Ceritasilat Novel Online

Lentera Iblis 2

Wiro Sableng 145 Lentera Iblis Bagian 2


diandalkannya lewat begitu saja tanpa senjatanya mampu menyentuh lawan, apa lagi
menabas leher dan mencincang! Untuk beberapa saat lamanya dia tegak tertegun,
memandang ke arah golok lalu ke arah Setan Ngompol. Akan halnya Gondo,
menyaksikan apa yang terjadi otaknya mulai bekerja dan tengkuknya serta merta
menjadi dingin.
"Kek, kita tidak punya waktu lama di tempat ini.
Bagaimana kalau perajurit yang barusan menyerangmu dengan golok kita beri hadiah
minuman kehormatan?"
Mendengar ucapan Wiro, Setan Ngompol tertawa
bergelak. "Aku setuju saja. Memang sudah lama aku tidak
berbuat kebajikan memberikan hadiah. Silahkan kau yang mengatur!" kata si kakek
pula. Ketika Wiro melangkah cepat ke arahnya Supat serta merta menyambut dengan
serangan golok. Orang yang diserang bergerak kian kemari. Senjata Supat hanya
menyambar udara kosong. Ketika Supat nekad
melanjutkan serangan tiba-tiba satu totokan mendarat di paha kirinya. Lutut kiri
perajurit ini goyah. Sesaat kemudian dia roboh ke tanah. Tubuhnya sebelah kiri
mulai dari bahu sampai ke kaki mendadak sontak lumpuh tak mampu digerakkan. Wiro
angkat kaki kiri lalu diinjakkan
Bastian Tito 39 Lentera Iblis ke leher Supat. Tidak keras tapi cukup membuat mulut Supat terbuka lebar.
"Mana minumannya Kek?" tanya Wiro sambil senyum-senyum.
"Jahanam! Kalian mau apakan diriku"!" teriak Supat.
"Tenang saja sobat! Kau bakal dapat minuman paling sedap di dunia!" kata Wiro
pula. "Kek"!"
"Siap! Tinggal dikucurkan!" jawab Setan Ngompol.
Lalu kakek ini melangkah mendekati Supat. Kaki kiri di angkat di arah atas
kepala, ujung celana yang basah lepek tepat berada di atas mulut perajurit itu.
Pantat digoyang diogel-ogel. Mata dikedap-kedip. Mulut mengedan-edan.
Sesaat kemudian serrr ... serrr .... serrr! Air kencing si kakek mengucur
kebawah, melewati kaki celana kiri lalu serr ...gluk-gluk-gluk masuk ke dalam
mulut Supat. Perajurit Keraton itu memaki habis-habisan. Namun semakin keras dia berteriak
semakin banyak air kencing Setan Ngompol yang masuk ke dalam mulutnya hingga dia
tercekik-cekik! Sementara Supat tersiksa setengah mati Wiro dan Setan Ngompol
tertawa gelakgelak.
Gondo yang menyaksikan apa yang terjadi dengan temannya karuan saja jadi
ketakutan setengah mati.
Dirinya mungkin akan jadi korban ke dua. Lebih baik digebuk babak belur dari
pada dicekok diminumi air kencing begitu rupa. Perutnya mendadak merasa mual,
seperti mau muntah. Tidak menunggu lebih lama dia segera kabur meninggalkan
tempat itu secepat yang bisa dilakukannya. Sementara itu Djaka Tua yang
menyaksikan hal itu walau dirinya berada dalam keadaan cidera dan sakit mau tak
mau selain heran juga merasa geli.
"Cukup Kek?" " tanya Wiro.
"Tunggu, masih ada yang kental," jawab Setan
Ngompol. Suara caci maki Supat tidak terdengar lagi. Berganti dengan suara seperti orang
mengorok. Lalu perajurit ini
Bastian Tito 40 Lentera Iblis semburkan muntah. lsi perutnya serasa mau terbongkar.
Wiro turunkan kaki dari atas leher Supat. Setan Ngompol juga turunkan kaki
kirinya ke tanah.
"Bagaimana" Enak"!" tanya Wiro.
"Mau lagi"!" tanya Setan Ngompol seraya melirik ke arah Gondo. Melihat orang
memperhatikan dirinya, Gondo tidak menunggu lebih lama. Serta merta perajurit
Keraton satu ini putar tubuh dan lari lintang pukang dari tempat itu. "Hak ..
huk ... hak ... huk .... Hueekkk!"
Supat kembali semburkan muntah. Kelumpuhan pada tubuhnya sebelah kiri lenyap.
Setelah menungging-nungging dia berusaha berdiri walau terhuyung-huyung.
Melihat temannya kabur dia akhirnya melakukan hal yang sama. Ambil langkah
seribu meski larinya tersaruk-saruk.
Djaka Tua menyeka darah yang membasahi muka
sekitar hidung dan mulut lalu berdiri. Sambil memegangi perutnya yang bekas
dijotos pembantu yang malang ini melangkah mendekati Wiro dan Setan Ngompol lalu
jatuhkan diri di hadapan ke dua orang itu.
-- << 3 >> -Bastian Tito 41 Lentera Iblis 4 AKEK dan Raden berdua, saya Djaka Tua,
sangat berterima kasih atas pertolongannya.
"K Kalau tidak diselamatkan niscaya saat ini saya sudah menemui ajal ditangan
dua orang perajurit Keraton tadi." Suara Diaka Tua tersengal bindeng akibat
cidera di hidungnya. Begitu terhenti bicara darah mengucur dari hidung. Dia
berusaha membungkuk. Tapi tubuhnya menghuyung, hampir terjerambab ke tanah kalau
tidak bahunya cepat ditahan Setan Ngompol.
"Duduk saja di tanah. Tidak perlu berlutut di hadapan kami," kata Pendekar 212
Wiro Sableng. Lalu dia menotok jalan darah di pelipis dan leher Djaka Tua. Darah
yang tadi mengucur di hidung serta merta berhenti. Rasa sakit akibat cidera pada
hidung serta mulut perlahan-lahan terasa jauh berkurang.
"Terima kasih ... Saya benar-benar berhutang budi besar pada Raden ...." Setelah
ditotok suara Djaka Tua tidak bindeng lagi.
"Namaku Wiro. Tidak usah memanggil dengan
sebutan Raden segala. Kakek ini biasa dipanggil Setan Ngompol."
"Saya sangat berterima kasih ..." Djaka Tua angguk-anggukkan kepala. Dua matanya
tampak berkaca-kaca.
"Mengapa dua orang perajurit Keraton itu hendak membunuhmu?" bertanya Setan
Ngompol. "Betul kau menculik bayi Patih Kerajaan?"
Djaka Tua duduk bersila di tanah, tak segera
menjawab. Walau dua orang itu telah menyelamatkannya namun dia masih belum tahu
siapa mereka adanya. Rasa kawatir membuat dia tidak mau membalas budi baik orang
dan hutang nyawa dengan menjawab secara jujur.
Bastian Tito 42 Lentera Iblis "Jika dia tidak mau bicara kita pergi saja dari sini.
lngat Kek, kita masih banyak urusan yang harus dikerjakan." Kata Wiro.
"Ra ... Wiro, tunggu. Jangan tinggalkan saya di tempat ini. Mengingat budi
pertolongan yang sudah saya terima tentu saja saya akan akan menceritakan. Tapi
saya ingin tahu lebih dulu siapa adanya sahabat berdua. Apa yang akan saya
ceritakan merupakan taruhan nyawa.
Taruhan nyawa saya sendiri dan seorang lain yang harus saya lindungi
keselamatannya."
"Kalau kau ingin tahu, kami berdua adalah orang.
orang gila rimba persilatan. Apakah keterangan itu cukup membuat kau mau
bicara"!" Ucap murid Sinto Gendeng pula. Djaka Tua terdiam. Dia sering mendengar
bahwa orang-orang rimba persilatan berkepandaian tinggi ada kalanya menunjukkan
sikap serta penampilan aneh.
Dengan suara perlahan Djaka Tua berkata. "Saya memang menculik bayi Raden Mas
Wira Bumi. Waktu itu beliau masih menjabat sebagai Tumenggung. Sekarang kabarnya
sudah menjadi Patih Kerajaan. Semua masalah yang saya hadapi bermula ketika saya
datang ke Goa Girijati untuk memberi tahu bahwa istri Raden Mas Wira Bumi sudah
melahirkan seorang bayi perempuan ..."
"Wong edan! Ternyata kau lebih gila dari kami!
Mengapa berani-beranian menculik bayi seorang pejabat tinggi Kerajaan?" tanya
Setan Ngompol pula sambil usap-usap perut.
"Bapak tua ...."
"Panggil saya Djaka Tua," kata Djaka Tua pada Wiro.
"Djaka Tua, ada orang yang menyuruhmu menculik bayi itu?" tanya Wiro. "Kau
mendapat bayaran besar"
Benar?" Djaka Tua usap darah di dagunya lalu gelengkan kepala.
Bastian Tito 43 Lentera Iblis "Tidak ada yang menyuruh saya. Saya menculik
justru untuk menyelamatkannya. Seseorang
memerintahkan Saya untuk membunuh bayi itu dengan sebilah golok besar milik Raden Mas Wira Bumi."
"Siapa yang menyuruh?" Tanya Setan Ngompol.
"Satu mahluk dari alam roh. Perintah diberikan pada Raden Mas Wira Bumi. Karena
beliau telah menyalahi sumpah perjanjian. Tapi Raden Mas lalu menyuruh saya
melaksanakan tugas itu ..." menerangkan Djaka Tua.
"Mahluk dari alam roh itu apakah dia sebangsa hantu, setan, dedemit atau apa"!"
tanya Setan Ngompol sambil menahan kencing yang mau muncrat.
"Saya tidak tahu. Ujudnya seorang nenek angker serba merah, mulai dari rambut
sampai kaki. Pertama kali saya melihat sewaktu malam hari dibawa paksa oleh
Raden Mas Wira Bumi ke pekuburan Kebonagung ...."
"ltu pekuburan besar di luar Kotaraja," ujar Setan Ngompol.
Djaka Tua mengangguk. "Dari dalam sebuah makam yang dijaga oleh seorang kuncen
saya lihat sendiri ada semburan asap. Lalu muncul sosok seorang nenek sangat
mengerikan. Rambut, muka, pakaian, tubuh, semua serba merah. Raden Mas Wira Bumi
memanggil mahluk ini Nyai Tumbal Jiwo..."
Setan Ngompol berpaling pada Wiro.
"Kek aku belum pernah mendengar nama itu. Apa lagi kenal orangnya." Kata Wiro
yang mengerti maksud pandangan Setan Ngompol.
"Aku juga tidak tahu siapa adanya mahluk itu," ucap Setan Ngompol pula.
"Mahluk itu adalah guru Raden Mas Wira Bumi dalam mendapatkan ilmu kesaktian."
Menerangkan Djaka Tua.
"Begitu" Lalu bayi yang kau culik, kau kemanakan"
Berada dimana sekarang?" tanya Wiro.
Bastian Tito 44 Lentera Iblis "ltulah yang menjadi pikiran saya. Di tengah jalan, waktu itu hujan turun lebat
sekali. Saya masuk ke dalam goa. Bayi yang saya bedung dalam sehelai kain
menangis terus-terusan. Tiba-tiba di mulut goa saya lihat ada kabut tipis. Di
dalam kabut muncul seorang kakek pakaian selempang kain putih. Tubuhnya tinggi,
kepala hampir menyondak bagian atas goa. Di tangan kiri dia memegang sebuah
tongkat kayu putih. Orang tua itu memanggil saya sahabat. Dia minta agar saya
menyerahkan bayi karena katanya saya tidak akan bisa merawat. Katanya lagi bayi
itu berjodoh dengan dirinya. Kalau sampai terlambat bayi itu akan mati. Saya
jadi bingung, juga takut. Akhirnya bayi saya serahkan saja. Si orang tua lalu
memberi nama bayi itu Ken Permata. Orang tua ini juga tahu kalau saya membekal
golok besar milik Raden Mas Wira Bumi yang sebenarnya akan dipakai untuk
menggorok bayi malang itu. Dia minta golok, saya serahkan. Sebelum pergi orang
tua itu melenyapkan punuk yang selama lima puluh tahun ada di punggung saya ..."
"Sakti luar biasa, " kata Wiro sambil garuk kepala.
"Djaka Tua kau tahu siapa adanya orang tua itu?" tanya Wiro.
Djaka Tua menggeleng. "Saya juga tidak tahu dibawa kemana bayi itu ..."
"Tololnya! Kau menyerahkan anak orang seperti
menyerahkan kucing!" kata Setan Ngompol.
"Saat itu saya bingung sekali. Saya percaya pada kuasa dan jalan Tuhan. Kalau
tindakan saya salah biarlah saya menerima hukuman dunia akhirat. Orang tua itu
adalah seorang sakti berhati mulia. Dia pasti akan menjaga bayi itu baik-baik.
Saya berharap satu ketika, kalau sudah besar dia akan datang menyerahkan bayi
itu pada ibunya. Cuma sayang ....."
"Cuma sayang apa?" tanya Wiro.
Bastian Tito 45 Lentera Iblis "Ibu bayi itu saat ini berada dalam keadaan tidak waras. Pikirannya terganggu.
Dia melarikan diri dari Gedung Tumenggung.. ."
"Mendengar bicaramu agaknya kau tahu dimana ibu bayi itu berada."
Djaka Tua menatap wajah Pendekar 212 Wiro
Sableng lalu menoleh pada Setan Ngompol. "Waktu dua perajurit itu menyiksa saya
agar memberi tahu dimana tempat kediaman saya, saya memilih lebih baik dibunuh
..." "Kami tidak akan membunuhmu sekalipun kau tidak mau memberi tahu," kata Setan
Ngompol pula. "Saya percaya. Saya akan membawa para sahabat
kesana ..." kata Djaka Tua lalu berdiri dan melangkah.
Melihat langkah Djaka Tua yang tertatih dan terhuyung Setan Ngompol hilang
sabarnya. "Kalau kami mengikutimu. sedang kau berjalan
seperti siput seperti itu, hampir kiamat rasanya baru sampai ke tempat tujuan!
Biar kugendong. Kau tinggal menunjukkan jalan!" Habis berkata begitu Setan
Ngompol lalu dukung Djaka Tua di bahu kirinya. Celakanya tubuh Djaka Tua
digendong melintang dengan bagian kepala menghadap ke depan sebelah bawah hingga
mukanya bersentuhan dengan celana gombrong Setan Ngompol yang basah lepek oleh
air kencing dan menebar bau pesing!
*** KETIKA sampai di gubuk di hutan jati, ke tiga orang itu dapatkan pintu terbuka
dan gubuk dalam keadaan kosong. Djaka Tua yang masuk ke dalam keluar kembali.
Wajahnya menunjukkan rasa kawatir.
Bastian Tito 46 Lentera Iblis "Den Ayu ..... "!" Djaka Tua memanggil. Mula-mula dengan suara perlahan lalu
bertambah keras. Tidak ada sahutan.
"Den Ayu! Kemuning!" Djaka Tua kembali berseru, tetap tak ada jawaban. Yang
terdengar hanya suara semilir tiupan angin dan daun-daun pohon jati yang saling
bergesekan. "Siapa Kemuning?" tanya Wiro pada Djaka Tua.
"Anak Nyi Retno Mantili ..."
"Kau bilang anak itu telah kau serahkan pada seorang kakek sakti. Namanya Ken
Permata, bukan Kemuning."
Kata Setan Ngompol pula.
"Bayi asli memang saya serahkan pada kakek sakti waktu di dalam goa. Yang
bernama Kemuning ini adalah sebuah boneka kayu yang oleh Den Ayu dianggap
sebagai bayinya yang hilang."
Mendengar keterangan Djaka Tua Setan Ngompol dan Wiro jadi saling pandang. Si
kakek tersenyum. Si pemuda garuk-garuk kepala tapi otaknya berpikir-pikir.
"Den Ayu! Kau berada dimana" Ini aku Djaka Tua sudah kembali dari pasar. Aku
membeli pisang untuk Kemuning!" Untuk kesekian kalinya Djaka Tua berseru.
Tiba-tiba ada suara tawa perempuan melengking.
Setan Ngompol langsung pancarkan air kencing. Pendekar 212 Wiro Sableng
berpaling. Mencari siapa yang barusan tertawa. Namun suara tawa itu seolah
datang dari berbagai arah.
Djaka tua tampak tugang. "Den Ayu ... "!"
"Wiro awas!"
Setan Ngompol berteriak. Secepat kilat dia
mendorong tubuh Wiro ke belakang, merangkul
pinggangnya lalu bergulingan di tanah. Saat itu dari atas sebatang pohon jati
berkiblat dua larik sinar putih menyilaukan. Di lain kejap buumm .... buuumm!
Bastian Tito 47 Lentera Iblis Dua letusan keras menggelegar. Tanah terbongkar.
Asap mengepul. Dua lobang terpentang lebar dan dalam di bekas tempat Setan
Ngompol dan Wiro tadi berdiri.
Kencing si kakek muncrat tak karuan. Wiro sendiri terduduk setengah berlutut
dengan wajah pucat.


Wiro Sableng 145 Lentera Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Gila! Setan dari mana mau membunuh kita"!" ucap Setan Ngompol sambil pegangi
bagian bawah perutnya.
"Saat itu dari atas salah satu pohon jati besar melayang turun sosok seorang
perempuan berpakaian kumal, rambut tergerai kusut masai. Di tangan kirinya dia
memegang sebuah boneka perempuan terbuat dari kayu.
Boneka diarahkan pada Wiro dan Setan Ngompol. Jari-jari tangan siap memencet
pinggang boneka. Jika pinggang boneka ditekan, dari sepasang mata boneka akan
melesat keluar dua larik sinar putih. Sinar-sinar itulah yang tadi menyerang
Wiro dan Setan Ngompol. Melihat serangannya gagal kini si pemegang boneka yaitu
Nyi Retno Mantili kembali hendak melepas serangan kedua.
"Den Ayu! Jangan!"
Nyi Retno Mantili menjadi ragu meneruskan serangan ketika didengarnya seruan
Djaka Tua. Perempuan ini membuat gerakan jungkir balikdi udara, begitu turun dia
sudah berdiri di hadapan Djaka Tua. Tangan kanan berkacak pinggang, tangan kiri
masih memegang boneka dan tetap diarahkan pada Wiro serta Setan Ngompol.
"Dua orang itu telah menganiayamu! Mereka
memaksamu datang kesini. Ternyata kau telah
berkhianat!" Suara Nyi Retno Mantili keras sekali dan dua matanya memandang
mendelik. "Kalian bertiga akan aku habisi saat ini juga!"
"Den Ayu, kau keliru. Justru kedua orang itu telah menyelamatkan diriku," kata
Djaka Tua. Lalu dengan cepat dia menerangkan apa yang telah terjadi.
Sementara Djaka Tua memberi keterangan. Wiro dan Setan Ngompol saling bicara
berbisik. Bastian Tito 48 Lentera Iblis "Kek, aku ingat sekali. Bukankah perempuan
membawa boneka ini yang dulu kita temui di hutan belantara" Yang hendak
diperkosa oleh seorang lelaki berperawakan dan punva ilmu pukulan seperti
Pangeran Matahari"!"
"Perempuan kecil halus. Wajah dekil rambut kusut awut-awutan. Tapi cantik!"
menyahuti Setan Ngompol sambil matanya menatap ke arah Nyi Retno Mantili. Si
kakek rupanya hanya ingat cantiknya orang saja. "Kau betul Wiro. Perempuan
inilah yang menghajar Pangeran Matahari dengan dua cahaya sakti yang keluar dari
sepasang mata boneka kayu. Lalu sosoknya lenyap dan berganti muncul seorang
nenek muka putih yang menuduh Pangeran Matahari sebagai Hantu Pemerkosa. Nenek
muka putih itu kemudian membuntungi tangan kiri Pangeran Matahari."
"Jadi inilah Nyi Retno Mantili, istri Raden Mas Wira Bumi. Sang suami jadi Patih
Kerajaan. Dia sendiri dalam keadaan begini rupa. Kasihan sekali ..."
"Kasihan satu langkah menuju naksir" ucap Setan Ngompol lalu tertawa cengar
cengir. Di depan sana tiba-tiba perempuan muda yang
memegang boneka keluarkan ucapan. "Aku dengar kalian menyebut-nyebut nama Nyi
Retno Mantill. Siapa itu"
Perempuan mana dia"!"
Setan Ngompol bengong. Wiro garuk-garuk kepala.
"Betul keterangan Djaka Tua. Perempuan muda lni benar-benar sudah rusak
ingatannya." Kata Wiro dalam hati.
"Begini .... Nyi Retno adalah seorang sahabat kami yang sudah lama tidak pernah
ketemu. Wajahnya
menyerupai Den Ayu. Tapi Den Ayu jauh lebih cantik ..."
Nyi Retno Mantili tertawa keras dan panjang.
"Laki-laki dimana-mana sama saja. Mulut mudah
mengumbar rayuan. Aku tidak cantik. Pakaianku kumuh, tubuhku dekil.
Hik..hik..hik." Nyi Retno berpaling pada
Bastian Tito 49 Lentera Iblis Setan Ngompol. "Kakek yang kupingnya terbalik, temanmu ini matanya pasti sudah
terbalik!"
"Tidak Den Ayu, kau memang cantik," jawab Setan Ngompol.
Nyi Retno Mantili kembali tertawa. "Yang muda yang tua sama saja belangnya!"
.Setelah memperhatikan Pendekar 212 sejenak, perempuan muda ini
berkata."Menurut pengasuh anakku, kalian mengaku sebagai orang-orang gila rimba
persilatan! Apa betul"!"
"Betul sekali Den Ayu," jawab Setan Ngompol.
"Walau gila tentunya punya julukan" kata Nyi Retno Mantili pula.
"Ah kami cuma orang-orang gila pinggiran, orang-orang rimba persilatan kelas
teri. Mana punya julukan ..."
"Lalu apa kalian juga tidak punya nama"!"
Setan Ngompol batuk-batuk, usap-usap perut.
"Namaku jelek. Orang-orang menyebut aku Setan
Ngompol ..."
Nyi Retno Mantili tertawa cekikikan. "Pantas dari tadi aku mencium bau pesing.
Rupanya kau yang ngompol di celana." Nyi Retno berpaling pada Wiro. "Kau tidak
punya nama?"
Pendekar 212 garuk-garuk kepala.
"Sobat mudaku ini orangnya pemalu. Biar aku yang memberi tahu. Namanya Wiro.
Wiro Sableng."
Wiro tersenyum.
"Nyatanya dia bisa tersenyum. Berarti tidak pemalu tapi mata keranjang. Hik
...hik ...hik! Ada orang namanya pakai sableng segala! Sableng benaran apa"!"
"Den Ayu, jangan mempermainkan orang yang telah menolong kita." Djaka Tua
berkata. Nyi Retno Mantili cuma tertawa panjang sambil
matanya melirik ke arah murid Sinto Gendeng. Melihat sikap Nyi Retno Mantili ini
Setan Ngompol membatin.
"Perempuan sinting ini sepertinya tertarik pada anak setan
Bastian Tito 50 Lentera Iblis itu. Urusan bisa jadi panjang. Harus cepat-cepat pergi dari sini."
"Den Ayu, apa saya boleh bertanya?"
"Nah, apa kataku. Dia mau bicara padaku. Silahkan saja kalau mau bertanya. Aku
siap memberi jawaban terlebih dulu. Anakku ini namanya Kemuning. Aku bukan Nyi
Retno Mantili. Aku tidak punya suami. Aku tidak kenal Raden Mas Wira Bumi ..."
"Maaf Den Ayu, saya tidak menanyakan semua itu.
Saya ingin tahu. Waktu kejadian di hutan, ketika Den Ayu diserang lelaki tinggi
besar berjubah kelabu dan Den Ayu menghajarnya dengan satu pukulan sakti. Den
Ayu tiba-tiba lenyap. Lalu muncul seorang nenek muka putih.
Pertanyaan saya, apakah nenek muka putih itu perubahan ujud dari Den Ayu ... ?"
Nyi Retno Mantili tertawa cekikikan. Djaka Tua memperhatikan. Tidak pernah
dilihatnya Nyi Retno banyak tertawa seperti saat itu. Kehadiran dua orang yang
menolongnya itu rupanya mendatangkan kegembiraan pada diri Nyi Retno. Djaka Tua
ikut merasa senang.
"Aku tidak tahu apa yang ada dalam pikiranmu. Dari dulu aku seperti ini, tidak
pernah berubah ujud. Apa kau kira aku ini mahluk gaib atau setan jejadian"
Hik ... hik ...
hik!" Wiro garuk-garuk kepala.
"Menurut Djaka Tua ......"
Nyi Retno memotong ucapan Setan Ngompol dengan pertanyaan. "Djaka Tua, siapa itu
Djaka Tua"!"
Si kakek menunjuk ke arah Djaka Tua. "Dia.
pengasuh anak Den Ayu."
"Oh dia. Baru tahu aku kalau namanya Djaka Tua."
Nyi Retno Mantili kembali tertawa cekikikan. Djaka Tua sendiri hanya tegak
berdiam diri. Bastian Tito 51 Lentera Iblis "Menurut Djaka Tua, anakmu itu bernama Kemuning.
Nama bagus." Setan Ngompol meneruskan ucapannya yang tadi terpotong.
"Kau suka anakku" Mau menggendongnya?" Nyi
Retno melangkah mendekati Setan Ngompol hendak menyerahkan boneka kayu pada si
kakek. Tapi tiba-tiba boneka yang sudah diulurkan ditarik kembali. "Tidak
mungkin aku bisa percaya pada orang yang punya nama Setan sepertimu. Hik..hik!
Nanti anakku dibawa kabur!
Apalagi kau bau pesing! lihhh!"
Nyi Retno Mantili lalu berpaling pada Wiro. "Kau mau menggendong Kemuning"
Mungkin dia suka padamu."
Wiro tidak menjawab. Bergerak pun tidak. Nyi Retno lalu mendatanginya dan
mengulurkan boneka kayu. Mau tak mau Wiro mengambil boneka itu. Dengan kikuk dia
menirukan cara orang menggendong bayi. Setan Ngompol memperhatikan dengan
tertawa-tawa. Djaka Tua
mengulum senyum.
"Nah, nah! Kemuning suka padamu. Anak itu tidak menangis." Ucap Nyi Retno
Mantili pula. Ketika Wiro hendak menyerahkan boneka kayu
kembali Nyi Retno berkata. "Gendong saja biar lama.
Kemuning anteng sekali dalam gendonganmu. Apa kau takut dikencingi" Hik ...
hik ... hik."'
Wiro jadi serba salah. Terlebih ketika melihat Setan Ngompol memberi isyarat
agar mereka segera tinggalkan tempat itu. "Den Ayu, kami senang mengenalmu. Kami
juga suka pada anakmu, Kemuning. Cuma, kami tidak bisa lama-lama di sini. Kami
terpaksa minta diri ..." Wiro ulurkan boneka kayu.
"Tunggu dulu," jawab Nyi Retno. Dia tidak mau
mengambil boneka yang diulurkan.
Wiro tidak kehabisan akal. Boneka diserahkan pada Djaka Tua.
Bastian Tito 52 Lentera Iblis "Maaf Den Ayu, saya ingin buang air kecil. Tadi kebanyakan minum air tebu ..."
Setelah menyerahkan Kemuning pada Djaka Tua, Wiro segera putar tubuh tinggalkan
tempat itu. "Aduh, perutku juga mendadak mulas. Den Ayu,
Djaka Tua aku pergi dulu." Setan Ngompol ikut-ikutan ngacir dari tempat itu.
Nyi Rento Mantili tampak gusar. Dia ambil boneka kayu dari tangan Djaka Tua lalu
diarahkan pada kedua orang yang berada di depan sana. Jari-jari tangannya siap
menekan pinggang boneka.
"Jangan Den Ayu. Mereka orang-orang baik. Saya yakin mereka terpaksa pergi
karena ada kepentingan ain yang tak bisa menunggu ..."
"Kalau begitu mari kita ikuti kemana mereka pergi!"
kata Nyi Retno pula. "Aku ingin tahu orang-orang gila bagaimana mereka
sebenarnya!"
Ketika Nyi Retno Mantili berkelebat ke arah dua orang yang telah pergi itu mau
tak mau Djaka Tua terpaksa mengikuti. Lagi pula dia punya firasat bahwa
keberadaannya yang telah diketahui dua perajurit Keraton cepat atau lambat akan
mendatangkan bahaya bagi Nyi Retno.
*** MASlH dalam keadaan cidera, Gondo dan Supat
sesampainya di Kotaraja langsung menghadap Patih Kerajaan. Setelah menunggu
cukup lama akhirnya ke dua orang ini dipersilahkan menunggu di pendopo timur.
Begitu Patih Kerajaan datang dua perajurit segera menceritakan pertemuan mereka
dengan Djaka Tua. Tentu saja tidak lupa mereka menerangkan munculnya dua orang
aneh, satu kakek bermata besar berkuping lebar
Bastian Tito 53 Lentera Iblis bau pesing dan seorang pemuda berikat kepala putih berambut panjang sebahu.
"Dua perajurit, jika aku bisa menangkap Djaka Tua dan menemukan bayi, kalian
berdua akan aku beri hadiah besar dan kenaikan pangkat satu tingkat." Kata Raden
Mas Wira Bumi. Supat dan Gondo merasa girang dan
membungkuk dalam-dalam sambil mengucupkan terima kasih. Patih Kerajaan kemudian
menyambung ucapannya.
"Namun ingat baik-baik. Mulai saat ini kalian harus melupakan apa yang telah
terjadi di hutan jati itu. Kalian tidak pernah bertemu Diaka Tua serta dua orang
aneh itu. Kalian juga tidak tahu menahu tentang bayi. Kalian mengerti?"
"Kami mengerti Kanjeng Patih," jawab Supat dan Gondo sambil membungkuk.
Tak lama setelah kedua perajurit itu pergi, Raden Mas Wira Bumi menemui seorang
tokoh silat Keraton bernama Cagak Lenting berjuluk Si Mata Elang. Orang ini
sebenarnya tidak memiliki ilmu silat atau kesaktian tinggi.
Namun dia disegani karena punya kemampuan luar biasa dalam mencari jejak,
mengejar dan menemukan
seseorang. Siang itu juga secara diam-diam Raden Mas Wira Bumi bersama Cagak Lenting
meninggalkan Gedung Kepatihan dengan menunggang kuda keduanya menuju tempat
dimana Supat dan Gondo menghadang dan
menghajar Djaka Tua.
Cukup lama Cagak Lenting memperhatikan keadaan di tempat itu dengan sepasang
mata elangnya. Terakhir sekali dia jongkok, letakkan telapak tangan kiri kanan
di tanah. digeser-geser beberapa kali lalu tegak berdiri dongakkan kepala.
menghirup udara dalam-dalam.
"Bagaimana?" tanya Patih Wira Bumi tidak sabaran.
"Saya mendapat petunjuk ada dua orang pergi ke arah selatan. Arah Kotaraja.
Mereka pasti dua perajurit
Bastian Tito 54 Lentera Iblis yang datang melapor. Lalu ada tiga orang bergerak ke arah barat. Djaka Tua dan
dua orang aneh itu."
Wira Bumi memandang ke langit. Matahari telah
menggelincir ke barat. "Kita ke barat. Kau di sebelah depan." Kata Wira Bumi.
Cukup lama memacu kuda ke arah barat akhirnya ke dua orang itu sampai di
pinggiran hutan jati. Si Mata Elang hentikan kudanya sejenak.
Mata memandang tajam berkeliling lalu memberi
tanda pada Patih Kerajaan untuk mengikutinya. Tak selang berapa lama Cagak
Lenting hentikan kudanya di depan sebuah gubuk. Bersama Wira Bumi dia masuk
memeriksa. "Kita terlambat ..." kata Patih Kerajaan sambil memperhatikan isi gubuk. Dia
mengambil sebuah
keranjang dan menemukan sesisir pisang. "Bayi itu ada di sini! Lihat, ini pisang
makanan bayi."
Cagak Lenting alias Si Mata Elang menggeleng.
"Petunjuk yang saya dapat hanya ada dua orang pernah berada di tempat ini. Tidak
ada bayi . Dan kedua orang itu agaknya telah pergi dari sini."
"Aku harus tahu mereka menuju kemana." Kata Wira Bumi pula. Si Mata Elang keluar
dari gubuk. Memperhatikan jejak-jejak di tanah. Lalu memandang ke jurusan sebelah kanan.
Menghirup udara dalam-dalam.
"Kanjeng Patih, mereka pergi ke arah utara. Ada empat orang ...."
"Aku sudah bisa menduga. Nyi Retno, Djaka Tua dan dua orang aneh itu. Kita kejar
mereka." "Jarak kita terlalu jauh Kanjeng Patih. Belum tentu kita bisa mengejar mereka
sebelum malam tiba. Selain itu bukankah petang ini ada pertemuan penting dengan
Sri Baginda?"
"Cagak Lenting. kau teruskan mengejar ke arah
utara. Aku kembali ke Kotaraja. Mampir di Kaliurang. Cari Kepala Desa. Jika kau
menemui orang-orang itu jangan
Bastian Tito 55 Lentera Iblis mengambil tindakan dulu. Awasi saja jangan sampai lolos.
Kita berhadapan dengan tokoh-tokoh aneh rimba
persilatan. Usahakan mencari tahu siapa mereka.
Kemudian perintahkan Kepala Desa segera menemuiku di Gedung Kepatihan."
"Perintah Kanjeng Patih akan saya laksanakan. Saya mohon diri." Cagak Lenting
naik ke atas kudanya lalu memacu binatang itu menuju utara.
-- << 4 >> -

Wiro Sableng 145 Lentera Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bastian Tito 56 Lentera Iblis 5 ENDEKAR 212 Wiro Sableng perlambat lari. berpaling pada Setan Ngompol di
sampingnya. "Kek, kau tahu P kalau kita ada yang mengikuti?"
"Sudah tahu dari tadi. Juga sudah tahu siapa
orangnya. Justru aku tengah mencari akal bagaimana caranya bisa menyelinap dari
kejaran mereka."
"Kita bisa menghilang dari kejaran Djaka Tua. Tapi dari perempuan muda berotak
tidak waras itu rasanya sulit. Dia hanya sekitar dua puluh tombak di belakang
kita. Turut keterangan DjakaTua, Nyi Retno Mantili dulu tak punya ilmu kepandaian apaapa. Jika sekarang ia memiliki ilmu silat, kesaktian serta ilmu lari yang begitu
hebat, sungguh luar biasa. Siapa gerangan gurunya?"
"Bagaimana kalau kita tunggu saja dua orang itu. Kita tanyakan pada Nyi Retno
apa maunya."
"Urusan bisa berabe Kek. Jelas dia mau ikut kemana kita pergi ...."
"Wiro, jika mereka masih mengejar seharusnya Nyi Retno sudah sampai lebih dulu
di sini," kata Setan Ngompol pula sambil putar-putar daun telinga sebelah kiri
dan memandang ke jurusan yang barusan mereka lalui.
"Aku mendengar suara derap kaki kuda ...." Baru saja Wiro selesai berucap tibatiba ada suara kuda meringkik disusul bentakan-bentakan keras.
"ltu teriakan Nyi Retno!" ujar Setan Ngompol sambil menahan kencing.
Tidak menunggu lebih lama kedua orang itu segera menghambur ke arah datangnya
suara kuda meringkik serta bentakan-bentakan. Di satu kelokan jalan mereka temui
seekor kuda tergeletak di tanah dalam keadaan tak bernyawa lagi. Kepalanya
hancur. Di samping binatang ini,
Bastian Tito 57 Lentera Iblis terduduk di tanah seorang lelaki berpakaian dan berikat kepala hijau, rambut
menjulai sebahu. Wajah sangat pucat, mata memandang membeliak penuh takut pada
Nyi Retno Mantili yang saat itu berdiri hanya terpisah beberapa langkah. Tangan
kiri memegang boneka kayu, dia arahkan pada orang yana terduduk di tanah yaitu
Cagak Lenting alias Si Mata Elang.
"Den Ayu! Jangan!" teriak Setan Ngompol.
Kencingnya terpancar. Selain ingin mencegah serangan maut yang hendak
dilancarkan Nyi Retno dengan
bonekanya, kakek ini juga mengenali siapa adanya orang yang hendak jadi korban
itu. "Tua bangka bau pesing! Apa urusanmu!" Bentak Nyi Retno dengan suara lantang
wajah garang. Dia turunkan tangan kirinya sedikit, kemudian diangkat lagi,
kembali di arahkan pada Cagak Lenting.
"Den Ayu, saya mohon jangan bunuh orang itu!" Kini Wiro yang berucap. Beberapa
waktu lalu bersama Setan Ngompol dia telah melihat Nyi Retno menghantam Pangeran
Matahari dengan sinar sakti yang melesat keluar dari sepasang mata boneka kayu.
Akibatnya luar biasa.
Sang Pangeran yang memiliki kepandaian tinggi itu terpental muntah darah!
Gerakan Nyi Retno langsung terhenti ketika
mendengar ucapan Wiro. Perempuan muda ini terdiam sesaat. Perlahan-lahan dia
palingkan kepala. Ada secercah senyum di sudut bibirnya. "Wiro. jika kau yang
melarang aku menurut saja ..." Keluar ucapan itu dari mulut Nyi Retno Mantili.
Tangan kirinya yang memegang boneka diturunkan lalu boneka didekap ke dada.
"Tapi manusia jahat ini telah membunuh pengasuh Kemuning ..."
"A ... aku tidak membunuhnya. Dia hanya pingsan.
..." "Mana pengasuh anakku"!" bentak Nyi Retno.
"Dia tergeletak di ujung jalan sana."
Bastian Tito 58 Lentera Iblis Wiro segera lari ke arah yang ditunjuk Cagak Lenting, diikuti Nyi Retno
sementara Setan Ngompol cepat menghampiri Cagak Lenting, membantu orang ini
bangkit berdiri.
"Sobatku Cagak Lenting, apa kau masih ingat diriku?"
sapa Setan Ngompol.
"Ah. mana ada tokoh sakti lelaki bau pesing di dunia ini selain dirimu" Setan
Ngompol, lama tidak bertemu tahu-tahu kau muncul menyelamatkan diriku. Aku
bersyukur pada Tuhan dan berterima kasih padamu."
"Apa yang terjadi" Mengapa perempuan itu hendak membunuh sahabatku yang berjuluk
Si Mata Elang ini?"
tanya Setan Ngompol.
"Sobatku, tugas seringkali mendatangkan kesulitan.
Aku diperintahkan oleh Patih Kerajaan untuk mengejar Djaka Tua dan Nyi Retno.
Juga dua orang seperti yang dilaporkan dua perajurit Keraton. Siapa menyangka
dua orang itu salah satu diantaranya adalah engkau. Pemuda berambut gondrong
itu, siapakah dia?"
"Dia adalah Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng, murid Sinto Gendeng dari Gunung
Gede." "Ternyata rejekiku besar sekali hari ini. Selain diselamatkan aku juga bisa
bertemu dengan dua tokoh silat tanah Jawa. Aku sudah lama mendengar nama hebat
sobat mudamu itu. Baru sekali ini bertemu muka.
Setahuku guru dan murid itu banyak sekali membantu Kerajaan di masa yang sudahsudah." Lalu Cagak Lenting ceritakan tugas yang diberikan Patih Kerajaan
padanya. "Ketika sampai di kawasan ini sebenarnya aku berdua dengan Kepala Desa Kaliurang
Ki Sentot Bayu. Setelah melihat Djaka Tua, aku suruh dia kembali ke Kotaraja
untuk melapor pada Patih Kerajaan. Di tempat ini aku temui Djaka Tua, bekas
pembantu Patih Kerajaan sewaktu masih jadi Tumenggung dulu. Dia berlari
sendirian. Aku cekal dia. Djaka Tua berteriak. Aku tidak menduga kalau
Bastian Tito 59 Lentera Iblis Nyi Retno Lestari juga ada di dekat situ. Tadinya mengira mungkin dia sudah
berada di satu tempat tersembunyi.
Dan aku sama sekali tidak menyangka perempuan muda itu memiliki ilmu kesaktian.
Dia muncul langsung menyerangku. Aku selamat tapi kudaku menemui ajal.
Luar biasa. Boneka kayu miliknya itu benar-benar merupakan senjata maut..."
Saat itu Wiro, Nyi Retno dan Djaka Tua muncul.
Cagak Lenting cepat membungkuk."Pendekar Dua Satu Dua, saya Cagak Lenting
menghaturkan terima kasih kau telah menyelamatkan selembar nyawaku." Cagak
Lenting berpaling pada Nyi Retno. Dia membungkuk sekali lagi dan berkata.
"Maafkan kalau saya telah berlaku lancang. Saya sangat berterima kasih Den Ayu
telah mengampuni selembar nyawa saya. Saya yang tolol ini hanya melakukan
perintah atasan, perintah Patih Kerajaan.
Sekali lagi saya minta maaf."
Nyi Retno Mantili tertawa sinis dan acuh. Dia
memandang pada boneka kayu dan berkata. "Kemuning, kau dengar ucapan orang itu.
Seringkali ketololan mencelakakan diri sendiri. Hik ... hik!"
"Para sahabat, silahkan semua melanjutkan
perjalanan. Saya kawatir Patih Kerajaan akan muncul di sini bersama orangorangnya. Sebelumnya saya sudah meminta seorang Kepala Desa untuk memberi
tahu ...."
"Apa yang akan kau katakan pada Patih Kerajaan karena tidak berhasil menangkap
dua orang itu?" tanya Setan Ngompol.
"Biar itu menjadi urusanku. Kalian pergilah ...."
Setan ngompol masih belum puas. Dia ajukan satu pertanyaan lagi. "Cagak Lenting,
kau tahu siapa adanya perempuan muda itu?"
Lebih dari tahu, sobatku. Yang aku masih tidak mengerti adalah cerita tentang
seorang bayi ..."
Bastian Tito 60 Lentera Iblis "Justru perihal bayi itulah yang membuat Nyi Retno jadi tidak waras. Di lain
kesempatan, kalau kita bertemu lagi aku akan ceritakan kisahnya padamu. Sobatku,
kita berpisah di sini ..."
Cagak Lenting membungkuk dalam-dalam. Sebelum
ke empat orang itu bergerak pergi, dia telah beranjak lebih dulu.
Wiro dan Setan Ngompol saling pandang.
"Bagaimana sekarang?" tanya si kakek.
"Apanya yang bagaimana?" tanya Nyi Retno Mantili sambil ayun-ayun boneka di
tangan kiri. Tiba-tiba boneka itu diserahkan pada Wiro. "Anakku senang padamu,
gendonglah."
Wiro garuk-garuk kepala. Agaknya sekali ini sulit untuk meninggalkan Nyi Retno
begitu saja. "Den Ayu. kau tidakmungkin ikutan dengan kami,"
kata Setan Ngompol.
"Siapa mau ikut kamu. Aku mau ikut dia ...." Nyi Retno menunjuk ke arah Wiro.
"Celaka!" ucap Pendekar 212 dalam hati dan kembali garuk-garuk kepala.
"Wiro, kalau Kemuning suka padamu, apakah aku
tidak boleh suka padamu" Apakah aku tidak boleh ikut bersamamu?"
"Ooalaa. Perempuan sinting ini suka pada Wiro.
Kenapa bisa jadi begini"!" Ucap Setan Ngompol dalam hati.
"Kemuning anak baik. Semua orang tentu suka
padanya. Cuma saat ini saya dan kakek itu ada beberapa tugas yang harus
dilakukan.Saya harap Den Ayu dan Djaka Tua mau bersabar untuk tidak ikut dulu.
Nanti selesai urusan kami berdua pasti akan menemui Den Ayu
..." "Omongan lelaki siapa percaya. Kalau kau sudah pergi pasti tak ingat Kemuning,
tak ingat diriku. Aku
Bastian Tito 61 Lentera Iblis mengerti, orang seperti diriku ini siapa yang mau diajak jalan bersama" Dan
Kemuning, hanya sebuah boneka kayu buruk ....."
Djaka Tua tercengang mendengar ucapan Nyi Retno itu. "Tuhan," ucap lelaki ini
dalam hati. "Dalam ketidak warasannya apakah Engkau telah memberikan secercah
kejernihan hati dan pikiran?"
Sepasang mata Nyi Retno tampak berkaca-kaca.
Djaka Tua tundukkan kepala. Setan Ngompol pegangi bagian bawah perut. Pendekar
212 Wiro Sableng tegak terdiam. Nyi Retno melangkah mendekati Wiro. "Tolong
kembalikan anakku," pintanya dengan suara lirih.
Wiro jadi sedih dan kasihan melihat Nyi Retno Mantili.
Hal ini membuat dia tidak segera menyerahkan boneka perempuan yang terbuat dari
kayu itu. Dalam keadaan semua orang terdiam seperti itu dan kesunyian menggantung tidak
enak, tiba-tiba satu bayangan hitam berkelebat disusul suara bentakan dan
menghamparnya bau pesing.
"Anak setan! Apa yang kau buat di tempat ini"!"
Wiro tergagau. Setan Ngompol tersentak kaget
langsung muncratkan air kencing. Djaka Tua terheran-heran. Hanya Nyi Retno
Mantili yang kelihatan tenang saja walau wajahnya masih menunjukkan kemurungan.
Di tempat itu kini berdiri seorang nenek hitam, kurus tinggi agak bungkuk. Pipi
dan mata cekung, rambut putih jarang. Tangan kiri membolang baling sebatang
tongkat kayu butut hingga mengeluarkan suara bersiuran. Mata yang cekung itu
menatap lekat-lekat ke wajah Pendekar 212, melirik pada boneka kayu yang
dipegang Wiro, melirik lagi ke arah Nyi Retno Mantili. Tongkat ditancap di
tanah. "Anak setan! Jadi ini pekerjaanmu! Kuberi tugas malah berleha-leha enak-enakan.
Siapa perempuan muda berpakaian dekil tak karuan rupa ini! Gendakmu yang
Bastian Tito 62 Lentera Iblis baru"! Pantas ...pantas!" Si nenek berpaling pada Setan Ngompol. "Tua bangka
jelek! Pasti kau yang jadi mak comblangnya!"
"Sinto kau ini ...." Setan Ngompol pegangi perut.
"Diam!" teriak Sinto Gendeng memotong ucapan
Setan Ngompol lalu kembali memandang pada Wiro.
"Anak setan! Apa yang kau pegang itu"!"
"Bayi Nek ...." Karena gugup Wiro ketelepasan
menjawab. Tampang Sinto Gendeng jadi kelam mengkeret.
Rahang menggembung, mulut perot komat kamit! Susur dalam mulut dikunyah gemas.
Dia meludah ke tanah.
"Bayi"!"
"Maksud saya, boneka Nek. Namanya Kemuning.. .."
"Setan! Jelas itu boneka. Bukan bayj! Apa kau kira aku buta, tak bisa melihat"!
Aku juga tidak tanya namanya! Belum lama bertemu kau masih waras.
Sekarang apa otakmu sudah berubah sinting" Eh, kau sudah sableng beneran ya"!
Kau kawin sama perempuan hantu gembel ini sampai punya anak bayi berbentuk kayu"
Hik ... hik ... hik!"
Suara tawa Sinto Gendeng tiba-tiba dibarengi tawa Nyi Retno Mantili tak kalah
nyaringnya. "Setan perempuan! Jangan kau berani melecehkan tawaku! Jika saat ini aku
tertawa, di lain kejap aku bisa berteriak dan membunuhmu!" Sepasang mata Sinto
Gendeng yang cekung tampak berkilat-kilat.
"Nenek jelek! Sudah bau tanah mulutmu masih kotor!
Kalau aku mau ketawa siapa berani melarang"! Kalau kau mau berteriak dan
membunuhku mengapa tidak
melakukan sekarang"!"
"Perempuan kurang ajar! Kau tidak tahu berhadapan dengan siapa! Kurobek
mulutmu!" Sinto Gendeng cabut tongkat yang menancap di tanah.
"Wuuttt!"
Bastian Tito 63 Lentera Iblis -- << 5 >> -Bastian Tito 64 Lentera Iblis 6 JUNG tongkat di tangan kanan Sinto Gendeng
melesat ke arah muka Nyi Retno Mantili. "Eyang!
U Jangan!" teriak Wiro.
Si nenek tidak bergeming, terus lancarkan serangan.
Sedang Nyi Retno Mantili tidak berusaha selamatkan diri.
Tetap saja tegak di tempatnya.
"Kemuning, ada nenek jahat bau mau mencelakai
ibumu, apa kita diam saja"!"
Nyi Retno tiba-tiba berseru. Tangan kiri yang
memegang boneka diangkat, diarahkan pada Sinto Gendeng. Jari-jari menekan.
"Den Ayu, tahan!" teriak Wiro. Dia cepat melompat dan berdiri menghalang di
antara Sinto Gendeng dan Nyi Retno Mantili.
"Wiro, jika kau yang melarang aku menurut saja ..."
Nyi Retno mundur dua langkah. Tangan yang memegang boneka diturunkan.
"Breettt!"
Ujung tongkat Sinto Gendeng menyambar punggung Wiro. Bukan saja merobek baju
putihnya tapi juga menggurat dalam daging di bagian punggung hingga mengucurkan
darah. Wiro menggigit bibir menahan sakit, melompat ke samping. Nyi Retno
Mantili menjerit keras ketika melihat luka melintang panjang mengucurkan darah
di punggung Wiro.
"Nenek jahat! Kau apakan Wiro! Aku tidak rela!" Nyi Retno menerjang ke arah
Sinto Gendeng. Tangan kanan diangkat. Wajah boneka dipentang ke arah si nenek.
Kali ini dia benar-benar ingin membunuh Sinto Gendeng. Wiro cepat merangkul Nyi
Retno seraya berkata. "Nyi Retno
Bastian Tito 65 Lentera Iblis Mantili! Jangan! Dia guru saya. Dia berhak menghukum saya jika saya salah."


Wiro Sableng 145 Lentera Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tapi apa salahmu"!" teriak Nyi Retno.Matanya
berkaca-kaca. Tangan kiri memagut punggung Wiro, mengusap darah yang mengucur.
Perempuan tidak waras ini menjerit keras ketika tangannya basah oleh lumuran
darah. "Wiro .... Darahmu ...." Nyi Retno menjerit lalu merangkul Pendekar 212 eraterat. Setan Ngompol terkencing habis-habisan. Tidak
percaya dia melihat apa yang terjadi. Djaka Tua ingin mendekati Nyi Retno tapi
tak berani. "Kalian manusia-manusia konyol sinting semua!"
Sinto Gendeng memaki. "Anak setan! Kau dengar baik-baik ucapanku! Saat ini juga
kau harus berangkat ke Gunung Gede. Temui Kiai Gede Tapa Pamungkas. Ada hal
sangat penting yang ingin dibicarakannya denganmu! Ini adalah perintah Kiai dan
perintahku yang tidak boleh kau tolak! Soal Kitab Seribu Pengobatan kau tak
perlu mencarinya lagi!" Sinto Gendeng memandang garang ke arah Nyi Retno
Mantili. Yang dipandang membalas dengan seringai mengejek. Membuat Sinto Gendeng
tambah terbakar dada dan darah amarahnya. "Anak Setan!
Sebelum aku minggat ada satu hal yang harus kau pertanggung jawabkan! Kau sudah
membuat bunting seorang gadis bernama Wulan Srindi! Dia merampas satu dari lima
tusuk kondeku. Mengatakan bahwa tusuk konde itu adalah sebagai Mas Kawin tanda
perkawinan kalian!
Cari setan perempuan itu! Kau harus dapat mengambil tusuk kondeku kembali! Soal
nanti Wulan Srindi melahirkan bayimu, apa lahir berupa boneka kayu atau boneka
batu aku tidak mau tahu!"
Wiro melengak kaget mendengar caci maki sang
guru. "Eyang, saya tidak pernah berbuat serong seperti itu. Saya tidak pernah
menggauli Wulan Srindi ...."
Bastian Tito 66 Lentera Iblis "Lalu bagaimana dia bisa hamil"! Hantu yang
membuntinginya"!" bentak Sinto Gendeng.
"Eyang, memang ada satu kejadian buruk menimpa diri Wulan Srindi. Malah seorang
sahabat saya sampai dituduh melakukan kekejian itu. Namanya Jatilandak ...."
"Anak Setan! Kau pandai bicara, pandai berkilah.
Pandainya kau mencari kambing hitam. Tapi jangan mengira bisa mendustai tua
bangka seperti aku ini! Aku hidup jauh lebih lama darimu! Aku pernah
memeliharamu! Jadi tahu betul sifat serta sikapmu! Murid kurang ajar!
Manusia tidak berbudi! Kau membuat malu diriku. Kau mencelemongi mukaku dengan
kotoranmu! Jangan harap aku akan memberikan Ilmu Sepasang Inti Roh yang pernah
kau minta!" (Baca serial Wiro Sableng berjudul
"Munculnya Sinto Gendeng")
Dalam diamnya Wiro merasa sekujur tubuh bergetar.
Pelipis bergerak-gerak dan dada terasa sesak. Mulutnya terbuka tapi tidak
sepotong suarapun yang bisa keluar.
Luar biasa, guru yang dihormat dan dicintainya tega mengeluarkan ucapan begitu
keras di hadapan sekian banyak orang. Soal ilmu kesaktian dia dulu memang pernah
meminta ilmu Sepasang Inti Roh itu. Namun kemudian tidak pernah mengingatingatnya lagi. (Baca serial Wiro Sableng berjudul "Munculnya Sinto Gendeng")
Dalam keadaan seperti sekarang ini dia tambah tidak berminat untuk memintanya.
Apa lagi dia sudah memiliki ilmu yang hampir sama keampuhannya yaitu "Sepasang
Pedang Dewa" yang didapatnya dari Datuk Rao Basaluang Ameh. Hanya saja ilmu ini
cuma bisa dikeluarkan dua kali dalam waktu 360 hari.
Di tempatnya berdiri Wiro merasa punggungnya yang cidera sakit dan panas bukan
main. Dua lutut mulai goyah.
Getaran ditubuh semakin keras. Dia menggigil seperti diserang demam panas.
Perlahan-lahan Pendekar 212
jatuh berlutut. Nyi Retno Mantili menjerit, jatuhkan diri
Bastian Tito 67 Lentera Iblis dan terus merangkul Wiro. Luka panjang di punggung Wiro mengepulkan asap. Nyi
Retno kembali menjerit.
Setan Ngompol cepat mendekati Wiro. Sinto Gendeng tak kelihatan lagi. Melihat
keadaan luka di punggung Wiro yang mengepulkan asap, si kakek tusukkan tiga
totokan. Darah serta merta berhenti mengucur dan kepulan asap perlahan-lahan sirna.
Setan Ngompol sendiri habis menotok lalu kucurkan air kencing habis-habisan.
"Terima kasih Kek," ucap Pendekar 212. Matanya menatap sayu pada Setan Ngompol.
"Kek, mungkinkah aku telah berbuat dosa kesalahan" Aku tidak mengerti mengapa
Eyang Sinto tega melukaiku. Aku yakin tadi dia masih bisa menarik pulang
serangan tongkatnya. Tapi dia sengaja tidak melakukan. Soal Wulan Srindi itu,
kau tahu aku tidak pernah berbuat sekeji itu. Hatiku sedih sekali Kek. Aku
merasa sangat terpukul ..."
Setan Ngompol hanya bisa angguk-anggukan kepala sambil pegangi bagian bawah
perut. "Kek, mungkin dimatanya aku ini merupakan seorang murid murtad" Kalau aku salah
memang pantas dihukum.
Dibunuhpun aku ikhlas. Aku menghormati Eyang Sinto, juga menyayanginya. Tapi
rasanya ... Ah, aku ini memang murid kurang ajar!" Wiro akhirnya menyalahi diri
sendiri. Sepasang matanya berkaca-kaca.
"Wiro, siapa berani membunuhmu akan aku bunuh
juga!" tiba-tiba Nyi Retno berkata sambil tangan kanan mendekapkan boneka kayu
ke dadanya. Wiro menatap wajah Nyi Retno. Perempuan itu
tersenyum padanya. Wiro hanya bisa balas tersenyum.
"Wiro, gurumu sedang kacau pikiran," kata Setan Ngompol. "Wulan Srindi muncul
memberi tahu bahwa dia sudah kawin denganmu dan hamil. Satu dari lima tusuk
kondenya dirampas ...."
Bastian Tito 68 Lentera Iblis "Aku kira nenek itu pikirannya lebih semrawut dari diriku!" lagi-lagi Nyi Retno
keluarkan ucapan. "Kalau ada seribu gadis mengaku hamil, apa itu semua pekerjaan
Wiro" Seharusnya dia menyelidik dulu. Uh! Baru kehilangan satu tusuk konde
kelakuannya seperti setan kebakaran pantat! Murid sendiri dilukai! Dicaci maki!
Bagaimana kalau tusuk kondenya hilang semua"! Mungkin manusia sejagat ini
dibunuhinya!"
Djaka Tua sampai tertegun mendengar kata-kata Nyi Retno Mantili itu yang jelasjelas membela Wiro. Dalam keadaan tidak waras bagaimana dia bisa bicara begitu.
"Luar biasa sekali perubahannya setelah pertemuan dengan pemuda ini."
Wiro berdiri. "Kek, tadi kau dengar sendiri Eyang Sinto mengatakan aku tidak
perlu lagi mencari Kitab Seribu Pengobatan. Aku senang saja terbebas dari satu
tugas berat. Tapi menurutmu apa yang telah terjadi?"
Setan Ngompol usap-usap perutnya. "Aku menduga, jangan-jangan dia sudah
menemukan kitab itu. Jadi tidak memerlukan lagi bantuanmu."
"Dugaanmu kurasa benar Kek. Tadi aku menyelidiki dirinya dengan Ilmu Menembus
Pandang. Sebenarnya hal itu tidak boleh aku lakukan. Samar-samar aku melihat ada
sebuah benda berbentuk kitab di balik pakaiannya sebelah kiri. Kalau kitab itu
memang sudah ditemui dan berada di tangan Eyang Sinto aku merasa bersyukur. Tapi
bagaimana kini caranya aku membantu dua murid Hantu Malam Bergigi Perak" Mereka
membutuhkan petunjuk pengobatan yang ada dalam kitab itu. Kau tahu sendiri, kita
sudah kepalang berjanji mau menolong."
"Wiro, terus terang aku jadi bingung. Semakin lanjut usianya semakin aneh-aneh
saja perilaku gurumu. Apa gunanya kitab itu dimilikinya sendirian. Padahal kitab
bisa memberi pertolongan pada banyak orang. Apa dia ingin mengangkanginya sampai
mati"!"
Bastian Tito 69 Lentera Iblis "Mungkin dia kawatir kitab itu akan dicuri orang lagi."
"Bisa jadi. Tapi aku tahu. Sinto Gendeng itu
perempuan culas!" kata Setan Ngompol pula.
"Mengenai perintahnya agar aku menemui Kiai Gede Tapa Pamungkas, bagaimana
menurutmu Kek?"
"Kau harus melaksanakan. Perintah itu bersumber dari sang Kiai."
"Selama ini aku tidak dekat dengan Kiai Gede Tapa Pamungkas." Ucap Wiro sambil
memandang pada Nyi Retno. Perempuan ini menatapnya dengan pandangan mata sayu.
Suaranya terdengar lirih ketika berkata. "Kalau kau pergi ke Gunung Gede, aku
ikut bersamamu. Aku mohon kau jangan meninggalkan diriku dan Kemuning ...."
"Saya tak mungkin membawamu ke sana Nyi Retno
Mantili. Perjalanan jauh dan sulit ..."
Perempuan muda yang terganggu jalan pikirannya itu tersenyum. "Sudah beberapa
kali kau memanggilku Nyi Retno Mantili. Biasanya aku marah dipanggil dengan nama
itu. Tapi karena kau yang menyebut, sekarang aku jadi berpikir. Apakah itu
memang namaku?"
Wiro memandang pada Djaka Tua. Pembantu ini
tersenyum. Wiro berpaling lagi pada Nyi Retno lalu anggukkan kepala.
"Retno Mantili, itu memang namamu. Nama bagus ..."
kata murid Sinto Gendeng pula.
Nyi Retno tertawa panjang dan lepas. Wajahnya
tampak merah segar.
"Wiro," katanya. "Menurut perhitunganmu berapa lama waktu kau butuhkan untuk
sampai ke puncak Gunung Gede?"
"Mengapa kau bertanya begitu Nyi Retno?"
"Jika berkuda mungkin delapan sampai sepuluh hari.
Aku tahu jalan memintas. Aku hanya butuh waktu lima hari."
Bastian Tito 70 Lentera Iblis "Sebaiknya kau tidak kesana. Tunggu saja di tempat kediaman Ki Tambakpati
seorang juru pengobatan sahabat kami. Setan Ngompol akan mengantarkanmu kesana."
Nyi Retno tertawa. "Wiro, aku dan Kemuning
menunggumu di tepi telaga."
Pendekar 212 tercengang.
"Nyi Retno, bagaimana kau tahu kalau di puncak Gunung Gede ada telaga" Kau
pernah ....."
Nyi Retno tertawa panjang dan kedipkan sepasang matanya. Mata yang selama ini
selalu sayu kuyu oleh penderitaan batin kali ini tampak begitu bagus bening
bercahaya. Djaka Tua sampai mengucap nama Tuhan berulang kali melihat kejadian
ini. Diam-diam dia merasa bahagia.
"Nyi Retno ....." panggil Wiro.
Namun perempuan itu sudah berkelebat pergi.
Dikejauhan terdengar suara nyanyiannya.
Kemuning anakku sayang
Ada seorang sahabat baik hati
Membawa kita ke puncak Gunung Gede
Dia berlari cepat seperti angin
Tapi kita akan sampai lebih dahulu
Menunggunya di tepi telaga
Lagi-lagi Djaka Tua tertegun heran. Dalam hati dia berkata. "Den Ayu jarangjarang menyanyi di depan orang lain. Juga aneh, bagaimana Nyi Retno tahu jalan
ke Gunung Gede. Bagaimana dia tahu di sana ada telaga?"
Pembantu setia ini lalu memandang pada Pendekar 212.
"Wiro, saya melihat banyak perubahan pada diri Nyi Retno sejak dia mengenalmu.
Jika saja kau bisa berada lebih lama bersamanya mungkin keadaannya akan tambah
baik. Apakah kau sudi menolongnya?"
"Dia suka dan percaya padamu," menambahkan
Setan Ngompol. "Dua hal itu bisa kau jadikan sebagai dasar menolong dirinya ..."
Bastian Tito 71 Lentera Iblis "Kalian berdua ikut aku ke Gunung Gede?" bertanya Wiro.
Setan Ngompol menggeleng. "Kami akan
menunggumu di pondok Ki Tambakpati." Kata si kakek pula.
Wiro garuk-garuk kepala.
Belum sempat dia tinggalkan ke dua orang itu
mendadak seorang nenek dengan dandanan tebal
mencolok tahu-tahu telah tegak berdiri berkacak pinggang di hadapan tiga orang
itu. Di atas kepalanya ada sebuah tabung bambu kuning setinggi satu setengah
jengkal, mengepulkan asap tiga warna.
"Hantu Malam Bergigi Perak, kau rupanya ...." Setan Ngompol yang pertama sekali
membuka suara. "Ah, kau tidak melupakan diriku. Tapi aku tidak berurusan denganmu.
Aku mau bicara dengan pemuda ini." Kata nenek
berpakaian serba hitam guru dua gadis cantik Liris Merah dan Liris Biru. Dia
memandang ke arah Wiro. "Jika aku tanya tentang kitab itu pasti jawabanmu kau
masih belum tahu berada dimana. Betul begitu?"
"Nek, kalau kitab itu ada padaku, pasti akan kuminta izin Eyang Sinto agar
dipinjamkan padamu untuk mengobati kelainan pada dua muridmu.". Kata Wiro pula.
Si nenek kerenyitkan kening. "Aku tidak pernah memberi tahu bahwa dua muridku
punya kelainan. Dari mana kau tahu" Siapa yang memberi tahu"!" Dua mata si nenek
mendelik, memperhatikan penuh curiga.
Wiro sadar kalau sudah ketelepasan bicara. Dulu dua kakak beradik Liris Merah
dan Liris Biru sendiri yang memberi tahu penyakit yang mereka idap.
"Aku cuma menduga Nek. Kalau tidak dirimu tentu dua muridmu yang memerlukan
pengobatan. Melihat kau cantik dan sehat-sehat saja maka aku mengira dua
muridmulah yang membutuhkan pertolongan."
Bastian Tito 72 Lentera Iblis "Hemmm, kau pandai bicara. Hidungku tidak besar oleh pujianmu! Pemuda mata
keranjang, awas kalau kau ada hubungan yang tidak-tidak dengan dua muridku,
kupecahkan batok kepalamu! Sekarang katakan apa kau sudah mendapatkan kitab
itu?" Wiro menggeleng.
"Tahu dimana beradanya?"
Wiro menggeleng kembali.
Hantu Malam Bergigi Perak tertawa bergelak. Deretan giginya atas bawah tampak
berkilauan. "Anak muda, kau berdusta. Apa kau kira aku tidak tahu gurumu yang bau pesing itu
tadi ada di sini. Kau dicuci maki habis-habisan seperti mencuci kesetan kaki!
Hik ... hik! Aku juga mendengar dia berkata agar kau tidak perlu mencari kitab
itu lagi. Berarti kitab itu sudah ditemukan dan ada di tangannya. Aku tahu ke
arah mana dia pergi. Aku akan minta pinjam kitab itu secara baik-baik. Kalau dia
tidak memberikan akan kubunuh! Apa katamu"!"
"Aku tidak akan berkata apa-apa Nek," jawab Wiro.
Si nenek tertawa panjang. "Bagus, kau mau berpihak padaku. Berarti dalam hatimu
ada rasa dendam terhadap gurumu yang telah melukai dirimu. Benar"! Kalau aku
jadi dirimu, perlu apa punya guru seperti itu. Sudah jelek, bau pesing, bicara
tak karuan, hatinya jahat pula."
"Ucapanmu hanya menunjukkan bahwa hatimu juga
tidak seputih dan selembut kapas ..." tukas Wiro.
Bagaimanapun juga telinganya jadi panas mendengar ucapan si nenek.
Sebaliknya Hantu Malam Bergigi Perak tertawa
panjang mendengar kata-kata Pendekar 212 itu.
"Wiro, diriku bisa saja lebih jahat dari Sinto Gendeng.
Tapi aku tidak pernah menganiaya murid sendiri seperti yang dilakukannya
padamu!" Bastian Tito 73 Lentera Iblis Air muka Wiro tampak merah. Sebelum dia menjawab ucapan Hantu Malam Bergigi
Perak Setan Ngompol cepat mendahului mengalihkan pembicaraan.
"Sobatku Hantu Malam Bergigi Perak, Wiro pasti akan memberikan kitab itu padamu
begitu dia mendapatkan.
Kalau kau tidak percaya padanya, kau boleh menyandera diriku. Kau boleh


Wiro Sableng 145 Lentera Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membawaku kemana saja sampai dia menyerahkan kitab ..."
"Tua bangka kuping terbalik. Kau kira aku tidak tahu akal bulusmu"! Siapa sudi
berada dekat-dekat dengan orang bau pesing sepertimu. Sekalipun kau mandi di
tujuh telaga bau pesingmu tak akan hilang. Lebih baik kau ikut membantu mencari
kitab itu. Siapa tahu di dalamnya ada petunjuk obat yang dapat menghilangkan
penyakit kencingmu!"
"Oaallaaa. Aku tak pernah memikirkan hal itu!" kata Setan Ngompol pula sambil
pegangi bagian bawah perutnya. "Terima kasih kau mengingatkan. Sekarang apakah
aku boleh ikut bersamamu"!"
Si nenek mencibir lalu tinggalkan tempat itu.
Setan Ngompol berpaling pada Wiro. "Aku berubah pikiran. Tak jadi ke gubuknya Ki
Tambakpati. Tapi mau mengejar nenek bergigi perak itu. Dia benar! Tidak mustahil
dalam Kitab Seribu Pengobatan ada petunjuk obat serta cara menghilangkan
penyakit kencing-kencingku!"
"Kek. tunggu dulu!"
"Kau ini. apa lagi. Nanti nenek itu keburu lari jauh!"Setan Ngompol mengomel.
"Eyang Sinto menyuruh aku mendapatkan tusuk
kondenya yang dirampas Wulan Srindi. Menurutmu bagaimana?"
"Kalau aku jadi kau aku tidak akan melakukan. Itu urusannya dengan Wulan Srindi.
Mengapa kau yang jadi repot" Sudah, aku mau mengejar nenek menor itu ..."
Bastian Tito 74 Lentera Iblis Setan Ngompol segera saja lari ke arah lenyapnya Hantu Malam Bergigi Perak.
Pendekar 212 Wiro Sableng tak bisa berbuat apa. Dia bertanya pada Djaka Tua.
"Bagaimana denganmu. Aku terpaksa rneninggalkan kau sendirian."
"Tidak jadi apa. Saya pernah mendengar nama Ki Tambakpati. Saya akan mencari
pondok tempat kediamannya. Kalau tidak keliru di sebuah bukit dekat Plaosan. Saya hanya mohon
agar kau bisa menolong Nyi Retno Mantili. Yang penting dia bisa disembuhkan
serta diselamatkan dari tangan jahat Raden Mas Wira Bumi yang bertekad hendak
membunuhnya."
Wiro pegang bahu Djaka Tua. "Kau orang baik.
Menurutku kesembuhan atas diri Nyi Retno hanya bisa terjadi jika bayinya yang
hilang ditemukan kembali. Coba kau ingat-ingat mengenai orang tua serba putih
kepada siapa bayi itu kau serahkan. Aku ingin kau menceritakan sekali lagi apa
yang terjadi di goa. Jangan ada satu halpun yang terlupa ..."
Djaka Tua lalu bercerita.
"Malam itu. lebih satu tahun lalu. Saya membawa lari bayi Nyi Retno dari Gedung
Tumenggung. Bayi saya bungkus dengan sarung. Malam itu hujan turun lebat sekali.
Untung ada sebuah goa. Belum lama berteduh di situ muncul kabut aneh. Lalu
kelihatan sosok seorang tua.
Tubuhnya tinggi sekali. Kepala hampir menyentuh bagian atas goa. Orang tua ini
mengenakan pakian sebentuk selempang kain putih. Rambutnya putih. Ada sebatang
tongkat putih di tangan kirinya ....."
"Apa kau memperhatikan sepasang mata orang tua itu"'. tanya Wiro.
"Wajah orang tua itu berada di bagian yang agak gelap. Tapi saya ingat .....
Bagian putih matanya hanya sedikit. Selebihnya mungkin hitam, mungkin coklat.
Sulit Bastian Tito 75 Lentera Iblis saya mengetahui karena gelap. Orang tua itu memanggil saya sahabat. Dia minta
saya menyerahkan bayi ...."
"Orang tua itu, apakah dia membawa sebuah suling emas disisipkan di
pinggangnya?"
"Tidak dapat saya pastikan. Karena bagian pinggang ke bawah tubuhnya tertutup
kabut tipis. Ada satu hal yang ingin saya beritahu. Dibalik kabut, di belakang
orang tua itu saya merasa ada satu mahluk. Entah orang entah binatang. Nafasnya
menghembus berat. Saya tidak bisa melihat sosoknya tapi saya melihat ada dua
buah titik hijau. Titik ini sesekali tampak bergerak-gerak ..."
"Djaka Tua, kau bicara cukup lama dengan orang tua itu. Kau ingat logat
bicaranya" Logat Jawa, Pasundan, Madura .... ?"
Djaka Tua berpikir. "Bukan logat Jawa. Bukan Sunda.
Juga bukan logat Madura. Bahasanya halus. Kata-katanya lembut. Saya kira dia
orang dari tanah seberang. Tapi seberang daerah mana saya tidak tahu ..."
Wiro pegang bahu Djaka Tua. "Keteranganmu sangat berharga. Mudah-mudahan aku
bisa menduga siapa adanya orang itu."
"Kalau begitu kita cari sekarang juga." kata Djaka Tua bersemangat.
Wiro tertawa. "Biar aku yang melakukan tugas satu itu. Kau pergilah ke tempat
kediaman Ki Tambakpati.
Katakan aku dan Setan Ngompol yang menyuruh kau kesana."
"Saya akan berdoa siang malam semoga bayi itu bisa ditemukan. Karena hanya
pertemuan dengan bayi itulah Nyi Retno bisa disembuhkan dari sakitnya. Saat ini
paling tidak bayi itu sudah berusia satu tahun lebih. Dibalik ketidak warasannya
kau dapat membayang kan derita duka Nyi Retno. Kasihan sekali. Seharusnya dia
tinggal di satu gedung mewah. Dikelilingi para pelayan. Berpakaian bagus
berdandan apik. Dihormati orang dimana-mana ...."
Bastian Tito 76 Lentera Iblis "Djaka Tua, tidak banyak di dunia ini orang yang begitu setia pada atasannya
sepertimu. Aku merasa bahagia bisa mengenalmu. Kau pergilah sekarang juga.
Jangan lewat dijalan biasa. Aku menduga Patih Kerajaan akan mengirim orangorangnya atau datang sendiri menyelidik ke tempat ini."
Djaka Tua mengangguk. Pembantu ini membungkuk
dalam-dalam lalu tinggalkan tempat itu sementara langit mulai kelihatan redup di
akhir rembang sore itu.
Wiro menunggu sampai Djaka Tua lenyap di
kejauhan. Lalu dia mencari tempat yang agak lapang dan duduk bersila di tanah.
Dua mata dipejam, hati dan pikiran dipusatkan pada membayangkan sosok seekor
harimau putih bermata hijau.
"Sahabat Datuk Rao Bamato Hijau. Saya Wiro
Sableng. Saya perlu bantuanmu. Datanglah."
Wiro hanya menunggu satu kejapan mata. Kabut
putih entah dari mana datangnya tahu-tahu menutupi tempat itu seluas lima tombak
persegi. Di dalam kabut kelihatan dua titik hijau. Tanah bergetar. Ada suara
hembusan nafas berat. Perlahan-lahan masih di dalam kabut, kelihatan sosok
seekor harimau putih memiliki sepasang mata hijau.
"Datuk. terima kasih kau mau datang ..."
Terdengar suara gerengan halus seolah menyahut memberi salam. Harimau putih
keluar dari dalam kabut, melangkah ke hadapan Wiro, menjilati tangan kanan sang
pendekar. Wiro usap-usap kepala binatang itu dengan tangan kirinya. Terasa ada
hawa hangat yang menjalar masuk ke dalam tubuhnya. Mernbuat rasa sakit luka di
punggung serta merta menjadi lenyap.
"Datuk, saya buluh pertolonganmu. Mohon
disampaikan pada Datuk Rao Basaluang Ameh. Saya ingin petunjuk tentang seorang
bayi perernpuan yang pernah
Bastian Tito 77 Lentera Iblis diserahkan kepadanya oleh seorang lelaki berpunuk di sebuah goa sekitar satu
tahun silam ...."
Harimau putih kedipkan dua mata lalu menggereng halus. Ekornya menjentik ke atas
tiga kali berturut-turut, memancarkan bunya api berwarna hijau. Kabut masih
menggantung di udara. Perlahan-lahan sosok harimau putih bermata hijau lenyap
dari pemandangan. Kabutpun ikut sirna.
Seperti dikisahkan dalam Episode berjudul "Delapan Sabda Dewa" harimau putih
bernama Datuk Rao Bamato Hijau ini adalah peliharaan seorang sakti di Pulau
Andalas bernama Datuk Rao Basaluang Ameh. Dari Sang Datuk Wiro telah menerima
banyak ilmu kesaktian. Harimau bermata hijau itu oleh Datuk Rao Basaluang Ameh
dijadikan sebagai pelindung Wiro.
Namun sebegitu jauh dalam menghadapi berbagai
kesulitan terutama menghadapi musuh berkepandaian tinggi hampir tak pernah Wiro
meminta bantuan si mata hijau ini. Segala kesulitan yang ditemui jika masih bisa
dihadapi selalu ditangani sendiri.
Tidak lebih dari dua kejapan mata berlalu tiba-tiba tanah kembali bergetar. Di
kejauhan terdengar suara saluang (semacam suling khas Minangkabau) disusul
munculnya kabut. Lalu di dalam kabut kelihatan kembali harimau putih besar Datuk
Rao Bamato Hijau. Ternyata harimau ini tidak datang sendiri. Di atas punggungnya
duduk seorang anak perempuan bertubuh gemuk montok, berkulit putih. Rambutnya
yang hitam tebal di kuncir dua di atas kepala. Wajah segar dengan dua pipi
merah. Mulut selalu mengulum senyum sementara sepasang matanya tampak bening
bagus dihias alis tebal dan bulu mata lentik. Anak perempuan seusia satu tahun
ini adalah bayi Nyi Retno Mantili yana dulu diserahkan Djaka Tua pada seorang
kakek. Dan kakek itu kini berdiri di samping harimau putih bermata hijau.
Bastian Tito 78 Lentera Iblis Sang kakek mengenakan selempang kain putih.
Sepasang matanyanya berwarna biru. Meski usia sangat lanjut namun masih tampak
gagah. Di tangan kiri dia memegang sebatang tongkat putih sedang di pinggang
terselip sebuah seruling terbuat dari emas. lnilah Datuk Rao Basaluang Ameh,
orang sakti dari Pulau Andalas yanq menjadi salah satu dari guru Pendekar 212
karena dia pernah mewariskan ilmu silat dan kesaktian pada Wiro melalui kitab
"Delapan Sabda Dewa". Perlahan-lahan kabut menipis dan suara alunan saluang
lenyap dari pendengaran. Wiro cepat berdiri, melangkah kehadapan Datuk Rao Basaluang Ameh. membungkuk,
menyalami dan mencium tangannya.
"Datuk, salam hormat saya untuk Datuk. Maafkan saya karena telah berani
merepotkan dan menyita waktu Datuk. Saya terpaksa melakukan karena ada seorang
ibu kehilangan bayi perempuannya. Saat ini dia berada dalam keadaan tidak waras.
Sakit dan derita sengsaranya ini mungkin sekali bisa disembuhkan jika dia
bertemu dengan anaknya kembali."
"Anak muda bernama Wiro, kau sendiri apakah tidak mempunyai banyak kesulitan
hingga mementingkan orang lain dari pada diri sendiri?" Datuk Rao Basaluang Ameh
bertanya. Suaranya halus lembut.
Wiro tahu kalau sang guru tengah menjajal dirinya.
"Datuk Rao, sudah menjadi garis nasib saya bahwa dalam hidup ini saya akan
selalu menemui kesulitan serta bebagai macam bahaya. Namun jika saya masih bisa
menolong orang lain, mengapa tidak saya lakukan. Lagi pula dari keterangan orang
yang menyerahkan bayi saya coba menduga-duga bahwa yang membawa bayi itu
mungkin adalah Datuk Rao Basaluang Ameh. Maafkan kalau salah keliru ..."
Datuk Rao tersenyum.
Bastian Tito 79 Lentera Iblis "Dugaanmu tidak keliru Wiro. Anak di atas punggung Datuk Rao Bamato Hijau itulah
bayi yang kau maksudkan.
Aku memberinya nama Ken Permata."
"Saya merasa lega mengetahui bahwa bayi itu
memang ada di dalam perawatan Datuk. Saya sendiri senang melihatnya, apa lagi
ibunya ..." Wiro dekati anak perempuan di atas punggung harimau putih, membelai
kepalanya. mengusap pipinya yang merah. Si anak tertawa-tawa. mulutnya
mengucapkan sesuatu dan kedua tangannya diulurkan ke arah.Wiro.
"Anak itu suka padamu. Dukunglah barang sebentar."
kata Datuk Rao Basaluang Ameh pula sementara harimau putih keluarkan suara
gerengan halus.
Wiro segera menggendong anak perempuan itu. Ken Permata tertawa tawa dan tepuktepuk wajah Pendekar 212.
"Wiro. Ketahuilah bahwa saat sekarang ini masih belum waktunya Ken Perrnata
ditemukan dengan ibu kandungnya. Sang ibu masih menghadapi berbagai macam
Sengketa Orang Berkerudung 1 Jaka Sembung 1 Bajing Ireng Maling Budiman Muridku Macho 1

Cari Blog Ini