Ceritasilat Novel Online

Mata Air Dibayangan Bukit 20

Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja Bagian 20


berhadapan dengan orang tua yang telah bertempur dengan
Yang Mulia, atau dengan Yang Mulia itu sendiri, jika Yang
Mulia memenangkan pertempuran itu.
Karena itu, maka Pangeran itu untuk beberapa saat tetap
duduk di tempatnya sambil mengatur pernafasannya dan
seolah-olah memusatkan daya tahan tubuhnya pada lukanya
untuk memampatkannya sama sekali.
Sementara itu pertempuran antara Yang Mulia Panembahan
Wukir Gading melawan Kiai Kanthi menjadi semakin dahsyat.
Ternyata bahwa Kiai Kanthi yang tua, yang menyepi di atas
bukit dan seolah-olah tidak lagi mempunyai kepentingan
apapun dengan keduniawian ini, mampu bertempur dengan
lambaran ilmu yang dahsyat.
Jlitheng yang terpesona itupun tersadar, ketika Pangeran
yang terluka itu berkata "Usahakanlah. Anak muda yang
bernama Daruwerdi itu jangan lepas. Aku hanya ingin
berbicara tentang diriku"
Jlitheng kemudian bangkit. Sambil melangkah ia berkata
"Aku akan berusaha Pangeran"
Sejenak Jlitheng memandangi arena. Pertempuran benarbenarhampir selesai. Orang-orang Sanggar Gading dan
Kendali Putih telah hampir habis. Selain yang terbunuh dan
terluka, sebagian diantara mereka berusaha menyelamatkan
dirinya. Dengan ragu-ragu Jlitheng kemudian melintasi arena,
mendekati Daruwerdi yang sedang bertempur. Nampaknya
lapun telah sampai pada tahap terakhir dari seranganserangannya
yang mematikan. Akhirnya, Daruwerdi itu menarik nafas dalam-dalam.
Lawannya yang tidak mampu lagi bertahan iebih lama lagi,
akhirnya harus terbaring diam dengan dada terkoyak.
Sementara beberapa langkah daripadanya Swasti berdiri tegak
dengan senjata di tangan. Ternyata lawannya yang
terakhirpun telah dilumpuhkannya.
Jlitheng tiba-tiba saja menjadi gelisah. Ia menjadi tegang
ketika ia melihat kedua orang paman Daruwerdi datang
mendekati anak muda itu sambil berkata "Kau sudah bermain
api. Sekarang, kau mendapat kesempatan untuk memberikan
penjelasan atas sikapmu kepada Pangeran Sena Wasesa"
Daruwerdi menjadi tegang. Ia memandang Pangeran yang
duduk diam untuk memulihkan kemampuan dan kekuatannya,
serta untuk menyembuhkan luka-lukanya agar darahnya
benar-benar menjadi pampat.
Sejenak kemudian ia berpaling kearah Yang Mulia yang
bertempur melawan Kiai Kanthi. Betapa dahsyatnya
pertempuran itu, namun kemudian mulai nampak, bahwa
Yang Mulia yang timpang itu telah terdesak. Jika semula,
keadaan kakinya yang cacat itu hampir tidak nampak
pengaruhnya, namun ketika ia mendapat lawan yang
seimbang, bahkan kemudian mulai terdesak, kesulitan pada
kakinya itu mulai nampak.
"Paman" tiba-tiba Daruwerdi berdesis "Aku menganggap
bahwa persoalanku sudah selesai. Pangeran itu ternyata tidak
sedang sakit, sehingga ia akan dapat berbuat sesuatu atasku
justru karena akulah yang telah menyebabkan ia diseret ke
tempat ini" "Apa maksudmu?" bertanya pamannya.
"Aku akan meninggalkan tempat ini. Meninggalkan
Pangeran itu sebelum ia sempat berbuat sesuatu atasku.
Selagi ia masih sibuk dengan pengaturan diri untuk melawan
kesulitan dalam dirinya. Jika ia nanti berhamil, maka akan ada
kemungkinan ialah yang justru akan menangkapku" berkata
Daruwerdi. "Semuanya akan kita selesaikan dengan sebaik-baiknya"
berkata salah seorang pamannya.
Tetapi Daruwerdi menggeleng"Aku akan kembali. Kita
harus membawa ibunda meninggalkan tempat ini secepatnya"
Kedua pamannya nampaknya tidak setuju dengan sikap
anak muda itu. Tetapi mereka lebih banyak menuruti niatnya.
Karena itu, salah seorang berkata "Terserah saja kepadamu.
Daruwerdi menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba saja ia
berpaling kearah Swasti. Sejenak ia memandangi gadis yang
berdiri termangu-mangu itu.
"Swasti" tiba-tiba saja Daruwerdi berkata dalam nada
rendah "Aku terpaksa meninggalkan tempat ini. Tetapi pada
suatu saat, aku akan kembali untuk mengucapkan terima
kasih kepadamu, dan kepada ayahmu yang sebentar lagi tentu
akan berhasil mengalahkan lawannya"
Swasti tidak menjawab. Tetapi ia menundukkan kepalanya
dalam-dalam. Namun justru dalam kediamaannya itu, seolahTiraikasih
olah sebuah getar yang halus telah menyentuh dada
Daruwerdi. "Aku terpaksa melakukannya" berkata Daruwerdi
kemudian. Lalu katanya kepada kedua pamannya "Kita
terpaksa meninggalkan tempat ini paman"
Kedua pamannya menarik nafas dalam-dalam. Namun
mereka t idak menjawab. Tetapi ketika Daruwerdi maju selangkah, maka tiba-tiba
baja Jlitheng maju mendekatinya sambil berkata "Tunggu
Daruwerdi. Persoalan yang kita hadapi masih belum selesai"
"Persoalan apa?" bertanya Daruwerdi yang menjadi tegang.
"Kaulah yang melahirkan peristiwa yang paling mengerikan
yang pernah aku lihat sampai saat ini. Pategalan itu sudah
basah oleh darah. Dan sekarang puncak bukit kecil ini"
Wajah Daruwerdi menjadi tegang. Dipandanginya Jlitheng
yang berdiri tegak dihadapannya. Dengan nada berat
Daruwerdi itupun kemudian berkata "Jlitheng, kau jangan ikut
campur dalam persoalanku. Urusi saja kawan-kawanmu, anak
anak muda Lumban Wetan dan Kulon. Apakah kau kira
persoalan air itu dapat kau anggap selesai" Nampaknya kau
memang lebih pantas mengurusi air itu dari pada ikut campur
dalam persoalan ini"
"Aku sudah melibatkan diri dalam persoalan ini" jawab
Jlitheng "Aku membawa kawan-kawan kita dari Lumban
karena kami merasa cemas melihat nasibmu yang mungkin
akan menjadi sangat buruk. Tetapi itu telah lampau. Kau
sudah bebas dari kemungkinan itu. Kau sudah lepas dari
tangan Yang Mulia yang nampaknya akan dapat dikalahkan
oleh Kiai Kanthi" "Nah, jika demikian aku mengucapkan terima kasih. Tugas
kalian telah selesai. Aku sudah bebas, dan karena itu aku akan
meninggalkan tempat ini" jawab Daruwerdi.
"Masih ada satu persoalan yang harus kau selesaikan"
berkata Jlitheng "seperti yang dikatakan oleh pamanmu. Kau
harus bertemu dengan Pangeran Sena Wasesa. Kau harus
menjelaskan, kenapa kau minta agar Pangeran yang semula
sedang sakit itu harus dibawa kemari"
"Aku tidak mempunyai persoalan lagi dengan Pangeran itu"
jawab Daruwerdi. Lalu "Sudahlah. Jangan halangi aku agar
tidak akan terjadi salah paham diantara kita"
"Aku memang ingin menghalangimu" jawab Jlitheng "Kau
tidak akan dapat begitu saja melepaskan tanggung jawabmu
terhadap Pangeran Sena Wasesa. Setelah kau paksa orangorang
Sanggar Gading membawanya kemari dengan akal
licikmu, kini kau akan neninggalkannya begitu saja"
"Jlitheng" geram Daruwerdi "Aku berterima kasih bahwa
anak-anak muda Lumban Wetan dan Kulon telah membantu
menyelamatkan aku dari tangan Yang Mulia. Tetapi jika kau
menghalangi kepergianku sekarang, aku akan
menyingkirkanmu, mumpung Pangeran itu masih pada
usahanya memulihkan dirinya"
"Daruwerdi" jawab Jlitheng "Aku sudah bertekad demikian.
Karena itu, jangan memaksa aku bertindak lebih keras"
"Gila" geram Daruwerdi "minggir, atau kau akan menyesal"
"Aku tetap mencegahmu. Berbeda dengan pamanmu yang
masih memikirkan banyak segi dalam hubungan kekeluargaan.
Tetapi pikirannya yang sehat akan berbicara seperti yang aku
katakan kepadamu" sahut Jlitheng.
Daruwerdi menjadi marah. Tiba-tiba saja ia telah
mengacukan pedangnya sambil berkata "Minggir kau Jlitheng"
Jlitheng tidak beranjak dari tempatnya. Namun dalam pada
itu Swasti yang memperhatikan persoalan itu dengan tegang,
tiba-tiba saja telah melangkah maju sambil berkata "Kau selalu
mencampuri urusan orang lain Jlitheng. Pergi, atau akupun
akan ikut campur. Aku tahu bahwa kau tidak akan dapat
mengalahkan aku meskipun aku juga tidak yakin akan dapat
mengalahkanmu" Jlitheng mengerutkan keningnya. Jantungnya menjadi
semakin berdebar-debar. Ia tidak dapat mengerti, kenapa
Swasti merasa perlu untuk mencampuri persoalannya dengan
Daruwerdi. Namun sekilas terbayang di kepalanya, bagaimana
kedua anak muda itu saling berpandangan setelah mereka
merasa saling menolong dalam pertempuran yang baru saja
terjadi. Dengan demikian, justru jantung Jlitheng merasa semakin
panas. Kemudaannya mulai ikut berbicara. Sudah lama ia
berhubungan dengan Kiai Kanthi, dan sudah lama pula ia
mengenal gadis yang keras hati itu. Namun ternyata bahwa
gadis itu lebih memperhatikan Daruwerdi daripada dirinya.
"Persetan" geram Jlitheng di dalam hatinya "Aku akan
menjalankan tugasku sebaik-baiknya seperti yang dikehendaki
oleh Pangeran Sena Wasesa"
Karena itu, maka Jlithengpun kemudian menjawab dengan
geram "Swasti. Sebenarnya aku tidak ingin berselisih dengan
kau. Aku menganggap Kiai Kanthi sebagai orang tuaku sendiri.
Tetapi aku tidak mengerti kenapa kau t iba-tiba telah berpihak"
Pertanyaan itu membuat Swasti menjadi bingung. Iapun
telah dihinggapi oleh pertanyaan yang serupa. Kenapa tibatiba
saja ia sudah berpihak. Justru kepada Daruwerdi yang
jarang berkunjung ke gubugnya dan bahkan hampir tidak
mengenal siapakah sebenarnya mereka.
Namun untuk menjawab pertanyaan Jlitheng, Swasti
berkata sebagaimana terlontar saja dari bibirnya "Daruwerdi
telah menolong kami disaat kami datang ke tempat ini dari
terkaman seekor harimau yang garang. Sehingga dengan
demikian ia telah menyelamatkan nyawa kami"
Jlitheng justru tertaya. Katanya "Cengkerikpun akan
tertawa mendengar jawabanmu. Kau kira aku tidak mengerti
apa yang terjadi" Aku melihat permainan yang lucu itu. Tetapi
pada saat itu aku telah melihat kemampuan kalian berdua.
Aku melihat bagaimana kanan berdua pura-pura ketakutan.
Namun kalian tidak dapat menipu aku"
"Omong kolong" teriak Swasti yang menjadi semakin
bingung "Tetapi aku tidak peduli. Aku melihat kau bertindak
licik dan curang disini. Aku merasa berkewajiban untuk
mencegah kecurangan itu"
"Swasti" suara Jlitheng menjadi bergetar "Aku pernah
menjajagi kemampuanmu. Tetapi aku tidak gentar seandainya
aku harus bertempur melawan kau berdua. Di tanganku
tergenggam pedang tipis ini yang akan dapat memberikan
kekuatan kepadaku. Marilah, aku tidak akan menghindar dari
akibat apapun juga. Meskipun hal ini bukan berarti bahwa aku
tidak tahu diri. Aku hormat dan berterima kasih kepada Kiai
Kanthi. Tetapi sama sekali tidak kepadamu"
Swasti yang keras hati itu bergeser maju selangkah. Ia kkii
berdiri disebelah Daruwerdi. Sementara itu Jlitheng berdiri
seorang diri menghadapi keduanya.
"Itu tidak adil" terdengar suara disebelah mereka. Yang
berdiri tegak adalah Rahu dengan senjatanya yang merah oleh
darah. Jlitheng memandang Rahu dengan tegangnya. Kemudian
dengan suara bergelar ia bertanya "Kau sudah bebas?"
"Aku terpaksa melakukannya?" desis Rahu.
"Apa yang kau lakukan?" bertanya Jlitheng.
Rahu termenung sejenak. Masih terbayang, bagaimana ia
menguhunjamkan pedangnya ketubuh orang terpenting di
padepokan Sanggar Gading. Sanggit Raina.
Masih terngiang ditelinganya, bagaimana Sanggit Raina
mengumpatinya. Dengan.penuh dendam dan seolah-olah tidak
percaya, bahwa Rahu telah dapat mengalahkannya.
"Aku telah membunuh Sanggit Raina" desis Rahu.
Jlitheng menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti, betapa
jantung Rahu tergetar oleh sikapnya itu. Untuk beberapa lama
ia berada di padepokan Sanggar Gading justru sebagai
kepercayaan Cempaka dan Sanggit Raina Namun yang pada
suatu saat, la harus berhadapan dan membunuhnya.
"Tetapi Cempaka tidak mati" desis Rahu "Anak itu dapat
dilumpuhkan. Kini ia sedang diikat pada sebatang pohon"
Jlitheng mengangguk-angguk. Sementara Rahupun berkata
"Kita harus berusaha untuk menangkap orang-orang seperti
Cempaka itu hidup-hidup. Tetapi aku tidak berhasil
melakukannya atas Sanggit Raina. karena aku sendirilah yang
hampir mati dibunuhnya" Rahu berhenti sejenak, lalu
"demikian pula orang seperti Daruwerdi. Ia harus ditangkap
hidup-hidup. Ia sudah membuat permainan yang sangat
memuakkan, sehingga Pangeran Sena Wasesa yang sedang
sakit itu harus dibawa kemari"
"Apa pedulimu" geram Daruwerdi.
"Kau sama sekali tidak berperikemanusiaan" geram Rahu
"masalahnya bukan saja Pangeran Sena Wasesa. Untunglah
bahwa aku dan Jlitheng masih sempat menyelamatkan anak
perempuan Pangeran itu. Ia masih gadis seperti Swasti. Tetapi
hampir saja ia jatuh ke tangan orang-orang Sanggar Gading
yang gila. Kau, lebih-lebih Swasti, akan dapat membayangkan,
apa yang akan terjadi. Malapetaka yang tidak ada taranya bagi
seorang gadis yang jatuh ke tangan orang-orang liar seperti
orang-orang Sanggar Gading"
Wajah Daruwerdi menjadi tegang. Ia memang t idak
membayangkan sama sekali aakibat-akibat lain yang dapat
terjadi. Ia hanya ingin Pangeran itu jatuh ke tangannya.
"Nah, kau dapat membayangkan sekarang" berkata Rahu
"gadis itu siang dan malam meratapi nasibnya. Ia sudah tidak
beribu, sementara ayahnya telah dibawa oleh sekelompok
orang-orang yang paling liar yang pernah di lihatnya. Belum
lagi air matanya susut, telah datang orang-orang liar itu untuk
merampas dirinya sendiri. Dan untuk waktu yang lama ia tidak
mendengar kabar berita tentang ayahnya, yang dibawa oleh
para perampok dalam keadaan sakit"
Wajah Daruwerdi menjadi semakin tegang. Namun dengan


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

demikian ia menjadi semakin cemas, bahwa ia akan
mengalami nasib yang buruk pula. Karena itu maka Katanya
"Semuanya sudah lewat. Sekarang aku akan pergi. Jangan
halangi aku. Aku tidak berbuat apa-apa atas Pangeran itu. Aku
tidak menyakit inya. Aku tidak melukainya. Dan sekarang, aku
tidak memerlukan lagi"
"Jadi kau tidak berani mempertanggung jawabkan tingkah
lakumu yang gila itu sehingga akibatnya dapat kau lihat di
puncak bukit ini dan di pategalan itu?" bertanya Rahu.
Namun Daruwerdi menganggap bahwa kesempatannya
akan lebih baik untuk menentukan langkah sebelum Pangeran
itu bangkit dan datang kepadanya untuk menangkapnya.
Karena itu, maka katanya kemudian " Sekali lagi aku
peringatkan, minggir atau aku akan bersikap lain"
"Kau memang harus bersikap lain" sahut Rahu "Kau harus
tetap berada di bukit ini. Kau memang harus diadili"
"Persetan" Daruwerdi menggeram.
Jlitheng yang memang sudah siap untuk menghadapinya
itupun telah bersiap pula. Namun dalam pada itu, Swastipuni
telah mengangkat senjatanya sambil berdesis "Aku tetap pada
pendirianku" Rahu memandang gadis itu sambil berkata "Kau sudah
terbius oleh sesuatu yang tidak kau mengerti"
"Aku tetap sadar" geramSwasti.
"Baiklah. Jika kau berkeras untuk menolong Daruwerdi
yang telah melakukan satu kesalahan yang besar, maka
kaupun akan tersangkut pula. Kau termasuk orang yang telah
melakukan kesalahan seperti yang dilakukannya" jawab Rahu.
Namun kemudian sambil memandang Kiai Kanthi yang
nampaknya semakin mendesak lawannya ia berkata "Aku
hormati Kiai Kanthi yang telah mengambil sikap yang sangat
menguntungkan bagi kami. Tetapi seperti apa yang dikatakan
Jlitheng, kau tidak pantas untuk dihormati meskipun kau
seorang gadis" Swasti menjadi sangat marah. Tiba-tiba saja ia telah
menyerang Rahu dengan garangnya. Namun Rahu sudah
menduga. Karena itu. maka iapun segera mengelak. Katanya
"Senjataku sudah bernoda darah"
"Aku juga telah membunuh lawan-lawanku" geram Swasti.
"Bagus" sahut Rahu "Aku akan mempertanggung jawabkan
sikapku ini dihadapan Kiai Kanthi"
Seasli tidak menjawab lagi. Iapun telah menyerang Rahu
semakin garang, sementara Jlitheng yang berdiri berhadapan
dengan Daruwerdipun telah melangkah maju sambil berkata
"Aku harap paman-pamanmu tidak menghalangiku, karena
sebenarnyalah merekapun menganggap sikapmu salah"
"Tetapi kami mempunyai pertimbangan lain" berkata salah
seorang paman Daruwerdi "Kami harus membawa anak itu
kepada ibunya. Setelah ia menghadap ibunya, terserah apa
yang akan terjadi" "Jangan begitu" jawab Jlitheng "kalian sudah mengetahui
apa yang terjadi disini. Sebaiknya kalian membantu kami,
memberi petunjuk kepada anak ini"
-ooo0dw0oooTiraikasih Karya : SH Mintardja Convert by : Dewi KZ Editor : Dino
Jilid 17 "MAAF Ki Sanak" jawab salah seorang dari kedua orang
paman Daruwerdi "Aku mempunyai ikatan lain yang lebih
akrab dengan anak ini. Karena itu, aku terpaksa mohon
untuknya, agar kalian melepaskannya"
"Persetan" geram Jlitheng "Aku akan menangkapnya"
Kedua paman Daruwerdipun Kemudian mendekat. Namun
betapa mereka dicengkam oleh keragu-raguan.
Sementara itu, ketegangan itu lelah dipecahkan oleh
teriakan Yang Mulia yang mengumpat dengan kasar. Sehingga
serangan Swastipun telah tertahan. Ternyata Kiai Kanthi
benar-benar telah mendesaknya dan bahkan orang-orang
yang ada di alas bukit itupun terkejut ketika mereka melihat
Yang Mulia itu terbatuk kecil. Namun dari bibirnya telah
terpercik darah menandai luka di dalamdadanya.
"Kau akan mati dengan penuh penyesalan" teriak Yang
Mulia. Kiai Kanthi justru mundur selangkah. Yang Mulia yang
meloncat menyerangnya telah kehilangan sasaran. Sejenak ia
terhuyung-huyung. Namun kemudian keseimbangannya
seolah-olah telah hilang.
Saat itu telah dipergunakan sebaik-baiknya oleh Kiai Kanthi.
Bagaikan angin prahara ia menyerang lawannya. Demikian
dahsyatnya, sehingga tidak ada kesempatan lagi bagi Yang
Mulia untuk melawan, mengelak dan menangkisnya.
Ketika terdengar desah dari mulutnya yang sekali lagi
memercikkan darah, maka Yang Mulia itu telah terlempar dan
terbanting jatuh di tanah.
Kiai Kanthi berdiri termangu-mangu. Ternyata Yang Mulia
telah menjadi sangat lemah. Ketika ia berusaha untuk bangkit,
maka iapun telah terjatuh lagi. Bahkan kemudian orang yang
memiliki ilmu yang tiada taranya itu telah kehilangan
kesadarannya. Pingsan. Dalam pada itu, Kiai Kanthi yang sedang memperhatikan
keadaan Yang Mulia itu berpaling ketika lengannya digamit
oleh seseorang. Pangeran Sena Wasesa.
"Kau sudah berhasil menyelesaikan tugasmu yang amat
berat" berkata Pangeran Sena Wasesa.
"Pangeran juga" desis Kiai Kanthi.
"Tetapi masih ada persoalan dengan anak muda itu.
Apakah kau menaruh perhatian juga kepada masalah ini?"
bertanya Pangeran. "Anak perempuanku telah terlibat terlalu jauh" berkata Kiai
Kanthi "Sebenarnya aku sendiri tidak mempunyai sangkut
paut" "Kita tidak dapat melepaskan segala tanggung jawab" desis
Pangeran itu " sebaiknya kita yang tua-tua inilah yang harus
berbuat sesuatu, agar yang mudamuda itu tidak saling
bertengkar" "Aku tidak mempunyai kepentingan apapun Pangeran,
kecuali mengambil anak gadisku" jawab Kiai Kanthi.
Pangeran Sena Wasesa tersenyum. Katanya "Aku mengenal
landasan ilmumu. Dan akupun yakin kau mengenali juga
landasan ilmuku, betapapun kita masing-masing
mengembangkan diri" Kiai Kanthi menarik nafas dalam-dalam Tetapi ia tidak
membantah. Sementara itu Daruwerdi telah benar-benar menjadi
gelisah. Pangeran itu telah berhasil mengatasi kesulitan di
dalam dirinya. Jika ia mendendamnya, maka keadaannya akan
menjadi sangat sulit. Namun setelah Kiai Kanthi menyelesaikan pertempuran itu,
timbullah harapan di dalam hatinya. Gadis yang tangkas, anak
Kiai Kanthi itu berdiri dipihaknya. Jika Kiai Kanthi itu juga
berdiri dipihaknya, maka Pangeran Sena Wasesa harus
membuat perhitungan tertentu untuk mendedamnya.
Sementara itu, Pangeran Sena Wasesa dan Kiai Kanthi
mulai memperhatikan anak-anak muda yang sudah saling
berhadapan. Ketika mereka mulai melangkah, maka Pangeran
itupun berkata kepada tabib yang merawatnya selama itu
"Yang Mulia itu masih belum mati. Lihatlah, mungkin kau
sempat menyelamatkan nyawanya"
Tabib itu mengangguk. Sementara ia berjongkok disebelah
Yang Mulia itu, maka kedua orang tua itupun telah berjalan
mendekati Daruwerdi dan sudah berhadapan dengan Jlitheng,
sementara Swasti sudah melawan Rahu. Sedangkan kedua
paman Daruwerdipun telah berdiri tegak betapapun mereka
masih ragu. "Anak itu telah menghalangi aku, Kiai Kanthi" berkata
Daruwerdi. "Ia sumber dari segala peristiwa yang mengerikan ini"
sahut Jlitheng "Ia adalah orang yang telah memaksa dengan
caranya yang licik, agar orang-orang Sanggar Gading
menangkap Pangeran Sena Wasesa dan membawanya ke
Daerah Sepasang Bukit Mati ini"
Salah orang-orang Sanggar Gading yang tamak, teriak
Daruwerdi. "Sudahlah" potong Pangeran Sena Wasesa dengan sareh.
Di wajahnya sama sekali tidak membayang perasaan dendam
dan kebencian kepada Daruwerdi, meskipun anak itu telah
sampai hati mengambilnya lewat tangan orang-orang Sanggar
Gading tanpa belas kasihan "Kita akan berbicara dengan baik"
"Aku tidak mempunyai kepentingan apa-apa lagi" sahut
Daruwerdi. "Kau memang t idak mempunyai kepentingan lagi" jawab
Pangeran itu "Tetapi biarlah persoalan ini tidak kita biarkan
menjadi gelap. Tentu ada persoalan yang menyangkut
hubungan kita meskipun aku t idak dapat mengenalmu"
"Tidak ada persoalan apa-apa" jawab Daruwerdi, sekarang
aku akan pergi" "Jangan memaksa" geram Jlitheng.
"Jangan ikut campur" Swasti yang masih berdiri
berhadapan dengan Rahu itulah yang membentak.
Namun ternyata yang dilakukan oleh Kiai Kanthi sama
sekali bukan yang diharapkan oleh Daruwerdi. Orang tua itu
telah mendekati anak gadisnya sambil berkata "Swasti.
Sebaiknya kaulah yang tidak ikut campur"
"Apakah yang ayah maksud" Apakah ayah mengajari aku
untuk tidak mengenal terima kasih kepada anak muda ini"
Bukankah anak muda ini telah berusaha menolong kita dari
garangnya seekor harimau yang besar pada saat kita datang?"
Swasti hampir berteriak. "Sebuah lelucon yang t idak nalar" potong Jlitheng.
"Tetapi, seandainya kita benar-benar tidak mampu berbuat
apa-apa, bukankah niatnya untuk menolong kita itu harus
dihargai" Sementara orang lain yang katanya juga melihat hal
itu, dan memiliki kemampuan, tidak berbuat sesuatu?" bantah
Swasti. Kiai Kanthi memandang anaknya sejenak. Namun kemudian
iapun menjawab "Swasti. Kita berterima kasih, bahwa angger
Daruwerdi sudah berniat untuk menolong kita. Kitapun sudah
berniat untuk membebaskannya dari tangan Yang Mulia
Panembahan Wukir Gading itu. Dan nampaknya kita berhasil.
Jika kita tidak berbuat sesuatu, maka angger Daruwerdi tentu
sudah menjadi mayat disini. Namun persoalan selanjutnya,
bukannya persoalan kita. Angger Daruwerdi mempunyai
hubungan yang khusus dengan Pangeran yang dimintanya
dari siapapun juga yang dapat menyerahkannya, dengan
imbalan pusaka yang dinyatakan palsu oleh Yang Mulia itu"
"Tetapi orang-orang lain yang tidak berkepentingan itupun
ikut campur juga" bentak Swasti.
"Kita t idak usah memikirkan orang lain. Marilah kita pikirkan
diri kita sendiri. Kita sudah mendapatkan sebuah gubug yang
sebentar lagi akan kita perbaiki. Sementara kita sudah
mendapat tanah garapan yang akan dapat menghasilkan
pangan. Air sudah kita kuasai dan berguna bagi tanah bukan
saja tanah kita sendiri, tetapi juga bagi Lumban. Nah, apakah
yang kurang" Anak-anak muda Lumban berbuat itu semua
bagi kita. Apakah nilainya masih belum memadai dengan
pertolongan yang diberikan oleh angger Daruwerdi" Aku tidak
mengecilkan arti pertolongannya, dan bukan berarti aku tidak
berterima kasih. Tetapi kita harus berterima kasih kepada
segala pihak yang telah menolong kita"
Wajah Swasti menjadi semakin tegang. Sementara itu
ayahnya berkata "Biarlah dengan demikian angger Daruwerdi
menyelesaikan persoalannya dengan Pangeran Sena Wasesa.
Dan biarlah orang-orang yang berkepentingan karena tugas
mereka ikut terlibat dalampersoalan ini"
"Aku tidak mempunyai persoalan apapun juga" Daruwerdi
itu berteriak. "Angger harus bertanggung jawab" berkata Kiai Kanthi
kemudian kepada Daruwerdi "Angger tidak dapat begitu saja
melepaskan tanggung jawab angger justru setelah Pangeran
Sena Wasesa itu berada disini"
"Daruwerdi" berkata Pangeran Sena Wasesa "anggaplah
aku telah dapat mengganti kedudukan orang-orang Sanggar
Gading. Aku telah datang menyerahkan diriku sendiri. Nah,
apakah yang akan kau perlakukan terhadapku. Aku tidak
berkeberatan untuk mendengar niatmu yang sebenarnya
dengan membawa aku kemari"
Daruwerdi tidak segera dapat menjawab. Namun
sementara itu, salah seorang paman Daruwerdi itu berkata
"Pangeran. Sebenarnya aku juga tidak tahu pasti, apa yang
dikehendaki oleh Daruwerdi. Tetapi persoalan ini tidak akan
dapat dipecahkan begitu saja. Aku tidak tahu, apakah
Daruwerdi sependapat atau tidak, biarlah aku
memberitahukan kepada Pangeran, bahwa ibunya ada di
Lumban pula" "Paman" potong Daruwerdi "Kau jangan menyangkut orang
lain lagi" "Berhadapan dengan Pangeran Sena Wasesa dan Kiai
Kanthi kita tidak akan dapat berbuat banyak, selain
mengatakan apa yang sebenarnya. Daruwerdi. Marilah, kita
menghadap ibumu. Setelah itu, kau dapat menyelesaikan
segala persoalan ini. Dengan demikian maka ibumupun akan
mengetahui, apa yang telah terjadi sebenarnya"
"Tetapi ibu tidak turut campur tentang persoalan ini.
Bahkan ibupun tidak mengetahui apa yang telah aku lakukan"
berkata Daruwerdi. Ternyata Pangeran Sena Wasesalah yang telah menyahut
"Aku sependapat Ki Sanak. Aku bersedia menemui ibu
Daruwerdi jika ia memang ada disini. Apalagi aku mendengar,
bahwa Daruwerdi telah mendendamku, karena aku telah
membunuh ayahnya" "Aku tidak mempunyai persoalan apapun dengan
Pangeran" jawab Daruwerdi.
"Daruwerdi. Kau sebelumnya belum mengenal aku. Atau
katakanlah jika kau sudah mengenal aku, tentu sudah selang
waktu yang panjang, sehingga akupun telah melupakan,
bahwa aku pernah bertemu dengan kau sebelumnya. Kau
mengenal aku karena ciri-ciri yang kau kenali pada diriku. Hal
itu menunjukkan kepadaku, bahwa tentu ada orang lain yang
ikut terlibat ke dalam persoalan ini. Setidak-tidaknya orang
yang telah memberikan petunjuk tentang ciri-ciri yang


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terdapat pada tubuhku" berkata Pangeran Sena Wasesa
kemudian. Lalu "Aku tidak berprasangka bahwa petunjuk itu
kau dapat dari ibumu. Tetapi bahwa alasan yang kau pakai
adalah karena aku pernah membunuh ayahmu, maka hal ini
akan sangat menarik bagiku"
"Itu tidak benar. Aku hanya mengatakan saja hal itu tanpa
maksud apa-apa" bantah Daruwerdi.
"Tentu kau mempunyai maksud tertentu. Jika tidak, kau
tidak akan berada di daerah Sepasang Bukit Mati ini untuk
waktu yang lama, sambil menunggu pada suatu saat akan ada
seseorang, atau sekelompok orang yang akan membawa
Pangeran Sena Wasesa datang ke tempat ini. Sementara kau
sudah siap menyediakan sebuah peti yang kau sebut berisi
pusaka yang sedang dicari orang selama ini, namun yang
menurut Yang Mulia Panembahan Wukir Gading adalah palsu"
jawab Pangeran Sana Wasesa.
"Sudahlah Daruwerdi" berkata pamannya kemudian,
apapun yang harus kau hadapi dalam penyelesaian ini,
sebaiknya kau lakukan. Semuanya akan berjalan dengan baik
sesuai dengan martabat kemanusiaan kita. Tentu akan
berbeda dengan cara yang ditempuh oleh Yang Mulia
Panembahan Wukir Gading, atau oleh Eyang Rangga dari
Kendali Putih itu, atau bahkan oleh pihak lain"
"Ya" desis Rahu "Aku yakin bahwa dalam waktu dekat,
orang-orang Pusparuri juga akan datang. Mereka tentu akan
segera mendengar apa yang terjadi disini"
"Marilah" ajak salah seorang pamannya "Jangan
membuang waktu lagi. Semuanya akan kau lakukan seperti
itu. Tidak ada jalan lain. Kau sudah memulainya Daruwerdi"
Daruwerdi memandang berkeliling. Anak-anak Lumban
yang telah selesai dengan tugas masing-masing telah
berkumpul pula di puncak bukit itu. Sementara beberapa
orang diantara mereka telah terluka pula.
Sementara itu, kawan Semi yang telah mendahului berada
di Lumban itupun telah menolong anak-anak muda Lumban
yang terluka. Ternyata bahwa iapun membawa obat yang
dapat untuk mengatasi luka-luka karena senjata.
Daruwerdi menjadi semakin tegang. Paman-pamannya
ternyata telah menganjurkan kepadanya, agar ia
mempertanggung jawabkan perbuatannya. Justru karena
ibunya ada di Lumban, maka pamannya telah berusaha agar
ia datang kepada ibunya bersama orang yang selama ini
dimintanya untuk ditukar dengan pusaka yang ternyata
menurut Yang Mulia adalah palsu.
Akhirnya Daruwerdi tidak dapat ingkar lagi. Betapapun
jantungnya bergejolak. Bahkan ia menyesal kenapa ibunya
dan pamannya telah datang pula ke Lumban.
Namun dalam pada itu, iapun tidak dapat mengingkari
kenyataan, tanpa arang-orang yang sekarang seakan-akan
mengepungnya itu, dan sekaligus menuntut pertanggungan
jawab, maka ia tentu sudah menjadi sasaran kemarahan
orang-orang Sanggar Gading dan orang-orang Kendali Putih.
Meskipun demikian, jika terpandang olehnya Pangeran
Sena Wasesa, maka jantungnya bagaikan berhenti berdetak.
Bagaimanapun juga Pangeran itu tentu merasa bahwa ia telah
menjadi permainan Daruwerdi.
Daruwerdipun sadar, bahwa kehadiran orang-orang Kendali
Puluh di Daerah Sepasang Bukit Mati itupun telah ikut
menentukan akhir dari persoalannya dengan Yang Mulia. Jika
orang-orang Kendali Putih tidak datang pada saat itu dan tidak
terjadi peristiwa yang mengerikan di pategalan, maka apakah
mungkin orang-orang Sanggar Gading itu dapat dikalahkan
hanya oleh anak-anak Lumban meskipun diantara mereka
terdapat orang-orang berilmu. Namun karena jumlah orangorang
Sanggar Gading dan Kendali Putih sudah susut terlalu
banyak, maka akhirnya mereka tidak lagi cukup kuat untuk
mempertahankan diri. Tetapi Daruwerdipun tidak dapat memejamkan matanya
terhadap kenyataan. Kehadiran Kiai Kanthi dan Pangeran yang
menjadi tuntutannya itupun menentukan pula, karena
keduanya telah berdiri berhadapan dengan dua orang yang
memiliki ilmu yang sangat tinggi dari Sanggar Gading dan dari
Kendali Putih. Dengan demikian, maka akhirnya Daruwerdipun berkata
"Aku tidak mempunyai pilihan lain. Tetapi jika kedua pamanku
tidak mendesakku untuk menghadap ibuku sambil
mempertanggung jawabkan rencanaku, maka aku akan tetap
bertahan disini, meskipun aku akan mengalami akibat yang
bagaimanapun juga. Yang harus mempertanggung jawabkan
perbuatanku adalah aku sendiri. Bukan ibuku. Dan bukan pula
orang lain" "Kau benar Daruwerdi" sahut Pangeran Sena Wasesa
"Tetapi tentu dapat ditelusur pula hubungannya dengan
ibumu. Jika aku benar pernah membunuh ayahmu, maka,
sudah sewajarnya akulah yang harus mempertanggung
jawabkannya terhadap ibumu. Mungkin aku harus minta maaf,
atau barangkali justru dengan tebusan yang lain, atau bahlkan
satu tuntutan atasku, sebagaimana kau lakukan deingan
caramu sendiri?" Wajah Daruwerdi menjadi tegang. Namun ia tidak dapat
mengelak lagi. Ia memang pernah mengatakan, bahwa
Pangeran Sena Wasesa harus diserahkan kepadanya,, karena
Pangeran itu telah pernah membunuh ayahnya. Dan kini
Pangeran Sena Wasesa mendesaknya untuk bertemu dengan
ibunya. Debar jantungnya serasa menjadi semakin cepat. Ibunya
agaknya sudah mengenal Pangeran Sena Wasesa.
Karena itu, maka terasa betapa kakinya menjadi sangat
berat. Namun ia tidak mempunyai pilihan lain.
Dalam pada itu, Pangeran Sana Wasesa, Kiai Kanthi,
Jlitheng, Rahu dan Semi telah bersiap untuk pergi mengikuti
Daruwerdi bersama kedua orang pamannya. Namun dalam
pada itu, Kiai Kanthi masih harus membujuk anak gadisnya
yang masih berdiri tegak di tempatnya.
"Marilah Swasti " ajak Kiai Kanthi "Kita pergi ke Lumban
Kulon" "Buat apa?" bertanya gadis itu.
"Kita sebaiknya mengetahui perkembangan keadaan ini"
jawab ayahnya. "Tetapi bukankah itu sama sekali bukan kewajiban kita?"
bertanya Swasti. Ayahnya tersenyum. Katanya "Kita memang tidak
berkewajiban mengusut persoalan ini. Tetapi kitapun boleh
mengetahui perkembangan dari keadaan ini, justru karena kita
tinggal di bukit ini"
Swasti tidak menjawab. Tetapi iapun kemudian mengikuti
ayahnya meskipun ia tidak berminat sama sekali. Bahkan rasarasanya
ia tidak rela melihat perlakukan orang-orang itu
terhadap Daruwerdi, termasuk kedua orang pamannya sendiri.
Tetapi iapun tidak dapat mencegahnya. Ayahnya justru
telah berbuat sebagaimana dilakukan oleh orang-orang lain
itu. Dalam, pada itu, Rahu telah menyerahkan perawatan
orang-orang yang terluka kepada kawan Semi dan anak-anak
Lumban sendiri. Bahkan mereka juga berkewajiban untuk
menyelenggarakan mayat yang tersebar di puncak bukit itu.
Selain kawan Semi itu, tabib yang semula berada diantara
orang-orang Sanggar Gading itupun masih juga menunggui
Yang Mulia yang pingsan, sementara Cempaka masih juga
terikat pada sebatang pohon di bukit itu.
"Aku dan Jlitheng akan kembali" berkata Rahu kepada
kawan Semi. Kawan Semi itupun mengangguk Ia tahu bahwa Rahu
sangat berkepentingan dengan Pangeran Sena Wasesa.
Sepeninggal Daruwerdi dan orang-orang yang
mengikut inya, maka kawan Semi itupun mendekati tabib yang
menunggui Yang Mulia Panembahan Wukir Gading. Ternyata
bahwa orang itu masih hidup. Namun tabib itu berkata "Jika ia
sembuh, maka ia t idak akan mungkin mendapatkan ilmunya
utuh seperti semula"
"Kenapa?" bertanya kawan Semi itu.
"Bagaimanapun juga, manusia dibatasi oleh kelemahannya.
Ada bagian tubuhnya di dalam yang cacat" berkata tabib itu.
Kawan Semi itupun mengangguk-angguk. Ternyata bahwa
hukuman dari Yang Maha Adil telah datang lebih dahulu
daripada hukuman yang mungkin akan dijatuhkan oleh
Demak. Sambil bangkit ia berkata "Agaknya itu akan lebih
baik. Ia tidak akan melakukan kejahatan lagi seperti yang
pernah dilakukannya. Jika ia masih memiliki kemampuan dan
ilmunya, meskipun seandainya di Demak ada prajurit linuwih
yang dapat mengawasinya, maka jika sampai saatnya ia
bebas, maka ia tetap merupakan seorang yang berbahaya.
Kecuali jika ia dihukum mati"
"Hukuman mati tidak perlu lagi baginya. Ia akan menjadi
seorang yang jinak dan tidak berbahaya" desis tabib itu.
Kawan Semi itupun mengangguk-angguk pula. Namun
kemudian iapun pergi bersama, anak-anak muda Lumban
yang tidak terluka untuk, mengurus mayat yang berserakan.
Dengan tekun mereka mencari diantara semak-semak dan
batu-batu padas. Sementara anak-anak muda Lumban yang
terluka lelah berkumpul pula untuk mendapat perawatan dari
tabib yang semula berada di lingkungan orang-orang Sanggar
Gading itu. Bahkan ada satu dua diantara mereka yang
terpaksa di papah oleh kawan-kawannya karena luka yang
cukup parah. Namun yang terjadi itu satu pengalaman yang dapat
disadap sebagai pelajaran yang baik bagi anak-anak Lumban.
Mereka yang dalam banyak hal masih dipengaruhi oleh
persoalan air itupun telah merasa diri mereka satu. Dengan
demikian, maka anak-anak Lumban itu merasa, semakin dekat
satu dengan yang lain. Dalam pada itu, diantara anak-anak Lumban Kulon. Nugata
duduk merenungi peristiwa yang baru saja terjadi. Ia melihat
bagaimana Jlitheng bertempur diantara lawan-lawannya. Ia
sama sekali tidak menduga, bahwa Jlitheng memiliki
kemampuan tidak kalah dengan Daruwerdi. Sehingga dengan
demikian, maka iapun menjadi curiga karenanya, bahwa apa
yang dikenalnya sebagai Jlitheng selama itu bukannya
pengenalnya yang sewajarnya.
Meskipun demikian, agak berbeda dengan kawankawannya,
Nugata masih saja diganggu oleh satu keinginan
untuk menyatakan dirinya, lingkungannya dan Kabuyutannya
lebih baik dari Lumban Wetan. Namun ia tidak mengatakan
kepada siapapun juga. Apalagi ketika ia mengetahui keadaan
Jlitheng yang sebenarnya. Sementara itu Daruwerdi sudah
tidak, dapat diharapkannya untuk dapat membantunya lagi.
Dengan demikian, maka perasaan kecewa, gejolak dan
angan-anganya tentang hubungannya dengan Jlitheng
selanjutnya, hubungan antara anak-anak Lumban Kulon
dengan Daruwerdi, dan masih ada beberapa masalah lagi,
telah menggelitik hatinya. Namun justru karena itu, maka
iapun telah merenunginya, sehingga seolah-olah ia tidak
menghiraukan lagi apa yang telah terjadi disekitarnya.
Selagi anak-anak muda Lumban mengumpulkan beberapa
sosok mayat yang berserakkan, maka beberapa orang
Sanggar Gading dan Kendali Putih yang meninggalkan arena,
tengah berlari-lari tidak tentu arah. Namun sebagian dari
mereka telah berlari asal saja menjauhi bukit mereka yang
dikenal sebagai salah satu dari Sepasang Bukit Mati itu.
Mereka tidak lagi mempunyai tujuan karena mereka
menyadari, bahwa pemimpin-pemimpin mereka telah binasa,
sementara itu. merekapun merasa, bahwa jika mereka
bertemu dengan orang-orang Pusparuri atau orang-orang
Gunung Kunir, maka mereka tidak lagi mempunyai kelompok
yang kuat untuk saling melindungi.
Karena itu, dalam kebingungan, mereka justru, menjadi
berpencaran mencari jalan hidup mereka masing-masing.
Bahkan ada diantara mereka yang menjadi sangat cemas
sehingga mereka telah melemparkan senjata mereka, agar
tidak ada orang yang mencurigainya. Terutama dari
padepokan yang telah mengalami persaingan untuk waktu
yang lama. Sebagai pengembara yang mencari belas kasihan
orang lain, maka tentu tidak akan ada orang yang akan
memperlakukannya dengan kasar, karena mereka tidak akan
dengan mudah dikenal sebagai orang yang pernah berada
dalam lingkungan yang paling garang. Sanggar Gading dan
Kendali Putih. Dalam pada itu, sebuah iring-iringan telah menuruni bukit
berhutan. Daruwerdi dan kedua pamannya berjalan dipalilng
depan, sementara Sena Wasesa berjalan di belakangnya
bersama Kiai Kanthi. Dekat di belakang Kiai Kanthi, Swasti
berjalan sambil menunduk, sementara beberapa langkah di
belakang mereka, barulah orang-orang lain berjalan sambil
berbicara diantara mereka.
Daruwerdi dan kedua pamannya, sama sekali tidak
berbicara tentang apapun juga. Nampaknya Daruwerdi merasa
lebih baik berdiam diri dalam keadaan yang demikian itu. Ia
masih dicengkam oleh perasaan kecewa, bahwa pamannya
justru ikut memaksanya menghadap kepada ibunya.
"Apa yang harus aku katakan kepada ibu" berkata
Daruwendi kepada diri sendiri. Kemudian "Jika Pangeran itu
sempat bertemu dengan ibu, maka mereka tentu akan
mempersoalkan masalah-masalah yang terlalu khusus, yang
aku sendiri tidak banyak mengetahui"
Namun dalam pada itu, terbilas wajah seorang tua yang
dianggapnya sebagai kakeknya dan sekaligus gurunya,
meskipun ia tahu, bahwa orang itu adalah orang lain baginya.
Tetapi hubungan yang akrab dan bertahun-tahun, telah
membuatnya menganggap orang tua itu sebagai kakeknya
sendiri "Jika saja kakek mengetahuinya" berkata Daruwerdi di
dalam dirinya sendiri. Sebab ada satu keyakinan di dalam diri
Daruwerdi, bahwa kakeknya dan sekaligus gurunya itu tidak
lebih rendah tingkat ilmunya dari orang-orang yang
mengejutkan karena kehadirannya di atas bukit itu.
Tetapi kakek yang juga gurunya itu tidak melihatnya apa
yang telah terjadi di Lumban dan apalagi di atas bukit
berhutan itu. Daruwerdi itu menarik nafas dalam-dalam. Sekilas
dipandanginya jalan di hadapannya. Mereka masih menuruni
lereng yang kadang-kadang sulit, sehingga mereka harus


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meluncur turun berurutan. Namun kadang-kadang mereka
dapat berjalan bersama-sama dalam tebaran yang tidak begitu
panjang. Demikianlah, akhirnya mereka telah berada di kaki bukit
kecil itu. Jantung Daruwerdi menjadi semakin berdebar-debar.
Namun ia tidak dapat berbuat lain. Bersama dengan orangorang
itu ia telah menuju ke Lumban Kulon, ke tempat
pemondokannya. Iring-iringan itu telah menarik perhatian anak-anak Lumban
Kulon yang bersiap di padukuhan masing-masing. Ketika
mereka memasuki padukuhan kecil di Kabuyutan Lumban
Kulon, maka anak-anak muda Lumban Kulonpun bertanyatanya
di dalamhati, apakah yang telah terjadi
Namun mereka telah melihat Daruwerdi berada diantara
iring-iringan itu. Namun nampaknya Daruwerdi tidak sempat
memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Bahkan ia berjalan
dengan kepala tunduk dan dengan langkah-langkah lesu.
Baru ketika mereka melihat Jlitheng yang berada di bagian
belakang dari iring-iringan kecil itu, anak-anak muda itu
bertanya "Apa yang telah terjadi?"
"Tidak apa-apa" jawab Jlitheng "kawan-kawan kita telah
menyelesaikan tugas sebaik-baiknya. He bawalah beberapa
orang kawan ke puncak bukit. Kawan-kawan kita disana
sedang sibuk menyelenggarakan beberapa sosok mayat.
Kalian dapat membantu mereka. Tetapi hati-batilah. Sebaiknya
kalian bersenjata dan membawa alat Isyarat. Jika terjadi
sesuatu di sepanjang jalan menuju ke bukit itu, bunyikan
isyarat" Kawan-kawan Jlitheng dari Lumban Kulon itupun
mengangguk. Ternyata mereka tidak lagi ingat akan
pertentangan mereka selama berebut air. Nampaknya mereka
sempat melupakan persoalan mereka itu.
Ketika Jlitheng kemudian meninggalkan mereka mengikuti
iring-iringan yang menuju ke rumah Daruwerdi, anak-anak
muda itupun telah menghimpun beberapa orang kawan dan
bersama-sama menuju ke bukit berhutan. Namun mereka
tidak pergi seluruhnya. Sebagian kecil dari anak-anak muda itu
masih tetap berada di padukuhan untuk mengawasi keadaan.
Dalam pada itu, Daruwerdipun kemudian telah memasuki
padukuhannya. Seperti anak-anak muda di padukuhan
sebelumnya, maka anak-anak muda di padukuhan itupun
bertanya kepada Jlitheng, apa yang telah terijadi.
"Tidak apa-apa" sahut Jlitheng "Kami mengantar Daruwerdi
pulang Ia terlalu letih"
Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Tetapi mereka
melihat sesuatu yang lain pada Daruwerdi. Anak yang terbiasa
terjalan dengan wajah tengadah itu, ternyata nampak sangat
letih sambil menunduk. Bahkan tanpa berpaling sama sekali
ketika kawan-kawannya dari Lumban Kulon menyambut
kedatangannya. Sejenak kemudian, iring-iringan itu telali memasuki sebuah
halaman yang tidak begitu luas. Sebuah rumah, yang sedang
dan nampak terpelihara. Iring-iringan itupun kemudian berhenti di halaman.
Daruwerdi yang gelkah itupun kemudian berkata "Biarlah aku
menghadap ibu. Aku akan mengatakan kedatangan kalian,
terutama Pangeran Sana Wasesa, agar ibu tidak terkejut"
"Baiklah. Katakan kepada ibumu, aku hanya ingin mencari
penjelasan" berkata Pangeran Sana Wasesa.
Daruwerdipum kemudian naik ke pendapa dan memasuki
pringgitan diiringi oleh kedua pamannya.
Ketika mereka memasuki ruang dalam, mereka sama sekali
tidak menemukan seseorang. Ibunya yang biasanya duduk
merenung di ruang itu sama sekali tidak nampak. Namun
Daruwerdi sama sekali tidak curiga. Mungkin ibunya sedang
berada di belakang, atau di pakiwan.
Namun dalam pada itu, seorang laki-laki tua, penghuni
rumah itu telah memasuki ruang dalam dari pintu butulan.
Dengan wajah cemas ia berkata "Angger Daruwerdi. Kemana
saja angger pergi selama ini"
Daruwerdi menarik nafas dalam-dalam. Orang tua itu
agaknya tidak tahu, dan tidak mendengar apapun juga
tentang dirinya selama ia berada di atas bukit. Tetapi rasarasanya
Daruwerdi tidak sempat menjawab pertanyaan itu.
Bahkan ia telah bertanya pula "Dimana ibu?"
Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Itulah
yang aku persoalkan. Kemana saja kau selama ini ngger?"
Wajah Daruwerdi menegang. Sambil melangkah mendekat
ia mendesak "Dimana ibu?"
"Kau pergi terlalu lama" jawab orang tua itu "selama kau
pergi itulah, seorang laki-laki tua telah datang dan membawa
ibumu bersamanya" "Siapa?" wajah Daruwerdi menjadi tegang.
"Seorang laki-laki tua, bertubuh tinggi kekar. Berkumis
lebat dan berjanggut panjang keputih-putihan. Suaranya serak
dan agak kurang jelas. Tetapi kata-katanya cukup dimengerti"
jawab laki-laki tua itu. "Guru?" desis Daruwerdi. Namun katanya kemudian "Itu
kakekku. Jadi ibu pergi bersama kakek?"
"Ya. Tetapi rasa-rasanya orang tua itu agak memaksa
ketika ibumu berniat untuk menunggumu disini" jawab laki-laki
tua itu. Wajah Daruwerdi menjadi tegang. Ketika ia berpaling,
maka dilihatnya kedua pamannya termangun-mangu.
"Tetapi bukankah itu sama sekali bukan kewajiban kita?"
bertanya Swasti. Ayahnya tersenyum. Katanya "Kita memang tidak
berkewajiban mengusut persoalan ini. Tetapi kitapun boleh
mengetahui perkembangan dari keadaan ini, justru karena kita
tinggal di bukit ini"
"Ibu dibawa oleh Kakek, paman" desis Daruwerdi. Kedua
pamannyapun saling, berpandangan. Yang seorang kemudian
berkata "Aku tidak tahu, apa maksudnya. Tetapi jika memang
demikian, kau harus memberitahukan kepada Pangeran Sena
Wasesa" Daruwerdi menjadi ragu-ragu. Namun kemudian katanya di
dalam hati "Ada juga keuntungannya. Ibu tidak langsung
bertemu dengan Pangeran Sena Wasesa" Namun kemudian
"Tetapi kenapa kakek justru membawa ibu pergi, tidak
berusaha menolong aku yang sedang dalam keadaan yang
sulit" Tetapi Daruwerdi t idak sempat memecahkan teka-teki itu.
Diluar menunggu beberapa orang. Jika ia tidak lama berada di
dalam tanpa memberitahukan sesuatu kepada orang-orang
yang berada di halaman, maka akan dapat timbul salah
pahamyang dapat berakibat gawat bagi Daruwerdi.
Karena itu, maka katanya kepada kedua pamannya "Aku
akan mengatakan kepada mereka. Tetapi apakah kira-kira
tanggapan mereka paman"
"Aku tidak tahu apakah yang akan mereka katakan. Tetapi
itu menjadi kewajibanmu. Apakah hal itu akan mendapat
tanggapan baik atau sebaliknya" jawab salah seorang
pamannya, Daruwerdi memang tidak dapat berbuat lain. Ia harus turun
kehalaman menemui orang-orang yang menyertainya untuk
bertemu dengan ibunya. Dengan jantung yang berdebar-debar disertai oleh kedua
pamannya ia melangkah kepintu pringgitan. Sekali ia
berpaling, seolah-olah ia ingin menilai kekuatan yang ada
padanya, seandainya ia harus mempertahankan diri. Namun
mereka bertiga t idak akan dapat berbuat banyak. Bahkan
seandainya Swasti berdiri dipihaknya pula.
"Tidak ada yang dapat aku lakukan" katanya di dalamhati.
Demikianlah, maka, dengan tangan bergetar Daruwerdi itu
membuka pintu. Derit daun pintu itu telah menarik perhatian
orang-orang yang berada di halaman sehingga merekapun
segera berpaling. Namun yang mereka lihat hanyalah
Daruwerdi dan kedua orang pamannya saja.
Pangeran Sena Wasesa yang tidak sabar lagi menyosong
sambil bertanya "Dimana ibumu?"
Wajah Daruwerdi menjadi tegang. Ketika ia turun tangga
pendapa, ia menjawab dengan suara bergetar seperti
tangannya "Ibu tidak ada di rumah"
"Kemana?" Rahulah yang meloncat mendekat.
Daruwerdi bergeser surut. Dengan ragu-ragu ia menjawab
"Aku tidak tahu. Menurut penunggu rumah ini. ibu pergi
bersama seseorang yang tidak dikenal?"
"Kau jangan bohong" geramRahu.
"Ya" jawab salah seorang pamannya "ibunya pergi tanpa
diketahui dengan pasti. Seseorang telah datang dan
membawanya" "Siapa?" desak Rahu.
Paman Daruwerdi itu termangu-mangu sejenak. Namun
iapun kemudian menggeleng sambil menyahut "Penunggu
rumah ini tidak tahu, siapakah orang itu"
Rahu ternyata tidak sabar lagi. Iapun segera meloncat dan
melintasi pendapa masuk ke pringgitan.
Pangeran Sena Wasesa menarik nafas dalam-dalam.
Dengan sareh ia bertanya "Apakah maksudmu sebenarnya
Daruwerdi" Apakah kau masih ingin mengelak dan berusaha
agar ibumu tidak dapat bertemu dengan aku?"
"Tidak Pangeran" jawab Daruwerdi "ibu memang tidak ada
di rumah ini" "Aku bersaksi Pangeran" berkata salah seorang pamannya.
Pangeran itu mengangguk-angguk. Ia mempercayai kedua
paman Daruwerdi yang nampaknya berkata dengan jujur,
sesuai dengan sikap mereka yang lebih terbuka dari Daruwerdi
sendiri. Meskipun demikian Pangeran itu berkata "Apakah aku di
perkenankan masuk?" "Silahkan Pangeran" jawab salah seorang pamannya.
Pangeran Sana Wasesapun kemudian memasuki rumah itu
diikuti oleh Kiai Kanthi dan anak gadisnya, Semi dan Jlitheng
yang termangu-mangu di belakang,
Rahu yang lebih dahulu berada di dalam rumah itu,
sebenarnyalah tidak melihat seorang perempuan yang
dicarinya. Setiap bilik telah dimasukinya. Namun akhirnya ia
bertemu dengan orang tua penunggu rumah itu.
Ketika ia bertanya kepadanya, maka orang tua itu
menjawab sebagaimana dikatakannya kepada Daruwerdi.
"Kau tidak bohong?" bertanya Rahu.
"Tidak Ki Sanak . Apakah keuntunganku dengan
berbohong?" jawab orang itu.
Rahu tertegun sejenak. Dipandanginya keadaan
disekelilingnya. Sepi. Dan agaknya jika benar ibu Daruwerdi
ada di rumah itu, ia tidak akan sempat pergi terlalu jauh
Sementara itu, menilik sikap dan kata-katanya, orang tua itu
telah mengatakan apa yang sebenarnya telah terjadi.
Ketika Pangeran Sena Wasesa dan Kiai Kanthi serta orangorang
yang lain mendekatinya, dan mendengar orang tua itu
mengatakan sekali lagi apa yang telah terjadi, maka
merekapun mengambil kesimpulan, bahwa sebenarnyalah ibu
Daruwerdi tidak ada di rumah itu. Dengan agak memaksa
seseorang telah membawanya.
"Apakah kau benar-benar tidak mengenal orang dengan
ciri-ciri seperti yang dikatakan orang itu, anggar Daruwerdi?"
bertanya Kiai Kanthi. Daruwerdi menggeleng. Jawabnya, "Aku tidak
mengenalnya" Kiai Kanthi mengangguk-angguk. Sementara itu iapun
kemudian menelit i seluruh isi ruangan. Dilihatnya bendabenda
yang ada di dalam ruangan itu. Dari benda yang
tersangkut didlinding sampai kepada benda yang terletak di
ajug-ajug, di gledeg kayu dan di amben bambu.
Namun tiba-tiba jantungnya berdesir ketika ia memandang
pintu ruang dalam rumah itu. Ia melihat sesuatu yangtidak
begitu jelas pada mulanya. Namun ketika ia mendekatinya dan
dengan saksama ia melihat sesuatu yang sangat menarik
perhatiannya. "Pangeran" desis Kiai Kanthi "Apakah. Pangeran mengenal
tanda seperti ini?" Pangeran Sena Wasesa mendekatinya. Nampak kerut di
dahinya, Kemudian perlahan-lahan ia berdesis "Jadi ia pernah
menjamah rumah ini" "Tentu orang itulah yang telah membawa ibu Daruwerdi.
Ciri-ciri yang dikatakan oleh penunggu rumah ini mempunyai
beberapa persamaan. Janggut dan jambang rambutnya
memang dapat saja sekali waktu dipelihara, tetapi pada
kesempatan lain di babatnya sampai habis" sahut Kiai Kanthi.
Pangeran Sena Wasesa mengangguk-angguk. Sejenak ia
mengamati tanda yang nampak di pintu kayu itu, Kemudian
sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata "Apakah ada
tanda serupa di ruang ini?"
"Kita akan mencarinya" desis Kiai Kanthi.
Dalam pada itu, Rahu, Semi dan Jlithengpun telah melihat
tanda itu pula. Namun mereka tidak mengenal tanda yang
nampak tidak terlalu jelas di daun pintu yang terbuat dari kayu
itu. "Apakah Kiai mengenal tanda ini?" bertanya Jlitheng
kepada Kiai Kanthi. Kiai Kanthi tidak menjawab. Tetapi ia berpaling kepada
Daruwerdi dan kedua pamannya yang berdiri termangumangu.
Daruwerdi menjadi tegang. Tetapi kedua pamannya tidak
tahu, apa yang telah menarik perhatian orang-orang itu.
"Ternyata guru dengan sengaja meninggalkan tanda itu"
berkata Daruwerdi di dalam hatinya. Ada beberapa arti yang
dapat di urai dari tanda yang sengaja ditinggalkan itu. Apakah
dengan demikian gurunya bermaksud memberi peringatan
kepada orang-orang yang telah membawa Daruwerdi itu, atau
justru gurunya telah menantang agar orang-orang yang
terlibat dalam persoalannya itu datang ke padepokannya.
Apalagi karena justru gurunya telah membawa ibunya dengan
agak memaksa. Dalam pada itu, Kiai Kanthipun kemudian berkata kepada
Jlitheng dan orang-orang yang mengamati tanda itu dengan
heran "Tanda ini sudah pernah aku kenal beberapa tahun
yang lalu. Orang itu telah menggoreskan sebilah pisau kecil
pada dinding kayu atau kepada benda-benda lain yang
dikehendaki. Sebuah lingkaran dengan sebuah garis yang
membelah lingkaran itu, adalah tanda yang terbiasa


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ditinggalkan oleh seorang yang disebut "Ajar Cinde Kuning"
"Ajar Cinde Kuning" Rahu mengulang "nama iltu pernah
aku dengar. Tetapi nama itu tidak banyak disebut orang pada
saat-saat terakhir" "Benar" berkata Pangeran Sena Wasesa "Yang terdengar
kemudian adalah sebutannya "Macan Kuning"
"O" Rahu mengangguk-angguk. Namun nampak dahinya
berkerut menit. Dengan sungguh-sungguh iapun kemudian
berkata "Jadi ibu Daruwerdi kini berada di tangan Macan
Kuning" Tetapi apakah hubungan Macan Kuning dengan
Daruwerdi?" Semua orang berpaling kepadanya. Daruwerdi menjadi
agak gugup. Namun kemudian katanya "Aku t idak tahu,
apakah hubungan antara ibuku dengan orang yang kau sebutsebut
itu. Akupun tidak tahu siapakah orang itu dan tanda
lingkaran yang terbelah itu"
Pangeran Sena Wasesa melangkah mendekatinya. Katanya
"Daruwerdi. Ibumu ada di tangan orang yang memiliki nama,
ciri dan pertanda kehidupan tersendiri. Jika kau belum
mengenal orang itu, baiklah aku memberikan peringatan
kepadamu, cobalah membayangkan, seorang yang pada harihari
terakhir hidup terasing dengan murid-muridnya yang
khusus. Yang hampir tidak pernah berada di dalami
lingkungan pergaulan sewajarnya, meskipun aku yakin, ia
adalah seorang yang memiliki pengalaman. Bahkan orang itu
adalah seorang yang pernah mempunyai lingkungan yang
luas" Daruwerdi t idak dapat segera menjawab. Sekilas
dipandanginya kedua pamannya berganti-ganti. Tetapi karena
kedua pamannya tidak mengetahui ciri-ciri iltu, maka mereka
tidak mengatakan apa-apa. Yang mereka ketahui bahwa lakilaki
tua yang disebut kakek oleh Daruwerdi dan sekaligus
gurunya itu memang hubungan dengan ibu anak muda itu,
sebagaimana di katakannya, bahwa ibu Daruwerdi telah
diakunya sebagai anak perempuannya sendiri. Namun bahwa
orang tua itu telah dikenal dengan tandanya yang khusus itu,
keduanya justru tidak mengetahuinya.
Dalam kebimbangan itu, maka Pangeran Sena Wasesa
berkata "Daruwerdi. Aku ingin memberimu peringatan, orang
itu tidak dapat di ketahui watak dan tabiatnya. Ia kadangkadang
disebut sebagai seorang yang berbudi manis.
Penolong dan pengasih. Tetapi kadang-kadang dikenal sebagai
orang yang paling kejam di seluruh Demak dan bahkan
seluruh wilayah kekuasaan pada jamannya. Karena itu, jika
orang itu telah membawa ibumu dengan paksa, maka hal itu
perlu kau pertimbangkan. Meskipun demikian, seandainya
kami mengetahui dengan pasti, hubunganmu dengan orang
itu atau dengan ibumu, kamipun masih harus membuat
perhitungan-perhitungan tertentu. Orang yang disebut Macan
Kuning dalam sifat dan tabiatnya yang kasar, ia adalah orang
yang ditakuti karena ilmunya yang luar biasa. Agaknya secara
pribadi kami semuanya disini harus mengakui, tidak ada
seorangpun diantara kami yang akan mampu mengimbangi
ilmunya. Adalah untung sekali apabila ibumu dibawa oleh
orang itu dalam wataknya sebagai Ajar Cinde Kuning yang
tidak segarang tabiatnya namanya Macan Kuning"
Daruwerdi menjadi bimbang. Menilik penjelasan Pangeran
Sena Wasesa dan Kiai Kanthi, maka nampaknya mereka
mengenal dengan baik orang yang disebut Ajar Cinde Kuning
dan yang bernama lain Macan Kuning itu. Namun Daruwerdi
sendiri mengenalnya dengan nama Pamotan Galih. Tetapi ciri
yang ada dipintal itu memang pernah dikenalnya dan
dilihatnya terdapat pada gurunya yang disebutnya juga
sebagai kakeknya. Daruwerdi mulai dicengkam oleh kebimbangan. Ia mulai
membayangkan, bahwa kegagalannya membuat gurunya
marah dan dengan demikian maka kemarahannya
ditumpahkannya kepada ibunya. Tetapi menurut
pengamatannya, kakeknya itu bersikap baik kepada ibunya
selama ibunya diakunya sebagai anaknya.
Dalam kebimbangan itu Kiai Kanthipun berkata "Angger
Daruwerdi. Pengenalan kami terhadap orang yang
meninggalkan tanda itu, mencemaskan kami. Sebenarnyalah
kami dapat tidak menghiraukan hal ini sama sekali, karena
kami sadar, seperti yang dlikatakan oleh Pangeran Sena
Wasesa, bahwa orang yang berciri lingkaran yang dibelah oleh
garis melintang itu adalah seorang yang memiliki kemampuan
yang tidak ada bandingnya. Baik ia bernama Ajar Cinde
Kuning maupun dalam sifat dan tabiatnya Sebagai Macan
Kuning. Jika kami sekedar memikirkan kepentingan kami,
maka kaulah yang harus bertanggung jawab atas kehadiran
Pangerani Sena Wasesa, atas peristiwa yang terjadi di
pategalan itu sehingga beberapa orang menjadi korban
kekejaman sesamanya. Juga peristiwa di puncak bukit. Namun
perasaan kami tidak mapan jika kami membiarkan ibumu
dibawa oleh orang yang tidak kami ketahui dengan pasti itu.
Meskipun kami harus memikirkannya berulang kali, bagaimana
tindakan yang dapat kami ambil selanjutnya"
Keragu-raguan di hati Daruwerdi menjadi semakin
memuncak. Sementara itu, seorang dari kedua pamannya
yang cemas akan keadaan ibu Daruwerdi itu berkata
"Pertimbangkan baik-baik Daruwerdi. Kau dapat memilih mana
yang terbaik bagimu dan bagi ibumu sekarang ini"
Daruwerdi masih tetap termangu-onangu. Ketika ia
memandang Pangeran Sena Wasesa, maka Pangeran itu
berkata "Ada yang kau sembunyikan. Tetapi kau perlu
mengingat keselamatan ibumu"
" Pertimbangkan baik-baik" desis pamannya yang seorang
lagi. Daruwerdi menjadi semakin bimbang. Tanpa sesadarnya
dipandanginya orang-orang yang berada disekitarnya. Kedua
pamannya, Kiai Kanthi, Pangeran Sena Wasesa, Rahu,
Jlitheng. Semi dan Swasti. Seolah-olah terngiang kata-kata
mereka melingkar ditelinga. Semakin lama semakin keras,
semakin keras, sehingga akhirnya Daruwerdi itu memegangi
telinganya sambil berteriak "Aku akan mengatakan. Aku akan
mengatakan" Kedua pamannya telah meloncat memeluknya. Dengan
sareh salah seorang dari keduanya berketa "Tenanglah
Daruwerdi. Tidak seharusnya kau kehilangan akal Kau adalah
anak muda yang telah dengan berani melangkah. Karena itu,
kau harus menghadapi segalanya dengan tabah dan hati
terbuka" Daruwerdi menutup wajahnya dengan kedua telapak
tangannya. Nafasnya menjadi terengah-engah, la tidak
merasakan kegelisahan seperti itu pada saat ia menerima
keputus- an Yang Mulia Panembahan Wukir Gading untuk
menerima kematiannya dengan cara yang paling mengemikan
sekalipun. Namun ketika masalahnya menyangkut ibu dan
kakeknya, maka ia benar-benar menjadi bingung.
"Daruwerdi" berkata pamannya yang lain "Jika kau bersedia
mengatakan apa yang sebenarnya terjadi, maka beban
dihatimu itu akan menjadi berkurang. Seakan-akan kau telah
meletakkan sebagian dari beban itu kepundak orang lain atau
melepaskannya sama sekali"
Daruwerdi yang dicengkam oleh kebimbangan itu masih
saja sangat gelisah. Namun sikap pamannya perlahan-lahan
dapat memberikan keterangan kepadanya.
"Katakan" desis salah seorang pamannya. Daruwerdipun
kemudian memandang Kiai Kanthi dan Pangeran Sena
Wasesa. Pangeran itupun nampaknya tidak membayangkan
dendam sama sekali. Bahkan terpancar perasaan ibu yang
mendalam melihat keadaan Daruwerdi itu.
Sejenak Daruwerdi terdiam. Namun kemudian terloncat dari
mulutnya "Aku mengenal orang yang membawa ibuku"
Kata-kata itu mengejutkan beberapa orang. Tetapi
Pangeran Sena Wasesa dan Kiai Kanthi nampaknya tidak
terkejut karenanya. Bahkan Pangeran Sena Wasesa berkata
"Aku sudah menduga. Karena itu, katakan. Mungkin kita dapat
berbuat sesuatu. Aku berkepentingan dengan ibumu, justru
karena usahamu untuk menangkap aku dengan alasan bahwa
aku telah membunuh ayahmu"
"Katakan" sekali lagi pamannya berdesis ditelinga
Daruwerdi. Daruwerdi masih nampak tegang. Meskipun demikian,
nalarnya sudah mulai dapat dikuasainya kembali. Perlahanlahan
ia berkata "Orang yang meninggalkan tanda di pintu itu
adalah kakekku" "Kakekmu?" kedua orang tua itu hampir berbareng
mengulanginya. Keduanya benar-benar terkejut mendengar
pengakuan itu "Apakah ia benar-benar kakekmu?" desak Kiai
Kanthi. "Ia kakek angkatku" Jawab Daruwerdi. Lalu "sekaligus
guruku" Kiai Kanthi dan Pangeran Sena Wasesa itu saling
berpandangan. Diluar sadarnya Pangeran Sena Wasesa
berkata "Jika ilmu anak itu disadapnya dari orang tua itu,
maka yang dapat dilihat adalah wataknya yang berbeda
dengan watak ilmu Ajar Cinde Kuning"
"Aku tidak mengenal Ajar Cinde Kuning. Guruku bernama
Pamotan Galih" potong Daruwerdi.
Pangeran Sena Wasesa mengangguk sambil menjawab "Ya.
Gurumu memang bernama Pamotan Galih. Tetapi apakah
menurut pendapatmu, seseorang tidak akan dapat menyebut
dirinya dengan dua atau tiga nama" Dan apakah namamu
sendiri memang Daruwerdi, sebagaimana orang-orang yang
sekarang ada disini" Apakah kau yakin bahwa yang berdiri
disebelahku ini namanya memang Kiai Kanthi, yang lain Rahu
dan Jlitheng?" Wajah Daruwerdi menegang. Tetapi iapun kemudian
menundukkan kepalanya. "Daruwerdi" berkata Pangeran Sena Wasesa kemudian
"nampaknya memang ada persoalan yang masih harus
diselesaikan. Aku mempunyai beberapa dugaan tentang
usahamu selama ini di Daerah Sepasang Bukit Mati. Agaknya
kau tidak berdiri sendiri. Mungkin kau mendapat tugas dari
orang yang kau sebut bernama Pamotan Galih itu. Atau
mungkin dalam hubungan yang berbeda. Tetapi sebaiknya kau
melihat, apakah kakek angkatmu itu tidak berbuat apa-apa
terhadap ibumu" "Kakek baik terhadap ibuku" geram Daruwerdi.
Sokurlah. Tetapi segalanya dapat berubah seperti juga
nama seseorang dapat berubah" sahut Pangeran Sena Wasesa
"Sehingga menurut pendapatku, sebaiknya kita melihat,
apakah benar-benar ibumu berada dalam keadaan baik.
Mungkin kau mengetahui dimanakah padepokan kakekmu itu,
atau sebenarnyalah bahwa sebelum kau datang ke Daerah
Sepasang Bukit Mati, kau berada di padepokan kakekmu itu"
Daruwerdi menjadi ragu-ragu. tetapi ia tidak dapat ingkar,
bahwa tentu ada sesuatu yang telah menyangkutkan ibunya
dengan Pangeran Sena Wasesa. Ketika ia tampil dalam
tugasnya itu, ibunya berusaha mencegahnya. Sehingga ia
memang melihat sikap yang agak berbeda antara ibunya dan
kakeknya. "Daruwerdi" berkata Pangeran Sena Wasesa "Apakah kau
bersedia membawa kami kepada kakek dan sekaligus gurumu
itu" Di padepokan itu aku akan dapat bertemu kakekmu
sekaligus ibumu. Mungkin ada hal-hal yang dapat mereka
jelaskan, sehingga persoalan ini tidak hanya sekedar menjadi
sebuah teka-teki. Aku sadar, bahwa bukan kau yang
seharusnya mempertanggung jawabkan persoalan ini, karena
kau hanya sekedar melaksanakan satu tugas yang dibebankan
kepadamu" Daruwerdi termangu-mangu. Tetapi sekali lagi pamannya
berkata "Kau harus memikirkan ibumu"
Daruwerdi menarik nafas dalam-dalam. Akhirnya ia
mengangguk kecil sambil berkata "Aku akan menunjukkan
kalian dimana kakek tinggal. Tetapi peristiwa apa yang
berkembang kemudian, aku tidak dapat mengatakannya"
Pangeran Sena Wasesa mengerutkan keningnya. Rasarasanya
ia dapat meraba pikiran anak itu. Agaknya tidak
mustahil bahwa gurunyalah yang telah memberikan segala
rencana yang harus dilakukan oleh Daruwerdi di daerah
Sepasang Bukit Mati ini. Namun demikian, iapun tidak dapat
ingkar, bahwa orang yang mempunyai tanda seperti yang
tertera di pintu itu, adalah orang yang berilmu sangat tinggi.
Sejenak Pangeran itu termenung. Kiai Kanthipun
nampaknya sedang berpikir, apakah yang sebaiknya
dilakukan. Iapun mengenal seseorang dengan tanda seperti
yang tertera di pintu itu. Dengan demikian, jika benar mereka
akan menemukannya, maka mereka akan memasuki satu
tugas yang sangat berat dan berbahaya.
Namun sejenak kemudian Pangeran Sena Wasesa itupun
berkata "Aku akan menemui kakek dan sekaligus gurumu.
Apapun yang akan dilakukan. Aku memerlukan penjelasan dari
peristiwa yang telah terjadi. Aku mempunyai dugaan, bahwa
kau hanyalah pelaksana dati rencana yang telah disusun
gurumu" "Tidak" t iba-tiba saja Daruwerdi berteriak "Aku
bertanggung jawab atas perbuatanku"
Tetapi Pangeran Sena Wasesa menarik nafas dalam-dalam
sambil menggelengkan kepalanya. Katanya "Aku sudah dapat
menduga ngger, apa yang telah terjadi. Kau tidak tahu apaapa
tentang aku, tentang pusaka dan barangkali tentang harta
karun yang disangka orang tersembunyi di daerah Sepasang
Bukit Mati ini" Wajah Daruwerdi menjadi merah. Tetapi ia tidak dapat
ingkar terhadap pengenalannya atas dirinya sendiri. Namun
yang tidak diketahuinya adalah, bahwa gurunya tiba-tiba telah
berada di daerah Sepasang Bukit Mati pula.
"Nampaknya guru memang tidak percaya sepenuhnya
kepadaku" berkata Daruwerdi di dalam hatinya.
Sementara itu Pangeran Sena Wasesapun berkata
"Daruwerdi. Baiklah aku akan mengikutimu ke padepokan
gurumu, dengan sepenuh kesadaran menghadapi peristiwa
apapun yang akan berkembang kemudian. Tetapi aku tahu
bahwa gurumu adalah orang yang luar biasa. Aku kira
diantara kita disini tidak seorangpun yang akan dapat
mengimbangi ilmunya. Namun penjelasan itu sangat penting
bagiku, dan barangkali iapun memerlukan penjelasanku"


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tetapi padepokan guru tidak terlalu dekat" berkata
Daruwerdi. "Dimanapun. Kita akan pergi" jawab Pangeran Sena
Wasesa. Daruwerdi memandang kedua pamannya sejenak. Ketika
kedua pamannya mengangguk, maka katanya "Baiklah. Aku
akan mengantar Pangeran ke padepokan itu"
"Terima kasih" jawab Pangeran Sena Wasesa "Besok pagipagi
kita akan berangkat. Biarlah kita beristirahat malam ini,
sementara kita sempat mengurus orang-orang yang
tertangkap dan barangkali Yang Mulia Panembahan Wukir
Gading" Kiai Kanthipun mengangguk-angguk. Kalanya "Menarik
sekali untuk menemui arang yang disebut bernama Pamotan
Galih itu" "Kiai juga akan pergi?" bertanya Pangeran.
"Aku kira aku juga ingin ikut bersama Pangeran" jawab Kiai
Kanthi. Pangeran Sena Wasesa sama sekali tidak berkeberatan.
Namun mereka telah sepakat untuk berangkat dikeesokan
harinya. Sementara itu, Rahu, Semi dan Jlitheng teiah kembali ke
puncak bukit. Setelah segalanya diselesaikan, maka mereka
telah membawa beberapa orang yang terlawan dan terluka
turun ke Padukuhan Lumban. Mereka telah menempatkan
Yang Mulia, yang ternyata mengalami cidera di bagian dalam
tubuhnya, sehingga ia telah kehilangan sebagian besar dari
kemampuannya karena cacat yang akan diderita, di Banjar
Padukuhan Lumban Kulon. Cempakapun telah di tempatkan di
banjar pula dengan pengawalan yang kuat, sementara tangan
dan kakinya masih harus terikat.
Malam itu, Rahu, Jlitheng. Semi dan kawannya sempat
berbincang. Rahu dan Jlitheng berniat untuk ikut bersama
Pangeran Sena Wasesa dan Kiai Kanthi, sementara Semi dan
kawannya akan tinggal bersama anak-anak muda Lumban.
Mungkin ada sesuatu yang dapat mengganggu padukuhan itu.
Beberapa kelompok lain, tentu akan segera mendengar apa
yang telah terjadi di puncak bukit. Orang-orang yang sempat
melarikan diri, apakah ia orang Sanggar Gading atau orang
Kendali Putih, akan dapat menjadi sumber tersebarnya berita
tentang peristiwa di Lumban itu dalam keseluruhan.
Pada malam itu juga Rahu dan Jlitheng telah
menyampaikan maksudnya untuk ikut bersama kedua orang
tua itu ke padepokan orang yang disebut oleh Daruwerdi
bernama Pa-motan Galih. Pangeran Sena Wasesa tidak dapat menolak. Ia sadar,
bahwa Rahu mengemban tugas khusus, sementara
Jlithengpun tentu bukan anak Lumban Wetan yang ternama
Jlitheng sejak lahirnya. Malam itu, Daruwerdi hampir tidak dapat tidur barang
sekejappun. Hatinya menjadi sangat gelisah. Menjelang pagi,
ia tidak dapat menahan diri lagi. Dengan hati-hati ia
membangunkan kedua pamannya yang sedang tidur.
"Paman" desisnya "Aku t idak dapat tidur barang
sekejappun" "Kau harus menghadapi kenyataan ini dengan ikhlas.
Dengan demikian kau tidak akan menjadi sangat gelisah.
Cobalah beristirahat sebelum kita menempuh perjalanan yang
panjang" desis pamannya.
Daruwerdi menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya
"Paman, aku kira aku tidak dapat mengatasi kegelisahan ini.
Aku tahu, betapa guru adalah orang yang keras hati"
"Ya" desis pamannya.
Ia hanya ingin penjelasan. Tetapi apakah yang akan terjadi
jika Pangeran itu benar-benar bertemu dengan guru?" desis
Daruwerdi. Lalu "Guru dapat mengambil sikap yang keras dan
kasar tanpa menghiraukan mendapat sikap yang keras dan
kasar tanpa menghiraukan mendapat orang lain. Langsung
atau tidak langsung, Pangeran itu dan juga ternyata orang tua
di lereng bukit itu, bersama anak-anak Lumban telah
menyelamatkan aku dari kemarahan Yang Mulia. Kegagalan ini
bukan salahku semata-mata. Ternyata apa yang
diperhitungkan guru, masih juga kurang cermat"
"Aku tidak mengerti apa yang telah kau lakukan
sebelumnya, dan persetujuanmu dengan gurumu Daruwerdi"
sahut pamannya "Tetapi niat Pangeran Sena Wasesa dapat
dimengerti sepenuhnya"
"Aku mengerti paman" jawab Daruwerdi "Aku justru gelisah
karena Pangeran itu akan menemui guru. Bukankah yang
dikehendaki guru adalah Pangeran itu. meskipun semula ia
tidak ingin menampakkan dirinya"
Kedua pamannya menarik nafas dalam-dalam, la mengerti,
bahwa persoalan di dalami hati Daruwerdi itu telah
berkembang. Nampaknya ia mulai menilai keadaan dengan
hati yang semakin terang. Kegelisahannya kemudian adalah
justru karena nasib Pangeran Sena Wasesa.
"Tetapi aku tidak akan dapat mencegahnya" berkata
Daruwerdi "Jika aku berusaha untuk mencegahnya, maka
akan timbul salah paham. Pangeran Sena Wasesa akan
menganggap bahwa aku tidak mau memenuhi keinginannya
bertemu dengan guru yang justru telah meninggalkan tanda di
pintu itu" Kedua pamannya masih mengangguk-angguk Kemudian
salah seorang diantaranya berkata "Katakan terus terang, apa
yang sebenarnya telah terjadi. Pembicaranmu dengan gurumu
dan sikap yang dapat diambil oleh orang tua itu"
Daruwerdi mengangguk-angguk kecil.
"Sudahlah" berkata pamannya yang lain "pergunakan sisa
malam ini untuk beristirahat. Sebentar lagi ayam jantan akan
berkokok untuk yang terakhir kalinya. Jika kau sama sekali
tidak tertidur barang sekejappun dalam keadaan seperti ini,
maka keadaan wadagmu mungkin sekali akan terganggu.
Kecuali jika kau memang menghendakinya untuk tidak tidur
barang sekejappun sebagaimana dalam latihan-latihanmu
dalam olah kanuragan. Besok kau harus lebih terbuka
menghadapi Pangeran Sena Wasesa"
Daruwerdi mengangguk pula. Perlahan-lahan ia meletakkan
tubuhnya dipambaringannya. Ia berusaha melepaskan semua
kegelisahannya. Ia sudah bertekad untuk mengatakan apa
yang sebenarnya telah terjadi. Biarlah Pangeran Sena Wasesa
dan gurunya mencari penyelesaian.
"Bukan tanggung jawabku lagi" berkata Daruwerdi di dalam
hatinya "Aku ternyata tidak mampu mengatasi persoalan ini.
Biarlah seandainya guru akan menyebutku terlalu bodoh dan
dungu" Dengan demikian, maka hati Daruwerdi menjadi sedikit
tenang. Sehingga iapun sempat untuk memejamkan matanya
barang sekejap. Diluar pengetahuannya, ternyata di luar Pangeran Sena
Wasesa dan Kiai Kanthi mendengar pembicaraan itu meskipun
lamat-lamat. Keduanya memang tidak membiarkan Daruwerdi
lepas dari pengawasan. Karena itu maka keduanya telah
duduk duduk berjaga-jaga di luar bilik. Semula mereka
bergantian iidur. Namun menjelang pagi keduanya telah tidak
berniat lagi untuk tidur. Justru pada saat mereka duduk
memeluk lutut, terdengar pembicaraan Daruwerdi dengan
kedua pamannya. Pangeran Sena Wasesa menarik nafas dalam-dalam.
Namun keduanya hanya sekedar saling berpandangan, karena
keduanya tidak dapat berbincang pada saat itu.
Baru setelah fajar menjadi semakin terang, keduanya turun
kehalaman. Mereka melihat kejujuran mulai tumbuh dihati
Daruwerdi yang tidak lagi dapat berbuat lain menghadapi
keadaan. "Agaknya orang yang disebut Pamotan Galih adalah Ajar itu
dalam ujudnya sebagai Macan Kuning" berkata Pangeran Sena
Wasesa. "Atau sebuah ujud ketiga dari orang yang bernama
Pamotan Galih dengan sifat diantara kedua ujudnya yang lain,
atau justru kita akan menemukan seseorang yang mempunyai
sifat lebih garang lagi dari Macan Kuning" sahut Kiai Kanthi.
Kedua orang itupun kemudian hanya dapat merennunginya.
Ketika langit menjadi semakin terang, maka kedua orang
tua itu telah selesai dengan mandi dan membenahi
pakaiannya. Sebentar kemudian kedua paman Daruwerdipun
telah bersiap. Yang terakhir adalah Daruwerdi sendiri.
Sementara Rahu dan Jlithengpun telah hadir pula untuk
bersama-sama pergi ke tempat yang mendebarkan.
"Jarak antara padukuhan ini dengan padepokan kakek
Pamotan Galih cukup jauh" berkata Daruwerdi.
"Kita akan menempuh perjalanan yang bagaimanapun
jauhnya" jawab Pangeran Sena Wasesa.
"Tetapi apa yang terjadi kemudian bukanlah tanggung
jawabku" berkata Daruwerdi kemudian "guru adalah orang
yang keras hati dan sedikit kasar, la orang baik bagi aku dan
ibuku. Tetapi aku t idak tahu, apakah ia dapat berlaku baik
kepada orang lain" "karena itu biarlah aku pergi ke padepokan gurumu t idak
seorang diri, agar aku dapat membawa saksi. Persoalannya
tentu tidak akan terlalu gawat, karena yang aku perlukan
hanya penjelasan dan mungkin akupun perlu memberi
penjelasan. Aku tahu bahwa yang kau lakukan di daerah
Sepasang Bukit Mati ini bukan karena kehendakmu sendiri
sebagaimana aku sebut sejak semula. Kau tentu tidak
mengenal aku dengan wajar, kaupun tidak tahu bahwa ada
pusaka tersimpan di daerah ini, apalagi bahwa ayahmu telah
terbunuh oleh seorang Pangeran yang harus kau tangkap dan
kau bawa kepada gurumu yang bernama Pamotan Galih itu"
Daruwerdi menundukkan kepalanya. Namun kemudian
terucapkan disela-sela bibirnya "Ya. Aku tidak tahu apa-apa"
Dalam pada itu, ketika segalanya diperlukan, Swastipun
tidak mau dit inggalkan di Lumban. Ia lebih senang mengikuti
ayahnya kemana saja ia pergi dan apapun yang akan terjadi.
"Baiklah Swasti" berkata ayahnya "Tetapi kau sudah
mengetahui bahwa perjalanan ini adalah perjalanan yang
berat. Bukan saja jarak yang panjang, yang harus kita tempuh
berkuda, tetapi apa yang akan kita jumpai itupun masih
merupakan teka-teki. Tetapi Swasti berkeras untuk mengikuti ayahnya, sehingga
karena itu maka ayahnyapun tidak menolaknya.
Swasti tidak menjawab. Ia mengerti. Namun latihan
siapkan pula kuda masing-masing. Meskipun Swasti pada saat
terakhir tidak pernah lagi duduk diatas punggung kuda, tetapi
pada dasarnya ia sudah pernah melakukannya sebelumnya
iapun akan dapat pergi bersama dengan ayahnya dipunggung
kuda. "Perjalanan yang akan sangat melelahkan" desis ayahnya.
Swasti tidak menjawab. Ia mengerti. Namun latihan
kanuragan yang dilakukannya sebaik-baiknya telah membantu
membentuk tubuhnya menjadi kuat dengan daya tahan yang
tinggi. Demikianlah, maka iring-iringan kecil itupun kemudian telah
meninggalkan Lumban. Mereka ke sebuah padepokan yang
jauh dan menegangkan. Kepada kawannya Jlitheng sempat berpesan, agar
disampaikan kepada ibunya, bahwa ia sedang pergi ke tempat
yang jauh. "Aku mohon maaf, bahwa aku tidak sempat mohon diri"
pesan Jlitheng kepada kawannya itu. Kemudian "Tetapi
katakan, bahwa aku hanya sekedar mengantarkan seseorang.
Tidak akan terjadi apa-apa"
Kawannya mengangguk. Namun kawannya itupun mulai
menyadari, bahwa Jlitheng yang dikenalnya selama itu, adalah
bukan satu pribadi yang sebenarnya. Dan iapun tahu bahwa
hubungan antara Jlitheng dan ibunya itupun adalah hubungan
yang di jalin kemudian. "Tetapi mungkin seperti yang selalu dikatakan oleh ibunya,
bahwa Jlitheng adalah anaknya yang hilang puluhan tahun
yang lalu, yang kemudian datang kembali dengan segala
macam kelebihannya itu" berkata kawannya di dalam hatinya.
Tetapi ia cenderung menganggap bahwa Jlitheng benar-benar
orang lain bagi Lumban. Demikianlah, iring-iringan itu semakin lama menjadi
semakin jauh dari Lumban. Mereka berkuda tidak terlalu cepat
Tetapi juga tidak terlalu lambat.
"Kami akan bermalamdi perjalanan" berkata Daruwerdi.
Pangeran Sena Wasesa mengerutkan keningnya. Namun
katanya kemudian "Apakah kau dapat menyebut nama
padepokannya?" "Padepokan Watu Gingsir" jawab Daruwerdi.
Pangeran Sena Wasesa menarik nafas dalam-dalam. Nama
itu belum dikenalnya. Ketika ia berpaling kearah Kiai
Kanthipun menggeleng pula.
"Nama itu asing" gumam Kiai Kanthi "Yang aku ketahui
Macan Kuning itu bersarang di sekitar tempuran antara Kali
Elo dan Kali Praga" "Memang jauh sekali" desis Pangeran Sena Wasesa
"nampaknya daerah jelajah Kiai jauh lebih luas dari daerah
yang pernah aku kenal. Tetapi mungkin yang dimaksud
Padepokan Watu Gingsir itu juga tertelak di sekitai tempuran
antara Kali Elo dan Kali Praga itu"
"Apakah yang kau maksud Padepokan Walu Gingsir itu juga
padepokan yang terletak disekitar tempuran itu Daruwerdi?"
bertanya Pangeran Sena Wasesa.
Daruwerdi mengerutkan keningnya. Ketika ia berpaling
kepada kedua pamannya, maka salah seorang dari mereka
berkata "Sebenarnyalah guru Daruwerdi itu adalah seorang
yang diliputi oleh kabut rahasia. Tidak dapat menyebut
dengan jelas, siapakah sebenarnya orang itu, dan dimanakah
ia tinggal. Apalagi aku yang tidak terlalu dekat dan akrab
dengan orang yang mengaku orang tua saudara perempuanku
itu" Kiai Kanthi menarik nafas dalam-dalam. Namun ia
mengulangi pertanyaan Pangeran Sena Wasesa "Katakan,
dimana letak padepokan itu menurut pengertianmu"
"Padepokan itu terletak disisi Selatan dari Tanah ini" jawab
Daruwerdi. "Jika demikian, mungkin sekali padepokan itu memang
terletak di tempuran. Tetapi segalanya masih belum pasti"
berkata Kiai Kanthi "namun demikian, tanda itu memang


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sangat mendebarkan" Rahu dan Jlitheng yang berkuda dipaling belakang, tidak
banyak mengetahui tentang orang yang disebut Ajar Cinde
Kuning maupun Macan Kuning. Meskipun nama itu pernah
didengarnya, tetapi mereka belum pernah berhubungan dalam
hal apapun juga. Sejenak kemudian, maka orang-orang di dalam iring-iringan
itu hanya terdiam. Mereka tenggelam dalam angan-angan
masing-masing. Namun semuanya yang ada diperjalanan itu
tengah merenungkan orang yang telah meninggalkan tanda
dipinta tempat tinggal Daruwerdi.
Perjalanan itu memang merupakan perjalanan yang berat.
Sekali-sekali Daruwerdi harus mengingat-ingat, jalan manakah
yang harus dilalui. Mereka masih harus menembus hutan yang
gelap oleh pepohonan yang berdaun lebat. Beberapa batang
raksasa tumbuh menjulang seolah-olah menggapai langit
Bagi Swasti perjalanan itu benar-benar menjemukan dan
melelahkan. Untunglah ia mempelajari kanuragan dengan
sebaik-baiknya. Meskipun demikian sekali-sekali iapun berdesis
tertahan. Namun ia tidak ingin keluhannya itu didengar oleh
orang lain. Namun pada suatu saat, Daruwerdi tertegun. Ketika ia
berdiri di bawah sebatang pohon randu alas ia menjadi
termangu-mangu. Dihadapannya jalan bercabang. Justru
setelah mereka keluar dari sebuah hutan yang lebat.
"Paman, jalan yang manakah yang harus aku pilih?"
bertanya Daruwerdi. Kedua pamannyapun menjadi bingung. Yang seorang
menjawab "Aku belum pernah pergi ke padepokan kakekmu
itu. Aku mengenal kakekmu di rumahmu, di rumah ibumu"
Daruwerdi menarik nafas dalam-dalam. Namun dalam pada
itu pamannya yang lain berkata "Apakah mungkin gurumu
justru membawa ibumu t idak ke padepokannya?"
"Tentu ke padepokannya" berkata Daruwerdi.
"Tetapi bagaimana kau mengetahui daerah Sepasang Bukit
Mati itu?" bertanya Kiai Kanthi tiba-tiba.
"Guru mengantar aku sampai kesatu tempat yang tidak lagi
membingungkan" jawab Daruwerdi.
Iring-iringan itu terpaksa berhenti sejenak. Namun Jlitheng
yang muda itu nampaknya kurang sabar menghadapi
kebingungan Daruwerdi. Dengan nada tinggi ia bertanya
"Daruwerdi, apakah kau benar-benar bingung atau sekedar
mencari dalih" Wajah Daruwerdi menjadi merah. Dengan geram ia
menjawab "Kau jangan mencari perkara Jlitheng"
"Sudahlah" Pangeran Sena Wasesa berusaha menengahi
"Kita akan menunggu sejenak. Mungkin Daruwerdi akan
menunggu sejenak. Mungkin Daruwerdi akan dapat mengingat
jalan yang pernah ditempuhnya setelah merenungi sejenak"
Tetapi nampaknya Jlitheng masih belum puas. Namun
ketika ia bergeser maju, Rahu menggamitnya "Aku percaya
bahwa ia benar-benar bingung. Aku melihat, bahwa anak itu
tidak berusaha untuk berbohong lagi. Ia sudah tersudut pada
setu keadaan yang memaksanya untuk membawa kita kepada
gurunya, justru karena gurunya sendiri menghendakinya"
Jlitheng menahan nafas sejenak. Namun iapun berusaha
untuk meredakan gejolak diliatinya. Untuk melepaskan kesal
iapun lelah duduk bersandar sebatang pohon yang tumbuh di
pinggir jalan, setelah mengikat kudanya pada batang itu pula.
Namun dalam pada itu, Kiai Kanthipun kemudian berdesis
"Pangeran Lihatlah"
Pangeran Sena Wasesa segera mendekat. Ia melihat tanda
seperti yang dilihatnya tertera pada pintu di rumah yang
dipergunakan oleh Daruwerdi di Lumban.
"Tanda itu lagi" desis Pangeran Sena Wasesa.
"Aku kira orang itu telah dengan sengaja mengundang kita"
berkata Kiai Kanthi "agaknya tanda itu dibuatnya karena ia
sudah menduga bahwa jalan simpang ini dapat
membingungkan Daruwerdi"
Pangeran Sena Wasesa menarik nafas dalam-dalam.
Hampir diluar sadarnya ia berkata "Kita akan menuju kearah
ini" "Ya. Kita sudah pasti" jawab Kiai Kanthi "tetapi apakah
Pangeran tidak mempunyai pengertian lain dengan sikap
Macan Kuning itu" Pangeran Sena Wasesa mengangguk-angguk. Katanya "Aku
mengerti Kiai. Setelah ia gagal mempergunakan muridnya,
maka ia telah dengan sengaja memasukkan aku ke dalam
wuwunya" "Bagaimana pertimbangan Pangeran?" bertanya Kiai Kanthi.
"Tetapi aku tidak dapat menghindarkan diri dari satu
keinginan untuk bertemu dengan orang itu" jawab Pangeran
Sena Wasesa. "Seharusnya Pangeran sudah tahu, apakah yang
dikehendakinya dari Pangeran" jawab Kiai Kanthi dengan tibatiba.
Wajah Pangeran Sana Wasesa menegang sejenak. Namun
kemudian ia berusaha menghapus kesan itu dari wajahnya.
Katanya "Sulit untuk mengerti, meskipun aku akan mendugaduga"
"Dan Pangeranpun tentu sudah memperhitungkan, bahwa
di padepokan itu telah menunggu bukan saja Ajar Macan
Kuning atau yang disebut bernama Pamotan Galih itu, tetapi
tentu sekelompok orang yang telah lama merasa
berkepentingan dengan Pangeran" berkata Kiai Kanthi.
Pangeran Sena Wasesa memandang Kiai Kanthi sejenak.
Kemudian ia berpaling kepada Daruwerdi. Tetapi anak muda
itu menundukkan kepalanya dalam-dalam.
"Aku kira orang itu sendiri Kiai" jawab Pangeran Sena
Wasesa "Jika ia tidak sendiri, maka ia tidak akan meminjam
tangan orang lain untuk mengambil aku dari rumahku. Tetapi
karena ia sendiri, meskipun ia merasa memiliki ilmu yang lebih
tinggi dari aku, atau katakanlah ilmu yang tidak kalah dari
ilmuku, ia tidak mau mengambil aku langsung dari rumahku,
karena ia tahu, bahwa aku mempunyai beberapa orang
pengawal yang harus diperhitungkan. Bagaimanapun juga ia
tidak akan dapat mengabaikan para pengawalku, dan bahkan
mungkin satu kesempatan untuk memukul tanda atau isyarat
yang dapat memanggil peronda prajurit Demak untuk datang"
Kiai Kanthi mengangguk-angguk "Perhitungan Pangeran
cermat. Tetapi setelah kegagalan itu"
"Ia tidak akan melibat orang terlalu banyak ke dalamnya"
berkata Pangeran Sena Wasesa.
Diluar sadarnya Pangeran Sena Wasesa telah menghitung
orang yang datang bersamanya. Namun dengan satu
kesadaran bahwa Daruwerdi tidak akan dapat di perhitungkan
dengan pasti- Demikian juga kedua pamannya, meskipun
agaknya kedua pamannya itu dapat berpikir dewasa
menghadapi persoalan kemanakannya itu.
Sejenak orang-orang yang berdiri di jalan simpang itu
termangu-mangu. Namun tiba-tiba Jlitheng bangkit dan
melangkah mendekati Daruwerdi. Dengan geram ia bertanya
"Daruwerdi, apakah gurumu masih berada disekitar tempat
ini" Lihat, apakah orang yang berpura-pura menjadi seorang
petani di pematang itu gurumu yang juga kau anggap
kakekmu itu" Semua orang memandang ke sawah yang agak jauh.
Seorang petani berjalan di pematang dengan cangkul di
pundaknya. Sekali-sekali petani itu berhenti memandang ke
arah orang-orang yang berada di simpang jalan itu. Namun
petani itu berjalan terus.
Daruwerdi mengerutkan keningnya. Jawabnya "Siapa yang
dapat mengenali orang pada jarak yang sejauh itu. Tetapi aku
kira guru tidak akan berada disini. Ia pergi bersama ibuku"
"Tetapi beberapa hari yang lalu" sahut Jlitheng "Ia dapat
membawa ibumu pulang ke padepokan. Kemudian ia datang
lagi untuk mengamati kita semuanya disini"
"Tidak ada orang dapat mengenal orang pada jarak sejauh
ini" desis Daruwerdi.
Jlitheng menjadi jengkel. Tetapi Pangeran Sena Wasesa
mendahului "Sudahlah. Kita sudah dapat mengetahui arah
kemana kita harus pergi. Yang perlu kita pertimbangkan
adalah, apakah kita akan menemui gurumu atau tidak. Namun
aku sendiri sangat berkepentingan. Mungkin ia akan bersikap
lain jika aku sudah menjelaskan masalahnya"
Kiai Kanthi mengangguk-angguk. Kalanya "Baiklah
Pangeran. Jika Pangeran berkeras untuk bertemu, aku akan
mengikut Pangeran" "Aku sadar sepenuhnya Kiai" berkata Pangeran Sena
Wasesa "Kiai bukan sekedar seorang penonton daiam
permainan ini" "Aku seorang penonton" desis Kiai Kanthi "Tetapi aku
berusaha untuk menjadi seorang penonton yang baik?"
Pangeran Sena Wasesa termangu-mangu. Namun akhirnya
ia berkata "Aku akan terus. Tetapi aku tidak tahu, apa yang
akan terjadi. Aku seolah-olah akan meloncat kedaiam gelap.
Mungkin aku akan jatuh keatas seonggok ular-ular berbisa.
Tetapi mungkin aku akan jatuh diatas setumpuk jerami yang
lunak " "Aku akan melengkapi petualanganku di hari tua" berkata
Kiai Kanthi. Namun iapun kemudian memandang kepada
Swasti. Tetapi sebelum ia berbicara, Swasti telah mendahului
"Dan ayah masih akan menganggap aku anak-anak yang
masih pantas dibelai dengan kata-kata manis menjelang
tidur?" Kiai Kanthi menarik nafas dalam-dalam. Namun Katanya
"Swasti, segalanya terserah kepadamu"
"Aku akan melihat apa yang terjadi" jawab Swasti.
Kiai Kanthi hanya menarik nafas panjang. Namun iapun
kemudian mengangguk-angguk meskipun ia tidak mengatakan
apapun juga. Sebagai orang tua, maka Kiai Kanthi melihat
naluri anak gadisnya yang meningkat dewasa itu mulai
menyentuh perasaannya. Justru karena Daruwerdi mempunyai
kelainan dari anak-anak Lumban kebanyakan.
Diluar sadarnya Kiai Kanthi memandang kepada Jlitheng. Ia
yakin bahwa Jlitheng itupun bukan anak muda kebanyakan
dari Lumban. Tetapi ia telah berusaha menyatukan diri
sepenuhnya dengan anak-anak Lumban. Caranya berpakaian,
tingkah lakunya dan bahkan ujudnyapun tidak banyak berbeda
dengan anak-anak muda Lumban.
Sementara itu, maka Pangeran Sena Wasesapun berkata
"Baiklah Kiai. Kita akan meneruskan perjalanan. Tetapi seperti
yang sudah aku katakan, kita akan meloncat kedaiam
kegelapan. Setiap orang diantara kita harus bersedia
menerima akibat apapun juga. Meskipun mungkin sekali
kepentingan kita masing-masing memang agak berbeda"
Kiai Kanthi menarik nafas dalam-dalam. Memang tidak akan
dapat dihindari bahwa disetiap hati tersimpan prasangka dan
kecurigaan. Tetapi Kiai Kanthi tidak banyak menghiraukannya,
karena sebenarnyalah ia tidak mempunyai pamrih khusus
terhadap pusaka yang sedang diperebutkan itu.
Demikianlah, maka iring-iringan kecil itupun segera
melanjutkan perjalanan. Setelah melewati simpangan yang
membingungkan itu, maka Daruwerdi mulai mengenali lagi
jalan menuju ke padepokannya yang masih jauh.
Tidak banyak hambatan diperjalanan. Seolah-olah jalan
memang sudah disiapkan oleh Ajar Cinde Kuning, atau dalam
sikapnya sebagai Ajar Macan Kuning atau yang disebut oleh
Daruwerdi bernama Pamotan Galih.
Dibeberapa tempat yang agak membingungkan selalu
nampak tanda-tanda yang dibuat oleh orang yang
mendebarkan itu. Orang yang sebagaimana tertera dalam
tanda-tanda yang dibuatnya. Bahkan ia adalah satu kebulatan,
satu bentuk lingkaran, tetapi dengan garis yang membelah
lingkaran itu seolah-olah orang itu mersa bahwa dirinya
memang mempunyai wajah rangkap.
Tetapi perjalanan yang berat itu memang tidak dapat di
tempuh dalam satu hari. Mereka harus bermalam diperjalanan
yang panjang. Apalagi jika mereka melintasi hutan yang lebat,
maka mereka hanya dapat merayap seperti siput. Bahkan
kadang-kadang mereka harus berjalan dengan susah payah
sambil menarik kendali kuda mereka.
"Apakah tidak ada jalan yang lebih baik" geram Jlitheng.
Rahulah yang menjawab "Mungkin ada Jlitheng, meskipun
agak jauh sedikit. Tetapi jalan inilah yang dikenal oleh
Daruwerdi satu-satunya. Karena itu, ia tidak dapat membawa
kita melalui jalan yang lain"
Jlitheng menarik nafas dalam-dalam Ada beberapa
persoalan yang bergejolak diliatinya- Rasa-rasanya Daruwerdi
menjadi semakin menjemukan baginya. Apalagi setiap kali ia
melihat diluar sadarnya, Swasti selalu memperhatikan anak
muda itu dengan tatapan mata yang iba.
Ketika senja turun, maka mereka mulai mencari tempat
yang paling baik untuk bermalam. Tidak dibulak-bulak
persawahan atau di pategalan yang akan dapat mengundang
persoalan dengan para pemiliknya. Tetapi mereka telah
mencari tempat di hutan perdu yang agak jauh dari padesan.
Untunglah bahwa mereka akhirnya menemukan tempat
seperti yang mereka kehendaki. Apalagi tidak jauh dari tempat
itu, di bawah sebatang pohon preh yang besar, terdapat
sumber air yang meskipun tidak terlalu besar, tetapi cukup
memenuhi kebutuhan mereka.
Ketika dingin malam mulai terasa menyentuh kulit, maka
Rahu dan Jlithengpun telah mencari ranting-ranting kering
untuk membuat perapian. Bagaimanapun juga perapian itu
akan dapat membantu menghangatkan tubuh mereka.
Hampir semalam-malaman Rahu dan Jlitheng duduk
dipinggir perapian itu. Ada beberapa masalah yang mereka
perbincangkan. Namun merekapun tidak pernah dapat
mengambil satu kesimpulan dari pembicaraan mereka tentang
perjalanan mereka yang panjang itu.
Di sebelah lain, beberapa langkah dari perapian. Pangeran
Sena Wasesa duduk sebelah menyebelah dengan Kiai Kanthi,
Sementara Swasti memeluk lututnya di belakang ayahnya
sambil berselimut kain panjang.
Daruwerdi dan kedua pamannya berbaring diatas tanah
kering. Namun nampaknya merekapun tidak dapat
memejamkan mata barang sekejappun.
Sementara itu, ternyata diluar pengetahuan mereka,
seseorang tengah mengawasi perapian itu dengan saksama.
Wajahnya yang keras sekali-sekali nampak berkerut. Namun
kemudian orang itu mengangguk-angguk kecil.


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mereka harus memasuki daerah kuasaku" desis orang itu
di dalam hatinya "Ternyata orang gila dari Sanggar Gading itu
tidak terlalu mudah untuk ditipu, sehingga aku terpaksa
menunjukkan tanda-tanda pribadiku untuk memancing orang
itu datang ke padepokan. Seandainya anak itu tidak gagal
dengan usahanya mengelabui orang-orang Sanggar Gading,
maka aku akan dapat menangkap Pangeranitu tanpa
mengenali aku lebih dahulu. Tetapi semuanya sudah terjadi.
Dan sekarang, aku akan berdiri berhadapan dengan orang itu
apapun yang akan dikatakannya"
Untuk beberapa saat orang itu masih saja mengawasi
orang-orang yang berada disekitar perapian itu, seolah-olah ia
sedang menghitung kekuatan yang ada diiantara mereka.
"Jika Pangeran itu terkeras kepala, maka apaboleh buat"
berkata orang yang terada di balik gerumbul itu kepada diri
sendiri "Mudah-mudahan kawan-kawannya tidak akan ikut
membunuh diri bersama Pangeran itu. Tetapi mereka memang
perlu diperhitungkan. Bahkan kedua paman anak itupun
agaknya masih harus diperhatikan sebaik-baiknya"
Sejenak orang itu masih menunggu. Namun kemudian
katanya "Aku harus mengadakan persiapan penyambutan.
Mungkin pertemuan ini akan menjadi sangat meriah"
Orang itupun kemudian beringsut semakin jauh. Sejenak
kemudian maka iapun telah menyusup ke dalam gelap,
mendahului perjalanan Pangeran Sena Wasesa dan kawankawannya.
Sebenarlah bahwa orang itu harus mengadakan persiapan
yang berbeda dengan rencananya semula. Jika ia dapat
menerima Pangeran yang dikehendakinya dalam keadaan
tidak berdaya, makatidak akan ada masalah lagi baginya. Ia
sendiri tidak perlu tampil. Segalanya akan diseksaikan oleh
anak muda yang disebutnya sebagai, cucu dan muridnya. Ia
sendiri t inggal memetik hasil dari jerih payah muridnya itu.
Tetapi ternyata yang terjadi lain dari yang diharapkannya.
Yang berhasil membawa Pangeran itu kepada Daruwerdi
adalah orang-orang Sanggar Gading. Dan agaknya padepokan
Sanggar Gading itu memiliki pengamatan yang tajam terhadap
rencananya untuk, mengelabuinya, sehingga hampir saja
rencananya itu merenggut nyawa cucunya yang sekaligus
muridnya itu. Namun ternyata orang itu sama sekali mempertimbangkan
upaya beberapa orang yang telah menyelamatkan nyawa cucu
angkatnya itu. Termasuk Pangeran Sena Wasesa itu sendiri.
Agaknya orang itu masih saja terpancang pada suatu
keinginan untuk mendapatkan apa yang diinginkannya
meskipun ia harus menempuh cara yang berbeda.
Setelah agaik jauh dari tempat pemberhentian orang-orang
yang menuju ke padepokannya, maka orang itupun
mengambil kudanya yang di tambatkannya pada sebatang
pohon di belik gerumbul. Sejenak kemudian maka iapun
berpacu menerobos gelapnya malam. Ia harus secepatnya
sampai di padepokannya, karena setelah ia mengamati orangorang
yang akan datang ke padepokannya, maka ia merasa
perlu untuk bersiap-siap lebih baik.
Ketika ia sampai di padepokannya, maka iapun segera
menemui perempuan yang telah dibawanya dengan paksa.
Ibu Daruwerdi. Dengan suara lembut ia berkata kepada perempuan yang
menjadi anak angkatnya itu "Kau jangan cemaskan anakmu
ngger. Seperti sudah aku katakan, ia mempunyai bekal yang
cukup untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Apalagi diluar
kehendakku, kedua pamannya telah menyusul. Bukankah kau
yang telah membawa mereka. Tetapi baiklah, agaknya
keduanya akan dapat membantu anakmu untuk melindungi
dirinya sendiri" "Tetapi aku selalu cemas ayah. Kenapa ayah tidak
menyelamatkannya, justru membawa aku kemari?" bertanya
perempuan itu. Orang tua itu tersenyum. Katanya "Lebih dari duapuluh
lima kali aku berkata, bahwa anakmu itu akan dapat
melindungi dirinya sendiri. Tetapi kehadiranmu di Lumban
justru akan dapat mengganggunya. Mungkin Pangeran itu
akan menjadi gila melihatmu, sehingga ia segera menuduh,
seolah-olah kaulah yang telah bersalah, sehingga Pangeran itu
telah diambil dari istananya"
"Aku akan dapat berbicara dengan Pangeran" jawab
perempuan itu. "Sudahlah, aku kira semuanya itu tidak perlu. Besok
mereka akan sampai di padepokan ini. Malam ini mereka
berhenti dalam perjalanannya, karena nampaknya anakmu
tidak mudah untuk mengingat sesuatu yang pernah dilihatnya,
sehingga aku merasa perlu memberikan tanda-tanda agar
mereka t idak tersesat"
"Tetapi apa yang ayah persiapkan disini sangat
mendebarkan hati, seolah-olah akan terjadi kekerasan" desis
perempuan itu. "Tidak ngger" jawab orang tua itu "Bukankah kau
mengenal aku bukan hari ini saja"
"Tetapi justru hari-hari terakhir ayah nampaknya telah
berubah. Rasa-rasanya yang aku lihat sekarang, bukan ayahku
beberapa saat yang, lampau. Seorangpun ayah yang lembut
dan baik hati. Meskipun ayah kadang-kadang bertindak keras
terhadap anakku, namun, aku sadar, bahwa hal itu demi
kebaikannya. Bahkan anakku masih termasuk anak yang
manja dan kadang-kadang kemauannya tidak lagi dapat di
elakkan. Seperti apa yang telah terjadi di Lumban sekarang
ini. Sebenarnya aku berharap ayah justru mencegahnya.
Bukan mendorongnya. Yang aku tetap tidak mengerti, kenapa
ayah tidak berusaha menolongnya ketika anak itu berada
dalam kesulitan. Justru ayah memaksa aku meninggalkannya"
"Sudah aku jawab ngger. Sebaiknya kau sekarang
beristirahat. Tetapi, aku minta kau mengikuti petunjukku. Aku
harap kau tidak berada di padepokan ini. Tetapi seorang
cantrik akan membawamu kepadakuhan sebelah, agar kau
tidak menjadi bingung jika besok aku dan para tamu itu akan
membicarakan beberapa masalah penting" berkata orang tua
itu. "Sikap ayah sangat meragukan" jawab ibu Daruwerdi "ayah
telah memanggil saudara seperguruan ayah. Tidak hanya satu
orang. Bukankah sikap ayah itu tidak dapat aku mengerti?"
"Semuanya sekedar satu sikap hati-hati" jawab ayah
angkatnya "Tetapi percayalah. Tidak ada maksud buruk sama
sekali di dalam hati ini "Orang tua itu berhenti sejenak, lalu
"Tetapi apakah kau pernah mendengar sesuatu tentang
Pangeran itu dari anakmu?"
"Anakku menyimpan rahasia seperti juga ayah. Aku sadar,
bahwa aku adalah seorang perempuan, yang barangkali
menurut penilaian ayah dan anakku, sebaiknya aku tidak tahu
apa-apa. Tetapi ayah lupa bahwa tidak selamanya demikian.
Kadang-kadang seorang perempuan akan mampu berbuat
sesuatu yang penting dalam keadaan tertentu" sahut ibu
Daruwerdi. Tetapi orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Sudahlah. Kali ini aku terpaksa memaksamu sekali lagi. Aku
minta maaf, bukan karena aku menganggapmu orang lain.
Kau memang anak angkatku. Tetapi bukankah kau merasakan
bahwa aku telah menganggapmu sebagai anakku sendiri?"
Wajah perempuan itu menjadi semakin muram. Sekali lagi
ia berkata "Aku merasakan satu perubahan pada diri ayah.
Sebenarnyalah ayah telah berbuat sesuatu yang sangat
membingungkan aku" "Bukan maksudku ngger. Tetapi aku terpaksa. Terpaksa
sekali, karena sebenarnyalah apa yang aku lakukan ini
semata-mata untuk kebahagiaan anakmu, kebahagiaan cucu
dan sekaligus muridku itu" Orang tua itu berhenti sejenak, lalu
"Aku persilahkan kau meninggalkan padepokan ini sebelum
pagi. Aku masih harus mempersiapkan sebuah penyambutan.
Jangan membantah jika kau mengasihi anakmu sebagimana
aku mengasihinya. Ibu Daruwerdi itu memang tidak akan dapat menolak
apapun alasannya sehingga ia tidak dapat menolak untuk
masinggalkan Lumban karena ayah angkatnya itu memaksa.
Karena itulah, maka diantar oleh seorang cantrik, ibu
Daruwerdi itu meninggalkan padepokan malam itu juga,
menuju ke sebuah padukuhan yang tidak terlalu jauh, yang
nampaknya memang sudah dipersiapkan. Sebuah rumah yang
kecil telah menerimanya. Bahkan rumah itu seolah-olah adalah
rumah yang kosong meskipun nampak tidak kotor dan
perabotnya tersusun rapi.
"Silahkan Nyai menunggu disini" berkata cantrik itu.
"Aku akan dit inggalkan disini seorang diri?" bertanya
perempuan itu. "Tidak Nyai Aku akan berada disini. Tetapi karena
perkembangan keadaan yang mungkin akan menjadi gawat,
maka aku akan mengawasi keadaan diluar tumah. Aku akan
berada diserambi" jawab cantrik itu,
Ibu Daruwerdi tidak menjawab. Tetapi rasa-rasanya ia tidak
akan betah tinggal di rumah itu, sementara anaknya berada
dalam keadaan yang tidak menentu. Selebihnya,
kegelisahannyapun meningkat jika ia sadar, bahwa Pangeran
Sena Wasesa dihari berikutnya akan datang ke padepokan
ayah angkatnya itu. Apalagi seolah-olah tabiat dan sifat ayah
angkatnya itu tiba-tiba saja telah berubah pada saat-saat
terakhir. Ketika cantrik itu meninggalkannya, dan kemudian
terdengar derit amben bambu diserambi, maka perempuan
itupun mengetahui, bahwa cantrik itu memang berada
diserambi. Sejenak perempuan itu duduk disebuah amben yang besar
di ruang dalam. Dipandanginya tiga pintu sentong yang
menganga. Tidak ada perabot apapun di dalam ketiga sentong
itu. Hanya disentong tengah terdapat sebuah lampu yang
menyala. "Tentu rumah ini bukan rumah yang benar-benar kosong"
berkata perempuan itu. Dengan hati-hati iapun kemudian
bangkit dan melangkah ke sentong tengah. Tetapi ia memang
tidak menjumpai sesuatu. Kemudian, iapun berjalan ke pintu
butulan. Dilihatnya sebuah longkangan diluar pintu. Disebelah
longkangan adalah kelanjutan dari gandok yang tidak begitu
besar, tetapi dinding yang menghubungkan rumah itu dengan
gandok tidak terdapat sebuah seketheng.
Perlahan-lahan perempuan itu turun ke longkangan. Namun
pintu gandok itu ternyata tidak dapat dibukanya. Sementara
itu pintu longkangan yang menghubungkannya dengan
longkangan belakang dan rumah dibagiari belakang dan
dapurpun tertutup rapat. Meskipun ia tidak melihat selarak
yang menyilang, tetapi ternyata bahwa ia tidak dapat
membuka pintu itu. Sekali lagi perempuan itu merenungi rumah kecil itu. Iapun
kemudian yakin, bahwa rumah itu benar-benar telah di
persiapkan sebagai suatu tempat yang akan menyimpannya,
sehingga ia tidak akan mungkin dapat keluar.
"Tetapi masih, ada jalan " desisnya "memanjat dinding
penyekat longkangan ini"
Tetapi perempuan itu t idak akan mungkin dapat memanjat
dinding yang terbuat dari potongan bambu utuh yang berjajar
rapat dan apalagi ujungnya diruncingkan.
Perempuan itu menarik nafas dalam-dalam. Namun
akhirnya ia harus menerima kenyataan itu. Rumah itu adalah
sebuah penjara yang diperuntukkan baginya, menjelang
kehadiran anaknya dan Pangeran Sana Wasesa yang tidak di
ketahui dengan pasti keadaannya.
Karena itu, maka ibu Daruwerdi itupun kemudian kembali
ke ruang tengah dan duduk diamben yang besar merenungi
keadaannya. Lampu minyak didinding berkeredipan disentuh
oleh angin yang menembus celah-celah dinding bambu rumah
kecil itu. Dalampada itu, di padepokan seorang yang oleh Daruwerdi
disebut Pamotan Galih tengah berbincang dengan dua orang
saudara seperguruannya. Nampaknya mereka tengah
berbicara dengan sungguh-sungguh tentang rencana orang
yang disebut Pamotan Galih itu.
"Kakang" berkata salah seorang dari kedua adik
seperguruannya " kakang masih saja membingungkan kami.
Aku tidak tahu, apakah yang kakang kehendaki sebenarnya.
Kadang-kadang aku melihat kakang seolah-olah telah benarbenar
menghindar dari segala nafsu duniawi. Namun kadangkadang
picu melihat kakang memiliki keinginan yang tidak
terbatas. Dan sekarang aku tidak tahu, apakah yang
sebenarnya kakang kehendaki"
"Kau tielak usah membuat kepalamu menjadi pening
tentang sifat dan watakku" jawab Pamotan Galih "Yang
penting sekarang, bantulah aku. Aku akan berusaha untuk
menyelesaikan persoalan ini dengan baik. Tetapi jika perlu
maka kau berdua dan murid-muridmu yang kebetulan kau
bawa, harus bersedia melakukan sebagaimana aku
maksudkan" "Maksud kakang, mungkin akan terjadi kekerasan disini?"
bertanya adiknya yang lain.
"Hal itu nungkin sekali terjadi" jawab Pamotan Galih "Sudah
barang tentu kita tidak akan menyerahkan diri kita kedalam
kesulitan" "Kakang" berkata salah seorang adik sepergurunya?"
apakah yang sebenarnya kakang kehendaki sehingga kakang
seakan-akan telah mengorbankan pribadi dan harga diri
kakang selama ini?" "Adik-adikku" berkata Pamotan Galih. Bukankah kau tahu
siapakah aku sebenarnya. Seharusnya kalian tidak menjadi
bingung menanggapi persoalan ini.
"Kakang" jawab salah seorang adiknya "Aku memang tahu,
bahwa pada suatu saat kakang adalah orang yang paling
ganas. Kemudian kakang telah menemukan satu dunia yang
berbeda dari dunia kakang yang terdahulu karena kakang
mengalami berbagai keadaan yang seakan-akan dapat merubah
sifat dan watak kakang. Hal itu sudah berlangsung
berpuluh tahun. Namun tiba-tiba aku melihat perubahan itu
lagi" Tiba-tiba saja Pamotan Galih itu tertawa. Katanya "Baiklah.
Aku memang t iba-tiba berubah. Tetapi ada istilah yang lebih
baik dari itu. Tiba-tiba aku telah pulih kembali seperti
sediakala"

Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kedua adik seperguruannya saling berpandangan sejenak.
Namun sebelum mereka mengatakan sesuatu. Pamotan Galih
telah berkata "Jangan berlagak seperti seorang suci. Bukankah
kalian menghendaki aku seperti itu" Selama ini kita kadangkadang
tidak sependapat, dan bahkan kadang-kadang kita
sering bertengkar karena aku berusaha mencegah kalian
melakukan tindakan-tindakan yang kurang sesuai dengan
sikap hidupku. Tetapi mudah-mudahan untuk seterusnya kita
selalu berjalan beriring. Aku tidak akan lagi mencela sikap dan
jalan hidupmu. Apalagi setelah persoalanku dengan Pangeran
itu selesai. Maka aku berjanji, bahwa aku tidak akan
mengganggu kalian" "Kau membingungkan kami kakang" berkata salah seorang
dari kedua adiknya "ketika kami berdua berusaha menelusuri
kebenaran jalan kehidupan, yang selama ini kau ajarkan
kepada kami, maka kau sendiri menjadi berubah seperti itu"
"Kalian memang bodoh" jawab Pamotan Galih "Tetapi
sebaiknya kalian tidak usah berpikir lagi. Persoalanku dengan
Pangeran Sena Wasesa menyangkut banyak segi. Kalian tidak
Arwah Penasaran 1 Pendekar Romantis 05 Skandal Hantu Putih Tamu Dari Gurun Pasir 2

Cari Blog Ini