Ceritasilat Novel Online

Sayap Sayap Terkembang 24

02 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja Bagian 24


"Aku sudah mengira Ki Lurah. Tetapi terserah kepadamu. Aku hanya mendapat perintah untuk menyampaikannya kepadamu. Jika kemudian kau tidak mempercayainya, itu adalah hakmu."
"Maaf Ki Rangga. Aku memang tidak mempercayainya," jawab Ki Lurah.
Ki Rangga mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun berpaling kepada Kasadha sambil berkata, "Jika demikian, maka tidak ada gunanya kita berbicara lebih lanjut dengan Ki Lurah Mertapraja. Karena itu, maka kita tidak perlu menyampaikan pesan-pesan berikutnya."
"Pesan apa lagi yang mereka katakan kepada Ki Tumenggung?" bertanya Ki Lurah Mertapraja.
"Aku tidak akan merendahkan diriku sendiri. Apa yang sudah kami sampaikan ternyata tidak kau percaya. Karena itu, maka persoalan berikutnyapun tentu tidak akan kau percaya pula. Bukankah dengan demikian aku tidak perlu berbicara lagi?"
"Percaya atau tidak, itu adalah persoalanku. Tugasmu menyampaikan pesan sebagaimana dikatakan oleh Ki Tumenggung. Bukankah kau mendapat perintah untuk berbuat demikian?"
"Aku akan menjelaskan kepada Ki Tumenggung, bahwa pesan Ki Tumenggung sudah direndahkan disini," jawab Ki Rangga.
"Tetapi tugasmu adalah menjalankan perintah," berkata Ki Lurah itu pula.
"Aku tidak berniat untuk menentang perintah. Tetapi aku ingin menghargai perintah itu untuk tidak menjadi sekedar bahan tertawaan Ki Lurah," sahut Ki Rangga. Kemudian katanya pula, "Marilah. Kita minta diri."
"Tunggu," berkata Ki Lurah Mertapraja, "kau harus mengatakan pesan itu."
"Aku akan bertemu dan berbicara dengan Ki Tumenggung, apakah aku harus meneruskan tugasku berdasarkan perintahnya, atau cukup sampai sekian saja."
"Tidak Ki Rangga, kau harus mengatakannya," minta Ki Lurah.
Tetapi Ki Rangga menggeleng. Bahkan kemudian iapun bangkit berdiri sambil berkata kepada Kasadha dan pemimpin kelompok itu, "Marilah. Kita kembali ke barak."
"Ki Rangga. Kau harus mengatakannya," Ki Lurahpun segera bangkit pula.
Namun sekali lagi Ki Rangga berkata, "Aku akan menghadap Ki Tumenggung lebih dahulu. Jika Ki Tumenggung masih berpegang pada perintahnya, maka biarlah aku datang lagi kemari untuk menyampaikannya kepadamu."
"Kau sekarang dapat mengatakannya," tiba-tiba saja Ki Lurah itu membentak. Namun ketika Ki Rangga, Kasadha dan seorang pemimpin kelompok yang menyertainya memandanginya dengan tajamnya, maka suarapun merendah, "Kenapa Ki Rangga harus menunggu" Seandainya aku tidak percaya kepada pesan itu, bukankah Ki Rangga tidak dirugikan?"
"Tentu aku dirugikan. Setidak-tidaknya wibawaku dan bahkan Ki Tumenggung Jayayuda. Karena itu, tunggulah satu dua hari. Aku akan datang lagi. Membawa atau tidak membawa pesan itu," jawab Ki Rangga.
Ki Lurah memang tidak dapat memaksa Ki Rangga untuk berbicara. Apalagi ketika Ki Rangga memberikan isyarat kepada prajurit yang menjaga Ki Lurah Mertapraja. Maka Ki Lurahpun segera dibawa kembali ke dalam bilik tahanannya.
Demikianlah, maka Ki Rangga Dipayuda, Ki Lurah Kasadha dan pemimpin kelompok itu meninggalkan tempat tahanan Ki Lurah Mertapraja. Namun mereka memang akan datang kembali untuk berbicara lagi dengan Ki Lurah Mertapraja. Namun pertemuan itu telah memberikan isyarat kepada Ki Rangga bahwa berita yang disampaikan kepada Ki Lurah Mertapraja telah membuatnya gelisah.
Besok kita akan datang lagi kepadanya. Jika Ki Lurah harus berada di sanggar bersama gurumu, maka biarlah kami berdua saja datang menemui Ki Lurah Mertapraja.
"Aku besok masih dapat menemani Ki Rangga," jawab Kasadha. "Apalagi jika malam hari. Di siang hari aku akan berada di sanggar bersama guru. Senja aku akan kembali ke barak."
"Kau tentu sudah sangat letih," berkata Ki Rangga.
"Tetapi bukankah kita hanya duduk dan berbincang saja bersama Ki Lurah Mertapraja?" sahut Kasadha.
Ki Rangga mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Jikalau tidak terlalu letih. Tetapi jika kau merasa terlalu letih maka aku akan dapat pergi berdua saja."
Demikianlah pada pertemuan yang pertama itu, Ki Rangga telah berhasil memancing kegelisahan Ki Lurah Mertapraja. Namun Ki Ranggapun menyadari, bahwa untuk sampai ke tujuan, jalan masih terbentang panjang.
Seperti yang direncanakan, maka pada hari berikutnya Ki Rangga, Ki Lurah Kasadha dan seorang pemimpin kelompok yang ditunjuk itu telah datang pula menemui Ki Lurah Mertapraja.
Kasadha memang nampak letih. Sehari-harian ia bekerja keras di sanggar bersama gurunya untuk mempersiapkan diri menjelang saat-saat yang paling mendebarkan sepanjang ia berguru dalam olah kanuragan. Namun Kasadha masih juga menyempatkan diri bersama Ki Rangga dan seorang pemimpin kelompok di pasukannya, pergi menemui Ki Lurah Mertapraja.
Ki Lurah Mertapraja memang mengharap kedatangan mereka, karena Ki Lurah masih ingin mendengar pesan berikutnya. Namun Ki Rangga itupun berkata, "Aku belum dapat mengatakannya Ki Lurah. Ternyata sikap Ki Tumenggung tidak berbeda dengan sikapku. Jika Ki Lurah tidak mempercayainya dan apalagi bahwa Ki Lurah tidak mengenal Ki Sabawa, maka segala pesannya tentu hanya sekedar dibuat-buat atau sebagaimana pernah diduga oleh Ki Tumenggung, bahwa orang itu benar-benar mencari-cari persoalan."
"Apapun pesannya dan siapapun yang memberikan pesan, Ki Rangga harus mengatakannya," berkata Ki Lurah Mertapraja.
"Buat apa Ki Lurah mendengar pesan dari seorang yang tidak dikenalnya" Padahal pesan itu bukan berita yang akan dapat menyenangkan hati Ki Lurah dalam keadaan seperti sekarang ini. Justru sebaliknya."
"Tetapi katakan pesan itu," Ki Lurah Mertapraja hampir berteriak.
"Jangan berteriak Ki Lurah. Jangan membentak pula. Akulah yang berhak membentak Ki Lurah sekarang ini jika aku merasa perlu. Ki Lurah harus ingat kedudukan kita masing-masing," berkata Ki Rangga.
"Persetan dengan kedudukan kita masing-masing," jawab Ki Lurah.
Tetapi Ki Rangga tetap saja menggelengkan kepalanya. Katanya, "Aku belum dapat mengatakan sekarang Ki Lurah. Tetapi aku akan menghubungi Ki Tumenggung lagi. Aku akan menyampaikan permohonan Ki Lurah, agar aku diperkenankan menyampaikan pesan itu meskipun tidak akan dipercaya," berkata Ki Rangga.
Ki Lurah itu menggeram, "Aku tahu Ki Rangga, bahwa yang kau lakukan ini adalah bagian dari usahamu untuk membuatku gelisah. Tetapi aku ingin mendengar apa yang ingin kau katakan untuk mengganggu ketenanganku."
"Baiklah. Kapan-kapan aku akan kembali. Tetapi sebaiknya Ki Lurah tidak menanggapi kedatanganku dengan tegang. Bukankah kita dapat berbicara dengan lebih bebas tanpa ketegangan?" berkata Ki Rangga.
"Ki Rangga tidak usah mengatakannya. Semuanya itu cara-cara lama yang sudah aku kenal," berkata Ki Lurah Mertapraja.
Ki Rangga memang segera meninggalkan bilik itu.
Tetapi rencana Ki Rangga ternyata dapat berjalan sesuai dengan keinginannya. Tetapi Ki Rangga masih belum tahu, apakah untuk selanjutnya dapat berjalan dengan baik.
Pada hari-hari berikutnya maka Kasadha telah lebih banyak terlibat dalam latihan-latihan yang semakin berat.
Karena itu, maka ia menjadi semakin sedikit dapat mengikuti tugas yang dibebankan kepadanya. Namun pemimpin kelompok yang ditunjuknya ternyata benar-benar dapat mewakilinya meskipun Ki Rangga beberapa kali masih harus mengendalikannya di saat-saat perasaannya mulai memanas.
Hampir setiap hari Ki Rangga datang mengunjungi Ki Lurah Mertapraja yang menjadi semakin marah dan letih.
Ki Rangga datang tanpa mengenal waktu. Pagi, siang, sore, malam dan bahkan lewat tengah malam. Ki Rangga sudah mulai sampai pada persoalan yang sesungguhnya, bahwa Ki Lurah sebaiknya mengatakan dengan jujur, dimana perguruan pamannya menyimpan harta bendanya yang sangat besar nilainya itu.
"Ki Lurah," berkata Ki Rangga ketika ia datang mengunjungi Ki Lurah Mertapraja lewat tengah malam menjelang dini hari, "Ki Sabawa memerlukan keterangan Ki Lurah untuk menyelamatkan perguruan Wukir Gading yang akan runtuh dari dalam. Paman Ki Lurah memerlukan pengobatan yang mungkin dilakukan. Sudah tentu dengan beaya yang sangat mahal. Ki Sabawa juga memerlukan beaya untuk mendapatkan dukungan. Mungkin harus menghubungi orang-orang upahan jika perlu."
"Cukup," teriak Ki Lurah. "Kau tidak dapat menipuku dengan cara yang kasar itu. Semua rencanamu sudah aku ketahui. Kau datang di saat-saat yang tidak sewajarnya untuk mengguncang ketabahan hatiku. Tetapi semuanya itu tidak akan berarti Ki Rangga. Aku tidak akan mengatakan apapun juga. Apalagi yang kau tanyakan itu memang tidak aku ketahui."
"Semuanya sebenarnya hanya untuk kebaikanmu Ki Lurah. Untuk kebaikan pamanmu. Atau barangkali kau ingin orang itu aku bawa kemari" Mungkin kau lupa bahwa kau pernah mengenal orang yang bernama Ki Sabawa. Tetapi jika kau melihat orangnya, maka kau akan segera teringat."
"Aku tidak mau berbicara lebih banyak lagi. Aku sudah mulai muak sekarang. Aku akan tidur," geram Ki Lurah.
"Nanti dulu Ki Lurah. Aku belum selesai. Ki Lurah tidak akan dapat tidur sebelum aku pergi," berkata Ki Rangga.
"Aku tidak peduli," jawab Ki Lurah yang kemudian bangkit berdiri dan melangkah ke biliknya.
Tetapi pemimpin kelompok yang menggantikan Kasadha itu telah mendorongnya kembali untuk duduk sambil berkata, "Aku dapat memanggil para prajurit dan menuduhmu akan melarikan diri."
"Fitnah," bentak Ki Lurah.
"Tidak. Bukankah jika kau meninggalkan kami akan sama artinya dengan melarikan diri dari petugas yang mendapat perintah untuk berbicara dengan Ki Lurah."
"Tetapi kalian harus tahu paugeran. Atau setidaknya unggah-ungguh. Kalian harus datang pada saat yang baik."
"Bagi kami semua waktu adalah baik. Ki Lurah harus menyadari bahwa Ki Lurah tidak dapat berbuat lain dari melakukan perintah kami. Ingat, Ki Lurah adalah seorang tahanan," berkata pemimpin kelompok itu.
"Persetan. Aku tidak mau tahu." Ki Lurah itu hampir berteriak. Sekali lagi ia bangkit. Tetapi sekali lagi pemimpin kelompok itu mendorongnya untuk duduk lagi.
"Kau jangan melawan kami," berkata Ki Rangga kemudian. "Kau tidak akan menang. Bukan saja karena kau seorang tawanan, tetapi jika kau ingin, kita dapat bertempur di halaman. Meskipun aku sudah menjadi semakin tua, tetapi aku yakin, bahwa aku masih dapat mengalahkan Ki Lurah."
"Kau licik," geram Ki Lurah. "Kau mencari alasan untuk dapat memaksaku berbicara dengan kekerasan."
"Sebenarnya untuk melakukannya, aku tidak memerlukan alasan apapun juga. Nah, jika demikian, jawab pertanyaanku sekali lagi agar aku dapat menyampaikannya kepada Ki Sabawa yang harus segera mencari pertolongan bagi pamanmu yang dalam keadaan parah."
"Omong kosong, omong kosong," teriak Ki Lurah.
Namun demikian Ki Rangga itu melihat sepeletik kecemasan di wajah Ki Lurah setiap kali ia menyebutkan bahwa pamannya dalam keadaan parah.
"Baiklah," berkata Ki Rangga, "aku tidak peduli lagi dengan pamanmu. Biarlah ia mati dan biarlah ia lenyap bersama harta benda yang disembunyikannya itu. Namun yang membunuhnya sebenarnya adalah Ki Lurah Mertapraja, karena seandainya Ki Lurah mau mengatakannya dimana harta benda itu, yang tentunya cukup untuk membayar tabib yang paling baik di seluruh Pajang, Madiun, Demak dan Mataram sekalipun, sehingga paman Ki Lurah itu akan dapat disembuhkan."
"Kenapa mereka tidak bertanya saja kepada paman?" bertanya Ki Lurah Mertapraja.
"Pamanmu dalam keadaan tidak sadar. Semula para pengikutnya memang ingin menunggu. Tetapi mereka benar-benar menjadi cemas melihat keadaannya," jawab Ki Rangga.
Tetapi Ki Lurah Mertapraja masih tetap tidak mau mengatakannya. Setiap kali ia berkata bahwa ia tidak tahu dimana harta benda itu disembunyikan.
Tetapi Ki Rangga memang masih mempunyai waktu beberapa hari. Sehingga karena itu, maka sebelum pagi, keduanya telah meninggalkan bilik tahanan Ki Lurah Mertapraja.
Sementara itu, Kasadha mengisi hari-harinya dengan latihan-latihan yang berat. Ketika enam hari telah dilewati, maka Kasadha sampai pada hari yang ditentukan untuk memasuki sanggar dalam laku patigeni.
Kasadha benar-benar sudah siap untuk menerima warisan ilmu puncak dari gurunya. Ilmu yang jarang ada duanya. Guntur Geni.
Dalam pada itu, tidak seorangpun yang mengaturnya bahwa di Tanah Perdikan hal yang serupa telah terjadi.
Kiai Badra, Kiai Soka dan Nyai Soka telah memerintahkan Risang bersiap untuk memasuki sanggar dalam laku patigeni. Tiga hari tiga malam untuk menerima warisan ilmu yang mereka susun bertiga, Janget Kinatelon.
Ilmu yang dilandasi oleh ilmu ketiga orang berilmu tinggi. Mereka telah dengan saksama mempelajari, menyelidiki dan mengamati, menukik sampai ke dasar ilmu mereka masing-masing. Melihat persamaannya, kelainan dan kelemahan-kelemahannya. Kemudian mempelajari kemungkinan untuk saling mengisi, memperkuat dan melengkapi susunannya, sehingga akhirnya tersusun satu kebulatan ilmu yang luluh menyatu. Janget Kinatelon.
Kebetulan itu telah terjadi. Risang dan Kasadha telah menjalani laku patigeni pada saat yang sama untuk kepentingan yang hampir sama pula.
Semuanya itu terjadi dilingkungi dinding sanggar masing-masing. Di luar sanggar tidak seorangpun menaruh perhatian terhadap peristiwa itu selain beberapa orang yang sangat terbatas, Di Tanah Perdikan Sembojan roda kehidupan berlangsung sebagaimana biasanya. Para petani yang seharusnya berada di sawah juga berada di sawah. Pasar-pasarpun telah menjadi hidup kembali. Bahkan para saudagar dan pedagang dari luar Tanah Perdikanpun berdatangan sebagaimana biasa di saat-saat Tanah Perdikan itu tenang dan tidak mengalami pergolakan.
Namun para pengawal Tanah Perdikan masih juga berjaga-jaga dengan penuh kewaspadaan. Bukan karena Risang berada di sanggar, tetapi karena di Tanah Perdikan itu masih mungkin timbul persoalan-persoalan yang berhubungan dengan peristiwa yang belum terlalu lama terjadi. Beberapa orang tawanan masih berada di Tanah Perdikan. Bahkan yang terakhir adalah orang yang ingin menculik Risang untuk dipertaruhkan dengan Ki Lurah Mertapraja.
Dalam pada itu, beberapa orang memang mulai bertanya-tanya ketika mereka di hari pertama sama sekali tidak melihat Risang. Yang menjalankan tugasnya adalah ibunya sebagaimana saat ia menjadi Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan.
Namun tidak seorangpun yang bertanya kepada Nyi Wiradana, di manakah Risang berada. Apalagi ketika mereka melihat Gandar, Sambi Wulung, Jati Wulung dan para pemimpin yang lain nampak tenang-tenang saja.
"Setidak-tidaknya tidak terjadi sesuatu," berkata orang-orang yang merasa aneh bahwa Risang sama sekali tidak kelihatan. Mereka hanya menduga bahwa mungkin Risang sedikit merasa pening atau sekedar kurang enak badannya.
Sementara itu, Risang yang ada di sanggarnya bergulat dengan laku yang dijalaninya untuk mewarisi puncak ilmu yang diturunkan oleh kakek dan neneknya.
Setapak demi setapak Risang melangkah menaiki jenjang ilmunya. Namun karena persiapan yang dilakukan sudah cukup masak, maka baik Risang sendiri maupun kakek dan neneknya tidak banyak mengalami hambatan, selain memang satu kerja yang sangat berat sebagaimana seharusnya dilakukan.
Demikian pula Ki Lurah Kasadha di Pajang. Para prajurit di baraknya, terutama para Pandhega selain Ki Rangga Dipayuda, bahkan Ki Tumenggung Jayayuda sendiri mengira bahwa Kasadha sedang melakukan tugasnya bersama Ki Rangga Dipayuda. Jika sekali-sekali mereka melihat Kasadha dan Ki Rangga Dipayuda sendiri-sendiri, maka mereka mengira bahwa tugas mereka dilakukan bergantian. Bahkan seorang prajurit yang berada dalam kesatuan Kasadha sempat berkata, "Kami melihat Ki Rangga lebih sering berada di barak daripada Ki Lurah Kasadha."
Kawannya ternyata menyahut, "Tentu saja. Meskipun mereka mendapat tugas bersama-sama, tetapi Ki Rangga mempunyai kedudukan lebih tinggi, sehingga ia dapat memerintahkan Ki Lurah Kasadha untuk melakukan tugas mereka sendiri atau bersama-sama pemimpin kelompok itu."
"Tetapi pemimpin kelompok itu lebih sering bersama Ki Rangga daripada Ki Lurah."
"Ki Rangga belum dapat melepaskannya sebagaimana Ki Lurah Kasadha," jawab kawannya.
"Tetapi ia selalu bersama Ki Rangga. Jarang sekali ia pergi menjalankan tugasnya bersama Ki Lurah," berkata prajurit yang pertama.
"Itulah kemenangan lainnya dari orang yang berkedudukan lebih tinggi. Ia dapat menunjuk seorang kawan dalam tugasnya, tetapi Ki Lurah lebih sering melakukan sendiri. Jika kita lihat Ki Lurah datang ke barak, maka ia nampak letih sekali. Bahkan berbicarapun rasa-rasanya malas sekali. Tidak seperti biasanya, ia akrab dengan prajurit-prajuritnya."
Kawannya mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Bahkan prajurit yang lain itulah yang bertanya, "Hari ini aku tidak melihat Ki Lurah sama sekali."
Kawannya itupun menyahut, "Aku juga tidak melihat Ki Rangga dan pemimpin kelompok itu."
Yang lain hanya mengangguk-angguk pula. Mereka mengira bahwa tugas ketiga orang itu sudah mendekati batas waktunya sehingga mereka bekerja lebih keras lagi.
Sebenarnya bahwa Ki Rangga benar-benar telah berhasil mengguncang perasaan Ki Mertapraja. Ia semakin sering datang di saat-saat yang tidak seharusnya. Ketika Ki Mertapraja baru saja terlena, maka iapun telah dibangunkannya untuk menerima kedatangan Ki Rangga. Ki Ranggapun semakin lama menjadi semakin tidak ramah.
Bahkan sekali-sekali Ki Rangga sudah membentaknya. Ketika Ki Lurah sampai pada puncak kesabarannya dan menentang sikap Ki Rangga, maka tiga orang prajurit yang membawa tombak, telah berdiri beberapa langkah daripadanya.
Oleh kejengkelan yang memuncak, Ki Lurah Mertapraja sempat menjerit-jerit. Namun para prajurit mengancamnya untuk mengurungnya di tempat yang paling tidak menyenangkan.
Ternyata kemarahan, kejengkelan dan kejenuhan yang mencengkam jantungnya, bahkan putus-asa dan ketidak-berdayaan benar-benar telah mencengkam dan kemudian mengguncang jiwanya. Karena itu, maka pada waktunya, Ki Lurah Mertapraja itu tidak mampu lagi menguasai perasaannya lagi. Sehingga pada suatu saat, kendali penalaran dan perasaannya mulai terlepas.
Ketika di dini hari Ki Rangga Dipayuda dan pemimpin kelompok itu datang menemuinya, maka Ki Lurah yang dibangunkan itu menjadi sangat marah. Demikian ia bertemu dengan Ki Rangga maka iapun segera membentak-bentaknya. Bahkan Ki Lurah itupun telah mengumpat kasar.
"Cukup," Ki Ranggapun telah membentaknya pula. "Aku datang menjalankan perintah. Kau dengar."
"Aku tidak peduli," jawab Ki Lurah. "Tetapi kau dapat datang di siang hari. Atau pagi-pagi setelah matahari terbit. Tidak pada saat seperti ini."
"Sudah aku katakan, kapanpun aku ingin datang, maka aku akan datang. Aku harus menyelesaikan tugasku. Ki Tumenggung tidak hanya sekedar memerintahkan aku menyampaikan pesan tentang pamanmu yang terluka parah serta gurunya yang tidak tertolong lagi. Tetapi aku harus melakukan penyelamatan atas pamanmu."
"Bohong," teriak Ki Lurah.
"Aku, atas nama Pajang memerlukan pamanmu selamat. Aku tahu betapa ia mempunyai maksud dengan usahanya yang nampaknya memang mengancam tegaknya Madiun, Pajang dan bahkan Mataram. Tetapi yang penting bagi kami, pamanmu tidak menginginkan Madiun bertahan lebih lama lagi. Itulah sebabnya, maka musuh-musuhnya telah berusaha menyusup dan melakukan adu domba di dalam lingkungan perguruan pamanmu itu."
"Omong kosong," teriak Ki Lurah.
"Kau ternyata sangat dungu menghadapi kesulitan yang sedang dialami oleh pamanmu sendiri. Kami, orang-orang Pajang berkeinginan untuk membantunya. Setidak-tidaknya merebut kepemimpinan Madiun. Sudah tentu bahwa kita akan berbicara dengan baik-baik, bahwa pamanmu akan puas dengan kekuasaan di Madiun saja. Mungkin dapat dibicarakan beberapa Tanah Perdikan yang sekarang berada dalam lingkungan kesatuan dengan Pajang dan Mataram."
"Jangan memperbodoh aku seperti itu," geram Ki Lurah. "Aku tahu, bahwa kau berusaha untuk mengelabui aku, bahkan menipuku. Kau kira aku mempercayaimu?"
"Percaya atau tidak percaya, kami sedang berusaha untuk menyelamatkan pamanmu. Apapun yang akan kami lakukan kemudian, tetapi bagi kami dan lebih-lebih bagi orang yang masih mempunyai sangkut paut keturunan darah, maka pamanmu harus diselamatkan. Pamanmu akan dapat berbuat banyak sekali bagi masa depan tanah yang tercinta ini."
"Cukup. Cukup," potong Ki Lurah.
"Tidak cukup," jawab pemimpin kelompok itu. "Jika pamanmu mati, maka kaulah yang telah membunuhnya."
"Tidak. Kaulah yang akan menipuku."
"Kau bunuh pamanmu dengan prasangkamu yang kotor dan kasar itu," berkata pemimpin kelompok itu pula.
"Bohong," Ki Lurah masih berteriak. "Pergi, pergi kau dari sini. Aku tidak mau mendengar suaramu lagi."
"Apa yang sebenarnya kau inginkan, Ki Lurah" Kami yang bukan sanak kadangnya berusaha menolongnya, kau justru sebaliknya. Kau telah dihantui oleh prasangka burukmu."
"Diam, diam kau."
"Kau biarkan pamanmu menjelang kematiannya tanpa pertolongan dari siapapun juga."
"Kau kalian ingin menolong, tolonglah. Kenapa kalian hanya berbicara saja tanpa berbuat sesuatu?"
"Bagaimana kami dapat menolongnya" Kau tidak mau menunjukkan simpanan pamanmu yang dapat dipergunakan untuk membayar tabib terbaik di muka bumi ini. Kami memang bersedia menolong, tetapi kami tidak mempunyai uang itu. Meskipun kami ingin melihat pamanmu berhasil menguasai Madiun dan dapat hidup dalam kedamaian dengan Pajang dan Mataram, tetapi apa yang dapat kami lakukan tanpa dana sama sekali?"
"Aku tidak peduli, aku tidak peduli." Ki Lurah mulai memegangi kepalanya. Ia mencoba menutup kedua telinganya. Namun kemudian keningnya mulai merasa sakit dan nyeri.
Dalam pada itu, Ki Ranggapun kemudian berkata dengan tanpa berteriak, tetapi suaranya seakan-akan langsung menikam jantung, "Ki Lurah. Aku sekarang mengerti. Kau sengaja menyembunyikan harta benda itu, justru kau ingin pamanmu juga mati seperti gurunya. Dengan demikian, maka segala-galanya akan menjadi milikmu. Harta-benda dan pusaka-pusaka itu, Kau terlalu bernafsu untuk menguasai segala-galanya. Madiun, Pajang dan bahkan Mataram, sehingga aku sampai hati mengorbankan pamanmu sendiri."
"Bohong, bohong," Ki Lurah berteriak-teriak semakin keras.
Dalam pada itu, tiga orang prajurit bersenjata mendekatinya. Namun Ki Rangga memberikan isyarat, agar mereka meninggalkannya.
Dalam pada itu, maka Ki Ranggapun berkata, "Baiklah. Aku akan berusaha menemukan pamanmu dan mengatakan kepadanya, bahwa kau sudah berkhianat. Ki Sabawa akan membawa kami kepadanya."
"Tidak. Tidak," suaranya semakin menghentak. Namun kemudian suaranya itu merendah, "Tidak. Tidak. Aku tidak pernah mengkhianatinya. Pamanku tinggal satu-satunya orang yang menjadi sandaran hidupku. Aku sudah tidak mempunyai siapa-siapa lagi kecuali pamanku itu."
"Dan sekarang pamanmu itu akan kau bunuh dengan caramu yang keji itu," berkata pemimpin kelompok itu.
"Tidak. Tidak, aku tidak akan membunuhnya," suara Ki Lurah semakin rendah. Bahkan tiba-tiba saja Ki Lurah itu terisak. Nampaknya ia tidak lagi dapat menahan perasaannya yang telah terguncang-guncang untuk beberapa lama.
"Jika tidak, kenapa kau tidak berbuat sesuatu untuk menyelamatkannya?" bertanya Ki Rangga. "Bukankah kau juga menginginkan satu kedudukan yang paling baik dari seorang Lurah" Apakah kau tidak ingin menjadi Tumenggung" Bahkan kelak, kau akan dapat menggantikan pamanmu menjadi seorang Adipati."
Ki Lurah Mertapraja masih menangis. Namun tiba-tiba suara tangisnya itu bagaikan tertelan. Sejenak wajah Ki Lurah menjadi tegang. Namun kemudian Ki Lurah itu tertawa berkepanjangan. Katanya, "Jadi kau mengakui bahwa aku akan menjadi seorang Adipati, setidak-tidaknya di Madiun?"
"Tentu, tentu Ki Lurah," jawab Ki Rangga Dipayuda. "Sejak semula aku sudah mengira, bahwa Ki Lurah pada suatu saat akan dapat menjadi seorang Adipati di Madiun."
Ki Lurah itu masih saja tertawa. Katanya kemudian, "Bagaimana pendapatmu jika aku menjadi seorang Adipati?"
"Jika Ki Lurah mau memberikan kedudukan yang lebih baik bagi kami, maka kami akan bersedia mengikuti Ki Lurah yang akan menjadi Adipati di Madiun," jawab Ki Rangga.
"Bagus," jawab Ki Lurah. "Kau akan aku angkat menjadi Tumenggung. Dan kau?"
"Tentu, aku juga," jawab pemimpin kelompok itu.
"Kau akan menjadi seorang lurah yang baik," berkata Ki Lurah sambil mengangguk-angguk.
Dengan nada rendah Ki Rangga itupun berkata, "Ki Lurah. Jika Ki Lurah memberikan perintah kepadaku untuk menyembuhkan paman Ki Lurah, maka aku akan pergi sekarang juga. Tetapi kelak aku akan menjadi seorang Tumenggung."
"Kau akan menjadi seorang Tumenggung jika kau jemput pamanku sekarang," berkata Ki Lurah pula.
"Aku akan menjemput paman Ki Lurah. Aku akan membawa harta-benda dan pusaka-pusaka itu kemari. Demi keselamatan paman Ki Lurah, kemana aku harus mengambil harta-benda itu?"
Mala Ki Lurah Mertapraja tiba-tiba menjadi liar. Dipandanginya lingkungan di sekelilingnya dengan penuh curiga. Kemudian dipandanginya pemimpin kelompok itu dengan tajamnya.
Namun Ki Ranggapun berkata, "bukankah ia mempunyai sikap yang sama dengan sikapku" Jika kami mendapatkan kedudukan yang lebih baik, maka kami akan mengabdi kepada Ki Lurah yang akan menjadi Adipati di Madiun. Tentu saja dengan harapan bahwa perselisihan antara Madiun dan Pajang akan dapat diredam."
Nampaknya dalam ketidak-sadarannya, Ki Lurah tidak segera mengatakan sesuatu tentang harta benda itu.
Karena itu, maka Ki Ranggapun mendesaknya, "Ki Lurah. Jika paman Ki Lurah itu tidak segera ditolong, maka harapan hidupnya tinggal kecil sekali. Tanpa paman Ki Lurah, maka segala rencana akan sulit dilakukan. Karena itu, maka Ki Lurah harus bertindak dengan cepat."
"Baik. Baik," berkata Ki Lurah. "Ambil pamanku dan selamatkan. Jika kalian memerlukan uang untuk itu, maka kalian dapat mengambilnya di sebuah bukit kecil yang terletak di perbatasan Padukuhan Salam, sedikit di luar kota Madiun. Harta paman itu ada di tangan kepercayaannya, seorang pekatik yang setia."
"Kami akan melakukannya Ki Lurah," desis Ki Rangga, "tetapi siapakah nama pekatik itu?"
"Namanya Ki Remeng. Oleh paman Ki Remeng juga mendapat tugas untuk memindahkan harta benda itu ke Tanah Perdikan Sembojan jika usaha kami menguasai Tanah Perdikan berhasil. Tentu saja tidak seorangpun yang boleh tahu."
"Apakah harta-benda itu sudah dipindahkan?" bertanya pemimpin kelompok itu.
"Kau memang dungu. Semuanya itu baru akan dipindahkan jika usaha kami berhasil menduduki Tanah Perdikan Sembojan. Semua perjuangan kami selanjutnya akan berlandaskan kekuasaan di Tanah Perdikan itu. Termasuk menghancurkan kekuatan Perguruan Watu Kuning."
"Baiklah Ki Lurah," berkata Ki Rangga, "kami akan melaksanakan perintah Ki Lurah. Kami akan mengambil dan menyelamatkan paman Ki Lurah. Paman Ki Lurah tentu akan berbesar hati bahwa Ki Lurah telah mengambil langkah yang sangat berarti bagi keselamatannya." Ki Rangga itu berhenti sejenak. Namun kemudian ia bertanya, "Apakah aku diperkenankan mengajak Ki Sabawa dan kedua kawannya?"
Namun Ki Lurah itu menjawab dengan serta-merta, "Jangan. Serigala itu tidak boleh kau ajak. Ia datang sama sekali tidak dengan maksud baik. Tetapi ia datang untuk menerkam mangsanya. Ia berusaha mencapai maksudnya dengan mempergunakan segala macam cara."
"Jika mereka akan datang mengunjungi Ki Lurah, apakah Ki Lurah bersedia menerima mereka?" bertanya Ki Rangga.
"Jangan sekarang. Besok jika aku sudah menjadi Adipati di Madiun menggantikan paman. Ia akan datang menyembah kakiku dengan penuh hormat," jawab Ki Lurah Mertapraja.
Ki Rangga Dipayuda mengangguk kecil. Katanya kemudian, "Ki Lurah. Kami akan mohon diri untuk pergi menemui paman Ki Lurah, kemudian pergi ke Padukuhan Salam sedikit di luar kota Madiun. Menemui Ki Remeng, pekatik yang setia itu." Ki Rangga berhenti sejenak. Namun kemudian ia bertanya, "Di arah manakah kami harus mencari Padukuhan Salam itu Ki Lurah."
"Pergilah ke arah Selatan. Tidak terlalu jauh. Yang kau cari itu ada di sebuah bukit kecil. Tetapi sebaiknya kau berbicara dengan Ki Remeng."
"Apakah ada tanda-tanda khusus yang dapat kami pergunakan untuk mengenali tempat penyimpanan harta itu?"
"Tentu," jawab Ki Lurah sambil tersenyum bangga. "Di puncak bukit kecil itu terdapat beberapa buah batu yang berserakan. Batu-batu sebesar kerbau mendekam. Nah, di antara dua buah batu terbesar di sisi Selatan bukit kecil itulah kalian dapat menemukan harta benda itu. Tetapi ingat, kau jalankan perintahku dengan baik. Tidak ada orang lain yang boleh mendengar. Dan bawa paman itu kemari."
"Kami akan melakukan perintah Ki Lurah dengan baik. Tentu saja dengan harapan, bahwa jika Ki Lurah kelak menjadi Adipati, maka kami akan mendapat kedudukan yang terbaik," berkata Ki Rangga Dipayuda.
"Jangan cemas. Aku tidak akan ingkar janji," berkata Ki Lurah Mertapraja.
Demikianlah, maka Ki Rangga Dipayuda dan pemimpin kelompok itupun minta diri. Mereka mengangguk penuh hormat. Kemudian meninggalkan Ki Lurah duduk sendiri.
Ketika Ki Rangga menemui pemimpin prajurit yang bertugas, iapun berkata, "Syaraf Ki Lurah menjadi agak terganggu. Jangan berlaku kasar. Lupakan semua kata-katanya. Jika hatinya tenang kelak, maka ia akan sembuh. Tetapi hati-hatilah. Jika keadaan sebaliknya, maka Ki Lurah akan dapat mengamuk. Tetapi sejauh mungkin hindari kekerasan."
Pemimpin prajurit yang bertugas itu mengangguk hormat. Namun kemudian katanya, "Nampaknya sulit untuk mendapatkan pengakuannya, Ki Rangga."
"Ya. Tetapi aku harap bahwa aku akan dapat menyelesaikan tugasku dengan baik," berkata Ki Rangga.
Sebenarnyalah bahwa Ki Rangga memang berharap agar tidak seorangpun yang mengetahui bahwa tugasnya sudah dapat dilakukannya dengan baik, meskipun ia yakin bahwa Ki Lurah Mertapraja sendiri tidak akan mengatakannya kepada siapapun juga tentang keberhasilannya.
Dan apalagi membuka rahasia itu sendiri meskipun ia berada dalam gangguan kesadarannya.
Pemimpin prajurit yang bertugas itu mengangguk-angguk. Ia memang melihat sikap Ki Rangga yang tidak sewajarnya itu. Bahkan Ki Rangga itu seakan-akan telah mengangguk hormat sekali kepada Ki Lurah Mertapraja.
Ketika tiga orang prajurit bersenjata mendekati Ki Lurah, Ki Rangga Dipayuda dan pemimpin kelompok itu masih belum meninggalkan halaman rumah itu. Mereka melihat bagaimana para prajurit itu berusaha untuk membawa Ki Lurah kembali ke dalam bilik tahanannya tanpa melakukan kekerasan.
Pemimpin prajurit itu ternyata telah bersikap sebagaimana Ki Rangga. Bahkan dengan kata-kata lembut ia berkata, "Marilah Ki Lurah. Aku persilahkan Ki Lurah kembali ke bilik Ki Lurah."
"Siapa kalian?" bertanya Ki Lurah.
"Kami adalah pengawal keselamatan Ki Lurah," jawab pemimpin prajurit itu.
Ki Lurah mengangguk-angguk. Ternyata ia tidak membantah, iapun kemudian berjalan menuju ke biliknya.
Ketika ia menutup pintu bilik itu, maka iapun berkata, "Jangan ganggu aku lagi. Aku ingin beristirahat."
"Baik Ki Lurah. Kami akan menjalankan segala perintah," jawab pemimpin prajurit itu.
"Bagus. Kelak kau akan aku angkat menjadi Lurah prajurit."
"Terima kasih Ki Lurah."
Ki Lurah telah menutup pintu biliknya sendiri dari dalam. Namun kemudian para prajurit itu telah menyelaraknya dari luar.
Ki Rangga Dipayuda tersenyum melihat pemimpin prajurit yang cerdik itu. Ternyata pemimpin prajurit yang melihat Ki Rangga itu bersikap, iapun telah menirukannya pula.
Ketika ketiga orang prajurit itu kemudian turun ke halaman, maka Ki Rangga berkata, "Kau pantas mendapat penghargaan. Apa kata Ki Lurah kepadamu?"
"Aku akan diangkat menjadi Lurah kelak," jawab prajurit itu sambil tersenyum.
"Aku ikut berdoa," jawab Ki Rangga sambil tertawa.
Para prajurit itupun tertawa pula. Ternyata mereka telah mendapat satu pengalaman yang menarik. Jika mereka lakukan dengan kekerasan, maka mereka tentu akan memerlukan waktu jauh lebih lama lagi.
Demikianlah Ki Rangga dan pemimpin kelompok itu telah minta diri. Kepada pemimpin kelompok itu, Ki Rangga berpesan, "Katakan kepada penggantimu keadaan Ki Lurah saat ini. Mudah-mudahan dalam waktu tiga empat hari, kesadarannya akan pulih kembali. Besok aku akan datang lagi menemuinya."
"Baik Ki Rangga," jawab pemimpin prajurit itu.
Sambil beranjak meninggalkan tempat itu, sekali lagi Ki Rangga berpesan, "Berhati-hatilah. Banyak kemungkinan dapat terjadi. Ki Lurah dapat saja menangis, tertawa, mengigau dan mengatakan hal-hal yang tidak masuk akal. Dunia mimpinya akan dapat terungkit dan melonjak keluar lewat bibirnya. Namun mungkin pula ia akan marah tanpa sebab, menangis, tetapi yang berbahaya adalah jika ia mengamuk. Ia termasuk seorang yang memiliki ilmu yang baik."
"Baik, Ki Rangga. Kami akan berhati-hati. Kami akan mencoba mengetrapkan cara kami sebagaimana Ki Rangga lakukan. Kamipun akan memberitahukan kepada pengganti kami nanti."
Ketika Ki Rangga Dipayuda bersama pemimpin kelompok itu melangkah menuju ke baraknya, maka langitpun menjadi terang.
Para prajurit yang bertugas di barak sudah mengetahui bahwa Ki Rangga telah mendapat tugas khusus bersama Kasadha dan seorang pemimpin kelompok. Merekapun telah terbiasa melihat mereka keluar dan kembali masuk ke barak tanpa perhitungan waktu.
Karena itu, ketika mereka melihat Ki Rangga dan pemimpin kelompok itu datang dengan tubuh yang nampak letih dan wajah yang kusut, para prajurit itu hanya menyapa mereka dengan pendek.
"Selamat pagi, Ki Rangga," desis beberapa orang prajurit.
Ki Rangga mengangguk sambil menjawab, "Selamat pagi."
Namun kemudian Ki Rangga dan pemimpin kelompok itu langsung berjalan menuju ke bilik masing-masing.
Ketika pemimpin kelompok itu kemudian mengambil minuman hangat di dapur dan duduk di serambi, dua orang prajuritnya datang mendekati.
"Dimana Ki Lurah Kasadha?" bertanya yang seorang.
"Kita sedang melakukan tugas khusus. Jadi kita telah membagi tugas," jawab pemimpin kelompok itu.
Kedua orang prajurit itu mengangguk-angguk.
Seorang di antara mereka bertanya, "Kau letih dan mengantuk?"
"Ya," jawab pemimpin kelompok itu.
"Ki Lurah tentu juga letih dan mengantuk," desis prajurit yang lain.
"Ya. Yang dilakukan lebih banyak dari yang kami lakukan berdua," jawab pemimpin kelompok itu. Namun kemudian iapun berkata, "Tetapi Ki Lurah Kasadha melakukan tugasnya dengan gembira. Mudah-mudahan besok kita sudah dapat beristirahat."
Kedua orang prajurit itu mengangguk-angguk pula.
Mereka tahu bahwa batas waktu bertugas ketiga orang itu sudah mendekati akhirnya. Mereka tahu bahwa saat bulan purnama, maka waktu yang diberikan kepada ketiga orang itu akan berakhir.
Hari itu Ki Rangga Dipayuda dan pemimpin kelompok itu tidak beristirahat meskipun tugas mereka sudah dapat dikatakan berhasil dengan baik. Kedua orang itu setelah mandi, berbenah diri dan makan pagi, telah meninggalkan barak itu pula.
Beberapa orang prajurit merasa betapa berat beban tugas yang mereka pikul. Tetapi mereka tidak dapat membantunya sama sekali.
Tetapi hari itu, Ki Rangga Dipayuda dan pemimpin kelompok itu tidak pergi menemui Ki Lurah Mertapraja.
Tetapi mereka pergi ke rumah guru Kasadha. Mereka ingin menunggui hari terakhir dari tiga hari yang dijalani Kasadha sebagai laku untuk mewarisi ilmu puncak dari perguruannya.
Namun ketika mereka tiba di tempat tinggal guru Kasadha, yang mereka temui hanyalah seorang pembantu rumah itu, karena Kasadha dan gurunya masih berada di sanggar.
"Kapan mereka akan keluar dari sanggar?" bertanya Ki Rangga Dipayuda.
"Memang hari ini. Lewat tengah hari. Aku sudah menyediakan air abu merang untuk mandi keramas."
"Aku akan menunggu disini," berkata Ki Rangga Dipayuda. "Bukankah kau tidak berkeberatan?"
Pembantu di rumah guru Kasadha itu memang sudah mengenal Ki Rangga. Karena itu, maka iapun menjawab, "Tentu tidak Ki Rangga. Aku persilahkan Ki Rangga menunggu."
Ki Rangga dan pemimpin kelompok itupun kemudian telah dipersilahkan duduk di ruang dalam. Pembantu di ruang itu telah menghidangkan minuman hangat.
Ki Rangga dan pemimpin kelompok yang sebenarnya merasa sangat letih dan kantuk itu duduk bersandar dinding. Sekali-sekali mata mereka terpejam. Angin yang semilir lewat lubang dinding dan daun pintu yang sedikit terbuka, membuat keduanya hampir tidak dapat bertahan melawan kantuk.
Namun keduanya berusaha untuk berbicara tentang apa saja. Juga tentang Ki Lurah Kasadha yang hampir menyelesaikan laku yang harus dijalaninya.
Menjelang tengah hari, maka pembantu rumah itu telah menyediakan segala keperluan jika nanti Ki Lurah Kasadha dan gurunya keluar dari sanggar. Selain landa merang untuk mandi keramas, juga minuman yang hangat yang masih saja dijerang di atas perapian. Kemudian nasi yang lemas sekali, bahkan hampir cair.
Demikianlah, maka akhirnya saat yang ditunggu itupun tiba. Sedikit lewat tengah hari, maka Kasadha benar-benar telah selesai menjalani laku. Ketika pintu sanggar itu terbuka, maka terasa cahaya matahari yang tajam telah menusuk mata, sehingga Kasadha harus memejamkan matanya untuk beberapa saat.
Namun kemudian Kasadhapun berjalan dengan langkah yang lemah menuju ke serambi belakang rumah gurunya, diikuti oleh gurunya itu.
Sejenak keduanya beristirahat, sementara pembantu rumah itu memberitahukan kepada Ki Rangga Dipayuda dan pemimpin kelompok yang menyertainya, bahwa Ki Lurah Kasadha dan gurunya sudah keluar dari sanggar.
Keduanya telah pergi ke serambi pula. Ki Rangga dengan wajah yang cerah telah mengucapkan selamat kepada Kasadha setelah ia mendengar dari guru Kasadha bahwa laku yang dijalani Ki Lurah itu telah berhasil dengan baik.
"Syukurlah," desis Ki Rangga Dipayuda. "Dengan demikian maka segala usaha yang sudah kau lakukan tidak sia-sia."
"Sekarang, Kasadha telah memiliki segalanya yang aku miliki," berkata gurunya, "namun pengembangan selanjutnya terserah kepada Kasadha sendiri. Seberapa jauh ia dapat membentangkan sayap ilmunya sehingga seberapa tingginya ia akan mampu terbang. Yang dapat aku lakukan kemudian hanyalah sekedar memberikan titik terakhir."
Ki Rangga mengangguk-angguk. Katanya dengan nada dalam, "Mudah-mudahan bekal yang lengkap ini akan dapat memberikan arti yang jauh bagi Ki Lurah Kasadha. Bukan saja berkaitan dengan kepentingan pribadinya, tetapi juga kepentingan tugasnya. Sebenarnyalah tugas yang berat telah menunggunya."
Guru Kasadha itupun telah mempersilahkan Ki Rangga dan pemimpin kelompok yang menyertainya itu untuk menunggu lagi. Kasadha masih harus mandi keramas dengan air abu merang, agar laku yang dijalani menjadi tuntas. Dengan mandi keramas, maka kotoran di tubuhnya akan menjadi bersih sampai ke ujung rambutnya. Namun dengan demikian diharapkan pula bahwa yang bersih bukan hanya kulit lahiriahnya saja. Ilmu yang telah dikuasainya, akan dapat menjadi ilmu yang bersih pula.
Terutama pengamalannya. Beberapa saat Ki Rangga menunggu. Ki Lurah Kasadhalah yang mandi lebih dahulu. Kemudian baru gurunya.
Beberapa saat kemudian, berempat mereka duduk di pendapa. Pembantu rumah itu telah menghidangkan minuman hangat. Ketika kemudian dihidangkan makan bubur cair, maka Ki Rangga telah mempersilahkan Kasadha dan gurunya untuk makan sendiri.
"Kami sudah makan ketika kami berangkat kemari," berkata Ki Rangga.
Dalam pada itu, di Tanah Perdikan Sembojan, Risangpun telah sampai pada saat terakhir menjalani laku untuk menerima warisan ilmu Janget Kinatelon dari kedua orang kakek dan seorang neneknya. Tiga orang yang telah berhasil menyusun ilmu yang memiliki unsur-unsur yang sangat lengkap, karena ilmu itu bersumber dari tiga jalur perguruan yang berbeda. Namun yang kemudian telah mengalami penyusunan kembali, sehingga menjadi luluh dan menyatu.
Waktunya saat Kasadha keluar dari sanggar dan saat Risang bersama ketiga orang gurunya meninggalkan sanggar tidak berselisih terlalu banyak. Jika Kasadha keluar dari sanggarnya sedikit lewat tengah hari, maka Risang menyelesaikan laku yang dijalaninya sampai saat menjelang senja. Ketika kemudian Risang dan ketiga gurunya mandi keramas, haripun mulai menjadi gelap.
Risang yang kemudian duduk di ruang dalam menghadapi minuman hangat serta makanannya yang cair, telah dikerumuni oleh beberapa orang yang sangat dekat dengannya. Ibunya, Sambi Wulung, Jati Wulung, Gandar dan satu dua orang bebahu terdekat, selain kedua orang kakek dan seorang neneknya yang telah mewariskan ilmunya kepadanya.
Pada saat yang demikian, ternyata Risang masih juga ingat kepada Bibi yang tidak sempat menyaksikan Risang mewarisi ilmu terbaik dari kakek dan neneknya itu.
"Bibi akan bergembira sekali, jika ia sempat menyaksikannya," desis Risang di luar sadarnya.
"Bibi telah mengalami hal yang terbaik bagi dirinya, Risang," berkata ibunya.
Risang mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab.
Demikianlah, pada hari yang sama, Risang dan adiknya, Kasadha, dua orang anak muda yang bersaudara seayah tetapi berlainan ibu itu telah bersama-sama menerima warisan ilmu tertinggi dari perguruan masing-masing.
Tanpa ada yang menyusun rencana itu, Namun demikian-lah yang telah terjadi.
Di Pajang, Ki Rangga Dipayuda dan pemimpin kelompok yang menunggui saat-saat Kasadha keluar dari sanggarnya itu, kemudian telah menceriterakan serba sedikit tentang keberhasilan mereka pula. Pada saat-saat Kasadha dan gurunya meneguk minuman serta menghirup makanannya yang cair, Ki Rangga berkata, "Kita hampir mendapatkan apa yang kita inginkan, sesuai dengan tugas yang dibebankan kepada kita."
"Syukurlah," desis. "Tetapi aku tidak termasuk orang yang ikut berhasil mendapatkan keterangan dari Ki Rangga Mertapraja."
"Tentu kau juga termasuk di antaranya," berkata Ki Rangga. "Kau mulai dari permulaan sekali. Kau telah ikut menyusun suasana kejiwaan Ki Lurah Mertapraja. Apa yang kami lakukan kemudian hanyalah sekedar untuk mematangkannya."
Ki Lurah Kasadha mengangguk-angguk kecil. Dengan nada dalam iapun kemudian bertanya, "Apakah ada perintah lain dari Ki Tumenggung?"
"Aku belum memberikan laporan tentang sedikit keberhasilan kita. Bukankah kita masih mempunyai waktu. Sementara itu, kita akan sempat beristirahat, meskipun kita masih harus mengunjungi Ki Lurah Mertapraja."
Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Ki Rangga telah membantunya dengan bersungguh-sungguh.
Bahkan Kasadha merasa bahwa bantuan yang diberikan oleh Ki Rangga Dipayuda itu jauh lebih besar dari sekedar seorang pemimpin kepada bawahannya.
Malam itu, betapapun letihnya, Kasadha berniat untuk kembali ke barak. Sudah beberapa hari ia tidak nampak sama sekali berada di baraknya sehingga mungkin akan dapat menimbulkan pertanyaan bagi beberapa orang prajuritnya atau juga para Pandhega yang lain.
Sebenarnya, Ki Ajar Paguhan masih mencoba untuk menahannya. Gurunya itu minta agar Kasadha beristirahat setidaknya semalam di rumahnya. Namun Kasadha berkeras untuk kembali saja ke baraknya bersama Ki Rangga dan pemimpin kelompoknya.
"Ki Lurah masih mempunyai banyak waktu," berkata pemimpin kelompok itu.
"Aku sudah terlalu lama tidak nampak di barak," jawab Kasadha. "Sementara itu, Ki Rangga setiap hari tentu ada di barak meskipun hanya sebentar. Demikian pula kau sendiri."
"Tetapi sampai saat ini masih tidak tumbuh kecurigaan sama sekali," berkata Ki Rangga Dipayuda.
Namun Kasadha itu berkata, "Bukankah di barak aku juga dapat beristirahat sepenuhnya. Semalam suntuk aku akan tidur nyenyak. Besok keadaanku akan menjadi lebih baik. Bukankah besok aku dapat kemari lagi untuk beristirahat sehari penuh."
Ki Rangga mengangguk-angguk sambil berkata, "Baiklah. Tetapi masalahnya, dalam keadaan letih sekarang ini kau harus berjalan sampai ke barak."
"Kita dapat berjalan-jalan sambil menghirup udara menjelang gelap. Mudah-mudahan tubuhku justru menjadi segar," berkata Kasadha kemudian.
Ki Ajar Paguhan dan Ki Rangga tidak mencegahnya lagi. Kasadha sendiri agaknya memang segera ingin berada di baraknya yang sudah setidak-tidaknya tiga hari tiga malam tidak dijenguknya sama sekali.
Malam itu, Kasadha benar-benar telah kembali ke baraknya bersama Ki Rangga dan pemimpin kelompok yang menyertainya. Para prajurit yang bertugas melihat, betapa Kasadha nampak letih sekali. Langkahnya bahkan seakan-akan telah menjadi gontai.
Sebenarnyalah malam itu Kasadha benar-benar beristirahat. Ketika ia kemudian langsung menuju ke pembaringannya setelah membersihkan diri, maka tidak seorangpun yang mengganggunya. Para prajurit dan pemimpin kelompok yang lain, mengira bahwa Kasadha menjadi letih setelah bekerja keras dalam tugas khususnya.
Semalam suntuk Kasadha benar-benar tidur dengan nyenyak. Bahkan Ki Rangga dan pemimpin kelompok yang ikut dalam tugas khusus itupun tidur dengan nyenyak pula.
Ketika kemudian matahari terbit, maka Kasadha telah merasa menjadi semakin segar. Setelah mandi dan makan pagi, maka bersama Ki Rangga dan pemimpin kelompok yang ditunjuk menyertainya itupun telah meninggalkan barak pula.
Tetapi seperti yang direncanakan, mereka pergi ke rumah guru Kasadha.
Bertiga mereka memang sempat beristirahat sepenuhnya di rumah itu. Mereka berbincang tentang berbagai macam hal. Tentang ilmu yang diwarisi oleh Ki Lurah Kasadha, tentang hubungan yang suram antara Pajang dan Madiun, dan bahkan tentang Kasadha sendiri. Sekali-sekali gurunya memang dengan sengaja menyentuh umur Kasadha yang menjadi semakin merambat, sementara kedudukannya yang sudah pantas untuk mulai dengan hidup berkeluarga.
Kasadha sendiri justru merasa segan untuk menanggapinya. Bahkan ia sudah berusaha untuk memindahkan arah pembicaraan itu dengan persoalan-persoalan yang tengah berkembang. Khususnya tentang Ki Lurah Mertapraja.
"Nanti kita akan melihatnya," berkata Ki Rangga Dipayuda. "Mudah-mudahan kita benar-benar dapat menyelesaikan tugas kita sebagaimana dituntut oleh perintah Ki Tumenggung Jayayuda."


02 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun ternyata Ki Rangga masih belum mengatakan pengakuan Ki Lurah Mertapraja. Bagaimanapun juga, ia masih tetap membatasi diri untuk tidak mengatakan terlalu banyak di hadapan Ki Ajar Paguhan, karena Ki Ajar adalah bukan bagian dari para prajurit yang mendapat tugas khusus dari Ki Tumenggung Jayayuda, meskipun Ki Ajar itu adalah guru Ki Lurah Kasadha.
Agaknya Kasadha sendiri juga menyadari, sehingga ia tidak bertanya lebih jauh tentang hasil pembicaraan Ki Rangga dengan Ki Lurah Mertapraja.
Sampai lewat tengah hari mereka bertiga tidak beranjak dari rumah guru Kasadha itu. Bahkan mereka telah makan siang di rumah itu pula.
Baru menjelang sore, Ki Rangga Dipayuda telah mengajak Ki Lurah Kasadha untuk melihat keadaan Ki Lurah Mertapraja.
Demikian mereka meninggalkan rumah guru Kasadha, merekapun sekaligus minta diri. Dari tempat tahanan Ki Lurah Mertapraja, mereka akan langsung kembali ke barak.
Ketika ketiga orang itu sampai di tempat tahanan Ki Lurah Mertapraja, maka para prajurit yang bertugaspun segera membuka pintu ruang tahanannya. Mereka melihat Ki Mertapraja masih tertidur nyenyak.
Namun seperti biasanya, jika Ki Rangga datang, maka Ki Lurah itu harus dibangunkannya.
Dengan malas Ki Lurah itu menggeliat. Beberapa kali tubuhnya diguncang, namun Ki Lurah hanya berputar-putar saja dan kembali memejamkan matanya.
"Sudahlah," berkata Ki Rangga. "Biarlah aku berbicara di dalam ruang tahanannya."
Para prajurit itu termangu-mangu. Ki Rangga nampaknya jauh lebih lunak sikapnya dari beberapa hari yang lalu. Sejak Ki Lurah Mertapraja mulai terganggu kesadarannya.
Para prajurit itupun kemudian telah meninggalkan bilik Ki Lurah, sementara Ki Rangga, Ki Lurah Kasadha dan pemimpin kelompok yang menyertainya, tetap tinggal di dalam.
Demikian para prajurit itu pergi, maka Ki Ranggapun berkata, "Ki Lurah. Kami telah datang kembali menghadap."
Ki Lurah Mertapraja yang masih memejamkan matanya itu terkejut. Tiba-tiba saja iapun bangkit dan bertanya, "Siapakah kalian bertiga, he?"
"Bukankah kami telah mendapat perintah Ki Lurah untuk menyelesaikan persoalan Ki Lurah dengan perguruan Wukir Gading."
"Tentang apa?" desak Ki Lurah.
"Apakah Ki Lurah sudah lupa?" bertanya Ki Rangga. "Bukankah telah terjadi kemelut di perguruan Wukir Gading. Paman Ki Lurah terluka parah, sedang guru dari paman Ki Lurah itu terbunuh dalam kemelut berdarah itu."
"Apa yang aku perintahkan kepada kalian?" bertanya Ki Lurah Mertapraja.
"Menyelamatkan paman Ki Lurah dan harta-benda perguruan Wukir Gading di padukuhan Salam. Terutama bagi penyelamatan dan pengobatan paman Ki Lurah itu," jawab Ki Rangga.
Ki Lurah Mertapraja memandang Ki Rangga dengan mata yang menjadi merah. Dengan geram ia bertanya, "Siapa yang mengatakan kepada kalian?"
"Ki Lurah telah memberikan perintah kepada kami," jawab Ki Rangga.
"Ternyata kalian masih saja berusaha memeras aku, he?" bentak Ki Lurah pula. "Bukankah kau utusan orang-orang Pajang yang sering datang kemari."
"Ki Lurah. Ki Lurah agaknya terlalu letih, sehingga penalaran Ki Lurah menjadi agak terganggu."
"Tidak. Penalaranku utuh. He, apakah kau melihat sesuatu yang tidak wajar padaku?" bertanya Ki Lurah.
"Aku hanya melihat Ki Lurah terlalu letih," jawab Ki Rangga Dipayuda.
"Ya, aku memang terlalu letih," jawab Ki Lurah sambil menundukkan kepalanya. Lalu katanya, "banyak sekali tugas yang masih harus aku selesaikan."
"Ki Lurah," berkata Ki Rangga, "kami datang untuk mohon diri, kami ingin segera berangkat ke Madiun untuk mencari paman Ki Lurah. Tetapi sampai saat ini Ki Lurah masih belum menyebut dimana tempat tinggal paman Ki Lurah."
"Kau memang dungu," geram Ki Lurah. "Tetapi untuk apa kau cari pamanku?"
"Ki Lurah memerintahkan kami menyelamatkan paman Ki Lurah. Tetapi dengan janji, bahwa jika Ki Lurah kelak menjadi Adipati di Madiun, maka kami akan mendapat kedudukan yang lebih baik dari kedudukan kami sekarang."
Ki Lurah nampak merenung. Lalu katanya, "Jika terjadi pergolakan di perguruan itu lagi." Ki Lurah itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berteriak, "Cari pamanku sampai ketemu. Jika tidak, maka jangan berharap untuk mendapat kedudukan yang lebih baik di Madiun."
Ki Rangga mengangguk-angguk kecil. Menurut pengamatannya, kesadaran Ki Lurah masih belum menjadi lebih baik. Bahkan ia menjadi semakin bingung karena pamannya dalam keadaan yang gawat. Bukan saja kedudukannya, tetapi juga karena ia telah terluka parah.
Ki Rangga memang tidak terlalu lama berada di bilik tahanan Ki Lurah Mertapraja itu. Beberapa saat kemudian, maka iapun telah minta diri. Namun sebelum Ki Rangga itu menutup pintu, dilihatnya Ki Lurah itu membanting dirinya di pembaringan sambil menangis.
"Ki Lurah. Kenapa?" bertanya Ki Rangga.
"Pamanku. Ia satu-satunya yang aku miliki sekarang," jawab Ki Lurah di sela-sela isaknya.
Ki Rangga yang hampir meninggalkan bilik itu melangkah kembali mendekatinya sambil berkata, "Ki Lurah. Aku akan berusaha untuk menemukan paman Ki Lurah sejauh kemampuanku. Mudah-mudahan aku dapat membawanya kepada Ki Lurah kelak."
"Terima kasih," berkata Ki Lurah Mertapraja. "Jika kau dapat membawa paman kepadaku serta menyembuhkannya, ambil semua harta benda dan pusaka-pusaka itu. Semuanya akan tidak berharga dibandingkan dengan jiwa paman. Juga kedudukan Adipati itu. Jika aku harus memilih, maka aku akan memilih keselamatan paman dari pada apapun juga."
Ki Rangga mengangguk-angguk. Suaranya memang menjadi mantap. Agaknya bukan sekedar untuk menyenangkan hati Ki Lurah yang penalarannya masih terguncang. Tetapi terasa getaran kesungguhan kata-kata Ki Rangga, "Percayalah. Aku akan berusaha. Namun tentu di dalam batas keterbatasanku."
Ki Lurah mengangguk-angguk. Namun ia masih saja nampak sangat sedih.
Demikianlah, maka sejenak kemudian Ki Rangga, Kasadha dan pemimpin kelompok yang menyertainya telah keluar dari dalam bilik itu. Para prajurit yang bertugas telah menyelarak pintu biliknya. Seorang di antara mereka bertanya, "Kenapa Ki Lurah menangis?"
"Ia dapat menangis dan tertawa bersama-sama. Syarafnya memang sedang terganggu. Ia dapat berbuat apa saja di luar dugaan kita. Karena itu, maka sekali lagi aku berpesan, berhati-hatilah menanggapi sikapnya. Tetapi aku juga berpesan sekali lagi, sejauh mungkin hindari kekerasan."
"Baik Ki Rangga," jawab prajurit itu.
Demikianlah, maka Ki Rangga bersama Ki Lurah Kasadha dan pemimpin kelompok yang menyertainya, segera minta diri.
Di sepanjang jalan, maka Ki Rangga itu sempat membuat penilaian tersendiri atas Ki Lurah Mertapraja.
"Menurut pendapatku, Ki Lurah bukan seorang yang terlalu jahat," desis Ki Rangga. "Ia memang mempunyai keinginan dan cita-cita yang tinggi. Bahkan terlalu tinggi. Tetapi semuanya itu agaknya tidak timbul dari dasar hatinya. Agaknya pamannyalah yang telah mendorongnya untuk membuat langkah-langkah panjang yang kurang diperhitungkan sebaik-baiknya."
"Ya Ki Rangga," sahut Kasadha, "Ki Lurah Mertapraja agaknya sangat tergantung kepada pamannya. Namun bagi Ki Lurah Mertapraja, pamannya adalah segala-galanya, justru melampaui keinginan dan gegayuhan dari pamannya itu sendiri."
"Aku benar-benar ingin menemukan pamannya jika mungkin. Tetapi tentu aku terikat akan tugas-tugasku. Aku benar-benar merasa kasihan kepada Ki Lurah Mertapraja," berkata Ki Rangga.
Kasadha mengangguk-angguk. Ia memang sudah mengira bahwa Ki Rangga berkata dengan sungguh-sungguh di hadapan Ki Lurah Mertapraja. Tetapi bagaimana mungkin hal itu dapat dilakukan karena keterikatan Ki Rangga dengan tugas-tugasnya.
Namun Ki Rangga tidak berbicara lagi tentang paman Ki Lurah Mertapraja. Namun mereka mulai berbincang tentang laporan yang akan mereka sampaikan kepada Ki Tumenggung Jayayuda.
"Kapan kita menghadap Ki Tumenggung, Ki Rangga," berkata Ki Lurah Kasadha.
"Besok lusa," jawab Ki Rangga.
"Bukankah tugas kita sudah selesai?" bertanya Ki Lurah pula.
"Kita masih mempunyai beberapa hari lagi. Dengan demikian maka kau masih mempunyai waktu untuk beristirahat. Setidak-tidaknya sampai besok. Jika kita melaporkan bahwa tugas kita sudah selesai, maka kita harus segera memasuki tugas kita sehari-hari lagi. Bagiku dan pemimpin kelompok itu, sama sekali tidak ada soal. Tetapi bukankah kau letih setelah menjalani laku yang sangat berat."
Ki Lurah Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Ki Rangga ternyata memang sangat memikirkannya.
"Terima kasih atas kesempatan ini," berkata Kasadha.
Sebenarnyalah bahwa Ki Rangga tidak segera melaporkan diri kepada Ki Tumenggung bahwa tugas mereka sudah selesai. Ia berharap bahwa kebebasan mereka, Kasadha masih dapat beristirahat barang satu hari lagi, karena Ki Rangga tahu, betapa berat laku yang harus dijalani oleh Kasadha selama tiga hari tiga malam itu.
Sebenarnyalah bahwa Kasadha masih dapat beristirahat sehari lagi. Dengan demikian maka kesegaran badannya benar-benar telah pulih kembali.
Baru di hari berikutnya, mereka bertiga telah menghadap Ki Tumenggung Jayayuda.
"Masih ada sehari lagi Ki Rangga," berkata Ki Tumenggung sambil tersenyum. "Tetapi aku yakin bahwa kalian akan dapat menyelesaikan tugas kalian dengan baik."
"Kami sudah berusaha Ki Tumenggung," jawab Ki Rangga.
"Nah, sekarang, ceriterakan hasil tugas yang dibebankan kepada kalian bertiga."
Ki Ranggalah yang kemudian memberikan laporan kepada Ki Tumenggung Jayayuda hasil dari tugas yang mereka emban.
Ki Tumenggung Jayayuda mengangguk-angguk.
Dengan nada dalam ia berkata, "Terima kasih Ki Rangga. Laporan Ki Rangga akan aku teruskan. Adapun kelanjutannya, terserah kepada para pemimpin di Pajang. Apakah mereka menganggap bahwa harta-benda itu penting sehingga harus diselamatkan, atau harus dibinasakan asal tidak dapat dipergunakan oleh orang-orang Wukir Gading."
"Jika harta-benda itu sempat jatuh ke tangan Madiun, maka akan sangat berarti bagi mereka. Justru dalam saat ketegangan antara Madiun dan Pajang menjadi semakin memanas."
Ki Tumenggung Jayayuda mengangguk-angguk.
Katanya, "Kita tidak tahu, seberapa banyak jumlah harta benda itu sebenarnya" Kita memang dapat mengirimkan sekelompok orang untuk melihatnya. Tetapi apakah usaha itu sesuai dengan nilai dari harta-benda itu. Tentu saja kita tidak akan memberikan pengorbanan yang terlalu besar dengan sasaran yang tidak pasti."
Ki Rangga mengangguk-angguk. Namun sebenarnyalah bahwa tugas yang dibebankan kepadanya adalah untuk mengetahui dimana harta-benda itu disembunyikan.
Namun sebelumnya Ki Rangga memang pernah mengatakan kepada Ki Tumenggung, bahwa harta-benda itu telah menyebabkan orang-orang Wukir Gading berusaha untuk membebaskan Ki Lurah Mertapraja dengan cara apapun juga. Bahkan mungkin tidak hanya satu pihak.
Pihak yang lainpun telah berusaha pula untuk berbuat demikian. Bahkan mungkin usaha untuk menculik orang-orang penting masih akan dilakukan untuk dipertaruhkan dengan Ki Lurah Mertapraja.
Bahkan Ki Rangga telah mengulangi pendapatnya itu pula. Dengan sungguh-sungguh Ki Rangga itupun berkata selanjutnya, "Jika Ki Lurah jatuh ke tangan mereka, aku Ki Lurah tentu akan mengalami kesulitan. Ia akan dapat menderita lahir dan batinnya. Sebenarnyalah yang penting bagi mereka bukan Ki Lurah Mertapraja itu sendiri. Tetapi harta-benda yang tersimpan. Bahkan mungkin setelah harta benda itu diketemukan, maka Ki Lurah dan pamannya akan dihabisi oleh orang-orang itu."
Ki Tumenggung mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Semua keterangan Ki Rangga akan aku sampaikan."
Demikianlah Ki Rangga telah memberikan keterangan, penjelasan, bahkan pendapat-pendapat kepada Ki Tumenggung. Namun segala sesuatunya memang terserah kepada para pemimpin di Pajang.
Sebenarnyalah bahwa Ki Tumenggung tidak menunda-nunda laporan yang diterimanya dari Ki Rangga Dipayuda. Hari itu juga Ki Tumenggung telah menghadap untuk menyampaikan laporan itu.
Ternyata perintah yang diterima langsung dari pangeran Gagak Baning adalah, "Selamatkan harta-benda itu. Jika tidak mungkin, singkirkan. Jika juga tidak mungkin karena beberapa macam alasan maka harta-benda itu harus dihancurkan sehingga tidak akan dapat dimanfaatkan lagi oleh siapapun."
Perintah itu merupakan perintah yang tegas. Namun Ki Tumenggung menyadari, bahwa tugas itu adalah tugas yang berat. Harus ada sekelompok orang yang menyusup ke Madiun, menemukan bukit kecil di padukuhan Salam.
Sementara itu masih ada satu nama lagi yang harus mereka ingat, yaitu Ki Remeng yang semula seorang pekatik, yang diserahi tanggung jawab untuk mengurus dan mengawasinya. Tetapi Ki Tumenggungpun yakin, bahwa orang itu tentu orang yang berilmu tinggi.
Namun perintah itu harus dijalankan, meskipun bukan berarti bahwa Ki Tumenggung sendiri harus pergi ke Madiun.
Hari itu juga Ki Tumenggung telah memanggil Ki Rangga Dipayuda untuk menghadap. Ki Tumenggung segera ingin membicarakan perintah yang telah diterimanya langsung dari Pangeran Gagak Baning itu.
Ki Rangga memang menjadi berdebar-debar mendengar perintah itu. Tetapi Ki Rangga memang sudah menduga, bahkan jika Ki Rangga diminta pendapatnya, maka ia akan mengusulkan sebagaimana perintah itu.
Namun persoalannya kemudian, siapakah yang akan mendapat perintah untuk melakukannya.
"Ki Rangga," berkata Ki Tumenggung kemudian, "sudah tentu bahwa aku sendiri tidak akan dapat melakukan perintah itu langsung. Aku tidak dapat meninggalkan barak ini untuk waktu yang tidak terbatas. Karena itu, maka perintah ini sekali lagi aku limpahkan kepada Ki Rangga sebagaimana perintah sebelumnya untuk mendapatkan keterangan tentang harta-benda itu dari mulut Ki Lurah Mertapraja."
Ki Rangga mengangguk-angguk. Hal itupun sudah diduganya pula. Dan perintah selanjutnyapun seolah-olah telah dimengertinya, "Ki Rangga dapat menunjuk siapapun yang pantas untuk melakukan tugas yang berat ini. Sudah tentu orang yang dapat dipercaya sepenuhnya, sehingga harta-benda itu tidak akan dapat mengguncang tanggung-jawabnya."
Ki Rangga mengangguk-angguk.
Sementara itu terdengar suara Ki Tumenggung agak ragu, "Terserah kepada Ki Rangga, apakah Ki Rangga sendiri akan berangkat atau tidak. Tetapi seumur Ki Rangga, tugas ini memang akan terasa sangat berat."
Ki Rangga termangu-mangu sejenak. Ternyata Ki Tumenggung telah mempertimbangkan berbagai segi sebelum menjatuhkan perintahnya. Termasuk tentang dirinya.
Namun dalam pada itu, Ki Rangga itupun bertanya, "Ki Tumenggung, apakah tugas ini harus dipikul hanya oleh para prajurit Pajang atau aku diperkenankan untuk menunjuk satu dua orang di luar lingkungan keprajuritan Pajang?"
"Kenapa?" bertanya Ki Tumenggung. "Apakah di dalam lingkungan keprajuritan Pajang tidak ada orang yang sanggup melakukannya?"
"Tidak. Bukan begitu Ki Tumenggung," jawab Ki Rangga yang mempertimbangkan berbagai macam kepentingan. "Aku masih belum berpikir dengan masak. Apa yang aku sampaikan ini hanya tiba-tiba saja terbersit di hati. Mungkin juga akan timbul pikiran lain yang tentu akan aku sampaikan kepada Ki Tumenggung untuk mendapatkan pertimbangan."
"Seandainya orang lain, siapakah yang akan kau tunjuk?" bertanya Ki Tumenggung.
"Hanya satu kemungkinan," berkata Ki Rangga kemudian, "karena persoalan ini datang dari Tanah Perdikan Sembojan, maka apakah tidak sebaiknya aku kembali berhubungan dengan Tanah Perdikan Sembojan. Sampai sekarang masih ada orang-orang yang ditahan di Tanah Perdikan itu. Jika saja aku berusaha untuk mendapat keterangan lebih jauh. Lebih dari itu, biarlah orang-orang Tanah Perdikan menyaksikan harta-benda itu sehingga tidak timbul dugaan, seolah-olah Pajang dengan sengaja telah mengambil harta-benda itu dengan diam-diam. Justru di belakang punggung Tanah Perdikan Sembojan."
Ki Tumenggung mengangguk-angguk. Tetapi iapun kemudian bertanya, "Apakah kau benar-benar yakin bahwa orang-orang serta para pemimpin Tanah Perdikan Sembojan dapat dipercaya?"
"Aku yakin Ki Tumenggung. Aku sudah lama berhubungan dengan para pemimpinnya, terutama Kepala Tanah Perdikan itu sendiri yang pernah menjadi prajuritku," jawab Ki Rangga.
Ki Tumenggung mengangguk-angguk pula. Kemudian katanya, "Aku akan mempertimbangkannya Ki Rangga. Tetapi di antara orang-orang yang bertugas itu, tanggung jawab utama terletak di tangan para prajurit. Tetapi bahwa kita tidak membelakangi Tanah Perdikan Sembojan justru karena persoalan ini merambat dari sana, akan aku pertimbangkan baik-baik."
"Aku menunggu perintah, Ki Tumenggung."
"Besok pagi-pagi aku minta Ki Rangga menemui aku. Setidak-tidaknya Ki Rangga dapat menyebut nama prajurit yang dapat ditunjuk untuk ikut melaksanakan tugas ini. Adapun susunan dan jumlahnya terserah kepada Ki Rangga pula."
"Baik Ki Tumenggung. Besok pagi aku akan menghadap," jawab Ki Rangga.
Ki Rangga yang kemudian meninggalkan Ki Tumenggung Jayayuda telah memanggil Kasadha untuk membicarakan perintah Ki Tumenggung itu. Ki Rangga juga minta pertimbangan Kasadha untuk melakukan tugas ini dengan seseorang dari Tanah Perdikan Sembojan.
"Aku sependapat, Ki Rangga. Rasa-rasanya memang kurang baik untuk tidak mengajak mereka. Apalagi jika ada kesan bahwa kita melakukannya dengan diam-diam sehingga dapat menimbulkan prasangka bahwa kita tidak mempercayai mereka. Meskipun aku yakin, bahwa Tanah Perdikan Sembojan tidak mempunyai pamrih untuk memiliki atau setidak-tidaknya ikut memiliki harta benda itu. Jika mereka tersinggung tentu karena mereka merasa ditinggalkan. Kecuali jika mereka menyatakan tidak akan ikut campur atas kehendak mereka sendiri," jawab Kasadha.
Karena itulah, maka Ki Rangga telah menunjuk Kasadha untuk memimpin tugas yang dibebankan oleh Ki Tumenggung Jayayuda. Namun Ki Rangga itupun berkata, "Aku telah berniat untuk ikut pergi ke Madiun. Rasa-rasanya aku ingin memenuhi janjiku untuk berusaha menemukan paman Ki Lurah Mertapraja."
Kasadha termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, "Apakah Ki Rangga sendiri akan berangkat?"
"Aku sedang memikirkan kemungkinan itu. Akulah yang langsung mendapat perintah dari Ki Tumenggung meskipun Ki Tumenggung tidak mengatakan bahwa aku sendiri harus berangkat."
"Ki Rangga," berkata Kasadha, "bukan maksudku untuk menengadahkan dada seakan-akan aku akan sanggup melakukan tugas dengan sempurna. Tetapi biarlah dalam tugas ini kami yang muda-muda sajalah yang melaksanakannya meskipun tetap di bawah tanggung jawab Ki Rangga. Jika persoalannya adalah janji Ki Rangga untuk membebaskan paman Ki Lurah Mertapraja, maka biarlah aku berusaha untuk melakukannya."
"Tetapi karena hal ini tumbuh dari niatku sendiri dan tidak berhubungan dengan perintah Ki Rangga, tentu aku tidak dapat memerintahkan kepadamu untuk melakukannya."
"Ki Rangga memang tidak memerintahkan. Tetapi biarlah aku yang menyatakan diri untuk mengambil alih niat itu. Justru karena aku juga mengetahui keadaan Ki Lurah Mertapraja sehingga Ki Rangga telah tergugah untuk benar-benar berusaha mengambil paman Ki Lurah itu."
Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, "Aku akan memikirkannya. Besok sebelum aku menghadap Ki Tumenggung aku akan mengambil keputusan."
Kasadha tidak menjawab lagi. Namun bagi Kasadha, perjalanan ke Madiun dalam tugas itu, tentu lebih berbahaya dari pergi ke Madiun dengan pasukan segelar-sepapan. Namun ia tentu tidak dapat mengatakannya kepada Ki Rangga. Sebagai seorang prajurit yang lebih berpengalaman, maka Ki Ranggapun tentu sudah mengetahuinya.
Malam itu Kasadha ikut menjadi gelisah. Sementara itu, Ki Ranggapun tidak segera dapat tidur. Ia masih saja merasa bimbang, apakah ia akan berangkat atau tidak. Sementara itu, Ki Ranggapun juga masih harus menemukan satu dua nama yang akan dapat pergi ke Madiun.
Namun yang agak menenangkannya adalah, bahwa Kasadha telah selesai menjalani laku untuk mewarisi ilmu perguruannya seutuhnya. Dengan demikian, maka bekal yang dimiliki Kasadha tentu sudah cukup memadai. Jika ia menemui persoalan yang harus diatasinya dengan kekerasan, maka ia bukan lagi seorang yang lemah.
Namun akhirnya Ki Rangga itu mengangguk-angguk sendiri. Ia telah menemukan satu langkah yang akan diambilnya. Ia akan memerintahkan Kasadha pergi ke Madiun dengan pemimpin kelompok kepercayaannya itu. Ki Rangga akan menyertainya sampai ke Tanah Perdikan Sembojan. Ia akan berbicara dengan Kepala Tanah Perdikan Sembojan itu. Jika diijinkan ia akan berbicara dengan orang yang dianggap dapat memberikan petunjuk tentang Ki Lurah Mertapraja. Sementara itu, terserah kepada Kepala Tanah Perdikan Sembojan, apakah mereka akan mengirimkan orang untuk menyertai Kasadha pergi ke Madiun atau tidak.
Demikianlah, ketika Ki Rangga di pagi hari berikutnya sudah selesai berbenah diri, maka ia telah menyampaikan Keputusannya itu kepada Kasadha.
Kasadha mengangguk-angguk. Dengan nada berat ia bertanya, "Bukankah Ki Rangga akan berhenti di Tanah Perdikan Sembojan dan kemudian kembali ke Pajang?"
"Ya," jawab Ki Rangga.
"Jika ada perkembangan pembicaraan di Tanah Perdikan, apakah Ki Rangga masih mungkin merubah sikap?"
Ki Rangga tersenyum. Ia mengerti bahwa Kasadha mencemaskannya jika ia sendiri pergi ke Madiun. Meskipun tidak dikatakannya tetapi tersirat pada sikap dan nada kata-katanya.
Karena itu, maka katanya, "Aku akan mencoba untuk tetap pada sikap itu."
Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Namun ia menjawab, "segala sesuatu tergantung kepada keputusan Ki Rangga."
"Baiklah. Aku akan menghadap Ki Tumenggung untuk menyampaikan pendapatku. Mudah-mudahan Ki Tumenggung sependapat."
Ketika hal itu kemudian disampaikan kepada Ki Tumenggung, maka ternyata Ki Tumenggung tidak berkeberatan. Bahkan Ki Tumenggung sempat memperingatkan Ki Rangga, bahwa ia memerlukan beberapa orang prajurit yang akan mengawalnya kembali dari Tanah Perdikan.
Ki Rangga mengangguk-angguk. Katanya, "Baik Ki Tumenggung. Tetapi mereka tidak perlu mengetahui persoalan yang sebenarnya."
"Ya. Yang mereka ketahui hanya sekedar mengawal Ki Rangga pergi dan kembali dari Tanah Perdikan Sembojan," berkata Ki Tumenggung. Namun katanya selanjutnya, "Tetapi di Tanah Perdikan Sembojan, persoalan inipun harus tetap menjadi rahasia jika Kasadha ingin tugasnya berhasil baik."
Dengan demikian, maka Ki Tumenggung pun telah memberikan perintah resmi kepada Ki Rangga untuk melakukan tugas rahasia. Bersama Ki Rangga akan berangkat pula Ki Lurah Kasadha dan pemimpin kelompok yang sudah menyertainya pada tugas-tugas sebelumnya.
Bahkan pada tugas-tugas lain yang terdahulu. Selain mereka, Ki Tumenggung juga memerintahkan empat orang prajurit pilihan untuk mengawal Ki Rangga. Perintah selanjutnya akan diberikan oleh Ki Rangga.
Para prajurit di barak itu memang bertanya-tanya, tugas apakah yang sebenarnya dilakukan oleh Ki Rangga.
Tetapi kesadaran mereka sebagai prajurit telah mengekang mereka untuk tidak terlalu banyak bertanya. Mereka menyadari, bahwa apa yang harus dirahasiakan memang harus tetap dirahasiakan kepada siapapun yang tidak berkepentingan.
Berdasarkan perintah itu, maka Ki Ranggapun segera membuat persiapan-persiapan. Sementara itu, Ki Tumenggung telah memberikan waktu tenggang selama tiga hari.
Demikian segala persiapanpun telah dilakukan. Ki Rangga, Kasadha dan pemimpin kelompok itupun telah menyusun rencana sebaik-baiknya. Mereka juga telah memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi. Jika Tanah Perdikan Sembojan mengirimkan orangnya atau kemungkinan yang lain, jika Tanah Perdikan tidak mengirimkan orangnya.
"Jika Tanah Perdikan menyerahkan segala sesuatunya kepada kita, maka kami akan berangkat berdua Ki Rangga," berkata Ki Lurah Kasadha. Namun katanya kemudian, "Tetapi aku yakin, bahwa Tanah Perdikan akan mengirimkan satu atau dua orang. Mereka mempunyai orang-orang berilmu tinggi yang akan dapat menyertai kami berdua."
Sebelum mereka berangkat, Ki Rangga masih berusaha menemui Ki Lurah Mertapraja. Ki Lurah ternyata masih belum sepenuhnya menjadi tenang. Ki Lurah masih saja minta dengan sungguh-sungguh agar pamannya diselamatkan.
Demikianlah, maka akhirnya waktu yang diberikan oleh Ki Tumenggung itupun berlalu. Ki Rangga, Ki Lurah Kasadha, pemimpin kelompok prajurit dalam kesatuan yang dipimpin oleh Kasadha serta empat orang prajurit pilihan telah dilepas dalam satu upacara khusus yang terbatas.
Ketika kemudian matahari memanjat langit, sekelompok prajurit itu sudah berpacu sepanjang jalan bulak.
Ki Rangga memang telah merencanakan untuk singgah sejenak di rumahnya untuk memberitahukan bahwa Ki Rangga akan bertugas ke Tanah Perdikan Sembojan.
Tetapi waktu Ki Rangga memang sangat singkat. Namun para prajurit itu sempat minum minuman hangat dan makan beberapa potong makanan.
Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat Kasadha dan Riris sempat berbicara dengan asyiknya. Mereka memang nampak semakin akrab sejak Kasadha mendapat beberapa kesempatan mengunjungi rumah Ki Rangga. Jauh lebih sering dari Risang. Apalagi Ki Rangga sendiri sering berbicara panjang tentang Kasadha, kelebihannya dan sifat-sifatnya yang baik dan menarik.
Jangkung tidak berniat mengganggu keinginan ayahnya. Tetapi baginya, Risang masih lebih mantap dari Kasadha. Terutama karena alur keluarga Risang yang lebih jelas dari Kasadha.
Tetapi Jangkung tidak mau memotong kebijaksanaan ayahnya, meskipun kadang-kadang ia masih juga berbicara kepada ibunya tentang sikapnya itu.
Namun setiap kali Jangkung berbicara kepada ibunya, maka ibunya selalu saja minta agar Jangkung menurut saja keinginan ayahnya itu.
"Jika kau juga menyatakan keinginanmu, maka Riris akan dapat menjadi bingung. Biarlah ia menjatuhkan pilihan. Jika kemudian hubungannya dengan Kasadha nampak lebih akrab, biarlah ia menilai sendiri. Tetapi jika kau turut mencampurinya, maka ia akan dapat menjadi bimbang lagi, sehingga akhirnya ia kehilangan keyakinan diri atas pilihannya."
Jangkung memang mendengarkan pendapat ibunya itu. Iapun tidak berniat mencampurinya tanpa diminta. Tetapi jika ia harus menjawab pertanyaan, maka ia akan tetap berdiri pada pendiriannya itu.
Meskipun demikian, rasanya tergelitik juga ketika ia melihat hubungan Riris dan Kasadha yang semakin dekat.
Sekali-sekali Jangkung justru membayangkan, bagaimana Riris ketika secara khusus di Tanah Perdikan Sembojan saat Risang diwisuda. Riris seakan-akan dengan sengaja telah dipasang untuk mendampinginya.
Tetapi sekarang yang duduk di sebelahnya adalah Kasadha.
Namun Jangkung tidak mengganggunya. Ia bahkan ikut menemui Kasadha. Berbincang dan bergurau sejenak.
Namun Jangkung itupun berkata, "Maaf Kasadha, aku terpaksa pergi sebentar. Aku sudah terlanjur membuat janji. Kau tentu tahu, bahwa hidupku agaknya memang harus ditopang oleh janji-janji."
Kasadha tertawa. Ia tahu bahwa Jangkung akan membicarakan soal kuda dengan orang yang mungkin akan membeli atau menjual. Karena itu, maka katanya, "Silahkan. Janji memang untuk ditepati, apalagi janji yang memberikan harapan-harapan."
Jangkung tertawa pula. Lalu katanya, "Silahkan kalau kau akan membuat janji."
Kasadha masih saja tertawa. Tetapi Riris justru telah memungut kerikil dan melempar Jangkung yang sudah menggerakkan kudanya. Tetapi Jangkung masih saja sambil tertawa meninggalkan halaman rumahnya di punggung kudanya.
Jangkung memang sudah minta diri kepada ayahnya, bahwa ia akan membawa kudanya pada seorang yang akan membelinya. Namun bagaimanapun juga ayahnya masih saja menanggapi sikap Jangkung itu sebagai satu sikap yang menunjukkan bahwa ia memang berpendapat lain.
"Jangkung benar-benar tidak mau mendengar keteranganku," desis Ki Rangga.
"Tetapi hatinya cukup lapang Ki Lurah," sahut Nyi Rangga yang kadang-kadang masih terbiasa memanggil suaminya Ki Lurah. "Ia tahu menempatkan dirinya. Ia tidak mau mengganggu sama sekali hubungan Riris dan Kasadha. Tadi aku juga sempat melihat Kasadha yang sedang bergurau dengan Jangkung. Bahkan bersama Riris pula."
Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam. Ia memang tidak melihat usaha Jangkung untuk memotong keinginannya itu.
Namun seperti yang sudah direncanakan maka mereka tidak terlalu lama berada di rumah Ki Rangga.
Beberapa saat kemudian, merekapun telah bersiap-siap untuk meneruskan perjalanan yang baru mereka mulai, karena jarak antara rumah Ki Rangga dan pintu gerbang kota tidak terlalu jauh.
Ternyata sampai saatnya Ki Rangga berangkat, Jangkung masih belum kembali.
Demikianlah, maka sejenak kemudian sekelompok prajurit itu telah berpacu kembali melintasi bulak-bulak panjang dan pendek, menembus padukuhan-padukuhan besar dan kecil menuju ke Tanah Perdikan Sembojan.
Di sepanjang jalan, Ki Rangga justru masih memikirkan sikap Jangkung. Bahkan rasa-rasanya Ki Rangga itu ingin berpesan kepada Kasadha agar tidak berbicara tentang Riris selama mereka berada di Tanah Perdikan Sembojan. Namun Ki Ranggapun menjadi bimbang. Mungkin justru akan timbul persoalan di hati Kasadha.
Karena itu, maka Ki Ranggapun telah menahan dirinya dan berusaha untuk memusatkan perhatiannya kepada tugas yang diembannya bersama Kasadha dan para prajurit yang lain.
Di perjalanan para prajurit itu tidak mengalami hambatan apapun juga. Namun demikian mereka memasuki Tanah Perdikan Sembojan, maka mereka telah menarik banyak perhatian.
Tetapi ada di antara para pengawal padukuhan yang telah mengenal Kasadha yang pernah berada di Tanah Perdikan Sembojan. Bahkan ada juga yang merasa pernah mengenal Ki Rangga Dipayuda. Sehingga dengan demikian, maka di Tanah Perdikan Sembojanpun mereka tidak harus terlalu banyak menjawab pertanyaan.
Namun kedatangan mereka memang mengejutkan.
Mereka memasuki padukuhan induk Tanah Perdikan Sembojan setelah malam mulai turun. Ki Rangga memang merasa bahwa mereka berhenti terlalu lama di rumah Ki Rangga Dipayuda.
Namun ternyata hal itu tidak menjadi soal. Beberapa orang pengawal di padukuhan indukpun telah dapat mengenal kembali Kasadha dan pemimpin kelompok itu.
Bahkan ada di antara mereka yang masih ingat, bahwa Ki Rangga Dipayudapun telah pernah datang ke Tanah Perdikan itu pula.
Ketika kedatangan mereka disampaikan kepada Risang yang sedang duduk-duduk di ruang dalam bersama ibunya, kedua kakek dan seorang neneknya, maka merekapun dengan tergesa-gesa telah keluar untuk menyongsong mereka.
Sejenak kemudian, maka para tamu dari Pajang itupun telah dipersilahkan duduk di pringgitan ditemui oleh Risang dan ibunya. Mereka merasa sangat terkejut bahwa sekelompok prajurit dari Pajang telah datang ke Tanah Perdikan.
"Kami memang terlalu siang berangkat," jawab Ki Rangga.
"Apakah ada keperluan yang penting Ki Rangga?" bertanya Risang.
"Tidak," jawab Ki Rangga. "Hanya sedikit pesan."
Risang mengerutkan keningnya. Jawaban Ki Rangga justru membuat Risang semakin ingin tahu. Namun sebelum ia bertanya sesuatu, Ki Rangga berkata, "Tetapi pesan itu khusus bagi Kepala Tanah Perdikan Sembojan dan orang-orang yang terdekat saja."
"Apakah aku tidak boleh mendengarnya?" bertanya Nyi Wiradana ragu-ragu.
"Tentu boleh," jawab Ki Rangga. Namun kemudian ia berpaling, sambil berkata kepada prajurit yang mengawalnya, "Pesan ini sangat pribadi."
*** Kontributor eBook: DJVU: Haryono & Kuncung (dimhad.co.nr)
Editor: Dimhader (di dimhad.co.nr, maaf... tidak tahu kontributornya), dan Dewi KZ (dewikz.com)
Spell Check & Minor Edit:
ePub Lover (facebook.com/epub.lover)
SAYAP-SAYAP YANG TERKEMBANG
Karya: SH Mintardja Penerbit: Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta
JILID 57 Ki Ranggapun kemudian bertanya kepada Risang, "Apakah mereka diperkenankan duduk di serambi gandok?"
"Silahkan, silahkan Ki Sanak," jawab Risang.
Risangpun kemudian telah memanggil Gandar yang ada di ruang belakang. Dimintanya Gandar untuk menemani para prajurit yang datang bersama Ki Rangga itu.
Demikian para prajurit itu berada di gandok, maka Ki Ranggapun berkata, "Kami memang membawa tugas yang penting yang harus kami sampaikan kepada Nyai dan kepada Kepala Tanah Perdikan Sembojan."
"Maaf Ki Rangga," berkata Risang kemudian, "seharusnya kami mempersilahkan tamu-tamu kami untuk beristirahat dahulu sebelum harus terlalu banyak berbicara. Tetapi rasa-rasanya keinginan-tahuku sangat mendesak, sehingga sebelum Ki Rangga sempat minum barang seteguk, kami mohon Ki Rangga bersedia mengatakannya."
"Sebenarnyalah bahwa yang aku emban sekarang adalah satu tugas," berkata Ki Rangga kemudian, "tugas yang tidak dapat selesai dalam sekejap. Karena itu, yang ingin aku sampaikan adalah tujuan tugas kami bertiga. Selanjutnya terlaksananya tugas tersebut dapat ditunda sampai esok, lusa atau kapan saja. Tanpa batas waktu, tetapi dituntut untuk secepatnya selesai."
Risang dan Nyi Wiradana sama sekali tidak menyahut. Tetapi wajah mereka nampak tegang. Mereka benar-benar ingin tahu, pesan apa yang telah dibawa oleh sekelompok utusan dari Pajang itu.
Ki Ranggapun kemudian bertanya, "Apakah kau masih ingat Ki Lurah Mertapraja?"
"Tentu," jawab Risang.
"Kemudian susulan laporan dari Tanah Perdikan ini tentang ketiga orang yang akan menculik Angger Risang untuk ditukar dengan Ki Lurah."
"Ya Ki Rangga."
"Nah, persoalannya memang sudah berkembang."
Risang mengerutkan dahinya. Dengan nada rendah iapun bertanya, "Apakah ada perkembangan baru dalam hubungannya dengan Ki Lurah Mertapraja?"
Ki Ranggapun kemudian telah menceriterakan apa yang sudah dilakukan di Pajang atas Ki Lurah Mertapraja, sehingga telah terlontar pengakuannya tentang harta-benda yang disimpan oleh pamannya itu.
"Apakah kebijaksanaan Pajang kemudian setelah Ki Lurah memberikan pengakuan, meskipun dalam keadaan tidak sadar sepenuhnya itu?" bertanya Risang.
Ki Rangga termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia berkata, "Kami harus membuktikan, apakah harta-benda itu ada atau tidak. Jika memang benar ada, kami harus menyelamatkannya. Jika tidak mungkin menyingkirkannya atau bahkan jika perlu menghancurkannya sama sekali."
Risang menarik nafas dalam-dalam, sementara Nyi Wiradana mengangguk-angguk kecil. Hampir di luar sadarnya Nyi Wiradana berkata, "Agaknya itu memang jalan yang terbaik yang dapat ditempuh oleh Pajang. Jika tidak, maka harta-benda itu, jika benar ada dan sebanyak yang kita bayangkan, akan dapat dipergunakan untuk tujuan-tujuan yang salah sebagaimana dikatakan oleh Ki Lurah Mertapraja, meskipun yang disebut Ki Lurah adalah karena tuah pusaka-pusakanya."
"Untuk itulah kami datang kemari," berkata Ki Rangga, kemudian, "karena persoalannya tumbuh dari Tanah Perdikan ini, maka kami ingin mengajak Tanah Perdikan ini untuk membuat penyelesaian. Kami sependapat bahwa sebelum harta benda itu diselamatkan atau dihancurkan, maka masih akan selalu ada usaha untuk mengambil Ki Lurah Mertapraja dengan segala macam cara. Kami juga tidak ingin harta-benda itu jatuh ke tangan Madiun. Sementara itu, kami juga tidak akan membuat kesan bahwa kami telah mengambil langkah sendiri tanpa berbicara lebih dahulu dengan Tanah Perdikan Sembojan."
"Kami tidak akan berpendapat demikian Ki Rangga," sahut Risang. "Bukankah segala sesuatunya telah kami serahkan kepada kebijaksanaan Pajang" Langkah apapun yang diambil oleh Pajang, itu adalah haknya."
Ki Rangga tersenyum. Katanya kemudian, "Kami memang percaya bahwa tidak akan timbul persoalan di Tanah Perdikan ini. Tetapi niat kami yang lain adalah menawarkan kerja sama kepada Tanah Perdikan ini."
"Maksud Ki Rangga?" bertanya Risang.
Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, "Bagaimana pendapatmu jika kita bersama-sama berusaha menemukan harta-benda itu?"
Risang termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Ki Rangga. Sudah aku katakan bahwa kami tidak menginginkan apapun juga. Yang kami lakukan adalah karena panggilan kewajiban kami untuk memberikan laporan tentang peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di Tanah Perdikan ini. Demikian pula tentang usaha berbagai pihak untuk menguasai harta-benda yang hanya diketahui oleh Ki Lurah Mertapraja selain pamannya yang dikatakan terluka-parah itu."
"Kami mengerti," jawab Ki Rangga dengan serta-merta. Lalu katanya kemudian, "tetapi kamipun mengerti bahwa Tanah Perdikan ini memiliki kemampuan untuk ikut serta melaksanakan perintah Pangeran Gagak Baning."
Risang mengangguk-angguk pula. Dengan nada rendah ia berkata, "Jika itu perintah, maka kami tidak akan mengelak."
"Angger Risang," berkata Ki Rangga, "kami memang mempunyai beberapa kepentingan. Mungkin kami masih ingin berbicara dengan orang-orang yang sampai sekarang masih menjadi tawanan disini. Namun sebenarnyalah kami juga merasa tidak mapan seandainya kami melakukannya sendiri, seolah-olah kami telah membelakangi Tanah Perdikan yang justru memberikan laporan. Selanjutnya, jika kita dapat melakukan bersama-sama, maka akan ada saksi, apakah harta-benda itu ada atau tidak. Jumlahnya memadai atau tidak. Yang terakhir, kami sebenarnyalah juga mengemban perintah bagi Tanah Perdikan ini. Justru dalam keadaan gawat, maka Pajang tidak dapat mengirimkan prajurit lebih dari Ki Lurah Kasadha dan seorang pemimpin kelompok dalam pasukannya. Selebihnya, kami sampaikan permintaan Pajang agar Tanah Perdikan ini membantu mereka berdua."
Risang memandang ibunya sekilas. Ternyata Nyi Wiradana itu tersenyum sambil mengangguk-angguk. Katanya, "Ki Rangga, sebenarnyalah bahwa Ki Rangga tidak menyampaikan permintaan Pajang, tetapi perintah Pangeran Gagak Baning. Dengan demikian, maka kami tidak mempunyai pilihan lain, bahwa kami akan membantu Ki Rangga."
Pembicaraan itu memang tidak berkepanjangan. Risang telah mengenal Ki Rangga dengan baik. Ki Ranggapun telah mengenal Risang dengan baik pula. Karena itu, maka Risangpun kemudian berkata, "Baiklah Ki Rangga. Jika Ki Lurah Kasadha yang akan berangkat, maka biarlah aku menyertainya. Aku akan menitipkan Tanah Perdikan ini kepada ibu."
Ketika dengan ragu-ragu Risang memandang ibunya, ternyata ibunya juga mengangguk. Bahkan Nyi Wiradana itupun berkata, "Ternyata Risang sendiri bersedia untuk pergi bersama Angger Kasadha ke Madiun. Aku memang tidak berkeberatan. Aku yakin bersama Angger Kasadha, maka Risang akan berbuat sebaik-baiknya bagi Pajang."
Malam itu juga ternyata pokok-pokok pembicaraanpun telah selesai. Yang perlu mereka lakukan kemudian adalah melengkapi keterangan-keterangan dari orang-orang yang masih tertawan di Tanah Perdikan itu.
Sementara itu, telah dihidangkan pula minuman hangat dan makanan. Bahkan kemudian dihidangkan pula nasi yang masih mengepul.
Ketika kemudian matahari terbit di keesokan harinya, maka segala persiapanpun mulai dilakukan. Kasadha memang tidak akan berangkat pada hari itu. Tetapi bersama Risang mereka masih akan berusaha mendapatkan keterangan. Apalagi kemudian Ki Ranggapun telah mengatakan pula niatnya untuk menitipkan kesediaannya mencari paman Ki Lurah Mertapraja.
Hari itu, selagi Ki Rangga masih berada di Tanah Perdikan, maka bersama Kasadha dan Risang mereka telah menemui Ki Sabawa. Memang tidak banyak yang dapat mereka ketahui tentang paman Ki Lurah, tetapi sedikit banyak mereka mendapat ancar-ancar kemana mereka harus mencarinya.
"Jadi paman Ki Lurah itu justru ada di dalam kota Madiun?" bertanya Ki Rangga.
"Semula memang demikian Ki Rangga," jawab Ki Sabawa.
"Tetapi setelah terjadi pemberontakan, orang itu jatuh ke tangan siapa" Ke tangan pengikutnya sendiri atau ke tangan lawan-lawannya?"
Ki Sabawa termangu-mangu sejenak. Namun Risang kemudian mendesaknya, "Kau termasuk pengikut paman Ki Lurah atau sebaliknya kau berada di pihak mereka yang telah memberontak?"
"Ketika peristiwa itu terjadi, aku tidak ada di perguruan," jawab Ki Sabawa. "Terus terang Ngger, aku tidak berdiri di kedua belah pihak."
"Menurut Ki Sabawa, siapa sajakah orang-orang yang pernah berusaha membebaskan Ki Lurah yang saat itu masih berada di Tanah Perdikan ini dengan kekuatan yang cukup besar sebelum Ki Sabawa melakukannya. Menurut pengertian kami, mereka adalah kawan-kawan Ki Sabawa."
"Aku memang berhubungan dengan mereka, tetapi sebenarnya aku bukan termasuk di antara mereka. Sebenarnyalah kami berniat saling memanfaatkan. Tetapi pada suatu saat dapat saling berbenturan kepentingan."
Ki Rangga tidak bertanya terlalu banyak. Dari Ki Sabawa ia mendengar bahwa paman Ki Lurah itu juga sering dipanggil Kiai Mawur. Tetapi Ki Sabawa tidak tahu nama sebenarnya.
Tetapi Ki Lurah Kasadha dan Risang memang merasa bahwa bekal mereka sudah cukup. Karena itu, maka merekapun sudah siap untuk berangkat setiap saat.
Namun Nyi Wiradana masih minta agar Risang tidak berangkat sendiri di samping Kasadha dan pemimpin kelompok itu.
"Bawa kedua pamanmu. Sambi Wulung dan Jati Wulung."
Risang mengangguk kecil. Tetapi ia masih bertanya kepada Kasadha, "Apakah kau berkeberatan?"
"Tidak," jawab Kasadha dengan serta-merta. Ia tahu benar bahwa kedua orang itu berilmu tinggi, sehingga akan sangat berarti bagi tugas mereka. Apalagi keduanya menurut penilaian Kasadha adalah orang-orang yang sangat dapat dipercaya.
Dengan demikian, maka dalam pembicaraan selanjutnya, mereka yang akan berangkat ke Madiun seluruhnya berjumlah lima orang. Sambil tersenyum Ki Rangga kemudian berkata, "Beban terberat ternyata justru berada di pundak Tanah Perdikan Sembojan."
"Yang kami lakukan adalah kewajiban, Ki Rangga," jawab Risang.
Ki Rangga mengangguk-angguk kecil. Katanya, "terima kasih, atas nama Pajang."
Dalam pada itu Ki Rangga telah menyerahkan segala sesuatunya kepada Kasadha. Ia telah mempercayakan Ki Lurah Kasadha memimpin sekelompok orang yang akan melakukan tugas yang cukup berat itu. Sementara Ki Rangga sendiri memutuskan, di hari berikutnya ia akan kembali ke Pajang bersama para prajurit.
"Kami juga akan berangkat esok pagi, Ki Rangga," berkata Kasadha kemudian.
"Berhati-hatilah," desis Ki Rangga.
Ibu Risangpun telah memberikan pesan yang sama.
"Berhati-hatilah."
Seperti yang direncanakan maka di keesokan harinya, maka segala sesuatunya telah dipersiapkan dengan baik. Ki Rangga telah bersiap-siap untuk kembali ke Pajang, sementara Kasadha Risang serta ketiga orang yang lain akan pergi ke Madiun.
Merekapun meninggalkan rumah Kepala Tanah Perdikan Sembojan hampir berbareng. Demikian Ki Rangga dan para prajurit berderap di atas punggung kuda, maka Kasadha, Risang dan ketiga orang yang lain meninggalkan Tanah Perdikan itu dengan berjalan kaki. Mereka menganggap bahwa mereka akan lebih baik melakukan tugas mereka tanpa membawa seekor kudapun.
Dalam tugasnya, maka Kasadha, Risang dan ketiga orang yang bersamanya berusaha untuk tidak menarik perhatian banyak orang. Mereka tidak berjalan berlima dalam satu kelompok. Tetapi Kasadha dan Risang berjalan di paling depan, kemudian beberapa langkah di belakang mereka Sambi Wulung Jati Wulung dan pemimpin kelompok itu berjalan mengikuti. Pakaian yang mereka kenakan pun tidak lebih dari pakaian orang kebanyakan.
Demikianlah, maka kedua anak muda yang kebetulan adalah kakak beradik itu telah mulai dengan satu tugas yang berat, menyusup ke dalam satu lingkungan yang masih belum terlalu mereka kenal. Namun merekapun menyadari, bahwa di Madiun ada beberapa orang yang berilmu tinggi. Bahkan orang-orang dari perguruan Wukir Gading tentu juga terdiri dari orang-orang berilmu tinggi.
Dengan demikian maka orang-orang yang berangkat ke Madiun itu benar-benar harus mempersiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan. Baik terhadap para petugas di Madiun jika terjadi salah paham atau bahkan mungkin dianggap petugas sandi dari Mataram atau Pajang, namun juga menghadapi orang-orang Wukir Gading sendiri yang juga menghendaki harta benda yang disembunyikan itu.
Ketika mereka mendekati Madiun, maka mereka berlimapun segera membagi diri. Kasadha dan Risang akan memisahkan diri dari Sambi Wulung, Jati Wulung dan pemimpin kelompok yang menyertai Kasadha itu.
Ternyata Sambi Wulung dan Jati Wulung yang bertualang di masa mudanya sudah mengenal lingkungan Madiun dan sekitarnya, meskipun belum terlalu banyak. Karena itu, maka Sambi Wulung dapat serba sedikit memberikan petunjuk arah bagi Kasadha dan Risang.
"Kita akan bertemu besok malam di sebelah Barat bukit kecil itu. Aku tahu di sebelah Barat bukit itu ada apanya. Namun jika tidak memungkinkan, kita akan bertemu di sebelah Selatan bukit. Kita akan membicarakan kemungkinan-kemungkinan selanjutnya. Tetapi kami berusaha bahwa sebelum kita bertemu, kami akan menemui Ki Remeng. Pekatik yang pernah disebut-sebut oleh Ki Lurah Mertapraja," berkata Kasadha.
"Baiklah," jawab Sambi Wulung. "Sebelumnya kami akan berusaha untuk mengetahui lingkungan bukit kecil itu."
"Kita harus mengingat kemungkinan, bahwa orang-orang Wukir Gading telah menemukan tempat itu atau sedang mengamati tempat itu pula," berkata Risang kemudian.
Sambi Wulung mengangguk-angguk. Katanya, "Kami akan melihat-lihat keadaan kota pula."
"Berhati-hatilah. Suasana kota Madiun tentu tidak ubahnya dengan Pajang bahkan Mataram. Madiunpun tentu berada dalam kesiagaan tertinggi sebagaimana Pajang dan Mataram. Sebaiknya kita tidak terlibat dalam persoalan yang lain lebih dahulu sebelum tugas pokok kita, kita laksanakan," pesan Kasadha.
"Baiklah," sahut Sambi Wulung. "Kami hanya akan melihat-lihat. Kami memang tidak akan berbuat sesuatu, kecuali ada hubungannya dengan tugas kita."
Demikianlah, setelah semuanya jelas bagi kedua belah pihak, maka kedua kelompok kecil itupun berpisah. Kasadha dan Risang akan langsung menuju ke padukuhan Salam untuk berusaha bertemu dengan Ki Remeng, sementara yang lain akan mengamati lingkungan bukit kecil itu, meskipun mereka akan singgah di kota Madiun.
Kasadha dan Risang berusaha untuk dapat langsung menuju ke padukuhan Salam, yang berada tidak jauh dari kota Madiun, di arah Selatan.


02 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kasadha dan Risang sudah memutuskan untuk menemui Ki Remeng di malam hari. Namun sebelum gelap mereka harus sudah menemukan padukuhan dan rumahnya. Mungkin mereka perlu bertanya-tanya atau cara lain yang dianggap paling baik menurut kemungkinan yang akan mereka hadapi.
Ketika matahari sudah menjadi semakin rendah, maka Kasadha dan Risangpun telah mendekati sebuah padukuhan yang bernama Salam. Seorang petani yang sedang bersiap-siap untuk pulang, telah memberikan petunjuk kemana mereka harus pergi.
"Apakah Salam terletak di dekat sebuah bukit kecil?" bertanya Kasadha.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun katanya kemudian, "Tidak. Kalau yang Ki Sanak maksudkan bukit kecil berbatu-batu itu, letaknya di tengah-tengah hutan perdu. Dari padukuhan Salam masih berantara satu bulak yang luas dan hutan perdu yang masih liar karena belum disentuh tangan. Belum ada seorangpun yang berminat membuka hutan perdu itu, karena tanahnya yang kering dan kekurangan air. Hanya di musim hujan hutan perdu itu mendapat air secukupnya. Namun kemudian kering lagi di musim kemarau."
"Apakah Ki Sanak sudah sering pergi ke padukuhan Salam?" bertanya Risang.
"Ya. Padukuhan itu tidak terlalu jauh lagi. Aku mempunyai beberapa orang sanak kadang tinggal di padukuhan Salam."
"Apakah Ki Sanak mengenal Ki Remeng" Ia seorang adik dari kakekku?" bertanya Risang.
Orang itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia menggeleng. Katanya, "belum. Aku belum mengenal orang itu. Apakah ia sudah tua?"
"Ya. Sudah lewat separo baya," jawab Risang.
Petani itu termangu mangu. Namun sekali lagi ia menggeleng, "Aku belum mengenalnya. Padahal hampir semua orang telah aku kenal. Apalagi orang-orang tua. Apakah ia orang baru?"
Risang memang agak kesulitan menjawab pertanyaan itu. Bahkan ketika ia berpaling kepada Kasadha, maka Kasadhapun nampaknya tidak dapat menjelaskannya. Karena itu, maka Risangpun menjawab sekenanya, "Bukan. Ia bukan orang baru."
Orang itu menjawab sekali lagi, "Sayang anak-anak muda. Aku tidak mengenalnya."
Kasadha dan Risangpun kemudian minta diri untuk melanjutkan perjalanan mereka ke padukuhan Salam. Namun di sepanjang jalan Kasadha bergumam, "Satu kesalahan yang telah kami lakukan. Kami tidak mempunyai bahan yang lengkap tentang Ki Remeng. Seharusnya kami mengetahui segala sesuatunya, sehingga kami akan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti yang diajukan oleh orang itu."
"Tetapi menurut dugaanku, Ki Remeng adalah orang baru di padukuhan itu. Jika ia sebelumnya menjadi pekatik seperti yang kau katakan, maka ia tentu belum terlalu lama tinggal di padukuhan itu. Mungkin seumur dengan disembunyikannya harta benda di bukit itu," sahut Risang.
"Ya. Agaknya ia tidak tinggal di padukuhan itu selama ia menjadi pekatik." Kasadha mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, "Atau ia dikenal dengan nama lain di padukuhan itu."
Risang tidak menjawab. Tetapi ia juga mengangguk-angguk kecil.
Demikianlah, maka keduanyapun telah berjalan menuju ke padukuhan Salam. Memang tidak terlalu sulit untuk menemukan padukuhan itu. Namun sementara itu, matahari telah menjadi semakin rendah. Bahkan sudah mulai melekat ke punggung pegunungan di arah Barat.
Namun keduanya masih sempat bertemu dengan seorang laki-laki tua yang berjalan lambat menuju ke sudut padukuhan sambil membawa cangkul. Agaknya orang tua itu juga baru saja pulang dari sawah.
Kepada laki-laki tua itu Kasadha bertanya, "Kek. Apakah benar, padukuhan ini padukuhan Salam?"
Laki-laki tua itu mengangguk-angguk sambil menjawab, "Benar anak-anak muda. Padukuhan ini adalah padukuhan Salam."
"Terima kasih Kek. Tetapi apakah kami boleh bertanya lagi, apakah kakek mengenal saudara kami yang bernama Ki Remeng?" bertanya Kasadha.
"Ki Remeng?" orang itu mengerutkan dahinya. Dipandanginya kedua orang anak muda itu berganti-ganti.
Kasadha dan Risang menjadi berdebar-debar. Mereka berharap mudah-mudahan bukan orang itulah yang bernama Ki Remeng yang sudah mereka sebut sebagai saudara mereka.
Namun orang itu kemudian bertanya, "Ki Remeng siapakah yang kalian maksud" Apakah orang itu sudah setua aku?"
Kasadha dan Risang memang agak menjadi bingung. Mereka tidak tahu umur Ki Remeng. Bahkan kira-kirapun tidak. Namun Kasadhapun kemudian menjawab untung-untungan, "Ya. Kek. Sudah hampir setua kakek."
Orang itu mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, "Jangan bertanya tentang Ki Remeng anak-anak muda."
Kasadha dan Risang terkejut mendengar jawaban itu. Hampir berbareng mereka bertanya, "Kenapa Kek?"
Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, "Aku letih anak-anak muda. Aku baru saja membuka pematang untuk mengalirkan air ke dalam kotak-kotak sawahku."
"Tetapi kami ingin menemui Ki Remeng itu Kek," berkata Risang.
"Anak-anak muda," berkata orang tua itu tanpa menghiraukan kata-kata Risang, "sudah tiga hari anakku pergi mengunjungi pamannya yang bekerja di Madiun sehingga aku harus pergi ke sawah sendiri. Dua hari lagi ia baru kembali."
Kasadha dan Risang mengangguk-angguk. Tetapi Risang mendesaknya, "Kek, tolong sebelum matahari tenggelam. Aku ingin menemuinya. Sudah lama sekali aku tidak bertemu dengan Ki Remeng."
Tetapi orang tua itu berkata, "Aku haus sekali anak-anak muda. Aku ingin segera pulang dan minum air sejuk dari gendiku buatan Wangon. Rasa-rasanya airnya lebih sejuk dari air gendi buatan manapun."
Kasadha dan Risang hanya saling berpandangan ketika orang tua itu meneruskan langkahnya yang berat.
"Kenapa dengan Ki Remeng," desis Risang. Namun katanya kemudian, "Tetapi ia tentu tinggal di padukuhan ini."
"Ya. Menilik jawaban orang tua itu, Ki Remeng tentu tinggal di padukuhan ini. Tetapi tentu ada alasannya, kenapa ia tidak mau menunjukkan rumah Ki Remeng."
Kedua orang anak muda itu termangu-mangu sejenak. Sementara itu langit menjadi semakin suram. Mataharipun sudah menjadi sangat rendah.
Seorang anak laki-laki yang duduk di atas tanggul parit sibuk memperbaiki icir yang agaknya akan segera dipergunakan. Kasadha dan Risang memang memperhatikan anak itu. Mungkin anak itu mau memberikan keterangan tentang tempat tinggal Ki Remeng.
Namun sebelum keduanya mendekat, seorang anak yang lain berlari-lari keluar dari regol halaman rumah di sudut padukuhan itu sambil membawa sepotong bambu dan pisau. Anak itupun kemudian duduk pula di sebelah kawannya yang sedang sibuk itu. Agaknya sepotong bambu itu akan dipergunakannya menyulami icirnya yang rusak.
Kasadha dan Risang melihat anak yang memperbaiki icir itu berbisik kepada kawannya. Sejenak kemudian kawannya itu berpaling ke arah Kasadha dan Risang. Namun keduanyapun kemudian tertawa tertahan-tahan.
Sikap anak-anak itu memang menarik perhatian. Karena itu, maka Kasadha dan Risangpun telah melangkah mendekat.
Tetapi kedua orang anak itu segera terdiam. Mereka berusaha agar mereka tidak tertawa sama sekali.
Risangpun kemudian berjongkok di sebelah anak yang sedang memperbaiki icir itu. Agaknya anak itu menjadi ketakutan. Ia bergeser mendesak kawannya yang juga beringsut sejengkal.
"Hari sudah gelap anak-anak. Kalian masih bermain-main dengan pisau. Nanti tanganmu dapat tergores pisaumu yang tajam itu," berkata Risang.
Keduanya saling berpandangan. Seorang di antara mereka kemudian menjawab, "Icir ini malam nanti akan kami pergunakan untuk menutup pliridan di sungai itu."
"Icirmu sudah tua. Kenapa tidak membuat atau lebih mudah membeli yang baru saja?"
"Aku belum dapat membuat icir," jawab anak itu. Sementara kawannya berkata, "Untuk membeli yang baru, kami tidak mempunyai uang."
Risang mengusap kepala anak itu sambil berkata, "Sebaiknya kau membeli saja."
Di luar dugaan anak-anak itu Risang telah mengambil uang dua keping. Diberikannya kepada anak itu sambil berkata, "Besok kau dapat membelinya. Bukankah uang ini cukup untuk membeli icir yang baru?"
Sekali lagi keduanya berpandangan. Mereka tidak segera berani menerima uang itu. Namun Risang telah meletakkan uang itu di telapak tangan anak yang sedang memperbaiki icir itu sambil berkata, "Ambillah. Jangan ragu-ragu."
Sebelum anak itu menjawab, Risang telah bangkit berdiri sambil berkata, "Nah, sekarang berhentilah bermain dengan pisau itu. Hari sudah benar-benar gelap. Pulanglah. Nanti orang tuamu mencarimu."
Anak yang berlari-lari keluar dari regol halaman rumah di sudut itu berkata, "Itu rumahku. Dekat sekali."
"Dan kau?" bertanya Risang kepada yang seorang.
"Di sebelahnya. Regol halamannya sudah kelihatan pula dari sini," jawab anak itu.
Namun sebelum Risang beranjak pergi, tiba-tiba saja ia bertanya, "He, apakah Kau mengenal Ki Remeng?"
Kedua anak itu kembali saling berpandangan. Mereka bahkan menahan tertawa mereka.
"Kenapa" Apakah ada yang lucu?" bertanya Risang.
Anak yang diberi uang itu menjawab, "Aku tadi mendengar Kakang bertanya tentang mbah Remeng kepada orang tua yang lewat itu."
"Ya, kenapa" Kami memang mencari seorang keluarga kami yang sudah lama pergi," jawab Risang.
"Orang itulah mbah Remeng," jawab anak itu.
"He?" Risang dan Kasadha membelalakkan matanya. "Jadi orang itukah Ki Remeng?"
Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 16 Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung Siluman Hutan Waringin 3

Cari Blog Ini