Ceritasilat Novel Online

Sayap Sayap Terkembang 9

02 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja Bagian 9


*** Sementara itu, di barak pasukan yang dipimpin oleh Ki Jayayuda, penertiban pasukanpun berlangsung dengan baik dan tanpa mengguncang ketenangan para prajuritnya. Tiga orang Lurah Penatus yang baru, telah mendapat beberapa petunjuk dari Ki Tumenggung untuk berusaha menyesuaikan dirinya.
Namun, meskipun demikian, sifat-sifat pribadi masing-masing memang sangat berpengaruh. Dua dari antara ketiga Lurah Penatus yang baru itu, justru ingin menunjukkan kelebihannya dari para Lurah Penatus yang telah ada. Sehingga dengan demikian maka sikap merekapun segera menjadi perhatian para prajurit di barak itu.
Selain kedua orang Lurah Penatus itu, Ki Rangga Prangwiryawan masih saja menganggap bahwa alat-alat berlatih yang dibuat oleh Ki Tumenggung Surajaya itu tidak berarti sama sekali bagi para prajurit bagi peningkatan kemampuan mereka di dalam mengemban tugas-tugas mereka.
"Aku tidak menganggap demikian," berkata Ki Tumenggung ketika Ki Rangga Prangwiryawan mengusulkan agar alat-alat itu dibongkar saja, "aku menganggap bahwa alat-alat itu cukup berarti. Aku tidak mau mengorbankan keyakinanku itu untuk sekedar dianggap bahwa aku memiliki pandangan yang lebih baik dari orang yang aku gantikan dengan melakukan perubahan-perubahan yang justru tidak berarti."
"Kita tidak sekedar membongkar Ki Tumenggung, tetapi kita akan membuat yang baru, yang lebih bermanfaat dari yang telah dibuat oleh Ki Tumenggung Surajaya."
"Satu kebiasaan yang tidak ada gunanya. Seakan-akan yang baru harus membuat pembaharuan-pembaharuan, sementara yang ada sebenarnya telah cukup baik. Tidak Ki Rangga. Meskipun mungkin aku juga akan membuat perubahan-perubahan untuk menyesuaikan perkembangan pasukan ini dengan perkembangan yang terjadi di Pajang, namun hal itu tentu setelah melalui penelitian yang pantas. Apakah perubahan itu bermanfaat atau tidak. Bukan sekedar sebagai satu kebanggaan seakan-akan kita memiliki kelebihan dari orang yang kita gantikan kedudukannya. Bukankah dengan kerja yang tidak ada gunanya itu kita hanya akan melakukan pemborosan?"
Ki Rangga tidak dapat memaksakan kehendaknya. Sebenarnya jika Ki Tumenggung menyetujui, ia ingin menunjukkan kemampuannya merencanakan satu medan latihan yang paling baik di Pajang. Ia akan membuat satu sanggar terbuka yang tidak ada duanya, sehingga setiap orang akan mengaguminya. Namanya akan selalu melekat dengan hasil kerjanya itu. Dan dengan demikian, jika hal itu terdengar oleh Pangeran Benawa, tidak mustahil ia akan dengan cepat meningkat menjadi seorang Manggala. Bahkan mungkin dengan pangkat Tumenggung pula.
Tetapi ternyata Ki Tumenggung Jayayuda tidak menyetujui. Bagi Ki Tumenggung perubahan itu dianggap tidak perlu, seakan-akan Ki Tumenggung dapat membaca isi hatinya. Bahwa perubahan itu semata-mata karena ia ingin meningkatkan derajatnya sendiri.
Karena itu, maka sanggar latihan terbuka itu untuk sementara memang tidak dirubah sama sekali.
Kasadha, salah seorang di antara Lurah Penatus yang berada di bawah pimpinan langsung Ki Rangga Dipayuda berusaha untuk tidak menunjukkan sesuatu apapun yang dapat menarik perhatian orang lain. Ia melakukan apa yang dilakukan oleh para Lurah Penatus yang lain. Dalam latihan-latihan khusus bagi para Lurah dan pemimpin kelompok, Kasadha sama sekali tidak nampak lebih baik dari para Lurah yang lain.
Bahkan dua orang Lurah Penatus dari antara tiga orang yang baru ditempatkan di barak itulah yang sering dengan sengaja menunjukkan kelebihan-kelebihannya, sehingga dengan demikian justru merekalah yang telah menarik perhatian banyak orang di barak itu. Khususnya para Lurah Penatus yang lain. Namun Kasadha sama sekali tidak menghiraukan mereka. Biarlah keduanya merasa puas dengan tingkah lakunya jika hal itu memang dapat memberikan kepuasan kepada mereka.
Hanya kepada Ki Rangga Dipayuda Kasadha berbicara tentang kedua orang itu. Apalagi seorang di antaranya dengan sengaja telah memancing-mancing persoalan dengan Ki Lurah Kasadha.
"Sikapmu sudah benar Kasadha," berkata Ki Lurah Dipayuda yang mengetahui lebih banyak tentang Kasadha daripada orang lain.
"Aku tidak tahu, kenapa mereka memperhatikan aku. Padahal aku sama sekali tidak berbuat sesuatu yang menarik perhatian mereka," berkata Kasadha.
"Sumbernya bukan dari tingkah-lakumu. Tetapi prajurit-prajuritmu yang juga mengetahui tentang kemampuanmu, tidak dapat menahan mulutnya lagi. Satu dua di antara mereka mengatakan, bahwa tidak ada Lurah Penatus yang dapat menyamai kemampuanmu," jawab Ki Rangga Dipayuda.
"Aku sama sekali tidak berniat berbuat demikian," berkata Kasadha. Namun iapun kemudian bertanya, "Dari mana Ki Rangga mengetahui tentang hal itu?"
"Ternyata para Pandhega telah membicarakannya pula. Ki Rangga Prangwiryawan menaruh perhatian terbesar ketika ia mendengar dari salah seorang Lurah baru itu tentang kelebihanmu. Menurut Ki Rangga Prangwiryawan, para prajurit yang telah lama bersamamu sempat berceritera tentang kau di medan perang," jawab Ki Rangga Dipayuda.
Kasadha memang menjadi berdebar-debar. Sejak pemula ia sudah menduga bahwa Ki Rangga Prangwiryawan akan banyak menaruh perhatian atasnya. Untunglah bahwa ia tidak berada di bawah pimpinannya langsung.
Namun dengan demikian, untuk menjaga agar tidak terjadi pembicaraan yang semakin panas tentang dirinya, Kasadha menunda keinginannya untuk meningkatkan ilmunya dengan bimbingan Ki Ajar Paguhan jika hal itu tidak bertentangan dengan paugeran. Apalagi pimpinan langsungnya adalah Ki Rangga Dipayuda. Kasadha berharap bahwa kemudian keinginannya itu akan mendapat ijin tanpa hambatan apapun.
Tetapi justru sikap beberapa orang di barak itu, maka Kasadha telah menunda niatnya.
Ketika hal itu disampaikannya kepada Ki Rangga Dipayuda, maka Ki Ranggapun berkata, "Langkahmu sudah tepat menurut penilaianku, Kasadha. Kau memang harus menunda keinginanmu, meskipun sepengetahuanku hal yang ingin kau lakukan itu tidak dilarang, selama tidak mengganggu tugas-tugasmu disini. Persoalannya adalah justru kau menjadi sasaran pandangan beberapa orang di barak ini, sehingga sebaiknya kau memang menunda niatmu itu."
Kasadha mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata, "Aku ingin memohon kepada Ki Rangga, agar pendapat yang dapat menimbulkan persoalan itu dapat diredam. Dengan demikian maka aku tidak selalu dibayangi oleh kegelisahan karena sikap beberapa orang."
"Aku akan berusaha Kasadha. Dalam setiap pertemuan dengan para Pandhega yang lain aku memang sudah berusaha. Aku mengatakan kepada mereka, bahwa kau tidak berbeda dengan para Lurah Penatus yang lain. Ki Rangga Wirayuda nampaknya tidak banyak menaruh perhatian. Ia berusaha untuk menempa para prajuritnya lahir dan batin. Bukan saja keteguhan dan ketrampilan bermain senjata. Tetapi secara jiwani menyadari sikap seorang prajurit. Ki Rangga Prangwiryawan juga melakukannya. Tetapi ternyata ia sempat mendengarkan pendapat para prajurit," sahut Ki Rangga Dipayuda. Lalu katanya pula, "Sebenarnya aku juga merasa bersalah ketika aku menunjukmu untuk membuktikan bahwa alat-alat itu berarti bagi barak ini. Aku hanya ingin meyakinkan Ki Rangga Prangwiryawan bahwa alat-alat di sanggar latihan terbuka itu memberikan banyak manfaat bagi barak ini. Sementara itu aku tidak yakin bahwa Lurah Penatus yang lain mampu melakukannya, sehingga aku telah menunjukmu. Tetapi ternyata hal itu membawa akibat yang dapat menggelisahkanmu."
"Bukan Ki Rangga. Bukan Ki Rangga Dipayuda yang bersalah. Tetapi keinginan orang-orang itu menampilkan dirinya di atas orang lain itulah yang telah menimbulkan persoalan," berkata Kasadha.
"Baiklah Kasadha. Aku akan berusaha sejauh dapat aku lakukan meredam pendapat orang-orang itu tentang dirimu, sehingga kau tidak menjadi sasaran perhatian orang-orang yang ingin mendapat pujian lebih dari yang lain."
Kasadha mengangguk-angguk. Namun ia masih harus menunggu, apakah Ki Rangga Dipayuda itu berhasil.
Sebenarnyalah Ki Rangga Dipayuda memang berusaha. Tetapi orang-orang yang merasa memiliki kelebihan itu sudah merasa tersinggung oleh ceritera para prajurit tentang Kasadha yang dianggap sebagai Lurah Penatus yang terbaik, meskipun masih sangat muda. Sehingga dengan demikian telah timbul keinginan mereka untuk membuktikan bahwa mereka yang baru datang itulah yang terbaik di barak itu.
Dengan demikian maka rasa-rasanya memang ada persaingan di antara beberapa orang Lurah Penatus untuk membuktikan dirinya yang terbaik. Baik di dalam latihan-latihan, maupun sikap mereka sehari-hari.
Namun Kasadha sendiri tidak pernah terlibat di dalamnya.
*** Dalam pada itu, di Tanah Perdikan Sembojan, Risangpun sedang bekerja keras untuk menyusun laporan terperinci tentang Tanah Perdikannya. Dibantu oleh Sambi Wulung, Jati Wulung dan para Demang dan Bekel di dalam lingkungan Tanah Perdikan Sembojan, Risang akhirnya berhasil menyelesaikan tugas itu.
Iswari dan orang-orang tua di Tanah Perdikan Sembojanpun telah mengadakan beberapa pembicaraan menyangkut keadaan Tanah Perdikan itu serta kemungkinan yang dapat dikembangkan di masa depan.
Demikian pula ketiga orang kakek dan nenek Risang yang sudah menjadi semakin tua, telah ikut pula memberikan beberapa petunjuk bagi mekarnya Tanah Perdikan Sembojan sehingga dengan demikian laporan yang disusun oleh Risang akan benar-benar meyakinkan. Bukan hanya sekedar memberikan gambaran tentang apa yang ada saat itu. Tetapi juga rencana yang dapat dilakukan bagi masa depan Tanah Perdikan yang terhitung besar itu.
Sebagaimana dipesankan oleh Ki Rangga Kalokapraja, maka persoalan wisuda bagi Kepala Tanah Perdikan Sembojanpun telah dicantumkan pula dalam laporan itu. Hal itu sama sekali bukan atas desakan Risang sendiri yang seakan-akan ingin dengan cepat meloncat ke jabatan tertinggi di Tanah Perdikan itu. Tetapi ibunyalah yang berkeras untuk menyampaikannya sebagai satu permohonan di samping rencana-rencana yang lain.
"Harus ada ketetapan yang mapan di Tanah Perdikan ini. Jika Pajang ingin menertibkan keadaan di seluruh wilayahnya, maka usul ini tentu akan diterimanya. Tetapi kau tidak boleh berwawasan kepada jabatan yang akan kau sandang, tetapi kau harus berwawasan kepada kewajiban yang harus kau lakukan," berkata ibunya menjelaskan ketika masih saja ada keragu-raguan di hati Risang. Bagaimanapun juga ia merasa seakan-akan ia telah mendesak kedudukan ibunya sendiri, sementara ibunya ternyata mampu melakukan tugasnya dengan baik. Bukan saja kemampuannya mengatur kehidupan dan perkembangan Tanah Perdikan Sembojan. Tetapi dalam keadaan yang paling gawat, ibunya adalah Senapati Perang yang sulit dicari tandingnya.
Tetapi akhirnya Risang tidak dapat menolak permintaan ibunya. Ia memang mempunyai kewajiban untuk itu, sebagai imbangan atas haknya.
Ketika tugas itu sudah dianggap selesai, serta susunan laporannya sudah dianggap cukup, maka Risang telah menentukan hari untuk berangkat ke Pajang. Ia akan menghadap langsung Ki Rangga Kalokapraja. Dengan demikian apabila terdapat beberapa kekurangan di dalam keterangan dan laporannya, maka Ki Rangga akan dapat dengan segera memberitahukannya sehingga Tanah Perdikan Sembojan akan dengan cepat memenuhinya.
"Besok aku masih akan melihat sekali lagi isi laporan itu dan menyesuaikan dengan kenyataan yang ada di Tanah Perdikan ini, ibu," berkata Risang, "dengan demikian jika kelak akan datang petugas dari Pajang untuk membuktikannya, maka kita tidak akan dapat dituduh memberikan keterangan palsu. Mereka harus melihat apa yang kita laporkan itu benar. Bukan mengada-ada atau sekedar membesarkan hati para petugas."
"Baiklah Risang," jawab ibunya, "aku sependapat."
"Dengan demikian maka besok lusa aku akan pergi ke Pajang jika tidak terdapat hambatan-hambatan apapun karena penyesuaian laporan itu dengan kenyataan yang ada," berkata Risang.
"Dengan siapa kau akan pergi?" bertanya ibunya.
Risang mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, "Aku sudah terbiasa pergi sendiri ibu."
"Apakah kau tidak mengajak satu dua orang untuk kawan berbincang di perjalanan?" bertanya ibunya, "bukankah lebih baik berbicara apa saja di sepanjang jalan daripada berdiam diri."
"Biarlah aku pergi sendiri," jawab Risang. Dan tiba-tiba saja ia berkata, "Aku ingin singgah di rumah lurahku ketika aku menjadi prajurit."
"Apa salahnya jika kau singgah bersama satu dua orang kawan," bertanya ibunya.
"Jika aku harus bermalam, sebaiknya aku tidak membuat Ki Lurah Dipayuda menjadi sibuk."
Iswari menarik nafas dalam-dalam. Anaknya memang pernah berceritera langsung atau tidak langsung tentang Ki Lurah Dipayuda yang mempunyai seorang anak gadis yang cantik. Yang namanya Riris Respati.
Karena itu, maka ibunya tidak mempersoalkannya lagi. Risang ingin berangkat sendiri. Dan itu tentu beralasan.
Seperti direncanakan, maka di hari berikutnya, sekali lagi Risang mengamati Tanah Perdikannya. Berkuda, diiringi oleh Sambi Wulung dan Jati Wulung, Risang melihat-lihat segala segi kehidupan serta keadaan Tanah Perdikannya, dinilai berdasarkan laporan yang sudah disusunnya.
"Tidak ada yang dibuat-buat," berkata Risang kepada Sambi Wulung dan Jati Wulung, "Yang baik aku katakan baik, sedangkan yang kurang baik aku katakan apa adanya. Tetapi aku menyebutkan rencana usaha untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Tanah Perdikan ini."
Hari itu Risang telah mendapatkan keyakinan bahwa laporan yang disusun itu tidak mengecewakan. Semuanya sesuai dengan kenyataan yang ada. Seandainya datang para petugas dari Pajang, maka mereka akan dipersilahkan untuk menyaksikan langsung keadaan di Tanah Perdikan itu.
Dengan demikian, maka Risang telah menetapkan bahwa di hari berikutnya ia akan pergi sendiri ke Pajang untuk menemui Ki Rangga Kalokapraja.
Ibunya tidak mencegahnya. Karena itu, maka Risangpun telah berbenah diri mempersiapkan segala sesuatunya yang besok akan dibawanya ke Pajang. Terutama laporannya yang telah disusunnya baik-baik dan telah disetujui oleh ibunya dan ketiga orang kakek dan neneknya.
Ketika kemudian malam turun dan Risang telah berbaring di biliknya, maka iapun mulai membayangkan perjalanan yang bakal ditempuhnya esok pagi. Bukan kesulitan di perjalanan atau karena ia belum pernah melihat dimana Ki Rangga Kalokapraja tinggal, karena dengan ancar-ancar yang pernah diberikan, rumah itu akan mudah diketemukan.
Tetapi yang justru melintas di angan-angannya adalah anak gadis Ki Lurah Dipayuda. Gadis itu seakan-akan telah menunggunya di regol halaman rumahnya dan kemudian menyambut kedatangannya dengan manis. Namun tiba-tiba bayangan itu berubah ketika angin yang kencang bertiup menaburkan debu menutup gambar di angan-angannya. Ketika kemudian debu itu hilang, yang dilihatnya adalah peristiwa yang lain. Regol halaman itu justru tertutup rapat. Betapapun ia mengetuknya, bahkan dengan menggenggam batu sekalipun, tidak seorangpun yang datang membukakan pintu. Sementara ia mendengar lamat-lamat di pendapa rumah itu, tembang yang mengalun dengan lagu asmarandana.
Risang menarik nafas dalam-dalam. Dikibaskannya angan-angannya. Ia mencoba memusatkan perhatiannya pada isi laporannya yang besok akan diberikan kepada Ki Rangga Kalokapraja.
Namun akhirnya, Risangpun tertidur juga beberapa lama. Menjelang fajar, anak muda itupun telah bersiap untuk berangkat menuju ke Pajang.
Namun ibunya telah minta agar Risang makan lebih dahulu karena ia sudah menyediakannya pagi-pagi benar sebelum Risang pergi mandi.
Baru setelah makan pagi dan minum minuman panas, Risang telah minta diri untuk berangkat ke Pajang. Ibunya, ketiga orang kakek dan neneknya, serta beberapa orang yang lain telah mengantarkannya sampai ke regol halaman.
Sebelum matahari naik, Risangpun telah meninggalkan rumahnya di padukuhan induk Tanah Perdikan Sembojan, menyusuri bulak-bulak panjang menuju Pajang.
Di sepanjang jalan Risang sempat juga memperhatikan hijaunya batang padi yang bagaikan lautan menyelubungi daerah yang sangat luas. Angin yang bertiup telah mengayun daun-daunnya yang subur bagaikan gelombang yang mengalir dari cakrawala ke cakrawala.
Beberapa saat kemudian, Risang telah berpacu menyusuri tepi pategalan yang luas. Di kejauhan nampak tepi hutan lebat yang memanjang sampai kelereng pegunungan. Hutan yang dapat menjadi cadangan tanah pertanian. Namun yang tidak boleh dibuka dengan semena-mena.
Namun justru karena Risang menempuh perjalanan seorang diri, maka Risang sempat merenung panjang di atas punggung kudanya. Sehingga ternyata kemudian Risang memang berniat untuk lebih dahulu singgah di rumah Ki Lurah Dipayuda.
Niat itu tidak mampu disisihkannya. Bahkan ia merasa bahwa ia wajib untuk singgah dan mohon petunjuk kepada Ki Lurah, apakah laporannya sudah cukup pantas.
Dengan demikian maka Risangpun telah berpacu justru menuju ke rumah Ki Lurah Dipayuda yang memang tidak terlalu jauh dari Kotaraja.
Setelah berhenti sekali untuk memberi kesempatan kudanya beristirahat minum dan makan rumput secukupnya di sebuah kedai, yang juga memberi kesempatan kepada Risang sendiri untuk beristirahat dan minuman hangat, maka iapun telah langsung menuju ke rumah Ki Lurah Dipayuda.
Ketika matahari mulai turun di sisi Barat langit, maka Risangpun telah memasuki padukuhan tempat tinggal Ki Lurah Kasadha.
Namun semakin dekat Risang dengan regol halaman rumah Ki Lurah Dipayuda, maka jantung Risang menjadi semakin berdebar-debar.
"Apa salahnya aku bertemu dengan Ki Lurah?" Risang bertanya kepada diri sendiri untuk menenangkan hatinya. Beberapa saat kemudian, maka Risang benar-benar telah berada di depan regol halaman rumah Ki Lurah Dipayuda. Regol halaman itu memang tertutup. Namun ketika Risang menyentuhnya, pintu regol itupun kemudian telah terbuka.
Risangpun kemudian menuntun kudanya memasuki regol halaman. Seorang yang berada di halaman telah mendekatinya. Tetapi agaknya orang itu orang baru di rumah Ki Lurah, sehingga orang itu ternyata belum pernah melihatnya.
"Siapa yang kau cari Ki Sanak?" bertanya orang itu.
Risang termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menjawab, "Aku mencari Ki Lurah Dipayuda."
Orang itu menggeleng. Katanya, "Tidak ada. Ki Lurah sedang pergi."
"Kemana?" bertanya Risang.
"Ke Pajang. Sudah beberapa pekan," jawab orang itu.
Risang memang menjadi ragu-ragu. Namun iapun kemudian bertanya, "Apakah Jangkung ada?"
Orang itu menggeleng lagi. Katanya, "Tidak. Jangkung sedang pergi."
"Kemana?" bertanya Risang pula.
Orang itu masih saja menggeleng. Katanya, "Aku tidak tahu."
"Apakah ia pergi jauh" Maksudku untuk beberapa hari?" bertanya Risang kemudian.
"Tidak. Siang tadi ia pergi. Biasanya memang tidak terlalu lama," jawab orang itu.
"Baiklah. Jika demikian aku akan menunggu Jangkung," berkata Risang kemudian.
"Siapakah sebenarnya yang kau cari" Ki Lurah Dipayuda atau Jangkung?" di luar dugaan Risang, orang itu mendesak.
"Salah seorang dari keduanya," jawab Risang.
"Tetapi akupun tidak tahu kapan Jangkung kembali. Mungkin senja, mungkin malam atau bahkan bermalam," berkata orang itu dengan kening yang berkerut.
"Bukankah kau katakan tadi bahwa biasanya Jangkung tidak terlalu lama pergi?" sahut Risang.
"Aku tidak tahu. Tetapi yang kau cari tidak ada," berkata orang itu kemudian.
Sikap orang itu memang agak aneh bagi Risang. Tetapi ia dapat mengerti, karena orang itu memang belum mengenalnya. Apalagi menurut orang itu, Ki Lurah Dipayuda berada di Pajang sejak beberapa pekan yang lalu.
Risang masih saja ragu-ragu. Jika Ki Dipayuda tidak ada, ia tidak mempunyai alasan untuk berada di rumah itu berlama-lama. Apalagi sampai esok. Namun telah timbul satu pertanyaan di hatinya, "Untuk apa Ki Lurah berada di Pajang sampai beberapa pekan" Padahal Pajang sudah tidak terlalu jauh dari rumah Ki Lurah. Jika ada persoalan yang harus diselesaikan di Pajang, maka ia akan dapat melakukannya langsung dari rumahnya itu."
Dalam kebimbangan tiba-tiba orang itu berkata, "Sebaiknya kau kembali besok. Mungkin Jangkung ada di rumah."
Risang memang menjadi semakin ragu. Bahkan ia mulai berpikir untuk terus saja langsung pergi ke Pajang. Besok, atau nanti petang jika ia kembali ke Tanah Perdikan, ia dapat singgah di rumah Ki Lurah Dipayuda.
Tetapi selagi Risang termangu-mangu, tiba-tiba saja telah terdengar suara seorang perempuan, "Kakang Bharata. Kapan kau datang?"
Risang berpaling. Dilihatnya seorang gadis melangkah keluar dari seketheng. Riris.
Terasa wajah Risang menjadi panas. Namun sejenak kemudian iapun tersenyum sambil menjawab, "Baru saja. Aku ingin bertemu dengan Ki Lurah Dipayuda. Namun ternyata Ki Lurah tidak ada."
"Ayah sudah beberapa pekan berada di Pajang," jawab Riris.
"Sedangkan Jangkungpun tidak ada di rumah," berkata Risang selanjutnya.
"Kakang Jangkung tidak terlalu lama pergi. Ia akan segera kembali. Marilah," Riris mempersilahkan. Namun kemudian iapun memperkenalkan orang yang belum dikenalnya itu, "Kakang Bharata, ini adalah Kakang Sumbaga. Ia masih mempunyai hubungan keluarga dengan keluarga kami," Lalu katanya kepada Sumbaga, "Anak muda ini adalah Kakang Bharata. Ia bekas kawan ayah di saat ayah menjadi seorang prajurit. Tentu saja angkatannya jauh berbeda karena ayah sudah menjadi semakin tua, dan Kakang Bharata ini justru baru tumbuh. Tetapi sekarang Kakang Bharata sudah bukan seorang prajurit lagi."
Orang yang disebut Sumbaga itu juga masih muda, meskipun agak lebih tua sedikit dari Risang.
Keningnya kemudian nampak berkerut. Bahkan di luar dugaan ia berkata sekali lagi, "Sebaiknya besok saja kau kembali lagi."
"O," Riris memotong, "ia sudah terbiasa datang ke rumah ini. Sebentar lagi Kakang Jangkung juga akan kembali. Biarlah ia menunggu. Nanti Kakang Jangkung akan menjadi sangat kecewa jika ia tidak sempat bertemu dengan sahabatnya."
"Anak muda yang kau sebut bernama Bharata ini kawan Ki Lurah Dipayuda atau kawan Jangkung?" bertanya Sumbaga.
Riris tertawa. Jawabnya, "Kedua-duanya. Ia kawan ayah di dalam lingkungan keprajuritan. Keduanya berada dalam kesatuan yang sama. Tetapi kemudian ia mengenal Kakang Jangkung dan bahkan telah bersahabat pula. Karena itu ia sudah terbiasa berada disini. Bahkan ia sudah sering bermalam di rumah ini."
"Tetapi sekarang Paman Dipayuda tidak ada. Jangkungpun tidak ada. Karena itu sebaiknya ia pergi saja sampai salah seorang di antara orang-orang yang dicarinya itu ada," jawab Sumbaga.
"Kau aneh Kakang," Riris mengerutkan keningnya.
"Ketika Jangkung pergi, ia menyerahkan keselamatan seisi rumah ini kepadaku. Karena itu, maka aku minta anak muda ini meninggalkan rumah kita. Biarlah nanti jika Jangkung sudah ada ia datang lagi menemuinya," berkata Sumbaga.
"Itu tidak perlu. Aku ada di rumah. Kakang Jangkungpun akan segera kembali," jawab Riris.
"Yang diserahi oleh Jangkung itu aku. Termasuk menjaga keselamatanmu," jawab Sumbaga.
"Tetapi tidak dengan cara itu," berkata Riris dengan nada tinggi, "kau tidak dapat mencegah sahabat-sahabat Kakang Jangkung Jaladri untuk datang. Kau juga tidak dapat mencegah sahabat-sahabatku untuk mengunjungi."
Tetapi Sumbaga itu berkeras. Katanya, "Jika Jangkung marah, akulah yang dimarahinya."
"Ia tidak akan marah," jawab Riris.
Tetapi Sumbaga ternyata masih tetap saja pada pendiriannya. Bahkan sikapnya justru semakin keras. Katanya, "Ki Sanak. Cepat tinggalkan rumah ini. Semakin keras Riris berniat menerimamu, aku menjadi semakin curiga bahwa kau mempergunakan kesempatan ini untuk mengganggu Riris. Selagi Ki Lurah Dipayuda dan Jangkung tidak ada."
"Kenapa kau sangka aku mengganggu Riris?" bertanya Risang.
"Setidak-tidaknya kau dapat saja bersepakat dengan Riris selagi tidak ada orang lain di rumah ini. Tentu saja setelah kau bujuk gadis itu dengan kata-kata yang barangkali sangat meyakinkan," sahut Sumbaga.
"Cukup. Aku tinggal di rumahku sendiri. Aku berhak menerima siapa saja yang ingin aku terima," berkata Riris yang kehilangan kesabaran.
Namun Sumbaga berkata, "Jika kau tidak pergi, Ki Sanak. Kau akan menyesal."
Risang memang menjadi bingung. Beberapa saat ia berdiri termangu-mangu. Sikap orang itu memang sangat menjengkelkannya. Tetapi Risang merasa segan untuk menolak kemauannya kalau ia memang mendapat pesan Jangkung. Justru karena Ki Lurah Dipayuda tidak ada.
Tetapi dalam pada itu, selagi ketegangan memuncak, terdengar suara lain di seketheng. Ternyata Nyi Lurah Dipayuda melihat kedatangan Risang dan bahkan telah terdengar sedikit kegaduhan karena suara Riris yang melengking-lengking.
"Angger Bharata," sapa Nyi Lurah.
"Ya ibu," Riris yang dengan serta menyahut, "Kakang Sumbaga menolak kehadirannya karena ayah dan Kakang Jangkung tidak ada. Meskipun aku mencoba menjelaskan, namun Kakang Sumbaga tidak mau mendengarnya."
Nyi Lurah tersenyum. Katanya, "Biarlah ia naik ke pendapa. Ia sahabat Jangkung."
Sumbaga termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia berkata, "Tetapi bibi bertanggung jawab?"
"Aku bertanggung jawab," jawab Nyi Lurah Dipayuda.
Risangpun kemudian menambatkan kudanya dipatok-patok yang telah disediakan. Diiringi oleh Riris, iapun kemudian naik ke pendapa.
Beberapa saat lamanya, Nyi Lurah Dipayuda telah ikut menemui Risang di pendapa bersama Riris.
Dari Nyi Lurah Dipayuda, Risang mendengar bahwa Ki Lurah Dipayuda telah dipanggil kembali untuk menjadi seorang prajurit. Setidak-tidaknya selama masa peralihan ini.
"Semula Ki Lurah berkeberatan. Tetapi kemudian ia tidak dapat menolak lagi. Bukan karena ia diangkat menjadi seorang Pandhega yang membantu kepemimpinan seorang Mandala pada satu pasukan dengan pangkat Rangga. Tetapi semata-mata karena Ki Lurah merasa terpanggil untuk tugas itu," berkata Nyi Lurah.
"Jadi Ki Dipayuda sekarang sudah menjadi Rangga?" bertanya Risang.
"Hanya karena di Pajang tidak ada lagi prajurit yang dianggap cukup lama mengabdi. Jadi semata-mata karena waktu pengabdiannya. Bukan karena kemampuan dan kecakapannya," jawab Nyi Lurah.
"Jika demikian, aku sekarang berhadapan dengan Nyi Rangga," berkata Risang.
"Ah. Aku lebih senang dipanggil dengan sebutan Nyi Lurah," sahut Nyi Lurah Dipayuda.
"Apakah Ki Rangga juga mendapat nama baru?" bertanya Risang.
"Tidak. Ki Lurah tidak memohon. Karena itu namanya masih saja tetap namanya yang lama," berkata Nyi Lurah.
"Aku mengucapkan selamat Nyi Rangga," berkata Risang kemudian.
"Sudah aku katakan. Aku lebih senang disebut Nyi Lurah. Tetapi aku mengucapkan terima kasih atas ucapan selamatmu Ngger," jawab Nyi Lurah.
Namun Nyi Lurahpun kemudian mempersilahkan Risang untuk duduk menunggu di pendapa sampai Jangkung kembali.
"Ia tidak akan lama. Biarlah Riris menemanimu Ngger," berkata Nyi Lurah.
Riris yang mengetahui bahwa ibunya akan membuat minuman berkata, "Biarlah aku saja ke dapur ibu."
Tetapi Nyi Lurah menggeleng. Katanya, "Kau duduk disini. Biarlah aku minta Sumbaga menemani kalian."
Riris mengerutkan keningnya. Katanya, "Kakang Sumbaga kadang-kadang berlaku aneh ibu. Seperti yang baru saja terjadi. Ia minta agar Kakang Bharata meninggalkan rumah ini."
Nyi Lurah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Baiklah. Kau saja menemani Angger Bharata."
Riris tidak menolak. Ia merasa bahwa kehadirannya menemui Bharata akan lebih baik daripada Sumbaga.
Sepeninggal ibunya, Riris justru mulai berceritera tentang saudaranya yang bernama Sumbaga itu.
"Hubungan kami memang tidak terlalu dekat sebagai saudara. Tetapi ayah Kakang Sumbaga adalah orang yang akrab dengan ayah. Karena itu, maka ayah tidak berkeberatan ketika Kakang Sumbaga tinggal di rumah ini. Kakang Sumbaga memang ingin menjadi seorang prajurit. Barangkali ayah dapat membantunya. Namun agaknya ayah tidak seperti kebanyakan orang. Ia justru merasa segan untuk mendapatkan kesempatan khusus bagi keluarganya. Ia menganjurkan agar Sumbaga memasuki dunia keprajuritan dengan cara yang wajar. Pada saatnya, ayah minta Kakang Sumbaga untuk mengikuti pendadaran. Menurut ayah, Kakang Sumbaga memiliki bekal ilmu yang cukup untuk menjadi seorang prajurit, sehingga kemungkinannya untuk dapat diterima cukup besar tanpa melalui kesempatan khusus lewat ayah," berkata Riris.
Risang mengangguk-angguk. Sementara Riris berkata selanjutnya, "Semula kehadiran Kakang Sumbaga merupakan satu kebetulan. Selagi ayah ditarik kembali menjadi seorang prajurit, maka Kakang Sumbaga akan dapat membantu Kakang Jangkung Jaladri melindungi isi rumah ini. Ayah masih saja cemas, bahwa orang-orang yang pernah berniat buruk terhadapnya masih mendendam, sementara ayah berada di tempat yang jauh."
"Tentu tidak Riris," berkata Risang, "orang-orang yang mendendam itu tidak akan berani berbuat sesuatu, apalagi setelah mereka tahu bahwa Ki Lurah Dipayuda justru telah diangkat menjadi seorang Rangga dalam jajaran keprajuritan Pajang."
Riris mengangguk-angguk. Katanya, "Mudah-mudahan Kakang. Tetapi..."
"Tetapi?" Risang bertanya.
"Justru sikap Kakang Sumbaga terasa aneh. Tetapi Kakang Sumbaga itu amat patuh terhadap Kakang Jangkung. Apapun yang dikatakan oleh Kakang Jangkung, Kakang Sumbaga sama sekali tidak berani melanggarnya," berkata Riris kemudian.
Risang mengangguk-angguk pula. Namun ia tidak sempat menjawab. Seekor kuda berlari memasuki halaman rumah itu. Jangkung Jaladri yang duduk di punggungnyapun baru meloncat turun ketika kuda itu telah sampai ke dekat patok-patok tambatan.
Tetapi sementara Jangkung datang, seorang yang berdiri di seketheng sebelah kiri, dengan tergesa-gesa telah masuk ke serambi lewat longkangan. Sumbaga yang ternyata selalu mengawasi pertemuan Risang dengan Riris di pendapa, telah menyingkir demikian ia melihat Jangkung pulang.
Ternyata Jangkung merasa gembira sekali menerima kedatangan Bharata. Iapun segera memanggil Sumbaga untuk ikut menemui Bharata di pendapa.
Sumbaga memang merasa sangat canggung. Namun ia tidak dapat merubah sikapnya terhadap Risang. Curiga dan bahkan terselip perasaan tidak senang terhadap anak muda yang baru dikenalnya itu. Bahkan kepada Jangkung, Sumbaga berkata sebagaimana terjadi. Ia tidak menyembunyikan sikapnya kepada Bharata ketika Bharata itu datang.
Jangkung tertawa. Katanya, "Aku minta maaf kepadamu Bharata. Kakang Sumbaga ternyata sangat berhati-hati."
Sumbaga mengerutkan dahinya. Nampaknya ia tidak senang mendengar Jangkung justru minta maaf kepada Bharata. Tetapi ia tidak mengatakan apapun juga.
Namun Bharata menangkap pencaran wajah Sumbaga itu meskipun ia tidak menunjukkan sikap apapun.
Sementara Jangkung telah duduk bersama Risang, bahkan kemudian bersama Sumbaga, maka Ririspun minta diri untuk membantu ibunya di dapur.
Ternyata pembicaraan Jangkung dan Risang menjadi terasa riuh sekali. Mereka berbicara tentang apa saja. Tentang sawah, tentang air, tentang jalan-jalan dan yang paling menyenangkan bagi Jangkung adalah berbicara tentang kuda. Namun kemudian mereka juga berbicara tentang Pajang dan Ki Lurah Dipayuda yang telah berada di Pajang kembali. Bahkan telah diangkat menjadi seorang Pandhega dengan pangkat Rangga.
"Kau bermalam disini," berkata Jangkung kemudian.
Meskipun Ki Rangga Dipayuda tidak ada di rumah, namun Risang ternyata merasa tidak berkeberatan untuk bermalam di rumah itu. Ia telah beberapa kali melakukannya. Namun selama itu, Ki Lurah Dipayuda ada di rumah.
"Tetapi Jangkung ada di rumah," berkata Risang di dalam hatinya.
Bahkan ternyata kemudian bahwa Nyi Lurah dan Ririspun nampak gembira bahwa Risang akan bermalam semalam di rumah itu sebelum esok paginya akan pergi ke Pajang.
Yang bersikap lain adalah Sumbaga. Meskipun tidak diucapkan, tetapi terasa bahwa orang itu merasa sangat terganggu dengan kehadiran Risang. Seandainya ia mempunyai wewenang, maka ia tentu akan mengusirnya. Apalagi jika ia melihat Risang berbicara berdua saja dengan Riris.
Tetapi Risang tidak menghiraukannya. Baginya sikap Jangkung masih saja sama seperti sikapnya beberapa waktu yang lalu.
Malam itu, Risang bermalam di rumah Ki Rangga Dipayuda. Sampai jauh malam Risang masih saja berbincang dengan Jangkung di pendapa. Bahkan Ririspun sempat menghidangkan minuman hangat dan kemudian duduk beberapa saat bersama mereka. Meskipun Riris kemudian masuk ke ruang dalam, namun dari seketheng Sumbaga melihatnya dengan gigi yang terkatup rapat.
Tetapi ketika malam menjadi semakin malam, Jangkungpun mempersilahkan Risang untuk beristirahat.
"Besok, jika kau kembali dari Pajang, kau harus singgah. Di Pajang kau harus menemui ayah dan kau sampaikan pesan ayah kepada kami besok," berkata Jangkung.
Risang tersenyum. Katanya, "Mudah-mudahan aku sempat singgah."
Demikianlah, Risang pun kemudian berbaring di dalam sebuah bilik di gandok sebelah kiri. Bilik yang sering dipergunakannya jika ia bermalam di rumah itu. Namun ternyata bahwa Risang tidak segera dapat tidur.
Lewat tengah malam, maka seisi rumah Ki Rangga Dipayuda itu bagaikan telah tertidur lelap. Tidak lagi terdengar suara apapun juga selain suara-suara malam di halaman dan kebun samping di belakang gandok itu.
Namun Risang ternyata mendengar langkah perlahan-lahan mendekati pintu biliknya. Kemudian terdengar pintu itu diketuk orang.
Risang memang ragu-ragu. Tetapi iapun kemudian mendengar desis di luar pintu, "Bharata. Bukakan pintu. Aku Sumbaga."
Risang masih saja dicengkam kebimbangan. Namun kemudian iapun telah melangkah untuk membuka pintu, meskipun dengan sikap yang sangat berhati-hati.
Sebenarnyalah Sumbaga berdiri di luar pintu bilik itu. Ketika ia melihat Risang berdiri tegak, maka Sumbaga itupun berkata, "Maaf Bharata. Aku mengganggumu."
"Apa yang kau kehendaki?" bertanya Risang.
"Aku ingin mempertahankan harga diriku," jawab Sumbaga.
"Maksudmu?" bertanya Risang.
"Harga diriku telah direndahkan hari ini. Karena itu, maka aku ingin menunjukkan kepadamu, bahwa aku bukan sekedar sampah yang dilemparkan di halaman rumah ini. Tetapi aku ingin membuktikan kepadamu, bahwa jika aku mau, aku dapat mengusirmu dengan kekerasan sore tadi," berkata Sumbaga.
"Aku tidak tahu maksudmu," berkata Risang.
"Pergilah ke halaman belakang. Jika kau laki-laki, kau tidak perlu membangunkan siapapun juga," berkata Sumbaga.
*** Kontributor eBook: DJVU: Haryono & Kuncung (dimhad.co.nr)
Editor: Dimhader (di dimhad.co.nr, maaf... tidak tahu kontributornya), dan Dewi KZ (dewikz.com)
Spell Check & Minor Edit:
ePub Lover (facebook.com/epub.lover)
SAYAP-SAYAP YANG TERKEMBANG
Karya: SH Mintardja Penerbit: Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta
JILID 41 MESKIPUN belum dikatakan, tetapi Risang telah dapat menangkap maksud Sumbaga. Sumbaga yang sakit hati itu ingin menunjukkan kepadanya, bahwa ia akan dapat mengalahkan Risang dalam olah kanuragan.
Sebenarnya Risang segan untuk melayaninya, karena Risangpun mengerti, apa sebabnya Sumbaga itu menantangnya. Ternyata Sumbaga tidak senang melihatnya berhubungan dengan Riris. Dan Risangpun menduga, bahwa hal itu disebabkan karena Sumbaga adalah anak muda sebagaimana dirinya.
Tetapi kemudaan Risang memang mendesaknya, bahwa seperti Sumbaga iapun mempunyai harga diri. Ia tidak mau dianggap tidak berdaya menghadapi Sumbaga dan iapun tidak mau dengan demikian kehadirannya itu semata-mata karena satu kesempatan yang diberikan oleh keluarga Ki Dipayuda. Bahkan semacam sikap belas kasihan.
Karena itu, maka Risangpun kemudian menjawab, "Baiklah Sumbaga. Aku akan pergi ke halaman belakang."
Sumbaga tidak menunggunya. Iapun telah melangkah mendahuluinya.
Risang menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian telah masuk kembali ke dalam biliknya untuk berbenah diri. Ia sengaja tidak membawa senjatanya agar ia tidak lupa mempergunakannya dalam keadaan memaksa. Sebelum ia kehilangan akal dalam perkelahian yang dapat saja terjadi di luar kendali nalar, maka lebih baik ditinggalkannya saja senjatanya di biliknya.
Baru sejenak kemudian, Risang telah menyusul Sumbaga ke halaman belakang.
Ternyata Sumbaga telah mengajaknya agak jauh ke dalam kebun yang gelap dan rimbun. Di sudut kebun itu masih terdapat rumpun-rumpun bambu yang membuat malam seakan-akan menjadi semakin pekat.
Namun ternyata Sumbaga telah menyalakan sebuah oncor yang meskipun kecil, tetapi dapat membantu menerangi kebun yang gelap itu.
"Rumpun bambu itu memang dibiarkan saja oleh Ki Lurah Dipayuda, karena sewaktu-waktu kami disini memang memerlukan beberapa batang bambu untuk keperluan yang bermacam-macam," berkata Sumbaga yang nampak tenang saja menghadapi Risang yang telah bersiap.
Risangpun mencoba untuk tetap tenang. Ia tidak mau dibakar oleh kegelisahannya menghadapi sikap Sumbaga itu.
Sesaat kemudian, maka Sumbaga itupun berkata, "Risang. Aku tahu bahwa kau adalah bekas seorang prajurit. Aku tahu bahwa kau adalah pewaris Tanah Perdikan Sembojan. Namun kaupun harus tahu bahwa dalam olah kanuragan, aku tidak akan mau dianggap pupuk bawang. Aku ingin membuktikan bahwa aku memiliki ilmu yang lebih baik dari setiap prajurit yang manapun dan lebih baik dari setiap pewaris Tanah Perdikan dimanapun. Kaupun tentu tahu maksudku, bahwa setelah kau yakin bahwa kau kalah dalam perkelahian ini, kau tidak akan berani datang lagi ke rumah ini, karena setiap kau datang, maka aku akan memukulimu sampai pingsan. Jika tiga kali kau tidak menjadi jera, maka aku benar-benar akan membunuhmu."
"Apakah sebenarnya sebabnya, bahwa kau tidak senang aku datang ke rumah ini sementara keluarga Ki Dipayuda merasa senang akan kehadiranku?" bertanya Risang.
Ternyata Sumbaga berterus terang, "Kau tidak boleh mengunjungi Riris lagi."
Risang mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Jika aku kalah, aku tidak akan datang lagi kemari."
"Bukan sekedar jika kau kalah. Tetapi kau pasti akan kalah. Tetapi jangan takut, aku tidak akan membunuhmu kali ini," desis Sumbaga.
"Kalau aku menang?" bertanya Risang.
"Kita tidak akan berbicara tentang sesuatu yang tidak akan mungkin terjadi," jawab Sumbaga, "kau tidak akan mungkin menang. Bahkan para Lurah dan Rangga yang ada di dalam lingkungan keprajuritan Pajang tidak akan menang melawanku. Jangkung juga tidak. Bahkan Ki Rangga Dipayuda juga tidak," berkata Sumbaga.
"Kau yakin?" bertanya Risang.
"Aku yakin," jawab Sumbaga.
"Baiklah. Jika kau yakin akan menang, biarlah kenyataan nanti membuktikan. Tetapi aku tetap pada janjiku. Jika aku kalah, aku tidak akan datang lagi ke rumah ini," desis Risang.
"Itulah satu-satunya kemungkinan yang bakal terjadi," sahut Sumbaga. Lalu katanya, "Bersiaplah. Jika kau harus kalah, kalahlah dengan agak terhormat."
"Ya. Aku akan berusaha," jawab Risang.
Keduanyapun segera mempersiapkan diri. Dalam keredipan lampu oncor yang tidak begitu cerah. Apalagi jika angin bertiup. Nyala oncor itu terombang-ambing berkeredipan. Sementara daun bambu di atas mereka terdengar gemerasak di antara derit tubuhnya yang saling berdesakan.
"Bersiaplah. Aku akan mulai. Bukan salahku jika tiba-tiba saja kau menjadi pingsan," desis Sumbaga.
"Ya. Aku sudah bersiap," jawab Risang.
Namun sebelum mulut Risang terkatup rapat, Sumbaga telah meloncat menyerang dengan cepat sekali. Demikian cepatnya, sehingga Risang tidak sempat mengelakkan serangan itu. Tetapi karena ia cukup terlatih, maka iapun dengan serta-merta ia telah menangkis serangan kaki yang terjulur ke arah dadanya itu. Dengan menyilangkan tangannya, maka Risang telah melindungi dadanya dari hentakan tumit Sumbaga.
Namun ternyata Sumbaga benar-benar memiliki kekuatan yang sangat besar. Ternyata dorongan serangan kakinya yang mengenai kedua tangannya yang menyilang di dadanya, telah melemparkan anak muda itu beberapa langkah surut. Risang telah jatuh terbaring di tanah. Namun dengan cepat Risang justru berguling beberapa kali, kemudian melenting dengan cepat. Sekejap kemudian Risang telah berdiri tegak di atas kedua kakinya.
Sumbaga wajahnya tetap saja dingin. Seakan-akan tidak terjadi sesuatu. Namun mulutnyalah yang berkata, "Mengakulah, bahwa kau tidak akan dapat menang. Kemudian penuhi janjimu, bahwa kau tidak akan datang lagi ke rumah ini. Kau harus menyadari, bahwa setiap kali kau melanggar janji, maka tulang-tulangmu akan retak. Jika itu terjadi sampai tiga kali, maka aku akan membunuhmu."
Risang menarik nafas dalam-dalam. Tenaga Sumbaga memang besar. Tetapi itu tidak cukup untuk memaksanya menyerah dan harus memenuhi janjinya untuk tidak datang lagi ke rumah itu dan bertemu dengan Riris.
Karena itu, maka Risangpun berkata, "Tenagamu memang luar biasa besarnya. Tetapi sampai saat ini aku belum kalah."
"Jika kau memaksa diri, maka tulang-tulangmu dapat berpatahan. Ketahuilah, bahwa yang aku lakukan itu masih belum mempergunakan seluruh kekuatan tenagaku," sahut Sumbaga.
"Tetapi bukankah aku masih berdiri tegak di hadapanmu," jawab Risang.
Sekali lagi, dengan cepat sekali Sumbaga menyerang sebelum dengung suara Risang hilang. Namun Risang yang sudah mengalami serangan yang tiba-tiba itu, menjadi lebih berhati-hati. Karena itu, maka ketika serangan kedua itu meluncur dengan cepat dan dengan kekuatan yang lebih besar, maka Risang dengan tangkasnya bergeser menghindar.
Ternyata serangan itu tidak menyentuh sasaran. Sumbaga justru terdorong beberapa langkah. Ia mengira bahwa serangannya akan dapat mengenai dada Risang seperti serangannya yang pertama. Namun karena sasarannya bergeser, maka Sumbaga justru hampir kehilangan keseimbangan.
"Ternyata kau licik," geram Sumbaga.
"Kenapa licik?" bertanya Risang.
"Kau tidak berani berperisai dada. Kau ternyata menghindari seranganku," jawab Sumbaga.
"Bukankah dalam perkelahian seperti ini, menghindar adalah satu langkah yang sah?" bertanya Risang.
"Memang sah bagi seorang pengecut," jawab Sumbaga.
"Apakah kau tidak akan menghindar atau menangkis jika aku menyerang?" bertanya Risang.
Sumbaga termangu-mangu. Tetapi ternyata ia tidak menjawab. Namun ia justru telah meloncat menyerang Risang seakan-akan tanpa ancang-ancang.
Risang sama sekali tidak menghiraukan ejekan Sumbaga. Ia sadar, serangan itu demikian kuatnya, sehingga akan dapat mengguncang pertahanannya. Karena itu, iapun telah meloncat pula menghindari serangan itu.
Ternyata Sumbaga tidak banyak berbicara lagi. Ia justru telah memburu Risang dengan serangan-serangannya yang kemudian datang beruntun.
Risang memang berloncatan menghindari serangan-serangan itu. Bahkan kemudian mengambil jarak. Namun demikian ia mendapat kesempatan, maka Risang telah membangunkan tenaga cadangan di dalam dirinya. Dengan kemampuannya membangun tenaga dalam, maka Risang akan dapat mengimbangi kekuatan Sumbaga yang sangat besar itu.
Ketika kemudian Sumbaga menyerangnya sekali lagi dengan mengayunkan kakinya berputar mendatar, maka Risang memang berniat untuk tidak menghindar. Tetapi dengan landasan tenaga cadangan di dalam dirinya, ia sengaja membentur kekuatan tenaga Sumbaga yang besar itu.
Ternyata yang terjadi kemudian adalah benturan yang sangat keras. Sumbaga memang telah mengerahkan segenap kekuatan tenaganya untuk menghantam Risang. Ia bermaksud untuk mengakhiri perkelahian itu. Karena jika serangannya itu berhasil, maka Risang tentu akan terlempar beberapa langkah dan bahkan akan membentur rumpun bambu yang lebat itu. Mungkin ia akan pingsan dan Sumbaga harus menggotongnya ke gandok.
Tetapi yang terjadi ternyata sama sekali berbeda. Risang memang terdorong selangkah surut. Namun ia masih mampu mempertahankan keseimbangannya, sehingga Risang masih tetap berdiri tegak.
Namun Sumbagalah yang justru terpental beberapa langkah karena benturan itu. Bahkan Sumbaga tidak lagi mampu tetap berdiri tegak di atas kedua kakinya. Betapapun ia berusaha, namun iapun kemudian telah terdorong jatuh beberapa langkah dari titik benturan.
Sumbaga mengaduh perlahan. Bukan saja kakinya yang membentur pertahanan Risang yang terasa sakit. Tetapi perasaan sakit itu seakan-akan menjalar sampai ke pusat jantungnya.
Namun sejenak kemudian Sumbaga itupun menggeram sambil berkata, "Risang. Ternyata kau keras kepala. Kau telah melawanku dengan sungguh-sungguh. Seharusnya kau tahu, bahwa hal seperti itu dapat memancing kemarahanku. Sedangkan jika aku benar-benar menjadi marah, kau tentu akan menyesal. Aku akan menghancurkanmu. Meskipun aku tidak membunuhmu, tetapi kau akan dapat menjadi cacat. Karena itu selagi aku belum bersungguh-sungguh, kau harus mengaku kalah. Kau tidak akan mengalami nasib buruk sekarang. Tetapi kau harus menepati janjimu, tidak akan datang lagi ke rumah ini dan seterusnya tidak akan berhubungan lagi dengan Riris."
Risang memang menjadi agak heran mendengar kata-kata Sumbaga. Nampaknya anak itu tidak berniat menyombongkan diri. Tetapi kata-katanya terdengar aneh. Seakan-akan Sumbaga itu telah melihat apa yang akan terjadi.
"Ia terlalu banyak berangan-angan tentang kemampuan diri," berkata Risang di dalam hatinya.
Meskipun demikian, Risang merasa bahwa ia harus menjadi sangat berhati-hati. Mungkin Sumbaga memang seorang yang berilmu tinggi. Bukan sekedar dalam angan-angannya saja.
Sementara itu Sumbaga itupun berkata, "Risang. Katakanlah bahwa kau menyerah. Kau tidak mempunyai pilihan. Kau harus mengatakan. Sekarang."
"Sumbaga," desis Risang yang ragu-ragu, "aku tidak tahu maksudmu. Kau sekedar ingin mendengar pengakuanku atau kita akan melihat dan membuktikan, siapa di antara kita yang lebih baik. Apakah kau merasa puas jika aku mengaku kalah tanpa memperbandingkan ilmu kita masing-masing" Apakah dengan demikian, maka di antara kita tidak masih akan selalu terdapat sebuah teka-teki, siapakah yang terbaik di antara kita?"
"Jadi kau masih tetap meragukan kelebihanku dari padamu, Risang?" bertanya Sumbaga.


02 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Risang menjadi tidak telaten lagi. Apapun maksud Sumbaga namun darahnya yang mulai memanas di dalam tubuhnya, telah memaksanya untuk bersikap lebih tegas. Karena itu, maka jawabnya, "Ya. Aku meragukan kelebihanmu. Agaknya kau hanya pandai mengancam dan menakut-nakuti orang. Tetapi kau tidak pandai mengalahkan orang lain dalam olah kanuragan."
Seperti yang sudah terjadi, Sumbaga tidak menunggu kata-kata Risang selesai tuntas. Tiba-tiba saja ia telah meluncur menyerang Risang dengan garangnya. Kedua tangannya menerkam ke arah wajah Risang dengan jari-jari terbuka.
Tetapi Risang tidak lagi lengah. Dengan cepat ia merendah, sekaligus menjulurkan kakinya menyongsong lawannya yang menerkamnya.
Sumbaga tidak mengira bahwa Risang bergerak secepat itu. Karena itu, ia terkejut melihat kaki Risang yang terjulur itu. Sumbaga berusaha menggeliat dan melindungi lambungnya dengan sikunya. Namun ia tidak lagi dapat merubah arah geraknya, sehingga sekali lagi terjadi benturan yang keras. Sekali lagi Sumbaga terlempar beberapa langkah surut dan sekali lagi Sumbaga kehilangan keseimbangannya sehingga Sumbaga itu jatuh terbanting di tanah.
Dengan cepat Sumbaga bangkit berdiri. Terdengar ia mengumpat perlahan. Dengan suara yang bergetar ia berkata, "Kau benar-benar tidak tahu diri."
"Cukup," potong Risang yang kehabisan kesabaran, "kau jangan terlalu banyak bicara. Mengancam, menakut-nakuti, merendahkan dan cara-cara yang tidak pantas untuk mempengaruhi lawanmu secara jiwani. Cara yang hanya dapat kau trapkan menghadapi para pengecut dan orang-orang yang licik. Tetapi kepadaku. Kita berkelahi dan membuktikan siapakah yang terbaik di antara kita."
"Setan kau," geram Sumbaga, "kau benar-benar ingin mati."
"Tidak ada seorang yang ingin mati hanya karena ditakut-takuti dengan cara yang tidak pantas itu," jawab Risang.
"Kau kira kau akan dapat menyelamatkan dirimu setelah kau membuat aku marah," hati Sumbagapun benar-benar telah terbakar.
Risang tidak menjawab lagi. Justru Risanglah yang kemudian meloncat menyerang. Dengan satu putaran kakinya telah terayun mendatar.
Sumbaga sempat melihat serangan itu. Dengan cepat ia bergeser surut untuk mengelakkan serangan kaki Risang. Namun dengan cepat pula ia membalas serangan itu dengan serangan pula.
Demikian keduanya telah lagi terlibat dalam perkelahian yang sengit. Ternyata Sumbaga memang memiliki bekal ilmu yang cukup. Ia tidak asal saja berbicara untuk menakut-nakuti Risang. Tetapi semakin lama kekuatan anak muda itu seakan-akan semakin meningkat.
Risangpun telah meningkatkan kemampuannya pula.
Tenaga dalamnyapun semakin lama menjadi semakin besar sejalan dengan pertempuran yang semakin sengit itu.
Kedua orang anak muda itu telah saling menyerang dan saling mendesak. Risang ternyata harus meningkatkan kemampuannya pula untuk mengimbangi Sumbaga yang menjadi semakin tangkas sedangkan kekuatannya menjadi bertambah-tambah.
Namun ternyata Sumbaga yang marah itu benar-benar tidak mengekang diri lagi. Tiba-tiba saja ia telah menghentakkan ilmunya sampai ke puncak.
Risang terkejut. Tiba-tiba saja Sumbaga itu telah mendesaknya. Sebuah serangannya tidak dapat dielakkannya. Ketika kaki Sumbaga terjulur lurus mengarah ke dadanya, Risang masih sempat meloncat ke samping. Tetapi dengan cepat, Sumbaga melenting. Tangannyalah yang kemudian terjulur lurus mengenai dada Risang. Demikian kerasnya, sehingga Risang itu terdorong beberapa langkah surut.
Risang menjadi cemas ketika ia melihat Sumbaga itu memburunya. Karena itu, maka Risangpun justru telah menjatuhkan dirinya dan berguling sekali. Ketika Sumbaga masih saja menyerangnya, maka Risang telah berguling ke samping. Dengan cepat kakinyapun telah menyapu kaki Sumbaga yang mendekatinya dan siap untuk menyerang.
Sumbaga terkejut. Tetapi serangan kaki Risang benar-benar telah melepaskan keseimbangannya, sehingga Sumbaga itupun terjatuh.
Dengan cepat keduanya melenting berdiri.
Sumbaga mengumpat. Matanya menjadi merah menyala karena kemarahan yang bagaikan membakar jantungnya. Namun sementara itu Risangpun tidak lagi serba sedikit meningkatkan ilmunya. Ia sadar, bahwa Sumbaga memang memiliki kekuatan yang sangat besar serta kemampuan dalam olah kanuragan. Jika ia lengah maka Risang akan dapat benar-benar dihancurkan oleh anak muda itu.
Karena itu, maka Risang tidak mau terlambat. Ia tidak lagi terlalu banyak berpikir. Darahnya sudah mulai panas sementara kemudaannya mulai berbicara pada sikapnya.
Anak Tanah Perdikan Sembojan yang telah mendapat tuntunan ilmu dan dipersiapkan untuk menerima ilmu yang jarang ada duanya, Ilmu Janget Kinatelon yang disusun bersama oleh tiga orang nenek dan kakeknya yang juga guru-gurunya, telah berniat untuk mengakhiri permainan yang semakin menjemukan itu.
Demikianlah, maka Risang tidak mau lagi terdesak. Dikerahkannya kemampuannya dan kekuatan tenaga cadangan di dalam dirinya. Dihadapinya Sumbaga dengan sungguh-sungguh.
Sumbaga yang juga menjadi sangat marah itupun telah mengerahkan segenap kemampuannya pula. Tetapi ia sama sekali tidak menduga, bahwa ternyata lawannya memiliki landasan ilmu yang disiapkan untuk menjadi pilar ilmu! Janget Kinatelon.
Karena itu, ketika kemudian keduanya bertempur kembali, Sumbagalah yang telah terdesak surut. Serangan Risang benar-benar di luar dugaan Sumbaga yang merasa memiliki tenaga yang sangat besar dan kemampuan ilmu yang tinggi.
Namun bagaimanapun juga Sumbaga mengerahkan tenaga dan kemampuannya, namun ia tidak lagi dapat bertahan. Risang mendesaknya terus. Serangan-serangan Risang mulai dapat mengenai tubuhnya, semakin lama semakin sering.
Sumbaga juga sekali-sekali mampu membalas. Dengan gerak yang cepat dan tiba-tiba, Sumbaga dapat menggapai tubuh Risang dengan serangan tangannya mengenai dada. Risang yang merasa dadanya menjadi sesak tidak meloncat mengambil jarak. Tetapi ia meloncat sambil berputar. Kakinya terayun mendatar langsung menyambar kening Sumbaga.
Sumbaga tidak sempat menghindar dan tidak pula menangkis serangan itu. Karena itu, maka Sumbagapun langsung terlempar dan jatuh terbanting di tanah.
Tetapi dengan cepat Sumbaga berdiri meskipun kepalanya menjadi pening. Dalam gelapnya malam yang diterangi oleh lampu oncor yang kecil, maka Sumbaga hampir saja kehilangan penglihatannya.
Namun meskipun kabur, ia masih melihat bayangan Risang yang bergerak dengan cepat menyilang di depannya. Sumbaga meloncat surut mengambil jarak. Namun loncatan itu ternyata telah menyelamatkannya. Kaki Risang ternyata tidak mengenai dada Sumbaga yang tidak dapat melihatnya dengan jelas.
Tetapi beberapa saat kemudian, penglihatan Sumbagapun menjadi pulih kembali. Namun kepalanya masih terasa pening, sedang keningnya masih juga terasa sakit.
Dalam pertempuran berikutnya, Risang benar-benar telah menguasai arena. Beberapa kali Sumbaga terdorong surut. Jika sekali-sekali ia dapat mengenai tubuh Risang, maka Risang seakan-akan tidak lagi tergerak oleh serangannya.
Semakin lama Sumbaga merasakan tekanan Risang menjadi semakin berat. Juga tekanan di hatinya. Ia tidak mau dikalahkan oleh anak muda itu. Ia tidak mau Risang masih juga berkunjung ke rumah itu. Ia tidak mau melihat Risang bergurau dengan keluarga Ki Dipayuda apalagi dengan Riris.
Tetapi bagaimanapun juga, Sumbaga tidak dapat mengingkari kenyataan. Beberapa kali tubuhnya masih saja dikenai oleh serangan-serangan Risang. Jauh lebih sering dari yang dapat dilakukannya. Keningnya, pundaknya, lambungnya, lengannya terasa menjadi sakit. Bahkan kemudian tumit Risangpun telah singgah pula di bibirnya sehingga bibirnya pecah dan mengalirkan darah.
Meskipun darah itu tidak bersumber dari bagian dalam tubuhnya, karena hanya bibirnya sajalah yang pecah, namun ketika tangannya mengusap mulutnya, terasa cairan itu menghangat di kulitnya. Di cahaya oncor yang remang-remang, ia melihat merahnya darah di tangannya.
Kemarahan Sumbaga seakan-akan memecahkan jantungnya. Dengan geram ia berkata, "Kau benar-benar tidak tahu diri. Kau harus mati disini meskipun aku akan dihukum oleh Ki Dipayuda."
Namun Risang tidak menunggu. Ialah yang kemudian meloncat menyerang sebagaimana pernah dilakukan Sumbaga. Demikian tiba-tiba dan seakan-akan sebelum mulut Sumbaga terkatup.
Serangan yang sama sekali tidak diduga. Namun serangan itu benar-benar telah menghentikan perlawanan Sumbaga.
Dengan derasnya Risang telah meluncur menyerang ke arah dada. Meskipun Sumbaga berusaha untuk melindungi dadanya, tetapi serangan itu demikian kerasnya sehingga Sumbaga tidak mampu bertahan tegak di tempatnya. Dengan derasnya Sumbaga terlempar surut, menghantam rumpun bambu di belakangnya.
Terdengar keluhan tertahan. Namun kemudian dengan lemahnya Sumbaga itu terjatuh di tanah. Ketika ia menggeliat dan berusaha untuk bangkit, maka terdengar ia mengerang kesakitan. Punggungnya bagaikan telah menjadi patah.
Risang menunggu sejenak. Dibiarkannya Sumbaga menggeliat. Namun Sumbaga itu memang tidak segera bangkit berdiri.
Perlahan-lahan Risang melangkah mendekatinya. Sejenak kemudian iapun telah berdiri tegak selangkah di sebelah Sumbaga terbaring sambil mengerang.
"Apa katamu Sumbaga?" bertanya Risang kemudian.
Sumbaga berdesis menahan sakit. Katanya, "Tidak mungkin. Ini tidak mungkin. Kau tentu berkelahi dengan tidak jujur."
"Apa yang tidak jujur?" bertanya Risang, "apa yang aku lakukan?"
Sumbaga berusaha bangkit sambil mengaduh. Risangpun kemudian telah mendekatinya dan membantunya untuk berdiri. Tetapi Sumbaga mengibaskan tangan Risang sambil berkata, "Kau jangan menghinaku lagi."
Risang bergeser surut. Sementara Sumbaga tertatih-tatih berdiri. Ia berusaha untuk tegak betapapun punggungnya terasa sakit.
Risang berdiri saja mematung. Dibiarkannya Sumbaga mengatur pernafasannya.
Namun yang Risang kemudian menjadi heran adalah, Sumbaga itu berkata, "Risang. Kau harus menepati janjimu."
"Janji apa?" bertanya Risang.
"Kau tidak akan menginjakkan kakimu lagi di halaman rumah ini. Kau tidak akan menemui Riris lagi," jawab Sumbaga.
"Sumbaga, bukankah aku berjanji tidak akan datang lagi ke rumah ini jika aku kalah?" desis Risang.
"Ya. Dan kau sudah kalah. Karena itu, kau tidak boleh lagi datang ke rumah ini. Jika kau memaksa untuk datang, maka kau akan aku buat pingsan. Bahkan jika lebih dari tiga kali, maka kau akan aku bunuh," geram Sumbaga.
"Bukankah aku tidak kalah?" bertanya Risang.
"Kau sudah kalah. Dan kau harus menepati janji," jawab Sumbaga.
"Tidak. Aku tidak kalah," Risang mulai menjadi marah lagi.
"Kau kalah," desis Sumbaga.
"Apa ukurannya kalah dan menang?" bertanya Risang.
"Bukankah kau harus mengakui kelebihanku. Itu adalah pertanda bahwa aku menang," jawab Sumbaga.
Kemarahan Risang justru telah membakar jantungnya. Tiba-tiba saja tangannya telah menampar mulut Sumbaga. Bibirnya yang pecah menjadi semakin sakit. Darah yang mulai pampat telah mengalir lagi dari mulutnya.
"Kau menampar aku?" bertanya Sumbaga.
"Jangan katakan aku kalah," bentak Risang.
"Kau telah berusaha membangunkan orang-orang yang tidur nyenyak dengan teriakan-teriakanmu itu. Tetapi jangan harap. Jaraknya cukup jauh. Kebun ini terlalu luas. Bukankah kau dengar suara angin dan kau lihat arah angin bertiup" Kau tidak akan berhasil membangunkan orang-orang yang tertidur nyenyak di dalam rumah Ki Dipayuda dengan bentakan-bentakanmu itu," berkata Sumbaga.
Kesabaran Risang benar-benar telah habis. Iapun kemudian meloncat sambil menerkam leher Sumbaga. Dengan geram ia berkata, "Katakan, siapa yang menang dan siapa yang kalah sekarang ini."
"Kau kalah Risang," jawab Sumbaga.
Risang tidak dapat mengendalikan diri lagi, tiba-tiba saja ia memilin tangan Sumbaga dan dengan tangan yang lain menarik rambutnya sambil berkata, "Jawab, siapa yang menang dan siapa yang kalah."
"Risang. Jangan," keluh Sumbaga.
Tetapi Risang memilin semakin keras sambil bertanya, "Katakan, siapa yang menang dan siapa yang kalah."
"Jangan Risang. Tanganku dapat patah," minta Sumbaga.
"Sebut dahulu, siapa yang menang he?" Risang justru memperkeras pilinannya.
Sumbaga masih saja mengaduh kesakitan. Sementara Risang benar-benar kehilangan kesabaran. Bahkan darahnya serasa menjadi mendidih menghadapi sikap Sumbaga.
Namun kemudian setelah tidak dapat menahan sakit, Sumbaga itu berkata, "Ya. Kau, kaulah yang menang."
Risang masih memegang tangan Sumbaga. Katanya, "Jika aku kalah, aku tidak akan datang ke rumah ini lagi. Tetapi jika kau yang kalah, kau mau apa?"
Untuk sesaat Sumbaga masih berdiam diri, sehingga Risang menekan tangannya lebih keras lagi.
"Jangan," desis Sumbaga.
"Tanganmu memang harus dipatahkan," geram Risang. Lalu, "Atau kau jawab, apa yang akan kau lakukan jika kau kalah."
Sumbaga memang terpaksa menjawab, "Aku tidak akan mengganggumu lagi."
Risang menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan tangan Sumbaga itu dilepaskan. Tetapi Risang tetap berhati-hati, karena sifat Sumbaga yang aneh itu. Ia akan dapat berbuat sesuatu di luar dugaan. Sejenak kemudian, maka didorongnya Sumbaga beberapa langkah maju, sehingga ia tidak akan sempat berbuat sesuatu dengan tiba-tiba.
Tetapi Sumbaga memang tidak berbuat sesuatu. Ia masih saja terhuyung-huyung. Punggungnya masih terasa sakit. Demikian pula tangannya yang baru saja dipilin oleh Risang. Bahkan lehernya, karena Risang yang marah itu telah menarik rambutnya.
"Persoalan kita sudah selesai sampai sekian," geram Risang. Meskipun darahnya masih terasa panas, namun ia masih mempergunakan penalarannya. Apalagi ia tahu bahwa bagaimanapun juga Sumbaga masih mempunyai hubungan keluarga dengan Ki Dipayuda.
Demikianlah, tanpa berbicara lagi Risang telah meninggalkan Sumbaga yang termangu-mangu di bawah rumpun bambu yang lebat di kebun belakang yang luas. Cahaya oncor yang tidak terlalu terang itu menggapai-gapai disentuh angin malam yang lembut. Sedangkan gemerasak daun bambu terdengar menyusuri rumpun-rumpun yang rimbun.
Sumbaga berjalan tertatih-tatih meninggalkan rumpun bambu setelah memadamkan oncor. Tubuhnya yang letih menyusup di antara pepohonan, langsung menuju ke biliknya. Sementara Risang masih sempat mencuci tangan dan kakinya di pakiwan.
Di pembaringan, Sumbaga masih saja mengerang kesakitan. Tulang-tulangnya bagaikan menjadi retak. Bibirnya terasa pedih meskipun sudah tidak berdarah lagi. Tangannya yang dipilin Risang seakan-akan tidak segera mau pulih kembali.
"Ternyata Pewaris Tanah Perdikan Sembojan itu memiliki kemampuan yang tinggi. Jauh lebih tinggi dari kemampuan prajurit kebanyakan," desis Sumbaga.
Dengan demikian, maka semalam suntuk ia tidak dapat tidur sama sekali. Tubuhnya seolah-olah tidak lagi dapat digerakkannya. Setiap kali ia bergeser, maka iapun telah berdesah kesakitan.
Menjelang pagi, terasa udara yang segar mengusap kulitnya. Meskipun menjadi lebih baik, tetapi tulang-tulangnya masih saja terasa sakit.
Tetapi menjelang fajar, Sumbaga telah bangun. Sambil menyeret kakinya, ia pergi ke pakiwan. Ketika tubuhnya tersiram air, maka terasa pedih di beberapa tempat termasuk di punggungnya. Agaknya kulitnyapun telah tergores ruas batang bambu, ranting-rantingnya dan bebatuan di tanah ketika ia beberapa kali jatuh berguling.
Namun dinginnya air terasa membuat tubuhnya menjadi segar.
Setelah mandi, maka Sumbaga telah pergi ke kebun belakang untuk membenahi bekas perkelahiannya melawan Risang. Kemudian ia harus melakukan pekerjaannya sehari-hari.
Ketika ia terpaksa menimba air untuk mengisi jambangan di pakiwan, masih juga terdengar beberapa kali ia mengeluh. Namun tiba-tiba saja terdengar suara di belakangnya, "Biarlah aku saja yang mengisi pakiwan."
Sumbaga menoleh. Dilihatnya Risang berdiri dengan tegar. Ia tidak nampak letih sama sekali. Apalagi kesakitan.
Sebelum Sumbaga menjawab, maka Risang telah menggapai senggot timba di tangan Sumbaga. Dan kemudian, Risanglah yang menimba air untuk mengisi jambangan di pakiwan. Jambangan yang cukup besar. Sementara Sumbaga telah pergi ke halaman depan sambil membawa sapu lidi yang bertangkai panjang.
Ketika kemudian pagi mendatang, seisi rumah itupun telah terbangun pula. Masih terdengar suara sapu lidi di halaman. Tetapi masih terdengar pula suara senggot timba berderit. Ternyata Risang telah mengisi jambangan itu sekali lagi setelah ia sendiri mandi, sehingga jambangan itu menjadi penuh kembali.
Apipun telah menyala di dapur. Riris yang mengambil air di sumur tersenyum melihat Risang mengisi jambangan setelah mandi.
"Kau bangun pagi-pagi sekali," berkata Riris.
"Bukankah sudah menjadi kebiasaanku," jawab Risang, "di rumah, di barak ketika aku masih menjadi prajurit dan dimana saja."
Riris tersenyum. Iapun kemudian mengangkat kelentingnya dan diletakkannya di lambung. Air memang memercik membasahi ujung bajunya. Namun Riris tidak menghiraukannya. Apalagi pekerjaan itu telah dilakukannya sehari-hari.
Ketika matahari naik, Riris yang melihat Sumbaga di depan pintu dapur terkejut. Ia melihat memar di wajah Sumbaga. Bibirnya sedikit bengkak. Jalannya agak terbongkok-bongkok.
"Kakang Sumbaga. Kau kena apa?" Riris menjadi cemas. Didekatinya anak muda itu. Sambil mengusap memar di kening Riris bertanya sekali lagi, "Kenapa Kakang?"
Sumbaga termangu-mangu. Namun kemudian katanya, "Aku semalam terjatuh Riris."
"Terjatuh dimana?" desak Riris.
"Di sumur. Aku jatuh terlentang. Namun ketika aku menggeliat, wajahku terantuk batu tlundak pakiwan. Bibirku pecah dan keningku menjadi memar," jawab Sumbaga.
Riris melihat keragu-raguan di wajah Sumbaga. Tetapi sebelum Riris bertanya lebih lanjut, Sumbaga sudah melangkah pergi.
Riris memandangi anak muda itu dengan beberapa pertanyaan di hatinya. Tetapi ia tidak menghentikan Sumbaga. Gadis itu ingin mengatakannya kepada kakaknya Jangkung. Karena itu, maka Ririspun segera mencari Jangkung yang ternyata telah sibuk dengan kuda-kudanya di gedogan.
"Kakang," berkata Riris, "kenapa dengan Kakang Sumbaga?"
"Kenapa?" bertanya Jangkung.
"Wajahnya memar dan bibirnya bengkak. Nampaknya punggungnya juga sakit."
Jangkung mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, "Baiklah. Nanti aku temui Sumbaga. Tetapi apakah kau tidak bertanya, kenapa wajahnya menjadi memar?"
"Aku sudah bertanya. Katanya ia terjatuh di sumur," jawab Riris.
Jangkung mengangguk-angguk. Namun ia masih akan menyelesaikan kuda-kudanya lebih dahulu.
Ketika kemudian Jangkung bertemu dengan Sumbaga di halaman samping, maka Jangkungpun bertanya tentang memar di wajahnya serta bibirnya yang bengkak. Namun jawabnya sebagaimana dikatakannya kepada Riris. Bahwa ia jatuh di pakiwan.
Jangkung memang curiga bahwa telah terjadi perselisihan dengan Risang. Karena itu, maka iapun segera menemui Risang, yang ternyata duduk di serambi gandok. Bahkan Riris sedang menghidangkan minuman hangat bagi anak muda itu. Meskipun sebenarnya Ririspun ingin melihat, apakah ada tanda-tanda pada Risang sebagaimana dilihatnya pada Sumbaga. Ketika ia melihat Risang berada di sumur mengisi jambangan, ia tidak begitu memperhatikan keadaan anak muda itu.
Namun ternyata Risang tidak menunjukkan tanda-tanda apapun sebagaimana yang ada pada Sumbaga. Bahkan sikapnya, kata-katanya dan kulitnya nampak biasa-biasa saja sebagaimana saat ia datang.
Jangkungpun kemudian duduk pula bersama Risang di serambi. Beberapa kali Jangkung berusaha memancing keterangan Risang yang ada hubungannya dengan Sumbaga, tetapi sama sekali tidak ada pernyataan apapun juga dari padanya.
Bahkan ketika Jangkung mengatakan bahwa Sumbaga terjatuh di sumur, Risang nampak terkejut.
"Kapan ia jatuh" Pagi tadi aku berada di sumur. Aku memang melihat Sumbaga. Tetapi ia pergi membawa sapu lidi bertangkai panjang," jawab Risang.
"Mungkin ia jatuh sebelum aku datang," jawab Jangkung.
"Mungkin. Karena ternyata pakiwan telah terisi hampir penuh," sahut Risang.
Jangkung mengangguk-angguk. Tetapi katanya, "Keadaan Sumbaga jauh lebih buruk dari seorang yang tergelincir dan jatuh di pelataran sumur meskipun pelataran itu dibuat dari batu."
Risang mengangguk-angguk. Tetapi katanya kemudian, "Jatuh dengan punggung dan tengkuk membentur batu keadaannya akan menjadi sangat buruk. Mungkin ia menjadi pening dan muntah-muntah."
"Tidak," jawab Jangkung, "Kakang Sumbaga tidak menjadi muntah-muntah. Nampaknya tidak pula pening. Namun badannya nampaknya sakit dari ujung kaki sampai ke ujung rambut. Bahkan bibirnya nampak bengkak."
Risang menarik nafas dalam-dalam. Ia memang terlalu banyak menyakiti anak muda itu. Untunglah tangan Sumbaga tidak dipatahkannya. Tetapi Risang merasa dirinya seakan-akan dipermainkan oleh Sumbaga.
Beberapa saat lamanya Jangkung menemui Risang minum di serambi. Namun Risangpun kemudian berkata, "Hari ini aku akan melanjutkan perjalanan."
"Baik. Tetapi nanti. Sesudah ibu memberikan isyarat. Besok jika kau kembali ke Sembojan, kau harus singgah dan bermalam semalam lagi. Di Pajang kau harus menemui ayah yang terpaksa melakukan tugas keprajuritan untuk beberapa lama lagi di masa peralihan ini," berkata Jangkung.
Risang tahu maksud Jangkung. Ia harus menunggu makan pagi yang disiapkan oleh Nyi Rangga Dipayuda. Karena itu, maka sambil tersenyum Risang menjawab, "Aku akan menunggu isyarat itu. Bukankah isyarat itu penting bagiku."
Jangkungpun tersenyum. Katanya, "Baiklah. Aku akan minta agar ibu mempercepat persiapannya."
"Tidak. Kau tidak perlu mendesaknya. Aku tidak tergesa-gesa. Aku masih mempunyai banyak waktu. Bukankah jarak perjalananku tidak panjang lagi?" desis Risang.
Jangkung mengerutkan dahinya. Namun kemudian katanya, "Minumlah. Minumanmu itu nanti menjadi dingin."
Jangkung meninggalkan Risang seorang diri duduk di serambi. Sekali-sekali diteguknya minuman panas yang dihidangkan oleh Riris. Namun kemudian Risangpun telah membenahi dirinya di dalam bilik di gandok itu. Jika saatnya tiba, maka iapun akan segera meninggalkan rumah Ki Dipayuda untuk meneruskan perjalanan ke Pajang, menghadap Ki Rangga Kalokapraja.
Beberapa saat kemudian, maka Risangpun telah dipanggil untuk masuk ke ruang dalam. Jangkung dan Riris ternyata sudah menunggunya. Di ruang dalam telah dihidangkan makan pagi buat Risang dan beberapa orang yang akan menemaninya makan.
"Dimana Kakang Sumbaga?" bertanya Jangkung kepada Riris.
"Kakang Sumbaga tidak mau. Ia tidak terbiasa makan bersama-sama," jawab Riris.
Jangkung tertawa. Katanya, "Akupun tidak terbiasa makan dengan cara yang terlalu tertib. Aku biasa makan di dapur. Mengambil nasi di bakul dan sayur langsung dari kuali."
Ibunya menggamitnya sambil berdesis, "Ah kau. Ayahmu tidak mengajarmu makan dengan cara itu."
Jangkung tersenyum. Ia tidak membantah. Persoalannya sudah menyentuh martabat ayahnya.
Demikianlah maka merekapun telah makan pagi. Namun karena ada seorang tamu yang mereka hormati, maka hidangannya agak berlebih dibanding dengan kebiasaan mereka sehari-hari.
Sambil makan pagi, maka Risangpun telah menceriterakan rencana perjalanannya. Ia akan pergi ke Pajang untuk menemui Ki Rangga Kalokapraja.
Ketika matahari mulai naik dan panasnya terasa menggatali kulit, Risang telah meneruskan perjalanannya menuju ke Pajang. Keluarga Ki Dipayuda telah melepas mereka sampai ke regol halamannya, termasuk Riris dan Jangkung.
Sumbaga berdiri di seketeng sambil memandangi Riris yang masih saja melambaikan tangannya. Namun ia tidak dapat mengabaikan kenyataan, bahwa ia tidak lebih baik dari Risang.
Bahkan ternyata dalam olah kanuraganpun, ia tidak dapat mengimbangi kemampuan pewaris Tanah Perdikan Sembojan itu.
Dalam pada itu, maka Risangpun telah memacu kudanya langsung menuju ke Pajang. Jaraknya memang tidak terlalu jauh lagi.
Ternyata Risang tidak banyak menemui kesulitan untuk mencari rumah Ki Rangga Kalokapraja. Apalagi Risang telah banyak mengenali jalan-jalan di Kotaraja. Sehingga seakan-akan ia dapat langsung menemukan rumah itu.
Rumah Ki Rangga Kalokapraja bukan sebuah rumah yang besar dan mewah. Meskipun nampak bersih dan terawat, namun rumah itu tidak menunjukkan rumah seorang yang berlebihan.
Tetapi ketika Risang sampai ke rumah itu, ternyata Ki Rangga tidak sedang ada di rumah. Ia sedang melakukan kewajibannya. Tetapi seorang yang ada di rumah itu mengatakan bahwa Ki Rangga tidak sedang bepergian jauh.
"Nanti, lewat tengah hari Ki Rangga tentu kembali," berkata orang itu.
Risang mengangguk-angguk.
"Silahkan naik ke pendapa jika Ki Sanak ingin menunggu," orang itu mempersilahkan.
Tetapi Risangpun kemudian berkata, "Sebaiknya aku keluar saja dahulu. Nanti aku akan kembali lewat tengah hari."
Dengan demikian Risang dapat memanfaatkan waktunya untuk melihat-lihat keadaan kota Pajang setelah untuk beberapa lama ia tidak melihatnya.
Bahkan kemudian Risang sempat singgah di sebuah kedai yang cukup besar. Ditambatkannya kudanya di sebelah kedai itu bersama-sama dengan beberapa ekor kuda yang lain.
Sambil menunggu, Risang sempat memperhatikan orang-orang yang berada di dalam kedai itu. Namun tidak ada di antara mereka yang menarik perhatiannya.
Karena itu, ketika minumannya telah dihidangkan, sambil memandangi asap yang mengepul dari mangkuknya, Risang sempat mengenang apa yang telah terjadi di rumah Ki Rangga Dipayuda.
Terbayang wajah Sumbaga yang gelap. Wajah seorang anak muda yang kecewa. Risangpun menyadari bahwa agaknya Sumbaga sebagai seorang anak muda telah menaruh hati kepada Riris. Meskipun di antara mereka masih ada hubungan keluarga namun nampaknya sudah tidak begitu rapat lagi.
Namun tiba-tiba ketika asap itu mengepul semakin banyak, yang nampak bukan lagi wajah Sumbaga. Tetapi wajah Kasadha.
Jantung Risang berdesir cepat. Tiba-tiba saja Risang membayangkan, apa yang akan dilakukan jika yang berdiri di tempat Sumbaga itu adalah Kasadha.
Menurut perasaan Risang, agaknya Kasadha juga menaruh perhatian terhadap Riris.
"Jika saja Kasadha ingin mendesak aku dari halaman rumah Ki Rangga Dipayuda, apa yang harus aku lakukan?" pertanyaan itu tiba-tiba telah menggetarkan jantungnya.
Risang terkejut ketika pelayan kedai itu bertanya kepadanya, "Apakah anak muda akan makan?"
Tanpa berpikir panjang Risang mengangguk sambil menjawab, "Ya. Bukankah matahari telah di puncak?"
Pelayan kedai itu tersenyum. Katanya, "Sudah pantas untuk makan siang. Matahari telah melewati puncaknya. Lihat saja bayangannya."
Risang memang memandang keluar. Dan ia percaya bahwa matahari telah mulai turun.
Tetapi Risang sudah terlanjur memesan makan. Karena itu ia memang harus menunggu. Apalagi ia tidak ingin mengganggu Ki Rangga yang demikian pulang dari tugasnya, tentu masih akan beristirahat sejenak, minum dan bahkan juga makan siang.
Namun dalam pada itu, setiap kali telah tumbuh pertanyaan di hatinya. Apa yang akan dilakukannya jika ia harus berhadapan dengan Kasadha dalam persoalan Riris"
"Ah," Risang menarik nafas dalam-dalam, "kenapa aku menjadi gelisah" Seandainya Kasadha tidak menjadi penghambat, apakah Riris menaruh perhatian terhadapku."
Sambil menghirup minuman hangatnya Risang mengangkat wajahnya. Ia melihat dua orang memasuki kedai itu dan duduk di sudut. Namun Risang tidak menghiraukannya lagi. Ia kembali merenungi keadaannya yang gelisah.
Sejenak kemudian, maka pelayan kedai itupun telah menghidangkan makan yang dipesan oleh Risang. Nasi rames dengan dendeng ragi dan sambal goreng yang merah oleh cabai rawit. Risang bukan termasuk orang yang senang makan pedas. Tetapi iapun tidak menolaknya meskipun harus menyisihkan potongan-potongan cabai rawit itu.
Tetapi selagi Risang sibuk dengan hidangan makannya, ia terkejut mendengar seseorang yang menjadi marah. Katanya, "Kenapa kau berikan nasi itu kepada anak itu" Bukankah aku juga memesannya."
Pelayan itu memang menjadi heran akan sikap orang itu. Karena itu maka iapun menjelaskan, "Anak muda itu telah memesan lebih dahulu."
Ternyata orang itu masih berdiri di luar pintu kedai. Tetapi ia menjawab dengan lantang, "Tidak. Aku memesan lebih dahulu."
"Ki Sanak," berkata pelayan itu, "silahkan masuk. Duduklah. Dan silahkan memesan apa saja yang ada dan yang dapat kami sediakan."
Risangpun termangu-mangu. Ia menunggu orang yang ada di luar pintu itu melangkah masuk untuk dapat melihat dengan jelas.
Sebenarnyalah, sejenak kemudian maka orang itupun melangkah masuk. Masih semuda Risang.
"Kasadha," tiba-tiba saja Risang berdiri.
Kasadha tertawa. Sambil melangkah mendekatinya ia bertanya, "Sepagi ini kau sudah ada disini."
Ketika keduanya kemudian duduk sambil tertawa, maka pelayan kedai itupun bergeremang, "Gurau yang mendebarkan."
Orang-orang lain yang ada di kedai itupun tersenyum melihat tingkah laku kedua orang anak muda yang nampaknya bersahabat tetapi sudah lama tidak bertemu.
Kasadha memang tidak mengenakan pakaian keprajuritan. Ia keluar untuk membeli sesuatu di luar baraknya.
Sementara itu Risangpun menjawab, "Bukankah matahari telah melewati ujung langit" Bukankah tidak dapat disebut pagi lagi sekarang ini?"
"Ya. Memang sudah siang. Sudah pantas untuk makan," jawab Kasadha yang kemudian memanggil pelayan kedai itu dan memesan pula nasi rames seperti yang dipesan Risang.
"Nasimu di barak tidak ada yang makan nanti," desis Risang.
"Kau kira aku merasa kenyang dengan nasi semangkuk itu?" sahut Kasadha, "Kau tahu bagaimana aku makan. Karena itu, rangsumku di barak juga akan aku makan habis nanti."
Keduanya tertawa. Sementara Risang bertanya, "Kenapa kau berkeliaran di luar barak?"
"Mumpung ada waktu. Aku ingin membeli ikat pinggang kulit yang lebih baik. Ikat pinggangku sudah rusak," jawab Kasadha.
"Bukankah kau mendapat ikat pinggang keprajuritan yang cukup baik sebagaimana aku pernah menerima dahulu?" bertanya Risang.
"Tetapi kurang mapan untuk dikenakan selagi aku berpakaian seperti ini," jawab Kasadha.
Pembicaraan mereka terhenti ketika pelayan kedai itu menyuguhkan makan rames yang dipesan oleh Kasadha. Namun kemudian sambil makan keduanya telah berbicara hilir mudik mengenai soal yang bermacam-macam.
Namun tiba-tiba saja Kasadha bertanya, "He, apakah kau mempunyai keperluan penting di Pajang, atau sekedar ingin melihat-lihat" Atau kau memang mencari aku" Bukankah aku sudah tidak mempunyai hutang?"
Keduanya tertawa sehingga orang-orang yang ada di kedai itu berpaling kepada mereka. Tetapi ternyata orang-orang itu ikut tersenyum melihat wajah-wajah cerah kedua orang anak muda itu.
"Aku sebenarnya ingin menghadap Ki Rangga Kalokapraja," jawab Risang.
"Ki Rangga Kalokapraja," Kasadha mengingat-ingat, "aku pernah mendengar namanya."
"Aku sudah sampai ke rumahnya. Tetapi Ki Rangga sedang bertugas. Karena itu, aku singgah dahulu di kedai ini. Jika nanti di rumah Ki Rangga aku tidak sempat dijamu makan, maka aku tidak akan kelaparan," sahut Risang.
Keduanya telah tertawa lagi.
Demikianlah ketika keduanya telah selesai makan, maka Kasadha berkata, "Datanglah ke barak. Ki Rangga Dipayuda kini telah diangkat menjadi salah seorang perwira yang ikut memimpin barakku."
"Aku akan datang nanti setelah aku bertemu dengan Ki Rangga Kalokapraja," berkata Risang.
Bahkan Risangpun kemudian telah bangkit berdiri dan mendekati pelayan kedai itu sambil bertanya, berapa ia harus membayar bagi dirinya sendiri dan Kasadha.
Tetapi ketika pelayan itu menyebut sejumlah uang sementara Risang sedang membuka kantong ikat pinggangnya, ternyata Kasadha telah mendahuluinya, membelikan uang seharga makanan dan minuman mereka berdua.
"O," Risang mengerutkan dahinya, "kau membayarnya?"
"Aku tuan rumah disini," jawab Kasadha, "sepantasnya akulah yang membayarnya."
"Aku datang lebih dahulu," berkata Risang.
"Tetapi kau anak Tanah Perdikan Sembojan," jawab Kasadha.
Risang hanya dapat tertawa saja. Tetapi ia tidak mendesak Kasadha. Ia tahu, bahwa Kasadha merasa lebih berkewajiban untuk membayar, karena ia tinggal di Pajang.
Dengan demikian, maka keduanyapun telah meninggalkan kedai itu. Risang telah berjanji untuk singgah di barak dan bertemu dengan Kasadha dan Ki Rangga Dipayuda, setelah ia menemui Ki Rangga Kalokapraja, sedangkan Kasadha langsung kembali ke baraknya.
Sejenak kemudian Risang telah menyusuri jalan-jalan kota di atas punggung kudanya yang berjalan tidak terlalu cepat. Iapun langsung menuju ke rumah Ki Rangga Kalokapraja. Menurut dugaan Risang, Ki Rangga tentu sudah pulang. Atau jika ia masih harus menunggu, tentu tidak akan terlalu lama lagi.
Beberapa saat kemudian, maka kuda Risang telah memasuki jalan yang menuju ke rumah Ki Rangga Kalokapraja.
Ketika Risang sampai ke rumah Ki Rangga, ternyata Ki Rangga memang telah berada di rumah. Bahkan nampaknya telah berganti pakaian dan duduk-duduk di serambi samping.
Demikian Risang datang, maka iapun langsung dipersilahkan naik ke serambi samping.
"Marilah. Duduklah Risang," Ki Ranggapun telah mempersilahkannya.
Risangpun kemudian duduk di serambi itu pula. Dengan ramah Ki Rangga Kalokapraja telah bertanya tentang keselamatan dan keadaan Tanah Perdikan Sembojan.
"Semuanya dalam keadaan baik Ki Rangga," jawab Risang.
"Syukurlah. Mudah-mudahan untuk seterusnya keadaan Tanah Perdikan itu semakin baik," desis Ki Rangga.
"Terima kasih Ki Rangga," sahut Risang.
Ki Ranggapun kemudian telah mempertanyakan kepentingan Risang datang.
"Aku memenuhi perintah Ki Rangga. Aku telah membawa laporan terperinci dari Tanah Perdikan Sembojan. Laporan tentang keadaan yang ada sekarang. Sedikit sejarahnya dan rencana-rencana masa mendatang dengan beberapa harapan dan permohonan," berkata Risang.
Ki Rangga mengangguk-angguk. Sambil tersenyum ia berkata, "Bagus. Aku memang mengharapkannya. Mudah-mudahan dalam waktu singkat segala sesuatu mengenai Tanah Perdikan Sembojan telah dapat aku selesaikan."
Risangpun kemudian telah menyerahkan seberkas laporan tentang Tanah Perdikannya yang akan dilihat dan diselesaikan persoalannya oleh Ki Rangga Kalokapraja.
"Baiklah," berkata Ki Rangga Kalokapraja, "aku terima berkas ini. Aku akan segera mempelajarinya dan menyelesaikannya."
"Terima kasih Ki Rangga," desis Risang berulang kali.
Sementara itu Ki Rangga juga mempertanyakan kemungkinan-kemungkinan mendatang bagi Tanah Perdikan Sembojan serta perkembangan para penghuninya.
Namun kemudian Ki Rangga itupun bertanya, "Apakah kau akan bermalam disini?"
Risang termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Aku masih ingin menjenguk Ki Rangga Dipayuda serta saudaraku Lurah Kasadha."
"Ki Rangga Dipayuda yang beberapa saat yang lalu telah mengundurkan diri dan kemudian dipanggil kembali ke lingkungan keprajuritan?" bertanya Ki Rangga Kalokapraja.
"Ya Ki Rangga," jawab Risang.
"Apakah kau masih mempunyai hubungan keluarga dengan Ki Rangga Dipayuda?"
"Tidak Ki Rangga. Tetapi Ki Rangga Dipayuda pernah menjadi pimpinanku dalam tatanan keprajuritan ketika aku masih menjadi seorang prajurit. Bagiku ia seorang pemimpin yang baik," berkata Risang.
Ki Rangga Kalokapraja mengangguk-angguk sambil tersenyum. Katanya, "Aku mengenal Ki Rangga. Bahkan sejak masih menjadi Lurah dan kemudian mengundurkan diri. Setelah ia menjadi Rangga maka aku telah beberapa kali bertemu."
"Ki Rangga Dipayuda bahkan telah menganggap aku sebagai anaknya sendiri," berkata Risang kemudian. Lalu katanya, "Karena itu aku ingin menemuinya. Mungkin bermalam di barak itu pula."
Ki Rangga Kalokapraja mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Tetapi jika kau menemui kesulitan bermalam di barak itu, maka kembalilah kemari. Disini kau dapat bermalam di gandok yang kanan atau yang kiri."
Risang tersenyum. Sambil mengangguk hormat ia berkata, "Terima kasih, Ki Rangga."
Namun dengan demikian, setelah segala kepentingannya selesai, Risangpun telah minta diri untuk mengunjungi Kasadha dan Ki Rangga Dipayuda.
Ketika matahari turun semakin rendah, maka Risangpun telah meninggalkan rumah Ki Rangga Kalokapraja. Kudanya berlari tidak begitu cepat menyusuri jalan kota menuju ke barak pasukan yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Jayayuda.
Ternyata Risang tidak mengalami kesulitan ketika ia menemui petugas di gerbang halaman barak dan mohon untuk diperkenankan menemui Kasadha.
"Ki Lurah Kasadha," desis prajurit yang bertugas.
"Ya," jawab Risang.
Prajurit yang bertugas itu bahkan telah menunjukkan dimana Risang dapat menemui Kasadha.
Kasadha menerima Risang dengan gembira. Ditambatkannya kudanya di sudut halaman barak. Sambil beristirahat kudanya sempat makan rerumputan hijau yang tumbuh di sudut halaman barak itu, sementara Risang di, bawa oleh Kasadha menemui Ki Rangga Dipayuda.
Ternyata masih ada beberapa orang prajurit yang mengenal Risang sebagai Bharata. Seorang pemimpin kelompok yang disegani sebagaimana Kasadha. Bahkan para prajurit hampir tidak dapat membedakan antara Kasadha dan Bharata.
Kedua-duanya kecuali mirip, mereka memang memiliki kelebihan dari para prajurit dan bahkan para pemimpin kelompok yang lain. Karena itu, maka sudah sepantasnya bahwa Kasadha telah ditunjuk menjadi Lurah prajurit.
"Seandainya waktu itu Bharata masih ada, maka tentu akan sulit menunjuk, apakah Bharata atau Kasadha yang pantas menjadi Lurah," berkata para prajurit yang mengenal kedua-duanya.
Karena itulah, maka kedatangan Bharatapun telah mendapat sambutan dari beberapa orang yang telah pernah mengenalnya. Mereka mengerumuni Bharata untuk menyapa dan mengucapkan selamat datang setelah lama mereka tidak bertemu.
Baru sejenak kemudian, maka Bharata telah diajak Kasadha menemui Ki Rangga Dipayuda.
Ki Rangga Dipayudapun menyambut kedatangan Bharata dengan gembira. Seperti Kasadha, maka Bharata bagi Ki Rangga adalah seorang anak muda yang memiliki kelebihan dari kawan-kawannya. Bukan saja kemampuan dan ilmunya, tetapi juga kepribadiannya.
Untuk beberapa lama, maka Ki Rangga Dipayuda telah berbincang dengan Bharata dan Kasadha. Setiap kali terdengar mereka tertawa gembira. Banyak hal yang dapat mereka kenang. Saat-saat yang paling getirpun telah membuat mereka tertawa, betapapun asamnya.
Pembicaraan mereka terhenti sejenak, ketika seseorang memasuki bilik itu. Ternyata Ki Rangga Prangwiryawan. Sambil mengerutkan keningnya, ia memandang orang-orang yang ada di dalam biliknya.
"Kenalkan Ki Rangga," berkata Ki Rangga Dipayuda, "anak muda ini adalah Bharata. Dahulu, ketika aku menjadi Lurah Penatus, anak muda ini menjadi salah seorang pemimpin kelompok sebagaimana Kasadha."
"O," Ki Rangga Prangwiryawan mengangguk kecil ketika Bharata mengangguk hormat kepadanya.
"Sekarang kau dimana anak muda?" bertanya Ki Rangga Prangwiryawan.
"Aku pulang ke kampung halaman Ki Rangga," jawab Risang.
"Apakah kau lebih senang menjadi seorang petani daripada menjadi seorang prajurit?" bertanya Ki Rangga Prangwiryawan.
Bharata termangu-mangu sejenak. Namun iapun menjawab, "Bagiku sama saja Ki Rangga. Tetapi di rumah aku harus menunggui ibuku."


02 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"O," Ki Rangga mengangguk kecil, "dimana ayahmu?"
"Ayahku sudah meninggal," jawab Bharata.
Ki Rangga Prangwiryawan tidak bertanya lebih banyak lagi. Tetapi iapun kemudian telah melangkah keluar dari bilik itu.
Ki Rangga Dipayuda tersenyum ketika ia melihat Kasadha menarik nafas dalam-dalam.
"Apakah ia masih memperhatikanmu?" bertanya Ki Rangga Dipayuda.
"Ya Ki Rangga. Bahkan semakin hari seakan-akan menjadi semakin menjadi-jadi," jawab Kasadha, "Ki Lurah Lenggana nampaknya sering mengipasi perasaan Ki Rangga Prangwiryawan. Sementara itu Ki Lurah Lenggana sendiri masih diliputi oleh perasaan yang kekanak-kanakan. Ia ingin disebut Lurah terbaik di dalam barak ini. Padahal tidak seorangpun yang berniat menyainginya. Mungkin Ki Lurah Bantardi. Tetapi keduanya seakan-akan telah dikendalikan oleh Ki Rangga Prangwiryawan."
"Tetapi menurut pendapatku, keduanya masih saja bersaing untuk mendapat sebutan Lurah Penatus terbaik dari barak ini. Jika pada suatu saat benar-benar diadakan semacam pendadaran untuk mendapatkan gelar Lurah Terbaik, maka keduanya akan merupakan saingan yang berat. Karena kau tentu tidak akan berniat untuk ikut serta," berkata Ki Lurah Dipayuda.
"Ya. Aku lebih baik menonton jika benar-benar hal itu diadakan," berkata Kasadha.
"Apakah aku boleh juga menyaksikan?" bertanya Bharata.
Ki Rangga menggeleng. Katanya, "Tentu tidak. Orang yang dianggap orang luar tentu tidak akan boleh menyaksikan. Jika terjadi sesuatu di luar rencana, maka tidak akan diketahui oleh orang lain selain keluarga barak ini sendiri."
Bharata mengangguk-angguk. Katanya, "Sebenarnya aku ingin menyaksikannya."
"Jika kau mau menjadi prajurit lagi," desis Ki Rangga.
Bharata tersenyum saja. Tetapi ia kemudian justru berceritera bahwa ketika ia pergi ke Pajang, ia telah singgah di rumah Ki Rangga Dipayuda.
"Terima kasih," berkata Ki Rangga Dipayuda, "Jangkung dan Riris tentu senang sekali dengan kehadiranmu."
"Ya Ki Rangga," jawab Bharata, "aku merasa mendapat kehormatan yang tinggi."
Namun dalam pada itu, nampak kening Kasadha berkerut. Tetapi dengan serta-merta ia berusaha mengusir gejolak di dalam jantungnya yang tidak dimengerti sebabnya. Karena itu, maka sama sekali tidak nampak kesan apapun di wajah anak muda itu meskipun jantungnya berdenyut lebih cepat.
"Bukankah di rumahku sekarang anak Sumbaga?" bertanya Ki Rangga.
"Ya. Seorang anak muda yang baik," jawab Bharata.
"Ia dapat membantu menjaga rumah kami," desis Ki Rangga Dipayuda, "bagaimanapun juga ia masih kadang meskipun sudah sedikit jauh."
Bharata hanya mengangguk-angguk saja. Ia sama sekali tidak menceriterakan apa yang sudah terjadi di rumah Ki Rangga Dipayuda.
Demikianlah, malam itu Bharata bermalam di barak. Bahkan ia sempat bertemu dengan Ki Tumenggung Jayayuda. Kepada Ki Tumenggung, Ki Rangga Dipayuda memberitahukan bahwa Bharata pernah menjadi prajuritnya, justru saat terjadi perang antara Pajang dan Mataram.
"Apakah kau tidak tertarik lagi untuk menjadi seorang prajurit?" bertanya Ki Tumenggung Jayayuda.
Bharata tersenyum. Namun jawabnya, "Aku mempunyai tugas di rumah Ki Tumenggung."
"Tugas apa?" bertanya Ki Tumenggung Jayayuda.
"Menunggui ibu," jawab Bharata.
Tetapi kepada Ki Tumenggung Jayayuda, Ki Rangga Dipayuda berkata, "Ia satu-satunya pewaris Tanah Perdikan Sembojan."
"O," Ki Tumenggung mengangguk-angguk, "jadi kau akan mewarisi jabatan Kepala Tanah Perdikan itu?"
"Aku berharap demikian Ki Tumenggung," jawab Bharata.
"Kenapa sekedar berharap" Apakah tidak ada kepastian tentang jabatan itu?" bertanya Ki Tumenggung.
"Sekarang hal itu sedang dipelajari oleh Ki Rangga Kalokapraja. Sebelumnya, persoalan Tanah Perdikan itu menjadi gawat ketika para pemimpin Pajang di bawah pemerintahan Kangjeng Adipati Demak, membuat paugeran yang agak berbeda dengan paugeran yang sebelumnya lagi berlaku," jawab Bharata.
Ki Tumenggung mengangguk-angguk. Katanya, "Memang mungkin sekali. Banyak terjadi hal-hal seperti itu di segi-segi kehidupan yang lain."
"Kami telah dicoba untuk diperas," berkata Bharata "Tetapi bukankah sekarang hal seperti itu tidak terjadi lagi?" bertanya Ki Tumenggung Jayayuda.
"Tidak Ki Tumenggung. Sekarang semuanya berjalan jauh lebih tertib. Ki Rangga Kalokapraja telah menyanggupi untuk berusaha menyelesaikan persoalan Tanah Perdikan itu dengan segera setelah kami memberikan laporan tentang perkembangan sebelumnya," jawab Bharata.
"Ki Rangga Kalokapraja adalah seorang pekerja yang baik. Rajin, tekun dan tertib. Aku kira persoalan Tanah Perdikanmu akan segera selesai," berkata Ki Tumenggung Jayayuda.
Untuk beberapa lama mereka masih saja berbincang. Namun Ki Tumenggungpun berkata, "Baiklah. Kau tentu ingin beristirahat. Aku tidak akan memberikan kesan apapun tentang barak ini, karena kaupun pernah tinggal di barak."
Bharata tertawa. Katanya, "Keadaan barak ini sekarang sudah jauh lebih baik dari barak yang pernah aku pergunakan."
Ki Tumenggungpun tertawa. Namun kemudian Bharatalah yang minta diri untuk beristirahat.
Ki Rangga Dipayuda yang juga ingin beristirahat ternyata telah ditemui oleh Ki Rangga Prangwiryawan, "Apakah maksud anak itu datang kemari yang sebenarnya?"
"Kenapa yang sebenarnya" Apakah Ki Rangga menduga, bahwa kedatangan anak itu membawa rencana yang lain dari yang dilakukan" Atau katakanlah rencana buruk?" berkata Ki Rangga Dipayuda.
"Seandainya bukan begitu, apa maksudnya datang kemari?" bertanya Ki Rangga Prangwiryawan pula.
"Ia bekas anak buahku dan kawan Kasadha. Keduanya sama-sama pemimpin kelompok saat itu. Akulah Lurah Penatusnya. Karena itu ia ingin menemui kami yang sudah agak lama tidak pernah bertemu lagi," jawab Ki Rangga Dipayuda.
"Apakah ia ingin menjadi prajurit lagi?" desak Ki Rangga Prangwiryawan.
"Tidak. Ia terlalu sibuk di rumah," jawab Ki Rangga Dipayuda.
"Sibuk apa?" bertanya Ki Rangga Prangwiryawan.
"Ia adalah pewaris jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan yang sekarang kosong. Ia harus mempersiapkan segala-galanya sambil menunggu diwisuda. Ki Rangga Kalokapraja telah berjanji untuk membantunya," jawab Ki Rangga Dipayuda.
"O," Ki Rangga Prangwiryawan mengangguk-angguk. Hampir di luar sadarnya ia bertanya, "Jadi anak itu calon Kepala Tanah Perdikan Sembojan?"
Ki Rangga Dipayuda menjawab singkat, "Ya."
Ki Rangga Prangwiryawan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun meninggalkannya.
Ternyata tidur di barak telah memberikan kesan sendiri kepada Bharata. Ia teringat kembali saat-saat ia menjadi seorang prajurit. Ia bukan saja seorang prajurit yang setiap hari menempa diri dengan latihan-latihan berat, tetapi ia telah benar-benar turun dalam pertempuran yang sangat garang. Saat itu nyawanya benar-benar telah disiapkan di ujung ubun-ubun. Namun Yang Maha Agung masih tetap melindunginya sehingga ia sempat bertemu kembali dengan ibunya dan Tanah Perdikannya.
Namun beberapa saat kemudian, Risangpun telah tertidur dengan nyenyaknya, seakan-akan baru saja bekerja keras di arena pertempuran.
Pagi-pagi Risang telah bangun sebagaimana para prajurit yang lain. Tetapi Risang tidak ikut dengan para prajurit sibuk dan bahkan gladi di halaman untuk melemaskan urat-urat dalam tubuh mereka.
Bahkan Risang telah bersiap-siap untuk kembali ke Tanah Perdikan Sembojan.
Ketika para prajurit sedang sibuk, Risang sempat membersihkan kudanya. Memberinya rumput dan minum serta memasang pelananya.
Demikian para prajurit selesai, maka Risangpun telah minta diri. Kasadha, Ki Rangga Dipayuda dan bahkan Ki Tumenggung Jayayuda telah mengucapkan selamat jalan. Ki Rangga sempat menitipkan pesan kepada keluarganya, bahwa ia dalam keadaan baik-baik saja.
"Pekan depan barangkali aku dapat pulang barang satu dua hari," berkata Ki Rangga.
"Baik Ki Rangga. Aku akan singgah meskipun hanya sebentar untuk menyampaikan pesan Ki Rangga," jawab Risang.
Namun seperti kemarin, jantung Kasadha tiba-tiba saja bagaikan bergetar. Tetapi cepat-cepat ia mengusir perasaan apapun yang telah menggetarkan jantungnya itu. Karena itu maka tidak ada kesan apapun di wajah anak muda itu.
Sejenak kemudian, maka Risangpun telah meninggalkan barak itu. Ia masih singgah sejenak di rumah Ki Rangga Kalokapraja untuk minta diri kembali ke Tanah Perdikan.
"Aku sudah melihat-lihat laporanmu sepintas. Nampaknya semuanya akan berjalan lancar. Mudah-mudahan persoalannya cepat dapat diselesaikan," berkata Ki Rangga Kalokapraja.
"Aku mohon diri Ki Rangga," desis Risang kemudian.
"Hati-hati di jalan. Jangan berpacu terlalu cepat. Jika kudamu tergelincir, maka kau akan sampai di rumah jauh lebih lama lagi," pesan Ki Rangga Kalokapraja kebapaan.
Risangpun kemudian meninggalkan rumah Ki Rangga Kalokapraja langsung menuju ke pintu gerbang kota.
Sementara itu, Kasadhapun telah merenung di depan bangunan baraknya. Dipandanginya awan yang lewat di wajah langit yang bersih. Angin pagi bertiup menghembuskan udara segar.
Kasadha menarik nafas dalam-dalam.
Pemimpin kelompoknya yang tertua, yang setiap kali memperhatikannya mendekatinya sambil bertanya, "Apakah ada persoalan lagi Ki Lurah" Bukankah menurut Ki Lurah persoalan keluarga Ki Lurah sudah dapat diselesaikan dengan baik. Ayah dan ibu Ki Lurah ternyata tidak marah lagi."
Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Tidak. Tidak ada apa-apa. Persoalan keluargaku memang sudah selesai."
"Jika demikian, apa lagi yang Ki Lurah renungkan?" bertanya pemimpin kelompoknya itu.
"Tidak ada apa-apa. Tidak ada apa-apa," jawab Kasadha.
Pemimpin kelompok itu tidak mendesaknya lagi. Tetapi ia melihat lagi sesuatu yang menyaput kegembiraan pemimpinnya itu meskipun tidak separah beberapa waktu yang lalu.
Sebenarnyalah Kasadha merasa gelisah. Tetapi Kasadha tidak mengakui bahwa ia menjadi gelisah karena Risang akan singgah lagi ke rumah Ki Rangga Dipayuda. Di rumah itu Risang tentu akan bertemu lagi dengan Riris.
Yang kemudian dilakukan oleh Kasadha adalah menenggelamkan diri ke dalam tugas-tugasnya agar ia melupakan kegelisahannya itu.
Dalam pada itu, Risangpun telah berpacu kembali ke Tanah Perdikan Sembojan. Tetapi ia sudah berjanji kepada Ki Rangga Dipayuda dan kepada Jangkung Jaladri, bahwa ia akan singgah di rumah Ki Rangga. Risang sama sekali tidak memperhitungkan lagi Sumbaga yang sudah mengaku kalah.
Tetapi di rumah Ki Rangga Dipayuda, Risang memang tidak terlalu lama. Ia menolak untuk bermalam lagi. Kepada Jangkung ia berkata, "Orang-orang Tanah Perdikan tentu sedang menunggu aku. Mereka berharap agar mereka segera mengetahui tanggapan Ki Rangga Kalokapraja atas laporanku."
"Bukankah tanggapannya cukup baik?" bertanya Jangkung.
Risang mengangguk. Katanya, "Itulah yang ingin aku sampaikan segera kepada ibuku," jawab Risang.
Jangkung tidak dapat menahan lagi. Setelah Riris menghidangkan minuman dan makanan, maka Risangpun segera minta diri. Namun dalam pada itu, Risang sempat bertanya kepada Jangkung, "Dimana Sumbaga?"
"Ada. Di belakang," jawab Jangkung. "Apakah kau akan bertemu?"
"Hanya untuk minta diri," jawab Risang.
Sebenarnyalah Sumbaga mengantar Risang pula sampai ke regol seperti keluarga Ki Rangga yang lain, termasuk Nyi Rangga. Tetapi wajah Sumbaga masih saja tetap gelap. Tetapi Sumbaga memang merasa lebih senang jika Risang segera meninggalkan rumah itu.
Sejenak kemudian, maka Risangpun telah berpacu di bulak panjang menuju ke Tanah Perdikan Sembojan. Ia memang ingin segera memberitahukan kepada ibunya, kakek-kakeknya, neneknya dan orang-orang terdekat, bahwa laporannya telah mendapat tanggapan baik dari Ki Rangga Kalokapraja.
Hasil yang dibawa Risang memang sangat menggembirakan. Karena itu, maka orang-orang Sembojanpun telah bekerja lebih keras untuk mewujudkan rencana-rencana yang telah diserahkan Risang kepada Ki Rangga Kalokapraja.
Dalam pada itu, Kasadha di baraknya sedikit demi sedikit telah berhasil mengendalikan perasaannya. Namun ternyata persoalan baru telah timbul justru karena Bharata telah mengunjungi baraknya, maka orang-orang yang pernah mengenalnya bersama-sama dengan Bharata di perang yang garang saat Mataram mengalahkan Pajang dalam perang yang terdahulu, sehingga Kangjeng Sultan Pajang telah wafat, telah membicarakannya lagi. Mereka telah memuji kelebihan Bharata dan Kasadha yang memiliki ilmu kanuragan yang lebih baik dari prajurit yang manapun.
Ki Rangga Prangwiryawan yang mendengar lagi ceritera itu menjadi tidak senang. Namun ia agak segan terhadap Ki Rangga Dipayuda untuk menanggapi ceritera tentang kelebihan Kasadha dan Bharata.
Karena itu, maka Ki Rangga Prangwiryawan yang sejak semula ingin menunjukkan kelebihannya, telah mendesak dilanjutkannya sebuah rencana untuk mendapatkan Lurah Penatus yang terbaik dalam olah kanuragan. Namun yang belum dikatakannya adalah, bahwa Lurah yang terbaik itu kemudian akan mengalami pendadaran dari para Pandhega. Jika yang lain tidak ingin melakukannya, maka Ki Rangga Prangwiryawanlah yang akan mewakili para Pandhega itu.
"Sekedar untuk memacu kebanggaan para Lurah, Ki Tumenggung," berkata Ki Rangga Prangwiryawan.
"Apakah tidak menimbulkan persoalan?" bertanya Ki Tumenggung.
"Tentu tidak. Yang merasa kurang tentu akan berusaha untuk meningkatkan ilmunya. Yang lebih baik dari yang lain dapat berbangga diri. Kepada orang-orang yang memiliki kelebihan itulah maka kita dapat memberikan kepercayaan untuk memberikan latihan-latihan khusus," berkata Ki Rangga Prangwiryawan.
Ki Tumenggung termangu-mangu sejenak, ia sadar, bahwa Ki Rangga memang ingin menunjukkan kelebihannya. Karena itu, maka iapun bertanya, "Ki Rangga, bagaimana jika akibatnya justru sebaliknya?"
Ki Rangga termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian bertanya, "Maksud Ki Tumenggung?"
"Yang kalah justru mendendam sehingga persoalannya akan menjadi lebih buruk lagi," berkata Ki Tumenggung.
"Tentu tidak Ki Tumenggung. Kita dapat memberikan pengantar kepada mereka, bahwa setiap orang harus bersikap jantan sebagai seorang kesatria sejati. Mereka harus berani mengakui kekalahan bagi yang kalah. Yang dilakukan tidak ada hubungannya dengan jabatan mereka sebagai Lurah Penatus, karena kedudukan seorang Lurah tidak tergantung semata-mata kepada kemampuan olah kanuragan. Meskipun seseorang memiliki kemampuan olah kanuragan secara pribadi yang tinggi, tetapi ia tidak mempunyai kemampuan untuk memimpin pasukannya, maka sebagai seorang Lurah Penatus nilainya tentu saja tidak akan begitu baik. Namun sebagai prajurit, maka olah kanuragan memang mendapat perhatian utama," jawab Ki Rangga Prangwiryawan.
Ki Tumenggung Jayayuda termangu-mangu. Namun kemudian katanya, "Baiklah. Aku serahkan pelaksanaannya kepada Ki Rangga Prangwiryawan. Di barak ini hanya ada sepuluh orang Lurah Penatus."
"Kita akan memulainya dari bawah," berkata Ki Rangga Prangwiryawan, "sekedar untuk memeriahkan keadaan. Setiap pasukan yang dipimpin oleh seorang Lurah Penatus harus mengirimkan dua orang pemimpin kelompok untuk melakukan pertarungan yang dibatasi dengan beberapa peraturan. Dua orang yang terbaik di antara mereka akan ikut serta dalam pendadaran di antara para Lurah Penatus sehingga jumlahnya menjadi dua belas. Dari dua belas orang itu akan tampil berikutnya enam. Kemudian tiga. Nah, tiga orang ini harus dipilih di antara mereka yang benar-benar memiliki kelebihan. Karena itu ketiganya akan bergantian melakukan pertarungan. Semua akan saling berhadapan berganti-ganti."
"Baik. Tetapi kau harus membuat satu peraturan yang ketat yang tidak boleh dilanggar. Peraturan yang mengikat dan tidak memiliki lubang-lubang kesempatan untuk berbuat curang, karena semuanya adalah keluarga sendiri."
"Aku akan melakukan dengan sebaik-baiknya," berkata Ki Rangga Prangwiryawan.
"Panggil semua Pandhega. Aku akan berbicara kepada mereka tentang rencana ini. Semua Pandhega akan ikut mengawasi pendadaran yang agak lain sifatnya ini," berkata Ki Tumenggung. Namun iapun kemudian bertanya, "Jika demikian, bukankah pendadaran ini akan berlangsung beberapa hari?"
Pedang 3 Dimensi 9 Mustika Lidah Naga 7 Balada Padang Pasir 6

Cari Blog Ini