Wiro Sableng 150 Misteri Pedang Naga Merah Bagian 2
"Tamu terhormat dari manakah yang datang menyambangi diriku di tempat terpencil
dan pada waktu cuaca buruk begini rupa?" Kiai Gede Tapa Pamungkas bertanya.
Matanya agak risih melihat dandanan lima gadis cantik. Maka diapun berkata.
"Jika kalian memiliki pakaian lain harap mau mengganti. Cuaca kurang baik akhirakhir ini, udara dingin, hujan dan angin bertiup kencang. Aku khawatir kalian
nanti sakit."
Gadis bermata biru tersenyum. Dia berpaling pada empat pengiringnya. Liama gadis
ini kemudian usapkan tangan kiri masing-masing dari atas ke bawah. Saat itu juga
pakaian yang mereka kenakan berubah menjadi jubah berlengan panjang. Menutup
sempurna aurat mereka, bahkan kakipun kini tidak kelihatan.
Kiai Gede Tapa Pamungkas lepaskan nafas lega. "Terima kasih. Sekarang kalian
boleh menerangkan siapa kalian dan ada maksud baik apa datang kesini."
"Saya dan kawan-kawan diutus oleh penguasa dan pelindung laut selatan."
"Ah, jadi kalian ini adalah orang-orangnya Nyi Roro Kidul?"
"Betul Kiai..."
Mendengar itu sang Kiai segera hendak bergerak bangkit untuk memberi
penghormatan tapi cepat dicegah oleh si mata biru.
"Kiai, tak usah memakai peradatan segala. Kami tahu Kiai kurang sehat..."
Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum.
"Aku rasa-rasa pernah mengenalmu. Sering mendengar keberadaanmu dalam rimba
persilatan. Waktu penyerbuan ke Seratus Tiga Belas Lorong Kematian, bukankah kau ada di
sana" Tapi untuk tidak salah menduga mohon diberi tahu dengan siapa aku
berhadapan saat ini."
Si mata biru sebenarnya segan memberi tahu siapa dirinya. Namun khawatir
dianggap kurang menghormati akhirnya dia menerangkan. "Kiai, saya ini Ratu
Duyung..."
Kiai Gede Tapa Pamungkas ternganga tercengang namun sesaat kemudian dia tertawa
lebar. Kepala digeleng-geleng lalu diangguk-anggukkan. Dalam hati orang tua ini
berkata. "Jadi inilah gadis paling cocok menjadi pasangan hidup cucu muridku
Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng..."
Si mata biru tatap wajah Kiai Gede Tapa Pamungkas.
"Ah, apakah dia mendengar suara hatiku tadi?" Membatin sang Kiai. Lalu dia
berucap. "Ratu Duyung, ceritakan maksud kedatanganmu dan para pengiring."
"Kiai, kami tidak lama. Nyi Roro Kidul minta kami memberi tahu bahwa sesuatu
yang hebat akan terjadi dalam rimba persilatan tanah Jawa jika tidak segera
dilakukan pencegahan."
"Mohon aku dijelaskan hal apakah itu?"
Di utara kilat menyambar disusul gelegar guntur yang membuat air telaga
bergoyang-goyang dan tanah di tepian telaga bergetar.
"Saat ini di tanah Jawa telah kedatangan seorang gadis cantik dari negeri
Tiongkok. Menurut kabar dia adalah seorang paderi. Dia datang membekal sebilah
pedang mustika bernama Ang Liong Kiam atau Pedang Naga merah. Menurut
penglihatan Nyi Roro Kidul konon pedang sakti itu adalah hasil perkawinan maya
antara Kapak Naga Geni Dua Satu Dua dan Pedang Naga Suci Dua Satu Dua. Bila
Pedang Naga Merah dipergunakan untuk menyerang pemilik Kapak Naga Geni Dua Satu
Dua atau Pedang Naga Suci Dua Satu Dua, keduanya akan mendapat celaka yang bisa
merenggut jiwa. Begitu juga jika antara Kapak Naga Geni dan Pedang Naga Suci
sampai bersilang sengketa. Selain itu kehadiran Pedang Naga Merah akan
menimbulkan banyak bencana terutama bagi yang memilikinya, kecuali senjata itu
disucikan lebih dulu oleh Kiai selaku sepuhnya..."
Kejut Kiai Gede Tapa Pamungkas bukan alang kepalang. Namun kakek sakti ini masih
bisa menguasai diri walau wajahnya jelas tampak berubah. Dia lantas ingat akan
apa yang terjadi dengan Pedang Naga Suci 212 di dalam peti kaca.
"Tuhan Maha Besar. Tuhan berbuat sekehendak-Nya......" Kiai Gede Tapa Pamungkas
berucap perlahan lalu menarik nafas panjang berulang kali.
"Ratu Duyung, aku mengucapkan terima kasih atas jerih payahmu datang ke sini
untuk menyampaikan pesan. Sampaikan salam hormat dan terima kasihku pada Nyi
Roro Kidul. Pesannya akan sangat aku perhatikan."
"Salam Kiai akan kami sampaikan. Sekarang saya dan para pengiring mohon diri."
"Ratu Duyung, apakah kau punya kabar tentang cucu muridku Pendekar Dua Satu Dua
Wiro Sableng?" Kiai Gede Tapa Pamungkas bertanya.
Ditanya mengenai sang pendekar Ratu Duyung tampak agak sedikit rikuh.
"Sejak peristiwa penyerbuan ke Seratus Tiga Belas Lorong Kematian tempo hari,
saya tidak pernah bertemu dengan dia, Kiai."
Kiai Gede Tapa Pamungkas mengangguk. "Aku mendengar kabar bahwa orang berjuluk
Pangeran Matahari telah menemui ajal beberapa waktu lalu. Benarkah" Siapa yang
membunuhnya" Bagaimana kejadiannya?"
"Saya juga hanya mendengar kabar Kiai. Tidak menyaksikan sendiri. Pangeran
Matahari tewas di puncak Gunung Merapi dihakimi para tokoh rimba persilatan.
Saya dengar dia menemui ajal secara mengerikan sekali. Saya rasa hal itu sangat
pantas menjadi bagiannya. Ah, cukup lama saya sudah mengganggu Kiai. Saya dan
para pengiring mohon diri."
Kiai Gede Tapa Pamungkas bangun dari duduk bersilanya.
"Ratu Duyung, jika kau berkesempatan bertemu dengan Wiro, datanglah berdua ke
sini..." "Ada apakah Kiai?" tanya Ratu Duyung dengan dada berdebar.
Sang Kiai tersenyum. "Aku hanya ingin ngobrol," jawab orang tua itu.
Ratu Duyung tak menjawab, hanya menganggukkan kepala beberapa kali, lalu
melangkah mundur sambil rundukkan kepala memberi penghormatan.
Tak lama setelah Ratu Duyung pergi, Kiai Gede Tapa Pamungkas menatap ke langit.
Saat itu hujan telah reda. Sambil pejamkan mata orang tua ini menghitung hari.
"Hari ini Rabu Pon menurut hitungan Jawa.
Lusa hari Kamis Wage, berarti malam Jum'at Kliwon, waktu yang tepat bagiku
menemui kedua mahluk itu.
Perkawinan maya..." Kiai Gede Tapa Pamungkas tarik nafas dalam dan gelenggelengkan kepala. "Jika semua berlangsung sesuai kewajaran seharusnya yang
muncul dan terlahir adalah sebilah keris sakti mandraguna. Bukan sebilah pedang.
Lalu bagaimana pedang itu bisa berada di tangan seorang paderi asing dari negeri
Cina?" Kiai Gede Tapa Pamungkas memandang berkeliling lalu menatap ke langit.
Hujan telah berhenti. Langit tampak biru cerah. Perlahan-lahan orang tua ini
langkahkan kaki memasuki telaga, melangkah di permukaan air. Tepat di
pertengahan telaga tubuhnya meluncur ke bawah dan lenyap dari pemandangan.
*** LIMA MALAM Jum'at Kliwon. Kepulan asap berbau belerang tercium santar dan terasa
hangat keluar dari dasar kawah Gunung Tangkuban Perahu. Saat itu menjelang
tengah malam. Udara dingin luar biasa.
Sepotong batang kecil pohon cemara menancap di tanah kawah yang miring. Di
ujungnya menyala api yang menjadi penerangan di tempat itu. Di sebelah kanan
batang cemara yang menyala ada satu pendupaan menebar harumnya bau kemenyan,
menyekat bau belerang.
Di atas sebuah batu berwarna kekuningan berdiri sosok Kiai Gede Tapa Pamungkas.
Tegak dengan dua tangan dirangkapkan di atas dada. Sesekali tangan kanannya
diulurkan menjatuhkan potongan-potongan kemenyan ke dalam pendupaan. Janggut dan
pakaiannya melambai-lambai ditiup angin. Sepasang mata menatap ke arah barat, di
mana pada arah yang tidak kelihatan menjulang Gunung Burangrang. Pada saat-saat
tertentu dia alihkan pandangan ke arah timur, di jurus beradanya Gunung Bukit
Tunggul. Malam bergulir perlahan tetapi pasti. Kiai Gede Tapa Pamungkas perhatikan
gugusan bintang di langit. Dia tahu saat itu sudah melewati tengah malam. Orang
tua sakti yang selalu tenang dalam menghadapi segala kejadian kali ini
memperlihatkan ada bayangan rasa cemas di wajahnya yang klimis, terlebih ketika
angin bertiup kencang dan hujan rintik mulai turun. Sang Kiai perhatikan nyala
api di ujung potongan kayu cemara. Kalau api itu sampai padam, maka itu adalah
satu pertanda bahwa usaha yang dilakukannya saat itu akan menemui kegagalan. Dia
harus menunggu dua puluh satu hari. Sementara itu dikhawatirkan bencana besar
dalam rimba persilatan akan menjadi kenyataan sebagaimana yang disampaikan oleh
Ratu Duyung selaku utusan Nyi Roro Kidul, penguasa laut selatan.
"Tuhan, hanya kepada Engkau aku berharap. Hanya kepada Engkau aku minta tolong,"
Kiai Gede Tapa Pamungkas mengucap dalam hati.
Tiba-tiba di sebelah timur, di arah puncak Gunung Bukit Tunggul kelihatan cahaya
putih berkilau tiada henti. Hujan rintik-rintik serta merta sirna dan tiupan
angin yang tadi begitu kencang lenyap. Kiai Gede Tapa Pamungkas tampungkan dua
tangan ke atas sambil hati mengucapkan perasaan bersyukur.
Hanya sesaat kemudian setelah terjadinya kilatan cahaya putih di sebelah timur,
di arah barat dari jurusan Gunung Burangrang berkiblat pula cahaya putih agak
kebiruan. "Naga Geni, Naga Suci aku melihat cahaya kalian. Aku sudah menunggu cukup lama.
Harap kalian segera datang di hadapanku. Aku ingin menuntaskan semua persoalan
malam ini juga."
Baru saja Kiai Gede Tapa Pamungkas mengeluarkan ucapan tiba-tiba dua cahaya di
arah barat dan timur melesat laksana kilat ke jurusan kawah Gunung Tangkuban
Perahu. Dua cahaya itu kemudian muncul di hadapan Kiai Gede Tapa Pamungkas dalam
bentuk samar dua ekor ular besar.
"Perlihatkan ujud nyata kalian!" Ucap Kiai Gede Tapa Pamungkas pula.
"Dess!"
Sosok samar di sebelah kanan meletup buyar lalu menyatu kembali dan membentuk
ujud seekor naga jantan berwarna putih, yang tadi disebut sebagai Naga Geni. Di
atas keningnya menempel sebuah batu permata besar berwarna merah. Binatang ini
kedipkan matanya yang berwarna merah tiga kali, gelungkan tubuh bagian bawah
sementara tubuh bagian atas tegak agak merunduk menatap ke arah Kiai Gede Tapa
Pamungkas. "Dess!"
Hal yang sama terjadi dengan sosok samar di sebelah kiri. Setelah meletup dan
buyar lalu membentuk ujud seekor naga betina, memiliki permata besar berwarna
hijau di atas kening. Sepasang matanya yang hijau dikedipkan tiga kali lalu
gelungkan ekor, sementara tubuh sebelah atas tegak dengan kepala agak merunduk.
Inilah naga betina yang dipanggil dengan nama Naga Suci.
Setelah tatap dua mahluk dahsyat yang dalam keadaan tegak bergelung begitu rupa
tingginya hampir satu tombak di atas kepala Kiai Gede Tapa Pamungkas, si orang
tua berkata. "Naga Geni, Naga Suci, terima kasih kalian telah bersedia datang memenuhi
panggilanku. Sebelum kita bicara harap kalian tunjukkan ujud asli kalian."
Dari masing-masing kepala sepasang naga keluar kepulan asap tipis yang menebar
bau harum mengalahkan santarnya bau kemenyan pendupaan. Lalu ada tabir merah dan
putih kebiruan membungkus Naga Geni dan Naga Suci. Sewaktu tabir itu perlahan
sirna, ujud dua ekor naga berubah menjadi ujud seorang pemuda tampan dan seorang
gadis berwajah cantik jelita. Si pemuda mengenakan destar merah, rambut menjulai
panjang sebahu, bertelanjang dada berbulu, memakai celana panjang hitam berkilat
serta sabuk besar terbuat dari kain merah berkilat melingkar di pinggang. Di
keningnya menempel sebuah batu permata sebesar ujung jari kelingking berwarna
merah berkilau. Sang gadis jelita mengenakan pakaian seperti kemben. Di kening
menempel sebuah permata juga berwarna biru. Sepasang muda-mudi ini menyalami
sang Kiai dan mencium tangan orang tua itu.
"Puluhan tahun telah berlalu. Kalian ternyata masih tetap segagah dan secantik
pertama kali aku melihat kalian. Ini satu berkah yang harus kalian syukuri pada
Tuhan Yang Maha Kuasa."
Mendengar ucapan, sang pemuda Naga Geni dan si gadis Naga Suci rundukkan tubuh
namun tak mengeluarkan ucapan apa-apa. Setelah menatap sepasang muda-mudi itu
sejurus, Kiai Gede Tapa Pamungkas berkata.
"Naga Geni, Naga Suci, ada satu kenyataan terjadi di rimba persilatan. Seorang
paderi dari negeri jauh datang ke tanah Jawa membekal sebilah pedang bernama Ang
Liong Kiam atau Pedang Naga Merah.
Nyi Roro Kidul penguasa samudera selatan, melalui seorang utusannya memberi tahu
bahwa pedang itu adalah hasil hubungan perkawinan diri kalian berdua. Aku tidak
akan melanjutkan ucapanku sebelum aku mendengar terlebih dahulu apa pendapat
kalian berdua."
Naga Geni memandang pada Naga Suci lalu berpaling pada Kiai Gede Tapa Pamungkas.
"Kiai, apa yang Kiai dengar, apa yang disampaikan utusan Nyi Roro Kidul memang
benar adanya. Kami telah menempuh jalan keliru dalam penantian perkawinan sakral. Alam
penantian yang telah berlangsung puluhan tahun itu kami akhirnya tersesat dalam
alam cinta kasih yang keliru. Kami berbuat diluar kepatutan, kami melakukan dosa
hingga akhirnya Naga Suci melahirkan seorang anak dalam bentuk sebilah pedang.
Untuk semua yang telah kami lakukan itu kami mohon maaf kepadamu dan mohon ampun
pada Tuhan. Kami bersedia untuk menerima hukuman."
Kiai Gede Tapa Pamungkas tatap wajah Naga Geni sesaat lalu berpaling pada Naga
Suci. "Naga Suci, apakah pengakuan Naga Geni itu menjadi pengakuanmu juga?"
"Benar Kiai. Saya mengaku salah. Saya rela menerima hukuman. Cuma ada satu
permintaan saya.
Maksud saya permintaan kami berdua."
"Apa permintaan kalian?"
"Hukuman apapun yang akan dijatuhkan jangan sampai kami dipisahkan. Kalaupun
kami akan dihukum mati jasad kami berdua dalam satu liang kubur. Saat ini kami
sudah sangat menderita, sengsara.
Karena sejak Pedang Naga Merah lahir, kami hidup terpisah, Naga Geni di Gunung
Bukit Tunggul. Saya di Gunung Burangrang. Selain itu kami tak pernah bertemu
dengan putera kami walau ujudnya hanya sebilah pedang." Ucapan Naga Suci
tersendat-sendat dan sepasang matanya berkaca-kaca.
Kiai Gede Tapa Pamungkas terdiam, untuk beberapa lama tak bisa berkata apa-apa
karena haru. Setelah menarik nafas panjang dia baru bersuara.
"Aku memanggil kalian bukan untuk menghukum. Tapi mencari jalan bagaimana
menyelamatkan dunia persilatan dari bencana yang tak pernah terduga." Sang Kiai
lalu sibakkan kain putih pakaiannya di bagian dada. "Tanda merah ini adalah
hantaman dahsyat kekuatan gaib yang keluar dari Pedang Naga merah, Pedang Naga
Suci atau Kapak Naga Geni. Pedang yang terlahir dari hasil hubungan kalian akan
menimbulkan bencana bagi siapa saja yang memilikinya serta orang-orang
sekitarnya. Aku mengharap kalian berdua berusaha mencari pedang itu,
mengambilnya dan menyimpannya di satu tempat yang aman.
Kalian harus melakukan itu karena pedang itu adalah anak kalian berdua."
"Kiai, kami memang rindu pada anak kami. Namun hal itu tidak mungkin kami
lakukan. Karena usia pedang belum mencapai seratus tahun."
Kiai Gede Tapa Pamungkas berpaling pada Naga Geni yang barusan bicara.
"Maksudmu?"
"Kiai, seratus tahun dalam ukuran usia pedang sama dengan dua puluh tahun ukuran
alam di sini. Jika ukuran tahun itu belum tercapai kami akan hangus dan menemui ajal pada saat
bersentuhan dengan pedang. Kami tidak takut akan kematian karena menanggung
akibat perbuatan kami. Namun itu tidak menolong karena sekalipun kami menemui
ajal, Pedang Naga Merah akan tetap ada...."
Kiai Gede Tapa Pamungkas tercengang dan geleng-gelengkan kepala. "Rimba
persilatan harus diselamatkan. Banyak korban yang bakal jatuh. Apa yang harus
aku lakukan?"
"Kiai, satu-satunya jalan untuk mengamankan pedang itu adalah dengan jalan
menyatukannya dengan Kapak Naga Geni serta Pedang Naga Suci selama tujuh hari
tujuh malam. Dan selama waktu itu kami harus mendampingi tanpa boleh tidur
barang sekejappun. Kita perlu seseorang untuk mendapatkan Pedang Naga Merah."
"Kalau aku bisa mendapatkan pedang itu, apakah kalian berdua bersedia menjadi
pendamping?"
tanya Kiai Gede Tapa Pamungkas pula.
"Kami bersedia melakukan apa saja sesuai dengan kemampuan demi menebus dosa
kesalahan kami,
" jawab Naga Geni.
"Benar Kiai, kami sangat sayang pada Putera Langit. Kami bersedia menerima
bencana asal dia tidak terganggu apalagi sampai menderita. Kami juga sangat
berharap dan melakukan segala daya agar dia bisa berada di tangan kami."
"Tunggu dulu. Siapa yang kau maksudkan dengan Putera Langit?" tanya Kiai Gede
Tapa Pamungkas.
"Anak kami itu Kiai. Kami memberi nama Putera Langit pada pedang itu."
Menerangkan Naga Suci.
"Ah...." Kiai Gede Tapa Pamungkas terpana sesaat lalu tersenyum. Sambil mengusap
janggut putihnya dia berkata. "Nama bagus. Sangat gagah kedengarannya."
"Kiai," ucap Naga Suci. "Sebagai orang tuanya kami sudah sangat rindu untuk
dapat bertemu lagi dengan anak kami itu. Sampai Kiai memanggil kami saat ini,
kami baru tahu kalau Putera Langit sudah berada lagi di tanah Jawa ini. Memang
sejak beberapa minggu belakangan ini saya merasa tanda-tanda tertentu. Baru tahu
Wiro Sableng 150 Misteri Pedang Naga Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
arti tanda-tanda itu setelah bertemu Kiai."
"Pedang itu konon berada di tangan seorang paderi perempuan dari Tiongkok. Adalah aneh, senjata sakti mandraguna yang
adalah putera kalian itu bisa berada di tangan orang asing di negeri jauh."
"Kiai, ini menyangkut satu kisah lama. Semua terjadi karena kelalaian kami.
Selain itu kami selalu dihantui rasa takut karena telah berbuat salah. Biar saya
menceritakan pada Kiai," kata Naga Geni, pula.
"Sewaktu pedang baru berusia beberapa hari dan panjangnya hanya setengah
jengkal, terjadi banjir bandang.
Pedang tercecer di satu tempat ketika saya tengah berusaha menyelamatkan Naga
Suci. Pedang kemudian ditemukan oleh seorang bocah bernama Bayumurti yang
tinggal di Semarang. Anak ini menganggap pedang kecil itu sebagai barang mainan.
Pedang kemudian diberikan Baayumurti sebagai tanda mata pada seorang gadis Cina
teman sepermainannya yang kemudian pulang bersama orang tuanya ke Tiongkok.
Ketika kami mengetahui hal itu, gadis Cina itu telah berlayar ke Tiongkok.
Kejadiannya lebih dari dua belas tahun silam.
Saya yakin paderi yang muncul saat ini membawa Pedang Naga Merah adalah gadis
Cina dulu itu."
Setelah terdiam dan merenung sejenak Kiai Gede Tapa Pamungkas akhirnya berkata.
"Kisah luar biasa. Benar-benar luar biasa. Naga Geni, Naga Suci, kalian sekarang
boleh pergi. Bilamana Pedang Naga Merah sudah berada ditanganku, aku akan
memanggil kalian kembali. Di tempat ini."
"Kiai, kami mohon maafmu dan kami mohon diri."
"Tunggu dulu..." Kiai Gede Tapa Pamungkas berkata.
"Ada apa Kiai?" tanya Naga Geni.
Bertahun-tahun kalian memisahkan diri. Satu tinggal di timur, satu di barat.
Untuk apa menyiksa diri"
Kalian boleh memilih tinggal bersama di Gunung Burangrang atau di Gunung Bukit
Tunggul." Naga Geni dan Naga Suci saling berpandangan. Mereka hampir tak percaya mendengar
apa yang dikatakan si orang tua. Sebelumnya mereka menyangka akan mendapat
dampratan bahkan hukuman.
Ternyata kini sang Kiai ingin mempersatukan mereka kembali.
"Kiai," kata Naga Geni pula. "Betulkah kata Kiai itu" Kami boleh tinggal
bersama?" Suaranya tersendat karena haru sementara Naga Suci usap air mata yang
menggelinding di pipinya.
"Ya, aku mengizinkan. Asal saja kalian bisa menjaga diri. Jangan sampai lahir
lagi pedang ini pedang itu atau Putera Langit yang baru."
"Kiai, saya mengucapkan banyak terima kasih," kata Naga Geni.
"Saya juga," kata Naga Suci pula. "Kiai telah memberikan kepercayaan. Mudahmudahan kami tidak akan berbuat keliru lagi."
"Selanjutnya kami akan merundingkan dimana kami berdua akan tinggal. Kami akan
memberi tahu pada Kiai. Sekarang kami mohon diri." Naga Geni menyambung ucapan
Naga Suci. Naga Geni dan Naga Suci kemudian menyalami dan mencium tangan Kiai Gede Tapa
Pamungkas. Perlahan-lahan ujud sepasang muda-mudi gagah dan cantik ini berubah menjadi naga
lalu melesat ke udara dan di satu arah lenyap dari pemandangan.
Walau saat itu udara dingin luar biasa namun wajah dan tubuh serta pakaian sang
Kiai basah oleh keringat. Untuk beberapa lamanya dia kembali duduk bersila di
tepi telaga. Tubuhnya yang tadi terasa letih kini agak nyaman. Hawa panas dingin
mulai berkurang. Orang tua sakti ini ingat pada peristiwa puluhan tahun silam
ketika dia pertama kali menerima Kapak Naga Geni 212 dan Pedang Naga Suci 212
dari kakek gurunya. Sang kakek menerangkan, suatu ketika kelak, dari perkawinan
antara Kapak dan Pedang akan lahir sebilah keris sakti mandraguna. Kenapa kini
yang muncul sebilah pedang dan membawa malapetaka pula"
Karena senjata itu dilahirkan dari perkawinan maya yang keliru"
Kiai Gede Tapa Pamungkas berdiri. "Aku harus mencari seseorang untuk mendapatkan
Pedang Naga Merah dari tangan paderi asing itu. Mungkin aku harus menemui Sinto
Gendeng...." Sang Kiai tarik nafas panjang. Kemudian dia keluarkan satu siulan
keras. Lalu mulut itu berucap.
"Kaki Putih, aku membutuhkan dirimu..."
Saat itu juga di kejauhan terdengar suara ringkikan keras. Kurang dari sekejapan
mata muncullah seekor kuda hitam. Hebatnya, walau tubuh hitam namun keempat
kakinya, mulai dari lutut ke bawah berwarna putih. Kuda tinggi besar ini
rundukkan kepala lalu menjilat tangan Kiai Gede Tapa Pamungkas kiri kanan.
Setelah mengusap tengkuk kuda bernama Kaki Putih ini, sang Kiai segera melompat
naik ke punggungnya.
"Antar aku ke puncak utara. Menemui nenek bernama Sinto Gendeng yang dulu pernah
kau buat jatuh karena dia mengencingi punggungmu!"
Kuda hitam berkaki putih meringkik panjang seolah tertawa mendengar kata-kata
sang Kiai. *** ENAM DUA NENEK kembar rambut kelabu bermata merah untuk beberapa lama duduk berdiam
diri sambil pandangi Pendekar 212 Wiro Sableng yang tergeletak di lantai berdebu
dalam keadaan tidak sadar diri. Saat itu menjelang pagi dan mereka berada di
dalam sebuah rumah tua setengah runtuh yang telah lama ditinggal penghuninya.
"Ha-hu ha-hu." Nenek sebelah kanan keluarkan suara, tangan kiri menunjuk ke dada
Wiro, tangan kanan ditepukkan ke dada sendiri lalu dilambaikan ke arah luar
bangunan. Dengan isyarat ini dia memberi tahu saudara kembarnya bahwa Wiro
menderita cidera di dada, dia akan memeriksa dan mengobati si pemuda. Untuk itu
dia minta saudaranya itu keluar dulu dari dalam rumah.
Nenek satunya pencongkan mulut. Balas memberi isyarat yang mengatakan bahwa dia
yang akan memeriksa Wiro dan saudaranya itu saja yang keluar dari situ. Yang
diberi isyarat geleng-geleng kepala. Dua nenek sama-sama unjukkan tampang
cemberut. Akhirnya melalui gerak isyarat keduanya menyetujui bahwa mereka berdua
akan bersama-sama memeriksa dan mengobati Wiro.
Maka nenek sebelah kiri mulai membuka pakaian putih sang pendekar. Temannya
membantu. Begitu baju terbuka kelihatan dada yang bidang kekar. Dua mata si nenek samasama bersinar, mulut merekah senyum, dua tangan sama-sama mengusap. Namun ketika
melihat ada tanda merah kebiruan di pertengahan dada keduanya sama-sama
keluarkan suara tertahan.
"Ha-hu ha-hu!"
Nenek yang satu keluarkan sebuah kantong kecil dari balik jubah kuning.
Kesempatan ini dipergunakan oleh saudara kembarnya untuk menyeka lelehan darah
setengah mengering di sudut bibir Wiro sambil pergunakan kesempatan membelai
pipi sang pendekar. Si nenek satunya langsung saja menepuk tangan saudara
kembarnya itu. Yang ditepuk hanya mesem-mesem. Dari dalam kantong kain nenek
pertama tadi mengambil dua butir obat berwarna putih. Obat dimasukkan ke dalam
mulut Wiro lalu dengan dua jari tangan kiri dia menotok tenggorokan pemuda itu.
Saudaranya ikut menotok urat besar di beberapa bagian tubuh Wiro yaitu pangkal
leher, dada dan dekat ulu hati.
"Ha-hu ha-hu!" Nenek sebelah kanan menunjuk telapak kaki Wiro.
Keduanya kemudian sama-sama mengangkat kaki Wiro kiri kanan lalu telapak kaki,
di bagian tumit ditekan dengan telapak tangan sambil mengerahkan tenaga dalam
dan hawa sakti.
"Ha-hu ha-hu!"
Dua telapak kaki keluarkan kepulan asap merah. Di saat yang sama dua kaki Wiro
melejang keras hingga dua nenek kembar terjengakang. Walau kaget namun keduanya
unjukkan wajah gembira. Darah mengucur kental di sudut mulut Pendekar 212.
Perlahan-lahan kesadarannya muncul. Wiro menggeliat sambil keluarkan suara
mengerang lalu berusaha bangun. Dua nenek membantu dan menyandarkannya ke
dinding rumah. "Ha-hu ha-hu!"
Wiro tatap dua nenek kembar di depannya lalu tersenyum. Dua nenek kembar
bersorak gembira.
"Ha-hu ha-hu!"
Dari balik jubah dua nenek keluarkan secarik kain lalu berebutan menyeka lelehan
darah di mulut dan dagu sang pendekar.
Wiro tampak kaget dan sadar kalau dirinya terluka di dalam. Saat itu baru dia
merasakan rasa sakit di dadanya. Ketika diperhatikan, dia melihat ada tanda
merah kebiruan dipertengahan dada.
"Siapa yang menghantamku. Aku terluka di dalam. Bagaimana kejadiannya?" Ingatan
murid Sinto Gendenggini belum sepenuhnya pulih.
Dua nenek sama-sama memberi isyarat dengan gerakan tangan sambil keluarkan suara
ha-hu ha-hu coba memberi keterangan. Namun melihat semua gerak isyarat itu Wiro
malah jadi bingung. Dia coba mengingat-ingat apa yang terjadi.
"Aku berada di tembok timur Kadipaten Losari...." Wiro berucap perlahan.
"Ha-hu ha-hu!" Dua nenek angguk-anggukkan kepala. Wiro melintangkan jari
telunjuk di atas bibir.
Dua nenek mesem-mesem.
"Ada prajurit yang dibunuh. Namanya Jumena... Aku dituduh sebagai pembunuh. Aku
diserang. Lalu muncul Paderi Cina itu.."
"Ha-hu ha-hu!" Dua nenek unjukkan wajah marah. Tangan kanan digerak-gerakkan
seolah memegang senjata tajam.
"Nionio Nikouw. Dia menyerangku dengan pedang memancarkan cahaya merah. Aku
terpental roboh. Sebelum pingsan aku melihat paderi itu juga tergeletak di
tanah..." "Ha-hu ha-hu!" Dua nenek angkat tangan masing-masing, membuat gerakan menimangnimang lalu menunjuk ke lantai rumah.
"Ya...ya. Aku tahu maksud kalian. Kalian menggotongku. Lalu membawa aku ke sini.
Lalu mengobatiku. Kalian pasti meraba-raba tubuhku..."
Dua nenek tertawa cekikikan.
"Terima kasih. Makin banyak hutang budi dan nyawaku pada kalian...."
"Ha-hu ha-hu," dua nenek berseru sambil goyang-goyangkan tangan.
"Kalian bisa saja minta aku tidak memikirkan hal itu. Yang aku pikirkan justru
bagaimana cara membalas semua hutang besar ini."
Dua nenek tiba-tiba ulurkan wajah sambil salah satu tangan menepuk-nepuk pipi
masing-masing. Wiro tertawa lebar. "Begitu" Jadi dengan mencium pipi kalian, semua hutang
piutang kalian aggap impas lunas" Geblek!"
"Ha-hu ha-hu."
Wiro garuk-garuk kepala. "Baiklah, aku akan mencium kalian sebagai tanda terima
kasih. Tapi bagiku tetap saja aku punya hutang budi dan nyawa pada kalian.
Mungkin baru bisa dianggap impas kalau aku berhasil mencari tahu siapa pembunuh
kakak kembar kalian Eyang Sepuh Kembar Tilu."
Dua nenek tidak menyahuti. Masih tetap ulurkan wajah. Wiro tersenyum. Pertama
sekali diciumnya nenek sebelah kanan. Lalu beralih mencium nenek sebelah kiri.
"Ha-hu ha-hu!"
Ketika menarik kepalanya Pendekar 212 Wiro Sableng terkejut. Wajah buruk dua
nenek itu telah berubah menjadi wajah cantik dua perempuan muda berkulit putih.
Rambut yang kelabu tampak hitam. Mata yang merah juga berubah hitam. Hanya
pakaian mereka yang tidak berubah yaitu tetap jubah kuning. Selain itu tubuh
serta pakaian dua perempuan jelita ini menebar bau harum mewangi.
Murid Sinto Gendeng batuk-batuk, garuk-garuk kepala. Dua nenek yang kini berujud
dua perempuan muda cantik masih tak bergerak. Kepala masih terulur.
"Heh, mau dicium lagi?" tanya Wiro.
?"Ha-hu ha-hu!" Dua perempuan muda menyahuti sambil anggukkan kepala berulang
kali. Wiro peluk keduanya, lalu menciumi berganti-ganti berulang kali. Dua perempuan
itu sesekali membalas ciuman Wiro.
"Sudah...sudah!" Wiro akhirnya lepaskan rangkulan serta hentikan ciuman. Dua
perempuan muda tersipu-sipu. "Baiknya kalian kembali ke ujud semula. Nanti aku
bisa pusing, kalian jadi pening lalu nanti bisa-bisa ada yang bunting!"
Wiro tertawa gelak-gelak. Dua perempuan muda cekikikan sambil tangan mereka
menjalar mencubiti paha sang pendekar. Perlahan-lahan ujud mereka kembali ke
bentuk semula, yakni dua nenek berwajah seram, rambut kelabu dan bermata merah.
"Nah, begitu lebih baik. Jalan pikiranku jadi tidak terganggu. Ingat, walau
sudah kucium tapi aku tetap punya hutang pada kalian."
"Ha-hu ha-hu!"
Wiro menghela nafas panjang lalu berdiri. Dua nenek ikutan berdiri. Wiro
memandang keluar lewat dinding rumah tua yang sudah ambruk. Ingatannya kembali
pada apa yang sebelumnya dialami.
"Jumena, prajurit itu. Kasihan dia tewas dibunuh. Aku yakin pembunuhnya adalah
orang tua bermuka merah yang menunggang kuda. Tapi, siapa dia" Mengapa membunuh
prajurit tak berdosa?"
"Ha-hu ha-hu!"
"Eh, kalian melihat penunggang kuda itu?"
Dua nenek anggukkan kepala.
"Betul dia yang membunuh prajurit Kadipaten bernama Jumena?" Dua nenek kembali
mengangguk. "Lantas mengapa kalian tidak mencegah?"
Dua nenek peragakan gaya orang menunggang kuda, lalu tangan diletakkan di
kening, menunjuk-nunjuk ke atas, kemudian memegang punggung. Wiro geleng-geleng
kepala. Sulit dia mengerti apa yang tengah diterangkan dua nenek itu. Nenek di
samping kiri kemudian berjongkok. Dengan jari tangannya dia membuat gambar di
lantai berdebu. Ternyata gambar sehelai daun. Lalu nenek ini tempelkan tangan
kanan di kening sambil tangan kiri menunjuk ke gambar daun.
Wiro mengerenyit, menggaruk kepala.
"Daun...daun di kening..."
"Ha-hu ha-hu!"
Wiro menggaruk lagi. Dua nenek kembali menunjuk ke atas lalu dua tangan
diturunkan ke bawah, menempel ke badan dan mata dipejamkan.
"Orang mati," ucap Wiro.
Dua nenek mengangguk, "Ha-hu ha-hu!"
"Aku mengerti! Daun menempel di kening orang mati. Siapa yang mati" Tunggu... aku
ingat. Saudara kembar kalian. Eyang Sepuh Kembar Tilu waktu menemui ajal ada daun
mengkudu di keningnya."
"Ha-hu ha-hu!" Dua nenek peragakan lagi orang menunggang kuda, menunjuk ke
gambar daun lalu menepuk punggung.
"Orang naik kuda. Di punggung... Kenapa punggungnya?"
Dua nenek menunjuk lagi ke gambar daun di lantai rumah.
"Hemm. ... Orang berkuda ada daun di punggungnya..."
"Ha-hu ha-hu!" Dua nenek anggukkan kepala berulang kali.
"Daun....daun apa" Daun mengkudu?"
Dua nenek bersorak, acungkan jempol lalu mengangguk-angguk.
Wiro garuk-garuk kepala. Dia coba merangkai semua keterangan dua nenek itu. "Ada
penunggang kuda. Yang aku lihat orangnya kakek muka merah. Membunuh prajurit
bernama Jumena. Kalian berdua melihat tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Karena
orang berkuda membawa daun pantangan, daun mengkudu di punggungnya. Jika kalian
sampai tersentuh daun itu bisa celaka menemui ajal seperti Eyang Sepuh Kembar
Tilu. Benar begitu?"
Dua nenek mengangguk. "Ha-hu ha-hu."
"Ini luar biasa," kata Wiro pula. "Waktu ada ledakan dan waktu prajurit Jumena
dibunuh, kalian berdua belum menampakkan diri. Betul?"
Dua nenek mengangguk.
"Berarti kasat mata kalian berdua tidak kelihatan. Tapi kakek penunggang kuda
itu tanpa melihat dia mengetahui kehadiran kalian. Itu sebabnya dia berjaga diri
dengan membawa daun mengkudu, ditaruh di punggung. Jika dia tahu daun itu adalah
daun pantangan bagi kalian, berarti kemungkinan dialah orang yang membunuh Eyang
Sepuh Kembar Tilu!"
"Ha-hu ha-hu!" Dua nenek keluarkan suara keras dan unjukkan wajah seram geram.
"Eyang Sepuh Kembar Tilu dibunuh karena ada sangkut paut dengan dadu setan.
Jumena dibunuh karena dia tahu satu rahasia besar. Aku rasa kematian kedua orang
ini ada kaitannya..." Wiro melangkah mondar-mandir. Waktu hentikan langkah dia
ajukan pertanyaan. "Paderi Cina itu, kalau aku tidak salah ingat, waktu dia
menyerangku denganpedang merah, dia terjungkal roboh lebih dulu. Kalian tahu apa
yang kemudian terjadi dengan dirinya?"
Nenek kembar di sebelah kanan membuat peragaan orang digotong dan dilarikan.
Nenek satunya membuat gambar tengkorak di lantai berdebu.
"Jadi ada orang yang menolong dan melarikannya. Seorang bermuka tengkorak."
"Ha-hu ha-hu!"
"Pasti pemuda Cina bernama Liok Ong Cun itu. Kalian pernah melihatnya di
telaga..." Wiro mengusap dadanya yang sesekali terasa sakit. Tiba-tiba saja dia
teringat pada Purnama. Si jelita dari Latanahsilam itu. Hatinya membatin. "Dalam
keadaan genting biasanya dia muncul menampakkan diri.
Mengapa sekali ini tidak" Apa dia tidak lagi berada di dekatku?"
Wiro Sableng 150 Misteri Pedang Naga Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Nenek berdua, aku tidak akan menahanmu lama-lama di tempat ini. Kalian boleh
pergi. Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih atas pertolongan kalian berdua.
Jika aku boleh minta tolong lagi, harap kalian mencari tahu dimana dan siapa
adanya kakek muka merah yang membunuh Jumena..."
Dua nenek unjukkan wajah takut.
"Tidak perlu takut. Manusia itu tidak akan terus-terusan membawa daun mengkudu
kemana dia pergi."
"Ha-hu ha-hu..."
"Dari dandanan dan bentuk wajahnya aku rasa dia seorang dari rimba persilatan.
Aku belum pernah melihat tampang kakek itu sebelumnya."
"Ha-hu ha-hu." Dua nenek membuat gerakan tangan.
"Kalian betanya aku mau kemana?"
"Ha-hu ha-hu."
"Aku akan ke Losari. Menurut Jumena mulai pagi ini lukisan wajahku ditempel dan
disebar di kota Kadipaten itu. Ada hadiah lima ringgit emas bagi siapa yang
menangkapku hidup atau mati. Aku dituduh telah membunuh Adipati Brebes. Aku mau
tahu apa benar, tampangku sudah malang-melintang dimana-mana. Aku jadi orang
terkenal sekarang! Ha ha!"
Wiro lambaikan tangan. Dua nenek membalas dengan letakkan tangan kanan di atas
bibir lalu dilambaikan. Keduanya melesat pergi dan lenyap dari pemandangan.
Belum sekejapan dua nenek meninggalkan rumah tua, tiba-tiba terdengar ringkikan
kuda disusul seruan nyaring.
"Anak setan! Rupanya kau sudah kehabisan gadis cantik. Sampai-sampai mengambil
dua nenek-nenek peot jelek jadi gendakmu!"
Wiro melengak kaget. Dia segera melompat ke halaman samping rumah tua.
*** TUJUH DI HALAMAN samping rumah tua berdiri seekor kuda hitam berkaki putih. Di atas
punggungnya duduk dengan sikap keren seorang nenek berkulit hitam, berdandan
medok tebal nyaris celemongan.
Pakaiannya sehelai jubah hitam selutut dan celana panjang juga berwarna hitam.
Pakaian ini kelihatan bagus dan masih baru. Tangan kanan memegang satu gulungan
kertas. Di balik punggung jubah tersembul sebatang tongkat kayu Di leher kuda
tergantung sebuah caping bambu. Si nenek pencongkan mulut kempotnya lalu
menyeringai. Astaga! Kalau bukan lima tusuk konde perak yang menancap di batok kepala,
Pendekar 212 Wiro Sableng hampir-hampir tidak mengenali nenek aneh ini. Apalagi
setelah mengendus dalam-dalam dia tidak mencium bau pesing.
"Eyang Sinto!" Seru Wiro begitu mengenali nenek penunggang kuda berdandan medok
ini bukan lain adalah gurunya. Pemuda ini cepat-cepat mendatangi Sinto Gendeng,
menyalami dan mencium tangannya.
"Nek, maaf kalau saya hampir tidak mengenalimu. Dandananmu lain sekali. Bedak
putih, alis kereng hitam, bibir merah mencorong, pipi diberi merah-merah.
Pakaianmu kelihatannya baru. Lalu hemmmm..."
Wiro mendongak sambil menghirup udara dalam-dalam. "Kau pakai obat atau
wewangian apa hingga saya tidak mencium bau pesing tubuh dan pakaianmu?"
"Plaakk!"
Si nenek kemplangkan gulungan kertas di tangan kanan ke kepala muridnya. "Aku
berdandan macam apa, aku mau mengenakan pakaian cara apa, aku mau bau pesing
atau tidak, bukan urusanmu. Enak saja kau bicara!" Si nenek lalu sodokkan ujung
gulungan kertas ke dada muridnya. "Tanda merah ini! Apa bekas gigitan dua nenek
jelek tadi?"
Wiro garuk kepala. Dia masih berpikir-pikir apa yang terjadi dengan Eyang Sinto
Gendeng. Bersolek mencorong dan berpakaian rapi serta tampak begitu gembira.
"Kau tak bisa menjawab! Nah, bilang saja habis berbuat apa kau dengan dua nenek
itu?" Wiro tertawa. "Eyang, mereka itu sahabatku. Tanda di dada ini bekas pukulan.
Mereka tadi mengobatiku. Mereka telah beberapa kali menyelamatkan jiwaku."
Si nenek menyeringai. Dia ingat tanda yang sama yang dilihatnya di dada Kiai
Gede Tapa Pamungkas waktu bertemu empat hari lalu. Tapi dasar jahil, dia masih
menggoda muridnya.
"Nah, nah. Waktu diobati pasti tadi kau diraba-raba. Lalu kau balas meraba!
Betul 'kan" Apa nikmatnya meraba tubuh peot! Hik...hik...hik!"
Wiro ikut tertawa gelak-gelak.
Si nenek ketukkan lagi gulungan kertas di tangan kanan ke kepala Wiro lalu
berkata. "Lihat ini!"
Gulungan kertas disodorkan pada Wiro.
Wiro ambil gulungan kertas lalu membukanya. Disitu terpampang lukisan kasar
wajahnya disertai tulisan besar "PENDEKAR 212 WIRO SABLENG. Buronan pembunuh.
Siapa yang bisa menangkap Hidup Atau Mati Mendapat Hadiah Lima Ringgit Emas.
Tertanda Adipati Losari. SEDA WIRALAGA"
"Di tengah jalan aku menemui selebaran itu ditempel di sebuah pohon. Pasti
banyak lagi di tempat lain, terutama di sekitar Losari. Kasihan, kepala bau
apekmu dihargai cuma lima ringgit emas. Murah buaaanget! Hik...hik...hik." Setelah
tertawa si nenek bertanya. "Siapa yang kau pateni?" Sinto Gendeng pindahkan
susur yang dikunyah dalam mulut dari kiri ke kanan lalu kucurkan ludah merah ke
tanah. "Karta Suminta. Adipati Brebes." Menjawab Pendekar 212.
"Gila! Dia bukan manusia sembarangan. Banyak temannya orang-orang berkepandaian
tinggi!" "Saya tahu Eyang. Tapi dia orang jahat."
"Gendeng! Banyak orang jahat di muka bumi ini! Kenapa kowe bunuh Adipati itu?"
tanya Sinto Gendeng dengan mata mendelik.
"Dia hendak memperkosa seorang sahabat saya, Eyang." Jawab Wiro.
"Sahabatmu yang mana" Anggini" Bidadari Angin Timur. Ratu Duyung atau gadis dari
alam roh itu. Eh, siapa namanya" Ada dua kalau aku tidak salah!"
"Bunga dan Purnama, Nek." Ucap Wiro.
"Ya...ya! Apa salah satu dari mereka yang hendak diperkosa Karta Suminta?"
"Bukan Nek. Bukan salah satu dari mereka."
"Ah, rupanya kau punya kekasih baru" Hik...hik...hik! Beri tahu aku siapa orangnya!"
"Seorang gadis Cina. Seorang paderi," jawab Wiro pula.
"Oala!" Sinto Gendeng dongakkan kepala lalu tertawa panjang.
"Benar rupanya cerita Kiai Gede Tapa Pamungkas. Ada gadis cantik datang dari
Cina. Ternyata dia telah jadi kekasih barumu! Hik...hik! Cepat juga cara kerjamu,
anak setan!"
"Namanya Nionio Nikouw. Dia bukan kekasih saya, Nek. Dulu dia sahabat. Tapi
sekarang sudah jadi musuh. Tadi malam di tembok timur Kadipaten dia berusaha
hendak membunuh saya."
"Dengan sebilah pedang berwarna merah?"
"Bagaimana Eyang tahu?"
"Kiai Gede Tapa Pamungkas bercerita padaku lima hari yang lalu. Tapi saat ini
aku mau dengar cerita dari mulutmu. Mulai dari kematian Adipati Brebes sampai
kemunculan gadis Cina yang kini kau bilang sudah jadi musuhmu itu!" Habis
berkata begitu Sinto Gendeng melesat dari punggung kuda, duduk berjuntai di
talang rumah yang sudah hampir roboh, mulut komat-kamit mengunyah susur. Kalau
saja nenek ini tidak memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi, diduduki
seperti itu talang rumah pasti sudah runtuh!
Memenuhi permintaan gurunya Wiro menceritakan semua apa yang diketahui dan apa
yang terjadi. Mulai dari kedatangan para tokoh silat dari Tionggoan, perihal dadu setan sampai
kejadian tadi malam dimana dia hendak dibunuh oleh Nionio Nikouw dan berakhir
pada pertolongan dua nenek kembar.
Mulut Sinto Gendeng terpencong-pencong mendengar kisah sang murid. "Kau tahu
asal usul pedang merah yang kini ada di tangan paderi Cina itu?"
Wiro menggeleng.
"Kiai Gede Tapa Pamungkas mendatangiku di puncak utara Gunung Gede. Dia
bercerita banyak.
Pedang itu konon bernama Pedang Naga Merah. Pedang itu adalah anak haram yang
lahir dari perkawinan Kapak Naga Geni Dua Satu Dua dan Pedang naga Suci Dua Satu
Dua." Wiro terkesiap. Garuk-garuk kepala lalu tertawa gelak-gelak.
"Anak setan! Jangan asal mangap! Mengapa kau ketawa" Apa yang lucu?" Sinto
Gendeng membnetak sambil delikkan matanya yang memiliki rongga dalam. Lima tusuk
konde di atas kepala bergoyang-goyang.
"Nek, bagaimana mungkin kapak dan pedang kawin lalu punya anak haram sebilah
pedang!" "Anak setan! Kau tahu apa. Gusti Allah punya kuasa! Biar aku kasih pengertian
padamu! Kau sendiri yang barusan cerita setiap ada orang menyerangmu dengan
Pedang Naga Merah kau dan orang itu pasti terpental. Lihat bekas hantaman di
dadamu itu! Itu satu pertanda ada satu kekuatan gaib hebat yang mencegah
terjadinya pertumpahan darah. Mana ada pasalnya seorang anak berani membunuh
ayahnya sendiri" Maksudku pedang merah itu adalah anak dan kapak di dalam
tubuhmu adalah ayahnya. Jika sampai terjadi si anak membunuh ayah maka berarti
kualat! Itu sebabnya ada satu kekuatan gaib yang membentengi dirimu juga
membentengi si penyerang. Tapi kekuatan itu begitu luar biasa hingga muncul
sebagai serangan hebat yang tak bisa dielakkan oleh orang yang diserang maupun
yang menyerang."
Eyang Sinto pindahkan lagi susur di dalam mulut dari kiri ke kanan.
Lalu berkata. "Anak setan, apa kau lupa. Kau kawin-kawinan dengan perempuan
cantik bernama Nyi Retno mantili itu, anak kalian ternyata sebuah boneka kayu!
Hik...hik...hik!"
Wiro hanya bisa menyengir mendengar kata-kata sang guru. Dia meraba-raba perut,
menggosok dada. Seperti diketahui, Kiai Gede Tapa Pamungkas secara gaib telah
memasukkan Kapak Naga Geni ke dalam tubuh Wiro (baca serial Wiro Sableng Episode
"Lentera Iblis") Mengenai boneka kayu Nyi Retno Mantili bisa dibaca kisahnya
dalam serial Wiro Sableng Episode
"Perjanjian Dengan Roh".
"Di alam fana ini..." Sinto Gendeng lanjutkan cerita. "Naga Geni bisa memunculkan
diri berpenampilan sebagai seorang pemuda gagah, tidak jelek sepertimu!"
"Iya Nek, saya memang jelek. Bau apek lagi!" kata Wiro sambil mencibir.
"Naga Suci mampu muncul sebagai seorang gadis cantik! Pedang Naga Merah yang
merupakan anak mereka, mereka beri nama Putera Langit. Menurut keterangan Naga
Geni sewaktu masih kecil pedang itu pernah hilang. Ditemui seorang anak bernama
Bayumurti di Samarang lalu diberikan pada seorang anak perempuan sewaktu dia mau
pulang ke Cina. Anak perempuan Cina itu pasti adalah paderi yang sekarang berada
di tanah Jawa ini."
Wiro manggut-manggut. Dia ingat Nionio Nikouw memang pernah menceritakan tentang
seorang sahabat yang tengah dicarinya. Anak bernama Bayumurti itu yang tentunya
sekarang sudah menjadi seorang pemuda sebaya sang paderi.
"Nek, aku ingat sesuatu. Orang bernama Bayumurti ini mungkin sekali adalah salah
seorang Kepala Pasukan Kerajaan timur yang namanya menjadi terkenal karena
beberapa waktu yang lalu berhasil menghancurkan sarang perampok di hutan
Jatiuruk dan membunuh dedengkot pimpinannya."
"Begitu?" ucap Sinto Gendeng. Dia tidak tampak tertarik pada keterangan Wiro.
Lalu si nenek meneruskan. "Selain itu kehadiran Pedang Naga Merah yang bisa
dianggap sebagai senjata liar, dapat menimbulkan orang malapetaka pada pemilik
maupun orang sekitarnya. Buktinya paderi itu hampir diperkosa. Kau hampir
dijagal!" Eyang Sinto Gendeng kemudian menceritakan bagaimana kejadian Pedang
Naga Merah seperti yang didengarnya dari Kiai Gede Tapa Pamungkas. "Aku
diperintahkan Kiai untuk menemuimu. Kau ditugaskan mencari dan mengambil pedang
itu dari tangan paderi Cina."
Wiro menggaruk kepala. "Mengapa musti saya Eyang?"
"Apa katamu"!" Si nenek mendelik. "Ooo... Aku tahu. Maunya kau aku yang harus
mencari pedang itu! Beraninya kau memerintah diriku!"
"Maafkan saya Eyang. Saya tidak bermaksud begitu. Kalau Kiai dan Eyang
memerintahkan saya, tentu saja akan saya laksanakan. Namun saya minta waktu."
"Maksudmu?"
"Sekarang ini saya tengah menyelidiki satu perkara menyangkut dadu setan yang
tadi saya ceritakan.
Perkara ini berkaitan dengan paderi Cina itu. Kalau pedangnya diambil, semua
urusan bisa kacau. Saya tak mungkin mendapatkan dadu setan, tidak mampu membuka
rahasia yang menyelubungi kematian beberapa sahabat dan...."
"Huss! Ceritamu panjang amat! Aku tidak mau dengar semua itu! Yang aku tahu kau
harus menyerahkan Pedang Naga Merah ke tanganku paling lambat dalam tempo tiga
puluh hari!"
"Tiga puluh hari Nek" Apa tidak bisa ditambah" Soalnya saya..."
"Kau kira aku tengah berdagang apa! Kau berani menawar-nawar!"
"Maafkan saya Eyang. Kalau pedang itu saya dapatkan, harus saya antar kemana?"
Wiro mengalah karena tahu tidak bakal menang dalam bicara dengan si nenek.
"Aku tunggu kau di puncak Gunung Gede. Dan kau harus datang bersama Ratu
Duyung!" Kening Pendekar 212 jadi mengkerut. "Mengapa harus dengan Ratu Duyung Nek?"
"Anak setan! Kau ini banyak tanya sekali! Mana aku tahu! Itu kehendak Kiai Gede
Tapa Pamungkas!"
Wiro garuk-garuk kepala.
"Eh, apa jawabmu"!" sentak si nenek.
"Ba ... baik Nek. Saya akan datang bersama Ratu Duyung."
"Dalam waktu paling lambat tiga puluh hari!"
"Dalam waktu tiga puluh hari!" Wiro mengulangi ucapan gurunya.
"Nek, saya bermaksud menyelidik kakek muka merah penunggang kuda yang membunuh
prajurit Jumena itu. Dia bisa jadi salah satu kunci semua perkara besar ini.
Mungkin kau mengenali siapa orang itu adanya?"
Sinto Gendeng pencongkan mulut. Lalu menjawab. "Mana aku tahu! Monyet pantatnya
juga merah! Tapi bukan pembunuh prajurit itu, 'kan?"
Selagi Wiro merasa penasaran mendengar ucapan gurunya itu si nenek melesat dari
atas talang rumah, turun di punggung kuda hitam. Dia ambil caping bambu yang
tergantung di leher kuda lalu caping dilemparkan ke arah Wiro.
"Anak setan! Kau sedang dicari orang! Kau perlu menutupi kepala dan wajahmu!
Pakai ini!"
"Terima kasih Nek." Ucap Wiro masih jengkel. Dia tangkap caping yang dilempar.
Disangkanya sang guru akan segera pergi, ternyata nenek itu masih duduk di atas
punggung kuda hitam berkaki putih, menatap ke arahnya.
"Eyang Sinto, kau masih ingin mengatakan sesuatu?"
"Ingat cerita pedang merah aku jadi ingat pada guyonan orang. Kau pernah dengar
guyonan Puteri Raja dari Negeri Keling?"
Dalam herannya Wiro gelengkan kepala. Dalam hati dia berkata. "Ada apa dengan
nenek ini. Seumur hidup baru kali ini dia bersifat aneh seperti ini. Mau bicara soal
guyonan segala."
"Anak setan, kau dengar ceritaku." Kata Sinto Gendeng pula. "Ada seorang puteri
Kerajaan Keling bernama Bebinaki yang tidak mau kawin-kawin. Tapi diketahui
punya dua orang kekasih. Yaitu pemuda bernama Jahembut, seorang pengusaha yang
punya seratus lebih kapal dagang. Pemuda lainnya seorang saudagar batu permata
kaya raya, bernama Gempursingh. Satu ketika istana dilanda kehebohan. Sang
puteri diketahui berbadan dua alias hamil alias bunting."
"Jelas bukan aku yang melakukan, Nek." Celetuk Wiro bergurau.
"Anak setan! Kau tak usah bicara. Dengar saja ceritaku!" bentak Sinto Gendeng.
Lalu dia meneruskan. "Raja Bajeber dan Permaisuri Simpulkani berusaha mencari
tahu siapa yang telah membuat puteri mereka melendung begitu rupa. Tak ada yang
tau. Hik...hik. Bebinaki ditanyai tidak mau mengaku walau dipaksa berulang kali.
Akhirnya anak yang dikandung lahir. Seorang lelaki. Diberi nama Bajened.
Konon masing-masing dua kekasih sang puteri yaitu si Jahembut dan Gempursingh
mengaku bahwa Bajened adalah anak mereka, merekalah ayah sang bayi. Mereka
inginkan anak itu. Istana kembali dilanda kehebohan.
Bagaimana membuktikan bahwa ayah si Bajened ini adalah Jahembut atau
Gempursingh...."
"Wah Nek, kalau melihat nama saya kira si Gempursingh itu yang punya pekerjaan,"
kata Wiro pula memotong cerita sang guru.
"Setan, kau memotong ceritaku saja dari tadi!" Kata Sinto Gendeng sambil
delikkan mata. Kemudian dia melanjutkan. "Akhirnya setelah satu tahun berlalu Raja dan
Permaisuri melalui seorang juru tenung berhasil menemukan satu cara untuk
mengetahui siapa sebenarnya ayah Bajened. Jahembut dan Gempursingh dipanggil ke
istana. Di halaman berumput di belakang Istana dibentang sehelai permadani
besar. Di atas permadani diletakkan sebuah permata yaitu sebagai pelambang diri
Gempursingh. Selain permata, di atas permadani juga diletakkan mainan sebuah
kapal-kapalan sebagai pelambang diri Jahembut.
Bajened yang berusia satu tahun lalu diturunkan dari gendongan, diletakkan di
Wiro Sableng 150 Misteri Pedang Naga Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
atas permadani. Jika anak ini lebih dulu memegang mainan kapal-kapalan, berarti
Jahembut-lah ayahnya. Tapi jika anak itu menyentuh permata lebih dulu, berarti
Gempursingh-lah bapak anak itu. Setelah merangkak berputar-putar di atas
permadani, anehnya Bajened sama sekali tidak menaruh perhatian pada kapalkapalan ataupun batu permata apalagi menyentuhnya. Malah tidak terduga anak ini
tinggalkan permadani, merangkak di atas halaman berumput ke arah sebuah benda
yang tergeletak di tanah dan ternyata adalah sebilah arit pemotong rumput.
Arit itu adalah milik Tajidun, pemuda yang bekerja sebagai juru taman di istana.
Berarti ayah Bajened adalah si Tajidun itu!"
Wiro tertawa gelak-gelak mendengar cerita sang guru.
"Wah, tajinya si Tajidun mantap juga ya Nek. Guyonanmu bagus Nek. Ada lagi yang
lain?" "Cukup satu itu dulu! Aku harus pergi! Jagan lupa tugasmu menemukan Pedang Naga
Merah." "Baik Nek." Wiro lalu menyalami dan mencium tangan Eyang Sinto Gendeng. Sambil
menggaruk kepala memperhatikan kepergian sang guru Wiro berkata dalam hati. "Ada
apa sebenarnya dengan nenek itu.
Dia tampak sangat gembira. Berpakaian rapi bagus dan baru. Berdandan mencorong.
Hemm... Kalau aku hubungi riwayat Kapak Naga Geni dan Pedang Naga Suci selain Kiai
Gede Tapa Pamungkas hanya ada dua orang yang saling terkait. Yaitu Eyang sendiri
dan Tua Gila. Eh, jangan-jangan nenek ini hendak bertemu dengan kakek itu.
Kekasih di masa mudanya! Ha...ha! Pantas dia kelihatan gembira, bersolek dan
berdandan seperti itu!"
Wiro kembangkan kembali gulungan kertas yang dipegangnya. "Sialan!" makinya
dalam hati. Gulungan kertas kemudian dibanting hingga amblas masuk ke dalam tanah. Caping
bambu lalu ditaruh di atas kepala. Sambil melangkah dia ingat pada Ratu Duyung.
"Dimana aku harus mencari gadis bermata biru itu. Terakhir sekali dia bersama si
kakek Setan Ngompol. Tapi waktu kakek itu muncul, dia tidak ikut." Wiro hendak
menggaruk kepala. Namun tangannya terhalang oleh caping bambu. Pemuda ini memaki
sendiri dalam hati sambil ketuk-ketuk caping di kepalanya. Tiba-tiba dia ingat
sesuatu. "Untung! Untung Eyang Sinto tadi tidak bertanya tentang Kitab Seribu
Pengobatan. Kalau dia tahu kitab itu hilang lagi pasti aku didampratnya habishabisan. Sial! Siapa yang tega-teganya mencuri kitab itu"!"
Baru saja Wiro menggerendeng seperti itu tiba-tiba dia mendengar suara bentakanbentakan keras diseling tawa cekikikan. Suara itu datangnya dari arah kanan
dimana terdapat sebuah bukit dialiri satu kali kecil. Baik yang membentak maupun
yang tertawa dua-duanya adalah suara perempuan. Wiro segera lari ke arah bukit.
Hanya sesaat setelah Wiro pergi, satu bayangan samar seorang perempuan muda
berpakaian serba putih berkelebat. Dia letakkan kembangan tangan di atas tanah,
tepat dimana tadi Wiro membanting gulungan kertas. Luar biasa sekali! Gulungan
kertas yang amblas di dalam tanah itu tertarik dan melesat ke luar. Dengan cepat
perempuan samar ambil gulungan kertas, sambil duduk di satu gundukan tanah dia
membuka lalu membaca.
"Ah, dia dalam kesulitan. Apakah aku harus menolong" Maukah dia menerima
pertolonganku?"
Perlahan-lahan bayangan samar berubah utuh. Dalam kejelasan sosoknya ternyata
dia adalah Bunga alias Suci, gadis alam roh, salah seorang dari sekian banyak
gadis yang mengasihi Pendekar 212 Wiro Sableng.
Wajah pucat Bunga tampak sedih. Hatinya kembali berkata. "Sejak kemunculan
perempuan bernama Purnama itu, dia sepertinya tidak lagi memperdulikan diriku.
Bagaimana aku harus berbuat" Mungkin aku harus tahu diri kalau diriku bukan
pasangan yang cocok baginya. Dia insan dunia fana. Aku mahluk dari alam roh.
Mungkin aku harus berlaku pasrah..."
Bunga usut air mata yang membasahi pipinya. Perlahan-lahan bangkit berdiri.
"Mungkin aku tidak perlu khawatir dengan Purnama. Namun apakah Wiro sadar akan
bahaya yang mengancam yang datang dari paderi Cina itu" Seandainya aku datang
menemuinya, menceritakan semua duga dan firasatku. Apakah dia mau mempercayai?"
Bunga gelengkan kepala. Setelah menghela nafas dalam akhirnya Bunga campakkan ke
tanah kertas yang dipegangnya lalu tinggalkan tempat itu.
*** DELAPAN PEMANDANGAN dari lamping bukit batu itu indah sekali. Di timur membentang
pedataran berumput ditumbuhi berbagai macam bebungaan. Di sebelah utara
menjulang gunung biru. Di kaki gunung terbentang hamparan sawah dibelah oleh
sebuah sungai yang siang itu tampak berkilau oleh saputan cahaya sang surya. Ke
arah barat membentang Teluk Losari dengan air laut yang kelihatan berwarna
kehijau-hijauan.
Di satu bagian datar lamping bukit batu yang terletak di kawasan selatan, dua
orang duduk bersila berhadap-hadapan sementara angin sejuk bertiup perlahan.
Beberapa langkah di belakang mereka terdapat sebuah mulut goa berbentuk segi
empat. Yang duduk di sebelah kanan seorang pemuda berwajah tampan berkulit
putih, berambut lebat ikal dan hitam, mengenakan baju dan celana abu-abu. Dia
adalah Jatilandak, pemuda dari Latanahsilam, negeri 1200 tahun lalu. Berkat
petunjuk dalam Kitab Seribu Pengobatan, pemuda yang dulu tubuhnya berwarna
kuning pekat serta ditumbuhi duri-duri panjang dan tajam itu kini telah
mengalami kesembuhan. Keadaannya tidak beda dengan pemuda biasa.
Perempuan muda cantik jelita berpakaian biru yang duduk di hadapan Jatilandak
saat itu adalah Luhmintari, yang bukan lain ibu Jatilandak sendiri yang oleh
Wiro kemudian diberi nama Purnama. Sang ibu inilah yang telah menyembuhkan
penyakit serta keadaan tubuh puteranya berdasarkan cara pengobatan dalam Kitab
Seribu Pengobatan. Mereka sangat bersyukur dan merasa berhutang budi besar pada
Pendekar 212 Wiro Sableng yang telah sudi meminjamkan kitab tersebut. Saat itu
ibu dan anak ini tengah berbincang-bincang membicarakan beberapa hal penting.
"Ibu, saya sudah menyelidik. Rasanya tidak ada kemungkinan bagi kita dan para
kerabat lainnya bisa kembali ke negeri Latanahsilam, ke alam seribu dua ratus
tahun silam..."
Luhmintari terdiam sesaat lalu berucap perlahan. "Agaknya Latanahsilam hanya
akan tinggal sebagai kenangan. Yang penting sekarang adalah kita bisa hidup
kerasan di tanah Jawa ini. Lihat tempat ini. Sejuk nyaman. Pemandangan indah
sekali dan ada sebuah goa yang bagus untuk ditempati." Walau punya putera seusia
Jatilandak namun keadaan Luhmintari tidak beda seperti seorang gadis remaja.
"Anakku, sejak berpisah di kaki Gunung Merapi dengan gadis bernama Bidadari
Angin Timur itu, apa kau pernah bertemu lagi dengan dia?"
Jatilandak menggeleng. "Kami hanya sempat berbuat janji. Akan bertemu lagi di
air terjun Batu putih tepat pada satu Suro. Sampai saat ini aku belum tahu
dimana letak air terjun itu dan kapan satu Suro itu."
Luhmintari tertawa. "Kau banyak teman. Kau bisa menanyakan pada mereka."
"Ibu, menurutmu bagaimanakah gadis itu?"
"Maksudmu?" Luhmintari balik bertanya pada puteranya. "Ah, seharusnya aku tak
perlu bertanya.
Kau telah jatuh hati pada si rambut pirang itu."
Wajah Jatilandak menjadi merah.
"Sudah, kau tak perlu menjawab. Jawabannya sudah kulihat di wajahmu yang merah.
Menurutku dia baik-baik saja. Cantik luar biasa. Kalau kau memang bisa
mendapatkannya mengapa tidak" Namun..."
"Namun apa Ibu?" tanya Jatilandak.
"Turut cerita yang aku dengar gadis itu sejak lama menyukai Pendekar Dua Satu
Dua Wiro Sableng..." Waktu menyebut nama sang pendekar wajah Luhmintari tampak
berseri dan sepasang matanya berbinar cerah. Namun sesaat kemudian ada bayangan
lain yang merupakan satu ganjalan.
"Yang aku dengar memang begitu. Namun kabarnya sahabatku Pendekar Dua Satu Dua
itu seperti tidak menyambuti perhatian Bidadari Angin Timur."
"Dari mana kau tahu?" tanya Luhmintari dengan pandangan mata tak berkesip.
Matahari Esok Pagi 10 Dewi Ular 58 Manusia Meteor Naga Pembunuh 13
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama