Wiro Sableng 190 Sabda Pandita Ratu Bagian 2
yang terlihat menaungi langit mataram tiba-tiba bercahaya lebih terang, lalu
nampak satu cahaya biru berbentuk bintang berekor melesat membelah angkasa
menuju kearah Lakarontang! "Ekor Bintang Menghujam Latinggimeru...!"
teriak Lakarontang ketakutan. bagaimana tidak! Pukulan
langka milik Gurunya yakni Datuk Tanpa Bentuk Tanpa
Wujud ini adalah satu-satunya pukulan yang paling
ditakutinya karena pernah hampir menamatkan riwayatnya
dulu kala dilepas oleh Luh Pingkanmatindas gadis kepala
negeri Latanahlaut. (silahkan baca episode : Si Pengumpul Bangkai) Lakarontang
berusaha untuk bergerak menghindar, namun tubuhnya terasa kaku akibat hantaman
ratusan jalur pukulan sakti yang menghantam tubuhnya "jahanaaaam....!"
Teriak lakarontang keras kala melihat sinar benderang yang turun dari langit dan
tak dapat dihindarkan lagi tersebut.
maka detik itu juga tanpa mampu menghindar atau
Sabda Pandita Ratu
44 BASTIAN TITO menangkis lagi tubuh sang jenazah simpanan langsung
terhempas dihantam pukulan sakti berbentuk bintang jatuh yang turun dari langit!
Satu ledakan keras terdengar seketika dibarengi hamparan sinar yang menyeruak
kesegala arah! Sukma Wiro yang berada paling dekat dengan lakarontang
pun merasakan dampaknya. Mata sang pendekar terlihat
tertkatup rapat mencoba menahan getaran yang menyerang
jantungnya. Adapun tubuh kasarnya yang tergeletak di tanah terlihat terlempar
keras menghantam sebatang pohon.
"Wiro..." teriak Ratu Randang keras seraya memburu kearah
tubuh sang pendekar yang menghempas pohon. "jangan
sentuh..." teriak si segala tahu namun usahanya sia-sia kala didengarnya Ratu
Randang menjerit seraya memegangi
tangan kanannya yang terlihat melepuh akibat menyentuh
tubuh Wiro yang merah membara! Sementara itu hanya
sesaat setelah tubuh lakarontang terhempas pukulan Ekor Bintang Menghujam
Latinggimeru. Tiba-tiba dari angkasa kembali terlihat sebuah benda raksasa yang
melayang jatuh.
Setelah diperhatikan secara seksama benda hitam raksasa
yang melayang tersebut ternyata adalah sosok sebatang
pohon beringin raksasa! Pohon beringin raksasa ini terlihat terbang melayang
dengan diiringi delapan buah batu merah yang dibungkus dengan kain bermotif
catur yang terlihat
melayang mengitari pohon beringin raksasa tersebut.
"akhirnya datang juga..." desah Datuk Rao Basaluang Pitu
lega. Pohon beringin raksasa tersebut kemudian mengikuti Sabda Pandita Ratu
45 BASTIAN TITO jejak bintang berekor yang jatuh dari langit, jatuh ketanah tepat di tempat
semula lakarontang berdiri. Suara dentuman keras kembali terdengar berbarengan
dengan kepulan debu
dan tanah yang berterbangan. Setelah kepulan debu mulai
menghilang dari pandangan maka nampaklah bahwa semua
orang yang berada disitu sama-sama terduduk ditanah tidak terkecuali Raja
Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala!
Hanya Datuk Rao Basaluang Pitu yang nampak masih tetap
berada diatas menjangan tunggangannya. "sinar apa itu tadi kunti" Wujudnya kok
seperti bintang jatuh...?" ucap Jaka
Pesolek sembari menarik kaki celana Kunti Ambiri yang
berada disebelahnya. Kunti Ambiri yang merasa jengkel
karena kain celananya ditarik hingga hampir melorot kontan menjitak kepala Jaka
Pesolek. "nanya sih kira-kira...! Tapi jangan main tarik celana orang!" sewot
Kunti Ambiri. Sementara itu setelah pandangan sudah tidak terhalang lagi maka nampaklah di
tengah alun-alun keraton berdiri sebuah pohon beringin raksasa dengan
dikelilingi delapan buah batu yang terbungkus kain bermotif catur. Nampak
seorang pria setengah baya mengenakan pakaian hitam bermotif bunga
tanjung berdiri dengan gagah di bawah pohon beringin
tersebut. "salam hormat guru, semoga guru sehat-sehat
selalu. Maafkan keterlambatan saya..." ucap pemuda tersebut sembari menjura hormat
kepada Datuk Rao Basaluang Pitu.
"kau sudah menjalankan tugasmu dengan baik, aku benarbenar bangga akan dirimu. Namun aku masih mempunyai
Sabda Pandita Ratu
46 BASTIAN TITO satu permintaan lagi, entah apa aku boleh merepotkanmu
sekali lagi..." ucap Datuk Rao Basaluang Pitu terdengar sedih.
Sang pemuda yang mendengar nada suara Sang Datuk
tertawa perlahan. "guru, jika guru masih ada permohonan
guru tinggal menyebutkan saja aku pasti dengan sukarela
menjalankannya. Masalah Kitab Jagat Pusaka Dewa yang
guru katakan tidak berjodoh denganku sudah tidak menjadi beban pikiranku lagi.."
ucap sang pria ringan. "anak bagus...
anak baik, aku memang tidak salah menilai dirimu... " ucap Sang Datuk sembari
memandang pria dihadapannya dengan
pandangan berbinar. "aku memang ingin meminta sesuatu
untuk kau kerjakan, namun ada baiknya jika kita melihat
dulu keadaan Ksatria panggilan, coba kau tolong Bantu aku untuk menyadarkan
sukmanya..." ucap Sang Datuk seraya
menunjuk sukma Wiro yang tergeletak diatas tanah. Pria
yang diketahui sebagai murid Datuk Rao Basaluang Pitu ini kemudian terlihat
menggerakkan tangan membelai wajah
sang pendekar dari kejauhan. Sukma Wiro perlahan
membuka sepasang matanya yang sedari beberapa saat
sebelumnya terkatup rapat karena menahan getaran yang
terjadi akibat bentrokan dahsyat yang terjadi manakala
ratusan pukulan sakti ditambah serangan luar biasa
berbentuk sinar dari angkasa menghantam tubuh
Lakarontang. Saat sang pendekar membuka matanya, sosok
yang pertama dilihatnya adalah sosok seorang pemuda tegap berkumis dan
bercambang tipis yang mengenakan pakaian
Sabda Pandita Ratu
47 BASTIAN TITO hitam bersulam bunga tanjung di dada dan sepanjang garis celananya. "Suma
Mahendra...! seru Wiro kaget bukan
kepalang! (mengenai perihal Suma Mahendra silahkan baca
episode: Topan Gurun Tengger) pemuda yang dipanggil dengan sebutan Suma Mahendra
hanya tersenyum saat
melihat Wiro yang nampak terkejut kala melihat wajahnya.
"Sahabat kau keliru, Namaku adalah Mahendra Yudha ...
ayah Suma Mahendra, orang yang kau sebut tadi.!" Ucap
sang pemuda sembari tersenyum. Kunti Ambiri yang berada
paling dekat dengan Wiro langsung menukas. "pemuda ini
adalah orang yang menyegel makhluk tengkorak yang tadi
kau lawan. Dia adalah murid dari kakek yang berdiri dekat menjangan berbulu
emas. Namanya Datuk Rao Basaluang
Pitu..." Wiro memandang wajah Kunti Ambiri dan wajah
kakek yang disebut oleh Kunti Ambiri pulang balik. "kau
bilang Datuk Rao Basaluang Pitu?" Tanya Wiro yang dibalas dengan anggukan oleh
Kunti Ambiri. Datuk Rao Basaluang
Pitu yang mendengar percakapan antara Wiro dan Kunti
Ambiri terlihat tersenyum. "apa yang diucapkan oleh gadis sahabatmu adalah benar
ksatria panggilan... orang-orang
biasa memanggilku dengan sebutan Datuk Rao Basaluang
Pitu..." mendengar apa yang diucapkan oleh Sang Datuk Wiro perlahan berjalan
mendekat dan mencium tangan sang
kakek. "maafkan kelancangan saya datuk, namun bolehkan
saya mengetahui hubungan datuk dengan datuk rao
basaluang ameh...?" ucap Wiro dengan hormat. Mendengar
Sabda Pandita Ratu
48 BASTIAN TITO apa yang dikatakan oleh Wiro, senyum cerah terlihat diwajah Sang Datuk. "ah dia
adalah cicitku yang paling kecil... saat ini masih berada bersama mamaknya di
danau maninjau... "
ucap Sang Datuk ringan namun apa yang diucapkan oleh
Sang Datuk tersebut laksana petir menggelegar di telinga sang pendekar! Tubuh
Wiro bergetar dan sontak terduduk
berlutut hormat. Kakek yang berada didepannya ternyata
adalah kakek buyut gurunya di tanah andalas. Datuk Rao
Basaluang Ameh! "maafkan kelancangan saya datuk... tadi
saya tidak mengetahui dan mengenal diri datuk..." Datuk Rao Basaluang Pitu
terlihat tertawa lepas sambil mengelus
rambut gondrong sukma sang pendekar. "dasar anak bodoh!
Tentu saja kau tidak akan mengenali diriku... Sedang cicitku yang akan menjadi
gurumu nantinya saja saat ini masih
menyusui dan belum mengenal diriku apalagi kamu yang
seharusnya belum dilahirkan..." ucap Sang Datuk sambil
memapah sang pendekar untuk bangkit berdiri. "bangunlah
cucuku, mari kuperkenalkan kepada muridku dan yang
lainnya..." Wiro pun kemudian berdiri dan memandang orangorang disekitarnya satu persatu. "seperti yang dikatakannya barusan, lelaki
didepanmu ini adalah Mahendra Yudha, salah seorang muridku. Dialah orang yang
tadi menggunakan ilmu Ekor Bintang Menghujam Latinggimeru untuk melumpuhkan
Lakarontang serta membawa Pohon beringin dewa kemari."
Ucap Sang Datuk. Semua orang sontak memandang
Mahendra yudha dengan pandangan kagum. "sudah ganteng,
Sabda Pandita Ratu
49 BASTIAN TITO ilmunya tinggi pula! Kayaknya aku jatuh cinta...!" bisik Jaka Pesolek sembari
mengedip-ngedipkan matanya. Sementara itu Wiro nampak menjura hormat kearah
Mahendra Yudha.
"buah yang baik ternyata memang berasal dari pohon yang
baik pula. Saya senang bisa mengenal anda..." ucap sang
pendekar. Mahendra yudha nampak tersenyum seraya
menepuk pundak Wiro. "kau anak baik... restuku akan selalu bersertamu..." ucap
Mahendra Yudha dengan ramah. Sang
datuk pun kemudian memperkenalkan Resi Kali Jagat
Ampusena dan yang lainnya kepada Wiro. dan saat sang
pendekar diperkenalkan kepada si segala tahu sang pendekar pun kembali
terhenyak. "Kakek Segala Tahu...! Bagaimana
kakek bisa berada disini...!" seru sang pendeakr dengan
gembira seraya menguncang-guncang tangan sang kakek.
"he.he. lagi-lagi kau salah mengenali orang. Namaku adalah si segala tahu bukan
kakek segala tahu..." ucap sang kakek
sambil menggoyangkan kaleng ditangannya dengan keras.
Wiro pandangi seluruh tubuh sang kakek seakan tidak
percaya. Tongkat sang kakek, caping sang kakek, kaleng
bahkan sepasang matanya yang putih ditatapnya dengan
baik-baik. "kau benar kek, kau memang bukan kakek segala tahu. Hanya penampilan
kalian berdua yang benar-benar
mirip..."ujar sang pendekar masih terus memperhatikan
tubuh si segala tahu dari atas ke bawah. Sementara itu ratu randang terlihat
berjalan membopong sinto gendeng dan
menyerahkannya ke pada sukma Wiro. "Nek... Gusti Allah...!
Sabda Pandita Ratu
50 BASTIAN TITO Apa yang terjadi dengan Eyang Sinto..." Ucap sang pendekar seraya mendekap tubuh
eyang gurunya tersebut. "gurumu
tidak apa-apa... dirinya hanya tidak sadarkan diri untuk
sementara waktu akibat meletusnya benjolan dikeningnya.
Janganlah kau terlalu kuatir..." ucap Si Segala Tahu sembari menepuk pundak Sukma
Wiro. Sang Pendekar tidak
menyahut ucapan Si Segala Tahu, wajahnya terlihat sangat sedih. "yang mulia
pimpinan, tugas kami di sini sudah
selesai. Ijinkanlah kami kembali ke istana atap langit..." ucap Kelelawar hantu
yang sedang bertengger diatas pohon dimana rombongan Wiro bediri. Sang pendekar
terlihat menatap
keatas pohon. "aku berterima kasih atas bantuanmu,
Kelelawar hantu. Aku berharap kita bisa berjumpa di suatu waktu nanti..."ucap sang
pendekar lirih. Sang kelelawar
terlihat menganggukkan kepalanya sebelum akhirnya terlihat terbang melayang
bersama rombongan makhluk berjubah
hitamm putih. "selamat tinggal yang mulia pimpinan..." seru sang kelelawar dari
kejauhan. Sementara itu tidak jauh dari situ nampak Arwah Ketua juga melepas
kepergian sisa-sisa anak buah Sangkala Darupadha sang Raja Jin Hutan Roban
yang tewas di tangan Lakarontang. Setelelah beberapa saat larut dalam kesunyian,
Datuk Rao Basaluang Pitu nampak
berujar kepada Mahendra Yudha. "Muridku, seperti yang
kusampaikan sebelumnya, aku punya permintaan terakhir
yang ku harap bisa kau laksanakan..." Mahendra Yudha
nampak membungkuk memberi hormat. "permintaan guru
Sabda Pandita Ratu
51 BASTIAN TITO adalah suatu kehormatan bagi diri saya. Silahkan guru
memberikan perintah, saya akan berusaha menjalankannya
sebaik mungkin.." ucap Mahendra Yudha. "Mahendra,
walaupun Lakarontang sudah berhasil kita kunci di dalam
Beringin Dewa dan tersegel oleh delapan batu formasi penjaga namun aku khawatir
kejadian yang terjadi akibat kesalahan Mimba Purana terulang kembali. Oleh
karenanya aku berharap kamu mau melanjutkan tapamu didalam pohon ini
menggantikan tapamu di pohon tanjung di Singosari sana.
Harus ada seseorang yang menahan Lakarontang dalam
tempat penahanannya..." tutup sang datuk. Mahendra Yudha
nampak membungkuk hormat "perintah datuk akan saya
laksanakan, sekarang ijinkanlah saya melaksanakan
perintah..." ucap sang pria sembari berjalan mendekat kearah pohon beringin dewa.
Sang datuk terlihat berkaca-kaca saat melihat punggung sang murid. Sementara itu
Mahendra Yudha nampak menempelkan kedua tangannya ke pohon
beringin dewa. perlahan namun pasti pohon beringin dewa
yang dipegang oleh Mahendra Yudha termasuk kedelapan
batu nampak mulai samar hingga akhirnya lenyap sama
sekali. Tubuh Murid Datuk Rao Basaluang Pitu tersebut juga tampak perlahan
menghilang bersamaan dengan
menghilangnya beringin dewa dari pandangan semua orang.
* * * Sabda Pandita Ratu
52 BASTIAN TITO BASTIAN TITO Sabda Pandita Ratu 6
Wiro Sableng 190 Sabda Pandita Ratu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
S elepas menghilangnya Beringin Dewa yang dijaga oleh
Mahendra Yudha, Datuk Rao Basaluang Pitu menepuk
pundak Sukma Wiro perlahan. "anak baik, kau sudah
berusaha sekuat mungkin... janganlah terlalu bersedih
hati..." Wiro yang masih memeluk tubuh sinto gendeng yang
tak sadarkan diri menatap kearah Datuk Rao Basaluang
Pitu." Bagaimana saya tidak bersedih datuk" Sampai saat ini eyang guru belum
juga sadar... saya juga tidak tahu
bagaimana caranya membawa eyang balik ke tanah jawa
dengan keadaan seperti ini..." ucap sukma Wiro sedih
sembari menatap kearah tubuhnya yang terlihat dijagai oleh sahabat-sahabatnya.
Datuk Rao Basaluang Pitu memberikan
tanda kepada Wiro untuk berjalan bersamanya. Sukma Wiro
kemudian bangkit seraya membopong tubuh sinto gendeng
dan berjalan bersama Sang Datuk kearah tubuhnya yang
tergeletak. Ratu Randang dan kawan-kawannya beserta Raja Mataram terlihat
memberi jalan kepada Datuk Rao Basaluang Pitu dan sukma Wiro. "Wiro, biar aku
menggendong gurumu..."ucap Kunti Ambiri pelan sembari mengangsurkan
kedua tangannya. Wiro tersenyum sembari menggelengkan
Sabda Pandita Ratu
53 BASTIAN TITO kepalanya. Datuk rao pandangi sukma Sang Pendekar dan
berujar. "ada baiknya kau lakukan apa yang dikatakan
sahabatmu itu... janganlah terlalu kuatir terhadap gurum,
sekarang ini keadaanmulah yang terpenting..."ucap Sang
Datuk. Wiro walaupun merasa berat akhirnya perlahan
menyerahkan tubuh sinto gendeng yang terkulai pingsan
kedalam pondongan Dewi ular. "buat saya keadaan saya
bukanlah suatu hal yang harus terlalu dipikirkan, saya hanya memikirkan keadaan
eyang guru..."ucap sukma Wiro sedih.
"kau memang anak yang berbakti... jangan kuatirkan
keselamatan gurumu itu, Dia akan baik-baik saja" ucap Sang Datuk. Datuk Rao
Basaluang Pitu kemudian terlihat
memandang langit yang mulai terang diufuk timur lalu
memandang kearah Jaka Pesolek. "anak baik, mungkin
diantara semua yang ada disini hanya kau seorang yang
mampu memegang dan menyentuh tubuh Ksatria Panggilan.
Disamping itu hanya kau seorang yang mempunyai kecepatan paling tinggi diantara
kami semua. Oleh karenanya demi
nyawa sahabatmu itu maukah kau menolongnya sekali ini?"
Jaka Pesolek yang ditanya langsung mengaggukan kepalanya.
"Datuk jangan kan sekali walaupun harus berkali-kali aku pasti akan menolong
sahabatku ini! Katakan sajalah datuk apa yang harus aku lakukan! maka Akan aku
lakukan sekarang juga!" ucap gadis ini membuat sukma Wiro terharu.
"kau harus membawa tubuh Ksatria Panggilan kedalam candi prambanan sebelum sinar
mentari pagi menyinari tubuhnya
Sabda Pandita Ratu
54 BASTIAN TITO dan membuat racun warangan nyawa dalam tubuhnya
membakar tubuh Ksatria Panggilan dari dalam! Ingatlah
wahai Jaka Pesolek sebelum sinar mentari mengenai tubuh
Ksatria Panggilan dan sebelum sinar mentari mencapai titik puncak tertinggi
candi prambanan kau harus sudah berada
didalam candi dan meletakan tubuh Ksatria Panggilan
dihadapan patung Nyi Loro Jonggrang! Hanya itulah satusatunya kesempatan untuk menyelamatkan nyawa
sahabatmu ini..." ucap Sang Datuk. sementara itu setelah
Sang Datuk selesai berucap langit, diufuk timur semburat mentari mulai
menampakkan wujudnya, pucuk-pucuk
pepohonan kini mulai terlihat jelas. "celaka! Pagi sudah menjelang! Aku harus
bergegas kalau begitu..." ucap sang
gadis terkejut. Secepatnya sang gadis lalu mengangkat tubuh Wiro lalu
dibopongnya tubuh sang pendekar dalam
rangkulannya. Tidak seperti Ratu Randang yang tangannya
terluka melepuh akibat menyentuh tubuh Wiro, tangan sang gadis sama sekali tidak
terluka sedikitpun! "aku pergi dulu Wiro..." ucap sang gadis kearah sukma Wiro
yang dibalas dengan anggukan kepala oleh sukma sang pendekar. Jaka
Pesolek kemudian terlihat melesat cepat kearah candi
prambanan berada sementara sinar matahari terlihat seolah-olah berkejaran
dibelakang punggungnya! Benar-benar
menakjubkan kecepatan gadis yang bisa laki bisa perempuan tersebut! Sementara
itu setelah kepergian Jaka Pesolek.
Datuk Rao Basaluang Pitu terlihat menjura kearah Sri Maha Sabda Pandita Ratu
55 BASTIAN TITO Raja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala. "Yang Mulia untuk dapat mengeluarkan
racun warangan nyawa yang
terendap di dalam tubuh Ksatria Panggilan mungkin
bukanlah suatu hal yang mudah, mengingat racun warangan
nyawa yang masuk kedalam darah dan nadi Ksatria Panggilan adalah penjelmaan satu
mahluk hidup yang amat jahat.
Dalam hal ini mungkin akan kembali menyusahkan diri Yang Mulia..." Raja Mataram
memandang kearah Datuk Rao
Basaluang Pitu. "janganlah sungkan wahai Datuk, selama ini Ksatria Panggilan
sudah terlalu banyak melimpahkan budi
kepada diriku dan seluruh rakyat mataram. Apa yang terjadi pada dirinya dan pada
gurunya tentu saja sudah merupakan salah satu kewajibanku karena akulah yang
mengundangnya hadir kenegeri ini. Oleh karenanya jika aku bisa membantu mengobati atau
setidaknya meringankan beban yang diderita oleh Ksatria Panggilan sungguh
merupakan satu kehormatan bagiku..." Datuk Rao Basaluang Pitu mengelus janggutnya
yang berwarna putih keperakan lalu Sang Datuk terdengar
mendendangkan sebuah senandung.
Jalan terang menuju kehidupan
Jalan gelap menuju kematian
Entah mengapa banyak orang berjalan dibalik kegelapan Dibalik kesenangan
tersimpan derita dan nestapa
Berbuat kebajikan sebelum kembali ke asal
Dari tanah menjadi tanah
Sabda Pandita Ratu
56 BASTIAN TITO Biarlah raga menjadi batu
Ketimbang hati berkalang tanah
Hati bersih jiwa terang
Raja Mataram dan yang lainnya mendengarkan senandung
yang didendangkan oleh Datuk Rao Basaluang Pitu dengan
alam pikiran masing-masing. "racun warangan yang merasuk kedalam tubuh Ksatria
pangilan berbeda dengan semua
racun yang ada dimuka bumi! Racun warangan nyawa sama
sekali tidak memiliki penangkal! Satu-satunya cara mengatasi racun warangan
nyawa adalah dengan membunuh makhluk
yang menjadi cikal perwujudan racun tersebut sebelum
mencapai jantung sang korban..." ucap Datuk Rao Basaluang
Pitu sesaat setelah mengakhiri nyanyiannya. "maafkan saya menyela datuk, namun
bagaimana caranya membunuh
makhluk yang hidup dan berkeliaran didalam jalur darah dan nadi makhluk hidup
lainnya?" potong Ratu Randang. Datuk
Rao Basaluang Pitu menghela nafas berat. "itulah
masalahnya! Makhluk yang mengeram didalam darah dan
nadi hanya bisa dihancurkan dan dibunuh dengan kekuatan
empat orang manusia sakti yang memiliki gabungan
kekuatan tenaga dalam inti api dan inti es yang sudah
mencapai puncaknya!" ucap Sang Datuk. "apakah ditanah
mataram ini kalian mengenal orang-orang yang memiliki
kekuatan tenaga dalam seperti yang kusebutkan
tadi?"sambung Datuk Rao Basaluang Pitu sembari
Sabda Pandita Ratu
57 BASTIAN TITO memandang kearah Raja Mataram dan Ratu Randang.
Keduanya saling bertatapan lalu menggeleng kepala perlahan.
"bagaimana dengan dirimu sendiri Ksatria Panggilan" Apakah dijamanmu kau
memiliki kenalan yang memiliki kekuatan
tenaga dalam inti api ataupun inti es?" Wiro terlihat berpikir keras mendengar
pertanyaan yang dilontarkan Datuk Rao
Basaluang Pitu. "aku memang memiliki beberapa sahabat
yang memiliki kekuatan tenaga dalam inti es yang sangat
tinggi. Santiko Si Bujang Gila Tapak Sakti, dan Pandu
sahabatku Si Malaikat Maut Berambut salju..." ucap Wiro
sembari mengkerutkan keningnya. "lalu bagaimana dengan
mereka yang memiliki kekuatan inti api?" sambung Kunti
Ambiri seraya menatap kearah Wiro. "kurasa Ki gede tapa
pamungkas dan eyang sinto merupakan dua orang tokoh
yang memiliki kekuatan inti api yang cukup tinggi. " ujar sang pendekar sembari
menatap gurunya yang berada dalam
pondongan Dewi ular. Datuk Rao Basaluang Pitu menatap
keangkasa sembari bergumam "satu-satunya cara untuk
menyembuhkan Ksatria Panggilan rupanya hanya ada di
masa depan!" Arwah Ketua yang dari tadi hanya berdiam diri tiba-tiba langsung
memotong ucapan Datuk Rao Basaluang
Pitu. "kalau itu jalan keluar satu-satunya maka kenapa datuk tidak membawa saja
Ksatria Panggilan dan gurunya kembali ke masa depan dan mencari pengobatan
disana" Bukankah
tanah jawa di masa delapan ratus tahun mendatang seperti yang dikatakan oleh
Ksatria Panggilan memiliki banyak
Sabda Pandita Ratu
58 BASTIAN TITO tokoh-tokoh yang sakti dan mumpuni?" belum selesai Arwah Ketua selesai
berbicara, suara kaleng rombeng terdengar
memekakkan telinga. "tidak segampang itu wahai Arwah
Ketua, Perjalanan menembus waktu bukanlah hal yang
mudah dan bisa dilakukan seenaknya dan kapan saja. Semua makhluk di dunia ini
pastinya memilki keterbatasan begitu juga dengan Datuk Rao Basaluang Pitu.
Selain itu menurut penglihatanku jika tidak ditangani secepatnya maka tubuh dan
sukma Ksatria Panggilan ini tidak akan bisa ditolong lagi!" sahut Si segala Tahu
sembari kembali menggoyang-goyangkan kaleng rombengnya. "benar-benar mirip
dengan kakek segala tahu!" batin sukma Wiro sembari
memperhatikan si segala tahu dari ujung kepala hingga ujung kaki. "benar apa
yang dikatakan oleh si Segala Tahu, pada saat ini kita hanya punya waktu yang
amat terbatas untuk menolong dan menyelamatkan tubuh Ksatria Panggilan, oleh
karenanya tadi aku menyuruh adinda Jaka Pesolek untuk
membawa tubuh Ksatria Panggilan ke candi prambanan guna
menyelamatkan tubuh Ksatria Panggilan untuk sementara
waktu. Namun apa yang dilakukan oleh adinda Jaka Pesolek tidaklah cukup hanya
sampai disitu saja, Ksatria Panggilan masih membutuhkan uluran tangan dan
bantuan yang mulia..." ucap Datuk Rao Basaluang Pitu sembari menjura
hormat kepada Raja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah
Lokapala. "katakanlah datuk apa yang harus aku lakukan,
aku pasti akan berusaha sekuat tenaga untuk membantu
Sabda Pandita Ratu
59 BASTIAN TITO Ksatria Panggilan." Ucap sang raja kepada Datuk Rao
Basaluang Pitu. Sang Datuk terlihat terdiam sesaat sebelum kemudian terlihat
melepaskan kasut putih yang
dikenakannya. "yang mulia raja, hamba belum berani
menyebutkan dengan jelas bantuan apa yang kiranya bisa
yang mulia berikan kepada Ksatria Panggilan. namun yang
jelas yang mulia harus selekasnya menuju ke prambanan
menyusul adinda Jaka Pesolek. Oleh karenanya saya
berharap yang mulia raja sudi memakai kasut buruk milik
hamba ini." ucap Sang Datuk seraya menghaturkan sepasang kasut miiliknya ke
hadapan sang Raja Mataram.
* * * Sabda Pandita Ratu
60 BASTIAN TITO BASTIAN TITO Sabda Pandita Ratu 7 Raja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala langsung
menerima dan memakai kasut putih yang diberikan oleh
Datuk Rao Basaluang Pitu tersebut kekakinya. Begitu
sepasang kasut menginjak tanah sang raja langsung
merasakan tubuhnya menjadi ringan seakan melayang tidak
menginjak bumi. Datuk Rao Basaluang Pitu kemudian
memalingkan wajah kearah Ratu Randang dan yang lainnya.
"walaupun bahaya yang ditimbulkan oleh Jenazah simpanan
untuk sementara sudah bisa diatasi namun aku masih
menyimpan perasaan khawatir akan perjalanan yang akan
dilakukan oleh Raja Mataram menuju prambanan. Oleh
karenanya aku berharap kalian bisa menemani sang raja
dalam perjalanan kali ini. Agar kalian bisa sampai dengan cepat biarlah kalian
menaiki sahabat tungganganku Datuk
Rao Pangeran Peto Alam..."ucap Sang Datuk sambil mengelus
janggutnya. "datuk saya Protes! Menjangan tunggangan datuk kan Cuma satu,
masakkan kita harus berjejalan himpit-himpitan jadi satu! Yang benar saja datuk!
Saya tidak naik saja! Saya juga bisa pergi dengan cepat ke prambanan"
Sabda Pandita Ratu
61 BASTIAN TITO sungut Arwah Ketua. Ning rakanini yang masih sebal
terhadap Arwah Ketua ikut menyambung "benar datuk!
Untuk apa kita harus berdesak-desakan sama makhluk
tukang ngompol ini" Rasanya dengan kepandaian kami, kami juga bisa melesat ke
prambanan dengan cepat, tidak
memerlukan tunggangan datuk. Selain itu jika kami menaiki tunggangan datuk,
nantinya datuk akan menunggangi apa?"
Arwah Ketua yang disebut makhluk tukang ngompol
langsung menukas "ya menunggangi kamu...he.he.he..." Ning
rakanini langsung meradang "arwah ngompol! jaga mulutmu!
atau jangan salahkan kalau kusobek-sobek nanti!" maki si nenek sembari
mendelikkan matanya gusar kearah Arwah
Ketua. Sebelum pertengkaran akhirnya meluas tiba-tiba
terdengar suara kaleng dibunyikan. "sudahlah kalian berdua, datuk sengaja
memberikan tunggangannya kepada kita
tentunya memiliki maksud tersendiri selain itu janganlah kalian khawatir tidak
kebagian tempat. Coba kalian
perhatikan kearah pedataran rumput di sana...!" ucap Si
Wiro Sableng 190 Sabda Pandita Ratu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
segala tahu sembari menunjuk kearah pedataran rumput
yang terletak disebelah barat keraton. Semua orang termasuk Arwah Ketua dan
Nenek katai Ning rakanini sontak
memalingkan wajah dan mendapati dipedataran rumput sana
sedang merumput dengan asyiknya tidak kurang dari enam
ekor menjangan berbulu keemasan yang serupa benar dengan menjangan tunggangan
Datuk Rao Basaluang Pitu! Sang
Datuk kemudian mengeluarkan suitan keras, mendengar
Sabda Pandita Ratu
62 BASTIAN TITO suitan tersebut keenam kepala menjangan yang sedang
merumput tersebut terlihat mendongak keatas dan
memandang kearah Sang Datuk dan perlahan berjalan
mendekat. "bukan main...! bahkan tunggangannya pun
memiliki ilmu membelah diri... nampaknya kakek ini sudah
mempersiapkan dan memikirkan segalanya jauh hari
sebelumnya... " puji Kunti Ambiri sambil memandang kearah
enam ekor manjangan emas yang berjalan mendekat. Sang
Datuk terlihat mengelus salah satu menjangan yang berdiri didekatnya. "Tolong
antarkan mereka menemani sang Raja
Mataram menuju prambanan, setelah itu kau boleh kembali
ke tetirahan..." ucap Sang Datuk sembari mengelus satu
persatu kepala tunggangannya yang kini berjumlah enam
ekor tersebut. Suara lenguhan terdengar keluar dari moncong keenam ekor
menjangan. "datuk apakah kita tidak akan
menemani mereka ke prambanan?" Tanya sukma Wiro. Datuk
Rao Basaluang Pitu terlihat menggeleng lemah. "aku akan
membawamu ke satu tempat, dan dari tempat tersebut
perjalananmu yang sesungguhnya baru akan dimulai..."
sukma Wiro terlihat mengerutkan keningnya. "tempat apa
yang datuk maksudkan" Lalu bagaimana dengan eyang
sinto" Apa eyang sinto akan pergi bersama-sama dengan
kita?" datuk rao tidak menjawab pertanyaan sang pendekar, sebagai gantinya Sang
Datuk kembali mengeluarkan suitan
keras, lalu dari arah pedataran rumput kembali terdengar suara lenguhan. Semua
orang kembali memandang kerah
Sabda Pandita Ratu
63 BASTIAN TITO pedataran rumput. seekor menjangan berbulu keemasan
kembali terlihat berjalan mendatangi. Datuk rao kemudian berjalan kearah Kunti
Ambiri yang masih membopong sinto
gendeng. Sang Datuk kemudian terlihat mengambil ketujuh
saluang di dalam kantung kulit dipinggangnya. Ketujuh
saluang sakti tersbut kemudian nampak diusapkan kekening sinto gendeng yang
terdapat luka bekas ledakan tiga benjolan ungu. Dan ajaib! Begitu ketujuh
saluang menyentuh kulit
kening yang terluka nampak asap tipis menyelimuti wajah
dan kening sinto gendeng. Begitu asap tipis tersebut sirna, semua orang
mengeluarkan suara tercekat. Tubuh sinto
gendeng yang sebelumnya nampak berujud seorang gadis
remaja hitam manis kini nampak dalam wujud aslinya yaitu seorang nenek dengan
dandanan coreng moreng! Namun
walaupun begitu luka bekas ledakan tidak lagi terlihat
dikeningnya yang hitam penuh kerutan!. Sang Datuk
kemudian terlihat mengangkat tubuh sinto gendeng yang
masih belum sadar dan masih berada dalam pelukan Kunti
Ambiri lalu menaruh nenek guru Wiro sableng ini ke
punggung menjangan berbulu emas yang terakhir di
panggilnya. "yang mulia, saya rasa sudah waktunya yang
mulia dan yang lainnya pergi menyusul kepergian adinda
Jaka Pesolek ke prambanan. Waktu hamba dan Ksatria
Panggilan juga sudah tidak lama lagi. Kami berdua juga
harus pergi sekarang..." ucap Datuk Rao Basaluang Pitu
sembari menjura kearah Raja Mataram dan yang lainnya yang Sabda Pandita Ratu
64 BASTIAN TITO langsung dibalas oleh sang raja. "datuk, bolehkan saya
meminta waktu sejenak untuk berbicara dengan raja dan
kawan-kawan lainnya?" ucap sukma Wiro kepada Sang
Datuk. Datuk rao terlihat menganggukan kepalanya. "baiklah kalau kau ingin
berbincang sebentar... tapi jangan lama-lama! Aku akan menunggumu di pedataran
rumput sebelah sana... " ucap Sang Datuk. Setelah kembali menjura hormat
Sang Datuk kemudian berbalik dan berjalan perlahan
sembari menuntun menjangan yang membawa sinto gendeng.
Sementara itu sukma Wiro terlihat membalikkan tubuh dan
memandang Raja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala
dan yang lainnya. Sang pendekar ingin berucap namun entah mengapa lidahnya
terasa kelu dan berat. "Ksatria Panggilan...
aku mengerti apa yang kau rasakan... janganlah kau terlalu banyak memikirkan
persoalan ini. Aku akan berusaha
semampuku..." ucap sang raja sembari merangkapkan tangan
memberi hormat, sesaat kemudian sang raja nampak
membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi. Sang raja
terlihat hanya berjalan biasa namun ajaibnya hanya beberapa kejapan saja tubuh
sang raja sudah tak dapat terlihat lagi.
Setelah Raja Mataram beranjak pergi rombongan Arwah
Ketua dan yang lainnya juga terlihat beranjak pergi sembari menunggangi
menjangan menuju arah perginya sang raja.
Yang tersisa kemudian hanyalah Kunti Ambiri dan Ratu
Randang. "ratu... kunti... aku benar-benar berat untuk
berpisah dengan kalian..." ucap sang pendekar pelan. Ucapan Sabda Pandita Ratu
65 BASTIAN TITO sang pendekar tersebut sontak saja membuat Ratu Randang
dan Kunti Ambiri bergerak memburu dan memeluk sukma
sang pendekar. Wiro pun membalas pelukan mereka berdua.
"jaga diri kalian masing-masing... aku akan selalu
merindukan kalian..." bisik sang pendekar ditelinga
keduanya. "kau masih hutang beberapa puluh ciuman..."
ucap Ratu Randang dengan air mata berlinang. Wiro tertawa mendengarnya dan
langsung mencium kening sang nenek.
"Wiro, aku juga berjanji akan mencarimu... aku akan mencari jalan untuk kembali ke
tanah jawa..." ucap Kunti Ambiri
sembari terisak dalam dekapan sang pendekar. Sang
pendekar kembali mengelus rambut Kunti Ambiri dan Ratu
Randang. Sebelum berucap pelan. "jaga diri kalian baikbaik... sampai kapanpun aku akan selalu mengingat dan
merindukan kalian berdua dimanapun aku berada... selamat
tinggal... semoga Gusti Allah menyertai kalian berdua..." ucap san pendekar sebelum
sukma sang pendekar terlihat
menghilang dihembus angin pagi. Ratu Randang dan kunti
ambir terlihat sama-sama terisak lalu perlahan menaiki
menjangan masing-masing. Sebelum beranjak mengikuti
rombongan raja, keduanya masih sempat melambaikan
tangan kearah sukma Wiro yang kini terlihat berada
dipedataran rumput bersama dengan Datuk Rao Basaluang
Pitu. Wiro pun terlihat membalas lambaian tangan kedua
wanita tersebut. Sementara itu Wiro kini terlihat berjalan pelan bersama Datuk
Rao Basaluang Pitu dan datuk
Sabda Pandita Ratu
66 BASTIAN TITO kembaran datuk rao pangeran peto alam yang mendukung
sinto gendeng. "datuk apakah saya boleh mengajukan
pertanyaan...?" ucap sang pendekar memecah keheningan.
"silahkan saja ksatria panggilan..." ucap Sang Datuk sembari tersenyum. " saya
mohon maaf jika pertanyaan saya dianggap lancang, saya agak heran mendengar nama
panggilan datuk
yang sebagian berbau minang namun sebagian berbau jawa.
Apakah saya boleh mengetahui nama asli Datuk" Tentu saja jika Datuk tidak
keberatan..." Mendengar pertanyaan ini Sang Datuk terdengar tertawa riang.
"pertanyaanmu sesungguhnya adalah pertanyaan umum yang diajukan setiap orang
kepadaku setiap aku memperkenalkan diri... sebenarnya
kalau dipikir-pikir nama sebutan Datuk Rao Basaluang Pitu sesungguhnya tidaklah
terlepas dari peran serta dirimu
sendiri..." ucap Sang Datuk tersenyum. Wiro yang mendengar apa yang diucapkan oleh
Sang Datuk nampak terkejut.
"maksud datuk" Saya benar-benar tidak mengerti..." ucap
Wiro dengan penasaran. Sang Datuk kemudian kembali
terlihat mengambil ketujuh saluang dari dalam kantung
kulitnya. "aku terlahir ditanah andalas dengan nama Kalam Pandika. Nama Datuk
Rao Basaluang Pitu sendiri adalah
pemberian orang berdasarkan nama ketujuh saluang dewa
ini..." ucap Sang Datuk seraya melambungkan ketujuh
saluang ke udara! Saluang dewa tersebut kembali terlihat berputar-putar
membentuk satu mulut lorong yang
bercahaya dihadapan Wiro, Datuk Rao Basaluang Pitu serta Sabda Pandita Ratu
67 BASTIAN TITO datuk rao pangeran peto alam. "ketujuh saluang dewa ini
sesungguhnya adalah penjelmaan salah seorang tokoh sakti di negeri Latanahsilam.
Tokoh tersebut meminta kepada dewa untuk menjatuhi hukuman atas dirinya. Para
dewa pun kemudian akhirnya mengabulkan permintaan tokoh tersebut
dan mengubah dirinya menjadi ketujuh saluang dewa ini.
Atas permintaan terakhirnya tokoh tersebut meminta untuk menamakan ketujuh
saluang dewa ini dengan menggunakan
nama dari tanah jawa. Tanah kelahiran dirimu. Ketujuh
saluang tersebut akhirnya kemudian diberi nama Saluang
Pitu Dewa. Mulai dari Saluang Siji Bhuana yang berwana
Putih hingga Saluang Pitu Chandrasa yang berwarna
hitam..."tutup Sang Datuk sembari menunjuk ketujuh
saluang yang berputaran. Wiro yang masih penasaran terlihat memegang tangan Sang
Datuk. "datuk, aku masih belum
mengerti... tolong jelaskan lagi siapakah nama tokoh
latanahsilam yang tadi datuk maksudkan..." Datuk Rao
Basaluang Pitu terlihat hanya tersenyum sekilas. "aku akan menjelaskannya padamu
diperjalanan sekarang terima dulu senjatamu dan jaga baik-baik..." ucap Sang Datuk
sambil menyerahkan sesuatu kepada Sang Pendekar yang ternyata
adalah Kapak Maut Naga Geni dua satu dua yang sebelumnya dipegang oleh Sinto
Gendeng. Wiro cepat-cepat menyambut
senjatanya yang sudah sekian lama terpisah dari dirinya
tersebut. Saat sang pendekar hendak membuka suara
hendak menanyakan perihal senjatanya tersebut dilihatnya Sabda Pandita Ratu
68 BASTIAN TITO Sang Datuk sudah berjalan memasuki lorong yang terbentuk dari putaran ketujuh
saluang. "datuk tunggu dulu...!" seru sang pendekar sembari berlari mengejar Sang
Datuk. * * * Sabda Pandita Ratu
69 BASTIAN TITO BASTIAN TITO Sabda Pandita Ratu 8 S ementara itu ditempat lain terlihat satu bayangan
berlarian sipat kuping secepat angin membelah udara
pagi. bayangan yang bukan lain adalah Jaka Pesolek ini
nampak berlari laksana kesetanan. "aku harus bisa... aku
harus bisa... aku pasti bisa...!" ucap sang gadis dengan nafas memburu. Setelah
sekian lama berlari bayangan candi
prambanan akhirnya sudah semakin jelas terlihat. Jaka
Pesolek semakin mempercepat laju larinya. Keringat terlihat berlelehan membasahi
wajah dan pakaiannya. "aku harus
bisa.... Aku harus bisa...! Aku pasti bisa...!" kata-kata
tersebut kembali terulang dari bibir sang gadis. Kala itu sinar mentari pagi
sudah bergerak cepat merambati pucuk-pucuk
pepohonan. Semakin lama sinar matahari bahkan semakin
cepat bergerak dan bahkan kini mulai mengejar dibelakang punggung Jaka Pesolek!
Sementara itu mulut candi utama
sudah terlihat jelas. Sinar matahari pun terlihat mulai
merambati kepundan puncak candi. " aku harus bisa... aku
harus bisa... pokoknya aku harus... celaka...!! Aku tidak
bisa...!!!" teriak sang gadis kala merasa tengkuknya sudah mulai terasa panas!
Sang gadis memandang tubuh Wiro yang Sabda Pandita Ratu
70 BASTIAN TITO nampak membara, untung saja tubuh sang pendekar masih
terhalang punggung sang gadis sehingga belum terkena sinar mentari. Sang gadis
terlihat panik! Apalagi dilihatnya sinar matahari saat itu hanya tinggal
sejengkal lagi menutupi
puncak kepundan candi. Jaka Pesolek nekat! Tanpa pikir
panjang dilemparnya tubuh Wiro dengan sekuat tenaga
kedalam mulut pintu candi! Terdengar suara bergubrakan
dari dalam candi sementara Jaka Pesolek sendiri begitu
melempar tubuh Wiro kedalam candi, tubuhnya sendiri
langsung tersurut terguling-guling dari anak tangga. Dalam kondisi terguling
tersebut sang gadis masih sempat meraih tubuh arca batara kala. namun malang
nian, arca tersebut ikut terguling jatuh dan bergulingan dari anak tangga masih
dengan Jaka Pesolek dalam posisi memeluk tubuh sang arca!
Tubuh sang gadis terus meluruk kebawah hingga akhirnya
terhenti kala membentur sebatang pohon Trembesi yang
memang banyak tumbuh di kawasan candi tersebut. "Aduh
biyung tobaaaaat...!" teriak sang gadis keras. teriakan ini bukan karena jidatnya
yang benjol terbentur batang pohon atau kulit tubuhnya yang lebam dan lecet
akibat terguling-guling bersama arca batu. Teriakan sang gadis keluar karena
posisi hidung sang arca kala itu tepat dan sukses menggencet perabotannya!
Setiap kali sang gadis mencoba untuk
mengangkat arca yang memiliki berat ratusan kati dari atas tubuhnya tersebut,
hidung sang arca yang (konon) lumayan besar dan panjang itu otomatis menekan
perabotannya Sabda Pandita Ratu
71 BASTIAN TITO semakin kuat. "duh gusti..." keluh sang gadis yang bawah
laki atas perempuan ini sembari meneteskan air mata.
Sungguh air mata yang murni tanpa kepalsuan... Air mata
seorang wanita yang terdzalimi... sementara itu beberapa saat setelah Jaka Pesolek
melempar tubuh Wiro kedalam candi,
sesosok bayangan diikuti beberapa orang yang mengendarai menjangan berbulu
keemasan nampak mendekati kawasan
candi prambanan. Bayangan yang bukan lain adalah
bayangan Raja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala ini terlihat berjalan cepat
Wiro Sableng 190 Sabda Pandita Ratu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memasuki candi utama dimana patung Nyi Loro Jonggrang berada. Sementara itu
ketika Jaka Pesolek melihat bayangan keenam menjangan yang mendekat
kearah pintu candi utama, sang gadis perdengarkan suara
rintihan. "tolooong... " Ratu Randang yang kebetulan berada paling dekat dengan
pohon trembesi langsung terhenyak dan bergegas turun dari menjangan
tunggangannya. "astaga Jaka Pesolek! Apa yang kaulakukan dibawah sana...!" kejut
sang nenek kala melihat Jaka Pesolek sedang tertindih arca batu batara kala sementara
kedua kakinya terlihat terkangkang keatas. "ya ampun Jaka Pesolek! Aku tak
menyangka seleramu yang seperti ini..." sambung Kunti Ambiri seraya
berjalan mendekat. Jaka Pesolek yang mendengar celoteh
keduanya hanya bisa mesem dengan wajah menahan sakit.
Sementara itu Raja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah
Lokapala yang telah sampai kedalam candi memandang
dengan kening berkerut kearah tubuh ksatria panggilan yang Sabda Pandita Ratu
72 BASTIAN TITO terlihat menjuplak di lantai candi sementara bayangan Jaka Pesolek sama sekali
tidak dilihatnya. "selamat datang di candi kediaman saya yang mulia raja,
maafkan jika saya tidak bisa memberikan penghormatan yang selayaknya..." raja
Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala terkejut kala mendengar suara
yang tidak dilihat wujudnya tersebut. "aku adalah patung yang berdiri
dihadapanmu yang mulia raja..." sambung suara tersebut kembali. Raja Mataram
akhirnya melihat patung Nyi Loro Jonggrang yang sebelumnya tidak dilihatnya
karena keremangan cuaca di dalam candi. Sang raja kemudian
terlihat merangkapkan tangan menjura kearah patung batu.
"maafkan kelancangan saya Dewi, saya tadi tidak
memperhatikan kehadiran Dewi. Maksud saya datang kesini
sebenarnya untuk mencari petunjuk kepada Dewi perihal
keselamatan pemuda didepan ini..." ucap sang raja sembari
menunjuk kearah tubuh Wiro. Patung Nyi Loro Jonggrang
kemudian terlihat bergetar halus, lalu dari tubuh sang patung tepatnya dibagian
dahi tepat diarah cakra mahkota keluar satu sinar biru yang langsung membungkus
tubuh sang pendekar! Tubuh Wiro yang sebelumnya tergelimpang dilantai perlahan terlihat
bergerak hingga akhirnya posisinya kini terlihat dalam posisi bersila seakan
sedang bersemadi. Sinar biru perlahan mulai pupus. "aku tahu maksud
kedatanganmu yang mulia raja. satu-satunya yang bisa kita lakukan dengan tubuh
pemuda ini adalah merubahnya
menjadi batu!" ucapan sang patung membuat sang raja
Sabda Pandita Ratu
73 BASTIAN TITO terkejut bukan kepalang. "apa maksud perkataan Dewi"
Mengapa kita harus merubah tubuh ksatria pangilan menjadi batu" Lalu dengan apa
kita menjadikan tubuh ksatria
panggilan menjadi batu" Saya benar-benar tidak
mengerti..."Tanya sang raja. "tubuh ksatria panggilan hanya bisa diselamatkan
dengan menggunakan kekuatan empat
orang yang memiliki kekuatan tenaga dalam inti api dan inti es. Sementara di
jaman ini bisa dibilang tidak ada orang yang memiliki kemampuan seperti itu.
Selain itu jikalau ada
keberadaannya pun sama sekali tidak ketahui. Oleh karena itu jalan satu-satunya
untuk menyelamatkan pemuda ini
adalah merubah tubuhnya menjadi batu dan berharap di
masa depan akan ada orang yang mempu menghidupkannya
kembali dengan bantuan keempat orang yang bisa
mennyembuhkan penyakitnya tersebut..." sang raja terlihat
menganggukan kepalanya. "baiklah Dewi, aku sudah
mengerti namun bagaimana caranya kita merubah tubuh
ksatria panggilan menjadi batu?" ucap sang raja sembari
menatap kearah patung didepannya. "tubuh ksatria panggilan hanya dapat dijadikan
batu dengan menggunakan Sabda
Pandita Ratu yang melekat didalam aliran darah dan nafas yang mulia raja..." jawab
patung Nyi Loro Jonggrang. Jantung sang raja berdegup dengan kencang mendengar
penuturan patung Nyi Loro Jonggrang. "jadi ini bentuk pertolongan yang dimaksud oleh Datuk
Rao Basaluang Pitu... sungguh benar-benar hebat datuk tersebut hingga dapat
memikirkan cara
Sabda Pandita Ratu
74 BASTIAN TITO seperti ini..." batin sang raja dalam hati. Setelah menghela nafas sesaat raja
Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala nampak
menganggukan kepalanya. "saya sudah mengerti apa yang
harus saya lakukan... saya berharap Dewi mau menyambung
pati dengan saya dan membantu saya mempersiapkan
segalanya..." Sepasang tangan batu milik patung Nyi Loro
Jonggrang terlihat merangkap didepan dada. "baiklah yang mulia, saya akan
membantu yang mulia untuk menyambung
pati dalam pencapaian sabda puncak tertinggi... harap yang mulia kosongkan hati
dan bersihkan jiwa serta pikiran...
biarlah segalanya kita serahkan kepada sang hyang
jagatnatha..." ucap patung Nyi Loro Jonggrang yang perlahan namun pasti terlihat
terangkat mengapung diudara! Raja
Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala lalu
merangkapkan tangan di depan dada, perlahan namun pasti
sepasang telapak kaki sang raja yang masih memakai kasut putih pemberian Datuk
Rao Basaluang Pitu juga tampak
mulai terangkat dari lantai candi bersamaan dengan
terangkatnya patung Nyi Loro Jonggrang dari tempat
peraduannya. beberapa saat Kemudian tubuh Raja Mataram
dan patung Nyi Loro Jonggrang terlihat mulai berputar
mengelilingi tubuh kasar Wiro yang sedang bersila diatas lantai candi. Sementara
itu rombongan Arwah Ketua yang
berada di luar candi merasakan getaran yang keras pada
lantai yang mereka pijak. 'lihat di atas sana...!' seru Jaka Pesolek tiba-tiba
seraya menunjuk kearah kepundan candi.
Sabda Pandita Ratu
75 BASTIAN TITO Seruan Jaka Pesolek ini kontan membuat semua orang yang
berada di pelataran candi sontak menengok keatas dan
nampaklah dalam pandangan mereka tepat diatas kepundan
candi terlihat awan bergulung berwarna kuning kemerahan
membentuk bayangan seekor naga raksasa! Sementara itu
didalam candi Raja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala dan
patung Nyi Loro Jonggrang masih terlihat bergerak berputar mengelilingi tubuh
pendekar dua satu dua. Setelah berputar masing-masing sebanyak tujuh kali
putaran, tiba-tiba dari lantai candi menyeruak cahaya berwarna kuning keemasan
yang terus bergerak naik hingga sampai kedinding candi.
Begitu berada tepat didinding candi, cahaya berwarna
keemasan tersebut perlahan berpendar dan berubah menjadi huruf-huruf jawa kuna
yang berpendar keemasan dan
berputaran disepanjang dinding candi! Raja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala
perlahan membuka kedua matanya, wajahnya
yang bersih nampak menampilkan cahaya terang berwarna
putih terang, lalu seakan sudah bersepakat sebelumnya dari bibir sang raja dan
patung Nyi Loro Jonggrang terdengar
untaian kata yang merupakan isi dari tulisan keemasan yang terpapar di dinding
candi. Sabda Pandhita Ratu
Tan kena wola-wali
Berbudi Bhawalaksana
Titah Raja takkan terulang
Sabda Pandita Ratu
76 BASTIAN TITO Teguh laksana karang
Deras bagaikan ombak
Satu kata terucap satu janji terikat
Sabda Pandhita Ratu
Tan Kena wola-wali
Berbudi Bhawalaksana!
Begitu tulisan keemasan di dinding selesai terbaca, tiba-tiba dengan suara
menggelegar laksana guntur, Raja Mataram
Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala dengan telunjuk kanannya
mengacung keatas terdengar mengeluarkan Sabdanya "Wahai
Ksatria Panggilan! Atas nama Dewa dan Rakyat Mataram!
Kurestui dirimu Manunggaling Bhumi Bayu Watu Laksana!"
begitu titah dari sang raja terdengar, kilat terdengar sabung menyabung
diangkasa, awan merah berbentuk naga raksasa
terlihat bergulung semakin kencang dan memancarkan sinar yang sangat terang!
Begitu sabda dari sang raja dikeluarkan atas diri Wiro, maka terlihatlah satu
perubahan pada tubuh Ksatria Panggilan yang duduk bersila diatas lantai candi.
perlahan namun pasti tubuh Wiro yang berwarna merah
membara dan diselimuti kabut tipis mulai mengeras dan
berubah warna menjadi kelabu! sosok Wiro telah berubah
menjadi sebuah arca batu! Sementara itu tubuh Raja
Mataram dan patung Nyi Loro Jonggrang yang berputaran
mengelilingi arca pendekar dua satu dua mulai kembali
ketempat masing-masing. "saya haturkan banyak terima
Sabda Pandita Ratu
77 BASTIAN TITO kasih kepada Dewi yang telah membantu saya untuk
menolong Ksatria Panggilan. Untuk itu saya hanya bisa
haturkan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya pada
Dewi... "ucap Raja Mataram sembari masih rangkapkan
kedua tangan. "Yang Mulia, sudah merupakan kewajibanku
untuk menolong sesama terlebih khusus menolong Ksatria
Panggilan. Disamping itu orang yang sebenarnya menjadikan Ksatria Panggilan
menjadi batu adalah yang mulia dengan
menggunakan Sabda Pandita Ratu yang melekat dalam diri
yang mulia. Sabda yang sama yang juga menjadikan saya
menjadi arca batu sekian ratus tahun yang lalu..."tutup
Patung Nyi Loro Jonggrang perlahan. Mendengar ucapan sang patung, hati Raja
Mataram yang lembut langsung tersentuh.
Sang raja memang mengetahui perihal kisah Nyi Loro
Jonggrang yang dirubah menjadi batu oleh Sabda Pandita
Ratu milik Bandung Bondowoso kakek leluhurnya. "Dewi,
mungkin dengan restu para dewa aku bisa menjadikanmu
kembali hidup layaknya manusia biasa. Ijinkan aku
mencobanya..." ucap sang raja. Namun dilihatnya patung
cantik tersebut menggeleng pelan. "aku sangat menghargai kepedulianmu yang
mulia, namun biarlah keadaanku tetap
seperti ini... jika aku kembali hidup pastinya nanti akan
kembali timbul huru-hara dan perkara seperti yang pernah terjadi atas diri kakek
leluhurmu dulu. Selain itu masih banyak orang yang membutuhkan bantuan dan
tenagaku. Mereka yang ingin membangkitkan Ksatria Panggilan di masa Sabda Pandita Ratu
78 BASTIAN TITO depan juga masih membutuhkan diriku untuk menyambung
Pati Sabda Pandita Ratu milik keturunan yang mulia
nantinya..." Raja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala terlihat
membungkukkan badannya. "Dewi benar-benar berbudi
luhur, saya benar-benar harus belajar lebih banyak dari
Dewi" patung Nyi Loro Jonggrang terlihat tersenyum. "hari sudah terang tanah,
ada baiknya jika yang mulia membawa
arca Ksatria Panggilan dan menempatkannya di tempat yang aman agar tidak terusik
sampai hari kebangkitannya nanti."
Sang raja terlihat menganggukan kepalanya. "itulah yang
menjadi pikiranku Dewi, aku masih belum tahu tempat yang tepat untuk menyimpan
arca Ksatria Panggilan. Jika saja
Datuk Rao Basaluang Pitu masih ada disini mungkin beliau bisa memberikan
petunjuk..." belum selesai berucap tiba-tiba terlihat asap merah mengepul dari
luar candi dan langsung memasuki ruangan dalam candi, asap itu kemudian terlihat
bergulung dan membentuk sosok seorang kakek bertanduk
tunggal. Sosok Arwah Ketua! "Yang mulia tak perlu kuatir!
Biar urusan menyimpan arca Ksatria Panggilan menjadi
tanggung jawab saya...!" seru Sang Arwah. Patung Nyi Loro
Jonggrang terlihat pancarkan cahaya lembut. "nampaknya
persoalan sudah mendapatkan jalan pemecahannya... yang
mulia tidak perlu khawatir lagi akan masalah Ksatria
Panggilan, Sekarang yang harus yang mulia lakukan adalah membangun kembali
mataram seperti sedia kala. Rakyat
mataram masih menanti uluran dan bantuan yang mulia
Sabda Pandita Ratu
79 BASTIAN TITO untuk membangun dan menata kembali kerajaan yang porakporanda..." Raja Rakai Kayuwangi dan Arwah Ketua terlihat
membungkukan badan masing-masing "kalau begitu kami
berdua pamit undur diri. Sekali lagi kami haturkan terima kasih yang sedalamdalamnya kepada Dewi" ucap sang Raja
sebelum beranjak keluar diiringi senyum patung Nyi Loro
Jonggrang. Raja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala lalu
berjalan keluar diiringi oleh Arwah Ketua yang memanggul arca batu Pendekar Dua
Satu Dua. Sinar mentari yang
hangat menyambut keduanya. Awan berbentuk naga
bergulung yang menutupi kawasan prambanan sudah lama
menghilang berganti dengan arakan awan tipis dikejauhan.
"awal yang baru buat mataram..." ujar sang raja pelan
sembari menarik nafas merasakan kesegaran udara pagi di
Candi Prambanan.
T A M A T Sabda Pandita Ratu
80 BASTIAN TITO Bagaimana Kisah Pendekar kita selanjutnya"
Siapakah sebenarnya empat tokoh berjubah dan berkerudung hitam yang membawa
pergi Lakasipo"
Mampukah Wiro bangkit kembali dari kematiannya"
Ikuti petualangan seru setan ngompol dan kawan-kawannya
dalam usaha membangkitkan Wiro serta melawan kerajaan
perut bumi pada episode-episode berikutnya.
Episode Berikut:
"JABRIK SAKTI WANARA"
Sabda Pandita Ratu
81 BASTIAN TITO Cuplikan episode berikutnya:
"tubuh bocah cilik tersebut bergetar keras akibat betotan tangan ki buyut pocong
mayit dan merak jingga yang saling berebut menarik kedua tangannya. Kedua tokoh
tersebut tidak mempedulikan keadaan sang bocah yang mengenaskan.
Wiro Sableng 190 Sabda Pandita Ratu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka baru tersadar kala satu kekuatan dahsyat yang dibarengi auman harimau
dikejauhan melempar keduanya masuk kedalam tegalan sawah! Mata kedua tokoh hitam
ini terbeliak tak percaya kala melihat bocah yang diperebutkan tersebut nampak
melayang diudara dengan sepasang mata tampak memutih menakutkan sementara di
dada sang bocah yang kurus telanjang tampak bercahaya tiga guratan angka, angka
dua satu dua! "astaga! Apa tidak salah mataku ini" Apa benar itu Wiro" Tapi
kenapa..." seru setan ngompol sembari delikkan kedua mata kearah sosok bayangan
yang berdiri mengambang di punggung bocah kurus berambut jabrik yang dipanggil
dengan sebutan Jabrik Sakti Wanara itu, apa yang dilihat oleh setan ngompol juga
dilihat oleh mahesa edan, Naga kuning dan Panji Ateleng. Dibalik sosok melayang
Jabrik Sakti Wanara berdiri mengambang satu sosok seorang kakek
berbaju dan berdestar putih. Rambut dan janggutnya terlihat melambai berwarna
putih keperakan sementara ditangan sang kakek tergenggam sebuah senjata yang
amat ditakuti oleh para tokoh golongan hitam. Kapak Maut Naga Geni 212!"
Sabda Pandita Ratu
82 Pendekar Riang 8 Gento Guyon 20 Makhluk Kutukan Neraka Misteri Dendam Berdarah 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama