Wiro Sableng 159 Bayi Satu Suro Bagian 2
dengan tersenyum. Sementara Nyi Kuncup Jingga terkesiap mendengar ucapan Sri
Paduka Ratu. "Sri Paduka Ratu, harap maafkan kalau saya telah berbuat sesuatu yang kurang
menyenangkan. Saya berlaku begitu untuk menjaga keselamatan." Habis berucap Nyi
Wulas Pikan goyangkan kepalanya dua kali ke kiri dua kali ke kanan.
"Desss!"
Saat itu juga sosok Nyi Wulas Pikan yang tadinya berupa gadis cantik jelita
berubah menjadi sosok seorang lelaki tinggi besar berpakaian bagus. Sri Paduka
Ratu Penguasa Laut Utara tertawa panjang.
"Manusia berpakaian mewah, bukankah kau Patih Kerajaan selatan bernama Wira
Bumi?" Lelaki yang menjelma dari sosok gadis cantik membungkuk dalam-dalam.
"Terima kasih. Sri Paduka Ratu mengenal diri saya."
"lni satu peristiwa besar! Seorang Patih Kerajaan datang menemui diriku secara
menyamar. Apa gerangan yang terjadi"Tapi tunggu!
Aku rnerasa ada satu mahluk dalam tubuhmu. Siapa dia"!"
"Maafkan saya Sri Paduka Ratu. Dibanding Sri Paduka Ratu saya bukan apa-apa,"
kata Patih Kerajaan merendah sambil setengah memuji setengah menjilat.
"Yang ada di dalam tubuh saya adalah guru saya."
"Gurumu....?" Sepasang alis mata Sri Paduka Ratu mencuat ke atas.
"Apa dia tidak bisa jalan sendiri hingga menumpang dalam tubuhmu?"
"Guru terkena musibah akibat kalah berkelahi melawan seorang mahluk alam
roh.Tadinya selama seratus dua puluh hari dia tidak bisa memperlihatkan diri.
Saat ini hanya tinggal enam puluh hari."
"Omong kosong! Aku mau lihat siapa gurumu!"
Habis keluarkan ucapan Sri Paduka Ratu lambaikan tangan kanan.
Selarikcahaya kuning menmu sekujur tubuh Wira Bumi.
"Dess! Braaak!"
Satu sosok serba merah seorang nenek tinggi kurus tergeletak di lantai batu
pualam. Pakaian selempang kain merah. Rambut merah riap-riapan. Muka keriput
juga merah, begitu pula mata, alis, lidah dan gigi. Sosok ini berguling di
hadapan Sri Paduka Ratu dia bangkit, berlutut lalu membungkuk.
"Sri Paduka Ratu Penguasa Laut Utara. Saya rnengucap syukur dan terima kasih.
Dengan kesaktianmu kau telah menolong diri saya hingga saat ini saya bisa
menunjukkan ujud kembali."
"Mahluk muka merah, apakah kau punya nama?" Sang Ratu menegur.
"Maafkan saya, sampai lupa memperkenalkan diri. Orang-orang memanggil saya Nyai
Tumbal Jiwo."
"Nyai Tumbal Jiwo! Aku pernah mendengar namamu. Mahlukalam roh yang punya
berbagai limu kesaktian menakjubkan. Tinggal di satu goa di kawasan pantai
selatan. Mampu mengambil benda mati yang ada di tempat jauh. Punya berbagai
pukulan sakti yang sulit dicari banding! Bisa merubah diri menjadi seorang gadis
cantik! Menakjubkan kalau hari ini kau datang ke tempatku! Nyai Tumbal Jiwo, katakan apa
maksud kedatanganmu bersama muridmu Patih Kerajaan Wira Bumi."
"Sri Paduka Ratu, izinkan saya memberi keterangan." Lalu Nyai Tumbal Jiwo
menuturkan riwayat ilmu kesaktian yang dituntut Wira Bumi. Namun ada yang masih
jadi ganjalan.Yaitu sesuai dengan ketentuan Wira Bumi harus membunuh bayi yang
dilahirkan Nyi Retno Mantili karenadia telah menyalahi pantangan dalam menuntut
ilmu kesaktian tersebut. .
"Lalu pertolongan macam apa yang akan kau minta dariku" lmbalan apa yang akan
kau berikan padaku?" tanya Sri Paduka Ratu setelah Nyai Tumbal Jiwo
rnenyelesaikan ceritanya.
"Kami ingin Sri Paduka Ratu membantu kami mengambil bayi itu.
Kami sudah tahu dimana perkiraan bayi berada. Namun kami kawatir kalau hanya
berbekal ilmu kepandaian kami yang dangkal kami belum tentu marnpu mendapatkan
bayi itu."
"itu urusan kecil. Aku ingin tahu imbalan apa yang akan kalian berikan padaku
jika bayi berhasil kalian dapatkan. Aku melihat ada satu cahaya biru di dalam
tubuhmu. Pertanda kau membawa satu benda sakti mandraguna."
Nyai Tumbai Jiwo berdiri.Tangan kanan diusapkan tiga kali ke bagian tubuh yang
terlihat ada cahaya biru. Setelah mengusap tahu-tahu sebuah benda bulat lonjong
sebentuk telur ayam memancarkan warna biru berada di atas telapak tangannya.
Sri Paduka Ratu Penguasa Laut Utara terkejut. sampai-sampai bangkit dari
duduknya di kursi emas.
"Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru!" ucap sang Ratu dengan pandangan hampir
tak percaya. Bagaimana batu sakti itu ada padamu?"
"Sri Paduka Ratu, saya rasa Sri Paduka Ratu sudah tahu siapa pemilik batu
mustika ini dan dimana disimpannya. Saya berhasil mengambilnya dari lstana Nyai
Roro Kidul walau untuk itu saya harus rnengorbankan diri ..."
Habis berkata begitu Nyai Tumbal Jiwo singkapkan pakaian merahnya di bagian
dada. Dua payu daranya tampak tinggal merupakan dua daging geroak yang rnasih
basah lembab dengan darah.
"Sri Paduka Ratu, batu mustika ini akan saya berikan padamu, jika kau mau
menolong kami mendapatkan bayi itu."
Sri Padaku Ratu diam sejenak seperti merenung. Setelah itu baru keluarkan
ucapan. "Kalian tidak hanya rnemberikan batu mustika sakti itu padaku, tapi juga
harus bersumpah bahwa kalian berdua akan menjadi pengabdi diriku."
"Permintaan Sri Paduka Ratu kami setujui," jawab Nyai Tumbal Jiwo. Lalu diikuti
oleh Wira Bumi dia bersujud di hadapan kaki Sri Paduka Ratu.
"NyaiTumbal Jiwo, katakan apa yang kau ketahui tentang keberadaan bayi itu. Apa
bayi itu punya nama?"
'"Siapa nama bayi itu saya tidak tahu, Sri Paduka Ratu. Mengenai keberadaannya
kami mendapat cerita bahwa si bayi berada di pulau Andalas. Di Kawasan Danau
Maninjau. Dipelihara oleh seorang dipanggil Datuk ..."
Ratu Laut Utara berpaling pada Nyi Kuncup Jingga.
"Ambil Dulang Perak Sejuta Mata. Tuangkan Air Sejuta Warna dan bawa ke sini."
Nyi Kuncup Jingga segera berdiri, melangkah cepat memasuki sebuah lorong rnenuju
satu ruangan rahasia. Tak lama kemudian dia muncul kembali bersama dua orang
gadis yang memegang sebuah nampan bulat terbuat dari perak. Di dalam nampan
terdapat cairan bening berwarna kebiruan. Nampan dibawa kehadapan Sri Paduka
Ratu. Setelah menatap air di dalam nampan beberapa lamanya, Sri Paduka Ratu kemudian
sapukan tangan kanan di atas air. Asap biru mengepul. Begitu asap lenyap sang
Ratu rnemperhatikan ke dalam nampan tanpa berkesip. Beberapa lama kemudian dia
memberi isyarat pada dua gadis. Keduanya tinggalkan tempat itu dengan membawa
dulang. "Nyai Tumbal Jiwo. Patih Wira Bumi, kita menghadapi satu kekuatan besar. Aku
melihat danau aku melihat seorang tua bermata biru, aku melihat seekor harimau
putih bermata hijau dan aku memang melihat seorang bayi berusia sekitar lima
belas bulan. Jika kau memang inginkan bayi itu, sebelurn tengah hari besok kita
akan mendapatkanya. Namun tingkat kegagalan cukup gawat. Si bayi memiliki
perlindungan hebat. Jika gagal masih ada kesempatan kedua. Ada petunjuk bahwa
bayi itu akan dibawa ke tanah Jawa ini.
Terserah apa kalian ingin melakukan sekarang atau menunggu sampai bayi berada di
tanah Jawa"
"Sri Paduka Ratu, kami dikejar waktu. Kalau boleh memohon kami ingin pekerjaan
ini dilakukan sekarang juga!" kata Nyai Tumbal Jiwo.
Sri Paduka Ratu anggukkan kepala. Lalu berpaIing pada Nyi Kuncup Jingga.
"Nyi Kuncup Jingga, katakan kebiasaan yang Kita lakukan dalam membuat perjanjian
tolong-menolong."
Nyi Kuncup Jingga membungkuk, lalu berdiri lurus-lurus menghadap ke arah Nyi
Tumbal Jiwo dan Wira Bumi.
"Sebagai jaminan bahwa kalian tidak berdusta dan tidak akan meIanggar janji,
atas nama Sri Paduka Ratu maka Patih Kerajaan selaku orang yang berkepentingan
harus menyerahkan mata kirinya"
NyaiTumbal Jiwo tersurut satu langkah.
* * * SEMBILAN PATlH Wira Bumi melengak kaget dan pucat wajahnya. "Sri Paduka Ratu,
apakah ...." Ucapan Nyai Tumbal Jiwo dipotong oleh sang Ratu.
"Mata yana diambil akan dikembalikan jika urusan sudah selesai dan kalian
memenuhi janji yaitu menjadi pembantu-pembantuku dan menyerahkan batu Mustika
Angin Laut Kencana Biru. Jika kalian berkenan katakan ya, kalau tidak silahkan
meninggalkan lstanaku tapi batu sakti itu tetap harus diserahkan padaku ..."
"Nyai ...." Wira Bumi berucap, memandang pada NyaiTumbal Jiwo.
Seolah minta pendapat.
"Sri Paduka Ratu. Kerajaan bisa diganti dengan mataku?". . .
Sri Paduka Ratu tidak menjawab.Yang menyahut adalah Nyi Kuncup Jingga.
"Apa yang sudah ditentukan Sri Paduka Ratu Penguasa Laut Utara tidak bisa
dirobah. Kalian Cuma punya pilihan. Menerima atau pergi dan tinggalkan batu
sakti. Bukankah batu itu bukan milik kalian.
Kalian telah mencurinya dari lstana Ratu Selatan. Lagi pula kau telah menerima
kebajikan dari Sri Paduka Ratu. Kau bisa menunjukkan ujud kembali dan tictak
perlu menunggu.enam puluh hari. Apa ba!as budimu pada Sri Paduka Ratu dan
Kerajaan Laut Utara"!"
"Tapi Nek, Sri Paduka Ratu ..." Wira Bumi tidak ianjutkan ucapannya karena saat
itu dia mendengar suara NyaiTumbal Jiwo mengiang di telinganya.
"Wira Bumi kita telah terjebak. Tidak mungkin mundur. Kita terpaksa menerima apa
yang dikatakan orang. Kali ini kita dibikin celaka, nanti akan kita balas!"
Sambil sampaikan ucapan mengiang Nyai Tumbal Jiwo melirik ke arah Sri Paduka
Ratu. Dia memperhatikan mata kelabu wanita cantik ini menatap tajam ke arahnya.
"Apakah dia tahu dan mendengar apa yang barusan aku ucapkan ..." pikir si nenek
dan diam-diam merasa kawatir. Tapi sang Ratu tampak tenang-tenang saja.
Wira Bumi keluarkan keringat dingin. Terlebih ketika dia mendengar Nyai Tumbal
Jiwo berkata. "Sri Paduka Ratu, kami menerima permintaanmu. Kau boleh mengambil
mata kiri Patih Kerajaan."
Sri Paduka Ratu berdiri dari duduknya, memberi isyarat pada Nyi Kuncup Jingga.
Nyi Kuncup Jingga selanjutnya memberi tanda pada seorang gadis pengawal yang
segera mendatangi sambil membawa sebuah seloki terbuat dari batu pualam licin
berkilat yang di dalamnya telah ditaruh air berwarna kemerahan. Orang ini
berdiri di sisi kiri Patih Wira Bumi, hanya terpisah sejarak satu langkah.
"Patih Kerajaan, harap berdiri dengan tenang. Jangan bergerak.."
Ratu Penguasa Laut -Utara berucap. Bersamaan dengan itu tangan kanannya
disapukan ke depan. Tangan berubah panjang, lima jari mencuatkan kuku runcing
begemerlap putih.
Sesaat kemudian.
"Srreett ... craass!"
Bola mata kiri Patih Wira Bumi tercungkil keluar, masuk ke dalam seloki batu
pualam yang dipegang gadis yang tegak di sampingnya.
Tak ada darah menyembur.Tidak ada jeritan keluar dari mulut Wira Bumi. Namun
begitu mata kirinya tercungkil keluar dari rongganya Patih Kerajaan ini langsung
ambruk, roboh ke lantai!
Seorang gadis pengawal dengan cepat mengikatkan secarik kain hitam tebal
kekepala Wira Bumi, menutupi matanya yang bolong.
* * * DANAU Maninjau di pulau Andalas. Pagi itu walau sang surya belum keseluruhannya
tersembul di ufuk timur namun udara tampak cerah.
Embun bertabur indah di dedaunan laksana batu permata. Burung-burung berkicauan
di ranting pepohonan. Angin Sertiup semilir sejuk menyegarkan.
Di satu tempat yang sunyi dan jarang didatangi orang di kawasan timur danau
karena dihalangi tebing batu besar, licin dan curam, tersembunyi di balik
kerapatan pohon Kayu Manis terdapat sebuah rumah panggung kayu yang atapnya
berlapis ijuk berbentuk gonjong lima. Dari bagian depan rumah bisa terlihat
Danau Maninjau yang luas berair hijau kebiruan.
Di sekeliling halaman rumah, terdapat delapan tiang bambu yang ujungnya disumpal
dengan kain mengandung minyak. Sepintas bambu-bambu ini tarnpak seperti obor
panjang padahal sebenarnya rnerupakan benda penangkal untuk melindungi rumah
panggung dan penghuninya dari segala marabahaya. Tiang-tiang bambu ini juga
dipancang di tepi jalan setapak menuju pancuran tempat mandi di tepi Danau
Maninjau. Seorang perempuan berusia setengah abad yang biasa dipanggil dengan nama Mande
Saleha (Mande=Ibu) tampak sedang menyapu bagian depan rumah panggung. Ketika dia
mendengar suara tangisan bayi di ruang dalam, perempuan ini segera meletakkan
sapu, setengah berlari masuk ke dalam rumah.
Tak lama kemudian Mande Saleha keluar sambil menggendong seorang bayi berusia
satu setengah tahun. Bayi montok ini berambut hitam lebat, dikuncir lurus di
atas kepala. Pipi dan bibir tampak merah. Setengah merengek sang bayi mengusapusap mata. Bayi ini bukan lain adalah Ken Permata, bayi Nyi Reto Mantili yang
dulu diserahkan Djaka Tua pada Datuk Rao Basaluang Ameh.
"Anak rancak anak Mande. Jangan menangis ..." kata Mande Saleha sambil mengusap
kepala si bayi lalu mencium pipinya kiri kanan berulang kali. (rancak=cantik).
"Anak rancak Ken Permata, kalau matohari ala muncul kita mandi di pancuran.
Sudah itu Mande siapkan pisang manis untukmu. Kalau Baiduri Ibu susumu datang
kau boleh menyusu sepuas-puasmu.
Sekarang mari kita main-main dulu di halaman. Jangan menangis ya.
Anak manis tidak boleh menangis.."(ala = sudah) Ketika mendukung Ken Permata
menuruni tangga rumah kayu, seorang perempuan muda tampak berjalan ke arah
rumah. "Hai. itu Ibu susumu sudah datang. Ah, kau mau bermain atau mau menyusu
dulu ...." Perempuan muda di halaman lambaikan tangan.
Ken Permata yang ada dalam dukungan tertawa-tawa. badannya digoyang-goyang minta
diturunkan. Sampai di tanah Mande Saleha turunkan Ken Permata. Dengan langkah tertatih-tatih
anak itu berjalan ke arah Baiduri. Perempuan yang menjadi Ibu susu. Ken Permata
sejak bayi ini cepat merangkul dan mendukungnya."
"Mande, malam tadi saya tidak bisa lalok. Selalu ingat pada bayi ini.
Saya takut dia sakit. Makanya saya datang lebih pagi. Saya bersyukur anak ini
tidak kurang suatu apa. Biar saya susukan dulu dia."(lalok= tidur) Baiduri lalu
menyingkapkan dada pakaian.
Sementara menyusui Baiduri berkata lagi pada Mande Saleha.
"Saya mendengar kabar. Bulan dimuka Ken Permata akan diantar Datuk ke tanah
Jawa. Diserahkan pada ibu kandungnya. Saya sedih sekali. Saya sudah menganggap
bayi ini seperti anak sendiri ..."
Perlahan-lahan air mata mengucur membasahi pipi Baiduri.
"Aku juga sudah mendengar kabar itu. Kita sama-sama menyayangi Ken Permata.
Entah bagaimana rasanya kalau anak ini nanti tidak di sini lagi bersama kita."
Mande Saleha ikut sedih dan matanya berkaca-kaca.
"Mande, coba Mande bujuk Datuk. Minta padanya agar tidak membawa Ken Permata ke
Jawa. Kita akan memeliharanya baik-baik sampai dia besar. .."
"Mande pernah mendengar cerita Datuk tentang bayi ini. Agaknya Datuk sudah punya
keputusan begitu. Atau mungkin ada semacam perjanjian yang harus dilaksanakan
Datuk ...."
"Kalau begitu minta pada Datuk agar salah satu dari kita atau kita berdua boleh
ikut bersama Ken Permata ke Jawa."
"Kalau ada kesempatan hal itu akan Mande sampaikan." Kata Mande Saleha pula
sambil mengusap kepala Ken Permata yang asyik menyusu.
Dari balik pohon-pohon Kayu Manis yang banyak tumbuh sekitar danau muncul seekor
harimau putih besar bermata hijau. Binatang ini menggereng halus.
"Ken Permata, lihat sahabat kita Datuk Rao Bamato Hijau pagi-pagi juga sudah
datang. Tapi mengapa kilau hijau matanya agak redup Mande lihat. Mungkin Datuk
sedang sakit" Mengapa ada cahaya biru di dadanya" Hai, Baiduri, kiranya harimau
sakti itu datang bersama suamimu Mangkuto Alam."
Baiduri yang masih menyusui bayi Ken Permata berpaling. Dia melihat suaminya
Mangkuto Alam jalan beriringan dengan harimau putih Datuk Rao Bamato Hijau.
"Baiduri, kekawatiranmu jadi kekawatiran Uda juga. Uda merasa belum lega kalau
tidak melihat sendiri keadaan anak ini. Ah, syukur dia tampaknya sehat dan baikbaik saja." kata Mangkuto Alam suami Baiduri seorang lelaki bertubuh ramping
berkumis kecil dan mengenakan kopiah hitam mengusap kepala Ken Permata. Mungkin
karena sudah puas menyusu Ken Permata mengangkat kepalanya dan berpaling sambil
tertawa-tawa pada Mangkuto Alam.
(Uda=Kakak). "Mari Uda dukung dia sebentar. Sudah itu Uda akan kembali ke ladang. Banyak
pekerjaan yang belum selesai. Kulit kayu manis belum kering dijemur. Mudahmudahan cuaca baik, hujan tidak turun hari ini."
Baiduri menyerahkan bayi yang baru disusuinya pada Mangkuto Alam. Entah mengapa
begitu berada dalam dukungan lelaki ini, bayi yang tadi masih tertawa-tawa tibatiba menjerit dan menangis keras.
"Hai ada apa anakku ....jangan menangis." Kata Mangkuto Alam sambil mengusap
Wiro Sableng 159 Bayi Satu Suro di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gunggung dan menggoyang-goyang tubuh Ken Permata. Si bayi bukannya diam malah
semakin keras tangisnya.
"Serahkan pada Mande, biar Mande yang mendukung," kata Mande Saleha pula. Tapi
Mangkuto Alam tidak menyerahkan Ken Pemata pada pengasuhnya itu, malah dia
membalikkan tubuh dan melompat ke punggung harimau putih bermata hijau. Binatang
ini menggereng keras lalu ada cahaya biru memancar dari tubuhnya. Saat itu juga
harimau putih bersama Mangkuto Alam yang menggendong Ken Permata melesat ke
udara laksana terbang, lenyap di balik kerapatan pepohonan kayu Manis lalu di
kejauhan terdengar suara benda berat dan besar masuk mencebur ke dalam Danau
Maninjau. Mande Saleha dan Baiduri berteriak tiada henti. Keduanya berusaha mengejar ke
Danau. Namun harimau putih. Mangkuto Alam dan Ken Permata tidak kelihatan lagi.
Di danau hanya tampak anak-anak yang bermain-main, dan beberapa biduk yang
tengah melabuh kedaratan.
Kedua perempuan itu tampak pucat, ketakutan setengah mati.
"Cilako, apa kata Datuk. Pasti kita berdua akan kena berang gadang!" ucap Mande
Saleh. (berang gadang = marah besar)
"Mande kita harus segera menemui Datuk. Kita harus memberi tahu apa yang
terjadi!" kata Baiduri.
"Tidak masuk diakal Mande suamimu dan Datuk Rao Bamato Hijau akan menculik
melarikan bayi itu." Kata Mande Saleha pula dan perempuan usia setengah abad ini
berjalan setengah berlari sambil menangis diikuti Baiduri.
"Aku juga tidak mengerti Mande. Suamiku bukan orang jahat.
Harimau putih itu adalah peliharaan dan kepercayaan Datuk Rao Basaluang
Ameh ..." Sahut Baiduri pula.
* * * SEPULUH DI DALAM goa batu pualam ternpat kediarnan Datuk Rao Basaluang Ameh. Sehabis
menceritakan apa yang terjadi Mande Saleha dan Baiduri jatuhkan diri menangis
menggerung-gerung di hadapan Datuk Rao, sambil meratap berulang kali meminta
ampun. Si orang tua walau berusaha bersikap tenang namun hatinya sangat kawatir.
"Hentikan tangis kalian . Apa yang telah terjadi tidak perlu disesali.
Turut cerita kalian ada keanehan. Karena harimau putih Datuk Rao Bamato Hijau
tidak pernah meninggalkan goa tempat kediamannya.
Lalu menurut penglihatanku Mangkuto Alam saat ini tengah bekerja di ladangnya".
Tentu saja Mande Saleha dan Baiduri tercengang mendengar kata-kata sang Datuk
Sesaat kemudian di mulut goa terdengar suara menggereng halus.Atap, dinding dan
lantai goa bergetar. Dua perempuan berpaling dan melihat seekor harimau besar
bermata hijau merunduk menutupi mulut goa.
"Bagaimana mungkin ... ?" ucap Mande Saleha. Lalu dia ingat sesuatu. "Datuk,
harimau putih yang membawa lari bayi Itu, sepasang matanya memang betwarna
hijau.Tapi ambo ingat betul, mata hijaunya tidak berkilat bercahaya seperti mata
harimau ini. Lalu sewaktu menggereng tanah tidak bergetar. .."(ambo =saya)
"Itu berarti binatang yang kau lihat sebenarnya adalah mahluk jejadian. Apa lagi
yang kau ingat Mande Saleha?"
"Tubuhnya. Ada cahaya kebiruan di salah satu bagian tubuhnya. Di dekat dada ..."
jawab Mande Saleh.
Sang Datuk mengangguk.
"Mahluk harimau jejadian itu menanam benda sakti di dalam tubuhnya ...." Selesai
berucap Datuk Rao Basaluang Ameh yang konon rnerupakan mahluk setengah manusia
setengah roh dan telah meninggal dunia seratus tahun silam ini ulurkan tangan ke
dinding goa. Jari-jari mencungkil batu dinding.Tiga kepingan batu sebesar ibu
jari kini berada dalam genggaman tangannya. Jangankan dengan jari, mempergunakan
pahat sekalipun sulit bagi seseorang untuk mencungkil batu pualam dinding goa
itu. Dapat dibayangkan kehebatan tenaga dalam sang Datuk.
Setelah tiga kepingan batu pualam ada dalam genggamannya Datuk Rao Basaluang
Ameh berdiri. Dia mendongak ke atap goa sambil mulut berucap menyebut tiga nama.
"Datuk Rajo Nan Tongga di puncak Merapi. Datuk Gampo Langit di Tanah Bangko.
Datuk Awan Putih di Gunung Sekicau. Aku Datuk Rao Basaluang Ameh butuh
bantuanmu.Tutup seratus dua belas jalur langit, bumi dan air." Habis berkata
begitu Datuk Rao Basaluang Ameh lemparkan tiga keping batu pualam ke atap goa.
"Braakkk! Dess! Dess! Dess!"
Tiga batu melesat menembus atap goa, mencuat ke udara lepas dan berkiblat ke
tiga arah.Yang pertama menuju Gunung Merapi di utara yang kedua ke arah tanah
Bangko di tenggara dan batu ketiga ke jurusan Gunung sekicau di selatan.
"Kalian berdua pulanglah. Panjatkan doa pada Yang Maha Kuasa agar bayi itu bisa
kembali ke sini"
Mande Saleha dan Baiduri sambil terisak-isak bangkit berdiri dan cepat-cepat
meninggalkan goa. Namun sang Datuk dan harimau putih lebih dulu sampai di rumah
panggung. Datuk Rao Bamato Hijau berdiri di halaman. Matanya yang tajam
memperhatikan tiang-tiang bambu yang sengaja ditancap dan diisi dengan ilmu
kesaktian untuk melindungi rumah dan penghuninya. ternyata dia dapati semua
tiang bambu itu telah dilumuri tumbukan daun sirih bercampur garam.
"Sirih dan garam. llmu penangkal yang biasa dipakai orang sakti dari tanah
Jawa," ucap Datuk Rao Basaluang Ameh dengan suara perlahan. "Kalau Mande Saleha
mengatakan mendengar suara benda masuk ke dalam danau, berarti para penculik
melarikan diri melalui jalur air. Berarti ada orang sakti penguasa air di tanah
Jawa yang mereka andalkan. Hanya ada dua orang sakti di sana. Dua-duanya
perempuan.Dua-duanya bergelar Ratu."Sang Datuk usap janggut putihnya. "Tidak
mungkin Nyai Roro Kidul yang melakukan..."
Datuk Rao Basaluang Ameh naik ke punggung harimau putih
"Datuk, kau tahu kemana kita harus pergi. Kita tunggu para penculik di tanah
seberang sebelum mereka sempat mendarat. Aku akan mengirim isyarat pada Pendekar
Dua Satu Dua Wiro Sableng agar dia bisa membantu kita. Namun aku kawatir, apakah
dia mampu menemui kita dalam waktu cepat?"
Harimau putih bermata hijau menggereng halus. Binatang sakti ini melesat ke
udara. Hanya dalam bilangan kejapan mata sosoknya dan sosok sang Datuk sudah
tidak kelihatan tagi.
* * * DARATAN terujung pulau Jawa sebelah barat. Matahari pagi mulai terasa panas
walau angin bertiup cukup kencang. Daun-daun pohon kelapa melambai-lambai
mengeluarkan suara bergemerisik. Di kejauhan di tengah laut pulau Krakatau
mengepulkan asap tipis kelabu. Ombak besar tiada henti bergulung memecah di
pasir pantai. Tiba-tiba dari dalam laut melesat keluar dua benda. Seekor binatang berbulu
putih satunya lagi seorang lelaki berkopiah hitam menggendong bayi. Tubuh mereka
kering semua, tidak basah oleh air laut.
Sesaat kemudian di pasir pantai kelihatan seekor harimau putih melangkah ke arah
deretan pohon kelapa. Di punggungnya duduk lelaki berkopiah hitam, Mangkuto
Alam, menggendong seorang bayi yang terus menerus menangis. Lelaki itu turun
dari punggung harimau besar. Begitu menjejakkan kaki di pasir ujudnya berubah
menjadi sosok seorang lelaki tinggi besar berpakaian bagus, mata kiri dibalut
dengan kain hitam. Lelaki ini bukan lain adalah Patih Kerajaan Wira Bumi.
Di saat bersamaan harimau putih berubah pula menjadi sosok nenek muka merah yang
sudah dapat diduga adalah Nyai Tumbal Jiwo adanya. Nyai Tumbal Jiwo memandang
berkeliling. "Nyai, kita berada dimana?"tanya Wira Bumi.
Nyai Tumbal Jiwo sekali lagi memperhatikan keadaan sekelilingnya.
"Aneh, aku merasa aneh. Seharusnya kita berada di lstana Ratu Utara, paling
tidak di sekitar Teluk Losari.Tempat ini asing bagiku ..."
Sambil menggendong bayi Wira Bumi memperhatikan dada sang guru.
"Nyai, cahaya biru di dadamu saya lihat redup ......
Si nenek menunduk, perhatikan dadanya. Wajah merah keriput berubah.
"Ada orang melakukan penangkalan. Mungkin juga orang itu yang membuat kita
terpesat ke sini."
"Nyai Roro Kidul?" Wira Bumi bertanya.
"Mungkin, tapi mungkin juga Datuk yang tinggal di danau itu ...,"
jawab si nenek.
"Kalau begitu bayi ini harus kita habisi sekarang juga!" Kata Wira Bumi.
"Aku setuju. Cepat kau lakukan! Aku akan berjaga-jaga mengawasi.
Perasaanku tidak enak sejak kita berada di pantai ini."
Wira Bumi jambak rarnbut bayi hingga Ken Permata menjerit keras.
"Nyai, bagaimana aku melakukan" Kita tidak punya senjata tajam untuk menjagal
leher bayi." Patih Kerajaan yang tega hendak membunuh darah dagingnya itu
sendiri demi ilmu dan jabatan mendadak rnerasa bingung.
"Kenapa kau jadi tolol! Kau bisa mencekik sampai hancur leher bayi itu. Atau kau
pukulkan tubuhnya kepohon kelapa. Di sebelah sana ada gundukan batu. Kau bisa
menghantamkan kepalanya ke batu itu sampai remuk! Atau kau lempar saja ke dalam
laut. Habis perkara. Cepat lakukan!"
Bayi dalam dukungan tiba-tiba menangis keras. Seolah tahu nasib apa yang bakal
menirnpa dirinya sebentar lagi.
"Aku memilih yang terakhir!" kata Wira Bumi lalu melangkah cepat ke tepi laut.
Sekali tangan dan jari-jarinya yang menjambak rambut dilepas maka melesatlah
sosok bayi tak berdosa Ken Permata ke tengah laut yang tengah dibuncah ombak
besar. * * * SEBELAS HANYA sesaat lagi tubuh bayi malang itu akan amblas masuk dalam gulungan ombak,
tiba-tiba laksana kilat menyambar dari arah selatan berkiblat tiga cahaya putih
Seperti malaikat yang turun ke bumi, di atas permukaan laut kelihatan tiga kakek
sama mengenakan pakaian jubah dan sorban putih serta sama memelihara janggut dan
kumis putih. Wajah mereka licin, segar dan jernih pertanda hati dan jiwa yang
bersih. Kakek di sebelah tengah cepat sambuti tubuh Ken Permata sementara dua kakek
lainnya setelah yakin kalau si bayi berhasil diselamatkan segera melesat
kepantai dan berdiri di hadapan Wira Bumi dan Nyai Tumbal Jiwo. Kakek ketiga
yang mendukung bayi menyusul dan kemudian tegak di antara dua kakek.
"Tiga tua bangka berjubah dan bersorban putih!
"Kalian siapa"!" bentak Nyai Tumbal Jiwo. Mata merah mendelik, muka merah
unjukkan kemarahan luar biasa. Tangan kanan bergetar pertanda dia berlaku
waspada dan setiap saat siap melepas pukulan sakti.
"Orang tua yang di tengah! Serahkan bayi itu padaku!" Ucap Wira Bumi dengan
suara keras menghardik.
Kakek yang berdiri di antara dua kakek lainnya kernyitkan kening.
Tadi jelas-jelas kau melempar bayi ini ke tengah laut. lngin membunuhnya!
Sekarang mengapa diminta kembali?"
"Harimau tidak pernah membunuh sesama kaumnya." Kakek di sebelah kanan keluarkan
ucapan. "Anak manusia tega-teganya membunuh seorang bayi tak berdosa."
Menyambung kakek di sebelah kiri. Lalu dari arah belakang terdengar suara
menimpali. "Memang keterlaluan. Melewati takaran dosa. karena yang hendak
dibunuh bukankah anakmu sendiri"!"
Terdengar suara menggereng. Tanah pantai bergetar keras. Ombak bersibak. Di lain
kejap muncul seekor harimau putih ditunggangi kakek gagah berselempang kain
putih. Datuk Rao Bamato Hijau dan Datuk Rao Basaluang Ameh!
Tiga kakek yang datang lebih dulu segera memberi salam lalu membungkuk. Datuk
Rao Basaluang Ameh membalas salam dan penghormatan.
"Datuk Rajo Nan Tongga. Datuk Gampo Langit dan Datuk Awan Putih, aku mengucapkan
terima kasih, kalian datang tepat pada waktunya hingga bayi itu berhasil di
selamatkan."
"Saling hormat dan saling tolong adalah adat para pandeka di tanah Minang," kata
kakek bersorban putih yang menggendong bayi yaitu Datuk Rajo NanTongga. (pandeka
= pendekar) Datuk Rao Basaluang Arneh turun dari punggung harimau putih.
Saat itu juga harimau putih menggereng keras, siap menerkam ke arah Nyai Tumbal
Jiwo dan Wira Bumi. Datuk Rao Basaluang Ameh cepat usap kuduk harimau sakti.
"Datuk biarkan aku bicara dulu dengan kedua orang ini."
"Kami tidak akan mau bicara denganmu!" jawab NyaiTumbal Jiwo.
"Aku minta bayi itu! Lekas serahkan!"Wira Bumi melompat ke hadapan Datuk Rajo
Nan Tongga, siap hendak merampas Ken Permata. Namun Datuk Rao Bamato Hijau
kibaskan ekornya.
"Dess! "
Kibasan ekor menghantam kaki Patih Kerajaan hingga lelaki ini jatuh tersungkur.
Masih untung kaki itu tidak patah. Tidak sadar tengah berhadapan dengan empat
orang tua dan seekor harimau sakti penuh amarah Wira Bumi balikkan tubuh lalu
hantamkan tangan kanan melepas pukulan Angin Roh Pengantar Kematian ke arah
harimau putih. Hawa panas menghampar di seantero tempat membuat Ken Permata terpekik dan buruburu didekap oleh Datuk Rajo Nan Tongga.
"Desss"
Pukulan sakti yang dilepas Wira Bumi menghantam tubuh harimau putih dengan
telak. Binatang ini menggereng keras, terpental dua langkah. Bulunya tampak
mengepulkan asap. Sepasang mata memancarkan cahaya hijau menyala. Sekali lompat
saja, belum sempat Wira Bumi berdiri, harimau putih ini sudah menerkam lehernya.
Darah mengucur oleh tusukan tajam empat gigi besar.
Patih Kerajaan yang mata kirinya dibalut kain hitam ini meraung setinggi langit.
"Tolong!"
Nyai Tumbal Jiwo langsung melompat sambil melepas tendangan Kaki Roh Merobek
Langit. Namun dua Datuk bersorban putih segera menghadang. Datuk Awan Putih
tudingkan jari telunjuk tangan kanan ke bawah ke arah kaki si nenek Saat itu
iuga menyembur satu cahaya putih yang dengan kecepatan kilat berubah menjadi
tali menggulung melibat kedua kaki Nyai Tumbal Jiwo mulai dari pergelangan terus
ke bahu. Selagi dia tidak mampu bergerak, dari samping kiri Datuk Gampo Langit
membuat gerakan kilat dan telunjuk jari tangan kirinya tahu-tahu sudah menempel
di pelipis si nenek. Saat itu juga Nyai Tumbal Jiwo merasakan sekujur tubuhnya
mulai dari ubun-ubun sampai ke kepala laksana digarang bara menyala!.
Sadar dirinya tak bisa lolos maka Nyai Tumbal Jiwo keluarkan salah satu ilmu
andalan yaitu Dibalik Asap Roh Mencari Pahala. Mulut keriputnya menyembur. Asap
hitam pekat menebar menutup pemandangan dan memerihkan mata. Biasanya semburan
ini akan diikuti dengan tendangan atau pukulan mematikan. Namun saat itu Nyai
Tumbal Jiwo memilih lebih baik kabur selamatkan diri. Karena sekujur badan dalam
keadaan terikat maka dia pergunakan cara kabur dengan melompat-lompat. Nenek ini
memang hebat. Sekali melompat dia mampu melesat tiga tombak. Namun pada lompatan
kedua gerakannya tertahan. Satu benda keras menekan perutnya.
Ketika diperhatikan ternyata benda itu adalah ujung seruling emas.
Di hadapannya berdiri Datuk Rao Basaluang Ameh sambil sunggingkan senyum.Tengkuk
si nenek jadi dingin.
"Jika kau dan muridmu bertobat kalian berdua akan aku bebaskan.
Tapi jika keras kepala apa lagi 'etap punya niat hendak membunuh bayi maka
kalian berkehendak mati saat ini juga!"
"Aku bertobat!"' teriak Wira Bumi ketakutan setengah mati karena saat itu masih
dicengkeram gigi-gigi Datuk Rao Bamato Hijau.
"Ampuni selembar nyawaku! "
"Kau dengar ucapan lelaki itu ... kata Datuk Rao Basaluang Ameh sambil memutar
sedikit suling emasnya hingga Nyai Tumbal Jiwo merasa perutnya seperti
terbongkar dan menjerit kesakitan.
"Aku ... aku juga bertobat," ucap si nenek. Datuk Rao Basaluang Ameh berpaling
pada Datuk Awan Putih.
"Datuk, tolong ambil benda bercahaya biru yang ada dalam tubuh nenek ini."
"Jangan kelewatan! Itu tidak termasuk dalam perjanjian!" teriak Nyai Tumbal Jiwo
marah begitu mendengar ucapan sang Datuk.
"Kau mencuri benda sakti di dalam tubuhmu dari seorang sahabatku di tanah
Jawa ...."'
"Kalau kau mengambilnya berarti kau juga jadi pencuri,"teriak Wira Bumi.
"Aku akan mengembalikan pada pemiliknya." jawab Datuk Rao Basaluang
Ameh."Sekarang kalian berdua dengar baik-baik. Kalau di kemudian hari kalian
masih muncul dan tetap ingin melakukan niat jahat terhadap bayi ini, aku tidak
akan berbelas kasihan lagi."
Datuk Rao Basaluang Ameh memberi tanda pada Datuk Awan Putih. Orang tua ini
dengan cepat sapukan telapak tangan kanannya satu jengkal di atas dada rata si
nenek. Lima jari dikepal. Ketika tangan ditarik kebelakang dengan gerakan
membetot, Nyai Tumbal Jiwo menjerit dan hampir terjengkang. Datuk Awan Putih
buka kepalan. Di atas telapak tangannya kini ada sebuah benda lonjong seperti
telur ayam memancarkan cahaya biru.
Datuk Rao Basaluang Ameh memberi tanda pada harimau putih sakti. Binatang ini
lepaskan gigitan di leher Wira Bumi. Lalu sang Datuk sapukan seruling emasnya.
"Dess! Dess!"
Tubuh Wira Bumi dan si nenek terpental terguling-gulihg di tanah sampai belasan
tombak. Begitu bangun, dengan cepat keduanya melarikan diri ke arah timur.
Wiro Sableng 159 Bayi Satu Suro di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Di satu tempat Wira Bumi tidak tahan untuk keluarkan ucapan.
"Nyai! Saya akan celaka seumur hidup! Batu mustika yang harus kita serahkan pada
Ratu Laut Utara sekarang sudah diambil Datuk keparat itu! Mata saya tidak akan
kembali! Saya akan buta sebelah sampai mati! Ratu keparat itu! Dia menipu kita!
Dia sama sekali tidak memberi pertolongan kecuali ilmu merubah diri yang tidak
ada apa-apanya!"
"Wira Bumi, tidak perlu bersedih. Keselamatan nyawa kita lebih penting dari batu
mustika itu. Selain itu kita masih punya kesempatan untuk menghabisi bayi itu.
Bukankah Ratu Laut Utara memberi tahu bahwa bayi itu akan dibawa ke tanah jawa
ini" Kita tinggal mencari tahu dimana dan kapan waktunya. Aku punya dugaan
kejadiannya tidak akan lama tagi."
Wira Bumi tidak perdulikan ucapan sang guru. Dia tetap rnengumpat. "Tapi mata
kiri saya ini Nyai. Saya mana bisa hidup saya mana bisa hidup seperti ini. Patih
Kerajaan bermata buta sebelah!"
" Walau matamu buta dua-dua aku tetap suka padamu. Mari kita mencari tempat
untuk bermesraan ..."
'Nyai, dalam keadaan seperti ini sebaiknya lain kali saja hal itu kita lakukan."
"Jika kau tidak mau melayaniku, berarti hubungan kita cukup sampai di sini ..."
"Tunggu Nyai jangan pergi. Saya akan memenuhi permintaanmu"
kata Wira Bumi pula.
Si nenek tertawa gembira lalu menarik lengan Wira Bumi membawanya ke balik semak
belukar. "Kau tahu, darah yang membasahi pakaian dan tubuhmu membuat aku benarbenar terangsang. Akan kuhirup darah yang ada di lehermu!"
* * * DUABELAS TAK SELANG berapa lama setelah Wira Bumi dan Nyai Tumbal Jiwo menggulingkan diri
ke balik semak belukar, dua orang berkelebat cepat ke arah barat. Namun salah
seorang dari mereka tiba-tiba menarik lengan kawannya seraya berbisik.
"Ada pemandangan asyik ....."
Yang bicara adalah seoran nenek berambut kelabu berjubah kuning.
Telinga dihias anting terbuat dari tulang manusia. Si nenek bukan lain adalah
Kembaran Tiga Eyang Sepuh Kembar Tilu.
"Nek, matamu jetalatan saja. Apa maksudmu" Apa yang kau lihat?"
Pemuda gondrong yang Pendekar 212 Wiro Sableng adanya bertanya.
"Sstt jangan bicara kelewat keras. Nanti mereka tahu. Ayo, membungkuk, ikuti
aku." Wiro ikuti si nenek mengendap-endap ke balik sederetan pohon kelapa.
"Jongkok, lihat ke arah semak belukar sana bisik kembaran ketiga Eyang Sepuh
Kembar Tilu yang sebelumnya dikisahkan pernah menjadi Dewi Pemikat (baca serial
Wiro Sableng mulai dari "Petaka Patung Kamasutra" sampai "Nyawa Titipan ") Wiro
jongkok memperhatikan ke arah semak belukar yang ditunjuk si nenek.
Matanya membesar. Kepala digaruk.
"Astaga. Itu Patih Kerajaan Wira Bumi dan Nyai Tumbal Jiwo. Gila!
Berbuat mesum disiang bolong di tempat terbuka begini! Kenapa mata kirinya
dibalut"! Banyak darah di pakaiannya." ucap Wiro. Si nenek menimpali.
"Wah, tua bangka perempuan itu hebat sekali goyangannya!
Hemmm, eh lihat! Si nenek membalik. Ujudnya berubah jadi gadis cantik ueehhh!
Wah gila! Goyang terus .... ! Hik ... hik ... hik!"
"Nek, aku muak Kita tinggalkan tempat ini. Kalau mereka ada di sini pasti telah
terjadi sesuatu sebelumnya. Kita terlambat. Jangan-jangan mereka sudah membunuh
bayi itu."
"Kita hajar saja mereka sekarang"!" tanya si nenek
"Kita harus mencari Datuk Rao Basaluang Ameh lebih dulu. Aku yakin dia ada di
sekitar sini. Atau begini saja. Kalau kau masih mau mengintip terus aku pergi
saja, tunggu aku di sini. Awasi dua manusia bejat itu!"
"Tidak, aku ikut denganmu. Lama lama melihat aku bisa jadi kepingin! Siapa
lelaki yang mau jadi lawanku" Kau"! Hik ... hik ...
hik!" kembaran ketiga Eyang Sepuh Kembar Tilu tertawa cekikikan lalu buru-buru
menarik tangan Wiro.
Tak lama menyusuri pantai ke arah barat Wro dan si nenek berpapasan dengan Datuk
Rao Basaluang Ameh yang mendukung Ken Permata serta tiga Datuk lainnya dan
harimau putih Datuk Rao Bamato Hijau.
Wiro melepas nafas lega. Ternyata Ken Permata masih hidup.
Pemuda ini buru-buru jatuhkan diri lalu bangkit menyalami dan rnencium tangan
Datuk Rao Basaluang Ameh. Dia mencium pipi Ken Permata. Sang bayi langsung saja
minta digendong oleh sang pendekar. Wiro juga menyalami tiga Datuk yang ada di
tempat itu lalu mengusap harimau putih.
"Datuk, saya mengalami kesulitan untuk bisa cepat datang ke tempat ini. Untung
nenek ini mau menolong.Ternyata saya masih terlambat ..."
DatukRao Basaluang Ameh tersenyum.
"Tidak jadi apa. Semua sudah bisa ditangani. Patih Kerajaan dan nenek jahat.
gurunya itu memang berhasil melarikan Ken Permata.
Namun dengan pertolongan tiga Datuk sahabatku ini, Ken Permata bisa kita
dapatkan lagi. Aku akan segera membawanya kembali ke Danau Maninjau." Sang Datuk
berpaling pada kembaran ketiga Eyang Sepuh Kembar Tilu.
"Anak muda, siapa nenek sakti sahabatmu ini?"
Mendengar orang bertanya perihal dirinya dengan sikap genit si nenek cepat-cepat
maju dua langkah, membungkuk lalu berkata.
"Maafkan, aku sampai lupa peradatan tidak memperkenalkan diri.
Aku nenek jelek dari alam roh. Kembaran ketiga Eyang Sepuh Kembar Tilu. Terakhir
sekali orang-orang memberiku nama Dewi Pemikat ...."
Si nenek tutup ucapannya dengan tertawa lebar lalu kedip-kedipkan mata pada sang
Datuk. Dia juga kedip-kedipkan mata pada tiga Datuk lainnya. Wiro cepat-cepat
menyikut rusuk si nenek.
"Aduh!" si nenek terpekik tapi kemudian kembali genit.
"Para sahabat orang gagah sekalian yang datang dari tanah seberang. lzinkan aku
memperlihatkan ujudku sebagai Dewi Pemikat. Kalau nanti kita bertemu lagi jangan
bilang kalian tidak mengenali diriku." Si nenek lalu putar tubuhnya. Saat itu
juga sosoknya berubah menjadi seorang gadis tinggi semampai, berkulit putih
berwajah cantik. Dibalut pakaian celana ringkas dan kebaya pendek kuning dengan
potongan sangat rendah di bagian dada.
"Nek, jangan berlaku kurang ajar! Ayo cepat ubah ujudmu!"' hardik Wiro.
Si gadis tertawa cekikikan. Putartubuh satu kali hingga ujudnya kembali seperti
semula yaitu seorang nenek berambut kelabu, bermata merah dan bemulut perot!.
Datuk Rao Basaluang Ameh dan tiga Datuk lainnya senyum-senyum saja. Lalu dia
berkata pada sang murid.
"ilmu orang di tanah Jawa hebat-hebat. Aku dan tiga Datuk benar-benar
mengagumi.," memuji Datuk Rao Basaluang Ameh. Membuat si nenek tersenyum girang,
lalu dia berpaling pada Wiro.
"Anak muda, ingat baik-baik Satu bulan dimuka aku akan membawa bayi dalam
dukunganmu itu ke tanah Jawa. Kau harus bisa mendatangkan Nyi Retno Mantili.
Untuk sementara rencana pertemuan adalah di pantai selatan kawasan Parangtritis.
Di satu pulau kecil bernama Watu Gilang. Harinya malam Satu Suro."
Wiro mengangguk berulang kali. Sang Datuk tatap wajah Pendekar 212 sejurus lalu
berkata. "Aku melihat ada ganjalan dalam dirimu.
Apakah kau tahu dimana ibu bayi ini berada" Apakah selama ini kau tidak
mendampinginya seperti pintaku dulu?"
"Datuk, maafkan saya. Saat ini saya memang tidak tahu dimana Nyi Retno Mantili
berada. Dia pergi begitu saja sewaktu saya melarangnya membunuh Patih Kerajaan
yang adanya suaminya sendiri."
"Kalau begitu cari perempuan itu sampai dapat. Dia sudah harus bersamamu sebelum
rnalam Satu Suro."
"Baik Datuk, akan saya ingat hal itu baik-baik Datuk," kata Pendekar 212 sambil
melirik pada benda lonjong biru yang ada di tangan Datuk Awan Putih.
"Kalau begitu sudah saatnya kami semua meninggalkan tempat ini."
Wiro buru-buru menyalami sang Datuk dan tiga Datuk Iainnya.
Setelah mencium Ken Permata bayi ini diserahkan pada Datuk. Wiro juga memeluk
harimau putih. Atas permintaan Datuk Rao Basaluang Ameh, Datuk Awan Putih
menyerahkan Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru pada Pendekar 212 dengan pesan
agar nanti diserahkan pada pemiliknya yaitu Nyai Roro Kidul.
Setelah semua orang dari Pulau Andalas meninggalkan pantai, sambil menimangnimang Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru Wiro berkata pada kernbaran ketiga
Eyang Sepuh KembarTilu.
"Nek, kau saja yang memegang batu mustika ini." Wiro serahkan Batu Mustika Angin
Laut Kencana Biru pada si nenek yang segera disimpan di balik dada pakaian.
"Nek, kebetulan kita memegang batu saki ini. Bagaimana kalau kita pergunakan
kesempatan untuk menemui Kiai GedeTapa Pamungkas. Bukankah saat bulan purnama
muncul akan datang besok malam?"
"Aku ikut saja terserah kemana kau mau pergi. Tapi kau berulang kali menyatakan
kekawatiranmu pergi menemui Kiai itu. Kau mengatakan bahwa Kiai akan
membicarakan soal perjodohanmu dengan Ratu Duyung. Padahal kau bilang belum mau
kawin. Aku yakin itu dalihmu saja. Sebenarnya kau ini mau kawin sama siapa?"
"Kau cemburu Nek?" tanya Wiro.
"Apa" Aku cemburu" Hik ... hik ... hik! Aku tahu diri ...."
"Aku jadi bingung. Nek.."Wiro garuk-garuk kepala.
"Sudah, dari pada bingung ayo kita intip lagi pekerjaan dua orang mesum itu!"
kata si nenek sambil menarik tangan Pendekar 212
Wiro Sableng dan tertawa cekikikan.
* * * TIGABELAS MALAM Satu Suro, malam perayaan pergantian tahun, jatuh tepat pada malam Jum'at
Kliwon. Kawasan pantai Parangkusumo yang terletak di sisi barat pantai
Parangtritis dipenuhi jubalan manusia.
Semakin malam semakin banyak orang yang datang walau hujan rintik-rintik sempat
turun. Sayup-sayup di kejauhan, di atas sebuah panggung tinggi serombongan
pemain gamelan memberikan hiburan.
Para pedagang bertebaran dimana-mana menggelar dagangan.
Paling banyak tukang kembang dan penjual kemenyan. Di tepi pantai puluhan perahu
menunggu penumpang yang ingin mengarungi Laut Kidul atau menyeberang ke sebuah
pulau yang tidak berapa jauh letaknya dari pantai Parangtritis dan Parangkusumo.
Di atas pulau ini tampak dua buah bukit karang tinggi menjulang yang oleh
penduduk setempat disebut sebagai Watu Gilang. Baik di pantai maupun di pulau
tarnpak banyak sekali umbul-umbul dan bendera besar kecil aneka warna.
Ketika malam tiba, ratusan obor dinyalakan sampai ke tengah laut hingga keadaan
terang benderang tidak beda seperti sore hari.
Orang banyak yang datang ada yang berziarah ke makam seorang Syekh namun
biasanya paling banyak berperahu rnenuju pulau dan naik ke atas watu Gilang.
Hanya saja saat itu ombak di tengah laut sabung menyabung besar sekali sementara
angin bertiup kencang mengeluarkan suara menguing panjang. Karenanya tidak ada
orang yang berperahu ke tengah taut atau menyeberang menuju pulau.
Selagi orang banyak mengharap malam itu cuaca segera pulih dan laut menjadi
tenang tiba-tiba dari arah pulau melesat seorang berpakaian hitam. Kelihatannya
dia seperti meluncur di atas permukaan laut, naik turun dipermainkan gelombang,
meliuk-liuk di antara bambu obor yang di apungkan di permukaan laut.
Sebenarnya salah satu kaki orang ini menjajag di atas sopotong papan kecil.
Orang ramai di sepanjang pantai bersorak riuh menyaksikan pemandangan ini.
Bahkan ketika ada orang yang berteriak "Gusti Kanjeng Ratu Nyai Roro Kidul
berkenan datang!" semua orang tersentak hening, banyak yang langsung jatuhkan
diri bersujud di pasir.
Ketika orang yang berseluncur sampai di pantai, sebagian orang kembali bersorak
dan bertepuk tangan. Namun semua sorak sorai dan tepuk tangan ini serta merta
sirna ketika mereka melihat siapa adanya si peluncur yang mendarat!
Ternyata bukan Gusti Kanjeng Nyai Roro Kidul tapi seorang nenek cebol bungkuk
berpakaian hitam. Sambil melangkah sepasang matanya yang juling berputar liar.
Hidung pesek nyaris sama rata dengan dua pipi keriput. Rambut putih riap-riapan
sampai ke lutut.
Setiap melangkah kepalanya tiada henti mengangguk-angguk. Nyi Roro Manggut!
Nenek cebol ini ternyata bukan lain adalah tangan kanan orang kepercayaan Nyai
Roro Kidul, Ratu Penguasa Laut Selatan!
Sejak naik ke darat sambil membawa papan seluncurnya Nyi Roro Manggut melangkah
lurus-lurus dan akhirnya berhenti di hadapan seorang nenek kelabu berjubah
kuning yang berjualan kemenyan.
Pandangan matanya menyala tak berkesip. Air mukanya seperti hendak melahap si
nenek penjual kemenyan. Orang banyak mulai berkerubung.
"Nenek bungkuk, kau memandangku secara aneh. Apakah kau mau membeli kemenyan
untuk ziarah" Aku juga menjual pendupaan dan arang menyala. Harga di sini lebih
murah dari tempat lain!"
"Tua bangka pencuri! Manis juga mulutmu!" hardik Nyai Roro Manggut membuat nenek
penjual kemenyan yang bukan lain adalah kembaran ke tiga Eyang Sepuh Kembar Tilu
berjingkrak dan langsung berdiri.
Sambil berkacak pinggang si nenek kembaran ketiga berkata.
"Mulutku memang manis. Dan kau boleh tanya pada semua orang di tempat ini.
Jelek-jelek begini aku lebih bagus dari kau! Nenek jereng bongkok bau amis.
Kalau kau tidak punya uang untuk membeli kemenyan menyingkir dari depan
hadapanku! Kau mernbuat sial daganganku saja!"
Orang semakin banyak mengeliling tempat itu. Ada yang berteriak:
"Sudah, cakar saja Nek."
Orang banyak bersorak riuh rendah. Dimaki jereng bongkok dan bau amis Nyai Roro
Manggut mendidih amarahnya.Telunjuk tangan kanan ditudingkan ke dada nenek di
depannya hingga kembaran ketiga Eyang Sepuh Kembar Tilu terjajar satu langkah.
Hal ini membuat si nenek kaget.
"Heh, nenek jelek, kau ini siapa sebenarnya" Apa maumu?"
Nyai Roro Manggut delikkan mata, menatap tajam tak berkesip dengan matanya yang
jereng. "Tua bangka bermulut perot bapet!
Dengar baik-baik kata-kataku karena aku tidak akan mengulang!
Serahkan benda bercahaya biru yang ada di balik dada pakaianmu!
Sekarang juga!"
Kembaran ke tiga Eyang Sepuh Kembar Tilu karuan saja menjadi kaget karena sampai
saat itu dia memang masih menyimpan Batu Mustika Angin laut Kencana Biru yang
dititipkan Wiro. Si nenek memandang berkeliling. Matanya ditujukan ke deretan
perahu di tepi pantai. Mencari-cari kalau-kalau Wiro ada di sekitar situ.
Sebelumnya mereka memang datang bersama ke pantai
Parangtritis. Karena sesuai janji Datuk Rao Basaluang Ameh, bayi Ken Permata
akan dibawa ke tempat itu di malam perayaan Satu Suro. Selain itu Wiro
mengatakan bahwa dia sudah menyirap kabar kalau Nyi Retno Mantili dan Kemuning
si boneka kayu juga akan datang ke tempat itu.
Maklum kalau kejadian pertemuan ini akan banyak halangan bahkan bahaya maka
untuk berjaga-jaga si nenek mengawasi keadaan dengan berpura-pura menyamar jadi
pedagang kemenyan. Wiro sendiri memisahkan diri menyamar jadi awak perahu
sewaan. Sekali-sekali dia meninggalkan perahu, berkeliling mencari apakah Nyi Retno
Mantili sudah ada di tempat perayaan itu.
Kembaran ketiga Eyang Sepuh Kembar Tilu berkata. "Nenek bongkok, kau juga dengar
ucapanku. Jika kau seorang sahabat, jangan minta yang bukan-bukan. Benda yang
ada di balik pakaianku adalah titipan seseorang. Aku akan mempertahakan walau
harus mampus sampai tujuh kali! Hik ., hkhik! Tapi jika kau seorang musuh
seorang begal perempuan mari kita bertarung sampai sama-sama tewas!"
"Tua bangka jahanam! Enak saja mulutmu menuduhku begal perempuan! Aku adalah
Nyai Roro Manggut, mewakili Junjungan Ratu Penguasa Laut Selatan. Batu mustika
yang ada di balik pakaianmu adalah miliknya!"
"Puah! Setahuku para pembantu Ratu Nyai Roro Kidul cantik-cantik semua.Tidak ada
yang jelek dan bau amis sepertimu! Enak saja mengaku-aku!"
Nyai Roro Manggut tak dapat lagi rnenahan kesabaran. Amarah meledak. Di dahului
jeritan lantang kakinya menendang. Meja tempat jualan kemenyan dan pendupaan
mental hancur berantakan.
Kembaran ke tiga Eyang Sepuh Kembar Tilu tidak tinggal diam.
Sekali tangan kanannya bergerak breettt! Dada pakaian Nyai Roro Manggut robek
dan tersingkap lebar.
Semua orang yang ada di tempat itu dan semuanya termasuk si nenek yang jadi
lawan melengak kaget.
"Hah?" Nenek kembaran ketiga melengak sambil delikkan mata melihat dada seperti
rnilik perawan saja. Orang banyak berdecak dan memandang tidak berkedip.
Sebaliknya tanpa merapikan dulu pakaiannya Nyai Roro Manggut langsung menghantam
dengan pukulan Cahaya Surya Menembus Gelombanq. Selarik sinar putih kekuningan
menyambar. Nenek kembaran ke tiga tidak tinggal diam. Dia menangkis dengan jurus Roh Putih
Menarik Gendewa. Dua tangannya bergerak seperti orang menarik gendewa. Lalu satu
kiblatan cahaya merah menggebubu ke depan. Dua nenek sama-sama terpekik karena
menyadari diri masing-masing akan sama-sama terluka.
Di saat yang menegangkan itu tiba-tiba satu bayangan putih berkelebat disertai
Wiro Sableng 159 Bayi Satu Suro di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hembusan angin sedahsyat topan prahara.
"Blaarr!"
Cahaya pukulan saki dua nenek mencelat ke atas. Keduanya tegak tergontai-gontai
saling pandang dengan rnuka pucat. Saat itu ada seseorang menepuk bahu keduanya
disertai suara berkata.
"Kalian berada di pihak yang sama. Lekas pergi ke Watu Gilang!
Datuk sudah datang." Dua nenek tersentak kaget dan sama berpaling.
"Wiro!" seru nenek jejadian kembaran ke tiga.
"Pendekar Dua Satu Dua!" teriak Nyai Roro Manggut. Lalu dia bertanya." Ada apa
di Watu Gilang?"
"Nanti aku ceritakan!" kata nenek kembaran ketiga.
"Ayo ikut aku!" Nenek kembaran ketiga lalu pegang lengan Nyai Roro Manggut.
Disaksikan ratusan pasang mata yang tidak bisa percaya akan apa yang mereka
lihat dua nenek itu melesat ke udara. lalu melayang ke arah pulau dimana
terletak dua batu karang raksasa! Orang banyak benar-benar di buat geger!
Setelah dua nenek pergi orang banyak mengerubungi Wiro. Tapi pendekar ini cepat
menghindar. Dia berlari ke arah pantai sebelah timut dimana dilihatnya
serombongan anak muda tengah mempermainkan seorang perempuan cantik bertubuh
kecil yang bukan lain adalah Nyi Retno Mantili. Kalau mula-mula hanya menganggu
dengan ucapan kini para pemuda itu mulai berani meraba -raba tubuh Nyi Retno dan
menarik-narik boneka kayu dari bedongan sambil secara kurang ajar mengelus dada
Nyi Retno. Begitu sampai di hadapan para pemuda, tangan dan kaki Pendekar212 bekerja bak
buk bak buk. Lima orang pemuda nakal terkapar di tanah. Dua pingsan dengan
kepala benjut.Tiga meliuk-liuk sambil pegang hidung dan bibir yang pecah
berdarah! "Kemuning! Bapakmu datang!" teriak Nyi Retno Mantili.
"Nyi Retno aku benar-benar bersyukur kau mau datang. Tadinya aku kawatir ..."
Wiro memeluk perempuan itu erat-erat lalu berbisik.
"lkut aku jalan-jalan. Aku akan membawamu ke pulau di tengah laut sana ...."
"Tapi ombak begitu besar. Kernuning bisa mual dan muntah-muntah."
Wiro tertawa. "Kemuning anak hebat. Karena ibunya seorang bernama Nyi Retno
Mantili." "Dan bapaknya bernama Wiro Sableng!" sambung Nyi Retno Mantili.
"lya ... iya ..." Wiro manggut-manggut. Menggaruk kepala lalu menarik Nyi Retno
Mantili masuk ke dalam sebuah perahu
* * * EMPATBELAS DI TANAH datar antara dua bukit karang yang menjulang tinggi, diterangi selusin
obor Datuk Rao Basaluang Ameh tegak rnenggendong Ken Permata yang tertidur
lelap. Angin laut membuat janggut sang datuk yang putih panjang melambai-lambai.
Di samping kiri tegak harimau putih bermata hijau diapit kembaran ketiga Eyang
Sepuh Kembar Tilu dan Nyi Roro Manggut.
"Sunyi, keadaan begini tenang. Kesunyian dan ketenangan yang menimbulkan rasa
tidak enak ..." ucap nenek jejadian kembaran ke tiga dalam hati. Dia memandang
ke arah Datuk Rao Basaluang Ameh lalu mernperhatikan harimau putih di
sampingnya. "Dua datuk ini tampak tenang-tenang saja ... Apakah Patih Kerajaan
dan bergundal gendaknya bernama Nyai Tumbal Jiwo tidak mengetahui peristiwa ini"
Aku tidak yakin. Tapi sama sekali tidak ada tanda-tanda mencurigakan.
" Si nenek lalu mendekati Nyai Roro Manggut. Keduanya kini tampak sangat
bersahabat. Nenek kembar jejadian telah menyerahkan Batu Mustika Angin Laut
Kencana Biru pada Nyai Roro Manggut.
"Nyai, kau merasakan sesuatu ... ?" Belum sempat Nyai Roro Manggut menjawab
tiba-tiba Wiro dan Nyi Retno Mantili sudah kelihatan di ujung pedataran.
"Nyi Retno, anakmu Ken Permata sudah ada di sini. Lihat bayi yang didukung kakek
berpakaian putih itu. Anakmu cantik dan sehat."Wiro berucap sambil memegang
lengan dan perhatikan wajah Nyi Retno.
Tadinya dia mengira perempuan ini seperti yang sudah-sudah akan mengeluarkan
suara keras. "ltu bukan bayiku, itu bukan anakku. Aku tidak pernah punya anak
bernama Ken Permata. Anakku Kemuning."
Tapi saat itu Nyi Retno Mantili diam saja malah tampak tersenyum lalu keluarkan
ucapan."Kalau bayi itu anakku berarti dia juga anakmu. Karena bukankah kau
bapaknya?"
Wiro menggaruk kepala.
"Dua kali dia menyebut kata bapak. Yang sudah-sudah Nyi Retno selalu mengatakan
aku ini ayah Kemuning bukan bapak. Sejak tadi aku perhatikan dia tidak
menunjukkan sikap tidak waras. Lalu waktu di ganggu lima pemuda dia tidak marah
apa lagi menghajar mereka padahal dia sanggup melakukan. Perubahan apa yang
terjadi dengan diri Nyi Retno?" Wiro membatin. Lalu dia bertanya."Nyi Retno, kau
gembira bertemu dengan Ken Permata?"
"Hatiku sama gembiranya dengan hatimu. Bukankah begitu?"
Wiro cuma mengangguk-angguk. Sampai di hadapan Datuk Rao Basaluang Ameh Pendekar
212 Wiro Sableng membungkuk hormat lalu menyalami mencium tangan. Nyi Retno
Mantili melakukan hal yang sama.
"Jadi inilah Ibu muda yang bernama Nyi Retno Mantili," berkata sang Datuk. "Satu
setengah tahun lebih aku bersama Ken Permata. Aku merasa bayi ini sebagai cucuku
sendiri. Sekarang saatnya aku menyerahkan Ken Permata kepadamu ibu kandungnya.
Aku merasa sedih berpisah dengan anak ini. Jaga dan rawat dia baik-baik ..."
Sepasang mata Datuk Rao Basaluang Ameh tampak berkaca-kaca.
Datuk Rao Bamato Hijau si harimau sakti keluarkan suara menggereng halus.
"Datuk, saya mengucapkan terima kasih. Semua budi Datuk tidak dapat saya balas.
Hanya Tuhan Yang Maha Kuasa yang akan membalas ...." Nyi Retno lalu mendukung
bayi yang masih tidur yang diserahkan Datuk Rao Basaluang Ameh padanya.
Wiro memperhatikan. Hatinya kembali bicara.
"Aneh, ada keanehan pada diri Nyi Retno. Masakan tidak ada rasa haru dan air
mata saat-saat dia mendapatkan bayinya kembali.Tidak ada sikap yang menunjukkan
dia tidak waras. Dia langsung menerima bayi itu adalah anaknya. Apakah dia bisa
berobah begitu cepat" Kalau benar maka Tuhan memang benar-benar Maha Kuasa! Tapi
...." Wiro menggaruk kepala, menatap ke arah Datuk Rao Basaluang Ameh tapi sang
Datuk tidak memandang ke arahnya. Wiro kembali memperhatikan Nyi Retno
Mantili."Caranya dia menggendong bayi itu. Bukan seperti seorang ibu yang
kehilangan bayinya sekian lama. Tidak satu kalipun kulihat dia mencium bayi
itu!"' "Nyi Retno, kau ingin kita segera meninggalkan pulau ini?"Wiro bertanya. "Ya.
sebaiknya kita pergi sekarang saja. Aku akan minta diri dulu pada Datuk. Selain
itu ada satu hal yang ingin kutanyakan."
Jawab Nyi Retno Mantili.
"Datuk, saya dan Ken Permata, juga Kemuning minta diri. Sekali lagi saya
mengucapkan terima kasih ...."
"Ya, pergilah. Apakah Wiro akan mengantarmu Nyi Retno?"
"Wiro akan mengantar saya."jawab Nyi Retno.
Tiba-tiba bayi yang sejak tadi tertidur lelap terbangun dan menangis.
"Ah, jangan-jangan dia haus. Biasanya Baiduri ibu susunya yang menyusuinya ..."
kata Datuk Rao Basaluang Ameh pula.
"Nanti akan saya susui. Hanya saja saya kawatir apakah susu saya ada airnya."
Ucap Nyi Retno Mantili.
Lalu dia menyambung ucapannya. "Datuk, sebelum pergi saya ada satu pertanyaan.
Mengenai sebilah golok besar bersarung perak yang dulu pernah diserahkan
pembantu saya bernama Djaka Tua.Apakah Datuk masih menyimpannya?"'
"Nyi Retno, untung kau bertanya. Aku yang sudah tua ini mulai pikun
rupanya ...." Dari balik selempang pakaian putihnya Datuk Rao Basaluang Ameh
keluarkan sebilah golok besar yang memang memiliki sarung berlapis perak.
Wiro memperhatikan. Otaknya berpikir-pikir. Hatinya bertanya-tanya.
Kepala digaruk berulang kali.
"Datuk, tunggu dulu!" Sebelum golok besar berpindah ke tangan Nyi Retno Mantili
murid Sinto Gendeng melompat menyambar senjata itu. "Maafkan saya Datuk." kata
Wiro lalu dia berpaling menghadap pada Nyi Retno.
"Nyi Retno, bagaimana kau tahu saal golok besar ini. Tidak ada seorangpun yang
bercerita padamu. Kalaupun kau tahu rasanya keadaan ingatanmu sudah tak mungkin
kembali pada senjata ini."
"Wiro, Djaka Tua selagi masih hidup pernah menceritakan padaku tentang lenyapnya
senjata ini dari dalam kamar suamiku ...."
Suamimu" Siapa suamimu Nyi Retno" Tanya Wiro.
"Wiro, mengapa kau bertanya begitu. Hik ... hik! Bukankah kau suamiku?" Nyi
Retno memutar tubuh. Bayi dalam dukungan kembali menangis. Nyi Retno Mantili
tidak berusaha menepuk-nepuk atau membujuk. Perempuan itu mulai melangkah.Tidak
acuh apakah Wiro akan menyertainya atau tidak. Namun Wiro tahu-tahu telah
berdiri di depannya. Mata menatap tak berkesip, lalu mulut berucap yang membuat
semua orang yang ada di tempat itu terkejut.
"Kau bukan Nyi Retno Mantili!"
"Srett!"
Wiro cabut golok dari dalam sarung. Nyai Roro Manggut dan kembaran ketiga Eyang
Sepuh Kembar Tilu terkesiap namun cepat bergerak ke kiri kanan Nyi Retno
Mantili. Harimau putih bermata hijau menjaga di sebelah belakang sementara Datuk
Rao Basaluang Ameh mendatangi dari depan.
"Wiro, apa-apaan ini" Kau suamiku" Kau bapak dari Ken Permata!
Kau mau berbuat apa"!"
Wiro gelengkan kepala. "Nyi Retno Mantili tidak pernah menyebut aku sebagai
bapak tapi ayah. Katakan siapa kau sebenamya!"
Tiba-tiba dari arah laut berlari mendatangi seorang lelaki tua berpakaian basah
kuyup. Rambut dan janggut panjang putih Dengan nafas megap-megap sambil menunjuk
ke arah Nyi Retno Mantili orang ini berterlak
"Dia dia bukan Nyi Retno Mantili. Dia ...."
Belum sempat dia selesaikan teriakan tiba-tiba selarik sinar merah menyambar.
Orang tua berpakaian putih menjerit keras. Tubuh terpental tiga tombak,
terbanting di tanah di salah satu kaki bukit karang. Sekujur tubuh mulai dari
kepala sampai ke kaki hangus merah. Kini bukan saja Wiro tapi semua orang jadi
curiga. Pendekar 212 membentak perempuan di depannya.
"Perlihatkan ujud aslimu! Kalau tidak kutabas batang leherrnu!"
Wiro melintangkan golok besar di udara. Golok telanjang di tangan sang pendekar
berkilauan terkena cahaya belasan obor. Diancam Wiro seperti itu Nyi Retno
Mantili malah tersenyum. Sepertinya otaknya yang tidak waras kembali kambuh.Tapi
ternyata tidak.
"Wiro, apa kau sudah gila hendak mernbunuh istri sendiri" Hendak membunuh ibu
dari anakmu Ken Permata?"
"Nyi Retno, serahkan bayi itu kembali padaku!"
Tiba-tiba Datuk Rao Basaluang Ameh berkata. Tangannya saat itu dia sudah
memegang suling yang terbuat dari emas.
"Wiro, Datuk, semua yang ada di sini. Aku tidak mengerti ..." Retno berucap
sambil memandang berkeliling. Tiba-tiba tangan kanan perempuan ini menyusup ke
pinggang. Sesaat kemudian tangan itu telah memegang sebilah pisau besar berkilat
dan langsung ditikamkan ke leher bayi yang mendadak menangis keras. Namun
gerakan Nyi Retno kalah cepat dengan ayunan tangan Pendekar 212.
Golok besar berkelebat. Nyi Retno Mantiii menjerit keras sebelum lehernya
terbabat putus. Tapi yang mengherankan suara jeritnya bukan suara jeritan
perempuan melainkan suara jeritan laki-laki!
Darah menyembur. Nenek kembaran ke tiga dengan gerakan cepat menyambar bayi
dalam dukungan. Begitu bayi berada dalam gendongan si nenek tubuh tanpa kepala
Nyi Retno roboh ke tanah.
Ketika golok berkelebat ke arah leher Nyi Retno, dari atas bukit karang Watu
Gilang menyambar satu cahaya merah. Datuk Rao Basaluang Ameh cepat sapukan
suling emasnya ke atas. Selarik sinar kuning berkiblat. Cahaya merah bertabur
cerai berai mengeluarkan suara menggelegar dahsssyat begitu kena dihantam sinar
kuning suling emas.
"Terima kasih Datuk, Datu k telah menyelamatkan nyawa saya ...
ucap Wiro. Datuk Rao Basaluang Ameh sapukan suling emasnya di atas tubuh Nyi
Retno Mantili. "Perlihatkan ujudmu sebenarnya agar kau tidak sesat dalam perjalanan ke
akhirat!" " Desssss! "
Satu letupan.menggema. Ujud Nyi Retno Mantili perlahan-tahan berubah menjadi
sosok seorang lelaki tinggi besar yang bukan lain adalah sosok wira Bumi. Di
kaki bukit karang kepala Nyi Retno yang menggelinding dalam waktu hampir
bersamaan berubah menjadi kepala Wira Bumi dengan mata kiri dibalut kain hitam.
"Celaka! Aku membunuh Patih Kerajaan!" Ucap Wiro, wajahnya sepucat mayat. Golok
dan sarung dibuang ke tanah. Lalu kepala digaruk berulang kali.
"Kau tidak membunuh siapa-siapa Wiro. Kau hanya jadi penyebab kematian seorang
manusia jahat. Semua telah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa," berkata Datuk Rao
Basaluang Ameh. Lalu orang tua ini bertanya. "Kau mengenali siapa orang tua yang
tadi meneriaki Nyi Retno Mantili palsu ... ?"
"Saya tidak dapat memastikan Datuk.Tapi ketika satu kali saya dalam keadaan
setengah pingsan ditolong Ratu Duyung, saya mengenali suaranya. Mungkin dia
adalah Kuncen bernama Ki Balang Kerso. Bekas penjaga makam Nyai Tumbal Jiwo ..."
Datuk Rao Basaluang Ameh kemudian melangkah mendekati nenek kembaran ketiga dan
mengambil Ken Permata dari dukungan si nenek.
"Saat ini sudah ditakdirkan bayi ini kubawa kembali ke Danau Maninjau. Wiro,
tugasmu belum selesai. Kau harus mencari ibu bayi ini sampai dapat. Jika bertemu
bawa dia ke tempat kediamanku di Danau Maninjau. Kau masih ingat ucapan terakhir
kali kita bertemu?"
Wiro gelengkan kepala. "Saat itu kita bicara banyak Saya tidak ingat. Ucapan
Datuk yang mana ..."
"Ucapanku bahwa ibu anak ini telah jatuh cinta pada dirimu. Dan saat ini kurasa
dia sangat mencintaimu. ...."
"Say ... saya ingat Datuk ..." jawab Wiro yang mendadak jadi merasa tidak enak.
Selesai berkata sang Datuk naik ke punggung Datuk Rao Bamato Hijau. Sesaat
kemudian orang-orang di pantai Parang tritis, dan Parangkusumo gempar melihat
satu benda putih melesat di langit malam yang mulai cerah karena hujan gerimis
telah berhenti.
Di pulau Watu Gilang Pendekar 212 Wiro Sableng masih termangu-mangu ketika
ditelinganya tiba-tiba ada suara perempuan mengiang.
"Aku Nyai Tumbal Jiwo. Kau telah membunuh kekasihku. Aku akan membalas dendam
kematiannya Kecuali jika kau mau menjadi pengganti ..."
"Hah! Apa?"Wiro letakkan dua telapak tangan di atas daun telinga lalu digoyang
kuat-kuat. "Wiro ada apa?" tanya nenek kembaran ke tiga.
"Kau bicara sendirian!"
"Mungkin dia tiba-tiba menjadi tidak aras karena di inggal mati Nyi Retno
Mantili jejadian!" kata Nyai Roro Manggut pula lalu tertawa cekikikan.
"Nenek berdua, sebaiknya kita tinggalkan tempat ini."
"Kami tidak akan pergi bersamamu. Kami mau rnerayakan malam Satu Suro di pantai
Parangtritis ..."
"Memangnya kenapa kalau kita pergi bertiga ?" tanya Wiro.
Dua nenek menjawab berbarangan. "Nanti ada yang marah. Kata Datuk Nyi Retno
Mantili sangat mencintaimu!"
"Kalian cemburu!"
Dua nenek tertawa mengekeh. Keduanya saling berpegangan tangan lalu melesat ke
udara. "Hai tunggu!"Teriak Wiro.
Tapi dua nenek telah lenyap di udara malam.
Tinggal sendirian Wiro lari ke tempat dia meninggalkan perahu di tepi pantai
pulau. Ketika hendak mengambil kayu pendayung mendadak dia melihat seseorang
perempuan muda cantik jelita, berpakaian sangat seronok hingga sebagian besar
tubuhnya tersingkap berbaring menelentang di lantai perahu. Dua kaki sengaja
dikembang dan diletakkan di atas sisi perahu.
"Kau siapa"!" tanya Wiro.
Si cantik yang ditanya tersenyum. Barisan giginya kelihatan rata dan putih
"Namaku Nyi Wulas Pikan. Mulai malam ini kau adalah kekasihku pengganti Wira
Bumi yang telah kau bunuh ...." Si cantik dalam perahu tertawa cekikikan lalu
sosoknya lenyap dari pemandangan.
"Nyi Wulas Pikan." ucap Wiro sambil menggaruk kepala.
"Aku tidak pernah mendengar nama itu sebelumnya.Tapi aku ingat.
Wajah gadis tadi sama dengan wajah gadis yang ditiduri Wira Bumi di balik semak
belukar di pantai. Pasti dia jejadian Nyai Tumbal Jiwo!"
Wiro berbalik. Murid Sinto Gendeng melengak kaget dan menyumpah panjang pendek
karena begitu berbalik kakinya menendang sesuatu. Di tanah dilihatnya sosok wira
Bumi, tubuh dan kepala sudah tersambung kembali. Namun di lain kejap sosok itu
kemudian lenyap dari pemandangan.
"Edan! Edan!" maki Wiro berulang kali.
"Hik ... hik." Tiba-tiba ada tawa rnengiang di telinga Wiro.
"lni aku lagi. Kekasihmu. Nyi Wulas Pikan. Setelah aku mengurus mayat Wira Bumi.
Wiro Sableng 159 Bayi Satu Suro di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Apakah malam ini kita bisa bersenang-senang sampai pagi"'
"Hik ... hik Wiro menirukan tawa mengiang.'Gila! Edan!" makinya kemudian.
"Gila! Edan!Yang gila dan yang edan itulah yang paling enak. Kita akan sama-sama
merasakan kelak! Kita berdua pasti cocok. Kalau kau sudah merasakan hemmm ...
Kau tak akan meninggalkan diriku seumur-umur! Dan aku akan setia selalu padamu.
Hik .... hik ... hik!"
"Setan Perempuan! Mampuslah!" teriak Wiro lalu tidak kepalang tanggung dia
lepaskan pukulan Sinar Matahari ke arah datangnya suara mengiang. Namun yang
dihantam hanya udara malam kosong. Dua belas obor hancur berantakan. Keadaan di
pulau menjadi agak gelap. Wiro usap kuduknya yang terasa dingin.
Sialan! Sialan!" maki sang pendekar berulang kali.
"Tidak sial! Tidak sial! Kau beruntung mendapatkan diriku! Aku beruntung
mendapatkan dirimu!" Suara mengiang kembali terdengar di telinga Wiro.
"Jahanam! Setan keparat!" Wiro hantamkan kakinya ke tanah. Pasir pantai amblas
membentuk lobang dalam dan besar. Saking kesal Wiro jatuhkan diri ke dalam
lubang. Dia tetap tidak bergerak sewaktu ombak memecah di pasir dan air laut
masuk ke dalam lobang.
* * * TAMAT Dimana beradanya Nyi Retno Mantili yang asli"
Apakah sesuatu telah terjadi dengan dirinya!
Apakah Pendekar 212 Wiro Sableng mampu menghindar dari kejaran penuh nafsu Nyi
Wulas Pikan alias NyaiTumbal Jiwo!
lkuti serial berikutnya berjudul :
Senopati Pamungkas 13 Kisah Si Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo Tembang Tantangan 25
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama