Wiro Sableng 167 Fitnah Berdarah Di Tanah Agam Bagian 2
*** WIRO SABLENG FITNAH BERDARAH DI TANAH AGAM
7 UARA menguik keras dan panjang disertai kepak
sayap dan disusul suara benda jatuh membuat Datuk SMarajo Sati yang berada di
dalam goa hentikan zikirnya lalu berlari ke mulut goa. Sesaat kemudian terdengar
teriakan mengucap datuk pimpinan Luhak Nan Tigo ini.
"Astaghfirullah! Rajo Di Langit! Apa yang terjadi dengan dirimu!"
Di mulut goa saat itu tergeletak seekor burung elang putih besar. Matanya yang
merah berkedap-kedip, dua kali menggeliat. Sayap kiri burung besar ini tampak
patah dan ada warna hitam di sekitar patahan sayap sebelah atas serta bawah.
"Rajo, siapa yang mencelakaimu. Luka di tulang sayapmu mengandung racun. Kau
bisa menemui ajal sebelum tengah hari..." Datuk Marajo Sati usap-usap tengkuk
elang putih peliharaannya ini yang diberi nama Alang Putih Rajo Di Langit.
"Rajo, dengar ucapanku. Aku akan melakukan sesuatu. Ini akan sangat sakit. Tapi
tidak ada cara lain untuk menyelamatkan nyawamu..."
Elang putih besar kedipkan sepasang mata dua kali.
Lalu mendesah perlahan. Tangan sang Datuk berhenti mengusap. Tiba-tiba, kraakkk!
Datuk Marajo Sati patahkan sebagian atas sayap kiri Alang Putih Rajo Di Langit.
Burung besar ini menguik keras kesakitan. Sayap sebelah kanan menggelepar
menghantam dinding mulut goa hingga dinding batu pecah rontok berhamburan.
"Rajo, kau akan mengalami kesulitan terbang. Tapi tidak akan lama. Aku akan
memberimu obat hingga sayapmu bisa tumbuh lebih cepat. Begitu kau sembuh, kita
harus mengetahui dan mencari siapa manusia keji yang mencelakaimu. Aku akan
memberi pembalasan padanya.
Akan aku tanggalkan tangan kirinya!"
Saat itu karena mendengar suara mengucap keras sang Datuk dan juga pekik elang
putih, dari dalam goa keluar seorang gadis cantik berwajah putih kemerahmerahan, berambut hitam panjang dijalin dan digulung di atas kepala.
"Datuk, apa yang terjadi dengan elang putih itu?" Si gadis bertanya. Wajah dan
nada suaranya menunjukkan rasa cemas. Inilah Chia Swie Kim yang sebenarnya
adalah puteri seorang Pangeran Tiongkok. Gadis ini melarikan diri dari negerinya
sewaktu hendak dibunuh oleh sang ayah karena dituduh berzinah. Yang Maha Kuasa
menyelamatkannya dengan memasukkan tubuhnya secara gaib ke dalam kupu-kupu batu
giok bernama Kupu-kupu Giok Mata Dewa. Kupu-kupu batu yang berwarna biru
bercampur hijau ini ternyata bukan benda sembarangan.
Merupakan Pusaka Utama Kerajaan yang harus berada di tangan kaisar sebagai tanda
sahnya sang kaisar menduduki tahta Kerajaan Tiongkok. Sewaktu Chia Swie Kim
menyelamatkan diri lari dari Tiongkok, Pangeran memerintahkan seorang Perwira
Muda bernama Teng Sien untuk melakukan pengejaran berlangsung sampai ke tanah
Jawa, terus ke Pulau Andalas. Dalam melaksanakan tugasnya Perwira Teng Sien
meminta bantuan seorang tokoh silat asal Jawa bernama Ki Bonang Talang Ijo.
Sesampainya di Andalas jumlah pengejar yang diminta bantuan oleh Teng Sien
semakin bertambah. Mereka antara lain adalah Dua Hantu Gunung Sago Si Kalam
Langit dan Si Batu Bakilek. Si Kalam Langit tewas dibunuh oleh penyerang gelap.
Lalu ada sepasang nenek kembar berjuluk Si Kamba Pesek dan Si Kamba Mancuang
Tangan Manjulai, Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik, Datuk Mangkuto Karih Babegah
dan Tuanku Laras Muko Balang.
Konon rombongan para pengejar diberi hadiah dua peti batangan emas. Satu peti
telah diberikan lebih dulu.
Dalam pelariannya, Chia Swie Kim tersesat ke pantai barat Pulau Andalas dan
ditolong oleh seorang sakti bernama Sutan Panduko Alam. Sutan Panduko Alam meski
bisa menyelamatkan sang kupu-kupu dan menghabisi Datuk Mangkuto Karih Babegah
namun dia sendiri akhirnya tewas dikeroyok Ki Bonang Talang Ijo dan kawan-kawan.
Chia Swie Kim masih dalam ujud kupu-kupu kemudian diterbangkan sorban milik
Sutan Panduko Alam dan mendapat perlindungan dari Datuk Marajo Sati. Untuk
jelasnya riwayat tersebut dapat pembaca ikuti dalam serial sebelumnya berjudul
"Kupu-kupu Giok Ngarai Sianok".
Ketika Chia Swie Kim yang oleh Datuk Marajo Sati diganti namanya menjadi Puti
Bungo Sekuntum keluar dari dalam goa dan tahu-tahu telah berada di sampingnya di
mulut goa, kejut sang Datuk bukan alang kepalang.
"Puti, lekas masuk ke dalam! Bukankah aku sudah mengingatkanmu berulang kali
jangan berada di sekitar mulut goa?"
Sadar akan kesalahannya, Puti Bungo Sekuntum cepat berkata. "Maafkan saya
Datuk..." Lalu dengan segera gadis ini masuk ke dalam goa kembali, di tempat
mana dia telah berada selama beberapa hari sejak pertama datang diterbangkan
sorban Sutan Panduko Alam.
Walau Puti Bungo Sekuntum hanya sesaat berada di mulut goa namun saat itu
seseorang lelaki bermuka cacat yang berada jauh di dasar ngarai, dekat tepian
Batang Anai masih sempat melihat kehadiran sosoknya. Rahang menggembung, geraham
bergemeletakan. Sepuluh jari tangan digerakkan hingga mengeluarkan suara
berkeretekan. "Chia Swie Kim. Waktu aku masuk ke dalam goa, aku memang tidak melihat dirimu.
Tapi aku sudah menduga dan curiga. Saat itu kau ada di sana, entah dalam ujud
apa. Jika aku tidak mungkin mendapatkan dirimu, jangan salahkan kalau aku akan
membuat kegegeran besar di negeri ini. Satu persatu akan aku habisi semua orang
pandai di negeri ini hingga kau tidak lagi mempunyai tempat untuk berlindung!
Korbanku termasuk Datuk yang tinggal bersamamu di dalam goa itu!"
Lelaki muda berwajah cacat balikkan badan, keluar dari balik semak belukar di
tepi sungai. Namun gerakannya tertahan ketika tiba-tiba di hadapannya telah
menghadang seorang lelaki tinggi besar, mengenakan pakaian dan celana galembong
hitam, berkepala botak berkilat dan memelihara kumis, janggut serta berewok
lebat. Tangan kanan orang ini dibalut dengan kain yang digantungkan ke leher.
Tidak seperti si muka cacat, orang ini tidak sempat melihat kehadiran Puti Bungo
Sekuntum di mulut goa.
"Manusia bermuka cacat! Apa yang kau lakukan di tempat ini. Kau mengintai ke
arah goa! Kau membekal niat jahat!" Orang tinggi besar yang bukan lain adalah
Duo Hantu Gunung Sago Si Batu Bakilek membentak. Dia sengaja datang ke Ngarai
Sianok untuk menyelidiki kebenaran cerita Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai yang
memberi kesan bahwa Datuk Marajo Sati ada sangkut paut dengan kematian
saudaranya Si Kalam Langit. Selain itu dengan adanya tulisan di kain putih, dia
juga akan mencari Pendekar 212 Wiro Sableng yang dituduh sebagai pembunuh
saudaranya. Salah satu dari kedua orang itu, entah sang Datuk entah pemuda dari
Jawa itu pastilah yang telah membunuh Si Kalam Langit, begitu jalan pikiran Si
Batu Bakilek. Orang yang dibentak Si Batu Bakilek tampak terkejut dan gugup, tak bisa
menjawab. Tapi tangan kanan dengan cepat bergerak ke pinggang. Dalam
genggamannya saat itu ada tiga buah benda hitam berbentuk bintang sudut empat.
Melihat benda itu Duo Hantu Gunung Sago Si Batu Bakilek terkejut dan delikkan
mata. Dia ingat cerita Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai tentang kematian
saudaranya Si Kamba Langit. Menurut si nenek
saudaranya itu tewas dibunuh dengan senjata rahasia oleh seorang penyerang
gelap. Namun kemudian ada tulisan rahasia di atas sehelai kain putih yang
menyatakan si pembunuh adalah Pendekar 212 Wiro Sableng. Karena tidak pernah
mengenal Wiro, Si Batu Bakilek mengira, si muka cacat inilah Pendekar 212 Wiro
Sableng yang telah membunuh saudaranya.
"Pemuda jahanam! Kau telah membunuh saudaraku!
Kau harus tebus nyawanya dengan nyawa anjingmu!"
Tidak tunggu lebih lama Si Batu Bakilek langsung hantamkan tendangan kaki kiri.
Yang diserang dengan cepat menghindar sambil berusaha menangkap kaki lawan.
Namun tendangan si Batu Bakilek dalam jurus bernama Nago Gadang Kalua Sarang
(Naga Besar Keluar Sarang) berkelebat lebih cepat, menyusup laksana kilat
menghajar dada si muka cacat. Tendangan yang begitu keras membuat orang yang
ditendang mencelat dua tombak, tergelimpang di tanah semburkan darah dari mulut.
Sambil bergerak bangkit, di antara erangan mulutnya dia keluarkan ucapan
bergumam yang tidak jelas.
Melihat orang masih bisa bangun, malah melangkah ke arahnya Duo Hantu Gunung
Sago Si Batu Bakilek dengan geram dan berteriak keras segera mendatangi. Kembali
dia siap melancarkan tendangan. Tendangan kali ini disertai dengan rapal ajian
Dongkak Batu Beracun (Tendangan Batu Beracun). Jangankan tubuh manusia, badan
seekor kerbau besarpun akan hancur remuk kalau sampai kena tendangan ini. Namun
di saat yang sama, si muka cacat masih bisa membuat gerakan kilat. Ketika tangan
hanya tinggal sejarak panjangnya lengan, tangan kanan si muka cacat bergerak.
Tiga senjata rahasia berbentuk bintang sudut empat berkiblat di udara
mengeluarkan suara nyaring seperti tiupan seruling. Si Batu Bakilek yang tidak
menyangka akan mendapat serangan lebih cepat dari yang hendak dilancarkannya
sementara dua telinganya bergetar sakit oleh suara menguing keras, hanya mampu
mengelakkan dua buah bintang terbang. Senjata rahasia yang ketiga menancap telak
di antara dua matanya!
Manusia tinggi besar ini menggerung keras lalu ambruk ke tanah dengan mata
membeliak! Walau muka sampai kepala botaknya serta merta menjadi kehitaman tapi
dia tidak langsung menemui ajal! Tiba-tiba tubuh Si Batu Bakilek yang dalam
keadaan sekarat ini melesat ke udara.
Dua kaki terkembang, menyambar ke arah leher lelaki bermuka cacat. Lalu laksana
kilat seperti dua japitan raksasa, dua kaki menelikung dan menjepit leher lawan
dalam jurus disebut Manyemba Tonggak Narako
(Menyambar Tiang Neraka). Ini merupakan jurus serangan ilmu silat yang sulit
dilakukan. Konon Duo Hantu Gunung Sago telah menghabiskan waktu tiga tahun untuk
mempelajari hanya satu jurus ilmu silat ini dari seorang tokoh silat yang
bermukim di Pulau Nias. Sekali lawan terkena jepitan dua kaki jangan harap bisa
selamatkan diri dari kematian.
Kraakkk! Leher si muka cacat berderak patah! Dua tubuh
tergelimpang jatuh di tanah dan sama-sama tewas saat itu juga.
*** SEHARI kemudian, yaitu pada malam hari, bau busuk dua mayat yang tergeletak di
tepi Batang Anai tercium masuk sampai ke dalam goa tempat kediaman Datuk Marajo
Sati. Ketika dia muncul di mulut goa, dia melihat banyak nyala suluh di dasar
ngarai. Sang Datuk turun ke ngarai. Dia menemui lebih dari sepuluh orang
penduduk setempat tengah mengelilingi dua sosok mayat. Mayat pertama dikenali
Datuk Marajo Sati sebagai Duo Hantu Gunung Sago Si Batu Bakilek. Mayat kedua
agak aneh. Ketika Datuk Marajo Sati mengambil suluh dan
mendekatkan ke wajah orang dia segera mengetahui wajah cacat itu hanya merupakan
sebuah topeng tipis. Perlahan-lahan sang Datuk tanggalkan topeng wajah cacat
yang menutupi muka orang. Begitu topeng terbuka kelihatan wajah seorang pemuda
berkulit kuning bermata sipit.
"Orang Cino..." beberapa penduduk keluarkan ucapan hampir berbarengan. Jantung
Datuk Marajo Sati berdetak.
Dengan cepat orang tua ini berkata pada semua orang yang ada di sana. Karena
saat itu sudah malam hari dan tidak membawa peralatan, maka mereka diminta
datang lagi besok pagi untuk mengurus dua mayat.
Setelah orang-orang itu pergi Datuk Marajo Sati segera menemui Puti Bungo
Sekuntum di dalam goa.
"Puti, aku ingin kau merubah diri menjadi kupu-kupu.
Kita turun ke ngarai sekarang juga. Ada dua mayat di dasar ngarai. Yang seorang
aku kenali. Satunya aku minta kau memeriksa, mungkin kau mengenali siapa
orangnya, di ngarai kau jangan mengeluarkan suara sedikitpun. Jika sudah kau
perhatikan baik-baik mayat yang satu itu segera kembali ke goa, aku akan
menyusul."
Mendengar ucapan Datuk Marajo Sati, Puti Bungo Sekuntum alias Chia Swie Kim
segera merubah diri menjadi kupu-kupu besar. Begitu sang Datuk melompat keluar
goa, kupu-kupu ini segera terbang mengikuti. Di dasar ngarai Datuk Marajo Sati
yang sampai lebih dulu berdiri di depan mayat yang sebelumnya mengenakan topeng.
Dia memberi isyarat pada kupu-kupu besar.
Binatang ini melayang berputar tiga kali di atas mayat lalu melesat ke atas
ngarai, masuk kembali ke dalam goa.
Ketika Datuk Marajo Sati sampai di dalam goa, Puti Bungo Sekuntum sudah menunggu
dalam ujud gadis cantik. Wajah gadis ini tampak pucat. Sewaktu ditegur oleh
Datuk, untuk beberapa lamanya dia hanya bisa berdiam diri walau bibir tampak
bergetar bergerak-gerak.
"Anak gadis, aku tahu ada sesuatu yang membuat perasaanmu tertekan. Mungkin juga
ada rasa takut. Kau tak usah khawatir. Tenangkan dirimu. Kalau sudah jawab
pertanyaanku. Apakah kau mengenali mayat pemuda Cina di dasar ngarai itu?"
Perlahan-lahan Puti Bungo Sekuntum anggukkan
kepala. "Siapa dia...?"
"Namanya Loe Singkang. Dia bukan orang Cina tapi berasal dari Tibet. Dia murid
sebuah perguruan besar di daratan Tiongkok. Dia orang yang memfitnah saya
berbuat zinah hingga ayah membunuh kekasih saya Kui Hoa Seng, juga berniat
menghabisi saya. Rupanya dia mengikuti saya sampai ke sini..."
"Kau tahu mengapa pemuda dari Tibet itu berbuat begitu keji memfitnahmu sampai
kekasihmu dibunuh bahkan ayahmu yang Pangeran itu juga berniat menghabisi
dirimu?" "Loe Singkang mencintai saya. Tapi cintanya saya tolak karena saya telah lebih
dulu mengasihi koko (kakak) Hoa Seng. Dia lalu mengarang cerita menebar fitnah.
Ayah saya malu dan marah besar."
Datuk Marajo Sati tarik nafas dalam, mengusap wajah lalu berkata. "Masuklah ke
dalam ruanganmu. Jangan sekali-kali berani keluar kecuali aku memanggilmu."
"Baik Datuk..."
Setelah si gadis masuk ke dalam ruangan di balik dinding goa, Datuk Marajo Sati
merenung. "Agaknya tempat ini tidak aman lagi bagi Puti Bungo Sekuntum. Aku
harus mencari tempat lain untuk menyembunyikan dan melindunginya. Apakah aku
harus berunding dengan para datuk" Aku khawatir mereka akan berburuk sangka atau
ada yang berlaku culas..."
*** KETIKA Datuk Marajo Sati turun ke dasar ngarai
bersama kupu-kupu besar perujudan Puti Bungo
Sekuntum, di dalam Batang Anai, terlindung di balik gelapnya satu gundukan batu
hitam, seseorang
memperhatikan gerak-gerik dua insan itu tanpa berkesip.
Setelah keduanya pergi, orang di balik batu menyeringai.
Perlahan-lahan dia keluar dari dalam sungai, berdiri di tepian.
"Datuk Marajo Sati, kau telah memberikan duka
sengsara padaku seumur-umur. Datuk rakus perambah (pemakan) daun muda, dalam
waktu kurang dari tujuh hari kau akan menerima pembalasanku! Kalau kau tidak
mati di tangan orang, maka kau akan mati bunuh diri karena malu!"
*** WIRO SABLENG FITNAH BERDARAH DI TANAH AGAM
8 TEK (panggilan untuk perempuan yang lebih tua dari si pemanggil) Salmah, penjual
serabi yang sekali dua Ehari selalu datang membawa dagangannya ke rumah istri
Datuk Marajo Sati di Koto Gadang pagi itu tidak muncul. Yang datang seorang
perempuan lain bertubuh ramping. Perempuan ini meletakkan dagangannya di tangga
atas rumah, menunggu penghuni rumah keluar. Tak lama kemudian muncul seorang
perempuan muda berparas elok berkulit putih. Rambut hitam sepinggang.
Inilah Gadih Puti Seruni, istri Datuk Marajo Sati yang konon baru menginjak usia
dua puluh tahun.
Penjual serabi memberi tahu kalau Etek Salmah sedang sakit dan hari itu dia
membantu menjajakan serabi. Dia mengaku bernama Jawiah, masih saudara sepupu
dengan Etek Salmah. Ini hanyalah satu kedustaan.
Setelah membeli serabi kesukaannya Puti Seruni menanyakan apa sakit Etek Salmah.
"Saudara saya agak demam. Mungkin masuk angin
karena kehujanan dua hari lalu."
"Kasihan Etek Salmah. Sampaikan salam saya. Saya doakan agar Etek cepat sembuh."
"Terima kasih. Salam akan saya sampaikan."
Pedagang serabi mengemas dagangannya tapi entah mengapa dia masih duduk
bersimpuh di tangga rumah sebelah atas.
"Apakah kurang uang bayaran saya?" tanya Puti Seruni.
"Tidak... Sudah cukup, sudah cukup," jawab Jawiah. Dia diam sebentar lalu
berkata. "Sebenarnya ada yang hendak saya sampaikan. Tapi saya takut nanti akan
menjadi masalah..."
Alis lengkung hitam dan bagus Puti Seruni bergerak naik. Matanya yang bulat
hitam bercahaya berkedip satu kali. "Apa yang hendak Etek sampaikan?" tanya
istri Datuk Marajo Sati.
"Apakah Datuk ada di dalam?" balik bertanya Jawiah.
Wiro Sableng 167 Fitnah Berdarah Di Tanah Agam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Puti Seruni menggeleng.
"Saya mendengar kabar yang tidak baik tentang Datuk.
Konon di luaran sudah banyak orang yang tahu..."
"Kabar tidak baik apa Etek" Dari mana Etek
mendengar. Apakah suami saya sedang sakit?"
"Saya mohon maaf kalau saya berlaku lancang..."
"Katakan saja Etek. Bukankah kabar baik atau kabar buruk harus disampaikan?"
"Tersiar kabar, konon Datuk Marajo Sati tidak tinggal sendirian di dalam goa di
Ngarai Sianok..."
"Saya tahu hal itu. Dia ditemani Alang Putih Rajo Di Langit. Burung elang
peliharaannya."
"Maksud saya... maksud saya bukan burung elang itu.
Tapi ada seorang perempuan yang kabarnya beraut wajah cantik, bertubuh rancak
dan berusia lebih muda dari adik Puti Seruni..."
Kalau ada petir menyambar di depan wajahnya, rasanya tidak sedemikian hebat
kejut Puti Seruni. Matanya tidak berkedip memandang lekat-lekat ke wajah Etek
Jawiah, mulut ternganga dan dada mulai berdebar.
"Tidak boleh jadi. Bagaimana mungkin. Datuk orang siak (alim), orang
beragama..." kata Gadih Putih Seruni tapi wajahnya telah berubah putih dan
tenggorokan bergerak turun naik.
"Maafkan saya," kata perempuan pedagang serabi.
"Saya tahu siapa Datuk suami adik. Jangan-jangan dia sudah kena diguna-guna.
Kabar lain konon yang tinggal bersama Datuk di dalam goa sebagai puteri jin.
Karena konon dia bisa menghilang... Saya berharap semua itu tidak betul. Tapi
jika saya tidak menyampaikan pada adik Puti Seruni saya merasa salah..."
"Apakah Etek Salmah juga mengetahui hal ini?" tanya Puti Seruni.
"Saya rasa dia sudah lebih dulu tahu dari saya. Tapi tidak bertega hati
menyampaikan pada adik Puti Seruni..."
"Kalau begitu, jika dia sudah sembuh minta dia segera datang menemui saya..."
"Akan saya beritahu. Tapi kalau saya tidak salah bukankah adik Puti Seruni masih
kemenakan Datuk Panglimo Kayo, Ketua Luhak Tanah Datar di Batusangkar?"
"Dari mana Etek tahu hal itu?"
"Apakah itu menjadi rahasia" Bukankah hampir semua orang tahu..."
"Kalau benar lalu kenapa?"
"Lebih baik adik menghubungi Datuk Panglimo Kayo lebih dulu. Menanyakan apakah
benar kejadian itu. Itu hanya nasihat saya supaya adik jangan terombang-ambing
dalam kebimbangan. Atau akan lebih baik kalau adik mendatangi langsung Datuk
Marajo Sati di Ngarai Sianok..."
"Beliau tidak pernah memperbolehkan saya datang ke sana," jawab gadih Puti
Seruni. "Oohhh, kalau begitu rupanya memang ada yang
dirahasiakan. Masakan istri sendiri tidak boleh mengunjungi suami..."
Gadih Putih Seruni terdiam. Wajahnya yang cantik tampak semakin menunjukkan
perubahan. "Sudah berapa lama kejadian ini Etek?" tanya istri Datuk Marajo Sati itu
kemudian. "Saya mendengar cerita itu di pasar sehari yang lalu.
Tapi sudah berapa lama kejadian sebenarnya tidak saya ketahui..."
Wajah putih Gadih Puti Seruni yang tadi pucat kini mengelam. Sepasang mata
tampak menjadi merah seolah menahan tangis. Tiba-tiba saja dia membalikkan diri
dan masuk ke dalam. Meninggalkan begitu saja serabi yang baru dibelinya. Jawiah
perempuan penjual serabi segera menuruni tangga rumah lalu cepat-cepat pergi.
Di pinggiran timur Koto Gadang perempuan ini
membelok memasuki jalan sunyi menurun. Di tepi sebuah jurang yang banyak
ditumbuhi pohon bambu dia berhenti.
Memandang kian kemari. Seperti mencari seseorang. Tak selang berapa lama, dari
balik rumpunan pohon bambu keluar seorang lelaki. Dari perawakannya tampak kalau
dia masih muda. Wajahnya tidak begitu jelas kelihatan karena tertutup topi lebar
terbuat dari daun pandan.
"Bagaimana?" tanya orang itu.
"Sudah saya lakukan." Jawab Jawiah.
"Bagus. Ini bayaran untukmu. Sekarang pergilah dari Koto Gadang. Pulang ke
kampungmu..."
Jawiah mengambil kantong kain berisi uang yang diserahkan orang.
"Bagaimana dengan Etek Salmah?"
"Kau tak usah memikirkan. Aku yang mengurus. Dia harus menghilang sampai Datuk
keparat itu menerima hukumannya." Lelaki itu mengambil ketiding berisi serabi
yang diletakkan Jawiah di tanah lalu dilemparkan ke dalam jurang.
Sementara ketiding dan serabi berhamburan masuk ke dalam jurang, di mata pemuda
bertopi pandan seolah terbayang kembali peristiwa setahun yang silam, di tepi
Batang Sianok di Ngarai Sianok...
*** SETELAH melakukan sholat Magrib di tepi sungai,
pemuda berusia dua puluh tiga tahun itu berzikir khidmat, suara zikirnya
menyebut asma Allah menggema lembut di seantero ngarai, tiada berkeputusan
sampai menjelang memasuki ba'da Isya. Suara zikir itu mengumandang masuk sampai
ke dalam goa tempat kediaman Datuk Marajo Sati. Sang Datuk terdiam sejenak.
Niatnya hendak melakukan sembahyang sunah dibatalkan.
"Insan sakti mana yang suara zikirnya sampai
menggema masuk ke dalam goa..." pikir Datuk Marajo Sati.
Dia melangkah ke mulut goa, memandang ke dalam ngarai sampai akhirnya sepasang
mata membentur sosok
pemuda yang duduk bersila. Sebenarnya pemuda ini tidak memiliki ilmu kesaktian
apa-apa kecuali ilmu silat biasa untuk melindungi diri. Namun kekhusukannya
telah menimbulkan kekuatan besar sehingga suaranya terdengar menggema ke
berbagai penjuru ngarai. Setelah
memperhatikan beberapa lama akhirnya Datuk Marajo Sati melompat dari mulut goa,
melayang turun ke dalam ngarai dan berdiri di tepi sungai, beberapa langkah di
hadapan si anak muda.
Sebelum Datuk Marajo Sati menegur, tahu kalau ada orang berdiri di hadapannya
pemuda itu buka mata yang terpejam. Melihat siapa yang berada di depannya pemuda
ini susun sepuluh jari dan letakkan di atas kepala.
"Assalamu'alaikum wahai Datuk Marajo Sati. Terima kasih Datuk telah mau
meluangkan waktu menemui saya."
"Anak muda, apakah aku mengenal dirimu?" tanya Datuk Marajo Sati pula.
"Datuk mungkin tidak mengenal saya, tapi saya sangat mengenal Datuk. Maafkan
kalau kehadiran saya di sini telah mengganggu ketenangan Datuk. Saya memang
sangat berniat menemui Datuk."
"Apakah keperluanmu anak muda" Tapi terangkan dulu siapa dirimu?"
"Nama saya Pakih Jauhari. Saya berasal dari Biaro.
Saya ingin bicara menyangkut soal Gadih Puti Seruni yang tinggal di Koto
Gadang." Untuk beberapa lamanya Datuk Marajo Sati menatap wajah pemuda itu dengan
pandangan tidak berkesip.
"Ada apa dengan anak gadis itu" Apakah kau
saudaranya" Apa yang hendak kau bicarakan?"
"Sebelumnya saya terlebih dulu mohon beribu maaf pada Datuk. Saya dan Gadih
Putih Seruni sudah saling mengenal dua puluh tahun lebih. Hanya saja hubungan
kami belum diketahui kedua orang tua gadis itu. Kami sudah merencanakan untuk
mengekalkan hubungan kami dalam bentuk perkawinan. Sampai ketika seminggu lalu
kami mendengar kabar bahwa Datuk hendak melamar Gadih Puti Seruni..."
Kembali Datuk Marajo Sati menatap lekat-lekat ke wajah Pakih Jauhari lalu lelaki
berusia enam puluh tahun lebih ini geleng-gelengkan kepala.
"Aku melamar gadis itu atas persetujuan kedua orang tuanya dan atas permintaan
Mamaknya Datuk Panglimo Kayo di Batusangkar..."
"Saya tahu semua itu Datuk..."
"Lalu apa tujuanmu ingin bicara denganku" Kau
sengaja menarik perhatianku dengan zikirmu yang hebat!
Apa yang hendak kau sampaikan" Karena kau telah dua tahun bercinta gelap dengan
Gadih Puti Seruni kau berniat hendak menghalangi perkawinan kami?"
"Saya tidak berniat seburuk itu Datuk. Saya hanya ingin Datuk mengalah, memberi
jalan kepada saya yang muda ini... Maafkan saya Datuk. Biarkan saya
mempersunting Gadih Puti Seruni..."
"Luar biasa! Ini satu hal yang tidak aku sangka-sangka!
Anak muda, jika kau menginginkan gadis itu, mengapa kau tidak menemui kedua
orang tuanya, meminta kepada Mamaknya..."
"Saya sudah menemui kedua orang tua gadis itu.
Mereka tidak bisa memberikan jawaban. Saya juga telah menemui Datuk Panglimo
Kayo. Tapi saya diusirnya..."
"Kalau sudah begitu kejadiannya, apa urusannya dengan diriku"!" Suara bicara
Datuk Marajo Sati mulai keras.
"Saya hanya minta keikhlasan Datuk untuk
mengurungkan niat menikahi Gadih Puti Seruni. Biarlah dia menjadi istri saya.
Kami sudah lama saling mencinta..."
"Cinta gelap dilarang adat diharamkan agama..."
"Saya mohon Datuk. Jika Datuk mengikhlaskan, saya akan berdoa setiap malam demi
kesehatan dan kebahagiaan Datuk..."
Datuk Marajo Sati tersenyum kaku. "Orang hendak mengambil calon istriku,
bagaimana aku bisa bahagia..."
"Datuk, apakah Datuk tidak bisa memberikan
kesempatan pada kami yang muda-muda ini?"
"Persetan dengan usia kalian. Mau tua atau mau muda.
Orang tua dan Mamak gadis itu tidak menyukai dirimu.
Seharusnya kau tahu diri dan melupakan gadis itu untuk selama-lamanya."
"Mana mungkin saya melupakan Gadih Puti Seruni.
Saya..." "Anak muda. Saat ini tidak pada tempatnya lagi aku bicara denganmu. Tinggalkan
ngarai ini. Masih banyak gadis di tanah Minang. Mengapa kau tidak mau mencari
yang lain..."!"
"Kalau saya boleh mengatakan hal yang sama,
mengapa Datuk tidak mencari perempuan lain yang usianya lebih cocok dengan usia
Datuk?" Mendengar ucapan Pakih Jauhari itu menggelegaklah amarah Datuk Marajo Sati.
"Kau mau mengajari diriku, Datuk Pucuk Para Datuk Luhak Nan Tigo. Ha... ha...
ha... ha! Anak muda, pergi dari sini sebelum aku menjatuhkan tangan kasar..."
"Datuk, saya dan Gadih Puti Seruni sudah mengambil keputusan. Jika permohonan
kami tidak kesampaian, kami berdua akan melarikan diri dan melangsungkan
pernikahan di tanah Jawa..."
"Kurang ajar! Beraninya kalian membuat rencana busuk seperti itu!" Teriak Datuk
Marajo Sati. Sekali bergerak dia sudah melompat mengirimkan satu tendangan ke arah Pakih
Jauhari yang masih duduk bersila di tepi sungai. Melihat orang menyerang pemuda
ini cepat-cepat jatuhkan diri, berguling di tebing sungai. Begitu hebatnya
kekuatan dan daya dorong serangan sang Datuk, ketika serangan itu mengenai
tempat kosong tak ampun lagi tubuhnya tercebur masuk ke dalam sungai. Walau
dinginnya air sungai malam itu bukan alang kepalang, namun darah di dalam tubuh
Datuk Marajo Sati seperti mendidih. Dengan cepat dia keluar dari dalam sungai
dan kembali menyerang Pakih Jauhari. Sekali ini serangannya benar-benar tidak
tertahankan lagi. Si pemuda menjadi bulan-bulanan pukulan dan tendangan. Hingga
akhirnya satu pukulan telak menghajar dadanya. Pakih Jauhari semburkan darah.
Tubuh terlempar masuk ke dalam sungai. Selain tidak bisa berenang pemuda itu
juga dalam keadaan setengah pingsan. Tubuhnya segera dihanyutkan arus Batang
Sianok ke hilir.
Sadar apa yang terjadi Datuk Marajo Sati mengucap berulang kali.
"Astaghfirullah, apa yang telah aku lakukan..." Datuk ini lari sepanjang tepi
sungai berusaha mencari tubuh Pakih Jauhari. Namun usaha itu sia-sia saja.
Sebelum ajal berpantang mati. Menjelang pagi, Pakih Jauhari yang dihanyutkan air
sungai dan masih dalam keadaan pingsan terselip di antara dua batu besar.
Seorang penebang kayu yang kebetulan lewat di tepi sungai melihat sosoknya,
segera terjun memberi pertolongan. Satu bulan setelah peristiwa itu, selagi
Pakih Jauhari masih terbaring sakit di rumahnya di Biaro akibat luka dalam yang
parah di bagian dada, di Koto Gadang orang baralek gadang merayakan pesta
pernikahan Datuk Marajo Sati dengan Gadih Puti Seruni. Sakit hati mengetahui
peristiwa itu terasa lebih menyengsarakan bagi Pakih Jauhari daripada sakit
badan yang dideranya...
*** KEMBALI ke Koto Gadang. Di dalam kamar, Gadih Puti Seruni lama terduduk di tepi
ranjang sambil menekap wajah dengan dua tangan. Dia coba menghitung-hitung.
Sudah lebih dari dua puluh hari Datuk Marajo Sati tidak mengunjunginya di rumah
di Koto Gadang itu. Hal seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya. Apakah ini
ada sangkut pautnya dengan cerita yang tadi disampaikan Etek Jawiah"
"Tidak termakan di akalku, tidak masuk dalam
pikiranku Datuk akan berlaku seperti itu. Perempuan tadi, yang mengaku sepupu
Etek Salmah, aku tidak
mengenalnya sebelumnya. Tapi kalau bukan dia yang datang, cerita ini bisa-bisa
tidak pernah kuketahui..."
Karena tidak sanggup memendam sendiri apa yang diketahuinya itu, Gadih Puti
Seruni memanggil ibunya lalu menceritakan kabar yang dibawa perempuan penjual
serabi. "Anakku, ini bukan urusan kecil. Bukan pula urusan yang bisa dibawa lalu begitu
saja. Ada baiknya kita mengikuti nasihat perempuan penjual serabi itu. Kita
harus menemui Mamakmu Datuk Panglima Kayo di Batusangkar.
Bukankah dulu dia yang membujuk-bujuk bahkan setengah memaksa agar kau mau kawin
dengan Datuk tua itu"
Ayahmu setengah mati menentang sampai akhirnya dia mati benaran karena sakit
hati. Kalau cerita penjual serabi itu benar, mamak (paman)-mu itu harus
bertanggung jawab! Kalau kita berangkat sekarang juga, sebelum Ashar rasanya
kita sudah sampai di sana. Ibu akan menyuruh Si Sampono menyiapkan kereta dan
kuda. Kita butuh seorang pengawal. Ibu akan minta bantuan guru silat Mangkuto
Ameh. Bagaimana pendapatmu?"
"Saya menurut bagaimana yang baik di ibu saja," jawab Gadih Puti Seruni. Lalu
sang anak bertanya. "Ibu, apakah benar Datuk telah berbuat culas terhadap saya?"
Sang ibu tidak menjawab melainkan cepat-cepat keluar dari kamar sambil
menyumpah. "Tua bangka tidak tahu diuntung! Apa kurangnya anakku! Umurnya tiga
kali umur Seruni. Sudah bau tanah! Masih juga dia mau berbuat serong. Dulu
banyak anak muda orang terpandang yang mau dengan Puti Seruni! Dia yang
beruntung! Sekarang diperlakukannya anakku seperti ini! Datuk kalera (kata
makian yang kasar)!"
*** WIRO SABLENG FITNAH BERDARAH DI TANAH AGAM
9 ERSAMAAN dengan tenggelamnya sang surya di ufuk barat, telaga serta bangunan
yang terbuat dari kayu Bbesi di tengah telaga perlahan-lahan tenggelam dalam
kegelapan. Walau pintu besar dan dua jendela tertutup rapat namun dari nyala
pelita yang merambat keluar celah-celah papan menyatakan penghuninya ada di
dalam rumah. Tiupan angin membuat daun pepohonan yang tumbuh mengelilingi telaga
bersiuran. Di dalam telaga terdengar suara riak air. Tapi ini bukan suara riak
biasa yang disebabkan tiupan angin melainkan ada sesuatu yang mendekam dan
berkecipuk di dalam telaga itu.
Ketika ke tiga orang yang datang dari arah timur mendekati telaga, salah seorang
dari mereka yaitu perempuan bertubuh gemuk tersentak kaget dan bersurut mundur.
"Malin Kapuyuak!" kata perempuan gemuk yang bukan lain Denok Tuba Biru sambil
mencekal kuduk Malin Kapuyuak sementara di samping kiri Pendekar 212 Wiro
Sableng memandang ke dalam telaga mata mendelik mulut menganga.
"Kau tidak mengatakan Inyiek (panggilan untuk orang yang sangat tua) Susu Tigo
tinggal di telaga yang dipenuhi puluhan buaya besar!" Kata Wiro sambil menyikut
rusuk Malin Kapuyuak.
"Terakhir aku ke sini, hanya ada empat sampai lima ekor buaya. Rupanya binatang
itu sudah beranak pinak..."
"Mungkin diberi minum susunya sendiri oleh Inyiek Susu Tigo hingga jadi
subur..." ujar Denok Tuba Biru pula.
"Sstt... Jangan bicara seperti itu. Inyiek punya ilmu mendengar jauh." Kata
Malin Kapuyuak pula.
"Kalian berdua tunggu di sini. Aku akan masuk ke dalam rumah seorang diri."
"Aku tidak mau ditinggal di tempat ini!" Kata Malin Kapuyuak yang mulai merasa
ketakutan. Baru saja Wiro berucap seperti itu tiba-tiba puluhan buaya yang ada di dalam
telaga menggeleparkan ekor lalu melesat ke udara. Begitu masuk kembali ke dalam
Wiro Sableng 167 Fitnah Berdarah Di Tanah Agam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
air telaga semuanya mengelilingi telaga kecil itu dalam keadaan mendongak
setengah berdiri.
"Sepertinya binatang-binatang itu menghalangi kita masuk ke dalam rumah di
tengah telaga," kata Denok Tuba Biru.
Tiba-tiba pintu besar dan dua jendela bangunan terpentang lebar. Dari dalam
rumah, melalui pintu dan jendela yang kini terbuka, melesat sebat dan enteng
enam orang. Untuk langsung melesat mencapai tepian telaga atau daratan jaraknya
terlalu jauh. Itu sebabnya ke enam orang itu dengan gerakan gesit menjejakkan
kaki di ujung mulut buaya yang mengitari telaga, menjadikannya batu loncatan
sebelum melayang turun ke daratan. Buaya-buaya yang kena diinjak mulut atau
kepalanya mengeluarkan suara marah. Kawan-kawannya ikut mengibaskan ekor.
"Hebat!" Memuji Malin Kapuyuak terkagum-kagum.
Baik Wiro maupun Denok Tuba Biru segera mengenali ke enam orang itu adalah Ki
Bonang Talang Ijo, Teng Sien, Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik, Tuanku Laras
Muko Balang, Datuk Pancido dan si nenek bersenjata jala berpijar Niniek Panjalo.
"Kita keduluan," ucap Wiro. "Pasti mereka menemui Inyiek Tigo untuk menyampaikan
sesuatu. Pasti mereka memutar balik kenyataan..."
"Lalu, apakah kita batalkan saja menemui orang itu?"
tanya Denok Tuba Biru.
"Aku menduga-duga apakah nenek bernama Si Kamba Mancuang ada di dalam rumah
bersama gurunya?"
berkata Wiro. "Bagaimana kalau kita menunggu sampai hari siang saja..." Mengusulkan Malin
Kapuyuak. "Terlalu lama..." Jawab Wiro.
"Wiro, aku pikir lebih baik aku menunggu saja di sini.
Kau dan Malin Kapuyuak yang masuk ke rumah menemui Inyiek Susu Tigo..."
Baru saja Denok Tuba Biru keluarkan ucapan tiba-tiba dari dalam rumah terdengar
suara orang berseru. Suaranya keras lantang membuat semua buaya yang
mengelilingi telaga dongakkan kepala.
"Barani datang ka talago (telaga). Datang batigo (bertiga) masuak (masuk)
batigo. Jika berani membatalkan niat, kematian hadangannya!"
Lalu terdengar suara riuh. Puluhan buaya yang sejak tadi mengelilingi telaga
melesat ke udara. Sesaat kemudian binatang-binatang itu telah berjejer di
belakang ke tiga orang itu. Laksana jajaran pagar melebihi tinggi manusia yang
sulit ditembus. Perlahan-lahan binatang itu bergerak ke depan menggiring ke tiga
orang itu ke tepi telaga. Mulut terbuka lebar memperlihatkan lidah dan barisan
gigi besar tajam. Tenggorokan mengeluarkan suara menggembor.
"Mati waden (aku)..." kata Malin Kapuyuak dengan suara gemetar sambil memegang
bagian bawah perutnya yang mendadak terdesak ingin kencing.
"Apa boleh buat..." Kata Denok Tuba Biru. Dia memberi tanda pada Wiro. Kedua
orang ini mencekal tangan kiri kanan Malin Kapuyuak lalu laksana terbang membawa
si pemuda melesat masuk ke dalam rumah di tengah telaga melalui pintu depan yang
terpentang lebar.
Di dalam rumah ada suara berucap bergumam.
"Hemmm, sanggup melompat langsung, tidak mencari bahan jejakan. Bagus... aku
suka membunuh orang-orang sakti seperti mereka ini. Menghabisi mereka menambah
kesaktian yang ada dalam tubuhku!"
Di satu ruangan terbuka dalam rumah kayu yang
diterangi sebuah pelita besar hingga keadaannya cukup terang, berdiri di lantai
kayu, di alas gulungan kain berbentuk sorban hitam. Dua kaki di sebelah atas
hampir menyentuh atap rumah pertanda orang ini selain gemuk juga memiliki tubuh
tinggi sekali. Rambut hitam, serta janggut lebat panjang menjulai di atas
lantai. Kedua daun telinga dicanteli anting-anting terbuat dari suasa. Orang ini
mengenakan celana hitam berkilat tanpa baju hingga perut yang gendut dan dada
yang gembrot dalam keadaan terbuka. Walau dadanya dipenuhi bulu lebat namun
nyata sekali kelihatan kalau orang ini memiliki tiga buah puting susu sebesar
ujung ibu jari, berwarna hitam. Susu ke tiga berada di pertengahan dada, di
antara dua susu di kiri kanan. Dua tangan yang terbentang di lantai, ke sepuluh
jari dihias cincin berbatu aneka warna.
"Jadi ini manusia bernama Inyiek Susu Tigo. Oala... Apa hari-hari dia berkeadaan
seperti ini. Apa dia juga berdiri seperti ini ketika Ki Bonang Talang Ijo dan
rombongan mendatanginya?" Murid Sinto Gendeng berpikir-pikir sambil usap-usap
kuduknya dan memandang berkeliling. Di tempat itu ternyata hanya ada si gendut
bersusu tiga itu seorang diri. Nenek Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai ternyata
tidak ada di situ.
Sepasang mata belok besar orang di tengah ruangan berputar tiga kali.
Memperhatikan Wiro beberapa lama lalu menatap ke arah Denok Tuba Biru. Dua mata
yang besar tampak tambah membeliak memperhatikan perempuan gemuk ini. Kepala
kemudian didongakkan, hidung menghendus-hendus. Lalu mulut menyeringai pencong
disusul hamburan suara tertawa yang membuat rumah kayu di atas telaga itu
bergetar berderak-derak.
Walau dalam keadaan takut setengah mati tapi Malin Kapuyuak masih bisa berbisik
pada Denok Tuba Biru.
"Uni Gapuak, lihat dia memperhatikanmu. Aku rasa dia tertarik padamu. Dia
menghendus-hendus, bau tubuhmu sedap rupanya. Aku rasa dia senang pada bulu
ketiakmu..."
"Setan Kapuyuak! Bukan saatnya bicara yang bukan-bukan! Aku punya firasat
sebentar lagi kita bertiga akan dibantainya!"
"Tamu-tamu tidak sopan! Pemilik rumah berdiri kepala ke bawah kaki ke atas!
Mengapa kalian bersikap kurang ajar! Berdiri kaki ke bawah kepala ke atas!"
Tangan kanan si gemuk tinggi ini tiba-tiba bergerak menggebrak lantai. Braakk!
Lantai papan kayu besi bergetar membal. Terjadi hal yang aneh. Saat itu juga
tubuh Wiro, Si Denok Tuba Biru dan Malin Kapuyuak melesat ke udara lalu dengan
cepat turun ke lantai, kepala ke bawah kaki ke atas! Sewaktu melayang di udara
baik Wiro maupun Denok Tuba Biru berusaha mengimbangi diri dan lepas dari
kekuatan aneh yang menjungkirbalikkan mereka. Namun tanpa daya keduanya, apalagi
Malin Kapuyuak melayang jatuh ke lantai, kepala sampai lebih dulu. Anehnya waktu
melayang ke bawah tadi, kopiah hitam yang dipakai Wiro sama sekali tidak
tanggal, tetap melekat di kepala. Dan ketika batok kepala mereka jatuh menempel
di lantai, walau berbunyi braak... braakkk... braakk tapi ketiganya tidak merasa
sakit! Kini seperti orang gemuk tinggi di tengah ruangan ke tiga orang itu
berdiri lurus dengan kepala menjejak lantai sementara kaki lurus ke atas! Wiro
dan Denok Tuba Biru segera alirkan tenaga dalam dan hawa sakti namun walau dua
tangan dan kaki bisa digerakkan, tetap saja keduanya tidak mampu berusaha
membalikkan tubuh agar bisa berdiri di atas kedua kaki.
"Sekarang baru aku merasa enak bicara!" Si tinggi gemuk bersusu tiga membuka
mulut. Matanya menatap tak berkedip ke arah Wiro. "Kau pasti manusia Jawa
bernama Wiro bergelar Pendekar Dua Satu Dua..."
"Dia tahu siapa diriku. Pasti Ki Bonang keparat dan kawan-kawannya yang
memberitahu ciri-ciriku!" kata Wiro dalam hati. Lalu dia menjawab.
"Benar sekali Inyiek. Mohon maafmu kalau kami datang tidak meminta izinmu lebih
dulu dan kalau kau sampai merasa terganggu..." Wiro cepat menyahuti.
"Ha... ha... ha. Kau hendak berbasa-basi. Kau tidak bisa menipuku pemuda rambut
padusi (perempuan)! Aku Datuk Susu Tigo kedatangan manusia yang memperkosa
muridku Si Kamba Pesek. Habis memperkosa lalu membunuhnya!
Dan aku tidak terganggu katamu! Jahanam gilo!"
"Inyiek, kau pasti mendapat keterangan yang salah dari orang-orang yang datang
sebelum kami. Mereka membawa fitnah. Aku bersumpah tidak membunuh muridmu!"
"Siapa percaya ucapan manusia tak karuan rupa
macammu! Aku juga tahu kalau kau telah membunuh seorang tokoh silat di tanah
Minang ini. Duo Hantu Gunung Sago Si Kalam Langit! Malam ini kau boleh tidur di
dalam talago! Besok pagi begitu matahari terbit buaya-buaya peliharaanku akan
menjadikan dirimu mangsanya yang lezat. Seumur hidup baru kali ini mereka
menyantap tubuh manusia Jawa. Pasti manis... Bukankah orang Jawa suka gula"
Ha... ha... ha!"
"Sebenarnya aku dan dua sahabat ini datang untuk mencari murid Inyiek yang
bernama Si Kamba
Mancuang..."
"Hah! Apa"! Rupanya belum puas kau memperkosa dan membunuh Si Kamba Pesek!
Sekarang mau mengincar saudara kembarnya Si Kamba Mancuang! Benar-benar kurang
ajar!" "Inyiek, aku bukan orang gila. Mana mungkin aku memperkosa dan membunuh seorang
nenek-nenek!" Kata Wiro pula.
Inyiek Susu Tigo tertawa mengakak lalu membentak!
"Siapa bilang muridku nenek tua bangka! Aku melihat ada dua titik biru di dalam
rongga matamu! Yang menyatakan kau punya ilmu memandang yang bisa
menembus penghalang! Kau pasti sudah melihat ujud asli dua muridku!"
"Aku tidak mungkin selancang dan sekurang ajar itu!"
Jawab Wiro. "Aku mencari Si Kamba Mancuang karena perlu beberapa keterangan dari
dia... Izinkan aku memberi penjelasan..."
"Sampaikan penjelasanmu pada buaya-buaya di dalam telaga!" Jawab Inyiek Susu
Tigo. Lalu si gemuk tinggi ini pukulkan telapak tangan kirinya ke lantai kayu.
Braakkk! Saat itu juga tubuh Pendekar 212 Wiro Sableng
mencelat keluar rumah kayu lewat pintu depan. Sesaat kemudian Denok Tuba Biru
dan Malin Kapuyuak
mendengar suara tubuh Wiro yang tercebur masuk ke dalam telaga. Malin Kapuyuak
merasa tengkuknya merinding dingin sementara Denok Tuba Biru terkesiap
membayangkan apa yang bakal terjadi dengan Wiro walau itu baru akan berlangsung
besok ketika fajar menyingsing!
*** WIRO SABLENG FITNAH BERDARAH DI TANAH AGAM
10 NYIEK Susu Tigo tertawa gelak-gelak. Rumah kayu itu kembali bergetar berderakderak. Begitu hentikan tawa Isepasang mata manusia ini melotot ke arah Denok
Tuba Biru. "Celaka!" ucap Denok Tuba Biru. "Sekarang aku yang diincarnya!"
"Perempuan gemuk berbulu ketiak lebat! Ha... ha... ha!
Aku tengah memikirkan cara yang baik untuk
membantaimu. Apakah aku juga akan memasukkanmu ke dalam telaga atau menyusul
temanmu tadi atau..."
"Datuk... Apa salahku hingga kau tega berbuat kejam hendak membunuh kami..."
Sambil bicara diam-diam Denok Tuba Biru kerahkan tenaga dalam ke tangan kanan.
Kalau sampai Inyiek Susu Tigo menggebrak lantai dan membuatnya terlempar ke
dalam telaga seperti yang dilakukan terhadap Wiro, maka apa boleh buat! Dia akan
mendahului melepas pukulan Menutup Jalan Darah Menyumbat Jalan Pernafasan.
Dengan pukulan yang merupakan ilmu totokan jarak jauh maka dia bisa membuat si
tinggi gemuk itu tidak bisa bergerak selama tiga hari tiga malam. Tapi agaknya
Inyiek Susu Tigo tahu apa yang hendak dilakukan Denok Tuba Biru. Setelah
mengumbar tawa dia berkata.
"Kau mencari celaka sendiri! Ilmu yang hendak kau lepas menyerangku hanya bisa
kau lakukan jika kakimu berada di bawah kepala di atas. Kalau kau nekad
menyerang dalam keadaan tubuh terbalik maka dirimu sendiri yang akan kaku tak
bergerak tidak bersuara selama tiga hari tiga malam. Buaya-buaya peliharaanku
tidak begitu suka menyantap korban yang tidak bisa berteriak ketakutan dan
menjerit kesakitan. Ha... ha... ha..."
Kejut Denok Tuba Biru bukan alang kepalang
mendengar ucapan Datuk Susu Tigo. Namun dengan cerdik perempuan gemuk ini
menjawab. "Aku memang akan mati karena salah mempergunakan ilmu! Tapi kau sendiri akan
sengsara seumur hidup. Hawa sakti beracun akan membuat biji kemaluanmu berubah
besar! Lebih besar dari buah kelapa! Seumur hidup kau tidak akan bisa berjalan!
Jangankan berjalan, duduk beringsutpun kau tidak mampu! Kau tidak akan bisa
pergi ke mana-mana! Kau akan mendekam sepanjang hari di dalam pondok celaka ini!
Dan kantong biji kemaluanmu setiap saat akan berbunyi krookkk... krookkk...
krookkk! Ha... ha... ha! Kau berani menerima tantanganku Datuk?"
Apa yang diucapkan perempuan gemuk ini bukan main-main. Selagi bersama tiga
saudara seperguruannya mereka dikenal dengan sebutan Serikat Momok Tiga Racun.
Mereka memang memiliki segala ilmu yang mengandung racun (Baca "Si Cantik Gila
Dari Gunung Gede"). Tapi walaupun begitu diam-diam dia merasa khawatir kalau
Inyiek Susu Tigo benar-benar menerima tantangannya.
"Uni Gapuak! Mengapa mencari celaka! Kau tidak tahu kesaktian Datuk Susu
Tigo..." ucap Malin Kapuyuak.
"Dengar ikuti nasihatku ini. Ikuti cepat..."
Lalu Malin Kapuyuak menyaru-nyarukan suaranya agar tidak terdengar dan diketahui
Inyiek Susu Tigo. Dia berucap dengan suara meracau seperti orang diserang demam
panas, kadang-kadang terdengar seperti orang menyanyi tapi ucapannya tidak
jelas. "Hisap tiga susunya... hisap tiga susunya. Aku akan memancing menipunya..."
"Inyiek!" tiba-tiba Malin Kapuyuak berseru. "Apa yang dikatakan perempuan gapuak
ini bukan dusta! Kau bisa celaka! Lekas balikkan tubuhnya. Itu satu-satunya cara
kau bisa menghadapinya dan menyelamatkan diri!"
"Aku bisa membunuhnya saat ini juga semudah dan secepat membalikkan telapak
tangan!" Jawab Inyiek Susu Tigo.
"Inyiek, kau boleh saja membunuh pemuda Jawa itu.
Tapi yang satu ini jangan berani mempermainkan atau membunuhnya! Dia adalah
saudara sekandung Inyiek Batino. Ratu Sekalian Harimau Betina Di Tujuh Gunung
Bertuah! Selama ini dia bermukim di tanah Jawa!"
"Setan alas! Jangan mempermainkan diriku!"
"Saya tidak mempermainkan. Saya tidak berdusta!
Kalau sampai terjadi sesuatu dengan dirinya, sebelum tengah malam telaga ini
sudah dikurung ratusan harimau dari tujuh Gunung Bertuah! Puluhan buayamu tidak
akan berdaya. Ratusan harimau betina akan mencabik-cabik tubuhmu!"
Inyiek Susu Tigo terdiam. Matanya menatap tak
berkesip. "Pemuda muka tikus!" bentak Inyiek Susu Tigo pada Malin Kapuyuak. "Inyiek Batino
tidak pernah punya saudara! Kau mau memperdayaiku"!" Begitu ucapannya berakhir
sang Inyiek turunkan tangan kanan dan, braak!
Dengan telapak tangan dia menggebrak lantai kayu. Saat itu juga bukan saja Denok
Tuba Biru dan Malin Kapuyuak yang melesat jungkir balik lalu melayang turun
jatuh ke lantai dengan kaki ke bawah kepala ke atas, tapi Inyiek Susu Tigo
sendiri juga mengalami hal yang sama! Rupanya dia khawatir juga kalau sampai dua
biji kemaluannya berubah menjadi sebesar buah kelapa! Dia bersiap melancarkan
serangan. Malin Kapuyuak kembali meracau seperti orang
diserang demam.
"Sekarang Uni... sekarang! Hisap tiga susunya. Cepat!
Separuh ilmu kesaktiannya akan kau kuasai! Kau akan aman! Kau tidak akan diapaapakannya! Inyiek akan menjadikanmu sebagai murid! Cepat lakukan!"
Mendengar ucapan Malin Kapuyuak, Denok Tuba Biru yang kini telah berdiri wajar
kaki di bawah kepala di atas dan merasa seluruh kekuatannya telah kembali, tidak
tunggu lebih lama segera melompat ke hadapan Inyiek Susu Tigo. Dua tangan
merangkul leher erat-erat. Dua kaki menelikung pinggang. Sambil bergelayutan
begitu rupa dengan kecepatan luar biasa mulutnya bergerak ke dada sang Datuk.
"Perempuan gila! Apa yang kau lakukan?" Teriak Datuk Susu Tigo.
Cup... cup... cup!
Mulut Denok Tuba Biru menyambar dan menghisap tiga putting susu di dada Inyiek
Susu Tigo. Setiap hisapan sampai mengeluarkan suara keras.
"Hai!" Inyiek Susu Tigo berteriak. Tapi bukan teriakan marah. Tubuhnya yang
gemuk besar menggeliat kegelian, perlahan-lahan huyung ke depan. Dua lutut
terlipat lalu jatuh berlutut di lantai sementara Denok Tuba Biru yang juga gemuk
terhimpit di bawah perutnya.
"Tuhan Maha Besar!" Tiba-tiba Inyiek Susu Tigo keluarkan ucapan lantang. Kepala
mendongak, dua tangan disilang di atas dada berbulu. "Belasan tahun menunggu
akhirnya aku menemui seorang calon istri! Kaulku didengar dan dikabulkan Tuhan!
Terima kasih Tuhan... terima kasih!"
Lalu seolah tidak menyadari kalau sosok Denok Tuba Biru berada di bawahnya dia
membuat gerakan bersujud.
Sebelum hal itu sempat dilakukan, sebelum tubuhnya terhimpit habis Denok Tuba
Biru tendang perut gendut sang Inyiek. Perut itu hanya berguncang sedikit.
Tendangan Denok Tuba Biru seperti membal namun walau begitu dia punya kesempatan
untuk meloloskan diri dari himpitan Inyiek Susu Tigo.
"Hai. Kau tidak boleh pergi ke mana-mana. Sesuai kaulku, siapa perempuan yang
bisa menghisap tiga susuku maka dialah calon istriku. Terima kasih... terima
kasih..." Denok Tuba Biru tentu saja terkejut mendengar ucapan Inyiek Susu Tigo.
"Apa"!" teriak perempuan gemuk itu. Dia terpekik lalu berpaling pada Malin
Wiro Sableng 167 Fitnah Berdarah Di Tanah Agam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kapuyuak. "Jahanam penipu! Kau bilang jika aku menghisap tiga susunya separuh
ilmu kesaktiannya akan menjadi milikku! Aku tidak akan diapa-apakan! Aku akan
dijadikan murid! Sekarang kau dengar sendiri! Dia punya kaulan! Siapa perempuan
yang bisa menghisap tiga susunya akan dijadikan istri! Celaka keparat!"
Sekali melompat Denok Tuba Biru sudah
mencengkeram dada pakaian Malin Kapuyuak dengan tangan kiri sementara tangan
kanan layangkan satu jotosan keras.
"Jangan! Aku tidak menipu! Begitu yang aku dengar!
Mungkin... mungkin..."
Bukk! Malin Kapuyuak menjerit kesakitan. Darah mengucur dari hidung dan bibirnya yang
pecah. "Istriku! Jangan kau aniaya pemuda itu! Bagaimanapun juga dia yang membawamu ke
sini! Kita harus berterima kasih padanya!" Berseru Inyiek Susu Tigo. Lalu tangan
kanan digebrakkan ke lantai pondok. Saat itu juga tubuh Malin Kapuyuak terlepas
dari cengkeraman Denok Tuba Biru lalu melayang keluar pondok lewat jendela.
Tubuh pemuda itu melesat di atas telaga, melewati deretan puluhan buaya lalu,
ngekk! Jatuh tergelimpang di atas cabang sebatang pohon.
"Onde Mak! Tapanca langek den! (Aduh biyung!
Muncrat isi perutku!)" teriak Malin Kapuyuak. Mata mendelik, bola mata berputar
dua kali lalu pemuda ini jatuh pingsan dengan tubuh masih menyangsrang
melintang di atas cabang pohon.
Di dalam pondok Denok Tuba Biru lari ke salah satu jendela. Cepat dihalangi
Inyiek Susu Tigo.
"Istriku! Jangan pergi. Kita akan baralek gadang (pesta besar). Kau jadi anak
daro (pengantin perempuan), aku jadi marapulai (pengantin lelaki)! Ha... ha...
ha!" Dukk! Tawa bergelak Inyiek Susu Tigo langsung lenyap ketika tendangan kaki kanan Denok
Tuba Biru menghajar dadanya. Tubuhnya yang gemuk besar dan tinggi
terhuyung-huyung. Tapi dia sama sekali seperti tidak merasa sakit malah berkata.
"Dongkaknya sarupo kudo! Di ateh tampek lalok tantu hebat sakali parmainannyo
(Tendangannya seperti kuda. Di atas tempat tidur tentu hebat sekali
permainannya). Beruntung aku punya istri seperti dia. Ha... ha... ha!" Iinyiek Susu Tigo baru
hentikan tawa ketika disadarinya Denok Tuba Biru tidak ada lagi di tempat itu!
"Hah! Istriku! Jangan lari. Jangan kura-kura dalam perahu, pura-pura malu
melihat suamimu! Ha... ha! Jangan jinak-jinak merpati." Sang Inyiek berteriak
lalu melesat keluar pondok melalui pintu.
"Inyiek! Tunggu! Jangan pergi dulu! Denai (saya) perlu bicara denganmu!" Satu
suara perempuan mengumandang dari arah timur telaga yang gelap.
"Persetan! Calon istriku melarikan diri! Aku mau mengejar dulu! Kalau sampai
hilang tidak akan aku dapat yang seperti itu lagi!" Kata Inyiek Susu Tigo lalu
berkelebat ke arah barat.
*** WIRO SABLENG FITNAH BERDARAH DI TANAH AGAM
11 ATUK," kata Puti Bungo Sekuntum alias Kupu-kupu Giok Ngarai Sianok alias Chia
Swie Kim. "Tadi malam Dsaya mendengar suara-suara tidak biasanya di luar sana.
Seperti ada suara orang menancapkan sesuatu di tanah. Lalu ada suara kereta...
mungkin juga pedati.
Sepertinya tepat di atas goa ini..."
"Aku sudah tahu. Sejak beberapa hari ini hatiku memang tidak tenteram. Aku akan
segera menyelidiki ke atas. Aku berharap tidak ada apa-apa. Kau tidak membuka
pintu rahasia dan menyelidiki sendiri ke luar sana...?"
"Tidak Datuk, mana berani saya melakukan hal itu,"
jawab Puti Bungo Sekuntum.
"Kau tunggu di sini. Kalau aku kembali, pagi ini juga kita segera berangkat ke
tempat yang aku katakan. Aku bisa menitipkan kau di rumah seorang sahabat."
"Datuk, bagaimana kalau saya ikut keluar bersama Datuk. Saya akan merubah diri
menjadi ramo-ramo hidup..."
"Terlalu besar bahayanya. Kalau ada orang yang mengenali dan melihat dirimu..."
"Kalau begitu saya akan merubah diri menjadi kupu-kupu batu giok saja. Saya akan
masuk ke dalam saku jubah Datuk sebelah kanan. Izinkan saya Datuk. Saya merasa
tidak tenang berada sendirian di dalam goa ini walau Datuk telah menutup jalan
melalui mulut goa di dinding ngarai."
Setelah berpikir sebentar Datuk Marajo Sati tetap tidak meluluskan permintaan
gadis cantik jelita itu.
"Ingat, jangan ke mana-mana. Tetap di goa ini apapun yang bakal terjadi di luar
sana." "Baik Datuk."
Datuk Marajo Sati menepuk sorbannya tiga kali. Dinding batu di hadapannya secara
aneh bergeser membuka, membentuk pintu keluar.
*** DI NGARAI Sianok tepat di atas goa tempat kediaman Datuk Marajo Sati terdapat
kawasan tanah datar dikelilingi batu-batu hitam setinggi lutut. Pemandangan di
tempat ini indah sekali. Di kejauhan menjulang Gunung Merapi.
Puncaknya masih diselimuti awan pagi.
Tidak seperti biasanya, saat itu di pedataran terlihat satu pemandangan yang
mengherankan. Tiga buah
bendera besar berbentuk segi tiga yang diikat pada tiang bambu setinggi dua kali
tubuh manusia, menancap di tanah.
Bendera pertama bergambar Kucing. Ini adalah
bendera lambang Luhak Tanah Datar. Bendera ketiga bergambar Harimau, perlambang
Luhak Agam. Bendera ketiga bergambar Anjing merupakan bendera lambang Luhak Lima
Puluh Kota. "Ada apa ini" Bendera Luhak Nan Tigo menancap di atas tanah ngarai..."
Rasa heran Datuk Marajo Sati tidak hanya sampai di situ. Di salah satu pinggiran
tanah datar terdapat sebuah pohon besar. Pada batang pohon menempel sehelai
kertas. Dan di atas kertas ini ada tulisan berbunyi: "Di pohon ini Datuk Marajo
Sati akan diikat dan dirajam sampai mati karena perbuatan zinah!"
"Kurang ajar!" Rahang Datuk Marajo Sati
menggembung. Geraham bergemeletakan. "Gila! Siapa yang punya pekerjaan?" Ketika
dia memandang ke kiri pohon dia melihat sebuah gerobak besar tak berkuda penuh
dengan batu sebesar-besar kepalan. Di atas gerobak itu juga ada segulung tambang
besar. Saking tidak dapat menahan amarah Datuk Marajo Sati dekati gerobak berisi batu
dan siap menendangnya!
Namun sebelum tendangan menyentuh gerobak tiba-tiba tiga bayangan berkelebat
disertai seruan.
"Datuk Pucuk Luhak Nan Tigo! Kendalikan amarahmu!
Perbanyak sabar! Kami bertiga datang untuk bertanya!"
Beberapa bayangan berkelebat. Sesaat kemudian tiga orang berpakaian dan
berdestar sangat gagah telah berdiri di hadapan Datuk Marajo Sati. Ketiganya
sama bertubuh tinggi besar, memelihara kumis tebal melintang. Masing-masing
mengenakan baju dan celana galembong hitam, kain sarung buatan Silungkang
melintang di bahu dan destar berbenang emas bertengger di kepala. Sebilah keris
terselip di pinggang sebelah depan.
"Tiga Datuk Luhak Nan Tigo! Aku yang akan bertanya pada kalian!" membentak Datuk
Marajo Sati dengan suara lantang dan wajah membara.
Tiga orang yang dibentak memegang dada lalu
membungkuk memberi penghormatan. Salah seorang di antara mereka berkata.
"Datuk Marajo Sati, kau pimpinan kami, kau dusanak kami. Kau Datuk Pucuk Luhak
Nan Tigo! Silahkan mengajukan pertanyaan."
"Kalian menancapkan tiga bendera lambang Luhak!
Apa maksud kalian" Ada tulisan gila di batang pohon sana.
Siapa yang membuat"! Dan ada satu gerobak berisi batu perajam lengkap dengan
tali pengikat. Apa maksud kalian melakukan ini?"
Tiga orang yang barusan datang saling pandang. Ketiga orang ini adalah para
Datuk Pimpinan Luhak Nan Tigo.
Yang pertama Datuk Panglimo Kayo, Datuk dari Luhak Tanah Datar. Seperti
diketahui dia adalah paman dari Gadih Puti Seruni. Wajah gagah Datuk ini tampak
mengelam pertanda dia tengah berusaha mengendalikan amarah yang setiap saat bisa
meledak. Datuk kedua bermata besar merah, bertampang
garang. Memiliki wajah berkulit kuning. Inilah Datuk Kuning Nan Sabatang,
pimpinan di Luhak Agam.
Orang ke tiga yang menjadi Datuk di Luhak Limopuluh Kota bergelar Datuk Bandaro
Putih. Wajahnya jernih putih.
Janggut tipis di dagu juga berwarna putih.
Datuk Bandaro Putih memberi isyarat pada Datuk Panglimo Kayo. Paman Gadih Puti
Seruni ini lalu maju satu langkah mendekati Datuk Marajo Sati.
"Datuk Marajo Sati, pimpinan pucuk para Datuk di Luhak Nan Tigo. Justru begitu
datang ke sini kami bertiga terheran-heran melihat apa yang terjadi. Kami tidak
tahu bagaimana bendera pelambang Luhak Nan Tigo bisa menancap di sini. Lalu ada
tulisan di batang pohon.
Gerobak berisi batu dan tali..."
"Datuk Panglimo Kayo dan Datuk berdua. Semua benda itu tidak bisa berjalan
sendiri, juga mustahil dibawa hantu ke tempat ini..."
"Betul sekali Datuk Marajo Sati. Mana ada hantu yang pandai menulis." Menjawab
Datuk Kuning Nan Sabatang yang berwajah kuning garang.
"Kalian jangan berkura-kura dalam perahu. Berpura-pura tidak tahu!"
"Datuk Marajo Sati, Datuk menuduh kami melakukan semua ini" Menancapkan bendera,
mendatangkan gerobak berisi batu, merekat tulisan di batang pohon"
Sungguh naif sekali..." Ucap Datuk Bandaro Putih dari Luhak Limopuluh Kota.
"Betul sekali, justru kami datang hendak bertanyakan sesuatu pada Datuk," bicara
kembali Datuk Panglimo Kayo.
"Tempat di sini indah sekali, cuaca terang pula. Tapi bagaimana kalau kita
bicara di dalam goa kediaman Datuk" Setelah kita bicara nanti kita sama-sama
mengusut siapa yang melakukan semua hal ini..."
Datuk Marajo Sati gelengkan kepala.
"Aku lebih suka kita bicara di sini..."
"Mengapa begitu Datuk" Biasanya Datuk selalu
membawa kami ke dalam goa Datuk yang bagus dan sejuk itu..."
"Sekali ini tidak. Aku menaruh banyak kecurigaan dengan kedatangan kalian..."
Tiga Datuk Luhak Nan Tigo terdiam. Lalu kembali Datuk Panglimo Kayo angkat
bicara. "Datuk Marajo Sati, terlebih dulu kami mohon beribu maaf kalau kedatangan kami
kurang senang di hati Datuk.
Kedua kami juga mohon dimaafkan dan diampuni dari segala syak wasangka. Di Luhak
kami sejak beberapa hari ini telah tersiar kabar yang tidak sedap mengenai diri
Datuk. Kabar yang kami yakin hanyalah fitnah belaka.
Karena itu kami bertiga datang menemui Datuk di Ngarai Sianok ini untuk
menanyakan langsung. Jika salah kami bertanya mohon dimaafkan, jika salah kami
berucap mohon diampuni..."
"Kabar tidak sedap tentang diriku. Yang kalian harapkan hanyalah fitnah. Katakan
Datuk Panglimo Kayo.
Kabar dan fitnah apa yang kau maksudkan itu"!"
"Sekali lagi maaf Datuk. Telah tersiar kabar bahwa Datuk menyimpan seorang gadis
muda di dalam goa kediaman Datuk di Ngarai Sianok..."
"Kurang ajar!" teriak Datuk Marajo Sati dengan suara menggelegar. "Siapa yang
menjadi racun penebar fitnah itu"!"
"Datuk, siapa yang membuat dan menebar fitnah
memang tidak ada yang tahu. Tapi sehari yang lalu kemenakan saya Gadih Puti
Seruni dan ibunya datang ke Batusangkar. Memberi tahu hal yang sama. Ada seorang
perempuan penjual serabi yang mengatakan hal itu. Kami mohon maaf dan ampun
Datuk. Kami minta Datuk
menjelaskan."
"Ini benar-benar gila! Jahanam keparat! Kalian menuduhku melakukan zinah..."
"Kami tidak mengatakan Datuk berbuat zinah. Kami hanya bertanya apa benar ada
gadis muda dan elok di dalam goa Datuk" Saya bertanya karena juga mengingat saya
adalah mertua Datuk, Mamak dari Gadih Puti Seruni.
Dan saya jauh lebih tua dari Datuk! Adalah pantas kalau Datuk bicara bersopan
sopan pada saya. Datuk tahu, kemenakan saya Puti Seruni sekarang ini berada di
rumah saya dalam keadaan sakit. Nasi tidak tertelan, air tidak lewat di
rangkungan. Kalau terjadi apa-apa dengan dirinya tentu akan kami pulangkan
kepada Datuk juga. Menurut ibunya Datuk sudah lebih dari dua puluh hari tidak
pernah mengunjungi istri Datuk di Koto Gadang. Apakah Datuk terlalu sibuk di
dalam goa hingga tidak punya waktu untuk melihat istri sendiri..."
"Datuk Marajo Sati memang sibuk dengan istri
mudanya! Gadis Cino peranakan jin yang bisa menghilang!"
Tiba-tiba ada suara perempuan berteriak. Lalu dari berbagai jurusan bermunculan
banyak sekali orang. Jumlah mereka lebih dari dua ratus. Lelaki dan perempuan.
Seorang lelaki melompat ke atas gerobak berisi batu lalu berteriak.
"Pengadilan rakyat nagari sudah disiapkan! Datuk Marajo Sati pantas dihukum
rajam sampai mati! Kami penduduk empat dusun di sekitar Ngarai Sianok siap
melakukan!"
"Betul! Lakukan sekarang!" Orang banyak berteriak menyambut.
"Tiga Datuk Luhak Nan Tigo! Kami minta Datuk bertiga meringkus Datuk Marajo
Sati! Mengikatnya ke pohon ini!"
Lelaki di atas gerobak berteriak lalu melemparkan tali ke arah tiga orang Datuk.
Sementara puluhan orang merangsak maju mendekati Datuk Marajo Sati.
Kejut Datuk Marajo Sati bukan alang kepalang. Tiga Datuk juga sama kagetnya.
"Datuk Panglimo Kayo. Kita harus mencegah orang-orang itu. Jangan sampai mereka
melaksanakan hukum rimba!" Berkata Datuk Bandaro Putih.
Di tempatnya berdiri wajah Datuk Marajo Sati tampak mengelam. Sekujur tubuh
bergetar. Darah mendidih.
Sepasang mata laksana mau melompat dari rongganya memperhatikan lelaki di atas
gerobak. Walau lelaki ini mengenakan topi rumbia bertepi lebar yang menutupi
sebagian wajahnya tapi Datuk Marajo Sati bisa mengenali siapa dia adanya. Begitu
juga Datuk Panglimo Kayo.
"Pakih Jauhari! Anak jahanam! Masih hidup kau
rupanya! Kau yang jadi biang keladi semua fitnah terhadap diriku! Kau yang
mengatur semua ini!" Datuk Marajo Sati memandang berkeliling. "Penduduk Ngarai
Sianok! Berapa pemuda jahanam ini membayar kalian untuk mau
memfitnah diriku"!"
Seorang kakek mengangkat tangannya yang memegang batu. Lalu berteriak.
"Kami tidak memfitnah! Kami tidak dibayar! Kami semua tahu Datuk memang
menyimpan seorang gadis Cina di dalam goa! Datuk telah merusak adat menginjak
agama! Jika Datuk merasa benar perbolehkan kami masuk ke dalam goa dan
memeriksa! Kami penduduk di sini merasa malu dan sangat terhina punya pimpinan
seperti Datuk! Kami tidak perlu Datuk Pucuk pimpinan Para Datuk Luhak Nan Tigo.
Cukup kami memiliki tiga Datuk ini saja!"
Orang banyak berteriak riuh. Mereka semakin
mendekati Datuk Marajo Sati. Tiga Datuk mulai tampak bingung. Kalau semua orang
menyerbu mereka tidak bisa berbuat apa-apa.
Datuk Panglimo Kayo cepat maju menyongsong orang banyak.
"Kalian semua dengar! Biarkan kami yang mengurus semua tuduhan kalian..."
"Tidak bisa!" Jawab si kakek tadi. "Tiga Datuk kami minta meringkus Datuk Marajo
Sati. Kami akan
mengikatnya ke batang pohon. Lalu kami akan merajam melempar dengan batu hingga
akhirnya Datuk mesum itu menemui ajal! Ini adalah pengadilan rakyat. Kami yang
akan melaksanakan..."
"Pakih Jauhari! Pemuda jahanam! Kau menebar fitnah menggalang orang banyak! Kau
yang akan aku bunuh lebih dulu!" Datuk Marajo Sati tidak dapat menahan amarahnya
lagi. Tapi ketika dia melompat ke atas gerobak orang banyak mulai melemparinya
dengan batu. Sang Datuk segera tanggalkan sorban di atas kepala. Dengan
mengibaskan sorban itu ke udara puluhan batu yang dilempar ke arahnya mencelat
bermentalan walau masih ada beberapa yang mengenai dirinya bahkan melukai kening
hingga mengucurkan darah.
"Datuk! Jangan!" teriak Datuk Kuning Nan Sabatang ketika melihat Datuk Marajo
Sati melompat ke atas gerobak berisi batu siap hendak menggebuk kepala Pakih
Jauhari. Kakek yang tadi berteriak-teriak melompat ke atas gerobak. Dua orang lain
mengikuti. Mereka menerjang Datuk Marajo Sati. Salah seorang di antara mereka
berusaha mendorong Datuk itu dari atas gerobak. Satunya lagi menggigit pinggang
sang Datuk. Dari bawah beberapa orang menarik jubah. Datuk Marajo Sati yang
sudah habis sabar langsung saja menebar pukulan dan tendangan.
Wiro Sableng 167 Fitnah Berdarah Di Tanah Agam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiga orang menjerit. Tiga korban pertama rubuh ke tanah. Dua dengan kepala
pecah, satu lagi pinggang patah.
Pakih Jauhari masih sempat selamatkan kepalanya dari gebukan Datuk Marajo Sati.
Selagi keadaan kacau balau centang perenang dan semakin banyak korban berjatuhan
tiba-tiba terdengar suara jeritan perempuan.
"Datuk! Tolong! Mereka menangkap saya!"
Semua orang terkejut dan berpaling ke kiri. Mereka menyaksikan seorang gadis
Cina berwajah sangat cantik, berambut hitam panjang dan mengenakan pakaian biru
dicekal beberapa orang. Orang-orang ini bukan lain adalah Ki Bonang Talang Ijo
dan Perwira Muda Teng Sien bersama para pengikutnya yaitu Pandeka Bumi Langit
Dari Sumanik, Tuanku Laras Muko Balang, Datuk Pancido dan Niniek Panjalo.
Kegemparan serta merta terjadi di tempat itu.
"Semua menyaksikan sendiri! Ini bukan fitnah! Itu pasti gadis Cina simpanan
Datuk Marajo Sati!" Seseorang berteriak.
"Gila! Ini memang bukan main-main! Langit boleh runtuh, bumi boleh tabalah. Tapi
ini adalah kenyataan!"
Kata Datuk Panglimo Kayo dengan suara bergetar penuh geram.
Di atas gerobak berisi batu. Pakih Jauhari, pemuda yang pernah menjadi kekasih
Gadih Puti Seruni berteriak lantang.
"Datuk Marajo Sati! Kau sekarang menjadi ayam putih terbang siang. Bersuluh
matahari! Bergelanggang mata orang banyak! Nyata! Jelas sudah kebejatanmu! Kau
tidak bisa menyembunyikan gadis Cina simpananmu itu! Ha...
ha... ha! Terkutuklah engkau dunia akhirat!"
Sekujur tubuh Datuk Marajo Sati panas bergetar, seperti siap hendak meledak. Dia
cepat berteriak pada Chia Swie Kim.
"Puti Bungo Sekuntum! Lekas rubah dirimu! Kibaskan dua tanganmu!"
"Tidak bisa Datuk... Mereka melumpuhkan kedua
tangan saya. Tolong Datuk...!"
"Kurang ajar! Aku bunuh kalian semua!" Teriak Datuk Marajo Sati. Tubuhnya
melesat di udara. Sorban di tangan kiri diputar. Kaki menendang. Beberapa orang
terpental berpekikan.
Tiba-tiba Ki Bonang Talang Ijo melemparkan sesuatu ke udara. Letusan keras
menggelegar disertai menebarnya asap hitam menutupi pemandangan di pedataran
sampai ke pertengahan dinding ngarai. Tanah bergetar membuat semua orang
berhuyung-huyung.
Ketika asap hitam sirna, gadis Cina tadi bersama orang-orang yang membawanya
telah lenyap. Datuk Marajo Sati juga tidak kelihatan lagi. Begitu pula Pakih
Jauhari ikut menghilang. Di tanah bergeletakan banyak mayat. Jerit pekik
terdengar di mana-mana.
Tiga Datuk menemui orang-orang itu dan meminta mereka meninggalkan ngarai dengan
membawa serta mengurus mayat-mayat yang bergelimpangan.
Setelah semua orang pergi Datuk Bandaro Putih
berkata. "Ke mana lenyapnya Datuk Marajo Sati. Ke mana pula menghilangnya pemuda
bernama Pakih Jauhari itu..."
"Datuk Marajo Sati menghilang dengan membawa
dendam besar." Jawab Datuk Panglimo Kayo. "Kita harus berlaku waspada. Aku punya
firasat dia akan melakukan pembalasan. Akan banyak lagi darah tertumpah di tanah
Agam ini... Mengenai pemuda bernama Pakih Jauhari itu, aku sendiri yang akan
mencari dan menekuk batang lehernya. Dia yang menjadi biang racun semua kejadian
ini! Dendamnya karena tidak mendapatkan kemenakanku Gadih Puti Seruni dibalasnya
dengan fitnah luar biasa hebat!"
"Tapi Datuk Panglimo," menyahuti Datuk Kuning Nan Sabatang dari Luhak Agam.
"Kalau kita katakan ini fitnah, buktinya ada orang yang menemukan gadis Cina
cantik itu di dalam goa kediaman Datuk Marajo Sati..."
"Aku akan menyelidiki. Kita bertiga harus menyelidiki bersama-sama. Caranya
ialah dengan lebih dulu
menemukan Datuk Marajo Sati." Kata Datuk Panglimo Kayo pula.
"Gadis Cina itu juga perlu kita cari untuk bersaksi. Aku mengenali beberapa di
antara orang-orang yang
membawanya. Datuk Bumi Langit Dari Sumanik, Tuanku Laras Muko Balang..." Berkata
Datuk Kuning Nan Sabatang.
"Kalau begitu kita berpisah untuk sementara.
Bagaimana kalau lepas Ashar nanti kita bertemu di rumah gadang kediaman Datuk
Panglimo Kayo?"
Datuk Panglimo Kayo menyetujui. Datuk Bandara Putih mengangkat tangannya lalu
berseru. "Inyiek Bertiga, datanglah."
Di udara terdengar siuran menderu. Sesaat kemudian muncul tiga ekor harimau
besar. Tiga Datuk segera melompat ke punggung harimau yang berdiri di hadapan
masing-masing. Sesaat kemudian pedataran di atas Ngarai Sianok itu menjadi sunyi
sepi, hanya menyisakan anyirnya bau darah yang tergenang di mana-mana.
TAMAT Kucing Siluman 2 Dewa Arak 03 Cinta Sang Pendekar Pusaka Tongkat Sakti 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama