Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 25

12 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 25


Apalagi karena anak-anak muda di Kademangan-kademangan juga mulai mendapat latihan-latihan khusus tentang keprajuritan.
Bagi anak-anak muda Kademangan Sangkal Putung latihan-latihan seperti itu bukan merupakan satu hal yang baru. Kademangan Sangkal Putung yang besar yang pernah menjadi landasan pasukan Pajang di saat-saat menghadapi kelompok-kelompok terakhir dari prajurit Jipang, telah membuat Sangkal Putung menjadi Kademangan yang memiliki kemampuan keprajuritan yang baik. Bahkan kemudian berlanjut sampai tahun-tahun berikutnya. Pengaruhnya memang mampu menembus batas Kademangan-kademangan di sebelah-menyebelah, meski-pun tidak setinggi Kademangan Sangkal Putung sendiri.
Dalam keadaan yang semakin gawat, maka Swandaru-pun telah meningkatkan latihan-latihan bagi para pengawal Kademangannya. Gema perintah kesiagaan tertinggi memang juga mengumandang di telinga anak-anak muda Sangkal Putung.
Bahkan beberapa Kademangan di sekitar Sangkal Putung telah mengirimkan beberapa orang anak mudanya untuk mengikuti latihan-latihan yang diselenggarakan oleh Swandaru.
Kesiagaan Mataram memang diketahui oleh Pati lewat para petugas sandinya, kecuali pernyataan Panembahan Senapati sendiri ketika utusan Pati menghadap, maka para petugas sandi telah melihat peningkatan latihan keprajuritan di mana-mana.
Tetapi agaknya Pati memang sudah bertekad bulat untuk melawan Mataram apa-pun akibatnya. Isyarat-isyarat yang diberikan oleh Mataram untuk mengelakkan perang, sama sekali tidak mendapat perhatian dari Kangjeng Adipati di Pati. Bahkan kesediaan Panembahan Senapati mengakui kuasa Pati atas daerah di sebelah Utara Pegunungan Kendeng bukannya dianggap sebagai satu usaha untuk mengelakkan perang. Demikian juga bahwa Panembahan Senapati tidak memberikan seratus batang tombak lengkap dengan landeannya sama sekali tidak diartikan isyarat untuk mencari jalan lain selain perang.
Pengakuan Mataram atas kuasa Pati di sebelah Utara Pegunungan Kendeng telah dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Kangjeng Adipati dengan mengirimkan pasukannya keluar dari perbatasan memasuki lingkungan di sebelah Utara Pegunungan Kendeng.
Langkah Kangjeng Adipati Pati memang menimbulkan kecemasan. Tetapi beberapa daerah tidak dapat berbuat banyak. Pasukan Pati yang kuat berdasarkan atas pengakuan Mataram telah menebar untuk menguasai daerah di sekitarnya merambat semakin melebar.
Panembahan Senapati di Mataram telah mendapat laporan dari para petugas sandinya tentang gerak prajurit dari Pati, sehingga Panembahan Senapati itu menjadi semakin berprihatin karenanya.
Keprihatinan itu-pun kemudian telah disampaikannya pula kepada isterinya kakak perempuan Kangjeng Adipati Pati.
"Hamba mohon Panembahan bersabar, pada suatu saat, anak itu tentu akan melihat kekeliruannya."
"Aku sudah berusaha untuk selalu menahan diri. Tetapi para pemimpin di Mataram nampaknya semakin lama menjadi semakin sulit dikendalikan, Permintaan Adimas Adipati semakin lama menjadi semakin tidak masuk akal. Ketika ia mohon agar aku mengakui kuasanya di sebelah Utara Pagunungan Kendeng, aku sudah mengabulkannya, meski-pun aku harus menentang arus pendapat para pemimpin di Mataram. Namun yang menyakitkan hati adalah bahwa Adimas Adipati mohon seratus batang tombak utuh dengan landeannya bagi para prajurit Pati."
"Bukankah hanya seratus, Panembahan. Ada berapa puluh ribu batang tombak yang ada di Mataram. Apa arti seratus orang prajurit bertombak sebaik apa-pun bagi Mataram."
"Bukan seratus batang tombak itu sendiri yang menyakitkan hati. Tetapi isyarat yang diberikan oleh permintaannya itu. Adimas Adipati telah memberikan isyarat bahwa seratus batang tombak itu akan dirundukkannya ke arah dadaku."
Kakak perempuan Kangjeng Adipati Pati itu tidak menjawab. Tetapi kedua belah matanya mulai membasah.
"Sudahlah," bertaka Panembahan Senapati, "aku berusaha sejauh dapat aku lakukan untuk mencegah perang. Tetapi segala sesuatunya masih juga tergantung kepada Adimas Adipati."
Kakak perempuan Adipati Pati itu mengangguk. Tetapi hatinya justru telah pasrah. Ia tahu bahwa suaminya telah berusaha dengan sungguh-sungguh. Tetapi kesabaran seseorang memang ada batasnya.
Seperti laporan-laporan yang diterima oleh Mataram, maka Kangjeng Adipati Pati memang telah memperluas kuasanya. Ia menghimpun kekuatan di daerah-daerah yang telah didudukinya. Anak-anak muda telah dikumpulkan, dilatih dan disiapkan untuk maju ke medan perang.
Dengan kekuatan yang besar, Pati dapat memaksakan kehendaknya atas daerah di sebelah Utara Pegunungan Rendeng. Yang menolak perintah Adipati Pati akan mengalami nasib yang buruk. Pati akan memaksakan kehendaknya dengan kekerasan.
Tetapi Demak tidak mau tunduk kepada kekuasaan Kangjeng Adipati Pati. Namun karena kekuatan Demak tidak terlalu besar, maka Demak mengambil kebijaksanaan untuk mempersenjatai diri dan jika diserang akan bertahan didalam dinding kota.
Tetapi agaknya Pati juga mempunyai perhitungan yang cermat. Untuk menundukkan Demak, diperlukan kekuatan yang besar. Sementara itu Pati sedang menghimpun kekuatan untuk melawan Mataram. Karena itu, maka untuk sementara Pati tidak menghiraukan Demak yang menurut perhitungan Pati tidak akan mengganggunya, karena pasukan Demak tidak akan keluar dari dinding kota.
Sementara itu, beberapa orang yang tidak sependapat dengan Adipati pati, tetapi tidak mampu menolak perintahnya untuk melawan Mataram, memang merasa lebih baik untuk meninggalakan tempat tinggalnya. Dengan diam-diam beberapa kelompok orang telah meninggalkan daerah di sebelah Utara Pegunungan Kendeng. Mereka pergi ke Timur atau ke Barat atau menyeberangi Pegunungan Kendeng pergi mengungsi ke Pajang atau ke daerah di sekitarnya.
Getar dari persiapan Pati yang telah menyentuh ketenangan Pajang, telah mendapat tanggapan yang cepat dari Adipati Pajang. Dengan cepat Pajang membuat hubungan dengan Mataram. Kangjeng Adipati di Pajang telah memberi laporan tentang kedatangan para pengungsi serta berita tentang kesiagaan Pati.
Panembahan Senapati-pun telah memerintahkan Kangjeng Adipati Pajang untuk mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Panembahan Senapati-pun telah memerintahkan pula agar Pajang melakukan pengawasan yang ke tet terhadap segala gerak-gerik Pati di sebelah Utara Pegunungan Kendeng. Setiap gerakan hendaknya Pajang memberikan laporan kepada Mataram.
Dengan demikian, maka di Pajang-pun udara menjadi hangat. Para prajurit di Pajang-pun segera mempersiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan. Mungkin Pati akan menyerang Pajang lebih dahulu dan membuat landasan sebelum menyerang Mataram.
Menurut laporan para petugas sandinya, maka kekuatan Pati memang menjadi sangat besar. Lebih besar dari kekuatan yang mungkin dapat dihimpun oleh Pajang. Karena itu, jika Pati menyerang Pajang lebih dahulu, maka sulit bagi Pajang untuk mempertahankan diri.
Tetapi para pemimpin di Pajang-pun telah mencoba untuk mengurai sasaran serangan Pati. Para pemimpin di Pajang-pun mengerti berdasarkan atas laporan para petugas sandinya, bahwa Pati tidak menyerang Demak yang bersiap dan mempersenjatai diri meski-pun hanya terbatas didalam lingkungan dinding kota saja.
Pati tidak ingin kekuatannya berkurang jika harus bertempur melawan Demak. Mungkin Pati dapat menundukkan Demak. Bahkan mungkin Pati mampu menumpas Demak. Tetapi prajurit Pati-pun akan jauh menyusut. Itu berarti bahwa kekuatannya untuk menyerang Mataram berkurang, sementara Pati tidak dapat mengharapkan orang-orang Demak yang tersisa akan dapat menggantikan kekuatan yang hilang itu.
Karena itu, maka Pajang-pun berniat untuk melawan jika Pati datang menyerang Pajang. Melawan habis-habisan meski-pun harus tumpas sampai prajurit yang terakhir
Namun Pajang-pun masih juga berharap bahwa pasukan Mataram akan bergerak dengan cepat jika Mataram mengetahui Pati telah mulai dengan perjalanannya menuju ke Mataram, mataram tentu tidak akan menghadapi Pati sebagaimana Demak, yang akan bertahan didalam dinding kota saja.
Pajang-pun yakin, bahwa pasukan Mataram akan menyongsong pasukan Pati.
Tetapi nampaknya Kangjeng Adipati Pati tidak kehilangan perhitungan. Pati tidak dengan serta-merta menyerang Mataram lewat atau tidak lewat Pajang. Tetapi Pati benar-benar ingin mempersiapkan pasukannya sebaik-baiknya.
Dengan demikian, maka lingkungan di sebelah Utara Pegunungan Kendeng telah menjadi sanggar raksasa yang menampung latihan-latihan yang semakin meningkat. Bukan saja daerah-daerah yang ramai dan berpenghuni padat. Tetapi juga padukuhan dan padesaan-padesaan kecil yang rapi.
Kangjeng Adipati sendiri setiap kali berkenan menyaksikan latihan-latihan itu. Diiringi oleh kelompok-kelompok pasukan berkuda, Kangjeng Adipati menilik langsung latihan-latihan vang diselenggarakan di daerah di sebelah Utara Pegunungan Kendeng.
Dengan demikian, maka tidak ada satu daerah-pun yang sempat mengabaikan perintah untuk meningkatkan latihan-latihan. Kangjeng Adipati Pati menjadi orang-orang yang sangat ditakuti. Sikapnya yang keras memaksa setiap orang mematuhinya.
Kata-kata yang diucapkan merupakan paugeran yang tidak dapat diganggu-gugat.
Kangjeng Adipati Pati memang tidak sekedar mengancam. Tetapi ia benar-benar menjatuhkan hukuman kepada mereka yang dianggapnya tidak menjalankan perintahnya dengan baik.
Persiapan itu tidak luput dari pengamatan para petugas sandi dari Mataram, sehingga Matarampun mengimbangi ke siagaan itu pula.
Dengan demikian, maka setiap Senapati prajurit, setiap pemimpin dari satu kelompok atau kesatuan, tidak lagi mempunyai kesempatan untuk meninggalkan pasukannya. Karena itu, maka ternyata pada saatnya, Swandaru tidak dapat datang ke Tanah Perdikan Menoreh menunggui pernikahan Prastawa.
Swandaru memang sudah berhubungan dengan Untara di Jati Anom dan membicarakan kemungkinan untuk pergi ke Tanah Perdikan Menoreh.
Sebenarnya Untara juga tidak berkeberatan, asal Swandaru tidak terlalu lama berada di Tanah Perdikan.
"Bukankah kau hanya memerlukan waktu satu dua hari saja?" bertanya Untara.
Tetapi Swandaru sendiri akhirnya menganggap bahwa sebaiknya ia tidak pergi. Kecuali ia akan merasa diburu oleh waktu, juga bayangan-bayangan yang menggelisahkan. Maka akhirnya Swandaru hanya akan mengutus dua orang pengawal Kademangan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh untuk menyampaikan pesan-pesannya.
"Ayah tentu akan mengerti," berkata Pandan Wangi, "Tanah Perdikan menoreh tentu juga mendapat perintah yang sama dengan kita disini."
"Ya. Kakang Agung Sedayu tentu juga akan dapat memberikan penjelasan," jawab Swandaru, "apalagi persoalan pernikahan Prastawa yang sudah jelas dan nampaknya tidak ada lagi hambatan yang akan dapat mengganggu."
Dalam keadaan yang paling gawat. Pandan Wangi memang lebih senang berada di rumah bersama anaknya. Karena Pati akan dapat bertindak dengan tiba-tiba dan tidak diduga lebih dahulu.
Dalam pada itu, meski-pun Agung Sedayu dalam kesibukan mempersiapkan para prajurit dari Pasukan Khusus yang ada di Tanah Perdikan Menoreh, namun Agung Sedayu memerlukan menyediakan waktunya untuk menunggui Wacana memasuki saat-saat pernikahannya. Tidak ada upacara yang berlebihan. Semuanya berlangsung dengan Sederhana, namun peristiwa itu merupakan saru kebahagiaan bagi keluarga Kanthi. Bahkan Rara Wulan-pun ikut merasa berbahagia pula. Beberapa kali ia berkata kepada Kanthi, "Tersenyumlah. Kau akan menjadi seorang perempuan yang sangat cantik."
Kanthi memang tersenyum. Tetapi dari kedua belah matanya telah menitik air keharuan.
Namun kemudian, Agung Sedayu tidak dapat pula menyingkir dari keterlibatannya saat upacara pernikahan Prastawa. Apalagi karena Swandaru dan Pandan Wangi tidak dapat hadir di Tanah Perdikan Menoreh. Agung Sedayu dan Sekar Mirah seakan-akan harus mewakili mereka berdua.
Tetapi Prastawa ternyata juga menyesuaikan diri dengan perkembangan keadaan. Dimana ketegangan semakin meningkat, maka Prastawa memang minta agar upacara pernikahannya dapat dibatasi.
"Letak Tanah Perdikan ini lebih menguntungkan daripada Jati Anom dan Sangkal Putung," berkata Ki Gede, "jika Pati datang ke Mataram, maka kemungkinan yang terbesar, akan datang dari arah Timur. Bukan mungkin akan singgah lebih dahulu di Pajang."
"Tetapi rasa-rasanya segan juga untuk mengadakan upacara berlebihan dalam suasana seperti ini paman," jawab Prastawa.
Ki Gede tersenyum. Katanya, "Baiklah. Aku puji sikapmu. Upacara yang berlebihan pada saat seperti ini akan dapat menimbulkan persoalan di hati para pengawal yang sehari-hari harus menjalani latihan-latihan yang berat. Sementara itu, lumbung Tanah Perdikan ini telah diisi untuk berjaga-jaga jika peperangan akan memerlukan waktu yang panjang, sedangkan sawah tidak tergarap. Upacara yang berlebihan akan berarti mempergunakan bahan yang banyak pula, terutama beras yang sebenarnya dapat disumbangkan untuk ikut mengisi lumbung persediaan itu."
Prastawa menarik nafas panjang. Sebenarnya ia lebih senang untuk diselenggarakan dengan sederhana sebagaimana pernikahan Wacana dan Kanthi. Tetapi keluarga Angreni nampaknya ingin upacara tetap berlangsung meski-pun tidak berlebihan.
"Kau jangan mencegah keramaian yang sudah direncanakan. Pandai-pandai sajalah mecari keseimbangan. Ada pula baiknya jika keramaian itu dapat ditonton pula oleh para pengawal yang selama ini tenggelam dalam latihan-latihan yang berat. Mungkin justru akan dapat mengendorkan ketegangan jantung mereka. Tentu saja dalam keterbatasannya. Tidak semua pengawal diseluruh Tanah Perdikan ini akan mendaapat kesempatan."
Prastawa mengangguk-angguk Pendapat pamannya itu ternyata sangat menarik, ia akan minta keluarga Angreni mengundang para pemimpin pengawal Tanah Perdikan dari padukuhan-padukuhan yang terpencar, sehingga mereka merasa mendapat perhatian. Tidak hanya untuk mengemban tugas-tugas berat, tetapi juga di saat-saat yang memberikan kegembiraan.
Ketidak datangan Swandaru dan Pandan Wangi memang membuat Prastawa kecewa. Tetapi ia dapat mengerti sepenuhnya bahwa keadaan tidak mengijinkan keduanya datang hanya sekedar untuk menunggui saat-saat pernikahannya.
Tetapi kedua utusan dari Sangkal Putung telah mengurangi perasaan kecewa itu. Dalam keadaan yang gawat serta saat tugas yang berat membebaninya, Swandaru dan Pandan Wangi tidak melupakannya. Meski-pun mereka tidak dapat datang, namun utusan itu menyatakan perhatian mereka terhadap pernikahan Prastawa di Tanah Perdikan Menoreh.
Ternyata sebagaimana dikehendaki oleh Ki Gede, upacara dan keramaian saat pernikahan Prastawa justru dapat menjadi saat-saat untuk mengendorkan ketegangan yang mencengkam Tanah Perdikan Menoreh. Para pemimpin pengawal dan bahkan para pemimpin prajurit dari Pasukan Khusus dapat ikut menonton keramaiannya yang diselenggarakan dua malam berturut-turut dengan penonton yang berlainan.
Bahkan Prastawa sendiri telah mengembangkan gagasan itu. Ia telah berhubungan dengan orang-orang Tanah Perdikan yang memiliki kemampuan untuk menyelenggarakan pertunjukan apapun. Prastawa telah bekerja bersama mereka untuk menyelenggarakan pertunjukkan-pertunjukkan di padukuhan-padukuhan untuk memberikan hiburan kepada para pengawal.
"Tidak ada hubungannya dengan hari pernikahanku," berkata Prastawa kepada mereka yang menyelenggarakan pertunjukkan, "gagasan itu memang timbul karena keramaian yang akan di selenggarakan di hari pernikahanku. Tetapi pertunjukkan-pertunjukkan di padukuhan-padukuhan itu a-kan diselenggarakan tidak pada saat pernikahan. Tetapi satu dua pekan kemudian sebagai satu kegiatan tersendiri."
Ternyata gagasan itu mendapat tanggapan yang baik. Namun Prastawa menyadari, bahwa penyelenggaraannya tidak sederhana cetusan gagasan itu sendiri. Terutama dari segi kesiagaan.
Demikianlah, pernikahan Prastawa dengan Angreni berlangsung dengan selamat. Tidak ada kesan terlepas dan bahkan mengabaikan suasana yang gawat. Bahkan gagasan Ki Gede yang berkembang untuk menyelenggarakan hiburan bagi para pengawal dan anak-anak muda yang seakan-akan tenggelam dalam ketegangan.
"Hiburan akan dapat memberikan kesegaran bagi mereka," berkata Prastawa kepada mereka yang menyatakan kesediaannya membantu gagasan itu.
Dihari-hari pertama dalam kehidupannya sebagai seorang suami, Prastawa tidak dapat meninggalkan tugas-tugasnya sepenuhnya. Setelah pada hari kelima, Angreni dibawa kembali ke rumah Prastawa, maka Prastawa telah kembali kedalam tugas-tugasnya. Namun Angreni yang sudah mengetahui kedudukan dan tugas suaminya, sama sekali tidak mengeluh. Ia-pun mengerti, bahwa jika perang benar-benar pecah, maka suaminya sebagai pemimpin pengawal di Tanah Perdikan Menoreh, akan segera berada di Medan.
Seperti daerah-daerah yang lain, maka sehari-hari Tanah Perdikan Menoreh diwarnai dengan kesiagaan penuh dari para pengawal Tanah Perdikan. Demikian pula para prajurit di barak Pasukan Khusus. Atas kebijaksanaan Agung Sedayu, serta atas ijin Ki Gede, maka para prajurit itu-pun memperluas lingkaran arena latihan mereka di lereng-lereng pegunungan. Meski-pun latihan-latihan itu memberikan kesan dan suasana yang tegang, namun kehadiran para prajurit itu juga membantu memberikan sedikit ketenangan kepada orang-orang Tanah Perdikan Menoreh dan sekitarnya jika pada suatu saat musuh benar-benar akan datang.
Sebagaimana Agung Sedayu sendiri yang memiliki kemampuan secara pribadi yang tinggi, maka kemampuan pribadi para prajurit dari Pasukan Khusus itu mendapat penilikan dengan sungguh-sungguh. Tetapi Agung Sedayu tidak hanya sekedar melihat kemampuan mereka, tetapi Agung Sedayu-pun langsung menangani mereka, terutama para pemimpin kelompok yang kemudian kemampuan itu harus mengalir kepada setiap prajurit didalam barak Pasukan Khusus yang ada di Tanah Perdikan Menoreh itu.
Dalam pada itu, Panembahan Senapati masih harus menahan diri. Hampir setiap hari Panembahan Senapati mendapat laporan gerakan yang dilakukan oleh pasukan Pati. Ternyata dalam keadaan yang gawat itu, ada saja orang-orang yang memanfaatkan keadaan untuk kepentingan diri sendiri. Terutama para prajurit Pati yang seperti air yang tumpah mengalir ke segala arah di sebelah Utara Pegunungan Kendeng.
Yang menjadi perhatian Kanjeng Adipati Pati terutama kekuatan dan kemampuan tempur pasukannya. Tetapi dalam pemusatan pengamatan atas kekuatan dan kemampuan itu, Kangjeng Adipati dan para pemimpin tertinggi Pati, lupa mengamati tingkah laku para Senapati yang memimpin kesatuan-kesatuan prajurit yang bergerak di seluruh daerah sebelah Utara Pegunungan Kendeng.
Dengan demikian, maka kadang-kadang telah terjadi perbuatan-perbuatan yang justru dapat mencemarkan nama baik serta kewibawaan Pati sendiri.
Untara yang bersiaga sepenuhnya di Jati Anom terkejut ketika lima orang yang mengaku mengungsi dari daerah sebelah utara Pegunungan Kendeng telah dihadapkan kepadanya oleh prajurit-prajuritnya.
"Kami belum mengenal mereka. Apalagi mereka mengaku datang dari daerah di sebelah Utara Pegunungan Kendeng," berkata pemimpin kelompok prajurit yang membawa kelima orang itu.
Untara mengangguk-angguk. Namun nampaknya orang-orang itu memang bukan orang-orang yang berniat buruk menurut ujud, sikap dan kata-katanya. Tetapi ujud lahiriah itu memang belum merupakan kepastian sikap mereka yang sebenarnya.
Ketika Untara bertanya kepada mereka tentang asal-asul mereka, maka orang yang tertua diantara mereka berkata, "Kami tinggal di sebelah padepokan kecil di daerah Kuwu, anak mas. Tetapi kami tidak dapat menahan diri untuk tetap tinggal. Setelah kami menitipkan keluarga kami, maka kami berniat untuk menemui seseorang yang pernah aku kenal dengan baik beberapa sepuluh tahun yang lalu. Yang menurut pendengaran kami tinggal di sebelah Timur Gunung Merapi."
"Dimanakah letaknya Padepokan Kuwu itu?" bertanya Untara kemudian.
"Kuwu adalah nama sebuah tempat di Utara Pegunungan Kendeng. Di tepi Kali Gandu. Kami meninggalkan Kuwu menyusuri Kali Gandu sampai ke lereng Pegunungan Kendeng. Kemudian dengan susah payah merayap di lereng Pegunungan Kendeng ke arah Barat."
Untara mendengarkan ceritera itu dengan seksama. Sementara orang yang tertua diantara mereka-pun nampak bersungguh-sungguh. Dengan nada dalam orang itu berceritera selanjutnya, "Berhari-hari kami menempuh perjalanan. Kami menembus hutan-hutan lereng pegunungan, menyebarangi Kali Klempis, Kali Peganding, Kali Glugu dan kemudian menyusuri Kali Uter. Ada niat kami pergi ke Pajang. Tetapi kemudian kami putuskan untuk pergi ke lereng sebelah Timur Gunung Merapi. Tetapi di daerah ini kami memang asing, ternyata dicurigai oleh sekelompok prajurit peronda, sehingga kami telah dibawa kemari. Kami memang tidak membayangkan bahwa disini ada sepasukan prajurit yang terhitung besar dan kuat. Namun dengan demikian kami justru merasa aman di daerah yang bagi kami masih asing ini."
"Siapakah yang kalian cari di daerah ini" Apakah kalian tidak mengetahui nama padukuhannya?" bertanya Untara.
"Sebenarnya aku adalah bekas seorang prajurit Pajang di masa lampau. Tetapi aku sudah mengundurkan diri dan tinggal di sebuah padepokan kecil. Di daerah ini aku mempunyai seorang kawan yang aku kenal dengan baik. Tetapi sudah lama tidak bertemu. Aku juga tidak tahu, apakah ia masih hidup atau sudah tidak ada lagi."
"Siapakah namanya" Aku adalah anak Jati Anom sejak lahir. Mungkin aku dapat mengenalnya."
"Menurut ingatanku, rumahnya di Banyu Asri," berkata orang tua itu.
"Banyu Asri memang dekat dengan tempat ini. Hanya beberapa puluh patok saja."
"Namanya Widura," jawab orang itu.
Untara menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, "Aku mengenal orang itu dengan baik, Ki Sanak. Paman Widura memang tinggal di Banyu Asri. Ia sudah tua memang. Tetapi paman Widura masih hidup dan tetap tegar sebagaimana masa mudanya."
"Ki Sanak mengenalnya?" wajah orang tua itu menjadi terang, "jadi aku tidak sia-sia menempuh perjalanan yang jauh ini."
"Ya. Tetapi sekarang paman Widura tidak berada di Banyu Asri. Ia lebih banyak berada di sebuah padepokan kecil di sisi Timur daerah ini."
"O," orang itu menjadi kecewa, "jadi Ki Widura sudah tidak ada di rumahnya lagi?"
"Paman Widura masih sering pulang. Tetapi ia kini memimpin sebuah padepokan kecil, sehingga paman Widura lebih sering berada di padepokannya."
Orang itu mengangguk-angguk. Sementara sebelum orang itu minta ijin untuk pergi ke padepokan pamannya Untara yang tidak begitu saja mempercayainya telah mendahuluinya berkata, "Baiklah, jika Ki Sanak akan pergi menemui paman Widura, biarlah kami mengantarkannya. Kami tidak ingin menahan Ki Sanak lebih lama disini, sementara itu mungkin ada sesuatu yang dapat kami dengar dari Ki Sanak berlima."
Wajah orang-orang itu menjadi cerah kembali. Dengan serta merta orang itu menyahut, "Terima kasih ngger. Terima kasih."
Demikianlah, maka Untara sendiri ternyata akan mengantar orang-orang itu menemui pamannya, sekaligus meyakinkan bahwa orang-orang itu justru tidak berbahaya bagi pamannya. Disamping itu, Untara memang ingin mendengar cerita mereka di sepanjang perjalanan mereka serta sikap prajurit Pati terhadap orang-orang yang tinggal di sebelah Utara Pegunungan Kendeng.
Bersama sekelompok prajurit berkuda, Untara telah mengantar kelima orang itu.
Ketika Untara menawarkan untuk meminjami mereka kuda, maka dengan ucapan terima kasih, mereka-pun menerimanya.
"Apakah letak padepokan itu jauh?" bertanya salah seorang dari mereka.
"Tidak," jawab Untara, "tetapi Ki Sanak tentu sudah letih. Mudah-mudahan perjalanan pendek ini tidak membuat Ki Sanak semakin letih."
"Terima kasih ngger. Kami sangat menghargai sikap angger."
"Bukankah sikapku biasa-biasa saja, Ki Sanak?" jawab Untara sambil tersenyum.
Demikianlah, maka sebuah iring-iringan kecil telah menuju ke padepokan Orang Bercambuk yang kemudian di pimpin oleh Ki Widura. Padepokan kecil yang tidak banyak dibicarakan orang.
Ketika mereka memasuki halaman padepokan yang terhitung luas, maka Widura yang agak terkejut telah turun ke halaman untuk menyongsongnya.
Untara yang telah turun dari kudanya-pun kemudian berkata, "Kami mengantarkan beberapa orang yang mencari paman."
Widura mengerutkan dahinya. Namun ketika orang tertua diantara kelima orang itu melangkah mendekatinya, maka Widura-pun langsung menyebut namanya, "Ki Lurah Wiranata."
Dengan akrab Widura menerima orang yang mencarinya itu. Demikian pula orang itu. Menurut sikapnya, mereka memang, dua orang sahabat yang telah lama tidak bertemu.
"Marilah, marilah naik ke pendapa," Widura mempersilakan tamu-tamunya dan Untara untuk naik, sementara beberapa orang prajurit berkuda yang menyertai mereka itu, dipersilahkan duduk di serambi gandok pada bangunan induk padepokan itu.
Untara hanya tersenyum-senyum saja ketika kedua orang tua itu saling mempertanyakan keselamatan mereka dan lingkungan mereka masing-masing.
Namun dengan demikian Untara yakin, bahwa orang-orang itu benar-benar sudah saling mengenal dengan pamannya sebagai mana dikatakannya.
Meski-pun demikian, Untara tidak kehilangan kewaspadaan. Banyak kemungkinan dapat terjadi. Meski-pun orang itu bekas prajurit Pajang dan sahabat lama pamannya, namun masih ada kemungkinan orang itu bekerja untuk Kangjeng Adipati Pati dalam tugas sandi di Jati Anom, karena di Jati Anom terdapat pasukan yang akan dapat menghambat gerak prajurit Pati benar-benar akan menyerang Mataram.
Dalam pertempuran itu, Untara sempat bertanya tentang banyak hal kepada orang-orang yang mengaku tinggal di sebuah padepokan kecil di Kuwu itu.
"Prajurit Pati seakan-akan tidak terkendali lagi," berkata Ki Lurah Wiranata, "mungkin tingkah laku mereka sama sekali tidak dikehendaki oleh kangjeng Adipati Pati. Namun beberapa orang Senapati seakan-akan telah memanfaatkan kesempatan itu untuk kepentingan diri sendiri."
"Sangat memperihatinkan," desis Untara.
"Sementara Kangjeng Adipati lebih mementingkan penyusunan kekuatan yang sebesar-besarnya daripada sikap dan tingkah laku prajurit-prajuritnya itu," berkata Ki Lurah Wiranata.
"Menurut Ki Lurah, apakah Kangjeng Adipati mempersiapkan diri untuk menyerang Mataram atau sekedar bertahan jika Mataram menyerang?" berkata Untara.
"Apakah ada kemungkinan Mataram yang akan menyerang?" Ki Lurah Wiranata justru bertanya.
"Kemungkinan itu selalu ada. Karena Kangjeng Adipati Pati tidak mau lagi menghadap ke Mataram, maka hal itu dapat diartikan bahwa Pati tidak mengakui lagi kemungkinan Mataram."
Tetapi Ki Lurah itu-pun berkata, "Menurut penglihatanku. Pati telah bersiap untuk menyerang ke Mataram. Persiapan untuk itu telah dilakukan. Dukungan perbekalan dan perlengkapan telah diatur sebaik-baiknya."
Untara mengangguk-angguk. Ia menjadi semakin yakin, bahwa Ki Lurah Wiranata benar-benar bemiat untuk menyingkir dari prajurit-prajurit Pati yang kehilangan kendali.
Apa yang dikatakannya, ternyata sama sebagaimana dilaporkan oleh para petugas sandi.
Karena itulah, maka Untara-pun telah minta diri kepada pamannya dan menyerahkan kelima orang tamu itu kepada Ki Widura.
Tetapi ketika Widura mengantar Untara itu sampai keregol halaman, Untara sempat berdesis, "Bagaimana-pun juga, paman harus berhati-hati. Meski-pun orang itu dahulu sahabat paman, tetapi dalam keadaan seperti ini, banyak hal yang tidak terduga-duga dapat terjadi."
Widura mengangguk sambil tersenyum. Katanya, "Ya. Aku akan berhati-hati. Nampaknya mereka akan tinggal di padepokan ini selama mereka dalam pengungsian."
Demikianlah, maka Untara-pun segera meninggalkan padepokan kecil itu bersama para pengiringnya. Namun kemudian Untara telah mengirimkan utusan kepada Swandaru, bahwa kemungkinan terbesar Pati akan segera bergerak ke Mataram.
Sebenarnyalah Pati memang berniat untuk menyerang Mataram. Pasukan yang telah dihimpun menjadi semakin besar. Disamping para prajurit dan pengawal lingkungan masing-masing.yang ikut serta dihimpuan oleh Kangjeng Adipati, maka kemudian hampir setiap laki-laki yang masih pantas untuk bertempur telah dipanggil pula untuk memperkuat pasukan yang akan menyerang Mataram.
Para petugas sandi dengan sangat berhati-hati mengikuti rencana gerak pasukan Pati. Ternyata menilik persiapan yang mendahului gerak pasukan, maka Pati tidak akan menyerang Pajang sebagai mana Pati menghindari benturan kekuatan melawan Demak. Apalagi Demak agaknya lebih memusatkan pertahanannya didalam dinding kota.
Panembahan Senapati memang menjadi semakin prihatin atas sikap Kangjeng Adipati Pati. Sementara itu, isteri Panembahan Senapati, kakak perempuan Kangjeng Adipati Pragola, setiap kali hanya dapat menangis.
Putera Panembahan Senapati yang lahir dari kakak perempuan Kangjeng Adipati Pati itu, ikut pula menjadi gelisah. Apalagi kedudukannya sebagai Pangeran Adipati Anom di Mataram, yang oleh Panembahap Senapati diharapkan akan dapat menggantikan kedudukannya, memimpin pemerintahan di Mataram. Bahkan Panembahan Senapati berharap bahwa puteranya itu kelak tidak saja akan diangkat menjadi seorang Panembahan, tetapi diharapkannya akan dapat diangkat menjadi seorang raja yang kuasanya melampaui kuasa Panembahan Senapati sendiri.
Dalam pada itu, benturan-benturan kekerasan telah terjadi di saat Kangjeng Adipati Pati mempersiapkan perbekalan dan perlengkapan di jalur yang akan dilalui oleh pasukannya. Meski-pun Pati berusaha untuk merahasiakannya, tetapi para petugas sandi dari Mataram dapat membuat uraian rencana perjalanan pasukan Kangjeng Adipati.
Atas dasar laporan itu, maka Panembahan Senapati telah memerintahkan pasukan Mataram di Jati Anom untuk bersiaga sepenuhnya. Menurut perhitungan para petugas sandi, pasukan Pati akan melewati jalur jalan tidak terlalu jauh dari Jati Anom.
Dengan demikian, maka Untara telah memperintahkan semua kekuatan yang ada di Jati Anom dan sekitarnya untuk siap bergerak setiap saat. Swandaru telah mendapat perintah untuk menghimpun kekuatan yang ada di sekitar Kademangan Sangkal Putung.
Untuk menjaga segala kemungkinan, maka Untara telah memerintahkan membentuk pasukan yang terdiri dari beberapa kelompok prajurit untuk bergerak ke depan sesuai dengan petunjuk para petugas sandi, tentang jalur yang mungkin akan dilewati oleh para prajurit Pati.
"Untara telah memberikan isyarat, agar pasukan itu jika perlu berusaha menghambat kemajuan pasukan Pati, jika benar Pati bergerak sesuai dengan perhitungan.
Meski-pun demikian Untara tidak dengan serta-merta memerintahkan pasukannya tanpa pertimbangan-pertimbangan kemanusiaan. Karena itu, maka sebelum Untara memutuskan untuk memberangkatkan pasukannya itu, ia telah memanggil Sabungsari.
"Sabungsari," berkata Untara hati-hati, "menurut pendapatku, tidak ada orang yang lebih baik yang akan aku serahi beberapa kelompok prajurit untuk melihat agak jauh ke depan, selain kau. Aku ingin kita mengetahui segera jika terjadi gerak lawan yang berbahaya bagi kita disini."
"Aku siap melaksanakan," jawab Sabungsari.
"Tetapi bagaimana rencanamu dengan pernikahanmu" Menurut pendengaranku, Wacana telah melaksanakan pernikahannya. Prastawa juga sudah. Karena itu, maka untuk memastikan apakah aku akan memberikan perintah kepadamu, aku berbicara dengan kau lebih dahulu."
"Maksud Ki Tumenggung?"
"Jika kau memang ingin melaksanakan pernikahanmu sebelum perang benar-benar terjadi, maka perintah ini akan aku berikan kepada orang lain. Aku akan memberikan kesempatan kepadamu untuk pergi ke Mataram."
"Tidak Ki Tumenggung," jawab Sabungsari, "aku tidak akan mendahulukan kepantinganku, justru keadaan sudah menjadi sangat gawat. Aku akan melaksanakan perintah Ki Tumenggung, membawa beberapa kelompok prajurit bergerak maju menyongsong mereka."
Untara menarik nafas dalam-dalam. Ia tahu, bahwa Sabungsari memang memiliki tekad seorang prajurit. Sejak ia menyadari bahwa ia telah memilih jalan yang sesat dan kemudian berusaha untuk memperbaikinya, maka ia benar-benar seorang prajurit pilihan.
Karena itu maka Untara-pun berkata, "Baiklah. Kau akan memimpin kelompok itu. Kau akan membawa tiga kelompok prajurit yang masing-masing terdiri dari sepuluh orang. ditambah seorang pemimpin kelompok."
Demikianlah, maka dalam waktu yang terhitung singkat, Sabungsari telah mempersiapkan satu pasukan kecil yang terdiri dari tiga kelompok. Dalam waktu dua hari dua malam, segalanya harus sudah bersiap sehingga pada hari yang ketiga, menjelang senja, pasuakn itu telah dilepas oleh Untara.
Tiga kelompok prajurit terpilih yang masing-masing dipilih oleh seorang pemimpin kelompok telah bergerak menyongsong jalur yang diperhitungkan akan dilalui prajurit Pati jika mereka akan menuju ke Mataram namun menghindari Pajang.
Sabungsari memang sengaja membawa pasukannya berjalan di malam hari. Mereka tidak ingin pasukan itu diketahui oleh banyak orang sehingga diketahui oleh petugas sandi dari Pati.
Bahkan pasukan induk kecilnya itu telah mengambil jalur jalan lain dari jalan yang sedang mereka amati. Hanya dua orang dan dibelakangnya dua orang yang meyakinkan keselamatan kedua orang yang terdahulu sejalan yang berjalan melalui jalur jalan yang mereka perhitungkan akan dilalui oleh pasukan Pati.
Sabungsari telah memberikan pesan-pesan kepada keempat orang itu. Mereka harus memberikan laporan di tempat-tempat tertentu kepada para prajurit yang akan ditugaskan menemui mereka. Semua hubungan akan terjadi tanpa banyak menarik perhatian orang lain, sementara induk pasukan itu akan berusaha untuk menghindari lingkungan yang banyak didiami orang. Mereka lebih banyak berjalan di pinggir-pinggir hutan, menyusuri sungai dan padang-padang yang sepi.
Dengan demikian maka perjalanan pasukan itu memang menjadi lambat. Tetapi bagi Sabungsari, perjalanan yang lambat itu akan lebih baik daripada perjalanan yang tidak berarti sama sekali karena dengan mudah diketahui oleh lawan atau bahkan dijebak oleh kekuatan yang tidak tertandingi.
Ketika fajar menyingsing maka Sabungsari telah membawa pasukannya ke sebuah padang perdu di pinggir hutan tidak jauh dari sebuah tempat yang mulai dihuni oleh meski-pun masih belum ramai. Padukuhan yang sedang mulai tumbuh itu disebut sebagaimana nama hutan itu, Ngaru-aru.
Sabungsari memberi kesempatan kepada para prajuritnya untuk berburu. Sebagai prajurit yang ditempa dengan keras oleh Untara maka mereka sama sekali tidak membawa bekal apa-pun dari barak mereka kecuali senjata. Beberapa orang memang dilengkapi dengan alat berburu. Busur dan anak panah yang juga dapat dipergunakan untuk bertempur dan menghambat gerak maju lawan.
Namun dalam pada itu, Sabungsari-pun juga memerintahkan enam orang prajurit untuk menyebar mencari keterangan tentang jalur jalan yang dipersiapkan oleh Pati.
"Carilah keterangan tentang kemungkinan Pati membuat dan menyiapkan lumbung-lumbung padi atau jagung untuk mendukung gerak pasukan mereka. Usahakan untuk mengetahui lingkungan manakah yang telah dipengaruhi atau bahkan dikuasai oleh prajurit-prajurit pendahulu dari Pati.
Demikianlah, enam orang prajurit itu-pun membagi diri menjadi tiga kelompok kecil. Masing-masing menuju ke arah yang berbeda. Mereka dibekali dengan uang dan kelengkapan lain karena hal itu akan diperlukan untuk mendapatkan keterangan dari orang lain.
Kepada keenam orang itu Sabungsari berpesan, "Sebelum matahari terbenam, kalian harus sudah berada kembali di tempat ini. Karena itu, kalian harus dapat memperhitungkan jarak penilikan mereka di sekitar tempat ini."
Demikianlah, maka keenam orang itu-pun kemudian meninggalkan Ngaru-aru. Mereka berpisah tidak jauh dari padukuhan yang mulai dihuni orang itu untuk memilih arah berbeda.
Daerah di sekitar lingkungan itu memang masih belum terlalu ramai. Namun dengan ketajaman naluri mereka, maka keenam orang yang berpisah menjadi tiga kelompok itu telah melintas menuju ke tempat yang lebih banyak dihuni orang.
Ketiga kelompok kecil itu telah berusaha berhubungan dengan orang-orang yang mereka temui. Mereka telah singgah di kedai-kedai kecil. Di pasar-pasar yang tidak terlalu banyak dikunjungi orang atau di tempat-tempat yang menarik perhatian mereka.
Dua orang diantara mereka yang berpapasan dengan beberapa orang laki-laki yang berjalan beriringan telah berhenti sejenak. Dalam pakaian yang sederhana, maka kedua orang itu memang tidak banyak menarik perhatian orang-orang yang berpapasan itu. Namun justru sebaliknya, kedua orang itulah yang memperhatikan iring-iringan beberapa orang laki-laki yang membawa berbagai macam peralatan itu.
"Kemana mereka pergi?" desis seorang dari kedua orang prajurit itu.
"Apakah mereka pergi ke sawah?" yang lain justru bertanya.
"Aku kira tidak. Jika mereka pergi ke sawah, tentu tidak beriringan seperti itu. Nampaknya mereka sedang mengerjakan sesuatu."
Kedua orang prajurit itu-pun kemudian sepakat untuk mengamati iring-iringan itu.
Namun keduanya harus berhati-hati. Mereka tidak boleh terjebak kedalam kesulitan. Apalagi jika hal itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan tugas mereka.
Ternyata iring-iringan itu menuju ke sebuah pategalan. Nampaknya tanah di tempat yang agak tinggi itu kekurangan air dan tidak begitu subur, sehingga tidak dijadikan tanah persawahan. Tetapi tempat itu digarap sebagai tanah pategalan yang ditanami pohon kelapa, pohon buah-buahan dan di beberapa kotak dicoba untuk ditanami jagung dan padi gaga.
Kedua orang prajurit itu menjadi semakin berhati-hati. Mereka tidak berani dengan serta-merta mendekati pategalan itu. Mereka sudah menduga, bahwa beberapa orang laki-laki itu tidak akan menggarap pategalan mereka. Tetapi mereka tentu sedang melakukan sesuatu di pategalan mereka.
Karena itu, maka kedua orang prajurit itu berusaha untuk mendekati pategalan itu tanpa diketahui oleh orang-orang yang sudah hilang di dalam rimbunnya pepohonan di pategalan.
Semakin dekat keduanya dengan pategalan itu, maka mereka menjadi semakin berhati-hati. Mereka mulai mendengar orang yang bukan saja bereakap-cakap, tetapi meneriakkan perintah-perintah.
Mereka kemudian terkejut ketika mereka melihat kesibukan di pategalan itu. Bahkan kemudian mereka melihat beberapa buah bangunan yang telah dibuat di pategalan itu.
"Itu tidak biasa," desis salah seorang prajurit itu.
"Ya, Orang-orang padukuhan itu tidak akan membangun barak di tengah-tengah pategalan. Tentu ada sesuatu yang tidak biasa," sahut yang lain.
Ketika mereka menjadi semakin dekat, maka mereka melihat bukan saja bangunan-bangunan sederhana dari bambu dan beratap ilalang. Tetapi juga beberapa buah pedati.
"Padi," desis salah seorang dari kedua orang prajurit. Tahulah kedua orang prajurit itu, bahwa bangunan itu tentu termasuk lumbung-lumbung padi yang dipersiapkan oleh para prajurit Pati. Dengan demikian, maka perhitungan Untara berdasarkan laporan-laporan para petugas sandi tidak salah. Bahwa prajurit Pati akan melewati lingkungan tadi lingkungan yang masih belum terlalu banyak dihuni orang.
Bahkan yang mereka lihat kemudian, bukan saja padi yang diturunkan dari beberapa pedati dan dimasukkan ke dalam lumbung. Tetapi juga peralatan dan senjata.
Kedua orang itu tidak menunggu terlalu lama. Mereka harus meninggalkan tempat itu sebelum mereka diketahui oleh orang-orang yang sedang sibuk itu. Karena menurut pengamatan kedua orang prajurit itu, diantara mereka terdapat sekelompok prajurit Pati yang mengawal bahan makanan dan peralatan itu. Tetapi juga sekelompok yang lain yang mempersiapkan tempat itu.
Demikianlah, maka kedua orang prajurit itu-pun dengan sangat berhati-hati telah meninggalkan pategalan itu. Mereka berusaha agar mereka selalu berada dibelakang gerumbul-gerumbul perdu di saat mereka berjalan menjauhi pategalan itu.
"Kita melihat padukuhan terdekat. Beberapa orang laki-laki yang membantu mengangkat dan memindahkan bahan makanan dan perbekalan itu tentu berasal dari padukuhan itu," berkata salah seorang dari mereka.
Kawannya mengangguk-anguk sambil berdesis, "Marilah. Mudah-mudahan kita mendengar tentang sesuatu."
Kedua orang itu-pun kemudian telah pergi ke sebuah padukuhan. Dengan hati-hati mereka memasuki regol. Namun padukuhan itu nampak sepi.
Untuk beberapa saat mereka melihat-lihat keadaan, padukuhan itu. Namun yang mereka jumpai kebanyakan hanyalah orang-orang perempuan, kanak-kanak dan orang-orang tua.
Di sebuah simpang ampat dilihatnya seorang perempuan yang sedang sibuk menyapu jalan di depan rumahnya. Kedua orang prajurit itu-pun kemudian mendekatinya. Agak tidak mengejutkan, maka beberapa langkah sebelum mendekati perempuan itu, keduanya telah berhenti dan mengangguk normat.
Perempuan itu memandangi mereka dengan kerut di dahinya. Namun di penglihatannya, kedua orang itu adalah orang kebanyakan yang kebetulan lewat padukuhannya.
Seorang diantara prajurit itu-pun kemudian bertanya, "Apakah di padukuhan ini ada sebuah kedai nasi" Kami adalah dua orang pejalan yang mengembara dari satu tempat ke tempat lain. Sejak pagi kami belum makan, karena kami tidak menemukan sebuah kedai-pun di sepanjang perjalanan kami."
Perempuan itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian orang itu menggelengkan kepala sambil berkata, "Sayang Ki Sanak. Di padukuhan ini tidak ada sebuah kedai-pun di saat seperti ini. Dipagi hari, ada kedai kecil yang menjual makanan di sebelah sebuah warung kecil yang menjual kebutuhan sehari-hari, serta beberapa orang berjualan arang anyaman dan gula kelapa yang sering diambil oleh pedagang gula dari padukuhan lain. Tetapi hanya sampai menjelang tengah hari."
Kedua orang prajurit itu mengangguk-angguk. Namun salah seorang diantara para prajurit itu berkata, "Sayang sekali. Aku mempunyai uang, tetapi aku tidak dapat membeli makanan apa-pun juga. Jika aku haus, aku dapat mencari sebuah belik yang bening, atau jika kebetulan menjumpai persediaan air didalam gentong yang memang diletakkan di depan regol-regol halaman. Tetapi jika aku kelaparan seperti ini, bagaimana kami mendapatkan nasi."
Perempuan itu nampaknya menjadi iba. Karena itu, maka katanya, "Aku mempunyai sedikit nasi di rumah. Apakah kalian mau makan nasi di rumahku?"
Kedua orang prajurit itu-pun kemudian saling berpandangan. Namun seorang diantara mereka-pun berkata, "Terima kasih Nyi. Tetapi kami tidak ingin merugikan. Karena itu, biarlah nasi itu kami tukar dengan uang."
"O, tidak. Aku dengan ikhas memberikan nasi itu kepada Ki Sanak berdua."
"Bukan kami menolak. Nyi Tetapi sudah menjadi ketetapan hati kami untuk tidak berhutang budi dalam pengembaraan kami. Karena itu, jika uang kami ditolak, maka kami terpaksa tidak dapat menerima pemberianmu itu. Tetapi untuk kemurahan hati itu, kami mengucapkan beribu terima kasih."
Perempuan itu termangu-mangu sejenak. Sementara itu, salah seorang prajurit itu-pun berkata, "Baiklah Nyi. Kami mohon diri. Kami akan meneruskan perjalanan dengan perut yang kelaparan."
Perempuan itu memang menjadi ragu-ragu. Namun akhirnya ia berkata, "Baiklah. Aku terima uang Ki Sanak. Tetapi yang penting bagiku, bukan uang Ki Sanak itu. Tetapi aku tidak dapat membiarkan Ki Sanak berdua melanjutkan perjalanan dalam keadaan sangat lapar."
Kedua orang prajurit itu tertegun. Seorang diantara mereka-pun kemudian mengambil sekeping uang dari kantong ikat pinggangnya dan memberikannya kepada perempuan itu.
Perempuan itu terkejut. Sambil memandangi uang itu ia berkata, "Ini terlalu banyak Ki Sanak."
"Biarlah Nyi. Kami hanya membawa bekal uang. Ternyata dalam keadaan yang paling sulit, uang itu tidak dapat membantu. Ketika kami kelaparan dan kami tidak menemukan kedai, uang itu tidak ada gunanya sama sekali."
Perempuan itu masih saja ragu-ragu. Namun kemudian katanya, "Marilah, aku akan menyediakan nasi seadanya."
"Terima kasih Nyi. Kami menunggu disini," jawab salah seorang prajurit.
"Maksud Ki Sanak, aku harus membungkus nasi itu?" bertanya perempuan itu pula.
"Jika tidak berkeberatan Nyi," jawab prajurit itu, "dengan demikian, maka sebagian akan dapat kami bawa untuk makan malam nanti."
Perempuan itu-pun kemudian telah masuk kedalam regol halamannya. Beberapa saat kedua orang prajurit itu menunggu sambil duduk di pinggir jalan.
Ketika perempuan itu keluar lagi, maka ia sudah membawa dua bungkus nasi yang dibungkus dengan daun pisang. Sambil menyerahkan kedua bungkus nasi, perempuan itu-pun berkata, "Hanya seadanya. Sayur kacang panjang yang aku petik di kebun belakang."
"Terima Kasih Nyi, terima kasih," berkata salah seorang prajurit itu sambil mengangguk dalam-dalam.
Namun kemudian prajurit itu bertanya, "Tetapi Nyi, nampaknya padukuhan ini sepi sekali. Aku hampir tidak pernah bertemu dengan laki-laki."
"Mereka bekerja di pategalan," jawab perempuan itu.
"Bekerja apa Nyi" Apakah memang musimnya menggarap pategalan sekarang ini?"
"Tidak. Mereka tidak mengerjakan pategalan," jawab perempuan itu.
Kedua orang prajurit itu saling berpandangan. Seorang diantara mereka-pun kemudian bertanya, "Lalu, apa yang mereka lakukan jika mereka tidak mengerjakan pategalan?"
"Aku tidak tahu. Tetapi tiga hari yang lalu, sekelompok prajurit telah datang ke padukuhan ini. Mereka minta kepada Ki Bekel untuk menyediakan tenaga, membantu para prajurit mempersiapkan sebuah perjuangan," jawab perempuan itu.
"Perjuangan apa?" bertanya prajurit itu.
"Aku tidak tahu," jawab perempuan itu.
"Apakah hanya laki-laki dari padukuhan in?" bertanya prajurit itu selanjurnya.
"Menurut suamiku, tidak. Selain laki-laki dari padukuhan ini, maka ada pula dari padukuhan lain," jawab perempuan itu.
"Menurut suamimu, semuanya ada berapa orang, Nyi?"
"Aku tidak bertanya," jawab perempuan itu.
Kedua orang prajurit itu-pun mengangguk-angguk. Namun kemudian mereka-pun segera minta diri dengan sekali lagi mengucapkan terima kasih.
"Nasi ini jauh lebih berharga dari uangku itu Nyi. Uang itu tidak akan menolong ketika aku kelaparan di perjalanan," berkata prajurit itu pula.
Demikianlah, maka kedua orang prajurit itu-pun segera melanjutkan perjalanan mereka. Demikian mereka meninggalkan padukuhan itu, maka mereka-pun segera mengambil arah, menuju ke tempat induk pasukannya menunggu.
Kedua orang prajurit itu sampai ke induk pasukannya sebelum senja. Ternyata keempat orang kawannya-pun mendapat keterangan yang sama. Tetapi mereka tidak sempat melihat sendiri, bangunan-bangunan yang nampaknya hanya untuk sementara, dibangun dipategalan sehingga sedikit terlindung oleh tumbuhan yang ada di pategalan itu.
Sabungsari kemudian menyimpulkan, bahwa Pati memang akan menyerang Mataram lewat daerah itu sebagaimana diperhitungkan oleh Untara berdasarkan laporan para petugas sandi. Dengan demikian maka nampaknya Pati memang akan menyerang dari arah Timur.
Untuk itu, maka Pati harus menempatkan perbekalannya di sepanjang jalur jalan yang akan dilalui. Tetapi agaknya Pati memangg harus menghapus hambatan-hambatan di sepanjang perjalanan pasukannya.
"Kita hancurkan lumbung itu," berkata seorang pemimpin kelompok.
Tetapi Sabungsari menggeleng, "Tidak. Kita tidak akan mengusik lumbung itu."
"Kenapa?" bertanya pemimpin kelompok itu.
"Jika kita menghancurkan lumbung itu, maka mereka akan mengetahui, bahwa Mataram atau pasukannya telah mengetahui jalur jalan yang dipersiapkan oleh Pati serta tempat mereka menyiapkan bahan makanan dan perbekalan. Karena itu, akan membiarkannya. Tetapi pada saatnya, lumbung-lumbung itu akan kita hancurkan. Mungkin bukan kelompok ini, tetapi kelompok-kelompok yang lain menurut petunjuk yang kita berikan."
Pemimpin kelompok itu tanggap. Perbekalan itu akan dihancurkan justru saat pasukan Pati sudah lewat, sehingga dukungan bahan makan dan perbekalannya akan terganggu.
Namun bukan berarti bahwa mereka akan segera kembali ke Jati Anom. Sabungsari masih akan membawa pasukannya lebih jauh lagi untuk melihat lebih banyak persiapan-persiapan yang dilakukan Pati untuk menyerang Mataram.
Namun satu hal yang dapat mereka yakini, bahwa pati memang tidak akan menyerang Pajang.
Sabungsari dan pasukan kecilnya itu beristirahat untuk beberapa saat lagi ditempai itu. Namun kemudian menjelang tengah malam, mereka-pun segera melanjutkan perjalanan lagi. Sabungsari telah menugaskan ampat orang yang lain, untuk melihat-lihat jalan yang menurut perhitungan akan dilalui pasukan Pati. Namun mereka harus menjadi semakin berhati-hati.
"Kita tidak tergesa-gesa," berkata Sabungsari. "Perjalanan kita memang akan menjadi lamban. Tetapi kalian tahu dimana kalian dapat menemukan induk pasukan ini. Kami akan selalu membuat jejak sandi sebagaimana sudah kita sepakati."
Dengan demikian, maka Sabungsari telah maju lagi beberapa ratus patok. Perjalanan mereka memang lamban. Kecuali mereka masih belum menguasai medan yang mereka tempuh, malam gelapnya bukan main.
Namun prajurit-prajurit yang terlatih itu mampu mengatasi medan yang sulit itu. Mereka tidak lupa membuat jejak-jejak sandi bagi kepentingan kawan-kawan mereka yang bertugas terpisah agar mereka dapat menemukan pasukan induknya.
Di malam dan dihari berikutnya, prajurit-prajurit di bawah pimpinan Sabungsari itu menemukan tanda-tanda yang memastikan jalur jalan pasukan Pati.
Namun para prajurit yang memisahkan diri dari induk pasukannya itu telah terhenti di sebuah padukuhan.. Mereka melihat padukuhan kecil itu tidak tertidur di malam hari. Bahkan melihat kesibukan yang berlebihan.
Dengan hati-hati mereka sempat mendekat. Baru mereka yakin, bahwa padukuhan itu menjadi tempat pemberhentian prajurit-prajurit Pati yang nampaknya mendahului untuk mempersiapkan jalur yang akan dilalui.
"Kangjeng Adipati benar-benar telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya," berkata salah seorang dari para prajurit itu.
"Ya," kawan-kawannya mengangguk-angguk.
Namun para prajurit Mataram itu menduga bahwa prajurit Pati masih belum akan bergerak dalam satu dua hari ini. Mereka masih melihat para prajurit yang ada di padukuhan itu mempersiapkan landasan bagi para prajurit yang jumlahnya tentu akan banyak sekali.
Para prajurit Mataram itu berusaha mengamati padukuhan itu dengan saksama. Mereka telah memencar untuk dapat melihat padukuhan itu dari segala sisi.
Menurut pengamatan para prajurit Mataram itu, maka padukuhan itu akan menjadi tempat pemberhentian sebuah pasukan yang besar. Mereka telah mempersiapkan rumah-rumah penduduk untuk dapat dipergunakan olen para prajurit. Pendapa banjar, rumah Ki Bekel dan rumah-rumah yang agak besar yang lain.
Tetapi para prajurit Mataram itu melihat bahwa arah yang akan ditempuh oleh para prajurit Pati itu bercabang. Kegiatan mereka-pun nampaknya menuju kedua arah.
Para prajurit Mataram melihat prajurit penghubung berkuda yang keluar dan masuk padukuhan itu dari dan ke arah Selatan dan Barat.
Untuk beberapa saat mereka mencoba memecahkan kemungkinan itu. Namun mereka tidak segera dapat mengambil kesimpulan.
Ketika hal itu dilaporkan kepada Sabungsari, maka Sabungsari-pun kemudian berniat untuk melihat sendiri.
Karena itu, maka sehari-harian mereka menunggu di tepi sebuah hutan sampai saatnya senja turun.
Malam itu Sabungsari sendiri melihat padukuhan yang nampaknya akan menjadi landasan gerak pasukan Pati. Namun menurut perhitungan Sabungsari, jarak itu masih terlampau jauh dari Mataram.
"Mungkin tempat ini akan dijadikan landasan utama," berkata Sabungsari kepada prajuritnya yang menyertainya.
"Jadi?" bertanya prajurit itu.
"Aku menduga, bahwa di tempat ini pasukan Pati akan dipecah menjadi dua. Satu menuju ke Selatan, yang lain menuju ke Barat."
Prajurit itu mengangguk-angguk. Mereka memang melihat beberapa buah pedati yang menuju ke arah Barat.
Dengan kesimpulan itu, ketika ia kembali kepasukan induknya, maka ia-pun berkata kepada para prajuritnya, "Kita harus melihat semuanya. Kita harus menelusuri lebih jauh persiapan pasukan Pati ini. Tetapi kita juga akan melihat jalur Barat yang nampaknya tidak kalah pentingnya dari jalur ke Selatan. Kita sudah dapat menduga, jalur ke Selatan akan menuju ke Jati Anom dan menguasai daerah di sekitarnya. Kemudian pasukan Pati akan bergerak Ke Barat. Sementara itu kita belum dapat membayangkan arah pasukan yang akan menuju ke Barat dari padukuhan itu.
Prajurit-prajuritnya mendengarkan keterangan Sabungsari itu dengan saksama. Apalagi ketika Sabungsari kemudian menentukan bahwa pasukan kecilnya itu akan dibagi menjadi tiga. Sepertiga meneruskan perjalan melihat jalur jalan yang akan dilalui prajurit Pati. Sepertiga tetap berada di tempat itu untuk mengamati kegiatan di padukuhan yang nampaknya menjadi tempat yang penting itu. Dan sepertiga akan mecoba melihat ke arah Barat. Apakah ada persiapan-persiapan yang memerlukan perhatian.
"Aku sendiri akan menelusuri jalur jalan ke arah Barat itu," berkata Sabungsari kemudian. Lalu katanya, "Kita akan berkumpul lagi dua hari mendatang. Aku yakin, kalian tidak akan menjadi kelaparan."
Demikianlah, maka malam itu juga, Sabungsari dan kelompoknya mulai bergerak. Demikian juga kelompok yang harus melanjutkan perjalanan. Sementara kelompok yang tinggal, mempunyai kesempatan untuk beristirahat.
Tetapi bukan berarti kalalu kewajiban mereka menjadi lebih ringan. Mereka harus mengawasi kegiatan-kegiatan yang terjadi di padukuhan itu.
Demikianlah, maka ketiga kelompok kecil itu telah berusaha melaksanakan tugas mereka dengan sebaik-baiknya. Sabungsari yang menelusuri arah hubungan prajurit Pati ke Barat mendapatkan kesimpulan bahwa pasukan Pati akan dibagi dua. Kekuatan utama akan langsung menuju ke Jati Anom dan sekitarnya untuk kemudian bergerak ke Barat, sementara yang lain akan mengganggu pemusatan kekuatan Mataram dengan menyerang Mataram dari arah Utara.


12 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sementara itu, kelompok yang mengawasi padukuhan yang akan menjadi landasan utama pasukan Pati itu memperkuat dugaan bahwa pasukan Pati memang akan terbagi. Sementara kelompok yang menelusuri jalur berikutnya melihat lalu lintas pasukan yang sibuk.
Sabungsari tidak banyak membuang waktu. Menurut perhitungannya, meski-pun tidak dalam satu dua hari mendatang, tetapi dalam waktu yang dekat, Pati akan menyerang.
Karena itu, maka Sabungsari telah membawa pasukan kecilnya kembali ke Jati Anom, untuk memberikan laporan hasil pengamatan mereka.
Seperti saat mereka berangkat, maka mereka-pun telah mengambil jalan yang sepi di saat mereka kembali. Mereka-pun menempuh perjalanan di malam hari untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat terjadi.
Bahkan kemudian Sabungsari memutuskan untuk menjauhi jalur jalan yang sudah mereka ketahui di saat mereka berangkat, agar mereka dapat berjalan lebih cepat.
Namun ketika mereka sampai di dekat hutan Nglungge, mereka terhenti. Di kejauhan mereka melihat perapian di sebuah padang perdu.
Dengan berbagai macam pertanyaan di hati para prajurit Mataram yang ditempatkan di Jati Anom itu, memperhatikan api yang memang tidak terlampau besar. Tetapi yang dapat mereka lihat adalah dua onggok perapian yang nampaknya sedang dikerumuni oleh beberapa orang.
"Aku ingin melihat, siapakah yang membuat parapian itu," desis Sabungsari.
"Biarlah kami berangkat," berkata seorang pemimpin kelompok.
Tetapi Sabungsari menjawab, "Aku sendiri akan melihat. Aku minta kau dan dua orang lagi pergi bersamaku."
Demikianlah, maka empat orang dengan sangat berhati-hati berusaha mendekati parapian itu. Mereka terkejut ketika mereka menyadari, bahwa dihadapan mereka sekelompok prajurit sedang merubungi dua onggok parapian sambil memanggang jagung muda yang nampaknya mereka petik dari sawah atau pategalan.
"Siapa mereka?" desis salah seorang prajurit tertahan.
Sabungsari memberi isyarat agar prajurit itu berhati-hati berbicara. Namun kemudian Sabungsari sendiri berbisik perlahan. "Menilik pakaian dan kelengkapan mereka, mereka bukan prajurit Mataram. Tetapi mereka tentu prajurit Pati."
"Tetapi bagaimana mungkin mereka ada disini?" bertanya pemimpin kelompok yang menyertai Sabungsari itu. "bukankah daerah ini menurut perhitungan tidak termasuk jalur jalan yang akan dilalui oleh para prajurit Pati jika mereka akan bergerak ke Selatan?"
"Mungkin mereka termasuk sekelompok prajurit yang harus mengamankan lingkungan ini sebelum induk pasukannya akan lewat. Atau sekelompok prajurit yang dengan sengaja menyesatkan perhitungan pasukan Mataram yang ada di Jati Anom," jawab Sabungsari.
Para prajurit itu terdiam. Mereka masih saja memperhatikan orang-orang yang ada di sekitar perapian itu.
Namun tiba-tiba saja Sabungsari berdesis, "Berhati-hatilah. Nampaknya ada orang yang melihat kehadiran kita"
Para prajurit itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Sabungsari memberi isyarat kepada prajurit-prajuritnya untuk mundur.
"Kita akan menghindari benturan kekerasan sejauh dapat kita lakukan," berkata Sabunggsari.
Tetapi demikian mereka bergerak mundur, maka Sabungsari telah mendengar langkah kaki beberapa orang di belakangnya.
"Kita sudah dikepung," desis Sabungsari.
"Jadi, apa yang akan kita lakukan?" bertanya pemimpin kelompok itu.
"Apa boleh buat," jawab Sabungsari.
"Kita akan melawan mereka?" bertanya salah seorang prajurit yang menyertainya.
"Kita tidak mempunyai pilihan lain," jawab Sabungsari.
Sebenarnyalah, beberapa orang-pun kemudian telah bergerak mendekati mereka dari beberapa arah. Karena itu, maka Sabungsari dan ketiga orang itu-pun segera berdiri tegak menghadap ke ampat arah.
"Jangan bergerak," terdengar sebuah perintah.
Sabungsari memandang berkeliling. Yang berdiri disekitarnya terdiri dari sekitar sepuluh orang. Apalagi ketika orang-orang yang berkerumun di dekat parapian itu mendengar perintah yang lantang itu.
"Ada apa?" bertanya seseorang.
"Ada beberapa orang yang nampaknya sedang mengintai kita," jawab salah seorang dari orang yang mengepung Sabungsari dan prajurit-prajuritnya itu.
"O. Berapa orang?" bertanya orang di dekat parapian itu.
"Yang kami lihat disini ampat orang," jawab salah seorang dari mereka yang mengepung Sabungsari itu.
Orang-orang yang duduk di perapian itu berkata, "Tangkap mereka, bawa kemari. Jika perlu, biarlah mereka kita panggang diatas api ini."
Orang yang berdiri di kepungan itu tidak menjawab lagi. Namun orang itu-pun bertanya kepada Sabungsari, "Siapakah kalian dan apa kepentingan kalian mengintip kami?"
Sabungsari-pun menjawab, "Kami tidak dengan sengaja mengintip kalian. Kami hanya sekedar lewat. Tetapi kami melihat perapian disini, sehingga kami tertarik untuk melihatnya."
"Omong kosong," jawab orang yang berdiri di lingkaran yang mengepung Sabungsari dan kawan-kawannya itu, "kalian tidak akan dapat ingkar. Tetapi siapa-pun kalian, yang sudah terlanjur melihat kehadiran kami disini, harus menanggung akibatnya. Mungkin kalian memang sedang bernasib buruk semata-mata, karena kalian tanpa sengaja mendekati parapian ini. Namun setiap orang yang telah melihat kami disini, tidak akan pernah dapat mengatakan kepada siapaun juga."
Sabungsari tidak menjawab. Tetapi Sabungsari itu memandang berkeliling, seakan-akan ia sedang melihat sisi kelemahan kepungan itu.
Tetapi orang yang nampaknya pemimpin kelompok yang mengepung itu tertawa. Katanya, "kalian tidak akan dapat lari."
Sabungsari memang melihat kepungan itu rapat. Namun bukan berarti tidak dapat ditembusnya.
Tetapi Sabungsari-pun sadar, bahwa dengan satu teriakan saja, maka orang-orang yang duduk di seputar perapian itu akan bangkit dan menyerang mereka bersama-sama.
Tetapi Sabungsari-pun sadar, bahwa ia-pun tidak sekedar berempat. Dengan satu isyarat, maka kawan-kawannya yang tidak berada terlalu jauh akan segera datang pula.
Justru karena itu, maka Sabungsari nampak tetap tenang menghadapi orang-orang yang mengepungnya. Demikian pula ketiga orang kawan-kawannya.
Bahkan Sabungsari itu masih sempat bertanya, "Ki Sanak. Siapakah sebenarnya Ki Sanak yang membuat perapian disini?"
"Siapa menurut pendapatmu sehingga kau berusaha untuk mengamati kami?"
"Sudah aku katakan, kami tidak mengamati kalian. Kami hanya lewat saja disini."
"Baiklah. Siapa-pun kalian, maka kalian akan kami panggang diatas api itu. Kalian berempat harus dibunuh disini, agar kalian tidak dapat bereerita tentang kami disini."
"Bagaimana mungkin kami dapat bercerita tentang kalian, kami memang tidak mengenal kalian dan mengerti apa yang kalian lakukan disini," berkata Sabungsari.
"Cukup," bentak orang itu, "Sekarang, nasib buruk itu akan menimpa kalian. Kalian tidak usah mencoba melawan. Kami terdiri dari banyak orang. Segala perlawanan akan sia-sia. Perlawanan hanya akan membuat darah kami semakin panas, sehingga kami akan dapat berbuat lebih buruk dari sekedar membunuh kalian."
"Jadi kalian akan membunuh kami?" bertanya Sabungsari.
"Ya. Bukankah sudah aku katakan, agar kalian tidak dapat berbicara tentang kami disini."
Sabungsari termangu-mangu sejenak. Namun sebelum ia berbuat sesuatu, dilihatnya seorang yang bertubuh tinggi dan agak kekurus-kurusan melangkah mendekatinya, menyibak orang-orang yang mengepungnya.
"Kami memang harus membunuh kalian Ki Sanak. Kami minta maaf, bahwa kami tidak mempunyai pilihan lain," berkata orang itu. Kemudian katanya lebih lanjut, "tetapi sebelum kalian mati, aku tidak berkeberatan jika kalian mengetahui, siapakah kami sebenarnya," orang itu berhenti sejenak, lalu katanya pula, "kami adalah prajurit-prajurit Pati."
"Prajurit pati," ulang Sabungsari.
"Bukankah kau melihat sebagian dari kami masih mengenakan ciri-ciri prajurit Pati" Sebagian yang lain memang tidak," berkata orang itu pula, "tetapi kami berada disini bukan karena tugas kami sebagai prajurit Pati. Kami sedang melakukan tugas bagi kepentingan pribadi kami diluar pengetahuan para Senapati kami. Karena itu, kalian harus mati agar pelanggaran yang kami lakukan ini tidak sampai terdengar oleh para Senapati Pati sendiri karena jika mereka mendengar tingkah laku kami, kami akan dapat dihukum sendiri oleh Senapati-senapati kami."
"Apa yang telah kalian lakukan?" bertanya Sabungsari.
Orang itu tertawa. Katanya, "sudah cukup. Aku tidak akan memberitahukan lebih banyak lagi."
Sabungsari menyadari, bahwa kesempatan tidak banyak lagi. Karena itu, maka ia-pun kemudian telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.
"Jangan mencoba berbuat sesuatu yang dapat menyulitkan kalian sendiri," berkata orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu. "Kau sudah terjebak dari sifat burukmu, ingin tanu sesuatu yang tidak ada sangkut pautnya dengan kepentinganmu sendiri."
"Baiklah," berkata Sabungsari, "dalam kesempatan terakhir, biarlah aku juga berterus-terang. Aku ingin kalian menyerah tanpa bertumpahan darah. Karena adalah prajurit-prajurit Pati yang bertugas untuk menjaga nama baik dan wibawa Pati. Karena itu, maka kami harus menangkap kalian dan membawa kalian menghadap para Senapati."
Orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu tertawa. Justru berkepanjangan. "Kalian jangan berusaha menyelamatkan diri dengan cara yang licik itu. Kalian tidak usah mengaku prajurit Pati, karena aku mengenal mereka yang bertugas mendahului pasukan induk dengan baik. Tidak ada seorang-pun yang tampangnya seperti tampang kalian ini."
Sabungsari termangu-mangu sejenak. Sedangkan orang itu berkata, "Kesempatan kalian untuk memperpanjang umur kalian sudah cukup. Sekarang, menyerahlah. Kami mempunyai cara yang baik untuk membunuh orang yang patuh kepada perintah kami. Tetapi kami-pun mempunyai cara yang baik pula untuk membunuh orang yang menentang perintah kami."
Sabungsari memang tidak mempunyai kesempatan lagi. Karena itu, maka ia-pun telah meletakkan jari-jarinya di mulutnya. Terdengar suitan nyaring menggetarkan udara malam di tepi hutan Nglungge.
Ketiga orang prajurit yang mengikutinya itu-pun berbuat hal yang sama pula, sehingga suitan itu terdengar bersahut-sahutan.
Orang-orang yang mengepung Sabungsari dan kawan-kawannya itu terkejut. Mereka segera sadar, bahwa yang mereka hadapi bukan hanya ampat orang itu. Tetapi tentu lebih dari itu.
Orang-orang yang masih berkerumun di sekitar kedua onggok perapian itu-pun terkejut. Mereka-pun segera menyadari pula, bahwa mereka akan berhadapan dengan sekelompok orang.
Ketika para prajurit Pati itu masih termangu-mangu, maka Sabungsari-pun berkata, "Atas nama pemerintah Mataram, menyerahlah. Aku berjanji bahwa kalian akan diperlakukan sesuai dengan paugeran atas prajurit yang tertawan."
"Setan kau," geram orang yang bertubuh kekurus-kurusan, "kami akan membunuh kalian semua."
Ketika orang-orang yang mengepung Sabungsari dan ketiga orang kawannya itu mulai bergerak, maka orang-orang yang berkerumun di sekitar perapian itu-pun segera bangkit. Mereka segera menyadari bahwa mereka ada dalam keadaan bahaya. Mereka mendengar Sabungsari menyebut dirinya prajurit Mataram.
Karena itu, mereka harus segera berbuat sesuatu untuk mengatasinya.
Dalam pata itu, isyarat yang diberikan oleh Sabungsari dan ketiga orang prajuritnya telah ditangkap oleh para prajurit Mataram yang dengan sungguh-sungguh sedang mengamati keadaan. Demikian mereka mendengar isyarat, maka para pemimpin kelompok pasukan Mataram itu segera memerintahkan prajurit-prajuritnya bergerak. Mereka mendekati sasaran dari ketiga arah yang berbeda.
Sementara itu, Sabungsari dan ketiga orang prajurit yang menyertainya sudah terlibat dalam pertempuran. Orang-orang yang mengepungnya mulai menyerang dari segala arah.
Namun mereka tidak dapat memusatkan segenap perhatian mereka kepada keempat orang yang berada didalam kepungan itu. Para prajurit Mataram yang berlari ke arah mereka, telah bersorak-sorak. Mereka sengaja memecah perhatian orang-orang yang masih belum mereka kenali. Namun yang pasti, bahwa telah terjadi benturan kekuatan antara mereka dengan Sabungsari dan ketiga orang prajurit yang menyertainya.
Sebenarnyalah, sejenak kemudian para prajurit Mataram itu telah menyerang dengan garangnya. Orang-orang yang semula berkerumun di sekitar perapian itu-pun telah menyongsong pula. Sehingga dengan demikian maka pertempu-ran-pun telah terjadi antara sekelompok prajurit Pati melawan sekelompok prajurit Mataram.
Di saat-saat pasukan Mataram membentur kekuatan prajurit Pati. Sabungsari telah memanfaatkan keadaan. Bersama ketiga prajurit yang menyertainya, mereka telah memecahkan kepungan di sekitar mereka. Sabungsari dan ketiga prajuritnya itu telah menerobos keluar dari kepungan dan bahkan kemudian bergabung dengan para prajurit Mataram yang telah datang dari tiga arah itu.
"Kita akan menangkap mereka," teriak Sabungsari, "mereka adalah prajurit-prajurit Pati."
Dalam pada itu pemimpin sekelompok prajurit Pati itu-pun berteriak pula, "Kita hancurkan prajurit Mataram itu sekarang."
Dengan demikian, maka pertempuran itu-pun segera meningkat menjadi semakin sengit. Kedua belah pihak ingin dengan cepat menyelesaikan pertempuran itu.
Para pemimpin kelompok dari Mataram yang merasa bahwa jumlah prajurit yang mereka bawa lebih sedikit dari jumlah para prajurit dari Pati telah mengisyaratkan, agar para prajuritnya menyerang dengan mengandalkan kemampuan pribadi mereka. Mereka diisyaratkan untuk menusuk sampai kejantung perlawanan para prajurit Pati.
Sabungsari sendiri menyadari, bahwa prajurit Mataram harus mengerahkan segenap kemampuan mereka, jika para prajurit Mataram itu tidak ingin digilas oleh orang-orang Pati itu.
Dengan demikian, maka pertempuran itu-pun menjadi semakin seru, tetapi juga menjadi semakin rumit. Prajurit Mataram yang jumlahnya sedikit itu berusaha mengimbangi lawannya dengan kecepatan gerak mereka seorang-orang.
Dalam pada itu, maka gelar pasukan Mataram itu ternyata mampu menggoyahkan perlawanan prajurit Pati. Apalagi prajurit Pati yang sedang bertempur itu, sebagian adalah orang-orang baru yang dihimpun dengan tergesa-gesa untuk menyerang Mataram, sehingga mereka belum memiliki tingkat kemampuan yang sama dengan kawan-kawannya yang lebih dahulu berada dilingkungan keprajuritan. Setidak-tidaknya dari segi pengalaman.
Dengan demikian, maka mereka memang menjadi bingung menghadapi para prajurit Mataram yang terlatih baik serta mempunyai pengalaman yang luas pula.
Karena itu, maka satu-satu para prajurit Pati itu-pun terlempar dari medan pertempuran. Apalagi mereka yang berada dekat dengan Sabungsari. Pedang Sabungsari menyambar-nyambar seperti burung sikatan.
Prajurit Pati yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu beberapa kali meneriakkan aba-aba. Namun prajurit-prajuritnya memang mengalami kesulitan untuk berbuat lebih banyak lagi.
Bagi para prajurit yang belum memiliki banyak pengalaman serta latihan yang kurang matang, maka bertempur dalam kegelapan serta tanpa jarak antara lawan dan kawan, membuat mereka kadang-kadang kehilangan kesempatan. Mereka tidak segera mengenali sasaran, namun senjata lawan lebih dahulu telah mematuknya.
Pertempuran di tepi hutan Nglungge itu rasa-rasanya telah mengguncang udara malam. Sekali-sekali terdengar teriakan nyaring. Sekali-sekali terdengar aba-aba. Namun sekali-sekali terdengar jerit kesakitan.
Mereka yang kulit dan dagingnya dikoyak oleh ujung senjata, mengaduh tertahan. Tetapi ada juga yang berteriak mengumpat-umpat selain mereka yang berusaha untuk menggeretakkan giginya menahan sakit dan kemarahan
Namun dalam pada itu, sejenak kemudian ternyata bahwa para prajurit Mataram memiliki beberapa kelebihan. Mereka memiliki kemampuan pribadi lebih tinggi. Mereka memiliki pengalaman yang lebih luas serta landasan tekad yang lebih mapan. Para prajurit Mataram itu merasa bertempur untuk melaksanakan tugas dan kewajiban mereka, sementara prajurit Pati justru sedang melakukan penyimpangan dari tugas keprajuritan mereka.
Jilid 295 TETAPI para pemimpin prajurit Pati masih saja berteriak-teriak. Mereka berusaha untuk mendorong para prajuritnya untuk meningkatkan kemapuan mereka.
Tetapi pada prajurit Pati itu sudah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Mereka memang tidak mampu berbuat lebih dari yang sudah mereka lakukan.
Karena itu, maka perlahan-lahan para prajurit Mataram yang semula jumlahnya lebih sedikit itu kemudian mampu mendesak dan bahkan menguasai lawan-lawan mereka. Orang-orang Pati itu semakin lama menjadi semakin terdesak. Satu-satu mereka kehilangan kesempatan untuk meneruskan pertempuran. Beberapa sosok tubuh terbaring diam. Namun masih ada yang sekali-sekali menggeliat kesakitan.
Sabungsari juga masih saja memberikan aba-aba bagi para prajurit Mataram, agar mereka tidak mengendorkan pertempuran. Mereka harus dengan cepat mampu menguasai keadaan.
Ternyata para prajurit Pati tidak mampu bertahan terlalu lama. Ketika para pemimpin prajurit Pati itu melihat keadaan yang pahit, maka mereka-pun segera mengambil keputusan.
Seorang dari mereka telah memberikan isyarat. Sebuah aba-aba sandi yang tidak diketahui oleh para prajurit Mataram. Namun para prajurit Mataram itu sudah menduga, bahwa aba-aba sandi itu akan menimbulkan perubahan pada tatanan pertempuran.
Baru kemudian para prajurit Mataram itu memahami. Aba-aba sandi itu adalah perintah bagi para prajurit Pati untuk melarikan diri dari medan pertempuran.
Demikianlah, maka para prajurit Pati itu telah mempergunakan kesempatan pertama untuk meninggalkan arena. Mereka dengan cepat telah menghambur masuk kedalam hutan Nglungge.
Beberapa orang prajurit Mataram memang berusaha mengejar mereka. Tetapi Sabungsari memberikan isyarat dengan suitan, agar para prajurit Mataram tidak mengejar mereka yang melarikan diri, tetapi menguasai para prajurit yang tidak sempat meninggalkan arena pertempuran.
Ternyata ada beberapa prajurit Pati yang menyerah dan tidak mempunyai kesempatan untuk melarikan diri, disamping kawan-kawan mereka yang terluka dan terbunuh di pertempuran.
Sejenak kemudian, pertempuran di pinggir hutan Nglungge itu-pun telah berakhir. Namun yang terjadi itu baru satu permulaan dari perang besar yang akan terjadi. Namun Sabungsari-pun kemudian berkata kepada prajurit-prajuritnya, "Perang antara Mataram dan Pati telah dimulai."
Para prajuritnya mengangguk-angguk. Mereka memang melihat dan mengalaminya, bahwa perang memang sudah dimulai.
Namun sejenak kemudian, maka Sabungsari-pun telah memerintahkan semua orang berkumpul. Baik para prajurit Mataram, mau-pun para prajurit Pati yang tertawan. Sabungsari memerintahkan untuk membawa mereka yang terluka bersama mereka.
"Kita harus segera meneruskan perjalanan ke Jati Anom. Jaraknya memang masih jauh. Tetapi kita tidak mempunyai pilihan. Kita harus membawa mereka yang terluka dengan cara apa-pun juga. Namun kita harus menyediakan waktu untuk mengubur orang-orang yang terbunuh dalam pertempuran."
Sabungsari memang harus melepaskan beberapa orang prajuritnya gugur. Tiga orang harus ditinggalkan untuk dikuburkan. Sementara itu, ada lima orang yang terhitung parah. Dan lebih dari sepuluh orang yang tergores senjata. Namun tidak berbahaya.
"Kita harus memisahkan kuburan para prarjurit Mataram dan Pati, agar kita mudah mengenalinya. Mungkin pada suatu ketika kita harus mengambilnya."
Demikianlah sebelum mereka meninggalkan tempat itu, maka mereka harus mengubur tiga sosok tubuh prajurit Mataram dan tujuh sosok tubuh prajurit Pati yang terbunuh dipeperangan. Sementara itu, mereka masih harus membawa kawan-kawan mereka yang terluka parah.
Namun Sabuhgsari berniat untuk meminjam dua buah pedati di padukuhan yang pertama mereka singgahi. Jika tidak ada pedati, mereka dapat meminjam cikar atau keseran atau alat pengangkut apa-pun juga untuk membawa orang-orang yang terluka parah.
"Kita harus segera sampai ke Jati Anom. Para prajurit Pati yang melarikan diri akan dapat memberikan laporan kepada pemimpin mereka. Pertempuran ini akan dapat mempercepat serangan induk pasukan Pati atas Jati Anom dan sekitarnya." berkata Sabungsari kepada para prajuritnya.
Tetapi seorang tawanan, tanpa diminta dengan suka rela memberikan keterangan, "Tidak ada yang akan memberikan laporan tentang peristiwa ini kepada para pemimpin prajurit Pati."
"Kenapa?" bertanya Sabungsari.
"Kami telah meninggalkan tugas kami," jawab prajurit itu.
"Tugas apa?" desis Sabungsari.
"Kami bertugas untuk menjaga lumbung yang dipersiapkan bagi pasukan induk yang bakal lewat. Kami sedang membangun landasan perbekalan. Tetapi sebagian besar dari prajurit yang bertugas telah meninggalkan padukuhan itu atas persetujuan kawan-kawan kami yang lain, yang akan tinggal di lumbung."
"Bagaimana jika lumbung itu diserang" Katakanlah, kami datang menyerangnya?" berkata Sabungsari.
"Kami yakin bahwa tidak akan ada pasukan Mataram sampai ke tempat itu."
"Tetapi kalian melihat, kami ada disini. Dan sebenarnya kami telah melihat lumbung yang kalian persiapkan di Ngaru-aru."
Prajurit Pati itu terkejut. Ternyata landasan perbekalan itu sudah diketahui oleh prajurit Mataram.
Tetapi ia sudah berada di tangan prajurit Mataram. Sehingga ia tidak dapat lagi berbuat sesuatu. Sementara kawan-kawannya tidak akan berani melaporkan kepada para Senapati apa yang telah terjadi di hutan Ngungge itu, karena yang mereka lakukan justru melanggar paugeran prajurit.
Para prajurit Pati itu tanpa dipaksa telah menyatakan pengakuan mereka, bahwa mereka telah membentuk satu kelompok yang melakukan perampok di padukuhan-padukuhan. Pada saat tertentu, mereka memecah diri menjadi beberapa kelompok kecil yang tersebar ke arah sasaran yang berbeda.
Sabungsari harus menahan diri agar ia tidak kehilangan kendali, betapa-pun kemarahan telah menyala didalam hatinya. Para prajurit Pati itu ternyata telah melakukan tindakan yang justru pada menodai nama mereka sendiri.
Di padukuhan berikutnya Sabungsari memang mendapatkan beberapa alat angkutan untuk membawa orang-orang yang lerluka parah. Sabungsari berjanji untuk mengembalikan pedati-pedati itu kemudian setelah orang-orang yang terluka itu sampai ke Jati Anom.
Demikian Sabungsari sampai di Jati Anom, maka ia-pun segera memberikan laporan kepada Untara, apa yang mereka lihat dan alami di perjalanan.
"Jika demikian, maka pasukan induk dari Pati itu akan segera bergerak," berkata Untara.
"Nampaknya memang demikian, "jawab Sabungsari.
"Kita harus segera mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Kita masih menunggu laporan dari petugas sandi, seberapa besar pasukan Pati yang bergerak itu."
"Nampaknya pasukan mereka akan dipecah menjadi dua. Sebagian akan menyusuri jalan yang akan turun lewat lereng Gunung Merapi dan menyerang Mataram dari sisi Utara. Sedangkan sebagian lagi akan menuju ke Jati Anom untuk selanjutnya bergerak ke Barat."
"Kita akan segera menyusun laporan ke Mataram," berkata Untara.
Namun dalam pada itu, Untara tidak sekedar menunggu laporan dari para petugas sandi. Tetapi Untara telah memerintahkan Sabungsari untuk melakukan tugas sandi, mengamati landasan yang dibangun oleh para prajurit Pati itu. Landasan yang menjadi simpang tiga bagi pasukannya yang akan dibelah.
"Tetapi kalian harus datang lebih dahulu dari pasukan induk dari Pati itu," perintah Untara kepada Sabungsari dan ampat orang yang dibawanya dalam tugas sandi itu."
Satu tugas yang sangat berat. Tetapi Sabungsari harus melaksanakannya, ia harus kembali menyusuri jalan yang pernah dilaluinya menuju ke Ngaru-aru dan bahkan maju lagi untuk melihat padukuhan yang akan menjadi landasan utama prajurit Pati yang akan membagi diri.
Sabungsari hanya beristirahat satu dari di Jati Anom. Kemudian ia-pun segera bergerak kembali untuk melaksanakan tugas sandinya.
Demikian Sabungsari berangkat, maka Untara telah pergi sendiri ke Mataram dengan tiga orang pengawalnya, ia ingin langsung memberikan laporan tentang gerakan pasukan Pati kepada Ki Patih Mandaraka. Terutama tentang rencana Pati untuk membagi prajuritnya sehingga nampaknya Pati akan menyerang Mataram lewat dua arah."
Untara yang telah berada di Mataram, diterima langsung oleh Ki Patih Mandaraka. Dengan sungguh-sungguh Ki Patih mendengarkan laporannya. Tarutama tentang kemungkinan Pati membagi pasukannya.
"Menarik sekali," berkata Ki Patih Mandaraka, "Pati mengharap akan mengacaukan pertahanan Mataram. Menurut perhitunganku, pasukan yang datang dari Utara akan datang lebih dahulu. Dengan demikian diharapkan Mataram akan menarik pasukannya digaris pertempuran dan menyongsong pasukan Pati ke Utara. Namun kemudian induk pasukan Pati akan datang dari Timur menghantam langsung Kotaraja yang lemah karena pasukan Mataram terpancing menyongsong lawan dari Utara."
"Kita akan menghadap Panembahan Senapati," berkata Ki Pauh Mandaraka kemudian.
Panembahan Senapati-pun ternyata sangat memperhatikan laporan itu. Sementara laporan dari para petugas sandi serta dari Pajang mengatakan bahwa pasukan Pati sudah berada dalam perjalanan.
"Baiklah," berkata Panembahan Senapati, "kita tidak dapat tinggal diam. Aku perintahakan pasukan ditahan di Jati Anom. Semakin lama semakin baik. Kami harus menyelesaikan pasukan yang datang dari Utara."
"Kami akan berusaha sejauh dapat kami lakukan, Panembahan," jawab Untara.
"Pasukan yang berada di Ganjur akan ditarik dan diperbantukan ke Jati Anom," berkata Panembahan Senapati.
"Pasukan yang manakah yang akan bergerak ke Utara?" bertanya Ki Patih Mandaraka.
"Apakah kita dapat memerintahkan sebagian prajurit dari Kotaraja?"
"Sangat berbahaya angger Panembahan," jawab Ki Patih Mandaraka, "Kotaraja tidak boleh menjadi kosong, atau menjadi lemah. Mungkin Pati mempunyai cara lain untuk menyusup masuk selain kedua pasukannya itu."
"Jadi, menurut paman?" bertanya Panembahan Senapati.
"Kita menunggu laporan terakhir. Namun dalam pada itu, Pasukan Khusus yang ada di Tanah Perdikan Menoreh serta sebagian dari pasukan pengawal Tanah Perdikan itu dapat dipergunakan."
Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Ia sependapat dengan Ki Patih Mandaraka. Pasukan khusus yang ada di Tanah Perdikan akan dapat di tempatkan di sisi Utara, sementara Tanah Perdikan diminta untuk membantu menempatkan sebagian pengawalnya bersama Pasukan Khusus itu.
Demikianlah, maka Matarampun telah bersiap menghadapi Pati. Mataram memaklumi ketika Pajang mengisyaratkan, untuk menempatkan pasukannya melindungi diri sendiri, sehingga tidak dapat membantu pasukan Mataram secara langsung, sebagaimana pasukan Demak yang tidak terlalu jauh jaraknya dari Demak dibelahan Utara.
Perintah Panembahan Senapati untuk Pasukan Khusus yang di tempatkan di Tanah Perdikan Menoreh-pun segera disampaikan oleh utusan khusus panembahan Senapati, sekaligus menyampaikan perintah kepada Ki Gede untuk menempatkan sebagian dari pengawal Tanah Perdikan Menoreh untuk menahan pasukan Pati yang akan datang di Mataram dari arah Utara.
Perintah itu dengan cepat ditanggapi oleh Agung Sedayu dan Ki Gede Menoreh. Mereka-pun dengan cepat menyiapkan pasukan untuk segera diberangkatkan ke Mataram. Perintah selanjutnya akan diterima langsung dari Ki Patih Mandaraka di Mataram.
Di Tanah Perdikan. Pasukan Khusus yang telah dipersiapkan, akan dipimpin langsung oleh Agung Sedayu, sementara para pengawal Tanah Perdikan akan dipimpin oleh Prastawa. Namun atas permintaan Ki Gede, maka Glagah Putih akan mendampingi Prastawa, membawa pasukannya ke Mataram.
Ketika pasukan itu berangkat, maka beberapa orang perempuan mengusap matanya yang basah. Ada diantara mereka yang melepaskan suami mereka, ada yang melepaskan anak-anak mereka dan ada yang melepaskan bakal suami mereka yang tinggal menunggu saat pernikahannya saja.
Namun para pengawal Tanah Perdikan itu sendiri, telah berangkat ke Mataram sambil menengadahkan wajah mereka. Mereka sama sekali tidak merasa gentar untuk turun ke medan pertempuran menghadapi prajurit Pati.
Namun para pengawal yang tertinggal di Tanah Perdikan-pun telah diperintahkan untuk mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Mungkin Pati atau orang lain yang ingin mengambil keuntungan dari perang yang timbul, telah memasuki wilayah Tanah Perdikan Menoreh dengan maksud buruk.
Dalam waktu yang singkat, maka Pasukan Khusus di Tanah Perdikan Menoreh, serta para pengawal telah berada di Mataram untuk menerima perintah lebih lanjut.
Sementara itu, di Tanah Perdikan Menoreh, Ki Gede telah minta kepada Ki Jayaraga, Sekar Mirah dan Rara Wulan untuk membantu kesiagaan para pengawal. Sementara itu, Wacana yang sehari-hari berada di Kleringan, menjadi sering berkunjung ke Tanah Perdikan Menoreh, ia-pun telah menawarkan diri untuk membantu apa saja jika di perlukan bagi Tanah Perdikan."
Dalam pada itu, Mataram memang tidak sekedar menunggu. Tetapi Mataram sudah memerintahkan petugas sandinya untuk mengamati kemungkinan gerak pasukan Pati yang memisahkan diri dan menempuh jalan di lereng Gunung Merapi untuk mencapai Mataram dari sisi yang lain dari pasukan yang lainnya.
Semuanya dilakukan dengan cepat, agar Mataram tidak mengalami kesulitan jika tiba-tiba saja pasukan Pati menyerang.
Karena itu, sebelum segala sesuatunya dapat dipastikan, maka Pasukan Khusus yang dipimpin oleh Agung Sedayu, serta para pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang dipimpin oleh Prastawa didampingi oleh Giagah Pulih telah di tempatkan disebelah Utara dinding kota bersama satu kesaiuan prajurit Mataram yang memang disiagakan sebelumnya.
Dalam pada itu, maka Sabungsari yang ditugaskan untuk mengawasi gerak prajurit Pati telah melihat kehadiran pasukan yang besar di padukuhan dekat Ngaru-aru. Padukuhan yang diduga keras menjadi simpang tiga bagi prajurit Pati.
Dengan sangat hati-hati Sabungsari mengamati apakah yang akan dilakukan oleh para prajurit Pati itu.
Sebenarnyalah, sebagaimana diperhitungkan oleh Sabungsari, bahwa sebagian dari pasukannya itu telah bergerak ke Barat, menyusuri lereng Gunung Merapi. Mereka tentu akan melingkar lambung Gunung Merapi dan turun di sisi Selatan, langsung menuju ke Mataram. Sedangkan yang lain akan melewati Jati Anom dan sekitarnya, menyeberangi Kali Dengkeng, Kali Opak dan langsung menuju ke Mataram.
Kesimpulan itulah yang kemudian dibawa kembali oleh Sabungsari dan dilaporkannya kepada Untara.
Dengan cepat pula Untara mempersiapkan diri. Ia memerintahkan para pengawal Kademangan di sekitar Jati Anom untuk bersiap pula. Kepada Swandaru. Untara sudah memberikan isyarat bahwa pasukan Pati akan lewat.
Namun menurut laporan Sabungsari prajurit Pati itu terlalu kuat untuk ditahan oleh prajurit Mataram di Jati Anom. Karena itu, maka harus ada pemusatan kekuatan untuk menghadapi kedatangan pasukan yang besar itu.
Seperti yang sudah diperintahkan oleh Panembahan Senapati, maka pasukan yang ada di Ganjur, disebelah Selatan Mataram telah ditarik pula dan diperintahkan untuk bergabung dengan prajurit Mataram di Jati Anom.
Ternyata Untara masih mendapat kesempatan untuk mengumpulkan kekuatan untuk menahan pasukan Pati, karena Pati agaknya memang memberi kesempatan pasukannya yang lewat lambung Gunung Merapi untuk bergerak lebih dahulu.
Kepada rakyat di Jati Anom dan sekitarnya, terutama perempuan dan anak-anak Untara memerintahkan untuk menyingkir dari padukuhan-padukuhan yang diberinya gawar sebagai daerah berbahaya. Daerah yang agaknya akan dilalui pasukan Pati menurut perhitungan Untara. Juga menurut tanda-tanda seria isyarat yang diberikan oleh Sabungsari serta para petugas sandi yang lain. Juga atas petunjuk dari Mataram.
Mereka juga diperintahkan untuk memindahkan lumbung-lumbung bahan pangan agar tidak dapat dipergunakan oleh para prajurit dari Pati jika mereka kelak berada di sekitar Jati Anom dalam perjalanan mereka ke Mataram.
Sementara itu, padukuhan-padukuhan yang telah diberinya gawar itu akan menjadi daerah berbahaya yang kemungkinan terbesar akan menjadi lintasan garis perang.
Sementara itu, Panembahan Senapati juga memerintahkan para penghubung untuk menghubungi kekuatan yang ada didaerah Pegunungan Kidul. Panembahan Senapati juga memerintahkan mereka untuk ikut membantu bertempur melawan prajurit Pati serta kekuatan yang dapat mereka himpun di sebelah utara Gunung Kendeng.
Dalam pada itu, sebagian dari pasukan Pati yang memisahkan diri telah mengelilingi lambung Gunung Merapi. Mereka membuat perkemahan di padang perdu di tepi Kali Code.
Diperkemahan itu mereka meletakkan landasan perbekalan mereka. Bukan saja bahan pangan. Tetapi juga peralatan dan senjata.
Dua orang petugas sandi sempat memberikan laporan tentang gerak prajurit Pati itu kepada Ki Patih Mandaraka.
"Mereka berada di padang perdu Ngadong ditepi Kali Code," petugas sandi itu menjelaskan.
Ki Patih Madaraka mengangguk-angguk. Namun dengan demikian, maka jalur yang akan dilalui oleh pasukan Pati itu menjadi jelas, mereka akan bergerak ke Selatan sepanjang tepi sebelah Timur Kali Code. Pasukan itu akan menebar dan kemudian membentuk gelar sebelum mereka mendekati kota, karena mereka-pun memperhitungkan bahwa kedatangan mereka tentu sudah diketahui oleh prajurit Mataram, sehingga mereka akan menyongsongnya diluar dinding kota.
Mataram tentu tidak ingin membiarkan lawan mengepung kota dan tidak akan berlahan dibelakang dinding kota sebagaimana prajurit Demak dan Pajang.
Karena itu, maka Ki Patih Mandaraka telah menghubungi Senapati Mataram yang ditugaskan memimpin pasukan yang akan menghadapi para prajurit Pati itu.
Ki Tumenggung Wirayuda, yang ditunjuk menjadi Senapali perang, yang akan datang dari Utara segera menghadap.
"Sebaiknya pasukan Mataram jangan menunggu," berkata Ki Patih Mandaraka, "bawalah pasukanmu maju dan menghadang pasukan Pati di Bulak Amba. Pasukan Pati tentu akan datang melewati jalur jalan disebelah Timur Kali Code untuk kemudian bergerak ke Selatan sebelum mereka akan bergeser sedikit ke Timur."
"Baik Ki Patih. Aku akan mulai bergerak nanti dalam menutup jalan yang akan dilalui para prajurit Pati. Kami akan berhadapan dalam perang gelar."
"Kau dapat mempercayai sepenuhnya prajurit dari pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi kau masih harus membimbing pasukan pengawal itu tentu tidak akan sekuat Pasukan Khusus yang dipimpin oleh Ki Lurah Sedayu."
"Baik Ki Patih. Pasukan Khusus yang dipimpin Ki Lurah Agung akan berada dipasukan induk. Sementara separo pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh akan berada di sayap kanan bersama beberapa kelompok prajurit Sedang yang akan berada disayap kiri adalah para pengawal Tanah Perdikan yang separo lagi dengan para prajurit pula. Kami sudah mempertimbangkan bahwa pengawal akan berada di pangkal sayap, sehingga dalam keadaan yang gawat, mereka akan dapat berlindung pada para prajurit dari Pasukan Khusus yang menurut penilaian para perwira Mataram dianggap memiliki kemampuan yang tinggi," jawab Ki Tumenggung.
"Aku sependapat Ki Tumenggung. Meski-pun para prajurit dari pasukan pengawal kota sangat diperlukan untuk melindungi kemungkinan yang tidak diperhitungkan, namun aku tidak berkeberatan jika sebagian dari mereka ikut memperkuat pasukanmu. Aku akan memerintahkan Ki Rangga Pakis Aji untuk bergabung dengan pasukanmu. Ia akan membawa sebagian perajurit pilihan untuk berada dalam pasukanmu. Sementara itu, sebagian dari pasukan pengawal istana akan bertugas diluar istana untuk mengatasi setiap kemungkinan yang tidak terduga sebelumnya."
"Tetapi bagaimana dengan medan di sebelah Timur?" bertanya Ki Tumenggung Wirayuda.
"Panembahan Senapati telah memerintahkan Pangeran Adipati Anom langsung untuk memimpin pasukan Khusus yang telah dipersiapkan yang akan menyongsong pasukan induk dari Pati. Selain pasukan Khusus, maka kemudian akan berkumpul pula para prajurit di Jati Anom yang dipimpin oleh Untara serta para pengawal kademangan di sekitar, terutama pengawal Kademangan Sangkal Putung yang memiliki pengalaman yang cukup. Pasukan dari Pegunungan Kidul juga akan segera turun. Panembahan Senapati masih belum merasa perlu untuk memanggil para prajurtit cadangan dan apalagi pengerahan tenaga. Meski-pun menurut perhitungan jumlah, pasukan Pati akan jauh lebih banyak, tetapi mereka tidak semuannya terdiri dari para prajurit yang terlatih. Sebagian dari mereka adalah orang-orang yang dapat dikumpulkan di sebelah Utara Pegunungan Kendeng."
Ki Tumenggung Wirayuda mengangguk-angguk. Seakan-akan kepada dirinya sendiri ia bergumam, "Pangeran Adipati Anom sendiri akan tampil di medan perang."
"Ya. Pangeran Adipali Anom akan membawa pasukan pengawal istana dan pasukan pengawal kota secukupnya, Kemudian Pasukan Khusus berkuda dan prajurit-prajurit pilihan akan menyertainya."
Ki Tumenggung Wirayuda mengangguk-angguk. Agaknya segala sesuatunya sudah dipertimbangkan sebaik-baiknya oleh Panembahan Senapati.
Demikianlah maka perintah terakhirnya telah diberikan kepada Ki Tumenggung Wirayuda untuk menyiapkan pasukannya dalam kesiagaan tertinggi. Ki Patih Mandaraka menyetujui rencana Ki Tumenggung untuk membawa pasukannya malam nanti menyongsong pasukan Pati yang datang arah Utara.
"Kami akan berangkat demikian malam turun. Kami akan berhenti beberapa ratus pathok dari perkemahan prajurit Pati. Kami akan bersiap-siap dan mengamati medan sehari penuh besok. Menurut perhitungan kami, lusa kami sudah turun ke medan dengan gelar perang. Jika pasukan Pati tidak bergerak, maka kamilah yang akan bergerak. Kecuali jika prajurit Pati besok sudah mendahului menyerang kami."
"Berhati-hatilah," Ki Patih Mandaraka berpesan sebagaimana seorang ayah berpesan kepada anaknya.
Ki Wirayuda-pun kemudian telah minta diri. Ketika ia meninggalkan Kepatihan ia berkata, "Pasukan Ki Rangga Pakis Aji aku tunggu sebelum senja."
"Perinlah itu tentu sudah diterimanya. Sebelum senja pasukannya tentu sudah bergabung dengan pasukanmu."
Demikianlah, maka Ki Wirayuda-pun kemudian telah kembali ke pasukannya. Perintah-perintah-pun segera disampaikan. Sementara itu, Ki Tumenggung masih menunggu kehadiran pasukan terpilih yang akan dipimpin oleh Ki Rangga Pakis Aji.
Ternyata seperti yang dikatakan oleh Ki Patih Mandaraka, maka sebelum senja beberapa kelompok prajurit terpilih telah berada pula diantara pasukan Ki Tumenggung Wirayuda. Demikian pasukan itu datang serta ditempatkan ditempat yang sudah disediakan, maka Ki Tumenggung telah memanggil para pemimpin dari kesatuan-kesatuan yang ada didalam pasukannya. Selain Ki Rangga Pakis Aji hadir pula Ki Lurah Agung Sedayu, Prastawa, Ki Lurah Semita dan Ki Demang Klajoran dan juga Ki Demang Jejeran. Meski-pun terlalu banyak, tetapi menurut para Demang itu, para pengawal Kademangannya cukup terlatih. Dengan dipimpin oleh Ki Demang sendiri, yang masih nampak muda dan tegar, maka para pengawal Kademangan iiu telah ikut pula dalam pasukan Mataram.
"Perintah Ki Lurah Semita memberikan kebanggaan kepada kami," berkata Demang Klajoran dan Demang Jejeran itu.
"Kami mengucapkan terima kasih atas kesediaan Ki Demang," berkata Ki Tumenggung Wirayuda.
Demikianlah, dalam pertemuan itu, Ki Tumenggung telah membicarakan rencana mereka jika mereka pada saatnya akan turun ke medan.
Seperti yang direncanakan, maka Pasukan Khusus dari Tanah Perdikan Menoreh akan berada di induk pasukan. Kemudian pada pangkal sayapnya adalah para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh, pengawal Kademangan Klajoran dan Kademangan Jejeran. Di ujung-ujung sayap akan di tempatkan para prajurit. Di ujung sayap kanan akan dipimpin oleh Ki Rangga Pakis Aji, sedangkan di ujung sayap kiri akan dipimpin oleh Ki Lurah Semita.
Ki Tumenggung Wirayuda akan berada di paruh induk pasukan sebagai Senapati perang dengan Senapati pengapit Ki Lurah Suratapa dan Ki Lurah Uwangwung. Seorang Lurah prajurit yang sedikit gemuk. Agak kocak dan tidak pernah lepas dari suara tertawanya. Namun ia terhitung seorang prajurit yang memiliki kelebihan dari kawan-kawannya. Para prajurit yang sudah terbiasa bergaul dengan Ki Lurah yang digelari Uwangwung ini, akan merasa sepi jika Ki Lurah tidak nampak.
Demikianlah, ketika segala sesuatunya telah matang dibicarakan, maka para pemimpin itu dipersilahkan kembali ke pasukan masing-masing untuk memberikan penjelasan kepada semua anggautanya. Mereka harus memahami benar apa yang akan mereka lakukan dan apa yang akan mereka hadapi. Mereka akan menghadapi prajurit Pati yang jumlahnya lebih banyak.
"Tetapi kita tidak boleh berkecil hati," berkata Ki Tumenggung, "kita yakin bahwa kemampuan pasukan kita akan dapat mengatasi mereka."
Demikianlah, maka pasukan yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Wirayuda itu-pun telah bersiap sepenuhnya. Kepada Agung Sedayu, Ki Tumenggung Wirayuda yang telah mengetahui kelebihan Agung Sedayu secara terpisah berkata, "Kami sangat mengharapkan bahwa Ki Lurah serta Pasukan Khusus di Tanah Perdikan itu benar-benar akan menjadi pilar penyangga utama kekuatan pasukan ini."
Agung Sedayu-pun mengangguk sambil menjawab, "Kami hanya dapat berjanji untuk berbuat sebaik-baiknya. Tetapi bukankah selain Pasukan Khusus dari Tanah Perdikan, di pasukan ini terdapat pula pasukan Ki Rangga Pakis Aji dan pasukan Ki Lurah Semita yang mempunyai pengalaman yang sangat luas itu."
"Aku harap bahwa mereka akan mampu menusuk lambung lawan. Tetapi kita belum tahu, gelar apa yang akan dipergunakan oleh pasukan Pati untuk melawan gelar Garuda Nglayang kita."
"Tidak mustahil bahwa Pati juga mempergunakan gelar yang sama." jawab Agung Sedayu.
Ki Tumenggung Wirayuda mengangguk kecil. Katanya, "Gelar apa-pun yang akan dipergunakan oleh pasukan Pati, kami berharap bahwa kami akan dapat menahan gerak maju mereka. Dengan pasukan yang lebih kecil, kita harus mengandalkan kelebihan para prajurit dan pengawal yang ada didalam pasukan itu. Sedangkan harapan terbesar kami bebankan kepada Ki Lurah Agung Sedayu."
Sekali lagi Agung Sedayu menjawab, "Kami akan berusaha."
Ki Tumenggung Wirayuda-pun kemudian berkata, "Baiklah. Kita yakin, bahwa kita akan berhasil. Semoga Yang Maha Agung selalu melindungi kita."
Seperti yang direncanakan, maka pasukan Mataram itu berangkat ketika gelap malam turun. Mereka menuju ke tempat yang sudah ditunjuk sebelumnya, tidak terlalu jauh dari perkemahan para prajurit Pati.
Untuk membesarkan hati para prajurit Mataram, mereka mempengaruhi perasaan lawan yang tentu akan mengirimkan pengamat-pengamat serta petugas sandi, prajurit Mataram telah memasang tanda-tanda kebesaran pasukannya. Para prajurit Mataram yang langsung memasang gelar, telah memasang rontek, umbul-umbul dan kelebet dari ujung sayap sampai ke ujung sayap yang lain, menandai tiap-tiap kesatuan yang ada didalam pasukan itu.
Di induk pasukan, maka pertanda kebesaran prajurit Mataram telah dipancangkan pula. Beberapa rontek dan kelebet dipasang pada tunggul-tunggul kebesaran.
Kehadiran pasukan Mataram di malam hari itu memang tidak segera dapat dilihat secara utuh oleh para petugas sandi dari Pati. Namun mereka mengetahui, bahwa pasukan Mataram justru menyongsong mereka dan berhenti di Bulak Amba serta mendirikan perkemahan pula.
Ketika langit mulai terang menjelang fajar, para pengawas dari Pati telah melihat rontek, umbul-umbul dan kelebet yang terpasang di sepanjang gelar.
Seperti yang diharapkan, maka para pengawas dan petugas sandi dari Pati terpengaruh juga oleh pertanda-penanda kebesaran yang terpasang itu. Mereka melihat seakan-akan pasukan Mataram adalah satu pasukan segelar sepapan yang perkasa dan tidak akan mudah ditembus.
Namun beberapa orang perwira dari Pati justru berpengharapan bahwa Mataram telah mengerahkan sebagian besar dari kekuatannya untuk menyongsong pasukan Pati yang datang itu. Para perwira yang ikut mengatur gerak pasukan Pati mengharap, bahwa justru pasukan Mataram yang akan menuju dan bertahan di bagian Timur adalah pasukan yang lebih kecil. Pati berharap bahwa pasukan Pati yang akan datang dari arah Timur itu akan berhasil mematahkan pertahanan Mataram dan justru dapat memasuki Kotaraja.
Dalam sehari pasukan Mataram telah mempersiapkan diri. Mereka telah mengamati medan. Mereka melihat padang perdu yang berhubungan dengan bulak persawahan yang panjang dan luas. Mereka seakan-akan telah melihat satu medan yang akan menjadi ajang pertempuran. Prajurit dari dua arah akan bertemu dan bertempur tanpa menghiraukan apa yang ada dibawah kaki mereka.
Ki Tumenggung Wirayuda, kedua Senapati pengapitnya dan para pemimpin kesatuan yang ada didalam pasukan Mataram itu telah menyesuaikan hasil pembicaraan mereka dengan medan yang mereka hadapi.
Ternyata bahwa gelar yang mereka rencanakan dapat disesuaikan dengan medan. Mereka telah menentukan panjang gelar pasukan dari ujung sampai keujung. Namun mereka-pun telah memerintahkan semua pemimpin kesatuan untuk melihat, menilai dan menyesuaikan dengan gelar lawan yang akan mereka hadapi.
Para pemimpin Mataram itu tidak hanya sekedar mempereayakan rencana mereka sesuai dengan laporan para petugas sandi, tetapi mereka langsung melihat apa yang sebaiknya mereka lakukan.
Dalam pada itu, maka matahari-pun berjalan terus di garis edarnya. Demikian sampai ke puncak langit, maka matahari itu mulai menurun lagi di sisi sebelah Barat.
Ketika matahari kemudian sampai dipunggung bukit, maka Ki Tumenggung Wirayuda-pun telah menentukan sikap sebagai keputusan terakhir. Besok, didini hari, maka pasukan Mataram telah memasang gelar dan siap bertempur dengan pasukan Pati.
"Ingat," berkata Ki Tumenggung Wirayuda kepada para pemimpin kesatuan yang ada didalam pasukannya, "lawan kita jumlahnya lebih banyak. Tetapi kita tidak akan terpengaruh oleh jumlah, karena kita memiliki kelebihan dari mereka. Terutama kemampuan pribadi prajurit-prajurit dan pengawal-pengawal yang ada didalam pasukan kita."
Hal itu telah disampaikan pula oleh para pemimpin kesatuan itu kepada pemimpin kelompok yang mengalir ketelinga setiap prajurit dan pengawal.
Sedangkan para Senapati Pati memberikan pengharapan kepada prajurit-prajuritnya, bahwa jumlah mereka ternyata lebih besar dari jumlah prajurit Mataram.
"Kita akan menyeleaikan mereka dengan cepat," berkata Senapati tertinggi pasukan Pati itu.
Namun dalam pada itu, para perwira itu memperhitungkan bahwa Mataram lebih banyak mengirim prajuritnya ke medan di sebelah Timur.
"Apa-pun yang dilakukan oleh Mataram, apakah pasukan ini atau pasukan yang datang dari Timur, tidak akan banyak bedanya. Pertahanan Mataram akan dihancurkan," berkata Senapati lertingi pasukan Pati itu.
Dalam pada itu, sementara prajurit dari kedua belah pihak telah berhadapan di medan sebelah Utara, maka Panembahan Senapati telah memanggil Pangeran Adipati Anom. Dengan nada dalam Panembahan Senapati memberikan perintah kepada Pangeran Adipati Anom untuk maju ke medan perang.
Ki Patih Mandaraka masih memperingatkan kepada Panembahan Senapati, bahwa yang akan dihadapi adalah Adipati Pati yang memiliki kemampuan dan ilmu yang sangat tinggi.
Sementara itu, isteri Panembahan Senapati, kakak perempuan Adipati Pati menundukkan kepalanya sambil menitikkan air mata.
"Kenapa hal ini harus terjadi," desisnya.
"Aku tidak mempunyai pilihan lain," berkata Panembahan Senapati.
"Yang akan berhadapan di medan adalah kemanakan dengan pamannya sendiri. Seorang puteraku, yang seorang adalah adikku. Siapa-pun yang kalah, aku akan kehilangan."
"Aku sudah berusaha sejauh dapat aku lakukan," berkata Panembahan Senapati, "jika aku memerintahkan Adipati Anom untuk menjadi Panglima pasukan Mataram, itu adalah usahaku yang terakhir. Aku berharap bahwa dengan melihat kemenakannya, adi Adipati Pati masih akan mengekang dirinya, sehingga justru karena ia berhadapan dengan kemenakannya sendiri, maka upaya untuk mencegah perang dapat dilanjutkan."
Isteri Panembahan Senapati itu mengangguk. Tetapi air matanya masih saja mengalir.
Sementara itu, Panembahan Senapati masih memberikan beberapa pesan kepada puteranya itu. Pangeran Adipati Anom diperintahkan untuk berkemah serta menempatkan kekuatan induknya di Prambanan.
"Hanya dalam keadaan terpaksa kau dapat mempergunakan kekuatan prajurit yang kau bawa."
"Hamba ayahanda," jawab Pangeran Adipati Anom.
"Eyangmu, Patih Mandaraka telah memerintahkan para prajurit di Jati Anom untuk menghambat perjalanan prajurit Pati. Sementara itu, aku masih akan berusaha lewat utusan-utusan khusus untuk menghentikan gerak maju pasukan Pati, bahkan apabila mungkin mencegah pertempuran yang lebih parah lagi."
"Tetapi pasukan Pati sudah ada disebelah Utara Bulak Amba di sebelah Timur Kali Code."
Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia berkata, "Seandainya perang telah pecah dimedan sebelah Utara itu, maka aku masih berharap, bahwa adi Adipati Pati mampu menahan diri jika ia melihat kemanakannya berada di medan."
Ki Patih Mandaraka mengangguk kecil meski-pun ia tidak yakin bahwa Pangeran Adipati Anom dapat mencegah perang itu menjalar sampai ke Kotaraja, meski-pun Ki Patih Mandaraka mengetahui, bahwa Kangjeng Adipati Pati mengasihi anak kakak perempuannya itu.
Dengan demikian, maka Pangeran Adipati Anom itu-pun segera bersiap untuk berangkat ke Prambanan. Tugas yang dibebankan di pundaknya itu sudah diketahuinya sejak beberapa hari sebelumnya. Ayahandanya serta Ki Patih Mandaraka telah pernah berunding tentang hal itu dan memanggilnya menghadap. Perang Adipati Anom sendiri tidak pernah menaruh keberatan apa-pun untuk maju ke medan perang. Tetapi ketika ia dihadapkan kepada pamannya sendiri, maka terasa dadanya menjadi berdebar-debar, bukan karena ia menyadari betapa tinggi ilmu pamannya itu. Tetapi ia mempunyai hubungan yang akrab sekali dengan Kangjeng Adipati Pati.
Bangau Sakti 38 Anak Kos Dodol Karya Dewi Dedew Rieka Gara Gara Cermin Ajaib 3

Cari Blog Ini