Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja Bagian 17
Kendali Putih itu. "Marilah" jawab orang tua itu "Duduklah" Pemimpin orang
Kendali Putih itupun kemudian duduk dihadapannya.
Sementara untuk sesaat, Eyang Rangga itu masih menghitung
ruas jari-jari tangannya.
"Ada yang penting dan mendesak Eyang" berkata
pemimpin kelompok orang-orang Kendali Putih itu.
"Ya. ya. Tunggu sebentar . Aku akan membulatkan
hitungan ini" jawab Eyang Rangga.
Pemimpin orang-orang Kendali Putih itu tidak mendesak.
Jika demikian, mungkin yang terjadi justru berlainan dari yang
diharapkan. Jika orang tua itu mulai mengumpat, maka ia
harus menunggu lebih lama lagi. Karena itu, maka betapapun
juga, ia memaksa diri untuk bersabar.
Dalam pada itu, orang berkumis lebat itupun telah duduk
beberapa langkah di belakang pemimpin kelompok Kendali
Putih itu bersama seorang kawannya. Namun justru kawannya
itu berbisik perlahan ditelingannya "Mereka harus bertempur
sekarang" "Aku berusaha. Aku sudah membakar kemarahan pemimpin
kita" berkata orang berkumis lebat.
"Jika berhasil, maka orang Pusparuri akan menjadi lebih
ringan menghadapi keadaan. Keduanya tentu sudah cukup
parah. Dan kau akan mendapat hadiah seperti yang kau
harapkan itu" desis kawannya.
Orang berkumis lebat itu menyentuh tangannya dengan
sikunya. Sementara itu, orang yang disebut Enyang Rangga
itu masih menghitung ruas jari-jarinya sejenak. Namun
kemudian iapun menarik nafas sambil berdesis "Aku sudah
mencapai hitungan bulat. He, kalian mau apa?"
Pemimpin dari orang-orang padepokan Kendali Putih itupun
kemudian berkata "Eyang. Ada sesuatu yang penting yang
perlu Eyang ketahui"
"Tentang pusaka itu" Atau tentang orang-orang Sanggar
Gading?" bertanya Eyang Rangga.
"Tentang orang-orang Sanggar Gading" jawab pemimpin
orang-orang Kendali Putih itu.
"Katakan?" sahut Eyang Rangga.
Pemimpin kelompok Kendali Putih itupun kemudian
menceriterakan apa yang telah terjadi. Dan seorang Kendali
Putih telah menjadi korban.
Pemimpin orang-orang padepokan Kendali Putih itu menjadi
berdebar-debar ketika ia melihat Eyang Rangga itu tertawa.
Katanya "Baru seorang diantara kita mati, kau sudah menjadi
gelisah. Kau harus sadar, bahwa yang kemudian akan mati
jumlahnya akan meningkat menjadi separo diantara kita.
Mungkin kau, aku dan he, siapa yang duduk disana?"
Pemimpin Kendali Putih itu berpaling. Dilihatnya orang
berkumis lebat dan seorang kawannya duduk beberapa
langkah dibelakangnya. "Orang-orang kita" jawab pemimpin Kendali Putih itu "ialah
yang memberikan pertimbangan dan sesuai dengan
perhitunganku pula, bahwa sebaiknya kita mendahului orangorang
Sanggar Gading. Soalnya bukan satu kegelisahan
karena kematian, tetapi justru karena harga diri dan
perhitungan-perhitungan lain. Bagiku, kita lebih baik
mendahului orang-orang Sanggar Gading daripada kita harus
bertahan disini" Eyang Rangga mengangguk-angguk. Katanya "Jadi kita
akan menyerang orang-orang Sanggar Gading" Menurut
perhitunganmu, mereka tentu berada di pategalan, di tempat
seorang kawannya terluka. Bukankah begitu?"
"Ya. Jika mereka masih belum ada di patcgalan, kita akan
menunggu sampai saatnya mereka lewat. Lebih baik kita
beristirahat di pategalan itu sekaligus mencegat orang-orang
Sanggar Gading daripada kita menunggu disini" jawab
pemimpin orang-orang Sanggar Gading itu.
Orang yang disebut Eyang Rangga itu menganggukangguk.
Lalu katanya "Terserah menurut pertimbanganmu.
Aku sudah siap kapanpun dan dimanapun"
"Terima kasih Eyang" jawab pemimpin kelompok orangorang
Kendali Putih itu. "Apa yang terima kasih" tiba-tiba saja Eyang Rangga itu
bertanya. "Kesediaan Eyang" jawab pemimpin orang-orang Kendali
Putih. "Gila" tiba-tiba Eyang Rangga itu membentak "Apa maumu
sebenarnya he?" Pemimpin orang-orang Kendali Putih itu termangu-mangu
sejenak. Tetapi ia tidak menjawab lagi.
"Aku sudah sampai disini. Kau masih mengucapkan terima
kasih atas kesediaanku. He, apakah kau sudah kesurupan
hantu bukit mati itu?" Eyang Rangga itu membentak semakin
keras. Pemimpin orang-orang Kendali Put ih itu sama sekali t idak
menjawab. Ia sudah mengenal tabiat orang yang disebut
Eyang Rangga, sehingga dengan demikian maka pemimpin
orang-orang Kendali Putih itu diam saja ketika Eyang Rangga
itu mengumpat-umpat berkepanjangan. Sepatah kata saja ia
menjawab, Eyang Rangga akan dapat mengambil sikap yang
tidak menguntungkan. Namun dalam pada itu, meskipun sambil mengumpatumpat,
orang yang disebut Eyang Rangga itupun mengemasi
dirinya. Tiba-tiba saja iapun berteriak "Antarkan aku kepada orang
yang menyebut dirinya Panembahan Wukir Gading. Aku yakin
bahwa ia adalah orang yang sakti. Tetapi justru karena itu,
aku memerlukannya" Pemimpin gerombolan dari padepokan Kendali Putih itupun
kemudian meninggalkan Eyang Rangga yang sedang
membenahi diri. Diperintahkannya para pengikutnya untuk
bersiap-siap. Mereka akan berangkat menyongsong orangorang
Sanggar Gading. "Kita tidak akan menunggu sampai esok" berkata pemimpin
orang-orang Kendali Putih itu "Kita akan membinasakan
mereka dan mengambil Pangeran itu dari tangan mereka.
Apapun yang akan terjadi, kita tidak akan menunggu orangorang
itu datang menyerang kita dari punggung"
Orang-orang Kendali Put ih itupun segera mempersiapkan
diri. Orang-orang yang berkumis lebat dan kawannyapun
menjadi sibuk. Namun dalam pada itu kawannya berkata "Kita
akan melihat, apa yang akan terjadi. Mungkin orang-orang
Sanggar Gading itu akan binasa, tetapi sebagian dari orangorang
Kendali Putih inipun akan terbunuh. Atau yang terjadi
sebaliknya. Orang-orang Kendali Putih akan binasa, dan
orang-orang Sanggar Gading akan mengalami penyusutan
yang gawat" "Kau memang iblis. Kau kira dengan demikian orang-orang
Pusparuri akan dengan mudah mengambil alih persoalanpersoalan
pusaka itu dari tangan Daruwerdi?" bertanya orang
berkumis lebat. Kawannya tertawa. Katanya "Hubungan Daruwerdi dengan
orang-orang Pusparuri sangat baik. Ketika orang-orang
Kendali Putih membunuh orang-orang Pusparuri, Daruwerdi
mengambil sikap yang tegas terhadap orang-orang Kendali
Putih" "Tetapi masalahnya bukan karena Daruwerdi berpihak"
jawab orang berkumis itu "Ia berharap bahwa orang-orang
Pusparuri akan dapat memenuhi tuntutannya. Tetapi ternyata
orang-orang Pusparuri hanya pandai membual saja"
Kawannya tertawa. Katanya "Tetapi kau sudah berusaha
berkhianat terhadap kawan-kawanmu. Karena itu, berusahalah
jangan mati dibunuh oleh orang-orang Sanggar Gading, agar
kau sempat menerima hadiah dan ikut dalam kelompok yang
lebih baik dan lebih tinggi tingkatnya, Pusparuri"
Orang berkumis tebal itu mengerutkan keningnya. Namun
kemudian katanya "Aku tidak peduli. Aku memerlukan sesuatu
yang dapat aku pergunakan bagi hidupku dan keluargaku
dengan baik" Kawannya tertawa. Katanya "Baiklah. Terserah kepadamu.
Tetapi pertempuran yang akan terjadi tentu akan sangat
menarik. Orang-orang Kendali Putih dan orang-orang Sanggar
Gading adalah orang-orang panas yang haus darah"
Orang berkumis lebat itu masih mengumpat. Tetapi ia tidak
menjawab lagi. Ia memang tidak dapat membantah, bahwa ia
sudah berkhianat terhadap orang-orang Kendali Putih sekedar
untuk kepentingan diri sendiri. Tetapi bahwa ia telah berada
dilingkungan orang-orang Kendali Putih dengan
mempertaruhkan badan dan nyawanya, sebenarnyalah
semuanya itu untuk kepentingan keluarganya juga. Untuk
menghidupi dan sedikit menyenangkan mereka dengan
penghasilan yang sedikit lebih baik dari para petani tetanggatetangganya.
Bulu-bulunya bagaikan meremang, jika pada suatu saat ia
kembali mengunjungi anak isterinya, satu dua orang
tetangganya menemuinya dan bertanya, apakah kerjanya di
rantau. Orang berkumis lebat itu selalu membual dengan ceritera
yang sama sekali tidak masuk akal. Tetapi karena tetanggatetangganya
adalah orang-orang yang berpikir sederhana,
maka mereka tidak pernah berprasangka. Mereka mengira,
bahwa orang berkumis lebat itu benar-benar seorang
pedagang yang mengelilingi satu tempat ke tempat lain
dengan dagangannya. Jika pulang ia selalu membawa uang
yang cukup membuat tetangga-tetangganya menjadi iri,
sehingga kehidupan anak isterinya di kampung halamannya,
menjadi cukup terpandang.
Tetapi akhirnya ia merasa bahwa hidup diantara orangorang
Kendali Putih adalah hidup di dalam bayangan maut.
Setiap saat nyawanya dapat direnggut oleh ujung pedang atau
tombak. Karena itulah, maka semakin banyak umurnya,
semakin gelisahlah perasaannya. Sehingga pada suatu saat ia
memerlukan hidup yang tentram diantara anak dan isterinya.
Namun setiap kali timbul pertanyaan di dalam dirinya
"Apakah aku masih mempunyai kesempatan hidup tenteram
dengan tangan yang bernoda darah karena kematian demi
kematian?" Tetapi orang berkumis tebal itu selalu berusaha mengusir
pertanyaan itu, meskipun setiap kali pertanyaan itu datang
kembali. Terakhir ia telah mengambil satu keputusan yang
berbahaya. Bahkan ia telah mendorong satu peristiwa yang
dahsyat. Jika ia berhasil membakar hati pemimpin orangorang
Kendali Putih itu atas permintaan orang Pusparuri yang
kebetulan dikenalnya, maka akan terjadi kematian yang
menggetarkan jantung. Benturan antara orang-orang Kendali
Putih dan orang-Sanggar Gading akan merupakan benturan
kekuatan yang mengerikan.
"Yang aku punya semuanya sudah bernoda darah. Apa
boleh buat. Aku akan melengkapinya dengan darah pula. Bara
kemudian aku akan membersihkannya" berkata orang
berkumis lebat itu di dalam hatinya.
Demikianlah, maka iring-iringan orang Kendali Putih itupun
mulai bergerak. Mereka tidak merasa perlu untuk bersembunyi
lagi. Mereka akan menempuh jalan terbuka menuju ke
pategalan. Jika orang-orang Sanggar Gading belum lewat,
maka mereka akan menunggu. Tetapi jika orang-orang
Sanggar Gading telah melampaui pategalan itu, maka mereka
akan menyusul. "Tetapi dalam pada itu, salah seorang dari orang-orang
Kendali Putih itu bertanya "Bagaimana jika orang-orang
Sanggar Gading itu ternyata mengambil jalan lain?"
"Kita akan menyusulnya. Tetapi tidak ada jalan lain menuju
ke bukit gundul itu. Jika mereka melingkari bukit berhutan ini,
maka mereka memerlukan waktu yang sangat lama, karena
jalannya akan berlipat panjangnya. Meskipun demikian hal
itupun dapat juga terjadi. Apalagi jika orang-orang Sanggar
Gading telah mengetahui persembunyian kita di lereng bukit
itu. Mungkin mereka justru akan melingkar dan menyerang
kita dengan tiba-tiba, sementara kita sudah berada di
pategalan" Memang masih banyak kemungkinan yang dapat terjadi
Tetapi kemungkinan yang paling besar menurut perhitungan
pemimpin orang-orang Kendali Putih itu adalah, bahwa orangorang
Sanggar Gading akan memasuki daerah Sepasang Bukit
mati ini lewat pategalan. Apalagi dua orang diantara orangorang
Sanggar Gading justru sudah berada dipategalan itu.
Dalam pada itu, ketika orang-orang Kendali Putih itu
meninggalkan lereng bukit berhutan, maka Kiai Kanthipun
menarik nafas dalam-dalam. Ternyata ia melihat segalanya
yang telah dilakukan oleh orang-orang Kendali Put ih. Iapun
melihat orang-orang Kendali Putih itu meninggalkan lereng
bukit berhutan itu. Kiai Kanthi menarik nafas dalam-dalam. Ketajaman
penglihatannya, telah menunjukkan kepadanya, bahwa
diantara orang-orang Kendali Putih itu terdapat orang yang
dikenalnya. Orang yang selalu menghitung ruas tanggannya
sejak masa mudanya. "Iblis itu ada disana pula" desis Kiai Kanthi kepada diri
sendiri. Namun dalam pada itu, iapun menjadi ragu-ragu.
bahwa iblis yang selalu menghitung ruas jari-jarinya itu benarbenar
bekerja untuk kepentingan orang-orang Kendali Putih.
"Keadaan akan benar-benar menjadi gawat" berkata Kiai
Kanthi "iblis itu akan bertemu dengan orang yang menyebut
dirinya Penembahan Wukir Gading. Dengan kehadiran mereka,
apakah artinya Daruwerdi, Jlitheng dan pemburu-pemburu itu"
Dan apakah Pangeran yang diperebutkan itu tidak akan
berbuat sesuatu, dan membiarkan dirinya menjadi barang
yang akan dipertukarkan begitu saja?"
Berbagai pertanyaan telah berkembang di dalam hatinya.
Sementara itu, iapun mengamati arah perjalanan orang-orang
Kendali Putih yang semakin jauh meninggalkan bukit berhutan
itu. Sementara itu, dari arah lain, dua orang sedang mengamati
iring-iringan itu pula. Mereka tidak mengerti apa yang telah
terjadi di pategalan. Namun mereka menduga, bahwa orangorang
Kendali Putih itu akan langsung menyerang Sanggar
Gading tanpa menunggu setelah orang-orang Sanggar Gading
menyerahkan Pangeran yang mereka bawa kepada Daruwerdi.
"Kita akan mengikuti" berkata Semi.
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Berbahaya sekali. Di tempat yang terbuka, kita akan sulit
untuk mencari perlindungan" jawab kawannya.
Semi merenungi kata-kata kawannya itu sejenak. Namun
kemudian katanya "Kita tidak akan mengikutinya secara
langsung. Kita menunggu mereka melintasi bulak. Sementara
kita dapat mengikuti jejaknya"
Kawannya mengangguk-angguk. Katanya "Ya. Kita dapat
berbuat demikian. Dan kitapun harus bersiap menghadapi
segala kemungkinan. Rahu tentu akan terlibat dalam
pertempuran jika benar orang-orang itu akan langsung
menyerang iring-iringan dari Padepokan Sanggar Gading"
"Bagaimana cara kita untuk menghubunginya" desis Semi.
"Kita memang harus menunggu dan melihat segala
peristiwa yang terjadi" desis kawannya "baru kita akan dapat
mengambil sikap berdasarkan atas pengamatan itu"
Semi mengangguk-angguk. Katanya "Kita harus dapat
mengambil satu sikap dengan cepat dan mapan. Marilah. Kita
akan mengikuti jejak orang-orang berkuda itu"
Dengan demikian, maka Semi dan kawannyapun telah
mengikut i jejak orang-orang Kendali Put ih menuju
kepategalan. Namun mereka harus berhati-hati. Mereka tidak
boleh terlalu dekat, karena dengan demikian, mereka akan
dapat terjerumus ke dalam keadaan yang sangat gawat. Jika
mereka memasuki sebuah bulak panjang, maka merekapun
harus menunggu beberapa saat, sehinggi mereka yakin,
bahwa orang-orang Kendali Putih itu telah melampaui padesan
disebelah bulak itu. "Nampaknya orang-orang berkuda itu sudah mempunyai
bahan-bahan yang pasti tentang kekuatan orang-orang
Sanggar Gading" berkata Semi kemudian "Jika tidak mereka
tidak akan dengan pasti pula menyongsongnya"
"Nampaknya memang demikian" sahut kawannya "justru
karena itu, keadaan orang-orang Sanggar Gading akan
menjadi gawat. Mereka akan mendapat lawan yang seimbang,
karena orang-orang berkuda itu tentu sudah
memperhitungkan dengan cermat"
"Dalam benturan yang akan terjadi, maka kedua belah
pihak akan banyak kehilangan. Keduanya akan menjadi sangat
lemah. Pada saat yang demikian pihak ketiga akan dengan
mudah menghancurkan mereka" berkata Semi selanjutnya.
"Mungkin pihak ketiga itu adalah kekuatan Saruwerdi
sendiri" desis kawannya.
"Mungkin. Memang mungkin. Tetapi juga mungkin pihak
lain" sahut Semi. Namun tiba-tiba saja mereka telah dikejutkan oleh suara
batuk di belakang mereka pada saat mereka menunggu
sejenak dimulut padukuhan dihadapan bulak panjang. Karena
itu, maka dengan serta merta keduanya berpaling.
Tetapi keduanya menarik nafas panjang ketika mereka
melihat Kiai Kanthi berdiri di pinggir jalan beberapa langkah di
belakang mereka. "Angger akan mengikuti orang-orang berkuda itu?"
bertanya Kiai Kanthi. "Ya Kiai" jawab Semi "Tidak ada lain untuk mengetahui
perkembangan persoalan yang tumbuh di daerah ini"
"Angger harus berhati-hati" berkata Kiai Kanthi "nampaknya
orang-orang berkuda itu terdiri dari orang-orang Kasar dan
orang-orang yang memiliki kemampuan yang tinggi.
"Nampaknya memang demikian. Karena itu, kami tidak
mengikut i mereka langsung. Kami terpaksa mengikuti
jejaknya. "Bagus. Angger sudah melakukan tugas angger dengan
baik" berkata Kiai Kanthi "apalagi diantara mereka terdapat
seorang iblis yang berilmu tinggi"
"Siapa?" bertanya Semi.
Kiai Kanthi menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian
"Berhati-hati sajalah. Ketajaman pengamatan dan kecepatan
berpikir untuk menentukan satu sikap akan menentukan
segala-galanya" Semi dan kawannya mengangguk-angguk. Sambil
memandang kedepan Semi bergumam "Baiklah Kiai.
Nampaknya orang-orang berkuda itu sudah melampaui
padukuhan di depan. Aku akan menyusul mereka"
Kiai Kanthipun memandang kebulak panjang dihadapannya
Katanya kemudian "Silahkan ngger"
"Bagaimana dengan Kiai?" bertanya Semi.
Kiai Kanthi tertawa. Namun Semi berkata "Aku mengerti
serba sedikit tentang Kiai Kanthi"
Kiai Kanthi tidak menjawab. Bahkan ia berkata "Silahkan
ngger. Nampaknya jalan sampai ke padukuhan di depan sudah
aman. Berhati-hatilah disetiap langkah seperti yang angger
lakukan kali ini. Mungkin orang-orang itu berhenti di
padukuhan di depan" Semi dan kawannyapun kemudian melanjutkan perjalanan.
Mereka memperhitungkan bahwa orang-orang Kendali Putih
itu tentu sudah melewati padukuhan di depan, sehingga
merekapun akan dapat melintasi padukuhan itu pula.
"Agaknya Kiai Kanthi tahu dengan pasti, siapakah yang
beriringan di depan" gumam Semi.
"Mungkin. Ia dapat menyebut salah seorang diantaranya.
Bahwa ia menyebut iblis berilmu t inggi tentu bukan sekedar
mengigau" desis kawannya.
Namun keduanya tidak pasti, apakah Kiai Kanthi
mengetahui gerombolan apakah yang berada di depan
mereka. Sementara itu, orang-orang Kendali Putih itu berjalan tanpa
berhenti. Mereka sudah memutuskan untuk memotong
gerakan orang-orang dari padepokan Sanggar Gading untuk
merebut Pangeran yang akan ditukar dengan sebilah pusaka
yang tiada taranya. Meskipun demikian, mereka tidak kehilangan kewaspadaan
Mereka selalu bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Bukan mustahil bahwa tiba-tiba saja ditikungan mereka
langsung membentur iringan-iringan orang-orang Sanggar
Gading. Karena itulah, maka orang-orang yang berada di
depan sudah siap menarik senjata mereka setiap saat.
Dalam pada itu, orang-orang Sanggar Gadingpun menjadi
semakin maju pula mendekati pategalan. Karena itu,
merekapun menjadi semakin berhati-hati pula. Sanggit Raina
kemudian berada dipaling depan. Disampingnya Cempaka
memandang jauh kedepan. Di belakang kedua Rahu dan
orang yang telah bertempur melawan orang Kendali Putih itu.
Sejenak kemudian orang yang telah bertempo melawan
orang-orang Kendali Putih itupun berdesis di belakang Sanggit
Raina "Itulah Pategalan yang aku katakan. Seorang kawan kita
berada ditempat itu"
"Mungkin anak itu sudah mati" desis Sanggit Raina.
"Aku harap ia masih mampu bertahan" desis orang yang
telah bertempur di pategalan itu.
Sanggit Raina telah mempercepat derap kudanya. Ia ingin
segera sampai di pategalan itu dan melihat, apakah salah
seorang diantara mereka yang terluka itu masih hidup.
Ketika mereka sampai diujung pategalan itu, maka Rahulah
yang kemudian mendahului Sanggit Raina bersama orang
yang telah bertempur melawan orang-orang Kendali Putih.
Mereka tidak lagi mempertimbangkan tanaman yang terinjak
kaki kuda. Mereka menembus batas dengan pagar lanjaran
bambu yang dijalari oleh batang-batang kacang panjang.
Bahkan merekapun telah menerobos pohon ketela yang
nampak tidak terlalu subur.
Sanggit Raina dan Cempakapun kemudian mengikuti
mereka setelah mereka memberi isyarat agar yang lain
menunggu mereka diluar pategalan.
"Ada apa?" bertanya Yang Mulia Panembahan Wukir
Gading. "Kita sudah sampai kepategalan yang dimaksud" jawab
salah seorang pengawalnya.
"Sanggit Raina sedang melihat mereka?" bertanya Yang
Mulia. "Anak yang terluka itu. Hanya seorang" sahut
pengawalnya. "Jangan lengah. Awasi keadaan. Mungkin orang-orang gila
itu akan datang. Mungkin mencari kawannya yang terluka,
tetapi mungkin dengan sengaja ingin menyerang kita"
"Kita sudah siap. Pangeran itu sudah berada di bawah
pengawalan khusus. Mudah-mudahan sakitnya tidak semakin
gawat, sehingga akan menjadi persoalan tersendiri. Jika
Pangeran itu mati karena penyakitnya, maka segalanya akan
gagal" desis pengawalnya.
"Ia sudah berada di bawah perawatan orang yang tepat"
berkata Yang Mulia. Pengawalnya mengangguk-angguk, sementara Yang Mulia
itu berkata "Taruhlah dua orang pengawas diujung yang lain
dari pategalan ini, selama kita menunggu Sanggit Raina"
Pengawal itu mengangguk. Kemudian diperintahkannya dua
orang kawannya mendahului sampai diujung pategalan untuk
mengawasi keadaan. Dalam pada itu, Sanggit Raina dan Cempakapun telah
menemukan orang yang. terluka. Rahu dan seorang kawannya
yang telah bertempur melawan orang-orang Kendali Putih,
yang bahkan sudah tergores ujung senjata itupun telah
berjongkok disamping kawannya yang terluka itu.,
"Bagaimana?" bertanya Sanggit Raina.
Rahu menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Parah sekali.
Tetapi masih mungkin untuk dicoba mengobatinya"
"Panggil dukun itu" desis Sanggit Raina kepada Cempaka.
Sepeninggal Cempaka, maka Rahupun berkata "Ia pingsan.
Mungkin setitik air akan dapat memberikan kesadaran
kepadanya. "Dimana kita mendapat air?" bertanya Sanggit Raina.
Rahupun termangu-mangu. Namun kemudian ia melihat
pohon nyiur dibatas pategalan itu. Karena itu, maka sambil
menunjuk batang nyiur yang kurus itu ia berkata "Lihat. Ada
juga beberapa buah kelapa tersangkut pada janjangnya"
"Kau dapat memanjat setinggi itu?" bertanya Sanggit
Raina. "Aku dapat" sahut orang yang telah bertempur melawan
orang-orang Kendali Putih itu.
"Cepat. Mudah-mudahan dapat menolongnya" Orang
itupun kemudian dengan tergesa-gesa telah memanjat
sebatang pohon nyiur yang kekurus-kurusan, namun yang
masih juga memberikan beberapa buah kelapa dipangkal
daun-daunnya. Ternyata orang itu memang pandai memanjat. Ia hanya
memerlukan waktu yang pendek untuk sampai kepuncak.
Kemudian dengan tergesa-gesa telah memetik beberapa buah
kelapa yang ada. Yang muda tetapi juga yang tua.
"Mungkin akan berguna" gumannya "setidak-tidaknya dapat
melepaskan haus" Ketika ia sudah siap untuk meluncur turun, tanpa
disengaja, orang itu telah menebarkan pandangan matanya
kesekeliling pategalan. Tiba-tiba saja darahnya tersirap.
Hampir saja ia meloncat turun. Untunglah bahwa ia masih
menyadari keadaannya, sehingga iapun berkisar berlindung
dibalik batang nyiur itu sambil meluncur turun.
Demikian ia menjejakkan kakinya di tanah, maka iapun
segera berlari-lari mendapatkan Sanggit Raina dan Rahu yang
sedang sibuk mengupas kelapa dengan pedangnya.
"Mereka datang" Orang itu hampir berteriak.
"Siapa?" bertanya Sanggit Raina.
"Orang-orang Kendali Putih. Aku melihatnya dari batang
nyiur itu" jawab orang itu.
"Apakah kau tidak mengigau?" Rahu menegaskan.
"Aku yakin bahwa penglihatanku masih bening" jawab
orang itu. Sanggit Raina melepaskan kelapa di tangannya. Kemudian
sambil bangkit ia berkata "Aku akan memberitahukan kepada
Yang Mulia. Cobalah menolong orang itu agar tidak terlanjur
mati disini" Sanggit Rainapun kemudian meloncat ke punggung
kudanya. Dan dengan tergesa-gesa menemui Yang Mulia.
Ketika ia berpapasan dengan Cempaka bersama seorang
dukun yang dipanggilnya, maka Katanya "Cepat, antarkan
orang itu. Lalu kau temui aku"
Cempakapun kemudian mengantarkan dukun itu, namun
kemudian dengan tergesa-gesa iapun kembali menyusul
Sanggit Raina. Ternyata titik air nyiur yang muda itu memberikan
kesegaran kepada orang yang terluka parah, sementara dukun
yang kemudian berjongkok disampingnya itupun mulai
mengobatinya. "Tolonglah orang ini" berkata Rahu "Aku akan menemui
Sanggit Raina dan Cempaka"
Ketika Rahu sampai ke induk pasukannya. Sanggit Raina
telah berbicara dengan Yang Mulia mengenai orang-orang
Kendali Putih yang menuju ke Pategalan itu pula.
"Kita tidak akan lari" berkata Yang Mulia.
Sanggit Raina mengangguk-angguk. Iapun berpendapat,
bahwa tidak ada kemungkinan lain yang dapat dilakukan
menghadapi sekelompok orang yang menyerang mereka.
Karena itu, maka Katanya "Aku akan menyiapkan orang-orang
kita. Kita akan membinasakan orang-orang Kendali Putih. Jika
mereka berani menyerang kita, maka mereka tentu telah salah
menilai" Yang Mulia tertawa. Katanya "Bagus. Kita akan bertempur"
"Ya. Kita akan bertempur dipategalan ini dan sekitarnya"
jawab Sanggit Raina. Namun kemudian "Tetapi bagaimana
dengan Pangeran itu"
"Ia adalah sasaran utama orang-orang Kendali Putih" jawab
Yang Mulia "karena itu lindungi Pangeran yang sedang sakit
itu" "Baiklah. Aku akan menyiapkan sekelompok orang terpilih
untuk melindunginya" jawab Sanggit Raina.
Namun dalam pada itu, Yang Mulia itupun berkata "Kali ini
kita akan bertempur diatas punggung kuda. Medan kita cukup
luas. Orang-orang kita memiliki kemampuan berkuda sambil
mempermainkan senjatanya. He, bagaimana pendapatmu?"
Sanggit Raina menebarkan tatapan matanya keseputarnya.
Ia memang melihat satu medan yang luas. Pategalan yang
yang berpohon-pohon. Bahkan ada beberapa jenis pohon
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
buah-buahan dan pohon kelapa. Kemudian disebelah
pategalan itu adalah padang ilalang yang kekuning-kuningan,
sementara di sebelah lain adalah sawah yang mulai dijamah
oleh air yang naik dari sungai kecil yang menjadi persoalan
bagi anak-anak muda di Lumban.
"Aku sependapat" tiba-tiba saja Sanggit Raina menjawab
"medan ini sangat menyenangkan bagi pertempuran berkuda.
Kita sudah siap menghadapi orang-orang Kendali Putih yang
bodoh itu" "Perintahkan orang-orang kita menyebar" berkata Yang
Mulia "Aku sendiri akan memimpin pertempuran ini. Jangan
kau lupakan Pangeran itu. Ia memerlukan perlindungan.
Tetapi itu lebih baik. Jika ia tidak sedang sakit, maka ia akan
mengambil kesempatan yang tidak kita duga sebelumnya"
Sanggit Rainapun kemudian meninggalkan Yang Mulia yang
segera menyiapkan dirinya pula. Ia memilih bertempur diatas
punggung kudanya. Sementara Sanggit Rainapun segera
menemui Cempaka dan kemudian memanggil Rahu pula.
"Kita akan bertempur diatas punggung kuda" desis Sanggit
Raina. "Menarik sekali" Cempaka tersenyum. Ia adalah seorang
yang memiliki kemampuan berkuda. Kudanyapun kuda tegar
yang dapat dipercaya, yang seolah-olah mengerti, apa yang
harus dilakukan" "Aturlah orang-orang kita" berkata Sanggit Raina kepada
adiknya, lalu katanya berbisik "Kau dan Rahu, segera
menemui aku setelah persiapan ini selesai"
Rahu tidak mencari arti yang lain kecuali benar-benar
kegelisahan menghadapi serangan orang-orang Kendali Putih,
meskipun ia hampir belum pernah melihat hal itu pada Sanggit
Raina yang kemudian bergeser mendekati Yang Mulia. Ia
adalah orang yang tabah dan seakan-akan segala tantangan
pasti dihadapinya dengan dada tengadah.
Cempaka dan Rahupun kemudian segera terpisah
memberikan perintah kepada orang-orang Sanggar Gading
untuk bersiap-siap, karena sebentar lagi, orang-orang Kendali
Putih akan datang menyerang.
"Kita mengelakkan lawan. Tetapi jika mereka datang, kita
tidak akan lari terbirit-birit" berkata Cempaka. Lalu katanya
lebih lanjut ketika kalian memasuki Sanggar Gading, kalian
lelah melalui daerah pendadaran yang paling garang dari
segala padepokan yang manapun juga. Kalian telah melewati
padang perburuan yang juga merupakan padang kematian.
Dan kalian yang masih hidup sampai ke padepokan Sanggar
Gading tentu orang-orang terpilih yang berhasil menyusup
jari-jari maut di padang kematian itu. Sekarang kalian
menghadapi orang-orang dari padepokan kecil yang menyebut
padepokannya itu Kendali Putih, Padepokan yang sama sekali
tidak berarti. Karena itu, kita menghancurkan mereka sampai
orang yang terakhir" Cempaka berhenti sejenak, lalu tiba-tiba
ia bertanya "Jawab. Siapa yang tidak sanggup
melakukannya?" Tidak seorangpun yang menyahut. Bahkan mata orangorang
Sangar Gading itu mulai menyala. Karena itu, ketika
Cempaka bertanya untuk kedua kalinya dengan pertanyaan
yang berbeda, maka sorak merekapun telah meledak.
"Marilah" berkata Cempaka lantang "Kita binasakan orangorang
Kendali Putih. Bukankah kalian sanggup melakukan"
"Sanggup, sanggup" jawaban itu meledak.
Yang Mulia tersenyum melihat orang-orangnya bersorak
dengan panah api kebencian. Perlahan-lahan ia berdesis
kepada Sanggit Raina yang telah berada didekatnya "Adikmu
memang anak gila. Tetapi ia berhasil membakar jantung
orang-orang kita. Aku senang melihatnya, karena dengan jiwa
yang dibakar oleh dendam dan kebencian, tenaga kita akan
menjadi berlipat. Kemampuan kitapun seakan-akan meningkat
ganda" Sanggit Rainapun mengangguk-argguk. Dandan jantung
yang berdegup semakin cepat. Sanggit Raina melihat, orangorang
Sanggar Gading itu mulai berpencar. Sementara
Cempaka berteriak "Kita akan bertempur di atas punggung
kuda, Jika orang-orang Kendali Putih berloncatan, turun, maka
mereka akan kita gilas dengan kaki-kaki kuda kita disamping
ujung-ujung senjata"
Sekali lagi orang-orang Sanggar Gading yang mulai
berpencar itu telah bersorak bagaikan membelah langit.
Sementara itu, orang-orang Kendali Putih sudah menjadi
semakin dekat Karena itu, maka merekapun telah mendengar
sorak orang-orang Sanggar Gading yang bagaikan
mengguncangkan pategalan dihadapan mereka.
"Mereka tentu sudah melihat kita" berkata pemimpin orangorang
Kendali Putih itu "nampaknya mereka sudah siap
menunggu" "Apa salahnya" jawab Eyang Rangga "Aku lebih senang
bertempur beradu dada dari pada kita harus menyelinap
menunggu lawan lengah"
"Ya, ya" jawab pemimpin orang-orang Kendali Putih "Aku
juga sependapat. Karena itu, kita akan menghadapi mereka
dengan jantan karena kita tidak merunduk dari belakang.
"Katakanlah yang lain. Kau hanya mengulagi kata-kataku
meskipun kau pergunakan susunan kalimat yang lain" tiba-tiba
saja Eyang Rangga membentak.
Pemimpin kelompok orang Sanggar Gading itu tidak
menjawab. Perhatiannya sudah tertuju kepategalan yang
nampak dikejauhan. Bahkan ketajaman penglihatannya sudah
mulai menangkap gerak yang samar-samar. Orang-orang
berkuda. Karena itu, maka pemimpin orang-orang Kendali Putih
itupun segera memberi isyarat kepada orang-orangnya untuk
berhati-hati. Dengan lantang ia berkata "Nampaknya mereka
ingin menghadapi kita diatas punggung kuda. Memang
menyenangkan sekali. Pategalan itu cukup luas untuk
bermain-main. Berhati-hatilah. Pergunakan senjata panjang"
"Ya" desis Eyang Rangga "iblis tua itu menang seorang
penunggang kuda yang ulung. Tetapi nampaknya ia tidak tahu
aku ada disini dan iapun tidak tahu, bahwa masa mudaku, aku
adalah pelaku sodoran yang sulit dicari tandingnya.
Demikianlah, maka orang-orang Kendali Put ih itupun telah
bersiap-siap pula. Mereka melihat semakin jelas, bahwa
orang-orang Sanggar Gading berpencar diatas punggung
kudanya. Karena itu, maka hampir pasti bahwa mereka akari
bertempur diatas punggung kuda.
"Mereka mengira bahwa kalian tidak mampu memegang
kendali kuda sambil menggenggam senjata" berkata pemimpin
orang-orang Kendali Putih itu "tunjukkan kepada orang-orang
Sanggar Gading, bahwa kalian mampu mengimbangi, bahkan
kemudian kalian harus membuktikan, bahwa kalian dapat
melampaui kemampuan setiap orang dari orang-orang
Sanggar Gading itu" Orang-orang Kendali Putih itu menjadi berdebar-debar.
Meskipun mereka terbiasa hidup dengan noda-noda darah,
namun morekapun mendengar bahwa orang-orang Sanggar
Gading adalah orang-orang yang seliar orang-orang Kendali
Putih. Merekapun pernah mendengar padang yang terbentang
dihadapan Padepokan Sanggar Gading. Sebuah padang
pendadaran yang sering disebut padang Kematian.
Jarak dari kedua kelompok orang-orang yang paling garang
itupun menjadi semakin dekat. Karena itu, maka senjatasenjata
merekapun mulai teracu. Dalam pada itu, seperti pesan Sanggit Raina, ketika
persiapan sudah selesai, maka Cempaka dan Rahupun
menghampirinya. Sejenak mereka termangu-mangu
mendengar pesan Sanggit Raina. Balikan wajah-wajah mereka
menjadi tegang. "Tidak ada pilihan lain" berkata Sanggit Raina "Kita harus
berani menghadapi akibat yang betapapun gawatnya. Batas
terakhir dari kegagalan kita adalah mati dalam keadaan
apapun juga. Jika kita sudah meletakkan dasar yang demikian,
maka t idak ada yang akan kita takutlah lagi untuk bertindak
apapun juga" Cempaka mengangguk-angguk, sementara Rahu
memandang ke sekelilingnnya.
"Marilah" berkata Sanggit Raina "Aku akan memerintahkan
orang-orang kita menyongsong mereka. Benturan itu akan
menentukan kebesaran hati kita dalam pertempuran
selanjutnya" Cempaka dan Rahupun kemudian meninggalkan Sanggit
Raina, untuk memimpin sekelompok kecil orang-orang
Sanggar Gading yang tetap akan bersembunyi dibalik
rimbunnya pategalan. Dibelakang mereka, ampat orang
mengawal Pangeran yang sedang sakit, yang nampaknya tidak
berdaya sama sekali. Sementara Sanggit Raina akan berada di
tempat terbuka bersama para pengikutnya yang lain. Yang
berada di tempat terbuka itulah yang akan menyongsong
orang-orang Kendali Putih. Kemudian Cempaka dan Rami akan
membawa orang-orangnya yang berjumlah kecil itu menyusur
lewat bagian dalam pategalan dan akan menyerang orangorang
Kendali Putih dari lambung.
Demikianlah, sejenak kemudian, Sanggit Raina
menganggap bahwa waktunya telah datang. Karena itu, maka
iapun mendekati Yang Mulia Panembahan Wukir Gading untuk
minta perintahnya "Lakukan" desis Yang Mulia Panembahan Wukir Gading.
Sanggit Rainapun kemudian menyiapkan kudanya yang
tegar dipaling depan dari orang-orang Sanggar Gading.
Diangkatnya pedangnya tinggi-tinggi, dan terdengarlah ia
berteriak memberi aba kepada para pengikutnya.
Perintah itu bagaikan mengumandang di daerah Sepasang
Bukit Mati. Suara Sanggit Raina yang keras itu telah
membentur bukit berhutan dan bukit gundul, sehingga
suaranya memantul kembali melingkar-lingkar. Seakan-akan
terdengar suara gemuruhnya guntur yang meledak dilangit.
Perintah itu telah menggerakkan orang-orang Sanggar
Gading. Dengan senjata digenggaman merekapun segera
memacu kudanya menyongsong orang-orang Kendali Putih
yang menjadi semakin dekat.
Sementara itu, orang-orang Kendali Putihpun telah
menghentakkan kuda mereka pula. Mereka berteriak tidak
kalah garangnya. Bahkan orang yang disebutnya Eyang
Rangga itulah yang kemudian berada dipaling depan, disisi
pemimpin orang-orang Kendali Putih itu.
Dalam pada itu, ketajaman penglihatan Yang Mulia
menangkap wajah seseorang yang bagaikan menyalakan
dendam yang tiada taranya. Karena itu, maka iapun kemudian
menempatkan diri disebelah Sanggit Raina sambil berkata
"Jangan kau dekati orang tua itu. Ia adalah orang yang sangat
berbahaya. Biarlah aku menempatkan diri melawannya"
Sanggit Raina tidak sempat bertanya lebih lanjut. Sekejap
kemudian kedua pasukan itu telah berbenturan. Mereka
menebar ke padang perdu dan ilalang yang luas diujung
pategalan. Beberapa ekor kuda justru melingkar sebelum
penunggangnya menemukan lawannya dengan mapan.
Sejenak kemudian kedua pasukan itu telah bertempur
dengan sengitnya. Sementara itu, Yang Mulia telah
berhadapan dengan Eyang Rangga diatas punggung kuda
masing-masing. "Kau ternyata telah melibatkan diri diantara orang-orang
Kendali Putih, Sampir" bertanya Yang Mulia kepada orang
yang menyebut dirinya Eyang Rangga.
"Namaku Rangga" jawab orang itu.
"Sebutlah seribu nama. Aku lebih senang memanggilmu
Sampir" jawab Yang Mulia Panembahan Wukir Gading.
"Baiklah. Aku tidak akan dapat ingkar. Tetapi kaupun t idak
dapat ingkar, siapakah sebenarnya kau" desis Eyang Rangga
yang berhadapan dengan Yang Mulia itu.
"Sebut namaku. Bagaimanapun juga, aku adalah seorang
bangsawan" sahut Yang Mulia.
Tetapi Eyang Rangga yang bernama Sampir itu tertawa.
Katanya "Nilai seseorang tidak diukur apakah ia bangsawan
atau bukan. Bagiku kau adalah seorang yang licik dan
pengecut" Tetapi yang Mulialah yang kemudian tertawa. Katanya
"Jangan iri. Aku adalah orang yang paling terhormat. Tidak
ada seorangpun diantara para bangsawan dalam tataranku
yang disebut Yang Mulia. Aku adalah orang yang
mempergunakan sebutan itu diantara orang-orangku. Diantara
orang-orang Sanggar Gading"
"Kau pemimpi yang buruk. Apa artinya panggilan itu
bagimu" Apakah panggilan itu akan memberikan kanugrahan
bagimu?" bertanya Eyang Rangga.
Yang Mulia masih tertawa. Namun suara tertawanya itu
terputus ketika Eyang Ranja. berkata "Nah, kita sekarang
sudah berhadapan. Kita akan memperebutkan barang yang
paling berharga di dalam hidup kita. Sudah tersurat di dalam
kitab-kitab yang tersimpan di istana dan diperhendaharaan
orang-orang pandai, bahwa siapa yang memiliki pusaka yang
tersembunyi di daerah Sepasang Bukit Mati, yang akan
diterima dari rebung bambu petang yang patah, maka ia akan
dapat mengusai lingkungannya dengan caranya. Nah, menurut
perhitunganku dan tentu juga perhitunganmu, rebung bambu
petang yang patah itu adalah anak yang menyebut dirinya
Daruwerdi itu. Karena itu, maka kita bersama-sama telah
didorong untuk mendapatkan pusaka itu, karena kita masingmasing
ingin berkuasa atas satu lingkungan. Memang gila jika
kau menganggap bahwa berkuasa atas satu lingkungan itu
adalah tahta Demak, meskipun kau seorang -ngv.wan.
Lingkunganmu adalah lingkungan tangan-tangan yang
bernoda darah. Karena itu, jika kau atau aku yang berhasil
menguasai pusaka itu, moka salah seorang dari kita akan
berkuasa atas linkungan orang-orang yang tangannya bernoda
darah, meskipun dengan demikian kita akan dapat menyusun
kekuatan untuk menghadapi Demak"
"Nah, bukankah arah perhitunganmu juga kearah mimpi,
yang nikmat itu?" desis Yang Mulia "Jangan ingkar. Tetapi aku
mempunyai kelebihan dari padamu Sampir. Aku adalah
keturunan raja-raja yang berkuasa di pulau ini. Hanya karena
satu sebab aku tersisih. Pada suatu saat aku akan kembali.
Bukan saja sebagai seorang bangsawan yang terhormat,
tetapi aku sudah melengkapi diriku dengan segala yang
diperlukan untuk menerima wahyu keraton"
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau sudah mulai mengigau" sahut Yang Mulia "Marilah.
Kita sudah lama tidak bertemu. Apakah kau masih memiliki
ilmumu yang dahsyat itu"
"Ilmuku mempunyai kemampuan ganda saat ini. Jika
ilmumu masih saja setingkat saat itu, maka kau tidak akan
dapat bertahan sepenginang" geramEyang Rangga,
Yang Mulia tidak menjawab lagi. lapun segera bersiap
Sekilas ia memperhatikan pertempuran yang membakar
daerah diseputar pategalan itu. Di padang ilalang di hutan
perdu dan diujung pategalan itu sendiri.
Sejenak kemudian, maka Sampirpun tidak sabar lagi.
Dengan garang ia mulai menyerang. Kudanya melonjak tinggi,
kemudian seolah-olah meloncat menerkamlawannya.
Tetapi Yang Muliapun tangkas menghadapinya. Ditariknya
kendali kudanya kesamping, sehingga kudanya bagaikan
mengelak dengan loncatan kecil.
Namun selanjutnya, keduanya segera terlibat dalam
pertempuran yang sengit. Kuda mereka berlari melingkarlingkar,
kadang-kadng keduanya sambar menyambar dengan
dahsyatnya, sementara penunggangnya telah mempermainkan
senjata mereka. Dalam pada itu, arena pertempuran itu menjadi terlalu
ribut. Kedua belah pihak yang masih tetap berada di
punggung kuda telah bertempur dengan serunya. Ternyata
kedua belah pihak mempunyai kemampuan yang tinggi
mengendalikan kuda dengan senjata di tangan.
Sanggit Raina telah berhadapan langsung dengan
pemimpin orang-orang Kendali Putih, sementara para
pengikutnya bertempur memenuhi padang ilalang.
Pohon-pohon perdupun berpatahan dan batang-batang
ilalang roboh terinjak-injak kaki kuda. Sekali-sekali terdengar
kuda meringkik. Kemudian derap kakinya yang berputaran.
Beberapa saat pertempuran itu berlangsung. Namun
kemudian orang-orang Kendali Putih mulai bersorak-sorak.
Orang-orang Sanggar Gading menjadi agak terdesak.
Meskipun perlahan-lahan, tetapi agaknya orang-orang Kendali
Putih yang garang itu, dengan jantung yang membara telah
bertempur tanpa menghiraukan apapun juga.
Sementara orang-orang Sanggar Gading terdesak,
terdengar pemimpin orang-orang Kendali Put ih itu berteriak
"Serahkan saja Pangeran itu. He, dimana orang itu kalian
sembunyikan" Jika kalian menyerahkannya, kalian akan kami
beri kesempatan untuk tetap hidup"
Sanggit Raina menggeram. Dengan garangnya ia
menyerang sambil berkata lantang "Kami adalah orang-orang
Sanggar Gading. Batas perlawanan kami adalah kematian,
sebagaimana kami bertekad memasuki padepokan kami"
"Bagus" jawab pemimpin orang-orang Kendali Putih?"
kalian memang akan mati. Kalian semuanya akan kami
binasakan" Tetapi gairah orang-orang Sanggar Gading tidak
mengendur meskipun mereka mulai terdesak. Beberapa orang
Sanggar Gading mulai melingkar agak jauh dari arena. Namun
mereka menyerbu kembali ke dalam arena dengan senjata
teracu. Betapapun juga garangnya orang-orang Sanggar Gading,
namun mereka tidak banyak berbuat di arena yang baur itu.
Seolah-olah disegala sudut orang-orang Kendali Put ih sedang
menghadang dengan senjata terayun. Bahkan orang-orang
Sanggar Gading itu seakan-akan tidak lagi mendapat tempat,
sehingga mereka terdesak keluar arena. Namun demikian
mereka berbalik, lawan telah menunggu dan bahkan
menyambar dengan garangnya.
"Kalian memang ingin membunuh diri" berkata Eyang
Rangga. Tetapi Yang Mulia Panembahan tidak menjawab. Iapun
bertempur dengan dahsyatnya pula tanpa menghiraukan
keadaan orang-orang Sanggar Gading yang mengalami
kesulitan. Semakin lama, semakin jelas, betapa orang-orang Kendali
Putih menguasai seluruh arena. Mereka mulai berusaha
mengepung orang-orang Sngagar Gading. Beberapa orang
Kendali Putih telah melingkar diseputar arena. Mereka
berusaha mengurung orang-orang Sanggar Gading dalam
lingkaran yang semakin lama semakin dipersempit.
Tetapi orang-orang Sanggar Gading adalah orang-orang
yang cukup garang. Meskipun mereka sudah hampir
terkepung rapat, namun masih ada diantara mereka yang
berhasil memecahkan lingkaran yang mulai merapat itu.
Kemudian dengan garangnya pula mereka menyerang dinding
lingkaran itu dari luar. Namun demikian usaha mereka tidak banyak membawa
hasil. Dalam pertempuran yang seru, orang-orang Kendali
Putih mampu memancing mereka dengan membuka lingkaran
yang belum sempurna itu, dan mendorong orang-orang
Sanggar Gading itu kembali masuk ke dalam lingkaran.
Dalam pada itu, orang-orang Kendali Putih itu semakin
lama menjadi semakin garang. Senjata mereka teracu-acu.
Ternyata bahwa satu dua orang diantara mereka yang
bertempur itu telah tersentuh senjata, sehingga darahpun
mulai meleleh dari luka. Dalam pertempuran yang seru itu, Sanggit Raina selalu
memperhitungkan segala kemungkinan. Pada saat pasukannya
sudah benar-benar dalam kesulitan, serta ketika ia melihat
seorang pengikut dari padepokan Sanggar Gading terlempar
dari kudanya, karena tusukan tombak pendek mengoyak
lambungnya, maka iapun mulai mengerahkan segenap
kekuatan pasukannya. Sesaat kemudian terdengar suitan nyaring dari mulut
Sanggit Raina. Dalam pada itu, sebelum orang-orang Kendali
Putih menyadari, maka mereka telah mendengar sorak
gemuruh dari balik gerumbul-gerumbul liar dan pategalan
yang rimbun. Ternyata orang-orang Sanggar Gading yang
tersisa telah merayap dengan sangat berhati-hati sambil
menuntun kudanya diantara pepohonan di dalam pategalan
mendekati arena. Seperti yang sudah dipesan oleh pimpinan
mereka, maka mereka harus mengejutkan lawan dengan
sorak yang sekeras-kerasnya.
Cempaka yang memimpin mereka, segera meloncat ke
punggung kudanya dan meneriakkan aba-aba.
Sesaat kemudian, beberapa ekor kuda berlari-larian
menerjang kedinding lingkaran yang sudah hampir merapat.
Dengan senjata teracu mereka dengan garangnya menyerang
orang-orang Kendali Putih yang masih termangu-mangu.
Serangan yang tiba-tiba itu ternyata telah memberikan hasil
yang dikehendaki. Selagi orang-orang Kendali Put ih itu
terkejut, maka orang-orang Sanggar Gading telah
memanfaatkan kesempatan itu sebaik-baiknya, sehingga
dalam waktu yang pendek, beberapa orang Kendali Putih telah
terhika oleh senjata orang-orang Sanggar Gading.
"Orangmu memang licik" geram Eyang Rangga "Tetapi
jangan kau sangka bahwa dengan demikian kalian akan
meriang. Semakin banyak orang-orang kalian memasuki arena
perkelahian ini, semakin banyak korban yang akan kau berikan
bagi pusaka yang t idak tentu akan bermanfaat bagi kalian itu"
"Jangan merajuk" jawab Yang Mulia "nikmat ilah
pertempuran yang bagi kalian adalah kesempatan terakhir,
karena dalam pertempuran ini, kalian akan kami binasakan.
Jangan menyesal. Itu adalah tabiat orang-orang Sanggar
Gading menghadapi lawan-lawannya"
Eyang Rangga yang juga bernama Sampir itu menggeram.
Dengan segenap kemampuannya ia menyerang orang yang
disebut Yang Mulia itu. Keduanya adalah orang-orang yang
memiliki ilmu yang tinggi, sehingga dengan demikian, maka
keduanya telah bertempur dengan dahsyatnya. Kuda-kuda
merekapun seolah-olah dapat mengimbangi kemampuan
penunggang-penunggangnya. Dalam keadaan yang paling
gawat, kuda-kuda itupun mampu menyesuaikan dirinya.
Benturan senjata keduanya memercikan bunga api diudara.
Kekuatan mereka yang seolah-olah tidak terbatas itu,
bagaikan mengaduk udara di sekitar pategalan. Ayunan
senjata mereka telah menumbuhkan desing yang
mendebarkan. Para pengikut dari Sanggar Gading dan Kendali
Putih tanpa sadar telah bertempur menjauhi orang-orang tua
itu. "Dimanakah tongkat gadingmu Yang Mulia" geramSampir.
Yang Mulia tertawa pendek Sambil menyerang ia berdesis
"Tongkat itu bukan untuk bertempur. Terlalu mahal untuk
menyentuh senjata lawan. Tetapi pangkal itu ada pada
senjataku ini. Karena itu, tuah gajah mati ngurag itu ada juga
pada senjataku ini" "O" desis Sampir "Aku sama sekali tidak merasakan
kekuatan apapun pada senjatamu. Mungkin karena
kemampuanku memang melampaui kekuatan dan tuah gading
gajah mati ngurag. "Omong kosong" desis Yang Mulia "terasa ditanganku,
kekuatanmu sudah jauh menjadi susut"
Eyang Rangga tertawa. Katanya "Kita akan bertempur
sampai tuntas. Mungkin orang-orang Sanggar Gading dan
orang-orang Kendali Putih akan bertempur sampai orang
terakhir. Dan kita akan bertempur terus. Sejak semula aku
sudah ketahui bahwa kau memang ingin bertempur tanpa,
menunjukkan cacat kakimu. Karena itu, orang-orangmupun
kau perintahkan untuk bertempur diatas punggung kuda.
Tetapi Yang Mulia menjawab "Kau sangka, bahwa dengan
kakiku yang cacat aku tidak mampu bertempur diatas tanah?"
Eyang Rangga tertawa. Terdengar kudanya meringkik,
seolah-olah ikut pula mentertawakan jawaban Yang Mulia
Wukir Gading. Namun kuda itupun harus segera bergeser,
karena Yang Mulia tidak menyerang dengan garangnya.
Sementara itu pertempuran menjadi semakin sengit.
Ternyata kehadiran orang baru itu sangat mempengaruhi
pertempuran. Satu-satu orang-orang Kendali Putih terlempar
dari kudanya. Namun orang-orang Sanggar Gadingpun
menjadi semakin berkurang pula jumlahnya. Pertempuran
berkuda itu ternyata merupakan pertempuran yang paling
dahsyat yang pernah dialami oleh kedua kelompok orangorang
yang garang itu. Sanggit Raina telah memperhitungkan segalanya dengan
saksama. Ia mulai melihat keseimbangan yang berubah.
Meskipun demikian pertempuran itu benar-benar merupakan
pertempuran yang dahsyat.
Dalam dahsyatnya pertempuran itu, Sanggit Raina
berusaha untuk mendekati Cempaka. Dengan hati-hati ia
berbisik "Sudah saatnya. Pertempuran itu berlangsung sangat
seru. Karena itu, kita tidak boleh menunda lagi. Beritahukan
kepada Rahu, agar ia ikut bersama kita. Jangan menimbulkan
kecurigaan terhadap siapapun. Semuanya harus berlangsung
tanpa menarik perhatian orang lain"
Cempaka tidak menjawab. Tetapi iapun segera berkisar.
Sambil bertempur ia berusaha untuk mendekati Rahu yang
sedang sibuk pula dengan lawannya.
Namun Cempaka sempat memberi isyarat kepada Rahu,
sehingga akhirnya Rahupun berusaha untuk melepaskan diri
dari ikatan pertempuran. Ternyata Sanggit Raina telah mempunyai rencana sendiri.
Ditinggalkannya pertempuran yang seru itu. Namun Sanggit
Raina telah memperhitungkan, bahwa pertempuran itu akan
berakhir sampai orang yang penghabisan dari kedua belah
pihak. Mungkin Yang Mulia dan lawannya sajalah yang akan
bertempur sampai waktu yang tidak terbatas. Sementara
orang-orang Sanggar Gading dan orang-orang Kendali Putih
akan habis punah. Sejenak kemudian, tanpa menimbulkan kecurigaan orang
lain, Sanggit Raina, Cempaka dan Rahu berusaha untuk
bertempur dibatas pategalan. Kemudian tanpa diketahui oleh
siapapun ketiganya telah hilang dibalik rimbunnya dedaunan.
Untuk beberapa saat mereka justru telah turun dari kuda
mereka dan menuntun kuda masing-masing untuk
menghindari pengamatan kawan-kawannya.
Sementara itu, pertempuran itupun masih berlangsung
dengan sengitnya. Jika semula orang-orang Sanggar Gading
nampak agak mempunyai kelebihan namun kepergian Sanggit
Raina, Cempaka dan Rahu meskipun tidak terlalu terasa ada
juga pengaruhnya, sehingga rasa-rasanya kedua kekuatan itu
menjadi seimbang. Dalam pada itu, Sanggit Raina, Cempaka dan Rahu itupun
kemudian telah menyusup ke tempat Pangeran yang sedang
sakit itu di sembunyikan. Dengan tergesa-gesa iapun berkata
kepada orang-orang yang mengawal Pangeran itu "Keadaan
memaksa kita untuk meninggalkan tempat ini. Orang-orang
Kendah Putih jumlahnya tidak terhitung. Kekuatannya
melampaui kekuatan orang-orang Sanggar Gading"
"Jadi, apakah yang akan kita lakukan?" bertanya salah
seorang pengawal Pangeran yang sedang sakit itu.
"Kita meninggalkan tempat ini. Pangeran kita selamatkan
dari tangan orang-orang Kendali Putih" jawab Sanggit Raina.
"Dimanakah Yang Mulia sekarang?" bertanya pengawal itu.
"Yang Mulia masih bertempur melawan orang terkuat dari
Kendali Putih" jawab Sanggit Raina "Yang Mulialah yang
memerintahkan kami untuk meninggalkan arena dan
menyelamatkan Pangeran itu"
Orang Sanggar Gading yang mengawal Pangeran itu sama
sekali tidak berprasangka. Menurut pengamatannya, Sanggit
Raina adalah orang yang paling dipercaya oleh Yang Mulia
Panembahan Wukir Gading. Karena itu maka iapun segera
bersiap-siap. Kawan-kawannya yang mengawal Pangeran
itupun telah bersiap-siap pula.
"Marilah. Ikut kami ke bukit gundul" berkata Sanggit Raina.
Dengan demikian, maka merekapun segera meninggalkan
pategalan itu menuju ke bukit gundul. Atas perintah Sanggit
Raina, mereka tidak muncul dari pategalan dan turun kejalan,
tetapi mereka berusaha untuk berada dilingkungan pategalan
itu, sehingga karena itu, maka mereka tidak lagi menelusuri
jalan sebagaimana seharusnya, tetapi mereka turun kesawah
dan melintasi pematang tanpa menghiraukan tanaman.
Dalam terik matahari dan air yang tidak mencukupi, tidak
ada seorangpun yang turun kesawah. Apalagi anak-anak
Lamban Wetan dan Lamban Kulon sedang beristiiahat setelah
semalam suntuk mereka berada di bendungan.
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Disebelah pategalan orang-orang Sanggar Gading dan
orang-orang Kendali Putih bertempur dengan mengerahkan
segenap kemampuan mereka. Satu-satu mereka telah
terbunuh. Namun ada juga yang sekedar terlempar dari
kudanya dalam keadaan terluka parah.
Sanggit Raina sama sekali tidak menghiraukan lagi. Dengan
tergesa-gesa ia membawa Pangeran yang masih dianggapnya
sakit itu ke bukit gundul.
"Rahu" berkata Sanggit Raina "Pergilah mendahului kami.
Panggillah Daruwerdi agar ia mempersiapkan pusaka yang
dijanjikan. Aku telah membawa Pangeran yang
dikehendakinya" Rahu termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian
menyahut "Baiklah. Aku akan memberitahukan Daruwerdi.
agar ia bersiap-siap di bukit gundul.
Sanggit Raina tidak mengulangi pesannya. Rahupun
kemudian memacu kudanya mendahului iring-iringan itu
menuju ke Lumban Kulon untuk menemui Daruwerdi seperti
yang telah disanggupkannya.
"Apakah dengan sikap kita, tidak akan terjadi sesuatu di
kemudian nanti" bertanya Cempaka sambil berbisik disisi
Sanggit Raina. "Aku tidak peduli" jawab Sanggit Raina "Tetapi aku kita
mereka akan hancur bersama-sama. Tidak akan ada yang
tersisa. Mungkin satu dua orang dkntara mereka. Itu adalah
kewajiban kita untuk membunuhnya"
Cempaka mengangguk-angguk. Namun kemudian
"Bagaimana dengan orang-orang yang mengawal Pangeran
itu?" "Apakah kita tidak sanggup membunuhnya pula?" desis
Sanggit Raina. Sekali lagi Cempaka mengangguk-angguk. Tetapi
nampaknya Sanggit Raina masih belum akan berbuat sesuatu
atas para pengawal. Ia masih mempertimbangkan, seandainya
orang-orang Sanggar Gading punah, sementara masih ada
orang-orang Kendali Putih yang tersisa, adalah menjadi
kewajiban taereka untuk membinasakan, sebelum orangorang
Sanggar Gading yang tersisa itu sendiri akan
dibinasakan. "Kita sudah berada diatas genangan darah. Kita tidak perlu
mencuci tangan kita. Biarlah kita berbuat sampai ke batas.
Baru kemudian kita mencari sumber air yang paling bening
untuk mencuci segala macam noda yang melekat ditabuh kita.
Tetapi pusaka dan petunjuk mengenai harta yang tidak
terbatas jumlahnya itu harus berada di tangan kita" geram
Sanggit Raina. Cempaka mengangguk-angguk. Memang t idak ada pilihan
lain. Segalanya itu memang harus terjadi. Jika sekali
tangannya telah bernoda darah, maka sulit baginya untuk
ingkar, bahwa noda-noda berikutnya masih akan melekat.
Meskipun seperti Sanggit Raina, Cempakapun mengetahui,
bahwa masih ada satu jalan yang dapat ditempuh. Bertaubat
mut lak. Tetapi juga seperti Sanggit Raina Cempaka berkata didalam
hatinya "Nanti sajalah jika semua kerja sudah selesai"
Sekaligus aku akan bertaubat dan mencuci segala dosa.
Belum waktunya sekarang, karena aku tentu masih akan
membuat dosa-dosa baru. Jika kemudian aku sudah puas
dengan dosa-dosa dan aku sudah menjadi kaya raya karena
harta yang akan dapat diketemukan atas petunjuk sesuatu
yang berada bersama pusaka itu, serta apalagi jika pusaka itu
benar-benar bertuah dan menjadikan Sanggit Raina orang
terpenting di tanah ini, maka akupun akan menjadi orang
yang berderajad dan sekaligus kaya raya"
Dengan sikap itu Cempakapun telah bertekad untuk
berbuat apa saja dan mengorbankan siapa saja.
Ketika Bukit gundul menjadi semakin dekat. Sanggit Raina
dan Cempaka menjadi berdebar-debar. Demikian gemuruhnya
gejolak di dalam dada Cempaka sehingga diluar sadarnya ia
berdesis "Mudah-mudahan orang-orang Sanggar Gading dan
orang-orang Kendali Putih itu hancur punah"
Ternyatai Sanggit Raina yang berkuda di sebelahnya
mendengarnya. Katanya "Jangan gelisah. Percayalah"
Cempaka mengangguk kecil. Ia berusaha untuk meyakini,
bahwa orang-orang Sanggar Gading dan orang-orang Kendali
Putih memang akan hancur.
Sementara itu, Pangeran yang sedang sakit itu sama sekali
tidak berbuat sesuatu. Ia masih nampak sangat lemah.
Diantara para pengawal yang mengikutinya, terdapat seorang
yang mempunyai kemampuan pengobatan. Orang itu pula
yang telah memberikan obat kepada salah seorang Sanggar
Gading yang terluka dipategalan. Tetapi orang itu
ditinggalkannya dengan harapan, bahwa kawan-kawannya
akan mengambilnya, setelah pertempuran itu selesai
Dalam pada itu, Pangeran yang sakit itupun nampaknya
masih sangat lemah. Meskipun ia sudah mula nampak
berangsur baik, bahkan sudah mulai mau makan barang
sedikit, tetapi ia masih harus dilayani dan dijaga agar tidak
jatuh dari kudanya. "Aku akan dibawa kemana?" bertanya Pangeran itu kepada
pengawalnya. "Ke bukit gundul itu Pangeran" jawab salah seorang dari
mereka. "Apakah sebenarnya yang mereka kehendaki dari aku?"
desis Pangeran itu pula "nampaknya ada salah mengerti"
"Kami tidak berhak memberikan jawaban. Mungkin
Pangeran sudah mnedengar serba sedikit, sengaja atau tidak
sengaja" jawab pengawalnya itu pula.
"Ya. Aku sudah mendengarnya. Seperti yang kau katakan,
sengaja atau tidak sengaja. Tetapi aku tidak yakin bahwa
alasan itulah yang sebenarnya kenapa aku harus dibawa
kemari" desis Pangeran itu.
Pengawalnya tidak menyahut. Sanggit Raina yang berkuda
di depan berpaling. Agaknya ia mendengar percakapan itu
meskipun tidak jelas apa yang mereka maksudkan. Meskipun
demikian, percakapan itupun terhenti pula.
Karena Pangeran itu nampaknya masih sangat lemah, maka
Sanggit Raina tidak mencemaskannya bahwa ia akan berbuat
sesuatu. Bahkan untuk berdiri tegak tanpa bantuan orang lain,
Pangeran itu rasa-rasanya tidak mampu lagi.
"Tetapi ia tidak boleh mati" berkata Sanggit Raina di dalam
hatinya "Daruwerdi tidak akan mau mengerti apapun
alasannya" Beberapa saat kemudian, iring-iringan kecil itu sudah
tinggal beberapa puluh langkah saja dari bukit gundul. Karena
itu, maka merekapun berhenti di bawah sebatang pohon yang
tumbuh di pinggir jalan. Sebatang pohon munggur yang
besar, meskipun daunnya tidak terlalu lebat. Namun demikian,
mereka dapat berteduh sedikit sambil menunggu kehadiran
Rahu dan Daruwerdi. Dalam pada itu, Rahu telah berada dihalaman rumah
tempat tinggal Daruwerdi. Semula ia merasa ragu. Agaknya
ada semacam kecemasan dihati Rahu. Jika pusaka itu benarbenar
jatuh ke tangan orang-orang Sanggar Gading yang telah
berkhianat itu, apakah ia akan dapat berbuat sesuatu. Dan
iapun menjadi cemas akan nasib Pangeran itu. Jika dendam
Daruwerdi itu tidak terkendali, maka Pangeran yang
dianggapnya telah melakukan kesalahan yang sangat besar
terhadap Daruwerdi itu akan mengalami nasib yang buruk
justru disaat ia sedang sakit. Jika demikian, maka telah terjadi
sesuatu yang seharusnya dicegahnya demi nama Demak yang
sedang bangkit. "Lalu, yang manakah yang harus aku kerjakan terutama"
pertanyaan itu bergejolak diliatinya "Apakah aku harus
mendapatkan pusaka itu, atau menyelamatkan Pangeran yang
sedang sakit?" Sekilas diingatnya Semi dan seorang kawannya yang akan
dapat membantunya. Tetapi ia masih belum dapat
berhubungan karena keadaan yang memang belum
memungkinkan. Bahkan masih ada seorang lagi yang akan
melibatkan diri dalam hal yang pelik itu. Jlitheng.
Meskipun Rahu tahu pasti, siapakah Jlitheng dan kebesaran
nama ayahandanya, tetapi dalam perkembangan berikutnya ia
tidak tahu apakah yang sebenarnya ingin dilakukan oleh enak
muda itu. Tetapi Rahu tidak sempat berpikir terlalu panjang. Ia sudah
berada di halaman rumah Daruwerdi.
Sejenak kemudian, Daruwerdi itupun muncul dari balik
pintu. Sambil tersenyum ia berkata "Marilah. Duduklah"
Tetapi Rahu menggeleng. Jawabnya "Tidak perlu. Aku
memberitahukan kepadamu, segalanya sudah siap"
"Jadi orang-orang Sanggar Gading itu t idak sekedar
membual saja?" bertanya Daruwerdi.
"Semuanya judah berada di bukit gundul. Kau datang
sajalah ke bukit itu" berkata Rahu.
Daruwerdi menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya "Baiklah.
Aku akan pergi ke bukit gundul. Segalanya akan aku
selesaikan di bukit itu"
"Terserah kepadamu" desis Rahu. Namun kemudian iapun
bertanya "Tetapi apakah sebenarnya yang akar kau lakukan
atas Pangeran itu" Daruwerdi memandang Rahu sejenak. Namun kemudian ia
tersenyum sambil berkala "Persoalan dengan Pangeran itu
adalah persoalanku. Apapun yang akan aku lakukan
kemudian, terserah kepadaku. Kalian akan menerima pusaka
yang kalian kehendaki"
Rahu menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak dapat memaksa
Daruwerdi untuk mengatakan apapun juga. Bahkan mungkin
akan dapat menimbulkan kecurigaan pada anak itu.
Karena itu, maka iapun kemudian berkata "Marilah,
Cepatlah. Kita akan menyelesaikan persoalan kita secepatnya
sebelum suasana berubah"
"Kenapa?" bertanya Daruwerdi.
"Jangan pura-pura tidak tahu kehadiran orang-orang
Kendali Putih di daerah Sepasang Bukit Mati ini" jawab Rahu.
Daruwerdi mengerutkan keningnya. Namun kemudian
katanya "Aku tidak peduli kehadiran orang manapun juga. Jika
kau serahkan yang aku kehendaki, maka pusaka yang tidak
akan berarti apa-apa bagiku itu akan aku serahkan pula.
Tetapi kalian tentu akan kecewa, karena sebenarnya pusaka
itu sama sekali tidak mempunyai pengaruh terhadap siapapun.
Adalah satu mimpi bahwa pusaka itu akan dapat memberikan
tuah sehingga siapa yang memilikinya akan dapat memegang
kendali kekuasaan di Demak"
"Jangan mengigau. Cepatlah berkemas dan ambil kudamu"
potong Rahu. Daruwerdi tersenyum. Jawabnya "Baiklah, Nampaknya kau
sangat tergesa-gesa. Duduklah. Aku akan mengambil kudaku"
"Aku menunggu di sini" sahut Rahu,
Ketika Daruwerdi kemudian masuk ke ruang dalam,
dilihatnya ibunya mengusap setitik air dipelupuknya. Dengan
suara lembut ia berdesis "ngger, kau sedang bermain api"
"Sudahlah ibu" sahut Daruwerdi "Silahkan ibu duduk saja
dan menunggu apa yang akan terjadi. Paman berdua akan
menemani ibu disini. Aku akan pergi ke bukit gundul untuk
mengambil orang yang aku kehendaki itu"
"Bagaimana dengan kau dan Pangeran itu jika orang-orang
yang membawanya telah berkhianat?" ibunya menjadi cemas.
Tetapi Daruwerdi tersenyum saja. Ketika ia berpaling
kepada kedua orang pamannya, iapun berdesis "Jangan
cemas paman. Sebaiknya paman menunggui ibu disini.
Nampaknya ibukan hanya orang-orang Sanggar Gading
sajalah yang datang ke daerah Sepasang Bukit Mati ini. Tetapi
juga orang-orang Kendali Putih dan mungkin orang-orang
Pusparuri pula. "Aku adalah seorang petualang yang sudah kenyang makan
pahit manisnya petualangan" berkata salah seorang
pamannya. Lalu "Tetapi aku kira, aku tidak akan berani
melakukan seperti yang akan kau lakukan"
"Bukan apa-apa paman. Mudah sekali" jawab Daruwerdi.
Namun pamannya yang lain berkata "Nampaknya kau tidak
tahu bahaya yang sedang kau hadapi. Seperti kanak-kanak
yang tidak tahu panasnya api, sehingga ia berani
memegangnya. Dan sebenarnya itu bukan satu keberanian.
Tetapi semata-mata karena ketidak tahuan"
"Agak berbeda dengan paman" jawab Daruwerdi tersenyum
"Anak-anak melakukannya tanpa kesadaran. Aku melakukan
rencanaku dengan sadar dan perhitungan yang masak"
"Perhitungan kanak-kanak" desis ibunya "agaknya kedua
pamanmu mempunyai pertimbangan-pertimbangan lain"
"Jangan rusakkan rencanaku" desis Daruwerdi "Sudahlah.
Aku akan melakukannya dengan sebaik-baiknya. Sebentar lagi
aku akan datang dengan membawa Pangeran. Kemudian kita
akan meninggalkan tempat ini secepat-cepatnya kearah yang
tidak akan diketemukan oleh siapapun"
Daruwerdi tidak dapat dicegah lagi. Karena itu kedua
pamannya hanya dapat mengangkat bahunya. Hampir
berbareng keduanya berdesah oleh kegelisahan. Sementara
ibunya dengan lemahnya duduk diamben bambu, samoil
mengusap air matanya yang menitik semakin deras.
Tetap Daruwerdi tidak dapat menunda lagi. Rahu sudah
menunggunya. Dan ia memang akan pergi ke bukit gundul itu.
Dengan tergesa-gesa Daruwerdipun kemudian pergi ke
kandang. Diambilnya kudanya dan dituntunnya kehalaman.
Rahu sudah menjadi gelisah. Ketika ia melihat Daruwerdi,
maka Katanya "Cepatlah. Apakah kau sengaja memperpanjang
waktu untuk satu kepentingan tertentu?"
"Kau terlalu berprasangka buruk" sahut Daruwerdi "Sudah
aku katakan. Aku memerlukan Pangeran itu, karena bagiku
nilainya jauh lebih penting dari nilai apapun juga., Siapapun
yang membawanya" Rahu tidak menjawab. Iapun kemudian dengan tergesagesa
pula mengajak Daruwerdi untuk segera pergi ke bukit
gundul. Karena Daruwerdi tidak membawa apapun juga, maka
Rahupun bertanya kepadanya ketika keduanya mulai berpacu
"Dimana, pusaka itu" Nampaknya kau tidak membawa apapun
juga?" "Semuanya sudah ada di bukit gundul itu" bertanya
Daruwerdi.
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau yang meletakkan disana?" bertanya Rahu.
"Bukan aka Tempatnya memang agak tersembunyi.
Maksudku, bahwa aku telah mengetahui letaknya dengan
pasti. Justru agak tertutup, sehingga aku memerlukan dua
atau tiga orang untuk membantu mengambitaya. Aku sendiri
tidak dapat melakukannya" berkata Daruwerdi.
Rahu mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menjawab.
Memang sebuah teka-teki yang rumit sedang berkecamuk di
dalam kepalanya. Sementara iapun masih belum tahu pasti,
apakah Semi sudah berada di sekitar bukit gundul.
"Jika ia melihat orang-orang Kendali Putih meninggalkan
bukit berhutan itu, ia akan mengikutinya" berkata Rahu di
dalam hati "Tetapi apakah ia melihat Sanggit Raina membawa
Pangeran itu meninggalkan arena yang dahsyat, yang seperti
perhitungan Sanggit Raina, kedua belah pihak akan punah
atau setidak-tidaknya mengalami luka yang sangat parah" lalu,
tiba-tiba saja ia berdesis di dalam hati "Jlithenglah yang tentu
sudah melihat kehadiran Sanggit Raina. Tetapi ia tidak melihat
peristiwa yang terjadi di pategalan itu"
Sebenarnyalah, dari kejauhan Jlitheng telah melihat
kehadiran Sanggit Riaina bersama iring-iringan kecilnya. Iapun
melihat Rahu yang mendahuluinya. Dan Jlithengpun
mengetahui bahwa Rahu tentu akan memanggil Daruwerdi
untuk melakukan tukar menukar.
Tetapi seperti yang diduga oleh Rahu, Jlitheng tidak tahu
apakah sebabnya, yang datang ke bukit gundul itu hanya
beberapa orang saja yang dipimpin oleh Sanggit Raina dan
Cempaka. "Aneh" desis Jlitheng di dalam hati "Apakah artinya
semuanya itu. Apakah ada satu maksud tertentu atau usaha
yang sudah mulai dirintis oleh Cempaka dan kakaknya untuk
menguasai pusaka itu diluar pengetahuan pimpinan tertinggi
padepokan Sanggar Gading"
Namun Jlithengpun sudah menduga, bahwa Sanggit Raina
dan Cempaka telah melakukan rencananya untuk
mendapatkan satu keuntungan bagi mereka sendiri.
Jlitheng yang bersembunyi dibalik sebuah gerumbul perdu
yang agak jauh dari bukit gundul itu terkejut ketika ia
mendengar desir lembut di belakangnya. Dengan serta merta
ia memutar tubuhnya dan bersiap untuk menghadapi segala
kemungkinan. Namun iapun menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat
seseorang yang tersembul dari sebuah gerumbul yang berserakkan
di sekitarnya. "Kiai mengejutkan aku" desis Jlitheng.
Kiai Kanthi tersenyum. Katanya "Aku telah menerima ngger.
Aku mengelilingi bukit gundul ini"
"Mereka sudah datang Kiat" desis Jlitheng "Tetapi hanya
beberapa orang saja. Agaknya pimpinan tertinggi padepokan
Sanggar Gading tidak turun sendiri kemedan"
"Tidak ngger. Pemimpin tertinggi padepokan Sanggar
Gading inilah yang telah memimpin pasukannya segelar
sepapan" Jlitheng mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia
berkata "Tetapi hanya mereka sajalah yang sampai ke bukit
gundul ini?" Kiai Kanthi mengangguk-angguk. Katanya "Yang lain
sedang bertempur di pategalan. Ternyata orang-orang yapg
berada di lereng bukit berhutan itu, tidak menunggu sampai
Pangeran itu diserahkan. Mereka telah menyerang orangorang
Sanggar Gading dan agaknya mereka ingin merampas
Pangeran itu" Jlitheng mengangguk-angguk. Katanya "Satu pergulatan
yang sengit. Nampaknya orang-orang yang menunggu itu
sudah tidak sadar lagi. Tetapi mereka sudah melakukan
sesuatu yang berbahaya. Berbahaya bagi mereka sendiri dan
berbahaya bagi Pangeran itu"
"Ya ngger. Tetapi mungkin sekali mereka mempunyai
perhitungan tersendiri. Mungkin mereka menganggap bahwa
cara itu akan lebih baik ditempuh daripada mereka menunggu
orang-orang Sanggar Gading itu memperoleh pusaka yang
mereka percaya mempunyai tuah. Dengan pusaka itu ditanam,
maka orang-orang Sanggar Gading tidak akan dapat
dikalahkannya" desis Kiai Kanthi.
"Mungkin Kiai, meskipun mungkin ada perhitunganperhitungan
yang lain. Tetapi satu kenyataan telah terjadi,
bahwa pertempuran itu sudah berlangsung" jawab Ilitheng.
"Ya. Menurut pengamatanku pertempuran itu akan
berlangsung sangat seru. Nampaknya kedua belah pihak
mempunyai kekuatan yang seimbang" berkata Kiai Kanthi.
"Lalu kenapa Sanggit Raina telah membawa Pangeran itu
mendahului pasukannya yang sedang bertempur?" bertanya
Jlitheng. "Aku hanya dapat menyaksikan dari kejauhan ngger,
sehingga aku t idak dapat mengerti, apakah sesungguh yang
terjadi. Tetapi menurut dugaanku, Sanggit Raina
menyelamatkan Pangeran itu, sehingga dengan demikian
maka pusaka itu akan tetap berada di tangan orang-orang
Sanggar Gading meskipun itu akan berakhir dengan sangat
mengerikan. Jika kekuatan mereka benar-benar seimbang,
akan keduanya tentu akan punah sampai orang yang terakhir"
jawab Kiai Kanthi. "Kenapa dengan demikian Yang Mulia Panembahan Wukir
Gading tidak justru Memanfaatkan tenaga Sanggit Raina
Cempaka dan Rahu selain beberapa orang yang mengawal
Pangeran itu untuk menghancurkan lawan mereka sama
sekali. Dengan orang-orang terpenting dari Sanggar Gading
itu, maka mereka tentu akan dapat mengalahkan lawan
mereka" sahut Jlitheng.
Tetapi Kiai Kanthi menggeleng. Katanya "Aku tidak tahu,
apakah alasan yang sebenarnya, bahwa Sanggit Raina telah
membawa Pangeran itu. Yang aku katakan hanyalah satu
dugaan" Jlitheng hanya dapat mengangguk-angguk saja. Mereka
memang hanya dapat menduga-duga, apakah yang telah
terjadi sebenarnya. Namun dalam pada itu, pertempuran di pategalan itu memang
telah berlangsung dengan sangat mengerikan. Kedua pihak
ternyata terdiri dari orang-orang yang, kasar. Ketika tubuh
mereka telah basah oleh bukan saja keringat, tetapi darah,
maka mereka menjadi buas dan liar. Mereka tidak lagi dapat
menguasai diri. Mereka bertempur bagaikan seekor harimau
yang kelaparan atau sebagai kawanan serigala yang berebut
bangkai. Bahkan mereka yang telah terluka dan terjatuh dari
kuda masing-masingpun masih juga bertempur dengan sisasisa
tenaga mereka. Seorang yang telah terluka dengan sisa
tegananya berusaha untuk menghunjamkan pedang mereka
pada lawannya yang sudah terbaring diam sambil mengerang.
Namun ternyata bahwa orang itu tidak mampu lagi
melakukannya dan bahkan kemudian jatuh terbaring dislisi
lawannya sambil mengerang pula.
Namun mereka yang masih mampu melangkah dengan
tertatih-tatih telah melepaskan dendam dan kemarahannya
kepada lawan-lawannya yang sudah t idak berdaya.
Tetapi ketika seorang yang terhuyung-huyung dengan
pedang di tangan siap untuk menusuk leher, tiba-tiba saja ia
telah terlempar jatuh karena hentakkan bindi yang berat
dipunggungnya dari seorang lawannya yang masih berada
dipunggung kuda. Yang Mulia Panembahan Wukir Gading masih bertempur
dengan sengitnya melawan Eyang Rangga. Keduanya adalah
orang-orang yang memiliki ilmu yang lain yang tidak berani
mendekat sama sekali. Dengan tangkasnya keduanya memutar senjata masingmasing.
Kuda mereka berlari sambar-menyambar. Mereka
sama sekali t idak menghiraukan lagi keadaan disekitar
mereka. Satu-satu pengikut mereka dikedua belah pihak telah
terbunuh. Seperti yang diramalkan oleh Sanggit Raina, bahwa
kedua belah pihak pada akhirnya akan mengalami keadaan
yang sangat parah. Meskipun demikian, diluar sadar, Yang Mulia Panembahan
Wukir Gading dapat melihat, ada yang kurang pada pakukannya.
Dalam pertempuran yang garang dengan arena yang
luas, Panembahan Wukir Gading merasakan, bahwa,
pasukannya tidak bertempur dengan sepenuh kekuatan.
"Ada yang kurang" Ia berdesis "Tetapi ia tidak segera
mengetahui, apakah yang kurang itu sebenarnya"
Sementara itu. Sanggit Raina, Cempaka dan beberapa
orang pengikut dari padepokan Sanggar Gading masih berada
di bawah sebatang pohon yang meskipun tidak terlalu rimbun,
namun dapat menjadi tempat sekedar untuk berteduh sambil
menunggu kedatangan Rahu yang sedang memanggil
Daruwerdi ke bukit gundul. Kegelisahan yang mencengkam
membuat Sanggit Raina tidak dapat berdiri tenang. Kudanya
yang ditambatkannya pada pohon itupun nampaknya menjadi
gelisah pula, Rasa-rasanya Rahu telah pergi sehari penuh.
Cempakapun menjadi gelisah pula. lapun telah
menambatkan kudanya dan berjalan hilir mudik. Sekali-kali ia
berhenti memandang kekejauhan. Tetapi ia tidak melihat Rahu
muncul dari balik tikungan. Sementara itu bukit gundul itupun
nampaknya bagaikan tempurung raksasa yang menelungkup.
Diam dan beku. Sementara itu. Pangeran yang dianggap masih dalam
keadaan sakit itupun menjadi gelisah pula. Ketika ia sadar,
bahwa hanya ada beberapa orang-orang muda yang
menungguinya, tambul niatnya untuk melepaskan diri. Ia
merasa, bahwa ia akan mampu melakukannya. Meskipun ia
tidak dapat bertempur langsung melawan mereka dalam
jumlah yang terlalu banyak, namun dengan hentakkan
pertama ia dapat membunuh orang yang bernama Sanggit
Raina itu dengan ilmunya, justru pada saat orang itu lengah.
Kemudian adiknya yang bernama Cempaka dan para
pengikutnya yang lain tidak akan terlalu sulit untuk melawan
sambil menghindar. Tetapi keinginannya untuk mengetahui, apakah latar
belakang dari semuanya itu telah mencegahnya. Ia masih saja
berpura-pura sakit. Dengan demikian ia akan dihadapkan pada
satu saat yang ingin dimengertinya. Pangeran itu benar-benar
ingin mengetahui, siapakah orang yang telah menuntut agar
dirinya diserahkan. Keragu-raguan yang tajam telah menghentak-hentak
didadanya. Namun akhirnya ia memilih untuk tetap tinggal
dalam keadaannya, seolah-olah ia masih seorang yang sakit.
Bahkan ia telah berhasil mengelabui orang yang merawat dan
mengobatinya. Ketika Sanggit Raina dan Cempaka masih saja dicengkam
oleh kegelisahan, maka Pangeran yang dibayangi oleh keraguraguan
itupun telah berbaring diatas rerumputan.
Sebenarnyalah bahwa iapun menjadi sangat gelisah. Tetapi ia
tidak dapat menyingkirkan keinginannya untuk bertemu
dengan orang yang memerlukannya.
-ooo0dw0oooTiraikasih Karya : SH Mintardja Convert by : Dewi KZ Editor : Dino
Jilid 15 SANGGIT RAINA yang melihat Pangeran itu berbaring
dengan lemahnya berkata "Tahankan Pangeran. Perjalanan
Pangeran sudah hampir selesai"
"Kau hanya mengira-ira" sahut Pangeran itu.
"Aku pasti. Pangeran akan sampai ketujuan" berkata
Cempaka yang mendengar percakapan itu.
"Tidak anak-anak muda. Bahkan mungkin di bukit gundul
itu, perjalanan yang lebih rumit baru akan aku mulai. Kalian
tidak tahu, apa yang akan terjadi kemudian" desis Pangeran
itu sambil memandang dedaunan dialasnya.
Sangit Raina menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Pangeran benar. Tetapi aku mengatakan, perjalanan
Pangeran diantara orang-orang Sanggar Gading telah hampir
selesai. Dihadapan kita itu adalah bukit gundul. Disana nanti
Pangeran akan bertemu dengan orang yang memerlukan
Pangeran" "Ya. Dan mulailah yang masih belum kita ketahui itu" sahut
Pangeran itu tanpa memalingkan wajahnya. Ketika angin
semilir, maka daun-daun itupun bergerak-gerak perlahanlahan.
Sanggit Raina tidak menjawab lagi. lapun sadar, bahwa
Pangeran yang disangkanya masih sakit dan lemah itu menjadi
sangat gelisah, karena ia tidak mengetahui apa yang akan
terjadi atas dirinya setelah ia diserahkan kepada orang yang
tidak dikenalnya pula. Menunggu memang merupakan pekerjaan yang sangattidak
menyenangkan. Sekali-kali terdengar Cempaka
mengumpat seolah-olah Rahu tidak dapat melakukan
pekerjaannya dengan sebaik-baiknya,
Namun sejenak kemudian, Cempaka itupun- meloncat ke
tengah jalan ketika ia melihat debu yang mengepul. Kemudian
muncul seekor kuda dengan penunggangnya.
"Orang itu datang" desis Cempaka.
Sanggit Rainapun kemudian siap pula menyongsongnya.
Namun dengan jantung yang berdebaran ia berkata "Sendiri"
"Mudah-mudahan orang itu tidak menjadi gila dan
membunuh Daruwerdi geram Cempaka.
"Tentu tidak" sahut Sanggit Raina.
"Jika terjadi perselisihan?" desis Cempaka pula.
"Tidak. Ia cukup mengerti arti dari persoalan ini dalam
keseluruhan" gumam Sanggit Raina.
Kuda Rahu yang berlari itu rasa-rasanya sangat lamban.
Namun akhirnya Rahu itupun telah meloncat turun dari
kudanya ketika ia sudah berada dihadapan Sanggit Raina dan
Cempaka. Pangeran yang berbaring itu masih saja berbaring. Seolaholah
ia sama sekali tidak menghiraukan kedatangan Rahu.
Tanpa bergeser dan berpaling sedikitpun, ia menarik nafas
sambil berdesis "Segalanya terasa semakin gelap bagiku"
Namun sementara itu Sanggit Raina berkata "Katakan, apa
yang sudah kau lakukan"
Rahu termangu-mangu sejenak. Dipandanginya Pangeran
yang masih saja berbaring direrumputan. Seolah-olah ia sudah
pasrah, apa yang akan terjadi atasnya, selain karena menurut
dugaan Rahu, sakitnya masih belum berkurang.
"Cepat, katakan" desak Cempaka.
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rahu menarik nafas panjang. Kemudian diceriterakannya
apa yang sudah dikatakan oleh Daruwerdi kepadanya.
"Jadi kita harus pergi ke bukit gundul itu" bertanya Sanggit
Raina, "Ya" jawab Rahu.
"Anak setan. Ia tidak mau datang hanya beberapa langkah
saja dari bukit gundul?" bertanya Cempaka.
"Pusaka yang dikatakannya berada di bukit gundul. Justru
berada di tempat yang sulit untuk diambil. Ia memerlukan
bantuan beberapa orang diantara kita" jawab Rahu.
Sanggit Raina tidak mau menunggu lebih lama lagi. Iapun
segera memerintahkan orang-orangnya untuk bersiap.
Katanya "Kita harus melakukan semuanya dengan cepat. Jika
pada pertempuran itu masih ada orang-orang Kendali Putih
yang tersisa, maka kita harus berhati-hati" Mungkin mereka
akan menyusul kita dan kita masih harus bertempur"
"Apakah menurut pendapatmu, orang-orang kita termasuk
Yang Mulia tidak dapat mengalahkan orang-orang Kendali
Putih?" tiba-tiba saja seorang pengikutnya bertanya.
"Tentu orang-orang Sanggar Gading akan menang" jawab
Sanggit Raina "Tetapi segalanya dapat terjadi, dan Yang Mulia
telah memerintahkan aku untuk mendahului perjalanannya.
Bukankah itu merupakan satu pertimbangan atau satu
kemungkinan?" Pengikutnya tidak bertanya lagi. Namun iapun kemudian
berkata kepada Pangeran yang masih berbaring "Cepat
Pangeran. Bangkitlah dan kita akan berangkat lagi"
Dengan segan Pangeran itupun kemudian bangkit.
Nafasnya masih nampak sesak dan sekali-kali ia masih
memegangi punggungnya sambil berdesah.
Dibantu oleh seorang pengikut Sanggit Raina, Pangeran itu
naik ke punggung kudanya. Ketika terdengar ia berdesis,
orang yang membantunya membentaknya "Jangan terlalu
manja" Cempaka yang mendengar kata-kata pengikutnya itupun
membentak pula "Gila. Pangeran sedang sakit. Apakah kau
ingin merasakannya" Aku dapat membuat kau sakit, dan
melihat, apakah kau dapat naik ke punggung kuda"
Orang itu terdiam. Tetapi dengan tajamnya ia memandangi
Pangeran yang sudah duduk dipunggung kuda. Betapa
kebencian orang itu nampak pada sorot matanya. Tetapi
Pangeran itu tidak menghiraukannya.
Sejenak kemudian, iring-iringan itu sudah bergerak ke bukit
gundul yang sudah berada di depan hidung mereka. Tetapi
seperti yang dikatakan oleh Daruwerdi, mereka harus datang
ke bukit gundul dan membantu mengambil pusaka itu.
Mereka hanya memerlukan waktu beberapa saat. Ketika
iring-iringan itu sudah berada di kaki bukit itu, maka Rahu
telah meloncat turun. Dengan nada tinggi ia memanggil
"Daruwerdi. Kami sudah disini"
"Kemarilah" terdengar jawaban dari kejauhan. Lalu "Aku
memerlukan tiga orang untuk membantuku agar segalanya
cepat selesai" Rahu berpaling kearah Sanggit Raina untuk minta
pertimbangannya. Namun kemudian Sanggit Rainapun berkata
kepada Cempaka "Pergilah bersama Rahu dan seorang lagi.
Jika terjadi kecurangan, beri aku isyarat"
Rahu dan seorang pengikut padepokan Sanggar Gadingpun
kemudian mengikuti Cempaka naik ke bukit gundul itu menuju
kearah suara Daruwerdi dibalik sebuah bongkahan batu padas
yang besar. Sementara Sanggit Raina dan beberapa orang
lainnya, menunggui Pangeran yang sudah turun pula dari
kudanya dan duduk dengan lemahnya bersandar batu padas.
"Pangeran merasa letih sekali?" bertanya Sanggit Raina.
"Aku akan mati" berkata Pangeran itu "nafasku menjadi
sesak dan darahku serasa berhenti"
"Tahankan Pangeran. Sebentar lagi Pangeran akan bertemu
dengan orang yang memerlukan Pangeran" desis Sanggit
Raina, "Dimana orang itu?" bertanya Pangeran yang masih
nampak seperti orang sakit.
"Pangeran dengar suaranya. Dibalik sebongkah batu padas
itu. Ia sedang mengambil pusaka yang dikatakannya" jawab
Sanggit Raina. Pangeran itu tidak menjawab. Tetapi kegelisahan yang
sangat telah mencengkam jantungnya. Bukan karena ia akan
berada di tangan orang yang tidak dikenalnya Tetapi bahwa
seseorang telah ingin menukarnya dengan pusaka itu,
agaknya telah menumbuhkan satu gejolak yang dahsyat di
dalam hatinya. Ia menjadi semakin curiga atas segala
persoalan yang dihadapi. "Ada satu permainan yang rumit" berkata Pangeran itu di
dalam hatinya "Tetapi aku kira, aku mulai dapat merabanya.
Meskipun mungkin salah, tetapi ada kemungkinan bahwa
memang demikianlah nalarnya"
Tetapi Pangeran itu masih tetap dalam sikapnya. Ia adalah
seorang yang sakit, yang tidak mampu berbuat apa-apa.
Meskipun ia seorang yang memiliki ilmu yang tinggi, tetapi ia
tidak dapat melawan kehendak Yang Paling Berkuasa Ilmunya
yang bertimbun di dalam dirinya, tidak satupun yang dapat
dipergunakan untuk melawan sakit yang datang kepadanya.
Bahkan seandainya seseorang berilmu kebal sekalipun, ia tidak
akan kebal terhadap penyakit yang memang dikehendaki oleh
Yang Maha Kuasa. Pangeran itu hampir tidak dapat menahan hatinya untuk
ikut naik dan bertemu orang yang berada di balik sebongkah
batu padas, yang mengatakan bahwa pusaka itu ada di
tempat itu, dan memerlukan tiga orang untuk membantu
mengambilnya. "Semuanya sudah gila. Permainan inipun permainan gila
pula nampaknya" desis Pangeran itu.
Namun setiap kali ia akan melakukan sesuatu, maka iapun
selalu kembali kepada keadaannya. Ia harus benar-benar
seperti, orang yang masih belum mampu berbuat apa-apa,
karena penyakitnya. Dalam pada itu Cempaka dan kedua orang yang
menyertainya telah hilang dibalik batu padas. Mereka
termangu-mangu sejenak, karena mereka tidak segera melihat
Daruwerdi. Bahkan Cempakapun kemudian berdesis
"Daruwerdi, dimana kau bersembunyi?"
"Aku disini" jawab Daruwerdi "kemarilah" Cempakapun
kemudian beringsut maju. Dihadapannya terdapat sebuah
lekuk dan sebongkah batu padas yang lain berdiri tegak
bagaikan pintu gerbang. Dengan hati-hati Cempaka maju beberapa langkah diikuti
oleh Rahu dan seorang kawannya. Bagaimanapun juga
mereka tidak dapat mempercayai Daruwerdi sepenuhnya.
Mungkin anak itu akan berbuat kecurangan atau tingkah laku
yang dapat merugikan orang-orang Sanggar Gading.
Bahkan seorang pengikutnya telah memegang hulu
pedangnya ketika mereka melingkari batu padas itu.
Namun ternyata mereka justru menarik nafas dalam-dalam.
Mereka melihat Daruwerdi duduk diatas sebongkah batu
padas. "Kalian ternyata memang pengecut" berkata Daruwerdi
ketika Cempaka bergeser mendekatinya.
"Kenapa?" bertanya Cempaka.
"Kau kira aku akan berbuat curang" Kau merangkak seperti
seorang pencuri memasuki rumah yang dijaga oleh sepasukan
prajurit " Cempaka menggeretakkan giginya. Katanya "Jangan
banyak bicara. Aku dapat membunuhmu sekarang, karena
pusaka itu akan dapat aku ketemukan tanpa kau sekarang ini"
Daruwerdi tertawa. Katanya "Jangan mimpi. Pusaka itu
masih belumdapat kalian cari sendiri tanpa aku"
"Tentu dapat Pusaka itu tentu berada di dalam lekuk itu.
Memang sulit untuk mengambilnya, tetapi aku akan dapat
melakukannya" jawab Cempaka.
Daruwerdi tertawa. Disela-sela suara tertawanya ia berkata
"Kau tergesa-gesa. Pusaka itu tidak ada disitu. Aku memang
menunggumu disini. Tetapi pusaka itu tidak berada disini"
"Gila" geram Cempaka "Cepat. Ambil pusaka itu. Kami tidak
mempunyai waktu lagi"
"Kau sudah membawa orang yang aku minta?" bertanya
Daruwerdi. "Lihatlah. Pangeran itu adalah di lereng bukit ini" geram
Cempaka. "Baiklah, aku percaya. Akupun percaya bahwa kalian tidak
akan curang. Setelah aku menyerahkan pusaka itu, maka
kalian harus menyerahkan Pangeran itu. Jika tidak, kalian
tentu akan menyesal. Aku sudah berusaha untuk tidak
mempergunakan kekerasan. Tetapi jika kalian dengan
kecurangan itu, maka orang-orang Sanggar Gading akan
tumpas disini" ancam Daruwerdi.
"Omong kosong" potong Cempaka "Kau memang banyak
bicara. Sekarang, manakah pusaka itu"
"Sebenarnya aku akan minta Pangeran itu dibawa naik
kepuncak bukit ini" berkata Daruwerdi kemudian.
"Pangeran itu sedang sakit. Kau tentu sudah tahu. Ia tidak
akan dapat merangkak sekalipun iampai ke tempat ini. Kecuali
jika kau mau turun sebentar dan mendukungnya" jawab
Cempaka geram. Daruwerdi tersenyum. Katanya "Jangan cepat marah.
Marilah Aku akan mengambil pusaka itu. Kalian harus
membantuku Kemudian aku sendiri akan membawanya turun
dan menyerahkannya kepada seseorang yang berhak
menerima, tetapi Pangeran itu harus kalian serahkan
kepadaku dengan tangan terikat"
"Ia sedang sakit. Berdiripun ia tidak mampu. Mengapa
harus diikat?" bertanya Rahu.
Daruwerdi termangu-mangu. Namun kemudian Katanya
"Meskipun sedang sakit, tetapi ia mempunyai setumpuk ilmu
di dalam dirinya" "Ia tidak mampu mengetrapkan ilmunya dalam
keadaannya" jawab Rahu "ketika kami mengambilnya, maka ia
tidak dapat bangkit dari pembaringannya. Jika ia mampu ia
tentu akan ikut bertempur bersama pengawal-pengawalnya.
Jika demikian, kami pasti tidak akan dapat membawanya
kemari" Daruwerdi mengangguk-angguk. Agaknya yang dikatakan
Rahu itu benar. Jika la tidak dalam keadaan yang sangat
lemah, maka ia tentu dapat berbuat sesuatu. Orang-orang
Sanggar Gading tidak akan dapat dengan mudah menawannya
dan membawanya ke bukit gundul itu.
"Baiklah" berkata Daruwerdi "nanti aku akan melihatnya.
Jika perlu, aku minta Pangeran itu terikat. Jika ia tidak
berbahaya, biarlah ia bebas"
"Tetapi jangan terlalu banyak berbicara. Kita akan
mengambil pusaka itu" potong Cempaka.
"Baiklah Kita akan mengambilnya sekarang" jawab
Daruwerdi. Cempaka menjadi berdebar-debar. Tetapi karena
Daruwerdi hanya seorang diri dan tidak menunjukkan sikap
yang mencurigakan, maka Cempakapun tidak bersikap terlalu
tegang Ketika Daruwerdi kemudian bangkit dan meloncat diantara
batu-batu padas, maka Cempaka Rahu dan seorang
pengikutnya telah mengikut inya pula.
Ternyata seperti yang dikatakan oleh Daruwerdi, pusaka itu
tidak berada di dalam lekuk dibalik batu padas itu. Tetapi
mereka masih menyusuri lekuk itu beberapa puluh langkah.
"Tetapi jangan mencoba berkhianat" geram Daruwerdi
"tanda tempat pusaka itu sudah nampak"
"Persetan" geram Cempaka.
"Diseputar gunung kecil yang gundul ini, terdapat orangorangku
yang siap membantai kalian" berkata Daruwerdi.
Cempaka tidak menjawab. Namun ia mulai tertarik kepada
sebongkah batu padas. Batu padas yang mempunyai bentuk
yang khusus, yang jika diperhatikan dengan sungguhsungguh,
akan nampak bekas tangan manusia yang
membentuknya" Setapak demi setapak Cempaka melangkah mendekati batu
padas itu. Sambil tersenyum Daruwerdi mengamatinya.
Namun ketika Cempaka mengguncang-guncang batu itu,
sambil tertawa Daruwerdi berkata "Tidak disitu, batu itu hanya
satu tanda. Tetapi barang yang kau cari berada di tempat lain"
"Aku tahu. Cepat, tunjukkan" jawab Cempaka.
Daruwerdipun kemudian melangkah maju. Dengan nada
datar ia berkata "Kemarilah. Aku akan mulai"
Cempaka mengerutkan keningnya. Dengan heran ia
bertanya "Apa yang akan kau mulai?"
"Mengambil pusaka itu" jawab Daruwerdi
"Mulai apa?" bertanya Cempaka pula.
"Kau kira aku akan dapat mengambil pusaka itu begitu
saja" Kau harus menyadari, bahwa pusaka itu bukan
sembarang pusaka. Aku sendiri tidak tahu, pusaka apa yang
ada di dalamnya. Tetapi aku menguasai syarat untuk
mengambilnya. Aku mengerti, siapakah yang harus aku sebut
agar pintu penyimpanan pusaka itu terbuka" berkata
Daruwerdi "Jadi apa gunanya kami bertiga kau suruh membantu
mengambil pusaka itu?" bertanya Cempaka pula.
"Kau memang dungu. Selama ini kau hanya mengenal batu,
padang perdu dan hutan behendotan" desis Daruwerdi
"dengar. Pusaka itu adalah pusaka yang bertuah. Meskipun
kita akan mengerahkan seribu orang untuk mengambilnya,
kita tidak akan berhasil jika pintu gaib itu tidak terbuka. Nah,
sekarang, kaulah yang memperpanjang waktu dengan
pertanyaan-pertanyaanmu yang bodoh itu"
Cempaka mengerutkan keningnya. Lalu katanya "Baiklah.
Lakukan secepat dapat kau selesaikan. Waktuku tidak banyak.
Tetapi ingat, jangan mempermainkan kami. Meskipun
seandainya benar disekitar tempat ini ada orang-orangmu
tersembunyi, tetapi aku tentu sudah sempat membunuhmu
lebih dahulu. Betapa cepatnya isyarat yang kau lontarkan, dan
betapa cepatnya orang-orangmu bergerak, namun mereka
akan tertahan oleh orang-orang Sanggar Gading barang satu
dua kejap. Waktu itu sudah cukup untuk membunuhmu"
Daruwerdi tidak menjawab. Tetapi iapun kemudian
melangkah mendekati batu yang nampak bekas tangan
manusia yang membentuknya meskipun hanya sederhana.
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kemudian anak muda itu duduk menghadap batu itu dengan
sikap yang sungguh-sungguh,
"Bantu aku" berkata Daruwerdi "terserah caramu. Tetapi
kita akan memohon agar pintu dibuka, sehingga kita akan
dapat mengambil pusaka itu"
Tiba-tiba saja Cempaka telah dicengkam oleh suasana yang
aneh. Diluar sadarnya, iapun kemudian berjongkok pula,
diikuti oleh Rahu dan seorang kawannya.
Dengan jantung yang berdebar-debar, Cempaka mengikuti
apa yang sedaag dilakukan oleh Daruwerdi. Ia melihat anak
muda itu tepekur sambil bergeramang tanpa diketahui artinya.
Sementara itu, di bawah bukit gundul. Sanggit Raina
menunggu dengan gelisah. Waktunya tidak terlalu banyak.
Masih banyak kemungkinan dapat terjadi. Jika pertempuran
itu berakhir dan masih terdapat sisa-sisa pasukan dari kedua
belah pihak, maka mereka tentu akan mencarinya di bukit
gundul ini. Terutama orang-orang Sanggar Gading sendiri.
Bagi Sanggit Raina, Cempaka rasa-rasanya telah pergi
untuk waktu yang lama sekali. Tetapi disaat-saat ia hampir
kehabisan kesabaran, Cempaka ternyata masih belum tampak
turun dari bukit gundul itu.
Dalam pada itu, nampaknya keadaan Pangeran itupun
menjadi semakin gawat. Ia nampaknya menjadi semakin
lemah. Sambil duduk bersandar batu padas, terdengar sekalisekali
ia menegerang. Bahkan kemudian, terdengar ia berdesis
"Apakah aku boleh bernaung di bawah bayangan bebatuan
itu" Sanggit Raina yang gelisah, "hampir t idak
menghiraukannya. Karena itu, dengan acuh tidak acuh ia
bergumam " Silahkan. Tetapi jangan berusaha menjauhi aku
untuk tujuan tertentu"
"Aku hampir mat i. Badanku rasanya menjadi sangat panas,
sementara angin yang bertiup semakin kencang, membuat
jantungku bagaikan berhenti berdetak" berkata Pangeran itu.
"Bawa Pangeran itu beringsut" Sanggit Rainapun kemudian
memerintahkan pengikutnya untuk membantu Pangeran itu.
Dibantu oleh orang-orang yang mengawasinya Pangeran itu
beringsut. Ia justru mencari tempat yang dapat
dipergunakannya untuk berbaring. Agaknya tubuhnya benarbenar
terasa berat dan kepalanya menjadi pening.
Namun dalam pada itu, gejolak di dalam dadanyapun rasarasanya
semakin bergelora. Seperti Sanggit Raina, ia hampir
tidak sabar menunggu orang-orangnya yang naik ke bukit
gundul untuk mengambil pusaka yang akan dipertukarkan
dengan dirinya itu. Sementara orang-orang di bukit gundul itu dicengkam oleH
kegelisahan, di pategalan pertempuran benar-benar menjadi
semakin dahsyat. Meskipun kemampuan setiap orang telah
menjadi susut oleh kelelahan, serta jumlah merekapun telah
jauh berkurang dikedua belah pihak, namun dendam dan
kebencian justru menyala semakin besar disetiap dada,
Orang-orang Sanggar Gading dan orang Kendali Putih sama
sekali tidak lagi mengenal sesama mereka sebagaimana
mereka bersama telah dit itahkan ke wajah ibumu untuk
bersama-sama hidup dalam kasih Maha Penciptanya. Tetapi
mereka benar-benar menjadi liar dan buas oleh noda-noda
darah ditubuh mereka. Jika diantara orang-orang Sanggar Gading ada yang
meninggalkan arena sambil membawa Pangeran yang sakit
itu, maka diluar pengamatan kawan-kawannya, maka
seseorang telah meninggalkan arena dari lingkungan orangorang
Kendali Putih. Sambil tersenyum ia bergumam "Akhirnya
orang-orang Pusparurilah yang akan menguasai segalanya.
Sejak semula Daruwerdi telah berhubungan dengan orangorang
Pusparuri. Akhirnya ia harus kembali kepada orangorang
Pusparuri pula" Tetapi ternyata orang itu menjadi berdebar-debar ketika ia
mendengar derap kaki kuda menyusulnya. Karena itu, maka
iapun segera bersiaga. Jika ada orang Sanggar Gading yang
melihatnya dan kemudian mengerjakannya, maka ia harus
bertempur, karena ia tidak mau mati.
Namun orang itu menarik nafas dalam-dalam. Yang
menyusulnya ternyata adalah orang yang berkumis lebat.
Orang Kendali Putih yang dapat dibujuknya untuk
memanaskan suasana sehingga pimpinan Kendali Putih telah
mengambil sikap yang menentukan. Hancurnya kedua belah
pihak yang sedang bertempur itu.
"Jangan lari" berkata orang berkumis lebat itu,
"Aku tidak akan lari" jawab orang itu "Tetapi bukankah
wajar jika aku meninggalkan arena yang bagaikan neraka itu"
Aku tidak mempunyai kepentingan apa-apa. Keduanya akan
hancur dan orang-orang Pusparuri akan segera datang
mengambil pusaka itu"
"Bagaimana kau akan dapat mengambil pusaka itu tanpa
menyerahkan orang yang dikehendaki oleh Daruwerdi?"bertanya orang berkumis lebat itu.
"Jangan terlalu bodoh. Dalam pertempuran yang
mengerikan itu tentu akan ada penyelesaian. Apakah orang
Sanggar Gading atau orang Kendali Putih akan memenangkan
pertempuran itu dan akan mendapatkan pusaka yang
diperebutkan, meskipun mungkin hanya tinggal satu atau dua
orang saja diantara mereka. Baik orang Sanggar Gading
maupun orang Kendali Putih yang masih tinggal hidup akan
membawa Pangeran yang sakit itu dan menukarkannya
dengan pusaka ku. Nah pada saat berikutnya orang-orang
Pusparuri dengan kekuatan yang utuh akan datang untuk
mengambil pusaka itu" berkata orang Pusparuri yang berhasil
berada dilingkungan orang Kendali Putih itu.
"Dari mana kau tahu, apakah pusaka itu ada diantara
orang-orang Sanggar Gading atau orang-orang Kendali Putih"
bertanya orang berkumis lebat itu.
"Mudah sekali. Kami dapat bertanya kepada orang yang
masih hidup dari kedua belah pihak, atau kepada Daruwerdi
sendiri" Jawab orang Pusparuri itu. Lalu "Dan apakah kau
tidak dapat membayangkan bahwa masih ada kawan kita yang
tinggal diantara orang-orang Kendali Putih itu?"
"Bagaimana jika ia terbunuh?" bertanya orang berkumis
lebat. Orang Pusparuri itu tertawa. Katanya "Ia tidak terlalu
dungu seperti kau. Ia akan tetap hidup. Dan ia akan
melaporkan hasil terakhir dari pertempuran itu sementara aku
menyiapkan pasukan Pusparuri yang utuh dan kuat untuk
mengambil tindakan terakhir"
Orang berkumis lebat itu mengangguk-angguk. Dengan
nada datar ia berkata "Apapun yang akan terjadi, aku tidak
peduli. Aku akan mengambil hakku. Aku telah berhasil
membakar pertempuran itu sehingga kau akan dapat
mengambil keuntungan dari padanya"
Orang Pusparuri itu mengerutkan keningnya. Namun iapun
segera mengusir kesan itu dari wajahnya. Sambil tersenyum ia
berkata "Baiklah. Kau akan mendapat hakmu setelah kau
berada diantara orang-orang Pusparuri"
"Kenapa harus menunggu?" bertanya orang berkumis lebat
itu. Orang Pusparuri itu mengumpat. Katanya "Kau kira aku
sudah menyiapkan upah yang akan kau terima" Ketika aku
berangkat memasuki padepokan Kendali Put ih, aku belum
yakin bahwa aku akan berhasil Karena itu, aku belum
membawa apapun yang dapat aku berikan kepadamu"
Orang berkumis lebat itu mengerutkan keningnya. Tetapi
aa tidak menjawab lagi. Ia mengerti, bahwa orang Pusparuri
itu tentu tidak berbuat demikian, seperti yang dikatakannya.
Jika ia membawa apapun yang mempunyai nilai seperti yang
dijanjikan maka hal itu akan dapat menimbulkan bencana
baginya. Dalam pada itu, untuk beberapa saat lamanya keduanya
berkuda bersama-sama. Orang berkumis lebat itu mulai
membayangkan apa yang akan diterima dari orang Pusparuri
itu Iapun mulai mereka-reka, apa yang akan dapat dilakukan
setelah itu, "Aku akan meninggalkan daerah ini dan pergi jauh ke
daerah Timur" berkata orang itu di dalamhatinya.
Namun dalam pada itu, ia menjadi berdebar-debar jika ia
membayangkan apa yang sedang terjadi dipategalan.
Pembunuhan yang tidak terkekang, seolah-olah yang sedang
bertarung antara hidup dan mati itu bukannya sekelompok
manusia. Titah tertinggi dari Pencipta sekalian Alam.
"Persetan" geram orang berkumis lebat itu di dalam hatinya
"Mereka bukan sanak bukan kadang. Mereka tidak akan
menolong aku jika aku hidup dalam kesulitan. Mereka tidak
mau tahu apakah anakku hari ini makan atau tidak. Karena
itu, biarlah mereka saling membunuh seperti sekelompok
serigala kelaparan berebut bangkai. Atau mereka sendiri akan
menjadi bangkai" Demikianlah mereka semakin lama menjadi semakin jauh
dari pategalan. Bukit Gundul dan Bukit berhutan itupun
menjadi semakin lama semakin baur diantara padukuhan yang
berserakkan. Tiba-tiba saja orang Pusparuri itu berkata "Kita sudah
cukup jauh. Aku merasa lelah sekali. Aku ingin berhenti
sebentar jika kita melalui sebuah parit"
"Jarang sekali ada parit di daerah yang kering ini. Di
Lumban anak-anak muda berusaha untuk mengendalikan air
dari bukit berhutan itu. Tetapi disini tidak" jawab orang
berkumis lebat itu. "Jika demikian, aku akan berhenti di bawah sebatang
pohon yang dapat memberikan sedikit keteduhan kepada
kudaku yang letih setelah berjuang dalam pertempuran yang
gila itu. Nampaknya meskipun hanya segores kecil, terdapat
luka di kaki kudaku. Mungkin ujung pedang, mungkin ujung
tombak" berkata orang Pusparuri.
Orang berkumis lebat itu tidak berkeberatan. lapun merasa
lelah setelah bertempur untuk beberapa saat, meskipun
seolah-olah ia t idak bersungguh-sungguh dan selalu berusaha
menghindari agar tidak mati dipeperangan itu.
Dengan demikian, ketika mereka melihat sebatang pohon
mahoni yang besar d "pinggir jalan, maka keduanyapun
segera berhenti. Mereka menambatkan kuda mereka pada
pepohonan perdu di bawah pohon mahoni itu, sementara
keduanyapun beristirahat pula.
Namun tiba-tiba saja telah terjadi sesuatu yang menggelit ik
orang berkumis lebat itu. Diluar kehendaknya, terlihat olehnya
ketika kain panjang orang Pusparuri itu tersingkap, ternyata ia
memakai ikat pinggang bertimang emas bertretes berlian.
Justru karena caranya memakai itu tidak iajim seperti biasanya
orang memakai ikat pinggang, maka orang berkumis lebat itu
semakin tertarik untuk memperhatikannya.
"Ikat pinggang itu sengaja disembunyikan" berkata orang
berkumis lebat itu di dalam hatinya "agaknya orang Pusparuri
ini t idak jujur terhadapku. Jika ia mengajak aku memasuki
sarangnya, apakah dapat mempercayainya bahwa ia tidak
akan ingkar janji, justru aku akan dibantainya diantara kawankawannya"
Sejenak orang berkumis lebat itu tidak berbuat sesuatu.
Tetapi telah terjadi bertarungan- yang sengit di dalam dirinya.
Ikat pinggang itu sendiri tidak cukup bernilai untuk dimilikinya.
Tetapi timang emas bertretes berlian itu harganya cukup
tinggi. Karena timang itulah, maka orang Kendali Putih itu
berusaha untuk melihat barang-barang lainnya yang berharga
pada orang itu. Dua buah cincin di jari-jarinya tidak menarik
perhatiannya karena cincin itu berwarna putih. Mungkin
terbuat dari perak. Tetapi ia tidak menghiraukannya.
"Tetapi apakah yang terdapat di dalam kantong ikat
pinggangnya itu?" bertanya orang berkumis lebat itu di dalam
hatinya. Akhirnya ia tidak dapat menahan diri lagi. Nampaknya acuh
tidak acuh saja ia bertanya "Kau mempunyai timang yang
begitu bagus. Darimana kau dapatkan, he?"
Orang Pusparuri itu terkejut. Sambil membenahi kain
panjangnya ia berkata "Ah, ini bukan apa-apa"
"Jangan bohong. Kau mempunyai timang emas tretes
berlian yang harganya tentu mahal sekali. Selebihnya, apa isi
kantong ikat pinggang yang kau sembunyikan di bawah kain
panjangmu itu?" bertanya orang berkumis lebat.
Orang itu akhirnya justru tertawa pendek. Katanya "Kau ini
seperti tidak tahu saja. Bukankah kita sama-sama menelusuri
malam-malam yang pekat dengan senjata ditangan"
"Tetapi aku tidak pernah memilikinya" berkata orang
berkumis lebat itu. Orang Pusparuri itu tertawa semakin keras. Katanya "Kau
memang bodoh. Terakhir kita merampok sebelum kita pergi ke
lereng bukit berhutan itu. aku menemukan benda-benda ini.
Karena aku memang bukan orang Kendali Putih yang
sebenarnya, maka barang-barang ini tidak pernah aku
tunjukkan kepada para pemimpin Kendali Putih. Aku hanya
menyerahkan sebuah keris iberpendak perak. Sementara yang
lain, aku miliki sendiri"
"Jadi apa yang berada di kantong ikat pinggangnya itu?"
desak orang berkumis lebat itu.
"Ah, bukan apa-apa" jawab orang Pusparuri itu.
Sejenak orang berkumis lebat itu terdiam. Namun gejolak
di dalam dadanya terasa semakin menggelora.
Ketika ia tidak dapat menahan diri lagi, maka tiba-tiba saja
iapun berdiri sambil menggeram "Aku tidak perlu menunggu.
Berikan apa yang kau punya. Kau akan mendapat gantinya
jika kau sudah berada di dalam lingkunganmu. Upah yang
akan kalian berikan kepadaku, karena aku sudah berhasil
membakar hati para pemimpin padepokan Kendali Putih akan
menjadi milikmu" Orang Pusparuri itu menegang. Namun iapun kemudian
berdiri sambil berkata "Jangan begitu. Kita belum tahu,
seberapa banyak pemimpinku akan memberikan hadiah
kepadaku. Mungkin jauh lebih banyak dari harga timang dan
isi kantong ikat pinggangku ini"
"Itu adalah keuntunganmu" jawab orang berkumis lebat
"apapun yang akan kau terima, aku tidak akan menuntut lebih
dari yang aku terima sekarang"
"Jika kurang dari itu?" sahut orang Pusparuri itu "Akulah
yang rugi. Aku kehilangan barang-barang berharga yang akan
dapat menjadi milikku"
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau sudah menyalahi ketentuan yang berlaku di dalam
lingkungan Kendali Putih. Meskipun kau bukan orang Kendali
Putih yang sebenarnya, tetapi pada saat perampokan itu
terjadi, kau bertindak atas nama orang Kendali Putih. Karena
itu, barang-barang itupun bukan hakmu" berkata orang
berkumis lebat itu "selebihnya, barang-barang itu bukan
milikmu, sehingga jika barang-barang itu kau berikan
kepadaku, kau tidak kehilangan apa-apa Bahkan kau masih
akan menerima upah yang seharusnya aku terima"
"Jangan begitu" jawab orang Pusparuri itu "Kita tidak
membicarakannya sekarang. Kau akan aku bawa menghadap
pemimpinku. Percayalah, pemimpinku adalah seorang yang
baik, jujur dan menghargai kerja orang lain. Memang ada
sedikit perbedaannya dengan orang-orang Kendali Putih.
Orang-orang Pusparuri tidak segarang orang-orang Kendali
Putih dan orang-orang Sanggar Gading"
Tetapi orang berkumis lebat itu berkata lantang "Sudahlah.
Jangan banyak alasan lagi. Aku sudah jemu hidup dalam
lingkungan serigala yang selalu kelaparan. Aku akan pulang
dengan barang-barang berharga. Aku akan menyingkir dan
hidup dengan cara yang lain"
"Terserahlah kepadamu. Tetapi jangan memaksa aku untuk
mengorbankan apa yang aku punya" jawab orang Pusparuri
itu. Lalu "Dan apakah kau masih mempunyai kesempatan
untuk hidup tenang dengan melupakan darah yang telah
mengotori tanganmu" He, kau tentu akan selalu terbayang
pertempuran yang mengerikan yang terjadi di pategalan itu.
Dan sekarang kau akan menambah noda itu dengan
merampok milikku yang justru adalah hasil rampokan pula?"
"Persetan" geram orang berkumis lebat itu "Orang-orang
Kendali Putih pada dasarnya memang lebih garang dari orangorang
Pusparuri. Karena itu, jangan membantah. Serahkan
barang-barangmu itu kepadaku. Kita akan berpisah sampai
Neraka Krakatau 3 Pendekar Mabuk 03 Darah Asmara Gila Mencari Warisan Ratu 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama