Ceritasilat Novel Online

Meraga Sukma 3

Wiro Sableng 130 Meraga Sukma Bagian 3


dike-luarkannya Kapak Maut Naga Geni 212 yang tadi ditelan Naga Biru. Ketika
senjata itu dipegang Wiro menjadi heran.
"Kenapa bisa jadi enteng begini rupa?"
Wiro memeriksa.
Ternyata senjata itu menjadi lebih bersih dari keadaannya semula. Dua mata kapak
memancarkan cahaya terang walaupun dia
memegang tanpa mengerahkan tenaga dalam. Di sekujur mata dan gagang kapak samarsamar terlihat cahaya merah seolah membungkus
senjata sakti itu.
"Mahluk itu, aku yakin dia telah memberikan satu kekuatan tambahan pada diriku
dan pada Kapak Maut Naga Geni 212," membatin murid Sinto Gendeng. Wiro mendongak
ke atas memandang pada sosok Naga Biru, si batu mati. Lalu Wiro membungkuk
dalam-dalam sampai tiga kali, kemudian berucap.
"Sahabat di atas sana, siapa pun kau adanya, aku mengucapkan terima kasih."
Sepasang mata patung naga tiba-tiba
memancarkan cahaya merah dan berkedip tiga kali.
Wiro tersenyum, garuk-garuk kepala sambil
lambaikan tangan dia berenang mengikuti Nyi Kantili dan anak buahnya.
MAKIN jauh berenang makin keras terdengar
suara alunan gamelan. Setelah melewati sebuah taman yang sangat indah tapi
sunyi, Wiro dan rombongannya sampai di sebuah bangunan besar M e r a g a S u k m
a 72 memiliki tiga pintu dan tiga menara tinggi di atasnya. Pintu sebelah tengah
paling besar dan menaranya juga paling tinggi.
Nyi Kantili menghampiri pintu sebelah kiri.
Dia memberi isyarat pada salah seorang anak buahnya. Si anak buah lalu menarik
seutas tali kuning yang berhubungan dengan sebuah genta yang terletak di atas
pintu. Suara genta mengalun aneh terdengarnya di telinga murid Sinto
Gendeng. Sesaat setelah genta berdentang, pintu yang tertutup perlahan-lahan terbuka.
Tiga sosok melesat keluar. Ketiganya ternyata gadis-gadis jelita mengenakan
pakaian hijau berkilat. Yang dua mengambil tempat di kiri kanan pintu sementara
gadis ketiga menghampiri Nyi Kantili.
Nyi Kantili segera mendatangi gadis itu.
"Saya Nyi Kantili pimpinan rombongan. Kami datang membawa seorang tamu untuk
menemui Nyi Roro Manggut."
Gadis yang diberi tahu anggukkan kepala lalu bertanya.
"Siapa tamu yang kalian bawa?"
"Namanya Wiro Sableng, bergelar Pendekar Kapak Maut Naga geni 212. Dia datang
dari Tanah Jawa."
"Katakan apa keperluannya menemui Nyi Roro Manggut."
"Saya hanya pengawal, tak layak bertanya.
Biar Nyi Roro Manggut sendiri yang nanti ajukan pertanyaan," jawab Nyi Kantili
pula. Si gadis melirik ke arah Pendekar 212. Diam-diam dadanya jadi berdebar. Seorang
tamu segagah pemuda itu jarang sekali berkunjung ke tempat mereka. Kalau pun ada
yang datang biasanya tua-tua dan bukan untuk menemui Nyi Roro Manggut.
"Kalian tunggu di sini. Aku akan memberi tahu Nyi Roro Manggut apa bersedia
menerima M e r a g a S u k m a
73 tamu ini." Lalu pada temannya si gadis berkata.
"Kalian tetap berjaga-jaga di sini, jangan ada yang boleh masuk sebelum aku
kembali." Si gadis menghilang masuk ke balik pintu.
Tak lama kemudian dia muncul kembali. Melirik sebentar ke arah Wiro lalu
memandang pada Nyi Kantili dan berkata.
"Nyi Roro Manggut tidak bersedia menerima tamu ini."
Pendekar 212 Wiro Sableng karuan saja jadi terkejut mendengar kata-kata si
gadis. Nyi Kantili juga tampak kecewa.
"Kalian hanya diberi kesempatan untuk datang lagi tiga purnama di muka."
Wiro garuk-garuk kepala. Nyi Kantili
memandang padanya.
"Bagaimana?" tanya Nyi Kantili.
Wiro pencongkan mulut. "Kalau orang tidak bersedia menerima dan bertemu diriku,
mau bilang apa" Tiga purnama rasanya terlalu lama."
Wiro berpaling pada gadis di depannya.
"Sampaikan rasa terima kasihku pada Nyi Roro Manggut. Tapi menunggu tiga bulan
percuma saja. Orang yang akan aku tolong mungkin sudah menemui ajal untuk kedua
kalinya." Gadis yang diajak bicara kerutkan kening.
"Kalian manusia-manusia yang hidup di daratan, bukankah cuma punya satu nyawa"
Mengapa kau menyebut ada orang menemui ajal untuk kedua kalinya?"
"Jawabannya akan aku berikan tiga purnama di muka," jawab Wiro sambil tersenyum.
Si gadis kelihatan bersemu merah wajahnya diejek begitu rupa. Dia memberi tanda
pada dua anak buahnya yang tegak di kiri kanan pintu. Dua gadis itu segera
bersiap hendak menutup pintu kembali.
Wiro tiba-tiba ingat sesuatu.
"Tunggu!" serunya.
M e r a g a S u k m a
74 Dari balik pakaiannya dia keluarkan sebuah kaleng rombeng yang diterimanya dari
Kakek Segala Tahu. Sambil menyodorkan kaleng butut itu kepada si gadis dia
berkata. "Tolong berikan kaleng ini pada Nyi Roro Manggut."
Tentu saja si gadis jadi pelototkan mata.
"Beraninya kau menghina pimpinan kami dengan menyerahkan kaleng butut dan kotor
menjijikkan itu!" Bentak sang dara penjaga pintu.
Wiro menyeringai. Dia goyangkan kaleng butut itu. Saat itu juga suara kerontang
kaleng rombeng yang diisi bebatuan itu menggema keras di Seantero tempat. Air
laut menggelombang.
Suara alunan gamelan terhenti beberapa ketika.
Para gadis di depan pintu termasuk Nyi Kantili dan lima anak buahnya sama
menekap telinga tak tahan suara kerontang kaleng yang menusuk seolah terasa
sampai mencucuk benak.
"Kau pelayan dari pimpinanmu. Kewajibanmu untuk menyerahkan kaleng ini pada Nyi
Roro Manggut. Siapa bilang aku menghina pimpinan kalian. Kaleng ini milik
seorang tokoh rimba persilatan Tanah Jawa. Aku dipesan untuk menye-rahkannya
pada Nyi Roro Manggut. Kalian tidak mau menerima aku sebagai tamu tidak apa.
Tapi jangan berani menolak pesanan orang. Jika kalian sampai salah berbuat apa
tidak takut kena dampratan Nyi Roro Manggut?"
Kata-kata Wiro membuat si gadis berpakaian hijau berkilat jadi terdiam sesaat.
Akhirnya dia ulurkan tangan seraya berkata.
"Baik, aku terima kaleng ini. Akan kusam-paikan pada Nyi Roro Manggut. Tapi
kalian semua harap segera tinggalkan tempat ini!"
Wiro tersenyum, kedipkan matanya lalu
membungkuk memberi penghormatan. Tiga gadis masuk kembali. Pintu ditutup. Begitu
sampai di dalam, salah satu dari mereka berkata.
M e r a g a S u k m a
75 "Kalau saja pemuda itu tidak setampan yang aku lihat, mungkin sudah kulabrak
agar mengerti tata tertib di kawasan ini."
Temannya yang satu ikut bicara.
"Nyi Nuning, buat apa kaleng itu kau ambil dan mau kau serahkan pada Nyi Roro
Manggut. Buang saja! Salah-salah kita semua bisa kena damprat."
"Aku rasa kaleng ini bukan benda
sembarangan. Ingat ucapan si pemuda. Kaleng ini milik seorang tokoh rimba
persilatan Tanah Jawa.
Lalu ketika kaleng ini diguncangnya, ada suara dahsyat membuat air laut
bergelombang, gamelan berhenti mengalun dan telinga kita seperti kemasukan angin
panas." Dua gadis yang tadi banyak bicara akhirnya tak mau berkata apa-apa lagi. Mereka
hanya mengikuti Nyi Nuning menuju tempat kediaman Nyi Roro Manggut.
Sampai di tempat yang dituju Nyi Roro
Manggut seperti biasanya hanya mau bicara dari balik sehelai tirai hingga sosok
dan wajahnya tidak kelihatan.
"Nyi Roro Manggut, kami Nyi Nuning dan kawan-kawan datang kembali."
"Tamu tak diundang itu sudah kau suruh pergi?" Suara lembut bertanya dari balik
tirai. "Sudah Nyi Roro. Hanya saja sebelum pergi dia menyerahkan sebuah benda pada kami
untuk disampaikan pada Nyi Roro Manggut. Menurut tamu ilu. benda ini adalah
milik seorang tokoh rimba peisilalan Tanah Jawa."
"Nyi Nuning, kau tahu aturan di tempat ini.
Jika aku tidak bersedia menerima sang tamu berarti aku juga tidak mau menerima
barang titipan apa pun dari siapa pun!"
Dua teman Nyi Nuning sama memandang
pada Nyi Nuning.
"Nyi Roro Manggut, harap maafkan diri kami.
M e r a g a S u k m a
76 Menurut sang tamu, benda ini bukan benda biasa."
"Hemm, begitu" Lantas benda apa itu adanya" Sesuatu yang terbuat dari emas" Atau
batu permata sebesar kepalan"!" ujar Nyi Roro Manggut dari balik tirai.
"Bukan benda terbuat dari emas, bukan pula batu permata sebesar kepalan Nyi Roro
Manggut. Melainkan sebuah kaleng rombeng
yang di dalamnya berisi batu-batu."
Sunyi sejenak. Tiba-tiba dari balik tirai terdengar suara Nyi Roro Manggut.
"Apa katamu Nyi Nuning" Benda itu sebuah kaleng rombeng berisi batu-batu?"
"Betul sekali Nyi Roro Manggut."
Dari balik tirai terdengar suara tercekat lalu satu tangan mencuat keluar.
"Serahkan benda itu padaku!"
Nyi Nuning serahkan kaleng rombeng itu pada orang yang mengulurkan tangannya
dari balik tirai, kaleng diambil lalu untuk kedua kali terdengar suara orang
keluarkan seruan tertahan.
"Gusti Allah, jadi masih hidup dia rupanya!"
Sunyi sesaat. "Nyi Nuning"!"
"Saya di sini Nyi Roro Manggut."
"Lekas temui kembali tamu itu. Antar dia masuk ke sini!"
"Tapi Nyi Roro, tamu itu dan para pengawal sudah saya suruh pergi," sahut Nyi
Nuning. "Oo ladalah! Tewas aku! Nyi Nuning!"
"Saya Nyi Roro Manggut!"
"Cari! Kejar tamu itu sampai dapat. Bawa dia ke sini! Atau kau dan dua anak
buahmu akan menerima hukuman berat!"
Nyi Nuning dan dua anak buahnya ketakutan
setengah mati. Ketiga gadis itu segera tinggalkan ruangan, menghambur ke arah
pintu keluar. M e r a g a S u k m a
77 SETELAH pintu tertutup kembali Pendekar 212 Wiro Sableng bukannya pergi, malah
duduk di dekat sebuah arca berbentuk seekor singa di samping pintu sebelah luar.
"Pendekar 212, perlu apa kau duduk di situ"
Kami sudah siap mengantarkanmu ke pintu gerbang keluar." Berkata Nyi Kantili.
"Kalian pergi saja. Aku akan menunggu di sini. Aku yakin tiga gadis tadi akan
keluar lagi dan mempersilakan aku masuk menemui Nyi Roro Manggut."
"Pendekar 212, kau dengar sendiri gadis bernama Nyi Nuning itu tadi berkata. Nyi
Roro Manggut tidak bersedia menemuimu. Kalaupun suka, kau harus menunggu sampai
tiga purnama di muka."
Wiro tersenyum.
"Tenang Nyi Kantili, tenang saja. Tunggu.
Setelah Nyi Roro Manggut melihat kaleng rombeng itu, dia akan berubah pikiran
dan akan bersedia menemuiku...."
"Aneh, memangnya kenapa?" tanya Nyi Nuning.
Wiro angkat kepalanya. Setelah menerima aliran hawa aneh yang diberikan Naga
Biru pendengarannya menjadi jauh lebih tajam. Saat itu dia mendengar ada kakikaki halus berlari cepat di lorong di belakang pintu.
"Aku tak bisa menjawab mengapa Nyi Roro Manggut bakal berubah pikiran. Yang
jelas saat ini aku mendengar ada orang berlari di balik pintu. Sebentar lagi
mereka akan segera muncul."
Nyi Kantili dan anak buahnya tidak percaya.
Mereka ingin cepat-cepat mengantar Wiro ke pintu gerbang keluar.
Wiro sendiri tetap saja duduk tenang-tenang dekat arca singa.
M e r a g a S u k m a
78 Tiba-tiba pintu terbuka. Tiga gadis berpakaian hijau berkilat muncul kembali.
Wiro memandang tertawa pada Nyi Kantili.
"Nyi Kantili," ucap murid Sinto Gendeng. "Apa kataku!"
M e r a g a S u k m a
79 BASTIAN TITO M E RAG A S U K M A
9 YI NUNING membawa Pendekar 212 Wiro
Sableng memasuki sebuah ruangan besar.
NDi tengah ruangan terdapat sebuah tirai
berbentuk lingkaran, terbuat dari kain tebal berwarna biru muda berkilat. Wiro
tidak tahu apa yang ada di balik tirai tersebut. Namun telinganya yang kini
menjadi sangat tajam mendengar suara seseorang berkata perlahan, menyatakan
kekecewaan. "Ah.... Bukan dia. Tapi seorang pemuda yang aku tidak kenal. Atau mungkin dia
sengaja merubah ujud, menyamar" Tapi sepanjang penge-tahuanku dia tidak punya
ilmu kesaktian seperti itu. Dan dia paling tidak suka menyamar."
Wiro usap-usap dagunya yang mulai
ditumbuhi janggut-janggut kasar tak tercukur.
Dalam hati dia membatin. "Jika orang di dalam tirai keluarkan ucapan seperti itu
berarti dia punya kemampuan menembus melihat keluar tirai. Aku sendiri tak bisa
melihat ke dalam sana walau Naga Biru aneh itu telah memberikan hawa sakti yang
sanggup membuat aku melihat segala sesuatu lebih jelas. Coba aku pergunakan Ilmu
Menembus Pandang dari Ratu Duyung." Wiro lalu alirkan tenaga dalam ke mata, mata
dikedipkan. Namun tetap saja dia tidak bisa melihat apa-apa di balik tirai biru tebal.
"Tidak tembus!" ucap Wiro dalam hati. "Kesaktian orang ini sungguh luar biasa!"
"Nyi Roro," Nyi Nuning yang tegak di samping Pendekar 212 berucap. "Tamu yang
Nyi Roro suruh panggil sudah hadir di ruangan ini."
M e r a g a S u k m a
80 "Aku tahu... aku tahu." Terdengar ucapan perempuan dari dalam tirai. Suaranya
perlahan, merdu dan penuh kelembutan. "Kau dan anak buahmu silakan meninggalkan
ruangan . Jangan lupa menutup pintu."
"Perintah Nyi Roro akan kami laksanakan,"
kata Nyi Nuning. "Tapi apakah kami tidak perlu menunggui, berjaga-jaga?"
Pendekar 212 Wiro Sableng tadi memperhatikan. Ketika orang di balik tirai bicara, tirai biru tebal bergerak-gerak
bergelombang laksana permukaan samudera. "Hebat! Perempuan itu pasti memiliki
tenaga dalam luar biasa. Suaranya sanggup membuat tirai tebal bergerak-gerak.
Baru sekali ini aku menyaksikan kejadian seperti ini!"
Dari dalam tirai ada suara menjawab ucapan Nyi Nuning tadi.
"Nyi Nuning, buat apa kau menunggui. Perlu apa pengawalan" Yang datang cuma
seorang bocah ingusan, kelihatannya kurang waras pula.
Tidak ada yang perlu dikawatirkan. Kalian boleh pergi. Jangan lupa menutup
pintu. Berjagalah di luar. Tidak boleh satu orang pun masuk ke ruangan ini tanpa
izinku." Wiro menjadi jengkel disebut bocah ingusan kurang waras. "Sialan!" maki Wiro
dalam hati sambil garuk-garuk kepala.
Nyi Nuning memberi isyarat pada dua anak


Wiro Sableng 130 Meraga Sukma di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

buahnya. Tiga gadis cantik itu terlebih dulu membungkuk dalam-dalam sebelum
mereka kemudian meninggalkan ruangan itu.
Wiro memandang memperhatikan tirai biru
berbentuk lingkaran di hadapannya. Dia
melangkah mendekati. Tiba-tiba dari balik tirai suara lembut menegur. Untuk
kesekian kalinya Wiro melihat bagaimana tirai tebal itu bergoyang bergelombang.
"Tak ada yang menyuruh, mengapa mengatur langkah berani mendekati Tirai Samudera
Biru?" M e r a g a S u k m a
81 "Aahhh...." Wiro hentikan langkah, tegak diam tapi garuk-garuk kepala sambil
senyum-senyum. "Bocah ingusan, benar kau manusia bernama Wiro Sableng, berjuluk Pendekar Kapak
Maut Naga Geni 212" Bukannya seseorang yang pernah aku kenal lalu masuk ke sini
dengan cara merubah perwujudan menyamar diri?" Orang di balik tirai bertanya.
Walau nada bicara mengejek tapi suaranya tetap lembut.
Wiro jadi kesal. "Kalau tidak aku kerjai, belum tahu rasa dia!"
Wiro batuk-batuk beberapa kali lalu berkata.
"Orang di balik tirai, salam hormatku untukmu.
Terima kasih kau telah mengizinkan aku masuk ke ruangan bagus ini walau kau
rupanya agak malu-malu unjukkan diri. Sebelum menjawab pertanyaanmu tentang
siapa diriku sebenarnya, izinkan aku membuang ingus lebih dulu!"
Dengan ujung jari Wiro tekap cuping hidung kanan lalu sekuat tenaga keluarkan
angin dari hidung yang terbuka. Selesai satu lubang, dia semburkan angin keras
dari lubang hidung kedua.
Setiap dia menyembur, tirai biru bergoyang keras. Orang di dalam tirai berteriak
marah. "Tamu kurang ajar! Jangan berani mengotori ruangan dan Tirai Samudera Biru!"
"Aahh, aku mohon maaf. Hidungku gatal sekali. Aku tak tahan kalau tidak
menyemprotkan ingus. Eh, bukankan tadi kau menyebut aku
bocah ingusan" Aduh, tidak sengaja. Ingusku nempel di tiraimu yang bagus. Biar
aku bersihkan...." Wiro pura-pura hendak melangkah.
Padahal memang tidak ada ingus atau kotoran lain yang menempel di tirai biru.
Orang di balik tirai kembali melarang. Walau suaranya keras tapi tetap saja
bernada lembut.
"Tetap di tempatmu. Jangan berani bergerak.
Apalagi mendekati tirai. Sekarang jawab pertanyaanku. Apa kau Pendekar 212 Wiro
benaran M e r a g a S u k m a
82 atau cuma perujudan jejadian dari seorang yang menyamar?"
"Ah, dari dalam tirai kau bisa lihat sendiri.
Aku berdiri dengan dua kaki menginjak lantai.
Aku bukan bangsa manusia jejadian karena orang tuaku manusia betulan. Aku juga
bukan bangsa atau turunan hantu atau dedemit.
Memangnya kau kira aku ini siapa" Kalau tidak percaya apa kau mau lihat aku
loloskan pakaian telanjang bulat"!" Habis berkata begitu Wiro pura-pura hendak
loloskan celana putihnya.
"Jangan berani kurang ajar! Kalau kau berani melakukan itu, seumur-umur kau akan
kubuat telanjang bugil terus-terusan!"
Wiro tertawa lebar lalu tarik kembali
tangannya. "Jawab pertanyaanku tadi bocah ingusan!"
"Aku datang apa adanya. Aku tidak merubah ujud, tidak menyamar. Seperti kau
lihat sendiri. Aku ini 'kan bocah ingusan kurang waras. Tapi manusia betulan! Sekarang aku mau
tanya, apakah kau Nyi Roro Manggut orang yang ingin kutemui dengan segala
hormat?" Bukannya menjawab, orang dalam tirai bicara lain dan bertanya.
"Sebelumnya kau memberikan sebuah kaleng butut pada Nyi Nuning. Dengan pesan
agar diserahkan padaku. Dari siapa kau menerima benda itu?"
"Dari seorang kakek ingusan yang otaknya sama dengan diriku. Sama-sama kurang
waras," jawab Wiro sambil menyeringai.
Orang di dalam tirai terdiam.
"Rasakan!" ujar Wiro dalam hati.
Tiba-tiba di dalam tirai terdengar suara tertawa merdu.
"Kau pandai bergurau. Aku suka orang yang pandai bercanda. Tapi kau bercanda
tidak pada tempatnya. Kau tidak tahu tengah berhadapan M e r a g a S u k m a
83 dengan siapa."
"Bagaimana bisa tahu! Habis kau menutup dirimu sembunyi di balik tirai!" sahut
Wiro yang jadi kesal dan lupa bahwa dia datang ke situ membawa satu kepentingan
besar yakni mendapatkan ilmu kesaktian untuk menyelamatkan Bunga gadis dari alam
roh yang disekap Iblis Kepala Batu Alis Empat.
"Kau tidak lulus syarat yang aku tentukan agar dapat menghadapku."
"Aku tidak tahu di tempat ini ada persyaratan lulus atau tidak segala. Mengapa
tidak memberi tahu lebih dulu" Walah biyung!" Wiro garuk-garuk kepala lalu
lanjutkan ucapannya. "Kalau kau memang punya persyaratan dan aku kau nyatakan
tidak lulus, tidak jadi apa. Aku dengan suka rela akan tinggalkan tempat ini.
Tapi, kembalikan dulu padaku kaleng butut yang aku titipkan melalui pengawalmu."
Orang didalam tirai tercekat diam. Sesaat kemudian terdengar suaranya bertanya.
"Kalau aku tidak mengembalikan?"
"Berarti kau seorang, pencuri. Apakah di kawasan keramat ini boleh tinggal
seorang pencuri?" Mendengar kata-kata Pendekar 212 orang di
dalam tirai tertawa panjang.
"Bocah ingusan berotak kurang waras.
Ternyata selain pandai bergurau kau juga pandai bicara. Sekarang hentikan semua
senda gurau. Jawab pertanyaanku. Siapa yang tadi kau
sebutkan sebagai kakek ingusan berotak kurang waras si pemilik kaleng butut
ini?" "Aku memanggilnya Kakek Segala Tahu."
Orang di dalam tirai keluarkan suara desahan panjang lalu menarik nafas dalam
berulang kali. "Di mana dan kapan kau terakhir kali bertemu dengan kakek itu?"
"Di Bukit Menoreh, pada suatu malam M e r a g a S u k m a
84 beberapa waktu yang lalu." Jawab Wiro.
"Bukit Menoreh.... Ah, bagaimanakah.
keadaannya sekarang" Apakah masih seindah dulu?" Perempuan di dalam tirai bicara
perlahan seolah bicara pada dirinya sendiri.
"Orang dalam tirai, apakah kau pernah ke Bukit Menoreh?"
"Bocah ingusan, sebelum kau lahir aku sudah berada di tempat itu."
"Oh, begitu?" Wiro garuk-garuk kepala kembali sambil senyum-senyum.
"Seberapa jauh kenalnya dirimu dengan Kakek Segala Tahu?" Orang dalam tirai
melingkar bertanya.
"Aku menganggap dia sebagai kakek sendiri.
Kakek benaran. Tapi dia orangnya aneh. Lebih banyak menghilang hingga sulit
ditemui." "Waktu dia memberikan kaleng ini, apakah dia memberi pesan untukku?"
"Tidak. Kakek Segala Tahu tidak menitipkan pesan apa-apa. Dia hanya bilang,
berikan kaleng ini padamu. Dan kau pasti akan memberikan ilmu kesaktian padaku
untuk menolong gadis dari alam roh."
"Jadi dia tidak memberi pesan apa-apa"
Ahhh...." Perempuan dalam tirai kembali mendesah dan menarik nafas panjang. Lalu
dengan suara sangat perlahan, tapi bisa didengar oleh Wiro orang itu berkata.
"Kelihatannya dia tidak melupakan diriku. Tapi mengapa tanpa pesan sama sekali?"
Diam sejenak. Ruang besar dengan tirai berbentuk lingkaran di dalamnya
diselimuti kesunyian.
"Apakah kakek itu masih suka mengenakan caping?" Tiba-tiba orang di dalam tirai
bertanya. "Ke mana-mana dia selalu pakai caping. Malah waktu kencing, buang air besar dan
tidur capingnya itu tidak pernah dibuka!"
Perempuan di dalam tirai tertawa. Namun M e r a g a S u k m a
85 suara tawanya bukan suara tawa bahagia karena dalam tawa itu ada rasa ganjalan
yang mungkin ada hubungannya dengan masa lalu dan ada kaitannya dengan Kakek
Segala Tahu. Sementara orang tertawa Wiro membatin.
"Agaknya orang di dalam tirai banyak tahu perihal Kakek Segala Tahu."
"Orang di dalam tirai, kalau aku boleh bertanya. Apakah kau Nyi Roro Manggut
adanya?" "Ya... ya, memang aku Nyi Roro Manggut."
"Aku tidak bisa bicara dengan orang yang terus-terusan sembunyi di balik tirai.
Apakah kau tidak mungkin keluar dari tirai memperlihatkan diri?"
"Mungkin saja," jawab orang yang ditanya.
"Tapi aku perlu kejelasan atas beberapa hal. Tadi kau mengatakan kakek yang
memberikan kaleng ini berucap jika kaleng kauberikan padaku maka aku akan
bersedia memberi ilmu kesaktian untuk menolong gadis dari alam roh. Ilmu
kesaktian apa yang kau maksudkan, lalu siapa gadis dari alam roh itu" Apa yang
telah terjadi?"
"Menurut kakekku itu kau memiliki ilmu kesaktian yang disebut Meraga Sukma.
Seorang sahabatku, gadis dari alam roh bernama Suci, biasa dipanggil Bunga,
disekap oleh seorang tokoh silat jahat dalam sebuah guci tembaga.
Kakekku bilang hanya dengan ilmu Meraga Sukma aku bisa menyelamatkan gadis dari
alam roh itu. Itu sebabnya dia menyuruhku ke sini untuk menemui sorang bernama Nyi Roro
Manggut. Yaitu dirimu. Aku sangat berharap, tapi tidak tahu apakah kau mau menolong. Mau
memberikan ilmu itu."
Lama tak ada suara jawaban dari dalam tirai.
"Nyi Roro Manggut" Apakah kau masih di dalam situ?" tanya Wiro.
"Aku tidak ke mana-mana. Aku masih di sini."
Terdengar jawaban. "Orang jahat yang menyekap M e r a g a S u k m a
86 sahabatmu itu, siapakah dia?"
"Tokoh silat golongan hitam berjuluk Iblis Kepala Batu Alis Empat. Apakah kau
mengenalnya?" tanya Wiro.
"Aku mengenalnya seperti mengenal telapak tanganku sendiri...."
Wiro garuk-garuk kepala. "Jika Nyi Roro Manggut kenal baik dengan manusia iblis
itu, besar kemungkinan dia tidak akan mau
memberikan Ilmu Meraga Sukma," pikir Wiro.
"Nyi Roro, apakah kau bersahabat dengan Iblis Kepala Batu?" bertanya Pendekar
212. "Aku" Nyi Roro Manggut bersahabat dengan Iblis Kepala Batu?" Nyi Roro tertawa
panjang. "Manusia jahat satu itu sudah saatnya disingkirkan dari muka bumi ini."
Wiro merasa lega. "Jadi Nyi Roro, kau bersedia memberikan Ilmu Meraga Sukma
padaku?" "Eh, apakah kau pernah mengucapkan permintaan" Kau hanya menuturkan keterangan
Kakek Segala Tahu, tidak meminta ilmu itu padaku."
Murid Sinto Gendeng tertawa dan garuk-garuk kepala. Dia memang belum mengatakan
maksudnya. Maka cepat-cepat Wiro berkata.
"Nyi Roro, maafkan kelalaianku. Aku datang ke sini atas petunjuk Kakek Segala
Tahu, menemuimu untuk mendapatkan Ilmu Meraga
Sukma. Semoga kau berkenan."
"Gadis dari alam roh itu, apakah kalian hanya sekedar bersahabat. Atau ada
hubungan iain?"
"Dia lebih dari sahabat. Dia telah beberapa kali menyelamatkan jiwaku. Aku
banyak berhutang budi padanya."
"Budi.... Sesuatu yang sangat baik. Tapi kerap kali menjadi beban di pundak
manusia." "Nyi Roro Manggut, kita sudah sejak tadi bercakap-cakap. Tapi sampai saat ini
aku belum melihat dirimu. Apakah memang ini satu M e r a g a S u k m a
87 pantangan kau tidak boleh memperlihatkan diri terhadap tamu yang datang?"
"Aku kawatir kau akan terkejut melihat diriku."
"Ah, selama kau tidak punya dua kepala empat tangan dan empat kaki masakan aku
akan terkejut," jawab Wiro pula.
Di dalam tirai Nyi Roro Manggut tertawa mer-du. "Bocah ingusan, kukabulkan
permintaanmu."
Lalu terdengar suara berdesir. Tirai biru tebal berbentuk lingkaran terbuka. Di
tengah ruangan ada satu hamparan permadani berbentuk bulat.
Di atas permadani ini terdapat satu bantalan tebal. Dan di atas bantalan empuk
inilah duduk bersimpuh orang bernama Nyi Roro Manggut itu.
Ketika memandang wajah dan sosok Nyi Roro Manggut Wiro jadi terkesiap kaget.
"Ah...." Dia sampai keluarkan desah tertahan.
M e r a g a S u k m a
88 BASTIAN T1T0 M E RAG A S U K M A
10 ELAGI Nyi Roro Manggut memperhatikan
S pemuda gondrong di hadapannya itu dari
kepala sampai ke kaki, Wiro sendiri menatap Nyi Roro dengan air muka kejut tak
percaya. Ternyata Nyi Roro Manggut adalah seorang nenek bertubuh cebol. Sepasang matanya
juling, hidung pesek hampir sama rata dengan dua pipi berkulit keriput. Rambut
putih panjang, menjela sampai ke bantalan yang didudukinya. Sesekali kepalanya
diangguk-anggukan seperti orang tersedak. Mungkin ini sebabnya dia bernama Nyi
Roro Manggut alias Nyi Roro Angguk.
Murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepala.
Kesal ada, mau tertawa pun ada. Dia tidak menyangka kalau orang yang namanya Nyi
Roro Manggut itu begini rupa penampilannya.
"Sekarang rasanya aku tidak akan jengkel kalau dia memanggil diriku bocah
ingusan. Paling tidak nenek satu ini usianya sama dengan Eyang Sinto Gendeng."
"Kakek Segala Tahu sialan!" Wiro memaki.
"Bocah ingusan, siapa yang barusan kau maki dalam hati?"
Wiro tersentak lalu tertawa lebar sambil garuk-garuk kepala. "Luar biasa, nenek
cebol ini bisa mendengar suara hatiku!"
"Nyi Roro, aku barusan ingat pada Kakek Segala Tahu. Waktu dia menerangkan
mengenai dirimu, dia mengatakan kau adalah seorang gadis cantik jelita...."
Nyi Roro Manggut anggukkan kepala dua kali lalu tertawa panjang dan merdu. Tidak
dapat M e r a g a S u k m a
89 dipercaya suara tawa semerdu itu keluar dari seorang nenek jelek bermata juling.
"Hidup di alammu sana memang tidak boleh selalu percaya pada ucapan orang. Dan
pada saat melihat sekali pun kau tidak bisa percaya pada pandangan matamu. Hidup
di dunia penuh dengan kata manis puji sanjungan tapi juga bantak tipu dayanya."
Wiro cuma anggukkan kepala. Dalam hati dia berkata. "Yang aku lihat jelas-jelas
saat ini adalah nenek cebol jelek, mata juling. Bagaimana aku harus tidak mau
percaya pada pandangan mata sendiri?"
Nyi Roro Manggut tersenyum. "Kau kecewa melihat keadaanku karena tidak sesuai
dengan ucapan sahabatmu Kakek Segala Tahu?"
Wiro golongkan kepala. "Tidak, aku cuma ingin menjitak kepala Kakek Segala Tahu
kalau bertemu nanti. Dia mendustai diriku...."
"Kualat kau kalau melakukan hal itu," kata Nyi Roro Manggut pula sambil
tersenyum. "Kau sungguh-sungguh ingin mendapatkan Ilmu
Meraga Sukma?"
"Dengan izinmu, aku sangat mengharap. Demi keselamatan sahabatku Bunga."
Nyi Roro Manggut mengangguk.
"Untuk mendapatkan ilmu itu ada dua hal yang harus kau lakukan. Jika kau tidak
mampu melakukan maka Ilmu Meraga Sukma tidak
mungkin kuberikan padamu."


Wiro Sableng 130 Meraga Sukma di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Harap Nyi Roro mau memberi tahu kedua syarat itu. Mudah-mudahan aku bisa
melakukan...."
"Bukan mudah-mudahan, tapi harus kau lakukan. Untuk itu kau harus berjanji."
"Maaf Nyi Roro Manggut, aku tidak bisa berjanji untuk sesuatu yang tidak aku
ketahui. Turut ucapanmu tadi jangan percaya perkataan orang. Walau sudah melihat sekali
pun kita masih M e r a g a S u k m a
90 bisa -tertipu pada apa yang kita lihat."
Nyi Roro Manggut tatap wajah Pendekar 212.
Dalam hatinya ada rasa kagum terhadap pribadi pemuda yang dipanggilnya dengan
sebutan bocah ingusan itu.
"Pendekar 212, aku mulai saja dengan syarat pertama. Kau siap mendengarkan?"
"Aku siap Nyi Roro...."
"Kita akan masuk ke sebuah kamar. Di kamar itu kau harus mencumbui diriku
layaknya seorang suami mencumbui istrinya."
Murid Sinto Gendeng sampai tersurut satu langkah mendengar ucapan Nyi Roro
Manggut itu. Dia pandangi si nenek dengan mata tak berkesip, mulut ternganga.
"Jangan diam melongo. Jawab pertanyaanku.
Kau sanggup melakukan hal itu atau tidak?"
"Nyi Roro, aku memang sangat inginkan Ilmu Meraga Sukma untuk menolong sahabatku
Bunga. Tapi kalau aku harus mencumbuimu,
aku...." Wiro gelengkan kepala. "Maafkan aku Nyi Roro. Aku tak bisa melakukan
hal itu...."
"Berarti kau tidak menjalani hal yang di-isyaratkan. Berarti kau tidak akan
mendapatkan Ilmu Meraga Sukma. Berarti kau tidak bisa menolong sahabatmu."
"Tidak jadi apa Nyi Roro. Aku tidak mau melakukan hal itu sekali pun akhirnya
aku tidak mendapatkan ilmu dan menolong sahabatku Bunga."
"Kau tidak mau karena aku seorang nenek cebol dan jelek?" tanya Nyi Roro
Manggut. "Sekali pun kau seorang bidadari, aku tetap tidak akan mau melakukan hal itu."
Jawab Wiro pula.
"Sungguh?"
"Sungguh!" jawab murid Sinto Gendeng tegas. "Nyi Roro, aku telah mengganggu
dirimu, maafkan. Aku minta diri untuk meninggalkan M e r a g a S u k m a
91 tempat ini."
"Tunggu dulu. Aku akan menguji dulu ucapan mu tadi." Habis berkata begitu
klik... klik... klik!
Nyi Roro Manggut jentrikkan tangannya tiga kali berturut-turut. Ruangan besar
itu tiba-tiba berubah menjadi sebuah kamar yang sangat
bagus dan mewah. Nyi Roro Manggut lenyap
entah ke mana. Ketika Wiro memandang ke
samping kiri di situ ada sebuah tempat tidur rendah dilengkapi bantal-bantal
lembut. Dan di atas tempat tidur itu tergolek sosok seorang gadis yang wajahnya
luar biasa cantik.
Kepalanya tidak manggut-manggutan lagi.
Saat itu juga tercium bau wangi harum semerbak dan lapat-lapat terdengar suara
alunan gamelan.
"Wiro, inilah ujud diriku sebenarnya sebagaimana ucapan sahabatmu Kakek Segala
Tahu. Sekarang apakah kau masih menolak
melakukan syarat yang aku sebutkan?"
Pendekar 212 Wiro Sableng terkesiap.
Nafasnya tertahan. Matanya masih memandang tak berkesip. Suara yang barusan
bicara sama seperti suara Nyi Roro Manggut yang nenek tadi.
Wiro menggosok matanya.
Di atas pembaringan gadis cantik tertawa panjang.
"Wiro, sekali ini pandanganmu tidak tertipu.
Inilah ujud diriku sebenarnya. Ujud Nyi Roro Manggut yang asli. Mendekatlah ke
mari, berbaring di sebelahku. Saat ini kita telah menjadi suami istri. Aku
bersedia melayanimu...." Sambil berucap si gadis gerakkan kakinya hingga
pakaiannya yang terbelah menyingkapkan
sobagian auratnya sebelah bawah.
"Gila!" ujar murid Sinto Gendeng.
"Wiro, kau ingin Ilmu Meraga Sukma. Kau ingin menolong sahabatmu gadis bernama
Bunga itu. Kau tunggu apa lagi?"
"Nyi Roro...."
M e r a g a S u k m a
92 "Ah, suaramu gemetar menyebut namaku.
Mendekat ke mari...."
"Nyi Roro, aku mengagumi kecantikan wajah dan kebagusan tubuhmu. Tapi sayang,
aku tetap tidak bisa menerima permintaanmu."
"Kau takut berdosa?"
"Semua orang bisa saja berdosa. Tapi untuk urusan yang beginian aku tidak bisa.
Maafkan aku...."
"Aku sudah menjadi istrimu. Berarti tidak ada dosa apa pun atas dirimu jika kau
mencumbui diriku...."
"Tidak Nyi Roro. izinkan aku keluar dari sini."
"Wiro, ketika kau menyelamatkan Ratu Duyung dari kutukan, kau bersedia
menidurinya. Mengapa saat ini kau menolak melakukan hal yang sama?"
"Kau salah menduga Nyi Roro. Mungkin juga mendengar cerita yang keliru. Aku
tidak pernah meniduri Ratu Duyung. Keselamatannya dari
kutukan itu adalah atas kehendak dan kuasa Gusti Allah."
"Begitu?"
"Memang begitu," jawab Wiro.
Tiba-tiba secara aneh tempat tidur besar itu bergerak meluncur mendekati Wiro.
Demikian dekatnya hingga Wiro melihat jelas kecantikan wajah nan kebagusan tubuh
Nyi Roro Manggut.
"Kau masih ingin menolak, Pendekar 212"
Aku tahu hatimu bimbang. Dengar, kau adalah manusia biasa, terdiri dari daging,
tulang dan darah. Di dalam dirimu ada hati nurani yang dlbungkus oleh satu
hasrat yang tidak bisa kau Ingkari. Tidurlah di sampingku. Kita sudah menjadi
sepasang suami istri. Aku siap melayanimu."
Nyi Roro ulurkan tandannya.
Wiro garuk-garuk kepala. Dalam hati dia berkata. "Ngacok! Ke pan nikahnya aku
sama dia!"
"Wiro...,"
M e r a g a S u k m a
93 "Maafkan aku Nyi Roro."
"Kau benar-benar menolak?"
"Aku sudah melupakan untuk mendapatkan Ilmu Meraga Sukma itu. Aku akan berusaha
mencari cara lain untuk menyelamatkan Bunga."
Nyi Roro Manggut turun dari atas tempat
tidur besar. Berdiri di hadapan Wiro dan pegang pundak kiri kanan si pemuda
dengan kedua tangannya. Wiro merasa nafasnya seperti berhenti dan darahnya
seperti tidak mengalir lagi.
Nyi Roro Manggut tiba-tiba dekatkan mulutnya ke wajah sang pendekar. Wiro
mengira dirinya hendak dicium. Ternyata Nyi Roro Manggut
berbalik. "Kau lulus syarat pertama...."
Wiro lepaskan nafas lega.
"Tapi masih ada satu syarat lagi yang harus kau laksanakan. Kau bersedia
melakukan?"
Wiro mengangguk. "Kalau aku punya
kemampuan," jawabnya.
Nyi Roro Manggut mundur dua langkah.
Seperti tadi dia jentikkan tangannya tiga kali.
Kamar besar dengan tempat tidur mewah serta merta lenyap. Tapi ujud dirinya
tidak berubah, tetap sebagai seorang gadis cantik jelita
berpakaian tipis.
"Wiro, lihat ke sisi kananmu." Ucap Nyi Roro Manggut.
Wiro berpaling ke arah yang dikatakan. Dia melihat satu pemandangan aneh. Kirakira dua puluh langkah di sebelah kanan terdapat serumpunan semak belukar dan
jejeran pohon-pohon besar. Di tengah semak belukar ada
sebuah goa yang batu-batunya terbuat dari batu menyala, panas merah menyala. Di
mulut goa terdapat satu batu empat persegi yang juga merupakan batu menyala
panas, mengepulkan asap menggidikkan.
Nyi Roro merobek ujung pakaiannya, memM e r a g a S u k m a
94 buntalnya lalu melemparkan ke atas batu empat persegi.
"Bleepp!"
Serta merta robekan pakaian itu berubah
menjadi kobaran api lalu lenyap jadi asap." Dari sudut ruangan Nyi Roro Manggut
mengambil sebuah jambangan terbuat dari besi. Jambangan besi ini dilemparkannya ke atas
batu. "Cesss!"
Hanya dalam waktu sekejapan saja benda itu dikobari api, leleh dan akhirnya
amblas lenyap! "Wiro, tanggalkan semua pakaian luarmu.
Melangkah ke mulut goa. Lalu kau harus duduk bersila di atas batu menyala itu-."
Murid Sinto Gendeng melengak kaget.
Berpaling pada Nyi Roro Manggut.
"Nyi Roro...."
M e r a g a S u k m a
95 BASTIAN TITO M E RAG A S U K M A
11 TU SYARAT kedua. Kalau kau ingin dapat-kan Ilmu Meraga Sukma. Kalau kau ingin
menolong I sahabatmu Bunga."
Wiro garuk kepala habis-habisan. Dia
memandang pulang balik dari wajah cantik jelita Nyi Roro Manggut yang tersenyum
padanya ke batu merah menyala di mulut goa.
"Gila, besi saja amblas begitu rupa. Apalagi pantatku jika aku duduk bersila di
atasnya!" "Wiro, aku tidak punya waktu lama. Kau mau menjalankan syarat atau tidak?"
Wiro gigit-gigit bibirnya. Dia coba menguatkan nati menabahkan semangat.
"Nyi Roro, aku akan lakukan apa yang kau syaratkan," jawab Wiro dengan mata
menatap tajam ke arah goa dan batu menyala empat
persegi. Nyi Roro Manggut tersenyum, anggukkan
kepala. Wiro melangkah ke arah goa merah menyala.
Masih lima belas langkah hawa panas dari goa dan batu di dalamnya telah menerpa
dirinya. Wiro melangkah terus walau saat itu rasanya tubuhnya seperti
terpanggang. Sepuiuh langkah dari depan goa dia hentikan langkah, di sini Wiro
buka baju serta celana panjang putih yang dikenakannya.
Kapak Maut Naga Geni 212 dan kantong hitam berisi batu sakti diletakkan di atas
tumpukan pakaian. Otot-otot di dada dan perutnya meng-gembung keras. Kulit
tubuhnya berubah merah.
"Tuhan, tolong saya...." ucap Wiro dalam hati ketika rasa kebimbangan menyeruak
dalam dirinya. Kemudian dengan langkah mantap dia M e r a g a S u k m a
96 berjalan ke arah goa. Makin dekat ke goa semakin Keras hawa panas yang
menerpanya. Tubuhnya laksana leleh. Matanya perih sakit luar biasa seolah ada
ratusan jarum menusuk.
Tepat di depan goa Wiro balikkan badan,
melangkah mundur lalu rundukkan badan, siap untuk duduk di atas batu empat
persegi merah menyala. Wiro menggigit bibirnya kencang-kencang hingga luka dan
berdarah saking tak kuat menahan hawa panas yang menghantam
tekujur tubuhnya terutama di bagian belakang.
Wiro pejamkan mata. Tubuhnya bergetar hebat, basah oleh keringat yang seolah
berupa guyuran air panas mendidih. Wiro dudukkan tubuhnya di atas batu menyala
panas. "Cosss!"
Suara kencang terdengar pada saat tubuh
Wiro duduk di atas batu menyala. Dia sudah siap untuk amblas dan leleh bahkan
mati mengenaskan! Tapi hal itu tidak terjadi, yang dirasakannya adalah hawa dingin
luar biasa tiba-tiba memasuki tubuhnya, berasal dari batu merah menyala yang
didudukinya, dan dari batu menyala goa di sekelilingnya. Rahangnya sampai
bergemeletakkan. Dia coba kerahkan
tenaga dalam, kerahkan hawa hangat dari pusar tapi tidak berhasil. Tubuhnya
makin lama makin dingin dan kaku. Dalam keadaan bersila dan dua tangan
dirangkapkan di depan dada dia seolah telah berubah jadi patung es. Asap putih
mengepul dari setiap sudut tubuh terutama dari ubun-ubun di atas batok
kepalanya. Lalu darah kelihatan mengucur dari sepasang mata, telinga dan hidung,
juga dari sela bibir. Wiro merasa tubuhnya makin lama semakin kecil lalu lenyap.
Ketika sosoknya hadir kembali, dia merasaka ada sesuatu yang bergerak keluar
dari tubuh kasar itu. Dia seperti pindah ke satu sama alam lain di mana dia
hanya melihat kekosongan M e r a g a S u k m a
97 sejauh mata bisa memandang. Pada saat itulah dia mendengar suara Nyi Roro
Manggut berkata.
"Pendekar 212, bangkit dari atas batu.
Berjalan ke hadapanku."
Seperti orang yang setengah kena sirap Wiro berdiri dari batu merah menyala lalu
melangkah ke arah Nyi Roro Manggut. Sepuluh langkah meninggalkan batu dan goa,
hawa panas tiba-tiba kembali menerpanya, kali ini dari belakang. Wiro berjalan
terus hingga akhirnya sampai di hadapan Nyi Roro Manggut.
"Wiro, berputarlah, lihat ke arah goa." Ucap Nyi Roro Manggut pula.
Wiro lakukan apa yang dikatakan orang.
Ketika dia berpaling dan melihat ke arah goa terkejutlah murid Sinto Gendeng
ini. Di sana, di atas batu empat persegi merah menyala dia melihat sosoknya
sendiri dalam keadaan duduk bersila, dua tangan dirangkapkan di depan dada.
Wiro raba muka, tubuh dan hampir sekujur
tubuhnya sendiri.
"Eh, bagaimana bisa begini" Aku yang benaran yang mana?" ucap Wiro.
Nyi Roro Manggut tertawa panjang. Dia
menunjuk ke arah goa.
"Sosok yang duduk bersila di atas batu merah panas itu adalah sosokmu yang asli.
Yang berdiri di sini adalah sukmamu. Inilah yang disebut Ilmu Meraga Sukma. Si
pemilik ilmu bisa meninggalkan tubuh kasarnya, melanglang buana dengan
sukmanya yang bisa menembus ke mana-mana, bahkan masuk ke dalam lobang semut,
lolos melewati lobang jarum sekali pun."
"Ah, jadi aku telah dapatkan ilmu itu. Terima kasih Nyi Roro. Tapi...."
"Tapi apa Pendekar 212?"
"Bagaimana aku kembali ke sosokku yang asli?"
"Kau takut tak bisa kembali dan nyasar M e r a g a S u k m a
98 gentayangan tak karuan di jalanan?" Nyi Roro Manggut tertawa panjang. "Kalau kau
ingin meraga sukma, kau harus duduk bersila seperti tadi, mengosongkan pikiran,
menutup mata dan pendengaran lalu lafalkan Basmallah tiga kali, kemudian
mengucap Meraga Sukma tiga kali.
Setelah itu sukmamu akan keluar dari dalam tubuh. Kau bisa melakukan apa saja
asal yang baik-baik...."
Wiro tersenyum. Ingat percakapannya dengan Kakek Segala Tahu. Bahwa dengan ilmu
itu dia bisa mengintip gadis kencing, masuk ke dalam kamar pengantin baru dan
berbagai perbuatan nakal lainnya.
"Mengapa kau tersenyum?" Nyi Roro Manggut bertanya.
"Tidak, tidak ada apa-apa Nyi Roro Manggut,"
jawab Wiro. "Lalu Nyi Roro Manggut, bagaimana caranya sukmaku masuk kembali ke
dalam tubuh kasar?"
"Kau kembali mengucap Basmallah tiga kali, disusul mengatakan dalam hati Meraga


Wiro Sableng 130 Meraga Sukma di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sukma Kembali Pulang juga tiga kali. Maka sukmamu akan menyatu kembali dengan
tubuh kasarmu."
"Luar biasa! Aku benar-benar berterima kasih padamu Nyi Roro Manggut."
"Dengan Ilmu Meraga Sukma kau bisa masuk ke dalam guci tembaga tempat sahabatmu
gadis alam roh itu disekap. Kau bisa mengeluarkannya dengan sangat mudah.
Semudah tadi kau
menanggalkan pakaian...."
Wiro garuk-garuk kepala.
"Sekarang apakah kau mau gentayangan dulu atau kembali menyatu dengan tubuh
kasarmu?" "Ah, aku ingin cepat-cepat masuk kembali.
Takut masuk angin," kata Wiro sambil tertawa dan usap dada serta perutnya yang
telanjang. Lalu dia ingat sesuatu dan bertanya. "Nyi Roro Manggut. Setiap aku mau
mengeluarkan Ilmu M e r a g a S u k m a
99 Meraga Sukma, apakah aku harus membuka
seluruh pakaian lebih dulu?"
Nyi Roro Manggut tersenyum. "Kau tadi kusuruh membuka pakaian karena itulah
salah satu syarat untuk memasukkan ilmu itu ke dalam tubuhmu. Masih untung kau
tidak kusuruh bugil.
Selanjutnya untuk menerapkan ilmu itu kau tidak perlu membuka pakaian segala."
Wiro tertawa. "Aku mengerti, aku mengerti. Sekarang aku mau kembali saja, menyatu dengan
ragaku." "Tunggu, sebelum kau menyatu dengan jazad aslimu ada satu hal yang harus aku
beri tahu. Ilmu Meraga Sukma bukan ilmu sembarangan.
Jadi hanya boleh kau pergunakan pada saat-saat tertentu ketika segala ilmu
kepandaianmu yang Inln tidak berdaya menghadapi tantangan.
Kemudian pada suatu ketika, ketika kau bermaksud mengeluarkan ilmu itu, mungkin
saja Ilmu itu tidak bisa dipergunakan. Berarti Gusti Allah tidak atau belum
memperkenankan kau
mempergunakan ilmu tersebut pada saat itu. Kau mengerti?"
Wiro anggukkan kepala.
"Sekarang kalau kau mau kembali ke tubuhmu asli silakan saja."
Wiro mengucap Basmallah tiga kali, menyebut Meraga Sukma Kembali Pulang tiga
kali. Seperti ada satu kekuatan yang membimbing, cepat sekali, sosok Pendekar 212
melesat ke arah sosok yang duduk di atas batu. Sesaat kemudian satu sentakan
halus pada urat besar di lehernya membuat Wiro berada di alamnya semula. Hawa
dingin kembali menyerangnya tapi kali ini dia sanggup bertahan. Perlahan-lahan
dia bangkit berdiri dari batu merah menyala, melangkah kembali ke arah Nyi Roro
Manggut berdiri. Kali ini tak ada lagi terpaan hawa panas di belakangnya. Malah
ketika dia menoleh ke M e r a g a S u k m a
100 belakang, goa, batu empat persegi, semak belukar dan jejeran pohon-pohon besar
tidak kelihatan lagi, lenyap entah ke mana. Kini dia dan Nyi Roro Manggut
kembali berada di ruangan pertama kali dia masuk.
Wiro mengenakan baju dan celana putihnya
kembali. Setelah menyimpan batu hitam dan menyisipkan Kapak Maut Naga Geni 212
dia mendekati Nyi Roro Manggut, membungkuk dalam-dalam.
"Ah, bocah ingusan! Tadi ketika datang kau tidak memberi salam dan tidak
membungkuk hormat seperti itu. Sekarang setelah kuberi ilmu sikapmu sopan amat."
Wiro tertawa lebar dan garuk-garuk kepala.
"Tadi, aku tidak tahu mau menghormat siapa.
Soalnya kau sembunyi di dalam Tirai Samudera Biru."
"Ya, sudah, kau memang pandai bicara." Dari balik pakaiannya Nyi Roro Manggut
keluarkan sehelai sapu tangan biru muda. "Di wajahmu banyak lelehan darah yang
hampir mengering."
Wiro terkejut karena tidak melihat sendiri.
"Waktu kau duduk di batu panas tadi, darah mengucur dari hidung, mulut, kening,
telinga serta pinggiran mata. Biar aku tolong
membersihkan. Merunduklah."
"Ah, kau baik sekali. Terima kasih Nyi Roro Manggut." Wiro lalu tundukkan
kepalanya. Dengan sapu tangan biru Nyi Roro Manggut membersihkan semua noda darah yang ada
di wajah Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Nyi Roro Manggut, apakah aku boleh meminta sapu tangan itu?" tanya Wiro.
"Buat apa?" balik bertanya Nyi Roro Manggut.
"Untuk kenang-kenangan. Bahwa aku punya seorang sahabat dan tuan penolong di
tempat Ini."
Nyi Roro Manggut tersenyum. "Sapu tangan M e r a g a S u k m a
101 bernoda darah ini biar aku yang menyimpan. Kau ambil yang ini, yang masih baru."
Lalu gadis jelita itu keluarkan lagi sehelai sapu tangan bini mudn dan
diserahkannya pada Wiro. Setelah menyimpan sapu tangan biru bernoda darah Nyi
Roro Manggut bertanya. "Sekarang kau hendak melakukan apa?"
"Kalau boleh aku ingin cepat-cepat kembali."
Dari balik pinggang pakaiannya Nyi Roro
Manggut keluarkan sebuah benda yang ternyata adalah sehelai kipas terbuat dari
kayu cendana sangat tipis, menebar bau harum.
"Aku titip kipas ini padamu. Tolong berikan pada kakek yang memberiku kaleng
butut itu."
Wiro mengambil kipas yang diberikan. Lalu mengamati.
"Kipas bagus, boleh aku buka?"
Nyi Roro Manggut mengangguk.
Wiro lalu membuka kipas kayu cendana itu.
Di sebelah dalam kipas itu penuh dengan ukiran bagus sekali. Di bagian tengah
terpampang dua buah ukiran wajah. Satu wajah seorang pemuda gagah, satunya wajah
seorang gadis cantik jelita.
Dari ukiran wajah si gadis Wiro segera mengenali itu adalah wajah Nyi Roro
Manggut. "Nyi Roro, saya mengenali wajahmu di kipas ini. Kalau aku boleh bertanya,
siapakah wajah pemuda gagah di sebelahmu?"
Nyi Roro Manggut tersenyum.
"Kau boleh tanyakan nanti pada Kakek Segala Tahu." Jawab Nyi Roro Manggut.
"Sebenarnya, apa hubunganmu dengan kakekku itu?" tanya Wiro pula.
Kembali orang yang ditanya tersenyum dan
berkata. "Tanyakan saja pada kakekmu langsung."
Wiro garuk-garuk kepala. Lalu lipat kipas kayu cendana itu kembali dan simpan di
balik pakaiannya.
"Nyi Roro Manggut...." Wiro berdiri dan M e r a g a S u k m a
102 berucap sambil pandangi wajah cantik gadis di depannya. "Aku minta diri. Aku
sangat berterima kasih atas semua kebaikan hatimu, mau memberikan Ilmu Meraga
Sukma padaku. Sekarang..."
Ketika Pendekar 212 tidak meneruskan
ucapannya Nyi Roro Manggut bertanya.
"Sekarang apa?"
"Sekarang, harap kau jangan marah dan menduga yang bukan-bukan...."
"Kau belum mengatakan bagaimana aku mau marah dan menduga yang bukan-bukan."
Wiio garuk-garuk kepala. Setelah mengumpulkan keberaniannya baru dia berkata.
"Sekarang, sebelum pergi bolehkah aku memelukmu?"
Nyi Roro Manggut terdiam, menatap wajah
lang pendekar lalu tertawa merdu. Sambil tertawa gadis ini kembangkan dua
tangannya. "Gadis mana tidak bahagia dipeluk oleh pemuda sepertimu," ucap Nyi Roro Manggut.
Kedua Orang itu saling mendekati lalu saling
berangkulan erat dan lama.
"Terima kasih Nyi Roro, kau baik sekali...."
bisik Wiro ke telinga Nyi Roro Manggut. Nafas hangat yang menyapu daun
telinganya membuat Nyi Roro Manggut menggeliat dan mendesah Halus.
"Kau pemuda hebat. Pantas Naga Biru keluar dari alam batu untuk menemui dan
memberi berkah padamu. Sehingga kau dengan bebas sampai ke ruangan ini...."
"Ah, jadi kau tahu kejadian itu."
"Semua apa yang terjadi di kawasan ini tak luput dari perhatianku walau
sepanjang hari -aku berada dalam Tirai Samudera Biru. Wiro, jika ada kesempatan
datanglah kembali ke sini. Dengan membekal sapu tangan biru itu kau bisa bebas
melewati setiap pintu yang menuju ke tempat kediamanku."
M e r a g a S u k m a
103 "Undanganmu itu akan sangat aku perhatikan Nyi Roro," jawab Wiro seraya
tangannya mengusap membelai punggung lembut Nyi Roro Manggut.
Nyi Roro sendiri dengan manja susupkan
kepalanya ke dada bidang Pendekar 212 Wiro Sableng. Tiba-tiba suara alunan
gamelan di kejauhan lenyap. Bau harum semerbak tubuh dan pakaian Nyi Roro
Manggut juga sirna, berganti dengan bau lain yang kurang sedap. Sosok yang
dipeluk Wiro penuh mesra itu terasa lain, seperti menggantung di atas lantai
ruangan. Perlahan-lahan Wiro buka dua matanya yang
dipejamkan. "Astaga!"
Wiro melihat. Mendelik besar. Ternyata yang dipeluknya saat itu bukan sosok Nyi
Roro Manggut yang berupa gadis cantik jelita melainkan Nyi Roro Manggut yang
pertama kali dilihatnya yakni seorang nenek cebol bermata Juling dan tiada
hentinya manggut-manggut. Wiro cepat lepaskan pelukannya.
Nyi Roro Manggut tertawa panjang, melompat turun ke lantai lalu lari ke tengah
ruangan. Duduk di atas bantalan tebal. Tirai kain biru bergerak memutar. Sesaat
kemudian sosok Nyi Roro
Manggut si nenek lenyap di balik Tirai Samudera Biru.
Wiro pencongkan mulutnya, bahunya
terlonjak-lonjak beberapa kali. Kemudian dia melangkah mendekati tirai lalu
membungkuk dalam-dalam.
"Nyi Roro Manggut, aku Wiro Sableng mohon diri. Sekali lagi aku mengucapkan
terima kasih atas budi baikmu."
"Selamat jalan bocah ingusan. Jaga dirimu baik-baik. Ingat, jangan pergunakan
Ilmu Meraga Sukma untuk mengintip gadis kencing...."
"Eh, bagaimana dia bisa tahu?" pikir Wiro.
M e r a g a S u k m a
104 Lalu sambil menggeleng-geleng dan garuk-garuk kepala dia melangkah ke pintu. Di
belakangnya terdengar suara tawa panjang dan merdu Nyi Roro Manggut.
TAMAT SEGERA TERBIT BUKU SELANJUTNYA
MELATI TUJUH RACUN
M e r a g a S u k m a
105 Dendam Yang Tersisa 1 Pedang Medali Naga Karya Batara Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari 16

Cari Blog Ini