Ceritasilat Novel Online

Azab Sang Murid 3

Wiro Sableng 146 Azab Sang Murid Bagian 3


cukup untuk menumpuk mereka bertiga. Jadi baiknya dua orang ini dibereskan saja
sekarang juga! Aku..."
Si botak tidak dapat teruskan ucapannya karena saat itu didahului bentakan
dahsyat Wulan Srindi telah menerjang ke arahnya sambil semburkan minuman keras.
Ni Serdang Besakih sendiri juga tidak bisa ayal-ayalan lagi karena saat itu dari
depan Iblis Pemabuk mendatangi dengan mulut penuh cairan. Begitu mulut dibuka
maka menyemburlah minuman keras ke arah muka dan dada. Si nenek yang sudah tahu
dan melihat sendiri keganasan semburan minuman keras tersebut secepat kilat
melompat satu tombak ke udara. Dia terpekik pucat karena salah satu ujung kaki
celana kuningnya terkena sambaran minuman keras hingga berlobang besar dan
kepulkan asap! Masih untung daging kakinya tidak terkena
semburan. "Pemabuk keparat! Makan tanganku!"
Ni Serdang Besakih berteriak marah. Sambil melayang turun dia lancarkan serangan
Tangan Iblis Membongkar Berhala. Namun sebelum serangan itu melesat dia lebih
dulu menghantam dengan dua tendangan berantai sebagai tipuan. Dan ternyata lawan
memang kena ditipu!
Ketika dua tendangan datang beruntun Iblis Pemabuk miringkan tubuh ke kanan.
Tangan kiri dipukulkan ke atas dan mulut yang sudah diisi minuman keras
menyembur. Didahului suara tawa melengking Ni Serdang Besakih liukkan tubuh. Pukulan tangan
kiri Iblis Pemabuk lewat di samping kiri, semburan minuman keras menyambar udara
kosong di sebelah pinggul kanan. Dua kaki si nenek yang menendang bergerak ke
atas lalu tubuhnya menukik ke bawah, tangan kanan melesat menyambar ke arah
batok kepala Iblis Pemabuk. Ini adalah jurus serangan dengan gerakan yang sulit
namun luar biasa berbahaya.
"Oala!" Iblis Pemabuk bukan tokoh silat kemarin. Begitu sadar kalau dirinya
tertipu secepat kilat dia jatuhkan diri ke tanah. Kaki kanan membuat gerakan
seperti kuda menendang. Dua orang yang berkelahi ini sama-sama menjerit.
Iblis Pemabuk merasa kepalanya seperti terbongkar ketika serangan lima jari
tangan maut Ni Serdang Besakih masih sempat menjambak rambutnya. Sebagian rambut
di sebelah kanan batok kepala Iblis Pemabuk tercabut. Kulit kepala terkelupas.
Lelehan darah mengucur ke kening dan pipi! Untuk beberapa lama tokoh silat ini
hanya bisa tegak tertegun sementara pemandangan mata sebelah kanan menggelap
sedang yang kiri berkunang-kunang!
Meski berhasil menciderai lawan namun Ni Serdang Besakih sendiri menerima
hajaran yang cukup keras.
Tendangan kaki kanan Iblis Pemabuk mendarat tepat di tulang tunggirnya. Si nenek
menjerit, tubuh mengapung sebentar di udara lalu jatuh menungging di tanah.
"Ni Serdang Besakih, mengapa kau menungging"!" Iblis Pemabuk masih bisa balas
mengejek walau tengah
mengalami sakit luar biasa di bagian wajah dan kepala.
"Mau menggodaku berbuat mesum" Ha... ha... ha. Aku tidak bergairah! Kambing
jantan saja jijik melihatmu! Ha...
ha... ha!" Iblis Pemabuk ambil lagi satu kendi minuman baru. Selagi dia meneguk
minuman itu tiba-tiba masih dalam keadaan menungging di tanah Ni Serdang Besakih
keluarkan suara menggerung. Seperti seekor harimau tubuhnya melesat ke depan.
Lima jari tangan terpentang.
Dua-duanya dalam gerak jurus serangan Tangan Iblis Membongkar Berhala.
Saat itu pemandangan Iblis Pemabuk masih
dipengaruhi cidera di kepalanya. Dia baru sadar kalau orang menyerang ketika dua
tangan Ni Serdang Besakih hanya tinggal satu jengkal dari perut!
"Tua bangka hidung bengkok! Kau mencari mampus!"
Secepat kilat Iblis Pemabuk hantamkan kendi tanah di tangan kanannya ke kepala
Ni Serdang Besakih.
Praakk! Kendi dan kepala sama-sama pecah. Si nenek tewas saat itu juga! Tapi Iblis
Pemabuk sendiri harus membayar mahal kematian lawannya itu dengan nyawa sendiri.
Tangan kiri Ni Serdang Besakih berhasil menjebol perutnya hingga robek besar.
Luar biasa mengerikan. Iblis Pemabuk menjerit satu kali lalu terguling ke tanah.
Jatuh di samping mayat Ni Serdang Besakih!
"Guru!" teriak Wulan Srindi. Dia segera tinggalkan Embah Bejigur yang tengah
diserangnya habis-habisan.
Ketika dia jatuhkan diri memeluki mayat Iblis Pemabuk, Embah Bejigur pergunakan
kesempatan untuk
membokong. Dari balik pakaian gombrongnya orang ini keluarkan sebilah senjata berbentuk
tombak pendek bermata tiga.
Pastilah ini sebuah senjata mustika sakti karena tiga ujung tombak memancarkan
cahaya kuning terang di dalam kegelapan malam.
Sesaat lagi tombak bermata tiga itu akan menancap di punggung kiri Wulan Srindi,
siap menembus tubuh sampai ke jantung, tiba-tiba dari dalam gelap melesat satu
bayangan putih. Disusul berkiblatnya dua larik sinar hijau laksana dua bilah
pedang menyambar.
Embah Bejigur berteriak kaget. Dia berusaha mencari selamat dengan melompat
mundur sambil babatkan
tombak bermata tiga ke arah dua larik sinar hijau untuk melindungi diri.
Wuuttt! Wuuutt!
Dua larik sinar hijau laksana sepasang pedang panjang memapas ganas mengerikan.
Tombak bermata tiga
terlepas mental terkutung jadi tiga bagian. Begitu jatuh tergeletak di tanah
tiga patahan tombak langsung leleh!
Keadaan Embah Bejigur jauh lebih buruk dan
mengerikan dari tombaknya. Dada dan pinggang putus disambar dua larik sinar
hijau. Tiga potongan tubuh terpental ke tiga arah, mengepul leleh berubah
menjadi hijau kehitaman!
"Wulan! Kau tak apa-apa"!" Wiro mendatangi Wulan Srindi, memegang bahu gadis ini
dan mengangkatnya.
"Nenek jahanam itu membunuh guruku!" teriak Wulan Srindi. Dia lepaskan
dekapannya dari tubuh Iblis Pemabuk.
Didahului satu teriakan keras Wulan tendang mayat Ni Serdang Besakih hingga
mencelat jauh di samping candi.
Lalu gadis ini merangkul Wiro dan menjerit-jerit tiada henti.
Wiro coba menenangkan sambil menepuk-nepuk bahu
Wulan Srindi. "Anak setan, syukur aku belum menemui ajal! Kalau tidak mana aku tahu kau
memiliki ilmu Sepasang Pedang Dewa itu" Dari mana kau dapat ilmu langka itu"!"
Astaga! Meski sekujur tubuh babak belur berkelukuran ternyata si nenek masih sadar,
masih hidup! Kejut Wiro bukan alang kepalang. Menoleh ke kiri dia melihat satu onggokan
jaring bercahaya dan di dalam jaring itu mendekam gurunya. Walau gelap namun
Wiro dapat melihat keadaan si nenek. Mata kiri bengkak lebam.
Lengan kiri terkulai tanda patah.
"Eyang Sinto! Siapa yang berani berbuat keji seperti ini padamu"!" teriak
Pendekar 212. Di dalam jala Sinto Gendeng tertawa kecut.
"Orangnya yang barusan kau bunuh." Jawab Sinto
Gendeng. "Nek, sudah, jangan banyak bicara dulu. Kau cidera berat luar dalam. Saya akan
membebaskanmu dari jaring celaka itu!"
Wiro berusaha merobek jaring tapi sia-sia saja. Ketika dia memaksa dan lipat
gandakan tenaga dalam jari-jari tangannya malah terkelupas!
Dari dalam jaring Sinto Gendeng menarik nafas lalu berucap perlahan.
"Di dunia ini hanya ada tiga senjata yang mampu
memutus Jaring Neraka. Pertama Keris Naga Kopek
pusaka kerajaan, ke dua Pedang Naga Suci 212 dan ke tiga Kapak Naga Geni 212..."
Wiro terkesiap mendengar kata-kata si nenek.
Sebelumnya dia sudah berbulat tekat. Apapun yang terjadi dia tidak akan
mempergunakan senjata serta ilmu warisan sang guru. Namun dalam keadaan seperti
itu apakah dia akan bertahan dan bertetap hati" Apakah dia akan membiarkan sang
guru mendekam di dalam Jaring Neraka seumur-umur" Wiro raba pinggangnya. Kapak
Naga Geni 212 tak ada lagi di tempat dia biasa menyisipkan.
Diam-diam Sinto Gendeng memperhatikan Wiro. Tadi ketika pemuda ini
membelakanginya dia sempat melihat cacat panjang pada punggung yang tersingkap.
Sinto Gendeng pencongkan mulut. Dadanya seperti dipelintir.
Hatinya mendadak perih. Setelah mampu menenangkan diri dalam hati nenek ini
berucap. "Aku tidak melihat anak setan ini membekal kapak saktinya. Jangan-jangan sudah
dibuang karena jengkel padaku. Ah, akupun tak meminta diselamatkan. Mungkin
lebih baik kalau akhirnya aku menemui ajal dalam jaring celaka ini."
Wiro masih tegak terdiam di tempatnya. Mendadak
muncul bayangan sosok Kiai Gede Tapa Pamungkas. Orang sakti ini anggukkan kepala
lalu lenyap. Wiro ingat apa yang terjadi dan telah dilakukan sang Kiai sewaktu
dia berada di dalam telaga. Kapak Naga Geni 212 dan batu sakti telah dimasukkan
orang tua itu ke dalam tubuhnya. Untuk beberapa lamanya sang pendekar merasa
bimbang. Saat itulah tiba-tiba muncul bayangan Datuk Rao Basaluang Ameh. Seperti
Kiai Gede Tapa Pamungkas orang tua ini juga memandang padanya dan anggukkan
kepala. "Kapak Naga Geni 212!"
Wiro berteriak sambil tangan kanan diangkat ke atas.
Selarik cahaya putih seperti kilat kecil berkiblat di ujung tangan kanan Wiro.
Di lain kejap Kapak Naga Geni 212
telah tergenggam di tangan kanan itu, menebar cahaya terang menyilaukan.
Selagi Sinto Gendeng terbengong-bengong melihat apa yang terjadi, kapak sakti di
tangan Wiro berkelebat tiga kali berturut-turut. Suara seperti ribuan tawon
mengamuk melanda seantero tempat. Cahaya putih perak
menyilaukan berkiblat angker dan hawa panas
menghampar. Di dalam jaring Sinto Gendeng keluarkan suara mengerang.
Craass! Craass! Craasss!
Bunga api berletupan. Jaring Neraka mengepulkan asap dan robek besar di tiga
tempat. Wiro sendiri terpental.
Dada mendenyut sakit. Kapak Naga Geni 212 hampir terlepas dari pegangan. Dua
lutut terasa goyah. Waktu dia jatuh berlutut di tanah Kapak Naga Geni 212 tidak
ada lagi di tangan kanannya!
"Wiro! Gurumu dalam keadaan terluka luar dalam! Biar saya merawatnya!"
Tiba-tiba satu suara menggema di kegelapan malam.
Wiro tersentak kaget dan cepat berdiri. "Nyi Retno"!"
Memandang berkeliling Wiro tidak melihat perempuan itu. Tapi begitu dia membalik
Sinto Gendeng tak ada lagi di tempatnya semula. Ketika dia memperhatikan ke
depan, dalam kegelapan dia melihat kabut aneh mengambang di udara. Wiro mengejar
namun kabut keburu lenyap.
"Apa yang terjadi" Nyi Retno, apa yang kau lakukan"
Kau bawa ke mana Eyang Sinto?" Wiro melangkah ke halaman depan Candi Pangestu.
Di sini dua kakinya terpaku di tanah. Wulan Srindi tak ada lagi di tempat itu.
Mayat Iblis Pemabuk ikut lenyap!
Wiro terduduk di tanah.
"Apa yang harus aku lakukan sekarang" Mengejar Nyi Retno" Ke mana...?" Wiro usap
mukanya berulang kali.
"Hanya ada satu cara. Aku harus mengerahkan ilmu Menembus Pandang."
Tiba-tiba Wiro angkat kepala, memandang berkeliling.
Walau kaget dia tetap berlaku tenang. Di sekitarnya puluhan orang berseragam
hitam telah mengurung tempat itu. Pada dada kiri baju hitam yang mereka kenakan
ada sulaman rumah joglo dan keris bersilang. Sebagian dari mereka menghunus
golok. Di samping kanan berdiri seorang lelaki muda bertubuh tegap berwajah
gagah, diapit dua orang kakek bermuka hitam dan sama-sama
mengenakan jubah merah.
"Pendekar 212! Keraton Kaliningrat mengundangmu
untuk bertemu dengan segala kehormatan. Kami
menjanjikan jabatan tinggi dengan segala kemuliaan. Tapi kau membunuh orangorang kami!"
*** WIRO SABLENG AZAB SANG MURID
9 ITA tinggalkan dulu Wiro yang telah dikurung oleh orang-orang Keraton
Kaliningrat. Kita ikuti apa yang Kdilakukan Nyi Retno Mantili terhadap Sinto
Gendeng. Si nenek berusaha memperhatikan wajah orang yang membawanya lari. Tapi malam
begitu gelap, lari orang yang memanggulnya cepat sekali sementara salah satu
matanya masih cidera. Dia tak mampu melihat jelas. Selain itu tangan kiri dan
tulang rusuk yang patah mendenyut sakit tiada henti.
"Heh... Kau siapa" Kau mau membawa aku ke mana?"
Sinto Gendeng keluarkan ucapan, bertanya.
"Nek, kau cidera berat luar dalam. Saya membawamu ke tempat kediaman Ki
Tambakpati. Biar dia
mengobatimu."
"Ki Tambakpati sudah meninggalkan gubuknya. Kau
turunkan saja aku. Aku bisa mengobati diri sendiri."
Nyi Retno tak menjawab. Perempuan ini terus saja berlari.
"Hai! Apa kau tuli atau budek" Tidak mendengar apa yang aku ucapkan"!"
"Nek, kalau kau mau turun silahkan saja. Saya tidak mau memaksa."
Nyi Retno hentikan lari, mencari tempat yang baik lalu dudukkan Sinto Gendeng di
tanah, bersandar pada
sebatang pohon waru. Ketika dia memperhatikan wajah Nyi Retno, nenek ini
kerenyitkan kening.
"Heh, apakah aku mengenali dirimu?"
"Kau lupa Nek" Aku gembel sinting sahabat muridmu yang tempo hari kau hina kau
caci maki." Jawab Nyi Retno.
Sinto Gendeng mengerenyit. Dia tekap mata kirinya yang masih bengkak akibat
hajaran Hantu Malam Bergigi Perak. Mata kanan memandang lekat-lekat.
"Tak percaya aku! Kau tak seperti dia. Gembel
perempuan itu berpakaian dekil, rambut awut-awutan, muka kotor..."
"Kau ingat anakku ini Nek?"
Nyi Retno keluarkan boneka kayu, diperlihatkan pada Sinto Gendeng.
Karuan saja Sinto Gendeng jadi terkesiap. Dia pandangi lagi perempuan cantik
bertubuh mungil di depannya, merasa bimbang.
"Sulit kupercaya! Bagaimana kau bisa berubah seperti ini?"
"Guruku yang menolong..."
"Siapa gurumu?"
"Kiai Gede Tapa Pamungkas di puncak Gunung Gede."
Kejut si nenek bukan olah-olah. "Kau jangan berani bergurau!" katanya setengah
membentak. "Siapa bergurau. Kiai menyelamatkan diriku sewaktu hendak dibunuh makhluk jahat
dari alam roh. Aku dibawa ke Gunung Gede. Diajarkan beberapa ilmu kepandaian..."
"Lalu hubunganmu dengan anak setan itu?"
"Dia sahabat baik yang sangat banyak menolongku. Aku suka padanya. Anakku
Kemuning juga suka padanya."
Kulit kening Sinto Gendeng mengerenyit. "Boneka ini...
Katanya bayimu. Hasil hubungan anehmu dengan
muridku?" Nyi Retno tertawa. "Apa kau masih menganggap Wiro sebagai muridmu?"
"Eh, mengapa kau bertanya begitu?" tanya Sinto
Gendeng. Nyi Retno menceritakan kepergiannya ke telaga di puncak Gunung Gede bersama Wiro
menemui Kiai Gede Tapa Pamungkas. Juga semua yang terjadi di dalam gedung batu
pualam di dasar telaga. Termasuk bagaimana Kiai Gede Tapa Pamungkas secara aneh
memasukkan Kapak Naga Geni 212 dan batu sakti ke dalam tubuh Wiro.
"Sebenarnya Wiro tidak suka atas apa yang telah
dilakukan Kiai. Memasukkan dua senjata sakti ke dalam tubuhnya. Dia tahu maksud
Kiai baik, namun dia
sebelumnya sudah punya rencana lain..."
"Rencana apa?" tanya Sinto Gendeng sambil usap
barisan tulang iga di rusuk kanan.
"Kau tahu Nek, Wiro sangat terpukul atas apa yang telah kau lakukan terhadapnya.
Kau menoreh luka dan cacat panjang di punggungnya. Kiai Gede Tapa Pamungkas


Wiro Sableng 146 Azab Sang Murid di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ingin mengobati luka itu. Tapi Wiro berkata akan membawa cacat itu seumur hidup
ke mana dia pergi. Ternyata luka di hatinya lebih parah dari luka di tubuh."
Sinto Gendeng terdiam sejurus.
"Kau belum mengatakan apa rencana anak setan itu."
"Nek, kau selalu menyebut dirinya dengan panggilan
'anak setan'. Apa tak ada lagi panggilan yang lebih baik untuk seorang anak
manusia yang selalu mencoba
menghormati dan berbakti padamu?"
Sinto Gendeng menatap tajam wajah Nyi Retno Mantili.
Lalu membuang muka, memandang ke jurusan lain.
"Katakan saja, apa rencana anak setan itu." Walau sudah ditegur Sinto Gendeng
masih saja menyebut Wiro dengan nama anak setan.
Nyi Retno angkat tinggi-tinggi boneka kayu lalu
mencium keningnya.
"Anakku Kemuning, apakah kau ingin ibu juga
memanggilmu anak setan" Hik... hik... hik!"
Sinto Gendeng jadi beringas merasa diejek.
Dia lalu membentak.
"Perempuan setan! Aku tidak pernah minta tolong
padamu! Jangan merasa kau telah menanam budi padaku!
Jika kau tidak mau menerangkan rencana muridku,
silahkan angkat kaki dari hadapanku! Dan jangan sekali-kali berani lagi unjukkan
diri!" Nyi Retno Mantili dekapkan boneka kayu ke dada, usap-usap punggung boneka lalu
berkata. "Nek, keangkuhan dan kesombongan, sifat kasar dan mau menang sendiri serta
selalu berprasangka buruk pada orang lain sering membawa seseorang ke dalam
hidup yang menyedihkan..."
"Persetan ucapanmu! Aku hidup jauh lebih lama
darimu! Jangan berani menasihati..."
"Nek, orang yang tak pernah mau memperhatikan
nasihat orang lain berarti dia melihat tapi buta, dia mendengar tapi tuli,
hatinya berdenyut tapi lebih beku dari batu. Aku kasihan melihatmu Nek. Sisa
hidupmu mungkin hanya tinggal menghitung hari!"
"Perempuan setan! Lekas menyingkir dari hadapanku!"
teriak Sinto Gendeng.
Nyi Retno berdiri.
"Sebelum pergi aku akan katakan apa rencana Wiro.
Muridmu itu bermaksud menyerahkan dan mengembalikan Kapak Naga Geni 212 serta
batu sakti pasangannya padamu. Selain itu dia sudah bertekad untuk tidak akan
mempergunakan lagi semua ilmu yang didapatnya darimu.
Lebih dari itu dia juga punya rencana untuk meninggalkan rimba persilatan untuk
selama-lamanya."
"Apa"!" Sinto Gendeng setengah berteriak. Dia coba berdiri dengan bersitopang
pada tangan kiri. Langsung mulutnya menjerit kesakitan. Sinto Gendeng tidak
sadar kalau tangan kirinya patah.
"Nek, sayang sekali. Di hari tuamu begini rupa
seharusnya kau menempuh hidup tenang tenteram dan bahagia. Ternyata kau masih
mencari musuh di mana-mana. Termasuk menanamkan rasa benci dalam diri
muridmu sendiri! Wiro pernah berkata dia berhutang budi besar bahkan nyawa
padamu. Tapi dengan kejadian di Candi Pangestu tadi, bagaimana dia
menyelamatkanmu kurasa dia telah membalas semua hutang budi dan hutang nyawa
itu. Kurasa saat sekarang ini kau bukan segala-galanya lagi bagi Wiro. Ingat itu
baik-baik!"
"Perempuan setan! Lancang sekali mulutmu! Kalau aku tidak cidera begini rupa
sudah kurobek mulutmu!"
Nyi Retno tersenyum. "Mungkin aku bermulut lancang.
Tapi kalau aku pergi harap kau pergunakan pikiran sehat, duga serta selami hati
dan perasaanmu sendiri."
Nyi Retno memutar badan.
"Tunggu!" berseru Sinto Gendeng.
Hanya palingkan kepala, tanpa hentikan langkah Nyi Retno Mantili berkata. "Nek,
antara kita tidak ada urusan apa-apa lagi! Selamat tinggal."
Sinto Gendeng berusaha mengejar tertatih-tatih namun akhirnya terduduk di tanah.
Dadanya turun naik. Beberapa kali dia menarik nafas dalam dan panjang. Lalu
nenek ini pukul-pukul keningnya sendiri. Kepala didongakkan, mulut berucap.
"Malaikat maut! Kalau kau ada di sini mengapa tidak segera mencabut nyawaku"!"
Baru saja Sinto Gendeng keluarkan ucapan tiba-tiba dalam gelap berkelebat doa
sosok gesit dan berdiri bertolak pinggang di hadapan si nenek. Sinto Gendeng tak
dapat melihat jelas karena dua orang yang datang ini berada di bawah bayangbayang gelap pohon besar.
"Malaikat Maut" Tapi mengapa datang sekaligus
berdua"!" Sinto Gendeng berucap perlahan. Kalau tadi dia berani bicara minta
mati, kini si nenek merasa tengkuknya menjadi dingin.
"Kami berdua bukan malaikat. Tapi kalau kau memang menyesal hidup dan minta mati
sesungguhnya kami sudah beberapa hari ini menyiapkan kematian bagimu!"
Di dalam gelap lalu terdengar suara riuh tawa
cekikikan. "Bangsat kurang ajar! Siapa kalian"!"
Sinto Gendeng membentak marah. Matanya yang
cekung berkilat-kilat. Dua orang di depan sana melangkah keluar dari bayangan
gelap pohon besar. Ternyata dia adalah dua orang gadis cantik kakak adik.
Satu berpakaian biru, satu lagi berpakaian merah.
"Siapa kalian"!" Sinto Gendeng membentak sekali lagi.
"Kami Liris Merah dan Liris Biru. Dua kakak adik anak murid Hantu Malam Bergigi
Perak. Kau membunuh guru kami beberapa hari lalu. Malam ini kami datang mewakili
roh guru untuk minta nyawamu!"
Sinto Gendeng mula-mula terperangah mendengar
ucapan gadis berpakaian merah. Lalu nenek ini tertawa mengekeh.
"Guru kalian pantas mampus! Dia telah merampas
barang berharga milikku!"
"Nenek bau! Kami tahu seumur hidup kau tak pernah punya barang berharga apapun.
Bahkan muridmu yang berjuluk Pendekar 212 itu telah meninggalkanmu!"
"Gadis kurang ajar! Mulut ember! Lekas minggat dari hadapanku. Kalau tidak
sebelum matahari terbit kalian berdua sudah jadi bangkai!" Mulut memaki namun
dalam hati Sinto Gendeng bertanya-tanya, apakah yang diucapkan gadis berpakaian
biru di hadapannya itu benar" Wiro meninggalkannya" Begitu cepatnyakah kabar
menebar" "Kami tidak akan pergi sebelum mengambil nyawamu!"
jawab Liris Merah.
"Gadis setan! Nafasmu masih bau tetek. Tubuhmu
masih bau kencur! Beraninya bicara sombong mau
mengambil nyawaku! Kau tahu apa tentang kematian gurumu! Kau punya bukti kalau
aku yang membunuhnya"!"
Sinto Gendeng memancing. Dia merasa sedikit heran dari mana dua gadis ini tahu
kalau dia yang membunuh guru mereka. Padahal waktu dia membunuh Hantu Malam
Bergigi Perak keduanya tidak ada di tempat kejadian.
Liris Merah geleng-gelengkan kepala.
"Tidak nyana tokoh rimba persilatan terkenal sepertimu bicara menjurus ke arah
dusta! Kami berdua memang tidak punya bukti. Tapi kami punya saksi!"
Sinto Gendeng merasa dua telinganya berdesing
mendengar ucapan orang. "Kau jangan berani mengarang cerita!"
"Sinto Gendeng! Ternyata kau seorang pengecut! Tidak berani mengakui
perbuatanmu! Kau mau tahu siapa saksi kami malam itu?" Ujar Liris Merah pula.
"Siapa"!" tanya Sinto Gendeng dengan suara
menyentak. "Seorang kakek tukang ngompol. Sahabatmu sendiri.
Namanya Setan Ngompol!" kata Liris Merah.
Liris Biru lalu menyambungi ucapan kakaknya.
"Kakek itu melihat dengan mata kepala sendiri
bagaimana kau membunuh guru! Apa kau masih mau
berdusta" Atau mencari kambing hitam"!"
Mulut Sinto Gendeng terkancing. Rahang
menggembung dan mata melotot pandangi dua gadis di hadapannya. Dalam hati dia
memaki Setan Ngompol
setengah mati. "Kalau kalian memang mau menghukumku, silahkan
saja. Aku memang sudah lama mencari mati. Tapi sekali aku mati kalian tak akan
tahu di mana beradanya Kitab Seribu Pengobatan. Bukankah kalian menginginkan
kitab itu?"
Dua gadis tertawa gelak-gelak.
"Gadis setan! Kenapa kalian tertawa"!"
"Kami lebih tahu dari kau di mana beradanya kitab itu.
Tidak lama lagi kitab itu akan berada di tangan kami!" Kata Liris Merah.
Sinto Gendeng benar-benar merasa terpojok. Mukanya mengelam hitam. Dia angkat
kepala dan membentak.
"Kalian tunggu apa lagi" Mau membunuhku lakukan
sekarang! Cepat!"
Sinto Gendeng lalu bersila di tanah. Tangan kiri terkulai ke samping. Tangan
kanan diletakkan di depan dada.
Kepala ditegakkan dan mata dipejamkan. Dia benar-benar menunjukkan kepasrahan
untuk dibunuh saat itu juga!
Liris Merah dan Liris Biru saling pandang seketika. Lalu sambil berpegangan
tangan dua gadis ini melangkah mendekati Sinto Gendeng. Setengah jalan keduanya
keluarkan pekikan keras. Tubuh melesat ke udara. Liris Merah hantamkan kaki
kanan ke arah kepala sedang Liris Biru menendang ke jurusah dada Sinto Gendeng.
Inilah jurus serangan maut bernama Hantu Malam Berbagi Pahala.
"Tahan serangan!" tiba-tiba ada orang berteriak.
"Apakah kalian begitu tega membunuh calon guru mertua sendiri"!"
Tiga orang terkesiap kaget. Yaitu Liris Merah dan Liris Biru serta Sinto
Gendeng! Dua gadis cepat batalkan serangan.
Yang datang ternyata adalah Setan Ngompol. Kakek ini berlari dengan nafas megapmegap. Tangan kanan pegangi rusuk sebelah kiri yang terasa sakit. Seperti
diketahui akibat hantaman Sinto Gendeng tiga tulang iga sebelah kiri si kakek
patah. Sinto Gendeng buka sepasang mata, menatap tajam ke arah Setan Ngompol.
"Aku kira kau sudah mampus!" Si nenek langsung saja jadi sengit.
"Gusti Allah masih memanjangkan umurku," jawab
Setan Ngompol. "Kau mengkhianati diriku!" Damprat Sinto Gendeng.
"Apakah kau lebih baik dariku Sinto?" tanya Setan Ngompol. "Kau berusaha
membunuhku. Padahal apa
kesalahanku" Sudahlah, aku tidak menyalahkanmu
mencap aku sebagai pengkhianat. Namun saat itu aku tak bisa bicara lain. Aku
dalam keadaan tak berdaya. Mereka hendak membunuhku! Yang penting aku tidak
bicara bohong!"
Sinto Gendeng semburkan ludah susurnya ke tanah.
Lalu berpaling pada dua gadis kakak adik.
"Kalian tidak jadi membunuhku"!"
Ditanya dan ditantang seperti itu Laras Merah dan Laras Biru jadi marah. Ketika
keduanya melangkah hendak mendekati Sinto Gendeng, Setan Ngompol cepat
menghalangi. Dengan suara berbisik dia berkata. "Nenek itu sedang kalut
pikirannya. Kurasa umurnya tak lama lagi.
Tidak kalian bunuh pun kematian akan menjadi bagiannya cepat atau lambat. Aku
akan berusaha mencari Wiro dan membawanya ke Kaliurang. Aku juga akan berusaha
mendapatkan kitab pengobatan itu." Lalu dengan suara dikeraskan Setan Ngompol
berkata. "Kalian berdua kembalilah ke Kaliurang. Kalau ada kesempatan aku akan
mengunjungi kalian di Goa Cadasbiru."
Dua gadis tampak bimbang. Setan Ngompol kedipkan mata memberi tanda. Tanpa
bicara apa-apa lagi, Liris Merah dan Liris Biru kemudian tinggalkan tempat itu.
"Luar biasa! Apa hubunganmu dengan dua gadis itu"
Sampai keduanya mematuhi ucapanmu?" Sinto Gendeng bertanya lalu tertawa
perlahan. "Sinto, lupakan mereka. Lupakan semua hal yang lain.
Kita sama-sama dalam keadaan terluka. Kau lebih parah.
Kita harus dapatkan pengobatan."
"Kita?" ucap Sinto Gendeng. "Setan Ngompol, setelah kau mengkhianati diriku,
antara kita tidak ada lagi ikatan tali persahabatan. Pergilah sebelum aku sembur
mukamu dengan ludah susur!"
Setan Ngompol pancarkan air kencing. Tentu saja tidak mengira Sinto Gendeng akan
bicara seperti itu. Lama dia menatap wajah si nenek. Ingin menyelidik apakah si
nenek sungguh-sungguh atau hanya berseloroh dengan
ucapannya tadi. Dari air muka yang tinggal kulit hitam pembalut tulang itu Setan
Ngompol melihat kalau Sinto Gendeng tidak bergurau. Apa yang diucapkannya tadi
keluar dari otak dan hati.
Setan Ngompol usap-usap bagian bawah perutnya.
Kalau orang tak mau lagi bersahabat, apa yang akan dilakukannya" Setelah
merenung sejurus akhirnya si kakek bergerak pergi. Pada langkah ke tujuh Setan
Ngompol berhenti lalu berpaling pada si nenek.
"Sinto, jika kau membuang satu persatu orang-orang yang selama ini dekat dan
bersahabat denganmu, di hari-hari terakhirmu dalam kehidupan ini kau akan merasa
kesepian. Sangat kesepian. Perasaan itu lebih perih dari sayatan pisau di lubuk
hatimu, akan lebih menyesakkan dari tindihan batu gunung di atas dadamu."
Sinto Gendeng terdiam lalu lambaikan tangan,
menyuruh Setan Ngompol pergi lalu semburkan ludah susur ke tanah. Tak lama
setelah kakek itu lenyap ditelan kegelapan Sinto Gendeng rebahkan diri,
berbaring menelentang di tanah. Langit tampak gelap hitam. Tidak beda dengan
keadaan pikiran dan hati si nenek.
"Apa yang terjadi dengan diriku?" dia bertanya pada diri sendiri. Mata perlahanlahan dipicingkan. Saat itu satu persatu mengiang semua suara hati yang pernah
terucap dalam sanubarinya.
"Kalau muridmu bersalah, katakan padaku apa
salahnya" - Sinto, selama hidupmu kau hampir tidak pernah mempergunakan akal
sehat disertai perasaan hati yang sejuk... - Tuhan memberimu umur panjang. Apa
yang telah kau kerjakan selama ini" - Hidupmu penuh kesombongan. Ucapanmu tidak
pernah disertai timbang rasa. Segala perbuatanmu lebih banyak mudarat dari
manfaat. Kau menghancurkan banyak orang. Tapi yang lebih menyedihkan kau
menghancurkan diri sendiri! Apa kau tidak pernah menyadari bahwa selama ini kau
hidup terkucil dari para sahabat dan tokoh rimba persilatan"
Seseorang merampas Kitab Seribu Pengobatan dari tanganmu tanpa kau bisa
mempertahankan. Bukankah itu sudah merupakan salah satu petunjuk Gusti Allah
bahwa seharusnya kau bisa berbuat banyak sekali kebaikan dengan kitab itu" Tapi
kau bertindak serakah, berlaku tinggi hati. Hanya mementingkan diri sendiri!
Gusti Allah menghukummu, memutuskan bahwa kau tidak pantas menguasai kitab itu.
Muridmu kau caci maki di hadapan orang banyak seolah dia lebih buruk dari
comberan. Kau tuduh berbuat yang bukan-bukan. Bahkan kau buat dia menderita
dengan cacat di punggung seumur-umur. Sinto, apakah kau bukan lagi seorang
perempuan yang punya hati nurani dan welas asih" Iblis apa yang bersarang di
hatimu" Setan mana yang mendekam di benakmu"
Begitukah caramu menjalani sisa-sisa terahir dari usia kehidupanmu" Atau mungkin
kau punya nyawa cadangan.
Sehingga kalau besok kau mati, lusa kau akan hidup kembali?"
Menyusul mengiang ucapan Nyi Retno Mantili.
"Kau tahu Nek, Wiro sangat terpukul atas apa yang telah kau lakukan terhadapnya.
Kau menoreh luka dan cacat panjang di punggungnya. Kiai Gede Tapa Pamungkas
ingin mengobati luka itu. Tapi Wiro berkata akan membawa cacat itu seumur hidup
ke mana dia pergi. Ternyata luka di hatinya lebih parah dari luka di tubuh. Nek, kau selalu menyebut dirinya dengan panggilan anak setan. Apa tak ada lagi
panggilan yang lebih baik untuk seorang anak manusia yang selalu mencoba
menghormati dan berbakti padamu" - Nek, keangkuhan dan kesombongan, sifat kasar
dan mau menang sendiri serta selalu berprasangka buruk pada orang lain sering
membawa seseorang ke dalam hidup yang menyedihkan... - Nek, orang yang tidak
pernah mau memperhatikan nasihat orang lain berarti dia melihat tapi buta, dia
mendengar tapi tuli, hatinya berdenyut tapi lebih beku dari batu. Aku kasihan
padamu Nek. Sisa hidupmu mungkin hanya tinggal menghitung hari. - Sebelum pergi
aku akan katakan apa rencana Wiro.
Muridmu itu bermaksud menyerahkan dan
mengembalikan Kapak Naga Geni 212 serta batu sakti pasangannya padamu. Selain
itu dia sudah bertekad untuk tidak akan mempergunakan lagi semua ilmu yang
didapatnya darimu. Lebih dari itu dia juga punya rencana untuk meninggalkan


Wiro Sableng 146 Azab Sang Murid di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rimba persilatan untuk selama-lamanya. - Nek, sayang sekali. Di hari tuamu
begini rupa seharusnya kau menempuh hidup tenang tenteram dan bahagia. Ternyata
kau masih mencari musuh di mana-mana. Termasuk menanamkan rasa benci dalam diri
muridmu sendiri! Wiro pernah berkata dia berhutang budi bahkan nyawa padamu.
Tapi dengan kejadian di Candi Pangestu tadi, bagaimana dia menyelamatkanmu
kurasa dia telah membayar semua hutang budi dan hutang nyawa itu. Kurasa saat
sekarang ini kau bukan segala-galanya lagi bagi Wiro. Ingat itu baik-baik! Mungkin aku bermulut lancang. Tapi kalau aku sudah pergi harap kau pergunakan
pikiran sehat, duga serta selami hati dan perasaanmu sendiri."
Selanjutnya mengiang pula kata-kata Liris Biru.
"Nenek bau! Kami tahu seumur hidup kau tidak pernah punya barang berharga
apapun. Bahkan muridmu yang berjuluk Pendekar 212 itu telah meninggalkanmu!"
Yang terakhir adalah ngiangan ucapan Setan Ngompol sebelum kakek itu pergi.
"Sinto, jika kau membuang satu persatu orang-orang yang selama ini dekat dan
bersahabat denganmu, di hari-hari terakhirmu dalam kehidupan ini kau akan merasa
kesepian. Sangat kesepian. Perasaan itu lebih perih dari sayatan pisau di lubuk
hatimu, akan lebih menyesakkan dari tindihan batu gunung di atas dadamu."
Sinto Gendeng masih picingkan mata. Dinginnya udara malam menjelang pagi yang
mencucuk seolah tidak terasa.
"Apa yang terjadi dengan diriku?" suara hatinya kembali bertanya. "Azab apa yang
jatuh atas diriku saat ini"
Seumur-umur sampai tua bangka begini aku tidak pernah merasakan ketenangan
hidup. Apalagi yang namanya kebahagiaan. Mengapa aku tidak mati dibunuh orang.
Kalau saja ada yang mau membunuhku, selesai sudah semua azab derita batin ini.
Atau mungkin aku harus mati bunuh diri saja?" Sinto Gendeng menarik nafas dalam.
Tenggorokannya turun naik. Ada suara seperti
sesenggukan menahan tangis. Dari sudut mata yang terpejam itu menetes keluar
butir-butir air mata.
"Ya Tuhan, aku menangis... Apakah masih ada air mata dalam kepala yang sudah
kering ini?" Si nenek usapkan tangannya ke sudut mata kiri kanan.
*** WIRO SABLENG AZAB SANG MURID
10 EMBALI pada Pendekar 212 Wiro Sableng. Jumat
malam hari ke lima belas, menjelang pagi. Dalam
Kbingungnya ditinggal Nyi Rento Mantili yang
membawa lari Eyang Sinto Gendeng, Wiro tersentak ketika menyadari kalau saat itu
tempat di mana dia berada telah dikurung puluhan orang. Dari seragam hitam
dengan sulaman rumah joglo serta keris bersilang di dada kiri Wiro segera maklum
kalau orang-orang itu adalah mereka yang menyebut diri kerabat Keraton
Kaliningrat. Di sebelah kanan berdiri seorang lelaki berusia sekitar empat puluhan, bertubuh
tegap mengenakan pakaian bagus. Wajahnya yang gagah dihias sepasang alis tebal.
Di kiri kanan lelaki ini berdiri mengapit dua orang kakek bermuka hitam dan
sama-sama mengenakan jubah merah.
Mereka bernama Ki Demang Timur dan Ki Demang Barat.
Konon merupakan dua tokoh silat yang disegani di tanah Jawa sebelah barat.
"Pendekar 212! Keraton Kaliningrat mengundangmu
bertemu dengan segala kehormatan. Kami menjanjikan jabatan tinggi dengan segala
kemuliaan. Tapi kau membunuh orang-orang kami."
Wiro tak segera menjawab ucapan orang. Dia
perhatikan keadaan sekelilingnya, lalu perlahan-lahan bangkit berdiri. Walau
lelaki muda dan dua kakek berjubah merah menjadi pusat perhatiannya namun Wiro
juga berlaku waspada terhadap puluhan pengurung berpakaian serba hitam karena
dia mengetahui orang-orang ini memiliki semacam ilmu kebal yang sulit ditembus
pukulan. Wiro pernah berkelahi dengan dua anggota Keraton Kaliningrat. Pukulannya tidak
sanggup menciderai, apalagi merobohkan. Dua kakak adik Liris Merah dan Liris
Biru tahu kelemahan ilmu orang-orang Keraton Kaliningrat itu.
Hanya sayang dua gadis cantik anak murid Hantu Malam Bergigi Perak itu tidak mau
memberi tahu. Wiro menatap ke arah lelaki berpakaian bagus yang barusan bicara.
"Kau tahu siapa diriku, apa aku boleh mengetahui siapa dirimu?" Wiro ajukan
pertanyaan pada lelaki bertampang gagah berpakaian bagus.
Orang yang disapa tersenyum, rangkapkan dua tangan di atas dada. Dengan sikap
penuh jumawa lalu berkata.
"Dalam jajaran Keraton Kaliningrat, aku hanya mewakili Kanjeng Pangeran Sri Paku
Jagatnata. Orang-orang memanggilku dengan sebutan Pangeran Muda."
Mengetahui siapa orang yang bicara padanya, Wiro cepat berkata.
"Mohon maaf kalau barusan aku tidak tahu
berhadapan dengan siapa. Pangeran Muda, satu
kehormatan bagiku dapat bertemu denganmu." Wiro
berikan jawaban sambil balas tersenyum dan juga
rangkapkan dua tangan di depan dada. Dia sudah maklum bahwa sebentar lagi
sandiwara segala macam peradatan ini akan berubah menjadi pertengkaran dan
perkelahian hebat.
"Aku mengirim surat padamu melalui seorang kerabat.
Damar Sarka, maju ke sini."
Seorang lelaki mengenakan topi merah seperti tarbus, berwajah bulat dan berkumis
serta jenggot lebat
mendatangi dan berdiri di samping Pangeran Muda.
"Damar Sarka, kau tidak keliru memberikan surat daun lontar itu pada orang ini?"
Si topi merah langsung saja mengangguk.
Wiro menggaruk kepala. "Aku memang pernah
menerima surat daun lontar. Tapi bukan dari dia."
Pangeran Muda tersenyum. "Damar, kau masih punya topeng samaran" Perlihatkan
pada sahabat kita."
Dari kantong pakaiannya Damar Sarka keluarkan
sebuah topeng tipis langsung dikenakan ke wajahnya. Saat itu juga Damar Sarka
telah berubah menjadi seorang bermuka bopeng. Wajahnya kini menjadi wajah kusir
gerobak yang disewa Wiro dan Nyi Retno, yang
menyerahkan gulungan surat daun lontar.
"Kau ingat sekarang, Pendekar 212?"
"Tentu saja aku ingat." Jawab Wiro pula. "Cuma aku punya pikiran begini. Jika
orang Keraton Kaliningrat memata-mataiku, menguntit diriku lalu menyerahkan
surat dengan cara seperti itu, jelas itu bukan cara yang wajar.
Ada sesuatu yang tersembunyi. Mungkin hal baik, tapi bisa juga hal buruk dan
jahat." Pangeran Muda tersenyum. "Keadaan kerajaan saat ini tidak bisa diduga. Yang
dianggap lawan bisa saja orang baik. Yang dikira sahabat ternyata musuh dalam
selimut. Mata-mata kerajaan berkeliaran di mana-mana. Kami berkewajiban menjaga
keselamatan diri kami sendiri dan orang yang kami hubungi."
Wiro garuk kepala. "Apapun cara yang kalian lakukan, aku tetap saja merasa ada
satu hal tersembunyi di balik gerakan yang Pangeran Muda pimpin."
"Kau telah menerima surat dari kami. Mengapa kau tidak memenuhi undangan" Malah
gurumu Sinto Gendeng yang muncul di tempat pertemuan. Bagaimana ceritanya?"
Pangeran Muda alihkan pembicaraan.
"Soal bagaimana ceritanya guruku datang ke Candi Pangestu, aku juga tidak tahu,
tidak mengerti. Mengenai undangan yang tidak kupenuhi bukan aku tidak
menghormati tapi karena aku punya urusan lain yang lebih penting."
"Urusan lain yang lebih penting!" mengulang Pangeran Muda. "Menurutmu apakah
urusan kerajaan tidak
penting?" "Bisa penting, bisa juga tidak. Tergantung seseorang menilai dan apa
kepentingannya. Pangeran Muda bicara urusan kerajaan. Setahuku Pangeran dan para
pengikut bukan orang kerajaan."
Pangeran Muda dan dua orang bermuka hitam mulai
merasa jengkel.
"Pendekar 212. Kalau kerajaan dikuasai orang yang tidak berhak memegang tahta,
apakah itu bukan satu urusan penting bagi semua orang?"
"Pangeran Muda, aku ingin bicara singkat-singkat saja.
Saat ini aku tidak mau terlibat dengan segala macam urusan kerajaan. Kalian
orang-orang pandai saja yang menyelesaikan kalau memang ada masalah."
Walau wajahnya tampak merah namun Pangeran Muda
masih bisa sunggingkan senyum. Dia berpaling pada dua orang lelaki berwajah
hitam di kiri kanannya.
"Sahabatku Ki Demang Timur dan Ki Demang Barat,
bagaimana pendapat kalian berdua?"
"Aku Ki Demang Timur. Biar aku yang bicara," kata lelaki wajah hitam di sebelah
kanan. "Soal Pendekar 212
tidak mau terlibat dalam urusan kerajaan tidak jadi apa.
Tapi dia punya satu dosa besar. Dia telah membunuh teman-teman kita orang
Keraton Kalingrat."
"Ki Demang Timur, bisa kau memberi tahu teman kalian yang mana yang telah aku
bunuh?" Tanya Wiro. Saat itu dilihatnya puluhan orang berseragam hitam bergerak
maju mempersempit kurungan. Dalam hati Wiro berkata. "Kalau orang-orang itu
kebal pukulan dan senjata tajam, apakah mereka bisa bertahan jika aku kubur
hidup-hidup"!"
"Kau membunuh sahabat kami Kecik Turangga alias
Hantu Buta Malam." Berucap Ki Demang Timur.
"Aku tidak kenal manusia itu. Aku tidak
membunuhnya!"
"Iblis Pemabuk, guru istrimu yang bernama Wulan
Srindi membunuh Ni Serdang Besakih, orang penting dalam jajaran Keraton
Kaliningrat. Kau ikut bertanggung jawab atas kematian saudara kami itu." Yang
bicara kali ini adalah Ki Demang Barat.
Wiro tertawa gelak-gelak. "Orang lain yang punya pekerjaan aku yang disuruh
bertanggung jawab! Lagi pula siapa bilang Wulan Srindi istriku! Enak saja kau
bicara!" "Pendekar 212. Jangan mencoba membela diri dengan bicara dusta. Perempuan itu
sendiri yang pernah berkata di hadapan kami orang-orang Keraton Kaliningrat.
Bahwa dia adalah istrimu!" Kata Pangeran Muda pula.
"Pangeran Muda, jika Wulan Srindi mengaku sebagai istrimu, apakah kau dan semua
orang di sini mau
percaya?" "Kau mencari dalih. Jangan berlaku pengecut
mengalihkan tanggung jawab!" Ki Demang Timur
membentak dan pelototkan mata.
Wiro ganda menyeringai. "Muka hitam, jangan terlalu bersemangat. Nanti kau
kehabisan nafas sendiri dan bisa mati! Satu lagi, jangan melotot besar-besar.
Kalau dua matamu melompat dari sarangnya kau bisa jadi setan mata buta! Ha...
ha... ha!"
"Pendekar kurang ajar!" teriak Ki Demang Timur seraya melangkah ke arah Wiro.
Namun Pangeran Muda cepat memegang bahunya.
"Sahabatku Ki Demang Timur, tidak perlu kesusu.
Orang satu ini tidak akan bisa lolos. Masih ada tuduhan lain yang akan kita
sampaikan padanya." Pangeran Muda memandang ke arah Wiro. "Kau membunuh kerabat
Keraton Kaliningrat bernama Embah Bejigur."
"Aku tidak kenal, tidak tahu yang mana orang bernama Embah Bejigur. Apa dia
pedagang minuman bejigur atau cuma seorang yang sangat doyan minum bejigur?"
Habis berkata begitu Wiro tertawa gelak-gelak.
"Pendekar 212, orangnya sudah kau bunuh, masih juga berani memperhinakan!" Kata
Pangeran Muda dengan suara datar.
"Eh, biar aku mengalah. Kalau orang yang kau maksud itu adalah manusia katai
yang menjaring guruku dan hendak membokong secara pengecut seorang perempuan
sahabatku maka dia memang layak dibunuh! Keganasan dan kepengecutannya apa tidak
membuat para kerabat Keraton Kaliningrat merasa dipermalukan?" Jawab Wiro pula.
Lalu dia menambahkan. "Siapapun orang Keraton Kaliningrat yang tewas terbunuh
antara hutan jati sampai kawasan Candi Pangestu di Plaosan, mereka semua wajar
menemui ajal sesuai dengan dosa kesalahan masing-masing!"
Pangeran Muda turunkan dua tangan yang sejak tadi dirangkapkan di atas dada.
"Pendekar 212, sayang sekali kau dan juga gurumu tidak menghormati maksud baik
kami. Tak ada jalan lain, kau harus menggantikan gurumu, menjadi tumbal satu
ketololan!"
Wiro menggaruk kepala.
"Aku senang dicap orang tolol!" kata Wiro pula lalu tertawa gelak-gelak. "Kalian
tahu, orang tolol matinya selalu tenang dan enak. Tidak seperti orang-orang
pandai. Kadang-kadang mati dengan mata mendelik, mulut
menganga, wajah mengkeret! Sedih sekali kalau kalian merasa jadi orang pandai!
Ha... ha... ha!"
"Guru dan murid mulutnya sama kurang ajar! Saudara-saudaraku bunuh orang ini!"
Pangeran Muda habis
kesabaran. Perintah Pangeran Muda diikuti dengan melompatnya dua puluh orang Keraton
Kaliningrat berseragam hitam.
Lima orang menerjang lebih dulu. Wiro segera keluarkan ilmu silat Orang Gila
yang didapatnya dari Tua Gila. Tubuh huyung sana huyung sini seperti orang
mabok. Tangan kanan ditiup lalu dihantamkan, lancarkan pukulan Harimau Dewa dari
Datuk Rao Basaluang Ameh. Bukan cuma lima orang yang menyerang, tapi tujuh orang
lain yang berada di kiri kanan dan sebelah belakang ikut tersapu mental, jatuh
bergulingan di tanah. Mereka berteriak kesakitan. Namun luar biasa sekali.
Sesaat kemudian ke dua belas orang itu bangun kembali tanpa ada tanda-tanda
cidera sedikitpun!
Padahal pukulan Harimau Dewa bukan pukulan sembarangan. Jangankan tubuh manusia,
batu sebesar apapun bisa dibuat hancur berkeping-keping!
"Ilmu kebal jahanam!" maki Wiro.
"Bunuh!" teriak Ki Demang Timur.
"Cincang!" teriak Ki Demang Barat.
Dua orang bermuka hitam melesat ke arah Wiro, diikuti belasan orang berpakaian
hitam dengan golok terhunus!
"Mereka terlalu banyak. Aku tak mau konyol. Tak ada jalan lain," pikir Wiro.
"Aku terpaksa mengeluarkan ilmu Membelah Bumi Menyedot Arwah. Akibatnya akan
sangat mengerikan! Tuhan, ampuni saya karena terpaksa
membunuh sekian banyak nyawa." Ilmu yang tak pernah dikenal di rimba persilatan
tanah Jawa ini seperti diketahui didapat Wiro dari Luhrembulan alias Hantu Satet
Laknat dari Latanahsilam, negeri 1200 tahun silam.
Begitu belasan orang menyerbu, dipimpin oleh Ki
Demang Timur dan Ki Demang Barat, Wiro hentakkan kaki kanan ke tanah. Lalu tanah
digurat dengan ujung kaki dan bleesss! Asap mengepul. Rrrrtttt! Tanah bergerak
rengkah, terbelah panjang, lebar dan dalam. Tiga belas anggota Keraton
Kaliningrat dan Ki Demang Timur keluarkan jeritan mengenaskan. Tubuh mereka
amblas tersedot masuk ke dalam rengkahan tanah.
Ki Demang Barat berusaha menolong sobatnya Ki
Demang Timur namun kakinya tergelincir. Tak ampun dua manusia muka hitam ini
sama-sama jatuh ke dalam
rengkahan tanah! Belasan orang-orang Keraton Kaliningrat yang selamat, termasuk
Pangeran Muda menjerit ngeri ketika tanah yang terbelah merapat mengatup
kembali! Banyak di antara mereka yang leleh nyali dan langsung saja kabur ambil langkah
seribu! Di udara yang mulai terang-terang tanah tiba-tiba melesat satu bayang hijau.
Menyusul semburan hebat ke arah salah satu bagian tanah yang tengah mengatup.
Tanah terbongkar. Bersamaan dengan itu bayangan hijau tadi menjambak rambut
seorang berpakaian hitam,
menariknya ke atas lalu membawanya kabur dari tempat itu. "Ada orang
menyelamatkan Pekik Ireng!" seseorang berteriak.
Wiro sendiri saat itu tegak tak percaya akan keganasan ilmu yang barusan
dikeluarkannya. Seumur hidup baru kali itu dia melihat kematian sekian banyak
orang dengan cara mengerikan. Tengkuknya terasa dingin.
Seseorang berkelebat. Tahu-tahu Pangeran Muda telah berdiri di hadapan sang
pendekar. Mukanya kelam
membesi, rahang menggembung dan mata menyorot
laksana bara menyala. Didahului satu teriakan dahsyat Pangeran Muda lancarkan
serangan beruntun. Tiga jurus dihabiskan dalam waktu singkat. Kesemuanya dengan
mengerahkan pukulan mengandung tenaga dalam tinggi.
Setiap terjadi bentrokan lengan Wiro merasa sakit sekali seperti tangannya
menghantam batu atos.


Wiro Sableng 146 Azab Sang Murid di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebaliknya walau berhasil mendesak Wiro namun
Pangeran Muda berkelahi dengan perasaan tidak tenang.
Khawatir kalau sewaktu-waktu lawan kembali
mengeluarkan ilmu Membelah Bumi Menyedot Arwah.
Dalam satu gebrakan hebat di jurus ke empat belas, bentrokan dua lengan untuk
kesekian kalinya tak bisa dihindari. Baik Wiro maupun Pangeran Muda sama-sama
terpental beberapa langkah. Sebelum dua kakinya
menyentuh tanah Wiro lepas pukulan Tangan Dewa Menghantam Batu Karang.
Pangeran Muda tersentak kaget ketika mendengar dan merasakan gemuruh angin luar
biasa deras menerpa ke arah dirinya. Dia palangkan dua lengan di depan kepala
sambil kaki menghentak. Dua larik sinar hitam berkiblat keluar dari lengan yang
bersilang, memapas ganas ke arah Wiro. Inilah ilmu yang disebut Badai di Langit
Gempa di Bumi. Ilmu ini bukan saja dipakai untuk menyerang tapi sekaligus
membentengi diri dari serangan lawan.
Jika saja yang ditangkis Pangeran Muda bukan pukulan Tangan Dewa Menghantam
Karang yang didapat Wiro dari Datuk Rao Basaluang Ameh, niscaya saat itu Wiro
sudah terpental semburkan darah.
Pangeran Muda berseru kaget ketika ada gelombang angin menindih dirinya. Dua
tangan yang bersilang bergetar hebat lalu tubuhnya terbanting ke samping, jatuh
berlutut di tanah. Muka pucat, darah mengucur dari sela bibir.
"Pendekar 212, aku mengaku kalah..." Berkata
Pangeran Muda. Lalu dia bersujud di tanah. "Kuharap kau mau mengampuni dosa
kesalahanku."
Melihat pimpinan mereka bersujud di hadapan Wiro, anak buah Pangeran Muda yang
masih ada di sana
termasuk Damar Sarka ikut jatuhkan diri menyembah. Wiro geleng-geleng kepala.
"Pangeran Muda, bangunlah. Semua yang ada di sini harap berdiri. Tak ada yang
layak disembah selain Gusti Allah. Manusia hanya bersujud kepada Tuhan!"
Mendengar ucapan Wiro orang-orang Keraton
Kaliningrat segera berdiri termasuk Pangeran Muda.
Dengan tubuh terhuyung-huyung, dua tangan dirapatkan di atas kepala orang ini
melangkah mendekati Wiro.
"Pendekar, aku sangat berterima kasih kau mau
mengampuni kesalahanku. Terima penghormatanku." Lalu Pangeran Muda tundukkan
kepala, bungkukkan tubuh.
"Pangeran Muda, semua yang terjadi bisa kita jadikan hikmah pelajaran. Bawa
orang-orangmu meninggalkan tempat ini. Aku berharap kau punya kesadaran untuk
membubarkan apa yang dinamakan Keraton Kaliningrat."
"Sekali lagi saya mengucapkan terima kasih." Kembali Pangeran Muda bungkukkan
diri. Wiro hendak memegang bahu orang ini, namun tiba-tiba, sangat cepat dan
sangat tidak terduga tangan kanan Pangeran Muda melesat ke depan dan, bukkk!
Satu jotosan dahsyat mendarat di permukaan dada Wiro Sableng!
Wiro jatuh terjengkang di tanah. Untuk beberapa jurus lamanya dia terhenyak kaku
tak mampu bergerak. Anehnya saat itu dia tidak merasa sakit sedikitpun. Bahkan
ketika memperhatikan dadanya sama sekali tidak ada tanda bekas pukulan.
Perlahan-lahan Wiro berdiri. Saat itu hari mulai terang pertanda di timur sang
surya sudah terbit dan malam segera berganti siang. Memandang ke depan Pangeran
Muda dan sisa-sisa anak buahnya tak ada lagi di tempat itu. "Pangeran pengecut!
Kau mau lari ke mana!" Wiro cepat berdiri, mengejar ke arah lenyapnya Pangeran
Muda dan rombongan. Namun hanya lari sejauh delapan langkah tiba-tiba Wiro
merasakan tubuhnya di bagian belakang sakit luar biasa. Dia coba melenyapkan
rasa sakit aneh ini dengan kerahkan tenaga dalam serta alirkan hawa sakti.
Namun rasa sakit bertambah hebat. Dalam keadaan
setengah sadar setengah pingsan Wiro melangkah
terhuyung-huyung, berjalan sepembawa kakinya.
*** WULAN Srindi membawa lari anggota Keraton
Kaliningrat sejauh yang bisa dilakukannya. Di satu tempat dia hentikan lari dan
banting orang itu ke tanah. Orang yang dibanting tanpa cidera sedikitpun cepat
bangun, membungkuk di hadapan gadis bermuka putih itu dan berkata.
"Terima kasih, kau telah menyelamatkan diriku dari liang neraka itu."
Buukkk! Wulan Srindi hantam muka orang dengan jotosan
keras. Yang dihantam terjengkang di tanah tapi bangun lagi. Seperti tadi dia
tidak mengalami luka sama sekali.
"Kau menolongku, mengapa sekarang memukul
menggebukku"!"
"Kau manusianya yang bernama Pekik Ireng?"
"Betul sekali. Sahabat muka putih kau siapa" Aku ingat peristiwa di hutan
Ngluwer." Tiba-tiba Pekik Ireng hentikan ucapan. Wajahnya berubah. Dia ingat
kematian temannya bernama Kuntorandu.
"Ingat kejadian di sebuah dangau sekitar tiga bulan lalu" Bersama temanmu
bernama Kuntorandu kau
memperkosa seorang gadis."
Lelaki bernama Pekik Ireng jadi pucat wajahnya.
"Sahabat, kau keliru menuduh."
Wulan Srindi tertawa. Dia ambil sebuah kendi hitam lalu teguk isinya.
"Manusia terkutuk! Aku mengenali tampangmu! Akulah orang yang kalian perkosa!"
Walau melangkah mundur namun Pekik Ireng tidak
perlihatkan rasa takut. Dia percaya pada kekuatan imu kebal Keraton Kaliningrat
yang dimilikinya. Namun lelaki ini jadi terkejut ketika Wulan Srindi berkata.
"Jangan kau kira aku tidak tahu kelemahan ilmu
kebalmu. Beberapa temanmu sudah kubikin mampus
sewaktu berlangsung pertempuran dengan awak kapal Cina yang mencari madat di
hutan Ngluwer."
"Perempuan muka putih! Aku mengampuni selembar
nyawamu jika kau mau minggat dari hadapanku saat ini juga!"
Wulan Srindi tertawa. Dia teguk sisa minuman keras dalam kendi sampai habis.
Kesempatan ini dipergunakan Pekik Ireng untuk mecabut sebilah golok dari balik
pinggang lalu membabat ganas ke depan.
Wuttt! Golok besar menabas satu jengkal di depan dada
Wulan Srindi. Ketika Pekik Ireng kembali memburu dengan serangan kedua, Wulan
Srindi melesat ke udara setinggi satu tombak.
Pekik Ireng terkejut melihat gerakan lawan. "Dia tidak dusta! Dia tahu kelemahan
ilmu kebalku! Kakinya tidak menginjak tanah!"
Tidak pikir panjang Pekik Ireng segera melompat kabur.
Namun dia cuma bisa lari enam langkah. Wulan Srindi melayang turun dengan cepat,
semburkan minuman keras di mulutnya.
Wusss! Pekik Ireng menjerit keras. Kepala sebelah belakang sampai ke pinggang kepulkan
asap. Hangus! Begitu tubuhnya jatuh tertelungkup di tanah, nyawanya telah lepas.
Puluhan lubang hangus mengerikan kelihatan di kepala dan punggung.
Masih belum puas Wulan Srindi ambil golok yang
tercampak di tanah lalu sambil berteriak-teriak seperti orang kemasukan setan
dia membacok mencacah kepala dan tubuh Pekik Ireng. Habis melakukan itu dia
lemparkan golok, melangkah mundur dan jatuhkan diri di tanah. Dari mulutnya
keluar satu jeritan keras lalu gadis ini menangis memilukan.
Mendadak tangis Wulan Srindi terhenti. Dia mendengar suara langkah kaki orang
mendekati di samping kanan.
Sebelum sempat berpaling, satu sosok berpakaian putih jatuh tergelimpang
tertelungkup di tanah.
Wulan Srindi terpekik. Dia menjerit ketika mengenali siapa adanya orang itu.
"Wiro!"
Wulan peluk Pendekar 212 lalu balikkan tubuh sang pendekar.
"Suamiku, apa yang terjadi"!"
Wiro bukan kedua matanya. Pandangannya agak kabur.
Namun dia mengenali suara itu.
"Wulan, aku terkena pukulan seorang bernama
Pangeran Muda..."
"Apa"!" Wulan Srindi terkejut besar. Dia membuka bagian depan baju Wiro lebarlebar. "Wiro, beri tahu bagian mana yang terkena pukulan?"
"Pertengahan dada. Tak ada tanda cidera..."
Wulan Srindi balikkan lagi tubuh Wiro. Bagian belakang baju yang robek,
dirobeknya lagi lebih besar. Di bawah cacat panjang di punggung Wiro Wulan
melihat tanda merah besar dilingkari warna kebiruan.
"Kau terkena pukulan Memukul Bukit Meremuk
Gunung! Jika dalam beberapa hari kau tidak mendapatkan obat penangkal, nyawamu
tidak tertolong lagi..."
Wiro tertawa. Wulan Srindi tepuk-tepuk pipi Pendekar 212. "Kenapa kau masih bisa tertawa?"
tanya Wulan Srindi.
"Aku tidak tahu. Tapi jika mendengar kematian aku merasa lega..."
"Gila!" teriak Wulan Srindi. "Dengar Wiro, dengar suamiku! Aku tidak mau anakku
lahir tanpa ayah!"
Wiro garuk kepala. Dalam hati dia setengah mengeluh setengah memaki.
"Celaka! Bagaimana aku mau meyakinkan bahwa
antara aku dan dia tidak ada ikatan perkawinan! Kalau dia hamil, itu bukan
anakku. Tapi akibat perbuatan bejat orang-orang Keraton Kaliningrat!"
"Wiro suamiku." Wulan Srindi lanjutkan ucapannya.
"Aku pernah dihantam pukulan yang sama. Iblis Pemabuk membawa aku menemui
seorang yang mampu
menyembuhkan. Wiro, apakah kau bisa berjalan sejauh setengah hari dari tempat
ini?" "Wulan, aku sangat berterima kasih kau mau
memikirkan keselamatan diriku. Kau mau menolong. Tapi rasanya aku tak akan
sanggup berjalan sejauh itu. Dua kakiku seperti lumpuh. Pemandangan mataku
terganggu."
"Kalau begitu aku akan mendukungmu!"
"Kau tidak mampu melakukan itu..."
"Harus mampu! Kau suamiku! Bagaimana aku bisa
hidup tanpa dirimu"! Kalaupun kita harus mati bersama itu lebih baik dari
membiarkan dirimu dalam keadaan seperti ini." Wiro pejamkan mata. Hatinya sangat
tersentuh. Begitu banyak orang yang baik dan rela berkorban bagi dirinya.
Dia ingat Eyang Sinto Gendeng. Dia ingat pada Kapak Naga Geni 212 dan batu sakti
yang ada di dalam tubuhnya. Dua senjata itu diketahui merupakan penangkal racun
yang sangat ampuh. Mengapa kini tidak mampu memusnahkan racun pukulan Pangeran
Muda" Mungkin dia telah berlaku kualat pada Eyang Sinto"
Susah payah Wulan Srindi mengangkat Wiro. Sampai mandi keringat dia tak berhasil
mencoba memanggul pemuda itu di atas salah satu bahunya.
"Wulan, jangan memaksa diri. Pergilah. Tinggalkan aku sendirian di sini."
Gadis muka putih itu ingat apa yang dilakukan Iblis Pemabuk ketika dia mengalami
cidera akibat pukulan Memukul Bukit Meremuk Gunung itu. Dia harus melakukan hal
yang sama agar Wiro mampu bertahan lebih lama.
Maka dengan cepat dia menotok beberapa bagian tubuh sang pendekar.
"Apalagi yang harus aku lakukan?" Wulan Srindi
terduduk di tanah. Tiba-tiba gadis ini berkata. "Wiro, aku akan menyeretmu!"
Wulan Srindi belum putus asa.
"Kau tidak perlu melakukan itu Wulan. Pergilah..."
Tiba-tiba satu bayangan aneh melayang turun dari atas pohon besar. Disusul suara
perempuan. "Pendekar 212 Wiro Sableng. Apakah kau berkenan
menerima pertolonganku?"
Wiro angkat kepalanya sedikit sementara Wulan Srindi memperhatikan dengan mata
tak berkesip. "Siapa"!" Tanya Wiro.
"Aku seorang sahabat."
"Bunga" Ah, kau bukan Bunga. Suaramu lain..."
"Betul, aku memang bukan Bunga."
Bayangan itu berubah makin jelas, membentuk sosok seorang perempuan berwajah
cantik sekali. "Bidadari Angin Timur!" Wiro setengah berseru dan mencoba bangkit namun jatuh
terbaring kembali.
Makhluk bayangan tersenyum.
TAMAT Episode Berikutnya: API DI PUNCAK MERAPI
Jejak Jejak Kematian 3 Pendekar Kembar 13 Tumbal Asmara Buta Istana Tanpa Bayangan 1

Cari Blog Ini