Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 4

13 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 4


- Tentu ada yang kau sembunyikan - sahut Jatha Andhapan.
- Sudah aku katakan. Kita tidak usah mempersoalkan masa lampau. Sekarang, aku terima kalian di padepokan ini tanpa prasang"ka buruk. - potong Kiai Warangka.
- Baiklah - berkata Kiai Timbang Laras - Kita tidak perlu mempersoalkan masa lampau itu. - Nah, dengan demikian, kita tidak akan terjebak dalam kete"gangan sebelum kita berbicara apapun juga. - sahut Kiai Warangka.
Orang-orang yang di pendapa itu mengangguk-angguk. Namun mereka tidak dapat dengan serta merta memulihkan suasana yang sumbang.
Namun dalam pada itu, orang yang berjambang dan berkumis lebat itupun berkata - Kiai Warangka. Namaku bukan Jatha Andha"pan, tetapi Jatha Beri. Ki Jayaraga tersenyum. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu.
Dalam pada itu, maka Kiai Warangka telah mempersilahkan tamu-tamunya untuk menghirup minuman hangat yang telah dihi"dangkan oleh para cantrik, serta mencicipi makanan yang telah disu"guhkan pula.
Dalam pada itu, Kiai Timbang Laraspun kemudian bertanya kepada saudara seperguruannya yang lain - Kapan kau datang Serat Waja"- Dua hari yang lalu. Kakang Warangka telah memanggil agar aku segera datang kemari. Kiai Timbang Laras mengangguk-angguk. Katanya - Ada ma"salah yang akan kita bicarakan, Serat Waja. - Kakang Warangka sudah mengatakannya - jawab Serat Waja.
- Nah, jika demikian, bagaimana pendapatmu" Tetapi Kiai Warangkalah yang menyahut - Kita akan membi"carakannya nanti. Sekarang, aku ingin mempersilahkan Timbang La"ras dan Ki Jatha Beri serta para pengiringnya beristirahat. Bukankah malam nanti kalian akan bermalam disini" - Tidak - yang menjawab adalah Jatha Beri - jika disini aku tidak bertemu dengan iblis tua itu, mungkin aku bersedia untuk ber"malam disini. Tetapi alangkah bodohnya aku, jika sekarang, dengan hadirnya Jayaraga, kami bersedia bermalam disini Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Katanya - Kau meli"hat bayanganmu sendiri, Jatha Beri. Tetapi terserah kepadamu. Aku tidak tahu apakah Kiai Timbang Laras mempercayaimu sehingga Kiai Timbang Laras juga tidak akan bermalam di padepokan ini. Kiai Timbang Laras justru menjadi tegang. Ia tidak bersiap untuk menghadapi keadaan itu. Ia tidak tahu bahwa Jatha Beri menolak untuk bermalam karena di padepokan itu ada Kiai Jayaraga.
Dalam pada itu, Jatha Beri itupun berkata kepada Kiai Tim"bang Laras - Jika malam ini kita bermalam disini, tidak seorangpun diantara kita, termasuk para cantrik, dapat keluar dengan selamat dari padepokan ini. Kiai Timbang Laras masih saja termangu-mangu, sementara Kiai Warangka berkata
- Jika kami ingin berbuat curang, maka beberapa hari yang lalu, kami sudah dapat menyelesaikannya. Kita tidak usah menunggu Timbang Laras datang untuk kedua kalinya. - Tetapi waktu itu padepokan ini belum bersiap untuk melak"ukannya. - berkata Jatha Beri.
- Kami sudah tahu sebelumnya bahwa Timbang Laras akan datang. Kami sudah tahu apa yang akan dipersoalkan oleh Timbang Laras. Jika kami ingin menjebaknya, atau katakan atas hasutan Ki Jayaraga, maka hal itu dapat kami lakukan saat itu. - Itulah liciknya Jayaraga - berkata Jatha Beri.
Ki Jayaraga tertawa. Katanya - Kau dapat saja memutar balik"kan keadaan sesuai dengan bayangan kelam di kepalamu. Tetapi sega"la sesuatunya terserah kepadamu. - Ya - ulang Kiai Warangka - terserah kepada kalian. Dima"na kalian akan bermalam. Ki Jayaraga justru tertawa berkepanjangan. Katanya - Kau or"ang yang berpengalaman Jatha Beri. Seharusnya kau tahu, bahwa pikiran-pikiran kotormu itu sama sekali tidak masuk akal. - Jangan membujuk - geram Jatha Beri.
Ki Jayaraga tertawa. Katanya - Tidak. Aku tidak akan mem"bujuk agar kau bersedia bermalam disini. Tetapi aku mentertawakan kebodohanmu. Seandainya kami ingin menjebakmu, bagaimana mungkin kau dapat meninggalkan padepokan ini malam nanti" Wajah Jatha Beri menjadi tegang. Diluar sadarnya ia berpaling kepada para pengiringnya yang juga menjadi tegang.
Kiai Timbang Laraspun termangu-mangu. Ia sadar, bahwa jumlah pengiringnya tidak terlalu banyak. Jika saudara seperguruan"nya berniat buruk, maka bermalam atau tidak bermalam, nasibnya akan sama saja.
Namun dalam pada itu, Jatha Beri itupun menyahut - Jika kami harus mati, biarlah kami mati dengan pedang ditangan. Tidak mati dalam tidur yang tidak dapat bangun kembali. - Baiklah. Baiklah - berkata Kiai Warangka - lakukan apa yang baik bagi kalian. - Nah, jika demikian, maka sebaiknya kita segera menyatakan persoalan pokok dari kedatangan kita - berkata Jatha Beri.
Kiai Timbang Laraspun termangu-mangu sejenak. Namun demikian iapun berkata - Kakang Warangka. Seperti yang sudah aku katakan, maka aku ingin kakang berterus terang tentang warisan yang ditinggalkan oleh guru bagi kita. Jika sekarang Seralt Waja ada disini, maka biarlah ia menjadi saksi, serta biarlah ia mendapatkan bagiannya. - Timbang Laras - berkata Kiai Warangka - aku sudah ber"tanya kepada Serat Waja, apakah ia mengetahui dimana peti tembaga yang besar itu. Tetapi Serat Waja juga tidak mengetahuinya. Bagai"mana aku dapat memberi jawaban kepadamu, karena yang kau tanya"kan itu tidak pernah ada padaku. - Kakang - berkata Timbang Laras - kakang jangan mencoba menghambat rencanaku. Mungkin kakang sengaja menggagalkan rencana yang aku susun dengan baik itu. Mungkin kakang pernah mendengar dari siapapun juga, bahwa padepokanku akan menjadi pa"depokan yang terbesar diatas tanah ini. - Timbang Laras - berkata Kiai Warangka - aku akan ikut merasa senang sekali jika kau pada suatu saat akan dapat membangun sebuah padepokan yang besar. Yang mempunyai cantrik yang sangat banyak. Yang mampu mengembangkan ilmu dan pengetahuan ten"tang banyak hal. Tidak ada sama sekali niatku untuk menghambat"nya. Tetapi yang kau minta itu tidak pernah aku punyai. - Kakang - berkata Kiai Timbang Laras - jika demikian, aku minta ijin untuk mencarinya sendiri di padepokan ini. Mungkin peti itu disembunyikan disatu tempat - Silahkan, Timbang Laras. Carilah di seluruh padepokan ini. Aku sama sekali tidak berkeberatan. Namun Serat Wajalah yang menyela - Kakang Timbang La"ras. Kakang Warangka memang telah mengijinkan. Jadi kakang dapat saja melakukannya. Tetapi yang mengganjal di hatiku, kenapa ka"kang benar-benar telah kehilangan kepercayaan terhadap saudara se"perguruan. Aku menjadi curiga bahwa yang akan kakang lakukan itu dilandasi oleh dorongan dan bujukan orang lain. - Serat Waja - berkata Kiai Timbang Laras - sebenarnya aku tidak pernah kehilangan kepercayaan terhadap saudara-saudara seper"guruanku, selama apa yang kita lakukan masing-masing masuk akal. Tetapi apa yang dilakukan kakang Warangka itu sama sekali tidak masuk akal. Bagaimana mungkin peti tembaga sebesar itu dapat hilang meskipun dimasa peralihan pernah terjadi sedikit benturan di pa"depokan ini. - Biarlah Timbang Laras merasa puas, Serat Waja. Biarlah ia mencari dengan cara apapun juga. Mungkin ia akan mencari isyarat dengan menjalani laku. Dengan berpuasa dan kemudian pati geni. Atau dengan cara kewadagan. Ia akan menggali tempat-tempat yang dicurigainya. - Kami akan mempergunakan kedua cara itu bersama-sama -jawab Kiai Timbang Laras.
- Silahkan, aku akan membantu. Jika kau dapat menemukan peti itu, aku akan merasa ikut beruntung, karena aku juga akan dapat ikut menikmati warisan itu bersama Serat Waja. - Kiai Warangka mempunyai akal yang sangat licik. Ia akan mendapat keuntungan apapun yang terjadi dengan peti itu. - desis Ja"tha Beri.
- Aku tidak mempunyai niat apapun dengan peti itu Timbang Laras. - berkata Kiai Warangka.
- Aku akan menjadi saksi, kakang Timbang Laras. Tetapi sebelumnya biarlah aku mengatakan, bahwa aku tidak akan minta ap"apun juga jika warisan itu diketemukan. Apakah warisan itu berupa keping-keping uang, atau gumpalan-gumpalan emas dan perak, atau berujud pusaka ataupun intan berlian. Wajah Timbang Laras menjadi tegang. Namun tiba-tiba saja Jatha Beri berkata - Kami bukan kanak-kanak yang dapat kau kela"bui. Kau tentu sudah mendapatkan jauh lebih banyak dari yang tersi"sa. Serat Waja menggeretakkan giginya. Namun Kiai Warangka berkata - Baiklah. Kini kami akan berusaha melayani Timbang La"ras. - Kiai Timbang Laras - berkata Jatha Beri - aku kira tidak akan banyak gunanya seandainya kita mencarinya di padepokan ini. Peti itu tentu sudah disembunyikan, bahkan mungkin diluar padepo"kan. Aku yakin bahwa Jayaraga telah mendalangi dengan licik. Ke"mungkinan yang dapat kita tempuh adalah mencarinya dengan laku. Jika cara itu tidak berhasil, maka kita akan mempergunakan cara terakhir. Kia; Timbang Laras mengangguk-angguk. Ketika ia meman"dang Kiai Warangka, maka tatapan matanya memancarkan kecurigaan yang tajam. Seakan-akan tidak ada lagi ikatan persaudaraan dan apala"gi kepercayaan diantara mereka.
Serat Waja melihat pancaran mata saudara seperguruannya itu. Terasa sesuatu tergetar didadanya.
Sementara itu, Kiai Timbang Laraspun berkata - Ya. Dalam waktu lima hari ini kami akan minta orang-orang yang memiliki ketajaman penglihatan batin untuk menjalani laku. Mereka akan melihat dimana peti itu disembunyikan. Jika mereka gagal, maka se"perti yang dikatakan oleh Jatha Beri. Kami akan mempergunakan cara yang terakhir. - Cara apa yang kakang maksud dengan cara terakhir itu" - bertanya Serat Waja.
- Pada saatnya kau akan mengetahuinya jika kau masih tetap berada di padepokan ini Dalam pada itu Kiai Warangkapun berkata - Apapun yang kau lakukan, aku sama sekali tidak berkeberatan Timbang Laras. Jika kau memilih untuk menjalani laku, maka jalanilah. Jika kau ingin men"jalaninya di padepokan ini, aku akan menyediakan tempat bagimu. Sebuah bilik samadi yang baik. - Sudah aku katakan, kakang. Bukan aku yang akan menjala"ni. Aku akan minta tiga orang yang memiliki ilmu yang mumpuni untuk menjalani laku di padepokan ini. Jika malam nanti kami me"ninggalkan padepokan ini, maka ketiga orang itu akan tinggal. Kami akan menunggu sampai hari kelima. Kemudian kami akan datang menjemput mereka. Jika terjadi sesuatu atas mereka, maka kami akan menuntut pertanggung-jawaban kakang. - Silahkan Timbang Laras. Sudah aku katakan, aku akan menyediakan tempat samadi bagi mereka yang akan menjalani laku. Kami akan bertanggung-jawab atas keselamatan mereka, asal mereka tidak membunuh dirinya sendiri diruang samadinya. - Gila - geram Jatha Beri - mereka bukan orang-orang cen"geng yang akan membunuh dirinya, karena mereka tidak berjiwa ker"dil.Kiai Warangka tersenyum. - Nah, siapakah yang tinggal diantara orang-orangmu" - ber"tanya Kiai Warangka kemudian.
Kiai Timbang Laraspun memberi isyarat kepada ketiga orang yang datang bersamanya. Dua diantara mereka adalah orang yang su"dah separo baya. Namun seorang diantara mereka masih nampak muda. Wajahnya bersih dan matanya bagaikan bersinar.
- Merekalah yang akan tinggal dan menjalani laku. Mereka memerlukan waktu lima hari. Tetapi jika perlu, dapat terjadi sampai tujuh hari tujuh malam. - Baiklah. Mereka akan aku anggap sebagai keluarga sendiri di padepokan ini. - berkata Kiai Warangka.
Serat Waja menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak berkata sesuatu.
Malam itu, Kiai Timbang Laras benar-benar tidak mau berma"lam di padepokan. Menurut Kiai Timbang Laras, mereka akan kem"bali ke padepokannya yang jauh.
- Kami sudah terbiasa menempuh perjalanan siang dan malam - berkata Kiai Timbang Laras.
Kiai Warangka memang tidak menahannya. Ia ingin membiar"kan saja apa yang akan dilakukan oleh Timbang Laras selama tidak mengganggu padepokannya.
Demikianlah, sepeninggal Kiai Timbang Laras. Jatha Beri dan para pengiringnya yang lain, Kiai Warangka telah menunjukkan ke"pada ketiga orang yang ditinggalkan oleh Kiai Timbang Laras untuk menjalani laku, tempat untuk melakukan samadi. Dengan cara itu, mereka ingin menemukan peti tembaga yang hilang dari padepokan Kiai Warangka, yang diduga berisi warisan yang tidak ternilai har"ganya.
- Nah, apakah tempat ini memadai Ki Sanak" - bertanya Kiai Warangka.
Laki-laki yang masih terhitung muda inilah yang menjawab -Sudah, Kiai. Tempat ini sudah cukup. - Apakah kelengkapan dari samadi Ki Sanak bertiga" Kami akan menyediakannya. Kamipun ingin mendapat keterangan tentang bentuk laku yang akan Ki Sanak jalani bertiga. Mungkin Ki Sanak akan berpuasa pada saat-saat tertentu. Disiang hari atau dimalam hari. Berpuasa utuh atau hanya beberapa jenis makanan atau bahkan pati geni. - Besok kami akan mulai menjalani laku itu Kiai. Malam nanti kami akan menentukan laku yang akan kami jalani. Besok pagi kami akan memberitahukan kepada Kiai. - Baik, baik Ki Sanak. Biarlah adikku Serat Waja mendam"pingi kalian. Bukan dalam arti samadinya, tetapi setiap kebutuhan yang kalian perlukan, katakan kepadanya. Setiap hari ia akan men"gunjungi kalian. Kami ingin memberikan kesempatan kepada kalian setuas-tuasnya dan pelayanan yang sebaik-baiknya, karena kami yang tidak ingin laku yang kalian jalani ini gagal. - Terima kasih, Kiai. - - Diluar ruang ini kami tempatkan dua orang cantrik yang se"tiap saat dapat melayani Ki Sanak bertiga. Maksudku, mereka meru"pakan pembantu-pembantu Serat Waja yang tentu tidak setiap saat berada disekitar bilik ini. Para cantrik itu akan dapat Ki Sanak minta untuk memanggilnya jika diperlukan. Laki-laki yang terhitung masih muda itupun menjawab - Baik Kiai. Kami mengucapkan terima kasih atas kesempatan yang Kiai berikan kepada kami. Apalagi kami disini mendapat perlakuan yang sangat baik. - Sekarang, silahkan beristirahat. Mudah-mudahan segala ses"uatunya dapat berlangsung dengan baik. Sejak malam ini dua orang cantrik itu sudah berada di depan bilik ini. - Terima kasih, Kiai - sahut orang yang masih terhitung muda itu.
Demikianlah, maka tiga orang pengikut Kiai Timbang Laras telah berada di padepokan Kiai Warangka. Namun malam itu mereka masih belum memasuki laku yang akan mereka jalani untuk menge"tahui, dimanakah disimpan peti tembaga yang besar milik gurunya.
Namun sejak malam itu, Kiai Warangka telah meletakkan pengawasan atas tiga orang itu. Selain dua orang cantrik yang bertu"gas di depan bilik yang disediakan itu, beberapa orang yang lain har"us mengawasi dari jarak yang agak jauh. Namun Kiai Warangka itu sudah berpesan kepada para cantrik, bahwa orang-orang itu tentu be"rilmu tinggi, sehingga mereka harus berhati-hati menghadapi ketiga orang itu.
Dalam pada itu, Serat Wajapun bertugas untuk ikut mengama"ti mereka. Para cantrik telah mendapat perintah, agar jika mereka melihat sesuatu yang mencurigakan, mereka harus segera memberita"hukan kepada Serat Waja yang berada di sebuah bilik yang khusus yang sudah diketahui dengan baik oleh para cantrik.
Tetapi agaknya pada malam yang pertama itu, ketiga orang yang ditinggalkan oleh Kiai Timbang Laras itu belum akan berbuat sesuatu. Karena itu, maka merekapun telah berbaring didalam bilik mereka. Bahkan beberapa saat kemudian, merekapun telah tertidur.
Namun para cantrik yang bertugas tidak pernah lengah. Mere"ka mengamati bilik yang disediakan kepada ketiga orang pengikut Kiai Timbang Laras itu dengan saksama.
0oo0 Dalam pada itu, para prajurit dan pengawal yang berada dida"lam pasukan Mataram telah tertidur lelap pula selain mereka yang bertugas. Para prajurit dan pengawal yang bertugas itu mengamati segala sudut dan segala sisi padukuhan yang mereka pergunakan se"bagai tempat perkemahan. Pasukan-pasukan kecil meronda sampai beberapa puluh patok diluar padukuhan. Mereka yang meronda itu justru bersiap sepenuhnya untuk menghadapi segala kemungkinan, setelah beberapa orang kawan mereka diserang dan terbunuh diluar padukuhan.
Namun malam itu, para pemimpin padepokan yang berpihak kepada Pati serta beberapa orang prajurit pilihan telah memutuskan untuk menyusup masuk kedalam padukuhan-padukuhan yang diper"gunakan para prajurit Mataram untuk berkemah. Mereka harus men"ghancurkan persediaan bahan pangan dan perlengkapan bagi pasukan Mataram.
Sejak malam turun, maka mereka telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Beberapa prajurit pilihan itu telah bertekad melaku"kan tugas mereka berpijak pada kemungkinan yang paling buruk.
Ketika malam menjadi semakin malam, maka para pemimpin padepokan serta para prajurit itu sudah bersiap. Sementara itu para prajurit dan pengawal Mataram menjadi semakin berhati-hati men"ghadapi serangan-serangan sebagaimana pernah terjadi diluar paduku"han.
Malam rasa-rasanya menjadi bertambah gelap melampaui mal"am-malam sebelumnya. Suara cengkerik dan bilalang yang bersahu"tan terdengar di semak-semak dan gerumbukgerumbul perdu.
Angin malam yang basah seakan-akan telah menaburkan embun di dedaunan. Dinginnya serasa menembus sampai ke tulang.
Di padukuhan tempat pasukan Mataram di sisi kanan berke"mah, Swandaru berada diantara para pengawal yang bertugas. Meski"pun malam dingin, tetapi Swandaru justru tidak mengatupkan bajun"ya. Keringatnya nampak mengembun.
- Aku merasa gelisah - berkata Swandaru kepada beberapa or"ang pengawal Kademangan Sangkal Putung.
Para pengawalnya yang bertugaspun telah ikut menjadi gelisah pula. Bahkan seorang diantara mereka bertanya - Apakah ada tanda-tanda bahwa akan terjadi sesuatu" - Aku tidak tahu - jawab Swandaru. - Tetapi tingkatkan ke-siagaan. Awasi lingkungan kita dengan baik. Biarlah aku berbicara dengan Ki Demang Semanu. Pasukan pengawalnya ada dirumah se"belah. Mudah-mudahan Ki Demang belum tidur. Ternyata Ki Demang Semanu memang belum tidur. Seperti Swandaru, iapun merasa gelisah.
- Kita memang harus bersiaga sepenuhnya, ngger. - berkata Ki Demang Semanu.
- Malam ini terasa dingin, Ki Demang. Tetapi keringatku membasahi pakaianku. - Angger gelisah" - - Ya. Rasa-rasanya akan terjadi sesuatu. - Firasat angger tajam. Baiklah. Kami akan bersiap sepenuh nya. Kami akan menempatkaan para petugas lebih dari seharusnya. Swandarupun kemudian telah kembali ke rumah yang dipergu"nakan oleh pasukannya. Seperti Ki Demang Semanu, Swandarupun meningkatkan kesiagaannyapula.
Sampai menjelang tengah malam, para petugas tidak melihat sesuatu yang mencurigakan. Sepi malam terasa semakin menekan. Bahkan kantukpun rasa-rasanya tidak lagi dapat dihindari.
Tetapi para prajurit dan pengawal yang bertugas tidak ingin kehilangan kewaspadaan. Mereka yang merasa sangat mengantuk, segera melangkah hilir mudik. Seorang yang hampir tidak mampu mengatasinya telah dengan tergesa-gesa pergi ke dapur.
Kepada petugas yang berjaga-jaga di dapur prajurit itu berkata - Kau masih punya apa malam ini" - Apa maksudmu" Nasi" Jika kau lapar, aku masih mempun"yai nasi. Tetapi lauknya sudah tidak ada kecuali sambal lombok go"reng dan sedikit gudeg manggar. - Ya. Aku minta nasi, sedikit gudeg manggar dan sambal. - Kau kenapa tiba-tiba saja menjadi kelaparan" Apakah tadi kau tidak makan" - Aku harus berjuang melawan mataku. - Malam ini rasa-rasanya memang lain. Aku juga mengantuk sekali. Tetapi sebelumnya aku peringatkan. Jika kau makan seka"rang, kau justru akan menjadi semakin mengantuk. - Jika aku makan sambal, maka mataku akan segera terbuka. - Seketika itu memang. Tetapi beberapa saat kemudian, yang terjadi tentu sebaliknya, matamu akan terpejam, dan kau akan tertidur nyenyak. - Tidak. Jika mataku sudah terlanjut terbuka, aku akan melak"ukan apa saja agar aku tidak mengantuk. -.Ternyata prajurit itu tidak seorang diri mencari makanan di da"pur. Tiga orang yang lain dari lingkungan tugas yang berbeda, telah pergi ke dapur pula dengan diam-diam.
Seorang dari mereka berkata - Aku sudah mendapat ijin dari pimpinan kelompokku. - Aku minta ijin pergi ke belakang, karena perutku sakit. - Jika kau makan sambal terlalu banyak sekedar untuk mem"buka matamu, maka perutmu benar-benar akan sakit. Sambal yang petias itu memang dapat membuka mata mereka. Setelah minum beberapa teguk, maka para prajurit itupun segera kembali ke tempat tugas masing-masing.
Kepetiasan, berjalan ke dan dari dapur, memang membuat mata mereka terbuka untuk beberapa saat. Namun setelah mereka kembali kedalam tugas mereka, maka mata mereka mulai mengantuk lagi.
Sementara itu, para pemimpin pasukan Mataram yang ada di padukuhan itu juga merasakan suasana yang mencekam itu. Dingin malam, udara yang seakan-akan menghembuskan bius yang membu"at mata mereka mengantuk.
Tetapi ketika seorang Rangga yang bertugas mengamati para prajurit melaporkan bahwa mereka yang bertugas berjaga-jaga tetap berada ditempat mereka dan dalam kesjagaan tertinggi, serta mereka yang bertugas meronda juga melakukan kewajiban mereka dengan baik, maka para Senapati itu menjadi tenang.
Tetapi ketika malam menjadi semakin dalam, perasaan kantuk itu rasa-rasanya menjadi semakin mencengkam. Bahkan seakan-akan tidak terlawan lagi.
Perasaan kantuk itu juga menghinggapi para Senapati. Namun justru karena itu, maka para Senapati itu berusaha untuk tetap berta"han. Mereka yang sebenarnya mendapat kesempatan untuk beristira"hat, justru bertahan untuk tetap duduk bersama para Senapati yang lain.
Swandaru justru menjadi curiga, bahwa sesuatu telah terjadi. Ketika ia turun dari pendapa, dilihatnya dua orang pengawal di seram"bi gandok telah tertidur. Tetapi dua orang yang berada diregol masih tetap pada tugas mereka, meskipun kesadaran mereka kadang-kadang mulai terganggu.
Swandarupun kemudian telah membangunkan kedua orang pengawal yang tertidur di serambi gandok. Setelah memberikan per"ingatan kepada mereka, maka Swandarupun berkata - Kau bertang"gung jawab nyawa sekian banyaknya. Kedua orang itu mengangguk-angguk. Mereka sendiri merasa heran, karena hal itu tidak pernah terjadi sebelumnya.
Dari serambi gandok, Swandaru pergi ke longkangan. Dua or"ang yang bertugas, masih duduk dengan tombak ditangan. Tetapi se"kali-kali merekapun mulai merunduk.
Justru karena itu, maka Swandaru telah membangunkan dua orang pemimpin pengawal dari Sangkal Putung. Sebenarnya keduan"ya mendapat giliran untuk beristirahat, sementara dua orang pemim"pin yang lain sedang bertugas.
- Hubungi kawanmu itu. Sesuatu yang tidak wajar telah terja"di disini Dengan demikian, maka para pengawal dari Sangkal Putung itu telah meningkatkan kewaspadaan mereka. Betapapun perasaan kantuk menyerang, namun mereka berusaha untuk tetap tidak meme"jamkan mata mereka.
Namun yang terjadi benar-benar diluar dugaan. Semakin mal"am, suasana menjadi semakin mencengkam. Apalagi ketika dikejauhan terdengar suara burung kedasih.
Swandaru tiba-tiba saja merasa curiga terhadap suara burung kedasih itu. Mula-mula ia berniat untuk memberikan laporan kepada para Senapati. Namun Swandarupun kemudian menganggap bahwa para Senapati tentu sudah tanggap terhadap keadaan.
Karena itu, Swandaru mengurungkan niatnya. Namun bersama beberapa orang pengawal terpilih, Swandaru telah siap berbuat sesu"atu jika diperlukan.
Dalam pada itu, meskipun para petugas masih tetap berada di-tempatnya dan berusaha untuk tetap sadar, serta ditangannya masih tergenggam tombak telanjang, namun perhatian mereka menjadi semakin terbatas. Mereka lebih banyak memperhatikan diri sendiri agar tidak tertidur daripada memperhatikan lingkungan yang menjadi tanggung-jawab pengamatan mereka.
Dalam keadaan yang demikian, beberapa orang tengah merayap diantara semak-semak di halaman rumah yang sepi di dalam paduku"han itu. Mereka menghindari beberapa rumah yang dihuni oleh para prajurit dan pengawal. Pengaruh sirep yang tajam telah membius sei"si padukuhan itu.
Namun para Senapati justru menjadi curiga terhadap suasana yang sangat mencekam. Beberapa kali para Senapati memerintahkan pada petugas yang berjaga-jaga dirumah yang mereka pergunakan se"bagai pusat kendali pasukan, untuk meronda berkeliling. Bahkan se"tiap kali salah seorang dari mereka langsung turun menemui Senapa"ti yang bertugas memimpin penjagaan malam itu.
Sebenarnyalah bahwa Senapati yang bertugas memimpin pen"jagaan malam itu juga sudah menjadi curiga terhadap suasana yang agak lain. Senapati itupun telah berbuat yang terbaik untuk mengata"sinya.
Namun ternyata bahwa beberapa orang masih juga mampu menyusup masuk kedalam lingkungan dinding padukuhan.
Hal yang serupa juga terjadi di padukuhan-padukuhan yang lain yang dipergunakan sebagai perumahan prajurit Mataram, kecuali sebuah padukuhan yang dipergunakan oleh Panembahan Senapati dan para Panglima dan Senapati tertinggi dari pasukan Mataram itu. Agung Sedayu dan Pasukan Khususnya yang kemudian bertugas se"bagai salah satu bagian dari pasukan pengawal Panembahan Senapati telah mengerahkan para prajurit dari pasukan khusus untuk mengata"si suasana. Agung Sedayu sendiri malam itu selalu bergerak bersa"ma-sama dengan beberapa orang prajurit terpilih untuk mengamati keadaan. Sementara itu, beberapa orang dari pasukannya telah ditem"patkan secara khusus ditempat-tempat terpenting, termasuk lum"bung-lumbung bahan makan dan rumah-rumah yang dipergunakan untuk menyimpan peralatan.
Dalam pada itu, lewat tengah malam, maka padukuhan-padukuhan yang dipergunakan untuk perkemahan para prajurit dan pengawal itu dikejutkan oleh suara anak panah sendaren yang me"lengking mengoyak sepinya malam. Suara anak panah sendaren itu terdengar sahut menyahut dari satu tempat ketempal yang lain.
Para prajurit dan pengawal yang sedang terkantuk-kantuk itu terkejut. Sebagian dari mereka mengira bahwa suara anak panah sen"daren itu merupakan isyarat bahwa prajurit Pati akan segera datang menyerang.
Karena itu, dengan mata setengah terpejam, para prajurit itu"pun memusatkan perhatian mereka keluar dinding padukuhan. Para prajurit yang bertugas di regol padukuhan telah bersiap sepenuhnya. Dua orang diantara mereka telah keluar dari regol untuk memperhati"kan keadaan. Demikian pula para prajurit yang bertugas diregol-regol padukuhan yang lain.
Swandaru yang berada di antara para pengawal telah memberi"kan isyarat untuk membangunkan semua pengawal dan secepatnya bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.
Para pengawal Kademangan Sangkal Putung memang sigap. Mereka telah ditempa oleh pengalaman yang panjang, sehingga dal"am keadaan yang gawat, mereka dengan cepat telah mempersiapkan diri.
Namun dalam pada itu, selagi para prajurit dan pengawal me"nunggu peristiwa yang bakal terjadi, diluar dugaan mereka, maka api mulai berkobar di lumbung bahan pangan. Beberapa orang prajurit yang bertugas menjaga lumbung itu telah terkapar di halaman. Di-punggung mereka terdapat luka bekas tusukan senjata. Nampaknya para prajurit itu sama sekali tidak sempat memberikan perlawanan.
Api itu memang sangat mengejutkan. Para prajurit dan pen"gawal yang melihat api itu segera berteriak - Api, api. Padukuhan itupun segera menjadi gempar. Para prajuritpun segera berlari-lari kearah api yang menjadi semakin besar.
Tetapi ternyata para Senapati masih tidak segera kehilangan akal. Meskipun mereka memerintahkan semua prajurit dan pengawal memadamkan api, tetapi mereka memerintahkan para prajurit dan pengawal yang bertugas, tetap berada ditempatnya.
Dalam kesibukan itu, ternyata Swandaru telah mengambil langkah sendiri, la justru tidak menuju ke tempat api yang menyala. Ketika ia melihat bayangan yang berlari diantara pohon-pohon perdu di halaman rumah sebelah, maka iapun segera mengejarnya bersama beberapa orang pengawal.
Agar para pengawalnya tidak kehilangan jejak, maka setiap kali Swandaru membunyikan cambuknya yang menghentak mengge"tarkan udara malam.
Ternyata bukan hanya Swandaru yang berlari mengejar bayan"gan yang terbang itu bersama beberapa orang pengawalnya. Ki De"mang Semanupun ternyata telah ikut memburu pula bersama orang-orang pilihannya. Bahkan seorang Senapati yang melihat telah me"loncat pula memburu bayangan itu.
Ternyata Swandaru tidak berhenti ketika orang yang diburu itu meloncati dinding padukuhan. Dua orang prajurit yang bertugas terkejut. Namun yang dilihatnya kemudian adalah beberapa orang yang berkejaran masuk kedalam gelap.
Kedua orang prajurit itu termangu-mangu. Mereka tidak segera dapat memutuskan, apakah mereka akan ikut mengejar orang yang berlari itu atau tidak. Mereka tidak berani meninggalkan tugas mere"ka begitu saja, karena jika terjadi sesuatu ditempat itu, maka mereka tetap harus bertanggung jawab.
Dalam pada itu, Swandaru yang berlari kencang sekali, berha"sil mendekati beberapa orang yang dikejarnya. Sementara itu, bebera"pa orang yang berlari-lari dibelakangnya berusaha mempercepat lang"kah mereka.
Sekali-sekali Swandaru masih menghentakkan cambuknya. Suaranya menggelepar menggetarkan udara malam.
Namun orang yang dikejar oleh Swandaru itu tidak ingin ber"lari terus. Ketika orang itu sampai disebuah simpang ampat dibulak yang panjang, maka iapun segera berhenti. Demikianlah pula bebe"rapa orang yang lain, yang lari bersama mereka. Bahkan kemudian terdengar orang yang bersuit nyaring.
Swandaru yang melihat orang-orang yang diburunya itu be"rhenti, maka iapun telah berhenti pula.
Swandaru termangu-mangu sejenak, ketika ia melihat beberapa orang muncul dari dalam semak-semak.
Nampaknya orang-orang yang diburunya itu memang sudah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Dalam keadaan yang memaksa, maka orang-orang yang bersembunyi itu harus segera melibatkan diri. Tetapi Swandaru juga tidak sendiri. Beberapa saat kemudian, Ki Demang Semanupun telah menyusulnya. Bahkan kemudian seorang Senapati telah sampai ketempat itu pula disusul oleh beberapa orang pengawal dari Sangkal Putung. Semanu dan beberapa orang prajurit yang mengawal Senapatinya.
Tetapi orang-orang yang muncul dari balik semak-semak itu juga cukup banyak. Mereka adalah para cantrik dari padepokan yang setia kepada Pati serta yang terlibat dalam usaha pembakaran lum"bung-lumbung padi di padukuhan.
- Kalian tidak dapat lepas dari tangan kami - geram Swanda"ru.
Tetapi seorang diantara pemimpin padepokan itu tertawa, ma"tanya - Nasibmu memang buruk, Ki Sanak. Kesombonganmu telah menjerumuskan kau kedalam kesulitan ini. Kau mengira bahwa kau akan dapat mengejar dan menangkap kami. - Kalian memang tidak akan dapat lari lagi. - Bukan saja karena cantrik-cantrikku telah siap membantuku. Tetapi kau akan mati tanpa arti ditanganku. Swandaru menggeram. Katanya - Kau salah menilai dirimu sendiri. Kita akan membuktikan, siapakah diantara kita yang akan terkapar mati disini. Orang itu tertawa. Dengan nada tinggi ia berkata. Sayang waktu kita bercanda ter"lalu sempit. Sebenarnya aku ingin memberikan berbagai macam per"tunjukan kepadamu. Tetapi sayang, kita sedang dalam kesibukan. Se"dangkan akhirnya dari pertemuan ini sudah pasti. Kalian semuanya akan mati. Dengan demikian aku tidak mempunyai waktu lagi untuk menunjukkan kepada kalian permainanku yang terbaik. Tetapi Senapati yang ikut menyusul orang-orang padepokan itu tidak dapat bersabar. Karena itu, maka iapun telah memerintahkan kepada beberapa orang prajurit yang ikut bersamanya - Tangkap me"reka. Hidup atau mati. Tetapi orang yang diburu itu tertawa semakin keras. Katanya - Kau tentu seorang Senapati prajurit. Tetapi baiklah. Silahkan me"lakukan apa yang ingin kau lakukan. Sementara itu, kawanmu yang bersenjata cambuk ini nampaknya tidak tahu tataran kemampuan dan ilmu seseorang. Dengan ledakan-ledakan cambuknya yang memekak"kan telinga itu, ia mengira bahwa ia adalah seorang yang memiliki ilmu cambuk yang sudah mumpuni. Tetapi kawanmu ini tidak lebih dari seorang penggembala kambing di padang-padang rumput yang tuas, yang suara cambuknya sanggup menakut-nakuti anjing-anjing liar. Swandaru menjadi sangat marah mendengar penghinaan itu. Karena itu, maka Swandarupun segera memusatkan nalar budinya, la sudah menjalani laku untuk menguasai tataran tertinggi ilmu cambuknya. Meskipun belum mampu menggapai tataran kemampuan puncak sebagaimana Agung Sedayu, namun Swandaru adalah seorang murid utama Kiai Gringsing yang mewarisi ilmu segala tataran ilmu cambuknya.
Karena itu, seakan-akan diluar kehendaknya, tangannya telah menghentak. Ujung cambuknyapun menggelepar. Suaranya tidak be"gitu keras, Tidak menggetarkan selaput telinga. Namun getaran hen"takkan ujung cambuk itu telah menghentak sampai keisi dada orang-orang yang dikejarnya.
Orang yang semula mentertawakan Swandaru itu terkejut. Hentakkan cambuk itu menunjukkan, betapa tinggi kemampuan dan betapa besar tenaga dalam yang dimiliki oleh orang yang agak kege-muk-gemukan itu.
- Anak iblis. Darimana kau mampu mewarisi ilmu cambuk"mu itu. - geram orang yang semula mentertawakan kemampuan Swandaru itu.
Namun dalam pada itu, Senapati yang merasa memiliki wewe"nang lebih besar dari pemimpin pengawal Sangkal Putung dan Semanu itu berteriak - Apalagi yang kita tunggu. Kita akan menye"rang mereka. Para prajurit dan para pengawal tidak menunggu lagi. Serentak mereka bergerak dengan senjata teracu.
Orang-orang yang bermunculan dari semak-semak itupun sege"ra menyongsong mereka. Mereka adalah para cantrik dari beberapa padepokan, yang agaknya telah pernah mendapatkan latihan-latihan olah kanuragan.
Tetapi para pengawal dari Sangkal Putung, Semanu dan para prajurit yang sempat datang ketempat itu, telah ditempa pula oleh latihan-latihan dan pengalaman. Karena itu, maka merekapun segera melibat lawan-lawannya dalam pertempuran yang sengit
Swandaru sendiri telah berhadapan dengan seorang pemimpin padepokan yang berilmu tinggi. Namun hentakkan cambuk Swanda"ru yang hampir tidak menimbulkan bunyi itu, justru telah membuat lawannya sangat berhati-hati.
Seorang pemimpin padepokan yang lain harus berhadapan den"gan Ki Demang Semanu yang mempunyai kegemaran menyusuri beberapa sungai didalam hari sambil berendam dimalam airnya yang dingin.
Dalam Pada itu, para prajurit dan pengawal dari Mataram harus bekerja keras untuk menahan tekanan lawannya yang jumlahnya le"bih banyak. Ada niat dari para prajurit untuk memanggil bantuan.
Namun waktunya tentu cukup panjang, sementara itu, tenaga setiap orang sangat diperlukan.
Senapati prajurit Mataram yang sempat ikut mengejar orang-orang yang melarikan diri itupun harus bertempur dengan orang yang berilmu tinggi. Dalam waktu dekat, Senapati itu telah terdesak, se"hingga ia merasa perlu untuk memanggil dua orang prajurit kepercayaannya untuk membantu.
Meskipun demikian, Senapati dan kedua orang prajurit itu ma"sih mengalami kesulitan. Lawannya adalah seorang yang memang berilmu tinggi.
Diputaran pertempuran yang lain, Ki Demang Semanu juga mendapat tekanan yang sangat berat. Meskipun demikian, Demang yang memiliki landasan kekuatan dan kemampuan yang cukup itu, masih mampu bertahan untuk beberapa lama Namun beberapa saat kemudian, Ki Demang semanu itupun mulai terdesak pula.
Swandaru, murid utama Kiai Gringsing itulah yang justru membuat lawannya menjadi gelisah. Seorang pemimpin padepokan yang berwibawa serta memiliki ilmu yang tinggi, harus menghadapi kenyataan, bahwa lawannya yang masih muda, agak gemuk itulah yang membuatnya mengalami kesulitan. Senjata yang berujud cam"buk itu ternyata sangat berbahaya. Pada juntainya terdapat beberapa karah besi yang membuat cambuk Swandaru menjadi semakin berba"haya.
Swandaru ternyata juga memikirkan pertempuran itu adalah keseluruhan. Ia tidak sekedar memikirkan dirinya sendiri.
Karena itu, maka Swandarupun setiap kali memperhatikan keadaan pertempuran itu dalam keseluruhan. Senapati yang memiliki wewenang lebih tinggi dari para pemimpin pengawal itu ternyata menjadi semakin terdesak. Meskipun dua orang prajurit pilihan telah menempatkan diri bersamanya, namun lawannya benar-benar seorang berilmu tinggi.
Dengan demikian maka Swandaru seakan-akan telah memikul beban ganda. Ia harus menghadapi lawannya yang juga berilmu ting"gi, namun ia juga harus memperhatikan keadaan disekitarnya. Jika keadaan menjadi sangat buruk, maka ia harus mengambil langkah yang diperlukan untuk mengatasinya. Nampaknya Senapati yang ke"betulan ikut mengejar orang-orang yang telah membakar lumbung bahan pangan dan tempat menyimpan peralatan itu, bukan seorang yang dapat diandalkan.
Menghadapi seorang pemimpin dari sebuah padepokan, Sena"pati itu mengalami kesulitan meskipun dua orang prajurit bertempur bersamanya. Sementara itu, Ki Demang Semanu juga harus meme"ras tenaga dan kemampuannya. Meskipun Ki Demang Semanu mem"iliki bekal ilmu yang cukup, tetapi menghadapi seorang pemimpin padepokan, beberapa kali ia terdesak.
Sementara itu, benturan senjata terdengar gemerincing meme"nuhi seluruh arena yang menjadi semakin tuas. Beberapa orang mulai berteriak dan bersorak.
Tetapi suaranya tidak mampu menggapai padukuhan yang tengah dikacaukan oleh kebakaran yang menjadi semakin besar.
Para prajurit dan pengawal telah dikerahkan untuk memadam"kan api. Dengan bumbung, kelenting dan bahkan tempayan dan kua"li, para prajurit berusaha untuk memadamkan api. Beberapa orang yang lain telah menebas batang-batang tiang dan dilontarkan kedalam api. Sedangkan yang lain lagi, telah merobohkan bangunan disebelah menyebelah bangunan yang terbakar, agar api tidak merambat kemana-mana.
Swandaru menjadi berdebar-debar. Ia sadar, bahwa ia harus ber"pacu dengan waktu. Jika Ki Demang Semanu atau Senapati yang di"bantu oleh dua orang prajurit itu lebih dahulu dikalahkan oleh lawan"nya, maka hancurlah seluruh pasukan kecil yang bertempur itu.
Karena itu, maka Swandaru tidak lagi berbasa-basi. Ia langsung mengerahkan ilmu cambuk yang diwarisinya dari gurunya. Langsung atau yang diwarisinya lewat kitab yang ditinggalkan oleh gurunya itu bagi murid-murid utamanya.
Lawannya benar-benar merasa heran, bahwa ia telah berhada"pan dengan seorang pengawal yang berilmu tinggi, yang mampu mengimbangi ilmunya.
- Darimana orang ini mempelajari ilmu cambuknya - geram lawan Swandaru itu.
Pemimpin padepokan yang bersenjata sebilah luwuk yang besar dan yang seakan-akan membara itu, mengalami kesulitan untuk me"lawan ilmu cambuk Swandaru.
Sementara itu, cambuk Swandaru berputaran terayun menebas, menggeliat sendai pancing, dan sekali-sekali mematuk mengerikan.
Pemimpin padepokan yang bersenjata luwuk yang bagaikan membara itu memang mengalami kesulitan. Karena itu, maka ditu"angkannya segala ilmu dan kemampuannya untuk melawan kemam"puan ilmu cambuk Swandaru.
Pemimpin padepokan itu tahu, bahwa pakaian yang dipakai oleh Swandaru bukanlah pakaian prajurit. Meskipun nampaknya or"ang yang gemuk itu mengenakan seragam sebagaimana dipakai oleh beberapa orang yang lain disamping mereka yang mengenakan sera"gam prajurit Mataram, namun kemampuannya justru melampaui se"orang Senapati prajurit.
Ketika pemimpin padepokan itu sampai kepuncak kemampu"annya, maka luwuk ditangannya yang bagaikan membara itulah me"mancarkan getaran ilmunya. Udara disekitar orang itupun kemudian telah menjadi semakin lama semakin panas.
Swandaru yang mulai merasakan getaran panasnya api itu, menjadi semakin marah. Apalagi ketika ia melihat kesulitan yang semakin mendesak Senapati yang bertempur bersama dua orang praj"uritnya. Senapati itu tidak dapat lagi memanggil prajurit yang lain untuk membantunya, karena semuanya telah terlibat dalam pertem"puran yang sengit pula, sementara Ki Demang Semanu harus meme"ras segenap tenaganya untuk bertempur habis-habisan. Meskipun demikian, Ki Demang Semanu itu menjadi terdesak pula.
Dalam keadaan yang demikian, Swandaru benar-benar merasa mengemban tugas yang sangat berat. Meskipun ia dapat mengelak"kan pertanggung-jawaban jika terjadi bencana atas pasukan kecil itu, tetapi ia tidak dapat begitu saja mencuci tangan dan sekedar mencari kesempatannya sendiri.
Karena itu, ketika ia merasakan getar panas yang terpancar dari ilmu lawannya, maka Swandarupun harus mengambil sikap yang mampu mengatasi keadaan.
Karena itu, untuk mencegah lawannya mendapat kesempatan memusatkan nalar budinya agar dalam memancarkan ilmunya, Swan"daru justru telah memasuki lingkaran yang mulai menjadi panas. Dikerahkannya daya tahan tubuhnya untuk mengatasi perasaan panas yang menyengat itu, sambil mengayun-ayunkan cambuknya. Ujung cambuknyapun berputaran, menggapai dan seakan-akan menikam tu"buh lawannya. Gerak Swandaru menjadi demikian cepatnya, sehingga lawannya harus berusaha untuk mengimbanginya.
Perlahan-lahan usaha Swandaru itu berhasil. Lawannya sema"kin merasa kesulitan untuk memusatkan nalar budinya. Setiap kali ujung cambuk Swandaru selalu memburunya. Bahkan sekali-sekali mulai menyentuh kulitnya.
Ketika Senapati dan kedua orang prajurit yang bertempur ber"samanya menjadi semakin terhimpit oleh serangan-serangan lawan"nya, maka Swandaru telah menghentakkan ilmunya. Ia harus dapat mengalahkan lawannya sebelum Senapati itu kehilangan kesempatan untuk melawan.
Sebenarnyalah Senapati itu benar-benar mengalami kesulitan. Lawannya, seorang pemimpin sebuah padepokan, benar-benar memi"liki ilmu yang tinggi. Beberapa kali Senapati itu harus berloncatan mundur untuk menyelamatkan diri.
Namun ketika serangan lawannya mengalir bagaikan debur ombak lautan menghantam batu-batu karang ditebing, Senapati itu benar-benar kehilangan kesempatan. Ketika dengan tergesa-gesa Sen"apati itu menghindari serangan lawannya, diluar perhitungannya, ka"kinya telah terantuk batu yang besar, sehingga Senapati itu jatuh terlentang.
.Pada saat itu, lawannya telah meloncat sambil mengayunkan senjata kearah dada. Senapati itu sudah tidak mempunyai kesempatan lagi. Senjata lawannya itu sudah terayun dengan derasnya.
Namun yang terjadi memang diluar dugaan. Seorang diantara kedua orang prajurit yang bertempur bersama, berlari sekencang ken"cangnya sambil menjulurkan pedangnya kearah lawannya yang se"dang mengayunkan senjatanya.
Serangan itu demikian tiba-tiba. Karena itu, maka lawannya itu harus menanggapinya.
Senjatanya yang telah diayunkan itu terpaksa diurungkan. Dengan tangkasnya lawannya itu bergesar selangkah menghindari se"rangan prajurit itu.
Namun, demikian serangan, itu lepas dari sasaran, maka justru senjata pemimpin padepokan itulah yang telah terhunjamkan lam"bung prajurit yang menyerangnya itu.
Prajurit itu menggeliat. Namun ia tidak mempunyai kesempa"tan lagi. Ketika senjata pemimpin padepokan itu ditarik, maka lam"bung prajurit itu telah terkoyak.
Tetapi ia sudah menyelamatkan Senapatinya yang memanfaat"kan kesempatan itu, untuk berguling menjauh dan kemudian melent"ing berdiri.
Peristiwa itu terjadi dengan sangat cepat. Pemimpin padepo"kan itu menggeram. Matanya bagaikan menyala memandang Senapa"ti yang berhasil menyelamatkan diri itu.
Sementara itu seorang prajurit terkapar jatuh dengan berlumu"ran darah yang keluar dari lambungnya yang koyak.
- Iblis kau - geram pemimpin padepokan yang gagal mem"bunuh Senapati prajurit Mataram itu. Namun kemudian katanya -Tetapi bagaimanapun juga, kau tidak akan sempat lolos dari tanganku.Senapati itu termangu-mangu. Ia sadar, bahwa ia akan menga"lami kesulitan untuk menghadapi lawannya yang garang itu setelah seorang kawannya terbunuh. Bersama dua orang prajurit, Senapati itu tidak mampu mengatasi lawannya Apalagi seorang diantara mereka telah terbunuh.
Dalam pada itu, Swandaru melihat kesulitan yang dialami oleh Senapati itu Sementara itu, tidak ada lagi prajurit yang akan dapam membantunya, karena setiap orang harus berusaha untuk memperta"hankan hidupnya sendiri. Seakan-akan dalam pertempuran itu telah disusun lawan mereka masing-masing.
Dalam keadaan yang demikian itulah, maka Swandaru telah menghentakkan kemampuannya Ia tidak ingin terlambat. Jika Sena"pati itu sempat terbunuh, maka nasib Ki Demang Semanu tentu akan menjadi semakin buruk, sementara Ki Demang masih berusaha untuk bertahan.
Dengan segenap kemampuannya maka Swandaru telah berada-didalam puncak ilmu cambuknya. Ujung cambuknya yang menggele"par, hampir tidak melepaskan bunyi yang getarnya menggerakkan selaput telinga Tetapi getar juntai cambuk Swandaru telah mengge"tarkan isi dada lawannya yang bersenjata luwuk itu.
Swandaru masih juga mengabaikan pancaran panas yang sea"kan-akan menyelimuti tubuh lawannya Dengan mengerahkan daya tahannya Swandaru tidak menghiraukan gelombang panas yang men"yengatnya meskipun tubuhnya menjadi basah oleh keringat Bukan saja karena geraknya, tetapi juga karena panasnya udara yang melan"da tubuhnya itu.
Lawan Swandaru menjadi berdebar-debar melihat sikap lawan"nya Pemimpin padepokan yang bertempur melawan Swandaru itu memang tidak dapat mengerahkan ilmunya benar-benar sampai tun"tas. Setiap kali ia masih harus memperhatikan kejaran ujung cambuk Swandaru. Jika saja untuk sekejap lawannya yang agak gemuk itu menghentikan serangannya maka ia akan dapat memancarkan panas lebih tinggi, sehingga untuk selanjutnya orang bercambuk itu tidak akan berani memasuki lingkaran udara panas disekitarnya.
Tetapi Swandaru menyadari hal itu sepenuhnya Karena itu, maka Swandaru sama sekali tidak mau memberi kesempatan. Ia memburu lawannya kemanapun ia menghindari atau mengambil ja"rak.
Namun semakin lama memang terasa, tubuh Swandaru menja"di semakin lemah. Panas yang memancar dari ilmu lawannya itu ba"gai panasnya api yang memanggangnya diatas perapian. Keringat Swandaru benar-benar bagaikan diperas dari tubuhnya.
Tetapi justru karena itu, maka kemarahan Swandaru tidak ter"kendali lagi. Tanpa menghiraukan keadaannya sendiri, maka Swan"darupun menyerang lawannya pada jarak yang semakin dekat
Ternyata kecepatan ujung cambuk Swandaru tidak lagi dapat dielakkan. Seperti kepala seekor ular bandotan, ujung juntai cambuk Swandaru itu telah menjilat perut lawannya.
Pemimpin padepokan itu terkejut bukan buatan. Perutnya tera"sa menjadi sangat petiih. Orang itu semakin terkejut ketika tangan"nya meraba perutnya itu. Terasa darahnya yang hangat telah menitik.
Kain pemimpin padepokan itu telah terkoyak bagaikan tersen"tuh api. Ternyata ujung cambuk Swandaru masih juga menembus kulit. Ujung cambuk itu bagaikan ujung sebilah pedang yang melu"bangi perutnya.
Pemimpin padepokan itu menggeram. Luka ditubuhnya itu membuat lawan Swandaru itu bagaikan menjadi gila.
Namun dengan demikian, maka ilmunya yang dilontarkan menjadi goncang pula. Udara panas itu kadang-kadang terasa mem"bakar, namun kadang-kadang menurun dengan cepat
Dalam pada itu, tenaga Swandarupun sebenarnya telah menyu"sut Keringatnya terlalu banyak mengalir. Sementara itu, ia sudah terlalu lama mengerahkan segenap kekuatan dan kemampuannya mu"lai menyusut pula.
Justru karena itu, Swandaru tidak mau terlambat Ia memper"gunakan kesempatan terakhir untuk menyelesaikan lawannya.
Sebenarnyalah Swandaru tidak mau melepaskan lawannya yang sudah terluka. Dengan derasnya Swandaru menghentakkan.cam"buknya sendai pancing.
Lawannya mencoba untuk menghindar. Tetapi ketika ujung cambuk itu masih memburunya, maka orang itu berusaha menebas juntai cambuk Swandaru itu dengan luwuknya.
Tetapi juntai cambuk itu tidak terputus. Bahkan tiba-tiba saja cambuk itu seakan-akan telah menggeliat Ujungnya dengan cepat membelit pergelangan tangannya.
Satu hentakkan yang sangat kuat hampir saja membuat senja"tanya meloncat dari genggamannya Tetapi orang itu cukup tangkas, sehingga dengan cepat senjata itu telah berada didalam genggaman tangan kirinya. Bahkan kemudian dengan cepat orang itu meloncat sambil menjulurkan ujung luwuknya.
Swandaru memang terkejut Dengan cepat ia berusaha menge"lak. Namun ternyata bahwa ujung luwuk itu sempat mengenai bahunya
Swandaru menggeram. Bahunya sudah mulai terluka Ternyata luka itu telah mendorong Swandaru untuk menum"pahkan segenap ilmu dan kemampuannya.
Ujung cambuknya yang sudah terurai itu berputar sekali diatas kepalanya Kemudian satu hentakkan yang sangat kuat menghantam tubuh lawannya.
Pemimpin padepokan itu masih berusaha menangkis serangan itu. Tetapi serangan itu demikian kuatnya Juntai cambuk Swandaru itu memang tertahan oleh senjata lawannya yang juga mengerahkan tenaga dan kemampuannya yang tersisa Namun ujung juntainya ma"sih juga membelit leher lawannya itu.
Ketika Swandaru kemudian menarik cambuknya maka ujung juntainya cambuk itu sempat mengoyak kulit daging pada leher lawannya itu.
Terdengar teriakan kesakitan. Namun hanya sesaat Pemimpin padepokan itu terputar sejenak. Namun kemudian ketika juntai cam"buk Swandaru terlepas, maka orang itupun segera terlempar dan ter"banting jatuh.
Sekali orang itu menggeliat Namun kemudian tarikan nafas-nyapun telah terhenti.
Swandaru masih sempat merenunginya sejenak. Namun kemu"dian ia melihat Senapati yang sudah terdesak itu menjadi semakin terdesak. Nampaknya lawan Senapati itu juga merasa berpacu dengan waktu.
Tetapi yang kemudian kehilangan kesempatan untuk mengelakkan.serangan pemimpin padepokan yang bertempur dengan sena"pati itu adalah justru seorang prajurit yang bertempur bersamanya. Seperti kawannya, maka prajurit itupun telah tertusuk senjata lawan"nya pada saat ia ingin membantu Senapati itu menghindari serangan lawannya itu.
Tetapi senjata lawannya itu tidak menusuk tepat dijantung, te"tapi sedikit ketepi, sehingga prajurit itu tidak mati seketika. Meski"pun demikian, orang itupun telah jatuh terjerembab dan tidak mampu bangkit lagi.


13 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Senapati itu tinggal seorang diri. Ia harus menghadapi lawan yang mempunyai tataran ilmu lebih tinggi.
Ketika pemimpin padepokan itu melangkah maju, malah Sena"pati itupun bergeser surut. Nampaknya memang tidak ada lagi hara"pan. Ilmu pemimpin padepokan itu memang terpaut banyak dengan Senapati itu.
Tetapi pada saat yang gawat itu, Swandaru telah berdiri tegak beberapa langkah dari arena pertempuran itu. Dengan nada berat Swandaru itupun berkata - Biarlah aku ikut menentukan akhir dari pertempuran ini. Senapati itu tidak menjawab. Betapapun harga dirinya melam"bung, namun ia tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan lawannya itu.
Sementara itu, lawannyalah yang menyahut - Marilah. Kalian akan mati bersama-sama Swandaru termangu-mangu sejenak. Tetapi Senapati tidak menolaknya. Karena itu, maka iapun melangkah mendekat sambil berkata kepada lawan Senapati itu - Aku sudah membunuh kawan"mu. - Persetan. Aku tidak petiuli. - geramnya.
- Kau tidak usah berpura-pura. Kau tahu apa yang dapat terjadi atas dirimu. - Jangan banyak bicara - geram orang itu.
Swandaru memang tidak berbicara lagi. Cambuknyapun mulai berputar. Sementara Senapati itupun bergeser beberapa langkah dari padanya
Bagaimanapun juga, pemimpin padepokan itu tidak dapat mengingkari kenyataan. Kawannya adalah seorang yang berilmu tinggi. Tetapi orang bercambuk itu dapat membunuhnya.
Namun iapun tidak dapat ingkar pula. Bahkan orang itupun yang kemudian harus dihadapinya
Dalam pada itu, Swandaru masih juga memperhatikan Ki De"mang Semanu. Ia harus memeras tenaganya untuk bertahan lebih lama lagi. Sementara itu, para pengawal dan prajurit masih harus bertempur melawan para cantrik yang jumlahnya memang lebih ban"yak.
Sejenak kemudian, maka Swandaru dan Senapati itu telah mu"lai bertempur pula. Kemudian keseimbangan pertempuran telah beru"bah. Pemimpin padepokan yang menghadapi dua orang lawan itupun segera telah terdesak. Ternyata bahwa orang yang bersenjata cambuk itu memiliki ilmu yang tinggi.
Dengan demikian, maka pemimpin padepokan itu harus beker"ja keras untuk dapat melindungi dirinya dari kejaran ujung cambuk Swandaru.
Tetapi ujung cambuk Swandaru itu bagaikan mempunyai mata. Kemanapun lawan Swandaru itu bergeser, ujung cambuk Swandaru itu dengan cepat telah memburunya.
Orang itu mengumpat kasar ketika ujung cambuk Swandaru memburunya justru saat orang itu meloncat mengambil jarak untuk menghindari serangan Senapati itu. Ujung cambuk Swandaru itu te"lah menyengat pundaknya, sehingga rasa-rasanya tulangnya telah re"tak.
Dengan demikian, maka orang itu semakin berada dalam kesu"litan. Kehadiran Swandaru telah mengacaukan segala-galanya
Betapapun kemarahan mencengkam jantungnya tetapi ia tidak dapat ingkar atas kenyataan yang dihadapinya. Swandaru memang se"orang yang berilmu tinggi. Sentuhan cambuknya hampir melumpuh"kan sebelah tangannya.
Tetapi orang itu tidak dapat merenungi lawannya terlalu lama.
Senapati yang hampir saja ditumpuhkannya itu telah menyerangnya. Senjatanya berputaran menebas kearah dadanya.
Dengan tangkasnya pemimpin padepokan itu meloncat men"ghindari serangan itu. Tetapi demikian kakinya menyentuh tanah, maka kembali ia terkejut Ujung cambuk Swandaru itu telah menge"nai kakinya. Betisnyalah yang telah dikoyakkan oleh karah-karah juntai cambuk Swandaru.
Pemimpin padepokan itu mengaduh tertahan. Perasaan sakit telah menggigit luka dibetisnya.
Pemimpin padepokan itu benar-benar kehilangan kesempatan. Tangannya bagaikan lumpuh sebelah. Demikian pula kakinya yang sebelah.
Ketika kemudian juntai cambuk Swandaru berputar lagi diatas kepalanya, maka orang itu tidak dapat berbuat lain. Dengan serta-merta dilemparkannya senjatanya sambil berteriak - Aku menyerah.Swandaru yang hampir saja menghentakkan cambuknya itu te"lah menahan diri. Lawannya itu telah meletakkan senjatanya, sehing"ga tidak sepantasnya ia masih menyerangnya
Demikian pula Senapati yang bertempur bersama Swandaru itu. Betapa kemarahan dan dendam membakar dadanya, karena dua or"ang prajuritnya telah dibunuh oleh orang itu. Namun sebagai seorang prajurit maka Senapati itu tidak dapat berbuat lain kecuali menerima penyerahan itu.
Pada saat yang demikian, maka lawan Ki Demang Semanu itu harus membuat pertimbangan-pertimbangan baru. Jika kedua orang pemimpin padepokan yang bersamanya membakar lumbung bahan pangan itu sudah tidak berdaya, maka ia tidak mampu bertahan seorang diri. Karena itu, maka iapun telah memanfaatkan kesempatan yang masih ada.
Dengan sigapnya orang itu meloncat menjauhi Ki Demang Semanu yang sebenarnya sudah tidak terlalu banyak mempunyai ke"sempatan itu. Kemudian dengan tangkasnya,orang itu melenting menjauh dan kemudian melarikan dirinya, memasuki kegelapan malam.
Ki Demang Semanu tidak dapat mengejarnya. Demikian law"annya meloncat meninggalkannya, ia memang berusaha untuk mem"buru. Tetapi lawannya ternyata sempat berlari lebih cepat dan men"ghilang.
Swandaru dan Senapati yang baru saja menerima penyerahan lawannya itu terlambat menyadari bahwa lawan Ki Demang Semanu itu telah melarikan diri. Karena itu, maka mereka tidak sempat pula untuk mengejar dan menangkapnya.
Namun mereka menganggap bahwa apa yang telah mereka lak"ukan itu sudah cukup. Ketika seorang pemimpin padepokan terbunuh oleh Swandaru, sementara seorang lagi terluka parah yang menyerah, sedangkan yang lain melarikan diri, maka para cantrik dari para pe"mimpin padepokan itu telah menjadi kacau balau. Mereka tidak lagi mempunyai sandaran lagi.
Karena itu, maka yang dapat mereka lakukan kemudian adalah menyerah atau melarikan diri.
Beberapa orang prajurit yang ada diantara mereka mempunyai kemampuan yang lebih baik. Karena itu, merekalah yang pertama-tama mendapat kesempatan untuk melepaskan diri dari tangan para prajurit dan pengawal Mataram. Sementara itu, sebagian besar dari para cantrik telah tertangkap.
Sejenak kemudian, maka Senapati dari Mataram itu telah men"gumpulkan para prajurit yang menyertainya. Demikian pula Swanda"ru dan Ki Demang Semanu telah mengumpulkan para pengawal pula.
- Marilah. Kita kembali ke padukuhan - ajak Senapati Mata"ram itu.
- Bagaimana dengan orang-orang yang terluka " - bertanya Swandaru.
- Sudah tentu kita akan membawa kawan-kawan kita yang ter"luka dan gugur di padukuhan. - Maksudku, orang-orang yang telah menyerang padukuhan itu. Kita tentu akan membawa para tawanan. Tetapi apakah kita akan membawa mereka yang terbunuh dipeperangan ini " - Tidak perlu - jawab Senapati itu - kawan-kawan mereka ada yang berhasil melarikan diri. Biarlah mereka nanti mengurus kawan-kawannya yang terbunuh. - Yang terluka " - bertanya Ki Demang Semanu.
Senapati itu menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya ke"mudian - Biarlah para tawanan itu membawa kawan-kawan mereka yang terluka parah, yang masih hidup. - Mereka membutuhkan pertolongan segera - desis Ki De"mang Semanu.
Ketika mereka berjalan kembali ke padukuhan, maka Senapati Mataram itu sempat mengucapkan terima kasih beberapa kali kepada Swandaru, kepada Ki Demang Semanu dan kepada semuanya yang te"lah terlibat dalam pertempuran itu. Namun khusus kepada Swandaru ia berkata - Kau sudah menyelamatkan nyawaku. - Bukankah itu kewajiban kita semuanya di pertempuran " -jawab Swandaru.
Senapati itu menarik nafas dalam-dalam. Kepada dirinya sendi"ri ia berkata didalam hati - Orang bercambuk ini ternyata memiliki kemampuan yang tinggi, melampaui kemampuan para prajurit. Men"urut pendapatku, ia pantas mendapat penghargaan yang pantas. Senapati itu sudah berjanji kepada dirinya sendiri, bahwa ia akan menyampaikannya kepada Untara, bahwa anak Demang Sangkal Putung itu bukan saja telah menyelamatkan nyawanya, tetapi ia su"dah menunjukkan kemampuan yang tinggi.
Ketika beberapa kelompok prajurit dan pengawal itu sampai di padukuhan, maka api telah padam. Sekitar separo dari persediaan ba"han pangan dan peralatan lelah terbakar. Disana sini masih nampak asap yang mengepul, sementara beberapa orang prajurit masih sibuk menyiram dengan air, agar apa yang tersisa itu tidak membesar lagi dan membakar bahan pangan yang tersisa.
Para Senapati yang ada dipadukuhan itu telah mengadakan per"temuan khusus. Mereka tidak dapat ingkar lagi, bahwa ternyata mere"ka telah lengah.
Tetapi ternyata kebakaran itu tidak hanya terjadi di padukuhan itu saja. Beberapa orang prajurit dan pengawal juga melihat langit menjadi merah di arah Barat.
Beberapa saat kemudian, maka para penghubungpun telah ber"pacu dari satu padukuhan ke padukuhan lain. Keterangan terakhir menyatakan bahwa padukuhan yang dipergunakan sebagai perkemahan dari pasukan yang disimpan untuk menjadi sayap-sayap gelar kelak disisi kiri dan kanan dan bahkan dua padukuhan lain yang diperguna"kan oleh pasukan yang dipergunakan oleh padukuhan induk yang ti"dak dapat disusupi oleh orang-orang yang memang mendapat tugas un"tuk membakar lumbung-lumbung bahan pangan dan persediaan peralatan.
Di padukuhan yang berada disisi kiri, Glagah Putih menyesali kelengahannya, sehingga kebakaran itu juga terjadi. Apa yang dilaku"kan Mataram pada saat pasukan Pati berada di Prambanan telah dilak"ukan pula oleh orang-orang Pati. Menghancurkan persediaan pangan dan perlengkapan.
Kebakaran yang terjadi itu teah membuat Panembahan Senapa"ti menjadi marah. Dengan keras Panembahan Senapati telah mempe"ringatkan para Panglimanya, agar kelengahan itu tidak terjadi lagi.
- Tanpa dukungan pangan dan perlengkapan, maka pasukan Mataram tidak akan dapat bertahan lama di Pati. Jika perang berkepanjangan, maka pasukan Mataram akan mengalami kelaparan atau harus merampok ke padukuhan-padukuhan.
Peringatan keras dari Panembahan Senapati kepada para Pean-glima itu telah membuat mereka meningkatkan kewaspadaan.
Tetapi kebakaran itu juga memperingatkan kepada Panemba"han Senapati, agar ja tidak menunda-nunda lagi serangan untuk mem"asuki dinding kota Pati. Semakin lama para prajurit dan para pen"gawal menunggu, maka mereka akan menjadi semakin gelisah.
Karena itu, maka Panembahan Senapatipun segera memerin"tahkan pula para prajurit dan pengawal bersiap.
Menjelang malam. Panembahan Senapati telah memanggil para Panglima dan Senapati untuk berkumpul di induk.
- Bawa pengawal yang cukup. Ternyata bahwa orang-orang Pati masih berkeliaran di sekitar padukuhan ini - perintah Panemba"han Senapati.
Dalam pertemuan itu, Panembahan Senapati telah mengeluar"kan perintah yang masih harus dirahasiakan, besok pasukan Mataram akan menjajagi kekuatan prajurit Pati yang mempertahankan kota.
Semua Panglima dan Senapati telah mendapat perintah, agar serangan itu dilakukan dengan persiapan yang bersungguh-sungguh. Baru setelah para prajurit dan pengawal berada di hadapan dinding kota, para pemimpin kelompok akan diberitahu bahwa yang dilaku"kan oleh para prajurit dan pengawal itu barulah sekedar penjajagan. Namun penjajagan itu diharapkan sudah dapat memancing semua ke"kuatan dan perlengkapan yang dipergunakan oleh para prajurit Pati untuk mempertahankan diri.
- Jika rencana ini diketahui oleh Pati, maka apa yang diperli"hatkan Pati besok tentu sekedar untuk menyesalkan perhitungan kita.Ternyata para panglima dan Senapati telah menyimpan rahasia itu rapat-rapat. Mereka bahkan dengan sengaja menunjukkan bahwa Mataram telah mempersiapkan serangan besar-besaran atas kota Pati yang tertutup. Semua kekuatan dan kemampuan akan dikerahkan.
Malam itu, maka nampak kesibukan yang memuncak di padu"kuhan padukuhan yang di pergunakan sebagai tempat perkemahan. Para prajurit dan pengawal telah memeprsiapkan diri sebaik-baiknya. Beberapa prajurit bahkan telah mempersiapkan tangga-tangga bambu yang jumlahnya cukup banyak. Tali serabut kelapa dan jangkar-jangkar besi.
Para Panglima dan Senapati sengaja memancing perhatian, karena mereka yakin, bahwa tentu masih ada para petugas sandi dari Pati yang berkeliaran disekitar padukuhan-padukuhan itu.
Sebenarnyalah, bahwa dua orang petugas sandi sedang membay"angi padukuhan yang dipergunakan oleh prajurit dan pengawal Mata"ram yang disiapkan disisi sebelah kanan. Mereka berusaha untuk melihat, apa yang telah terjadi dengan kawan-kawan mereka yang te"lah menjadi tawanan di padukuhan itu.
Ternyata para cantrik dari berbagai padepokan serta prajurit-prajurit pilihan dari Pati itu tidak menjadi ketakutan meskipun bebe"rapa orang pemimpin padepokan gagal menghindar.
Dua orang petugas sandi itu terdiri dari seorang Putut yang be"rilmu tinggi dan seorang Lurah prajurit dari Pasukan Khusus Pati yang mumpuni dan memilik pengalaman yang luas.
Malam itu keduanya berusaha mendekati padukuhan yang di"pergunakan sebagai tempat berkemah bagi prajurit Mataram. Justru pada padukuhan yang dipergunakan oleh pasukan induk.
Meskipun penjagaan menjadi semakin ketat, tetapi kedua or"ang itu dengan berani merayap mendekat.
- Apakah kawan-kawan kita dibawa ke padukuhan tempat pas"ukan ini tinggal " - bertanya putut itu sambil berbisik. .
- Kita tidak akan dapat mengetahuinya - jawab Lurah parajurit itu - tetapi setidak-tidaknya kita dapat melihat kegiatan mereka.
- Nanti kita melihat pasukan yang berada disisi kanan itu - Lurah prajurit itu mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun berdesis - Kesibukan yang luar biasa, Nampaknya mereka se"dang bersiap-siap. - Mereka mempersiapkan tangga-tangga bambu. - Mereka akan menyerang. - desis Lurah prajurit itu.
- Ya. Mereka akan menyerang - sahut putut itu pula.
- Kita akan melihat padukuhan disisi kanan itu. Dengan tergesa-gesa kedua orang itu telah meninggalkan pasu"kan induk yang berada dipadukuhan itu. Pada pasukan induk itu me"reka telah mendapat kesan, bahwa pasukan induk itu mereka telah mendapat kesan, bahwa pasukan Mataram itu sedang bersiap-siap un"tuk melakukan serangan besar-besaran.
Dengan sangat berhati-hati mereka melihat pasukan Mataram yang ada disisi sebelah kanan. Lurah prajurit itu sempat memperin"gatkan kawannya - Hati-hati. Pasukan yang ada dipadukuhan ini nampaknya merupakan pasukan yang paling garang. Meskipun kedua orang itu berhasil merayap mendekat, teta"pi mereka tidak dapat melihat apa yang terjadi dengan kawan-kawan mereka.
- Setidak-tidaknya kawan-kawan kita tidak diperlukan seperti seekor bintang - desis putut itu.
Ternyata mereka sama sekali tidak takut untuk mencari celah celah penjagaan yang ketat itu, sehingga keduanya dapat memasuki padukuhan yang gelap. Mereka merayap dari halaman ke halaman se"hingga mereka akhirnya sampai ke halaman rumah di samping banjar
Tetapi mereka tidak melihat kawan-kawan mereka yang ter"tawa itu diperlakukan dengan sewenang-wenang di halaman banjar.
Meskipun demikian, mereka telah melihat kegiatan para pra"jurit Maaram yang sangat menggelisahkan itu. Persiapan-persiapan yang matang itu juga dilakukan oleh para prajurit yang berada disisi sebelah kanan itu.
Karena itu, maka keduanya sependapat bahwa pasukan Mata"ram itu akan menyerang demikian fajar menyingsing.
Dengan tergesa-gesa keduanya meninggalkan padukuhan itu. Lurah prajurit itupun kemudian justru mengajak kawannya untuk berlari-lari kecil.
- Kita telah membuang waktu. Sebenarnya kita tidak perlu pergi dari satu padukuhan yang lain yang jaraknya cukup jauh. Seha"rusnya dari padukuhan yang dipergunakan oleh pasukan induk itu, kita langsung memberikan laporan. - desis Lurah Prajurit itu.
Baru didini hari keduanya dapat memberikan laporan tentang kegiatan pasukan Mataram itu.
- Laporan kalian semakin menyakinkan kita, bahwa Mataram memang akan bergerak - jawab seorang Senapati yang menerima laporan itu.
- Jadi sudah ada laporan lain yang sampai ke mari " - bertan"ya Lurah Prajurit itu.
Senapati itu mengangguk. Katanya - Pasukan Pati sudah bergerak untuk menanggapi serangan yang bakal datang. - Sokurlan - desis prajurit itu.
- Tetapi laporanmu penting untuk semakin meyakinkan lapo"ran yang terdahulu. Sebenarnyalah Senapati itu telah meneruskan laporan dari ke"dua orang itu. Namun sementara itu, pasukan Pati memang sudah bergerak. Pati telah mengerahkan segenap kekuatan dan kemampuan untuk mempertahankan kota. Panggungan-panggungan dibelakang dinding kota telah terisi. Berbagai jenis senjata lontar telah siap di"pergunakan.
Pati yang memang sudah bersiap itu, dalam waktu dekat telah sampai pada kesiagaan tertinggi. Jika pasukan Mataram itu datang, maka pasukan itu akandihancurkan sebelum sempat meraba dinding dan pintu gerbang kota.
Dalam pada itu, didini hari segala sesuatunya sudah siap. Para prajurit Mataram sempat beristirahat sejenak. Kemudian makan dan membawa sedikit bekal.
Beberapa saat kemudian, maka pasukan Mataram itupun telah mulai bergerak. Para penghubung berkuda memacu kuda mereka, membawa printah-perintah dan pesan-pesan.
Pada saatnya, maka isyarat sandipun telah dilontarkan..
Demikianlah, maka pasukan Mataram yang besar itupun bergerak. Mereka membawa segala macam peralatan yang diperlukan. Tidak seorangpun diantara para prajurit yang tahu, bahwa apa yang mereka lakukan itu sekedar penjajagan.
Hanya para Panglima dan Senapati terpenting sajalah yang mengetahui perintah Panembahan Senapati. Apalagi Panembahan Senapati sendiri juga ikut didalam pasukan yang mendekati dinding kota itu.
Sesuai dengan rencana yang telah dimatangkan dalam pertemu"an antara para Panglima dan Senapati yang dipimpin sendiri oleh Pa"nembahan Senapati, maka ketiga bagian dari pasukan Mataram itu mendekati sasaran dari tiga arah. Pasukan induk akan mendekati kota
langsung kearah pintu gerbang utama. Sementara yang lain akan menyerang kota disisi kiri dan kanan pasukan induk yang dipimpin langsung oleh Panembahan Senapati.
Kesungguhan para prajurit Mataram itu telah dilihat dan dila"porkan pula oleh para petugas sandi dari Pati, sehingga untuk menanggapi serangan itu, Pati telah mengerahkan segenap kekuatan dan kemampuan yang ada.
Kesiapan tertinggi Pati itulah yang memang diharapkan oleh Panembahan Senapati.
Ketika pasukan Mataram mendekati dinding kota dalam tiga larik pasukan, maka pasukan Mataram itu seolah-olah menjadi sebu"ah trisula raksasa yang siap untuk menusuk Pati dengan tiga buah ujungnya.
Namun Panembahan Senapati memberikan isyarat agar pasu"kannya berhenti beberapa puluh patok dari dinding kota. Namun or"ang-orang yang berada diatas panggung telah melihat kebesaran pasu"kan Mataram itu. Umbul-umbul, rontok kelebet dan tunggul-tunggul kebesaran setiap kekuatan yang ada didalam pasukan itu.
Namun Patipun tidak mau ketinggalan. Umbul-umbul dan rontekpun terpasang pula diatas dan disekitar pintu gerbang kota.
Pada saat pasukan Mataram itu berhenti, para Panglima dan Senapati telah memanggil semua pemimpin kelompok didalam kesa"tuannya masing-masing. Para Senapati itulah memerintahkan, bahwa serangan yang mereka lakukan bukan serangan dalam pengertian ha"bis-habisan.
- Kita memang akan menyerang. Kita akan menunjukkan apa yang dapat kami lakukan. Tetapi serangan itu harus dijelaskan bahwa Panembahan Senapati tidak akan menerobos benteng Pati pada hari itu juga. Dengan demikian, maka para prajurit harus menyesuaikan diri. Panembahan Senapati tidak menginginkan agar kita dapat mere"but Pati pada hari ini. Para pemimpin kelompok itupun segera tanggap. Mataram ti"dak memasuki Pati pada hari ini. Merekapun segera tanggap pula, bahwa hari itu mereka baru sekedar ingin mengetahui, apa yang sebe"narnya ingin mereka ketahui.
Dalam waktu yang singkat, para pemimpin kelompok telah menyampaikan perintah itu pula kepada para prajurit didalam kelom"poknya.
Memang ada diantara para prajurit yang menjadi kecewa. Ada yang menyesal, bahwa mereka telah menjadi tegang sepanjang mal"lam karena mereka mengira dikeesokan harinya, mereka akan bertem"pur habis-habisan untuk merebut Pati.
Tetapi sebagaimana dikatakan oleh Senapati, maka para pe"mimpin kelompok itu berkata - Panjajagan kali ini memberikan beberapa pemecahan pada kesulitan-kesulitan yang kita hadapi. Kita juga akan mendapatkan cara untuk mengurangi korban sebanyak-banyaknya. Namun didalam hati para prajurit itu berkata - Tetapi dalam penjajagan kita, kita sudah harus menyerahkan korban. Justru nilain"ya tidak setinggi mereka yang gugur dalam perang yang sebenarnya.
Tetapi para pemimpin kelompok itu berkata selanjutnya -Mungkin dalam penjajagan ini kita harus sudah menyerahkan kor"ban. Tetapi korban itu adalah bebante yang diserahkan untuk menda"patkan kemungkinan yang jauh lebih baik di hari berikutnya. Karena itu, maka yang gugur dalam penjajagan ini adalah justru mereka yang bersedia menyerahkan diri sebagai tumbal keselamatan kawan-kawannya, saudara-saudaranya dan gegayuhan yang lebih tinggi. Para prajurit itu termangu-mangu. Namun merekapun men"gangguk-angguk mengiakan.
Dengan demikian, maka tidak ada lagi keragu-raguan dari para prajurit itu atas tugas yang mereka emban pada hari itu.
Demikianlah, pada saat yang ditentukan, maka pasukan itupun mulai bergerak. Pasukan induk yang dipimpin langsung oleh Panem"bahan Senapati berada ditengah, menghadap gerbang utama. Pasukan"nya kemudian mengalir mekar melebar didepan kota. Sementara itu, yang lainpun telah melebar pula, sehingga ujung-ujung pasukan in"duk dan sayap-sayapnya telah bertaut.
Pati memang tidak dikepung temu-gelang. Pasukan Mataram berada disetengah putaran kota. Meskipun demikian ada beberapa ke"lompok pasukan Mataram yang perintahkan untuk berjaga-jaga dan mengamati sisi yang lain dari kota itu. Mereka harus segera member"ikan isyarat dan berusaha menghambat jika ada pasukan yang berusa"ha melarikan diri. Tetapi mereka tidak diijinkan untuk mengganggu para pengungsi, meskipun dengan kemungkinan, bahwa orang-orang yang melarikan diri berada diantara para pengungsi itu.
Ketika matahari terbit, maka pasukan Mataram itu mulai bergerak. Para prajurit yang membawa busur dan anak panah, harus berada ditempat yang ditentukan untuk melindungi pasukan yang akan mendekati dinding dan pintu gerbang.
Para prajurit Pati yang melihat pasukan Mataram itu bergerak serentak, maka aba-abapun telah terdengar sahut menyahut. Kangjeng Adipati Pati sendiri berada di panggungan disisi pintu gerbang uta"ma. Dengan memegang perisai ditangan kiri, Kangjeng Adipati ingin melihat gerak pasukan Mataram.
Gerak pasukan Mataram itu semakin lama menjadi semakin cepat. Benar-benar sebagaimana sebuah serangan yang menentukan.
Karena itulah, maka Pati benar-benar telah berada dalam kesiagaan tertinggi. Segala macam senjata, kemampuan dan cara bertahan telah diperlihatkan.
Panembahan Senapati memang ada diantara para prajurit Mata"ram. Dengan seksama Panembahan Senapati memperhatikan pertaha"nan pasukan Pati.
Demikianlah, maka para prajurit Mataram juga sudah memper"siapkan tangga-tangga bambu yang panjang. Para prajurit yang membawa tangga itupun berlari-lari mendekati dinding.
Namun langkah merekapun kemudian tertahan oleh hujan anak panah yang dilontarkan dari atas panggungan.
Para Senapati Matarampun segera memerintahkan agar para prajurit yang bersenjata busur dan anak panah telah membalas seran"gan anak panah yang menghambur dari panggungan dibelakang dind"ing itu.
Untuk beberapa saat, pertempuran terjadi antara para prajurit yang bersenjata panah. Sedangkan para prajurit Mataram yang lain masih belum bergerak lagi.
Untuk beberapa saat keadaan medarutu tidak mengalami peru"bahan. Anak panah meluncur dari kedua belah pihak tidak henti-hentinya.
Tetapi sementara itu, para prajurit Mataram ingin mencoba mempergunakan sebuah perlindungan dari anyaman bambu yang cuk"up lebar dengan diberi berbingkai bambu pula Dengan ampat buah kaki yang ditahan oleh tiang bambu, maka anyaman bambu itu men"jadi sebuah perisai raksasa yang dapat melindungi beberapa orang prajurit.
Dengan berperisai anyaman bambu yang diberi berbingkai itu, kelompok-kelompok pasukan Mataram bergerak mendekati dinding dan pintu gerbang.
Disetiap kelompok nampak beberapa orang prajurit membawa tangga-tangga bambu yang akan mereka pergunakan untuk memanjat dinding.
Demikianlah, para prajurit dari Pati telah menghujani perisai raksasa itu dengan anak panah. Tetapi anak panah itu tidak banyak menghambat, karena anak panah itu tidak dapat menembus perisai-perisai itu meskipun hanya dibuat dari bambu.
Para prajurit Pati yang melihat perisai-perisai raksasa itu me"mang menjadi cemas. Anak panah mereka justru tertancap pada peri"sai yang terbuat dari anyaman bambu itu, sehingga anyaman bambu menjadi seakan-akan berbulu anak panah.
Para prajurit Mataram yang mempergunakan perisai anyaman dinding itu memang terlindung. Sementara kawan-kawan mereka dari jarak jangkau panah mereka, menyerang tanpa henti-hentinya seba"gaimana para prajurit Pati yang ada dipanggungan di belakang dind"ing kota.
Dalam pada itu, maka para prajurit yang berada dibawah per"lindungan perisai raksasa yang dibuat dari anyaman bambu itu sudah mendekati dinding. Anak panah dari panggung dibelakang dinding itu sudah menjadi semakin jarang menggapai tubuh mereka.
Sejenak kemudian, maka orang-orang Mataram itu sudah memasang tangga-tangga bambu berjajar melekat dinding.
Namun dalam pada itu, orang-orang Pati itu nampak telah me"nemukan satu cara yang terbaik untuk mengatasi perisai-perisai bam"bu itu. Batu.
Tetapi karena para prajurit Pati sendiri belum menyediakan batu cukup banyak, maka serangan-serangan mereka tidak terlalu banyak menimbulkan kesulitan.
Karena itu, beberapa puluh buah tangga memang sudah terpa"sang pada dinding kota itu. Beberapa orang prajurit memang menco"ba untuk memanjat. Tetapi orang-orang Pati itu telah berusaha untuk mendorong tangga-tangga itu sehingga orang-orang yang mencoba-coba memanjat akan berjatuhan bersama-sama dengan tangga yang roboh itu.
Karena prajurit Mataram memang tidak berniat untuk mema"suki dinding kota, maka merekapun tidak berjuang mati-matian, yang mereka lakukan benar-benar sebuah penjajagan saja.
Prajurit Pati memang heran waktu mereka melihat prajurit Mataram yang demikian mudahnya mengurungkah serangan-serangannya. Demikian pula para prajurit yang telah mencapai pintu gerbang. Tidak ada usaha yang bersungguh-sungguh untuk memecah"kan pintu gerbang itu.
Serangan itu benar-benar telah memancing para prajurit Pati untuk mempergunakan segala macam para yang akan mereka pergu"nakan. Hal itulah yang ingin diketahui oleh orang-orang Mataram.
Namun para prajurit Matarampun harus merelakan orang-orang Pati menemukan cara terbaik untuk melawan perisai anyaman bam"bu, itu.
Perang yang terjadi memang tidak mengungkapkan kekuatan Mataram yang sebenarnya. Para prajurit yang memasang tangga-tangga bambu ternyata tidak berusaha benar-benar memanfaatkannya. Kegagalan-kegagalan kecil telah membuat prajurit dan pengawal dari Mataram itu mengurungkan usahanya menggapai bibir dinding kota.
Akhirnya para prajurit Patipun menyadari, bahwa mereka-telah terpancing. Merekapun akhirnya mengetahui, bahwa Mataram tentu baru sekedar menjajagi pertahanan Pati.
Kangjeng Adipati Pragola sendiri yang memerintahkan untuk menghentikan perlawanan.
- Tetapi para prajurit harus tetap berada ditempat dan bersiaga sepenuhnya - perintah Kangjeng Adipati - kita sudah melihat sendi"ri, betapa liciknya orang-orang Mataram.Pasukan Pati memang menghentikan perlawanan. Yang mere"ka lakukan kemudian adalah sekedar berjaga-jaga.-Mereka membiar"kan para prajurit dan pengawal Mataram berada disekitar dinding kota. ,
Kelompok-kelompok prajurit Mataram masih saja melontar"kan anak panah. Namun akhirnya Panembahan Senapati memerintah"kan, pasukan Mataram untuk mundur dari medan.
Matahari yang telah melewati puncak langit itu, panasnya ba"gaikan membakar kulit Berangsur-angsur pasukan Mataram itu mundur dari medan setelah setengah hari lewat sedikit menjajagi ke"kuatan pertahanan Pati.
Ketika para prajurit itu sampai diperkemahan, maka panemba"han Senapatipun langsung memanggil para Panglima dan Senapati Mataram serta para pemimpin pasukan pengawal yang ada didalam pasukannya. Dengan singkat Panembahan Senapati telah memberi"kan beberapa petunjuk dan pesan kepada mereka sesuai dengan hasil penjajagan yang telah dilakukan oleh pasukan Mataram.
Karena menurut laporan bahan pangan yang tidak terbakar ma"sih mencukupi untuk beberapa hari, maka Panembahan Senapati be"lum akan menyerang Pati dikeesokan harinya.
- Kita akan melengkapi peralatan kita sesuai dengan gelar per"tahanan pasukan Pati - berkata Panemahan Senapati - nanti, lewat para Panglima dan Senapati, aku akan memberikan perintah-perintah selanjurnya. Demikianlah, setelah pertemuan itu dianggap selesai, Panem"bahan Senapati telah berbicara secara khusus dengan beberapa orang terdekat
Ternyata pertemuan itu menghasilkan kesimpulan bahwa Mat"aram masih harus menyempurnakan alat-alat yang akan mereka pakai untuk memasuki benteng pertahanan Kangjeng Adipati Pati.
- Kita tidak usah tergesa-gesa. - berkata Panembahan Senapa"ti - Tetapi kita akan berhasil dengan korban yang sekecil-kecilnya.Meskipun hari ini kita sudah kehilangan beberapa orang terbaik kita, namun itu adalah pengorbanan yang sangat berarti bagi langkah-langkah kita selanjurnya. Dengan perhitungan yang cermat berdasarkan penilaian dari se^ gala sisi, maka pasukan Mataram masih dapat bertahan untuk bebera"pa hari lagi ditempai itu.
Dihari berikutnya, para prajurit telah membuat beberapa peral"atan yang lebih baik. Tangga-tangga bambu telah dibuat berkaki, se"hingga tidak perlu disandarkan pada dinding pertahanan Pati. Perisai-perisai yang besar yang terbuat dari anyaman bambu yang kuat, lebih diperkuat lagi untuk menahan batu-batu yang dilontarkan dari atas dinding, karena menurut perhitungan, para prajurit Pati tentu sudah menyediakan batu-batu yang lebih besar.
Para prajuritpun telah mempersiapkan jangkar-jangkar besi serta tali-tali serabut kelapa. Beberapa potong kayu yang panjang, yang akan dipergunakan untuk memecahkan pintu gerbang.
Persiapan-persiapan itu tidak dapat mereka selesaikan dalam satu hari.
Tetapi para prajurit Patipun tidak tinggal diam. Mereka juga mempelajari dan membicarakan cara orang-orang Mataram menye"rang benteng pertahanan Pati. Orang-orang Patipun telah memper"siapkan senjata-senjata yang paling baik, termasuk batu-batu yang cukup besar, yang sebelumnya tidak dilakukan.
Dengan persiapan-persiapan itu, maka Mataram ingin mengu"rangi korban dengan keberhasilan tertinggi, sementara Pati ingin mempertahankan setiap jengkal tanahnya.
Dalam pada itu, selagi para prajurit dan pengawal dari Mata"ram sibuk menyiapkan alat-alat yang lebih baik untuk memasuki dinding kota, sementara Pati berusaha memperkuat pertahanannya, maka jauh dari Pati telah terjadi peristiwa yang lain.
0o0 Dipadepokan Kiai Warangka, tiga orang sedang melakukan sa"madi untuk mencoba melihat, apakah sebuah peti tembaga yang be"sar yang pernah berada dipadepokan itu disaat padepokan itu belum dipimpin oleh Kiai Warangka, masih ada. Atau peti itu sudah berada ditempat lain. Ketiga orang itu mencari petunjuk petunjuk atau isya"rat-isyarat didalam samadinya untuk menemukan peti-peti itu.
Ternyata ketiga orang itu mempunyai cara yang berbeda. Seo"rang diantara mereka melakukan samadi didalam ruang yang telah dis"ediakan. Tetapi dua orang yang lain, setelah semalam berada didalam bilik itu, ternyata telah minta ijin untuk melakukannya diluar, justru ditempat yang agak jauh dari bangunan-bangunan yang ada dipadepo"kan itu.
Meskipun demikian orang-orang itu tidak terlepas dari pengawasan para cantrik dari padepokan Kiai Warangka. Bukan saja or"ang yang melakukan samadi didalam ruangan. Tetapi juga orang yang melakukan samadi diluar ruangan:
Tetapi kedua orang yang melakukan samadi diluar ruangan itu hanya dilakukan dimalam hari. Disiang hari keduanya melepaskan diri dari samadi mereka dan hidup sebagaimana seseorang menjalani hidup sehari-sehari. Mandi, makan, minum dan kegiatan-kegiatan yang lain.
Namun orang yang berada didalam bilik itu sama sekali tidak terlepas dari suasana samadinya. Orang itu hanya makan sekali sehari ditengah malam. Minum beberapa teguk dan sama sekali tidak ber"geser dari tempatnya. Tanpa menyentuh air sama sekali.
- Paman Resa yang sebenarnya harus menjalani samadi penuh untuk menemukan peti itu - berkata Perbatang, seorang yang terhi"tung muda dibanding dengan dua orang lainnya yang sudah separo baya. Lalu katanya selanjurnya - sedangkan kami berdua harus mem"bantunya. Karena itu, maka hanya kami lakukan di malam hari. Un"tuk mendapat suasana yang segar serta penglihatan batin yang jauh, maka kami berdua berada diluar ruangan. Serat Waja yang mendapat tugas untuk melayani mereka men"gangguk-angguk. Katanya - kami juga berharap agar usaha ini berh"asil. Karena dengan demikian, padepokan kakang Warangka tentu juga akan dapat dikembangkan, meskipun sama sekali tidak bermak"sud menyaingi rencana kakang Timbang Laras. - Ya - jawab Perbatang - alangkah baiknya jika kedua padep"okan ini dapat berkembang bersama-sama. - Seandainya aku dapat membantu, maka akupun akan mem"bantunya - berkata Serat Waja.
- Apa yang Ki Serat Waja lakukan, sudah merupakan bantuan yang sangat besar bagi kami. Serat Waja tertawa. Katanya - Hanya itulah yang dapat kami lakukan. Demikianlah, dari hari kehari samadi itu berlangsung. Suasana didalam bilik yang dipergunakan untuk melakukan samadi oleh Ki Resa itu suasananya memang menjadi lain. Udara didalam bilik- itu menjadi panas. Tubuh Ki Resa sendiri telah basah oleh keringat. Te"tapi selama samadi, Ki Resa sama sekali tidak menyentuh air.
Para cantrik yang bertugas didepan bilik itu kadang-kadang memang merasakan sesuatu yang mendebarkan. Hal-hal yang tidak dapat mereka cerna dengan nalar telah terjadi.
Pada satu malam, ketika kentongan berbunyi dengan irama dara muluk ditengah malam, maka didalam bilik itu nampak cahaya yang sangat terang. Seolah-olah matahari telah terbit didalam ruang samadi itu.
Tetapi hal itu tidak terlalu lama terjadi. Beberapa saat kemudi"an, maka sinar yang terang itupun mulai meredup, sehingga akhirnya yang nampak tidak lebih dari cahaya lampu minyak yang ada didalam ruang itu.
Pada saat yang lain, ketika cantrik yang lain pula yang bertu"gas didepan bilik itu, maka telah terjadi pula peristiwa yang mende"barkan. Pintu dan dinding bagian depan bilik itu bergetar dengan ke"ras seakan-akan telah diguncang oleh gempa yang besar. Tetapi bagian lain dari padepokan itu sama sekali tidak merasakan getaran itu.
Pertanda-pertanda yang aneh itu membuat para cantrik percaya, bahwa orang yang ada didalam bilik, yang disebut Ki Resa itu me"mang seorang yang memiliki kemampuan yang tinggi.
Ketika hal itu disampaikan kepada Kiai Warangka, Ki Serat Waja dan Ki Jayaraga, maka merekapun menjadi tertarik pula.
Namun tanggapan lainpun telah diberikan oleh berapa orang cantrik. Mereka telah memberikan laporan tentang dua orang yang lain, yang juga mempunyai tugas untuk bersama-sama Ki Resa men"cari peti yang hilang itu.
- Nampaknya mereka juga mempunyai tugas lain - berkata salah seorang cantrik.
- Tugas apa " - bertanya Serat Waja.
- Mengamati keadaan padepokan ini. Mereka agaknya ingin mengetahui kekuatan yang sebenarnya dari padepokan ini. Kiai Warangka mengangguk-angguk. Katanya - Aku sudah menduga. Karena itu, kita sisihkan sebagian dari para cantrik untuk berada di kebun sayur-sayuran dan di lingkungan peternakan. Sejak semula aku sudah curiga, bahwa Timbang Laras mempunyai maksud yang kurang baik. Apalagi ketika ia datang bersama orang yang ber"nama Jatha Beri itu. Ki Jayaragapun mengangguk-angguk. Katanya - Memang ti"dak ada jeleknya kita berhati-hati. Jatha Beri memang orang yang berbahaya. Aku kira, Jatha Berilah yang telah menghasut Kiai Tim"bang Laras sehingga Kiai Timbang Laras sampai hati mempertanya"kan peti tembaga itu. Seandainya itu timbul dari niatnya sendiri, ke"napa baru sekarang. Kenapa tidak sejak saat ia memisahkan diri dan mendirikan sebuah padepokan. - Aku juga mengira begitu, Ki Jayaraga - berkata Kiai Wa"rangka - karena itu, maka akupun telah berprasangka kurang baik terhadap saudara seperguruanku sendiri. Aku telah mengaburkan ken"yataan tentang padepokan ini, karena aku ingin berhati-hati dan tidak terjebak kedalam kesesalan nalar Timbang Laras.
- Menurut pendapatku, apa yang kakang lakukan itu benar. Menghadapi Jatha Beri maka kita memang harus berhati-hati. - desis Serat Waja.
Ki Jayaragapun mengangguk-angguk pula. Katanya - Kiai Warangka tidak usah menyalahkan diri sendiri. Kalau Kiai Warangka berprasangka buruk terhadap saudara seperguruan sendiri itu tentu ada sebabnya. Apalagi setelah Kiai Warangka melihat kehadiran Kiai Timbang Laras bersama Jatha Beri Kiai Warangka menarik nafas panjang. Namun katanya kepada Serat Waja - Meskipun demikian Serat Waja, kau harus tetap bersi"kap baik kepada ketiga orang itu. Mudah-mudahan mereka tidak memanasi keadaan, sehingga yang akan timbul adalah permusuhan yang berkepanjangan. Serat Waja mengangguk-angguk sambil menjawab - Aku akan berusaha, kakang. Sebenarnyalah sikap Serat Waja kepada ketiga orang itu tetap baik, meskipun laporan-laporan dari para cantrik menjadi semakin meyakinkannya, bahwa'orang-orang yang ditinggalkan oleh Kiai Timbang Laras itu, terutama dua orang yang melakukan samadi diluar ruangan, berusaha untuk mengetahui segala seluk beluk tentang padepokan ini.
Tetapi Serat Wajah dan para cantrik yang melayani, mereka mengerti, apa yang harus mereka lakukan. Para cantrik tidak pernah memberikan keterangan selengkapnya tentang padepokan itu.
Demikianlah, ketika mereka sampai pada hari kelima, maka yang tidak wajar itu telah terjadi pula didalam ruangan tempat Ki Resa bersamadi. ,
Malam itu ternyata Ki Resa tidak makan sama sekati. Biasan"ya ditengah malam Ki Resa itu meskipun hanya sedikit, selalu ma"kan dan meneguk air putih.
Para cantrik yang bertugas seakan-akan sudah merasa, getar ketidak wajaran itu sejak sore hari. Apalagi ketika malam itu Ki Resa menolak untuk makan.
Karena itu, maka para cantrik itu minta agar Serat Waja juga berada bersama para cantrik itu untuk melihat, apa yang akan terjadi.
Serat Wajapun memenuhi keinginan para cantrik itu. Sejak malam menjelang sepi orang, Serat Waja sudah berada diantara para cantrik itu.
Demikianlah, ketika tengah malam lewat, suasana disekitar tempat samadi itu menjadi semakin menegangkan. Tanpa diketahui sumbernya mereka telah mendengar suara berderak-derak seperti dind"ing bambu yang koyak..
Beberapa saat kemudian, maka mereka yang berada di luar ru"angan itu melihat sinar yang berkilat. Sekari, dua kali. Dan bahkan berulang kali.
Para cantrik menjadi tegang. Serat Waja yang ada diantara para cantrik itu menjadi sangat berhati-hati. Dengan seksama Serat Waja memperhatikan apa yang terjadi didalam ruangan itu, meskipun yang nampak dari luar tidak lebih dari kilatan-kilatan cahaya. Namun keti"ka malam menjadi semakin dalam, maka kilat yang seakan-akan sambar-menyambar itu menjadi semakin sering terjadi. Suaranyapun menjadi semakin keras, dan ruangan tempat orang itu bersamadipun menjadi bergetar.
Didini hari, maka ruangan itu benar-benar telah berubah sea"kan-akan menjadi berantakan. Ledakan-ledakan kecil telah menggun"cang bilik itu. Kadang-kadang para cantrik yang menyaksikannya menjadi cemas, bahwa bangunan itu akan roboh.
Tetapi menjelang fajar, segala-galanya telah mereda. Cahaya kilat yang sambar-menyambar dengan suara yang gemuruh itu sudah tidak terdengar lagi.
Ketika kemudian cahaya langit menjadi merah, ruangan itu su"dah menjadi sepi.
Dipepohonan burung-burungpun mulai berkicau. Suaranya yang bening terdengar saling bersahutan. Lagu pagi yang merdu mengumandang didahan dan ranting-ranting.
Para cantrik yang bertugas dan Serat Waja masih duduk ditempatnya. Ketika cantrik yang bertugas berikutnya telah datang, ternya"ta cantrik yang bertugas semalam masih belum beranjak dari tempat"nya.
- Kenapa kalian tidak beristirahat " - bertanya cantrik yang baru datang.
- Aku akan berada di sini sebentar lagi. Para cantrik yang baru datang itu mengetahui, bahwa ada sesu"atu yang sangat menarik perhatian mereka.
Demikianlah, ternyata beberapa saat kemudian, pintu bilik itu telah terbuka. Mereka melihat Ki Resa berdiri diambang pintu bilik samadinya.
- Aku sudah selesai - berkata Ki Resa - Apa tidak perlu memperpanjang samadiku sampai hari ketujuh. Serat Waja mendekatinya sambil bertanya - Apa yang Ki Resa perlukan sekarang. " - Air landha-merang. Aku harus mandi keramas. - jawab Ki Resa. Namun tiba-tiba iapun bertanya - Dimana kedua orang sauda"raku itu " - Nanti sebentar mereka akan datang-jawab Serat Waja - bi"asanya setelah bersamadi semalam suntuk keduanya lalu mandi dan berbenah diri. Baru kemudian datang kemari. Sebenarnyalah sesaat kemudian, maka dua orang yang juga bersamadi dipadepokan itu meskipun tidak penuh sebagaimana Ki Resa, telah datang pula.
- Paman Resa - desis Perbatang.
- Terima kasih atas dukungan kalian - berkata Ki Resa.
- Jadi, bagaimana paman "-bertanya Perbatang.
- Aku akan mandi dan keramas. Nanti baru kita akan berbicara mengenai tugas kita - berkata Ki Resa itu.
- Baiklah - berkata Perbatang - silahkan paman Resa mandi dan keramas dahulu. Ketika seorang cantrik telah menyiapkan landha merang, maka Ki Resapun telah berada dipakiwan untuk mandi keramas.
Baru beberapa saat kemudian, Ki Resa itu selesai berbenah diri.
Ki Serat Wajapun kemudian telah mempersilahkan Ki Resa itu duduk di bangunan utama padepokan itu. Sebagai seorang yang pernah menjalani beberapa macam laku, maka Ki Serat Wajapun tahu, apa yang pantas disuguhkan bagi seseorang yang baru saja sele"sai menjalani laku yang keras.
Sejenak kemudian, dihadapan Ki Resa telah dihidangkan minu"man hangat dan bubur beras yang cair.
- Terima kasih, terima kasih - desis Ki Resa - orang-orang yang sering menjalani laku, tentu mengetahui, makanan apakah yang paling baik bagi seorang yang baru saja selesai menjalani laku. - Menurut kata orang, Ki Resa - berkata Ki Serat Waja yang menemani Ki Resa terasa menjadi segar setelah ia meneguk minu"man hangat dan makan bubur cair yang hangat pula.
Dua orang kawannyapun telah duduk bersama Ki Resa di pen"dapa. Setelah selesai makan bubur cair itu, maka Perbatangpun kemudian bertanya - Paman. Seperti yang paman katakan, bagaimana"kah hasil samadi yang telah paman lakukan " Kami berdua telah mencoba untuk membantu sejauh dapat kami lakukan. - Aku merasakan getar dukungan kalian - jawab Ki Rasa -tanpa dukungan kalian, maka usahaku akan sia-sia. Keberadaan kali"an berdua diluar bilik itu seakan-akan telah memperluas tebaran pan"dangan batinku. Karena itu, maka aku menjadi semakin yakin akan hasil pengamatan samadiku. - Jadi bagaimana hasilnya menurut paman " Ki Resa menarik nafas dalam-dalam. Katanya - Kita akan menyampaikan kepada Kiai Timbang Laras. Kedua orang kawannya itupun mengangguk-angguk. Ki Pinuji, salah seorang dari kawan. Ki Resa itupun berkata - Kita akan menyesuaikan hasil penglihatan kita masing-masing. Meskipun tu"gas kami membantu kakang Resa, tetapi kamipun telah mendapatkan isyarat-isyarat didalam samadi kami. Isyarat-isyarat itu memang kami teruskan kepada kakang Resa untuk diterjemahkan bersama is"yarat-isyarat lain yang dapat kakang tangkap. Tetapi bukankah kami juga berhak untuk berbicara tentang isyarat-isyarat itu " - Tentu, adhi Pinuji, Kita dapat saja berbicara tentang isyarat yang kita lihat Maksudku, semuanya itu akan kita bicarakan bersa"ma Kiai Timbang Laras. Karena Kiai Timbang Laras adalah orang yang paling berkepentingan dengan semadi itu, sehingga aku akan berbicara pertama kali dengan Kiai Timbang Laras. Tentu saja bersa"ma adhi Pinuji dan Perbatang. Ki Pinuji tidak ingin memaksa Ki Resa untuk berbicara lebih jauh, Ia kenal sifat dan watak Ki Resa yang teguh pada sikapnya, se"hingga jika ia sudah menyatakan keberatannya, maka apapun yang dikatakan, Ki Resa tentu akan tetap berkeberatan.
- Jadi, apakah kita akan segera kembali ke padepokan Kiai Timbang Laras " - bertanya Perbatang.
- Ya. Kita tidak akan terlalu lama disini. Bukankah tugas kita sudah selesai " - bertanya Ki Resa.
Kedua orang yang menyertainya dalam samadi, meskipun hanya di malam hari itupun mengangguk-angguk. Katanya - Ya. Kita akan segera kembali. - Hari ini dan malam nanti kita dapat beristirahat. Besok pagi-pagi kita akan berangkat sebelum matahari terbit. Perjalanan didini hari adalah perjalanan yang paling menyenangkan. - berkata Ki Resa.
Dengan demikian, maka pada hari itu dan malam harinya, keti"ga orang itu masih tetap berada di padepokan. Kiai Warangka dan Ki Jayaraga yang kemudian ikut menemui ketiga orang itupun merasa sama sekali tidak keberatan, jika ketiga orang itu akan bermalam lagi.
- Kapan saja kalian kehendaki - berkata Kiai Warangka. Sementara mereka berada dipadepokan, maka seperti biasanya Pinuji dan Perbatang telah melihat-lihat isi padepokan itu.
Ki Resa yang masih nampak letih, lebih banyak duduk-duduk dipendapa bersama Kiai Warangka, Kiai Timbang Laras dan Ki Jaya"raga.
Ternyata kepada mereka, Ki Resa telah mengatakan apa yang telah dilihatnya dalam samadinya -Kiai Warangka. Peti itu tidak ada dipadepokan ini. Aku yakin itu. Akupun yakin bahwa Kiai Warang"ka dan Ki Serat Waja tidak bersalah sama sekali. Peti itu meninggal"kan padepokan ini, sebelum Kiai Warangka memimpin padepokan ini. Kiai Warangka, Ki Serat Waja dan Ki Jayaraga memang agak terkejut mendengar pengakuan itu. Ki Resa merasa keberatan dan ti"dak mau mengatakannya kepada kedua orang kawannya. Tetapi Ki Resa justru telah mengatakannya kepada Kiai Warangkan dan Ki Se"rat Waja. Bahkan didepan Ki Jayaraga yang juga seorang tamu bagi padepokan itu.
Ki Resa yang seakan-akan mengetahui perasaan Kiai Warang"ka, Ki Serat Waja dan Ki Jayaraga itupun berkata - Aku memang ti"dak ingin mengatakan kepada kedua orang itu. Mereka merasa diri mereka terlalu penting. Bahkan seakan-akan merekalah yang menentukan segala-galanya. Mereka tentu juga akan mengatakan, bahwa penglihatan merekalah yang sangat mempengaruhi hasil dari pengli"hatanku. Sikap itulah yang ingin aku manfaatkan. Biarlah didepan Kiai Timbang Laras dan Jatha Beri mengatakan, bahwa apa yang aku lihat hanyalah pantulan dari penglihatan mereka. Baru kemudian aku akan mengatakan bahwa peti itu tidak ada disini dan tidak ada dimana-mana didalam jangkauan Kiai Warangka, Kiai Timbang Laras dan Ki Serat Waja. Meskipun bukan berarti tidak dapat dicari sama seka"li. Namun aku tidak akan mengatakan kemudian untuk menemukan"nya. Ketiga orang yang mendeggarkannya itu mengangguk-angguk. Mereka menemukan sikap yang lain pada Ki Resa.
- Selain terlalu rumit serta harus menjalani laku yang sangat berat, akhirnya peti itu akan jatuh ketangan orang-orang yang tamak.- Siapakah Ki Resa sebenarnya " - bertanya Kiai Warangka -aku melihat perbedaan sikap antara Ki Resa dengan orang-orang yang nampaknya bekerja sama dengan Ki Resa.

13 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

- Aku bukan salah seorang dari mereka - jawab Ki Resa -mereka datang kepadaku karena menurut pendapat mereka aku dapat melihat sesuatu yang tidak dapat dilihat oleh orang lain. Aku sengaja menyatakan kesediaanku. Agar mereka percaya, aku menuntut upah yang tinggi sesuai dengan barang-barang yang akan dapat diketemukan didalam peti itu. Ternyata mereka juga menyertakan kedua orang yang menurut mereka juga memiliki penglihatan jiwani. Buku 304 - DENGAN demikian, apakah Ki Resa benar-benar melakukan samadi dalam rangka menemukan peti itu " - bertanya Ki Jayaraga.
- Aku memang benar-benar melihat apakah peti itu ada dipa"depokan ini. Ternyata didalam samadiku, aku mendapatkan keyakinan bahwa peti itu tidak ada disini. Maksudku, tidak ada dipadepokan ini. Tetapi aku belum berhasil mengetahui, dimana peti itu berada, jika memang benar-benar peti yang disebut-sebut oleh Kiai sejak Ki Wa"rangka mulai memimpin, peti itu sudah tidak ada disini. Kiai Warangka mengangguk-angguk kecil. Katanya - Peti itu memang ada. Tetapi aku juga tidak tahu, dimana peti itu sekarang. Sebenarnyalah bahwa aku juga tidak tahu, apakah isi peti yang se"dang dicari oleh Timbang Laras. Entahlah, jika Timbang Laras justru mengetahuinya. - Tetapi mengapa kakang Timbang Laras baru sekarang meri"butkannya " - desis Serat Waja.
- Tentu pengaruh Jatha Brei - desis Ki Resa.
Yang lain mengangguk-angguk. Jika benar Jatha Beri berhasil mempengaruhi Timbang Laras, maka persoalannya tentu akan men"jadi rumit. Bahkan mungkin akan benar-benar terjadi perselisihan di"antara saudara seperguruan.
Namun pembicaraan mereka terputus. Pinuju dan Peerbatang telah naik tangga pendapa. Keduanya baru saja melihat-lihat halaman padepokan diantara oleh dua orang cantrik.
Tetapi mereka tidak lama berkeliling halaman, karena seakan-akan semuanya telah mereka lihat. Sedangkan para cantrik itu sama sekali tidak menyinggung-nyinggung peternakan yang terdapat di tempat lain, yang justru menjadi tempat beberapa kelompok cantrik menghindar dari penglihatan orang-orang Kiai Timbang Laras itu.
Untuk beberapa saat lamanya mereka berbincang-bincang ten"tang kemajuan yang telah dicapai oleh Kiai Warangka. Padepokan itu seakan-akan telah mampu mencukupi segala kebutuhan mereka sen"diri. Padi dilumbung, ikan dibelumbang, ayam yang berkeliaran serta kambing yang terikat dikebun belakang.
Dibagian samping dari padepokan itu terdapat beberapa perapi"an bagi beberapa orang cantrik yang memiliki kemampuan mengga"rap besi dan baja. Beberapa orang pande besi itu sudah mampu mem"buat bukan saja beberapa jenis alat pertanian, tetapi juga senjata.
Dibagian belakang terdapat bangunan yang terpisah. Didalam-nya terdapat beberapa alat tenun, sehingga para cantrik itu dapat memenuhi sebagian kebutuhan sandangnya sendiri, meskipun seba"gian yang lain masih harus membeli dengan menjual sebagian dari hasil sawah dan pelegalan mereka.
Tetapi menurut Pinuji dan Perebatang, Padepokan itu kekuran"gan lembu atau kerbau yang dapat membantu mengerjakan sawah.
- Aku hanya melihat dua tiga pasang. Itu terlalu sedikit bagi sebuah padepokan sebesar ini. - Kami baru merencanakan untuk menambahnya - jawab Kiai Warangka sambil tersenyum.
Perbatang tertawa. Katanya - Sebenarnya sudah terlambat Selama ini sawah dan pategalan padepokan ini agaknya telah disia-siakan. - Sawah kami tidak terlalu tuas - berkata Kiai Warangka dengan nada dalam.
-Ah, bagaimana Kiai Warangka mengatakan bahwa sawah padepokan ini tidak begitu luas. Sementara itu beberapa buah lumbung penuh dengan padi dan jagung. Kiai Warangka tertawa. Katanya - Kami berusaha untuk menghemat pangan, justru karena kami merasa bahwa persediaan kami terlalu sedikit. Perluasan sawah dilingkungan ini mulai mengalami kesulitan. Kami sudah terlalu banyak menebangi hutan, sehingga kami telah mendapat peringatan dari Ki Demang, agar kami tidak mempertuas tanah persawahan lagi Bunga Penyebar Maut 1 Lupus Terserang Si Ehem Pengantin Dewa Rimba 1

Cari Blog Ini