup. Sementara itu genangan darah di bagian bawah perut semakin
tinggi. Di satu sudut Puti Andini tersandar benar-benar kehabisan tenaga.
"Tamat riwayatku sekarang..." pikir si gadis. Mulutnya terbuka megap-megap.
Dadanya tambah sesak. Dia mencoba menghirup udara sebanyak-banyaknya. Tapi yang
masuk ke rongga pernapasannya hanya bau busuk sedang dari lobang hidungnya tak
terasa lagi ada hembusan napas. Mulutnya terbuka megap-megap. Lututnya lung la i
goyah. Sesaat tubuhnya akan terperosok jatuh ke dalam genangan darah ular tibatiba jauh di sebelah kirinya dari balik tubuh ular yang melingkar tampak
seberkas cahaya terang.
Wasiat Malaikat
25 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
"Mulut ular.... Pasti itu mulut ular...." Didorong oleh harapan untuk
menyelamatkan diri dan keluar hidup-hidup dari dalam perut ular itu Puti
Andini . mengumpulkan sisa-sisa tenaga yang masih ada. Perlahan-lahan dia
bergerak menyusuri dinding perut ular ke arah berkas cahaya yang muncul di
sebelah sana. Hanya satu tombak lagi dia akan mencapai tikungan perut ular dari arah mana
membersitnya cahaya terang tiba-tiba ular naga betina itu kembali memutar tubuh
sambil meringkik keras. Untuk kesekian kalinya keadaan di dalam perut ular itu
seperti kiamat bagi Puti Andini. Tubuhnya terpental kian kemari. Menghantam
dinding perut dan terhempas ke dalam genangan darah. Untung baginya ketika dia
mencoba merangkak, genangan darah di lekukan tubuh ular di mana dia berada hanya
setinggi mata kaki. Dengan mata perih setengah terpejam gadis ini berpaling ke
kanan; Dia hanya melihat kegelapan.
Dia alihkan pandangan ke kiri. Harapan nya kembali muncul ketika dari arah
sebelah sana kelihatan lagi berkas cahaya terang tadi.
Karena hanya mampu merangkak, itulah yang dilakukan Puti Andini. Dalam keadaan
susah payah dan nyawa seolah sudah di depan mata akhirnya anak Andam Suri ini
berhasil mencapai bagian perut ular yang terang. Terduduk di atas perut ular
yang tergenang darah matanya terpacak ke depan. Dalam rongga besar perut ular
itu dia melihat sebuah benda putih melayang-layang seolah tanpa bobot. Benda
inilah yang mengeluarkan cahaya menerangi sebagian perut ular.
"Astaga, benda putih yang melayang itu.... Bukankah itu batu putih aneh yang aku
temui di dasar telaga. Diperebutkan oleh dua ekor naga lalu akhirnya ditelan
oleh naga betina?"
Puti Andini merangkak maju. mendekati batu putih yang melayang-layang. Ketika
dirasakannya cukup dekat dengan sisa tenaga yang ada dia membuat lompatan. Coba
menangkap batu itu. Tapi luput. Puti Andini tersungkur. Saat itu terdengar suara
menggemuruh. Perut ular bergoncang keras. Puti Andini terbanting ke kiri,
terhempas menghantam dinding perut ular. Megap-megap dia terkapar di atas
genangan darah. Tapi sepasang matanya berusaha memperhatikan dan mengikuti
gerakan batu putih yang melayang-layang. Dia beringsut berusaha mendekat
kembali. Ternyata batu putih itu melayang ke jurusannya. Si gadis tak menyianyiakan kesempatan. Untuk kedua kalinya dia melompat. Luput lagi! Padahal
telapak tangan kirinya sempat bergeseran dengan batu itu.
Namun saat itu tiba-tiba si gadis merasakan satu keanehan terjadi dengan
dirinya. Waktu tangan kirinya bergeseran dengan batu putih dia merasa ada satu hawa aneh
yang membuat kekuatannya pulih sedikit. Walau dadanya masih terasa sesak dan
darah masih meleleh dari telinga serta hidungnya namun jalan napasnya terasa
lebih longgar. Dengan kekuatan yang ada kini gadis itu mampu berdiri. Pandangannya tak lepas
dari batu putih yang masih melayang-layang dalam perut ular. Tiba-tiba dia
melihat dua buah benda menempel di perut ular di hadapannya, di belakang batu
putih. Pikiran si gadis jadi terbagi dua. Satu pada batu putih yang ingin
ditangkapnya, kedua pada dua benda yang menempel di perut ular naga.
Benda pertama sebuah kitab dalam keadaan terkembang dan koyak.
"Aneh, perut ular ini dingin dan lembab. Semua tempat basah oleh darah. Tapi
mengapa kitab itu tetap kering. Kitab apa gerangan adanya...?"
Puti Andini alihkan pandangannya pada benda kedua. Benda ini adalah sebuah batu
empat persegi panjang seukuran genggaman manusia. Salah satu ujungnya berbentuk
bulat Wasiat Malaikat
26 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
dengan dua tonjolan di kiri kanan menyerupai kepala manusia lengkap dengan
telinga tapi tanpa wajah.
Batu ini memiliki tujuh warna seperti tujuh warna pelangi yang mengingatkan Puti
Andini pada payung tujuh warna nya serta gelar yang disandangnya yaitu Dewi
Payung Tujuh. "Batu warna pelangi..." kata si gadis dalam hati. Seperti kitab di
sebelahnya batu ini kelihatan kering, tidak basah atau pun terkena noda darah.
"Dua benda aneh, bagaimana bisa berada dalam perut ular..." Jangan-jangan dalam
perut binatang ini pula tersimpan Pedang Naga Suci 212...."
Walau besar keinginan si gadis hendak menyelidik kitab serta batu aneh itu namun
dia memutuskan untuk mendapatkan batu putih lebih dulu. Maka kembali Puti Andini
memusatkan perhatiannya pada batu putih yang melayang-layang dalam perut ular.
"Kalau binatang ini tidak bergerak dan aku tidak sampai terjungkir balik batu
aneh itu pasti aku dapatkan!" Puti Andini maju selangkah demi selangkah. Batu
putih melayang di atas kepalanya berputar-putar. Lalu perlahan-lahan turun ke
bawah melewati pundak kirinya. Si gadis cepat bersurut sambil memutar diri lalu


Wiro Sableng 099 Wasiat Malaikat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyergap. Dua tangannya melesat ke atas.
"Dapat!" seru Puti Andini. "Plaaak!' Tangan kiri dari tangan kanannya saling
beradu. Dia hanya menangkap angin!
"Aneh.... Batu itu melayang perlahan. Dekat sekali di depan hidungku. Tapi
mengapa aku tak mampu menangkapnya?" Puti Andini seka darah yang membasahi
bagian atas bibirnya. Sementara itu hawa dingin terasa semakin mencucuk dan bau
tidak enak semakin menusuk hidung.
Si gadis pandangi batu putih. "Aku harus dapatkan batu itu. Bagaimana caranya?"
Puti Andini memutar otak. Sesaat dia pandangi dirinya sendiri yang basah kuyup
oleh darah serta cairan busuk dalam perut ikan. Selintas pikiran menyeruak di
kepala si gadis.
Dengan cepat dibukanya baju merahnya. "Tak ada siapa-siapa di dalam perut ikan
ini. Tak ada yang akan melihat diriku setengah telanjang seperti ini!"
Puti Andini peras baju merahnya sekering yang bisa dilakukan. Lalu baju itu
dikembangkan, dipegang dengan kedua tangan. Apa yang dilakukan Puti Andini
memang masuk akal. Walau ruangan dalam perut naga itu cukup besar namun dengan
mempergunakan bajunya sebagai jaring, peluangnya untuk dapat menangkap batu
putih itu akan lebih besar. Maka dalam keadaan tanpa pakaian di sebelah atas dia
melangkah mendekati batu putih. Ha nya dua langkah lagi dari hadapan batu putih,
begitu Puti Andini siap untuk menangkap benda itu dengan baju merahnya tiba-tiba
batu putih melesat ke atas. Gerakan yang hanya menangkap angin di atas pijakan
yang licin membuat sang dara jatuh terbanting dalam keadaan tertelentang. Selagi
dia mencoba berdiri tiba-tiba batu putih melesat ke bawah. Menyambar ke arah
dadanya yang polos sebelah kiri. In! adalah satu serangan yang tidak terduga.
Puti Andini cepat gulingkan diri untuk mengelak. Namun batu datang lebih cepat.
"Mati aku!" keluh Puti Andini. Dia lalu menjerit keras.
Batu putih menghantam permukaan dada kirinya dengan telak. Hantaman batu putih
yang hanya sebesar dua kepalan tangan itu membuat tubuhnya terhenyak laksana
ditindih dua gunung puluhan kati. Matanya mendelik besar. Di balik cairan darah
yang mengotori mukanya gadis itu sepucat kain kafan!
Wasiat Malaikat
27 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
* * * Wasiat Malaikat
28 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
________________________________________________________________________________
__ TUJUH Sudah matikah aku...." Puti Andini bertanya pada diri sendiri. "Duk... duk...
duk." "Aku mendengar suara duk-duk-duk itu. Berarti aku belum mati. Tapi dadaku berat
sekali. Seolah ditindih batu sebesar kerbau...." Dia mencoba bangkit tapi tak
mampu. Memandang ke bawah gadis ini terkejut. Batu putih yang tadi menghantam tubuhnya
ternyata menempel di dadanya yang putih, tepat di atas jantung. Dia kembali coba
berdiri, berguling ke kiri lalu ke kanan. Tetap tak bisa. Tiba-tiba ada hawa
aneh mengalir ke dalam tubuhnya. Hawa ini berasal dari batu putih yang menempel
di dadanya yang telanjang.
Dadanya yang sesak perlahan-lahan menjadi lega. Rongga pernapasannya yang
sebelumnya seperti tersekat kini menjadi lancar, Darah yang tadi masih mengucur
dari telinga dan lobang hidungnya serta merta berhenti. Tubuhnya terasa seringan
kapas. Ketika dicobanya bangkit sekali lagi, ternyata dia bukan saja mampu
berdiri tapi juga melesat ke atas hampir menyundul tubuh atas ular naga. Waktu
jatuh ke bawah dia merasa tubuhnya seperti melayang dan kakinya sama sekali
tidak tergelincir menginjak perut licin ular naga yang digenangi darah!
"Ada keanehan terjadi dengan diriku!" ujar Puti Andini dalam hati.
Baru saja dia berkata begitu tiba-tiba muncul suara menggemuruh. Ular naga
betina keluarkan ringkikan dahsyat lalu membanting-banting diri di dalam telaga.
Kalau tadi gerakan sedikit saja dari binatang itu membuat Puti Andini seolah
merasa kiamat dalam perut ular, kini dengan tubuhnya yang begitu ringan dia
sanggup bergerak cepat mengim-bangi diri hingga tidak jungkir balik atau
terhempas dan terbanting-banting.
Ketika dia tegak kembali Puti Andini terkejut. Batu putih itu ternyata masih
menempel di atas dadanya yang kencang dan bergoyang-goyang mengikuti detak
jantungnya yang keras. Dengan gemetar Puti Andini gerakkan tangan kanannya untuk
memegang batu itu. Hanya seujung rambut saja jari-jari tangannya akan menyentuh
batu putih, tibatiba satu tangan berkelebat seperti mengusap dadanya. Tahu-tahu
batu putih itu tak ada lagi di atas dadanya. Disaat bersamaan muncul suara
menggemuruh disertai suara ringkik panjang. Namun tidak terjadi apa-apa. Perut
ular di mana Puti Andini berada tidak bergerak sedikit pun. Bahkan suara dukduk-duk bunyi jantungnya tidak terdengar seolah ular raksasa ini telah berhenti
bernapas. Ketika dia memandang ke depan tersurutlah gadis ini sampai punggungnya
menyentuh perut naga.
Lima langkah di hadapannya tegak sosok tubuh seorang sangat tua berpakaian
berupa selempang kain putih. Rambutnya yang panjang putih menjulai ke bawah.
Walau hanya sebagian saja wajah orang ini yang kelihatan namun Puti Andini
segera mengenali.
Cepat Puti Andini tutupkan kedua tangannya di dadanya yang terbuka polos.
"Kiai Gede Tapa Pamungkas. Orang tua yang aku lihat di ruang batu pualam. Yang
keluar dari makam putih..." desis Puti Andini dalam hati.
Si orang tua gerakkan kepalanya sendiri. Rambutnya yang menjulai menutupi
wajahnya tersibak ke belakang. Kini kelihatan keseluruhan wajah orang tua ini,
berkumis dan berjanggut putih panjang. Sepasang matanya memandang tajam ke arah
Puti Andini, membuat si gadis merasa tidak enak.
"Apa lagi yang ada di benak orang tua ini. Sebelumnya dia menyuruh anak-kecil
bernama Naga Kilning itu menjebloskan diriku ke dalam Liang Lahat. Kini tahutahu dia Wasia t Malaikat 29 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
ada dalam perut ular naga. Apa memang dia tinggal di sini" Yang jelas dia mampu
menerobos ruang dan waktu dan muncul secara tak terduga...."
"Suci kembali kepada suci. Hanya kesucian bisa menerima kesucian...." Tiba-tiba
Kiai Gede Tapa Pamungkas berkata.
"Apa maksud ucapan orang tua ini...." kata Puti Andini dalam hati tak mengerti.
Tiba-tiba Kiai Gede Tapa Pamungkas ulurkan tangan kanannya yang memegang batu
putih. Walau jarak mereka terpisah lima langkah namun luar biasanya seolah bisa
memanjang tangan sang Kiai tahu-tahu sudah berada sejengkal di bawah dagu si
gadis. Hawa dingin yang keluar dari batu putih menyambar menyapu wajah Puti Andini.
"Sesuatu yang suci yang bisa berada di tangan yang suci...." Kembali si orang
tua berkata. "Orang tua.... Apa maksudmu. Aku tidak mengerti," ujar Puti Andini.
"Bukankah kau masuk ke dalam Telaga Gajahmungkur untuk mencari benda ini"
Ambillah!" Kiai Gede Tapa Pamungkas gerakkan tangan kanannya yang memegang batu
putih. Kembali ada hawa dingin menyapu wajah sang dara.
Puti Andini pandangi batu putih dalam genggaman si orang tua. Dalam hati dia
berkata. "Yang kucari sebenarnya bukan batu putih itu...."
"Anak gadis mengapa kau mendadak menjadi ragu. Ambillah. Benda ini memang
berjodoh denganmu. Tak ada satu kekuatan pun bisa menghalangi pemilikanmu atas
benda ini."
"Batu putih ini...."
"Dengar, aku tak mungkin berada lebih lama di tempat ini. Lekas ambil batu ini
dan tinggalkan Telaga Gajahmungkur...."
"Tapi aku terperangkap dalam perut ular besar ini. Bagaimana mungkin...."
"Kau akan menyesal seumur hidup jika tidak segera mengambil batu putih ini!"
memotong Kiai Gede Tapa Pamungkas.
Puti Andini ulurkan tangan kanannya. Pada waktu itulah tiba-tiba keadaan dalam
perut ular menjadi sangat redup. Yang kelihatan hanya batu putih itu. Di
kejauhan, entah darimana arahnya menggema suara suitan aneh disusul suara
ringkikan panjang. Lalu ada suara menggelegar beberapa kali berturut-turut.
Namun dalam perut ular tidak terjadi apa-apa, tak ada goyangan bahkan getaran
pun tidak terasa.
Kiai Gede Tapa Pamungkas lepaskan batu putih yang dipegangnya. Dalam gelap benda
ini berkilauan jatuh ke bawah, cepat disambut oleh Puti Andini. Hawa dingin
langsung menjalari tubuhnya.
"Anak gadis yang berjodoh, aku pergi sekarang. Selamat tinggal.... Kita tak akan
bertemu lagi. Anggap juga kita tak pernah bertemu!"
Memandang ke depan Puti Andini hanya melihat sekilas bayangan putih berkelebat.
Lalu dia tak melihat apa-apa lagi. Orang tua itu lenyap dari hadapannya.
Bersamaan dengan itu perlahan-lahan keredupan di tempat itu berkurang.
"Dia muncul dan lenyap secara aneh. Kalau dia memang berniat baik mengapa dia
tidak menyelamatkan diriku keluar dari perut naga ini" Lalu segala ucapannya
tadi" Sesuatu yang suci hanya bisa berada di tangan yang suci. Apa
maksudnya...?"
Selagi berpikir begitu tiba-tiba Puti Andini merasakan seperti ada cairan sangat
dingin mengucuri tangan kanannya yang memegang batu putih. Ketika diperhatikan
terkejutlah gadis ini. Batu putih yang ada di atas telapak tangannya dilihatnya
meleleh cair Wasiat Malaikat
30 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
seperti lapisan salju tersentuh hawa panas. Begitu batu putih berhenti meleleh
kini di telapak tangannya si gadis melihat sebuah benda aneh, bergulung seperti
sebuah ikat pinggang. Ujung benda ini berbentuk kepala seekor naga, terbuat dari
bahan keras putih yang menurut dugaannya adalah sejenis tulang atau mungkin
sekali gading. Bagian benda yang bergulung memancarkan cahaya putih menyilaukan
serta menebar hanya sangat dingin.
Puti Andini mendadak merasakan sekujur tubuhnya bergetar. Dadanya berdebar
keras. Seumur hidup dia belum pernah melihat Pedang Naga Sues 212. Tua Gila
walau menyuruh dia mencari senjata mustika itu namun tidak pernah mengatakan
bagaimana bentuk atau warnanya.
"Jangan-jangan...." Puti Andini gerakkan tangan kanannya memegang bagian benda
yang berbentuk kepala ular naga. Tiba-tiba!
"Sreeetttt!"
Laksana kilat benda yang bergulung bergerak membuka.
Cahaya putih berkiblat.
Puti Andini terpekik. Benda yang dipegangnya terlepas.
Sesuatu yang tajam menggurat bahu di atas dada kirinya. Bersamaan dengan itu
gadis ini terjajar dua langkah ke belakang. Lalu terdengar suara sesuatu robek
besar. "Craaaasss!"
Puti Andini kembali menjerit.
Perut naga di sebelah depannya robek besar dan panjang laksana ditoreh oleh
sebuah benda yang sangat tajam. Bersamaan dengan itu ular naga meringkik keras
dan membalikkan tubuhnya, menggelepar kian kemari. Puti Andini melihat air
telaga masuk ke dalam perut ular. Namun dari dalam perut ular menghantam tekanan
yang sangat dahsyat disertai semburan darah, mendorong ke luar.
Benda putih yang tadi melukai dada kiri Puti Andini melesat ke luar dari perut
ular. Samar-samar si gadis masih sempat melihat bentuk benda itu. Ternyata sebuah
pedang sangat tipis, memancarkan cahaya putih dengan hulu berbentuk kepala naga.
"Pedang Naga Suci 212!" seru Puti Andini dalam, hati dengan mata terbelalak. Dia
berusaha menyambar pedang itu dengan tangan kanan. Namun disaat yang sama
tubuhnya terpental keluar perut ular yang robek besar. Tekanan yang dahsyat
membuat pedang yang berusaha digapainya terdorong jauh hingga dia hanya
menangkap air sedang dirinya-sendiri terlempar jauh.
Bersamaan dengan itu dari dalam perut naga betina terlempar pula dua buah benda
yaitu kitab putih yang koyak dan batu persegi panjang yang dibalut tujuh warna.
Naga betina yang perutnya jebol sepanjang dua tombak dan mengeluarkan asap aneh
membanting-banting diri kian kemari hingga air telaga laksana dibuncah
gelombang. Tanah, pasir serta bebatuan dan semua benda yang ada di tempat itu
termasuk sosok Puti Andini terpental-pental kian kemari. Keadaan gelap mengelam.
Di kejauhan terdengar suara menggemuruh laksana gunung runtuh.
"Celaka! Kemana lenyapnya pedang tadi..." ujar Puti Andini. Dia menggapai-gapai
kian kemari. Kaki dan tangannya digerak-gerakkan. Tiba-tiba dia merasa satu
keanehan. Gerakan nya tadi membuat tubuhnya mampu bertahan dan tidak terpental lagi.
Padahal air telaga masih terus membuncah.
Wasiat Malaikat
31 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
"Apa yang sebenarnya terjadi di tempat ini!" pikir Puti Andini. Dia memandang
berkeliling berusaha mencari dimana adanya pedang putih yang tadi terlepas dari
tangannya. Sesaat ketika .keadaan mulai tenang dan terang kembali yang
dilihatnya bukan pedang itu melainkan sosok-sosok jerangkong dan tulang belulang
manusia serta beberapa mayat mengapung di sekitarnya.
Lalu telinganya menangkap riakan-riakan halus di sebelah atas. Ketika dia
mendongak memperhatikan terkejutlah gadis ini. Di atas sana di antara mereka
memegang sebuah benda panjang yang memancarkan cahaya putih.
"Pedang itu!" seru Puti Andini dalam hati. Segera saja gadis ini berenang ke
atas. Lagi-lagi dia merasa aneh. Dia hanya menggerakkan tangan serta kaki biasa-biasa
saja. Tapi tubuhnya melesat ke atas cepat sekali. Hingga dalam waktu singkat dia
sudah berada di dekat kelompok orang-orang itu.
* * * Wasiat Malaikat
32 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
________________________________________________________________________________
__ DELAPAN Di dalam telaga, beberapa saat sebelum perut ular naga dibusai robek oleh pedang
putih. Dua orang yang barusan dilihat Sinto Gendeng di dalam Telaga Gajahmungkur
itu bukan lain adalah Pendekar212dan Ratu Duyung. "Ratu keparat bermata biru
itu! Pasti-dia yang punya gara-gara sampai si anak setan ikut masuk ke dalam
telaga ini! Berani- beraninya gadis itu mencampuri urusanku!"
Untuk sesaat nenek sakti dari Gunung Gede ini lupakan kemarahannya terhadap Naga
Kuning. Kini kejengkelannya ditumpahkan pada Ratu Duyung dan muridnya.
Sinto Gendeng cepat berenang menyongsong Wiro dan Ratu Duyung. Panji serta Setan
Ngompol berenang mengikuti di sebelah belakang. Begitu sampai di hadapan Ratu
Duyung si nenek langsung mendamprat.
"Ratu Duyung! Gara-garamu muridku jadi celaka sengsara! Sekarang beraninya kau
mencampuri urusanku! Bertindak menjadi penghalang! Menolong bocah kurang ajar
itu! Apa maumu! Berada di pihak mana kau sebenarnya"!"
Dibentak oleh guru pemuda yang dicintainya seperti itu Ratu Duyung hanya bisa
tundukkan kepala sambil pegang cermin bulat sakti yang tadi dipergunakannya
menangkis serangan tusuk konde yang hendak menusuk mata kiri Naga Kuning. Di
atas kaca itu kini tampak menempel dua buah tusuk konde yang tadi dipakai Sinto
Gendeng untuk menyerang si bocah. Walau dia maklum mengapa si nenek sampai marah
besar namun Ratu Duyung merasa sedih. Baginya apa perlunya si nenek mengungkit
persoalan lama yang dianggapnya sudah selesai.
Melihat Ratu Duyung hanya diam sambil tundukkan kepala Sinto Gendeng berpaling
pada muridnya. "Anak setan! Bukankah kau aku perintahkan tetap di tepi telaga untuk berjagajaga"! Mengapa masuk ke sini bersama gadis bermata biru ini"! Kalian berdua dasar


Wiro Sableng 099 Wasiat Malaikat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

manusia-manusia gatal!"
"Eyang, kami datang ke sini bukan untuk mengacau. Ratu Duyung melihat sesuatu
yang mungkin..."
"Bukan untuk mengacau katamu! Dia mencampuri urusanku! Dia menghalangiku
membunuh anak itu!" bentak Sinto Gendeng hingga Setan Ngompol yang ada di
sebelahnya tersentak kaget dan terkencing.
Wiro garuk-garuk kepala. "Eyang, apa perlunya membunuh Naga Kuning. Dia anak
baik.... Dia pernah menolongku. Dia...."
"Kalau bicara soal tolong-menolong aku dua kali menyelamatkan dirinya! Berarti
dua kali pula aku boleh membunuhnya!" jawab Sinto Gendeng hampir berteriak
hingga gelembung-gelembung air melayang-layang di sekitar mulutnya.
Naga Kuning yang sejak tadi berdiam diri tibatiba berenang ke hadapan Sinto
Gendeng lalu berkata. "Nek, betul sekali ucapanmu. Kau telah menyelamatkan
diriku sampai dua kali! Jika kau memang merasa sebagai wakil Tuhan untuk
mencabut nyawaku silahkan kau bunuh aku saat ini juga!"
Lalu, "Brettt!"
Naga Kuning robek baju hitamnya hingga dadanya terpentang telanjang. Di atas
dada itu terpampang gambar ular naga berwarna kuning. Sepasang matanya berwarna
merah. Di Wasiat Malaikat
33 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
mata Sinto Gendeng gambar ini seolah hidup dan bergerak ke arahnya dengan kepala
terpentang. Si nenek cepat berenang mundur dengan wajah berubah. Ketika dia
memperhatikan wajah Naga Kuning, wajah itu dilihatnya bukan lagi wajah seorang
bocah melainkan wajah seorang kakek-kakek.
Melihat gurunya terpojok, Wiro cepat ambil dua buah tusuk konde perak yang
menempel di cermin bulat yang dipegang Ratu Duyung lalu diserahkannya pada Sinto
Gendeng. "Anak setan! Kau hanya bisa membuat aku malu setengah mati! Kapan kau bisa
menyenangkan diriku si tua bangka ini! Jauh-jauh aku ke sini karena hendak
menolongmu! Mencari Pedang Naga Suci 212 untuk mengobati dirimu! Malah kau berbuat kurang
ajar terhadapku!" Dengan wajah cemberut Sinto Gendeng sambar dua buah tusuk
konde perak yang diserahkan muridnya.
"Maafkan saya Nek," kata Wiro. "Jika kau tidak suka melihat kami berada di sini,
kami akan naik ke atas kembali...." Lalu Wiro memberi isyarat pada Ratu Duyung.
"Aku juga merasa tidak perlu berada lebih lama di tempat ini!" ucap Naga Kuning.
Lalu dia berenang pula menuju permukaan telaga.
Pada waktu itulah tiba-tiba ada suara ringkikan keras disusul oleh menebarnya
sesuatu seperti kabut di sebelah atas telaga. Lalu menyusul suara menggemuruh
dan bersamaan dengan itu air telaga tampak berubah merah oleh darah lalu
bergulung-gulung hingga semua orang yang ada di tempat itu berpelantingan kian
kemari! Dalam keadaan yang tiba-tiba menjadi kelam di atas sana ada seberkas cahaya
putih berkiblat. Setan Ngompol pegangi perutnya yang bocor berat terkencingkencing. Sinto Gendeng letakkan dua. tangan di atas mata. Hatinya berdebar
melihat kilauan cahaya putih itu. Dia berteriak pada Setan Ngompol. "Ikuti aku
cepat!" Sepasang kakek nenek itu segera berenang ke arah kilatan cahaya putih. Panji
mengikuti. Wiro dan Ratu Duyung sesaat saling-pandang dalam kebimbangan.
Akhirnya keduanya berenang menyusul orang-orang tadi.
Di sebelah depan Sinto Gendeng dan Setan Ngompol berhenti berenang ketika mereka
menyadari bahwa sebenarnya mereka bergerak mendekati sosok besar ular naga
betina yang perutnya kelihatan robek besar. Lalu dari perut itu melesat keluar
sebuah benda yang memancarkan cahaya putih berkilauan. Disusul oleh sosok
seorang gadis tanpa baju.
Lalu menyusul pula dua buah benda berupa kitab dan sebuah batu berwarna.
Si nenek tidak perdulikan gadis setengah telanjang atau pun kitab dan batu
berwarna. Yang diperhatikannya adalah benda panjang yang memancarkan cahaya putih dan
melesat paling depan.
"Pedang Naga Suci 212!" seru si nenek. Dia segera melesat ke atas untuk
menyambar senjata sakti mandraguna itu. Hanya sedikit lagi jari-jari tangannya
akan menyentuh gagang pedang berbentuk kepala naga putih itu, tiba-tiba dari
samping melesat sesosok tubuh dan tahu-tahu pedang yang hendak diambil Sinto
Gendeng telah berada dalam genggaman orang lain.
"Jahanam!" maki Sinto Gendeng. "Siapa kau! Serahkan pedang itu padaku!" Di
hadapannya, di dalam air, Sinto Gendeng melihat seorang nenek berjubah hitam
berambut putih mengambang-ngambang kian kemari. Jari-jari tangannya yang
memegang pedang selain sangat panjang juga berwarna merah.
Wasiat Malaikat
34 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
Wiro dan Ratu Duyung, Naga Kuning serta Panji segera mengenali nenek berjubah
hitam yang memegang pedang putih itu adalah Sika Sure Jelantik.
Seperti diketahui Sika Sure Jelantik memang memiliki ilmu kepandaian berada lama
di dalam air. Namun tidak seperti ilmu yang dimiliki Ratu Duyung (yang oleh Ratu
Duyung seperti diceritakan sebelumnya diberikan pada Sinto Gendeng, Setan
Ngompol, Panji dan Wiro) atau Naga Kuning. Dia tidak mampu bicara dalam air.
Sewaktu dimaki oleh Sinto Gendeng dia hanya menggoyang-goyangkan tangan lalu
melesat ke permukaan telaga.
Melihat orang hendak melarikan diri Sinto Gendeng segera mengejar.
Sementara itu Setan Ngompol dan Ratu Duyung terbagi perhatiannya pada dua benda
lain yang terlempar keluar dari perut robek ular naga betina. Karena batu
berwarna kebetulan melesat tak jauh dari tempatnya berada maka Setan Ngompol
segera \ berenang mengejar dan berhasil menangkap benda itu. Untuk sesaat dia
memperhatikan terheran-heran.
"Sialan! Cuma sebuah batu! Kukira apa! Tapi bentuknya mengapa aneh begini. Ujung
satunya seperti muka manusia tanpa wajah. Ada kuping. Lalu warnanya tujuh macam.
Lalu eh.... Batu ini dingin sekali! Ah...." Si kakek kembali terkencing. Semula
batu itu hendak dibuangnya begitu saja. "Kalau batu ini keluar dari perut naga
berarti batu ini bukan benda sembarangan. Buktinya begitu kupegang aku terusterusan kencing!" Akhirnya Setan Ngompol sembunyikan batu itu di kantong
celananya yang gombrong.
Di bagian lain telaga, Ratu Duyung telah berhasil pula menangkap benda yang
melayang di air. Ketika diperhatikannya ternyata benda itu adalah sebuah kitab
yang telah koyak.
"Aneh, ada kitab keluar dari perut naga besar, terbuat dari daun lontar putih
yang langka. Agaknya sudah puluhan tahun mendekam dalam perut naga itu. Tapi
tidak berubah warna, dan tidak basah,... Hanya ada bagian kitab yang koyak.
Kitab apa ini adanya?"
Sang Ratu tutupkan kitab yang terkembang itu. Pada saat itulah dia membaca
tulisan besar yang berada di sampul kitab. Bibirnya bergetar ketika melafalkan
apa yang tertulis di situ. "Wasiat Malaikat".
Entah mengapa Ratu Duyung mendadak merasakan tengkuknya menjadi dingin dan
sekujur tubuhnya seperti digeletari satu kekuatan aneh.
"Kitab Wasiat Malaikat. Aku memang pernah mendengar. Rimba persilatan memang
mempergunjingkannya sejak puluhan tahun lalu. Para tokoh berusaha menyirap
kabar, mencarinya sampai kemana-mana. Datuk Lembah Akhirat mengaku memiliki dan
menyimpan kitab ini. Ternyata.... Mungkin kitab ini bukan kitab yang asli. Atau
mungkin Datuk Lembah Akhirat menebar cerita bohong untuk maksud tertentu...."
Sebelum ada orang yang tahu Ratu Duyung segera sembunyikan kitab daun lontar itu
di balik baju hitamnya.
Kembali kepada Sika Sure jelantik.
Beg itu gagang Pedang Naga Suci 212 tergenggam di tangannya, Sika Sure Jelantik
merasa ada hawa panas menyengat telapak dan jari-jari tangannya. Hawa panas ini
terus menjalar sepanjang lengan dan masuk ke tubuhnya. Walau dia berada dalam
air namun sekujur tubuhnya mengeluarkan keringat. Si nenek segera kerahkan
tenaga dalam hingga hawa hangat itu berkurang sedikit, ini memang satu keanehan
yang tidak diketahui oleh Sika Sure Jelantik. Sesuai dengan keterangan yang
pernah diberikan oleh Kiai Gede Tapa Pamungkas dan hanya diketahui oleh Sinto
Gendeng serta Tua Gila maka pedang mustika Wasiat Malaikat
35 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
sakti itu hanya berjodoh dan hanya bisa disentuh serta dimiliki oleh seorang
perempuan suci. Jika pedang dipegang oleh perempuan suci maka senjata ini akan
mengeluarkan hawa sejuk dingin. Sebaliknya jika disentuh oleh perempuan yang
dalam hidupnya tidak lagi memiliki kesucian maka senjata itu akan mengeluarkan
hawa panas yang kalau tidak dilepaskan lama-kelamaan akan membuat tangannya
melepuh bahkan keracunan sekujur tubuhnya. Seperti diketahui Sika Sure Jelantik
pernah menjalani hidup yang tidak suci selama berhubungan dengan Tua Gila di
masa mudanya. Demikian pula dengan Sinto Gendeng. Hingga Pedang Naga Suci tak
akan mungkin dapat mereka kuasai. Kalau dipaksakan malah bisa membahayakan diri
mereka sendiri.
Melihat Sika Sure Jelantik tidak perdulikan bentakannya malah seperti berusaha
hendak berenang menuju permukaan telaga, Sinto Gendeng menjadi tambah marah.
"Tua bangka itu kelihatannya memang bukan perempuan baik-baik! Biar aku beri
hadiah untuk ketololannya!" Habis berkata begitu Sinto Gendeng melesat mengejar
sambil lepaskan satu pukulan sakti. Melihat gerak tangan si nenek Wiro tahu
pukulan apa yang dilepaskan sang guru. Yakni pukulan Benteng Topan Melanda
Samudera. Di atas sana Sika Sure Jelantik tersentak kaget ketika satu gelombang angin yang
dahsyat membuat air telaga bersibak membentuk jalur ganas seperti terowongan
besar. Ada suara menggemuruh di bawah kakinya. Sadar kalau dirinya diserang Sika
Sure Jelantik cepat menyingkir sambil gerakkan tangan kirinya untuk menangkis
dengan pukulan sakti.
Namun sadar kalau saat itu dia tengah memegang sebuah senjata sakti maka tidak
menunggu lebih lama serta merta si nenek babatkan Pedang Naga Suci 212 ke bawah.
* * * Wasiat Malaikat
36 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
________________________________________________________________________________
__ SEMBILAN Cahaya putih menyilaukan mata bertebar dalam air. Telaga Gajahmungkur laksana
disergap puluhan kilat. Hawa aneh dingin menebar seolah air telaga berubah
menjadi es. Semua orang yang ada di dalam telaga menggeletar kedinginan. Setan
Ngompol rapatkan dua kakinya lalu melipat lutut sampai ke dada. Seperti biasa
dia tak dapat menahan kencing.
Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba dari sebelah atas menggemuruh gelombang air.
Karena paling dekat dengan sumber cahaya dan hantaman gelombang Sinto Gendeng
yang pertama sekali terpental. Nenek sakti ini memaki panjang pendek sementara
tubuhnya terpental jungkir balik. Menyusul Setan Ngompol dan Panji. Wiro dan
Ratu Duyung yang berada di sebelah belakang, walau jauh tetap saja ikut kena
sambaran gelombang air dan mencelat beberapa tombak.
Sementara itu Naga Kuning satu-satunya orang yang agaknya tahu apa yang bakal
terjadi. Begitu melihat kiblatan cahaya putih disusul oleh suara gemuruh air,
cepat-cepat anak ini berenang ke dasar telaga lalu berlindung di balik dinding
tinggi Liang La hat.
Namun tak urung Naga Kuning masih juga terpental dan dinding di balik mana dia
bersembunyi mengeluarkan suara berderak. Lalu ujung dinding sebelah atas
kelihatan patah, melayang jatuh dengan dahsyat, menambah hebatnya gelombang air
telaga. Naga Kuning memandang ke atas. Penglihatannya tertutup oleh keruhnya air
telaga. Apa lagi saat itu air telaga telah bercampur baur pula dengan darah naga
serta kencing Setan Ngompol dan Sinto Gendeng.
"Aku tak dapat melihat jelas. Pandanganku tidak tembus. Tapi aku yakin seseorang
telah menemukan Pedang Naga Suci 212. Lalu mempergunakan senjata sakti itu untuk
menangkis serangan Sinto Gendeng. Siapa yang kini menguasai pedang itu. Aku
melihat nenek berambut putih di atas sana. Tadi juga aku sempat melihat ada
sosok tubuh setengah telanjang. Jelas tubuh seorang gadis karena dadanya kulihat
montok, kencang dan putih bagus! Hik... hik..! Atau jangan-jangan...." Si bocah
tertawa sendirian.
Saat itu Puti Andini baru saja berhasil hentikan tubuhnya yang terlontar setelah
terjungkir balik dalam air beberapa kali. Dia mengingat-ingat apa yang barusan
terjadi sambil usap-usap bahu kirinya yang tergurat. "Aku melihat cahaya putih
berkiblat. Lalu ada rasa perih akibat goresan luka di bahuku. Tubuhku kemudian
terlempar dari perut ular yang jebol...." Di bawah sana si gadis tiba-tiba
mendengar suara orang membentak. Berarti dia tidak sendirian di dalam telaga
itu. "Jahanam! Apa yang terjadi!" Yang berteriak adalah Sinto Gendeng. Dadanya
mendenyut sakit seolah ditindih oleh, batu besar sementara sekujur tubuhnya
menggeletar kedinginan. Cepat nenek ini dorongkan kedua tangannya ke atas.
Melepas pukulan sakti Benteng Topan Melanda Samudera.
"Byuuuurrrr! Byuuuurrr!"
Air telaga laksana menggelegak lalu mendobrak ke atas di dua tempat. Telaga
Gajahmungkur kembali bergoncang keras. Sinto Gendeng tertawa, mengikik lalu
berteriak. "Mampus kau!" Yang dimakinya adalah perempuan tua berjubah hitam di atas sana.
Tapi nenek sakti ini mendadak keluarkan seruan tegang ketika dari atas kembali
menyambar sinar putih. Kali ini sinar itu tidak menebar melainkan berbentuk
panjang. Laksana tombak Wasiat Malaikat
37 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
raksasa melesat ke arahnya. Sekali lagi si nenek berteriak keras lalu
menyingkir. Ujung sinar putih menyambar lebih cepat. Agaknya kali ini Sinto
Gendeng tak mungkin selamatkan diri.
"Eyang!" seru Pendekar 212 Wiro Sableng. Di luar sadar tanpa-ingat keadaan
dirinya dia segera berenang untuk menolong gurunya.
"Pendekar 212! Jangan mencari mati!" Naga Kuning yang menyaksikan kejadian itu
berseru keras. "Celaka! Guru dan murid pasti akan menemui ajal! Apa yang harus
aku lakukan!" Bocah ini tekuk jari-jari tangannya dalam gerakan seperti hendak
mencakar. Lalu dua tangannya dihantamkan ke arah datangnya sinar putih. Dua
larik cahaya biru pekat menerpa ke atas, membabat cahaya putih yang menghunjam
ke arah sosok Sinto Gendeng, Beg itu dua larik cahaya biru menyentuh sinar putih
dua tangan Naga Kuning bergetar keras lalu tubuhnya terpental sampai dua tombak.
Si bocah terperangah menyaksikan bagaimana serangannya amblas sementara itu
sinar putih terus menderu ke arah Sinto Gendeng. ketika dia meraba mulutnya
terasa ada cairan hangat. "Aku terluka.,.."
Membatin Naga Kuning. Air muka bocah ini tampak berubah.
Sesaat lagi sinar putih itu akan menghantam tubuh Sinto Gendeng tiba-tiba dari
samping kiri melesat satu cahaya putih yang tak kalah hebat kilauannya dari
sinar putih yang menyerang si nenek.
Dua sinar saling beradu mengeluarkan letupan keras. Air telaga mencuat ke
berbagai penjuru. Sinto Gendeng selamat walau tubuhnya terpental dan untuk
sesaat lamanya melayang-layang dalam air yang keruh. Nenek ini bergidik ketika
di dasar telaga samar-samar dilihatnya satu lobang besar dan dalam akibat
hantaman'-sinar putih tadi.
"Siapa yang barusan menolongku"!" ujar Sinto Gendeng dalam hati. Dia memandang
berkeliling. Di sebelah sana dilihatnya Setan Ngompol mengambang dalam air.
Cairan kuning yang keluar dari bawah perutnya bersatu dengan air telaga yang
berwarna merah ternoda darah ular naga betina. Jauh di samping kiri Sinto
Gendeng melihat Naga Kuning bersandar di dinding Liang Lahat. Anak ini berdiri
pejamkan mata sambil rangkapkan sepasang tangan di depan dada. Dari sela
bibirnya tampak keluar cairan merah. "Bocah itu tadi berusaha menolongku. Tapi
aku tahu ada seorang iain yang barusan menyelamatkan jiwaku!"
Sinto Gendeng putar kepalanya ke jurusan lain. Pandangannya membentur sosok Ratu
Duyung yang saat itu berada di dasar telaga, tegak sambil pegangi cermin
bulatnya. Wajahnya pucat. Matanya yang biru membelalak sedang bibirnya bergetar. Tapi itu
hanya sebentar. Sesaat kemudian gadis ini kelihatan mampu menguasai dirinya
kembali. "Gadis itu..." desis si nenek. "Dia yang menyelamatkan diriku. Tapi agaknya


Wiro Sableng 099 Wasiat Malaikat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bukan hanya dengan mengandalkan kesaktian cerminnya. Ada satu kekuatan lain
menyertai kilatan yang keluar dari cerminnya itu. Aku dapat merasakan.... aku
melihat ada pancaran cahaya putih aneh di sekitar tubuhnya! Mulai dari kepala
sampai ke kaki. Astaga! Itu adalah pancaran cahaya batin yang jarang dimiliki
manusia! Dan tidak sembarang orang bisa melihatnya seperti yang aku saksikan
saat ini...." Sinto Gendeng berenang mendekati Setan Ngompol lalu berkata, "Coba
kau perhatikan gadis berpakaian hitam yang memegang cermin bulat itu...."
"Aku sudah melihatnya dari tadi. Wajahnya cantik. Sepasang matanya bagus sekali.
Tak pernah aku melihat mata luar biasa mempesona seperti itu. Apa maksudmu
Sinto. Apa kau hendak menjodohkan diriku dengan si jelita itu?"
"Tua bangka bangkotan tak tahu diri!" maki Sinto Gendeng.
Wasiat Malaikat
38 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
Setan Ngompol tertawa bergelak hingga air kencingnya kembali terpancar.
"Aku mau tanya! Apa kau melihat ada cahaya aneh seolah membungkus sekujur
tubuhnya?"
Setan Ngompol tekap mulutnya dengan tangan kiri sedang tangan kanan nenekap
bagian bawah perutnya. Orang tua bermata jereng berkuping lebar ini golenggolengkan kepala. "Aku tidak melihat segala macam cahaya aneh yang kau katakan
itu Sinto."
"Benar dugaanku," kata si nenek sakti dalam hati. "Tidak semua orang bisa
melihat cahaya yang membungkus tubuh gadis itu.... Bagaimana dia tahu-tahu bisa
berada dalam keadaan seperti itu.... Coba aku tanyakan pada anak setan itu."
Sinto Gendeng hendak berenang mendekati Pendekar 212. Namun di dasar telaga Wiro
telah lebih dulu bergerak berenang mendekati Ratu Duyung.
Sesaat setelah berada dekat sang Ratu, murid Sinto Gendeng jadi tertegun. Dua
matanya memperhatikan gadis jelita itu lekat-lekat.
"Ada kelainan pada gadis ini. Wajahnya lebih berseri. Parasnya tambah cantik.
Tubuhnya seolah memancarkan daya pesona luar biasa. Sepasang matanya juga tampak
lebih biru, lebih bercahaya. Aku juga melihat satu keanehan. Ketika tadi dia
melancarkan serangan dengan cermin sakti, ada seberkas cahaya memancar di balik
pakaian hitamnya...."
Merasa dirinya diperhatikan Ratu Duyung palingkan kepala pada Wiro lalu
bertanya. "Caramu memandangku aneh sekali Wiro. Ada apa" Apa yang ada dalam pikiranmu?"
"Kau telah menyelamatkan guruku. Aku sangat berterima kasih," jawab Wiro.
Ratu Duyung pandangi cermin saktinya.
"Aku, melihat ada sinar aneh di balik pakaianmu ketika kau mengerahkan tenaga
dalam dan melancarkan serangan dengan cermin...."
"Sinar aneh apa...?"
"Aku tidak tahu. Kau sendiri apa tidak sadar...?"
Ratu Duyung terdiam sesaat baru menjawab. "Memang ada satu keanehan kurasakan
dalam tubuhku. Aku mempergunakan cermin sakti untuk menangkis sinar putih yang
datang dari atas telaga. Gurumu memang selamat. Tapi aku merasa bahwa bukan cuma
kekuatan cermin sakti ini yang telah menolong nenek itu. Seolah ada satu
kekuatan lain dalam tubuhku. Kekuatan itu datangnya dari sini...." Ratu Duyung
usapkan tangan kirinya ke bagian perut di atas pusar di mana dia menyembunyikan
kitab kuno terbuat dari daun lontar yang telah koyak itu. "Kitab Wasiat
Malaikat.... Kitab ini yang jadi sumber kekuatan dahsyat dan aneh itu..." ujar
Ratu Duyung dalam hati dengan dada berdebar.
"Ada apa Ratu...?" tanya Pendekar 212.
"Apakah akan kuceritakan saja padanya...?" pikir Ratu Duyung. Hatinya bimbang.
Lalu didengarnya Wiro berkata.
"Tadi aku memperhatikan. Ada beberapa benda keluar dari perut ular naga yang
robek. Satu dari benda-benda itu berhasil kau tangkap. Benda apakah...?"
"Ah, dia melihat aku menyambar kitab itu.;... Bagaimana ini" Apa harus kukatakan
terus terang...." Ratu Duyung memandang ke atas. Saat itu dilihatnya Sinto
Gendeng dan Setan Ngompol saling bicara sambil memandang ke arahnya.
"Wiro, lekas ikuti aku. Kita harus segera keluar dari telaga ini."
"Sekali ini kita tak satu pendapat Ratu. Aku melihat kilatan cahaya putih aneh
mengeluarkan hawa dingin sekali. Aku melihat sebuah benda melayang di atas sana.
Aku mendengar guruku berteriak menyebut Pedang Naga Suci 212. Kau tahu keadaan
diriku. Wasiat Malaikat
39 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
Saat pulihnya kekuatanku mungkin hanya tinggal satu atau dua hari. Kau tahu
dalam waktu satu dua hari itu sesuatu bisa terjadi dengan diriku. Konon pedang
sakti itu sanggup menyembuhkan diriku dengan seketika. Aku harus mendapatkan
pedang itu Ratu. Paling tidak harus membantu guruku untuk mendapatkannya!"
"Kalau begitu...." Ratu Duyung tak dapat meneruskan ucapannya. Karena di atas
sana tiba-tiba dia melihat terjadi sesuatu.
Sika Sure jelantik yang saat itu masih memegang Pedang Naga Suci 212 merasakan
tangannya semakin panas. Ketika diperhatikannya ternyata tangan kanannya sudah
melepuh dan mengepulkan asap. Dia cepat kerahkan tenaga dalam sementara di
bawahnya dilihatnya ada beberapa orang berenang mendekat.
"Pedang sakti luar biasa! Tapi mengapa hendak mencelakai diriku" Gila! Gagang
pedang ini semakin panas seolah berubah menjadi bara. Semakin aku kerahkan
tenaga dalam untuk melawan hawa panas, semakin parah sakit di tanganku! Aku tak
bisa bertahan. Tapi kalau senjata ini aku lepaskan, si nenek keparat Sinto Gendeng itu pasti
akan merampasnya. Aku juga melihat beberapa orang lain berenang menuju ke sini.
Jangan-jangan mereka semua masuk ke dalam telaga ini memang untuk mencari pedang
ini. Apa yang harus aku lakukan?"
Sika Sure Jelantik memandang berkeliling lalu ke bagian bawah telaga. "Gadis
itu.... Bukankah dia yang dulu aku berikan ilmu menyelam seratus hari" Hemmm.... Mungkin
dia bisa membantuku keluar dari kesulitan menghadapi pedang sakti ini...."
Dari bawah sementara itu Panji berenang dengan cepat menuju bagian atas telaga.
Dadanya berdebar keras. Semula dia merasa ragu akan apa yang dilihatnya. Karena
itu dia berenang lebih cepat. "Mungkin memang gadis itu. Bukankah dia pernah
mengatakan ingin menyelidik ke dasar telaga untuk mencari sebuah benda" Tapi
mengapa kini keadaannya seperti itu" Bercelana tapi tidak mengenakan baju!"
Hanya tinggal beberapa tombak barulah Panji yakin dia tidak salah menduga. "Puti
Andini!" teriak Panji.
Mendengar ada orang yang menyebut namanya dalam air, Puti Andini. memandang
berkeliling. Dia melihat seorang berpakaian hijau.
"Pemuda itu...." kata si gadis dalam hati. Saking girangnya dia membuka mulut
untuk berteriak balas memanggil. Tapi dia lupa bahwa ilmu yang diberikan Sika
Sure jelantik hanya untuk bertahan lama dalam air, tidak berkemampuan baginya
untuk bicara. Be-gitu mulutnya terbuka air telaga langsung masuk ke mulutnya terus ke dalam
tenggorokan. Gad is itu megap-megap menggapai kian kemari. Panji cepat memegang
salah satu lengan gadis itu.
"Puti, apa yang terjadi. Mengapa kau berada dalam keadaan seperti ini. Tanpa
baju. Ada luka di bahu kirimu!"
Puti Andini berpaling. Kedua matanya membesar. Jika dia tidak malu ingin sekali
gadis ini memeluk pemuda yang entah mengapa sejak beberapa lama ini sangat
dirindukannya. Namun begitu sadar keadaan dirinya yang tanpa pakaian cepat-cepat
dia berenang menjauh sambil menutupi dadanya.
Melihat hal itu Panji segera buka baju hijaunya lalu berenang mengejar Puti
Andini dan serahkan pakaian itu pada si gadis. Sambil membelakangi si pemuda
Puti Andini kenakan pakaian hijau yang diberikan Panji. Namun belum sempat dia
mengancingkan pakaian itu tiba-tiba di depannya meluncur sebuah benda yang
memancarkan cahaya putih Wasiat Malaikat
40 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
disertai tebaran hawa dingin. Menyusul munculnya satu sosok berpakaian hitam
berambut putih yang mengambang kian kemari dalam air.
"Nenek Sika Sure Jelantik..." kata Puti And ini dalam hati begitu mengenali
siapa adanya orang yang berenang di atasnya sementara sepasang matanya
terpentang lebar memandang pada benda yang ada dalam genggaman tangan kanan si
nenek. Sika Sure Jelantik acung-acungkan pedangnya ke atas sedang tangan kiri
dilambaikan berulang kali memberi isyarat.
"Nenek itu memberi .tanda agar kita mengikutinya..." kata Panji. "Setahuku dia
bukan orang baik-baik. Apa kau mengenalnya?"
Puti Andini menjawab dengan anggukan kepala. Di atas sana kembali si nenek
memberi isyarat agar Puti Andini cepat-cepat mengikutinya. Si gadis memandang
sesaat pada Panji lalu menoleh pada Sika Sure Jelantik. Melihat si gadis masih
ragu, Panji akhirnya menarik tangan Puti Andini dan membawanya berenang menuju
permukaan telaga.
Di bawah sana Sinto Gendeng tidak tinggal diam. Nenek ini segera berenang ke
atas. Setan Ngompol mengikuti sementara di bagian lain Wiro dan Ratu Duyung juga telah
meluncur menuju permukaan telaga.
* * * Wasiat Malaikat
41 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
________________________________________________________________________________
__ SEPULUH Sosok Sika Sure jelantik adalah yang pertama sekali melesat keluar dari
permukaan air pada tepian Telaga Gajahmungkur sebelah barat. Nenek ini
berjungkir balik dua kali di udara lalu melayang turun dan tegak di pinggiran
telaga pada bagian yang penuh ditebari batu-batu besar berwarna hitam. Saat itu
dia masih coba bertahan memegang Pedang Naga Suci 212 walau kulit tangannya yang
merah aneh telah melepuh dan mengepulkan asap. Daging tangannya laksana
dipanggang bahkan tulang-tulang telapak tangan dan jarinya ada yang sampai
terkuak putih menyembul! Seperti diketahui nenek satu ini telah terperangkap
oleh fitnah dan hasutan orang-orang Lembah Akhirat hingga kini tangan kanannya
berwarna merah pertanda dia telah menguasai salah satu ilmu dahsyat andalan
orang-orang Lembah Akhirat yang disebut ilmu Mencabut Jiwa Memusnah Raga atau
yang juga dikenal dengan Ilmu Penghancur Mayat.
Puti Andini dan Panji menyusul muncul di permukaan telaga. Karena muncul agak ke
tengah maka keduanya terpaksa berenang dulu untuk mencapai tepian berbatu-batu
di mana Sika Sure Jelantik berada.
Di tepi telaga Sika Sure Jelantik menunggu sampai Puti Andini dan Panji naik ke
daratan lalu megap-megap melangkah ke atas batu dalam keadaan basah kuyup.
"Bajumu belum kau kancingkan. Lekas kau rapikan...."
Puti Andini terkejut mendengar bisikan Panji. Begitu sadar dia cepat-cepat
mengancingkan baju hijau milik si pemuda yang dipakainya.
"Anak gadis!" Tiba-tiba nenek berambut putih basah riap-riapan di atas batu
membuka mulut. "Bukankah kau orangnya yang tempo hari pernah kuberikan ilmu
menyelam seratus hari"!"
"Benar Nek. Aku tidak melupakan budi baikmu itu dan sekali lagi mengucapkan
terima kasih. Mohon maafmu kalau sampai saat ini belum dapat membalas budi
baikmu itu..." jawab Puti Andini sambil melirik bergidik pada tangan kanan si
nenek yang berwarna merah dan berada dalam keadaan mengelupas dan mengepulkan
asap panas. "Pedang Naga Suci 212," kata Puti Andini. "Senjata ini sebelumnya
dalam keadaan tergulung. Pedang ini yang melukai bahuku dan merobek jebol perut
ular naga betina...." Si nenek menyeringai.
"Ini bukan saatnya bicara segala macam budi! Lihat tanganku yang memegang
pedang!" Puti Andini tercekat ngeri. Sedang Panji tak bisa lagi menahan diri langsung
berteriak. "Nek, tanganmu terluka parah! Mengapa kau masih memegangi senjata itu"!"
"Eh, anak muda banci beranting emas. Kita belum lama bertemu di tepi telaga. Aku
masih ingat namamu. Panji! Apa hubunganmu dengan gadis ini"!" "Dia... dia...."
Panji tak bisa menjawab. Si nenek tertawa cekikikan. "Waktu aku bertemu kau,
katamu kau habis berenang dan menyelam di telaga hanya untuk senang-senang
menyegarkan diri. Kini aku tahu, kau tengah mencari gadis ini! Hik... hik...
hik! Berarti kau punya rasa suka padanya!
Hik... hik... hik!"
Baik Panji maupun Puti Andini jadi sama-sama bersemu merah wajah masing-masing.
Si nenek berpaling pada Puti Andini. Wajahnya yang keriputan tampak mengerenyit
menahan sakit yang amat sangat.
Wasiat Malaikat
42 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
"Anak gadis! Waktu pertama bertemu denganku kau bilang kau akan mencari sebuah
batu hitam di dasar Telaga Gajahmungkur. Katamu batu itu punya khasiat untuk
menyembuhkan ibumu yang sakit gara-gara ditinggal kabur oleh bapakmu yang
tergila-gila dengan seorang perempuan penghibur! Apa kau sudah menemukan batu
hitam itu"!"
Puti Andini jadi tergagau dan tak bisa menjawab karena dia memang telah
berdusta. (Baca Episode ke-3 Lembah Akhirat)
"Parasmu berubah! Kau tak bisa menjawab. Berarti kau telah mendustai diriku!"
"Harap maafkan diriku Nek. Perlu waktu banyak untuk menerangkan...."
"Persetan dengan segala keterangan! Aku tidak punya banyak waktu. Sebentar lagi
orang-orang di dalam telaga itu akan segera muncul. Aku...."
Sika Sure jelantik kembali mengerenyit. Kali ini sambil terbungkuk-bungkuk.
Tangan kanannya tampak bergetar keras dan menebar bau daging terpanggang.
"Pedang celaka..." rutuk si nenek. Dia maju ke hadapan Puti Andini. "Tolong kau
pegangkan dulu pedang ini. Lalu kau dan kekasihmu si pemuda banci pakai anting
itu lekas ikut bersamaku!"
Habis berkata begitu Sika Sure Jelantik lalu angsurkan pedang yang dipegangnya
pada Puti Andini. Tanpa ragu-ragu Puti Andini cepat ulurkan tangan untuk
menerima senjata itu. Tapi tiba-tiba satu bayangan hitam berkelebat antara Sika
Sure jelantik dan si gadis. Pedang Naga Suci 212 terbetot lepas dari tangan si
nenek. Bersamaan dengan itu terdengar suara orang terpekik kesakitan! Lalu
menyusul suara benda berdesing dan berkiblatnya cahaya putih disertai suara
menderu-deru ditambah dengan tebaran angin dingin luar biasa;
Baik Sika Sure Jelantik maupun Puti Andini sama-sama tersurut kaget dan
memandang terbelalak ke depan.
"Kau!" teriakan keras keluar dari mulut Sika Sure Jelantik seraya menunjuk
lurus-lurus ke depan di mana di atas sebuah batu besar tegak berdiri seorang
nenek berjubah hitam. Di kepalanya bertengger sebuah topi berbentuk tanduk
kerbau. Saat itu dia tegak berdiri sambil mengibas-ngibaskan tangan kanannya
yang kulitnya kelihatan merah terkelupas seolah melepuh! Nenek satu ini adalah
Sabai Nan Rancak yang dikenal sebagai nenek Puti Andini.
Sementara itu Pedang Naga Suci 212 yang tadi berada di tangan Sika Sure Jelantik
kini tampak menancap di atas sebuah batu sampai sedalam sepertiganya, Bagian
atasnya bergoyang-goyang pulang-balik memancarkan kilauan cahaya putih dan deru
angin serta hawa dingin.
Apa yang barusan telah terjadi"
Ketika Sika Sure Jelantik hendak menyerahkan Pedang Naga Suci 212 pada Puti
Andini, belum sempat gadis ini menyentuh senjata sakti mandraguna itu tiba-tiba
muncullah Sabai Nak Rancak. Dengan satu kelebatan cepat dan gerakan kilat dia
berhasil merampas pedang dari tangan Sika Sure Jelantik. Namun begitu jari-jari
tangannya memegang gagang pedang langsung dia terpekik karena ternyata gagang
senjata itu panas sekali seolah dia memegang bara api. Sabai Nan Rancak kibaskibaskan tangan kanannya. Ketika diperhatikannya ternyata telapak tangannya
telah terkelupas melepuh. Pedang sakti yang dilemparkannya menancap di batu
sampai sepertiganya.
"Nenek Sabai!' berseru Puti Andini begitu melihat neneknya berada di tempat itu,
tegak di atas batu sambil mengibas-ngibaskan tangannya yang cidera. Sabai Nan
Rancak Wasiat Malaikat
43

Wiro Sableng 099 Wasiat Malaikat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
Tewasnya Raja Racun Merah 1 Pendekar Rajawali Sakti 129 Pulau Kematian Misteri Rumah Berdarah 4

Cari Blog Ini