Ceritasilat Novel Online

Bulan Biru Di Mataram 1

Wiro Sableng 183 Bulan Biru Di Mataram Bagian 1


BASTIAN TITO PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
WIRO SABLENG BULAN BIRU DI MATARAM Sumber Kitab: syauqy_arr
Cover: kelapalima
E-Book: kiageng80
WIRO SABLENG BULAN BIRU DI MATARAM
1 ALAM serial sebelumnya berjudul "Selir Pamungkas"
diceritakan Sinuhun Merah Penghisap Arwah berhaDsil menyusupkan kekuatan gaib jahat ke dalam diri Empu Semirang Biru. Ketika
itu sang Empu berada di dalam Ruang Segi Tiga Nyawa menjaga Keris Kanjeng Sepuh
Pelangi yang menancap di langit-langit ruangan. Dia juga tengah menunggu
kedatangan para sahabat muda yaitu Pendekar 212 Wiro Sableng, Kunti Ambiri, Ratu
Randang, Sakuntaladewi serta Jaka Pesolek. Jalan pikiran Empu Semirang Biru
telah dikuasai dan dikendalikan oleh Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Dia
diperintah untuk menyiasati agar mendapatkan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi dan
ternyata memang berhasil.
Setelah mendapatkan senjata sakti mandraguna yang dibuatnya sendiri di Gunung
Bismo itu, sang Empu keluar dari Ruang Segi Tiga Nyawa melalui lobang di lantai
ruangan yang disebut Terowongan Arwah yang dibuat oleh Sinuhun Merah Penghisap
Arwah. Karena pikiran sehatnya tidak bisa bekerja di samping siasat licik Ratu Randang,
Empu Semirang Biru tidak menyadari kalau keris yang dibawanya adalah keris
palsu. Keris diserahkan pada Sinuhun Merah Penghisap Arwah di dalam sebuah goa di balik
air terjun. Di tempat itu hadir pula Ksatria Roh Jemputan alias Pangeran
Matahari, Sinuhun Muda Ghama Karadipa serta bocah sakti Dirga Purana yang datang
sambil gandeng Ni Gatri.
Ketika keris dikeluarkan dari balik pinggang pakaian putih, sepasang mata
Sinuhun Merah bergeletar. Kening bocah dua belas tahun Dirga Purana yang
mendukung Ni Gatri mengerenyit. Pangeran Matahari tegak congkak tak bergerak,
mata menatap dingin tak berkesip.
Sinuhun Muda Ghama Karadipa cepat mengambil keris dari tangan Empu Semirang
Biru. Mata mendelik besar meneliti. Kaki tersurut dua langkah. Keris tak
bersarung tak bergagang terasa dingin. Tak ada hawa kehidupan.
Pancaran sinar yang keluar dari badan keris berwarna merah kehitaman dan sangat
redup. Cahaya yang sangat tidak pantas bagi sebilah keris sakti mandraguna yang
bakal dijadikan pusaka Istana Kerajaan Mataram.
Dengan cepat Sinuhun Muda memperhatikan dan
menghitung jumlah luk di badan keris. Lalu dia berkata,
"Sinuhun Merah, keris ini memang memiliki sembilan luk.
Tapi rasanya ada sesuatu..."
Dengan cepat Sinuhun Merah mengambil keris dari tangan saudara nyawa kembarnya.
Sejak pertama kali melihat senjata tersebut sebenarnya dia telah menaruh curiga.
Begitu juga dengan bocah dua belas tahun Dirga Purana walau selalu sibuk dengan
Ni Gatri yang berada di panggulan bahu kirinya dalam keadaan tidak sadar karena
di bawah pengaruh totokan. Pandangan mata makhluk atau orang sakti seperti
mereka memang tidak dapat ditipu.
Begitu keris dipegang di tangan, Sinuhun Merah segera mendekatkan senjata ke
hidung lalu mencium dalam-dalam.
"Palsu!" Teriak Sinuhun Merah menggeledek. Mata merah mendelik besar. Blangkon
di kepala sampai naik satu jengkal dan ubun-ubun kepulkan asap merah. Ini bukan
Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang asli! Keris jahanam ini terbuat dari kepingan Rantai Kepala Arwah Kaki Roh! Aku bisa menciumnya!
Empu keparat! Kau berani menipuku!"
Bukk! Kraakk! Tendangan kaki kiri Sinuhun Merah di arah dada membuat Empu Semirang Biru
terpental dan terkapar di lantai goa. Dua tulang iganya patah. Jeritan sang Empu
menggelegar merobek suara deru curahan air terjun.
Dalam gelegak amarah, Sinuhun Merah, Sinuhun Muda dan bocah sakti Dirga Purana
sepakat untuk segera menghabisi Empu Semirang Biru saat itu juga walau sang Empu meratap minta ampun,
memberi tahu kalau dia tidak punya niat menipu. Dia tidak tahu bagaimana keris
itu tahu-tahu palsu karena sebelumnya dia menerima sendiri senjata tersebut dari
Ratu Randang. Pangeran Matahari yang di Bhumi Mataram dikenal dengan panggilan Ksatria Roh
Jemputan mengusulkan agar sang Empu jangan dibunuh tapi dimanfaatkan begitu rupa
hingga berhasil menuntaskan rencana untuk menyingkirkan raja dan sekaligus
menguasai Kerajaan.
Merasa usulan Ksatria Roh Jemputan masuk diakal Sinuhun Merah Penghisap Arwah
mengampuni Empu Semirang Biru namun sesuai siasat kakek ahli pembuat senjata itu
harus mencari dan menemui raja. Berpura-pura hendak menyerahkan Keris Kanjeng
Sepuh Pelangi. Begitu Raja lengah sang Empu harus cepat menikam raja.
"Cukup satu tikaman! Nyawa raja keparat itu pasti amblas!" kata Sinuhun Muda.
"Betul!" menyahuti Sinuhun Merah. "Cukup satu tikaman. Raja pasti menemui ajal. Karena keris akan aku bungkus dengan racun Cakar
Sukma Merah! Selain itu aku juga akan memberikan kekuatan pada tubuhmu yang
kurus kering tua renta!"
Sinuhun Merah Penghisap Arwah angkat dua tangan.
Satu diletakkan di atas kepala Empu Semirang Biru, yang satu lagi digenggamkan
ke keris palsu. Dua cahaya merah memancar dari dua tangan sang Sinuhun Merah.
Empu Semirang Biru merasa tubuhnya menjadi agak segar dan sakit akibat dua
tulang iganya yang patah terasa berkurang. Sinuhun Merah serahkan kembali keris palsu pada Empu Semirang Biru.
Ketika Empu Semirang Biru siap untuk pergi, Sinuhun Merah memaksanya menelan
sebuah benda bulat merah seujung jari. Benda itu ternyata adalah Racun Kala
Merah. "Jika dalam tiga hari kau tidak berhasil membunuh Raja Mataram, Racun Kala Merah
akan merenggut nyawamu!
Kau akan mampus dengan tubuh leleh menjadi lendir!"
Sekujur tubuh Empu Semirang Biru bergetar menggigil.
Di hadapannya sambil menyeringai dan usap janggut hitam di dagu Sinuhun Muda
berkata, "Jika kau berhasil menghabisi Raja Mataram sebelum hari ke tiga, lekas menemui kami. Kami akan
memberikan obat penangkal pemusnah Racun Kala Merah yang ada dalam tubuhmu! Kau
dengar itu Empu"!"
"Saya dengar Sinuhun." Jawab Empu Semirang Biru.
Sinuhun Muda tertawa bergelak, kedipkan mata pada Sinuhun Merah pertanda apa
yang barusan dikatakannya tentang obat penangkal adalah dusta belaka.
"Sekarang lekas laksanakan perintah Sinuhun Merah!"
Kata Sinuhun Muda pula lalu tendang pantat orang tua itu hingga terguling di
lantai goa. Walau dirinya diperlakukan semena-mena seperti itu bahkan kemudian dihina
dipaksa merangkak melewati selangkangan Sinuhun Merah, namun Empu Semirang Biru
tidak berdaya melawan.
*** MENCARI dan menemui Raja Mataram Raka Kayuwangi
Dyah Lokapala bukan hal yang mudah bagi Empu Semirang Biru. Apa lagi dalam
keadaan cidera dua tulang iga patah akibat tendangan Sinuhun Merah. Selain itu
seperti diceritakan sebelumnya, bersama rombongannya yang pernah menyelamatkan diri di Bukit
Batu Hangus, saat itu Raja Mataram telah mengasingkan diri di satu tempat
rahasia yaitu bekas Sumur Api yang terletak di satu rimba belantara antara kawasan Prambanan dan Kali Dengkeng.
Tujuan pertama yang didatangi Empu Semirang Biru adalah Kotaraja. Dia langsung
menuju istana namun jadi kecewa karena didapati bangunan istana dalam keadaan
sunyi gelap, sebagian berada dalam keadaan runtuh. Tak ada yang menghuni bahkan
tidak seorang prajurit atau pengawalpun terlihat di situ. Empu Semirang Biru
menge- lilingi bangunan istana sampai tiga kali bahkan masuk menyelidik ke dalam
reruntuhan bangunan. Dia tidak menemukan seorangpun. Dia cepat-cepat kembali ke
halaman depan. "Jelas Sri Maharaja Mataram yang harus aku bunuh tidak ada di sini..." Ucap Empu
Semirang Biru. Tubuhnya yang kurus terduduk lemas di tanah. Rasa haus tak tertahankan menyengat tenggorokannya. Saat itu kegelapan malam membuat segala yang
terlihat di depan mata berwarna hitam. Semakin malam semakin sunyi dan dingin.
"Aneh, mengapa tubuhku sekarang menjadi lemas.
Apakah kekuatan yang diberikan Sinunun Merah telah luntur. Aku haus sekali..."
Lapat-lapat di kejauhan terdengar suara lolongan anjing.
"Hanya anjing yang ada. Makhluk yang tidak bisa kutanyai tak bisa menjawab di
mana beradanya Raja Mataram..." Kata Empu Semirang Biru sambil duduk tersandar
di dinding kanan pintu gerbang istana. "Kalau saja dulu Raja Mataram tidak
menyuruh aku membuat keris itu, nasibku tidak akan jadi begini. Sekarang rasanya
memang cukup pantas kalau aku membunuhnya!"
Saat itu keadaan sang Empu sudah sangat lemah.
Seharian tidak ada minuman yang diteguk, tak ada makanan yang ditelan. Bibir kering, tenggorokan laksana disengat api. Sebenarnya Empu ini memiliki kesaktian yang membuat dia bisa bertahan
tidak minum dan tidak makan selama empat puluh hari. Namun Racun Kala Merah yang
berada dalam perutnya telah membuat dia menjadi sangat lemah.
Sang Empu menarik nafas dalam. Hidungnya mencium bau busuk. Memandang ke kiri
dia melihat sebuah comberan. Bau busuk air hitam comberan itulah yang menusuk penciumannya. Lidah kelu
diulur mengusap bibir kering.
"Agaknya hanya air comberan itu rejeki yang dapat kuminum..." Kata sang Empu
dalam hati. Perlahan-lahan dia mencoba berdiri. Namun kakinya terpeleset.
Sebelum jatuh tertelentang ke tanah, setengah sadar dia merasa ada angin
menyambar lalu di depannya, sungguh tidak diduga muncul satu sosok putih. Sosok
jerangkong. "Tengkorak hidup... hantu... setan... mungkin juga penjaga neraka sudah datang
menjemput diriku." Ucap Empu Semirang Biru dalam hati. Dia hanya menunggu pasrah
apa yang akan terjadi. Tangan kanan diselinapkan ke balik pakaian, menggenggam
keris tak bergagang. Tiba-tiba jerangkong membungkuk, tangan kanan bergerak.
Tahu-tahu sang Empu sudah berada di atas pundak kanan.
Sekali dua kaki bergerak, wuutt! Jerangkong hidup melesat dan lenyap dalam
kegelapan di arah timur Kotaraja.
WIRO SABLENG BULAN BIRU DI MATARAM
2 MPU Semirang Biru merasa ada orang menotok
beberapa bagian tubuhnya. Lalu ada telapak tangan Editempel di kening dan dada.
Sesaat kemudian dia merasa hawa sangat sejuk memasuki kaki, naik ke badan terus
ke kepala. Sepasang mata yang sejak tadi setengah terpejam cepat-cepat dibuka.
Bersamaan dengan itu rasa lemas tak berdaya yang sebelumnya dirasakan lenyap
dengan seketika. Bahkan kakek berwajah tinggal kulit pembalut tulang ini bisa
bergerak bangkit lalu duduk. Dia dapatkan diri berada di dalam satu ruangan batu
pualam berwarna putih kelabu. Di sebelah kiri dia melihat satu pedataran pasir
aneh yang seumur hidup baru kali itu disaksikannya. Pasir pedataran berwarna
kuning, berkilau seperti emas.
Menoleh ke kanan sang Empu melihat seorang kakek bersorban dan berjubah kelabu
serta berkasut putih.
Kakek ini berdiri sambil rangkapkan dua tangan di atas dada. Wajahnya yang
jernih tampak tersenyum. Sebaliknya wajah Empu Semirang Biru tampak mengerenyit.
Ketika dia hendak membuka mulut bertanya, orang bersorban mendahului berkata.
"Empu Semirang Biru, kau berada dalam keletihan luar biasa. Tenggorokanmu
laksana api dalam sekam. Teguklah minuman dalam cangkir ini lebih dulu..."
Empu Semirang Biru terkejut orang mengetahui namanya. Dia berpikir-pikir namun kakek bersorban di hadapannya telah mengulurkan tangan. Tangan yang tadi tidak ada apa-apanya itu tahutahu kini telah memegang sehelai cangkir porselen putih berisi air bening.
"Minumlah agar Empu sehat dan kuat kembali.
Minuman ini sekaligus akan melancarkan peredaran darah..."
Empu Semirang Biru sesaat merasa ragu. Apa betul orang berbaik hati hendak
memberinya minum atau bermaksud meracuni. Tapi ingat pada Racun Kala Merah yang ada dalam tubuhnya sang
Empu menjadi acuh. Cangkir putih diambil lalu cairan di dalamnya diteguk sampai
habis. Begitu cairan habis sang cangkir lenyap dari pegangannya!
"Luar biasa..." Wajah Empu Semirang Biru tampak bercahaya. Dia pandai
menyembunyikan rasa kagumnya.
"Saya merasa segar. Kekuatan saya pulih kembali. Rasa haus lenyap dengan
seketika." Tapi ketika memandang ke arah pedataran pasir kuning wajah ahli
pembuat senjata ini tampak agak tercekat.
"Empu Semirang Biru, kau tidak usah khawatir. Kau berada di tempat aman. Apakah
kau masih mengenali diri saya?" Orang bersorban dan berjubah kelabu terbuat dari
sutera bertanya.
Empu Semirang Biru bangkit berdiri. Tubuh agak membungkuk. Sejurus dia menatap orang di hadapannya sebelum berkata, "Sampean,
bukankah kau... kau orang yang malam itu datang ke Puncak Gunung Bismo ketika
saya tengah menempa keris pesanan Raja Mataram..."
"Betul." Orang bersorban dan berjubah kelabu di hadapan sang Empu menjawab.
"Sampean yang memberi ilmu kesaktian hingga tangan saya berubah menjadi bara
menyala. Hingga saya mampu menempa dan menyelesaikan pembuatan keris sakti
perintah Yang Mulia Raja Mataram hanya dalam waktu tiga hari..."
Kakek bersorban tersenyum lalu anggukkan kepala.
Empu Semirang Biru terdiam, seperti berpikir mengingat-ingat. Lalu dia berkata, "Sampean, bukankah sampean kakek gagah bernama
Kumara Gandamayana, orang utama kepercayaan Sri Maharaja Mataram?"
"Itu juga betul." Kembali kakek bersorban menjawab.
Empu Semirang Biru ingat peristiwa di luar Ruang Segi Tiga Nyawa. Sosok Kumara
Gandamayana muncul. Di dalam tubuhnya ternyata ketumpangan sosok Sinto Gendong
guru Ksatria Panggilan yang disusupkan oleh Sinuhun Merah. Sang guru kemudian
merobek dada muridnya, mengambil satu senjata berupa sebuah kapak.
Dalam hati Empu Semirang Biru membatin, "Kalau kakek di hadapanku ini juga
makhluk susupan Sinuhun Merah, aku tidak perlu merasa khawatir. Tapi kalau..."
Sang Empu menatap ke arah pedataran berpasir kuning emas lalu memperhatikan
keadaan sekeliling ruangan.
"Sahabat Kumara Gandamayana, kalau sampean
berada di sini, berarti ini adalah tempat rahasia di mana Sri Maharaja Mataram
dan keluarga serta para pengikutnya berada. Saya sungguh bersyukur..."
Sepasang mata Kumara Gandamayana mengecil,
menatap lekat-lekat ke arah sang Empu lalu bertanya,
"Dari mana Empu mengetahui kalau ini tempat rahasia dan Raja Mataram berada di
sini bersama keluarga dan para pengikutnya?"
"Harap maafkan kalau saya keliru. Saya hanya menduga. Karena saat ini saya membekal satu amanat tugas luar biasa penting. Tapi
saya lebih dulu ingin tahu bagaimana saya bisa berada di sini. Padahal saya sudah setengah mati mencari dari
siang sampai malam. Saya hampir meneguk air comberan saking haus luar biasa.
Kalau saja sampean tahu dan mau menceritakan saya sangat berterima kasih."
"Satu makhluk alam gaib menemukan Empu dekat
rimba belantara di Prambanan. Dia membawa Empu ke tempat ini." Menerangkan
Kumara Gandamayana.
"Makhluk alam gaib?" Empu Semirang Biru kembali mengingat-ingat. "Sewaktu saya
nyaris pingsan karena kelelahan dan kehausan, mendadak muncul satu sosok
menyeramkan. Saya melihat tengkorak. Jerangkong hidup!
Apakah makhluk itu yang sampean maksudkan dan yang telah menolong saya dan
membawa ke tempat ini?"
"Benar." jawab Kumara Gandamaya.
"Saya sangat bersyukur. Rupanya para Dewa telah mengulurkan pertolongan melalui
jerangkong hidup itu untuk menolong saya. Tapi adalah aneh, mengapa makhluk jerangkong dari alam roh itu mau menolong saya.
Apakah dia seseorang yang pernah saya kenal. Atau dia mengenal saya..."


Wiro Sableng 183 Bulan Biru Di Mataram di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiba-tiba ada suara mengiang di telinga kiri Empu Semirang Biru, "Empu tolol!
Kau ditugaskan untuk mencari dan membunuh Raja Mataram. Bukan ngobrol panjang
lebar dengan cecunguk kaki tangannya. Lekas laksanakan tugasmu!"
Wajah sang Empu berubah. Dia cepat mengusap muka.
Namun sepasang mata Kumara Gandamayana tidak dapat ditipu. Kakek bersorban
kelabu ini bertanya, "Ada apa Empu" Kau sepertinya..."
"Tidak, tidak ada apa-apa. Maaf, sampean belum menjawab pertanyaan saya tadi. Mengapa makhluk jerangkong hidup itu menolong saya."
Kumara Gandamayana tersenyum. "Bukankah tadi
Empu sendiri yang mengatakan bahwa itu adalah uluran tangan pertolongan para
Dewa?" Orang kepercayaan Raja Mataram ini tidak mau menerangkan kalau jerangkong
hidup itu sebenarnya adalah Emban Buyutnya sendiri yang bernama Lor Pengging
Jumena. Empu Semirang Biru usap janggut birunya lalu anggukkan kepala. Kumara Gandamayana lantas berkata. "Sekarang beri tahu saya amanat tugas penting
apa yang tengah Empu emban?"
Diam-diam Empu Semirang Biru mulai merasa khawatir kalau-kalau orang di
hadapannya tahu apa yang tersembunyi di balik kehadirannya di tempat rahasia itu.
"Sahabat, saya percaya padamu. Terus terang saya datang membawa Keris Kanjeng
Sepuh Pelangi. Untuk diserahkan kepada pemiliknya yang tunggal dan sah yaitu
Yang Mulia Sri Maharaja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala."
Kumara Gandamayana terkejut tapi sekaligus gembira.
"Dewa Bathara Agung. Saya tidak menyangka. Ini satu peristiwa besar!"
"Waktu saya tidak lama. Bisakah saya menghadap Yang Mulia Raja saat ini juga?"
Empu Semirang Biru berkata sambil dekapkan dua tangan di atas dada lalu membungkuk pertanda dia memohon dengan hormat tetapi sangat.
"Tentu saja. Tapi Empu, perbolehkan saya melihat keris sakti itu terlebih dulu."
"Sahabat, mohon maaf sampean. Saya ingin memperlihatkan dan menyerahkan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi langsung ke tangan Yang Mulia
Sri Maharaja Mataram.
Harap sampean tidak tersinggung..."
"Empu tidak mempercayai saya?" Tanya Kumara
Gandamayana pula.
"Bukan tidak mempercayai. Saya justru sangat menghormat sampean." Jawab Empu Semirang Biru sambil tersenyum lalu usap janggut
yang berwarna biru.
Kumara Gandamayana terdiam sejenak. Kemudian dia berkata. "Kalau begitu
keinginan Empu..."
"Maaf, ini bukan keinginan saya. Saya hanya menjalankan amanat"
Kumara Gandamayana tersenyum, "Baiklah, saya akan mengantarkan Empu menemui Yang
Mulia Raja Mataram.
Tapi sebelumnya saya ada satu pertanyaan."
"Pertanyaan apa?" Tanya Empu Semirang Biru sambil meluruskan tubuh. Walau orang
di hadapannya tampak tersenyum, namun dalam hati sang Empu merasa tidak senang.
WIRO SABLENG BULAN BIRU DI MATARAM
3 UMARA Gandamayana rangkapkan dua tangan di
depan dada. Suaranya tenang dan sabar ketika
Kberkata. "Menurut kabar yang saya ketahui, Keris Sepuh Kanjeng Pelangi lenyap
dicuri orang beberapa ketika setelah Empu menyelesaikan pembuatannya. Saat itu
keris sakti masih belum bergagang dan bersarung."
"Itu benar. Itu bukan merupakan rahasia lagi di Bhumi Mataram. Terutama di
kalangan orang-orang Kerajaan dan orang-orang rimba persilatan." Kata Empu
Semirang Biru pula.
"Cerita selanjutnya yang saya ketahui, keris sakti berluk sembilan itu dicuri
oleh seorang pertapa yang telah meninggal dunia. Sang pertapa bernama Sedayu Galiwardhana. Sinuhun Merah Penghisap Arwah berhasil mengeluarkannya dari alam roh, menguasai dan mengendalikan dirinya. Merubah ujudnya
sebagai Raden Ageng Daksa palsu. Namun pertapa itu kemudian menemui ajal untuk
kedua kali di Candi Kalasan sewaktu bentrokan dengan Ksatria Panggilan yang
dibantu oleh beberapa tokoh perempuan, antaranya Ratu Randang."
"Ah, sungguh satu cerita nyata luar biasa. Kalau sampean tidak menuturkan, saya tidak pernah tahu riwayat itu." Berkata dusta Empu
Semirang Biru. "Yang ingin saya ketahui," kata Kumara Gandamayana pula, "Bagaimana Keris
Kanjeng Sepuh Pelangi tahu-tahu sekarang berada di tangan Empu dan katanya
hendak diserahkan pada Yang Mulia Sri Maharaja Mataram."
Empu Semirang Biru menatap dalam-dalam ke mata orang di hadapannya. Saat itulah
dia kembali mendengar suara mengiang di telinga kiri, "Empu tolol! Lekas kau
bunuh kakek bersorban yang banyak mulut dan banyak bertanya itu! Tampaknya dia
akan menyusahkan dirimu.
Bisa-bisa tugas utamamu tidak terlaksana! Jahanam! Dia telah menaruh curiga
padamu!" Suara mengiang itu adalah suara Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Empu Semirang
Biru menduga-duga di mana keberadaan Sinuhun Merah saat itu. Pasti tidak jauh di
luar tempat rahasia itu. Kalau tidak, mana mungkin dengan kesaktiannya dia
mengetahui apa yang tengah dibicarakan. Sekalipun sangat takut dan berada di
bawah kendali Sinuhun Merah Penghisap Arwah namun Empu Semirang Biru saat itu
punya jalan pikiran sendiri. Membunuh Kumara Gandamayana sama saja mencari kehebohan.
Jika itu terjadi, niat utama untuk membunuh Raja Mataram mungkin tidak pernah
kesampaian malah dia akan mendapat celaka. Maka sang Empu tidak melakukan apa yang diperintah Sinuhun Merah.
"Empu jahanam! Kau berani kurang ajar tidak melakukan apa yang aku perintah!" Suara ngiangan Sinuhun Merah menyumpah di telinga
kiri Empu Semirang Biru.
Sang Empu usap-usap rambutnya yang riap-riapan dan berusaha bersikap tenang.
"Sahabat Kumara Gandamayana, setelah pertapa
Sedayu Galihwardhana terbunuh, para Dewa turun tangan menyelamatkan Keris
Kanjeng Sepuh Pelangi. Senjata sakti yang bakal menjadi pusaka Kerajaan Mataram
itu dimasukkan Para Dewa ke dalam satu ruangan bernama Ruang Segi Tiga Nyawa.
Saya juga ikut dimasukkan untuk mengawasi. Saya hanya bisa menjaga karena saya
tidak bisa menyentuh senjata itu. Sinuhun Merah Penghisap Arwah, dibantu oleh
bocah sakti bernama Dirga Purana, walau tidak mampu menembus masuk ke dalam
Ruang Segi Tiga Nyawa tapi mereka masih bisa menyusupkan ilmu-ilmu dahsyat ke
dalam Keris Kanjeng Sepuh Pelangi.
Siapa saja yang mendekati keris, apa lagi sampai menyentuhnya maka dari dalam keris akan menyambar petir dahsyat."
"Lalu bagaimana sekarang keris itu bisa berada di tangan Empu?" Tanya Kumara
Gandamayana. "Cerita saya belum selesai," jawab sang Empu. Lalu Empu ini menuturkan bagaimana
dia meminta Empat Mayat Aneh menculik Sakuntaladewi alias Dewi Kaki Tunggal
untuk dibawa menemuinya. Dia juga menceritakan kedatangan seorang gadis bernama
Jaka Pesolek yang mampu menangkap petir yang memang sangat diharapkannya. "Berkat pertolongan kedua orang itu, Keris Kanjeng Sepuh Pelangi berhasil
diambil dari langit-langit ruangan dan diserahkan kepada saya."
"Siapa yang menyerahkan?" Tanya Kumara Gandamayana pula. "Nenek sakti bernama Ratu Randang." Jawab Empu Semirang Biru. "Bukankah dia
salah seorang pembantu kepercayaan Raja?"
"Betul, dia memang salah seorang pembantu kepercayaan Raja Mataram." jawab Kumara Gandamayana.
Mulut berucap tapi pikiran dan hati sama bertanya-tanya. "Mengapa Ratu Randang
menyerahkan keris pada Empu ini, tidak menyerahkan sendiri ke tangan Raja?"
"Selain Ratu Randang, Jaka Pesolek dan Sakuntaladewi, siapa lagi yang ada dalam Ruang Segi Tiga Nyawa?"
Kumara Gandamayana bertanya hendak menguji apakah sang Empu akan menjawab jujur
atau tidak. "Seorang pemuda yang dikenal sebagai Ksatria
Panggilan, lalu gadis berpakaian hijau bernama Kunti Ambiri..." Menjawab Empu
Semirang Biru. "Setelah menerima keris dari Ratu Randang, Empu langsung saja meninggalkan
orang-orang itu?"
"Benar, karena saya merasa perlu harus bertindak cepat. Menyerahkan keris kepada
Yang Mulia Raja Mataram. '' Empu Semirang Biru diam sesaat lalu bicara lagi
"Sahabat Kumara Gandamayana, saya tidak bisa berlama-lama bicara denganmu di
tempat ini. Mohon dimaafkan.
Saya harus segera menyerahkan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi pada Yang Mulia Raja
Mataram. Saya mohon sampean segera mengantar saya menghadap beliau."
"Empu Semirang Biru, harap kau bersabar menunggu di tempat ini. Saya akan
memberi tahu kedatanganmu pada Raja Mataram."
"Saya sangat berterima kasih." kata Empu Semirang Biru sambil bungkukkan badan.
Tak selang berapa lama Kumara Gandamayana muncul kembali mengiringi seorang
lelaki gagah berusia sekitar tiga puluh tahun, berpakaian sederhana. Rambut
tergerai sebahu dan kumis serta janggut meranggas kasar.
Walau tidak mengenakan mahkota namun Empu Semirang Biru mengenali, orang yang melangkah di depan Kumara Gandamayana itu adalah
Sri Maharaja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala.
Empu Semirang Biru cepat-cepat berlutut susuk dua tangan di atas kepala seraya
berkata. "Salam hormat saya untuk Sri Maharaja Mataram. Mohon dimaafkan kalau
kedatangan saya telah mengganggu ketenteraman Yang Mulia."
"Empu Semirang Biru, berdirilah. Lama saya tidak mendengar kabar tentang dirimu.
Saya lihat Empu tidak kurang suatu apa. Apa benar Empu datang untuk menyerahkan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi seperti yang diberitahukan kakek Kumara Gandamayana?"
Empu Semirang Biru rundukkan kepala hingga kening hampir menyentuh lantai
"Mohon maaf Yang Mulia. Keris sakti hilang dirampas orang ketika masih berada di
tangan saya. Saya merasa sangat bertanggung jawab untuk menemukannya kembali.
Para Dewa telah menolong saya. Saya berhasil mendapatkan keris dan saya merasa punya kewajiban untuk menyerahkan ke tangan Yang Mulia"
"Kalau begitu perlihatkanlah keris sakti itu. Empu boleh menyerahkan kepada saya
sekarang juga." Kata Raja Mataram pula.
Empu Semirang Biru bangkit berdiri. Dari balik pakaiannya dia keluarkan sebuah benda yang dibungkus kain putih. Kain pembungkus di
buka. Kelihatan sebilah keris berluk sembilan tidak bergagang. Selarik sinar
merah kehitaman menyelubungi keris mulai dari ujung yang lancip di sebelah atas
sampai ke bagian gagang di sebelah bawah.
Raja Mataram perhatikan senjata itu sejenak. Sebelumnya dia memang tidak pernah melihat ujud Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang
dimintanya sang Empu untuk membuat. Raja ulurkan tangan namun tiba-tiba dia
melihat Kumara Gandamayana yang sengaja berpindah tegak ke hadapannya gelengkan
kepala perlahan sembari kedipkan mata. Walau tidak mengerti apa maksud isyarat
yang diberikan kakek pembantu kepercayaannya itu, namun Raja Mataram serta merta
tarik dua tangannya yang barusan diulur.
"Yang Mulia," Empu Semirang Biru berkata. "Sekali lagi saya mohon maaf atas
kelalaian hingga keris sakti ini sampai dicuri orang. Mudah-mudahan dengan
bantuan serta kesaktian keris ini Yang Mulia mampu keluar dari semua kesulitan
dan memimpin Bhumi Mataram kembali.
Saya mohon Yang Mulia sudi menerima Keris Kanjeng Sepuh Pelangi ini..."
Empu Semirang Biru tundukkan kepala, maju dua langkah sambil ulurkan dua tangan.
Bagian pertengahan keris sampai ke ujung lancip diletakkan di atas telapak
tangan kiri. Tangan kanan menggenggam gagang senjata.
"Empu Semirang Biru! Tetap di tempatmu! Jangan berani bergerak! Berikan keris
padaku!" Tiba-tiba Kumala Gandamayana membentak.
WIRO SABLENG BULAN BIRU DI MATARAM
4 AHABAT Kumara Gandamayana, ada apakah...?"
Bertanya Empu Semirang Biru sambil kepala dipaSlingkan sedikit. Tapi dua kaki terus saja melangkah.
Dan tiba-tiba sekali, tangan yang menggenggam gagang keris laksana kilat
bergerak. Cahaya merah kehitaman yang tadinya redup membungkus keris tiba-tiba
memancar terang. Ujung keris berkiblat ke arah dada kiri Raja Mataram.
Secepat yang bisa dilakukan Kumara Gandamayana melompat ke depan mendorong Raja
Mataram. Raja terjengkang jatuh tapi selamat dari tusukan keris yang mengarah
dada. Sebaliknya mata keris menyambar ke arah lengan kiri Kumara Gandamayana
yang menghalang.
Brettt! Crass! Lengan jubah kiri Kumara Gandamayana robek besar.
Kulit dan daging lengan ikut terluka. Darah mengucur tapi tidak berwarna merah
pertanda ada racun yang bekerja sangat cepat.
Gagal dengan serangan pertama menikam ke arah dada Raja, Empu Semirang Biru
keluarkan suara menggereng seperti raungan anjing terluka lalu membuat gerakan melompat terjun ke
arah Raja Mataram yang saat itu tengah berusaha berdiri. Keris di tangan kanan
ditikamkan ke arah tenggorokan Raja. Namun sebelum keris palsu mengandung racun
Cakar Sukma Merah yang mematikan itu menancap di leher Raja, Kumara Gandamayana telah terlebih dulu melompat ke hadapan sang Empu. Dua tangan yang saat
itu telah berubah menjadi merah laksana bara menyambar ke arah leher.
"Kakek Kumara, jangan bunuh Empu itu!" Tiba-tiba Raja berteriak. "Saya punya
dugaan dia hendak membunuh saya bukan maunya! Saya mencium bau kemenyan dalam
hembusan nafasnya! Ada satu kekuatan menguasai dirinya!"
Mendengar teriakan Raja, Kumara Gandamayana tidak mau meneruskan serangan dua
tangan mautnya namun dia juga tidak ingin sang Empu menimbulkan bencana
lanjutan. Maka sambil membuat gerakan setengah merunduk, Kumara Gandamayana hantamkan kaki kanannya ke arah perut Empu Semirang
Biru. "Makhluk biru! Siapapun kau adanya lekas pergi dari sini! Jangan berani kembali.
Bersyukurlah Raja Mataram telah memberi pengampunan!"
Wuttt! Tendangan kaki kanan Kumara Gandamayana berkelebat. Selarik sinar kelabu mendahului tendangan, membuat tubuh Empu Semirang Biru
tergontai-gontai. Lalu, Bukkk!
Kali kedua tendangan kaki kanan Kumara Gandamayana mendarat telak di pertengahan perut Empu Semirang Biru. Sosok sang Empu mencelat menghantam atap batu pualam lalu terpental
kembali jatuh ke bawah. Darah menyembur dari mulut. Walau cidera hebat seperti
itu, namun keris Kanjeng Sepuh Pelangi palsu masih tergenggam erat di tangan kanan. Selagi tubuh Empu Semirang Biru melayang jatuh ke
bawah, Kumara Gandamayana tanggalkan sorban kelabu di atas kepala. Sekali
mengebut, sorban berkelebat manggulung tubuh sang Empu. Begitu sorban
disentakkan dalam gerak jurus ilmu Selendang Dewa Menutup Bahala, untuk kedua
kalinya tubuh Empu Semirang Biru mencalat ke atas langit-langit ruangan.
Hanya saja sekali ini langit-langit jebol dan sosok sang Empu melesat lenyap tak
kelihatan lagi!
"Kakek Kumara Gandamayana, terima kasih kau telah menyelamatkan saya" Raja
Mataram berkata sambil melangkah menghampiri. "Seharusnya tadi kita merampas
Keris Kanjeng Sepuh Pelangi dari tangan Empu itu."
"Tidak ada gunanya Yang Mulia," jawab Kumara
Gandamayana sambil merobek lengan kiri jubahnya.
Tangan yang tersingkap nampak melembung hitam dan darah masih mengucur.
"Mengapa Kakek berkata begitu?" Tanya Raja Mataram. "Keris yang dibawa Empu itu adalah keris palsu. Bukan keris Kanjeng Sepuh
Pelangi." Raja Mataram tercengang karena tidak menyangka.
"Walau keris palsu tapi agaknya mengandung racun jahat.
Kau harus cepat mengobati luka di tangan kirimu itu."
"Akan saya lakukan. Tapi saya tidak pasti apakah ada obat yang bisa saya temui
dan bisa segera menyembuhkan. Tubuh saya terasa panas. Saya tidak tahu berapa lama saya bisa bertahan."
Kumara Gandamayana lalu totok urat besar di beberapa bagian tubuhnya.


Wiro Sableng 183 Bulan Biru Di Mataram di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

*** EMPU Semirang Biru terkapar tertelentang di satu tempat yang tidak diketahuinya
di mana. Setelah mengerang panjang pendek dan mengusap darah yang masih mengucur di sela bibir dia
berusaha bangun. Tangan kiri menopang tanah, tangan kanan masih memegang keris.
Baru saja dia mampu berdiri sambil bersandar ke satu batang pohon tiba-tiba tiga
orang melayang melompat dari semak belukar tinggi di hadapannya. Mereka ternyata
adalah Sinuhun Merah Penghisap Arwah, Sinuhun Muda Ghama Karadipa dan Ksatria
Roh Jemputan alis Pangeran Matahari.
"Empu tolol sialan! Kau tidak mampu membunuh Raja Mataram!" Berteriak Sinuhun
Merah Penghisap Arwah.
"Kau tahu apa artinya ini"!"
Empu Semirang Biru jatuhkan diri berlutut meratap minta ampun, "Sinuhun mohon
maafmu. Saya dihadang oleh kakek sakti bernama Kumara Gandamayana."
Plaakkk! Satu tamparan keras yang dilayangkan Sinuhun Muda Ghama Karadipa membuat kepala
Empu Semirang Biru terpelanting ke kiri dan darah mengucur dari mulutnya yang
pecah. "Aku menyuruh kau membunuh kakek itu, tidak kau lakukan! Sekarang kau rasakan
sendiri akibatnya!" Hardik Sinuhun Merah. Lalu dia membentak "Ketika kau di
ruang rahasia di mana tempat Raja keparat itu berada kau tahu di mana letak
tempat itu"!"
"Saya tidak tahu Sinuhun. Saya hanya tahu ada satu makhluk berupa jerangkong
putih yang membawa saya ke sana..."
Piaakkk! Satu tamparan kembali lagi mendarat di pipi Empu Semirang Biru.
"Kami tidak menanyakan siapa yang membawamu ke sana, Empu tolol! Goblok!" Yang
menampar dan menghardik lagi-lagi adalah Sinuhun Muda Ghama Karadipa.
"Saya mohon ampunan Sinuhun berdua. Saya mohon diberi obat pemusnah Racun Sukma
Merah..." Sinuhun Merah dan Sinuhun Muda sama-sama tersenyum. Sinuhun Merah berpaling pada Ksatria Roh Jemputan lalu anggukkan kepala. Melihat isyarat ini Ksatria Roh Jemputan segera
melangkah mendekati si Empu.
"Empu, kau harus bersyukur dua sinuhun berbaik hati mengampuni selembar nyawamu.
Sebelum kau diberikan obat pemusnah Racun Sukma Merah, harap keris yang kau
pegang diserahkan dulu padaku..."
Percaya pada ucapan orang, Empu Semirang Biru ulurkan tangan kanan yang sejak tadi menggenggam Keris Kanjeng Sepuh Pelangi palsu.
Begitu tangan diulurkan Ksatria Roh Jemputan bukannya mengambil keris itu tapi
malah menggenggam kuat-kuat tangan kanan sang Empu, tangan kiri menekan siku
lalu secepat kilat dengan kekuatan penuh dia balikkan ujung keris dan, blesss!
Empu Semirang Biru keluarkan jeritan keras. Mata mencelet. Mulut semburkan darah
begitu keris menancap di dada kirinya, langsung menembus jantung. Perlahan-lahan
tubuh berselempang kain putih itu tergelimpang di tanah. Dua kaki melejanglejang. Begitu Racun Sukma Merah membanjiri jantung dan mengalir di seluruh
jalan darahnya, tak ampun lagi ahli pembuat senjata sakti ini meregang nyawa
dalam keadaan sangat mengenaskan.
"Empu tolol! Menjauh dari pandangan mataku!" Bentak Sinuhun Merah Penghisap
Arwah. Kaki kanan ditendangkan ke tubuh orang. Sosok sang Empu mencelat jauh di atas permukaan rimba
belantara. WIRO SABLENG BULAN BIRU DI MATARAM
5 AJAH tampan anak lelaki usia dua belas tahun
yang tengah duduk khidmat bersemedi tampak
Wtenang bercahaya ketika dalam pandangan mata di alam gaib semedi dia melihat
langit malam bertabur bintang. Hembusan angin meniup sekelompok awan putih,
perlahan-lahan menyingkap rembulan yang sejak tadi tertutup. Ada keanehan. Bulan
purnama bulat penuh yang tampak di langit berwarna biru bersih. Lalu entah dari
mana datangnya bermunculan sosok sembilan orang-orang tua berpakaian serba
putih. Lima orang lelaki, empat orang perempuan. Mereka berputar-putar di arah
rembulan. Yang lelaki susun dua tangan di atas kepala sambil merapal bacaan suci
Kitab Weda. Yang perempuan menebar bebungaan. Semua apa yang terlihat di ruang
pandangan mata alam gaib anak lelaki yang tengah bersemedi, harum mewangi
tebaran bunga itu mendatangkan rasa sejuk.
Sayup-sayup terdengar suara-suara nyanyian perempuan, mendayu berhiba-hiba.
Alam gaib dan keajaiban
Adalah kuasa Para Dewa di Kahyangan Swargaloka Jika ummat berputih hati
Bertobat dari segala kesalahan
Maka Yang Maha Kuasa menjanjikan
Bulan Biru di langit Mataram
Jika kejahatan terpaksa ditumpas,
dengan air mata dan darah
Yang Maha Kuasa masih akan tetap menepati janji Bulan Biru di langit Mataram
Mendadak wajah bercahaya dan berseri anak lelaki yang bersemedi di atas batu
berubah redup. Pertanda ada yang mempengaruhi perasaan hati dan jalan pikiran.
Per- hatiannya terpecah. Lapat-lapat di kejauhan terdengar genta suara lonceng.
Dengan segala kemampuan yang ada anak lelaki itu berusaha bertahan agar semedi
tidak terpu- tus. Namun ketika satu cahaya kuning berkiblat terang lalu lenyap di depan
sepasang matanya yang terpejam, anak ini tak sanggup lagi bertahan. Bulan
purnama biru lenyap.
Langit terkembang dan bintang-bintang sirna. Begitu juga suara nyanyian dan
sosok sembilan orang tua.
Wajah dan sekujur tubuh si anak basah oleh keringat, tembus sampai ke pakaian
hitam yang dikenakan. Anting-anting emas di telinga kanan berpijar benderang,
membuat daun telinganya terasa panas. Batu tempat dia duduk bersila yang tadinya
hangat mendadak berubah dingin.
Lalu ada hawa aneh membersit dari dalam batu memasuki tubuh. Begitu menembus
kepala yang tertutup rambut tebal hitam, asap kuning mengepul. Seperti disentak
oleh satu kekuatan dahsyat, sepasang mata membuka nyalang.
"Hyang Jagat Bathara Agung, apa yang terjadi hingga samadi saya terputus begini
rupa" Adakah saya berbuat kesalahan hingga samadi tidak bisa dirampungkan?" Anak
lelaki itu merenung dan bertanya dalam hati. Dia lebih dulu melihat ke dalam
diri sendiri, tidak berprasangka menaruh curiga pada hal buruk yang datang dari
luar. Satu pertanda anak ini memiliki rasa timbang bijaksana serta budi yang
tinggi. Ketika dia mengusap keringat di kening mendadak ada suara ngeongan kucing
mengiang di telinga. Disusul jeritan menyerupai suara raungan anjing di
kejauhan. Anak lelaki di atas batu kembali merenung. Perlahan-lahan mulut berucap. "Yang
Maha Kuasa memberi dua pertanda. Pertama bulan purnama biru di langit. Sembilan
orang tua dan tebaran bunga. Ada suara nyanyian. Pertanda kedua, gema suara lonceng, kilau cahaya kuning, suara ngeongan kucing dan
jeritan menyerupai lolongan anjing di malam buta, hawa aneh dari dalam batu,
hawa panas di telinga kananku. Sesuatu tengah terjadi di luar sana.
Mungkinkah..."
Mendadak sebuah benda melayang di udara dan,
bluukkk! Satu sosok berselempang kain putih tergelimpang jatuh di hadapan si anak lelaki.
Ketika diperhatikan ternyata sosok seorang kakek kurus, berambut biru riapriapan. Muka laksana tengkorak karena tinggal kulit pembalut tulang. Mulut pecah. Kumis,
janggut serta alis juga berwarna biru. Sepasang mata terbeliak tak berkedip!
Anak lelaki di atas batu menatap beberapa jurus tanpa rasa takut. Hanya kening
tampak mengerenyit dan sepasang alis tebal bergerak naik. Lalu mulutnya berucap,
"Orang tua, apakah saya mengenal dirimu" Kalau tidak salah saya menduga,
bukankah kau Empu sakti dari Gunung Bismo, bernama Empu Semirang Biru" Wahai,
nasib buruk apa yang membawamu jatuh di hadapan saya dalam keadaan begini rupa"
Pertanda apa..."
Ucapan si anak lelaki terhenti. Gerakannya bangkit berdiri setengah tertahan
ketika dua matanya yang besar bening melihat sebilah keris tidak bergagang dan
meman- carkan warna redup hitam, menancap tepat di dada kiri si orang tua. Kain putih
yang jadi pakaian dan hampir seluruh tubuhnya basah oleh lumuran darah.
Anak lelaki di atas batu tarik nafas dalam dan panjang.
Wajah tampak redup. Mata dipejam sesaat, kepala digeleng. "Orang tua malang,
nyawamu telah tiada. Agaknya kau menemui ajal di luar wajar. Saya hanya bisa berduka. Saya tidak mungkin
menolongmu..."
Perlahan-lahan dengan tangan kanannya anak lelaki itu mengusap sepasang mata
nyalang jenazah Empu Semirang Biru hingga menutup.
Mendadak di kejauhan kembali dia mendengar suara lonceng, lalu riuh suara
mengeong disertai jeritan seperti lolongan anjing. Bayangan cahaya kuning muncul
lagi di pelupuk matanya.
"Empu, saya harus pergi. Tanda yang diberikan oleh Para Dewa kali ini sudah
cukup jelas. Saudara saya dalam bahaya. Maafkan kalau saya tidak bisa mengurus
jenazah- mu. Mudah-mudahan akan ada orang menemuimu di sini..."
Setelah menatap cukup lama pada keris tak bergagang yang menancap di dada kiri
sang Empu anak lelaki itu berdiri dengan cepat. Sebelum pergi dia kembangkan
telapak tangan, di arahkan ke jenazah Empu Semirang Biru.
Selarik cahaya kuning menebar hawa luar biasa dingin melesat keluar dari telapak
tangan. Begitu menyentuh sosok jenazah maka sekujur jenazah diselubungi lapisan
kuning mengepulkan asap dingin.
"Salju Kuning. Semoga jenazahmu tetap utuh sampai ada orang menemui. Selamat
tinggal Empu."
Anak lelaki berpakaian hitam beranting emas di telinga kanan menatap ke langit.
Dalam hati anak ini membatin,
"Kanda Dirga Purana aku adikmu Mimba Purana mendengar suara jeritanmu. Bukan dalam suara manusia. Tapi suara raungan anjing. Aku
mendengar suara binatang peliharaanmu mengeong riuh. Apa yang terjadi denganmu"! Apa ada kesulitan tengah kau alami yang berhubungan dengan kematian Empu ini...?"
Perlahan-lahan dua kaki berkasut kulit kayu bergerak ke atas lalu wuuttt! Sosok
anak ini melesat masuk ke dalam gumpalan awan, lenyap dari pemandangan.
WIRO SABLENG BULAN BIRU DI MATARAM
6 ALAM buku sebelumnya berjudul "Delapan Pocong Menari" diceritakan bahwa Selir
Kesatu Penguasa DAtap Langit Ken Parantili memberitahu kepada Wiro di mana
beradanya Ni Gatri. Menurut Ken Parantili gadis berusia empat belas tahun itu
diancam bahaya besar, disekap oleh bocah sakti Dirga Purana di sebuah goa,
terlindung oleh air terjun di dekat sebuah telaga. Sang selir juga menceritakan
kalau Ratu Randang mengetahui letak goa tersebut. Tidak menunggu lebih lama,
setelah Ken Parantili melenyapkan diri melalui Terowongan Arwah, dipimpin oleh
Ratu Randang, Pendekar 212 Wiro Sableng, Kunti Ambiri, Sakuntaladewi dan Jaka
Pesolek segera menuju ke kawasan di mana beradanya goa di balik air terjun.
Tidak disangka, Sinuhun Merah Penghisap Arwah telah terlebih dulu berada di
tempat itu, tengah berjaga-jaga sementara Dirga Purana berada di dalam goa
bersama Ni Gatri. Karena diejek dan dipermainkan oleh kelima orang itu, Sinuhun
Merah Penghisap Arwah kena dipancing oleh Kunti Ambiri. Dia menyerang Wiro
dengan pukulan Delapan Sukma Merah dan menghantam Ratu Randang dengan ilmu
Delapan Arwah Sesat Menembus Langit. Semua serangan mencuatkan sinar merah.
Begitu diserang Wiro segera berteriak memberi tahu pada kawan-kawan untuk
membalas serangan Sinuhun Merah dengan serangan balik berupa ilmu penangkal
dahsyat sebagaimana yang diajarkan Ken Parantili padanya. Maka didahului oleh Wiro, Kunti Ambiri, Ratu Randang dan Sakuntaladewi
segera tancapkan delapan jari tangan kiri kanan masing-masing ke bebatuan yang
ada di sekitar telaga. Empat jari saja kehebatan daya penangkalnya bukan olaholah. Apa lagi saat itu tiga puluh dua jari sekaligus ditancapkan ke batu. Enam
belas serangan berupa cahaya merah yang dilepas Sinuhun Merah berbalik menyerang
dirinya sendiri. Tak ampun lagi sosok makhluk alam roh itu meletus keras, hancur
tercabik-cabik. Anggota badan terkutung-kutung. Belahan kepala mengapung di
permukaan air telaga!
Pada saat itu anehnya terdengar teriakan Sinuhun Merah Penghisap Arwah memanggil
nyawa kembarannya agar menjemput rohnya. Sang saudara nyawa kembar yaitu Sinuhun
Muda Ghama Karadipa kemudian memang
muncul sambil mengembangkan dua tangan. Lalu terjadi keanehan kedua. Semua
kutungan tubuh, belahan kepala, cabikan daging dan hancuran tulang belulang
Sinuhun Merah Penghisap Arwah laksana disedot melayang ke udara, bergabung
membentuk sosok samar lalu masuk menyatu ke dalam tubuh Sinuhun Muda Ghama
Karadipa. Wiro berusaha menghantam Sinuhun Muda dengan
Pukulan Sinar Matahari namun lelaki muda berpakaian dan berikat kepala hijau itu
telah lebih cepat berhasil melarikan diri setelah meneriakkan ancaman akan melakukan pembalasan terhadap Wiro dan kawan-kawan. Tak lama kemudian dari dalam
goa, menembus celah terbuka air terjun melesat keluar delapan ekor anak kucing
merah. Delapan Sukma Merah! Binatang-binatang ini langsung menyerang. Ketika semua
orang siap hendak menghantam, muncul bocah sakti Dirga Purana sambil mencekik leher Ni Gatri. Lima jari
tangannya yang mencekik nampak berubah sangat besar. Dirga Purana mengancam akan
membunuh Ni Gatri kalau ada yang berani menyerang delapan ekor anak kucing
berbulu merah. Dengan sombongnya dia menyuruh semua orang meninggalkan tempat
itu sementara Wiro dipaksa bunuh diri dengan membenturkan kepala ke tebing batu.
"Laknat jahanam!" Rutuk Wiro
Kutuk serapah Wiro dibalas dengan teriakan keras oleh Dirga Purana, ditujukan
pada delapan ekor anak kucing peliharaannya.
"Rakanda! Orang berkeras kepala! Lanjutkan rencana semula! Bunuh mereka semua!"
Didahului suara mengeong keras, delapan anak kucing siap menyerang. Namun pada
saat itu delapan bunga matahari kecil yang ada pada Wiro mendadak berubah dan
muncullah delapan pocong berwajah polos. Delapan Pocong Menari! Sambil menari,
dari sela dua telapak tangannya delapan pocong melepas delapan ekor anak kucing
betina gemuk berbulu putih. Begitu melihat kehadiran delapan anak kucing betina
putih yang montok-montok, delapan anak kucing merah langsung mengeong riuh,
melompat mendatangi, mencium dan menjilati.
Dirga Purana berteriak keras ketakutan ketika dia melihat delapan kucing
peliharaannya menunggangi delapan kucing putih.
"Celaka! Celaka besar! Pantangan besar telah dilanggar!" Dirga Purana berteriak berulang kali memanggil delapan anak kucing merah.
Menyuruh mereka masuk kembali ke dalam goa. Tapi binatang-binatang itu tidak
perduli. Mereka lebih asyik menggeluti delapan anak kucing putih. Sadar bahaya
besar yang akan mengancam sementara dia tidak bisa berbuat apa-apa, tanpa
perduli- kan lagi Ni Gatri yang saat itu jatuh terguling di kaki tebing batu di pinggir
telaga, didahului teriakan berupa lolongan anjing Dirga Purana melesat ke udara,
maksudnya segera masuk ke dalam goa lewat celah di pertengahan air terjun yang
masih berhenti mencurah. Namun kaget sang bocah bukan alang kepalang ketika
dapatkan dirinya telah dikelilingi oleh Wiro, Ratu Randang, Jaka Pesolek, Kunti
Ambiri dan Sakuntaladewi.
"Bocah keparat! Apa yang telah kau lakukan pada Ni Gatri!" Bentak Wiro.
Dirga Purana menyeringai. "Anak perempuan itu ada di sana. Mengapa tidak kau
tanya langsung padanya" Pasti dia akan bercerita bagaimana enaknya ketika aku
membe- lai tubuhnya. Ha... ha... ha!"
"Bangsat kurang ajar!" Wiro langsung menggebuk dengan Pukulan Tangan Dewa
Menghantam Batu Karang.
Sikutan diarahkan ke kepala Dirga Purana pertanda dalam marah yang menggelegak
sang pendekar ingin menghabisi si anak saat itu juga.
Sementara semua orang siap menyerang Dirga Purana, Jaka Pesolek yang memang
tidak memiliki ilmu silat apa lagi pukulan sakti palingkan kepala ke arah tebing


Wiro Sableng 183 Bulan Biru Di Mataram di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

batu di tepi telaga. Melihat sosok Ni Gatri yang tergeletak di tanah gadis ini
merasa perlu segera menolong anak itu. Secepat kilat dia melompat ke arah
tebing. Namun selagi tubuhnya masih melayang di atas telaga tiba-tiba seseorang
ber- mantel hitam muncul dari balik tebing, langsung menyambar tubuh Ni Gatri. Dalam sekejap saja orang itu telah lenyap di arah timur.
Jaka pesolek tidak tinggal diam.
Dengan kemampuannya bergerak laksana kilat dia segera melesat ke atas tebing.
Dari sini terus melakukan pengejaran. Namun sambaran cahaya tiga warna yang tiba-tiba menyerang dari arah depan
membuatnya cepat-cepat selamatkan diri.
Ketika bagian atas tebing batu tempat tadi dia berdiri hancur berkeping-keping
disertai kobaran api dan kepulan asap, Jaka Pesolek telah lebih dulu melesat ke
satu pohon tinggi.
Wajah gadis ini tampak pucat, tengkuk terasa dingin.
Karena sekejap saja dia terlambat pasti dia sudah menemui ajal dengan tubuh tak karuan rupa.
"Gila! Aku seperti mau kencing tapi tidak bisa!" Jaka Pesolek memaki sendiri
dalam hati "Aku harus menolong anak itu. Orang bermantel walau aku tidak melihat
muka- nya, aku menduga pasti dia hendak mencabuli anak itu.
Kasihan Ni Gatri. Jangan-jangan sebelumnya anak itu sudah..."
Walau takut namun Jaka Pesolek kembali melanjutkan pengejaran ke arah timur.
WIRO SABLENG BULAN BIRU DI MATARAM
7 EMBALI ke telaga di depan air terjun. Ketika dirinya diserang Pendekar 212,
Dirga Purana tidak berusaKha menghindar atau menangkis. Dengan sikap
menantang anak usia dua belas tahun berpakaian mewah ini berkacak pinggang
sunggingkan senyum mengejek.
Wiro jadi geram langsung kerahkan seluruh tenaga dalam yang dimiliki. Jangankan
kepala seorang bocah seperti Dirga Purana, batu sebesar rumahpun akan hancur
luluh dihantam pukulan Tangan Dewa Menghantam Batu Karang warisan Datuk Rao
Basaluang Ameh yang bersumber pada Kitab Putih Wasiat Dewa.
Hanya setengah jengkal pukulan maut akan mendarat di batok kepala Dirga Purana,
tiba-tiba satu cahaya kuning bening melesat keluar dari tubuh anak itu. Walau
pukulan- nya terus menderu tanpa halangan namun saat itu Wiro merasa sekujur tubuhnya
panas kesemutan.
Bukkk! Pukulan Tangan Dewa Menghantam Batu Karang saling bentrokan dengan sinar kuning
bening yang melindungi Dirga Purana. Wiro menjerit keras. Ratu Randang, Kunti
Ambiri dan Sakuntaladewi terpekik. Wiro hampir terjengkang jatuh ke dalam telaga kalau tidak cepat mengimbangi diri. Dia melihat
tangan kanannya bengkak melepuh sampai pergelangan. Jangankan untuk melancarkan serangan susulan, digerakkan saja
tangan itu sakitnya bukan kepalang. Seumur hidup baru kali ini dia mengalami cidera dan rasa sakit seperti
itu. Ratu Randang usap wajahnya yang pucat. Mata juling menatap tak berkesip. "Bocah
itu! Dia punya Ilmu Mega Kuning Sujud Ke Bumi!" Si nenek cepat salurkan suara
mengiang ke telinga Pendekar 212. "Wiro! Selama dua kaki anak itu menginjak
bumi, tidak satu ilmu kesaktianpun bisa menciderai apa lagi membunuhnya! Kau harus menghajarnya pada saat dua
kakinya tidak menginjak tanah, batu, air atau apa saja yang berhubungan dengan
bumi! Aku akan mengangkat anak itu ke udara. Syukur-syukur bisa melemparnya.
Nanti kau cepat menggebuknya!" Wiro berpaling ke arah Ratu Randang. Tangannya yang bengkak melepuh terasa
seberat gundukan batu besar.
Sambil menahan sakit tubuhnya tertarik ke bawah hingga dia jatuh setengah
berlutut di atas batu di tengah telaga.
Dengan tangan kiri Wiro menotok urat besar di pundak dan di atas siku sambil
alirkan hawa sakti.
"Celaka! Ditotok malah tanganku terasa seperti digarang api!" Wiro mengerenyit
menahan sakit. Karena tidak tahan hawa panas yang menyelubungi tangan dan
seluruh tubuhnya Wiro bermaksud hendak menceburkan diri saja ke dalam telaga.
Tiba-tiba ada suara beberapa orang perempuan yang berucap berbarengan.
"Percuma mencebur ke dalam telaga. Cidera di tangan tidak akan sembuh..."
"Siapa yang bicara?" Wiro bertanya dengan suara tertahan.
"Jangan khawatir kami akan menolongmu. Tapi kami tidak lagi bisa menampakkan
diri dengan kehendak kami sendiri..."
"Delapan bunga matahari. Delapan Pocong Menari!"
Dengan tangan kiri Wiro pegang pinggang pakaiannya di balik mana dia menyimpan
delapan bunga matahari kecil.
Saat itu juga dia merasa ada hawa sejuk mengalir di dalam tubuh, bergerak menuju
ke tangan kanan. Lima jari berpijar. Telapak tangan berdenyut dan ajaib, sesaat
kemudian bengkak melepuh di tangan kanan sirna tidak berbekas. Hawa panas di
sekujur tubuh ikut lenyap.
Di tepi telaga Dirga Purana tertawa gelak-gelak. Dia tidak memperhatikan dan
tidak tahu kalau saat itu cidera di tangan Wiro telah lenyap.
"Jauh-jauh dipanggil dari negeri delapan ratus tahun mendatang ternyata ilmumu
hanya setetek comberan!" Si bocah tertawa lagi lalu meludah sampai tiga kali.
Setelah itu dengan cepat dia berkelebat ke arah delapan anak kucing putih yang
tengah ditunggangi oleh delapan anak kucing merah peliharaannya.
"Makhluk pembawa bahala! Mampus kalian semua!"
Satu demi satu anak kucing putih ditendang hingga terpental jauh. Setelah
mengeong kesakitan secara aneh delapan anak kucing putih berubah menjadi asap
lalu lenyap! Melihat delapan anak kucing putih ditendang dan lenyap entah ke mana, delapan
kucing merah yang merasa diputus kenikmatannya menjadi marah dan kalap. Mereka
menggerung keras. Taring dan kuku langsung mencuat.
Siap menyerang Dirga Purana!
"Makhluk keparat! Kalian berani kurang ajar hendak menyerangku!" Dirga Purana
membentak marah. Dua tangan digerakkan demikian rupa seperti orang tengah
membuntal sesuatu. Saat itu juga bergemerlap cahaya merah disertai suara
bergemerincing. Satu rantai panjang berwarna merah bergulung di udara, Rantai
Kepala Arwah Kaki Roh!
Dengan sangat cepat rantai meliuk melibat tubuh delapan anak kucing merah.
Binatang-binatang itu mengeong keras. Coba memutus rantai besi dengan gigitan
dan cakaran tetapi tidak berhasil.
"Masuk ke dalam goa!" Bentak Dirga Purana sambil kebutkan tangan kanan ke arah
delapan anak kucing merah yang tidak berdaya dan ada dalam gulungan rantai.
Saat itu juga gulungan rantai melesat ke udara, siap masuk ke dalam goa melewati
di antara celah air terjun yang sampai saat itu masih menggantung di udara!
"Nek!" Tiba-tiba Sakuntaladewi berkata pada Ratu Randang. "Lekas bunuh delapan
anak kucing merah.
Pergunakan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang ada padamu! Jika tidak dibunuh,
dalam tempo dua puluh satu hari kelak Sinuhun Merah Penghisap Arwah akan muncul
kembali karena sesungguhnya roh atau jiwanya terpecah dalam sosok delapan anak
kucing merah itu!" (Hal ini telah pernah diberitahu Sakuntaladewi kepada
Pendekar 212 dan kawan-kawan sebelumnya. Baca "Sesajen Atap Langit")
Ratu Randang tersentak kaget. Tidak banyak menunggu ataupun bertanya si nenek
segera keluarkan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi asli dari balik pakaian, membuka
kain yang membungkus senjata. Begitu keris sakti tergenggam di tangan, si nenek
merasa tubuhnya luar biasa enteng dan ada hawa sejuk di kepala dan hawa hangat
di pertengahan dada. Secepat kilat Ratu Randang melesat ke udara.
Cahaya biru berkiblat dari badan keris. Kemudian ikut memancar sembilan cahaya
aneh menyerupai cahaya pelangi.
Traangg! Traangg!
Rantai Kepala Arwah Kaki Roh putus berdentrangan di enam bagian. Delapan anak
kucing merah yang merasa bebas mengeong keras lalu menghambur laksana terbang ke
arah celah air terjun. Ratu Randang tidak mau memberi hati. Membunuh delapan
anak kucing itu bukan saja berarti membunuh delapan binatang jahat tapi
sekaligus menghabisi delapan pecahan roh Sinuhun Merah Penghisap Arwah yang mendekam di dalam tubuh mereka dan suatu ketika akan keluar
lagi, muncul di Bhumi Mataram untuk berbuat berbagai macam kejahatan yang lebih
dahsyat! Keris Kanjeng Sepuh Pelangi membeset di udara. Tidak mengeluarkan suara menderu,
tidak menimbulkan angin, tapi mencuatkan cahaya tujuh pelangi dan sembilan luk.
Delapan anak kucing berbulu merah yang tengah mengeong keras mendadak bungkam. Tubuh mereka mengapung tak bergerak. Dirga Purana
berteriak kaget melihat apa yang terjadi.
Hanya dalam bilangan kejapan mata saja delapan binatang peliharaannya itu akan
menemui ajal dibantai keris sakti, si bocah cepat dorong dua tangan ke atas.
Larikan sinar bening menderu. Inilah ilmu kesaktian yang disebut Mega Kuning
Berarak Naik ke Langit yang merupakan pasangan dari Mega Kuning Sujud ke Bumi
dan sebelumnya telah mampu menciderai Pendekar 212.
WIRO SABLENG BULAN BIRU DI MATARAM
8 I UDARA, Ratu Randang terkejut melihat semburan cahaya kuning menyerang dirinya
dari bawah. Di Dsekitar telaga Kunti Ambiri dan Dewi Kaki Tunggal alias
Sakuntaladewi tidak tinggal diam. Dengan pukulan sakti keduanya menggempur ilmu
Mega Kuning Berarak Naik ke Langit. Dua letusan keras menggelegar.
Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi yang melancarkan serangan untuk menghantam Mega
Kuning Berarak Naik ke Langit menjerit keras. Tubuh mereka berpelantingan.
Kunti Ambiri terguling di tepi telaga sebelah kiri sementara Sakuntaladewi
tergeletak dekat sebuah batu besar.
Keduanya laksana lumpuh, tak bisa menggerakkan tubuh dan anggota badan. Sepasang
mata membeliak, wajah pucat pasi. Nafas megap-megap, dada turun naik. Di
seberang telaga dua tangan Dirga Purana membuat gerakan seperti orang merobek.
Breett! Cahaya Mega Kuning Berarak Naik ke Langit terbelah dua, seolah satu kain besar
yang robek menjadi dua.
Bagian pertama terus melesat ke arah Ratu Randang, bagian yang lain berubah
menjadi Mega Kuning Sujud ke Bumi, menderu membabat ke arah Kunti Ambiri dan
Sakuntaladewi yang saat itu dalam keadaan tidak berdaya, tak mampu bergerak apa
lagi selamatkan diri!
Melihat serangan sinar kuning ke arah Sakuntaladewi dan Kunti Ambiri yang berada
dalam keadaan tidak berdaya, Pendekar 212 yang baru saja pulih dari cideranya
melompat bangkit. Mulut merapal. Tangan kanan berubah warna menjadi putih perak
sampai sebatas siku. Sekali tangan dihantamkan, Pukulan Sinar Matahari menggeledek ke arah cahaya Mega Kuning Sujud ke Bumi.
Wuusss! Sinar putih terang menyilaukan menderu disertai hamparan hawa luar biasa panas.
Di atas batu tempatnya berdiri Dirga Purana sunggingkan senyum merendahkan.
Dalam jalan pikirannya ilmu kesaktian apapun tidak akan mampu menyentuh apa lagi
memusnahkan ilmu Mega Kuning Sujud ke Bumi. Dia lupa apa yang tadi ditakutkan
dan diteriakkannya sendiri yaitu bahala besar akibat delapan anak kucing merah
peliharaannya telah menyebadani delapan anak kucing putih yang merupakan pantangan besar.
Blaarr! Letusan keras disertai pijaran bunga api setinggi sepuluh tombak melesat ke
Pedang Sinar Emas 28 Pendekar Pulau Neraka 50 Bidadari Penyambar Nyawa Siluman Kera Sakti 1

Cari Blog Ini