Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja Bagian 5
tidak dapat aku jajagi dengan nalar, bagaimana mungkin ia
dapat sampai kebawah pohon randu alas."
Daruwerdi menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba
menganggap bahwa hantu betina itu telah menemukan
Kuncung. Tetapi ia kecewa bahwa anak itu seolah-olah tidak
dapat berbuat apa-apa, justru karena ia pingsan. Karena
hantu betina itu mengetahui bahwa orang-orang Lumban
mencari seseorang maka hantu yang baik itu telah
mengembalikan Kuncung kepada orang-orang Lumban.
"Persetan," tiba-tiba Daruwerdi menggeram aku tidak
peduli tentang hantu itu. Tetapi dua orang itu benar-benar
menarik perhatian, setelah dua orang yang terdahulu datang
menangkap Jlitheng."
Diperjalanan kembali kepondoknya, Daruwerdi menegang
ketika ia teringat seorang gadis yang berada dilereng bukit itu.
Ia mulai curiga sejak kedua perantau itu memilih tempat
tinggal yang aneh tanpa mengenal takut terhadap binatangbinatang
buas. Padahal mereka berdua hampir saja telah
diterkamoleh seekor harimau.
"Apakah ada hubungannya antara hantu betina itu dengan
gadis perantau itu ?" pertanyaan itu mulai membersit
dihatinya. Tetapi Daruwerdi belum dapat mengambil kesimpulan. Ia
masih harus banyak melihat dan mendengar, apa yang di
Lumban. Dalam pada itu, dihari-hari berikutnya, orang-orang
Lumban sudah mulai melupakan peristiwa yang
menggemparkan itu. Mereka tidak banyak lagi membicarakan
hilangnya Kuncung, meskipun satu dua orang masih
menggelengkan kepalanya apabila mereka bertemu dengan
Kuncung di jalan-jalan padukuhan atau disawah. Karena setiap
kali mereka berbicara, Kuncung masih tetap yakin, bahwa
yang dialaminya dengan dua orang yang garang itu bukan
sekedar bayangan. Tetapi benar-benar telah terjadi atasnya.
Namun ia tetap tidak dapat mengatakan, kenapa tiba-tiba saja
ia sudah berada dibawah pohon randu alas.
Sementara itu, Jlitheng telah mulai sibuk pula membantu
Kiai Kanthi bersama beberapa orang kawannya. Mereka telah
membuka sebuah dataran sempit dilereng bukit itu.
Merekapun mulai mempersiapkan membuat sebuah gubug
kecil untuk tempat tinggal Kiai Kanthi dengan anak gadisnya.
Disamping itu, maka Jlitheng tidak henti-hent inya
memperhatikan arus air yang meluap dari belumbang dilereng
bukit itu. Ia mulai membicarakan, kemana air itu akan
diarahkan. Jlitheng dan Kiai Kanthi bersepakat, bahwa mereka tidak
akan membuat parit yang khusus dilereng bukit. Mereka akan
mengarahkan air itu kesebuah lekuk yang akan mengalirkan
air itu turun sampai ketempat yang mereka kehendaki.
"Setelah air itu berada didataran, barulah kita akan
membuat saluran seperti yang kita rencanakan," berkata Kiai
Kanthi, "selebihnya, sisa air itu akan sangat berguna pula."
"Untuk sementara kita akan mengalirkan air itu kesungai.
Dengan demikian kita tidak perlu membuat saluran induk yang
panjang. Apalagi sungai itu mengalir dekat perbatasan antara
Lumban Kulon dan Lumban Wetan. Bahkan kadang-kadang
sungai itu berada didaerah Lumban Wetan, tetapi di bagian
yang lain sungai itu menjorok masuk kedaerah Lumban
Kulon," sahut J litheng.
"Tetapi, di wilayah manakah sungai itu memasuki daerah
Lumban ngger?" bertanya Kiai Kanthi.
"Sungai itu memasuki daerah Lumban di Lumban Wetan
Kiai. Katakanlah bahwa bukit dan dataran dibawah bukit yang
menghadap kepadukuhan itu adalah daerah Lumban Wetan.
Tetapi disisi yang lain, dataran itu adalah tlatah Lumban
Kulon, meskipun mereka seakan-akan tidak menghiraukannya
karena sampai saat ini tanah itu tidak pernah digarap."
Kiai Kanthi menarik nafas dalam-dalam. Jlitheng yang
agaknya mengetahui perasaan Kiai Kanthi berkata, "Kiai,
terlalu memikirkan masa yang jauh didepan. Tetapi orang
Lumban sendiri kurang memperhatikan batas antara dua
kabuyutan itu." Kiai Kanthi mengangguk. Jawabnya, "Ya ngger. Sejak
ayunan cangkul yang pertama kita harus sudah mulai
memikirkan. Jika sungai itu mengalirkan air yang lebih banyak,
maka mulailah timbul persoalan antara Lumban Wetan dan
Lumban Kulon yang sampai saat ini nampaknya tidak pernah
berselisih. Air itu akan memancing masalah, karena jika air itu
mengalir menyusuri sungai itu, maka kedua padukuhan itu
tentu akan segera berpikir untuk memanfaatkannya. Mereka
tentu ingin mengaliri sawah mereka yang kering seperti yang
akan kita lakukan dibawah bukit ini."
Jlitheng mengangguk-angguk. Tetapi katanya kemudian,
"Kedua daerah itu akan dapat membicarakannya dengan baik.
Mereka akan membendung sungai itu dan menaikkan airnya
kekedua arah. Satu parit itu akan menyusuri bulak-bulak di
Lumban Wetan dan satu lagi. kearah Lumban Kulon."
"Demikianlah menurut nalar. Tetapi kadang-kadang akan
timbul perasaan yang dapat mengaburkan nalar yang bening.
Iri, dengki dan barangkali juga ketamakan dari satu dua orang
di Lumban Wetan atau di Lumban Kulon. Jika demikian halnya,
maka mulailah persoalan yang tidak diharapkan itu," berkata
Kiai Kanthi. Jlitheng menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kita berdoa
Kiai. Mudah-mudahan tidak akan timbul persoalan yang
demikian dipadukuhan ini."
"Mudah-mudahan ngger. Tetapi kita harus sudah berjagajaga,
apakah yang sebaiknya dilakukan. Meskipun air itu masih
kurang." "Mudah-mudahan Ki Buyut di Lumban Wetan dan Lumban
Kulon akan dapat mengatasi masalahnya. Keduanya sudah
tahu, bahwa Kiai akan membangun padepokan disini," desis
Jlitheng. Demikianlah maka mereka semakin hari menjadi semakin
gairah bekerja. Meskipun kawan-kawan Jlitheng t idak banyak,
tetapi mereka senang melakukan pekerjaan itu, Disaat mereka
tidak mempunyai pekerjaan disawah, mereka menemukan
cara untuk mengisi waktu dilereng bukit itu.
Sementara itu, Jlitheng sudah menelusuri lekuk-lekuk batu
padas yang akan dapat dipergunakannya untuk menguasai
arus air. Beberapa tempat, ia masih harus menimbuninya
dengan tanah yang cukup banyak agar arah air itu tidak
terbagi. Sedangkan dibagian lain, lekuk-lekuk padas itu sudah
merupakan parit yang dibuat oleh arus air hujan dimusim
basah. Ketika dataran sempit dan gubug kecil itu baru dikerjakan
oleh anak-anak muda Lumban Wetan, Jlitheng dan Kiai Kanthi
justru mulai menggarap saluran induk. Mereka menutup lekuklekuk
yang tidak perlu, tetapi juga mengeduk batubatu padas
yang membatasi lekuk yang satu dengan lekuk yang lain, yang
sesuai dengan arah yang dikehendaki oleh Kiai Kanthi dan
Jlitheng. Dengan demikian, maka kerja itu merupakan kerja yang
menjadi semakin besar. Tetapi Jlitheng tidak ingin banyak
menarik perhatian, sehingga hanya kawan-kawannya yang
terdekat sajalah yang ikut membantunya, seolah-olah yang
mereka kerjakan sama sekali tidak berarti apa-apa.
Ketika anak-anak muda itu sibuk bekerja, maka Swasti-pun
sibuk menyiapkan minum dan makanan apa saja yang ada.
Kadang-kadang seekor binatang buruan. Tetapi kadangkadang
hanya beberapa buah gayam dan ikan air panggang.
"Pada saatnya, kita akan dapat makan jagung disini,"
berkata Kiai Kanthi, "aku sudah menanamnya dilereng yang
agak terbuka itu. Nampaknya benih itu sudah tumbuh."
Tetapi Jlitheng sambil tertawa menjawab, "Berapa bulan
lagi jagung itu akan berobah Kiai" Apakah kira-kira saluran itu
masih belumsiap seumur jagung itu ?"
Kiai Kanthipun tertawa. Tetapi ia tidak menjawab.
Namun betapapun Jlitheng membatasi kerja itu, tetapi hal
itu sangat menarik perhatian Daruwerdi. Karena itu, maka
iapun memerlukan naik kelereng bukit untuk menyaksikan
sendiri, apa yang sebenarnya telah terjadi.
Kehadirannya dilereng bukit itu telah mengejutkan Swasti
yang baru sibuk memasak. Karena itu, sejenak ia tergagap.
Namun kemudian ia mencoba untuk menguasai perasaannya.
"Dimana ayahmu ?" bertanya Daruwerdi.
"Mereka sedang bekerja dibawah," jawab Swasti.
"Apakah kau tidak takut berada disini sendiri ?"
"Kenapa takut " Bukankah sekarang siang hari " Dimalam
hari aku disini bersama ayah."
Daruwerdi termangu-mangu sejenak. Diluar sadarnya ia
memandang gadis perantau yang berpakaian kusut itu. Sambil
mengerutkan keningnya ia berkata didalam hati, "Gadis kumal
ini berwajah cantik juga. Jika saja ia sempat merawat
tubuhnya, maka ia akan menjadi seorang gadis yang tidak ada
tandingnya di Lumban."
Swasti yang merasa dipandang oleh Daruwerdi dengan
tajamnya, wajahnya menjadi merah. Selangkah ia beringsut.
Tanpa disengaja maka iapun berjongkok dimuka perapian dan
melemparkan pandang matanya ke api yang menyala.
Daruwerdi menarik nafas dalam-dalam. Beberapa langkah
ia maju mendekat. Katanya, "Kenapa kau lebih senang tinggal
disini daripada dipadukuhan ?"
Swasti menjadi semakin berdebar-debar. Apalagi ketika ia
mendengar langkah Daruwerdi yang mendekat. Tetapi Swastil
tidak-berani memalingkan wajahnya.
Sebagai seorang gadis yang jarang bergaul dengan orang
lain, maka sikap Daruwerdi benar-benar membuat jantungnya
bagaikan semakin cepat berdetak didalam dadanya.
"Kenapa he?" Daruwerdi mendesak.
Swasti menjadi semakin bingung. Namun kemudian ia
menjawab, "Semuanya terserah kepada ayah. Ayah memilih
tempat ini. Dan akupun hanya mengikuti saja."
"Tetapi kau berhak untuk mengajukan pendapatmu.
Katakan kepada ayahmu, bahwa kau takut berada disini
seorang diri meskipun siang hari. Jika harimau itu datang
kemari, maka kau akan dapat diterkamnya."
"Aku dapat memanjat," jawab Swasti tiba-tiba.
Daruwerdi mengerutkan keningnya. Katanya, "Menarik
sekali. He, cobalah memanjat. Anggaplah aku seekor harimau
yang akan menerkammu."
Adalah diluar dugaan sama sekali, bahwa tiba-tiba saja
Daruwerdi itupun berjongkok disampingnya.
Swasti adalah seorang gadis yang memiliki keberanian yang
melampaui orang kebanyakan. Ia berani melawan Jlitheng dan
bahkan ia telah mengalahkan dan membunuh dua orang yang
mengaku dari perguruan Pusparuri. Tetapi demikian seorang
anak muda berjongkok disampingnya, maka tubuhnya tibatiba
saja telah menjadi gemetar.
"Swasti. Namamu Swasti bukan?" panggil Daruwerdi.
Swasti menjadi semakin gelisah. Keringat dingin telah
mengalir diseluruh batang tubuhnya, sehingga rasa-rasanya
seluruh badannya menjadi basah.
"Swasti," ulang Daruwerdi, "sebaiknya kau minta dengan
sangat kepada ayahmu. Daripada ia membuat gubug di lereng
bukit ini, aku kira ia lebih baik membuat gubug di padukuhan
Lumban. Sementara gubug itu belum siap, maka kau dan
ayahmu dapat tinggal dipondokku."
Swasti masih gemetar. Sejengkal ia bergeser. Kemudian
katanya, "Semuanya terserah kepada ayah."
"Ah, tentu tidak. Kau adalah anak gadisnya. Kau bahkan
mungkin satu-satunya anak. Karena itu, permintaanmu tentu
didengarkannya," berkata Daruwerdi.
Swasti tidak segera menyahut. Tetapi kepalanya tertunduk
dalam-dalam. Keringatnya masih saja mengalir ditubuhnya.
Sementara Daruwerdi berkata selanjutnya, "Kau tidak boleh
menyia-nyiakan umurmu sekarang ini. Nampaknya kau sudah
meningkat dewasa. Dan jika kau sadar, maka kau berwajah
cantik." "Ah," tubuh Swasti tiba-tiba saja telah meremang. Ia
hampir tidak pernah sempat menilai dirinya. Jika sekali-kali ia
bercermin diwajah air telaga yang bening meskipun kotor, ia
tidak berani menyebut wajahnya sendiri, apakah ia seorang
gadis yang cantik. "Aku tidak berbohong," desis Daruwerdi, "hanya karena kau
tidak sempat merias diri,maka kau tidak menyadari bahwa kau
mempunyai bekal yang paling bernilai bagi seorang
perempuan." "Ah," sekali lagi Swasti berdesis, "aku tidak pernah
mempunyai kesempatan untuk menilai diriku sendiri."
Daruwerdi tertawa pendek. Katanya, "Mulailah sekarang.
Dan mulailah hidup dalam suatu lingkungan masarakat yang
barangkali jauh lebih baik dari pada hidup memencilkan diri.
Aku bersedia menolongmu. Aku mempunyai pengaruh yang
khusus di Lumban Wetan dan Lumban Kulon. Kedua Buyut
padukuhan Lumban itu serta anak-anaknya menaruh hormat
kepadaku, sedangkan anak-anak muda di Lumban Wetan dan
Lumban Kulon telah memohon agar aku memberikan tuntunan
kanuragan kepada mereka. Karena itu, maka apa yang akan
aku katakan, orang-orang Lumban tentu akan melakukannya.
Apalagi orang-orang Lumban termasuk orang yang baik dan
ramah. Mereka tentu dengan senang hati menerimamu."
Swasti menjadi semakin berdebar-debar. Ketika Daruwerdi
bergeser sejengkal mendekat, maka Swastipun telah bergeser
setapak menjauh. "Pikirkan," tiba-tiba Daruwerdi berdiri, "sebelum kau
dikoyak harimau. Sekarang aku akan menemui ayahmu dan
anak-anak Lumban Wetan yang membantunya. Sebenarnya
perbuatan itu adalah perbuatan yang bodoh sekali. Tetapi juga
mencurigakan." Wajah Swasti menegang sejenak. Tetapi ia tidak
menjawab. Baru ketika Daruwerdi melangkah
meninggalkannya, ia menarik nafas dalam-dalam. Bahkan,
diam-diam ia masih saja memperhatikan.anak muda itu hilang
dibalik gerumbul-gerumbul yang padat.
Ketika Daruwerdi tidak nampak lagi, maka Swastipun
menjadi gelisah. Ia tidak tahu, perasaan apa yang tumbuh
dihatinya. Ia menjadi jengkel atas sikap anak muda itu,
sehingga ia menjadi gemetar. Tetapi ia t idak marah
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
karenanya, meskipun ia tidak begitu senang karena sikap itu.
"Hanya karena sikapnya ?" pertanyaan itu tiba-tiba saja
telah tumbuh dihati Swasti. Tetapi Swasti tidak berani
memikirkannya lebih jauh. Bahkan ia berusaha untuk
membatasi perasaannya yang menerawang mengikuti anak
muda yang bernama Daruwerdi itu.
"Ah, aku harus menyiapkan makanan ini," Swasti berdesah.
Dicobanya untuk memusatkan perhatiannya kepada kerjanya.
Namun kadang-kadang ia masih saja merenung tanpa ujung
dan pangkal. Bahkan kadang-kadang ia menyesali sikap ayahnya.
Pendapat anak muda yang bernama Daruwerdi itu ada
baiknya juga. Ia dapat tinggal di padukuhan, meskipun
mungkin dipaling ujung yang berbatasan dengan pategalan
atau hutan perdu yang tidak tergarap.
"Tetapi ayah lebih senang menunggui belumbang ini,"
desisnya. Dalam pada itu, Kiai Kanthi dibantu oleh Jlitheng dan
beberapa orang kawannya, masih saja bekerja keras. Mereka
telah membuka beberapa bagian dari dataran yang sempit
dilereng bukit. Sementara Kiai Kanthi sendiri dan Jlitheng telah
selesai menyiapkan saluran yang akan dilalui air jika air itu
sudah diarahkan menuju kelereng yang berhadapan dengan
padukuhan Lumban Wetan dan Lumban Kulon. Dibawah bukit
itu akan dibuka tanah persawahan yang akan digarap oleh Kiai
Kanthi dengan anak gadisnya.
Namun yang penting bahwa air itu akan dapat disalurkan
kedaerah persawahan milik orang-orang Lumban Wetan dan
Lumban Kulon. Meskipun tidak akan mencukupi untuk seluruh
tanah persawahan, tetapi yang sebagian itu tentu akan
memberikan banyak perubahan.
Dengan tekun Jlitheng telah berbuat sejauh dapat
dilakukan. Kiai Kanthi yang memiliki pengalaman lebih banyak,
bahkan agaknya juga berpengalaman menguasai air, telah
menanam patok-patok pada lereng-lereng padas yang akan
menjadi saluran induk. Kadang-kadang Jlitheng harus
menimbuni sebuah lekuk yang dalam, agar arus air tidak
terlalu deras, sehingga dapat merusakkan tanggulnya sendiri.
Namun kadang-kadang ia harus memecah padas yang keras
untuk menghubungkan saluran-saluran yang akan
dipergunakannya. Orang-orang yang bekerja dilereng bukit itu terkejut ketika
mereka melihat Daruwerdi muncul dari balik gerumbul perdu.
Dengan tatapan mata yang tajam ia memandangi keadaan
sekelilingnya. Dalam waktu yang tidak terlalu panjang, maka
telah terjadi perubahan yang besar dilereng bukit itu. Bukan
hasil pekerjaan yang sudah hampir rampung tetapi Daruwerdi
menjadi berdebar-debar melihat jiwa dari rencana itu. Dengan
ketajaman nalarnya, ia segera dapat mengerti, apa yang akan
terjadi. Karena itu, maka Daruwerdi menjadi berdebar-debar.
sekilas terbayang hasil pekerjaan yang akan merubah tatanan
kehidupan dipadukuhan Lumban Wetan dan Lumban Kulon.
"Inilah yang telah mengikat orang tua itu disini," berkata
Daruwerdi didalam hatinya, "bukan karena ia segan tinggal
dipadukuhan seperti yang pernah dikatakannya, tetapi
ternyata dikepala orang tua itu terbersit rencana yang besar."
Daruwerdi termangu-mangu sejenak. Namun ia menjadi
semakin kagum akan rencana itu. Meskipun kemudian ia
mencoba memperkecil arti kerja orang tua itu, "Mungkin yang
dipikirkannya adalah sekedar air bagi tanah yang akan dibuka
untuk dirinya sendiri, tanpa menyadari kegunaannya yang
besar bagi Lumban." Tetapi ia mengerutkan keningnya ketika ia melihat
beberapa orang Lumban yang membantunya. Kebanyakan dari
mereka adalah anak-anak muda dari Lumban Wetan. Namun
ia menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat seorang anak
muda dari Lumban Kulon ikut pula diantara mereka.
"Artinya, bahwa kerja ini dilakukan oleh orang-orang
Lumban Wetan dan Lumban Kulon meskipun dalam
perbandingan yang tidak seimbang," berkata Daruwerdi
didalam hatinya. "Marilah ngger," Kiai Kanthipun kemudian
mempersilahkannya, "ini adalah sekedar pikiran orang tua dan
anak-anak muda yang sederhana. Mungkin yang kami lakukan
mempunyai arti dan bahkan tidak menghasilkan apa-apa.
Tetapi nampaknya sangat menyenangkan hati."
Daruwerdi melangkah mendekat. Ketika ia memandang
Jlitheng, maka Jlitheng itupun tersenyum sambil berkata,
"Sekerdar mengisi waktu karena tidak ada kerja disawah
Daruwerdi." Daruwerdi mengangguk-angguk. Kemudian iapun bertanya,
"Apa rencana Kiai sebenarnya ?"
"Ah, sekedar membuat tempat tinggal dan sebidang tanah
untuk mencari makan ngger," jawab Kiai Kanthi.
"Untuk itu Kiai telah bekerja begitu keras ?"
"Tanpa bekerja keras, aku tidak akan memiliki apa-apa,
ngger. Dengan bantuan beberapa anak muda ini, aku akan
mempunyai sebuah pondok kecil dan secabik tanah untuk
menyebar benih jagung."
"Dan apakah yang lakukan dengan jalur-jalur air hujan itu
?" Daruwerdi mendesak.
"Untuk mengalirkan air kesebidang tanah itu ngger," jawab
Kiai Kanthi. "Jika demikian, aku mempunyai pikiran," berkata
Daruwerdi. Namun Jlitheng telah menyahut, "Itulah
Daruwerdi. Tetapi air itu tidak akan kering dikotak-kotak
pertama tanah Kiai Kanthi. Jika air itu tersisa, maka air itu
tentu dapat dipergunakan oleh orang-orang Lumban."
"Itulah yang aku katakan. Hal itulah yang ada dibenakku.
Justru karena aku mengerti kepentingan orang-orang
Lumban," berkata Daruwerdi.
"Dan kami sudah mengerjakannya," sahut Jlitheng,
"meskipun sangat lamban."
Wajah Daruwerdi menegang. Ia merasa seolah-olah
Jlitheng tidak mau mendengar tanggapannya atas air yang
melimpah, atau karena Jlitheng merasa telah memikirkannya
terlebih dahulu. Namun dalam pada itu Jlitheng berkata, "Tetapi, apa yang
kami kerjakan ini bukanlah pikiran kami. Kiai Kanthilah yang
mula-mula menyebutnya. Ia melihat air yang melimpah tanpa
dimanfaatkan oleh orang-orang Lumban. Karena keinginannya
untuk membuat sebuah padepokan, maka kami anak-anak
Lumban dapat saling mengambil manfaat. Kami membantu
Kiai Kanthi, tetapi kamipun akan mendapatkan air yang sangat
berharga bagi Lumban."
Daruwerdi memandang Jlitheng dengan tajamnya. Tetapi ia
tidak dapat berbuat apa-apa. Ditempat itu terdapat beberapa
orang saksi atas pembicaraan mereka, sehingga orang-orang
itu tahu benar, bahwa ia tidak akan dapat mengatakan bahwa
pikiran untuk mengalirkan air ke sawah orang-orang Lumban
itu adalah karena pikirannya. Anak-anak muda Lumban itu
memang sudah mengerjakannya bersama Kiai Kanthi.
perantau yang aneh itu. Sejenak Daruwerdi termangu-mangu. Namun kemudian
katanya, "Siapapun yang memikirkannya, tetapi air itu
memang diperlukan oleh orang-orang Lumban. Karena itu,
kalian harus berbuat sebaik-baiknya, sehingga air itu tidak
justru menjadi larut kedalam jalur-jalur air hujan dan hilang
kedalamtanah." "Demikianlah yang terjadi sekarang, Daruwerdi," jawab
Jlitheng, "air belumbang yang melimpah itu mengalir ke
lubang-lubang dan meresap kedalam tanah. Tetapi air itu
tidak membuat tanah di Lumban menjadi basah, karena air itu
mengalir dengan derasnya dibawah tanah."
Daruwerdi mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak dapat
membantah. "Lakukanlah kerja ini sebaik-baiknya," berkata Daruwerdi
kemudian, "aku akan memberikan petunjuk-petunjuk kelak
jika air itu sudah mulai mengalir kedataran."
Jlitheng menegang sejenak. Tetapi ia segera berusaha
menghapus kesan itu diwajahnya. Bahkan kemudian iapun
tersenyum sambil berkata, "Terima kasih Daruwerdi. Kami
tentu akan memerlukan petunjuk dari banyak pihak. Mungkin
kau mempunyai pengetahuan yang cukup banyak tentang
jalur jalur air ditanah persawahan. Dan kamipun tentu akan
minta petunjuk Ki Buyut di Lumban Wetan dan Ki Buyut di
Lumban Kulon." Daruwerdi termangu-mangu sejenak. Tetapi ia tidak
menjawab lagi. Dengan wajah yang berkerut ia
memperhatikan keadaan disekelilingnya. Meskipun belum ada
ujud, tetapi ia sudah dapat membayangkan, bahwa didataran
sempit itu akan dibangun sebuah gubug sesuai dengan patok
kayu yang nampak diempat sudutnya. Tidak terlalu jauh dari
gubug itu, akan mengalir air dari belumbang yang melimpah.
Sedikit lebih tinggi, dari gubug itu, akan terdapat sebuah
gerojogan air yang kemudian merambat menuruni lereng
sampai kedataran. Didataran itu kelak akan terdapat kotakkotak
sawah yang tidak akan pernah kering disegala musim.
Lumpur yang basah terbentang diantara kotak-kotak
pematang. Daruwerdi menarik nafas dalam-dalam. Ia menyadari
keterlambatannya. Selama ia berada di Lumban, ia tidak
pernah memikirkan perubahan yang dapat dilakukan atas
padukuhan itu, sehingga akan dapat menambah besar
pengaruhnya atas orang-orang Lumban.
"Aku lebih banyak berpikir tentang masalah-masalah yang
besar," katanya didalam hati. "Namun air itu bagi orang-orang
Lumban akan menjadi masalah yang jauh lebih besar,
meskipun bagiku hanyalah masalah yang kecil."
Untuk beberapa saat Daruwerdi masih memperhatikan
dataran sempit itu. Beberapa orang, anak muda yang sedang
bekerja di lereng itupun berhenti sejenak memperhatikan,
apakah yang akan dilakukan oleh Daruwerdi.
Tetapi Daruwerdi tidak menemukan sesuatu yang dapat di
lakukan sebagai imbangan kekecewaan hatinya. Ia tidak dapat
menemukan sesuatu yang akan dapat dianggap pikiran baru
yang bermanfaat bagi Lumban.
"Masih banyak waktu," katanya kemudian didalam hati,
"aku akan mendapatkan sesuatu yang bermanfaat bagi
padukuhan itu, sehingga mereka akan tetap menganggap aku
orang terpenting dipadukuhan ini."
Dengan demikian, maka Daruwerdi tidak berada terlalu
lama dilereng bukit itu. Sekali lagi ia masih mencoba untuk
menyarankan agar Kiai Kanthi dan anaknya tinggal
dipadukuhan. Tetapi dengan nada dalam Kiai Kanthi
menjawab, "Terima kasih ngger. Aku sudah mulai dengan
pekerjaan ini dibantu oleh anak-anak muda dari Lumban."
Daruwerdi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku
pernah mengatakan kepadamu Kiai. Kau adalah orang yang
mementingkan dirimu sendiri. Seharusnya kau memperhatikan
anak gadismu yang malang itu. Mungkin kau ingin mendapat
sebutan cikal bakal, atau orang yang babad-babad sebuah
padepokan yang tentu kau harap akan dapat terkenal kelak.
Tetapi ketenaran namamu itu kau tebus dengan
mengorbankan anak gadismu. Bukan saja jasmani, tetapi juga
jiwani. Ia akan menjadi gadis yang dungu dan bebal. Gadis
yang tidak akan pernah mendapatkan jodohnya dimasa
mendatang, meskipun ia sudah lama melampaui masa
remajanya." Kata-kata itu telah menyentuh perasaan Kiai Kanthi,
sehingga terasa dadanya bergetar. Namun kemudian sambil
menarik nafas dalam-dalam ia berkata, "Anakku yang malang.
Tetapi apakah memang nasib telah membawanya ketempat
yang sepi dan terasing" Anakmas, meskipun aku akan
membangun sebuah gubug disini, aku akan berusaha untuk
memberikan kesempatan anakku bergaul dengan orang-orang
padukuhan. Ia akan ikut serta bertanam padi bersama gadisTiraikasih
gadis Lumban jika diperkenakan. Ia akan ikut menuai dan
melakukan kerja yang lain. Jika air itu sudah turun ke dalam
parit, maka sawah akan terbentang semakin luas, dan
kesempatan ikut menggarap sawah bagi gadis-gadispun akan
bertambah." Daruwerdi mengerutkan keningnya. Dengan nada datar ia
berkata. "Agaknya kau memang orang yang keras hati,
meskipun tanpa perhitungan. Itu terserah kepadamu. Anak itu
adalah anakmu. Aku tidak mempunyai sangkut paut dengan
kau dan anakmu." Daruwerdi tidak menunggu jawaban lagi. Dengan kesan
yang buram ia melangkah meninggalkan Kiai Kanthi dan anakanak
muda yang sedang bekerja dilereng bukit untuk
membuat sebuah gubug kecil bagi tempat tinggal Kiai Kanthi
dan anaknya. Tetapi kerja yang lebih besar dari itu adalah
usaha mereka untuk menguasai arus air dari belumbang yang
melimpah itu. Di lereng yang menurun Daruwerdi menghentakkan
tangannya dengan geram. Namun iapun kemudian bergumam,
"Persetan dengan orang-orang Lumban. Aku tidak peduli. Biar
tanahnya menjadi kering dan gersang. Atau Jlitheng akan
diangkat menjadi pahlawan. Aku bukan orang Lumban, dan
aku tidak akan t inggal di Lumban terlalu lama."
Dengan wajah yang gelap Daruwerdi menuruni tebing
semakin cepat. Dengan tangkas ia meloncat dari batu kebatu
padas yang lain, tanpa berpaling lagi.
Sementara itu, Kiai Kanthi dan beberapa anak muda dari
Lumban itupun telah melanjutkan kerja mereka. Dua orang
diantara mereka telah memotong beberapa batang kayu yang
akan dipergunakan sebagai tiang gubug kecil yang akan
dibangun, sementara yang lain masih menebangi pohonpohon
yang tidak diperlukan didataran sempit itu. Sedangkan
Kiai Kanthi, Jlitheng dengan satu dua orang lainnya, masih
saja sibuk membenahi saluran air yang juga ingin segera
diselesaikan. Dalam pada itu, jauh dari daerah Lumban, disebuah
padepokan yang besar, tidak jauh dari pusat Kota Demak,
seseorang sedang duduk dihadap oleh dua orang lainnya.
Seorang yang berwajah bulat, bermata terang dan tajam.
Meskipun beberapa helai rambutnya telah putih, tetapi
nampak betapa tubuhnya yang kekar itu menyimpan
kemampuan tiada taranya.
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sedangkan kedua orang lainnya, masih nampak lebih
muda. Wajah mereka nampak keras dan bersungguhsungguh.
Seorang dari mereka berkumis lebat, sedangkan
yang lain berwajah halus dan tampan.
Dengan sungguh-sungguh ketiganya sedang membicarakan
teka-teki yang sedang mereka hadapi. Seolah-olah teka-teki
yang tidak terpecahkan. "Mereka tidak pernah kembali," desis yang berkumis lebat.
"Dua orang yang menyusul itupum tidak kembali," sahut
yang lain. Orang yang berwajah bulat itupun mengerutkan keningnya.
Katanya, "Kedua orang itu tidak tahu, apakah yang telah
dilakukan oleh Ular Sanca itu."
"Tidak Kiai," jawab orang berkumis lebat, "kami hanya
memerintahkannya untuk menyusul kedaerah Lumban.
Mereka harus mencari keterangan, dimanakah Ular Sanca itu,
atau mendengarkan kabar, apakah sebenarnya yang telah
terjadi di daerah Lumban. Tetapi mereka tidak pernah
kembali." "Apakah menurut dugaanmu, Daruwerdi yang bergelar
Padmasana itu berbuat curang " Ia telah melepaskan
perjanjian diantara kita dan mencari keuntungan bagi dirinya
sendiri atau bahkan ingin memilikinya sendiri, karena pusaka
itu akan dapat membuatnya menjadi seorang prajurit pinunjul
?" "Kiai Pusparuri," berkata orang berkumis lebat itu, "aku
tidak dapat mengatakannya demikian. Menurut
pengamatanku, ia adalah seorang anak muda yang keras hati,
tetapi juga memegang teguh janji yang telah disepakati."
"Siapa tahu, bahwa ketamakan yang tumbuh dihatinya
karena keinginannya untuk menanjak jauh lebih cepat, telah
merubah sifat-sifat yang kau kenal itu," sahut kawannya yang
berwajah bersih. "Aku yakin," bantah orang berkumis. Namun kemudian
suaranya menurun, "tetapi banyak kemungkinan yang dapat
terjadi." "Jadi apakah yang baik menurut pertimbanganmu Sentika?"
bertanya orang berwajah bulat itu.
Orang berkumis lebat itu termangu-mangu. Dipandanginya
orang berwajah bersih itu sejenak. Namun karena orang itu
menunduk, maka ia t idak mendapatkan kesan apapun.
"Kiai," berkata orang berkumis itu, "sulit untuk
mengatakannya sekarang. Agaknya daerah Lumban
merupakan rahasia yang harus dijajagi sendiri. Aku akan
menemui Daruwerdi untuk menuntut pertanggungan jawab
atas persetujuan yang sudah kita buat."
"Apa pendapatmu Laksita?" bertanya orang berwajahl bulat
itu kepada yang berwajah bersih.
"Kita kurang terbuka Kiai. Kita tidak mengatakan yang
sesungguhnya kepada kedua orang yang kita perintahkan
untuk menyusul Ular Sanca. Dengan demikian, mereka tidak
mudah untuk mendapatkan keterangan tentang Daruwerdi
dan Ular Sanca itu. Mereka hanya tahu, bahwa salah seorang
dari kita telah pergi ke Lumban dan tidak pernah kembali."
"Jadi, apakah sebaiknya yang kita lakukan menurut
pendapatmu ?" "Aku kira, masih belum perlu kita atau salah seorang dari
kita untuk pergi ke Lumban. Kita akan dapat memerintahkan
satu dua orang yang dapat kita percaya, tetapi dengan
keterangan yang jelas. Mereka harus mengetahui dengan
pasti, apakah yang seharusnya mereka lakukan."
"Bagaimana jika orang-orang itu bertemu dengan orangorang
Gunung Kunir atau orang-orang Kendali Putih atau
perguruan-perguruan yang lain " Jika nasib mereka buruk,
maka meteka akan dapat diperas dan dipaksa untuk
mengatakan sesuatu yang seharusnya tidak mereka
mengerti," sahut orang berkumis lebat itu.
"Jadi menurut kakang Sentika, orang-orang Gunung Kunir
dan Kendali Putih masih belum mengetahui sama sekali
tentang pusaka-pusaka itu ?" bertanya Laksita.
Orang berkumis itu termangu-mangu.
"Kita mendengar hal itu dari seorang perwira yang bertugas
di Gedung perbendaharaan pusaka. Kemudian kita mendengar
jalur perjalanan Pangeran Pracimasanti. Pengawalnya masih
melihat pusaka itu sebelum Pangeran Pracimasanti dalam
perjalanan jauhnya melewati daerah yang disebut Sepasang
Bukit Mati. Yang satu bukit gundul dan yang lain berhutan
lebat dan dihuni oleh binatang-biniatang buas. Sehingga hutan
itu disebut hutan yang paling wingit, karena setiap orang yang
menyentuhkan kakinya, akan mati ditelan binatang buas."
Kiai Pusparuri mengerutkan keningnya. Kemudian iapun
memotong, "Kita sudah mendengar semuanya tentang hal itu.
Tetapi bagaimana dengan orang-orang Kendali Putih, orangorang
Gunung Kunir, orang-orang yang menyebut dirinya
perguruan Putih dari aliran Gatra Bantala yang mempunyai
ciri-ciri yang gila itu ?"
Laksita termangu-mangu sejenak. Namun iapun menjawab,
"Dugaanku justru yang menggelisahkan kita semuanya disini.
Merekapun tentu sudah mendengar seperti yang kita dengar.
Orang-orang dari Gedung Perbendaharaan Pusaka itu bukan
orang-orang yang pandai menyimpan rahasia. Tetapi mungkin
mereka belum mendengar jalur perjalanan Pangeran
Pracimasanti yang melalui Sepasang Bukit Mati itu."
Kiai Pusparuri mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Kita
akan segera mengambil sikap. Kita harus mempersiapkan diri
menghadapi setiap kemungkinan. Pusaka itu akan
memberikan pengaruh yang besar pada siapapun yang
memilikinya. Orang itu akan mempunyai kewibawaan tinggi,
kemampuan yang tidak ada duanya dalam olah kanuragan,
dan pada pusaka itu sendiri tersimpan kekuatan gaib yang
tidak ada duanya." Sentika dan Laksita hanya mengangguk-angguk saja.
Mereka tahu, bahwa yang akan mereka hadapi adalah tugastugas
yang berat untuk memperebutkan sebuah pusaka
seperti dongeng-dongeng yang sudah banyak mereka dengar.
Pusaka ditangan seseorang pada umumnya justru tidak
memberikan drajat, pangkat atau semat, tetapi malahan telah
merampas nyawa mereka, karena diantara para sakti telah
terjadi saling berebutan dengan taruhan yang paling mahal,
ialah nyawanya. "Mustahil bahwa Kiai Pusparuri tidak memperhitungkan hal
itu," berkata Sentika didalam hatinya.
Tetapi Laksita berkata lain didalam dirinya, "Tentu bukan
kewibawaan tinggi, kemampuan yang tidak ada duanya atau
kekuatan gaib yang tersimpan didalam pusaka itu. Tentu
karena Kiai Pusparuri mengetahui bahwa pada wrangka atau
ukiran pusaka yang sedang dicari itu atau pada peti atau kain
pembungkusnya, terdapat keterangan tentang harta yang
tidak ternilai harganya, yang disimpan oleh Pangeran
Pracimasanti sebagai bekal untuk membangun kembali
kekuasaan Keturunan Raden Wijaya. Tetapi sebelum hal itu
sempat dilakukan. Pangeran Pracimasanti telah dipanggil
kembali menghadap penciptanya tanpa diketahui oleh
siapapun kecuali oleh seorang hambanya yang paling setia,
tetapi buta dan tuli."
Namun Laksita tidak mengatakannya kepada siapapun
juga. Tidak pula kepada Sentika. ia menyimpan hal itu didalam
dirinya. Tetapi seperti bara didalam sekam, pengertian itu
telah membakar jantungnya perlahan-lahan. Keinginan yang
serupa untuk memiliki pusaka itu telah menghanguskan
nalarnya, sehingga akhirnya ia tidak mempunyai pilihan lain,
kecuali menemukan pusaka itu. Mengambil keterangan yang
diperlukan, kemudian membiarkan pusaka itu diketemukan
oleh orang lain. Tetapi seperti yang dikatakan, Laksita memang
mencemaskan orang-orang dari perguruan lain. Jika ia
berkesempatan mendengar hal itu, maka adalah tidak
mustahil bahwa orang lainpun kesempatan yang sama.
Bahkan mungkin merekapun dapat mendengarnya lebih
banyak lagi tentang Pangeran Pracimasanti atau tentang
pusaka itu sendiri. Dalam pada itu. Kiai Pusparuripun berkata, "Santika dan
Laksita. Cobalah kau jajagi sampai dimana pendengaran
orang-orang kita sendiri. Pelajari, apakah untung dan ruginya
jika kita memberikan perintah terbuka untuk mencari orangorang
kita yang telah pergi kedaerah Sepasang Gunung Mati
itu." Sentika dan Laksita mengangguk dalam-dalam.
"Baiklah Kiai," berkata Santika yang berkumis lebat itu,
"kami akan melakukannya."
"Waktu kalian tidak panjang. Aku akan segera mengambil
keputusan yang menentukan."
"Baiklah Kiai," Laksitalah yang kemudian menjawab, "aku
memang menganggap bahwa kami berdua belum perlu turun
ke medan perburuan pusaka itu. Tetapi jika perlu dan keadaan
memaksa, maka sudah barang tentu, kami berdua tidak akan
berpangku tangan. Apalagi kami mengetahui, bahwa pusaka
itu mempunyai arti yang sangat besar bagi seseorang yang
memilikinya." "Terima kasih. Tetapi lakukanlah perintahku yang
pertama," sahut Kiai Pusparuri.
"Ya Kiai," hampir berbareng keduanya menjawab.
Kemudian Sent ika dan Laksitapun minta diri dari hadapan
Kiai Pusparuri. Mereka ingin segera mengetahui, apakah
medan yang mereka hadapi merupakan medan yang sulit dan
berat, bahkan tidak akan terseberangi.
Di halaman padepokan, dibawah sebatang pohon yang
rimbun, mereka sempat berbincang sejenak, apakah yang
sebaiknya akan mereka lakukan.
"Kita masuki barak anak-anak itu. Kita bertanya, apakah
yang mereka ketahui tentang Pangeran Pracimasanti," desis
Sentika. "Terlalu langsung," sahut Laksita, "kita mencoba berbelitbelit
sejenak. Mengucapkan kata-kata yang sulit mereka
mengerti. Kemudian baru kita akan sampai pada pokok
masalahnya, sehingga seolah-olah yang kita tanyakan itu
bukannya pokok persoalan yang sebenarnya. Dengan
demikian mereka tidak akan terpancang pada persoalan itu
saja. Kepada orang lainpun mereka tidak akan
memperbincangkannya lagi."
"Kau selalu cerdik. Aku setuju. Karena itu, kau sajalah yang
mula-mula berbicara. Sedikit berbelit-belit dan tidak mereka
ketahui. Kemudian baru kau bertanya sambil lalu. Dan dengan
acuh tidak acuh, apakah diantara mereka mengetahui serba
sedikit tentang Pangeran Pracimasanti."
"Jika tidak seorangpun yang tahu, kita mundur sedikit. Kita
bertanya tentang Sepasang Bukit Mati. Jika mereka tidak
mengerti, kita bertanya tentang yang lain lagi. Tentang
Lumban dan sekitarnya dan tentang Ular Sanca dan kedua
orang kita yang tidak kembali itu."
Sentika mengangguk-angguk, ia memang menganggap
laksita cerdik dan pandai berbicara. Karena itu, maka
diserahkannya soal itu kepada Laksita untuk
menyampaikannya kepada orang-orangnya. Orang-orang
padepokan Pusparuri yang terikat kepada suatu anggapan,
bahwa Kiai Pusparuri, guru mereka adalah orang yang paling
mumpuni diseluruh muka bumi. Dengan demikian, maka apa
yang dikatakan, apa yang diperintahkan dan apa yang
diputuskan, adalah ketentuan yang tidak dapat diganggu
gugat lagi. Ketika kemudian Sentika dan Laksita berdiri diantara orangorang
perguruan Pusparuri. seperti biasanya keduanya
disambut dengan hati yang berdebar-debar dari orang-orang
yang selalu siap menunggu perintah.
Dengan caranya Laksita memberikan sesorah singkat, ia
mengucapkan kata-kata yang muluk dan sulit dimengerti.
Menyinggung mengenai masa depan dan harapan-harapan
bagi setiap orang yang patuh. Namun akhirnya ia sampai juga
pada maksudnya. Sambil lalu ia bertanya, "apakah ada
diantara mereka yang pernah mendengar nama Pangeran
Pracimasanti." Ternyata tidak seorangpun yang pernah mendengarnya.
Ketika kemudian Laksita bertanya tentang Sepasang Bukit
Matipun tidak ada yang pernah mengetahuinya pula.
Sedangkan ketika Laksita terpaksa menyebut padukuhan
Lumban. maka beberapa orang diantara mereka menyatakan
bahwa mereka memang pernah mendengarnya.
"Tidak ada gunanya kita berbicara dengan mereka,"
berkata Laksita ditelinga Sentika, "mereka adalah kerbaukerbau
dungu yang hanya dapat diperintah dan dibentak."
"Jadi?" Laksita mengangkat pundaknya, Katanya, "Aku tidak
melihat jalan lain. Akhirnya kita juga yang harus berbuat
sesuatu untuk menemukannya."
"Kau tadi yang mengatakan bahwa kita belum perlu untuk
pergi ke Lumban mencari keterangan tentang pusaka itu.
Apakah kau mempunyai pertimbangan lain sekarang ?"
"Aku mempunyai pertimbangan lain setelah aku melihat
kenyataan ini." "Apa?" Laksita tidak menjawab. Dipandanginya beberapa orang
yang termangu-mangu memperhatikannya dengan saksama.
"Nanti sajalah," desis Laksita.
Seperti biasa Sentika tidak membantah. Ia terlalu percaya
kepada kecerdikan Laksita, sehingga karena itu, maka iapun
mengangguk-angguk diam. Sementara ku, maka Laksitapun segera menutup
pertemuan itu. Dengan lantang ia berkata, "Bersiaplah.
Mungkin dalam waktu dekat kalian akan mendapat tugas
khusus. Mungkin dua atau tiga orang. Tetapi mungkin delapan
atau sepuluh." Wajah-wajah yang mendengar perintah itu menegang
sejenak. Namun merekapun segera mengangguk-angguk. Ada
diantara mereka yang merasa lebih senang berada di arena
tugas betapapun beratnya. Kadang-kadang didalam tugas
mereka mendapatkan sesuatu yang berharga, yang tidak
diketahui oleh orang lain, sehingga dapat dimilikinya sendiri.
Satu dua orang diantara mereka telah pernah mendapatkan
keris atau timang dari emas. Kadang-kadang sebentuk cincin
atau kadang-kadang mereka sempat merampas perhiasan
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang sedang dipakai oleh seseorang. Atau dengan berdebardebar
menyempatkan diri berbuat kasar terhadap perempuan
dan gadis-gadis. Ketika orang-orang itu telah meninggalkan Sentika dan
Laksita, maka mulailah Laksita menjelaskan, "Tidak ada
harapan. Aku masih berharap bahwa mereka dapat mengerti
serba sedikit. Tetapi ternyata mereka memang terlalu bodoh
dan dungu. Untuk melakukan kekerasan, mereka adalah
orang-orang yang memang pilihan. Tetapi untuk menentukan
sikap, memang seharusnya bukan mereka. Aku tadi keliru
menilai." "Jadi menurut pendapatmu, kita berdua lebih baik pergi ke
Lumban untuk menangani masalah ini secara langsung ?"
Laksita menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya,
"Kita berdua, atau salah seorang dari kita. Atau kita bersamasama
mencari keterangan dengan sasaran yang berbeda agar
kita dapat membagi tenaga dan kesempatan, tidak harus
langsung ke Lumban."
"Jika demikian, kita akan menyampaikan kepada Kiai
Pusparuri. Aku memang condong berbuat demikian sejak
semula untuk mempercepat penyelesaian. Bagiku lebih cepat
lebih baik. Korban akan dapat dikurangi."
"Kita mendapat waktu satu hari satu malam untuk
menyampaikan gagasan kita," desis Laksita.
"Aku condong untuk segera menyampaikannya, agar kita
segera dapat berbuat sesuatu."
"Jangan tergesa-gesa. Kita menunggu semalam. Mungkin
kita masing-masing menemukan sesuatu yang lebih baik dari
yang kita pikirkan sekarang ini."
Sentika mengangguk-angguk. " Baiklah. Aku akan
menyabarkan diri semalam ini. Aku akan tidur dirumah isteriku
yang ke tiga. Ia memerlukan aku malam ini, karena sudah dua
hari ia sakit panas."
"Persetan dengan isterimu yang ketiga, keempat atau
ketigapuluh sembilan. Masalah yang kita hadapi adalah
masalah yang gawat. Dengan pusaka itu ditangan, Kiai
Pusparuri akan mempergunakan segala pengaruh dan wibawa
yang ada untuk mempengaruhi pimpinan pemerintahan.
Sementara Kiai Pusparuri sedang memperhitungkan setiap
langkah, bagaimana ia dapat menyelusuri jalan yang licin
disela-sela kuasa para Adipati dan pimpinan tanah Perdikan
diluar istana, dan para Bupati dan Nayaka serta para Panglima
didalam istana, kau ribut dengan isterimu yang tidak terhitung
jumlahnya itu." "Bukan maksudku. Memang mereka tidak penting. Tetapi
bagaimanapun juga merupakan sebagian dari hidupku."
"Besok pagi-pagi kita bertemu. Kita akan menentukan
langkah yang paling baik menghadapi masalah yang gawat ini.
Kita masih harus memikirkan orang-orang Kendali Putih,
orang-orang Gunung Kunir dan ibhs-iblis dari Sanggar
Gading," berkata Laksita sambil menghentakkan tangannya.
Dalam pada itu, di daerah Lumban, anak-anak muda masih
saja bernafsu untuk mendapatkan pengetahuan olah
kanuragan dari Daruwerdi. Ketika senja mulai turun, maka,
latihan yang diadakan didekat bukit gundul itu berakhir.
Sakelompok-sekelompok anak-anak muda dari Lumban Wetan
dan Lumban Kulon meninggalkan bukit gundul itu kembali
kepadukuhan. Tidak ada diantara mereka yang berani seorang
diri singgah disungai. Karena itulah, maka sebagian anak-anak
muda itu bersama-sama dalam kelompok yang besar turun
dan mandi bersama-sama. Meskipun demikian, ketika warna
merah dilangit menjadi buram kehitam-hitaman maka dengan
tergesa-gesa mereka berpakaian dan berlari-lari naik keatas
tanggul. "Tunggu, he tunggu," teriak seorang anak muda yang
gemuk. "Cepat," sahut kakaknya, "jika kau ketinggalan, maka kau
akan disergap hantu."
"Jangan sebut," anak gemuk itu semakin ketakutan,
"tunggu aku." Tetapi justru karena ia menjadi semakin ketakutan, maka
kakinya menjadi gemetar. Beberapa kali ia tergelincir ketika ia
memanjat tebing. "Tunggu, hei tunggu," kakaknyapun berteriak.
Beberapa orang anak muda berhenti. Ketika mereka
berpaling, mereka melihat seorang kawannya sedang
menolong adiknya yang gemuk naik keatas tanggul.
"Cepat," teriak salah seorang dari anak-anak muda itu.
"Tunggulah sebentar."
Jlitheng yang ada diantara mereka kemudian berkata, "Kita
menunggu mereka sebentar."
"Sebentar lagi gelapnya menjadi semakin pekat," desis
seorang kawannya. "Tetapi kita tidak sendiri. Kita akan dapat saling menolong.
Hantu itu t idak akan berani mengganggu kita berenam."
Kawan-kawannya berhenti juga meskipun gelisah. Yang lain
telah menjadi semakin jauh dan hilang dibalik gerumbul
perdu. Sejenak kemudian kedua kakak beradik itu telah menyusul.
Merekapun semuanya bergegas menyusul kawan-kawannya
yang telah menjadi semakin jauh.
Namun dalam pada itu, yang menjadi perhatian Jlitheng
sama sekali bukan gelapnya malam dan hantu-hantu yang
mulai berkeliaran. Tetapi ia menjadi curiga, bahwa Daruwerdi
masih berada dibukit gundul ketika anak-anak muda dari
Lumban sudah meninggalkannya.
"Apakah ia mempunyai rencana tersendiri?" berkata
Jlitheng didalamhatinya. Tetapi bersama-sama dengan beberapa kawannya Jlitheng
kembali kepadukuhan Lumban Wetan agar tidak menarik
perhatian mereka. Apalagi kawan-kawannya yang disiang hari
ikut serta membantunya membuat gubug dilereng bukit
berhutan, sebelum mereka pergi kebukit gundul mengikuti
latihan yang diselenggarakan oleh Daruwerdi.
"Pikiran orang tua itu ternyata akan sangat bermanfaat,"
desis seorang kawannya yang bersama Jlitheng kembali
kepadukuhan. "Kita akan segera menyelesaikannya," sahut Jlitheng, "jika
air itu sudah mengalir, maka akan terbukalah hati setiap orang
dipadukuhan ini," ia berhenti sejenak, lalu, "tetapi jangan
memberikan harapan yang berlebih-lebihan kepada sanak
kadang. Jika kerja ini meleset, mereka akan menjadi sangat
kecewa." "Ah, tentu tidak," jawab kawan Jlitheng, "aku belum
mengatakan kepada siapapun."
"Kemarin aku dengar kau berceritera tentang air kepada
pamanmu," tiba-tiba kawannya menyahut.
"O, ya. Baru kepada paman," jawab anak muda itu.
"Kepada Ki Lengit disudut padukuhan, kau juga
mengatakannya." "O ya. Hanya kepada paman dan Ki Lengit."
"Aku mendengar kau berceritera tentang kerja dilereng
bukit itu kepada Jinten, gadis berambut jagung itu."
"Ah. Ya, ya. Baru kepadanya."
"Baru kepada satu, dua, tiga, sepuluh, duapuluh orang."
Kawan-kawannya tertawa. Sementara Jlitheng sambil
tersenyum menengahi, "sudahlah. Tetapi untuk seterusnya,
jangan kau ceriterakan lagi."
Anak muda itu mengangguk-angguk.
Namun dalam pada itu. ketika anak-anak muda dari
Lumban Wetan yang pulang bersama Jlitheng itu satu-satu
sudah masuk kedalam rumahnya, maka Jlithengpun dengan
tergesa-gesa pulang pula kerumahnya. Tetapi ia hanya
sekedar minta ijin kepada ibunya. Kepada perempuan tua itu
ia berkata, bahwa ia akan berada digardu. karena ada
masalah yang akan dibicarakan dengan kawan-kawannya.
Tetapi kemudian dengan tergesa-gesa. Jlitheng telah pergi
kebukit gundul. Seperti yang pernah dilakukannya, maka
dengan sangat berhati-hati ia mencoba untuk mengintai, apa
yang terjadi diatas bukit padas itu.
Beberapa saat lamanya, Jlitheng bersembunyi dibalik
gerumbul dibawah bukit. Jika ia mulai memanjat, maka ia
tidak akan dapat mencari perlindungan dedaunan lagi. Ia
hanya dapat berlindung diantara batu-batu padas yang
mencuat dan lekuk-lekuk yang digoreskan oleh air hujan.
Jlitheng menjadi berdebar-debar ketika ia melihat bayangan
dalam kegelapan. Tidak jauh dari tempatnya bersembunyi.
Bayangan itu melintas kekaki bukit. Namun kemudian nampak
ia duduk diatas batu padas.
"Bukan Daruwerdi," desis Jlitheng didalam hatinya.
Namun Jlitheng menjadi semakin berdebar-debar. Menurut
perhitungannya, tentu Daruwerdi akan segera datang.
Padahal, ketika anak-anak muda Lumban meninggalkan
tempat itu, ia masih tetap duduk diatas batu padas beberapa
langkah dari orang asing itu duduk.
Karena itu, maka Jlitheng harus berhati-hati. Jika ia
bernasib baik, maka ia akan mendengar beberapa masalah
yang selama ini masih tetap gelap baginya meskipun pokokpokok
persoalannya telah pernah di dengarnya.
Jlitheng menjadi gelisah, karena nampaknya orang itu
masih tetap duduk dengan tenang. Sama sekali tidak
menunjukkan kegelisahan seseorang yang sedang menunggu.
Jlithenglah yang kemudian menjadi berdebar-debar. Ia
hampir tidak sabar lagi melihat sikap orang itu, yang sama
sekali t idak terpengaruh oleh keadaan disekelilingnya.
"Mungkin waktunya memang belum sampai," desis Jlitheng.
Tetapi ia harus menahan nafas ketika ia kemudian melihat
bayangan yang lain. Bayangan seseorang yang mendekati
orang yang telah duduk menunggunya.
"Akhirnya kau datang juga Cempaka," desis orang yang
baru datang. Jlitheng menjadi semakin berdebar-debar. Orang itu adalah
Cempaka, yang namanya pernah didengarnya beberapa saat
yang lampau. " Aku sudah mengirimkan pesan itu Daruwerdi," jawab
Cempaka, "apakah kau tidak menerima?"
"Ya. Tetapi aku terlambat menerima pesanmu. Karena itu,
aku menunggumu ditempat ini untuk waktu yang sangat lama.
Bersamaan dengan peristiwa yang sebenarnya sangat
menarik, yang telah terjadi dipadukuhan Lumban."
"Apa yang telah terjadi ?" bertanya Cempaka.
"Seorang anak muda yang dibawa oleh hantu," jawab
Daruwerdi. "Wewe?" "Mungkin." Orang disebut Cempaka itu tertawa. Katanya, "Memang
sangat menarik. Sayang, aku tidak dapat datang pada waktu
itu. Apakah kau tidak berusaha mencari keterangan yang lebih
mendalam?" "Aku terikat disini. Sebenarnya aku juga ingin mencari anak
itu," jawab Daruwerdi yang kemudian menceriterakan serba
sedikit tentang hilangnya Kuncung untuk hampir semalam
suntuk. Cempaka tertawa semakin keras. Katanya, "Daerah ini
memang penuh dengan rahasia. Aku sudah mendengar,
orang-orang Kendali Put ih itu hilang di daerah ini. Kemudian
orang-orang Pusparuri juga tidak pernah kembali ke
padepokannya. Aku memang mencurigaimu."
Daruwerdi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia bertanya,
"Berapa orang menurut pendengaranmu yang telah hilang
didaerah ini?" "Tiga orang Pusparuri dan empat orang Kendali Putih,"
jawab Cempaka. Daruwerdi tertawa. Katanya, "Ceritera yang sangat
menarik." "Kau yang membunuhnya ?" bertanya Cempaka.
Daruwerdi memandang wajah Cempaka yang bersungguhsungguh.
Sambil mengerutkan keningnya ia bertanya, "Kau
bersungguh-sungguh dengan kecurigaanmu itu ?"
"Tentu. Apakah kau dapat menyebut orang lain kecuali
kau?" "Aku tidak ingkar. Tetapi jumlahnya agak berbeda. Ketika
aku berjanji untuk menerima Ular Sanca, maka dua orang
Kendali Putih telah ikut campur dengan membunuhnya.
Karena keduanya memaksa aku untuk berbicara tentang
pusaka itu, maka aku tidak dapat menahan kesabaranku lagi
sehingga keduanya telah aku bunuh. Tetapi hanya itu."
Cempaka menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Ceritera
itu sudah berkembang, atau kau sudah ingkar."
"Kau kenal aku Cempaka. Buat apa aku ingkar " Kau kira
aku takut terhadap orang-orang Kendali Put ih dan orangorang
Pusparuri seandainya mereka mengetahui bahwa aku
yang melakukannya ?"
Cempaka mengangguk-angguk. Jawabnya, "Aku mengerti.
Kau tidak pernah takut terhadap siapapun juga. Tetapi ceritera
itu memang aneh." "Ceritera itu agaknya memang sudah berkembang. Tetapi
bahwa ada dua orang Kendali Put ih yang pernah datang,
memang mungkin sekali. Seorang anak muda dari Lumban
Wetan mengaku pernah diseret oleh dua orang yang tidak
dikenal. Tetapi ia tetap hidup."
Cempaka mengerutkan keningnya. Katanya, "Daerah yang
disebut Bukit Mati ini memang daerah yang aneh. Mungkin
memang benar bahwa Sepasang bukit ini adalah bukit yang
tidak dapat dijamah oleh manusia. Siapa yang bermain-main
dengan Sepasang Bukit ini akan mat i karenanya."
"Kau mulai mempercayainya ?" bertanya Daruwerdi.
Cempaka tertawa. Katanya, "Dan kau masih juga belum
mati sampai hari ini. Tetapi memang mungkin akan terjadi
besok atau lusa." "Dan kaupun mulai bermain dengan Sepasang Bukit Mati
itu pula," jawab Daruwerdi
Keduanya tertawa. Sementara Jlitheng menahan nafasnya.
Ia sadar bahwa kedua orang dibukit gundul itu adalah orangorang
yang memiliki kemampuan yang tinggi, sehingga jika ia
tidak berhati-hati, maka ia akan terjebak dalam kesulitan.
Sementara itu, Cempaka berkata, "Sudahlah Daruwerdi.
Biarlah aku mencari keterangan yang lebih banyak tentang
orang-orang Kendali Putih dan orang-orang Pusparuri yang
hilang itu. Meskipun aku sudah berpesan kepada murid-murid
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sanggar Gading, bahwa jika aku juga tidak kembali, maka aku
telah ditelan oleh Sepasang Bukit Mati."
Daruwerdi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kau
bergurau. Tetapi mungkin itu mempunyai kepentingan dengan
kau." "Butalah," jawab Cempaka " .tetapi bagaimana dengan
persoalan kita " Aku tahu. bahwa kau sudah mempunyai sikap
yang pernah kau tawarkan kepada orang-orang Pusparuri.
Tetapi mungkin kau mempunyai pertimbangan lain tentang
pusaka itu ?" "Sudah pernah aku katakan. Aku sudah berjanji dengan
orang-orang Pusparuri. Kecuali jika pihak lain dapat
menunjukkan bukti bahwa mereka lebih berkepentingan
dengan pusaka itu daripada Kiai Pusparuri sendiri."
"Bukti itu pernah aku tawarkan. Bukan aku sendiri. Tetapi
seseorang yang mempunyai derajat yang sesuai dengan
pusaka itu. Jika ia memiliki pusaka itu, maka ia akan menjadi
seorang yang berderajat sesuai dengan derajatnya yang
sebenarnya. Ia sama sekali tidak ingin merampas kemukten
dengan memiliki tahta. Tetapi ia ingin menggenggam hakekat
dari kekuasaan yang sebenarnya, yaitu pada inti kekuatan.
Dengan kekuatan itu ia akan dapat berbuat apa saja bagi
kebahagiaan hidup umat manusia."
Daruwerdi tidak segera menjawab. Agaknya ia sedang
merenungi kata-kata Cempaka. Namun kemudian ia bertanya,
"Apakah maksudnya " Apakah ia ingin menjadi Senapati
Agung yang pengaruhnya akan melampaui pengaruh Raja
justru karena ia menguasai prajurit ?"
Cempaka memandang Daruwerdi dengan tajam. Kemudian
ia mengangguk sambil menjawab, "Ya. Begitulah. Dengan
kekuasaan yang benar-benar berlandaskan kekuatan ia akan
dapat berbuat banyak. Ia dapat memperbaiki segala kesalahan
dan kekurangan yang ada, yang nampaknya tidak terjadi
secara kebetulan." Daruwerdi terdiam sejenak. Namun t iba-tiba saja ia
tertawa. Semakin lama semakin keras, sehingga tubuhnya
terguncang-guncang. "Kenapa kau tertawa ?" bertanya Cempaka.
Daruwerdi berusaha untuk menahan tertawanya. Diselasela
suara tertawanya yang tertahan-tahan ia berkata, "Aneh
sekali. Tetapi memang mungkin sekali hal itu dapat dilakukan.
Setelah mempunyai pengaruh yang sangat besar maka ia akan
mengusir raja yang sedang berkuasa."
Cempaka termangu-mangu. Namun kemudian jawabnya,
"Jangan terlalu bodoh. Orang yang aku katakan itu, bukan
orang yang berpikiran kerdil. Ia sadar tentang apa yang
dilakukan." Tetapi suara tertawa Daruwerdi justru meledak.
"Daruwerdi, apakah kau sudah menjadi gila ?"
"Cempaka," berkata Daruwerdi diantara gelak tertawanya
yang semakin menurun, "kau jangan mengira akulah yang
terlalu bodoh atau yang berpikiran kerdil. He, kau kira orang
yang kau katakan itu benar-benar ingin mendapatkan pusaka
itu karena pengaruh gaibnya " Karena dengan memiliki pusaka
itu ia akan mendapatkan kekuasaan dan derajat?"
"Daruwerdi," Cempaka memotong, "kau mulai mengigau.
Coba katakan, jika kau mengerti, apakah yang sebenarnya ?"
"Tidak. Aku tidak mengerti. Bertanyalah kepada orang yang
kau sebut itu. Apakah benar seperti yang aku duga " Atau
benar-benar pengertiannya memang sangat kerdil ?"
Cempaka menjadi semakin tegang. Dengan nada dalam ia
bertanya, "Kau membuat aku semakin bingung. Daruwerdi.
coba katakan, apakah yang kau maksud sebenarnya."
"Aku tidak tahu Cempaka. Tetapi baiklah kau sampaikan
kepada orang yang kau maksud. Selebihnya, aku akan
berusaha untuk menemukan pusaka itu secepatnya
berdasarkan keterangan yang kuterima. Setiap orang tentu
mengira bahwa akulah orang yang memiliki keterangan
terbanyak tentang pusaka itu, karena akulah orang yang
dapat bertemu dan berhubungan dengan pengiring Pangeran
yang terusir dan telah meninggal itu. Meskipun pengiring itu
tua dan cacat." Cempaka menggeram. Katanya, "Kau memang iblis
Daruwerdi. Tetapi berhati-hatilah sedikit dengan sikapmu itu.
Mungkin kau memang seorang yang pilih tanding. Tetapi tentu
ada orang yang melampaui kemampuanmu dan dapat
mencekikmu sampai mati jika kau tidak mau menyebut rahasia
itu." "Siapapun dapat memaksa aku membuka rahasia. Tidak
usah dengan mencekikku. Tetapi aku minta seperti yang
pernah aku katakan," jawab Daruwerdi.
"Kau memang orang gila. Kau minta yang sulit dilakukan.
He, apakah kau kira permintaanmu itu wajar ?" bertanya
Cempaka. Daruwerdi tertawa kecil. Katanya, "Orang-orang Pusparuri
telah menyanggupinya. Tetapi itu tidak terlalu mengikat
bagiku. Jika pihak lain dapat menemukan orang itu lebih
dahulu, maka aku akan mengatakan kepadanya, sejauh yang
aku ketahui tentang pusaka itu."
"Kenapa kau sendiri tidak melakukannya Daruwerdi " Jika
kau merasa seorang yang pinunjul, tentu kau akan berani
datang ke istana Kapangeranan dan menantangnya perang
tanding." "Pertanyaan semacam itu sudah aku dengar beberapa
puluh kali. Orang-orang lain juga bertanya seperti itu
kepadaku. Dan jawabku selalu tidak berubah. Aku harus
mengerti tentang diriku sendiri. Aku tidak akan mampu
melawan para pengawalnya yang jumlahnya jauh melampaui
jumlah pengawal Senapati Agung. Tetapi aku tidak akan dapat
melupakan dendamku kepadanya, karena ia telah membunuh
ayahku," jawab Daruwerdi.
"Kau merasa dirimu terlalu lemah. Tetapi kau memang
keras kepala. Bagaimana jika terjadi sekelompok kekuatan
menangkapmu dan memeras keterangan dari mulutmu
dengan kekerasan." "Adakah kelompok yang akan berbuat demikian " Aku
adalah orang yang mudah mati. Jika aku ditangkap oleh
sekelompok yang manapun juga, maka rahasia tentang
pusaka itu tidak akan terungkapkan. Kelompok-kelompok yang
sedang memburu pusaka itu akan mendendam terhadap
siapapun yang berani membunuhku. Dengan demikian, maka
kelompok itu tentu akan musna."
"Kau kira tidak ada kekuatan yang dapat menangkapmu
tanpa diketahui oleh orang lain " Sekarang misalnya. Aku akan
dapat menangkapmu dan membawamu kepadepokan tanpa
diketahui oleh orang lain. Dengan satu isyarat, maka orangorangku
akan datang dengan tali yang tidak akan dapat kau
putuskan." "He, kau kira aku juga sendiri, sehingga kau dapat berbuat
curang begitu ?" bertanya Daruwerdi.
"Anak iblis," geram Cempaka, "aku tahu, kau hanya
menggertakku." "Kalau begitu lakukanlah yang ingin kau lakukan itu. Tetapi
jangan menyesal bahwa padepokanmu akan menjadi karang
abang. Orang-orang Pusparuri, orang-orang Kendali Putih dan
orang yang mana lagi. akan bersatu dan menghancurkan
padepokanmu yang sombong itu."
"Gila. Kau sungguh-sungguh gila. Tetapi baiklah, aku akan
mempertimbangkan kemungkinan yang kau kehendaki."
"Kau mempunyai sepasukan pengikut seperti orang-orang
Pusparuri dan orang-orang Kendali Putih. Kau dapat menyerbu
ke istana Pangeran yang tamak itu dan kemudian
menangkapnya dan menyeretnya kepadaku. Aku akan
membunuhnya perlahan-lahan meskipun ia akan merengek
minta maaf kepadaku. Aku tidak gentar berperang tanding.
Tetapi ia sangat curang, sehingga aku tidak akan dapat
mempercayai kejantanannya dengan datang keistananya dan
menantangnya perang tanding, ia t idak akan segan-segan
menggerakkan pengawalnya untuk membunuhku dengan
licik." "Persetan. Aku tidak perlu ceriteramu yang sombong itu.
Katakanlah bahwa kau tidak mampu menghadapinya. Aku
akan melakukannya. Tetapi jika kau ingkar tentang pusaka itu.
maka kau akan mengalami nasib yang paling buruk yang
pernah terjadi atas seseorang."
Daruwerdi tertawa. Dipandanginya orang yang menyebut
dirinya Cempaka itu dengan pandangan yang kecut.
"Jangan mengancam. Belum tentu bahwa kaulah yang akan
dapat membawa pangeran itu kepadaku. Mungkin orangorang
Pusparuri. Mungkin dari pihak lain. Aku akan
memberikan penawaran terbuka kepada siapapun. Hanya
orang-orang Kendali Putihlah yang bodoh, yang ingin
memaksakan kehendaknya tanpa melalui pembicaraan yang
baik. Karena itu mereka tidak akan pernah kembali
kepadepokannya." "Dan kau telah melakukan sampai dua rambahan. Dua
orang yang kau bunuh terdahulu. Kemudian dua orang lagi.
Sedangkan yang terakhir adalah dua orang Pusparuri."
"Itu ceritera yang sangat gila. Kau sengaja membuat
ceritera semacam itu agar orang-orang Kendali Put ih dan
Pusparuri mendendamku. Tetapi jika mereka membunuh aku,
maka kaupun kehilangan kesempatan sama sekali untuk
memiliki pusaka itu."
Orang yang disebut Cempaka itu menarik nafas dalamdalam.
Katanya kemudian, "Ternyata aku berhadapan dengan
orang yang paling licik yang pernah aku kenal. Daruwerdi, aku
kira bahwa kau adalah seorang laki-laki jantan dan berpegang
teguh pada setiap janji yang kau ucapkan. Tetapi sekarang,
kau sudah berubah sama sekali. Kau bukan lagi Padmasana
yang aku kenal. Setelah kau memasang gelar yang asing itu,
kau benar-benar menjadi orang asing bagiku."
"Mungkin," jawab Daruwerdi, "tetapi itu bukan terjadi
dengan tiba-tiba dan dengan sendirinya. Ada sebab yang
menyebabkan aku berubah jika dugaanmu benar."
"Kematian ayahmu ?" bertanya Cempaka.
"Ya. Kematian ayahku telah membuat aku lupa segalagalanya.
Aku lupa akan diriku sendiri disaat yang lampau.
Lupa akan sifat dan watak itu. Yang aku inginkan kemudian
hanyalah membalas dendam. Itu saja. Dan bagi mereka yang
dapat menolongku, aku menyediakan imbalan yang tidak
ternilai harganya, meskipun belum sepadan dengan nilai
ayahku itu." "Kau memang anak iblis. Tetapi baiklah, aku akan
melakukannya. Berapa hari kau memberi aku waktu ?"
"Lebih cepat lebih baik," jawab Daruwerdi.
"Dan pusaka itu kini sudah ditangaumu ?" bertanya orang
itu. "Pertanyaanmu juga gila. Aku tidak dapat menjawab.
Tetapi demikian orang yang aku maksud itu kau serahkan
kepadaku, maka imbalan itupun akan kalian terima."
"Perubahan sifat dan watakmu membuat aku ragu-ragu."
"Terserah kepadamu," jawab Daruwerdi.
Cempakapun kemudian bangkit dan berjalan selangkah
maju. Katanya, "Aku akan melakukannya. Bukan saja karena
pusaka itu. Tetapi aku menjadi kasihan melihat seorang anak
muda yang pernah dipuji karena kejantanannya, tiba-tiba
telah menjadi licik dan pengecut."
Tiba-tiba saja Daruwerdi tertawa berkepanjangan. Katanya,
"Jangan mencoba menyinggung harga diriku. Aku sudah tidak
mempunyai harga diri lagi. Kau boleh menghina aku. Kau
boleh mengumat tanpa kendali. Apa saja yang kau katakan
tentang diriku tidak akan aku hiraukan. Bagiku, orang itu
dapat kau bawa kemari."
Terdengar Cempaka menggeretakkan giginya. Tetapi ia
masih berjalan mondar-mandir.
"Sudahlah Cempaka," berkata Daruwerdi kemudian, "aku
tidak dapat terlalu lama disini. Aku akan pergi kegardu ronda.
Aku senang berada digardu bersama anak-anak muda yang
bodoh dan dungu. Yang hanya tahu merebus ketela pohon
sambil berkelakar tanpa arti. Jika kau perlukan aku, hubungi
aku. Aku akan sangat bergembira jika kau segera datang
dengan orang yang aku inginkan itu."
Cempaka menggeram. Tetapi ia t idak menjawab.
Daruwerdilah yang kemudian meninggalkan tempat itu
lebih dahulu, sambil berpesan, "Jika kau terlambat, maka
pusaka itu akan jatuh ketangan orang lain, dan kau akan
kehilangan kesempatan tanpa batas kemungkinan."
"Gila," geram Cempaka sambil menghentakkan tangannya.
Tetapi Daruwerdi justru tertawa sambil meninggalkan tempat
itu. Sepeninggal Daruwerdi, Cempaka masih duduk beberapa
saat sambil merenungi kata-kata Daruwerdi. Sekali-kali masih
terdengar ia menggeramdengan kesal.
Dalam pada itu, Jlitheng yang merasa tidak perlu lagi
menunggui Cempaka yang sedang merenung itupun kemudian
beringsut. Ia akan segera meninggalkan tempat itu, menemui
kawan-kawannya digardu. Jika ia terlalu lama tidak nampak,
mungkin kawan-kawannya akan mencarinya. Apalagi jika
mereka tidak menemukannya dirumah. Maka tentu akan
timbul berbagai macam dugaan. Mungkin justru ada yang
menyangka bahwa ia telah dibawa hantu seperti Kuncung.
Tetapi malang bagi Jlitheng. Diluar sadarnya, betapapun ia
berhati2, namun seekor burung gemak yang bersembunyi
digerumbul pula, telah terkejut dan meloncat berlari sambil
memekik-mekik karena tersentuh kakinya.
"Gila," geram Jlitheng didalam hatinya. Tetapi ia tidak
mendapat kesempatan lagi. Cempaka ternyata seorang yang
tangkas dan cepat menanggapi keadaan. Demikian ia
mendengar gemerasak dedaunan yang tersibak oleh burung
gemak itu, maka iapun telah meloncat berdiri sambil
menggeram, "Siapa yang telah jemu memandang bintang di
langit ?" Jlitheng menjadi berdebar-debar. Tetapi ia tidak ingin
menanggapi orang itu. Ia masih harus tetap merahasiakan
dirinya sejauh dapat dilakukan. Jika ia t idak menghindar, maka
berarti bahwa ia harus bertempur. Pilihannya adalah dibunuh
atau membunuh. Jika ia mati, maka tugasnya akan selesai
tanpa arti sama sekali. Tetapi jika ia membunuh, maka ia tidak
akan dapat mengikuti perkembangan persoalan yang telah
didengarnya. Kematian Cempaka akan menutup
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
penyelidikannya, karena Daruwerdi akan segera berhubungan
dengan orang lain yang tidak dikenalnya, dan yang masih
harus diselidikinya sejak permulaan sekali.
Tetapi Jlitheng tidak banyak mendapat kesempatan.
Cempaka yang telah berdiri, telah maju selangkah dengan
penuh kewaspadaan. Untuk sesaat Jlitheng masih tetap berada ditempatnya yang
terlindung oleh rimbunnya dedaunan. Namun ia telah bersiap
untuk berbuat sesuatu yang dianggapnya paling baik yang
diketemukan dalam waktu pendek itu.
Dalam pada itu, Cempaka yang bergeser mendekat
menggeram, "Keluarlah dari persembunyian itu. Marilah kita
berhadapan dengan jantan. Apakah kau orang yang disebut
kawan Daruwerdi yang mengawasinya jika terjadi sesuatu ?"
Jlitheng tidak menjawab. Ia masih berdiri diam.
"Cepat, sebelum aku mengambil sikap yang mungkin tidak
akan menyenangkan bagimu," suara Cempaka menjadi
semakin keras. Karena Jlitheng tidak menjawab dan sama sekati t idak
berbuat sesuatu, maka Cempakapun melangkah semakin
dekat. Dengan suara yang gemetar oleh kemarahan, ia
berkata, "He, apakah kau seorang pengecut atau seorang
yang gila." Memang tidak senang disebut sebagai seorang pengecut.
Tetapi Jlitheng masih tetap mengendalikan dirinya. Ia tidak
akan melayani orang itu dalam satu pertengkaran jasmaniah.
Ia tidak mau dibunuh, tetapi terhadap orang itu, ia tidak ingin
membunuh. "Jika kau tetap tidak mau keluar, aku akan.
mengeluarkanmu dari gerumbul itu," agaknya kemarahan
orang itu tidak terkendai lagi.
Jlitheng menjadi berdebar-debar ketika ia melihat Cempaka
itu memungut batu padas sebesar genggaman tangannya.
Kemudian ia memusatkan pendengarannya untuk mengetahui
dimanakah arah yang paling tepat dari orang yang
bersembunyi dibalik gerumbul itu.
Jlitheng yang berada dibalik gerumbul dapat melihat dari
sela-sela dedaunan, apa yang akan dilakukan oleh Cempaka.
Nampaknya memang sederhana sekali. Cempaka akan
melemparkan sebuah batu padas kedalam gerumbul itu.
Namun Jlithengpun sadar, bahwa kekuatan lontar orang yang
bernama Cempaka itu tentu bukanlah kekuatan orang
kebanyakan. Karena itulah, maka iapun telah mempersiapkan
dirinya pula. Seperti yang diduganya, maka sejenak kemudian, Cempaka
telah melemparkan batu padas itu dengan sekuat tenaganya.
Seperti yang diperhitungkan, maka kekuatan lontarannya
benar-benar mengerikan. Yang terdengar kemudian adalah suara gemerasak,
bagaikan angin prahara. Batu yang hanya segenggam tangan
itu telah melanda gerumbul tempat Jlitheng bersembunyi,
bagaikan sebuah pisau yang terbang menebas dedaunan pada
gerumbul itu. Ranting-rantingpun berpatahan dan desir
anginnya bukan saja menggugurkan daun-daun yang sudah
menjadi kuning, tetapi gerumbul itu bagaikan disapu menjadi
gundul. Namun dalam pada itu, orang yang bernama Cempaka itu
sempat melihat, bayangan hitam yang bagaikain angin,
terlontar dari balik gerumbul yang dihantamnya itu kebalik
gerumbul yang lain, sehingga karena itu, kemarahannyapun
telah menjadi semakin menyala dihatinya.
"Siapa kau he " Siapa " Jika kau pengikut Daruwerdi,
katakanlah. Aku tidak akan membunuhmu, meskipun yang kau
lakukan atas perintahnya itu sangat menjengkelkan."
Jlitheng tidak menjawab. Tetapi seolah-olah ia tidak berani
berkedip, karena Cempaka telah memungut batu padas
sebesar genggaman tangannya pula.
"Kau harus mengerti, dengan siapa kau berhadapan,"
geramCempaka. Jlitheng telah bersiap-siap menghadapi prahara yang luar
biasa itu. Jika sekali lagi Cempaka melemparkan batunya,
maka iapun harus segera bergeser kebalik gerumbul
berikutnya. Tetapi apakah ia akan berbuat demikian sampai tiga empat
kali " Jika akhirnya ia tidak sempat lagi berpindah gerumbulgerumbul
yang akan menjadi gundul, maka da harus
menghadapi orang itu. Namun Jlitheng menjadi berdebar-debar ketika ia melihat
Cempaka bersiap untuk mengayunkan batu itu. Dengan
sungguh-sungguh Jlitheng memperhatikan, apa yang akan
terjadi kemudian. Akhirnya Jlitheng memutuskan untuk meninggalkan saja
tempat itu selagi orang yang menyebut dirinya bernama
Cempaka itu belum melihat wajah dan ujudnya. Selain malam
yang buram, juga karena Jlitheng tidak pernah dengan terangterangan
menghadapinya. Karena itu, ketika sekali lagi Cempaka melontarkan batu
padas ditangannya bagaikan hembusan badai yang dahsyat,
Jlitheng tidak lagi meloncat dan bersembunyi kegerumbul
yang lain. Tetapi iapun kemudian meloncat berlari
meninggalkan tempat itu. "Pengecut," Cempaka berteriak ketika ia melihat bayangan
yang dengan tangkas meloncat menghindari lontaran batu
padasnya. Bukan saja bersembunyi dibalik gerumbul yang lain
seperti yang telah dilakukan, tetapi bayangan itupun berlari
dengan cepatnya meninggalkan kaki bukit gundul itu tanpa
menghiraukan gerumbul yang bagaikan dihantam amukan
badai yang mengerikan, hanya oleh sebutir batu padas yang
besarnya tidak lebih dari genggaman tangannya, namun yang
lontarannya dilambari oleh kekuatan yang luar biasa
dahsyatnya. Agaknya Cempaka tidak mau melepaskan orang yang telah
mengganggunya itu begitu saja. Karena itu, maka iapun
segera meloncat mengejarnya. Cempaka merasa bahwa ia
akan dapat menyalurkan, kemampuannya pada lontaran
kakinya untuk mempercepat larinya, sehingga ia akan segera
dapat menangkap orang yang telah membuatnya marah itu.
Sejenak kemudian maka Cempaka telah berlari seperti
angin. Ia menyalurkan kemampuannya yang luar biasa tidak
lagi pada ayunan tangannya yang melontarkan batu padas itu.
Tetapi pada ayunan kakinya untuk segera menangkap
Jlitheng. Tetapi Cempaka terkejut melihat orang yang dikejarnya.
Ternyata orang yang dikejarnya itupun mampu berlari sangat
cepat. Seperti yang dilakukannya.
"Gila," geramnya, "sejak aku melihat ia berhasil
menghindari lemparanku, aku sudah curiga, bahwa ia
bukannya orang yang tidak berilmu."
Karena itu, maka Cempakapun kemudian telah
mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya. Ia
tidak mau kehilangan orang yang telah mengint ipnya dan
mendengarkan segala pembicaraannya, meskipun orang itu
memang mungkin sekali diperintahkan oleh Daruwerdi.
Dalam pada itu, Jlithengpun mengumpat didalam hatinya.
Ternyata orang yang menyebut dirinya Cempaka itu benarbenar
orang yang luar biasa, sehingga ia tidak dapat
memperpanjang jarak antara dirinya dengan orang yang
mengejarnya itu. Tetapi Jlitheng tidak mau tertangkap. Karena itu iapun
berusaha mempercepat langkahnya menyusuri jalan setapak.
Bahkan kemudian iapun memotong arah, melintasi pematang
dan meloncati parit-parit.
Jlithengpun kemudian sadar, bahwa ia tidak akan dapat
berlari lebih cepat lagi. Dan iapun sadar, bahwa ia tidak akan
dapat meninggalkan orang yang mengejarnya. Karena itu,
maka yang dilakukannya adalah memilih jalan yang mungkin
dapat mengurangi kecepatan laju langkah orang yang
mengejarnya, karena Jlitheng merasa, bahwa ia lebih
mengenal jalan-jalan sempit, .pematang-pematang, tanggul
parit dan bahkan menyusup diantara gerumbul-gerumbul
perdu. Tetapn betapum juga, Jlitheng masih sempat membuat
pertimbangan. Ia tidak mau memberikan kesan, bahwa ia
adalah orang dari Lumban Wetan. Iapun tidak mau
memberikan kesan, bahwa ia tinggal diatas bukit berhutan,
karena dengan demikian akan dapat menuntun perhitungan
Daruwerdi atas dirinya yang tinggal di Lumban Wetan, atau
mereka yang menghuni bukit berhutan itu.
Karena itu, Jlitheng justru berlari kearah yang lain sama
sekali. Iapun juga tidak berlari menuju ke Lumban Kulon,
karena dengan demikian ia akan menyusul Daruwerdi yang
tentu berjalan tidak secepat ia berlari.
Sambil berlari orang yang menyebut dirinya Cempaka itupun
mencoba untuk menebak. Namun ia sama sekali tidak
dapat menduga-duga, siapa orang itu, jika ia bukan pengikut
Daruwerdi. "Jika benar ia pengikut Daruwerdi, maka pantaslah jika
orang-orang Kendali Putih dan orang-orang Pusparuri yang
pernah datang kemarn tidak akan pernah kembali," berkata
Cempaka itu didalamhatinya.
Karena pikiran itulah, maka ia mulai menimbang-nimbang.
Ia mulai membayangkan, apakah memang begini cara
Daruwerdi membinasakan lawannya. Ia memancing orang
yang tidak disukainya dengan cara seperti yang sedang terjadi
itu. Kemudian dengan licik membinasakan mereka.
"Persetan," geram Cempaka, "aku bukan orang yang hanya
setingkat dengan budak-budak dari Kendali Putih dan budakbudak
Pusparuri. Aku tidak peduli siapakah orang itu. Aku
harus menangkapnya dan kemudian memaksanya berbicara.
Tetapi setiap kali orang yang menyebuit dirinya Cempaka
itu tanya dapat mengumpat, karena ia jt idak dapat segera
menangkap lawannya. Sebenarnyalah bahwa diantara kedua orang itu telah terjadi
pertempuran yang aneh. Mereka tidak mengadu ketangkasan,
kecepatan bergerak dalam tata kanuragan, tidak pula
mengadu ilmu pedang dan membenturkan kekuatan. Tetapi
mereka sedang berlomba kecepatan berlari dan daya
ketahanan mereka. Mereka harus mengatur pernafasan
mereka sebaik-baiknya agar mereka tidak segera diburu oleh
desah nafas dilubang hidung. Merekapun harus tetap
mempertahankan kecepatan ayunan kaki mereka, agar
mereka setidak-tidaknya dapat mempertahankan jarak antara
keduanya. Demikianlah, maka keduanya telah berlari seperti angin
didalam gelapnya malam. Jlithenglah seolah-olah yang telah
memilih jalan yang akan mereka lalui. Kesempatan memilih
dan pengenalan atas daerah yang menjadi arena bertarungan
itulah agaknya yang memberikan keuntungan kepadanya, ia
dapat dengari tiba-tiba berbelok karena ia memang mengenal
jalur jalan itu dengan baik. ia dengan tangkasnya meloncati
parit yang cukup lebar meskipun tidak berair dimusim kering,
ia dapat berlalu seperti angin dipematang yang sempit, karena
ia mengerti, dimanakah tanah yang keras dan dimanakah
yang gembur atau licin. Karena itulah, maka jarak yang semula bagaikan telah
ditentukan itu semakin lama menjadu semakin panjang.
Jlitheng perlahan-lahan dapat menjauhi orang yang
mengejarnya "Persetan," geram Cempaka, "orang gila itu harus dibunuh
biarpun ia pengikut Daruwerdi."
Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa karena orang yang
dikejarnya seolah-olah menjadi semaikin jauh. Setiap kali ia
mengatur keseimbangan selagi berlari dipematang yang
sempit apalagi kadang-kadang licin dan miring, sehingga
kecepatannya harus dikuranginya.
"O, gila." ia menggeram. Tetapi orang yang menyebut
dirinya bernama Cempaka itu tidak dapat berbuat apa-apa.
Justru yang terjadi adalah, bahwa jarak mereka semakin lama
menjadi semakin panjang. Kenyataan itu memang sangat menyakitkan hati. Tetapi ia
tidak dapat mengingkarinya. Dengan kemarahan yang
menghentak jantung, ia melihat orang yang dikejarnya
semakin lama menjadi semakin jauh menusuk kepusat
kegelapan. "Berhenti pengecut," oleh kemarahan yang memuncak,
maka iapun telah berteriak sekuat-kuatnya. Apalagi Cempaka
menyadari, bahwa mereka sedang berada dibulak yang
panjang, sehingga tidak akan ada orang yang mendengarnya.
Mungkin ada satu dua orang yang berada disawahnya
dimalam hari, tetapi mereka tidak akan dapat berbuat sesuatu
atau memberikan keterangan suatu apapun tentang suaranya.
Tetapi Jlitheng sama sekali t idak berhenti. Ia tidak dapat
menurut i perasaannya yang sakit oleh teriakan-teriakan orang
yang menyebut dirinya Cempaka itu dengan mengumpatinya
sebagai seorang pengecut.
Tetapi iapun tidak dapat melepaskan perhitungannya untuk
waktu yang cukup panjang dalamtugasnya.
Karena itulah, Jlithetng masih berlari terus, Ia sudah
mengelilingi beberapa padukuhan di Lumban Wetan dan
Lumban Kulon lewat bulak-bulak panjang. Bahkan kadangkadang
ia sudah terdorong ketempat yang agak jauh dari
padukuhan Lumban. Namun Jlitheng setiap kali telah
melingkar kembali mendekati bukit gundul itu.
Akhirnya Cempakapun harus mengakui, bahwa ia tidak
akan dapat mengejar orang yang telah bersembunyi dan
mendengarkan percakapannya dengan Daruwerdi. Namun
dugaannyapun kuat, bahwa orang itu adalah pengikut
Daruwerdi yang mendapat tugas daripadanya untuk
mengamati keadaan, seperti yang dikatakan oleh Daruwerdi
sendiri. Ada keinginannya untuk menemui Daruwerdi dan
mengumpatinya, karena kecurigaannya. Tetapi iapun sudah
terlanjur mengatakan kepada Daruwerdi bahwa dengan
isyarat, ia akan dapat memanggil orang-orangnya untuk
datang kebukit gundul dan menangkap Daruwerdi.
Karena itu, niatnya untuk bertemu dengan Daruwerdi itupun
diurungkannya. Lebih baik baginya untuk meninggalkan
tempat itu, dan mempersiapkan diri menghadapi tugas-tugas
berikutnya sehubungan dengan permintaan Daruwerdi untuk
menangkap seseorang yang pernah membunuh ayahnya.
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tetapi Cempaka t idak dapat tergesa-gesa berbuat
demikian, karena ia masih harus melaporkan hasil
pembicaraannya dengan Daruwerdi dan merencanakan
langkah-langkah berikutnya yang mapan.
Dalam pada itu, Jlitheng masih saja berlari. Baru ketika ia
yakin bahwa orang yang menyebut dirinya Cempaka sudah
tidak mengejarnya terus, ia memilih arah yang sebenarnya.
Hampir diluar sadarnya, maka iapun telah melangkah
dengan tergesa-gesa menuju kebukit berhutan. Seolah-olah
ada keharusan baginya untuk datang dan menceriterakan apa
yang terjadi kepada orang tua yang bernama Kiai Kanthi itu.
Ketika Jlitheng mendekati tempat yang dihuni oleh Kiai
Kanthi, malam telah menjadi semakin kelam. Namun agaknya
Kiai Kanthi masih belum tidur menunggui anak gadisnya yang
nyenyak. Karena itu, maka iapun mendengar desir halus
mendekati tempatnya. "Aku Kiai," desis Jlitheng sebelum Kiai Kanthi meloncat
berdiri. Kiai Kanthi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Tentu
ada ceritera yang menarik."
"Apakah Kiai sudah mengetahuinya ?" bertanya Jlitheng.
Kiai Kanthi menggeleng. Jawabnya, "Belum ngger. Tetapi
menilik nafasmu yang bekejaran, maka kau tentu sedang
dalam ketegangan. Dan mungkin kau sudah melakukan
sesuatu yang telah memeras tenagamu."
Jlitihengpun kemudian duduk disampiing Kiai Kanthi diatas
anyaman ilalang. Sejenak ia mengatur pernafasannya. Baru
kemudian ia mulai berceritera.
"Aku tidak tahu Kiai apakah Kiai terlibat didalam masalah ini
atau tidak. Seandainya Kiai akut serta dalam perebutan
pusaka itu, maka aku telah terjebak disini," berkata Jlitheng.
"Kau masih saja ragu-ragu ngger," berkata Kiai Kanthi,
"tetapi akupun menyadari bahwa hal itu wajar sekali. Namun
jika masih ada sedikit kepercayaan, biarlah sekali lagi aku
menegaskan, bahwa aku telah mengungsi dari padepokanku
yang hancur oleh banjir, gempa dan tanah longsor."
Jlitheng menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk
ia berkata, "Aku percaya Kiai."
Namun tiba-tiba saja terdengar Swasti yang masih
memejamkan matanya menyahut, "Percaya atau tidak
percaya, itu bukan persoalan kita ayah, seperti juga kita dapat
percaya atau tidak percaya. Karena sebenarnyalah bahwa
kadang-kadang orang yang menginginkan sendiri, selalu
mempersoalkan niat orang lain."
"Ah," desis Kiai Kanthi, "jika kau masih tidur, tidur sajalah.
Jangan separo tertidur, separo ikut dalam pembicaraan ini,
sehingga kata-katamu tidak ubahnya seperti orang yang
sedang mengingau didalam tidur."
"Aku tilak t idur ayah," jawab Swasti. Tetapi ia tidak bangkit.
Jlitheng menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak banyak
menghiraukan gadis itu. Setelah beberapa kali ia bertemu
maka iapun mulai mengenal sifat gadis itu.
Tetapi tiba-tiba saja Swasti bertanya masih sambil
berbaring dibelakang pohon, "Kenapa Daruwerdi harus
dicurigai dan dibayangi ?"
Kiai Kanthi menarik nafas pula. Katanya, "Seperti yang
selalu aku katakan Swasti, pendatang didaerah ini tentu akan
saling mencurigai." "Tetapi Daruwerdi tidak mencurigai siapapun disini,"
berkata Swasti kemudian. Kiai Kanthi tersenyum. Katanya, "Ia terlalu banyak bertanya
dan banyak memperhatikan kita. Apakah itu salah satu bentuk
kecurigaan atau bukan, aku tidak dapat mengatakannya."
Swasti mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menjawab
lagi. Jlitheng yang termangu-mangupun kemudian berkata,
"Kiai. Besok aku dan beberapa orang kawan akan melanjutkan
kerja ini. Mudah-mudahan air itu cepat dapat dikendalikan.
Besok kita akan mencoba, mengalirkan sebagian kecil dari
arusnya, apakah air itu dapat mengalir seperti yang kita
kehendaki." "Baiklah mgger. Aku kira besok kita sudah dapat
melakukannya. Kita membuka sedikit tebing arus air yang
mengalir ke luweng dibawah tanah itu. Dengan demikian kita
akan dapat mengetahui dan menentukan kerja kita
seterusnya." "Sementara yang lain mulai menaikkan tulang-tulang atap
gubug Kiai itu," desis Jlitheng kemudian.
Kiai Kanthi mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Alangkah
senangnya tinggal dibawah atap, meskipun atap ilalang."
"Beberapa saat lagi, padepokan Kiai akan siap dilereng
bukit ini. Bukan sekedar rumah beratap ilalang. Jika orangorang
Lumban dapat memetik hasil jerih payah Kiai dengan
mempergunakan air itu, maka mereka akan membantu
dengan senang hati."
Kiai Kanthi tertawa. Desisnya, "Mudah-mudahan ngger."
Jlithengpun kemudian minta diri. Ia harus segara kembali
kepada kawan-kawannya. Jika ada kecurigaan Daruwerdi dan
mencarinya, maka tugasnya akan bertambah sulit.
Dihari berikutnya, Jlitheng dan beberapa orang kawannya
telah mulai bekerja pula membantu Kiai Kanthi dilereng bukit
berhutan itu. Salah satu dari yang disebut Sepasang Bukit
Mati. Selagi beberapa orang sibuk memasang tulang-tulang
rumah gubug Kiai Kanthi, maka Jlitheng dan Kiai Kanithi
sendiri dengan sungguh-sungguh sedang memperhitungkan
kemungkinan arus air yang akan mulai dialirkan sedikit demi
sedikit lewat saluran yang sudah disiapkannya.
"Kita akan menyobek tebing saluran air itu sedikit," berkata
Kiai Kanthi. "Dengan demikian, kita akan mengetahui apakah
jalur air itu sudah benar."
"Kita akan memecah batu padas itu Kiai, agar alirannya
tidak cepat membesar karena pintu airnya juga dengan cepat
membesar," berkata Jlitheng.
"Bagus ngger. Bagus. Kita akan membuat pintu air justru
pada batu padas yang keras," sahut Kiai Kanthi.
Kedua orang ituipun kemudian memilih tempat yang paling
baik, sesuai dengan jalur parit yang sudah tersedia. Dengan
hati-hati mereka memecah tanggul yang terjadi dari batu batu
padas yang keras. Seperti yang mereka perhitungkan, maka ketika pintu yang
dibuat oleh Jlitheng dan Kiai Kanthi itu cukup dalam, air yang
bergejolak didalam jalurnya menuju keluweng dibawah tanah
itupun mulai meluap. Sedikit demi sedikit, lewat pintu pada
batu padas yang cukup keras.
"Sudah cukup Kiai," berkata Jlitheng kemudian.
Kiai Kanthi menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya air
yang meluap dan kemudian menjalar menyusuri jalur jalan
yang memang sudah disediakan, menuruni tebing bukit
berhutan itu. "Kita akan melihat, apakah air itu dapat terkendali sampai
kebawah bukit Kiai," berkata Jlitheng, "dan kita akan
mengikut i, apakah luapan air itu akan benar-benar masuk
kedalamsungai." "Jadi?" bertanya Kiai Kanthi.
"Kita akan turun. Aku akan minta agar kawan-kawan
meneruskan kerja mereka, sementara kita turun," jawab
Jlitheng. Keduanyapun kemudian berlari-lari menuruni tebing,
setelah mereka berpesan kepada anak-anak muda yang lain,
yang sibuk dengan gubug Kiai Kanthi. Mereka seolah-olah
berlomba dengan ujung arus air yang menuruni jalurnya.
Kadang-kadang Jlitheng memotong arah, memintas sehingga
ia dapat mendahului arus air yang cukup cepat, meskipun
tidak terlalu deras, karena pintu yang dibuat oleh Jlitheng dan
Kiai Kanthi memang belum terlalu besar.
Ketika mereka sampai dibawah bukit, mereka masih sempat
melihat ujung air itu meleleh dan masuk kedalam parit yang
sudah tersedia. Lewat parit itu, maka airpun menuju ke
padang perdu, menyusup disela-sela gerumbul-gerumbul liar
menuju kesungai yang hampir tidak berair dimusim kering.
"Kita akan segera dapat membuktikan Kiai," berkata
Jlitheng sambil tersenyum, "orang-orang padukuhan Lumban
tidak akan segan berbuat sesuatu bagi Kiai, yang akan
membangun sebuah padepokan. Mungkin padang perdu ini
akan segera berubah menjadi tanah persawahan dan
pategalan yang subur, yang basah disegala musim."
Kiai Kanthi menarik nafas dalam-dalam. Dengan hati yang
berdebar-debar Kiai Kanthi melihat, air yang masih terlalu
sedikit itu akhirnya tumpah kedalam sungai seperti yang
mereka kehendaki. "Kerja kita sudah selesai Kiai, pada tahap pertama,"
berkata Jlitheng kemudian.
"Ya. Kita akan dapat mengatur, seberapa banyak air yang
akan kita sadap dari belumbang itu," sahut Kiai Kanthi.
"Seluruhnya Kiai. Bukankah itu lebih baik daripada air itu
hilang ditelan tanah ?"
Tetapi wajah Kiai Kanthi nampaknya dibayangi oleh keraguraguan,
sehingga Jlithengpun bertanya, "Apa Kiai mempunyai
pendapat lain?" --ooo0dw0ooo-- Jilid 05 "NAMPAKNYA memang demikian ngger. Air itu akan lebih
baik kita pergunakan disini daripada hilang didalam tanah.
Tetapi kau lupa, bahwa pada suatu saat, tempat yang rendah.
Mungkin air yang muncul dari dalam tanah itu, sejak lama
menjadi sumber penghidupan orang-orang disekitarnya. Jika
kita yang disini, menyadap air itu seluruhnya, maka mata air
ditempat yang jauh itu akan menjadi kering. Kau dapat
membayangkan akibatnya atas orang-orang yang
mengantungkan diri pada sumber air itu."
Jlitheng menarik nafas dalam-dalam. Sambil menganggukangguk
ia berkata, "Kiai benar. Aku tidak memikirkan sampai
sejauh itu, Kiai." ia berhenti sejenak, lalu, "justru sikap itu
harus kita perhatikan. Kita harus memberitahukan hal itu
kepada orang-orang lain yang mungkin akan dengan serakah
mengambil air dari belumbang itu seluruhnya bagi tanah
Lumban Wetan atau Lumban Kulon."
"Kemungkinan itu memang besar sekali. Meskipun
demikian, kita akan berusaha untuk meyakinkan mereka,
bahwa mereka tidak boleh terlalu mementingkan diri sendiri."
Jlitheng mengangguk-angguk. Sementara itu, gemericik air
yang menuruni tebing, telah menyatu dengan arus air sungai
yang hampir kering. Pengaruh air dari belumbang itu memang belum nampak.
Tetapi bagi Kiai Kanthi dan Jlitheng, rasa-rasanya semuanya
sudah jelas. Bahkan Jlithengpun kemudian berkata, "Kiai, kita akan
dapat menunjukkan air itu kepada Ki Buyut di Lumban Wetan
dan Lumban Kulon. Mereka akan dapat mengerahkan orangorangnya
untuk membendung sungai atau untuk sementara
mengalirkan arus air itu kedadam parit yang sudah ada,
meskipun kering dimusim kemarau."
Tetap Kiai Kanthi menggeleng. Jawabnya, "Semula aku
tidak memikirkannya ngger. Tetapi sekarang aku melihat,
bahwa jika air itu akan dialirkan langsung keparit, maka parit
itu hanya akan mengairi sawah dan ladang di daerah Lumban
Wetan. Hal itu akan dapat menimbulkan persoalan bagi
Lumban Kulon. Karena itu, memang sebaiknya kita melakukan
seperti yang kau katakan beberapa saat yang lampau. Air itu
masuk kedalam sungai, kemudian diangkat kedalam parit
disebelah menyebelah sungai, sehingga Lumban Wetan dan
Lumban Kulon akan dapat menikmat inya meskipun tidak
memenuhi segala kebutuhan dimusim kering, tetapi sudah
akan dapat mendorong kemajuan hasil tanah yang cukup
besar." Jlitheng mengangguk-angguk. Sambil memandang kearah
Lumban Wetan dan Lumban Kulon ia berkata, "Kiai benar.
Sekali lagi nampak, bahwa Kiai berpikir jauh. Agaknya aku
masih harus mengendapkan diri untuk dapat melihat jarak
seperti yang Kiai lihat. Meskipun sampai saat ini nampaknya
tidak ada persoalan atas Lumban Wetan dan Lumban Kulon.
tetapi jika masailah air itu mulai terasa, justru akan dapat
menimbuilkan persoalan baru yang cukup gawat. Apalagi
menilik sikap putra Ki Buyut di Lumban Kulon. Agaknya
sikapnya tidak selunak sikap ayahnya yang menjadi semakin
tua." Kiai Kanthipun memandangi pula beberapa pedukuhan
diantara bulak-bulak yang tidak begitu subur dan bahkan
kering dimusim kemarau. Sambil mengangguk-angguk ia
berdesis, "Mudah-mudahan akan segera terjadi perubahan.
Tetapi bukan perubahan sifat dan watak orang-orang Lumban
yang ramah dan baik hati. Jika air itu mulai menyentuh daerah
yang kering itu, maka akan mudah timbul nafsu ketamakan
dan rakus. Hal itulah yang harus dihindarkan pada setiap
usaha perubahan keadaan. Beberapa orang akan mungkin
sekali berusaha untuk mendapat yang lebih banyak dari orang
lain." "Tetapi tentu tidak benar pula apabila kita akan
membiarkan kesempatan perbaikan itu terjadi Kiai."
"Ya, ya, ngger. Kesulitannya adalah mencari keseimbangan
itulah," jawab Kiai Kanthi.
Jlitheng menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian
katanya, "Aku akan berbicara dengan Ki Buyut di Lumban
Wetan dan Lumban Kulon, bahwa air telah dapat diarahkan
sesuai dengan kepentingan orang-orang Lumban. Tetapi tidak
segera Kiai." "Malam nanti ?"
Jlitheng menggeleng. Jawabnya, "Lebih baik dua atau tiga
hari lagi setelah semuanya cukup meyakinkan. Sementara
gubug Kiai Kanthipun akan sudah menjadi rapat. Dalam waktu
satu dua hari ini, aku akan pergi Kiai."
Kiai Kanthi mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia
berdesis, "Ada hubungannya dengan permintaan Daruwerdi
seperti yang pernah angger ceriterakan ?"
"Ya. Malam nanti aku pergi. Mudah-mudahan sehari besok
aku dapat menyelesaikan pekerjaan itu, sehingga malam
besok aku sudah berada disini. Jika aku terlalu lama pergi,
akan timbul kecurigaan orang-orang Lumban, terutama
Daruwerdi sendiri. Jika orang yang menyebut dirinya Cempaka
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu sempat menceriterakan kepada Daruwerdi bahwa ada
orang yang mengintainya saat mereka berdua mengadakan
pembicaraan, maka Daruwerdi tentu akan mencari jawab,
siapakah orang yang telah melakukannya itu."
Kiai Kanthi mengangguk-angguk. Ia mengerti, tentu
Jlitheng berkepentingan dengan rencana Cempaka untuk
memenuhi permintaan Daruwerdi sebagai ganti pusaka yang
dijanjikannya. Meskipun pusaka itu sendiri masih belum
ditunjukkannya. "Aku wajib mencari, siapakah orang yang dimaksud oleh
Daruwerdi membunuh ayahnya itu. Apakah benar hal itu
pernah terjadi. Jika benar, maka aku akan dapat mencari jalur,
siapakah sebenarnya Daruwerdi itu, dan untuk siapa
sebenarnya ia bekerja. Sampai saat ini nampaknya ia bekerja
untuk pihak manapun yang dapat memenuhi permintaannya
itu. Tetapi aku masih menyangsikan, apakah pemintaannya itu
memang benar-benar beralasan. Atau ia sengaja
membenturkan kekuatan-kekuatan yang disebutnya sebagai
perguruan Kendali Putih, Pusparuri, dan perguruan yang
dianut oleh Cempaka itu sendiri."
Kiai Kanthi mengangguk-angguk. Katanya, "Aku adalah
orang tua yang sangat picik ngger. Aku tidak pernah
mengetahui apapun juga selain padepokanku yang dilanda
banjir, gempa dan tanah longsor itu. Karena itu, aku tidak
akan dapat ikut membantu, memecahkan masalah itu. Yang
dapat aku lakukan t idak lebih dari membuat parit ini."
"Kiaipun masih perlu diselidiki, apakah yang Kiai katakan itu
benar. Seandainya Kiai benar-benar orang padepokan
terpencil yang dilanda bencana itu, tetapi setidak-tidaknya Kiai
tentu pernah mendengar dan mengetahui beberapa perguruan
yang ini. Apalagi aku mengerti, sampai dimanakah tingkat ilmu
Kiai yang sebenarnya."
Kiai Kanthi mengangguk-angguk. Jawabnya, "Baiklah kita
tidak berbicara tentang hal itu. Jika angger mau pergi, berhatihatilah,
karena masalah yang angger hadapi agaknya masalah
yang cukup gawat." "Ya Kiai," jawab Jlitheng, "tidak banyak Pangeran yang aku
kenal. Jika ada diantara mereka masih mempunyai ikatan
permusuhan karena suatu pambunuhan, maka orang itu
pantas aku telusur lebih jauh, apakah benar orang itu yang
dimaksud oleh Daruwerdi. Jika benar, maka orang itu akan
berada dalam bahaya."
"Tetapi tanpa orang itu, apakah kau akan dapat mencapai
akhir dari tugasmu, sampai saat pusaka itu dapat diketemukan
?" Jlitheng menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Mudahmudahan
aku menemukan satu jalur yang dapat memecahkan
hal itu. Mungkin aku dapat berbicara dengan orang yang
menjadi sasaran dendam Daruwerdi, sehingga aku
menemukan cara untuk memancing pusaka itu."
Kiai Kanthi mengangguk-angguk. Jawabnya, "Silahkan
ngger. Tentu banyak cara. Tetapi tentu banyak pula
kesulitannya. Silahkan pergi barang satu dua hari. Tetapi
angger benar, bahwa lebih cepat lebih baik. karena
penyelidikan itu tidak akan angger lakukan sendiri. Angger
tentu mempunyai orang-orang yang akan angger tugaskan."
Jlitheng tersenyum. Jawabnya, "Kiai mulai berkhayal. Aku
adalah aku seorang diri. Tetapi aku tidak akan membantah
khayalan Kiai yang wajar itu."
Kiai Kanthipuin tertawa juga, sementara Jlitheng berkata,
"Marilah Kiai. Kita kembali. Anak-anak yang membuat gubug
itu tentu sudah ingin beristirahat. Merekapun akan bergembira
jika mereka mendengar bahwa air itu sudah dapat tersalur.
Tetapi tidak terlalu besar."
Keduanyapun kemudian menanggalkan tepian sungai yang
hampir kering dimusim kemarau itu, kembali memanjat tebing.
Seperti yang dikatakan oleh Jlitheng, maka kawannya telah
merasa lelah dan haus, sehingga mereka memerlukan
istirahat. "Swasti tentu sudah menyediakan minuman dan makanan
bagi kita," berkata Jlitheng kemudian.
Seperti biasanya, maka anak-anak muda ituipun kemudian
naik untuk beristirahat. Seperti biasanya pula, Swasti telah
menyiapkan makanan dan minuman bagi mereka.
Hari itu, anak-anak muda yang membantu Kiai Kanthi
membuat gubug telah mendengar dan kemudian ketika
mereka pulang, memerlukan melihat, bahwa air telah dapat
tersalur lewat jalur yang dipersiapkan turun kesungai. Air itu
akan sangat berguna bagi padukuhan Lumban Wetan dan
Lumban Kulon dihari-hari mendatang.
"Tetapi jangan ceriterakan kepada siapapun lebih dahulu,"
berkata Jlitheng, "kita memerlukan pertimbangan yang jauh."
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Mereka mengerti
setelah Jlitheng memberikan penjelasan lebih jauh dari
kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi karena air itu.
"Karena itu, aku akan menghadap Ki Buyut di Lumban
Wetan dan Lumban Kulon. Sebelum itu, aku minta kalian
benar-benar diam." minta Jlitheng sekali lagi.
Kawan-kawannya masih mengangguk-angguk. Sementara
Jlithengpun kemudian berkata, "Dua atau tiga hari lagi aku
akan menghadap Ki Buyut bersama kalian dan
memperkenalkan Kiai Kanthi."
"Kenapa dua t iga hari lagi Jlitheng ?" bertanya seorang
kawannya. "Itulah sayangnya," sahut Jlitheng, "besok aku harus pergi
kerumah pamanku. Aku sudah mengatakan kepada biyung,
bahwa aku sedang sibuk. Tetapi biyung berkeras menyuruh
aku menemui paman. Dengan demikian, aku harus pergi
barang satu dua hari."
"Apakah pamanmu sakit ?" bertanya kawannya yang lain.
"Sudah lama biyung tidak bertemu dengan paman, adik
satu-satunya. Semalam biyung bermimpi bahwa rumah paman
dilanda banjir. Karena itu biyung minta agar aku segera pergi
kerumah paman untuk melihat apa yang terjadi."
Kawan-kawannya mengangguk-angguk, sementara Jlitheng
berkata terus, "Jika saja bukan biyungku yang menyuruhnya,
aku tidak akan bersedia pergi. Tetapi aku tidak dapat
membantah perintah biyung."
Kawannya mengagguk-angguk. Mereka mengerti, bahwa
ibu Jlitheng yang sudah menjadi janda itu tidak dapat
menyuruh orang lain, kecuali Jlitheng. Dan agaknya
Jlithengpun sangat mengasihi ibunya seperti ibunya
mengasihinya. "Jadi besok dan lusa, sebelum kau kembali, kita tidak naik
kebukit ?" "Pergilah. Bantulah orang tua itu." Jlitheng berhenti
sejenak, lalu, "tetapi jangan lupa membawa senjata seperti
biasanya. Jika kalian bertemu dengan harimau, maka kalian
harus melawan beramai-ramai. Jangan justru melarikan diri.
Karena jika kalian melarikan diri, salah seorang dari kalian
akan dikejarnya sampai dapat. Tetapi jika kalian bersamasama
melawan, maka harimau itu tentu akan dapat kalian
kalahkan, betapapun juga kuat dan garangnya seekor
harimau. Apalagi kalian, dihampir tiga atau empat hari sekali
masih terus berlatih kanuragan."
"Ah," desis anak-anak muda itu. Salah seorang berkata,
"Apa yang sudah dapat kita lakukan."
"He, aku sudah dapat mengayunkan parang dengan
dangan baik. Jika harimau itu datang, kalian harus menyerang
beramai-ramai dengan parang atau golok terhunus. Kalian
dapat melakukannya sambil berteriak-teriak. Mungkin harimau
itu akan menjadi takut dan berlari."
"Sudahlah," berkata kawannya, "mudah-mudahan kita tidak
bertemu dengan harimau seperi biasanya. Kebiasaan kami
berteriak-teriak berdendang dan ura-ura agaknya dapat
menakut-nakuti binatang jenis apapun juga."
"Mudah-mudahan," Jlitheng. mengangguk-angguk, ia-pun
sependapat bahwa kebiasaan kawannya berteriak-teriak
didalam hutan itu telah menakut-nakuti harimau yang tidak
terbiasa mendengar suara yang demikian, meskipun Jlithengpun
tahu, bahwa kawan-kawannya berteriak-teriak karena ada
juga yang berasaan takut dan ngeri memasuki hutan yang
masih dihuni binatang buas itu.
Demikianlah, maka ketika bayangan senja turun diatas
padukuhan Lumban Wetan dan Lumban Kuton. maka
Jlithengpun menemui ibunya untuk minta ijin pergi barang
satu dua hari. "Pekerjaan di bukit itu hampir selesai biyung. Kami
bersepakat untuk mengerjakannya siang dan malam."
"Kau mengada-ada saja Jlitheng. Mana mungkin kerja itu
kau lakukan malam hari. Kau akan membuang-buang waktu
saja, dan bahkan mungkin salah seorang dari kalian akan
dapat tergelincir jatuh."
"Malam hari kami hanya mengerjakan anyaman. Dinding,
tutup keyong, atap ilalang dan lain-lain yang masih kurang.
Pagi-pagi kami dapat lekatkannya pada gubug yang sudah
siap itu." "Ah, terserah saja kepadamu. Tetapi hati-hati. Binatang
buas berkeliaran dimalamhari."
"Kami menyalakan obor biyung. Binatang buas takut
kepada api," jawab Jlitheng. Lalu, "Malam nanti aku akan
mulai." Ibunya tidak melarangnya. Karena itu, maka ketika malam
mulai gelap, Jlithengpun minta diri.
"Hantu betina itu akan mencari anak. Pakailah dingo atau
kunyit dikeningmu. Akar dingo akan menjauhkan kau dari
hantu-hantu." Jlitheng menahan senyumnya. Tetapi ia menurut. Ia
mengambil sepotong akar dingo dan diusapkan pada
keningnya. Baru kemudian Jlitheng berangkat meninggalkan
padukuhan Lumban Wetan. "Dimalam hari Jlitheng berjalan dengan cepatnya. Ia tidak
berjalan lewat jalan-jalan yang rata. Tetapi ia memintas
melewati jalan-jalan sempit dan bahkan pematang. Dengan
hati-hati ia melintas tidak terlalu jauh dari bukit gundul. Ia
tidak mau bertemu dengan siapapun. Apa lagi Daruwerdi atau
orang-orang yang berhubungan dengan anak muda itu.
Untuk menghilangkan kesan tentang dirinya, maka Jlitheng
telah mengenakan pakaian yang lain sekali dari pakaianpakaiannya
yang disembunyikan di bulak panjang, di antara
pakaiannya yang disembunyikan di bulak panjang, di antara
batu-batu padas didekat sebatang randu alas yang jarang di
dekati seseorang. Dengan pakaian itu, ia tidak lagi nampak
sebagai seorang anak petani yang hidup sederhana sekali.
Dengan demikian, jika ada seseorang yang tanpa dapat
dihindari melihatnya, sama sekali tidak akan
menghubungkannya dengan seorang anak petani di
padukuhan Lumban Wetan. Karena waktu yang ada bagi Jlitheng tidak terlalu banyak
maka iapun berjalan dengan tergesa-gesa. Ia harus sampai
ketempat ia menyimpan kudanya disebuah padukuhan yang
besar yang agak jauh dari Lumban Wetan, yang dititipkan
kepada seorang saudagar yang sudah dikenalnya sebelumnya,
dipercayanya dan mengerti persoalannya, karena sentuhan
ilmu dari sumber yang sama.
Baru tengah malam ia sampai kerumah saudagar itu. Ketika
ia mengetuk pintu, maka saudagar itupun terkejut. Dengan
hati-hati ia bangkit dari pembaringannya, meraih senjatanya.
Baru kemudian ia berjalan keruang dalam.
"Siapa ?" ia bertanya. Sementara tangannya telah
memegang hulu pedangnya. "Aku paman. Arya Baskara."
"He ?" tetapi ia masih ragu-ragu, "benar kau angger
Baskara ?" "Ya," jawab Jlitheng.
"Baskara siapa " Ada seribu orang yang bernama Baskara."
saudagar itu masih bertanya.
"Baskara Candra Sangkaya," jawab Jlitheng, "apakah
paman sudah lupa suaraku."
"O, kau ngger," dengan tergesa-gesa saudagar itu
membuka selarak pintu. Ketika pintu itu terbuka, maka seorang anak muda berdiri
sambil tersenyum didepan pintu. Oleh cahaya lampu minyak
yang redup, maka saudagar itu segera mengenal, bahwa yang
datang itu memang Arya Baskara.
"Silahkan ngger, silahkan. Kau datang ditengah malam,
sehingga aku terkejut karenanya." saudagar itu
mempersilahkan. "Aku dalam perjalanan ke Demak paman," berkata Jlitheng
yang dikenal oleh saudagar itu bernama Arya Baskara.
"Sehubungan, dengan tugas anakmas ?" bertanya saudagar
itu. "Tentu paman. Dan agaknya persoalannya menjadi
semakin buram. Nampaknya tempat yang disebut Sepasang
Bukit Mati itu menjadi semakin menarik perhatian orang."
"Itu sudah wajar ngger. Kabar tentang Sepasang Bukit Mati
itu tentu cepat tersebar. Jika salah satu kelompok mulai
memperhatikan tempat itu, maka kelompok yang lainpun
tentu akan segera mendengar karena tidak mustahil bahwa
mereka mempunyai orang-orang yang saling menyusup
diantara kelompok-kelompok yang bersaing itu," berkata
saudagar itu pula. Kemudian iapun bertanya, "Lalu, apa pula
yang akan angger lakukan di Kota Raja ?"
"Banyak masalah yang tidak aku ketahui dengan pasti,
paman. Karena itu aku memerlukan bantuan orang-orang
yang berada di Kota Raja. Karena tugas yang aku lakukan
mungkin akan memerlukan bantuan."
Saudagar itu mengangguk-angguk. Katanya, "Itu sudah
wajar sekali, anakmas. Tetapi berhati-hatilah. Mungkin ada
orang-orang yang hilir mudik pula Sepasang Bukit Mati itu,
sehingga kau akan menjumpainya diperjalanan. Jika kau dapat
mengimbangi kemampuannya, maka itu bukannya hambatan
yang berarti. Tetapi jika yang kau jumpai adalah sekelompok
orang yang tidak kau kenal, maka akibatnya akan dapat
menyulitkanmu." Jlitheng tersenyum. Katanya, "Mudah-mudahan tidak
paman. Mudah-mudahan aku tidak bertemu dengan orangorang
itu." Saudagar itu termangu-mangu. Namun nampak kecemasan
membayang diwajahnya. Sehingga akhirnya ia berkata,
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apakah aku dapat mengawanimu diperjalanan?"
Jlitheng tertawa. Katanya, "Terima kasih paman. Paman
masih harus melanjutkan beristirahat."
"Aku juga mempunyai rencana ke Kota Raja meskipun
sebenarnya tidak perlu tergesa-gesa karena urusan
pekerjaanku. Aku meninggalkan beberapa barang ditempat
kawanku berdagang." "Terima kasih. Aku t idak ingin menyulitkan paman. Apalagi
tugas dan pekerjaan paman adalah mencari hubungan seluasluasnya.
Jika karena sesuatu hal paman mulai bermusuhan
dengan satu dua pihak, maka daerah pekerjaan paman akan
menyempit." "Ah," saudagar itu tertawa pula. Jawabnya, "Tentu aku
tidak dapat terlalu mementingkan diriku sendiri. Tetapi jika
kau dapat pergi sendiri, pergilah ngger. Besok atau lusa aku
akan pergi juga ke Kota Raja."
"Aku hanya akan berada di Kota Raja sehari paman. Besok
malam aku akan sampai ketempat ini menjelang tengah
malam. Dan aku akan meneruskan perjalananku ke Lumban
Wetan dengan berjalan kaki."
"Begitu tergesa-gesa ?"
"Karena keadaanku dan tugas yang harus aku lakukan
didekat Sepasang Bukit Mati itu."
Saudagar itu tidak menyarankan sesuatu lagi. iapun
kemudian mempersiapkan kuda yang akan dipergunakan oleh
Arya Baskara. Sengaja ia tidak membangunkan pekatiknya,
agar tidak bertanya-tanya sesuatu tentang tamunya yang
aneh itu, dan yang bahkan mungkin akan diceriterakannya
kepada tetangga-tangganya.
Lewat tengah malam, Jlitheng berpacu meninggalkan
rumah saudagar itu. ia harus berlomba dengan waktu. Pagipagi
Jejak Di Balik Kabut 3 Empress Orchid Anggrek Ungu Kota Terlarang Karya Anchee Min Dendam Sejagad 8
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama