Ceritasilat Novel Online

Sayap Sayap Terkembang 15

01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja Bagian 15


Pernyataan itu justru telah menimbulkan kesan yang lain. Jika semua rakyat Tanah Perdikan merasa ngeri karena mereka harus berhadapan dengan kelompok anjing hutan yang buas yang dapat menyergap mereka dengan tiba-tiba dalam jumlah yang sangat besar, sedangkan jika mereka melawan dan menang, mereka tidak akan mempunyai kebanggaan apapun juga, maka perlawanan terhadap kelompok orang-orang yang akan menghancurkan Tanah Perdikan Sembojan akan mempunyai nilai yang berbeda. Jika terpaksa mereka menjadi korban, maka mati di ujung tombak lawan nilainya berbeda dengan jika mereka mati karena taring anjing-anjing hutan.
Karena itu, maka rakyat Tanah Perdikan Sembojan itu justru menjadi semakin geram menghadapi suasana. Mereka semakin merasa berkewajiban untuk ikut melibatkan diri dalam pertahanan Tanah Perdikan mereka.
Di hari itu, maka mulai tersiar kabar bahwa sebenarnya mereka tidak berhadapan dengan serigala. Mereka berhadapan dengan sekelompok orang yang pura-pura menjadi anjing hutan. Juga bukan anjing hutan jadi-jadian sebagaimana dikabarkan oleh beberapa orang.
Di pasar-pasar, di kedai-kedai dan di tempat orang banyak berkumpul, berita itu semakin tersebar luas. Setiap telinga yang mendengar telah meneruskannya ke telinga orang lain, sambung bersambung.
Namun dalam pada itu, pemimpin pengawal Tanah Perdikanpun telah mulai pula dengan penggunaan pasukan secara terbuka. Para prajurit tidak lagi sekedar bersiap-siap di dalam barak dan hanya akan bertindak jika terdapat isyarat. Sementara inti kekuatannya diletakkan di padukuhan induk, terlebih-lebih lagi di sekitar rumah Kepala Tanah Perdikan.
Sejak hari itu, maka pasukan pengawal Tanah Perdikan dalam kelompok-kelompok telah berada tersebar di padukuhan induk, sementara para pengawal di padukuhan-padukuhanpun telah bersiaga dalam kelompok-kelompok mereka masing-masing dan telah mempersiapkan diri di banjar. Hanya kelompok-kelompok cadangan sajalah yang masih tetap tinggal di barak-barak mereka. Sementara itu anak-anak mudapun telah bersiap-siap pula menghadapi segala kemungkinan. Bahkan bukan saja anak-anak muda. Tetapi setiap laki-laki yang masih mampu menggenggam senjata telah bersiap-siap. Bukan sekedar menghadapi kelompok-kelompok anjing hutan, tetapi sekelompok orang-orang yang akan berbuat jahat terhadap kampung halaman mereka.
Perubahan sikap para pengawal itu memang sudah diperhitungkan oleh orang-orang di seberang bukit. Apalagi ketika kemudian Warsi, Ki Rangga dan beberapa orang baru bersama pengikut mereka telah datang ke balik bukit.
Ternyata bahwa mereka sama sekali tidak mengeluh meskipun tempat yang disediakan bagi mereka bukan tempat yang pantas dan memadai. Namun tempat itu telah mencukupi kebutuhan di saat-saat mereka menunggu. Tempat itu sudah cukup dapat melindungi mereka dari hujan dan panas.
Namun satu hal yang sulit untuk mereka atasi adalah menyembunyikan asap yang mengepul di saat-saat mereka menyiapkan makan bagi orang-orang yang semakin banyak. Sebelumnya mereka dapat memanasi makanan dan minuman di malam hari, sehingga tidak banyak orang yang memperhatikan asap yang memang hanya sedikit dan pada waktu yang tidak ajeg. Tetapi karena orang yang ada di balik bukit itu semakin banyak, maka mereka memerlukan makan dan minum semakin banyak pula. Meskipun mereka dapat juga membuat perapian di malam hari, tetapi asap yang mengepul di terangnya cahaya bulan untuk waktu yang cukup lama, memang akan dapat menarik perhatian siapapun ketika mereka yang ada di balik bukit itu mendapat laporan bahwa orang-orang Tanah Perdikan sudah makin curiga terhadap anjing-anjing hutan itu, maka Ki Rangga Gupitapun berkata, "Biar saja menarik perhatian. Kita Sudah siap menyerang kapanpun juga."
Dengan demikian, maka orang-orang di balik bukit itu tidak lagi merasa bersembunyi. Mereka merasa memiliki kekuatan yang cukup besar menghadapi Tanah Perdikan.
Untuk waktu yang bertahun-tahun mereka menghimpun kekuatan. Mereka tidak akan pernah melupakan, bagaimana pasukan mereka telah dihancurkan oleh prajurit Pajang dan orang-orang Tanah Perdikan Sembojan. Sehingga dengan demikian maka dendampun tetap menyala di hati mereka. Dendam terhadap Tanah Perdikan Sembojan karena berbagai macam alasan.
Di saat-saat terakhir, Warsi masih mempertimbangkan langkah yang terbaik yang akan diambilnya. Apakah ia akan menantang perang tanding atau mereka dengan kekuatan penuh menyerang Tanah Perdikan, khususnya padukuhan induk.
Warsi dan Ki Rangga yakin, bahwa menghadapi keadaan sebagaimana pernah ditimbulkan oleh kehadiran gerombolan Kalamerta di Tanah Perdikan itu, maka Tanah Perdikan itu tidak akan dapat menepuk dada. Jika pada saat pasukan Kalamerta datang Ki Gede Sembojan kemudian berusaha mencegah kematian yang dapat mencengkam sejumlah rakyatnya dan justru menantang perang tanding, maka apakah Iswari yang kini memangku jabatan Kepala Tanah Perdikan itu akan berani berbuat demikian.
Beberapa orang yang pernah mengalami kekecewaan sejak masa akhir pemerintahan di Demak dan kemudian di saat Adiwijaya memerintah di Pajang yang kemudian bergabung dengan Ki Rangga, telah mendapat penjelasan persoalan Tanah Perdikan itu, meskipun agak berbeda dengan kenyataannya. Mereka menganggap bahwa permusuhan itu memang sudah ada sejak masa Kalamerta masih muda. Persoalan pribadi antara Kalamerta dengan Ki Gede Sembojan telah menyeret keduanya ke dalam perang tanding. Namun Warsi telah berhasil membalas dendam kematian Kalamerta itu. Ia telah membunuh Ki Gede Sembojan. Namun yang timbul kemudian adalah persoalan antara dirinya dan Iswari, meskipun agak berbeda sebabnya, namun mirip pula sebagaimana persoalan antara Kalamerta dan Ki Gede Sembojan. Persoalan pribadi. Kalau permusuhan antara Kalamerta dan Ki Gede Sembojan itu disebabkan dan dimulai karena persoalan seorang perempuan, maka dalam kehidupan Warsi dan Iswaripun pernah tersangkut pula persoalan seorang laki-laki yang pernah menjadi suami mereka. Bahkan kedua-duanya mempunyai anak laki-laki yang merasa berhak menggantikan kedudukannya sebagai Kepala Tanah Perdikan di Sembojan.
Warsi memang sudah mendapat laporan, bahwa untuk beberapa saat lamanya Iswari sedang sakit. Jika ia menantang perang tanding, maka keadaan itu akan dapat menjadi alasan yang sah untuk menundanya. Sementara itu, Warsi memang memerlukan satu keadaan yang khusus. Di saat purnama penuh, ia merasa berada di puncak kemampuannya.
Ketika ia berbicara dengan beberapa orang yang memiliki ilmu yang tinggi maka merekapun sependapat, bahwa Warsi tidak perlu menantang perang tanding. Jika Iswari memanfaatkan keadaannya maka ia dapat minta perang tanding itu ditunda beberapa hari setelah ia sembuh. Saat itu tentu bukan saat yang terbaik. Meskipun barangkali bulan masih ada di langit, tetapi tentu bukan bulan yang bulat sepenuhnya.
"Kita akan mengadakan pemanasan," berkata salah seorang yang telah bergabung dengan Warsi, "kita akan menyerang salah satu dari padukuhan itu sekedar untuk menjajagi kekuatan para pengawalnya."
"Malam anti kita akan dapat melakukannya," berkata Warsi, "kita sudah tidak lagi bermain serigala. Kita akan datang ke sebuah padukuhan yang agak besar sehingga kekuatan pengawalnya agak besar pula. Dengan demikian kita akan mempunyai gambaran yang pantas untuk membuat perbandingan. Besok malam kita beristirahat dan malam berikutnya adalah malam purnama penuh."
Orang-orang yang bergabung bersamanya mengangguk-angguk. Seorang yang berwajah pucat berkata, "Jika demikian kita jangan terpancing untuk bertempur habis-habisan malam nanti."
"Kita harus dapat mengekang diri," berkata Ki Rangga, "kita hanya sekedar menjajagi. Jika orang-orang berilmu tinggi yang ada di Tanah Perdikan itu berdatangan, maka kita akan menghindar."
Semuanya sependapat, sehingga karena itu, maka tidak ada persoalan yang timbul di antara mereka. Bahkan merekapun sependapat untuk membawa sebagian saja dari kekuatan yang ada di balik bukit itu.
Hari itu orang-orang yang berada di balik bukit telah mempersiapkan diri mereka untuk mengadakan penjajagan ke salah satu padukuhan di Tanah Perdikan Sembojan. Sebagai orang yang pernah tinggal di Tanah Perdikan, maka Ki Rangga dan Warsi telah dapat membuat rencana yang paling baik yang akan mereka lakukan.
Namun dalam pada itu, setelah para petugas sandi yakin bahwa yang telah mengganggu Tanah Perdikan itu ternyata bukan anjing hutan, maka mereka memang merasa malu.
Namun sejalan dengan itu, maka para petugas sandi telah bertekad untuk mengamati keadaan sebaik-baiknya. Mereka mengerti bahwa sekelompok orang telah berada di balik bukit kecil itu. Dari sana mereka mengatur permainan mereka untuk membuat orang-orang Tanah Perdikan gelisah. Apalagi ketika para petugas sandi itu melihat, bahwa dari balik bukit itu telah mengepul asap.
"Apakah kau pernah melihat serigala menyalakan perapian?" bertanya seorang petugas sandi kepada kawannya.
"Bukan serigalanya. Tetapi seorang pertapa yang dapat membuat anjing hutan jadi-jadian," jawab kawannya sambil tersenyum.
Petugas sandi itu tertawa. Katanya, "Anjing hutan jadi-jadian yang telah berhasil mengurung orang-orang Tanah Perdikan beberapa malam di dalam padukuhannya."
Kawannya mengangguk-angguk. Namun kemudian petugas sandi itupun bertanya, "Apakah kita akan mencari keterangan tentang keadaan di balik bukit?"
"Sangat berbahaya," desis kawannya, "tetapi hutan rindang dan bebatuan itu memberi kemungkinan kepada kita. Tetapi jangan di siang hari."
"Aku di masa kecil pernah bermain ke atas bukit itu," berkata petugas sandi itu.
"Aku pernah masuk ke dalam goa dan lengkeh-lengkeh bukit di balik bukit itu. Aku tahu beberapa tempat yang memang memungkinkan untuk menjadi tempat persembunyian," sahut kawannya.
"Baiklah. Malam nanti kita akan melihat keadaan di balik bukit itu. Tetapi kita harus memberikan laporan lebih dahulu serta membawa alat-alat yang cukup," berkata petugas sandi itu.
Demikianlah, maka kedua orang petugas sandi itu telah memberikan laporan kepada pemimpinnya, bahwa keduanya berniat untuk melihat-lihat ke balik ke bukit.
"Kalian sadari, bahwa tugas itu sangat berbahaya?" bertanya pemimpinnya.
Keduanya mengangguk. Seorang di antara mereka berkata, "Kami telah pernah melihat medannya sampai ke goa-goa di balik bukit. Hutan yang meskipun tidak lebat, gerumbul-gerumbul perdu dan batu-batu karang akan dapat menjadi pelindung yang baik."
"Baiklah. Lakukanlah dengan hati-hati," berkata pemimpinnya.
Namun dalam pada itu, ketika keduanya akan beranjak dari tempatnya, seorang kawannya telah datang untuk memberikan laporan.
"Orang itu kami lihat lagi berada di pasar. Apakah dalam keadaan sekarang, kami diperkenankan menangkapnya?" bertanya seorang petugas sandi yang lain.
Tetapi dengan serta-merta petugas sandi yang ingin pergi ke balik bukit itu berkata, "Jangan. Biarlah mereka tidak merasa dirinya diketahui. Bahkan ada usaha untuk melihat sampai ke sarang mereka. Bukankah mereka hari ini tidak akan mendapatkan keterangan apa-apa selain keterangan tentang para pengawal yang telah bersiap-siap di segala tempat" Tanpa datang dan melihatpun mereka sudah dapat memperhitungkan. Apalagi di antara mereka terdapat orang-orang yang memang pernah tinggal di Tanah Perdikan ini."
Pemimpin pengawal itu sependapat. Karena itu, maka katanya, "Baiklah. Kita akan membiarkannya. Tetapi awasi, apa yang dilakukannya di pasar atau pada saatnya pergi, ikutilah sejauh dapat kau lakukan tanpa diketahuinya."
Petugas sandi yang datang dari pasar itupun kemudian telah minta diri untuk kembali ke pasar, sementara dua orang yang lain telah pergi pula untuk mempersiapkan diri.
Dalam pada itu, ketika seorang petugas melihat topeng yang terpasang di luar regol padukuhan induk itu agaknya masih tetap sepasang. Karena itu, maka para pemimpin Tanah Perdikan itu menduga bahwa masih belum akan terjadi gerakan yang menentukan dari orang-orang yang berada di balik bukit.
Namun para pemimpin Tanah Perdikan itu tidak menjadi lengah. Topeng itu bukan pegangan yang dapat dianggap menentukan, karena para pemimpin Tanah Perdikan itu masih belum tahu arti yang sebenarnya dari topeng itu.
Dalam ketegangan itu, maka Sambi Wulung dan Jati Wulung ternyata telah membuat rencana sebagaimana dilakukan oleh para petugas sandi. Merekapun merasa perlu untuk melihat ke balik bukit. Yang penting bagi Sambi Wulung dan Jati Wulung adalah perkiraan kekuatan orang-orang yang telah bersiap-siap untuk mengacaukan Tanah Perdikan itu.
Apalagi ketika laporan tentang asap yang mengepul dari balik bukit dan beberapa macam uraian tentang keadaan terakhir yang dialami oleh Tanah Perdikan Sembojan.
Para pemimpin Tanah Perdikanpun tidak berkeberatan. Namun sementara itu, pemimpin petugas sandipun telah memberitahukan rencana kedua petugasnya.
"Mereka sudah mengenal medannya," berkata pemimpin petugas sandi itu.
"Jika demikian, biarlah mereka pergi bersama kami," berkata Sambi Wulung.
Sebenarnyalah empat orang dari Tanah Perdikan itupun telah mempersiapkan diri untuk mendekati goa-goa di balik bukit.
Sambi Wulung dan Jati Wulung adalah pemanah-pemanah yang baik. Di Song Lawa mereka mampu mengejutkan semua orang dengan kemampuan mereka memanah. Karena itu, untuk menjaga segala kemungkinan, maka keempat orang itupun telah membawa busur dan anak panah yang cukup selain senjata yang biasa mereka pergunakan. Pedang.
Demikian ketika senja turun, maka Sambi Wulung, Jati Wulung dan kedua petugas sandi telah siap untuk pergi ke bukit. Merekapun kemudian telah minta diri kepada para pemimpin termasuk Iswari dan ketiga orang gurunya.
Demikian langit kembali gelap, maka merekapun telah berangkat. Mereka sengaja menghindari orang-orang di sepanjang jalan. Bahkan para pengawal di regolpun ketika bertanya Sambi Wulung hanya menjawab, "Kami ingin mengamati suasana."
Tetapi tidak seorangpun yang mempertanyakan busur dan anak panah yang mereka bawa. Setiap pengawal menyadari, bahwa keadaan lagi gawat. Dengan anak panah, maka keempat orang itu akan dapat menyerang lawannya pada jarak yang masih jauh. Jika mereka bertemu dengan lawan yang terlalu banyak bagi mereka, maka jauh sebelum benturan terjadi, mereka akan dapat mengurangi jumlah lawan mereka.
Demikian keempat orang itu keluar dari padukuhan, maka merekapun telah melangkah dengan cepat menuju ke bukit. Mereka menghindari jalan padukuhan agar mereka tidak perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan para pengawal dan anak-anak muda yang ada di mulut-mulut lorong dan di gardu-gardu.
Pada saat yang hampir bersamaan, maka orang-orang di balik bukitpun telah mengatur persiapan untuk pergi ke sebuah padukuhan yang telah mereka pilih untuk menjadi sasaran. Tetapi mereka tidak perlu tergesa-gesa. Menurut rencana mereka akan datang ke padukuhan yang telah mereka tentukan pada tengah malam.
Beberapa saat kemudian Sambi Wulung dan ketiga orang lainnya telah mendekati bukit. Mereka menjadi semakin berhati-hati. Merekapun menyadari, bahwa orang-orang yang berada di balik bukit itupun tentu telah menyebarkan beberapa orang untuk mengamati keadaan.
Tetapi kedua orang petugas sandi itu, telah mengenal tempat itu dengan baik, karena di masa remajanya, mereka sering bermain-main ke tempat itu. Bahkan yang seorang di antara mereka telah sampai ke balik bukit itu pula.
Pada saat-saat Iswari menegakkan pemerintahan di Tanah Perdikan itu, rasa-rasanya keadaan Tanah Perdikan itu cukup tenang. Namun tiba-tiba saja Tanah Perdikan itu kini telah diguncang oleh kegelisahan.
Dengan demikian, maka, mereka tidak terlalu banyak mengalami kesulitan. Mereka telah melintasi hutan rindang, kemudian padang perdu yang terasa liar dan gersang. Bebatuan dan lekuk-lekuk bukit yang dibuat oleh arus air yang tidak terkendali.
Keempat orang itu merayap dengan hati-hati. Bukan saja karena mereka menghindari penglihatan para pengamat yang mungkin dipasang, merekapun harus menghindari lereng-lereng terjal berbatu padas. Untunglah bahwa cahaya bulan di langit cukup cerah.
*** JILID 14 BEBERAPA saat kemudian, maka merekapun telah melintasi puncak bukit. Seorang di antara keempat orang itu membawa mereka menuju ke tempat yang paling mungkin dipergunakan untuk berteduh sekelompok orang dari hujan dan panas.
Sambi Wulung mengisyaratkan kepada mereka agar sangat berhati-hati. Ternyata dari balik segerumbul perdu mereka memang melihat dua orang yang berjalan melintas. Tidak tergesa-gesa, sehingga mereka yakin bahwa dua orang itu adalah dua orang pengawas yang mendapat tugas untuk berjaga-jaga.
"Kita sudah sangat dekat," desis Jati Wulung.
Sambi Wulung mengangguk. Namun dengan demikian mereka menjadi sangat berhati-hati.
Ketika mereka berempat menjadi semakin dekat, maka mereka terkejut. Dalam cahaya bulan yang terang, mereka melihat di hadapan mereka, di atas tanah yang gundul berbatu padas, sepasukan pengikut Warsi yang riah bersiap. Jantung Sambi Wulung dan Jati Wulungpun berdebaran. Menurut perhitungan orang-orang Tanah Perdikan, Warsi akan memanfaatkan bulan yang purnama penuh, yang barangkali ada hubungannya dengan kepercayaannya.
Untuk beberapa saat mereka berempat mengamati dari jarak yang jauh. Namun mampu melihat dengan jelas susunan pasukan yang bergerak.
"Mereka belum bersungguh-sungguh," berkata Sambi Wulung.
Jati Wulung mengangguk-angguk. Mereka melihat sebagian dari para pengikut itu masih tetap berdiri di luar pasukan, sementara Ki Rangga Gupita memberikan beberapa pesan kepada mereka.
Sebenarnyalah, sejenak kemudian pasukan yang telah dipersiapkan itupun telah berangkat, dipimpin oleh Ki Rangga Gupita sendiri.
Keempat orang itu harus menahan nafas ketika pasukan itu lewat beberapa langkah saja dari tempat mereka bersembunyi di balik gerumbul.
Untunglah bahwa tidak seorangpun di antara orang-orang yang berada di balik bukit itu, termasuk mereka yang berangkat menuju ke Tanah Perdikan menduga, bahwa akan ada orang-orang dari Tanah Perdikan yang berani datang mengintai mereka dari jarak yang cukup dekat.
Demikian pasukan itu lewat, maka Sambi Wulungpun berdesis, "Ki Rangga Gupita dan Warsi ada di dalam pasukan itu."
Jati Wulung mengangguk-angguk. Katanya, "Tetapi mereka belum mengerahkan seluruh kekuatan mereka."
"Nampaknya mereka memang belum bersungguh-sungguh," berkata Sambi Wulung pula.
"Apakah tidak sebaiknya kita memberitahukan hal ini kepada Nyi Wiradana?" bertanya salah seorang dari petugas sandi itu.
Sambi Wulung mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Kalian berdua harus segera turun. Hati-hati, jangan sampai kalian berpapasan dengan pasukan itu, agar kalian tidak menjadi lumat dicincang oleh Ki Rangga."
Kedua orang petugas sandi itu mengangguk-angguk. Tetapi mereka yang karena mengenali lingkungan itu dengan baik, maka mereka yakin akan dapat mendahului pasukan yang tentu akan melintasi bukit dan turun melalui jalan setapak yang ada..
"Laporan apa yang kau lihat. Besarnya pasukan dan kedua orang yang berilmu tinggi itu," berkata Sambi Wulung.
Para petugas sandi itu mengangguk. Merekapun kemudian bergeser dari tempatnya, melintasi puncak bukit dan turun menuju ke Tanah Perdikan Sembojan. Mereka ternyata mampu menemukan jalan pintas yang jauh lebih pendek dari jalan setapak yang berkelok-kelok yang dilalui oleh sepasukan pengikut Warsi yang dipimpin oleh Ki Rangga dan Warsi sendiri. Bahkan ketika mereka sudah berada di ngarai, maka merekapun telah berlari-lari menuju ke Tanah Perdikan.
Namun ternyata keduanyapun sempat membagi tugas. Seorang di antara mereka berkata, "Kau langsung ke padukuhan induk untuk memberikan laporan. Aku akan berusaha untuk mengetahui, kemana mereka akan pergi. Apakah mereka akan menuju ke padukuhan induk atau tidak. Mungkin mereka akan menyerang sasaran yang mereka anggap tidak terlalu berat, sehingga mereka tidak membawa seluruh pasukan. Atau mungkin mereka ingin melakukan sesuatu untuk tujuan yang belum kita ketahui."
Demikianlah, seorang di antara mereka langsung menuju ke padukuhan induk. Menyusuri pematang dan jalan-jalan sempit, petugas sandi itu menjadi terasa lebih cepat mencapai padukuhan induk. Sementara kawannya masih menunggu untuk mengamati pasukan yang akan memasuki Tanah Perdikan.
Ketika petugas sandi yang berlari-lari itu memasuki Tanah Perdikan, maka rasa-rasanya nafasnya telah hampir terputus di kerongkongan. Ketika ia sampai di gardu, maka kakinya seakan-akan tidak mau bergerak lagi.
Kawan-kawannya yang berada di gardu dengan serta-merta telah menolongnya. Membawanya ke gardu dan membantunya naik. Tetapi anak muda yang bertugas sebagai petugas sandi itu menggeleng sambil berkata terputus-putus, "Aku harus menghadap Nyi Wiradana."
"Beristirahatlah," desis seorang kawannya.
"Aku harus cepat sampai kepada Nyi Wiradana," kata itu sajalah yang diulang-ulang.
"Tetapi kau tidak dapat berjalan lagi. Nafasmu hampir putus di kerongkongan," berkata seorang kawannya.
"Bawa aku menghadap," desisnya.
Kawan-kawannya yang bertugas di gardu termangu-mangu. Namun seperti orang mengigau petugas itu terus saja berkata, "Cepat. Bawa aku menghadap Nyi Wiradana."
"Katakan, apa yang harus kau sampaikan. Biarlah kami meneruskannya," jawab seorang kawannya.
"Tidak. Aku sendiri harus menghadap. Bantu aku berjalan," berkata petugas sandi itu.
Anak-anak muda itu tidak mempunyai pilihan lain. Dua orang di antara mereka telah membantu petugas sandi yang kelelahan itu menuju ke rumah Nyi Wiradana. Namun setiap saat petugas itu telah membentak kawan-kawannya yang memapahnya, agar mereka dapat berjalan lebih cepat.
Ketika petugas sandi itu sampai ke rumah Nyi Wiradana, maka Nyi Wiradana sendiri masih duduk di ruang tengah bersama Bibi. Karena itu, ketika seorang petugas yang berjaga-jaga di rumah itu mengetuk pintu, Nyi Wiradanapun segera membukanya.
Nyi Wiradana terkejut melihat petugas yang nafasnya terengah-engah itu. Dengan cemas Nyi Wiradana bertanya, "Kenapa orang ini?"
Tetapi petugas sandi itu sendirilah yang menjawab, "Aku tidak apa-apa Nyi."
Nyi Wiradanapun segera tanggap. Karena itu, maka dimintanya orang-orang yang mengantar petugas sandi itu untuk menunggu di luar.
Betapapun keadaannya, namun petugas sandi itu masih juga dapat memberikan laporan. Suaranya terputus-putus dan bahkan kadang-kadang terbatuk-batuk. Namun akhirnya jelas bagi Nyi Wiradana apakah yang akan terjadi.
"Panggil guru," berkata Nyi Wiradana kepada Bibi.
Bibipun segera bangkit untuk menyampaikan permohonan Nyi Wiradana agar guru-gurunya hadir di ruang tengah.
Dengan singkat Nyi Wiradana telah menyampaikan laporan petugas sandi itu. Dengan mantap pula Nyi Wiradana berkata, "Aku sendiri akan berangkat guru. Satu kesempatan untuk bertemu dengan perempuan itu. Adalah kebetulan bahwa saat ini purnama belum penuh."
"Kau percaya pengaruh bulan penuh itu pada kekuatan ilmu Warsi?" bertanya Kiai Badra.
"Bukan aku yang percaya. Tetapi perempuan itu. Ia akan merasa bahwa kekuatannya belum sepenuhnya dapat ditrapkan di saat bulan belum bulat. Perasaan itu tentu akan sangat berpengaruh pada saat-saat yang gawat," berkata Iswari.
"Tetapi kaupun masih memerlukan waktu untuk dapat memulihkan kekuatanmu sepenuhnya," berkata Kiai Badra.
"Aku sudah merasa utuh kembali," jawab Iswari.
Kiai Badra berpikir sejenak. Namun kemudian katanya, "Tetapi kami, orang-orang tua masih berharap kau sempat menunggu satu dua hari lagi. Kau tidak usah memperhatikan purnama itu. Namun dalam dua hari ini, kau tentu sudah berada pada puncak kekuatan dan kemampuanmu. Keadaan wadagmu tentu akan berpengaruh betapapun kesiagaan ilmu di dalam dirimu. Jika kau menunggu dua hari atau setidak-tidaknya sehari lagi itu sama sekali tidak ada pengaruh dari bulan itu."
"Aku mengerti guru," jawab Iswari, "tetapi orang itu datang sekarang. Aku tidak dapat membiarkannya sementara aku menunggu sampai besok malam."
Kiai Badra menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu, Nyai Soka telah bangkit sambil berkata, "berdirilah."
Iswaripun segera bangkit pula berdiri.
Dengan kerut di dahinya yang memang sudah dilukisi dengan garis-garis umurnya Nyai Soka berkata, "Lihat telapak tanganmu."
Iswaripun kemudian telah mengangkat kedua tangannya untuk menunjukkan telapak tangannya sebagaimana diminta oleh Nyai Soka.
Dengan ujung ibu jarinya, Nyai Soka telah memijit beberapa jalur urat nadi pada telapak tangannya. Kemudian tangan itupun telah ditelungkupkannya pula. Seperti yang dilakukan pada telapak tangannya, maka Nyai Sokapun telah memijit-mijit pula punggung tangan Iswari. Bahkan kemudian pergelangannya dan yang terakhir pada punggung perempuan itu.
Sambil menarik nafas dalam-dalam Nyai Soka berkata, "Baiklah. Kau boleh pergi. Tetapi kau harus sangat berhati-hati. Kami akan pergi bersamamu."
Demikianlah, maka Iswaripun dengan cepat telah menjatuhkan perintah lewat para petugas di halaman. Dalam waktu singkat, para pemimpin pengawal telah berada di rumah itu, sementara beberapa orang telah menyiapkan pula pasukan.
Dalam pada itu, petugas sandi yang mengintai perjalanan pasukan yang dipimpin Ki Rangga Gupita dan Warsi telah mendapat petunjuk arah. Karena itu, maka iapun telah mendahului pasukan itu melalui jalan pintas pula ke padukuhan yang menurut perhitungannya akan menjadi sasaran. Petugas sandi itu memang sudah memperhitungkan bahwa pasukan yang tidak lengkap itu tidak akan menuju ke padukuhan induk.
Dengan demikian maka para pengawal di padukuhan itupun sempat mempersiapkan diri. Sementara dua orang penghubung berkuda telah menuju ke padukuhan induk untuk memberikan laporan.
"Jika perlu, kita akan mempergunakan isyarat kentongan," berkata Ki Bekel.
Pemimpin pengawal di padukuhan itupun mengangguk. Katanya, "Kita akan melihat suasana."
Demikianlah, maka para pengawalpun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Bukan hanya pengawal di padukuhan itu. Tetapi padukuhan terdekatpun telah diberi tahu, bahwa para pengawal harus bersiap. Sebagian dari para pengawal di padukuhan itu telah dipersiapkan untuk bergerak dengan cepat. Mereka telah dipersiapkan pula untuk membantu padukuhan yang akan menjadi sasaran serangan orang-orang dari balik bukit itu.
Sekelompok pengawal telah bersiap di balik dinding padukuhan yang lebih besar dari padukuhan-padukuhan yang lain, yang menurut perhitungan petugas sandi itu akan menjadi sasaran serangan orang-orang yang dipimpin oleh Warsi dan Ki Rangga Gupita.
Sebenarnyalah perhitungan petugas sandi itu ternyata tepat. Warsi yang pernah tinggal di Tanah Perdikan itu tahu benar, padukuhan yang manakah yang dapat dipergunakannya untuk menjajagi kesiagaan para pengawal serta dipergunakan sebagai pemanasan orang-orangnya yang besok lusa akan menyerang padukuhan induk Tanah Perdikan.
Ketika pasukannya mendekati padukuhan yang menjadi sasaran itu, Ki Rangga Gupita dan Warsi tidak melihat kesiagaan yang khusus. Mereka dari kejauhan memang melihat obor di regol padukuhan. Tetapi itu adalah kebiasaan setiap padukuhan yang memasang obor di regolnya.
Namun demikian, ternyata bahwa pasukan yang datang itupun cukup berhati-hati. Mereka tidak dengan serta-merta mendekati dan memasuki regol. Tetapi para pengikut Ki Rangga dan Warsi itupun telah memencar di luar dinding padukuhan.
Para pengawal yang melihat pasukan yang datang itu dalam siraman cahaya bulan menjadi berdebar-debar. Mereka mengerti bahwa pasukan itu tidak akan memasuki padukuhan dengan memecah regol. Tetapi mereka akan berloncatan memasuki padukuhan lewat di atas dinding.
Dengan demikian maka para pengawalpun telah menyesuaikan diri pula. Mereka harus menahan para pengikut Ki Rangga dan Warsi itu selagi mereka berusaha meloncat.
Ki Bekel dan pemimpin pengawal yang berdiri di atas mata tangga di sebelah regol padukuhanpun melihat pasukan yang menyebar itu. Nampaknya bagi mereka, lebih mudah meloncat dinding dari pada mematahkan selarak pintu gerbang padukuhan.
Dalam pada itu, petugas sandi yang telah berada di padukuhan itupun memperingatkan bahwa pasukan itu dipimpin langsung oleh Warsi dan Ki Rangga Gupita.
"Apakah kau dapat mengenalinya?" bertanya Ki Bekel.
"Sambi Wulung dan Jati Wulung ada di balik bukit itu pula sekarang," jawab petugas sandi itu.
Ki Bekel mengangguk-angguk. Tentu Sambi Wulung dan Jati Wulung dapat mengenali Warsi dan Ki Rangga, pernah atau tidak pernah berhubungan sebelumnya.
Untuk beberapa saat, para pengikut Ki Rangga dan Warsi dalam jumlah yang besar itu menunggu. Ternyata Warsi dan Ki Rangga bersama beberapa orang pengawal terpilihnya telah melangkah mendekati pintu gerbang yang tertutup, tetapi tidak menunjukkan persiapan yang memang menunggu kedatangan mereka dalam kesiagaan tertinggi.
"Agaknya mereka tidak tahu bahwa kita akan datang," desis Warsi.
Ki Rangga mengangguk. Katanya, "Kita akan meloncati dinding. Dengan demikian kita akan dengan cepat bersama-sama berada di dalam. Mungkin ada beberapa orang peronda di gardu di belakang pintu gerbang."
Warsi mengerutkan keningnya. Diamatinya dinding padukuhan yang berada di bawah lindungan dedaunan yang rimbun, sehingga cahaya bulan tidak dapat mencapai wajah-wajah yang dengan sangat berhati-hati mengintip di belakang dinding.
Namun ternyata Warsi memang memiliki kelebihan dari orang kebanyakan. Tiba-tiba saja ia telah memberikan isyarat kepada Ki Rangga.
Ki Rangga termangu-mangu. Dikerahkannya kemampuannya untuk memperhatikan keadaan. Sementara itu Warsi berbisik, "Ternyata di belakang dinding itu terdapat barisan pengawal."
"Kau yakin?" bertanya Ki Rangga.
"Aku yakin," jawab Warsi.
"Lalu, apa yang harus kita lakukan?" bertanya Ki Rangga.
"Kita akan masuk dengan cepat. Tetapi kita harus sangat berhati-hati," jawab Warsi. Namun tiba-tiba saja Warsi itu berkata, "Kita ambil dua buah obor di regol itu."
"Untuk apa?" bertanya Ki Rangga.
Warsi tidak menjawab. Ia sendirilah yang kemudian meloncat mengambil obor minyak di regol. Dengan suara lantang ia berkata kepada orang-orangnya, "Cari ranting-ranting dan rumput kering. Cepat, jangan bertanya untuk apa."
Beberapa orang memang termangu-mangu. Namun Ki Rangga cepat tanggap, sehingga iapun kemudian telah memerintahkan beberapa orang mencari ranting-ranting kering dari gerumbul-gerumbul perdu di luar pintu gerbang.
Orang-orang yang ada di balik pintu gerbang itupun menjadi heran. Apa pula yang akan dilakukan oleh Warsi itu.
Namun ternyata bahwa Warsi telah menimbuni pintu gerbang dari regol padukuhan itu dengan ranting dan daun-daun kering. Kemudian membakarnya dan bahkan satu di antara kedua obornya telah dilemparkan pula sehingga minyaknya telah membasahi ranting-ranting kering itu.
Dengan demikian maka ranting-ranting serta rerumputan dan daun-daun kering itu menjadi cepat terbakar. Bahkan kemudian beberapa orang telah melemparkan lagi ranting-ranting semakin banyak.
Pintu gerbang yang terbuat dari kayu itupun akan mudah terbakar. Sehingga karena itu, orang-orang yang berada di belakang regolpun dengan cepat menyadari keadaan.
Beberapa orang telah berlari-lari mencari air di sumur-sumur terdekat dengan alat apa saja yang mereka dapatkan. Dengan upih, dengan kelenting, bahkan jambangan di pakiwan untuk menyiram pintu gerbang agar api yang mulai menyala tidak membakar gerbang itu seluruhnya yang tentu akan merambat ke bagian atap regol dan bangunan yang lain yang berhubungan dengan regol padukuhan.
Ki Bekel dan pemimpin pasukan pengawal itupun telah mengumpat-umpat. Dengan berteriak pemimpin pengawal itu berkata, "Licik. Kau bakar regol padukuhan kami."
Tetapi tidak terdengar jawaban. Yang nampak adalah api menjadi semakin besar dan pintu regolpun mulai terbakar.
Ternyata Warsi tidak ingin memasuki padukuhan itu lewat pintu gerbang yang akan hancur menjadi abu. Usaha untuk memancing perhatian para pengawal ternyata telah berhasil. Ketika Ki Bekel dan para pemimpin pengawal sibuk memperhatikan api yang semakin besar itu, maka lewat beberapa orang pengikutnya yang ikut sibuk di luar regol itu, ia memerintahkan agar pasukannya mulai bergerak.
Hampir bersamaan, maka Ki Bekel dan pemimpin pengawal telah memerintahkan untuk bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan apabila pintu gerbang itu tidak dapat diselamatkan.
Namun dalam pada itu, terdengar isyarat dari beberapa orang pemimpin kelompok dari antara para pengikut Ki Rangga Gupita dan Warsi. Dengan serta-merta pula, maka para pengikut mereka itupun telah bergerak. Bukan sekedar merangkak mendekati dinding padukuhan. Tetapi merekapun telah berlari-larian untuk mengambil ancang-ancang.
Selagi perhatian para pengawal sebagian tertuju kepada api yang telah membakar regol padukuhan mereka, maka para pengikut Warsi dan Ki Rangga itupun telah berloncatan memanjat dinding padukuhan dan berloncatan masuk.
Sejenak kemudian, maka pertempuranpun segera telah berkobar Para pengawal segera menyadari, bahwa mereka telah terpancing oleh api di regol itu, sehingga mereka sedikit terlambat menerima kehadiran para pengikut Warsi dan Ki Rangga itu. Namun ternyata keterlambatan yang sedikit itu mempunyai akibat yang cukup berat.
Demikian ujung dari pasukan para pengikut Warsi dan Ki Rangga berhasil masuk, maka mereka telah membuka jalan bagi kawan-kawan mereka, sehingga sejenak kemudian, seluruh kekuatan orang-orang dari balik bukit itu sudah berada di dalam padukuhan.
Tetapi para pengawal padukuhan itu bersama seluruh anak-anak mudanya telah bersiap. Bahkan hampir setiap laki-laki di padukuhan itu sudah mempersiapkan diri untuk bertempur dimanapun juga.
Karena itu, ketika mereka mendengar bahwa orang-orang yang menyerang padukuhan mereka telah memasuki padukuhan, maka merekapun telah menyongsong dengan jumlah yang cukup banyak. Mereka berdatangan dari segala penjuru padukuhan dengan senjata telanjang di tangan.
Ternyata bahwa bukan anak-anak muda sajalah yang mampu mempergunakan senjata. Orang-orang yang telah merambat ke usia yang lebih tua, ternyata memiliki kemampuan pula. Mereka adalah justru bekas-bekas pengawal di saat Tanah Perdikan itu bergolak. Bahkan ada di antara mereka, yang setelah sekitar sepuluh tahun kemudian masih juga menjadi pengawal. Namun mereka dalam tugas mereka sehari-hari, tidak mendapat tugas yang berat seperti anak-anak mudanya. Bahkan sebagian dari mereka justru telah mendapat kepercayaan untuk membantu memberikan latihan-latihan kepada para pengawal yang masih muda.
Dengan demikian, maka orang-orang dari balik bukit itu telah membentur kekuatan yang cukup besar di padukuhan itu. Mereka berhadapan dengan anak-anak muda yang tenaganya seakan-akan justru sedang mekar. Namun di antara mereka terdapat orang-orang yang lebih tua, yang pengalamannya justru telah mengendap. Sehingga dengan demikian, maka pertahanan para pengawal padukuhan itupun menjadi cukup kuat.
Tetapi jumlah orang-orang yang menyerang padukuhan itu memang cukup banyak. Mereka masih saja berloncatan memasuki dinding. Seakan-akan tidak ada habis-habisnya.
Ki Bekel dan pemimpin pengawal Tanah Perdikan di padukuhan itu melihat kesulitan yang bakal timbul. Apalagi jika Ki Rangga dan Warsi memasuki padukuhan itu. Maka keadaan mereka akan menjadi semakin sulit.
Karena itu, maka Ki Bekel dan pemimpin pengawal itu sepakat untuk membunyikan isyarat dengan kentongan.
Namun sebelum isyarat itu dibunyikan, maka dua orang penghubung telah berlari-lari menemui Ki Bekel dan pemimpin pengawal padukuhan itu.
"Ada apa?" bertanya Ki Bekel.
"Pintu gerbang di ujung yang lain dari lorong ini telah dibuka. Pasukan Pengawal berkuda dari padukuhan induk telah masuk," jawab penghubung itu.
"Siapa yang memimpin pasukan?" bertanya Ki Bekel.
Penghubung itu menggeleng. Jawabnya, "Aku belum tahu. Aku tergesa-gesa menyampaikan berita ini kemari. Para pengawal yang bertugas di regol sebelah akan membawa mereka lebih dahulu ke banjar untuk menempatkan kuda-kuda mereka. Baru pasukan pengawal berkuda dari induk padukuhan itu akan kemari."
"Apakah pasukan itu cukup besar?" bertanya Ki Bekel.
"Tidak terlalu besar. Tetapi cukup meyakinkan," jawab penghubung itu.
Ki Bekel tidak bertanya lebih lanjut. Sementara itu pertempuran menjadi semakin sengit. Orang-orang dari balik bukit telah berhasil mendesak orang-orang padukuhan semakin dalam memasuki padukuhan mereka. Sementara regol padukuhan itu telah terbakar semakin besar. Cahaya api yang kemerah-merahan telah menambah cerahnya cahaya bulan yang belum bulat benar itu.
Ki Bekel dan pemimpin pengawal itu tidak beranjak dari tempat mereka. Mereka tidak dapat menyongsong kedatangan pasukan dari padukuhan induk, karena setiap saat pemimpin pasukan yang datang dari balik bukit akan memasuki pintu gerbang yang sebentar lagi akan roboh.
Namun dalam pada itu, pasukan yang datang dari padukuhan induk dengan cepat menyiapkan diri. Beberapa orang di antara mereka dengan tangkas telah mengatur kuda-kuda mereka di banjar padukuhan sementara yang lain langsung menuju ke medan pertempuran. Pasukan berkuda itu dipimpin sendiri oleh pemimpin pasukan disertai pemimpin pengawal Tanah Perdikan Sembojan bersama Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan itu sendiri. Bahkan diikuti oleh beberapa orang tua yang disebut guru oleh Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan itu.
Sebenarnyalah Kiai Badra dan Kiai Sokalah yang ternyata telah mengikuti Iswari ke padukuhan itu, sementara Nyai Soka dan Bibi tinggal di rumah. Mungkin sesuatu dapat terjadi di padukuhan induk yang ditinggalkan. Namun sekelompok pasukan yang kuat masih tetap berada di padukuhan induk.
Demikianlah, maka Iswari disertai Kiai Badra dan Kiai Soka telah sampai ke pintu gerbang yang telah terbakar itu. Mereka telah menerima laporan singkat dari Ki Bekel tentang apa yang terjadi. Bahkan Ki Bekel itupun kemudian bertanya, "Kenapa Nyi Wiradana tidak langsung menyergap mereka dari luar, tetapi justru masuk ke padukuhan lewat pintu gerbang yang lain?"
"Kami melihat api," jawab Iswari, "karena itu kami menuju pintu gerbang yang lain. Ternyata kami dapat masuk ke dalam padukuhan ini. Karena itu, kami akan bertempur bersama para pengawal di dalam padukuhan."
Ki Bekel mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata, "Kami mengucapkan terima kasih atas kesediaan Nyi Wiradana untuk hadir sendiri di padukuhan ini. Dengan demikian, maka padukuhan ini akan merasa dirinya benar-benar mendapat perlindungan dari pimpinan tertinggi Tanah Perdikan ini."
"Bukankah itu sudah kewajibanku?" sahut Nyi Wiradana.
Demikianlah maka pertempuran di padukuhan itu menjadi semakin sengit. Pasukan pengawal berkuda yang telah menebar, ternyata memberikan pengaruh yang sangat besar pada pertempuran itu. Meskipun jumlah mereka tidak terlalu banyak, namun mereka adalah pengawal-pengawal pilihan, sehingga bersama-sama dengan hampir semua laki-laki di padukuhan itu, mereka telah bertempur dengan gigihnya.
Dalam pada itu, ternyata bukan hanya pasukan berkuda sajalah yang kemudian telah datang ke padukuhan itu. Ternyata bahwa kelompok-kelompok kecil dari padukuhan-padukuhan terdekat juga telah datang membantu. Mereka tidak dapat mengirimkan seluruh kekuatan di padukuhan mereka, karena mereka harus memperhitungkan kemungkinan yang buruk, jika para penyerang itu justru datang ke padukuhan mereka pula.
Api yang menyala di pintu gerbang merupakan isyarat yang telah memanggil mereka untuk membantu. Sehingga beberapa saat kemudian jumlah para pengawal yang bertempur di samping laki-laki di padukuhan itupun menjadi semakin banyak.
Iswari, Ki Bekel dan beberapa orang pemimpin lainnya masih menunggu di belakang api yang semakin mengecil. Bahkan sejenak kemudian maka pintu gerbang yang terbakar itupun telah runtuh menjadi abu.
Demikian gerbang itu runtuh, maka para pemimpin dari kedua belah pihak segera melihat, dengan siapa mereka berhadapan.
Warsi menggeram. Ia tidak mengira, bahwa demikian cepatnya Iswari ada di padukuhan itu. Namun ia merasa juga beruntung, bahwa dengan demikian ia akan sempat menjajagi ilmunya.
Ki Rangga Gupita yang melihat kehadiran Iswari segera memperingatkan Warsi, "Kau jangan tenggelam dalam gejolak perasaanmu. Ingat, kita baru akan menjajagi kemampuan para pengawal Tanah Perdikan ini."
Warsi mengerutkan keningnya. Sebelum ia menjawab Ki Rangga berkata pula, "Bulan belum bulat malam ini."
Warsi memang menengadahkan wajahnya ke langit. Bulan memang belum bulat.
Untuk beberapa saat para pemimpin itu menunggu. Mereka tengah mempersiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi.
Sementara itu di balik bukit Sambi Wulung dan Jati Wulung masih mengintai orang-orang yang tidak ikut dalam kelompok-kelompok yang menyerang Tanah Perdikan Sembojan. Mereka agaknya tidak mempunyai tugas tertentu selain mempersiapkan diri untuk tugas besar yang akan dilakukan oleh semua kekuatan yang ada di balik bukit itu. Dua hari lagi, saat bulan penuh, mereka akan menyerang Tanah Perdikan Sembojan dengan seluruh kekuatan ke padukuhan induk dan menghancurkan semua isinya.
Sambi Wulung dan Jati Wulung yang masih bersembunyi di belakang gerumbul-gerumbul perdu itu tidak segera meninggalkan tempat itu. Mereka yakin, bahwa Tanah Perdikan akan dapat mengatasi kehadiran beberapa kelompok orang dari balik bukit itu meskipun dipimpin langsung oleh Ki Rangga Gupita dan Warsi sendiri. Tetapi di Tanah Perdikanpun terdapat orang-orang yang akan dapat mengimbangi kemampuan mereka.
Karena itu, maka kedua orang itu ternyata telah mempunyai rencana mereka sendiri.
Beberapa saat kemudian, keduanya sama sekali tidak menjauhi tempat itu, tetapi justru semakin mendekat. Dalam cahaya bulan, mereka melihat dua orang yang bertugas mengamati keadaan. Keduanya berjalan saja sambil berbicara perlahan-lahan. Nampaknya keduanya terlalu yakin bahwa tidak akan terjadi sesuatu di balik bukit itu.
Dengan sikap yang kurang berhati-hati kedua berdiri di atas tebing sambil memandang ke dalam bayangan bulan. Sementara itu agak ke bawah terdapat beberapa buah goa yang dihuni oleh kelompok-kelompok pengikut Ki Rangga dan Warsi serta beberapa kelompok lain yang telah bergabung dengan mereka, sementara mereka membelakangi punggung pebukitan yang memang tidak terlalu tinggi. Panggung bukit yang dijalari jalan setapak yang telah dilewati kawan-kawannya yang pergi ke Tanah Perdikan Sembojan.
Nampaknya bayangan bulan yang gelap di lembah sempit di hadapan mereka telah menarik perhatian mereka. Puncak-puncak pepohonan liar nampak kehitam-hitaman. Namun yang tidak mereka perhitungkan sama sekali adalah dua orang di balik gerumbul yang telah menarik tali busur mereka.
Sejenak kemudian, kedua orang itu bagaikan terlempar ke dalam jurang yang tidak begitu dalam dan tanpa sempat mengeluh karena anak-panah telah menembus dari punggung mereka langsung mengenai jantung.
Tetapi Sambi Wulung dan Jati Wulung tidak segera meninggalkan tempat. Mereka itu masih merayap mendekat. Ketika mereka melihat dua orang yang berjaga-jaga sambil duduk di atas sebuah batu raksasa di pinggir jalan sempit yang menuruni tebing menuju ke goa mereka, maka sekali lagi tali busur mereka bergetar. Kedua orang itupun sama sekali tidak sempat mengaduh. Mereka terdorong dan jatuh ke balik batu raksasa itu.
Demikianlah dengan diam-diam, Sambi Wulung dan Jati Wulung telah mengurangi jumlah lawan yang mungkin akan datang ke padukuhan induk Tanah Perdikan. Orang-orang yang bertugas di sekitar sarang dari orang-orang yang berada di balik bukit itupun telah hilang tanpa sempat memberikan isyarat.
Bahkan Sambi Wulung dan Jati Wulung telah bergerak lebih dekat lagi dengan goa-goa yang ada beberapa buah di lereng bukit yang berseberangan dengan arah Tanah Perdikan itu.
Ternyata bahwa orang-orang yang tinggal di goa itu memang belum tidur. Beberapa orang di antara mereka masih berkeliaran di depan goa. Namun agaknya yang lain memang telah beristirahat di dalam.
Sambi Wulung dan Jati Wulung memang orang-orang yang berani. Selain kemampuan membidik yang tinggi, keduanya memiliki ilmu yang tinggi pula. Meskipun keduanya masih belum ingin terlibat ke dalam pertempuran langsung, namun keduanya memiliki keyakinan, bahwa orang-orang di dalam goa itu tidak akan mampu mengejarnya jika keduanya mengelakkan diri.
Karena itu, untuk beberapa saat keduanya masih menunggu kesempatan. Orang-orang yang bernasib buruk ternyata masih saja terdapat di tempat itu. Seorang yang termangu-mangu di sisi mulut goa telah jatuh pula terkulai.
Sambi Wulung dan Jati Wulung menjadi ragu-ragu ketika mereka melihat lima orang sedang memanaskan diri di seputar api yang tidak terlalu besar. Agaknya kelima orang itu tidak akan dapat dikenainya bersama-sama sehingga jika dua di antara mereka terbunuh, maka yang lain tentu mempunyai kesempatan untuk memberikan isyarat.
Karena itu, maka Sambi Wulung dan Jati Wulungpun telah menunggu.
Namun agaknya seseorang telah menemukan tubuh kawannya yang terbaring jatuh. Dari kejauhan terdengar seseorang berteriak nyaring, "Kawan kita terbunuh."
Beberapa orang di dalam goa telah dengan sigapnya meloncat keluar dan berlari-lari ke arah suara itu. Namun Sambi Wulung dan Jati Wulung ternyata masih mempergunakan kesempatan terakhirnya. Apapun yang dilakukan, maka sebentar lagi, semua orang di tempat itu tentu akan mengetahui bahwa kawan-kawannya telah terbunuh.
Karena itu, maka Sambi Wulung dan Jati Wulung telah bertekad untuk membunuh kelima orang itu sebelum mereka sempat pergi.
Ternyata ketangkasan kedua orang itu sangat mengagumkan. Dalam sekejap, dua orang telah tertusuk ujung panah di dada mereka. Sementara itu, ketiga orang lainnya memang sempat menarik pedang mereka sambil berteriak. Tetapi dua di antara mereka tidak mampu menangkis anak panah yang meluncur seperti tatit di udara. Sementara orang kelima memang sempat meloncat dan menjatuhkan diri berguling di tanah. Kemudian melenting berdiri dan meloncat ke belakang gerumbul. Namun akhirnya ia juga terkapar jatuh. Bahkan dua anak panah telah menembus tubuhnya.
Sarang para pengikut Warsi dan Ki Rangga Gupita itu memang menjadi gempar. Beberapa orang segera berlarian. Sebagian ke arah orang pertama yang berteriak karena melihat kawannya terbunuh oleh anak panah, sementara yang lain berlari ke arah teriakan dari orang terakhir yang terkena anak panah itu.
Ketika beberapa orang kemudian berlari-lari, ternyata bukan hanya satu dua orang saja yang terkena panah, tetapi jauh lebih banyak.
Sementara keributan itu terjadi, Sambi Wulung dan Jati Wulung telah pergi menjauh. Keduanya menyusuri jalan setapak naik ke punggung bukit. Namun kemudian mereka berdua telah keluar dari jalan setapak itu dan berada di dalam gerumbul-gerumbul yang cukup lebat.
Tetapi dari tempatnya Sambi Wulung dan Jati Wulung tidak sempat melihat keributan di lembah, di depan beberapa buah goa yang dihuni oleh para pengikut Ki Rangga Gupita dan Warsi.
Namun setelah beberapa saat mereka menunggu, maka yang mereka tunggu itu benar-benar telah datang. Beberapa orang nampaknya berusaha mengejar mereka mengikuti jalan setapak.
Sambi Wulung dan Jati Wulung membiarkan mereka lewat. Tetapi ketika yang nampak dari tempat keduanya bersembunyi adalah punggung orang-orang itu, maka keduanya mulai membidik.
Dalam sekejap dua orang mengaduh dan jatuh terkapar. Demikian iring-iringan itu berhenti dan berpaling melihat kedua kawannya jatuh, dua orang lagi telah terbanting di tanah. Sementara orang ke lima dan keenampun tidak sempat menyelamatkan dirinya.
Namun orang ketujuh dan berikutnya telah menghambur ke balik gerumbul-gerumbul liar di sekitarnya.
Sambi Wulung dan Jati Wulung tidak menghiraukan mereka lagi. Keduanya segera mengendap-endap meninggalkan tempat itu. Mereka sadar bahwa masih ada beberapa orang yang hidup. Tetapi agaknya Sambi Wulung dan Jati Wulungpun akan mengalami kesulitan untuk dapat membunuh mereka semuanya.
Dengan demikian maka sisa orang-orang itupun telah ditinggalkannya justru menuruni bukit di seberang. Sambi Wulung dan Jati Wulung tidak mengalami kesulitan, karena petugas sandi dari Tanah Perdikan Sembojan telah menunjukkan jalan kepada mereka. Bukan jalan yang mengikuti jalan setapak. Tetapi jalan di antara gerumbul-gerumbul perdu dan batu-batu padas.
Karena itulah, maka para pengikut Warsi dan Ki Rangga serta orang-orang yang bergabung dengan mereka tidak dapat menemukan orang-orang yang telah menyerang kawan-kawan mereka dengan panah.
Seorang pemimpin kelompok yang menjadi sangat marah telah bersepakat dengan beberapa orang yang lain untuk mengerahkan orang-orang mereka mencari ke seluruh punggung bukit. Di lembah dan relung-relung, sementara yang lain mengikuti jalan setapak sampai menuruni bukit yang menghadap ke Tanah Perdikan Sembojan. Tetapi mereka tidak menemukan seseorang. Yang mereka temukan adalah tubuh-tubuh yang terbujur membeku dengan anak panah yang menembus tubuhnya menusuk jantung.
"Gila," geram para pemimpin kelompok, "sangat memalukan. Serangan iblis seperti ini dapat terjadi tanpa perlawanan sama sekali."
Namun hal itu nyatanya memang sudah terjadi.
Sementara itu agak jauh di bawah bukit, di sebuah padukuhan yang cukup besar dari lingkungan Tanah Perdikan Sembojan, pertempuran telah terjadi dengan sengitnya. Para pengawal padukuhan itu dibantu oleh para pengawal berkuda serta beberapa pengawal dari padukuhan sekitarnya, yang meskipun jumlahnya kecil namun bersama-sama dari beberapa padukuhan, jumlahnya menjadi cukup pula.
Para pengikut Ki Rangga dan Warsipun mengetahui, bahwa mereka tidak bertempur sesungguhnya untuk merebut padukuhan itu. Tetapi tugas mereka adalah untuk menjajagi kemampuan para pengawal Tanah Perdikan. Namun ketika mereka benar-benar telah terlibat dalam pertempuran, maka tidak ada lagi bedanya, apakah mereka sedang menjajagi kemampuan para pengawal atau mereka memang ingin menghancurkan padukuhan itu. Karena para pengawal itupun dengan senjatanya tidak lagi sekedar menunjukkan kemampuan mereka, tetapi mereka benar-benar ingin membunuh para pengikut Ki Rangga dan Warsi itu sebanyak-banyaknya.
Demikianlah maka pertempuran itupun semakin lama menjadi semakin sengit. Kedua belah pihak telah meningkatkan kemampuan mereka masing-masing.
Ternyata bahwa para pengikut Ki Rangga, Warsi dan orang-orang yang bergabung dengan mereka, yang sebagian adalah bekas prajurit yang kehilangan pegangan sebagaimana Ki Rangga Gupita, harus mengakui, bahwa para pengawal Tanah Perdikan adalah anak-anak muda yang telah terlatih baik. Bahkan laki-laki yang sudah lebih tuapun mampu mempergunakan senjatanya, apalagi mereka yang pernah menjadi pengawal Tanah Perdikan justru pada saat Tanah Perdikan itu bergejolak.
Dalam pada itu, Ki Rangga, Warsi, beberapa orang pemimpin dari kelompok-kelompok yang bergabung bersamanya serta beberapa pengawal masih berada di depan regol yang telah menjadi abu. Namun sejenak kemudian, tangannya yang gemetar telah bergerak menyentuh senjatanya.
"Ingat," sekali lagi Ki Rangga mengingatkan, "kau masih menunggu dua hari lagi."
Warsi berdesah. Tetapi iapun kemudian memberi isyarat kepada para pemimpin dari pengikutnya serta orang-orang yang bergabung bersamanya untuk memasuki padukuhan.
Mereka telah berloncatan di atas reruntuhan yang di beberapa bagian masih menyala. Namun, tenaga mereka mampu melontarkan mereka melampaui reruntuhan yang panas itu.
Di dalam, Iswari memang telah menunggu. Dua orang kakeknya yang juga gurunya berdiri di sebelah menyebelahnya. Sementara pemimpin pengawal dan pemimpin pengawal berkuda telah siap pula bersama beberapa orang pengawal terpilihnya.
Warsi nampaknya hampir tidak dapat mengendalikan diri lagi. Setelah kekalahannya sekitar sepuluh tahun yang lalu, maka dendamnya bagaikan membakar kepalanya. Meskipun Ki Randukeling berusaha untuk membujuknya agar ia menganggap bahwa persoalannya dengan Iswari telah selesai, namun dendam Warsi yang membara rasa-rasanya tidak akan dapat terhapus tanpa lepasnya nyawanya atau membunuh Iswari.
Karena itu, maka tanpa menghiraukan apapun juga, maka Warsipun dengan serta-merta telah menyerang Iswari yang sudah siap menunggunya.
Kiai Badra dan Kiai Soka yang ada di sebelah menyebelahnya mengamatinya dengan tegang. Namun merekapun kemudian harus bertempur pula melawan para pemimpin yang ikut bersama Warsi, termasuk Ki Rangga Gupita.
Ki Bekel dan pemimpin pengawal dari padukuhan itu, menyadari, bahwa mereka memang harus menepi. Jika tidak, maka ilmu yang tinggi di antara para pemimpin dari kedua belah pihak itu akan dapat melumatkannya.
Beberapa saat kemudian, Warsi dan Iswari memang sudah bertempur. Dendam Warsi yang menyala telah mendorongnya untuk sampai pada tataran yang tinggi dari ilmunya, meskipun Warsi berusaha sekuat tenaganya untuk tidak sampai ke puncak, dan tidak melibatkan diri dari pertempuran hidup dan mati melawan Iswari.
Sejenak kedua perempuan itu bertempur. Setelan sekitar sepuluh tahun yang lalu, maka ternyata kedua orang itu telah meningkatkan ilmunya. Warsi merasa dirinya telah menjadi semakin mapan dengan ilmunya, sehingga karena itu, maka ia telah berusaha menjajaginya dengan membenturkan ilmunya itu langsung kepada Iswari, orang yang paling didendamnya.
Iswari memang terkejut melihat kekayaan unsur gerak yang kemudian dimiliki oleh Warsi. Kecepatannyapun telah meningkat serta rasa-rasanya ilmu perempuan itu memang benar-benar telah menjadi matang.
Namun Iswaripun mempergunakan perhitungan pula. Sebagai Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan ia sadar, bahwa yang dilakukan oleh Warsi itu tentu belum seluruhnya. Warsi masih belum menyerang padukuhan induk serta belum mempergunakan seluruh kekuatannya.
Karena itu, maka Iswaripun sekedar melayani Warsi pada tataran ilmu yang seimbang. Iswari masih belum menunjukkan tingkat terakhir dari ilmu Janget Kinatelon yang telah disempurnakan oleh ketiga orang gurunya.
Meskipun demikian, meskipun kedua orang perempuan itu masih belum sampai ke puncak, namun pertempuran di antara merekapun menjadi semakin sengit. Keduanya berloncatan dengan cepat sekali dan dengan langkah-langkah panjang. Tangan Warsi bergerak-gerak ke segala arah, seakan-akan kedua tangannya itu telah menjadi beberapa pasang tangan yang bergerak bersama-sama.
Tetapi Iswaripun bagaikan tidak berjejak di atas tanah. Kakinya telah melontarkan tubuhnya yang seakan-akan menjadi tanpa bobot. Sehingga dengan demikian, maka tubuh Iswari bagaikan bayangan yang berputaran membingungkan.
Demikianlah kedua orang perempuan itu telah bertempur di antara hiruk pikuk pertempuran. Sementara itu Ki Rangga Gupitapun telah bertemu dengan Kiai Badra yang tua. Namun orang yang nampaknya sudah terlalu tua itu masih saja mampu mengimbangi ketangkasan gerak Ki Rangga Gupita.
"Iblis manakah yang merasuk di dalam tubuhmu yang telah menjadi rapuh itu he?" bertanya Ki Rangga Gupita.
"Aku memang sudah tua," jawab Kiai Badra, "aku sudah punya cicit. Bahkan cicitku sudah hampir dewasa. Beberapa tahun lagi aku harapkan bahwa aku akan mempunyai udeg-udeg. He, bukankah anak dari cicit itu disebut udeg-udeg.?"
"Persetan," geram Ki Rangga sambil menyerang Kiai Badra yang tua itu.
Kiai Badra masih saja dapat bergerak dengan tangkas. Meskipun dukungan kewadagannya tidak lagi seperti beberapa tahun yang lalu, tetapi karena dorongan kekuatan cadangan di dalam dirinya, maka ia tetap seorang yang sangat berbahaya.
Dalam pada itu, pertempuran di bagian lain dari padukuhan itupun berlangsung dengan sengitnya. Para pengikut Warsi dan Ki Rangga, yang sebagian terdiri dari bekas prajurit di masa pergolakan antara Jipang dan Pajang, harus mengakui, bahwa pengawal di Tanah Perdikan itu terdiri dari anak-anak muda yang terlatih baik, didampingi oleh orang-orang tua yang berpengalaman, sehingga dengan demikian maka mereka harus berhati-hati menghadapi Tanah Perdikan Sembojan. Pemimpin-pemimpin kelompoknyapun terpilih di antara orang-orang terbaik dari antara para pengawal. Merekapun ternyata memiliki pengetahuan perang gelar yang cukup luas serta memiliki kemampuan pribadi yang memadai.
Karena itulah, maka para pengikut Warsi dan Ki Rangga itu harus benar-benar berhati-hati menghadapi lawan mereka.
Dalam pada itu, Ki Ranggapun sempat memperhatikan beberapa orang yang bertempur di sekitarnya. Iapun melihat betapa pertahanan Tanah Perdikan cukup kuat.


01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sambil bertempur melawan Kiai Badra, maka Ki Rangga berusaha menilai keadaan, sementara Kiai Badra sendiri sama sekali tidak berusaha untuk menekan lawannya. Kiai Badra seakan-akan dengan sengaja memberi kesempatan kepada Ki Rangga untuk melihat keseimbangan pertempuran itu. Karena itu, setiap kali Ki Rangga berusaha menjauhinya, maka Kiai Badra sama sekali tidak memburunya.
Dengan demikian maka Ki Rangga itu berhasil mengamati pertempuran itu dengan saksama. Iapun sempat menyaksikan pertempuran antara Warsi dan Iswari yang meningkat memasuki tataran ilmu yang semakin tinggi.
Sebenarnyalah bahwa bagi Warsi dan Iswari, kesempatan itu tidak akan ada bedanya dengan kesempatan kapanpun juga yang akan mereka peroleh. Karena itu, selagi mereka bertemu di arena maka memang sulit bagi keduanya untuk mengekang diri.
Meskipun belum sampai pada puncak ilmu mereka masing-masing, maka pada setiap kesempatan, serangan mereka benar-benar merupakan serangan-serangan yang berbahaya. Bahkan serangan-serangan yang benar-benar mengarah ke tempat-tempat yang paling berbahaya pada tubuh seseorang.
Tetapi keduanyapun memiliki ketangkasan untuk menghindari. Namun sekali-sekali mereka menangkis serangan itu. Dengan demikian terjadi benturan-benturan kecil yang dapat dipergunakan untuk menjajagi kemampuan lawan.
Dalam pada itu, Ki Rangga yang memang rasa-rasanya lebih bebas untuk mengamati keadaan melihat Warsi dan Iswari justru semakin meningkatkan ilmu mereka.
Beberapa saat kemudian, Ki Rangga menganggap bahwa yang harus mereka lakukan memang sudah selesai. Sementara itu Raden Rangga tahu, bahwa bantuan dari padukuhan-padukuhan kecil di sekitar padukuhan yang agak besar itu menjadi semakin banyak sehingga Ki Rangga tidak mau menanggung akibat yang lebih buruk lagi bagi orang-orangnya yang pada saatnya akan benar-benar dipergunakan.
Karena itu, maka Raden Rangga memang menganggap bahwa penjajagan yang mereka lakukan saat itu telah cukup.
Dengan demikian, maka Ki Rangga Gupitapun telah membunyikan aba-aba untuk meninggalkan padukuhan itu. Tanda-tanda sandi yang hanya diketahui oleh orang-orangnya.
Sejenak kemudian isyarat itupun telah tersebar di seluruh medan. Dengan demikian, meskipun para pengawal padukuhan semula tidak tahu maksudnya, namun akhirnya mereka dapat menduga, apakah yang dimaksud dengan isyarat itu.
Sebenarnyalah, maka sejenak kemudian para pengikut Ki Rangga Gupita dan Warsi itu telah melakukan gerakan yang mengejutkan para pengawal. Namun sejenak kemudian, mereka memanfaatkan kesempatan yang timbul untuk menarik mundur pasukan mereka. Tidak dengan perlahan-lahan. Tetapi dalam keremangan bayangan pepohonan di padukuhan, mereka telah menghambur berlari ke dinding padukuhan.
Sejenak kemudian, maka orang-orang dari balik bukit itu telah berloncatan keluar dari dinding padukuhan.
Di bagian dalam regol padukuhan itu, Warsipun telah bersiap-siap untuk meninggalkan padukuhan itu. Ki Rangga telah mengatur beberapa orang pengikutnya untuk menimbulkan suasana yang memungkinkan mereka keluar dari padukuhan itu. Mereka tidak perlu lagi meloncati abu yang panas dari pintu gerbang yang telah terbakar, karena api memang telah padam.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, orang-orang dari balik bukit itupun telah berloncatan meninggalkan arena. Ketika para pengawal akan mengejar mereka, maka Iswari telah memberikan isyarat, agar mereka tidak melakukannya.
"Mungkin kalian akan memasuki satu jebakan di luar padukuhan," pesan Iswari kepada para pemimpin pengawal.
Para pengawal memang menjadi kecewa. Tetapi mereka mengerti sikap hati-hati Iswari, karena lawan mereka adalah orang-orang yang sangat licik. Sehingga dengan demikian maka para pengawal memang tidak berusaha untuk mengejar lawan-lawan mereka yang melarikan diri.
Pertempuran yang terjadi memang bukan pertempuran antara hidup dan mati dari kedua belah pihak. Meskipun demikian ada juga korban yang jatuh. Baik dari antara para pengawal, maupun dari orang-orang di balik bukit. Bahkan di antara para penyerang terdapat pula beberapa orang yang tertangkap karena mereka tidak berhasil melarikan diri oleh luka-lukanya.
Tetapi para pemimpin di Tanah Perdikan itu memang tidak terlalu banyak mengharap keterangan dari mereka. Mereka tentu sudah mendapat petunjuk-petunjuk, bahkan perintah yang disertai dengan ancaman, agar mereka tidak memberikan penjelasan tentang kedudukan mereka.
Namun Iswari masih berpengharapan untuk mendapatkan keterangan itu. Mungkin keterangan yang didengar dari orang-orang yang tertawan itu akan dapat digabungkan dengan keterangan dari Sambi Wulung dan Jati Wulung.
Dalam pada itu, untuk beberapa saat Iswari dan Ki Bekel telah membenahi padukuhan itu. Mereka berusaha untuk menemukan semua orang yang terluka. Setiap orang harus melaporkan jika mereka tidak melihat seseorang yang dikenalnya. Apakah tetangganya, apakah justru keluarganya atau siapa saja, sehingga dengan segera dapat diketahui para korban yang jatuh malam itu.
Karena itulah, maka pencaharian telah dilakukan dengan mengerahkan semua orang, terutama di bekas arena pertempuran. Sedangkan orang-orang yang tertawan telah dibawa ke banjar. Adapun orang-orang padukuhan itu yang terluka dan yang menjadi korban telah dibawa ke rumah Ki Bekel.
Meskipun pertempuran itu terhitung tidak terlalu lama, namun memang ada korban yang jatuh di antara orang-orang padukuhan itu. Seorang pengawal dan dua orang yang lain telah gugur. Sedangkan lima orang terluka cukup parah dan lebih dari sepuluh orang telah tergores senjata.
Beberapa orang telah sibuk membantu seorang tabib yang disegani di padukuhan itu. Dengan kepandaiannya meramu berbagai macam dedaunan dan beberapa jenis akar-akaran, maka ia telah membuat obat yang dapat dipergunakan untuk mengobati luka-luka baru sehingga dalam waktu singkat darahpun telah menjadi pempat.
Sementara di padukuhan itu terjadi kesibukan untuk merawat orang-orang yang gugur dan terluka, bahkan juga merawat orang-orang dari balik bukit yang tertawan, Warsi dan Ki Rangga telah membawa orang-orangnya kembali. Merekapun dengan cepat mengetahui bahwa tujuh orang tidak ada lagi di antara mereka. Mungkin terbunuh, tetapi mungkin juga tertawan.
Sebenarnyalah di antara tujuh orang itu, dua orang memang terbunuh. Empat orang terluka parah, sedangkan yang seorang benar-benar tertawan tanpa segores lukapun di tubuhnya. Sedang juga lebih dari sepuluh orang yang terluka ringan sempat ikut serta melarikan diri dari padukuhan itu.
Di perjalanan beberapa orang pemimpin kelompok terpaksa mengobati luka orang-orangnya yang mengalirkan darah, agar mereka tidak mengalami nasib buruk, justru karena kehabisan darah, sementara luka-lukanya tidak termasuk luka yang parah.
Iring-iringan pasukan dari balik bukit itu memang menghindari padukuhan-padukuhan yang tentu sudah bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Meskipun padukuhan-padukuhan itu kecil dan kekuatan para pengawal dan anak-anak mudanya tidak seberapa, tetapi mereka akan dapat membunyikan syarat, sehingga pengawal berkuda akan dapat dengan cepat datang ke padukuhan itu, sementara mereka memang tidak berniat untuk merebut kedudukan yang manapun juga.
Ketika iring-iringan itu mencapai kaki bukit, maka dua pasang mata mengikutinya dari kejauhan. Ternyata Sambi Wulung dan Jati Wulung belum kembali ke padukuhan induk. Meskipun keduanya telah menjauhi sarang para pengikut Ki Rangga dan Warsi sehingga keduanya telah melintasi bukit sehingga mereka sudah berada di lereng yang menghadap ke Tanah Perdikan Sembojan, namun keduanya masih bersembunyi di balik gerumbul sambil menunggu iring-iringan yang tentu akan melintasi jalan setapak, mendaki bukit dan turun ke seberang.
Beberapa saat Sambi Wulung dan Jati Wulung mengamati iring-iringan itu. Ternyata pasukan itu masih cukup segar. Tidak terlalu banyak orang yang harus dirawat.
"Pertempuran tidak berlangsung lama," desis Jati Wulung.
"Tentu belum pertempuran yang sesungguhnya," berkata Sambi Wulung, "tetapi mereka tentu akan memaki-maki setelah mereka mendapat laporan tentang orang-orang mereka yang terbunuh."
Jati Wulung mengangguk-angguk. Tetapi iapun kemudian berdesis, "Apakah kira-kira Puguh ada di antara mereka?"
Sambi Wulung menarik nafas dalam-dalam. Dari tempatnya, mereka tentu tidak akan dapat melihat seandainya Puguh ada pula di dalam iring-iringan itu. Meskipun masih remaja, tetapi ujudnya sudah tidak dapat dibedakan dengan orang-orang dewasa. Jika Puguh ada di antara orang-orang itu, maka bentuk tubuhnya tentu tidak akan dapat menunjukkan bahwa seorang anak muda remaja ada di antara mereka.
"Kemungkinan kehadirannya harus kita perhitungkan," berkata Sambi Wulung kemudian.
"Maksudmu?" bertanya Jati Wulung.
"Mungkin Puguh tidak sendiri. Mungkin ia membawa pengawal yang pernah melihat kita di padepokannya. Karena itu, jika kita akan turun ke dalam pertempuran yang sebenarnya jika mereka menyerang padukuhan induk, maka kita harus dapat menyamarkan diri," berkata Sambi Wulung.
Jati Wulung mengangguk-angguk. Topeng-topeng kecil yang ujudnya menakutkan itu terdapat di dekat pintu-pintu gerbang padukuhan induk. Agaknya mereka memang akan menyerang padukuhan induk itu. Sejalan dengan kepercayaan Warsi tentang bulatnya bulan, maka memang dapat diperhitungkan, kapan Warsi akan menyerang.
Namun dalam pada itu, Jati Wulung itupun bertanya, "Masih ada beberapa anak panah. Apakah kita akan mempergunakannya?"
Tetapi Sambi Wulung menggeleng. Katanya, "Jangan. Biarlah mereka berjalan dengan tenang sampai ke sarang mereka. Baru mereka akan mengumpat-umpat."
Jati Wulung tidak menyahut. Diamatinya iring-iringan yang menjadi semakin jauh di bawah siraman cahaya bulan yang cerah meskipun belum bulat.
Beberapa saat kemudian, maka ujung dari iring-iringan itu mulai merambat naik, mengikuti jalan setapak seperti seekor ular raksasa yang merambat.
Sambi Wulung dan Jati Wulung hanya dapat memandanginya dari kejauhan. Bahkan kemudian setelah iring-iringan itu memanjat semakin tinggi, maka Sambi Wulungpun berkata, "Marilah. Kita lihat, apa yang telah terjadi."
"Kita akan kemana" Kembali ke padukuhan induk?" bertanya Jati Wulung.
"Iring-iringan itu tentu tidak pergi ke padukuhan induk. Kita akan bertanya kepada para peronda di padukuhan, kemana orang-orang itu pergi," desis Sambi Wulung.
Demikianlah, maka Sambi Wulung dan Jati Wulungpun telah meninggalkan lereng bukit itu menuju ke padukuhan. Dari orang-orang padukuhanlah maka Sambi Wulung dan Jati Wulung menduga dari mana iring-iringan itu pergi. Apalagi ketika keduanya mendapat keterangan tentang api yang menyala di pintu gerbang sebuah padukuhan.
"Mereka tentu dari sana," berkata Sambi Wulung.
Dengan tergesa-gesa dan hati yang berdebar-debar keduanya telah pergi menuju ke padukuhan yang pintu gerbangnya telah terbakar.
Sebenarnyalah, bahwa orang-orang dari balik bukit itu telah membakar regol padukuhan yang lebih besar dari padukuhan-padukuhan yang lain di sekitarnya, sehingga sejenak kemudian maka Sambi Wulung dan Jati Wulung sempat melihat akibat dari pertempuran yang terjadi di padukuhan itu, sementara Iswari, Kiai Badra dan Kiai Soka masih berada di padukuhan itu pula.
Sementara itu, maka para pengikut Ki Rangga Gupita dan Warsi telah melintasi puncak bukit dan kemudian menuruni tebing di seberang. Namun mereka terkejut ketika mereka melihat beberapa buah obor yang dipasang di depan sarang mereka. Apalagi ketika mereka menjadi semakin dekat. Mereka melihat beberapa sosok tubuh yang terbaring diam di pelataran goa yang terbesar yang terdapat di lekuk pebukitan itu.
"Apa yang telah terjadi disini?" Warsi hampir berteriak.
Orang yang diserahi tanggung jawab selama Ki Rangga dan Warsi meninggalkan sarangnya itu melangkah mendekat dengan jantung yang terasa berdegup semakin keras. Katanya dengan suara bergetar, "Sarang kita sudah kemasukan iblis."
"Apa maksudmu?" bertanya Warsi dengan mata terbelalak.
"Seseorang telah memasuki lingkungan ini dan membunuh kawan-kawan kita dengan licik," jawab orang itu.
Wajah Warsi menjadi merah membara, sementara Ki Rangga bertanya dengan suara gagap, "Apa yang telah dilakukannya?"
"Mereka membunuh kawan-kawan kita dengan panah," jawab orang yang bertanggung jawab di saat Warsi dan Ki Rangga pergi itu.
Ki Rangga mengumpat dengan kasar. Dengan garangnya ia meloncat mendekati tubuh-tubuh yang terbaring itu. Di sebelah setiap orang memang terdapat sebuah anak panah.
Dengan sorot mata yang penuh kemarahan dan dendam Ki Rangga melihat setiap anak panah yang telah membunuh orang-orangnya.
Sementara ia mengumpat-umpat kasar, maka seorang yang sudah berambut putih mendekatinya sambil berkata, "Kau tidak dapat mengumpat-umpat saja. Kau harus berbicara dengan para pemimpin dari kelompok ini. Kematian orang-orang kita di sarang sendiri adalah pertanda, betapa beratnya lawan yang akan kita hadapi. Tentu ada satu atau dua orang yang dengan sangat berani telah datang ke tempat ini."
"Sedikitnya dua orang," berkata salah seorang di antara mereka yang pada saat-saat terakhir hampir saja ikut menjadi sasaran anak panah Sambi Wulung dan Jati Wulung.
"Kita harus membalas kematian itu dengan kematian," geram Warsi.
"Apa yang akan kita lakukan?" bertanya orang yang sudah berambut putih.
"Kita membunuh orang-orang Tanah Perdikan Sembojan sebanyak-banyaknya," berkata Warsi.
"Apakah pantas jika kita membunuh orang-orang yang tidak terlibat langsung dalam pertentangan ini?" bertanya orang berambut putih itu.
"Aku tidak peduli. Bahkan perempuan dan anak-anak. Mereka harus menebus kelicikan mereka dengan harga yang mahal," geram Warsi.
"Mereka sama sekali tidak licik. Mereka justru menunjukkan keberanian yang luar biasa. Jika kita kemudian membunuh siapa saja, termasuk perempuan dan anak-anak itulah yang disebut licik dan bahkan buas. Aku tidak sependapat. Kecuali jika kita dapat membedakan di antara orang-orang Sembojan, yang manakah pengawal dan yang manakah bukan," berkata orang berambut putih itu.
"Tetapi ketika kita memasuki padukuhan itu, kita harus melawan semua orang laki-laki. Bahkan yang tua-tua sekalipun. Sama sekali bukan hanya pengawal," geram Warsi.
Orang berambut putih itu mengangguk-angguk. Iapun ikut serta memasuki padukuhan itu untuk menjajagi kemampuan dan perlawanan orang-orang Tanah Perdikan Sembojan. Menurut pengamatannya memang semua laki-laki telah melibatkan diri kecuali mereka yang telah menjadi pikun.
Dan seperti yang diduga, Warsipun berteriak, "Kita akan membunuh semua orang laki-laki di Tanah Perdikan Sembojan dimanapun kita bertemu untuk membalas kematian kawan-kawan kita karena kelicikan orang-orang Tanah Perdikan Sembojan."
Dalam pada itu, Kiai Badra dan Kiai Soka memang tengah berbincang dengan Iswari, Sambi Wulung dan Jati Wulung. Kedua orang tua itu memang menjadi sangat cemas karena langkah-langkah yang diambil oleh Sambi Wulung dan Jati Wulung.
"Bagaimana jika orang-orang di seberang bukit itu mendendam kepada setiap orang Tanah Perdikan ini?" bertanya Kiai Badra.
"Aku tidak sempat memikirkannya," berkata Sambi Wulung, "karena aku melihat sasaran yang menarik, maka aku telah melepaskan anak panahku."
"Baiklah," berkata Kiai Badra, "kita harus cepat mengatasi kemungkinan yang paling buruk yang dapat terjadi. Kita harus menyebar penghubung ke seluruh padukuhan di Tanah Perdikan ini. Tidak seorangpun dibenarkan keluar dari padukuhan, siang dan malam. Hanya untuk dua hari saja. Setelah bulan purnama, mungkin akan terjadi perubahan."
"Jika pada saat purnama naik mereka tidak mengambil langkah-langkah penting, maka kita akan menyergap goa di seberang bukit itu guru," desis Iswari.
Kiai Badra mengangguk-angguk. Ia dapat mengerti jalan pikiran Iswari, sementara Iswari itupun berkata, "Kita tidak mau selalu dibayangi oleh ketakutan hanya karena sekelompok orang berada di balik bukit. Di malam purnama naik, kita akan menentukan sikap. Mereka atau kita yang akan menyerang. Jika malam itu mereka tidak menyerang, maka menjelang fajar, kitalah yang akan menyerang sehingga ketika matahari terbit, maka kita sudah memasuki lingkungan mereka."
Kiai Sokapun kemudian menyahut, "Iswari, kita masih mempunyai kesempatan untuk memikirkannya. Besok siang kita akan berunding. Mungkin rencanamu itu baik untuk ditrapkan. Namun kita tidak boleh tergesa-gesa, karena banyak segi yang harus kita perhitungkan."
"Tetapi kita tidak mau membiarkan Tanah Perdikan ini seakan-akan berada di bawah pengaruh orang-orang di balik bukit itu. Seakan-akan kita hanya dapat melayani kemauan mereka tanpa dapat mengambil sikap sesuai dengan keinginan kita sendiri," berkata Iswari dengan wajah yang bersungguh-sungguh.
Kiai Badra dan Kiai Soka mengangguk-angguk. Mereka tidak membantah lagi. Mereka menyadari, bahwa jiwa Iswari memang sedang terbakar, sehingga mereka membiarkannya menjadi lebih tenang untuk sempat diajak berbicara.
Dalam pada itu, yang dapat dilakukan adalah perintah lewat para penghubung berkuda, bahwa tidak seorangpun dibenarkan keluar dari padukuhan masing-masing untuk keperluan apapun. Nyawa mereka dapat terancam sehingga karena itu, maka setiap orang harus berjaga-jaga.
Hanya para pengawal saja yang dibenarkan untuk meronda di bulak-bulak panjang. Sementara itu di perbatasan, di gerbang-gerbang, para pengawal harus mengembalikan orang-orang dari luar Tanah Perdikan yang akan memasuki Tanah Perdikan itu untuk keperluan apapun. Mereka harus diyakinkan bahwa memasuki Tanah Perdikan Sembojan dalam suasana seperti saat itu adalah sangat berbahaya.
Dengan demikian maka kehidupan di Tanah Perdikan Sembojan memang menjadi bagaikan terhenti. Kesibukan hanya terjadi di dalam padukuhan-padukuhan. Orang-orang yang tidak sempat pergi ke pasar harus mencukupi kebutuhannya dengan meminjam tetangga-tetangganya atau mencarinya di kebun belakang.
Namun dengan kesadaran yang tinggi, rakyat Tanah Perdikan Sembojan telah mematuhinya sebagaimana mereka patuh untuk tidak keluar malam dari padukuhan, karena saat itu mereka ditakut-takuti oleh gerombolan-gerombolan serigala.
Karena itulah, maka yang kemudian lewat menyusuri bulak-bulak panjang hanyalah para pengawal yang cukup kuat. Di antara mereka tentu ada yang menyandang busur dan membawa anak panah endong di punggung. Jika orang-orang dari balik bukit akan membalas menyerang mereka dengan anak panah, maka para pengawalpun telah bersiap melawan mereka.
Ketika kemudian langit menjadi merah, maka jalan-jalanpun tetap sepi. Tidak ada suara pedati yang memuat barang-barang dagangan yang akan dibawa ke pasar. Tidak ada perempuan yang mendukung hasil bumi di sawahnya sambil berdendang disepanjang jalan. Di lereng-lereng gelap tidak nampak obor-obor yang menyala, yang biasanya beruntun berurutan menerangi kegelapan di bawah pohon-pohon besar di pinggir jalan.
Bahkan sampai saatnya matahari terbit, jalan-jalan di Tanah Perdikan Sembojan tetap sepi. Orang-orang dari luar Tanah Perdikan itu terpaksa kembali ke padukuhan masing-masing. Namun pada umumnya mereka merasa berterima kasih atas keterangan yang mereka dapatkan dari para pengawal di regol-regol jalan yang memasuki Tanah Perdikan itu.
"Keamanan jiwa kalian terancam," berkata para pengawal.
"Terima kasih. Mudah-mudahan keadaan seperti ini cepat dapat diatasi oleh para pemimpin dan rakyat Tanah Perdikan Sembojan," berkata orang yang terpaksa kembali itu.
Sebenarnyalah maka di balik bukit Warsi telah mengatur orang-orangnya. Beberapa orang harus turun ke Tanah Perdikan Sembojan. Mereka mendapat perintah untuk membunuh siapa saja yang mereka jumpai. Dengan senjata apapun yang dapat mereka pergunakan.
Justru karena Warsi yang hatinya bagaikan terbakar oleh peristiwa yang sama sekali tidak diduganya itu telah lupa berpesan bahwa hanya laki-laki sajalah yang boleh dibunuh.
Beberapa orang pilihan telah melintasi bukit dan turun ke lingkungan Tanah Perdikan Sembojan. Mereka nampaknya memang seperti orang-orang kebanyakan yang akan pergi ke sawah atau ke pasar. Tidak nampak senjata di lambung mereka. Tetapi mereka membawa senjata-senjata pendek di bawah baju mereka. Sementara beberapa orang yang lain telah turun ke Tanah Perdikan dengan cara yang lain. Mereka berusaha untuk dilihat oleh siapapun. Mereka berusaha untuk menemukan orang-orang yang sedang pergi ke sawah dan membunuh mereka.
Tetapi ternyata mereka tidak menemukan seseorang. Di sawah tidak ada petani yang mengairi sawah mereka. Di jalan-jalan tidak ada orang yang lewat. Bahkan jalan yang biasanya ramai dilalui orang yang pergi ke pasar, nampaknya terlalu sepi dan lengang.
Beberapa orang yang berpura-pura pergi ke pasar, telah mengikuti jalan yang biasanya ramai itu. Namun ketika ia sampai ke sebuah padukuhan, maka para pengawal di pintu gerbang telah memberitahukan, sebaiknya mereka kembali saja.
"Kenapa?" bertanya orang itu.
"Tanah Perdikan ini sedang dibayangi oleh kegelisahan. Bahkan keadaan menjadi sangat gawat sekarang ini," berkata pengawal itu.
"Tetapi jika demikian pasar akan menjadi kosong. Sedangkan kebutuhanku sangat mendesak," jawab orang itu.
"Kami hanya menginginkan kebaikanmu saja," jawab pengawal itu.
"Terima kasih Ki Sanak. Tetapi beri kesempatan kami melihat pasar di padukuhan induk. Mungkin ada beberapa orang yang berjualan meskipun tidak sepenuh biasanya," berkata orang itu, "mungkin ada yang kami butuhkan itu."
"Apakah Ki Sanak tidak yakin, bahwa pasar-pasar di Tanah Perdikan ini kosong" Ki Sanak, sebenarnya Ki Sanak ini dari mana" Apakah Ki Sanak tidak memasuki Tanah Perdikan ini lewat jalan induk atau beberapa jalan yang biasanya dilalui oleh sanak kadang dari luar Tanah Perdikan" Dan apakah Ki Sanak tidak mendapat pemberitahuan di pintu gerbang di saat Ki Sanak memasuki Tanah Perdikan ini?" bertanya pengawal itu.
Orang-orang itu termangu-mangu. Sementara itu, pemimpin pengawal padukuhan itu justru merasa heran melihat sikap mereka meskipun ia masih berdiam diri.
"Ki Sanak," berkata seorang di antara mereka, "jangan hiraukan keselamatan kami. Kami yakin bahwa kami akan dapat menjaga diri kami."
"Kami tidak menyangkal Ki Sanak," jawab seorang pengawal, "nampaknya kalian memang memiliki kemampuan untuk melindungi diri sendiri. Tetapi kami memang tidak ingin terjadi sesuatu di Tanah Perdikan kami. Jika di satu tempat kalian benar-benar diserang oleh orang-orang yang tidak dikenal disini, maka tentu akan terjadi pertempuran. Siapapun yang akan mati, maka kami, orang-orang Tanah Perdikan Sembojan tidak akan dapat begitu saja mencuci tangan. Kami harus menjawab pertanyaan-pertanyaan dari keluarga kalian atau siapapun yang berhubungan dengan kalian jika kalian gagal mempertahankan diri."
Orang-orang itu termangu-mangu. Namun seorang di antara mereka berkata, "Terima kasih atas peringatan kalian. Kami akan meneruskan perjalanan. Kami akan menempuh jalan padukuhan ini dan menghindari jalan-jalan bulak sejauh mungkin."
Para pengawal itu nampaknya masih saja berkeberatan. Namun tiba-tiba saja pemimpin pengawal padukuhan itu berkata, "Baiklah Ki Sanak. Jika kalian memang akan meneruskan perjalanan. Asal segala tanggung jawab ada pada Ki Sanak sendiri. Mumpung masih pagi. Ki Sanak akan melihat bahwa pasar-pasar di Tanah Perdikan ini benar-benar kosong."
Beberapa orang itu saling berpandangan. Kemudian seorang di antara mereka berkata, "Terima kasih atas kesempatan ini. Kami mohon diri."
Beberapa orang itupun kemudian melangkah meninggalkan regol padukuhan. Seorang di antara mereka sempat berbisik, "Kita tidak akan dapat membunuh seorangpun jika kita tidak memasuki padukuhan seperti ini. Ternyata semua orang telah di perintahkan untuk tinggal di padukuhan."
"Nampaknya langkah kami benar. Kita harus membunuh siapa saja yang berpapasan dengan kita. Syukur dapat kita lakukan dengan diam-diam, jika tidak, kita harus mengambil sikap."
"Kita mencari kesempatan. Kita membunuh dengan perhitungan," berkata yang lain.
Yang lain mengangguk-angguk. Merekapun kemudian berjalan tanpa melakukan sesuatu yang mencurigakan. Merekapun tidak menghiraukan meskipun mereka tahu, beberapa orang padukuhan itu memperhatikan mereka dari dalam regol-regol halaman mereka.
Seorang di antara mereka telah menggamit kawannya, ketika mereka melihat seorang laki-laki yang sedang menyapu jalan di depan regol halaman rumahnya. Dengan nada rendah ia berkata, "Mungkin orang itu akan menjadi korban pertama. Kita bunuh dan kita lemparkan ke belakang dinding halaman sebelahnya yang masih banyak ditumbuhi rumpun-rumpun bambu itu."
"Dua orang di antara kita akan berjalan di depan. Semua harus berlangsung cepat tanpa menimbulkan kesan apapun. Orang itu tidak boleh mendapat kesempatan untuk berteriak."
Yang lain mengangguk-angguk. Setidak-tidaknya mereka telah membunuh seseorang. Senjata mereka telah basah oleh darah yang akan dapat mereka tunjukkan kepada para pemimpinnya.
Dua orang di antara mereka telah mendahului kawan-kawannya. Mereka siap menyergap orang yang sedang menyapu jalan yang penuh dengan daun bambu itu, tanpa menghiraukan bahwa orang itu sudah melampaui separo baya. Rambutnya sudah mulai memutih dan menilik badannya yang kurus, orang itu sama sekali tidak termasuk seorang yang pernah terlibat dalam pertempuran yang manapun.
Tetapi orang-orang itu tidak peduli. Mereka harus membunuh orang-orang Tanah Perdikan sebanyak-banyaknya.
Ketika dua orang yang mendahului kawan-kawannya itu menjadi semakin dekat, tiba-tiba saja mereka terkejut. Mereka mendengar suara orang berlari-lari di belakang mereka.
Ketika mereka berpaling, mereka melihat tiga orang anak muda saling berkejaran. Bahkan seorang di antara mereka yang mengejar dua orang yang lain telah memungut batu sambil berkata, "berhenti, kalau tidak aku lempar kepalamu dengan batu."
Tetapi kedua orang anak muda yang dikejarnya hanya tertawa saja berkepanjangan sambil berlari. Namun kemudian mereka telah mendahului orang-orang yang melewati padukuhan itu dan justru keduanya berhenti dan bersembunyi di belakang orang yang sedang menyapu itu.
"Paman, itu anakmu nakal," berkata salah seorang dari kedua orang anak muda yang ternyata sedang bergurau itu.
Pemimpin dari beberapa orang dari balik bukit itu menggeram. Anak-anak muda itu telah mengacaukan rencana mereka. Namun tiba-tiba ia berkata, "Kita bunuh ketiga anak muda itu pula. Jika mereka sempat melawan dan memanggil kawan-kawannya, kita melarikan diri mengikuti jalan ini dan kemudian berpencar keluar dari padukuhan ini. Kita harus menyelamatkan nyawa kita masing-masing. Mudah-mudahan kawan-kawan kita yang berada di bulak-bulak dengan senjata jarak jauh akan dapat membantu kita."
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Mereka membiarkan saja anak muda yang mengejar kawan-kawannya itu mendahului mereka. Sementara orang yang sedang menyapu jalan itupun harus berhenti pula karena anak-anak muda yang berdesakan itu.
Tetapi orang-orang itu sudah bertekad untuk membunuh. Angan-angan mereka yang buram diliputi oleh ke mauan membunuh itu saja sehingga mereka tidak sempat membuat perhitungan yang lebih cermat lagi.
Namun sekali lagi mereka terkejut. Mereka mendengar lagi suara tertawa di belakang. Ternyata bukan saja anak-anak muda yang sedang bergurau, tetapi beberapa orang pengawal yang berjalan menyusuri jalan padukuhan itu sambil berkelakar.
"Setan," geram pemimpin dari beberapa orang itu. Bagaimanapun juga mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Para pengawal itu berjalan searah dengan mereka.
Karena itu, maka mereka harus membiarkan saja orang yang menyapu jalan itu menepi bersama anak-anak muda yang sedang bergurau itu. Mereka tidak dapat membunuhnya apalagi anak-anak muda itu karena di belakang mereka beberapa orang pengawal yang agaknya dari bertugas kembali ke rumah masing-masing.
"Para pengawal itu akan segera memasuki halaman rumah masing-masing," berkata pemimpin pengawal itu.
Kawan-kawannya mengangguk. Sebelum mereka keluar dari padukuhan itu, maka para pengawal itu tentu sudah keluar dari jalan induk menuju ke rumah masing-masing.
Tetapi ternyata dugaan itu keliru. Para pengawal itu berjalan terus menyusuri jalan induk itu, seakan-akan telah mengikuti mereka kemana mereka pergi.
"Setan," geram pemimpin dari orang-orang dari balik bukit itu, "kenapa mereka berjalan di belakang kita terus?"
"Apakah mereka mengetahui siapa kita?" desis yang lain.
"Tentu tidak. Justru mereka berusaha minta agar kita tidak berada di Tanah Perdikan ini untuk keselamatan kita," berkata yang lain.
"Tetapi kenapa mereka mengikuti kita?" bertanya yang lain.
"Agaknya mereka sudah menjadi gila," geram pemimpin dari sekelompok orang-orang dari balik bukit itu.
Beberapa saat lamanya orang-orang itu mencoba untuk menahan diri. Namun ternyata mereka tidak mampu lagi mengendapkan perasaan mereka yang bergejolak. Sehingga karena itu, maka merekapun justru telah berhenti ketika pemimpin mereka memberikan isyarat.
Para pengawal yang berjalan di belakang merekapun tertegun. Namun mereka berjalan terus. Semakin lama semakin dekat dengan orang-orang yang datang dari balik bukit.
"Kenapa kalian mengikuti kami?" tiba-tiba saja pemimpin dari orang-orang dari balik bukit itu bertanya.
Para pengawal itu terkejut mendengar pertanyaan itu. Namun yang tertua di antara mereka berkata, "Kami sama sekali tidak mengikuti kalian. Tetapi kami akan pergi ke mulut lorong di sebelah lain karena kami harus menyampaikan beberapa pesan dari pemimpin kami kepada mereka."
"Tentu kalian telah mencurigai kami," desis pemimpin dari beberapa orang pendatang itu.
Para pengawal itu saling berpandangan. Yang tertua di antara merekapun kemudian justru bertanya, "jadi kalian merasa kami curigai dan kemudian kami awasi?"
Pemimpin dari para pendatang itu ragu-ragu sejenak. Tetapi katanya kemudian, "Baiklah. Lebih baik kami meninggalkan padukuhan ini."
"Itu lebih baik Ki Sanak," berkata orang tertua di antara para pengawal itu, "sikap kalian telah menyinggung perasaan kami, para pengawal padukuhan ini."
Orang-orang dari balik bukit itupun kemudian memang memutuskan untuk keluar dari padukuhan itu. Pemimpinnyapun berkata, "Kami akan keluar dari padukuhan ini lewat gerbang yang tadi kami masuki."
"Sikap kalian memaksa kami untuk mengantarkan kalian sampai keluar regol padukuhan," berkata orang tertua di antara para pengawal itu.
Orang-orang dari balik bukit itu memang tertegun. Mereka sebenarnya ingin memanfaatkan keadaan, justru pengawal yang ada di regol telah berkurang. Mungkin mereka akan dapat membunuh mereka sebelum melarikan diri.
Tetapi beberapa orang pengawal itu justru telah mengikuti mereka. Para pengawal itu telah mempersilahkan orang-orang dari balik bukit itu untuk berjalan di hadapan mereka.
"Kami terpaksa mencurigai kalian," berkata pengawal itu.
Orang-orang dari balik bukit itu hanya dapat mengumpat. Tetapi mereka tidak dapat menolak. Bahkan rasa-rasanya mereka memang telah digiring keluar dari padukuhan itu.
Beberapa saat kemudian mereka sudah berada di pintu gerbang. Ternyata di pintu gerbang itu hanya tinggal empat orang saja yang bertugas. Seandainya sekelompok pengawal itu tidak kembali menggiring mereka, maka orang-orang dari balik bukit itu akan dapat membunuh keempat orang pengawal itu dengan tiba-tiba tanpa menarik perhatian mereka sebelumnya.
"Setan," geram pemimpin dari orang-orang dari balik bukit itu di dalam hatinya. Tetapi ia tidak dapat mengatakan sesuatu.
Sebagaimana sekelompok orang-orang yang tidak disukai lagi di satu tempat, maka orang-orang dari balik bukit itupun telah diusir pula dari padukuhan itu. Beberapa orang pengawal berdiri di pintu gerbang sambil memandangi orang-orang yang melangkah menjauh itu. Sekali-sekali beberapa orang di antara mereka masih berpaling. Namun mereka tidak mempunyai kesempatan untuk berbuat sesuatu.
Bahkan sejenak kemudian, maka seakan-akan dire-gol padukuhan itu menjadi semakin banyak orang yang menyaksikan kepergian mereka dengan jantung yang berdegup semakin keras dan wajah yang menjadi panas oleh kemarahan yang menghentak-hentak dada mereka.
Bahkan seorang di antara mereka bertanya, "Kenapa mereka tidak kalian tangkap saja?"
Para pengawalpun termangu-mangu. Namun pemimpin sekelompok pengawal yang bertanggung jawab saat itu berkata, "Kami memang mencurigainya. Tetapi kami masih menghindari benturan kekerasan. Mungkin mereka sengaja memancing persoalan sementara mereka telah mempersiapkan jebakan yang tidak kami ketahui. Karena itu, kami masih berusaha menghindari benturan kekerasan itu."
Yang lain mengangguk-angguk. Tetapi pada umumnya mereka mengerti alasan pemimpin kelompok pengawal yang bertugas itu.
"Mudah-mudahan padukuhan-padukuhan lain tidak dapat dikelabuhinya pula," berkata pemimpin sekelompok pengawal itu. Lalu katanya pula, "sejak kehadirannya kami sudah mencurigainya. Jika mereka orang-orang dari daerah tetangga, maka mereka tentu masuk Tanah Perdikan melalui jalan-jalan utama atau jalan-jalan simpang yang ramai, sehingga di saat mereka melintasi batas Tanah Perdikan, tentu sudah ada sekelompok pengawal yang memberitahukan agar mereka kembali. Tetapi orang-orang itu tiba-tiba saja sudah sampai di padukuhan ini."
Para pengawalpun mengangguk-angguk. Bahkan ternyata hal itu telah didengar oleh Ki Bekel pula, sehingga Ki Bekelpun telah datang ke regol padukuhannya untuk minta keterangan tentang beberapa orang yang memasuki padukuhannya.
Dengan singkat pemimpin kelompok pengawal yang bertugas itupun memberikan laporan tentang orang-orang yang tidak dikenal yang memasuki padukuhan itu, justru pada saat keadaan sedang gawat.
"Kita memang harus mencurigai orang-orang yang tidak kita kenal," berkata Ki Bekel, "kalian sudah melangkah ke arah yang benar. Sikap kalian dapat aku mengerti. Namun kemudian, kita harus bersiap semakin kuat. Mungkin ada langkah-langkah lain yang akan diambil oleh orang-orang itu. Jika perlu, kita membunyikan isyarat kentongan atau panah sendaren."
Sebenarnyalah, bahwa para pengawal telah dipanggil. Mereka yang sedang beristirahatpun harus datang ke banjar. Mereka dipersilahkan untuk tidur di banjar, terutama bagi mereka yang bertugas di malam hari. Sementara itu, yang bertugas menggantikan mereka telah bersiap pula dengan berbagai macam pesan.
Dalam pada itu, orang-orang yang datang dari balik bukit itu ternyata bahwa mereka telah gagal menjalankan tugas, di Tanah Perdikan yang luas itu. Tidak seorangpun yang dapat mereka bunuh untuk melepaskan dendam dan kemarahan pemimpin mereka, serta membalaskan kematian kawan-kawan mereka.
Demikian pula orang-orang yang bertugas dengan diam-diam berkeliaran di Tanah Perdikan untuk menyergap orang-orang yang pergi ke sawah. Ternyata mereka tidak menemukan seorangpun yang dapat menjadi sasaran pembunuhan.
Karena itu, maka ketika mereka telah hampir setengah hari menunggu dan tidak mendapat kesempatan sama sekali, merekapun menjadi kehilangan harapan untuk dapat berhasil dengan tugas mereka, sehingga meskipun dengan jantung yang berdebaran, mereka telah memanjat tebing dan pergi ke seberang bukit.
"Bagaimana mungkin hal itu terjadi," Warsi berteriak-teriak seperti orang gila, "kalian ternyata sama sekali tidak berarti bagi kita semuanya disini. Tentu tidak masuk akal, bahwa di seluruh Tanah Perdikan, tidak seorangpun yang dapat kalian bunuh. Aku berharap kalian dapat membunuh tiga puluh atau bahkan seratus orang, siapapun di Tanah Perdikan. Di pasar, di sawah, di padukuhan-padukuhan atau dimana saja."
"Agaknya orang-orang Tanah Perdikan Sembojan sudah bersiap-siap menghadapi kemungkinan seperti itu. Tidak seorangpun yang keluar dari padukuhan, sementara setiap padukuhan berada di bawah pengawasan yang ketat oleh para pengawal dan anak-anak mudanya. Bahkan setiap jengkal tanah seakan-akan tidak luput dari pengawasan mereka."
"Omong kosong," teriak Warsi, "aku sendiri akan membuktikan."
Tetapi Ki Rangga Gupita berkata, "Tidak ada gunanya. Kau masih mempunyai tugas yang lebih berarti daripada membunuh tikus-tikus kecil. Bukankah kau pada saatnya harus membunuh seekor harimau?"
Warsi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kemudian katanya dengan suara bergetar dan dengan mata yang merah, "Kita sudah dihinakan oleh orang-orang Tanah Perdikan itu. Bukan kita yang berhasil menakuti-nakuti mereka dengan gaya segerombolan serigala atau dengan cara-cara lain menjelang bulan purnama, tetapi justru mereka yang datang memasuki sarang kita dan dengan begitu mudahnya membunuh orang-orang kita."
"Bukankah akan datang saatnya kita membalas dendam?" bertanya Ki Rangga, "tetapi tidak perlu sekarang. Besok malam bulan bulat di langit."
Warsi menggeretakkan giginya. Hampir saja ia terlempar ke dalam sifat seorang perempuan, betapa keras dan kasarnya perempuan itu. Hampir saja ia memekik dan menjerit menangis sejadi-jadinya untuk melepaskan kejengkelannya. Namun untunglah bahwa ia segera sadar, bahwa ia bukan seorang perempuan cengeng yang hanya pandai menangis dan merengek.
Namun Warsi memang dapat menahan dirinya. Ia tidak lagi berniat untuk turun ke seberang bukit karena kemarahan yang membakar jantungnya.
Dengan upacara sederhana, para pengikut Ki Rangga Gupita dan Warsi yang telah terbunuh oleh panah Sambi Wulung dan Jati Wulung itu dikuburkan. Namun di hadapan para pengikutnya Warsi telah membakar jantung mereka. Warsi telah berhasil mengorek rasa dendam di hati para pengikutnya, sehingga merekapun telah berjanji kepada diri sendiri, bahwa jika saatnya datang, mereka harus membunuh orang-orang Tanah Perdikan sebanyak-banyaknya.
Dalam pada itu, Tanah Perdikan Sembojan memang masih dibayangi oleh perasaan cemas dan bahkan bagi perempuan dan kanak-kanak, rasa-rasanya mereka memang dicengkam oleh ketakutan. Apalagi mereka yang tinggal di padukuhan yang menghadap ke bukit. Mereka tahu bahwa di seberang bukit itu terdapat kekuatan yang besar yang setiap saat dapat menerkam mereka.
Dengan demikian maka para pengawal di setiap padukuhan itu telah bersiap-siap sepenuhnya. Para pengawas tidak pernah menjadi lengah. Mereka mengawasi sekeliling padukuhan mereka masing-masing dengan saksama. Kentongan telah dipersiapkan hampir segala tempat, yang dapat dibunyikannya setiap saat. Suaranya akan dapat menjangkau padukuhan-padukuhan bukan saja yang terdekat, tetapi dua tiga padukuhan yang lain yang akan dapat menyambung suara isyarat itu ke padukuhan-padukuhan yang lain dengan pertanda sandi atas padukuhan sumber isyarat itu.
Di sisa hari itu tidak terjadi sesuatu di Tanah Perdikan. Namun masih berlaku larangan untuk keluar dari padukuhan karena keadaan yang semakin gawat, justru di saat bulan purnama tinggal kurang satu malam lagi.
Ketika malam turun, maka bulan memang nampaknya sudah bulat. Tetapi menurut perhitungan waktu, bulan baru akan bulat penuh besok malam.
Malam itu, Warsi berniat untuk beristirahat sepenuhnya. Namun ternyata masih ada satu hal yang perlu dipertimbangkan. Apakah ia besok akan turun ke arena dan menantang Iswari untuk berperang tanding sebagaimana pernah dilakukan, atau begitu saja menyerang Tanah Perdikan, membunuh, membakar dan mengacaukan segala-galanya tanpa menghiraukan apakah ia akan bertempur. Bagi Warsi, tidak ada lagi orang yang ditakutinya, bahkan seandainya Ki Randukeling berpihak kepada Tanah Perdikan Sembojan sekalipun.
Tetapi tiba-tiba Warsi berkata, "Aku akan tidur. Aku tidak mau memikirkannya sekarang. Aku akan tidur di bawah cahaya bulan, agar tenaga yang memancar daripadanya membuat tenaga di dalam diriku semakin penuh. Dengan demikian besok aku akan turun ke arena dengan kekuatan yang tidak akan dapat diatasi oleh siapapun juga."
Tidak ada yang mencegahnya. Ki Ranggapun tidak. Iapun justru percaya bahwa ilmu Warsi dipengaruhi oleh cahaya bulan. Jika semalaman ia tidur di bawah cahaya bulan, seakan-akan kekuatan cahaya bulan itu menyusup dan memenuhi wadah yang sudah tersedia di dalam diri Warsi.
Bahkan Ki Ranggapun berkata, "Aku temani kau tidur di bawah cahaya bulan."
Warsi tidak menjawab lagi. Seorang pengikutnya telah memberikan sehelai tikar kepadanya dan sehelai kepada Rangga Gupita. Keduanya kemudian telah membentangkan di atas rerumputan di bawah cahaya bulan jauh dari pepohonan, sehingga sampai saatnya bulan turun ke Barat, cahayanya masih akan menyentuh tubuh Warsi.
Namun dalam pada itu, setelah kedua orang itu berbaring, Warsi masih sempat berdesis, "Dalam keadaan seperti ini ada baiknya Puguh kita bawa."
"Bukankah aku sudah mengatakannya," desis Rangga Gupita. "Kau wajib memberikan benih di dalam hatinya kebanggaan atas Tanah Perdikan ini. Ia adalah anak Kepala Tanah Perdikan ini. Jika kita semuanya berhasil, maka ia masih akan tetap memiliki hak itu. Apalagi jika Iswari dan Risang telah mati. Karena tidak ada orang lain yang akan tumbuh. Iswari yang tidak bersuami lagi itu tidak akan beranak. Tetapi kau, setelah Puguh masih mempunyai anak lagi."
"Persetan," geram Warsi, "sayang, Puguh tidak kita bawa."
Ki Rangga Gupita tidak menjawab lagi. Tetapi iapun mulai memejamkan matanya. Nampaknya Ki Rangga justru telah tertidur lebih dahulu dari Warsi yang gelisah. Bahkan sambil berbaring Warsi masih sempat memandang bulan bulat sambil memohon, agar bulan itu memberikan kekuatan jauh lebih besar dari yang pernah diberikannya.
Ternyata langit memang bersih. Tidak selembar awanpun yang hanyut dipermukaan wajah bulan, sehingga cahayanya yang penuh telah menyiram tubuh Warsi yang terbaring di atas sehelai tikar rasa-rasanya seluruh tubuh Warsi memang bergetar. Cahaya itu bagaikan mengusap dan kemudian menyusup di antara lubang-lubang kulitnya. Namun Warsi tidak sempat melihat, bahwa dedaunanpun telah bergerak oleh angin malam yang lembut. Tetapi keyakinannya sendiri itu ternyata memang dapat memberikan dorongan kekuatan yang besar baginya dalam keadaan yang paling gawat dan di saat-saat yang paling diperlukan.
Seperti sebuah jambangan, maka Warsi berharap dirinya akan dituangi kekuatan semalam suntuk, hingga jambangan itu benar-benar penuh dan bahkan meluap. Sehingga saat dipergunakan, maka ia akan menjadi semakin perkasa dan tidak dapat di imbangi oleh siapapun juga.
Di Tanah Perdikan Sembojan, kesiagaanpun benar-benar telah berada pada tataran tertinggi. Namun menurut perhitungan para pemimpinnya, serangan orang-orang dari balik bukit baru akan terjadi malam berikutnya. Tetapi mungkin sekali terjadi sebagaimana malam sebelumnya. Nampaknya orang-orang di balik bukit itu sedang mengadakan pemanasan.
Dari orang yang tertangkap para pemimpin Tanah Perdikan menjadi semakin yakin, bahwa serangan yang sebenarnya akan datang di saat bulan bulat sepenuhnya.
Namun Sambi Wulung dan Jati Wulung malam itu tidak merasa perlu untuk mendekati lagi sarang orang-orang yang berada di seberang bukit. Menurut perhitungannya, penjagaanpun tentu akan menjadi lebih rapat, sehingga jika ia memaksa juga untuk mendekat, maka ia akan mengalami kesulitan.
Meskipun tidak ada hubungannya dengan bulan, namun malam itu Iswari telah berada di dalam sanggarnya. Sekali lagi ia menilai ilmu puncaknya yang telah disempurnakan oleh ketiga gurunya. Dalam pemusatan nalar budinya, Iswari sempat mengingat apa yang pernah terjadi hampir sepuluh tahun yang lalu, ketika ia berperang tanding melawan Warsi. Iswari mencoba mengingat tata gerak, unsur-unsur gerak, senjata yang dipergunakan dan ilmu-ilmu puncak yang ada pada lawannya. Dalam waktu yang panjang Iswari memang yakin, bahwa ilmu itu tentu sudah meningkat. Namun Iswaripun meyakini dirinya sendiri, bahwa dalam sepuluh tahun ia bukannya berdiam diri. Bahkan di saat terakhir, ilmunya telah melonjak dengan loncatan panjang, karena guru-gurunya berhasil menyempurnakan Ilmu Janget Kinatelon.
Benteng Digital 6 De Buron Karya Maria Jaclyn Si Tangan Sakti 1

Cari Blog Ini