02 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja Bagian 7
Anak-anak muda itu tertawa. Ternyata mereka benar-benar sempat bergembira sebagaimana anak-anak muda pada umumnya, meskipun dalam usia muda mereka, Bharata dan Kasadha telah dibelit oleh persoalan-persoalan yang rumit.
Namun dalam pada itu, pembicaraan mereka telah terputus. Riris yang gelisah telah melangkah mendekati mereka. Sikapnya telah berubah. Ia justru merasa canggung berhadapan dengan Bharata dan Kasadha. Rasa-rasanya Riris menjadi bingung, dengan siapa ia berbicara lebih dahulu.
Akhirnya Riris memilih berbicara kepada kakaknya, "Kakang. Makan telah tersedia di ruang dalam. Ayah telah menunggu kalian bertiga."
"Aku akan segera datang. Tetapi kau harus mempersilahkan kedua orang tamu kita," berkata Jangkung.
"Kau sajalah," desis Riris.
"He, kenapa aku. Kau," sahut kakaknya.
Riris sempat termangu-mangu sejenak. Namun kemudian dipaksakannya mulutnya berbicara, "Marilah Kakang berdua. Ayah telah menunggu."
Bharata dan Kasadhapun bagaikan telah membeku. Tidak seorangpun di antara keduanya yang menjawab.
Jangkunglah yang kemudian mempersilahkan mereka, "Marilah. Ayah lebih senang makan nasi yang masih panas."
Kedua anak muda itupun kemudian telah bangkit. Riris telah berjalan lebih dahulu meninggalkan mereka, sehingga Bharata dan Kasadha sempat memandang gadis itu berjalan beberapa langkah di hadapan mereka.
Ketika Riris naik ke pendapa, maka iapun telah berpaling. Sekali lagi gadis itu menjadi kebingungan ketika ia melihat Bharata dan Kasadha tiba-tiba saja menunduk.
Di ruang dalam, Ki Lurah memang telah menunggu. Dengan demikian maka merekapun segera duduk mengelilingi nasi serta kelengkapannya.
"Silahkan anak-anak muda," berkata Nyi Lurah Dipayuda.
"Nyi Lurah tidak makan?" bertanya Kasadha.
"Biarlah aku nanti saja," jawab Nyi Lurah.
Kasadha dan Bharata memang menjadi kecewa. Bukan karena Nyi Lurah tidak makan bersama dengan mereka. Tetapi dengan demikian maka jelas bahwa Ririspun tidak akan makan bersama mereka.
Sebenarnyalah, bahwa yang makan di ruang dalam itu hanyalah Ki Lurah. Jangkung beserta kedua orang anak muda yang menjadi tamu Ki Lurah itu.
Karena itu, betapapun enaknya masakan Nyi Lurah, tetapi rasa-rasanya menjadi hampar. Sehingga dengan demikian maka anak-anak muda itu merasa terlalu cepat menjadi kenyang.
"He, kenapa kalian tidak bersungguh-sungguh?" bertanya Jangkung yang telah menyenduk nasi sekali lagi.
Bharata dan Kasadhapun telah menyenduk lagi pula. Tetapi seakan-akan hanya sekedar syarat, bahwa mereka makan dengan sungguh-sungguh.
"Nanti, setelah kita beristirahat sebentar, kita akan mengelilingi padukuhan ini dengan berkuda. Aku ingin menunjukkan kepada kalian kuda-kudaku yang bagus. Sayang, kalian sekarang telah datang berkuda, sehingga aku tidak dapat menawarkan kudaku kepada kalian," berkata Jangkung.
Bharata dan Kasadha tertawa. Namun Kasadha berkata, "Sebenarnya aku juga ingin mempunyai seekor kuda. Jika pada suatu saat aku harus mengembalikan kudaku itu, maka kemana-mana aku harus berjalan kaki."
"Kau harus menabung," berkata Jangkung, "besok kau belikan kuda kepadaku."
"Sebenarnya aku juga sudah menabung. Tetapi belum tentu dalam waktu sepuluh tahun akan cukup aku belikan seekor kuda. Apalagi kuda yang bagus dan tegar," jawab Kasadha.
Yang mendengar kata-kata Kasadha itupun tertawa.
Namun dalam pada itu, seperti yang dikatakan oleh Jangkung Jaladri, maka setelah mereka makan dan beristirahat sejenak, merekapun telah meninggalkan halaman rumah itu. Tiga ekor kuda dengan penunggangnya masing-masing telah berderap menyusuri jalan-jalan padukuhan. Bahkan kemudian ketiganya telah keluar dari pintu gerbang padukuhan berpacu meskipun tidak begitu cepat di bulak-bulak panjang.
Padukuhan itu tidak banyak mengalami perubahan. Masih ada kebun bambu. Masih ada pasar, yang itu juga. Kemudian jalan-jalan di antara sawah dan pategalan.
Yang baru adalah, saat itu, sawah di bulak yang luas itu seluruhnya sedang dipersiapkan untuk bertanam padi. Beberapa saat yang lalu, mereka melihat sawah itu hijau sampai ke cakrawala.
Di perjalanan itu, Bharata dan Kasadha sempat mengenang peristiwa yang pernah mereka alami masing-masing.
Bharata segera teringat pada sebuah kebun yang penuh dengan tanaman bambu yang juga dilaluinya sebelum mereka keluar dari padukuhan. Sedangkan Kasadha membayangkan jalan bulak yang tidak begitu luas saat Riris dilihatnya untuk pertama kali.
Ketiga orang anak muda itu sempat melihat-lihat sawah Ki Lurah Dipayuda yang juga sedang digarap. Sawah yang subur dan terletak tepat di tepi sebuah parit yang airnya mengalir cukup deras dan jernih.
"Jika pasaran sepi, hidupku tergantung pada sawah ini," berkata Jangkung Jaladri.
"Tetapi sawahmu cukup luas," sahut Bharata.
"Dibandingkan dengan Tanah Perdikanmu," desis Jangkung kemudian.
Bharata tertawa. Katanya, "Tanah Perdikanku tidak sesubur sawahmu ini. Sebagian kering dan berbatu-batu."
"Sebagian lagi?" bertanya Jangkung.
"Lereng pegunungan," jawab Bharata.
"Sebagian lagi?" desak Jangkung.
"Baru ngarai," jawab Bharata.
"Nah. Jika demikian maka tugasmu masih berat. Kau harus mengolah tanahmu yang kering berbatu-batu itu menjadi sawah. Kau harus membuat lereng pegununganmu menjadi hutan yang hijau. Dan kau harus memanfaatkan tanah ngaraimu sebaik-baiknya," berkata Jangkung.
"Kau pantas menjadi seorang Kepala Tanah Perdikan," desis Bharata.
"He?" tiba-tiba saja suara tertawa Jangkung itupun meledak. Katanya, "Jika kau tempatkan aku di Tanah Perdikanmu maka aku kira, akupun akan dapat menjalankan tugas itu."
Ketiga anak muda itu tertawa. Mereka meneruskan perjalanan mereka. Tiba-tiba saja Jangkung berkata, "Nah, disini kami dipukuli orang ketika tiba-tiba saja Kasadha muncul."
Kasadha mengangguk-angguk. Sementara Jangkung berkata selanjutnya, "Sebelumnya orang-orang itu telah dilumpuhkan pula oleh Bharata. Namun nampaknya masih belum jera."
"Bagaimana sekarang?" bertanya Bharata.
"Mereka tidak lagi berani berbuat sesuatu setelah ayah benar-benar bertindak," jawab Jangkung.
Ketiga orang anak muda itupun kemudian telah berputar-putar sehingga akhirnya matahari menjadi semakin rendah. Menjelang senja ketiga anak muda itu telah berada di rumah Ki Lurah Dipayuda kembali.
Sebenarnyalah bahwa mereka akan merasa lebih senang di rumah itu daripada melihat-lihat sawah yang tidak ada bedanya dengan sawah yang lain.
Ketika Bharata pergi ke pakiwan, ia berpapasan dengan Riris di belakang dapur. Gadis itu baru sibuk mengambil air untuk mengisi gentong di dapur.
"Marilah, biarlah aku mengisinya," berkata Bharata.
"Ini adalah kelenting yang terakhir. Gentong itu sudah penuh," berkata Riris.
"Kenapa kau mengisi sendiri" Apakah tidak ada orang lain?" bertanya Bharata. Karena sepengetahuannya, di rumah itu ada beberapa orang pembantu.
"Aku sudah terbiasa melakukannya," jawab Riris.
Bharata tidak dapat bertanya lebih panjang. Riris telah melangkah masuk ke dapur. Tetapi di muka pintu dapur, Riris sempat tersenyum kepadanya.
Bharata hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu, setelah mengisi jambangan, Bharatapun segera mandi.
Riris yang telah selesai membuat minuman telah mengantarkannya ke serambi gandok. Jangkung yang sedang sibuk dengan kudanya dikandang, telah meninggalkan Kasadha sendiri.
"Minumnya hangat Kakang," berkata Riris dengan suaranya yang lembut.
"Terima kasih Riris. Dimana kakakmu?" bertanya Kasadha.
"Di kandang, Kakang. Ia sedang sibuk dengan kuda-kudanya," jawab Riris.
Kasadha mengangguk-angguk. Sementara Riris mempersilahkan, "Minumlah Kakang."
Di luar sadarnya Kasadha memandang wajah Riris. Ternyata Riris baru tersenyum sambil mempersilahkannya untuk minum.
Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Namun ia masih juga sempat menjawab, "Terima kasih."
Ketika kemudian Riris meninggalkan Kasadha merenung sendiri di serambi, maka Bharatapun telah selesai. Sambil masuk ke gandok ia berkata, "Mandilah. Tubuhmu akan terasa segar."
Setelah ketiga orang anak muda itu selesai berbenah diri, maka mereka telah duduk di pendapa bersama Ki Lurah Dipayuda. Baik Bharata, maupun Kasadha telah menyatakan bahwa esok pagi-pagi mereka akan minta diri.
"Apakah kalian sejalan?" bertanya Ki Lurah Dipayuda.
"Aku akan langsung kembali ke Tanah Perdikan Sembojan," jawab Bharata.
"Aku akan pergi ke Tembayat," jawab Kasadha.
"Apakah ayah dan ibumu ada disana?" bertanya Ki Lurah Dipayuda.
"Bukan ayah dan ibu. Tetapi Bibi. Dari sana aku akan lebih mudah menemukan ayah dan ibuku," jawab Kasadha.
Ki Lurah Dipayuda mengangguk-angguk. Katanya, "Jadi seorang akan menuju ke Timur, sedangkan yang lain akan menuju ke Barat"
"Ya," jawab Bharata dan Kasadha hampir berbareng.
Malam itu, Ki Lurah Dipayuda mempergunakan waktunya sebaik-baiknya untuk berbincang-bincang dengan kedua anak muda itu. Setelah makan malam, maka mereka tidak lagi kembali ke pendapa. Tetapi mereka berbincang di ruang dalam.
Malam itu Kasadha dan Bharata harus merasa kecewa lagi. Riris tidak makan bersama mereka. Tetapi agaknya Riris lebih senang makan di dapur bersama ibunya.
Ki Lurah Dipayuda sebagai seorang yang sudah menjadi semakin tua, sejauh jangkauan penalarannya, telah memberikan beberapa petunjuk baik kepada Bharata maupun kepada Kasadha. Menurut Ki Lurah Dipayuda, sebagaimana telah dikatakan oleh Ki Tumenggung Surajaya, bahwa pasukan Kasadha tentu akan dipecah. Ada beberapa pertimbangan untuk melakukannya. Para pemimpin Pajang yang kemudian, tentu telah membaca bahwa hati dari setiap prajurit di barak itu seakan-akan telah menggumpal menjadi satu. Hal itu tentu tidak akan menguntungkan. Jika terjadi penyalahgunaan wewenang, maka pasukan itu tentu akan dapat dipergunakan untuk kepentingan yang tidak seharusnya.
Tetapi Ki Lurah Dipayuda berpesan, "Kau adalah seorang prajurit Kasadha. Kau tempatkan saja dirimu pada landasan sikap keprajuritan. Maka dimanapun kau ditempatkan, kau tidak akan mengalami kesulitan apapun juga."
Kasadha mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata, "Ya, Ki Lurah. Aku akan mencoba untuk melakukannya. Yang terjadi di barak yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Surajaya itu terjadi dalam keadaan yang sangat khusus. Para pemimpin di Pajang saat itu, apakah ia datang dari Demak, atau orang-orang Pajang sendiri, benar-benar telah menyimpang dari paugeran, sehingga Ki Tumenggung Surajaya harus mengambil sikap yang tidak sewajarnya pula bagi seorang prajurit."
"Ya. Itu dapat dimengerti. Ternyata para pemimpin dari Mataram dan Jipang juga dapat mengerti," jawab Ki Lurah Dipayuda.
Kasadha mengangguk-angguk kecil. Memang bukan seharusnya menjadi kebiasaan untuk menentukan sikap sendiri jika tidak berada dalam keadaan yang khusus itu.
Sementara itu, Bharatapun telah mendapat beberapa petunjuk. Sebaiknya Tanah Perdikan Sembojan menunggu keadaan menjadi lebih jelas.
"Kau akan dapat menemui para pemimpin yang kemudian mendapat tugas untuk menangani persoalan Tanah Perdikan," berkata Ki Lurah Dipayuda. Lalu katanya, "Jika kau tergesa-gesa, maka mungkin kau akan berbuat salah, sehingga kau menghadap orang yang tidak berwenang. Jika orang itu berdiri tegak atas kewajibannya, maka ia akan mengaku berterus terang dan bahkan mungkin menunjukkan, siapakah yang bertugas menangani Tanah Perdikan itu. Tetapi jika kau bertemu dengan orang yang tidak lebih baik dari pimpinan yang tersingkir dari Pajang, justru dalam pergolakan ini, kau akan dapat menjadi sasaran pemerasan lagi."
"Jadi apa yang dapat kami lakukan sekarang, Ki Lurah?" bertanya Bharata.
"Menurut keterangan Kasadha, maka Panembahan Senapati akan meninggalkan Pajang dalam waktu dekat. Sebelum segala sesuatunya mapan, maka pemerintahan di Tanah Perdikan itu hendaknya berlangsung seperti biasa saja. Seakan-akan tidak terjadi perubahan apapun yang dapat mempengaruhi hak hidup Tanah Perdikan Sembojan itu," jawab Ki Lurah Dipayuda.
Bharata mengangguk-angguk. Iapun sependapat, bahwa jalan itu adalah jalan yang terbaik. Tidak ada lagi orang-orang seperti Ki Tumenggung Bandapati atau Ki Rangga Larasgati. Mudah-mudahan kemudian tidak tumbuh lagi orang-orang yang ikut memegang pimpinan di Pajang mempunyai watak seperti kedua orang itu.
Demikianlah, kedua anak muda itu berbincang-bincang sampai larut malam. Sementara itu Jangkung bertanya, "Nah, apakah besok jika aku minta ijin kepadamu untuk ikut bersamamu kau masih akan mengelak Bharata" Apakah kau masih akan berkata bahwa kau anak seorang yang miskin yang rumahnya berada di sebuah padukuhan kecil terpencil yang terletak di salah satu jalan simpang ke Madiun?"
Bharata hanya tersenyum saja. Yang menjawab kemudian adalah Kasadha, "Tentu tidak. Ia tidak akan dapat menyembunyikan lagi rumahnya yang terletak di sebuah Tanah Perdikan yang besar. Bukan hanya rumahnya berada di Tanah Perdikan itu. Tetapi ia adalah Kepala Tanah Perdikan itu."
"Ah," desis Bharata.
"Ia tidak akan dapat ingkar. Aku, sebagai seorang prajurit pernah berkunjung ke Tanah Perdikannya. Bukan untuk menengoknya setelah cukup lama tidak berjumpa. Tetapi aku mengemban perintah untuk menyerang dan menduduki Tanah Perdikan itu," berkata Kasadha.
Bharata justru tertawa. Katanya, "Aku sudah mengibarkan kelebet putih pertanda menyerah. Tetapi pasukannya ternyata tidak pernah menduduki Tanah Perdikanku."
"Tidak. Justru pasukanku yang harus melarikan diri dari Tanah Perdikannya yang kering dan gersang, yang terdiri dari lereng-lereng pegunungan serta sebagian lagi ngarai yang subur," jawab Kasadha.
Anak-anak muda itu tertawa. Ki Lurah Dipayudapun tertawa. Peperangan memang aneh. Kedua orang anak muda yang pernah terikat dalam satu kesatuan, bertempur bersama-sama, bahkan mereka seakan-akan telah terikat untuk mati bersama atau hidup bersama, ternyata pada satu hari harus berhadapan sebagai lawan. Apalagi ternyata keduanya adalah bersaudara.
Demikianlah, mereka berempat sempat berbincang sampai lewat tengah malam. Ki Lurahlah yang kemudian berkata, "Sudahlah. Besok Kasadha dan Bharata akan meninggalkan rumah ini. Biarlah mereka beristirahat agar besok mereka mendapat tenaga baru yang segar dalam perjalanan."
Jangkungpun kemudian mempersilahkan kedua orang anak muda itu pergi ke gandok dan langsung masuk ke dalam bilik mereka untuk beristirahat.
Kasadha dan Bharata memang masih berbincang untuk beberapa saat. Tetapi tidak terlalu lama. Merekapun segera berbaring di pembaringan dan meskipun agak sulit, namun akhirnya mereka telah tertidur pula.
Seperti yang direncanakan, maka pagi-pagi sekali mereka telah bangun. Bergantian mereka mandi dan berbenah diri.
Ternyata bahwa Ki Lurah Dipayuda dan Jangkungpun telah bangun pula. Mereka telah berada di pendapa ketika Kasadha dan Bharata menemui mereka untuk minta diri.
Pagi itu, yang menemui kedua orang anak muda itu bukan hanya Ki Lurah Dipayuda dan Jangkung Jaladri. Tetapi Nyi Lurah dan Riris Respatipun ikut menemui mereka pula di pendapa setelah Riris menghidangkan minuman hangat dan beberapa potong makanan.
Bharata dan Kasadhapun bergantian telah minta diri. Mereka akan menempuh perjalanan yang berbeda arah. Bharata akan menuju ke Timur. Sedangkan Kasadha akan menuju ke Barat.
Namun dalam pada itu, Kasadha sempat bertanya kepada diri sendiri, "Apakah yang aku dapatkan dari perjalanan ini" Sekedar bertemu dengan Riris?"
Namun Kasadhapun merasa beruntung bahwa ia sempat bertemu dengan Bharata secara kebetulan. Tetapi tiba-tiba saja juga terbersit perasaannya yang aneh, "Ternyata Bharata juga berada di tempat ini. Untuk apa" Apakah benar untuk minta petunjuk kepada Ki Lurah Dipayuda atau seperti kedatangannya, juga untuk bertemu dengan Riris?"
*** Kontributor eBook: DJVU: Haryono & Kuncung (dimhad.co.nr)
Editor: Dimhader (di dimhad.co.nr, maaf... tidak tahu kontributornya), dan Dewi KZ (dewikz.com)
Spell Check & Minor Edit:
ePub Lover (facebook.com/epub.lover)
SAYAP-SAYAP YANG TERKEMBANG
Karya: SH Mintardja Penerbit: Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta
JILID 39 SEBENARNYALAH pertanyaan yang samapun telah melingkar-lingkar di hati Bharata. Bahkan di luar sadarnya setiap kali Bharata memperhatikan sikap Riris terhadap Kasadha.
Tetapi akhirnya keduanya sampai pada satu saat, bahwa keduanya benar-benar minta diri untuk meninggalkan rumah itu.
"Lain kali kalian harus datang lagi," berkata Ki Lurah Dipayuda, "aku, yang sudah terpisah dari dunia keprajuritan ini merasa senang sekali jika masih ada seseorang yang datang menjengukku. Dengan demikian, maka aku merasa bahwa kehadiranku masih berarti."
"Tentu Ki Lurah," jawab Kasadha, "aku tidak akan pernah melupakan Ki Lurah. Juga rumah ini."
"Terima kasih," desis Ki Lurah. Kemudian katanya kepada Bharata, "aku atau Jangkung pada suatu saat tentu akan sampai ke Tanah Perdikan Sembojan."
"Aku mengharap sekali Ki Lurah," sahut Bharata.
"Tetapi sebelum kami sampai kesana, maka kau harus sering datang ke tempat ini," berkata Ki Lurah pula.
"Ya, Ki Lurah. Menjelang kemantapan kedudukan Tanah Perdikan Sembojan aku akan sering pergi ke Pajang. Tetapi seperti pesan Ki Lurah, aku tentu tidak boleh tergesa-gesa," sahut Bharata.
Demikianlah, Bharata dan Kasadhapun kemudian telah minta diri pula kepada Jangkung, kepada Nyi Lurah dan terakhir kepada Riris. Namun sikap Riris yang pernah menjadi longgar dan agak terbuka, telah menjadi sebaliknya. Rasa-rasanya Riris menjadi tegang dan gelisah menghadapi kedua orang anak muda yang sedang minta diri itu.
Kata-kata Riris terasa sedikit gemetar sementara gadis itu selalu menundukkan wajahnya.
Ketika Bharata dan Kasadha menuntun kudanya melintasi halaman, maka Ki Lurah, Nyi Lurah. Jangkung dan Riris mengantar mereka sampai ke regol halaman. Kemudian melepas kedua orang anak muda itu mulai dengan perjalanan mereka. Keduanya masih bersama-sama sampai ke regol padukuhan. Baru kemudian mereka akan berpencar.
Ketika Kasadha dan Bharata hilang di balik tikungan, maka terdengar Nyi Lurah itu berkata, "Aneh. Keduanya mirip satu sama lain. Wajahnya, sikapnya dan kata-katanya. Keduanya nampaknya memang seperti laki-laki sejati."
"Ya," sahut Ki Lurah Dipayuda, "ketika keduanya masih berada di dalam pasukanku, keduanya memang menunjukkan tanggung jawab yang besar. Keduanya memiliki kelebihan dari setiap prajurit yang ada. Berani dan mempunyai ketajaman wawasan di pertempuran. Keduanya memang sulit untuk dibedakan. Tetapi sekarang keduanya berpisah. Seorang masih tetap di dalam lingkungan keprajuritan dan dengan cepat mendapat kedudukan sebagai Lurah Penatus, sedang yang seorang lagi adalah pewaris Tanah Perdikan Sembojan."
"Tetapi hal itu baru diakuinya sekarang," desis Jangkung.
"Ya. Pada saat itu kedudukan Tanah Perdikan sedang berguncang karena ada orang-orang yang memanfaatkan kedudukannya untuk memeras," jawab ayahnya.
Jangkung mengangguk-angguk. Katanya, "Pada satu hari aku akan benar-benar mengunjunginya."
"Bagus. Tidak sulit mencarinya. Tetapi kau harus menunggu keadaan benar-benar menjadi mapan," sahut ayahnya.
"Ya. Aku memang harus membuka pasaranku kembali lebih dahulu. Jika tidak, aku tentu akan mengalami kesulitan untuk membeli makanan kuda tanpa dapat menjualnya seekorpun," gumam Jangkung kemudian.
Keempat orang itupun kemudian telah kembali ke pendapa. Riris telah menyingkirkan mangkuk-mangkuk minuman dan sisa makanan ke dapur. Namun wajahnya tidak nampak ceria seperti biasanya. Keningnya sekali-sekali nampak berkerut. Bahkan ketika ibunya masuk ke dapur, Riris sedang duduk di muka perapian sambil menatap ke kejauhan menerobos pintu yang telah terbuka.
Ibunya tidak menegurnya. Tetapi keadaan anak gadisnya itu tidak luput dari perhatiannya. Apalagi ibunya menyadari bahwa Riris telah meningkat menjadi gadis dewasa.
Dalam pada itu, Kasadha dan Bharata telah keluar dari padukuhan. Di tepi bulak panjang, keduanya berhenti sejenak.
"Aku akan berbelok ke kiri Kasadha," berkata Bharata sambil memandang ke arah matahari yang mulai memancarkan sinarnya, "aku akan menyongsong matahari."
Kasadha tersenyum, "Selamat dengan tugas-tugasmu Bharata. Aku berharap bahwa suasana yang berubah di Pajang akan membawa angin yang baik bagi Tanah Perdikanmu. Seperti yang sudah aku janjikan, sebagaimana Ki Lurah Dipayuda, jika kau memerlukan pertolonganku dalam batas jangkau kemampuanku, aku akan melakukannya."
"Terima kasih Kasadha," Bharata tersenyum, "aku dan ibu berharap bahwa kau akan dapat datang di Tanah Perdikan Sembojan dalam keadaan yang lain daripada kunjunganmu kemarin. Kau diharapkan datang sebagai keluarga sendiri. Tidak sebagai prajurit Pajang yang sedang bertugas. Tidak ada salahnya jika rakyat Sembojan tahu, bahwa kita bersaudara. Dan kita akan membuktikan bahwa persaudaraan kita tidak akan dipatahkan oleh apapun juga. Apalagi hanya karena ibu kita tidak dapat saling menyesuaikan diri serta ayah kita yang salah langkah di masa hidupnya. Biarlah yang telah lewat itu kita lupakan."
Kasadha mengangguk kecil sambil berkata, "Sekarang aku memang ingin menemui ibuku. Aku akan berbicara dengan ibuku sampai tuntas. Sayang, bahwa seorang laki-laki telah membayangi kehidupan ibuku. Seorang laki-laki yang seakan-akan telah kehilangan pegangan hidup. Ia adalah bekas seorang perwira prajurit Jipang di masa pemerintahan Arya Penangsang."
"Semoga kau dapat memberikan cahaya yang terang dalam kehidupan keluarga kecilmu sehingga keluarga besar kita akan ikut menjadi ceria," desis Bharata.
Kasadha mengangguk. Di luar sadarnya ia memandang ke kejauhan sambil berkata, "Aku akan berjalan sambil membelakangi matahari. Aku tidak akan menjadi silau."
Keduanyapun kemudian telah berpisah dan mulai dengan perjalanan mereka masing-masing. Ternyata darah dari sumber yang sama yang mengalir dalam tubuh mereka, telah mendekatkan mereka sehingga warisan Tanah Perdikan Sembojan tidak dapat membuat jantung mereka menjadi kelam.
Namun yang kemudian sama-sama membayang di angan-angan mereka bukannya kedudukan tertinggi di Tanah Perdikan Sembojan, tetapi keduanya ternyata telah dibayangi oleh senyum seorang gadis lugu anak Ki Lurah Dipayuda. Riris Respati, yang mulai menginjak dewasa sehingga tubuhnya tumbuh dengan subur namun sebagai kebanyakan gadis padukuhan yang bekerja keras, Riris bukannya seorang gadis yang gemuk.
Namun Kasadha telah memacu kudanya. Ia berusaha untuk sementara melupakan gadis itu. Ia akan pergi menemui ibunya di Bayat. Apapun yang terjadi.
Tetapi Kasadha ternyata mempunyai harapan untuk berbicara terbuka dengan ibunya. Pada saat-saat terakhir ia bertemu dengan ibunya, terasa bahwa sikap ibunya mulai berubah.
"Tetapi sekian lamanya ia hidup dengan laki-laki itu. Laki-laki itu akan sempat setiap hari menusuk jantung ibu dengan sikap iblisnya, sehingga sikap itu benar-benar akan menjadi sikap ibu pula," berkata Kasadha di dalam hatinya.
Meskipun demikian Kasadha yang telah menjadi dewasa penuh, bahkan telah benar-benar diangkat menjadi seorang Lurah Penatus itu ingin berbicara dengan ibunya tidak lagi sebagai kanak-kanak yang hanya dapat mendengarkan bentakan-bentakan ibunya yang marah dan memakinya. Tetapi ia sudah pantas untuk mengemukakan pendapatnya sendiri.
Semakin jauh Kasadha berpacu, ia menjadi semakin berdebar-debar. Ia mulai membayangkan apa yang akan dilakukan oleh ibu dan orang yang menyebut dirinya ayahnya itu. Kasadha sendiri untuk tidak akan terlalu banyak berkeberatan atas apapun yang mungkin dilakukan ibunya, karena menurut penglihatannya di saat-saat terakhir ada sedikit perubahan pada sikapnya. Tetapi Kasadha tentu tidak akan dapat menahan diri jika ia harus berhadapan dengan berbicara dengan laki-laki yang telah hidup bersama dengan ibunya itu, yang telah menghasilkan seorang anak laki-laki pula, yang Kasadha tidak tahu, di manakah anak itu berada.
Sekilas Kasadha teringat kepada kakek dan gurunya di kaki Pegunungan Sewu. Memang tiba-tiba saja tumbuh niatnya untuk mencari mereka lebih dahulu. Tetapi Kasadha menjadi ragu-ragu.
"Apakah guru dan kakek masih berada disana atau kakek telah mengajak guru pergi ke rumah kakek yang lain atau bahkan guru telah kembali ke gubuknya sendiri?" pertanyaan itu memang timbul di hati Kasadha.
Apalagi waktunya memang tidak begitu banyak. Ia hanya mendapat kesempatan lima hari. Sehari telah dipergunakannya di rumah Ki Lurah Dipayuda.
"Kalau hari ini aku pergi ke Pegunungan Sewu, besok aku masih sempat pergi ke Bayat. Aku masih mempunyai waktu dua hari lagi. Jika aku tidak dicekik ibu dan laki-laki jahanam itu, di hari berikutnya aku kembali ke Pajang," gumam Kasadha menghitung-hitung hari.
Beberapa saat Kasadha masih ragu-ragu. Namun kemudian ia bertanya kepada diri sendiri, "Jika aku langsung ke Bayat dan tinggal di Bayat selama empat hari, maka hubungan buruk itu apakah tidak akan semakin buruk?"
Tiba-tiba saja Kasadha memperlambat lari kudanya. Keragu-raguannya terasa semakin mengganggu. Sekali lagi ia mencoba menghitung hari. Sehingga akhirnya ia berkata, "Aku akan pergi ke kaki Pegunungan Sewu. Jaraknya memang agak panjang. Bertemu atau tidak bertemu dengan kakek dan guru. Baru besok aku akan pergi ke Bayat."
Kasadha tiba-tiba saja menarik kendali kudanya. Ia telah merubah arah perjalanannya. Ia tidak langsung menuju ke Bayat. Tetapi ia ingin menemui kakek dan gurunya. Jika keduanya sudah tidak berada di tempat itu lagi, maka apaboleh buat.
Demikianlah, kuda Kasadha berderap menuju ke arah yang berbeda. Namun dengan mantap Kasadha telah menempuh perjalanan yang tidak direncanakannya lebih dahulu. Ia telah mengusir kebimbangan di hatinya, justru karena ia tidak ingin terlalu lama berada di Bayat.
"Lebih baik dua atau tiga hari di rumah Ki Lurah Dipayuda," berkata Kasadha di dalam hatinya.
Di perjalanan ke Pegunungan Sewu, Kasadha memang masih juga dibebani oleh kecemasan, bahwa ia akan bertemu dengan orang-orang yang memusuhi ayah dan ibunya. Orang yang pernah menghancurkan padepokan ibunya yang dirahasiakan dengan keras bahkan kejam. Orang yang mengejar-kejar Puguh untuk umpan agar ayah dan ibunya keluar dari persembunyiannya.
Mudah-mudahan peristiwa yang terjadi di Pajang akhir-akhir ini telah mencairkan dendam di hati mereka. Mudah-mudahan peristiwa yang melibatkan Pajang dalam perang beruntun itu mampu meredam kebencian orang-orang itu.
Kuda Kasadha berpacu semakin cepat. Tanpa mengenakan pakaian keprajuritan Kasadha menempuh perjalanan panjang di antara bulak-bulak persawahan, pategalan-pategalan dan sekali-sekali menerobos padukuhan-padukuhan.
Tetapi ternyata bahwa Kasadha memerlukan waktu yang cukup lama. Ia terpaksa berhenti beberapa kali untuk memberi kesempatan kudanya beristirahat, minum dan makan rumput di tanggul-tanggul parit di pinggir jalan. Rumput yang nampak hijau segar dan tetap basah meskipun terik matahari terasa menyengat. Namun Kasadha sendiri juga perlu beristirahat ketika haus dan lapar mulai mengusiknya.
Ketika Kasadha kemudian menelusuri jalan-jalan yang tidak begitu ramai di pinggir hutan, iapun merasa perlu untuk berhati-hati. Sekali-sekali kudanya menjadi gelisah. Agaknya kudanya telah mencium bau binatang buas yang ada di hutan itu.
Namun ternyata Kasadha tidak menghadapi hambatan di perjalanannya. Sehingga iapun menjadi semakin dekat dengan padukuhan yang disebutnya dengan padukuhan Pudak Kerep. Satu tempat yang pernah menjadi tempat persembunyiannya ketika ia harus meninggalkan satu kenyataan yang pahit, bahwa padepokannya telah hancur menjadi abu di saat ia akan berusaha untuk membangunnya.
Kepada para pemimpin prajurit Pajang di saat ia memasuki lingkungan keprajuritan itu, ia mengaku sebagai anak dari padukuhan Pudak Kerep di kaki Pegunungan Sewu.
Kasadha masih ingat benar, jalan-jalan yang harus dilaluinya meskipun kadang-kadang masih juga terbersit kecemasannya bahwa masih saja ada orang yang ingin menangkapnya untuk memancing agar kedua orang tuanya keluar dari persembunyiannya.
Namun Kasadha akhirnya telah memasuki sebuah padukuhan yang ditujunya.
Dengan ragu-ragu Kasadha mendekati sebuah rumah yang pernah menjadi tempat tinggalnya. Rumah kakeknya yang ditunggui oleh salah seorang kemenakan dari kakeknya itu.
Kasadha ternyata telah diterima dengan senang hati oleh Ki Pamekas, kemenakan kakeknya itu. Dengan ramah pamannya telah membawanya langsung masuk ke ruang dalam.
"Rumah ini kosong," berkata Ki Pamekas, "hanya aku dan bibimu saja yang ada."
Kasadha mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, "Apakah kakek Randukeling sudah tidak tinggal disini?"
"Ya. Paman Randukeling masih tinggal disini. Sejak kau pergi, maka paman Randukeling merasa seperti orang kehilangan. Demikian pula Ki Ajar Paguhan. Rasa-rasanya mereka tidak lagi mempunyai gairah memandang kehidupan ini. Keduanya, tidak lebih dari kebanyakan orang-orang tua di padukuhan ini. Pagi-pagi bangun tidur menyapu halaman dan menimba air. Kemudian mandi dan berbenah diri. Ketika matahari hampir naik, keduanya berjalan-jalan menelusuri jalan-jalan kecil di sela-sela kotak-kotak sawah dan bahkan lewat pematang-pematang Keduanya telah turun pula ke sawah dan ladang ikut menanam dan memelihara tanaman padi dan palawija di sawah," berkata Ki Pamekas, "lebih dari itu tidak. Tidak ada tanda-tanda bahwa keduanya memiliki sesuatu yang berarti bagi kehidupan yang lebih luas, sehingga keduanya memang tidak lebih dari dua orang tua yang menunggu menjadi pikun."
Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa bersalah bahwa sudah terlalu lama ia tidak menengok kedua orang tua itu Dengan nada rendah Kasadha bertanya, "Dimana kakek dan guru sekarang?"
"Keduanya sedang pergi. Aku tidak tahu mereka pergi kemana. Tetapi tiga hari yang lalu keduanya nampaknya menjadi gelisah. Mungkin keduanya mulai merindukan cakrawala yang terbentang luas sebagaimana selalu mereka jelajahi sebelumnya. Seharusnya hari ini keduanya sudah berada di rumah. Tetapi ternyata sampai sekarang keduanya belum kembali," berkata Ki Pamekas.
Kasadha mengangguk-angguk. Katanya, "Aku sebenarnya sudah merindukan mereka berdua."
"Tunggu sajalah. Mungkin hari ini atau besok mereka akan kembali," berkata Ki Pamekas pula.
"Waktuku memang tidak terlalu banyak. Tetapi aku akan menunggu sampai besok," sahut Kasadha.
Malam itu Kasadha bermalam di rumah Ki Pamekas, di kaki Pegunungan Sewu yang panjang itu. Di sebuah padukuhan yang sepi dan tidak banyak dipengaruhi oleh gejolak kehidupan. Padukuhan itu seakan-akan tidak pernah mengalami perubahan apapun juga. Jalan-jalan yang keras berbatu padas. Tanah liat di tebing dan lumpur yang merah di tepi-tepi parit, yang melekat pada kaki para pejalan. Apalagi jika hujan turun, maka jalan-jalan menjadi licin berkubangan.
Namun ternyata Ki Ajar Paguhan dan Ki Randukeling belum juga kembali sampai matahari terbit di hari berikutnya. Karena itu, maka Kasadha tidak menunggunya lebih lama lagi. Ia harus pergi ke Bayat untuk menemui ibunya.
Ia memang kecewa karena tidak dapat bertemu dengan kakek dan gurunya. Tetapi ia tidak merasa bahwa waktunya telah terbuang tanpa arti. Dengan demikian ia telah mengurangi satu hari, dari antara hari-hari yang panas bersama ibu dan orang yang selalu menyebut dirinya sebagai ayahnya.
Tetapi ia memang harus bertemu dengan ibunya.
Karena itulah, maka ketika matahari mulai memanjat langit, Kasadha telah minta diri untuk meneruskan perjalanan Ke Bayat.
"Aku akan menemui ibuku," berkata Kasadha kepada Ki Pamekas.
"Kenapa tidak menunggu sehari lagi?" bertanya Ki Pamekas.
"Maaf paman, aku harus mempergunakan waktuku sebaik-baiknya, karena aku harus segera bertugas kembali," jawab Kasadha.
"Baiklah Puguh," berkata Ki Pamekas, "aku akan menyampaikannya kapan saja kakek dan gurumu kembali."
"Terima kasih paman," jawab Kasadha.
"Kalau kau mempunyai waktu, setelah kau kembali dari Bayat, singgahlah kemari. Kakek dan gurumu tentu akan menjadi sangat senang," berkata Ki Pamekas.
Kasadha tersenyum sambil mengangguk. Katanya, "Baiklah paman. Aku akan berusaha untuk sempat singgah."
Demikianlah, maka Kasadhapun telah meninggalkan padukuhan itu menuju ke Bayat. Perjalanan yang memang lebih panjang dari perjalanannya yang kemarin. Apalagi ia masih belum pernah melihat rumah yang dihuni oleh ibunya. Tetapi ia sudah mendapatkan ancar-ancarnya.
Di perjalanan yang panjang, Kasadha sempat melihat kehidupan para petani di lereng pegunungan Sewu. Mereka menggantungkan sawahnya pada air hujan yang turun semusim setiap tahun. Sesudah musim hujan lewat, maka sawah merekapun menjadi kering, sehingga hanya dapat ditanami palawija. Bahkan dalam musim kering yang panjang, sawah itu menjadi sebuah ara-ara yang luas kemerah-merahan. Tanahnya menjadi retak-retak kehausan sehingga tidak dapat ditanami jenis tanaman apapun.
Ketika Kasadha lewat di bulak-bulak yang luas di kaki pegunungan, Kasadha masih melihat tanaman palawija yang sempat tumbuh di atas tanah yang semakin mengering Punggung Kasadha menjadi gatal ketika matahari menjadi semakin tinggi. Perjalanannya yang membelakangi matahari membuatnya tidak menjadi silau.
Kuda Kasadha itupun kemudian telah berlari semakin kencang. Ketika jalan-jalan yang dilaluinya menjadi semakin rata, maka kuda itupun dapat berlari semakin cepat.
Kasadha yang mulai menjauhi lereng-lereng pegunungan itu telah melewati sawah yang lebih subur. Kemudaan menyusuri jalan di pinggir hutan yang lebat, yang berbatasan dan padang perdu yang cukup luas.
Ketika matahari menjadi semakin terik, maka Kasadha harus mengingat kudanya yang menjadi letih. Tetapi sekaligus Kasadha sendiri juga menjadi haus. Karena itu, maka Kasadha yang telah lewat di jalan ngarai dan menyusup padukuhan-padukuhan yang lebih besar, sempat mendapatkan sebuah kedai yang cukup ramai dikunjungi orang. Di tempat itu sekaligus Kasadha dapat membeli makanan bagi kudanya yang juga lapar.
Dari pembicaraan yang didengarnya di kedai itu, Kasadha dapat mengambil kesimpulan, bahwa mereka yang berada agak jauh dari Kotarajapun berpengharapan, bahwa tatanan pemerintahan di Pajang akan menjadi semakin baik.
"Kita berharap bahwa Pangeran Benawa benar-benar akan memegang pemerintahan di Pajang," berkata salah seorang di antara mereka.
Kasadha yang mendengarnya di luar sadarnya telah mengangguk-angguk. Agaknya Pangeran Benawa akan dapat memberikan ketenangan bagi rakyat Pajang, karena namanya memang sudah dikenal dengan baik sejak ayahandanya memerintah di Pajang.
Setelah minum dan makan secukupnya, maka Kasadhapun telah melanjutkan perjalanannya menuju ke Bayat.
Di sore hari Kasadha memasuki lingkungan yang menjadi ancar-ancar tempat tinggal ibunya. Matahari telah berguling di sisi Barat. Rasa-rasanya panasnya bagaikan membakar kulit.
Namun dada Kasadhapun menjadi panas. Ia merasa berdebar-debar. Ada semacam hambatan di dalam dirinya untuk menjumpai ibunya sendiri.
"Seharusnya aku menjadi rindu kepada ibuku. Tetapi hatiku telah menyimpan perasaan yang lain," berkata Kasadha kepada diri sendiri. Bahkan ada semacam perasaan iri bahwa Bharata mempunyai hubungan yang sangat akrab dengan ibunya. Nampaknya Bharata yang juga bernama Risang itu dibesarkan dalam belaian kasih sayang. Tidak selalu dibayangi oleh ketakutan, umpatan marah, bentakan-bentakan dan bahkan pukulan-pukulan.
Tetapi Kasadha sudah bertekad untuk menemui ibunya.
Sebagai seorang yang pernah melakukan petualangan dan mendapat latihan-latihan keprajuritan, maka Kasadha tidak banyak mengalami kesulitan untuk mengenali sasaran. Dengan ancar-ancar yang diketahui, maka Kasadha telah mengikuti jalan yang memanjang melewati sebuah padukuhan. Ia melihat dua batang pohon jambe di sudut padukuhan. Kemudian di seberang jalan terdapat sebatang pohon gayam yang besar.
Kasadha tahu bahwa ia harus melewati jalan itu.
Beberapa puluh langkah kemudian Kasadha berbelok ke kiri, mengikuti sisi halaman berdinding batu kali memanjang dan di ujungnya terdapat kebun bambu yang lebat dan terhitung luas.
Kasadha yakin bahwa ia menuju ke arah yang benar ketika ia sampai pada sebuah simpang tiga di padukuhan itu. Satu jalan di antaranya jalan yang lebih kecil. Dan ia harus memilih jalan yang kecil itu.
Akhirnya Kasadha memang sampai ke depan sebuah regol yang dicari. Sebuah regol yang terbuat dari kayu gelugu. Di halaman di belakang regol terdapat sepasang pohon kelapa puyuh sebagaimana dikatakan kepadanya.
"Inilah rumah itu," desis Kasadha. Untuk beberapa saat Kasadha berhenti di depan regol rumah itu. Ia memang menjadi ragu-ragu. Tetapi iapun kemudian telah membulatkan tekadnya untuk bertemu dengan ibunya. Warsi, yang mempunyai darah Kalamerta serta dendam setinggi langit kepada Iswari, ibu Bharata, yang untuk sementara memangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan.
Dengan jantung yang terasa berdegup semakin cepat, Kasadha memasuki halaman rumah itu. Nampaknya memang sepi. Halamannya yang tidak begitu luas agaknya juga tidak terpelihara rapi, meskipun terdapat jejak sapu lidi.
Dengan gelisah Kasadha masih saja duduk di punggung kudanya. Namun sejenak kemudian iapun telah meloncat turun. Dituntunnya kudanya ke pinggir halaman dan mengikatnya pada sebatang pohon kepel yang sedang berbunga.
Dalam keragu-raguan itu, Kasadha mendengar pintu seketheng berderak. Kemudian derit kecil menandai gerak daun pintu itu. Baru sejenak kemudian pintu seketheng itu terbuka.
Seseorang muncul dari balik pintu. Namun tidak segera turun ke halaman. Dipandanginya seluruh halaman itu. Agaknya ia memang mendengar kuda Kasadha itu meringkik.
Ketika kemudian ia melihat Kasadha yang masih berdiri termangu-mangu, maka iapun telah menyapanya dengan wajah yang gembira, "Kau Puguh?"
Kasadha melangkah mendekat sambil menjawab, "Ya bibi."
"Marilah Ngger. Marilah. Naiklah ke pringgitan. Aku akan membuka pintunya dari dalam," berkata perempuan yang ternyata adalah sepupu Warsi yang telah membawa Warsi ke rumah itu.
Kasadha mengangguk hormat, sementara bibinya itupun telah menghilang di balik seketheng.
Namun terdengar suaranya di longkangan, "Puguh telah datang. Ia berada di pringgitan."
Kasadha memang menjadi semakin berdebar-debar. Ia tidak tahu kepada siapa bibinya itu memberitahukan. Mungkin kepada ibunya, mungkin kepada orang yang selalu menyebut dirinya ayahnya itu.
Namun Kasadha itupun telah duduk di pringgitan. Dipandanginya tiang-tiang pendapa itu. Pada saka gurunya terdapat sedikit ukiran. Tetapi tidak begitu baik buatannya.
Sejenak kemudian, Kasadha mendengar pintu pringgitan itupun terbuka. Seorang perempuan muncul dari ruang dalam.
Kasadha terkejut. Perempuan itu ibunya. Namun ibunya nampak begitu tua sehingga kesannya jauh berbeda dengan saat ia meninggalkannya meskipun saat itu ibunya terluka.
Dengan serta-merta Kasadha berdiri. Tetapi ia tegak saja seperti patung. Ia ingin berlari, memeluk lutut ibunya. Tetapi ia masih saja dibayangi ketakutan. Sejak kanak-kanak ia seakan-akan selalu dipisahkan oleh jarak yang dalam dengan ibunya itu. Ibunya seakan-akan sangat membencinya.
Setiap ia mendekatinya dan meraba pakaian ibunya, maka ibunya telah membentaknya. Kasadhapun menyadari bahwa tangannya memang selalu kotor. Dan ibunya tidak menghiraukannya. Apalagi orang yang menyebut bapaknya. Setiap kali tangannya telah memukulnya sampai giginya berdarah. Kadang-kadang hidungnya dan bahkan memar-memar di kening.
"Puguh," perempuan tua itu berdesis.
"Ibu," Kasadha melangkah perlahan-lahan mendekat. Ia tahu pasti betapa ibunya memiliki ilmu yang sangat tinggi. Jika ia tiba-tiba saja bersujud di hadapan ibunya, apakah kira-kira yang terjadi jika laki-laki iblis itu berhasil mempengaruhi perasaan ibunya itu. Jika ibunya menghendaki, maka ia akan dapat menghunjamkan jari-jari tangannya di tengkuknya, sehingga ia tidak akan pernah dapat bangkit lagi.
Tetapi perasaan Kasadha tiba-tiba saja bergetar. Ia sempat memandang mata perempuan tua itu. Mata itu tidak menyala seperti biasanya. Tetapi mata itu justru menjadi basah.
"Puguh," desis perempuan itu, "akhirnya kau kembali kepadaku anakku."
Kasadha benar-benar tersentuh hatinya. Ia tidak pernah bermimpi bahwa ibunya akan bersikap sebagaimana seorang ibu terhadapnya.
Karena itu, maka Kasadhapun benar-benar telah bersimpuh di hadapan ibunya sambil berdesis, "Ampunkan aku ibu."
"Puguh," desis ibunya, "betapa hatiku terkoyak oleh masa laluku, namun aku masih berkeyakinan, bahwa pada suatu saat kau akan kembali kepadaku dalam keadaan apapun. Mungkin dengan penuh dendam dan kebencian. Mungkin setelah kau mematangkan ilmumu, maka kau akan datang untuk membunuh ibumu. Tetapi aku sudah bersiap menghadapi keadaan yang paling buruk sekalipun, Puguh. Aku akan menerima sikapmu dengan dada terbuka, karena aku harus mengakui betapa besar kesalahanku kepadamu. Aku ternyata tidak mampu untuk berbuat sesuatu sebagai seorang ibu."
"Tidak ibu. Ibu tidak bersalah," jawab Kasadha, "jika ibu melakukannya, maka itu adalah satu akibat dari kehidupan yang ibu jalani sebelumnya tanpa menimbang perasaan ibu sendiri."
Ibunya telah mengusap kepalanya sambil berkata, "Ternyata kau benar-benar telah bersikap dewasa. Untunglah bahwa kakekmu Randukeling serta Ki Ajar Paguhan turut campur atas masa depanmu. Jika tidak, maka aku tidak tahu, kau akan menjadi seorang anak muda yang tentu tidak akan jauh dari kelamnya dunia kelompok Kalamerta."
"Kita memang wajib bersyukur kepada Yang Maha Agung bahwa aku sempat mendapat tuntunan dari kakek dan guru," jawab Kasadha.
"Duduklah Puguh," berkata ibunya kemudian.
Kasadhapun kemudian telah duduk kembali di atas tikar yang sudah tidak putih lagi, "Ibunyapun telah duduk pula bersama anaknya."
"Aku ternyata masih sempat melihat cerahnya cahaya matahari, Kasadha. Di hari tuaku, maka aku mendapat waktu untuk menilai kembali apa yang pernah aku jalani dalam hidupku ini. Untunglah bahwa kakekmu dan gurumu sekali-sekali mengunjungi aku sehingga mereka dapat memberikan petunjuk yang berarti bagiku. Meskipun sedikit demi sedikit, tetapi karena setiap kali mereka mengunjungiku selalu membawa angin yang jernih, lambat laun aku dapat mengenali arti dari petunjuk-petunjuk mereka," berkata ibunya pula.
Jantung Kasadha memang telah bergejolak. Ternyata yang dicemaskan di sepanjang perjalanannya tidak terjadi. Ibunya tidak menyambutnya dengan mata membelalak. Tidak pula membentaknya dan mengusirnya apalagi mencengkam tengkuknya dengan jari-jarinya yang sekuat baja itu.
Hampir di luar sadarnya Kasadha bertanya, "Apakah kakek dan guru sering datang kemari?"
"Ya. Meskipun tidak terlalu sering. Tetapi sejak aku disini dalam keadaanku yang sulit, kakekmu dan gurumu memang sudah beberapa kali datang kemari. Baru saja kakek dan gurumu juga berkunjung ke rumah ini. Baru pagi tadi mereka kembali ke kaki Pegunungan Sewu," berkata ibunya.
"Tadi pagi" Jadi kakek dan guru baru saja meninggalkan rumah ini?" bertanya Kasadha.
"Ya Puguh. Seandainya kau datang kemarin, maka kau akan bertemu dengan mereka disini," berkata ibunya.
"Tetapi aku tidak bertemu di perjalanan ibu," berkata Kasadha kemudian, "aku baru saja singgah di rumah kakek di kaki Pegunungan Sewu. Semalam aku justru bermalam disana."
"O, ternyata kau berselisih jalan Ngger," berkata ibunya yang ikut merasa kecewa, "kakek dan gurumu tentu juga menyesal bahwa mereka tidak dapat menjumpaimu. Menurut mereka, sudah lama kau tidak pernah menengok mereka."
"Ya ibu. Aku tenggelam dalam tugas-tugasku. Gejolak yang terjadi di Pajang yang berganda itu mengikatku, sehingga aku tidak dapat pergi ke manapun," jawab Kasadha.
"Ibu sudah mendengar bahwa kau telah menjadi seorang prajurit, Puguh. Ibu bersyukur bahwa hidupmu ternyata jauh lebih berarti dari ibu yang malang ini," desis Warsi. Suaranya menjadi serak.
Puguh yang sehari-hari di lingkungan keprajuritan dipanggil Kasadha itu menjadi termangu-mangu. Ibunya yang dihadapinya itu sama sekali berubah. Seolah-olah orang itu bukan Warsi yang sebelumnya dikenalnya sebagai seorang yang keras, bahkan kejam terhadapnya. Namun kini yang dijumpainya adalah seorang perempuan yang nampaknya rapuh dan tidak mempunyai gejolak kehidupan lagi di dalam dirinya.
Warsi yang melihat tatapan mata anaknya itu menarik nafas dalam-dalam. Hampir di luar dugaan Kasadha, ibunya bertanya, "Kau melihat ibu berubah?"
"Ya ibu," jawab Kasadha dengan nada rendah.
"Syukurlah jika kau sempat melihat perubahan itu," berkata ibunya kemudian, "Aku memang berusaha untuk berubah. Bagaimanapun juga itu akan lebih baik bagiku meskipun perubahan itu tidak tumbuh dari dalam endapan nuraniku."
"Maksud ibu?" bertanya Kasadha.
"Puguh. Aku sekarang bukan lagi ibumu yang dahulu. Setelah aku melakukan perang tanding yang terakhir dengan Iswari, maka ilmunya yang dahsyat itu benar-benar telah mengguncang bagian dalam tubuhku. Bukan karena luka pedangnya. Tetapi ilmunya yang menghantam dan menukik ke dalam pusat syarafku, telah membuat aku kehilangan sebagian dari kemungkinan untuk mengembangkan diri dalam meningkatkan ilmuku selanjutnya. Dengan demikian maka aku merasa, bahwa aku tidak akan mungkin dapat mengimbangi kemajuan ilmu Iswari."
Warsi berhenti sejenak, lalu katanya kemudian, "Semula aku memang tidak mau menerima kenyataan ini. Apalagi Ki Rangga Gupita selalu mendorongku untuk meneruskan keinginan gila itu. Namun untunglah bahwa kakekmu dan gurumu sekali-sekali datang menengokku. Bahkan ketika goncangan jiwaku karena kenyataan tentang diriku membuat aku hampir gila, kakekmu dan gurumu berada di tempat ini untuk lebih dari sepuluh hari. Saat itulah hatiku mulai terbuka. Apalagi ketika aku tahu bahwa kau telah menjadi seorang prajurit. Yang terakhir aku dengar kau telah diangkat menjadi lurah prajurit. Rasa-rasanya kau akan mampu menebus segala dosa yang telah ibu perbuat."
02 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Penyesalan ibu sendiri telah menghapus dosa-dosa yang pernah ibu perbuat," berkata Kasadha.
"Tetapi penyesalan ini sebenarnya tidak jujur. Hal ini terjadi karena aku merasa tidak akan mungkin untuk bangkit dan menjadi tegar kembali meskipun sebagian besar ilmuku masih aku kuasai. Tetapi ilmu itu tidak akan dapat berkembang lagi," Warsi berhenti sejenak, lalu, "seandainya hal itu tidak terjadi, mungkin aku masih juga belum menyadari apa yang sebenarnya berkembang di dalam diriku. Karena benih itu ditanam sejak aku dilahirkan."
"Tidak ibu," jawab Kasadha, "ibu bukannya tidak jujur. Yang Maha Agung mempunyai beribu cara untuk memanggil kembali hambanya. Apa yang terjadi atas ibu sehingga ilmu ibu tidak dapat berkembang lagi adalah satu isyarat dari Yang Maha Agung untuk memanggil ibu kembali. Dan ternyata ibu tanggap. Seperti anak yang tersesat, maka ibu kemudian telah menemukan jalan yang seharusnya ibu lalui."
Wajah Warsi menegang sejenak. Namun kemudian matanya menjadi basah lagi. Dengan nada lembut ia berkata, "Ternyata kau benar-benar telah memiliki sikap yang ditanamkan oleh kakek dan gurumu. Yang kau katakan membuat hatiku semakin terang," Namun tiba-tiba saja kening Warsi berkerut. Katanya, "Aku belum menemukan kebulatan hati tentang hal ini dengan ayahmu."
"Maksud ibu Ki Rangga Gupita?" bertanya Kasadha.
"Ya," jawab Warsi. Namun ketika ia kemudian melihat kerut di kening Kasadha, maka Warsipun berkata, "Maafkan aku Puguh. Aku memang seorang perempuan yang liar. Seharusnya aku menghormati perasaan ayahmu. Tetapi waktu itu hatiku benar-benar dicengkam iblis sebagaimana saat aku inginkan Ki Wiradana untuk menjadi suamiku."
Sentuhan perasaan itu memang terasa sakit di hati Kasadha. Tetapi ia tidak mau menyakiti hati ibunya yang mulai berubah.
Sebenarnya Kasadha sudah merasakan perubahan itu sejak ia akan berpisah dengan ibunya. Perasaannya yang paling dalam telah menangkap sesuatu yang lain pada sikap ibunya. Tetapi laki-laki yang selalu membayanginya itu telah membuat ibunya yang sejak semula memang liar menjadi semakin liar.
"Untunglah, Yang Maha Agung yang penuh dengan kasih telah memberikan isyarat agar ibu kembali ke jalan yang lurus," berkata Kasadha di dalam hatinya.
Dalam pada itu hampir di luar sadarnya Kasadha bertanya, "Dimana Rangga Gupita itu sekarang ibu?"
"Ia berkeliaran saja tidak menentu. Tiba-tiba saja ia pergi. Kemudian muncul satu dua hari dan menghilang lagi. Ia tidak mampu mengatasi goncangan-goncangan perasaannya serta mimpinya yang melambung ke langit. Ia masih menginginkan Tanah Perdikan Sembojan untuk dijadikan landasan niatnya. Mimpinya menjadi semakin buruk ketika ia mulai menilai kekuatan Pajang. Dendamnya sebagai orang Jipang kadang-kadang ternyata masih juga muncul dipermukaan."
Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu, bibinya telah menghidangkan minuman dan makanan. Ketela pohon yang direbus dengan santan dan garam. Beberapa bungkus nagasari berisi pisang.
Tetapi bibinya tidak ikut duduk bersama Warsi. Agaknya ia memang memberi kesempatan kepada Warsi untuk dapat berbicara sepuas-puasnya dengan anaknya.
"Sampai kapan kau mendapat waktu untuk beristirahat?" bertanya ibunya kemudian.
"Lima hari ibu. Tetapi sehari sudah aku pergunakan untuk mengunjungi bekas pimpinanku, seorang Lurah Penatus yang kemudian mengundurkan diri. Sehari aku pergunakan untuk berada di rumah paman Pamekas," jawab Kasadha.
"Kau masih mempunyai sisa tiga hari," berkata ibunya.
"Ya ibu," jawab Kasadha, "di hari keenam aku harus sudah berada di barakku kembali."
"Jika demikian kau dapat beristirahat disini. Mudah mudahan Ki Rangga Gupita belum kembali sampai kau meninggalkan tempat ini. Ia terlalu banyak menceriterakan kekuranganmu di matanya," berkata Warsi. Namun kemudian iapun bertanya, "Menurut Ki Rangga, orang-orang Sembojan sudah mengetahui siapa kau sebenarnya."
Kasadha mengangguk. Katanya, "Ya ibu. Aku ternyata segera dikenali oleh dua orang yang nampaknya dengan sengaja berusaha untuk mengetahui tentang aku. Puguh, anak Warsi."
"Aku ingin mendengar dari mulutmu sendiri atas sikap orang-orang Sembojan terhadapmu," berkata Warsi.
Kasadhapun kemudian telah menceriterakan kehadirannya di Tanah Perdikan. Ia datang sebagai seorang prajurit Pajang dalam tugasnya. Tetapi akhirnya, ia tidak dapat mengelak bahwa ia harus memperkenalkan dirinya sebagai Puguh, anak Ki Wiradana. Adik Risang. Yang dalam kesatuan pasukan khusus Risang merupakan seorang yang paling akrab dengannya tanpa diketahui siapa sebenarnya anak itu. Meskipun dengan singkat, tetapi Kasadha sempat menceriterakan dengan jelas apa yang telah terjadi pada dirinya di Tanah Perdikan Sembojan. Sikap orang-orang Sembojan khususnya keluarga Risang dan Risang sendiri.
"Ternyata mereka adalah orang-orang yang baik ibu. Aku sempat merasa iri hati terhadap Risang yang mempunyai seorang ibu yang penuh dengan kasih sayang. Ternyata Yang Maha Agung mengabulkan doaku. Aku sekarang juga mempunyai seorang ibu yang baik," berkata Kasadha.
"Jangan sebut itu Puguh," desis ibunya, "aku menjadi malu sekali."
"Kenapa ibu harus merasa malu" Justru ibu harus merasa berterima kasih bahwa dengan demikian ibu telah meninggalkan satu kehidupan yang kelam dan memasuki satu kehidupan baru yang pantas," sahut Kasadha.
"Sudahlah. Marilah, kita lupakan saja masa lalu yang kotor itu. Aku setuju dengan kau, kita memasuki saru kehidupan baru yang pantas," berkata ibunya, "tetapi masih, ada satu persoalan yang selama ini mengganggu pikiranku."
"Ki Rangga Gupita?" bertanya Kasadha.
Ibu mengangguk. "Ibu harus berani mengatakan yang sebenarnya terbersit di hati ibu. Biarlah Ki Rangga menempuh jalan hidupnya sendiri. Biarlah ia mencari apa yang diingini jika orang itu sudah tidak dapat diperingatkan lagi," berkata Kasadha kemudian. Lalu katanya dalam nada rendah, "Ibu jangan merasa kehilangan jika orang itu pergi."
Ibunya mengangguk pula. katanya, "Sudah lama aku hidup bersama. Bahkan kami sudah membuahkan seorang anak laki-laki. Tetapi aku masih mempunyai kekuatan untuk melupakannya."
"Aku, kakek dan guru tentu bersedia membantu ibu melepaskan diri dari bayangannya," berkata Kasadha.
Ibunya mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, "Sekarang minumlah. Makanlah apa yang ada Kasadha. Mungkin agak lain dengan makanan dan minuman yang kau terima di barakmu."
"Sama saja ibu. Justru dalam perang yang terakhir, kami, seluruh isi barak, hampir saja kelaparan. Tidak ada beras, tidak ada jagung, tidak ada ketela pohon," jawab Kasadha.
"Jadi?" bertanya ibunya.
"Untunglah, bahwa pada saat terakhir, ketika perut terasa mulai lapar, beras dan jagung itu datang," jawab Kasadha.
Ibunya menarik nafas. Seakan-akan ibunyalah yang mendapat beras pada saat terakhir.
Hari itu Kasadha tinggal di rumah bibinya bersama ibunya. Tidak ada yang terasa mengganggu. Ibunya telah benar-benar berubah. Perempuan yang garang itu telah menjadi jinak, seperti kebanyakan perempuan. Di hari berikutnya, Kasadha melihat ibunya berada di dapur bersama bibinya. Merebus air, menanak nasi dan kesibukan-kesibukan yang lain. Pakaian, tingkah lakunyapun tidak ada ubahnya dengan perempuan-perempuan yang dikenalnya. Bahkan nampaknya lebih tua dan lebih rapuh dari ibu Risang yang masih tetap tegar meskipun umurnya sudah menjadi semakin tua pula.
Namun perubahan sikap jiwani ibunya membuat Kasadha benar-benar bergembira. Di malam hari pertama ia menginap di rumah bibinya, ia telah mengucap syukur kepada Yang Maha Agung hampir semalam suntuk. Ia telah mendapat kurnia sesuatu yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya akan dapat terjadi.
Dengan demikian, maka Kasadha tidak merasa bahwa ia berada di neraka sebagaimana dibayangkannya. Ia mengira bahwa dalam waktu tiga hari ia akan dibakar oleh panasnya suasana. Mungkin lebih dari sekedar bertegang dalam pembicaraan. Bahkan kemungkinan terburuk yang dapat terjadi adalah, bahwa ibunya akan membunuhnya.
Tetapi semuanya itu tidak terjadi.
Seperti ibunya, maka Kasadha berharap bahwa Ki Rangga Gupita tidak akan kembali sebelum ia meninggalkan rumah itu.
Di hari terakhir Kasadha berada di rumah bibinya, maka ia berkesempatan untuk berbicara panjang dengan ibu dan bibinya. Keduanya berharap agar Kasadha berhati-hati dalam tugasnya.
"Jika kau sudah mantap menjadi seorang prajurit Kasadha, lakukanlah dengan sepenuh hati. Pengabdian yang kau berikan tidak sia-sia. Ibu adalah orang yang pernah hidup dalam dunia yang gelap, sehingga ibu tahu pasti, bahwa tugas seorang prajurit memang sulit. Dalam pengabdiannya ia harus bersedia mempertaruhkan segala-galanya yang dipunyainya," berkata ibunya, "Dengan kehadiranmu dalam dunia keprajuritan, maka kau telah mengangkat nama baik keluarga kita. Keluarga ini bukan keluarga yang terburuk dalam lingkungan pemerintahan di Pajang. Karena seorang di antaranya telah ikut serta dalam pengabdian yang tulus, meskipun yang lain adalah bayangan-bayangan hitam yang tidak lebih dari sampah."
"Sebaiknya ibu tidak selalu menyesali diri sendiri," berkata Kasadha.
Namun kemudian yang mereka bicarakanpun telah beralih. Dari dunia keprajuritan sampai ke persoalan-persoalan pribadi Kasadha.
"Bukankah kau sudah dewasa penuh, Kasadha?" bertanya bibinya tiba-tiba.
"Tentu," ibunya yang menjawab, "ia sudah Lurah Penatus."
"O," bibinya mengangguk-angguk, "jadi kau sudah mempunyai pangkat?"
"Ah, apa artinya seorang Lurah," jawab Kasadha.
"Jangan berpikir begitu," berkata ibunya, "seorang harus berani memanjat dari bawah."
Kasadha mengangguk-angguk, sementara bibinya berkata, "Jika demikian, maka kau sudah pantas mempunyai seorang isteri Kasadha."
"Ah," Kasadha berdesah, "belum waktunya berbicara tentang seorang isteri bibi."
"Kenapa belum waktunya," sahut bibinya, "justru tidak pantas jika seorang Lurah Penatus prajurit Pajang masih belum mempunyai seorang isteri."
Kasadha tertawa. Katanya, "Lurah Penatus bukan ukuran bibi. Ada Lurah Penatus yang sudah tua, ada yang masih muda meskipun sudah beranak dua, tetapi ada pula yang belum beristeri. Aku bukan satu-satunya penatus yang belum beristri."
"Tetapi bukankah lebih baik jika sudah ada yang mengurus kebutuhan-kebutuhan sehari-hari," berkata bibinya.
"Bukankah aku tinggal di barak" Para Lurah Penatus juga tinggal di barak," sahut Kasadha.
"Di dalam keadaan yang gawat, semua prajurit memang tinggal di barak. Tetapi tentu tidak di masa tenang," berkata bibinya pula.
Kasadha masih saja tertawa menanggapi kata-kata bibinya itu. Namun jantungnya menjadi berdebaran ketika bibinya berkata, "Kasadha. Aku akan membiasakan diri memanggil nama yang kau pergunakan saat kau memasuki dunia keprajuritan," bibinya berhenti sejenak, lalu, "jika kau merasa bahwa saatnya untuk beristeri sudah tiba, kau dapat memberitahukannya kepadaku. Aku mempunyai satu pilihan yang tepat untukmu. Seorang gadis yang lembut namun berhati baja. Sesuai sekali untuk menjadi isteri seorang prajurit yang memerlukan ketabahan dan bahkan keberanian. Meskipun tidak seperti ibumu, yang memiliki kemampuan yang sangat tinggi, tetapi ia akan dapat menjadi seorang isteri yang mengerti kewajibannya sebagai isteri seorang prajurit."
"Ah," Kasadha berdesah pula, "aku belum memikirkannya bibi. Mungkin aku masih memerlukan waktu yang panjang untuk memasuki dunia rumah tangga. Aku memerlukan persiapan yang matang. Bukan saja dalam pengertian kebendaan. Tetapi lebih dari itu. Aku harus mempersiapkan diri lahir dan batin agar aku dapat memasuki dunia baru itu dengan penuh keyakinan akan kemampuan diri."
"Kau jangan terlalu banyak membuat pertimbangan-pertimbangan," berkata bibinya, "jika kau sudah merasa pantas untuk memasukinya, maka kau harus berani langsung terjun. Segala sesuatunya nanti akan terisi dengan sendirinya."
Kasadha masih saja tertawa. Ibunya juga tertawa. Katanya, "Kau dapat mulai memikirkannya. Tetapi kau tidak terlalu terikat kepada waktu. Mungkin dalam waktu dekat. Mungkin masih beberapa tahun lagi. Terserah kepadamu. Yang aku harapkan adalah, bahwa kau akan dapat hidup wajar sebagaimana orang lain. Tidak seperti ibu."
Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Namun dengan demikian Kasadha yakin, bahwa ibunya benar-benar telah menyesali masa lampaunya, sehingga penyesalan itu agaknya mendalam sampai ke tulang sungsum.
Namun dalam pada itu, bibinya justru berkata, "Baiklah. Ingat-ingat pesan ibumu. Tetapi juga ingat-ingat pesan bibi. Bibi mempunyai seorang gadis yang sangat baik buatmu."
Kasadha mencoba untuk tertawa lagi. Tetapi perasaannya memang sudah mulai tergelitik untuk mengingat seorang gadis yang sangat menarik baginya. Gadis yang bernama Riris Respati, anak Ki Lurah Dipayuda.
Namun sekilas juga terbayang kakaknya seayah, Risang yang dikenalnya bernama Bharata, yang oleh banyak orang justru dianggap sebagai adiknya.
"Sudahlah," berkata ibunya. Kasadha bagai terbangun dari tidurnya yang dibayangi sebuah mimpi indah tentang seorang gadis cantik. Sementara itu ibunya berkata selanjutnya, "Pada saatnya kau tentu akan merasakan jika kau sudah memerlukan seorang isteri."
Bibinyalah yang tersenyum. Katanya, "Waktu itu akan segera datang."
Kasadha dan ibunya juga tersenyum. Tetapi Kasadha tidak menjawab lagi.
Namun ia merasakan pertemuannya dengan ibunya dan bibinya itu benar-benar membuatnya merasa hidup dalam kewajaran keluarga. Meskipun tidak seakrab keluarga Risang, tetapi hatinya serasa telah berkembang. Harapan-harapan telah tumbuh di dalam hatinya, bahwa ia pada suatu saat akan dapat menyusun keluarga yang baik dan berarti. Hidup di tengah-tengah masyarakat tanpa dibayangi oleh kecemasan diburu oleh musuh-musuhnya yang setiap saat dapat membahayakan hidupnya.
"Ternyata kesempatanku meninggalkan barak kali ini merupakan satu kurnia yang sangat besar dari Yang Maha Agung. Aku sempat menengok Ki Lurah Dipayuda, Paman Pamekas dan terakhir aku telah menemukan ibuku yang berubah. Meskipun aku tidak bertemu dengan kakek dan guru, tetapi apa yang terjadi atas ibuku adalah cermin dari ketekunan kedua orang itu. Tentu saja atas kemurahan Yang Maha Agung yang telah memanggil agar ibu kembali ke jalan yang direstuinya," berkata Kasadha di dalam hatinya.
Ketika kemudian senja turun, maka Kasadha sempat melihat-lihat kebun di belakang rumah yang memang kurang mendapat perawatan.
"Tidak ada orang yang mengurusnya," berkata ibunya.
"Bagaimana dengan ayah?" bertanya Kasadha.
"Aku lebih senang melihat rumput-rumput liar itu tumbuh daripada melihat Ki Rangga berkeliaran disini," jawab ibunya.
Kasadha mengangguk-angguk. Sekali lagi ia merasa bahwa ibunya benar-benar telah berubah. Hal itu membuat hati Kasadha semakin gembira.
Namun yang tidak disangka-sangka itupun datang pula. Kasadha dan ibunya bahkan juga bibinya berharap bahwa Ki Rangga tidak datang saat Kasadha masih berada di rumah itu. Tetapi justru di hari terakhir, ketika di pagi harinya Kasadha akan meninggalkan rumah itu, Ki Rangga Gupita telah datang. Tidak sendiri. Bahkan dengan dua orang kawannya.
Warsi tidak dapat menolak. Ia memang merasa wajib untuk menerima laki-laki itu meskipun ia tidak lagi tertarik akan kehadirannya. Demikian juga dengan kedua orang kawannya yang nampaknya memang bukan orang baik-baik.
Ki Ranggapun kemudian telah mempersilahkan kedua orang kawannya itu duduk di pendapa. Dengan kata-kata kasar mereka berkelakar. Kemudian suara tertawa meledak.
"Mana perempuan itu?" bertanya seorang di antara mereka.
"Tunggu. Jangan tergesa-gesa. Ia ada di rumah ini," jawab Ki Rangga Gupita.
"Jangan biarkan kami menunggu terlalu lama," berkata yang lain.
Ki Rangga tidak menjawab. Iapun segera masuk ke ruang dalam. Ketika ia melihat Warsi, maka iapun bertanya kasar, "Dimana sepupumu?"
"Di belakang," jawab Warsi.
"Suruh ia mandi dan berpakaian yang rapi. Ia masih cukup muda dan cantik untuk menemani kedua orang kawanku itu," berkata Ki Rangga.
"Gila. Kau sangka apa sepupuku itu he?" bertanya Warsi.
"Tolonglah. Jika kau yang menyuruhnya, sepupumu mesti bersedia. Aku memerlukan kedua orang itu agar ia bersedia membantu kami," berkata Ki Rangga.
"Aku tidak menjual sepupuku," jawab Warsi.
"Jangan begitu," minta Ki Rangga, "aku sangat memerlukan mereka berdua. Bukankah sepupumu seperti juga kita" Orang-orang liar" Cepat. Suruh sepupumu mandi dan berpakaian yang sebaik-baiknya. Keduanya tidak akan mau menunggu terlalu lama."
"Tidak," jawab Warsi.
"Jika kau tidak mau, biar aku yang mengatakan kepadanya," berkata Ki Rangga, "ia sangat baik kepadaku."
"Terserah kepadamu. Tetapi jika ia marah dan mengusirmu, aku tidak bertanggung jawab. Rumah ini adalah rumah peninggalan suaminya. Bukan rumah kita," berkata Warsi.
"Bukankah kita dapat memaksanya?" berkata Ki Rangga.
"Kita siapa?" bertanya Warsi.
"Kita. Kau dan aku," jawab Ki Rangga.
"Sudah aku katakan, aku tidak mau memaksanya," jawab Warsi.
"Aku akan memaksanya. Jika ia menolak, maka aku akan mengancam untuk membunuhnya. Meskipun ia memiliki ilmu kanuragan, tetapi tidak terlalu tinggi, sehingga aku dan kedua orang kawanku itu tidak akan menemui kesulitan apapun juga," berkata Ki Rangga.
"Kau sudah gila," geram Warsi.
Ki Rangga tidak menunggunya. Iapun telah berlari ke belakang mencari sepupu Warsi.
Namun Ki Rangga itu terkejut. Ternyata ia melihat Kasadha sedang menempatkan kudanya di kandang yang sudah tidak begitu utuh lagi.
"Kau. Jadi kau telah datang?" Ki Rangga hampir berteriak, "Marilah. Marilah Puguh. Aku perkenalkan kau dengan kedua orang kawanku. Mereka tentu akan senang bergabung dengan kau. Apalagi jika kau sudah berhasil menguasai Tanah Perdikan Sembojan."
Tetapi jawab Puguh tegas, "Tidak. Aku tidak mau."
"Gila. Kau berani berkata begitu di hadapan ibumu?" bertanya Ki Rangga Gupita.
"Aku sudah berbicara dengan ibu. Aku tidak mau." jawab Kasadha.
"Kenapa kau masih tetap hidup" Jika kau menolak keinginan ibumu, kau tentu sudah dibunuhnya. Kepalamu akan diletakkan di depan pintu dan rambutmu akan menjadi tempat membersihkan kaki orang-orang yang akan masuk ke ruang dalam," geram Ki Rangga.
Dalam pada itu, tiba-tiba telah terdengar suara Warsi, "Aku sudah mendengarkan semua ceriteranya. Termasuk penolakannya untuk memasuki Tanah Perdikan Sembojan dan menguasainya."
"Dan kau tidak marah" Tidak membunuhnya?" bertanya Ki Rangga.
"Ia adalah anakku. Aku telah melahirkannya dengan menantang maut. Kenapa aku harus membunuhnya?" bertanya Warsi.
"Gila. Kau tidak tahu seluruh ceriteranya," berkata Ki Rangga, "ia telah berkhianat. Ia telah mengabaikan perintahmu."
Namun jawaban Warsi, "Sudahlah Ki Rangga. Jangan memaksa anak itu lagi. Biarlah ia hidup menurut caranya sendiri. Ia akan menjadi seorang anak muda yang berjalan di jalur yang dirintisnya sendiri."
"Apa yang sebenarnya telah terjadi disini" Kenapa kau tidak lagi mau mendengarkan kata-kataku. Dua kali kau telah menolak permintaanku. Menyiapkan sepupumu itu agar ia menjadi pantas menerima kedua orang tamuku dan memaksa anak ini melakukan perintah yang pernah kita berikan," berkata Ki Rangga.
"Kedua-duanya aku tidak dapat melakukannya Ki Rangga," jawab Warsi. Lalu katanya, "Sebaiknya kita mulai menyadari. Umur kita menjadi semakin tua. Apa yang akan dapat kita capai dengan sisa umur kita" Tanah Perdikan Sembojan atau bahkan Pajang" Ternyata bahwa kemukten adalah mimpi buruk yang telah menjerumuskan kita ke dalam kesulitan sehingga kita tidak dapat hidup sebagaimana orang banyak."
"Persetan," geram Ki Rangga, "sekarang cepat panggil sepupumu. Aku akan menghukum anak durhaka ini jika kau tidak mau melakukannya. Ia harus mempertanggungjawabkan padepokan kita yang telah dimusnahkannya. Kemudian pengkhianatannya tidak lagi dapat diampuni."
"Kau tidak dapat menghukumnya," berkata Warsi, "ia seorang Lurah Penatus."
"Kau tahu seberapa rendahnya pangkat Lurah Penatus itu. Aku adalah Rangga dalam susunan pemerintahan Jipang. Aku adalah Rangga dalam pasukan khusus dan kemudian menjadi salah seorang perwira prajurit sandi. Selain itu aku telah meningkatkan ilmuku bersama kedua orang kawanku itu di saat-saat terakhir, sehingga ilmuku sekarang sudah memadai," berkata Ki Rangga.
"Justru karena itu, bukankah kita yang merasa memiliki ilmu yang cukup, tidak lagi seperti kanak-kanak yang baru keluar dari sebuah perguruan" Yang ingin menjajagi kemampuannya dengan menantang setiap orang berkelahi?" bertanya Warsi.
"Tidak Nyi," jawab Ki Rangga, "persoalannya adalah menghukum seorang pengkhianat."
Warsi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian telah timbul di hatinya satu keinginan untuk melihat kemungkinan yang dapat ditunjukkan oleh anaknya. Ia seorang prajurit berpangkat Lurah Penatus. Iapun murid Ki Ajar Paguhan dan selain itu berada di bawah bayangan kemampuan kakeknya pula.
Karena itu, maka katanya kemudian, "Terserah kepada Ki Rangga. Tetapi sudah aku peringatkan. Anak itu seorang Lurah Penatus yang tentu tidak akan membiarkan dirinya mengalami kesulitan karena perbuatanmu."
"Kau mencemaskan aku?" bertanya Ki Rangga.
"Ya," jawab Warsi.
"Ada dua kemungkinan yang mendorongmu mencemaskan nasibku jika aku menghajar anak itu. Kau benar-benar mencintaiku atau kau sudah mulai menghinaku," geram Ki Rangga.
"Terserahlah. Aku tidak dapat membedakan kedua-duanya," jawab Warsi.
Ki Ranggapun benar-benar menjadi marah. Selangkah demi selangkah ia mendekati Kasadha. Sementara senjapun menjadi semakin gelap.
Namun Kasadha telah bergeser pula. Ia berdiri di tempat yang cukup lapang. Nampaknya Ki Rangga benar-benar kehilangan kendali jiwanya. Sementara ibunya dengan tidak langsung telah mengijinkannya untuk melawannya.
Namun sebelum ia mulai, ia masih berteriak, "Suruh sepupumu mandi. Dimana dia sekarang" Kedua kawanku tidak mau menunggu terlalu lama."
Warsi tidak menjawab. Tetapi perhatiannya tertuju kepada anaknya yang telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Ki Rangga yang sebenarnya telah lama mendendamnya, rasa-rasanya mendapat kesempatan untuk menyalurkan kemarahannya. Beberapa kali ia berusaha untuk mengekang diri menghadapi anak itu. Tetapi rasa-rasanya ia telah sampai ke puncak kemarahannya. Maka ia tidak mempunyai niat yang lain kecuali membunuh anak muda yang dibencinya sejak kanak-kanak itu.
"Puguh," geram Ki Rangga, "akhirnya memang sampai juga saatnya aku membunuhmu. Aku ternyata memang tidak mempunyai pilihan lain. Kau harus mati. Aku memang menyesal tidak mencekikmu di masa kanak-kanak. Saat ibumu belum terpengaruh melihat kau menjadi seorang prajurit."
Kasadha tidak menjawab. Ia semakin bergeser ke tempat yang lebih lapang.
"Apakah kau masih akan bersujud di hadapan ibumu sebelum kau mati," geram Ki Rangga.
"Aku tidak akan mati karena kuasamu," geram Kasadha, "kematian seseorang tergantung kepada garis pepesthen dari Yang Maha Agung."
"Setan kau," geram Ki Rangga sambil meloncat menyerang.
Serangannya meluncur cepat sekali. Namun Kasadha yang telah berlatih dengan baik serta memiliki pengalaman cukup meskipun ia masih muda, telah sempat mengelak. Mata Kasadha yang terlatih sama sekali tidak mengalami kesulitan mengikuti gerak Ki Rangga meskipun senja menjadi semakin gelap.
Demikianlah dendam yang tersimpan untuk beberapa lama akhirnya memang meledak. Baik Ki Rangga Gupita, maupun Kasadha berharap bahwa Warsi tidak mencampuri persoalan mereka. Mereka memang berniat untuk bertempur sampai tuntas.
Dengan demikian maka pertempuran itupun dengan cepat telah meningkat menjadi semakin sengit. Ki Rangga ingin dengan cepat membunuh Kasadha yang sangat dibencinya sejak kanak-kanak. Sementara Kasadhapun membenci Ki Rangga Gupita sejak ia masih kanak-kanak.
Warsi berdiri termangu-mangu. Semula ia memang ingin melerai keduanya yang sedang bertempur itu. Tetapi tiba-tiba saja timbul keinginannya untuk melihat kemampuan Kasadha setelah ia belajar untuk waktu yang cukup lama kepada Ki Ajar Paguhan, serta setelah ia menjadi seorang prajurit.
Karena itu, maka niatnya untuk meleraipun ditangguhkannya.
Ketika pertempuran itu meningkat menjadi semakin sengit, maka Warsipun mengangguk-angguk. Ia menjadi bangga melihat Kasadha yang ternyata telah memiliki kemampuan yang cukup tinggi. Nampaknya anak muda itupun telah memiliki pengalaman yang luas sehingga saat-saat yang sangat berbahaya mampu diatasinya dengan manis sekali.
Ki Rangga Gupita memang telah dikenal oleh Warsi. Ia memiliki ilmu yang cukup tinggi pula. Bahkan pengalamannya sangat luas karena tugas-tugasnya di Jipang, tetapi juga karena petualangannya.
Meskipun demikian, ternyata Kasadha, murid Ki Ajar Paguhan itu telah mampu menempatkan diri pada tataran yang seimbang.
Karena itu, maka pertempuran itu tidak segera menunjukkan, siapakah yang akan menang dan siapakah yang akan kalah. Keduanya saling mendesak dan saling bertahan. Serangan demi serangan datang silih berganti.
Sepupu Warsi yang mendengar keributan itupun segera datang. Pakaiannya masih berbau asap karena ia berada di belakang membakar sampah yang kering.
"Apa yang terjadi?" bertanya sepupu Warsi itu.
"Ki Rangga Gupita ternyata telah datang membawa dua orang kawannya," berkata Warsi, "Aku sudah mengira bahwa hal ini akan terjadi."
Sepupunya tidak bertanya lebih lanjut. Ia tahu kelanjutan dari ceritera itu sebagaimana dilihatnya. Karena itu, maka iapun kemudian telah memperhatikan pertempuran itu dengan sungguh-sungguh.
Meskipun ilmunya tidak setinggi Warsi, tetapi sepupunya itu juga mampu menilai kemampuan kedua orang yang bertempur itu. Ternyata Kasadha yang muda itu mampu mengimbangi Ki Rangga Gupita yang telah memiliki pengalaman sebangsal. Bahkan ketika malam mulai turun dan gelap menjadi semakin pekat, Kasadha masih mampu mengimbangi lawannya.
Sementara itu kedua orang kawan Ki Rangga yang ada di pendapa ternyata juga mendengar pertempuran itu. Mula-mula mereka ragu-ragu untuk melihat apa yang terjadi. Tetapi ketika malam turun dan tidak seorangpun yang memasang lampu di pendapa, maka keduanya telah turun ke halaman dan melingkari gandok untuk melihat apa yang terjadi.
Ternyata keduanya melihat Ki Rangga Gupita sedang bertempur melawan Kasadha yang muda itu.
"He, apa yang kau lakukan" Apakah ada pencuri masuk ke rumahmu?" bertanya yang seorang.
Namun yang lain menyahut, "Apakah laki-laki itu telah mengambil perempuan yang kau katakan tidak seijinmu?"
"Aku akan membunuh anak gila ini dahulu," geram Ki Rangga sambil bertempur.
Sepupu Warsi yang melihat kedua orang laki-laki itu bertanya perlahan-lahan, "Siapakah mereka?"
"Kawan Ki Rangga. Nampaknya mereka orang-orang kasar. Aku cepat tanggap pada tingkah lakunya, karena aku lahir, tumbuh dan menjadi rapuh sebagai orang kasar dan liar," jawab Warsi.
"Apa yang akan mereka lakukan?" bertanya sepupunya, "apakah mereka akan mengganggu?"
"Mereka datang untuk mencari perempuan. Ki Rangga telah menawarkan seorang perempuan yang ada di rumah ini kepada mereka berdua," jawab Warsi.
"Aku tidak mengerti," desis sepupunya.
"Ki Rangga minta kau untuk mandi dan berpakaian rapi. Katanya kau masih cukup muda dan cantik untuk menemani kedua orang itu," desis Warsi kemudian.
"Gila," geram sepupunya.
"Aku sudah menolak. Karena itu, aku tidak memanggilmu," jawab Warsi. Lalu katanya pula, "Tetapi sebelum ia menemukanmu, Ki Rangga sudah bertemu dengan Puguh."
"Roh iblis telah merasuk ke dalam jiwanya," gumam sepupunya. Namun ia masih bertanya, "Apakah benar ia berkata begitu?"
"Ya," jawab Warsi.
"Kasadha akan membungkamnya," desis sepupunya.
Namun sebelum mulutnya terkatup rapat, tiba-tiba saja ia mendengar, "He, perempuan-perempuan itukah yang kau katakan Ki Rangga?"
"Satu saja," jawab Ki Rangga sambil bertempur, "yang satu itu isteriku."
"O," terdengar suara tertawa dari kedua orang itu.
Namun suara tertawa mereka tiba-tiba terputus.
Kasadha yang mendengar pertanyaan itu menjadi sangat marah. Tiba-tiba saja ia telah menghentakkan kekuatannya sehingga ketika benturan terjadi Ki Rangga Gupita telah terdorong beberapa langkah surut. Kasadha tidak melepaskan kesempatan itu. Tiba-tiba saja ia telah meluncur dengan serangan kakinya. Tubuhnya yang mendatar bagaikan sepucuk tombak raksasa yang meluncur dengan derasnya.
Ternyata kaki Kasadha mengarah kepada Ki Rangga Gupita yang sedang terhuyung-huyung, sehingga Ki Rangga itu tidak mungkin dapat menghindarinya.
Dengan demikian maka Ki Rangga itupun telah melindungi dadanya dengan kedua tangannya yang bersilang. Tetapi ia tidak berusaha melawan kekuatan serangan Kasadha. Ia justru telah menghanyutkan diri ke dalam arus serangan itu untuk mengurangi benturan yang terjadi.
Ki Rangga memang terlempar beberapa langkah dan bahkan jatuh berguling. Namun iapun segera meloncat bangkit dan siap untuk menghadapi kemungkinan berikutnya.
"Orang itu memang liat," desis sepupu Warsi. Namun kemudian katanya, "Tetapi ia telah menghina aku."
"Biar saja kedua orang itu mencobanya," berkata Warsi, "bukankah kau dapat memilin lehernya?"
Sepupunya mengangguk. Namun iapun harus menilai kemampuan kedua orang itu untuk melawan kehendak mereka. Meskipun demikian ia masih sempat bergumam, "Dari jarak yang jauh dan dalam kegelapan seperti ini, ternyata masih juga ada orang yang menganggap aku cantik."
Warsi berpaling. Ternyata ia masih sempat tersenyum sambil berkata, "Kau memang masih cantik."
Sepupunya mencibir. Namun ia terkejut ketika Ki Rangga yang marah sempat mendesak Kasadha. Bahkan serangannya mampu mengenai pundaknya.
Namun Kasadha masih tetap tegar. Sejak kanak-kanak tubuhnya telah ditempa oleh kebencian ayah dan ibunya.
Demikianlah pertempuran itu berlangsung untuk waktu yang lama. Sementara kedua orang kawan Ki Rangga itu sempat menjadi berdebar-debar. Untuk beberapa saat mereka memang melupakan perempuan yang hanya dapat mereka lihat dari kejauhan dan apalagi dalam keremangan malam.
Semakin lama pertempuran itupun memang menjadi semakin menegangkan. Warsi yang ingin melihat tingkat kemampuan anaknya menjadi berdebar-debar. Dalam keadaan yang paling sulit, maka pengalaman Ki Rangga Gupita ternyata mampu memecahkannya. Meskipun Kasadha juga mempergunakan penalarannya di samping kemampuannya menguasai unsur-unsur gerak dari ilmu yang telah diwarisinya dari Ki Ajar Paguhan, namun ternyata bahwa pengalaman Ki Rangga yang sangat luas itupun mempunyai kelebihannya sendiri.
Semakin lama maka Warsipun menjadi semakin tegang. Beberapa kali Kasadha memang terdesak. Ada hal yang tidak terduga-duga telah terjadi. Ki Rangga mampu membuat gerakan-gerakan yang dapat mengejutkan Kasadha sehingga anak muda itu harus mengambil jarak.
Sepupu Warsipun menjadi tegang pula. Iapun melihat kelebihan Ki Rangga Gupita itu. Sementara dua orang kawan Ki Rangga justru telah melibatkan diri dengan teriakan-teriakan yang menyakitkan.
"Cekik saja anak itu Ki Rangga," berkata yang seorang, "he, siapakah anak itu sebenarnya?"
"Jika ia datang untuk mengambil perempuan itu, serahkan ia kepadaku. Aku pilin perutnya sampai koyak," geram yang lain.
Keduanya justru bertepuk tangan jika Ki Rangga mampu mendesak Kasadha. Tetapi keduanya mengumpat-umpat jika serangan Kasadha telah menggoyahkan pertahanan Ki Rangga Sebenarnyalah tubuh Kasadha yang sedang mekar itu mampu mengimbangi kelebihan pengalaman Ki Rangga Gupita. Setelah keduanya bertempur dengan mengerahkan segenap kekuatan dan kemampuan mereka, maka ternyata bahwa ketahanan tubuh Kasadha yang muda itu lebih besar dari ketahanan tubuh Ki Rangga yang telah mendekati usia senjanya.
Karena itu, meskipun sekali-sekali Kasadha agak bingung menanggapi unsur gerak lawannya, namun Kasadha menyadari kelebihannya, sehingga dengan hati-hati ia telah memanfaatkan sebaik-baiknya.
Dengan penuh perhitungan dan pertimbangan, Kasadha berusaha untuk beberapa kali membentur pertahanan Ki Rangga. Apalagi ketika Kasadha yakin, bahwa nafas Ki Rangga mulai terengah-engah, serta kekuatannya nampak mulai menyusut.
"Anak iblis," geram Ki Rangga. Namun Kasadha benar-benar menjadi semakin garang justru saat kekuatan Ki Rangga mulai menyusut.
Dengan demikian, maka keseimbanganpun mulai nampak bergeser. Ki Rangga yang menjadi semakin tua ternyata tidak lagi memiliki ketahanan tubuh sebagaimana saat mudanya. Meskipun ilmunya menjadi lebih matang, namun nafasnya mulai mengganggunya ketika keringatnya telah membasahi pakaiannya.
Kasadha yang merasa selalu dibayangi oleh Ki Rangga untuk waktu yang cukup lama, telah menumpahkan kebenciannya, sementara Ki Rangga benar-benar berniat untuk membunuh anak yang telah dianggapnya berkhianat itu.
Kedua orang kawan Ki Rangga menjadi tegang melihat keseimbangan pertempuran itu. Mereka sama sekali tidak mengira bahwa anak itu mampu mendesak Ki Rangga Gupita, yang dikenalnya sebagai seorang prajurit yang sangat berpengalaman.
Namun satu hal yang selalu mereka lupakan, bahwa ternyata kenyataan tubuh Ki Rangga telah tidak lagi mampu mendukung kemampuan ilmunya serta gejolak yang menyala di dadanya.
Itulah sebabnya, maka Ki Ranggapun semakin lama semakin terdesak. Bahkan ketika Kasadha sempat memburunya, maka satu serangan yang tiba-tiba telah berhasil mengenai perut Ki Rangga Gupita, sehingga Ki Rangga itu tertunduk menahan perasaan mual yang melonjak di perut. Tetapi pada saat itu Kasadha berhasil menekan kepala Ki Rangga dan membenturkannya pada lututnya.
Ki Rangga mengaduh tertahan. Namun ia sempat mengerahkan sisa tenaganya dengan tanpa menghiraukan perasaan sakit yang bagaikan mencengkam kepalanya, melenting mengambil jarak.
Kasadha sengaja tidak memburunya. Namun ketika Ki Rangga berdiri dengan terhuyung-huyung Kasadha itupun berkata, "Katakan, bahwa kau tidak akan mengganggu aku lagi. Dimanapun dan kapanpun juga."
Ki Rangga menggeram. Perutnya masih mual dan kepalanya masih terasa pening. Namun mulutnya telah mengumpat sambil berkata, "Anak iblis. Kau akan mati tanpa arti disini. Aku akan mencincangmu sebagai anak yang durhaka. Yang berkhianat dan tidak tahu diri betapa orang tuanya membesarkannya dan menuntunnya sehingga kau dapat menjadi seorang prajurit."
"Siapa yang membesarkan, aku" Menuntun aku dalam berbagai macam ilmu dan bahkan olah kanuragan" Kau?" bertanya Kasadha.
"Kau telah menghina ibumu," geram Ki Rangga.
"Kau tidak akan berhasil mengungkit lagi kemarahan ibuku kepadaku," berkata Kasadha, "ibuku bukan ibuku beberapa saat yang lalu."
"Anak iblis kau," geram Ki Rangga.
Dengan serta-merta Ki Rangga telah menyerang Kasadha lagi. Namun serangannya sudah tidak begitu terarah. Dengan kepala yang pening dan perut yang mual, maka Ki Rangga tidak lagi mampu memusatkan nalar budinya menghadapi lawannya yang masih muda itu. Apalagi Kasadha masih nampak segar sebagaimana ia mulai turun ke medan.
Kasadha ternyata mampu memanfaatkan kelebihannya untuk menutup kekurangannya. Bahkan semakin lama maka keadaan Ki Rangga menjadi semakin sulit. Sehingga Kasadha sekali lagi telah berkata, "Aku hanya ingin mendengar kau berjanji untuk tidak mengganggu aku lagi."
"Aku bunuh kau," Ki Rangga justru berteriak.
Namun demikian mulutnya terkatup, maka tangan Kasadha telah terayun menyamping menghantam kening Ki Rangga sehingga Ki Rangga itu terdorong jatuh.
Meskipun demikian, Ki Rangga itupun telah bangkit kembali dengan mengerahkan segenap kekuatannya.
Namun dalam pada itu, di saat Ki Rangga semakin terdesak, seorang di antara kedua orang kawannya ternyata telah mengganggu pertempuran itu. Dengan serta-merta ia telah melemparkan sebilah pisau belati ke arah Kasadha yang berdiri tegak menunggu Ki Rangga siap menghadapinya lagi.
Kasadha terkejut. Ia terdorong beberapa langkah surut. Terdengar ia berdesah tertahan.
Kedua orang kawan Ki Rangga itu tertawa melihat Kasadha terhuyung-huyung surut ke belakang.
Kasadha yang sama sekali tidak mengira bahwa ia akan mendapat serangan dari orang-orang yang berdiri di luar arena itu, tidak sempat menghindar sepenuhnya ketika pisau itu meluncur ke arah dadanya. Namun ia masih sempat menggeliat sehingga pisau itu tidak tepat menembus jantungnya. Tetapi pisau itu telah mengenai pundaknya.
Namun demikian, darah telah memancar dari lukanya ketika Kasadha dengan serta-merta mencabut pisau belati itu dari pundaknya. Warsi yang berteriak mencegah Kasadha tergesa-gesa mencabut pisau itu telah terlambat.
"Bunuh anak itu sekarang," teriak kawan Ki Rangga.
Ki Rangga memang tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dikerahkannya sisa tenaganya. Dengan kekuatan yang masih ada, Ki Rangga telah meloncat menyerang Kasadha dengan tumit kakinya mengarah ke lehernya.
Kedua orang kawan Ki Rangga melihat saat-saat terakhir dari pertempuran itu. Ia ingin Ki Rangga segera membunuh lawannya dan memenuhi janjinya.
Ki Ranggapun telah melihat Kasadha tidak mampu berbuat apa-apa. Tangannya seakan-akan tidak bertenaga lagi, sehingga hanya sebelah tangannya sajalah yang berusaha untuk menangkis serangan lawannya, sementara darah masih mengucur dengan derasnya.
"Kau akan mati disini anak iblis," geram Ki Rangga sambil meluncur.
Tetapi yang terjadi adalah satu benturan yang keras. Justru Ki Ranggalah yang terlempar dan jatuh berguling beberapa kali. Dengan punggung yang sakit, Ki Rangga berusaha untuk bangkit dan melihat apa yang sebenarnya telah terjadi.
Yang berdiri di depan Kasadha adalah ibunya. Warsi, yang masih dialiri darah seorang yang ditakuti, Kalamerta.
"Warsi," desis Ki Rangga Gupita, "kau lindungi anak iblis itu?"
Warsi memandang Ki Rangga dengan tajamnya. Katanya kemudian kepada sepupunya, "Tolong. Rawat Kasadha, agar darahnya tidak terlalu banyak mengalir."
Sepupu Warsi itupun telah mendekati Kasadha dan membimbingnya menepi. Ketika Kasadha berusaha untuk tetap berdiri di arena, maka bibinya itupun berkata, "Jangan kau paksakan dirimu. Darahmu terlalu banyak mengalir."
"Aku ingin menyelesaikannya, sekaligus kawan-kawannya yang licik itu," geram Kasadha.
Tetapi bibinya membimbingnya menepi.
Dengan kemampuannya, maka bibinya telah menekan beberapa urat di pundak dan bahu Kasadha, sehingga darah yang mengalir tertahan sebagian.
"Aku membawa obat luka," berkata Kasadha, "di kantong ikat pinggangku."
Bibinya kemudian telah mengambilnya dan menaburkannya di atas luka di pundak Kasadha. Luka itu memang terasa panas, seakan-akan tersentuh api. Namun Kasadha tahu, bahwa dengan demikian obat itu telah mulai bekerja pada lukanya untuk memampatkan darahnya. Tetapi Kasadhapun menyadari, bahwa ia tidak boleh bergerak. Semakin banyak ia bergerak, maka darahnya akan mengalir semakin banyak pula.
Dalam pada itu, Ki Rangga yang telah berdiri tegak memandang Warsi dengan sorot mata yang menyala. Dengan lantang ia berkata, "Seharusnya kau bantu aku membunuh anak iblis itu. Kelak anak itu akan menerkammu dan membunuhmu."
Tetapi Warsi menggeleng. Katanya, "Sudah aku katakan. Ia adalah anakku. Aku lahirkan anak itu dengan bertaruh nyawa. Kini aku pertahankan hidupnya juga dengan bertaruh nyawa."
"Warsi, apakah kau sudah gila" Kau tahu siapa aku?" bertanya Ki Rangga Gupita.
"Aku tahu, kau Ki Rangga Gupita," jawab Warsi, "aku masih belum pikun meskipun aku sudah menjadi semakin tua."
"Tetapi, aku suamimu," berkata Ki Rangga itu pula.
"Aku telah menjadi jemu melihat tingkah lakumu. Beberapa kali, aku, kakek Randukeling, Ki Ajar Paguhan, mencoba untuk menjelaskan kepadaku, bahwa waktu kita telah berlalu. Kita harus menyadari dan melihat kenyataan di sekeliling kita. Tetapi kau tidak pernah mendengarkannya," Warsi berhenti sejenak, lalu, "namun selama ini aku masih menahan diri. Aku mencoba untuk dengan sabar menunjukkan kepadamu, jalan yang lain yang lebih pantas kita lalui. Sekarang, kau telah mencoba membunuh anakku. Aku tidak dapat menahan diri lagi."
"Apa yang akan kau lakukan?" bertanya Ki Rangga.
"Aku menekankan permintaan anakku yang sederhana. Jangan kau ganggu lagi anak itu. Hanya itu," jawab Warsi.
"Aku akan membunuhnya," geram Ki Rangga Gupita.
"Tidak," jawab Warsi, "sudah aku katakan. Seperti saat aku melahirkannya, aku akan mempertaruhkan nyawaku untuk melindunginya."
"Aku tidak sendiri," geram Ki Rangga. Lalu katanya, "Warsi. Aku minta kau menepi. Biarlah aku selesaikan anak itu. Jika kau menghalangi, terpaksa kedua orang kawanku akan memaksamu menepi sebelum mereka akan mendapatkan sepupumu itu."
"Aku akan tetap berdiri disini," jawab Warsi.
Rangga Gupitapun telah kehilangan kesabarannya. Iapun memberi isyarat kepada kedua orang kawannya untuk mendekat.
Ternyata kedua orang itu dengan cepat tanggap. Mereka telah melangkah mendekati Ki Rangga sambil berkata, "Perempuan inikah isterimu?"
"Ya," jawab Ki Rangga.
"Ternyata ia memiliki ilmu yang tinggi. Ia mampu menolak seranganmu sehingga kau justru terdorong beberapa langkah surut dan jatuh berguling," berkata kawannya.
"Ia memang berilmu tinggi," jawab Ki Rangga, "tetapi benturan itu memang tidak aku duga sebelumnya."
"Apa yang kau kehendaki dari kita?" bertanya seorang kawannya.
"Paksa isteriku minggir. Aku akan membunuh anak durhaka itu," geram Ki Rangga.
Kedua orang kawan Ki Rangga itu mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka berkata, "He, ternyata isterimu juga cantik. Meskipun sudah mendekati pertengahan abad, tetapi sisa-sisa kecantikannya masih jelas."
"Isteriku belum begitu tua," jawab Ki Rangga, "Ia memang tidak suka berhias."
Seorang di antara kedua orang itupun kemudian melangkah mendekat sambil berkata, "Suamimu minta aku menyingkirkanmu."
Warsi sama sekali tidak menjawab. Ia masih berdiri tegak di tempatnya. Sementara itu, seorang kawan Ki Rangga yang lain berkata, "Aku akan menyingkirkan perempuan yang seorang lagi."
"Nanti," jawab Ki Rangga, "ia tidak akan lari. Tetapi singkirkan isteriku dahulu. Hati-hati. Ilmunya cukup tinggi."
Kedua orang kawan Ki Rangga itu memang berhati-hati. Keduanya telah melihat perempuan itu membentur kekuatan Ki Rangga Gupita, sehingga Ki Rangga terlempar dan jatuh berguling. Namun mereka berdua merasa memiliki ilmu yang tidak kalah dari Ki Rangga Gupita, sehingga karena itu, maka mereka berduapun merasa bahwa usaha mereka akan cepat berhasil.
Namun Warsi telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Meskipun ia mempunyai kelemahan saat itu, bahwa ia tidak mengenakan pakaian yang pantas untuk bertempur. Namun dengan ilmunya yang tinggi, ia akan dapat menyesuaikan diri dengan pakaiannya.
Warsi memang merasa bahwa setelah ia berperang tanding melawan Iswari untuk yang kedua kalinya, maka tubuhnya seakan-akan menjadi cacat. Ia tidak akan mampu mengembangkan ilmunya lagi. Namun Warsi tidak ragu-ragu menghadapi kedua orang kawan Ki Rangga, karena Warsi masih berharap bahwa ilmunya yang masih ada di dalam dirinya akan dapat mengatasi mereka, bahkan dengan Ki Rangga sekalipun.
Ketika kedua orang itu mendekat, maka tangan Warsi mulai bergerak. Seorang di antara kedua orang itu bergeser mundur. Ia melihat gerak tangan itu begitu matang, sehingga ia memang yakin bahwa perempuan itu berilmu tinggi.
02 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sejenak kemudian, bersama-sama dengan Ki Rangga ketiganya memang menyerang Warsi dari jurusan yang berbeda. Namun dengan cekatan Warsi menghindari serangan-serangan itu. Tangannya dengan cepat berputar dan terayun mendatar menyambar ke arah kening salah seorang lawannya. Namun lawannya itu sempat meloncat menghindar.
Kain panjang Warsi memang tidak membantunya. Bagaimanapun juga geraknya terasa terhambat. Tetapi ketika kedua orang kawan Ki Rangga menyerangnya, Warsi masih mampu dengan tangkas berloncatan meskipun dalam keterbatasan gerak.
Dengan demikian, maka yang kemudian bertempur adalah Warsi melawan kedua orang kawan Ki Rangga, karena Ki Rangga sendiri setiap kali memperhatikan Kasadha yang duduk di tanah di bawah perlindungan bibinya.
Ketika Ki Rangga mendekati Kasadha, maka bibinya telah bangkit berdiri sambil berkata, "Kau kenal aku Ki Rangga dan aku mengenalmu. Kau tahu tingkat kemampuanku dan akupun tahu tingkat kemampuanmu."
Ki Rangga tidak menjawab. Ki Rangga tahu, bahwa kemampuannya lebih baik dari perempuan itu, meskipun perempuan itu bukan perempuan yang lemah.
Ketika Ki Rangga melangkah selangkah lagi mendekat, maka bibi Kasadha itulah yang justru mulai menyerangnya. Seperti Warsi ia dalam keterbatasan pakaiannya. Tetapi sepupu Warsi itu ternyata tidak menghiraukannya lagi. Apalagi malam menjadi semakin gelap, sehingga seakan-akan ada sehelai takbir yang membatasinya dari penglihatan lawannya. Apalagi lawannya lebih banyak memperhatikan gerak tangan dan kakinya yang siap menyerang daripada pakaiannya.
Demikianlah, maka sepupu Warsi itupun telah bertempur melawan Ki Rangga. Namun seperti yang mereka ketahui dengan pasti, bahwa ilmu Ki Rangga memang lebih baik dari sepupu Warsi. Namun Ki Rangga ternyata telah terlalu banyak mengerahkan kemampuannya, sehingga nafasnya memang menjadi hambatan baginya.
Sejenak kemudian, maka dua lingkaran pertempuran telah terjadi dalam keremangan malam. Bintang-bintang yang menghambur di langit tidak mampu menembus hitamnya malam. Hanya mata yang sudah terlatih baik sajalah yang mampu melihat gerak lawan-lawan mereka dalam perkelahian.
Ketika sepupu Warsi semakin terdesak, maka Warsipun berkata kepada sepupunya, "Kemarilah. Mendekatlah."
Sepupunya tanggap. Iapun telah bertempur tidak terlalu jauh dari Warsi.
Ternyata Warsi masih sanggup bertempur melawan-lawan-lawannya sambil membantu sepupunya. Ayunan tangannya masih membuat lawannya berdebar-debar.
Namun kedua lawan Warsi adalah dua orang yang bukan saja kasar. Tetapi licik. Mereka tidak saja bertempur dengan wajar, tetapi setiap kali keduanya berteriak-teriak mengganggu dengan kata-kata kotor, sehingga Warsi yang sebelumnya terkenal sebagai perempuan liar itu merasa terganggu oleh suara dan kata-kata kedua orang lawannya.
Dengan demikian maka Warsipun menjadi semakin marah. Dengan kemampuannya yang sangat tinggi, Warsi telah mendesak lawannya. Sementara sepupunya yang berusaha menyesuaikan diri, ternyata mampu mengurangi beban Warsi menghadapi tiga orang laki-laki yang semakin lama semakin memuakkan baginya.
Apalagi ketika kain panjang Warsi telah koyak. Maka kata-kata yang semakin kasar dan kotor terlontar dari mulut kedua orang kawan Ki Rangga itu.
Tetapi Warsi sudah tidak peduli lagi. Kemarahannya telah sampai ke ubun-ubun. Demikian pula sepupunya yang merasa sangat terhina oleh sikap dan kata-kata kedua orang kawan Ki Rangga. Bahkan keluar dari mulut Ki Rangga sendiri.
Sementara itu Kasadha semakin terpukau melihat ibunya bertempur. Meskipun ia sudah mengetahui bahwa ibunya adalah seorang perempuan yang berilmu tinggi. Namun ketika ia melihat sendiri, betapa ibunya bertempur, maka ia benar-benar mengaguminya.
Namun dalam pada itu, ia bertanya kepada diri sendiri, "Jika demikian, betapa tingginya ilmu yang dimiliki oleh ibu Bharata, Iswari, yang masih mampu mengatasi ilmu ibu itu. Bahkan dengan mutlak telah menghancurkan perlawanan ibu itu."
Sementara itu, pertempuran itupun semakin lama menjadi semakin sengit. Ternyata bahwa sepupu Warsi kurang mampu menyesuaikan diri dengan pertempuran yang cepat dan kasar itu. Beberapa kali Ki Rangga dan kedua lawannya yang bertempur berputaran berhasil mengenai tubuhnya, sehingga pada suatu saat, sepupu Warsi itu telah terlempar dari arena pertempuran, dan jatuh terbanting. Ternyata sebuah serangan yang tidak sempat dilihatnya telah mengenai punggungnya.
Sepupu Warsi itu memang masih mampu bangkit berdiri. Tetapi punggungnya serasa akan patah.
"Jangan sakiti perempuan itu," teriak salah seorang kawan Ki Rangga, "aku masih memerlukannya."
Sepupu Warsi menggeretakkan giginya. Namun terdengar Warsi berkata, "Beristirahatlah dahulu. Nanti jika keadaanmu sudah semakin baik, turunlah lagi ke gelanggang."
Saudara sepupu Warsi ternyata menurut perintah itu. Iapun kemudian telah bergeser surut mendekati Kasadha yang telah bangkit berdiri.
Tetapi bibinya itu mencegahnya sambil berkata, "Lukamu memang sudah pampat karena obatmu. Tetapi jika kau ikut bertempur, maka luka itu akan kambuh kembali."
Kasadha memang masih berdiri diam. Namun ketika ia melihat ibunya mulai terdesak, maka ia hampir tidak lagi dapat dikekang.
"Jangan," berkata bibinya.
"Lihat, betapa kasar dan liarnya ketiga lawan ibu itu," jawab Kasadha.
"Tunggu sebentar sehingga lukamu benar-benar telah pampat. Akupun ingin beristirahat untuk memperbaiki keadaan punggungku yang serasa patah ini," jawab bibinya.
"Tetapi kita akan terlambat," jawab Kasadha.
Bibinya termangu-mangu. Ia memang melihat Warsi mulai terdesak. Kemarahannya telah membuatnya kehilangan penalaran. Ketiga orang lawannya justru bertempur semakin kasar dan kotor, sementara Warsi justru berusaha untuk tidak memberikan kesan yang demikian di hadapan anak laki-lakinya yang telah membuat hatinya menjadi bangga.
Namun tanpa mengimbangi kekasaran orang-orang itu, Warsi benar-benar mulai terdesak.
Ternyata kedua kawan Ki Rangga itu adalah orang-orang kasar yang memiliki kemampuan bergerak sangat cepat. Mereka berloncatan di dalam keremangan malam seperti seekor bilalang. Kakinya seakan-akan berubah menjadi panjang, sehingga kemampuan mereka melontarkan diri kadang-kadang membuat Warsi menjadi agak bingung.
Beberapa kali Warsi telah kehilangan kesempatan untuk menghindari atau menangkis serangan lawannya. Dua kali Warsi terdorong dan hampir saja jatuh terjerembab. Namun ia masih mampu mempertahankan keseimbangan meskipun ia harus meloncat mengambil jarak. Tetapi kedua lawannya telah menyusulnya dengan loncatan-loncatan panjang.
Pada saat yang demikian, maka baik Kasadha maupun bibinya memang tidak dapat sekedar berdiam diri. Tetapi ketika Kasadha mulai bergerak, tiba-tiba bibinya menahannya.
"Kau lihat langit," berkata bibinya.
"Kenapa?" bertanya Kasadha dengan heran.
"Meskipun bukan purnama, tetapi bulan telah naik," jawab bibinya.
"Kenapa dengan bulan?" bertanya Kasadha.
"Jika sinar bulan itu menyentuh tubuh ibumu, maka lihat sajalah. Apa yang akan terjadi," desis bibinya.
Sebenarnyalah bulan yang sudah semakin tinggi itu telah melontarkan sinarnya ke halaman rumah sepupu Warsi itu. Ketika dari celah-celah dedaunan dari pepohonan yang tumbuh di halaman samping itu sinar bulan jatuh ke arena pertempuran, maka akibatnya memang segera terasa.
Warsi bagaikan bersorak ketika tubuhnya mulai disiram oleh cahaya bulan itu. Tiba-tiba saja terdengar teriakan nyaring dari mulutnya. Warsi telah melupakan usahanya untuk menyembunyikan kekasaran sikapnya dalam pertempuran itu terhadap anaknya.
Dengan demikian, maka Warsi benar-benar seperti bangkit kembali dari saat-saat kekuatannya mulai menyusut. Tiba-tiba saja ia menjadi semakin garang. Kaki dan tangannya menjadi seperti baja.
"Apa yang mempengaruhinya?" bertanya Kasadha.
"Sinar bulan itu," jawab bibinya.
"Apa yang dapat diberikan oleh sinar bulan bagi ilmu ibu?" bertanya Kasadha pula.
"Bukan apa-apa. Tetapi sinar bulan itu mempunyai pengaruh jiwani yang sangat kuat pada ibumu, ibumu memang melatih diri untuk menerima pengaruh jiwani itu. Demikian tubuhnya tersentuh cahaya bulan, maka kekuatan dan kemampuannya seakan-akan telah tumbuh berlipat. Kemampuannya mengerahkan tenaga cadangan menjadi jauh meningkat. Ternyata pengaruh jiwani mempunyai kekuatan yang sangat besar dalam olah kanuragan," berkata bibinya.
Kasadha termangu-mangu. Ia memang melihat ibunya bertempur semakin kasar. Tetapi ia tidak kecewa. Ia tahu, ibunya memang seorang perempuan yang kasar. Namun bahwa ibunya telah mengalami gejolak batin sehingga ia mencari jalan yang lebih terang itu sudah cukup bagi Kasadha.
Dalam pada itu ternyata bahwa Ki Rangga Gupitapun menyadari pula akan pengaruh sinar bulan itu. Karena itu, maka iapun berteriak, "Jangan bertempur di bawah sinar bulan."
Tetapi kedua orang kawannya tidak segera tanggap. Mereka masih terkejut melihat perubahan sikap Warsi. Bahkan justru karena itu, mulut merekapun terdiam pula. Seorang dari kedua lawannya yang tidak segera mampu menyesuaikan diri telah dikenai serangan kaki Warsi, sehingga terlempar beberapa langkah dan jatuh berguling. Seorang lainnya yang berusaha untuk menahan agar Warsi tidak memburu kawannya yang terjatuh itu, telah menyerangnya. Dengan satu putaran, kakinya terayun mengarah ke kening.
Tetapi Warsi melihat serangan itu. Dengan cepat ia menghindar dan sekaligus membalas serangan itu. Demikian kaki itu terayun maka Warsi telah menjatuhkan dirinya. Kakinya dengan kekuatan penuh telah menyapu kaki lawannya tempat ia bertumpu untuk berdiri sementara kakinya yang lain belum sepenuhnya menapak di atas tanah.
Sapuan itu begitu cepat dan begitu kerasnya, sehingga lawan Warsi itu tidak mendapat kesempatan untuk menghindar. Karena itu, maka sebelum kakinya yang lain tegak dengan mantap, maka kaki itu seakan-akan telah dilemparkan dengan kerasnya.
Orang itu tidak mempunyai pilihan lain, kecuali jatuh terbanting di tanah.
Namun ketika Warsi sendiri melenting berdiri, maka ia sudah berhadapan lagi dengan lawannya yang lain. Justru Ki Rangga Gupita yang menyerangnya ke arah dada.
Tetapi Warsi sempat menghindar sehingga serangan itu tidak mengenainya. Namun Ki Rangga yang sudah kehilangan kesabaran itu telah meloncat maju. Tangan terayun deras sekali mengarah ke kening.
Namun Warsi telah membentur serangan itu dengan serangan pula. Kedua tangannya telah bersilang dan mengangkat tangan Ki Rangga yang terjulur. Namun Warsi justru merapat pada tubuh lawannya dan dengan lututnya ia menghantam bagian bawah perut Ki Rangga Gupita.
Ki Rangga menyeringai menahan sakit. Tetapi ketika ia surut selangkah, maka kaki Warsi telah menyusulnya menghantam dadanya. Ki Rangga benar-benar terpelanting. Ia jatuh beberapa langkah dari kawannya yang sudah bersiap menghadapi Warsi yang menjadi sangat garang itu.
Kasadha berdiri mematung. Di bawah sinar bulan yang meskipun tidak purnama, ibunya memang menjadi sangat garang. Ketiga lawannya tidak mendapat banyak kesempatan untuk melawannya.
Namun akhirnya, lawan-lawan Warsi itu benar-benar telah kehilangan pertimbangan-pertimbangan lagi. Bahkan juga Ki Rangga yang kesakitan. Mereka tidak mempunyai pilihan lain kecuali benar-benar menyingkirkan Warsi untuk menyelamatkan diri mereka sendiri. Jika mereka tidak berhasil, maka Warsi yang garang itu tidak akan dapat dihentikan lagi.
Sebenarnyalah bahwa pertempuranpun menjadi semakin seru. Kedua kawan Ki Rangga tidak ragu-ragu lagi untuk menarik senjata mereka, sebilah pedang di tangan masing-masing. Sementara Ki Ranggapun tiba-tiba telah bersenjata pula. Sebilah keris yang cukup besar, yang selalu dibawanya kemana saja di samping jenis senjata yang lain yang juga sering dibawanya.
Musuh Dalam Selimut 1 Satria Gendeng 07 Pasukan Kelelawar Bourne Supremacy 13
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama