Ceritasilat Novel Online

Mata Air Dibayangan Bukit 1

Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja Bagian 1


Karya : SH Mintardja Jilid 01 TIDAK seorangpun tahu, sejak kapan kolam itu berada di
dataran sempit di sebuah bukit. Dibawah sebatang pohon
yang besar dan rimbun, berdaun tiga bentuk.
Sebenarnya bukan karena pohon itu pohon ajaib yang
berdaun tiga bentuk dalam jenis yang berbeda. Tetapi pohon
yang besar itu memang terdiri dari tiga batang pohon. Tiga
batang pohon yang tumbuh berimpitan. Ketika pohon itu
menjadi semakin besar, maka ketiga batangnya seolah-olah
luluh menjadi satu. Sedang cabang-cabangnya berhiaskan
daunnya masing-masing yang berbeda.
Berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus tahun kolam itu tidak
dijamah. Meskipun airnya bening dan bersumber dari mata air
yang deras dibawah batang pohon raksasa yang berdaun tiga
jenis itu. Namun sendang itu adalah sendang yang berada
dilingkungan hutan kecil di bukit yang jarang disentuh kaki
manusia. Airnya yang berlimpah menyusup disela-sela batubatu
padas dan mengalir t idak terarah, sehingga akhirnya
terjun kedalamsebuah lereng terjal dan hilang masuk kedalam
luweng yang dalam, menyatu dengan aliran air dibawah batubatu
padas yang keras. Dari musim kemusim, kolam itu tetap melimpahkan airnya
yang bening. Meskipun langit bersih dan udara kering di
musim kemarau, namun kolam itu seakan-akan tidak pernah
susut. Sekali-kali dari gerumbul-gerumbul yang lebat diseputar
kolam itu, beberapa ekor binatang turun dengan ragu-ragu.
Jika terdengar aum harimau, maka binatang-binatang yang
lainpun segera berlari tunggang langgang, hilang dibalik
rimbunnya dedaunan. Binatang buas itu pulalah yang menyebabkan daerah itu
jarang dikunjungi manusia. Meskipun dibawah bukit itu
terdapat beberapa padukuhan, namun tidak seorangpun
diantara mereka yang pernah bermimpi untuk menyadap air
dari kolam itu bagi kepentingan padukuhan mereka.
Karena itulah, maka padukuhan-padukuham dibawah bukit
itu menggantungkan air bagi sawah dan ladang mereka dari
hujan yang jatuh dari langit. Sehingga dimusim kemarau, tidak
ada diantara mereka yang dapat menanam jenis padi yang
manapun selain satu dua orang mencoba juga menanam padi
gaga dan palawija. Meskipun demikian, orang-orang dipadukuhan dibawah
bukit itu tidak berusaha merubah keadaan mereka. Mereka
hidup seperti nenek moyang mereka yang tinggal sejak lama
didaerah itu. Bahkan mereka merasa wajib menghormati
dengan segala tata cara dan kebiasaan yang mereka
pertahankan. Seolah-olah apa yang ada dan berlaku di
padukuhan mereka haruslah mut lak berlangsung terus dari
tahun ketahun. Dan agaknya tidak seorangpun yang mengganggu mereka
hidup dalam dunia yang telah mereka hayati dengan tenang
untuk waktu yang lama. Namun dalam pada itu, dijalan setapak yang panjang, dua
orang sedang berjalan dalam terik panasnya matahari.
Agaknya mereka adalah dua orang perantau yang datang dari
tempat yang jauh dan telah menempuh jarak yang panjang.
Wajah-wajah mereka yang merah terbakar oleh panasnya
matahari di siang hari, dan dinginnya embun dimalam hari,
membuat mereka nampak letih dan lelah.
Tetapi keduanya sama sekali tidak mengeluh. Mereka
melangkah terus menuruti jalan sempit itu menuju kebukit.
"Ayah," desis yang seorang. Seorang gadis yang meningkat
dewasa, "ada beberapa padukuhan kecil yang tersebar
didaerah yang luas."
Yang seorang mengerutkan keningnya. Ia juga melihat
padukuhan yang berpencar dibawah bukit. Tetapi ia
menjawab, "Swasti, kita tidak akan menuju kepadukuhan itu.
Di tanah berbatu padas sebelah, aku mendengar arus air
dibawah tanah. Agaknya arus air itu berasal dari bukit yang
nampak dibelakang daerah yang dihuni oleh orang dibeberapa
padukuhan. Sedangkan didaerah ini aku sama sekali tidak
melihat parit dan saluran air yang mengalir di musim kering
ini." "Ayah," jawab gadis itu, "sumber air yang mengalir
dibawah tanah itu mungkin memang berasal dari bukit
dibelakang padukuhan yang tersebar itu. Tetapi mungkin pula
tidak. Air itu sudah berada dibawah tanah sejak dari seberang
bukit." Orang tua yang berjalan disamping anak gadisnya itu
tersenyum. Jawabnya, "Marilah kita lihat Swasti. Naluriku
mengatakan bahwa sumber air itu berada dibukit yang
nampak itu. Tetapi jika aku salah, maka aku akan dapat
menelusurinya sampai keseberang bukit. Pendengaranku
masih cukup kuat untuk menangkap suara arus dibawah tanah
dan mengikuti arahnya."
Gadis itu tidak menjawab. Tetapi ia percaya bahwa
ayahnya memang dapat menangkap desir air dibawah tanah
dan mengikuti arahnya, karena ayahnya memang seorang
yang memiliki kelebihan dari orang kebanyakan.
Untuk beberapa saat keduanya terdiam. Mereka masih
berjalan terus menyusuri jalan setapak. Mereka sengaja
menghindari padukuhan yang berada dibawah bukit, untuk
tidak menarik perhatian penghuni-penghuninya.
"Kau lelah?" terdengar orang tua itu bertanya kepada anak
gadisnya. Gadis itu t idak menjawab. Tetapi wajahnya yang kemerahmerahan
menunduk dalam-dalam, seolah-olah ia ingin melihat
sejenak ujung kakinya yang kecil melangkahi batu-batu
disepanjang jalan sempit.
Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Jika
kau diam itu berarti bahwa kau memang lelah. Dan aku-pun
mengerti bahwa kau memang sudah lelah."
Swasti tidak menjawab. "Kau adalah seorang gadis yang luar biasa Swasti," berkata
orang tua itu. "Ayah selalu memuji aku, agar aku tetap berjalan terus
mengikut i ayah," desis gadis itu.
Orang tua itu tersenyum. Jawabnya, "Kau menangkap
maksudku Swasti. Tetapi akupun berkata sebenarnya. Tidak
ada gadis yang akan dapat bertahan untuk berjalan-jalan
berhari-hari seperti kau, sejak kita meninggalkan padepokan
kita yang dilumatkan oleh gempa dan tanah longsor itu."
Swasti tidak menjawab. "Karena aku menyadari, bahwa perjalanan kita adalah
perjalanan yang berat, maka aku tidak membawa para cantrik
yang ada dipadepokan. Aku serahkan mereka kembali kepada
orang tua mereka, dengan harapan, bahwa apabila kita sudah
menemukan tempat untuk menetap, maka para cantrik yang
lima orang itu akan aku panggil."
Swasti masih tetap berdiam diri.
"Tetapi sudah tentu aku t idak dapat meninggalkan kau. Kau
adalah anakku satu-satunya. Sepeninggal ibumu, kau adalah
tumpuan hidupku, karena masa depanku ada padamu."
Swasti masih tetap melangkah sambil menundukkan
kepalanya. "Swasti, jika kau memang lelah sekali, kita akan beristirahat
dibawah pohon yang rimbun itu," berkata ayahnya kemudian.
Swasti mengangkat wajahnya. Dipinggir jalan sempit itu
dilihatnya sebatang pohon yang besar. Tetapi gadis itu
bertanya, "Ayah, beberapa ratus tonggak lagi kita akan sampai
kebukit itu. Nampaknya disekitar bukit itu masih terdapat
hutan yang barangkali tidak begitu luas dan lebat. Jika kita
berjalan terus, maka kita akan segera sampai. Dan kita akan
dapat beristirahat dipinggir hutan itu."
Ayahnya menarik nafas dalam-dalam. Ia tahu bahwa anak
gadisnya telah sangat lelah. Tetapi Swasti ingin segera sampai
ketujuan agar ia dapat beristirahat cukup lama dan tidak
terganggu. Orang tua itu mengangguk-angguk. Kemudian katanya
dalam nada yang dalam, "Baiklah Swasti. Kita berdoa, mudahmudahan
mata air dari aliran dibawah tanah itu berada di
lereng bukit itu, meskipun aku juga meragukannya, bahwa
dipadukuhan ini tidak terdapat parit yang mengalir. Agaknya
air dipadukuhan ini sangat tergantung kepada air hujan tanpa
memanfaatkan arus air yang terdengar mengalir dibawah
tanah." "Tetapi air dibawah tanah itu cukup dalam ayah. Ketika aku
menengok kedalam luweng yang terbuka itu, nampak arus itu
berada jauh dibawah batu-batu padas."
"Itulah sebabnya kita harus menemukan sumbernya.
Mudah-mudahan. Tetapi jika tidak, maka kita akan membuat
pertimbangan lain." Swasti hanya mengangguk-angguk saja. Ia mengikuti
langkah ayahnya meskipun sekali-kali ia harus menyeka
keringatnya dikening. Demikianlah maka keduanya berjalan terus. Ketika mereka
sampai dibawah sebatang pohon yang rimbun, mereka hanya
berhenti sebentar karena Swasti mengajak ayahnya
melanjutkan perjalanan. Tetapi belum beberapa langkah, mereka tertegun.
Dikejauhan mereka melihat beberapa orang petani berjalan
mengikut i seseorang yang agak berbeda dalam sikap dan
pakaian. "Kau lihat yang seorang itu Swasti ?" bertanya ayahnya.
Swasti memandang kearah beberapa orang yang berjalan
disepanjang pematang, menyilang jalan sempat yang dilalui
oleh kedua orang itu. Sambil mengangguk Swasti menjawab, "Ya ayah."
"Apakah kau juga melihat kelainan padanya ?"
"Ya. Pakaiannya dan barangkali juga sikapnya."
Ayahnya mengangguk. Namun katanya kemudian, "Kita
tidak mempunyai persoalan dengan mereka. Kita akan
berjalan terus tanpa menarik perhatian mereka."
Swasti tidak menjawab. Tetapi keduanya dengan sengaja
memperlambat langkah mereka, agar para petani dan seorang
yang agak asing itu mendahului menyilang jalan setapak itu.
Swasti dan ayahnya memang tidak banyak menarik
perhatian. Orang itu hanya sekedar berpaling. Namun
merekapun segera berjalan terus tanpa menghiraukan kedua
orang ayah dan anak perempuannya itu.
Namun dalam pada itu, ternyata Swasti dan ayahnyalah
yang banyak memperhatikan orang itu meskipun dengan
diam-diam. Nampaknya ia memang orang asing atau
pendatang dipadukuhan yang kering dimusim kemarau itu.
"Agaknya ada juga orang-orang kota yang tertarik pada
daerah kering ini ayah," berkata Swasti.
Ayahnya mengangguk. Jawabnya, "Mungkin orang kota
yang ingin berbuat sesuatu bagi kemajuan padukuhan yang
lamban itu. Atau mungkin ia memang berasal dari salah satu
padukuhan itu, kemudian pindah kekota atau merantau, untuk
mendapatkan penghidupan yang lebih baik. Setelah ia
berhasil, ia pulang kembali menengok keluarganya dengan
sikap dan pakaian yang lain."
Swasti hanya mengangguk-angguk saja.
Keduanyapun kemudian melanjutkan perjalanan mereka
meskipun sekali-sekali Swasti masih saja berpaling,
memandang beberapa orang petani dan seorang yang asing
itu berjalan semakin jauh.
"Bulak ini panjang Swasti," berkata ayahnya, "nampaknya
tanahnya kurang mendapat garapan."
Swasti mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, "Tetapi
tanda itu ayah?" Ayahnya mengerutkan keningnya. Merekapun kemudian
berhenti sejenak pada sebuah batu di pinggir jalan setapak
itu. "Sebuah tanda perbatasan antara dua padukuhan yang
dipimpin oleh Buyut yang berbeda," berkata ayahnya.
Swasti memperhatikan batu yang disusun seperti sebentuk
candi kecil dengan beberapa huruf yang terpahat padanya.
Sambil mengangguk-angguk ia berkata, "Ya ayah. Dua
kelompok padukuhan yang berbeda meskipun mula-mula
mereka berada dalam satu lingkungan. Tetapi agaknya
seorang Buyut yang mempunyai dua orang anak laki-laki
kembar terpaksa membagi wilayahnya menjadi dua kelompok
padukuhan dibawah pimpinan dua orang anak kembarnya."
Ayah Swasti mengangguk-angguk. Katanya, "Mudahmudahan
kedua orang Buyut itu akan tetap rukun seperti dua
orang saudara. Terlebih-lebih lagi keduanya adalah saudara
kembar yang lahir pada saat yang hampir bersamaan dari
seorang ibu yang sama."
Swasti masih memandang sesusun batu yang merupakan
sebuah candi kecil itu. Kemudian sambil mengangguk-angguk
ia berkata, "Pembagian itu sudah terjadi agak lama ayah,
sehingga kedua orang Buyut itu sudah setua ayah atau
bahkan lebih." "Ah," ayah Swasti menyahut, "aku belum terlalu tua. Kedua
Buyut itu tentu jauh lebih tua daripadaku."
Swasti memandang ayahnya sejenak. Kemudian jawabnya,
"Memang ayah belum terlalu tua. Jika ada uban yang tumbuh
itu adalah karena musim kemarau yang terlalu panjang."
Ayahnya tertawa. Sambil bergeser ia berkata, "Marilah. Kita
berjalan lagi. Bukankah kau ingin beristirahat setelah kita
sampai keujung hutan dilereng bukit itu."
Swasti mengangguk. Iapun kemudian mengikuti ayahnya
melanjutkan perjalanan menuju kekaki bukit.
Ketika matahari turun di sebelah Barat, maka sinarnya yang
terik mulai memudar. Awan yang putih terapung dilangit
dihembus angin ke Utara. Sekumpulan burung bangau yang
putih seperti awan yang dihanyutkan angin itu, terbang kearah
yang berlawanan, dengan leher dan kaki yang terjulur
panjang. Swasti menarik nafas dalam-dalam. Mereka sudah semakin
dekat dengan ujung hutan dikaki bukit. Meskipun agaknya
hutan itu tidak terlalu besar, tetapi cukup padat oleh
tetumbuhan liar. "Tentu masih dihuni oleh binatang buas," desis Swasti.
Ayahnya mengangguk. Katanya, "Nampaknya demikian
Swasti. Tetapi mudah-mudahan binatang-binatang buas itu


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak mengganggu. Meskipun demikian kita memang harus
berhati-hati. Bukankah kau pandai memanjat ?"
Swasti mengangguk. Tetapi tatapan matanya bagaikan
tertambat pada batang-batang pohon di ujung hutan
dihadapan mereka. Keduanya masih berjalan terus meskipun Swasti
nampaknya menjadi semakin lelah. Tetapi hutan itu sudah
dekat. Tanah yang basah dan getaran yang dapat ditangkap
oleh ketajaman indera ayah gadis itu, memberikan harapan
bahwa mata air itu akan dapat mereka ketemukan dihutan
dihadapan mereka. Swasti menarik nafas dalam-dalam ketika bayangan
pepohonan hutan itu mulai menyentuh tubuhnya. Kemudian
dilemparkannya seonggok bungkusan yang dibawanya.
Dengan serta merta dijatuhkannya tubuhnya yang ramping
diatas tanah dipinggir hutan itu tanpa menghiraukan
kemungkinan binatang merayap yang dapat menyengat
tubuhnya. "Tanah ini memang basah ayah," desis Swasti.
Ayahnya mengangguk-angguk. Dipandanginya padang
perdu yang sempit dipinggir hutan itu, yang membatasi
daerah persawahan. Keheranan nampak membayang
diwajahnya. "Apa yang ayah perhatikan ?" bertanya Swasti.
"Tanah ini basah Swasti. Tetapi sawah itu justru nampak
kering dimusim kemarau." sahut ayahnya.
"Ada sesuatu yang kurang pada penghuni padukuhan yang
tersebar ini ayah. Mereka kurang pengetahuan tentang
bercocok tanam, atau mereka memang malas untuk mencari
yang belumpernah mereka miliki."
Ayahnya mengangguk-angguk. Sejenak ia masih
memandang daerah yang luas dihadapannya. Namun iapun
kemudian duduk disebelah anaknya yang masih saja
berbaring. Bahkan oleh angin yang semilir, Swasti mulai
dijalari oleh perasaan kantuk.
"Jangan tidur," desis ayahnya.
Swasti menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun dengan
malasnya bangkit dan duduk pula bersandar sebatang pohon.
"Aku letih sekali ayah. Bagaimana kalau aku tidur barang
sekejap?" "Sebentar lagi senja akan menjadi gelap. Jangan tidur
disaat-saat seperti ini. Tunggulah sampai gelap. Kita akan
membuat perapian dan t idur bergantian."
Swasti menggeliat. Katanya, "Tetapi aku memerlukan air
sekarang ayah." "Kau sudah minum bukan " Di padukuhan lewat ujung
bulak ini kita sudah mendapatkan belas kasihan dari
seseorang yang sedang memetik kelapa. Kita mendapat air
kelapa secukupnya." ayahnya berhenti sejenak, lalu. "tetapi
jika kau sudah mulai haus lagi, marilah. Kita mencari batang
merambat. Aku aku memotong pangkal dan ujungnya. Dan
kita akan mendapatkan air untuk minum."
"Ayah hanya memerlukan air untuk minum. Tetapi aku
tidak." Ayahnya menarik nafas dalam-dalam. Lalu, "Baiklah. Kita
akan segera mencari air. Naluriku mengatakan, bahwa kita
sudah dekat dengan mata air."
Swasti akan menjawab. Tetapi ia melihat ayahnya sedang
memusatkan pendengarannya sambil menyentuh tanah
dengan telapak tangannya. Karena itu Swasti tidak
mengucapkan kata-katanya. Bahkan iapun kemudian berdiri
dan melangkah untuk melihat-lihat keadaan disekitarnya.
Didalam hati Swasti masih juga selalu mengagumi ayahnya.
Dengan melekatkan telapak tangannya ditanah, seolah-olah
lewat jalur urat nadinya, getaran-getaran bumi terdengar oleh
telinga batinnya. Sehingga dengan demikian ayahnya dapat
mengetahui arah arus air dibawah batu-batu padas yang
dalam. Swasti berpaling ketika ayahnya memanggilnya.
"Swasti," berkata ayahnya, "rasa-rasanya kita sudah tidak
jauh lagi dari sebuah mata air. Tetapi apakah kau tidak ingin
beristirahat barang sejenak" Atau mungkin semalam ini "
Besok pagi-pagi kita akan mencari mata air didaerah
pebukitan ini." "Kenapa tidak malam nanti ayah" Sekarang aku memang
akan beristirahat. Mungkin aku memerlukan tidur sejenak,
meskipun setelah malam menjadi gelap. Tengah malam kita
melanjutkan perjalanan."
"Hutan ini belum pernah kita kenal," sahut ayahnya,
"sebaiknya kita tidak memasukinya dimalamhari."
Swasti termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya, "Baiklah. Besok pagi2 kita melanjutkan perjalanan."
Perlahan-lahan gelap malam mulai turun menyelubungi
bukit. Dengan batu titikan dan segumpal emput gelugut aren,
ayah Swasti membuat api. Dengan dedaunan kering dan
ranting-ranting yang berserakan, ia membuat perapian.
Kemudian beberapa potong kayu diletakkannya pula diatas
api. "Sekarang tidurlah," berkata ayah Swasti.
Swasti yang memang sudah berbaring menguap. Kemudian
jawabnya, "Ya ayah. Aku akan tidur."
Ayahnya memandang anak gadisnya dengan tatapan
kebapaan. Ia merasa iba melihat gadisnya yang letih
berbaring diatas rerumputan kering. Meskipun Swasti sempat
membersihkan tempat ia berbaring, namun rasa-rasanya
bergejolak juga jantung ayahnya melihat anak gadisnya
terbaring diatas tanah. Tetapi orang tua itu berkata didalam hati, "Mudahmudahan
yang terjadi ini merupakan syarat keprihatinannya.
Mudah-mudahan kelak Yang Maha Agung memberikan harihari
yang lebih cerah kepadanya."
Swasti yang lelah itu dengan tenang tertidur nyenyak.
Gadis itu terlalu percaya kepada ayahnya, bahwa ayahnya
akan dapat melindunginya dari segala bahaya.
Namun belum lagi tengah malam, Swasti terkejut. Tiba-tiba
saja ayahnya membangunkannya dengan tangan menggigil.
"Swasti, Swasti."
Swasti terkejut. Namun rasa-rasanya tubuhnya tertekan
oleh himpitan kekuatan yang menahannya untuk meloncat
bangkit. Bahkan kemudian rasa-rasanya tubuhnya menjadi
sangat lemah. Namun ia memaksa diri untuk bangkit dan duduk disebelah
ayahnya yang ketakutan. "Ada apa ayah ?" bertanya Swasti.
"Seekor harimau Swasti. Seekor harimau yang garang
sekali." Swasti menjadi heran. Namun iapun mulai mendengar
dengus binatang buas itu.
"Tetapi "," suara Swasti terputus. Ia merasa tekanan pada
urat nadi dipergelangan tangannya, sehingga ia tidak
melanjutkan kata-katanya.
Dengan tegang Swasti memandang ayahnya yang
ketakutan. Sementara dengus harimau yang garang, semakin
lama semakin lama semakin mendekat.
"Ayah, apakah binatang buas tidak takut melihat api ?"
bertanya Swasti yang lemah.
"Aku tidak tahu Swasti. Tetapi binatang itu tentu akan
menerkam kita." Ayah Swasti memalingkan wajahnya ketika tiba-tiba saja
seekor harimau yang besar muncul dari balik gerumbul dan
mulai merunduk mendekati kedua orang ayah dan anaknya
itu. Swasti menjadi heran melihat sikap ayahnya. Tentu ada
sebabnya kenapa ayahnya tidak berdiri tegak menghadapi
harimau yang sedang merunduk itu, dan justru merengekrengek
seperti anak-anak. Sedang dirinya sendiri seolah-olah
menjadi lemah tidak bertenaga.
Sementara itu harimau yang garang itupun menjadi
semakin dekat. Kemudian merendah di kaki depannya
sehingga dadanya menyentuh tanah. Ekornya dikibaskibaskannya
perlahan, sedang kedua belah matanya bagaikan
menyala. Harimau yang garang itu siap untuk meloncat menerkam
orang tua dan anak gadisnya yang nampaknya ketakutan.
Namun ketika harimau itu mengaum, tiba-tiba meloncatlah
seorang anak muda disebelah perapian. Wajahnya yang
tegang menyala dengan penuh kemarahan.
"Jangan takut," geram anak muda itu, "aku akan
membunuh harimau yang buas itu."
"O," ayah Swasti menyahut dengan suara gemetar, "tetapi
harimau itu sangat besar."
Anak muda itu tidak menjawab. Ia berdiri dengan kaki
renggang dan sebilah pisau belati ditangan, siap menghadapi
harimau yang perhatiannya telah berpaling kepada anak muda
itu. Swasti termangu-mangu. Ternyata anak muda itu adalah
anak muda yang dilihatnya berjalan beriring dengan para
petani dipematang dengan pakaian dan sikap yang asing.
Ketika kemudian terdengar harimau itu mengaum keras,
maka anak muda itupun merendah pada lututnya. Ia telah
bersiap sepenuhnya ketika harimau itu kemudian meloncat
menerkamnya. Sejenak kemudian telah terjadi pertarungan yang dahsyat
antara seekor harimau yang besar dan garang, melawan anak
muda bersenjata pisau belati itu. Ternyata anak muda itu
lincah sekali. Ia mampu mengelak, dan bahkan kemudian
meloncat kepunggung harimau itu. Tangan kirinya memeluk
leher harimau itu seperti melekat. Betapapun harimau itu
berusaha, namun anak muda dipunggungnya tidak dapat
dilemparkannya. Terdengar auman yang bagaikan menyobek sepinya hutan
dilereng bukit itu, ketika anak muda itu mulai menghunjamkan
pisau belatinya ketubuh harimau yang melonjak-lonjak dan
sekali-kali berguling-guling.
Tetapi harimau itu ternyata tidak berdaya. Semakin lama
luka-luka ditubuhnya menjadi semakin banyak. Darah mengalir
semakin deras. Tidak saja membasahi tubuhnya sendiri, tetapi
anak muda itupun mulai dilumuri oleh warna-warna merah.
Bukan saja karena darah harimau yang menjadi semakin tidak
berdaya. Tetapi ternyata tubuh anak muda itu sendiri telah
terluka pula karenanya. Swasti memandang perkelahian itu dengan tanpa berkedip.
Ia menjadi kagum melihat kesigapan anak muda itu. Ia yakin
bahwa sebentar lagi harimau yang garang itu tentu akan
terbunuh. Ayahnya yang gemetarpun nampaknya menjadi semakin
tenang. Ia melihat anak muda itu benar-benar telah
menguasai lawannya. Akhirnya, dengan auman yang dahsyat
harimau itu berusaha melonjak dan melepaskan diri dengan
sisa tenaganya. Tetapi tidak berhasil. Bahkan tusukan-tusukan
berikutnya membuat harimau itu tidak berdaya.
Sesaat kemudian, maka pertempuran itupun selesai. Anak
muda yang perkasa itu melepaskan tubuh harimau yang telah
dibunuhnya. Sambil mengusap pisaunya yang berlumuran
darah ia menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya,
"Jangan takut lagi kakek tua, Harimau itu sudah mati."
"Terima kasih ngger. Terima kasih." suara ayah Swasti
masih bergetar. Anak muda itupun kemudian berdiri tegak memandang
orang tua itu berganti-ganti dengan anak gadisnya. Setapak ia
melangkah maju kedekat perapian sambil berkata, "Jiwa kalian
telah selamat." "Tetapi, tetapi angger sendiri nampaknya teriuka," berkata
ayah Swasti. Anak muda itu memandangi tubuhnya. Katanya sambil
tersenyum, "Wajar sekali jika aku terluka. Kuku harimau itu
lebih tajam dari duri. Kekuatannya melampaui kekuatan
seekor kerbau gila."
"Tetapi angger dapat mengalahkannya."
Anak muda itu tersenyum. "Lalu. bagaimana dengan luka-luka itu?" bertanya ayah
Swasti. "Aku mempunyai obatnya. Aku akan mandi, kemudian
mengobati luka-lukaku." ia berhenti sejenak, lalu, "tetapi
siapakah kau berdua ini " Dan kemanakah tujuan kalian " Aku
lihat kalian sebagai dua orang yang sedang bepergian jauh.
Siang tadi, ketika kita bertemu, aku t idak begitu menghiraukan
kalian. Tetapi ketika aku melihat perapian, aku jadi teringat.
Aku sudah menduga bahwa kalianlah yang berada dipinggir
hutan ini." "Ya ngger. Akupun ingat, bahwa kita telah berjumpa.
Sebenarnyalah bahwa aku tidak mempunyai tujuan tertentu.
Kami berdua dalam perjalanan perantauan menuruti kehendak
hati." Anak muda itu memandang Swasti sejenak. Gadis itu
menundukkan kepalanya. Ia tidak berniat untuk bertanya lagi
kepada ayahnya, karena ia sudah dapat menangkap, apakah
yang sebenarnya terjadi. Meskipun demikian, ia tetap mengagumi anak muda yang
perkasa itu. Dalam usianya ia sudah memiliki ilmu kanuragan
yang mantap, sehingga kekuatannya dapat mengimbangi
kekuatan seekor harimau. Ketangkasannyapun melampaui
ketangkasan orang kebanyakan.
"Perjalanan kalian hampir merenggut jiwa kalian," berkata
anak muda itu, "sayang sekali. Siapakah gadis itu?"
"Anakku," jawab ayah Swasti.
"Bawalah kepadukuhan. Tentu ada tempat bagi kalian
berdua." "Ah," jawab ayah Swasti, "kami tidak pantas tinggal
bersama angger. Kami adalah perantau yang tidak ada
harganya. Beribu terima kasih. Tetapi biarlah kami
melanjutkan perjalanan kami."
"Jangan merajuk seperti anak-anak Kiai," berkata anak
muda itu, "sekali lagi kalian bertemu dengan seekor harimau,
maka kalian akan mati."
"Kami akan berhati-hati ngger. Adalah salah kami, bahwa
kami t idak memanjat sebatang pohon. Biasanya kami tidur
diatas pepohonan. Tetapi malam ini kami lengah, sehingga
hampir saja maut menjemput kami."
Anak muda itu mengerutkan keningnya, ia menjadi heran


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendengar jawaban orang tua itu. Hampir diluar sadarnya ia
bertanya, "Jadi anak gadismu itu juga pandai memanjat ?"
Orang tua itu termangu-mangu, sedangkan Swasti
menundukkan kepalanya. Wajahnya menjadi merah.
"Begitulah ngger," jawab ayah Swasti, "karena kebiasaan
kami merantau, maka kadang-kadang anak gadisku berbuat
yang tidak biasa dilakukan oleh gadis-gadis yang lain. Ia
memang dapat memanjat meskipun harus ditolong. Kami
membuat anyaman tali pada dahan-dahan untuk menolong
agar kami t idak terjatuh."
"Kau tidak takut harimau kumbang yang juga pandai
memanjat ?" "Tidak banyak terdapat harimau kumbang ngger. Tetapi
seandainya kami bertemu juga dengan harimau kumbang,
maka aku mungkin akan dapat melawannya dengan
pedangku. Harimau pada umumnya lemah jika mereka berada
diatas pepohonan." Anak muda itu tersenyum. Jawabnya, "Nampaknya kau
memang seorang perantau yang berpengalaman menjelajahi
hutan. Tetapi pada suatu saat kau dihadapkan pada bayangan
maut seperti yang baru saja kau alami." anak muda itu
berhenti sejenak, lalu, "tetapi kau adalah orang yang aneh.
Kau tidak jera karena peristiwa ini. Bahkan seolah-olah kau
cepat melupakannya."
Orang tua itu termangu-mangu. Jawabnya, "Bukan begitu
ngger. Tetapi aku berharap bahwa aku tidak akan bertemu
lagi dengan seekor harimau. Atau aku tidak membuat
kelengahan lagi seperti yang terjadi."
"Kau sangka bahwa harimau hanya dapat kau temui di
malamhari " Bagaimana disiang hari ?"
"Biasanya kami tidak menyelusuri hutan seperti ini. Kami
berjalan di bulak-bulak panjang. Dari padukuhan yang satu
kepadukuhan yang lain. Tetapi kami memang sering bermalam
dipinggir-pinggir hutan agar kami tidak mengganggu penghuni
padukuhan dengan kecurigaan dan mungkin tuduhan-tuduhan
yang kurang baik." Anak muda itu mengangguk-angguk. Setiap kali diluar
sadarnya tatapan matanya menyambar wajah Swasti yang
tertunduk. Dalam keremangan cahaya api perapian, wajahnya
nampak kemerah-merahan. Ada sesuatu yang menarik pada gadis yang nampak kotor
dan kumal itu. Tetapi anak muda itupun kemudian berkata, "Terserahlah
kepadamu kakek tua. Aku sudah mempersalahkan kau pergi
kepadukuhan. Aku akan menanggungmu. Orang-orang
padukuhan tidak akan berani berbuat sesuatu atas orangorang
yang ada dalamperlindunganku."
"Terima kasih ngger. Terima kasih."
"Baiklah. Aku akan pergi. Jika kau kemudian mengambil
keputusan untuk datang kepadukuhanku, datanglah. Aku
tinggal dipadukuhan terbesar disebelah batas. Disudut
padukuhan itu nampak sebatang pohon randu alas yang
besar." "Baik, baik ngger. Tetapi kami belum mendengar nama
angger. Mungkin pada suatu saat kami memang akan mencari
angger." Anak muda itu tertawa. Katanya, "Namaku Daruwerdi."
Ayah Swasti mengangguk-angguk. Desisnya, "Nama itu
bagus sekali. Apakah angger juga berasal dari padukuhan
itu?" Anak muda yang bernama Daruwerdi itu tertawa semakin
keras. Tanpa menjawab pertanyaan itu ia melangkah sambil
berkata, "Aku akan pulang. Sekali lagi aku memberi
kesempatan. Bawalah gadismu kepadukuhan itu. Jika kau
mau, tinggallah disana. Barangkali itu lebih baik bagimu dan
bagi masa depan anakmu. Pada suatu saat anakmu
memerlukan sesuatu yang tidak dapat kau ketemukan
diperantauanmu itu. Atau barangkali lebih baik kau t itipkan
gadismu kepada seseorang yang dapat kau percaya agar ia
dapat menikmati kehidupan sewajarnya seperti gadis-gadis
yang lain." "Ia satu-satunya anakku ngger."
"Kau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau sama sekali
tidak memikirkian nasib dan hari depan anakmu. Apalagi
seorang gadis." Orang tua itu tidak menjawab. Sementara anak muda itu
melangkah menjauh. Tetapi ia masih berhenti dan berpaling,
"Siapa nama anakmu itu kakek?"
Orang tua itu memandang Daruwerdi sejenak. Kemudian
jawabnya, "Swasti. Namanya Swasti ngger."
"Nama itupun bagus sekali. Jangan kau sia-siakan anakmu.
Tatapan matanya mengandung kepahitan hidupnya. Dan kau
masih mementingkan dirimu sendiri."
Daruwerdi tidak menunggu jawaban orang tua itu. Iapun
kemudian melangkah semakin jauh dan hilang dalam
kegelapan, di sela-sela pepohonan.
Ketika anak muda itu telah hilang, Swasti beringsut
mendekati ayahnya sambil bergumam, "Ayah memijit pusat
nadi tanganku." Orang tua itu tersenyum Jawabnya, "Anak muda yang luar
biasa. Aku mendengar kedatangannya. Karena itu aku biarkan
ia melawan harimau yang garang itu. Ternyata ia berhasil."
"Ayah membiarkan ia melakukan pekerjaan yang sangat
berbahaya itu," desis Swasti.
"Jika ia tidak meyakini kemampuannya, ia tidak akan
melakukannya." Swasti tidak menjawab. Tubuhnya terasa telah pulih
kembali. Ia mengerti, bahwa ayahnya memaksanya untuk
tidak berbuat sesuatu saat Daruwerdi berkelahi dengan seekor
harimaul yang garang itu.
Namun dalam pada itu, wajah ayah Swastipun menegang
pula. Tiba-tiba saja ia berbisik ditelinga anaknya, "Ia datang
kembali. Aku mendengar desir lembut. Berbuatlah seperti
yang aku kehendaki."
Swasti mengangguk. Meskipun badannya telah pulih
kembali, tetapi ia tetap duduk dengan lemahnya seperti yang
dikehendaki oleh ayahnya.
Beberapa saat mereka menunggu. Desir halus itu terdengar
semakin dekat. Tetapi ayah Swasti tidak memalingkan
wajahnya seolah-olah ia sama sekali tidak mendengarnya.
Baru kemudian ketika terdengar pepohonan yang
dikuakkan, orang tua itu terkejut, sehingga ia tergeser
beberapa jengkal. Dengan serta merta ia berpaling
memandang kearah suara desir dedaunan yang tersibak.
Tetapi ternyata orang tua itu benar-benar terkejut.
Wajahnya menjadi tegang. Ternyata yang datang bukannya
Daruwerdi. Tetapi orang lain. Juga seorang anak muda. Tetapi
anak muda itu nampaknya lebih sederhana dalam pakaian
seorang petani biasa. "O," desis ayah Swasti, "siapakah kau anak muda?"
Anak muda itu mengangguk hormat. Dengan
membungkuk-bungkuk ia melangkah mendekati sambil
menjawab, "Kiai, jika berkenan dihati, aku akan
memperkenalkan diriku. Aku adalah anak padukuhan
disebelah hutan ini. Anak seorang janda miskin yang
barangkali tidak berarti sama sekali bagi Kiai."
Anak Swasti mengerutkan keningnya. Dengan heran ia
bertanya, "Aku tidak mengerti maksud anak muda."
Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
katanya, "Kedatangan Kiai kedaerah terpencil ini
menumbuhkan pertanyaan dihatiku. Ketika aku mendengar
aum seekor harimau, aku telah tertarik untuk melihatnya,
karena sebenarnyalah aku memang melihat menjelang senja
dua orang yang memasuki hutan ini. Agaknya Kiai dan
perempuan yang barangkali sanak kadang Kiai."
"Ia adalah anakku," jawab ayah Swasti, "memang seekor
harimau telah merunduk kami. Tetapi untunglah, seorang
anak muda yang bernama Daruwerdi telah menolong kami.
Lihatlah ngger, harimau itu telah dibunuhnya."
"Luar biasa," desisnya. Tetapi wajahnya sama sekali t idak
menunjukkan perubahan apapun. Apalagi keheranan. Katanya
selanjutnya, "Daruwerdi memang seorang anak muda yang
perkasa, ia tinggal dipadukuhan disebelah hutan ini pula.
Tetapi berbeda dengan padukuhan-padukuhan yang ada
sebelah tanda batas itu. Ia berada dibawah kekuasaan Buyut
yang berbeda dengan kelompok padukuhanku."
"O," ayah Swasti mengangguk-angguk. "Ia berhasil
membunuh harimau itu dengan hanya mempergunakan pisau
belati?" Anak muda itu tersenyum. Katanya, "Tentu setiap orang
ingin menolong Kiai dan anak gadis Kiai. Meskipun aku tidak
berkemampuan kanuragan, akupun berniat untuk menolong
seandainya diperlukan. Tetapi, rasa-rasanya yang dilakukan
oleh Daruwerdi adalah sia-sia."
Swasti dan ayahnya terkejut mendengar kata-kata anak
muda itu, sehingga dengan serta meria ayah Swasti bertanya,
"Kenapa sia-sia ngger ?"
Anak muda itu tertawa. Katanya, "Apakah artinya yang
telah dilakukan oleh Daruwerdi itu bagi Kiai " Daruwerdi
menyangka Kiai tidak mampu berbuat apa-apa dan benarbenar
ketakutan melihat harimau itu datang merunduk Kiai
dan anak gadis Kiai. Tetapi sentuhan jari-jari Kiai pada nadi
anak gadis Kiai, menumbuhkan pertanyaan dihatiku. Dan
kemudian akupun yakin, bahwa seandainya Daruwerdi tidak
menolong Kiai akupun tidak akan melakukannya, karena Kiai
akan dapat membunuh harimau itu dengan sekali hembus
tanpa menitikkan keringat dan apalagi darah Kiai sendiri."
Ayah Swasti menjadi tegang. Dengan ragu-ragu ia
bertanya, "Anak muda melihat semuanya yang telah terjadi ?"
"Aku melihat semuanya yang terjadi. Aku tidak dapat
menahan tertawa melihat tingkah laku Daruwerdi. Meskipun ia
seorang anak muda yang berani dan memiliki kemampuan
yang tinggi, tetapi ia tidak sempat melihat siapakah Kiai
sebenarnya, sehingga ia dengan serta merta telah berusaha
menolong Kiai," jawab anak muda itu.
Ayah Swasti menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada
dalam ia bertanya pula, "Apakah angger yakin bahwa tanpa
pertolongan anak muda yang berani itu aku dapat
menyelamatkan diriku sendiri ?"
Anak muda itu tertawa. Namun kemudian sambil
mengangguk hormat ia menjawab, "Kiai adalah seorang yang
memiliki ilmu tiada taranya. Karena itu, seperti yang aku
katakan, tingkah laku Daruwerdi adalah kesia-siaan dihadapan
Kiai." Ayah Swasti memandang anak gadisnya yang mengerutkan
kening. Sekilas Swasti memandang anak muda dalam pakaian
dan sikap yang sederhana itu. Tetapi ketika tiba-tiba saja anak
muda itu juga memandangnya, maka dilemparkannya tatapan
matanya kepepohonan yang kehitam-hitaman didalam
kelamnya malam. "Angger," berkata ayah Swasti kemudian, "dihari pertama
kedatanganku didaerah ini, aku sudah dikejutkan oleh
peristiwa-peristiwa yang semula diluar dugaanku. Ternyata di
dua kelompok padukuhan yang dipimpin oleh dua orang buyut
yang berbeda, meskipun mereka adalah saudara kembar,
masing-masing dihuni anak muda yang memiliki ilmu yang
tinggi. Meskipun kau tidak menunjukkan kemampuanmu
seperti yang dilakukan oleh Daruwerdi, tetapi pengamatanmu
atas keadaan kami telah menunjukkan bahwa angger adalah
seorang anak muda yang luar biasa, yang tidak kalah tinggi
ilmunya dari Daruwerdi."
"Ah," desis anak muda itu, "Kiai keliru. Aku hanya dapat
melihat. Tetapi aku tidak dapat berbuat apa-apa."
"Jangan ingkar anak muda. Seperti anak muda dapat
melihat keadaanku, maka akupun kini menyadari, siapakah
yang ada dihadapanku."
Anak muda itu tersenyum. Katanya kemudian, "Daruwerdi
memang seorang anak muda yang terlalu baik. Ia terdorong
oleh keinginannya yang tidak terkendali untuk menolong
seseorang, sehingga ia tidak melihat siapakah yang akan
ditolongnya. Sementara aku adalah, seorang gembala yang
tidak berarti, yang selain menggembalakan kambing, aku
selalu tenggelam didalam lumpur."
Ayah Swasti mengangguk-angguk. Sambil tersenyum iapun
menyahut, "Sungguh luar biasa. Daerah yang terpencil ini
ternyata memiliki kemampuan yang mengagumkan. Angger
apakah banyak anak-anak muda yang memiliki ilmu seperti
angger Daruwerdi dan angger sendiri?"
Anak muda itu mengerutkan keningnya. Kemudian
jawabnya, "Hanya seorang Kiai, Daruwerdi."
Orang tua itu masih saja tersenyum. Katanya, "Angger
memang senang bergurau. Baiklah. Angger tentu mengetahui
apa yang sudah aku ketahui tentang angger, seperti aku tahu
apa yang angger ketahui tentang aku."
Ternyata bahwa anak muda itu memang banyak tertawa.
Wajahnya nampak cerah, sedang jawabnyapun rancak. "Tepat
Kiai. Dan karena itu pula aku tidak perlu bertanya, kemana
Kiai akan pergi." Orang tua itu bertambah heran. Dengan nada dalam dan
ragu-ragu ia bertanya, "Kenapa angger tidak perlu bertanya,
kemana kami akan pergi ?"
Anak muda itu tertawa. Katanya, "Meskipun aku tidak pasti,
tetapi aku dapat menduga. Bukankah Kiai berjalan menyusuri
suara arus air dibawah tanah ?"
"Ah," orang itu menegang sejenak.
Tetapi anak muda itu masih tetap tertawa dan meneruskan.
"Kiai tentu ingin menemukan mata air yang menurut dugaan
Kiai tersembunyi di dalam hutan dibayangan bukit ini."
Ayah Swasti mengangguk-angguk. Akhirnya ia menjawab,
"Kami tidak ingkar ngger. Agaknya angger memiliki ketajaman
penglihatan. Bukan saja penglihatan wadag yang telah melihat
aku dengan sengaja menyentuh pusat madi anakku agar tidak
menumbuhkan kecurigaain pada angger Daruwerdi. tetapi
juga penglihatan perhitungan."
"Kiai tidak usah memuji. Aku kira itu bukannya suatu
kelebihan. Bukankah wajar jika seorang perantau memerlukan
tempat yang dapat dihuni " Salah satu syarat untuk sebuah
padepokan adalah air."
"Ya ngger. Kami memang sedang mencari sumber air yang
aku ketahui mengalir dibawah tanah."


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Baiklah Kiai. Aku dapat memberikan petunjuk serba sedikit
karena aku adalah anak daerah ini."
"Terima kasih ngger."
"Kiai," berkata anak muda itu, "pendengaran Kiai memang
sangat tajam. Kiai telah menempuh jalan yang benar, tetapi
pada suatu saat dapat kecewa karena arus air dibawah tanah
itu sudah ada sejak dari seberang bukit."
"O," Swasti berdesis. Diluar sadarnya ia berkata, "Jadi kami
harus mendaki dan menuruni bukit ini, atau mencari jalan
melingkarnya ?" Anak muda itu memandang Swasti sejenak. Namun seperti
yang selalu dilakukan, ia menjawab sambil tersenyum, "Tidak.
Kalian tidak perlu melakukannya meskipun kemungkinan itu
dapat terjadi jika ayahmu salah pilih." ia berhenti sejenak, lalu
katanya kepada ayah Swasti, "Kiai, dibawah tanah ini memang
sudah mengalir sebuah sungai yang deras. Sementara sumber
yang terdapat dibayangan bukit ini hanya merupakan sebagian
saja dari arus sungai itu. Karena itu, jika Kiai menyelusuri
suara sungai dibawah tanah itu, mungkin sekali Kiai akan
mengikut i arus yang lebih besar dari seberang bukit."
Ayah Swasti mengangguk-angguk. Katanya, "Terima kasih
ngger. Terima kasih. Aku mengerti sekarang, bahwa ada
tempuran dibawah tanah. Untunglah aku bertemu dengan
angger di sini. Jika tidak, mungkin sekali aku salah memilih
jalur air sehingga aku harus berjalan lebih jauh lagi."
"Jika demikian Kiai, marilah. Aku akan mengantar. Kiai
sampai ke mata air itu. Sebenarnyalah bahwa tempat itu
adalah tempat yang sangat mapan untuk membuat sebuah
padepokan." Ayah Swasti mengangguk-angguk. Tetapi ia benar-benar
telah menjadi heran. Dihari yang pertama didaerah itu, ia
telah bertemu dengan orang-orang yang tidak pernah
diduganya. Namun keheranan ayah Swasti bukan saja karena sikap
anak muda itu, tetapi bahwa ia mengetahui tentang manfaat
air dari mata air di bukit itu. Meskipun demikian, sawah-sawah
tetap kering dimusim kemarau.
"Anak muda," akhirnya ayah Swasti tidak dapat menahan
ingin tahunya, "menilik sikap dan keteranganmu tentang mata
air itu, agaknya kau tahu benar guna manfaatnya."
Anak muda itu tertawa. Katanya, "Aku sudah menyangka
bahwa Kiai akan bertanya demikian. Jika di bukit ini ada mata
air, dan aku mengetahuinya, kenapa aku tidak berbuat
sesuatu bagi sawah kami yang kering."
Ayah Swasti mengangguk kecil.
"Kiai," berkata anak muda itu, "ada banyak sebabnya.
Penghuni dari sekelompok padukuhan kami dan kelompok
padukuhan yang lain, masih dikuasai oleh tata kehidupan yang
sudah berpuluh tahun berlangsung. Mereka masih pula
dibayangi oleh kepercayaan yang menghambat kemajuan cara
berpikir mereka. Menurut pendapat mereka, daerah dilereng
bukit ini merupakan daerah yang gawat. Tidak seorangpun
yang akan berhasil memasuki hutan yang lebat dan apalagi
menemukan mata air."
"Tetapi angger pernah melakukannya," potong orang tua
itu. "Mereka tidak percaya. Mereka menyangka bahwa aku
sekedar bermimpi." anak muda itu berhenti sejenak, lalu,
"bahkan seandainya mereka percaya bahwa aku pernah
menemukan sumber air itu, namun mereka tidak akan berani
berbuat sesuatu." Ayah Swasti mengangguk-angguk. Tetapi iapun kemudian
bertanya, "Bagaimana dengan Daruwerdi?"
"Ia seorang anak muda yang cakap. Ia melontarkan
perhatiannya ketempat yang jauh. Ia mempunyai kawan dan
hubungan dengan orang-orang yang tidak dikenal
dipadukuhan kami, sehingga ia tidak mempedulikan lagi
perkembangan padukuhan tempat ia t inggal."
Ayah Swasti mengangguk-angguk. Namun kemudian sambil
berpaling kepada Swasti ia berkata, "Kita ternyata telah
mendapat anugerah dari Yang Maha Agung. Angger ini
bersedia mengantarkan kita sampai kemata air yang kita
perlukan." Swasti tidak segera menjawab. Sekilas ditatapnya mata
anak muda yang jernih itu. Namun iapun hanya dapat
menunduk dalam-dalam. "Angger," tiba-tiba saja ayah Swasti bertanya, "apakah
angger sudah menyebut nama angger ?"
Anak muda itu tertawa. Katanya, "Apakah itu perlu sekali
Kiai?" "Sebutlah, agar kami tidak canggung memanggil angger."
Anak muda itu memandang orang tua itu sesaat. Namun
kemudian senyumnya yang cerah menghiasi bibirnya yang
bergerak menyebut namanya, "Namaku jelek Kiai. Tidak
sebaik Daruwerdi." ia nampak ragu-ragu. namun kemudian
diucapkannya juga, "namaku Jlitheng."
"Bohong," diluar sadarnya Swasti tiba-tiba saja menjawab.
Namun ketika terasa anak muda itu memandanginya, terasa
wajahnya menjadi panas, sehingga iapun menunduk semakin
dalam. Ayah Swastipun tertawa. Katanya, "Menurut
pengamatanku, angger bukan seorang anak muda yang
termasuk berkulit hitam."
Anak muda itu tertawa. Katanya, "Menurut ibuku, saat aku
lahir, kulitku hitam seperti arang. Kakekkulah yang memberi
nama kepadaku Jlitheng."
"Itu bukan nama ngger. Tetapi panggilan. Atau nama
panggilan. Tetapi angger tentu mempunyai nama lain."
Anak muda itu tertawa semakin keras. Katanya, "Panggil
saja aku Jlitheng. Aku senang mendapat panggilanku."
Ayah Swasti termangu-mangu. Namun katanya kemudian,
"Baiklah angger Jlitheng. Untuk sementara aku akan
mempergunakan nama panggilan itu."
"Panggil saja namaku Kiai. Kiai tidak perlu memakai
sebutan apapun. Bagiku terasa lebih akrab dan akupun jauh
lebih muda dari Kiai. Mungkin sebaya atau lebih tua sedikit
dengan anak Kiai." Ayah Swastipun tertawa semakin keras. Tetapi Swasti
menunduk semakin dalam. Rasa-rasanya pipinya menjadi
tebal dan lehernya tidak dapat diangkatnya. Sehingga untuk
beberapa lamanya ia duduk bagaikan membeku.
"Tetapi Kiai, akupun ingin mendengar Kiai menyebut
sebuah nama. Aku tidak peduli apakah itu benar-benar nama
Kiai, atau sekedar nama panggilan atau bahkan gelar Kiai."
Orang tua itu tertawa. Jawabnya, "Aku ingin memberi gelar
kepadaku sendiri. Mungkin aku dapat menyebut beberapa
gelar kebesaran. Mungkin Gajah Limpad atau Garuda Yaksa
atau gelar yang lebih dahsyat lagi. Tetapi aku tidak dapat
mengingkari namaku sendiri yang sederhana. Anak muda,
panggillah aku dengan namaku yang sebenarnya, Kiai Kanthi.
Ya, namaku memang Kiai Kanthi."
Anak muda itu mangerutkan keningnya. Sejenak ia seolaholah
sedang merenungi nama itu. Namun kemudian kepalanya
terangguk-angguk kecil. Dengan nada datar ia bertanya, "Aku
memang tidak bertanya, kemana Kiai akan pergi, tetapi aku
sekarang bertanya, dari manakah Kiai datang."
Orang tua yang menyebut namanya Kiai Kanthi itupun
menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya kemudian, "Aku
berasal dari padepokan yang jauh ngger. Padepokan yang
hancur dilanda gempa dan tanah longsor yang dahsyat.
Unturglah bahwa kami sempat mengungsi. Ada beberapa
orang penghuni padepokanku selain kami berdua. Merekapun
sempat meninggalkan padepokan ketika hujan lebat dan angin
prahara mulai melanda padepokan kami. Air yang mengalir
dari lereng bukit bagaikan dituang dari langit. Ketika kemudian
tanah bagaikan diguncang, maka runtuhlah tebing bukit diatas
Padepokanku. Sementara banjir yang kemudian datang
bagaikan menghanyutkan tanah garapan kami."
"Kiai," tiba-tiba anak muda itu memotong, "apakah Kiai
datang dari daerah Pucang Sewu disebelah Kali Buntung."
Orang tua itu termangu-mangu.
"Sungai kecl itu memang seperti setan. Dimusim kering
airnya tidak lebih dari titik-titik embun. Tetapi jika hujan turun
dengan lebatnya, maka airnya dapat meluap sampai beratusratus
tonggak," desis anak muda itu.
Orang tua yang menyebut dirinya bernama Kiai Kanthi itu
masih termangu-mangu. Ditatapnya wajah anak muda itu
dengan tajamnya. Namun kemudian sambil menarik nafas
dalam-dalam ia berkata, "Tentu berita tentang bencana alam
itu sudah sampai kepadukuhan ini."
Jlitheng mengangguk-angguk. Katanya, "Memang
terdengar berita tentang bencana alam itu. Aku
menghubungkan dengan ceritera Kiai. Jadi apakah Kiai benar
datang dari daerah Pucang Sewu yang seakan-akan telah
musnah itu ?" Kiai Kanthi mengangguk. Jawabnya, "Benar ngger. Aku
adalah salah seorang penghuni Pucang Sewu. Pucang Sewu di
bagian Barat sampai saat ini masih tetap utuh. Tetapi agaknya
daerah persawahannya tidak akan mencukupi lagi. Sedangkan
padepokanku bagaikan hanyut oleh tanah yang longsor
dilereng bukit, sedang sawah dan ladangku telah dihanyutkan
oleh banjir Kali Buntung."
"Dan sekarang Kiai mencari tempat untuk membuka
padepokan baru," sahut Jlitheng, "agaknya Kiai memang
senang tempat dilereng bukit. Kali ini Kiai telah menuju
kelereng bukit pula."
Kiai Kanthi mengerutkan keninignya. Kemudian sambil
tersersyum ia menjawab, "Aku tidak pernah memikirkannya.
Aku tidak pernah menganggap bahwa tinggal di lereng bukit
adalah lebh baik daripada tinggal ditempat lain. Adalah
kebetulan bahwa kali ini aku mengikuti arus air dibawah tanah
sampai kelereng bukit pula."
Anak muda yang lebih senang dipanggil Jlitheng itu
tettawa. Katanya, "Marilah Kai. Aku antarkan Kiai memasuki
hutan ini. Sebelumpagi kita sudah akan sampai ditujuan."
Kiai Kanthi memandang anak gadisnya sejenak, seoah-olah
ia ingin bertanya, apakah ia sudah tidak terlau lelah untuk
melanjutkan perjalanan, meskipun sejak semula Swasti minta
kepada ayahnya untuk melanjutkan perjalanan di malamhari.
Tetapi dalam pada itu, sebelum ayahnya bertanya, Swasti
sudah mendahului, "Terserahlah kepada ayah. Aku sudah
beriitirahat meskipun sebentar. Tetapi ayah sama sekali
belum." "Akupun sudah," jawab ayahnya, "ketika kau tertidur, aku
sudah cukup beristirahat."
Swasti tidak menjawab lagi. Dipandanginya saja anak muda
yang wajahnya nampak cerah dan selalu tersenyum itu
sejenak. Namun semakin lama wajah itu menjadi semakin
kabur karena api diperapian semakin susut.
"Baiklah," berkata ayah Swasti, "marilah kita pergi."
Swastipun kemudian bangkit sambil membenahi dirinya dan
sebungkus kecil pakaiannya. sementara ayahnya
memadamkan perapian agar apinya tidak menimbulkan
bahaya kebakaran pada hutan dilereng bukit itu.
Sejenak kemudian, ketiga orang itupun telah melanjutkan
perjalanann. Jlitheng berada dipaling depan. Dibelakangnya
berjalan Kiai Kanthi. Sedang dipaling belakang adalah Swasti.
Bagaimanapun juga Kiai Kanthi masih juga harus berhatihati.
Ia sadar bahwa anak muda itu tentu anak muda yang
memiliki ilmu yang tinggi, sedangkan ia masih belum
mengenalnya dengan baik, sehingga kemungkinan yang tidak
diharapkannya masih saja dapat terjadi.
Tetapi agaknya anak muda itu benar-benar ingin
menunjukkan mata air yang tersembunyi didalam hutan di
bukit itu. Langkahnya tetap, seolah-olah tanpa berpaling.
Sekali-kali mereka harus menyusuri celah-celah padas yang
menanjak setinggi pepohonan. Namun sekali-kali mereka
harus berloncatan dari batu-batu raksasa kebatu berikutnya.
"Apakah tidak ada jalan lain yang lebih baik ngger ?"
bertanya Kiai Kanthi. Jlitheng menyahut tanpa berherti, "Ada Kiai. Tetapi jalan itu
panjang sekali. Kita dapat menyusuri sela-sela pepohonan.
Jalannya memang lebih baik diri jalan yang kita tempuh
sekarang. Tetapi kita akan terlalu lama mencapai mata air itu."
Kiai Kanthi tersenyum. Seakan-akan kepada diri sendiri ia
berkata, "Kau cerdik anak muda. Bukankah kau ingin
mengetahui, apakah anak gadisku mampu melakukan seperti
yang kau lakukan sekarang."
"He?" tiba-tiba saja Jlitheng tertegun. Sejenak ia
termangu-mangu. Namun kemudian ia berpaling sambil
tertawa. "Kiai mempunyai tangkapan yang tajam sekali. Dan
sekarang ternyata bahwa Swasti adalah seorang gadis yang
luar biasa. Ia tidak saja mempunyai ketahanan tubuh yang
melampaui kebanyakan orang, bahkan laki-laki sekalipun,
yang ternyata dengan perjalanannya yang berat. Tetap iapun,
mampu melewati jalan ini. Ia mamnu berloncatan dari batu ke
batu. Menanjak tebing dalam gelapnya malam. Mendaki batubatu
padas yang licin oleh lumut hijau dan keseimbangan
yang mantap." "Ah," Swasti berdesis, "jika aku tahu, aku tidak mau."
Jlitheng tertawa semakin panjang. Katanya, "Tetapi
semuanya sudah terjadi. Akulah yang akan dapat
memanfaatkan pertemuan ini sebaik-baiknya. Jika Kiai
bersedia, aku akan mencoba mempelajari ilmu yang tentu
tersimpan tanpa batas di dalam diri Kiai."
"Ah," potong Kiai Kanthi, "jangan mengada-ada ngger. Aku
sama sekali bukan orang yang kau maksud. Sekarang,
marilah. Kita melanjutkan perjalanan."
Jlitheng menarik nafas panjang, iapun kemudian
mengangguk-angguk kecil. Tetapi tidak sepatah kata lagi
keluar dari mulutnya. Ketiga orang itupun kemudian melanjutkan perjalanan
mereka. Kadang-kadang mereka mencuat dari hutan-hutan
kecil lewat batu-batu padas. Namun kemudaan mereka
kembali memasuki hutan, berjalan diantara pepohonan, dan
kadang kadang menyusup diantara sulur-sulur yang
bergayutan. Dalam gelap malam perjalanan mereka terasa tersendatsendat.
Langkah mereka menjadi lamban dan sempit.
Meskipun mereka tetap maju menyusup semakin dalam.


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Betapa tajamnya telinga Kiai Kanthi ketika ia berdiri diatas
batu padas yang basah, maka iapun berkata, "Jika kau
menyebut tempuran itu ngger, agaknya kita sudah berada
diatasnya." "Ya Kiai," jawab Jlitheng, "karena itu kita sudah hampir
sampai. Disebelah kita akan menemukan air itu mengalir
diatas batu-batu padas dan tumpah kedalam parit-parit di
sela-sela batu yang membawa air itu masuk kebawah tanah
dan mengalir menyatu dengan sungai yang memang sudah
terdapat sejak seberang bukit."
Kiai Kanthi menarik nafas panjang. Diluar sadarnya ia
berpaling kepada anak gadisnya yang diketahuinya, tentu
telah menjadi sangat letih. Hanya karena tempaan yang
pernah diterimanya dari ayahnya sajalah, maka Swasti masih
jalan dibelakangnya betapapun berat perjalanan itu.
Yang dikatakan oleh Jlitheng hampir sampai itupun ternyata
masih memerlukan waktu yang panjang. Mereka menyusup
semakin dalamdiantara pepohonan.
Semakin jauh mereka berjalan, maka semakin terasa pada
kaki Kiai Kanthi, bahwa tanah memang menjadi semakin
basah. Oleh ketajaman perasaannya, maka Kiai Kanthi pun
mengetahui, bahwa perjalanan mereka memang sudah dekat.
Swasti menarik nafas dalam-dalam ketika ia mulai
mendengar gemerisik air. Bahkan rasa-rasanya ia ingin
meloncat berlari langsung menceburkan diri kedalamnya.
Namun ia masih menahan diri. Apalagi ia menyadari bahwa ia
belum pernah menginjak daerah itu. Daerah yang mungkin
mempunyai rahasia yang dapat mencelakakannya.
Ternyata seperti yang diduganya, maka Jlithengpun
berkata, "Berhati-hatilah Kiai. Disini kita mendapatkan
beberapa jalur parit yang curam dan dalam, yang menampung
air yang meluap dari sebuah kolam."
"O, semacam luweng maksudmu ngger ?"
"Ya. Luweng yang terbuka dan terbujur memanjang."
Kiai Kanthi tidak menjawab. Tetapi pendengarannya yang
semakin jelas, seolah-olah telah memberikan gambaran,
betapa berbahayanya daerah yang belum pernah dikenalnya
itu. Namun akhirnya merekapun sampai kesebuah dataran yang
agak luas. Hutan yang tumbuh pepat menunjukkan bahwa
tanah dibawah kaki mereka adalah tanah yang basah dan
subur. "Kita sudah sampai Kiai," desis Jlitheng, meskipun yang
nampak disekitar mereka hanyalah kelebatan hutan sematamata.
Tetapi Kiai Kanthipun menangkap maksud anak muda itu.
Iapun merasa bahwa ia telah sampai ketujuan. Hanya
kelebatan hutan dan kelamnya malan sajalah yang masih
memberikan jarak antara mereka dengan kolam yang sudah
tidak jauh lagi dari mereka.
"Kiai," berkata Jlitheng. "tugasku sudah selesai. Aku kira
tidak ada lagi yang perlu aku kerjakan buat Kiai, seandainya
ada seekor bahkan dua ekor harimau datang bersama-sama
sekalipun, aku tidak perlu mencemaskan nasib Kiai dan anak
gadis Kiai yang luar biasa itu."
"Kau memang aneh anak muda," jawab Kiai Kanthi,
"namun demikian, aku kira kita masih akan berhubungan
terus, seperti aku pun ingin selalu berhubungan kelak dengan
angger Daruwerdi. Bukankah angger kenal baik dan bahkan
mungkin bersahabat dengan angger Daruwerdi ?"
"Tentu Kiai. Meskipun kelompok padukuhan kami dan
kelompok padukuhan Daruwerdi diperintah oleh orang yang
berbeda, tetapi kami tetap rukun seperti keluarga, karena
pada dasarnya kami memang sekeluarga."
"Tetapi aku melihat kelainan pada sikap angger Daruwerdi,"
bertanya Kiai Kanthi. Anak muda yang menyebut dirinya Jlitheng itu
mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya,
"Apakah yang berbeda Kiai ?"
"Menilik dari ujud lahiriahnya saja, ia berpakaian lain dari
kawan-kawannya. Dan maaf, agak berbeda pula dengan
pakaianmu ngger." "Ah. Kiai aneh sekali. Sudah barang tentu pakaian kami
berbeda-beda menurut selera kami masing-masing. Apakah
Kai dapat melihat perbedaan selera memilih pakaian sebagai
sesuatu yang perlu mendapat perhatian" Jika Kiai
memperhatikan, mungkin terdapat kelainan pula pada
pakaianku dengan pakaian kawan-kawanku dan sebaliknya."
Kai Kanthipun mengangguk-angguk. Katanya, "Mungkin
angger benar. Ya, agaknya aku memang sudah pikun."
Jlitheng tertawa. Jawabnya, "Sudahlah Kiai. Aku mohon
diri. Besok aku akan datang lagi ketempat ini. Mungkin sendiri
mungkin bersama Daruwerdi. Ia tentu ingin juga bertemu
dengan Kiai setelah ia menolong Kiai dan anak gadis Kiai.
Tetapi aku kira Kiai belum mengatakan bahwa Kiai akan
datang kemari kepada Daruwerdi."
"Apakah angger akan memberitahukan kepadanya ?"
bertanya Kiai Kanthi, "dan apakah itu perlu ?"
Jlitheng mengerutkan dahinya. Dengan suara datar ia
bertanya, "Jadi bagaimana pesan Kiai ?"
"Sebaiknya jangan tergesa-gesa memberitahukan kerada
siapapun ngger. Aku kira aku lebih senang melihat daerah ini
untuk dua t iga hari, untuk dapat mengambil keputusan.
apakah aku akan menetap atau kemungkinan itu terpaksa aku
lepaskan karena daerah ini kurang memadai."
"Baiklah Kiai. Tetapi aku berharap Kiai akan kerasan tinggal
dihutan ini. Disini ada air. Dataran yang cukup luas dan pohon
buah-buahan yang dapat untuk sementara membantu Kiai.
meskipun pepohonan yang memberikan buah-buahan yang
dapat dimakan itu telah mengundang beberapa jenis binatang.
Disini banyak kera Kiai. Tetapi kera itu bagaikan lenyap ditelan
bukit, jika satu dua ekor harimau sampai ketempat ini."
"Terima kasih atas segala keterangan itu ngger. Aku akan
melihat, apakah aku dapat berbuat sesuatu atas daerah ini."
Anak muda yang menyebut dirinya Jlitheng itupun sekali
lagi minta diri dan meninggalkan Kiai Kanthi serta anak
gadisnya di daerah yang asing bagi keduanya itu.
Sejenak Kiai Kanthi masih termangu-mangu. Ditebarkannya
pandangan matanya kesekelilingnya. Tetapi gelap sisa malam
masih sangat membatasi jarak jangkau tatapan matanya.
Namun tatapan mata batin orang tua itu sudah melihat.
bahwa didekat mereka terdapat sebuah kolam yang airnya
melimpah menglir bertebaran, menuju keparit-parit dicelahcelah
batu-batu padas yang seakan-akan telah disediakan oleh
alam, yang membawanya kedalam arus sungai dibawah tanah.
"Kita berist irahat Swasti," berkata ayahnya, "tidak lama
lagi, kita akan sampai keujung malam. Kita akan segera
menemukan air dan mempertimbangkan apakah kita dapat
mempergunakan tempat ini. Setelah terang, baru kita akan
mengetahui keadaan disekitar kita."
Swasti mengangguk. Dikuakkannya rumput-rumput liar
dibawah kakinya. Namun desisnya kemudian, "Tidak ada
tempat untuk tidur ayah. Tanah ini terlalu basah."
"Ya, tanahnya terlalu basah. Tetapi kau dapat beristirahat
diatas dahan itu." Swasti mengangkat wajahnya. Dilihatnya beberapa batang
pohon besar. Dahannya yang bersilang melintang,
memberikan kemungkinan untuk beristirahat kepadanya.
"Tetapi apakah disini tidak ada laba-laba hijau yang
beracun, atau sebangsa cicak berleher merah ?"
"Mungkin memang ada Swasti, kita belum mengenal daerah
ini baik-baik. Karena itu berhati-hatilah."
Swasti tidak menjawab. Tetapi iapun kemudian
mengumpulkan seonggok rerumputan liar dibawah sebatang
pohon. Kemudian dijatuhkannya dirinya, duduk sambil
bersandar. Perlahan-lahan angin yang silir terasa bagaikan
membelai jantung, sehingga akhirnya, sambil duduk iapun
memejamkan matanya. Ayahnyapun telah duduk didekatnya. Sejenak ia mengamati
anak gadisnya. Dalam tidur nampak remang-remang di dalam
kegelapan wajah gadis itu membayangkan beban yang berat
menggantung dipundaknya. "Kasihan," desis ayahnya. Bagamampun juga sebagai
seorang ayah ia dapat merasakan betapa berat perasaan anak
gadisnya mengikut i cara hidup yang dipilihnya. Kadangkadang
terngiang kata-kata Daruwerdi tentang masa depan
anaknya itu. "Kakek mementingkan diri sendiri," kata-kata itu bagaikan
terdengar bergema direlung hatinya berulang-ulang.
Kemudian, "Anak gadismu memerlukan masa depan sebagai
seorang gadis sewajarnya."
"Ah," desah orang tua itu. Namun katanya kemudian
didalam hati, seolah-olah ia telah mengucapkan janji. "Disini
aku akan membuka sebuah padepokan. Aku akan berusaha
memberi kesempatan agar Swasti dapat hidup sebagai
seorang gadis sewajarnya, berkawan dengan gadis-gadis yang
lain dari kedua kelompok padukuhan itu."
Kiai Kanthi menarik nafas dalam-dalam. Sekilas ia melihat
wajah anaknya yang muram. Kemudian keningnya menegang,
ketika ia mendengar Swasti didalam tidurnya berdesah
panjang. Ternyata bahwa malam segera sampai keujungnya. Langit
menjadi merah. Sementara burung-burung liar berkicau
bersahut-sahutan. Swasti membuka matanya. Dilihatnya ayahnya masih duduk
memeluk lutut. "Ayah tidak beristirahat?" bertanya Swasti. Tetapi Swasti
sendiri mengerti bahwa ayahnya tidak akan dapat tidur jika ia
sendiri sedang tidur nyenyak.
Ayahnya justru bangkit sambil menggeliat. Katanya, "Aku
sudah cukup beristirahat. Alangkah nyamannya pagi yang
bakal datang. Kita akan melihat, apakah yang ada disekitar
tempat ini." Swastipun kemudan bangkit pula. Setelah membenahi
rambutnya maka iapun berkata, "Kita akan mencari mata air
itu ayah." Keduanyapun kemudian berjalan menyibak lebatnya
gerumbul-gerumbul diantara batang-batang pohon besar yang
tumbuh dihutan yang pepat itu. Namun seolah-olah Kiai Kanthi
memiliki penglihatan jauh melampaui wadagnya, sehingga ia
pun dengan tepat telah memilih arah yang benar menuju
kesebuah kolam yang airnya melimpah-limpah disegala
musim. Sejenak kedua orang itu termangu-mangu. Cahaya pagi
sudah mulai menembus rimbunnya dedaunan hutan dan jatuh
segumpal-segumpal diatas tanah yang lembab.
Dengan tegang keduanya memandang air yang jernih
meskipun kotor oleh daun-daun kering yang berjatuhan,
tertimbun didasar. Warna lumut yang hijau dan batang-batang
kayu yang berpatahan silang melintang. Namun dengan mata
wadag, keduanya dapat melihat betapa kelompok-kelompok
ikan berenang dekat didasar kolam, menyusup diantara
setimbun sampah dan dahan-dahan yang rontok kedalam
kolam itu. Di luar sadarnya Swasti berkata, "Tempat yang
memungkinkan ayah. Kolam itu menyimpan ikan tidak
terbilang banyaknya dari bermacam-macam jenis. Agaknya
seperti yang dikatakan oleh Jlitheng. dihutan ini terdapat
beberapa jenis pohon buah-buahan yang dapat dimakan."
Ayahnya mengangguk. Katanya, "Nampaknya kita
menemukan tempat yang kita cari. Meskipun demikian, kita
akan melihat barang satu dua hari. Apakah kita akan dapat
membuka sebuah padepokan disini. Kita akan melihat, apakah
hujan yang lebat tidak akan meruntuhkan tebing bukit itu dan
menghancurkan lereng dibawahnya."
"Tetapi nampaknya kolam ini sudah berumur tua ayah. Jika
tanah ditebing itu dapat diruntuhkan oleh air, maka kolam ini
tentu sudah tertimbun, meskipun sedikit demi sedikit, tetapi
itu terjadi setiap tahun dimusim basah."
Ayahnya mengangguk-angguk. Namun kemudan Swasti
berkata, "Tetapi pohon besar itu ayah. Aku melihat kelainan
dari pohon-pohon yang lain. Aku melihat didahannya terdapat
jenis daun yang berlainan."
Ayahnya memperhatikan pohon besar itu. Iapun melihat
jenis daun yang berbeda. Namun iapun melihat serat-serat
kayu yang berbeda pada batangnya yang besar, yang
bagaikan anyaman sulur-sulur yang besar dan membelit tubuh
batangnya. "Memang pohon itu mempunyai kelainan," berkata ayah
Swasti. Namun kemudian, "kita akan mengetahui jika kita
sudah berada disini."
Swastipun kemudian meletakkan sebungkus kecil
pakaiannya. Katanya, "Aku akan membersihkan diri ayah. Aku
memerlukan air itu."
Ayahnya mengangguk. Namun pesannya. Berhati-hatilah.
Mungkin ditempat ini terdapat banyak ular atau binatang
berbisa." Swasti mengangguk sambil melangkah meninggalkan
ayahnya memasuki gerumbul dan hilang di rimbunnya
dedaunan. Ia mencari arus air yang melimpah dari telaga yang
jernih tetapi kotor itu. Rasa-rasanya Swasti sudah tidak tahan lagi. Dua hari ia
tidak mandi. Ia hanya sempat mencuci wajahnya diparit yang
kebetulan dijumpainya diperjalanan.
Tetapi Swasti terkejut ketika ia mendengar daun berdesir.
Ketika ia menengadahkan wajahnya, ia bersungut-sungut
karena dua ekor kera nampaknya sedang memperhatikannya.
"Pergi," bentak Swasti. Tetapi kera itu tetap ditempatnya.
Baru ketika Swasti melemparnya dengan batu kerikil kera
itupun melompat dari dahan kedahan yang lain.
Sementara Swasti sedang mandi di belakang gerumbul,
dengan air yang melimpah dari kolam yang bagaikan disaring
oleh bebatuan sehingga daun-daun kering dan lumut yang
terdapat ditelaga tidak mengotori arus air itu. Kiai Kanthi
dengan saksama memperhatikan tempat disekitarnya. Ketika
ia menengadahkan kepalanya, dilihat disebelah lain dari kolam
itu terdapat sebatang pohon gayamyang berbuah lebat.
"Ada juga pohon gayam di sini," gumamnya. Namun bagi
Kiai Kanthi hal itu merupakan isyarat yang baik. Untuk
sementara pohon gayam itu akan dapat menjadi sandaran
makan mereka sehari-hari disamping ikan yang berkeliaran di


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kolam dan binatang buruan dihutan. Bahkan dengan demikian
ia yakin, bahwa ditempat itu tentu masih terdapat beberapa
batang pohon gayam lainnya dan mungkin juga pohon yang
lain yang dapat memberikan bahan makan baginya sebelum ia
berhasil membuka sesobek ladang untuk menanampadi.
Ketika kemudian Swasti kembali ketempat itu, maka hampir
diluar sadarnya Kiai Kanthi berkata, "Aku sudah mendapat
kepastian Swasti, bahwa kita akan t inggal disini."
Swasti menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku senang
ayah, bahwa aku tidak harus berjalan lagi menempuh jarak
yang tidak pasti." Kiai Kanthi memandang anaknya sejenak. Terasa dihatinya,
betapa letihnya anak gadis itu meskipun ia tidak pernah
membantah untuk mengikutinya kemana ia pergi.
"Ya Swasti," suara orang tua itu menjadi dalam, "aku
mengerti bahwa kau sudah t idak ingin lagi menempuh
perjalanan yang melelahkan. Tetapi kita akan mendapat
pekerjaan baru. Kita akan membuka hutan ini."
Swasti termangu-mangu. Dipandanginya beberapa jenis
pohon yang besar yang tumbuh disekitar kolam itu. Suatu
pekerjaan yang mustahil dilakukan. Bagaimana mungkin ia
berdua dengan ayahnya akan dapat menebang pohon-pohon
raksasa dan gerumbul-gerumbul perdu yang lebat dan bahkan
diantaranya berduri. Kiai Kanthi agaknya melihat keragu-raguan anak gadisnya.
Karena itu maka katanya, "Swasti. Sudah barang tentu kita
tidak akan menebang pohon-pohon raksasa ini. Kita akan
menebas pohon-pohon perdu dan membiarkan satu dua
pohon besar yang tumbuh disana."
"Jadi, kita tidak akan membangun padepokan ditepi telaga
ini ayah " Jika demikian, kenapa kita bersusah payah
mengikut i arus air dibawah tanah itu ?"
"Swasti. Kita sudah menemukan tempat ini. Tempat ini
akan menjadi sumber dari kehidupan dipadepokan yang akan
kita bangun. Kita akan mengalirkan air yang tidak terkendali
ini ketempat yang paling baik bagi sebuah padepokan. Tentu
tidak jauh dari tempat ini."
Swasti mengangguk-angguk kecil. Ia mengerti maksud
ayahnya. Dengan demikian yang harus mereka kerjakan
adalah menebang perdu dan mungkin ilalang di sekitar tempat
itu. yang kemudian harus menyiapkan sebuah parit untuk
mengaliri daerah itu, agar dapat menjadi sawah yang subur,
yang akan dapat menampung tebaran benih padi.
"Kita akan berist irahat hari ini Swasti," berkata ayahnya,
"alam telah menyediakan makanan bagi kita. Ikan di telaga
itu, binatang buruan dihutan dan lihat, beberapa batang
pohon gayam." Swasti mengangguk-angguk. Namun wajahnya membayang
harapan yang cerah. Apalagi kelika ayahnya berkata
seterusnya, "Selanjutnya Swasti. kita akan bertetangga
dengan dua kelompok padukuhan yang diperintah oleh dua
orang buyut yang bersaudara kembar. Kita akan hidup dalam
lingkungan yang lebih luas dan bersahabat dengan banyak
orang." Swasti menundukkan kepalanya. Terasa sesuatu menyekat
kerongkongannya. Setelah menempuh perjalanan yang
panjang. meninggalkan padepokan yang hanyut oleh banjir
dan tanah longsor, maka ditemuinya tempat tinggal yang akan
dapat menjadi daerah harapan bagi masa depannya.
Seperti yang dikatakan oleh ayahnya, maka pada hari itu
keduanya benar2 ingin berstirahat. Swasti memungut
beberapa buah gayamterjatuh dan mengamat-amatinya.
Namun dengan suara parau ia berkata, "Kita belum
mempunyai belanga untuk merebusnya ayah."
Ayahnya mengangguk-angguk. Katanya, "Aku akan
menghubungi orang-orang padukuhan kelak. Dihari ini kita
akan mencari binatang buruan dan memanggangnya diatas
api." "Ada sebatang pohon jambu keluthuk ayah."
"Tentu tidak hanya sebatang. Bijinya akan terhambur dan
tumbuh pohon-pohon yang lain disekitarnya."
"Ya. Ya. Ada beberapa batang. Tetapi beberapa ekor kera
tentu telah mendahului memetik buahnya yang masak."
Kiai Kanthi mengangguk-angguk. Teringat olehnya katakata
anak muda yang menyebut drinya bernama Jlitheng.
Anak muda itu akan kembali lagi untuk menengoknya,
sehingga Kiai Kanthi itupun berkata, "Swasti. jika benar anak
muda itu akan datang lagi, aku akan minta tolong kepadanya
untuk meminjamkan belanga kepada kita."
Swasti memandang ayahnya sejenak. Tetapi ia tidak
menyahut. Yang dilakukan oleh Swasti kemudian adalah duduk
bersandar sebatang pohon sambil merenungi keadaannya.
Merenungi dirinya dan masa depannya, sementara ayahnya
berusaha untuk menangkap beberapa ekor ikan di telaga itu
dengan kail. Dicarinya sepotong ranting kayu untuk mengikat
serat pengikat kailnya yang sudah diberinya umpan.
Ternyata Kai Kanthi tidak usah menunggu terlalu lama.
Kailnya segera bergetar, dan seekor ikan telah menggelepar
terkait oleh ujung kailnya.
Dalampada itu. Jlitheng yang sudah tiba dirumahnya, sama
sekali tidak mengatakan ke pada " bahwa ia telah bertemu
dengan dua orang " sedang mengembara dan memasuki "
kan iapun seperti yang dikatakan. " mengajaknya bersamasama
meng " gir telaga itu. Pertemuannya deng " kan
pertanyaan didalam dirinya. " milih bukit itu untuk
membangun " ditempatnya yang lama benar-benar sudah
tidak memungkinkan bagi mereka untuk dapat hidup " Atau
kedatangannya ketempat ini didorong oleh maksud-maksud
tertentu " Sambil membelah kayu di kebun Jlitheng selalu beranganangan
tentang dua orang ayah dan anak itu. Bagaimanapun
juga, ia harus menerima kehadiran orang-orang baru dengan
curiga. Apalagi Jlitheng mengetahui dengan pasti, bahwa
orang yang menyebut dirinya Kiai Kanthi dan anak
perempuannya yang bernama Swasti itu memiliki kelebihan
dari orang-orang kebanyakan.
Jlitheng berpaling ketika ia mendengar seorang perempuan
yang sudah separobaya memanggilnya. Dilihatnya ibunya
berdiri di pintu sambil berkata, "Aku akan memetik daun
ketela pohon sebentar Jlitheng. Kau tinggal dirumah saja.
Jangan pergi." "Baiklah biyung. Aku akan menyelesaikan kayu bakar ini,"
jawab Jlitheng. Namun tiba-tiba ia teringat kepada kedua ayah
dan anak itu sehingga katanya kemudan, "tetapi nanti aku
akan pergi sebentar biyung. Aku akan melihat apakah
tanaman kita di pategalan dapat bersemi."
"Tunggu sampai aku pulang."
Jlitheng hanya mengangguk saja.
Ketika ibunya meninggalkannya sendiri, maka Jlitheng
malah berangan-angan kembali.
Jlitheng terkejut ketika seorang anak muda sebayanya
datang berlari-lari sambil memanggil namanya sejak di
halaman depan rumahnya. Dengan serta merta iapun bangkit
dan menyahut, "Aku disini."
Anak muda itupun segera melingkari rumahnya dan
menemukannya dikebun belakang.
"Jlitheng," katanya dengan nafas masih terengah-engah,
"aku melihat Daruwerdi melintasi jalan kecil kebukit batu yang
gundul itu lagi. Bahkan ia telah berjalan tidak dengan kawankawannya
dari padukuhan sebelah. Aku melihat dua orang
yang sama sekali belum aku kenal."
Jlitheng mengerutkan keningnya. Diluar sadarnya ia
berdesis, "Apakah ada hubungannya dengan orang tua itu."
"Orang tua yang mana ?" bertanya kawannya.
Tetapi Jlitheng menggeleng. Jawabnya, "Tidak. Maksudku,
apakah hubungannya dengan bukit batu yang gundul itu. Kita
sudah melihat ia, dua tiga kali pergi ke bukit batu gundul itu."
Kawannya mengangguk-angguk. Tetapi kemudian ia
bertanya, "Sebenarnya apakah kepentinganmu dengan
Daruwerdi sehingga kau menyuruh aku dan Jatra untuk
memberikan kepadamu jika kami melihat Danuwerdi pergi ke
bukit gundul itu?" Jlitheng menarik nafas dalam-dalam. Iapun kemudian
duduk lagi sambil memungut parang kecilnya. Sambil
membelah kayu ia menjawab, "Tidak ada kepentingan apaTiraikasih
apa. Tetapi kau lihat, bahwa bukit batu yang gundul itu benarbenar
bukit batu padas yang keras dan tidak memberi
kemungkinan apapun juga. Tetapi Daruwerdi sering pergi ke
bukit itu. Aku sudah pernah melihat dua kali. Kau juga pernah
melihat dua kali, tiga kali dengan sekarang ini dan Jatra
pernah melihatnya sekali. Nah, bukankah hal itu sangat
menarik perhatian ?"
"Kenapa kau tidak bertanya saja kepadanya, apa yang
dicarinya." Jlitheng mengerutkan dahinya. Sambil tersenyum iapun
kemudian berkata, "Duduklah disini."
Kawannyapun kemudian duduk disebelahnya. semenara
Jlithengpun berkata, "Tentu saja aku tidak dapat berbuat
demikian. Bahkan aku berharap bahwa Daruwerdi tidak
mengetahui bahwa kita sedang mengawasinya, ia
menganggap bahwa kita semuanya sama sekali tidak menaruh
perhatian atas tingkah lakunya. Atau katakan, kami anak-anak
pedukuhan yang bodoh ini tidak sempat memikirkan apakah
yang dilakukan olehnya di pegunungan batu yang gundul itu.
Apalagi kadang-kadang ia datang dengan orang yang tidak
kita kenal sama sekali."
Kawannya mengangguk-angguk. Tetapi nampaknya ia tidak
puas dengan jawaban Jlitheng. Sehingga Jlitheng perlu
menjelaskan. "Dengarlah. Bukankah aku tidak minta kepada
setiap orang untuk memperhatikan Daruwerdi " Aku hanya
percaya kepada kau dan Jatra. Itupun aku selalu berpesan,
bahwa yang kita lakukan ini jangan diketahui oleh siapapum
juga. Kawan-kawan kita yang lainpun jangan mengetahuinya.
Baru kelak jika kita sudah pasti mengetahui apa yang
dilakukannya, maka kita akan memberitahukan kepada kawankawan
dan kepada Ki Buyut."
"Kenapa dengan Ki Buyut?"
"Maksudku, jika yang dilakukan oleh Daruwerdi itu akan
merugikan kita semuanya disini."
"Apakah ruginya seandainya Daruwerdi akan menelan bukit
batu yang gundul itu ?"
Jlitheng menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Bukit batu
yang gundul itu memang tidak berarti. Meskipun letaknya di
perbatasan antara dua kelompok padukuhan, namun baik Ki
Buyut yang muda maupun Ki Buyut yang tua sama sekali tidak
memperhatikannya. Tetapi kini Daruwerdilah yang menaruh
perhatian besar terhadap bukit gundul itu."
Anak muda yang duduk disebelah Jlitheng itu menganggukangguk.
Sementara Jlithengpun berkata terus, "Kita anak
padukuhan ini. Kita wajib mengetahui apa saja yang terdapat
dipadukuhan kita." "Sebelum kau datang Jlitheng," sahut temannya, "gunung
batu yang gundul itu sama sekali tidak mendapat perhatian
kami disini." "Agaknya memang demikian. Akupun tidak akan
memperhatikan, jika Daruwerdi tidak memperhatikan gunung
itu berlebihan." "Coba sebutkan, siapakah yang datang lebih dahulu. Kau
atau Daruwerdi." Jlitheng tertawa. Katanya, "Mungkin aku, tetapi mungkin
Daruwerdi. Aku tidak tahu pasti kapan ia datang. Yang aku
ingat, aku tinggal di rumah biyung setelah pengembaraanku
gagal. Aku tidak mendapat apa-apa dipengembaraan.
Maksudku, agar hidupku dapat bertambah baik."
Anak muda disebelah Jlitheng itupun berpikir sejenak.
Namun Jlitheng berkata, "Jangan bersusah payah mengingat
saat kedatanganku dan kedatangan Daruwerdi. Tidak ada
gunanya lagi." Kawannya mengangguk-angguk.
"Nah, aku masih tetap minta tolong kepadamu untuk
memberitahukan kepadaku jika kau melihat Daruwerdi datang
kebukit batu yang gundul itu. Hanya jika kebetulan kau
melihat. Kau tidak perlu dengan bersusah payah
mengawasinya." Kawan Jlitheng itupun termangu-mangu. Namun iapun
kemudian mengangguk sambil berkata, "Karena kau sering
menolong aku mengerjakan pekerjaanku disawah, maka aku
tidak dapat menolak permintaanmu itu Jlitheng."
Jlitheng tertawa. Katanya, "Anggaplah ini sekedar suatu
permintaan." "Tetapi permainan ini berbahaya bagiku. Setiap orang
mengetahui bahwa Daruwerdi bukannya anak muda seperti
kita. Ia mempunyai banyak kelebihan dan pengetahuannyapun
sangat luas." Jlitheng mengangguk. Jawabnya, "Ya. Karena itu,
lakukanlah dengan tidak menimbulkan kesan apapun padanya.
Apalagi aku hanya ingin kau mengatakan kepadaku pada saat
kau melihatnya tanpa membuang waktu khusus untuk
mengawasinya. Adalah kebetulan bahwa sawahmu terletak
dijalan menuju kebukit padas yang gundul itu."
"Bukan kebetulan. Tentu kau memilih aku dan Jatra karena
sawah kami terletak didekat bukit itu."
Jlitheng tertawa. Jawabnya, "Tepat. Dan agaknya kau
memang memiliki kecerdasan."
Kawan Jlitheng itupun kemudian berkata, "Baiklah. Aku
akan kembali kesawah. tetapi coba katakan, apakah hasilnya
aku dengan terengah-engah memberitahukan kepadamu
bahwa sekarang Daruwerdi pergi kebukit padas itu. Kau,
hanya mendengar berita sambil tersenyum, tertawa kemudian
mengangguk-angguk. Sementara nafasku hampir putus dan
jantungku berdebaran semakin keras."
Jlitheng tersenyum. Katanya, "Untuk sementara aku hanya
ingin meyakinkan, bahwa ia memang sering sekali pergi
kebukit gundul itu. Selebihnya masih perlu diselidiki. Dan kau
tidak perlu berlari-lari begitu."
Anak muda itu mengangguk-angguk. Iapun kemudian
minta diri untuk kembali kesawahnya.
Sepeninggal kawannya, Jlitheng kembali duduk sambil
membelah kayu. Beberapa potong ranting dan dahan-dahan


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kecil yang sudah terbelah dan terkelupas kulitnya, di jemurnya
dibawah sinar matahari yang belum terlalu panas.
Namun dalam pada itu, ia mulai teringat lagi kepada dua
orang ayah dan anak gadisnya yang berada di bukit yang
diselubungi oleh hutan yang meskipun tidak terlalu luas, tetapi
cukup lebat. Tiba-tiba saja Jlitheng merasa bahwa ibunya telah terlalu
lama pergi. Ia ingin segera melihat, apakah yang sudah
dilakukan oleh Kiai Kanthi dan anak gadisnya yang bernama
Swasti itu. "Ibu tentu singgah di rumah tetangga," katanya kepada diri
sendiri, "masih sepagi ini biyung sudah sempat membicarakan
buruk baik tetangga-tetangga yang lain."
Tetapi ia tersenyum ketika melihat seorang perempuan
berjalan-jalan perlahan-lahan sambil menjinjing seikat
dedaunan. "Sudah kau isi tempayan didapur itu?" bertanya perempuan
itu. "Sudah biyung. Pakiwanpun telah penuh dan kayu sudah
kering sebagian. Tetapi tentu sudah berlebihan untuk hari ini."
Perempuan itu mengangguk-angguk. Ketika melangkahi
pintu masuk kedalam rumah ia sempat berkata, "Apakah kau
akan pergi sekarang ?"
"Ya biyung. Aku akan pergi ke pategalan."
"Aku sudah pergi kepategalan. Aku memetik lembayung,
bukan daun ketela pohon.. Tetapi kalau kau akan pergi,
pergilah. Tetapi jangan terlalu lama."
Jlitheng mengangguk sambil menjawab, "Aku hanya
sebentar." Ketika perempuan itu masuk, Jlithengpun menyelipkan
parangnya didinding. Sejenak ia membenahi pakaiannya,
sebelum ia dengan tergesa-gesa meninggalkan rumahnya.
Namun demikian, Jlitheng masih sempat singgah di sawah
sejenak. Dipandanginya bukit padas yang gundul diujung
bulak sebelum jalan menjadi semakin sempit dan menuju
kepadang perdu dipinggir hutan yang menyelubungi bukit
agak jauh dari padukuhan.
Bukit gundul itu memang menarik perhatiannya, karena
Daruwerdi sering mengunjunginya. Tetapi ia tidak dapat
langsung menyelidiki bukit padas itu, karena ia menduga,
bahwa Daruwerdi mempunyai orang-orang yang dipercayainya
mengawasi bukit gundul itu.
Namun sejenak kemudian Jlithengpun meneruskan
perjalanannya. Ia tidak mau menarik perhatian orang lain,
sehingga karena itu, maka iapun telah mencari jalan yang
paling sepi. Ia singgah sebentar dipategalan, agar orang lain
tidak memperhatikannya. Namun Jlitheng berharap,
seandainya ada orang yang melihatnya pergi kehutan, mereka
akan menganggapnya sedang mencari kayu bakar seperti
yang sering dilakukannya untuk dit imbun di belakang rumah,
sehingga apabila kayu itu sudah tertimbun banyak sekali, ia
tidak perlu bersusah payah lagi untuk tiga empat pekan.
Kedatangannya ditelaga dilorong bukit itu telah
mengganggu Kiai Kanthi dan Swasti yang sedang beristirahat.
Swasti tertidur sambil bersandar sebatang pohon besar,
sementara Kiai Kanthi berbaring diatas sebuah batu meskipun
ia tidak memejamkan matanya.
"Silahkan Kiai," berkata Jlitheng ketika ia melihat Kiai Kanthi
bangkit dan mempersilahkannya.
"Aku sudah cukup lama beristirahat. Badanku terasa segar
sekali. Swastipun sempat tidur setelah kita mencicipi ikan
ditelaga itu." Jlitheng mengangguk-angguk. Iapun melihat perapian yang
tampaknya baru saja dipadamkan.
Swasti yang terbangun pula, telah bergeser melingkari
pohon tempat ia bersandar, seolah-olah ia dengan sengaja
ingin menyembunyikan diri. Agaknya, kelelahan dan keletihan
yang sangat, membuat ia menjadi malas dan masih ingin
melanjutkan tidurnya barang sejenak.
"Aku sudah melihat beberapa puluh langkah disekitar
tempat ini ngger," berkata Kiai Kanthi.
Jlitheng mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "Jika Kiai
sependapat, sebenarnya aku sejak lama sudah mempunyai
rencana. Tetapi bukan maksudku untuk mengatakan kepada
Kiai, bahwa aku mempunyai kesempatan pertama. Kiai tetap
orang pertama yang akan membuka kemungkinan baru bagi
daerah ini dengan menguasai air."
"Apakah rencanamu ngger?"
Jlitheng termangu-mangu. Namun kemudian katanya,
"Sebaiknya aku tidak mengatakannya."
"Kenapa?" bertanya Kiai Kanthi.
"Seolah-olah aku merasa bahwa aku adalah seseorang
yang memiliki kemampuan untuk melihat kemasa depan yang
panjang. Dan seolah-olah aku tidak mau menerima kenyataan
bahwa Kiailah orang yang pertama-tama melihat manfaat air
di telaga ini." Kiat Kanthi tersenyum. Katanya, "Aku bukan anak-anak
ngger. Bukan pula orang yang ingin berada diatas nama orang
lain. Apakah aku harus menutup penglihatanku tentang
angger yang tentu sudah sejak lama memperhatikan air yang
melimpah ini" Bukankah angger pernah berkata, bahwa
hambatan yang paling besar datang dari sanak kadang dan
tetangga angger sendiri yang menganggap bahwa setiap
perubahan akan berarti pengingkaran terhadap peradaban
yang telah ada ?" Jlitheng mengangguk-angguk. Kemudian katanya,
"Terserahlah kepada Kiai. Tetapi jika Kiai mau mendengar,
biarlah aku katakan serba sedikit tentang sebuah impian."
"Katakan ngger?"
"Kiai, dibawah bukit ini telah memerintah dua orang Buyut
yang sebenarnya adalah saudara kembar."
"Aku sudah melihat tugu kecil bertulis yang merupakan
batas dari dua kelompok padukuhan yang dipimpin oleh dua
orang saudara kembar itu ngger."
"Ya Kiai. Tugu itu dibuat dekat sebelum Ki Buyut yang
lama, yang menjadi tetua daerah ini wafat." Jlitheng berhenti
sejenak, lalu, "Ternyata bahwa kedua anak kembarnya telah
memenuhi harapannya. Mereka memimpin kedua kelompok
padukuhan itu dengan rukun sampai saat ini. Nah, rencanaku
itu adalah meyakinkan kedua orang Buyut itu bahwa air akan
sangat berguna bagi sawah mereka yang kering dimusim
kemarau." "Kau sudah mencoba?"
Jlitheng menggelengkan kepalanya. Katanya, "Belum Kiai."
"Kenapa " Apakah Ki Buyut menurut pertimbanganmu juga
tidak ingin melihat kemungkinan yang baik bagi masa depan
itu ?" "Bukan Kiai. Aku memang belumsempat."
"Belum sempat" Apakah kerjamu selama ini?"
Jlitheng tersenyum. Katanya, "Aku juga belum lama
kembali kekampung halaman setelah aku pergi merantau,
menjelajahi daerah yang luas."
Kiai Kanthi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku
sudah menduga. Angger tentu bukan sekedar anak padukuhan
ini, tidak lebih dan tidak kurang, kedipan angger itulah yang
membuat angger berbeda dengan kawan-kawan angger
disini." "Aku pergi sejak aku masih kecil. Itulah sebabnya ketika
aku kembali kepada ibuku, seorang yang telah menjadi janda,
banyak orang yang tidak dapat mengenali aku lagi. Bahkan
orang-orang tua di padukulun inipun telah banyak yang
melupakan, bahwa dari biyungku itu pernah lahir seorang
anak laki-laki yang kemudian menjadi besar diperantauan."
Kiai Kanthi mengangguk-angguk. Namun dengan demikian
ia mendapat sedikit gambaran tentang anak muda yang
menyebut dirinya Jlitheng itu. Jlitheng tentu bertemu dengan
seseorang diperantauannya yang kemudian membimbingnya
dalam olah kanuragan. Setelah ia mempunyai bekal yang
cukup, maka ia melanjutkan perantauannya dan kemudian
kembali ke kampung halamannya.
Tetapi disamping Jlitheng masih ada seorang anak muda
yang lain, yang bernama Daruwerdi. Mungkin anak muda itu
mempunyai ceritera yang lain tentang dirinya.
Terbersit keinginannya untuk bertanya sesuatu tentang
Daruwerdi. Tetapi seperti yang pernah dilakukan, agaknya
Jlitheng tidak dapat atau tidak mau mengatakan tentang anak
muda yang agak lain dari kawan-kawannya dipadukuhanpadukuhan
itu. Kiai Kanthi menarik nafas ketika Jlitheng bertanya, "Apakah
yang Kiai renungkan " Tentang perantauanku itu " Atau
tentang hal lain yang bersangkut paut dengan air itu ?"
"Ya, ya ngger," Kiai Kanthi terbata-bata, "tentu tentang air
yang melimpah itu. Tentang rencanamu untuk menguasai air
dan memanfaatkannya bagi dua kelompok padukuhan itu. He,
kau belum menyebut nama kedua padukuhan itu?"
"Ditugu itu telah tertulis," jawab Jlitheng.
"Yang ditulis hanyalah satu nama. Ki Buyut telah
memerintah daerah yang bernama Lumban, yang terdiri dari
beberapa padukuhan besar dan kecil dan tunduk kepada Yang
Dimuliakan Maharaja Majapahit yang atas kehendaknya dan
disetujui oleh para bebahu, telah membagi daerahnya menjadi
dua bagian yang akan dipimpin masing-masing oleh seorang
dari kedua anak kembarnya."
"Nah, itulah namanya. Lumban Kulon dan Lumban Wetan.
Ki Buyut yang tua memerintah Lumban Kulon, sedang Ki Buyut
yang muda memimpin kelompok-kelompok padukuhan di
Lumban Wetan. Pembagian itu telah terjadi pada masa kedua
anak kembar itu masih muda. Sejak daerah ini masih langsung
tunduk dibawah kekuasaan Majapahit serta para Adipati
dibawah kuasanya. Sekarang, setelah kekuasaan berpindah ke
Demak, dengan sendirinya kami berada dibawah kekuasaan
Sultan Demak. Dan kedua orang Buyut itu sudah menjadi
kakek-kakek. Sebenarnya kini anak-anak merekalah yang
mengambil alih pimpinan atas daerah Lumban Kulon dan
Lumban Wetan." Kiai Kanthi mengangguk-angguk. Gambarannya mengenal
daerah yang dihadapinya menjadi semakin jelas.
"Nah Kiai," berkata Jlitheng kemudian, "Kiailah orang yang
pertama-tama akan melakukan pekerjaan yang tentu akan
sangat bermanfaat bagi daerah Lumban seluruhnya. Aku akan
mencoba menjadi penghubung kelak dengan kedua Buyut
yang sudah tua itu, namun yang masih dengan tekun
berusaha memimpin daerah masing-masing sebaik-baiknya."
"Terima kasih ngger. Tetapi yang dapat aku lakukan
dengan anak gadisku tentang merupakan pekerjaan yang
sangat lamban dan mungkin t idak banyak manfaatnya."
Jlitheng tertawa. Katanya, "Kiai, bukan maksudku untuk
mengurangi kemungkinan yang dapat Kiai lakukan. Tetapi
adalah benar-benar karena aku ingin melihat manfaat dari air
seperti yang Kiai kehendaki." anak muda itu berhenti sejenak,
lalu, "apakah Kiai tidak berkeberatan jika aku membantu Kiai.
Mungkin Kiai memerlukan tenaga seorang laki-laki untuk
membantu Kiai bukan saja membuat parit untuk mengarahkan
arus air itu, tetapi juga untuk membuat sebuah gubug kecil
sebelum Kiai sempat membuat sebuah rumah yang pantas."
Tiba-tiba saja sebelum Kiai Kanthi menjawab, terdengar
suara Swasti dari balik pohon, "Itu tidak perlu ayah. Kita yang
sudah menetapkan rencana sejak kita belum bertemu dengan
siapapun, harus berani melaksanakan sampai selesai tanpa
orang lain." Jlitheng mengerutkan keningnya. Namun Kiai Kanthilah,
yang menjawab, "Swasti. Hatimu memang keras. Tetapi kita
jangan menyia-nyiakam setiap uluran tangan. Memang kita
yang sudah terbiasa hidup terpisah karena kita tenggelam
dalam kesibukan padepokan, kadang-kadang merasa bahwa
kita akan dapat menyelesaikan semua persoalan kita tanpa
orang lain. Di Pucang Sewu kita kurang rapat berhubungan
dengan orang-orang padukuhan, sehingga kita terlalu yakin
akan diri kita sendiri. Swasti, sebaiknya kita merubah cara
hidup yang demikian. Setidak-tidaknya kita mulai mencoba
menyesuaikan diri dengan daerah yang baru ini."
Sejenak Kiai Kanthi menunggu. Tetapi ia tidak mendengar
lagi jawaban anaknya. Orang tua itu sadar, bahwa katakatanya
tentu tidak memberikan kepuasan sepenuhnya pada
anaknya. Tetapi ia akan mencoba untuk melakukannya.
Mencoba untuk memperbaharui tata cara hidupnya diantara
orang banyak. "Angger," berkata Kiai Kanthi kemudian, "sebelumnya kami
mengucapkan terima kasih. Mungkin kami masih harus belajar
menyesuaikan diri dengan kehidupan kami yang baru di
daerah Lumban ini." Jlitheng tersenyum. Katanya, "Baiklah Kiai. Tentu akupun
akan mencoba menyesuaikan diri dengan cara hidup Kiai dan
anak gadis Kiai. Tetapi Kiai jangan terlalu cemas. Aku telah
melaksanakan pesan Kiai untuk sementara tidak berceritera
tentang kedatangan Kiai dan rencana Kiai menetap disini.
Tetapi jika Kiai mulai berbuat sesuatu disini, maka tanpa
mengatakan kepada siapapun juga, orang-orang Lumban
tentu akan mengetahuinya juga."
Kiai Kanthi mengangguk-angguk. Jawabnya, "Tentu ngger.
Tetapi nampaknya orang-orang Lumban adalah orang yang
ramah seperti angger."
Jlitheng tertawa. Kemudian katanya, "Aku akan pulang
dahulu Kiai. Besok aku akan datang sambil membawa alat-alat
yang Kiai perlukan. Aku akan datang sebelum matahari terbit
agar tidak menarik perhatian orang lain jika mereka melihat
aku membawa kapak, cangkul dan alat-alat lain."
"Terima kasih ngger. Aku juga sudah membawa satu dua
macam alat seperti itu. Tetapi memang kurang mencukupi.
Karena itu, kami berterima kasih jika angger bersedia
membawa untuk kami," Kiai Kanthi menjadi ragu-ragu
sejenak. Baru kemudian ia melanjutkan, "tetapi selain alat-alat
itu. sebenarnyalah kami memerlukan belanga dan tempayan."
Jlitheng mengerutkan keningnya, namun iapun kemudian
tertawa pendek. Katanya, "Baiklah Kiai. Aku akan membawa
belanga, kelenting dan tempayan."
Sesaat kemudian Jlitheng itupun telah meninggalkan Kiai
Kanthi dan anak gadisnya yang bersungut-sungut. Dengan
nada datar Swasti berkata, "Ayah sudah menyeret orang lain
dalam kerja ini."

Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ayahnya tersenyum. Jawabnya, "Jangan marah Swasti.
Pertolongan itu harus kita terima. Nampaknya Jlitheng bukan
seorang yang mempunyai pamrih terlalu banyak. Apalagi ia
memang sudah mempunyai rencana sebelumnya."
"Tidak. Rencana itu baru timbul di kepalanya setelah ia
bertemu dengan ayah."
"Kau salah Swasti. Jlitheng tentu sudah memperhatikan air
ini sejak lama. Jika tidak, ia tidak akan mengenal daerah ini
demikian baiknya seperti mengenal halaman rumahnya
sendiri." Swasti tidak menjawab. Agaknya yang dikatakan ayahnya
itu memang benar. Dalam pada itu, Jlitheng telah turun dengan tergesa-gesa
agar ibunya tidak menunggunya terlalu lama. Ia masih harus
mencari beberapa potong kayu untuk menghilangkan jejak
pertemuannya dengan orang tua yang masih belum bersedia
untuk dikenal oleh orang lain itu.
Tetapi Jlitheng tidak mengalami kesulitan untuk
mendapatkan beberapa potong kayu. Bahkan dalam waktu
yang singkat ia sudah memanggul seonggok kayu yang sudah
agak kering. Namun langkahnya terhenti ketika ia sampai dipinggiran
hutan itu. Ia mendengar suara orang bebantah. Cukup keras,
sehingga suaranya menembus pepohonan yang sudah mulai
menipis. Karena itu, maka Jlithengpun kemudian sangat berhati-hati.
Ia jarang mendengar orang-orang Lumban berbantah. Bahkan
seandainya mereka orang Lumbanpun. apakah yang mereka
cari dipinggir hutan itu "
Debar jantung Jlitheng menjadi semakin keras ketika suara
itu menjadi semakin dikenal. Diluar sadarnya ia berdesis,
"Daruwerdi." Sebenarnyalah ketika ia dengan sangat berhati-hati berhasil
mengintip dari balik gerumbul-gerumbul yang lebat di
pinggiran hutan itu, ia melihat Daruwerdi sedang berbantah
dengan dua orang yang berwajah kasar.
"Aku tidak akan berkata apa-apa tentang pusaka itu,"
berkata Daruwerdi. "Kau jangan membuat kami marah," sahut salah seorang
dari kedua orang berwajah kasar itu, "Kiai Pusparuri sudah
memberikan wewenang kepadaku untuk mendapat
keterangan tentang pusaka itu dari seorang anak muda dari
Lumban yang bernama Daruwerdi. Apakah kau masih akan
ingkar." "Sudah seribu kali aku katakan. Aku tidak ingkar. Aku
adalah Daruwerdi yang mengerti serba sedikit tentang pusakapusaka
itu. Tetapi aku hanya akan berbicara dengan Kiai
Pusparuri sendiri atau kepada seekor ular sanca bertanduk
genap." "Persetan, aku tidak mengerti kata-katamu. Jangan
mengingau seperti orang gila. Katakan sesuatu tentang
pusaka itu, atau berikan saja kepada kami jika memang sudah
berhasil kau dapatkan."
Daruwerdi menjadi semakin tegang. Dari balik gerumbul
Jlitheng melihat, bagaimana anak muda itu berusaha
mengendalikan diri. "Ki Sanak," berkata Daruwerdi, "jangan memaksa. Kecuali
jika aku berhadapan dengan seekor ular sanca bertanduk
genap." "Anak iblis. Kenapa kau mengigau tentang ular sanca. Kiai
Pusparuri sudah memberikan wewenang kepada kami untuk
melakukan apa saja. Aku harus kembali kepadepokan
Pusparuri dengan keterangan yang jelas atau membawa
pusaka itu langsung untuk kami serahkan kepada guru."
Daruwerdi menggeleng. Jawabnya, "Ki Sanak. Jelas bahwa
kalian bukannya utusan Kiai Pusparuri. Kalian sama sekali
tidak membawa tanda-tanda atau ciri dari padepokan
Pusparuri." "Aku adalah muridnya terpercaya. Aku memakai sabuk kulit
ular. He, apakah sabuk semacam ini yang kau maksud dengan
ular sanca, bertanduk genap ?"
Daruwerdi tiba-tiba saja tertawa. Katanya, "Ikat pinggang
semacam itu dapat dibuat oleh siapa saja. Setiap orang dapat
menangkap seekor ular sanca, kemudian mengambil kulitnya."
"Jadi apa yang kau maksud dengan tanda-tanda atau ciri
dari padepokan Pusparuri. Dan apakah yang kau maksud
dengan ular sanca bertanduk genap?"
"Itulah yang menunjukkan kepadaku, bahwa kalian sama
sekali bukan utusan dari padepokan Pusparuri. Jika kau
memang murid Kiai Pusparuri, kalian akan dapat mengatakan,
ciri-ciri khusus dari padepokan itu atau kalian tahu pasti
siapakah ular sanca bertanduk genap itu."
Wajah kedua orang itu menjadi merah padam. Yang
bertubuh tinggi besar menggeram, "Persetan. Menurut Kiai
Pusparuri, hari ini aku harus menjumpaimu disini. Kau kira dari
siapa kami mengetahui, bahwa aku harus datang menemuimu
disini ?" Daruwerdi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya, "Mungkin kau dapat menyadap rahasia pertemuan
itu. Tetapi aku tetap yakin, bahwa kalian bukan murid Kiai
Pusparuri." "Jadi, kau tetap tidak mengakui kehadiran kami " Tempat
ini hanya kami ketahui dari Kiai Pusparuri. Nama
Daruwerdipun kami dengar dari Kiai Pusparuri. Pesan untuk
mengenakan ikat pinggang kulit ular sanca inipun diucapkan
oleh Kiat Pusparuri pula. Jika mungkin Kiai Pusparuri lupa
memberikan pesan yang lain, itu bukan salah kami."
Daruwerdi memandang kedua orang itu berganti-ganti.
Namun akhirnya dengan ketetapan hati ia menggeleng dan
menjawab tegas, "Tidak. Aku tidak percaya kepada kalian."
Kedua orang itu benar-benar sudah kehilangan kesabaran
Seperti Daruwerdi sendiri. Karena itu, maka ketika kedua
orang itu bergeser merenggang, Daruwerdi justru meloncat
surut sambil mempersiapkan diri menghadapi segala
kemungkinan." "Kau memang terlalu sombong anak Lumban. Setinggi2
tinggi ilmu yang pernah kau capai, kau adalah anak
padukuhan kecil dan miskin. Apalagi kau berhadapan dengan
dua orang sekaligus. Jika kau masih mempunyai otak, pikirlah
sepuluh kali lagi, sebelum kau menyesal."
Daruwerdi menggeram. Dengan suara datar ia menjawab,
"Jangan mengigau lagi. Sebut siapa sebenarnya kalian berdua
sebelum kalian mati."
"Gila. Kau, anak Lumban, akan membunuh kami berdua?"
"Kita akan melihat, siapakah yang akan terbunuh."
Sejenak kedua orang berwajah kasar itu termangu-mangu.
Namun salah seorang berkata, "Aku akan menyampaikan
kepada Kiai Pusparuri, bahwa kami terpaksa membunuh anak
Lumban yang bernama Daruwerdi, karena ia sudah menghina
utusan yang mendapat wewenang sepenuhnya dari
padepokan Pusparuri."
Daruwerdi tidak menjawab. Tetapi ia sudah bersiap
sepenuhnya untuk bertempur melawan kedua orang itu.
Namun dalam pada itu, ketiga orang yang sudah bersiap
untuk berkelahi itu telah dikejutkan oleh suara derap seekor
kuda. Ketika ketiganya berpaling, maka mereka melihat seekor
kuda yang berpacu mendekat. Dipunggung kuda itu nampak
seorang penunggang yang nampaknya sudah terlalu lemah,
sehingga seolah-olah tertelungkup memeluk leher kudanya.
Daruwerdi terkejut, Iapun segera meloncat menyongsong
penunggang kuda itu. Dengan serta merta ia berusaha meraih
kendali dan menahan kuda itu sehingga berhenti, sementara
orang yang duduk dipunggungnya benar-benar telah menjadi
terlalu lemah untuk menarik kendali.
"Gila," tiba-tiba saja orang yang bertubuh tinggi dan besar
itu menggeram, "aku binasakan monyet yang ternyata belum
mati itu." Tetapi kawannya menahannya. Katanya, "Tidak ada
gunanya. Biarlah ia berceritera apa yang terjadi. Anak Lumban
itu memang keras kepala. Jika ia mengetahui keadaan yang
sebenarnya, maka ia akan menyadari, dengan siapa ia
berhadapan." Orang yang bertubuh tinggi besar itu tertegun. Ia hanya
flSSfiaSSfi saja ketika Daruwerdi menolong penunggang kuda
yang ternyata telah terluka parah itu. Dilambungnya
tergantung sepasang sarung pedang, tetapi sudah kosong.
"Sapa kau ?" Daruwerdi meyakinkan.
"ular sanca bertanduk genap?"
"Ya," suaranya lemah, "bermata berian dan bertaring baja."
"Tepat. Tetapi kenapa kau ?"
"Tandukku telah patah dan taringku telah lepas," suaranya
semakin lemah, "aku sudah menduga bahwa keduanya akan
datang kemari. Mereka berhasil menyadap rahasia pertemuan
ini. Mereka mencegat aku diperjalanan. Mereka mencoba
membunuh dan melepas ikat pinggangku. Tetapi aku yakin,
kau tidak akan mengatakan sesuatu kepada mereka."
"Aku tahu bahwa mereka bukan utusan Kiai Pusparuri.
Tetapi bagaimana dengan kau ?"
Orang itu menjadi semakin lemah. Namun dalam pada itu
terdengar kedua orang kasar itu hampir berbareng tertawa.
Salah seorang dari mereka berkata, "Ia akan mati. Aku tidak
peduli apakah ia akan mengatakan siapa sebenarnya kami
berdua, karena anak Lumban itupun akan segera mati pula.
Biarlah kita tidak mendapatkan rahasia tentang pusaka itu.
Tetapi jika anak itu mati, maka Pusparuri tentu tidak akan
mendapatkannya pula. Kita akan mulai bersama-sama dari
permulaan, karena kita sama-sama tidak mempunyai bahan
apapun juga. Dalam berlomba dengan orang-orang Pusparuri,
kita masih mempunyai harapan."
Kawannya tidak menyahut. Tetapi ia hanya menganggukangguk
kecil. Sementara itu, Daruwerdi masih menekuni orang yang
terluka parah. Terdengar ia mengucapkan sepalah dua patah
kata yang tidak jelas. Namun tiba-tiba setelah meletakkan
kepala orang itu diatas rerumputan. Danuwerdi berdiri tegak.
Dengan suara bergetar ia berkata, "Jadi kalian adalah
sepasang demit yang paling gila di pesisir Utara. Menurut
utusan Kiai Pusparuri, kalian berdua adalah murid-murid dari
perguruan Kendali Put ih."
Keduanya tertawa berbareng Orang yang bertubuh tinggi
besar menyahut, "Ya. Kami datang dari perguruan Kendali
Putih dipesisir Lor. Kami berdua telah mencegat tikus kecil
yang ternyata kau sebut sebagai ular sanca bertanduk genap.
Tetapi ia bukan seekor ular. Ja tidak lebih dari seekor tikus."
"Gila. Kalianlah yang tidak malu. Kalian berdua telah
berkelahi seperti perempuan. Kalian tidak berani berperang
tanding menghadapi Ular Sanca bersenjata rangkap ini. Dan
sekarang, kalianpun tentu akan berbuat serupa."
Keduanya tertawa. Yang seorang menjawab, "Nasibmulah
yang buruk. Kau akan mengalami luka parah dan akan mati.
Aku kira tikus itupun sudah mati ketika dengan tergesa-gesa
aku datang ketempat ini menggantikan kedudukannya. Tetapi,
aku masih mempunyai pertimbangan. Jika kau mau
mengatakan sedikit saja mengenai rahasia pusaka itu, maka
kau akan tetap hidup."
"Persetan. Tidak ada orang yang akan tetap tinggal hidup
jika ia tidak berusaha melindungi hidupnya sendiri
dihadapanmu. Setiap orang mengenal perguruan Kendali Putih
yang sama sekali t idak memiliki warna putih seperti namanya
walau sepeletikpun."
"Jika demikian, kaupun akan mati seperti murid Pusparuri
itu." Daruwerdi menggeram. Ia sudah bersiap menghadapi
segala kemungkinan. Namun ia masih sempat berkata kepada
orang yang lerluka parah itu, "Kuatkan. Aku akan membunuh
keduanya, dan aku akan berusaha mengobati luka-lukamu. Di
Lumban ada seorang dukun yang pandai."
Yang terdengar adalah kedua orang murid dari Kendali
Putih itu tertawa. Yang seorang berkata, "Puaskan dirimu
dengan angan-angan gila itu. Baru kemudian kau akan mati."
Daruwerdi tidak menjawab. Ia bergeser setapak. Kemudian
berdiri dengan kaki renggang dan merendah diatas lututnya.
Orang yang bertubuh tinggi besar itulah yang tidak sabar
lagi. Dengan garangnya ia segera menyerang lawannya. Ia
tidak mau membuang banyak waktu, sehingga dengan serta
merta ia sudah mempergunakan senjatanya yang mengerikan.
Sebatang besi sepanjang pedang yang kasar dan dibeberapa
tempat nampak seolah-olah bergerigi tajam.
Sementara kawannyapun telah mencabut senjatanya pula.
Benar2 sebuah pedang yang besar.
"Sebutlah nama ayah bundamu untuk yang terakhir kali,"
geramorang bertubuh tinggi dan besar itu."
Daruwerdi meloncat mengelakkan serangan lawannya
sambil berdesis, "Kita akan melihat, siapakah yang akan mati.
Aku atau kalian berdua."
Kedua lawan Daruwerdi t idak menjawab. Mereka serentak
menyerang dengan garangnya. Senjata mereka terayun-ayun
mengerikan, sementara orang yang bertubuh tinggi besar itu
menggeram seperti seekor harimau yang merunduk
mangsanya. Daruwerdi tidak mau menjadi korban senjata-senjata lawan
yang mengerikan itu. Iapun kemudian mencabut pedangnya
pula. Dengan lincahnya ia berloncatan melawan kedua
lawannya yang ternyata sangat garang dan kekar.
Beberapa langkah dari arena itu, murid dari perguruan
Pusparuri yang sudah menjadi semakin lemah, mencoba untuk
melihat pertempuran yang sengit itu. Meskipun pandangan
matanya mengabur, namun ia melihat, betapa kasarnya
orang-orang dari perguruan Kendali Put ih itu. Seperti yang
telah terjadi, maka ia tidak dapat mengelakkan diri dari
bencana melawan keduanya.
Meskipun keseimbangan perasaannya tidak secerah saatsaat
ia belum terlukai, namun ia masih dapat melihat, bahwa
kedua orang Kendali Pulih itu memang orang-orang yang
memiliki ilmu yang tinggi, disamping sifat mereka yang kasar
dan liar. Tetapi Daruwerdi dengan segala kemampuannya, berusaha
untuk dapat mengimbangi lawannya, ia tidak mau jatuh
menjadi korban seperti murid Kiai Pusparuri yang. diberi nama
di Ular Sanca bertanduk genap itu.


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Selain murid dari perguruan Pusparuri itu. dibelakang
gerumbul masih ada orang lain yang memerhatikan
perkelahian itu dengan saksama. Sekali-kali nampak
keningnya berkerut. Namun kemudian anak muda dibelakang
gerumbul itu menark nafas lega.
Jlithengpun mengikut i perkelahian itu dengan dada yang
berdebar-debar. Ia melihat kegarangan dua orang dari
perguruan Kendali Putih. Mereka bertempur bukan saja
dengan ilmu yang mapan, tetapi mereka kadang-kadang juga
berteriak2 dan membentak2 seperti orang-orang yang
kerasukan setan. Sejenak Jlitheng termangu-mangu. Tetapi ia tidak beranjak
dari tempatnya. Kadang-kadang ia menjadi bingung, apakah ia
akan tetap bersembunyi ditempatnya. Apakah ia akan tetap
membiarkan tingkah laku yang tidak jujur dari orang-orang
Kendali Putih. Setelah usahanya untuk menipu Daruwerdi tidak
berhasil, maka ia mempergunakan kekerasan untuk
membinasakannya sama sekali.
Tetapi Jlithengpun merasa bimbang, karena dengan
demikian, maka ia akan terlibat dalam persoalan yang tidak
diketahuinya, dan yang bahkan justru ingin diketahuinya.
Mungkin peristiwa itu ada hubungannya dengan tingkah laku
Danuwerdi yang kadang-kadang menarik perhatiannya.
Terutama karena Daruwerdi mempunyai perhatian yang
khusus terhadap bukit padas yang gundul itu.
Selagi Jlitheng termangu-mangu, maka perkelahian itupun
menjadi semakin sengit. Ternyata bahwa Daruwerdi benarbenar
seorang yang memiliki kemampuan yang sangat
mengagumkan. Karena itulah maka kedua orang dari Perguruan Kendali
Putih itu menjadi heran. Mereka mengira bahwa anak muda
dari Lumban itu tidak akan terlalu sulit diselesaikan. Menurut
dugaan mereka, murid Pusparuri itu sama sekali tidak berdaya
melawan mereka berdua. Apalagi anak padukuhan terpencil.
Tetapi ternyata bahwa Daruwerdi mampu mengimbangi
kemampuan mereka berdua. Dencan tangkas Daruwerdi
berloncatan menghindari serangan senjata lawan. Tetapi
dengan tangkas pula ia berloncatan menyerang. Pedangnya
berputar seperti baling-baling. Tetapi tiba-tiba saja terayun
mendatar menyambar perut. Namun kadang-kadang terjulur
mematuk seperti seekor ular bandotan.
Kedua lawannya menjadi bingung. Pedang ditangan
Daruwerdi seolah-olah beterbangan disekitar tengkuk dan
lambung mereka. Dengan demikian maka kedua orang dari Perguruan
Semalam Di Menara Teror 2 Pendekar Perisai Naga 5 Siluman Kera Sakti Peristiwa Bulu Merak 3

Cari Blog Ini