Ceritasilat Novel Online

Sayap Sayap Terkembang 13

02 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja Bagian 13


Ibunya tidak menjawab lagi. Sementara itu Jangkungpun telah pergi ke biliknya pula.
Nyi Rangga memang pergi ke biliknya setelah Jangkung hilang di balik pintu. Tetapi setelah menutup pintu, Nyi Rangga tidak segera berbaring, sementara Ki Rangga telah tidur dengan nyenyaknya.
Sebagai seorang ibu ternyata Nyi Rangga lebih banyak memperhatikan keadaan anak gadisnya. Apalagi setelah peristiwa yang hampir saja mengusir Sumbaga dari rumah itu.
Tetapi justru karena ia mendengar pendapat Ki Rangga dan Jangkung yang berbeda, Nyi Rangga menjadi semakin bingung. Ia dapat mengerti keterangan Ki Rangga, bahwa Kasadha adalah seorang prajurit yang baik, yang patuh kepada paugeran namun juga seorang yang memiliki kelebihan. Sedangkan iapun mendengar pendapat Jangkung, bahwa Bharata akan menjadi seorang Kepala Tanah Perdikan yang mampu memimpin rakyatnya yang terdiri dari berbagai macam tataran, pekerjaan dan juga mempunyai berbagai macam kepentingan yang berbeda-beda. Sementara itu Nyi Rangga sendiri masih mempertimbangkan sifat dan watak Riris sendiri, apakah ia sesuai menjadi isteri seorang prajurit, justru karena Nyi Rangga sendiri adalah isteri seorang prajurit. Jika Riris tidak mempunyai ketabahan jiwani dan menyadari sepenuhnya akan kedudukannya sebagai seorang isteri prajurit, maka ia akan merasa bahwa perhatian suaminya kepadanya selalu dibayangi oleh tugas-tugasnya yang berat.
Nyi Rangga itu justru terkejut ketika tiba-tiba saja ia mendengar suara suaminya bertanya perlahan, "Nyi, kau belum tidur?"
Nyi Rangga memang tergagap. Namun iapun menjawab, "Baru saja aku melihat Jangkung membuka pintu."
"Bukankah pintu tidak diselarak?" bertanya Ki Rangga pula.
"Ya. Karena itu aku melihatnya. Apakah benar-benar Jangkung yang masuk atau justru orang lain," jawab Nyi Rangga.
Ki Rangga Dipayuda itu menguap. Namun kemudian katanya, "Sudahlah. Tidurlah. Nanti kau tidak sempat beristirahat."
Nyi Rangga tidak menjawab. Iapun segera berbaring di samping suaminya. Namun ketika suaminya telah tertidur lagi, Nyi Rangga masih saja tidak dapat memejamkan matanya. Ia mendengar ayam jantan berkokok di dini hari. Namun Nyi Rangga tidak mendengar ayam berkokok menyambut fajar.
Nyi Rangga terbangun justru saat suaminya bangkit dari pembaringan. Dengan tergesa-gesa Nyi Ranggapun bangkit sambil berdesis, "Aku tentu kesiangan."
"Belum fajar," jawab Ki Rangga.
"Tetapi aku harus merebus air dan menyiapkan makan Ki Rangga dan Angger Kasadha sebelum berangkat ke Pajang," berkata Nyi Rangga yang turun dari pembaringan dan membenahi pakaiannya.
"Aku tidak tergesa-gesa Nyi. Aku dan Kasadha tidak sedang mengepung musuh dan harus menyergap mereka sebelum matahari terbit," berkata Ki Rangga.
Nyi Rangga mengerutkan keningnya. Namun Ki Ranggapun tertawa sambil berkata, "Semalam nampaknya kau sulit untuk dapat tidur."
Nyi Rangga menarik nafas dalam-dalam. Sambil melangkah ia berkata, "Aku akan ke dapur."
Tetapi ternyata ketika Nyi Rangga masuk ke dapur, Riris dan seorang pembantunya telah sibuk menyiapkan minuman bagi Ki Rangga, Kasadha dan Jangkung. Sementara itu telah terdengar derit senggot timba di sumur. Ternyata Kasadhalah yang sedang mengisi jambangan. Sedangkan derit sapu lidi terdengar di halaman samping. Sumbaga yang juga terbiasa bangun pagi-pagi telah menyapu halaman, karena pakiwannya sudah diisi oleh Kasadha.
Jangkungpun sudah terbangun pula. Ketika Kasadha kemudian mandi di pakiwan, maka Jangkungpun berganti menimba air.
Pagi itu, Ki Rangga Dipayuda dan Kasadha telah bersiap-siap untuk kembali ke barak mereka di Pajang. Karena itu, maka Ki Ranggapun telah memanggil keluarganya termasuk Sumbaga untuk makan bersama-sama ketika Nyi Rangga dan Riris telah menyiapkannya di ruang dalam.
Sambil makan Ki Rangga Dipayuda sempat memberikan beberapa pesan kepada keluarganya yang akan ditinggalkannya, karena belum tentu kapan Ki Rangga sempat pulang lagi melihat keluarganya meskipun Pajang terhitung tidak terlalu jauh.
Demikianlah ketika matahari sepenggalah, maka Ki Rangga Dipayuda dan Kasadhapun telah bersiap. Nyi Rangga, Jangkung, Riris dan Sumbaga mengantar mereka sampai ke regol halaman melepas mereka kembali ke Pajang.
Ketika kedua ekor kuda dengan penunggangnya itu mulai bergerak, maka terasa sesuatu bergejolak di hati Riris. Kasadha memang nampak sebagai seorang anak muda yang perkasa di samping ayahnya. Sikapnya telah menyatakan ketegaran jiwanya sebagai seorang prajurit yang baik. Kekaguman Riris terhadap ayahnya yang kebetulan juga seorang prajurit, memang berpengaruh atas sikap batinnya terhadap Kasadha. Apalagi setelah ia mendengar kelebihan Kasadha dari kawan-kawannya. Bahkan dalam satu pendadaran, Kasadha mampu menang atas seorang prajurit yang berkedudukan lebih tinggi daripadanya.
Hampir di luar sadarnya, Nyi Rangga Dipayuda telah berpaling kepada anak gadisnya yang memandangi kedua orang berkuda yang semakin jauh itu dengan tatapan mata yang seakan-akan tidak berkedip.
Baru ketika kedua orang penunggang kuda itu hilang di balik kelok jalan maka mereka yang melepas itu meninggalkan regol halaman rumah mereka.
Namun ketika Nyi Rangga dan Riris naik tangga pendapa rumahnya, Jangkung telah minta diri kepada mereka, "Aku akan pergi ke rumah seseorang yang memerlukan seekor kuda yang baik."
"Kemana?" bertanya ibunya yang menangkap satu kesan yang lain pada wajah anak laki-lakinya.
"Ke Kademangan sebelah. Seorang Bekel memesan seekor kuda yang berwarna kelabu. Aku telah mendapatkannya," jawab Jangkung.
Nyi Rangga tidak bertanya lebih lanjut, karena Jangkungpun segera pergi ke kandang kudanya.
Riris tidak begitu menghiraukan sikap kakaknya. Karena itu ia tidak melihat sesuatu. Yang diketahuinya ada-lah kakaknya memang seorang yang memperdagangkan kuda. Ayahnya pernah menyarankan kepada Jangkung untuk menjadi seorang prajurit. Tetapi Jangkung masih belum menyatakan sikapnya dengan pasti. Namun menilik sifatnya yang kadang-kadang hanya menuruti kemauannya sendiri itu, agaknya sulit baginya untuk berada di lingkungan keprajuritan yang irama hidupnya dilandasi oleh paugeran-paugeran dan kesediaan untuk melaksanakan dengan tertib di dalam pengabdian.
Demikianlah, sejenak kemudian terdengar derap kaki kuda meninggalkan halaman rumah Ki Rangga Dipayuda.
Sementara itu Sumbaga telah pergi ke belakang untuk menyediakan kayu bakar. Dengan kapak yang besar Sumbaga membelah potongan-potongan kayu yang mulai mengering. Sedangkan Riris dan ibunya telah berada di dapur pula.
Ketika matahari menjadi semakin tinggi, maka Ki Rangga Dipayuda dan Kasadha menjadi semakin dekat dengan Pajang yang memang tidak terlalu jauh itu. Sehingga. sebelum tengah hari keduanya telah berada di barak mereka. Keduanyapun langsung menemui Ki Tumenggung Jayayuda untuk melaporkan kedatangan mereka kembali.
"Aku mohon maaf Ki Tumenggung. Seharusnya kemarin aku sudah berada di barak ini," berkata Ki Lurah Kasadha.
"Nampaknya kau telah mendapat ijin dari Ki Rangga," jawab Ki Tumenggung sambil tersenyum.
Ki Lurah Kasadhapun tersenyum pula, sementara Ki Rangga Dipayuda tertawa sambil menjawab, "Ya. Aku sudah memberinya ijin."
"Baiklah," berkata Ki Tumenggung, "Silahkan kembali ke pasukan kalian masing-masing,"
Keduanyapun kemudian telah meninggalkan bilik khusus Ki Tumenggung Jayayuda dan kembali ke tempatnya masing-masing. Ki Lurah Kasadhapun segera menemui prajurit-prajuritnya yang sebagian besar sedang sibuk melakukan latihan di sanggar terbuka di bawah pimpinan para pemimpin kelompoknya.
Dengan demikian, maka Ki Lurah Kasadha telah kembali ke dalam kesibukannya sebagai seorang prajurit yang memimpin bagian dari seluruh pasukan di barak itu. Dari hari ke hari Kasadha berusaha untuk meningkatkan kemampuan prajurit-prajuritnya. Bahkan karena kelebihannya, maka Kasadha telah mendapat kesempatan untuk mengadakan tuntunan khusus bagi para Lurah prajurit. Menyelenggarakan latihan-latihan tertutup di sanggar, meskipun hanya sebagai tambahan latihan-latihan yang diselenggarakan sebagaimana seharusnya.
Namun dalam pada itu, Kasadha masih saja selalu teringat akan gurunya. Kesediaan gurunya untuk tetap membimbingnya. Sehingga setiap kali Kasadha masih saja didorong untuk meningkatkan ilmunya itu. Namun Kasadha tentu masih harus mendapat ijin lebih dahulu secara khusus.
Karena itu, maka ada dua hal yang setiap saat seakan-akan selalu mengikutinya kemana ia pergi. Pada saat-saat yang luang, kedua hal itu selalu muncul bergantian. Bahkan kadang-kadang bersamaan dan justru saling mendorong.
Jika Kasadha telah berbaring di pembaringannya, menjelang kedalaman malam, maka tiba-tiba saja bagaikan hanyut oleh semilirnya angin yang sejuk, muncul wajah seorang gadis Ki Rangga Dipayuda. Tetapi setiap kali wajah itu hadir, maka bayangan yang lain selalu saja tampil pula betapapun samarnya. Wajah saudaranya yang lahir dari ibu yang berbeda, yang berhak untuk mewarisi kedudukan ayahnya, Kepala Tanah Perdikan di Sembojan.
Namun dalam pada itu, jika wajah-wajah itu membayang di penglihatan angan-angannya, maka selalu saja tumbuh keinginannya yang seakan-akan mendesak sekali untuk menemui gurunya, Ki Ajar Paguhan. Dalam keadaan yang demikian Kasadha yang dianggap orang terbaik di barak itu, selalu merasa bahwa ilmunya masih sangat sempit. Ia ingin gurunya menuntunnya untuk mendapatkan landasan ilmu yang lebih banyak lagi.
Gejolak itu akan selalu berlangsung beberapa saat. Namun setiap kali Kasadha selalu menarik nafas dalam-dalam. Berusaha menguasai perasaannya itu dan mencari keseimbangan dengan penalarannya. Baru ketika ia berhasil menyingkirkan angan-angan itu, Kasadha dapat tidur dengan nyenyak. Namun jika saja angan-angannya itu muncul dan muncul lagi, maka sulit baginya untuk dapat memejamkan matanya.
Tetapi akhirnya Kasadha tidak mau terombang-ambing oleh keadaan itu. Karena itu, maka ia telah memutuskan untuk berbicara dengan Ki Rangga Dipayuda. Ia ingin meneruskan rencananya untuk meningkatkan kemampuannya di waktu-waktu luang tanpa mengganggu tugas-tugasnya.
Ketika ia menemui Ki Rangga Dipayuda maka Kasadha itupun berkata, "Bukankah keadaan di barak ini sudah berubah" Menurut pendapatku, Ki Rangga Prangwiryawan ternyata benar-benar bersikap sebagai seorang prajurit. Justru ia telah mengakui kekalahannya, maka sekarang ia menjadi sangat baik kepadaku. Tidak ada bekas-bekas kebenciannya dan apalagi mendendamku."
"Ya. Aku juga percaya akan hal itu. Ki Rangga Prangwiryawan tidak mau berpura-pura. Ia memang sudah mengaku kalah dalam olah kanuragan. Akupun yakin, ia tidak mendendam. Tetapi aku tidak tahu tentang kedua orang Lurah yang juga merasa orang terbaik itu. Di arena mereka tidak mengaku bahwa mereka telah kau kalahkan," berkata Ki Rangga, "tetapi kenyataan itulah yang terjadi."
Kasadha mengangguk-angguk. Katanya, "Sikap mereka sampai saat ini memang masih kurang baik, apalagi di saat-saat berlatih, meskipun aku berusaha tidak menunjukkan sikap seperti itu. Berbeda dengan Ki Rangga Prangwiryawan."
"Tetapi mudah-mudahan hal itu tidak akan menyulitkanmu di masa-masa datang," berkata Ki Rangga Dipayuda.
Ternyata Ki Rangga Dipayuda tidak berkeberatan lagi atas rencana Kasadha untuk meningkatkan ilmunya. Namun sudah barang tentu bahwa Ki Ajar Paguhan harus berada di Pajang, karena tidak mungkin bagi Kasadha harus hilir mudik menemui gurunya itu di rumahnya atau di rumah ibunya di Bayat.
Ketika hal itu disampaikan kepada Ki Rangga, maka Ki Rangga itupun berkata, "Sayang, rumahku juga tidak berada di Kotaraja meskipun tidak terlalu jauh. Seandainya Ki Ajar Paguhan bersedia tinggal di rumahku, maka aku akan merasa senang sekali."
"Tetapi jarak itupun agak terlalu jauh jika aku setiap hari harus berlatih," sahut Kasadha.
"Kau dapat berangkat sore hari. Nanti sebelum tengah malam kau tentu sudah berada disini," berkata Ki Rangga.
"Waktuku di perjalanan akan lebih panjang dari waktuku untuk meningkatkan ilmuku," jawab Kasadha.
Ki Rangga Dipayuda tersenyum. Katanya, "Ya. Kau benar. Sebaiknya Ki Ajar Paguhan itu memang berada di Kotaraja. Setiap hari ia akan dapat berada di sanggar di barak ini. Sudah tentu dengan ijin Ki Tumenggung. Apalagi jika Ki Ajar bersedia memberikan serba sedikit tuntunan bagi setidak-tidaknya para Pandhega dan para Lurah di barak ini, selain kau."
Kasadha tidak menjawab. Namun gurunya agaknya tidak berkeberatan jika ia harus memberikan tuntunan olah kanuragan kepada para Pandhega dan para Lurah di barak itu. Meskipun demikian Kasadha menjawab, "Aku akan mencoba menyampaikannya kepada guru. Segala sesuatunya terserah kepadanya."
"Aku mengerti. Akupun mengerti bahwa gurumu tentu tidak akan memperlakukan para prajurit sebagai muridnya. Kedudukan para prajurit itu akan sangat berbeda dengan kedudukanmu. Tetapi setidak-tidaknya gurumu akan dapat membuka kemungkinan-kemungkinan baru bagi ilmu yang telah ada pada diri kami masing-masing, yang tentu dengan landasan yang berbeda-beda. Ketika Pajang menerima prajurit bersamaan dengan saat kau memasukinya, maka pendadaran yang diberikan termasuk pendadaran yang ketat, sehingga prajurit yang datang bersamamu pada umumnya sudah memiliki landasan ilmu mereka masing-masing," berkata Ki Rangga.
Kasadha mengangguk-angguk. Tetapi katanya, "Meskipun demikian aku tidak dapat tergesa-gesa menghadap guru. Aku baru saja meninggalkan barak dan mendapat waktu beristirahat. Mungkin aku harus menunggu sebulan lagi untuk minta ijin meninggalkan barak barang dua hari."
"Ya," jawab Ki Rangga, "tetapi pada dasarnya aku tidak berkeberatan. Aku akan menyampaikan permohonanmu untuk memperdalam ilmumu kepada Ki Tumenggung. Niat ini sejalan dengan kedudukanmu sebagai prajurit, sehingga peningkatan kemampuanmu akan berarti juga bagi barak ini."
"Terima kasih Ki Rangga," desis Kasadha, "jika Ki Tumenggung mengijinkan, maka aku harus mempersiapkan segala sesuatu sehubungan dengan rencana itu."
"Apa yang harus kau persiapkan?" bertanya Ki Rangga.
"Aku harus menyediakan tempat tinggal bagi guru. Bahkan mungkin bersama kakek jika kakek menghendaki," jawab Kasadha.
Ki Rangga termangu sejenak. Namun kemudian iapun bertanya, "Apakah kau tidak mempunyai sanak kadang disini?"
Kasadha menggeleng. Katanya, "Tidak Ki Rangga."
"Jika demikian maka kau memang harus mengusahakan. Mungkin ada orang yang akan menjual sende rumah dan pekarangannya untuk dua atau tiga tahun atau sampai orang itu dapat menebusnya kembali," berkata Ki Rangga, "sehingga kau tidak perlu mengeluarkan uang terlalu banyak sebagaimana jika kau harus membelinya."
Kasadha mengangguk-angguk. Katanya, "Aku akan menghubungi prajurit-prajuritku yang berasal dari Kotaraja. Mungkin mereka mempunyai sanak kadang yang dapat membantu."
"Baiklah. Mudah-mudahan kau segera mendapatkannya sebelum kau membawa gurumu ke Kotaraja ini," berkata Ki Rangga kemudian.
Dengan demikian, maka Kasadha menjadi semakin mantap. Ia harus segera melakukan rencana itu. Mengajak gurunya untuk tinggal di Kotaraja dan memberikan latihan-latihan baginya untuk meningkatkan ilmunya.
Dalam pada itu, seperti yang disanggupkan kepada Kasadha, maka Ki Rangga Dipayuda telah menyampaikan keinginan Kasadha itu kepada Ki Tumenggung. Seperti di duga sebelumnya, Ki Tumenggung sama sekali tidak berkeberatan, asal rencana itu dilakukan tanpa mengganggu tugas-tugas Kasadha sebagai seorang prajurit.
"Ia harus tetap memperhatikan tugas-tugasnya serta keadaan prajurit-prajuritnya," berkata Ki Tumenggung Jayayuda, "jika ia tenggelam dalam peningkatan kemampuannya, maka akan dapat terjadi, perhatiannya terhadap kewajibannya akan susut. Bahkan hilang sama sekali, justru karena ia memusatkan perhatiannya kepada ilmunya."
"Aku akan mengamatinya Ki Tumenggung," sahut Ki Rangga Dipayuda.
"Baiklah. Aku serahkan segala sesuatunya kepada Ki Rangga. Apalagi Kasadha berada di bawah kepemimpinan Ki Rangga sendiri," berkata Ki Jayayuda.
"Aku akan melakukannya dengan sebaik-baiknya," jawab Ki Rangga yang kemudian berkata, "Selain ijin itu Ki Tumenggung, Kasadha jua mohon diijinkan untuk mempergunakan sanggar tertutup atau terbuka untuk mengadakan latihan-latihan olah kanuragan."
Ki Tumenggung Jayayuda mengerutkan dahinya. Sejenak ia terdiam. Namun kemudian katanya, "Sebenarnya tidak ada keberatan apapun juga bagiku untuk menyetujui permohonan itu. Tetapi yang aku pikirkan adalah, bagaimana jika hal seperti itu datang dari beberapa orang di antara para Lurah dan Pandhega" Misalnya Ki Rangga Prangwiryawan, Ki Lurah Bantardi atau Ki Lurah Lenggana dan bahkan beberapa orang lagi?"
Ki Rangga Dipayuda menarik nafas panjang. Namun kemudian iapun mengangguk-angguk sambil berkata, "Ya, ya. Aku mengerti Ki Tumenggung. Sanggar itu tentu tidak akan dapat lagi dipergunakan oleh para prajurit di barak ini."
"Tetapi bukan maksudku untuk menghambat kemajuan Kasadha," berkata Ki Tumenggung Jayayuda.
Ketika kemudian Ki Rangga itu berada di dalam biliknya, iapun mulai merenungi sikapnya. Baginya, seakan-akan semua niat Kasadha itu sepantasnya mendapat dukungan. Iapun justru tidak memikirkan kemungkinan seperti yang dikatakan oleh Ki Tumenggung Jayayuda tentang sanggar di barak itu jika Ki Tumenggung mengijinkan Kasadha mempergunakannya.
Namun dengan demikian ia mulai menyadari, bahwa ada sesuatu yang telah tumbuh di dalam hatinya mengenai prajuritnya yang dianggapnya memiliki kelebihan itu.
Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa bahwa kendali penalarannya agak terlepas sehingga ia justru memberikan petunjuk kepada Kasadha untuk berlatih di sanggar barak itu.
"Aku harus memberitahukan kepadanya, bahwa hal itu tidak dapat dilakukannya," berkata Ki Rangga di dalam hatinya.
Namun dalam pada itu, Ki Rangga tidak dapat ingkar bahwa memang ada sesuatu yang membuatnya agak memanjakan Ki Lurah Kasadha. Setiap kali ia telah menghubungkan Lurah yang masih muda itu dengan kemungkinan yang lebih jauh dari hubungannya sebagai seorang pemimpin dan anak buahnya dalam lingkungan keprajuritan. Justru karena Ki Rangga mempunyai anak seorang gadis yang mulai tumbuh dewasa.
Meskipun kadang-kadang terlintas juga wajah Bharata dari Tanah Perdikan Sembojan, tetapi yang setiap hari ditemuinya adalah Kasadha dengan segala kelebihannya di lingkungan barak itu. Tingkat ilmunya yang tinggi serta kemampuannya memimpin pasukannya. Nampaknya ia mempunyai wibawa yang tinggi namun juga sifat kebapaan yang akrab meskipun umurnya masih terhitung muda.
Dalam pada itu, di Tanah Perdikan Sembojan, Bharata tiba-tiba saja menjadi agak berubah. Kadang-kadang anak muda itu duduk merenung di serambi tanpa sebab. Namun kadang-kadang Bharata yang di Tanah Perdikan lebih sering disebut Risang, meninggalkan rumahnya hampir sehari-harian. Risang memang berkuda mengelilingi padukuhan demi padukuhan serta memperhatikan hampir selebar Tanah Perdikan itu sendiri. Namun Sambi Wulung dan Jati Wulung pernah menemukan anak muda itu berbaring seorang diri di sebuah gubuk yang berdiri di tengah-tengah bulak panjang. Dari kejauhan Jati Wulung dan Sambi Wulung melihat kuda yang terbiasa dipergunakan oleh Risang terikat pada tiang sebuah gubuk kecil.
Dengan serta-merta keduanya berhenti. Dengan nada rendah Jati Wulung berkata, "Risang tentu berada di gubuk itu."
"Marilah, kita lihat apa yang dikerjakannya," sahut Sambi Wulung.
Keduanyapun menuntun kuda mereka mendekati gubuk di tengah bulak itu.
Ketika mereka menjadi semakin dekat, maka mereka melihat Risang berbaring di gubuk itu seorang diri.
Namun Risang menjadi terkejut ketika ia mendengar langkah orang dan derap perlahan kaki kuda yang berjalan mendekati gubuk itu. Dengan serta-merta iapun telah bangkit dan bahkan meloncat turun.
Tetapi Risang menarik nafas dalam-dalam sambil duduk kembali di gubuk itu ketika ia melihat Sambi Wulung dan Jati Wulung melangkah mendekati gubuk itu.
Setelah menambatkan kudanya, maka Sambi Wulung dan Jati Wulungpun telah duduk pula di gubuk itu. Dengan hati-hati Sambi Wulungpun bertanya, "Apa yang kau lakukan disini Ngger?"
"Aku merasa sangat letih setelah mengelilingi Tanah Perdikan ini. Aku ingin di saat-saat terakhir menjelang wisuda Kepala Tanah Perdikan, maka Tanah Perdikan ini benar-benar telah siap," jawab Risang.
"Apakah masih ada yang mengecewakan?" bertanya Jati Wulung.
"Memang tidak. Tetapi jika aku tidak dengan rajin melihat-lihat persiapan itu, maka pada suatu saat kita akan menyesal karena ternyata masih ada yang kurang," jawab Risang.
Sambi Wulung dan Jati Wulung hanya mengangguk-angguk saja. Namun keduanya memang melihat sesuatu sedang bergejolak di hati anak muda itu. Tetapi mereka masih merasa belum waktunya untuk menanyakannya.
Namun beberapa saat kemudian Jati Wulung itupun berkata, "Marilah, kita pulang."
Tetapi Risang menjawab, "Aku masih akan melihat-lihat beberapa tempat lagi."
"Bukankah masih ada waktu?" bertanya Sambi Wulung.
"Jika setiap kali kita bersikap seperti itu, maka kita tidak akan dapat melakukan apapun. Semua pekerjaan akan tertunda, karena esok masih ada waktu. Sampai akhirnya kita akan merasa terlambat," jawab Risang.
Sambi Wulung dan Jati Wulung tidak dapat memaksanya. Keduanya kemudian justru minta diri untuk mendahului pulang.
"Aku pulang setelah matahari turun," berkata Risang.
Sambi Wulung dan Jati Wulungpun kemudian telah berkuda mendahului Risang. Namun di sepanjang jalan keduanya masih saja membicarakan anak muda yang sedang menyimpan persoalan di dalam hatinya.
"Apakah Risang merasa kecewa bahwa wisudanya tidak segera dilakukan?" bertanya Jati Wulung.
"Memang mungkin. Tetapi agaknya bukan tentang wisudanya. Ia bukan seorang yang tergila-gila akan pangkat dan jabatan," jawab Sambi Wulung.
"Jadi, apa menurut dugaanmu?" bertanya Jati Wulung pula.
Sambi Wulung hanya menggelengkan kepalanya saja.
Demikianlah keduanya telah melarikan kudanya langsung kembali ke rumah Risang. Ketika mereka memasuki regol halaman rumah itu, maka Sambi Wulung berkata, "Ada baiknya kita berbicara dengan Nyi Wiradana. Mungkin dalam satu masa saat anak muda itu meningkat dewasa memerlukan perhatian lebih banyak dari Nyi Wiradana sebagai ibunya."
Jati Wulung mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Kita akan menemui Nyi Wiradana."
Untuk beberapa saat Sambi Wulung dan Jati Wulung harus menunggu, karena Nyi Wiradana masih menerima seorang tamu yang menghadapnya. Ki Demang Banyu Urip.
Baru setelah Ki Demang Banyu Urip minta diri, maka Sambi Wulung dan Jati Wulung dapat menemui Nyi Wiradana.
"Apakah kalian menemukan sesuatu yang menarik perhatian kalian?" bertanya Nyi Wiradana.
"Tidak. Bukan persoalan Tanah Perdikan Sembojan," jawab Sambi Wulung.
"Jadi?" desak Nyi Wiradana.
Keduanya termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Sambi Wulungpun berkata, "Kami melihat perubahan pada diri Risang."
Wajah Nyi Wiradana berkerut. Dengan nada rendah ia menjawab sambil mengangguk kecil, "Ya. Aku memang melihat satu perubahan. Tetapi aku tidak tahu, apa yang membuatnya jadi berubah. Apakah kau melihat bahwa ada sesuatu yang telah terjadi di Tanah Perdikan ini" Apakah ada sesuatu yang tidak berkenan di hatinya?"
"Tidak. Bukan itu," jawab Sambi Wulung, "namun agaknya usianyalah yang membuatnya menjadi berubah. Anak itu seakan-akan menjadi perenung. Di rumah ia tidak betah. Hampir setiap hari ia berkuda mengelilingi Tanah Perdikan ini dengan banyak alasan."
Nyi Wiradana mengangguk-angguk. Sementara Sambi Wulungpun berceritera bahwa ia baru saja bertemu dengan Risang yang sedang berbaring di sebuah gubuk kecil di tengah-tengah bulak.
"Sendiri?" bertanya Nyi Wiradana.
"Ya. Sendiri," jawab Sambi Wulung.
Nyi Wiradana menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, "Risang sering pergi ke Kotaraja dan bermalam di rumah bekas pemimpinnya. Sekali-sekali sengaja atau tidak sengaja, ia menyebut sebuah nama dari seorang gadis."
"Nah," tiba-tiba saja Jati Wulung memotong, "memang satu kemungkinan. Aku sudah mengira bahwa sikapnya itu berhubungan dengan hal-hal seperti itu."
Nyi Wiradana mengangguk-angguk pula. Katanya, "Baiklah. Aku akan berbicara dengan Risang."
"Tetapi kita harus memilih kesempatan yang terbaik. Jika tidak, maka ia tentu akan menjawab dengan singkat, bahwa tidak ada apa-apa," berkata Sambi Wulung.
"Aku akan mengusahakan kesempatan itu," jawab Nyi Wiradana.
Sepeninggal Sambi Wulung dan Jati Wulung, maka Nyi Wiradana telah memanggil Bibi. Namun ternyata bahwa Risang, yang juga dekat dengan Bibi, tidak pernah mengatakan sesuatu kepadanya.
"Anak itu tertarik untuk mendalami penggunaan selendang sebagai senjata," berkata Bibi.
"Tetapi apakah sekali-sekali Risang pernah menyebut nama seorang gadis?" bertanya Nyi Wiradana.
Bibi termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba saja ia menjawab, "Anak itu memang pernah melihat-lihat beberapa selendangku. Ia pernah memperbandingkan warna-warna cerah dengan beberapa bajuku yang berwarna lunak. Anak itu pernah bertanya kepadaku, warna yang manakah yang pantas bagi seorang gadis" Tetapi Risang nampaknya tidak bersungguh-sungguh. Ia memang sering menggangguku dengan gurau-gurauannya."
Nyi Wiradana mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian bertanya, "Apakah kau melihat beberapa perubahan pada anak itu?"
Bibi mengangguk-angguk kecil. Katanya, "Ya. Aku memang melihatnya. Anak itu lebih banyak merenung sekarang."
Nyi Wiradana menjadi yakin. Tentu ada sesuatu yang menyangkut di hati anaknya itu. Namun Nyi Wiradana memang harus mendapatkan waktu terbaik untuk menanyakannya kepada Risang.
Hari itu, seperti yang dikatakan Risang kepada Sambi Wulung dan Jati Wulung, maka anak muda itu pulang setelah matahari turun. Ibunya yang melihatnya melarikan kudanya di halaman hanya dapat mengelus dadanya. Sebelumnya anak muda itu tidak pernah berbuat demikian. Namun Nyi Wiradana sama sekali tidak menegurnya.
Demikian menambatkan kudanya, maka Risangpun telah langsung masuk ke dalam biliknya. Bahkan untuk beberapa saat, anak muda itu tidak keluar lagi.
Ibunyapun kemudian telah melihatnya ke dalam biliknya. Ketika ibunya mendorong pintu bilik itu, maka Nyi Wiradana melihat Risang itu berbaring di pembaringannya.
"Apakah kau sakit Risang?" bertanya ibunya. Risang terkejut. Iapun dengan serta-merta telah bangkit dan duduk di bibir ambennya.
"Tidak ibu, aku tidak apa-apa," jawab Risang.
"Bukankah kau belum makan?" bertanya pula.
Risang mencoba tersenyum. Sambil mendekati ibunya ia berkata, "Aku telah melihat seluruh Tanah Perdikan itu. Rasa-rasanya aku tidak menjadi lapar. Segala sesuatunya berkembang semakin baik."
"Kau letih Risang," berkata ibunya pula, "sekarang pergilah ke pakiwan. Makanmu sudah tersedia sejak tadi. Biarlah dipanasi lebih dahulu selagi kau membersihkan keringatmu."
Risang tidak menjawab. Tetapi iapun melangkah ke pakiwan.
Beberapa saat kemudian, Nyi Wiradana telah menungguinya makan. Tetapi Nyi Wiradana tidak bertanya tentang perubahan sikap Risang. Ia justru bertanya, apa saja yang telah dilihatnya hari ini.
"Bukankah sama dengan yang kau lihat kemarin?" bertanya ibunya.
Risang mengerutkan dahinya. Namun iapun menjawab, "tidak ibu. Tidak sama."
"Apakah yang berbeda?" bertanya ibunya.
"Kemarin air di anak susukan Wotan belum mengalir. Pagi ini anak susukan itu sudah dibuka. Air sudah mengalir menelusuri parit-parit yang membelah bulak panjang di Kademangan Guntur," jawab Risang..
Ibunya mengangguk-angguk. Katanya, "Syukurlah jika anak susukan Wotan itu sudah mulai mengalir. Dua hari yang lalu, aku mendapat laporanmu bahwa anak susukan itu masih belum siap dialiri."
"Ya. Tetapi di hari berikutnya, berpuluh-puluh orang telah turun mengerjakannya sehari penuh," jawab Risang sambil menyuapi mulutnya.
"Syukurlah," ibunya masih saja mengangguk-angguk.
Namun tiba-tiba saja Risang berkata dengan nada rendah, "Ibu besok aku akan pergi ke Pajang."
"Untuk apa?" bertanya ibunya.
"Aku akan menghadap Ki Rangga Kalokapraja," jawab Risang.
"Untuk apa?" bertanya ibunya pula.
"Aku akan memberitahukan bahwa segala sesuatunya telah siap di Tanah Perdikan Sembojan. Jika tidak ada masalah lagi, maka hendaknya ketetapan dan wisuda itu dapat dilakukan secepatnya," jawab Risang.
Ibunya menarik nafas panjang. Namun kemudian Nyi Wiradana itu berkata, "Jangan Risang. Jangan terlalu sering mendesak. Bukankah kita tidak tergesa-gesa" Sikap Ki Rangga Kalokapraja itu sudah baik sekali bagi kita, mengingat apa yang pernah terjadi sebelumnya, sehingga kita harus bertempur melawan Pajang dengan bantuan Jipang."
"Tetapi Pajang waktu itu sedang diliputi oleh ketidak-pastian," jawab Risang.
"Dengarkan kata-kata ibu Risang. Kita jangan mendesak-desak, seakan-akan kita tidak dapat menunggu sampai esok. Ki Rangga Kalokapraja justru akan dapat tersinggung karenanya. Jika terjadi demikian, maka ia akan dapat berubah sikap. Wisuda itu bahkan akan menjadi semakin mundur lagi. Atau bahkan Ki Rangga akan mencari-cari kekurangan yang selama ini dianggap dapat diabaikannya," berkata ibunya.
Risang tidak segera menjawab. Tetapi wajahnya nampak menjadi gelap.
Untuk beberapa saat, Nyi Wiradanapun terdiam. Dipandanginya Risang yang nampaknya tidak begitu bergairah untuk makan. Ia ternyata tidak makan sebagaimana biasanya. Tetapi perut Risang seakan-akan terlalu cepat menjadi kenyang.
Sambil mencuci tangannya Risang kemudian berkata, "Jika aku menemui Ki Rangga, sudah tentu aku tidak akan mendesak, apalagi menuntut agar wisuda dapat segera dilakukan. Tetapi kehadiranku tentu dapat mengingatkannya, bahwa ada sesuatu yang harus diselesaikannya di Tanah Perdikan ini."
Tetapi ibunya menggeleng. Katanya, "Itu kurang baik Risang. Kita harus bersabar menunggu. Bukankah kau belum lama pergi ke Pajang justru karena kau dipanggil Ki Rangga Kalokapraja?"
Risang mengangguk sambil menjawab, "Ya ibu."
"Nah, jika demikian, kau tidak usah menemuinya," desis ibunya. Namun tiba-tiba saja ibunya bertanya, "Risang, apakah sebenarnya kau ingin cepat-cepat diwisuda sehingga kau akan segera mengenakan gelar Kepala Tanah Perdikan Sembojan?"
Pertanyaan ibunya memang mengejutkannya. Dengan serta-merta ia menjawab, "Tidak ibu. Aku sama sekali tidak ingin mendesak agar wisuda itu segera diadakan. Aku tidak ingin cepat-cepat mendapatkan gelar Kepala Tanah Perdikan. Bukankah selama ini kepemimpinan di Tanah Perdikan ini mantap?"
"Jika demikian, apakah arti kedatanganmu kepada Ki Rangga Kalokapraja itu?" bertanya ibunya.
Risang menundukkan kepalanya. Tetapi ia tidak segera dapat menjawab.
Sementara itu, Nyi Wiradana itupun berkata, "Risang. Jika kau memang ingin pergi ke Pajang, pergilah. Kau tidak perlu menemui Ki Rangga itu sebagai alasan. Mungkin kau dapat pergi menemui Kasadha atau menemui siapapun. Kau dapat singgah dimanapun kau inginkan."
Terasa wajah Risang menjadi panas. Namun justru karena itu, maka iapun menunduk semakin dalam. Kata-kata ibunya itu rasa-rasanya tepat menusuk ke dasar jantungnya. Sebenarnyalah bahwa ia memang ingin pergi ke Pajang dan singgah di rumah Ki Rangga Dipayuda. Tetapi ia harus mempunyai alasan yang lebih pantas untuk melakukannya.
Tetapi justru karena ibunya telah menebaknya, maka Risang itupun kemudian justru menjawab, "Tidak ibu. Aku tidak ingin pergi ke Pajang."
Nyi Wiradana menarik nafas dalam-dalam. Sebelum ia berbicara lebih jauh, maka Risang itupun telah bergeser sambil berkata, "Maaf ibu. Aku akan mencari angin di luar. Udara agaknya terlalu panas disini."
"Kau hanya makan sedikit saja Risang," desis bunya.
Risang memandang ibunya sekilas. Kemudian katanya, "Aku sudah kenyang ibu. Mungkin aku terlalu banyak minum air kelapa muda di perjalananku hari ini."
Ibunya tidak menjawab lagi. Sementara itu Risangpun telah melangkah keluar.
Nyi Wiradana hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Namun sebagai seorang ibu, maka ia tidak dapat melepaskan diri dari persoalan anak tunggalnya.
Apalagi ketika di hari-hari berikutnya Risang menjadi semakin pendiam. Namun Risang menjadi semakin sering berada di sanggar. Seakan-akan ia ingin melarikan diri dari kesulitan penalarannya ke sanggar dan menyendiri, jika ia tidak pergi mengelilingi Tanah Perdikannya.
Akhirnya Nyi Wiradana tidak lagi dapat menahan hatinya, sehingga iapun telah menemui Kiai Badra serta Kiai dan Nyai Soka untuk mohon petunjuknya.
Orang-orang tua itupun tidak dapat memberikan pemecahan yang memuaskan. Namun ketiganya sependapat, bahwa agaknya Risang telah meniti hidup dewasanya. Hatinya agaknya mulai tersangkut kepada seseorang.
"Tetapi aku yakin, Risang tidak dirisaukan oleh wisudanya yang tidak segera dilakukan. Ia sudah menempa dirinya untuk menguasai perasaannya atas nafsu ketamakan. Ia akan tetap bersabar menunggu. Apalagi. pangkat dan jabatan yang menyangkut langsung dirinya sendiri," berkata Kiai Badra.
"Aku menjadi sangat gelisah," desis Nyi Wiradana.
"Aku dapat mengerti," sahut Nyai Soka, "kau memang harus selalu mengikuti perkembangan keadaan anakmu itu."
Nyi Wiradana mengangguk-angguk kecil. Sementara Kiai Sokapun berkata, "Syukurlah jika dalam kegelisahan itu, Risang mampu mencari penyaluran yang baik dan berarti. Lebih baik ia berada di sanggar daripada ia mencari pelepasan kegelisahannya pada hal-hal yang akan dapat merugikan masa depannya kelak."
"Beruntunglah aku, bahwa Risang tidak melakukannya," desis Nyi Wiradana, "selain berada di sanggar, Risang sehari-hari pergi mengelilingi Tanah Perdikan ini."
"Baiklah. Kami akan membawanya lebih banyak. Untuk berlatih. Mudah-mudahan umur kami masih menggapai saat-saat anak itu siap menerima tataran tertinggi ilmunya, ilmu Janget Kinatelon," berkata Kiai Badra.
Dengan demikian, maka Kiai Badra itupun telah memanggil Risang untuk menemuinya. Bersama Kiai Soka dan Nyai Soka, maka orang-orang tua itu telah minta agar Risang siap untuk lebih banyak berada di sanggar.
Bagi Risang, hal itu merupakan satu kebetulan. Ia tidak mengerti, kenapa hatinya seakan-akan selalu digelisahkan oleh ilmunya yang dianggapnya masih terlalu rendah.
Namun Risang sendiri kadang-kadang terkejut jika tiba-tiba saja ia mencoba memperbandingkan ilmunya dengan ilmu Kasadha.
"Kasadha ternyata mampu mengalahkan Ki Rangga Prangwiryawan," katanya di dalam hatinya. Namun selalu disusul dengan pertanyaan, "Kenapa aku yang justru menjadi gelisah?"
Tetapi Risang tidak dapat ingkar, bahwa perasaan yang terbersit di hatinya adalah, bahwa ia tidak ingin tertinggal dari adiknya itu.
Kiai Badra, Kiai Soka dan Nyai Soka memang terkejut melihat kesungguhan Risang untuk berlatih dan meningkatkan ilmunya ketika mereka mulai memasuki sanggar dalam tataran ilmu berikutnya, yang sebenarnya akan diberikan sesudah Risang diwisuda. Tetapi ketiga orang tua itu justru sepakat untuk memberikannya saat-saat Risang memerlukan isi bagi waktunya yang tentu terasa sangat panjang karena kegelisahan yang belum diketahui sebabnya.
Demikianlah dari hari ke hari Risang dengan tekun berada di sanggarnya bersama ketiga orang kakek dan neneknya. Ketiga orang tua itu memang merasakan, bahwa Risang memang sedang menyembunyikan sesuatu dan berusaha menyelimutinya dengan latihan-latihan yang berat di sanggarnya.
*** Sementara itu, di Pajang, atas bantuan salah seorang pemimpin kelompoknya, Kasadha telah mendapatkan sebuah rumah yang meskipun kecil, tetapi cukup untuk tempat tinggal gurunya. Sedangkan bagian belakang rumah itu dapat dipergunakannya sebagai sanggar untuk melakukan latihan-latihan. Demikian pula halaman belakang dari rumah yang tidak begitu besar itu.
Atas ijin Ki Rangga dan Ki Tumenggung Jayayuda maka Kasadha telah menjemput gurunya dan sekaligus kakeknya untuk bersedia tinggal di Pajang.
"Kakek setiap saat dapat menengok ibu di Bayat," berkata Kasadha ketika ia mempersilahkan kakeknya tinggal bersama gurunya di Pajang.
Akhirnya kakeknyapun bersedia tinggal di Pajang. Namun sejak semula Kiai Randukeling itu berkata, "Tetapi aku tentu sering meninggalkan rumah itu untuk menengok ibumu. Ia kini sudah benar-benar berubah dan hidup wajar sebagaimana seorang perempuan. Bergantian ibumu sudah mau pergi ke pasar untuk berbelanja dan di rumahpun ibumu telah dengan rajin masak meskipun hanya diperuntukkan bagi dirinya sendiri dan bibimu."
Namun di luar sadarnya Kasadha tiba-tiba saja bertanya, "Dimana adikku itu sekarang kakek?"
"Ibumupun tidak tahu dimana adikmu itu sekarang berada," jawab Kiai Randukeling, "sekali-sekali kerinduannya kepada adikmu itu terasa sangat menekan perasaannya. Tetapi ia belum mempunyai cukup keberanian untuk mencarinya."
Kasadha mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lebih lanjut, karena Kasadha tahu, bahwa ada beberapa persoalan yang tentu menghambat usaha ibunya untuk mencarinya apabila ibunya tidak ingin terjerumus lagi ke dalam kehidupannya yang lama. Namun memang tidak seharusnya ibunya membiarkan adiknya tetap hidup dalam dunia yang kelam itu.
Sejak Ki Ajar Paguhan dan Ki Randukeling tinggal di Pajang, maka setiap kali, jika tugas-tugasnya sudah diselesaikan, Kasadha selalu berada di rumah tempat tinggal gurunya itu. Dengan sungguh-sungguh Kasadha berusaha untuk meningkatkan ilmunya. Karena ilmu kanuragan baginya akan memberikan arti pula bagi tugas-tugasnya sebagai seorang prajurit.
Kepada Ki Rangga Dipayuda, kepada para Pandhega dan juga kepada Ki Tumenggung. Kasadha sama sekali tidak merahasiakan usahanya untuk meningkatkan ilmunya. Bahkan Ki Rangga Prangwiryawan yang pernah dikalahkan oleh Kasadha dan dengan jantan mengakui kekalahan itu, pernah bertanya kepadanya, "Apakah aku diperkenankan untuk serba sedikit meningkatkan ilmuku" Aku sudah tidak mempunyai guru lagi. Guruku meninggal dua tahun yang lalu. Sebelumnya aku merasa bahwa ilmuku cukup tinggi bagi seorang prajurit. Namun setelah aku berada di gelanggang bersamamu, maka terbukti bahwa ilmuku masih jauh ketinggalan."
"Bukan jauh ketinggalan Ki Rangga, tetapi mungkin kita berada di tataran yang sama. Namun ketika memasuki arena, aku sama sekali tidak membawa beban sebagaimana Ki Rangga yang nampaknya sangat tegang," jawab Kasadha.
Ki Rangga Prangwiryawan tertawa. Katanya, "Kau pandai membuat orang lain tertidur. Tetapi baiklah. Jika saja gurumu bersedia. Bukan maksudku aku menuntut hak sebagai orang murid. Tetapi sekedarnya saja asal dapat membantu membuka kemungkinan baru bagi ilmuku."
Kasadhapun tersenyum. Katanya, "Aku akan mengatakannya kepada guru."
Ki Rangga Prangwiryawan menepuk bahunya sambil berkata, "Terima kasih. Mudah-mudahan aku mendapat kesempatan."
Ketika hal itu dikatakan oleh Kasadha kepada Ki Rangga Dipayuda, maka Ki Rangga itupun berkata, "Cobalah kau katakan kepada gurumu. Jika gurumu bersedia, akan berakibat baik juga bagimu. Dan bahkan bagi kedudukanmu disini. Apalagi beberapa saat kemudian, aku tentu akan meninggalkan barak ini. Aku memang sudah terlalu tua."
Kasadha mengerutkan keningnya. Katanya, "Tetapi Ki Rangga Dipayuda masih nampak tegar sebagai seorang prajurit."
Ki Rangga tersenyum. Katanya, "Namun, bukankah umurku merambat setiap saat?"
Kasadhapun mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab.
Namun dalam pada itu, berbeda dengan Ki Rangga Prangwiryawan, dua orang Lurah yang lain justru tidak dapat menerima kenyataan dengan hati yang lapang. Jika Ki Rangga Prangwiryawan kemudian justru menjadi baik dan akrab dengan Kasadha, maka kedua Lurah yang lain itu justru terasa menjadi semakin jauh.
Ki Lurah Bantardi dan Ki Lurah Lenggana sama sekali tidak menghiraukan sikap Ki Rangga Prangwiryawan. Mereka menganggap bahwa Ki Rangga Prangwiryawan terlalu lemah menghadapi Kasadha, sehingga akan dapat membuat Kasadha itu menjadi semakin sombong.
"Dipamerkannya gurunya kepada kita," berkata Lenggana ketika ia mendengar bahwa Kasadha telah membawa gurunya ke Pajang.
"Kenapa ia mendapat ijin untuk setiap hari keluar dari barak meskipun tugasnya telah diselesaikan" Bagaimana jika orang lain mohon ijin seperti itu?" desis Ki Lurah Bantardi.
"Sebaiknya kita semuanya, seisi barak itu minta ijin untuk keluar dari barak ini setiap hari sebagaimana Ki Lurah Kasadha dengan alasan apapun juga. Adilnya, kita semuanya juga harus diijinkan," sahut Ki Lurah Lenggana.
Ketika hal ini secara tidak langsung disampaikan kepada Ki Rangga Prangwiryawan, maka Ki Rangga berkata, "Apakah kau lupa, bahwa sesuai dengan paugeran, para perwira diperkenankan keluar barak pada saat-saat tertentu-serta jika semua tugas sudah dilakukan" Sudah tentu bagi mereka yang tidak sedang mendapat tugas mempertanggung-jawabkan penjagaan untuk sehari-semalam. Para Lurah, kecuali yang bertugas, dapat saja keluar dari barak di sore hari untuk berjalan-jalan dan melihat-lihat keadaan. Bahkan bukankah para prajurit juga dapat melakukannya, tetapi juga untuk saat-saat tertentu yang diatur sesuai dengan paugeran" Kita di barak ini bukan tawanan dan bukan pula orang-orang yang sedang dipenjarakan."
Kedua orang Lurah itu termangu-mangu. Namun mereka tidak mengatakan apa-apa lagi.
Karena itulah, maka hampir setiap hari, kecuali pada saat-saat ia bertugas sehari-semalam, Kasadha selalu diijinkan menemui gurunya setelah tugas-tugasnya selesai. Dengan tuntunan gurunya, maka Kasadha telah meningkatkan kemampuannya selapis demi selapis.
*** Sejalan dengan itu, maka di Tanah Perdikan Sembojan, Risangpun tengah menempa diri. Risang sendiri tidak tahu pasti, apakah yang mendorongnya untuk melakukannya. Bahkan dirasa agak berlebihan oleh kakek dan neneknya.
"Aku tidak bermusuhan dengan siapapun juga," berkata Risang kepada dirinya sendiri jika ia sedang merenung. Lalu katanya pula, "Apalagi dengan Kasadha. Ia sangat baik. Ia mengerti apa yang telah terjadi atas keluarga kami dan iapun berjanji untuk tidak mengganggu lagi ketenangan Tanah Perdikan Sembojan."
Namun di saat yang lain, maka yang terbayang adalah wajah seorang gadis yang baginya sangat cantik. Riris. Anak Ki Rangga Dipayuda.
Jika kesadaran penalarannya sedang terkendali, maka Risang yang sering berkuda mengelilingi Tanah Perdikannya, memang mencoba untuk memperhatikan gadis-gadis yang ditemuinya di padukuhan-padukuhan atau mereka yang pergi ke sawah untuk membawa makan dan minum keluarganya yang sedang bekerja. Bahkan Risang juga sering mengunjungi para bebahu padukuhan yang tersebar di Tanah Perdikan Sembojan. Kadang-kadang Risang beristirahat untuk waktu yang cukup lama di rumah para Demang.
Namun Risang tidak pernah menjumpai seorang gadis yang mampu mengusik hatinya. Sehingga setiap kali maka angan-angannya selalu membayangkan wajah Riris yang bening dengan senyumnya yang cerah.
Dalam kesibukannya menempa diri, serta mengatasi kemelut di hatinya, maka Tanah Perdikan Sembojan telah kedatangan dua orang tamu dari Pajang. Bahkan Ki Rangga Kalokapraja sendirilah yang telah datang dengan seorang pembantunya.
Nyi Wiradana memang menjadi sibuk. Risangpun segera dipanggil. Untunglah ia belum berangkat mengelilingi Tanah Perdikannya dan belum pula masuk ke sanggar bersama ketiga orang kakek dan neneknya. Bahkan Kiai Badra, Kiai Soka dan Nyai Soka telah diminta oleh Nyi Wiradana untuk ikut menemui utusan dari Pajang itu.
Setelah saling mempertanyakan keselamatan masing-masing, maka Nyi Wiradana yang agaknya segera ingin tahu maksud kedatangan tamunya itupun bertanya, "Agaknya Ki Rangga membawa perintah bagi kami di Tanah Perdikan ini?"
Ki Rangga tersenyum sambil berkata, "Aku membawa kabar gembira bagi Tanah Perdikan ini."
"Syukurlah," desis Nyi Wiradana.
"Kami datang sebagai utusan Kangjeng Adipati di Pajang. Atas nama Panembahan Senapati di Mataram, maka telah siap Surat Kekancingan ketetapan Angger Risang menjadi Kepala Tanah Perdikan Sembojan," berkata Ki Rangga Kalokapraja.
"Tuhan Maha Agung," desis Nyi Wiradana, "kami tentu akan sangat bersyukur dan berterima kasih kepada Kangjeng Adipati Pajang."
"Selanjutnya, aku datang untuk membicarakan pengesahan dan wisuda Angger Risang sebagai Kepala Tanah Perdikan ini," berkata Ki Rangga Kalokapraja. Lalu katanya selanjutnya, "berhubung dengan kesibukan Kangjeng Adipati, maka aku pulalah yang mendapat perintah untuk menyelenggarakan wisuda Angger Risang. Karena itu, aku perlukan datang sendiri ke Tanah Perdikan ini untuk membicarakan segala sesuatunya. Sedangkan penjabat yang akan ditugaskan mewisuda atas nama Kangjeng Adipati masih akan ditentukan kemudian."
"Terima kasih Ki Rangga. Sudah tentu kami gembira sekali bahwa Ki Rangga sendirilah yang mendapat tugas-penyelenggaraan wisuda itu. Dengan demikian, maka pembicaraan berikutnya akan dapat kita lakukan dengan terbuka, karena kita sudah saling mengerti akar perkembangan keadaan," jawab Nyi Wiradana yang kemudian bertanya, "Lalu apa saja yang harus kami siapkan sehubungan dengan wisuda itu" Pertanda kepemimpinan Tanah Perdikan yang berupa bandul bertatahkan lukisan burung itu serta barangkali ada yang lain?"
Tetapi Ki Rangga Kalokapraja menggeleng. Katanya sambil tertawa kecil, "Itu tidak penting sebenarnya Nyai. Pertanda itu hanya sekedar kelengkapan kewadagan. Tetapi yang penting bagi kami adalah kebenaran urutan keturunan lajer Kepala Tanah Perdikan sesuai dengan paugeran. Kekancingan atas Tanah Perdikan yang masih berlaku dan yang tidak kalah pentingnya adalah kesetiaan dan bahwa orang yang akan ditetapkan itu dapat diterima oleh rakyat Tanah Perdikan itu sendiri. Nampaknya segala syarat ini sudah dipenuhi, sehingga akupun telah mengusulkan agar ketetapan dan wisuda segera dapat dilakukan."
Dengan demikian, maka Ki Ranggapun telah membicarakan pula kepastian hari untuk melaksanakan wisuda serta segala macam perlengkapan yang harus disiapkan dalam wisuda itu.
"Jika kemudian di Tanah Perdikan ini akan diselenggarakan keramaian sebagai pernyataan syukur, itu terserah kepada Angger Risang," berkata Ki Rangga Kalokapraja kemudian.
Ketika segala sesuatunya sudah dibicarakan dengan matang, maka Ki Rangga itu berkata, "Sepekan sebelum wisuda dilakukan, aku harap Angger Risang datang ke Pajang untuk mendengar keputusan terakhir dari Pajang. Seandainya ada perubahan, masih ada waktu untuk melakukannya di Tanah Perdikan ini."
"Baiklah Ki Rangga, aku akan datang sepekan sebelum pelaksanaannya. Jika wisuda itu direncanakan akan diadakan sebulan lagi, maka waktunya masih cukup luas untuk membuat rencana-rencana yang lain sehubungan dengan wisuda itu," berkata Risang.
Dalam pada itu, setelah minum dan makan beberapa potong makanan, maka Risang menawarkan kepada Ki Rangga Kalokapraja untuk melihat-lihat keadaan Tanah Perdikan Sembojan.
"Bukankah Ki Rangga bermalam disini barang semalam?" bertanya Risang.
Ki Rangga berpaling kepada pembantunya sambil bertanya, "Bagaimana" Apakah kita akan bermalam. Dengan demikian kita akan sempat melihat-lihat Tanah Perdikan ini pada saat-saat terakhir menjelang wisuda Kepala Tanah Perdikan yang baru, yang masih muda dan bekas seorang prajurit pula."
Pembantunya hanya tersenyum saja. Katanya, "Segala sesuatunya terserah kepada Ki Rangga."
Ki Rangga mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Kami akan bermalam disini."
"Jika demikian Ki Rangga akan mendapat kesempatan untuk melihat-lihat. Baru saja kami telah membuka anak susukan yang mampu mengaliri parit-parit yang menelusuri bulak panjang di Kademangan Guntur," berkata Risang.
Ki Rangga mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Kita akan melihat-lihat. Tetapi sudah tentu tidak perlu seluruh Tanah Perdikan."
Demikianlah, Risang telah mengantar Ki Rangga Kalokapraja dan pembantunya turun dari pendapa. Sementara Nyi Wiradana dan orang-orang tua di Tanah Perdikan itu mengantarnya ke halaman. Namun dalam pada itu, Risang telah mengajak Sambi Wulung dan Jati Wulung untuk mengikutinya.
Sejenak kemudian, maka kelima orang itu telah berpacu melintasi bulak-bulak panjang dan pendek. Menusuk padukuhan-padukuhan dan menyeberangi sungai-sungai yang tidak begitu deras airnya.
Yang pertama-tama mereka lihat adalah susukan yang baru saja dibedah untuk, mengalirkan airnya ke anak susukan bagi bulak panjang di Kademangan Guntur.
Ki Rangga Kalokapraja ternyata ikut berbangga atas keberhasilan Tanah Perdikan Sembojan meningkatkan kesejahteraan hidup rakyatnya.
Dari susukan itu Ki Rangga telah menelusuri anak susukan sampai ke bulak daerah Kademangan Guntur, kemudian meninggalkan bulak itu untuk melihat-lihat, bagaimana orang-orang Tanah Perdikan yang tinggal di kaki pegunungan membuat lereng pegunungan itu seperti tangga yang hijau, karena tanaman di atas tanah yang bertingkat itu tumbuh dengan suburnya.
Ternyata Ki Rangga Kalokapraja yang sehari-harinya berada di kesibukan kota itu tidak jemu-jemunya melihat hijaunya tanaman di sawah dan ladang. Ki Ranggapun berkuda melewati pinggir hutan yang membujur memanjat lereng pebukitan. Meskipun panas mulai terasa membakar kulit, namun Ki Rangga masih saja berkuda melintasi bulak, kaki-kaki pebukitan, pategalan dan pinggir hutan.
Baru setelah matahari turun Ki Rangga merasa letih.
"Kita beristirahat sebentar," berkata Ki Rangga ketika mereka berada di sebuah tikungan yang dibayangi oleh rimbunnya pohon gayam yang besar.
Kelima orang itupun kemudian berhenti di bawah pohon gayam itu. Angin yang bertiup terasa segar menyentuh kulit di teriknya panas matahari itu.


02 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku dapat tertidur disini," berkata Ki Rangga. Risang tersenyum. Katanya, "Akupun pernah tidur di gubuk di siang yang terik seperti ini. Di bawah gubuk mengalir air yang jernih, sedangkan batang padi terayun-ayun oleh semilirnya angin dari pegunungan."
"Menyenangkan sekali," desis Ki Rangga.
Namun dalam pada itu, selagi mereka sedang beristirahat, seseorang yang berada di atas gumuk kecil, memperhatikan mereka dengan saksama. Namun ia berusaha agar terlindung oleh semak-semak yang tidak begitu lebat.
"Siapa pula orang-orang itu?" berkata orang itu kepada diri sendiri. Ia mengenal Risang, orang yang berhak untuk menjadi Kepala Tanah Perdikan di Sembojan. Tetapi yang lainnya orang itu belum mengenalnya.
"Nampaknya memang sulit untuk memasang kendali di hidung anak muda itu. Tetapi memang harus dicoba," berkata orang itu kemudian.
Beberapa saat orang itu mengamati kelima orang yang beristirahat di bawah pohon gayam itu. Namun kemudian kelima orang itupun telah bersiap-siap untuk meninggalkan tempat itu kembali ke padukuhan induk Tanah Perdikan Sembojan.
Ternyata perjalanan keliling Tanah Perdikan itu cukup lama. Sore hari mereka baru memasuki regol halaman rumah Nyi Wiradana yang nampaknya telah lama menunggu.
Makan siang yang telah disiapkan sudah menjadi dingin, sehingga harus dipanasi kembali.
Tetapi nampaknya Ki Rangga Kalokapraja merasa senang melihat-lihat keadaan Tanah Perdikan Sembojan yang semakin lama menjadi semakin maju. Kehidupan rakyatnyapun nampak menjadi semakin sejahtera pula.
Ternyata apa yang dilihatnya itu akan menjadi laporan, sehingga tidak akan ada keragu-raguan lagi mewisuda Risang menjadi Kepala Tanah Perdikan Sembojan. Apalagi Tanah Perdikan itu sudah terlalu lama tidak memiliki Kepala Tanah Perdikan. Yang ada adalah Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan yang dipegang oleh seorang perempuan. Namun Ki Rangga Kalokaprajapun sudah mengetahui, meskipun seorang perempuan, namun Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan adalah seorang yang memiliki ilmu dan pengetahuan yang tinggi, serta kepemimpinan yang berwibawa.
Malam itu, Ki Rangga Kalokapraja benar-benar telah menginap di rumah Nyi Wiradana bersama seorang pembantunya. Risang ternyata masih sempat memanggil lima orang yang memiliki kemampuan di bidang karawitan untuk sekedar memetik siter, gender, gendang dan gong di pendapa rumahnya.
Sambil mendengarkan siteran, maka Ki Rangga Kalokapraja telah berbincang-bincang panjang lebar dengan Risang di pendapa ditemani oleh Sambi Wulung dan Jati Wulung yang sangat senang mendengarkan siteran. Meskipun tidak tampil di pendapa, tetapi Bibipun duduk mendengarkan di ruang dalam. Sekali-sekali Bibi ikut bertepuk kecil mengikuti irama siter itu.
"Kenapa kau tidak pergi ke pendapa saja?" bertanya Nyi Wiradana, "Jika kau mau, suaramu tentu masih mampu menggetarkan pendapa."
Bibi tertawa. Katanya, "Dilengkapi dengan saron dan bonang, maka kita sudah mendapatkan satu perangkat gamelan untuk mengadakan pertunjukan keliling. He, bukankah kau masih dapat menari."
Iswari itupun tersenyum pula sambil berkata, "Apakah aku akan menari saat Risang diwisuda?"
Bibipun tertawa pula, sementara suara gamelan di pendapa menyusup dibawa angin yang lembut ke ruang dalam.
Kiai Soka yang juga senang mendengarkan siteran telah duduk pula di pendapa. Namun Nyai Soka nampaknya lebih senang duduk di ruang dalam bersama Nyi Wiradana dan Bibi. Sementara Kiai Badra agak lebih cepat mengantuk, sehingga telah lebih dahulu masuk ke dalam biliknya.
Lewat sedikit tengah malam, maka Risangpun telah mempersilahkan Ki Rangga Kalokapraja untuk beristirahat.
Namun sementara itu, seorang yang asing berada di antara beberapa orang yang ikut mendengarkan siteran itu di halaman. Orang itupun kemudian mendapat keterangan bahwa yang datang itu adalah utusan dari Pajang.
Orang itu tidak bertanya lebih lanjut. Ia masih ikut mendengarkan beberapa saat. Namun kemudian orang itupun telah meninggalkan tempat itu.
Ternyata siteran itu sendiri berlangsung sampai menjelang fajar. Meskipun Ki Rangga dan pembantunya telah masuk ke dalam biliknya di gandok kanan, namun orang-orang Sembojan sendiri masih mendengarkan siteran itu. Di antara mereka ada yang naik ke pendapa, tetapi ada juga yang lebih senang di halaman.
"Kenapa tidak naik?" bertanya salah seorang pembantu rumah Nyi Wiradana.
"Aku lebih senang duduk disini. Setiap saat aku dapat pergi dan kembali lagi. Jika haus aku dapat mencari minum di belakang," jawab orang itu sambil tertawa.
Sementara itu, pembantu rumah itu berdesis, "Jika Gandar ada, maka ia akan ikut menabuh gamelan itu."
"Dimana Gandar?" bertanya orang yang duduk di halaman.
Pembantu rumah itu menggeleng. Ia memang tidak tahu bahwa Gandar berada di sebuah padepokan yang agak jauh untuk beberapa lama.
Demikianlah, ketika matahari terbit, Ki Rangga Kalokapraja telah selesai berbenah diri. Demikian pula pembantunya telah siap untuk menempuh perjalanan kembali ke Pajang. Sementara itu makan pagipun telah disiapkan pula.
Sambil makan Ki Rangga sempat mengingatkan Risang agar datang sepekan sebelum wisuda dilaksanakan.
"Segala sesuatunya akan pasti. Sehari sebelum wisuda, aku akan datang lagi ke Tanah Perdikan untuk mempersiapkan segala sesuatunya, termasuk tempat untuk menginap para pemimpin yang akan menghadiri wisuda itu," berkata Ki Rangga Kalokapraja.
"Baik Ki Rangga," jawab Risang, "aku tidak akan dapat melupakannya."
Dengan demikian, setelah makan pagi, maka Ki Rangga Kalokapraja dan pembantunya telah minta diri kepada Nyi Wiradana selaku Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan serta kepada orang-orang tua yang banyak memberikan petunjuk dan tuntunan kepada Risang.
"Terima kasih atas kesediaan Ki Rangga datang ke Tanah Perdikan ini," berkata Nyi Wiradana.
"Bukankah aku sekedar menjalankan tugas?" desis Ki Rangga sambil tersenyum.
"Tetapi Ki Rangga tidak sekedar memerintahkan orang lain datang kemari atau sekedar memanggil kami yang ada di Tanah Perdikan," sahut Nyi Wiradana.
"Bukankah dengan demikian aku dapat melihat langsung keadaan Tanah Perdikan ini?" berkata Ki Rangga pula.
Ketika matahari mulai memanjat naik, maka Ki Rangga dan pembantunya itupun meninggalkan padukuhan induk Tanah Perdikan Sembojan. Ki Rangga ternyata ikut bersama keluarga Tanah Perdikan Sembojan menjadi gembira bahwa sekitar sebulan lagi akan dilakukan wisuda sehingga Tanah Perdikan itu akan memiliki seorang pemimpin yang mantap.
Kicau burung rasa-rasanya ikut menyambut kabar gembira yang dibawakan oleh Ki Rangga Kalokapraja, sedangkan kilat pantulan embun yang masih tersangkut di batang padi rasa-rasanya seperti senyum segar seisi Tanah Perdikan itu.
Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam. Angin pagi terasa sejuk mengusap wajahnya.
Dalam pada itu, sepeninggal Ki Rangga, maka Nyi Wiradana telah mengumpulkan beberapa orang pembantu dekatnya. Bersama Risang mereka membicarakan keputusan Pajang untuk menyelenggarakan wisuda itu sebulan lagi.
"Kita harus segera bersiap-siap. Waktu yang sebulan itu akan terasa sangat pendek. Kita akan menerima beberapa orang tamu dari Pajang. Selain seorang pemimpin yang akan mewakili Kangjeng Adipati, mewisuda Risang, tentu saja akan hadir beberapa orang tamu yang lain. Seperti yang dikatakan oleh Ki Rangga Kalokapraja, bahwa ia akan datang sehari sebelumnya untuk mengatur penginapan para tamu itu. Karena itu, bukankah sebelumnya kita harus sudah bersiap-siap," berkata Nyi Wiradana.
"Kita pada saatnya akan mengundang keempat orang Demang di lingkungan Tanah Perdikan ini ibu," berkata Risang.
"Ya. Jika perlu para bekel," sahut Nyi Wiradana.
Risangpun mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, "Aku akan menyampaikan kabar ini kepada para Demang. Para Demang itu tentu akan memperluas kabar ini kepada para Bekel. Kita semuanya memang harus membuat satu suasana khusus sehingga seisi Tanah Perdikan dapat merasakan kegembiraan ini," berkata Risang.
"Ya. Bahkan sejak awal," sahut Nyi Wiradana.
"Aku akan memberitahukan kepada Kasadha," berkata Risang kemudian, "ia harus ikut bergembira bersama kita disini, karena sebenarnyalah ia memang menjadi bagian dari Tanah Perdikan ini. Bukankah ibu tidak berkeberatan?"
Nyi Wiradana mengangguk-angguk. Katanya, "Aku setuju. Aku yakin, bahwa Kasadha sama sekali tidak mempunyai niat buruk terhadap Tanah Perdikan ini. Apalagi kedudukannya di lingkungan keprajuritanpun memanjat dengan cepat di usia mudanya."
Namun tiba-tiba suara Risang merendah, "Tetapi bagaimana dengan ibunya, ibu. Seandainya ibunya juga ingin melihat Tanah Perdikan ini. Mungkin ada semacam kerinduan yang tersimpan di hatinya, sehingga ia menyatakan untuk ikut bersama Kasadha datang ke Tanah Perdikan ini?"
Wajah Nyi Wiradana yang di masa kanak-kanaknya dipanggil Iswari itu termangu-mangu sejenak. Keragu-raguan yang tajam telah mencengkam jantungnya.
Namun dalam pada itu, Sambi Wulung pun berkata, "Sebaiknya hal itu tidak usah kita pikirkan sekarang. Jika kau bertemu dengan Kasadha, maka kau akan dapat menduga, apakah ibunya akan diajaknya ke Tanah Perdikan ini atau tidak."
Iswari menarik nafas dalam-dalam. Luka yang dalam di dasar jantungnya memang sulit untuk dibersihkan bekas-bekasnya. Namun katanya kemudian, "Baiklah. Kita akan memikirkannya kelak. Aku akan tunduk kepada keputusan kalian. Kita tidak tahu apa yang sebenarnya tersimpan di dalam hatinya. Berbeda dengan Kasadha yang sikap lahir dan batinnya aku yakini."
Risangpun tidak membicarakannya lebih panjang. Ia tahu, bahwa ibunya baru mencari keseimbangan batin menghadapi Warsi, isteri Ki Wiradana yang hampir saja merenggut jiwanya seandainya Bibi tidak diperciki oleh terang dari Yang Maha Agung pada saat itu.
Dengan demikian, maka sejak hari itu Tanah Perdikan Sembojan menjadi sibuk mempersiapkan diri untuk menyambut hari yang besar itu. Ketika Risang memberitahukan hal itu kepada keempat orang Demang di lingkungan Tanah Perdikan Sembojan, maka sambutannya benar-benar menggembirakan. Demang Banyu Urip dengan serta berkata, "Berapa ekor lembu yang akan dipotong. Biarlah Banyu Urip yang menyediakannya."
Risang tersenyum. Katanya, "Itu masih belum kami hitung, paman. Tetapi sebelumnya aku mengucapkan terima kasih."
Ternyata Demang yang lainpun telah menawarkan apa saja yang diperlukan untuk keramaian wisuda itu. Beras, kelapa, kambing dan ayam berapapun yang dibutuhkan, para Demang akan menyiapkan.
Risang mengangguk-angguk saja. Namun sebenarnya ia merasa gembira pula, bahwa kehadirannya sebagai pemimpin di Tanah Perdikan Sembojan diterima dengan senang hati oleh rakyat Tanah Perdikan itu.
Namun ketika malam kemudian tiba, maka angan-angan Risang mulai menerawang jauh ke masa-masa mendatang. Ia mulai berpikir tentang orang yang akan dapat dibawa bersama-sama memerintah Tanah Perdikan itu.
"Aku tidak akan dapat menemukan orang seperti ibuku," berkata Risang di dalam hatinya, "selain memiliki kemampuan olah kanuragan yang tinggi, ibu cukup bijaksana dan mampu menempatkan diri. Perkawinannya yang kurang cerah membuatnya kehilangan gairah untuk berumah tangga lagi. Namun segala yang ada di dalam dirinya telah dicurahkan bagi Tanah Perdikan Sembojan serta bagi anaknya, aku," namun tiba-tiba saja ia berdesis, "Bukan. Bukan sekedar karena kekecewaan ibu dalam perkawinan yang gagal itu ibu tidak mau berumah tangga lagi, tetapi ternyata ibu memiliki kesetiaan yang seakan-akan tidak bertepi meskipun ibu telah dikhianati."
Risang menarik nafas dalam-dalam. Angan-angannyapun segera merambat kepada seorang gadis yang bernama Riris.
Namun tiba-tiba saja Risang berkata kepada diri sendiri, "Besok selambat-lambatnya lusa aku akan pergi ke Pajang. Kasadha harus segera mengetahui rencana wisuda ini. Ia pagi-pagi harus ikut bergembira dengan seluruh rakyat Tanah Perdikan Sembojan."
Pagi-pagi, demikian ia bertemu dengan ibunya, maka iapun telah mengatakan rencananya untuk pergi ke Pajang.
"Bukankah kau baru diminta datang sepekan sebelum hari wisuda?" bertanya ibunya.
"Aku akan menemui Kasadha. Bukan Ki Rangga Kalokapraja. Aku harus memberitahukan kepadanya, bahwa dalam waktu dekat wisuda itu akan diselenggarakan. Ia harus ikut bergembira bersama kita sejak rencana itu dibuat. Bukan dengan tiba-tiba. Jika aku menemuinya sepekan sebelum wisuda, maka rasa-rasanya segalanya terjadi dengan tiba-tiba. Ia tidak dapat ikut merasakan kegembiraan itu sejak awal."
Ibunya tersenyum. Tetapi Iswari itu melihat, bahwa yang mendorong Risang untuk segera pergi ke Pajang tentu bukan hanya keinginannya menyampaikan hal itu kepada Kasadha. Tetapi tentu ada hal lain yang telah mendorongnya melakukannya. Apalagi sejak sebelum berita tentang wisuda itu didengar, Risang sudah sering minta ijin untuk pergi ke Pajang.
Karena itu, maka ibunya itupun kemudian menjawab, "Baiklah Risang. Jika kau ingin segera memberitahukan hal ini kepada Kasadha. Pergilah."
"Aku akan pergi besok ibu," berkata Risang kemudian.
Ibunya mengangguk-angguk. Katanya, "Siapakah yang akan kau ajak pergi bersamamu" Atau Sambi Wulung dan Jati Wulung berdua?"
"Tidak ibu. Aku lebih senang pergi sendiri," jawab Risang.
Ibunya masih saja tersenyum, "Terserahlah kepadamu. Tetapi sebagai seorang yang akan diwisuda, maka sebaiknya kau menjaga dirimu sebaik-baiknya agar sampai pada saat wisuda kau tidak mengalami hambatan apapun."
"Bukankah selama ini aku sudah selalu hilir mudik ke Pajang seorang diri" Agaknya kekacauan dan ketidak-pastian sudah lewat ibu. Jalan ke Pajang sudah menjadi semakin ramai. Para pedagangpun hilir mudik tanpa gangguan di perjalanan," berkata Risang.
"Baiklah. Tetapi kau harus tetap berhati-hati," pesan ibunya.
Hari itu justru menjadi hari yang gelisah bagi Risang. Terasa segala sesuatunya menjadi lamban. Meskipun hari itu juga diisinya dengan berlatih di sanggar bersama neneknya, namun-rasa-rasanya hari menjadi sangat panjang.
"Kau tidak dapat memusatkan perhatianmu hari ini Risang," berkata neneknya, "Apakah kau ingin kedua kakekmu juga menungguimu" Keduanya kini sedang berada di serambi kanan. Keduanya sedang mengolah satu unsur yang pelik yang harus kau lintasi dalam latihan-latihanmu agar unsur itu dapat kau kuasai dengan baik tanpa mengganggu keadaan tubuhmu."
Tetapi pertanyaan Risang justru aneh, "Kenapa nenek tidak ikut memecahkannya?"
"Aku sudah ikut melakukannya semalam. Yang dilakukan oleh kedua kakekmu sekarang adalah pelaksanaannya saja," berkata Nyai Soka.
Risang mengangguk-angguk kecil. Namun neneknya itu bertanya, "Apakah ada sesuatu yang mengganggu pemusatan nalar budimu?"
"Tidak nek. Tidak," jawab Risang.
"Kapan kau akan pergi ke Pajang?" bertanya neneknya pula.
"Besok nek," jawab Risang.
Nyai Soka menarik nafas panjang. Ia mengerti, bahwa anak itu sedang gelisah. Agaknya ia memang ingin segera pergi ke Pajang untuk satu keperluan yang tentu bukan sekedar memberitahu Kasadha.
Tetapi Nyai Soka tidak bertanya lebih jauh. Bahkan katanya, "Baiklah. Kita tidak meneruskan latihan hari ini."
*** Kontributor eBook: DJVU: Haryono & Kuncung (dimhad.co.nr)
Editor: Dimhader (di dimhad.co.nr, maaf... tidak tahu kontributornya), dan Dewi KZ (dewikz.com)
Spell Check & Minor Edit:
ePub Lover (facebook.com/epub.lover)
SAYAP-SAYAP YANG TERKEMBANG
Karya: SH Mintardja Penerbit: Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta
JILID 45 RISANG termangu-mangu sejenak Sambil mengerutkan dahinya ia bertanya, "Kenapa kita tidak meneruskan latihan ini, nek?"
"Tidak apa-apa. Tetapi nampaknya kau tidak dapat memusatkan perhatianmu pada latihan ini." jawab neneknya.
"Aku akan berusaha, nek," desis Risang kemudian.
Tetapi neneknya menggeleng. Katanya, "Biarlah hari ini kau beristirahat. Bukankah kau besok akan pergi ke Pajang?"
"Tetapi aku dapat berusaha memusatkan perhatianku hari ini, nek," sahut Risang.
"Tidak Risang. Sebaiknya kita meneruskan latihan-latihan setelah kau kembali dari Pajang. Sementara itu, kedua orang kakekmu tentu sudah menyelesaikan salah satu unsur yang sedang mereka bicarakan hari ini. Bahkan akupun akan dapat ikut membicarakannya pula," berkata neneknya kemudian.
"Apakah nenek marah?" bertanya Risang agak cemas.
"Tidak. Kenapa nenek marah" Aku tahu bahwa angan-anganmu sudah berada di perjalanan ke Pajang sehingga yang tertinggal disini adalah wadagmu saja. Kosong, tanpa jiwa," jawab neneknya yang memang agak kesal.
Tetapi Nyai Soka itupun kemudian tersenyum sambil berkata, "Sudahlah. Jangan pikirkan. Kau tentu ingin segera berada di Pajang, dengan siapapun kau ingin bertemu. Karena itu, bagaimanapun kau berusaha, namun kau akan tetap sulit untuk dapat memusatkan nalar budimu pada latihan ini. Tetapi tidak apa. Kau memang tidak boleh tergesa-gesa dengan penguasaan ilmumu. Kau harus benar-benar bersiap lahir dan batin untuk menerima puncak ilmu Janget Kinatelon."
Risang mengangguk-angguk. Namun ia tidak berani menatap wajah neneknya meskipun ia tahu bahwa neneknya itu tersenyum. Tetapi iapun tahu bahwa neneknya memang agak kecewa.
"Sudahlah. Aku akan menemui kedua kakekmu dan ikut berbicara tentang unsur yang satu itu. Yang akan dapat kau pergunakan sebagai pancadan untuk sampai ke puncak ilmumu," berkata Nyai Soka kemudian.
Keduanyapun kemudian meninggalkan sanggar itu. Nyai Soka memang pergi ke serambi kanan untuk bersama-sama dengan Kiai Badra dan Kiai Soka memecahkan satu masalah yang pelik yang terdapat pada salah satu unsur yang harus dikuasai oleh Risang sebelum ia sampai pada puncak ilmunya.
Risang sendiri memang merasa bersalah. Tetapi ia benar-benar tidak dapat menguasai dirinya yang gelisah. Ia selalu saja membayangkan perjalanannya ke Pajang untuk menemui Kasadha besok di Pajang. Namun sebenarnyalah bahwa yang membuatnya lebih gelisah adalah niatnya untuk singgah menemui Riris untuk menyampaikan berita yang menggembirakan bagi Tanah Perdikan Sembojan itu. Bahkan Risangpun berharap semoga Ririspun menjadi gembira pula karenanya.
"Aku tidak tahu apakah ia tertarik kepada berita ini atau tidak sama sekali," berkata Risang di dalam hatinya.
Hari itu memang terasa jauh lebih panjang dari hari-hari sebelumnya. Namun akhirnya malampun turun. Tanah Perdikan Sembojanpun diselimuti oleh kegelapan yang semakin lama semakin pekat.
Tetapi malam itu bagi Risang justru terasa sangat menggelisahkan. Udara terasa panas. Apalagi matanya menjadi sulit untuk dipejamkan. Bunyi kentongan di gardu sejak wayah sepi bocah, sepi uwong, tengah wengi dan kokok ayam jantan di tengah malam, dini hari dan menjelang fajar, dapat didengarnya semua. Jika ia terpejam sesaat itu hanya sekedar terlena. Namun sekejap kemudian matanya itupun telah terbuka kembali.
Dalam kegelisahannya, udara malam terasa panas, sehingga Risang telah membuka bajunya.
Tidak dapat tidur semalam suntuk dalam kegelisahan memang terasa sangat menyiksa. Namun, demikian terdengar ayam jantan berkokok menjelang fajar, maka Risang itupun menarik nafas dalam-dalam. Dikenakannya bajunya sambil melangkah keluar dari biliknya.
Seperti biasa Risangpun segera pergi ke pakiwan, menimba air untuk mengisi jambangan. Kemudian mandi dan berbenah diri. Ia ingin berangkat ke Pajang sebelum matahari terasa membakar kulit.
Namun seperti biasanya, ibunya tentu minta kepadanya, agar ia makan pagi lebih dahulu. Kemudian minta diri kepada kedua kakek dan kepada neneknya. Sehingga akhirnya Risang berangkat ke Pajang setelah matahari mulai naik dan sinarnya sudah terasa gatal di kulit.
Demikian Risang lepas dari padukuhan induk, maka kudanyapun segera berlari kencang. Meskipun Risang sadar, bahwa ia tidak terikat oleh waktu, namun seakan-akan ada yang membuatnya tergesa-gesa.
Namun yang kemudian dipikirkannya, apakah ia akan menemui Kasadha lebih dahulu, atau ia akan singgah di rumah Riris.
"Lebih baik aku pergi ke Pajang lebih dahulu," berkata Risang kepada dirinya sendiri, "sambil kembali ke Tanah Perdikan, aku dapat singgah di rumah Riris. Aku akan merasa lebih tenang karena aku tidak mempunyai kepentingan yang lain."
Risangpun kemudian berketetapan untuk pergi ke Pajang lebih dahulu untuk menemui Kasadha. Baru kemudian, ia akan singgah di rumah Riris. Memang masih terbayang sikap Sumbaga yang memusuhi orang-orang yang datang ke rumah Ki Rangga Dipayuda.
"Mudah-mudahan ia sudah berubah," desis Risang. Bahkan kemudian katanya kepada diri sendiri, "Ia akan menyadari bahwa ia telah salah langkah."
Demikianlah, maka Risangpun telah berpacu dengan matahari yang semakin tinggi. Panasnya mulai terasa menggigit kulit. Keringatpun mulai membasahi pakaian Risang. Namun Risang seakan-akan telah menjadi kebal akan sinar matahari. Setiap hari ia selalu berada di panasnya sinar matahari apapun yang dikerjakan.
Ketika Risang memasuki gerbang kota Pajang, maka Risang telah memperlambat derap kaki kudanya. Jalan-jalan di dalam kota memang terasa lebih ramai. Orang berjalan hilir mudik, sementara ada juga di antara mereka yang berkuda. Bahkan anak-anak mudapun banyak yang berkuda melintas jalan-jalan raya. Bahkan kadang-kadang tanpa menghiraukan sibuknya lalu-lintas di jalan yang semakin terasa sempit itu. Bukan jalannya yang menjadi sempit, tetapi muatannyalah yang bertambah-tambah.
Apalagi sejak Pajang menjadi semakin tenang dalam kepemimpinan yang tertib.
Risang memang sempat melihat-lihat keadaan kota sejenak. Namun ketika ia sampai di sebuah simpang tiga yang satu di antaranya menuju ke rumah Ki Rangga Kalokapraja, maka Risang justru memilih jalan yang lain, yang menuju ke barak prajurit Pajang yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Jayayuda dan beberapa orang Rangga. Di antaranya adalah Ki Rangga Dipayuda, ayah Riris.
Kedatangan Risang telah disambut dengan gembira oleh Kasadha dan bahkan Ki Rangga Dipayuda. Namun karena keduanya sedang sibuk di sanggar terbuka untuk melatih beberapa orang prajurit yang ditempa secara khusus, maka Risangpun dipersilahkan untuk menunggu sejenak.
Baru beberapa saat kemudian, Kasadha datang menemuinya dengan keringat yang masih membasahi tubuhnya. Sambil mengusap keringat di keningnya ia berkata sambil tertawa, "Aku minta maaf, tidak dapat segera menerima kedatanganmu."
"Tidak apa. Aku tahu bahwa kau bukan seorang penganggur disini. Tetapi kau adalah seorang prajurit yang mempunyai tugas-tugas tertentu. Nah, jika kau sedang menjalankan tugas, maka aku memang tidak boleh mengganggumu," berkata Risang sambil tertawa pula.
Demikianlah, maka Kasadhapun mempersilahkan Risang yang baginya terbiasa dipanggil Bharata, ke bilik khususnya. Bersama Ki Rangga Dipayuda, Kasadha menerima Bharata yang sudah beberapa lama tidak bertemu.
"Bukankah segala sesuatunya baik di Tanah Perdikanmu?" bertanya Ki Rangga Dipayuda.
"Ya, Ki Rangga," jawab Bharata, "segala sesuatunya berjalan dengan baik. Tidak ada hambatan apapun juga sampai hari ini. Semoga untuk selanjutnya juga demikian," jawab Bharata. Rasa-rasanya ia ingin segera menyampaikan berita gembira tentang Tanah Perdikannya. Namun ia masih menahan diri untuk menyimpan berita itu sampai pada saat yang tepat.
Karena itu maka pembicaraan mereka justru telah bergeser kesana-kemari. Mereka berbicara tentang keselamatan lingkungan mereka masing-masing. Tentang pekerjaan mereka sehari-hari dan tentang apa saja yang dapat mereka bicarakan dengan gembira.
Beberapa saat kemudian, maka Kasadhapun telah menyelinap ke dapur untuk mengambil minuman bagi tamunya dari Sembojan itu.
"Ada juga hidangan disini," desis Bharata.
"Sebentar lagi aku akan menghidangkan makan siang. Bukankah matahari telah melewati puncaknya?" jawab Kasadha.
Bharata tertawa. Ki Ranggapun tertawa pula. Katanya "Kau minta hidangan apa saja. Disini tersedia sesuai dengan selera setiap orang di dalam barak ini."
Baru kemudian setelah Bharata minum, iapun berkata "Aku membawa berita yang bagiku sangat menggembirakan. Aku cepat-cepat datang kemari dengan harapan bahwa kalianpun akan dapat ikut bergembira bersama aku dan seluruh keluarga Tanah Perdikan Sembojan."
"Berita apakah yang kau bawa?" bertanya Ki Rangga Dipayuda sambil mengerutkan dahinya. Sementara Kasadhapun nampaknya juga segera ingin tahu.
Bharata termangu-mangu sejenak. Tiba-tiba ia menjadi ragu-ragu. Apakah berita itu akan membuat Kasadha ikut bergembira atau justru sebaliknya.
Karena Bharata tidak segera menjawab, maka Kasadhapun mendesaknya, "Kau membuat jantungku berdebar-debar."
Bharata memandang Ki Rangga dan Kasadha berganti-ganti. Keragu-raguan memang membayang di wajahnya.
Namun kemudian iapun berkata, "Di Tanah Perdikan Sembojan akan dilaksanakan wisuda."
"Wisuda," Kasadha mengulang, "maksudmu wisuda Kepala Tanah Perdikan Sembojan?"
"Ya," jawab Bharata dengan nada berat.
Wajah Kasadha tiba-tiba saja berbinar cerah. Sambil memberikan salam dan mengguncang tangan Bharata, Kasadha berkata, "Selamat Bharata, Selamat. Aku adalah orang yang pertama memberikan ucapan selamat kepadamu. Mudah-mudahan segalanya dapat berlangsung dengan lancar dan selamat."
Wajah Bharatapun menjadi cerah. Ia melihat kegembiraan yang serta-merta di wajah Kasadha. Bukan sekedar dibuat-buat untuk menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya.
Sementara itu, Ki Ranggapun telah menyampaikan pernyataan selamat pula kepada Bharata. Dengan nada gembira Ki Rangga berkata, "Kau pantas untuk menjadi seorang Kepala Tanah Perdikan. Meskipun sebenarnya kau masih terlalu muda, namun nampaknya kau telah ditempa oleh keadaan sehingga kau nampak cukup dewasa untuk menjadi seorang Kepala Tanah Perdikan yang besar seperti Sembojan. Aku yakin bahwa pengalamanmu dan tuntunan yang kau terima dari orang-orang tua di Tanah Perdikan akan dapat membuatmu menjadi seorang yang sesuai dengan jabatan yang bakal kau sandang. Kepala Tanah Perdikan."
"Terima kasih Ki Rangga. Aku mohon restu. Bukan saja dari kejauhan, tetapi aku mohon Ki Rangga dan Kasadha merestui wisuda itu langsung di Tanah Perdikan Sembojan. Tegasnya, aku mohon Ki Rangga Dipayuda dan Ki Lurah Kasadha bersedia hadir untuk menyaksikan wisuda itu."
"Kapan wisuda itu akan dilaksanakan?" bertanya Kasadha.
"Masih sebulan lagi," jawab Bharata, "hari dan saatnya masih akan ditentukan kemudian."
"Masih cukup waktu," desis Ki Rangga Dipayuda, "tetapi tolong beri tahu kami jika saatnya telah mendekat. Aku benar-benar ingin datang ke Tanah Perdikan Sembojan di saat wisuda itu dilakukan."
"Aku juga," berkata Kasadha kemudian, "katakan kepastiannya saat wisuda itu dilakukan. Jangan terlalu dekat, agar aku dapat bersiap-siap."
"Lima hari dari jarak sebulan itu aku diminta untuk datang ke rumah Ki Rangga Kalokapraja untuk mendapatkan kepastian saat wisuda itu. Hari, saatnya dan salah seorang Nayaka Praja yang akan mewakili Kangjeng Adipati mewisuda Kepala Tanah Perdikan itu. Sehingga kami di Tanah Perdikan mendapat kesempatan untuk mempersiapkan segala sesuatunya," berkata Bharata.
"Waktunya hanya sepekan?" bertanya Kasadha.
"Tetapi sejak sekarang kami sudah dapat mempersiapkannya. Seandainya ada perubahan penting, maka Ki Rangga Kalokapraja tentu akan memberitahukan dengan segera," jawab Bharata.
Kasadha mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "Jadi waktunya hampir pasti sebulan lagi sejak kau mendapat keterangan tentang wisuda itu."
"Ya," jawab Bharata, "apalagi yang menyampaikan kepadaku adalah Ki Rangga Kalokapraja sendiri, sehingga menurut pendapatku maka segala sesuatunya tentu sudah masak."
"Agaknya memang demikian," sahut Ki Rangga Dipayuda, "jika Ki Rangga Kalokapraja sendiri datang ke Tanah Perdikan Sembojan, maka agaknya semuanya sudah hampir pasti."
Kasadha mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba dahinya berkerut. Dengan nada ragu ia bertanya, "Apakah aku pantas memberitahukannya kepada ibu?"
Pertanyaan itu telah mengetuk jantung Bharata. Namun karena selain Bharata dan Kasadha hadir juga Ki Rangga Dipayuda, maka Bharatapun berkata, "Nanti saja kita bicarakan."
Agaknya Kasadhapun tanggap akan jawaban itu, sehingga iapun tersenyum sambil berkata, "Baiklah. Bukankah kau tidak segera ingin kembali ke Tanah Perdikanmu" Aku harap kau bermalam disini. Ki Rangga tentu tidak berkeberatan. Dan karena Ki Rangga tidak berkeberatan, maka biasanya Ki Tumenggungpun tidak berkeberatan pula."
Ki Rangga tertawa. Katanya, "Tentu aku tidak berkeberatan. Jangankan satu hari. Dua atau tiga haripun aku dan tentu Ki Tumenggung juga tidak berkeberatan. Bukankah kau tidak akan membuat gaduh disini?"
Bharata dan Kasadhapun tertawa, meskipun kedua anak muda itu telah menyembunyikan satu masalah di dalam hati mereka masing-masing. Sebenarnyalah pertanyaan Kasadha tentang ibunya, agak sulit untuk dapat dijawab oleh Bharata. Apalagi ketika hal itu pernah ditanyakan kepada ibunya, Nyi Wiradana belum memberikan jawaban yang pasti.
Namun baik Bharata maupun Kasadha berusaha untuk tidak menunjukkan perasaan mereka.
Dalam pada itu, seperti yang dikatakan oleh Kasadha, maka Bharatapun telah dibawanya pergi ke ruang yang lain bersama Ki Rangga. Ketika dengan heran Bharata bertanya ia akan dibawa kemana, Ki Ranggalah yang menjawab sambil tersenyum, "Menurut sajalah. Kau tidak akan dibawa ke bilik tahanan."
Baru kemudian Bharata sadar, bahwa ia telah dibawa ke sebuah ruang yang agak luas di sebelah dapur.
"Nah, aku ingin membuktikan kata-kataku," berkata Kasadha, "kau akan memesan apa" Nasi liwet, serundeng kelapa, dendeng ragi, atau nasi rawon sandung lamur dengan lalaban ketimun dan seunting kemangi?"
Bharata tertawa. Namun katanya, "Karena aku tidak duduk di sebuah kedai, maka aku menurut saja, apa yang akan dihidangkan."
"Bagus," jawab Kasadha, "aku akan memesan nasi liwet, rawon dengan lalaban, sepotong daging ayam dan kerupuk udang."
"Ah, jangan terlalu banyak macam lauknya. Aku terbiasa makan apa adanya," berkata Bharata.
"Tetapi kau sebulan lagi adalah Kepala Tanah Perdikan," sahut Kasadha.
Ki Rangga hanya tertawa saja. Dipandanginya saja Kasadha yang pergi ke dapur untuk memesan makan bagi tamunya.
Ternyata beberapa saat kemudian, seorang petugas di dapur telah menghidangkan makan yang dipesan. Semangkuk nasi, semangkuk lodeh keluwih, sambal terasi dan sepotong daging lembu. Lalaban mentimun dan terung ungu.
Ki Rangga tertawa melihat hidangan itu. Bharatapun tidak dapat menahan tertawanya pula sehingga perutnya terguncang. Sementara itu Kasadha berkata, "Nah, bukankah benar kataku. Lalaban mentimun?"
"Kau memang pandai membuat kejutan," berkata Bharata, "Nasi liwet, rawon, sandung lamur, pupu gending atau dada mentok dan kerupuk udang, sambal lombok goreng dan apa lagi."
"Tetapi ada yang tepat seperti yang aku tawarkan, lalaban mentimun," sahut Kasadha sambil tertawa.
"Tetapi adalah kebetulan, aku gemar sekali lodeh keluwih," berkata Bharata kemudian.
Ternyata Bharata tidak mengecewakan mereka yang memberikan suguhan. Nasi dan semua yang dihidangkan dimakannya dengan lahapnya meskipun ia tidak mampu menghabiskannya.
Sementara itu Ki Rangga Dipayuda merasa senang melihat keakraban antara keduanya. Namun dengan demikian justru terkilas bayangan hubungan kedua orang anak muda itu dengan anak gadisnya. Kedua-duanya nampaknya akrab dengan Riris, sementara memang sulit untuk mengatakan, yang manakah yang lebih baik dari keduanya. Namun bagi Ki Rangga Dipayuda, Kasadha yang seorang Lurah prajurit itu mempunyai hubungan yang lebih rapat dengan dirinya. Bahkan menjadi anak buahnya yang sedikit banyak akan mempunyai pengaruh terhadap hubungannya dengan anaknya, Riris.
Namun Ki Rangga masih selalu menyimpan persoalan itu di dalam dadanya. Ia masih belum pasti apa isi Riris sebenarnya, khususnya terhadap kedua orang anak muda itu.
Demikianlah malam itu Bharata benar-benar bermalam di barak Kasadha atas ijin Ki Tumenggung sebagaimana diminta oleh Kasadha. Namun dengan demikian, ketika malam mulai turun, maka keduanya telah terlibat dalam pembicaraan yang sungguh-sungguh.
Tanpa hadirnya orang lain, maka Kasadha dan Bharata yang duduk di sebuah amben bambu panjang di serambi bilik Kasadha telah mengulangi pembicaraan mereka. Kasadha telah mengulangi lagi pertanyaannya, apakah ia dapat membawa ibunya untuk hadir pada upacara wisuda itu.
Bharata memang termangu-mangu. Namun dengan terus terang ia berkata, "Kasadha, aku belum dapat menjawab pertanyaanmu. Sebenarnyalah ibu sangat mempercayaimu. Ibu menganggap kau sebagai anaknya sendiri. Tetapi, ketika kami menyinggung tentang ibumu, apakah ibumu dapat hadir di Tanah Perdikan itu atau tidak, maka ibuku menjadi ragu-ragu."
"Jadi ternyata hal ini pernah kalian bicarakan juga di Tanah Perdikan?" bertanya Kasadha.
"Kami telah membicarakan segala kemungkinan," jawab Bharata.
"Apakah ibumu telah mengambil keputusan?" bertanya Kasadha kemudian.
Bharata termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Ibu menyerahkan segalanya kepada kami."
"Kami siapa?" desak Kasadha.
"Maksudku, aku dan orang-orang tua di Tanah Perdikan," jawab Bharata.
"Dan bagaimana keputusan mereka?" desak Kasadha lebih lanjut.
Bharata memandang Kasadha dengan tajamnya. Namun kemudian jawabnya, "Tidak ada yang menolak kehadiran ibumu."
"Jadi ibumu masih tetap bimbang?" bertanya Kasadha dengan nada dalam. Bahkan hampir tidak terdengar oleh Bharata.
Bharata menelan ludahnya. Dengan nada dalam ia berkata, "Kasadha, aku harap kau dapat mengerti, kenapa ibuku masih saja ragu-ragu. Peristiwa berpuluh tahun yang lalu itu tidak mudah dilupakannya, karena hampir saja melepaskan nyawanya. Justru saat itu ibu sedang mengandung."
Kasadha mengangguk-angguk. Katanya, "Aku dapat mengerti Bharata. Namun sekarang ibuku benar-benar telah menyesali perbuatannya. Bahkan ibu telah melakukan satu perbuatan yang sangat pahit bagi perasaannya. Entah aku pernah mengatakan hal ini kepadamu atau belum, bahwa ibuku telah membunuh laki-laki yang pernah hadir di dalam hidupnya. Seakan-akan merupakan satu putaran peristiwa, bahwa ibuku harus menebus dosanya."
Bharata menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti, bahwa Warsi, ibu Kasadha yang saat dilahirkan bernama Puguh itu, tentu sudah berubah sama sekali.
Dengan nada lembut Bharata kemudian berkata, "Kasadha, biarlah aku berusaha meyakinkan ibuku. Tetapi di hadapan orang-orang tua di Tanah Perdikan, ibu sudah pernah menyerahkan persoalan itu."
"Tetapi itu belum dapat diartikan, bahwa ibumu benar-benar telah melupakan peristiwa yang sangat menyakitkan hatinya itu. Bahkan bukan saja melupakan, tetapi memaafkan."
"Aku berjanji Kasadha," jawab Bharata, "aku akan meyakinkan ibuku sehingga ibuku akan melupakan dan bahkan memaafkan apa yang pernah terjadi itu."
"Aku berterima kasih kepadamu Bharata. Dengan demikian tidak ada persoalan lagi di antara kita. Kita akan dapat hidup tenang dalam lingkungan keluarga besar," berkata Kasadha kemudian. Namun dengan nada rendah ia berkata, "tetapi aku juga masih belum berbicara dengan ibuku. Apakah ibuku bersedia datang ke Tanah Perdikan Sembojan juga masih satu pertanyaan. Bukan karena ibuku tidak dapat melupakan peristiwa yang pernah terjadi itu. Tetapi justru karena ibuku merasa tidak berharga lagi untuk menyentuh Tanah Perdikan Sembojan. Apalagi mengaku sebagai anggota keluarga besar Tanah Perdikan itu. Tetapi akupun akan meyakinkan, bahwa ibu telah dimaafkan oleh keluarga Tanah Perdikan Sembojan," Kasadha itu berhenti sejenak. Lalu katanya, "Tetapi dari mana kita akan mulai" Apakah aku menunggu kepastianmu bahwa ibuku dapat diterima di Tanah Perdikan kemudian aku minta ibuku untuk hadir di Tanah Perdikan atau sebaliknya, aku akan bertanya lebih dahulu kepada ibuku, apakah ia akan datang ke Tanah Perdikan atau tidak. Jika ibu bersedia datang, maka barulah kau minta kepastian, apakah ibuku dapat diterima atau tidak, karena kedua-duanya mengandung kemungkinan dapat menimbulkan persoalan batin."
"Ya," Bharata mengangguk-angguk. Iapun menyadari, bahwa ibu Kasadha akan dapat tersinggung, jika ia sudah menyatakan bersedia hadir, ternyata ibunya menolaknya. Sebaliknya seandainya ibunya akan bersedia menerimanya, namun ibu Kasadha itu tidak bersedia hadir karena perasaan bersalah. Namun akan dapat menimbulkan salah paham seakan-akan Warsi itu menolak untuk hadir.
Namun akhirnya Bharatapun berkata, "Tetapi baiklah. Kita akan menyampaikan persoalan ini kepada ibu kita masing-masing. Sepekan sebelum wisuda kita akan bertemu lagi. Kita tentu akan dapat berbicara lebih lanjut."
"Aku setuju," jawab Kasadha, "jika terjadi salah paham, kita akan berusaha menyelesaikannya."
Dengan demikian maka akhirnya kedua orang bersaudara itu telah bertekad untuk menjadi jembatan antara kedua orang ibu mereka masing-masing agar mereka dapat melupakan permusuhan yang pernah terjadi untuk waktu yang lama.
Malam itu, ketika terdengar suara kentongan di tengah malam, maka keduanyapun telah masuk ke dalam bilik Kasadha. Bharata yang bermalam di barak itu telah ikut tidur di bilik itu pula.
Pagi-pagi sekali keduanya sudah terbangun. Bharatapun segera pergi ke pakiwan untuk mandi. Ia akan berangkat kembali ke Tanah Perdikan Sembojan saat matahari terbit.
Namun Kasadha telah menghambat saat keberangkatan Bharata. Katanya, "Kau belum mencicipi kendo udang barak ini. Kendo udang dengan sambal goreng ati rempela yang pedas. Rempeyek kacang goreng sangan dan empal daging lembu."
Bharata tertawa. Tetapi ia tidak menolak. Waktu keberangkatannya diundurnya beberapa saat.
Sementara itu ketika ia berada di ruang sebelah dapur bersama Kasadha, maka yang dihidangkannya adalah oyok-oyok lembayung, kerupuk abang dan ikan lele yang digoreng kering.
"Sudah agak lama aku tidak makan kendo urang," desis Bharata, "kebetulan aku menemukannya disini."
Kasadha tidak dapat menahan tertawanya sehingga para prajurit yang sedang makan di ruang itu berpaling kepadanya. Namun Kasadha tidak menghiraukannya. Apalagi ketika Bharatapun tertawa pula. Bahkan beberapa orang prajurit yang melihatnya tanpa mengetahui persoalannya telah ikut tertawa pula.
Demikianlah beberapa saat kemudian keduanya telah melangkah menghadap Ki Rangga Dipayuda untuk minta diri sebelum mereka menghadap Ki Tumenggung. Beberapa orang prajurit yang telah mengenal Bharata telah menyapanya pula. Termasuk Ki Rangga Prangwiryawan.
"Kapan kau datang?" bertanya Ki Rangga.
"Kemarin Ki Rangga," jawab Bharata.
"Kau tidak mau singgah ke bilikku," berkata Ki Rangga Prangwiryawan yang sudah merubah sikapnya terhadap Kasadha.
"Besok lain kali Ki Rangga. Aku akan sering datang kemari," jawab Bharata.
Keduanyapun kemudian melanjutkan langkah mereka untuk menghadap Ki Rangga. Sementara itu Kasadhapun berdesis, "Mudah-mudahan setelah ibu kita masing-masing dapat bertaut dan melupakan permusuhan yang pernah terjadi itu, maka di antara kita benar-benar tidak ada persoalan lagi."
Bharata mengangguk kecil. Katanya, "Kita akan selalu berdoa. Permusuhan tidak menguntungkan siapapun juga. Bahkan mungkin akan dapat menyeret kita ke dalam kesulitan."
Kasadha mengangguk-angguk. Namun ia tidak berbicara lagi, karena mereka sudah berdiri di depan pintu Ki Rangga Dipayuda.
Ketika Bharata minta diri, maka Ki Rangga Dipayuda itupun bertanya, "Apakah kau sudah singgah di rumahku?"
"Belum Ki Rangga. Dari Sembojan aku langsung pergi kemari. Aku ingin segera menyampaikan berita gembira yang aku terima itu kepada Kasadha dan Ki Rangga," jawab Bharata.
"Terima kasih," sahut Ki Rangga. Namun iapun berpesan, "Jika kau pulang nanti, tolong kau singgah sebentar di rumahku. Aku minta kau sampaikan berita gembira itu kepada keluargaku. Terutama Jangkung. Aku akan membawanya pergi ke Tanah Perdikan besok pada hari wisuda itu agar ia menyaksikan kau diwisuda menjadi Kepala Tanah Perdikan di Tanah Perdikan Sembojan," pesan Ki Rangga.
Bharata tidak menyangka, bahwa ia justru mendapat alasan untuk singgah di rumah Ki Rangga. Karena itu sebelum Ki Rangga mengulang, Bharata telah dengan serta-merta menjawab, "Baiklah Ki Rangga. Aku akan singgah di rumah Ki Rangga untuk bertemu dengan Jangkung."
"Terima kasih," desis Ki Rangga kemudian.
Namun dalam pada itu wajah Kasadha tiba-tiba berubah. Untunglah bahwa Bharata dan Ki Rangga Dipayuda yang sedang berbincang itu tidak memperhatikannya. Pada saat Bharata berpaling kepada Kasadha, maka Kasadha telah berhasil menguasai perasaannya.
Dalam pada itu, Bharatapun telah mengajak Kasadha untuk mohon diri kepada Ki Tumenggung Jayayuda.
"Marilah. Aku antar kau menghadap Ki Tumenggung," berkata Kasadha kemudian setelah ia menguasai, perasaannya sepenuhnya.
Setelah sekali lagi mohon diri kepada Ki Rangga Dipayuda, maka kedua anak muda itupun segera menghadap Ki Tumenggung Jayayuda. Bharatapun telah mohon diri pula untuk segera kembali ke Tanah Perdikan Sembojan.
Demikianlah, sesaat kemudian, maka Bharatapun telah menuntun kudanya keluar dari pintu gerbang barak Kasadha. Kasadha yang mengantarnya sampai ke pintu gerbang berdesis, "Hati-hati di perjalanan. Mudah-mudahan kau tidak menemui hambatan apapun juga."
"Terima kasih," jawab Bharata, "menjelang hari wisuda, sekitar sepekan sebelumnya, aku akan datang lagi, sekaligus menghadap Ki Rangga Kalokapraja."
"Baiklah," jawab Kasadha, "sebelum itu aku akan menemui ibuku."
Bharata mengangguk sambil menjawab, "Akupun akan berbicara dengan ibuku. Semoga tidak akan ada masalah apapun."
Kasadha tersenyum. Sementara Bharata telah meloncat ke punggung kudanya sambil berkata, "Sampai bertemu."
Kasadha berdiri termangu-mangu. Ia melihat kuda dengan Bharata di punggungnya, berlari sambil melemparkan debu. Semakin lama semakin jauh, sehingga akhirnya hilang di kelokan jalan.
Kasadha menarik nafas panjang, seakan-akan anak muda itu ingin mengendapkan perasaannya yang bergejolak. Bahkan tiba-tiba saja timbul pertanyaan di hatinya, "Seandainya antara ibuku dan ibu Bharata tidak lagi bermusuhan, apakah benar di antara kami tidak akan ada persoalan lagi?"
Kasadha menggelengkan kepalanya, seakan-akan ingin mengibaskan pertanyaan-pertanyaan itu dari kepalanya. Namun justru terbayang di angan-angannya Bharata yang singgah di rumah Ki Rangga Dipayuda tidak untuk menemui Jangkung, tetapi justru menemui Riris.
Sekali lagi justru bagaikan terngiang di telinganya pertanyaan, "Benarkah bahwa tidak ada persoalan lagi?"
Tiba-tiba saja Kasadha melangkah dengan cepat memasuki baraknya. Sejenak kemudian, maka Kasadha itupun telah menenggelamkan diri dalam tugas-tugasnya.
Namun beberapa orang anak buahnya, terutama pemimpin kelompoknya yang tertua melihat sesuatu yang lain pada Ki Lurah yang masih muda itu. Wajahnya seakan-akan dibayangi oleh mendung yang kelabu. Jika kedatangan sahabatnya yang dikenal bernama Bharata itu disambutnya dengan gembira, namun setelah sahabatnya itu pergi seakan-akan meninggalkan kesan yang justru berlawanan.
Tetapi tidak seorangpun yang berani menanyakannya kepada Kasadha yang menjadi lebih bersungguh-sungguh melakukan tugasnya dari biasanya.
Sementara itu, Bharata telah melarikan kudanya di jalan-jalan kota yang ramai, sehingga karena itu, maka Bharata tidak berani berpacu terlalu kencang. Baru kemudian setelah Bharata keluar dari gerbang kota, maka kudanyapun berlari lebih cepat. Jalan tidak lagi seramai jalan-jalan dalam kota Pajang. Bahkan rasa-rasanya jalan terlalu lapang. Bharata tidak tertarik lagi untuk melihat-lihat kota maupun isinya, karena ia ingin segera sampai ke rumah Ki Rangga Dipayuda.
Karena itu maka dengan tidak disadarinya kudanya berlari semakin lama semakin cepat, sehingga jarak yang memang tidak terlalu jauh itu telah ditempuhnya dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Di perjalanan yang menjadi semakin dekat dengan rumah Ki Dipayuda itu Risang tersenyum sendiri. Ia mendapat alasan yang kuat untuk singgah di rumah Ki Dipayuda. Meskipun seandainya tidak ada pesan apapun Risang tetap akan singgah juga. Namun pesan itu telah membebaskannya dari beban apapun juga dengan niatnya singgah di rumah Ki Dipayuda itu.
Beberapa saat kemudian, maka Bharatapun telah sampai di depan regol halaman rumah Ki Dipayuda. Namun bagaimanapun juga, meskipun dengan pesan Ki Dipayuda, Bharata masih juga berdebar-debar, karena ia tidak dapat ingkar dari niatnya sejak ia berangkat dari rumahnya. Bahwa ia akan singgah di rumah Ki Dipayuda untuk menemui Riris.
Namun akhirnya Bharata berhasil menenangkan perasaannya. Dituntunnya kudanya memasuki halaman sambil berkata kepada diri sendiri, bahwa ia akan mulai dengan pernyataan bahwa ia singgah atas pesan Ki Rangga Dipayuda, karena ia baru saja pergi ke baraknya untuk menemui Kasadha.
Bharata menarik nafas dalam-dalam ketika yang menyambutnya pertama kali bukan Riris dan bukan pula Sumbaga. Tetapi Jangkung sendiri yang nampaknya sudah siap untuk pergi. Apalagi kudanyapun telah ditambatkannya pada sebuah patok di sisi halaman rumahnya.
Dengan gembira Jangkung menyambut kedatangan Bharata dan meyongsongnya ke halaman.
"Marilah. Naiklah," berkata Jangkung sambil mengambil kendali kuda dari tangan Bharata.
"Sudahlah," berkata Bharata, "biarlah aku tambatkan sendiri. Bukankah aku sudah biasa datang ke rumah ini."
"Biarlah aku nampak seperti tuan rumah yang sangat ramah," jawab Jangkung sambil tertawa.
Demikianlah, maka setelah menambatkan kuda Bharata, Jangkungpun membawa Bharata untuk naik ke pendapa dan mempersilahkannya duduk di atas tikar pandan yang sudah dibentangkan.
"Kau datang dari mana" Dari rumah atau dari Pajang?" bertanya Jangkung.
"Aku baru saja dari Pajang," jawab Bharata, "aku pergi ke Pajang untuk menemui Kasadha. Tetapi ketika aku pulang, Ki Rangga Dipayuda berpesan kepadaku, agar aku singgah di rumahnya. Ki Rangga berpesan, agar aku menemuimu."
"O, apakah ada yang penting?" bertanya Jangkung.
"Tidak penting. Tetapi aku memang harus menyampaikan sebuah pesan," jawab Bharata. Namun iapun kemudian bertanya, "Apakah kau akan pergi."


02 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak," jawab Jangkung, "aku tidak akan pergi kemana-mana. Aku memang sedang malas hari ini."
"Tetapi kudamu sudah kau sediakan di halaman," berkata Bharata kemudian sambil memandang kuda Jangkung di tambatannya.
"Aku justru baru pulang," jawab Jangkung sambil tersenyum.
Namun Bharata tahu bahwa Jangkung berbohong. Katanya, "Aku belum melihat jejak kaki kuda di regol halaman rumahmu itu."
Jangkung tertawa. Katanya, "Aku lupa bahwa aku berbicara dengan seorang bekas prajurit. Agaknya kau belajar juga tentang menelusuri jejak."
Bharatapun tertawa pula. Katanya, "Aku hanya mengira-ngira saja. Aku tidak benar-benar melihat jejak."
"Tetapi duduklah. Aku akan memberitahukan ibu dan Riris. Atau barangkali pesan itu khusus untuk aku sehingga ibu dan Riris tidak perlu mendengar?" bertanya Jangkung.
Bharata termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "pesan itu memang untukmu. Tetapi tidak ada salahnya Nyi Rangga dan Riris mendengarnya."
"Jika demikian, aku akan memberitahukan mereka dan yang penting, kau tentu haus juga," berkata Jangkung sambil bangkit.
"Tidak. Aku tidak haus," jawab Bharata dengan serta-merta.
Namun Jangkung melangkah ke pintu pringgitan sambil berkata, "Kau masih juga berpura-pura disini."
Bharata hanya dapat tertawa sementara Jangkungpun segera hilang di balik pintu pringgitan itu.
Sejenak kemudian Jangkungpun telah keluar lagi dari pintu itu bersama ibunya yang juga menyambut kedatangan Bharata dengan gembira.
Namun Bharatalah yang merasa agak kecewa. Riris tidak ikut menemuinya, sementara ia merasa segan untuk menanyakannya.
Bahkan Bharata itu justru bertanya, "Aku tidak melihat Sumbaga. Apakah ia masih ada disini?"
"Ya," jawab Nyi Rangga, "ia masih berada disini. Ia berada di belakang. Nampaknya ia sedang sibuk membelah kayu."
Bharata mengangguk-angguk. Sementara Riris masih juga belum nampak keluar. Justru karena itu ia menjadi gelisah. Ia ingin menyampaikan pesan Ki Rangga sehingga juga dapat didengar oleh Riris. Dan Bharatapun berharap bahwa Riris juga berniat untuk ikut pergi ke Tanah Perdikan Sembojan di saat ia diwisuda.
Namun sebelum Riris hadir pula di pendapa, Jangkung sudah bertanya, "Nah, apakah pesan ayah bagiku itu?"
"Apakah ayahmu berpesan sesuatu bagimu?" bertanya Nyi Rangga.
"Begitulah menurut Bharata," jawab Jangkung.
Nyi Rangga mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian bertanya, "Apakah pesan itu penting sekali?"
"Tidak Nyi," jawab Bharata sambil memperpanjang waktu. Ia masih berharap bahwa Riris akan hadir pula di pendapa, "bukan pesan yang sangat penting."
"Apakah aku boleh mendengar Ngger?" bertanya Nyi Rangga.
"Tentu Nyi. Pesan itu sama sekali bukan sesuatu yang harus dirahasiakan. Seluruh keluarga dapat saja mendengar pesan itu," jawab Bharata.
"Jika demikian, katakanlah. Aku juga ingin mendengar isi pesan itu," minta Nyi Rangga Dipayuda.
Bharata menarik nafas panjang. Namun tiba-tiba ia terkejut ketika ia mendengar pintu pringgitan berderit. Ketika ia berpaling, maka jantungnyapun berdenyut semakin cepat. Yang keluar dari ruang dalam adalah Riris sambil membawa sebuah nampan berisi beberapa mangkuk dan makanan.
Ternyata sikap Riris tidak lagi dikekang oleh perasaan malu. Setelah beberapa kali Bharata mengunjungi rumah itu, maka Ririspun merasa bahwa hubungan mereka menjadi semakin wajar.
Karena itu sambil meletakkan hidangan di tikar pandan, iapun mempersilahkan, "Marilah Kakang, aku agak lambat menyiapkan minuman dan makanan."
"Ah tidak," jawab Bharata, "justru begitu cepat sudah siap minuman panas dan makanan."
"Kebetulan ibu sedang merebus air," jawab Riris sambil bergeser mundur.
"Kau akan kemana?" bertanya Jangkung.
Sementara Bharata merasa cemas, bahwa Riris akan segera meninggalkan pendapa karena ia ingin gadis itu juga mendengar pesan Ki Rangga Dipayuda bagi Jangkung.
"Aku akan menyiapkan makan siang," jawab Riris.
"Nanti sajalah," berkata Jangkung, "sebaiknya kau ikut mendengarkan pesan ayah lewat Bharata. Meskipun pesan itu ditujukan kepadaku, namun ibu dan kau boleh mendengarkannya. Mungkin pesan itu menarik juga bagi ibu dan bagimu."
"Ya. Mudah-mudahan," tiba-tiba saja Bharata menyahut hampir di luar sadarnya. Bahkan setelah itu ia merasa malu kepada dirinya sendiri, seakan-akan ia telah memaksa Riris untuk ikut mendengarkan pesan Ki Rangga itu..
Untunglah bahwa tidak ada kesan apa-apa yang timbul pada wajah Riris dan bahkan pada wajah ibunya. Namun Bharata melihat sebuah senyum kecil di bibir Jangkung.
Tetapi Jangkungpun segera berkata, "Nah, sekarang kita sudah berkumpul. Katakan pesan itu agar kami semuanya dapat mendengarnya."
Bharata menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun berkata, "baiklah. Aku akan menyampaikan pesan Ki Rangga. Sebenarnya pesan ini ditujukan kepada Jangkung, tetapi karena pesan ini sama sekali bukan sebuah rahasia, maka aku akan menyampaikannya justru setelah semuanya berkumpul."
Nyi Rangga hanya mengangguk-angguk, sementara Riris menunggu dengan hati yang berdebar-debar.
"Pesan itu memang bermula dari berita yang aku sampaikan kepada Kasadha dan kemudian juga kepada Ki Rangga Dipayuda," Bharata mulai menyampaikan pesannya kepada Jangkung sekeluarga. Berturut-turut Bharata menceriterakan keperluannya datang ke Pajang. Kemudian, bagaimana Ki Rangga berpesan kepadanya untuk menyampaikan pesan agar Jangkung bersiap-siap untuk ikut bersama Ki Rangga dan Kasadha ke Tanah Perdikan Sembojan.
Memburu Si Penjagal Mayat 2 Pendekar Rajawali Sakti 44 Setan Pedang Perak Jangan Main Main 2

Cari Blog Ini