Ceritasilat Novel Online

Sayap Sayap Terkembang 28

01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja Bagian 28


Beberapa orang memang telah menyurukkan kepalanya ke dalam air. Bahkan beberapa orang telah minum meskipun hanya seteguk air yang terasa sangat sejuk di tenggorokan.
Sejenak kemudian Ki Lurah Dipayuda itupun segera memerintahkan pasukannya untuk bergerak kembali menuju ke Kademangan Nglawang.
Dalam keadaan yang gawat itu, maka ternyata Kademangan Nglawang telah menugaskan anak-anak mudanya untuk mengamati keadaan. Dua orang yang berada di luar pintu gerbang segera melihat iring-iringan itu. Dari kejauhan anak-anak muda itu memang melihat bahwa keadaan pasukan itu agaknya tidak lagi segar sebagaimana pasukan yang akan berangkat berperang.
Salah seorang dari kedua pengawas itu berdesis, "Nampaknya para prajurit Pajang."
"Ya. Jumlahnya cukup banyak," sahut yang lain, "tetapi keadaannya cukup parah."
"Laporkan kepada Ki Demang," desis yang pertama.
"Aku akan pergi ke banjar. Awasi mereka," sahut kawannya.
Tanpa menunggu jawaban anak muda itupun segera menyelinap ke belakang regol, sedangkan yang lain bergeser beberapa langkah menjauhi regol untuk bersembunyi di balik gerumbul-gerumbul liar. Dengan sungguh-sungguh anak muda itu mengamati iring-iringan yang baru datang.
Ia menarik nafas dalam-dalam ketika ia yakin bahwa pasukan yang nampaknya dalam kesulitan itu adalah pasukan Pajang. Karena itu, ketika iring-iringan itu menjadi dekat, anak muda itu telah bangkit dari persembunyiannya.
Para prajurit itu memang terkejut. Namun anak muda itu segera berkata, "Bukankah kalian prajurit Pajang" Menilik pakaian dan tanda-tanda yang kalian kenakan, maka kalian memang prajurit Pajang."
Kasadhalah yang maju mendekatinya sambil menjawab, "Ya. Kami adalah prajurit Pajang yang dipimpin oleh Ki Lurah Dipayuda. Tetapi Ki Lurah telah terluka ketika ia berusaha melindungi para prajurit yang sedang menyingkir dari medan."
"Apakah kalian termasuk prajurit Pajang yang bertempur di Randukerep?" bertanya anak muda itu.
"Ya," jawab Kasadha singkat.
"Marilah. Silahkan memasuki Kademangan kami. Kawanku sedang mencari hubungan dengan Ki Demang," berkata anak muda itu.
Belum lagi Kasadha menjawab, maka dari dalam regol telah keluar lima orang penghuni Kademangan itu. Seorang di antaranya adalah Ki Bekel dari padukuhan di ujung Kademangan itu.
"Marilah," berkata Ki Bekel, "aku persilahkan kalian singgah di banjar. Penghubung kita baru menuju ke Kademangan. Dalam waktu dekat Ki Demang tentu akan segera datang."
"Terima kasih," jawab Kasadha, "aku akan melaporkannya kepada Ki Lurah."
Ki Lurah Dipayuda yang mendapat laporan dari Kasadha itupun kemudian berdesis, "Aku akan bertemu dengan Ki Bekel."
Dengan dibantu oleh Bharata dan Kasadha, Ki Lurah telah melangkah perlahan-lahan mendekati orang-orang padukuhan itu, yang antara lain adalah Ki Bekel sendiri. Namun ketika Ki Bekel melihat keadaan Ki Lurah, maka Ki Bekellah yang dengan tergesa-gesa mendekati.
"Yang terluka itu adalah Ki Lurah Dipayuda," berkata Kasadha.
"Selamat datang di padukuhan kami Ki Lurah," berkata Ki Bekel.
"Aku bersyukur bahwa aku telah berada di salah satu padukuhan dari Kademangan Nglawang. Bukankah begitu?" berkata Ki Lurah.
"Ya Ki Lurah," jawab Ki Bekel. "Ki Lurah telah berada di Kademangan Nglawang. Kami persilahkan Ki Lurah untuk singgah di banjar. Nampaknya pasukan Pajang ini dalam keadaan yang kurang menguntungkan."
"Nanti aku akan memberitahukan apa yang telah terjadi," berkata Ki Lurah.
"Baiklah," berkata Ki Bekel, "sekarang, marilah kita pergi ke banjar. Pasukan ini agaknya memang perlu beristirahat."
Didahului oleh Ki Bekel maka iring-iringan itu merayap di jalan-jalan padukuhan menuju ke banjar. Namun keadaan pasukan itu memang telah memberikan kesan tersendiri. Orang-orang Nglawang memang menjadi cemas, bahwa Pajang tidak akan mampu bertahan lebih lama lagi.
Tetapi seperti yang diketahui oleh Ki Lurah Dipayuda, bahwa orang-orang Nglawang termasuk orang-orang yang setia kepada Pajang. Nglawang memang mempunyai ceritera tersendiri dalam hubungannya dengan Sultan Hadiwijaya dari Pajang, sehingga ikatan antara Nglawang dan Pajang menjadi agak khusus.
Beberapa saat kemudian, maka iring-iringan itu telah memasuki halaman banjar padukuhan itu. Beberapa orang yang terluka langsung dibawa ke pendapa dan dibaringkannya di atas tikar yang memang telah dibentangkan.
Ternyata para prajurit Pajang itu benar-benar mengalami kelelahan yang sangat. Bahkan lapar dan haus. Karena itu, maka demikian mereka memasuki banjar, maka tanpa menunggu lagi, para prajurit itupun telah menebar mencari tempat sendiri-sendiri untuk beristirahat. Bukan saja yang terluka, tetapi sebagian dari mereka langsung berbaring dimana saja mereka mendapat tempat.
Ki Lurah Dipayuda sendiri telah berada di pendapa. Namun Ki Lurah tidak ingin berbaring. Ki Lurah hanya duduk saja bersandar tiang. Dengan demikian ia masih dapat melihat keadaan prajuritnya yang tersebar di halaman betapapun ia sendiri merasa sangat lemah.
Kasadha dan Bharata serta beberapa pemimpin kelompok yang lain tidak sampai hati untuk memberikan tugas-tugas khusus lagi kepada orang-orangnya yang kelelahan.
Karena itu, maka penjagaan atas banjar itu justru dilakukan oleh mereka berganti-ganti, kecuali para pemimpin kelompok yang terluka.
Ternyata anak-anak muda Nglawang lebih sigap daripada anak-anak muda Kademangan Randukerep. Tanpa mendapat perintah, mereka telah mengatur penjagaan atas banjar itu, membantu para pemimpin kelompok prajurit Pajang.
Sementara itu, dengan cepat pula telah dapat dihidangkan minuman hangat bagi para prajurit. Karena Banjar itu tidak menyediakan mangkuk cukup untuk para prajurit itu, maka yang disediakan bagi mereka adalah beberapa ceret dan dandang berisi wedang sere dengan gula kelapa. Sementara beberapa buah mangkuk harus dipakai bergantian.
Para prajurit yang belum tertidurpun yang mendapat kesempatan pertama untuk minum. Kemudian baru yang terbangun lebih dahulu. Tetapi ternyata semuanyapun akhirnya sempat minum wedang sere sehingga tubuh mereka terasa menjadi lebih segar. Gula kelapa yang terdapat dalam wedang sere itu rasa-rasanya telah memberikan tenaga baru bagi mereka yang menjadi sangat letih itu.
Sementara itu beberapa orang perempuan yang dipanggil ke banjar tengah sibuk menyiapkan makan bagi pasukan yang berada di banjar. Beberapa ekor ayam terpaksa dipotong karena di banjar itu tidak ada persediaan lauk yang lain.
Namun beberapa orang dengan suka rela menyerahkan masing-masing seekor ayam untuk kepentingan itu.
Dalam pada itu, selagi di dapur beberapa orang sibuk di perapian, Ki Demang dan beberapa orang pengiringnya telah datang pula. Dengan cemas Ki Demang mempertanyakan keadaan para prajurit Pajang yang lemah itu.
"Inilah kenyataan yang terjadi itu," berkata Ki Lurah, "yang kita harapkan dari Kademangan Randukerep ternyata tidak terwujud. Orang-orang Mataram sudah terlalu lama meracuni kehidupan di Kademangan itu dengan berbagai cara."
Ki Demang mengangguk-angguk. Katanya, "Mudah-mudahan Kademangan ini berbeda Ki Lurah. Aku masih yakin bahwa di Kademangan ini, segala-sesuatunya masih dapat dipertanggung-jawabkan."
"Syukurlah. Setidak-tidaknya untuk sementara kami akan berada di Kademangan ini. Meskipun hal itu akan dapat mengandung kemungkinan, pasukan Mataram akan menyusul kami kemari," berkata Ki Lurah.
Ki Demang mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian berkata, "Jika orang-orang Mataram itu datang kemari, maka ada dua hambatan yang harus mereka pikirkan. Kademangan Traju harus mereka perhitungkan. Meskipun hambatan ini dapat mereka atasi dengan mencari jalan melingkar yang lebih jauh. Kemudian orang-orang Kademangan Nglawang sendiri. Baru kemudian mereka akan berhadapan dengan prajurit-prajurit Pajang. Mudah-mudahan setelah beristirahat barang sebentar, kekuatan prajurit ini akan tumbuh kembali meskipun tidak akan mencapai tataran sebagaimana sebelumnya."
"Terima kasih atas kesediaan anak-anak muda Nglawang. Tetapi perlu diketahui bahwa jumlah orang-orang Mataram itu cukup besar," berkata Ki Lurah.
"Tetapi orang-orang Mataram itu akan segera ditarik ke Prambanan," berkata Ki Demang.
"Dari mana Ki Demang mengetahui hal itu?" bertanya Ki Lurah Dipayuda.
"Di Prambanan pasukan Mataram ternyata jauh lebih kecil dari pasukan Pajang yang sempat dikumpulkan. Itupun belum terhitung anak-anak muda dari padukuhan-padukuhan kecil jika mereka diperlukan. Karena itu, menurut perhitunganku, Mataram memerlukan kekuatan yang besar untuk dapat mengimbangi pasukan Pajang," jawab Ki Demang.
Ki Lurah Dipayuda mengangguk-angguk. Ia sadar, bahwa dari beberapa Kadipaten telah berdatangan para prajurit yang akan membantu Pajang. Karena itu, maka untuk menyeberangi Kali Opak Panembahan Senapati harus berpikir ulang.
Namun perhitungan Ki Demang itu memang masuk akal.
Karena itu, maka Ki Lurah itupun berkata, "Aku sependapat Ki Demang. Karena itu, biarlah aku dan pasukanku beristirahat disini. Sementara aku akan mengirimkan penghubung ke Pajang."
"Silahkan Ki Lurah. Bahkan nanti jika keadaan Ki Lurah sudah menjadi semakin baik, aku akan mempersilahkan Ki Lurah untuk pergi ke banjar Kademangan induk. Tempatnya agak lebih luas dan banjar itu letaknya tidak jauh dari rumahku," berkata Ki Demang.
"Terima kasih Ki Demang. Tetapi kami mohon waktu untuk beristirahat disini lebih dahulu," jawab Ki Lurah Dipayuda.
"Silahkan. Silahkan. Mana yang baik menurut Ki Lurah," sahut Ki Demang kemudian.
Dalam pada itu, maka orang-orang yang berada di dapur telah selesai menyiapkan makanan bagi para prajurit. Tetapi agar pembagian makan itu dapat berjalan dengan tertib, sejalan dengan persiapan yang tergesa-gesa, maka yang dapat dilakukan oleh perempuan-perempuan di dapur adalah membungkus nasi itu dengan daun pisang yang dipetiknya di kebun banjar itu dan di kebun beberapa orang tetangga.
Ketika nasi bungkus itu dibagikan, maka para prajurit Pajang yang kelaparan itu merasa telah hidup kembali. Wedang sere dengan gula kelapa yang telah mereka hirup lebih dahulu telah memberikan kesegaran baru bagi para prajurit. Maka nasi itu akan segera menumbuhkan kekuatan mereka kembali.
Ki Lurah Dipayuda menarik nafas dalam-dalam. Ada semacam keharusan di dalam hatinya melihat prajurit-prajuritnya yang lapar itu makan nasi meskipun sekedar nasi bungkus. Tetapi nasi bungkus itu ternyata cukup memadai.
Ki Lurah Dipayuda sendiri menolak untuk mendapat suguhan khusus. Iapun minta untuk mendapat pembagian nasi sebagaimana para prajuritnya. Nasi bungkus. Namun nasi bungkus itu rasanya memang menjadi nikmat sekali meskipun hanya dengan lauk sepotong daging ayam dan jangan (sayur) janggel yang pedas sekali.
Sementara para prajurit Pajang makan, maka Ki Demang sudah memerintahkan untuk menyiagakan para pengawal. Anak-anak muda dan orang-orang yang masih mempunyai kekuatan cukup untuk ikut mempertahankan Kademangan itu apabila diperlukan.
"Mungkin orang-orang Mataram akan memburu prajurit Pajang yang terpaksa mundur dari medan," berkata Ki Demang, "karena itu maka kita tidak akan membiarkan mereka sempat menangkap para prajurit. Kita akan membantu para prajurit Pajang itu untuk bertahan. Meskipun para prajurit Mataram telah membawa anak-anak muda dari padukuhan-padukuhan yang telah mendapat pengaruhnya, namun kita tidak boleh menjadi gentar. Kita adalah orang yang setia kepada Raja sehingga kita dapat menyerahkan apa saja milik kita untuk melakukan perintahnya."
Kepada Ki Jagabaya, Ki Demang telah memerintahkan untuk memanggil semua pemimpin kelompok pengawal di Kademangan itu dan memberikan beban tugas kepada mereka.
Ki Jagabayapun telah melaksanakannya dengan cepat. Iapun segera memanggil para pemimpin kelompok untuk datang ke rumah Ki Demang di sore hari. Sementara itu, Ki Jagabaya telah mengerahkan anak-anak muda dan para pengawal dari padukuhan di ujung Kademangan itu untuk menjaga jika sesuatu terjadi.
Tetapi prajurit-prajurit Mataram tidak segera datang memburu. Hari itu, prajurit Pajang benar-benar dapat beristirahat sepenuhnya dengan makan dan minum yang memadai.
Ketika keadaan nampaknya sudah menjadi tenang, maka Ki Demangpun telah minta diri untuk menyiapkan banjar di Kademangan induk bagi para prajurit Pajang.
Tetapi malam itu Prajurit Pajang masih tetap berada di padukuhan di ujung Kademangan. Namun dengan penuh kewaspadaan, karena prajurit Mataram dapat datang setiap saat.
Para pengawal Kademangan dan anak-anak muda Kademangan Nglawang ternyata telah membantu dengan sepenuh hati. Mereka tidak ingin mengusik para prajurit yang beristirahat. Anak-anak muda itulah yang mengamati keadaan dengan cermat. Bahkan mereka telah bersiaga untuk bertempur jika diperlukan.
Meskipun demikian para pemimpin kelompok tidak menjadi lengah. Merekalah yang bergantian berjaga-jaga di dalam banjar. Sementara itu mereka memberi kesempatan para prajuritnya tanpa terkecuali untuk beristirahat sepenuhnya.
Malam itu, Ki Demang telah mempersiapkan banjar kademangan yang lebih besar untuk para prajurit Pajang itu. Karena itu, maka di pagi hari, Ki Jagabaya telah datang untuk menjemput para prajurit itu.
Sebagian para prajurit yang tidak terluka telah menjadi segar kembali. Meskipun masih juga sedikit terasa keletihan itu, namun mereka sudah dapat berbuat apa saja sebagai seorang prajurit.
Ketika para prajurit itu kemudian pindah dari banjar padukuhan di ujung Kademangan ke banjar di padukuhan induk, maka Ki Dipayuda telah memerintahkan dua orang penghubung untuk pergi ke Pajang.
"Tidak ada orang yang lebih baik dari Bharata dan Kasadha," berkata Ki Dipayuda kepada kedua orang anak muda itu.
Keduanya tidak ingkar akan tugas mereka. Apalagi ketika kemudian ternyata Ki Demang telah meminjamkan dua ekor kuda bagi mereka.
"Hubungi pimpinan Wira Tamtama. Perintah apa yang harus kita lakukan lagi. Jangan disembunyikan kegagalan kita di Kademangan Randukerep. Jika harus digantung karena kegagalan itu, biar aku yang menjalaninya," perintah Ki Lurah Dipayuda.
"Apakah Ki Lurah dapat dihukum karena kegagalan kita itu" Bukankah Ki Lurah mengambil kebijaksanaan itu dengan perhitungan yang paling baik bagi para prajurit Pajang?" bertanya Bharata.
Ki Lurah tersenyum. Jawabnya, "Tidak. Memang tidak. Tetapi para pemimpin di Pajang memang sedang mengalami goncangan-goncangan jiwani. Apalagi setelah beberapa orang di antara mereka menyeberang ke Mataram."
Kedua anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah Kasadha berkata, "Kami akan menjelaskan selengkapnya apa yang telah terjadi."
Demikianlah, pada hari itu juga, maka kedua orang anak muda itu telah berangkat ke Pajang. Dengan kuda yang meskipun tidak begitu besar, tetapi cukup memadai untuk mempercepat perjalanan keduanya menyusuri bulak-bulak di tengah sawah serta jalan-jalan padukuhan.
Ketika keduanya berangkat, maka Ki Lurah Dipayuda telah bersepakat dengan Ki Demang untuk mengirimkan orang yang mungkin dapat menyadap keterangan tentang orang-orang Mataram di Randukerep.
"Biarlah aku menugaskan orang yang mempunyai saudara yang tinggal di Kademangan Traju," berkata Ki Demang, "mudah-mudahan mereka dapat mencari jalan untuk mengetahui kedudukan para prajurit Mataram di Kademangan Randukerep."
"Terima kasih Ki Demang," jawab Ki Lurah, "hal ini akan sangat penting artinya bagi para prajurit Pajang disini."
Seperti yang dikatakan, maka Ki Demang telah minta Ki Jagabaya menghubungi para pengawal yang mungkin untuk melakukan tugas itu.
Sebagaimana kedua orang prajurit yang bertugas ke Pajang hari itu, maka pada hari itu juga Ki Jagabaya telah menemui seorang pengawal yang mempunyai keluarga di Kademangan Traju.
"Pergilah ke pamanmu di Traju itu," perintah Ki Jagabaya, "kemudian usahakan untuk mendengar berita tentang Randukerep. Apakah para prajurit Mataram sudah menduduki dan menetap di Kademangan itu. Jika kau tidak dapat langsung menyadap peristiwa di Kademangan Randukerep, maka kau dapat minta tolong orang-orang Traju. Tetapi berhati-hatilah. Sekarang tidak semua orang Traju dapat dipercaya sebagaimana orang Randukerep, meskipun agaknya Traju masih belum separah Randukerep."
Pengawal itu mengangguk-angguk. Ia sadar, bahwa tugas itu bukannya tugas yang ringan. Tetapi iapun menjawab dengan tegas, "Aku akan melakukannya Ki Jagabaya. Besok aku akan kembali dengan keterangan itu. Aku masih yakin bahwa paman di Traju masih tetap berpijak pada landasan yang sama sebagaimana kita sekarang ini."
"Syukurlah," berkata Ki Jagabaya kemudian, "pergilah. Hati-hati. Banyak perubahan telah terjadi, sehingga kemungkinan-kemungkinan yang belum pernah kita perhitungkan sebelumnya akan dapat terjadi."
Demikianlah, dengan kelengkapan seorang yang pergi ke sawah, maka pengawal itu telah memasuki bulak panjang untuk menuju ke Kademangan Traju. Untuk beberapa saat pengawal itu memang berhenti dan mengamati keadaan sebelum memasuki Kademangan Traju. Baru kemudian ia mengambil keputusan untuk memasuki Kademangan itu.
Disimpannya alat-alatnya di sebuah gubuk kecil di tengah sawah. Setelah membenahi pakaiannya, maka iapun telah melangkah dengan hati yang tetap, menyusuri bulak-bulak persawahan di Kademangan Traju menuju ke rumah pamannya.
Sementara itu, Bharata dan Kasadha masih berada dalam perjalanan menuju ke Pajang. Mereka memang harus berhati-hati. Lebih-lebih lagi bagi Kasadha. Kemungkinan yang lain, yang tidak ada hubungannya dengan perang antara Pajang dan Mataram akan dapat terjadi. Bagaimanapun juga Kasadha masih mencemaskan orang-orang yang untuk waktu yang tidak ada batasnya memburunya karena ia adalah anak Warsi dan dianggap pula anak Ki Rangga Gupita. Jika mereka hadir pula dalam ujud apapun, berarti bahwa orang-orang Jipang yang tersisa akan ikut membuat para prajurit Pajang menjadi sibuk.
Namun bagi dirinya sendiri, akan dapat berarti hambatan bagi tugas-tugasnya sebagai prajurit Pajang, bahkan mungkin lebih dari itu.
Tetapi Kasadha tidak dapat mengatakannya kepada Bharata, karena Kasadha tidak tahu pasti latar belakang kehidupan Bharata sebagaimana sebaliknya.
Angan-angan itu agaknya telah membuat Kasadha merenung. Bahkan seakan-akan ia lupa bahwa ia menempuh perjalanan bersama Bharata.
Karena itu, maka Kasadha itupun terkejut ketika ia mendengar Bharata bertanya, "Ada yang kau pikirkan?"
"O," Kasadha memang agak tergagap. Lalu katanya, "Ya. Perang ini. Aku mencoba membayangkan kesudahannya."
Bharata menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Tidak seorangpun yang dapat menebak kesudahannya. Pajang memang didukung oleh beberapa Kadipaten. Bahkan mereka telah membawa pasukan mereka masing-masing. Tetapi Kangjeng Sultan sendiri bersikap kurang meyakinkan, Bagaimanapun juga, menurut beberapa orang yang sudah lama mengabdi di lingkungan keprajuritan Pajang, Panembahan Senapati adalah putera angkat Kangjeng Sultan yang sangat dikasihinya."
Kasadha mengangguk-angguk. Hampir kepada diri sendiri ia berdesis, "Bagaimana mungkin seorang anak melawan orang tuanya sendiri." Tetapi di luar sadarnya ia menjawab sendiri pertanyaan itu, "Namun kemungkinan itu memang ada jika keadaan memang memaksa. Masalahnya adalah alasan apakah yang memaksa anak itu menentang orang tuanya."
"Siapa yang menentang orang tuanya?" bertanya Bharata yang tidak memahami kata-kata Kasadha yang agaknya memang tidak ditujukan kepadanya.
Namun pertanyaan itu telah membuat Kasadha tergagap. Untunglah bahwa iapun cepat menguasai perasaannya dan menjawab, "Panembahan Senapati telah menentang ayahandanya sendiri, meskipun ayahanda angkat. Tetapi bukankah Kangjeng Sultan Hadiwijaya menganggap Panembahan Senapati yang sebelumnya bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar itu seperti putera sendiri" Namun Panembahan Senapati tentu mempunyai alasan tersendiri, kenapa ia harus memberontak kepada ayahandanya."
Bharata mengerutkan keningnya. Jarang sekali terjadi perselisihan pendapat antara keduanya. Namun yang dikatakan oleh Kasadha itu agak kurang mapan di hati Bharata. Karena itu, maka iapun berkata, "Alasan apapun yang dikemukakan oleh Panembahan Senapati, bukankah sebaiknya ia bersikap baik dan hormat kepada ayahandanya" Yang juga rajanya dan menurut kata orang-orang yang dekat, juga gurunya."
Kasadha memang merasa sedikit tersesat dengan kata-katanya. Tetapi ia tidak dapat mengatakan tentang dirinya sendiri dalam hubungannya dengan orang tuanya. Karena itu, maka dengan serta-merta ia menjawab, "Ya. Memang sayang. Maksudku, apakah sebenarnya alasan Panembahan Senapati itu sehingga ia telah berani menentang ayahandanya."
Bharata mengangguk-angguk. Tetapi ia segera melupakannya. Apalagi ketika debu mulai berhamburan oleh angin yang tiba-tiba saja menjadi semakin kencang. Perhatiannya sepenuhnya ditujukan pada perjalanannya yang masih cukup panjang.
Dalam perjalanan itu kedua orang anak muda itu telah mendapat kesan yang suram atas Pajang. Padukuhan-padukuhan terasa sepi. Gema perang telah bergaung di mana-mana. Bahkan rasa-rasanya orang-orang Pajang yang memiliki prajurit lebih banyak dari Mataram itu merasa kecut hatinya.
Tetapi dalam keprihatinan itu, ada saja orang yang memanfaatkan keadaan bagi kepentingan diri sendiri. Di siang hari yang cerah, dan di saat matahari memancar dengan sinarnya yang menyengat, sekelompok orang yang garang telah melakukan perampokan yang kasar di sebuah padukuhan. Memang terdengar suara kentongan dalam nada titir, tetapi orang-orang padukuhan menjadi ragu-ragu. Apakah itu bukan pertanda perang"
Bharata dan Kasadha yang mendengar suara kentongan itu telah memperlambat derap kaki kudanya. Mereka sudah berada di daerah yang sepenuhnya masih dikuasai Pajang sebagaimana Kademangan Nglawang. Bahkan kedudukannya saat itu jauh lebih menjorok ke dalam, mendekati Pajang itu sendiri.
"Kau dengar isyarat kentongan," desis Bharata.
"Ya," jawab Kasadha, "dengan nada titir."
"Apakah ada kejahatan di siang hari begini?" desis Batara, "atau peristiwa lain" Tentu bukan kebakaran, karena jika terjadi kebakaran, maka isyaratnya bukan titir. Tetapi tiga-tiga ganda."
Kasadhapun termangu-mangu. Tetapi ia tidak segera menjawab. Namun telah tumbuh kecemasan di dalam hatinya. Jika benar terjadi kejahatan, sedangkan orang-orang yang melakukan kejahatan itu adalah bekas prajurit Jipang atau orang-orang lain yang telah mengenalnya, maka keadaannya tentu akan menjadi rumit baginya.
Sementara itu Bharata tiba-tiba saja berkata, "Marilah. Kita akan melihat, apakah yang telah terjadi."
Tetapi Kasadha masih saja merasa ragu-ragu. Karena itu, maka iapun berkata, "Apakah kita tidak akan terperangkap dalam peristiwa yang lain sebelum kita menyelesaikan tugas kita?"
Bharatapun menjadi ragu-ragu. Tetapi katanya, "Kita hanya akan melihat, apakah yang terjadi. Seandainya terjadi kejahatan, bukankah juga menjadi kewajiban kita untuk menyelesaikannya?"
"Jika kita menangkap sekelompok penjahat, apa yang akan dapat kita lakukan atas mereka?" bertanya Kasadha.
Bharata memang harus berpikir sejenak. Namun kemudian katanya, "Kita serahkan kepada Ki Demang. Mereka akan diikat di banjar. Jika kita sampai di Pajang, kita akan melaporkannya agar sekelompok prajurit menyelesaikan mereka."
Kasadha menjadi gelisah. Bharata jarang melihat kegelisahan yang begitu mengganggu anak muda itu. Karena itu, maka iapun kemudian berkata, "Baiklah. Jika kau berkeberatan, kita selesaikan lebih dahulu tugas kita. Tetapi isyarat itu agaknya merupakan jerit minta pertolongan."
Adalah di luar dugaan Bharata ketika Kasadha kemudian justru berkata, "Marilah. Kita lihat sebentar. Mudah-mudahan tugas kita tidak akan banyak terhambat karenanya."
Barat alah yang menjadi ragu-ragu. Tetapi ia tidak boleh merajuk seperti anak-anak dan menolak ajakan itu.
Berdua mereka telah memacu kuda mereka menuju ke padukuhan yang tengah digetarkan oleh suara kentongan. Untunglah mereka mendengar isyarat yang mula-mula terdengar, sehingga keduanya mengerti sumber dari isyarat itu.
Padukuhan itu memang tidak terlalu jauh. Namun sambil berpacu Kasadha masih saja dibayangi oleh kemungkinan buruk jika mereka bertemu dengan orang-orang yang pernah mengenalnya.
Ketika keduanya sampai di padukuhan yang menjadi sumber isyarat itu, ternyata bahwa padukuhan itu nampak sepi. Memang terdengar suara kentongan dari beberapa tempat yang tersebar. Tetapi nampaknya orang-orang yang membunyikan kentongan itu telah dibayangi oleh ketakutan, karena ternyata mereka tidak melakukannya di tempat terbuka. Suara kentongan itupun tidak berkepanjangan terus-menerus. Tetapi suara itu terdengar tersendat-sendat. Ganti-berganti dari satu tempat, ke tempat lain.
"Ada suasana ketakutan disini," berkata Bharata, "tidak seorangpun yang keluar dari rumahnya untuk mengatasi persoalan yang mereka isyaratkan dengan kentongan."
"Ya," desis Kasadha yang keduanya berkuda dengan lambat di jalani padukuhan itu.
"Bagaimana dengan para pengawal disini?" gumam Bharata. Tiba-tiba saja ia berkata, "Marilah, kita pergi ke banjar."
Kasadha tidak menjawab. Tetapi keduanya telah menelusuri jalan padukuhan itu, sehingga mereka sampai ke banjar.
Ketika keduanya memasuki regol halaman banjar padukuhan, ternyata mereka melihat beberapa orang berada di banjar itu. Di antaranya adalah anak-anak muda.
Yang berada di banjar itupun terkejut. Ketika serentak mereka bangkit dan bersiap, Bharata dan Kasadha telah meloncat turun dari kuda mereka.
"Apa yang terjadi?" bertanya Bharata.
Orang-orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian seorang di antara mereka bertanya, "Apakah kalian prajurit Pajang?"
"Ya," jawab Bharata, "kami adalah prajurit Pajang."
"Hanya berdua?" bertanya yang lain.
"Hanya berdua. Kenapa?" justru Bharatalah yang bertanya. Bahkan iapun bertanya lebih lanjut, "Isyarat apakah yang terdengar itu?"
"Perampokan," jawab salah seorang di antara para pengawal, "adalah kebetulan bahwa telah datang prajurit Pajang yang mungkin dapat melindungi kami."
"Melindungi" Jadi apa artinya kalian disini" Apakah kalian sama sekali tidak berusaha untuk berbuat sesuatu?" bertanya Bharata.
"Perampok itu berilmu tinggi. Kami tidak akan dapat mengimbangi mereka. Jika kami memaksa diri untuk berbuat sesuatu, maka akan jatuh korban sia-sia, sementara tenaga kami diperlukan untuk menghadapi kemungkinan lain yang lebih buruk," jawab salah seorang pengawal.
"Apakah kemungkinan lain yang kalian maksud itu?" bertanya Bharata.
"Kedatangan orang-orang Mataram," jawab pengawal itu.
Bharata menarik nafas dalam-dalam. Sementara Kasadha bertanya, "Jika kalian harus mempertahankan padukuhan kalian dari serangan orang-orang Mataram, apakah itu berarti bahwa kalian akan membiarkan saja para perampok itu menguras habis kekayaan di padukuhan ini?"
"Tetapi mereka adalah orang-orang yang berilmu tinggi," jawab pengawal itu.
"Dan orang-orang Mataram?" bertanya Kasadha.
"Jika orang Mataram datang, maka para prajurit Pajang tentu akan hadir juga. Kami akan bersama-sama menghalau mereka," jawab pengawal itu.
"Kalian tidak berpikir menyeluruh bagi keselamatan padukuhan kalian. Sekarang tunjukkan, dimana perampokan itu terjadi," desis Kasadha.
Para pengawal itu termangu-mangu. Namun orang yang sudah lebih tua daripadanya berkata, "Kita akan mengikuti para prajurit. Bersama para prajurit Pajang kita akan dapat mengatasinya."
"Hanya dua orang prajurit," desis pengawal itu.
"Terserah kepada kalian," berkata Kasadha, "apakah kalian memiliki kecintaan kepada kampung halaman kalian atau tidak. Jika masih ada setitik keberanian untuk mencintai kampung halaman, ikut aku."
Para pengawal itu memang ragu-ragu. Tetapi orang yang tertua di antara mereka berkata, "Marilah. Kita akan pergi dan membantu para prajurit."
"Bukan kalian membantu kami, tetapi kami akan membantu kalian, meskipun seandainya tanpa kalian," berkata Kasadha.
Tetapi ketika orang yang tertua itu tegak berdiri, maka para pengawal yang lainpun telah melangkah mendekat.
"Mari," berkata yang tertua itu, "siapa ikut aku. Selama ini kita tidak berani berbuat apa-apa. Beberapa kali aku berusaha mengajak kalian. Tetapi aku tidak pernah berhasil. Sekarang perampok itu kembali lagi dan kita mendapat dua orang kawan dari lingkungan keprajuritan. Mudah-mudahan kali ini kita dapat membuat perhitungan dengan mereka. Aku akan pergi bersama kedua orang prajurit Pajang ini. Terserah kepada kalian, apakah kalian akan ikut atau tidak."
Bharata dan Kasadha saling berpandangan sejenak. Ternyata masih ada di antara orang-orang padukuhan itu yang memiliki keberanian. Namun agaknya selama ini ia tidak mempunyai kawan yang dapat mengimbangi keberaniannya untuk bertindak, sehingga akhirnya iapun tidak berbuat apa-apa.
Tanpa menghiraukan orang lain, maka orang itupun berkata kepada Bharata dan Kasadha, "Marilah. Kita akan menemui para perampok itu."
"Kalian tahu dimana mereka merampok sekarang?" bertanya Bharata.
"Aku tahu. Suara kentongan itu dari arah sebelah kiri dari regol halaman ini. Orang kaya yang tinggal di daerah itu dapat dihitung dengan jari sebelah tangan. Kita akan segera menemukan mereka," berkata orang tertua itu. Lalu katanya pula, "tinggalkan saja kuda kalian disini."
Bharata dan Kasadha memang akan meninggalkan kuda-kuda mereka di halaman banjar itu. Keduanyapun kemudian telah mengikuti orang tertua di antara para pengawal yang telah berjalan lebih dahulu. Sebuah parang yang besar terselip di pinggangnya.
Namun di luar regol itu sempat berhenti dan berteriak, "Jangan pergi semuanya. Empat orang tinggal di banjar ini."
Empat orang yang terakhir telah mengurungkan niatnya untuk ikut bersama orang itu. Mereka berhenti di regol dan akhirnya mereka telah melangkah masuk kembali. Mereka merasa beruntung bahwa mereka tidak perlu ikut menangkap perampok-perampok itu, karena mereka tahu bahwa perampok-perampok itu berilmu tinggi. Ketika perampokan yang pertama terjadi maka usaha untuk menangkap mereka telah gagal. Bahkan tiga orang di antara para pengawal telah terluka. Namun mereka masih mengulangi usaha untuk menangkap perampok-perampok itu kemudian ketika terjadi perampokan lagi di ujung padukuhan. Tetapi dua orang terluka parah. Seorang justru menjadi cacat.
Demikian pula ketika terjadi perampokan di padukuhan yang lain. Ternyata anak-anak muda di padukuhan itu juga sia-sia saja menangkap perampok itu. Perampok itu telah meninggalkan orang yang terluka. Bahkan di padukuhan sebelah, seorang yang terluka tidak berhasil ditolong lagi. Seorang korban telah meninggal ketika mereka berusaha untuk menangkap perampok itu.
Sejak itu, maka anak-anak muda seakan-akan menjadi jera untuk menghalangi perampokan-perampokan yang terjadi. Juga saat itu. Meskipun ada di antara mereka yang masih berani dengan bersembunyi-sembunyi memukul kentongan.
Ternyata orang tertua di antara para pengawal itu telah berusaha untuk membangkitkan perlawanan dari orang-orang padukuhan. Sepanjang jalan orang itu berteriak-teriak, "Pukul kentongan terus. Kami akan menangkap perampok itu."
Tiba-tiba saja Kasadha bertanya, "Bagaimana dengan Ki Bekel di padukuhan ini?"
Orang tertua itu menjawab, "Ki Bekel sedang sakit. Ia memang sudah sangat tua untuk jabatannya. Ia memang mempunyai anak laki-laki. Tetapi anaknya sama sekali tidak tertarik akan tugas-tugas ayahnya. Ia lebih senang berada di arena sabung ayam atau putaran judi yang lain. Sebenarnya umur Ki Bekel masih belum enampuluh. Tetapi ia sudah nampak jauh lebih tua dari umurnya itu justru karena ia memikirkan anak laki-lakinya."
"Apakah ia satu-satunya anak Ki Bekel?" bertanya Kasadha.
"Ki Bekel mempunyai lima orang anak. Tetapi di antaranya hanya ada seorang anak laki-laki," jawab orang tertua di antara para pengawal itu.
"Apakah ia sudah mempunyai seorang atau lebih menantu laki-laki?" bertanya Kasadha pula sambil melangkah terus menuju ke tempat yang diduga menjadi sasaran perampokan.
"Sudah ada dua orang menantu laki-laki," jawab orang itu.
"Apakah menantunya juga tidak berminat kepada tugas-tugas mertuanya?" bertanya Kasadha lebih lanjut.
"Ada rasa segan. Tetapi perlu kau ketahui, salah seorang di antara menantunya itu adalah aku," jawab orang itu.
"O," Kasadha mengangguk-angguk.
Demikianlah, maka mereka telah menjadi semakin dekat dengan rumah salah seorang yang mungkin menjadi sasaran perampokan. Suara kentongan yang pertama kali terdengar rasa-rasanya datang dari rumah itu, meskipun segera terdiam. Untunglah ada seorang yang lain yang tidak diketahui telah memberanikan diri untuk memukul kentongan pula sambil bersembunyi yang disahut oleh tiga atau empat orang yang lain.
Tetapi teriakan-teriakan orang itu ternyata tidak berpengaruh sama sekali. Suara kentongan itu tidak semakin bertambah dan menjalar, tetapi semakin lama maka seakan-akan telah dibungkam oleh perasaan takut dan cemas.
Beberapa saat kemudian, mereka telah berada di depan sebuah regol rumah yang berhalaman luas. Rumah yang sekilas sudah dapat diketahui, bahwa rumah itu adalah milik seorang yang memiliki kelebihan dari tetangga-tetangganya.
Sejenak iring-iringan itu termangu-mangu. Namun kemudian Kasadha dan Bharata tidak sabar lagi. Keduanya telah meloncat memasuki halaman rumah itu dan langsung naik, ke pendapa.
Perhitungan para pengawal tidak salah. Ada beberapa rumah orang kaya di jalur jalan itu. Satu di antaranya pernah didatangi perampok. Sedangkan rumah itu adalah rumah yang dapat dianggap lebih besar dan lebih baik dari rumah yang pernah dirampok itu. Ternyata perampok-perampok itu tidak datang di malam hari sebagaimana pernah mereka lakukan. Tetapi mereka telah mendatangi padukuhan itu di siang hari dengan beraninya, karena mereka yakin anak-anak muda di padukuhan itu tidak akan berani lagi mengganggu mereka.
Namun para perampok itu terkejut, ketika mereka menyadari, sekelompok anak-anak muda bersenjata telah memasuki halaman rumah itu.
Seorang di antara para perampok yang tinggal di luar untuk mengamati keadaan, segera memberi isyarat kepada kawan-kawannya yang ada di dalam.
"Setan," geram pemimpin perampok itu, "siapakah yang masih berani mengganggu kita" Aku akan membuat mereka benar-benar jera. Aku akan melukai semua orang yang datang dan membunuh beberapa di antaranya. Orang yang pertama menyerang kita akan mati."
Kawan-kawannyapun telah bersiap pula. Namun pemimpin perampok itu masih membentak kepada pemilik rumah yang telah dikumpulkan sekeluarga di ruang tengah, "Jangan melakukan sesuatu yang dapat memancing kemarahan kami. Satu sabetan pedang, seorang di antara kalian akan mati."
Orang-orang yang ketakutan itu sama sekali tidak menjawab. Sementara itu pemimpin perampok itu memerintahkan seorang di antara mereka untuk menjaga orang-orang itu.
"Awasi mereka dengan baik. Kau tidak boleh mempertimbangkan perasaan belas kasihan. Kau harus bertindak tegas, agar tugas kita mendatang menjadi lebih ringan," berkata pemimpin perampok itu, "apalagi sekarang ternyata masih ada orang-orang gila yang mencoba untuk mencampuri urusannya."
"Baik Ki Lurah," jawab perampok yang mendapat perintah itu. Ia memang lebih senang menunggui orang-orang yang ketakutan itu daripada harus ikut berkelahi melawan anak-anak muda, karena hari itu ia sedang malas membunuh. Hari itu, hari Rabu Legi adalah hari kelahirannya.
Sejenak kemudian maka pemimpin perampok itu telah melangkah keluar diikuti oleh orang-orangnya.
Sementara itu, Bharata, Kasadha dan beberapa orang anak muda dari padukuhan itu telah berdiri pula di halaman menghadap ke pendapa.
Karena itu, maka demikian para perampok itu keluar dari pintu pringgitan maka Bharata telah berkata lantang, "Atas nama kekuasaan Pajang, menyerahlah."
Pemimpin perampok itu memang terkejut. Ternyata di halaman itu telah berdiri dua orang prajurit Pajang bersama beberapa orang anak muda yang bersenjata. Namun sejenak kemudian pemimpin perampok itu tersenyum. Katanya, "Ternyata hanya ada dua orang prajurit Pajang menilik pakaiannya. Dua orang prajurit itu telah mencoba untuk membangkitkan keberanian anak-anak muda padukuhan ini."
Bharata sekali lagi berkata, "Sekali lagi perintahkan kepada kalian. Atas nama kekuasaan Pajang, menyerahlah."
Pemimpin perampok itu tertawa, semakin lama semakin keras. Katanya di sela-sela derai tertawanya, "Kau tentu seorang prajurit yang baru. Kau masih sangat muda. Karena itu, kau mempunyai keberanian yang melampaui keberanian para prajurit yang sudah berpengalaman. Mereka yang sudah berpengalaman tentu tahu, bahwa langkah-langkah sebagaimana kau lakukan itu adalah langkah-langkah yang berbahaya."
"Jangan merendahkan kami," sahut Bharata, "apapun alasan kami, tetapi kami adalah alat kekuasaan Pajang. Karena itu kalian harus mematuhi perintah kami, atau kami akan mempergunakan wewenang kami."
Tetapi pemimpin perampok itu justru tertawa semakin keras. Katanya, "Sudahlah. Pergilah. Aku tidak akan menganggapmu bersalah jika kau pergi sekarang."
"Cukup," Kasadhalah yang membentak, "kau memuakkan kami."
Wajah orang itu berkerut. Dengan wajah yang mulai tegang ia berkata, "Jadi kalian benar-benar ingin menangkap kami?"
"Jika perlu membunuh kalian," jawab Kasadha, "karena itu menyerahlah."
"Diam," bentak orang itu, "kalian juga memuakkan sekali."
Bharata dan Kasadha dengan serta-merta telah melangkah mengambil jarak. Sementara itu, orang tertua di antara para pengawal itupun telah bersiap.
"Siapa yang masih ingin melihat matahari esok pagi terbit, tinggalkan tempat ini. Aku akan membunuh mereka yang masih tetap berada di dalam regol halaman rumah ini. Aku tidak mempunyai waktu banyak. Karena itu, cepat, lakukan," orang itu hampir berteriak.
Tetapi Bharata dan Kasadha justru melangkah mendekat. Dengan lantang pula Kasadha berkata, "Ternyata kami harus memaksakan kekuasaan kami dengan kekerasan."
Pemimpin perampok itu menggeram. Namun tiba-tiba seorang di antara mereka melangkah mendekati pemimpinnya itu sambil berkata, "Puguh. Anak itu adalah Puguh."
Jantung Kasadha bagaikan meledak. Ia benar-benar terkejut. Hampir saja ia kehilangan pengendalian diri dan bertindak dengan tergesa-gesa tanpa penalaran. Namun sekali lagi ia terkejut ketika orang itu justru menunjuk Bharata.
Pemimpin perampok itu termangu-mangu. Dipandanginya Bharata dengan saksama. Kemudian terdengar suaranya berat, "Puguh anak Rangga Gupita dan perempuan liar dari keluarga Kalamerta itu?"
"Ya," jawab orang itu.
Tetapi orang yang lain telah meloncat maju sambil berkata, "Apakah matamu sudah rabun. Yang satu itulah Puguh. Yang tua. Bukan yang muda."
"Setan kalian," geram pemimpin perampok itu, "ternyata kalian tidak mampu mengingat apa yang pernah kalian lihat." ia berhenti sejenak, lalu, "apakah kalian pernah melihat Puguh?"
"Pernah," jawab orang yang menunjuk Bharata, "beberapa tahun yang lalu di sarangnya."
"Bukankah kau bersama aku pada waktu itu" Sayang kita tidak berhasil menemukannya lagi selama ini," sahut yang lain.
"Ya. Kita bersama-sama. Tetapi Puguh adalah yang muda itu," berkata yang pertama.
Tetapi yang tua tetap menjawab, "Bukan. Puguh adalah yang tua."
"Kalian sudah gila," geram Kasadha yang telah berhasil menguasai perasaannya kembali, "namaku Kasadha dari kesatuan prajurit Pajang. Kawanku ini bernama Bharata. Kami bersama-sama berada dalam kesatuan yang sama. Kami sama sekali tidak pernah mendengar nama sebagaimana kalian sebutkan."
Pemimpin perampok itu termangu-mangu. Tetapi tiba-tiba ia membentak orang-orangnya, "Kalian sudah gila. Kalian telah dibayangi oleh mimpi buruk selama ini." ia berhenti sejenak, lalu, "tetapi biarlah. Kita akan melihat siapakah di antara mereka yang bernama Puguh. Keduanya memang mirip. Mungkin keduanya itu kakak beradik. Kita harus menangkap keduanya."
"Cukup," bentak Kasadha. "Jangan mengigau seperti itu. Sekali lagi aku peringatkan. Menyerahlah. Atau kami akan mempergunakan kekerasan."
Pemimpin perampok itulah yang kemudian berteriak, "Kalian saja menyerah. Jika kalian melakukan kesalahan dan kalian pertanggungjawabkan sendiri, itu bukan soal. Tetapi sekarang kau bawa anak-anak muda padukuhan ini yang tidak tahu apa-apa bersama kalian. Apalagi jika salah seorang di antara kalian benar-benar Puguh seperti yang dikatakan, karena tidak mungkin kalian kedua-duanya adalah Puguh."
Namun dengan nada rendah Bharata berdesis, "Siapakah sebenarnya Puguh itu sehingga menjadi buruan para perampok" Aku memang pernah dipaksa untuk menyerah karena aku disangka Puguh."
"Kau?" bertanya Kasadha.
"Ya. Seperti sekarang ini. Sedangkan aku sama sekali tidak mengenal Puguh. Sekarang giliranmu juga disangka Puguh. Mungkin setiap anak muda pada suatu saat akan disangka Puguh," desis Bharata. Namun Bharata sendiri tidak dapat mengatakan sesuatu yang telah diketahuinya tentang Puguh itu, karena ia tidak menyatakan dirinya berterus terang sebagai seorang anak laki-laki Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan yang bernama Risang.
"Orang-orang itu sudah dimabukkan oleh bayangan di kepala mereka sendiri," berkata Kasadha.
Namun dengan demikian Kasadha berkepentingan untuk menangkap orang-orang itu secepat mungkin dan menitipkan mereka di padukuhan itu dalam keadaan terikat. Sementara berdua Kasadha akan melaporkannya ke Pajang. Jika orang-orang itu masih sempat berbicara, maka uraian mereka tentang Puguh tentu akan berkepanjangan.
Karena itu, maka tiba-tiba saja ia berteriak, "Sekarang, menyerahlah."
Pemimpin perampok itu tidak menjawab lagi. Tetapi iapun telah memberi isyarat kepada orang-orangnya untuk bergerak. Bahkan dengan nada berat ia berkata, "Tangkap Puguh hidup-hidup."
"Yang mana?" bertanya seorang pengikutnya.
"Kedua-duanya," jawab orang itu.
Kasadha dan Bharatapun segera bersiap. Ketika ia berpaling kepada menantu Ki Bekel, maka ternyata orang itupun telah bersiap pula. Tetapi mereka masih melihat anak-anak muda yang mengikuti mereka merasa ragu-ragu.
"Perintahkan orang-orangmu," berkata Kasadha, "jangan melawan seorang lawan seorang. Jumlah kita lebih banyak."
Menantu Ki Bekel itu mengangguk. Iapun kemudian berteriak, "Marilah kita tunjukkan kecintaan kita kepada kampung halaman ini. Orang yang dirampok ini telah banyak memberikan sumbangan bagi kesejahteraan padukuhan ini. Usahakan jangan ada seorangpun yang bertempur seorang diri melawan para perampok. Carilah pasangan masing-masing. Cepat."
Anak-anak muda itu memang mulai bergerak. Sementara itu, Kasadha telah meloncat ke arah para perampok yang mulai bergerak, justru hampir bersamaan dengan saat pemimpin perampok itu meloncat menyerang Bharata.
Sejenak kemudian, maka pertempuran telah terjadi. Bharata harus bertempur melawan pemimpin perampok itu, sementara Kasadha mendapat lawan seorang yang bertubuh raksasa, yang justru menyebutnya sebagai Puguh.
Sementara itu menantu Ki Bekel itupun telah menyerang bersama anak-anak muda yang semula masih saja ragu-ragu. Tetapi ketika mereka melihat kedua orang prajurit Pajang itu sama sekali tidak merasa gentar disusul oleh menantu Ki Bekel, maka merekapun telah menghambur pula sambil mengacu-acukan senjata mereka. Namun seperti yang dipesankan oleh menantu Ki Bekel, bahwa mereka harus berpasangan.
Jumlah anak-anak muda itu memang lebih banyak. Sementara itu, masih ada beberapa orang anak muda yang mendekati tempat itu setelah mereka melihat iring-iringan mendekati dan memasuki halaman dipimpin oleh dua orang prajurit Pajang.
Namun mereka yang tidak segera berani memasuki arena, telah mengambil langkah yang lain. Mereka berlari ke rumah yang terdekat untuk membunyikan kentongan dengan nada titir.
Ternyata di kejauhan terdengar lagi suara kentongan menyambutnya. Semakin lama semakin banyak. Karena suara kentongan yang pertama itu tidak lagi tersendat-sendat, maka kentongan-kentongan yang menyambutpun tidak lagi merasa ragu-ragu.
Suara kentongan itu memang berhasil mempengaruhi suasana. Para perampok itu merasa sangat terganggu oleh suara kentongan itu. Bahkan seorang di antara mereka berteriak, "Suruh kentongan itu diam. Jika nanti aku tahu siapa yang membunyikannya, setelah aku membunuh orang-orang yang menjadi gila disini, aku akan membunuh mereka."
Tetapi Bharatalah yang menjawab sambil bertempur, "Kau yang telah menjadi gila."
"Persetan," pemimpin perampok yang melawannya itu berteriak.
Demikianlah, pertempuran itu semakin lama menjadi semakin seru. Ternyata Bharata dan Kasadha yang telah memiliki bekal ilmu yang kuat, sementara itu mereka telah ditempa pula dalam kehidupan keras seorang prajurit, maka mereka telah menjadi garang pula.
Pemimpin perampok itu memang terkejut ketika ia mengalami perlawanan Bharata. Anak yang masih sangat muda, serta kedudukannya sebagai prajurit kebanyakan itu, ternyata memiliki ilmu yang mapan.
Karena itu, maka pemimpin perampok itu harus mengerahkan kemampuannya untuk berusaha menundukkan Bharata.
Tetapi Bharata memang mampu mengimbanginya. Betapapun pemimpin perampok itu berusaha menekannya, namun Bharata selalu dapat terlepas dari sasaran serangannya.
"Iblis manakah yang telah merasuk ke dalam diri anak ini," geram pemimpin perampok itu.
Bharata sama sekali tidak menjawab. Tetapi ia menjadi semakin garang menekan lawannya, justru pada saat lawannya merasakan kesulitan untuk menundukkannya.
Pemimpin perampok itu memang terkejut mengalami tekanan yang semakin berat sehingga justru ia telah terdesak surut. Namun dengan demikian tiba-tiba saja ia berkata, "Ternyata kau benar-benar Puguh, anak Warsi. Kau agaknya telah mewarisi ilmu serigalanya yang akan mencapai puncak kekuatannya di saat purnama naik."
"Gila," geram Bharata, "aku bukan Puguh."
"Kau dapat saja ingkar," geram pemimpin perampok itu.
Kasadha yang juga mendengar percakapan itu memang menjadi berdebar-debar. Tetapi hatinya menjadi agak lapang ketika Bharata menjawab, "Tutup mulutmu. Aku belum pernah mendengar nama itu. Apalagi mengenalnya. Jika kau mampu menilai ilmu, apakah kau melihat unsur-unsur gerak ilmu serigala itu pada unsur-unsur gerakku?"
Pemimpin perampok itu justru terdiam. Ia memang tidak mampu menilai ilmu lawannya. Apalagi menghubungkan dengan ilmu yang dimilikinya oleh War-si, seorang perempuan yang memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Namun dalam pada itu, keduanya telah bertempur semakin sengit. Perampok yang mulai menjadi cemas itu benar-benar telah mengerahkan kemampuannya.
Sementara itu, Kasadha telah semakin mendesak lawannya pula. Ketika ia mendapat kesempatan, maka sambil menekan lawannya semakin ketat ia bertanya, "Siapakah Puguh itu?"
"Jangan pura-pura," geram orang itu.
"Katakan tentang orang itu agar aku dapat mengerti, kenapa kau menyangka aku Puguh," suara Kasadha menjadi semakin berat.
Orang itu tidak menjawab. Namun Kasadha menyerang semakin cepat. Bahkan hampir saja telinganya terputus oleh pedang Kasadha. Namun ketika pedangnya bergeser setebal jari dari telinga lawannya, maka dengan cepat Kasadha memutar pedangnya. Sambil menggeliat ia meloncat ke samping, namun pedangnya sempat terjulur menyentuh lengan raksasa itu.
"Setan kau," geram orang itu.
Kasadha semakin menekannya. Kemudian ia bertanya lagi, "Aku atau bukan aku, katakan tentang Puguh itu."
Lawannya tidak menjawab. Tetapi ia berusaha menghentakkan kekuatannya yang sangat besar untuk mengatasi ilmu Kasadha. Tetapi Kasadha tidak terlalu bodoh untuk membentur kekuatan raksasa itu. Dengan sigap ia menghindarinya. Namun tiba-tiba saja dengan satu loncatan panjang pedangnya telah terjulur menggapai pundak orang itu.
Orang itu memang sempat bergeser mundur. Namun ternyata bahwa sekali lagi ujung pedang itu telah menyentuh pundaknya. Hanya seujung rambut. Tetapi ternyata darah telah mengembun dari luka itu serta dari luka di lengannya.
Pertempuran di halaman rumah itu semakin lama memang menjadi semakin seru.
Para perampok yang lain memang harus menghadapi lawan yang terlalu banyak. Setiap orang harus melawan dua atau tiga orang anak muda dari padukuhan itu.
Bagaimanapun juga, maka anak-anak muda itu memang tidak memiliki kesiagaan yang cukup untuk melawan para perampok. Ketika para perampok itu berloncatan dengan pedang berputaran, mereka memang mulai menjadi kecut.
Tetapi menantu Ki Bekel itu berteriak, "Jangan takut. Pemimpin perampok itu sudah tidak berdaya. Ia terikat dalam pertempuran melawan prajurit Pajang. Demikian pula raksasa itu. Yang tinggal adalah perampok-perampok kecil yang tidak berbahaya bagi kalian."


01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Menantu Ki Bekel itu sendiri memang seorang yang berani. Apalagi ketika ia melihat Kasadha telah berhasil melukai lawannya yang bertumbuh raksasa itu.
Bahkan beberapa saat kemudian, pemimpin perampok yang memiliki kemampuan seorang perwira prajurit Jipang itu mulai terdesak. Orang itu ternyata tidak sekuat Ki Rangga Selamarta atau Ki Rangga Sanggabantala. Karena itu, maka beberapa saat kemudian Bharatapun telah mulai mendesak lawannya. Pemimpin perampok yang sangat ditakuti itu.
Para perampok yang pada dasarnya memiliki kelebihan dari orang-orang padukuhan itu mulai gelisah. Meskipun mula-mula anak-anak muda padukuhan itu ragu-ragu, namun kata-kata menantu Ki Bekel itu memang dapat mempengaruhi mereka. Apalagi sikap menantu Ki Bekel yang garang itu.
Beberapa orang anak muda padukuhan itu memang sempat melihat darah yang meleleh di luka raksasa itu. Lengannya dan sedikit di pundaknya. Namun semakin banyak ia bergerak, maka darahpun meleleh semakin banyak pula.
Hal itu telah berpengaruh atas anak-anak muda padukuhan itu. Apalagi setiap kali menantu Ki Bekel itu memang berteriak-teriak memanaskan hati anak-anak muda padukuhan yang kadang-kadang masih nampak kecut.
Sementara pertempuran berlangsung semakin keras, maka raksasa yang melawan Kasadha itu masih bergumam, "Ternyata Puguh memiliki tingkat kemampuan ayahnya Rangga yang licik dan gila itu, yang lebih mementingkan perempuan liar itu daripada tugasnya."
*** JILID 26 KATA-KATA itu benar-benar menusuk hati Kasadha. Ialah sebenarnya Puguh yang disebut-sebut itu. Karena itu, maka Kasadha seakan-akan mendapat keterangan lebih banyak tentang ayah dan ibunya. Ayah yang sebenarnya adalah orang lain sama sekali.
Karena itu, maka Kasadha telah menumpahkan gejolak perasaannya itu kepada lawannya yang telah menyebut-nyebut kedua orang tuanya yang sama sekali tidak akrab dengan dirinya. Tetapi ialah Puguh itu. Puguh sebagaimana disebut-sebut meskipun ia dapat ingkar dengan nama samarannya. Satu keuntungan pula bahwa lawannya itu ragu-ragu, apakah ia benar-benar Puguh atau tidak. Kebetulan kawannya yang bernama Bharata itupun telah disangka Puguh pula, karena wajahnya memang mempunyai kemiripan dengan wajahnya.
Dengan demikian maka Kasadha itu bertempur semakin garang. Iapun kemudian yakin bahwa perampok-perampok itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan Mataram. Mereka adalah orang-orang yang berusaha mencari keuntungan dalam saat-saat yang keruh.
Tetapi agaknya bukan itu saja. Orang-orang Jipang dengan sengaja ingin merusak tatanan kehidupan di Pajang, karena mereka sangat mendendamnya. Berdirinya Pajang telah menghancurkan harapan Jipang untuk dapat bangkit menjadi pusat pemerintahan.
Dengan demikian maka pertempuran itupun semakin lama menjadi semakin garang. Kasadha sama sekali tidak berniat untuk melepaskan lawannya. Kecuali orang itu bersalah sangat besar kepada rakyat Pajang, karena justru dalam keadaan gawat ia telah menambah beban, orang itupun akan dapat mengatakan kepada orang lain, bahwa orang yang disangkanya bernama Puguh itu ada di lingkungan keprajuritan Pajang.
Karena itu, maka dengan segenap kemampuannya Kasadha telah mendesak lawannya. Senjatanya yang telah bergetar di tangannya menyambar-nyambar dengan garangnya.
Bahkan sekali lagi ujung senjatanya itu mampu menggapai tubuh lawannya.
Raksasa itu menyeringai menahan sakit. Yang kemudian berdarah adalah dadanya. Meskipun tidak begitu dalam, tetapi darah yang semakin banyak mengalir itu telah membasahi pakaiannya bercampur dengan keringatnya yang bagaikan terperas.
Orang itu mulai menjadi cemas. Tetapi ia masih berharap keadaan akan dapat berubah.
Tetapi Bharatapun telah mendesak lawannya pula. Anak muda itupun telah menjadi sangat marah. Dua kali ia disangka orang lain yang bernama Puguh yang sama sekali tidak dikenalnya. Dugaan yang demikian akan dapat mencelakai dirinya karena orang-orang itu berusaha untuk menangkapnya justru karena ia disangka Puguh.
Apalagi sebagaimana Kasadha ia menganggap bahwa para perampok itu tidak bedanya dengan pengkhianat yang telah merusak Pajang justru dari dalam tubuh sendiri. Sehingga dengan demikian maka Bharatapun sama sekali tidak berniat untuk melepaskan lawannya. Jika ia tertangkap hidup, maka ia harus dihadapkan kepada para prajurit di Pajang. Atau bahkan tertangkap mati sama sekali.
Dengan kemampuannya yang tinggi, Bharatapun berhasil mendesak lawannya yang garang itu. Beberapa kali lawannya berteriak dan mengumpat-umpat jika serangannya gagal. Semula ia tidak mengira jika prajurit muda itu memiliki kemampuan yang demikian tinggi.
Sementara itu, anak-anak muda padukuhan itupun menjadi semakin garang pula. Mereka menjadi yakin bahwa mereka akan dapat memenangkan pertempuran setelah mereka melihat darah di tubuh raksasa itu. Sementara prajurit muda yang lain itupun telah mampu mendesak lawannya sehingga kadang-kadang kehilangan pegangan.
Dengan demikian maka para perampok itupun semakin mengalami kesulitan. Anak-anak muda padukuhan itu justru menjadi lebih garang dari kedua orang prajurit muda itu. Kedua prajurit muda itu bertempur dengan paugeran-paugeran tertentu meskipun keduanya juga menjadi semakin garang. Namun mereka tidak menakutkan seperti anak-anak muda itu seperti orang yang kehilangan nalar, yang semata-mata telah digerakkan oleh perasaan mereka. Beberapa lama anak-anak muda itu tertekan karena tingkah laku para perampok. Bahkan mereka pernah mengalami kehilangan harga diri sama sekali karena mereka tidak berani berbuat apapun juga ketika perampokan itu terjadi.
Karena itu ketika kesempatan itu datang, maka anak-anak muda itu seolah-olah mendapat kesempatan untuk melepaskan dendam mereka.
Para perampok yang lain, memang merasa kehilangan pimpinan karena pemimpinnya dan orang bertubuh raksasa yang dianggap memiliki kelebihan dari orang-orang lain telah terikat dalam pertempuran melawan dua orang prajurit muda itu. Bahkan keduanya sama sekali tidak mampu dengan segera mengatasi kesulitan mereka dan membantu para pengikutnya melawan anak-anak muda yang jumlahnya jauh lebih banyak dari mereka. Satu dua di antara anak-anak muda itu nampaknya memang pernah juga mendapat tuntunan caranya mempergunakan senjata meskipun baru dasar-dasarnya saja. Namun di dalam satu kelompok, mereka memang menjadi berbahaya sekali. Apalagi dalam keadaan yang tidak menentu. Saat-saat yang dicengkam oleh kecemasan dan ketidakpastian.
Dalam keadaan yang demikian, maka para perampok itu memang menjadi sangat cemas. Mereka semula sama sekali tidak mengira, bahwa mereka akan mendapat perlawanan yang bahkan sulit untuk ditembus.
Beberapa orang anak muda memang telah terluka. Tetapi berbeda dengan hari-hari yang lewat. Mereka tidak menjadi gentar dan ketakutan. Tetapi mereka menjadi marah dan mendendam. Apalagi menantu Ki Bekel itu setiap kali telah menyalakan api kemarahan itu di setiap dada anak-anak muda.
Anak-anak muda itu menjadi semakin garang, ketika mereka juga berhasil melukai dua tiga orang perampok. Bahkan seorang di antara para perampok itu telah terbaring di tanah karena lukanya yang sangat parah.
Karena kawan-kawannya tidak sempat menyelamatkannya, maka orang itupun menjadi sangat gawat karena darah yang mengalir dari lukanya.
Para perampok yang tersisa tidak mempunyai pilihan lain kecuali melarikan diri. Mereka adalah orang-orang yang garang. Tetapi hati mereka sebenarnya memang sudah rapuh. Sejak mereka terusir dan mengembara, mengalami banyak kesulitan, memang membuat mereka menjadi pendendam, garang dan kehilangan landasan kemanusiaan mereka. Namun hati merekapun sebenarnya menjadi rapuh dan mudah goyah.
Karena itu, maka hampir bersamaan, telah tumbuh niat di hati para perampok itu untuk melarikan diri.
Tetapi mereka tidak mendapat kesempatan sama sekali. Anak-anak muda itu seakan-akan telah mengepung mereka dengan rapat. Senjata teracu dari segala arah.
Orang bertubuh raksasa itupun merasa tidak mempunyai kesempatan lagi. Tetapi iapun tidak melihat kemungkinan untuk dapat melarikan diri. Darah telah mengalir semakin banyak. Kekuatannya perlahan-lahan susut, lebih cepat dari lawannya yang masih muda itu.
Karena itu, maka iapun telah mencoba untuk menghentakkan kekuatannya yang tersisa. Ia mempunyai dua pilihan dalam kemungkinan yang sama. Berhasil mengalahkan lawannya dalam hentakkan itu atau tidak. Jika tidak, berarti ia akan mati dalam pertempuran itu.
Dengan demikian maka orang bertubuh raksasa itu telah bersiap-siap. Ketika ia mendapat kesempatan setelah berhasil menghindari serangan Kasadha, maka iapun telah melakukan niatnya untuk mempercepat penyelesaian, meskipun ia tidak yakin akan berhasil.
Dengan sisa tenaga yang ada, maka orang itupun telah meloncat menyerang. Senjatanya berputaran mengerikan. Dengan teriakan yang bagaikan memecahkan selaput telinga, orang itu mengayunkan senjatanya mengarah ke leher Kasadha.
Namun Kasadha memang cekatan. Ia segera mengetahui apa yang dilakukan oleh lawannya. Satu tindakan putus asa. Sehingga karena itu, maka Kasadhapun telah mengerahkan tenaganya pula. Meskipun tenaganya juga sudah mulai susut, tetapi ternyata sisa tenaga Kasadha yang terlatih dengan baik di padepokannya masih cukup kuat bagi lawannya.
Sejenak kemudian benturan yang keras telah terjadi. Ternyata bahwa ayunan senjata lawannya yang didorong oleh segenap sisa kekuatannya itu telah membentur kekuatan yang sangat besar, sehingga hampir saja senjata raksasa itu terlepas. Namun orang itu masih berhasil menahan senjatanya betapapun telapak tangannya bagaikan menggenggam bara.
Kasadhapun tergetar pula. Sebelumnya ia dengan sengaja menghindari setiap benturan. Tetapi ketika tenaga raksasa itu sudah jauh susut, bukan saja karena pengerahan kekuatan, tetapi juga karena darahnya yang terlalu banyak mengalir, maka Kasadha telah mencobanya.
Ternyata Kasadha berhasil. Ketika lawannya sedang berusaha untuk memperbaiki kedudukannya, maka Kasadha telah menyerangnya. Ketika senjatanya terjulur demikian cepatnya, maka lawannya berusaha untuk menangkisnya meskipun pegangannya belum mapan. Justru pada saat yang demikian Kasadha telah memutar senjatanya dan dengan satu hentakkan tegak, maka senjatanya raksasa itu telah terlempar.
Sejenak, raksasa itu menjadi kebingungan. Namun ia tidak sempat terlalu lama memandang senjatanya yang terlempar itu. Ketika Kasadha meloncat selangkah maju dengan pedang terjulur, maka ujung pedang itu telah menghunjam di dadanya, tembus ke arah jantung.
Orang itu mengerang. Namun ketika Kasadha menarik pedangnya, maka orang itupun telah roboh dan tidak bangkit lagi untuk selamanya.
Kematian raksasa itu memang sangat berpengaruh. Pemimpin perampok itu harus mengakui kenyataan yang dihadapinya. Sementara itu, iapun sama sekali tidak berhasil mengalahkan prajurit muda yang bernama Bharata itu. Apalagi ketika pemimpin perampok itu melihat orang-orangnya menjadi sangat gelisah.
Karena itu, selagi masih ada kesempatan, pemimpin perampok itu memang akan berusaha melarikan diri tanpa memberikan isyarat kepada orang-orangnya.
Tetapi Bharata dapat melihat rencana itu dari sikap lawannya yang berusaha untuk bergeser menjauhi arena. Dengan demikian maka Bharatapun menjadi semakin garang. Ia tidak akan melepaskan lawannya, karena menurut pertimbangan Bharata orang itu akan menjadi orang yang sangat berbahaya. Karena itu, maka ia harus tertangkap dan diserahkan kepada pimpinan prajurit Pajang, atau mati.
Pemimpin perampok itu mengumpat. Lawannya yang masih muda itu nampaknya memang mempunyai beberapa kelebihan. Apalagi dalam kegelisahan, pemimpin perampok itu menjadi kurang mapan menanggapi serangan-serangan Bharata yang semakin deras.
Karena itu, sebelum ia sempat melarikan diri, justru serangan Bharata berhasil mengenai lambungnya. Segores luka telah memerah di bawah pakaiannya yang koyak.
Pemimpin perampok itu mengumpat kasar. Sementara itu, Kasadha yang telah kehilangan lawannya telah berada di antara anak-anak muda padukuhan itu yang dipimpin oleh menantu Ki Bekel yang sedang sakit.
"Menyerahlah," berkata Bharata, "aku akan membawamu ke Pajang. Atas nama kekuasaan Pajang, aku berhak untuk melakukannya. Apalagi dalam keadaan gawat seperti sekarang ini."
"Persetan," geram orang itu, "kau kira aku mau menjadi tontonan orang-orang Pajang" Atau barangkali untuk melepaskan dendamnya karena kekalahan-kekalahan yang dialami atas Mataram."
"Tutup mulutmu," bentak Bharata, "aku dapat berbuat lebih banyak dari yang terjadi sekarang atasmu."
"Akulah yang akan membunuhmu dan membunuh anak-anak muda yang sombong ini," geram orang itu.
Tetapi kata-katanya terputus. Hati Bharata menjadi semakin panas. Apalagi jika ia teringat kepada nama Puguh yang sama sekali tidak diketahui ujung pangkalnya. Namun satu hal yang diyakini bahwa wajahnya tentu mirip dengan Puguh.
Hampir di luar sadarnya Bharata berpaling ke arah Kasadha. Tetapi anak muda itu telah tenggelam dalam pertempuran yang kusut. Namun terlintas di kepalanya bahwa Kasadha itupun mirip dengan dirinya. Tetapi namanya bukan Puguh.
"Orang-orang itu juga menyangkanya Puguh," desis Risang di dalam hatinya.
Tetapi berbagai macam dugaan itupun segera disisihkannya. Iapun segera memusatkan perhatiannya kepada lawannya. Agaknya lawannya itupun telah menjadi berputus asa sehingga justru dengan demikian ia menjadi semakin garang dan liar.
Pada saat-saat terakhir pertempuranpun menjadi semakin keras. Bharata juga mulai memperhitungkan waktu, karena ia sedang dalam perjalanan menjalankan perintah. Sehingga karena itu, maka iapun telah mengerahkan kemampuannya pula.
Akhirnya ternyata bahwa pemimpin gerombolan itu tidak mampu berbuat banyak. Ketika sekali lagi Bharata menawarkan kesempatan menyerah telah ditolak, dan justru pada saat itu pemimpin gerombolan perampok itu menghentakkan serangannya, Bharata menjadi kehabisan kesabaran.
Dengan loncatan pendek, Bharata berhasil menghindari serangan lawannya. Namun lawannya bagaikan menjadi gila. Ia justru meloncat sambil menjulurkan senjata ke pangkal leher Bharata. Namun Bharata bergeser setapak sambil berjongkok. Namun demikian lawannya merapat, maka ujung senjata Bharatapun telah terjulur.
Senjata pemimpin perampok itu meluncur setapak di atas kepala Bharata. Namun ujung senjata Bharatalah yang kemudian mengoyak bukan hanya pakaian lawannya, tetapi lambungnya. Bukan hanya goresan memanjang di kulitnya seperti yang terdahulu, tetapi langsung menghunjam dalam-dalam.
Sesaat Bharata kemudian berdiri merenungi pemimpin perampok itu. Namun kemudian ia berpaling ke arah pertempuran yang semakin sengit antara sisa-sisa perampok yang masih bertahan dan tidak sempat melarikan diri lagi melawan anak-anak muda padukuhan itu.
Namun kemudian ternyata bahwa Bharata melihat Kasadha mengalami kesulitan untuk mencegah anak-anak muda itu membunuh lawan-lawannya. Karena itu, maka Bharatapun segera berlari ke arena pertempuran itu sambil berteriak sebagaimana Kasadha, "Hentikan. Hentikan."
"Kau juga membunuh lawanmu," teriak menantu Ki Bekel.
"Tetapi persoalannya lain. Jika mereka telah menyerah maka kalian tidak dapat membunuhnya," teriak Bharata.
"Mereka belum menyerah," jawab menantu Ki Bekel.
"Mereka tentu akan menyerah. Aku menjamin," Kasadhalah yang berteriak.
Tetapi sulit untuk mencegah amukan anak-anak muda yang sudah sekian lama merasa tertekan. Bahkan Bharatapun kemudian berkata, "Kita memerlukan mereka untuk memberikan laporan kepada para pemimpin prajurit di Pajang."
Namun Bharata dan Kasadha tidak mampu mencegah anak-anak muda yang marah itu. Apalagi beberapa orang di antara mereka telah terluka. Bahkan ada yang nampaknya agak parah sehingga membahayakan jiwanya.
Kawan-kawannya benar-benar sulit untuk dikendalikan lagi. Seorang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan yang telah terluka di pundaknya sama sekali tidak mau mendengar peringatan Bharata dan Kasadha. Sedangkan seorang yang berkumis tipis dan yang pakaiannya telah basah oleh darah di punggungnya menjadi seakan-akan kehilangan kesadarannya. Baru kemudian Bharata dan Kasadha mengetahui bahwa anak muda berkumis tipis itu adalah saudara kandung anak muda yang terluka parah, yang bahkan telah disangkanya mati.
Pertempuran itu baru berakhir ketika semua orang dalam gerombolan perampok itu terbunuh. Tidak seorang pun yang tersisa.
Bharata dan Kasadha memandangi tubuh-tubuh yang terbaring diam itu dengan jantung yang berdegupan. Tetapi merekapun harus menyalahkan diri sendiri, karena merekalah orang yang pertama-tama membunuh lawannya.
Kasadha tidak dapat ingkar, bahwa ia memang berniat membunuh lawannya itu justru karena orang itu telah menyebut namanya, Puguh, selain menurut penglihatan Kasadha lawannya itu telah berkhianat.
Tetapi apapun tanggapan Kasadha dan Bharata, namun yang terjadi itu sudah terjadi. Sejenak kedua prajurit muda dari Pajang itu sempat memperhatikan anak-anak muda yang menjadi gelisah setelah mereka menyadari apa yang terjadi.
Dalam keadaan yang demikian Bharata berkata, "Ki Sanak. Semuanya sudah terlanjur terjadi. Kita tidak akan dapat mengharapkan orang-orang yang terbunuh itu untuk bangkit lagi. Karena itu kita harus mempertanggung-jawabkannya."
"Apa maksudmu?" bertanya menantu Ki Bekel yang masih menggenggam pedang yang berlumur darah.
"Orang-orang itu tentu tidak berdiri sendiri," jawab Bharata.
Anak-anak muda itu terdiam. Namun Bharata melanjutkan, "Karena itu, kalian justru harus bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Kalian telah menyatakan diri sebagai laki-laki sekarang ini. Untuk seterusnya kalian harus bersikap sebagai laki-laki. Jika kalian merasa bahwa kemampuan kalian belum memadai, maka kalian harus menggerakkan anak-anak muda sebanyak-banyaknya yang ada di padukuhan ini. Bahkan semua laki-laki yang masih mampu mengangkat senjata. Karena tidak mustahil bahwa kawan-kawan dari orang-orang yang terbunuh ini akan datang."
Anak-anak muda itu termangu-mangu sejenak. Sementara itu Kasadha menambahkan, "Jika kalian tidak bersiap, maka yang terjadi akan sebaliknya dari yang terjadi sekarang ini. Karena itu, siapa di antara kalian yang memiliki sedikit pengetahuan tentang olah senjata, maka sebaiknya ilmu yang sedikit itu ditularkan kepada kawan-kawannya untuk mendapat kemungkinan buruk yang dapat terjadi."
Menantu Ki Bekel itu mulai berpikir. Tetapi iapun kemudian menjawab, "Baiklah Ki Sanak. Kami akan mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat terjadi di padukuhan ini. Tetapi pengalaman kami kali ini menunjukkan bahwa sebenarnya kami tidak selemah cacing tanah."
"Bagus," jawab Kasadha, "kami berdua mungkin tidak akan dapat membantu kalian lagi lain kali. Tetapi peristiwa ini akan kami laporkan kepada pimpinan prajurit Pajang."
Menantu Ki Bekel itu mengangguk lemah sambil berkata, "Terima kasih atas bantuan kalian kali ini. Bahkan mampu menggugah keberanian kami. Tetapi kami juga minta maaf, bahwa segalanya telah terjadi di luar kesadaran penalaran kami."
"Kalian akan dapat menjelaskan jika pimpinan prajurit Pajang sempat menanyakan kepada kalian tentang peristiwa ini. Tetapi jangan terlalu berharap. Pajang sedang sibuk menghadapi Mataram yang nampaknya cukup kuat."
Menantu Ki Bekel itu mengangguk-angguk kecil.
"Sampaikan kepada mertuamu yang sedang sakit itu. Bicarakan dengan para bebahu yang lain apa yang sebaiknya harus dilakukan oleh padukuhan ini," pesan Kasadha.
Demikianlah kedua orang prajurit muda itupun telah minta diri. Seorang di antara anak-anak muda itu telah mengantarkan keduanya mengambil kuda mereka dan sejenak kemudian, keduanya telah melanjutkan perjalanan mereka ke Pajang untuk memberikan laporan tentang kekalahan mereka di sisi Selatan, karena Mataram telah mengerahkan bukan saja prajurit dan pengawal, tetapi anak-anak muda dari padukuhan-padukuhan yang telah berhasil mereka himpun.
Sejenak kemudian, maka keduanyapun telah berpacu langsung menuju ke Pajang untuk menghubungi para pemimpin prajurit. Namun Bharata dan Kasadha sempat berpesan, jika sesuatu terjadi, sebaiknya merekapun memberi laporan kepada Ki Demang yang akan melanjutkan laporan itu ke Pajang.
"Peristiwa inipun harus diketahui Ki Demang setelah kalian melaporkannya kepada Ki Bekel," desis Bharata sebelum meninggalkan padukuhan itu.
Di saat Bharata dan Kasadha melanjutkan perjalanan mereka ke Pajang, maka seorang pengawal yang mendapat tugas khusus untuk mengamati Randukereppun telah memasuki Kademangan Traju. Tetapi kedatangan orang itu sama sekali tidak menarik perhatian, karena sebagian benar orang-orang Traju telah mengenalnya. Apalagi pamannya memang benar-benar tinggal di Traju.
Seorang anak muda yang mengenalinya bertanya, "He, apakah kau akan menengok pamanmu?"
"Aku merasa cemas akan keadaannya. Ternyata tidak terjadi apa-apa di Traju."
"Perang telah terjadi di Randukerep," berkata anak muda dari Traju itu.
"Syukurlah jika tidak merambat sampai ke Traju," jawab anak muda dari Nglawang itu.
Demikianlah maka anak muda dari Nglawang itupun langsung menuju ke rumah pamannya tanpa gangguan apapun juga.
Dengan senang hati pamannya telah menerimanya. Bahkan pamannya itu berkata, "Tinggallah disini. Jika terpaksa kami harus mengungsi karena peperangan ini, maka kami akan mengungsi ke rumahmu di Nglawang."
Anak muda itu tidak menolak. Ia memang memerlukan waktu melakukan tugasnya. Mengamati kedudukan pasukan Mataram yang berada di Randukerep.
Sementara itu Bharata dan Kasadha telah memasuki kota Pajang yang nampak sepi. Beberapa orang prajurit masih nampak berjaga-jaga. Tetapi sebagian besar kekuatan Pajang telah berada di perkemahan di sebelah Timur Kali Praga. Apalagi ketika Sultan Pajang sendiri telah turun ke medan.
Namun keragu-raguan Sultan Pajang nampaknya mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi para pemimpin pemerintahan dan para Senapati. Mereka tidak dapat bertindak dengan cepat untuk mendesak Mataram.
Bahkan Sultan Hadiwijaya telah memerintahkan agar pasukan Pajang tidak dengan tergesa-gesa menyeberang Kali Opak yang besar di musim basah.
"Kita dapat menengok pengalaman dalam pertempuran antara Jipang dan Pajang waktu itu. Karena Jipang dengan tergesa-gesa menyeberangi bengawan, maka pastikan Pajang mempunyai kesempatan untuk menghancurkannya. Di saat pasukan menyeberang, maka kekuatannya akan terasa sangat berkurang, karena sebagian besar perhatiannya tertuju pada penyeberangan itu sendiri, sementara lawannya telah menghujani anak panah dan lembing," berkata Sultan itu kepada para Senapati.
Namun para Adipati yang menyertainya menyadari sepenuhnya, bahwa Kangjeng Sultan benar-benar masih dipengaruhi oleh kasih sayangnya kepada putera angkatnya yang kemudian bergelar Panembahan Senapati di Mataram itu.
Bahkan sekali pernah terloncat di luar sadarnya pernyataan Kangjeng Sultan di Pajang, "Wahyu keraton memang sudah meninggalkan Pajang dan berada di Mataram."
Dalam pada itu, Bharata dan Kasadha yang mohon menghadap pimpinan keprajuritan yang bertugas di Pajang, telah dipertemukan dengan seorang Tumenggung yang sebelumnya belum dikenalnya dengan akrab. Namun Tumenggung Surapraba itu ternyata tahu betul tentang gerakan pasukan Pajang di sisi Selatan.
"Kami terpaksa meninggalkan Kademangan Randukerep," berkata Bharata dalam laporannya. Lalu katanya pula, "Selanjutnya kami menunggu perintah. Ki, Lurah Dipayuda akan melakukan semua perintah yang dibebankan ke pundaknya."
Ki Tumenggung Surapraba menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Tidak ada lagi kekuatan yang dapat kami kirimkan untuk membantu pasukan Ki Lurah Dipayuda. Nampaknya pengamatan kami terhadap kekuatan Mataram di sisi Selatan agak kabur. Sementara itu kekuatan Mataram di seberang Kali Praga menurut laporan tidak begitu besar."
"Mataram telah mengerahkan anak-anak muda dari padukuhan-padukuhan yang telah berada di bawah pengaruhnya," lapor Kasadha.
Ki Tumenggung Surapraba itupun berkata, "Ki Lurah Dipayuda harus menyusun kekuatannya kembali dengan orang yang ada, dan barangkali dapat dilengkapi dengan kekuatan di padukuhan-padukuhan se Kademangan Nglawang dan barangkali Traju dan lain-lain. Dengan kekuatan yang ada itu, Ki Lurah harus menghambat gerak pasukan Mataram sejauh dapat dilakukan. Mungkin Kademangan Nglawang lebih baik keadaannya daripada Kademangan Randukerep, meskipun Kademangan Randukerep memang lebih besar."
Kedua prajurit muda itu mengangguk. Sementara Ki Tumenggung Surapraba yang bertanggung jawab atas pengamanan kota Pajang itu berkata selanjutnya, "Usahakan untuk mengetahui gerakan prajurit Mataram di Randukerep. Jika keadaan menjadi semakin gawat, kami memerlukan laporan kalian dengan segera."
Bharata dan Kasadha menjawab hampir berbareng, "Baik, Ki Tumenggung."
"Sekarang kalian harus segera kembali ke kesatuan kalian. Kau dapat singgah di dapur barak ini sebelum berangkat, karena mungkin kalian tidak akan menemui makanan di perjalanan kembali. Apalagi kalian tentu kemalaman di jalan. Tetapi perintahku, jangan bermalam dimanapun. Kalian harus langsung menuju ke kesatuan kalian," berkata Ki Tumenggung.
Kedua prajurit muda itupun kemudian diperkenankan untuk pergi ke dapur setelah Ki Tumenggung memberikan beberapa pesan dan perintah khusus.
Kasadha dan Bharata yang kemudian berada di dapur mendengar dari para prajurit yang masih bertugas di kota Pajang, nampaknya Mataram telah mengerahkan segenap kekuatan yang ada. Namun jumlah mereka terlalu sedikit dibandingkan dengan jumlah prajurit Pajang.
Namun seorang prajurit yang umurnya telah mendekati setengah abad berkata, "Ada kelebihan pada prajurit Mataram."
"Apa?" bertanya prajurit yang lebih muda.
"Tekad mereka yang membakar seluruh bagian dari hidupnya. Berbeda dengan kita. Kita masih saja ragu-ragu sampai saat kita berhadapan di medan perang. Keragu-raguan yang bersumber pada keragu-raguan Kangjeng Sultan sendiri," berkata prajurit yang sudah lebih tua itu.
Kasadha dan Bharata sama sekali tidak melibatkan diri dalam pembicaraan itu. Tetapi ia menangkap tanggapan para prajurit Pajang terhadap keadaan. Namun bagi Bharata dan Kasadha, yang mereka hadapi adalah kekuatan Mataram itu langsung. Mereka telah bertempur dengan sengitnya meskipun dalam medan yang termasuk sempit. Tetapi ternyata beberapa orang kawan mereka telah gugur. Pasukan mereka terdesak mundur dengan meninggalkan beberapa orang korban.
Setelah makan dan minum secukupnya, maka Bharata dan Kasadhapun telah minta diri pada petugas yang ada di dapur bagi para prajurit itu. Kemudian menuntun kuda mereka keluar dari regol halaman.
"Perut kita masih terlalu kenyang untuk berpacu di punggung kuda," berkata Bharata.
Kasadha mengangguk. Katanya, "Kita berjalan saja perlahan-lahan sambil menunggu nasi di perut ini turun."
Keduanyapun kemudian berjalan menuntun kuda mereka menyusuri jalan-jalan kota yang jauh berbeda dari keadaan kota Pajang sebelum pecah perang terbuka melawan Mataram. Kotanya menjadi sepi. Yang banyak hilir mudik justru para prajurit yang meronda. Ada beberapa orang prajurit yang datang dari Kadipaten yang berdiri di belakang Pajang yang masih berada di kota untuk kepentingan-kepentingan yang khusus.
Namun dalam pada itu, Kasadha masih saja dibayangi oleh mimpi buruk tentang orang-orang yang mencari Puguh. Karena itu, maka ia masih belum dapat melepaskan kegelisahannya. Apalagi dalam keadaan yang tidak menentu itu. Hampir saja ia terjebak ke dalam tangan orang-orang yang mencari Puguh, justru bersama-sama dengan Bharata. Orang yang tidak tahu menahu persoalannya. Seandainya ia dipaksa untuk mengaku dengan menekan Bharata, maka ia tentu harus mengatakan yang sesungguhnya. Ia tidak mau Bharata, yang menurut pendapatnya adalah anak muda yang baik itu mengalami kesulitan karena dirinya hanya karena wajahnya yang mirip dengan anak muda yang bernama Puguh.
Beberapa lamanya anak-anak muda itu berjalan sambil menuntun kudanya di jalan-jalan yang sepi. Pintu-pintu rumah banyak yang tertutup. Sementara penghuninya telah menyiapkan barang-barangnya yang paling berharga. Mereka harus bersiap-siap jika pada suatu saat mereka harus mengungsi.
Para prajurit yang lewat di jalan-jalan hanya saling memandang sejenak. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan tanpa saling menyapa. Baik prajurit Pajang sendiri, maupun para prajurit dari luar Pajang yang melibatkan diri dalam permusuhan antara Mataram dan Pajang.
"Akhirnya orang-orang padukuhan itu harus menjaga diri mereka masing-masing," berkata Kasadha tiba-tiba.
Bharata mengangguk-angguk. Tidak mungkin bagi Pajang yang mengalami kesulitan itu untuk mengirimkan prajurit ke padukuhan-padukuhan mengatasi perampokan. Karena itu, maka setiap Kademangan harus berusaha untuk memantapkan pengamanan di lingkungan masing-masing.
Ketika mereka melewati pasar, maka nampaknya pasar itu juga menjadi sepi. Bukan hanya karena hari memang sudah sore, tetapi nampaknya di pagi haripun pasar itu sepi. Karena jika pasar itu ramai, maka sampai sore hari masih ada banyak pedati di sekitarnya untuk mengangkut barang-barang yang tersisa, atau yang memang baru saja dibeli di pasar itu. Pande besi biasanya bekerja sampai menjelang senja di hari-hari pasaran. Dan kedai-kedai di setiap hari terbuka sampai lampu-lampu minyak harus dinyalakan.
Tetapi semuanya itu tidak nampak di pasar itu. Kecuali sebuah kedai yang membuka pintunya. Itupun hanya satu dari kedua pintu di bagian depan.
Kedua prajurit muda itu mendekati kedai yang terbuka pintunya sebelah itu. Mereka masih kenyang dan tidak akan membeli makanan atau minuman. Namun dari pemilik kedai itu, keduanya ingin mendengar serba sedikit tentang pasar itu sehari-hari.
Seperti dugaan mereka, maka pemilik kedai itu memang berceritera tentang pasar yang menjadi semakin sepi. Bahkan menurut pemilik kedai itu, banyak pedagang yang tidak lagi pergi ke pasar. Mereka telah meninggalkan kota Pajang dan mengungsi di tempat yang mereka anggap aman di tempat sanak kadang yang tinggal agak jauh dari kota.
"Pajang nampak seperti sebuah kota mati," desis Bharata.
Setelah mengucapkan terima kasih, maka kedua prajurit muda itupun telah meninggalkan kedai yang pintunya hanya dibuka sebelah itu. Mereka tidak lagi berjalan menyusuri jalan-jalan kota sambil menuntun kuda mereka, tetapi merekapun kemudian telah berpacu kembali ke Kademangan Nglawang. Mereka sadar, bahwa mereka akan sampai di tujuan setelah malam. Apalagi ketika mereka keluar dari gerbang kota, mereka melihat matahari sudah sangat rendah.
Tetapi mereka selalu teringat perintah Ki Tumenggung Surapraba bahwa mereka tidak boleh berhenti dan bermalam di perjalanan. Sudah tentu dengan mengingat kekuatan kuda-kuda mereka sehingga agaknya mereka boleh saja berhenti sekedar memberi kesempatan kuda mereka minum dan makan sedikit rerumputan di perjalanan.
Ketika kemudian malam mulai turun, perjalanan mereka benar-benar diliputi oleh kegelapan. Jika mereka memasuki padukuhan, maka rasa-rasanya mereka berada di kuburan. Gardu-gardu menjadi kosong dan lampu-lampu regol halamanpun tidak dinyalakan.
Jumlah anak-anak mudapun agaknya telah susut, karena sebagian dari mereka telah menyatakan diri ikut dalam tugas-tugas keprajuritan Pajang.
Seperti perintah Ki Tumenggung maka kedua prajurit itu telah berpacu terus di gelapnya malam. Sekali mereka berhenti di pinggir jalan, di tepi parit yang airnya mengalir jernih. Mereka memberi kesempatan kuda mereka untuk minum dan beristirahat sebentar. Dengan demikian maka keduanyapun sempat juga beristirahat merenggangkan kaki-kaki mereka dan memutar punggung sambil menggeliat.
Namun sejenak kemudian, maka keduanya telah melanjutkan perjalanan mereka menuju ke Kademangan Nglawang.
Kedua prajurit muda itu dengan sengaja telah melewati padukuhan yang baru saja digelisahkan oleh perampokan yang justru terjadi di siang hari tanpa mengenal takut. Namun yang karena nasib mereka yang buruk, maka para perampok itu telah dihancurkan sama sekali.
Padukuhan itupun nampak sepi. Tetapi ketika kedua prajurit muda itu lewat di depan barak, maka nampak beberapa orang anak muda dan bahkan beberapa orang laki-laki yang sudah lebih tua tetapi masih kuat, berada di banjar itu.
Menantu Ki Bekelpun berada pula di antara mereka. Ketika ia melihat Bharata dan Kasadha, maka iapun telah mempersilahkan kedua prajurit itu untuk singgah.
"Terima kasih," berkata Kasadha yang kemudian menanyakan apakah mayat para korban sudah diselesaikan.
"Kami sudah menguburkan mereka dengan baik-baik," jawab menantu Ki Bekel.
"Bagaimana dengan anak-anak muda padukuhan ini?" bertanya Bharata.
"Beberapa orang terluka. Ada empat orang yang agak parah. Dua di antaranya harus mendapat perhatian khusus. Tetapi seorang tabib yang baik merawat mereka," jawab menantu Ki Bekel itu.
"Mudah-mudahan mereka lekas sembuh," berkata Bharata pula. Namun kemudian katanya, "Sebaiknya di mulut-mulut lorong atau di tempat-tempat yang sudah ditentukan dipasang beberapa orang pengawas. Tidak perlu di gardu. Mungkin justru di tempat yang tersembunyi."
Menantu Ki Bekel itu mengangguk-angguk. Katanya, "Kami akan melaksanakannya."
Dalam pada itu, malampun menjadi bertambah malam. Kedua orang prajurit muda itupun segera minta diri untuk melanjutkan perjalanan mereka menuju ke Kademangan Nglawang.
"Kalian tidak naik sebentar. Barangkali kalian dapat minum beberapa teguk wedang jahe," bertanya menantu Ki Bekel.
"Terima kasih," jawab Kasadha dan Bharata hampir berbareng.
Demikianlah kedua orang prajurit muda itupun segera berpacu kembali menyusuri bulak-bulak panjang dan menyusup padukuhan. Semuanya hampir serupa. Gelap dan sepi. Sawah yang terbentang dan pepohonan padukuhan yang menghadang. Regol di ujung lorong yang terbuka dan gardu-gardu yang kosong.
Setelah menembus kelam yang panjang, maka kedua prajurit muda itu telah memasuki Kademangan Nglawang yang suasananya memang agak berbeda karena di Kademangan itu terdapat sekelompok prajurit yang meskipun keadaannya agak parah namun mereka masih tetap berada dalam kesiagaan tertinggi dan siap menghadapi segala kemungkinan.
Di padukuhan pertama di Kademangan Nglawang, Bharata dan Kasadha telah dihentikan oleh empat orang yang berada di gardu. Mereka ternyata adalah prajurit Pajang dan dua orang anak muda Kademangan itu.
"O," salah seorang prajurit Pajang itu berdesah, "syukurlah bahwa kalian telah kembali."
"Apakah terjadi sesuatu disini?" bertanya Bharata.
"Sampai saat ini tidak," jawab prajurit itu. Namun kemudian ia meneruskan, "Tetapi Ki Lurah gelisah menunggumu sampai aku berangkat bertugas disini."
"Baiklah. Aku akan segera kembali ke banjar," berkata Bharata.
Kedua orang prajurit itu berpacu pula menembus malam.
Di padukuhan kedua ia mengalami hal yang sama, sehingga akhirnya keduanya telah memasuki banjar Kademangan Nglawang.
Beberapa orang prajurit yang bertugas telah menyongsongnya. Dengan tidak sabar beberapa orang hampir, bersamaan bertanya, "Apakah Pajang akan mengirimkan bantuan?"
Bharata dan Kasadha saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Bharatapun bertanya, "Apakah Ki Lurah sudah tidur?"
"Ki Lurah baru saja beristirahat," jawab salah seorang pemimpin kelompok, "ia sendiri bersama beberapa orang prajurit meronda di seluruh Kademangan ini."
"Bukankah tidak terjadi sesuatu?" bertanya Bharata pula.
"Sampai saat ini tidak," jawab pemimpin kelompok itu.
"Apakah sudah ada keterangan dari Traju?" bertanya Kasadha pula.
"Belum," jawab pemimpin kelompok itu ragu-ragu. Tetapi ia memang belum melihat pengawal yang ditugaskan ke Traju untuk mencari keterangan tentang prajurit Mataram di Randukerep.
"Beristirahatlah," pemimpin kelompok itu telah mempersilahkan kedua orang prajurit muda yang baru saja kembali itu.
Keduanyapun telah menambatkan kudanya dan memberinya minum serta sedikit makan yang tersedia.
Setelah membersihkan diri di pakiwan, maka keduanyapun telah naik ke pendapa banjar. Duduk di tikar pandan yang telah dibentangkan. Dua orang prajurit muda itu sempat menjulurkan kaki mereka yang terasa lelah sambil bersandar tiang.
Sejenak kemudian seorang petugas di dapur telah menghidangkan minuman hangat bagi keduanya. Seteguk wedang sere itu telah membuat tubuh mereka merasa segar.
Seorang pemimpin kelompok yang menyongsongnya telah duduk bersama keduanya. Namun pemimpin kelompok itu merasa kecewa bahwa Pajang tidak mampu mengirimkan prajurit untuk mengatasi kesulitan di sisi Selatan.
"Bagaimana jika Mataram mempergunakan kelemahan di sisi ini untuk menerobos masuk Pajang," desis pemimpin kelompok itu.
"Aku sudah mengutarakannya," sahut Bharata, "tetapi seperti aku lihat sendiri, semua kekuatan sudah disiagakan di pasanggrahan Kangjeng Sultan di sebelah Timur Kali Opak."
"Jika Mataram masuk Pajang melalui sisi ini, maka pasukan Kangjeng Sultan itu akan terjepit. Panembahan Senapati akan dapat menduduki kota Pajang dan sekaligus mengepung pasanggrahan Kangjeng Sultan di sebelah Timur Kali Opak itu," berkata pemimpin kelompok itu.
Namun Bharata menjawab, "Mataram tidak mempunyai jumlah pasukan yang cukup banyak untuk melakukannya."
Pemimpin kelompok itu mengangguk-angguk. Menurut keterangan yang pernah didengarnya yang bersumber dari pasukan sandi pasukan Mataram memang tidak terlalu besar dibanding dengan pasukan Pajang. Tetapi di Mataram terdapat orang-orang berilmu tinggi sehingga akan dapat mempengaruhi pertempuran.
"Beristirahatlah," berkata pemimpin kelompok itu kepada Bharata dan Kasadha, "agaknya sampai besok pagi tidak akan terjadi sesuatu. Pasukan Mataram di Randukerep itu bukannya tidak menderita sebagaimana kita disini, meskipun kita agak lebih parah. Besok pagi-pagi kalian dapat memberikan laporan kepada Ki Lurah, Malam ini, betapapun parahnya keadaan kita, para prajurit tetap bertugas di padukuhan-padukuhan bersama-sama dengan anak-anak muda yang agaknya lebih baik dari anak-anak muda di Randukerep yang telah diracuni oleh orang-orang Mataram."
Bharata dan Kasadha termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Kasadhapun bertanya, "Bagaimana dengan kawan-kawan kita yang terluka?"
"Mereka sudah mendapat perawatan sebaik-baiknya. Beberapa orang merasa menjadi lebih baik. Tetapi ada juga yang nampaknya menjadi semakin parah karena semula ia hampir kehabisan darah," jawab pemimpin kelompok itu.
"Baiklah," berkata Kasadha, "aku akan kembali ke kelompokku."
"Setiap kelompok telah menyerahkan dua orang yang bertugas malam ini," berkata pemimpin kelompok itu.
"Ya. Bukankah masih cukup?" bertanya Kasadha pula.
"Masih cukup. Sementara anak-anak muda di Kademangan ini sangat membantu," berkata pemimpin kelompok itu, "mulai besok, Ki Lurah akan menembus batas-batas Kademangan. Tugas kita tidak dibatasi oleh dinding Kademangan ini. Kita akan menghubungi Kademangan-kademangan yang lain di sekitar Kademangan ini. Bahkan mungkin Kademangan Traju."
Kasadha mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun telah minta diri untuk kembali ke kelompoknya. Demikian pula Bharata.
Sebelum mereka beristirahat, maka ia telah berpesan kepada pemimpin kelompok yang bertugas untuk meningkatkan kesiagaan.
"Ki Tumenggung telah berpesan agar aku tidak bermalam di jalan. Itu berarti bahwa malam ini aku harus berada di Kademangan ini dan berhati-hati menghadapi perkembangan keadaan," berkata Bharata.
"Baiklah. Aku akan menyampaikan pesan ini kepada semua prajurit yang bertugas. Terutama yang menghadap ke arah Randukerep meskipun mungkin pasukan Mataram dapat mengambil arah lain sebagaimana dilakukan di Randukerep," jawab pemimpin kelompok itu.
Sepeninggal Kasadha dan Bharata, maka para prajurit yang bertugas telah meningkatkan pengawasan mereka atas padukuhan-padukuhan di Kademangan Nglawang. Mereka menyadari bahwa prajurit-prajurit Mataram adalah prajurit yang mampu bergerak cepat dan memiliki kemampuan keprajuritan yang cukup tinggi.
Dalam pada itu, Kasadha dan Bharata yang letih itupun telah beristirahat di antara para prajurit di kelompok masing-masing. Satu dua di antara prajurit mereka yang sempat terbangun bertanya pula beberapa hal. Namun baik Kasadha maupun Bharata tidak bersedia untuk berbicara terlalu panjang.
"Aku akan beristirahat," berkata anak-anak muda itu kepada kawan-kawannya.
Ternyata dalam waktu singkat keduanya telah tertidur, karena keduanya telah melepaskan semua beban kegelisahan dan persoalan di dalam angan-angan mereka. Mereka telah berniat untuk beristirahat, sementara itu kawan-kawannya telah bertugas dengan baik. Jika terjadi sesuatu, maka tentu akan terdengar suara kentongan atau isyarat-isyarat yang lain.
Karena itu, maka merekapun telah dapat tidur dengan nyenyaknya meskipun masih banyak hal yang harus ditanganinya kemudian.
Pagi-pagi benar ternyata keduanya telah terbangun. Barat alah yang kemudian mengajak Kasadha untuk segera bertemu dengan Ki Lurah Dipayuda.
"Kita harus segera memberikan laporan," berkata Bharata.
Dalam waktu yang pendek, Kasadhapun telah siap pula. Keduanya kemudian telah pergi menemui Ki Lurah Dipayuda yang ternyata sudah berada di pendapa bersama dengan Ki Demang Nglawang.
"Aku sudah mendapat laporan bahwa kalian telah datang," berkata Ki Lurah.
"Maaf Ki Lurah. Kami tidak segera melaporkan hasil tugas kami karena menurut keterangan, Ki Lurah sedang tidur. Bahkan baru saja ketika kami datang," berkata Bharata.
"Ya. Aku memang merasa letih sekali," jawab Ki Lurah. Lalu katanya, "Meskipun aku sudah mendengar sebagian tentang hasil perjalananmu, namun sebaiknya kau memberikan laporan selengkapnya. Ki Demang tentu juga ingin mendengarnya."
Bharatalah yang kemudian memberikan laporan tentang perjalanan mereka ke Pajang. Mereka telah bertemu dengan orang-orang yang memang berkewajiban menerima mereka. Dan Bharatapun telah menyampaikan hasilnya pula. Pajang sudah tidak mempunyai kekuatan lagi untuk diperbantukan kepada Ki Lurah Dipayuda.
Ki Lurah mengangguk-angguk. Ia memang sudah menduga. Karena itu maka katanya kepada Ki Demang, "Nah, sudah sama-sama kita dengar keterangan dari para perwira di Pajang. Kita memang harus berbuat sesuatu dengan kekuatan yang telah ada disini Ki Demang."
"Kenyataan itu harus kita terima, Ki Lurah," berkata Ki Demang, "mulai hari ini, aku akan berbuat sesuatu."
"Aku sudah memutuskan untuk menghubungi Kademangan di sebelah menyebelah. Tugasku sebagai prajurit di sisi Selatan ini tidak dibatasi oleh batas-batas Kademangan," berkata Ki Lurah.
"Aku akan berbuat apa saja yang dapat membantu tugas Ki Lurah disini," jawab Ki Demang.
Ki Lurah mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Ki Demang. Aku minta Ki Demang dapat mengatur pertemuan dengan tiga orang Demang di sekitar Kademangan Nglawang ini. Tetapi untuk sementara kita tidak usah berbicara dengan Kademangan Traju. Pada kesempatan lain, aku akan berbicara dengan Ki Demang di Traju secara khusus."
Ki Demang Nglawang mengangguk-angguk. Ia mengerti bahwa Ki Lurah agak kurang yakin akan tegaknya tekad perjuangan pada Ki Demang Traju sebagaimana Ki Demang Randukerep.
"Baiklah," berkata Ki Demang, "hari ini aku akan mengirimkan orang untuk menghubungi ketiga orang Demang di sekitar Kademangan ini. Besok, saat matahari sepenggalah kita mengharap mereka datang ke Kademangan ini."
Ki Lurah mengangguk-angguk. Katanya, "Terima kasih Ki Demang. Terus terang, tanpa bantuan Ki Demang maka kami sudah tidak berarti lagi disini, karena jika pasukan Mataram itu bergerak maju, maka kami tentu akan mengalami kesulitan. Namun demikian, kami masih minta kepada Ki Demang, agar hari ini, sebelum kita sempat berbicara dengan para Demang di sekitar Kademangan ini, kekuatan yang ada di Kademangan ini sudah dapat dikerahkan."
"Bukankah sejak kemarin kita sudah melihat para pengawal dan anak-anak muda Kademangan ini ikut berjaga-jaga?" desis Ki Demang.
"Ya Ki Demang. Maksudku, semua laki-laki yang masih pantas untuk turun ke medan dalam keadaan memaksa," berkata Ki Lurah, "namun segala sesuatunya terserah kepada kebijaksanaan Ki Demang."
Ki Demang mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Aku akan mengerahkan semua laki-laki yang umurnya di bawah empat puluh tahun. Kemudian memberikan kesempatan kepada mereka yang umurnya lebih dari empat puluh tahun untuk dengan suka rela ikut bergabung dengan kekuatan bersenjata di Kademangan ini."
Ternyata Ki Demangpun telah bergerak cepat. Ia segera minta diri. Kemudian bersama Ki Jagabaya, Ki Demang telah menghubungi para Bekel di padukuhan-padukuhan. Ki Demang telah memerintahkan, selain anak-anak muda dan para pengawal maka semua laki-laki diminta untuk ikut serta mempertahankan Kademangan mereka jika pasukan Mataram menyerang.
"Kecuali mereka yang benar-benar tidak memiliki keberanian. Sebaiknya jangan dipaksa. Mereka hanya akan merepotkan saja jika serangan itu benar-benar datang. Jika peperangan terjadi, maka orang-orang yang benar-benar ketakutan hanya akan menjadi beban, karena mereka akan menjadi pingsan sebelum berbuat sesuatu," berkata Ki Demang kepada para Bekel.
"Hari ini kalian harus sudah berbuat sesuatu," tambah Ki Demang.
Para Bekel itupun telah melaksanakan perintah Ki Demang dengan baik. Para bebahu padukuhan segera menemui hampir semua orang laki-laki di padukuhan masing-masing. Perintah Ki Demang itu telah sampai ke telinga mereka. Sementara Ki Bekel dan para bebahu yang menghubungi setiap laki-laki yang umurnya di bawah empat puluh tahun itu telah mengatakan pula pesan Ki Demang, bahwa siapa yang memang tidak berani turun ke medan pertempuran lebih baik tidak ikut.
Tetapi ternyata hampir semua laki-laki yang dihubungi para Bekel dan bebahu padukuhan itu menyatakan kesediaan mereka. Bahkan orang-orang yang lebih tuapun telah menyatakan kesanggupan mereka pula untuk ikut membantu, meskipun seandainya tidak harus turun ke arena pertempuran.
Pada hari itu juga setiap padukuhan telah berhasil menyusun kelompok-kelompok kecil di luar para pengawal yang memang sudah tersusun. Namun sebagian besar dari mereka masih belum banyak mengenal olah kanuragan apalagi dengan mempergunakan senjata jenis apapun.
"Tugas itu adalah tugas para pengawal untuk memperkenalkan mereka dengan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi di medan pertempuran," berkata para bekel kepada para pengawal yang ada di padukuhan mereka masing-masing.
Segalanya memang dituntut untuk dilakukan dengan cepat.
Namun dalam pada itu, ketika senja turun serta para prajurit di Kademangan Nglawang itu menyusun pergantian tugas, maka pengawal yang ditugaskan untuk menyadap keterangan dari Kademangan Randukerep telah datang kembali ke Kademangan langsung menemui Ki Demang dan Ki Lurah Dipayuda.
"Berita apa yang kau dapatkan dari Traju?" bertanya Ki Demang.
Pengawal itu menarik nafas dalam-dalam, seakan-akan ingin mengendapkan nafasnya yang masih terengah-engah.
"Kenapa kau diam saja?" Ki Demang tidak sabar. Pengawal itu bergeser setapak. Kemudian katanya, "Ki Demang. Pasukan Mataram yang ada di Randukerep sudah ditarik. Semalam seluruh pasukan sudah meninggalkan Kademangan Randukerep."
"Ditarik?" Ki Lurahlah yang memotong.
Pengawal itu mengangguk sambil menjawab, "Ya Ki Lurah. Pasukan Mataram tidak sempat berbuat apapun juga di Randukerep."
"Kau jangan mengigau," geram Ki Demang.
"Aku tidak saja berada di Traju. Tetapi aku sudah pergi ke Randukerep untuk membuktikannya, meskipun dengan alasan yang lain. Adik ipar pamanku di Traju tinggal di Randukerep. Ketika berita penarikan itu kami dengar, maka aku telah minta paman untuk menengok adik paman itu di Randukerep. Randukerep memang telah dikosongkan. Pasukan yang dengan susah payah merebut Randukerep harus meninggalkan Kademangan itu begitu saja," berkata pengawal itu.
Ki Lurah Dipayuda termangu-mangu sejenak. Hampir-hampir tidak dapat dipercaya bahwa pasukan Mataram telah meninggalkan Kademangan itu. Tetapi pengawal itu mengaku bahwa ia telah melihat langsung ke Kademangan Randukerep.
"Lalu bagaimana dengan pengamanan Kademangan itu?" bertanya Ki Lurah Dipayuda.
"Ki Demang Randukerep telah menugaskan bekas pengawal yang masih ada untuk menjaga keamanan Kademangan agar tidak menjadi sasaran para perampok yang memanfaatkan keadaan," jawab pengawal itu.
Ki Lurah Dipayuda mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Kita akan membicarakan perkembangan keadaan Kademangan Randukerep. Terima kasih atas hasil jerih payahmu. Kau telah melakukan tugasmu dengan baik."
"Kembalilah ke kelompokmu. Tetapi sudah tentu kau akan menemui keluargamu lebih dahulu," berkata Ki Demang.
Pengawal itupun kemudian minta diri. Ia ingin segera pulang untuk menyatakan keselamatannya kepada keluarganya.
Sementara itu Ki Lurah segera memanggil semua pemimpin kelompok di dalam pasukannya, untuk menyampaikan hasil penilikan seorang pengawal Kademangan Nglawang terhadap Kademangan Randukerep.
Para pemimpin kelompok itupun merasa ragu-ragu terhadap berita itu. Namun mereka tidak dapat mengelak karena pengawal itu mengaku bahwa ia sendiri telah memasuki Kademangan Randukerep itu.
Namun Ki Lurah Dipayuda tidak begitu saja menerima berita itu sebagai satu kenyataan. Karena itu, maka Ki Lurah telah memerintahkan dua orang pemimpin kelompok untuk melihat, apakah berita itu memang benar.
"Tetapi cara kalian tidak akan dapat sama dengan cara pengawal yang kebetulan mempunyai seorang paman di Kademangan Traju dan kemudian pamannya di Traju itu mempunyai ipar di Randukerep. Tetapi kalian harus berangkat dan melakukannya di malam hari," berkata Ki Lurah Dipayuda.
Para pemimpin kelompok itu mengangguk-angguk.
"Nah, setelah kita meyakinkan hal itu, maka kita akan mengambil langkah-langkah yang perlu."
Dua orang pemimpin kelompok telah ditunjuk. Orang itu adalah Bharata dan Kasadha.
Para pemimpin kelompok yang lainpun memaklumi hal itu, karena setiap orang di dalam pasukan Ki Lurah Dipayuda akhirnya mengetahui bahwa kedua orang anak muda itu adalah orang terbaik di antara mereka. Memang semula ada pemimpin kelompok yang menganggap perhatian Ki Lurah terhadap keduanya agak berlebihan. Tetapi setelah mereka yakin akan kelebihan keduanya setelah mereka bertempur melawan kedua orang Rangga dari Mataram, maka para pemimpin kelompok itupun telah menerima sikap Ki Lurah itu sebagai satu kewajaran.
Bharata dan Kasadha sendiri tidak mengeluh atas perintah yang datang beruntun itu. Mereka merasa bahwa mereka memang berkewajiban untuk melakukannya. Keduanya memang lebih senang menerima perintah itu dan menganggapnya sebagai satu kehormatan dari pada keduanya harus meronda atau berada di gardu-gardu perondan.
Dalam pada itu, Bharata dan Kasadhapun tanggap akan perintah Ki Lurah, bahwa mereka harus berangkat di malam hari. Perintah itu tentu mengandung maksud agar keduanya berangkat saat itu juga.
Karena itu, keduanyapun segera mempersiapkan diri. Mereka sudah cukup beristirahat di hari itu. Dengan demikian, maka merekapun telah mendapatkan kesegaran baru sehingga merekapun telah bersiap untuk berangkat.
Tetapi keduanya tidak membawa kuda sebagai tunggangan. Mereka akan berjalan saja menuju ke Randukerep karena perjalanan mereka adalah perjalanan sandi. Berbeda dengan perjalanan mereka menuju ke Pajang.
Setelah menerima beberapa pesan dari Ki Lurah Dipayuda, maka Bharata dan Kasadha telah mohon diri kepada Ki Lurah dan Ki Demang untuk melakukan tugas mereka yang baru, menuju ke Randukerep.
Meskipun keduanya telah mendapat berita bahwa orang-orang Mataram telah meninggalkan Randukerep, namun keduanya memang harus berhati-hati. Mungkin pengawal itu salah membuat perhitungan dan penilaian, tetapi kemungkinan yang lain adalah, bahwa orang-orang Mataram memang telah meninggalkan padukuhan itu setelah menebarkan racun di dalamnya, sehingga jika keduanya tidak berhati-hati justru akan terjebak di dalamnya.
Anjing Setan Baskerville 2 Raja Naga 19 Dewa Pengasih Tongkat Delapan Naga 1

Cari Blog Ini