Ceritasilat Novel Online

Mata Air Dibayangan Bukit 16

Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja Bagian 16


pula" Jlitheng mengangguk-angguk. Katanya kemudian "Dua
orang itu tentu orang-orang yang telah menemui anak-anak
Lumban Wetan dan mengatakan kepada mereka, bahwa
keduanya akan siap membantu anak-anak Lumban Wetan
dalam perselisihan mereka dengan anak-anak muda Lumban
Kulon" Kiai Kanthi menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Nampaknya kedua orang itu memang sengaja berada di
daerah Sepasang Bukit Mati ini justru pada saat-saat yang
penting bagi orang-orang Sanggar Gading dan angger
Daruwerdi" "Mungkin sekali" jawab Jlitheng "Tidak mustahil bahwa
diantara mereka yang berada di dalam lingkungami satu
gerombolan sebenarnya adalah orang dari gerombolan yapg
lain, sehingga dengan demikian orang itu akan dapat
memberikan keterangan tentang rahasia gerombolan yang
satu kepada yang lain"
"Jika demikian, maka akan terjadi satu peristiwa yang
sangat, menarik di daerah Sepasang Bukit Mati ini" gumam
Kiai Kanthi "Sudah barang tentu kedua orang itu tidak hanya
sekedar akan melihat-lihat apa yang akan terjadi. Mungkin ia
menunggu satu peristiwa yang penting, yaitu saat penyerahan
pusaka itu kepada orang-orang Sanggar Gading. Kemudian
mereka akan merampas pusaka itu langsung dari orang-orang
Sanggar Gading itu setelah mereka memperhitungkan dengan
cermat kekuatan di masing-masing pihak. Namun mungkin
pula mereka akan langsung menyerang dan merebut
Pangeran yang akan dijadikan bahan penukar dari pusaka itu,
yang kemudian akan dibawa kepada Daruwerdi dan dengan
demikian, merekalah yang akan mendapat pusaka yang
dijanjikan. Karena Daruwerdi tidak membuat hubungan khusus
dengan orang-orang Sanggar Gading, tetapi juga dengan
orang-orang Pusparuri dan bahkan siapapun juga yang akan
berhasil membawa Pangeran itu kepadanya"
"Keadaan mungkin akan berkembang tanpa dapat
dikendalikan Kiai" berkata Jlitheng tetapi bagaimana menurut
pendapat Kiai, Apakah sebaiknya kita mencari kedua orang itu
dan kemudian menahan mereka agar mereka tidak sempat
memberikan laporan kepada pihak manapun juga?"
Kiai Kanthi menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya
"Angger. Aku adalah orang yang sama sekali tidak terlibat ke
dalam persoalan pusaka itu. Karena itu, maka aku kira aku
tidak akan dapat memberikan pendapat yang pasti akan
menguntungkan salah satu pihak"
Jlitheng mengangguk-angguk. Katanya "Aku mengerti Kiai.
Tetapi apakah menurut penilaian Kiai, aku juga termasuk
salah satu pihak yang akan memperebutkan pusaka itu?"
Kiai Kanthi mengangguk sambil tersenyum. Katanya "Ya
ngger. Apapun alasannya, angger termasuk salah satu pihak
yang ingin menguasai pusaka itu. Bahkan angger adalah orang
yang bekerja paling cermat dan mempergunakan waktu yang
paling lama untuk menekuninya, sehingga anak-anak muda
Lumban menganggap bahwa angger adalah benar-benar anak
Lumban" Jlitheng menarik nafas dalam-dalam. Kemudian hampir
diluar sadarnya ia berdesis "Apakah Kiai tidak termasuk
diantara mereka" Apakah benar bahwa Kiai datang kemari
hanya karena telah terjadi bencana alam di tempat tinggal Kiai
yang lama, atau justru bencana alam itu merupakan satu
kebetulan yang dapat mendorong Kiai datang ke tempat ini
tanpa dicurigai oleh segala pihak?"
Kiai Kanthi menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Tempat
ini memang sangat menarik bagiku. Disini aku mendapatkan
kemungkinan yang luas untuk mengembangkan satu
padepokan. Seperti yang angger lihat, aku sudah mulai
memperkembangkan daerah ini. Airpun terdapat melimpah,
asal kita mampu mengendalikannya. Dengan demikian, maka
kemungkinan bagi masa depan dapat aku tumbuhkan di
tempat ini" Jlitheng mengangguk-angguk. Katanya "Baiklah Kiai, Benar
atau tidak benar aku tidak akan dapat membuktikannya,
kecuali jika pada suatu saat Kiai telah mengambil bagian
langsung dan apalagi berhasil menguasai pusaka itu"
Kiai Kanthi tertawa. Katanya "Kau bergurau ngger. Tetapi
baiklah. Kita akan melihat apa yang akan terjadi di daerah
Sepasang Bukit Mati ini. Bagiku mata air di bukit ini telah
memberikan kebahagiaan melampaui apa saja. Namun
manusia kadang-kadang didorong oleh sesuatu yang tidak
dimengertinya sendiri hal yang terakhir linilah yang tidak
dapat aku katakan sebelumnya ngger"
Wajah Jlitheng menjadi tegang. Namun kemudian
terdengar suara seorang gadis dari balik dinding "Ayah terlalu
berhati-hati dan terlalu bijaksana. Bahkan berlebih-lebihan.
Pertanyaan-pertanyaan serupa pernah aku dengar meskipun
dengan kata-kata yang lain. Dan ayah masih saja.
melayaninya" "Ah" desah Kiai Kanthi "Jangan hiraukan ngger"
Jlitheng temangu-mangu sejenak. Namun kemudian diluar
sadarnya hatinya bagaikan luluh. Katanya "Maaflah aku kakek.
Mungkin aku terlalu mendesak kakek dalam pembicaraan ini"
Kiai Kanthi menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Panggilan
itu lebih semanak ngger. Aku lebih senang mendengarnya"
"Tetapi, sekali lagi aku ingin bertanya tentang kedua orang
itu. Apakah kita akan membiarkannya?" bertanya Jlitheng
"Kakek memang tidak akan terlibat. Tetapi apakah tidak dapat
memberikan petunjuk dengan satu angan-angan, seandainya
kakek terlibat langsung dalam masalah ani"
"Keterbukaanmu membuat aku tidak dapat mengelak
ngger" jawab Kiai Kanthi "namun sebaiknya kau pecahkan
sendiri persoalannya. Seandainya ada pihak lain yang ingin
memperebutkan, apakah pusaka itu atau Pangeran itu sendiri,
apakah keberatan angger?"
Pertanyaan itu mengejutkan Jlitheng. Sejenak ia termangumangu
memandang wajah Kiai Kanthi. Namun nampaknya
wajah itupun bersungguh-sungguh, sehingga Jlitheng
mengerti, bahwa Kiai Kanthipun tidak sedang bergurau dalam
hal ini. Namun karena Jlitheng tidak segera mengetahui maksud
Kiai Kanthi, maka iapun bertanya "Apakah yang kakek
maksudkan" Apakah kakek menganggap bahwa lebih baik aku
minggir saja dari persoalan ini, dan kemudian acuh tidak acuh
apa yang akan terjadi dengan pusaka itu atau Pangeran yang
telah berhasil diambil oleh orang-orang Sanggar Gading itu,
justru pada waktu Pangeran itu baru sakit?"
Kiai Kanthi menggeleng. Jawabnya "Bukan ngger. Bukan
maksudku. Kau sudah menempatkan dirimu pada satu arah
tertentu diantara mereka yang berkepentingan dengan pusaka
itu dengan alasan yang berbeda-beda. Memang bukan
waktunya lagi sekarang untuk menarik diri. Justru pada saat
ini, angger akan dapat menunjukkan siapakah angger yang
sebenarnya dengan satu sikap dan tindakan yapg tepat"
"Lalu, bagaimana dengan pertanyaan kakek itu?"
"Orang-orang Sanggar Gading akan membawa Pangeran itu
ke daerah sepasang Bukit Mati ini" berkata Kiai Kanthi,
sementara Jlitheng memotongnya "Ya. Selambat-lambatnya
hari ini menurut keterangan Rahu yang tahu benar akan
rencana itu" "Nah, mungkin sekali rencana itu telah didengar pula oleh
orang-orang dari gerombolan yang lain. Mungkin oleh orangorang
Pusparuri, atau orang-orang Kendali Putih, atau orangorang
Gunung Kunir atau pihak yang lain, sehingga mereka
merencanakan untuk mengambilnya dari tangan orang-orang
Sanggar Gading. Apakah Pangeran yang akan dapat mereka
tukar dengan pusaka itu, atau pusaka itu sendiri, setelah
orang-orang Sanggar Gading menyerahkan Pangeran yang
dituntut oleh angger Daruwerdi itu" Kiai Kanthi melanjutkan.
"Ya. Itulah yang kira-kira akan terjadi" desis Jlitheng "Dan
Kiai masih bertanya, apakah keberatanku?"
"Angger belum memikirkan pertanyaanku, apakah
keberatannya?" ulang Kiai Kanthi.
"Kakek memang aneh. Aku berkeberatan jika pusaka itu
jatuh ke tangan siapapun yang tidak berhak. Jika para lietugas
dari Demak datang mengambil pusaka itu dari tangan mereka,
aku memang tidak berkeberatan. Tetapi kitapun tidak luku.
apakah para pemimpin di Demak sendiri tidak ada secara
pribadi niat untuk memiliki pusaka itu"
"Angger benar" jawab Kiai Kanthi "Tetapi aku tidak
mengatakan bahwa angger dapat melepaskan pusaka itu
kepada siapapun juga. Aku hanya mengatakan, apakah
keberatan angger jika kelompok-kelompok itu atau
gerombolan-gerombolan itu saling memperebutkan pusaka itu.
Sekali lagi, saling memperebutkan. Mungkin akan terjadi
pertempuran-pertempuran yang sengit dan mendebarkan.
Mungkin mengerikan karena akan jatuh korban yang tidak
terduga sebelumnya" Kiai Kanthi berhenti sejenak, namun
kemudian "Kematian memang harus dihindari sejauh-jauhnya
ngger, dalam penyelesaian masalah apapun juga Tetapi
angger seorang diri tentu tidak akan dapat berbuat banyak
menghadapi orang-orang Sanggar Gading, orang-orang
Pusparuri dan kelompok-kelompok yang lain. Karena itu,
kenapa angger tidak membiarkan saja mereka saling-saling
berebut pusaka itu, atau justru memperebutkan Pangeran
yang sedang sakit itu"
Jlitheng menarik nafas dalam-dalam. Sambil menganggukangguk
ia berkata "Aku mengerti kakek. Agaknya kakek ingin
melihat kelompok-kelompok atau gerombolan-gerombolan itu
saling berbenturan. Saling bertempur memperebutkan pusaka
atau Pangeran itu. Dengan demikian mereka akan menjadi
ringkih karena mereka akan saling berbunuhan"
Kiai Kanthi mengangguk-angguk. Katanya "Angger akan
memperhitungkan keadaan. Kemudian mengambil satu sikap.
Tentu saja hal ini diperlukan ketrampilan berpikir. Namun
bahwa angger telah menempatkan diri di daerah Sepasang
Bukit Mati ini, agaknya angger memang sudah bersiap
menghadapi segala kemungkinan"
Jlitheng mengangguk-angguk. Ia menyadari bahwa
dipundaknya tertompang tugas yang berat. Bukan karena
perintah dan bukan pula karena ia sudah tersudut pada suatu
keadaan yang tidak dapat dihindarinya, bukan pula karena
pamrih dan ketamakan, tetapi rasa-rasanya ia telah terpanggil
jiwanya untuk menyerahkan diri ke dalam tugas itu.
"Aku mengerti kakek" desis Jlitheng.
"Nah, jika demikian, biar sajalah kedua orang itu berada
disekitar daerah Sepasang Bukit Mati ini. Kita akan menunggu,
apa yang akan terjadi hari ini. Mungkin siang nanti, mungkin
sore, mungkin malam. Tetapi nampaknya daerah ini akan
menjadi ajang pertumpahan darah yang sengit" desis Kiai
Kanthi. Lalu "Namun agaknya orang yang pernah menyimpan
pusaka itu di daerah ini sama sekali tidak pernah
membayangkan bahwa pada suatu saat, daerah ini akan
menjadi ajang pertentangan dan pertumpahan darah"
Jlitheng mengangguk-angguk. Namun kemudian seolaholah
diluar sadarnya la bertanya "Lalu dalam gejolak ini
apakah yang akan Kiai lakukan" Berdiam diri" Atau berbuat
sesuatu yang belum Kiai pertimbangkan sekarang?"
"Ah" desah Kiai Kanthi "pertanyaan angger memang sulit
untuk dijawab. Tetapi sekarang aku telah berada disini.
Sengaja atau tidak sengaja. Sadar atau tidak sadar"
Wajah Jlitheng menegang sejenak. Lalu "Aku mengerti. Jika
banjir melanda kita, maka kita akan basah. Mau tidak mau.
Tetapi aku tetap tidak mengerti, apakah kakek akan berenang
kehulu atau keudik" Kiai Kanthi tersenyum. Katanya "Jangan hiraukan aku.
Lakukanlah apa yang akan kau lakukan. Tumpuan segala
harapan adalah pada Yang Maha Kuasa. Mudah-mudahan kau
berhasil ngger" Jlitheng termangu-mangu sejenak. Ia mendengar desis
dibalik dinding. Ia mengerti bahwa Swasti sedang gelisah
karena pembicaraan itu. Gadis itu bukan gadis kebanyakan
dalam pakaian yang kusut dan tangan yang kotor karena kerja
yang keras. "Baiklah kakek" berkata Jlitheng kemudian "Aku akan
kembali ke Lumban. Disana ada orang Sanggar Gading, ada
orang yang bernama Semi dan kawannya. Mungkin segalanya
harus aku perhitungkan pada saat aku mengambil sikap.
Tetapi bahwa pertempuran dan perebutan itu terjadi, aku
tidak akan berkeberatan"
Kiai Kanthi mengangguk-angguk sambil tersenyum.
Dipandanginya Jlitheng dengan saksama, seolah-olah ia ingin
melihat, apakah tekadnya memang sudah bulat.
Namun agaknya Jlitheng memang sudah siap menghadapi
segala kemungkinan. Meskipun ia hanya sendiri tetapi ia
merasa bahwa ia akan dapat menempatkan diri di dalam
gejolak yang sedang terjadi itu.
Karena itu, maka Jlithengpun segera minta diri. Ia harus
berkemas sebaik-baiknya. Mungkin siang nanti, mungkin sore
nanti atau malam nanti ia harus turun ke dalam satu kancah
benturan kanuragan. Karena itu, maka Jlithengpun segera minta diri
meninggalkan gubuk Kiai Kanthi. Ia harus siap dengan pedang
tipis yang akan sangat berguna baginya. Pedang tipis, salah
satu dari beberapa jenis senjata yang dapat dipergunakannya
dalam keadaan yang paling gawat.
"Aku mempunyai beberapa orang kawan disekitar daerah
ini" berkata Jlitheng di dalam hatinya. Namun setiap kali ia
berniat untuk menyampaikan persoalan yang dihadapi dengan
terbuka, terasa ia menjadi ragu-ragu. Meskipun orang-orang
itu mengenalnya dengan baik, bersikap baik dan bahkan
sudah banyak memberikan bantuan kepadanya, namun dalam
persoalan yang sangat penting, mereka masih tetap
diragukan. Sepeninggal Jlitheng, Kiai Kanthipun kemudian memanggil
anak gadisnya. Dengan segan Swasti mendekatinya dan
duduk disebelahnya sambil berdesis "Ayah terlalu memanjakan
anak Luraban itu" Kiai Kanthi menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya
lunak "Swasti kadang-kadang seseorang memang harus
melakukan sesuatu yang tidak diingininya"


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Maksud ayah, bahwa ayah akan melibatkan diri ke dalam
persoalan senjata atau pusaka yang sedang diperebutkan itu?"
bertanya Swasti. Kiai Kanthi mengangguk-angguk. Katanya "Kita sudah
berada di tempat ini Swasti. Dan kita mengetahui, sengaja
atau tidak sengaja. Bahwa pusaka terpenting yang saat itu
diserahkan kepada seorang Senapati besar di Majapahit untuk
mempertahankan Kota Raja telah lenyap bagaikan tertelan
bumi, Jejak pusaka itu hilang bersama meninggalnya orang
yang membawanya. Namun akhirnya tercium pula berita,
bahwa pusaka itu berada disekitar Sepasang Bukit Mati.
Bahkan ada seorang anak muda yang mengaku memiliki atau
mengetahui segalanya tentang pusaka itu" potong Swasti.
"Daruwerdi, maksud ayah?"
"Ya. Memang agak aneh, bahwa Daruwerdi dapat
menemukan pusaka itu. Ia masih terlalu muda untuk
mengetahui tanpa ada orang lain yang memberikan
keterangan yang pasti kepadanya. Tentu orang-orang yang
sudah jauh lebih tua dari padanya. Mungkin sebaya dengan
para Senapati yang pada saat itu mempertahankan Kota Raja
dan terdesak keluar" berkata Kiai Kanthi.
"Tetapi bukankah pusaka itu jejaknya hilang bersama
kematian orang yang menyimpannya?" bertanya Swasti.
"Ya. Tetapi mungkin sebelumnya ia pernah berbicara
dengan orang-orang tertentu tentang pusaka itu. Orang-orang
itu akan dapat untuk seterusnya menutup mulutnya dan
membiarkan pusaka itu tidak akan dapat diketemukan lagi.
namun mungkin seseorang yang pernah mendengar rahasia
pusaka itu dari orang yang menyimpannya, tidak lagi dapat
bertahan untuk tetap diam. Mungkin oleh satu dorongan batin
yang tidak dapat ditahankannya lagi, rahasia itu terloncat,
sadar atau tidak sadar"
"Seandainya demikian ayah, lalu apakah keuntungan ayah
untuk melibatkan diri ke dalam persoalan pusaka itu" Ayah
bukan prajurit, bukan pengawal dan bukan orang yang
bernafsu untuk memiliki jabatan atau kedudukan tertentu
karena tuah pusaka itu, dan apalagi karena pusaka itu, ayah
akan dapat memegang pimpinan pemerintahan di negeri ini"
gumam Swasti. Ayahnya tertawa kecil. Katanya "Swasti. Bukankah pernah
aku katakan kepadamu, bahwa berbuat sesuatu itu kadangkadang
dilakukan tanpa pamrih. Memang jarang sekali terjadi
bahwa yeng dilakukan itu tanpa pamrih sama sekali. Misalnya
aku berbuat sesuatu atas pusaka itu, secara langsung aku
memang t idak akan mempunyai pamrih apa-apa. Tetapi
bukankah kita mengetahui, bahwa jika pusaka itu jatuh ketangan
orang atau sekelompok orang yang tidak berhak, maka
akibatnya akan dapat merugikan banyak orang" Nah, itulah
pamrih kita Swasti. Agar pusaka itu tidak jatuh ketaaigan
orang yang tidak berhak, sehingga akan menumbuhkan
persoalan yang gawat dikemudian hari"
"Jika yang gawat itu tidak akan menyentuh kita, bukankah
kita dapat melepaskan diri dari hubungan persoalannya"
bertanya Swasti "Kau masih tetap seperti masa kecilmu. Mungkin akulah
yang bersalah, karena dalam umurmu sampai hari ini, kau
lebih banyak hidup agak terpisah dari orang banyak. Meskipun
sekali-sekali kau juga bergaul di tempat kita yang lama, tetapi
pergaulan itu sama sekali tidak memadai, sehingga kau lebih
banyak memandang kepada dirimu dan diri kita berdua saja.
Sehingga semua putaran kepentingan selalu berpusar pada
diri sendiri" berkata Kiai Kanthi.
"Bukankah sebaiknya memang demikian" Jika semua orang
hanya mengurus diri sendiri, tetapi juga tidak merugikan
orang lain, maka aku kira tidak akan ada persoalan diantara
manusia" berkata Swasti.
"Kau salah Swasti" berkata Kiai Kanthi "Kau tentu mengerti,
kenapa seseorang mengulurkan tangannya untuk memberikan
sebungkus nasi kepada orang yang sedang kelaparan?"
"Keadaannya lain sekali ayah" bantah Swasti "Orang
kelaparan memang memerlukan pertolongan orang lain"
"Dari segi orang yang menolong" Jika ia tidak berbuat apaapa
dan mengurusi dirinya sendiri, apakah akan lahir satu
sikap untuk menolong?" bertanya ayahnya.
"Dan ayah akan menolong orang-orang yang sedang
memperebutkan pusaka itu" Apakah itu bukan satu sikap
sombong. Kita dapat memberikan sebungkus makanan kepada
orang yang kelaparan karena kita mempunyai lebih. Tetapi
apakah sekarang kita memiliki kelebihan dari mereka yang
sedang memperebutkan pusaka itu?" bertanya Swasti pula.
"Swasti" berkata ayahnya "dalam perebutan pusaka itu
mungkin kekuatan mereka seimbang. Sentuhan kecil saja
tentu akan dapat menabah keseimbangan itu"
Swasti mengerutkan dahinya. Namun ia tidak menjawab
lagi. Ia tidak akan dapat membantah keinginan ayahnya,
meskipun rasa-rasanya ia masih belum sependapat
sepenuhnya. Kiai Kanthipun terdiam pula. lapun mengenal sifat anak
gadisnya. Jika Swasti sudah diam, iapun lebih baik menjadi
diam pula, karena jika ia berkata berkepanjangan, maka gadis
itu tentu akan membantah lagi meskipun ia sudah tidak
memikirkan alasannya, apakah sesuai atau tidak.
Dalam pada itu. Jlitheng yang sudah ada dikaki bukit, telah
dikejutkan oleh hadirnya beberapa orang di padang perdu.
Untunglah, bahwa orang-orang itu belum melihatnya,
sehingga ia sempat berlindung dibalik rimbunnya rerungkutan
hutan dikaki bukit itu. Sejenak Jlitheng menunggu. Namun kemudian disadarinya,
bahwa yang datang itu sama sekali bukan orang Sanggar
Gading. Meskipun ia tidak lama berada dilingkungan orangorang
Sanggar Gading, namun ia tentu akan dapat mengenal
satu dua orang diantara mereka. Sementara ia sendiri adalah
orang yang sudah dianggap mati oleh orang-orang Sanggar
Gading. Dalam pada itu, Jlithengpun melihat, bahwa orang-orang
itu telah membuat tempat khusus untuk beristirahat. Mungkin
mereka akan berada di tempat itu, untuk waktu yang agak
panjang, menjelang kedatangan orang-orang Sanggar Gading.
Bagaimanapun juga, Jlitheng sama sekali tidak berani
mendekati mereka. Jlitheng yakin, bahwa diantara mereka
tentu terdapat orang-orang yang memiliki kemampuan yang
sangat tinggi, seperti juga pimpinan tertinggi dari padepokan
Sanggar Gading. Namun dalam pada itu, setelah orang-orang itu mengikat
kudanya pada batang perdu, kemudian satu dua orang
diantara mereka menjatuhkan diri dan berbaring direrumputan
kering, maka J lithengpun mulai beringsut justru menjauh.
Setelah ia yakin bahwa orang-orang itu tidak akan
melihatnya, dan tidak pula mendengar langkah kakinya, maka
Jlithengpun segera mempercepat langkahnya kembali ke
gubug Kiai Kanthi. Kedatangan Jlitheng yang tergesa-gesa membuat Kiai
Kanthi terkejut. Sebelum ia sempat bertanya ternyata Jlitheng
telah mendahului "Kakek, mereka telah datang"
"Siapa?" bertanya Kiai Kanthi heran.
"Justru bukan orang-orang Sanggar Gading" jawab Jlitheng
"Mereka sedang beristirahat di padang perdu di bawah bukit
ini" Kiai Kanthi menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya
"Aku akan melihatnya"
"Marilah, aku tunjukkan" ajak Jlitheng.
Sementara itu, Kiai Kanthipun kemudian masuk ke ruang
belakang. Nampaknya ia ingin berpesan sesuatu kepada anak
gadisnya. Namun Jlitheng telah mendengar gadis itu bertanya
"Ayah akan pergi?"
"Ya Swasti. Aku harap kau dapat mengerti, bahwa mau
tidak mau kita akan terlibat juga" sahut ayahnya "karena itu,
kita lebih baik menempatkan diri sebelum kita tersudut pada
suatu keadaan yang tanpa pilihan"
Swasti tidak menyahut. Namun tiba-tiba saja ia berdesis
"Aku akan ikut, ayah"
Tetapi ayahnya menjawab "Jangan sekarang. Aku baru
akan melihat siapakah orang yang datang itu. Aku akan
segera kembali dan menentukan sikap. Namun nampaknya
dalam beberapa hal, kita masih harus tetap menyembunyikan
diri dari kenyataan kita"
Meskipun kecewa, tetapi Swasti harus menurut nasehat
ayahnya. Ia harus tinggal digubugnya sampai ayahnya
menentukan satu sikap lebih lanjut.
Demikianlah, Jlitheng dan Kiai Kanthi meninggalkan gubug
itu. Mereka menelusuri jalan seperti yang ditempuh oleh
Jlitheng ketika ia turun. Dengan demikian, maka merekapun
segera sampai ke tempat yang dikatakan oleh Jlitheng.
"Itulah mereka" desis Jlitheng.
Kiai Kanthi mengangguk-angguk. Katanya hampir berbisik
"Sekelompok kekuatan yang nampaknya cukup besar. Aku
krra mereka sudah siap menghadapi orang-orang Sanggar
Gading. Mungkin mereka akan merebut Pangeran yang dibawa
oleh orang-orang Sanggar Gading itu. Kemudian orang itu
akan menghubungi Daruwerdi"
"Lalu, apakah yang sebaiknya kita kerjakan?" bertanya
Jlitheng. "Bukankah di Lumban ada seorang dari orang-orang
Sanggar Gading yang memang ditinggalkan oleh kawankawannya
untuk melihat suasana seperti yang pernah kau
katakan?" bertanya Kiai Kanthi
"Ya" jawab Jlitheng "Rahu. Ia adalah orang Sanggar
Gading. Namun seperti yang pernah aku katakan, ia
sebenarnya adalah orang lain bagi Sanggar Gading"
"Ya" sahut Kiai Kanthi "Tetapi cobalah katakan kepadanya,
apa yang kau lihat disini. Nampaknya ia akan dapat
membantumu mengambil sikap"
"Baiklah Kiai" desis Jlitheng "Aku akan menemuinya. Lalu,
bagaimana dengan Kiai?"
"Aku akan mengawasi mereka. Jika kau mendapatkan
beberapa bahan tentang sikap yang sebaiknya kau lakukan,
dan kau akan menemui aku, agaknya aku akan tetap berada
di tempat ini. Tetapi jika aku merasa bahwa aku tidak perlu
tahu lebih banyak lagi, maka aku akan kembali ke gubugku"
jawab Kiai Kanthi. Jlitheng mengangguk-iangguk. Lalu desisnya "Aku minta
diri kakek. Aku akan bicara dengan Rahu"
Demikianlah, maka Jlithengpun segera beringsut
meninggalkan tempat itu. Agaknya segala sesuatunya
memang sudah mulai. Dua orang yang dilihat oleh Kiai Kanthi,
dan mungkin juga kedua orang itu pula yang telah
menawarkan bantuannya kepada anak-anak muda Lumban
Wetan, agaknya adalah dua orang dari kelompok itu pula.
Dengan hati-hati Jlitheng menempuh jalan lain, turun dari
lereng bukit. Ketika ia sudah berada didataran, maka seolaholah
ia telah berlari-lari menuju ke Lumban Wetan, langsung
ke banjar. Dan untunglah bahwa Rahu memang sedang
berada di banjar bersama dua orang pemburu yang sudah
lebih dahulu berada di banjar itu.
Rahu dan kedua orang yang disebut pemburu itu terkejut
melihat kedatangan Jlitheng, justru pada saat yang
menegangkan. Karena itu maka Rahupun segera bertanya
"Kau melihat orang-orang Sanggar Gading itu sudah datang?"
Jlitheng menggeleng. Katanya "Bukan. Bukan orang
Sanggar Gading" Rahu mengerutkan keningnya, sementara Jlithengpun
duduk pula diantara mereka.
"Menurut perhitunganku, orang-orang Sanggar Gading
memang tidak akan datang pagi-pagi. Tetapi akupun sudah
siap untuk menyongsong kedatangan mereka, meskipun aku
masih harus menunggu di tempat yang sudah aku sebutkan
kepada Cempaka waktu itu" berkata Rahu kemudian. Lalu
iapun bertanya "Jadi siapakah yang datang itu?"
Jlitheng menggelengkan kepalanya. Jawabnya "Aku tidak
tahu siapakah yang datang. Sekelompok orang-orang berkuda.
Namun agaknya merekapun memperhitungkan bahwa orangorang
Sanggar Gading tidak akan datang terlalu pagi"
"Bagaimana kau tahu" bertanya Rahu.
"Mereka kini sedang beristirahat. Nampaknya mereka
memang tidak tergesa-gesa" jawab Jlitheng.
Rahu menarik nafas dalam-dalam. Lalu Katanya "Menarik
sekali. Berita orang-orang Sanggar Gading nampaknya
memang sudah bocor. Tetapi hal itu wajar sekali. Tentu ada
orang-orang Sanggar Gading sendiri yang telah
membocorkannya. Seharusnya Cempaka dan kakaknya itupua
telah memperhitungkannya"
"Kau dapat memberitahukan hal Itu kepada mereka"
berkata Jlitheng. Rahu mengangguk-angguk. Sementara Semipun berkata
"Daerah Sepasang Bukit Mati hari ini akan menjadi ajang
pertempuran. Kematian akan benar-benar mewarnai daerah
ini. Tanah akan menjadi merah, dan burung-burung gagak
akan berbujana andra wina bersama anjing-anjing liar dari
hutan" Jlitheng menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun berdesis
"Permainan apakah sebenarnya yang dilakukan oleh
Daruwerdi hari ini. Apakah ia sengaja melaksanankannya. atau
kemungkinan semacam itu t idak disadarinya sebelumnya"
"Jangan kau anggap anak itu bodoh" desis Rahu "Ia
melakukan segalanya dengan penuh kesadaran,
Perhitungannya cukup cermat, sehingga apa yang akan terjadi
tentu sudah Diperhitungkannya pula"
"Untunglah bahwa anak-anak Lumban Kulon dan Lumban
Wetan hari ini tidak akan turun. Mereka bersepakat untuk
bekerja dibendungan besok pagi. Hari ini mereka akan
beristirahat. Mudahmudahan mereka tidur sehari penuh,
sehingga mereka tidak akan terlibat ke dalam pergolakan yang
jauh lebih berbahaya dari pergolakan dibendungan itu"
gumam Semi. "Aku kira anak-anak Lumban Wetan benar-benar akan tidur
sehari penuh" jawab Jlitheng "Tetapi aku kurang tahu apa
yang akan dikerjakan Nugata hari ini. Mudah-mudahan ia
masih merenungi kekalahannya dan t idak berbuat apa-apa"
"Menurut pengamatanku, ia adalah anak muda yang terlalu
serakah. Tetapi ada juga sifat-sifat licik pada anak itu. Karena


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu, mungkin sekali ia dapat berbuat diluar dugaan, atau justru
mengurung diri di rumahnya" desis Semi.
Rahu mengangguk-angguk. Namun t iba-tiba ia berkata
"Aku akan pergi. Aku mempunyai kewajiban bagi Sanggar
Gading. Dan sampai saat terakhir aku akan melaksanakannya
dengan baik" "Tetapi kau harus berhati-hati" berkata Jlitheng jika kau
bertemu dengan orang-orang berkuda itu maka kau akan
mengalami nasib yang sangat buruk. Mungkin dua orang yang
pernah menawarkan diri untuk membantu anak-anak Lumban
Wetan adalah kawan-kawan mereka pula"
Rahu mengerutkan keningnya. Lalu katanya "Aku dapat
mencari jalan yang lain jika kau menunjukkan arah orangorang
itu berist irahat seperti yang kau katakan"
"Tetapi mereka tidak akan berkumpul tanpa berbuat apaapa.
Mungkin dua orang diantara mereka akan melihat-lihat
daerah ini" berkata Jlitheng.
"Aku memang harus berhati-hati. Tetapi bukan berarti
bahwa aku tidak akan melakukan kewajibanku sebagai orang
Sanggar Gading" jawab Rahu.
"Kau dapat menyelubungi dirimu dengan penyamaran. Kau
dapat berpakaian seperti para petani di Lumban sehingga kau
akan dapat berada di pategalan sebagaimana orang-orang
Lumban. Jika kau bertemu dengan dua atau tiga orang
diantara mereka, kau tidak akan menarik perhatian.
Sementara orang-orang Sanggar Gading sendiri, tentu tidak
akan keliru karena mereka mengenalmu dengan baik. Apalagi
Cempaka" berkata Jlitheng.
Rahu merenungi pendapat Jlitheng itu sejenak. Namun
kemudian kepalanya terangguk-angguk kecil. Katanya
"Mungkin itu lebih baik. Tetapi bagaimana dengan senjataku.
Aku terbiasa membawa pedang, bukan parang pembelah
kayu" "Kau samarkan sarung pedangmu dengan kulit kayu. Kau
bawa pedangmu dengan cara yang tidak lajim. Jika. kau
berada dipategalan, kau dapat meletakkan pedang itu
ditempat yang mudah kau capai, sementara kau dapat
melindungi dirimu dengan pisau-pisau. He, bukankah kau
juga. terbiasa mempergunakan pisau-pisau kecil" Sebelum kau
dapat menggapai pedangmu, pisau-pisau itu akan
menolongmu" jawab Jlitheng.
Rahu tersenyum. Jawabnya "Terima kasih. Pendapatmu
baik. Aku akan melakukannya"
Jlitheng mengerutkan keningnya. Namun iapun tersenyum
pula sambil menjawab "Aku mengenal daerah ini lebih baik
daripadamu. Maaf, bahwa aku sudah mengajarimu"
Semi dan kawannyapun tertawa pendek.
"Maksudmu baik" berkata Semi "Rahu tentu akan
mendengarkannya" Sebenarnyalah bahwa Rahupun kemudian membenahi
pakaiannya sebagaimana seorang petani. Diselipkannya
pedangnya di bawah ikat pinggangnya seperti seseorang
membawa parang, meskipun agak panjang. Sementara sebilah
pisau belati terselip pula dipinggangnya meskipun
tersembunyi. Dalam pada itu, ketika Rahu siap untuk berangkat, maka
Jlithengpun berkata "Aku akan pergi bersamamu sampai ke
ujung padukuhan. Aku akan membawa cangkul agar tidak
seorangpun yang menjadi heran karena itu sudah
pekerjaanku. Tetapi nanti, kaulah yang akan membawanya
sampai kepategalan. Rahu tertawa pendek. Katanya "Kau teliti sekali. Kau
memperhitungkan segala kemungkinan sampai yang sekecilkecilnya.
Tetapi kau memang seorang yang memiliki
kemampuan penyamaran yang luar biasa. Kau dapat sekasar
orang-orang Sanggar Gading yang lain ketika kau berada di
padepokan itu. Dan kaupun dapat menjadi seorang petani
dungu disini. Namun pada suatu saat. kau bangkit
menyelamatkan Kabuyut-an Lumban Wetan dari ketidak adilan
dengan secuwil ilmumu"
"Ah, sudahlah" potong Jlitheng "Jika kau akan berangkat,
berangkatlah" Jlitheng berhenti sejenak, lalu katanya kepada
Semi dan kawannya "Apakah kalian akan diam saja disini?"
Semi menarik nafas dalam-dalam. Kalanya "Aku sedang
memikirkan, apakah yang sebaiknya aku lakukan sekarang ini
Duduk disini sambil menunggu hiruk pikuk terjadi di bukit
gundul, atau berkeliaran di jalan-jalan untuk melihat
sepasukan yang kuat memasuki Daerah Sepasang Bukit Mali,
atau berburu ke hutan di lereng Gunung dan singgah di rumah
orang tua itu sambil melihat-lihat orang-orang yang sedang
beristirahat seperti yang kau katakan.
"Kaupun harus melihat suasana" berkata Jlitheng "hadirlah
dijalur jalan yang akan dilalui oleh orang-orang Sanggar
Gading" "Orang-orang Sanggar Gading mengenal aku dengan baik
sebagai adik Rahu. Bukankah aku memperkenalkan diriku
sebagai adiknya juga pada saal kau pertama kali datang ke
rumah kami?" bertanya Semi.
"Ya. Tetapi sekarang bagaimana?" bertanya Jlitheng.
"Rencanakan apa yang ingin kau lakukan. Akukan
merencanakan sendiri, apa yang sebaiknya aku lakukan dalam
keadaan seperti ini" jawab Semi.
Rahu tertawa pula. Katanya "Jlitheng merasa dirinya tuan
rumah disini. Tetapi sekali lagi, maksudnya baik. Dan darah
kepemimpinan ayahnya memang mengalir di dalam tubuhnya.
Seharusnya kau mengucapkan terima kasih"
"Ah" desah Jlitheng "Jangan mengejek begitu. Yang
menjadi Senapati Agung adalah ayahanda. Bukan aku. Maaf
jika aku memberikan beberapa usul. Tetapi maksudku baik
seperti yang dikatakan Rahu"
Semipun tertawa. Jawabnya "Sudahlah. Berangkatlah jika
kau mau berangkat, agar kau tidak terlambat menanggapi
perkembangan keadaan. Rahupun kemudian berangkat diikuti oleh Jlitheng
sebagaimana dikatakannya. Memang t idak ada scorangpun
yang merasa aneh melihat Jlitheng berjalan bersama orang
yang tidak begitu mereka kenal sambil membawa cangkul.
Meskipun orang-orang itu kadang-kadang, memandang Rahu
sampai berpaling. Tetapi orang itu memang tidak begitu
mereka kenal sehingga merekapun tidak banyak
menghiraukannya. Dalam pada itu, ketika Rahu dan Jlitheng telah berada di
regol padukuhan yang menghadap kepategalan yang kering,
maka Jlithengpun menyerahkara cangkulnya sambil berkata
"Pergilah. Jika kau bertemu dengan orang lain. maka mereka
ykan mengira bahwa kau akan pergi kepategalan. Meskipun
pategalan itu kering, kau dapat juga menyebut alasan apapun
juga dengan cangkulmu itu"
Rahu tidak membantah. Iapun menerima cangkul itu, iapun
kemudian pergi kepategalan sebagaimana orang-orang
penduduk Lumban. Namun ternyata orang-orang padukuhan
Lumban Wetan sediri tidak scorangpun yang pergi
kepategalan disaat terakhir. Mereka sedang sibuk
memanfaatkan air yang sedikit di sawah-sawah mereka.
Demikian Rahu lepas dari pandangan Jlitheng, maka
Jlithengpun segera kembali ke banjar. Ia tidak banyak
bertemu dengan anak-anak muda, karena sebagian dari
mereka benar-benar sedang beristirahat. Sebagian besar dari
mereka telah t idur nyenyak di rumah masing-masing. Hanya
mereka yang mempunyai keperluan yang sangat penting
sajalah yang terpaksa keluar rumah dengan malasnya
Di banjar Semipun telah siap untuk berangkat. Namun
nampaknya Semi dan kawannya cenderung untuk tetap
mengenakan kelengkapan berburu. Dengan kuda mereka yang
tegar, keduanya akan menuju ke bukit kecil, tempat tinggal
Kiai Kanthi. "Aku akan berusaha menghindari orang-orang itu" berkata
Semi "sementara jika disepanjang jalan aku bertemu dengan
orang-orang mereka yang sedang mengawasi keadaan, aku
kira merekapun tidak akan lebih dari dua orang"
"Tetapi perkelahian yang mungkin terjadi akan memancing
orang-orang itu untuk bergerak" berkata Jlitheng.
"Aku tidak akan melepaskan musuh-musuhku kembali
kepada induk pasukannya, atau akulah yang tidak akan
mengganggu mereka lagi untuk seterusnya" jawab Semi.
"Kau sudah ditulari watak orang-orang Sanggar Gading"
desis Jlitheng. "Aku adalah adik salah seorang kepercayaan seorang
pemimpin muda dari padepokan Sanggar Gading" jawab Semi
sambil tersenyum. Jlithengpun tersenyum pula. Namun ia tidak menjawab lagi.
Dalam pada itu, dilepaskannya kedua orang pemburu itu
dalam kelengkapan berburunya. Busur anak panah seendong
penuh. Tombak pendek dan pedang. Pada ikat pinggang
kedua pemburu itu terdapat dua bilah pisau belati kecil.
Namun ternyata dipelana kudanya, pisau-pisau semacam itu
terdapat cukup banyak. Sejenak kemudian, kedua ekor kuda itupun berderap
meninggalkan banjar. Demikian mereka bergerak, Semi masih
bertanya "Bagaimana dengan kau"
Jlitheng tidak sempat menjawab. Semi dan kawannya telah
berderap meninggalkannya.
Sepeninggal Semi dan kawannya, Jlitheng menarik nafas
dalam-dalam. Ternyata yang menggelisahkan itu akan segera
terjadi. Orang-orang Sanggar Gading akan segera datang
membawa Pangeran yang malang itu untuk diserahkan
kepada Daruwerdi. Sementara Daruwerdi akan menyerahkan
sebilah pusaka kepada orang-orang Sanggar Gading. Namun
kemudian, apakah yang akan dilakukan oleh Daruwerdi atas
Pangeran itu. Jlitheng menarik nafas dalam-dalam. Namun ia memang
tidak akan dapat tinggal diam menghadapi persoalan yang su
dah mulai berasap itu. Dalam pada itu maka Jlithengpun melangkah dengan
kepala tunduk pulang ke rumahnya. Sekali-sekali ia bertemu
dengan orang-orang yang menyapanya. Bahkan anak-anak
muda yang merasa sangat berterima kasih kepadanya,
menyapanya dengan cara yang berbeda dengan kebiasaan
mereka dan bahkan ada yang agak berlebih-lebihan, karena
bagi mereka Jlitheng adalah lambang dari kesuburan
Kebuyutan Lumban Wetan. Ia adalah orang yang berhasil
menguasai dan mengarahkan air di bukit bersama orang tua
yang tinggal di-bukit itu, yang bercita-cita untuk membuat
sebuah padepokan kecil. Kemudian ia pulalah yang telah
menyelamatkan air yang sudah berhasil dikuasai itu dari
ketamakan orang-orang Lumban Kulon. Tanpa diduga-duga
sama sekali, ternyata Jlitheng memiliki kemampuan yang
melampaui kemampuan kawan-kawannya. Termasuk sepuluh
orang terbaik dari Lumban Wetan.
"Biarlah mereka beristirahat hari ini" berkata Jlitheng di
dalam hatinya ketika ia melihat seorang anak muda yang
terkantuk-kantuk berdiri di depan regol rumahnya.
Namun anak muda itu bertanya kepadanya "Kau tidak
beristirahat sama sekali Jlitheng?"
Jlitheng tersenyum. Katanya "Aku akan pulang dan tidur
sehari penuh, He, apakah kau juga t idak t idur"
"Aku baru saja terbangun. Kemudian makan dan melihatlihat
orang lewat. Sebentar lagi, akupun akan tidur lagi" jawab
anak muda itu sambil menguap.
Diluar sadarnya, Jlithengpun telah menguap pula. Sambil
tersenyum ia berkata "Kantukmu menjangkiti aku pula.
Sudahlah. Aku akan tidur sampai besok pagi. Sehari semalam"
Anak di regol itu tidak menjawab. Tetapi ketika Jlitheng
menjadi semakin jauh, ia benar-benar kembali masuk ke
biliknya dan berkerudung kain panjang sambil membaringkan
dirinya untuk tidur lagi.
Ketika Jlitheng sampai di rumah dilihatnya ibunya sibuk
mengambil air. Dengan tergesa-gesa Jlitheng mendekatinya
sambil berkata "Sudahlah biyung. Biar aku mengisi jembangan
di dapur" "Kemana saja kau semalam Jlitheng" bertanya ibunya "air
di jambangan kering dan air dipakiwanpun habis pula.
Kemarin kau tidak mengisinya"
"Ah. aku terlupa ibu. Kawan-kawan sibuk dengan
bendungan. Dan akupun berada dibendungan pula" jawab
Jlitheng. "Bagaimana dengan bendungan" Aku dengar bendungan
dan pintu air itu akan diperbaiki" bertanya ibunya.
"Ya. Mungkin besok, mungkin lusa" jawab Jlitheng sambil
menarik senggot t imba. "Kayu bakarpun hampir habis" berkata ibunya "sesudah
mengisi jambangan dan pakiwan, kau masih harus membelah
kayu bakar" "Baik biyung. Tetapi biyung tentu sudah merebus jagung"
sahut Jlitheng. "Pagi ini aku tidak merebus jagung. Aku merebus ketela
pohon" jawab ibunya.
"Menyenangkan sekali. Tentu dengan gula kelapa" desis
Jlitheng. "Tidak" jawab ibunya.
"O. Jadi?" bertanya Jlitheng agak kecewa.
"Dengan kelapa dan garam"
"Enak sekali" sahut Jlitheng kemudian "Sudah lama biyung
tidak merebus ketela pohon dengan kelapa dan garam.
Sesudah aku selesai mengisi jambangan, aku akan makan
dahulu sebelum aku membelah kayu"
Ibunya tidak menjawab. Ditinggalkannya Jlitheng disumur
dengan timba upih untuk mengisi jambangan di dapur dan
dipakiwan. Dalam pada itu, setelah pekerjaan Jlitheng selesai, dan
sesudah ia makan beberapa kerat ketela pohon rebus, maka
mulailah ia membelah kayu di belakang kandang. Namun
dalam pada itu, sambil menyiapkan parangnya, Jlitheng telah
melihat senjata-senjatanya yang disebunyikannya, karena ia
sadar, bahwa ia akan memerlukannya.
Namun dalam pada itu, Jlitheng masih juga berusaha
melalukan pekerjaannya sebaik-baiknya tanpa memberikan
kesan apapun juga kepada ibunya. Ia masih tetap berbuat
seperti yang dilakukannya sehari-hari.
Demikian ia selesai membelah kayu, maka iapun memasuki


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kandang seperti biasanya. Namun dalam pada itu, ia mulai
menimang senjata-senjatanya yapg disiapkannya. Pedang
tipisnya dan ikat pinggangnya yang khusus, tempat ia
menyimpan paser-paser kecilnya.
Tetapi Jlitheng merasa gelisah untuk tetap berada dirumahnya.
Ia mulai membayangkan, bahwa di daerah
Sepasang Bukit Mati telah berkeliaran orang-orang yang saling
bermu-suhhan. Orang-orang yang sudah siap saling
membunuh untuk memperebutkan sesuatu yang masih belum
begitu jelas, karena semuanya baru didasarkan pada
keterangan-keterangan yang ternyata masih harus dibuktikan
kebenarannya. Namun mereka percaya bahwa di daerah
Sepasang Bukit Mati memang terdapat sebilah pusaka bertuah
yang akan dapat memberikan kemampuan kepada seseorang
yang memilikinya untuk memangku kedudukan yang paling
tinggi sekalipun. Namun sebagian diantara mereka percaya
bahwa pusaka atau tempat penyimpanannya akan dapat
memberikan petunjuk tentang harta kekayaan yang tidak
ternilai harganya. Dengan tuah pusaka itu dan dengan
dukungan harta kekayaan yang tidak ternilai harganya, maka
ada kepercayaan bahwa seseorang memang akan dapat
mencapai cita-cita yang paling tinggi sekalipun.
Karena itulah, maka Jlithengpun mulai mempertimbangkan,
apakah yang sebaiknya dilakukannya. Rahu telah berada
dipategalan untuk menunggu hadirnya orang-orang Sanggar
Gading. Semi dan kawannya telah berada di bukit sebelah, di
dalam hutan dengan kelengkapan berburunya, namun yang
sebenarnya adalah kelengkapan bertempur. Sementara di
lereng bukit itu pula terdapat sekelompok orang-orang
berkuda yang sudah siap menghadapi segala kemungkinan.
Mungkin ia akan bertindak sebelum orang-orang Sanggar
Gading menyerahkan Pangeran itu, namun mungkin pula ia
akan bergerak setelah orang-orang Sanggar Gading menerima
pusaka seperti yang di janjikan oleh Daruwerdi.
"Daruwerdi memang Gila" desis Jlitheng "Ia telah
melakukan satu permainan yang paling gila. Ia mengundang
pertumpahan darah dan kematian untuk memdapatkan
sekedar kepuasan pribadi seandainya benar, bahwa alasannya
satu-satunya mengambil Pangeran itu adalah karena Pangeran
itu telah membunuh ayahnya.
Karena itulah, maka Jlithengpun kemudian merasa perlu
untuk mempersiapkan dirinya. Ia tidak dapat menunggu dan
bertindak setelah serah terima itu selesai. Ia harus mengambil
satu kesempatan. Jika ia tidak menemukan kesempatan, itu,
maka ia harus bekerja lebih keras lagi jika pusaka itu sudah
berada di tangan orang-orang Sanggar Gading.
"Apaboleh buat" berkata Jlitheng di dalam hatinya "Aku
tidak boleh terlambat. Meskipun mungkin aku akan menarik
perhatian orang-orang yang melihat aku berjalan dijalan
padukuhan sambil membawa senjata"
Jlitheng menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya di
dalam hatinya pula "Untunglah aku membawa senjataku dan
menyimpannya disini. Jika senjata itu masih aku tinggalkan di
tempat persembunyiannya itu. aku akan kehilangan waktu
untuk mengambilnya" Dalam pada itu, Jlithengpun kemudian memutuskan untuk
pergi ke bukit gundul. Ia akan mengawasi bukit itu dari
tempat yang tersembunyi. Ia akan memilih tempat yang paling
baik. mumpung tempat itu masih belum dibayangi oleh
kekuatan-kekuatan yang akan saling berbenturan.
Namun bagaimanapun juga, Jlitheng masih akan berusaha
untuk tidak terlalu menarik perhatian. Ia masih akan berusaha
untuk menyamarkan senjata yang akan dibawanya, meskipun
ia sudah siap menghadapi segala kemungkinan.
Karena itu, maka iapun segera mengemasi dirinya. Dengan
jantung yang berdebar-debar, bahkan hampir diluar sabarnya,
ia telah pergi menemui ibunya di dapur.
"Biyung" suara Jlitheng menjadi datar "Aku mohon diri. Aku
akan pergi kesawah" Ibunya terkejut. Tidak terbiasa baginya, Jlitheng minta diri
dengan cara yang demikian. Biasanya Jlitheng menjenguk saja
dipintu sambil berkata "Aku pergi biyung"
Jlitheng melihat sesuatu terbersit dihati ibunya. Namun
rasa-rasanya ia memang harus minta diri dan balikan minta
doa restu. Karena itu, maka Katanya "Di sawah telah
menunggu tugas penting yang harus aku lakukan biyung"
"Tugas apa Jlitheng?" bertanya ibunya.
"Kami sedang mempersiapkan bendungan yang lebih baik
biyung, agar sawah kita mendapat air lebih banyak lagi.
Tanaman akan menjadi hijau dan tingkat kehidupan kita
dipadukuhan ini akan bertambah baik" jawab Jlitheng.
Biyung yang tua itupun kemudian bangkit berdiri. Dengan
tatapan mata yang dalam ia melangkah mendekati Jlitheng
sambil berkata dengan nada berat "Sikapmu agak lain
Jlitheng. Wajahmu nampak bersungguh-sungguh. Betapa
bodohnya orang tua ini, namun sebenarnyalah bahwa aku
sudah menduga bahwa kau mengemban satu tugas yang tidak
aku mengerti. Setiap kali kau pergi dugaanku itu menjadi
semakin kuat. Dan akupun sudah menduga pula, bahwa pada
su-atu saat kau akan datang kepadaku, minta diri untuk satu
tugas yang gawat. Sekarang, ternyata kau sudah
melakukannya" Jlitheng menundukkan kepalanya. Iapun mengerti, bahwa
perempuan yang sudah merasa dirinya sebagai orang tuanya
itu, tentu telah dijalari pula oleh sentuhan-sentuhan jiwani
karena getar jiwanya sendiri.
"Jlitheng" berkata perempuan tua itu "Aku t idak wenang
untuk mencegahmu. Pergilah, meskipun aku tidak tahu apa
yang akan kau lakukan. Aku akan berdoa bagimu,
mudahmudahan kau dapat melakukan tugasmu dengan
sebaik-baiknya, selamat dan berarti bagi sesama. Aku tahu
bahwa dalam tugasmu kali ini kau tentu tidak sekedar berbuat
sesuatu bagi Lumban Wetan atau bahkan Lumban seluruhnya.
Kau tentu bekerja untuk sesuatu yang lebih besar dan lebih
berarti" perempuan itu berhenti sejenak, lalu "Aku berdoa
kepada Yang Maha Kuasa. Mudahmudahan yang kau lakukan
selalu dalam bimbingannya dan menjelujur dijalan kebenaran"
Jlitheng menarik nafas dalam-dalam. Ternyata ibunya yang
tua dan sederhana itu mempunyai penggraita yang tajam,
sehingga dapat menangkap apa yang tidak pernah
dikatakannya, namun yang tergetar dihatinya.
Ketika ibunya yang tua itu kemudian memegang kedua
pundaknya, terasa seluruh kulit ditubuh Jlitheng meremang.
Apalagi ketika orang tua itu kemudian mengusap rambutnya,
sambil berkata "Jika Yang Maha Kuasa mengkurniakan
keselamatan kepadamu, jangan lupakan aku ngger"
Jlitheng menahan nafasnya. Ketika ia mengangkat
wajahnya memandang sepasang mata ibunya, hatinya
semakin tergetar. Perempuan itu menitikkan air mata.
"Apa yang diketahuinya tentang tugasku" bertanya Jlitheng
di dalam hatinya. Namun iapun kemudian kembali dalam
kesadarannya, bahwa perempuan itu tidak ubahnya lagi
sebagai ibu kandungnya, sehingga terdapat ikatan yang paling
halus dari kasih sayang seorang ibu kepada anaknya.
"Jangan menangis biyung" berkata Jlitheng "Aku akan
melakukan tugasku sebaik-baiknya. Dan aku akan kembali ke
rumah ini, karena aku memang tidak mempunyai lagi tempat
tinggal, orang tua dan apapun juga kecuali biyung disini"
Perempuan itu mengangguk kecil. Ia mencoba tersenyum
betapa pahitnya. Kehadiran seorang anak laki-laki muda itu
membuat rumahnya bagaikan bertenaga. Namun anak muda
itu kini minta diri untuk meninggalkannya, sebagaimana
memang sudah diduganya dengan gelisah sejak beberapa
lama. "Pergilah" desisnya kemudian.
Jlithengpun kemudian mencium tangan perempuan yang
sudah mulai berkeriput karena garis-garis umurnya yang
semakin tua. Ketika ia beringsut surut, Jlitheng masih melihat
perempuan itu mengusap matanya, yang basah meskipun ia
masih juga tersenyum. Dengan hati yang berat, Jlithengpun kemudian
meninggalkan rumahnya yang telah dihuninya beberapa lama
bersama seorang perempuan tua yang mengakunya sebagai
anak laki-lakinya yang telah pergi untuk waktu yang sangat
lama dan kembali kepelukan biyungnya. Bukan sekedar
mengaku dalam hubungan kewadagan, namun perempuan itu
benar-benar menganggap Jlitheng sebagai anaknya lahir dan
batin. Seperti yang dilakukan oleh Rahu, maka Jlitheng berusaha
menyembunyikan pedang tipisnya di bawah kain panjangnya.
Kemudian menutupi ikat panggangnya dengan paser-paser
kecilnya. Anak muda itu berjalan dengan tergesa-gesa lewat
jalan-jalan pintas untuk menghindari sejauh mungkin
berjumpaan dengan orang-orang Lumban.
Pada saat itu, dipodoknya Daruwerdi sudah siap
menunggu. Ia sudah meletakkan segalanya di Bukit Gundul.
Seperti yang pernah dikatakannya kepada orang-orang
Sanggar Gading, maka serah terima akan dilakukan di Bukit
Gundul itu pula. Demikian orang-orang Sanggar Gading
datang dan menyerahkan Pangeran itu, maka ia akan
menyerahkan pusaka seperti yang dijanjikan kepada orangorang
Sanggar Gading. "Aku akan minta Pangeran itu terikat dan tidak berdaya"
berkata Daruwerdi kepada diri sendiri, karena iapun sudah
memperhitungkan bahwa Pangeran itu tentu memiliki
kemampuan yang tinggi. "Aku tidak mau gagal karena kelengahan semata-mata,
setelah sekian lamanya aku menunggu" berkata Daruwerdi.
Namun dalam pada itu, selagi ia menunggu, maka ia telah
dikejutkan oleh kehadiran seorang perempuan tua dengan dua
orang pengiringnya langsung ke rumah Daruwerdi.
"Ibu" Daruwerdi menyongsongnya dengan tergesa-gesa
"Kenapa ibu datang kemari" Semuanya sudah aku siapkan.
Jika ada salah langkah yang betapapun kecilnya, maka
semuanya akan dapat gagal sama sekali"
"Aku tidak sampai hati kau membiarkan berbuat segalanya
seorang diri" berkata Ibunya "Sudah aku katakan kepadamu,
kau dapat mengambil siapa saja yang kau kehendaki.
"Sudah aku jawab, bahwa tidak memerlukan siapapun juga
untuk sementara" jawab Daruwerdi "J ika aku memerlukan,
aku akan segera memberitahukan"
"Tetapi kau sedang bermain api Daruwerdi" berkata
perempuan yang dipanggilnya ibu.
"Tanpa bermain api, segalanya tidak akan selesai" jawab
Daruwerdi "Bukankah ibu menghendaki juga agar segalanya
cepat berakhir sampai tuntas?"
"Tetapi akhir yang aku kehendaki, apakah sama dengan
akhir yang kau artikan?" bertanya ibunya.
"Apapun nanti yang akan terjadi, biarlah aku menerima
Pangeran itu. Jika ia sudah berada di tanganku, segalanya
akan dapat diselesaikan" jawab DaruwerdL
"Terserah kepadamu ngger, tetapi aku sengaja mengajak
kedua orang pamanmu untuk mendampingimu. Aku percayai
kepada keduanya, bahwa keduanya tidak akan berbuat apaapa,
selain apa yang aku katakan" berkata ibunya kemudian.
Daruwerdi menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Aku
berterima kasih bahwa paman berdua bersedia hadir di tempat
ini. Tetapi untuk sementara biarlah paman keduanya
mengawani ibu disini. Karena ibu sudah terlanjur berada di
tempat ini, maka aku mohon, ibu jangan meninggalkan rumah
ini apapun yang mungkin terjadi. Seperti yang sudah aku
katakan, jika satu saja langkah yang salah dari seribu langkah
yang sudah aku persiapkan, maka semuanya akan dapat
menjadi gagal" Ibunya menundukkan kepalanya. Tetapi masih terdengar
perempuan itu berdesis "Sekali lagi aku minta, jangan sakiti
badannya dan yang sakiti pula hatinya"
Daruwerdi mengatupkan giginya rapat-rapat Tetapi yang
kemudian terloncat dari bibirnya adalah jawabannya "Sudah
aku katakan. Aku t idak akan berbuat apa-apa"
Perempuan itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Ya.
Kau tidak akan berbuat apa-apa. Tetapi aku menjadi gelisah
sekali" "Ibu. tidak usah memikirkannya lagi" geram Daruwerdi
"apakah keuntungannya" Semua itu adalah persoalanku.
Tugas yang dibebankan diatas pundakku. Betapapun
seseorang mampu menahan sakit hatinya, namun ada hal-hal
yang wajar, bahwa aku akan berbuat sesuatu" namun segera
dilanjutkannya "tanpa menyakit i badannya dan yang
meragukan, apakah aku t idak akan menyakit i hatinya"
"Kau harus mengusahakannya" desis ibunya.
"Ya. Ya. Aku akan berusaha sedapat-dapat aku lakukan
untuk tidak menyakit i hatinya. Tetapi itu bukan persoalan ibu"
jawab Daruwerdi. "Dalam kegelisahan inilah, maka aku telah memanggil
kedua pamanmu. Sama sekali tidak untuk menunggui aku
disini, karena ia akan dapat membantumu" berkata ibunya
"Bukan maksudku menolak uluran tangan paman berdua.
Tetapi sementara ini, biarlah paman berada disini bersama
ibu. Semata-mata untuk mencegah hal-hal yang tidak kita
inginkan. Aku tidak mau gagal karena persoalan yang tidak
menguntungkan sama sekali dan mungkin tidak ada gunanya.
Jika orang-orang Sanggar Gading melihat aku tetap seorang
diri, maka mereka, tidak akan melakukan tekanan kekerasan,
karena mereka merasa aman. Dan segalanya akan dapat
berjalan tanpa kecurigaan" berkata Daruwerdi.
-oo0dw0ooTiraikasih Karya : SH Mintardja Convert by : Dewi KZ Editor : Dino
Jilid 14 "Tetapi bagaimana jika orang-orang Sanggar Gading itu
menyalahi janji?" gumam ibunya.
"Mereka tidak akan berbuat demikian. Mereka memerlukan
pusaka itu. Dan mereka tidiak akan mencelakai aku
karenanya" jawab Daruwerdi.
"Sesudah pusaka itu kau berikan?" berkata ibunya pula.
"Apa gunanya mereka berkhianat" Setelah pusaka itu aku
berikan, bukankah lebih baik bagi mereka untuk segera
meninggalkan tempat ini, karena ada kemungkinankemungkinan
lain yang mungkin akan mengganggu" Mereka


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tentu mempertimbangkan kehadiran orang-orang Kendali
Putih, orang-orang Pusparuri atau orang-orang dari perguruan
yang lain yang semuanya menginginkan pusaka itu.
Sementara mereka mengetahui bahwa Pangeran itu telah
diambil oleh segolongan dari mereka yang menginginkan
pusaka itu, maka mereka tentu akan bertindak lebih jauh"
jawab Daruwerdi. Lalu "Nah, itulah maka aku tidak ingin ada
orang lain yang dapat memancing kecurigaan orang-orang
Sanggar Gading, Jika aku sendiri, mereka tidak akan
menghiraukan aku lagi. Mereka tidak akan
mempertimbangkan kemungkinan, bahwa aku akan merampas
kembali pusakaku" Perempuan Itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia t idak
membantah lagi. Agaknya Daruwerdi sudah
mempertimbangkan segala-galanya dengan masak, sehingga
la tidak akan dapat merubah keputusannya.
Karena perempuan itu tidak menjawab, maka Daruwerdi
berkata lagi "Karena itu ibu, aku persilahkan ibu berada di
tempat Ini dengan tenang. Serahkan segalanya kepadaku.
Demikian pula, dengan ucapan terima kasih aku persilahkan
paman menunggui ibu, Hanya dalam keadaan yang memaksa,
aku akan mohon bantuan paman berdua"
Kedua orang laki-laki yang bertubuh tegap dan kekar itu
hanya dapat menarik nafas dalam-dalam sambil menganggukangguk
Merekapun telah mengenal watak dan tabiat
Daruwerdi dengan baik. Dalam pada itu Daruwerdipun berkata pula "Sudahlah ibu
berada diruang dalam. Aku sedang menunggu orang-orang
Sanggar Gading. Salah seorang dari mereka akan datang dan
memberitahukan kepadaku, apabila kawan-kawan mereka
datang. Hari ini adalah hari terakhir. Jika hari ini mereka tidak
datang, maka segala pembicaraan dengan orang-orang
Sanggar Gading dianggap tidak pernah ada, dan agaknya apa
yang mereka katakan tentang Pangeran itu hanya sekedar
ceritera bohong belaka"
Perempuan, itu menarik nafas dalam-dalam. Iapun
kemudian bangkit dan berjalan keruiang dalam diikuti oleh
kedua orang yang datang bersamanya.
Namun dalam pada itu, perempuan itu berkata "Daruwerdi,
bagaimana jika terjadi kecurangan yang lain"
"Maksud ibu?" bertanya Daruwerdi.
"Mereka tidak membawa Pangeran itu" jawab ibunya "Jika
mereka mengatakan, maka mereka sekedar memancingmu.
Kemudian mereka menangkapmu dan memaksamu
menunjukkan dimana pusaka itu"
"Tidak akan mereka lakukan" berkata Daruwerdi "Aku
adalah satu-satunya orang yang mengetahui tentang pusaka
itu menurut dugaan mereka. Mereka tidak akan berbuat apaapa
terhadapku" "Justru karena itu. Mereka dapat menyiksamu sampai kau
mengatakannya" berkata ibunya lebih lanjut.
Tetapi Daruwerdi tertawa. Katanya "Aku mempunyai
gelembung-gelembung racun. Gelembung-gelembung racun
itu ada dimulutku, saat aku menemui orang-orang Sanggar
Gading. Jika mereka berkhianat, maka gelembung getah
beracun itu akan dapat aku telan, sehingga tidak seorangpun
akan dapat menyelamatkan aku. Dan ceritetia tentang pusaka
itu akan lenyap bersama nyawaku"
"Jangan" desis perempuan itu.
"Ibu. Ingat. Aku sekarang adalah Daruwerdi yang
mempunyai sikap dan perhitungan tersendiri. Ibu harus
menyadari kedudukanku dan siapa aku sekarang ini" berkata
Daruwerdi. Ibunya menundukkan kepalanya. Tetapi setitik air telah
mengalir dipipinya. Namun demikian ia tidak mengucapkan sepatah katapun.
Iapun kemudian melanjutkan langkahnya masuk ke ruang
dalam diiringi oleh kedua orang yang disebutnya sebagai
paman Daruwerdi itu. Ketika ketiga orang itu telah hilang dibalik pintu, maka
Daruwerdi kembali duduk merenungi rencananya. Sementara
segalanya akan berjalan dengan penuh kemungkinan.
Dalam pada itu, ternyata di daerah sekitar Sepasang Bukit
Mati itu telah berpencaran orang-orang menunggu peristiwa
yang akan terjadi itu dengan hati yang berdebar-debar. Rahu
yang berada dipategalan menunggu orang-orang Sanggar
Gading di jalur jalan seperti yang sudah direncanakan. Semi
dan kawannya telah berada di lereng bukit. Atas petunjuk
Jlitheng ia berhasil mengamati orang-orang berkuda setelah
menyimpan kudanya tidak terlalu jauh dari gubug orang tua di
lereng bukit itu tanpa setahu penghuninya. Sementara Jlitheng
telah menemukan tempat yang paling baik didekat bukit
gundul. Namun selain mereka, ternyata dua orang yang sudah
sejak hari sebelumnya berada di Lumban, bahkan telah
melihat meskipun dari kejauhan, bagaiman orang-orang
Lumban saling memperebutkan air. Bahkan sambil berkelakar
dengan kawannya orang itu sempat berkata "Alangkah
dungunya anak-anak muda Lumban. Dalam keadaan seperti
sekarang, mereka masih sempat memperebutkan air. Pada
saat orang-orang yang memiliki penglihatan akan jauh
kedepan sudah memperebutkan pusaka dan kemungkinan
untuk mendapatkan derajad dan pangkat yang setinggitingginya,
maka orang-orang Lumban masih saja bergulat
dengan lumpur" Dan kawannya menjawab sambil tertawa tertahan-tahan
"Itulah isi dari bumi. Tanpa orang-orang yang tidak bercitacita
seperti mereka, maka tidak akan ada orang yang bersedia
berkumur lumpur. Kita dapat berbuat seperti sekarang, karena
kita mempunyai kemampuan. Karena kita bersenjata dan
dapat mempergunakan senjata. Tetapi dengan demikian
kitapun telah bertaruh nyawa dalam setiap langkah kita.
Berbeda dengan orang-orang bodoh itu"
Kawannya tidak menyahut. Namun merekapun kemudian
memperhatikan keadaan dengan saksama.
Kawan-kawan kedua orang itulah yang kemudian datang
dan beristirahat di bawah bukit berhutan itu.
Karena itu, ketika kawan-kawannya telah datang, maka
kedua orang itupun segera menemui mereka dan melaporkan
apa yang telah mereka lihat di daerah Sepasang Bukit Mati itu.
"Apakah kalian tidak melihat persiapan-persiapan yang
dilakukan oleh Daruwerdi?" bertanya pemimpinnya.
"Semalam ia masih menunggui anak-anak Lumban Wetan
dan Lumban Kulon bertengkar memperebutkan air.
Nampaknya Daruwerdii benar-benar itidak mempersiapkan
sekelompok kecil sekalipun orang-orang yang akan
membantunya dalam pelaksanaan penyerahan Pangeran itu"
jawab salah seorang dari kedua orang yang telah datang lebih
dahulu. "Kau yakin?" bertanya pemimpinnya.
"Ya. Aku menduga, bahwa Daruwerdi benar-benar akan
menghadapi orang-orang Sanggar Gading itu seorang diri. la
akan menyerahkan pusaka yang dijanjikan dan menerima
Pangeran yang lelah diambil oleh orang-orang Sanggar Gading
itu" jawab orang yang telah mendahului itu.
Pemimpinnya mengangguk-angguk. Tetapi katanya "Kita
jangan terpancing oleh suasana itu. Mungkin disamping
Daruwerdi sudah ada orang lain yang mendapat tugas untuk
melakukan sesuatu, justru setelah serah terima itu
dilaksanakan. Mungkin seorang kepercayaannya sudah siap
dengan pasukan segelar sepapan. Mereka akan menyerap dan
merampas kembali pusaka yang dibawa oleh orang-orang
Sanggar Gading" Memang mungkin. Tetapi aku sudah mengelilingi daerah di
sekitar Sepasang Bukit Mati ini. Aku tidak melihat sesuatu
kecuali anak-anak Lumban yang saling bertengkar karena air.
Sementara Daruwerdi sendiri terlibat langsung dalam
pertentangan dtu. Sehingga menurut pengamatanku,
Daruwerdi tidak memperiapkan apapun juga menghadapi
persoalan yang akan berlangsung itu"
"Itu mustahil" jawab pemimpinnya "Ia tentu telah
mengadakan persiapan apapun bentuknya. Kita jangan
dikelabui dengan pengamatan yang salah"
Orang-orang yang telah berada di Lumban lebih dahulu itu
menjawab "Aku kira, aku sudah melakukan pengamatan
sebaik-baiknya. Namun demikian kita masih mempunyai
waktu" "Waktu kita sudah terlalu sempit. Menurut keterangan yang
kita dengar, hari ini orang-orang Sanggar Gading akan
datang" berkata pemimpinnya.
"Lalu, apakah yapg akan kita kerjakan" Apakah kita akan
mengambil Pangeran itu dari tangan orang-orang Sanggar
Gading, atau kita akan mengambil pusakanya kemudian,
setelah orang-orang Sanggar Gading itu menukarkan
Pangeran itu dengan pusaka yang dijanjikan oleh Daruwerdi"
bertanya pengikutnya. "Kita tidak terlalu bodoh untuk bertindak tergesa-gesa. Jika
kita mencegat orang-orang Sanggar Gading sebelumnya,
maka ada kemungkinan yang sangat buruk terjadi pada
Pangeran itu" jawab pemimpinnya "Jika saatnya orang-orang
Sanggar Gading harus mengakui kekalahannya, maka ia tidak
akan dengan rela melepaskan Pangeran itu. Mereka tentu
menganggap bahwa lebih baik semuanya tidak mendapatkan
pusaka itu daripada gagal jatuh ditangannya. Orang-orang
Sanggat Gading dapat membunuh Pangeran itu pada saatnya
mereka melihat kenyataan, bahwa mereka tidak akan dapat
mempertahankannya" "Tidak ada bedanya" jawab pengikutnya "Merekapun dapat
menghancurkan pusaka yang telah berada di tangan mereka"
"Mereka tidak akan berani melakukan terhadap pusaka
yang dihormati oleh semua orang di wilayah Demak" jawab
pemimpinnya "karena dengan demikian mereka akan dapat
terkena kutuk dari pusaka ku. Bukannya disaat mereka hidup
didunia ini, tetapi pada saat mereka mati, mereka masih akan
tetap dijerat oleh kutukan pusaka itu" jawab pemimpinnya
pula. Orang-orang yang bertugas untuk mengamati keadaan itu
mengangguk-angguk. Merekapun percaya, seperti apa yang
dikatakan oleh pemimpinnya itu, sehingga yang mereka
lakukan kemudian adalah sekedar menunggu orang-orang
Sanggar Gading datang ke daerah Sepasang Bukit Mati,
menyerahkan Pangeran itu dan menerima pusaka yang
dijanjikan oleh Daruwerdi. Baru setelah itu, maka mereka akan
bertindak langsung untuk merampas pusaka yang
diperebutkan itu. Meskipun demikian, pemimpin kelompok
itupun sadar, bahwa ada beberapa pihak yang menginginkan
pusaka itu, sehingga mungkin yang akan bertarung di daerah
Sepasang Bukit Mati itu terdiri dari beberapa kelompok dari
padepokan-padepokan yang memang sudah sejak lama
mempersiapkan diri untuk mendapatkan pusaka itu.
"Mudah-mudahan, tidak ada pihak lain yang mengetahui
rencana orang-orang Sanggar Gading, bahwa mereka akan
datang hari ini" berkata pemimpin kelompok itu.
"Aku tidak melihat, kehadiran pihak lain di daerah Sepasang
Bukit Mati ini" berkata pengikutnya pula.
"Baiklah. Akan ada orang lain yang bertugas mengawasi
keadaan" berkata pemimpinnya "Kau dapat beristirahat
diantara kami " Kedua orang itupun kemudian berkumpul kembali diinduk
pasukannya, sementara orang lain mendapat tugas untuk
mengamati keadaan disekitar daerah itu.
Dalam pada itu, matahari beredar terus pada porosnya.
Semakin lama semakin t inggi. Ketika puncak langit telah
dilampauinya, maka matahari itupun mulai menurun ke arah
Barat. Jlitheng benar-benar sudah basah oleh keringat. Tetapi ia
tidak melihat seorangpun mendekati bukit gundul. Karena itu.
maka iapun merasa jemu karenanya. Mungkin ia masih dapat
berbuat sesuatu sebelum saat yang menegangkan itu terjadi.
Namun dalam pada itu., orang-orang Sanggar Gadingpun
telah menjadi semakin dekat. Mereka memasuki daerah
Sepasang Bukit Mati dengan sangat hati-hati. Dua orang yang
mendahului perjalanan iring-iringan sekelompok orangpadepokan
Sanggar Gading mengamati keadaan dengan
saksama. Tetapi nampaknya tidak ada hambatan yang berarti
bagi perjalanan mereka. Ketika terik matahari bagaikan membakar pategalan yang
kering, maka Rahupun seperti Jlitheng pula, hampir
kehilangan kesabaran. Apalagi gersangnya pategalan sama
sekali tidak memberikan kesejukan sama sekali. Beberapa
batang pohon yang berdaun kekuning-kuningan telah
melepaskan daun-daunnya selembar demi selembar jika angin
mulai bertiup. Namun demikian, ada juga tempat yang dapat
melindunginya dari jilatan panas matahari.
Pada saat yang demikian, jalan-jalan diantara pategalan
itupun menjadi lengang sunyi, seperti ditengah malam yang
gelap pekat. Tidak ada seorangpun yang lewat, apalagi
menuju ke daerah Sepasang Bukit Mati.
Ketika angin bertiup semakin kencang, terasa sejemput
kesejukan mengusap wajah Rahu yang berdebu. Namjun
dengan demikian, diluar sadarnya iapun telah menguap.
"Gila" geramnya "kantuk mulai menggangguku. Jika aku
tidak mampu lagi bertahan, sementara dua orang yang tidak
dikenal itu. menemukan aku disini dan sempat melihat
senjataku, maka aku t idak akan dapat bangun lagi untuk
selama lamanya" Karena itu, betapapun kantuk mencengkamnya, juga
karena kelelahan dan kurang tidur, namun Rahu tetap
bertahan untuk duduk bersandar sebatang pohon keluwih
yang tumbuh di pategalan itu.
Dalam pada itu, dalam kelengahan jalan menuju ke daerah
Sepasang Bukit Mati itu, tiba-tiba saja oleh pendengarannya
yang tajam, terdengar derap kaki kuda mendekat.
Untuk meyakinkan pendengarannya maka Rahupun telah
menempelkan telinganya di tanah sambil mengerahkan
kemampuan indera pendengarannya. Kemudian iapun menarik
nafas dalam-dalam sambil bergumam "Dua atau tiga ekor
kuda" Rahu berkisar. Ia duduk di belakang pohon keluwih,
sehingga Ia tidak segera dapat dilihat oleh mereka yang lewat


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dijalan yang membelah pategalan itu.
Semakin lama derap kaki kuda itupun terdengar semakin
dekat. Rahu bergeser agar ia dapat terlindung. Namun dari
tempatnya ia akan dapat mengint ip kuda yang bakal lewat di
jalan beberapa langkah dihadapannya.
Ketika dua ekor kuda menjadi semakin dekat, maka
Rahupun berdesis pula "Hanya dua" sementara iapun mulai
memperhatikan siapakah yang berada dipunggung kuda itu.
Sejenak Rahu termangu-mangu. Yang datang dipunggung
kuda itu bukannya Cempaka yang telah bersepakat
sebelumnya untuk menemuinya di tempat yang sudah
dijanjikannya, justru diantara tikungan dengan sebatang
pohon yang sudah tidak berdaun lagi, diujung tegalan.
"Tetapi nampaknya mereka mendapat pesan dari Cempaka"
berkata Rahu kepada diri sendiri.
Meskipun Rahu mengenal keduanya dengan baik, tetapi
seperti juga orang-orang Sanggar Gading yang lain, kadangkadang
mereka dibayangi oleh kecurigaan dan prasangka.
Untuk meyakinkan dugaannya, Rahu tidak segera
menyapanya. Dibiarkannya kedua orang penunggang kuda ku
menelusuri jalan pategalan itu. Bahkan, Rahupun justru
berusaha untuk mengamati dan mengikuti kedua orang itu
dari dalam pategalan. Dengan hati-hati ia meloncat dari sebatang kayu ke
sebatang kayu berikutnya, dan dari balak perdu yang
kekuning-kuningan, kesegerumbul perdu yang lain.
"Mereka asyik memperhatikan jalan yang dilaluinya"
berkata Rahu di dalamhati.
Sebenarnyalah, ketika mereka melewati ujung pategalan,
salah seorang dari keduanya menunjuk sebatang pohon yang
dimaksud oleh Cempaka. "Nampaknya mereka benar-benar atas nama orang-orang
Sanggar Gading" desis Rahu "agaknya Cempaka
memberitahukan ciri itu kepada mereka"
Karena itulah, maka Rahupun kemudian mendekati kedua
orang yang masih beradar dipunggung kuda itu. Ketika tibatiba
saja ia mendeham, maka kedua orang berkuda itu
terkejut karenanya. Dengan serta merta keduanya berpaling
sambil meraba hulu senjata masing-masing.
"Rahu" tiba-tiba salah seorang dari keduanya berdesis.
"Ya" sahut Rahu "dimana Cempaka"
"Ia berada dibelakang, bersama dengan seluruh kelompok"
jawab orang yang masih berada dipunggung kuda itu.
"Siapa yang memimpin kelompok itu?" bertanya Rahu.
"Yang Mulia sendiri" jawab penunggang kuda itu.
Rahu mengerutkan keningnya Nampaknya pimpinan
tertinggi dari padepokan Sanggar Gading itupun tidak
mempercayai orang-orang yang selama itu menjadi
kepercayaannya. Dalam tugas yang paling gawat, maka ia
sendiri yang hadir untuk menyelesaikannya.
"Apakah Cempaka berpesan sesuatu kepada kalian?"
bertanya Rahu kemudan. "Ya. Pohon yang tidak berdaun ditikungan" jawab salah
seorang dari penunggang kuda itu "Tetapi nampaknya kau
menunggu kami disini"
"Terlalu panas ditikungan itu. Tidak ada selembar daunpun
yang dapat melindungi aku dari terik matahari" jawab Rahu
"Nah, sekarang apa rencana kalian?"
"Mendengar keteranganmu. Kemudian memberitahukan
kepada Yang Mulia apakah diperjalanan ada hambatan atau
tidak sama sekali" jawab salah seorang dari penuugaug kuda
itu. "Apakah Yang Mulia masih jauh?" bertanya Rahu.
Kedua orang berkuda itu menggeleng. Salah seorang dari
keduanya menjawab "la berada diujung hutan perdu pada
jalan simpang yang jarang dilalui orang, diseberang sungai"
"Aku akan menemuinya" berkata Rahu "Aku akan dapat
melaporkan segala-galanya.
"Apa ada sesuatu yang penting?" bertanya orang berkuda
itu. "Ya. Jika kau tidak berkeberatan, kau berdua menunggu
disini. Aku pinjamsalah seekor kuda kalian" sahut Rahu.
"Dimana kudamu?" bertanya orang berkuda itu.
"Aku tinggal di padukuhan" jawab Rahu.
Kedua orang itu saling berpandangan. Namun akhirnya
salah seorang dari keduanya berkata "Baiklah. Tetapi cepat
kembali. Kami berdua belum mengenal daerah ini"
"Terima kasih. Sebaiknya kalian berlindung di pategalan itu
saja, seperti yang aku lakukan. Berhati-hatilah menghadapi
setiap kemungkinan. Di lereng bukit berhutan yang nampak
itu, sekelompok orang-orang berkuda telah menunggu
kedatangan orang-orang Sanggar Gading"
"Kau tahu pasti?" desis salah seorang dari kedua
penunggang kuda itu. "Aku tahu pasti. Karena itu berhati-hatilah. Jika diantara
mereka ada yang memasuki pategalan ini, berusahalah
mempertahankankan diri" pesan Rahu.
"Apakah mereka berkeliaran?" bertanya kawannya yang
baru datang itu. "Aku tidak tahu. Tetapi menurut perhitunganku, terata ada
diantara mereka yang mengamati daerah Sepasang Bukit Mati
ini. Jika satu atau dua orang memasuki pategalan ini,
terserahlah kepadamu. Tetapi lebih baik, jika mereka tidak
pernah keluar lagi dari pategalan ini" jawab Rahu.
"Ya. Mereka atau kami yang t idak akan pernah keluar dari
pategalan ini" jawab salah seorang dari keduanya.
"Baiklah. Berhati-hatilah. Aku pinjam seekor dari kedua
ekor kuda itu" minta Rahu kemudian.
Demikianlah, maka Rahupun memacu kudanya menuju ke
tempat yang ditunjukkan oleh kedua orang kawannya itu. Ia
merasa tidak puas jika ia tidak mendapat kesempatan untuk
bertemu dengan Cempaka, atau lebih baik Sanggit Raina atau
Yang Mulia sendiri. Tidak sulit bagi Rahu untuk menemukan dikelompok orangorang
Sanggar Gading yang berhenti di antara hutan, perdu
seujung jalan setapak yang jarang dilalui orang. Ketika dua
orang pengawas melihat seekor kuda berpacu, maka timbullah
kecemasan dihati mereka. Mereka menyangka bahwa dua
orang yang mendahului perjalanan mereka mengalami
kesulitan, sehingga hanya seorang sajalah yang sempat
kembali dengan selamat. Namun keduanya terkejut ketika mereka melihat, justru
Rahulah yang sedang berpacu diatas punggung kuda itu.
"Rahu" desis salah seorang dari mereka "kemana kedua
orang yang telah mendahului iring-iringan ini?"
Kawannya tidak menjawab, sementara Rahupun menjadi
semakin dekat. Kedua orang pengawas itupun kemudian dengan tergesagesa
telah menyongsong Rahu, sementara Rahupun telah
menarik kendali kudanya. Sebelum Rahu meloncat turun,
salah seorang yang menyongsongnya itu telah bertanya
"Apakah kau tidak bertemu dengan dua orang kawan kita
yang mendahului perjalanan kami ke daerah Sepasang Bukit
Mati?" "Ya" jawab Rahu.
"Bagaimana dengan mereka?" bertanya seorang yang lain.
"Tidak apa-apa. Aku memakai kudanya, sementara mereka
menunggu" jawab Rahu.
Kedua orang itu menarik nafas dalam-dalam. Salah seorang
berkata "Sukurlah. Lalu kenapa kau yang datang kemari?"
Rahu tidak menjawab. Tetapi justru ia bertanya "Di mana
Cempaka" "Ia berada diantara gerambul-gerumbul perdu itu" jawab
salah seorang dari kedua pengawas itu.
Rahupun kemudian meloncat turun dan menuntun kudanya
berjalan diantara gerambul-gerumbul perdu. Beberapa orang
yang ternyata berserakan diantara gerambul-gerumbul perdu
dtupun berpaling. Mereka segera melihat Rahu yang berjalan
diantara mereka. "He, kau Rahu" desis orang yang bertubuh gemuk.
"Ya" sahut Rahu. Dan iapun bertanya "Dimana Cempaka?"
Sebelum orang bertubuh gemuk itu menjawab, maka
terdengar jawaban dari arah lain "Aku disini, Rahu"
Rahu berpaling. Dilihatnya Cempaka berbaring diatas
rerumputan kering. Katanya "Kemarilah"
Rahupun mengikat kudanya pada sebatang pohon perdu.
Lalu iapun duduk disamping Cempaka yang berbaring seorang
diri, karena kawan-kawannya berserakkan beberapa langkah
daripadanya. "Bagaimana?" bertanya Cempaka.
Rahupun kemudian menceriterakan bahwa ia bertemu
dengan kedua orang yang mendahului perjalanan orang-orang
Sanggar Gading dan kemudian dengan meminjam salah
seekor kudanya ia sengaja menemui Cempaka.
"Ada sesuatu yang penting?" bertanya Cempaka. Rahupun
kemudian menceriterakan pula keadaan daerah Sepasang
Bukit Mati. Juga tentang kehadiran sekelompok orang-orang
berkuda. "Dari padepokan manakah orang-orang itu?" bertanya
Cempaka. "Aku tidak tahu. Tetapi mereka berada di lereng bukit
berbatu itu" jawab Rahu.
Cempaka mengerutkan keningnya. Lalu katanya "Marilah
Kita berbicara dengan Sanggit Raina"
Rahupun kemudian dibawa oleh Cempaka menemui Sanggit
Raina untuk menceritakan kembali apa yang dilihatnya di
daerah Sepasang Bukit Mati.
"Orang-orang itu berbahanya bagi kita" gumam Sanggit
Raina. "Ya. Apakah mereka harus dihancurkan lebih dahulu, atau
kita akan bertemu dengan Daruwerdi dan menyerahkan
Pangeran itu lebih dahulu" desis Cempaka.
"Menurut pendapatku, kita harus menyerahkan Pangeran
itu dahulu. Jika terjadi sesuatu dengan Pangeran itu, maka
Daruwerdi akan dapat mengelak untuk menyerahkan pusaka
yang dijanjikannya" jawab Sanggit Raina "Namun demikian,
aku akan berbicara dengan Yang Mulia. Kalian menunggu aku
disini" Sanggit Rainapun kemudian pergi menemui Yang Mulia.
Ternyata seperti yang dikatakan oleh Sanggit Raina, seperti
juga sikap Yang Mulia sejak berangkat, mereka menukarkan
Pangeran itu lebih dahulu. Baru mereka akan menghadapi apa
saja yang mungkin terjadi.
Namun dalam pada itu, Yang Mulia telah mengambil
keputusan untuk segera melanjutkan perjalanan, justru karena
da pihak lain yang berada di daerah Sepasang Buka Mati,
Sehingga dengan demikian, segalanya akan semakin cepat
terjadi, apapun yang aikarj terjadi itu.
Sejenak kemudian, orang-orang Sanggar Gading itu telah
bersiap untuk berangkat. Mereka telah memegang kendali
kuda masing-masing Ketika terdengar isyarat, maka
merekapun segera berloncatan naik.
Yang terada dipaling depan adalah Sanggit Raina, Cempaka
Rahu yang menjadi petunjuk jalan, meskipun Cempaka juga
sudah mengenal daerah itu sebaik-baiknya.
Beberapa saat kemudian, mereka telah berpacu menuju ke
pategalan, tempat kedua orang Sanggar Gading yang
mendahului perjalanan itu menunggu.
Namun dalam pada itu, telah terjadi sesuatu dengan kedua
orang yang menunggu dipategalan. Ternyata seperti yang
dikatakan oleh Rahu, bahwa orang-orang yang berada di
lereng bukit berhutan, telah mengirimkan dua orang untuk
melihat-lihat daerah Sepasang Bukit Mati. Namun mereka
telah mengelilingi daerah itu terlalu jauh. Mereka tidak
memperhitungkan kemungkinan hadirnya orang-orang
Sanggar Gading, meskipun mereka justru menunggu orangorang
Sanggar Gading. Karena itulah, maka ketika mereka
melintas didekat pategalan, mereka telah terkejut mendengar
suara seekor kuda meringkik.
Sebenarnyalah, kedua orang Sanggar Gading yang berada
di pategalan itu sudah berusaha untuk tidak menampakkan
diri. Tetapi diluar perhitungan mereka, ternyata kudanya telah
meringkik. "Aku mendengar suara seekor kuda" berkata salah seorang
dari kedua orang yang mengamati daerah Sepasang Bukit Mati
itu. "Tentu ada orang berkuda yang bersembunyi di dalam
pategalan itu" desis yang lain.
"Persetan. Kita harus menemukannya" geram yang
pertama. "Tidak ada gunanya" sahut kawannya "Kita akan
melaporkan kepada pemimpin kita"
"Kita harus membunuhnya. Mereka tentu mengamati kita.
Mungkin mereka telalah orang-orang Sanggar Gading itu
sendiri, yang Lari ini akan datang untuk menyerahkan
Pangeran itu" berkata yang pertama.
"Apakah keuntungannya" bertanya kawannya.
"Orang itu tentu melihat kehadiran kita. Mereka akan dapat
melaporkan kepada kawan-kawannya" sahut yang lain
"Tidak ada salahnya. Kita sudah siap menghadapi orangorang
Sanggar Gading" "Tetapi kita harus membunuhnya, agar ia tidak dapat
menceriterakan apa yang dilihatnya tentang diri kita.
Bukankah kita baru akan bertindak setelah tukar menukar itu
terjadi" berkata orang yang pertama.
Kawannya termangu-mangu sejenak. Namun iapun
kemudian berkata "Terserahlah. Tetapi kematiannya bukaa
berarti bahwa kita akan dapat berist irahat sambil tidur
nyenyak. Bahwa seseorang atau dua orang Sanggar Gading
tidak kembali keinduk pasukannya, akan merupakan perhatian
tersendiri" "Mereka tidak akan membuang waktu untuk mengurusinya.
Mereka tentu akan melaksanakan tukar menukar yang aneh
itu" jawab yang lain "baru mereka akan mengurusi orangorangnya
yang hilang" "Tetapi kita tidak tahu, ada berapa orang dipategalan itu"
desis yang lain "dua, tiga atau bahkan semua orang Sanggar
Gading sudah ada di dalam pategalan itu"
"Penakut" sahut kawannya "Aku akan melibatnya" kedua
orang itupura kemudian turun dari kudanya dan


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menambatkannya pada sebatang pohon di pinggir jalan.
"Aku akan melihat"
"Kita bersama-sama" desis yang lain.
Keduanyapun kemudian merayap memasuki pategalan
menuju kearah ringkik kuda. Namun merekapun sadar, bahwa
mungkin sekali orang-orang yang berada dipategalan itu
sudah beringsut. Karena itu, maka mereka cukup waspada,
bahwa tiba-tiba saja mereka ielah berada di dalamjebakan.
Sebenarnyalah, kedua orang Sanggar Gading yang sadar,
bahwa kudanya telah melakukan kesalahan, segera
menentukan sikap. Mereka tidak menunggu saja didekat kuda
yang meringkik itu. Tetapi mereka justru telah merangkak
maju.Jika orang-orang berkuda yang lewat itu berusaha
mencari mereka, maka keduanya akan menjebak mereka.
Tetapi kedua orang Sanggar Gading itupun tidak berhasil
Demikian mereka siap untuk menyergap, maka kedua orang
berkuda tu sudah melihat dedaunan yang bergetar, sehingga
merekapun mengerti, bahwa orang yang dicarinya telah
menunggu. Karena itu, maka kedua orang iitupua justru berhenti.
Melihat getar dedaunan itu, maka mereka dapat menduga,
bahwa yang berada dibalik gerumbul itu tentu tidak terlalu
banyak jumlahnya. Dengan demikian, demikian yakin mereka
kepada diri sendiri, sehingga orang-orang itu tidak khawatir
sama sekali, bahwa mereka akan mengalami kesulitan.
Sejenak kemudian, maka kedua orang yang baru datang
itu, terutama orang yang bernafsu untuk membunuh itu, telah
berdiri tegak dan melangkah maju sambil berkata "Kalian tidak
usah bersembunyi disitu. Karian tidak akan berhasil menjebak
kami. Kemarilah, berapapun jumlah kalian"
Orang-orang Sanggar Gading yang kasar itu benar-benar
tersinggung. Karena iu, maka merekapun segera berloncatan
keluar. Salah seorang diantara mereka berkata lantang
"Persetan dengan kalian, He, siapakah kalian dan dari
kelompok yang mana?"
Kedua orang yang baru datang itu mengerutkan keningnya.
Orang yang merasa dirinya terlalu yakin itupun memandang
berkeliling sambil berkata "Mana kawan-kawanmu. Suruhlah
mereka hadir disini"
"Untuk apa?" bertanya salah seorang dari orang-orang
Sanggar Gading itu. Orang-orang yang baru datang itu justru termangu-mangu
sejenak. Namun kemudian salah seorang dari mereka
menjawab "Kami siap menghadapi kalian. Menurut
pengamatan kami, kalian tentu orang-orang Sanggar Gading"
Kedua orang Sanggar Gading itu mengerutkan keningnya.
Namun tiba-tiba saja salah seorang dari mereka berkata "Kau
salah Ki Sanak. Aku justru sedang menunggu orang-Sanggar
Gading" Kedua orang yang baru datang itu termangu-mangu
sejenak. Namun kemudian orang yang pertama bertanya "Jika
kalian bukan orang Sanggar Gading yang menurut
pendengaran kami akan datang hari ini, dari golongan yang
manakah kalian berdua"
Kedua orang Sanggar Gading itu termangu-mangu. Namun
tiba-tiba saja yang seorang menjawab "Kami adalah orang
Kendali Putih" Jawaban itu mengejutkan kedua orang yang baru datang
itu. Namun sejenak kemudian keduanya tertawa
berkepanjangan. Salah seorang dari keduanya berkata "Bagus.
Jika kau orang-orang Kendali Putih, kau tentu tahu, apakah
yang sekarang dikerjakan oleh orang-orang Kendali Putih"
Ketua orang Sanggar Gading itu terdiam. Dipandanginya
kedua orang yang tertawa itu sejenak. Seolah-olah mereka
memang membiarkan keduanya tertawa sepuas-puasnya.
"Kalian memang bodoh sekali" berkata kedua, orang itu
"dengan pengakuan kalian, aku justru semakin yakin bahwa
kau adalah orang-orang Sanggar Gading"
"Kami orang-orang Kendali Putih" sekali lagi orang Sanggar
Gading itu menjawab. "Jangan dungu. Jika kalian orang-orang Kendali Put ih,
kalian tentu dapat menceriterakan serba sedikit tentang
padepokan Kendali Putih" jawab kedua orang yang datang
kemudian. "Apa artinya aku berceritera tentang padepokanku, tentang
pemimpin-pemimpinku dan tentang rencana kami. Seandainya
menyebutkannya, kalian tidak akan mengetahuinya pula"
jawab salah seorang dari kedua orang Sanggar Gading itu.
"O" Orang yang datang kemudian itu tertawa semakin
panjang "betapa bodohnya kalian. Baiklah, Jangan sebut
apapun tentang Kendali Putih, Memang tidak akan ada
gunanya. Tetapi yang kalian lakukan adalah satu pengakuan,
bahwa kalian memang orang-orang Sanggar Gading. Hari Ini
orang-orang Sanggar Gading akan datang di daerah Sepasang
Bukit Mati untuk membawa Pangeran itu" Orang itu berhenti
sejenak, lalu "Tetapi, baiklah. Jika kau memang bukan orangorang
Sanggar Gading, dan kalian mengaku orang-orang
Kendali Putih, akulah orang-orang Sanggar Gading itu"
Kedua orang Sanggar Gading itu termenung sejenak.
Namun tiba-tiba saja salah seorang dari keduanya tertawa
meledak, sementara yang lain tersenyum sambil berkata
"Memang lucu sekali. Kau terlalu cepat menganggap kami
orang-orang yang sangat bodoh. Bahkan dungu. Baiklah, jika
demikian. Kau akan segera memastikan bahwa kami adalah
orang-orang Sanggar Gading, karena tingkah laku kami
merupakan pengakuan Tetapi sebenarnya bahwa yang kau
lakukan itupun suata pengakuan, bahwa kau adalah orangorang
Kendali Putih Bukankah begitu" Jika kau menganggap
kami terlalu bodoh maka kamipun menganggap kalian
demikian juga" Kedua orang yang sebenarnya memang orang-orang
Kendali Put ih itu termangu-mangu. Namun kemudian
merekapun tertawa. Salah seorang dari mereka berkata
"Katakanlah kau benar, bahwa aku orang Kendali Putih, atau
orang manapun juga. Namun bagi kau berdua, tidak akan ada
bedanya" "Mungkin demikian" berkata orang-orang Sanggar Gading
"senjata kami memang tidak pernah memilih korban"
Kedua orang Kendali Putih itu menggeraikan keningnya.
Ternyata orang-orang Sanggar Gading itulah yang justru telah
mengancam lebih dahulu. Karena itulah agar mereka tidak
terpengaruh oleh kegarangan lawannya, salah seorang Kendali
Putih itupun berkata "Kami datang dengan kepentingan yang
khusus. Kami mendengar kudamu meringkik. Tidak
seorangpun yang boleh mengetahui bahwa kami berada
didaerah Sepasang Bukit Mati ini. Karena itu, nasibmu
memang buruk sekali. Kudamu tidak berhasil membantumu,
justru telah menjerumuskan kalian berdua ke dalam kematian"
Tetapi orang-orang Sanggar Gading adalah orang-orang
kasar. Mereka adalah orang-orang yang bercanda dengan
maut sejak mereka melampaui padang kematian menjelang
padepokan Sanggar Gading. Karena itu, maka merekalah yang
tidak telaten berbincang dengan orang-orang Kendali Putih.
Maka katanya "Kita tidak usah banyak bicara. Kau tentu ingin
membunuh kami karena kami mengetahui kehadiran kalian.
Tetapi kamipun ingin membunuh kalian berdua karena kalian
berada disini" Kedua orang Kendali Putih itupun ternyata tidak kalah
kasarnya. Keduanya bahkan segera bersiap dengan senjata
mereka. Sambil bergeser mereka mengacungkan senjatanya
itu "Rundukkan kepalamu Aku akan memenggalnya"
Orang-orang Sanggar Gadipg tidak menjawab. Tetapi
senjata mereka telah teracu. Bahkan sejenak kemudian
mereka mulai menggerakkan senjata mereka. Salah seorang
dari kedua orang Sanggar Gading itu berkata "Jangan banyak
bicara lagi. Kalian akan mat i terkapar dipategalan ini"
Orang-orang Kendali Putih tidak menjawab. Namun
merekapun segera bergeser maju. Sentuhan senjata mereka
telah disusul dengan loncatan-loncatan yang cepat. Serangan
demi serangan telah melibat mereka ke dalam satu
pertempuran yang sengit. Ternyata orang-orang Sanggar Gading dan orang-orang
Kendali Putih itu memiliki kemampuan yang seimbang. Mereka
saling menyerang dan menghindar. Desak mendesak silih
berganti. Masing-masing ternyata telah berusaha untuk
bertempur seorang melawan seorang, sehingga sejenak
kemudian dipategalan itu telah terjadi dua lingkaran
pertempuran yang seru dan kasar.
Semakin lama pertempuran itu menjadi semakin sengit.
Orang-orang Kendali Putih yang garang, harus mengakui
betapa kasar dan tangguhnya orang-orang Sanggar Gading.
Meskipun demikian, namun orang-orang Sanggar Gading
itupun tidak mampu mendesak lawannya, karena orang-orang
Kendali Putih itupun dapat bergerak dengan tangkas dan
cepat. Namun demikian, ternyata bahwa kemampuan kedua orang
Sanggar Gading dan kedua orang Kendali Putih itu tidak sama.
Karena itulah, maka yang terjadipun tidak sejalan pula.
Orang Kendali Putih yang bernafsu membunuh orang-orang
yang berada dipategalan itu telah berhasil mendesak
lawannya. Tetapi sebaliknya, kawannya telah mengalami
tekanan yang terasa semakin lama menjadi semakin berat.
"Gila" geram orang Kendali Putih itu "Jangan kehilangan
kebesaran nama Kendali Put ih. Bunuh saja lawanmu"
Tetapi orang Sanggar Gading itu berkata "Akhir dari
pertempuran ini tidak ditentukan oleh kemampuan kita
berteriak-teriak Tetapi senjata kitalah yang akan lebih banyak
menentukan" Orang Kendali Putih itu menggeram. Yang seorang dari
keduannya telah mendesak lawannya semakin berat. Namun
dalam pada itu, yang seorang lagi telah mengalami kesulitan
untuk menghindarkan diri dari ujung senjata lawannya.
Tetapi orang Sanggar Gading yang mendapat lawan yang
berat itu tidak cepat menjadi putus asa. Meskipun lawannya
memiliki kekuatan raksasa, namun ia beruraha untuk
mengimbangi kekuatan lawannya itu dengan kecepatan
bergerak. Karena itulah, maka lapun berusaha untuk
bertempur dengan jarak yang tidak terlalu dekat. Bahkan
kadang-kadang ia harus meloncat menjauh. Berputar dan
kemudian menyerang dengan cepatnya.
Nampaknya usahanya itu dapat berhasil. Tekanan orangorang
Kendali Put ih itu terasa tidak lagi terlalu berat. Meskipun
demikian, ia harus memeras tenaganya habis-habisan untuk
dapat bergerak cepat. Karena jika ia menjadi lamban dan
lawannya itu mampu mengimbangi kecepatan geraknya, maka
ia tidak akan mampu bertahan lebih lama lagi, karena ternyata
lawannya mempunyai kekuatan yang lebih besar.
Tetapi ternyata ketahanan hati dan kekasaran orang
Sanggar Gading itu berhasil membuatnya mampu bertahan
beberapa saat. Dan hal itu ikut menentukan pula akhir dari
pertempuran itu, karena keseimbangan pada lingkaran
pertempuran yang lain semakin berguncang pula.
Orang Sanggar Gading yang lain, telah berhasil menguasai
lawannya. Kemampuannya menggerakkan senjata ternyata
telah membuat orang Kendali Put ih itu menjadi bingungKadang-kadang bahkan ia telah kehilangan arah, sehingga
serangan-serangan berikutnya adalah serangan-serangan
yang sangat berbahaya baginya.
Kawannya yang melihat, berusaha untuk segera
menyelesaikan pertempuran agar ia dapat membantunya.
Tetapi orang Sanggar Gading yang bertempur melawannya,
ternyata mampu untuk bertahan lebih lama. Dengan loncatanTiraikasih
loncatan panjang dan serangan yang tiba-tiba. Meskipun
orang Kendali Putih itu memiliki kekuatan yang lebih besar,
tetapi ia sulit untuk bergerak secepat lawannya.
Orang Kendali Putih itu terkejut ketika tiba-tiba saja ia
nendengar kawannya berdesah panjang. Ketika ia sempat
menengoknya, ia melihat darah mulai menitik dari tubuhnya.
"Gila" geram orang Kendali Putih itu. Meskipun kawannya
yang terluka itu masih berusaha untuk bertempur terus,
betapapun ia cepat menjadi lemah, namun dari pertempuran
itu sudah pasti. Dengan demikian, maka kemarahan telah memuncak di
hati orang Kendali Putih yang seorang. Dengan garang ia
menggeram "Kaulah yang dungu. Kenapa kau sampai terluka.
Jangan lengah. Kau adalah orang-orang yang termasuk dalam
sejumlah kecil orang-orang yang dapat dibanggakan, karena
kau dapat diterima diantara mereka yang sedikit di padepokan
Kendali Putih" Orang itu terdiam karena lawannya, orang Sanggar Gading,
telah menyerangnya dengan cepat mengarah kemulutnya.
"Orang Gila" geram orang Kendali Putih itu.
Sebenarnyalah orang yang sudah terluka itu masih
berusaha untuk mengerahkan sisa kemampuannya. Betapun
berat tekanan lawannya, namun ia tidak menyerah dan
berputus asa. Sementara itu, orang Kendali Putih yang seorang lagi,
berusaha untuk mendesak lawannya. Ternyata ia memiliki
tenaga dan ketahanan tubuh yang luar biasa. Karena itu,
maka ia berhasil memaksa lawannya yang mampu bergerak
lebih cepat itu untuk memeras tenaga.
Dalam pada itu, maka orang Kendali Putih itu seolah-olah
tidak lagi berusaha untuk menghindari setiap serangan. Tetapi
ia selalu membenturkan kekuatannya. Menangkis semua
serangan sehingga dalam benturan kekuatan, ia berusaha
untuk dengan cepat membuat tenaga lawannya susut.
Ternyata usahanya itupun berhasil. Meskipun orang
Sanggar Gading itu mampu bergerak cepat, tetapi benturanbenturan
yang terjadi telah membuat tangannya menjadi sakit
dan tenaganyapun menjadi susut
Meskipun demikian, ia masih sempat berloncatan. Sekali
sekali ia sempat menyerang dari arah yang sama sekali tidak
diduga oleh lawannya. Ketika lawannya membenturkan
senjatanya, maka orang Sanggar Gading itu telah dengan
cepatnya berhasil mengelabuinya. Benturan itu tidak terjadi,
tetapi sen jata orang Sanggar Gading itu berputar dengan
cepat. Satu loncatan kecil telah menggeser arah serangan
orang Sanggar Gading itu, sehingga orang Kendali Putih
itupun tidak sempat mengelak lagi.
Dengan demikian, sebuah goresan telah menyobek


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pundaknya. Meskipun tidak begitu dalam, tetapi terasa luka itu
menjadi pedih oleh keringat yang membasah.
Orang Kendali Putih itu menggeram. Kawannya telah
terluka, dan ia sendiri terluka pula. Namun dalam pada itu,
orang Kendali Putih itupun kemudian menjadi semakin garang.
Meskipun lawannya mampu bergerak cepat, tetapi melawan
tenaga yang besar dan kemarahan yang membara, maka
orang Sanggar Gading itu harus sangat berhati-hati
karenanya. Tetapi suatu ketika, orang Sanggar Gading itu telah
membuat satu kesalahan. Ketika serangannya dapat ditangkis,
ia segera menarik senjatanya meloncat kesamping. Namun
ternyata lawannya sudah memperhitungkannya. Karena itu,
maka lawannya telah memotong geraknya dengan sebuah
ayunan senjata yang sangat kuat.
Orang Sanggar Gading itu terkejut. Dengan serta merta ia
menangkis serangan itu, karena ia sudah tidak mendapat
kesempatan untuk meloncat menghindar. Namun ternyata
benturan yang terjadi telah berakibat gawat baginya.
Kekuatan orang Kendali Putih itu ternyata tidak terlawan lagi
oleh orang Sanggar Gading itu, sehingga ia tidak berhasil
mempertahankan senjatanya. Karena itulah, maka
senjatanyapun telah terlepas dari tangannya.
Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh lawannya. Sekali lagi
ia menggerakkan senjatanya, tidak terlalu keras dalam ayunan
mendatar. Yang terdengar adalah desahan panjang. Ternyata bahwa
senjata itu telah menggores lambung.
Kawannya, orang Sanggar Gading yang telah melukai
lawannya, melihat kawannya terluka. Dengan suara bergetar
karena marah ia berteriak "He, kenapa kau serahkan
nyawamu pada orang gila itu. Bukankah kau telah berhasil
melampaui padang kematian dan menjadi anggauta dari para
cantrik dipadepokan Sanggar Gading?"
Orang yang terluka itu tidak sempat menjawab. Tetapi ia
bergeser surut sambil memegang lambungnya yang terluka.
Sementara itu lawannya tertawa berkepanjangan. Nampak
oleh orang Kendali Putih itu, bahwa lawannya tidak akan
dapat bertahan lagi. Ia akan segera mati dan kemudian ia
akan dapat bertempur bersama kawannya yang terluka
melawan orang Sanggar Gading yang seorang lagi.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja suara tertawanya
telah terputus. Ia mendengar kawannya berteriak. Kemudian
ia sempat melihat kawannya itu menggeliat dan jatuh di
tanah. "Gila" geramnya.
Pada saat ia terpukau melihat kawannya terjatuh dan
nampaknya tidak akan dapat bangkit kembali meskipun
barangkali ia masih belum mat i.
Karena itu, maka ia harus membuat perhitungan dengan
cermat. Orang yang tergores lambungnya itu masih sanggup
berdiri meskipun darah mengalir dari lukanya. Sementara
kawannya dari Sanggar Gading itu telah terbebas dari
lawannya yang terbaring di tanah.
Karena itu, maka orang Kendali Putih itupun segera
mengambil sikap. Ia tidak ingin tertangkap atau terbunuh.
Sementara dua orang Sanggar Gading itu tentu akan menjadi
lawan yang sangat berat baginya.
"Jika aku mati, maka tidak akan ada orang yang
memberitahukan perist iwa ini kepada pimpinan kami yang
menunggu di lereng bukit itu" berkata orang itu di dalam
hatinya. Dengan demikian maka iapun harus mengambil keputusan
dengan cepat, sebelum orang Sanggar Gading itu sempat
mendekatinya. Disaat orang yang terluka lambungnya itu termangumangu,
menunggu kemungkinan yang bakal terjadi atasnya,
maka terjadilah sesuatu yang mengejutkannya. Orang Kendali
Putih itu tidak memburunya dan mempergunakan kesempatan
yang pendek sebelum kawannya dari Sanggar Gading
membantunya. Namun bahkan orang Kendali Putih itu telah
meloncat berlari meninggalkan arena.
Orang yang terluka lambungnya itu tidak sempat meloncat
mengejarnya karena perasaan pedih di lambungnya.
Sementara itu, kawannya yang telah berhasil menjatuhkan
lawannya itulah yang telah bersiap untuk mengejarnya.
Tetapi orang Sanggar Gading itu terlambat beberapa saat.
Orang Kendali Putih itupun dengan cepatnya hilang dibalik
pepohonan di pategalan. Meskipun demikian orang Sanggar Gading itu tidak
melepaskannya begitu saja. Iapin masih tetap beiusaha
mengejar orang Kendali Putih itu. Sekilas ia masih melihat
dedaunan yang bergoyang. Karena itu iapun mengerahkan
tenaganya untuk memburu. Ketika ia melihat orang Kendali Putih itu meloncat kearah
kudanya dan kemudian berusaha melepaskan talinya, maka ia
mulai berpengharapan. Namun ternyata bahwa orang Kendali
Putih itu sempat naik ke punggung kudanya.
Orang Sanggar Gading tidak mau melepaskannya begitu
saja. Dengan geramnya ia menyerang orang Kendali Putih itu.
Namun orang Kendali Putih itu sempat menggerakkan
kudanya dan justru dengan tangkasnya ia menangkis
serangan lawannya dan sekaligus memutar senjatanya.
Orang Sanggar Gading itu terdorong surut. Ketika ia
melangkah lagi, kuda orang Kendali Putih itu rasa-rasanya
justru akan menerjangnya sehingga ia harus meloncat
kesamping. Kemudian, tidak ada harapan lagi baginya untuk dapat
menangkap orang Kendali Putih itu. Dengan geram ia
memandang kuda yang berderap meninggalkan pategalan itu.
"Gila" geram orang Sanggar Gading itu.
Yang kemudian didapatkannya adalah seekor kuda milik
orang Kendali Putih yang terluka itu.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja terasa pedih
dilengannya. Ketika ia meraba lengannya, maka jari-jarinya
itupun menjadi merah oleh darah.
"Anak iblis "Orang itu mengumpat "justru orang itulah yang
telah melukai aku" Untunglah luka itu tidak begitu dalam. Justru pada saat
orang Kendali Putih itu mekrikan diri, ia masih sempat
menggoreskan luka di lengannya.
Orang Sanggar Gading itu kembali kepada kawannya yang
terluka. Dilihatnya kawannya duduk dengan wajah yang pucat
dan tubuh yang gemetar menahan sakit.
"Cobalah" berkata kawannya "obati lukamu" Tetapi orang
itu sudah terlalu lemah. Karena itu, maka kawannyalah yang
kemudian mencoba untuk menaburkan obat yang memang
tersedia pada setiap orang Sangar Gading. Meskipun obat itu
terasa pedih dilukanya, tetapi obat itu akan membantu
mengurangi arus darah yang mengalir dan bahkan jika tidak
terlalu parah, akan dapat memampatkannya.
Dalam pada itu, setelah menaburkan obat pada luka
kawannya, orang Sanggar Gading itupun kemudian menengok
orang Kendali Putih yang terbaring diam. Betapapun juga
orang Sanggar Gading adalah orang yang kasar dan garang.
Meskipun ia melihat orang itu masih bernafas, tetapi tidak ada
sedikitpun niatnya untuk menolongnya.
"Persetan dengan kau" geram orang Sanggar Gading.
Baginya keadaan seperti itu sudah terlalu sering dijumpainya
di padang kematian menjelang padepokan Sanggar Gading
yang merupakan daerah pendadaran orang-orang yang
melalui jalur jalan menuju ke padepokan, sengaja atau tidak
sengaja. Namun dalam pada itu orang Sanggar Gading itupun
menjadi bimbang. Apakah ia akan membawa kawannya yang
lerluka itu kembali kepada kawan-kawannya atau ia akan
menunggu saja dipategalan itu. Tetapi menilik keadaan
kawannya, agaknya ia tidak akan dapat berkuda sendiri.
"Aku akan menyembunyikan saja disini. Aku akan pergi
menyusul Rahu. Agaknya orang-orang inilah yang akan
dikatakannya kepada Cempaka atau Sanggit Raina" berkata
orang itu kepada diri sendiri.
Demikianlah, maka orang Sanggar Gading itu telah
membawa kawannya ke tempat yang lebih dalam lagi dan
membaringkannya diantara pepohonan di pategalan.
"Tahankan. Kau adalah orang Sanggar Gading. Kau telah
berhasil melalui padang perburuan. Jangan mati disini. berkata
orang Sanggar Gading itu kepada kawannya yang terluka, di
tempat kita bertempur melawan orang-orang Kendali Putih,
terdapat salah seorang dari mereka yang hampir mati.
Sebentar lagi ia akan mati, dan sementara itu, aku tidak
berhasil menangkap kawannya. Bahkan ketika sudah berada
dipunggung kudanya, ujung senjatanya sempat menggores
tubuhku. Tetapi lukaku tidak berarti apa-apa. Aku akan
menyusul kawan-kawan kita"
"Bagaimana jika pemilik pategalan ini datang kemari?"
bertanya orang Sanggar Gading yang terluka.
"Kau dapat mengancamnya, dan kau dapat menahan orang
itu agar tidak meninggalkanmu dan memberitahukan
kehadiranmu kepada siapapun juga. Ia akan ketakutan jika
kau mengancamnya. Katakan, bahwa kawan-kawan kita akan
datang membunuhnya jika ia tidak menurut perintahmu"
"Kalau orang Kendali Putih yang datang dan menemukan
aku disini?" bertanya orang itu.
"Sementara itu, orang-orang kita tentu sudah datang"
jawab kawannya. Orang yang terluka itu tidak menjawab. Kawannya sengaja
menambatkan seekor kuda milik orang Kendali Putih itu
didekat tempat orang Kendali Putih itu terbaring.
Dalam pada itu. maka iapun segera mempergunakan
kudanya sendiri berpacu keinduk pasukannya. Segalanya
harus berjalan cepat. Jika orang-orang Kendali Putih bergerak
lebih cepat, mungkin akibatnya akan berberda. Kecuali jika
Yang Mulia sengaja mengambil sikap yang tidak sesuai dengan
jalan pikirannya itu. Sejenak kemudian kuda orang Sanggar Gading itupun
berlari bagaikan terbang. Seperti juga orang Kendali Putih
yang memacu kudanya ke tempat kawan-kawannya sedang
beristirahat. Tetapi orang Sangpar Gading itu tidak perlu berpacu terlalu
lama. Ketika ia sampai disebuah tikungan, maka iapun dengan
tergesa-gesa menarik kendali kudanya.
Sejenak ia termangu-mangu. Namun akhirnya ia yakin,
bahwa yang datang itu adalah kawan-kawannya. Sementara ia
melihat Sanggit Raina berada di paling depan. Karena itu.
maka iapun segera melanjutkan meskipun tidak terlalu
kencang. Rahu menjadi cemas melihat orang yang nampaknya
tergesa-gesa itu. Karena itu maka iapun segera mendahului
Sanggit Raina menyongsong orang yang datang itu.
"Kenapa?" bertanya Rahu tidak sabar.
"Orang Kendali Putih itu benar datang ke pategalan" jawab
orang itu. "Kendali Put ih?" bertanya Rahu.
"Ya. Aku akan melaporkannya" jawab orang itu pula. Rahu
tidak menahannya lagi. Kemudian diikutinya orang itu
menghadap Sanggit Raina. "Apa yang terjadi?" bertanya Sanggit Raina, yang memberi
pertanda agar iring-iringnya berhenti
Orang itupun kemudian menceritakan apa yang telah
terjadi. Tentang dua orang Kendali Putih yang datang ke
pategalan tempat ia menunggu, sehingga kawannya telah
terluka cukup parah. Sanggit Raina mengangguk-angguk. Katanya akan pergi
kepategalan itu. Tetapi aku akan melaporkan, apakah Yang
Mulia akan mengambil satu tindakan khusus"
Demikianlah, maka Sanggit Raina telah menyampaikan
masalahnya kepada Yang Mulia, yang memimpin iring-iringan
itu. Namun ternyata Yang Mulia tetap pada pendiriannya.
Katanya "Kita harus menyelesaikan masalah besar kita dengan
anak yang menyebut dirinya Daruwerdi itu. Baru kemudian
kita akan berurusan dtngan pihak-pihak lain"
"Tetapi bagaimana jika merekalah yang mengambil sikap
lebih dahulu" bertanya Sanggit Raina.
"Bersiaplah. Kemungkinan itu memang dapat terjadi" jawab
Yang Mulia. Sebenarnyalah, saat itu orang-orang Kendali Putih telah
mengambil keputusan "Mereka sudah mengetahui kehadiran
kita. Karena itu, kita akan datang kepada mereka, merebut
Pangeran yang sedang sakit itu. Apapun yang akan terjadi.
Jika dengan demikian mereka akan membunuh Pangeran itu,
apa-boleh buat. Kita akan bersama-sama tidak memiliki,
daripada pusaka itu berada di tangan orang-orang Sanggar
Gading" Keputusan yang tergesa-gesa itupun telah menimbulkan
sikap yang tergesa-gesa pula. Terbakar oleh laporan orang
Kendali Putih yang telah kehilangan seorang kawannya, maka
pemimpinnya menganggap bahwa tidak ada lagi alasan untuk
menunda, karena justru orang Sanggar Gading itu telah
mengetahui dengan pasti kehadirannya dan bahkan mungkin
justru orang-orang Sanggar Gading itulah yang akan bertindak
lebih dahulu. "Kita tidak boleh membiarkan diri kita dihina sedemikian
rupa" berkata seorang yang berkumis lebat "Selebihnya,
bertindak sekarang dan kemudian tidak akan banyak bedanya.
Aku kira orang-orang Sanggar Gading tidak akan membunuh
Pangeran itu, karena mereka tentu memperhitungkan bahwa
pada satu kesempatan yang lain, mereka akan berusaha
merebut kembali apa yang terlepas dari tangan mereka hari
ini" Orang-orang Kendali Putih itu mengangguk-angguk.
Kemudian pemimpinnya berkata "Kita akan bertindak
sekarang. Kita tahu, diantara mereka terdapat orang yang
disebut Panembahan Wukir Gading. Tidak ada orang yang
dapat mengalahkannya, kecuali Eyang Rangga"
"Bukankah Eyang Rangga sudah berada di tengah-tengah
kita sekarang?" desis orang berkumis lebat itu.
"Ya. Aku akan menghadap dan mengatakan kepadanya.
Mudah-mudahan penyakit dungunya tidak kambuh di saat
yang gawat ini" berkata pemimpin orang-orang Kendali Putih


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu. Orang berkumis lebat itu menarik nafas dalam-dalam.
Katanya "Baiklah. Kita memang harus minta persetujuannya
karena diantara orang-orang Sanggar Gading terdapat
Panembahan itu sendiri"
Pemimpin dari orang-orang Kendali Put ih itupun kemudian
dengan ragu-ragu datang kepada seorang tua yang duduk
bersandar sebongkah batu padas sambil menghitung ruas jarijari
tangannya. Tidak ada hentinya-henlinya. Ruas-ruas jari
tangannya itu dihitung sejak dari ruas kelingking tangan kiri,
sampai keruas ibu jari tangan kanan. Kemudian diulanginya
kembali menghitung ruas kelingking tangan kirinya dan
seterusnya. Tidak seorangpun yang tahu, sampai hitungan
angka keberapa yang lelah diucapkannya, atau setiap kali ia
mengulang angka-angka dari bilangan permulaan.
Orang tua itu mengerutkan keningnya ketika ia melihat
pemimpin dari kelompok orang-orang Kendali Putih itu datang
mendekatinya. "Kami akan berbicara sedikit Eyang" berkata pemimpin orangorang
Putri Ular Putih 2 Pedang Siluman Darah 4 Memburu Bah Jenar Pendekar Wanita Baju Merah 9

Cari Blog Ini