14 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 20
"Aku setuju," berkata Ki Mandira Wilis, "kenapa harus menghadapi mereka dengan penuh ketegangan. Jika kau tidak dapat mengendalikan perasaanmu, maka itu merupakan salah satu kelemahanmu yang berbahaya."
"Lakukan apa yang dikatakan oleh paman-pamanmu itu Pandunungan," berkata Ki Ageng Puspakajang.
Pandunungan menarik nafas dalam-dalam. Namun ia-pun memerintahkan dua orang pengikutnya untuk kembali keperkemahan mereka yang sudah mereka tinggalkan dengan tergesa-gesa karena Pandunungan merasa sangat tersinggung oleh cantrik yang tidak mau memanggil Mlaya Werdi dan menganggap kekuatannya bukan apa-apa.
Beberapa saat kemudian, para pekerja di dapur benar-benar telah membawa beberapa bakul nasi dan lauk-pauk seadanya. Beberapa orang memang merasa masih belum cukup kenyang, sehingga mereka merasa perlu untuk makan lagi. Tetapi sebagian besar dari mereka sudah tidak memerlukannya lagi.
Mlaya Werdi dan mereka yang berada di padepokan memperhatikan gerak-gerik dan tingkah-laku para pengikut Pandunungan itu dengan heran. Kenapa mereka nampak begitu tergesa-gesa mendekati padepokan, namun kemudian mereka berhenti dan membiarkan beberapa orang diantara mereka untuk makan.
"Apa maksud mereka?" desis Mlaya Werdi.
Glagah Putihlah yang menyahut, "justru karena Pandunungan tergesa-gesa memerintahkan pasukannya berangkat, maka ada diantara mereka yang tidak sempat makan atau masih belum cukup banyak."
"Tetapi mereka nampaknya sama sekali tidak berniat segera menyerang."
"Agaknya Pandunungan baru sadar, bahwa ketergesa-gesaannya tidak menguntungkan. Atau mungkin orang-orang tua yang ada di dalam pasukannya telah mencegahnya memerintahkan menyerang sebelum matahari terbit."
"Kenapa?" "Hanya satu kemungkinan."
Mlaya Werdi mengangguk-angguk. Namun kemudian ia melihat satu dua orang dari para pengikut Pandunungan itu berteriak, "He, Mlaya Werdi, apakah kau sudah sempat makan" Jika belum, di sini masih terdapat banyak sisa makanan. Kemarilah, makanlah di sini bersama kami. Kami tidak akan meracunimu."
"Apa maksudnya?" Mlaya Werdi menjadi tegang.
Tetapi Glagah Putih tersenyum. Katanya, "Mereka ingin membalas membuatmu marah."
Sementara itu seorang lagi diantara mereka berteriak, "Mlaya Werdi. Kau harus makan sebanyak-banyaknya. Kesempatanmu kali ini adalah yang terakhir. Kau akan mati di pertempuran ini, sehingga kau tidak akan pernah dapat makan lagi."
"Gila," geram Mlaya Werdi.
Namun Glagah Putih berkata, "Jika kakang menjadi marah, maka tidak akan ada bedanya antara kau dan Pandunungan."
Mlaya Werdi mengangguk-angguk. Tetapi ia-pun bertanya, "Lalu apa yang harus aku lakukan?"
"Menunggu mereka menyerang. Biarkan saja mereka berbuat apa saja."
Mlaya Werdi mengangguk-angguk. Sementara itu masih ada beberapa orang yang berteriak-teriak.
Beberapa orang cantrik menjadi tidak sabar melihat sikap beberapa orang yang berada di depan padepokan. Namun Ki Citra Jati telah menenangkan mereka. Katanya, "Bukankah kita tidak akan membuka pintu gerbang dan menyerang mereka" Karena itu, apa saja yang mereka lakukan, biarkan saja. Kita anggap sebagai tonton an yang menggelikan. Bukankah tingkah laku mereka tidak ubahnya tingkah laku badut-badut dalam pertunjukan tari topeng?"
Cantrik-cantrik itu mengangguk-angguk. Meski-pun demikian, masih juga ada yang menghentak-hentakkan kakinya karena kemarahannya yang bergejolak didalam dadanya.
Sementara itu Glagah Putih-pun berkata, "Nah, jika kita tidak menanggapi sikap mereka, maka mereka akan menjadi jengkel sendiri. Lihat, mereka yang berteriak-teriak menjadi semakin lama semakin kasar."
Mlaya Werdi mengangguk-angguk. Namun ia-pun kemudian tersenyum.
Dalam pada itu, langit-pun menjadi semakin terang. Cahaya fajar menjadi semakin kekuning-kuningan. Pandunungan sendui rasa-rasanya menjadi tidak sabar menunggu matahari terbit.
"Pandunungan," berkata Ki Ageng Puspakajang, "kita mempunyai keuntungan karena pintu gerbang padepokan itu menghadap ke Timur, meski-pun bangunan induknya menghadap ke Selatan."
"Keuntungan apa, Eyang?"
"Pada saat matahari terbit kita akan menyerang mereka dari arah depan padepokan. Sedangkan di arah lain, kita hanya menempatkan kelompok-kelompok kecil unuk mengawasi jika ada yang berusaha melarikan diri."
Pandunungan mengangguk-angguk. Katanya, "Aku mengerti eyang. Mlaya Werdi dan orang-orangnya akan menghadap ke arah matahari terbit."
"Ya. Mereka akan menjadi silau. Bukankah itu satu keuntungan bagimu?"
"Ya, Eyang." "Jika kau tergesa-gesa menyerang sebelum matahari terbit, maka keuntungan karena tingkah laku alam itu tidak kau manfaatkan dengan baik. Kau dan orang-orang di belakang dinding padepokan itu berada dalam keadaan yang sama. Ketika kemudian matahari terbit dan mereka mulai menjadi silau maka kau telah menderita banyak kerugian yang sebenarnya tidak perlu."
Pandunungan mengangguk-angguk sambil menjawab perlahan, "Ya, Eyang."
Sementara itu diatas panggungan Glagah Putih berkata kepada Mlaya Werdi, "Kakang, sebentar lagi matahari akan terbit. Jika Pandunungan menyerang, maka mereka akan mempunyai keuntungan karena padepokan ini menghadap ke Timur."
Mlaya Werdi menganggak-angguk. Katanya, "Ya, di. Pada saat-saat tenang dan damai, kami tidak pernah memikirkannya. Tetapi dalam keadaan seperti ini, maka agaknya arah pintu gerbang ini harus dipertimbangkan lagi. Agaknya kita agak terikat pada arah jalan beberapa puluh patok di depan padepokan ini."
"Kita harus memperhitungkan arah matahari terbit."
"Ya, di." "Para cantrik harus berusaha membidikkan arah anak panah tidak tepat ke arah matahari terbit. Meski-pun dengan demikian sasaran bidikan panah kita tidak mengarah kepada orang-orang ang tepat berada di depan kita."
"Aku mengerti, di," sahut Mlaya Werdi.
Sebelum pertempuran itu mulai, maka Mlaya Werdipun telah menyampaikan perintah dan petunjuk-petunjuknya kepada para cantrik untuk sedikit mengurangi silaunya cahaya matahari pagi.
Beberapa saat kemudian, mulai terdengar aba-aba di pasukan yang mengepung padepokan itu. Aba-aba itu-pun menjadi ibarat pula bagi para cantrik untuk bersiap, karena lawan mereka mulai bergerak.
Para cantrik-pun kemudian telah mempersiapkan senjata mereka. Yang mendapat tugas untuk menahan arus laju pasukan yang akan menyerang padepokan itu dengan busur dan anak panah, telah siap dengan busur mereka.
Anak-anak Ki Citra Jati-pun teiah menggenggam busur di tangan.
"Mereka banyak belajar mempergunakan busur dan anak panah," berkata Ki Citra Jati, "biarlah mereka mencoba membidik sasaran yang bergerak. Biasanya mereka mempergunakan sasaran yang diam, meski-pun sekali sekali mereka juga berlatih dengan orang-orangan yang diayun di pepohonan."
"Hati-hati, ngger," pesan Ki Wasesa, "nampaknya diantara lawan juga ada yang akan melindungi kawan-kawan mereka dengan anak panah."
"Ya, paman. Kami akan berhati-hati," Padminilah yang menyahut.
Di panggungan yang lain, Glagah Putih dan Rara Wulan ternyata juga telah menggenggam busur. Seperti Ki Wasesa, Mlaya Werdi-pun berpesan, "Hati-hatilah dengan anak panah lawan, di."
"Ya, kakang. Kami akan berhati-hati."
Meski-pun kemampuan bidik Glagah Putih tidak setajam Agung Sedayu, namun Glagah Putih-pun memiliki kelebihan. Demikian pula Rara Wulan yang cukup lama berlatih mempergunakan busur dan anak panah.
Ketika cahaya langit menjadi semakin terang, maka pasukan Pandunungan telah benar-henar bersiap. Mereka tinggal menunggu matahari muncul dari balik cakrawala.
Angin terasa semilir menggerakkan dedaunan. Dikejauhan terdengar kicau burung menyongsong terbitnya matahari. Butir-butir embun didedaunan-pun masih nampak berkilauan memantulkan cahaya langit yang cerah.
Terdengar Pandunungan berteriak, menjatuhkan perintah kepada pasukannya untuk mulai bergerak berbareng dengan terbitnya matahari.
"Mereka telah memilih waktu yang tepat," berkata Rara Wulan.
"Ya. Kita harus pandai-pandai mencari kemungkinan di silaunya cahaya matahari pagi."
Namun seperti yang dikatakan oleh Glagah Putih maka mereka tidak membidik sasaran yang tepat berada di arah matahari. Mereka dapat sedikit menghindari silaunya cahaya matahari yang baru terbit itu.
Namun beberapa orang cantrik tidak lagi berusaha membidik. Mereka tahu bahwa sasarannya terhambur di hadapan mereka. Tanpa memidik-pun mereka akan dapat mengenai salah seorang diantara mereka.
Beberapa orang yang langsung menuju ke pintu gerbang lengah mengusung sebuah balok yang cukup besar. Dengan balok itu mereka akan memecahkan pintu gerbang padepokan
"Mereka tentu akan dapat memecahkan pintu," berkata Mlaya Werdi.
"Bukankah para cantrik sudah siap untuk menyambut mereka?"
"Ya. Kita yang sekarang berada disini akan berusaha mengurangi jumlah mereka. Jumlah mereka memang lebih banyak dari jumlah para cantrik. Belum terhitung mereka yang berada di sisi padepokan dan barangkali di belakang."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Diamatinya semua gerak para pengikut Pandunungan dengan saksama. Dengan derap yang mantap mereka bergerak maju. Agaknya mereka yakin, bahwa mereka akan dapat merebut padepokan yang ditinggalkan oleh Ki Brajanata itu.
Ketika mereka mulai mendekati dinding padepokan, maka beberapa orang yang membawa perisai mulai menempatkan diri dipaling depan. Mereka akan menangkis serangan-serangan anak panah ang sudah mereka perhitungkan sebelumnya.
Mlaya Werdi masih belum memberikan perintah untuk mulai menyerang. Namun demikian mereka memasuki jarak jangkau anak panah yang dilontarkan dari busurnya, maka Mlaya Werdi-pun telah memerintahkan membunyikan bende.
Pandunungan agak terkejut mendengar suara itu. Sebelumnya, Padepokan itu tidak pernah memperdengarkan suara bende untuk memberikan aba-aba atau perintah apa-pun.
Ternyata suara bende itu-berpengaruh juga. Suara benderang berkepanjangan itu telah membuat Pandunungan dan para pengikutnya menjadi berdebar-debar.
Tetapi Ki Ageng Puspakajang yang melihat ketegangan di wajah Pandunungan itu-pun berkata, "Suara itu menggelisahkanmu?"
"Telingaku terganggu mendengar suara itu," jawab Pandunungan.
"Ternyata Mlaya Werdi dan para cantrik di padepokan itu cukup cerdik memanfaatkan gejolak perasaan lawannya. Setelah kau dibuat menjadi marah, sekarang, jantungmu telah digelitik agar menjadi panas."
Pandunungan tidak menjawab.
Namun perhatian Pandunungan memang beralih untuk sesaat. Suara bende itu sangat menjengkelkannya. Sementara itu, ia tidak tahu pasti, aba-aba apa yang diberikan oleh Mlaya Werdi dengan bunyi bende itu.
Ternyata tidak ada satu-pun yang dilakukan oleh para cantrik yang berada di panggungan, di belakang dinding padepokan. Bende itu sudah berbunyi beberapa lama, namun belum ada gerakan apa-apa yang mereka perbuat.
"Buat apa bende itu dibunyikan berkepanjangan?" bertanya Pandunungan kepada Ki Ageng Puspakajang.
"Mana aku tahu. Tetapi jangan hiraukan suara bende itu. Pusatkan perhatianmu pada sasaran. Kau telah dibantu oleh alam. Mereka benar-benar menjadi silau oleh cahaya matahari yang baru terbit itu."
Pandunungan mengangguk-angguk. Ia mencoba untuk tidak mendengarkan suara bende yang berkepanjangan itu.
Namun ternyata sejenak kemudian suara bende itu berhenti. Sekali lagi Pandunungan terkejut. Demikian suara itu lenyap, maka dari balik dinding itu seakan-akan memancar anak panah dari busurnya.
"Gila, Mlaya Werdi," geram Pandunungan, "ternyata perintah itu berlaku justru pada saat suara bende itu berhenti."
Ki Ageng Puspakajang justru tertawa. Katanya, "Kakangmu itu mempunyai selera kelakar yang tinggi. Dalam keadaan yang menegangkan, ia masih sempat bergurau dengan aba-abanya."
Pandunungan sama sekali tidak tahu, apakah yang lucu bagi Ki Ageng Puspakajang sehingga orang tua itu tertawa berkepanjangan seperti suara bende itu.
Curahan anak panah dari busur-busurnya diatas panggungan itu memang mengejutkan. Ternyata anak panah yang meluncur pertama kali telah berhasil mematuk dada seorang pengikut Pandunungan yang lengah, karena perhatiannya masih saja tertuju kepada suara bende yang tiba-tiba berhenti itu.
Dengan geram maka Pandunungan-pun berteriak, "Pecahkan pintu gerbang itu."
Orang-orang yang mengusung balok kayu yang besar itu-pun telah berlari-lari langsung menuju ke pintu gerbang. Mereka memanggul balok yang besar itu. Dengan hentakkan yang keras, mereka berharap pintu gerbang itu pecah atau selaraknya patah, sehingga pintu itu-pun terbuka.
Glagah Putih dan Rara Wulan-pun segera bergeser selangkah. Mereka mulai menarik busur mereka.
Ketika anak panah Glagah Putih dilepaskan, maka anak panah itu meluncur dengan derasnya. Suaranya berdesing seperti suara gasing.
Ternyata anak panah itu tepat mengenai dada seorang diantara mereka yang mengusung balok kayu itu. Terdengar orang itu berteriak. Tubuhnya terlempar dan jatuh berguling di tanah.
Orang yang berdiri di belakangnya hampir saja jatuh tertelungkup karena kakinya terantuk kawannya yang dikenai anak panah itu.
Belum lagi gema teriakan itu hilang, maka seorang lagi mengaduh tertahan. Sebuah anak panah yang dilontarkan oleh Rara Wulan telah mengenai pundaknya.
Pandunungan yang melihat kedua orangnya terkena anak panah itu berteriak marah. Diperintahkannya mereka yang membawa perisai untuk lebih berhati-hati.
"Lindungi mereka dengan baik."
Ampat orang yang membawa perisai dengan cepat berlari di sebelah-menyebelah beberapa orang yang mengusung balok kayu itu.
Namun dalam pada itu, anak panah-pun meluncur semakin banyak. Bukan hanya anak panah Glagah Putih dan Rara Wulan. Tetapi anak-anak Ki Citra Jati juga telah melontarkan anak panah mereka dari panggungan yang berbeda.
Namun para pengikut Pandunungan-pun tangkas pula. Orang-orang baru segera berlari mengisi kekosongan diantara mereka yang mengusung balok kayu itu.
Ketika balok kayu itu menghantam pintu gerbang, maka seakan-akan seluruh padepokan itu bergetar. Namun hentakan pertama, masih belum berhasil memecahkan pintu pendapa, hanya mematahkan selaraknya.
Karena itu, maka orang-orang yang memanggul balok kayu itu harus mundur untuk mengambil ancang-ancang. Sementara itu anak panah-pun meluncur semakin deras dari panggungan di balik dinding padepokan di sebelah menyebelah pintu gerbang.
Dibentangan dinding padepokan yang menghadap ke Timur itu. para cantrik masih terus melontarkan anak panah mereka. Sebagian dari mereka sama sekali tidak membidik. Mereka luncurkan anak panah mereka seakan-akan dengan mata terpejam karena cahaya matahari yang silau.
Tetapi karena sasaran mereka menebar, maka ada juga anak panah itu yang mengena. Namun sebagian dari anak panah itu telah mengenai perisai dan langsung jatuh di tanah. Sementara itu para pengikut Pandunungan-pun telah membalas serangan anak panah itu dengan anak panah pula. Mereka mempunyai kesempatan membidik lebih baik. Tetapi para cantrik berada di belakang dinding sehingga sebagian besar tubuh mereka-pun terlindung. Hanya mereka yang nasibnya sangat buruk sajalah yang dapat tersentuh oleh anak nanah para pengikut Pandunungan.
Para pengikut Pandunungan itu-pun berusaha untuk berlari lebih cepat, agar mereka segera mencapai dinding padepokan. Ada diantara mereka yang membawa tali. Ada yang membawa tangga bambu yang akan mereka pergunakan untuk memanjat.
Demikianlah, mereka yang lebih dahulu mencapai dinding padepokan langsung melemparkan tali-tali yang ujungnya berjangkar.
Jangkar-jangkar itu-pun mengait bibir dinding padepokan, sehingga tali itu akan dapat dipergunakan untuk memanjat naik.
Tetapi para cantrik yang berada di panggungan telah bersiap dengan senjata mereka. Ketika mereka tidak mungkin lagi menyerang dengan anak panah, maka mereka mempergunakan tombak pendek atau pedang telanjang di tangan mereka.
Ternyata bahwa para pengikut Pandunungan itu sudah berjatuhan beberapa orang kawan mereka sebelum mereka berhasil memasuki halaman padepokan.
Dalam pada itu, orang-orang yang memanggul balok kayu masih mencoba menghentak pintu gerbang dinding padepokan. Ketika balok kayu itu menghentak untuk kelima kalinya, maka selarak pintu gerbang padepokan itu mulai retak.
Seorang cantrik yang sudah berada di tataran yang tinggi, segera memimpin beberapa orang saudara seperguruanmu, berlutut beberapa langkah di depan pintu gerbang yang hampir terbuka itu. Di tangan mereka tergenggam busur dengan anak panah yang sudah melekat. Sementara itu, di lambung mereka tergantung bumbung yng berisi beberapa anak panah pula.
Ketika terdengar hentakan sekali lagi pada pintu gerbang itu, maka selarak pintu itu benar-benar telah patah. Dengan penuh tenaga beberapa orang yang berada di luar telah mendorong pintu gerbang itu sehingga terbuka.
Namun demikian pintu gerbang itu terbuka, serta beberapa orang berdesakan masuk, maka anak panah-pun telah meluncur dari busurnya. Beberapa orang cantrik yang berlutut pada satu kakinya itu telah melepaskan anak panah mereka hampir serentak.
Terdengar teriakan-teriakan bagaikan mengoyak langit. Orang-orang yang berdesakan memasuki pintu gerbang itu "! Beberapa orang berteriak kesakitan, tetapi yang lain berteriak karena kemarahan yang menghentak-hentak di dada mereka.
Beberapa orang memang jatuh tersungkur. Beberapa orang tergores lengannya. Bahkan ada yang tergores telinganya.
Para cantrik itu sempat meluncurkan anak panah berikut dan berikutnya. Tetapi para pengikut Pandunungan itu sudah bersiap untuk menghadapinya. Yang memegang perisai segera bergeser ke depan. Yang lain menangkis dengan pedang atau dengan mata-senjatanya yang lain.
Ketika para cantrik tidak sempat lagi memasang anak panah di busurnya, mereka-pun segera melepaskan busur mereka dan segera menarik pedang yang mereka sarungkan di lambung.
Pertempuran-pun menjadi semakin sengit. Para cantrik harus menghadapi lawan mereka dengan senjata di tangan.
Beberapa orang pengikut Pandunungan yang berusaha memanjat dinding padepokan dan masih belum berhasil segera mengurungkan niatnya. Mereka-pun segera berlari-lari ke pintu gerbang dan memasuki padepokan sambil mengacu-acukan senjata mereka.
Beberapa orang cantrik yang berada di pegunungan-pun segera berloncatan turun. Mereka-pun segera melibatkan diri dalam pertempuran yang terjadi di halaman padepokan, na- kemudian seperti air, mengalir kemana-mana.
Mlaya Werdi masih berada di panggungan bersama Glagah Putih dan Rara Wulan serta beberapa orang cantrik.
"Apakah kita akan segera turun?" bertanya Glagah Putih.
Mlaya Werdi memang belum begitu mengenal Glagah Putih dan Rara Wulan. Karena itu, maka katanya, "Apakah kalian berada saja di panggungan bersama beberapa orang cantrik sampai aku memberikan isyarat?"
"Aku akan turun bersama kakang."
"Keadaannya tidak menguntungkan, adi."
"Tetapi kami sudah berniat untuk membantu kakang Mlaya Werdi. Betapa-pun kecilnya bantuan kami."
Mlaya Werdi menarik nafas panjang. Namun kemudian katanya, "Baiklah. Tetapi biarlah para cantrik ini menyertai kalian berdua."
Glagah Putih dan Rara Wulan tidak menjawab. Demikianlah, maka Mlaya Werdi-pun segera turun dari Panggungan. Glagah Putih dan Rara Wulan-pun segera turun pula diikuti oleh beberapa orang cantrik yang akan mengawal mereka memasuki gelanggang pertempuran.
Pertempuran semakin lama menjadi semakin menebar kemana-mana. Meski-pun jumlah para pengikut Pandunungan sudah berkurang, tetapi jumlah mereka masih tetap lebih banyak dari Jumlah para cantrik.
Dengan demikian para cantrik harus berjuang dengan mengerahkan segenap kemampuan mereka untuk dapat bertahan.
Ki Wasesa, Ki Citra Jati, dan Nyi Citra Jati yang berada di Panggungan-pun segera turun pula. Mereka tidak dapat sekedar menyaksikan pertempuran itu dari panggungan, sementara pada cantrik harus mengerahkan kemampuan mereka.
Anak-anak Ki Citra Jati-pun telah turun dari panggungan pula. Hampir berbisik Nyi Citra Jati-pun berpesan kepada Padmini, "Ajak adikmu Pamekas untuk mengawasi Setiti dan Baruni. Jangan biarkan mereka berdua terjun di medan perang yang nampaknya ganas ini."
"Ya, ibu." "Nampaknya orang-orang yang dibawa oleh Pandunungan adalah orang-orang yang sulit untuk mengekang diri."
"Ya, Ibu." "Kakangmu Glagah Putih dan mbokayumu Rara Wulan bersama dengan kakangmu Mlaya Werdi."
"Ya, ibu," Padmini mengangguk-angguk.
Sejenak kemudian maka anak-anak Ki Citra Jati itu-pun telah terjun pula ke medan pertempuran bersama para cantrik. Tetapi seperti pesan Ny Citra Jati, Padmini dan Pamekas tidak melepaskan Setiti dan Baruni.
"Kalian tidak boleh berbuat sesuka hati kalian," pesan Padmini, "kalian berdua harus selalu berada bersama aku dan Kakangmu Pamekas."
Setiti dan Baruni mengerti, bahwa saudaranya tidak ingin membiarkan mereka mendapat kesulitan, sehingga karena itu, maka keduanya-pun tidak berniat meninggalkan kedua orang kakak angkatnya itu. Mereka-pun menyadari, bahwa pertempuran itu merupakan arena yang sangat berbahaya bagi mereka.
Namun kehadiran anak-anak angkat Ki Citra Jati bersama beberapa orang cantrik itu sempat mempengaruhi keadaan arena pertempuran. Apalagi ketika Ki Wasesa mulai terjun pula di arena.
Pandunungan yang ada diantara para pengikutnya bertempur dengan garang sekali. Para cantrik akan mengalami kesulitan untuk dapat mendekatinya. Satu dua cantrik telah terlempar dari arena ketika mereka mencoba mendekatinya.
Namun Pandunungan-pun segera mendapat laporan, bahwa para pengikutnya mengalami kesulitan ketika mereka bertemu dengan Ki Wasesa.
"Paman Wasesa terjun langsung di medan pertempuran."
Pengikutnya yang melaporkannya itu-pun menjawab, "Ya. Ki Pandunungan. Ki Wasesa sendiri sudah berada di medan."
"Bagaimana dengan kakang Mlaya Werdi?"
"Agaknya Ki Mlaya Werdi berada di tempat lain, aku tidak melihatnya."
"Aku akan berbicara dengan paman Wiratama, paman Sura Alap-alap, paman Mandira Wilis dan Eyang Puspakajang."
Pandunungan tidak menunggu lagi, iapun bergerak mundur untuk menemui paman-pamannya dan Ki Ageng Puspakajang.
Mendengar laporan Pandunungan, Wiratama tertawa. Katanya, "Kakang Wasesa memang seorang yang aneh. Ia masih saja senang bermain-main dengan anak-anak. Tetapi baiklah. Aku akan menemuinya. Bagaimana dengan pamanmu Citra Jati dan bibimu Nyi Citra Jati"
"Belum ada laporan, paman."
"Mungkin mereka menjadi cemas bahwa para cantrik padepokan ini akan segera dimusnahkan, sehingga mereka merasa perlu untuk segera terjun membantu para cantrik."
"Aku akan mencari kakang Mlaya Werdi," berkata Pandunungan kemudian.
"Berhati-hatilah," pesan Ki Mandira Wilis.
"Ya, paman." "Sebelumnya, temui eyangmu Ki Ageng Puspakajang."
"Eyang ada dimana, paman?"
"Eyangmu masih ada diluar. Nampaknya eyangmu tidak tergesa-gesa. Ia baru melihat-lihat dinding padepokan ini."
"Baik, paman. Tolong, agar paman Wasesa tidak menghabiskan orang-orangku."
Sura Alap-alap tertawa. Katanya, "Pamanmu Wasesa nnkan Bjhu Reksa lingkungan ini yang mempunyai kuasa besar sekali. ku akan menghadapinya dan membunuhnya;
"Jika Citra Jati dan istrinya benar-benar ikut campur, ia akan menyesal. Kami akan menyelesaikannya. Pada saat kami bersama-sama berada di padepokan ini, Citra Jati suami isteri memang orang-orang terbaik di padepokan ini. Tetapi mereka menjadi mabuk oleh kelebihan mereka, sehingga mereka tidak lagi merasa perlu untuk meningkatkan ilmunya. Karena itu, aku yakin, bahwa ilmuku sekarang lebih baik dari ilmu mereka," berkata Wiratama.
"Kami akan mengejutkan mereka," berkata Mandira Wilis.
"Baik, paman. Aku akan menemui Eyang Puspakajang."
"Ia tidak akan menemukan lawan yang akan dapat mengimbangi ilmunya, bahkan seandainya seisi padepokan ini bergabung bersama-sama."
"Ya, paman. Biarlah Mlaya Werdi menyesali kesombongannya itu. Akulah yang akan menghadapinya. Meski-pun kakang Mlaya Werdi adalah murid tertua paman Brajanata telepi aku akan menyelesaikannya dengana cepat. Ia tidak tahu bahwa aku sudah meningkatkan ilmuku sejak aku bertemu dengan Eyang Puspakajang."
"Pergilah." Pandunungan itu-pun segera meninggalkan pamannya untuk menemui Ki Ageng Puspakajang. Seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Seperti yang dikatakan oleh paman-paman Pandunungan. Ki Ageng Puspakajang masih berada di luar pintu gerbang padepokan.
"Eyang," desis Pandunungan.
Ki Ageng Puspakajang berpaling.
"Apa yarg sedang eyang kerjakan?"
"Aku kagumi cara perguruanmu membuat dinding melingkari padepokan ini."
"Apa yang eyang kagumi?"
"Dinding ini kuat sekali. Meski-pun hanya terbuat dan kayu, tetapi sulit untuk menembusnya."
"Eyang," berkata Pandunungan kemudian.
"Ada apa?" "Perang telah berlangsung beberapa lama."
"Aku sudah mengerti."
"Semua orang sudah melibatkan diri."
"Kau ingin aku terlibat langsung sekarang?"
"Aku hanya mohon eyang menyaksikan pertempuran itu."
Ki Ageng Puspakajang tersenyum. Katanya, "Kau memancingku untuk turun ke gelanggang."
"Nampaknya paman Wasesa, paman Citra Jati dan bibi Citra Jati juga sudah turun ke medan. Biarlah Mlaya Werdi aku hadapi. Aku ingin membuktikan bahwa aku lebih baik dari Mlanya Werdi."
Ki Puspakajang itu mengangguk-angguk sambil menjawab, "Baiklah. Aku akan melihat medan."
Pandunungan-pun kemudian mengikuti Ki Ageng Puspakajang memasuki pintu gerbang padepokan yang terbuka lebar. Bahkan sudah tidak ada lagi seorang-pun yang berada di luar kecuali Ki Ageng Puspakajang dan Pandunungan.
Kemudian keduanya-pun segera memasuki pintu gerbang pula. Sejenak Ki Ageng Puspakajang termangu-mangu.
"Dimana paman-pamanmu?"
"Di sisi Utara."
Ki Ageng Puspakajang mengangguk-angguk. Katanya, "Nampaknya semua orang sudah melibatkan diri."
Sebenarnyalah Ki Wasesa, Ki Citra Jati dan Nyi Cina Jati sudah terlibat.
Ki Wasesa yang melihat jumlah mereka yang menyerang padepokan itu lebih banyak dari para cantrik, tidak dapat tinggal diam. Ia tidak dapat membiarkan isi padepokan itu benar-benar dibinasakan oleh para pengikut Pandunungan. Karena itu, maka Ki Wasesa itu-pun segera telah menceburkan diri ke api pertempuran.
Beberapa saat lamanya Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati masih berdiri termangu-mangu. Namun para pengikut Pandununganlah yang dalam kelompok-kelompok menyerang mereka.
Dengan demikian maka Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jatipun sudah bertempur pula melawan mereka.
Namun orang-orang yang telah menyerang Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati itu-pun harus menghadapi kenyataan bahwa seakan-akan disekitar kedua orang itu telah melingkar perisai yang sulit untuk lepat ditembus.
Namun sejenak kemudian Ki Wiratama, Ki Sura Alap-alap dan Ki Mandira Wilis telah hadir pula di pertempuran.
"Wasesa," berkata Sura Alap-alap, "tandangmu seperti seekor harimau yang terluka. Tetapi seharusnya kau malu kepada dirimu sendiri. Sasaranmu tidak lebih dari tikus-tikus kecil yang merubungmu."
"Salah mereka," jawab Wasesa, "kenapa mereka mengganggu harimau yang sedang tidur."
Sura Alap-alap tertawa. Katanya, "Kau masih dapat berbangga. Tetapi baiklah. Sekarang aku ada disini."
"Kau mau apa, Sura Alap-alap?"
"Aku datang untuk membunuhmu. Jangan menyesal dirimu jika kau akan mati disini."
"Tidak. Aku tidak akan menyesal seandainya aku akan mati disini. Tetapi aku-pun tidak akan menyesal jika aku haru membunuh disini."
"Siapakah yang akan kau bunuh?"
"Aku sudah membunuh. Lihat di sekitarmu. Ada beberapa orang yang terkapar karena mereka telah menyerangku. Sekarang, kaulah yang datang. Sebentar lagi kaulah yang akan terkapar seperti mereka."
Sura Alap-alap itu tertawa. Katanya, "Kau aneh-aneh Wasesa. Kau kira bahwa kau akan dapat mengalahkan aku?"
"Aku tidak hanya mengira, Sura Alap-alap. Tetapi aku yakin bahwa aku akan dapat membunuhmu."
Sura Alap-alap tertawa semakin keras. Katanya, "Kau masih juga sempat berkelakar. Baiklah. Sekarang bersiaplah. Kita akan menguji diri. siapakah yang terbaik diantara kita. Kau yang melindungi Mlaya Werdi yang telah dengan tamaknya menguasai padepokan ini, sementara aku berusaha menegakkan kebenaran diatas perguruan kita. Atau bahkan mungkin justru kau dan Citra Jati serta isterinya itulah yang telah membujuk Mlaya Werdi untuk menguasai padepokan dengan cara yang tidak sah itu."
"Kau dapat berbicara apa saja, Sura Alap-alap. Tetapi bersiaplah untuk mati. Aku bukan orang yang mampu mengendalikan perasaan yang sedang bergejolak.
Sura Alap-alap-pun segera bersiap. Sementara itu pertempuranpun berlangsung semakin lama semakin seru.
Dalam pada itu, Wiratama dan Mandira Wilis telah berhadapan pula dengan Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati. Dengan nada tinggi Ki Wiratama-pun berkata, "Citra Jati. Jika kau masih serba sedikit mempunyai sisa-sisa persaudaraan di antara kami, sebaiknya kau tidak melibatkan diri. Kau dan Nyi Citra Jati sebaiknya meninggalkan padepokan ini dan tidak kembali lagi."
"Kami sudah berada disini, Wiratama. Sudah tentu kami tidak dapat begitu saja pergi dan membiarkan Pandunungan berbuat kesalahan yang sangat besar. Sebaiknya kau juga harus ikut berusaha mencegahnya. Bukan sebaliknya, kau justru membantu Pandunungan melakukan kesalahan yang akibatnya akan dapat menjadi sangat buruk itu.
"Kau masih juga tercemar oleh racun yang ditaburkan oleh Wasesa itu?"
"Sama sekali tidak, Wiratama. Tetapi aku yakin akan apa yang aku lakukan di padepokan ini."
"Sebenarnya aku kasihan kepada Ny Citra Jati. Seharusnya Nyi Citra Jati tidak kau bawa keneraka ini."
"Bukan kakang Citra Jati yang mengajakku, Wiratama. Tetapi aku sendiri memang sudah rindu untuk mengunjungi padepokan ini. Karena itu, seandainya aku tidak diajak oleh kakang Citra Jati. aku-pun akan datang kemari. Apalagi setelah aku tahu. bahwa kalian datang untuk menghancurkan padepokan ini."
"Ternyata suaramu masih juga setajam duri, Nyi Citra Jati," sahut Mandira Wilis, "ketika kau masih perawan, kau pernah digelari mawar liar di padang perdu. Kata-katamu tajam menusuk perasaan. Ternyata sampai sekarang kata-katamu masih juga setajam duri."
"Ah. Terserah sajalah, apa yang akan kau katakan. Tetapi aku sekarang sudah berada disini. Aku tidak akan dapat berbuat lain daripada membantu Mlaya Werdi menyelamatkan padepokan ini."
"Baik, baik, Nyi. Kau tentu tidak akan dapat berbuat lain dari suamimu. Sayang pada waktu itu kau tidak menerima lamaranku. Jika saja kau menjadi istriku, kau sekarang akan berdiri di tempat yang benar, karena seperti aku, kau akan berpihak kepada Pandunungan."
Nyi Citra Jati tersenyum. Katanya, "Kenapa kau waktu itu tidak mengatakannya kepadaku, bahwa kau ingin melamarku" Jika saja waktu itu kau katakan niatmu itu."
"Kalau kukatakan niatku, apakah kau akan menanggapinya?"
"Ternyata kau pengecut sejak mudamu, Mandira Wilis."
Mandira Wilis itu menggeram. Katanya, "Kau menghinaku. Tidak seorang-pun dapat merendahkan aku. Karena itu, jangan menyesal jika aku benar-benar akan membunuhmu."
"Sejak tadi sudah kau katakan. Lakukanlah. Kau tidak usah mengekang dirimu."
Mandira Wilis memang tidak menunggu lebih lama lagi. Ia-pun segera bersiap sambil berkata, "Bersiaplah untuk mati. Suamimu juga akan segera mati."
Sambil tertawa Ki Citra Jati menyahut, "Jika aku mati, maka isteriku akan menjadi janda, Mandira Wilis."
"Persetan kau," geram Mandira Wilis.
Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati tertawa. Tetapi mereka tidak mempunyai kesempatan untuk berbicara lagi. Wiratama dan Mandira Wilis mulai bergeser, sehingga Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati-pun harus segera mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan.
Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati-pun kemudian telah mengambil jarak. Agaknya Wiratama dan Mandira Wilis benar-benar sudah akan mulai.
Dalam pada itu, pertempuran di halaman padepokan itu menjadi semakin sengit. Para cantrik harus mengerahkan segenap kemampuan mereka untuk menghadapi para pengikut Pandunungan. Selain cantrik-cantriknya sendiri, maka pasukan Pandunungan itu juga terdiri dari beberapa orang yang dibawa oleh paman-pamannya.
Dalam pada itu, anak-anak angkat Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati-pun telah melibatkan diri pula. Setiti dan Baruni harus mematuhi pesan ayah dan ibunya. Mereka tidak boleh terpisah jauh dari mbokayunya, Padmini dan kakangnya, Pamekas. Keduanya yang sudah disiapkan untuk menerima warisan Aji Pacar Wutah Puspa Rinonce itu telah memiliki landasan ilmu yang tinggi.
Dengan demikian maka keempat anak Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati itu telah mencerai beraikan sekelompok pengikut Pandunungan yang mengepung mereka.
Sementara itu, Pandunungan dan Ki Ageng Puspakajang yang telah berada di dalam halaman padepokan itu sempat memperhatikan keempat anak Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati. Dengan jantung yang bergejolak Pandunungan itu-pun berteriak, "He, siapakah kalian yang dengan sombong ikut terjun dalam arena pertempuran di padepokan ini."
"Kami adalah cantrik dari padepokan ini. "
"Bohong. Meski-pun kalian menampakkan unsur-unsur dari perguruan ini, tetapi aku melihat banyak unsur-unsur yang tidak aku kenali."
Yang menjawab adalah Padmini, "Itu adalah pertanda kepicikanmu kakang."
"Setan. Siapa namamu?"
"Kakang tentu lupa kepadaku. Aku Padmini, kakang."
"Persetan dengan nama itu," tiba-tiba saja Pandunungan itu berteriak kepada para pengikutnya, "Minggir kalian tikus-tikus kecil. Biarlah aku selesaikan perempuan yang sombong ini."
Namun ketika Pandunungan itu menyibak orang-orangnya dengan melangkah mendekati Padmini, terdengar suara, "Pandunungan. Tidak pantas kau bermain-main dengan kanak-kanak."
Pandunungan itu berpaling. Dilihatnya Mlaya Werdi berdiri tegak dengan kaki merenggang.
"Kakang Mlaya Werdi."
"Ya. Aku menunggu kesempatan ini. Kita akan menentukan, siapakah yang terbaik di antara kita."
"Bagus kakang," jawab Pandunungan. Ia-pun mengurungkan niatnya menghadapi Padmini. Tetapi ia melangkah mendekati Maya Werdi.
"Kau akan segera terkubur di sini, Mlaya Werdi. Nisanmu akan selalu memberikan peringatan seisi padepokan ini, siapa yang tamak dan berkhianat, nasibnya akan menjadi sangat buruk sebagaimana nasibmu."
Mlaya Werdi tertawa. Katanya, "Baiklah. Padepokan ini akan menjadi saksi, siapakah di antara kita yang akan tetap hidup."
Mlaya Werdi-pun melangkah mendekat, sementara Pandunungan-pun segera mempersiapkan dirinya.
"Hati-hatilah Pandunungan," pesan Ki Ageng Puspakajang, "di dalam pertempuran seperti ini, maka kita tidak perlu memilih lawan. Karena itu, maka aku akan membunuh siapa saja yang mendekat aku. Aku tidak peduli, apakah ia cantrik yang baru kemarin berada di padepokan ini atau seorang putut yang sudah masak, atau jika ada tamu yang ikut campur."
"Silahkan eyang Puspakajang."
"Jangan menyesal jika seisi padepokan ini akan tumpas tapis sampai orang yang terakhir. Mungkin Citra Jati, mungkin isterinya. Mungkin siapapun juga."
"Kau licik, Ki Puspakajang."
"Licik" kenapa?"
"Kau tidak pantas membunuh cantrik-cantrikku."
"Jangan kau sesali. Ini adalah kemungkinan yang dapat terjadi di dalam sebuah peperangan. Salahmu, kenapa di antara pasukanmu tidak ada seorang yang berilmu tinggi setatanan dengan aku."
Mlaya Werdi menggeretakkan giginya. Dengan geram ia-pun berkata, "Seharusnya kaulah yang menjunjung harga dirimu sendiri sehingga kau tidak akan ditertawakan orang."
Ki Ageng Puspakajang tertawa. Katanya, "Kau masih berbicara tentang harga diri di sebuah peperangan" Jadi apakah kau harus berdiri saja menonton, sementara orang-orangku harus bergulat dengan maut?"
"Kenapa kau tidak menghadapi paman-paman yang mempunyai ilmu setataran dengan kau?"
"Jika mereka sudah mempunyai lawan masing-masing?"
Wajah Mlaya Werdi bagaikan membara. Sementara itu pertempuran menjadi semakin seru dimana-mana. Para cantrik harus mengerahkan segenap kemampuan mereka untuk menahan tekanan para pengikut Pandunungan.
Padmini, Pamekas, Setiti dan Baruni masih saja mendera lawan-lawan mereka, sementara Pandunangan tertahan oleh Mlaya Werdi. Namun sementara itu Ki Ageng Puspakajang menjadi bagaikan hantu yang siap untuk menerkam mereka.
14 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dalam ketegangan itu, tiba-tiba saja sepasang suami istri melangkah mendekat. Dengan nada berat, terdengar suami itu berkata, "Ki Ageng Puspakajang. Namamu telah menebar sampai ke pesisir Lor dan pesisir Kidul. Ternyata aku mendapat kehormatan untuk dapat menemuimu sekarang."
"Kau siapa?" bertanya Ki Ageng Puspakajang.
"Namaku Glagah Putih. Perempuan ini adalah isteriku Rara Wulan."
"Nama yang bagus. Nah, sekarang kalian mau apa?"
"Seperti yang Ki Ageng katakan, kita berada di peperangan. Siapa saja akan dapat menjadi musuh kita."
"Jadi kau akan menempatkan dirimu berdua untuk melawanku?"
"Kita sudah bertemu di medan, Ki Ageng."
"Adi Glagah Putih," Mlaya Werdi menjadi sangat cemas sehingga getarnya terasa pada kata-katanya, "jangan."
Ki Ageng Puspakajang tertawa. Katanya, "Nah, kau dengar" Betapa cemasnya Mlaya Werdi melihat sikapmu. Tetapi aku memaafkanmu karena kau tidak tahu apa yang kau lakukan."
"Aku sadari sepenuhnya apa yang akan aku lakukan."
"Jangan adi Glagah Putih dan adi Rara Wulan." Mlaya Werdi masih mencoba untuk mencegahnya.
Tetapi Glagah Putih sambil tersenyum berkata, "Kami tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Mungkin kami tidak akan pernah mendapat kesempatan seperti ini lagi."
"Ya. Kau tidak akan pernah mendapat kesempatan seperti ini lagi," sahut Ki Ageng Puspakajang, "karena kau dan isterimu akan segera mati. Tetapi aku berjanji bahwa kau tidak akan segera mati pada sentuhanku yang pertama. Aku akan memberikan sedikit pelajaran kepadamu serba sedikit agar ilmumu sempat meningkat sebelum kau mati."
Jawab Glagah Putih memang mengejutkan. Katanya, "Terima kasih atas perkenan Ki Ageng Puspakajang."
Ki Ageng Puspakajang ternyata tersinggung oleh jawaban itu. Bahkan ia merasa seakan-akan Glagah putih telah merendahkannya.
"Cah bagus," berkata Ki Ageng Puspakajang, "kau sama sekali bukan seorang pemberani yang akan mendapatkan gelar pahlawan. Tetapi kau tidak ubahnya anak kecil yang masih belum tahu, bahwa api itu panas. Jika kau berani menggenggam api itu, bukan karena keberanianmu. Tetapi semata-mata karena kau tidak tahu bahwa api itu panas."
Glagah Putih justru tertawa. Katanya, "Ajari aku agar aku tahu bahwa api itu panas, Ki Ageng."
Ki Ageng Puspakajang itu menggeram. Katanya, "Aku tidak mengira bahwa kau adalah anak yang sombong. Kasihan isterimu. Ia cantik dan muda. Tetapi ia akan terseret kedalam arus kesombonganmu, sehingga ia-pun akan mengalami kesulitan."
Dalam pada itu sekali lagi Maya Werdi masih mencoba menghentikan Glagah Putih dan Rara Wulan, "Jangan kau lanjutkan niatmu adi."
"Aku sudah siap kakang."
"Kakang Mlaya Werdi," berkata Pandunungan, "kau tidak akan mendapat kesempatan lagi. Bersiaplah. Jangan campuri lagi persoalan yang dihadapi oleh kedua orang suami isteri yang sombong itu. Semuanya adalah karena salahnya sendiri. Ia akan memetik buah dari tanamannya sendiri."
Glagah Putih-pun menyahut, "Silahkan kakang Mlaya Werdi. Biarlah aku belajar serba sedikit kepada Ki Ageng Puspakajang."
Ki Ageng Puspakajang menjadi tidak sabar lagi. Katanya kepada Pandunungan, "Selesaikan musuhmu itu, Pandunungan. Biarlah aku urus kedua orang suami isteri ini."
Pandunungan tidak menunggu lebih lama lagi. Ia-pun segera bergeser mendekati Mlaya Werdi sambil berkata, "Bersiaplah. Aku akan segera mulai. Aku tidak peduli, apakah kau sudah bersiap atau belum."
Mlaya Werdi tidak dapat berbuat lain. Ketika Pandunungan mulai bergerak, maka Mlaya Werdi-pun melangkah beberapa langkah surut.
Bahkan sejenak kemudian, Pandunungan benar-benar mulai menyerang Mlaya Werdi, sehingga mau tidak mau, perhatian Mlaya Werdi itu-pun harus tertuju kepadanya.
Ki Ageng Puspakajang yang melihat Mlaya Werdi mulai terlibat dalam pertempuran itu-pun tersenyum. Katanya, "Nah. Yang sekarang belum mempunyai lawan adalah tinggal kalian berdua dan aku. Kalian berdua tidak lagi dapat mengharapkan bantuan dari siapa-pun juga."
"Kami memang tidak mengharapkan bantuan dari siapa-pun juga. Kami berharap untuk dapat menyelesaikan tugas yang kami ambil di medan pertempuran ini."
"Berhentilah berceloteh. Bersiaplah untuk mati."
"Bukankah Ki Ageng Puspakajang berjanji untuk meningkatkan ilmu kami serba sedikit?"
Ki Ageng Puspakajang mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia-pun menggeram, "Kau memang orang-orang gila yang tidak tahu diri."
Glagah Putih tersenyum pula sambil menjawab, "Sudahlah. Marilah kita mulai. Semua orang sudah terlibat dalam pertempuran. Kenapa kita masih juga berbicara saja?"
Ki Ageng Puspakajang itu menggeram. Baginya Glagah Putih adalah seorang laki-laki muda yang sangat sombong.
Sejenak kemudian, maka Ki Ageng Puspakajang itu-pun telah bersiap. Sementara Glagah Putih dan Rara Wulan-pun telah mengambil jarak pula.
Ki Ageng Puspakajang menggeram melihat sikap Glagah Putih dan Rara Wulan yang demikian yakin akan dirinya. Keduanya tidak saling merapat untuk menghadapi lawannya tetapi keduanya justru saling menjauh beberapa langkah.
Sejenak kemudian, terasa angin berdesis semakin keras. Kemudian sebuah hentakkan angin terasa menyapu kedua orang yang telah bersiap menghadapi kemungkinan.
Kedua kaki Glagah Putih dan kedua kaki Rara Wulan bagaikan menghunjam jauh kedalam perut bumi. Angin yang kencang itu sama sekali tidak menggoyahkan kedua orang suami isteri itu.
"Itulah agaknya kenapa kalian merasa bahwa kalian akan dapat mengimbangi kemampuanku."
"Kita sudah cukup banyak berbicara," sahut Glagah Putih.
Ki Ageng Puspakajang benar-benar telah tersinggung. Karena itu, maka Ki Ageng Puspakajang itu-pun segera meloncat menyerang. Ia tidak lagi sekedar menjajagi kemampuan kedua orang suami isteri itu. Tetapi serangannya mulai benar-benar terarah kesasaran.
Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan-pun telah benar-benar bersiap. Dengan tangkasnya mereka menghindari serangan Ki Puspakajang.
Namun serangan Ki Ageng Puspakajang itu-pun segera meluncur seperti gelombang di lautan, datang, susul menyusul menghantam tebing.
Namun Glagah Putih dan Rara Wulan cukup tangkas untuk menghindari serangan-serangan itu. Bahkan keduanya-pun telah mulai menyerang pula dari arah yang berbeda.
Ki Ageng Puspakajang menggeretakkan giginya. Serangan-serangannya yang datang susul-menyusul itu masih mampu dihindari oleh kedua orang suami isteri itu Bahkan serangan-serangan mereka yang datang bergantian itu tidak kalah berbahayanya dari serangan serangan Ki Ageng Puspakajang itu sendiri.
Beberapa saat kemudian, Ki Ageng Puspakajang mulai meningkatkan ilmunya pula. Ia tidak ingin bertempur berlarut-larut. Sebagai seorang yang berilmu tinggi, maka ia harus dapat menyelesaikan lawannya dalam waktu yang singkat
"Aku harus segera menghentikan perlawanan mereka," berkata Ki Ageng Puspakajang didalam hatinya, "Pandunungan dan paman-pamannya akan merasa heran jika aku memerlukan waktu yang terlalu lama untuk membunuh mereka berdua."
Karena itu, maka Ki Ageng Puspakajang itu-pun berusaha untuk dengan cepat menghabisi Glagah Putih dan Rara Wulan.
Tetapi ternyata bahwa Ki Ageng Puspakajang tidak segera berhasil. Ketika dengan yakin, Ki Ageng Puspakajang menyerang dada Glagah Putih dengan jari-jari tangan terbuka, maka tangan Ki Ageng Puspakajang itu sama sekali tidak menyentuh tubuh Glagah Putih.
Namun terasa sambaran anginnya menghentak di dada Glagah Putih.
"Ternyata nyawamu cukup liat Glagah Putih," geram Ki Ageng Puspakajang.
Glagah Putih ternyata sempat juga menyahut, "Jadi ilmu inilah yang ingin Ki Ageng ajarkan kepada kami."
"Persetan kau," geram Ki Ageng Puspakajang. Serangan-serangannya-pun menjadi semakin cepat. Ternyata kedua orang suami isteri itu memiliki kemampuan diluar dugaan Ki Ageng Puspakajang, yang merasa dirinya tidak terkalahkan.
Karena itu, maka jantung Ki Ageng Puspakajang itu terasa menjadi semakin panas. Menurut perhitungan Ki Ageng Puspakajang, seharusnya ia sudah sejak lama menghabisi kedua lawannya yang masih muda itu. Tetapi ternyata serangan-serangannya bahkan masih belum berhasil menyentuh pakaian kedua orang lawannya.
Kemarahan Ki Ageng Puspakajang itu menjadi semakin menyala ketika Glagah Putih bertanya, "Terima kasih atas kesempatan ini, Ki Ageng. Jarang sekali seseorang demikian baiknya memberikan ilmunya kepada orang yang belum dikenalnya dengan baik."
Ki Ageng Puspakajang menggeram. Ia-pun kemudian menyadari bahwa kedua orang suami isteri itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Sehingga jika mereka menempatkan diri untuk melawannya, bukanlah sekedar satu sikap yang sombong. Tetapi keduanya memang mempunyai bekal yang memadai.
Namun karena itu, maka Ki Ageng Puspakajang justru membenahi sikapnya. Ia tidak lagi merasa sekedar berhadapan dengan anak-anak yang tidak tahu diri. Tetapi ia harus menempatkan dirinya di hadapan dua orang yang berilmu tinggi.
Dengan demikian maka pertempuran di antara Ki Ageng Puspakajang melawan Glagah Putih dan Rara Wulan menjadi semakin sengit. Ki Ageng Puspakajang-pun telah meningkatkan ilmunya semakin tinggi. Namun Glagah Putih dan Rara Wulan-pun telah meningkatkan ilmunya pula.
Dalam pada itu, pertempuran-pun menjadi semakin sengit dimana-mana. Para cantrik memang mengalami tekanan yang sangat berat. Namun Padmini, Pamekas, Setiti dan Baruni sanggup menyerap lawan semakin banyak.
Di samping mereka, beberapa orang cantrik yang sudah berada pada tataran yang tinggi, mampu pula membimbing adik-adiknya untuk melakukan gerakan-gerakan yang dapat membingungkan lawan. Mereka telah memanfaatkan ruang, bangunan dan tanaman-tanaman ang ada di halaman padepokan itu sebaik-baiknya.
Wasesa masih juga bertempur melawan Sura Alap-alap. Mereka mempunyai landasan ilmu yang sama, sehingga mereka dapat saling menebak apa yang akan dilakukan oleh lawan. Namun ketika meningkatkan ilmu mereka semakin tinggi, maka beberapa unsur gerak lawan tidak dapat dengan mudah dikenalinya lagi
Sementara itu, Wiratama bertempur dengan sengitnya melawan Ki Citra Jati, sedangkan Mandira Wilis harus berhadapan dengan Nyi Citra Jati.
Namun Mandira Wilis itu benar-benar tidak menyangka bahwa ilmu Nyi Citra Jati telah maju dengan pesatnya, sehingga Mandira Wilis harus segera meningkatkan ilmu untuk mengimbangi kemampuan Nyi Citra Jati.
Tetapi semakin lama semakin terasa, bahwa Mandira Wilis itu menjadi semakin lama semakin mengalami kesulitan.
Pandunungan yang marah, agaknya terlalu bernafsu untuk segera menghentikan perlawanan Mlaya Werdi. Namun dengan demikian sejak awal Pandunungan telah membuat beberapa kesalahan.
Para cantrik padepokan itu agaknya harus bertempur tidak saja mempergunakan kemampuan dan ketrampilan dalam olah kanuragan. Tetapi mereka-pun harus mempergunakan otaknya untuk mengatasi lawan yang lebih banyak.
Namun dengan cerdik, para cantrik berhasil setiap kali mengurangi jumlah lawan. Beberapa orang cantrik memancing agar sekelompok lawannya mengejar mereka disela-sela bangunan yang ada di padepokan. Namun sekelompok cantrik yang lain dengan tiba-tiba menyergap dari celah-celah bangunan itu.
"Pengecut," teriak seorang yang menjadi salah seorang pemimpin kelompok dari para pengikut Pandunungan, "Kalian tidak berani bertempur beradu dada. Kalian bertempur sambil berlari-lari seperti seekor ayam yang licik."
Dari kejauhan terdengar seorang cantrik menjawab, "Kami tidak akan takut bertempur dengan cara yang jantan. Seorang melawan seorang. Tetapi kalianlah yang licik. Kalian membawa kawan lebih banyak dari jumlah kami, para cantrik di padepokan ini."
"Kami tidak sedang berperang tanding."
"Karena itu, adalah sah jika kami melakukan dengan gaya kami sendiri."
"Persetan kau," teriak pemimpin kelompok dari para pengikut Pandunungan itu.
Dengan demikian, meski-pun jumlah para pengikut Pandunungan lebih banyak, namun ternyata mereka tidak mampu segera menguasai medan. Bahkan seorang demi seorang terpelanting dari arena. Tiba-tiba saja sekelompok pengikut Pandunungan itu telah disergap oleh beberapa orang cantrik dari tempat yang tidak mereka duga. Bahkan dari balik pakiwan serta serumbung sumur.
Para pengikut Pandunungan itu menjadi semakin marah. Namun semakin mereka marah, maka kedudukan mereka-pun menjadi semakin sulit. Mereka tidak sempat lagi mempergunakan nalar mereka.
Dengan demikian, maka lambat laun, kedudukan para cantrik-pun justru menjadi semakin baik. Jumlah para pengikut Pandunungan temya-ta lebih cepat menyusut daripada para cantrik di padepokan yang melawan mereka dengan akal yang cerdik, sementara para pengikut Pandunungan hanya mengandalkan keberanian, kekerasan dan kekasaran mereka.
Sementara itu. Sura Alap-alap masih belum dapat menguasai lawannya. Meski-pun Wasesa juga sulit untuk mendesak. Sura Alap-alap, tetapi ia masih mampu bertahan dalam keseimbangan.
Wiratamalah yang mulai terdesak. Wiratama yang merasa ilmunya semakin meningkat justru setelah ia meninggalkan padepokan, ternyata harus membentur kenyataan, bahwa kemampuan Ki Citra Jati, berada di atas dugaannya. Bahkan Wiratama itu-pun merasa semakin lama keadaannya menjadi semakin sulit.
Ketika ia mendapat kesempatan melihat keadaan Mandira Wilis, yang bertempur melawan Nyi Citra Jati, jantungnya menjadi berdebar-debar. Mandira Wilispun-pun harus mengerahkan kemampuannya untuk dapat tetap bertahan.
Ternyata Wiratama dan Mandira Wilis telah terjebak kedalam kesulitan. Mereka terlalu percaya akan kemampuan diri, sehingga mereka telah salah menilai kemampuan lawan. Ketika mereka mendengar bahwa di padepokan itu selain Wasesa juga terdapat Citra Jati suami isteri, mereka tidak berpikir untuk menambah kekuatan pasukannya dengan orang-orang berilmu tinggi. Apalagi dengan kehadiran Ki Ageng Puspakajang. Mereka menyangka bahwa kehadiran Ki Ageng Puspakajang akan dapat menyelesaikan semua kesulitan yang mungkin timbul.
Namun ternyata bahwa Ki Ageng Puspakajang sendiri terikat dalam pertempuran melawan anak-anak yang baru hilang pupuk lempuyangnya. Anak-anak yang baru kemarin meningkat dewasa.
Ki Sura Alap-alap, Ki Wiratama dan Ki Mandira Wilis tidak segera dapat mempercayai kenyataan, bahwa Ki Ageng Puspakajang tidak segera dapat membunuh kedua lawannya yang masih sangat muda itu.
Tetapi sebenarnyalah bahwa Ki Ageng Puspakajang memang tidak segera dapat mengalahkan Glagah Putih dan Rara Wulan.
Kedua orang suami isteri yang masih sangat muda dibandingkan dengan Ki Ageng Puspakajang itu ternyata memiliki ketrampilan yang tinggi.
Ki Ageng Puspakajang telah mengerahkan kemampuannya. Tubuhnya menjadi sangat ringan, seakan-akan tidak berbobot sama sekali. Bahkan tubuhnya seakan-akan melayang dihanyutkan oleh angin.
Namun dengan berpasangan Glagah Putih dan Rara Wulan dapat saling mengisi. Seorang-seorang mereka memang tidak mungkin dapat mengimbangi Ki Ageng Puspakajang. Tetapi berdua mereka masih mempunyai kemungkinan.
"Jika saja ada kakang Agung Sedayu," berkata Glagah Putih di dalam hatinya. Glagah Putih yakin, bahwa Agung Sedayu akan dapat menyelesaikan Ki Ageng Puspakajang.
Namun baik Glagah Putih mau-pun Rara Wulan yang sudah terlalu sering berlatih dengan Agung Sedayu, agaknya mempunyai bekal yang cukup untuk menghadapi Ki Ageng Puspakajang.
Apalagi setelah Rara Wulan menjalani laku untuk mewarisi ilmu Pacar Wutah Puspa Rinonce, maka yang semula masih samar telah menjadi jelas. Demikian pula ilmu yang disadapnya dari Sekar Mirah, dari Agung Sedayu dan dari Glagah Putih sendiri yang mengalir dari ilmu yang tinggi yang dimiliki oleh Ki Jayaraga. Dalam pertempuran yang sengit, maka yang masih berupa endapan di dasar kesadarannya tiba-tiba telah terungkap.
Dengan demikian, maka Rara Wulan itu-pun telah menjadi seorang perempuan yang memiliki ilmu yang tinggi.
Ki Ageng Puspakajang semula tidak mempercayai kenyataan yang dihadapinya. Namun semakin lama menjadi semakin jelas di mata Ki Puspakajang, bahwa kedua orang suami isteri itu benar-benar memiliki ilmu linuwih.
Nyi Citra Jati yang sekali-sekali sempat memperhatikan Rara Wulan, menjadi heran pula. Demikian Rara Wulan menjalani laku, maka yang terungkap adalah demikian banyaknya, sehingga Nyi Citra Jati sendiri tidak tahu, apa saja yang tersimpan didalam diri perempuan muda itu.
Ki Ageng Puspakajang ternyata benar-benar mengalami kesulitan. Ia tidak saja menjadi cemas, bahwa ilmunya yang tinggi itu tidak mampu mengatasi kebersamaan Glagah Putih dan Rara Wulan. Tetapi Ki Ageng Puspakajang akan menjadi sangat malu kepada orang-orang yang sempat menyaksikan betapa ia tidak mampu mengatasi dua orang anak-anak itu.
Namun Ki Ageng Puspakajang masih belum benar-benar sampai ke Aji Pamungkasnya.
"Jika aku tidak dapat menguasai mereka, apa boleh buat," berkata Ki Ageng Puspakajang didalam hatinya.
Dalam pada itu, keseimbangan pertempuran-pun semakin lama menjadi semakin berubah. Para pengikut Pandunungan menjadi semakin sulit menghadapi para cantrik yang memanfaatkan tata letak padepokannya serta segala yang ada di halaman dan dikebun. Sementara itu, anak-anak Ki Citra Jati yang bertempur berkelompok itu benar-benar menyulitkan lawan-lawan mereka.
Sura Alap-alap masih mencoba untuk dapat mengatasi Ki Wasesa. Namun ketika Sura Alap-alap menghentakkan ilmu pamungkasnya, juga sejenis ilmu Pacar Wutah, Ki Wasesa sama sekali tidak tergoyahkannya.
Ki Wasesa membentur hembusan ilmu itu dengan ilmu sejenis, sehingga telah terjadi benturan yang menggetarkan seluruh padepokan.
Namun ternyata bahwa ilmu Ki Wasesa lebih malang dari ilmu lawannya. Meski-pun Ki Wasesa juga menjadi goyah, namun Sura Alap-alap telah terlempar beberapa langkah surut. Tubuhnya telah terbanting jatuh dan berguling beberapa kali.
Dengan tangkasnya Sura Alap-alap meloncat bangkit. Namun ternyata bahwa ia telah terluka di bagian dalam tubuhnya. Karena itu, maka ia-pun terhuyung-huyung dan kembali jatuh terkulai di tanah.
Ki Wasesa berdiri tegak beberapa langkah dari tubuh lawannya yang menggeliat. Namun Ki Wasesa tidak melangkah mendekat. Dibiarkannya Sura Alap-alap terbaring sambil menahan nyeri.
Ki Wasesa juga membiarkan saja ketika dua orang pengikut Sura Alap-alap berlari mendekatinya dan mencoba menolong dengan membawanya menepi.
Ki Wasesa yang goyah itu juga merasakan dadanya menjadi sesak. Karena itu, maka untuk beberapa saat lamanya, Ki Wasesa itu masih berdiri saja di tempatnya sambil mengatur pernafasannya.
Namun kekalahan Sura Alap-alap telah membuat Wiratama dan Mandira Wilis menjadi gelisah. Sementara itu, mereka masih belum dapat menguasai lawan-lawan mereka. Bahkan kedudukan mereka semakin lama justru menjadi semakin sulit.
Harapan mereka-pun kemudian tertumpu pada Ki Ageng Puspakajang. Mereka berharap bahwa Ki Ageng Puspakajang tidak terlalu lama mempermainkan lawan-lawannya dan segera mengakhirinya, sehingga Ki Ageng Puspakajang itu segera dapat membantu mengatasi beberapa orang yang berilmu tinggi di padepokan itu.
Namun Wiratama dan Mandira Wilis tidak menyadari, bahwa Ki Ageng Puspakajang mengalami kesulitan berhadapan dengan anak-anak.
Dalam pada itu, Mlaya Werdi-pun ternyata memiliki kelebihan dari Pandunungan. Mlaya Werdi memang lebih tua dari Pandunungan. Bukan hanya umurnya, tetapi masa bergurunya-pun Mlaya Werdi mulai lebih dahulu dari Pandunungan. Sehingga karena itu, maka ilmu yang dimiliki oleh Mlaya Werdi memang lebih baik dari Pandunungan.
Tetapi Pandunungan tidak segera menyadari kelebihan lawannya. Demikian besar kepercayaan Pandunungan akan kemampuan diri, sehingga Pandunungan tidak sempat menilai ilmu lawannya dengan baik.
Namun dalam pertempuran yang sengit, Pandunungan semakin lama justru menjadi semakin terdesak.
Ki Ageng Puspakajang-pun melihat bahwa Sura Alap-alap sudah tidak berdaya lagi. Orang itu sudah dibawa oleh dua orang pengikutnya minggir dari arena. Namun agaknya Wasesa memang tidak bernafsu untuk membunuhnya, sehingga karena itu, maka dibiarkannya Sura Alap-alap yang terluka dalam itu dibawa menyingkir.
Karena itu, maka Ki Ageng Puspakajang menjadi semakin gelisah. Ia merasa mendapat beban yang berat, justru karena Pandunungan terlalu percaya kepadanya bahwa ia akan dapat menyelesaikan kesulitan yang mungkin timbul di padepokan itu.
Tetapi di hadapan sepasang suami istri yang masih muda itu-pun Ki Ageng Puspakajang sudah mengalami kesulitan.
Dalam pada itu, Ki Wasesa yang sudah kehilangan lawannya, serta sudah berhasil memperbaiki keadaan didalam dirinya, itu-pun mulai melangkah. Ia justru tertarik kepada arena pertempuran antara Ki Ageng Puspakajang melawan kedua orang suami isteri yang masih muda itu.
"Luar biasa," desis Ki Wasesa, "mereka masih sangat muda. tetapi mereka sudah menguasai ilmu yang sangat tinggi."
Sebenarnyalah bahwa Glagah Putih dan Rara Wulan masih mampu mengimbangi ilmu Ki Ageng Puspakajang. Meski-pun tubuh Ki Ageng Puspakajang bagaikan tidak berbobot dan seakan-akan telah dihanyutkan angin berputaran memenuhi arena, namun Glagah Putih dan Rara Wulan masih mampu mengimbanginya. Mereka menyerang silih berganti dari arah yang berbeda-beda. Serangan-serangan mereka datang begitu cepat, namun begitu cepat pula mereka menarik diri. Jika Ki Ageng Puspakajang berniat untuk memburunya, maka yang lain-pun dengan cepat pula meloncat menyerang.
Semakin lama pertempuran diantara mereka-pun menjadi semakin seru. Mereka sudah mulai menyentuh dan bahkan menyakiti tubuh lawan. Serangan-serangan Glagah Putih dan Rara Wulan sempat mengenai tubuh Ki Ageng Puspakajang, sementara serangan-serangan Ki Ageng Puspakajang sekali-sekali telah mengenai tubuh Glagah Putih dan Rara Wulan.
"Dari mana anak-anak Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati mendapat warisan ilmunya yang jarang ada duanya itu?" bertanya Ki Wasesa didalam hatinya. Ki Wasesa sendiri dapat dengan mudah mengenali dasar ilmu Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati karena mereka saudara seperguruan. Tetapi ilmu yang terdapat pada anak dan menantu Ki Citra Jati itu berbeda. Ki Wasesa yakin, bahwa sumbernya memang berbeda.
Dalam pada itu, kedua orang suami isteri yang masih muda itu telah membuat Ki Ageng Puspakajang menjadi semakin gelisah. Beberapa kali serangan Glagah Putih sempat menguak pertahanannya. Bahkan serangan Rara Wulan-pun sempat mengenai tubuhnya pula. Ketika Ki Ageng Puspakajang melenting sambil menjulurkan kakinya ke arah dada Glagah Putih, maka Rara Wulan justru menyerang lambungnya dari samping. Ki Ageng Puspakajang harus mengurungkan serangannya. Ia-pun menggeliat menghindari serangan Rara Wulan.
Namun bersamaan dengan itu, sambil menjatuhkan dirinya, Glagah Putih telah menyapu kakinya. Demikian cepatnya sehingga Ki Ageng Puspakajang yang tubuhnya bagaikan tidak berbobot itu masih juga terlambat menghindar. Sapuan kaki Glagah Putih telah berhasil mengenai kakinya, sehingga Ki Ageng Puspakajang itu terjatuh. Namun Ki Ageng Puspakajang itu dengan cepat berguling mengambil jarak. Sekejap kemudian ia-pun telah melenting berdiri dan siap menghadapi kedua orang lawannya. Dengan demikian Rara Wulan yang telah siap menyerangnya, harus mengurungkannya, karena kedudukan Ki Ageng Puspakajang yang meyakinkan.
Demikianlah kedua belah pihak telah bersiap untuk memulai pertempuran yang semakin sengit.
Dalam pada itu, Wiratama menjadi semakin sulit menghadapi Ki Citra Jati. Ia semakin sering berloncatan surut mengambil jarak. Kemudian mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan.
Ki Citra Jati yang melihat lawannya, semakin tidak ingin cepat-cepat menghentikan perlawanannya. Ki Citra Jati justru membiarkan lawannya tetap bertempur dengan sengitnya. Ki Citra Jati sengaja membiarkan lawannya kehabisan tenaga. Karena itu, jika perlawanan Wiratama mengendor, maka Ki Citra Jati justru memancingnya untuk bertempur semakin keras.
Wiratama menjadi sangat gelisah. Dalam kesulitan itu, Wiratama tidak berani menghentakkan ilmu pamungkasnya. Ia tahu bahwa kematangan ilmu Ki Citra Jati lebih tinggi dari kematangan ilmunya. Jika ia mencoba melepaskan ilmu pamungkasnya, maka Ki Citra Jati tentu akan melakukannya pula. Dan itu akan berarti kiamat baginya.
Yang dilakukan oleh Wiratama adalah sekedar mencari celah-celah pada pertahanan Ki Citra Jati. Menurut Ki Wiratama seseorang tentu akan melakukan kesalahan. Karena itu, Ki Wiratama hanya dapat menanti, bahwa pada suatu ketika Ki Citra Jati akan melakukan kesalahan.
Tetapi yang beberapa kali melakukan kesalahan adalah justru Ki Wiratama sendiri. Itulah sebabnya, maka serangan-serangan Ki Citra Jati menjadi semakin sering mengenai tubuhnya. Meski-pun sekali-sekali serangan Ki Wiratama sempat menyusup dicelah-celah pertahanan Ki Citra Jati, namun sentuhan-sentuhan itu tidak banyak berarti. Daya tahan tubuh Ki Citra Jati mampu mengatasi sentuhan serangan Ki Wiratama.
Sementara itu, Mandira Wilis-pun mengalami kesulitan melawan Nyi Citra Jati. Meski-pun Nyi Citra Jati itu seorang perempuan, namun kemampuan ilmunya sulit untuk diatasinya. Setiap kali tenaga mereka berbenturan, Mandira Wilis dapat berbangga bahwa tenaganya masih seimbang dengan tenaga Nyi Citra Jati. Namun ternyata Nyi Citra Jati mampu bergerak lebih cepat.
Namun berbeda dengan Ki Wiratama yang menyadari tataran ilmunya. Mandira Wilis yang selalu terdesak karena kecepatan gerak Nyi Citra Jati menjadi kehabisan kesabaran. Ia ingin pertempuran itu segera selesai, apa-pun yang terjadi.
Karena itu, maka Ki Mandira Wilis-pun segera menggapai puncak ilmunya. Dengan meghentakkan segenap kemampuannya, Ki Mandira Wilis-pun siap mempergunakan puncak ilmu yang dis-adapnya bersama Nyi Citra Jati.
Pacar Wutah. Namun pada saat pematangannya, ilmu dasar Pacar Wutah itu mendapatkan bentuk dan gayanya yang berbeda-beda.
Ternyata Ki Mandira Wilis masih mempergunakan alat bantu untuk mengetrapkan ilmunya yang oleh banyak orang disebut sebagai senjata rahasianya. Serbuk yang berwarna kehitam-hitaman. Serbuk pasir yang sangat lembut.
Dengan cepat Mandira Wilis telah menggenggam serbuk pasir lembutnya. Dengan satu hembusan yang sangat kuat, maka serbuk pasir itu meluncur, memancar ke arah tubuh Nyi Citra Jati.
Namun bersamaan dengan itu, Nyi Citra Jati yang memahami unsur-unsur gerak lawannya, karena mereka pernah berada dalam satu kandang, dengan cepat pula mengetrapkan ilmunya. Aji Pacar Wutah Puspa Rinonce.
Yang terjadi adalah benturan yang dahsyat antara kedua ilmu yang tinggi itu. Namun ternyata bahwa Aji Pacar Wutah Puspa Rinonce itu mampu mengatasi dan bahkan menerobos arus gumpalan pasir lembut yang menghambur ke arah tubuh Nyi Citra Jati.
Ki Mandira Wilis memang terkejut melihat kemampuan ilmu Nyi Citra Jati. Tetapi segala sesuatu sudah terlambat. Ki Mandira Wilis tidak sempat menghindari getaran ilmu Nyi Citra Jati yang telah menggoyang udara, menghantam dadanya.
Mandira Wilis itu terlempar beberapa langkah surut. Tubuhnya-pun kemudian terbanting di tanah.
Mandira Wilis memang berusaha untuk bangkit. Namun tenaganya sudah terkuras habis, sehingga Mandira Wilis itu-pun terkulai di tanah.
Nyi Citra Jati berdiri termangu-mangu, bahunya terasa pedih. Ternyata ada juga serbuk pasir yang lembut yang mengenai pundaknya.
Perlahan-lahan Nyi Citra Jati melangkah mendekati Mandira Wilis yang terbaring diam. Dua orang pengikutnya berlari mendekat. Tetapi ketika mereka melihat Nyi Citra Jati melangkah mendekati tubuh itu pula, maka kedua orang itu berhenti.
"Kenapa kalian berhenti?" bertanya Nyi Citra Jati.
Keduanya tidak menjawab. Tetapi nampak wajah mereka yang sangat tegang.
"Rawatlah Ki Mandira Wilis. Mudah-mudahan nyawanya dapat tertolong."
Kedua orang itu masih tetap ragu-ragu. Namun Nyi Citra Jati berkata pula, "Mendekatlah. Lakukan apa yang ingin kau lakukan. Jika mungkin, selamatkan nyawanya."
Kedua orang yang masih saja ragu-ragu itu akhirnya mendekat juga. Nyi Citra Jati justru bergeser menjauh agar kedua orang itu tidak merasa cemas mendekati tubuh Mandira Wilis yang terbaring.
Namun terasa pedih di bahunya menjadi semakin menyengat.
Dalam pada itu, Wiratama benar-benar telah kehabisan tenaga. Pada saat-saat Ki Citra Jati menyerangnya dengan cepat dan beruntun, Wiratama harus mengerahkan segenap tenaga dan kemampuannya. Meski-pun demikian, serangan-serangan Ki Citra Jati itu masih juga sering mengenainya.
Nafas Wiratama-pun semakin lama menjadi semakin terengah-engah karena kelelahan.
Tetapi Wiratama tidak mau melepaskan ilmu pamungkasnya. Bukan saja tidak akan berguna. Tetapi justru akan mempercepat kematiannya.
Wiratama sempat melihat Sura Alap-alap dan Mandira Wilis yang mengalami nasib yang sama. Keduanya mencoba membenturkan ilmu mereka dengan orang yang memiliki ilmu dan kemampuan yang lebih tinggi. Hasilnya mereka harus terbaring sambil menyeringai kesakitan.
Namun karena itu, maka Wiratama harus bertempur terus. Nampaknya Ki Citra Jati juga tidak ingin menghancurkan pertahanan Wiratama dengan Aji Pamungkasnya. Karena itu, maka Ki Citra Jati masih saja bertempur dengan Wiratama yang nafasnya semakin tersendat di kerongkongan.
Namun akhirnya Wiratama itu benar-benar kehabisan tenaga. Ketika terjadi benturan yang tidak terlalu keras, maka Wiratama-pun terhuyung-huyung beberapa langkah surut. Ketika Ki Citra memburunya dan menyentuh dadanya dengan tiga ujung jarinya yang merapat, maka Ki Wiratama tidak lagi mampu mempertahankan keseimbangannya.
Ki Wiratama itu-pun kemudian jatuh berguling di tanah. Meski-pun demikian, Wiratama itu masih berusaha untuk segera bangkit.
"Wiratama," berkata Ki Citra Jati, "manakah ilmu pamungkasmu" Bukankah kau sudah menyadap ilmu di padepokan ini sampai tuntas, sehingga kau sudah mewarisi ilmu yang akan dapat kau banggakan" Aji Pacar Wutah, yang harus kau kembangkan sendiri?"
"Apakah ada gunanya?" Wiratama justru bertanya, "ilmumu lebih matang dari ilmuku. Jika kau melontarkan Aji Pacar Wutah, maka kau akan melakukannya juga. Bukankah itu tidak ada artinya selain mempercepat kematian" Nah, Citra Jati. Sekarang terserah kepadamu. Jika kau ingin membunuhku dengan Aji Pacar Wutahmu, lakukan. Aku tidak akan menyesal."
"Kita sama-sama memilikinya, Wiratama. Kenapa kita tidak dengan jalan membenturkan kemampuan puncak kita untuk mengetahui, siapakah yang terbaik diantara kita."
"Sudah aku katakan, tidak ada gunanya. Jika kau bertanya siapakah yang terbaik di antara kita, jawabnya sudah jelas. Nah, sekarang kau tinggal melakukannya. Melepaskan Aji Pacar W ulah dan aku akan mati."
Ki Citra Jati menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Jika demikian, marilah kita melihat saja, apa yang akan terjadi dengan Ki Puspakajang."
"Maksudmu?" "Kenapa kita harus bertempur terus, jika kita masing-masing sudah mengakui perbedaan tataran ilmu di antara kita" Aku bukan pembunuh. Karena itu, aku tidak akan membunuhmu, kecuali jika kita bertempur terus sampai tuntas pada tataran ilmu puncak kita."
"Lalu?" "Kita akan jadi penonton."
Wiratama masih saja ragu-ragu. Sementara itu, Nyi Citra Jati yang sudah kehilangan lawannya itu mendekat sambil bertanya, "Apa yang terjadi?"
"Citra Jati ternyata tidak berani melihat darah. Ia tidak mau membunuhku."
"Kau sudah jemu hidup?"
"Aku tidak akan mengemis agar kau dikasihani dan dibiarkan hidup."
"Tidak akan terlalu sulit," berkata Nyi Citra Jati, "jika kau serang kakang Citra Jati dengan ilmu puncaknya pula. Nah, kau tentu akan mati atau setidak-tidaknya setengah mati."
"Pekerjaan yang sia-sia. Sudah kau katakan, bunuhlah aku. Persoalan diantara kita akan segera selesai."
Tetapi jawab Ki Citra Jati, "Sudahlah. Marilah kita lihat, apakah benar bahwa Ki Ageng Puspakajang itu mempunyai ilmu yang tidak terjangkau."
"Kau gila, Citra Jati. Aku dapat merundukmu dari belakang dan membunuhmu pada saat kau lengah."
"Aku percaya bahwa kau bukan demit yang berjiwa kerdil."
Ki Citra Jati itu-pun kemudian mengajak Nyi Citra Jati untuk bergeser mendekati arena pertempuran antara Ki Ageng Puspakajang melawan Glagah Putih dan Rara Wulan. Keduanya seakan-akan tidak menghiraukan lagi Ki Wiratama yang kelelahan.
"Tunggu," berkata Ki Wiratama, "sekali lagi aku peringatkan, meski-pun tenagaku terkuras habis, namun aku masih mampu membunuh kalian berdua."
Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati berpaling. Namun mereka sama sekali tidak meghiraukan Wiratama itu lagi. Wiratama berhenti sejenak. Nafasnya terengah-engah. Bahkan berdiri-pun kakinya sudah mulai menjadi goyah. Terasa nyeri di beberapa bagian tubuhnya menjadi semakin menggigit
Akhirnya Wiratama menyadari, bahwa dalam keadaan yang demikian, ia tidak akan mampu melepaskan ilmu puncaknya. Jika ia memaksa diri, maka ia benar-benar akan kehabisan tenaga, sementara itu ilmunya tidak akan dapat menyakiti Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati.
Karena itu, maka Ki Wiratama itu-pun akhirnya berusaha untuk melangkah dengan kaki gemetar, menyusul Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati.
Sementara itu, pertempuran antara Mlaya Werdi melawan Pandunungan-pun telah mencapai puncaknya. Pandunungan telah mengerahkan segenap kemampuannya. Namun ternyata ia sama sekali tidak dapat mengatasi Mlaya Werdi. Bahkan Pandunungan itu semakin lama justru semakin terdesak.
"Pandunungan," berkata Mlaya Werdi kemudian, "kau sudah tidak mempunyai pilihan. Beberapa orang paman yang membantumu sudah tidak berdaya. Ternyata mereka tidak mampu mengatasi kemampuan saudara-saudara seperguruannya yang ada di padepokan ini, yang menuntut ilmu sampai tuntas. Sedang beberapa orang paman yang membantumu, yang tidak menyelesaikan masa bergurunya disini, harus mengakui kekalahannya."
"Persetan kau Mlaya Werdi."
"Aku tidak bermaksud menyombongkan diri, Pandunungan, tetapi aku adalah murid yang lebih tua darimu. Karena itu, maka ilmuku-pun tentu lebih matang dari ilmumu. Karena itu, mumpung belum terlanjur, aku minta kau hentikan niat gilamu itu."
"Persetan kau Mlaya Werdi. Bersiaplah untuk mati." Ketika Pandunungan kemudian mempersiapkan ilmu pamungkasnya, maka Mlaya Werdi-pun berteriak, "Pandunungan. Jangan."
"Kau menjadi ketakutan Mlaya Werdi. Semuanya sudah terlambat. Kau akan mati."
"Tunggu." Pandunungan tidak mau lagi mendengarkannya. Tiba-tiba saja Pandunungan telah bersiap untuk menghembuskan ilmu puncaknya.
Mlaya Werdi tidak membiarkan dirinya dihempaskan oleh ilmu puncak yang sudah diwarisi oleh Pandunungan. Karena itu, maka ia-pun telah mempersiapkan diri untuk melawan serangan Pandunungan itu. Ia akan melawan dengan ilmu puncak yang sejenis, yang sama-sama mereka warisi dari perguruan mereka.
Ternyata Mlaya Werdi mempunyai banyak kelebihan dari Pandunungan. Pada saat Pandunungan melepaskan puncak ilmunya, Mlaya Werdi justru telah melepaskan kekuatan Aji Pacar Wutahnya.
Pandunungan terlambat sekejap. Namun Pandunungan berhasil membentur Aji Pacar Wutah yang dilontarkan Mlaya Werdi sebelum Aji Pacar Wutah itu menghantam tubuhnya.
Meski-pun demikian, tetapi kelebihan ilmu Mlaya Werdi sangat menentukan. Benturan ilmu keduanya terjadi beberapa jengkal saja dari tubuh Pandunungan. Sementara itu kekuatan Aji Mlaya Werdi memang lebih besar dari kekuatan Aji Pandunungan, meski-pun keduanya dari jenis yang sama.
Karena itu, maka dalam benturan yang terjadi, getar kekuatan kedua ilmu itu menjadi tidak seimbang. Kekuatan ilmu Pandunungan bagaikan membentur dinding baja yang kuat sehingga memantul dan bahkan didorong oleh kekuatan ilmu Mlaya Werdi.
Terdengar teriakan yang keras. Bahkan umpatan kasar dari mulut Pandunungan. Kemarahan, kebencian dan kekecewaan telah berbaur menjadi satu. Ketika kesakitan yang sangat menerpa dadanya, maka perasaan yang menghimpit dadanya itu-pun telah terlontar tanpa dapat dikendalikan.
Namun sejenak kemudian, suara Pandunungan itu-pun segera lenyap. Tubuhnya terpelanting dan terbanting di tanah. Sekali Pandunungan menggeliat. Namun kemudian ia tidak bergerak lagi untuk selamanya.
Sementara itu, Mlaya Werdi-pun terguncang pula. Beberapa langkah ia terdorong surut. Hampir saja Mlaya Werdi tidak mampu mempertahankan keseimbangannya. Namun ternyata Mlaya Werdi masih tetap mampu berdiri, betapa-pun kakinya goyah.
Sejenak Mlaya Werdi berdiri termangu-mangu. Namun dadanya terasa betapa nyerinya.
Wasesa, Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati yang menunggui Glagah Putih dan Rara Wulan bertempur melawan Ki Puspakajang sempat berlari-lari mendekatinya. Mereka-pun kemudian membantu Mlaya Werdi melangkah menepi.
Namun Mlaya Werdi itu-pun berdesis sambil menyeringai kesakitan, "Tinggalkan aku, paman. Jangan biarkan Glagah Putih dan isterinya mengalami kesulitan. Bebaskan mereka dari keganasan Ki Puspakajang."
"Mereka masih dapat bertahan, Mlaya Werdi."
"Biarkan aku mengatur pernafasanku. Aku tidak apa-apa. Mungkin adi Glagah Putih dan isterinya memerlukan paman dan bibi. Ki Ageng Puspakajang adalah orang yang sangat garang."
Ki Wasesalah yang kemudian berkata, "Biarlah aku disini kakang dan mbokayu Citra Jati."
Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati merasa ragu. Ia melihat wajah Mlaya Werdi yang pucat Keringatnya masih terus mengalir, namun tubuhnya terasa menjadi dingin.
"Kau perlu mendapat pengobatan segera, Mlaya Werdi," berkata Nyi Citra Jati.
"Tidak, bibi. Aku tidak apa-apa. Sebaiknya paman Citra Jati dan bibi Citra Jati melihat apa yang terjadi dengan adi Glagah Putih dan isterinya. Mereka masih terlalu muda untuk berhadapan dengan Ki Ageng Puspakajang."
Namun suara Mlaya Werdi yang terasa bergetar dan sekali-sekali terputus, menunjukkan betapa dadanya telah terluka.
Bahkan Mlaya Werdi tidak lagi dapat berkata bahwa ia tidak apa-apa, ketika darah mulai meleleh di sela-sela bibirnya.
"Kau terluka di dalam Mlaya Werdi," berkata Nyi Pupus Rembulung.
"Biarlah paman Wasesa berada disini. Aku mohon paman dan bibi menunggui adi Glagah Putih dan Rara Wulan."
Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati menarik nafas panjang.
Dalam pada itu, demikian Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati menyusul Ki Wasesa melihat keadaan Mlaya Werdi, Ki Puspakajang telah memanfaatkan kesempatan itu sebaik-baiknya. Pada saat orang-orang tua itu tidak berada di sekitar arena, maka Ki Puspakajang ingin mengakhiri perlawanan Glagah Putih dan Rara Wulan yang ternyata memiliki ilmu yang tinggi.
"Jika orang-orang tua itu ada di sekitar arena ini, mereka tentu akan ikut campur. Tetapi tanpa mereka, kedua anak ini tidak akan mampu melawan ilmu pamungkasku."
Karena itu, maka Ki Ageng Puspakajang itu-pun kemudian telah meningkatkan ilmunya semakin tinggi.
Glagah Putih dari Rara Wulan mulai merasakan udara di arena itu menjadi semakin panas. Agaknya Ki Ageng Puspakajang telah mulai merayap ke ilmu Pamungkasnya.
Karena itu, maka Glagah Putih-pun tidak mau terlambat. Sebelum ia dibakar oleh panasnya udara di arena pertempuran, maka Glagah Putih-pun telah mencapai kemampuan puncaknya yang diwarisinya dari Ki Jayaraga, Aji Sigar Bumi.
Ketika udara menjadi semakin panas, maka serangan Glagah Putih-pun telah mengejutkan Ki Ageng Puspakajang. Ia tidak mengira bahwa Glagah Putih akan melepaskan kemampuan ilmunya yang menggetarkan yang disadapnya dari Ki Jayaraga.
Ki Ageng Puspakajang yang telah memiliki pengalaman yang sangat luas itu, penggraitanya menjadi sangat tajam. Karena itu, ketika ia melihat Glagah Putih meloncat sambil mengayunkan tangannya mengarah ke dadanya, ia sudah mengira bahwa Glagah Putih telah melontarkan kemampuan puncaknya.
Karena itu, maka Ki Ageng Puspakajang tidak menangkisnya. Ia tidak mau membentur kekuatan ilmu puncak lawannya meski-pun lawannya masih sangat muda, sebelum Ki Ageng Puspakajang sendiri bersiap.
Dengan sigapnya Ki Ageng Puspakajang itu mengelakkan serangan Glagah Putih. Namun dengan cepat Ki Ageng Puspakajang-pun menggeliat. Dihentakkannya tangannya, kemudian tangannya itu-pun terayun mendatar seperti sedang menaburkan benih padi di sawah.
Senjata rahasia itu sangat berbahaya bagi Glagah Putih dan Rara Wulan. Karena itu, maka keduanya-pun segera menjatuhkan diri sambil berguling menjauh.
Tetapi Ki Ageng Puspakajang tidak menghentikan serangannya. Sekali lagi tangannya terayun mendatar. Debu yang berwarna kehitam-hitaman tertabur menebar bagaikan memburu Glagah Putih dan Rara Wulan.
Namun kedua orang itu-pun kemudian telah menebar. Keduanya menghindar ke arah yang berbeda.
Ki Ageng Puspakajang tersenyum. Dengan lantang ia-pun berkata, "Alangkah bodohnya kalian. Aku akan membunuh kalian seorang demi seorang, karena kalian tidak akan pernah dapat mendekati aku lagi."
Glagah Putih merasakan panasnya di seputar tubuh Ki Ageng Puspakajang menjadi semakin tinggi. Ketika Glagah Putih bersiap menyerang dengan Aji Sigar Bumi, ia tidak lagi mendapat kesempatan untuk mendekat. Sementara itu, Ki Ageng Puspakajang telah bersiap untuk menyerangnya dengan senjata rahasianya. Seperti debu yang kehitam-hitaman yang ditaburkan dengan tangannya. Namun agaknya ilmunya telah mengalir lewat telapak tangannya sehingga senjata rahasia yang ditaburkannya menjadi sangat berbahaya.
Karena itu, Glagah Putih justru berloncatan menjauh. Tubuhnya berputar di udara ketika serangan Ki Ageng Puspakajang itu datang mengarah kepadanya.
Namun keadaan Glagah Putih menjadi sangat berbahaya. Demikian Glagah Putih berdiri tegak, maka Ki Ageng Puspakajang itu sudah siap menaburkan senjata rahasianya pula.
Tetapi Rara Wulan tidak membiarkan Ki Ageng Puspakajang itu menyerang Glagah Putih yang baru saja berdiri tegak, sehingga kesempatannya untuk menghindar akan sangat sempit.
Glagah Putih tanggap akan sikap Ki Ageng Puspakajang. Bahkan Ki Ageng Puspakajang itu masih sempat tertawa pada saat ia mempersiapkan serangannya, "Kau akan mati muda. Sayang sekali. Aku tidak melihat kesempatan hidup bagimu."
Tanpa banyak pertimbangan lagi, maka Ki Ageng Puspakajang-pun segera melontarkan debu yang berwarna kehitaman itu ke arah Glagah Putih. Ia yakin bahwa Glagah Putih tidak akan sempat menghindarinya meski-pun ia akan melenting tinggi-tinggi atau meloncat dan berguling sekali-pun. Kemudian akan sampai pada gilirannya, Rara Wulan yang akan segera dibantai dengan senjata rahasianya itu pula.
Tetapi pada saat yang bersamaan, yang tidak diperhitungkan oleh Ki Ageng Puspakajang itu-pun terjadi. Pada saat ia sedang ingin menikmati hasil serangan senjata rahasianya, Rara Wulan telah menyerangnya dengan ilmu yang baru saja dikuasainya Aji Pacar Wutah Puspa Rinonce.
Hembusan kekuatan ilmu yang dahsyat telah menyerang Ki Ageng Puspakajang, justru pada saat ia tidak memperhitungkannya. Sementara itu, ia-pun telah dikejutkan pula dengan sikap Glagah Putih. Pada saat ia menaburkan serbuk yang berwarna kehitaman itu, Glagah Putih telah mengangkat tangannya dengan telapak tangan menghadap ke arah tangan Ki Ageng Puspakajang yang terayun itu.
Seleret sinar memancar dari tangan Glagah Putih meluncur cepat ke arah tangan Ki Ageng Puspakajang yang terayun, untuk menaburkan senjata rahasianya itu.
Satu benturan yang keras telah terjadi sebelum serbuk yang berwarna kehitam-hitaman itu sempat menebar.
Terasa betapa ilmu yang tinggi yang dilontarkan oleh Glagah Putih itu menyengat tangan Ki Ageng Puspakajang. Namun sebelum ia menyadari sepenuhnya apa yang terjadi, serangan Aji Pacar Wuuih Puspa Rinonce yang dilontarkan oleh Rara Wulan telah mengenainya pula.
Ki Ageng Puspakajang telah terguncang dengan dahsyatnya. Sengatan dua ilmu yang tinggi dari arah yang berbeda, justru pada saat yang tidak diduga sama sekali itu, telah menghimpit Ki Ageng Puspakajang. Tubuhnya melenting tinggi. Sebuah teriakan nyaring telah terdengar.
Kemarahan yang sangat telah membakar jantung Ki Ageng Puspakajang.
Sejenak kemudian, Ki Ageng Puspakajang itu jatuh terbanting di tanah. Sekali ia berguling, namun kemudian Ki Ageng Puspakajang itu-pun bangkit berdiri.
Daya tahan tubuh Ki Ageng Puspakajang memang luar biasa. Pada saat tubuhnya dikenai serangan yang dahsyat, maka daya tahan tubuhnya itu-pun dengan sendirinya bagaikan dibangunkan di seluruh tubuhnya, sehingga Ki Ageng Puspakajang terlindung karenanya.
Namun kekuatan ilmu yang dipancarkan oleh Glagah Putih dan Rara Wulan adalah ilmu yang tinggi. Karena itu, betapa-pun kuatnya daya tahan Ki Ageng Puspakajang, namun tubuh Ki Ageng Puspakajang itu-pun terhuyung-huyung pula.
"Anak-anak iblis," geram Ki Ageng Puspakajang, "ternyata kalian mempunyai kesombongan kalian, karena kalian berani menyerang aku dengan ilmu kalian yang tinggi. Sebentar lagi, kalian akan aku musnahkan dengan kekuatan ilmuku, Aji Gundala Geni."
Glagah Putih dan Rara Wulan berdiri tegak pada arah yang berbeda. Mereka tidak ingin terlambat. Meski-pun Ki Ageng Puspakajang nampaknya sudah terluka di bagian dalam tubuhnya, tetapi agaknya ia masih tetap berbahaya.
Karena itu, maka Glagah Putih-pun segera memberi isyarat kepada Rara Wulan. Sementara Ki Ageng Puspakajang yang menyesali kelengahannya sedang berusaha untuk memperbaiki keadaannya. Mengatur pernafasannya dan memusatkan nalar budinya. Namun karena lukanya di bagian dalam tubuhnya, maka semuanya terasa berjalan sangat lamban.
Ketika Ki Ageng Puspakajang telah siap, maka Glagah Putih-pun sekali lagi memberi isyarat kepada Rara Wulan, maka hampir bersamaan mereka telah menyerang Ki Ageng Puspakajang dengan ilmu pamungkas mereka.
Ki Ageng Puspakajang memang sempat juga melontarkan ilmunya yang disebutnya Gundala Geni ke arah Glagah Putih. Namun karena lukanya di dalam tubuhnya, maka lontaran ilmunya itu tidak dapat menapai puncak kekuatannya.
Sekali lagi terjadi benturan ilmu yang dilontarkan oleh Glagah Putih dan ilmu yang dilontarkan oleh Ki Ageng Puspakajang. Meski-pun Ki Ageng Puspakajang itu sudah dalam keadaan lemah, namun Glagah Putih masih juga tergetar beberapa langkah surut. Tubuhnya menjadi gemetar. Keringat dingin mengalir di seluruh tubuhnya yang terasa panas.
Glagah Putih itu terhuyung-huyung. Ia masih mencoba mempertahankan keseimbangannya. Namun Glagah Putih itu-pun kemudian jatuh terduduk.
Pada saat itulah Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati yang sedang berusaha mengobati Mlaya Werdi berlari-lari mendekati Glagah Putih.
Sementara itu Ki Puspakajang sendiri, yang pada dasarnya tubuhnya sudah lemah, tergetar juga surut. Namun kemudian serangan Rara Wulan-pun telah mengguncangnya.
Ki Ageng Puspakajang yang perkasa dan berilmu sangat tinggi itu, namun yang sudah terluka di bagian dalam tubuhnya, ternyata tidak mampu lagi bertahan.
Ki Ageng Puspakajang itu terhuyung-huyung. Namun kemudian ia-pun jatuh berlutut. Ia mencoba bertahan beberapa saat. Namun akhirnya Ki Ageng Puspakajang itu-pun jatuh terguling.
Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati itu-pun kemudian berlutut pula di sebelah Glagah Putih. Dengan cemas Nyi Citra Jati-pun berkata, "Maaf, ngger. Aku terlena sejenak, perhatian kami sepenuhnya tertuju kepada Mlaya Werdi, sehingga kami melupakanmu sejenak. Aku tidak mengira, bahwa Ki Ageng Puspakajang akan melepaskan ilmu puncaknya secepat itu."
Glagah Putih-pun kemudian telah menepi dan duduk bersilang kaki. Telapak tangannya diletakkannya diatas lututnya. Dicobanya untuk memperbaiki keadaan didalam tubuhnya dengan mengatur pernafasannya.
Rara Wulan-pun telah berjongkok di hadapannya pula sambil bertanya dengan cemas, "Bagaimana keadaanmu, kakang."
"Tidak apa-apa Rara. Biarlah aku mencoba memperbaiki keadaan didalam diriku. Tolong, bantu aku."
Rara Wulan-pun segera duduk di hadapan Glagah Putih. Juga bersilang kaki. Diletakannya telapak tangannya pada telapak tangan Glagah Putih yang menengadah diatas lulutnya.
Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati, Ki Wasesa dan Ki Wiratama yang juga ikut merubungnya, membiarkan Glagah Putih dibantu oleh Rara Wulan mengatur pernafasannya untuk memperbaiki didalam dirinya, agar segala sesuatunya tersalur sewajarnya.
Tidak seorang-pun yang mengganggunya. Mereka sadari, bahwa sebelum yang mengganggunya. Mereka sadari, bahwa sebelum Glagah Putih dan Rara Wulan tinggal bersama Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati, kedua suami isteri itu sudah memiliki landasan ilmu yang mapan.
14 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Yang kemudian justru meninggalkan Glagah Putih yang sedang mengatur pernafasannya adalah Ki Wasesa dan Ki Wiratama. Keduanya-pun kemudian melangkah mendekati Ki Ageng Puspakajang yang terbaring diam. Namun ternyata Ki Ageng Puspakajang itu masih membuka matanya.
"Kau siapa?" terdengar suara Ki Ageng Puspakajang tersendat.
Yang menjawab adalah Ki Wasesa," Aku Wasesa, Ki Ageng."
"O," nafas Ki Ageng Puspakajang-pun menjadi terengah-engah, "di mana suami isteri yang berilmu tinggi itu?"
"Mereka menyingkirkan dan sedang berusaha memperbaiki tatanan tubuh mereka yang kacaukan dengan ilmumu."
"Aku akan minta maaf kepada mereka. Katakan, aku ingin berbicara. Aku kagumi mereka yang masih muda, tetapi ilmunya sudah menggapai langit."
"Aku tidak tahu, apakah mereka sudah selesai."
"Aku hanya memerlukan waktu sebentar. Nyawaku sudah berada di ubun-ubun."
Ki Wasesa itu-pun kemudian menyampaikan permintaan Ki Ageng Puspakajang itu kepada Glagah Putih yang masih duduk berhadapan dengan Rara Wulan.
Namun nampaknya keadaan Glagah Putih sudah berangsur baik.
Karena itu, maka ia-pun menghentikan sikap dan lakunya. Dengan nada berat Glagah Putih itu-pun berkata, "Kami akan menemuinya."
Dibantu oleh Ki Citra Jati, Glagah Putih melangkah mendekati tubuh Ki Ageng Puspakajang yang terbaring. Di sebelahnya Rara Wulan dibimbing oleh Nyi Citra Jati. Bagaimana-pun juga mereka harus berhati-hati menghadapi Ki Ageng Puspakajang yang sudah dalam keadaan yang sulit itu.
"Ki Ageng," berkata Ki Wasesa, "inilah mereka, Glagah Putih dan Rara Wulan."
Ki Ageng Puspakajang membuka matanya, Ia-pun kemudian tersenyum sambil berkata, "aku kagumi kalian berdua, anak-anak. Berbahagialah ayah dan ibumu yang mempunyai anak-anak semuda kalian, tetapi sudah memiliki bekal ilmu yang tinggi."
"Ki Ageng memuji kami," desis Glagah Putih.
"Glagah Putih," berkata Ki Puspakajang kemudian, "sebentar lagi, aku akan mati. Tetapi aku tidak ingin mati tanpa bekas. Selama ini aku belum sempat memiliki murid utama yang pantas untuk menerima warisan ilmu puncak yang aku miliki, disamping penggunaan beberapa jenis senjata rahasia," suara Ki Ageng melemah.
"Maksud Ki Ageng?" bertanya Glagah Putih.
Buku 342 "TENTU saja aku tidak dapat melimpahkan ilmuku hanya dengan meraba umbun-umbun kalian berdua. Karena itu, supaya hidupku berbekas, aku minta sudilah kalian berdua mempelajari ilmuku, yang mudah-mudahan dapat melengkapi ilmu kalian berdua."
"Darimanakah sumber ilmu Ki Ageng Puspakajang?"
"Aku mempelajarinya dari berbagai perguruan. Meramunya dan kemudian memeras inti sarinya. Jika yang kau tanyakan apakah ilmuku itu putih atau hitam, itu tergantung kepada manusia yang memilikinya. Aku yakin, ilmu itu di tanganmu akan menjadi ilmu yang berarti bagi orang banyak. Justru pengabdian yang belum pernah aku lakukan dengan ilmuku itu. Semoga jika ilmuku kau pergunakan untuk mengabdi kepada sesama serta memuliakan nama-Nya, akan dapat sedikit memberikan arti pada hidupku."
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun ia-pun kemudian bertanya, "Bagaimana caraku mempelajari ilmu Ki Ageng?"
"Pada ikat pinggangku yang rangkap, terdapat beberapa lembar rontal. Tetapi aku pesankan, jika kau tidak memerlukannya, hancurkan saja rontal itu."
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Dipandanginya ikat pinggang Ki Ageng Puspakajang yang lebar itu. Namun Glagah Putih masih saja merasa ragu akan ketulusan hati Ki Ageng Puspakajang. Glagah Putih masih belum dapat mengkesampingkan kecurigaannya terhadap orang yang baru saja bertempur melawannya itu.
Namun dengan suaranya yang semakin lemah Ki Ageng Puspakajang itu berkata, "Glagah Putih. Mungkin aku seorang yang licik, yang banyak melakukan kejahatan. Tetapi menjelang kematian aku ingin berkata jujur. Ambillah ikat pinggangku. Di dalamnya terdapat sekitar rontal yang akan berarti bagi banyak orang jika rontal itu ada di tanganmu. Tetapi sekali lagi aku pesankan, jika kau tidak memerlukannya, rontal itu harus kau hancurkan. Rontal itu tidak boleh jatuh ketangan seseorang seperti itu. Apalagi seseorang seperti Pandunungan. Kau mengerti?"
"Aku mengerti Ki Ageng."
"Ambil ikat pinggangku. Kau dapat membawanya pulang. Lihat isinya. Kau akan mendapatkan beberapa petunjuk yang akan membuka kemungkinan bagimu untuk melengkapi ilmu yang sudah kau miliki."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sementara suara Ki Puspakajang menjadi semakin lemah, "Glagah Putih. Aku dapat dipercaya pada saat terakhir dari hidupku."
Glagah Putih bergeser mendekat. Suara Ki Puspakajang semakin tidak terdengar. "Salamku buat isterimu. Ia akan menjadi seorang perempuan yang tidak ada duanya."
Suara Ki Puspakajang itu menjadi semakin perlahan. Sekilas nampak senyum di bibirnya. Kemudian matanya-pun tertutup, serta nafasnya-pun terputus.
Ki Ageng Puspakajang itu-pun meninggal.
Ki Wiratama menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Ia seorang yang berilmu sangat tinggi. Kami bertumpu kepadanya. Kami yakin ia akan dapat menyelesaikan rencana kami, mengambil padepokan ini. Tetapi Ki Ageng telah terbunuh oleh anak-anak."
"Sekarang, apa yang akan kau lakukan?"
"Bukankah aku sudah menyerah sejak tadi?"
"Bagaimana dengan yang lain?"
Ki Wiratama termangu-mangu sejenak. Sementara itu nampaknya para cantrik telah menguasai keadaan. Padmini, Pamekas. Setiti dan Baruni telah berada di sisi Mlaya Werdi. Sementara itu, para pengikut Pandunungan seluruhnya telah meletakkan senjata mereka.
Ternyata Ki Sura Alap-alap nampaknya menjadi semakin parah. Seorang cantriknya telah berusaha untuk mengobatinya. Tetapi agaknya tidak akan berhasil.
Keadaan Mandira Wilis masih lebih baik dari keadaan Sura Alap-alap. Agaknya masih ada harapan bagi Mandira Wilis jika ia mendapat perawatan yang baik.
Demikianlah, keadaan sudah benar-benar dapat dikuasai. Meski-pun demikian, ada juga korban yang jatuh diantara para cantrik.
Menjelang senja, maka para cantrik telah mengumpulkan mereka yang telah terbunuh dipeperangan. Mereka juga telah menempatkan mereka yang terluka. Selain itu, para pengikut Pandunungan yang menyerah, telah di tempatkan di satu barak yang khusus dengan penjagaan yang kuat
Di hadapan para sesepuh, Glagah Putih yang sudah melepas ikat pinggang Ki Ageng Puspakajang itu, berniat untuk membukanya.
"Aku mohon para sesepuh menjadi saksi."
Orang-orang tua itu mengangguk-angguk. Namun Ki Wasesa-pun berkata, "Hati-hati, Glagah Putih. Kita tidak tahu apa yang sebenarnya ada diantara dua lapis ikat pinggang Ki Ageng Puspakajang itu."
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia-pun mengangguk sambil menjawab, "Baik, paman. Tetapi agaknya pada saat terakhir, Ki Ageng Puspakajang dapat dipercaya."
Ki Wiratamalah yang menyahut, "Mungkin ia termasuk pada sisi yang gelap dari kehidupan. Tetapi ia bukan orang yang licik dan pengecut. Aku kira ia dapat dipercaya."
Glagah Putih-pun kemudian mulai melepas janget yang mengikat kedua lapis ikat pinggang Ki Ageng Puspakajang. Seperti pesan Ki Wasesa, Glagah Putih membukanya dengan sangat berhati-hati.
Namun ketika Glagah Putih memisahkan kedua lapis ikat pinggang itu didalamnya memang terdapat beberapa helai rontal. Goresan-goresan hurufnya lembut. Namun dapat dibaca dengan jelas. Ada beberapa lukisan terdapat pada lembar-lembar rontal itu. Nampaknya pada rontal itu tertulis dan terlukis sebagaimana dikatakan oleh Ki Ageng Puspakajang, petunjuk-petunjuk yang akan dapat membuka kemungkinan bagi Glagah Putih untuk melengkapi ilmu yang sudah dimilikinya.
"Panggraitanmu tajam, Glagah Putih," berkata Ki Citra Jati, "Ki Ageng Puspakajang memang dapat dipercaya pada saat-saat terakhirnya. Seperti yang dikatakan oleh Wiratama, ia bukan orang yang licik dan pengecut."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara Nyi Citra Jati-pun berkata pula, "Kau dapat memanfaatkannya Glagah Putih. Kau akan dapat memenuhi harapan Ki Citra Jati, bahwa di tanganmu, rontal itu akan berarti bagi orang banyak."
"Kau dapat mengganti ikat pinggangmu dengan ikat pinggang Ki Ageng Puspakajang."
Namun Glagah Putih menggeleng, "Sayang sekali."
Nyi Citra Jati mengerutkan dahinya. Dengan nada berat ia-pun bertanya, "Kenapa, Glagah Putih. Apakah kau tidak mau berada dibawah bayangan Ki Ageng Puspakajang karena ikat pinggangnya?"
Glagah Putih menggeleng pula. Katanya, "Tidak, ibu. Tetapi ikat pinggangku adalah ikat pinggang yang khusus. Aku tidak akan melepaskannya. Ikat pinggang ini pemberian seseorang yang sangat aku hormati."
Nyi Citra Jati mengangguk-angguk. Katanya, "Jika demikian, terserah saja kepadamu. Atau mungkin Rara Wulan dapat mengenakannya."
"Aku?" bertanya Rara Wulan, "apakah aku pantas mengenakan ikat pinggang yang lebar itu" Ikat pinggang itu adalah ikat pinggang seorang laki-laki."
"Kau juga mengenakan ikat pinggang, Rara Wulan."
"Tetapi ikat pinggangku tidak selebar itu."
"Bukankah pakaianmu juga seperti pakaian laki-laki. Jika kau mengenakan ikat pinggang laki-laki, apa salahnya."
Rara Wulan tertawa. Dipandanginya Glagah Putih yang juga tertawa.
"Kau menertawakan aku, kakang" Aku belum mengenakan ikal pinggang itu."
"Cobalah." Rara Wulan termangu-mangu. Sementara itu, Glagah Putih telah memasang lagi jaket kulit untuk mengikat kedua lapis ikat pinggang Ki Ageng Puspakajang.
"Cobalah," berkata Ki Citra Jati.
Rara Wulan-pun akhirnya menerima ikat pinggang itu.
"Ikat pinggang itu memakai timang seperti kamus," berkata Glagah Putih.
Ketika Rara Wulan mengenakan ikat pinggang itu, orang-orang yang menyaksikannya tertawa. Memang nampak janggal. Tetapi Nyi Citra Jati berkata, "Tetapi kau justru pantas mengenakannya, Rara Wulan. Kau tidak perlu lagi mengenakan setagen dibawah ikat pinggangmu."
"Tetapi kalau aku mengenakan pakaian seorang perempuan?"
"Ikat pinggang itu memang harus kau letakkan. Tentu disimpan dengan baik."
Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Ia memang nampak ragu-ragu. Tetapi justru kemudaannyalah yang kemudian menentukan. Meski-pun Rara Wulan sudah memiliki kematangan ilmu, tetapi sebagai seorang yang masih muda, ada juga keinginannya untuk berbeda dengan orang lain.
Karena itu, maka akhirnya Rara Wulan itu-pun berkata, "Aku mau pakai ikat pinggang itu. Tetapi aku sadar, bahwa jika ada orang yang ingin memiliki rontal yang ada di dalamnya, orang itu harus membawa aku serta."
Yang mendengar kelakar Rara Wulan itu tertawa. Glagah Putih-pun tertawa. Meski-pun demikian, ia melihat kedalaman kata-kata Rara Wulan itu. Glagah Putih sadar, bahwa Rara Wulan-pun akan mengatakan bahwa, seseorang dapat membawanya serta atau membunuhnya untuk mendapatkan ikat pinggang itu.
Karena itu, maka ia-pun berkata, "Kau pakai ikat pinggang itu jika kau berjalan bersamaku, Rara. Jika kita harus menyelesaikan tugas yang berbeda, maka kita akan menyimpan ikat pinggang itu di tempat yang paling aman."
Rara Wulan tersenyum. Tetapi ia-pun menangkap janji Glagah Putih, bahwa ia akan melindunginya.
Demikianlah, maka-semalam suntuk padepokan itu tidak tidur. Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati minta anak-anaknya beristirahat setelah mereka mandi.
"Bagaimana dengan mereka yang terbunuh itu ibu?" bertanya Padmini.
"Besok mereka akan dimakamkan meski-pun dengan upacaranya yang sederhana. Besok pagi-pagi, semuanya akan sudah siap."
" Apakah mereka akan dikubur dikuburan yang sama" Maksudku para cantrik padepokan ini serta para pengikut Pandunungan?"
"Ya. Meski-pun letaknya akan dipisahkan."
Padmini mengangguk-angguk.
Malam itu, ternyata Sura Alap-alap tidak sempat diselamatkan. Ia-pun meninggal setelah mengalami pengobatan serta segala usaha untuk menyelamatkan nyawanya. Namun jika saat itu sudah tiba, maka tidak seorang-pun akan dapat menundanya.
Berbeda dengan Sura Alap-alap, Mandira Wilis agaknya justru menjadi lebih baik. Dengan obat-obatan yang ada di padepokan itu, maka penderitaannya karena luka di tubuhnya serta luka didalam, menjadi semakin ringan.
Sementara itu, Meski-pun Padmini, Setiti dan Baruni masuk kedalam biliknya, namun mereka tidak dapat tidur. Baruni mencoba membaringkan tubuhnya. Tetapi nampaknya sama sekali tidak terpejam. Apalagi Setiti ribut saja dengan nyamuk yang beterbangan di telinganya.
Sementara itu, Pemekas berada di antara para cantrik yang berjaga-jaga di sekitar barak yang dipergunakan untuk menahan para pengikut Pandunungan. Meski-pun mereka telah meletakkan senjata, tetapi mereka tetap merupakan orang-orang yang berbahaya. Mereka dapat berbuat sesuatu diluar dugaan.
Di dini hari, Rara Wulan masuk ke dalam bilik adik-adiknya. Namun demikian ia masuk, Setiti-pun langsung bertanya, "Mbokayu. Apa yang lain pada mbokayu?"
Rara Wulan mengerutkan dahinya. Dengan nada tinggi ia-pun bertanya, "Apakah ada yang lain?"
"Ada yang berbeda pada mbokayu."
"Apa?" Padmini dan Baruni-pun memperhatikan Rara Wulan pula. Seperti Setiti mereka-pun melihat ada yang lain pada Rara Wulan.
Sambil tertawa, Padmini-pun kemudian berkata, "Mbokayu memakai ikat pinggang yang lebar itu justru diluar baju mbokayu! Bukankah mbokayu tidak pernah mengenakannya dengan cara seperti itu" Biasanya mbokayu mengenakan ikat pinggang dibawah baju mbokayu. Tetapi apakah ikat pinggang itu juga yang sering mbokayu kenakan?"
Rara Wulan-pun tertawa. Namun Rara Wulan itu-pun kemudian berkata, "Beristirahatlah. Kalian tentu letih."
"Mbokayu sendiri?"
"Nanti aku akan segera menyusul."
"Kenapa nanti?"
Rara Wulan tersenyum. Katanya, "Sudahlah, tidurlah. Masih ada waktu. Aku akan pergi ke pakiwan dahulu."
Padmini, Setiti dan Baruni-pun kemudian berbaring setelah Rara Wulan melangkah keluar dari bilik itu untuk pergi ke pakiwan. Tetapi Rara Wulan tidak segera kembali ke dalam bilik itu lagi. Tetapi bersama-sama dengan Glagah Putih mereka berada di pendapa bangunan induk padepokan itu.
"Alangkah bodohnya aku," berkata Mlaya Werdi yang menjadi semakin baik.
"Kenapa?" bertanya Glagah Putih.
"Sebelum pertempuran terjadi, aku mencemaskan adi berdua. Ternyata kemampuan adi berdua tidak terjangkau oleh penalaranku. Adi berdua sanggup mengalahkan Ki Ageng Puspakajang."
"Tangan Yang Maha Agunglah yang menentukannya. Kami hanya dapat mengucap sukur."
Mlaya Werdi mengangguk-angguk. Katanya, "Kita semua mengucap sukur, bahwa padepokan ini telah diselamatkan."
Glagah Putih mengangguk-angguk.
Sementara itu, ketika fajar mulai membayang, para cantrik-pun mulai menjadi sibuk untuk menyelenggarakan upacara penguburan. Beberapa orang tawanan telah diminta untuk membantu menggali lubang di tanah pekuburan.
Pada saat matahari mendekati puncak langit, maka segala sesuatunya sudah dapat diselesaikan. Para cantrik-pun kemudian mengalihkan kesibukan mereka dengan memperbaiki dan mengatur kembali padepokan mereka yang menjadi porak-poranda. Tanaman-tanaman yang terinjak-injak. Pintu gerbang padepokan yang rusak, serta kerusakan-kerusakan yang lain.
Sementara itu, beberapa orang masih juga berada didalam barak sebagai tawanan yang dijaga dengan kuat oleh para cantrik.
Beberapa orang masih harus dirawat. Bukan saja para cantrik, tetapi juga diantara mereka yang datang menyerang padepokan itu, termasuk Mandira Wilis.
Namun keberadaan Mandira Wilis dan Wiratama di padepokan itu, ternyata agak memudahkan penyelesaian bagi para tawanan. Mlaya Werdi atas persetujuan para sesepuh berniat menyerahkan para tawanan itu kepada mereka berdua.
"Bawa mereka kemana saja menurut kemauan paman berdua," berkata Mlaya Werdi kepada mereka.
Wiratama menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Tetapi aku tidak akan dapat menjamin, apakah mereka tidak akan mendendam kalian untuk seterusnya. Apalagi para pengikut Ki Ageng Puspakajang.
"Ada berapa orang pengikut Ki Ageng Puspakajang?" bertanya Glagah Putih.
"Hanya sedikit," jawab Ki Wiratama, "mudah-mudahan mereka tidak akan mengganggu padepokan ini untuk selanjutnya."
"Kami akan berjaga-jaga menghadapi kemungkinan-kemungkinan buruk seperti itu, paman Wiratama."
"Jadi kalian percaya kepada kami berdua?"
"Ya. Kami percaya. Mudah-mudahan paman memang dapat dipercaya."
Wiratama menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku berhutang kepada kalian. Seharusnya aku sudah mati."
"Ya. Seharusnya aku-pun sudah mati. Meski-pun aku memang sudah menjadi setengah mati, tetapi kini keadaanku berangsur menjadi baik," berkata Ki Mandira Wilis.
"Jika kalian masih berjantung, maka kalian tentu akan tahu menempatkan diri," berkata Ki Citra Jati.
"Sekarang aku mengerti, apa yang sebaiknya aku lakukan. Tetapi pengaruh keadaan dan suasana kadang-kadang dapat merubah keyakinan seseorang."
"Tetapi orang-orang yang berpijak pada atas sikap yang kuat, tidak akan melakukannya."
"Kau benar, kakang," desis Ki Wiratama, "kami akan berusaha untuk tidak melakukan kesalahan lagi."
"Ajari pengikut Pandunungan itu untuk juga tidak melakukan kesalahan."
"Baik, kakang."
Namun Ki Mandira Wilis itu-pun berkata, "Tetapi jangan usir aku sekarang."
Mlaya Werdi tertawa. Katanya, "Paman masih dalam keadaan yang terhitung parah. Paman masih akan berada disini beberapa hari. Demikian pula paman Wiratama dan para tawanan. Mudah-mudahan dalam beberapa hari ini, paman Wiratama dapat berbicara dengan mereka serba sedikit, agar mereka mulai menyadari keadaan mereka."
"Terima kasih, ngger." Mandira Wilis mengangguk-angguk.
Dalam pada itu, Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati-pun masih minta ijin pula kepada Mlaya Werdi untuk tetap berada di padepokan itu untuk beberapa lama.
"Silahkan, paman dan bibi. Silahkan. Bahkan akulah yang akan minta paman dan bibi untuk tetap berada di sini, setidak-tidaknya sampai kami melepas paman Wiratama dan paman Mandira Wilis serta para tawanan."
"Terima kasih ngger. Aku dan anak-anak akan menjadi beban di sini."
"Sama sekali tidak, paman. Jika paman dan bibi serta adik-adik tidak berada di padepokan ini pada saat Pandunungan datang, mungkin keadaannya sudah berbeda. Kami tidak akan mampu membendung arus yang begitu kuat. Paman Wiratama, Paman Mandira Wilis dan bahkan Ki Ageng Puspakajang."
"Kami hanya merupakan bagian saja dari perjuanganmu Mlaya Werdi. Perjuangan seluruh isi padepokan ini."
"Tetapi kemampuan kami sangat terbatas, paman."
Dengan demikian, maka Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati tidak tergesa-gesa meninggalkan padepokan itu. Bahkan rasa rasanya mereka dan anak-anak mereka menjadi kerasan. Suasananya yang sejuk dan tenang. Sementara itu, Srini tidak akan dapat mengganggu mereka.
Padmini, Setiti dan Baruni-pun telah menyatu dengan beberapa orang Mentrik yang ada di padepokan itu. Mereka setiap hari bekerja bersama para Mentrik dan berlatih bersama mereka pula, kecuali dalam latihan-latihan khusus. Terutama bagi Padmini dan Pamekas yang telah dipersiapkan untuk mewarisi pula Aji Pacar wutah Puspo Rinonce sebagaimana telah diwarisi oleh Rara Wulan.
Tetapi Setiti dan Baruni-pun selalu mendapat penilikan khusus pula dari Nyi Citra Jati, sehingga ilmu mereka-pun selalu meningkat.
Dalam pada itu, dalam waktu-waktu luang, Glagah Putih dan Rara Wulan menyempatkan diri untuk melihat-lihat isi rontal yang ada antara dua lapis ikat pinggang Ki Ageng Puspakajang yang dipakai oleh Rara Wulan. Mereka mulai memperhatikan guratan pada lontar itu.
"Mungkin akan berarti bagi kita, Rara," berkata Glagah Putih.
Rara Wulan mengangguk-angguk. Mereka memang melihat petunjuk-petunjuk yang sangat berarti. Namun sudah tentu mereka harus memperhitungkan segala kemungkinan yang terjadi di dalam diri mereka. Petunjuk-petunjuk laku yang terdapat di dalam rontal itu harus dipelajari lebih dahulu dengan seksama, agar tidak terjadi hal-hal yang justru merugikan bagi tubuh mereka.
Kambing Jantan 3 Eragon Karya Christhoper Paolini Candi Murca 9
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama